7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bungur

advertisement
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Bungur (Lagerstroemia speciosa Pers.)
Bungur (Lagerstroemia) adalah tumbuhan sejenis pohon atau perdu
yang dikenal sebagai pohon peneduh jalan atau pekarangan. Bunganya berwarna
merah jambu, bila mekar bersama-sama akan tampak indah. Perbanyakan
anakannya dari biji yang keluar setelah proses pembungaan selesai. Bijinya
berbentuk bulat berwarna cokelat sebesar kelereng. Selain itu bisa juga
diperbanyak dengan pencangkokan (Anonim, 2010).
Gambar 2.1 Pohon Bungur (L. speciosa Pers.)
Ada dua jenis bungur yang populer sebagai tanaman hias pekarangan:
bungur biasa (L. speciosa) seperti yang tertera pada Gambar 2.1, pohon besar
mencapai 8 m, dan bungur Jepang (L. faurieri, L. indica, dan hibrida keduanya)
yang lebih kecil, berbentuk perdu. Bungur besar dulu juga banyak ditanam di
pekuburan. Kini selain ditanam sengaja dipinggir jalan raya dan halaman rumah,
juga banyak tumbuh liar di tepian sungai (Anonim, 2010).
7
8
Tanaman Bungur (Lagerstroemia speciosa Pers.) dalam Ilmu Botani
diklasifikasikan sebagai berikut:
Divisi
: Spermatophyta
Sub devisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Sub Kelas
: Dialypetalae
Bangsa
: Myrtales
Suku
: Lythraceae
Marga
: Lagerstroemia
Jenis
: Lagerstroemia speciosa Pers. (Heyne, 1987)
Dalam pengobatan tradisional sebagai obat diabetes, tanaman bungur
biasanya digunakan dalam bentuk rebusan. Biji tanaman ini dapat digunakan
untuk mengobati tekanan darah tinggi dan kencing manis. Daunnya digunakan
untuk mengobati kencing batu, kencing manis, dan tekanan darah tinggi,
sedangkan bagian kulit kayu digunakan untuk mengobati diare, disentri dan
kencing darah. Daun bungur memiliki kandungan kimia, seperti saponin,
flavonoid dan tanin, sedangkan pada kulit batang bungur mengandung flavonoid
dan tanin. Biji bungur mengandung senyawa plantisul (Dalimartha, 2003).
2.2
Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus merupakan kelompok penyakit metabolik yang
ditandai dengan hiperglikemia akibat kekuranagan sekresi insulin. Ada 2 tipe
diabetes mellitus (Badawi, 2009), yaitu :
9
a. Diabetes mellitus tipe 1 (diabetes yang tergantung pada insulin)
Pada diabetes mellitus tipe 1 penyebab utamanya ialah terjadinya
kekurangan hormon insulin pada proses penyerapan makanan.
b. Diabetes mellitus tipe 2 (diabetes yang tidak tergantung pada insulin)
Pada diabetes mellitus tipe 2, gangguan utama terjadi pada volume
reseptor (penerima) hormon insulin, yakni sel-sel darah. Dalam kondisi ini
produktifitas hormon insulin bekerja dengan baik, namun tidak terdukung oleh
kuantitas volume reseptor yang cukup pada sel darah.
Penyebab terjadinya diabetes mellitus sangat bervariasi, bisa karena
faktor keturunan, usia, kegemukan, ras, serta gaya hidup. Faktor genetik dan
lingkungan berperan dalam timbulnya kedua tipe diabetes mellitus tetapi faktor
genetik lebih nyata pada tipe 2. Pada tipe 1, faktor genetik berhubungan dengan
pengaturan genetik pada respon imun, sehingga pada tipe 1 ini sering muncul pada
penyakit autoimun terhadap sel β-pankreas. Penyebab terbanyak dari kehilangan
sel β pada diabetes tipe 1 adalah kesalahan reaksi autoimunitas yang
menghancurkan sel β-pankreas (Badawi, 2009).
Gejala awal diabetes berhubungan dengan efek langsung dari kadar
gula darah yang tinggi. Jika kadar gula darah sampai diatas 160-180 mg/dL, maka
glukosa akan dikeluarkan melalui air kemih. Jika kadarnya lebih tinggi lagi, ginjal
akan membuang air tambahan untuk mengencerkan sejumlah glukosa yang hilang.
Karena ginjal menghasilkan air kemih dalam jumlah yang berlebihan, maka
penderita sering berkemih dalam jumlah yang banyak. Akibatnya, penderita
merasakan haus yang berlebihan sehingga banyak minum. Sejumlah besar kalori
10
hilang ke dalam air kemih, sehingga penderita mengalami penurunan berat badan
(Badawi, 2009).
Gejala lainnya adalah pandangan kabur, pusing, mual dan berkurangnya
ketahanan tubuh selama melakukan olahraga. Penderita diabetes yang gula
darahnya kurang terkontrol lebih peka terhadap infeksi (Badawi, 2009).
2.2.1 Pengaturan kadar glukosa darah
Hasil pencernaan makanan diabsorpsi usus, glukosa dialirkan ke hati
melalui vena porta. Sebagian dari glukosa tersebut disimpan sebagai glikogen.
Pada saat itu kadar glukosa dalam vena porta lebih tinggi daripada kadarnya
dalam vena hepatik. Glikogen dalam hati dipecah lagi menjadi glukosa, setelah
absorpsi selesai. Pada saat ini kadar glukosa dalam vena hepatik lebih tinggi
daripada kadarnya dalam vena porta. Dalam keadaan biasa, persediaan glikogen
dalam hepar cukup untuk mempertahankan kadar glukosa darah selama beberapa
jam. Bila hepar terganggu fungsinya, mudah terjadi hipoglikemia maupun
hiperglikemia. Hormon pankreas yang penting dalam mengatur metabolisme
karbohidrat adalah glukagon. Glukagon menyebabkan glikogenolisis dengan jalan
merangsang adenilsiklase, suatu enzim yang penting untuk mengaktifkan enzim
fosforilase. Enzim fosforilase berperan dalam glikogenolisis. Penurunan cadangan
glikogen hepar menyebabkan bertambahnya deaminasi dan transaminasi asam
amino, sehingga glukoneogenesis di hati jadi lebih aktif (Anonim, 1995).
Tanpa insulin, kontraksi otot dapat menyebabkan glukosa lebih banyak
masuk ke dalam sel. Suatu kerja fisik akan mengurangi kebutuhan insulin,
sehingga mudah terjadi hipoglikemia. Seorang penderita diabetes mellitus yang
11
bekerja lebih berat dari biasanya, harus mendapat ekstra kalori atau dosis insulin
yang lebih rendah. Hiperglikemia dapat disebabkan oleh berbagai keadaan. Semua
keadaan yang menghambat produksi dan sekresi insulin, terdapatnya zat-zat yang
bersifat anti-insulin dalam darah serta keadaan yang menghambat efek insulin
pada reseptornya, semua dapat menyebabkan diabetes mellitus (Anonim, 1995).
2.2.2
Insulin
Insulin adalah polipeptida dengan BM kira-kira 6000. Polipeptida ini
terdiri dari 51 asam amino tersusun dalam dua rantai; rantai A yang terdiri dari 21
asam amino dan rantai B terdiri dari 30 asam amino. Insulin berperan penting
tidak hanya dalam metabolisme karbohidrat, tetapi juga dalam transpor berbagai
zat dalam membran sel, dalam metabolisme karbohidrat, lemak dan protein
(Ganiswarna, 1995).
Pada diabetes mellitus, defisiensi insulin menyebabkan hambatan
transport asam amino ke dalam sel serta hambatan inkorporasi asam amino
menjadi protein. Pada hipoglikemia fungsional atau reaktif, gejala-gejala
hipoglikemia terjadi 1-2 jam setelah makan karbohidrat banyak. Hal ini
disebabkan terlalu banyak insulin disekresi, sehingga melampaui kebutuhan.
Gejala hipoglikemia pada syok insulin umumnya berupa gejala saluran cerna,
mental dan saraf. Mula-mula penderita lapar, seakan-akan perutnya kosong,
kemudian karena aktivitas saraf simpatis yang meningkat timbul tremor,
berkeringat banyak, gelisah, denyut nadi yang bertambah cepat dan tekanan darah
agak meninggi serta rasa lemah (Ganiswarna, 1995).
12
Pada umumnya dalam keadaan hipoglikemik, badan berusaha
mengatasinya dengan berbagai cara; antara lain dengan memperbanyak sekresi
hormon yang menyebabkan hiperglikemia. Jika badan tidak dapat mengatasi
hipoglikemia tersebut, maka gejala-gejala makin hebat, kesadaran penderita
makin menurun dan timbul ataksia, afasia, koma dan kejang-kejang (Ganiswarna,
1995).
Pada saat ini insulin dianggap lebih baik dari pada antidiabetik oral
karena dapat mengendalikan gula darah lebih baik. Disamping itu penelitian yang
dilakukan oleh University Group Diabetes Program (UGDP) di Amerika Serikat
tahun 1970 melaporkan bahwa kelompok yang diberikan antidiabetik oral lebih
tinggi frekuensi kematiannya akibat penyakit jantung dibanding dengan yang
diberikan insulin (Ganiswarna, 1995).
2.3
Aloksan
Aloksan adalah suatu substrat yang secara struktural adalah derivat
pirimidin sederhana. Aloksan diperkenalkan sebagai hidrasi aloksan pada larutan
encer. Aloksan murni diperoleh dari oksidasi asam urat oleh asam nitrat
(Nugroho, 2004). Berikut ini merupakan beberapa informasi mengenai aloksan
dan struktur molekul seperti tertera pada Gambar 2.2 :
Rumus molekul
:
C4H2N2O4
Nama lain
:
2,4,5,6-tetraoksoheksahidropirimidin
5,6-dioksiurasil
Mesoksalilurea
Mesoksalikarbamid
13
struktur molekul :
O
H
N
O
NH
O
O
Gambar 2.2 Aloksan (Budavari, 2001)
Aloksan terdapat dalam tiga bentuk senyawa yaitu aloksan anhidrat,
aloksan monohidrat, dan aloksan tetrahidrat. Aloksan mudah larut dalam air;
dalam air panas larutan berwarna kuning dan menjadi tidak berwarna dengan
pendinginan; dalam larutan air setelah terkena kulit dalam beberapa waktu akan
berwarna merah (Budavari, 2001).
Aloksan merupakan bahan kimia yang digunakan untuk menginduksi
diabetes pada binatang percobaan. Mekanisme aksi dalam menimbulkan
perusakan yang selektif belum diketahui dengan jelas. Beberapa hipotesis tentang
mekanisme aksi yang telah diajukan antara lain: pembentukan khelat terhadap Zn,
interferensi dengan enzim-enzim sel serta deaminasi dan dekarboksilasi asam
amino. Penelitian terhadap mekanisme kerja aloksan secara invitro menunjukkan
bahwa aloksan menginduksi pengeluaran ion kalsium dari mitokondria yang
mengakibatkan proses oksidasi sel terganggu. Keluarnya ion kalsium dari
mitokhondria ini mengakibatkan gangguan homeostasis yang merupakan awal
dari matinya sel (Suharmiati, 2003).
14
2.4
Hewan Percobaan
Mencit (Mus musculus) adalah anggota Muridae (tikus-tikusan) yang
berukuran kecil. Mencit mudah dijumpai di rumah-rumah dan dikenal sebagai
hewan pengganggu karena kebiasaannya menggigiti mebel dan barang-barang
kecil lainnya, serta bersarang di sudut-sudut lemari. Hewan ini diduga sebagai
mamalia terbanyak kedua di dunia, setelah manusia. Mencit sangat mudah
menyesuaikan diri dengan perubahan yang dibuat manusia, bahkan jumlahnya
yang hidup liar di hutan barangkali lebih sedikit daripada yang tinggal di
perkotaan. Mencit percobaan (laboratorium) dikembangkan dari mencit, melalui
proses seleksi. Sekarang mencit juga dikembangkan sebagai hewan peliharaan
(Anonim, 2011).
Mencit adalah binatang asli Asia dan Eropa Barat. Jenis ini sekarang
ditemukan di seluruh dunia karena pengenalan oleh manusia. Mencit peliharaan
memiliki periode kegiatan selama siang dan malam, mencit memakan makanan
manusia dan barang-barang rumah tangga (Anonim, 2011).
Mencit (Mus. musculus) adalah jenis yang paling dikenal. Tikus ini
berukuran kecil namun sangat rakus jika sudah menemukan mebel, atau kain-kain
yang biasanya dijadikan tempatnya bersarang. Bahkan mereka juga menyantap
barang-barang rumah tangga lainnya (Anonim, 2011).
Hewan ini diperkirakan adalah memalia terbanyak setelah manusia.
Kelebihannya yaitu pandai menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang
sengaja dibuat oleh manusia. Inilah yang menyebabkan kebanyakan dari mereka
15
hidup di rumah-rumah penduduk, sangat jarang hidup liar di hutan (Anonim,
2011).
Mencit memiliki organ yang terlengkap sebagai mamalia. Oleh karena
itu, sering dipilih sebagai makhluk percobaan untuk obat-obatan atau makanan
yang nantinya akan digunakan atau dikonsumsi oleh manusia (Anonim, 2011).
Mencit berkembangbiak dengan beranak. Ia kawin pada usia 50 hari.
Perkawinan biasanya dilakukan jika hari sudah malam. Masa kehamilan mencit
kebanyakan adalah selama 20 hari. Keunikannya, ketika Ia sudah melahirkan si
betina tidak mau diganggu sampai 2 hari setelah melahirkan (Anonim, 2011).
2.5
Tanin
Tanin adalah senyawa polifenol yang memiliki berat molekul cukup
tinggi (lebih dari 1000) dan dapat membentuk kompleks dengan protein. Tanin
terdapat luas dalam tumbuhan berpembuluh, dalam angoispermae terdapat khusus
dalam jaringan kayu. Dalam tumbuhan, letak tanin terpisah dari protein dan enzim
sitoplasma, bila jaringan tumbuhan rusak, misalnya hewan memakannya, maka
dapat terjadi reaksi penyamakan. Reaksi ini menyebabkan protein lebih sukar
dicapai oleh cairan pencernaan hewan. Sebagian besar tumbuhan yang banyak
mengandung tanin dihindari oleh hewan pemakan tumbuhan karena rasanya sepat,
sehingga mungkin mempunyai arti sebagai pertahanan bagi tumbuhan (Hagerman,
2002; Harbone, 1996).
Tanin memiliki peranan biologis yang kompleks. Hal ini dikarenakan
sifat tanin yang sangat kompleks mulai dari pengendap protein hingga pengkhelat
16
logam. Maka dari itu efek yang disebabkan tanin tidak dapat diprediksi. Tanin
juga dapat berfungsi sebagai antioksidan biologis (Hagerman, 2002).
2.5.1
Klasifikasi tanin
Senyawa tanin dibedakan menjadi dua, yaitu tanin terkondensasi dan
tanin terhidrolisis.
2.5.1.1 Tanin terhidrolisis
Tanin ini biasanya berikatan dengan karbohidrat dengan membentuk
jembatan oksigen, maka dari itu tanin ini dapat dihidrolisis dengan menggunakan
asam sulfat atau asam klorida (Hagerman, 2002). Salah satu contoh jenis tanin ini
adalah galotanin yang merupakan senyawa gabungan karbohidrat dan asam galat
seperti yang terlihat pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3 Galotanin (Hagerman, 2002)
Selain membentuk galotanin, dua asam galat akan membentuk tanin
terhidrolisis yang disebut elagitanin. Elagitanin sederhana disebut juga ester asam
hexahydroxydiphenic (HHDP) (Hagerman, 2002). Senyawa ini dapat terpecah
menjadi asam galat jika dilarutkan dalam air yang dapat dilihat pada Gambar 2.4.
17
Gambar 2.4 Elagitanin (Hagerman, 2002)
Tanin terhidrolisis biasanya berupa senyawa amorf, higroskopis, dan
berwarna coklat kuning yang larut dalam air (terutama air panas) membentuk
larutan koloid bukan larutan sebenarnya (Harborne, 1996).
2.5.1.2 Tanin terkondensasi
Tanin jenis ini biasanya tidak dapat dihidrolisis. Tanin jenis ini
kebanyakan terdiri dari polimer flavonoid yang merupakan senyawa fenol. Nama
lain dari tanin ini adalah proantosianidin. Proantosianidin merupakan polimer dari
flavonoid, salah satu contohnya adalah Sorghum procyanidin (tertera pada
Gambar 2.5), senyawa ini merupakan trimer yang tersusun dari epiccatechin dan
catechin (Hagerman, 2002).
18
Gambar 2.5 Sorghum Procyanidin (Hagerman, 2002)
Senyawa ini jika dikondensasi maka akan menghasilkan flavonoid
jenis flavan dengan bantuan nukleofil berupa floroglusinol (Hagerman, 2002).
Tanin terkondensasi banyak terdapat dalam paku-pakuan, gymnospermae, dan
tersebar luas dalam angiospermae, terutama pada jenis tumbuhan berkayu
(Robinson, 1991).
Makin murni tanin terkondensasi, makin kurang kelarutannya dalam
air dan makin mudah diperoleh dalam bentuk kristal. Tanin larut dalam pelarut
polar dan tidak larut dalam pelarut non polar (Robinson, 1991).
2.5.2
Sifat-sifat umum tanin
Senyawa tanin mempunyai sifat-sifat umum sebagai berikut :
2.5.2.1 Sifat fisika
Sifat fisika dari tanin (Hangerman, 2002) adalah sebagai berikut :
a. Jika dilarutkan kedalam air akan membentuk koloid dan memiliki rasa
asam dan sepat.
19
b. Jika dicampur dengan alkaloid dan gelatin akan terjadi endapan
c. Mengendapkan protein dari larutannya dan bersenyawa dengan protein
tersebut sehingga tidak dipengaruhi oleh enzim protiolitik.
2.5.2.2 Sifat kimia
Sifat kimia dari tanin (Hangerman, 2002) adalah sebagai berikut :
a. Merupakan senyawa kompleks dalam bentuk campuran polifenol yang
sukar dipisahkan sehingga sukar mengkristal.
b. Tanin dapat diidentifikasikan dengan kromotografi.
c. Senyawa fenol dari tanin mempunyai aksi adstrigensia, antiseptik dan
pemberi warna.
2.5.2.3 Sifat tanin sebagai pengkhelat logam.
Senyawa fenol yang secara biologis dapat berperan sebagai pengkhelat
logam. Karena itulah tanin terhidrolisis memiliki potensial untuk menjadi
pengkhelat logam. Hasil khelat dari tanin ini memiliki keuntungan yaitu kuatnya
daya khelat dari senyawa tanin ini membuat khelat logam menjadi stabil dan aman
dalam tubuh. Tetapi jika tubuh mengkonsumsi tanin berlebih maka akan
mengalami anemia karena zat besi dalam darah akan dikhelat oleh senyawa tanin
tersebut (Hangerman, 2002).
2.6
Isolasi Komponen Aktif Tanaman
Isolasi senyawa biasanya dilakukan dalam tiga tahap yaitu tahap
ekstraksi, pemisahan dan pemurnian serta identifikasi.
20
2.6.1
Ekstraksi
Ekstraksi merupakan suatu cara untuk mengambil atau menarik
komponen kimia yang terkandung dalam sampel menggunakan pelarut yang
sesuai. Ekstraksi yang benar dan tepat tergantung dari jenis senyawa, tekstur dan
kandungan air bahan tumbuhan yang akan diekstraksi (Harbone, 1996). Dalam
mengekstraksi suatu tumbuhan sebaiknya menggunakan jaringan tumbuhan yang
masih segar, namun kadang-kadang tumbuhan yang akan dianalisis tidak tersedia
di tempat sehingga untuk itu jaringan tumbuhan yang akan diekstraksi dapat
dikeringkan terlebih dahulu (Harbone, 1996; Robinson, 1991; Kristanti, 2008).
Ektraksi serbuk kering jaringan tumbuhan dapat dilakukan secara
maserasi, perkolasi, refluks atau sokhletasi dengan menggunakan pelarut yang
tingkat kepolarannya berbeda-beda. Teknik ekstraksi yang akan digunakan dalam
penelitian ini adalah teknik maserasi (Harbone, 1996; Kristanti, 2008).
Maserasi adalah proses perendaman sampel untuk menarik komponen
yang kita inginkan, dengan kondisi dingin diskontinyu. Keuntungan dari maserasi
adalah lebih praktis, pelarut yang digunakan lebih sedikit dibandingkan perkolasi
dan tidak memerlukan pemanasan, sedangkan kekurangannya adalah waktu yang
dibutuhkan lebih lama. Filtrat yang diperoleh dari proses tersebut diuapkan
dengan alat penguap putar vakum (rotary evaporator) hingga menghasilkan
ekstrak pekat (Harbone, 1996; Kristanti, 2008).
2.6.2
Pemisahan dan pemurnian
Pemisahan dan pemurnian senyawa tanin dapat dilakukan dengan
teknik kromatografi seperti Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dan Kromatografi
21
Kolom. Pemilihan teknik kromatografi sebagian besar tergantung pada sifat
kelarutan senyawa yang akan dipisahkan (Harborne, 1996).
2.6.2.1 Kromatografi lapis tipis
Teknik ini dikembangkan tahun 1938 oleh Ismailoff dan Schraiber.
Adsorben dilapiskan pada lempeng kaca yang bertindak sebagai fase diam. Fase
bergerak akan merayap sepanjang fase diam dan terbentuklah kromatogram.
Metode ini sederhana, cepat dalam pemisahan dan sensitif. Kecepatan pemisahan
tinggi dan mudah untuk memperoleh kembali senyawa-senyawa yang terpisahkan
(Khopkar, 1990).
Biasanya yang digunakan sebagai meteri pelapisnya adalah silika-gel,
tetapi kadangkala bubuk selulosa dan tanah diatome, kieselguhr juga dapat
digunakan. Untuk fase diam hidrofilik dapat digunakan pengikat seperti semen
paris, kanji, dispersi koloid plastik, silika terhidrasi. Sekarang ini telah banyak
tersedia kromatografi lapis tipis siap pakai yang dapat berupa gelas kaca, yang
telah terlapisi, kromatotube, dan sebagainya. Kadar air dalam lapisan ini harus
terkendali agar didapat hasil analisis yang reprodusibel (Khopkar, 1990).
Pemilihan sistem pelarut dan komposisi lapisan tipis ditentukan oleh
prinsip kromatografi yang akan digunakan. Untuk meneteskan sampel yang akan
dipisahkan digunakan suatu mikro-syringe (penyuntik ukuran mikro). Sampel
diteteskan pada salah satu bagian tepi pelat kromatografi (sebanyak 0,01-10 μg
zat). Pelarut harus non polar dan mudah menguap. Kolom-kolom dalam pelat
dapat diciptakan dengan mengerok lapisan vertical searah gerakan pelarut. Teknik
ascending digunakan untuk melaksanakan pemisahan yang dilakukan pada
22
temperatur kamar, sampai permukaan pelarut mencapai tinggi 15-18 cm. Waktu
yang diperlukan antara 20-40 menit. Semua teknik yang digunakan untuk
kromatografi kertas dapat dipakai juga untuk kromatografi lapis tipis. Resolusi
KLT jauh lebih tinggi dari pada kromatografi kertas karena laju difusi yang luar
biasa kecilnya pada lapisan pengadsorpsi (Khopkar, 1990).
Zat-zat warna dapat terlihat langsung, tetapi dapat juga digunakan
reagent penyemprot untuk melihat bercak suatu zat. Untuk menempatkan posisi
suatu zat, reagent dapat juga disemprotkan pada bagian tepi saja. Bagian yang
lainnya dapat diperoleh kembali tanpa pengotoran dari reagent dalam pengerokan
setelah pemisahan selesai (Khopkar, 1990).
Untuk analisis kuantitatif dapat digunakan plot fotodensitometer.
Analisisnya dapat dilakukan dengan spektrofotometer UV, sinar tampak, IR atau
fluorosens atau dengan reaksi dengan kolorimeter dengan reagent kromogenik
(Khopkar, 1990).
Aplikasi KLT sangatlah luas. Senyawa-senyawa yang tidak mudah
menguap serta terlalu labil untuk kromatografi cair dapat dianalisis dengan KLT.
KLT dapat pula untuk memeriksa adanya zat pengotor dalam pelarut. Ahli kimia
forensik menggunakan KLT untuk bermacam pemisahan. Pemakaiannya juga
meluas dalam pemisahan organik (Khopkar, 1990).
2.6.2.2 Kromatografi kolom
Kromatografi kolom juga merupakan suatu metode pemisahan
preparatif. Metode ini memungkinkan untuk melakukan pemisahan suatu sampel
23
yang berupa campuran dengan berat beberapa g. Beberapa kelemahan dari metode
ini (Kristanti, 2008) adalah :
a. Diperlukan jumlah pelarut/eluen yang cukup besar
b. Waktu elusi untuk dapat menyelesaikan pemisahan sangat lama
c. Deteksi hasil pemisahan tidak dapat langsung dilakukan (masih
memerlukan KLT)
Pada prinsipnya kromatografi kolom adalah suatu teknik pemisahan
yang didasarkan pada peristiwa adsorpsi. Sampel yang biasanya berupa larutan
pekat diletakkan pada ujung atas kolom. Eluen atau pelarut dialirkan secara
kontinu ke dalam kolom. Dengan adanya gravitasi atau karena bantuan tekanan,
maka eluen/pelarut akan melewati kolom dan proses pemisahan akan terjadi.
Seperti pada umumnya, eluen atau pelarut yang digunakan dimulai dari yang
paling nonpolar dan dinaikkan secara gradien kepolarannya hingga pemisahan
dapat terjadi. Sama halnya pada KLT, pemisahan dapat terjadi karena adanya
perbedaan afinitas senyawa pada adsorben dan perbedaan kelarutan senyawa pada
eluen/pelarut (Kristanti, 2008).
Kecepatan elusi sebaiknya dibuat konstan. Kecepatan tersebut harus
cukup lambat sehingga senyawa berada dalam keseimbangan antara fase diam dan
fase gerak, sebaliknya jika kecepatan elusi ini terlalu kecil maka senyawasenyawa akan terdifusi ke dalam eluen dan akan menyebabkan pita makin lama
makin lebar yang akibatnya pemisahan tidak dapat berlangsung dengan baik.
Kecepatan elusi yang besar dapat dilakukan jika yang akan dipisahkan adalah
24
campuran senyawa yang memiliki kepolaran yang sangat berbeda (Kristanti,
2008).
Pemisahan menggunakan kromatografi kolom, sebelum sangat
dianjurkan untuk mencobanya terlebih dahulu dengan KLT. Hal ini dilakukan
untuk mengetahui kompleksitas campuran yang akan dipisahkan dan sekaligus
untuk menemukan sistem eluen yang akan digunakan untuk proses pemisahan
menggunakan kromatografi kolom (Kristanti, 2008). Beberapa hal yang harus
diperhatikan :
a. Mencari campuran dua pelarut dengan perbedaan polaritas cukup besar
yang paling mungkin (misal: petroleum eter dengan diklorometana)
b. Rf sebagian besar senyawa sebaiknya lebih rendah dari 0,4. Dari beberapa
pengamatan bahwa semakin kecil harga Rf suatu senyawa, maka makin
besar jumlah eluen yang diperlukan untuk mengelusi senyawa tersebut dari
kolom. Dengan demikian, senyawa-senyawa yang memiliki harga Rf 0,8
dan 0,9 akan sulit untuk dipisahkan karena keduanya akan terelusi oleh
eluen hanya dalam jumlah kecil sehingga tidak ada waktu untuk terpisah.
Tahap yang paling sulit dalam kromatografi kolom adalah pengisian
kolom dengan adsorben. Pengisian tersebut harus sehomogen mungkin dan harus
benar-benar bebas dari gelembung udara. Permukaan adsorben harus benar-benar
horizontal untuk menghindari terjadinya cacat yang dapat terjadi selama proses
elusi berjalan. Untuk itu yang pertama harus diperhatikan adalah menempatkan
kolom pada posisi yang benar-benar vertikal (Kristanti, 2008).
25
2.6.3
Identifikasi
Identifikasi suatu senyawa hasil isolasi sebaiknya dimulai dari
penentuan senyawa dengan menggunakan uji fitokimia yaitu pereaksi pendeteksi
senyawa tanin, dan dilanjutkan dengan mengukur spektra-spektra yang khas dari
suatu senyawa, misalnya dengan menggunakan spektrofotometer ultraviolettampak dan inframerah (Harborne, 1996).
2.6.3.1 Uji senyawa tanin
Untuk mengetahui kandungan kimia dari tumbuh-tumbuhan diperlukan
identifikasi terhadap senyawa tersebut baik senyawa murni hasil isolasi maupun
dalam bentuk ekstrak kasarnya yang dapat dilakukan dengan beberapa test warna
(Robinson, 1995; Sirait, 1987) antara lain:
1. Uji senyawa tanin pereaksi yang digunakan adalah FeCl3. Adanya tanin
pada sampel ditunjukkan dengan terjadinya perubahan warna menjadi
hijau atau biru kehitaman.
2. Dengan menggunakan larutan gelatin. Sedikit sampel ditambahkan
beberapa tetes larutan gelatin, reaksi positif bila terbentuk endapan.
3. Dengan menggunakan air brom. Sedikit sampel ditambahkan beberapa
tetes air brom, reaksi positif bila terbentuk endapan.
2.6.3.2 Spektrofotometer ultraviolet-tampak
Serapan cahaya oleh molekul dalam daerah ultraviolet-tampak (UVVis) tergantung pada struktur elektronik dari molekul. Energi yang diserap oleh
molekul digunakan untuk bertransisi dari tingkat energi dasar ke tingkat energi
yang lebih tinggi. Spekrofotometer UV-Vis dapat memberikan informasi
26
mengenai adanya ikatan rangkap terkonjugasi, jenis transisi elektron, dan
memperlihatkan data-data spektrum seperti panjang gelombang maksimum (λmaks)
dan absorbansi. Spektra UV-Vis dari senyawa-senyawa organik berkaitan erat
dengan transisi-transisi diantara tingkat-tingkat energi elektronik. Umumnya
senyawa-senyawa yang mengalami transisi elektronik mempunyai ikatan elektron
σ→σ*, n→σ*, n→π*, dan π→π* yang mengabsorpsi cahaya pada daerah
ultraviolet tampak dan dapat diperoleh spektrum dan informasi untuk penentuan
struktur. Energi tertinggi dimiliki oleh ikatan σ→σ* sedangkan energi yang
terendah dimiliki oleh ikatan n→π*. Transisi yang terjadi sangat dipengaruhi oleh
kromofor dan auksokrom. Kromofor merupakan senyawa kovalen tak jenuh yang
dapat menyerap radiasi dalam daerah-daerah UV-Vis, sedangkan auksokrom
merupakan gugus jenuh yang mempunyai pasangan elektron bebas dan bila terikat
pada kromofor dapat mengubah panjang gelombang dan intensitas serapan
maksimum, seperti gugus –Cl, –OH, dan –NH2 (Sastrohamidjojo, 1992).
Karakteristik dari senyawa tanin yaitu untuk tanin jenis katekin diukur
pada panjang gelombang 270 nm dan 450 nm, untuk protokatetin diukur pada
panjang gelombang 258 nm, 290 nm dan 438 dan untuk epikatekin diukur pada
panjang gelombang 266 nm (Giurginca et al., 2007).
2.6.3.3 Spektrofotometer inframerah
Spektrofotometri inframerah (IR) sangat penting dalam kimia modern,
terutama dalam daerah organik. Spektrofotometer ini merupakan alat rutin untuk
mendeteksi gugus fungsional, mengidentifikasi senyawaan, dan menganalisis
campuran (Day and Underwood, 1999).
27
Penerapan spektrofotometer inframerah sangat luas, biasanya untuk
analisis kualitatif. Sinar inframerah dilewatkan melalui suatu cuplikan senyawa
organik, sehingga sejumlah frekuensi diserap sedang frekuensi yang lain
diteruskan
atau
ditransmisikan
tanpa
diserap.
Kegunaan
utama
dari
spektrofotometer IR yaitu untuk mengidentifikasi keberadan suatu gugus fungsi
dalam suatu senyawa organik berdasarkan spektrum yang khas pada daerah
inframerah. Radiasi inframerah menyebabkan terjadinya vibrasi dari gugus fungsi
suatu molekul. Vibrasi terjadi pada panjang gelombang 2,5-15 μm (4000 cm-1 –
650
cm-1)
yang
merupakan
panjang
gelombang
umum
dalam
alat
spektrofotometer inframerah. Ikatan-ikatan yang berbeda (C-C, C=C, C≡C, C-O,
C=O, O-H, N-H, dst.) mempunyai frekuensi vibrasi yang berbeda dan kita dapat
mendeteksi adanya ikatan-ikatan tersebut dalam molekul organik menyebabkan
senyawa-senyawa
organik
dapat
diidentifikasi
melalui
frekuensi
yang
karakteristik sebagai pita serapan dalam spektrum inframerah (Sastrohamidjojo,
1992).
Senyawa tumbuhan dapat diukur dengan spektrofotometri inframerah
yang merekam secara otomatis dalam bentuk larutan (dalam kloroform,
karbontetraklorida, 1−5%), bentuk gerusan dalam minyak nuyol, atau bentuk
padat yang dicampur dengan kalium bromida. Pada cara terakhir, tablet atau
cakram tipis dibuat dari serbuk yang mengandung kira−kira 1 mg bahan dan
10−100 mg kalium bromida dalam kondisi tanpa air, dibuat dengan menggunakan
cetakan atau pengempa. Jangka pengukuran mulai dari 4000 sampai 667
28
cm−1(atau 2,5 sampai 15 µm), dan perekaman spektrum memakan waktu kira−kira
tiga menit (Harborne, 1996).
Daerah pada spektrum inframerah diatas 1200 cm−1 menunjukkan pita
spektrum atau puncak yang disebabkan oleh getaran ikatan kimia atau gugus
fungsi dalam molekul yang ditelaah. Daerah di bawah 1200 cm−1 menunjukkan
pita yang disebabkan oleh getaran seluruh molekul, dan karena kerumitannya
dikenal sebagai daerah sidik jari. Intensitas berbagai pita direkam secara subjektif
pada skala sederhana: kuat (K), menengah (M), atau lemah (L) (Harborne, 1996).
Banyak gugus fungsi dapat diidentifikasi dengan menggunakan
frekuensi getaran khasnya mengakibatkan spektrofotometri inframerah merupakan
cara yang paling sederhana dan sering paling terandalkan dalam menentukan
golongan senyawa. Spektrofotometri inframerah dapat memberikan sumbangan
yang berguna bagi penentuan struktur bila dijumpai senyawa baru dalam
tumbuhan. Gugus-gugus yang biasanya teranalisis pada senyawa tanin adalah –
OH (sedang) pada bilangan gelombang 3500-3200 cm-1, C=O (tajam) pada
bilangan gelombang 1640-1650 cm-1, C=C (aromatik) pada bilangan gelombang
1675-1500, dan -C-H (aromatik, tajam) pada bilangan gelombang 3700-3050 cm-1
(Harborne, 1996).
Download