kadar 25-hydroxyvitamin d plasma berkorelasi negatif

advertisement
TESIS
KADAR 25-HYDROXYVITAMIN D PLASMA
BERKORELASI NEGATIF DENGAN DERAJAT
KEPARAHAN PADA PENDERITA KELOID
I GUSTI AGUNG AYU RATNA MEDIKAWATI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
TESIS
KADAR 25-HYDROXYVITAMIN D PLASMA BERKORELASI
NEGATIF DENGAN DERAJAT KEPARAHAN PADA
PENDERITA KELOID
I GUSTI AGUNG AYU RATNA MEDIKAWATI
NIM 1014088103
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
TESIS
KADAR 25-HYDROXYVITAMIN D PLASMA BERKORELASI
NEGATIF DENGAN DERAJAT KEPARAHAN PADA
PENDERITA KELOID
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister
Pada program magister, Program Studi Ilmu Biomedik
Program Pascasarjana Universitas Udayana
I GUSTI AGUNG AYU RATNA MEDIKAWATI
NIM 1014088103
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI
PADA TANGGAL 10 FEBRUARI 2015
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Dr. dr. Made Wardhana, SpKK(K), FINDSDV
NIP. 19530811 198102 1 001
Dr. dr. I Gusti Ayu Agung Praharsini, SpKK
NIP. 19630821 199003 2 001
Mengetahui,
Ketua Program Studi Ilmu Biomedik
Direktur Program Pasca Sarjana
Program Pascasarjana
Universitas Udayana
Universitas Udayana
Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, SpAnd, FAACS
NIP. 19461213 197 1 001
Prof.Dr.dr.A.A.Raka Sudewi, Sp.S(K)
NIP. 19590215 198510 2 001
Tesis ini Telah Diuji pada
Tanggal 10 Februari 2015
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Direktur Program Pascasarjana
Universitas Udayana, No: 315/UN14.4/HK/2015 , Tanggal 29 Januari 2015
Ketua
: Dr.dr. Made wardhana, SpKK (K), FINSDV
Sekretaris
: Dr.dr. I Gusti Ayu Agung Praharsini, SpKK
Anggota
:
1. Prof.dr. Made Swastika Adiguna, SpKK (K), FINSDV, FAADV
2. Dr.dr. A.A.G.P. Wiraguna, SpKK(K), FINSDV, FAADV
3. Dr.dr. Luh Made Mas Rusyati, SpKK
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang
Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan.
Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada Dr.dr. Made Wardhana,SpKK(K),FINSDV sebagai pembimbing I
yang dengan penuh perhatian telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan dan saran
dalam menyelesaikan tugas akhir ini. Terima kasih sebesar-besarnya pula penulis sampaikan
kepada Dr. dr. I Gusti Ayu Agung Praharsini, SpKK sebagai pembimbing II yang telah
memberikan bimbingan, semangat, dorongan dan saran kepada penulis.
Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr.dr. I
Ketut Suastika, SpPD-KEMD dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Prof.
Dr.dr. Putu Astawa,SpOT(K),M.Kes, yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas untuk
mengikuti dan menyelesaikan Program Magister Pascasarjana dan Program Pendidikan
Dokter Spesialis I di Universitas Udayana. Ucapan terima kasih ini juga ditujukan kepada
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr.dr. A.A. Raka Sudewi,Sp.S(K)
dan Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Combined Degree, Prof.Dr.dr. Wimpie I
Pangkahila, Sp.And., FAACS atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk menjadi
mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Direktur RSUP
Sanglah Denpasar, dr. Anak Ayu Saraswati, M.Kes, Kepala Bagian/SMF Ilmu Kesehatan
Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Prof.dr. Made Swastika
Adiguna, SpKK(K), FINSDV, FAADV dan Ketua Program Studi Pendidikan Dokter
Spesialis I (PPDS I) Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana, Dr.dr. Made Wardhana, SpKK(K), FINSDV atas kesempatan dan fasilitas yang
diberikan untuk melanjutkan pendidikan di Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar.
Penulis juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada penguji karya akhir
ini, yaitu Prof.dr. Made Swastika Adiguna, SpKK(K), FINSDV, FAADV; Dr.dr. A.A.G.P.
Wiraguna,SpKK(K), FINSDV, FAADV; Dr.dr.L.M. Mas Rusyati, SpKK(K) yang telah
memberikan masukan, saran, sanggahan dan koreksi sehingga karya akhir ini dapat terwujud.
Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Unit Pelayanan Teknik Laboratorium
analitik Universitas Udayana Denpasar, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis
dalam menggunakan prasarana dan sarana laboratorium untuk kelancaran penelitian ini.
Tidak lupa pula penulis mengucapkan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggitingginya untuk pembimbing akademis penulis, dr. I.G.A.A. Dwi Karmila,SpKK dan semua
kepala divisi dan staf Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin fakultas kedokteran
Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar, atas segala bimbingan dan dorongan yang
diberikan selama penulis menempuh pendidikan, juga untuk semua dosen Pascasarjana
Program Magister Ilmu Biomedik Combined Degree, atas ilmu yang telah diberikan kepada
penulis sehingga membantu menyelesaikan tesis ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan
kepada dr.I Wayan Gede Artawan Eka Putra, M.Epid.atas bimbingannya berkaitan dengan
analisis statistika dalam penelitian ini.
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada rekan-rekan sejawat PPDS I Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin atas pengertian, bantuan dan kerjasama yang baik selama masa
pendidikan ini.Begitu pula untuk seluruh tenaga paramedis dan non medis poliklinik Kulit
dan Kelamin RSUP sanglah yang telah membantu dan memberikan dukungan berupa suasana
kerja yang baik sehingga memungkinkan penulis menyelesaikan pendidikan.
Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua
dr. I Gusti Ngurah Alit,SpOG dan I Gusti Agung Ayu Wismantari yang telah membesarkan,
memberikan kasih sayang yang tulus dan selalu memberi semangat kepada penulis hingga
pendidikan ini dapat diselesaikan. Akhirnya penulis sampaikan terima kasih kepada suami
tercinta dr. I Made Artana serta ananda tercinta Putu Kiara Naraya swari dan Made daswa
Litwi Radearta atas segala pengertian, kesabaran dan
pengorbanannya selama ini serta
semangat yang tiada hentinya selama penulis menjalani program pendidikan ini. Ucapan
terima kasih juga penulis sampaikan kepada keluarga, sahabat serta semua pihak yang tidak
dapat disebutkan namanya satu persatu yang telah membantu dan memberikan dorongan
semangat kepada penulis sampai tesis ini dapat diselesaikan dengan baik.
Semoga karya akhir ini dapat memberikan manfaat bagi banyak pihak dan segala kritik
serta saran diharapkan untuk perbaikannya.Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan
Yang maha Esa selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu
pelaksanaan dan penyelesaian karya akhir ini.
Denpasar, Januari 2015
Penulis
ABSTRAK
KADAR 25-HYDROXYVITAMIN D PLASMA BERKORELASI NEGATIF DENGAN
DERAJAT KEPARAHAN PADA PENDERITA KELOID
Keloid merupakan tumor fibroproliferasi dermal, bersifat jinak, yang tumbuh pada
bekas luka patologis dan melampaui batas luka. Penelitian terbaru juga menunjukkan peran
vitamin D dalam memperlambat berkembangnya fibrosis jaringan, namun pengaruhnya
terhadap fibrosis dermis dan keloid masih belum diketahui dengan pasti. Derajat keparahan
keloid diukur dengan Vancouver Scar Scale (VSS).Pada beberapa penelitian diduga bahwa
vitamin D dapat memiliki pengaruh pada sintesis kolagen selama pembentukan keloid dan
tidak terekspresinya kolagen pada fibroblast keloid oleh vitamin D mungkin merupakan salah
satu mekanisme yang dapat menghambat terjadinya keloid.
Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan rancangan cross
sectional. Jumlah subyek keloid yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi adalah 47 orang
sedangkan jumlah subyek non-keloid adalah 10 orang. Pada subyek keloid dan non-keloid
dilakukan pengambilan darah vena sebagai bahan pemeriksaan kadar25-hydroxyvitamin D
plasma dengan teknik ELISA dan pada subyek keloid dilakukan pemeriksaan derajat
keparahan keloid.
Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan bermakna rerata kadar 25hydroxyvitamin D plasma antara subyek keloid yaitu 20,89 ± 2,34 ng/mL dan median (IQR)
20,63 (2,36) ng/mL dengan subyek non-keloid yaitu 32,60 ± 1,26 ng/mL dan median (IQR)
33,09 (1,52) ng/mL dengan nilai p < 0,001.Pada penelitian ini juga didapatkan adanya
korelasi negatif antara kadar 25-hydroxyvitamin D plasma dengan derajat keparahan keloid ( r
= -0,584 ; p< 0,001).
Kesimpulan dari hasil penelitian ini yaitu 25-hydroxyvitamin D berkorelasi terhadap
keloid. Semakin rendah kadar25-hydroxyvitamin D plasma maka derajat keparahan keloid
menjadi semakin berat.
Kata kunci : kadar 25-hydroxyvitamin D plasma, Keloid, VSS
ABSTRACT
NEGATIVE CORRELATION BETWEEN PLASMA 25-HYDROXYVITAMIN D
LEVELS WITH SEVERITY IN KELOID PATIENT
Keloid are defined as dermal fibroproliferative tumors, benign, which grows on
pathologic scars and beyond the original injury. Recent studies also suggest a role of vitamin
D in slowing the progression of tissue fibrosis. However, their effect on dermal fibrosis and
keloids are unknown. Keloid severity is measured by Vancouver Scar Scale (VSS). In some
study suggested that vitamin D may influence collagen formation during keloid pathogenesis,
and that unregulated collagen expression in keloid fibroblast by vitamin D might be one of
the mechanisms by which this occurs.
This study was observational analytic cross-sectional study. The number of keloid
subject that quality inclusion and exclusion criteria were 47 patients, while non-keloid
subjects were 10 people. Blood sample taken from the keloid and non-keloid subject to know
plasma 25-hydroxyvitamin D levels using ELISA technique, while examination of severity
was done on keloid subject only.
This study shows that there were significant different between plasma 25hydroxyvitamin D levels average which was 20,89± 2,34 ng/mL and median (IQR) 20,63
(2,36) ng/mL of keloid subject and 32,60 ± 1,26 ng/mL and median (IQR) 33,09 (1,52)
ng/mL of non-psoriasis subject with p < 0,001.This study suggest that there was a negative
correlation between plasma 25-hydroxyvitamin D levels with severity in keloid patient (( r = 0,584 ; p< 0,001).
It is concluded that 25-hydroxyvitamin D have correlation with keloid. Lower levels
of plasma 25-hydroxyvitamin D, the severity of keloid became an increasingly heavy.
Keywords : Plasma 25-hydroxyvitamin D, keloid, VSS
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM .......................................................................................................ii
LEMBAR PERSETUJUAN ........................................................................................iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI………………………………………………….iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT………………………………………..v
UCAPAN TERIMA KASIH ………………………………………………………...vi
ABSTRAK……………………………………………………………………………ix
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………....xi
DAFTAR TABEL ...................................................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................... xv
DAFTAR SINGKATAN ............................................................................................ xvi
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................xviii
BAB I
PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang Masalah .................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................................. 4
1.3 Tujuan Penelitian............................................................................................................... 4
1.3.1 Tujuan Umum ............................................................................... 4
1.3.2 Tujuan Khusus .............................................................................. 5
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................................................ 5
1.4.1 Manfaat bagi Ilmu Pengetahuan ................................................... 5
1.3.2 Manfaat bagi Pelayanan ................................................................ 5
BAB II
KAJIAN PUSTAKA .................................................................................... 6
2.1 Keloid...................................................................................................................................... 6
2.1.1 Definisi .......................................................................................... 6
2.1.2 Epidemiologi ................................................................................. 7
2.1.3 Etiologi dan Patogenesis ............................................................... 7
2.1.4 Manifestasi Klinis ....................................................................... 15
2.1.5 Histopatologi ............................................................................... 19
2.1.6 Penatalaksanaan .......................................................................... 19
2.2 Vitamin D ............................................................................................................................ 20
2.2.1 Sejarah Sistem Endokrin Vitamin D ........................................... 21
2.2.2 Metabolisme Vitamin D.............................................................. 22
2.2.3 Transport Vitamin D ................................................................... 27
2.2.4 Fungsi Vitamin D........................................................................ 28
2.2.5 Vitamin D Receptor, Sistim Endokrin Vitamin D dan Kulit…..30
2.2.6 Hubungan Antara 25-Hydroxyvitamin D dengan Keloid………31
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN .. 37
3.1 Kerangka Berpikir ........................................................................................................... 37
3.2 Konsep.................................................................................................................................. 38
3.3 Hipotesis Penelitian........................................................................................................ 39
BAB IV METODE PENELITIAN ........................................................................... 40
4.1 Rancangan Penelitian .................................................................................................... 40
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ...................................................................................... 40
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ................................................................................ 41
4.3.1 Populasi Target ........................................................................... 41
4.3.2 Populasi Terjangkau.................................................................... 41
4.3.3Sampel Penelitian......................................................................... 41
4.3.3.1 Kriteria Inklusi……………………………………….41
4.3.3.1 Kriteria Eksklusi……………………………………...41
4.3.4 Besar Sampel .............................................................................. 42
4.4 Variabel Penelitian .......................................................................................................... 43
4.4.1 Klasifikasi Variabel…………………………………………….43
4.4.2 Definisi Operasional Variabel..................................................... 43
4.5 Izin / Persetujuan Subyek Penelitian ...................................................................... 45
4.6 Bahan dan Instrumen Penelitian............................................................................... 45
4.6.1 Bahan Sampel ............................................................................. 45
4.6.2 Reagen......................................................................................... 46
4.6.3 Instrumen Penelitian……………………………………………46
4.7 Prosedur Penelitian ........................................................................................................ 47
4.8 Alur Penelitian .................................................................................................................. 48
4.9 Analisis Data…………………………………………………………51
BAB V HASIL PENELITIAN ................................................................................. 52
5.1 Karakteristik Subyek Penelitian ................................................................................ 52
5.2 Uji Normalitas Data ........................................................................................................ 54
5.3 Kadar 25-Hydroxyvitamin D Plasma pada Subyek keloid dan Non-
keloid……………………………………………………………….. 55
5.4 Korelasi Kadar 25-Hydroxyvitamin D Plasma dengan Derajat Keparahan
Keloid..................................................................................................................................... 56
BAB VI PEMBAHASAN......................................................................................... 59
6.1 Karakteristik Subyek Penelitian ................................................................................ 59
6.2 Kadar25-Hydroxyvitamin D Plasma pada Subyek Keloid dan Non-
keloid……………………………………………………………….............................................62
6.3 Korelasi Kadar 25-Hydroxyvitamin D Plasma dengan Derajat Keparahan
Keloid..................................................................................................................................... 64
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ....................................................................... 68
7.1 Simpulan …………………………………………………………….68
7.2 Saran………………………………………………………………….68
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 69
LAMPIRAN ................................................................................................................. 76
DAFTAR TABEL
Halaman
2.1 Perbedaan Skar Hipertrofik dan Keloid …………………………………….. 16
2.2 Vancouver Scar Scale……………………………………………………….
18
5.1 Karakteristik Subyek Penelitian……………………………………………..
53
5.2 Hasil Uji Normalitas Data…………………………………………………… 55
5.3 Perbandingan Kadar 25-Hydroxyvitamin D Plasma antara Subyek Keloid dengan
Non-keloid………………………………………………………………….
56
5.4 Korelasi Kadar 25-Hydroxyvitamin D Plasma dengan Derajat Keparahan
Keloid ………………………………………………………………………
58
DAFTAR GAMBAR
Halaman
2.1 Skema Faktor yang Berpengaruh pada Fibrosis Kulit………………………….. . 8
2.2 Perjalanan Waktu Fase Penyembuhan Luka........................................................ 11
2.3 Struktur Vitamin D2 (ergocalciferol) dan Struktur Vitamin D3
(cholecalciferol)………………………………………………………………... ........ 25
2.4 Sintesis, Aktivasi dan Katabolisme Vitamin D ………………………………... 26
2.5 Biosintesis Prokolagen dan Penyusunan Molekul-molekul Kolagen………….. 32
2.6 Produksi Vitamin D3 Aktif ……………………………………………………. 35
2.7 Sintesis dan Degradasi Kolagen………………………………………………...35
2.8 Ilustrasi Mekanisme Efek Antiinflamasi Vitamin D3…………….. ................... 36
3.1 Bagan Kerangka Konsep Penelitian …………………………………………. ..38
4.1 RancanganPenelitian Cross-Sectional ………………………………………….40
4.2Hubungan Antar Variabel ......................................................................................43
4.3 Skema Alur Penelitian……………………………………………………………50
5.1 Perbandingan Kadar 25-Hydroxyvitamin D Plasma antara Subyek Keloid dan
Non-keloid……………………………………………………………………….57
5.2 Grafik Korelasi Kadar 25-Hydroxyvitamin D Plasma dengan Derajat
Keparahan Keloid..………………………………………………………………59
DAFTAR SINGKATAN
SINGKATAN
ASI
: Air Susu Ibu
CLIA
: Chemiluminescent Immunoassay
DBP
: Vitamin D Binding Protein
ECM
: Extracellular Matrix
EGF
: Epidermal Growth Factor
FGF
: Fibroblast Growth Factor
GF
: Growth Factors
HPHT
: Hari Pertama Haid Terakhir
ICAM
: Intercellular Adhesion Molecules
IFN γ
: Interferon γ
IGF
: Insulin-like Growth Factor
IL
: Interleukin
IQR
: Interquartile Range
K-S
: Kolmogorov-Smirnov
MMP
: Matrix Metalloproteinase
NF-kB
: Nuclear Transcription Factor-kB
PAF
: Platelet Activating Factor
PDGF
: Platelet-Derived Growth Factor
PMN
: Polymorphonuclear Neutrophils
RAP
: Receptor Associated Protein
RSUP
: Rumah Sakit Umum Pusat
SD
: Standart Deviation
TGF
: Transforming Growth Factor
TNF-α
: Tumor Necrosis Factor-Alpha
UV
: Ultraviolet
VDREs
: Vitamin D Respon Elements
VDR
: Vitamin D Receptor
VEGF
:Vascular Endothelial Growth Factor
VSS
: Vancouver Scar Scale
7-DHC
: 7-Dehydrocholesterol
25-OHD
: 25-Hydroxyvitamin D
[1,25-(OH) 2 D]
: 1,25-Dihydroxyvitamin D
[(1,25(OH) 2 D 3 ]: 1,25-Dihydroxyvitamin D 3
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1
Ethical Clearance………………………………………………….. 77
Lampiran 2
Surat Izin……………………………………………………………78
Lampiran 3
Penjelasan Penelitian .......................................................................... 79
Lampiran 4
Formulir Persetujuan Tertulis ............................................................. 81
Lampiran 5
Kuesioner Penelitian .......................................................................... 82
Lampiran 6
Vancouver Scar Scale………………………………………………. 86
Lampiran 7
Data Sampel Penelitian…………………………………………….. 87
Lampiran 8
Analisis Hasil Penelitian…..……………………………………….. 89
Lampiran 9
Foto Penelitian …………………………………………………….. 96
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah
Setiap orang dapat mengalami luka sepanjang hidupnya. Penyembuhan luka merupakan
proses yang terjadi secara fisiologis untuk mengembalikan kondisi kulit menjadi normal,
namun dalam perjalanannya penyembuhan luka ini sering tidak sempurna. Salah satu yang
dapat terjadi pada penyembuhan luka yang tidak sempurna adalah terjadinya keloid.
Keloid merupakan tumor fibroproliferasi dermal, bersifat jinak, yang tumbuh pada
bekas luka dan melampaui batas luka. Keloid ditandai dengan akumulasi yang berlebihan dari
komponen matriks ekstraseluler seperti kolagen, fibronektin, elastin, proteoglikan dan faktorfaktor pertumbuhan (Seo et al.,2013).
Keloid memiliki distribusi pada kedua jenis kelamin dan insiden tertinggi pada
dekade kedua dan ketiga.Keloid terjadi sekitar 4,5%-16% pada populasi umum.Keloid
cenderung terjadi pada individu berkulit gelap, bersifat autosomal dominan dan autosomal
resesif sehingga menunjukkan dipengaruhi genetik (Kakar et al.,2006; Gauglitz et al.,2011;
Christineet al.,2012).Insiden keloid ditemukan tinggi pada etnis berkulit gelap seperti AfrikaAmerika, Asia-Amerika, Latin-Amerika dan etnis berpigmen gelap lainnya. Pada populasi
Afrika didapatkan kejadian dari 6%-16%(Seo et al.,2013; Gauglitz et al.,2011).Keloid
menyebabkan masalah kosmetik meskipun biasanya tanpa gejala, namun beberapa dapat
nyeri, gatal, tumbuh besar dan menyebabkan keterbatasan fungsional, terutama bila terletak
di sepanjang sendi (Seo et al.,2013; Choi et al.,2013).
Patogenesis keloid belum sepenuhnya dimengerti. Proses terjadinya keloid diketahui
disebabkan oleh trauma kulit pada individu yang rentan secara genetik. Trauma sekunder
pada kulit seperti akne, folikulitis, body piercing, luka bakar, laserasi dan luka bekas operasi
juga dapat menyebabkan terjadinya keloid. Sebagian besar keloid berkembang dalam waktu 3
bulan setelah cedera, beberapa mungkin terjadi sampai dengan 1 tahun setelah trauma pada
kulit.Terdapat beberapa teori mengenai etiologi keloid, yang sebagian besar berhubungan
dengan disfungsi fibroblast.Fibroblast pada keloid, ketika dibandingkan dengan fibroblast
pada kulit normal, terjadi over produksi prokolagen tipe 1 dan peningkatan ekspresi growth
factor(GF) tertentu termasuk vascular endothelial growth factor (VEGF), transforming
growth factor(TGF) b1 dan b2 dan platelet derived growth factor(PDGF).Beberapa etiologi
lain yang dapat menyebabkan keloid yaitu predisposisi genetik, hormonal, benda asing pada
luka, infeksi dan ketegangan kulit (Chike-obi et al.,2009; Shih et al.,2010).
Secara klinis keloid tampak berupa plak atau nodul berwarna merah muda sampai
keunguan atau hiperpigmentasidan berbatas tegas.Permukaan keloid biasanya halus.Area
predileksi biasanya pada lokasi dengan ketegangan tinggi seperti bahu, sternum, mandibula
dan lengan.Secara histopatologis, keloid terdiri dari serat-serat kolagen yang tebal dan
eosinofilik (Chistine et al.,2012). Beberapa tahun terakhir telah terlihat peningkatan
pemahaman
dalam
mekanisme
biologi
molekuler
terbentuknya
keloid
sehingga
memungkinkan untuk pengembangan pilihan terapi yang lebih spesifik.(Anchlia et al.,2009;
Viera et al.,2012).
Vitamin D dan metabolitnya berperan penting pada hemostasis kalsium, remodeling
tulang, sekresi hormon, proliferasi dan diferensiasi sel. Penelitian terbaru juga menunjukkan
peran vitamin D dalam memperlambat berkembangnya fibrosis jaringan, namun pengaruhnya
terhadap fibrosis dermis dan keloid masih belum diketahui dengan pasti(Zhang et al.,2011).
Halder et al. tahun 2013melaporkan bahwa1,25-dihydroxyvitamin D3 merupakan agen
antifibrotik yang dapat menekan matriks ekstraseluler yang berhubungan dengan ekspresi
protein pada sel fibroid uterus (Halder et al.,2013).
Pada keloid terjadi akumulasi kolagen yang berlebihan pada dermis.Vitamin D telah
terbukti menghambat sintesis kolagen dalam fibrosis interstitial dan pada tikus dengan
glomerulonefritis dan fibrosis hati, dengan menghambat produksi dan akumulasi matriks
interstitial atau menekan ekspresi gen TGF-β1. Selain itu, telah ditemukan bahwa dalam sel
fibroblast paru, ekspresi fungsional VDR(vitamin D receptor) dan vitamin D menghambat
efek TGF-β1, yang merupakan faktor fibrosis pada sel. Selain itu, beberapa studi telah
menunjukkan efektivitas 1,25-dihydroxycholecalciferol (calcitriol), bentuk aktif vitamin D
sebagai pengobatan untuk skleroderma. Namun, masih relatif sedikit yang diketahui tentang
peran potensial vitamin D dalam pembentukan fibrosis dermal. Berdasarkan studi tersebut,
kami menduga bahwa vitamin D dapat berpengaruh pada sintesis kolagen selama
pembentukan keloid dan tidak terekspresinya kolagen pada fibroblast keloidoleh vitamin D
mungkin merupakan salah satu mekanisme yang dapat menghambat terjadinya keloid (Zhang
et al.,2011; Larriba et al.,2014).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka dibuat rumusan masalah sebagai
berikut:
1. Apakah kadar 25-hydroxyvitamin D plasma pada penderita keloid lebih rendah
dibandingkan dengan non-keloid?
2. Apakah kadar 25-hydroxyvitamin D plasma berkorelasi negatif dengan derajat
keparahan keloid?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui korelasi kadar 25-hydroxyvitamin D plasmadengan derajat
keparahan keloid.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui adanya penurunan kadar25-hydroxyvitamin D plasma pada
penderita keloid dibandingkan dengan non-keloid.
2. Untuk mengetahui korelasi antara kadar25-hydroxyvitamin D plasma dengan
derajat keparahan keloid.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1
Manfaat bagi Ilmu Pengetahuan
1
Menambah wawasan keilmuan dan pemahaman tentang kadar25-hydroxyvitamin
Dsebagai salah satu faktor yang berperan pada patogenesis keloid.
2
Menambah wawasan keilmuan dan pemahaman tentang hubungan antara kadar25hydroxyvitamin D dengan derajat keparahan keloid.
1.4.2
Manfaat bagi Pelayanan
Sebagai dasar pertimbangan terapi dengan derivat vitamin D pada penanganan keloid.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Keloid
2.1.1 Definisi
Keloid merupakan tumor fibroproliferasi dermal, bersifat jinak, yang tumbuh pada bekas luka
dan melampaui batas luka. Keloid ditandai dengan akumulasi yang berlebihan dari komponen
matriks ekstraseluler seperti kolagen, fibronektin, elastin, proteoglikan dan faktor-faktor
pertumbuhan (Seo et al.,2013). Keloid terjadi akibat penyembuhan luka abnormal pada
individu yang rentan secara genetik.Keloid terjadi pada lokasi yang mengalami cedera pada
kulit dan tumbuh terus menerus melampaui batas asli dari skar.Keloid menyebabkan defek
kosmetik, dapat menyebabkan deformitas dan mungkin membatasi gerak sendi(Seifert dan
Mrowietz,2009; Halimet al.,2012).
Skar hipertrofi merupakan tipe skar yang sering pula dijumpai selain keloid.Keloid
dapat dibedakan dengan skar hipertrofi dari perluasan skar yang melewati batas luka awal,
sedangkan skar hipertrofi terbatas pada defek awal dan cenderung menghilang seiring waktu
(Burrows dan Lovell, 2004; Edriss, 2005).Konsep ini menyatakan pula bahwa suatu skar
dapat berawal sebagai skar hipertrofi, kemudian menjadi keloid bila melewati batas luka
(Edriss, 2005).
2.1.2 Epidemiologi
Keloid dapat terjadi pada semua usia, paling sering terjadi pada dekade kedua dan ketiga
(Kakar et al.,2006;Clark et al.,2009), diduga karena individu yang berumur lebih muda lebih
sering mengalami trauma dan kulit yang lebih muda memiliki tegangan yang lebih besar.
Kecepatan sintesis kolagen juga lebih cepat pada umur lebih muda ( Wolfram et
al.,2009).Kedua jenis kelamin mempunyai kemungkinan yang sama untuk menderita keloid
dan penyakit ini lebih sering terjadi pada individu kulit hitam dibandingkan kulit putih,
biasanya sering pada populasi Asia dan Afrika (Kakar et al.,2006).Bissek et al. tahun 2012
melaporkan prevalence keloid di
Sub-Saharan Afrika yaitu sebesar 9,7% (Bissek et
al.,2012).
2.1.3 Etiologi dan Patogenesis
Keloid dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti gangguan pada GF, turn over kolagen,
tegangan luka serta pengaruh genetik dan imunologi. Trauma, reaksi terhadap benda asing,
infeksi, dan disfungsi endokrin diketahui pula sebagai faktor risiko terbentuknya keloid
(Halimet al.,2012; McCarty et al.,2010).
Gambar 2.1 Skema Faktor yang Berpengaruh pada Fibrosis Kulit (McCarty et al.,2010)
Respon fisiologis pada luka adalah proses penyembuhan luka (Gauglitz et al.,2011).
Pemahaman terhadap proses penyembuhan luka secara normal merupakan hal penting dalam
pemahaman patofisiologi keloid. Penyembuhan luka merupakan proses sangat kompleks.
Penyembuhan luka normal terjadi melalui tiga fase yaitu 1) fase inflamasi; 2) fase proliferasi;
dan 3) faseremodeling (Seifert,2008; Gauglitz et al.,2011; Lee et al.,2012).
Fase inflamasi penyembuhan luka didahului oleh hemostasis. Luka pada kulit yang
mengganggu jaringan dan pembuluh darah memicu paparan langsung matriks ekstraseluler ke
trombosit. Hal ini diikuti oleh agregasi platelet, degranulasi, dan aktivasi kaskade koagulasi.
Trombosit melepaskan sejumlah zat aktif seperti platelet-derived growth factor (PDGF),
TGF-β, platelet activating factor (PAF), fibronektin dan serotonin yang memicu timbulnya
bekuan fibrin dan akhirnya terjadi migrasi sel inflamasi ke dalam luka seperti
polymorphonuclear neutrophils (PMN) dan monosit. Peran PMN adalah untuk fagositosis
bakteri dan sisa-sisa jaringan. PMN juga merupakan sumber utama sitokin, terutama tumor
necrosis factor-alpha (TNF-α) dan melepaskan protease seperti kolagenase yang
berpartisipasi dalam degradasi matriks. Populasi kedua sel-sel inflamasi yang menyerang
luka terdiri dari makrofag. Makrofag berpartisipasi dalam debridement luka melalui
fagositosis dan berkontribusi pada stasis mikroba. Fungsi yang paling penting dari makrofag
adalah aktivasi dan pengambilan sel-sel lain melalui sitokin, GF,melalui interaksi sel-sel dan
intercellular adhesion molecules (ICAM). Makrofag meregulasi sintesis matriks, proliferasi
sel dan angiogenesis dengan melepaskan mediator seperti TGF-β, VEGF, insulin-like growth
factor (IGF) dan epidermal growth factor(EGF). Populasi ketiga yang menuju luka yaitu
limfosit T yang mewakili transisi dari inflamasi ke fase proliferasi. Peran limfosit dalam
penyembuhan luka tidak sepenuhnya dipahami. Limfosit menyebabkan downregulating pada
sintesis kolagen fibroblast dengan memproduksi IFN-γ, TNF-α dan interleukin-1 (IL-1)
(Miller dan Nanchalal,2005; Seifert, 2008).
Tahap kedua penyembuhan luka adalah fase proliferasi yang terjadi antara 4 sampai
12 hari setelah cedera. Selama ini kontinuitas jaringan dibangun kembali (Seifert, 2008 ;
Czubryt,2012). Pada fase ini terjadi sintesis matriks ekstraselular yang baru, bertindak
sebagai jaringan sementara yang terdiri dari fibrin dan fibronektin (Velnar et al.,2009).
Populasi sel terakhir infiltrasi luka adalah fibroblas dan sel endotel. Platelet-derived growth
factormerupakan faktor kemotaktis terkuat untuk fibroblast. Fungsi utama fibroblast yaitu
sintesis matriks dan remodeling. Sebagai bagian dari angiogenesis sel endotel berkembang
secara ekstensif selama fase proliferasi penyembuhan luka dan bermigrasi ke dalam luka dari
venula yang berdekatan distimulasi oleh sitokin dan GF (TNF-α, TGF-β dan VEGF).
Jaringan granulasi awal berkembang pada fase proliferasi penyembuhan luka dan ditandai
oleh adanya myofibroblast yang mengandung tingkat yang lebih tinggi dari aktin otot polos α
dan secara morfologis dan fungsional intermediate antara fibroblast dan sel-sel otot polos.
Myofibroblast dikaitkan dengan pengetatan luka dan persistensi yang menyebabkan kontraksi
skar abnormal (Miller dan Nanchahal,2005; Broughton et al.,2006; Seifert, 2008).
Fase maturasi dan remodeling skar ditandai dengan reorganisasi kolagen yang
disintesis sebelumnya. Kandungan kolagen luka merupakan hasil dari keseimbangan sintesis
kolagen dan kolagenolisis. Kualitas dan kuantitas kolagen yang baru diproduksi menentukan
kekuatan luka dan integritas mekanik. Fibronektin dan kolagen tipe III merupakan matriks
awal, diikuti oleh glikosaminoglikan, proteoglikan dan kolagen tipe I yang menyusun matriks
akhir. Jumlah kolagen tertinggi di luka tercapai beberapa minggu setelah cedera dan kekuatan
bekas luka terus meningkat selama beberapa bulan. Remodeling skar terjadi dalam 6-12
bulan dalam keadaan matur, avaskular dan skar normal aselular. Selama homeostasis jaringan
normal serta dalam penyembuhan luka terdapat turnover tetap kolagen pada matriks
ekstraselular akibat aktivitas kolagenase. Sintesis dan lisis kolagen juga dikendalikan oleh
sitokin dan GF. Transforming growth factor-β meningkatkan transkripsi kolagen baru dan
juga mengurangi kerusakan kolagen dengan merangsang inhibitor metalloproteinase.
Keseimbangan antara sintesis kolagen dan degradasi merupakan faktor penentu penting pada
kekuatan dan integritas luka (Miller dan Nanchahal,2005; Seifert, 2008).
Gambar 2.2. Perjalanan Waktu Fase Penyembuhan Luka ( Czubryt,2012)
Penyebab terjadinya keloid masih belum terlalu dipahami. Pada keloid terdapat
akumulasi matriks ekstraselular yang terjadi melalui beberapa proses yaitu:
-
Persistensi bekuan fibrin : peningkatan kadar inhibitor plasminogen dan penurunan
kadar aktivator plasminogen dapat ditemukan pada fibroblast keloid. Hal ini mungkin
diregulasi oleh hipoksia. Secara keseluruhan terjadi penurunan vaskularisasi pada
keloid dan beberapa pembuluh darah memiliki lumina tertutup.
-
Perubahan sitokin yang mendorong akumulasi matriks ekstraselular : peningkatan
ekspresi TGF β-1 dan 2 fibroblast, seperti juga ekspresinya pada reseptornya.
-
Perubahan tanggapan pada fibroblast keloid : respon fibroblast keloid terhadap
stimulasi profibrotik seperti TGF-β dan PDGF menjadi berlebihan, produksi TGF-β
tidak diregulasi oleh interferon, peningkatan proliferasi, mungkin merupakan
pengganggu keseimbangan sehingga terjadi fibrosis (Miller dan Nanchahal,2005;
Dong et al.,2013).
Langkah pertama pada proses perluasan skar keloid pada area kulit normal yaitu
melalui degradasi matriks ekstraseluler pada sekitar kulit skar keloid. Fibril kolagen tipe I dan
III merupakan komponen kunci matriks ekstraselular pada kulit dan didegradasi oleh matrix
metalloproteinase-1 (MMP-1) MMP-2, MMP-8, MMP-13 dan MMP-14. Ekspresi sejumlah
kolagenase pada keloid juga ditemukan abnormal, dengan peningkatan kadar MMP-13 pada
tepi jaringan keloid. Hal ini mungkin berkontribusi pada degradasi matriks ekstraseluler dan
perluasan keloid pada kulit normal. Penurunan ekspresi MMP-1 dan 8 juga ditemukan dan
hal ini berkontribusi terhadap akumulasi kolagen tipe I dan III pada keloid. IGF-1 dan
reseptornya juga merupakan faktor penting pada invasi fibroblast keloid menuju kulit
sekitarnya. Reseptor IGF-1 telah ditemukan menjadi over ekspresi pada fibroblast keloid,
namun tidak pada fibroblast normal (Miller dan Nanchahal,2005).
Penyelidikan sebelumnya dan saat ini pada patogenesis keloid terutama difokuskan
pada proses dermis dan sedikit yang diketahui tentang keterlibatan epidermis. Selama
penyembuhan luka, sel-sel epidermis seperti sel langerhans dan keratinosit berinteraksi dan
mendasari dermis untuk mengatur produksi matriks dermis.Sinyal dari epidermis ke dermis
menginduksi granulasi jaringan dan pembentukan jaringan parut dalam remodeling
extracellular matrix (ECM).Sel mast, sel langerhans dan limfosit T dikaitkan dengan fibrosis
jaringan dan makrofag dikenal sebagai stimulator poten pada produksi kolagen dan fibroblast.
Sel-sel ini, baik sendiri atau bersama-sama dapat bertanggung jawab pada stimulasi fibroblast
yang berlebihan oleh GF (Kose dan Waseem,2008; Gauglitz et al.,2011).
Sel langerhans dan keratinosit berinteraksi erat dengan dermis yang mendasari dan
secara aktif terlibat dalam regulasi ECM. Hal ini menimbulkan spekulasi bahwa proses
imunologi penting dalam skar. Sel langerhans juga menarik limfosit T dan dapat
mempengaruhi metabolisme kolagen.Proses imunologi ini tidak hanya mempengaruhi fungsi
fibroblast tetapi juga penting dalam fungsi epidermis dan dapat menyebabkan terbentuknya
jaringan parut yang berlebihan(Kose dan Nanchahal,2008).
Ekspresi interleukin-1α
yang diproduksi oleh sel langerhans berkurang secara
signifikan pada epidermis keloid dan berkontribusi untuk mengurangi degradasi kolagen pada
dermis. Interleukin-1α juga mampu menginduksi diferensiasi sel langerhans dan migrasi ke
dermis.Fibroblast mengekspresikan reseptor IL-4 yang dapat dirangsang untuk memproduksi
kolagen proteoglikan yang berlebihan setelah stimulasi oleh IL-4.Interferon γ (IFN γ)
biasanya dapat mengimbangi efek ini dengan menghambat sintesis kolagen dan
proteoglikan.Diantara berbagai GF yang terkait skar, TGF-β merupakan salah satu yang
paling penting dan dikenal sebagai stimulator kolagen. Ketidakseimbangan kadar IL-4 dan
IFN γ dapat menyebabkan akumulasi kolagen dan berkembang menjadi keloid. Regulasi
epidermis yang menyimpang pada remodeling dermis memiliki peran penting pada keloid.
Peningkatan jumlah sel langerhans, penurunan IL-1α dan peningkatan IL-4 mungkin
berkontribusi terhadap induksi skar (Kose dan Waseem,2008; Gauglitz et al.,2011).
Keratinosit berperan penting pada penyembuhan luka.Respon utama jaringan menuju
epidermis yang mengalami cedera melibatkan dua jenis limfosit yaitu Th1 dan Th2, yang
menghasilkan sejumlah sitokin untuk mendukung reaksi imun.Th2 dapat menginduksi
produksi kolagen oleh fibroblast, sedangkan pelepasan IFN-γ oleh sel Th1 dapat
menghambatnya.Respon ini menginduksi aktivasi keratinosit yang menyebabkan migrasi,
menghasilkan respon GF dan sitokin, dan mengeluarkan komponen membran basal.Setelah
trauma, keratinosit melindungi jaringan dasar terhadap organisme patogen dengan migrasi,
proliferasi, dan diferensiasi yang dikontrol oleh beberapa GF pada area luka.Keratinocytederived growth factors seperti IL-1α, IL-1β dan TGF β1 berkontribusi terhadap pembentukan
jaringan granulasi.Pengeluaran IL-1 dari keratinosit pada lokasi trauma menginduksi reaksi
inflamasi.Ini berfungsi sebagai sinyal autokrin ke sel lain seperti fibroblast, sel endotel dan
limfosit yang menghasilkan efek pleiotrofik. Keratinosit mengatur aktivitas fibroblast dermis
dengan menurunkan produksi kolagen dan meningkatkan laju proliferasi sel(Kose dan
Waseem,2008).
2.1.4 Manifestasi Klinis
Keloid biasanya padat, tanpa gejala namun bisa juga terdapat nyeri tekan ringan atau
pruritus.Tumor berbatas tegas dan sering terjadi pada bahu, dada, leher, lengan atas dan
telinga.Ukuran keloid bervariasi mulai papul 2-3 mm sampai tumor yang besar.Bentuk dan
warna bervariasi, lebih eritematosa pada lesi yang baru atau lebih pucat pada lesi yang lebih
lama.Keloid berkembang dengan cepat selama beberapa minggu atau bulan setelah
trauma.Lesi dapat tumbuh terus atau tetap stabil selama jangka waktu yang lama.
Pertumbuhan keloid dapat dirangsang oleh kehamilan (Kakar et al.,2006).
Skar hipertrofik biasanya terjadi dalam waktu 4 sampai 8 minggu setelah luka infeksi,
penutupan luka dengan ketegangan yang tinggi atau trauma kulit lainnya.Skar hipertrofik
memiliki fase pertumbuhan yang cepat hingga 6 bulan, kemudian secara bertahap regresi
dalam beberapa tahun dan akhirnya menimbulkan bekas luka datar tanpa gejala
lainnya.Keloid sebaliknya, dapat berkembang sampai beberapa tahun setelah trauma kulit
ringan dan bahkan mungkin terbentuk secara spontan pada dada bagian tengah tanpa disadari
adanya trauma.Keloid juga tetap, biasanya dalam jangka waktu lama dan tidak regresi
spontan.Skar hipertrofik sering terjadi pada lokasi dengan tegangan tinggi seperti bahu, leher,
presternum, lutut, dan pergelangan kaki (Gauglitz et al.,2011; Ogawa,2011).
Tabel 2.1
Perbedaan Skar Hipertrofik dan Keloid
Skar hipertrofik
Insiden
Keloid
40%-80%
setelah 6%-16% pada populasi Afrika
pembedahan, lebih dari 91%
setelah luka bakar
Lokasi predileksi
Bahu, leher,presternum, lutut Dada, bahu, telinga, lengan
dan pergelangan kaki
•
Waktu
atas
Dalam 4-8 minggu
setelah
•
luka,
tahun
setelah
trauma
tumbuh cepat dalam
minor atau spontan
waktu 6 bulan dan
pada dada tengah
regresi
setelahnya
tanpa ada trauma
dalam
beberapa
yang
tahun
•
Beberapa
Rekurensi
Tetap
diketahui.
ada
dalam
jangka waktu lama.
rendah
Tidak
setelah eksisi
regresi
spontan
•
Rekurensi
tinggi
setelah eksisi
Gambaran klinis
Tidak melewati batas luka
Melewati batas luka
Beberapa modalitas telah dirancang untuk mengukur bekas luka dengan tujuan
menentukan respon terhadap pengobatan dan untuk mengevaluasi hasil.Penilaian skar bisa
secara obyektif atau subyektif.Penilaian obyektif memberikan pengukuran kuantitas skar,
sedangkan penilaian subyektif tergantung pengamat.Penilaian kuantitatif skar membutuhkan
perangkat untuk mengukur fisik sedangkan metode subyektif dilakukan secara kualitatif oleh
pasien atau dokter.Metode semikuantitatif untuk menilai skar telah dikembangkan dengan
menggunakan skala untuk membuat metode subyektif menjadi lebih obyektif (Fearmonti et
al.,2010).
Vancouver scar scale (VSS) pertama kali dijabarkan oleh Sulivan pada tahun 1990
dan dimodifikasi oleh Baryza pada tahun 1995.
Skala ini menilai 4 variabel yaitu
vaskularisasi, ketinggian/ketebalan, konsistensi dan pigmentasi (Bayat et al.,2003; Fearmonti
et al.,2010; Brusselaers et al.,2010).
Tabel 2.2
Vancouver Scar Scale
Karakteristik skar
vaskularisasi
Pigmentasi
Konsistensi
Ketinggian / ketebalan
skor
Normal
0
Merah muda
1
Merah
2
ungu
3
Normal
0
Hipopigmentasi
1
Campuran
2
Hiperpigmentasi
3
Normal
0
Lentur
1
Lunak
2
Keras
3
Padat
4
Kontraktur
5
Datar
0
< 2 mm
1
2-5 mm
2
>5 mm
3
Total skor
14
2.1.5 Histopatologi
Secara histopatologi baik skar hipertrofik maupun keloid mengandung kolagen dermis yang
berlebihan.Skar hipertrofik terutama mengandung kolagen tipe III yang sejajar dengan
permukaan epidermis dengan nodul yang mengandung miofibroblast yang berlebihan,
filamen
kolagen
ekstraselular
yang
besar
dan
asam
mukopolisakarida
yang
berlimpah.Jaringan keloid sebaliknya, sebagian besar terdiri dari kolagen tipe I dan III yang
mengandung serabut kolagen hiposelular berwarna pucat tanpa nodul dan miofibroblast yang
berlebihan. Kedua jenis skar menunjukkan produksi berlebihan protein fibroblast multipel
seperti fibronektin sehingga mencerminkan signal penyembuhan luka patologis yang
persisten atau kegagalan downregulasi sel penyembuhan luka (Chike-Obi et al.,2009;
Gauglitz et al.,2011).
2.1.6 Penatalaksanaan
Terapi keloid sampai sekarang masih merupakan suatu tantangan dan kontroversial.Terdapat
banyaknya pilihan pengobatan mencerminkan belum didapatkan hasil yang memuaskan pada
berbagai studi yang dilakukan. Tidak ada terapi tunggal atau kombinasi
yang terbaik
dibandingkan terapi lainnya.Kegagalan mencapai hasil terapi yang baik dalam pengobatan
keloid karena mekanisme dan patogenesis yang menyebabkan terjadinya keloid tetap tidak
jelas Keseluruhan terapi dapat dilakukan baik pada keloid maupun skar hipertrofik namun
skar hipertrofik umumnya lebih gampang diobati. Terpenting pada pengelolaan bekas luka
adalah pencegahan terjadinya keloid (Juckett dan Adams,2009;Ceovic et al.,2010;
Gauglitz,2013).
Skar yang berbeda membutuhkan penanganan yang berbeda pula (Edriss dan
Mestak,2010).Pada pasien dengan riwayat terjadinya keloid, semua tindakan operasi yang
tidak penting harus dihindari, terutama pada lokasi predileksi terjadi keloid. Pada situasi
operasi harus dilakukan dan tidak dapat dihindari, maka semua upaya harus dilakukan untuk
meminimalkan ketegangan kulit dan infeksi sekunder (Liu et al.,2011). Beberapa pilihan
terapi konvensional pada keloid yaitu injeksi kortikosteroid intralesi, bedah eksisi, radiasi,
cryosurgery, laser, occlusive dressing, terapi kompresi dan interferon ( Hochmanet al.,2008;
Williams et al.,2011; Gauglitz,2013). Cryotherapy dapat berguna, namun hanya untuk lesi
yang kecil, seperti yang dihasilkan dari jerawat.Cryotherapy dapat menyebabkan
hipopigmentasi pada pasien dengan kulit gelap. Operasi pengangkatan keloid meskipun
sementara memuaskan, hampir selalu diikuti (50%-100%) pertumbuhan kembali bekas luka
dengan lebih agresif (Juckett et al.,2009;Ceovic et al.,2010).Pasien harus diberikan informasi
secara rinci tentang penyakit, pilihan pengobatan yang tersedia, efektifitas, efek samping dan
biaya pengobatan.Pasien juga harus diberikan informasi tentang kemungkinan kambuh
setelah pengobatan.Informed consent harus dilakukan pada semua kasus yang akan dilakukan
tindakan medis dan dianjurkan pula untuk melakukan dokumentasi fotografi sebelum dan
sesudah terapi (Gupta dan Sharma,2010).
2.2 Vitamin D
Vitamin D merupakan vitamin larut lemak yang dapat bertindak sebagai
hormon.Vitamin D diproduksi secara endogen dalam kulit dari paparan sinar matahari atau
diperoleh dari makanan yang secara alami mengandung vitamin D (misalnya minyak ikan
cod, salmon, mackerel, dan tuna), makanan yang diperkaya vitamin D dan suplemen yang
mengandung vitamin D (Ontario,2010 ;Nezhad dan Holick,2013).
Selama paparan sinar matahari dengan spektrum aktif 290-315 nm atau ultraviolet
(UV)-B, 7-dehydrocholesterol (7-DHC) di kulit diubah menjadi previtamin D3.7dehydrocholesterol terdapat pada semua lapisan kulit manusia.Sekitar 65% dari 7-DHC
ditemukan
pada
epidermis,
dan
lebih
dari
95% previtamin
D3
dihasilkan
di
epidermis.Produksi previtamin D3 di kulit dilakukan secara regular.Hasil produksi sinar
matahari diubah menjadi inaktif (tachysterol dan lumisterol) pada saat kontak yang terlalu
lama terhadap radiasi UVB, sehingga dapat mencegah intoksikasi vitamin D yang diinduksi
oleh sinar matahari.Produksi vitamin D3 kulit dipengaruhi oleh pigmentasi kulit, penggunaan
tabir surya, waktu dalam hari, musim, lintang, ketinggian dan polusi udara (Nezhad dan
Holick,2013; Bikle,2012).
2.2.1. Sejarah Sistem Endokrin Vitamin D
Deskripsi pertama gambaran klinis ricketsia dipaparkan di Universitas Lug-dunum
Batavorum (Leiden, The Low Countries) pada tahun 1645 oleh Daniel Whistler dan
selanjutnya oleh Francis Glisson pada tahun 1650 di London. Asal-usul penyakit ini sebagian
besar tidak diketahui hingga ditemukannya vitamin D pada awal abad ke-20 sebagai senyawa
gizi oleh Mellanby di Amerika Serikat (penemuan diet vitamin D), sedangkan Huldshinsky et
al. menemukan efek kuratif dari sinar ultraviolet (Bouillon et al,2008; Wacker dan
Holick,2013).
Ricketsia merupakan penyakit pada anak-anak baik pada keluarga kaya (sengaja
menghindari paparan sinar matahari di negara-negara seperti Inggris dan India) atau keluarga
sangat miskin yang tinggal di daerah kumuh pada kota-kota industri di Eropa, yang secara
bertahap menghilang setelah paparan sinar matahari atau penggunaan oral minyak hati ikan
yang kaya vitamin D. Ricketsia terjadi karena defek mineralisasi pada matriks
tulang.Kalsium dan fosfat dibutuhkan untuk mineralisasi tulang dan vitamin D sangat penting
untuk hemostasis kalsium (Bouillon et al.,2008; Atapattu,2013 ).
Langkah-langkah bersejarah utama lainnya dalam sejarah vitamin D dimulai dengan
ditemukannya metabolisme kompleks vitamin D sebanyak lebih dari 41 metabolit, terutama
25-hydroxyvitamin D(25-OHD) dan 1,25-dihydroxyvitamin D [1,25-(OH) 2 D], dan regulasi
kompleks produksi ginjal dari produk aktif akhir 1,25-(OH) 2 D sebagai hormon steroid.
Selanjutnya pengangkutan metabolit vitamin D ekstra sel (oleh lipoprotein, albumin dan
vitamin D binding protein (DBP), intra sel oleh VDR, dan akhirnya identifikasi VDR
sebagai faktor transkripsi nukleus yang mengatur sejumlah gen, menegaskan bahwa 1,25
(OH) 2 D sebagai hormon kalsiotropik klasik. Vitamin DReceptorterdapat diberbagai
tempat.Vitamin D Receptorekstra renal memproduksi metabolit vitamin D, meregulasi
multipel gen yang tidak terlibat pada metabolisme kalsium (Bouillon et al.,2008).
2.2.2. Metabolisme Vitamin D
Vitamin D berasal dari nutrisi alami atau disintesis di kulit dibawah pengaruh sinar UV-B
yang merupakan reaksi fotokimia murni dan tidak ada enzim yang terlibat (Bouillon et
al.,2008; Romagnoli et al.,2013). Reaksi ini memerlukan konsentrasi yang cukup besar
7DHC dan UV-B 290-315 nm. 7-dehydrocholesterolmerupakan hasil akhir sintesis de novo
kolesterol normal dan biasanya ada dalam konsentrasi rendah,meskipun aktivitas 7DHC
reduktase tinggi (Bouillon et al.,2008).
Sistem endokrin vitamin D berperan penting pada hemostasis kalsium dan
metabolisme tulang, namun penelitian selama dua dekade terakhir telah mengungkapkan
beragam fungsi biologis vitamin D meliputi induksi diferensiasi sel, menghambat
pertumbuhan sel, modulasi imun dan kontrol sistem hormonal lainnya. Vitamin D merupakan
prohormon yang metaboliknya dikonversi menjadi metabolit aktif 1,25 dihydroxyvitamin D
[(1,25(OH) 2 D]. Hormon vitamin D ini mengaktifkan reseptor selular VDR dan mengubah
tingkat transkripsi gen target yang bertanggung jawab atas respon biologis(Dusso et
al.,2005).
Vitamin D ditemukan sebagai nutrisi penting untuk mencegah ricketsia dan
diperlukan untuk penyerapan optimal kalsium dan fosfat.Penelitian selanjutnya menemukan
bahwa ricketsia juga bisa dicegah dengan penyinaran sinar UV, yang merangsang
pembentukan vitamin D3 oleh kulit.Kemampuan untuk menghasilkan jumlah yang cukup
vitamin D3 dengan paparan cahaya matahari yang cukup menunjukkan bahwa vitamin D
sebenarnya tidak vitamin. Sekarang diketahui bahwa vitamin D dimetabolisme menjadi
hormon steroid 1,25-dihydroxyvitamin D 3 [(1,25(OH) 2 D 3 ] atau calcitriol. Sebelumnya telah
dilakukan pengamatan bahwa metabolit vitamin D berinteraksi dengan protein dalam ekstrak
intestinal yang menyebabkan identifikasi dari VDR.Vitamin D receptor mengaktivasi faktor
transkripsi yang berinteraksi dengan coregulators dan kompleks preinisiasi transkripsional
untuk mengubah tingkat target transkripsi gen. Kehadiran VDR pada jaringan yang tidak
berpartisipasi pada hemostasis ion mineral menyebabkan penemuan dari sejumlah fungsi lain
pada hormon vitamin D. Kemampuan 1,25(OH) 2 D 3 untuk menghambat pertumbuhan dan
merangsang diferensiasi berbagai jenis sel menunjukkan fungsi beragam vitamin D untuk
mencegah kanker, modulasi sistem imun dan mengendalikan berbagai sistem endokrin
(Dusso et al.,2005).
Vitamin D
diklasifikasikan sebagai vitamin pada awal abad ke-20 dan pada
pertengahan abad ke-20 sebagai prohormon. Terdapat dua bentuk vitamin D yaitu vitamin D3
(cholecalciferol) dan vitamin D2 (ergocalciferol).Vitamin D3 merupakan hasil konversi 7dehydrocholesterol pada epidermis dan dermis manusia dan vitamin D2 merupakan vitamin
yang diproduksi pada jamur dan ragi.Perbedaan kimia antara vitamin D2 dan D3 adalah pada
rantai samping.Berbeda dengan vitamin D3, vitamin D2 memiliki ikatan ganda antara karbon
22 dan 23 dan gugus metal pada karbon 24.Vitamin D dapat diperoleh dari makanan dan aksi
sinar matahari pada kulit.Paparan sinar matahari ke kulit menginduksi konversi photolitik 7dehydrocholesterol menjadi previtamin D3 diikuti isomerisasi termal menjadi vitamin D3
(Dusso et al.,2005; Chung et al.,2009).
Gambar 2.3.Struktur Vitamin D2 (ergocalciferol) dan Struktur Vitamin D3 (cholecalciferol)
(Kauffman,2009)
Sumber utama vitamin D bagi manusia adalah paparan sinar matahari. Efisiensi
konversi 7-dehydrocholesterol menjadi vitamin D3 tergantung pada waktu dalam hari,
musim, lokasi, warna kulit dan usia. Terdapat sedikit vitamin D yang secara alami ada pada
makanan.Sumber makanan alami yaitu lemak ikan, hati sapi dan kuning telur, namun banyak
makanan yang kini telah difortifikasi dengan vitamin D(Dusso et al.,2005; Chung et
al.,2009).
Setelah terbentuk,vitamin D3 dikeluarkan dari membran plasma keratinosit dan
ditarik ke dalam kapiler dermis oleh DBP. Vitamin D kemudian dilepaskan ke sistim limfatik
dan memasuki darah vena, yang diikat oleh DBP dan lipoprotein kemudian diangkut menuju
hepar (Nezhadet al.,2013). Langkah pertama pada aktivasi metabolik vitamin D (D3,D2 dan
metabolit lainnya) adalah hidroksilasi karbon 25, yang terjadi primer pada hepar. Beberapa
sitokrom p-450 hepar telah menunjukkan mengandung25-hydroxylasevitamin D. Kadar
25(OH)D meningkat secara proporsional dengan asupan vitamin D, dan dengan alasan ini
kadar plasma 25(OH)D biasanya digunakan sebagai indikator status vitamin D (Dusso et
al.,2005).
Langkah kedua adalah bioaktivasi vitamin D. Terjadi pembentukan 1,25dihydroxyvitamin D [1,25-(OH) 2 D] dari 25-hydroxyvitamin D, terjadi dalam kondisi
fisiologis, terutama pada ginjal, namun beberapa kondisi dapat mempengaruhi kadar dalam
sirkulasi seperti kehamilan, gagal ginjal kronis, sarkoidosis, tuberkulosis, granulomatus dan
rheumatoid arthritis. Produksi 1,25 (OH) 2 D ekstrarenal terutama berfungsi sebagai faktor
autokrin atau parakrin dengan fungsi sel spesifik. Regulasi 1α-hydroxylase ekstrarenal sangat
berbeda dari enzim ginjal, sesuai dengan fungsi autokrin atau parakrin yang secara lokal
memproduksi 1,25(OH) 2 D 3 . Sampai saat ini, 1α-hydroxylasediketahui terdapat pada
beberapa sel dan jaringan yaitu prostat, panyudara, kolon, paru, sel β pankreas, monosit dan
sel paratiroid.Rata-rata 1,25(OH) 2 D 3 mengalami sintesis dan degadrasi dibawah kontrol
faktor lokal seperti sitokin dan faktor pertumbuhan yang mengoptimalkan kadar
1,25(OH) 2 D 3 untuk fungsi sel spesifik ini melalui mekanisme yang masih belum sepenuhnya
dipahami (Dusso et al.,2005).
Gambar 2.4 Sintesis, Aktivasi dan Katabolisme Vitamin D3 (Dusso et al.,2005)
2.2.3 Transport Vitamin D
Metabolit vitamin D adalah molekul lipofilik dengan kelarutan air rendah yang harus
ditransportasikan dalam sirkulasi dan terikat dengan protein plasma.Terpenting dari protein
pembawa ini adalah DBP, yang mengikat metabolit dengan afinitas tinggi. Kadar plasma
DBP dua puluh kali lebih tinggi dari jumlah total metabolit vitamin D, dan 99% dari senyawa
vitamin D yang beredar adalah protein terikat, sebagian besar ke DBP, meskipun albumin dan
lipoprotein berkontribusi dengan jumlah yang lebih sedikit. Hal ini berdampak besar pada
farmakokinetiknya.Vitamin D binding protein yang mengikat metabolit vitamin D memiliki
akses terbatas pada target sel dan oleh karena itu kurang rentan terhadap metabolisme hati
dan ekskresi bilier selanjutnya sehingga memiliki waktu paruh yang panjang.Bukti awal
menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil dari metabolit yang tidak terikat secara pasif
memasuki sel target untuk metabolisme selanjutnya atau melakukan aktivitas biologis. Untuk
senyawa vitamin D aktif [yaitu, 1,25 (OH) 2 D 3 dan analognya], aktivitas biologis berkorelasi
dengan konsentrasi free hormone. Jadi DBP merupakan penyeimbang kadar senyawa vitamin
D aktif, menjaga terhadap intoksikasi vitamin D. Tingkat DBP tidak diatur oleh vitamin D,
namun berkurang pada penyakit liver, sindrom nefrotik, dan malnutrisi. Tingkat DBP
meningkat selama kondisi kehamilan dan terapi estrogen. Konsentrasi 1,25 (OH) 2 D 3 bebas
tetap konstan ketika kadar DBP berubah, yang merupakan contoh dari tight self-regulation
metabolisme vitamin D (Dusso et al.,2005; Kochupillai,2008).
Saat ini diketahui bahwa 25(OH)D tidak berdifusi ke dalam sel tubulus proksimal
yang mengandung 1α hidroxylase. Pada percobaan dengan tikus yang tidak memiliki reseptor
megalin endositik yang tiba-tiba ditemukan, terjadi kekurangan vitamin D dan ricketsia
karena hilangnya DBP dan metabolit vitamin D yang terikat dalam urin. Dengan demikian,
masuknya 25(OH)D ke dalam sel tubulus proksimal tidak dengan cara difusi di permukaan
basolateral tetapi dengan penyerapan reseptor yang dimediasi oleh DBP. Megalin merupakan
bagian dari kompleks protein yang menfasilitasi endositosis.Receptor associated protein
(RAP) juga penting pada ekskresi DBP, seperti halnyacubilin, sebuah protein yang
diperlukan untuk menghilangkan DBP pada permukaan sel sebelum internalisasi oleh
megalin.Setelah masuk sel, DBP terdegradasi oleh legumain, kemudian melepaskan
25(OH)D untuk dimetabolisme oleh 1α hidroxylase atau 24 hidroxylase (Dusso et al.,2005).
2.2.4 Fungsi Vitamin D
Vitamin D memiliki kedua fungsi genomik dan nongenomik. Untuk fungsi genomik
1,25(OH) 2 D berinteraksi dengan VDR nuklear dan mempengaruhi transkripsi gen. Reseptor
nuklear 1,25 (OH) 2 D telah diidentifikasi pada lebih dari 30 sel termasuk tulang, intestinal,
ginjal, paru-paru, otot dan kulit. Untuk fungsi nongenomik 1,25 (OH) 2 D bertindak seperti
hormon steroid, bekerja melalui aktivasi jalur transduksi sinyal terkait dengan VDR pada
membran sel.Lokasi utama aksi ini yaitu intestinal, tulang, paratiroid, hati dan sel beta
pankreas. Fungsi biologis meliputi peningkatan penyerapan kalsium intestinal, transcellular
calcium flux dan membuka calcium channel sehingga memungkinkan serapan kalsium ke
dalam sel seperti osteoblast dan otot skeletal (Dusso et al.,2005; Chung et al.,2009).
Salah satu fungsi biologis utama vitamin D adalah untuk mempertahankan
homeostasis kalsium yang berdampak pada proses metabolisme selular dan fungsi
neuromuskular.
Vitamin
D
mempengaruhi
penyerapan
kalsium
intestinal
dengan
meningkatkan ekspresi epitel protein calcium channel yang pada gilirannya meningkatkan
pengangkutan kalsium melalui sitosol dan melintasi membran basolateral enterocyte. Vitamin
D juga memfasilitasi penyerapan fosfat intestinal. 1,25(OH) 2 D secara tidak langsung
mempengaruhi mineralisasi tulang dengan mempertahankan kalsium plasma dan konsentrasi
fosfor, kalsium dan fosfor ekstraseluler pada kisaran supersaturasi yang diperlukan untuk
mineralisasi. 1,25(OH) 2 D pada hormon paratiroid juga menyebabkan demineralisasi tulang
ketika konsentrasi kalsium turun untuk menjaga agar konsentrasi plasma tidak meningkat.
Selain mempengaruhi intestinal dan tulang, vitamin D juga mempengaruhi berbagai sel dan
jaringan lainnya. Selain itu 1,25(OH) 2 D juga memiliki efek biologis yang beragam seperti
menghambat sekresi hormon paratiroid dan merangsang sekresi insulin, menghambat
imunitas adaptif dan merangsang imunitas alamiah, menghambat proliferasi dan merangsang
diferensiasi sel (Dusso et al.,2005; Chung et al.,2009).
2.2.5 Vitamin D receptor, Sistem Endokrin Vitamin D dan Kulit
Kulit memiliki kapasitas untuk menghasilkan beberapa hormon dan zat dengan aktivitas
seperti hormon.Zat-zat ini bekerja melalui mekanisme parakrin, autokrin, dan intrakrin untuk
memenuhi efek pleiotropiknya.Kulit dapat memetabolisme hormon dan menghasilkan
turunan dengan aktivitas sistemik.Vitamin D merupakan salah satu hormon yang terdapat
pada kulit (Zouboulis, 2009).Kulit adalah organ yang unik dalam sintesis vitamin D karena
dapat mensintesis vitamin D setelah radiasi UV dan mampu mengaktivasi metabolisme
vitamin D menjadi 25-OHD dan 1,25 (OH) 2 D. Metabolisme ini dapat mengekspresikan VDR
dan merespon aktivasi VDR untuk induksi atau regresi multipel gen. Vitamin D
receptormerupakan anggota superfamili nuklear.Pada mamalia VDR terdapat pada jaringan
metabolik seperti usus, ginjal, kulit dan kelenjar tiroid.Vitamin D receptor aktif mengikat
vitamin D respon elements (VDREs) yang terletak di daerah promoter gen target, sehingga
mengendalikan transkripsi gen. Kulit merupakan satu-satunya jaringan yang mampu
mensintesis dan mengaktivasi vitamin D serta aktivasi autokrin atau parakrin oleh hormon
vitamin D. Seperti kalsium, 1,25-(OH) 2 D merangsang diferensiasi keratinosit epidermis.
Analisis in vitro dan in vivo menunjukkan bahwa dua jalur ini bertindak secara sinergis. Studi
pada kultur keratinosit menunjukkan bahwa peningkatan kalsium dan terapi dengan 1,25(OH) 2 D menurunkan proliferasi keratinosit dan merangsang diferensiasi keratinosit. Analisis
in vivo pada tikus tanpa VDR signifikan menunjukkan kelainan pada diferensiasi keratinosit
epidermis setelah 2 minggu kehidupan.Namun pencegahan hipokalsemia pada tikus tanpa
VDR mencegah fenotip ini, menunjukkan bahwa normalisasi kalsium dapat mengkompensasi
adanya VDR. Selain pada keratinosit epidermis, VDR juga terdapat pada outer root sheath,
folikel rambut, serta kelenjar sebaceous(Bouillon et al,2008; Wu dan Sun,2011).
2.2.6. Hubungan Antara 25-Hydroxyvitamin D dengan Keloid
Fungsi utama fibroblast yaitu sintesis matriks dan remodeling. Pada kulit manusia, serat
kolagen membentuk bagian terbesar dari matriks ekstraseluler dan terdiri dari kira-kira 80
persen berat kering dermis. Pada kondisi fisiologis, molekul kolagen secara langsung
berperan sebagai serat yang tidak larut.Penemuan ini menimbulkan suatu masalah oleh
karena sulit untuk membayangkan bagaimana suatu molekul kolagen dapat disintesis di
dalam sel dan kemudian disekresikan ke dalam ruang ekstraseluler tanpa merubah molekulmolekul menjadi serat-serat yang larut. Masalah ini terpecahkan dengan diketahuinya bahwa
kolagen awalnya disintesis sebagai molekul prekursor yang lebih besar, yaitu prokolagen,
yang bersifat larut pada kondisi fisiologis ( Krieget al.,2012).
Polipeptida-polipeptida prekursor dari prokolagen, yang juga disebut rantai pre-proα,
disintesis pada ribosom dari retikulum endoplasma kasar dalam fibroblas dan sel-sel lain
yang berkaitan.Setelah penyusunan asam amino terjadi, rantai pre-proα pada ribosom
polipeptida mengalami beberapa modifikasi sebelum molekul kolagen yang komplit disimpan
dalam ekstraseluler.Kebanyakan dari reaksi-reaksi modifikasi ini dikatalisis oleh enzim
spesifik. Reaksi modifikasi posttranslasional dari kolagen termasuk diantaranya (1) sintesis
hidroksiprolin dengan hidroksilasi dari residu prolyl tertentu; (2) sistesis dari hidroksilisin
dengan hidroksilasi dari residu lisyl tertentu; (3) perlekatan dari karbohidrat, galaktosa atau
glukosilgalaktosa, di atas residu hydroxylysyl khusus; (4) pengaturan rantai, pengikatan
disulfide dan pembentukan tripel helix; (5) konversi proteolitik dari prokolagen menjadi
kolagen; dan (6) pembentukan serat dan cross-link. Bukti-bukti terakhir menunjukkan bahwa
reaksi modifikasi (1) sampai (4) terjadi intraseluler, sedangkan konversi proteolitik,
pembentukan serat, dan cross-link kemungkinan terjadi ekstraseluler (Kjaer,2004; Krieg et
al.,2012).
Gambar 2.5Biosintesis Prokolagen dan Penyusunan Molekul-molekul Kolagen
(Krieg et al.,2012)
Akumulasi kolagen pada jaringan dapat dikontrol pada beberapa level yang berbeda
dari proses biosintesis dan degradasi. Sintesis dan lisis kolagen juga dikendalikan oleh sitokin
dan GF (TGF-β, IGF, IL, FGF, prostaglandin, VEGF). Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa mekanisme kontrol penting pada saat pembentukan mRNA selama proses regulasi
aktivitas transkripsi dari ekspersi gen. Salah satu dari modulator terkuat dari ekspresi gen
jaringan ikat yaitu TGF-β, salah satu jenis golongan growth faktor yang meningkatkan
regulasi ekspresi dari beberapa gen protein matriks ekstraseluler, termasuk gen-gen yang
mengkode kolagen tipe I, III, IV, V, VI, dan VII (Kjaer,2004; Krieg et al.,2012).
Proliferasi fibroblast keloid lebih cepat dibandingkan fibroblast kulit normal, dengan
peningkatan sekresi kolagen tipe 1 dan peningkatan ekspresi VEGF, PDGF dan TGF-β.Selain
itu, pada fibroblast keloid terdapat perbedaan dalam sintesis serat kolagen dan hambatan
MMP dibandingkan dengan fibroblast kulit normal. Pada fibroblast keloid terjadi
peningkatan regulasi gen, diantaranya yang paling penting adalah faktor proinflamasi seperti
IL-1α, IL-1β, IL-6, dan TNF-α sehingga menunjukkan bahwa fibroblast keloid berperan
penting pada terjadinya inflamasi kronis. Selama proses patologis penyembuhan luka atau
remodeling, fibroblast merupakan target dan sel efektor utama.
Penting untuk dipahami bahwa regenerasi dan pembentukan skar mungkin terkait
dengan produksi vitamin D3.Vitamin D secara endogen diproduksi di kulit.Pada kulit vitamin
D mengalami hidroksilasi dan isomerisasi sebelum dirubah menjadi bentuk aktif. Vitamin D
telah diketahui berperan pada hemostasis dan kontrol kalsium, namun vitamin D3 juga
menunjukkan efek anti inflamasi pada beberapa penyakit, sehingga regulasi pembentukan
jaringan parut mungkin juga dapat dilakukan oleh vitamin ini (Cooke et al.,2005; Yu et
al.,2013).
Vitamin D mengalami hidroksilasi karbon25 di
liver
dan diubah menjadi 25
hidroxyvitamin D, selanjutnya melalui hidroksilasi 1α pada ginjal akan menghasilkan 1,25dihydroxyvitamin D, vitamin D dikonversi menjadi hormon aktif dan berperan sebagai
mediator anti inflamasi ( Cooke et al.,2005; Shuler et al.,2012). Kontrol inflamasi oleh
vitamin D diregulasi melalui ekspresi sitokin melalui VDR, yang mungkin terlibat secara
langsung maupun tidak langsung.Teori saat ini mengungkapkan bahwa hubungan regulasi
inflamasi melalui pencegahan terhadap nuclear transcription factor-kB ( NF- k B). Vitamin D
menghambat efek NF-kB dengan menurunkan ikatannya pada interleukin-6 (IL-6) dan IL8gen promoter di MRC-5 fibroblast manusia, sehingga menghambat transkripsi gen IL-6 dan
IL-8 (Harant et al.,1998; Cooke et al.,2005;).
Nuclear
transcription factor-kB penting pada proses transkripsi berbagai gen
proinflamasi. Setelah aktivasi, NF-kB dapat mengekspresikan dan melepas berbagai mediator
inflamasi.Beberapa penelitian menunjukkan bahwa jalur sinyal NF-kB diaktifkan pada
fibroblast keloid sehingga memberikan kontribusi bagi inflamasi kronis.Dukungan tambahan
pada peran vitamin D untuk mencegah inflamasi oleh regulasi sitokin telah dijelaskan pada
berbagai studi. Efek antiinflamasi sitokin melalui downregulatory inflamasi oleh IL-1, IL-6
dan IL-8 pada keratinosit distimulasi oleh TNF-α dan IFN-γ (Cooke et al.,2005; Dong et
al.,2013).
Gambar 2.5Produksi Vitamin D3 Aktif (Shuler et al.,2005)
Gambar 2.6 Sintesis dan Degradasi Kolagen ( Kjaer,2004)
Gambar 2.7 Ilustrasi Mekanisme Efek Antiinflamasi Vitamin D3 (Cooke et al.,2005)
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir
Vitamin D berperan penting pada hemostasis kalsium dan metabolisme tulang, namun
penelitian selama dua dekade terakhir telah mengungkapkan beragam fungsi biologis vitamin
D meliputi induksi diferensiasi sel, menghambat pertumbuhan sel, modulasi sistem imun dan
kontrol sistem hormonal lainnya. Hormon vitamin D ini mengaktifkan reseptor selular (VDR)
dan mengubah tingkat transkripsi gen target yang bertanggung jawab atas respon
biologis.Vitamin D diduga dapat memiliki pengaruh pada sintesis kolagen selama proliferasi
fibroblast dan tidak terekspresinya kolagen pada fibroblast keloid oleh vitamin D mungkin
merupakan salah satu mekanisme yang dapat menghambat terjadinya keloid. Vitamin D (D3,
D2 dan metabolitnya) dikonversi menjadi 25-hydroxyvitamin D pada liver. Pengukuran 25hydroxyvitamin D pada serum atau plasma merupakan indikator status vitamin D.
Keloid merupakan tumor fibroproliferasi dermal, bersifat jinak, yang tumbuh pada
bekas lukadan melampaui batas luka.Keloid ditandai dengan akumulasi yang berlebihan dari
komponen matriks ekstraseluler seperti kolagen, fibronektin, elastin, proteoglikan dan faktorfaktor pertumbuhan.Keloid terjadi akibat penyembuhan luka abnormal pada individu yang
rentan secara genetik.Keloid menyebabkan defek kosmetik, dapat menyebabkan deformitas
dan mungkin membatasi gerak sendi.
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya keloid dan kadar 25hydroxyvitamin D yaitu ras, penyakit tiroid, penyakit paratiroid, tumor ovarium, kehamilan,
menyusui dan menstruasi. Penelitian ini dilakukan untuk melihat korelasi antara kadar 25hydroxyvitamin D plasma dengan derajat keparahan keloid.
3.2 Konsep
Konsep penelitian untuk mengetahui korelasi antara kadar 25-hydroxyvitamin D
plasma dengan derajat keparahan keloid yang ditunjukkan pada gambar 3.1.
Kadar 25-hydroxyvitamin D
plasma
Proliferasi fibroblast
-
Keloid
Ras
Penyakit tiroid
Penyakit
paratiroid
Tumor
ovarium
Kehamilan
Menyusui
Menstruasi
Keterangan:
Diteliti dan dianalisis
Tidak diteliti
Gambar 3.1
Bagan Kerangka Konsep Penelitian
3.3 Hipotesis Penelitian
1. Rerata kadar25-hydroxyvitamin D plasma pada penderita keloid lebih rendah
dibandingkan dengan non-keloid.
2. Kadar 25-hydroxyvitamin D plasma berkorelasi negatif dengan derajat keparahan
keloid.
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian adalah cross-sectional analitik untuk mengetahui korelasi
kadar25-hydroxyvitamin D plasma terhadap derajat keparahan keloid. Rancangan penelitian
ini dapat dibuat dalam bentuk skema yang dapat dilihat pada Gambar 4.1 di bawah ini:
POPULASI
Sampel
Keloid---------------- Non Keloid
•
•
Kadar 25-hydroxyitamin D plasma
Keloid
Gambar 4.1Rancangan penelitian cross-sectional
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasarselama 3
bulan, mulai bulan Oktober sampai dengan Desember 2014. Pemeriksaan kadar 25hydroxyvitamin D plasma dilakukan di Unit Pelayanan Teknik Laboratorium Analitik
Universitas Udayana Denpasar.
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian
4.3.1 Populasi Target
Seluruh pasien keloid.
4.3.2 Populasi Terjangkau
Seluruh pasien keloidyang berkunjung ke RSUP Sanglah Denpasar dalam periode
bulan Oktober 2014 sampai bulan Desember 2014.
4.3.3 Sampel Penelitian
Sampel penelitian diambil dari populasi terjangkau secara consecutive sampling, yaitu
semua penderita yang didiagnosis sebagai keloid dan memenuhi kriteria penerimaan sampel
penelitian sampai memenuhi jumlah yang diperlukan.
4.3.3.1 Kriteria Inklusi
a. Semua pasien keloid yang berkunjung ke RSUP Sanglah Denpasar.
b. Bangsa Indonesia.
c. Keadaan umum baik.
d. Bersedia diikutsertakan dalam penelitian dan menandatangani lembar informed consent.
4.3.3.2 Kriteria Eksklusi
a. Terdapat penyakit atau kondisi yang berkaitan dengan ketidakseimbangan hormonal seperti
penyakit tiroid, paratiroid, kehamilan, menyusui, menstruasi dan tumor ovarium.
b. Terdapat penyakit infeksi akut atau kronis seperti infeksi saluran nafas atas dan infeksi
tuberkulosis atau menderita penyakit sistemik seperti diabetes melitus dan kardiovaskuler.
c. Subyek telah mendapat pengobatan konvensional keloid seperti triamcinolone acetonide
injeksi, kortikosteroid topikal, cryosurgery, bedah eksisi, radiasi,laser, occlusive dressing,
terapi kompresi dan interferon dalam dua bulan terakhir.
d. Terdapat riwayat mengkonsumsi obat-obatan anti kejang dan antibiotik seperti
phenobarbital, phenitoin, carbamazepine dan rifampisin dalam jangka waktu panjang.
e. Subyek mengkonsumsi suplemen vitamin D dalam 1 bulan terakhir.
4.3.4 Besar Sampel
Pada penelitian analitik korelatif, penentuan besar sampel penelitian menggunakan
rumus Ronal Fisher’s classic z transformation sebagai berikut (Dahlan,2013;Madiyono, et
al.,2010)
n =
Zα + Zβ
0,5 ln[ (1+r)/(1-r)]
2
+3
Penelitian ini menggunakan koefisien korelasi (r = 0,4), interval kepercayaan yang
dikehendaki sebesar 95% (α=0,05; Z α = 1,96), dan power penelitian sebesar 80% ( β = 0,20;
Z β = 0,842). Berdasarkan perhitungan dengan rumus diatas, maka jumlah sampel minimal (n)
yang diperlukan untuk rancangan ini adalah 47 orang.
4.4 Variabel Penelitian
4.4.1 Klasifikasi Variabel
- Variabel bebas
: Kadar 25-hydroxyvitamin D plasma
- Variabel tergantung
: Derajat keparahan keloid
- Variabel perancu
: Ras, penyakit tiroid, penyakit paratiroid, tumor ovarium,
kehamilan, menyusui, menstruasi
Variabel bebas
Variabel tergantung
Kadar 25-hydroxyvitamin D plasma
Derajat keparahan keloid
Variabel perancu*
Ras, penyakit tiroid, penyakit paratiroid, tumor
ovarium, kehamilan, menyusui, menstruasi
Keterangan :
* Variabel perancu dikendalikan dengan restriksi
Gambar 4.2Hubungan Antar Variabel
4.4.2
Definisi Operasional Variabel
1. Keloid adalah tumor fibroproliferasi dermal yang bersifat jinak, berwarna sesuai
warna kulit, hipopigmentasi, hiperpigmentasi atau eritematosa, berbatas tegas
dengan konsistensi lunak sampai padat.
2. Derajat keparahan keloid adalah
berdasarkan Vancouver Scar Scale.
tingkat
keparahan
keloid
secara
klinis
3. Kadar 25-hydroxyvitamin D plasma adalah kadar 25-hydroxyvitamin Ddengan
satuan ng/mL dalam plasma pasien keloid dari darah vena di fossa kubiti dengan
nilai defisiensi < 10 ng/mL; insufisiensi 10-30 ng/mL; suffisiensi 30-100 ng/mL
dan
toksisitas >100 ng/mL, yang diperiksa dengan teknik the enzyme-linked
immunosorbent assay (ELISA).
4. Non keloid adalah individu yang tidak memiliki klinis keloid.
5. Ras adalah kategori individu yang secara turun temurun memiliki ciri-ciri fisik
dan biologis tertentu.
6. Penyakit tiroid merupakan penyakit akibat adanya gangguan pada kelenjar tiroid
sehingga mengakibatkan produksi hormon yang tidak seimbang berupa kelebihan
hormon
tiroid (hipertiroid) dan kekurangan hormon tiroid (hipotiroid) yang
diketahui melalui teknik wawancara.
7. Penyakit paratiroid merupakan penyakit akibat adanya gangguan pada kelenjar
paratiroid sehingga mengakibatkan produksi hormon yang tidak seimbang berupa
kelebihan hormon paratiroid (hiperparatiroid) dan kekurangan hormon paratiroid
(hipoparatiroid) yang diketahui melalui teknik wawancara.
8. Tumor ovarium adalah neoplasma yang berasal dari jaringan ovarium.
9. Kehamilan adalah keadaan terkandungnya janin dalam tubuh seorang wanita yang
ditandai dengan terhentinya menstruasi selama 6 minggu berturut-turut dihitung
berdasarkan hari pertama haid terakhir (HPHT).
10. Menyusui adalah proses pemberian susu kepada bayi atau anak kecil dengan air
susu ibu (ASI) dari payudara ibu yang diperoleh melalui tekhnik wawancara.
11. Menstruasi adalah perdarahan periodik dari uterus yang dimulai sekitar 14 hari
setelah ovulasi secara berkala akibat terlepasnya lapisan endometrium uterus yang
diperoleh melalui teknik wawancara.
4.5 Izin/Persetujuan Subyek Penelitian
Semua subyek dalam penelitian ini diberikan penjelasan selengkapnya tentang
penelitian ini kemudian diminta persetujuannya untuk ikut dalam penelitian ini dan
menandatangani surat persetujuan.
4.6
Bahan dan Instrumen Penelitian
4.6.1 Bahan sampel
Bahan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah darah vena dari subyek
penelitian.
4.6.2
Reagen
1. Micro ELISA plate
2. Standart referensi
3. Standart referensi & pencair sampel
4. Concentrated biotinylated detection Ab
5. Biotinylated detection Ab diluents
6. Concentrated HRP Conjugate
7. Concentrated wash buffer (25x)
8. Substrate reagent
9. Stop solution
4.6.3 Instrumen Penelitian
Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, pemeriksaan fisik, dan pengambilan
sampel darah.Untuk menegakkan diagnosis keloid, digunakan lembaran pemeriksaan status
dermatologis, seperti tampak pada lampiran. Derajat keparahan keloid dinilai secara klinis
menggunakan vancouver scar scale. Peralatan yang digunakan dalam pengukuran kadar25hydroxyvitamin D plasma adalah sarung tangan, tourniket, spuit, tabung yang telah berisi
koagulan, HVD3 (25-hydroxy vitamin D3) ELISA Kit Merk Elabscience, kupet, pipet,
kacamata pelindung, jas laboratorium.
4.7 Prosedur Penelitian
1. Pemeriksaan fisik untuk menentukan diagnosis klinis serta derajat keparahan keloid
berdasarkan Vancouver Scar Scale dengan menilai:
a. Konsistensi (0=Normal; 1= lentur; 2=lunak; 3=keras; 4=padat; 5=kontraktur),
dengan menggunakan alat pembanding berupa bola karet dengan konsistensi
yang berbeda.
b. Ketinggian (0=Normal; 1= <2 mm; 2=2-5 mm; 3= >5 mm), diukur dengan alat
mikrometer.
c. Vaskularisasi (0=Normal; 1=merah muda; 2=merah; 3=ungu), dilihat dengan
dermoskopi.
d. Pigmentasi
keloid
(0=Normal;
1=hipopigmentasi;
2=campuran;
3=hiperpigmentasi).
Derajat keparahan keloid ringan adalah tingkat keparahan keloid secara klinis
berdasarkan vancouver scar scale dengan skor 0-4. Derajat keparahan keloid sedang
adalah tingkat keparahan keloid secara klinis berdasarkan vancouver scar scale
dengan skor 5-9. Derajat keparahan keloid berat adalah tingkat keparahan keloid
secara klinis berdasarkan vancouver scar scale dengan skor 10-14.
2. Pengambilan sampel penelitian dilakukan oleh petugas laboratorium pada darah vena
di fossa kubiti sebanyak 3 cc dan ditampung dalam tabung dengan koagulan.
3. Pemeriksaan kadar 25-hydroxyvitamin D dilakukan dari sampel darah vena di Unit
Pelayanan Teknik Laboratorium Analitik Universitas Udayana Denpasar.
4. Prosedur analisis 25-hydroxyvitamin D
-
Tambahkan 100µL standart atau sampel dan diinkubasi selama 90 menit pada suhu
370 C lalu tambahkan 100µL biotinylated detection Ab dan diinkubasi selama 1 jam
pada suhu 370 C lalu aspirasi dan wash tiga kali. Tambahkan 100µL HRP conjugate,
inkubasi 30 menit pada suhu 370C lalu aspirasi dan washlima kali. Tambahkan 90µL
substrate reagent dan diinkubasi selama 15 menit pada suhu 370C lalu tambahkan
stop solution. Baca pada 450nm secepatnya lalu kalkulasi hasil.
4.8 Alur Penelitian
Alur penelitian dimulai dengan pemilihan pasien keloid berdasarkan kriteria inklusi dan
eksklusi serta dilanjutkan dengan penandatanganan informed consent. Pada pasien dilakukan
wawancara untuk melengkapi kuisioner seperti terlampir di bagian lampiran.Berikutnya
dilakukan pemeriksaan fisik untuk menentukan diagnosis klinis serta derajat keparahan
keloid berdasarkan Vancouver Scar Scale.Pemeriksaan fisik yang dilakukan dicatat dalam
kertas kerja peneliti yang merupakan bagian dari lembaran kuisioner.Wawancara dan
pemeriksaan fisik dilakukan oleh peneliti di RSUP Sanglah Denpasar. Pengambilan dan
pemeriksaan sampel darah untuk pemeriksaan kadar25-hydroxyvitamin D plasma dilakukan
oleh petugas laboratorium. Selain 47 orang pasien, pemeriksaan kadar 25-hydroxyvitamin
Dplasma juga dilakukan pada 10 orang non-keloid untuk mengetahui secara lebih pasti
adanya perbedaan rerata kadar25 hydroxyvitamin D plasma antara pasien keloid dan nonkeloid. Data dan hasil dicatat dalam lembar pengumpul data, selanjutnya dilakukan analisis
data.
Untuk lebih mempermudah dalam pelaksanaan penelitian, maka dibuat alur penelitian
yang ditunjukkan dengan bagan alur penelitian pada Gambar 4.3
Populasi Target
Seluruh pasien keloid
Populasi Terjangkau
Pasien keloid,RSUP Sanglah, Oktober-Desember 2014
-
-
-
-
Eksklusi
Penyakit/kondisi
yang berkaitan
dengan hormonal
Telah mendapat
pengobatan
keloid yang
konvensional
Penyakit
sistemik dan
infeksi sistemik
akut atau kronis
Riwayat
mengkonsumsi
obat-obatan anti
kejang dan
antibiotik dalam
jangka waktu
j
-
Inklusi
Laki, perempuan, klinis keloid
Bersedia ikut serta
Sampling
Informed consent
Eligible Subject
Wawancara
Pemeriksaan
25-hydroxyvitamin
D plasma
Derajat Keparahan
Keloid
(sistem skoring)
Analisis Data
Gambar 4.3 Skema Alur Penelitian
4.9 Analisis Data
Data yang dicatat dalam lembar pengumpulan data yang telah tersusun, diolah dan dianalisis
secara deskriptif menggunakan perangkat lunak komputer maupun secara manual, kemudian
dianalisis dengan uji statistik yang sesuai.
1. Analisis statistik deskriptif
Analisis ini dilakukan untuk menggambarkan karakteristik sampel yang meliputi
distribusi umur, jenis kelamin, penyebab keloid, lokasi, riwayat keluarga, derajat
keparahan keloid, kadar 25-hydroxyvitamin Dplasma pada pasien keloid dan nonkeloid.
2. Uji normalitas data
Uji normalitas data pada penelitian ini menggunakan uji normalitas KolmogorovSmirnov (K-S) karena sampel lebih dari 30. Data berdistribusi normal bila nilai p>
0,05 pada uji normalitas.
3. Analisis komparasi
-
Penurunan kadar25-hydroxyvitamin D pada pasien keloid dibandingkan dengan non
keloid menggunakan ujiMann Whitney test.
4. Analisis korelasi dan regresi linier
Untuk mencari koefisien korelasi antara kadar 25 hydroxyvitamin D plasma dengan
derajat keparahan keloid digunakan uji korelasi Spearman’s rho.
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1 Karakteristik Subyek Penelitian
Tabel 5.1
Karakteristik Subyek Penelitian
Karakteristik
Umur (tahun)
< 21
21-40
>40
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
Penyebab
Luka non-operasi
Luka operasi
Gigitan serangga
Vaksin / Imunisasi
Infeksi (contoh : cacar)
Jerawat
Tidak tahu
Lokasi
Ekstremitas superior
Ekstremitas inferior
Dada
Perut
Punggung
Telinga
Riwayat keluarga
Ada
Tidak ada
Derajat keparahan keloid
Ringan
Sedang
Berat
Kadar 25-Hydroxyvitamin D Plasma
Median (IQR)
Rerata ±SD
Keloid = 47
n (%)
Non-keloid = 10
n (%)
7 (14,9)
34 (72,3)
6 (12,8)
0 (0,0)
9 (90,0)
1 ( 10,0)
20 (42,6)
27 (57,4)
5 (50)
5 (50)
21 (44,7)
14 (29,8)
1 (2,1)
1 (2,1)
4 (8,5)
3 (6,4)
3 (6,4)
-
13 (27,2)
12 (25,5)
10 (21,3)
7 (14,9)
3 (6,4)
2 (4,3)
-
21 (44,7)
26 (55,3)
2 (20)
8 (80)
7 (14,9)
34 (72,3)
6 (12,8)
-
20,63 (2,36) ng/mL
20,89 ± 2,34 ng/mL
33,09 (1,52) ng/mL
32,60 ± 1,26 ng/mL
IQR = Interquartile Range
SD = Standart Deviation
Tabel 5.1 menunjukkan karakteristik subyek penelitian yang meliputi umur (tahun),
jenis kelamin, penyebab, lokasi, riwayat keluarga, derajat keparahan keloid, dan kadar25hydroxyvitamin D plasma. Pada penelitian ini digunakan 47 subyek keloid dan 10 subyek
non-keloid. Berdasarkan data tersebut, persentase terbanyak berdasarkan kelompok umur
pada subyek keloid yaitu kelompok umur 21-40 tahun sebanyak 34 orang (72,3%), diikuti
oleh kelompok umur < 21 tahun sebanyak 7 orang (14,9%) dan kelompok umur > 40 tahun
sebanyak 6 orang (12,8%) dengan umur termuda adalah 8 tahun dan umur tertua adalah 56
tahun. Subyek keloid laki-laki sebanyak 20 orang (42,6%) dan perempuan sebanyak 27 orang
(57,4%).
Berdasarkan lokasi terjadinya keloid, lokasi terbanyak adalah di ekstremitas superior
sebanyak 13 orang (27,2%), diikuti di ekstremitas inferior sebanyak 12 orang (25,5%), di
dada sebanyak 10 orang (21 ,3%), di perut sebanyak 7 orang (14,9%), di punggung sebanyak
3 orang (6,4%), dan di telinga sebanyak 2 orang (4,3%). Berdasarkan penyebab terjadinya
keloid, penyebab terbanyak adalah luka non operasi sebanyak 21 orang (44,7%), diikuti luka
operasi sebanyak 14 orang (29,8%), infeksi seperti cacar sebanyak 4 orang (8,5%), jerawat
sebanyak 3 orang (6,4%), tidak tahu sebanyak 3 orang (6,4%), dan paling sedikit gigitan
serangga dan vaksin masing-masing 1 orang (2,1%). Berdasarkan adanya riwayat keluarga,
tidak ada riwayat keluarga sebanyak 26 orang (55,3%) dan ada sebanyak 21 orang (44,7%).
Derajat keparahan keloid dibedakan menjadi derajat ringan, sedang dan berat. Jumlah
terbanyak yaitu pasien dengan derajat keparahan sedang sebanyak 34 orang (72,3%), derajat
ringan sebanyak 7 orang (7%) dan derajat berat sebanyak 6 orang (12,8%). Rerata kadar 25hydroxyvitamin D plasma pada subyek keloid adalah 20,89 ± 2,34 ng/mL dengan median
(IQR) 20,63 (2,36) ng/mL lebih rendah dibandingkan dengan rerata kadar 25-hydroxyvitamin
D plasma pada subyek non-keloid 32,60 ± 1,26 ng/mL dengan median (IQR) 33,09 (1,52)
ng/mL.
5.2 Uji Normalitas Data
Data penelitian kadar25-hydroxyvitamin D plasma dan nilai VSS pada subyek keloid
dilakukan uji normalitas seperti disajikan pada tabel 5.2.
Tabel 5.2
Hasil Uji Normalitas Data
No.
1.
2.
Variabel
Kadar 25-hydroxyvitamin D plasma
VSS
Nilai p
0,017
0,008
Berdasarkan tabel 5.2 didapatkan bahwa data kadar 25-hydroxyvitamin D plasma
menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov pada pasien keloid tidak berdistribusi normal karena
nilai p = 0,017 (p < 0,05) dan nilai VSS juga tidak berdistribusi normal karena nilai p = 0,008
(p < 0,05).
5.3 Kadar 25-Hydroxyvitamin D Plasma pada Subyek keloid dan Non-keloid
Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 5.3 didapatkan bahwa median (IQR)
kadar 25-hydroxyvitamin D plasma pada subyek keloid 20,63 (2,36) ng/mL ditemukan lebih
rendah dibandingkan dengan subyek non-keloid 33,09 (1,52) ng/mL. Setelah dilakukan uji
Mann-Whitney test didapatkan bahwa kadar25-hydroxyvitamin D plasma pada subyek keloid
berbeda secara bermakna pada subyek non-keloid dengan nilai p < 0,001.
Tabel 5.3
Perbandingan Kadar 25-Hydroxyvitamin D Plasma antara Subyek Keloid dengan Nonkeloid
Variabel
Kadar 25-hydroxyvitamin D plasma
Median (IQR)
a
Keloid (n=47)
20,63(2,36)ng/mL
Non-keloid (n=10)
33,59(1,52)ng/mL
Nilai p
<0,001a
= Hasil uji Mann-Whitney test
Gambaran box plot menunjukkan nilai kadar 25-hydroxyvitamin D plasma
berdasarkan kelompok keloid dan non-keloid. Median kadar25-hydroxyvitamin D plasma
pada kelompok keloid lebih rendah dibandingkan kelompok non-keloid dan didapatkan
perbedaan yang bermakna karena batas atas kelompok keloid tidak berhimpitan dengan batas
atas kelompok non-keloid, seperti terlihat pada Gambar 5.1.
Kadar 25-hydroxyvitamin D (ng/mL)
Kelompok
Gambar 5.1Perbandingan Kadar 25-Hydroxyvitamin D Plasma dengan Satuan ng/mL antara
Subyek Keloid dan Non-keloid.
5.4 Korelasi Kadar 25-hydroxyvitamin D Plasma dengan Derajat keparahan Keloid
Untuk mengetahui korelasi antara kadar 25-hydroxyvitamin D plasma dengan derajat
keparahan keloid yang dinilai berdasarkan VSS pada penelitian ini dilakukan uji korelasi
Spearman’s rho karena data tidak berdistribusi normal. Penelitian ini menunjukkan bahwa
terdapat korelasi antara kadar25-hydroxyvitamin D plasma dengan derajat keparahan keloid
yang dinilai berdasarkan VSS (r = -0,584; p <0,001), artinya semakin rendah kadar 25hydroxyvitamin D plasma maka derajat keparahan keloid yang dinilai berdasarkan VSS
menjadi semakin berat. Pada uji regresi linier ditentukan koefisien determinasi untuk
mengetahui sejauh mana kadar 25-hydroxyvitamin D plasma mempengaruhi derajat
keparahan keloid (R2 = 60,4%), artinya 60,4 % derajat keparahan keloid dipengaruhi oleh
kadar 25-hydroxyvitamin D plasma, seperti disajikan pada tabel 5.4.
Tabel 5.4
Korelasi Kadar 25-Hydroxyvitamin D Plasma dengan Derajat Keparahan Keloid yang
Dinilai Berdasarkan VSS
Korelasi
r
Kadar 25-hydroxyvitamin D plasma dengan nilai -0,584
VSS
Nilai p
<0,001a
R2
60,4%
Nilai p
<0,001b
r = koefisien korelasi
a
= Hasil uji korelasi Spearman’s rho
R2 = Koefisien determinasi
b
= Hasil uji regresi linier
Gambaran scatter plot hasil korelasi antara kadar25-hydroxyvitamin D plasma dengan
derajat keparahan keloid yang dinilai berdasarkan VSS disajikan pada Gambar 5.2. Pada
grafik tersebut dapat dilihat bahwa semakin rendah kadar25-hydroxyvitamin D plasma maka
derajat keparahan keloid yang dinilai berdasarkan VSS menjadi semakin berat.
Kadar 25-hydroxyvitamin D (ng/mL)
Gambar 5.2Grafik Korelasi Kadar 25-Hydroxyvitamin D Plasma dengan Derajat Keparahan
Keloid yang dinilai berdasarkan VSS. Semakin rendah kadar25-hydroxyvitamin D plasma
maka derajat keparahan keloid yang dinilai berdasarkan VSS menjadi semakin berat.
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Karakteristik Subyek Penelitian
Penelitian ini menggunakan 47 orang pasien keloid sebagai subyek penelitian yang
masuk dalam kriteria inklusi dan 10 subyek non-keloid, tidak ada subyek yang hilang dalam
penelitian. Distribusi umur terbanyak dalam penelitian ini adalah kelompok umur 21-40
tahun sebanyak 34 orang, diikuti kelompok umur < 21 tahun sebanyak 7 orang dan kelompok
umur > 40 tahun sebanyak 6 orang. Ditinjau dari segi umur, keloid dapat terjadi pada semua
usia, namun paling sering terjadi pada dekade kedua dan ketiga. Diduga karena individu yang
berumur lebih muda lebih sering mengalami trauma dan kulit yang lebih muda memiliki
tegangan yang lebih besar. Kecepatan sintesis kolagen juga lebih cepat pada umur lebih muda
(Kakar et al.,2006; Clark et al.,2009; Wolfram et al.,2009). Pada penelitian ini pasien
termuda berumur 8 tahun dan tertua 56 tahun, waktu antara trauma sampai terjadinya keloid
yaitu dalam waktu 3 bulan sampai 1 tahun. Hal ini sesuai dengan pustaka yang menyatakan
bahwa sebagian keloid berkembang dalam waktu 3 bulan setelah cedera, beberapa mungkin
terjadi sampai dengan 1 tahun setelah trauma di kulit. Proses penyembuhan luka merupakan
respon
fisiologis
pada luka.
Fase inflamasi
penyembuhan
luka didahului
oleh
hemostasis.Selama fase proliferasi kontinuitas jaringan dibangun kembali.Fase maturasi dan
remodeling skar terjadi dalam waktu 6-12 bulan, ditandai dengan reorganisasi kolagen yang
disintesis sebelumnya. Kandungan kolagen luka merupakan hasil dari keseimbangan sintesis
kolagen dan kolagenolisis (Seifert,2008: Miller dan Nanchalal,2005).
Kedua jenis kelamin mempunyai kemungkinan yang sama untuk menderita keloid.
Distribusi jenis kelamin pada penelitian terdiri dari laki-laki sebanyak 20 orang (42,6%) dan
perempuan sebanyak 27 orang (57,4%). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian-
penelitian sebelumnya yang menyebutkan bahwa walaupun tidak terdapat perbedaan gender
dalam insiden keloid, namun keloid lebih sering ditemukan pada perempuan karena seringnya
keloid pada lobulus telinga setelah tindik yang umumnya dilakukan oleh perempuan
menyebabkan seolah-olah perempuan lebih banyak menderita keloid. Perempuan juga
mengalami perubahan hormonal saat kehamilan, menyusui dan menstruasi. Selain itu,
perempuan lebih memperhatikan permasalahan kosmetik yang sering ditimbulkan oleh keloid
sehingga cenderung untuk mendapatkan pengobatan (Chike-obi et al.,2009).
Berdasarkan penyebab terjadinya keloid, penyebab terbanyak adalah luka non operasi
sebanyak 21 orang (44,7%), diikuti luka operasi sebanyak 14 orang (29,8%), infeksi seperti
cacar sebanyak 4 orang (8,5%), jerawat sebanyak 3 orang (6,4%), tidak tahu sebanyak 3
orang (6,4%), dan paling sedikit gigitan serangga dan vaksin masing-masing 1 orang (2,1%).
Proses terjadinya keloid diketahui disebabkan oleh trauma kulit pada individu yang rentan
secara genetik. Selain itu, trauma sekunder pada kulit seperti jerawat, infeksi, luka bakar,
laserasi, dan luka bekas operasi juga dapat menyebabkan terjadinya keloid.Pada beberapa
kasus juga dilaporkan bahwa keloid dapat terjadi pada pasien tanpa ada riwayat trauma
sebelumnya, namun trauma yang kecil seperti gigitan serangga atau akne mungkin terjadi
tanpa diketahui sebelumnya.Terdapat berbagai faktor risiko terjadinya keloid seperti
predisposisi genetik, hormonal, infeksi, ketegangan kulit disekitar luka dan kedalaman luka.
(Chike-obi et al.,2009; Shih et al.,2010;Kose dan Waseem,2008). Kelly tahun 2009
melaporkan, infeksi bakteri dan virus dapat memicu terjadinya keloid, terutama pada lesi
anak-anak Afrika-Amerika.Inflamasi pada kulit seperti varisela, vaksin Bacile CalmetteGuerin, folikulitis dan akne juga dapat memicu terjadinya keloid. Luka superfisial dapat
memicu terjadinya keloid karena adanya kerentanan genetik dan infeksi sekunder pada luka
(Kelly,2009).
Berdasarkan lokasi terjadinya keloid, lokasi terbanyak adalah di ekstremitas superior
sebanyak 13 orang (27,2%), diikuti di ekstremitas inferior sebanyak 12 orang (25,5%), di
dada sebanyak 10 orang (21 ,3%), di perut sebanyak 7 orang (14,9%), di punggung sebanyak
3 orang (6,4%), dan di telinga sebanyak 2 orang (4,3%). Beberapa lokasi pada tubuh
memiliki kerentanan untuk terjadi keloid karena memiliki ketegangan kulit yang tinggi.
Lokasi yang memiliki potensi tinggi untuk terjadinya keloid yaitu dada, bahu, lengan atas dan
telinga (Shejbal et al.,2004; Gauglitz et al.,2011).
Berdasarkan terdapatnya riwayat keloid pada keluarga didapatkan pada subyek
dengan keloid ada riwayat keluarga sebanyak 21 orang (44,7%) dan tidak ada riwayat
keluarga sebanyak 26 orang (55,3%). Pada subyek non-keloid didapatkan ada riwayat
keluarga menderita keloid sebanyak 2 orang (20%) dan tidak ada keluarga yang menderita
keloid sebanyak 8 orang (80%).Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terjadinya keloid
dipengaruhi oleh genetik. Hasil penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa terjadinya keloid
dipengaruhi oleh genetik, baik secara autosomal dominan naupun autosomal resesif (Cooke et
al.,2005; Ceovic et al.,2010). Beberapa studi menyebutkan bahwa pola pewarisan autosomal
dominan pada keloid berhubungan dengan kromosom 2q23 (keluarga keturunan Jepang) dan
kromosom 7p11 (keluarga keturunan Afrika-Amerika) , selain itu ditemukan pula keterkaitan
dengan HLA-DR5 dan HLA-DQw3 (Seifert,2008; Clark et al.,2009).
Berdasarkan derajat keparahan keloid yang dibedakan menjadi derajat ringan, sedang
dan berat, distribusi terbanyak adalah pasien dengan derajat keparahan sedang sebanyak 34
orang (72,3%), derajat ringan sebanyak 7 orang (7%) dan derajat berat sebanyak 6 orang
(12,8%). Sutrini tahun 2010 melaporkan pada 40 pasien keloid selama periode Juli sampai
September 2010 di subbagian Bedah Kulit Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah
Denpasar terdapat 31 pasien (77,5) dengan derajat keparahan berat, 8 pasien (20%) derajat
sedang dan 1 pasien (2,5%) derajat ringan. (Sutrini,2010). Penelitian mengenai hubungan
derajat keparahan keloid dengan vitamin D sampai saat ini masih belum ditemukan.
6.2 Kadar 25-hydroxyvitamin D Plasma pada Subyek Keloid dan Non-keloid
Pada penelitian ini didapatkan adanya perbedaan bermakna rerata kadar 25hydroxyvitamin D plasma pada subyek keloid yaitu 20,89 ± 2,34 ng/mL dan median (IQR)
20,63 (2,36) ng/mL dengan subyek non-keloid yaitu 32,60 ± 1,26 ng/mL dan median (IQR)
33,09 (1,52) ng/mL dengan nilai p < 0,001. Hasil perbandingan pada kedua kelompok
tersebut berbeda dan bermakna, menjelaskan bahwa hipotesis penelitian ini diterima, yaitu
terdapat perbedaan rerata kadar25-hydroxyvitamin D plasma antara subyek keloid dengan
subyek non-keloid sehingga dapat disimpulkan bahwa 25-hydroxyvitamin D mempunyai
peranan pada keloid.
Terbentuknya keloid telah dikaitkan dengan vitamin D. Pada penelitian Cooke et al.
tahun 2005 menyatakan bahwa kadar vitamin D yang rendah pada kulit merupakan
predisposisi terjadinya skar (Cooke et al.,2005). Yu et al. tahun 2013 di China melaporkan
penderita keloid signifikan memiliki kadar sirkulasi 1,25(OH)2D serum lebih rendah
dibandingkan tanpa keloid. Vitamin D melalui jalur VDR memiliki peran penting pada
perkembangan keloid (Yu et al.,2013).
Vitamin D selain berperan penting pada hemostasis kalsium dan metabolisme mineral
tulang, kini diakui bahwa terdapat berbagai fungsi biologis fundamental dalam diferensiasi
sel dan inhibisi pertumbuhan sel. Vitamin D bekerja pada reseptor gen target dalam beberapa
sistem organ untuk mengontrol proliferasi dan diferensiasi sel (Kochupillai,2008). Kadar 25hydroxyvitamin D dalam darah merupakan metode terbaik untuk menentukan status vitamin
D karena gampang diperiksa dan memiliki waktu paruh yang panjang pada sirkulasi (kirakira 2 atau 3 minggu). Meskipun 1,25(OH)2D adalah bentuk biologis aktif vitamin D, namun
pemeriksaan ini tidak memberikan informasi tentang status vitamin D karena memiliki waktu
paruh yang singkat (15 jam) dan sering normal atau bahkan meningkat pada kondisi
defisiensi vitamin D (Zhang dan Naughton,2010; Nezhad dan Holick,2013).
Zhang et al. tahun 2011 menyatakan bahwa vitamin D dapat menghambat terjadinya
fibrosis kulit. Peningkatan kadar vitamin D plasma dapat menghambat terjadinya fibrosis
jaringan sehingga dapat menjadi dasar pemikiran untuk menguji suplementasi vitamin D
sebagai pencegahan atau strategi pengobatan dini untuk keloid dan penyakit yang terkait
fibrosis (Zhang et al.,2011).
6.3 Korelasi Kadar 25-hydroxyvitamin D Plasma dengan Derajat Keparahan Keloid
Pada penelitian ini didapatkan korelasi negatif antara kadar25-hydroxyvitamin D
plasma dengat derajat keparahan keloid yang dinilai berdasarkan VSS seperti disajikan pada
tabel 5.4 dengan hasil r = -0,584 dan nilai p < 0,001. Hal ini berarti terdapat hubungan
bermakna antara kadar25-hydroxyvitamin D plasma dengan derajat keparahan keloid yang
dinilai berdasarkan VSS, yaitu semakin rendah kadar 25-hydroxyvitamin D plasma maka
derajat keparahan keloid menjadi semakin berat. Tingkat korelasi pada hasil penelitian ini
lebih kuat (r = -0,584) dibandingkan hipotesisnya (r = 0,4).
Hasil penelitian mengenai korelasi kadar 25-hydroxyvitamin D plasma pada keloid
belum ditemukan, namun Yu et al. tahun 2013 melaporkan bahwa vitamin D melalui jalur
VDR berperan penting pada terjadinya keloid. Gen polymorphism Tag1dari VDR dan kadar
1,25-dyhydroxyvitamin D pada sirkulasi dapat digunakan sebagai marker dugaan terjadinya
keloid. Vitamin D memiliki efek anti fibroproliferatif pada berbagai kondisi patologik seperti
kanker dan penyakit fibroproliferatif. Efek anti kanker dari vitamin D dimediasi terutama
oleh metabolit aktifnya yaitu 1,25-dihydroxyvitamin D (calcitriol), melalui signal VDR
vitamin D juga berperan pada sintesis dan degradasi kolagen. Pada glomerulonefritis tikus
dan fibrosis hepar, vitamin D dapat menghambat sintesis kolagen pada fibrosis interstitial dan
akumulasi komponen matriks interstitial dengan menghambat ekspresi gen TGF-β1.Beberapa
studi klinis juga menunjukkan bahwa kekurangan vitamin D dan metabolit aktifnya terkait
dengan penyakit fibroproliferatif dan pengobatan dengan vitamin D merupakan terapi yang
efektif untuk penyakit fibrosis kulit seperti skleroderma. Keseimbangan antara sintesis dan
degradasi kolagen berperan penting pada proses terjadinya keloid, menunjukkan pengaruh
vitamin D pada terjadinya keloid ( Yuet al.,2013).
Beberapa penelitian klinis telah menunjukkan bahwa vitamin D dapat menghambat
pembentukan fibrosis kulit, misalnya pada sklerosis sistemik, namun peran nyata vitamin D
pada kulit masih belum diketahui dengan pasti. Secara khusus masih belum jelas apakah selsel pada kulit mengenali vitamin D dan apakah kadar vitamin D dapat mempengaruhi
fungsinya. Zhang et al. tahun 2011 melaporkan terdapat ekspresi VDR pada kulit normal dan
fibroblast keloid.Selain itu, mereka juga menemukan bahwa VDR terdapat pada nukleus,
konsisten dengan perannya pada reseptor nuklear. Peningkatan sekresi TGF-β1 pada matriks
protein kolagen 1 signifikan dihambat oleh 1,25-dyhydroxyvitamin D di dalam fibroblast
keloid. Hal ini menunjukkan bahwa fibroblast keloid mampu mengenali 1,25dyhydroxyvitamin D melalui VDR fungsional (Zhang et al.,2011).
Vitamin D merupakan prohormon yang metaboliknya dikonversi menjadi metabolit
aktif 1,25 dihydroxyvitamin D [(1,25(OH) 2 D]. Hormon vitamin D ini mengaktifkan reseptor
selular VDR, yang mengubah tingkat transkripsi gen target yang bertanggung jawab atas
respon biologis (Dusso et al.,2005).
Langkah pertama pada aktivasi metabolik vitamin D (D3,D2 dan metabolit lainnya)
adalah hidroksilasi karbon 25, yang terjadi primer pada hepar. Beberapa sitokrom p-450
hepar telah menunjukkan mengandung 25-hydroxylasevitamin D. Kadar 25(OH)D meningkat
secara proporsional dengan asupan vitamin D, dan dengan alasan ini kadar plasma 25(OH)D
biasanya digunakan sebagai indikator status vitamin D (Dusso et al.,2005). Vitamin D
mengalami hidroksilasi karbon 25 di
liver
dan diubah menjadi 25 hidroxyvitamin D,
selanjutnya melalui hidroksilasi 1α pada ginjal yang akan menghasilkan 1,25dihydroxyvitamin D, vitamin D dikonversi menjadi hormon aktif dan berperan sebagai
mediator anti inflamasi ( Cooke et al.,2005; Shuler et al.,2012).
Nuclear factor-kB merupakan famili faktor transkripsi yang terbentuk oleh 5 protein
yaitu NF-kB1, NF-kB2, Rel A, Rel B dan c-Rel. Dimers NF-kB yang berbeda mengikat
sequence DNA spesifik pada promoter gen untuk meregulasi transkripsi berbagai gen,
termasuk berpengaruh pada respon imun dan inflamasi (Szeto et al.,2007). Teori saat ini
mengungkapkan bahwa hubungan regulasi inflamasi melalui pencegahan terhadap faktor
transkripsi NF- k B. Harant et al. menunjukkan bahwa Vitamin D menghambat efek NF-kB
dengan menurunkan ikatannya pada interleukin-6 (IL-6) dan IL-8 gen promoter di MRC-5
fibroblast manusia, sehingga menghambat transkripsi gen IL-6 dan IL-8 (Harant et al.,1998;
Cooke et al.,2005).Hubungan antara inflamasi dan tingkat jaringan parut telah lama diketahui
pada berbagai kelainan dermatologi. Misalnya, psoriasis yang merupakan proses inflamasi
kronis yang memicu epidermal hiperplasia berikutnya. Data menunjukkan peningkatan kadar
IL-6, IL-8 dan IFN-gamma serta monosit, limfosit dan neutrofil pada lapisan dermis dan
subkorneal pasien psoriasis. Selain itu, pada penyakit skleroderma, akumulasi kolagen dan
fibrosis kulit selanjutnya didahului oleh infiltrasi mediator inflamasi seperti limfosit Th.
Patogenesis serupa terjadi pada keloid yang mengungkapkan bahwa terjadi peningkatan kadar
TGF-β, interferon-β, TNF-α dan IL-6 (Cooke et al.,2005; Dong et al.,2013).
Berdasarkan hal-hal yang didapatkan dari penelitian ini, maka penelitian ini dapat
dijadikan dasar bagi penelitian selanjutnya untuk mengetahui keefektifan pemberian derivat
vitamin D pada pasien keloid.Penelitian ini dirancang menggunakan metode cross
sectionalyang memiliki kelemahan dalam menentukan hubungan sebab akibat antara
penurunan kadar25-hydroxyvitamin D plasma dengan derajat keparahan keloid. Oleh karena
itu perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan rancangan kohort untuk mengetahui hubungan
tersebut.
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan tersebut maka didapat simpulan sebagai
berikut :
1. Rerata kadar25-hydroxyvitamin D plasma pada subyek keloid lebih rendah
dibandingkan dengan subyek non-keloid.
2. Terdapat korelasi negatif antara kadar25-hydroxyvitamin D plasma dengan derajat
keparahan pada subyek keloid (r = -0,584; p < 0,001), artinya semakin rendah kadar
25-hydroxyvitamin D plasma maka derajat keparahan keloid menjadi semakin berat.
7.2 Saran
Berdasarkan pembahasan dan simpulan tersebut maka dapat disarankan hal-hal sebagai
berikut:
1. Penelitian lanjutan dengan rancangan kohort retrospektif dan prospektif
untuk
mengetahui kadar 25-hydroxyvitamin D plasma yang rendah sebagai faktor risiko
terjadinya keloid.
2. Penelitian lanjutan dengan rancangan randomized controlled trial untuk mengetahui
keefektifan vitamin D pada lesi keloid, sebagai bahan pertimbangan pemberian
derivat vitamin D untuk mencegah terjadinya lesi keloid dan mencegah lesi keloid
bertambah parah.
DAFTAR PUSTAKA
Anchlia, S., Shama, K.R., Bonanthaya, K., Vohra, D. 2009.Keloidoscope : In Search for the
Ideal Treatment of Keloids. J Maxillofac Oral Surg; 8(4): 366-370
Atapattu, N. 2013. Approach to a Child Presenting with Rickets. Sri Langka Journal of Child
Health; 42(1): 40-44
Bayat, A., McGrouther, D.A., Ferguson, M.W. 2003.Skin Scarring.BMJ; 326: 88-92
Bikle, D.D. 2012. Vitamin D and the Skin: Physiology and Pathophysiology. Rev Endocr
Metab Disord; 13(1): 3-19
Bissek, A.Z., Tabah, E.N., Kouotou, E., Sini, V., Yepnjio, F.N., Nditanchou, R., Nchufor,
R.N., Defo, D., Dema, F., Fonsah, J.Y., Njamnshi, A.K., Muna, W.F.T. 2012. The
Spectrum of Skin Diseases in a Rural Setting in Cameroon (Sub-Saharan
Africa).BMC Dermatology; 1-9
Bouillon, R., Carmeliet, G., Verlinden, L., Etten, E.V., Verstuyf, A., Luderer, H.F., Lieben,
L., Mathieu, C., Demay, M. 2008. Vitamin D and Human Health: Lesson from
Vitamin D Receptor Null Mice. Endocrine Reviews; 29(6): 726-776
Broughton, G., Janis, J.E., Attinger, C.E. 2006. Wound Healing: An Overview. Plast
Reconstr Surg; 117: 1e-S-32e-S
Brusselaers, N., Pirayesh, A., Hoeksema, H., Verbelen, J., Blot, S., Monstrey, S. 2010. Burn
Scar Assessment: A Systematic Review of Different Scar Scales. Journal of Surgical
Research; 164: e115-e123
Burrows, N.P., Lovell, C.R. 2004. Keloid and Hypertrophic scars. In: Burns T, Breathach S,
Cox n, Griffiths C., editors. Rook’s Textbook of Dermatology. 7thEd. USA: Blackwell
Publishing. p.54-56
Ceovic, R., Lipozencic, J., Mokos, Z.B., Buzina, D.S., Kostovic, K. 2010. Why don’t We
Have More Effective Treatment for Keloids?.Acta Dermatovenerol Croat; 18(3): 195200
Chike-obi, C.J., Cole, P.D., Brissett, A. E. 2009. Keloids: Pathogenesis, Clinical Features,
and Management. Semin Plast Surg: 23: 178-184
Choi, Y.H., Kim, K.M., Kim, H.O., Jang, Y.C., Kwak, I.S. 2013.Clinical and Histological
Correlation in Post-Burn Hypertrophic Scar for Pain and Itching Sensation. Ann
Dermatol; 25(4): 428-433
Christine, J.Ko. 2012. Dermal Hypertrophies and Benign Fibroblastic/ Myofibroblastic
Tumors, In: Goldsmith, L.A., Katz, S.I., Gilchrest, B.A., Paller, A.S., Leffell, D.J.,
Wolff, K., editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine, eight edition. New
York: McGraw Hill; p.707-718
Chung, M., Balk, E.M., Brendel, M., Ip,S., Lau, J., Lee, J., Lichtenstein, A., Patel, K.,
Raman, G., Tatsioni, A., Terasawa, T., Trikalinos, T.A. 2009. Vitamin D and
Calcium: A Systematic Review of Health Outcomes. AHRQ; 17-22
Clark, J.A., Turner, M.L., Howard, L., Stanescu, H., Kleta, R., Kopp, J.B. 2009. Description
of Familial Keloids in Five Pedigrees: Evidence for Autosomal Dominant Inheritance
and Phenotypic Heterogeneity. BMC dermatology; 1-9
Cooke, G.L., Chien, A., Brodsky, A., Lee, R.C. 2005. Incidence of Hypertrophic Scars
Among African Americans Linked to Vitamin D-3 Metabolism?.Journal of the
national medical association; 97(7): 1004-1009
Czubryt, M.P. 2012. Common Threads in Cardiac Fibrosis, Infarct Scar Formation, and
Wound Healing. Fibrogenesis & Tissue Repair; 5(19): 1-11
Dahlan, M.S. 2013. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam Penelitian
Kedokteran dan Kesehatan. Edisi ke-3. Jakarta : Salemba Medika. p.35-80
Dong, X., Mao, S., Wen, H. 2013. Upregulation of Proinflammatory Genes in Skin Lesions
May be the Cause of Keloid Formation (Review). Biomedical Report; 1: 833-836
Dusso, A.S., Brown, A.J., Slatopolsky, E. 2005. Vitamin D. Am J Physiol Renal Physiol; 289:
8-28
Edriss, A.S., Mestak, J. 2010. Abnormal Scars,Management Options. Prague Medical
Report; 111(2): 106-110
Edriss, A.S. 2005.Management of Keloid and Hypertrophic Scars.Annals of Burns and Fire
Disasters. 18(4): 1-14
Fearmonti, R., Bond, J., Erdmann, D., Levinson, H. A. 2010. Review of Scar Scales and Scar
Measuring Devices.Eplasty; 10: 354-363
Gauglitz, G.G., Korting, H.C., Pavicic, T., Ruzicka, T., Jeschke, M.G. 2011. Hypertrophic
Scarring and Keloids: Pathomechanisms and Current and Emerging Treatment
Strategies. Mol Med; 17(1-2): 113-125
Gauglitz, G.G. 2013. Management of Keloid and Hypertrophic Scars: Current and Emerging
Options. Clinical, Cosmetic and Investigational Dermatology; 6: 103-114
Gupta, S., Sharma, V.K. 2010. Standard Guidelines of Care : Keloid and Hypertrophic Scars.
IJDVL ; 77(1): 94-100
Halder, S.K., Osteen, K.G., Hendy, A.A. 2013. 1,25-dihydroxyvitamin D3 Reduces
Extracellular Matrix-Associated Protein Expression in Human Uterine Fibroid Cell.
The Society for the Study of reproduction; 1-16
Halim, A.S., Emami, A., Salahshourifar, I., Kannan, T.P. 2012. Keloid Scarring:
Understanding the Genetic Basis, Advances and Prospects. Arch Plast Surg; 39: 184189
Harant, H., Wolff, B., Lindley, I.J.D. 1998.1-alpha, 25-dihydroxyvitamin D-3 Decreases
DNA Binding of Nuclear Factor-kB in Human Fibroblast.FEBS Lett; 436: 329-334
Hochman, B., Locali, R.F., Matsuoka, P.K. 2008. Intralesional Triamcinolone Acetonide for
Keloid Treatment: A Systematic Review. Aesth Plast Surg; 32: 705-709
Juckett, G., Adams, H.H. 2009. Management of Keloids and Hypertrophic Scars.AAFP;
80(3): 253-60
Kakar, A.K., Shahzad, M., Haroon, T.S. 2006. Keloids: Clinical Features and Management.
Part I. Journal of Pakistan Association of Dermatologist; 16: 97-103
Kauffman, J.M. 2009.Benefits of Vitamin D Supplementation.JPandS; 14(2): 38-45
Kelly, P. 2009. Update on the Management of Keloid. Semin Cutan Med Surg; 28: 71-76
Kjaer, M. 2004. Role of Extracellular Matrix in Adaptation of Tendon and Skeletal Muscle to
Mechanical Loading.Physiol Rev; 84: 649-698
Kochupillai, N. 2008. The Physiology of Vitamin D : Current Concepts. Indian J Med Res;
127: 256-262
Kose, O., Waseem, A. 2008. Keloids and Hypertrophic Scars: Are They Two Different Sides
of the Same Coin?.Dermatol Surg; 34: 336-346
Krieg, T., Aumailley, M., Koch, M., Chu, M.L., Uitto, J. 2012. Collagen, Elastic Fibers, and
Other Extracellular Matrix Proteins of the Dermis, In: Goldsmith, L.A., Katz, S.I.,
Gilchrest, B.A., Paller, A.S., Leffell, D.J., Wolff, K., editors. Fitzpatrick’s
Dermatology in General Medicine, eight edition. New York: McGraw Hill; p.666-691
Larriba, M.J., Sancho, J.M.G., Bonilla, F., Munoz, A. 2014.Interaction of Vitamin D with
Membrane-Based Signaling Pathways.Frontiers in Physiology; 5: 1-22
Lee, Y.S., Wysocki, A., Warburton, D., Tuan, T.L. 2012. Wound Healing in Development.
Birth Defects Res C Embryo Today; 96(3): 213-222
Liu, A., Moy, R.L., Ozog, D.M. 2011. Current Methods Employed in the Prevention and
Minimization of Surgical Scars. Dermatol Surg: 37: 1740-1746
Madiyono, B., Moeslichan, S., Sastroasmoro, S., Budiman, I., Purwanto, S.H. 2010.
Perkiraan Besar Sampel. Dalam: Sudigdo, S., Sofyan, I., penyunting. Dasar-Dasar
Metologi Penelitian Klinis.Edisi ke-3, cetakan kedua. Jakarta: Sagung Seto. p.301-330
Mccarty, S.M., Syed, F., Bayat, A. 2010. Influence of the Human Leukocyte Antigen
Complex on the Development of Cutaneous Fibrosis : An Immunogenetic
Perspective. Acta Derm Venereol; 90: 563-574
Miller, M.C., Nanchahal, J. 2005. Advances in the Modulation of Cutaneous Wound Healing
and Scarring. Biodrug; 19(6): 363-381
Nezhad, A.H., Holick, M. 2013. Vitamin D for Health : A Global Perspective. Mayo Clin
Proc; 88(7): 720-755
Ogawa, R. 2011. Mechanobiology of Scarring.Wound Rep Reg; 19: S2-S9
Ontario, 2010.Clinical Utility of Vitamin D testing.OHTAS; 10(2): 9-34
Romagnoli, E., Pepe, J., Piemonte, S., Cipriani, C., Minisola, S. 2013. Value and Limitations
of Assessing Vitamin D Nutritional Status and Advised Levels of Vitamin D
Supplementation. EJE; 169: R59-R69
Roques, C. 2008.The Use of Corticosteroids to Treat Keloids.A Review.Int J Low Extrem
Wounds. 7(3): 137-145
Seifert, O. 2008. ”Keloid-Afibroproliferative Disease” (dissertation). Division of
Dermatology Department of Clinical and Experimental Medicine Faculty of Health
Sciences: Lincoping University SE-58185 Linkoping Sweden; 13-17
Seifert, O., Mrowietz, U. 2009. Keloid Scarring : Bench and Bedside. Arch Dermatol Res;
301: 259-272
Seo, B.F., Lee, J.Y., and Jung, S.N. 2013. Models of Abnormal Scarring.BioMed Research
International; Article ID 423147: 1-8
Shejbal, D., Bedekovic, V., Ivkic, M., Kolagjera, L., Aleric, Z., Drvis, P. 2004. Strategies in
the Treatment of Keloid and Hypertrophic Scars.Acta Clin Croat; 43: 417-422
Shih, B., Garside, E., McGrouther, D.A., Bayat, A. 2010. Molecular Dissection of Abnormal
Wound Healing Processes Resulting in Keloid Disease.Wound Rep Reg; 18: 139-153
Shuler, F.D., Wingate, M.K., Moore, G.H., Giangarra, C. 2012. Sports Health Benefits of
Vitamin D. Sports Health: 496-501
Sutrini, N.N.A. 2010.“Korelasi Kadar Dehydroepiandrosterone dan Transforming Growth
Factor – β1 Serum dengan Derajat Keparahan Keloid pada Pasien di RSUP Sanglah
Denpasar” (tesis). Denpasar: Universitas Udayana
Szeto, F.L., Sun, J., Kong, J., Duan, Y., Liao, A., Madara, J.L., Li, Y.C. 2007.Involvement of
the Vitamin D Receptor in the Regulation of NF-kB Activity in Fibroblast. J Steroid
Biochem Mol Biol; 103(3-5): 563-566
Velnar, T., Bailey, T., Smrkolj. 2009. The Wound Healing Process : An Overview of the
Cellular and Molecular Mechanisms. The Journal of International Medical Research;
37: 1528-1542
Viera, M.H., Vivas, A.C., Berman, B. 2012. Update on Keloid Management: Clinical and
Basic Science Advances. Department of Dermatology and Cutaneous Surgery; 1(5):
200-206
Wacker, M., Holick, M.F. 2013.Sunlight and Vitamin D.A Global Perspective for
Health.Dermato-Endocrinology; 5(1): 51-108
Williams, C.C., Groote, S.D., Guthmann, R. 2011. What Treatment is Best for Hypertrophic
Scars and Keloids?.The Journal of Family Practice; 60(12): 757-758
Wolfram, D., Tzankov, A., Pulzl, P., Piza-Katzer, H. 2009.Hypertrophic Scars and Keloids—
A Review of Their Pathophysiology, Risk Factors and Therapeutic
Management.Dermatol Surg; 35: 171-181
Wu, S., Sun, J. 2011. Vitamin D, Vitamin D Receptor, and Macroautophagy in Inflammation
and Infection.Discov Med; 11(59): 325-335
Yu, D., Shang, Y., Luo, S., Hao, L. 2013. The TaqI Gene Polymorphisms of VDR and the
Circulating 1,25-Dihydroxyvitamin D Levels Confer the Risk for the Keloid Scarring
in Chinese Cohort. Cell Physiol Biochem; 32: 39-45
Zhang, G.Y., Cheng, T., Luan, Q., Liao, T., Nie, C.L., Zheng, X., Xie, X.G., Gao, W.Y.
2011. Vitamin D: A Novel Therapeutic Approach for Keloid, an in Vitro Analysis.
BJD; 164: 729-737
Zhang, R., Naughton, D.P. 2010. Vitamin D in Health and Disease : Current Perspectives.
Nutrition Journal; 9(65): 1-13
Zouboulis, C.C. 2009.The Skin as an Endocrine organ.Dermato-Endocrinology; 1-5: 250-252
LAMPIRAN 3
PENJELASAN PENELITIAN
Judul
: Korelasi kadar 25-hydroxyvitamin D plasma dengan keloid
Peneliti Utama
: dr.I Gusti Agung Ayu Ratna Medikawati
Bapak / Ibu / Saudara / Saudari yang terhormat,
Keloid merupakan bekas luka patologis yang tumbuh melampaui batas luka, bersifat
jinak, merupakan tumor fibroproliferatif dermal tanpa potensi keganasan. Keloid ditandai
dengan deposisi yang berlebihan dari komponen matriks ekstraseluler seperti kolagen,
fibronektin, elastin, proteoglikan dan faktor-faktor pertumbuhan. Keloid menyebabkan
masalah kosmetik meskipun biasanya tanpa gejala, namun beberapa dapat nyeri, gatal,
tumbuh besar dan menyebabkan keterbatasan fungsional, terutama bila terletak di sepanjang
sendi.
Vitamin D dan metabolitnya memainkan peran yang penting pada hemostasis kalsium,
remodeling tulang, sekresi hormon, proliferasi dan diferensiasi sel. Penelitian terbaru juga
menunjukkan peran menguntungkan dari vitamin D dalam memperlambat berkembangnya
fibrosis jaringan, namun pengaruhnya terhadap fibrosis dermis dan keloid masih belum
diketahui dengan pasti. Oleh karena itu, dibutuhkan pengetahuan tentang hubungan antara
vitamin D dengan derajat keparahan keloid terkait dengan penanganan penyakit tersebut.
Penelitian ini akan melibatkan 47 orang secara sukarela. Pengumpulan data dilakukan
satu kali dengan wawancara menggunakan kuesioner diikuti dengan pemeriksaan klinis untuk
menilai derajat keparahan keloid. Bahan pemeriksaan berupa darah vena diambil dari lipat
lengan, akan dilakukan di laboratorium rujukan oleh dokter/tenaga medis yang terlatih. Untuk
pemeriksaan ini kami tidak akan menambah beban biaya pemeriksaan. Tidak terdapat risiko
berbahaya saat proses pengambilan bahan pemeriksaan. Kemungkinan risiko ringan yang
terjadi berupa nyeri yang bersifat subyektif pada pasien yang apabila menimbulkan syok
neurogenik sudah disiapkan tenaga medis, alat dan obat untuk penanganannya sesuai dengan
prosedur penanganan syok
Kami akan sangat menghargai apabila Bapak/Ibu/Saudara berkenan untuk berpartisipasi
dalam
penelitian
ini.
Tidak
terdapat
pemaksaan
dalam
penelitian
ini.
Bapak/Ibu/Saudara/Saudari dapat mengundurkan diri atau membatalkan ikut dalam penelitian
ini kapan saja tanpa syarat atau sanksi apapun. Kami menjamin bahwa bahan tersebut tidak
digunakan untuk kepentingan lain dan data-data akan dijaga kerahasiaanya. Data ini mungkin
akan dipublikasikan tanpa mencantumkan identitas data.
Demikian penjelasan yang kami sampaikan, atas kesediaan ikut serta dalam penelitian
ini kami ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya. Bila masih ada pertanyaan terkait
dengan penelitian ini, maka Bapak/Ibu/Saudara/Saudari dapat menghubungi : dr. I Gusti
Agung Ayu Ratna Medikawati, Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah
Denpasar, telepon 081353412126.
Hormat kami,
dr.I Gusti Agung Ayu Ratna Medikawati
Peneliti
LAMPIRAN 4
FORMULIR PERSETUJUAN TERTULIS
Saya yang bertandatangan di bawah ini :
Nama
:
Umur
:
Jenis kelamin
:
Alamat
:
No telepon
:
Setelah mendapatkan penjelasan lengkap dan mengerti tentang penelitian KORELASI
KADAR 25-HYDROXYVITAMIN D PLASMA DENGAN KELOID menyatakan bersedia
ikut serta dalam penelitian ini sebagai peserta yang akan diteliti dan mengikuti prosedur
seperti yang telah disampaikan.
Denpasar, .................... 20...
Peserta penelitian,
(.................................)
Saksi,
(.................................)
Peneliti,
(dr. I G.A.A.Ratna Medikawati)
LAMPIRAN 5
KUESIONER PENELITIAN
Nomor sampel
:
Nomor rekam medis
:
Tanggal pemeriksaan :
IDENTITAS
1. Nama
:
2. Jenis kelamin
: Laki-laki / Perempuan
3. Tanggal lahir
:
4. Alamat
:
5. No telepon
:
6. Pekerjaan
:
o Pelajar / mahasiswa
o Wiraswasta, sebutkan ..............................
o Swasta, sebutkan ..............................
o Profesional, sebutkan ..............................
o Lain-lain, sebutkan ..............................
7. Pendidikan
: Tidak sekolah / SD / SMP / SMA / Sarjana
8. Status perkawinan :
o Belum menikah
o Menikah
Jika perempuan :
a. Status kehamilan saat ini? Ya / Tidak
Jika ragu : HPHT tanggal ..............................
b. Kontrasepsi hormonal? Ya / Tidak
o Duda / janda
ANAMNESIS
1. Kapan
pertama
kali
muncul
benjolan
di
kulit
?
___________
(hari/bulan/tahun)
2. Dimana benjolan tersebut muncul? Dada ____/ Punggung ____/ Lobus telinga
____/ Lainnya _____
3. Apakah terdapat keluhan pada benjolan tersebut? Ya___(sebutkan………..)/
Tidak___
4. Apakah benjolan tersebut membesar? Ya___/Tidak___
5. Berapa lama benjolan mencapai ukuran sekarang? ____/____ (bulan/tahun)
6. Apakah ada luka yang mengawalinya? Ya___/Tidak___
7. Luka apa yang mengawalinya? Luka operasi____/ Luka non operasi____
8. Bila
tidak
ada
luka,
apakah
ada
penyebab
lain?
Operasi___/Infeksi___/Gigitanserangga___/Vaksinasi___/Lainnya___
9. Apakah
setiap
luka
yang
dialami,
meninggalkan
sisa
benjolan?
Ya___/Tidak___
10. Apakah sudah pernah diobati? Ya___ (sebutkan………….)/Tidak___
11. Kalau Ya, berapa lama pengobatan yang dijalani?______ (bulan/tahun)
Bagaimana hasil pengobatan? Memuaskan___/ Tidakmemuaskan___
12. Apakah sekarang sedang menyusui? Ya___/ Tidak___
13. Apakah sekarang sedang menstruasi? Ya___ / Tidak___
14. Apakah sekarang sedang sakit? Ya____ (demam/____ batuk-pilek/____
lainnya ___ / Tidak ___
15. Apakah memiliki penyakit berat lainnya seperti kencing manis, jantung,
tekanan
darah
tinggi,
tiroid,
paratiroid,
tumor
ovarium?Ya
____
(sebutkan…………….) /Tidak____
16. Apakah ada keluarga yang menderita keluhan yang sama? Ya___/ Tidak___
17. Lama paparan sinar matahari dalam 1 hari? ____ Jam
18. Makanan yang dikonsumsi sehari-hari?
- Ikan laut? Ya___(sebutkan……………) / Tidak___
- Kuning telur? Ya___/Tidak___
- Susu? Ya___/Tidak___
- Hati sapi? Ya___/ Tidak___
19. Apakah mengkonsumsi suplemen vitamin D? Ya ___ / Tidak ___
20. Kalau
Ya,
berapa
lama
mengkonsumsi
suplemen
____(hari/bulan/tahun)
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum
: Baik___ Sedang___ Lemah___ Buruk___
Gizi
: Baik___ Sedang___ Buruk ___
Berat badan
: ___ (Kg)
Temperatur aksila
: ___ 0C
Status Dermatologi
:
Lokasi
:
Effloresensi
:
vitamin
D
?
GAMBAR
:
DIAGNOSIS
:
FOTO
:
LAMPIRAN 6
VANCOUVER SCAR SCALE
I.
Konsistensi
0 = Normal
1 = Lentur : fleksibel dengan sedikit tahanan
2 = Lunak : ikut dengan penekanan
3 = Keras : tidak lentur/tidak fleksibel, tidak dapat digerakkan, tahan terhadap
tekanan manual
4 = Padat : menimbulkan alur kepucatan yang meregang tetapi tidak
mengganggu pergerakan
5 = Kontraktur : pemendekan bekas luka yang permanen sehingga menimbulkan
deformitas atau distorsi
II.
Ketinggian / ketebalan
0 = Datar
1 = < 2 mm
2 = 2-5 mm
3 = > 5 mm
III. Vaskularisasi
0 = Normal
1 = Merah muda : peningkatan sedikit suplai darah lokal
2 = Merah : peningkatan signifikan suplai pembuluh darah lokal
3 = Ungu : suplai pembuluh darah lokal berlebihan
IV. Pigmentasi
0 = Normal (sesuai dengan warna kulit)
1 = Hipopigmentasi (warna kulit lebih pucat dari normal)
2 = Campuran ( terdapat warna lebih pucat dan warna lebih gelap dari normal)
3 = Hiperpigmentasi (warna kulit lebih gelap dari normal)
Total Score
:
Ringan = 0-4
Sedang = 5-9
Berat = 10-14
Lampiran 7
Data Sampel Penelitian
Na
ma
U
m
ur
Je
ni
s
ke
la
m
in
L/
P
Lokasi
Perut
Punggung
Dada
Dada
Dada
Antebrachi
iD
Kruris D
Genu D
Perut
Perut
Kaki
Dada
Punggung
Dada
Antebrachi
iD
Brachii S
Genu D
Genu D
Aurikula S
Antebrachi
iD
Pedis D
Manus D
Perut
Brachii S
Retrouarik
ular D
Antebrachi
iS
Brachii D
Perut
Dada
Dada
Antebrachi
iS
Kruris D
Brachii S
Femur S
Antebrachi
iD
An
Ln
Yh
Aw
Bm
Ws
30
39
50
30
36
46
P
P
P
L
L
P
Wp
Ks
Nr
Rm
Ad
Dw
Pp
Wr
Nr
23
51
39
33
28
22
24
29
29
P
P
L
P
P
L
L
L
L
Na
Ps
Nu
Aa
My
31
20
33
28
32
L
P
P
L
P
Di
Psd
Ma
Fa
Pa
21
39
33
24
20
P
P
L
L
P
Md
36
L
Wd
Vg
Bh
Pc
Ngi
34
28
21
19
28
P
P
L
L
L
Ga
Ka
Oa
Mi
56
8
29
28
P
P
P
P
Penyebab
Luka
non
opera
si
Luka
opera
si
√
Gig
itan
sera
ngg
a
V
ak
si
n
Riw
ayat
kelu
arga
In
fe
ks
i
Jera
wat
+
+
+
+
-
22,79
22,45
21,86
19,35
22,59
22,74
20,13
19,15
24,17
√
√
√
√
√
√
√
√
+
+
20,38
20,77
21,02
20,92
21,26
√
+
+
-
16,78
20,82
24,66
20,63
25,01
√
-
20,48
√
+
+
+
+
+
20,38
20,09
19,64
21,12
16,64
√
√
√
√
+
-
20,82
20,53
19,99
16,89
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
Sed
ang
√
√
√
√
√
√
√
√
√
Ri
ng
an
20,28
20,43
20,82
22,20
22,74
21,22
√
√
√
√
√
VSS
+
+
-
√
√
√
√
√
Ti
da
k
ta
hu
√
√
√
√
√
Kadar
25(O
H)D
√
√
√
Ber
at
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
Gai
20
P
Ta
Ib
Ia
Dy
Ibk
Rs
Sh
Ii
Ai
Fi
Ro
Ka
Kb
Kc
Kd
Ke
Kf
Kg
Kh
Ki
Kj
28
18
50
27
36
31
14
42
30
25
38
30
30
35
52
24
39
23
29
36
29
P
L
P
P
L
L
L
L
P
P
P
L
P
P
L
P
L
L
P
P
L
Antebrachi
iD
Perut
Punggung
Dada
Perut
Dada
Genu S
Genu S
Dada
Brachii S
Pedis S
Pedis S
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
-
19,89
+
+
+
+
+
+
+
-
20,28
24,37
20,38
24,91
16,69
16,10
20,63
16,05
24,56
25,65
20,63
31,80
32,09
32,53
33,03
33,57
33,52
33,14
29,48
33,27
33,57
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
Lampiran 8
Analisis Hasil Penelitian
Case Processing Summary
Cases
Valid
N
kat_umur * klp
Missing
Percent
57
N
Total
Percent
100.0%
0
N
Percent
.0%
57
kat_umur * klp Crosstabulation
klp
Keloid
kat_umur
<21th
Count
% within klp
21-40th
Count
% within klp
>40th
Count
% within klp
Total
Count
% within klp
Kontrol
Total
7
0
7
14.9%
.0%
12.3%
34
9
43
72.3%
90.0%
75.4%
6
1
7
12.8%
10.0%
12.3%
47
10
57
100.0%
100.0%
100.0%
100.0%
Case Processing Summary
Cases
Valid
N
Missing
Percent
N
Total
Percent
N
Percent
jk * klp
57
100.0%
0
.0%
57
100.0%
riwayat_kel * klp
57
100.0%
0
.0%
57
100.0%
jk * klp Crosstabulation
klp
Keloid
jk
Laki-laki
Count
% within klp
Perempuan
Count
% within klp
Total
Count
% within klp
Kontrol
Total
20
5
25
42.6%
50.0%
43.9%
27
5
32
57.4%
50.0%
56.1%
47
10
57
100.0%
100.0%
100.0%
Lokasi * klp Crosstabulation
klp
Keloid
Lokasi
Ekstremitas sup
Count
% within klp
Ekstremintas inf
Count
% within klp
Dada
Count
% within klp
Peraut
Count
% within klp
Punggung
Count
% within klp
Telinga
Count
% within klp
Total
Count
% within klp
Total
13
13
27.7%
27.7%
12
12
25.5%
25.5%
10
10
21.3%
21.3%
7
7
14.9%
14.9%
3
3
6.4%
6.4%
2
2
4.3%
4.3%
47
47
100.0%
100.0%
riwayat_kel * klp Crosstabulation
klp
Keloid
riwayat_kel
Ada
Count
% within klp
Tidak ada
Count
% within klp
Total
Count
% within klp
Kontrol
Total
21
2
23
44.7%
20.0%
40.4%
26
8
34
55.3%
80.0%
59.6%
47
10
57
100.0%
100.0%
100.0%
penyebab * klp Crosstabulation
klp
Keloid
penyebab
Luka Non Operasi
Count
% within klp
Luka Operasi
Count
% within klp
Gigitan Serangga
Count
% within klp
Vaksi/Imunisasi
Count
% within klp
Infeksi (Contoh: cacar)
Count
% within klp
Jerawat
Count
% within klp
Tidak Tahu
Count
% within klp
Total
Count
% within klp
Total
21
21
44.7%
44.7%
14
14
29.8%
29.8%
1
1
2.1%
2.1%
1
1
2.1%
2.1%
4
4
8.5%
8.5%
3
3
6.4%
6.4%
3
3
6.4%
6.4%
47
47
100.0%
100.0%
Derajat Keparahan Keloid * klp Crosstabulation
klp
Keloid
Derajat Keparahan Keloid
Ringan
Count
% within klp
Sedang
7
7
14.9%
14.9%
34
34
72.3%
72.3%
6
6
12.8%
12.8%
47
47
100.0%
100.0%
Count
% within klp
Berat
Total
Count
% within klp
Total
Count
% within klp
Case Processing Summary
Cases
Valid
klp
kadar_25H_VitD
N
Missing
Percent
N
Total
Percent
N
Percent
Keloid
47
100.0%
0
.0%
47
100.0%
Kontrol
10
100.0%
0
.0%
10
100.0%
Descriptives
klp
kadar_25H_VitD
Statistic
Keloid
95% Confidence Interval for
Mean
20.8913
Lower Bound
20.2036
Upper Bound
21.5789
5% Trimmed Mean
20.9111
Median
20.6300
Std. Error
.34162
Mean
Variance
Std. Deviation
16.05
Maximum
25.65
Range
9.60
Interquartile Range
2.36
-.121
.347
.118
.681
Mean
32.6000
.39851
Lower Bound
31.6985
Upper Bound
33.5015
5% Trimmed Mean
32.7194
Median
33.0850
Kurtosis
95% Confidence Interval for
2.34203
Minimum
Skewness
Kontrol
5.485
Mean
Variance
Std. Deviation
1.588
1.26020
Minimum
29.48
Maximum
33.57
Range
4.09
Interquartile Range
1.52
Skewness
Kurtosis
-1.934
.687
4.145
1.334
Uji Normalitas
Case Processing Summary
Cases
Valid
N
Missing
Percent
N
Total
Percent
N
Percent
kadar_25H_VitD
47
82.5%
10
17.5%
57
100.0%
vss
47
82.5%
10
17.5%
57
100.0%
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova
Statistic
df
Shapiro-Wilk
Sig.
Statistic
df
Sig.
kadar_25H_VitD
.143
47
.017
.934
47
.011
vss
.153
47
.008
.952
47
.052
a. Lilliefors Significance Correction
NPar Tests
Mann-Whitney Test
Ranks
klp
kadar_25H_VitD
N
Mean Rank
Sum of Ranks
Keloid
47
24.00
1128.00
Kontrol
10
52.50
525.00
Total
57
Test Statisticsa
kadar_25H_VitD
Mann-Whitney U
Wilcoxon W
Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
a. Grouping Variable: klp
.000
1128.000
-4.932
.000
Uji Korelasi
Correlations
kadar_25H_VitD
Spearman's rho
kadar_25H_VitD
Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
N
vss
Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
N
vss
1.000
-.584**
.
.000
57
47
-.584**
1.000
.000
.
47
47
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Model Summary and Parameter Estimates
Dependent Variable:vss
Model Summary
Equation
Linear
R Square
.604
F
df1
68.605
The independent variable is kadar_25H_VitD.
Parameter Estimates
df2
1
Sig.
45
.000
Constant
21.817
b1
-.702
LAMPIRAN 9
FOTO DERAJAT KEPARAHAN KELOID BERDASARKAN VSS PADA SUBYEK
PENELITIAN
Ringan
(VSS 0-4)
Sedang
(VSS 5-9)
Berat
(VSS 10-14)
FOTO ALAT UKUR VSS
1. Konsistensi
Alat pembanding konsistensi  bola karet dengan konsistensi yang berbeda
2. Ketinggian / ketebalan
Alat ukur : Mikrometer
3. Vaskularisasi
Alat : Dermoskopi
Vaskularisasi (+)
Vaskularisasi (-)
Download