12 BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Teori-teori Dasar

advertisement
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Teori-teori Dasar / Umum
Menurut Kerlinger, teori adalah “himpunan konstruk atau konsep, definisi
atau proposisi yang telah mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala
dengan menjabarkan relasi antara variabel untuk menjelaskan dan meramaikan
gejala tersebut.”(Jalaluddin Rachmat, Bandung, 1988)
Kerangka teori dimaksudkan “untuk memberikan gambaran atau batasanbatasan tentang teori-teori yang akan dipakai sebagai landasan penelitian yang akan
dilakukan adalah teori-teori mengenai variabel-variabel permasalahan yang akan
diteliti.” (Mardalis, Jakarta, 1989)
Landasan teori adalah teori-teori yang relevan yang dapat digunakan “untuk
menjelaskan tentang variabel yang akan diteliti, serta sebagai dasar untuk memberi
jawaban sementara terhadap rumusan masalah yang diajukan (hipotesis)”. (Ardi
Karsadi, Jakarta, 2002)
Teori-teori yang digunakan pada penelitian ini antara lain adalah sebagai
berikut:
2.1.1 Kajian Semiotika
Semiotika adalah ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia.
Artinya, semua yang hadir dalam kehidupan kita dilihat sebagai tanda, yakni
sesuatu yang harus kita beri makna.(Benny H,Hoed,Depok,2008)
Yang menjadi perhatian penting penelitian ini adalah tanda. Dan bagaimana
tanda itu menghasilkan makna. Sebagai homo culturalis, yakni sebagai makhluk
12
13
yang selalu ingin memahami makna dari apa yang diketemukannya (meaningseeking creature) .(Benny H,Hoed,Depok,2008),
metode semiotika menjadi sebuah cabang keilmuan yang memberikan pengaruh
penting. Tidak saja sebagai metode kajian (decoding), akan tetapi juga sebagai
metode penciptaan (encoding). Semiotika telah berkembang menjadi sebuah
model atau paradigma bagi berbagai bidang keilmuan yang sangat luas, yang
menciptakan cabang-cabang semiotika khusus, di antaranya adalah semiotika
binatang, semiotika kedokteran, semiotika arsitektur, dan lain-lain. (Yasraf Amiri
Piliang,Yogyakarta,2003)
Secara etimologis, istilah semiotik berasal dari kata Yunani ‘semion’
yang berarti “tanda”. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang atas
dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat mewakili sesuatu yang
lain. Secara terminologis, semiotika dapat didefinisikan sebagai ilmu yang
mempelajari
sederetan
luas
objek-objek,
peristiwa-peristiwa,
seluruh
Perngetahuan sebagai tanda.(Alex Sobur,Bandung,2001)
Sekumpulan tanda-tanda ini biasa disebut dengan istilah karya.
Mempelajari karya berarti mempelajari budaya. Karena karya dibangun dari
seribu sumber budaya. Seperti yang dikatakan Roland Barthes di dalam buku The
Death of Author . “Karya adalah suatu tenunan kutipan, berasal dari seribu
sumber budaya.” (Alex Sobur,Bandung,2001)
Di dalam semiotika, peran penerima pesan atau penonton dipandang
memiliki peranan yang lebih aktif. Penonton menghasilkan makna dari sebuah
karya tanpa meninggalkan pengalaman, pemikiran, emosi, pengaruh budaya dari
si penonton.
14
Menurut Danesi dan Perron, penelitian semiotik mencakupi tiga ranah
yang berkaitan dengan apa yang diserap oleh manusia dari lingkungannya (the
world), yakni yang bersangkutan dengan “tubuh”-nya,“pikiran”-nya,dan
“pengetahuan”-nya. (Benny H,Hoed,Depok,2008)
Berangkat dari pernyataan ini, kita bisa tarik kesimpulan bahwa adanya
hubungan erat antara kemampuan manusia untuk memahami dan menghasilkan
makna, aktifitas manusia untuk menghubungkan tanda dengan pengalamannya
dan hubungan antara sistem tanda yang sifatnya konvensional.
2.2.2 Semiotika Film
Mengkaji film melalui metode semiotika, berarti mengkaji sistem tanda
di dalam film tersebut. Film menggunakan sistem tanda yang terdiri atas pesan,
baik yang verbal maupun yang berbentuk ikon. Pada dasarnya pesan yang
digunakan dalam film terdiri atas dua jenis, yaitu pesan verbal dan pesan
nonverbal. (Alex Sobur,Bandung,2001)
Yang membedakan film secara semiotis dari objek-objek desain lainnya,
yaitu bahwa film selalu berisikan unsur-unsur tanda berupa objek (object) yang
difilmkan; konkarya (context) berupa lingkungan, orang atau makhluk lainnya
yang memberikan makna pada objek; serta karya (berupa tulisan) yang
memperkuat makna (anchoring), meskipun yang terakhir ini tidak selalu hadir
dalam sebuah film.
15
Tabel 1.2
Tanda dalam Film (Yasraf Amiri Piliang,Yogyakarta,2003)
Entitas
Fungsi
Objek
Konkarya
Karya
Visual/Tulisan
Visual/Tulisan
Tulisan
Elemen tanda yang
Elemen tanda yang
Tanda linguistik
merepresentasikan
memberikan(atau
yang berfungsi
objek atau pesan
diberikan) konkarya
memperjelas dan
yang difilmkan
dan makna pada
menambatkan
objek yang difilmkan
makna
(anchoring)
Elemen
Signifier/Signified
Signifier/Signified
Signified
Tanda
Tanda semiotik
Tanda semiotik
Tanda linguistik
Dari tabel di atas, bisa ditarik kesimpulan bahwa film adalah wahana
permainan tanda. Permainan tanda dalam film didasarkan pada ketiga elemen di
atas, yang saling berkaitan dan menjadi satu kesatuan.
Di sebuah penelitian mengenai film, melalui analisis konkarya kita bisa
melihat berbagai persoalan yang timbul dari hadirnya film tersebut. Seperti
persoalan
gender,
ideologi,
fetisisme,
kekerasan
simbol,
lingkungan,
konsumerisme, serta berbagai persoalan sosial lainnya yang ada di balik sebuah
film.
Persoalan ini timbul ke permukaan karena adanya jurang pemisah antara
realitas sosial dengan proses representasinya dalam film. Jurang pemisah inilah
yang menghasilkan realita baru. Realitas dalam film bukanlah realitas murni yang
16
diangkat dari realitas sosial. Namun telah dipilah-pilah menurut tujuan pembuatan
film tersebut.
2.2.3 Semiologi Roland Barthes
Semiotika dan semiologi sesungguhnya mempunyai arti yang sama.
Namun pemakaian salah satu istilah ini biasanya didasarkan pada pemikiran
pemakainya: mereka yang bergabung dengan Peirce menggunakan kata
semiotika, dan mereka yang bergabung dengan Saussure menggunakaan kata
semiologi. (Alex Sobur,Bandung,2001)
Karena Barthes adalah tokoh semiotika yang meneruskan dan
mengembangkan pemikiran de Saussure maka metode pemaknaan tanda-tanda
Barthes disebut semiologi barthes.
Namun istilah semiologi makin lama makin ditinggalkan. Ada
kecenderungan orang-orang lebih memilih kata semiotika daripada semiologi.
Sehingga kata semiotika lebih populer daripada semiologi.
Barthes
menekankan
bahwa
semiologi
hendaknya
mempelajari
bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal dalam kehidupan sosial
manusia. Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan
dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objekobjek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak
berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Alex
Sobur,Bandung,2001)
Tujuan riset semiologis adalah merekonstitusi bagaimana sistem-sistem
signifikasi yang bukan langue berfungsi, dengan mengikuti proyek aktivitas
17
strukturalis, yaitu membangun suatu simulakrum objek-objek yang diamati.
(Roland barthes,Yogyakarta,2007)
Barthes dengan demikian melihat signifikasi sebagai sebuah proses total
dengan suatu susunan yang sudah terstruktur. Signifikasi itu tidak terbatas pada
bahasa, tetapi terdapat juga pada hal-hal yang bukan bahasa. Barthes
menganggap kehidupan sosial sendiri merupakan suatu bentuk signifikasi.
Dengan kata lain, kehidupan sosial apapun bentuknya, merupakan suatu sistem
tanda tersendiri pula. (Roland barthes,Yogyakarta,2007)
Sebagai salah satu ahli semiologi, Barthes memang terkenal dengan
pendekatan semiologinya terhadap budaya-budaya massa dan populer. Dalam
esai-esainya yang terkumpul di buku Mythologies, Barthes membahas maknamakna dan mitos budaya massa, mulai dari dunia gulat, anggur, otak einstein,
sampai dengan tarian telanjang.
“YANG MEMESONA saya sepanjang hidup,” demikian Roland Barthes
dalam suatu wawancara, “adalah cara masyarakat menjadikan dunia mereka bisa
dipahami.” (Idy Subady Ibrahim,Yogyakarta,2007)
Semiologi Barthes mengacu pada de Saussure dengan menyelidiki
hubungan penanda dan petanda pada sebuah tanda. Barthes mengembangkan
pembedaan penanda dan petanda ke arah yang lebih dinamis.
Denotasi dan Konotasi
Barthes mengatakan bahwa dalam kehidupan sosial budaya
penanda adalah “ekspresi” (E) tanda, sedangkan petanda adalah “isi”
(dalam bahasa Perancis contenu (C). Jadi sesuai dengan teori de Saussure
18
tanda adalah relasi (R) antara E dan C. Ia mengemukakan konsep tersebut
dengan model E-R-C. (Benny H,Hoed,Depok,2008)
Dalam perkembangannya, Barthes berpendapat bahwa pemakai
tanda tidak hanya memaknainya sebagai makna denotasi, makna yang
umum. Namun pemakai tanda diyakini mengembangkan pemakaian
tanda ke dua arah, yang disebut Barthes sebagai signifikasi tahap kedua.
Pengembangan
kepada segi E, terjadi bila pemakai tanda
memberikan bentuk yang berbeda untuk makna yang sama. Ini
disebutnya
sebagai
proses
ke
arah
metabahasa.
Sedangkan
pengembangan ke arah C, adalah pengembangan makna yang disebut
konotasi. (Benny H,Hoed,Depok,2008)
Gambar 13
Model Pemaknaan Dua Tahap Barthes (Benny H,Hoed,Depok,2008)
19
Konotasi menggambarkan interaksi yang berlangsung tatkala
tanda bertemu dengan perasaan atau emosi penggunanya dan nilai-nilai
kulturalnya. (Benny H,Hoed,Depok,2008)
Penjelasan singkat mengenai perbedaan konotasi dan denotasi
dapat diterangkan
singkat di dalam sebuah film. Denotasi adalah
mekanisme teknis dari sebuah kamera dalam menangkap objek.
Sedangkan konotasi adalah aspek manusiawinya, yaitu bagaimana objek
itu dalam film, bagaimana komposisinya, mutu film, dan lain-lain. Jadi
denotasi adalah Apa yang difilmkan?, sedangkan konotasi adalah Apa
maksud di balik tampilan film itu?
Konotasi adalah makna baru yang diberikan yang diberikan oleh
pemakai tanda sesuai dengan keinginan, latar belakang pengetahuannya
atau konvensi baru yang ada dalam masyarakat. Konotasi merupakan segi
“ideologi” tanda. (Benny H,Hoed,Depok,2008)
Namun, entah apa pun cara yang dipakai konotasi untuk
“mendandani” message yang berdenotasi, konotasi tidak pernah
menghabiskan message yang berdenotasi itu: message yang berdenotasi
itu tetaplah selalu “berdenotasi” (sebab tanpanya diskursus menjadi tidak
mungkin ada) dan konotator-konotator akhirnya selalu merupakan signesigne yang diskontinu.(Roland Barthes,Yogyakarta,2007)
Seperti contohnya pada kasus suatu film, signifiant message
kedua sesungguhnya dibuat oleh message pertama seutuhnya, itulah
sebabnya kenapa message kedua menjadi konotasi bagi message yang
20
pertama. (yang tadi kita ketahui sebagai denotasi simpel). (Benny
H,Hoed,Depok,2008)
Ketika kita menonton karya film, sebenarnya kita menerima suatu
pesan yang dobel-ganda, yaitu message yang sekaligus berdenotasi dan
berkonotasi. Kita tidak boleh percaya bahwa message kedua (yaitu
message konotasi) “tersembunyi” di bawah message pertama (message
denotasi). Message kedua tidaklah tersembunyi diam-diam. Dalam film
yang harus dijelaskan adalah peran yang dimainkan oleh message
denotasi.(Roland Barthes,Yogyakarta,2007)
Mitos
Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi
ideologi, yang disebutnya sebagai ‘mitos, dan berfungsi untuk
mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan
yang berlaku dalam suatu periode tertentu. (Alex Sobur,Bandung,2001)
Konotasi yang mantap akan menjadi sebuah mitos yang menurut
Barthes, adalah sebuah tipe pembicaraan atau wicara (a type of speech).
Tetapi yang harus ditegaskan bahwa mitos adalah suatu pesan, mitos
tidak mungkin merupakan suatu objek, konsep, atau gagasan; mitos
merupakan mode pertandaan (a mode of signification), suatu bentuk (a
form). (Roland Barthes,Yogyakarta,2007)
Barthes menjelaskan mitos sebagai suatu sistem yang janggal,
karena ia dibentuk dari rantai semiologis yang telah eksis sebelumnya;
21
mitos merupakan sistem semiologis tatanan kedua (second-order
semiological system).
Gambar 1.3
second-order semiological system (Roland Barthes,Yogyakarta,2007)
Dari gambar di atas kita bisa melihat bahwa sebuah tanda
(denotatif) terdiri dari penanda dan petanda. Namun pada saat bersamaan
tanda denotatif itu menjadi penanda konotatif. Jadi tanda yang disebutkan
oleh de Saussure merupakan unsur material. Contohnya hanya jika kita
mengenal tanda ular, baru konotasi seperti kelicikan, bahaya, ancaman
menjadi muncul.
Mitos dalam hal ini merupakan isi pesan pada proses pemaknaan
kedua (konotasi). Sehingga secara detail dapat dikatakan bahwa mitos
adalah isi (content) pada sistem pemaknaan kedua, sedangkan konotasi
adalah bentuk dari sistem pemaknaan kedua itu sendiri. Perspektif
Barthes mengenai mengenai mitos ini menjadi salah satu ciri khas
semiologinya yang membuka ranah baru mengenai semiologi, yaitu
penggalian lebih jauh dari proses pemaknaan (signification) untuk
mencapai mitos yang bekerja dalam realitas keseharian masyarakat.
Di setiap esainya, Barthes, seperti dipaparkan Cobley & Jansz
membahas fenomena keseharian yang luput dari perhatian. Dia
22
menghabiskan waktu untuk menguraikan dan menunjukan bahwa
konotasi yang terkandung dalam mitologi-mitologi tersebut biasanya
merupakan hasil konstruksi yang cermat.(Alex Sobur,Bandung,2001)
Fenomena keseharian bisa menjadi mitos, karena menurut
Barthes, mitos adalah semacam wicara, segalanya dapat menjadi mitos
asal hal itu disampaikan lewat wacana (discourse). Dan semua hal bisa
menjadi mitos. Karena tidak ada hukum, baik yang bersifat alam maupun
bukan, yang melarang pembicaraan tentang pelbagai hal. (Roland
Barthes,Yogyakarta,2007)
Semua hal yang menjadi mitos itu menyelimuti kita, bekerja
sedemikian halus, justru karena mereka terkesan benar-benar alami.
Dibutuhkan sebuah analisis mendalam, seperti yang sanggup dilakukan
semiotika.(Cobley dan Jansz,Cambridge,1997)
Cara pembuktian bahwa Mitos adalah hasil dari Konotasi, seperti yang
telah diuraikan di dua gambar di atas disebut dengan cara “demontage
semiologique”
‘pembongkaran
semiologis’
terhadap
sejumlah
gejala
Perngetahuan massa (tonton: makna yang sudah membudaya).
2.1.4 Konstruksi Realitas dalam Film
Film adalah bentuk dari proses komunikasi. Sebuah proses komunikasi
yang proses penyampaian pikirannya menggunakan suatu pesan atau simbol.
Galbraith seperti dikutip oleh Sobur dalam bukunya Semiotika Komunikasi
23
mengatakan, “Berbagai relasi sosial yang dibangun melalui komunikasi seperti
lewat film berlangsung pada level-level tanda-tanda (signification) di dalam
lingkup komunikasi yang meluas”.(Alex Sobur,Bandung,2001)
Dalam proses penyampaian pesan melalui tanda-tanda; mencangkup
simbol dalam masyarakat. Perfilman memperhatikan keadaan sosial masyarakat
yang dijadikan target khalayaknya. Mereka mencoba menghubungkan realitas
yang ada dengan simbol-simbol yang ditampilkan pada materi kampanye
perfilmannya.
Jadi film adalah representasi realitas masyarakat. Film adalah perwujudan
kebutuhan, keinginan dan pemikiran masyarakat dimana film itu dieksekusi.
Pembuat film mencoba menghubungkan dan menggunakan bahasa simbol untuk
memuaskan kebutuhan dan keinginan masyarakat sesuai norma yang berlaku.
Film
merangkum
aspek-aspek
realitas
sosial.
Tetapi
ia
tidak
merepresentasikan aspek-aspek tersebut secara tidak jujur. Ia menjadi cermin
yang mendistorsi bentuk-bentuk obyek yang direfleksikannya tetapi juga
menampilkan citra-citra dalam visinya. Film tidak berbohong tetapi juga tidak
menyatakan yang sebenarnya.(Ratna Noviani)
Jadi di dalam film terdapat dunia sendiri yang terpisah dengan dunia
material. Sebuah dunia yang menjebak pemikiran kita akan pemaknaan suatu
pesan atau jasa yang difilmkan. Menjadi fantasi yang terkadang lebih nyata dari
kenyataan itu sendiri. Kenyataan dalam dunia adalah kenyataan yang semu.
Kenyataan yang dikonstruksikan dan diseleksi sesuai dengan tujuan film itu,
yaitu orientasi pendidikan.
24
Istilah konstruksi sosial atas realitas (social construction of reality)
Diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman Mereka mengatakan,
institusi masyarakat tercipta dan dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan
interaksi manusia. Meskipun masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secara
obyektif, namun pada kenyataannya semua dibangun dalam definisi subyektif
melalui proses internalisasi. Obyektifikasi baru bisa terjadi melalui penegasan
berulang-ulang yang diberikan oleh orang lain yang memiliki definisi subyektif
yang sama”.(Indiwan Seto Wahju Wibowo,Jakarta,2006)
Berger dan Luckman memulai penjelasan realitas sosial dengan
memisahkan pemahaman atas “kenyataan” dan “pengetahuan”. Mereka
mengartikan realitas sebagai kualitas yang terdapat didalam realita-realita yang
diakui memiliki keberadaan (being) tidak tergantung pada kehendak kita sendiri.
Sementara pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas itu nyata
(real)
dan
memiliki
karakteristik
yang
secara
spesifik.(Alex
Sobur,Bandung,2001)
Eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi adalah suatu proses dimana
realitas sosial dihidupkan, seperti dijelaskan oleh Berger dan Luckman dalam
buku yang sama, Realitas sosial adalah pengetahuan yang bersifat keseharian
yang hidup dan berkembang di masyarakat seperti konsep, kesadaran umum, dan
wacana publik.(Basrowi Sudikin,Surabaya,2002)
Penggunaan
simbol
dalam
interaksi
sosial,
dibangun
dengan
menggunakan konsep-konsep semiotika untuk menempatkan film dalam bahasa
ikon dan simbol. Bahasa simbol ini membantu memperjelas konstruksi sosial
25
baik pada tahap eksternalisasi, obyektivasi maupun pada tahap internalisasi,
dimana dengan tiga tahap inilah realitas sosial terbentuk.
Eksternalisasi merupakan tahapan dimana individu melakukan
penyesuaian diri dengan dunia sosiokultural sebagai pesan manusia;
obyektivikasi merupakan interaksi sosial yang terjadi dalam dunia
intersubyektif
yang
dilembagakan
atau
mengalami
proses
institusionalisasi, pesan sosial berada pada proses institusionalisasi.
Individu memunculkan dirinya dalam pesan-pesan kegiatan manusia baik
bagi produsennya maupun bagi orang lain sebagai unsur dunia bersama.
Hal terpenting dari tahap ini adalah terjadinya pembuatan tanda-tanda
sebagai isyarat bagi pemaknaan subyektif; sedangkan internalisasi
merupakan proses yang mana individu mengidentifikasikan dirinya
dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu
menjadi anggotanya. (Indiwan Seto Wahju Wibowo,Jakarta,2006)
Dalam memahami proses konstruksi realitas dalam sebuah film, kita tidak
boleh meninggalkan aspek representasi. Representasi digunakan untuk
menghubungkan antara sebuah karya dengan realitas. Menurut Ratna Noviani,
“representasi menjadi sebuah tanda (a sign) untuk sesuatu atau seseorang, sebuah
tanda yang tidak sama dengan realitas yang direprentasikan tapi dihubungkan
dengan dan mendasarkan diri pada realitas tersebut.”.
Menurut Stuart Hall, terdapat ada dua proses representasi. Yaitu pertama
adalah Representasi Mental, yaitu konsep tentang sesuatu yang ada di kepala kita
masing-masing, representasi mental masih merupakan sesuatu yang abstrak.
26
Kedua adalah bahasa. Yang berperan penting dalam proses konstruksi
makna.(Nuraini Juliastuti,2009)
Jadi kita harus menampilkan sesuatu yang abstrak itu ke dalam sebuah
bahasa. Sebuah simbol-simbol tertentu yang dimuati konsep representasi mental
yang abstrak tersebut.
Proses representasi dalam sebuah karya film telah mengalami proses
seleksi. Pemilahan ini didasari oleh kebutuhan-kebutuhan pekerja film dalam
memberi makna pesan dan jasa yang difilmkan agar tercapai tujuan
ekonomisnya.
Oleh karena itu, representasi realitas dalam film cenderung menyesatkan.
Ada pengalihan tujuan ke arah komersial. Terkadang ia tidak menampilkan
realitas yang dirujuknya. Namun justru memberikan pemahaman baru. Film
mempunyai kecenderungan untuk menyampingkan realitas tertentu dan
menampilkan realitas yang lain, yang sesuai dengan maksud dan tujuan tersebut.
Film bekerja dengan cara seperti ini. Makna cenderung terdistorsi dalam
sebuah film. Alih-alih ingin memberikan suatu rujukan, film justru menampilkan
Mitos-mitos baru yang melahirkan pemahaman semu pada pengetahuan
masyarakat tertentu.
Karena itulah terkadang film dirasa menyesatkan. Ideologi-ideologi yang
diceritakan Mitos di dalam sebuah film bekerja dengan begitu halusnya.
Sehingga kita terkadang menerimanya secara mentah-mentah. Tanpa proses
seleksi dan lupa untuk bersikap kritis. Padahal realitas yang ada di dalam sebuah
film tidak serta-merta merupakan realitas asli.
27
Dan seringkali kita begitu menyukai realitas yang semu ini. Kita
menerimanya sebagai sesuatu yang masuk akal dan memberi solusi atas
kebutuhan dan masalah yang kita hadapi di dunia ini. Kita lebih menyukai tiruan
daripada sesuatu yang asli.
Disini kita pahami kepura-puraan adalah kenyataan itu sendiri. Seperti
kata Roland Barthes, mereka tidak puas dengan menjumpai fakta-fakta; mereka
mendefinisikan dan mengeksplorasi fakta-fakta itu sebagai tanda bagi sesuatu
yang lain.(Roland Barthes,Yogyakarta,2007)
2.1.5 Teori Production House
Penulis sedikit menemukan kesulitan dalam mencari pengertian teori
Production House dalam bahasa Indonesia, akhirnya dalam literatur asing,
penulis menemukan pengertian teori Production House, berikut pengertian dari
Production House :
A production house is generally associated with in-house production. It
can organize, make or telecast different disciplines of programs encompassing
films, ad films, news, multimedia, sports or television shows. (ashisbala
http://www.bestindiansites.com/production-house/)
Rumah Produksi menerupakan asosiasi usaha khusus sebuah produksi
rumahan suatu karya. Yang dapat mengorganisasikan, membuat program acara
televisi, berdasarkan disiplin konsentrasi karya dari Rumah Produksi itu sendiri,
misalnya dalam pembuatan Film, Iklan Film, Berita, Multimedia, Olahraga, atau
jenis program acara Televisi lainnya.
28
2.1.6 Teori Komunikasi Non Verbal
Komunikasi non verbal yaitu komunikasi yang diungkapkan melalui
pakaian dan setiap kategori benda lainnya (the object language), komunikasi
dengan gerak (gesture) sebagai sinyal (sign language), dan komunikasi dengan
tindakan atau gerakan tubuh (action language)
Bentuk-bentuk komunikasi non verbal terdiri dari tujuh macam yaitu:
a. Komunikasi visual
Komunikasi visual merupakan salah satu bentuk komunikasi yang
digunakan untuk menyampaikan pesan berupa gambar-gambar, grafikgrafik, lambang-lambang, atau simbol-simbol.
Dengan menggunakan gambar-gambar yang relevan, dan penggunaan
warna yang tepat, serta bentuk yang unik akan membantu mendapat
perhatian pendengar. Dibanding dengan hanya mengucapkan kata-kata
saja, penggunaan komunikasi visual ini akan lebih cepat dalam
pemrosesan informasi kepada para pendengar.
b. Komunikasi sentuhan
Ilmu yang mempelajari tentang sentuhan dalam komunikasi non-verbal
sering disebut Haptik. Sebagai contoh: bersalaman, pukulan, mengelusngelus, sentuhan di punggung dan lain sebagainya merupakan salah satu
bentuk komunikasi yang menyampaikan suatu maksud/tujuan tertentu
dari orang yang menyentuhnya.
c. Komunikasi gerakan tubuh
Kinesik atau gerakan tubuh merupakan bentuk komunikasi non-verbal,
seperti, melakukan kontak mata, ekspresi wajah, isyarat dan sikap tubuh.
29
Gerakan tubuh digunakan untuk menggantikan suatu kata yang
diucapkan. Dengan gerakan tubuh, seseorang dapat mengetahui informasi
yang disampaikan tanpa harus mengucapkan suatu kata. Seperti
menganggukan kepala berarti setuju.
d. Komunikasi lingkungan
Lingkungan dapat memiliki pesan tertentu bagi orang yang melihat atau
merasakannya. Contoh: jarak, ruang, temperatur dan warna. Ketika
seseorang menyebutkan bahwa ”jaraknya sangat jauh”, ”ruangan ini
kotor”, ”lingkungannya panas” dan lain-lain, berarti seseorang tersebut
menyatakan demikian karena atas dasar penglihatan dan perasaan kepada
lingkungan tersebut.
e. Komunikasi penciuman
Komunikasi penciuman merupakan salah satu bentuk komunikasi dimana
penyampaian suatu pesan/informasi melalui aroma yang dapat dihirup
oleh indera penciuman. Misalnya aroma parfum bvlgari, seseorang tidak
akan memahami bahwa parfum tersebut termasuk parfum bvlgari apabila
ia hanya menciumnya sekali.
f. Komunikasi penampilan
Seseorang yang memakai pakaian yang rapi atau dapat dikatakan
penampilan yang menarik, sehingga mencerminkan kepribadiannya. Hal
ini merupakan bentuk komunikasi yang menyampaikan pesan kepada
orang yang melihatnya. Tetapi orang akan menerima pesan berupa
tanggapan yang negatif apabila penampilannya buruk (pakaian tidak
rapih, kotor dan lain-lain).
30
g. Komunikasi cita rasa
Komunikasi cita rasa merupakan salah satu bentuk komunikasi, dimana
penyampaian suatu pesan/informasi melalui cita rasa dari suatu makanan
atau minuman. Seseorang tidak akan mengatakan bahwa suatu
makanan/minuman memiliki rasa enak, manis, lezat dan lain-lain, apabila
makanan tersebut belum dimakan/diminumnya. Sehingga dapat dikatakan
bahwa cita rasa dari makanan/minuman tadi menyampaiakan suatu
maksud
atau
makna.
(Sebastian
Schmieg,http://parapsyco.wordpress.com/2011/01/13/gesturee-mutakkan-bohong/)
2.1.7 Teori Gesture
Gesture tubuh adalah salah satu cara bentuk komunikasi. Namun dengan
adat dan tempat yang berbeda, membuat gesture/bahasa tubuh bisa bermakna
berbeda antar daerah. (http://www.dunia-unik.info/search/gesturee)
Gesture yang baik seyogyanya terdiri dari unsur:
1. Alami, spontan, wajar, tidak dibuat-buat.
2. Penuh, tidak sepotong-sepotong, tidak ragu.
3. Sesuai dengan kata-kata.
4. Gunakan untuk penekanan pada poin penting,
5. Jangan berlebihan. Less is more!
6. The most important gesturee: to SMILE!
7. Gerakan tubuh meliputi: ekspresi wajah, gerakan tangan, lengan, bahu, mulut
31
atau bibir, gerakan hidung, kepala, badan, kaki.
8. Setiap gerakan mengandung tiga bagian: Pendekatan (The Approach)
- Tubuh siap untuk bergerak; Gerakan (The Stroke) – gerakan tubuh
itu sendiri; dan Kembali (The Return) – kembali ke posisi semula
atau keadaan normal.
9. Variatif, jangan monoton. Misalnya terus-menerus mengepalkan jari
tangan di atas.
10. Jangan melalukan gerakan tubuh yang tidak bermakna atau tidak
mendukung pembicaraan seperti: memegang kerah baju,
mempermainkan mic, meremas-remas jari, dan menggaruk-garuk
kepala.
11. Makin besar jumlah hadirin, kian besar dan lambat gerakan tubuh
yang kita lakukan. Jika kita berbicara di depan hadirin dalam
jumlah kecil, atau di video conferencing, atau di televisi, lakukan
gerakan tubuh alakadarnya (smaller gesturees). (Bintang revolusi,http://nikebintang-revolusi.blogspot.com/2011/02/gesturee.html)
Gesture sebagai public speaker harus terbuka yaitu kaki terbuka sejajar
dengan bahu dan ketiak juga harus terbuka. Kondisi ketika menulis harus miring
tidak boleh membelakangi audience dan harus bersuara, yang paling penting
adalah senyum. Untuk memperoleh senyuman yang bagus, kita di anjurkan untuk
melakukan senam wajah. Ketika kita terburu-buru gesturenya melihat jam
tangan, jadi di usahakan memakai jam tangan. Kalau tidak coba tanya sekarang
jam berapa. Lakukan selama tiga kali, jika tidak berhasil maka bicaralah apa
adanya.
32
2.2.8 Teori Produksi Film
Film adalah gambar-hidup, juga sering disebut movie atau video (semula
pelesetan untuk 'berpindah gambar'). Film, secara kolektif, sering disebut
'sinema'. Gambar-hidup adalah bentuk seni, bentuk populer dari hiburan, dan
juga bisnis, yang diperankan oleh tokoh-tokoh sesuai karakter direkam dari
benda/lensa (kamera)atau animasi.
1. Menjelaskan tahapan produksi sebuah film, deskripsi kerja dalam tim
produksi, dan manajemen produksi.
Materi mencakup: Menyusun tim produksi; Menyeleksi kru (crew) dan Hal
yang harus disiapkan dalam produksi film.
2. Menjabarkan dasar-dasar penulisan cerita untuk pembuatan film, penyusunan
riset untuk film, dan penerapan pembuatan sinopsis, director treatment,
shotlist, script breakdown dan shooting schedule.
Materi mencakup: Penulisan, Penyutradaraan pada tahap Pra Produksi,
Produksi, dan Paska Produksi.
3. Menjelaskan tentang pengoperasian kamera dengan baik serta cara
pemeliharaannya, proses perekaman yang dapat menghasilkan gambar dan
suara dengan baik, dan mengasah inisiatif untuk menyesuaikan diri dengan
keterbatasan alat.
Materi mencakup: Dasar-dasar sinematografi, Pengenalan teknologi kamera,
Teknik pengambilan gambar, Tata cahaya, dan Penataan kamera saat
produksi.
33
4. Menguraikan dasar-dasar audio pada proses produksi film, baik yang
dilakukan ketika perekaman suara saat pengambilan gambar, maupun
kebutuhan pengisian suara saat pasca produksi.
Materi mencakup: Dialog, Musik, dan Efek suara.
5. Menjelaskan tugas-tugas yang harus dilakukan oleh departemen artistik dan
mengaplikasikan sinopsis dan director treatment menjadi breakdown artistik.
Materi mencakup: Tata busana, Tata rias, Bagian set, Properti, dan Efek
spesial. Menjelaskan proses editing, teori dasar editing, pengoperasian
computer untuk editing.
6. Memberi pemahaman tentang pola pikir editing pada setiap tahap produksi
film dan penerapan konsep editing.
Materi mencakup: Sekilas tentang editing, Tahapan editing, dan Istilah teknis
editing. Menjelaskan dasar pengerjaan, pengelolaan dan pemanfaatan
dokumentasi berdasarkan obyek dan kebutuhannya.
(http://qyutciz.blogspot.com/2009/01/teori-dasar-pembuatan-filmvideo.html)
2.2 Teori-teori Khusus yang Berhubungan dengan Topik Yang Dibahas
Adapaun teori khusus dalam penelitin ini adalah sebagai berikut.
2.2.1 Penyampaian Makna dan Tanda dalam Komunikasi
Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris communication berasal dari
kata Latin communicatio, dan bersumber dari kata communis yang berarti sama.
Sama di sini maksudnya sama makna. Jadi komunikasi terjadi apabila terdapat
34
kesamaan makna mengenai suatu pesan yang disampaikan oleh komunikator dan
diterima oleh komunikan. (Onong Uchjana Effendy,Bandung,1997)
Tanpa adanya kesamaan makna niscaya komunikasi tidak akan berjalan
dengan baik. Yang berarti proses melengkapi antara sesama manusia tadi tidak
akan terwujud.
Untuk menyimak komunikasi yang
dilihat dari sudut pandang
penyampaian makna dan tanda-tanda, kita tidak boleh melupakan teori
komunikasi yang disampaikan oleh John Fiske dalam bukunya Introduction to
Communication Studies.
John Fiske menjelaskan bahwa komunikasi bisa dilihat dari dua mazhab
yang berbeda. Mazhab yang pertama melihat komunikasi sebagai transmisi
pesan. Mazhab ini cenderung berbicara tentang kegagalan komunikasi, dan ia
melihat ke tahap-tahap dalam proses tersebut guna mengetahui di mana
kegagalan tersebut terjadi.(John Fiske,London,1990)
Mazhab tersebut, menurut Fiske lebih menitik-beratkan pada proses
penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan melalui media yang ada
dan menimbulkan efek tertentu. Dari mazhab ini bisa dilihat adanya
kecenderungan proses mempengaruhi perilaku seseorang yang lain.
Model
komunikasi yang menguatkan mazhab ini adalah model komunikasi Laswell,
yaitu “Who says what in what channel to whom with what effect.”(Deddy
Mulyana,Bandung,2001)
Mazhab yang kedua melihat komunikasi sebagai pesansi dan pertukaran
makna. Ia berkenaan dengan bagaimana pesan atau karya berinteraksi dengan
35
orang-orang dalam rangka menghasilkan makna; yakni, ia berkenaan dengan
peran karya dalam pengetahuan kita.
Pesan merupakan konstruksi tanda yang melalui interaksinya dengan
penerima menghasilkan makna. Yang ditekankan adalah bagaimana karya itu
ditonton oleh komunikan. Dalam proses penontonan karya yang nantinya akan
menghasilkan makna itu, penonton tetap membawa pemahaman subyektifnya
melalui pengalaman budayanya. Komunikator di mazhab ini ditampilkan sebagai
penonton aktif, ada proses kreatif yang menghasilkan makna di sini, penonton
benar-benar menonton karya bukan hanya sekedar menonton saja.
Dari sudut pandang mazhab yang kedua, bisa ditarik kesimpulan bahwa
sudut pandang ini lebih menekankan pada kekuatan makna dan simbol yang
terdapat dalam suatu pesan sebagai kekuatan dari proses komunikasi.
2.2.2 Makna dan Simbol dalam Film
Pemaknaan merupakan upaya lebih jauh dari penafsiran atas representasi
obyek melalui simbol, sehingga dalam pemberian makna dituntut
adanya
kemampuan integratif manusia yang meliputi inderawi, daya pikir, dan akal
budinya
atas
materi-materi
yang
dilihat
sebagai
tanda-tanda
yang
tersajikan.(Alex Sobur,Bandung,2006)
Jadi manusia berperan aktif dalam menghasilkan makna dari tanda dan
simbol-simbol yang ada.
Ada beberapa pandangan yang menjelaskan ihwal teori atau konsep
makna. Model proses makna Wendell Johnson menawarkan sejumlah implikasi
bagi komunikasi antarmanusia:
36
1. Makna ada dalam diri manusia.
Makna tidak terletak pada kata-kata melainkan pada manusia. Kita
menggunakan kata-kata untuk mendekati makna yang ingin kita
komunikasikan.
2. Makna berubah
Kata-kata relatif statis. Tetapi makna dari kata-kata ini terus berubah, dan
ini khususnya terjadi pada dimensi emosional dari makna.
3. Makna membutuhkan acuan
Walaupun tidak semua komunikasi mengacu pada dunia nyata,
komunikasi hanya masuk akal bilamana ia mempunyai kaitan dengan
dunia atau lingkungan eksternal.
4. Penyingkatan yang berlebihan akan mengubah makna.
Mengatakan kepada seorang anak untuk “manis” dapat mempunyai
banyak makna. Penyingkatan perlu dikaitkan dengan obyek, kejadian dan
perilaku dalam dunia nyata.
5. Makna tidak terbatas jumlahnya
Pada suatu saat tertentu, jumlah kata dalam suatu bahasa terbatas, tetapi
maknanya tidak terbatas.
6. Makna dikomunikasikan hanya sebagian
Makna yang kita peroleh dari suatu kejadian (event) bersifat multi-aspek
dan sangat kompleks, tetapi hanya sebagian saja dari makna-makna ini
yang benar-benar dapat dijelaskan.(Alex Sobur,Bandung,2006) .
37
Makna menurut Umberto Eco yang dikutip oleh Budiman dalam buku
Kosa Semiotika, makna dari sebuah wahana tanda (sign-vehicle) adalah: ”Satuan
kultural yang diperagakan oleh wahana-wahana tanda yang lainnya serta dengan
begitu, secara semantik mempertunjukkan pula ketidak tergantungannya pada
wahana tanda yang sesungguhnya.”(Kris Budiman,Yogyakarta,1999)
Jadi struktur bahasa yang berhubungan dengan makna ungkapan dan
struktur makna suatu wicara ini mempunyai ketergantungan dengan tanda-tanda
yang lain.
Manusia sebagai makhluk yang berbahasa, berkomunikasi melalui
simbol-simbol, baik itu simbol verbal maupun simbol non verbal.
Mengenai bahasa simbolik, menurut A.H Baker, yang dikutip oleh Alex
Sobur dalam buku Analisis Karya Media menjelaskan beberapa ungkapan
sebagai berikut: Pertama, manusia hanya sadar dalam bahasa, anganangan yang memakai fantasi dan konsep-konsep. Komunikasi simbolis
mengandalkan kesadaran mendalam dan karena itu menuntut penyertaan
bahasa. Kedua, bahasa simbolis menciptakan situasi yang simbolis juga.
Artinya, penuh dengan tanda tanya atau hal-hal yang mesti diungkapkan
maksud dan arti yang terkandung didalamnya. Ketiga, Bahasa simbolis
terletak ditengah antara bahasa mistis dan alegoris seperti halnya pula
berlaku dalam tindakan”(Alex Sobur,Bandung,2006)
Jadi bisa dipahami bahwa komunikasi adalah proses pertukaran makna,
yang diwujudkan melalui bahasa, pesan, gambar, ekspesi wajah, gerak tubuh,
dan lain sebagainya. Yang sifatnya konvensional, dipahami berdasarkan
38
kesepakatan bersama di dalam budaya masyarakat dimana tanda-tanda itu
berada.
Salah satu wujud penyampaian makna dan tanda dalam komunikasi bisa
dilihat pada wujud film. Film merupakan ladang tanda-tanda. Film merupakan
sebuah karya yang berada di suatu media tertentu. Menurut Guy Ccok yang
dikutip oleh Sobur dalam buku Analisis Karya Media: Suatu Pengantar untuk
Analisis Wacana, Analisis Semiotik dan Analisis Framing, mengartikan karya
sebagai: “Semua bentuk bahasa dan semua jenis ekspresi komunikasi seperti
kata-kata yang terfilm, ucapan, musik, gambar, efek suara, citra dan sebagainya”.
(Alex Sobur,Bandung,2006)
Pemberian makna atas simbol dan pesan dalam sebuah film mempunyai
maksud untuk dapat memengaruhi target pasarnya. Dengan melihat latar
belakang budaya dan psikografis dari calon pembeli, perfilman dapat menyusun
simbol-simbol yang cocok dilekatakan pada sebuah pesan.
Pesan atau simbol adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjukan
sesuatu yang lain, dan sifatnya konvensional. Menurut James P.Spardley yang
dikutip Alex Sobur dalam buku Semiotika Komunikasi, mendefinisikan simbol
sebagai: ”Obyek atau peristiwa apapun yang menunjuk pada sesuatu.” (Alex
Sobur,Bandung,2006) Pemaknaan tanda-tanda selalu berbeda-beda, tergantung di
latar budaya seperti apa, tanda itu berada.
Oleh karena itu, tanda, simbol, makna adalah hal yang penting dalam
sebuah film. Kata-kata tidak bermakna apa-apa, karena kita sebagai manusialah
yang berperan aktif memaknai segala hal. Sangat penting memahami pemakaian
39
tanda dan simbol agar terjadi kesesuaian makna dalam menyampaikan pesan.
Khususnya pesan-pesan persuasif, karena penulis akan meneliti sebuah film film.
Dalam penelitian ini model sistematis dalam menganalisis tanda dan
makna yang digunakan mengacu pada pendapat Roland Barthes yang fokus
perhatiannya tertuju pada gagasan tentang signifikasi dua tahap (two order of
signification). Signifikasi ini tidak terbatas pada bahasa, namun hal-hal lain yang
bukan bahasa. Barthes menganggap kehidupan sosial sendiri merupakan suatu
bentuk siginifikasi. Dengan kata lain, kehidupan sosial apapun bentuknya,
merupakan suatu sistem tanda tersendiri pula. Dalam signifikasi ini, Barthes
banyak
membahas
perkembangan
makna
ke
arah
Konotasi.
Barthes
menggunakan konsep connotation-nya untuk menyingkap makna-makna
tersembunyi. Konsep ini menetapkan dua cara pemunculan makna yang bersifat
promotif, yakni Denotatif dan Konotatif . Pada tingkat Denotatif , tanda-tanda
itu mencuat terutama sebagai makna primer yang “alamiah”. Namun pada tingkat
Konotatif
,
di
tahap
sekunder,
munculah
makna
yang
bersifat
ideologis.(Kurniawan,magelang,2001)
Konotasi atau makna Konotatif disebut juga makna konotasional, makna
emotif, atau makna evaluatif. Makna Konotatif adalah jenis makna di mana
stimulus dan respons mengandung nilai-nilai emosional. Makna Konotatif
sebuah kata dipengaruhi dan ditentukan oleh dua lingkungan karyatual dan
lingkungan budaya. Pada dasarnya, Konotasi timbul disebabkan masalah
hubungan sosial atau hubungan interpersonal yang mempertalikan kita dengan
orang lain. (Kurniawan,Magelang,2001)
Download