Optimasi Proses Hidrolisis Kimiawi dan Enzimatis

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Tandan Kosong Kelapa Sawit
Kelapa sawit adalah tanaman perkebunan berupa pohon berbatang lurus
dari famili palmae. Tanaman tropis ini dikenal sebagai penghasil minyak goreng.
Menurut Loebis 1992, tanaman kelapa sawit diperkirakan berasal dari Guinea,
pantai barat Afrika yang kemudian menyebar sampai ke Indonesia. Tanaman ini
memiliki nama latin Elaeis guineensis JACQ dengan taksonomi sebagai berikut :
Dunia
:
Plantae
Divisi
:
Tracheophyta
Kelas
:
Angiospermae
Ordo
:
Cocoideae
Famili
:
Palmae
Genus
:
Elaeis
Species
:
Elaeis guineensis JACQ
Gambar 1 TKKS
Tandan kosong kelapa sawit merupakan limbah utama dari industri
pengolahan kelapa sawit menjadi minyak sawit. Persentase limbah TKKS adalah
23% dari tandan buah segar,
sedangkan persentase serat dan cangkang biji
masing masing adalah 13% dan 5,5% dari tandan buah segar (Peni, 1995).
Komponen utama dari limbah padat kelapa sawit adalah selulosa dan lignin
sehingga limbah ini disebut juga limbah lignoselulosa (Darnoko, 1992).
Komposisi kimiawi tandan kosong kelapa sawit dapat dilihat pada Tabel 1
6
Tabel 1 Komposisi kimiawi tandan kosong kelapa sawit
Komponen
% bobot kering
Selulosa
45,95
Hemiselulosa
22,84
Lignin
16,49
Kadar abu
1,23
Kadar air
3,74
Darnoko (1992)
Tandan kosong kelapa sawit mempunyai tiga komponen utama yaitu
selulosa, hemiselulosa dan lignin. Limbah TKKS memiliki kandungan
holoselulosa (selulosa dan hemiselulosa) yaitu sekitar 70% dan kandungan lignin
sekitar 17% ( Peni, 1995). Hasil penelitian Darnoko (1992) juga menunjukkan
hasil yang serupa, TKKS mengandung selulosa 45,95%, hemiselulosa 22,84%
dan lignin 16,49%. Selulosa adalah rantai lurus homopolisakarida yang tersusun
atas unit-unit D-glukosa. Hemiselulosa merupakan polisakarida yang berikatan
dengan selulosa pada bagian tanaman yang telah mengalami delignifikasi. Lignin
merupakan polimer fenolik (Artiningsih et al. 2000). Lignin akan menghalangi
pemanfaatan selulosa dari bahan lignoselulosa secara optimal. Oleh karena itu
pada penelitian ini perlu dilakukan proses delignifikasi terlebih dahulu pada
limbah TKKS dengan jamur pelapuk putih (JPP) Omphalina sp
Tandan kosong kelapa sawit mempunyai potensi untuk digunakan sebagai
sumber glukosa melalui proses hidrolisis dengan asam atau enzim. Larutan gula
yang dihasilkan selanjutnya dapat dikonversikan menjadi berbagai produk seperti
asam-asam organik, pelarut etanol, butanol, aseton, xanthan, protein sel tunggal,
zat antibiotik dan berbagai produk lainnya. Pemanfaatan limbah kelapa sawit
dengan teknologi biokonversi diharapkan dapat memberikan nilai tambah yang
cukup besar. (Darnoko, 1992)
7
Komponen Kimia Bahan Lignoselulosa
Bahan berselulosa yang terdapat di alam umumnya mengandung selulosa,
hemiselulosa, dan lignin.
Selulosa
Selulosa merupakan konstituen utama kayu sekitar 40-45% bahan kering
kayu baik pada kayu berdaun jarum maupun lebar. Di dalam dinding sel kayu,
selulosa berfungsi untuk memberikan kekuatan. Selulosa merupakan bahan kimia
organik yang memiliki berat molekul tinggi dan merupakan homopolimer rantai
panjang dengan monomer glukosa yang saling berikatan dengan ikatan β-1,4
glikosida (Janes, 1969). Struktur selulosa dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Struktur selulosa (Janes, 1969)
Serat selulosa terdapat di dalam dinding sel tanaman dan material vegetatif
lainnya. Susunan dinding sel terdiri dari lamela tengah (M), dinding primer (P),
serta dinding sekunder yang terbentuk selama pertumbuhan dan pendewasaan sel
dan terdiri dari lamela transisi (S1), dinding sekunder utama (S2), dan dinding
sekunder bagian dalam (S3) (Gambar 3). Dibandingkan dengan dinding primer,
dinding sekunder lebih tebal dan mengandung mayoritas selulosa (Judoamidjojo
et al. 1989).
8
Gambar 3 Susunan dinding sel (Tsao et al didalam Judoamidjojo et al. 1989)
Menurut Judoamidjojo et al. (1989), secara alamiah molekul selulosa
tersusun dari fibril yang terdiri dari beberapa molekul selulosa paralel yang
dihubungkan dengan ikatan hidrogen. Pada kayu, fibril-fibril membentuk struktur
kristal yang dibungkus oleh lignin. Lignin berperan sebagai pelindung selulosa
dari serangan enzim pemecah selulosa.
Kumpulan fibril
disebut mikrofibril, sedangkan kumpulan mikrofibril
membentuk makrofibril. Bagian mikrofibril yang mengandung banyak ikatan
hidrogen bersifat sangat kuat, tidak dapat ditembus oleh air dan disebut bagian
kristalin. Bagian mikrofibril yang sedikit atau sama sekali tidak mengandung
ikatan hidrogen disebut bagian amorf (Tsao et al. 1978).
Berdasarkan kelarutannya, selulosa dapat dibedakan menjadi selulosa α, β,
dan γ. Selulosa α tidak larut dalam larutan natrium hidroksida pekat, selulosa β
larut dalam medium alkali tetapi tahan terhadap larutan netral, sedangkan selulosa
γ mudah larut walaupun dalam larutan netral (Fengel dan Wegener, 1989).
Hemiselulosa
Hemiselulosa adalah polisakarida yang berikatan dengan selulosa pada
bagian tanaman yang telah mengalami delignifikasi. Hemiselulosa terutama
terdapat pada bagian lamela tengah dari dinding sel tanaman (Gong dan Tsao,
1981).
Hemiselulosa merupakan heteropolimer bercabang dari glukosa, xylosa,
galaktosa, dan arabinosa (Cowling didalam Gaden et al. 1976). Rantai urutan
hemiselulosa hanya terdiri dari satu macam monomer (homopolimer), misalnya
9
xylan dan dapat juga dua atau lebih monomer, misalnya glukomanan (Fengel dan
Wegener, 1989). Struktur hemiselulosa dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4 Struktur hemiselulosa (Zabel dan Morrell, 1992)
Lignin
Lignin merupakan fraksi non karbohidrat yang bersifat kompleks dan sulit
dikarakterisasi. Pada dasarnya lignin merupakan polimer aromatik heterogen
dengan sistem jaringan yang bercabang serta tidak memiliki bentuk yang tetap
(Mc Donald dan Franklin, 1969). Lignin tersusun dari molekul-molekul yang
memiliki bobot molekul yang tinggi dengan unit dasar fenilpropana yang
dihubungkan dengan ikatan-ikatan karbon (C-C) dan eter (C-O-C) yang relatif
stabil (Casey, 1980).
Polimer lignin tidak dapat dikonversi ke monomernya tanpa mengalami
perubahan pada bentuk dasarnya (Casey, 1980). Lignin yang melindungi selulosa,
bersifat tahan terhadap hidrolisa disebabkan oleh adanya ikatan arilalkil dan
ikatan eter. Pada suhu tinggi, lignin dapat mengalami perubahan struktur dengan
membentuk asam format, metanol, asam asetat, aseton, vormil dan lain-lain.
Sedangkan bagian lainnya mengalami kondensasi (Judoamidjojo, 1989).
10
Gambar 5 Struktur lignin (Dellweg, 1983 di dalam Judoamidjojo, 1989)
Jamur Pelapuk Putih
Jamur pelapuk putih (white-rot fungi) adalah jamur yang beperan dalam
menguraikan bahan yang mengandung lignoselulosa. JPP secara cepat dan
ekstensif dapat menguraikan lignin dibandingkan dengan jamur pelapuk lunak
(soft-rot fungi), jamur pelapuk coklat (brown-rot fungi) (Bratasida, 1992; Singh &
Roymoulik, 1992). JPP termasuk dalam kelas basidiomycetes dan kelas ini
memiliki keragaman spesifik terbesar. Jamur ini umumnya mempunyai miselium
bersepta dan dikenal sebagai jamur yang membentuk tubuh buah yang besar dan
tinggi yang disebut basidiokarp. Pada basidiokarp ini terdapat kumpulan
basidiospora yang berbentuk gada (basidium). Miselium primer dihasilkan apabila
basidiospora berkecambah. Peleburan hifa primer akan menghasilkan miselium
sekunder. Miselium sekunder akan berkembang menjadi miselium tersier dan
membentuk basidiokarp (Suwanto et al. 1987).
JPP merupakan satu-satunya organisme yang mampu mendegradasi lignin
secara sempurna menjadi CO2 dan H2O (Buckley dan Dobson, 1998).
Keunikannya dalam kemampuan mendegradasi lignin sangat selektif sehingga
relatif tidak merusak serat selulosa (Srebotnik dan Messner, 1994). Walaupun
11
demikian beberapa jenis JPP ada juga yang dapat menguraikan selulosa dalam
jumlah banyak (Blanchette dan Burnes, 1988). Degradasi lignin dapat terjadi pada
daerah yang terbatas atau pada daerah yang luas. Degradasi lignin pada daerah
terbatas akan membentuk rongga, sedangkan pada daerah yang luas akan terjadi
perubahan warna putih dan kerapuhan (Fengel dan Wegener, 1989).
JPP dapat menyebabkan dekomposisi lignin, selulosa dan hemiselulosa
dengan memanfaatkannya sebagai sumber karbon kompleks atau sumber energi
(Setliff dan Eudy, 1980). Untuk memanfaatkan komponen tersebut, JPP harus
mengekresikan enzim-enzim yang dapat merombak hemiselulosa, selulosa dan
lignin menjadi unsur-unsur yang dapat diserap oleh dinding selnya. Kemampuan
JPP mendegradasi lignin dikarenakan produksi enzim ligninolitik. Enzim tersebut
antara lain lignin peroksidase, mangan peroksidase dan lakase (Buckley dan
Dobson, 1998; Hatakka, 1994; Kirk dan Chang, 1990). Mekanisme degradasi oleh
JPP dapat dibagi menjadi dua tahap yaitu tahap awal dan tahap lanjutan. Pada
tahap awal akan terjadi degradasi lignin oleh enzim yang dihasilkan JPP. Aktivitas
enzim ini akan menyebabkan kayu melunak dan pecah. Pada tahap lanjutan, JPP
menembus dan berkoloni di dalam sel-sel kayu, kemudian mengeluarkan enzim
yang berdifusi melalui lumen sel dan menyerang dinding sel (Sachs et al. 1990).
Penurunan berat dapat dijadikan parameter infeksi JPP pada suatu bahan.
Hal ini disebabkan lignin dan hemiselulosa terdegradasi oleh JPP menjadi suatu
polimer sederhana atau monomer. Degradasi akan menyebabkan penurunan kadar
lignin dan selulosa sehingga terjadi penurunan berat bahan secara langsung.
Semakin tinggi tingkat kerusakan oleh JPP maka penurunan berat akan semakin
besar. Selain penurunan dapat terjadi perubahan warna akibat degradasi pigmen
(zat ekstraktif) oleh jamur JPP mengakibatkan perubahan warna menjadi putih
(Warlinda, 2006).
Kemampuan ligninolitik beberapa jenis jamur terutama JPP digunakan
untuk mendegradasi lignin tanpa mengurangi kadar karbohidrat seperti pada
proses bio-pulping, bio-bleaching, dan pemanfaatan residu hutan serta komponen
lignoselulolitik lain sebagai pakan ternak. Di alam, JPP berperan sebagai
organisme saprofit yang berperan penting dalam siklus karbon (Boddy dan
Rayner, 1988).
12
Hidrolisis Lignoselulosa
Hidrolisis Kimiawi
Asam yang biasa digunakan untuk menghidrolisis selulosa adalah asam
sulfat, asam klorida, atau asam fosfat. Kelemahannya, asam menghidrolisis
selulosa secara acak, tanpa pola tertentu dalam pemutusan ikatan glikosidik
(Juanbaro dan Puigjaner, 1986). Oleh karena itu, menurut Grethlein didalam
Cowling (1975) hidrolisis asam harus dilakukan dalam kondisi yang tepat agar
tidak dihasilkan produk terdekomposisi yang tidak diinginkan. Pada umumnya
hidrolisis asam dilakukan dengan asam kuat encer pada suhu tinggi (Cowling,
1975).
Menurut Juanbaro dan Puigjaner (1986) laju hidrolisis dengan asam
dipengaruhi oleh suhu dan konsentrasi asam. Berdasarkan hasil penelitian di atas
dengan menggunakan asam sulfat 1 M suhu 80-96 OC meningkatkan rendemen
gula. Abasseed dan Lee (1991) mempelajari kinetika hidrolisis asam dari
potongan-potongan kecil kayu oak. Pada studi tersebut keterkaitan suhu reaksi
(198-215OC), konsentrasi asam sulfat (1-3%), ukuran kayu (0,1-2,5 cm) dan
lamanya proses dipelajari. Dari penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa
peningkatan ukuran kayu akan meningkatkan waktu reaksi yang dibutuhkan dan
menurunkan rendemen maksimal glukosa yang diperoleh.
Hidrolisis Enzimatik
Hidrolisis secara enzimatik dari selulosa adalah salah satu diantara prosesproses biokonversi limbah yang sangat potensial. Akan tetapi, proses hidrolisis
tersebut dihambat oleh struktur kimianya sendiri dan adanya ikatan alami selulosa
dengan hemiselulosa dan lignin, sehingga rendemen gula yang diperoleh
umumnya rendah. Perlakuan pendahuluan untuk melemahkan ikatan ini
diperlukan dalam pemecahan masalah ini. Berbagai metode telah dicoba untuk
meningkatkan laju hidrolisis lignoselulosa (Enari, 1983).
Caminal et al. (1985) mempelajari hidrolisis enzimatik selulosa oleh
enzim selulase dengan perlakuan pendahuluan perendaman dalam asam sulfat
70% (w/v) dilanjutkan represipitasi dengan metanol. Bahan yang digunakan untuk
13
percobaan tersebut adalah karboksi metil selulosa (CMC) dengan konsentrasi
14,29 g/L, sedangkan konsentrasi enzim selulase adalah 5,71 g/L. Hasil percobaan
tersebut memberikan informasi bahwa hidrolisis selulosa dipengaruhi oleh pH dan
suhu. Pada kisaran pH percobaan 4,0-5,5 didapatkan pH optimum aktifitas enzim
adalah 4,8. Enzim selulase mengalami deaktifitasi termal yang nyata pada suhu
diatas 45 OC pada saat penelitian dilakukan pada kisaran suhu 50 OC (Caminal et
al. 1985).
Torget et al. (1991) mempelajari pengaruh penambahan asam sulfat encer
sebagai perlakuan pendahuluan untuk hidrolisis enzimatik berbagai kayu keras.
Percobaan dengan asam pada konsentrasi 0,50-0,65% v/v, 95-250OC dan
hidrolisis enzimatik dengan cellulast pada pH 4,8 suhu 50 OC, setelah empat hari
menunjukkan bahwa tidak semua kayu keras dan dua jenis residu jagung tahan
terhadap hidrolisis enzimatik. Hasil terbaik diperoleh dari contoh NE-388 dengan
suhu perlakuan pendahuluan 160 OC selama 20 menit dengan rendemen selulosa
tercerna (glukosa total/total anhidroglukosa contoh) 82%. Kontrol untuk kayu tipe
tersebut memiliki rendemen 32%.
Penelitian yang sama dilakukan oleh Torget et al. (1991) terhadap tiga
jenis kayu keras dan dua jenis residu jagung. Hidrolisis pendahuluan dengan asam
sulfat encer pada suhu 140 dan 160 OC dengan waktu reaksi 5-60 menit terhadap
kelima contoh berhasil menghidrolisa seluruh hemiselulosa yang ada. Hidrolisis
pada suhu 160 OC lebih dianjurkan karena dihasilkan rendemen total yang lebih
tinggi. Lebih dari 90% selulosa dari kelima contoh dapat dihidrolisa secara
enzimatik bila digunakan suhu tersebut pada perlakuan pendahuluan.
Sinitsyn et al. (1991) mempelajari pengaruh struktur dan sifat
fisikokimiawi bahan berselulosa pada efisiensi hidrolisis enzimatik. Diperoleh
hasil bahwa ukuran partikel selulosa, derajat polimerisasi hanya sedikit
pengaruhnya terhadap efisiensi hidrolisis enzimatik. Percobaan hidrolisis bagase
dengan berbagai perlakuan pendahuluan menunjukkan bahwa hasil terbaik
(rendemen glukosa 9,1 g/L setelah 24 jam) diperoleh bila diberikan perlakuan
pendahuluan delignifikasi dengan 1% NaOH, dilanjutkan dengan 79% H3PO4.
Proses enzimatik pada penelitian ini menggunakan Trichorderma sp dan
bakteri selulolitik asal rayap.
14
Trichoderma sp.
Trichoderma sp. merupakan fungi kelas Deuteromycotina dari ordo
Monaliales dan famili Monaliaceae yang dikenal sejak tahun 1974. Trichoderma
dapat tumbuh hampir disemua tanah dan habitat lainnya. Trichoderma merupakan
fungi saprofit yang hidup dalam tanah, serasah dan kayu mati. Fungi ini tumbuh
diberbagai tempat, mudah ditemukan, berkembang biak dengan cepat dan
diantaranya mampu membunuh fungi lain. Fungi ini tumbuh dengan baik di
kondisi tanah yang asam dan termasuk peka terhadap pengaruh sinar dan
pencahayaan langsung (Papaviizas, 1985). Trichoderma mudah dikenali karena
pertumbuhanya yang cepat dan kondisinya yang hijau.
Trichoderma sp. merupakan salah satu fungi penghasil enzim kitinase dan
selulase. Produksi kedua enzim ini erat kaitannya dengan aktivitas Trichoderma
sebagai fungi antagonis dan untuk menekan penyakit tular tanah yang disebabkan
oleh fungi patogen, sebagai fungi pendegradasi bahan organik dan sebagai
penghasil beberapa jenis enzim (Hoitink dan Keener, 1993). Sebagai fungi
pendegradasi bahan organik, Trichoderma sp, menghasilkan enzim selulase yaitu
endo-β-1-4 glukonase, ekso-β-1- 4-glukan glukohidrolase dan ekso-β-1,4glukanase, ekso-β-1-4 glukan selobiohidrolase yang mampu mendegradasi bahan
yang mengandung lignoselulosa (Gong dan Tsao, 1981)
Bakteri selulolitik asal rayap
Rayap
dikenal
sebagai
serangga
kayu
(lignoselulosa).
Saluran
pencernaannya dapat dibandingkan dengan bioreaktor mini, karena mengandung
berbagai mikroorganisme yang dapat menguraikan lignoselulosa termasuk
kompleks xilan (Schafer et al. 1996; Bruce 1998). Ekstrak rayap Glytotermes
montanus
mengandung aktivitas endo-1,4-β-xilanase yang aktivitasnya lebih
rendah daripada endo-1,4-β-glukanase (EC. 3.2 1.4) (Purwadaria et al. 2003).
Xilanase berbeda dengan CMCase yang telah diketahui, selain diproduksi oleh
mikrob saluran pencernaannya, juga dapat diproduksi oleh tubuh rayap sendiri
(Watanabe et al. 1998). Hemiselulosa instrinsik rayap belum ditemukan sehingga
15
produksi hemiselulosa termasuk endo-1,4-β-xilanase akan lebih efisien bila
dikembangkan dari mikrob xilanolitik, sedangkan saluran pencernaan rayap
merupakan sumber isolat.
Umumnya mikroorganisme seperti bakteri dan protozoa saluran pencernaan rayap
bersifat anaerob baik fakultatif maupun absolut, walaupun demikian telah berhasil
diisolasi bakteri aerob (Schafer et al. 1996). Enzim xilanase Bacillus sp hasil
isolasi dari saluran pencernaan rayap (Captotermes formosanus) telah dimurnikan
dan dikarakterisasi di Jepang (Shimizu et al. 1998). Aktivitas spesifik enzimnya
setelah pemurnian cukup tinggi, yaitu 339,5 U/mg. kemampuannya untuk
memproduksi enzim sangat bergantung pada sumbernya.
Fermentasi Alkohol
Fermentasi alkohol terutama dilakukan oleh khamir, khususnya jenis –
jenis Saccharomyces yang bersifat anaerob fakultatif. Berbagai minuman yang
mengandung alkohol dihasilkan dengan bantuan khamir ini. Misalnya : anggur,
bir, dan tuak. Penguraian glukosa menjadi asam piruvat mengikuti jalur HDP.
Reaksi totalnya adalah sebagai berikut:
C6H12O6
2 C2H5OH
+ 2 CO2 (Standbury dan Whitaker, 1984)
Fermentasi ini berlangsung dalam keadaan anaerob, oleh karena itu asam
piruvat tidak berubah menjadi asetil koenzim A sebagaimana jika keadan aerob.
Asam piruvat akan didekarboksilase menjadi asetaldehida dengan dikatalisis
enzim piruvat dehidrogenase. Enzim ini mengandung tiamin pirofofat (TPP).
Asetaldehid tersebut kemudian direduksi menjadi alkohol oleh enzim alkohol
dehidrogenase (Timotius, 1982).
16
Jalur HDP
Glukosa
2 piruvat
2 NAD
etanol
2 NADH
Piruvat
dekarboksilase
CO2
2 asetaldehida
Alkohol dehidrogenase
Gambar 6 Skema jalur fermentasi alkohol oleh khamir (Timotius, 1982)
Berbeda dengan pertumbuhan khamir, bakteri yang mampu melakukan
fermentasi alkohol dapat tumbuh lebih baik dalam keadan anaerob. Walaupun
demikian ada juga bakteri yang melalui HDP seperti halnya khamir, misalnya:
Sarcina ventriculi dan Erwina amylovora. Kecuali itu ada juga bakteri dari
macam fermentasi lain yang juga mampu menghasilkan etanol, misalnya: bakteri
asam laktat tertentu, jenis-jenis tertentu dari Enterobacteraceae dan Clostridium.
Tetapi dalam proses pembentukan etanol tidak menggunakan enzim piruvat
dehidrogenase. Bakteri tersebut mengubah asetil ko-A menjadi asetaldehide
dengan pertolongan asetaldehid dehidrogenase (Timotius, 1982).
CH3-CO-KoA + NADH2
CH3CO COO H
asetaldehid
dehidrogenase
Piruvat
dekarboksilase
Asam pivurat
CH3CHO + NADH2
CH3CHO + KoA + NAD
CH3CHO + CO2
asetaldehida
Alkohol
dehidrogenase
CH3CH2OH
+
NAD+
ATP yang dihasilkan selama fermentasi alkohol adalah dua ATP/molekul
glukosa. Hasil ini lebih rendah daripada jika dalam keadaan anaerob. Perubahaan
dari anaerob menjadi aerob akan mengurangi atau bahkan menghentikan
pembentukan alkohol, jumlah sel yang terbentuk akan bertambah, dan
penguraiannya atau penyerapan glukosa akan berkurang. Demikian sebaliknya
jika dalam keadaan aerob berubah menjadi anaerob. Fenomena ini dinamakan
17
efek Pasteur. Fenomena ini disebabkan dalam keadaan anaerob khamir melakukan
fermentasi, dan jika dalam keadaan aerob khamir melakukan respirasi (Timotius,
1982).
Sakarifikasi Fermentasi -Simultan
Proses sakarifikasi fermentasi-simultan adalah proses kombinasi antara
hidrolisis selulosa secara enzimatik dengan fermentasi gula yang berkelanjutan
sehingga menghasilkan produk akhir berupa etanol.
Tahapan-tahapan dalam
proses sakarifikasi fermentasi-simultan adalah sama dengan tahapan pada
hidrolisis dan fermentasi secara terpisah, hanya pada proses sakarifikasi
fermentasi simultan ini kedua proses tersebut berlangsung dalam satu reaktor yang
sama. Yeast secara langsung menfermentasi produk gula yang dihasilkan dari
proses hidrolisis oleh komplek enzim selullase, sehingga laju sakarifikasi dan
rendemen etanol yang dihasilkan akan lebih tinggi jika dibanding hasil proses
sakarifikasi dan fermentasi yang terpisah. Keunggulan lain dari proses sakarifikasi
fermentasi simultan adalah penggunaan reaktor tunggal untuk seluruh proses,
sehingga dapat menekan biaya investasi alat. Selain itu adanya etanol (hasil
fermentasi) didalam media menyebabkan media tidak mudah terkontaminasi oleh
organisme lain yang tidak diinginkan (Ballesteros et al. 2004). Proses sakarifikasi
selulosa dan hemiselulosa dalam TKKS menjadi gula dapat dilakukan dengan
hidrolisis enzimatik atau dengan menggunakan asam. Jenis enzim yang berperan
dalam hidrolisis tersebut adalah komplek selulase dan hemiselulase (xilanase,
galaktanase dan mananase).
Secara biokimia fermentasi diartikan sebagai pembentukan energi melalui
senyawa organik, sedangkan pengertian dalam bidang industri fermentasi adalah
suatu proses untuk mengubah bahan dasar menjadi suatu produk oleh massa sel
mikrobia. Aplikasi proses fermentasi selalu terdiri dari 6 bagian utama proses,
yaitu : formulasi medium, sterilisasi, produksi starter, pemeliharaan pertumbuhan
mikroorganisme, pemanenan dan pemurnian produk, serta pembuangan limbah
(Wibowo, 1990). Monomer gula dapat diubah secara anaerobik menjadi alkohol
oleh bermacam-macam mikroorganisme. Fermentasi gula sederhana (sukrosa dan
glukosa) menjadi etanol memiliki persamaan stoikiometri, yaitu :
18
C12H22O11 + H2O
C6H12O6
4 C2H5OH + 4 CO2
2 C2H5OH + 2 CO2 (Standbury dan Whitaker, 1984)
Yeast Saccharomyces cerevisiae
Saccharomyces cerevisiae adalah khamir yang dapat menghasilkan
alkohol. Bentuk selnya oval dan bulat, ukuran selnya pada malt agar dapat dilihat
setelah 3 hari pada 25 OC. Dalam proses fermentasi, Saccharomyces cerevisiae
bereaksi positif terhadap glukosa, galaktosa, sukrosa, maltosa dan raffinosa.
Dengan Suhu minuman untuk S. cerevisiae adalah 9 OC dan
maksimumnya
O
37 C. Pada awal fermentasi udara tidak diperlukan jadi prosesnya an aerob.
Dengan adanya udara dapat menyebabkan tumbuhnya bakteri yang tidak
diinginkan, sehingga mengakibatkan berkurangnya alkohol hasil fermentasi.
Yeast atau khamir S. cerevisiae biasa digunakan untuk membuat roti,
anggur dan bir. S. cerevisiae termasuk kedalam kelas Ascomycetes yang dicirikan
dengan pembentukan askus yang merupakan tempat dihasilkannya askospora. S.
cerevisiae memperbanyak diri secara aseksual dengan bertunas (Pelczar dan
Chan, 1986). Dinding sel S. cerevisiae terdiri dari komponen-komponen glukan,
mannan, protein, khitin dan lemak (Waluyo, 2004). Boyless (1984) menyatakan
bahwa untuk setiap mol glukosa yang dikonsumsi, S. cerevisiae menghasilkan
entalpi katabolisme sebesar -31 Kkal, energi bebas dari hidrolisis ATP (2 mol)
sebesar -14,6 Kkal dan entalpi untuk sintesis selnya hanya 0,23 Kkal. Entalpi dari
metabolisme sebagian besar dihabiskan pada aliran keluar entropy dan hanya
sedikit yang digunakan untuk sintesis materi sel.
Saccharomyces cerevisiae sangat tahan dan toleran terhadap kadar etanol
yang tinggi. Akan tetapi adanya kandungan fulradehid, asam organik dan
komponen fenolik (hasil samping hidrolisis asam selulosa) dapat menghambat
pertumbuhan S. cerevisiae, bahkan kandungan yang tinggi dan furaldehid, furfural
dan 5-hidroksimetil-fulfural dapat bersifat meracuni (Brandberg et al. 2004). Hasil
penelitian Samsuri et al. (2005) pada fermentasi bagase yang diberi perlakukan
awal steam dan penjamuran dengan menggunakan S. cerevisiae dapat
menghasilkan etanol sebanyak 15,4 g/L.
19
Rendemen alkohol dari hexosa dalam fermentasi menggunakan yeast dari
genus Saccharomyces (pada kondisi yang optimal) dapat mencapai 90% (Boyles,
1984). Efisiensi pengubahan energi tersebut dapat mencapai 97% (Campbell,
1983). Selain yeast S. cerevisiae, bakteri Zymomonas mobilis juga merupakan
salah satu bakteri yang efektif dalam fermentasi etanol, akan tetapi rendemen
etanol yang dihasilkan masih lebih sedikit dibanding yeast karena bakteri tersebut
juga menghasilkan sejumlah produk lain seperti asetat, laktat dan gliserol.
Download