NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM DALAM TRADISI MEMBANGUN KIJING/NGIJING (Studi Deskriptif Di Dusun Siwal Desa Siwal Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang) SKRIPSI Diajukan untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I.) OLEH NUR ROFIQOH NIM 111 11 231 FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA 2015 i ii MOTTO Merusak diri sendiri adalah hal yang begitu mudah, so... Save yourself, Do the best, and Remember to Allah Swt. Now, tomorrow, and forever. PERSEMBAHAN Hasil karya ini kupersembahkan untuk: Orang Tuaku, Sahabat-sahabat ku, dan Almamater-almamater Jurusan Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Salatiga vi KATA PENGANTAR Asslamu‟alaikum Wr. Wb Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji dan syukur senantiasa penulis haturkan kepada Allah SWT. Atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat diberikan kemudahan dalam menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulullah SAW, keluarga, sahabat dan para pengikut setianya. Skripsi ini dibuat untuk memenuhi persyaratan guna untuk memperoleh gelar kesarjanaan dalam Ilmu Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Dengan selesainya skripsi ini tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada : 1. Bapak Dr. H. Rahmat Hariyadi, M.Pd., selaku rektor IAIN Salatiga. 2. Siti Rukhayati, M.Ag. selaku ketua jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI). 3. Bapak Dr. Phil. Asfa Widiyanto, M.A sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah dengan ikhlas mencurahkan pikiran dan tenaganya serta pengorbanan waktunya dalam upaya membimbing penulis untuk menyelesaikan tugas ini. 4. Ibu Siti Rukhayati, M.Ag selaku pembimbing akademik. 5. Bapak dan Ibu Dosen serta karyawan IAIN Salatiga yang telah banyak membantu dalam penyelesaian skripsi ini. vii ABSTRAK Rofiqoh. Nur. 2015 .Nilai-nilai Pendidikan Islam Dalam Tradisi Membangun Batu Nisan/Ngijing (Studi Deskriptif Di Dusun Siwal Desa Siwal Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang. Skripsi. Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK). Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI). Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Dosen Pembimbing: Dr. Phil. Asfa Widiyanto, M.A Kata kunci: Nilai, Pendidikan Islam, Tradisi, Ngijing Latar belakang penelitian adalah tradisi ngijing pada seribu hari setelah seribu hari masih dilaksanakan oleh masyarakat khususnya Desa Siwal, beradasarkan teori Bratawidjaja bahwa selamatan seribu hari setelah kematian biasanya disertai dengan membangun batu nisan atau ngijing. Tradisi ngijing masih bertahan, dan dilestarikan di era globalisasi karena dalam tradisi yang memiliki makna dan nilai tinggi yang dipercayai oleh masyarakat Siwal. Tradisi juga sebagai media dalam menyampaikan pesan pendidikan dalam budaya Jawa. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah; 1) Bagaimana prosesi (tahapan) dalam ritual membangun batu nisan (ngijing) di Dusun Siwal Desa Siwal Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang?, 2)Apa sajakah nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam ritual membangun batu nisan (ngijing) pada pemakaman di Dusun Siwal Desa Siwal Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang?, 3) Apa sajakah manfaat prosesi dalam ritual pergantian nisan (ngijing) bagi masyarakat Dusun Siwal Desa Siwal Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang?. Tujuan penelitian ini adalah; 1) Untuk mengetahui prosesi atau tahapan dalam ritual tradisi membangun batu nisan (ngijing) di Dusun Siwal Desa Siwal Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang, 2) Untuk mengungkap nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam ritual tradisi membangun batu nisan (ngijing) di Dusun Siwal Desa Siwal Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang, 3) Untuk mengetahui manfaat prosesi dalam ritual membangun nisan (ngijing) bagi masyarakat Dusun Siwal Desa Siwal Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang. Penelitian ini menggunakan motede kualitatif dengan pendekatan etnografi. Pengumpulan data menggunakan taknik observasi, wawancara, dan dokumentasi untuk mendapatkan data yang akurat. Data yang diperoleh dianalisis dengan mereduksi data, menyajiakan, lalu menyimpulkan data. Hasil analisis terhadap ritual dalam tradisi membangun kijing (ngijing) di Dusun Siwal Desa Siwal Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang bahwa tradisi ngijing dilaksanakan pada seribu hari setelah kematian (nyewu). Tradisi ngijing mempunyai nilai positif bagi masyarakat Siwal diantaranya adalah adanya iman kepada Allah Swt., mempererat persatuan dan kebersamaan, dan menumbuhkan rasa syukur. Selain nilai positif terdapat juga nilai negatif antara lain adalah adanya kepercayaan kepada kepercayaan nenek moyang yang dikhawatirkan akan adanya sifat syirik dan pemborosan. Nilai-nilai pendidikan Islam dalam tradisi ngijing adalah pendidikan keimanan, pendidikan amaliyah, pendidikan ilmiyah, pendidikan akhlak, dan pendidikan sosial kemasyarakatan. x DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL........................................................................... i LEMBAR BERLOGO........................................................................ ii HALAMAN NOTA PEMBIMBING.................................................. iii PENGESAHAN KELULUSAN......................................................... iv PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN........................................... V MOTTO............................................................................................... vi PERSEMBAHAN............................................................................... vii KATA PENGANTAR ....................................................................... viii ABSTRAK.......................................................................................... x DAFTAR ISI..................................................................................... xii BAB I PENDAHULUAN................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah.......................................................... 1 B. Fokus Penelitian..................................................................... 6 C. Tujuan Penelitian ................................................................... 7 D. Kegunaan Penelitian................................................................ 8 E. Penegasan Istilah .................................................................. 8 F. Metode Penelitian ................................................................... 11 G. Sistematika Penulisan Skripsi ............................................... 19 xi BAB II KAJIAN PUSTAKA 21 A. Definisi Nilai.................... . .................................................. 21 B. Nilai Pendidikan Islam ......................................................... 24 C. Konsep Ritual Dari Segi Antropologi ................................... 29 D. Ritual Membangun Batu Nisan (Ngijing)............................... 33 E. Penelitian Terdahulu .......................................................... 37 BAB III PAPARAN DATA DAN HASIL TEMUAN...................... 39 A. Letak Geografis .................................................................... 39 B. Letak Demografis ................................................................. 40 C. Kondisi Ekonomi dan Pendidikan ........................................ 41 D. Kondisi Sosial Budaya ......................................................... 44 E. Kondisi Keagamaan .............................................................. 45 F. Proses Pelaksanaan Tradisi Membangun Kijing (Ngijing) .... 48 BAB IV PEMBAHASAN .................................................................. 65 A. Pendahuluan ....... ................................................................... 65 B. Nilai-nilai Pendidikan Islam Dalam Tradisi Membangun 66 Kijing (Ngijing) di Dusun Siwal Desa Siwal Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang ........................ C. Nilai Positif dan Nilai Negatif Dalam Tradisi Ngijing di Dusun Siwal Desa Siwal Kecamatan Kaliwungu Kbupaten Semarang ............................................................... ............... xii 76 D. Ritual Dalam Tradisi Membangun Batu Nisan (Ngijing) ..... 77 E. Kesimpulan ........................................................................... 83 BAB V PENUTUP.............................................................................. 85 A. Kesimpulan ............................................................................. 85 B. Saran........................................................................................ 88 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN xiii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan salah satu negara dari sekian banyak negara yang memiliki budaya yang beraneka ragam. Bangsa Indonesia yang kaya akan budaya ini tersebar di berbagai pulau, wilayah, bahkan sampai ke pelosok pedesaan. Hal tersebut menjadi kebanggan tersendiri bagi bangsa Indonesai karena nenek moyang bangsa Indonesia mewariskan budaya yang beraneka ragam tersebut untuk generasi penerusnya. Bentuk keanekaragaman tersebut terjadi tergantung dari masing-masing budaya yang berkembang di daerah mereka. Budaya yang berkembang di masing-masing daerah mempengaruhi kehidupan masyarakat seperti bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari, model pakaian, arsitektur bangunan, cara bergaul dan juga pengaruhnya terhadapa kepercayaan serta ritual ibadah yang dijalankannya. Salah satu budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia adalah budaya Jawa. Dalam kehidupan sehari-hari orang Jawa dikenal dengan identitas kejawaannya. Maka dari itu pemerintah menggalakkan pelestarian budaya khususnya budaya Jawa. Budaya Jawa yang merupakan budaya nasional yang mempunyai peranan penting bagi masyarakat (Bratawidjaja, 2000:10). Hal tersebut karena suku Jawa menjadi suku terbesar di Indonesia, sehingga dalam perkembangannya budaya Jawa mempunyai dukungan dan dorongan dari masyarakat lebih tinggi. 1 Dalam sejarahnya, perkembangan kebudayaan masyarakat Jawa mengalami akulturasi dengan berbagai bentuk kultur yang ada. Oleh karena itu corak dan bentuknya diwarnai oleh berbagai unsur budaya yang bermacam-macam. Setiap masyarakat Jawa memiliki kebudayaan yang berbeda. Hal ini dikarenakan oleh kondisi sosial budaya masyarakat antara yang satu dengan yang lain berbeda. Para leluhur atau nenek moyang Jawa yang meninggalkan warisan identitas budaya tersebut bukan hanya patut dibanggakan tetapi juga harus dilestarikan. Kebudayaan bagi orang Jawa merupakan pengetahuan yang dijadikan pedoman atau penginterprestasi keseluruhan tindakan manusia (Syam, 2005:16). Melalui definisi kebudayaan tersebut memungkinkan mereka mengkaji agama, sebab agama bukan gagasan atau produk hasil pemikiran manusia atau perbuatan ataupun hasil dari perbuatan manusia. Akan tetapi perbuatan atau hasilnya termasuk produk dari kebudayaan bukan semata-mata hasil dari agama. Oleh sebab itu agama dilihat sebagai suatu sistem kebudayaan. Disadari atau tidak, sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat, banyak didominasi oleh nilai moral dalam kebudayaan Jawa, sehingga usaha pelestarian budaya Jawa dilakukan melalui berbagai jalan agar tidak ditinggalkan oleh masyarakat Jawa sendiri. Selain itu budaya Jawa juga memiliki simbol-simbol yang sarat akan nilai-nilai hidup dan kehidupan secara esensial. Simbol ini merupakan sumber-sumber informasi yang ekstrinsik (Geertz, 1995:7). Oleh sebab itu selain melestarikan budaya 2 Jawa dengan masih menjalankan budaya berarti juga mewariskan nilai yang terkandung dalam budaya tersebut. Pewarisan nilai dalam pendidikan Islam berarti menghidupkan warisan nilai Islam. Menurut bahasa, pewarisan berarti pemindahan kekayaan dari generasi terdahulu kepada generasi berikutnya (AnNahlawi, 1996:217). Memelihara warisan pemikiran dan kebudayaan merupakan perkara yang sangat penting, sebab upaya tersebut meneruskan pengalaman yang luhur dari generasi kepada generasi berikutnya. Namun pewarisan luhur ini tidak dapat serta merta disampaikan secara utuh kepada anak-cucu mereka, sebagian terpaksa di pertahankan dan sebagian lagi perlu dimodifikasi. Pemodifikasian ini dilakukan karena mungkin ada beberapa aspek yang bertentangan dengan aqidah ataupun sudah tidak sesuai dengan zaman yang telah berubah. Salah satu unsur budaya Jawa yang menonjol adalah adat istiadat atau tradisi kejawen. Hasil pemikiran, cipta dan karya manusia merupakan kebudayaan yang berkembang pada masyarakat, pikiran dan perbuatan yang dilakukan oleh manusia secara terus menerus pada akhirnya menjadi sebuah tradisi. Tradisi merupakan proses situasi kemasyarakatan yang di dalamnya unsur-unsur dari warisan kebudayaan dan dipindahkan dari generasi ke generasi. Ajaran Islam bisa dinyatakan telah kuat jika sudah mentradisi ditengah masyarakat muslim, sehingga tradisi menjadi sangat menentukan dalam keberlangsungan ajaran disaat tradisi itu telah menyatu dengan ajaran (Afnan, 2006). Karena tradisi merupakan darah daging 3 dalam tubuh masyarakat, sehingga untuk mengubahnya adalah sesuatu yang sulit maka salah satu langkah bijak ketika tradisi itu tidak diposisikan berhadapan dengan ajaran tetapi tradisi dijadikan pintu masuk ajaran. Ketika dilihat dari sisi sejarahnya tradisi yang kita tahu bahwa sebelum Islam masuk ke Indonesia mayoritas penduduknya beragama Budha, Hindu, dan kepercayaan animisme dinamisme. Kedatangan wali songo untuk mengajarkan Islam sangatlah sulit dan terhalang oleh kepercayaan dan budaya yang sudah ada. Akhirnya para walipun mencoba mengubah budaya yang sudah ada untuk dialihmaknakan kedalam ajaran Islam. Jadi masyarakat tidak perlu meninggalkan budaya yang sudah ada namun tetap menjalankan ajaran Islam. Ternyata cara ini mampu diterapkan kepada masyarakat Indonesia khususnya di Jawa tersebut dan dikenal dengan budaya Jawa. Salah satu adat dan tradisi yang dialihmaknakan adalah tradisi dalam ritual membangun kijing (ngijing) di pemakaman atau pasareyan oleh masyarakat Jawa. Tradisi ini merupakan implementasi kepercayaan mereka akan adanya hubungan yang baik antara manusia dengan yang gaib. Tradisi ini telah lama ada bahkan sampai sekarang masih tetap dilakukan walaupun sekarang masyarakat sudah memiliki sistem transportasi, komunikasi dan ilmu teknologi yang modern dan telah bersentuhan dengan budaya-budaya global. Masyarakat yang masih melaksanakan, menghayati dan mempertahankan tradisi ini adalah masyarakat di Dusun Siwal Desa Siwal Kecamatan Kaliwungu Kabupaten 4 Semarang. Tradisi Ngijing merupakan suatu jenis kebudayaan lokal tradisional orang Jawa. Dengan demikian tradisi Ngijing dapat diklasifikasikan sebagai kebudayaan Jawa. Ngijing berasal dari kata kijing (nisan), sedangkan ngijing berarti pemasangan kijing (Bratawijaya, 1988:135). Tradisi Ngijing pada upacara Selametan Nyewu merupakan salah satu bentuk upacara tradisi yang diwariskan leluhur (Mulyadi, 1982;116). Upacara itu dilaksanakan di pemakaman setempat atau yang lebih dikenal dengan nama pasareyan. Pada hari sebelum membangun kijing (ngijing) pihak keluarga yang akan melaksanakan pembangunan batu bisan tersebut di rumahnya mengadakan slametan kenduri pada sore hari atau setelah waktu ashar. Selanjutnya pada malam harinya pemilik rumah mengadakan tahlilan dan yasinan dengan mengundang tetangga dan warga sekitar. Biasanya warga yang diundang adalah laki-laki yang telah berkeluarga (kepala keluarga). Zaman dahulu jika kepala keluarga tidak ada di rumah maka bisa digantikan anak laki-lakinya agar orang yang mempunyai hajat tidak perlu mengantarkan. Pada saat pulang, orang-orang yang dating tahlilan mendapat berkat dari yang punya hajat (Bayuadhy, 2015:14). Berkat terdiri dari nasi, lauk, dan sayur dalam satu wadah. Pelaksanaan tradisi Ngijing ini merupakan simbol ketaatan kepada tradisi leluhur sebagai penerus tradisi yang pernah ada. Di samping itu, tradisi Ngijing berfungsi menjaga pandangan masyarakat tentang status sosial seseorang. Orang yang tidak melakukan tradisi tersebut, walaupun 5 tidak disingkirkan atau di asingkan, tetapi akan mendapat kesan negatif dari anggota masyarakat lainnya. Kesan negatif yang paling sering terjadi adalah diasingkan dalam pergaulan sehari-hari, karena dianggap tidak menghormati leluhur. Dalam prosesi acara ini dilakukan bacaan mantera dan saji-sajian serta nyanyian suci untuk memohon kepada dewa-dewa. Yang oleh wali songo merubah bacaan-bacaan mantera dengan bacaan ayat suci Al-Qur‟an dan doa kepada Allah Swt. yang terangkai dalam tahlil. Bukan lagi untuk memuja dan memberi saji-sajian kepada roh, namun untuk memohon kepada Allah Swt. agar arwahnya diberikan jalan terbaik di akhirat. Berkaitan dengan paparan di atas, maka timbul suatu keinginan dari penulis guna mengetahui maksud, tujuan, dan nilai-nilai pendidikan islam yang terkandung dalam tradisi membangun kijing (ngijing) yang telah mentradisi khususnya di masyarakat Dusun Siwal Desa Siwal Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang. Dimana masyarakat setempat menganggap bahwa tradisi membangun kijing (ngijing) yang mereka lakukan selama ini bertujuan untuk melaksanakan ajaran agam Islam dan melestarikan tradisi yang menjadi keyakinan masyarakat Jawa serta mewariskan nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi tersebut kepada generasi berikutnya. Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengungkap nilai-nilai Islam dalam tradisi pergantian kijing (ngijing) dengan judul “NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM 6 DALAM TRADISI MEMBANGUN KIJING /NGIJING (Studi Deskriptif di Dusun Siwal Desa Siwal Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang). B. Fokus Penelitian Berdasarkan latar belakang di atas, didapat beberapa fokus masalah yang menjadi pembahasan diantaranya adalah: 1. Bagaimana prosesi (tahapan) dalam ritual membangun kijing (ngijing) di Dusun Siwal Desa Siwal Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang? 2. Apa sajakah nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam ritual membangun kijing (ngijing) pada pemakaman di Dusun Siwal Desa Siwal Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang? 3. Apa saja nilai positif dan nilai negatif yang terkandung dalam tradisi ngijing bagi masyarakat Dusun Siwal Desa Siwal Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang? C. Tujuan Penelitian Sesuai dengan fokus penelitian di atas maka tujuan penelitiannya antara lain: 1. Untuk mengetahui prosesi atau tahapan dalam ritual tradisi membangun kijing (ngijing) di Dusun Siwal Desa Siwal Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang. 7 2. Untuk mengungkap nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam ritual tradisi membangun kijing (ngijing) di Dusun Siwal Desa Siwal Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang. 3. Untuk mengetahui nilai positif dan nilai negatif dalam ritual membangun kijing (ngijing) bagi masyarakat Dusun Siwal Desa Siwal Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang. D. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memiliki kegunaan baik untuk peneliti sendiri maupun untuk masyarakat Jawa khususnya. Secara lebih rinci kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Secara Teoritis. a. Menambah khasanah keilmuan dalam ranah pendidikan dan kebudayaan lokal di Indonesia. b. Menyumbangkan wacana dan informasi bagi semua lapisan masyarakat agar tetap menjaga tradisi dan adat istiadat peninggalan nenenk moyang orang Jawa. 2. Secara Praktis. a. Dapat membantu memberikan pemahaman dalam tradisi membangun kijing (ngijing). b. Dapat membantu menyampaikan nilai-nilai pendidikan Islam dalam tradisi membangun kijing (ngijing). 8 c. Untuk menjaga dan membentengi kemurnian keimanan umat Islam yang masih belum bisa memaknai ritual dalam tradisi membangun kijing (ngijing). E. Penegasan Istilah 1. Nilai. Kata “nilai” dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti 1 harga (dl arti taksiran harga); 2 harga sesuatu (uang misalnya) jika diukur atau ditukarkan dengan yang lain; 3 angka kepandaian, potensi; 4 kadar, mutu, banyak sedikitnya isi; 5 sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan. Menilai(kan): 1 menghargai, mengirangirakan nilainya; 2 memberi angka (ponten). Nilaian: taksiran. Penilaian juru taksir. Pe(r)nilaian: perbuatan (hal dsb) menilai. Nilai (velere artinya kuat, baik, berharga). Dalam kamus Purwadarminta dikatan nilai adalah 1 harga dalam arti taksiran, 2 harga taksiran, 3 angka kepandaian, 4 kadar, 5 sifat-sifat atau hal-hal yang penting atau berguna bagi kemanusiaan (Daroeso, 1986:19). Nilai adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda atau hal untuk memuaskan manusia (Surayin, 2007:374). Menurut Fraenkel nilai adalah sebagai standar penuntun perilaku seseorang dalam menentukan apa yang indah, efisien, dan berharga tidaknya sesuatu (Sunarjati dan Cholisin, 1989:25). 9 2. Pendidikan Islam Pendidikan didefinisikan sebagai proses pengubahan tingkah laku seseorang melalui serangkaian proses (Hamalik, 2003:79). Pendidikan Islam adalah falsafah dasar dan tujuan serta teori-teori yang dibangun untuk melaksanakan praktek pendidikan didasarkan nilai-nilai dasar Islam yang terkandung dalam Al-Quran dan Hadis (Thoha, 1996:99). 3. Tradisi Pengertian tradisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tradisi: 1 adat kebiasaan turun temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dl masyarakat; 2 penilain atau anggapan bahwa cara-cara yang benar telah ada merupakan yang paling baik dan benar. Mentradisi: menjadi tradisi. Mentradisikan: menjadikan tradisi. Tradisi merupakan gambaran sikap dan perilaku manusia yang telah berproses dalam waktu lama dan dilaksanakan secara turun temurun dari nenek moyang. 4. Kijing Pengertian kijing dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kijing : 1 kijing: kepah (remis) yang agak besar tetapi lebih kecil dari kerang, halal dimakan, cangkangnya agak pipih; 2 batu penutup makam yang menyatu dengan batu nisannya (terbuat dari pualam, tegel, atau semen). Mengijing: membuatkan (memasang) kijing pada makam. Kijing adalah batu penutup makam yang menyatu dengan batu nisannya (terbuat dari pualam, tegel, atau semen) (Sujatmiko, 10 2014:143). Berdasarkan uraian di atas bahwa nilai-nilai pendidikan Islam dalam tradisi membangun kijing (ngijing) adalah suatu kepercayaan tertentu tentang perayaan dalam masyarakat untuk melestarikan budaya yang diwariskan oleh nenek moyang supaya menuju kebahagiaan dunia dan akhirat yang sesuai dengan ketentuan Tuhan Yang Maha Esa atau sesuai dengan ajaran Islam yang terdapat pada tradisi membangun kijing (ngijing). F. Metode Penelitian 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif karena dari penelitian ini menghasilkan data deskriptif. Menurut Denzin dan Licoln menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar alamiah dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada (Moloeng, 2008: 5). Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan etnografi. Penekanan dari etnografi adalah pada studi keseluruhan budaya (Moloeng, 2008:26). Pendekatan etnografi ini secara umum yaitu melakukan pengamatan dan ikut serta dalam penelitian lapangan, maka akan diperoleh data dengan memanfaatkan catatan lapangan. 11 2. Kehadiran Peneliti. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif maka mengumpulan data sesuai informasi yang didapat berupa data ucapan atau kata-kata dan dokumen yang disajikan lalu ditelaah guna menemukan makna yang terkandung didalamnya. Oleh karena itu kehadiran peneliti sangat penting mengingat peneliti menjadi instrumen utama dan sebagai pengumpul data dari penelitian tersebut. 3. Lokasi dan Waktu Penelitian. Waktu dan tempat atau lokasi penelitian akan diselenggarakan perlu disepakat oleh interviewer. Artinya perlu membuat janji terlebih dahulu dengan interviewer. Pembuatan janji ini bukanlah tanpa alasan. Karena wawancara yang dilakukan secara mendadak mungkin tidak akan baik bisa berkaitan dengan kemungkinan data atau informasi yang akan diperoleh tidak obyektif atau tidak akurat. Peneliti memilih lokasi untuk penelitian di Dusun Siwal Desa Siwal Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang. Yang menjadi pertimbangan pemilihan lokasi penelitian antara lain: salah satu kawasan Jawa Tengah yang masih kental akan budaya dan tradisi Jawa dan daerahnya dengan kondisi sosial yang baik. 4. Sumber Data. Menurut Lofland yang dikutip Moloeng sumber utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan selebihnya adalah data tambahan seperti dokumentasi dan lain-lain (Moloeng, 2008:157). 12 Berkaitan dengan hal tersebut maka jenis datanya dapat berupa katakata dan tindakan, foto, sumber data tertulis atau statistika. Sumber data utama adalah pengumpulan informasi atau data yang diperoleh dari para informan yang dianggap mengetahui dan terlibat aktif di dalamnya yang disertai dengan dokumentasi sebagai bukti bahwa penulis telah melakukan penelitian. Pengumpulan data itu sendiri adalah proses untuk menghimpun data yang harus diperhatikan (data apa yang dikumpulkan), relevan serta akan memberi gambaran dari aspek yang akan diteliti baik penelitian keputusan maupun penelitian lapangan (Soeharto, 1989:156). Penelitian lapangan merupakan proses perolehan informasi dari keluarga, tetangga, tokoh masyarakat, tokoh budaya dan tokoh agama setempat. 5. Prosedur Pengumpulan Data. Menurut Soeharto (1989:156) dalam memperoleh data yang akurat dan relevan ada beberapa cara yang perlu diperhatikan antara lain: a. Penelitian Kepustakaan. 1) Peneliti tahap awal yang dilakukan oleh seorang peneliti untuk mendapatkan buku-buku atau sumber tertulis lainnya yang relevan dengan judul. 2) Menelaah isi buku dengan cara menandai bab yang sekiranya mempunyai kaitan dengan isi judul. 3) Mengutip bagian penting yang berkaitan dengan judul tersebut. 13 b. Penelitian lapangan. Ada beberapa tahap yang harus ditempuh dalam penelitian yaitu: 1) Menelaah bahan tertulis yang relevan dengan judul. 2) Melakukan survei pendahuluan. 3) Menentukan alat pengumpulan data. Untuk mendapatkan data yang akurat dan sistematis maka peneliti menggunakan beberapa teknik dalam penelitiannya yaitu: 1) Observasi Observasi bisa diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara sistematik fenomena-fenomena yang diteliti. Teknik ini memungkinkan melihat dan mengamati sendiri kemudian mencatat perilaku dan kejadian yang terjadi ditempat penelitian (Moloeng, 2008:174). Maka peneliti melakukan pengamatan langsung tahap demi tahap prosesi dalam acara prosesi membangun kijing (ngijing) di Siwal dan memahami dari setiap ritual yang dijalankan. Selain itu juga melakukan catatan anekdot untuk mengetahui gejala atau peristiwa dalam ritual tersebut. 2) Wawancara. Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu, percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara 14 (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut (Moloeng, 2007:186). Dengan teknik pengumpulan data penelitian ini bisa mendapatkan data yang mendalam dan pengamatan yang lebih mendetail. Alat yang dapat digunakan dalam wawancara antara lain (Sugiyono, 2006:269) : a) Buku catatan yang berfungsi untuk mencatat semua percakapan dengan sumber data. b) Tape recorder berfungsi untuk merekam semua percakapan atau pembicaraan. c) Kamera berfungsi untuk memotret kalau peneliti sedang melakukan pembicaraan dengan informan. 3) Dokumentasi. Dokumentasi berasal dari kata dokumen. Menurut Moloeng dokumen adalah setiap bahan tertulis ataupun film (Moloeng, 2008:216). Dokumen juga merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya monumental dari seseorang (Sugiyono, 2006:270). Dokumentasi adalah metode penelitian ditujukan pada penguraian dan penjelasan apa yang telah lalu melalui sumbersumber dokumen. Sumber dokumen dalam penelitian ini berbentuk foto-foto dari setiap ritual yang dijalankan sebagai bukti telah melakukan penelitian. 15 6. Analisis Data. Menurut Bogdan dan Biklen, analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain (Moloeng, 2008:248). Langkah-langkah yang dapat ditempuh untuk analisis data adalah (Sugiyono, 2006: 277283): a) Reduksi Data (Data Reduction) Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. b) Penyajian Data (Data Display) Dalam penelitian kualitatif penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori dan sejenisnya. Untuk penelitian ini penyajian data dengan teks yang bersifat naratif. c) Verifikasi/Conclusion Drawing Langkah ketiga dalam analisis data kualitatif adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Dari uraian di atas maka data yang diperoleh di lapangan ditulis dalam bentuk uraian yang lengkap. Data tersebut dirangkum, dipilah, dan difokuskan pada hal-hal yang penting yang berkaitan dengan 16 masalah, sehingga memberikan gambaran yang lebih akurat dan jelas tentang hasil wawancara, observasi maupun dokumentasi. 7. Pengecekan Keabsahan Data. Teknik pemeriksaan data dalam penelitian dilakukan guna menetapkan keabsahan data. untuk mendapatkan data yang absah menurut Moloeng, maka diperlukan pengecekan keabsahan data menggunakan: a. Perpanjangan keikutsertaan. Peneliti dalam penelitian kualitatif adalah instrumen utama. Keikutsertaan peneliti sangat menentukan dalam pengumpulan data. Keikutsertaan tersebut bukan hanya dilakukan dengan waktu yang singkat. Perpanjangan keikutsertaan berarti peneliti tinggal di lapangan sampai kejenuhan pengumpulan data tercapai (Moloeng, 2008:327). b. Ketekunan atau keajegan pengamatan. Peneliti mengadakan pengamatan dengan teliti dan rinci secara kesinambungan kemudian menelaahnya pada suatu titik sehingga tampak salah satu faktor yang ditelaah sudah dipahami dengan cara yang biasa (Moloeng, 2008:330). c. Triangulasi. Teknik triangulasi yang paling banyak digunakan adalah pemeriksaan melalui sumber lain. Diluar data itu untuk keperluan 17 pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data yang telah diperoleh (Moloeng, 2008:330). d. Pemeriksaan sejawat melalui diskusi. Teknik ini dilakukan dengan cara mengekspos hasil sementara atau hasil akhir yang diperoleh dalam bentuk diskusi dengan rekan-rekan sejawat (Moloeng, 2008:332). Teknik ini dilakukan agar peneliti mempertahankan sikap terbuka dan kejujuran. e. Analisis kasus negatif. Teknik analisis kasus negatif dilakukan dengan jalan mengumpulkan contoh dan kasus yang tidak sesuai dengan pola dan kecenderungan informasi yang telah dikumpulkan dan digunakan sebagai bahan pembanding (Moloeng, 2008:334). f. Pengecekan anggota. Pengecekan dengan anggota yang terlibat dalam proses pemeriksaan derajat kepercayaan dapat diikhtisakan bahwa pengecekan anggota berarti peneliti mengumpulkan yang memiliki pengetahuan yang mendalam untuk menjadi sumber kebenaran data (Moloeng, 2008:335). g. Uraian rinci. Teknik ini menuntut peneliti agar melaporkan hasil penelitiannya sehingga uraiannya itu dilakukan seteliti dan 18 secermat mungkin yang menggambarkan konteks tempat penelitian diselenggarakan (Moloeng, 2008:338). h. Auditing. Auditing adalah konsep bisnis yang dimanfaatkan untuk memeriksa kebergantungan dan kepastian data Moloeng, 2008:338). 8. Tahap-tahap Penelitian. a. Penelitian Pendahuluan. Mengkaji buku-buku yang berkaitan dengan tradisi membangun kijing (ngijing) dan nilai-nilai pendidikan Islam yang terdapat didalamnya. b. Penelitian Desain. Setelah mengetahui nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi membangun kijing (ngijing) berdasarkan buku-buku kemudian melakukan observasi dalam acara ritual membangun batu nisan (ngijing) dan wawancara langsung kepada orang yang terlibat langsung dalam acara tersebut. G. Sistematika Penulisan Untuk mendapatkan gambaran yang jelas dan menyeluruh serta memudahkan pemahaman terhadap penulisan skripsi ini maka dibagi menjadi 5 bab, yang antar bab saling berhubungan. 19 Bab I, merupakan pengantar dari keseluruhan isi pembahasan. Memuat: latar belakang masalah, fokus masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penegasan istilah, metode penelitian, sampai pada tahap-tahap penelitian. Bab II, berisi kajian pustaka dari penelitian. Pada bagian ini dikemukakan teori-teori yang telah diuji kebenarannya yang berkaitan dengan obyek formal penelitian. Sesuai dengan judul skripsi maka pembahasan pada bab II berisi tentang ritual dalam membangun kijing (ngijing). Bab III, penulis menyajikan hasil penelitian tentang gambaran umum lokasi penelitian, kondisi lokasi penelitian, temuan penelitian tentang ritual dalam tradisi membangun kijing (ngijing), dan pembahasan pelaksanaan tradisi membangun kijing (ngijing) di Dusun Siwal Desa Siwal Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang dengan pemahaman masyarakat akan ritual tersebut. Bab IV, merupakan analisis dari tradisi membangun kijing (ngijing), dan analisis dari segi antropologi serta mengemukakan nilainilai pendidikan islam yang terkandung dalam tradisi membangun kijing (ngijing). Bab V, merupakan kajian yang paling akhir dari skripsi ini. Yang mana pada bagian ini berisi kesimpulan dari pembahasan skripsi dan saran dari penulis. 20 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Definisi Nilai Nilai adalah harga, hal-hal yang penting atau berguna bagi manusia (Soenarji dan Cholisin, 1989:25). Nilai adalah suatu penghargaan atau kualitas terhadap sesuatu atau hal itu menyenangkan (pleasant), memuaskan (satifying), menarik (interest), berguna (usefull), menguntungkan (profitable), atau merupakan suatu sistem keyakinan (belief) (Daroesa, 1986:20). Menurut Munandar (1995:19) nilai adalah sesuatu yang dipentingkan manusia sebagai subjek, menyangkut segala sesuatu yang baik atau yang buruk sebagai abstraksi, pandangan, atau maksud dari berbagai pengalaman dengan seleksi perilaku yang sangat ketat. Secara garis besarnya nilai hanya dibagi tiga macam yaitu nilai benar-salah, nilai baik buruk, dan nilai indah-tidak indah (Tafsir, 2010:50). Tatkala berdiskusi atau berdebat tantang kebudayaan yang pertama adalah kebudayaan yang benar-salah, namun kecil kemungkinannya untuk tidak berdebat. Hal tersebut karena kebudayaan sudah jelas ukurannya. Ukuran utama kebudayaan adalah logika. Lain halnya bila budaya kedua yaitu baik-buruk. Kebudayaan baik-buruk ini susah untuk disepakati karena ukurannya subyektif. Subyektivitas itu muncul karena penilaian terhadap 21 budaya baik-bururk kebanyakan bersumber dari keyakinan dan perasaan dari masyarakat di masing-masing daerah. Nilai yang dianut oleh seseorang atau suatu masyarakat biasanya berupa samar-samar. Nilai tersebut tidak diungkapkan dalam bentuk verbal secara komplet dan tepat oleh pemiliknya (Marzali, 2007:108). Hal tersebut lebih implisit daripada eksplisit karena itu membentuk suatu ide, atau pemikiran yang sangat abstrak dan umum. Namun dengan demikian setelah melakukan penelitian yang mendalam, suatu nilai dari satu masyarakat dapat diungkapkan dengan uraian kata-kata oleh peneliti. Dari uraian di atas maka nilai adalah sesuatu hal yang tersimpan secara implisit yang terdapat pada budaya di satu masyarakat yang dapat diungkapkan dengan secara verbal maupun nonverbal dengan melalui pemahaman yang lebih mendalam. Nilai dapat dilihat dari berbagai sudut pandangan, yangmenyebabkan terdapat bermacam-macam nilai (Taufiq, 2013:18-20), antara lain: 1. Dilihat dari segi kebutuhan hidup manusia, nilai menurut Sjarkawi adalah: a. Nilai moral b. Nilai sosial c. Nilai undang-undang d. Nilai agama 22 Keempat nilai tersebut berkembang sesuai dengan tuntutan kebutuhan. Dari kebutuhan yang paling sederhana, yakni kebutuhanakan tuntutan fisik biologis, keamanan, cinta kasih, harga diri dan yangterakhir kebutuhan jati diri. Apabila kebutuhan dikaitkan dengan nilainilaiagama, akan menimbulkan penafsiran yang keliru. Apakah untukmenemukan jati diri sebagai orang muslim dan mukmin yang baik itubaru dapat terwujud setelah kebutuhan yang lebih rendah tercukupilebih dahulu? Misalnya makan cukup, tidak ada yang merongrongdalam beragama, dicintai dan dihormati kemudian orang itu baru dapatberiman dengan baik, tentunya tidak. Nilai keimanan dan ketaqwaantidak tergantung pada kondisi ekonomi maupun sosial budaya, tidakterpengaruh oleh dimensi ruang dan waktu. 2. Pendekatan proses budaya, menurut dikelompokkan dalam tujuh jenis yakni: a. Nilai ilmu pengetahuan b. Nilai ekonomi c. Nilai keindahan d. Nilai politik e. Nilai keagamaan f. Nilai kekeluargaan g. Nilai kejasmanian. 23 Darmadi nilai dapat B. Nilai Pendidikan Islam Menurut bahasa Pendidikan dalam bahasa Arabnya adalah tarbiyah dengan kata kerja rabba (Daradjat: 2011:25). Kata kerja rabba (mendidik) sudah digunakan pada zaman Nabi Muhammad Saw seperti dalam ayat Al-Qur‟an dan hadis Nabi. Dalam ayat Al-Qur‟an kata ini digunakan dalam susunan sebagai berikut: “Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah “Ya Tuhan, sayangilah keduanya (ibu bapakku) sebagaimana mereka telah mengasuhku (mendidikku) sejak kecil.” (Q.S Al-Isra‟:24). Pendidikan dalam bahasa inggris berasal dari kata educare, yang artinya adalah mengeluarkan potensi-potensi yang ada dalam diri siswa. Dalam bahasa pendidikan di Indonesia diartikan sebagai suatu proses mendidik siswa yang belum dewasa menuju kepada kedewasaan. Menurut Nizar (2002:25) pendidikan dalam konteks islam pada umumnya mengacu pada term al-tarbiyah, al-ta‟dib, dan al-ta‟lim. Altarbiyah berasal dari kata rabb artinya tumbuh, berkembang, memelihara, mengatur, dan menjaga kelestarian atau eksistensinya. Kata rabb sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur‟an surat Al-Fatikhah ayat 2 mempunyai kandungan berkonotasi dari al-tarbiyah sebab kata rabb (Tuhan) dan murabbi (pendidik) berasal dari kata yang sama. Secara filosofis menjelaskan bahwa proses pendidikan Islam bersumber pada 24 pendidikan yang diberikan Allah sebagai pendidik seluruh ciptaan-Nya termasuk manusia. Menurut Hafidz dan Kastolani pendidikan Islam meliputi: 1. Pendidikan Keimanan. Esensi pendidikan Islam adalah ketuhanan, untuk mewujudkan fokus utamanya adalah terbentuknya ikatan yang kuat antara seseorang hamba yang fana dengan Allah penguasa alam yang kekal (Hafidz dan Kastolani, 2009:70). Pendidikan tauhid erat kaitannya dengan pendidikan aqidah. Aqidah menurut etimologi adalah ikatan, sangkutan. Disebut dengan demikian karena aqidah mengikat dan menjadi sangkutan atau gantungan segala sesuatu, dalam pengertian teknis artinya adalah keimanan atau keyakinan (Ali, 2008:199). Pendidikan keimanan dimaksudkan sebagai pendidikan spiritual yang istimewa bagi setiap individu. Pendidikan keimanan erat kaitannya dengan pendidikan tauhid. Tauhid berarti beriman pada ke-Esaan Allah Swt. Iman berarti pengetahuan (knowledge), percaya (belief, faith), dan yakin tanpa bayangan keraguan (to be convinced beyond the least shadow of doubt). Dengan demikian iman adalah kepercayaan yang teguh yang ditimbulkan akibat pengetahuan dan keyakinan (Assegaf, 201:38). Sebagaimana dalam firman Allah Swt.: 25 Artinya:”Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa(1). Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu (2). Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, (3) dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.(4)" (QS. Al-Ikhlas 1-4). 2. Pendidikan Amaliyah. Pendidikan amaliyah sebenarnya Islam sudah menegaskan tentang aspek amaliyah tersebut karena pengaruhnya yang sangat penting dalam kehidupan di dunia, serta membawa manfaat, kebaikan, dan kebahagiaan bagi individu dan masyarakat (Hafidz dan Kastolani, 2009:82). 3. Pendidikan Ilmiah. Pendidikan Ilmiah dalam Islam mencakup aspek ilmu pengetahuan seperti membaca dan menulis, berkenaan dengan memperoleh ilmu pengetahuan yang menjadi ibadah bagi pelakunya, aspek kandungan ilmu pengetahuan tersebut yaitu taqwa dan takut kepada Allah Swt., dan aspek hakikat ilmu pengetahuan ilmiah dan metode ilmiah yang dipergunakan (Hafidz dan Kastolani, 2009:100). 4. Pendidikan Akhlaq Akhlaq adalah buahnya Islam yang diperuntukkan bagi seorang individu dan umat manusia, dan akhlak menjadikan kehidupan ini menjadi manis dan elok (Hafidz dan Kastolani, 2009:107). Maka dari 26 itu akhlak menjadi rujukan bagi seorang muslim, rumah tangga Islami, masyarakat islami dan umat manusia seluruhnya. Pendidikan akhlak antara lain tawakal, berbakti kepada orang tua, dan juga bergaul dengan baik. Tawakkal atau tawakkul (bahasa Arab) berasal dari kata kerja wakala yang berarti mewakilkan atau menyerahkan. Dari segi istilah berarti berserah diri sepenuhnya kepada Allah dalam mengahadi atau menunggu hasil suatu pekerjaan atau menanti akibat dari sesuatu keadaan (Asmaran, 2002:225). artinya bahwa sebagai seorang hamba dalam berbuat dan bersikap dikehidupan sehari-harinya seharusnya selalu berpedoman pada ajaran Allah dan juga tidak melupakan untuk berikhtiar. 5. Pendidikan Sosial Kemasyarakatan. Manusia sebagai makhluk sosial menjadikan pendidikan sosial kemasyarakatan menjadi pintu paling penting dalam pendidikan Islam (Hafidz dan Kastolani, 2009:123). Oleh sebab itu Islam mengatur hubungan individu dengan keluarga, individu dengan masyarakat, dan memfokuskan pada pembentukan manusia yang saleh dalam kehidupan yang luas ini. Pendidikan Islam juga sebagai pewarisan budaya, yaitu sebagai alat tranmisi unsur- unsur pokok budaya dari satu generasi ke genesari berikutnya (An-Nahlawi, 1996:217). Oleh sebab itu identitasnya tetap terpelihara atau lestari dan terjamin dalam segala zaman. 27 Ketika nilai telah diletakkan pada sebuah sistem, maka ia akan mencerminkan paradigma, jati diri dan grand concept dari sistem tersebut. Oleh karena itu, nilai-nilai dasar pendidikan Islam bermakna konsepkonsep pendidikan yang dibangun berdasarkan ajaran Islam sebagai landasan etis, moral, dan operasional pendidikan (Sarjono, 2005:136). Dalam konteks ini, nilai-nilai pendidikan Islam menjadi pembeda dari model pendidikan lain, sekaligus menunjukkan karakteristik khusus. Akan tetapi perlu ditegaskan, sebutan Islam pada pendidikan Islam tidak cukup dipahami sebatas ciri khas. Islam berimplikasi sangat luas pada seluruh aspek menyangkut pendidikan Islam, sehingga akan melahirkan pribadi-pribadi Islami yang mampu mengemban misi yang diberikan oleh Allah Swt. yakni sebagai khalifah dan „abid. Dengan demikian pendidikan yang dijalankan atas dasar Islam mempunyai dua orientasi. Pertama, ketuhanan yaitu penanaman rasa takwa dan pasrah kepada Allah Swt. sebagai Pencipta yang tercermin dari kesalehan ritual atau nilai sebagai hamba Allah Swt. Kedua, kemanusiaan, yang menyangkut tata hubungan dengan sesama manusia, lingkungan dan makhluk hidup yang lain yang berkaitan dengan status manusia sebagai khalifatullah fi al ard (Sarjono, 2005:137). Nilai itu sendiri selalu dihadapi oleh manusia dalam hidup kesehariannya. Setiap mereka hendak melakukan suatu pekerjaan, maka harus menentukan pilihan diantara sekian banyak kemungkinan, dan harus memilih. Disinilah mereka mengadakan penilaian. 28 Dari uraian di atas dapat diartikan bahwa nilai pendidikan islam adalahsuatu hal yang secara implisit dalam budaya dari generasi ke generasi seterusnya sebagai manifestasi dari ucapan, perbuatan, dan materi masyarakat serta kelakuan anggota masyarakat yang sesuai dengan syariat agama Islam. C. Konsep Ritual Dari Segi Antropologi Ritual merupakan tata cara dalam upacara atau suatu perbuatan keramat yang dilakukan oleh sekelompok umat beragama, yang ditandai adanya berbagai unsur komponen yaitu adanya waktu, tempat-tempat dimana upacara dilakukan, alat-alat dalam upacara serta orang-orang yang menjalankan upacara (Koenjtaraningrat, 1985:56). Pada dasarnya ritual adalah rangkaian kata, tindakan pemeluk agama dengan menggunakan benda-benda, peralatan dan perlengkapan tertentu, ditempat tertentu dan memakai pakaian tertentu pula (Suprayogo, 2001:41). Hal tersebut menunjukkan kesakralan dalam suatu ritual yang dilakukan oleh masyarakat yang menganutnya. Kepercayaan terhadap kesakralan sesuatu menuntut untuk diperlakukan secara khusus. Terdapat tata cara perlakuan terhadap sesuatu yang disakralkan. Ada upacara keagamaan yang berkaitan dengan sesuatu yang sakral. Perlakuan khusus dan upacara ini tidak dapat dipahami secara ekonomi dan rasional (Agus, 2005:95). Melakukan sa‟i dari bukit Shafa 29 sampai bukit Marwah misalnya, pada umumnya tidak dapat dipahami keuntungan dan alasan yang rasional sehingga harus melakukannya. Upacara yang tidak dipahami secara konkret ini dinamakan rites dalam bahasa inggris artinya tindakan atau upacara keagamaan (Agus, 2005:96). Upacara keagamaan tersebut seperti upacara penguburan mayat, upacara pembaptisan, sakramen dan lainnya. Upacara, persembahan, sesajen, ibadat keagamaan tersebut tidak dipahami secara ekonomi, rasional, dan pragmatis. Hal ini dilakukan oleh masyarakat dan umat beragama dari dahulu hingga sekarang. Upacara ritual dalam antropologi dikenal dengan istilah ritus (Agus, 2005:96). Ritual menurut Andrew Beatty adalah sebagai konsesus simbolik (secara khas mencerminkan proses sosial) menuju pengakuan yang lebih besar atas improvisasi atau penggunaan kreatif simbol-simbol dan fragmantasi makna (Beatty, 2001:37). Individu dalam tatanan kebudayaan yang beraneka ragam menggunakan sumber-sumber ilmu pengetahuan yang berbeda untuk memahami dan menafsirkan arti dari ritual tersebut. Ritus dilakukan ada yang untuk mendapatkan berkah atau rezeki yang banyak dari suatu pekerjaan seperti upacara sakral ketika akan turun sawah; ada untuk menolak bahaya yang telah atau diperkirakan akan datang; ada upacara mengobati penyakit; ada upacara karena perubahan atau siklus dalam kehidupan manusia seperti mulai kehamilan, kelahiran, atau kematian. Pengobatan dilakukan dengan memengaruhi kekuatan gaib 30 dan dikerjakan oleh dukun atau shaman sedangkan pengobatan secara rasionaladalah dengan mendiagnosa penyakit melalui pemeriksaan konkret dan pemberian obat yang dapat membunuh penyebab penyakit tersebut. Dengan demikian makin tidak alamiah, rasional, ekonomis, dan pragamtisnya ritual dan upacara keagamann itu, maka sangat menarik sekali bagi para ahli antropologi untuk mempelajari dan memahaminya. Dalam agama, biasanya upacara ritual atau ritus dikenal dengan ibadat, kebaktian, berdoa, atau sembahyang (Agus. 2005:99). Setiap agama mengajarkan bermacam-macam ibadah, doa, dan bacaan-bacaan pada waktu tertentu yang dalam agama Islam disebut dengan dzikir. Kecenderungan agama mengajarkan banyak ibadah tersebut tidak lain bertujuan untuk manusia dalam kehidupan sehari-hari tidak lepas dari mengingat Tuhannya. Bahkan dalam Islam menganjurkan kepada manusia dalam menjalankan segala aktivitasnya diniatkan untuk ibadah kepada Allah. Hal tersebut sesuai dengan Al-Qur‟an Surat Al-Dzariyat ayat 56 Artinya:”Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (QS. Al-Dzariyat:56) Oleh karena itu ada ibadah mahdhah dan ada ibadah „ammah. Istilah yang dikenal sebagai ritus dalam antropologi adalah ibadah mahdhah, sedangkan yang lainnya adalah ibadah secara umum. Agama juga mengatur tindakan dan perilaku manusia, baik dalam ajaran hukum atau ajaran moral (Agus, 2005: 101). Ada makanan dan minuman yang diharamkan namun banyak pula yang dihalalkan. Ada 31 banyak perilaku yang diharamkan sebagaimana banyak pula yang dihalakan dan diwajibkan. Kedua aspek inilah yang dijarkan agama menunjukkan bahwa agama bukan hanya upacara ritual. Menurut Durkheim (Agus, 2005:102), baginya upacara-upacara ritual atau ibadah adalah untuk meningkatkan solidaritas, untuk menghilangkan perhatian kepada kepentingan individu. Masyarakat yang melakukan ritual larut dalam kepentingan bersama. Terlihat bahwa Durkhein menyempitkan makna yang terkadung dalam ritual keagamaan kepada keutuhan masyarakat dan solidaritas terhadap sesama.Begitu juga ada adat ritual dan ritual (Beatty, 2001:37). Yang mengenai masalah mana yang absah, apakan simbol yang bermakna sesuatu atau memiliki makna banyak hal atau juga ritual dapat dipandang sebagai komunikasi. Namun pada perkembangannya ritaul mengalami modifikasi dimana ritual tersebut berkembang. Pada solidaritas terhadap sesama dalam ritual keagamaan terdapat pula ibadah yang dilakukan secara individu seperti berdoa, dzikir, shalat seperti shalat dhuha dan tahajjut. Makna yang terkandung dalam ibadah tersebut lebih kepada untuk individu tersebut seperti mendapat ketenangan batin, ketabahan, harapan, dan juga memperbaiki kesalahan yang telah dilakukan (sering meminta ampunan). Makna-makna tersebut adalah makna terpenting yang terkandung dalam ibadah. Slametan merupakan bentuk pesta dari ritual. Slametan mengandung unsur-unsur multivokal yang tidak semata-mata tindakan dan 32 simbol-simbol material melainkan kata-kata yaitu kata-kata yang hanya akan bermakna apabila diucapkan selama upacara (Beatty, 2001:38). Namun tidak semua ucapan dan simbol-simbol dalam ritual memiliki makna yang sama di masing-masing daerah, tugas dari antropolog untuk mengungkap makna-makna dari simbol-simbol yang ada dalam suatu kebudayaan. Hal ini bisa mengurangi upaya dalam memaknai seberapa jauh slametan bagi orang Jawa yang beragama Islam, akan tetatpi slametan berfungsi sebagai suatu kesatuan dari masyarakat setempat. D. Ritual Membangun Kijing (Ngijing) Kebudayaan cenderung di ikuti oleh masyarakat pendukungnya secara turun-temurun dari generasi ke generasi berikutnya, meskipun sering terjadi anggota masyarakat itu datang silih berganti disebabkan munculnya bermacam-macam faktor, seperti kematian dan kelahiran. Kematian adalah pintu memasuki tahap pengalaman eksistensial manusia yang lain, yang betul-betulberadadari yang sekarangsedangkitaalami (Rachman, 2006:1440). Kematian menimbulkan dalam diri orang yang berduka-cita suatu tanggapan ganda cinta dan segan, sebuah ambivalensi emosional yang sangat mendalam dari pesona dan ketakutan yang mengancam baik dasar-dasar psikologis maupun sosial eksistensi manusia. Orang-orang yang berduka-cita ditarik ke arah almarhum oleh rasa kasih sayang kepadanya, disentakkan belakang darinya oleh perubahan yang ditimbulkan oleh kematian. Ritus-ritus kematian menjaga kelangsungan 33 kehidupan manusia dengan mencegah orang-orang yang berduka-cita dari penghentian entah dorongan untuk lari terpukul-panik dari keadaan itu atau sebaliknya, dorongan untuk mengikuti almarhum ke kubur. Penelitian ini menggunakan pendekatan antropologis, yaitu pendekatan yang menggunakan nilai-nilai yang mendasari perilaku tokoh sejarah, status dan gaya hidup, sistem kepercayaan yang mendasari pola hidup dan sebagainya (Agus, 2005:95). Dengan pendekatan ini, penulis mencoba memaparkan situasi dan kondisi masyarakat yang meliputi kondisi sosial budaya dan kondisi keagamaannya. Kajian antropolagi terhadap agama tidak dapat secara langsung dan fakta yang sedang diamati saja, namun untuk memahaminya yaitu dengan memahami fenomena kehidupan beragama (Agus, 2005:49). Fenomena kehidupan beragaman sangat beraneka ragam tergantung dari kondisi keagamaan setiap daerah masing-masing. Keanekaragamana tersebut terjadi karena perkembangan agama manusia dari zaman purba sampai zaman modern sekarang. Pada zaman dulu masalah agama tidak dapat teratasi dengan mudah karena ilmu pengetahuan dan teknologi yang belum maju. Oleh sebab itu gambaran yang didapat dalam penelititian dengan pendekatan antropologi pada umumnya pada masyarakat zaman dulu atau primitif adalah tentang agama yaitu sejenis kepercayaan atau keyakinan animinsme, dinamisme, pralogis dan primitif (Agus, 2005:53). Keyakinan manusia tentang agama lambat laun berubah seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin maju. Hal tersebut karena 34 perbedaan budaya, sejarah, dan lingkungan masyarakat di masing-masing daerah. Oleh karena itu, penulis mencoba menganalisa data yang telah terhimpun untuk menjelaskan nilai pendidikan keimanan, pendidikan amaliah, pendidikan ilmiah, pendidikan akhlaq, dan pendidikan sosial kemasyarakatan sacara sendiri-sendiri. Selain itu penulis mencoba memaparkan latar belakang dilakukannya tradisi Ngijing. Tradisi Ngijing menurut pandangan Islam merupakan wujud kepercayaan masyarakat akan adanya alam gaib (Bratawidjaja, 1984:133). Alam gaib yang dimaksud adalah alam kubur, bahwa orang yang masih hidup masih mempunyai hubungan dengan kerabatnya yang telah meninggal, dan diejawantahkan dalam bentuk slametan sebagai wujud bakti mereka jika yang meninggal adalah orang tuanya. Dan sebagai wujud kasih sayang jika yang meninggal adalah saudaranya. Kepercayaan mayarakat dusun Siwaltentang adanya alam kubur diikuti dengan keyakinan mereka akan adanya siksa kubur. Dengan demikian tradisi Ngijing yang dilakukan masyarakat Dusun Siwal bermaksud mendoakan orang tua maupun kerabatnya yang telah meninggal dunia agar selamat dari siksa kubur. Pemasangan ini selain pada saat penguburan juga dilakukan bersamaan dengan peringatan seribu hari (Bratawijaya, 1988:116). Ritual seputar kematian mempunyai fungsi dan pengaruh yang sarat dengan norma-norma kehidupan bermasyarakat. 35 Tradisi Ngijing pada upacara Selametan Nyewu merupakan salah satu bentuk upacara tradisi yang diwariskan leluhur (Mulyadi, 1982:116). Upacara itu dilaksanakan di pemakaman setempat atau yang lebih dikenal dengan nama pasareyan. Upacara seribu hari ini bisa dikatakan sebagai puncak dari rangkaian selamatan sesudah kematian. Pada waktu ini orang Jawa meyakini bahwa roh manusia yang sudah meninggal tidak akan kembali ketengah-tengah keluarga lagi. Roh tersebut betul-betul akan pergi meninggalkan keluarga yang masih hidup untuk menghadap Tuhan. Selamatan seribu hari ini biasanya diiringi dengan upacara membangun batu nisan (ngijing). Ngijing ini dilakukan untuk mengganti pathok yang sudah tiga tahun yang mestinya sudah rusak. Pada hari sebelum membangun kijing (ngijing) pihak keluarga yang akan melaksanakan pergantian tersebut di rumahnya mengadakan slametan kenduri yang dilaksanakan pada sore hari atau setelah melaksanakan shalat ashar. Selanjtnya pada malam harinya pemilik rumah atau yang punya hajat mengadakan tahlil dengan mengundang tetangga sekitar. Biasanya yang diundang adalah laki-laki yang telah berkeluarga (kepala keluarga). Zaman dahulu jika kepala keluarga tidak ada di rumah maka bisa digantikan anak laki-lakinya agar orang yangmempunyai hajat tidak perlu mengantarkan. Pada saat pulang, orang-orang yang datang ke acara tahlil mendapat berkat dari yang mempunyai hajat (Bayuadhy, 2015:14). Berkat terdiri dari nasi, lauk, dan sayur dalam satu wadah. 36 E. PenelitianTerdahulu Dari pengamatan peneliti selama ini, belum mudah untuk menemukan buku atau pun penulisan yang berkaitan dengan Nilai-nilai Pendidikan Islam Dalam Tradisi Membangun Kijing (Ngijing). Hal ini tidak menyurutkan semangat penulis untuk melanjutkan penelitian yang selanjutnya merujuk pada perbandingan pustaka. Dengan kata lain mencari tema-tema yang relevan dengan tema yang diangkat diantaranya. Muhammad Taufiq dalam hasil penelitiannya tentang Nilai-nilai Pendidikan Dalam Ritual Kematian mem[unyai makna melestarikan budaya Jawa dari nenek moyang, meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta pendidikan. Nilai pendidikan yang terkandung dalam ritual tersebut diantaranya adalah pendidikan sosial, pendidikan agama, dan pendidikan masyarakat. Pendidikan sosial antara lain adalah gotong royong, tolong menolong. Dan solidaritas. Sedangka pendidikan agama adalah pendidikan tauhid dan pendidikan keimanan. Nurul Hasanah (2015) dalam skripsinya membahas beberapa aspek akulturasi Islam di Jawa. Di antaranya tentang rangkaian selametan yang diadakan bertepatan dengan saat-saat penting di dalam kehidupan seperti pemakaman sampai selamatan. Adanya penggunaan simbol dalam bentuk sesajen yang menyertai doa-doa berbahasa Arab menjadi bukti adanya akulturasi Islam di Jawa. Relevansinya dengan tema yang diangkat terletak pada akulturasi Islam di Jawa. Penggunaan sesajen sebagai sebuah simbol, dengan pemaknaan yang mendalam dan penuh kesadaran ataupun hanya 37 sekedar mengikuti kebiasaan, selalu diikutsertakan dalam melangsungkan tahlilan dan doa yang tentunya bernafaskan Islami. Koentjaraningrat dalam bukunya, memaparkan secara komprehensip tentang kebudayaan orang Jawa dari akar budayanya sampai dengan ritual dalam lingkaran kehidupan dari kelahiran, kematian dan sampai upacara peringatan setelah kematian. Karya tersebut merupakan sumber primer dalam penelitian ini, karena tema yang diusung oleh penulis juga merupakan bagian dari bahasannya. Penelitian ini memfokuskan pada Nilai-nilai Pendidikan Islam yang terkandung dalam Tradisi Membangun Kijing (Ngijing). 38 BAB III PAPARAN DATA DAN HASIL TEMUAN A. Letak Geografis 1. Batas Administrasi Dusun Siwal merupakan salah satu dari 6 dusun yang berada di wilayah desa Siwal Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang. Dusun Siwal memiliki batas-batas sebagai berikut: Sebelah Utara : Desa Mukiran, Sebelah Selatan: Kebun Bimo, Tlatar Boyolali, Sebelah Barat: Dusun Tempel, dan Sebelah Timur: Dusun Poten. 2. Luas Wilayah Dusun Siwal Desa Siwal Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang secara keseluruhan memiliki luas sebesar 44 Ha, secara administratif terdiri dari 6 RT (Data Desa Siwal, 2015). Dusun Siwal diuntungkan secara geografis mengingat posisinya yang strategis terletak diantara jalur penghubung segitiga pusat perkembangan wilayah Jogjakarta, Solo, dan Semarang (Joglosemar). Posisi strategis tersebut merupakan kekuatan yang dapat dijadikan sebagai modal pembangunan dusun. 3. Topografis Wilayah Dusun Siwal berada pada ketinggian yang berkisar antara 250-350 meter di atas permukaan laut (dpl) (Data Desa Siwal, 2015). Dusun Siwal berpotensi tinggi mengalami bencana alam berupa tanah 39 longsor mengingat kondisi permukaan tanah yang mudah longsor/ bergerak karena pada Dusun Siwal tersebut terdapat zona tanah bergerak atau wilayah yang kondisi permukaan tanahnya mudah longsor. 4. Penggunaan Lahan dan Iklim Wilayah Dusun Siwal yang memiliki luas sebesar 44 Ha sebagaian besar digunakan sebagai lahan pertanian dan pemukiman, sedangkan sisanya untuk jalan dan makam. Wilayah Dusun Siwal memiliki iklim tropis dengan curah hujan rata-rata 200-300 mm/tahun, suhu udara berkisar antara 28-32 derajat C, kecepatan angin 0,37-0,71 knot, dan kelembaban udara 38,5-98% (Data Desa Siwal, 2015). B. Letak Demografis Penduduk Desa Siwal pada akhir tahun 2013 sebanyak 1970 jiwa dan pada akhir tahun 2014 menurut data berjumlah 1992 jiwa. Dibandingkan dengan kondisi akhir tahun 2005 terdapat penambahan netto sebanyak 22 jiwa dengan rata-rata laju pertumbuhan penduduk pada tahun 2010 adalah sebesar 1,73 %. diketahui bahwa perbandingan penduduk laki-laki dengan perempuan sebesar 1:2, artinya jumlah penduduk perempuan lebih besar 3% dibanding laki-laki Data Kependudukan Desa Siwal, 2014). Data penduduk Dusun Siwal pada tahun 2014 sebanyak 681 jiwa, dimana jumlah penduduk dusun Siwal dari tahun 2009 sampai 2014 tidak 40 mengalami peningkatan yang signifikan. Hal tersebut dapat diketahui ketahui dari data penelitian yang menunjukkan bahwa jumlah penduduk tahun 2009 sebanyak 680 jiwa dan pada tahun 2014 jumlah penduduknya sebanyak 681. Dan untuk perbandingan penduduk laki-laki dan perempuan, yaitu lebih banyak perempuan sebesar 3%. C. Kondisi Ekonomi dan Pendidikan Suatu masyarakat dimanapun mereka berada memiliki ciri khas seperti adanya kelompok-kelompok atau kelas-kelas sosial berdasarkan klasifikasi tertentu. Mengenai kelas sosial menurut Koentjaraningrat dibagi dalam dua kelas yaitu kelas wong cilik dan kelas priyayi (Koentjaraningrat, 1994:331). Istilah priyayi mengacu pada orang-orang dari kelas sosial tertentu yang menurut hukum merupakan kaum elite tradisonal, yang dianggap berbeda dari rakyat biasa yang oleh kaum mayoritas disebut wong cilik seperti wong tani (Geertz, 1960:525). Dari pengertian di atas maka penulis perlu membahas sedikit tentang kelaskelas sosial yang berada di Dusun Siwal Desa Siwal tersebut dengan cara melihat mata pencaharian masyarakat di sana. Dengan cara tersebut maka mayoritas mata pencaharian masyarakat akan menunjukkan kondisi perekonomian masyarakatnya. Berdasarkan monografi jumlah penduduk menurut jenis pekerjaan adalah sebagai berikut: 41 Tabel 1.1 Jumlah Jenis Pekerjaan Penduduk Desa Siwal Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang No. Pekerjaan Jumlah Penduduk 1. Bidan 1 orang 2. Perawat 3 0rang 3. Polisi 1 orang 4. PNS 11 orang 5. Guru 13 orang 6. Pedagang 1 orang 7. Petani 454 orang 8. Buruh 107 orang 9. Pegawai Swasta 314 orang 10. Polisi 1 orang Sumber: Data Desa Siwal 2015 42 Data monografi menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat bermata pencaharian sebagai petani. Namun masalah pendidikan bagi generasi muda tidak begitu terabaikan bagi mereka. Walaupun begitu tingkat pendidikan masyarakat Kelurahan Siwal masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan kelurahan yang lain yang ada di Kabupaten Kaliwungu karena sebagian besar hanya tamat Sekolah Dasar (SD). Hal ini disebabkan tidak hanya tingkat kesadaran orang tua yang masih memprihatinkan, namun juga lingkungan yang kurang mendukung. Masyarakat dusun Siwal belum termasuk dalam kategori masyarakat yang sadar akan petingnya pendidikan, ditunjukkan dengan data berdasarkan jumlah tingkatan lulusan. Banyak masyarakat yang belum/ tidak sekolah di dusun Siwal dan hampir sebagian besar masyarakat di dusun Siwal adalah lulusan SD/ Sederajat. Akan tetapi dalam 10 tahun terakhir, banyak mengalami peningkatan di bidang pendidikan. Di Kelurahan Siwal sendiri sekarang terdapat beberapa lembaga pendidikan, diantaranya: PAUD, TK dan Sekolah Dasar (SD). Hal ini menunjukkan adanya fasilitas untuk anak-anak mereka mengenyam pendidikan formal di desa mereka sendiri meskipun hanya sampai tingkat Sekolah Dasar. Namun dengan adanya dukungan dari orang tua dan kesadaran mereka sendiri akan arti pentingnya pendidikan bagi masa depanlah yang mendorong untuk melanjutkan pendidikan mereka keluar daerah. Untuk dapat meneruskan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) mereka harus menempuh jarak sekitar 8 KM untuk sampai ke sekolah dan 43 untuk melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas (SMA) atau Sekolah Mennegah Kejuruan (SMK) mereka harus menempuh jarak sekitar 5 KM sedangkan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi mereka harus menempuh berkilo-kilo meter. Meskipun demikian tidak menyurutkan semangat mereka menuntut ilmu guna masa depan mereka juga membenahi taraf hidup masyarkat dusun tersebut. D. Kondisi Sosial Budaya Terlepas dari agama manapun yang ada di dunia ini yang jelas manusia menyadari bahwa kehadirannya di muka bumi ini adalah karena proses penciptaan dan kehendak dari Tuhan Yang Maha Esa. Juga manusia diciptakan dengan orang lain yang berbeda agama, warna kulit, bahasa dan lain sebagainya untuk saling berdampingan dalam menjalani kehidupannya. Hal ini menunjukkan bahwa manusia sebagai mahluk sosial tidak bisa hidup sendiri tanpa orang lain dalam melaksanakan aktivitasnya. Selain berada di antara orang lain, seorang manusia juga berada diantara mahluk lain dalam makrokosmos. Di dalam sistem makrokosmos tersebut, ia merasakan dirinya hanyalah sebagai suatu unsur kecil saja yang ikut terbawa oleh proses peredaran alam semesta. Hal tersebut menjadi asumsi bagi masyarakat Siwal, tradisi hubungan sosial antar individu yang tercermin lewat gotong royong masih terjalin sangat kuat. Sifat gotong royong merupakan ciri khas kehidupan warga desa. Adapun ciri-ciri kehidupan masyarakat desa secara umum 44 adalah masyarakat berhubungan langsung dengan alam. Hal ini berkaitan dengan mata pencaharian mayoritas warga desa. Selain itu tradisi-tradisi yang masih berjalan dimasyarakat dusun Siwal diantaranya adalah kegiatan tahlilan dan yasinan, peringatan desa sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah Swt., berjanji, dan pembuatan dupa pada saat orang meninggal. Sifat tolong-menolong antar warga sangat erat dan juga kesadaran masyarakat d Siwal sangat tinggi dalam hal mengikuti dan melaksanakan kewajiban negara, seperti membayar pajak tercepat sekabupaten Semarang. Dilihat dari segi pergaulan, sistem pergaulan masyarakat Siwal yaitu sistem pergaulan masyarakat pedesaan. Terdapat kedekatan/tingkat kekeluargaan antar warga sangat dekat, seperti ketika ada salah seorang warga yang meninggal dunia dan diumumkan di Masjid, maka masyarakat dusun Siwal datang berduyun-duyun melakukan ta‟ziah, ketika ada salah satu warga yang sakit, maka masyarakat dusun Siwal bersama-sama menjenguk warga yang sakit tersebut. Masyarakat dusun Siwal tidak menutup diri dengan masuknya era globalisasi. Hal tersebut tampak terlihat dengan masuknya alat-alat teknologi canggih, seperti Handphone, Televisi, dan sebagainya. Dalam hal minat masyarakat untuk melaksanakan kegiatan ibadah dimasjid seperti sholat jama‟ah masih sedikit tingkat kesadarannya. 45 E. Kondisi Keagamaan Agama merupakan pedoman hidup manusia. Latar belakang keagamaan tiap individu mempengaruhi aspek kehidupannya. Demikian juga dengan masyarakat Jawa khususnya masyarakat Siwal yang mayoritas penduduknya beragama Islam, terdapat juga pemeluk agama lain yaitu agama Kristen. Secara terperinci dapat dilihat sebagaimana Tabel 1.2 berikut: Tabel 1.2 Jumlah Pemeluk Agama Penduduk Dusun Siwal Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang Tahun 2015 AGAMA NO TAHUN 1 2015 Islam Kristen Katolik Hindu Budha Konghucu 679 - 2 - - - Sumber: Data Demografis Siwal Dari data diatas menunjukkan bahwa masyarakat dusun Siwal didominasi oleh mayoritas masyarakat muslim. Sebanyak 679 dari 681 masyarakat adalah penganut agama Islam. Perbedaan agama ini terjadi karena perbedaan latar belakang kehidupan masyarakat yang satu dengan yang lain. Namun hal itu tidak menjadikan penganut agama Islam yang sebagai agama mayoritas, mereka tetap saling menghargai dan menghormati serta memberikan kebebasan bagi penganut agama lain untuk melaksanakan aktivitas keagamaannya. 46 Akan tetapi ketika melihat di lokasi banyak yang tidak paham akan ajaran Islam dengan kata lain ilmu tentang agama masih dikatakan rendah. Melihat dari keaktivan remaja dusun Siwal dalam menghidupkan masjid tidak begitu nampak, dikarenakan banyak remaja Siwal yang bekerja ataupun merantau keluar kota. Kehidupan beragama dari penduduk Desa Siwal tersebut ditunjang dengan jumlah sarana dan prasarana peribadatan sebagaimana Tabel 1.3: Tabel 1.3 Jumlah Sarana Peribadatan Penduduk Dusun Siwal Desa Siwal Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang Tahun 2015 SARANA PERIBADATAN NO TAHUN Masjid Mushola Gereja Pura Vihara Klenteng 1 2015 2 - - - - - Sumber: Data Demografis Siwal Islam sebagai agama dominan masyarakat Siwal direalisasikan oleh para penganutnya dengan mengadakan berbagai macam kegiatan keagamaan di antaranya dengan mendirikan sarana dan prasarana untuk menunjang kekhusukan beribadah terdapat dua buah masjid. Akan tetapi apabila dilihat kegiatan keagamaan masyarakatnya masih kurang semarak. Hal ini terlihat dari sedikitnya orang yang mengaji dan melaksanakan sholat berjama'ah di masjid. Sunyinya masjid dari kegiatan keagamaan bukan berarti kurangnya syiar Islam, melainkan kegiatan 47 keagamaan yang selama ini telah dijalani dilangsungkan di rumah warga yang kedapatan giliran. Masjid dan mushalla dijadikan sarana ibadah yang bersifat rutin dan besar seperti sholat jama'ah lima waktu, shalat jum'at, shalat dua hari raya, pengajian-pengajian akbar dan Taman Pendidikan Al-Qur'an (TPA). F. Proses Pelaksanaan Membangun Batu Nisan (Ngijing) 1. Latar Belakang Kebudayaan Jawa merupakan salah satu kebudayaan daerah yang cukup berpengaruh di Indonesia. Kebudayaan asli jawa telah ada sejak zaman prasejarah. Kedatangan bangsa Hindu dengan kebudayaannya di jawa berkembanglah kebudayaan Hindu-Jawa, demikian pun dengan masuknya Islam. Para wali dalam melakukan dakwahnya memiliki kebijakan khusus yaitu tidak memaksakan Islam kepada masyarakat, melainkan memilih jalan perpaduan antara Hindu-Jawa dengan Islam. Maka dalam kebudayaan jawa terkandung unsur-unsur budaya jawa, Hindu dan Islam. Pandangan hidup orang jawa hampir sama disetiap daerah wilayah Jawa Tengah, yaitu menekankan ketenteraman batin, keselarasan dan keseimbangan, sikap menerima terhadap segala peristiwa yang terjadi sambil menempatkan individu di bawah masyarakat dan masyarakat di bawah semesta alam. Pandangan tersebut memiliki gagasan mengenai sifat dasar manusia dan masyarakat yang pada gilirannya menerangkan 48 etika, tradisi, dan gaya Jawa. Jadi ritual melaksanakan pergantian batu nisan (ngijing) bukanlah suatu kategori keagamaan, tetapi menunjukkan kepada suatu etika dan gaya hidup. Tradisi ngijing berdasarkan dari sumber lisan yang didapat, penduduk tidak dapat menceritakan sejak kapan tradisi Ngijing ini dilakukan. Mereka hanya dapat menyatakan bahwa upacara ini sudah sejak dulu dilakukan, kini mereka tinggal meneruskan adat yang telah berlaku turun temurun.1 Tradisi Ngijing yang dilaksanakan pada selamatan seribu hari setelah kematian merupakan salah satu bentuk upacara tradisi yang diwariskan leluhur. Upacara itu dilaksanakan di pemakaman setempat atau yang lebih dikenal dengan nama pasareyan. Ngijing berasal dari kata kijing. Dalam tata bahasa jawa, perubahan konsonan "k" menjadi "ng" berarti juga mengubah makna, kijing artinya nisan (kata benda), sedangkan ngijing adalah kata kerja yang berarti pemasangan kijing (Pranowo, 2000:442). Tradisi ini mempunyai tujuan untuk memberikan tanda makam sebagai wujud penghormatan mereka terhadap keluarga mereka yang telah meninggal. Pada saat jenazah dikebumikan sampai dengan tradisi ngijing dilaksanakan, makam hanya berbentuk gundukan tanah dengan papan nisan di kedua ujungnya. 1 Wawancara dengan Bapak Slamet Utomo tokoh agama pada tanggal 02 Juni 2015 49 Umumnya tradisi ini dilakukan pada pagi hari.2 Kalaupun ada yang melakukannya di siang hari atau sore hari biasanya bukan sekedar ngijing, tetapi juga memindahkan kerangka jenazah keluarganya yang kebetulan dimakamkan di luar daerah agar dimakamkan dekat dengan makam para kerabatnya atau di pemakaman keluarga. Kasus seperti ini jarang terjadi kecuali atas permintaan dari keluarga almarhum. Namun tradisi Ngijing yang dibahas dalam penelitian ini adalah memberikan kijing pada makam yang sama seperti saat si jenazah dikebumikan. Meskipun demikian keduanya tetap dilakukan pada upacara selametan nyewu. Tradisi Ngijing merupakan suatu jenis kebudayaan lokal tradisional orang Jawa (Hardjowirogo, 1986:7). Dengan demikian tradisi Ngijing dapat diklasifikasikan sebagai kebudayaan Jawa yang mewarnai sendi-sendi kehidupan mayarakat, terutama dalam ritualitas kebudayaan. Hal ini bisa diamati pada seremonial-seremonial budaya dalam masyarakat masih menunjukkan akan kepercayaannya terhadap makhluk supranatural. Tradisi Ngijing yang dilaksanakan pada peringatan seribu hari (nyewu) pada dasarnya hanya tumbuh dan berkembang dalam masyarakat yang beragama Islam. Namun dalam perkembangannya di Dusun Siwal melaksanakan membangun kijing (ngijing) tidak harus dilakukan pada seribu hari setelah kematian namun juga bisa dilakukan pada suatu waktu yang terpenting adalah 2 Wawancara dengan Bapak Wiratno sebagai pelaku tradisi ngijing pada tanggal 01 Juni 2015 50 anggota keluarganya sudah mempunyai cukup biaya untuk melakukan pengijingan.3 Akan tetapi sebagian besar masyarakat Siwal masih melaksanakan membangun kijing (ngijing) pada seribu hari. Hal tersebut karena sudah menjadi tradisi masyarakat setempat. Selametan atau Wilujengan menurut C. Geertz, sebagaimana yang dikutip Koentjaraningrat adalah suatu upacara pokok atau unsur terpenting dari hampir semua ritus dan upacara dalam sistem religi orang Jawa pada umumnya, dan penganut agama Jawi khususnya (Koentjaraningrat, 1994:365). Bagi orang Jawa, hidup ini penuh dengan upacara. Upacaraupacara itu berkaitan dengan lingkaran hidup manusia sejak dari kandungan ibunya, kanak-kanak, remaja, dewasa sampai dengan saat kematian dan setelahnya, atau juga upacara-upacara yang berkaitan dengan aktifitas kehidupan sehari-hari seperti upacara bersih desa, penggarapan tanah pertanian, dan upacara pada hari-hari besar Islam (Koentjaraningrat, 1985:348). Diantara banyaknya upacara selamatan di atas, maka upacara selamatan dalam rangka lingkaran hidup seseorang, khususnya yang berhubungan dengan kematian serta saat sesudahnya adalah suatu adat kebiasaan yang amat diperhatikan dan kerap kali dilakukan oleh hampir seluruh golongan masyarakat orang Jawa. Hal ini mungkin disebabkan karena orang Jawa sangat menghormati arwah orang meninggal dunia terutama bila orang yang 3 Wawancara dengan Slamet Utomo sebagai tokoh agama pada tanggal 02 Juni 2015 51 meninggal adalah bagian dari keluarganya. Sehingga salah satunya adalah melakukan upacara membangun kijing (ngijing) pada selamatan seribu hari (nyewu). Pada kepercayaan lama, upacara dilakukan dengan mengadakan sesaji atau sesajen (Koenjtaraningrat, 1985:348). Sesaji yang disajikan tersebut diperuntukkan kepada daya-daya kekuatan gaib (roh-roh, mahluk halus, dewa-dewa) tertentu. Sesaji merupakan ramuan dari tiga macam bunga (kembangb telon), kemenyan, uang recehan, dan kue apem yang ditaruh di dalam besek kecil atau bungkusan daun pisang (Koenjtaraningrat, 1985:349). Tentu dengan upacara itu harapan pelaku adalah agar hidup senantiasa dalam keadaan selamat. Secara luwes Islam memberikan warna baru pada upacara-upacara selamatan itu dengan sebutan kenduren atau kenduri, kondangan, selamatan (Bayuadhy, 2015:13). Di dalam upacara selametan ini yang pokok adalah pembacaan doa yang dipimpin oleh orang yang di pandang memiliki pengetahuan tentang Islam, apakah seorang modin atau kiai. Selain itu terdapat seperangkat makanan yang dihidangkan bagi peserta selametan yang disebut berkat. Makanan-makanan itu di sediakan oleh penyelenggara upacara atau yang sering di sebut dengan shahibul hajat. Dalam pengejawantahannya orang-orang jawa melakukan berbagai ritual yang kemudian diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Salah satu tradisi yang dilakukan di dusun Siwal adalah tradisi Ngijing. Tradisi ini masih tetap 52 dilaksanakan hingga sekarang karena berbagai hal yang terkandung di dalamnya. Pelaksanaan tradisi Ngijing ini merupakan simbol ketaatan kepada tradisi leluhur sebagai penerus tradisi yang pernah ada. Di samping itu tradisi Ngijing mengajarkan pada generasi muda untuk selalu ingat pada sanak saudaranya yang sudah meninggal dunia. 2. Rangkain Ritual Sebelum melaksanakan prosesi Ngijing ada dua tahapan yang dirangkai dua hari satu malam.4 Tahap pertama yaitu kenduri yang dilaksanakan pada sore hari. Tahap kedua yaitu tahlilan yang diadakan pada malam harinya. Berikut penjelasan untuk lebih memudahkan dalam mendeskripsikan tahapan-tahapan tersebut a. Kenduri Kenduri dilakukan pada sore hari sebelum keesokannya melaksanakan ngijing. Kenduri ini merupakan adat masyarakat Jawa yang dilakukan oleh orang yang mempunyai hajat tertentu dengan mengundang warga sekitar untuk ikut mendoakan keselamatan dan kebahagiaannya (Bayuadhy, 2015:13). Pada hakikatnya kenduri ini bertujuan untuk meminta doa dari tetangga atau kerabat agar apa yang diinginkan tercapai, selamat, serta bahagia selama hidup di dunia dan di akhirat. Warga yang diundang kenduri adalah laki-laki yang telah berkeluarga (kepala keluarga). Pada saat kenduri ada satu orang 4 Wawancara dengan Bapak Wiratno sebagai pelaku tradisi ngijing pada tanggal 01 Juni 2015 53 yang ngujupke (mengikrarkan). Orang yang ngujupke ini sekaligus memimpin acara kenduri. Biasanya orang ini adalah tokoh yang dituakan atau bisa juga seorang modin (Bayuadhy, 2015:16). Pada saat orang yang ngujupke tadi mengikrarkan keinginan orang yang mengadakan kenduri lalu memimpin doa, orang-orang yang datang mengikutinya dengan mengucapkan “aamiin” bagi warga yang beragama Islam. Hidangan pada saat selamatan kenduri adalah nasi tumpeng, ayam yang diingkung berserta lauk pauknya dan bunga setaman.5 Pada saat pulang, orang-orang yang kenduri mendapatkan berkat dari orang yang mempunyai hajat sebagai wujud shadaqah yang mana pahalanya diniatkan untuk almarhum. Berkat terdiri dari nasi, lauk, sayur, kue, dan jenang yang dimasukkan dalam wadah (Bayuadhy, 2015:14). Isi berkat ini tidak selalu begitu tetapi disesuaikan dengan kemampuan yang berhajat. Hal ini memiliki makna bahwa penyelenggaraan hajat kenduri mencapai apa yang diinginkan dan sebagai ucapan terima kasih atas kesediaan waktu dan doanya. Berkat tersebut dibawa pulang dengan maksud agar isi berkat dapat dinikmati oleh satu keluarga. Pemberian berkat lebih diutamakan ketimbang hidangan penutup yang hanya bisa dinikmati oleh para undangan saja. Mereka beranggapan berkat yang dinikmati sekeluarga lebih besar pahala shadaqahnya 5 Wawancara dengan Ibu Sri Ningsih pelaku tradisi ngijing pada tanggal 01 Juni 2015 54 dibanding hidangan penutup yang dinikmati oleh tamu undangan saja. Juga kata orang roh-roh menghisap sari-sari makanan dari bau makanan itu, dan dari doa orang muslim (Susanto SJ, 1995:77). Artinya bahwa roh-roh ditenangkan dan solidaritas ketetanggaan diperkuat. Pelaksannan acara kenduri, warga bisa mengambil banyak manfaat. Kenduri bisa dijadikan wahana untuk menjaga kebersamaan dan persatuan. Kenduri juga bisa dijadikan ajang silaturrahmi untuk memulihkan keretakan, gesekan, dan konflik ringan antarwarga. Selain itu berkat kenduri yang secara fisik berwujud makanan benar-benar menjadi berkah bagi warga yang diundang kenduri dan keluarganya yang berada di rumah. b. Tahlilan dan Yasinan Sudah menjadi tradisi masyarakat Indonesia, bila ada kerabat atau orang lain yang meninggal dunia maka terdapat acara membaca tahlil untuk mendoakan si mayit (Chafidh dan Asrori, 2006:238). Biasanya acara tahlil ini biasanya diadakan pada tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari sampai seribu hari setelah kematiannya. Tahlilan ini merupakan bentuk ritual keagamaan yang penuh dengan puji-pujian kepada Allah Yang Maha Esa. Tahlilan dilaksanakan pada malam hari dan biasanya melibatkan laki-laki (kepala keluarga) yang menjadi perwakilan dari keluarga. 55 Tahlilan ini dipimpin oleh seorang mudin atau tokoh agama yang dipercaya untuk memimpin doa dan biasanya dilaksanakan setelah shalat Isya‟ atau lebih malam bila ada benturan dengan acara keagamaan lainnya seperti kenduri, selamatan dan lain sebagainya. Dengan hal tersebut maka waktu pelaksanaan tahlilan diserahkan kepada modin dengan kesepakatan dan kesiapan dari orang yang punya hajat. Tempat pelaksanaan tahlilan umumnya dikediaman yang punya hajat. Pada pagi harinya sebelum tahlilan dilakukan, yang berhajat dengan sendirinya atau meminta bantuan orang lain yang bisa bertutur kata halus untuk memberitahukan kepada tetangga dan kerabat terdekat dan mengundangnya untuk datang. 6 Apabila merasa belum cukup dengan hal tersebut yang berhajat meminta bantuan kepada takmir masjid untuk mengumumkan undangan tahlilan tersebut. Biasanya acara tahlilan ini dibarengi dengan acara yasinan. Sebelum masuk ke tahlilan biasanya membaca surat Yasin yang dipimpin oleh modin dengan perlahan-lahan secara bersama-sama. Hal ini bertujuan agar pembacaan dapat dilakukan dengan khidmat dan juga agar para orang tua dan orang yang tidak lancar mengaji tidak ketinggalan dalam melafalkannya. Sebelum acara tahlilan dimulai, orang-oang yang sudah datang biasanya saling menyapa, membicarakan panen mereka, 6 Wawancara dengan Bapak Bejo sebagai warga pada tanggal 02 Juni 2015 56 sekolah anak-anaknya, atau berita-berita lokal maupun nasional. Sebagai contoh diantaran peserta tahlilan ada yang tahu tentang politik dan pengetahuan umum maka bisa terjadi diskusi yang seru antarwarga. Dengan demikian tahlilan bukan hanya menjadi ajang aktualisasi keagamaan, tapi juga merupakan ajang sillaturrahmi dan komunikasi antar warga. Ketika semua masyarakat berkumpul, acarapun dimulai. Seorang pembawa acara yang sudah ditunjuk membuka acara dan mengurutkan acara-acara yang akan dilaksanakan. Acara yang pertama adalah pembukaan yang menguraikan maksud di undangnya para warga ke acara tersebut. Acara yang kedua adalah sambutan dari tuan rumah atau yang mewakili untuk menyampaikan ucapan terima kasih atas kedatangan para undangan dan mohon bantuan do'a yang seikhlasikhlasnya. Agar rangkaian acara ini berjalan lancar dan mendapat ridho Allah Swt. Acara yang ketiga yaitu tahlilan serta yasinan yang dipimpin langsung oleh modin atau yang mewakili jika modin berhalangan hadir. Pada umumnya prosesi tahlilan yang dilakukan di dusun Siwal sama dengan tahlilan di tempat lain. Pembacaan surah AlFatihah pertama diniatkan kepada nabi Muhammad Saw. dan keluarganya. Pembacaan alfatihah kedua diniatkan kepada para malaikat , para nabi, para ulama dan kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani. Alfatihah ketiga diniatkan kepada kaum muslim secara 57 umum dan kepada almarhum beserta keluarga khususnya. Kemudian dilanjutkan dengan pembacaan surat Yasin secara perlahan-lahan yang bertujuan agar pembacaannya dapat berjalan dengan khidmat. Setelah pembacaan surat Yasin dilanjutkan dengan tahlil, tahmid dan tasbih dan diakhiri dengan do'a. Setelah do'a selesai dibacakan, maka tuan rumah mempersilahkan para undangan untuk mulai menyantap hidangan. Hidangan ini merupakan ungkapan terimakasih atas kesediaannya membantu mendo'akan almarhum. Hidangan tadi merupakan bentuk sebuah sedekah. Sedekah menurut seorang antropolog Belanda J. van Baal, adalah suatu pemberian, dan bahwa suatu pemberian terutama merupakan cara untuk mengadakan komunikasi simbolis dan untuk berpartisipasi dalam kehidupan serta pekerjaan dari orang yang diberi, dan bukan hanya merupakan cara untuk memuaskan kebutuhan fisik seseorang, untuk "menyuap", atau untuk mengembalikan jasa. Oleh karena itu sebagai suatu pemberian, sedekah merupakan alat untuk berkomunikasi secara simbolik dengan mahluk-makhluk halus di dunia gaib (Koentjaraningrat, 1994:365). Ketika para tamu meminta izin pulang, tuan rumah menyalami dan mengucapakan terima kasih. 3. Prosesi Tradisi Ngijing a. Persiapan dan Perlengkapan 58 Penyelenggaraan dalam tradisi ngijing diadakan dua jenis persiapan yaitu persiapan fisik dan persiapan nonfisik. Persiapan fisik adalah berupa wujud-wujud benda dan perlengkapan yang lainnya dalam menyelenggarakan tradisi ngijing, dan persiapan nonfisik yaitu suatu tradisi yang selama ini dilaksankan sebelum berlangsungnya upacara tersebut seperti membersihkan makam dari rumput-rumput liar. Beberapa hari sebelum diselenggarakan tradisi ngijing, yang berhajat mulai mempersiapkan perlengkapan yang dibutuhkan nantinya. Ada dua macam perlengkapan yang dibutuhkan yaitu perlengkapan yang berupa material (bahan bangunan) dan perlengkapan berupa sesaji. Adapun perlengkapan material yang dipersiapkan adalah: 1) Kijing adalah batu yang berbentuk persegi panjang yang digunakan untuk tutup dan tanda kuburan. Kijing mudah didapatkan dan bisa dipesan di tempat industrri pembuat kijing atau nisan makam dengan harga yang bervariasi. Kijing ada dua bentuk. Bentuk yang pertama terbuat dari batu asli yang di tatah atau dibentuk seperti kijing pada umumnya. Contohnya seperti makam para raja dahulu. Bentuk yang kedua terbuat dari campuran semen dan pasir yang dibentuk menjadi nisan dan biasanya dibentuk berdasarkan pesanan. Bentuk inilah yang sering dipilih konsumen. Selain bentuknya yang bisa 59 dipesan harganya juga lebih ekonomis dan lebih praktis pada saat pemasangannya karena bobotnya lebih ringan dibanding dengan kijing dari batu asli. 2) Semen, air, pasir dan batako yang nantinya akan digunakan untuk membuat semacam altar di atas makam untuk meletakkan kijing. 3) Cangkul, ember dan sekop yang digunakan untuk mengolah campuran bahan-bahan material, dua buah balok panjang dan tambang besar yang digunakan untuk mengangkat kijing. Sedangkan perlengkapan yang digunakan untuk sesaji7 antara lain: 1) Nampan, keranjang tempat sesaji. 2) Kemenyan. 3) Palawija. 4) Jadah Pasar. 5) Telur. 6) Gula jawa satu tangkep. 7) Kelapa bulat. 8) Kendi kecil berisi air. 9) Ayam ingkung yaitu ayam dimasak secara utuh dengan santan diberi bumbu ketumbar, merica, salam, dan lengkuas. 10) Nasi gurih atau nasi uduk. 11) Lauk pauk. 7 Wawancara dengan Ibu Sri Ningsih sebagai pelaku tradisi ngijing pada tanggal 01 Juni 2015 60 12) Pisang. 13) Daun pisang sebagai alas sesaji di atas nampan. Masing-masing sesaji di atas tentunya hadir bukan dengan tanpa maksud atau makna. Adapun makna dari sesaji tersebut di atas adalah sebagai berikut: 1) Pisang sebayak satu sisir melambangkan kesatuan dan kerekatan tali persaudaraan. 2) Kemenyan, berasal dari kemebul (asap sarung yang dibakar) artinya agar do'a mereka terkabul. 3) Palawija melambangkan penghargaan dan penghormatan terhadap peraturan lingkungan. 4) Jadah Pasar yaitu berasal dari cepeto pasrah artinya bahwa macam-macam buah dan jajanan itu gambaran warna-warni keadaan hidup di dunia. Oleh karena itu cepatlah pasrah kepada Yang Maha Kuasa. 5) Telur yaitu terdiri dari tiga bagian, yaitu cangkang (kulit telur) putih telur dan kuning telur, melambangkan tiga bagian kehidupan manusia, kulit luar melambangkan kehidupan yang selalu bergesekan dengan orang lain, terhadap pribadinya sendiri dan terhadap pencipta. Putih telur menjadi simbol niat baik manusia. Kuning telur menjadi simbol hati manusia. Setelah dilakukan berbagai persiapan dan kelengkapan prosesi ngijing dan telah melaksanakan ritual sebelumya yaiu kenduri, 61 tahlilan, dan yasinan, maka pada hari keduanya pada waktu yang telah di tetapkan yaitu pagi harinya, para warga membantu, yang berhajat dan modin memulai memasuki area pemakaman. Perlengkapan dan peralatan yang dibutuhkan dibawa termasuk nampan berisi sesajen. Kemudian Modin mendekati makam yang akan dibongkar yang telah dibersihkan sebelumnya. Selanjutnya modin berdiri di selatan kuburan atau di dekat letak kaki si almarhum. Modin yaitu Bapak Slamet Utomo mengangkat kedua tangannya untutk berdoa sambil membakar kemenyan yang diletakkan diatas makam. Doanya sebagai berikut: bismillahirrahmani rahiim. Niat ingsun obong menyan esisu kuning wetan wesi kuning probo kidul tegal lelono ono kulon mbok siragel kuning ono lor, krenges arang jati karubing menyan, kukuse menyan suwono ingkang baurekso enten makam mriki. Wontenipun jabang bayi kulo nyaosi sekul petak gondho arum kunjuk dumatheng akal bakal wonten ing makam mriki. Pembakaran menyan dan doa tersebut hanya merupakan suatu tradisi yang diwariskan oleh nenek moyang dan sebagai generasi penerus hanya melaksanakan tradisi agar tradisi tersebut tetap lestari. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan dari Pak Slamet Utomo (02/06/2015): “... seperti membakar menyan dan sesaji itu adalah ajaran agama Hindu dan agama Budha sebelum Islam datang ke Indonesia”. Setelah berdoa namun kemenyannya belum habis pembokaran belum bisa dilakukan, mereka harus menunggu sampai semuanya 62 terbakar. Kemudian modin memulai pembongkaran dengan mencangkul tanah makam lalu dilakukan oleh anak pertama dari almarhum dan seterusnya sampai semua anak mendapat giliran baru setelah itu beberapa warga ikut membantu secara bergantian. Pencangkulan dilakukan dengan hati-hati karena khawatir pasak penutup jenazah yang terbuat dari kayu keropos dan tak kuat menahan beban berat pengngali sehingga akan mengakibatkan pasak amblas dan langsung menutupi jenazah. Setelah penggalian di rasa cukup dalam maka tanah makam disiram dengan air, ini di maksudkan agar tanah menjadi lebih padat sehingga mampu menahan beban kijing yang berat. Uraian di atas bisa juga dikatakan sebagai tahap pertama, karena setelah meratakan makam dengan tanah sekitarnya mereka beristirahat di pendopo pasareyan sambil menikmati hidangan yang disediakan shahibul hajat. Hidangan ini merupakan ucapan terima kasih dan juga imbalan jasa bagi warga yang membantu. Imbalan berupa uang hanya diberikan kepada tukang bangunan yang bertugas mengkalkulasi kebutuhan pemasangan kijing selengkapnya. Setelah merasa cukup dengan hidangan tadi, para warga memasuki tahap kedua yaitu pemasangan kijing. Warga bahu membahu mengangkat batako, campuran pasir dan semen ke makam untuk dijadikan altar. Mereka mengangkat materialmaterial tersebut dari luar komplek pemakaman karena merupakan 63 hal yang tabu bagi mereka menaruh dan mengolah barang-barang material tersebut di dalam komplek pemakaman. Bagi mereka komplek pemakaman adalah tempat yang suci maka ketika mereka memasukinya harus melepaskan alas kaki yang dipakainya. Setelah altar yang di bangun mengering dan menjadi keras, beberapa orang warga mengangkat kijing untuk diletakkan di atas altar yang kering tadi. Proses kerjasama sangat di butuhkan karena kijing bukanlah barang ringan. Dan jika tidak berhati-hati dalam mengangkatnya bukanlah hal yang tidak mungkin kalau kijing yang dibawa menghantam kijing-kijing lainyang sudah terpasang ketika melewati makam-makam tersebut. Setelah kijing diletakkan di atas altar dan telah dirapikan, modin meminta orang yang paling tua dari keluarga yang melaksanakan tradisi Ngijing untuk meletakkan stupa kijing yang terletak di atas kedua ujung kijing. Pemasangan stupa kijing dimulai dari stupa kepala dengan di sertai kalimat doa berbahasa Jawa sesuai keinginan orang tersebut, karena tidak ada patokan khusus tentang kalimat doa berbahasa Jawa ini. Namun intinya doa tersebut berisi tentang permohonan keselamatan almarhum di akhirat dan mohon akan bimbingannya di akhirat kelak. Maka lengkaplah pelaksanaan tradisi ngijing pada upacara selamatan nyewu. Warga kembali ke rumahnya masing-masing dengan membawa pemahaman dan keyakinan tersendiri akan makna tradisi ini dilaksanakan. 64 BAB IV PEMBAHASAN A. Pendahuluan Suku Jawa meupakan salah satu suku yang memiliki aneka ragam bentuk kebudayaan. Hal tersebut terjadi karena perkembangan budaya di daerah yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda. Budaya di Jawa Tengah akan berbeda dengan budaya di Jawa Timur, karena disebabkan oleh kondisi sosial dari masing-masing wilayah berbeda-beda. Salah satu budaya yang dimiliki oleh suku Jawa tersebut adalah tradisi membangun batu nisan (ngijing) yang masih dijalankan oleh masyarakat yang berada si wilayah Kaliwungu khususnya. Tradisi ngijing tersebut dikaji untuk mengetahui makna-makna yang terkandung dalam bentuk simbol-simbol. Tradisi ini diwariskan dengan tujuan menyampaikan makna yang terkandung didalam tradisi tersebut. Dengan bentuk simbol-simbol manusia berkomunikasi, dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang mereka miliki untuk kehidupan mereka. Oleh karena itulah penelitian ini diharapkan dapat mengungkap makna-makna dari simbol-simbol tersebut dalam kebudayaan masyarakat setempat. 65 B. Nilai-nilai Pendidikan Islam dalam Tradisi Membangun Batu Nisan (Ngijing) di Dusun Siwal Desa Siwal Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang Islam adalah salah satu agama yang ada di Indonesia. Agama Islam menjadi agama mayoritas bagi penduduk Indonesia daripada agama lainnya seperti agama Kristen, Khatolik, Konghucou, Budha, dan Hindhu. Agama Islam yang di bawa oleh Nabi Muhammad Saw. membawa pesan yang bersifat universal untuk alam semesta ini dan seisinya. Agama Islam bertujuan untuk mensejahterakan manusia secara lahir batin dan kebahagiaan di dunia dan akhiratnya kelak. Kitab Al-qur‟an sebagai pedoman hidup untuk mencapai tujuan tersebut. Agama Islam dalam menyebarkan ajarannya melalui media dakwah. Di Jawa, Islam dalam mengajarkan ajarannya melalui media dakwah dengan berbagai macam cara salah satunya dengan menggunakan media tradisi. Tradisi digunakan untuk mengenalkan ajaran Islam pada umatnya dengan mengurai nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung di dalamnya.Salah satu tradisi yang dapat diuarai nilai-nilai pendidikan Islam adalah tradisi pergantian batu nisan (ngijing) yang dapat mempengaruhi perilaku masyarakat Siwal. Warga Siwal yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam tetap memberikan kebebasan menjalankan ibadah bagi pemeluk agama lain. Bagi pemeluk agama Islam, warganya tetap melakukan tradisi-tradisi yang menjadi warisan dari leluhurnya. 66 Pada zaman dahulu mereka melaksanakan ritual dengan segala hal yang ada di dalamnya bukan tanpa makna, terdapat pesan pendidikan yang terkandung didalam ritual tersebut. Faktanya sekarang adalah sebagian dari mereka tetap mewairisi ritusnya namun tidak mengetahui nilai-nilai pendidikan apa saja yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian ajaran agama Islam dan tradisi terdapat korelasi yang mempengaruhi segala aspek kehidupan khususnya masyarakat Siwal. Untuk itu penulis ingin menganalisa niali-nilai pendidikan Islam dalam tradisi pergantian batu nisan (ngijing) antara lain: 1. Pendidikan Keimanan Pendidikan keimanan yang terdapat pada tradisi ngijing antara lain: a. Iman Kepada Allah Iman kepada Allah merupakan ajaran Islam paling pokok dan mendasar dari agama Islam. Iman kepada Allah Swt ini dapat dilihat dari perilaku dan sikap individu. Dengan beriman kepada Allah berarti menjalankan segala perintahNya dan menjauhi segala laranganNya. Hal tersebut dapat diketahui dari acara pra pelaksanaan pergantian kijing (ngijing) yaitu tahlilan. Pada acara tahlilan terdapat lafadh “laa ilaaha illallah” yang menjadi inti dari acara tersebut. Artinya dari lafadh tersebut adalah “tiada Tuhan selain Allah”. Iman merupakan kepercayaan yang meresap dalam hati dan pikiran. Seseorang yang melafalkan kalimat tahlil walaupun di lisan saja namun secara tidak langsung ia melakukan 67 ikrar untuk menjadi penganut dari sebuah keyakinan. Dengan begitu bagi yang mengikuti tahlilan secara disadari maupun tidak sadar akan mempengaruhi sikap dan perilaku pada kesehariannya seperti lebih rajin beribadah shalat dan menghormati pemeluk agama lain. Selain lafadh “laa ilaaha illallah” terdapat juga lafadh “astaghfirullah”. Lafadh “astaghfirullah” artinya adalah “aku mohon ampunan kepada Allah”. Lafadh tersebut menjadi penguat nilai aqidah. Setelah seseorang ditanamkan nilai aqidah pada dirinya dari kalimat tahlil tersebut yang menunjukkan bahwa ia adalah seorang hamba, maka aqidah tersebut harus diperkuat. Apabila ia melakukan kesalahan atau larangan dari Tuhannya maka ia merasa harus meminta ampunan kepada Tuhannya yaitu Allah Swt. atas perbuatan atau kesalan tersebut. Bagi orang Islam yang mengikuti tahlilan mengucapkan secara lisan dan memahaminya secara mendalam arti dari tahlilan tersebut yang kemudian akan diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat. Maka pemaknaan tersebut yang mendasari perilaku bermasyarakat. Seseorang akan menjaga hubungannya kepada Allah Swt. juga menjaga hubungannya kepada sesamanya. Seseorang tidak akan melakukan perbuatan yang dilarang oleh Allah Swt. seperti mencaci maki tetangganya, karena hal tersebut akan berakibat tidak baik bagi hubungannya dengan Allah Swt 68 secara langsung juga akan membuat hubungannya dengan sesama juga tidak akan baik. Hal inilah yang dijadikan salah satu dasar dalam bermasyarakat di Siwal. b. Iman Kepada Hari Akhir Iman kepada hari akhir berarti percaya bahwa kelak dunia ini akan mengalami kehancuran (kiamat). Maka seorang yang beriman kepada hari akhir akan bersungguh-sungguh dalam menjalani kehidupan di dunia ini dengan cara melakukan ibadah dan perbuatan yang mendatangkan pahala baginya. Namun bagi yang ingkar biasanya mereka di dunia ini akan merasa enggan untuk mengerjakan perintah Allah Swt. Seseorang yang beriman pada hari akhir, ia yakin bahwa kematian akan datang padanya pada saat yang telah ditentukan dan ia tidak akan mampu untuk menolaknya, karena kehidupan maupun kematian manusia telah diatur oleh Allah Swt. meninggal atau mati merupakan kiamat kecil bagi umat manusia. Tradisi ngijing ini dalam pelaksanaannya mempunyai makna tersirat bahwa setiap manusia kelak pasti akan meninggal atau mati, maka bagi pelaksananya secara tidak langsung diingatkan bahwa kelak mereka juga akan menyusul para keluarganya terdaulu yang sudah meninggal. Bagi para tetangga yang juga mengikuti pelaksanaan tradisi ini juga akan merasakan hal sama. Dengan demikian setelah mereka melakukan tradisi ini 69 mereka memperbaiki kualitas ibadah mereka karena kelak di akhirat tidak akan ada yang bisa menyelamatkan mereka kecuali amal mereka sendiri pada saat berada di dunia. 2. Pendidikan Amaliyah Pendidikan amaliyah yang tercermin dalam tradisi ngijing terletak pada pemberian berkat kepada para tamu undangan pada acara kenduri. Pemberian berkat ini bagi yang punya hajat bertujuan untuk bersedekah kepada orang lain dan juga sebagai rasa terima kasih, sedangkan bagi para tetangga adalah sebagai amal mereka karena bisa membantu saudaranya dalam penyelesaian prosesi tradisi tersebut dan juga menjadi amal pahalanya karena telah mendoakan saudaranya yang sudah meninggal. 3. Pendidikan Ilmiah Pendidikan ilmiah yang terkandung dalam tradisi ngijing terlihat dari pembacaan ayat suci Al-Quran. Hal ini menjadi penerapan ilmu pengetahuan yaitu membaca. Sedangkan pendidikan akhlak antara lain tawakkal, bergaul dengan baik dan juga berbakti kepada kedua orang tua. Hal ini terlihat dari makna dilaksanakannya tradisi ngijing yang salah satunya mengirimkan doa kepada saudaranya atau orang tuanya yang sudah meninggal dunia. 4. Pendidikan Akhlak Sebenarnya aqidah dan akhlak, keduanya saling berkaitan. Aqidah sebagai konsep keimanan sedangkan akhlak sebagai aplikasi dari 70 aqidah tersebut yang diwujudkan dengan sikap dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Adapun pendidikan akhlak yang dapat diambil dari tradisi ngijing adalah sebagai berikut: a. Tawakkal Sebagai seorang hamba dalam berbuat dan bersikap dikehidupan sehari-harinya seharusnya selalu berpedoman pada ajaran Allah dan juga tidak melupakan untuk berikhtiar. Dengan tawakkal ini orang yang beriman akan mendapat bimbingan dari Allah Swt. sebagaimana firman Allah surat Ali Imran ayat 160 yang berbunyi: Artinya:”Hanya kepada Allah hendaklah orang-orang yang beriman menyerahkan diri”(QS Ali Imran:160). Tradisi ngijing ini dalam pelaksanaanya tidak keluar dari syariah Islam. Hal tersebut ditunjukkan dengan mereka yang mengikuti prosesi tradisi ngijing melaksanakan pengajian yang diwujudkan dengan acara kenduri atau kenduren,tahlilan dan juga yasinan. Yang dalam ketiga acara tersebut terdapat pembacaan ayat-ayat AlQur‟an dan juga dzikiran serta dalam doa pun ditujukan untuk mendoakan keselamatan orang yang sudah meninggal kepada Allah Swt. semata. Sebagaimana hadis Nabi Saw.: 71 Artinya: apabila anak Adam (manusia) meninggal, maka terputuslah amalnya, kecuali tiga hal yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak shaleh yang selalu mendoakannya (HR. Muslim). Dari hadis di atas menunjukkan bahwa doa anak shaleh untuk keluarganya yang sudah meninggal dapat menjadi amal bagi mereka walaupun mereka sudah meninggal. Setelah itu mereka berserah diri kepada Allah Swt. dari apa yang mereka usahakan untuk keluarganya yang sudah meninggal. b. Bergaul Dengan Baik dan Mengajak Kebaikan Manusia sebagai makhluk sosial, mereka tidak akan bisa melepaskan diri dari masyarakat yang berada di lingkungannya. Apabila lingkungan masyarakatnya baik, maka seseorang tersebut akan menjadi baik. Apabila lingkungan masyarakatnya tidak baik, maka seseorang akan menjadi tidak baik pula. Bergaul dengan baik ini termasuk akhlak kepada sesama manusia. Tradisi ngijing dalam pelaksanaannya, bergaul dengan baik dan mengajak kebaikan tercermin dalam acara selamatan. Selamatan tersebut berupa kenduri dan tahlil. Pelaksana tradisi ngijing (tuan rumah) mengundang para kerabat dan tetangga untuk datang pada acara selamatan tersebut. Apabila tuan rumah tidak memiliki hubungan yang baik kepada tetangga dan masyarakat sekitar maka tuan rumah tidak akan mengundang mereka, namun pada kenyataannya mereka diundang untuk menghadiri acara 72 tersebut. Sedangkan mengajak pada kebaikan bisa dilihat juga dari rangkaian acara tersebut yang didalamnya bukan mengajak pada perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah Swt. seperti berjudi atau meminum minuman keras, namun mengajak untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah Swt. dengan cara membaca ayatayat Al-Qur‟an dan berdzikir. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam surat Al-Maidah: Artinya:”Hendaklah kamu tolong-menolong dalam kebaikan dan taqwadan janganlah bantu membantu dalam menjalankan dosa dan permusuhan” (QS. Al-Maidah:2) c. Berbakti Kepada Kedua Orang Tua Tradisi pergantian nisan (ngijing) ini dalam pelaksanaannya secara tidak langsung menunjukkan bahwa pelaku tradisi berbakti kepada orang tuanya. Hal tersebut karena selain melaksanakan tradisi leluhur juga bagi keluarga yang ditinggalkan akan ingat kepada orang tuanya, dan tradisi ini sebagai salah satu media untuk menyampaikan rasa baktinya kepada keluarganya. Seseorang yang melaksanakan tradisi ini selain ingat kepada keluarga yang sudah meninggal juga ia akan mengirimkan doa kepada almarhum untuk memintakan keselamatan kepada Allah di akhirat kelak dan juga agar rohnya selamat dari siksa kubur. Mendoakan orang tua yang sudah meninggal tersebutlah yang dianjurkan oleh agama Islam. 73 5. Pendidikan Sosial Kemasyarakatan a. Tolong Menolong Salah satu ciri kepribadian seorang muslim adalah tolong menolong. Tolong menolong adalah kerjasama utnuk menyelesaikan gawe milik suatu keluarga/individu (Marzali, 2007:149). Sikap tolong menolong ini didasarkan pada kebaikan dan ikhlas. Tolong menolong memiliki dampak yang sangat luas bagi seorang muslim, sehingga ia akan terdorong untuk mengadakan upaya kerukunan terhadap sesama, meningkatkan ketaqwaan, dan memberikan kasih sayang kepada saudara-saudara seiman. Sudah selayaknya seorang muslim meringankan beban saudara-saudaranya. Maka tolong menolong sangat dianjurkan dalam agama Islam. Tolong menolong yang tercermin dari tradisi ngijing adalah yang dilakukan oleh para tetangga dalam membantu jalannya prosesi tradisi ngijing tanpa rasa pamrih. Mereka membantu memasak macam-macam makanan dan perlengkapan guna acara seperti tahlilan dan kenduri. Selain sebagai makanan untuk acara tersebut juga untuk diberikan kepada tetangga yang datang pada saat pulang nantinya. Hal ini sebagai ungakapan terima kasih juga sebagai sedekah yang dilakukan oleh yang punya hajat tersebut. b. Menjalin Silaturrahmi 74 Pada tradisi ngijing, yang berhajat mengundang para tetangga atau kerabat untuk mengikuti prosesi tradisi tersebut. Mulai dari acara kenduri dan tahlilan sampai pada pergantian batu nisan di pemakaman. Selain untuk membantu kelancaran prosesi tersebut juga untuk menjalin silaturrahmi antar warga yang mengikutinya. Mereka yang sebelumnya jarang bertemu dapat bertemu dan berbincang-bincang pada saat prosesi tersebut. C. Nilai Positif dan Nilai Negatif Dalam Tradisi Membangun Kijing (Ngijing) Nilai positif yang terkandung dalam ritual tradisi membangun kijing (ngijing) diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Adanya rasa iman kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kebesaran dan kekuasaanNya yang tercermin dari kegiatan berdoa bersama sebelum pelaksaan membangun kijing (ngijing) di pemakaman untuk mendoakan keselamatan almarhum. 2. Mengajarkan kepada manusia tentang rasa syukur atas karunia Allah Swt. berupa umur panjang sampai detik ini dan bisa memanfaatkan umur tersebut di jalan yang diridhoi Allah Swt. 3. Mengajarkan untuk bersedekah yang terlihat dari pemberian berkat kepada para tamu undangan untuk dibawa pulang agar keluarga yang di rumah dapat ikut menikmati makanan yang dihidangkan dalam ritual ngijing. 75 4. Tercipta kerukunan antar warga masyarakat yang tercermin dari berkumpulnya para warga dalam prosesi tradisi ngijing. 5. Memupuk rasa kebersamaan dan persatuan dalam bermasyarakat sehingga dapat mengurangi rasa egois dan individualitas yang terlihat dari kegiatan tolong menolong antar warga dalam menyelesaikan prosesi ngijing di pemakaman. Tradisi ngijing dalam pelaksanaannya disamping nilai positif ada juga nilai negatif yang tidak sesuai dengan ajaran Islam diantaranya adalah: 1. Masyarakat masih mengikuti Tradisi nenek Moyang / Orang terdahulu, hal ini dapat menjadi peluang timbulnya unsur-unsur menyekutukan Allah Swt. dengan selainnya. Hal tersebut seharusnya perlu berhatihati sehingga nilai-nilai Islamlah yang harus dikembangkan melalui kegiatan membangun kijing (ngijing). Apabila hal ini dipahami oleh generasi penerus secara turun temurun akan menyebabkan hilangnya nilai-nilai aqidah, berganti pada nilai-nilai takhayul yang berkembang dalam masyarakat. 2. Pemborosan (Mubadzir), hal ini terlihat dari banyaknya ritual yang setiap ritualnya menggunakan sesaji dan kijing yang biayanya tidak sedikit. Daripada digunakan untuk sesaji dan kijing lebih baik uang pembelian sesaji dan kijing diberikan kepada tetangga sekitar yang lebih membutuhkan atau diberikan kepada anak yatim. 3. Pemberian kijing di atas pemakaman sebernarnya tidak dianjurkan oleh agama Islam kecuali pemberian kijing ini karena takut makamnya 76 akan dibongkar oleh binatang buas, diterjang banjir, atau pemakaman milik umum. Sedangkan apabila milik sendiri hukumnya makruh. D. Ritual dalam Tradisi Ngijing dari Segi Antropologi Budaya Jawa di Indonesia yang ada saat ini merupakan akulturasi budaya Jawa pendekatan dengan Jawanisasi Islam. Islam, Pengakulturasian yang artinya ini menggunakan sebagai upaya penginternalisasian nilai-nilai Islam melalui cara penyusupan ke dalam budaya Jawa (Jamil, 2000:119). Ketika dimensi keberagamaan orang Islam Jawa tertuang dalam kehidupan sehari-hari maka nilai Islam telah menjadi ruh dalam budaya Jawa walaupun tidak secara konkret berlabel Islam. Kehidupan orang Jawa dalam keberagamaannya, cenderung menjadikan Islam sebagai bagian dari budaya Jawa sehingga melahirkan kepercayaan-kepercayaan serta upaca-upacara ritual. Berbagai macam upacara adat yang terdapat di dalam masyarakat pada umumnya dan masyarakat Jawa pada khususnya merupakan cerminan semua perencanaan, tindakan, dan perbuatan telah diatur oleh tata nilai luhur (Bratawidjaja, 2000:9). Upacara tersebut seperti upacara hamil tujuh bulanan, kelahiran, mencukur rambut pertama sampai upacara kematian. Salah satu upacara adat dalam masyarakat Jawa yang masih lestari adalah upacara kematian. Dalam upacara kematian terdapat selamatan seribu hari yang biasanya disatukan dengan mijing/kijing (membangun 77 batu nisan)(Bratawidjaja, 2000:135). Di Desa Siwal tradisi atau adat istiadat ini masih berlangsung. Anggota keluarga yang masih hidup akan melakukan pembangunan batu nisan di atas pemakaman setelah seribu hari kematiannya. Pembangunan batu nisan di atas pemakaman tersebut bertujuan agar tanda bahwa makam keluarganya tidak akan hilang dan bagi keluarga yang jauh yang ingin ziarah kubur dapat menemukan makam keluarganya. Selain itu karena nisan dari kayu bila sudah seribu hari sudah keropos. Akan tetapi dalam perkembangannya, ada sebagian dari masyarakat yang melaksanakan tradisi ini bukan setelah seribu hari namun pada saat pemakaman jenazah pasca kematiannya. Sebagian masyarakat Siwal lagi beranggapan membangun batu nisan tersebut tidak harus pada waktu yang sudah ditentukan melain sewaktu-waktu tergantung dari kesepakatan anggota keluarga. Hal tersebut karena menurut mereka tergantung dari kondisi ekonomi setiap individu tersebut. Upacara dalam konteks kajian antropologi mamiliki dua aspek yaitu ritual dan seremonial. Menurut Winnick ritual ialah seperangkat tindakan yang selalu melibatkan agama atau magi yang dimantapkan melalui tradisi (Syam, 2005:17). Ritual ini tidak sama dengan pemujaan namun sebuah tindakan yang bersifat keseharian. Bentuk ritual inti dari sinkretisme adalah sebuah perayaan bersama yang disebut dengan slametan (Greetz, 1995:77). Slametan- Slametan yang memiliki bentuk dan isi dengan hanya sedikit variasi pada segala kesempatan yang 78 memiliki makna religius seperi hari-hari suci menurut penanggalan wilayah setempat, pada tahap-tahap tertentu seperti tahap penguburan dan selamatan setelah kematianya. Semua hal itu dimaksudkan hanya untuk memberikan kebaikan bagi mereka yang masih hidup maupun yang sudah tidak berada di dunia ini serta makhluk halus yang mereka yakini ada. Slametan pada hakikatnya adalah sebuah ritus yang berdasarkan wilayah (Greetz, 1995:103). Slametan mengandalkan hubungan atau ikatan primer antarkeluarga sebagai keakraban bermasyarakat yang mengakibatkan mengaburkan garis-garis batas sosial dan kultural sehingga tercipta kerukunanan antarwarganya. Pada tradisi ngijing terdapat selamatan seribu hari yang memiliki makna religius yang dimaksudkan untuk memberikan kebaikan bagi almarhum dan juga pada keutuhan hidup bersama. Masyarakat Jawa menyebutkan Slametan kadang-kadang disebut juga dengan kenduren (Geertz, 1995:13). Slametan dalam tradisi menjadi inti dari suatu acara. Slametan biasanya diselenggarakan pada malam hari atau setelah shalat Isya‟, begitu pun yang terjadi di masyarakat Siwal seperti pada prosesi selamatan seribu hari. Slametan biasanya hanya dihadiri oleh kaum laki-laki atau kepala keluarga. Sedangkan untuk kaum perempuan, mereka hanya akan berada di dapur untuk mempersiapakan makanan yang dibutuhkan dalam Slametan tersebut. Pemisahan antara laki-laki dan perempuan tersebut bukan tanpa tujuan yaitu agar sesuai fungsinya. Kaum laik-laki yang diundang dalam 79 slametan karena kaum laki-laki sebagai kepala keluarga, maka dari itu kepala keluarga saja yang datang dalam acara slametan sudah cukup sebagai perwakilan. Bagi perempuan yang memang sesuai tugasnya yaitu mengurusi rumah tangga seperti memasak, maka perempuan hanya membantu memasak di dapur yang punya hajat pada tradisi ngijing ini. Hal tersebut mencerminkan solidaritas antarwarga karena saling membantu dalam menyelesaikan tradisi ngijing yang diselenggarakan oleh kepentingan individu. Mereka larut dalam kepentingan bersama. Kaum laki-laki yang diundang adalah para tetangga dekat rumah yang memiliki hajat dan juga sanak saudaranya. Mereka diundang oleh tuan rumah atau orang yang diutus oleh tuan rumah untuk memberi undangan kepada mereka. Biasanya mereka yang dapat undangan akan datang karena sepanjang waktu sesudah terbenamnya matahari hampir semua masyarakat Siwal berada di rumahnya yang artinya mereka tidak dalam keadaan istirahat. Mereka yang sudah tiba di rumah yang punya hajat, mereka langsung menempati tempat duduk di atas tikar yang sudah disediakan dengan keadaan bersila dan seperti melingkar. Sekiranya para tamu undangan sudah tiba maka makanan yang diperlukan untuk acara tersebut diletakkan ditengah-tengah lingkaran tersebut, dan upacara pun dimulai. Biasanya di Siwal tuan rumah atau tokoh agama seperti modin membuka upacara dengan bahasa Jawa setempat yang isinya terima kasih atas kehadiran para tamu undangan. Selanjutnya mengutarakan niatnya 80 dengan menyebutkan maksud dari diadakan Slametan tersebut yaitu selamatan seribu hari yang disertai dengan membangun batu nisan di pemakaman. Setelah sambutan tersebut lalu seorang modin memulai upacara slametan. Modin tersebut menjadi pemimpin upacara dengan tahlil dan yasin lalu membaca doa atau ayat-ayat Al-Qur‟an sedangan tamu yang lainnya mengadahkan kedua tangannya beserta mengucapkan “aamiin”. Setelah modin selesai berdoa maka semua yang hadir mengusapkan kedua tangan mereka yang mengadah tadi ke wajah mereka. Setelah acara berdoa selesai maka tuan rumah memberikan sambutan lagi dengan bahasa Jawa kemudian para tamu undangan memakan makanan yang sudah dihidangkan dengan perlahan-lahan. Sesudah dirasa cukup untuk menikmati hidangan dari tuan rumah mereka akan meminta izin untuk pulang. Biasanya mereka akan bersalaman kepada tuan rumah sebagai tanda penghormatan pada tuann rumah dan keluarganya. Tahlil dalam tradisi ngijing ini merupakan ajaran Islam dalam rangka berdzikir kepada Allah karena dalam tahlil terdapat bacaan lafadz laailaahaillallah. Tahlil ini dijadikan sebagai media membiasakan diri untuk memperbanyak bacaan kalimah taoyyibah yang bertujuan untuk mendapatkan rahmat Allah Saw. tujuan yang mendasar dilakukannya tahlil dalam tradisi ngijing adalah mendoakan arwah para leluhur yaitu orang tua atau kakek nenek yang telah meninggal dunia dan juga bertujuan 81 mengharapkan pahala dan ampunan dari Allah Swt. Pada kepercayaan lama, upacara dilakukan dengan mengadakan sesaji atau sesajen (Koenjtaraningrat, 1985:348). Sesaji ini adalah penyerahan sajian pada saat-saat tertentu didalam rangka kepercayaan terhadap makhluk halus di tempat-tempat tertentu yang dianggap memiliki kekuatan gaib. Sesaji itu diperuntukkan kepada daya-daya kekuatan gaib yang menempati pada setiap benda dan percaya pada roh-roh ataupun makhluk halus yang menempati suatu benda tertentu. Hal tersebut dimaksudkan agar arwah-arwah merasa tenang dan bagi orang yang masih hidup tidak diganggu. Namun secara luwes Islam memberikan warna baru pada upacara selamatan tersebut. Islam dengan pendekatannya memasuki tradisi orang Jawa dengan cara mengadaptasi budaya agar sesuai dengan tuntunan ajaran Islam tanpa merusak identitas budaya tersebut. Hal-hal yang tidak sesuai dengan Islam perlahan-lahan diarahkan agar sesuai syari‟at, yang dulunya adanya sesajen yang diperuntukkan roh-roh dan makhluk halus maka dengan datangnya Islam hal tersebut dialihkan pada pemberian sedekah kepada anggota masyarakat sekitarnya. Sedekah yang biasa diberikan kepada para tetangga dari yang mempunyai hajat biasanya orang Jawa menyebutnya dengan berkat. Berkat ini diberikan setelah acara selamatan kenduri. Pada hakekatnya orang Jawa melakukan kenduri untuk meminta doa dari tetangga atau kerabat agar apa yang diinginkan tercapai, selamat, serta bahagia selama hidup. Pada saat orang-orang pulang setelah kenduri orang yang 82 mempunyai hajat memberikan berkat sebagai ungkapan terima kasih atas kehadiran mereka. Jenis makanan yang biasanya diberikan berupa nasi gurih beserta lauk pauk yang menyertainya. Bagi orang Jawa, menurut mereka setelah menyelenggarakan slametan adalah roh-roh akan menghisap sari-sari dari makanan yang dimakan oleh para undangan kenduri, juga dari doa-doa yang dipanjatkan oleh orang muslim dan orang-orang lain yang ikut ambil makanan tersebut serta dari interaksi sosial yang mereka lakukan. Hasil ganda dari ritual kecil tersebut menghasilkan roh-roh akan merasa tenang dan solidaritas ketetanggaan semakin diperkuat. E. Kesimpulan Tradisi ngijing yang masih dilaksanakan oleh masyarakat Siwal merupakan tradisi yang turun temurun. Tradisi ini menjadi warisan bagi masyarakat Siwal dari nenek moyang mereka agar tradisi ini terus lestari. Pewarisan tradisi ini sesungguhnya bukan tanpa maksud, karena dalam tradisi ini terdapat pesan yang secara eksplisit maupun implisit. Namun pemaknaan yang dinyatakan eksplisit atau pemaknaan yang implisit dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan perkembangan kondisi sosialnya. Pesan tersebut merupakan suatu pendidikan yang seharusnya dapat kita jadikan pelajaran bagi diri sendiri maupun bagi manusia sekitarnya. Pesan dari suatu tradisi dapat diperoleh dari pemaknaan dari simbol-simbol yang ada dalam tradisi tersebut. Selamatan dalam ritual 83 ngijing ini misalnya, dapat diambil hikmahnya. Slametan sebagai alat untuk mempertemukan antara orang-orang di masyarakat yang jarang bertemu dapat bertemu lagi dan menjaga silaturrahmi. Selain itu juga dapat menyatukan mereka dalam derajat yang sama tanpa perbedaan. Slametan yang masih bertahan sampai sekarang tak pelak karena nilainilai Jawa yang terkandung dalam suatu budaya yang sudah mendarah daging. Nilai-nilai Jawa ini yang mewujudkan perbedaan-perbedaan antar invidu menjadi tersamarkan. Oleh karena itu tradisi ngijing tersebut disadari atau tidak sadar mempengaruhi masyarakat sekitarnya pada umumnya dan bagi individuindividu yang yang mengikuti ritual tersebut. Nilai-nilai pendidikan Islam yang dapat diambil pelajarannya dari tradisi tersebut antara lain, pendidikan keimanan, pendidikan amaliyah, pendidikan ilmiah, pendidikan akhlak yang tercermin dari prosesi kirim doa untuk anggota keluarga atau saudara yang sudah meninggal, dan pendidikan sosial kemasyarakatan yang terlihat dari saling tolong menolong dalam menyelesaikan prosesi dalam ritual ngijing tersebut. BAB V PENUTUP 84 A. Kesimpulan Hasil dari penelitian yang telah dilakukan oleh penulis di Dusun Siwal Desa Siwal Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang tentang “Nilainilai Pendidikan Islam dalam Tradisi Membangun Batu Nisan (Ngijing)” dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Tradisi Ngijing merupakan tradisi yang tumbuh dan berkembang di masyarakat Islam Jawa umumnya dan di Mayarakat Siwal pada khususnya. Tradisi Ngijing dilakukan oleh masyrakat Siwal pada saat seribu hari setelah kematian almarhum atau pada saat penguburan jenazah. Hal yang dilakukan sebelum melaksanakan tradisi Ngijing antara lain selamatan kenduri, tahlilan, dan juga yasinan. Selamatan kenduri dilakukan sehari sebelum melaksanakan tradisi Ngijing yang dihadiri oleh para tetangga dan dipimpin oleh seorang modin dengan tujuan untuk mendoakan almarhum. Jenis makanan yang terdapat pada selamatan kenduri adalah nasi tumpeng beserta lauk pauknya, jenang merah dan putih, bunga setaman dan juga ingkung ayam. Malam hari setelah acara kenduri, maka acara selanjutnya adalah tahlilan dan yasinan. Tahlilan dan yasinan biasanya dilakukan setelah shalat Isya‟ yang juga dihadiri oleh para tetangga dan saudara atau kerabat yang dipimpin oleh seorang modin. Jenis makanan yang ada pada acara ini tidak ditentukan. Hal tersebut karena makanan yang diberikan bersifat sedekah untuk para tamu undangan yang hadir sebagai ucapan terima 85 kasih. Pada pagi harinya acara dilanjutkan dengan membangun kijing di pemakanam. Sebelumnya modin membakar kemenyan terlebih dahulu di atas makam almarhum disertai dengan doa. Setelah itu memulai pembongkaran makam yang dilakukan oleh modin lalu anggota keluarga laki-laki setelah itu dibantu oleh warga yang turut serta. Sekiranya pembongkaran itu cukup maka dimulailah dengan membangun batu nisan yang sebelumnya sudah disiapkan terlebih dahulu. Jenis makanan yang terdapat pada acara ini adalah nasi tumpeng beserta lauk pauknya, ingkung ayam, jadah pasar, kelapa satu butir, pisang, gula jawa setangkep, palawija, dan kendi yang berisi air yang ditempatkan pada wadah yang dilapisi dengan daun pisang. Dengan begitu maka selesailah prosesi tradisi membangun batu nisan (ngijing). 2. Nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam tradisi membangun batu nisan (ngijing) antara lain pendidikan keimanan, pendidikan amaliyah, pendidikan ilmiah, pendidikan akhlaq, dan pendidikan sosial kemasyarakatan. a. Pendidikan keimanan tercermin pada prosesi selamatan kenduri, tahlilan dan yasinan yang didalamnya terdapat bacaan ayat suci AlQur‟an, dzikir dan juga berdoa yang ditujukan oleh Allah Swt. b. Pendidikan amaliyah yang tercermin dalam tradisi ngijing terletak pada pemberian berkat kepada para tamu undangan pada acara kenduri. Pemberian berkat ini bagi yang punya hajat bertujuan 86 untuk bersedekah kepada orang lain dan juga sebagai rasa terima kasih, sedangkan bagi para tetangga adalah sebagai amal mereka karena bisa membantu saudaranya dalam penyelesaian prosesi tradisi tersebut dan juga menjadi amal pahalanya karena telah mendoakan saudaranya yang sudah meninggal. c. Pendidikan ilmiah yang terkandung dalam tradisi ngijing terlihat dari pembacaan ayat suci Al-Quran. Hal ini menjadi penerapan ilmu pengetahuan yaitu membaca. d. Pendidikan akhlak antara lain tawakkal, bergaul dengan baik dan juga berbakti kepada kedua orang tua. Hal ini terlihat dari makna dilaksanakannya tradisi ngijing yang salah satunya mengirimkan doa kepada saudaranya atau orang tuanya yang sudah meninggal dunia. e. Pendidikan sosial kemasyarakatan terdapat pada terlihatnya para tetangga yang membantu prosesi tradisi ngijing. Hal ini sesuai dengan anjuran Islam untuk saling tolong menolong dengan sesama saudara yang tercantum dalam QS. Al-Maidah ayat 2. 3. Nilai positif dalam tradisi ngijing diantaranya adalah adanya rasa iman terhadap Tuhan Yang Maha Esa, menciptakan kerukunan antar warga dan juga kebersamaan serta kesatuan seperti adanya tolong menolong antar warga. Selain nilai positif terdapat juga nilai negatif dalam tradisi ngijing diantaranya adalah masyarakat masih mengikuti tradisi nenek 87 moyang yang dalam hal ini menunjukkan adanya kepercayaan selain Allah Swt. dan juga terdapat sifat pemborosan. B. Saran 1. Tokoh agama Islam di Dusun Siwal Desa Siwal Berdasarkan pengamatan di lapangan sebaiknya tokoh agama yaitu kiayi dan modin sebaiknya memberikan perhatian yang lebih terhadap pendidikan melalui budaya Jawa yang terkait dengan pendidikan Islam, karena masyarakat masih memperlukan pendidikan agama Islam melalui media yang lain agar lebih bertambah pemahamannya tentang agama Islam khususnya pesan-pesan yang terkandung dalam tradisi ngijing tersebut. 2. Masyarakat Siwal Untuk masyarakat Siwal agar tetap menjaga dan melestarikan tradisi yang sesuai dengan ajaran agama Islam agar nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam tradisi ini tersampaikan pada generasi mendatang. Serta bagi masyarakat Siwal juga sebaiknya berhati-hati dalam melaksanakan tradisi ngijing. Bentuk dari kehatihatian ini yaitu dengan meluruskan niat dari setiap individu masyarakat hanya untuk Allah Swt. semata, karena niat merupakan suatu hal yang penting dalam melakukan suatu perbuatan. 3. Pemerintah Bagi sebagian masyarakat tradisi ngijing dianggap sebagai 88 pernbuatan syirik kepada Allah Swt. Oleh karena itu untuk menghindari kesalahpahaman tersebut maka pemerintah setempat sebaiknya menerbitkan buku tentang tradisi ngijing yang menjelaskan ritual, terutama dari sudut pandang Islam. 4. Hasil dari penelitian ini jauh dari kata sempurna, maka diharapkan pada masa depan ada penelitian yang berusaha menggali lebih dalam lagi tentang nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi ngijing yang belum terungkap dari karya ilmiah ini. DAFTAR PUSTAKA Agus, 89 Bustanuddin.2005.Agama Dalam Kehidupan Manusia: Pengantar Antropologi Agama.Jakarta. PT. Rajagrafindo Persada Al-Nahlawi, Abdurrahman.1996.Prinsip-prinsip dan Metoda Pendidikan Islam.Bandung:CV. Diponegoro, cet.III Ali, Muhammad Daud.2008.Pendidikan Agama Islam.Jakarta:Rajawali Press Asmara.2002.Pengantar Studi akhlak.Jakarta:PT.RajaGrafindo. Assegaf, Abd. Rachman. 2011. Filsafat Pendidikan Islam: Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis Integratif-Interkonektif. Depok: PT RajaGrafindo Persada Bayuadhy, Gesta. 2015. Tradisi-tradisi Adiluhung Para leluhur Jawa: Melestarikan Berbagai Tradisi Jawa Penuh Makna.Yogyakarta:Dipta Beatty, Andrew.2001. Variasi Agama Di Jawa Suatu Pendekatan Antropologi. Terjemah oleh Achmad Fedyani Saefuddin.Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, cet.I Bratawidjaja, Thomas Wiyasa.1984.Upacara Tradisional Masyarakat Jawa .Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, cet.I Bratawidjaja, Thomas Wiyasa.1988.Upacara Tradisional Masyarakat Jawa .Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, cet.II .2000.Upacara Tradisional Masyarakat Jawa.Jakarta:PT. Mudas Surya Grafindo, cet.IV Daroeso, Drs. Bambang.1986. Dasar Konsep Pendidikan Moral Pancasila. Semarang:Aneka Ilmu Daradjat.2011. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara Fattah, Munawir Abdul. 2008. Tradisi Orang-orang NU. Yogyakarta: PT Lkis Pelangi Aksara, cet. VI Geertz, Clifford.1995. Kebudayaan dan Agama.Terjemahan oleh Francisco Budi Hardiman. Yogyakarta:Kanisius,cet. III .1981. Abangan, Santri, dan Priyayi DalamMasyarakat Jawa. Terj Aswab Muhasin. Pustaka Jaya Hafidz dan Kastolani.2009. Pendidikan Islam Antara Tradisi dan Modernitas. Salatiga: STAIN Salatiga Press Jamil, dkk (Ed.).2002.Islam dan Kebudayaan Jawa.Yogyakarta:Gama Media, cet.II Koentjaraningrat.1985.Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta:Dian Rakyat Koentjaraningrat.1994. Manusia dan Kebudayaan Di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Suprayogo, Imam.2001.Metodologi Penelitian Sosial-Agama.Bandung:Remaja Rosda Karya Marzali, Amri. 2007.Antropologi dan Perkembangan Indonesia.Jakarta: Kencana Perdana Media Group Moloeng, Lexy J.2008. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosda Karya, cet.XXV Nizar, Dr. H. Samsul, M.A. 20002. Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis.Jakarta:Ciputat Pers Rahman, Budhy Munawar.2006.Ensiklopedi Nurcholis Madjid Pemikiran Islam di Kanvas Peradapan Jakarta:Mizan Soehartono, Irawan. 1995. Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Soenarji, Drs. M dan Drs. Cholisin. 1989. Konsep Dasar Pendidikan Moral Pancasila. Yogyakarta:Laboratorium Jurusan Pendidikan Moral Pancasila dan Kewargaan Negara. Sugiyono.2006. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta Syam, Nur. 2005. Islam Pesisir. Yogyakarta: PT Lkis Pelangi Aksara Tafsir, Ahmad.2010. Filsafat Pendidikan Islam: Integrasi Jasmani, Rohani, dan Kalbu Memanusiakan Manusia.Bandung: PT Remaja Rosdakarya Taufiq, Muhammad.2013. Nilai-nilai Pendidikan dalam Ritual Adat Kematian (Studi di Desa Kebondowo Kecamatan Banyubiru Kabupaten Semarang. Skripsi tidak diterbitkan. Salatiga: Jurusan Tarbiyah STAIN Salatiga LAMPIRAN Para ibu-ibu memasak untuk prosesi acara. Jenis makanan acara kenduri dan berkat. Jenis makanan untuk berkat. Jenis makanan untuk berkat. Jenis makanan untuk berkat. Acara kenduri. Acara tahlilan dan yasinan. Jenis makanan saat acara membangun batu nisan (ngijing) di pemakaman. Jajanan Pasar dan palawija. Kondisi makam sebelum ngijing. Modin melakukan doa sebelum pembongkaran makam. Pencangkulan pertama yang dilakukan oleh modin. Pembongkaran pertama dilakukan oleh anak pertama dari almarhumah. Pembongkaran oleh anak ke-2 almarhumah. Kijing yang akan dipasang. Persiapan untuk pemasangan kijing. Pembuatan pondasi untuk peletakan kijing. Pemasangan batu nisan. Pembangunan batu nisan setengah jadi. Pembangunan batu nisan selesai. Wawancara dengan Bapak Slamet Utomo. Wawancara dengan Novi Saputri Wawancara dengan Ibu Sri Ningsih. Wawancara dengan Ibu Tarmi HASIL WAWANCARA 1. Nama : Wiratno 2. Usia : 52 tahun 3. Pekerjaan : Wiraswasta 4. Hari/Tanggal : Senin, 01 Juni 2015 Peneliti : Assalamualaikum. Nama saya Nur Rofiqoh dari IAIN Salatiga. Maaf mengganggu waktu Bapak. Narasumber : walaikumsalam. Iya, ada yang bisa saya bantu? Peneliti : saya ingin bertanya tentang tradisi ngijing yang ada di masyarakat siwal ini. Narasumber : iya, silahkan. Peneliti :Apakah Anda tahu prosesi apa saja dalam pelaksaan membangun batu nisan (ngijing)? Narasumber :Tahu, sehari sebelum ke pemakaman untuk membangun batu nisan, di rumah mengadakan slametan kenduri pada sore hari dan malam harinya mengadakan acara tahlil dan yasinan. Pagi harinya ke pemakaman untuk membangun batu nisan (ngijing). Peneliti :Kapan diperbolehkan membangun batu nisan (ngijing) di masyarakat ? Nasasumber :Diperbolehkan ngijing kalau sudah seribu hari (nyewu) atau sesudah seribu hari juga tidak apa-apa. Peneliti :Apa saja makanan yang disertakan dalam prosesi pergantian batu nisan (ngijing)? Narasumber :saat slametan kenduri ada tumpeng beserta lauk pauknya dan ingkung, dan pada saat ngijing di pemakaman ada tumpeng juga dan ayam bakar. Peneliti :Bagaimana pendapat Anda terhadap seseorang yang tidak melaksanakan membangun batu nisan (ngijing)? Narasumber :iya tidak apa-apa. Itu sebenarnya tergantung dari keluarganya dan juga kemampuan finansialnya. Peneliti :Apa manfaat yang dapat diambil dari pelaksaan prosesi membangun batu nisan (ngijing)? Narasumber :manfaat dari tradisi ngijing ini adalah sebagai wujud berbakti kepada orang tua dan juga sebagai pengingat dimana makam keluarganya dikebumukan. Peneliti :Apa saja nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam tradisi membangun batu nisan (ngijing)? Narasumber :menurut saya iya mengajarkan kepada anak cucu nanti untuk berbakti kepada orang tua dengan selalu mendoakannya. Peneliti :Menurut Anda, apakah tradisi membangun nisan (ngijing) tersebut sesuai dengan tuntunan agama Islam? Narasumber :sebenarnya dalam agama Islam tidak ada ajaran untuk ngijing ini, namun karena sudah tradisi maka sampai sekarang masih dilaksanakan oleh masyarakat di sini. Peneliti : terima kasih atas kesediaan Bapak. Wassalamualaium. Narasumber : iya sama-sama. Walaikumsalam. HASIL WAWANCARA 1. Nama : Sri Ningsih 2. Usia : 40 tahun 3. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga 4. Hari/Tanggal : Senin, 01 Juni 2015 Peneliti : Assalamualaikum. Nama saya Nur Rofiqoh dari IAIN Salatiga. Maaf mengganggu waktu Bapak. Narasumber : walaikumsalam. Iya, ada yang bisa saya bantu? Peneliti : saya ingin bertanya tentang tradisi ngijing yang ada di masyarakat siwal ini. Narasumber Peneliti : iya, silahkan. :Apakah Anda tahu prosesi apa saja dalam pelaksaan membangun batu nisan (ngijing)? Narasumber :iya, pada sore hari biasanya pukul 16.00 ada slametan kenduri yang dihadiri oleh tetangga dekat saja, setelah itu malam harinya ada tahlil dan yasin yang dihadiri para tetangga juga. Peneliti :Kapan diperbolehkan membangun batu nisan (ngijing) di masyarakat ? Narasumber :warga yang boleh ngijing adalah bila pemakaman almarhum sudah sampai seribu hari setelah kematiannya. Peneliti :Apa saja makanan yang disertakan dalam prosesi membangun batu nisan (ngijing)? Narasumber :pada saat kenduri ada nasi gurih atau uduk berserta lauk pauknya, bunga setaman, ingkung, rempah, peyek, krupuk, tempe dan juga telur. Pada saat di pemakaman keesokan harinya ada nasi tumpeng, ayam panggang, kelapa satu butir, gula jawa setangkep, palawija, pisang raja, dan juga jajan pasar. Peneliti :Bagaimana pendapat Anda terhadap seseorang yang tidak melaksanakan membangun batu nisan (ngijing)? Narasumber :tidak apa-apa. Kemungkinan mereka belum punya uang pada waktu seribu harinya keluarga yang meninggal, karena bisa dilakukan pada lain waktu yang penting sudah masuk pada seribu hari. Peneliti :Apa manfaat yang dapat diambil dari pelaksaan prosesi membangun batu nisan (ngijing)? Narasumber :manfaatnya hanya dijadikan tanda bahwa keluarga yang sudah meninggal dimakamkan di sana dan bagi keluarga yang jauh bisa langsung tahu pada saat ziarah ke makam. Peneliti :Apa saja nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam tradisi membangun batu nisan (ngijing)? Narasumber :menurut saya tidak ada pendidikan Islam, hanya saja untuk menghormati leluhur yang telah mewariskan budaya ini. Peneliti :Menurut Anda, apakah tradisi membangun nisan (ngijing) tersebut sesuai dengan tuntunan agama Islam? Narasumber :yang saya tahu, di Islam tidak ada tuntunan tentang ngijing. Peneliti : terima kasih atas kesediaan Bapak. Wassalamualaium. Narasumber : iya sama-sama. Walaikumsalam. HASIL WAWANCARA 1. Nama : Bejo 2. Usia : 48 tahun 3. Pekerjaan : Perangkat Desa 4. Hari/Tanggal : Selasa, 02 Juni 2015 Peneliti : Assalamualaikum. Nama saya Nur Rofiqoh dari IAIN Salatiga. Maaf mengganggu waktu Bapak. Narasumber : walaikumsalam. Iya, ada yang bisa saya bantu? Peneliti : saya ingin bertanya tentang tradisi ngijing yang ada di masyarakat siwal ini. Narasumber : iya, silahkan. Peneliti :Apakah Anda tahu prosesi apa saja dalam pelaksaan membangun batu nisan (ngijing)? Narasumber :sebelum acara membangun kijing biasanya mengadakan kenduri di rumah pada sore hari. Setelah itu acara tahlil dan yasin yang dihadiri para tetangga pada malam harinya yaitu setelah isya‟. Lalu pada pagi harinya baru ke pemakaman untuk acara membangun batu nisan (ngijing). Peneliti :Kapan diperbolehkan membangun batu nisan (ngijing) di masyarakat ? Narasumber :kalau sudah seribu hari setelah kematian, ini sesuai dengan tradisi yang sudah ada dari dulu. Peneliti :Apa saja makanan yang disertakan dalam prosesi membangun batu nisan (ngijing)? Narasumber :makanan yang biasanya di suguhkan pada sat kenduri adalah nasi gurih, ingkung, dan lainya juga ada bunga setaman. pada saat ke makam hampir sama namun bukan ingkung melainkan ayam panggang. Peneliti :Bagaimana pendapat Anda terhadap seseorang yang tidak melaksanakan membangun batu nisan (ngijing)? Narasumber :iya tidak apa-apa, di sini yang tidak melakukan ngijing tidak dijauhi atau dikucilkan, hal ini karena berdasarkan permintaan keluarga yang sebelum meninggal dia meminta untuk tidak di kijing. Seperti ayah saya dulu yang tidak mau kijing maka pihak keluarga yang masih hidup tidak melakukan ngijing. Peneliti :Apa manfaat yang dapat diambil dari pelaksaan prosesi membangun batu nisan (ngijing)? Narasumber :Manfaatnya adalah sebagai tanda atau tetenger agar keluarga yang masih hidup tahu bahwa salah satu keluarga atau saudara pernah dimakamkan di tempat tersebut. Peneliti :Apa saja nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam tradisi membangun batu nisan (ngijing)? Narasumber :Pendidikan Islamnya adalah mengajarkan untuk berbakti kepada orang tua dengan cara selalu mendoakan walau sudah meninggal. Peneliti :Menurut Anda, apakah tradisi membangun nisan (ngijing) tersebut sesuai dengan tuntunan agama Islam? Narasumber :sebenarnya agama Islam tidak mengajarkan untuk membangun kijing dimakam. Membangun kijing ini sudah menjadi tradisi di masyarakat Siwal ini maka dari itu masih dilakukan tradisi tersebut agar tradisi ini tidak hilang dan dapat diteruskan pada generasi berikutnya. Peneliti : terima kasih atas kesediaan Bapak. Wassalamualaium. Narasumber : iya sama-sama. Walaikumsalam. HASIL WAWANCARA 1. Nama : Sri Ningsih 2. Usia : 39 tahun 3. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga 4. Hari/Tanggal : Senin, 01 Juni 2015 Peneliti : Assalamualaikum. Nama saya Nur Rofiqoh dari IAIN Salatiga. Maaf mengganggu waktu Bapak. Narasumber : walaikumsalam. Iya, ada yang bisa saya bantu? Peneliti : saya ingin bertanya tentang tradisi ngijing yang ada di masyarakat siwal ini. Narasumber : iya, silahkan. Peneliti : Apakah Anda tahu prosesi apa saja dalam pelaksaan membangun batu nisan (ngijing)? Narasumber :Iya, sebelum ngijing di makam sebelumnya pada sore hari di rumah mengadakan selamatan kenduri. Pada malam harinya yaitu setelah Isya‟ atau pukul 08.00 ada acara tahlilan dan yasinan. Baru pagi harinya untuk laki-laki ke makam untuk ngijing, sedangkan perempuan di rumah memasak untuk makan para warga yang turut membantu. Peneliti :Kapan diperbolehkan membangun batu nisan (ngijing) di masyarakat ? Narasumber :kalau setelah seribu hari dari kematiannya, sebelum seribu hari belum boleh melakukan ngijing. Peneliti :Apa saja makanan yang disertakan dalam prosesi membangun batu nisan (ngijing)? Narasumber :Pada saat kenduri, makanannya meliputinasi uduk atau nasi gurih, rempah, peyek, krupuk, telur, ayam ingkung, dan bunga setaman. Sedangkan untuk acara pagi harinya saat ke pemakaman adalah nasi tumpeng, ayam panggang, gula merah saru tangkep, tukon pasar, kelapa bulat satu butir dll. Peneliti :Bagaimana pendapat Anda terhadap seseorang yang tidak melaksanakan membangun batu nisan (ngijing)? Narasumber :kalau di Siwal ini semuanya masih mengikuti tradisi ngijing. Peneliti :Apa manfaat yang dapat diambil dari pelaksaan prosesi membangun batu nisan (ngijing)? Narasumber :manfaat dari prosesi ngijing yaitu sebagai tanda bahwa makam keluarganya berada di sana. Peneliti :Apa saja nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam tradisi membangun batu nisan (ngijing)? Narasumber :menurut saya tidak ada nilai pendidikan Islamnya. Peneliti :Menurut Anda, apakah tradisi membangun nisan (ngijing) tersebut sesuai dengan tuntunan agama Islam? Narasumber :dalam Islam tidak terdapat ajarannya, hanya tradisi ini masih dilaksanakan karena sudah diwariskan oleh nenek moyang. Peneliti : terima kasih atas kesediaan Bapak. Wassalamualaium. Narasumber : iya sama-sama. Walaikumsalam. HASIL WAWANCARA 1. Nama : Slamet Utomo 2. Usia : 65 tahun 3. Pekerjaan : Tani 4. Hari/Tanggal : Selasa, 02 Juni 2015 Peneliti : Assalamualaikum. Nama saya Nur Rofiqoh dari IAIN Salatiga. Maaf mengganggu waktu Bapak. Narasumber : walaikumsalam. Iya, ada yang bisa saya bantu? Peneliti : saya ingin bertanya tentang tradisi ngijing yang ada di masyarakat siwal ini. Narasumber : iya, silahkan. Peneliti :Apakah Anda tahu prosesi apa saja dalam pelaksaan membangun batu nisan (ngijing)? Narasumber :sehari sebelum ngijing ke makam, melakukan selamatan kenduri yang dilaksanakan pada sore hari dengan mengundang tetangga terdekat. Pada malam harinya acara dilanjutkan yaitu tahlilan dan yasinan yang juga mengundang tetangga terdekat dan masyarakat. Peneliti : Bacaaan apa yang biasanya dibacakan dalam acara selamatan tersebut? Narasumber :Bacaan yang dibaca seperti pada umumnya saat acara kenduri, tahlil, dan yasiin. Pada saat membakar menyan ada pula doanya yaitu bismillahirrahmani rahiim. Niat ingsun obong menyan esisu kuning wetan wesi kuning probo kidul tegal lelono ono kulon mbok siragel kuning ono lor, krenges arang jati karubing menyan, kukuse menyan suwono ingkang baurekso enten makam mriki. Wontenipun jabang bayi kulo nyaosi sekul petak gondho arum kunjuk dumatheng akal bakal wonten ing makam mriki. Peneliti :Kapan diperbolehkan membangun batu nisan (ngijing) di masyarakat ? Narasumber :setelah 3 tahun atau seribu hari baru bisa ngijing karena kemungkinan setelah waktu itu nisan dari kayu sudah lapuk atau rusak. Peneliti :Apa saja makanan yang disertakan dalam prosesi membangun batu nisan (ngijing)? Narasumber :makanan yang disediakan adalah untuk sedekah yang disesuaikan dengan kemampuan yang punya hajat. Peneliti :Bagaimana pendapat Anda terhadap seseorang yang tidak melaksanakan membangun batu nisan (ngijing)? Narasumber :ngijing sebenarnya tidak diharusnya hanya karena hal tersebut sudah menjadi tradisi maka sampai sekarang masih dilaksanakan. Dengan kata lain untuk melestarikan tradisi yang sudah ada. Peneliti :Apa manfaat yang dapat diambil dari pelaksaan prosesi membangun batu nisan (ngijing)? Narsumber :sebenarnya tidak ada manfaatnya, ngijing ini hanya untuk dijadikan tanda atau tetenger saja. Peneliti :Apa saja nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam tradisi membangun batu nisan (ngijing)? Narasumber : menurut saya tidak ada. Peneliti :Menurut Anda, apakah tradisi membangun nisan (ngijing) tersebut sesuai dengan tuntunan agama Islam? Narasumber :sebenarnya ngijing tidak sesuai dengan tuntunan Islam karena sudah menjadi tradisi maka masih dilakukan. Seperti menyan dan sesaji itu adalah ajaran agama Hindu dan Budha sebelum Islam datang ke Indonesia. Peneliti : terima kasih atas kesediaan Bapak. Wassalamualaium. Narasumber : iya sama-sama. Walaikumsalam. HASIL WAWANCARA 1. Nama : Novi Saputri 2. Usia : 28 tahun 3. Pekerjaan : Karyawan swasta 4. Hari/Tanggal : Kamis, 27 Agustus 2015 Peneliti : Assalamualaikum. Nama saya Nur Rofiqoh dari IAIN Salatiga. Maaf mengganggu waktu Bapak. Narasumber : walaikumsalam. Iya, ada yang bisa saya bantu? Peneliti : saya ingin bertanya tentang tradisi ngijing yang ada di masyarakat siwal ini. Narasumber : iya, silahkan. Peneliti : Apakah Anda tahu prosesi apa saja dalam pelaksaan membangun batu nisan (ngijing)? Narasumber :saya tidak tahu prosesinya apa saja karena saya baru pindah tujuh tahun yang lalu dan orang tua saja belum pernah ngijing. Peneliti :Kapan diperbolehkan membangun batu nisan (ngijing) di masyarakat ? Narasumber : dari yang saya dengar kalau mau ngijing menunggu seribu hari setelah kematiannya. Peneliti :Apa saja makanan yang disertakan dalam prosesi membangun batu nisan (ngijing)? Narasumber :biasanya sesuai dengan kemampuan dari yang punya hajat karena makanan tersebut sebagai sedekah bukan yanglainnya. Peneliti :Bagaimana pendapat Anda terhadap seseorang yang tidak melaksanakan membangun batu nisan (ngijing)? Narasumber :di masyarakat Siwal belum pernah ada yang tidak ngijing pada saat setelah seribu hari kematian. Peneliti :Apa manfaat yang dapat diambil dari pelaksaan prosesi membangun batu nisan (ngijing)? Narasumber :untuk melestarikan tradisi yang sudah ada dan juga ngijing itu sebagai tanda atau tetenger. Sebenarnya ngijing memiliki sisi negatifnya yaitu tanah yang sudah di kijing tidak bisa ditempati jenazah yang lainnya. Peneliti :Apa saja nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam tradisi membangun batu nisan (ngijing)? Narasumber :pendidikan Islam yang terdapat dalam tradisi ini yang saya amati adalah mengajarkan untuk selalu berbakti kepada orang tua agar selalu mendoakan mereka walau sudah meninggal sekalipun. Peneliti :Menurut Anda, apakah tradisi membangun nisan (ngijing) tersebut sesuai dengan tuntunan agama Islam? Narasumber : menurut saya tidak sesuai tuntunan Islam karena dalam agama Islam yang telah saya pelajari tidak ada ajaran untuk ngijing pemakaman. Peneliti : terima kasih atas kesediaan Bapak. Wassalamualaium. Narasumber : iya sama-sama. Walaikumsalam. HASIL WAWANCARA 1. Nama : Wiranti 2. Usia : 59 tahun 3. Pekerjaan : Dagang 4. Hari/Tanggal : Kamis, 27 Agustus 2015 Peneliti : Assalamualaikum. Nama saya Nur Rofiqoh dari IAIN Salatiga. Maaf mengganggu waktu Bapak. Narasumber : walaikumsalam. Iya, ada yang bisa saya bantu? Peneliti : saya ingin bertanya tentang tradisi ngijing yang ada di masyarakat siwal ini. Narasumber Peneliti : iya, silahkan. :Apakah Anda tahu prosesi apa saja dalam pelaksaan membangun batu nisan (ngijing)? Narasumber :yang saya tahu sebelum ke makam pada pagi hari, sore hari sebelumnya mengadakan selamatan kenduri dan sore hari nya acara tahlil dan yasin yang dihadiri oleh tetangga sekitar. Peneliti :Kapan diperbolehkan membangun batu nisan (ngijing) di masyarakat ? Narasumber :menurut tradisi di sini ngijing dilakukan setelah seribu hari kematiannya baru bisa ngijing. Peneliti :Apa saja makanan yang disertakan dalam prosesi membangun batu nisan (ngijing)? Narasumber :biasanya ada nasi tumpeng, ayam ingkung, berserta lauk pauknya, telur, tukon pasar, dan bunga setaman. Peneliti :Bagaimana pendapat Anda terhadap seseorang yang tidak melaksanakan membangun batu nisan (ngijing)? Narasumber :Di masyarakat Siwal semuanya masih melaksanakan tradisi ngijing ini. Peneliti :Apa manfaat yang dapat diambil dari pelaksaan prosesi membangun batu nisan (ngijing)? Narasumber :manfaatnya sebagai tanda atau tetenger saja. Peneliti :Apa saja nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam tradisi membangun batu nisan (ngijing)? Narasumber :pendidikan Islamnya melatih mengaji pada saat acara tahlil dan yasin yang dilakukan sebelum ngijing ke makam. Peneliti :Menurut Anda, apakah tradisi membangun nisan (ngijing) tersebut sesuai dengan tuntunan agama Islam? Narasumber :dalam Islam tidak ada tuntunan untuk melakukan tradisi ngijing ini. Peneliti : terima kasih atas kesediaan Bapak. Wassalamualaium. Narasumber : iya sama-sama. Walaikumsalam. HASIL WAWANCARA 1. Nama : Parmi Utomo 2. Usia : 59 tahun 3. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga 4. Hari/Tanggal : Kamis, 27 Agustus 2015 Peneliti : Assalamualaikum. Nama saya Nur Rofiqoh dari IAIN Salatiga. Maaf mengganggu waktu Bapak. Narasumber : walaikumsalam. Iya, ada yang bisa saya bantu? Peneliti : saya ingin bertanya tentang tradisi ngijing yang ada di masyarakat siwal ini. Narasumber : iya, silahkan. Peneliti :Apakah Anda tahu prosesi apa saja dalam pelaksaan membangun batu nisan (ngijing)? Narasumber :acara selama dua hari satu malam. Sehari sebelum ke makam pad sore hari mengadakan kenduri. Pada malam harinya dilanjutkan dengan tahlil dan yasin di tempat yang punya hajat. Peneliti :Kapan diperbolehkan membangun batu nisan (ngijing) di masyarakat ? Narasumber : sesuai dengan tradisi yang sudah dilaksanakn selama ini yaitu seribu hari setelah kematian atau sesudah seribu hari juga tidak apa-apa. Peneliti :Apa saja makanan yang disertakan dalam prosesi membangun batu nisan (ngijing)? Narasumber : pada saat kenduri ada tumpeng besar, ingkung, sayur, gorengan, kedelai hitam dan kelapa, bunga setaman, lalapan, dan juga jenang merah serta jenang putih. Selain itu disekeliling nya ada nasi ambengan dan nasi golong yang berjumlah 18 buah yang dijadikan dua wadah dan tumpeng wajar. Jenis makanan untuk yang di bawa ke makam ada nasi tumpeng dan lauk pauknya, ayam panggang, pisang raja satu tangkep, kelapa satu butir, tukon pasar, gula jawa satu tangkep, mpuk kendi yang di isi dengan uang, telur satu butir. Peneliti : apakah Anda tahu arti dari masing-masing makanan tersebut? Narasumber : tumpeng besar ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw. dan nabinabi terdahulu. Ambeng ditujukan untuk mengirimkan doa untuk para leluhur. Tumpeng wajar ditujukan untuk para malaikat yaitu Malaikat Jibril, Israil, Izrail, dan Izrafil. Nasi golong ditujukan untuk bagindo kilir (banyu) dan kias (tanah). Jenang abang lan putih ditujukan untuk bibit saking biyung campur baur dados setunggal pramila dipun bekteni mugi-mugi romo lan ibu wijabana sedya piwune.... Bunga setaman untuk mbok dewi Siti Pertimah sak empan cetine mbok bilih enten kelepatanipun kanjeng nabi dipun paringi pangapunten. Peneliti :Bagaimana pendapat Anda terhadap seseorang yang tidak melaksanakan membangun batu nisan (ngijing)? Narasumber : masyarakat di sini masih melaksanakan tradisi ini sebagai warisan budaya dari leluhur. Peneliti :Apa manfaat yang dapat diambil dari pelaksaan prosesi membangun batu nisan (ngijing)? Narasumber : tradisi ngijing ini sebagai tanda bahwa leluhur atau keluarganya dimakamkan di tempat tersebut. Peneliti :Apa saja nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam tradisi membangun batu nisan (ngijing)? Narasumber :pendidikannya untuk berbakti kepada orang tua karena dengan ngijing maka ingat akan orang tua yang sudah meninggal dan mendoakan mereka dengan mengirimkan doa. Peneliti :Menurut Anda, apakah tradisi membangun nisan (ngijing) tersebut sesuai dengan tuntunan agama Islam? Narasumber :sebenarnya tradisi ini tidak diajarkan oleh Islam seperti membakar menyan dan juga memberikan sesaji, dalam Islam tidak ada hal tersebut. Peneliti : terima kasih atas kesediaan Bapak. Wassalamualaium. Narasumber : iya sama-sama. Walaikumsalam. DAFTAR NILAI SKK Nama : Nur Rofiqoh Fakultas : Tarbiyah dan Ilmu Nim : 11111231 Jurusan : PAI P.A : Siti Rukhayati, M.Ag Keguruan No Jenis Kegiatan Pelaksanaan Jabatan Nilai 1. Orientasi Pengenalan Akademik dan Kemahasiswaan (OPAK) oleh Dewan Mahasiswa (DEMA) STAIN Salatiga Seminar Nasional Dan Bedah Buku “Terpesona di Sidratul Muntaha” oleh DEMA STAIN Salatiga. Aachivement Motivation Training (AMT) oleh CEC STAIN Salatiga Orientasi Dasar Keislaman (ODK) STAIN Salatiga Seminar Entrepreneurship dan Koperasi oleh Koperasi Mahasiswa (KOPMA) dan Kajian Study Ekonomi (KSEI) User Education (Pendidikan Pemakai) oleh UPT Perpus STAIN Salatiga Seminar Regional “Reorientasi Peran Jurnalistik dalam Perspektif Sosial & Budaya Pada Era Post Modern” oleh LPM Dinamika. Bedah Buku “Super Teens Super Leader” oleh KAMMI Komisaris Salatiga. Seminar Regional “Meningkatkan Nasionalisme 20-22 Agustus 2011 Peserta 2 15 Juli 2011 Peserta 8 23 Agustus 2011 Peserta 2 24 Agustus 2011 Peserta 2 25 Agustus 2011 Peserta 2 19 September 2011 Peserta 2 06 Oktober 2011 Peserta 4 08 Oktober 2011 Peserta 2 26 Oktober 2011 Peserta 4 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. Ditengah Goncangan Disintegrasi dan Pengikisan Ideologi Nasional” oleh Komando Resimen Mahasiswa Mahadipa. Seminar Regional Kebangsaan “Negara Islam Dalam Tinjauan Islam Indonesia dan NKRI” oleh IPNU. Piagam Penghargaan Daurah Mar‟atus Shalihah (DMS) “Let‟s Be An Inspiring Women” oleh LDK Darul Amal STAIN Salatiga. Bedah Buku Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) “Sang Maha Segalanya Mencintai Sang Maha-Siswa). Seminar Nasional Ekonomi Syariah “Penerapan Nilai-nilai Syariah dalam Praktik Perekonomian” oleh KSEI STAIN Salatiga. Bimbingan Belajar Menghadapi Uas SIBA Bhs. Inggris dan Bhs. Arab oleh CEC & Ittaqo STAIN SAlatiga Seminar Nasional “Urgensi Media Dalam Pergulatan Politik” oleh LPM Dinamika Pra Youth Leadership Trainning oleh KAMMI STAIN Salatiga IBTIDA‟ Lembaga Dakwah Kampus (LDK) Darul Amal “Intelektual Muda Muslim, Genggam Dunia Gapai Akhirat” oleh LDK Darul Amal Seminar Nasional “Peran Lembaga Perbankkan Syariah 22 November 2011 Peserta 4 24 November 2011 Peserta 2 15 Mei 2012 Peserta 2 02 Juni 2012 Peserta 8 20 Juni 2012 Peserta 2 29 September 2012 Peserta 8 06 Oktober 2012 Peserta 2 20-21 Oktober 2012 Peserta 2 29 November Peserta 8 2012 dengan adanya otoritas jasa keuangan (UU NO. 21 Tahun 2011 Tentang OJK) oleh HMJ Syariah 19. Seminar Nasional “HIV/AIDS Bukan Kutukan Dari Tuhan” oleh DEMA STAIN Salatiga 20. Seminar Nasional “Ahlussunnah Waljamah dalam Perspektif Islam Indonesia” oleh DEMA STAIN Salatiga 21. Piagam Penghargaan MILAD LDK XI dalam Daurah Mar‟atus Shalikhah (DMS) oleh LDK Darul Amal STAIN Salatiga 22. Seminar Regional “Deteksi Dini Gangguan Perkembangan Pada Anak” oleh Tazkiyah. 23. Sosialisasi “Pelajar Berkualitas Tanpa HIV/AIDS, Pelajar Berakhlak Tanpa Diskriminasi Pelaku HIV/AIDS” oleh PCNU Salatiga. Konselor 24. Pelatihan Pendamping Permasalahan Keluarga oleh Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Semarang. 13 Maret 2013 Peserta 8 26 Maret 2013 Peserta 8 13 Juni 2013 Peserta 2 18 Juni 2013 Peserta 4 06 April 2014 Peserta 2 23 April 2014 Peserta 2