BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Teori-teori Dasar / Umum Menurut Kerlinger, teori adalah “himpunan konstruk atau konsep, definisi atau proposisi yang telah mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala dengan menjabarkan relasi antara variabel untuk menjelaskan dan meramaikan gejala tersebut.”(Jalaluddin Rachmat, Bandung, 1988) Kerangka teori dimaksudkan “untuk memberikan gambaran atau batasanbatasan tentang teori-teori yang akan dipakai sebagai landasan penelitian yang akan dilakukan adalah teori-teori mengenai variabel-variabel permasalahan yang akan diteliti.” (Mardalis, Jakarta, 1989) Landasan teori adalah teori-teori yang relevan yang dapat digunakan “untuk menjelaskan tentang variabel yang akan diteliti, serta sebagai dasar untuk memberi jawaban sementara terhadap rumusan masalah yang diajukan (hipotesis)”. (Ardi Karsadi, Jakarta, 2002) Teori-teori yang digunakan pada penelitian ini antara lain adalah sebagai berikut: 2.1.1 Kajian Semiotika Semiotika adalah ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia. Artinya, semua yang hadir dalam kehidupan kita dilihat sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus kita beri makna.(Benny H,Hoed,Depok,2008) Yang menjadi perhatian penting penelitian ini adalah tanda. Dan bagaimana tanda itu menghasilkan makna. Sebagai homo culturalis, yakni sebagai makhluk 12 13 yang selalu ingin memahami makna dari apa yang diketemukannya (meaningseeking creature) .(Benny H,Hoed,Depok,2008), metode semiotika menjadi sebuah cabang keilmuan yang memberikan pengaruh penting. Tidak saja sebagai metode kajian (decoding), akan tetapi juga sebagai metode penciptaan (encoding). Semiotika telah berkembang menjadi sebuah model atau paradigma bagi berbagai bidang keilmuan yang sangat luas, yang menciptakan cabang-cabang semiotika khusus, di antaranya adalah semiotika binatang, semiotika kedokteran, semiotika arsitektur, dan lain-lain. (Yasraf Amiri Piliang,Yogyakarta,2003) Secara etimologis, istilah semiotik berasal dari kata Yunani ‘semion’ yang berarti “tanda”. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat mewakili sesuatu yang lain. Secara terminologis, semiotika dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh Perngetahuan sebagai tanda.(Alex Sobur,Bandung,2001) Sekumpulan tanda-tanda ini biasa disebut dengan istilah karya. Mempelajari karya berarti mempelajari budaya. Karena karya dibangun dari seribu sumber budaya. Seperti yang dikatakan Roland Barthes di dalam buku The Death of Author . “Karya adalah suatu tenunan kutipan, berasal dari seribu sumber budaya.” (Alex Sobur,Bandung,2001) Di dalam semiotika, peran penerima pesan atau penonton dipandang memiliki peranan yang lebih aktif. Penonton menghasilkan makna dari sebuah karya tanpa meninggalkan pengalaman, pemikiran, emosi, pengaruh budaya dari si penonton. 14 Menurut Danesi dan Perron, penelitian semiotik mencakupi tiga ranah yang berkaitan dengan apa yang diserap oleh manusia dari lingkungannya (the world), yakni yang bersangkutan dengan “tubuh”-nya,“pikiran”-nya,dan “pengetahuan”-nya. (Benny H,Hoed,Depok,2008) Berangkat dari pernyataan ini, kita bisa tarik kesimpulan bahwa adanya hubungan erat antara kemampuan manusia untuk memahami dan menghasilkan makna, aktifitas manusia untuk menghubungkan tanda dengan pengalamannya dan hubungan antara sistem tanda yang sifatnya konvensional. 2.2.2 Semiotika Film Mengkaji film melalui metode semiotika, berarti mengkaji sistem tanda di dalam film tersebut. Film menggunakan sistem tanda yang terdiri atas pesan, baik yang verbal maupun yang berbentuk ikon. Pada dasarnya pesan yang digunakan dalam film terdiri atas dua jenis, yaitu pesan verbal dan pesan nonverbal. (Alex Sobur,Bandung,2001) Yang membedakan film secara semiotis dari objek-objek desain lainnya, yaitu bahwa film selalu berisikan unsur-unsur tanda berupa objek (object) yang difilmkan; konkarya (context) berupa lingkungan, orang atau makhluk lainnya yang memberikan makna pada objek; serta karya (berupa tulisan) yang memperkuat makna (anchoring), meskipun yang terakhir ini tidak selalu hadir dalam sebuah film. 15 Tabel 1.2 Tanda dalam Film (Yasraf Amiri Piliang,Yogyakarta,2003) Entitas Fungsi Objek Konkarya Karya Visual/Tulisan Visual/Tulisan Tulisan Elemen tanda yang Elemen tanda yang Tanda linguistik merepresentasikan memberikan(atau yang berfungsi objek atau pesan diberikan) konkarya memperjelas dan yang difilmkan dan makna pada menambatkan objek yang difilmkan makna (anchoring) Elemen Signifier/Signified Signifier/Signified Signified Tanda Tanda semiotik Tanda semiotik Tanda linguistik Dari tabel di atas, bisa ditarik kesimpulan bahwa film adalah wahana permainan tanda. Permainan tanda dalam film didasarkan pada ketiga elemen di atas, yang saling berkaitan dan menjadi satu kesatuan. Di sebuah penelitian mengenai film, melalui analisis konkarya kita bisa melihat berbagai persoalan yang timbul dari hadirnya film tersebut. Seperti persoalan gender, ideologi, fetisisme, kekerasan simbol, lingkungan, konsumerisme, serta berbagai persoalan sosial lainnya yang ada di balik sebuah film. Persoalan ini timbul ke permukaan karena adanya jurang pemisah antara realitas sosial dengan proses representasinya dalam film. Jurang pemisah inilah yang menghasilkan realita baru. Realitas dalam film bukanlah realitas murni yang 16 diangkat dari realitas sosial. Namun telah dipilah-pilah menurut tujuan pembuatan film tersebut. 2.2.3 Semiologi Roland Barthes Semiotika dan semiologi sesungguhnya mempunyai arti yang sama. Namun pemakaian salah satu istilah ini biasanya didasarkan pada pemikiran pemakainya: mereka yang bergabung dengan Peirce menggunakan kata semiotika, dan mereka yang bergabung dengan Saussure menggunakaan kata semiologi. (Alex Sobur,Bandung,2001) Karena Barthes adalah tokoh semiotika yang meneruskan dan mengembangkan pemikiran de Saussure maka metode pemaknaan tanda-tanda Barthes disebut semiologi barthes. Namun istilah semiologi makin lama makin ditinggalkan. Ada kecenderungan orang-orang lebih memilih kata semiotika daripada semiologi. Sehingga kata semiotika lebih populer daripada semiologi. Barthes menekankan bahwa semiologi hendaknya mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal dalam kehidupan sosial manusia. Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objekobjek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Alex Sobur,Bandung,2001) Tujuan riset semiologis adalah merekonstitusi bagaimana sistem-sistem signifikasi yang bukan langue berfungsi, dengan mengikuti proyek aktivitas 17 strukturalis, yaitu membangun suatu simulakrum objek-objek yang diamati. (Roland barthes,Yogyakarta,2007) Barthes dengan demikian melihat signifikasi sebagai sebuah proses total dengan suatu susunan yang sudah terstruktur. Signifikasi itu tidak terbatas pada bahasa, tetapi terdapat juga pada hal-hal yang bukan bahasa. Barthes menganggap kehidupan sosial sendiri merupakan suatu bentuk signifikasi. Dengan kata lain, kehidupan sosial apapun bentuknya, merupakan suatu sistem tanda tersendiri pula. (Roland barthes,Yogyakarta,2007) Sebagai salah satu ahli semiologi, Barthes memang terkenal dengan pendekatan semiologinya terhadap budaya-budaya massa dan populer. Dalam esai-esainya yang terkumpul di buku Mythologies, Barthes membahas maknamakna dan mitos budaya massa, mulai dari dunia gulat, anggur, otak einstein, sampai dengan tarian telanjang. “YANG MEMESONA saya sepanjang hidup,” demikian Roland Barthes dalam suatu wawancara, “adalah cara masyarakat menjadikan dunia mereka bisa dipahami.” (Idy Subady Ibrahim,Yogyakarta,2007) Semiologi Barthes mengacu pada de Saussure dengan menyelidiki hubungan penanda dan petanda pada sebuah tanda. Barthes mengembangkan pembedaan penanda dan petanda ke arah yang lebih dinamis. Denotasi dan Konotasi Barthes mengatakan bahwa dalam kehidupan sosial budaya penanda adalah “ekspresi” (E) tanda, sedangkan petanda adalah “isi” (dalam bahasa Perancis contenu (C). Jadi sesuai dengan teori de Saussure 18 tanda adalah relasi (R) antara E dan C. Ia mengemukakan konsep tersebut dengan model E-R-C. (Benny H,Hoed,Depok,2008) Dalam perkembangannya, Barthes berpendapat bahwa pemakai tanda tidak hanya memaknainya sebagai makna denotasi, makna yang umum. Namun pemakai tanda diyakini mengembangkan pemakaian tanda ke dua arah, yang disebut Barthes sebagai signifikasi tahap kedua. Pengembangan kepada segi E, terjadi bila pemakai tanda memberikan bentuk yang berbeda untuk makna yang sama. Ini disebutnya sebagai proses ke arah metabahasa. Sedangkan pengembangan ke arah C, adalah pengembangan makna yang disebut konotasi. (Benny H,Hoed,Depok,2008) Gambar 13 Model Pemaknaan Dua Tahap Barthes (Benny H,Hoed,Depok,2008) 19 Konotasi menggambarkan interaksi yang berlangsung tatkala tanda bertemu dengan perasaan atau emosi penggunanya dan nilai-nilai kulturalnya. (Benny H,Hoed,Depok,2008) Penjelasan singkat mengenai perbedaan konotasi dan denotasi dapat diterangkan singkat di dalam sebuah film. Denotasi adalah mekanisme teknis dari sebuah kamera dalam menangkap objek. Sedangkan konotasi adalah aspek manusiawinya, yaitu bagaimana objek itu dalam film, bagaimana komposisinya, mutu film, dan lain-lain. Jadi denotasi adalah Apa yang difilmkan?, sedangkan konotasi adalah Apa maksud di balik tampilan film itu? Konotasi adalah makna baru yang diberikan yang diberikan oleh pemakai tanda sesuai dengan keinginan, latar belakang pengetahuannya atau konvensi baru yang ada dalam masyarakat. Konotasi merupakan segi “ideologi” tanda. (Benny H,Hoed,Depok,2008) Namun, entah apa pun cara yang dipakai konotasi untuk “mendandani” message yang berdenotasi, konotasi tidak pernah menghabiskan message yang berdenotasi itu: message yang berdenotasi itu tetaplah selalu “berdenotasi” (sebab tanpanya diskursus menjadi tidak mungkin ada) dan konotator-konotator akhirnya selalu merupakan signesigne yang diskontinu.(Roland Barthes,Yogyakarta,2007) Seperti contohnya pada kasus suatu film, signifiant message kedua sesungguhnya dibuat oleh message pertama seutuhnya, itulah sebabnya kenapa message kedua menjadi konotasi bagi message yang 20 pertama. (yang tadi kita ketahui sebagai denotasi simpel). (Benny H,Hoed,Depok,2008) Ketika kita menonton karya film, sebenarnya kita menerima suatu pesan yang dobel-ganda, yaitu message yang sekaligus berdenotasi dan berkonotasi. Kita tidak boleh percaya bahwa message kedua (yaitu message konotasi) “tersembunyi” di bawah message pertama (message denotasi). Message kedua tidaklah tersembunyi diam-diam. Dalam film yang harus dijelaskan adalah peran yang dimainkan oleh message denotasi.(Roland Barthes,Yogyakarta,2007) Mitos Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai ‘mitos, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. (Alex Sobur,Bandung,2001) Konotasi yang mantap akan menjadi sebuah mitos yang menurut Barthes, adalah sebuah tipe pembicaraan atau wicara (a type of speech). Tetapi yang harus ditegaskan bahwa mitos adalah suatu pesan, mitos tidak mungkin merupakan suatu objek, konsep, atau gagasan; mitos merupakan mode pertandaan (a mode of signification), suatu bentuk (a form). (Roland Barthes,Yogyakarta,2007) Barthes menjelaskan mitos sebagai suatu sistem yang janggal, karena ia dibentuk dari rantai semiologis yang telah eksis sebelumnya; 21 mitos merupakan sistem semiologis tatanan kedua (second-order semiological system). Gambar 1.3 second-order semiological system (Roland Barthes,Yogyakarta,2007) Dari gambar di atas kita bisa melihat bahwa sebuah tanda (denotatif) terdiri dari penanda dan petanda. Namun pada saat bersamaan tanda denotatif itu menjadi penanda konotatif. Jadi tanda yang disebutkan oleh de Saussure merupakan unsur material. Contohnya hanya jika kita mengenal tanda ular, baru konotasi seperti kelicikan, bahaya, ancaman menjadi muncul. Mitos dalam hal ini merupakan isi pesan pada proses pemaknaan kedua (konotasi). Sehingga secara detail dapat dikatakan bahwa mitos adalah isi (content) pada sistem pemaknaan kedua, sedangkan konotasi adalah bentuk dari sistem pemaknaan kedua itu sendiri. Perspektif Barthes mengenai mengenai mitos ini menjadi salah satu ciri khas semiologinya yang membuka ranah baru mengenai semiologi, yaitu penggalian lebih jauh dari proses pemaknaan (signification) untuk mencapai mitos yang bekerja dalam realitas keseharian masyarakat. Di setiap esainya, Barthes, seperti dipaparkan Cobley & Jansz membahas fenomena keseharian yang luput dari perhatian. Dia 22 menghabiskan waktu untuk menguraikan dan menunjukan bahwa konotasi yang terkandung dalam mitologi-mitologi tersebut biasanya merupakan hasil konstruksi yang cermat.(Alex Sobur,Bandung,2001) Fenomena keseharian bisa menjadi mitos, karena menurut Barthes, mitos adalah semacam wicara, segalanya dapat menjadi mitos asal hal itu disampaikan lewat wacana (discourse). Dan semua hal bisa menjadi mitos. Karena tidak ada hukum, baik yang bersifat alam maupun bukan, yang melarang pembicaraan tentang pelbagai hal. (Roland Barthes,Yogyakarta,2007) Semua hal yang menjadi mitos itu menyelimuti kita, bekerja sedemikian halus, justru karena mereka terkesan benar-benar alami. Dibutuhkan sebuah analisis mendalam, seperti yang sanggup dilakukan semiotika.(Cobley dan Jansz,Cambridge,1997) Cara pembuktian bahwa Mitos adalah hasil dari Konotasi, seperti yang telah diuraikan di dua gambar di atas disebut dengan cara “demontage semiologique” ‘pembongkaran semiologis’ terhadap sejumlah gejala Perngetahuan massa (tonton: makna yang sudah membudaya). 2.1.4 Konstruksi Realitas dalam Film Film adalah bentuk dari proses komunikasi. Sebuah proses komunikasi yang proses penyampaian pikirannya menggunakan suatu pesan atau simbol. Galbraith seperti dikutip oleh Sobur dalam bukunya Semiotika Komunikasi 23 mengatakan, “Berbagai relasi sosial yang dibangun melalui komunikasi seperti lewat film berlangsung pada level-level tanda-tanda (signification) di dalam lingkup komunikasi yang meluas”.(Alex Sobur,Bandung,2001) Dalam proses penyampaian pesan melalui tanda-tanda; mencangkup simbol dalam masyarakat. Perfilman memperhatikan keadaan sosial masyarakat yang dijadikan target khalayaknya. Mereka mencoba menghubungkan realitas yang ada dengan simbol-simbol yang ditampilkan pada materi kampanye perfilmannya. Jadi film adalah representasi realitas masyarakat. Film adalah perwujudan kebutuhan, keinginan dan pemikiran masyarakat dimana film itu dieksekusi. Pembuat film mencoba menghubungkan dan menggunakan bahasa simbol untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan masyarakat sesuai norma yang berlaku. Film merangkum aspek-aspek realitas sosial. Tetapi ia tidak merepresentasikan aspek-aspek tersebut secara tidak jujur. Ia menjadi cermin yang mendistorsi bentuk-bentuk obyek yang direfleksikannya tetapi juga menampilkan citra-citra dalam visinya. Film tidak berbohong tetapi juga tidak menyatakan yang sebenarnya.(Ratna Noviani) Jadi di dalam film terdapat dunia sendiri yang terpisah dengan dunia material. Sebuah dunia yang menjebak pemikiran kita akan pemaknaan suatu pesan atau jasa yang difilmkan. Menjadi fantasi yang terkadang lebih nyata dari kenyataan itu sendiri. Kenyataan dalam dunia adalah kenyataan yang semu. Kenyataan yang dikonstruksikan dan diseleksi sesuai dengan tujuan film itu, yaitu orientasi pendidikan. 24 Istilah konstruksi sosial atas realitas (social construction of reality) Diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman Mereka mengatakan, institusi masyarakat tercipta dan dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi manusia. Meskipun masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secara obyektif, namun pada kenyataannya semua dibangun dalam definisi subyektif melalui proses internalisasi. Obyektifikasi baru bisa terjadi melalui penegasan berulang-ulang yang diberikan oleh orang lain yang memiliki definisi subyektif yang sama”.(Indiwan Seto Wahju Wibowo,Jakarta,2006) Berger dan Luckman memulai penjelasan realitas sosial dengan memisahkan pemahaman atas “kenyataan” dan “pengetahuan”. Mereka mengartikan realitas sebagai kualitas yang terdapat didalam realita-realita yang diakui memiliki keberadaan (being) tidak tergantung pada kehendak kita sendiri. Sementara pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas itu nyata (real) dan memiliki karakteristik yang secara spesifik.(Alex Sobur,Bandung,2001) Eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi adalah suatu proses dimana realitas sosial dihidupkan, seperti dijelaskan oleh Berger dan Luckman dalam buku yang sama, Realitas sosial adalah pengetahuan yang bersifat keseharian yang hidup dan berkembang di masyarakat seperti konsep, kesadaran umum, dan wacana publik.(Basrowi Sudikin,Surabaya,2002) Penggunaan simbol dalam interaksi sosial, dibangun dengan menggunakan konsep-konsep semiotika untuk menempatkan film dalam bahasa ikon dan simbol. Bahasa simbol ini membantu memperjelas konstruksi sosial 25 baik pada tahap eksternalisasi, obyektivasi maupun pada tahap internalisasi, dimana dengan tiga tahap inilah realitas sosial terbentuk. Eksternalisasi merupakan tahapan dimana individu melakukan penyesuaian diri dengan dunia sosiokultural sebagai pesan manusia; obyektivikasi merupakan interaksi sosial yang terjadi dalam dunia intersubyektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi, pesan sosial berada pada proses institusionalisasi. Individu memunculkan dirinya dalam pesan-pesan kegiatan manusia baik bagi produsennya maupun bagi orang lain sebagai unsur dunia bersama. Hal terpenting dari tahap ini adalah terjadinya pembuatan tanda-tanda sebagai isyarat bagi pemaknaan subyektif; sedangkan internalisasi merupakan proses yang mana individu mengidentifikasikan dirinya dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu menjadi anggotanya. (Indiwan Seto Wahju Wibowo,Jakarta,2006) Dalam memahami proses konstruksi realitas dalam sebuah film, kita tidak boleh meninggalkan aspek representasi. Representasi digunakan untuk menghubungkan antara sebuah karya dengan realitas. Menurut Ratna Noviani, “representasi menjadi sebuah tanda (a sign) untuk sesuatu atau seseorang, sebuah tanda yang tidak sama dengan realitas yang direprentasikan tapi dihubungkan dengan dan mendasarkan diri pada realitas tersebut.”. Menurut Stuart Hall, terdapat ada dua proses representasi. Yaitu pertama adalah Representasi Mental, yaitu konsep tentang sesuatu yang ada di kepala kita masing-masing, representasi mental masih merupakan sesuatu yang abstrak. 26 Kedua adalah bahasa. Yang berperan penting dalam proses konstruksi makna.(Nuraini Juliastuti,2009) Jadi kita harus menampilkan sesuatu yang abstrak itu ke dalam sebuah bahasa. Sebuah simbol-simbol tertentu yang dimuati konsep representasi mental yang abstrak tersebut. Proses representasi dalam sebuah karya film telah mengalami proses seleksi. Pemilahan ini didasari oleh kebutuhan-kebutuhan pekerja film dalam memberi makna pesan dan jasa yang difilmkan agar tercapai tujuan ekonomisnya. Oleh karena itu, representasi realitas dalam film cenderung menyesatkan. Ada pengalihan tujuan ke arah komersial. Terkadang ia tidak menampilkan realitas yang dirujuknya. Namun justru memberikan pemahaman baru. Film mempunyai kecenderungan untuk menyampingkan realitas tertentu dan menampilkan realitas yang lain, yang sesuai dengan maksud dan tujuan tersebut. Film bekerja dengan cara seperti ini. Makna cenderung terdistorsi dalam sebuah film. Alih-alih ingin memberikan suatu rujukan, film justru menampilkan Mitos-mitos baru yang melahirkan pemahaman semu pada pengetahuan masyarakat tertentu. Karena itulah terkadang film dirasa menyesatkan. Ideologi-ideologi yang diceritakan Mitos di dalam sebuah film bekerja dengan begitu halusnya. Sehingga kita terkadang menerimanya secara mentah-mentah. Tanpa proses seleksi dan lupa untuk bersikap kritis. Padahal realitas yang ada di dalam sebuah film tidak serta-merta merupakan realitas asli. 27 Dan seringkali kita begitu menyukai realitas yang semu ini. Kita menerimanya sebagai sesuatu yang masuk akal dan memberi solusi atas kebutuhan dan masalah yang kita hadapi di dunia ini. Kita lebih menyukai tiruan daripada sesuatu yang asli. Disini kita pahami kepura-puraan adalah kenyataan itu sendiri. Seperti kata Roland Barthes, mereka tidak puas dengan menjumpai fakta-fakta; mereka mendefinisikan dan mengeksplorasi fakta-fakta itu sebagai tanda bagi sesuatu yang lain.(Roland Barthes,Yogyakarta,2007) 2.1.5 Teori Production House Penulis sedikit menemukan kesulitan dalam mencari pengertian teori Production House dalam bahasa Indonesia, akhirnya dalam literatur asing, penulis menemukan pengertian teori Production House, berikut pengertian dari Production House : A production house is generally associated with in-house production. It can organize, make or telecast different disciplines of programs encompassing films, ad films, news, multimedia, sports or television shows. (ashisbala http://www.bestindiansites.com/production-house/) Rumah Produksi menerupakan asosiasi usaha khusus sebuah produksi rumahan suatu karya. Yang dapat mengorganisasikan, membuat program acara televisi, berdasarkan disiplin konsentrasi karya dari Rumah Produksi itu sendiri, misalnya dalam pembuatan Film, Iklan Film, Berita, Multimedia, Olahraga, atau jenis program acara Televisi lainnya. 28 2.1.6 Teori Komunikasi Non Verbal Komunikasi non verbal yaitu komunikasi yang diungkapkan melalui pakaian dan setiap kategori benda lainnya (the object language), komunikasi dengan gerak (gesture) sebagai sinyal (sign language), dan komunikasi dengan tindakan atau gerakan tubuh (action language) Bentuk-bentuk komunikasi non verbal terdiri dari tujuh macam yaitu: a. Komunikasi visual Komunikasi visual merupakan salah satu bentuk komunikasi yang digunakan untuk menyampaikan pesan berupa gambar-gambar, grafikgrafik, lambang-lambang, atau simbol-simbol. Dengan menggunakan gambar-gambar yang relevan, dan penggunaan warna yang tepat, serta bentuk yang unik akan membantu mendapat perhatian pendengar. Dibanding dengan hanya mengucapkan kata-kata saja, penggunaan komunikasi visual ini akan lebih cepat dalam pemrosesan informasi kepada para pendengar. b. Komunikasi sentuhan Ilmu yang mempelajari tentang sentuhan dalam komunikasi non-verbal sering disebut Haptik. Sebagai contoh: bersalaman, pukulan, mengelusngelus, sentuhan di punggung dan lain sebagainya merupakan salah satu bentuk komunikasi yang menyampaikan suatu maksud/tujuan tertentu dari orang yang menyentuhnya. c. Komunikasi gerakan tubuh Kinesik atau gerakan tubuh merupakan bentuk komunikasi non-verbal, seperti, melakukan kontak mata, ekspresi wajah, isyarat dan sikap tubuh. 29 Gerakan tubuh digunakan untuk menggantikan suatu kata yang diucapkan. Dengan gerakan tubuh, seseorang dapat mengetahui informasi yang disampaikan tanpa harus mengucapkan suatu kata. Seperti menganggukan kepala berarti setuju. d. Komunikasi lingkungan Lingkungan dapat memiliki pesan tertentu bagi orang yang melihat atau merasakannya. Contoh: jarak, ruang, temperatur dan warna. Ketika seseorang menyebutkan bahwa ”jaraknya sangat jauh”, ”ruangan ini kotor”, ”lingkungannya panas” dan lain-lain, berarti seseorang tersebut menyatakan demikian karena atas dasar penglihatan dan perasaan kepada lingkungan tersebut. e. Komunikasi penciuman Komunikasi penciuman merupakan salah satu bentuk komunikasi dimana penyampaian suatu pesan/informasi melalui aroma yang dapat dihirup oleh indera penciuman. Misalnya aroma parfum bvlgari, seseorang tidak akan memahami bahwa parfum tersebut termasuk parfum bvlgari apabila ia hanya menciumnya sekali. f. Komunikasi penampilan Seseorang yang memakai pakaian yang rapi atau dapat dikatakan penampilan yang menarik, sehingga mencerminkan kepribadiannya. Hal ini merupakan bentuk komunikasi yang menyampaikan pesan kepada orang yang melihatnya. Tetapi orang akan menerima pesan berupa tanggapan yang negatif apabila penampilannya buruk (pakaian tidak rapih, kotor dan lain-lain). 30 g. Komunikasi cita rasa Komunikasi cita rasa merupakan salah satu bentuk komunikasi, dimana penyampaian suatu pesan/informasi melalui cita rasa dari suatu makanan atau minuman. Seseorang tidak akan mengatakan bahwa suatu makanan/minuman memiliki rasa enak, manis, lezat dan lain-lain, apabila makanan tersebut belum dimakan/diminumnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa cita rasa dari makanan/minuman tadi menyampaiakan suatu maksud atau makna. (Sebastian Schmieg,http://parapsyco.wordpress.com/2011/01/13/gesturee-mutakkan-bohong/) 2.1.7 Teori Gesture Gesture tubuh adalah salah satu cara bentuk komunikasi. Namun dengan adat dan tempat yang berbeda, membuat gesture/bahasa tubuh bisa bermakna berbeda antar daerah. (http://www.dunia-unik.info/search/gesturee) Gesture yang baik seyogyanya terdiri dari unsur: 1. Alami, spontan, wajar, tidak dibuat-buat. 2. Penuh, tidak sepotong-sepotong, tidak ragu. 3. Sesuai dengan kata-kata. 4. Gunakan untuk penekanan pada poin penting, 5. Jangan berlebihan. Less is more! 6. The most important gesturee: to SMILE! 7. Gerakan tubuh meliputi: ekspresi wajah, gerakan tangan, lengan, bahu, mulut 31 atau bibir, gerakan hidung, kepala, badan, kaki. 8. Setiap gerakan mengandung tiga bagian: Pendekatan (The Approach) - Tubuh siap untuk bergerak; Gerakan (The Stroke) – gerakan tubuh itu sendiri; dan Kembali (The Return) – kembali ke posisi semula atau keadaan normal. 9. Variatif, jangan monoton. Misalnya terus-menerus mengepalkan jari tangan di atas. 10. Jangan melalukan gerakan tubuh yang tidak bermakna atau tidak mendukung pembicaraan seperti: memegang kerah baju, mempermainkan mic, meremas-remas jari, dan menggaruk-garuk kepala. 11. Makin besar jumlah hadirin, kian besar dan lambat gerakan tubuh yang kita lakukan. Jika kita berbicara di depan hadirin dalam jumlah kecil, atau di video conferencing, atau di televisi, lakukan gerakan tubuh alakadarnya (smaller gesturees). (Bintang revolusi,http://nikebintang-revolusi.blogspot.com/2011/02/gesturee.html) Gesture sebagai public speaker harus terbuka yaitu kaki terbuka sejajar dengan bahu dan ketiak juga harus terbuka. Kondisi ketika menulis harus miring tidak boleh membelakangi audience dan harus bersuara, yang paling penting adalah senyum. Untuk memperoleh senyuman yang bagus, kita di anjurkan untuk melakukan senam wajah. Ketika kita terburu-buru gesturenya melihat jam tangan, jadi di usahakan memakai jam tangan. Kalau tidak coba tanya sekarang jam berapa. Lakukan selama tiga kali, jika tidak berhasil maka bicaralah apa adanya. 32 2.2.8 Teori Produksi Film Film adalah gambar-hidup, juga sering disebut movie atau video (semula pelesetan untuk 'berpindah gambar'). Film, secara kolektif, sering disebut 'sinema'. Gambar-hidup adalah bentuk seni, bentuk populer dari hiburan, dan juga bisnis, yang diperankan oleh tokoh-tokoh sesuai karakter direkam dari benda/lensa (kamera)atau animasi. 1. Menjelaskan tahapan produksi sebuah film, deskripsi kerja dalam tim produksi, dan manajemen produksi. Materi mencakup: Menyusun tim produksi; Menyeleksi kru (crew) dan Hal yang harus disiapkan dalam produksi film. 2. Menjabarkan dasar-dasar penulisan cerita untuk pembuatan film, penyusunan riset untuk film, dan penerapan pembuatan sinopsis, director treatment, shotlist, script breakdown dan shooting schedule. Materi mencakup: Penulisan, Penyutradaraan pada tahap Pra Produksi, Produksi, dan Paska Produksi. 3. Menjelaskan tentang pengoperasian kamera dengan baik serta cara pemeliharaannya, proses perekaman yang dapat menghasilkan gambar dan suara dengan baik, dan mengasah inisiatif untuk menyesuaikan diri dengan keterbatasan alat. Materi mencakup: Dasar-dasar sinematografi, Pengenalan teknologi kamera, Teknik pengambilan gambar, Tata cahaya, dan Penataan kamera saat produksi. 33 4. Menguraikan dasar-dasar audio pada proses produksi film, baik yang dilakukan ketika perekaman suara saat pengambilan gambar, maupun kebutuhan pengisian suara saat pasca produksi. Materi mencakup: Dialog, Musik, dan Efek suara. 5. Menjelaskan tugas-tugas yang harus dilakukan oleh departemen artistik dan mengaplikasikan sinopsis dan director treatment menjadi breakdown artistik. Materi mencakup: Tata busana, Tata rias, Bagian set, Properti, dan Efek spesial. Menjelaskan proses editing, teori dasar editing, pengoperasian computer untuk editing. 6. Memberi pemahaman tentang pola pikir editing pada setiap tahap produksi film dan penerapan konsep editing. Materi mencakup: Sekilas tentang editing, Tahapan editing, dan Istilah teknis editing. Menjelaskan dasar pengerjaan, pengelolaan dan pemanfaatan dokumentasi berdasarkan obyek dan kebutuhannya. (http://qyutciz.blogspot.com/2009/01/teori-dasar-pembuatan-filmvideo.html) 2.2 Teori-teori Khusus yang Berhubungan dengan Topik Yang Dibahas Adapaun teori khusus dalam penelitin ini adalah sebagai berikut. 2.2.1 Penyampaian Makna dan Tanda dalam Komunikasi Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris communication berasal dari kata Latin communicatio, dan bersumber dari kata communis yang berarti sama. Sama di sini maksudnya sama makna. Jadi komunikasi terjadi apabila terdapat 34 kesamaan makna mengenai suatu pesan yang disampaikan oleh komunikator dan diterima oleh komunikan. (Onong Uchjana Effendy,Bandung,1997) Tanpa adanya kesamaan makna niscaya komunikasi tidak akan berjalan dengan baik. Yang berarti proses melengkapi antara sesama manusia tadi tidak akan terwujud. Untuk menyimak komunikasi yang dilihat dari sudut pandang penyampaian makna dan tanda-tanda, kita tidak boleh melupakan teori komunikasi yang disampaikan oleh John Fiske dalam bukunya Introduction to Communication Studies. John Fiske menjelaskan bahwa komunikasi bisa dilihat dari dua mazhab yang berbeda. Mazhab yang pertama melihat komunikasi sebagai transmisi pesan. Mazhab ini cenderung berbicara tentang kegagalan komunikasi, dan ia melihat ke tahap-tahap dalam proses tersebut guna mengetahui di mana kegagalan tersebut terjadi.(John Fiske,London,1990) Mazhab tersebut, menurut Fiske lebih menitik-beratkan pada proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan melalui media yang ada dan menimbulkan efek tertentu. Dari mazhab ini bisa dilihat adanya kecenderungan proses mempengaruhi perilaku seseorang yang lain. Model komunikasi yang menguatkan mazhab ini adalah model komunikasi Laswell, yaitu “Who says what in what channel to whom with what effect.”(Deddy Mulyana,Bandung,2001) Mazhab yang kedua melihat komunikasi sebagai pesansi dan pertukaran makna. Ia berkenaan dengan bagaimana pesan atau karya berinteraksi dengan 35 orang-orang dalam rangka menghasilkan makna; yakni, ia berkenaan dengan peran karya dalam pengetahuan kita. Pesan merupakan konstruksi tanda yang melalui interaksinya dengan penerima menghasilkan makna. Yang ditekankan adalah bagaimana karya itu ditonton oleh komunikan. Dalam proses penontonan karya yang nantinya akan menghasilkan makna itu, penonton tetap membawa pemahaman subyektifnya melalui pengalaman budayanya. Komunikator di mazhab ini ditampilkan sebagai penonton aktif, ada proses kreatif yang menghasilkan makna di sini, penonton benar-benar menonton karya bukan hanya sekedar menonton saja. Dari sudut pandang mazhab yang kedua, bisa ditarik kesimpulan bahwa sudut pandang ini lebih menekankan pada kekuatan makna dan simbol yang terdapat dalam suatu pesan sebagai kekuatan dari proses komunikasi. 2.2.2 Makna dan Simbol dalam Film Pemaknaan merupakan upaya lebih jauh dari penafsiran atas representasi obyek melalui simbol, sehingga dalam pemberian makna dituntut adanya kemampuan integratif manusia yang meliputi inderawi, daya pikir, dan akal budinya atas materi-materi yang dilihat sebagai tanda-tanda yang tersajikan.(Alex Sobur,Bandung,2006) Jadi manusia berperan aktif dalam menghasilkan makna dari tanda dan simbol-simbol yang ada. Ada beberapa pandangan yang menjelaskan ihwal teori atau konsep makna. Model proses makna Wendell Johnson menawarkan sejumlah implikasi bagi komunikasi antarmanusia: 36 1. Makna ada dalam diri manusia. Makna tidak terletak pada kata-kata melainkan pada manusia. Kita menggunakan kata-kata untuk mendekati makna yang ingin kita komunikasikan. 2. Makna berubah Kata-kata relatif statis. Tetapi makna dari kata-kata ini terus berubah, dan ini khususnya terjadi pada dimensi emosional dari makna. 3. Makna membutuhkan acuan Walaupun tidak semua komunikasi mengacu pada dunia nyata, komunikasi hanya masuk akal bilamana ia mempunyai kaitan dengan dunia atau lingkungan eksternal. 4. Penyingkatan yang berlebihan akan mengubah makna. Mengatakan kepada seorang anak untuk “manis” dapat mempunyai banyak makna. Penyingkatan perlu dikaitkan dengan obyek, kejadian dan perilaku dalam dunia nyata. 5. Makna tidak terbatas jumlahnya Pada suatu saat tertentu, jumlah kata dalam suatu bahasa terbatas, tetapi maknanya tidak terbatas. 6. Makna dikomunikasikan hanya sebagian Makna yang kita peroleh dari suatu kejadian (event) bersifat multi-aspek dan sangat kompleks, tetapi hanya sebagian saja dari makna-makna ini yang benar-benar dapat dijelaskan.(Alex Sobur,Bandung,2006) . 37 Makna menurut Umberto Eco yang dikutip oleh Budiman dalam buku Kosa Semiotika, makna dari sebuah wahana tanda (sign-vehicle) adalah: ”Satuan kultural yang diperagakan oleh wahana-wahana tanda yang lainnya serta dengan begitu, secara semantik mempertunjukkan pula ketidak tergantungannya pada wahana tanda yang sesungguhnya.”(Kris Budiman,Yogyakarta,1999) Jadi struktur bahasa yang berhubungan dengan makna ungkapan dan struktur makna suatu wicara ini mempunyai ketergantungan dengan tanda-tanda yang lain. Manusia sebagai makhluk yang berbahasa, berkomunikasi melalui simbol-simbol, baik itu simbol verbal maupun simbol non verbal. Mengenai bahasa simbolik, menurut A.H Baker, yang dikutip oleh Alex Sobur dalam buku Analisis Karya Media menjelaskan beberapa ungkapan sebagai berikut: Pertama, manusia hanya sadar dalam bahasa, anganangan yang memakai fantasi dan konsep-konsep. Komunikasi simbolis mengandalkan kesadaran mendalam dan karena itu menuntut penyertaan bahasa. Kedua, bahasa simbolis menciptakan situasi yang simbolis juga. Artinya, penuh dengan tanda tanya atau hal-hal yang mesti diungkapkan maksud dan arti yang terkandung didalamnya. Ketiga, Bahasa simbolis terletak ditengah antara bahasa mistis dan alegoris seperti halnya pula berlaku dalam tindakan”(Alex Sobur,Bandung,2006) Jadi bisa dipahami bahwa komunikasi adalah proses pertukaran makna, yang diwujudkan melalui bahasa, pesan, gambar, ekspesi wajah, gerak tubuh, dan lain sebagainya. Yang sifatnya konvensional, dipahami berdasarkan 38 kesepakatan bersama di dalam budaya masyarakat dimana tanda-tanda itu berada. Salah satu wujud penyampaian makna dan tanda dalam komunikasi bisa dilihat pada wujud film. Film merupakan ladang tanda-tanda. Film merupakan sebuah karya yang berada di suatu media tertentu. Menurut Guy Ccok yang dikutip oleh Sobur dalam buku Analisis Karya Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik dan Analisis Framing, mengartikan karya sebagai: “Semua bentuk bahasa dan semua jenis ekspresi komunikasi seperti kata-kata yang terfilm, ucapan, musik, gambar, efek suara, citra dan sebagainya”. (Alex Sobur,Bandung,2006) Pemberian makna atas simbol dan pesan dalam sebuah film mempunyai maksud untuk dapat memengaruhi target pasarnya. Dengan melihat latar belakang budaya dan psikografis dari calon pembeli, perfilman dapat menyusun simbol-simbol yang cocok dilekatakan pada sebuah pesan. Pesan atau simbol adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjukan sesuatu yang lain, dan sifatnya konvensional. Menurut James P.Spardley yang dikutip Alex Sobur dalam buku Semiotika Komunikasi, mendefinisikan simbol sebagai: ”Obyek atau peristiwa apapun yang menunjuk pada sesuatu.” (Alex Sobur,Bandung,2006) Pemaknaan tanda-tanda selalu berbeda-beda, tergantung di latar budaya seperti apa, tanda itu berada. Oleh karena itu, tanda, simbol, makna adalah hal yang penting dalam sebuah film. Kata-kata tidak bermakna apa-apa, karena kita sebagai manusialah yang berperan aktif memaknai segala hal. Sangat penting memahami pemakaian 39 tanda dan simbol agar terjadi kesesuaian makna dalam menyampaikan pesan. Khususnya pesan-pesan persuasif, karena penulis akan meneliti sebuah film film. Dalam penelitian ini model sistematis dalam menganalisis tanda dan makna yang digunakan mengacu pada pendapat Roland Barthes yang fokus perhatiannya tertuju pada gagasan tentang signifikasi dua tahap (two order of signification). Signifikasi ini tidak terbatas pada bahasa, namun hal-hal lain yang bukan bahasa. Barthes menganggap kehidupan sosial sendiri merupakan suatu bentuk siginifikasi. Dengan kata lain, kehidupan sosial apapun bentuknya, merupakan suatu sistem tanda tersendiri pula. Dalam signifikasi ini, Barthes banyak membahas perkembangan makna ke arah Konotasi. Barthes menggunakan konsep connotation-nya untuk menyingkap makna-makna tersembunyi. Konsep ini menetapkan dua cara pemunculan makna yang bersifat promotif, yakni Denotatif dan Konotatif . Pada tingkat Denotatif , tanda-tanda itu mencuat terutama sebagai makna primer yang “alamiah”. Namun pada tingkat Konotatif , di tahap sekunder, munculah makna yang bersifat ideologis.(Kurniawan,magelang,2001) Konotasi atau makna Konotatif disebut juga makna konotasional, makna emotif, atau makna evaluatif. Makna Konotatif adalah jenis makna di mana stimulus dan respons mengandung nilai-nilai emosional. Makna Konotatif sebuah kata dipengaruhi dan ditentukan oleh dua lingkungan karyatual dan lingkungan budaya. Pada dasarnya, Konotasi timbul disebabkan masalah hubungan sosial atau hubungan interpersonal yang mempertalikan kita dengan orang lain. (Kurniawan,Magelang,2001)