9 BAB 2 KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penelitian

advertisement
BAB 2
KAJIAN PUSTAKA
2.1
Penelitian Sebelumnya (State of the Art)
Tabel 2.1 Tabel State of the Art
No
1.
Nama Penulis
Alvian
Judul Penelitian
Deskripsi Penelitian
Lesmana, Analisa Semiotika Iklan Metode penelitian: Kualitatif
London School Public Produk Rokok di Televisi
Relation, Tahun 2014
(iklan dunhill mild versi Tujuan Penelitian:
40 cuts)
1. Untuk mengetahui makna
denotasi yang terkandung
dalam iklan Dunhill Mild
versi “40 Cuts”, melalui
tehnik visual iklan televisi
dan elemen iklan televisi.
2. Untuk mengetahui makna
konotasi yang terkandung
dalam iklan Dunhill Mild
versi “40 Cuts”, melalui
tehnik visual iklan televisi
dan elemen iklan televisi.
Hasil Penelitian:
1. Makna denotasi yang
terkandung
dalam
iklan Dunhill Mild
versi “40 Cuts” yaitu
British
9
American
10
Tobacco
mencoba
mengenalkan produk
baru mereka,
yaitu
Dunhill Mild melalui
TVC Dunhill Mild
versi “40 Cuts”.
2. Makna konotasi yang
terkandung
dalam
iklan Dunhill Mild
versi “40 Cuts” yaitu
Dunhill
Mild
mengenalkan
pemaknaan dari “40
Cuts”
yang
merupakan
proses
pemotongan
tembakau
yang
mereka
dikonotasikan
melalui
proses
pengolahan
bakar
ikan
sebagai
konotasi
dari
tembakau,
menunjukkan
target
market yang mereka
tuju yaitu anak muda
yang ditunjukkan dari
tema
petualangan
alam serta pemilihan
tokoh-tokoh
dalam
TVC Dunhill Mild
11
versi
“40
Cuts”,
percampuran budaya
antara Eropa dengan
Asia
dimana
ditunjukkan
dari
visual
para
tokoh
dalam
iklan,
serta
menunjukkan benefit
dari
mengkonsumsi
rokok Dunhill Mild,
yaitu
menciptakan
kebersamaan,
yang
ditunjukkan
dengan
kebersamaan
terjalin
yang
di
pinggir
pantai.
2.
Sarah Annisa Faadilah Analisis Karakter Anti- Metode Penelitian: Kualitatif
Mamonto,
Nusantara,
2012
Bina Kekerasan pada Tokoh
Tahun Jude dalam Film Across Tujuan
The
Universe
Semiotika
Barthes)
Penelitian:
(Studi mengetahui
untuk
karakter
anti-
Roland kekerasan pada tokoh Jude
dalam
film
Across
The
Universe
dengan
menggunakan
analisis
semiotika Roland Barthes.
Hasil Penelitian:
1. Bentuk antikekerasan yang di
12
tonjolkan tokoh Jude
terbukti pada
penolakan Jude
untuk mendukung
kegiatan kelompok
protes anti-perang
yang lama-lama
menjadi radikal.
2. Dengan menganalisa
dengan semiotika
Roland Barthes
menggunakan
pemaknaan denotasi,
konotasi dan juga
mitos memudahkan
peneliti untuk
mengetahui bahwa
tokoh Jude memiliki
karakter antikekerasan. Hal ini
ditunjukkan melalui
tanda-tanda dibalik
film yang dengan
jelas ditemui pada
scene-scene tokoh
Jude dalam film
Across The Universe.
3.
Andi
Caturisma
Universitas
J, Analisis
Semiotika Metode Penelitian: Kualitatif
13
Hasanuddin,
2011
Tahun Karikatur Oom Pasikom
di
Harian
Kompas
Tujuan Penelitian:
a) Untuk
mengetahui
pengungkapan makna
sebagai Media Kritik
di balik tanda-tanda
dalam karikatur Oom
Pasikom
Harian
Kompas
sebagai
media kritik politik,
sosial,
dan
perorangan.
b) Untuk
mengetahui
bagaimana
penggambaran kritik
politik,
sosial,
dan
perorangan
pada
karikatur
Oom
Pasikom
Harian
Kompas
Kompas
sebagai media kritik
politik,
sosial,
dan
perorangan.
Hasil Penelitian:
a) Menunjukkan bahwa
karikatur
politik
bertema
lebih
menampilkan
bagaimana
situasi
politik yang terjadi di
Indonesia
dan
penggambaran kritik
14
politiknya
yaitu
kehidupan
politik
disajikan
untuk
mengkritisi
realita
dampak
ketidakstabilan
politik.
b) Karikatur
bertema
sosial
disajikan
dengan
sedikit
penyentil
para
penguasa.
Ideologi
yang
dalam
diselipkan
kritik
pada
sosial
karikatur
menyiratkan
kebutuhan
rakyat
akan pemerintah yang
mau
bertanggung
jawab dan perhatian
kepada nasib rakyat
di garis kemiskinan
dan
penggambaran
kritik sosialnya yaitu
realita
sosial
terjadi
di
yang
tengah-
tengah masyarakat.
c) Karikatur
perorangan
tokoh-tokoh
dijadikan
bertema
pribadi,
yang
karikatur
15
digambarkan
berdasarkan ciri khas
bentuk tubuh, latar
belakang,
jabatan,
kegemaran
ataupun,
sifat dan sikap pribadi
dari tokoh tersebut
dan
penggambaran
kritik dalam karikatur
bertema
perorangan
pribadi lebih kepada
kritik
langsung
kepada
tokoh
masyarakat
ataupun
orang terkenal yang
dikarikaturkan.
4.
Iro Sani, Department Political Cartoons as a Metode Penelitian: Kualitatif
of English,
UPM,
FBMK, Vehicle of Setting Social
Serdang, Agenda: The Newspaper Tujuan Penelitian:
Malaysia, Tahun 2012
Example
1. Untuk
mengetahui
kartun
politik
digunakan
agenda
setting sosial dalam
konteks Nigeria
2. Untuk
mengetahui
tema dominan dari
kartun
politik
Nigeria
selama
periode 2007-2010
16
Hasil Penelitian:
1. Menunjukkan bahwa
kartun
politik
Nigeria
mengatur
agenda sosial dengan
cara yang terutama
mengenkapsulasi
masalah saat ini dan
isu-isu sensitif yang
orang
yang
jauh
prihatin.
2. Menunjukkan bahwa
80%
dari
tema
difokuskan pada isuisu substantif melalui
agenda sosial yang
diatur
untuk
mencerminkan
praktek
-
praktek
sosial dalam konteks
sosial politik Nigeria.
5.
Muhammad
Akbar Semiotic Representations Metode Penelitian: Kualitatif
Sajid,
Bahauddin of America in Pakistani
Zakariya
University, Media:
Multan,
Tahun 2014
A
Critical Tujuan Penelitian:
Pakistan, Discourse Analysis of the Menerjemahkan
Pakistani
wacana
Newspaper’s semiotik dari sebuah surat
Semiotic Discourses
kabar
Urdu
Pakistan
Terkemuka di Naw-e-Waqt
(daily) mengenai konsep subordinasi dan super-ordinasi
melalui wacana semiotik
17
Hasli Penelitian:
Temuan
menggambarkan
bahwa kata-kata dan gambar
bekerja sama untuk mewakili
Barat
(Amerika)
sebagai
dominan dan Muslim sebagai
yang didominasi.
2.2
Landasan Konseptual
2.2.1
Komunikasi Massa
Menurut Gerbner (1967) “Mass communication is the technologically and
institutionally based production and distribution of the most broadly shared continuous
flow of messages in industrial societies”. (Komunikasi massa adalah produksi dan
distribusi yang berlandaskan teknologi dan lembaga dari arus pesan yang kontinyu serta
paling luas dimiliki orang dalam masyarakat industri) (Elvinaro, Lukiati, dan Siti,
2013:3).
Definisi Janowitz (1968) berbunyi seperti ini: ‘Komunikasi massa terdiri atas
lembaga dan teknik dari kelompok tertentu yang menggunakan alat teknologi (pers,
radio, film, dan sebagainya) untuk menyebarkan konten simbolis kepada khalayak yang
besar, heterogen, dan sangat tersebar’ (McQuail, 2011:62).
Komunikasi massa menghasilkan suatu produk berupa pesan komunikasi, dan
disebarkan, didistribusikan kepada khalayak secara terus menerus. Misalnya harian,
mingguan, atau bulanan. Memproses sebuah pesan tidak dengan dilakukan individu,
melainkan dapat dilakukan oleh lembaga.
Setidaknya, ada tiga karakteristik utama komunikasi massa, yaitu adanya
komunikan sebagai orang yang menerima pesan, media sebagai sarana penyampain
pesan, dan komunikator sebagai orang yang menyampaikan pesan (Astar Hadi, Nurudin,
2005: 21).
Karakteristik Komunikasi Massa (Elvinaro, Lukiati, dan Siti, 2013:7-12)
18
1. Komunikator Terlembagakan
Ciri komunikasi massa pertama ialah komunikatornya. Komunikasi
massa menggunakan media massa, baik cetak maupun elektronik. Dalam media
massa itu sudah tersusun masing masing tugasnya dalam menyampaikan
informasi kepada khalayak. Contoh dalam surat kabar komunkator menyusun
pesan dalam bentuk artikel, selanjutnya pesan diperiksa oleh penanggung jawab
rubrik, dari situ diserahkan kepada redaksi apakah sudah laik tidaknya pesan itu
untuk dimuat. Ketika sudah laik pesan dibuat setting-nya, lalu diperikasa oleh
korektor, disusun oleh lay-out man agar komposisinya bagus, dibuat plate,
kemudian masuk mesin cetak. Setelah dicetak merupakan tugas bagian distribusi
untuk mendistribusikan surat kabar yang berisi pesan itu kepada khalayak. Masih
banyak pesan pesan lainnya seperti karikatur, feature, dan berbagai berita yang
dibuat oleh reporter media massa tersebut.
2. Pesan Bersifat Umum
Komunikasi massa itu bersifat terbuka, maksudnya komunikasi massa itu
ditujukan untuk semua orang dan tidak ditujukan untuk sekelompok orang
tertentu. Pesan dalam komunikasi massa bisa berupa fakta, opini, atau peristiwa.
Dan pesan tersebut harus dikemas penting dan menarik, atau penting sekaligus
menarik. Tetapi pesan yang penting dan menarik memiliki ukurannya sendiri
dalam sebagian besar komunikan. Pesan mempunyai kategori penting bagi
sebagian khalayak, dan sebagian tidak penting. Contoh tentang pemilihan Lurah
Kotamadya Bandung, pesan itu dapat dimuat pada media massa Bandung saja.
Tapi lain hal jika dalam pemilihan Lurah tersebut mengandung khas, unik,
sehingga dapat perhatian itu dapat dimuat dalam media massa diluar Bandung.
3. Komunikannya Anonim dan Heterogen
Dalam
komunikasi
massa komunikator tidak
mengenal
dengan
komunikan (anonim) karena dalam komunikasi massa menggunakan media
massa, dengan begitu pembuat pesan atau komunikator tidak mengenal sepeti
nama, tempat tinggal,pendidikan, dan lain-lain. Komunikasi massa juga
komunikannya terdiri dari beberapa lapisan masyarakat yang berbeda atau
19
heterogen dan dapat dikelompokkan berdasarkan factor: usia, jenis kelamin,
pendidikan, pekerjaan, agama, dan lain-lain.
4. Media Massa Menimbulkan Keserempakan
Dengan sasaran khalayak yang relatif banyak dan tidak terbatas, secara
serempak pada waktu yang bersamaan memperoleh pesan yang sama pula.
5. Komunikasi Mengutamakan Isi Ketimbang Hubungan
Dalam konteks komunikasi massa, komunikator tidak harus kenal dengan
komunikannya, atau sebaliknya. Yang penting, bagaimana seorang komunikator
menyusun pesan secara sistematis, baik, sesuai dengan jenis medianya, agar
komunikannya bisa memahami isi pesan tersebut.
6. Komunikasi Massa Bersifat Satu Arah
Karena komunikasinya menggunakan media massa, maka komunikator
dan komunikannya tidak dapat melakukan kontak langsung. Komunikator aktif
menyampaikan pesan, komunikan pun aktif menerima pesan, namun diantara
kedua tidak dapat melakukan dialog sebagaimana halnya terjadi dalam
komunikasi antarpersona.
7. Stimulasi Alat Indra Terbatas
Stimulasi alat indra tergantung pada jenis media massa. Contoh pada
Koran atau majalah, pembaca hanya dapat melihat. Pada radio, pembaca hanya
mendengar. Sedangkan pada media televise dan film menggunakan indra
penglihatan dan pendengaran.
8. Umpan Balik Tertunda (Delayed) dan Tidak Langsung (Indirect)
Komunikator komunikasi massa tidak dapat dengan segera mengetahui
bagaimana reaksi khalayak terhadap pesan yang disampaikannya. Efektivitas
komunikasi seringkali dapat dilihat dari feedback yang disampaikan oleh
komunikan.
Fungsi Komunikasi Massa
Elvinaro, Lukiati, dan Siti (2013:14) Fungsi komunikasi massa menurut
Dominick (2001) terdiri dari surveillance (pengawasan), interpretation (penafsiran),
linkage (keterkaitan), transmission of values (penyebaran nilai), entertainment (hiburan).
20
1. Surveillance (Pengawasan)
Fungsi pengawasan komunikasi massa dibagi dalam bentuk utama: (a).
Warning or beware surveillance (pengawasan peringatan); (b). Instrumental
surveillance (pengawasan instrumental). Fungsi pengawasan peringatan
terjadi ketika media massa menginformasikan tentang ancaman dari angin
topan, meletusnya gunung merapi, kondisi yang memperihatinkan, tayangan
inflasi atau adanya serangan militer. Fungsi pengawasan instrumental adalah
penyampaian informasi yang memiliki kegunaan atau dapat membantu
khalayak dalam kehidupan sehari-hari.
2. Interpretation (Penafsiran)
Fungsi penafsiran hampir mirip dengan fungsi pengawasan. Media massa
tidak hanya memasok fakta dan data, tetapi juga memberikan penafsiran
terhadap kejadian-kejadian penting. Organisasi atau industri media memilih
dan memutuskan peristiwa peristiwa yang dimuat atau ditayangkan.
Contoh nyata penafsiran media dapat dilihat pada halaman tajuk rencana
(editorial) surat kabar. Penafsiran ini berbentuk komentar dan opini yang
ditujukan kepada khalayak pembaca, serta dilengkapi perspektif (sudut
pandang) terhadap berita yang disajikan pada halaman lainnya.
Tujuan penafsiran media ingin mengajak para pembaca atau pemirsa untuk
memperluas wawasan dan membahasnya lebih lanjut dalam komunikasi
antarpersonal atau komunikasi kelompok.
3. Linkage (Pertalian)
Media massa dapat menyatukan anggota masyarakat yang beragam,
sehingga membentuk linkage (pertalian) berdasarkan kepentingan dan minat
yang sama tentang sesuatu.
4. Transmission of Values (Penyebaran Nilai-Nilai)
Fungsi penyebaran nilai tidak kentara. Fungsi ini juga disebut
socialization (sosialisasi). Sosialisasi mengacu kepada cara, di mana individu
mengadopsi perilaku dan nilai kelompok. Media massa yang mewakili
gambaran masyarakat itu ditonton, didengarkan dan dibaca. Media massa
21
memperlihatkan kepada kita bagaimana mereka bertindak dan apa yang
mereka harapkan.
5. Entertaiment (Hiburan)
Sulit dibantah lagi bahwa pada kenyataannya hampir semua media
menjalankan
fungsi
hiburan.
Televisi
adalah
media
massa
yang
mengutamakan sajian hiburan. Hampir tiga perempat bentuk siaran televisi
setiap hari merupakan tanyangan hiburan. Begitu pun radio siaran, siarannya
banyak memuat acara hiburan. Memang ada beberapa stasiun televisi dan
radio siaran yang lebih mengutamakan tayangan berita. Demikian pula
halnya dengan majalah. Tetapi, ada beberapa majalah yang lebih
mengutamakan berita seperti Time dan News Week, Tempo, dan Gatra.
Melalui berbagai macam program acara yang ditayangkan televisi, khalayak
dapat memperoleh hiburan yang dikehendakinya. Melalui berbagai macam
acara di radio siaran pun masyarakat dapat menikmati hiburan. Sementara
surat kabar dapat melakukan hal tersebut dengan memuat cerpen, komik, teka
teki silang (TTS), dan berita yang mengandung human interest atau sentuhan
manusiawi.
Komunikasi massa pada dasarnya merupakan suatu bentuk komunikasi dengan
melibatkan khalayak luas yang biasanya menggunakan teknologi media massa, seperti
surat kabar, majalah, radio, dan televisi (Pawito, 2007:16).
Elemen-elemen Komunikasi Massa:
1. Komunikator
Komunikator
dalam
komunikasi
massa
sangat
berbeda
dengan
komunikator pada umumnya. Komunikator di sini meliputi jaringan, stasiun
lokal, direktur, dan staf teknis yang berkaitan dengan sebuah acara televisi.
Jadi, komunikator merupakan gabungan dari berbagai individu dalam sebuah
lembaga media massa.
2. Isi
Isi dalam media massa berbeda-beda sesuai dengan kebijakan masingmasing. Karena, masing-masing media massa memiliki audience yang
22
berbeda-beda. Bagi Ray Eldon Hiebert dkk (1985) isi media setidak-tidaknya
bisa dibagi ke dalam enam kategori yakni; 1) berita dan informasi, 2) analisis
dan interpretasi, 3) pendidikan dan sosialisasi, 4) hubungan masyarakat dan
persuasi, 5) iklan dan bentuk penjualan lain, dan 6) hiburan.
3. Audeince
Menurut Hiebert dan kawan-kawan, komunikasi massa setidaknya
memiliki 5 karakteristik audience yang berbeda-beda:
•
Audience cenderung berisi individu-individu yang condong untuk
berbagi pengalaman dan dipengaruhi oleh hubungan sosial diantara
mereka.
•
Audience cenderung luas dan tersebar ke berbagai wilayah jangkauan
sasaran komunikasi massa.
•
Audience cenderung heterogen, karena mereka berasal dari berbagai
lapisan dan kategori sosial.
•
Audience cenderung anonim, mereka tidak saling kenal antara satu
dengan yang lainnya.
•
Audience secara fisik dipisahkan dari komunikator.
4. Umpan Balik
Umpan balik dibagi kedalam dua kategori, yaitu umpan balik langsung
(immediated feedback) dan tidak langsung (delayed feedback). Umpan balik
langsung biasanya terjadi bila komunikator dengan audience sedang
bersamaan atau mereka melakukan komukasi secara langsung seperti
menggunakan telepon atau sebagainya. Sedangkan didalam komunikasi
massa biasanya komunikasi yang terjadi adalah umpan balik tidak langsung,
dikarenakan mereka tidak sedang bersamaan. Umpan balik tidak langsung
dapat dilakukan dengan mengirimkan surat kepada editor.
5. Gangguan
Gangguan dalam komunikasi massa dibagi menjadi dua golongan, yaitu:
23
1.
Gangguan Saluran
Gangguan saluran yang biasa terjadi didalam komunikasi massa
seperti salah cetak pada media cetak, atau gampar yang tidak jelas
dan suara yang tidak jelas pada media televisi dan radio.
2.
Gangguan Semantik
Gangguan sematik adalah gangguan yang berhubungan dengan
tata bahasa. Jadi gangguan sematik adalah gangguan dalam proses
komunikasi yang diakibatkan oleh pengirim atau penerima pesan
itu sendiri.
6. Gatekeeper
Gatekeeper adalah orang atau organisasi yang bertugas untuk
memberikan izin tersebarnya suatu berita, mereka bertugas untuk memantau
atau mengawasi informasi yang akan keluar dan disebarkan ke masyarakat
luas.
7. Pengatur
Pengatur dalam media massa adalah mereka yang secara tidak langsung
ikut memengaruhi proses aliran pesan media massa. Pengatur ini antara lain
pengadilan, pemerintah, konsumen, organisasi professional, dan kelompok
penekan, termasuk narasumber, dan pengiklan.
8. Filter
Filter dalam komunikasi massa adalah tanggapan atau respon yang
muncul dari dalam diri kita masing-masing. Filter tersebut bisa fisik,
psikologi, ataupun budaya. Contohnya bila ada dua orang yang menonton
berita berisikan kasus pemerkosaan, keduanya akan memberikan respon yang
berbeda antara yang satu dengan yang lainnya karna mungkin saja yang salah
satu penonton tersebut pernah mengalami pemerkosaan sebelumnya, maka
dia akan menangapinya dengan lebih emosional. Hal tersebut disebut sebagai
filter psikologis. Filter tersebutlah yang akan mempengaruhi kuantitas dan
kualitas pesan yang diterima dan respon yang akan dihasilkan (Nurudin, 2007
: 95-136).
24
2.2.2
Media Massa
Ardianto, Komala, Karlinah (2013:50-52) McLuhan mengemukakan the medium
is the message, media adalah pesan itu sendiri. Oleh karena itu, bentuk media saja sudah
memengaruhi khlayak. Steven M. Chafee menjelaskan efek media massa dengan dua
pendekatan. Pendekatan pertama, efek kehadiran media massa yang berkaitan dengan
pesan ataupun media itu sendiri. Pendekatan kedua, adalah dengan melihat jenis
perubahan yang terjadi pada diri khalayak komunikasi massa yang berupa perubahan
sikap, perasaan dan perilaku atau dengan istilah lain dikenal sebagai perubahan kognitif,
afektif, dan behavioral.
1.
Efek Kehadiran Media Massa
Menurut Steven M. Chafee, ada lima jenis efek kehadiran media massa sebagai
benda fisik, yaitu:
•
Efek Ekonomi
Kehadiran media massa di tengah kehidupan manusia dapat menumbuhkan
berbagai usaha produksi, distribusi dan konsumsi jasa media massa.
•
Efek Sosial
Efek sosial berkaitan dengan perubahan pada struktur atau interaksi sosial
sebagai akibat dari kehadiran media massa.
•
Penjadwalan Kegiatan Sehari-hari
Sebelum ke kantor, masyarakat kota pada umumnya membaca koran dahulu.
•
Efek Hilangnya Perasaan Tidak Nyaman
Orang menggunakan media untuk memuaskan kebutuhan psikologisnya dengan
tujuan untuk menghilangkan perasaan tidak nyaman, misalnya
untuk
menghilangkan perasaan kesepian, marah, kecewa dan sebagainya.
•
Efek Menumbuhkan Perasaan Tertentu
Kehadiran media massa bukan saja dapat menghilangkan perasaan tidak nyaman
pada diri seseorang, tetapi dapat juga menumbuhkan perasaan tertentu.
25
2.
Efek Pesan
Penelitian tentang efek ini telah menjadi pusat perhatian berbagai pihak, baik
para praktisi maupun para teoritis. Mereka berusaha untuk mencari dan
menemukan media (saluran) yang paling efektif untuk memengaruhi khalayak.
•
Efek Kognitif
Efek kognitif adalah akibat yang timbul pada diri komunikan yang sifatnya
infomatif bagi dirinya. Dalam efek kognitif ini akan dibahas tentang bagaimana
media massa dapat membantu khalayak dalam mempelajari informasi yang
bermanfaat dan mengembangkan keterampilan kognitifnya.
•
Efek Afektif
Efek Afektif kadarnya lebih tinggi daripada efek kognitif. Tujuan dari
komunikasi massa bukan sekedar memberitahu khalayak tentang sesuatu, tetapi
lebih dari itu, khalayak diharapkan dapat turut merasakan perasaan iba, terharu,
sedih, gembira, marah dan sebagainya.
•
Efek Behavioral
Efek behavioral merupakan akibat yang timbul pada diri khalayak dalam bentuk
perilaku, tindakan atau kegiatan. Menurut teori Bandura, orang cenderung
meniru perilaku yang diamatinya. Stimulus menjadi teladan untuk perilakunya.
Laswell dalam (Morissan, 2010:82-83) mengemukakan tiga fungsi utama media
terhadap masyarakat, yaitu: media berfungsi untuk memberitahu audiens mengenai apa
yang terjadi di sekitar mereka, melalui pandangan yang diberikan media, audiens
memahami lingkungan di sekitarnya serta pesan media berfungsi menyampaikan tradisi
dan nilai-nilai sosial kepada generasi audiens selanjutnya.
Karakteristik Media Massa menurut Cangara (2008: 126) adalah :
26
1. Bersifat melembaga
Pihak yang mengelolah media terdiri dari banyak orang mulai dari pengumpulan,
pengelolahan, hingga penyajiaan informasi.
2. Bersifat satu arah
Komunikasi yang dilakukan kurang memungkinkan terjadinya dialog antara
pengirim pesan dan penerima.
3. Meluas dan serempak
Dimana informasi yang disampaikan diterima oleh banyak orang pada saat yang
sama.
4. Memakai peralatan teknis atau mekanis, seperti radio, surat kabar, majalah, dan
sejenisnya
5. Bersifat terbuka
Pesan yang diterima oleh siapapun dan dimana saja tanpa mengenal usia, jenis
kelamin, dan suku bangsa.
Media Massa dapat menjadi semakin luas dengan adanya media baru yang lebih
memiliki kelebihan dalam informasi yang individual, beragam serta dapat mendukung
terjadinya informasi yang interaktif. Tetapi persaingan dengan media konvensional tidak
akan selesai karena media konvensial akan semakin meningkatkan kemampuan
(Morissan, 2010:1).
Menurut Cangara (2005 :122), media massa adalah alat yang digunakan dalam
penyampaian pesan dari sumber kepada khalayak (penerima) dengan menggunakan alatalat komunikasi mekanis seperti surat kabar, radio, dan tv. Media massa juga merupakan
media penunujang bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan informasi maupun
hiburan. Banyaknya media massa di Indonesia membuat masyarakat untuk bijak dan
pintar untuk mengambil berita yang disiarkan oleh media tersebut. Media massa terdiri
dari beberapa jenis :
1.
Media Massa Cetak (Printed Media)
Media massa yang dicetak dalam lembaran kertas, contohnya : Koran atau surat
kabar, tabloid, majalah. Isi media massa umumnya terbagi tiga bagian atau tiga
27
jenis tulisan: berita, opini, dan features
2.
Media Massa Elektronik (Electronic Media)
Jenis media massa yang isinya disebarluaskan melalui suara atau gambar dan
suara dengan menggunakan teknologi elektro, seperti radio, televisi, dan film.
3.
Media Online (Online Media, Cybermedia)
Yakni media massa yang dapat kita temukan di internet (situs web).
2.2.3
Karikatur
Setiawan mengakui bahwa untuk menguak makna kartun pada kenyataannya
bukan pekerjaan mudah, mengingat berbagai persoalannya menyangkut permasalahan
yang berkembang dalam masyarakat, khususnya mengenai masalah sosial dan politik.
Meski begitu, menurut Benedict R.O’G. Anderson, dibandingkan dengan bentuk
komunikasi politik lain, mungkin kartun merupakan bentuk yang paling terbaca. Karena
sering diberi kata-kata tertulis, kartun terlihat dekat kepada dokumen tercetak
konvensional.
Dalam menganalisis kartun atau komik-kartun, kita seyogianya menempatkan
diri sebagai kritikus, agar bisa secara leluasa melakukan penilaian dan memberi tafsiran
terhadap komik-kartun tersebut.
Menurut Sudarta, kartun adalah semua gambar humor, termasuk karikatur itu
sendiri. Sedangkan karikatur adalah deformasi berlebihan atas wajah seseorang,
biasanya orang terkenal, dengan “mempercantiknya” dengan penggambaran ciri khas
lahiriahnya untuk tujuan mengejek. Senada dengan Sudarta, Pramono berpendapat
bahwa sebetulnya karikatur adalah bagian dari kartun opini, tetapi kemudian menjadi
salah kaprah. Karikatur yang sudah diberi beban pesan, kritik, dan sebagainya berarti
telah menjadi kartun opini.
Karikatur dari asal caricare adalah foto atau potret seseorang seperti misalnya,
mata, hidung, mulut, gigi, dan lain lain yang diolah berlebihan. Deformasi ini dapat
berarti penghinaan atau penghormatan. Tidaklah mudah mendeformasikan sesuatu
28
menjadi bentuk yang dianggap aneh dan sangat brilyan bila si pekerja kartun dapat
menjadikannya sebagai “penghormatan” (Pramono, 1996: 48-49).
Menurut Alex Sobur, karikatur (carricature/cartoon) adalah produk suatu
keahlian seorang karikaturis, baik dari segi pengetahuan, intelektual, teknik melukis,
psikologis, cara melobi, referensi, bacaan, maupun bagaimana dia memilih topic isu
yang tepat. Karena itu, kita bisa mendeteksi tingkat intelektual seorang karikaturis dari
sudut ini. Juga, cara dia mengkritik yang secara langsung membuat orang yang dikritik
justru tersenyum.
Karikatur adalah bagian dari opini penerbit yang dituangkan dalam bentuk
gambargambar khusus. Semula, karikatur ini hanya merupakan selingan atau ilustrasi
belaka. Namun pada perkembangan selanjutnya, karikatur dijadikan sarana untuk
menyampaikan kritik yang sehat. Dikatakan kritik sehat karena penyampainnya
dilakukan dengan gambar-gambar lucu dan menarik (Sobur, 2013).
2.2.4
Tanda Non-Verbal
Jika secara harafiah komunikasi nonverbal adalah komunikasi tanpa bahasa atau
komunikasi tanpa kata, maka tanda nonverbal berarti minus bahasa atau tanda minus
kata. Jadi, secara sederhana, tanda nonverbal dapat kita artikan semua tanda yang bukan
kata-kata (Sobur, 2013:122).
Yang bersifat nonverbal dapat berupa: (i) tanda yang menggunakan anggota
badan, lalu diikuti dengan lambang, misalnya “Mari!”; (ii) suara, misalnya bersiul, atau
membunyikan sst … yang bermakna memanggil seseorang; (iii) tanda yang diciptakan
oleh manusia untuk menghemat waktu, tenaga, dan menjaga kerahasiaan, misalnya
rambu-rambu lalu lintas, bendera, tiupan terompet; dan (iv) benda-benda yang bermakna
kultural dan ritual, misalnya buah pinang muda yang menandakan daging, gambir yang
menandakan darah, benda-benda itu merupakan tanda yang bermakna kultural dan ritual
bagi masyarakat Gorontalo (Sobur, 2013:122).
29
2.2.5
Teori Linguistik
Pandangan Jakobson, dapat dikemukakan bahwa bagi dia, bahasa itu memiliki
enam macam fungsi, yaitu: (1) fungsi referensial, pengacu pesan; (2) fungsi emotif,
penangkapan keadaan pembicara; (3) fungsi konoatif, pengungkap keinginan pembicara
yang langsung atau segera dilakukan atau dipikirkan oleh sang penyimak; (4) fungsi
metalingual, penerang terhadap sandi atau kode yang digunakan; (5) fungsi fatis,
pembuka, pembentuk, pemelihara hubungan atau kontak antara pembicara dengan
penyimak; dan (6) fungsi puitis, penyandi pesan (Sobur, 2013:56).
Menurut Grenz, bahasa itu bersifat otonom: struktur bahasa bukan merupakan
cerminan dari struktur pikiran atau cerminan dari fakta-fakta. Struktur bahasa adalah
milik bahasa itu sendiri (Sobur, 2013:45).
Bahasa di mata Saussure tak ubahnya sebuah karya musik. Untuk memahami
sebuah simponi, kita harus memperhatikan keutuhan karya musik secara keseluruhan
dan bukan kepada permainan individual dari setiap pemain musik. Untuk memahami
bahasa, kita harus melihatnya secara “sinkronis”, sebagai sebuah jaringan hubungan
antara bunyi dan makna (Sobur, 2013: 44).
Barthes berkata, linguistik disibukkan oleh usaha mencari sebab-sebab
perkembangan bersejarah dalam perubahan ucapan, asosiasi spontan, dan tindakan yang
sejalan dengan itu, yang dengan sendirinya merupakan linguistik individual (Sobur,
2013:49).
2.2.6
Teori-Teori Makna
Sobur (2013:258) Ada beberapa pandangan yang menjelaskan ihwal teori atau
konsep makna. Model proses makna Wendell Johnson menawarkan sejumlah implikasi
bagi komunikasi antarmanusia:
1.
Makna ada dalam diri manusia. Makna tidak terletak pada kata-kata
melainkan pada manusia. Kita menggunakan kata-kata untuk mendekati
makna yang ingin kita komunikasikan. Tetapi kata-kata itu tidak secara
30
sempurna dan lengkap menggambarkan makna yang kita maksudkan.
Demikian pula, makna yang didapat pendengar dari pesan-pesan kita
akan sangat berbeda dengan makna yang ingin kita komunikasikan.
Komunikasi adalah proses yang kita gunakan untuk mereproduksi, di
benak pendengar, apa yang ada di dalam benak kita. Reproduksi ini
hanyalah sebuah proses parsial dan selalu bisa salah.
2.
Makna berubah. Kata-kata relatif statis. Banyak dari kata-kat yang kita
gunakan 200 atau 300 tahun yang lalu. Tetapi makna dari kata-kata itu
terus berubah, dan ini khususnya terjadi pada dimensi emosional dari
makna. Bandingkanlah, misalnya makna kata-kata berikut bertahun-tahun
yang lali dan sekarang, hubungan di luar nikah, obat, agama, hiburan,
dan perkawinan (Di Amerika Serikat, kata-kata ini diterima secara
berbeda pada saat ini dan di masa-masa yang lalu.
3.
Makna membutuhkan acuan. Walaupun tidak semua komunikasi
mengacu pada dunia nyata, komunikasi hanya masuk akal bilaman ia
mempunyai kaitan dengan dunia atau lingkungan eksternal. Obsesi
seorang paranoid yang selalu merasa diawasi dan teraniaya merupakan
contoh makna yang tidak mempunyai acuan yang memadai.
4.
Penyingkatan yang berlebihan akan mengubah makna. Berkaitan erat
dengan gagasan bahwa makna membutuhkan acuan adalah masalah
komunikasi yang timbul akibat penyingkatan yang berlebihan tanpa
mengaitkannya dengan acuan yang konkret dan dapat diamati. Bila kita
berbicara tentang cinta, persahabatan, kebahagiaan, kebaikan, dan
kejahatan, dan konsep-konsep lain yang serupa tanpa mengaitkannya
31
dengan sesuatu yang spesifik, kita tidak akan bisa berbagi makna dengan
lawan bicara. Mengatakan kepada seorang anak untuk “manis” dapat
mempunyai banyak makna penyingkatan perlu dikaitkan dengan objek,
kejadian, dan perilaku dalam dunia nyata: “Berlaku manislah dan
bermain sendirilah sementara ayah memasak.” Bila anda telah membuat
hubungan seperti ini, Anda akan bisa membagi apa yang Anda
maksudkan dan tidak membiarkan keseluruhan tindak komunikasi
berubah.
5.
Makna tidak terbatas jumlahnya. Pada suatu saat tertentu, jumlah kata
dalam suatu bahasa terbatas, tetapi maknanya tidak terbatas. Karena itu,
kebanyakan kata mempunyai banyak makna. Ini bisa menimbulkan
masalah bila sebuah kata diartika secara berbeda oleh dua orang yang
sedang berkomunikasi. Bila ada keraguan, sebaiknya Anda bertanya dan
bukan membuat asumsi; ketidaksepakatan akan hilang bila makna yang
diberikan masing-masing pihak diketahui.
6.
Makna dikomunikasikan hanya sebagian. Makna yang kita peroleh dari
suatu kejadian (event) bersifat multiaspek dan sangat kompleks, tetapi
hanya sebagian saja dari makna-makna ini yang benar-benar dapat
dijelaskan. Banyak dari makna tersebut tetap tinggal dalam benak kita.
Karenanya, pemahaman yang sebenarnya – pertukaran makna secara
sempurna – barangkali merupakan tujuan ideal yang ingin kita capai
tetapi tidak pernah tercapai.
32
2.2.7
Semiotika
Jadi, sesungguhnya kedua istilah ini, semiotika dan semiologi, mengandung
pengertian yang persis sama, walaupun penggunaan salah satu dari kedua istilah tersebut
biasanya menunjukan pemikiran pemakainya: mereka yang bergabung dengan Pierce
menggunakan kata semiotika, dan mereka yang bergabung dengan Saussure
menggunakan kata semiologi. Baik semiotika maupun semiologi, keduanya kurang lebih
dapat saling menggantikan karena sama-sama digunakan untuk mengacu kepada ilmu
tentang tanda (Sobur, 2013:12)
Semiotik sebagai suatu model dari ilmu pengetahuan sosial memahami dunia
sebagai sistem hubungan yang memiliki unit dasar yang disebut dengan ‘tanda’. (Sobur,
2012:87). “Tanda” pada massa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjukan pada
adanya hal lain. Contohnya, asap menandai adanya api (Sobur, 2012:95).
Semiotika berasal dari kata Yunani yaitu semion yang berarti tanda. Semiotika
berakar dari studi klasik dan skolastik atas seni logika, retorika dan poetika (Tinarbuko,
2008: 11)
Pada dasarnya, semiosis dapat dipandnag sebagai suatu proses-tanda yang dapat
diperikan dalam istilah semiotika sebagai suatu hubungan antara lima istilah:
S ( s,i,e,r,c)
S adalah untuk semiotic relation (hubungan semiotik); s untuk sign (tanda); i
untuk interpreter (penafsir); e untuk effect atau pengaruh (misalnya, suatu disposisi
dalam i akan bereaksi dengan cara tertentu terhadap r pada kondisi-kondisi tertentu c
karena s); r untuk reference (rujukan); dan c untuk context (konteks) atau conditions
(kondisi) (Sobur, 2013:17)
Menurut Segers, Lebih jelas lagi, semiotika adalah suatu disiplin yang
menyelidiki semua bentuk komunikasi yang terjadi dengan saran signs ‘tanda-tanda’.
Charles Sanders Pierce mendefinisikan semiosis sebagai “a relationship among a sign,
an object, and a meaning (suatu hubungan di antara tanda, objek, dan makna)”. Dan
33
Charles Morris menyebut semiosis ini sebagai suatu “proses tanda, yaitu proses ketika
sesuatu merupakan tanda bagi beberapa organisme” (Sobur, 2013:16)
Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tandatanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan didunia ini,
di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Semiotika, atau dalam istilah
Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan
(humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat
dicampuradukan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti
bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu
hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Sobur,
2013: 15).
2.2.8
Semiotika Roland Barthes
Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang getol
mempraktikkan model linguistik dan semiologi Saussurean. Ia juga intelektual dan
kritikus sastra Perancis yang ternama; eksponen penerapan strukturalisme dan semiotika
pada studi sastra (Sobur, 2013:63).
Sobur (2013:65) Barthes meninjau kode-kode narasi yang berlaku dalam suatu
naskah realis ke dalam lima kode. Kelima kode yang ditinjau Barthes adalah sebagai
berikut:
1. Kode hermeneutik atau kode teka-teki adalah kode yang berkisar pada
harapan pembaca untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pernyataan yang
muncul dalam teks. Kode teka-teki merupakan unsur struktur yang utama
dalam narasi tradisional. Di dalam narasi ada suatu kesinambungan antara
pemunculan suatu peristiwa teka-teki dan penyelesaiannya di dalam cerita.
2. Kode semik atau kode konotatif adalah kode yang banyak menawarkan
banyak sisi. Dalam proses pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks.
Konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan
konotasi kata atau frase yang mirip.
3. Kode simbolik adalah aspek pengkodean fiksi yang paling khas bersifat
34
struktural, atau tepatnya pascastruktural. Hal ini didasarkan pada gagasan
bahwa makna berasal dari beberapa oposisi biner atau pembedaan-baik dalam
taraf bunyi menjadi fonem dalam proses produksi wicara, maupun pada taraf
oposisi psikoseksual yang melalui proses.
4. Kode proaretik atau kode tindakan/lakuan adalah kode yang dianggap sebagai
perlengkapan utama teks yang dibaca orang; artinya, antara lain, semua teks
yang bersifat naratif.
5. Kode gnomik atau kode kultural adalah kode yang memiliki banyak jumlah.
Kode ini merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan
dikodifikasi oleh budaya. Realisme tradisional didefinisi oleh acuan ke-apa
yang telah diketahui. Rumusan suatu budaya atau subbudaya adalah hal-hal
kecil yang telah dikodifikasi
Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda
adalah peran pembaca (the reader). Barthes secara panjang lebar mengulas apa yang
sering disebut sebagai sistem pemaknaan tataran ke-dua, yang dibangun di atas sistem
lain yang telah ada sebelumnya. Sistem ke-dua ini oleh Barthes disebut dengan
konotatif, yang di dalam Mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotatif atau
sistem pemaknaan tataran pertama (Sobur, 2013:68-69).
1. signifer
(penanda)
2. signified
(petanda)
3. denotative sign (tanda
denotatif)
4. CONNOTATIVE
SIGNIFIER (PENANDA
KONOTATIF)
5. CONNOTATIVE
SIGNIFIED (PETANDA
KONOTATIF)
6. CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF)
Gambar 2.1 Peta Tanda Roland Barthes
(Sobur, 2013: 69) Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3)
terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda
35
denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan
unsur material: hanya jika Anda mengenal tanda “singa”, barulah konotasi seperti harga
diri, kegarangan, dan keberanian menjadi mungkin.
Budiman mengatakan, dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi
ideologi, yang disebutnya sebagai ‘mitos’, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan
memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode
tertentu (Sobur, 2013:71). Pertimbangan Barthes menempatkan Ideologi dengan mitos
adalah baik dalam mitos maupun ideologi, hubungan antara penanda konotatif dan
petanda konotatif terjadi secara termotivasi.
2.2.9
Makna Denotatif dan Konotatif
Barthes menggunakan istilah denotasi dan konotasi untuk menunjukkan
tingkatan-tingkatan makna. Makna denotasi adalah makna tingkatan pertama yang
bersifat objektif (first order) yang dapat diberikan terhadap lambang-lambang, yakni
dengan mengaitkan secara langsung antara lambang-lambang dengan realitas atau gejala
yang ditunjuk. Kemudian makna konotasi adalah makna yang dapat diberikan pada
lambang-lambang dengan mengacu pada nilai-nilai budaya yang karenanya berada pada
tingkatan kedua (second order).
Makna denotasi atau makna literal adalah makna kamus dari sebuah kata atau
terminology atau objek. (Moral meaning of a term or object) yang merupakan deskripsi
dasar. Sebagai contoh makna denotasi adalah “Big Mac” yang merupakan sandwich
yang dibuat oleh Mcdonalds yang dimakan dengan saus (Kriyantono. 2006: 268).
Harimurti Kridalaksana mendefinisikan denotasi (denotation) sebagai “makna kata atau
kelompok kata yang didasarkan atas penunjukkan yang lugas pada sesuatu diluar bahasa
atau yang didasarkan atas konvensi tertentu; sifatnya objektif.” (Sobur, 2013:263)
Makna konotatif ialah makna denotatif ditambah dengan segala gambaran,
ingatan, dan perasaan. Kata konotasi itu sendiri berasal dari bahasa Latin connotare,
“menjadi tanda” dan mengarah kepada makna-makna kultural yang terpisah/berbeda
dengan kata (dan bentuk-bentuk lain dari komunikasi). Harimurti Kridalaksana
mendefinisikan juga makna konotasi (connotation, evertone, evocatory) diartikan
36
sebagai “aspek makna sebuah atau sekelompok kata yang didasarkan atas perasaan atau
pikiran yang timbul atau ditimbulkan pada pembicara (penulis) dan pendengar
(pembaca) (Sobur, 2013:263).
Sobur (2013:264) Arthur Asa Berger mencoba membandingkan antara konotasi
dan denotasi sebagai berikut:
KONOTASI
DENOTASI
Pemakaian figur
Literatur
Petanda
Penanda
Kesimpulan
Jelas
Memberi kesan tentang makna
Menjabarkan
Dunia mitos
Dunia keberadaban/eksistensi
Tabel 2.2 Perbandingan antara Konotasi dan Denotasi
2.2.10 Mitos
Mitos adalah sebuah nilai yang ada di dalam masyarakat. Pada hakikatnya usaha
manusia rasional adalah mitos, sebab usaha manusia rasional tidak dapat berdiri sendiri,
tidak otonom, tidak dapat mengenal dirinya sendiri: usaha manusia rasional itu terjadi,
ada dan mengenal dirinya hanya berkat dan di dalam mitos. Dengan kata lain, usaha
manusia rasional itu niscaya atau tidak dapat tidak adalah mitos sendiri (Sobur, 2013:
223).
Mitos dalam pandangan Lappe & Collins dimengerti sebagai “sesuatu yang oleh
umum dianggap benar, tetapi sebenarnya bertentangan dengan fakta,” sekalipun perlu
dicatat bahwa penafsiran fakta oleh Lappe & Collins itu belum tentu benar atau disetujui
oleh masyarakat ilmiah pada umumnya (Sobur, 2013: 224).
Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda, dan tanda,
namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan
yang telah ada sebelumnya atau, dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem
pemaknaan tataran ke-dua (Sobur, 3013: 71).
Sobur (2012:127) Fokus perhatian Barthes lebih tertuju kepada gagasan tentang
signifikasi dua tahap (two order of signification) seperti terlihat pada gambar:
37
First Order
reality
Second Order
sign
culture
Form
Conotation
Signifier
Denotation
Myth
Signified
Content
Gambar 2.2 Signifikasi Dua Tahap Barthes
Signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified
didalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutkan sebagai denotasi,
yaitu makna paling nyata dari tanda. Konotasi adalah istilah yang dipergunakan Barthes
untuk menunjukan signifikasi tahap kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang
terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai
dari kebudayaannya (Sobur, 20:128).
Pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi, tanda bekerja melalui
mitos (myth). Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami
beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam (Sobur, 20:128).
38
2.3 Kerangka Pemikiran
Inilah.com dalam Sub-kanal berita Karikatur
Editorial bulan Januari 2015 – Februari 2015
Karikatur Jokowi penggambaran dari
media terhadap sikap Jokowi dalam
kasus KPK dengan Polri
Simbol-simbol yang muncul dalam
Tanda NonVerbal
karikatur Jokowi
Teks
Denotasi
Konotasi
Mitos
Makna karikatur Jokowi di Inilah.com dalam
Sub-kanal berita Karikatur Editorial bulan
Januari 2015 – Februari 2015
Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran dalam penelitian ini menitikberatkan pada semiotika Roland
Barthes. Pertama peneliti akan mencari karikatur Jokowi dalam sub-kanal berita
karikatur editorial Inilah.com. Karikatur Jokowi tersebut yang berhubungan oleh sikap
Jokowi dalam kisruhnya KPK dengan Polri. Setelah terkumpul beberapa karikatur,
peneliti akan menganalisis karikatur tersebut dengan analisis semiotika Roland Barthes.
Analisis semiotika Roland Barthes ini akan mencari makna denotasi, konotasi, dan mitos
39
dalam tanda yang ditonjolkan dalam karikatur tersebut. Sesudah di analisis karikatur
tersebut akan mempunyai makna denotasi, konotasi, dan mitos menjadi hasil analisis
yang dilakukan peneliti.
40
Download