View/Open - Repository | UNHAS

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori Dasar
1.
Teori Komunikasi
a.
Pengertian Komunikasi
Istilah komunikasi atau dalam bahasa inggris communication berasal
dari kata latin communicatio, dan bersumber dari kata communis yang
berarti sama. Sama di sini maksudnya adalah sama makna.
Menurut Hovland (dalam effendi, 1999:10), Ilmu Komunikasi adalah
upaya yang sistematis untuk merumuskan secara tegas asas-asas
penyampaian informasi serta pembentukan pendapat dan sikap. Definisi
Hovland ini menunjukkan bahwa yang dijadikan objek studi Ilmu
Komunikasi bukan saja penyampaian informasi, melainkan juga
pembentukan pendapat umum (public opinion) dan sikap publik (public
attitude) yang dalam kehidupan sosial dan kehidupan politik memiliki
peranan yang amat penting. Bahkan dalam definisinya secara khusus
mengenai pengertian komunikasi sendiri, Hovland mengatakan bahwa
komunikasi adalah proses mengubah perilaku orang lain (communication
is the process to modifu the bahaviour of other individuals).
Menurut Joseph A. Devito mendefinisikan communicologi sebagai
ilmu komunikasi, terutama komunikasi oleh dan di antara manusia.
Seorang komunikolog adalah seorang ahli komunikasi.
36
Istilah komunikasi dipergunakan untuk menunjukkan tiga bidang
studi yang berbeda: proses komunikasi, pesan yang dikomunikasikan,
dan studi mengenai proses komunikasi. Komunikasi termasuk ke dalam
ilmu sosial yang meliputi intrapersonal commnication, interpersonal
communication,
group
communication,
mass
communication,
intercultural communication, dan sebagainya.
b. Model Komunikasi
Lasswell mengatakan bahwa cara yang baik untuk menjelaskan
komunikasi ialah menjawab pertanyaan sebagai berikut: Who Says What
In which Channel To Whom With What Effect?
1) Who; Siapa, yaitu individu, kelompok atau organisasi yang
bertindak sebagai komunikator atau penyampai pesan.
2) Say What; Mengatakan apa, yaitu pesan yang disampaikan
individu, kelompok, atau oraganisasi.
3) In Which Channel; Dengan saluran apa, merupakan media apa
yang digunakan dalam proses komunikasi.
4) To Whom; Kepada siapa, yaitu objek atau kelompok yang
menjadi sasaran komunikasi.
5) With What Effect; Yaitu respon, yang menyangkut perilaku atau
sikap individu, masyarakat setelah menerima pesan.
37
Dalam penelitian ini, penulis memakai formula Laswell:
Siapa
Mengatak
an apa
Kepada
siapa
Melalui
apa
Dan apa
akibatn
ya
Model ini mengisyaratkan bahwa lebih dari satu saluran dapat
membawa pesan. Unsur sumber (Who)
merangsang pertanyaan
mengenai pengemdalian pesan, sedangkan unsur pesan (Says What)
merupakan bahan untuk analisis isi pesan. Saluran komunikasi (In Which
Channel) dikaji dalam analisis media. Unsur penerima (To Whom)
diakitkan dengan analisis khalayak, sementara unsur pengaru (With What
Effect) jelas berhubungan dengan studi mengenai akibat yang
ditimbulkan pesan komunikasi
massa pada
khalayak pembaca,
pendengar, atau pemirsa.
Paradigma Laswell di atas menunjukkan bahwa komunikasi meliputi
lima unsur sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan itu, yakni:
1) Komunikator (Communicator, Source, Sender), pengirim pesan
kepada seseorang atau sejumlah orang.
2) Pesan (Message), merupakan seperangkat lambang bermakna
yang disampaikan oleh komunikator.
3) Media (Channel, Media), saluran komunikasi atau tempat
berlalunya pesan dari komunikator kepada komunikan
4) Komunikan
(Communicant,
Communicatee,
Receiver,
Recipient), seseorang atau sejumlah orang yang menerima
pesan.
38
5) Efek (Effect, Impact, Influence), efek di sini bisa berupa
tanggapan dari komunikan apabila pesan tersampaikan atau
disampaikan kepada komunikator.
Jadi berdasarkan paradigma Laswell tersebut, komunikasi
adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada
komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu.
2.
Teori Semiotika Pesan
a.
Teori Simbol: Susanne Langer
Menurut Langer, semua binatang yang hidup didominasi oleh
perasaan, tetapi perasaan manusia dimediasikan oleh konsepsi,
simbol, dan bahasa. Tanda (sign) adalah sebuah stimulus yang
menandakan kehadiran dari suatu hal. Sebuah tanda berkaitan erat
dengan makna dari kejadian sebenarnya. Awan dapat menjadi tanda
untuk hujan, tertawa tanda untuk kebahagiaan, dan sebuah tanda
jingga tua atau orange “kawasan pekerja” merupakan petunjuk untuk
konstruksi selanjutnya. Hubungan sederhana ini disebut pemaknaan
(signification). Anda akan berjalan pelan ketika melihat sebuah tanda
konstruksi oranye karena adanya pemaknaan.
Sebaliknya, simbol digunakan dengan cara yang lebih kompleks
dengan membuat seseorang untuk berfikir tentang sesuatu yang
terpisah dari kehadirannya. Sebuah simbol adalah konseptualisasi
manusia tentang suatu hal; sebuah simbol ada untuk sesuatu.
Sementara tertawa adalah sebuah tanda kebahagiaan, kita dapat
39
mengubah gelak tawa menjadi sebuah simbol dan membuat
maknanya berubah dalam banyak hal terpisah dari acuannya secara
langsung. Dapat berarti kesenangan, kelucuan, ejekan, cemoohan,
melepaskan tekanan, di antara banyak hal. Kita arahkan ke dunia
fisim dan sosial kita melalui simbol-simbol dan maknanya serta
makna membuat suatu hal sering menjadi jauh lebih penting
daripada objek sesungguhnya atau keterangan mereka.
Sebuah simbol atau kumpulan simbol-simbol bekerja dengan
menghubungkan sebuah konsep, ide umum, pola, atau bentuk.
Menurut Langer, konsep adalah makna yang disepakati bersamasama di antara pelaku komunikasi. Bersama, makna yang disetujui
adalah makna denotatif, sebaliknya, gambaran atau makna pribadi
adalah makna konotatif. Langer memandang makna sebagai
hubungan kompleks di antara simbol, objek, dan manusia yang
melibatkan denotasi (makna bersama) dan konotasi (makna pribadi).
Abstraksi, sebuah proses pembentukan ide umum dari sebentuk
keterangan konkret, berdasarkan pada denotasi dan konotasi dari
simbol. Langer mencatat bahwa proses manusia secara utuh
cenderung abstrak. Ini adalah sebuag proses yang mengesampingkan
detail dalam memahami objek, peristiwa, atau situasi umum.
Semakin abstrak simbol, gambaran semakin kurang lengkap.
Walupun denotasi biasanya lebih mendetail, konotasi dapat
memasukkan banyak detail menyangkut makna simbol bagi
40
individu. Baik debotatif maupun konotatif, tidak dapat menangkap
gambaran secara lengkap. Penggunaan simbol pada manusia
dirumaitkan oleh fakta bahwa tidak ada hubungan langsung antara
simbol dengan objek sebenarnya dan manusia menggunakan simbol
dalam kombinasi. Signifikasi sebenarnya dari bahasa adalah wacana,
yang di dalamnya menghubungkan kata-kata menjadi kalimat dan
paragraf. Wacana mengekpresikan proposisi, di mana simbol-simbol
kompleks yang menghadirkan sebuah gambaran sesuatu.
b. Teori Linguistik
Ferdinand de Saussure mengajarkan bahwa tanda, termasuk
bahasa, dapat berubah-ubah. Bahasa yang berbeda menggunakan
kata-kata yang berbeda untuk hal yang sama dan biasanya tidak ada
hubungan secara fisik antara sebuah kata dan acuannya. Oleh karena
itu, tanda adalah kaidah yang ditata oleh aturan. Tanda tidak
menandakan objek, melainkan mendasari mereka. Dapat saja tidak
ada objek yang terpisah dari tanda yang digunakan untuk
merancangnya.
Saussure meyakini bahwa peneliti harus memperhatikan hal
yang membentuk bahasa, seperti bunyi pengucapan, kata-kata, dan
tata bahasa karena walaupun struktur bahasa berubah-ubah, tetapi
tidak untuk penggunaan bahasa. Saussure membuat sebuah pembeda
penting antara bahasa formal, yang disebut langue, dan kegunaan
bahasa sebenarnya dalam komunikasi, yang disebut sebagai parole.
41
Bahasa (langue) adalah sebuah sistem baku yang dapat dianalisis
terpisah dari kegunaannya dalam kehidupan sehari-hari. Pengucapan
(parole) adalah kegunaan sebenarnya dari bahasa untuk mencapai
tujuan.
c.
Teori Perilaku Non-Verbal
Kode non-verbal adalah sekumpulan perilaku yang digunakan
untuk menyampaikan arti. Judee Burgoon menggolongkan sistem
kode non-verbal seperti halnya memiliki beberapa struktur sifat.
Pertama, kode non-verbal cenderung analog daripada digital.
Sinyal digital mempunyai ciri tersendiri, seperti huruf dan angka.
Sedangkansinyal analog berkesinambungan membentuk sebuah
tingkatan ataur spektrum, seperti volume suara dan intensitas cahaya.
Kedua, kemiripan (iconity) menyerupai benda yang telah
disimbolkan (seperti ketika anda menggambarkan sesuatu dengan
tangan anda)
Ketiga, kode non-verbal tertentu kelihatannya memunculkan
makna universal. Terutama, dalam kasus yang berhubungan dengan
tanda-tanda, seperti ancaman dan penunjukkan emosi yang mungkin
saja dapat ditentukan secara biologis.
Keempat, kode non-verbal memungkinkan adanya transmisi
berkesinambungan dalam beberapa pesan. Dengan wajah, tubuh,
suara, dan tanda-tanda lainnya beberapa pesan yang berbeda dapat
terkirim sekaligus.
42
Kelima, sinyal non-verbal sering menimbulkan sebuah respon
otomatis – menerobos lampu merah. Pada akhirnya, tanda-tanda
non-verbal sering terpancar secara spontan seperti ketika Anda
melepaskan rasa gugup dengan memainkan rambut Anda atau
menggoyangkan kaki Anda.
3.
Teori-Teori Makna
Ada beberapa pandangan yang menjelaskan ihwal teori atau konsep
makna. Model proses makna Wendell Johnson menawarkan sejumlah
implikasi bagi komunikasi antar manusia:
1) Makna ada dalam diri manusia. Makna tidak terletak pada katakata melainkan pada manusia. Kita menggunakan kata-kata
untuk mendekati makna yang ingin kita komunikasikan. Tetapi
kata-kata
itu
tidak
secara
sempurna
dan
lengkap
menggambarkan makna yang kita maksudkan. Demikian pula,
makna yang didapat pendengar dari pesan-pesan kita akan
sangat berbeda dengan makna yang ingin kita komunikasikan.
Komunikasi
adalah
proses
yang
kita
gunakan
untuk
mereproduksi, di benak pendengar, apa yang ada di dalam benak
kita. Reproduksi ini hanyalah sebuah proses parsial dan selalu
bisa salah.
2) Makna berubah. Kata-kata relatif statis. Banyak dari kata-kat
yang kita gunakan 200 atau 300 tahun yang lalu. Tetapi makna
dari kata-kata itu terus berubah, dan ini khususnya terjadi pada
43
dimensi emosional dari makna. Bandingkanlah, misalnya makna
kata-kata berikut bertahun-tahun yang lali dan sekarang,
hubungan di luar nikah, obat, agama, hiburan, dan perkawinan
(Di Amerika Serikat, kata-kata ini diterima secara berbeda pada
saat ini dan di masa-masa yang lalu.
3) Makna membutuhkan acuan. Walaupun tidak semua komunikasi
mengacu pada dunia nyata, komunikasi hanya masuk akal
bilaman ia mempunyai kaitan dengan dunia atau lingkungan
eksternal. Obsesi seorang paranoid yang selalu merasa diawasi
dan teraniaya merupakan contoh makna yang tidak mempunyai
acuan yang memadai.
4) Penyingkatan
yang
berlebihan
akan
mengubah
makna.
Berkaitan erat dengan gagasan bahwa makna membutuhkan
acuan
adalah
masalah
komunikasi
yang
timbul
akibat
penyingkatan yang berlebihan tanpa mengaitkannya dengan
acuan yang konkret dan dapat diamati. Bila kita berbicara
tentang cinta, persahabatan, kebahagiaan, kebaikan, dan
kejahatan,
dan
konsep-konsep
lain
yang
serupa
tanpa
mengaitkannya dengan sesuatu yang spesifik, kita tidak akan
bisa berbagi makna dengan lawan bicara. Mengatakan kepada
seorang anak untuk “manis” dapat mempunyai banyak makna
penyingkatan perlu dikaitkan dengan objek, kejadian, dan
perilaku dalam dunia nyata: “Berlaku manislah dan bermain
44
sendirilah sementara ayah memasak.” Bila anda telah membuat
hubungan seperti ini, Anda akan bisa membagi apa yang Anda
maksudkan
dan
tidak
membiarkan
keseluruhan
tindak
komunikasi berubah.
5) Makna tidak terbatas jumlahnya. Pada suatu saat tertentu,
jumlah kata dalam suatu bahasa terbatas, tetapi maknanya tidak
terbatas. Karena itu, kebanyakan kata mempunyai banyak
makna. Ini bisa menimbulkan masalah bila sebuah kata diartika
secara berbeda oleh dua orang yang sedang berkomunikasi. Bila
ada keraguan, sebaiknya Anda bertanya dan bukan membuat
asumsi; ketidaksepakatan akan hilang bila makna yang diberikan
masing-masing pihak diketahui.
6) Makna dikomunikasikan hanya sebagian. Makna yang kita
peroleh dari suatu kejadian (event) bersifat multiaspek dan
sangat kompleks, tetapi hanya sebagian saja dari makna-makna
ini yang benar-benar dapat dijelaskan. Banyak dari makna
tersebut tetap tinggal dalam benak kita. Karenanya, pemahaman
yang sebenarnya – pertukaran makna secara sempurna –
barangkali merupakan tujuan ideal yang ingin kita capai tetapi
tidak pernah tercapai.
45
B. Semiologi Dan Mitologi Roland Barthes
Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang getol
mempraktikkan model linguistik dan semiologi Saussurean. Ia jua inteletual dan
kritikus sastra Perancis yang ternama; ekponen penerapan strukturalisme dan
semiotika pada studi sastra. Ia berpendapat bahwa bahasa adalah sebuah sistem
tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam
waktu tertentu.
Lima kode yang yang ditinjau Barthes adalah kode hermeneutik (kode tekateki), kode semik (makna konotatif), kode simbolik, kode proaretik (logika
tindakan), dan kode gnomik atau kode kultural yang membangkitkan suatu badan
pengetahuan tertentu.
Kode hermeneutik atau kode teka-teki berkisar pada harapan pembaca untuk
mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. Kode tekateki merupakan unsur struktur yang utama dalam narasi tradisional. Di dalam
narasi ada suatu kesinambungan antara pemunculan suatu peristiwa teka-teki dan
penyelesaiannya di dalam cerita.
Kode semik atau kode konotatif banyak menawarkan banyak sisi. Dalam
proses pembacaan, pembaca penyusun tema suatu teks. Ia melihat bahwa konotasi
kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan konotasi kata
atau frase yang mirip. Jika kita melihat suiatu kumpulan satuan konotasi, kita
menemukan suatu tema di dalam cerita. Jika sejumlah konotasi melekat pada
suatu nama tertentu, kita dapat mengenali suatu tokoh dengan atribut
46
tertentu.perlu dicatat bahwa Barthes menganggap bahwa denotasi sebagai
konotasi yang paling kuat dan paling “akhir”.
Kode simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas bersifat
struktural, atau tepatnya menurut konsep Barthes, pasca struktural. Hal ini
didasarkan pada gagasan bahwa makna berasal dari beberapa oposisi biner atau
pembedaan-baik dalam taraf bunyi menjadi fonem dalam proses produksi wicara,
maupun pada taraf oposisi psikoseksual yang melalui proses. Misalnya, seorang
anak belajar bahwa ibunya dan ayahnya berbeda satu sama lain dan bahwa
perbedaan itu juga membuat anak itu sama dengan satu di antara keduanya dan
berbeda dari yang lainnya. Ataupun pada taraf pemisahan dunia secara kultural
dan primitif menjadi kekuatan dan nilai-nilai yang berlawanan yang secara
mitologis dapat dikodekan. Dalam suatu teks verbal, perlawanan yang bersifat
simbolik seperti ini dapat dikodekan melalui istilah-istilah retoris seperti antitesis,
yang merupakan hal yang istimewa dalam sistem simbol Barthes.
Kode proaretik atau kode tindakan/lakuan dianggapnya sebagai perlengkapan
utama teks yang bersifat naratif. Secara teoritis Barthes melihat semua lakuan
dapat dikodifikasi, dari terbukanya pintu sampai petualangan yang romantis. Pada
praktiknya, ia menerapkan beberapa prinsip seleksi. Kita mengenal kode lakuan
atau peristiwa karena kita dapat memahaminya. Pada kebanykan fiksi, kita selalu
mengharap lakuan di-“isi” sampai lakuan utama menjadi perlengkapan utama
suatu teks.
Kode gnomik atau kode kultural banyak jumlahnya. Kode ini meruipakan
acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi oleh budaya.
47
Menurut Barthes, realisme tradisional didefinisi oleh acuan ke apa yang telah
diketahui. Rumusan suatu budaya atau subbudaya adalah hal-hal kecil yang telah
dikodifikasi yang di atasnya para penulis bertumpu.
Tujuan analisis Barthes ini, menurut Lechte (dalam Sobur 2009:196), bukan
hanya untuk membangun suatu sistem klasifikasi unsur-unsur narasi yang sangat
formal, namun lebih banyak untuk menunjukkan bahwa tindakan yang paling
masuk akal, rincian yang paling meyakinkan, atau teka-teki yang paling menarik,
merupakan produk buatan, bukan tiruan dari yang nyata.
Salah satu area penting yang dirambah oleh Barthes dalam studinya tentang
tanda adalah peran pembaca (reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli
tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi, Barthes secara
panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sistem pemaknaan tataran ke-dua,
yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. Sistem ke-dua ini
oleh Barthes disebut dengan konotatif yang secara tegas ia bedakan dari denotatif
atau sistem pemaknaan tataran pertama. Dalam konsep Barthes, tanda konotatif
tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian
tanda denotatif yang melandasi keberadaanya.
Pada dasarnya, ada perbedaan antara denotasi dan konotasi dalam pengertian
secara umum serta denotasi dan konotasi yang dimengerti oleh Barthes. Dalam
pengertian umum, denotasi biasanya dimengerti sebagai makna harfiah, makna
yang “sesungguhnya.” Bahkan kadang kala juga dirancukan dengan referensi atau
acuan. Proses signifikasi yang secara tradisional disebut sebagai denotasi ini
biasanya mengacu kepada penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai dengan apa
48
yang terucap. Akan tetapi di dalam semiologi Roland Barthes dan para
pengikutnya, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara
konotasi merupakan tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi justru lebih
diasosiasikan dengan ketertutupan makna dan, dengan demikian, sensor atau
represi politis. Sebagai reaksi yang paling ekstrem melawan keharfiahan denotasi
yang bersifat opresif ini, Barthes mencoba menyingkirkan dan menolaknya.
Baginya, yang ada hanyalah konotasi semata-mata. Penolakan ini mungkin terasa
berlebihan, namun ia tetap berguna sebagai sebuah koreksi atas kepercayaan
bahwa makna “harfiah” merupakan sesuatu yang bersifat alamiah.
Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang
disebutnya sebagai “mitos” dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan
pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu.
Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda, dan tanda,
namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai
pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau, dengan kata lain, mitos adalah juga
suatu sistem pemaknaan tataran ke-dua. Di dalam mitos pula sebuah petanda
dapat memiliki beberapa penanda. Barthes mengartikan mitos sebagai cara
berfikir kebudayaan tentang sesuatu, sebuah cara mengkonseptualisasikan atau
memahami sesuatu hal. Barthes menyebutkan mitos sebagai rangkaian konsep
yang saling berkaitan.
Mitos adalah sistem komunikasi, sebab ia membawakan pesan. Maka itu,
mitos bukanlah objek. Mitos bukan pula konsep ataupun suatu gagasan,
melainkan suatu cara signifikasi, suatu bentuk. Lebih jauhnya lagi, mitos tidak
49
ditentukan oleh objek ataupun materi (bahan) pesan yang disampaikan, melainkan
oleh cara mitos disampaikan. Mitos tidak hanya berupa pesan yang disampaikan
dalam bentuk verbal (kata-kata lisan ataupun tulisan), namun juga dalam berbagai
bentuk lain atau campuran antarabentuk verbal dan nonverbal. Misalnya dalam
bentuk film, lukisan, fotografi, iklan dan komnik. Semuanya dapat digunakan
untuk menyampaikan pesan.
Barthes menempatkan ideologi dengan mitos karena, baik di dalam mitos
maupun ideologi hubungan antara penenda konotatif dan petanda konotatif terjadi
secara termotivasi (Budiman dalam Sobur, 2009:128). Barthes memahami
ideologi sebagai kesadaran palsu yang membuat orang hidup di dalm dunia yang
imajiner dan ideal, meski realitas hidupnya yang sesungguhnya tidaklah demikian.
Ideologi ada selama kebudayaan ada, dan itulah sebabnya Barthes berbicara
tentang konotasi sebagai suatu ekspresi budaya. Kebudayaan mewujudkan dirinya
di dalm teks-teks dan, dengan demikian, ideologi pun mewujudkan dirinya
melalui berbagai kode yang merembes masuk ke dalam teks dalam bentuk
penanda-penanda penting, seperti tokoh, latar, sudut pandang, dan lain-lain.
C. Ideologi Media
Ideologi secara etimologis berasal dari bahasa Greek, yang terdiri atas idea
dan logia. Idea berasal dari idein yang berarti melihat. Sesuatu yang ada di dalam
pikiran sebagai hasil perumusan suatu pemikiran atau rencana. Kata logia
mengandung makna ilmu pengetahuan atau teori. Sedangkan kata logis berasal
dari kata logos atau legein yang berarti to speak atau berbicara. Jadi dapat
50
diartikan bahwa ideologi adalah pengucapan dari yang terlihat atau pengutaraan
apa yang terumus di dalam pikiran sebagai hasil dari pemikiran.
Ada empat karya Althusser yang menjadi inti dari pandangannya tentang
ideologi, yaitu: Pertama, Ideologi memiliki fungsi umum membangun subjek.
Kedua, Ideologi sebagai pengalaman yang dijalani tidaklah palsu. Ketiga, Ideologi
sebagai kesalahan dalam memahami kondisi nyata eksistensi adalah palsu.
Keempat, Ideologi terlibat dalam reproduksi bangunan sosial dan relasi mereka
terhadap kekuasaan.
Dalam mengkaji ideologi, Althusser memperkenalkan dua istilah kunci dalam
ideologi, yaitu Ideological State Apparature (ISA) dan Repressive State
Apparature (RSA). RSA menjalankan fungsinya melalui kekerasan, sedangkan
ISA menjalankan fungsinya secara ideologi. ISA fungsi primernya adalah secara
ideologi baru kemudian sekunder melalui kekerasan. Bagi Althusser tidak ada
kelas dalam masyarakat yang dapat memegang kekuasaan tanpa melakukan
hegemoni dan menjalankan ISA. Dalam penelitian ini, ISA mempunyai peran
yang penting dalam proses representasi. Hal ini dikarenakan ISA dapat bergerak
dalam wilayah individu, dalam hal ini adalah kebudayaan. Hal lainnya adalah
media massadalam bekerja menggunakan ISA yaitu dengan menyebarkan gagasan
dominan yang diproduksi oleh kelas dominan dengan orientasi pasar.
Ideologi adalah sistem gagasan dan berbagai representasi yang mendominasi
benak manusia atau kelompok sosial (Althusser, 2004:35). Semiotik juga dipakai
bersama teori ideologi, dalam hal ini teori Althusserian. Teori ideologi
mengatakan bahwa apa yang tampaknya biasa dan natural sebenarnya memendam
51
ketidaksadaran akan suatu distorsi. Apa yang tampaknya biasa, sudah diterima
umum ternyata sudah mengandung muatan ideologi yaitu ideologi dominan.
Antonio Gramsci berpendapat bahwa saat ini alat ideologi hegemoni yang
dianggap paling efektif adalah media massa. Menurutnya, media massa
mengkonstruksi anggapan umum (common sense) dengan menggambarkan
kapitalisme seolah-olah kepentingan mereka dapat diterima oleh kelas subordinat
secara alamiah dan tidak dapat untuk menolaknya.
Dominasi ide-ide dalam pertarungan kekuasaan ini kemudian disebut sebagai
hegemoni ide melalui usaha mengintegrasikan kata-kata (dominan) untuk
mempengaruhi dan sekaligus menuangkan wacana politik pada tingkat publik.
Proses hegemoni ide itu biasanya terjadi melalui penciptaan hegemoni publik
lewat cara-cara stimulasi yang berbeda dari terminologi masyarakat politik yang
mempertahankan kekuasaan lewat cara-cara paksaan dan kekuatan. Hegemoni
ide-ide menemukan bentuknya melalui reproduksi bahasa yang digunakan oleh
seseorang atas kelas sosial tertentu untukmemberikan dominasi atas makna yang
diinginkan oleh kelas dominan tersebut. Artinya hegemoni ide-ide hanya dapat
berjalan efektif dan menemukan kekuatannya ketika menggunakan bahasa sebagai
alat dominasi, sekaligus alat represif.
D. Ideologi G.M. Sudarta Dalam Karikatur Oom Pasikom
Pada sebagian besar karyanya, terasa kuat gejala eufemisme atau kramanisasi
yang bertolak dari ungkapan dalam bahasa Jawa sebagai titik pijak ketika berolah
kritik: Ngono ya ngono, ning aja ngono. Begitu ya begitu, tapi jangan begitu.
Ungkapan ini, yang telah mengental sebagai ideologi, memberi semacam garis
52
demarkasi bagi hadirnya sebuah kritik. Dua kata ngono pada bagian awal
mengindikasikan kemungkinan dan peluang akan hadirnya sebuah kritik dalam
pergaulan sosial kemasyarakatan.
Di sini tersirat kemampuan manusia dan atau kultur Jawa untuk
mengakomodasi datangnya kritik. Sedangkan kata ngono yang ketiga seolah
menjadi kunci pokok yang menyiratkan pentingnya etika dan moralitas dalam tiap
kritik yang muncul, tentu dengan subyektivitas khas Jawa. Artinya ada relasi yang
komplementatif atas hadirnya kritik yang berpeluk erat dengan pentingnya aspek
format, bentuk, dan kemasan kritik. Sehingga dalam mencermati kenyataan di
atas, terlihat menyeruaknya pemaknaan wacana kritik (khas Jawa) yang bisa
ditafsirkan sebagai paradoksal dan mendua. Pentingnya kritik (seolah hanya) ada
pada kemasannya.
Ideologi kritik semacam ini kian menguat dan strategis untuk dihadirkan
ketika Oom Pasikom muncul di tengah kuku kekuasaan otoritarianisme Orde Jawa
(istilah GM Sudarta untuk Orde Baru) pimpinan Soeharto. Pemerintahan
militeristik yang cenderung antikritik waktu itu bagai mengalih-ubah ideologi
ngono ya ngono ning aja ngono secara eksploitatif menjadi “ngritik ya ngritik
ning aja ngritik” atau “protes ya protes ning aja protes”. Situasi represif inilah
yang kemudian memberi celah kemungkinan bagi karikaturis penyuka kostum
warna gelap tersebut untuk bersiasat membangun kreativitas dengan kritik lewat
karikatur di forum publicum, yakni harian Kompas.
Siasat ini, meminjam paparan Magnis Suseno dalam Etika Jawa: Sebuah
Analisa Falsafi tentang Kebijakan Hidup Orang Jawa (1993), mengedepankan
53
dua kaidah penting dalam relasi sosial manusia Jawa, yakni “prinsip kerukunan”
dan “prinsip hormat”. Kaidah pertama menentukan bahwa dalam setiap situasi
manusia hendaknya bersikap sedemikian rupa agar terhindar dari konflik. Sedang
kaidah kedua menuntut agar cara berkomunikasi dan membawa diri selalu disertai
sikap hormat yang ditunjukkan terhadap orang lain sesuai dengan derajat dan
kedudukannya. Keduanya merupakan kerangka normatif yang menentukan semua
interaksi dalam masyarakat Jawa. Tujuannya jelas, memelihara harmoni atau
keselarasan. Di selinap dua prinsip tersebut, “prinsip humor” menjadi ruh penting
pada tiap karya karikatur Oom Pasikom.
E. Karikatur Sebagai Media Kritik Sosial
Secara etimologis, karikatur berasal dari bahasa Italia, carricare artinya
melebih-lebihkan. Perkataan karikatur mulai digunakan pertama kalinya oleh
Mossini, orang Perancis yang dalam sebuah karyanya berjudul Diverse Figure
pada tahun 1646. Sedangkan orang pertama yang memperkenalkan kata carricare
adalah Lorenzo Bernini untuk karya-karyanya di Perancis tahun 1665. Dalam
Encyclopedia of the Art dijelaskan, karikatur merupakan representasi sikap atau
karakter seseorang dengan cara melebih-lebihkan sehingga melahirkan kelucuan.
Karikatur bukanlah gambar biasa yang berposisi statis, atau merefleksikan sama
persis obyek yang digambar.
Karikatur
lebih
menekankan
kesatiran
dan
pendistorsian.
Dengan
menitikberatkan pada kesatiran dan distorsi, seorang karikaturis harus mampu
menggali pemaknaannya terhadap realitas yang terjadi di sekitarnya ke dalam
unsur-unsur grafis yang “berlebihan”. Karikaturis bertugas “menerjemahkan”
54
realitas eksternal ke dalam bahasa tanda yang menurutnya relevan dalam
mempengaruhi publik yaitu menghibur tanpa mengabaikan fungsi kritik.
Karikatur sebagai kartun editorial menurut Jaya Suprana merupakan karya
visualisasi tajuk rencana yang mencerminkan nuansa zaman yang tidak kalah
fasih berkomunikasi daripada ungkapan bahasa verbal. Ia dapat menyentuh tanpa
menyakiti, mengkritik tanpa menghina, tertawa tanpamenertawakan, dan jenaka
tanpa melecehkan. Selain itu, menurut G.M Sudarta gambar karikatur adalah
gambar lelucon yang membawa pesan kritik sosial sebagaimana kita lihat disetiap
ruang opini surat kabar. (Sobur, 2009:138)
Istilah kartun dan karikatur sering kita dengar, bahkan tak sedikit yang
mengartikan sama. Sampai sekarang batasan kartun dan karikatur masih tumpang
tindih. Perbedaan kartun dan karikatur terletak pada kadar kritiknya. Karikatur
adalah kartun yang menampilkan sosok masyarakat, figur, tokoh politik, ataupun
artis, dan sebagainya secara eksplisit dengan bentuk yang sudah terdeformasi,
tetapi tetap menampilkan ciri khas atau identik dengan tokoh yang dikarikaturkan.
Secara teknis jurnalistik, karikatur diopinikansebagai opini redaksi media dalam
bentuk gambar yang sarat dengan muatan kritik sosial dengan memasukkan unsur
kelucuan, anekdot, atau humor agar siapapun yang melihatnya bisa tersenyum,
termasuk tokoh atau objek yang dikarikaturkan itu sendiri.
Gambar kartun yang mengandung sindiran atau juga disebut Graphic Satire,
mempunyai pengertian sebagai karya satir yang dikemas dalam bentuk visual.
Adapun beberapa teknik pengungkapan graphic satire, yaitu:
55
1.
In concreli, teknik pengungkapan dengan menggunakan pengkajian yang
ganjil, aneh, dan absurd. Teknik ini melecehkan logika waktu dan
tempat.
2.
Distortion, melebih-lebihkan atau hiperbola. Teknik ini membuat
deformasi pada satu karakter atau keadaan tertentu.
3.
Contrast, menyajikan dengan hal-hal yang berlawanan, paradoks,
maupun ironi.
4.
Indirection, penyajian dengan menggunakan simbol-simbol, idiom,
metafora, parodi atau utopia.
5.
Surprise, penggunaan logika yang tidak terduga dan mengejutkan.
Dalam sebuah karikatur dapat ditemukan adanya perpaduan unsur-unsur
kecerdasan, ketajaman, dan ketepatan berpikir kritis serta ekspresif yang
dituangkan melalui seni gambar. Berkomunikasi melalui media gambar, membuat
seseorang tidak akan merasa terancam takut mengaitkan hal-hal yang dianggap
tabu. Bahkan sebaliknya, berkomunikasi dalam bentuk gambar visual memiliki
kekuatan tersendiri akan penggambaran tentang sesuatu hal.
Karikatur pada umumnya merupakan bentuk reaksi anggota masyarakat
(karikaturis) dalam menanggapi fenomena yang sedang terjadi dalam kehidupan
masyarakat. Mengingat bentuknya yang non-verbal, maka pembaca dirangsang
dan didorong secara kreatif mengembangkan berbagai interpretasi untuk
memahami pesan sebagai respon terhadap apa yang diungkapkan oleh
karikaturisnya dalam sebuah media. Sebagai media kritik sosial dan politik,
56
kehadiran karikatur dalam media cetak tidak hanya berfungsi sebagai penghias,
tetapi juga memiliki fungsi-fungsi lain, yaitu:
1.
Fungsi menghibur, kartun atau karikatur akan menghibur pembaca
setelah membaca berita-beritanya yang sifatnya serius dan menyerap
banyak perhatian.
2.
Fungsi pengawasan, dalam penciptaannya kartun dan karikatur selain
ditujukan untuk menghibur juga banyak difungsikan sebagai wahana
kritik sosial terhadap segala ketimpangan yang terjadi di tengah
masyarakat.
3.
Fungsi pendidikan, yaitu meningkatkan kemampuan berpikir dan
perenungan bagi penikmatnya meskipun mediumnya adalah humor.
4.
Fungsi informatif, seperti halnya media massa, kartun dan karikatur yang
terdapat dalam media cetak berfungsi sebagai wahana media informasi
bagi khalayak pembaca mengenaisegala hal yang terjadi di tengah
masyarakat.
Adapun sifat-sifat karikatur dapat dibagi menjadi tiga macam (Sibarani,
2001), yaitu: karikatur orang-pribadi, karikatur sosial, dan karikatur politik.
Karikatur orang-pribadi menggambarkan seseorang (biasanya tokoh yang dikenal)
dengan mengekspose ciri-cirinya dalam bentuk wajah ataupun kebiasaannya tanpa
objek lain atau situasi di sekelilingnya secara karikatural. Karikatur sosial
mengemukakan dan menggambarkan persoalan-persoalan masyarakat yang
menyinggung rasa keadilan sosial. Sedangkan karikatur politik menggambarkan
57
tentang situasi politik sedemikian rupa agar kita dapat melihatnya dari segi humor
dengan menampilkan para tokoh politik.
F. Jean Baudrillard dan Semiotika Media
Jean Baudrillard meyakini bahwa tanda-tanda memang terpisah dari objek
yang mereka tandai dan bahwa media telah menggerakkan proses ini hingga titik
di mana tidak ada yang nyata. Awalnya sebuah tanda adalah sebuah representasi
sederhana dari sebuah objek atau situasi. Tanda memiliki sebuah hubungan yang
jelas dengan apa yang diwakilinya. Baudrillard menyebut tahapan ini sebagai
susunan simbolis (symbolic order) yang umum dalam masyarakat feodal. Dalam
tahapan yang kedua yaitu, peniruan (counterfeits), tanda dianggap sebagai
hubungan yang kurang langsung dengan objek-objek kehidupan. Tanda
sebenarnya menghasilkan makna baru yang sebenarnya bukan merupakan bagian
alami dari pengalaman yang ditandainya. Sebagai contoh, status, kesejahteraan,
dan reputasi dihubungkan dengan materi karena cara mereka ditandai. Tahapan
selanjutnya, selama Revolusi Industri, adalah apa yang Baudrillard sebut dengan
produksi (production); di dalamnya, mesin-mesin yang ditemukan untuk
menggantikan tenaga manusia, menjadikan objek yang terpisah dari penggunaan
manusia akan penanda. Dalam era produksi, ketika Anda menekan tombol yang
tepat, alat penekan metal akan membentuk metal, apa pun yang Anda pikirkan
tentang hal tersebut.
Saat ini kita berada dalam era simulasi, di mana tanda tidak lagi mewakili –
tetapi menciptakan – realitas kita. Simulasi menentukan siapa kita dan apa yang
kita lakukan. Kita tidak lagi menggunakan alat-alat bantu untuk mewakili
58
pengalaman kita; tanda yang membuatnya. Alih-alih memiliki komunikasi yang
nyata yang melibatkan interaksi antarmanusia, media mendominasi kehidupan kita
dengan informasi yang membentuk apa yang kita rasakan sebagai pengalaman
nyata, tetapi yang juga dihilangkan dari hal-hal yang alami. Kita mulai
menganggap bajak laut di Disneyland sebagai pengalaman asli, tetapi sebenarnya
itu merupakan pengalaman dalam simulasi yang menciptakan oleh media.
Budaya komoditas kita yang didorong oleh media merupakan salah satu
aspek simulasi tempat kita hidup. Lingkungan tiruan memberitahu kita apa yang
harus dilakukan – lingkungan ini membentuk selera, pilihan, kesukaan, dan
kebutuhan kita. Nilai-nilai dan perilaku sebagian besar orang sangat dibatasi oleh
“realitas” yang disimulasikan dalam media. Kita mengira bahwa kebutuhan
pribadi kita terpenuhi, tetapi kebutuhan ini sebenarnya adalah kebutuhan yang
disamakan yang dibentuk oleh penggunaan
tanda-tanda dalam media. Pesan-
pesan media dipenuhi oleh gambar-gambar simbolis yang memang dirancang
untuk memengaruhi individu dan masyarakat.
59
Download