NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM DALAM TRADISI MEMBANGUN

advertisement
NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM DALAM TRADISI
MEMBANGUN KIJING/NGIJING (Studi Deskriptif Di
Dusun Siwal Desa Siwal Kecamatan Kaliwungu
Kabupaten Semarang)
SKRIPSI
Diajukan untuk memperoleh gelar
Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I.)
OLEH
NUR ROFIQOH
NIM 111 11 231
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SALATIGA
2015
i
ii
MOTTO
Merusak diri sendiri adalah hal yang begitu mudah, so...
Save yourself, Do the best, and Remember to Allah Swt.
Now, tomorrow, and forever.
PERSEMBAHAN
Hasil karya ini kupersembahkan untuk:
Orang Tuaku,
Sahabat-sahabat ku, dan
Almamater-almamater Jurusan Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Salatiga
vi
KATA PENGANTAR
Asslamu‟alaikum Wr. Wb
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Segala puji dan syukur senantiasa penulis haturkan kepada Allah SWT. Atas
segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat diberikan
kemudahan dalam menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga
tercurah kepada Rasulullah SAW, keluarga, sahabat dan para pengikut setianya.
Skripsi ini dibuat untuk memenuhi persyaratan guna untuk memperoleh
gelar kesarjanaan dalam Ilmu Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Salatiga. Dengan selesainya skripsi ini tidak lupa penulis mengucapkan terima
kasih yang sedalam-dalamnya kepada :
1. Bapak Dr. H. Rahmat Hariyadi, M.Pd., selaku rektor IAIN Salatiga.
2. Siti Rukhayati, M.Ag. selaku ketua jurusan Pendidikan Agama Islam
(PAI).
3. Bapak Dr. Phil. Asfa Widiyanto, M.A sebagai dosen pembimbing
skripsi yang telah dengan ikhlas mencurahkan pikiran dan tenaganya
serta pengorbanan waktunya dalam upaya membimbing penulis untuk
menyelesaikan tugas ini.
4. Ibu Siti Rukhayati, M.Ag selaku pembimbing akademik.
5. Bapak dan Ibu Dosen serta karyawan IAIN Salatiga yang telah banyak
membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
vii
ABSTRAK
Rofiqoh. Nur. 2015 .Nilai-nilai Pendidikan Islam Dalam Tradisi Membangun
Batu Nisan/Ngijing (Studi Deskriptif Di Dusun Siwal Desa Siwal
Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang. Skripsi. Fakultas Tarbiyah
dan Ilmu Keguruan (FTIK). Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI).
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Dosen Pembimbing: Dr.
Phil. Asfa Widiyanto, M.A
Kata kunci: Nilai, Pendidikan Islam, Tradisi, Ngijing
Latar belakang penelitian adalah tradisi ngijing pada seribu hari setelah seribu
hari masih dilaksanakan oleh masyarakat khususnya Desa Siwal, beradasarkan
teori Bratawidjaja bahwa selamatan seribu hari setelah kematian biasanya disertai
dengan membangun batu nisan atau ngijing. Tradisi ngijing masih bertahan, dan
dilestarikan di era globalisasi karena dalam tradisi yang memiliki makna dan nilai
tinggi yang dipercayai oleh masyarakat Siwal. Tradisi juga sebagai media dalam
menyampaikan pesan pendidikan dalam budaya Jawa.
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah; 1) Bagaimana prosesi
(tahapan) dalam ritual membangun batu nisan (ngijing) di Dusun Siwal Desa
Siwal Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang?, 2)Apa sajakah nilai-nilai
pendidikan Islam yang terkandung dalam ritual membangun batu nisan (ngijing)
pada pemakaman di Dusun Siwal Desa Siwal Kecamatan Kaliwungu Kabupaten
Semarang?, 3) Apa sajakah manfaat prosesi dalam ritual pergantian nisan
(ngijing) bagi masyarakat Dusun Siwal Desa Siwal Kecamatan Kaliwungu
Kabupaten Semarang?. Tujuan penelitian ini adalah; 1) Untuk mengetahui prosesi
atau tahapan dalam ritual tradisi membangun batu nisan (ngijing) di Dusun Siwal
Desa Siwal Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang, 2) Untuk mengungkap
nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam ritual tradisi membangun batu
nisan (ngijing) di Dusun Siwal Desa Siwal Kecamatan Kaliwungu Kabupaten
Semarang, 3) Untuk mengetahui manfaat prosesi dalam ritual membangun nisan
(ngijing) bagi masyarakat Dusun Siwal Desa Siwal Kecamatan Kaliwungu
Kabupaten Semarang. Penelitian ini menggunakan motede kualitatif dengan
pendekatan etnografi. Pengumpulan data menggunakan taknik observasi,
wawancara, dan dokumentasi untuk mendapatkan data yang akurat. Data yang
diperoleh dianalisis dengan mereduksi data, menyajiakan, lalu menyimpulkan
data.
Hasil analisis terhadap ritual dalam tradisi membangun kijing (ngijing) di
Dusun Siwal Desa Siwal Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang bahwa
tradisi ngijing dilaksanakan pada seribu hari setelah kematian (nyewu). Tradisi
ngijing mempunyai nilai positif bagi masyarakat Siwal diantaranya adalah adanya
iman kepada Allah Swt., mempererat persatuan dan kebersamaan, dan
menumbuhkan rasa syukur. Selain nilai positif terdapat juga nilai negatif antara
lain adalah adanya kepercayaan kepada kepercayaan nenek moyang yang
dikhawatirkan akan adanya sifat syirik dan pemborosan. Nilai-nilai pendidikan
Islam dalam tradisi ngijing adalah pendidikan keimanan, pendidikan amaliyah,
pendidikan ilmiyah, pendidikan akhlak, dan pendidikan sosial kemasyarakatan.
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...........................................................................
i
LEMBAR BERLOGO........................................................................
ii
HALAMAN NOTA PEMBIMBING..................................................
iii
PENGESAHAN KELULUSAN.........................................................
iv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN...........................................
V
MOTTO...............................................................................................
vi
PERSEMBAHAN...............................................................................
vii
KATA PENGANTAR .......................................................................
viii
ABSTRAK..........................................................................................
x
DAFTAR ISI.....................................................................................
xii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah..........................................................
1
B. Fokus Penelitian.....................................................................
6
C. Tujuan Penelitian ...................................................................
7
D. Kegunaan Penelitian................................................................
8
E. Penegasan Istilah ..................................................................
8
F. Metode Penelitian ...................................................................
11
G. Sistematika Penulisan Skripsi ...............................................
19
xi
BAB II KAJIAN PUSTAKA
21
A. Definisi Nilai.................... . ..................................................
21
B. Nilai Pendidikan Islam .........................................................
24
C. Konsep Ritual Dari Segi Antropologi ...................................
29
D. Ritual Membangun Batu Nisan (Ngijing)...............................
33
E. Penelitian Terdahulu ..........................................................
37
BAB III PAPARAN DATA DAN HASIL TEMUAN......................
39
A. Letak Geografis ....................................................................
39
B. Letak Demografis .................................................................
40
C. Kondisi Ekonomi dan Pendidikan ........................................
41
D. Kondisi Sosial Budaya .........................................................
44
E. Kondisi Keagamaan ..............................................................
45
F. Proses Pelaksanaan Tradisi Membangun Kijing (Ngijing) ....
48
BAB IV PEMBAHASAN ..................................................................
65
A. Pendahuluan ....... ...................................................................
65
B. Nilai-nilai Pendidikan Islam Dalam Tradisi Membangun
66
Kijing (Ngijing) di Dusun Siwal Desa Siwal Kecamatan
Kaliwungu Kabupaten Semarang ........................
C. Nilai Positif dan Nilai Negatif Dalam Tradisi Ngijing di
Dusun Siwal Desa Siwal Kecamatan Kaliwungu Kbupaten
Semarang ............................................................... ...............
xii
76
D. Ritual Dalam Tradisi Membangun Batu Nisan (Ngijing) .....
77
E. Kesimpulan ...........................................................................
83
BAB V PENUTUP..............................................................................
85
A. Kesimpulan .............................................................................
85
B. Saran........................................................................................
88
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xiii
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia merupakan salah satu negara dari sekian banyak
negara yang memiliki budaya yang beraneka ragam. Bangsa Indonesia
yang kaya akan budaya ini tersebar di berbagai pulau, wilayah, bahkan
sampai ke pelosok pedesaan. Hal tersebut menjadi kebanggan tersendiri
bagi bangsa Indonesai karena nenek moyang bangsa Indonesia
mewariskan budaya yang beraneka ragam tersebut untuk generasi
penerusnya. Bentuk keanekaragaman tersebut terjadi tergantung dari
masing-masing budaya yang berkembang di daerah mereka. Budaya yang
berkembang
di
masing-masing
daerah
mempengaruhi
kehidupan
masyarakat seperti bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari,
model pakaian, arsitektur bangunan, cara bergaul dan juga pengaruhnya
terhadapa kepercayaan serta ritual ibadah yang dijalankannya.
Salah satu budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia adalah
budaya Jawa. Dalam kehidupan sehari-hari orang Jawa dikenal dengan
identitas kejawaannya.
Maka
dari
itu pemerintah menggalakkan
pelestarian budaya khususnya budaya Jawa. Budaya Jawa yang merupakan
budaya nasional
yang mempunyai peranan penting bagi masyarakat
(Bratawidjaja, 2000:10). Hal tersebut karena suku Jawa menjadi suku
terbesar di Indonesia, sehingga dalam perkembangannya budaya Jawa
mempunyai dukungan dan dorongan dari masyarakat lebih tinggi.
1
Dalam sejarahnya, perkembangan kebudayaan masyarakat Jawa
mengalami akulturasi dengan berbagai bentuk kultur yang ada. Oleh
karena itu corak dan bentuknya diwarnai oleh berbagai unsur budaya yang
bermacam-macam. Setiap masyarakat Jawa memiliki kebudayaan yang
berbeda. Hal ini dikarenakan oleh kondisi sosial budaya masyarakat antara
yang satu dengan yang lain berbeda. Para leluhur atau nenek moyang Jawa
yang meninggalkan warisan identitas budaya tersebut bukan hanya patut
dibanggakan tetapi juga harus dilestarikan. Kebudayaan bagi orang Jawa
merupakan pengetahuan yang dijadikan pedoman atau penginterprestasi
keseluruhan tindakan manusia (Syam, 2005:16). Melalui definisi
kebudayaan tersebut memungkinkan mereka mengkaji agama, sebab
agama bukan gagasan atau produk hasil pemikiran manusia atau perbuatan
ataupun hasil dari perbuatan manusia. Akan tetapi perbuatan atau hasilnya
termasuk produk dari kebudayaan bukan semata-mata hasil dari agama.
Oleh sebab itu agama dilihat sebagai suatu sistem kebudayaan.
Disadari atau tidak, sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat,
banyak didominasi oleh nilai moral dalam kebudayaan Jawa, sehingga
usaha pelestarian budaya Jawa dilakukan melalui berbagai jalan agar tidak
ditinggalkan oleh masyarakat Jawa sendiri. Selain itu budaya Jawa juga
memiliki simbol-simbol yang sarat akan nilai-nilai hidup dan kehidupan
secara esensial. Simbol ini merupakan sumber-sumber informasi yang
ekstrinsik (Geertz, 1995:7). Oleh sebab itu selain melestarikan budaya
2
Jawa dengan masih menjalankan budaya berarti juga mewariskan nilai
yang terkandung dalam budaya tersebut.
Pewarisan nilai dalam pendidikan Islam berarti menghidupkan
warisan nilai Islam. Menurut bahasa, pewarisan berarti pemindahan
kekayaan dari generasi terdahulu kepada generasi berikutnya (AnNahlawi, 1996:217). Memelihara warisan pemikiran dan kebudayaan
merupakan perkara yang sangat penting, sebab upaya tersebut meneruskan
pengalaman yang luhur dari generasi kepada generasi berikutnya. Namun
pewarisan luhur ini tidak dapat serta merta disampaikan secara utuh
kepada anak-cucu mereka, sebagian terpaksa di pertahankan dan sebagian
lagi perlu dimodifikasi. Pemodifikasian ini dilakukan karena mungkin ada
beberapa aspek yang bertentangan dengan aqidah ataupun sudah tidak
sesuai dengan zaman yang telah berubah.
Salah satu unsur budaya Jawa yang menonjol adalah adat istiadat
atau tradisi kejawen. Hasil pemikiran, cipta dan karya manusia merupakan
kebudayaan yang berkembang pada masyarakat, pikiran dan perbuatan
yang dilakukan oleh manusia secara terus menerus pada akhirnya menjadi
sebuah tradisi. Tradisi merupakan proses situasi kemasyarakatan yang di
dalamnya unsur-unsur dari warisan kebudayaan dan dipindahkan dari
generasi ke generasi. Ajaran Islam bisa dinyatakan telah kuat jika sudah
mentradisi ditengah masyarakat muslim, sehingga tradisi menjadi sangat
menentukan dalam keberlangsungan ajaran disaat tradisi itu telah menyatu
dengan ajaran (Afnan, 2006). Karena tradisi merupakan darah daging
3
dalam tubuh masyarakat, sehingga untuk mengubahnya adalah sesuatu
yang sulit maka salah satu langkah bijak ketika tradisi itu tidak diposisikan
berhadapan dengan ajaran tetapi tradisi dijadikan pintu masuk ajaran.
Ketika dilihat dari sisi sejarahnya tradisi yang kita tahu bahwa
sebelum Islam masuk ke Indonesia mayoritas penduduknya beragama
Budha, Hindu, dan kepercayaan animisme dinamisme. Kedatangan wali
songo untuk mengajarkan Islam sangatlah sulit dan terhalang oleh
kepercayaan dan budaya yang sudah ada. Akhirnya para walipun mencoba
mengubah budaya yang sudah ada untuk dialihmaknakan kedalam ajaran
Islam. Jadi masyarakat tidak perlu meninggalkan budaya yang sudah ada
namun tetap menjalankan ajaran Islam. Ternyata cara ini mampu
diterapkan kepada masyarakat Indonesia khususnya di Jawa tersebut dan
dikenal dengan budaya Jawa.
Salah satu adat dan tradisi yang dialihmaknakan adalah tradisi
dalam ritual membangun kijing (ngijing) di pemakaman atau pasareyan
oleh masyarakat Jawa. Tradisi ini merupakan implementasi kepercayaan
mereka akan adanya hubungan yang baik antara manusia dengan yang
gaib. Tradisi ini telah lama ada bahkan sampai sekarang masih tetap
dilakukan walaupun sekarang masyarakat sudah memiliki sistem
transportasi, komunikasi dan ilmu teknologi yang modern dan telah
bersentuhan dengan budaya-budaya global. Masyarakat yang masih
melaksanakan, menghayati dan mempertahankan tradisi ini adalah
masyarakat di Dusun Siwal Desa Siwal Kecamatan Kaliwungu Kabupaten
4
Semarang. Tradisi Ngijing merupakan suatu jenis kebudayaan lokal
tradisional orang Jawa.
Dengan demikian tradisi Ngijing dapat
diklasifikasikan sebagai kebudayaan Jawa.
Ngijing berasal dari kata kijing (nisan), sedangkan ngijing berarti
pemasangan kijing (Bratawijaya, 1988:135). Tradisi Ngijing pada upacara
Selametan Nyewu merupakan salah satu bentuk upacara tradisi yang
diwariskan
leluhur (Mulyadi, 1982;116). Upacara itu dilaksanakan di
pemakaman setempat atau yang lebih dikenal dengan nama pasareyan.
Pada hari sebelum membangun kijing (ngijing) pihak keluarga yang akan
melaksanakan pembangunan batu bisan tersebut di rumahnya mengadakan
slametan kenduri pada sore hari atau setelah waktu ashar. Selanjutnya
pada malam harinya pemilik rumah mengadakan tahlilan dan yasinan
dengan mengundang tetangga dan warga sekitar. Biasanya warga yang
diundang adalah laki-laki yang telah berkeluarga (kepala keluarga). Zaman
dahulu jika kepala keluarga tidak ada di rumah maka bisa digantikan anak
laki-lakinya agar orang yang mempunyai hajat tidak perlu mengantarkan.
Pada saat pulang, orang-orang yang dating tahlilan mendapat berkat dari
yang punya hajat (Bayuadhy, 2015:14). Berkat terdiri dari nasi, lauk, dan
sayur dalam satu wadah.
Pelaksanaan tradisi Ngijing ini merupakan simbol ketaatan kepada
tradisi leluhur sebagai penerus tradisi yang pernah ada. Di samping itu,
tradisi Ngijing berfungsi menjaga pandangan masyarakat tentang status
sosial seseorang. Orang yang tidak melakukan tradisi tersebut, walaupun
5
tidak disingkirkan atau di asingkan, tetapi akan mendapat kesan negatif
dari anggota masyarakat lainnya. Kesan negatif yang paling sering terjadi
adalah diasingkan dalam pergaulan sehari-hari, karena dianggap tidak
menghormati leluhur. Dalam prosesi acara ini dilakukan bacaan mantera
dan saji-sajian serta nyanyian suci untuk memohon kepada dewa-dewa.
Yang oleh wali songo merubah bacaan-bacaan mantera dengan bacaan
ayat suci Al-Qur‟an dan doa kepada Allah Swt. yang terangkai dalam
tahlil. Bukan lagi untuk memuja dan memberi saji-sajian kepada roh,
namun untuk memohon kepada Allah Swt. agar arwahnya diberikan jalan
terbaik di akhirat.
Berkaitan dengan paparan di atas, maka timbul suatu keinginan
dari penulis guna mengetahui maksud, tujuan, dan nilai-nilai pendidikan
islam yang terkandung dalam tradisi membangun kijing (ngijing) yang
telah mentradisi khususnya di masyarakat Dusun Siwal Desa Siwal
Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang. Dimana masyarakat
setempat menganggap bahwa tradisi membangun kijing (ngijing) yang
mereka lakukan selama ini bertujuan untuk melaksanakan ajaran agam
Islam dan melestarikan tradisi yang menjadi keyakinan masyarakat Jawa
serta mewariskan nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi tersebut kepada
generasi berikutnya. Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengungkap
nilai-nilai Islam dalam tradisi pergantian kijing (ngijing) dengan judul
“NILAI-NILAI
PENDIDIKAN
ISLAM
6
DALAM
TRADISI
MEMBANGUN KIJING /NGIJING (Studi Deskriptif di Dusun Siwal
Desa Siwal Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang).
B.
Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas, didapat beberapa fokus masalah yang
menjadi pembahasan diantaranya adalah:
1. Bagaimana prosesi (tahapan) dalam ritual membangun kijing (ngijing)
di Dusun Siwal Desa Siwal Kecamatan Kaliwungu Kabupaten
Semarang?
2. Apa sajakah nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam ritual
membangun kijing (ngijing) pada pemakaman di Dusun Siwal Desa
Siwal Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang?
3. Apa saja nilai positif dan nilai negatif yang terkandung dalam tradisi
ngijing bagi masyarakat Dusun Siwal Desa Siwal Kecamatan
Kaliwungu Kabupaten Semarang?
C.
Tujuan Penelitian
Sesuai dengan fokus penelitian di atas maka tujuan penelitiannya
antara lain:
1. Untuk mengetahui prosesi atau tahapan dalam ritual tradisi
membangun kijing (ngijing) di Dusun Siwal Desa Siwal Kecamatan
Kaliwungu Kabupaten Semarang.
7
2. Untuk mengungkap nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung
dalam ritual tradisi membangun kijing (ngijing) di Dusun Siwal Desa
Siwal Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang.
3. Untuk mengetahui nilai positif dan nilai negatif dalam ritual
membangun kijing (ngijing) bagi masyarakat Dusun Siwal Desa Siwal
Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang.
D.
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memiliki kegunaan baik untuk peneliti
sendiri maupun untuk masyarakat Jawa khususnya. Secara lebih rinci
kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Secara Teoritis.
a. Menambah khasanah keilmuan dalam ranah pendidikan dan
kebudayaan lokal di Indonesia.
b. Menyumbangkan wacana dan informasi bagi semua lapisan
masyarakat agar tetap menjaga tradisi dan adat istiadat peninggalan
nenenk moyang orang Jawa.
2. Secara Praktis.
a. Dapat
membantu
memberikan
pemahaman
dalam
tradisi
membangun kijing (ngijing).
b. Dapat membantu menyampaikan nilai-nilai pendidikan Islam
dalam tradisi membangun kijing (ngijing).
8
c. Untuk menjaga dan membentengi kemurnian keimanan umat Islam
yang masih belum bisa memaknai ritual dalam tradisi membangun
kijing (ngijing).
E.
Penegasan Istilah
1. Nilai.
Kata “nilai” dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti 1 harga
(dl arti taksiran harga); 2 harga sesuatu (uang misalnya) jika diukur
atau ditukarkan dengan yang lain; 3 angka kepandaian, potensi; 4
kadar, mutu, banyak sedikitnya isi; 5 sifat-sifat (hal-hal) yang penting
atau berguna bagi kemanusiaan. Menilai(kan): 1 menghargai, mengirangirakan nilainya; 2 memberi angka (ponten). Nilaian: taksiran.
Penilaian juru taksir. Pe(r)nilaian: perbuatan (hal dsb) menilai.
Nilai (velere artinya kuat, baik, berharga). Dalam kamus
Purwadarminta dikatan nilai adalah 1 harga dalam arti taksiran, 2
harga taksiran, 3 angka kepandaian, 4 kadar, 5 sifat-sifat atau hal-hal
yang penting atau berguna bagi kemanusiaan (Daroeso, 1986:19). Nilai
adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda atau
hal untuk memuaskan manusia (Surayin, 2007:374). Menurut Fraenkel
nilai adalah sebagai standar penuntun perilaku seseorang dalam
menentukan apa yang indah, efisien, dan berharga tidaknya sesuatu
(Sunarjati dan Cholisin, 1989:25).
9
2. Pendidikan Islam
Pendidikan didefinisikan sebagai proses pengubahan tingkah laku
seseorang melalui serangkaian proses (Hamalik, 2003:79). Pendidikan
Islam adalah falsafah dasar dan tujuan serta teori-teori yang dibangun
untuk melaksanakan praktek pendidikan didasarkan nilai-nilai dasar
Islam yang terkandung dalam Al-Quran dan Hadis (Thoha, 1996:99).
3. Tradisi
Pengertian tradisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tradisi: 1
adat kebiasaan turun temurun (dari nenek moyang) yang masih
dijalankan dl masyarakat; 2 penilain atau anggapan bahwa cara-cara
yang benar telah ada merupakan yang paling baik dan benar.
Mentradisi: menjadi tradisi. Mentradisikan: menjadikan tradisi.
Tradisi merupakan gambaran sikap dan perilaku manusia yang
telah berproses dalam waktu lama dan dilaksanakan secara turun
temurun dari nenek moyang.
4. Kijing
Pengertian kijing dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kijing : 1
kijing: kepah (remis) yang agak besar tetapi lebih kecil dari kerang,
halal dimakan, cangkangnya agak pipih; 2 batu penutup makam yang
menyatu dengan batu nisannya (terbuat dari pualam, tegel, atau
semen). Mengijing: membuatkan (memasang) kijing pada makam.
Kijing adalah batu penutup makam yang menyatu dengan batu
nisannya (terbuat dari pualam, tegel, atau semen) (Sujatmiko,
10
2014:143). Berdasarkan uraian di atas bahwa nilai-nilai pendidikan
Islam dalam tradisi membangun kijing (ngijing) adalah suatu
kepercayaan tertentu tentang perayaan dalam masyarakat untuk
melestarikan budaya yang diwariskan oleh nenek moyang supaya
menuju kebahagiaan dunia dan akhirat yang sesuai dengan ketentuan
Tuhan Yang Maha Esa atau sesuai dengan ajaran Islam yang terdapat
pada tradisi membangun kijing (ngijing).
F.
Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif karena
dari penelitian ini menghasilkan data deskriptif. Menurut Denzin dan
Licoln menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang
menggunakan latar alamiah dengan maksud menafsirkan fenomena
yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode
yang ada (Moloeng, 2008: 5). Pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pendekatan etnografi. Penekanan dari etnografi
adalah
pada
studi
keseluruhan
budaya
(Moloeng,
2008:26).
Pendekatan etnografi ini secara umum yaitu melakukan pengamatan
dan ikut serta dalam penelitian lapangan, maka akan diperoleh data
dengan memanfaatkan catatan lapangan.
11
2. Kehadiran Peneliti.
Penelitian
ini
menggunakan
pendekatan
kualitatif
maka
mengumpulan data sesuai informasi yang didapat berupa data ucapan
atau kata-kata dan dokumen yang disajikan lalu ditelaah guna
menemukan makna yang terkandung didalamnya. Oleh karena itu
kehadiran peneliti sangat penting mengingat peneliti menjadi
instrumen utama dan sebagai pengumpul data dari penelitian tersebut.
3. Lokasi dan Waktu Penelitian.
Waktu dan tempat atau lokasi penelitian akan diselenggarakan
perlu disepakat oleh interviewer. Artinya perlu membuat janji terlebih
dahulu dengan interviewer. Pembuatan janji ini bukanlah tanpa alasan.
Karena wawancara yang dilakukan secara mendadak mungkin tidak
akan baik bisa berkaitan dengan kemungkinan data atau informasi
yang akan diperoleh tidak obyektif atau tidak akurat.
Peneliti memilih lokasi untuk penelitian di Dusun Siwal Desa
Siwal Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang. Yang menjadi
pertimbangan pemilihan lokasi penelitian antara lain: salah satu
kawasan Jawa Tengah yang masih kental akan budaya dan tradisi Jawa
dan daerahnya dengan kondisi sosial yang baik.
4. Sumber Data.
Menurut Lofland yang dikutip Moloeng sumber utama dalam
penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan selebihnya adalah
data tambahan seperti dokumentasi dan lain-lain (Moloeng, 2008:157).
12
Berkaitan dengan hal tersebut maka jenis datanya dapat berupa katakata dan tindakan, foto, sumber data tertulis atau statistika.
Sumber data utama adalah pengumpulan informasi atau data yang
diperoleh dari para informan yang dianggap mengetahui dan terlibat
aktif di dalamnya yang disertai dengan dokumentasi sebagai bukti
bahwa penulis telah melakukan penelitian.
Pengumpulan data itu sendiri adalah proses untuk menghimpun
data yang harus diperhatikan (data apa yang dikumpulkan), relevan
serta akan memberi gambaran dari aspek yang akan diteliti baik
penelitian
keputusan
maupun
penelitian
lapangan
(Soeharto,
1989:156). Penelitian lapangan merupakan proses perolehan informasi
dari keluarga, tetangga, tokoh masyarakat, tokoh budaya dan tokoh
agama setempat.
5. Prosedur Pengumpulan Data.
Menurut Soeharto (1989:156) dalam memperoleh data yang akurat
dan relevan ada beberapa cara yang perlu diperhatikan antara lain:
a. Penelitian Kepustakaan.
1) Peneliti tahap awal yang dilakukan oleh seorang peneliti untuk
mendapatkan buku-buku atau sumber tertulis lainnya yang
relevan dengan judul.
2) Menelaah isi buku dengan cara menandai bab yang sekiranya
mempunyai kaitan dengan isi judul.
3) Mengutip bagian penting yang berkaitan dengan judul tersebut.
13
b. Penelitian lapangan.
Ada beberapa tahap yang harus ditempuh dalam penelitian
yaitu:
1) Menelaah bahan tertulis yang relevan dengan judul.
2) Melakukan survei pendahuluan.
3) Menentukan alat pengumpulan data.
Untuk mendapatkan data yang akurat dan sistematis maka
peneliti menggunakan beberapa teknik dalam penelitiannya yaitu:
1) Observasi
Observasi
bisa
diartikan
sebagai
pengamatan
dan
pencatatan secara sistematik fenomena-fenomena yang diteliti.
Teknik ini memungkinkan melihat dan mengamati sendiri
kemudian mencatat perilaku dan kejadian yang terjadi ditempat
penelitian (Moloeng, 2008:174). Maka peneliti melakukan
pengamatan langsung tahap demi tahap prosesi dalam acara
prosesi membangun kijing (ngijing) di Siwal dan memahami
dari setiap ritual yang dijalankan. Selain itu juga melakukan
catatan anekdot untuk mengetahui gejala atau peristiwa dalam
ritual tersebut.
2) Wawancara.
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu,
percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara
(interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara
14
(interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan
tersebut (Moloeng, 2007:186). Dengan teknik pengumpulan
data penelitian ini bisa mendapatkan data yang mendalam dan
pengamatan yang lebih mendetail. Alat yang dapat digunakan
dalam wawancara antara lain (Sugiyono, 2006:269) :
a) Buku catatan yang berfungsi untuk mencatat semua
percakapan dengan sumber data.
b) Tape recorder berfungsi untuk merekam semua percakapan
atau pembicaraan.
c) Kamera berfungsi untuk memotret kalau peneliti sedang
melakukan pembicaraan dengan informan.
3) Dokumentasi.
Dokumentasi berasal dari kata dokumen. Menurut Moloeng
dokumen adalah setiap bahan tertulis ataupun film (Moloeng,
2008:216). Dokumen juga merupakan catatan peristiwa yang
sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau
karya monumental dari seseorang (Sugiyono, 2006:270).
Dokumentasi
adalah
metode
penelitian
ditujukan
pada
penguraian dan penjelasan apa yang telah lalu melalui sumbersumber dokumen. Sumber dokumen dalam penelitian ini
berbentuk foto-foto dari setiap ritual yang dijalankan sebagai
bukti telah melakukan penelitian.
15
6. Analisis Data.
Menurut Bogdan dan Biklen, analisis data kualitatif adalah upaya
yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan
data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola,
mensintesiskannya mencari dan menemukan pola, menemukan apa
yang penting dan apa yang dipelajari dan memutuskan apa yang dapat
diceritakan kepada orang lain (Moloeng, 2008:248). Langkah-langkah
yang dapat ditempuh untuk analisis data adalah (Sugiyono, 2006: 277283):
a) Reduksi Data (Data Reduction)
Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok,
memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya.
b) Penyajian Data (Data Display)
Dalam penelitian kualitatif penyajian data bisa dilakukan dalam
bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori dan
sejenisnya. Untuk penelitian ini penyajian data dengan teks yang
bersifat naratif.
c) Verifikasi/Conclusion Drawing
Langkah ketiga dalam analisis data kualitatif adalah penarikan
kesimpulan dan verifikasi.
Dari uraian di atas maka data yang diperoleh di lapangan ditulis
dalam bentuk uraian yang lengkap. Data tersebut dirangkum, dipilah,
dan difokuskan pada hal-hal yang penting yang berkaitan dengan
16
masalah, sehingga memberikan gambaran yang lebih akurat dan jelas
tentang hasil wawancara, observasi maupun dokumentasi.
7. Pengecekan Keabsahan Data.
Teknik pemeriksaan data dalam penelitian dilakukan guna
menetapkan keabsahan data. untuk mendapatkan data yang absah
menurut Moloeng, maka diperlukan pengecekan keabsahan data
menggunakan:
a. Perpanjangan keikutsertaan.
Peneliti dalam penelitian kualitatif adalah instrumen utama.
Keikutsertaan peneliti sangat menentukan dalam pengumpulan
data. Keikutsertaan tersebut bukan hanya dilakukan dengan waktu
yang singkat. Perpanjangan keikutsertaan berarti peneliti tinggal di
lapangan sampai kejenuhan pengumpulan data tercapai (Moloeng,
2008:327).
b. Ketekunan atau keajegan pengamatan.
Peneliti mengadakan pengamatan dengan teliti dan rinci
secara kesinambungan kemudian menelaahnya pada suatu titik
sehingga tampak salah satu faktor yang ditelaah sudah dipahami
dengan cara yang biasa (Moloeng, 2008:330).
c. Triangulasi.
Teknik triangulasi yang paling banyak digunakan adalah
pemeriksaan melalui sumber lain. Diluar data itu untuk keperluan
17
pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data yang telah
diperoleh (Moloeng, 2008:330).
d. Pemeriksaan sejawat melalui diskusi.
Teknik ini dilakukan dengan cara mengekspos hasil
sementara atau hasil akhir yang diperoleh dalam bentuk diskusi
dengan rekan-rekan sejawat (Moloeng, 2008:332). Teknik ini
dilakukan agar peneliti mempertahankan sikap terbuka dan
kejujuran.
e. Analisis kasus negatif.
Teknik analisis kasus negatif dilakukan dengan jalan
mengumpulkan contoh dan kasus yang tidak sesuai dengan pola
dan kecenderungan informasi yang telah dikumpulkan dan
digunakan sebagai bahan pembanding (Moloeng, 2008:334).
f. Pengecekan anggota.
Pengecekan dengan anggota yang terlibat dalam proses
pemeriksaan derajat kepercayaan dapat diikhtisakan bahwa
pengecekan anggota berarti peneliti mengumpulkan yang memiliki
pengetahuan yang mendalam untuk menjadi sumber kebenaran
data (Moloeng, 2008:335).
g. Uraian rinci.
Teknik ini menuntut peneliti agar melaporkan hasil
penelitiannya sehingga uraiannya itu dilakukan seteliti dan
18
secermat mungkin yang menggambarkan konteks tempat penelitian
diselenggarakan (Moloeng, 2008:338).
h. Auditing.
Auditing adalah konsep bisnis yang dimanfaatkan untuk
memeriksa
kebergantungan
dan
kepastian
data
Moloeng,
2008:338).
8. Tahap-tahap Penelitian.
a. Penelitian Pendahuluan.
Mengkaji buku-buku yang berkaitan dengan tradisi membangun
kijing (ngijing) dan nilai-nilai pendidikan Islam yang terdapat
didalamnya.
b. Penelitian Desain.
Setelah mengetahui nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi
membangun kijing (ngijing) berdasarkan buku-buku kemudian
melakukan observasi dalam acara ritual membangun batu nisan
(ngijing) dan wawancara langsung kepada orang yang terlibat
langsung dalam acara tersebut.
G.
Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan gambaran yang jelas dan menyeluruh serta
memudahkan pemahaman terhadap penulisan skripsi ini maka dibagi
menjadi 5 bab, yang antar bab saling berhubungan.
19
Bab I, merupakan pengantar dari keseluruhan isi pembahasan.
Memuat: latar belakang masalah, fokus masalah, tujuan penelitian,
kegunaan penelitian, penegasan istilah, metode penelitian, sampai pada
tahap-tahap penelitian.
Bab II, berisi kajian pustaka dari penelitian. Pada bagian ini
dikemukakan teori-teori yang telah diuji kebenarannya yang berkaitan
dengan obyek formal penelitian. Sesuai dengan judul skripsi maka
pembahasan pada bab II berisi tentang ritual dalam membangun kijing
(ngijing).
Bab III, penulis menyajikan hasil penelitian tentang gambaran
umum lokasi penelitian, kondisi lokasi penelitian, temuan penelitian
tentang ritual dalam tradisi membangun kijing (ngijing), dan pembahasan
pelaksanaan tradisi membangun kijing (ngijing) di Dusun Siwal Desa
Siwal Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang dengan pemahaman
masyarakat akan ritual tersebut.
Bab IV, merupakan analisis dari tradisi membangun kijing
(ngijing), dan analisis dari segi antropologi serta mengemukakan nilainilai pendidikan islam yang terkandung dalam tradisi membangun kijing
(ngijing).
Bab V, merupakan kajian yang paling akhir dari skripsi ini. Yang
mana pada bagian ini berisi kesimpulan dari pembahasan skripsi dan saran
dari penulis.
20
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.
Definisi Nilai
Nilai adalah harga, hal-hal yang penting atau berguna bagi manusia
(Soenarji dan Cholisin, 1989:25). Nilai adalah suatu penghargaan atau
kualitas terhadap sesuatu atau hal itu menyenangkan (pleasant),
memuaskan
(satifying),
menarik
(interest),
berguna
(usefull),
menguntungkan (profitable), atau merupakan suatu sistem keyakinan
(belief) (Daroesa, 1986:20). Menurut Munandar (1995:19) nilai adalah
sesuatu yang dipentingkan manusia sebagai subjek, menyangkut segala
sesuatu yang baik atau yang buruk sebagai abstraksi, pandangan, atau
maksud dari berbagai pengalaman dengan seleksi perilaku yang sangat
ketat.
Secara garis besarnya nilai hanya dibagi tiga macam yaitu nilai
benar-salah, nilai baik buruk, dan nilai indah-tidak indah (Tafsir, 2010:50).
Tatkala berdiskusi atau berdebat tantang kebudayaan yang pertama adalah
kebudayaan yang benar-salah, namun kecil kemungkinannya untuk tidak
berdebat. Hal tersebut karena kebudayaan sudah jelas ukurannya. Ukuran
utama kebudayaan adalah logika. Lain halnya bila budaya kedua yaitu
baik-buruk. Kebudayaan baik-buruk ini susah untuk disepakati karena
ukurannya subyektif. Subyektivitas itu muncul karena penilaian terhadap
21
budaya baik-bururk kebanyakan bersumber dari keyakinan dan perasaan
dari masyarakat di masing-masing daerah.
Nilai yang dianut oleh seseorang atau suatu masyarakat biasanya
berupa samar-samar. Nilai tersebut tidak diungkapkan dalam bentuk
verbal secara komplet dan tepat oleh pemiliknya (Marzali, 2007:108). Hal
tersebut lebih implisit daripada eksplisit karena itu membentuk suatu ide,
atau pemikiran yang sangat abstrak dan umum. Namun dengan demikian
setelah melakukan penelitian yang mendalam, suatu nilai dari satu
masyarakat dapat diungkapkan dengan uraian kata-kata oleh peneliti.
Dari uraian di atas maka nilai adalah sesuatu hal yang tersimpan
secara implisit yang terdapat pada budaya di satu masyarakat yang dapat
diungkapkan dengan secara verbal maupun nonverbal dengan melalui
pemahaman yang lebih mendalam.
Nilai
dapat
dilihat
dari
berbagai
sudut
pandangan,
yangmenyebabkan terdapat bermacam-macam nilai (Taufiq, 2013:18-20),
antara lain:
1. Dilihat dari segi kebutuhan hidup manusia, nilai menurut Sjarkawi
adalah:
a. Nilai moral
b. Nilai sosial
c. Nilai undang-undang
d. Nilai agama
22
Keempat nilai tersebut berkembang sesuai dengan tuntutan
kebutuhan.
Dari
kebutuhan
yang
paling
sederhana,
yakni
kebutuhanakan tuntutan fisik biologis, keamanan, cinta kasih, harga
diri dan yangterakhir kebutuhan jati diri. Apabila kebutuhan dikaitkan
dengan nilainilaiagama, akan menimbulkan penafsiran yang keliru.
Apakah untukmenemukan jati diri sebagai orang muslim dan mukmin
yang baik itubaru dapat terwujud setelah kebutuhan yang lebih rendah
tercukupilebih dahulu? Misalnya makan cukup, tidak ada yang
merongrongdalam beragama, dicintai dan dihormati kemudian orang
itu baru dapatberiman dengan baik, tentunya tidak. Nilai keimanan dan
ketaqwaantidak tergantung pada kondisi ekonomi maupun sosial
budaya, tidakterpengaruh oleh dimensi ruang dan waktu.
2. Pendekatan
proses
budaya,
menurut
dikelompokkan dalam tujuh jenis yakni:
a. Nilai ilmu pengetahuan
b. Nilai ekonomi
c. Nilai keindahan
d. Nilai politik
e. Nilai keagamaan
f. Nilai kekeluargaan
g. Nilai kejasmanian.
23
Darmadi
nilai
dapat
B.
Nilai Pendidikan Islam
Menurut bahasa Pendidikan dalam bahasa Arabnya adalah tarbiyah
dengan kata kerja rabba (Daradjat: 2011:25). Kata kerja rabba (mendidik)
sudah digunakan pada zaman Nabi Muhammad Saw seperti dalam ayat
Al-Qur‟an dan hadis Nabi. Dalam ayat Al-Qur‟an kata ini digunakan
dalam susunan sebagai berikut:
         
  
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh
kasih sayang dan ucapkanlah “Ya Tuhan, sayangilah keduanya
(ibu bapakku) sebagaimana mereka telah mengasuhku
(mendidikku) sejak kecil.” (Q.S Al-Isra‟:24).
Pendidikan dalam bahasa inggris berasal dari kata educare, yang
artinya adalah mengeluarkan potensi-potensi yang ada dalam diri siswa.
Dalam bahasa pendidikan di Indonesia diartikan sebagai suatu proses
mendidik siswa yang belum dewasa menuju kepada kedewasaan.
Menurut Nizar (2002:25) pendidikan dalam konteks islam pada
umumnya mengacu pada term al-tarbiyah, al-ta‟dib, dan al-ta‟lim. Altarbiyah berasal dari kata rabb artinya tumbuh, berkembang, memelihara,
mengatur, dan menjaga kelestarian atau eksistensinya. Kata rabb
sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur‟an surat Al-Fatikhah ayat 2
mempunyai kandungan berkonotasi dari al-tarbiyah sebab kata rabb
(Tuhan) dan murabbi (pendidik) berasal dari kata yang sama. Secara
filosofis menjelaskan bahwa proses pendidikan Islam bersumber pada
24
pendidikan yang diberikan Allah sebagai pendidik seluruh ciptaan-Nya
termasuk manusia.
Menurut Hafidz dan Kastolani pendidikan Islam meliputi:
1. Pendidikan Keimanan.
Esensi pendidikan Islam adalah ketuhanan, untuk mewujudkan
fokus utamanya adalah terbentuknya ikatan yang kuat antara
seseorang hamba yang fana dengan Allah penguasa alam yang
kekal (Hafidz dan Kastolani, 2009:70). Pendidikan tauhid erat
kaitannya dengan pendidikan aqidah. Aqidah menurut etimologi
adalah ikatan, sangkutan. Disebut dengan demikian karena aqidah
mengikat dan menjadi sangkutan atau gantungan segala sesuatu,
dalam pengertian teknis artinya adalah keimanan atau keyakinan
(Ali, 2008:199). Pendidikan keimanan dimaksudkan sebagai
pendidikan
spiritual
yang
istimewa
bagi
setiap
individu.
Pendidikan keimanan erat kaitannya dengan pendidikan tauhid.
Tauhid berarti beriman pada ke-Esaan Allah Swt. Iman berarti
pengetahuan (knowledge), percaya (belief, faith), dan yakin tanpa
bayangan keraguan (to be convinced beyond the least shadow of
doubt). Dengan demikian iman adalah kepercayaan yang teguh
yang ditimbulkan akibat pengetahuan dan keyakinan (Assegaf,
201:38). Sebagaimana dalam firman Allah Swt.:
            
25
     
Artinya:”Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa(1).
Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala
sesuatu (2). Dia tiada beranak dan tidak pula
diperanakkan, (3) dan tidak ada seorangpun yang setara
dengan Dia.(4)" (QS. Al-Ikhlas 1-4).
2. Pendidikan Amaliyah.
Pendidikan amaliyah sebenarnya Islam sudah menegaskan tentang
aspek amaliyah tersebut karena pengaruhnya yang sangat penting
dalam kehidupan di dunia, serta membawa manfaat, kebaikan, dan
kebahagiaan bagi individu dan masyarakat (Hafidz dan Kastolani,
2009:82).
3. Pendidikan Ilmiah.
Pendidikan Ilmiah dalam Islam mencakup aspek ilmu pengetahuan
seperti membaca dan menulis, berkenaan dengan memperoleh ilmu
pengetahuan yang menjadi ibadah bagi pelakunya, aspek kandungan
ilmu pengetahuan tersebut yaitu taqwa dan takut kepada Allah Swt.,
dan aspek hakikat ilmu pengetahuan ilmiah dan metode ilmiah yang
dipergunakan (Hafidz dan Kastolani, 2009:100).
4. Pendidikan Akhlaq
Akhlaq adalah buahnya Islam yang diperuntukkan bagi seorang
individu dan umat manusia, dan akhlak menjadikan kehidupan ini
menjadi manis dan elok (Hafidz dan Kastolani, 2009:107). Maka dari
26
itu akhlak menjadi rujukan bagi seorang muslim, rumah tangga Islami,
masyarakat islami dan umat manusia seluruhnya. Pendidikan akhlak
antara lain tawakal, berbakti kepada orang tua, dan juga bergaul
dengan baik. Tawakkal atau tawakkul (bahasa Arab) berasal dari kata
kerja wakala yang berarti mewakilkan atau menyerahkan. Dari segi
istilah berarti berserah diri sepenuhnya kepada Allah dalam mengahadi
atau menunggu hasil suatu pekerjaan atau menanti akibat dari sesuatu
keadaan (Asmaran, 2002:225). artinya bahwa sebagai seorang hamba
dalam berbuat dan bersikap dikehidupan sehari-harinya seharusnya
selalu berpedoman pada ajaran Allah dan juga tidak melupakan untuk
berikhtiar.
5. Pendidikan Sosial Kemasyarakatan.
Manusia sebagai makhluk sosial menjadikan pendidikan sosial
kemasyarakatan menjadi pintu paling penting dalam pendidikan Islam
(Hafidz dan Kastolani, 2009:123). Oleh sebab itu Islam mengatur
hubungan individu dengan keluarga, individu dengan masyarakat, dan
memfokuskan pada pembentukan manusia yang saleh dalam
kehidupan yang luas ini.
Pendidikan Islam juga sebagai pewarisan budaya, yaitu sebagai
alat tranmisi unsur- unsur pokok budaya dari satu generasi ke genesari
berikutnya (An-Nahlawi, 1996:217). Oleh sebab itu identitasnya tetap
terpelihara atau lestari dan terjamin dalam segala zaman.
27
Ketika nilai telah diletakkan pada sebuah sistem, maka ia akan
mencerminkan paradigma, jati diri dan grand concept dari sistem tersebut.
Oleh karena itu, nilai-nilai dasar pendidikan Islam bermakna konsepkonsep pendidikan yang dibangun berdasarkan ajaran Islam sebagai
landasan etis, moral, dan operasional pendidikan (Sarjono, 2005:136).
Dalam konteks ini, nilai-nilai pendidikan Islam menjadi pembeda dari
model pendidikan lain, sekaligus menunjukkan karakteristik khusus.
Akan tetapi perlu ditegaskan, sebutan Islam pada pendidikan Islam
tidak cukup dipahami sebatas ciri khas. Islam berimplikasi sangat luas
pada seluruh aspek menyangkut pendidikan Islam, sehingga akan
melahirkan pribadi-pribadi Islami yang mampu mengemban misi yang
diberikan oleh Allah Swt. yakni sebagai khalifah dan „abid.
Dengan demikian pendidikan yang dijalankan atas dasar Islam
mempunyai dua orientasi. Pertama, ketuhanan yaitu penanaman rasa takwa
dan pasrah kepada Allah Swt. sebagai Pencipta yang tercermin dari
kesalehan ritual atau nilai sebagai hamba Allah Swt. Kedua, kemanusiaan,
yang menyangkut tata hubungan dengan sesama manusia, lingkungan dan
makhluk hidup yang lain yang berkaitan dengan status manusia sebagai
khalifatullah fi al ard (Sarjono, 2005:137). Nilai itu sendiri selalu dihadapi
oleh manusia dalam hidup kesehariannya. Setiap mereka hendak
melakukan suatu pekerjaan, maka harus menentukan pilihan diantara
sekian banyak kemungkinan, dan harus memilih. Disinilah mereka
mengadakan penilaian.
28
Dari uraian di atas dapat diartikan bahwa nilai pendidikan islam
adalahsuatu hal yang secara implisit dalam budaya dari generasi ke
generasi seterusnya sebagai manifestasi dari ucapan, perbuatan, dan materi
masyarakat serta kelakuan anggota masyarakat yang sesuai dengan syariat
agama Islam.
C.
Konsep Ritual Dari Segi Antropologi
Ritual merupakan tata cara dalam upacara atau suatu perbuatan
keramat yang dilakukan oleh sekelompok umat beragama, yang ditandai
adanya berbagai unsur komponen yaitu adanya waktu, tempat-tempat
dimana upacara dilakukan, alat-alat dalam upacara serta orang-orang yang
menjalankan upacara (Koenjtaraningrat, 1985:56). Pada dasarnya ritual
adalah rangkaian kata, tindakan pemeluk agama dengan menggunakan
benda-benda, peralatan dan perlengkapan tertentu, ditempat tertentu dan
memakai pakaian tertentu pula (Suprayogo, 2001:41). Hal tersebut
menunjukkan kesakralan dalam suatu ritual yang dilakukan oleh
masyarakat yang menganutnya.
Kepercayaan
terhadap
kesakralan
sesuatu
menuntut
untuk
diperlakukan secara khusus. Terdapat tata cara perlakuan terhadap sesuatu
yang disakralkan. Ada upacara keagamaan yang berkaitan dengan sesuatu
yang sakral. Perlakuan khusus dan upacara ini tidak dapat dipahami secara
ekonomi dan rasional (Agus, 2005:95). Melakukan sa‟i dari bukit Shafa
29
sampai bukit Marwah misalnya, pada umumnya tidak dapat dipahami
keuntungan dan alasan yang rasional sehingga harus melakukannya.
Upacara yang tidak dipahami secara konkret ini dinamakan rites
dalam bahasa inggris artinya tindakan atau upacara keagamaan (Agus,
2005:96). Upacara keagamaan tersebut seperti upacara penguburan mayat,
upacara pembaptisan, sakramen dan lainnya. Upacara, persembahan,
sesajen, ibadat keagamaan tersebut tidak dipahami secara ekonomi,
rasional, dan pragmatis. Hal ini dilakukan oleh masyarakat dan umat
beragama dari dahulu hingga sekarang.
Upacara ritual dalam antropologi dikenal dengan istilah ritus
(Agus, 2005:96). Ritual menurut Andrew Beatty adalah sebagai konsesus
simbolik (secara khas mencerminkan proses sosial) menuju pengakuan
yang lebih besar atas improvisasi atau penggunaan kreatif simbol-simbol
dan fragmantasi makna (Beatty, 2001:37). Individu dalam tatanan
kebudayaan yang beraneka ragam menggunakan sumber-sumber ilmu
pengetahuan yang berbeda untuk memahami dan menafsirkan arti dari
ritual tersebut.
Ritus dilakukan ada yang untuk mendapatkan berkah atau rezeki
yang banyak dari suatu pekerjaan seperti upacara sakral ketika akan turun
sawah; ada untuk menolak bahaya yang telah atau diperkirakan akan
datang; ada upacara mengobati penyakit; ada upacara karena perubahan
atau siklus dalam kehidupan manusia seperti mulai kehamilan, kelahiran,
atau kematian. Pengobatan dilakukan dengan memengaruhi kekuatan gaib
30
dan dikerjakan oleh dukun atau shaman sedangkan pengobatan secara
rasionaladalah dengan mendiagnosa penyakit melalui pemeriksaan konkret
dan pemberian obat yang dapat membunuh penyebab penyakit tersebut.
Dengan demikian makin tidak alamiah, rasional, ekonomis, dan
pragamtisnya ritual dan upacara keagamann itu, maka sangat menarik
sekali bagi para ahli antropologi untuk mempelajari dan memahaminya.
Dalam agama, biasanya upacara ritual atau ritus dikenal dengan
ibadat, kebaktian, berdoa, atau sembahyang (Agus. 2005:99). Setiap
agama mengajarkan bermacam-macam ibadah, doa, dan bacaan-bacaan
pada waktu tertentu yang dalam agama Islam disebut dengan dzikir.
Kecenderungan agama mengajarkan banyak ibadah tersebut tidak lain
bertujuan untuk manusia dalam kehidupan sehari-hari tidak lepas dari
mengingat Tuhannya. Bahkan dalam Islam menganjurkan kepada manusia
dalam menjalankan segala aktivitasnya diniatkan untuk ibadah kepada
Allah. Hal tersebut sesuai dengan Al-Qur‟an Surat Al-Dzariyat ayat 56
      
Artinya:”Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (QS. Al-Dzariyat:56)
Oleh karena itu ada ibadah mahdhah dan ada ibadah „ammah.
Istilah yang dikenal
sebagai ritus dalam antropologi adalah ibadah
mahdhah, sedangkan yang lainnya adalah ibadah secara umum.
Agama juga mengatur tindakan dan perilaku manusia, baik dalam
ajaran hukum atau ajaran moral (Agus, 2005: 101). Ada makanan dan
minuman yang diharamkan namun banyak pula yang dihalalkan. Ada
31
banyak perilaku yang diharamkan sebagaimana banyak pula yang
dihalakan dan diwajibkan. Kedua aspek inilah yang dijarkan agama
menunjukkan bahwa agama bukan hanya upacara ritual.
Menurut Durkheim (Agus, 2005:102), baginya upacara-upacara
ritual atau ibadah adalah untuk meningkatkan solidaritas, untuk
menghilangkan perhatian kepada kepentingan individu. Masyarakat yang
melakukan ritual larut dalam kepentingan bersama. Terlihat bahwa
Durkhein menyempitkan makna yang terkadung dalam ritual keagamaan
kepada keutuhan masyarakat dan solidaritas terhadap sesama.Begitu juga
ada adat ritual dan ritual (Beatty, 2001:37). Yang mengenai masalah mana
yang absah, apakan simbol yang bermakna sesuatu atau memiliki makna
banyak hal atau juga ritual dapat dipandang sebagai komunikasi. Namun
pada perkembangannya ritaul mengalami modifikasi dimana ritual tersebut
berkembang.
Pada solidaritas terhadap sesama dalam ritual keagamaan terdapat
pula ibadah yang dilakukan secara individu seperti berdoa, dzikir, shalat
seperti shalat dhuha dan tahajjut. Makna yang terkandung dalam ibadah
tersebut lebih kepada untuk individu tersebut seperti mendapat ketenangan
batin, ketabahan, harapan, dan juga memperbaiki kesalahan yang telah
dilakukan (sering meminta ampunan). Makna-makna tersebut adalah
makna terpenting yang terkandung dalam ibadah.
Slametan
merupakan
bentuk
pesta
dari
ritual.
Slametan
mengandung unsur-unsur multivokal yang tidak semata-mata tindakan dan
32
simbol-simbol material melainkan kata-kata yaitu kata-kata yang hanya
akan bermakna apabila diucapkan selama upacara (Beatty, 2001:38).
Namun tidak semua ucapan dan simbol-simbol dalam ritual memiliki
makna yang sama di masing-masing daerah, tugas dari antropolog untuk
mengungkap makna-makna dari simbol-simbol yang ada dalam suatu
kebudayaan. Hal ini bisa mengurangi upaya dalam memaknai seberapa
jauh slametan bagi orang Jawa yang beragama Islam, akan tetatpi slametan
berfungsi sebagai suatu kesatuan dari masyarakat setempat.
D.
Ritual Membangun Kijing (Ngijing)
Kebudayaan cenderung di ikuti oleh masyarakat pendukungnya
secara turun-temurun dari generasi ke generasi berikutnya, meskipun
sering terjadi anggota masyarakat itu datang silih berganti disebabkan
munculnya bermacam-macam faktor, seperti kematian dan kelahiran.
Kematian adalah pintu memasuki tahap pengalaman eksistensial manusia
yang lain, yang betul-betulberadadari yang sekarangsedangkitaalami
(Rachman, 2006:1440). Kematian menimbulkan dalam diri orang yang
berduka-cita suatu tanggapan ganda cinta dan segan, sebuah ambivalensi
emosional yang sangat mendalam dari pesona dan ketakutan yang
mengancam baik dasar-dasar psikologis maupun sosial eksistensi manusia.
Orang-orang yang berduka-cita ditarik ke arah almarhum oleh rasa kasih
sayang kepadanya, disentakkan belakang darinya oleh perubahan yang
ditimbulkan oleh kematian. Ritus-ritus kematian menjaga kelangsungan
33
kehidupan manusia dengan mencegah orang-orang yang berduka-cita dari
penghentian entah dorongan untuk lari terpukul-panik dari keadaan itu
atau sebaliknya, dorongan untuk mengikuti almarhum ke kubur.
Penelitian ini menggunakan pendekatan antropologis, yaitu
pendekatan yang menggunakan nilai-nilai yang mendasari perilaku tokoh
sejarah, status dan gaya hidup, sistem kepercayaan yang mendasari pola
hidup dan sebagainya (Agus, 2005:95). Dengan pendekatan ini, penulis
mencoba memaparkan situasi dan kondisi masyarakat yang meliputi
kondisi sosial budaya dan kondisi keagamaannya.
Kajian antropolagi terhadap agama tidak dapat secara langsung dan
fakta yang sedang diamati saja, namun untuk memahaminya yaitu dengan
memahami fenomena kehidupan beragama (Agus, 2005:49). Fenomena
kehidupan beragaman sangat beraneka ragam tergantung dari kondisi
keagamaan setiap daerah masing-masing. Keanekaragamana tersebut
terjadi karena perkembangan agama manusia dari zaman purba sampai
zaman modern sekarang. Pada zaman dulu masalah agama tidak dapat
teratasi dengan mudah karena ilmu pengetahuan dan teknologi yang belum
maju. Oleh sebab itu gambaran yang didapat dalam penelititian dengan
pendekatan antropologi pada umumnya pada masyarakat zaman dulu atau
primitif adalah tentang agama yaitu sejenis kepercayaan atau keyakinan
animinsme, dinamisme, pralogis dan primitif (Agus, 2005:53). Keyakinan
manusia tentang agama lambat laun berubah seiring perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang semakin maju. Hal tersebut karena
34
perbedaan budaya, sejarah, dan lingkungan masyarakat di masing-masing
daerah.
Oleh karena itu, penulis mencoba menganalisa data yang telah
terhimpun untuk menjelaskan nilai pendidikan keimanan, pendidikan
amaliah, pendidikan ilmiah, pendidikan akhlaq, dan pendidikan sosial
kemasyarakatan sacara sendiri-sendiri. Selain itu penulis mencoba
memaparkan latar belakang dilakukannya tradisi Ngijing.
Tradisi Ngijing menurut pandangan Islam merupakan wujud
kepercayaan masyarakat akan adanya alam gaib (Bratawidjaja, 1984:133).
Alam gaib yang dimaksud adalah alam kubur, bahwa orang yang masih
hidup masih mempunyai hubungan dengan kerabatnya yang telah
meninggal, dan diejawantahkan dalam bentuk slametan sebagai wujud
bakti mereka jika yang meninggal adalah orang tuanya. Dan sebagai
wujud kasih sayang jika yang meninggal adalah saudaranya. Kepercayaan
mayarakat dusun Siwaltentang adanya alam kubur diikuti dengan
keyakinan mereka akan adanya siksa kubur. Dengan demikian tradisi
Ngijing yang dilakukan masyarakat Dusun Siwal bermaksud mendoakan
orang tua maupun kerabatnya yang telah meninggal dunia agar selamat
dari siksa kubur. Pemasangan ini selain pada saat penguburan juga
dilakukan bersamaan dengan peringatan seribu hari (Bratawijaya,
1988:116). Ritual seputar kematian mempunyai fungsi dan pengaruh yang
sarat dengan norma-norma kehidupan bermasyarakat.
35
Tradisi Ngijing pada upacara Selametan Nyewu merupakan salah
satu bentuk upacara tradisi yang diwariskan leluhur (Mulyadi, 1982:116).
Upacara itu dilaksanakan di pemakaman setempat atau yang lebih dikenal
dengan nama pasareyan. Upacara seribu hari ini bisa dikatakan sebagai
puncak dari rangkaian selamatan sesudah kematian. Pada waktu ini orang
Jawa meyakini bahwa roh manusia yang sudah meninggal tidak akan
kembali ketengah-tengah keluarga lagi. Roh tersebut betul-betul akan
pergi meninggalkan keluarga yang masih hidup untuk menghadap Tuhan.
Selamatan seribu hari ini biasanya diiringi dengan upacara membangun
batu nisan (ngijing). Ngijing ini dilakukan untuk mengganti pathok yang
sudah tiga tahun yang mestinya sudah rusak.
Pada hari sebelum membangun kijing (ngijing) pihak keluarga
yang akan melaksanakan pergantian tersebut di rumahnya mengadakan
slametan kenduri yang dilaksanakan pada sore hari atau setelah
melaksanakan shalat ashar. Selanjtnya pada malam harinya pemilik rumah
atau yang punya hajat mengadakan tahlil dengan mengundang tetangga
sekitar. Biasanya yang diundang adalah laki-laki yang telah berkeluarga
(kepala keluarga). Zaman dahulu jika kepala keluarga tidak ada di rumah
maka bisa digantikan anak laki-lakinya agar orang yangmempunyai hajat
tidak perlu mengantarkan. Pada saat pulang, orang-orang yang datang ke
acara tahlil mendapat berkat dari yang mempunyai hajat (Bayuadhy,
2015:14). Berkat terdiri dari nasi, lauk, dan sayur dalam satu wadah.
36
E.
PenelitianTerdahulu
Dari pengamatan peneliti selama ini, belum mudah untuk
menemukan buku atau pun penulisan yang berkaitan dengan Nilai-nilai
Pendidikan Islam Dalam Tradisi Membangun Kijing (Ngijing). Hal ini
tidak menyurutkan semangat penulis untuk melanjutkan penelitian yang
selanjutnya merujuk pada perbandingan pustaka. Dengan kata lain mencari
tema-tema yang relevan dengan tema yang diangkat diantaranya.
Muhammad Taufiq dalam hasil penelitiannya tentang Nilai-nilai
Pendidikan Dalam Ritual Kematian mem[unyai makna melestarikan
budaya Jawa dari nenek moyang, meningkatkan keimanan dan ketaqwaan
serta pendidikan. Nilai pendidikan yang terkandung dalam ritual tersebut
diantaranya adalah pendidikan sosial, pendidikan agama, dan pendidikan
masyarakat. Pendidikan sosial antara lain adalah gotong royong, tolong
menolong. Dan solidaritas. Sedangka pendidikan agama adalah pendidikan
tauhid dan pendidikan keimanan.
Nurul Hasanah (2015) dalam skripsinya membahas beberapa aspek
akulturasi Islam di Jawa. Di antaranya tentang rangkaian selametan yang
diadakan bertepatan dengan saat-saat penting di dalam kehidupan seperti
pemakaman sampai selamatan. Adanya penggunaan simbol dalam bentuk
sesajen yang menyertai doa-doa berbahasa Arab menjadi bukti adanya
akulturasi Islam di Jawa. Relevansinya dengan tema yang diangkat terletak
pada akulturasi Islam di Jawa. Penggunaan sesajen sebagai sebuah simbol,
dengan pemaknaan yang mendalam dan penuh kesadaran ataupun hanya
37
sekedar mengikuti kebiasaan, selalu diikutsertakan dalam melangsungkan
tahlilan dan doa yang tentunya bernafaskan Islami.
Koentjaraningrat
dalam
bukunya,
memaparkan
secara
komprehensip tentang kebudayaan orang Jawa dari akar budayanya
sampai dengan ritual dalam lingkaran kehidupan dari kelahiran, kematian
dan sampai upacara peringatan setelah kematian. Karya tersebut
merupakan sumber primer dalam penelitian ini, karena tema yang diusung
oleh penulis juga merupakan bagian dari bahasannya. Penelitian ini
memfokuskan pada Nilai-nilai Pendidikan Islam yang terkandung dalam
Tradisi Membangun Kijing (Ngijing).
38
BAB III
PAPARAN DATA DAN HASIL TEMUAN
A.
Letak Geografis
1. Batas Administrasi
Dusun Siwal merupakan salah satu dari 6 dusun yang berada di
wilayah desa Siwal Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang.
Dusun Siwal memiliki batas-batas sebagai berikut: Sebelah Utara :
Desa
Mukiran, Sebelah Selatan: Kebun Bimo, Tlatar Boyolali,
Sebelah Barat: Dusun Tempel, dan Sebelah Timur: Dusun Poten.
2. Luas Wilayah
Dusun Siwal Desa Siwal Kecamatan Kaliwungu Kabupaten
Semarang secara keseluruhan memiliki luas sebesar 44 Ha, secara
administratif terdiri dari 6 RT (Data Desa Siwal, 2015). Dusun Siwal
diuntungkan secara geografis mengingat posisinya yang strategis
terletak diantara jalur penghubung segitiga pusat perkembangan
wilayah Jogjakarta, Solo, dan Semarang (Joglosemar). Posisi strategis
tersebut merupakan kekuatan yang dapat dijadikan sebagai modal
pembangunan dusun.
3. Topografis
Wilayah Dusun Siwal berada pada ketinggian yang berkisar antara
250-350 meter di atas permukaan laut (dpl) (Data Desa Siwal, 2015).
Dusun Siwal berpotensi tinggi mengalami bencana alam berupa tanah
39
longsor mengingat kondisi permukaan tanah yang mudah longsor/
bergerak karena pada Dusun Siwal tersebut terdapat zona tanah
bergerak atau wilayah yang kondisi permukaan tanahnya mudah
longsor.
4. Penggunaan Lahan dan Iklim
Wilayah Dusun Siwal yang memiliki luas sebesar 44 Ha sebagaian
besar digunakan sebagai lahan pertanian dan pemukiman, sedangkan
sisanya untuk jalan dan makam. Wilayah Dusun Siwal memiliki iklim
tropis dengan curah hujan rata-rata 200-300 mm/tahun, suhu udara
berkisar antara 28-32 derajat C, kecepatan angin 0,37-0,71 knot, dan
kelembaban udara 38,5-98% (Data Desa Siwal, 2015).
B.
Letak Demografis
Penduduk Desa Siwal pada akhir tahun 2013 sebanyak 1970 jiwa
dan pada akhir tahun 2014 menurut data berjumlah 1992 jiwa.
Dibandingkan dengan kondisi akhir tahun 2005 terdapat penambahan netto
sebanyak 22 jiwa dengan rata-rata laju pertumbuhan penduduk pada tahun
2010 adalah sebesar 1,73 %. diketahui bahwa perbandingan penduduk
laki-laki dengan perempuan sebesar 1:2, artinya jumlah penduduk
perempuan lebih besar 3% dibanding laki-laki Data Kependudukan Desa
Siwal, 2014).
Data penduduk Dusun Siwal pada tahun 2014 sebanyak 681 jiwa,
dimana jumlah penduduk dusun Siwal dari tahun 2009 sampai 2014 tidak
40
mengalami peningkatan yang signifikan. Hal tersebut dapat diketahui
ketahui dari data penelitian yang menunjukkan bahwa jumlah penduduk
tahun 2009 sebanyak 680 jiwa dan pada tahun 2014 jumlah penduduknya
sebanyak 681. Dan untuk perbandingan penduduk laki-laki dan
perempuan, yaitu lebih banyak perempuan sebesar 3%.
C.
Kondisi Ekonomi dan Pendidikan
Suatu masyarakat dimanapun mereka berada memiliki ciri khas
seperti adanya kelompok-kelompok atau kelas-kelas sosial berdasarkan
klasifikasi tertentu. Mengenai kelas sosial menurut Koentjaraningrat
dibagi dalam dua kelas yaitu kelas wong cilik dan kelas priyayi
(Koentjaraningrat, 1994:331). Istilah priyayi mengacu pada orang-orang
dari kelas sosial tertentu yang menurut hukum merupakan kaum elite
tradisonal, yang dianggap berbeda dari rakyat biasa yang oleh kaum
mayoritas disebut wong cilik seperti wong tani (Geertz, 1960:525). Dari
pengertian di atas maka penulis perlu membahas sedikit tentang kelaskelas sosial yang berada di Dusun Siwal Desa Siwal tersebut dengan cara
melihat mata pencaharian masyarakat di sana. Dengan cara tersebut maka
mayoritas mata pencaharian masyarakat akan menunjukkan kondisi
perekonomian masyarakatnya. Berdasarkan monografi jumlah penduduk
menurut jenis pekerjaan adalah sebagai berikut:
41
Tabel 1.1
Jumlah Jenis Pekerjaan Penduduk Desa Siwal Kecamatan
Kaliwungu Kabupaten Semarang
No.
Pekerjaan
Jumlah Penduduk
1.
Bidan
1 orang
2.
Perawat
3 0rang
3.
Polisi
1 orang
4.
PNS
11 orang
5.
Guru
13 orang
6.
Pedagang
1 orang
7.
Petani
454 orang
8.
Buruh
107 orang
9.
Pegawai Swasta
314 orang
10.
Polisi
1 orang
Sumber: Data Desa Siwal 2015
42
Data monografi menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat
bermata pencaharian sebagai petani. Namun masalah pendidikan bagi
generasi muda tidak begitu terabaikan bagi mereka. Walaupun begitu
tingkat pendidikan masyarakat Kelurahan Siwal masih tergolong rendah
jika dibandingkan dengan kelurahan yang lain yang ada di Kabupaten
Kaliwungu karena sebagian besar hanya tamat Sekolah Dasar (SD). Hal
ini disebabkan tidak hanya tingkat kesadaran orang tua yang masih
memprihatinkan, namun juga lingkungan yang kurang mendukung.
Masyarakat dusun Siwal belum termasuk dalam kategori masyarakat yang
sadar akan petingnya pendidikan, ditunjukkan dengan data berdasarkan
jumlah tingkatan lulusan. Banyak masyarakat yang belum/ tidak sekolah di
dusun Siwal dan hampir sebagian besar masyarakat di dusun Siwal adalah
lulusan SD/ Sederajat. Akan tetapi dalam 10 tahun terakhir, banyak
mengalami peningkatan di bidang pendidikan.
Di Kelurahan Siwal sendiri sekarang terdapat beberapa lembaga
pendidikan, diantaranya: PAUD, TK dan Sekolah Dasar (SD). Hal ini
menunjukkan adanya fasilitas untuk anak-anak mereka mengenyam
pendidikan formal di desa mereka sendiri meskipun hanya sampai tingkat
Sekolah Dasar. Namun dengan adanya dukungan dari orang tua dan
kesadaran mereka sendiri akan arti pentingnya pendidikan bagi masa
depanlah yang mendorong untuk melanjutkan pendidikan mereka keluar
daerah. Untuk dapat meneruskan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP)
mereka harus menempuh jarak sekitar 8 KM untuk sampai ke sekolah dan
43
untuk melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas (SMA) atau Sekolah
Mennegah Kejuruan (SMK) mereka harus menempuh jarak sekitar 5 KM
sedangkan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi mereka harus
menempuh berkilo-kilo meter. Meskipun demikian tidak menyurutkan
semangat mereka menuntut ilmu guna masa depan mereka juga
membenahi taraf hidup masyarkat dusun tersebut.
D.
Kondisi Sosial Budaya
Terlepas dari agama manapun yang ada di dunia ini yang jelas
manusia menyadari bahwa kehadirannya di muka bumi ini adalah karena
proses penciptaan dan kehendak dari Tuhan Yang Maha Esa. Juga
manusia diciptakan dengan orang lain yang berbeda agama, warna kulit,
bahasa dan lain sebagainya untuk saling berdampingan dalam menjalani
kehidupannya. Hal ini menunjukkan bahwa manusia sebagai mahluk sosial
tidak bisa hidup sendiri tanpa orang lain dalam melaksanakan aktivitasnya.
Selain berada di antara orang lain, seorang manusia juga berada diantara
mahluk lain dalam makrokosmos. Di dalam sistem makrokosmos tersebut,
ia merasakan dirinya hanyalah sebagai suatu unsur kecil saja yang ikut
terbawa oleh proses peredaran alam semesta.
Hal tersebut menjadi asumsi bagi masyarakat Siwal, tradisi
hubungan sosial antar individu yang tercermin lewat gotong royong masih
terjalin sangat kuat. Sifat gotong royong merupakan ciri khas kehidupan
warga desa. Adapun ciri-ciri kehidupan masyarakat desa secara umum
44
adalah masyarakat berhubungan langsung dengan alam. Hal ini berkaitan
dengan mata pencaharian mayoritas warga desa. Selain itu tradisi-tradisi
yang masih berjalan dimasyarakat dusun Siwal diantaranya adalah
kegiatan tahlilan dan yasinan, peringatan desa sebagai bentuk rasa syukur
kepada Allah Swt., berjanji, dan pembuatan dupa pada saat orang
meninggal. Sifat tolong-menolong antar warga sangat erat dan juga
kesadaran masyarakat d Siwal sangat tinggi dalam hal mengikuti dan
melaksanakan kewajiban negara, seperti membayar pajak tercepat sekabupaten Semarang.
Dilihat dari segi pergaulan, sistem pergaulan masyarakat Siwal
yaitu sistem pergaulan masyarakat pedesaan. Terdapat kedekatan/tingkat
kekeluargaan antar warga sangat dekat, seperti ketika ada salah seorang
warga yang meninggal dunia dan diumumkan di Masjid, maka masyarakat
dusun Siwal datang berduyun-duyun melakukan ta‟ziah, ketika ada salah
satu warga yang sakit, maka masyarakat dusun Siwal bersama-sama
menjenguk warga yang sakit tersebut.
Masyarakat dusun Siwal tidak menutup diri dengan masuknya era
globalisasi. Hal tersebut tampak terlihat dengan masuknya alat-alat
teknologi canggih, seperti Handphone, Televisi, dan sebagainya. Dalam
hal minat masyarakat untuk melaksanakan
kegiatan ibadah dimasjid
seperti sholat jama‟ah masih sedikit tingkat kesadarannya.
45
E.
Kondisi Keagamaan
Agama merupakan pedoman hidup manusia. Latar belakang
keagamaan tiap individu mempengaruhi aspek kehidupannya. Demikian
juga dengan masyarakat Jawa khususnya masyarakat Siwal yang
mayoritas penduduknya beragama Islam, terdapat juga pemeluk agama
lain yaitu agama Kristen. Secara terperinci dapat dilihat sebagaimana
Tabel 1.2 berikut:
Tabel 1.2
Jumlah Pemeluk Agama Penduduk Dusun Siwal Kecamatan Kaliwungu
Kabupaten Semarang Tahun 2015
AGAMA
NO TAHUN
1
2015
Islam Kristen Katolik Hindu Budha
Konghucu
679
-
2
-
-
-
Sumber: Data Demografis Siwal
Dari data diatas menunjukkan bahwa masyarakat dusun Siwal
didominasi oleh mayoritas masyarakat muslim. Sebanyak 679 dari 681
masyarakat adalah penganut agama Islam. Perbedaan agama ini terjadi
karena perbedaan latar belakang kehidupan masyarakat yang satu dengan
yang lain. Namun hal itu tidak menjadikan penganut agama Islam yang
sebagai agama mayoritas, mereka tetap saling menghargai dan
menghormati serta memberikan kebebasan bagi penganut agama lain
untuk melaksanakan aktivitas keagamaannya.
46
Akan tetapi ketika melihat di lokasi banyak yang tidak paham akan
ajaran Islam dengan kata lain ilmu tentang agama masih dikatakan
rendah. Melihat dari keaktivan remaja dusun Siwal dalam menghidupkan
masjid tidak begitu nampak, dikarenakan banyak remaja Siwal yang
bekerja ataupun merantau keluar kota.
Kehidupan beragama dari penduduk Desa Siwal tersebut ditunjang
dengan jumlah sarana dan prasarana peribadatan sebagaimana Tabel 1.3:
Tabel 1.3
Jumlah Sarana Peribadatan Penduduk Dusun Siwal Desa Siwal
Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang Tahun 2015
SARANA PERIBADATAN
NO TAHUN
Masjid Mushola Gereja Pura Vihara Klenteng
1
2015
2
-
-
-
-
-
Sumber: Data Demografis Siwal
Islam sebagai agama dominan masyarakat Siwal direalisasikan oleh
para penganutnya dengan mengadakan berbagai macam kegiatan
keagamaan di antaranya dengan mendirikan sarana dan prasarana untuk
menunjang kekhusukan beribadah terdapat dua buah masjid. Akan tetapi
apabila dilihat kegiatan keagamaan masyarakatnya masih kurang
semarak. Hal ini terlihat dari sedikitnya orang yang mengaji dan
melaksanakan sholat berjama'ah di masjid. Sunyinya masjid dari kegiatan
keagamaan bukan berarti kurangnya syiar Islam, melainkan kegiatan
47
keagamaan yang selama ini telah dijalani dilangsungkan di rumah warga
yang kedapatan giliran. Masjid dan mushalla dijadikan sarana ibadah
yang bersifat rutin dan besar seperti sholat jama'ah lima waktu, shalat
jum'at, shalat dua hari raya, pengajian-pengajian akbar dan Taman
Pendidikan Al-Qur'an (TPA).
F.
Proses Pelaksanaan Membangun Batu Nisan (Ngijing)
1.
Latar Belakang
Kebudayaan Jawa merupakan salah satu kebudayaan daerah yang
cukup berpengaruh di Indonesia. Kebudayaan asli jawa telah ada sejak
zaman prasejarah. Kedatangan bangsa Hindu dengan kebudayaannya
di jawa berkembanglah kebudayaan Hindu-Jawa, demikian pun dengan
masuknya Islam. Para wali dalam melakukan dakwahnya memiliki
kebijakan khusus yaitu tidak memaksakan Islam kepada masyarakat,
melainkan memilih jalan perpaduan antara Hindu-Jawa dengan Islam.
Maka dalam kebudayaan jawa terkandung unsur-unsur budaya jawa,
Hindu dan Islam.
Pandangan hidup orang jawa hampir sama disetiap daerah wilayah
Jawa Tengah, yaitu menekankan ketenteraman batin, keselarasan dan
keseimbangan, sikap menerima terhadap segala peristiwa yang terjadi
sambil menempatkan individu di bawah masyarakat dan masyarakat di
bawah semesta alam. Pandangan tersebut memiliki gagasan mengenai
sifat dasar manusia dan masyarakat yang pada gilirannya menerangkan
48
etika, tradisi, dan gaya Jawa. Jadi ritual melaksanakan pergantian batu
nisan
(ngijing)
bukanlah
suatu
kategori
keagamaan,
tetapi
menunjukkan kepada suatu etika dan gaya hidup.
Tradisi ngijing berdasarkan dari sumber lisan yang didapat,
penduduk tidak dapat menceritakan sejak kapan tradisi Ngijing ini
dilakukan. Mereka hanya dapat menyatakan bahwa upacara ini sudah
sejak dulu dilakukan, kini mereka tinggal meneruskan adat yang telah
berlaku turun temurun.1 Tradisi Ngijing yang dilaksanakan pada
selamatan seribu hari setelah kematian merupakan salah satu bentuk
upacara tradisi yang diwariskan leluhur. Upacara itu dilaksanakan di
pemakaman setempat atau yang lebih dikenal dengan nama pasareyan.
Ngijing berasal dari kata kijing. Dalam tata bahasa jawa,
perubahan konsonan "k" menjadi "ng" berarti juga mengubah makna,
kijing artinya nisan (kata benda), sedangkan ngijing adalah kata kerja
yang berarti pemasangan kijing (Pranowo, 2000:442). Tradisi ini
mempunyai tujuan untuk memberikan tanda makam sebagai wujud
penghormatan
mereka
terhadap
keluarga
mereka
yang
telah
meninggal. Pada saat jenazah dikebumikan sampai dengan tradisi
ngijing dilaksanakan, makam hanya berbentuk gundukan tanah dengan
papan nisan di kedua ujungnya.
1
Wawancara dengan Bapak Slamet Utomo tokoh agama pada tanggal 02 Juni 2015
49
Umumnya tradisi ini dilakukan pada pagi hari.2 Kalaupun ada yang
melakukannya di siang hari atau sore hari biasanya bukan sekedar
ngijing, tetapi juga memindahkan kerangka jenazah keluarganya yang
kebetulan dimakamkan di luar daerah agar dimakamkan dekat dengan
makam para kerabatnya atau di pemakaman keluarga. Kasus seperti ini
jarang terjadi kecuali atas permintaan dari keluarga almarhum. Namun
tradisi Ngijing yang dibahas dalam penelitian ini adalah memberikan
kijing pada makam yang sama seperti saat si jenazah dikebumikan.
Meskipun demikian keduanya tetap dilakukan pada upacara selametan
nyewu.
Tradisi
Ngijing merupakan suatu jenis kebudayaan lokal
tradisional orang Jawa (Hardjowirogo, 1986:7). Dengan demikian
tradisi Ngijing dapat diklasifikasikan sebagai kebudayaan Jawa yang
mewarnai sendi-sendi kehidupan mayarakat, terutama dalam ritualitas
kebudayaan. Hal ini bisa diamati pada seremonial-seremonial budaya
dalam masyarakat masih menunjukkan akan kepercayaannya terhadap
makhluk supranatural. Tradisi Ngijing yang dilaksanakan pada
peringatan seribu hari (nyewu) pada dasarnya hanya tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat yang beragama Islam. Namun dalam
perkembangannya di Dusun Siwal melaksanakan membangun kijing
(ngijing) tidak harus dilakukan pada seribu hari setelah kematian
namun juga bisa dilakukan pada suatu waktu yang terpenting adalah
2
Wawancara dengan Bapak Wiratno sebagai pelaku tradisi ngijing pada tanggal 01 Juni
2015
50
anggota keluarganya sudah mempunyai cukup biaya untuk melakukan
pengijingan.3 Akan tetapi sebagian besar masyarakat Siwal masih
melaksanakan membangun kijing (ngijing) pada seribu hari. Hal
tersebut karena sudah menjadi tradisi masyarakat setempat.
Selametan atau Wilujengan menurut C. Geertz, sebagaimana yang
dikutip Koentjaraningrat adalah suatu upacara pokok atau unsur
terpenting dari hampir semua ritus dan upacara dalam sistem religi
orang Jawa pada umumnya, dan penganut agama Jawi khususnya
(Koentjaraningrat, 1994:365).
Bagi orang Jawa, hidup ini penuh dengan upacara. Upacaraupacara itu berkaitan dengan lingkaran hidup manusia sejak dari
kandungan ibunya, kanak-kanak, remaja, dewasa sampai dengan saat
kematian dan setelahnya, atau juga upacara-upacara yang berkaitan
dengan aktifitas kehidupan sehari-hari seperti upacara bersih desa,
penggarapan tanah pertanian, dan upacara pada hari-hari besar Islam
(Koentjaraningrat, 1985:348). Diantara banyaknya upacara selamatan
di atas, maka upacara selamatan dalam rangka lingkaran hidup
seseorang, khususnya yang berhubungan dengan kematian serta saat
sesudahnya adalah suatu adat kebiasaan yang amat diperhatikan dan
kerap kali dilakukan oleh hampir seluruh golongan masyarakat orang
Jawa. Hal ini mungkin disebabkan karena orang Jawa sangat
menghormati arwah orang meninggal dunia terutama bila orang yang
3
Wawancara dengan Slamet Utomo sebagai tokoh agama pada tanggal 02 Juni 2015
51
meninggal adalah bagian dari keluarganya. Sehingga salah satunya
adalah melakukan upacara membangun kijing (ngijing) pada selamatan
seribu hari (nyewu).
Pada kepercayaan lama, upacara dilakukan dengan mengadakan
sesaji atau sesajen (Koenjtaraningrat, 1985:348). Sesaji yang disajikan
tersebut diperuntukkan kepada daya-daya kekuatan gaib (roh-roh,
mahluk halus, dewa-dewa) tertentu. Sesaji merupakan ramuan dari tiga
macam bunga (kembangb telon), kemenyan, uang recehan, dan kue
apem yang ditaruh di dalam besek kecil atau bungkusan daun pisang
(Koenjtaraningrat, 1985:349). Tentu dengan upacara itu harapan
pelaku adalah agar hidup senantiasa dalam keadaan selamat.
Secara luwes Islam memberikan warna baru pada upacara-upacara
selamatan itu dengan sebutan kenduren atau kenduri, kondangan,
selamatan (Bayuadhy, 2015:13). Di dalam upacara selametan ini yang
pokok adalah pembacaan doa yang dipimpin oleh orang yang di
pandang memiliki pengetahuan tentang Islam, apakah seorang modin
atau kiai. Selain itu terdapat seperangkat makanan yang dihidangkan
bagi peserta selametan yang disebut berkat. Makanan-makanan itu di
sediakan oleh penyelenggara upacara atau yang sering di sebut dengan
shahibul
hajat.
Dalam
pengejawantahannya
orang-orang
jawa
melakukan berbagai ritual yang kemudian diwariskan secara turun
temurun dari generasi ke generasi. Salah satu tradisi yang dilakukan di
dusun Siwal adalah tradisi Ngijing. Tradisi ini masih tetap
52
dilaksanakan hingga sekarang karena berbagai hal yang terkandung di
dalamnya. Pelaksanaan tradisi Ngijing ini merupakan simbol ketaatan
kepada tradisi leluhur sebagai penerus tradisi yang pernah ada. Di
samping itu tradisi Ngijing mengajarkan pada generasi muda untuk
selalu ingat pada sanak saudaranya yang sudah meninggal dunia.
2.
Rangkain Ritual
Sebelum melaksanakan prosesi Ngijing ada dua tahapan yang
dirangkai dua hari satu malam.4 Tahap pertama yaitu kenduri yang
dilaksanakan pada sore hari. Tahap kedua yaitu tahlilan yang diadakan
pada malam harinya. Berikut penjelasan untuk lebih memudahkan
dalam mendeskripsikan tahapan-tahapan tersebut
a. Kenduri
Kenduri dilakukan pada sore hari sebelum keesokannya
melaksanakan ngijing. Kenduri ini merupakan adat masyarakat
Jawa yang dilakukan oleh orang yang mempunyai hajat tertentu
dengan mengundang warga sekitar untuk ikut mendoakan
keselamatan dan kebahagiaannya (Bayuadhy, 2015:13). Pada
hakikatnya kenduri ini bertujuan untuk meminta doa dari tetangga
atau kerabat agar apa yang diinginkan tercapai, selamat, serta
bahagia selama hidup di dunia dan di akhirat.
Warga yang diundang kenduri adalah laki-laki yang telah
berkeluarga (kepala keluarga). Pada saat kenduri ada satu orang
4
Wawancara dengan Bapak Wiratno sebagai pelaku tradisi ngijing pada tanggal 01 Juni
2015
53
yang ngujupke (mengikrarkan). Orang yang ngujupke ini sekaligus
memimpin acara kenduri. Biasanya orang ini adalah tokoh yang
dituakan atau bisa juga seorang modin (Bayuadhy, 2015:16). Pada
saat orang yang ngujupke tadi mengikrarkan keinginan orang yang
mengadakan kenduri lalu memimpin doa, orang-orang yang datang
mengikutinya dengan mengucapkan “aamiin” bagi warga yang
beragama Islam. Hidangan pada saat selamatan kenduri adalah nasi
tumpeng, ayam yang diingkung berserta lauk pauknya dan bunga
setaman.5
Pada saat pulang, orang-orang yang kenduri mendapatkan
berkat dari orang yang mempunyai hajat sebagai wujud shadaqah
yang mana pahalanya diniatkan untuk almarhum. Berkat terdiri
dari nasi, lauk, sayur, kue, dan jenang yang dimasukkan dalam
wadah (Bayuadhy, 2015:14). Isi berkat ini tidak selalu begitu tetapi
disesuaikan dengan kemampuan yang berhajat. Hal ini memiliki
makna bahwa penyelenggaraan hajat kenduri mencapai apa yang
diinginkan dan sebagai ucapan terima kasih atas kesediaan waktu
dan doanya. Berkat tersebut dibawa pulang dengan maksud agar isi
berkat dapat dinikmati oleh satu keluarga. Pemberian berkat lebih
diutamakan ketimbang hidangan penutup yang hanya bisa
dinikmati oleh para undangan saja. Mereka beranggapan berkat
yang dinikmati sekeluarga lebih besar pahala shadaqahnya
5
Wawancara dengan Ibu Sri Ningsih pelaku tradisi ngijing pada tanggal 01 Juni 2015
54
dibanding hidangan penutup yang dinikmati oleh tamu undangan
saja. Juga kata orang roh-roh menghisap sari-sari makanan dari bau
makanan itu, dan dari doa orang muslim (Susanto SJ, 1995:77).
Artinya bahwa roh-roh ditenangkan dan solidaritas ketetanggaan
diperkuat.
Pelaksannan acara kenduri, warga bisa mengambil banyak
manfaat.
Kenduri
bisa
dijadikan
wahana
untuk
menjaga
kebersamaan dan persatuan. Kenduri juga bisa dijadikan ajang
silaturrahmi untuk memulihkan keretakan, gesekan, dan konflik
ringan antarwarga. Selain itu berkat kenduri yang secara fisik
berwujud makanan benar-benar menjadi berkah bagi warga yang
diundang kenduri dan keluarganya yang berada di rumah.
b. Tahlilan dan Yasinan
Sudah menjadi tradisi masyarakat Indonesia, bila ada
kerabat atau orang lain yang meninggal dunia maka terdapat acara
membaca tahlil untuk mendoakan si mayit (Chafidh dan Asrori,
2006:238). Biasanya acara tahlil ini biasanya diadakan pada tujuh
hari, empat puluh hari, seratus hari sampai seribu hari setelah
kematiannya. Tahlilan ini merupakan bentuk ritual keagamaan
yang penuh dengan puji-pujian kepada Allah Yang Maha Esa.
Tahlilan dilaksanakan pada malam hari dan biasanya melibatkan
laki-laki (kepala keluarga) yang menjadi perwakilan dari keluarga.
55
Tahlilan ini dipimpin oleh seorang mudin atau tokoh agama yang
dipercaya untuk memimpin doa dan biasanya dilaksanakan setelah
shalat Isya‟ atau lebih malam bila ada benturan dengan acara
keagamaan lainnya seperti kenduri, selamatan dan lain sebagainya.
Dengan hal tersebut maka waktu pelaksanaan tahlilan diserahkan
kepada modin dengan kesepakatan dan kesiapan dari orang yang
punya hajat. Tempat pelaksanaan tahlilan umumnya dikediaman
yang punya hajat. Pada pagi harinya sebelum tahlilan dilakukan,
yang berhajat dengan sendirinya atau meminta bantuan orang lain
yang bisa bertutur kata halus untuk memberitahukan kepada
tetangga dan kerabat terdekat dan mengundangnya untuk datang. 6
Apabila merasa belum cukup dengan hal tersebut yang berhajat
meminta bantuan kepada takmir masjid untuk mengumumkan
undangan tahlilan tersebut.
Biasanya acara tahlilan ini dibarengi dengan acara yasinan.
Sebelum masuk ke tahlilan biasanya membaca surat Yasin yang
dipimpin oleh modin dengan perlahan-lahan secara bersama-sama.
Hal ini bertujuan agar pembacaan dapat dilakukan dengan khidmat
dan juga agar para orang tua dan orang yang tidak lancar mengaji
tidak ketinggalan dalam melafalkannya.
Sebelum acara tahlilan dimulai, orang-oang yang sudah
datang biasanya saling menyapa, membicarakan panen mereka,
6
Wawancara dengan Bapak Bejo sebagai warga pada tanggal 02 Juni 2015
56
sekolah anak-anaknya, atau berita-berita lokal maupun nasional.
Sebagai contoh diantaran peserta tahlilan ada yang tahu tentang
politik dan pengetahuan umum maka bisa terjadi diskusi yang seru
antarwarga. Dengan demikian tahlilan bukan hanya menjadi ajang
aktualisasi keagamaan, tapi juga merupakan ajang sillaturrahmi
dan komunikasi antar warga. Ketika semua masyarakat berkumpul,
acarapun dimulai. Seorang pembawa acara yang sudah ditunjuk
membuka acara dan mengurutkan acara-acara yang akan
dilaksanakan. Acara yang pertama adalah pembukaan yang
menguraikan maksud di undangnya para warga ke acara tersebut.
Acara yang kedua adalah sambutan dari tuan rumah atau yang
mewakili untuk menyampaikan
ucapan terima kasih atas
kedatangan para undangan dan mohon bantuan do'a yang seikhlasikhlasnya. Agar rangkaian acara ini berjalan lancar dan mendapat
ridho Allah Swt. Acara yang ketiga yaitu tahlilan serta yasinan
yang dipimpin langsung oleh modin atau yang mewakili jika
modin berhalangan hadir.
Pada umumnya prosesi tahlilan yang dilakukan di dusun
Siwal sama dengan tahlilan di tempat lain. Pembacaan surah AlFatihah pertama diniatkan kepada nabi Muhammad Saw. dan
keluarganya. Pembacaan alfatihah kedua diniatkan kepada para
malaikat , para nabi, para ulama dan kepada Syaikh Abdul Qadir
al-Jaelani. Alfatihah ketiga diniatkan kepada kaum muslim secara
57
umum dan kepada almarhum beserta keluarga khususnya.
Kemudian dilanjutkan dengan pembacaan surat Yasin secara
perlahan-lahan yang bertujuan agar pembacaannya dapat berjalan
dengan khidmat. Setelah pembacaan surat Yasin dilanjutkan
dengan tahlil, tahmid dan tasbih dan diakhiri dengan do'a. Setelah
do'a selesai dibacakan, maka tuan rumah mempersilahkan para
undangan untuk mulai menyantap hidangan. Hidangan ini
merupakan ungkapan terimakasih atas kesediaannya membantu
mendo'akan almarhum.
Hidangan tadi merupakan bentuk sebuah sedekah. Sedekah
menurut seorang antropolog Belanda J. van Baal, adalah suatu
pemberian, dan bahwa suatu pemberian terutama merupakan cara
untuk mengadakan komunikasi simbolis dan untuk berpartisipasi
dalam kehidupan serta pekerjaan dari orang yang diberi, dan bukan
hanya merupakan cara untuk memuaskan kebutuhan fisik
seseorang, untuk "menyuap", atau untuk mengembalikan jasa. Oleh
karena itu sebagai suatu pemberian, sedekah merupakan alat untuk
berkomunikasi secara simbolik dengan mahluk-makhluk halus di
dunia gaib (Koentjaraningrat, 1994:365). Ketika para tamu
meminta izin pulang, tuan rumah menyalami dan mengucapakan
terima kasih.
3.
Prosesi Tradisi Ngijing
a. Persiapan dan Perlengkapan
58
Penyelenggaraan dalam tradisi ngijing diadakan dua jenis
persiapan yaitu persiapan fisik dan persiapan nonfisik. Persiapan
fisik adalah berupa wujud-wujud benda dan perlengkapan yang
lainnya dalam menyelenggarakan tradisi ngijing, dan persiapan
nonfisik yaitu suatu tradisi yang selama ini dilaksankan sebelum
berlangsungnya upacara tersebut seperti membersihkan makam
dari rumput-rumput liar.
Beberapa hari sebelum diselenggarakan tradisi ngijing,
yang
berhajat
mulai
mempersiapkan
perlengkapan
yang
dibutuhkan nantinya. Ada dua macam perlengkapan yang
dibutuhkan yaitu perlengkapan yang berupa material (bahan
bangunan) dan perlengkapan berupa sesaji.
Adapun perlengkapan material yang dipersiapkan adalah:
1) Kijing adalah batu yang berbentuk persegi panjang yang
digunakan untuk tutup dan tanda kuburan. Kijing mudah
didapatkan dan bisa dipesan di tempat industrri pembuat kijing
atau nisan makam dengan harga yang bervariasi. Kijing ada
dua bentuk. Bentuk yang pertama terbuat dari batu asli yang di
tatah atau dibentuk seperti kijing pada umumnya. Contohnya
seperti makam para raja dahulu. Bentuk yang kedua terbuat
dari campuran semen dan pasir yang dibentuk menjadi nisan
dan biasanya dibentuk berdasarkan pesanan. Bentuk inilah
yang sering dipilih konsumen. Selain bentuknya yang bisa
59
dipesan harganya juga lebih ekonomis dan lebih praktis pada
saat pemasangannya karena bobotnya lebih ringan dibanding
dengan kijing dari batu asli.
2) Semen, air, pasir dan batako yang nantinya akan digunakan
untuk membuat semacam altar di atas makam untuk
meletakkan kijing.
3) Cangkul, ember dan sekop yang digunakan untuk mengolah
campuran bahan-bahan material, dua buah balok panjang dan
tambang besar yang digunakan untuk mengangkat kijing.
Sedangkan perlengkapan yang digunakan untuk sesaji7 antara lain:
1) Nampan, keranjang tempat sesaji.
2) Kemenyan.
3) Palawija.
4) Jadah Pasar.
5) Telur.
6) Gula jawa satu tangkep.
7) Kelapa bulat.
8) Kendi kecil berisi air.
9) Ayam ingkung yaitu ayam dimasak secara utuh dengan santan
diberi bumbu ketumbar, merica, salam, dan lengkuas.
10) Nasi gurih atau nasi uduk.
11) Lauk pauk.
7
Wawancara dengan Ibu Sri Ningsih sebagai pelaku tradisi ngijing pada tanggal 01 Juni
2015
60
12) Pisang.
13) Daun pisang sebagai alas sesaji di atas nampan.
Masing-masing sesaji di atas tentunya hadir bukan dengan
tanpa maksud atau makna. Adapun makna dari sesaji tersebut di
atas adalah sebagai berikut:
1) Pisang sebayak satu sisir melambangkan kesatuan dan
kerekatan tali persaudaraan.
2) Kemenyan, berasal dari kemebul (asap sarung yang dibakar)
artinya agar do'a mereka terkabul.
3) Palawija melambangkan penghargaan dan penghormatan
terhadap peraturan lingkungan.
4) Jadah Pasar yaitu berasal dari cepeto pasrah artinya bahwa
macam-macam buah dan jajanan itu gambaran warna-warni
keadaan hidup di dunia. Oleh karena itu cepatlah pasrah kepada
Yang Maha Kuasa.
5) Telur yaitu terdiri dari tiga bagian, yaitu cangkang (kulit telur)
putih telur dan kuning telur, melambangkan tiga bagian
kehidupan manusia, kulit luar melambangkan kehidupan yang
selalu bergesekan dengan orang lain, terhadap pribadinya
sendiri dan terhadap pencipta. Putih telur menjadi simbol niat
baik manusia. Kuning telur menjadi simbol hati manusia.
Setelah dilakukan berbagai persiapan dan kelengkapan prosesi
ngijing dan telah melaksanakan ritual sebelumya yaiu kenduri,
61
tahlilan, dan yasinan, maka pada hari keduanya pada waktu yang
telah di tetapkan yaitu pagi harinya, para warga membantu, yang
berhajat dan modin memulai memasuki area pemakaman.
Perlengkapan dan peralatan yang dibutuhkan dibawa termasuk
nampan berisi sesajen. Kemudian Modin mendekati makam yang
akan dibongkar yang telah dibersihkan sebelumnya. Selanjutnya
modin berdiri di selatan kuburan atau di dekat letak kaki si
almarhum. Modin yaitu Bapak Slamet Utomo mengangkat kedua
tangannya untutk berdoa sambil membakar kemenyan yang
diletakkan diatas makam. Doanya sebagai berikut:
bismillahirrahmani rahiim. Niat ingsun obong menyan esisu
kuning wetan wesi kuning probo kidul tegal lelono ono kulon
mbok siragel kuning ono lor, krenges arang jati karubing
menyan, kukuse menyan suwono ingkang baurekso enten
makam mriki. Wontenipun jabang bayi kulo nyaosi sekul petak
gondho arum kunjuk dumatheng akal bakal wonten ing makam
mriki.
Pembakaran menyan dan doa tersebut hanya merupakan suatu
tradisi yang diwariskan oleh nenek moyang dan sebagai generasi
penerus hanya melaksanakan tradisi agar tradisi tersebut tetap
lestari. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan dari Pak Slamet
Utomo (02/06/2015):
“... seperti membakar menyan dan sesaji itu adalah ajaran
agama Hindu dan agama Budha sebelum Islam datang ke
Indonesia”.
Setelah berdoa namun kemenyannya belum habis pembokaran
belum bisa dilakukan, mereka harus menunggu sampai semuanya
62
terbakar. Kemudian modin memulai pembongkaran dengan
mencangkul tanah makam lalu dilakukan oleh anak pertama dari
almarhum dan seterusnya sampai semua anak mendapat giliran
baru setelah itu beberapa warga ikut membantu secara bergantian.
Pencangkulan dilakukan dengan hati-hati karena khawatir
pasak penutup jenazah yang terbuat dari kayu keropos dan tak kuat
menahan beban berat pengngali sehingga akan mengakibatkan
pasak amblas dan langsung menutupi jenazah. Setelah penggalian
di rasa cukup dalam maka tanah makam disiram dengan air, ini di
maksudkan agar tanah menjadi lebih padat sehingga mampu
menahan beban kijing yang berat. Uraian di atas bisa juga
dikatakan sebagai tahap pertama, karena setelah meratakan makam
dengan tanah sekitarnya mereka beristirahat di pendopo pasareyan
sambil menikmati hidangan yang disediakan shahibul hajat.
Hidangan ini merupakan ucapan terima kasih dan juga imbalan
jasa bagi warga yang membantu. Imbalan berupa uang hanya
diberikan kepada tukang bangunan yang bertugas mengkalkulasi
kebutuhan pemasangan kijing selengkapnya.
Setelah merasa cukup dengan hidangan tadi, para warga
memasuki tahap kedua yaitu pemasangan kijing. Warga bahu
membahu mengangkat batako, campuran pasir dan semen ke
makam untuk dijadikan altar. Mereka mengangkat materialmaterial tersebut dari luar komplek pemakaman karena merupakan
63
hal yang tabu bagi mereka menaruh dan mengolah barang-barang
material tersebut di dalam komplek pemakaman. Bagi mereka
komplek pemakaman adalah tempat yang suci maka ketika mereka
memasukinya harus melepaskan alas kaki yang dipakainya. Setelah
altar yang di bangun mengering dan menjadi keras, beberapa orang
warga mengangkat kijing untuk diletakkan di atas altar yang kering
tadi. Proses kerjasama sangat di butuhkan karena kijing bukanlah
barang ringan. Dan jika tidak berhati-hati dalam mengangkatnya
bukanlah hal yang tidak mungkin kalau kijing yang dibawa
menghantam kijing-kijing lainyang sudah terpasang ketika
melewati makam-makam tersebut. Setelah kijing diletakkan di atas
altar dan telah dirapikan, modin meminta orang yang paling tua
dari keluarga yang melaksanakan tradisi Ngijing untuk meletakkan
stupa kijing yang terletak di atas kedua ujung kijing. Pemasangan
stupa kijing dimulai dari stupa kepala dengan di sertai kalimat doa
berbahasa Jawa sesuai keinginan orang tersebut, karena tidak ada
patokan khusus tentang kalimat doa berbahasa Jawa ini. Namun
intinya doa tersebut berisi tentang permohonan keselamatan
almarhum di akhirat dan mohon akan bimbingannya di akhirat
kelak. Maka lengkaplah pelaksanaan tradisi ngijing pada upacara
selamatan nyewu. Warga kembali ke rumahnya masing-masing
dengan membawa pemahaman dan keyakinan tersendiri akan
makna tradisi ini dilaksanakan.
64
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Pendahuluan
Suku Jawa meupakan salah satu suku yang memiliki aneka ragam bentuk
kebudayaan. Hal tersebut terjadi karena perkembangan budaya di daerah
yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda. Budaya di Jawa Tengah
akan berbeda dengan budaya di Jawa Timur, karena disebabkan oleh
kondisi sosial dari masing-masing wilayah berbeda-beda. Salah satu
budaya yang dimiliki oleh suku Jawa tersebut adalah tradisi membangun
batu nisan (ngijing) yang masih dijalankan oleh masyarakat yang berada si
wilayah Kaliwungu khususnya.
Tradisi ngijing tersebut dikaji untuk mengetahui makna-makna
yang terkandung dalam bentuk simbol-simbol. Tradisi ini diwariskan
dengan tujuan menyampaikan makna yang terkandung didalam tradisi
tersebut. Dengan bentuk simbol-simbol manusia berkomunikasi, dan
mengembangkan ilmu pengetahuan yang mereka miliki untuk kehidupan
mereka. Oleh karena itulah penelitian ini diharapkan dapat mengungkap
makna-makna dari simbol-simbol tersebut dalam kebudayaan masyarakat
setempat.
65
B. Nilai-nilai Pendidikan Islam dalam Tradisi Membangun Batu Nisan
(Ngijing) di Dusun Siwal Desa Siwal Kecamatan Kaliwungu
Kabupaten Semarang
Islam adalah salah satu agama yang ada di Indonesia. Agama Islam
menjadi agama mayoritas bagi penduduk Indonesia daripada agama
lainnya seperti agama Kristen, Khatolik, Konghucou, Budha, dan Hindhu.
Agama Islam yang di bawa oleh Nabi Muhammad Saw. membawa pesan
yang bersifat universal untuk alam semesta ini dan seisinya. Agama Islam
bertujuan untuk mensejahterakan manusia secara lahir batin dan
kebahagiaan di dunia dan akhiratnya kelak. Kitab Al-qur‟an sebagai
pedoman hidup untuk mencapai tujuan tersebut. Agama Islam dalam
menyebarkan ajarannya melalui media dakwah.
Di Jawa, Islam dalam mengajarkan ajarannya melalui media
dakwah dengan berbagai macam cara salah satunya dengan menggunakan
media tradisi. Tradisi digunakan untuk mengenalkan ajaran Islam pada
umatnya dengan mengurai nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung di
dalamnya.Salah satu tradisi yang dapat diuarai nilai-nilai pendidikan Islam
adalah tradisi pergantian batu nisan (ngijing) yang dapat mempengaruhi
perilaku masyarakat Siwal. Warga Siwal yang mayoritas penduduknya
memeluk agama Islam tetap memberikan kebebasan menjalankan ibadah
bagi pemeluk agama lain. Bagi pemeluk agama Islam, warganya tetap
melakukan tradisi-tradisi yang menjadi warisan dari leluhurnya.
66
Pada zaman dahulu mereka melaksanakan ritual dengan segala hal
yang ada di dalamnya bukan tanpa makna, terdapat pesan pendidikan yang
terkandung didalam ritual tersebut. Faktanya sekarang adalah sebagian
dari mereka tetap mewairisi ritusnya namun tidak mengetahui nilai-nilai
pendidikan apa saja yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian
ajaran agama Islam dan tradisi terdapat korelasi yang mempengaruhi
segala aspek kehidupan khususnya masyarakat Siwal. Untuk itu penulis
ingin menganalisa niali-nilai pendidikan Islam dalam tradisi pergantian
batu nisan (ngijing) antara lain:
1. Pendidikan Keimanan
Pendidikan keimanan yang terdapat pada tradisi ngijing antara lain:
a. Iman Kepada Allah
Iman kepada Allah merupakan ajaran Islam paling pokok dan
mendasar dari agama Islam. Iman kepada Allah Swt ini dapat
dilihat dari perilaku dan sikap individu. Dengan beriman kepada
Allah berarti menjalankan segala perintahNya dan menjauhi segala
laranganNya. Hal tersebut dapat diketahui dari acara pra
pelaksanaan pergantian kijing (ngijing) yaitu tahlilan. Pada acara
tahlilan terdapat lafadh “laa ilaaha illallah” yang menjadi inti dari
acara tersebut. Artinya dari lafadh tersebut adalah “tiada Tuhan
selain Allah”. Iman merupakan kepercayaan yang meresap dalam
hati dan pikiran. Seseorang yang melafalkan kalimat tahlil
walaupun di lisan saja namun secara tidak langsung ia melakukan
67
ikrar untuk menjadi penganut dari sebuah keyakinan. Dengan
begitu bagi yang mengikuti tahlilan secara disadari maupun tidak
sadar akan mempengaruhi sikap dan perilaku pada kesehariannya
seperti lebih rajin beribadah shalat dan menghormati pemeluk
agama lain.
Selain lafadh “laa ilaaha illallah” terdapat juga lafadh
“astaghfirullah”. Lafadh “astaghfirullah” artinya adalah “aku
mohon ampunan kepada Allah”. Lafadh tersebut menjadi penguat
nilai aqidah. Setelah seseorang ditanamkan nilai aqidah pada
dirinya dari kalimat tahlil tersebut yang menunjukkan bahwa ia
adalah seorang hamba, maka aqidah tersebut harus diperkuat.
Apabila ia melakukan kesalahan atau larangan dari Tuhannya maka
ia merasa harus meminta ampunan kepada Tuhannya yaitu Allah
Swt. atas perbuatan atau kesalan tersebut.
Bagi orang Islam yang mengikuti tahlilan mengucapkan
secara lisan dan memahaminya secara mendalam arti dari tahlilan
tersebut yang kemudian akan diterapkan dalam kehidupan
bermasyarakat. Maka pemaknaan tersebut yang mendasari perilaku
bermasyarakat. Seseorang akan menjaga hubungannya kepada
Allah Swt. juga menjaga hubungannya kepada sesamanya.
Seseorang tidak akan melakukan perbuatan yang dilarang oleh
Allah Swt. seperti mencaci maki tetangganya, karena hal tersebut
akan berakibat tidak baik bagi hubungannya dengan Allah Swt
68
secara langsung juga akan membuat hubungannya dengan sesama
juga tidak akan baik. Hal inilah yang dijadikan salah satu dasar
dalam bermasyarakat di Siwal.
b. Iman Kepada Hari Akhir
Iman kepada hari akhir berarti percaya bahwa kelak dunia ini akan
mengalami kehancuran (kiamat). Maka seorang yang beriman
kepada hari akhir akan bersungguh-sungguh dalam menjalani
kehidupan di dunia ini dengan cara melakukan ibadah dan
perbuatan yang mendatangkan pahala baginya. Namun bagi yang
ingkar biasanya mereka di dunia ini akan merasa enggan untuk
mengerjakan perintah Allah Swt.
Seseorang yang beriman pada hari akhir, ia yakin bahwa
kematian akan datang padanya pada saat yang telah ditentukan dan
ia tidak akan mampu untuk menolaknya, karena kehidupan
maupun kematian manusia telah diatur oleh Allah Swt. meninggal
atau mati merupakan kiamat kecil bagi umat manusia.
Tradisi ngijing ini dalam pelaksanaannya mempunyai
makna tersirat bahwa setiap manusia kelak pasti akan meninggal
atau mati, maka bagi pelaksananya secara tidak langsung
diingatkan bahwa kelak mereka juga akan menyusul para
keluarganya terdaulu yang sudah meninggal. Bagi para tetangga
yang juga mengikuti pelaksanaan tradisi ini juga akan merasakan
hal sama. Dengan demikian setelah mereka melakukan tradisi ini
69
mereka memperbaiki kualitas ibadah mereka karena kelak di
akhirat tidak akan ada yang bisa menyelamatkan mereka kecuali
amal mereka sendiri pada saat berada di dunia.
2. Pendidikan Amaliyah
Pendidikan amaliyah yang tercermin dalam tradisi ngijing terletak
pada pemberian berkat kepada para tamu undangan pada acara
kenduri. Pemberian berkat ini bagi yang punya hajat bertujuan untuk
bersedekah kepada orang lain dan juga sebagai rasa terima kasih,
sedangkan bagi para tetangga adalah sebagai amal mereka karena bisa
membantu saudaranya dalam penyelesaian prosesi tradisi tersebut dan
juga menjadi amal pahalanya karena telah mendoakan saudaranya
yang sudah meninggal.
3. Pendidikan Ilmiah
Pendidikan ilmiah yang terkandung dalam tradisi ngijing terlihat
dari pembacaan ayat suci Al-Quran. Hal ini menjadi penerapan ilmu
pengetahuan yaitu membaca. Sedangkan pendidikan akhlak antara lain
tawakkal, bergaul dengan baik dan juga berbakti kepada kedua orang
tua. Hal ini terlihat dari makna dilaksanakannya tradisi ngijing yang
salah satunya mengirimkan doa kepada saudaranya atau orang tuanya
yang sudah meninggal dunia.
4. Pendidikan Akhlak
Sebenarnya aqidah dan akhlak, keduanya saling berkaitan. Aqidah
sebagai konsep keimanan sedangkan akhlak sebagai aplikasi dari
70
aqidah tersebut yang diwujudkan dengan sikap dan perilaku dalam
kehidupan sehari-hari. Adapun pendidikan akhlak yang dapat diambil
dari tradisi ngijing adalah sebagai berikut:
a. Tawakkal
Sebagai seorang hamba dalam berbuat dan bersikap dikehidupan
sehari-harinya seharusnya selalu berpedoman pada ajaran Allah
dan juga tidak melupakan untuk berikhtiar. Dengan tawakkal ini
orang yang beriman akan mendapat bimbingan dari Allah Swt.
sebagaimana firman Allah surat Ali Imran ayat 160 yang berbunyi:
           
        
Artinya:”Hanya kepada Allah hendaklah orang-orang
yang beriman menyerahkan diri”(QS Ali Imran:160).
Tradisi ngijing ini dalam pelaksanaanya tidak keluar dari syariah
Islam. Hal tersebut ditunjukkan dengan mereka yang mengikuti
prosesi tradisi ngijing melaksanakan pengajian yang diwujudkan
dengan acara kenduri atau kenduren,tahlilan dan juga yasinan.
Yang dalam ketiga acara tersebut terdapat pembacaan ayat-ayat AlQur‟an dan juga dzikiran serta dalam doa pun ditujukan untuk
mendoakan keselamatan orang yang sudah meninggal kepada
Allah Swt. semata. Sebagaimana hadis Nabi Saw.:
71
Artinya: apabila anak Adam (manusia) meninggal, maka
terputuslah amalnya, kecuali tiga hal yaitu sedekah
jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak shaleh yang
selalu mendoakannya (HR. Muslim).
Dari hadis di atas menunjukkan bahwa doa anak shaleh untuk
keluarganya yang sudah meninggal dapat menjadi amal bagi
mereka walaupun mereka sudah meninggal. Setelah itu mereka
berserah diri kepada Allah Swt. dari apa yang mereka usahakan
untuk keluarganya yang sudah meninggal.
b. Bergaul Dengan Baik dan Mengajak Kebaikan
Manusia sebagai makhluk sosial, mereka tidak akan bisa
melepaskan diri dari masyarakat yang berada di lingkungannya.
Apabila lingkungan masyarakatnya baik, maka seseorang tersebut
akan menjadi baik. Apabila lingkungan masyarakatnya tidak baik,
maka seseorang akan menjadi tidak baik pula. Bergaul dengan baik
ini termasuk akhlak kepada sesama manusia.
Tradisi ngijing dalam pelaksanaannya, bergaul dengan baik
dan mengajak kebaikan tercermin dalam acara selamatan.
Selamatan tersebut berupa kenduri dan tahlil. Pelaksana tradisi
ngijing (tuan rumah) mengundang para kerabat dan tetangga untuk
datang pada acara selamatan tersebut. Apabila tuan rumah tidak
memiliki hubungan yang baik kepada tetangga dan masyarakat
sekitar maka tuan rumah tidak akan mengundang mereka, namun
pada kenyataannya mereka diundang untuk menghadiri acara
72
tersebut. Sedangkan mengajak pada kebaikan bisa dilihat juga dari
rangkaian acara tersebut yang didalamnya bukan mengajak pada
perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah Swt. seperti berjudi atau
meminum
minuman keras, namun mengajak untuk lebih
mendekatkan diri kepada Allah Swt. dengan cara membaca ayatayat Al-Qur‟an dan berdzikir. Sebagaimana firman Allah Swt.
dalam surat Al-Maidah:
             
Artinya:”Hendaklah kamu tolong-menolong dalam
kebaikan dan taqwadan janganlah bantu membantu dalam
menjalankan dosa dan permusuhan” (QS. Al-Maidah:2)
c. Berbakti Kepada Kedua Orang Tua
Tradisi pergantian nisan (ngijing) ini dalam pelaksanaannya secara
tidak langsung menunjukkan bahwa pelaku tradisi berbakti kepada
orang tuanya. Hal tersebut karena selain melaksanakan tradisi
leluhur juga bagi keluarga yang ditinggalkan akan ingat kepada
orang tuanya, dan tradisi ini sebagai salah satu media untuk
menyampaikan rasa baktinya kepada keluarganya. Seseorang yang
melaksanakan tradisi ini selain ingat kepada keluarga yang sudah
meninggal juga ia akan mengirimkan doa kepada almarhum untuk
memintakan keselamatan kepada Allah di akhirat kelak dan juga
agar rohnya selamat dari siksa kubur. Mendoakan orang tua yang
sudah meninggal tersebutlah yang dianjurkan oleh agama Islam.
73
5. Pendidikan Sosial Kemasyarakatan
a. Tolong Menolong
Salah satu ciri kepribadian seorang muslim adalah tolong
menolong.
Tolong
menolong
adalah
kerjasama
utnuk
menyelesaikan gawe milik suatu keluarga/individu (Marzali,
2007:149). Sikap tolong menolong ini didasarkan pada kebaikan
dan ikhlas. Tolong menolong memiliki dampak yang sangat luas
bagi seorang muslim, sehingga ia akan terdorong untuk
mengadakan upaya kerukunan terhadap sesama, meningkatkan
ketaqwaan, dan memberikan kasih sayang kepada saudara-saudara
seiman. Sudah selayaknya seorang muslim meringankan beban
saudara-saudaranya. Maka tolong menolong sangat dianjurkan
dalam agama Islam.
Tolong menolong yang tercermin dari tradisi ngijing adalah
yang dilakukan oleh para tetangga dalam membantu jalannya
prosesi tradisi ngijing tanpa rasa pamrih. Mereka membantu
memasak macam-macam makanan dan perlengkapan guna acara
seperti tahlilan dan kenduri. Selain sebagai makanan untuk acara
tersebut juga untuk diberikan kepada tetangga yang datang pada
saat pulang nantinya. Hal ini sebagai ungakapan terima kasih juga
sebagai sedekah yang dilakukan oleh yang punya hajat tersebut.
b. Menjalin Silaturrahmi
74
Pada tradisi ngijing, yang berhajat mengundang para
tetangga atau kerabat untuk mengikuti prosesi tradisi tersebut.
Mulai dari acara kenduri dan tahlilan sampai pada pergantian batu
nisan di pemakaman. Selain untuk membantu kelancaran prosesi
tersebut juga untuk menjalin silaturrahmi antar warga yang
mengikutinya. Mereka yang sebelumnya jarang bertemu dapat
bertemu dan berbincang-bincang pada saat prosesi tersebut.
C. Nilai Positif dan Nilai Negatif Dalam Tradisi Membangun Kijing
(Ngijing)
Nilai positif yang terkandung dalam ritual tradisi membangun kijing
(ngijing) diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Adanya rasa iman kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kebesaran dan
kekuasaanNya yang tercermin dari kegiatan berdoa bersama sebelum
pelaksaan membangun kijing (ngijing) di
pemakaman untuk
mendoakan keselamatan almarhum.
2. Mengajarkan kepada manusia tentang rasa syukur atas karunia Allah
Swt. berupa umur panjang sampai detik ini dan bisa memanfaatkan
umur tersebut di jalan yang diridhoi Allah Swt.
3. Mengajarkan untuk bersedekah yang terlihat dari pemberian berkat
kepada para tamu undangan untuk dibawa pulang agar keluarga yang
di rumah dapat ikut menikmati makanan yang dihidangkan dalam
ritual ngijing.
75
4. Tercipta kerukunan antar warga masyarakat yang tercermin dari
berkumpulnya para warga dalam prosesi tradisi ngijing.
5. Memupuk rasa kebersamaan dan persatuan dalam bermasyarakat
sehingga dapat mengurangi rasa egois dan individualitas yang terlihat
dari kegiatan tolong menolong antar warga dalam menyelesaikan
prosesi ngijing di pemakaman.
Tradisi ngijing dalam pelaksanaannya disamping nilai positif ada juga
nilai negatif yang tidak sesuai dengan ajaran Islam diantaranya adalah:
1. Masyarakat masih mengikuti Tradisi nenek Moyang / Orang terdahulu,
hal ini dapat menjadi peluang timbulnya unsur-unsur menyekutukan
Allah Swt. dengan selainnya. Hal tersebut seharusnya perlu berhatihati sehingga nilai-nilai Islamlah yang harus dikembangkan melalui
kegiatan membangun kijing (ngijing). Apabila hal ini dipahami oleh
generasi penerus secara turun temurun akan menyebabkan hilangnya
nilai-nilai aqidah, berganti pada nilai-nilai takhayul yang berkembang
dalam masyarakat.
2. Pemborosan (Mubadzir), hal ini terlihat dari banyaknya ritual yang
setiap ritualnya menggunakan sesaji dan kijing yang biayanya tidak
sedikit. Daripada digunakan untuk sesaji dan kijing lebih baik uang
pembelian sesaji dan kijing diberikan kepada tetangga sekitar yang
lebih membutuhkan atau diberikan kepada anak yatim.
3. Pemberian kijing di atas pemakaman sebernarnya tidak dianjurkan
oleh agama Islam kecuali pemberian kijing ini karena takut makamnya
76
akan dibongkar oleh binatang buas, diterjang banjir, atau pemakaman
milik umum. Sedangkan apabila milik sendiri hukumnya makruh.
D. Ritual dalam Tradisi Ngijing dari Segi Antropologi
Budaya Jawa di Indonesia yang ada saat ini merupakan akulturasi
budaya
Jawa
pendekatan
dengan
Jawanisasi
Islam.
Islam,
Pengakulturasian
yang
artinya
ini
menggunakan
sebagai
upaya
penginternalisasian nilai-nilai Islam melalui cara penyusupan ke dalam
budaya Jawa (Jamil, 2000:119). Ketika dimensi keberagamaan orang
Islam Jawa tertuang dalam kehidupan sehari-hari maka nilai Islam telah
menjadi ruh dalam budaya Jawa walaupun tidak secara konkret berlabel
Islam.
Kehidupan orang Jawa dalam keberagamaannya, cenderung
menjadikan Islam sebagai bagian dari budaya Jawa sehingga melahirkan
kepercayaan-kepercayaan serta upaca-upacara ritual. Berbagai macam
upacara adat yang terdapat di dalam masyarakat pada umumnya dan
masyarakat
Jawa
pada
khususnya
merupakan
cerminan
semua
perencanaan, tindakan, dan perbuatan telah diatur oleh tata nilai luhur
(Bratawidjaja, 2000:9). Upacara tersebut seperti upacara hamil tujuh
bulanan, kelahiran, mencukur rambut pertama sampai upacara kematian.
Salah satu upacara adat dalam masyarakat Jawa yang masih lestari
adalah upacara kematian. Dalam upacara kematian terdapat selamatan
seribu hari yang biasanya disatukan dengan mijing/kijing (membangun
77
batu nisan)(Bratawidjaja, 2000:135). Di Desa Siwal tradisi atau adat
istiadat ini masih berlangsung. Anggota keluarga yang masih hidup akan
melakukan pembangunan batu nisan di atas pemakaman setelah seribu hari
kematiannya. Pembangunan batu nisan di atas pemakaman tersebut
bertujuan agar tanda bahwa makam keluarganya tidak akan hilang dan
bagi keluarga yang jauh yang ingin ziarah kubur dapat menemukan
makam keluarganya. Selain itu karena nisan dari kayu bila sudah seribu
hari sudah keropos. Akan tetapi dalam perkembangannya, ada sebagian
dari masyarakat yang melaksanakan tradisi ini bukan setelah seribu hari
namun pada saat pemakaman jenazah pasca kematiannya. Sebagian
masyarakat Siwal lagi beranggapan membangun batu nisan tersebut tidak
harus pada waktu yang sudah ditentukan melain sewaktu-waktu tergantung
dari kesepakatan anggota keluarga. Hal tersebut karena menurut mereka
tergantung dari kondisi ekonomi setiap individu tersebut.
Upacara dalam konteks kajian antropologi mamiliki dua aspek
yaitu ritual dan seremonial. Menurut Winnick ritual ialah seperangkat
tindakan yang selalu melibatkan agama atau magi yang dimantapkan
melalui tradisi (Syam, 2005:17). Ritual ini tidak sama dengan pemujaan
namun sebuah tindakan yang bersifat keseharian. Bentuk ritual inti dari
sinkretisme adalah sebuah perayaan bersama yang disebut dengan
slametan (Greetz, 1995:77). Slametan- Slametan yang memiliki bentuk
dan isi dengan hanya sedikit variasi pada segala kesempatan yang
78
memiliki makna religius seperi hari-hari suci menurut penanggalan
wilayah setempat, pada tahap-tahap tertentu seperti tahap penguburan dan
selamatan setelah kematianya. Semua hal itu dimaksudkan hanya untuk
memberikan kebaikan bagi mereka yang masih hidup maupun yang sudah
tidak berada di dunia ini serta makhluk halus yang mereka yakini ada.
Slametan pada hakikatnya adalah sebuah ritus yang berdasarkan
wilayah (Greetz, 1995:103). Slametan mengandalkan hubungan atau
ikatan primer antarkeluarga sebagai keakraban bermasyarakat yang
mengakibatkan mengaburkan garis-garis batas sosial dan kultural sehingga
tercipta kerukunanan antarwarganya. Pada tradisi ngijing terdapat
selamatan seribu hari yang memiliki makna religius yang dimaksudkan
untuk memberikan kebaikan bagi almarhum dan juga pada keutuhan hidup
bersama.
Masyarakat Jawa menyebutkan Slametan kadang-kadang disebut
juga dengan kenduren (Geertz, 1995:13). Slametan dalam tradisi menjadi
inti dari suatu acara. Slametan biasanya diselenggarakan pada malam hari
atau setelah shalat Isya‟, begitu pun yang terjadi di masyarakat Siwal
seperti pada prosesi selamatan seribu hari. Slametan biasanya hanya
dihadiri oleh kaum laki-laki atau kepala keluarga. Sedangkan untuk kaum
perempuan, mereka hanya akan berada di dapur untuk mempersiapakan
makanan yang dibutuhkan dalam Slametan tersebut.
Pemisahan antara laki-laki dan perempuan tersebut bukan tanpa
tujuan yaitu agar sesuai fungsinya. Kaum laik-laki yang diundang dalam
79
slametan karena kaum laki-laki sebagai kepala keluarga, maka dari itu
kepala keluarga saja yang datang dalam acara slametan sudah cukup
sebagai perwakilan. Bagi perempuan yang memang sesuai tugasnya yaitu
mengurusi rumah tangga seperti memasak, maka perempuan hanya
membantu memasak di dapur yang punya hajat pada tradisi ngijing ini.
Hal tersebut mencerminkan solidaritas antarwarga karena saling
membantu dalam menyelesaikan tradisi ngijing yang diselenggarakan oleh
kepentingan individu. Mereka larut dalam kepentingan bersama.
Kaum laki-laki yang diundang adalah para tetangga dekat rumah
yang memiliki hajat dan juga sanak saudaranya. Mereka diundang oleh
tuan rumah atau orang yang diutus oleh tuan rumah untuk memberi
undangan kepada mereka. Biasanya mereka yang dapat undangan akan
datang karena sepanjang waktu sesudah terbenamnya matahari hampir
semua masyarakat Siwal berada di rumahnya yang artinya mereka tidak
dalam keadaan istirahat.
Mereka yang sudah tiba di rumah yang punya hajat, mereka
langsung menempati tempat duduk di atas tikar yang sudah disediakan
dengan keadaan bersila dan seperti melingkar. Sekiranya para tamu
undangan sudah tiba maka makanan yang diperlukan untuk acara tersebut
diletakkan ditengah-tengah lingkaran tersebut, dan upacara pun dimulai.
Biasanya di Siwal tuan rumah atau tokoh agama seperti modin
membuka upacara dengan bahasa Jawa setempat yang isinya terima kasih
atas kehadiran para tamu undangan. Selanjutnya mengutarakan niatnya
80
dengan menyebutkan maksud dari diadakan Slametan tersebut yaitu
selamatan seribu hari yang disertai dengan membangun batu nisan di
pemakaman. Setelah sambutan tersebut lalu seorang modin memulai
upacara slametan. Modin tersebut menjadi pemimpin upacara dengan
tahlil dan yasin lalu membaca doa atau ayat-ayat Al-Qur‟an sedangan
tamu yang lainnya mengadahkan kedua tangannya beserta mengucapkan
“aamiin”. Setelah modin selesai berdoa maka semua yang hadir
mengusapkan kedua tangan mereka yang mengadah tadi ke wajah mereka.
Setelah acara berdoa selesai maka tuan rumah memberikan
sambutan lagi dengan bahasa Jawa kemudian para tamu undangan
memakan makanan yang sudah dihidangkan dengan perlahan-lahan.
Sesudah dirasa cukup untuk menikmati hidangan dari tuan rumah mereka
akan meminta izin untuk pulang. Biasanya mereka akan bersalaman
kepada tuan rumah sebagai tanda penghormatan pada tuann rumah dan
keluarganya.
Tahlil dalam tradisi ngijing ini merupakan ajaran Islam dalam
rangka berdzikir kepada Allah karena dalam tahlil terdapat bacaan lafadz
laailaahaillallah. Tahlil ini dijadikan sebagai media membiasakan diri
untuk memperbanyak bacaan kalimah taoyyibah yang bertujuan untuk
mendapatkan rahmat Allah Saw. tujuan yang mendasar dilakukannya tahlil
dalam tradisi ngijing adalah mendoakan arwah para leluhur yaitu orang tua
atau kakek nenek yang telah meninggal dunia dan juga bertujuan
81
mengharapkan pahala dan ampunan dari Allah Swt.
Pada kepercayaan lama, upacara dilakukan dengan mengadakan
sesaji atau sesajen (Koenjtaraningrat, 1985:348). Sesaji ini adalah
penyerahan sajian pada saat-saat tertentu didalam rangka kepercayaan
terhadap makhluk halus di tempat-tempat tertentu yang dianggap memiliki
kekuatan gaib. Sesaji itu diperuntukkan kepada daya-daya kekuatan gaib
yang menempati pada setiap benda dan percaya pada roh-roh ataupun
makhluk halus yang menempati suatu benda tertentu. Hal tersebut
dimaksudkan agar arwah-arwah merasa tenang dan bagi orang yang masih
hidup tidak diganggu. Namun secara luwes Islam memberikan warna baru
pada upacara selamatan tersebut. Islam dengan pendekatannya memasuki
tradisi orang Jawa dengan cara mengadaptasi budaya agar sesuai dengan
tuntunan ajaran Islam tanpa merusak identitas budaya tersebut. Hal-hal
yang tidak sesuai dengan Islam perlahan-lahan diarahkan agar sesuai
syari‟at, yang dulunya adanya sesajen yang diperuntukkan roh-roh dan
makhluk halus maka dengan datangnya Islam hal tersebut dialihkan pada
pemberian sedekah kepada anggota masyarakat sekitarnya.
Sedekah yang biasa diberikan kepada para tetangga dari yang
mempunyai hajat biasanya orang Jawa menyebutnya dengan berkat.
Berkat ini diberikan setelah acara selamatan kenduri. Pada hakekatnya
orang Jawa melakukan kenduri untuk meminta doa dari tetangga atau
kerabat agar apa yang diinginkan tercapai, selamat, serta bahagia selama
hidup. Pada saat orang-orang pulang setelah kenduri orang yang
82
mempunyai hajat memberikan berkat sebagai ungkapan terima kasih atas
kehadiran mereka. Jenis makanan yang biasanya diberikan berupa nasi
gurih beserta lauk pauk yang menyertainya.
Bagi orang Jawa, menurut mereka setelah menyelenggarakan
slametan adalah roh-roh akan menghisap sari-sari dari makanan yang
dimakan oleh para undangan kenduri, juga dari doa-doa yang dipanjatkan
oleh orang muslim dan orang-orang lain yang ikut ambil makanan tersebut
serta dari interaksi sosial yang mereka lakukan. Hasil ganda dari ritual
kecil tersebut menghasilkan roh-roh akan merasa tenang dan solidaritas
ketetanggaan semakin diperkuat.
E. Kesimpulan
Tradisi ngijing yang masih dilaksanakan oleh masyarakat Siwal
merupakan tradisi yang turun temurun. Tradisi ini menjadi warisan bagi
masyarakat Siwal dari nenek moyang mereka agar tradisi ini terus lestari.
Pewarisan tradisi ini sesungguhnya bukan tanpa maksud, karena dalam
tradisi ini terdapat pesan yang secara eksplisit maupun implisit. Namun
pemaknaan yang dinyatakan eksplisit atau pemaknaan yang implisit
dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan perkembangan kondisi sosialnya.
Pesan tersebut merupakan suatu pendidikan yang seharusnya dapat kita
jadikan pelajaran bagi diri sendiri maupun bagi manusia sekitarnya.
Pesan dari suatu tradisi dapat diperoleh dari pemaknaan dari
simbol-simbol yang ada dalam tradisi tersebut. Selamatan dalam ritual
83
ngijing ini misalnya, dapat diambil hikmahnya. Slametan sebagai alat
untuk mempertemukan antara orang-orang di masyarakat yang jarang
bertemu dapat bertemu lagi dan menjaga silaturrahmi. Selain itu juga
dapat menyatukan mereka dalam derajat yang sama tanpa perbedaan.
Slametan yang masih bertahan sampai sekarang tak pelak karena nilainilai Jawa yang terkandung dalam suatu budaya yang sudah mendarah
daging. Nilai-nilai Jawa ini yang mewujudkan perbedaan-perbedaan antar
invidu menjadi tersamarkan.
Oleh karena itu tradisi ngijing tersebut disadari atau tidak sadar
mempengaruhi masyarakat sekitarnya pada umumnya dan bagi individuindividu yang yang mengikuti ritual tersebut. Nilai-nilai pendidikan Islam
yang dapat diambil pelajarannya dari tradisi tersebut antara lain,
pendidikan
keimanan,
pendidikan
amaliyah,
pendidikan
ilmiah,
pendidikan akhlak yang tercermin dari prosesi kirim doa untuk anggota
keluarga atau saudara yang sudah meninggal, dan pendidikan sosial
kemasyarakatan yang terlihat dari saling tolong menolong dalam
menyelesaikan prosesi dalam ritual ngijing tersebut.
BAB V
PENUTUP
84
A. Kesimpulan
Hasil dari penelitian yang telah dilakukan oleh penulis di Dusun Siwal
Desa Siwal Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang tentang “Nilainilai Pendidikan Islam dalam Tradisi Membangun Batu Nisan (Ngijing)”
dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Tradisi Ngijing merupakan tradisi yang tumbuh dan berkembang di
masyarakat Islam Jawa umumnya dan di Mayarakat Siwal pada
khususnya. Tradisi Ngijing dilakukan oleh masyrakat Siwal pada saat
seribu hari setelah kematian almarhum atau pada saat penguburan
jenazah. Hal yang dilakukan sebelum melaksanakan tradisi Ngijing
antara lain selamatan kenduri, tahlilan, dan juga yasinan. Selamatan
kenduri dilakukan sehari sebelum melaksanakan tradisi Ngijing yang
dihadiri oleh para tetangga dan dipimpin oleh seorang modin dengan
tujuan untuk mendoakan almarhum. Jenis makanan yang terdapat pada
selamatan kenduri adalah nasi tumpeng beserta lauk pauknya, jenang
merah dan putih, bunga setaman dan juga ingkung ayam. Malam hari
setelah acara kenduri, maka acara selanjutnya adalah tahlilan dan
yasinan. Tahlilan dan yasinan biasanya dilakukan setelah shalat Isya‟
yang juga dihadiri oleh para tetangga dan saudara atau kerabat yang
dipimpin oleh seorang modin. Jenis makanan yang ada pada acara ini
tidak ditentukan. Hal tersebut karena makanan yang diberikan bersifat
sedekah untuk para tamu undangan yang hadir sebagai ucapan terima
85
kasih. Pada pagi harinya acara dilanjutkan dengan membangun kijing
di pemakanam. Sebelumnya modin membakar kemenyan terlebih
dahulu di atas makam almarhum disertai dengan doa. Setelah itu
memulai pembongkaran makam yang dilakukan oleh modin lalu
anggota keluarga laki-laki setelah itu dibantu oleh warga yang turut
serta. Sekiranya pembongkaran itu cukup maka dimulailah dengan
membangun batu nisan yang sebelumnya sudah disiapkan terlebih
dahulu. Jenis makanan yang terdapat pada acara ini adalah nasi
tumpeng beserta lauk pauknya, ingkung ayam, jadah pasar, kelapa satu
butir, pisang, gula jawa setangkep, palawija, dan kendi yang berisi air
yang ditempatkan pada wadah yang dilapisi dengan daun pisang.
Dengan begitu maka selesailah prosesi tradisi membangun batu nisan
(ngijing).
2. Nilai-nilai
pendidikan
Islam
yang
terkandung
dalam
tradisi
membangun batu nisan (ngijing) antara lain pendidikan keimanan,
pendidikan amaliyah, pendidikan ilmiah, pendidikan akhlaq, dan
pendidikan sosial kemasyarakatan.
a. Pendidikan keimanan tercermin pada prosesi selamatan kenduri,
tahlilan dan yasinan yang didalamnya terdapat bacaan ayat suci AlQur‟an, dzikir dan juga berdoa yang ditujukan oleh Allah Swt.
b. Pendidikan amaliyah yang tercermin dalam tradisi ngijing terletak
pada pemberian berkat kepada para tamu undangan pada acara
kenduri. Pemberian berkat ini bagi yang punya hajat bertujuan
86
untuk bersedekah kepada orang lain dan juga sebagai rasa terima
kasih, sedangkan bagi para tetangga adalah sebagai amal mereka
karena bisa membantu saudaranya dalam penyelesaian prosesi
tradisi tersebut dan juga menjadi amal pahalanya karena telah
mendoakan saudaranya yang sudah meninggal.
c. Pendidikan ilmiah yang terkandung dalam tradisi ngijing terlihat
dari pembacaan ayat suci Al-Quran. Hal ini menjadi penerapan
ilmu pengetahuan yaitu membaca.
d. Pendidikan akhlak antara lain tawakkal, bergaul dengan baik dan
juga berbakti kepada kedua orang tua. Hal ini terlihat dari makna
dilaksanakannya tradisi ngijing yang salah satunya mengirimkan
doa kepada saudaranya atau orang tuanya yang sudah meninggal
dunia.
e. Pendidikan sosial kemasyarakatan terdapat pada terlihatnya para
tetangga yang membantu prosesi tradisi ngijing. Hal ini sesuai
dengan anjuran Islam untuk saling tolong menolong dengan
sesama saudara yang tercantum dalam QS. Al-Maidah ayat 2.
3. Nilai positif dalam tradisi ngijing diantaranya adalah adanya rasa iman
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, menciptakan kerukunan antar warga
dan juga kebersamaan serta kesatuan seperti adanya tolong menolong
antar warga. Selain nilai positif terdapat juga nilai negatif dalam tradisi
ngijing diantaranya adalah masyarakat masih mengikuti tradisi nenek
87
moyang yang dalam hal ini menunjukkan adanya kepercayaan selain
Allah Swt. dan juga terdapat sifat pemborosan.
B. Saran
1.
Tokoh agama Islam di Dusun Siwal Desa Siwal
Berdasarkan pengamatan di lapangan sebaiknya tokoh agama yaitu
kiayi dan modin sebaiknya memberikan perhatian yang lebih terhadap
pendidikan melalui budaya Jawa yang terkait dengan pendidikan
Islam, karena masyarakat masih memperlukan pendidikan agama
Islam melalui media yang lain agar lebih bertambah pemahamannya
tentang agama Islam khususnya pesan-pesan yang terkandung dalam
tradisi ngijing tersebut.
2.
Masyarakat Siwal
Untuk masyarakat Siwal agar tetap menjaga dan melestarikan
tradisi yang sesuai dengan ajaran agama Islam agar nilai-nilai
pendidikan Islam yang terkandung dalam tradisi ini tersampaikan pada
generasi mendatang. Serta bagi masyarakat Siwal juga sebaiknya
berhati-hati dalam melaksanakan tradisi ngijing. Bentuk dari kehatihatian ini yaitu dengan meluruskan niat dari setiap individu
masyarakat hanya untuk Allah Swt. semata, karena niat merupakan
suatu hal yang penting dalam melakukan suatu perbuatan.
3.
Pemerintah
Bagi sebagian masyarakat tradisi ngijing dianggap sebagai
88
pernbuatan syirik kepada Allah Swt. Oleh karena itu untuk
menghindari kesalahpahaman tersebut maka pemerintah setempat
sebaiknya menerbitkan buku tentang tradisi ngijing yang menjelaskan
ritual, terutama dari sudut pandang Islam.
4.
Hasil dari penelitian ini jauh dari kata sempurna, maka diharapkan
pada masa depan ada penelitian yang berusaha menggali lebih dalam
lagi tentang nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi ngijing yang
belum terungkap dari karya ilmiah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Agus,
89
Bustanuddin.2005.Agama Dalam Kehidupan Manusia: Pengantar
Antropologi Agama.Jakarta. PT. Rajagrafindo Persada
Al-Nahlawi, Abdurrahman.1996.Prinsip-prinsip dan Metoda Pendidikan
Islam.Bandung:CV. Diponegoro, cet.III
Ali, Muhammad Daud.2008.Pendidikan Agama Islam.Jakarta:Rajawali Press
Asmara.2002.Pengantar Studi akhlak.Jakarta:PT.RajaGrafindo.
Assegaf, Abd. Rachman. 2011. Filsafat Pendidikan Islam: Paradigma Baru
Pendidikan Hadhari Berbasis Integratif-Interkonektif. Depok: PT
RajaGrafindo Persada
Bayuadhy, Gesta. 2015. Tradisi-tradisi Adiluhung Para leluhur Jawa:
Melestarikan Berbagai Tradisi Jawa Penuh Makna.Yogyakarta:Dipta
Beatty, Andrew.2001. Variasi Agama Di Jawa Suatu Pendekatan Antropologi.
Terjemah oleh Achmad Fedyani Saefuddin.Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, cet.I
Bratawidjaja, Thomas Wiyasa.1984.Upacara Tradisional Masyarakat Jawa
.Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, cet.I
Bratawidjaja, Thomas Wiyasa.1988.Upacara Tradisional Masyarakat Jawa
.Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, cet.II
.2000.Upacara Tradisional Masyarakat Jawa.Jakarta:PT. Mudas
Surya Grafindo, cet.IV
Daroeso, Drs. Bambang.1986. Dasar Konsep Pendidikan Moral Pancasila.
Semarang:Aneka Ilmu
Daradjat.2011. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara
Fattah, Munawir Abdul. 2008. Tradisi Orang-orang NU. Yogyakarta: PT Lkis
Pelangi Aksara, cet. VI
Geertz, Clifford.1995. Kebudayaan dan Agama.Terjemahan oleh Francisco Budi
Hardiman. Yogyakarta:Kanisius,cet. III
.1981. Abangan, Santri, dan Priyayi DalamMasyarakat Jawa.
Terj Aswab Muhasin. Pustaka Jaya
Hafidz dan Kastolani.2009. Pendidikan Islam Antara Tradisi dan Modernitas.
Salatiga: STAIN Salatiga Press
Jamil, dkk (Ed.).2002.Islam dan Kebudayaan Jawa.Yogyakarta:Gama Media,
cet.II
Koentjaraningrat.1985.Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta:Dian Rakyat
Koentjaraningrat.1994. Manusia dan Kebudayaan Di Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka
Suprayogo, Imam.2001.Metodologi Penelitian Sosial-Agama.Bandung:Remaja
Rosda Karya
Marzali, Amri. 2007.Antropologi dan Perkembangan Indonesia.Jakarta: Kencana
Perdana Media Group
Moloeng, Lexy J.2008. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosda Karya, cet.XXV
Nizar, Dr. H. Samsul, M.A. 20002. Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan
Historis, Teoritis, dan Praktis.Jakarta:Ciputat Pers
Rahman, Budhy Munawar.2006.Ensiklopedi Nurcholis Madjid Pemikiran Islam di
Kanvas Peradapan Jakarta:Mizan
Soehartono, Irawan. 1995. Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Soenarji, Drs. M dan Drs. Cholisin. 1989. Konsep Dasar Pendidikan Moral
Pancasila. Yogyakarta:Laboratorium Jurusan Pendidikan Moral Pancasila
dan Kewargaan Negara.
Sugiyono.2006. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung:
Alfabeta
Syam, Nur. 2005. Islam Pesisir. Yogyakarta: PT Lkis Pelangi Aksara
Tafsir, Ahmad.2010. Filsafat Pendidikan Islam: Integrasi Jasmani, Rohani, dan
Kalbu Memanusiakan Manusia.Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Taufiq, Muhammad.2013. Nilai-nilai Pendidikan dalam Ritual Adat Kematian
(Studi di Desa Kebondowo Kecamatan Banyubiru Kabupaten Semarang.
Skripsi tidak diterbitkan. Salatiga: Jurusan Tarbiyah STAIN Salatiga
LAMPIRAN
Para ibu-ibu memasak untuk prosesi acara.
Jenis makanan acara kenduri dan berkat.
Jenis makanan untuk berkat.
Jenis makanan untuk berkat.
Jenis makanan untuk berkat.
Acara kenduri.
Acara tahlilan dan yasinan.
Jenis makanan saat acara membangun batu nisan (ngijing) di pemakaman.
Jajanan Pasar dan palawija.
Kondisi makam sebelum ngijing.
Modin melakukan doa sebelum pembongkaran makam.
Pencangkulan pertama yang dilakukan oleh modin.
Pembongkaran pertama dilakukan oleh anak pertama dari almarhumah.
Pembongkaran oleh anak ke-2 almarhumah.
Kijing yang akan dipasang.
Persiapan untuk pemasangan kijing.
Pembuatan pondasi untuk peletakan kijing.
Pemasangan batu nisan.
Pembangunan batu nisan setengah jadi.
Pembangunan batu nisan selesai.
Wawancara dengan Bapak Slamet Utomo.
Wawancara dengan Novi Saputri
Wawancara dengan Ibu Sri Ningsih.
Wawancara dengan Ibu Tarmi
HASIL WAWANCARA
1. Nama
: Wiratno
2. Usia
: 52 tahun
3. Pekerjaan
: Wiraswasta
4. Hari/Tanggal
: Senin, 01 Juni 2015
Peneliti
: Assalamualaikum. Nama saya Nur Rofiqoh dari IAIN Salatiga.
Maaf mengganggu waktu Bapak.
Narasumber
: walaikumsalam. Iya, ada yang bisa saya bantu?
Peneliti
: saya ingin bertanya tentang tradisi ngijing yang ada di masyarakat
siwal ini.
Narasumber
: iya, silahkan.
Peneliti
:Apakah Anda tahu prosesi apa saja dalam pelaksaan membangun
batu nisan (ngijing)?
Narasumber
:Tahu, sehari sebelum ke pemakaman untuk membangun batu
nisan, di rumah mengadakan slametan kenduri pada sore hari dan
malam harinya mengadakan acara tahlil dan yasinan. Pagi harinya
ke pemakaman untuk membangun batu nisan (ngijing).
Peneliti
:Kapan diperbolehkan membangun batu nisan (ngijing) di
masyarakat ?
Nasasumber
:Diperbolehkan ngijing kalau sudah seribu hari (nyewu) atau
sesudah seribu hari juga tidak apa-apa.
Peneliti
:Apa saja makanan yang disertakan dalam prosesi pergantian batu
nisan (ngijing)?
Narasumber
:saat slametan kenduri ada tumpeng beserta lauk pauknya dan
ingkung, dan pada saat ngijing di pemakaman ada tumpeng juga
dan ayam bakar.
Peneliti
:Bagaimana pendapat Anda terhadap seseorang yang tidak
melaksanakan membangun batu nisan (ngijing)?
Narasumber
:iya tidak apa-apa. Itu sebenarnya tergantung dari keluarganya dan
juga kemampuan finansialnya.
Peneliti
:Apa manfaat yang dapat diambil dari pelaksaan prosesi
membangun batu nisan (ngijing)?
Narasumber
:manfaat dari tradisi ngijing ini adalah sebagai wujud berbakti
kepada orang tua dan juga sebagai pengingat dimana makam
keluarganya dikebumukan.
Peneliti
:Apa saja nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam tradisi
membangun batu nisan (ngijing)?
Narasumber
:menurut saya iya mengajarkan kepada anak cucu nanti untuk
berbakti kepada orang tua dengan selalu mendoakannya.
Peneliti
:Menurut Anda, apakah tradisi membangun nisan (ngijing) tersebut
sesuai dengan tuntunan agama Islam?
Narasumber
:sebenarnya dalam agama Islam tidak ada ajaran untuk ngijing ini,
namun karena sudah tradisi maka sampai sekarang masih
dilaksanakan oleh masyarakat di sini.
Peneliti
: terima kasih atas kesediaan Bapak. Wassalamualaium.
Narasumber
: iya sama-sama. Walaikumsalam.
HASIL WAWANCARA
1. Nama
: Sri Ningsih
2. Usia
: 40 tahun
3. Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
4. Hari/Tanggal
: Senin, 01 Juni 2015
Peneliti
: Assalamualaikum. Nama saya Nur Rofiqoh dari IAIN Salatiga.
Maaf mengganggu waktu Bapak.
Narasumber
: walaikumsalam. Iya, ada yang bisa saya bantu?
Peneliti
: saya ingin bertanya tentang tradisi ngijing yang ada di masyarakat
siwal ini.
Narasumber
Peneliti
: iya, silahkan.
:Apakah Anda tahu prosesi apa saja dalam pelaksaan membangun
batu nisan (ngijing)?
Narasumber
:iya, pada sore hari biasanya pukul 16.00 ada slametan kenduri
yang dihadiri oleh tetangga dekat saja, setelah itu malam harinya
ada tahlil dan yasin yang dihadiri para tetangga juga.
Peneliti
:Kapan diperbolehkan membangun batu nisan (ngijing) di
masyarakat ?
Narasumber
:warga yang boleh ngijing adalah bila pemakaman almarhum
sudah sampai seribu hari setelah kematiannya.
Peneliti
:Apa saja makanan yang disertakan dalam prosesi membangun
batu nisan (ngijing)?
Narasumber
:pada saat kenduri ada nasi gurih atau uduk berserta lauk pauknya,
bunga setaman, ingkung, rempah, peyek, krupuk, tempe dan juga
telur. Pada saat di pemakaman keesokan harinya ada nasi tumpeng,
ayam panggang, kelapa satu butir, gula jawa setangkep, palawija,
pisang raja, dan juga jajan pasar.
Peneliti
:Bagaimana pendapat Anda terhadap seseorang yang tidak
melaksanakan membangun batu nisan (ngijing)?
Narasumber
:tidak apa-apa. Kemungkinan mereka belum punya uang pada
waktu seribu harinya keluarga yang meninggal, karena bisa
dilakukan pada lain waktu yang penting sudah masuk pada seribu
hari.
Peneliti
:Apa manfaat yang dapat diambil dari pelaksaan prosesi
membangun batu nisan (ngijing)?
Narasumber
:manfaatnya hanya dijadikan tanda bahwa keluarga yang sudah
meninggal dimakamkan di sana dan bagi keluarga yang jauh bisa
langsung tahu pada saat ziarah ke makam.
Peneliti
:Apa saja nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam tradisi
membangun batu nisan (ngijing)?
Narasumber
:menurut saya tidak ada pendidikan Islam, hanya saja untuk
menghormati leluhur yang telah mewariskan budaya ini.
Peneliti
:Menurut Anda, apakah tradisi membangun nisan (ngijing) tersebut
sesuai dengan tuntunan agama Islam?
Narasumber
:yang saya tahu, di Islam tidak ada tuntunan tentang ngijing.
Peneliti
: terima kasih atas kesediaan Bapak. Wassalamualaium.
Narasumber
: iya sama-sama. Walaikumsalam.
HASIL WAWANCARA
1. Nama
: Bejo
2. Usia
: 48 tahun
3. Pekerjaan
: Perangkat Desa
4. Hari/Tanggal
: Selasa, 02 Juni 2015
Peneliti
: Assalamualaikum. Nama saya Nur Rofiqoh dari IAIN Salatiga.
Maaf mengganggu waktu Bapak.
Narasumber
: walaikumsalam. Iya, ada yang bisa saya bantu?
Peneliti
: saya ingin bertanya tentang tradisi ngijing yang ada di masyarakat
siwal ini.
Narasumber
: iya, silahkan.
Peneliti
:Apakah Anda tahu prosesi apa saja dalam pelaksaan membangun
batu nisan (ngijing)?
Narasumber
:sebelum acara membangun kijing biasanya mengadakan kenduri di
rumah pada sore hari. Setelah itu acara tahlil dan yasin yang
dihadiri para tetangga pada malam harinya yaitu setelah isya‟. Lalu
pada pagi harinya baru ke pemakaman untuk acara membangun
batu nisan (ngijing).
Peneliti
:Kapan diperbolehkan membangun batu nisan (ngijing) di
masyarakat ?
Narasumber
:kalau sudah seribu hari setelah kematian, ini sesuai dengan tradisi
yang sudah ada dari dulu.
Peneliti
:Apa saja makanan yang disertakan dalam prosesi membangun batu
nisan (ngijing)?
Narasumber
:makanan yang biasanya di suguhkan pada sat kenduri adalah nasi
gurih, ingkung, dan lainya juga ada bunga setaman. pada saat ke
makam hampir sama namun bukan ingkung melainkan ayam
panggang.
Peneliti
:Bagaimana pendapat Anda terhadap seseorang yang tidak
melaksanakan membangun batu nisan (ngijing)?
Narasumber
:iya tidak apa-apa, di sini yang tidak melakukan ngijing tidak
dijauhi atau dikucilkan, hal ini karena berdasarkan permintaan
keluarga yang sebelum meninggal dia meminta untuk tidak di
kijing. Seperti ayah saya dulu yang tidak mau kijing maka pihak
keluarga yang masih hidup tidak melakukan ngijing.
Peneliti
:Apa manfaat yang dapat diambil dari pelaksaan prosesi
membangun batu nisan (ngijing)?
Narasumber
:Manfaatnya adalah sebagai tanda atau tetenger agar keluarga yang
masih hidup tahu bahwa salah satu keluarga atau saudara pernah
dimakamkan di tempat tersebut.
Peneliti
:Apa saja nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam tradisi
membangun batu nisan (ngijing)?
Narasumber
:Pendidikan Islamnya adalah mengajarkan untuk berbakti kepada
orang tua dengan cara selalu mendoakan walau sudah meninggal.
Peneliti
:Menurut Anda, apakah tradisi membangun nisan (ngijing) tersebut
sesuai dengan tuntunan agama Islam?
Narasumber
:sebenarnya agama Islam tidak mengajarkan untuk membangun
kijing dimakam. Membangun kijing ini sudah menjadi tradisi di
masyarakat Siwal ini maka dari itu masih dilakukan tradisi tersebut
agar tradisi ini tidak hilang dan dapat diteruskan pada generasi
berikutnya.
Peneliti
: terima kasih atas kesediaan Bapak. Wassalamualaium.
Narasumber
: iya sama-sama. Walaikumsalam.
HASIL WAWANCARA
1. Nama
: Sri Ningsih
2. Usia
: 39 tahun
3. Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
4. Hari/Tanggal
: Senin, 01 Juni 2015
Peneliti
: Assalamualaikum. Nama saya Nur Rofiqoh dari IAIN Salatiga.
Maaf mengganggu waktu Bapak.
Narasumber
: walaikumsalam. Iya, ada yang bisa saya bantu?
Peneliti
: saya ingin bertanya tentang tradisi ngijing yang ada di masyarakat
siwal ini.
Narasumber
: iya, silahkan.
Peneliti
: Apakah Anda tahu prosesi apa saja dalam pelaksaan membangun
batu nisan (ngijing)?
Narasumber
:Iya, sebelum ngijing di makam sebelumnya pada sore hari di
rumah mengadakan selamatan kenduri. Pada malam harinya yaitu
setelah Isya‟ atau pukul 08.00 ada acara tahlilan dan yasinan. Baru
pagi harinya untuk laki-laki ke makam untuk ngijing, sedangkan
perempuan di rumah memasak untuk makan para warga yang turut
membantu.
Peneliti
:Kapan diperbolehkan membangun batu nisan (ngijing) di
masyarakat ?
Narasumber
:kalau setelah seribu hari dari kematiannya, sebelum seribu hari
belum boleh melakukan ngijing.
Peneliti
:Apa saja makanan yang disertakan dalam prosesi membangun
batu nisan (ngijing)?
Narasumber
:Pada saat kenduri, makanannya meliputinasi uduk atau nasi gurih,
rempah, peyek, krupuk, telur, ayam ingkung, dan bunga setaman.
Sedangkan untuk acara pagi harinya saat ke pemakaman adalah
nasi tumpeng, ayam panggang, gula merah saru tangkep, tukon
pasar, kelapa bulat satu butir dll.
Peneliti
:Bagaimana pendapat Anda terhadap seseorang yang tidak
melaksanakan membangun batu nisan (ngijing)?
Narasumber
:kalau di Siwal ini semuanya masih mengikuti tradisi ngijing.
Peneliti
:Apa manfaat yang dapat diambil dari pelaksaan prosesi
membangun batu nisan (ngijing)?
Narasumber
:manfaat dari prosesi ngijing yaitu sebagai tanda bahwa makam
keluarganya berada di sana.
Peneliti
:Apa saja nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam tradisi
membangun batu nisan (ngijing)?
Narasumber
:menurut saya tidak ada nilai pendidikan Islamnya.
Peneliti
:Menurut Anda, apakah tradisi membangun nisan (ngijing) tersebut
sesuai dengan tuntunan agama Islam?
Narasumber
:dalam Islam tidak terdapat ajarannya, hanya tradisi ini masih
dilaksanakan karena sudah diwariskan oleh nenek moyang.
Peneliti
: terima kasih atas kesediaan Bapak. Wassalamualaium.
Narasumber
: iya sama-sama. Walaikumsalam.
HASIL WAWANCARA
1. Nama
: Slamet Utomo
2. Usia
: 65 tahun
3. Pekerjaan
: Tani
4. Hari/Tanggal
: Selasa, 02 Juni 2015
Peneliti
: Assalamualaikum. Nama saya Nur Rofiqoh dari IAIN Salatiga.
Maaf mengganggu waktu Bapak.
Narasumber
: walaikumsalam. Iya, ada yang bisa saya bantu?
Peneliti
: saya ingin bertanya tentang tradisi ngijing yang ada di masyarakat
siwal ini.
Narasumber
: iya, silahkan.
Peneliti
:Apakah Anda tahu prosesi apa saja dalam pelaksaan membangun
batu nisan (ngijing)?
Narasumber
:sehari sebelum ngijing ke makam, melakukan selamatan kenduri
yang dilaksanakan pada sore hari dengan mengundang tetangga
terdekat. Pada malam harinya acara dilanjutkan yaitu tahlilan dan
yasinan yang juga mengundang tetangga terdekat dan masyarakat.
Peneliti
: Bacaaan apa yang biasanya dibacakan dalam acara selamatan
tersebut?
Narasumber
:Bacaan yang dibaca seperti pada umumnya saat acara kenduri,
tahlil, dan yasiin. Pada saat membakar menyan ada pula doanya
yaitu bismillahirrahmani rahiim. Niat ingsun obong menyan esisu
kuning wetan wesi kuning probo kidul tegal lelono ono kulon
mbok siragel kuning ono lor, krenges arang jati karubing menyan,
kukuse menyan suwono ingkang baurekso enten makam mriki.
Wontenipun jabang bayi kulo nyaosi sekul petak gondho arum
kunjuk dumatheng akal bakal wonten ing makam mriki.
Peneliti
:Kapan diperbolehkan membangun batu nisan (ngijing) di
masyarakat ?
Narasumber
:setelah 3 tahun atau seribu hari baru bisa ngijing karena
kemungkinan setelah waktu itu nisan dari kayu sudah lapuk atau
rusak.
Peneliti
:Apa saja makanan yang disertakan dalam prosesi membangun
batu nisan (ngijing)?
Narasumber
:makanan yang disediakan adalah untuk sedekah yang disesuaikan
dengan kemampuan yang punya hajat.
Peneliti
:Bagaimana pendapat Anda terhadap seseorang yang tidak
melaksanakan membangun batu nisan (ngijing)?
Narasumber
:ngijing sebenarnya tidak diharusnya hanya karena hal tersebut
sudah menjadi tradisi maka sampai sekarang masih dilaksanakan.
Dengan kata lain untuk melestarikan tradisi yang sudah ada.
Peneliti
:Apa manfaat yang dapat diambil dari pelaksaan prosesi
membangun batu nisan (ngijing)?
Narsumber
:sebenarnya tidak ada manfaatnya, ngijing ini hanya untuk
dijadikan tanda atau tetenger saja.
Peneliti
:Apa saja nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam tradisi
membangun batu nisan (ngijing)?
Narasumber
: menurut saya tidak ada.
Peneliti
:Menurut Anda, apakah tradisi membangun nisan (ngijing) tersebut
sesuai dengan tuntunan agama Islam?
Narasumber
:sebenarnya ngijing tidak sesuai dengan tuntunan Islam karena
sudah menjadi tradisi maka masih dilakukan. Seperti menyan dan
sesaji itu adalah ajaran agama Hindu dan Budha sebelum Islam
datang ke Indonesia.
Peneliti
: terima kasih atas kesediaan Bapak. Wassalamualaium.
Narasumber
: iya sama-sama. Walaikumsalam.
HASIL WAWANCARA
1. Nama
: Novi Saputri
2. Usia
: 28 tahun
3. Pekerjaan
: Karyawan swasta
4. Hari/Tanggal
: Kamis, 27 Agustus 2015
Peneliti
: Assalamualaikum. Nama saya Nur Rofiqoh dari IAIN Salatiga.
Maaf mengganggu waktu Bapak.
Narasumber
: walaikumsalam. Iya, ada yang bisa saya bantu?
Peneliti
: saya ingin bertanya tentang tradisi ngijing yang ada di masyarakat
siwal ini.
Narasumber
: iya, silahkan.
Peneliti
: Apakah Anda tahu prosesi apa saja dalam pelaksaan membangun
batu nisan (ngijing)?
Narasumber
:saya tidak tahu prosesinya apa saja karena saya baru pindah tujuh
tahun yang lalu dan orang tua saja belum pernah ngijing.
Peneliti
:Kapan diperbolehkan membangun batu nisan (ngijing) di
masyarakat ?
Narasumber
: dari yang saya dengar kalau mau ngijing menunggu seribu hari
setelah kematiannya.
Peneliti
:Apa saja makanan yang disertakan dalam prosesi membangun
batu nisan (ngijing)?
Narasumber
:biasanya sesuai dengan kemampuan dari yang punya hajat karena
makanan tersebut sebagai sedekah bukan yanglainnya.
Peneliti
:Bagaimana pendapat Anda terhadap seseorang yang tidak
melaksanakan membangun batu nisan (ngijing)?
Narasumber
:di masyarakat Siwal belum pernah ada yang tidak ngijing pada
saat setelah seribu hari kematian.
Peneliti
:Apa manfaat yang dapat diambil dari pelaksaan prosesi
membangun batu nisan (ngijing)?
Narasumber
:untuk melestarikan tradisi yang sudah ada dan juga ngijing itu
sebagai tanda atau tetenger. Sebenarnya ngijing memiliki sisi
negatifnya yaitu tanah yang sudah di kijing tidak bisa ditempati
jenazah yang lainnya.
Peneliti
:Apa saja nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam tradisi
membangun batu nisan (ngijing)?
Narasumber
:pendidikan Islam yang terdapat dalam tradisi ini yang saya amati
adalah mengajarkan untuk selalu berbakti kepada orang tua agar
selalu mendoakan mereka walau sudah meninggal sekalipun.
Peneliti
:Menurut Anda, apakah tradisi membangun nisan (ngijing) tersebut
sesuai dengan tuntunan agama Islam?
Narasumber
: menurut saya tidak sesuai tuntunan Islam karena dalam agama
Islam yang telah saya pelajari tidak ada ajaran untuk ngijing
pemakaman.
Peneliti
: terima kasih atas kesediaan Bapak. Wassalamualaium.
Narasumber
: iya sama-sama. Walaikumsalam.
HASIL WAWANCARA
1. Nama
: Wiranti
2. Usia
: 59 tahun
3. Pekerjaan
: Dagang
4. Hari/Tanggal
: Kamis, 27 Agustus 2015
Peneliti
: Assalamualaikum. Nama saya Nur Rofiqoh dari IAIN Salatiga.
Maaf mengganggu waktu Bapak.
Narasumber
: walaikumsalam. Iya, ada yang bisa saya bantu?
Peneliti
: saya ingin bertanya tentang tradisi ngijing yang ada di masyarakat
siwal ini.
Narasumber
Peneliti
: iya, silahkan.
:Apakah Anda tahu prosesi apa saja dalam pelaksaan membangun
batu nisan (ngijing)?
Narasumber
:yang saya tahu sebelum ke makam pada pagi hari, sore hari
sebelumnya mengadakan selamatan kenduri dan sore hari nya
acara tahlil dan yasin yang dihadiri oleh tetangga sekitar.
Peneliti
:Kapan diperbolehkan membangun batu nisan (ngijing) di
masyarakat ?
Narasumber
:menurut tradisi di sini ngijing dilakukan setelah seribu hari
kematiannya baru bisa ngijing.
Peneliti
:Apa saja makanan yang disertakan dalam prosesi membangun
batu nisan (ngijing)?
Narasumber
:biasanya ada nasi tumpeng, ayam ingkung, berserta lauk pauknya,
telur, tukon pasar, dan bunga setaman.
Peneliti
:Bagaimana pendapat Anda terhadap seseorang yang tidak
melaksanakan membangun batu nisan (ngijing)?
Narasumber
:Di masyarakat Siwal semuanya masih melaksanakan tradisi
ngijing ini.
Peneliti
:Apa manfaat yang dapat diambil dari pelaksaan prosesi
membangun batu nisan (ngijing)?
Narasumber
:manfaatnya sebagai tanda atau tetenger saja.
Peneliti
:Apa saja nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam tradisi
membangun batu nisan (ngijing)?
Narasumber
:pendidikan Islamnya melatih mengaji pada saat acara tahlil dan
yasin yang dilakukan sebelum ngijing ke makam.
Peneliti
:Menurut Anda, apakah tradisi membangun nisan (ngijing) tersebut
sesuai dengan tuntunan agama Islam?
Narasumber
:dalam Islam tidak ada tuntunan untuk melakukan tradisi ngijing
ini.
Peneliti
: terima kasih atas kesediaan Bapak. Wassalamualaium.
Narasumber
: iya sama-sama. Walaikumsalam.
HASIL WAWANCARA
1. Nama
: Parmi Utomo
2. Usia
: 59 tahun
3. Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
4. Hari/Tanggal
: Kamis, 27 Agustus 2015
Peneliti
: Assalamualaikum. Nama saya Nur Rofiqoh dari IAIN Salatiga.
Maaf mengganggu waktu Bapak.
Narasumber
: walaikumsalam. Iya, ada yang bisa saya bantu?
Peneliti
: saya ingin bertanya tentang tradisi ngijing yang ada di masyarakat
siwal ini.
Narasumber
: iya, silahkan.
Peneliti
:Apakah Anda tahu prosesi apa saja dalam pelaksaan membangun
batu nisan (ngijing)?
Narasumber
:acara selama dua hari satu malam. Sehari sebelum ke makam pad
sore hari mengadakan kenduri. Pada malam harinya dilanjutkan
dengan tahlil dan yasin di tempat yang punya hajat.
Peneliti
:Kapan diperbolehkan membangun batu nisan (ngijing) di
masyarakat ?
Narasumber
: sesuai dengan tradisi yang sudah dilaksanakn selama ini yaitu
seribu hari setelah kematian atau sesudah seribu hari juga tidak
apa-apa.
Peneliti
:Apa saja makanan yang disertakan dalam prosesi membangun
batu nisan (ngijing)?
Narasumber
: pada saat kenduri ada tumpeng besar, ingkung, sayur, gorengan,
kedelai hitam dan kelapa, bunga setaman, lalapan, dan juga jenang
merah serta jenang putih. Selain itu disekeliling nya ada nasi
ambengan dan nasi golong yang berjumlah 18 buah yang dijadikan
dua wadah dan tumpeng wajar. Jenis makanan untuk yang di bawa
ke makam ada nasi tumpeng dan lauk pauknya, ayam panggang,
pisang raja satu tangkep, kelapa satu butir, tukon pasar, gula jawa
satu tangkep, mpuk kendi yang di isi dengan uang, telur satu butir.
Peneliti
: apakah Anda tahu arti dari masing-masing makanan tersebut?
Narasumber
: tumpeng besar ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw. dan nabinabi terdahulu. Ambeng ditujukan untuk mengirimkan doa untuk
para leluhur. Tumpeng wajar ditujukan untuk para malaikat yaitu
Malaikat Jibril, Israil, Izrail, dan Izrafil. Nasi golong ditujukan
untuk bagindo kilir (banyu) dan kias (tanah). Jenang abang lan
putih ditujukan untuk bibit saking biyung campur baur dados
setunggal pramila dipun bekteni mugi-mugi romo lan ibu wijabana
sedya piwune.... Bunga setaman untuk mbok dewi Siti Pertimah sak
empan cetine mbok bilih enten kelepatanipun kanjeng nabi dipun
paringi pangapunten.
Peneliti
:Bagaimana pendapat Anda terhadap seseorang yang tidak
melaksanakan membangun batu nisan (ngijing)?
Narasumber
: masyarakat di sini masih melaksanakan tradisi ini sebagai warisan
budaya dari leluhur.
Peneliti
:Apa manfaat yang dapat diambil dari pelaksaan prosesi
membangun batu nisan (ngijing)?
Narasumber
: tradisi ngijing ini sebagai tanda bahwa leluhur atau keluarganya
dimakamkan di tempat tersebut.
Peneliti
:Apa saja nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam tradisi
membangun batu nisan (ngijing)?
Narasumber
:pendidikannya untuk berbakti kepada orang tua karena dengan
ngijing maka ingat akan orang tua yang sudah meninggal dan
mendoakan mereka dengan mengirimkan doa.
Peneliti
:Menurut Anda, apakah tradisi membangun nisan (ngijing) tersebut
sesuai dengan tuntunan agama Islam?
Narasumber
:sebenarnya tradisi ini tidak diajarkan oleh Islam seperti membakar
menyan dan juga memberikan sesaji, dalam Islam tidak ada hal
tersebut.
Peneliti
: terima kasih atas kesediaan Bapak. Wassalamualaium.
Narasumber
: iya sama-sama. Walaikumsalam.
DAFTAR NILAI SKK
Nama
: Nur Rofiqoh
Fakultas
: Tarbiyah dan Ilmu
Nim
: 11111231
Jurusan
: PAI
P.A
: Siti Rukhayati, M.Ag
Keguruan
No
Jenis Kegiatan
Pelaksanaan
Jabatan
Nilai
1.
Orientasi Pengenalan
Akademik dan Kemahasiswaan
(OPAK) oleh Dewan
Mahasiswa (DEMA) STAIN
Salatiga
Seminar Nasional Dan Bedah
Buku “Terpesona di Sidratul
Muntaha” oleh DEMA STAIN
Salatiga.
Aachivement
Motivation
Training (AMT) oleh CEC
STAIN Salatiga
Orientasi Dasar Keislaman
(ODK) STAIN Salatiga
Seminar Entrepreneurship dan
Koperasi
oleh
Koperasi
Mahasiswa (KOPMA) dan
Kajian Study Ekonomi (KSEI)
User Education (Pendidikan
Pemakai) oleh UPT Perpus
STAIN Salatiga
Seminar Regional “Reorientasi
Peran
Jurnalistik
dalam
Perspektif Sosial & Budaya
Pada Era Post Modern” oleh
LPM Dinamika.
Bedah Buku “Super Teens
Super Leader” oleh KAMMI
Komisaris Salatiga.
Seminar
Regional
“Meningkatkan Nasionalisme
20-22 Agustus
2011
Peserta
2
15 Juli 2011
Peserta
8
23 Agustus 2011
Peserta
2
24 Agustus 2011
Peserta
2
25 Agustus 2011
Peserta
2
19 September
2011
Peserta
2
06 Oktober 2011
Peserta
4
08 Oktober 2011
Peserta
2
26 Oktober 2011
Peserta
4
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
Ditengah
Goncangan
Disintegrasi dan Pengikisan
Ideologi
Nasional”
oleh
Komando Resimen Mahasiswa
Mahadipa.
Seminar Regional Kebangsaan
“Negara Islam Dalam Tinjauan
Islam Indonesia dan NKRI”
oleh IPNU.
Piagam Penghargaan Daurah
Mar‟atus Shalihah (DMS)
“Let‟s Be An Inspiring
Women” oleh LDK Darul
Amal STAIN Salatiga.
Bedah
Buku
Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI) “Sang
Maha Segalanya Mencintai
Sang Maha-Siswa).
Seminar Nasional Ekonomi
Syariah “Penerapan Nilai-nilai
Syariah
dalam
Praktik
Perekonomian” oleh KSEI
STAIN Salatiga.
Bimbingan
Belajar
Menghadapi Uas SIBA Bhs.
Inggris dan Bhs. Arab oleh
CEC & Ittaqo STAIN SAlatiga
Seminar Nasional “Urgensi
Media
Dalam
Pergulatan
Politik” oleh LPM Dinamika
Pra
Youth
Leadership
Trainning
oleh
KAMMI
STAIN Salatiga
IBTIDA‟ Lembaga Dakwah
Kampus (LDK) Darul Amal
“Intelektual Muda Muslim,
Genggam
Dunia
Gapai
Akhirat” oleh LDK Darul
Amal
Seminar
Nasional
“Peran
Lembaga Perbankkan Syariah
22 November
2011
Peserta
4
24 November
2011
Peserta
2
15 Mei 2012
Peserta
2
02 Juni 2012
Peserta
8
20 Juni 2012
Peserta
2
29 September
2012
Peserta
8
06 Oktober 2012
Peserta
2
20-21 Oktober
2012
Peserta
2
29 November
Peserta
8
2012
dengan adanya otoritas jasa
keuangan (UU NO. 21 Tahun
2011 Tentang OJK) oleh HMJ
Syariah
19. Seminar Nasional “HIV/AIDS
Bukan Kutukan Dari Tuhan”
oleh DEMA STAIN Salatiga
20. Seminar
Nasional
“Ahlussunnah
Waljamah
dalam
Perspektif
Islam
Indonesia”
oleh
DEMA
STAIN Salatiga
21. Piagam Penghargaan MILAD
LDK XI dalam Daurah
Mar‟atus Shalikhah (DMS)
oleh LDK Darul Amal STAIN
Salatiga
22. Seminar Regional “Deteksi
Dini Gangguan Perkembangan
Pada Anak” oleh Tazkiyah.
23. Sosialisasi “Pelajar Berkualitas
Tanpa HIV/AIDS, Pelajar
Berakhlak Tanpa Diskriminasi
Pelaku
HIV/AIDS”
oleh
PCNU Salatiga.
Konselor
24. Pelatihan
Pendamping
Permasalahan
Keluarga oleh Dinas Sosial
Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Semarang.
13 Maret 2013
Peserta
8
26 Maret 2013
Peserta
8
13 Juni 2013
Peserta
2
18 Juni 2013
Peserta
4
06 April 2014
Peserta
2
23 April 2014
Peserta
2
Download