BAB 2 KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Sebelumnya (State of the Art) Tabel 2.1 Tabel State of the Art No 1. Nama Penulis Alvian Judul Penelitian Deskripsi Penelitian Lesmana, Analisa Semiotika Iklan Metode penelitian: Kualitatif London School Public Produk Rokok di Televisi Relation, Tahun 2014 (iklan dunhill mild versi Tujuan Penelitian: 40 cuts) 1. Untuk mengetahui makna denotasi yang terkandung dalam iklan Dunhill Mild versi “40 Cuts”, melalui tehnik visual iklan televisi dan elemen iklan televisi. 2. Untuk mengetahui makna konotasi yang terkandung dalam iklan Dunhill Mild versi “40 Cuts”, melalui tehnik visual iklan televisi dan elemen iklan televisi. Hasil Penelitian: 1. Makna denotasi yang terkandung dalam iklan Dunhill Mild versi “40 Cuts” yaitu British 9 American 10 Tobacco mencoba mengenalkan produk baru mereka, yaitu Dunhill Mild melalui TVC Dunhill Mild versi “40 Cuts”. 2. Makna konotasi yang terkandung dalam iklan Dunhill Mild versi “40 Cuts” yaitu Dunhill Mild mengenalkan pemaknaan dari “40 Cuts” yang merupakan proses pemotongan tembakau yang mereka dikonotasikan melalui proses pengolahan bakar ikan sebagai konotasi dari tembakau, menunjukkan target market yang mereka tuju yaitu anak muda yang ditunjukkan dari tema petualangan alam serta pemilihan tokoh-tokoh dalam TVC Dunhill Mild 11 versi “40 Cuts”, percampuran budaya antara Eropa dengan Asia dimana ditunjukkan dari visual para tokoh dalam iklan, serta menunjukkan benefit dari mengkonsumsi rokok Dunhill Mild, yaitu menciptakan kebersamaan, yang ditunjukkan dengan kebersamaan terjalin yang di pinggir pantai. 2. Sarah Annisa Faadilah Analisis Karakter Anti- Metode Penelitian: Kualitatif Mamonto, Nusantara, 2012 Bina Kekerasan pada Tokoh Tahun Jude dalam Film Across Tujuan The Universe Semiotika Barthes) Penelitian: (Studi mengetahui untuk karakter anti- Roland kekerasan pada tokoh Jude dalam film Across The Universe dengan menggunakan analisis semiotika Roland Barthes. Hasil Penelitian: 1. Bentuk antikekerasan yang di 12 tonjolkan tokoh Jude terbukti pada penolakan Jude untuk mendukung kegiatan kelompok protes anti-perang yang lama-lama menjadi radikal. 2. Dengan menganalisa dengan semiotika Roland Barthes menggunakan pemaknaan denotasi, konotasi dan juga mitos memudahkan peneliti untuk mengetahui bahwa tokoh Jude memiliki karakter antikekerasan. Hal ini ditunjukkan melalui tanda-tanda dibalik film yang dengan jelas ditemui pada scene-scene tokoh Jude dalam film Across The Universe. 3. Andi Caturisma Universitas J, Analisis Semiotika Metode Penelitian: Kualitatif 13 Hasanuddin, 2011 Tahun Karikatur Oom Pasikom di Harian Kompas Tujuan Penelitian: a) Untuk mengetahui pengungkapan makna sebagai Media Kritik di balik tanda-tanda dalam karikatur Oom Pasikom Harian Kompas sebagai media kritik politik, sosial, dan perorangan. b) Untuk mengetahui bagaimana penggambaran kritik politik, sosial, dan perorangan pada karikatur Oom Pasikom Harian Kompas Kompas sebagai media kritik politik, sosial, dan perorangan. Hasil Penelitian: a) Menunjukkan bahwa karikatur politik bertema lebih menampilkan bagaimana situasi politik yang terjadi di Indonesia dan penggambaran kritik 14 politiknya yaitu kehidupan politik disajikan untuk mengkritisi realita dampak ketidakstabilan politik. b) Karikatur bertema sosial disajikan dengan sedikit penyentil para penguasa. Ideologi yang dalam diselipkan kritik pada sosial karikatur menyiratkan kebutuhan rakyat akan pemerintah yang mau bertanggung jawab dan perhatian kepada nasib rakyat di garis kemiskinan dan penggambaran kritik sosialnya yaitu realita sosial terjadi di yang tengah- tengah masyarakat. c) Karikatur perorangan tokoh-tokoh dijadikan bertema pribadi, yang karikatur 15 digambarkan berdasarkan ciri khas bentuk tubuh, latar belakang, jabatan, kegemaran ataupun, sifat dan sikap pribadi dari tokoh tersebut dan penggambaran kritik dalam karikatur bertema perorangan pribadi lebih kepada kritik langsung kepada tokoh masyarakat ataupun orang terkenal yang dikarikaturkan. 4. Iro Sani, Department Political Cartoons as a Metode Penelitian: Kualitatif of English, UPM, FBMK, Vehicle of Setting Social Serdang, Agenda: The Newspaper Tujuan Penelitian: Malaysia, Tahun 2012 Example 1. Untuk mengetahui kartun politik digunakan agenda setting sosial dalam konteks Nigeria 2. Untuk mengetahui tema dominan dari kartun politik Nigeria selama periode 2007-2010 16 Hasil Penelitian: 1. Menunjukkan bahwa kartun politik Nigeria mengatur agenda sosial dengan cara yang terutama mengenkapsulasi masalah saat ini dan isu-isu sensitif yang orang yang jauh prihatin. 2. Menunjukkan bahwa 80% dari tema difokuskan pada isuisu substantif melalui agenda sosial yang diatur untuk mencerminkan praktek - praktek sosial dalam konteks sosial politik Nigeria. 5. Muhammad Akbar Semiotic Representations Metode Penelitian: Kualitatif Sajid, Bahauddin of America in Pakistani Zakariya University, Media: Multan, Tahun 2014 A Critical Tujuan Penelitian: Pakistan, Discourse Analysis of the Menerjemahkan Pakistani wacana Newspaper’s semiotik dari sebuah surat Semiotic Discourses kabar Urdu Pakistan Terkemuka di Naw-e-Waqt (daily) mengenai konsep subordinasi dan super-ordinasi melalui wacana semiotik 17 Hasli Penelitian: Temuan menggambarkan bahwa kata-kata dan gambar bekerja sama untuk mewakili Barat (Amerika) sebagai dominan dan Muslim sebagai yang didominasi. 2.2 Landasan Konseptual 2.2.1 Komunikasi Massa Menurut Gerbner (1967) “Mass communication is the technologically and institutionally based production and distribution of the most broadly shared continuous flow of messages in industrial societies”. (Komunikasi massa adalah produksi dan distribusi yang berlandaskan teknologi dan lembaga dari arus pesan yang kontinyu serta paling luas dimiliki orang dalam masyarakat industri) (Elvinaro, Lukiati, dan Siti, 2013:3). Definisi Janowitz (1968) berbunyi seperti ini: ‘Komunikasi massa terdiri atas lembaga dan teknik dari kelompok tertentu yang menggunakan alat teknologi (pers, radio, film, dan sebagainya) untuk menyebarkan konten simbolis kepada khalayak yang besar, heterogen, dan sangat tersebar’ (McQuail, 2011:62). Komunikasi massa menghasilkan suatu produk berupa pesan komunikasi, dan disebarkan, didistribusikan kepada khalayak secara terus menerus. Misalnya harian, mingguan, atau bulanan. Memproses sebuah pesan tidak dengan dilakukan individu, melainkan dapat dilakukan oleh lembaga. Setidaknya, ada tiga karakteristik utama komunikasi massa, yaitu adanya komunikan sebagai orang yang menerima pesan, media sebagai sarana penyampain pesan, dan komunikator sebagai orang yang menyampaikan pesan (Astar Hadi, Nurudin, 2005: 21). Karakteristik Komunikasi Massa (Elvinaro, Lukiati, dan Siti, 2013:7-12) 18 1. Komunikator Terlembagakan Ciri komunikasi massa pertama ialah komunikatornya. Komunikasi massa menggunakan media massa, baik cetak maupun elektronik. Dalam media massa itu sudah tersusun masing masing tugasnya dalam menyampaikan informasi kepada khalayak. Contoh dalam surat kabar komunkator menyusun pesan dalam bentuk artikel, selanjutnya pesan diperiksa oleh penanggung jawab rubrik, dari situ diserahkan kepada redaksi apakah sudah laik tidaknya pesan itu untuk dimuat. Ketika sudah laik pesan dibuat setting-nya, lalu diperikasa oleh korektor, disusun oleh lay-out man agar komposisinya bagus, dibuat plate, kemudian masuk mesin cetak. Setelah dicetak merupakan tugas bagian distribusi untuk mendistribusikan surat kabar yang berisi pesan itu kepada khalayak. Masih banyak pesan pesan lainnya seperti karikatur, feature, dan berbagai berita yang dibuat oleh reporter media massa tersebut. 2. Pesan Bersifat Umum Komunikasi massa itu bersifat terbuka, maksudnya komunikasi massa itu ditujukan untuk semua orang dan tidak ditujukan untuk sekelompok orang tertentu. Pesan dalam komunikasi massa bisa berupa fakta, opini, atau peristiwa. Dan pesan tersebut harus dikemas penting dan menarik, atau penting sekaligus menarik. Tetapi pesan yang penting dan menarik memiliki ukurannya sendiri dalam sebagian besar komunikan. Pesan mempunyai kategori penting bagi sebagian khalayak, dan sebagian tidak penting. Contoh tentang pemilihan Lurah Kotamadya Bandung, pesan itu dapat dimuat pada media massa Bandung saja. Tapi lain hal jika dalam pemilihan Lurah tersebut mengandung khas, unik, sehingga dapat perhatian itu dapat dimuat dalam media massa diluar Bandung. 3. Komunikannya Anonim dan Heterogen Dalam komunikasi massa komunikator tidak mengenal dengan komunikan (anonim) karena dalam komunikasi massa menggunakan media massa, dengan begitu pembuat pesan atau komunikator tidak mengenal sepeti nama, tempat tinggal,pendidikan, dan lain-lain. Komunikasi massa juga komunikannya terdiri dari beberapa lapisan masyarakat yang berbeda atau 19 heterogen dan dapat dikelompokkan berdasarkan factor: usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, agama, dan lain-lain. 4. Media Massa Menimbulkan Keserempakan Dengan sasaran khalayak yang relatif banyak dan tidak terbatas, secara serempak pada waktu yang bersamaan memperoleh pesan yang sama pula. 5. Komunikasi Mengutamakan Isi Ketimbang Hubungan Dalam konteks komunikasi massa, komunikator tidak harus kenal dengan komunikannya, atau sebaliknya. Yang penting, bagaimana seorang komunikator menyusun pesan secara sistematis, baik, sesuai dengan jenis medianya, agar komunikannya bisa memahami isi pesan tersebut. 6. Komunikasi Massa Bersifat Satu Arah Karena komunikasinya menggunakan media massa, maka komunikator dan komunikannya tidak dapat melakukan kontak langsung. Komunikator aktif menyampaikan pesan, komunikan pun aktif menerima pesan, namun diantara kedua tidak dapat melakukan dialog sebagaimana halnya terjadi dalam komunikasi antarpersona. 7. Stimulasi Alat Indra Terbatas Stimulasi alat indra tergantung pada jenis media massa. Contoh pada Koran atau majalah, pembaca hanya dapat melihat. Pada radio, pembaca hanya mendengar. Sedangkan pada media televise dan film menggunakan indra penglihatan dan pendengaran. 8. Umpan Balik Tertunda (Delayed) dan Tidak Langsung (Indirect) Komunikator komunikasi massa tidak dapat dengan segera mengetahui bagaimana reaksi khalayak terhadap pesan yang disampaikannya. Efektivitas komunikasi seringkali dapat dilihat dari feedback yang disampaikan oleh komunikan. Fungsi Komunikasi Massa Elvinaro, Lukiati, dan Siti (2013:14) Fungsi komunikasi massa menurut Dominick (2001) terdiri dari surveillance (pengawasan), interpretation (penafsiran), linkage (keterkaitan), transmission of values (penyebaran nilai), entertainment (hiburan). 20 1. Surveillance (Pengawasan) Fungsi pengawasan komunikasi massa dibagi dalam bentuk utama: (a). Warning or beware surveillance (pengawasan peringatan); (b). Instrumental surveillance (pengawasan instrumental). Fungsi pengawasan peringatan terjadi ketika media massa menginformasikan tentang ancaman dari angin topan, meletusnya gunung merapi, kondisi yang memperihatinkan, tayangan inflasi atau adanya serangan militer. Fungsi pengawasan instrumental adalah penyampaian informasi yang memiliki kegunaan atau dapat membantu khalayak dalam kehidupan sehari-hari. 2. Interpretation (Penafsiran) Fungsi penafsiran hampir mirip dengan fungsi pengawasan. Media massa tidak hanya memasok fakta dan data, tetapi juga memberikan penafsiran terhadap kejadian-kejadian penting. Organisasi atau industri media memilih dan memutuskan peristiwa peristiwa yang dimuat atau ditayangkan. Contoh nyata penafsiran media dapat dilihat pada halaman tajuk rencana (editorial) surat kabar. Penafsiran ini berbentuk komentar dan opini yang ditujukan kepada khalayak pembaca, serta dilengkapi perspektif (sudut pandang) terhadap berita yang disajikan pada halaman lainnya. Tujuan penafsiran media ingin mengajak para pembaca atau pemirsa untuk memperluas wawasan dan membahasnya lebih lanjut dalam komunikasi antarpersonal atau komunikasi kelompok. 3. Linkage (Pertalian) Media massa dapat menyatukan anggota masyarakat yang beragam, sehingga membentuk linkage (pertalian) berdasarkan kepentingan dan minat yang sama tentang sesuatu. 4. Transmission of Values (Penyebaran Nilai-Nilai) Fungsi penyebaran nilai tidak kentara. Fungsi ini juga disebut socialization (sosialisasi). Sosialisasi mengacu kepada cara, di mana individu mengadopsi perilaku dan nilai kelompok. Media massa yang mewakili gambaran masyarakat itu ditonton, didengarkan dan dibaca. Media massa 21 memperlihatkan kepada kita bagaimana mereka bertindak dan apa yang mereka harapkan. 5. Entertaiment (Hiburan) Sulit dibantah lagi bahwa pada kenyataannya hampir semua media menjalankan fungsi hiburan. Televisi adalah media massa yang mengutamakan sajian hiburan. Hampir tiga perempat bentuk siaran televisi setiap hari merupakan tanyangan hiburan. Begitu pun radio siaran, siarannya banyak memuat acara hiburan. Memang ada beberapa stasiun televisi dan radio siaran yang lebih mengutamakan tayangan berita. Demikian pula halnya dengan majalah. Tetapi, ada beberapa majalah yang lebih mengutamakan berita seperti Time dan News Week, Tempo, dan Gatra. Melalui berbagai macam program acara yang ditayangkan televisi, khalayak dapat memperoleh hiburan yang dikehendakinya. Melalui berbagai macam acara di radio siaran pun masyarakat dapat menikmati hiburan. Sementara surat kabar dapat melakukan hal tersebut dengan memuat cerpen, komik, teka teki silang (TTS), dan berita yang mengandung human interest atau sentuhan manusiawi. Komunikasi massa pada dasarnya merupakan suatu bentuk komunikasi dengan melibatkan khalayak luas yang biasanya menggunakan teknologi media massa, seperti surat kabar, majalah, radio, dan televisi (Pawito, 2007:16). Elemen-elemen Komunikasi Massa: 1. Komunikator Komunikator dalam komunikasi massa sangat berbeda dengan komunikator pada umumnya. Komunikator di sini meliputi jaringan, stasiun lokal, direktur, dan staf teknis yang berkaitan dengan sebuah acara televisi. Jadi, komunikator merupakan gabungan dari berbagai individu dalam sebuah lembaga media massa. 2. Isi Isi dalam media massa berbeda-beda sesuai dengan kebijakan masingmasing. Karena, masing-masing media massa memiliki audience yang 22 berbeda-beda. Bagi Ray Eldon Hiebert dkk (1985) isi media setidak-tidaknya bisa dibagi ke dalam enam kategori yakni; 1) berita dan informasi, 2) analisis dan interpretasi, 3) pendidikan dan sosialisasi, 4) hubungan masyarakat dan persuasi, 5) iklan dan bentuk penjualan lain, dan 6) hiburan. 3. Audeince Menurut Hiebert dan kawan-kawan, komunikasi massa setidaknya memiliki 5 karakteristik audience yang berbeda-beda: • Audience cenderung berisi individu-individu yang condong untuk berbagi pengalaman dan dipengaruhi oleh hubungan sosial diantara mereka. • Audience cenderung luas dan tersebar ke berbagai wilayah jangkauan sasaran komunikasi massa. • Audience cenderung heterogen, karena mereka berasal dari berbagai lapisan dan kategori sosial. • Audience cenderung anonim, mereka tidak saling kenal antara satu dengan yang lainnya. • Audience secara fisik dipisahkan dari komunikator. 4. Umpan Balik Umpan balik dibagi kedalam dua kategori, yaitu umpan balik langsung (immediated feedback) dan tidak langsung (delayed feedback). Umpan balik langsung biasanya terjadi bila komunikator dengan audience sedang bersamaan atau mereka melakukan komukasi secara langsung seperti menggunakan telepon atau sebagainya. Sedangkan didalam komunikasi massa biasanya komunikasi yang terjadi adalah umpan balik tidak langsung, dikarenakan mereka tidak sedang bersamaan. Umpan balik tidak langsung dapat dilakukan dengan mengirimkan surat kepada editor. 5. Gangguan Gangguan dalam komunikasi massa dibagi menjadi dua golongan, yaitu: 23 1. Gangguan Saluran Gangguan saluran yang biasa terjadi didalam komunikasi massa seperti salah cetak pada media cetak, atau gampar yang tidak jelas dan suara yang tidak jelas pada media televisi dan radio. 2. Gangguan Semantik Gangguan sematik adalah gangguan yang berhubungan dengan tata bahasa. Jadi gangguan sematik adalah gangguan dalam proses komunikasi yang diakibatkan oleh pengirim atau penerima pesan itu sendiri. 6. Gatekeeper Gatekeeper adalah orang atau organisasi yang bertugas untuk memberikan izin tersebarnya suatu berita, mereka bertugas untuk memantau atau mengawasi informasi yang akan keluar dan disebarkan ke masyarakat luas. 7. Pengatur Pengatur dalam media massa adalah mereka yang secara tidak langsung ikut memengaruhi proses aliran pesan media massa. Pengatur ini antara lain pengadilan, pemerintah, konsumen, organisasi professional, dan kelompok penekan, termasuk narasumber, dan pengiklan. 8. Filter Filter dalam komunikasi massa adalah tanggapan atau respon yang muncul dari dalam diri kita masing-masing. Filter tersebut bisa fisik, psikologi, ataupun budaya. Contohnya bila ada dua orang yang menonton berita berisikan kasus pemerkosaan, keduanya akan memberikan respon yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya karna mungkin saja yang salah satu penonton tersebut pernah mengalami pemerkosaan sebelumnya, maka dia akan menangapinya dengan lebih emosional. Hal tersebut disebut sebagai filter psikologis. Filter tersebutlah yang akan mempengaruhi kuantitas dan kualitas pesan yang diterima dan respon yang akan dihasilkan (Nurudin, 2007 : 95-136). 24 2.2.2 Media Massa Ardianto, Komala, Karlinah (2013:50-52) McLuhan mengemukakan the medium is the message, media adalah pesan itu sendiri. Oleh karena itu, bentuk media saja sudah memengaruhi khlayak. Steven M. Chafee menjelaskan efek media massa dengan dua pendekatan. Pendekatan pertama, efek kehadiran media massa yang berkaitan dengan pesan ataupun media itu sendiri. Pendekatan kedua, adalah dengan melihat jenis perubahan yang terjadi pada diri khalayak komunikasi massa yang berupa perubahan sikap, perasaan dan perilaku atau dengan istilah lain dikenal sebagai perubahan kognitif, afektif, dan behavioral. 1. Efek Kehadiran Media Massa Menurut Steven M. Chafee, ada lima jenis efek kehadiran media massa sebagai benda fisik, yaitu: • Efek Ekonomi Kehadiran media massa di tengah kehidupan manusia dapat menumbuhkan berbagai usaha produksi, distribusi dan konsumsi jasa media massa. • Efek Sosial Efek sosial berkaitan dengan perubahan pada struktur atau interaksi sosial sebagai akibat dari kehadiran media massa. • Penjadwalan Kegiatan Sehari-hari Sebelum ke kantor, masyarakat kota pada umumnya membaca koran dahulu. • Efek Hilangnya Perasaan Tidak Nyaman Orang menggunakan media untuk memuaskan kebutuhan psikologisnya dengan tujuan untuk menghilangkan perasaan tidak nyaman, misalnya untuk menghilangkan perasaan kesepian, marah, kecewa dan sebagainya. • Efek Menumbuhkan Perasaan Tertentu Kehadiran media massa bukan saja dapat menghilangkan perasaan tidak nyaman pada diri seseorang, tetapi dapat juga menumbuhkan perasaan tertentu. 25 2. Efek Pesan Penelitian tentang efek ini telah menjadi pusat perhatian berbagai pihak, baik para praktisi maupun para teoritis. Mereka berusaha untuk mencari dan menemukan media (saluran) yang paling efektif untuk memengaruhi khalayak. • Efek Kognitif Efek kognitif adalah akibat yang timbul pada diri komunikan yang sifatnya infomatif bagi dirinya. Dalam efek kognitif ini akan dibahas tentang bagaimana media massa dapat membantu khalayak dalam mempelajari informasi yang bermanfaat dan mengembangkan keterampilan kognitifnya. • Efek Afektif Efek Afektif kadarnya lebih tinggi daripada efek kognitif. Tujuan dari komunikasi massa bukan sekedar memberitahu khalayak tentang sesuatu, tetapi lebih dari itu, khalayak diharapkan dapat turut merasakan perasaan iba, terharu, sedih, gembira, marah dan sebagainya. • Efek Behavioral Efek behavioral merupakan akibat yang timbul pada diri khalayak dalam bentuk perilaku, tindakan atau kegiatan. Menurut teori Bandura, orang cenderung meniru perilaku yang diamatinya. Stimulus menjadi teladan untuk perilakunya. Laswell dalam (Morissan, 2010:82-83) mengemukakan tiga fungsi utama media terhadap masyarakat, yaitu: media berfungsi untuk memberitahu audiens mengenai apa yang terjadi di sekitar mereka, melalui pandangan yang diberikan media, audiens memahami lingkungan di sekitarnya serta pesan media berfungsi menyampaikan tradisi dan nilai-nilai sosial kepada generasi audiens selanjutnya. Karakteristik Media Massa menurut Cangara (2008: 126) adalah : 26 1. Bersifat melembaga Pihak yang mengelolah media terdiri dari banyak orang mulai dari pengumpulan, pengelolahan, hingga penyajiaan informasi. 2. Bersifat satu arah Komunikasi yang dilakukan kurang memungkinkan terjadinya dialog antara pengirim pesan dan penerima. 3. Meluas dan serempak Dimana informasi yang disampaikan diterima oleh banyak orang pada saat yang sama. 4. Memakai peralatan teknis atau mekanis, seperti radio, surat kabar, majalah, dan sejenisnya 5. Bersifat terbuka Pesan yang diterima oleh siapapun dan dimana saja tanpa mengenal usia, jenis kelamin, dan suku bangsa. Media Massa dapat menjadi semakin luas dengan adanya media baru yang lebih memiliki kelebihan dalam informasi yang individual, beragam serta dapat mendukung terjadinya informasi yang interaktif. Tetapi persaingan dengan media konvensional tidak akan selesai karena media konvensial akan semakin meningkatkan kemampuan (Morissan, 2010:1). Menurut Cangara (2005 :122), media massa adalah alat yang digunakan dalam penyampaian pesan dari sumber kepada khalayak (penerima) dengan menggunakan alatalat komunikasi mekanis seperti surat kabar, radio, dan tv. Media massa juga merupakan media penunujang bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan informasi maupun hiburan. Banyaknya media massa di Indonesia membuat masyarakat untuk bijak dan pintar untuk mengambil berita yang disiarkan oleh media tersebut. Media massa terdiri dari beberapa jenis : 1. Media Massa Cetak (Printed Media) Media massa yang dicetak dalam lembaran kertas, contohnya : Koran atau surat kabar, tabloid, majalah. Isi media massa umumnya terbagi tiga bagian atau tiga 27 jenis tulisan: berita, opini, dan features 2. Media Massa Elektronik (Electronic Media) Jenis media massa yang isinya disebarluaskan melalui suara atau gambar dan suara dengan menggunakan teknologi elektro, seperti radio, televisi, dan film. 3. Media Online (Online Media, Cybermedia) Yakni media massa yang dapat kita temukan di internet (situs web). 2.2.3 Karikatur Setiawan mengakui bahwa untuk menguak makna kartun pada kenyataannya bukan pekerjaan mudah, mengingat berbagai persoalannya menyangkut permasalahan yang berkembang dalam masyarakat, khususnya mengenai masalah sosial dan politik. Meski begitu, menurut Benedict R.O’G. Anderson, dibandingkan dengan bentuk komunikasi politik lain, mungkin kartun merupakan bentuk yang paling terbaca. Karena sering diberi kata-kata tertulis, kartun terlihat dekat kepada dokumen tercetak konvensional. Dalam menganalisis kartun atau komik-kartun, kita seyogianya menempatkan diri sebagai kritikus, agar bisa secara leluasa melakukan penilaian dan memberi tafsiran terhadap komik-kartun tersebut. Menurut Sudarta, kartun adalah semua gambar humor, termasuk karikatur itu sendiri. Sedangkan karikatur adalah deformasi berlebihan atas wajah seseorang, biasanya orang terkenal, dengan “mempercantiknya” dengan penggambaran ciri khas lahiriahnya untuk tujuan mengejek. Senada dengan Sudarta, Pramono berpendapat bahwa sebetulnya karikatur adalah bagian dari kartun opini, tetapi kemudian menjadi salah kaprah. Karikatur yang sudah diberi beban pesan, kritik, dan sebagainya berarti telah menjadi kartun opini. Karikatur dari asal caricare adalah foto atau potret seseorang seperti misalnya, mata, hidung, mulut, gigi, dan lain lain yang diolah berlebihan. Deformasi ini dapat berarti penghinaan atau penghormatan. Tidaklah mudah mendeformasikan sesuatu 28 menjadi bentuk yang dianggap aneh dan sangat brilyan bila si pekerja kartun dapat menjadikannya sebagai “penghormatan” (Pramono, 1996: 48-49). Menurut Alex Sobur, karikatur (carricature/cartoon) adalah produk suatu keahlian seorang karikaturis, baik dari segi pengetahuan, intelektual, teknik melukis, psikologis, cara melobi, referensi, bacaan, maupun bagaimana dia memilih topic isu yang tepat. Karena itu, kita bisa mendeteksi tingkat intelektual seorang karikaturis dari sudut ini. Juga, cara dia mengkritik yang secara langsung membuat orang yang dikritik justru tersenyum. Karikatur adalah bagian dari opini penerbit yang dituangkan dalam bentuk gambargambar khusus. Semula, karikatur ini hanya merupakan selingan atau ilustrasi belaka. Namun pada perkembangan selanjutnya, karikatur dijadikan sarana untuk menyampaikan kritik yang sehat. Dikatakan kritik sehat karena penyampainnya dilakukan dengan gambar-gambar lucu dan menarik (Sobur, 2013). 2.2.4 Tanda Non-Verbal Jika secara harafiah komunikasi nonverbal adalah komunikasi tanpa bahasa atau komunikasi tanpa kata, maka tanda nonverbal berarti minus bahasa atau tanda minus kata. Jadi, secara sederhana, tanda nonverbal dapat kita artikan semua tanda yang bukan kata-kata (Sobur, 2013:122). Yang bersifat nonverbal dapat berupa: (i) tanda yang menggunakan anggota badan, lalu diikuti dengan lambang, misalnya “Mari!”; (ii) suara, misalnya bersiul, atau membunyikan sst … yang bermakna memanggil seseorang; (iii) tanda yang diciptakan oleh manusia untuk menghemat waktu, tenaga, dan menjaga kerahasiaan, misalnya rambu-rambu lalu lintas, bendera, tiupan terompet; dan (iv) benda-benda yang bermakna kultural dan ritual, misalnya buah pinang muda yang menandakan daging, gambir yang menandakan darah, benda-benda itu merupakan tanda yang bermakna kultural dan ritual bagi masyarakat Gorontalo (Sobur, 2013:122). 29 2.2.5 Teori Linguistik Pandangan Jakobson, dapat dikemukakan bahwa bagi dia, bahasa itu memiliki enam macam fungsi, yaitu: (1) fungsi referensial, pengacu pesan; (2) fungsi emotif, penangkapan keadaan pembicara; (3) fungsi konoatif, pengungkap keinginan pembicara yang langsung atau segera dilakukan atau dipikirkan oleh sang penyimak; (4) fungsi metalingual, penerang terhadap sandi atau kode yang digunakan; (5) fungsi fatis, pembuka, pembentuk, pemelihara hubungan atau kontak antara pembicara dengan penyimak; dan (6) fungsi puitis, penyandi pesan (Sobur, 2013:56). Menurut Grenz, bahasa itu bersifat otonom: struktur bahasa bukan merupakan cerminan dari struktur pikiran atau cerminan dari fakta-fakta. Struktur bahasa adalah milik bahasa itu sendiri (Sobur, 2013:45). Bahasa di mata Saussure tak ubahnya sebuah karya musik. Untuk memahami sebuah simponi, kita harus memperhatikan keutuhan karya musik secara keseluruhan dan bukan kepada permainan individual dari setiap pemain musik. Untuk memahami bahasa, kita harus melihatnya secara “sinkronis”, sebagai sebuah jaringan hubungan antara bunyi dan makna (Sobur, 2013: 44). Barthes berkata, linguistik disibukkan oleh usaha mencari sebab-sebab perkembangan bersejarah dalam perubahan ucapan, asosiasi spontan, dan tindakan yang sejalan dengan itu, yang dengan sendirinya merupakan linguistik individual (Sobur, 2013:49). 2.2.6 Teori-Teori Makna Sobur (2013:258) Ada beberapa pandangan yang menjelaskan ihwal teori atau konsep makna. Model proses makna Wendell Johnson menawarkan sejumlah implikasi bagi komunikasi antarmanusia: 1. Makna ada dalam diri manusia. Makna tidak terletak pada kata-kata melainkan pada manusia. Kita menggunakan kata-kata untuk mendekati makna yang ingin kita komunikasikan. Tetapi kata-kata itu tidak secara 30 sempurna dan lengkap menggambarkan makna yang kita maksudkan. Demikian pula, makna yang didapat pendengar dari pesan-pesan kita akan sangat berbeda dengan makna yang ingin kita komunikasikan. Komunikasi adalah proses yang kita gunakan untuk mereproduksi, di benak pendengar, apa yang ada di dalam benak kita. Reproduksi ini hanyalah sebuah proses parsial dan selalu bisa salah. 2. Makna berubah. Kata-kata relatif statis. Banyak dari kata-kat yang kita gunakan 200 atau 300 tahun yang lalu. Tetapi makna dari kata-kata itu terus berubah, dan ini khususnya terjadi pada dimensi emosional dari makna. Bandingkanlah, misalnya makna kata-kata berikut bertahun-tahun yang lali dan sekarang, hubungan di luar nikah, obat, agama, hiburan, dan perkawinan (Di Amerika Serikat, kata-kata ini diterima secara berbeda pada saat ini dan di masa-masa yang lalu. 3. Makna membutuhkan acuan. Walaupun tidak semua komunikasi mengacu pada dunia nyata, komunikasi hanya masuk akal bilaman ia mempunyai kaitan dengan dunia atau lingkungan eksternal. Obsesi seorang paranoid yang selalu merasa diawasi dan teraniaya merupakan contoh makna yang tidak mempunyai acuan yang memadai. 4. Penyingkatan yang berlebihan akan mengubah makna. Berkaitan erat dengan gagasan bahwa makna membutuhkan acuan adalah masalah komunikasi yang timbul akibat penyingkatan yang berlebihan tanpa mengaitkannya dengan acuan yang konkret dan dapat diamati. Bila kita berbicara tentang cinta, persahabatan, kebahagiaan, kebaikan, dan kejahatan, dan konsep-konsep lain yang serupa tanpa mengaitkannya 31 dengan sesuatu yang spesifik, kita tidak akan bisa berbagi makna dengan lawan bicara. Mengatakan kepada seorang anak untuk “manis” dapat mempunyai banyak makna penyingkatan perlu dikaitkan dengan objek, kejadian, dan perilaku dalam dunia nyata: “Berlaku manislah dan bermain sendirilah sementara ayah memasak.” Bila anda telah membuat hubungan seperti ini, Anda akan bisa membagi apa yang Anda maksudkan dan tidak membiarkan keseluruhan tindak komunikasi berubah. 5. Makna tidak terbatas jumlahnya. Pada suatu saat tertentu, jumlah kata dalam suatu bahasa terbatas, tetapi maknanya tidak terbatas. Karena itu, kebanyakan kata mempunyai banyak makna. Ini bisa menimbulkan masalah bila sebuah kata diartika secara berbeda oleh dua orang yang sedang berkomunikasi. Bila ada keraguan, sebaiknya Anda bertanya dan bukan membuat asumsi; ketidaksepakatan akan hilang bila makna yang diberikan masing-masing pihak diketahui. 6. Makna dikomunikasikan hanya sebagian. Makna yang kita peroleh dari suatu kejadian (event) bersifat multiaspek dan sangat kompleks, tetapi hanya sebagian saja dari makna-makna ini yang benar-benar dapat dijelaskan. Banyak dari makna tersebut tetap tinggal dalam benak kita. Karenanya, pemahaman yang sebenarnya – pertukaran makna secara sempurna – barangkali merupakan tujuan ideal yang ingin kita capai tetapi tidak pernah tercapai. 32 2.2.7 Semiotika Jadi, sesungguhnya kedua istilah ini, semiotika dan semiologi, mengandung pengertian yang persis sama, walaupun penggunaan salah satu dari kedua istilah tersebut biasanya menunjukan pemikiran pemakainya: mereka yang bergabung dengan Pierce menggunakan kata semiotika, dan mereka yang bergabung dengan Saussure menggunakan kata semiologi. Baik semiotika maupun semiologi, keduanya kurang lebih dapat saling menggantikan karena sama-sama digunakan untuk mengacu kepada ilmu tentang tanda (Sobur, 2013:12) Semiotik sebagai suatu model dari ilmu pengetahuan sosial memahami dunia sebagai sistem hubungan yang memiliki unit dasar yang disebut dengan ‘tanda’. (Sobur, 2012:87). “Tanda” pada massa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjukan pada adanya hal lain. Contohnya, asap menandai adanya api (Sobur, 2012:95). Semiotika berasal dari kata Yunani yaitu semion yang berarti tanda. Semiotika berakar dari studi klasik dan skolastik atas seni logika, retorika dan poetika (Tinarbuko, 2008: 11) Pada dasarnya, semiosis dapat dipandnag sebagai suatu proses-tanda yang dapat diperikan dalam istilah semiotika sebagai suatu hubungan antara lima istilah: S ( s,i,e,r,c) S adalah untuk semiotic relation (hubungan semiotik); s untuk sign (tanda); i untuk interpreter (penafsir); e untuk effect atau pengaruh (misalnya, suatu disposisi dalam i akan bereaksi dengan cara tertentu terhadap r pada kondisi-kondisi tertentu c karena s); r untuk reference (rujukan); dan c untuk context (konteks) atau conditions (kondisi) (Sobur, 2013:17) Menurut Segers, Lebih jelas lagi, semiotika adalah suatu disiplin yang menyelidiki semua bentuk komunikasi yang terjadi dengan saran signs ‘tanda-tanda’. Charles Sanders Pierce mendefinisikan semiosis sebagai “a relationship among a sign, an object, and a meaning (suatu hubungan di antara tanda, objek, dan makna)”. Dan 33 Charles Morris menyebut semiosis ini sebagai suatu “proses tanda, yaitu proses ketika sesuatu merupakan tanda bagi beberapa organisme” (Sobur, 2013:16) Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tandatanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan didunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Sobur, 2013: 15). 2.2.8 Semiotika Roland Barthes Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang getol mempraktikkan model linguistik dan semiologi Saussurean. Ia juga intelektual dan kritikus sastra Perancis yang ternama; eksponen penerapan strukturalisme dan semiotika pada studi sastra (Sobur, 2013:63). Sobur (2013:65) Barthes meninjau kode-kode narasi yang berlaku dalam suatu naskah realis ke dalam lima kode. Kelima kode yang ditinjau Barthes adalah sebagai berikut: 1. Kode hermeneutik atau kode teka-teki adalah kode yang berkisar pada harapan pembaca untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pernyataan yang muncul dalam teks. Kode teka-teki merupakan unsur struktur yang utama dalam narasi tradisional. Di dalam narasi ada suatu kesinambungan antara pemunculan suatu peristiwa teka-teki dan penyelesaiannya di dalam cerita. 2. Kode semik atau kode konotatif adalah kode yang banyak menawarkan banyak sisi. Dalam proses pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan konotasi kata atau frase yang mirip. 3. Kode simbolik adalah aspek pengkodean fiksi yang paling khas bersifat 34 struktural, atau tepatnya pascastruktural. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa makna berasal dari beberapa oposisi biner atau pembedaan-baik dalam taraf bunyi menjadi fonem dalam proses produksi wicara, maupun pada taraf oposisi psikoseksual yang melalui proses. 4. Kode proaretik atau kode tindakan/lakuan adalah kode yang dianggap sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang; artinya, antara lain, semua teks yang bersifat naratif. 5. Kode gnomik atau kode kultural adalah kode yang memiliki banyak jumlah. Kode ini merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi oleh budaya. Realisme tradisional didefinisi oleh acuan ke-apa yang telah diketahui. Rumusan suatu budaya atau subbudaya adalah hal-hal kecil yang telah dikodifikasi Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader). Barthes secara panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sebagai sistem pemaknaan tataran ke-dua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. Sistem ke-dua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang di dalam Mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama (Sobur, 2013:68-69). 1. signifer (penanda) 2. signified (petanda) 3. denotative sign (tanda denotatif) 4. CONNOTATIVE SIGNIFIER (PENANDA KONOTATIF) 5. CONNOTATIVE SIGNIFIED (PETANDA KONOTATIF) 6. CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF) Gambar 2.1 Peta Tanda Roland Barthes (Sobur, 2013: 69) Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda 35 denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur material: hanya jika Anda mengenal tanda “singa”, barulah konotasi seperti harga diri, kegarangan, dan keberanian menjadi mungkin. Budiman mengatakan, dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai ‘mitos’, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu (Sobur, 2013:71). Pertimbangan Barthes menempatkan Ideologi dengan mitos adalah baik dalam mitos maupun ideologi, hubungan antara penanda konotatif dan petanda konotatif terjadi secara termotivasi. 2.2.9 Makna Denotatif dan Konotatif Barthes menggunakan istilah denotasi dan konotasi untuk menunjukkan tingkatan-tingkatan makna. Makna denotasi adalah makna tingkatan pertama yang bersifat objektif (first order) yang dapat diberikan terhadap lambang-lambang, yakni dengan mengaitkan secara langsung antara lambang-lambang dengan realitas atau gejala yang ditunjuk. Kemudian makna konotasi adalah makna yang dapat diberikan pada lambang-lambang dengan mengacu pada nilai-nilai budaya yang karenanya berada pada tingkatan kedua (second order). Makna denotasi atau makna literal adalah makna kamus dari sebuah kata atau terminology atau objek. (Moral meaning of a term or object) yang merupakan deskripsi dasar. Sebagai contoh makna denotasi adalah “Big Mac” yang merupakan sandwich yang dibuat oleh Mcdonalds yang dimakan dengan saus (Kriyantono. 2006: 268). Harimurti Kridalaksana mendefinisikan denotasi (denotation) sebagai “makna kata atau kelompok kata yang didasarkan atas penunjukkan yang lugas pada sesuatu diluar bahasa atau yang didasarkan atas konvensi tertentu; sifatnya objektif.” (Sobur, 2013:263) Makna konotatif ialah makna denotatif ditambah dengan segala gambaran, ingatan, dan perasaan. Kata konotasi itu sendiri berasal dari bahasa Latin connotare, “menjadi tanda” dan mengarah kepada makna-makna kultural yang terpisah/berbeda dengan kata (dan bentuk-bentuk lain dari komunikasi). Harimurti Kridalaksana mendefinisikan juga makna konotasi (connotation, evertone, evocatory) diartikan 36 sebagai “aspek makna sebuah atau sekelompok kata yang didasarkan atas perasaan atau pikiran yang timbul atau ditimbulkan pada pembicara (penulis) dan pendengar (pembaca) (Sobur, 2013:263). Sobur (2013:264) Arthur Asa Berger mencoba membandingkan antara konotasi dan denotasi sebagai berikut: KONOTASI DENOTASI Pemakaian figur Literatur Petanda Penanda Kesimpulan Jelas Memberi kesan tentang makna Menjabarkan Dunia mitos Dunia keberadaban/eksistensi Tabel 2.2 Perbandingan antara Konotasi dan Denotasi 2.2.10 Mitos Mitos adalah sebuah nilai yang ada di dalam masyarakat. Pada hakikatnya usaha manusia rasional adalah mitos, sebab usaha manusia rasional tidak dapat berdiri sendiri, tidak otonom, tidak dapat mengenal dirinya sendiri: usaha manusia rasional itu terjadi, ada dan mengenal dirinya hanya berkat dan di dalam mitos. Dengan kata lain, usaha manusia rasional itu niscaya atau tidak dapat tidak adalah mitos sendiri (Sobur, 2013: 223). Mitos dalam pandangan Lappe & Collins dimengerti sebagai “sesuatu yang oleh umum dianggap benar, tetapi sebenarnya bertentangan dengan fakta,” sekalipun perlu dicatat bahwa penafsiran fakta oleh Lappe & Collins itu belum tentu benar atau disetujui oleh masyarakat ilmiah pada umumnya (Sobur, 2013: 224). Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda, dan tanda, namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau, dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan tataran ke-dua (Sobur, 3013: 71). Sobur (2012:127) Fokus perhatian Barthes lebih tertuju kepada gagasan tentang signifikasi dua tahap (two order of signification) seperti terlihat pada gambar: 37 First Order reality Second Order sign culture Form Conotation Signifier Denotation Myth Signified Content Gambar 2.2 Signifikasi Dua Tahap Barthes Signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified didalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutkan sebagai denotasi, yaitu makna paling nyata dari tanda. Konotasi adalah istilah yang dipergunakan Barthes untuk menunjukan signifikasi tahap kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya (Sobur, 20:128). Pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos (myth). Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam (Sobur, 20:128). 38 2.3 Kerangka Pemikiran Inilah.com dalam Sub-kanal berita Karikatur Editorial bulan Januari 2015 – Februari 2015 Karikatur Jokowi penggambaran dari media terhadap sikap Jokowi dalam kasus KPK dengan Polri Simbol-simbol yang muncul dalam Tanda NonVerbal karikatur Jokowi Teks Denotasi Konotasi Mitos Makna karikatur Jokowi di Inilah.com dalam Sub-kanal berita Karikatur Editorial bulan Januari 2015 – Februari 2015 Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran dalam penelitian ini menitikberatkan pada semiotika Roland Barthes. Pertama peneliti akan mencari karikatur Jokowi dalam sub-kanal berita karikatur editorial Inilah.com. Karikatur Jokowi tersebut yang berhubungan oleh sikap Jokowi dalam kisruhnya KPK dengan Polri. Setelah terkumpul beberapa karikatur, peneliti akan menganalisis karikatur tersebut dengan analisis semiotika Roland Barthes. Analisis semiotika Roland Barthes ini akan mencari makna denotasi, konotasi, dan mitos 39 dalam tanda yang ditonjolkan dalam karikatur tersebut. Sesudah di analisis karikatur tersebut akan mempunyai makna denotasi, konotasi, dan mitos menjadi hasil analisis yang dilakukan peneliti. 40