BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Dasar 1. Teori Komunikasi a. Pengertian Komunikasi Istilah komunikasi atau dalam bahasa inggris communication berasal dari kata latin communicatio, dan bersumber dari kata communis yang berarti sama. Sama di sini maksudnya adalah sama makna. Menurut Hovland (dalam effendi, 1999:10), Ilmu Komunikasi adalah upaya yang sistematis untuk merumuskan secara tegas asas-asas penyampaian informasi serta pembentukan pendapat dan sikap. Definisi Hovland ini menunjukkan bahwa yang dijadikan objek studi Ilmu Komunikasi bukan saja penyampaian informasi, melainkan juga pembentukan pendapat umum (public opinion) dan sikap publik (public attitude) yang dalam kehidupan sosial dan kehidupan politik memiliki peranan yang amat penting. Bahkan dalam definisinya secara khusus mengenai pengertian komunikasi sendiri, Hovland mengatakan bahwa komunikasi adalah proses mengubah perilaku orang lain (communication is the process to modifu the bahaviour of other individuals). Menurut Joseph A. Devito mendefinisikan communicologi sebagai ilmu komunikasi, terutama komunikasi oleh dan di antara manusia. Seorang komunikolog adalah seorang ahli komunikasi. 36 Istilah komunikasi dipergunakan untuk menunjukkan tiga bidang studi yang berbeda: proses komunikasi, pesan yang dikomunikasikan, dan studi mengenai proses komunikasi. Komunikasi termasuk ke dalam ilmu sosial yang meliputi intrapersonal commnication, interpersonal communication, group communication, mass communication, intercultural communication, dan sebagainya. b. Model Komunikasi Lasswell mengatakan bahwa cara yang baik untuk menjelaskan komunikasi ialah menjawab pertanyaan sebagai berikut: Who Says What In which Channel To Whom With What Effect? 1) Who; Siapa, yaitu individu, kelompok atau organisasi yang bertindak sebagai komunikator atau penyampai pesan. 2) Say What; Mengatakan apa, yaitu pesan yang disampaikan individu, kelompok, atau oraganisasi. 3) In Which Channel; Dengan saluran apa, merupakan media apa yang digunakan dalam proses komunikasi. 4) To Whom; Kepada siapa, yaitu objek atau kelompok yang menjadi sasaran komunikasi. 5) With What Effect; Yaitu respon, yang menyangkut perilaku atau sikap individu, masyarakat setelah menerima pesan. 37 Dalam penelitian ini, penulis memakai formula Laswell: Siapa Mengatak an apa Kepada siapa Melalui apa Dan apa akibatn ya Model ini mengisyaratkan bahwa lebih dari satu saluran dapat membawa pesan. Unsur sumber (Who) merangsang pertanyaan mengenai pengemdalian pesan, sedangkan unsur pesan (Says What) merupakan bahan untuk analisis isi pesan. Saluran komunikasi (In Which Channel) dikaji dalam analisis media. Unsur penerima (To Whom) diakitkan dengan analisis khalayak, sementara unsur pengaru (With What Effect) jelas berhubungan dengan studi mengenai akibat yang ditimbulkan pesan komunikasi massa pada khalayak pembaca, pendengar, atau pemirsa. Paradigma Laswell di atas menunjukkan bahwa komunikasi meliputi lima unsur sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan itu, yakni: 1) Komunikator (Communicator, Source, Sender), pengirim pesan kepada seseorang atau sejumlah orang. 2) Pesan (Message), merupakan seperangkat lambang bermakna yang disampaikan oleh komunikator. 3) Media (Channel, Media), saluran komunikasi atau tempat berlalunya pesan dari komunikator kepada komunikan 4) Komunikan (Communicant, Communicatee, Receiver, Recipient), seseorang atau sejumlah orang yang menerima pesan. 38 5) Efek (Effect, Impact, Influence), efek di sini bisa berupa tanggapan dari komunikan apabila pesan tersampaikan atau disampaikan kepada komunikator. Jadi berdasarkan paradigma Laswell tersebut, komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu. 2. Teori Semiotika Pesan a. Teori Simbol: Susanne Langer Menurut Langer, semua binatang yang hidup didominasi oleh perasaan, tetapi perasaan manusia dimediasikan oleh konsepsi, simbol, dan bahasa. Tanda (sign) adalah sebuah stimulus yang menandakan kehadiran dari suatu hal. Sebuah tanda berkaitan erat dengan makna dari kejadian sebenarnya. Awan dapat menjadi tanda untuk hujan, tertawa tanda untuk kebahagiaan, dan sebuah tanda jingga tua atau orange “kawasan pekerja” merupakan petunjuk untuk konstruksi selanjutnya. Hubungan sederhana ini disebut pemaknaan (signification). Anda akan berjalan pelan ketika melihat sebuah tanda konstruksi oranye karena adanya pemaknaan. Sebaliknya, simbol digunakan dengan cara yang lebih kompleks dengan membuat seseorang untuk berfikir tentang sesuatu yang terpisah dari kehadirannya. Sebuah simbol adalah konseptualisasi manusia tentang suatu hal; sebuah simbol ada untuk sesuatu. Sementara tertawa adalah sebuah tanda kebahagiaan, kita dapat 39 mengubah gelak tawa menjadi sebuah simbol dan membuat maknanya berubah dalam banyak hal terpisah dari acuannya secara langsung. Dapat berarti kesenangan, kelucuan, ejekan, cemoohan, melepaskan tekanan, di antara banyak hal. Kita arahkan ke dunia fisim dan sosial kita melalui simbol-simbol dan maknanya serta makna membuat suatu hal sering menjadi jauh lebih penting daripada objek sesungguhnya atau keterangan mereka. Sebuah simbol atau kumpulan simbol-simbol bekerja dengan menghubungkan sebuah konsep, ide umum, pola, atau bentuk. Menurut Langer, konsep adalah makna yang disepakati bersamasama di antara pelaku komunikasi. Bersama, makna yang disetujui adalah makna denotatif, sebaliknya, gambaran atau makna pribadi adalah makna konotatif. Langer memandang makna sebagai hubungan kompleks di antara simbol, objek, dan manusia yang melibatkan denotasi (makna bersama) dan konotasi (makna pribadi). Abstraksi, sebuah proses pembentukan ide umum dari sebentuk keterangan konkret, berdasarkan pada denotasi dan konotasi dari simbol. Langer mencatat bahwa proses manusia secara utuh cenderung abstrak. Ini adalah sebuag proses yang mengesampingkan detail dalam memahami objek, peristiwa, atau situasi umum. Semakin abstrak simbol, gambaran semakin kurang lengkap. Walupun denotasi biasanya lebih mendetail, konotasi dapat memasukkan banyak detail menyangkut makna simbol bagi 40 individu. Baik debotatif maupun konotatif, tidak dapat menangkap gambaran secara lengkap. Penggunaan simbol pada manusia dirumaitkan oleh fakta bahwa tidak ada hubungan langsung antara simbol dengan objek sebenarnya dan manusia menggunakan simbol dalam kombinasi. Signifikasi sebenarnya dari bahasa adalah wacana, yang di dalamnya menghubungkan kata-kata menjadi kalimat dan paragraf. Wacana mengekpresikan proposisi, di mana simbol-simbol kompleks yang menghadirkan sebuah gambaran sesuatu. b. Teori Linguistik Ferdinand de Saussure mengajarkan bahwa tanda, termasuk bahasa, dapat berubah-ubah. Bahasa yang berbeda menggunakan kata-kata yang berbeda untuk hal yang sama dan biasanya tidak ada hubungan secara fisik antara sebuah kata dan acuannya. Oleh karena itu, tanda adalah kaidah yang ditata oleh aturan. Tanda tidak menandakan objek, melainkan mendasari mereka. Dapat saja tidak ada objek yang terpisah dari tanda yang digunakan untuk merancangnya. Saussure meyakini bahwa peneliti harus memperhatikan hal yang membentuk bahasa, seperti bunyi pengucapan, kata-kata, dan tata bahasa karena walaupun struktur bahasa berubah-ubah, tetapi tidak untuk penggunaan bahasa. Saussure membuat sebuah pembeda penting antara bahasa formal, yang disebut langue, dan kegunaan bahasa sebenarnya dalam komunikasi, yang disebut sebagai parole. 41 Bahasa (langue) adalah sebuah sistem baku yang dapat dianalisis terpisah dari kegunaannya dalam kehidupan sehari-hari. Pengucapan (parole) adalah kegunaan sebenarnya dari bahasa untuk mencapai tujuan. c. Teori Perilaku Non-Verbal Kode non-verbal adalah sekumpulan perilaku yang digunakan untuk menyampaikan arti. Judee Burgoon menggolongkan sistem kode non-verbal seperti halnya memiliki beberapa struktur sifat. Pertama, kode non-verbal cenderung analog daripada digital. Sinyal digital mempunyai ciri tersendiri, seperti huruf dan angka. Sedangkansinyal analog berkesinambungan membentuk sebuah tingkatan ataur spektrum, seperti volume suara dan intensitas cahaya. Kedua, kemiripan (iconity) menyerupai benda yang telah disimbolkan (seperti ketika anda menggambarkan sesuatu dengan tangan anda) Ketiga, kode non-verbal tertentu kelihatannya memunculkan makna universal. Terutama, dalam kasus yang berhubungan dengan tanda-tanda, seperti ancaman dan penunjukkan emosi yang mungkin saja dapat ditentukan secara biologis. Keempat, kode non-verbal memungkinkan adanya transmisi berkesinambungan dalam beberapa pesan. Dengan wajah, tubuh, suara, dan tanda-tanda lainnya beberapa pesan yang berbeda dapat terkirim sekaligus. 42 Kelima, sinyal non-verbal sering menimbulkan sebuah respon otomatis – menerobos lampu merah. Pada akhirnya, tanda-tanda non-verbal sering terpancar secara spontan seperti ketika Anda melepaskan rasa gugup dengan memainkan rambut Anda atau menggoyangkan kaki Anda. 3. Teori-Teori Makna Ada beberapa pandangan yang menjelaskan ihwal teori atau konsep makna. Model proses makna Wendell Johnson menawarkan sejumlah implikasi bagi komunikasi antar manusia: 1) Makna ada dalam diri manusia. Makna tidak terletak pada katakata melainkan pada manusia. Kita menggunakan kata-kata untuk mendekati makna yang ingin kita komunikasikan. Tetapi kata-kata itu tidak secara sempurna dan lengkap menggambarkan makna yang kita maksudkan. Demikian pula, makna yang didapat pendengar dari pesan-pesan kita akan sangat berbeda dengan makna yang ingin kita komunikasikan. Komunikasi adalah proses yang kita gunakan untuk mereproduksi, di benak pendengar, apa yang ada di dalam benak kita. Reproduksi ini hanyalah sebuah proses parsial dan selalu bisa salah. 2) Makna berubah. Kata-kata relatif statis. Banyak dari kata-kat yang kita gunakan 200 atau 300 tahun yang lalu. Tetapi makna dari kata-kata itu terus berubah, dan ini khususnya terjadi pada 43 dimensi emosional dari makna. Bandingkanlah, misalnya makna kata-kata berikut bertahun-tahun yang lali dan sekarang, hubungan di luar nikah, obat, agama, hiburan, dan perkawinan (Di Amerika Serikat, kata-kata ini diterima secara berbeda pada saat ini dan di masa-masa yang lalu. 3) Makna membutuhkan acuan. Walaupun tidak semua komunikasi mengacu pada dunia nyata, komunikasi hanya masuk akal bilaman ia mempunyai kaitan dengan dunia atau lingkungan eksternal. Obsesi seorang paranoid yang selalu merasa diawasi dan teraniaya merupakan contoh makna yang tidak mempunyai acuan yang memadai. 4) Penyingkatan yang berlebihan akan mengubah makna. Berkaitan erat dengan gagasan bahwa makna membutuhkan acuan adalah masalah komunikasi yang timbul akibat penyingkatan yang berlebihan tanpa mengaitkannya dengan acuan yang konkret dan dapat diamati. Bila kita berbicara tentang cinta, persahabatan, kebahagiaan, kebaikan, dan kejahatan, dan konsep-konsep lain yang serupa tanpa mengaitkannya dengan sesuatu yang spesifik, kita tidak akan bisa berbagi makna dengan lawan bicara. Mengatakan kepada seorang anak untuk “manis” dapat mempunyai banyak makna penyingkatan perlu dikaitkan dengan objek, kejadian, dan perilaku dalam dunia nyata: “Berlaku manislah dan bermain 44 sendirilah sementara ayah memasak.” Bila anda telah membuat hubungan seperti ini, Anda akan bisa membagi apa yang Anda maksudkan dan tidak membiarkan keseluruhan tindak komunikasi berubah. 5) Makna tidak terbatas jumlahnya. Pada suatu saat tertentu, jumlah kata dalam suatu bahasa terbatas, tetapi maknanya tidak terbatas. Karena itu, kebanyakan kata mempunyai banyak makna. Ini bisa menimbulkan masalah bila sebuah kata diartika secara berbeda oleh dua orang yang sedang berkomunikasi. Bila ada keraguan, sebaiknya Anda bertanya dan bukan membuat asumsi; ketidaksepakatan akan hilang bila makna yang diberikan masing-masing pihak diketahui. 6) Makna dikomunikasikan hanya sebagian. Makna yang kita peroleh dari suatu kejadian (event) bersifat multiaspek dan sangat kompleks, tetapi hanya sebagian saja dari makna-makna ini yang benar-benar dapat dijelaskan. Banyak dari makna tersebut tetap tinggal dalam benak kita. Karenanya, pemahaman yang sebenarnya – pertukaran makna secara sempurna – barangkali merupakan tujuan ideal yang ingin kita capai tetapi tidak pernah tercapai. 45 B. Semiologi Dan Mitologi Roland Barthes Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang getol mempraktikkan model linguistik dan semiologi Saussurean. Ia jua inteletual dan kritikus sastra Perancis yang ternama; ekponen penerapan strukturalisme dan semiotika pada studi sastra. Ia berpendapat bahwa bahasa adalah sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Lima kode yang yang ditinjau Barthes adalah kode hermeneutik (kode tekateki), kode semik (makna konotatif), kode simbolik, kode proaretik (logika tindakan), dan kode gnomik atau kode kultural yang membangkitkan suatu badan pengetahuan tertentu. Kode hermeneutik atau kode teka-teki berkisar pada harapan pembaca untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. Kode tekateki merupakan unsur struktur yang utama dalam narasi tradisional. Di dalam narasi ada suatu kesinambungan antara pemunculan suatu peristiwa teka-teki dan penyelesaiannya di dalam cerita. Kode semik atau kode konotatif banyak menawarkan banyak sisi. Dalam proses pembacaan, pembaca penyusun tema suatu teks. Ia melihat bahwa konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan konotasi kata atau frase yang mirip. Jika kita melihat suiatu kumpulan satuan konotasi, kita menemukan suatu tema di dalam cerita. Jika sejumlah konotasi melekat pada suatu nama tertentu, kita dapat mengenali suatu tokoh dengan atribut 46 tertentu.perlu dicatat bahwa Barthes menganggap bahwa denotasi sebagai konotasi yang paling kuat dan paling “akhir”. Kode simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas bersifat struktural, atau tepatnya menurut konsep Barthes, pasca struktural. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa makna berasal dari beberapa oposisi biner atau pembedaan-baik dalam taraf bunyi menjadi fonem dalam proses produksi wicara, maupun pada taraf oposisi psikoseksual yang melalui proses. Misalnya, seorang anak belajar bahwa ibunya dan ayahnya berbeda satu sama lain dan bahwa perbedaan itu juga membuat anak itu sama dengan satu di antara keduanya dan berbeda dari yang lainnya. Ataupun pada taraf pemisahan dunia secara kultural dan primitif menjadi kekuatan dan nilai-nilai yang berlawanan yang secara mitologis dapat dikodekan. Dalam suatu teks verbal, perlawanan yang bersifat simbolik seperti ini dapat dikodekan melalui istilah-istilah retoris seperti antitesis, yang merupakan hal yang istimewa dalam sistem simbol Barthes. Kode proaretik atau kode tindakan/lakuan dianggapnya sebagai perlengkapan utama teks yang bersifat naratif. Secara teoritis Barthes melihat semua lakuan dapat dikodifikasi, dari terbukanya pintu sampai petualangan yang romantis. Pada praktiknya, ia menerapkan beberapa prinsip seleksi. Kita mengenal kode lakuan atau peristiwa karena kita dapat memahaminya. Pada kebanykan fiksi, kita selalu mengharap lakuan di-“isi” sampai lakuan utama menjadi perlengkapan utama suatu teks. Kode gnomik atau kode kultural banyak jumlahnya. Kode ini meruipakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi oleh budaya. 47 Menurut Barthes, realisme tradisional didefinisi oleh acuan ke apa yang telah diketahui. Rumusan suatu budaya atau subbudaya adalah hal-hal kecil yang telah dikodifikasi yang di atasnya para penulis bertumpu. Tujuan analisis Barthes ini, menurut Lechte (dalam Sobur 2009:196), bukan hanya untuk membangun suatu sistem klasifikasi unsur-unsur narasi yang sangat formal, namun lebih banyak untuk menunjukkan bahwa tindakan yang paling masuk akal, rincian yang paling meyakinkan, atau teka-teki yang paling menarik, merupakan produk buatan, bukan tiruan dari yang nyata. Salah satu area penting yang dirambah oleh Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi, Barthes secara panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sistem pemaknaan tataran ke-dua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. Sistem ke-dua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif yang secara tegas ia bedakan dari denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama. Dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaanya. Pada dasarnya, ada perbedaan antara denotasi dan konotasi dalam pengertian secara umum serta denotasi dan konotasi yang dimengerti oleh Barthes. Dalam pengertian umum, denotasi biasanya dimengerti sebagai makna harfiah, makna yang “sesungguhnya.” Bahkan kadang kala juga dirancukan dengan referensi atau acuan. Proses signifikasi yang secara tradisional disebut sebagai denotasi ini biasanya mengacu kepada penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai dengan apa 48 yang terucap. Akan tetapi di dalam semiologi Roland Barthes dan para pengikutnya, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi justru lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna dan, dengan demikian, sensor atau represi politis. Sebagai reaksi yang paling ekstrem melawan keharfiahan denotasi yang bersifat opresif ini, Barthes mencoba menyingkirkan dan menolaknya. Baginya, yang ada hanyalah konotasi semata-mata. Penolakan ini mungkin terasa berlebihan, namun ia tetap berguna sebagai sebuah koreksi atas kepercayaan bahwa makna “harfiah” merupakan sesuatu yang bersifat alamiah. Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai “mitos” dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda, dan tanda, namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau, dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan tataran ke-dua. Di dalam mitos pula sebuah petanda dapat memiliki beberapa penanda. Barthes mengartikan mitos sebagai cara berfikir kebudayaan tentang sesuatu, sebuah cara mengkonseptualisasikan atau memahami sesuatu hal. Barthes menyebutkan mitos sebagai rangkaian konsep yang saling berkaitan. Mitos adalah sistem komunikasi, sebab ia membawakan pesan. Maka itu, mitos bukanlah objek. Mitos bukan pula konsep ataupun suatu gagasan, melainkan suatu cara signifikasi, suatu bentuk. Lebih jauhnya lagi, mitos tidak 49 ditentukan oleh objek ataupun materi (bahan) pesan yang disampaikan, melainkan oleh cara mitos disampaikan. Mitos tidak hanya berupa pesan yang disampaikan dalam bentuk verbal (kata-kata lisan ataupun tulisan), namun juga dalam berbagai bentuk lain atau campuran antarabentuk verbal dan nonverbal. Misalnya dalam bentuk film, lukisan, fotografi, iklan dan komnik. Semuanya dapat digunakan untuk menyampaikan pesan. Barthes menempatkan ideologi dengan mitos karena, baik di dalam mitos maupun ideologi hubungan antara penenda konotatif dan petanda konotatif terjadi secara termotivasi (Budiman dalam Sobur, 2009:128). Barthes memahami ideologi sebagai kesadaran palsu yang membuat orang hidup di dalm dunia yang imajiner dan ideal, meski realitas hidupnya yang sesungguhnya tidaklah demikian. Ideologi ada selama kebudayaan ada, dan itulah sebabnya Barthes berbicara tentang konotasi sebagai suatu ekspresi budaya. Kebudayaan mewujudkan dirinya di dalm teks-teks dan, dengan demikian, ideologi pun mewujudkan dirinya melalui berbagai kode yang merembes masuk ke dalam teks dalam bentuk penanda-penanda penting, seperti tokoh, latar, sudut pandang, dan lain-lain. C. Ideologi Media Ideologi secara etimologis berasal dari bahasa Greek, yang terdiri atas idea dan logia. Idea berasal dari idein yang berarti melihat. Sesuatu yang ada di dalam pikiran sebagai hasil perumusan suatu pemikiran atau rencana. Kata logia mengandung makna ilmu pengetahuan atau teori. Sedangkan kata logis berasal dari kata logos atau legein yang berarti to speak atau berbicara. Jadi dapat 50 diartikan bahwa ideologi adalah pengucapan dari yang terlihat atau pengutaraan apa yang terumus di dalam pikiran sebagai hasil dari pemikiran. Ada empat karya Althusser yang menjadi inti dari pandangannya tentang ideologi, yaitu: Pertama, Ideologi memiliki fungsi umum membangun subjek. Kedua, Ideologi sebagai pengalaman yang dijalani tidaklah palsu. Ketiga, Ideologi sebagai kesalahan dalam memahami kondisi nyata eksistensi adalah palsu. Keempat, Ideologi terlibat dalam reproduksi bangunan sosial dan relasi mereka terhadap kekuasaan. Dalam mengkaji ideologi, Althusser memperkenalkan dua istilah kunci dalam ideologi, yaitu Ideological State Apparature (ISA) dan Repressive State Apparature (RSA). RSA menjalankan fungsinya melalui kekerasan, sedangkan ISA menjalankan fungsinya secara ideologi. ISA fungsi primernya adalah secara ideologi baru kemudian sekunder melalui kekerasan. Bagi Althusser tidak ada kelas dalam masyarakat yang dapat memegang kekuasaan tanpa melakukan hegemoni dan menjalankan ISA. Dalam penelitian ini, ISA mempunyai peran yang penting dalam proses representasi. Hal ini dikarenakan ISA dapat bergerak dalam wilayah individu, dalam hal ini adalah kebudayaan. Hal lainnya adalah media massadalam bekerja menggunakan ISA yaitu dengan menyebarkan gagasan dominan yang diproduksi oleh kelas dominan dengan orientasi pasar. Ideologi adalah sistem gagasan dan berbagai representasi yang mendominasi benak manusia atau kelompok sosial (Althusser, 2004:35). Semiotik juga dipakai bersama teori ideologi, dalam hal ini teori Althusserian. Teori ideologi mengatakan bahwa apa yang tampaknya biasa dan natural sebenarnya memendam 51 ketidaksadaran akan suatu distorsi. Apa yang tampaknya biasa, sudah diterima umum ternyata sudah mengandung muatan ideologi yaitu ideologi dominan. Antonio Gramsci berpendapat bahwa saat ini alat ideologi hegemoni yang dianggap paling efektif adalah media massa. Menurutnya, media massa mengkonstruksi anggapan umum (common sense) dengan menggambarkan kapitalisme seolah-olah kepentingan mereka dapat diterima oleh kelas subordinat secara alamiah dan tidak dapat untuk menolaknya. Dominasi ide-ide dalam pertarungan kekuasaan ini kemudian disebut sebagai hegemoni ide melalui usaha mengintegrasikan kata-kata (dominan) untuk mempengaruhi dan sekaligus menuangkan wacana politik pada tingkat publik. Proses hegemoni ide itu biasanya terjadi melalui penciptaan hegemoni publik lewat cara-cara stimulasi yang berbeda dari terminologi masyarakat politik yang mempertahankan kekuasaan lewat cara-cara paksaan dan kekuatan. Hegemoni ide-ide menemukan bentuknya melalui reproduksi bahasa yang digunakan oleh seseorang atas kelas sosial tertentu untukmemberikan dominasi atas makna yang diinginkan oleh kelas dominan tersebut. Artinya hegemoni ide-ide hanya dapat berjalan efektif dan menemukan kekuatannya ketika menggunakan bahasa sebagai alat dominasi, sekaligus alat represif. D. Ideologi G.M. Sudarta Dalam Karikatur Oom Pasikom Pada sebagian besar karyanya, terasa kuat gejala eufemisme atau kramanisasi yang bertolak dari ungkapan dalam bahasa Jawa sebagai titik pijak ketika berolah kritik: Ngono ya ngono, ning aja ngono. Begitu ya begitu, tapi jangan begitu. Ungkapan ini, yang telah mengental sebagai ideologi, memberi semacam garis 52 demarkasi bagi hadirnya sebuah kritik. Dua kata ngono pada bagian awal mengindikasikan kemungkinan dan peluang akan hadirnya sebuah kritik dalam pergaulan sosial kemasyarakatan. Di sini tersirat kemampuan manusia dan atau kultur Jawa untuk mengakomodasi datangnya kritik. Sedangkan kata ngono yang ketiga seolah menjadi kunci pokok yang menyiratkan pentingnya etika dan moralitas dalam tiap kritik yang muncul, tentu dengan subyektivitas khas Jawa. Artinya ada relasi yang komplementatif atas hadirnya kritik yang berpeluk erat dengan pentingnya aspek format, bentuk, dan kemasan kritik. Sehingga dalam mencermati kenyataan di atas, terlihat menyeruaknya pemaknaan wacana kritik (khas Jawa) yang bisa ditafsirkan sebagai paradoksal dan mendua. Pentingnya kritik (seolah hanya) ada pada kemasannya. Ideologi kritik semacam ini kian menguat dan strategis untuk dihadirkan ketika Oom Pasikom muncul di tengah kuku kekuasaan otoritarianisme Orde Jawa (istilah GM Sudarta untuk Orde Baru) pimpinan Soeharto. Pemerintahan militeristik yang cenderung antikritik waktu itu bagai mengalih-ubah ideologi ngono ya ngono ning aja ngono secara eksploitatif menjadi “ngritik ya ngritik ning aja ngritik” atau “protes ya protes ning aja protes”. Situasi represif inilah yang kemudian memberi celah kemungkinan bagi karikaturis penyuka kostum warna gelap tersebut untuk bersiasat membangun kreativitas dengan kritik lewat karikatur di forum publicum, yakni harian Kompas. Siasat ini, meminjam paparan Magnis Suseno dalam Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijakan Hidup Orang Jawa (1993), mengedepankan 53 dua kaidah penting dalam relasi sosial manusia Jawa, yakni “prinsip kerukunan” dan “prinsip hormat”. Kaidah pertama menentukan bahwa dalam setiap situasi manusia hendaknya bersikap sedemikian rupa agar terhindar dari konflik. Sedang kaidah kedua menuntut agar cara berkomunikasi dan membawa diri selalu disertai sikap hormat yang ditunjukkan terhadap orang lain sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Keduanya merupakan kerangka normatif yang menentukan semua interaksi dalam masyarakat Jawa. Tujuannya jelas, memelihara harmoni atau keselarasan. Di selinap dua prinsip tersebut, “prinsip humor” menjadi ruh penting pada tiap karya karikatur Oom Pasikom. E. Karikatur Sebagai Media Kritik Sosial Secara etimologis, karikatur berasal dari bahasa Italia, carricare artinya melebih-lebihkan. Perkataan karikatur mulai digunakan pertama kalinya oleh Mossini, orang Perancis yang dalam sebuah karyanya berjudul Diverse Figure pada tahun 1646. Sedangkan orang pertama yang memperkenalkan kata carricare adalah Lorenzo Bernini untuk karya-karyanya di Perancis tahun 1665. Dalam Encyclopedia of the Art dijelaskan, karikatur merupakan representasi sikap atau karakter seseorang dengan cara melebih-lebihkan sehingga melahirkan kelucuan. Karikatur bukanlah gambar biasa yang berposisi statis, atau merefleksikan sama persis obyek yang digambar. Karikatur lebih menekankan kesatiran dan pendistorsian. Dengan menitikberatkan pada kesatiran dan distorsi, seorang karikaturis harus mampu menggali pemaknaannya terhadap realitas yang terjadi di sekitarnya ke dalam unsur-unsur grafis yang “berlebihan”. Karikaturis bertugas “menerjemahkan” 54 realitas eksternal ke dalam bahasa tanda yang menurutnya relevan dalam mempengaruhi publik yaitu menghibur tanpa mengabaikan fungsi kritik. Karikatur sebagai kartun editorial menurut Jaya Suprana merupakan karya visualisasi tajuk rencana yang mencerminkan nuansa zaman yang tidak kalah fasih berkomunikasi daripada ungkapan bahasa verbal. Ia dapat menyentuh tanpa menyakiti, mengkritik tanpa menghina, tertawa tanpamenertawakan, dan jenaka tanpa melecehkan. Selain itu, menurut G.M Sudarta gambar karikatur adalah gambar lelucon yang membawa pesan kritik sosial sebagaimana kita lihat disetiap ruang opini surat kabar. (Sobur, 2009:138) Istilah kartun dan karikatur sering kita dengar, bahkan tak sedikit yang mengartikan sama. Sampai sekarang batasan kartun dan karikatur masih tumpang tindih. Perbedaan kartun dan karikatur terletak pada kadar kritiknya. Karikatur adalah kartun yang menampilkan sosok masyarakat, figur, tokoh politik, ataupun artis, dan sebagainya secara eksplisit dengan bentuk yang sudah terdeformasi, tetapi tetap menampilkan ciri khas atau identik dengan tokoh yang dikarikaturkan. Secara teknis jurnalistik, karikatur diopinikansebagai opini redaksi media dalam bentuk gambar yang sarat dengan muatan kritik sosial dengan memasukkan unsur kelucuan, anekdot, atau humor agar siapapun yang melihatnya bisa tersenyum, termasuk tokoh atau objek yang dikarikaturkan itu sendiri. Gambar kartun yang mengandung sindiran atau juga disebut Graphic Satire, mempunyai pengertian sebagai karya satir yang dikemas dalam bentuk visual. Adapun beberapa teknik pengungkapan graphic satire, yaitu: 55 1. In concreli, teknik pengungkapan dengan menggunakan pengkajian yang ganjil, aneh, dan absurd. Teknik ini melecehkan logika waktu dan tempat. 2. Distortion, melebih-lebihkan atau hiperbola. Teknik ini membuat deformasi pada satu karakter atau keadaan tertentu. 3. Contrast, menyajikan dengan hal-hal yang berlawanan, paradoks, maupun ironi. 4. Indirection, penyajian dengan menggunakan simbol-simbol, idiom, metafora, parodi atau utopia. 5. Surprise, penggunaan logika yang tidak terduga dan mengejutkan. Dalam sebuah karikatur dapat ditemukan adanya perpaduan unsur-unsur kecerdasan, ketajaman, dan ketepatan berpikir kritis serta ekspresif yang dituangkan melalui seni gambar. Berkomunikasi melalui media gambar, membuat seseorang tidak akan merasa terancam takut mengaitkan hal-hal yang dianggap tabu. Bahkan sebaliknya, berkomunikasi dalam bentuk gambar visual memiliki kekuatan tersendiri akan penggambaran tentang sesuatu hal. Karikatur pada umumnya merupakan bentuk reaksi anggota masyarakat (karikaturis) dalam menanggapi fenomena yang sedang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Mengingat bentuknya yang non-verbal, maka pembaca dirangsang dan didorong secara kreatif mengembangkan berbagai interpretasi untuk memahami pesan sebagai respon terhadap apa yang diungkapkan oleh karikaturisnya dalam sebuah media. Sebagai media kritik sosial dan politik, 56 kehadiran karikatur dalam media cetak tidak hanya berfungsi sebagai penghias, tetapi juga memiliki fungsi-fungsi lain, yaitu: 1. Fungsi menghibur, kartun atau karikatur akan menghibur pembaca setelah membaca berita-beritanya yang sifatnya serius dan menyerap banyak perhatian. 2. Fungsi pengawasan, dalam penciptaannya kartun dan karikatur selain ditujukan untuk menghibur juga banyak difungsikan sebagai wahana kritik sosial terhadap segala ketimpangan yang terjadi di tengah masyarakat. 3. Fungsi pendidikan, yaitu meningkatkan kemampuan berpikir dan perenungan bagi penikmatnya meskipun mediumnya adalah humor. 4. Fungsi informatif, seperti halnya media massa, kartun dan karikatur yang terdapat dalam media cetak berfungsi sebagai wahana media informasi bagi khalayak pembaca mengenaisegala hal yang terjadi di tengah masyarakat. Adapun sifat-sifat karikatur dapat dibagi menjadi tiga macam (Sibarani, 2001), yaitu: karikatur orang-pribadi, karikatur sosial, dan karikatur politik. Karikatur orang-pribadi menggambarkan seseorang (biasanya tokoh yang dikenal) dengan mengekspose ciri-cirinya dalam bentuk wajah ataupun kebiasaannya tanpa objek lain atau situasi di sekelilingnya secara karikatural. Karikatur sosial mengemukakan dan menggambarkan persoalan-persoalan masyarakat yang menyinggung rasa keadilan sosial. Sedangkan karikatur politik menggambarkan 57 tentang situasi politik sedemikian rupa agar kita dapat melihatnya dari segi humor dengan menampilkan para tokoh politik. F. Jean Baudrillard dan Semiotika Media Jean Baudrillard meyakini bahwa tanda-tanda memang terpisah dari objek yang mereka tandai dan bahwa media telah menggerakkan proses ini hingga titik di mana tidak ada yang nyata. Awalnya sebuah tanda adalah sebuah representasi sederhana dari sebuah objek atau situasi. Tanda memiliki sebuah hubungan yang jelas dengan apa yang diwakilinya. Baudrillard menyebut tahapan ini sebagai susunan simbolis (symbolic order) yang umum dalam masyarakat feodal. Dalam tahapan yang kedua yaitu, peniruan (counterfeits), tanda dianggap sebagai hubungan yang kurang langsung dengan objek-objek kehidupan. Tanda sebenarnya menghasilkan makna baru yang sebenarnya bukan merupakan bagian alami dari pengalaman yang ditandainya. Sebagai contoh, status, kesejahteraan, dan reputasi dihubungkan dengan materi karena cara mereka ditandai. Tahapan selanjutnya, selama Revolusi Industri, adalah apa yang Baudrillard sebut dengan produksi (production); di dalamnya, mesin-mesin yang ditemukan untuk menggantikan tenaga manusia, menjadikan objek yang terpisah dari penggunaan manusia akan penanda. Dalam era produksi, ketika Anda menekan tombol yang tepat, alat penekan metal akan membentuk metal, apa pun yang Anda pikirkan tentang hal tersebut. Saat ini kita berada dalam era simulasi, di mana tanda tidak lagi mewakili – tetapi menciptakan – realitas kita. Simulasi menentukan siapa kita dan apa yang kita lakukan. Kita tidak lagi menggunakan alat-alat bantu untuk mewakili 58 pengalaman kita; tanda yang membuatnya. Alih-alih memiliki komunikasi yang nyata yang melibatkan interaksi antarmanusia, media mendominasi kehidupan kita dengan informasi yang membentuk apa yang kita rasakan sebagai pengalaman nyata, tetapi yang juga dihilangkan dari hal-hal yang alami. Kita mulai menganggap bajak laut di Disneyland sebagai pengalaman asli, tetapi sebenarnya itu merupakan pengalaman dalam simulasi yang menciptakan oleh media. Budaya komoditas kita yang didorong oleh media merupakan salah satu aspek simulasi tempat kita hidup. Lingkungan tiruan memberitahu kita apa yang harus dilakukan – lingkungan ini membentuk selera, pilihan, kesukaan, dan kebutuhan kita. Nilai-nilai dan perilaku sebagian besar orang sangat dibatasi oleh “realitas” yang disimulasikan dalam media. Kita mengira bahwa kebutuhan pribadi kita terpenuhi, tetapi kebutuhan ini sebenarnya adalah kebutuhan yang disamakan yang dibentuk oleh penggunaan tanda-tanda dalam media. Pesan- pesan media dipenuhi oleh gambar-gambar simbolis yang memang dirancang untuk memengaruhi individu dan masyarakat. 59