KULIAH GAGAL JANTUNG AKUT

advertisement
KULIAH GAGAL JANTUNG AKUT
Dr. Isman Firdaus, Sp.JP
Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI
Definisi
Suatu sindroma dimana timbulnya tanda dan gejala yang berlangsung cepat dan singkat (dalam
jam atau hari) akibat disfungsi jantung. Keadaan ini dapat terjadi pada penderita dengan atau
tanpa kelainan jantung sebelumnya, dan dapat mematikan bila tidak diatasi segera. Disfungsi
jantung yang dimaksud meliputi disfungsi sistolik atau diastolik, irama jantung abnormal, atau
terdapat ketidak sesuaian antara preload dan afterload (preload and afterload mismatch).
GJA sendiri dapat terjadi sebagai onset baru GJA pada penderita tanpa disfungsi jantung
sebelumnya (disebut sebagai acute de novo) atau dekompensasi akut dari gagal jantung kronik
(GJK) yang sudah diketahui sebelumnya (acute on chronic), GJA seperti ini dikategorikan
sebagai gagal jantung akut dekompensata (GJAD).
Pasien GJA terdiri atas 6 subset klinis sebagai berikut :
1. Gagal jantung akut dekompensata (dekompensasi gagal jantung kronik)
Terdapat tanda dan gejala GJA yang ringan dan tidak memenuhi kriteria untuk syok
kardiogenik, edema pulmoner, atau krisis hipertensi.
2. Sindroma koroner akut dan gagal jantung (de novo)
3. GJA hipertensif
Terdapat tanda dan gejala gagal jantung terkait dengan tekanan darah tinggi dan
fungsi ventrikel kiri yang masih baik disertai gambaran edema pulmoner akut dari
foto toraks.
4. Edema paru akut
Terdapat distress pernafasan yang berat, ronki kasar (crakles) diseluruh lapang paru,
orthopnoea, saturasi O2 < 90% pada udara kamar sebelum terapi.
5. Syok kardiogenik
Keadaaan dimana ada tanda hipoperfusi jaringan akibat gagal jantung setelah
koreksi preload. Parameter hemodinamik syok kardiogenik antara lain penurunan
tekanan darah (TD sistolik < 90 mmHg atau turunnya tekanan arteri rerata (mean
arterial pressure = MAP) > 30 mmHg dan / atau penurunan diuresis (< 0,5
cc/kg/jam), dengan laju nadi > 60 denyut per menit dengan atau tanpa bukti kongesti
organ.
6. Gagal jantung kanan akut
Ditandai sindroma output rendah dengan peningkatan vena juguler, hepatomegali
dan hipotensi.
GJA dikelompokkan menjadi 4 kategori profil hemodinamik (dapat menentukan prognosis)
sebagai acuan untuk strategi tatalaksana lebih lanjut secara cepat, yaitu:
 Kelas I (grup A) (hangat dan kering).
 kelas II (grup B) (hangat dan basah).
 kelas III (grup L ) (dingin dan kering).
 kelas IV (grup C (dingin dan basah).
Gambar 12. Profil hemodinamik gagal jantung akut
Patofisiologi
Gambar 13. Fase Inisiasi GJA
Gambar 14. Fase Amplifikasi GJA
Diagnosis Gagal Jantung Akut

Diagnosis gagal jantung akut berdasarkan tanda dan gejala klinis

Pemeriksaan penunjang seperti EKG, foto toraks, biomarker BNP/NT-Pro BNP, dan dopler
echocardiografi dapat membantu dalam menegakkan diagnosis GJA.

Pasien dengan kecurigaan GJA harus segera ditentukan profil hemodinamik dalam dua
menit.
Gambar 15. Algoritma diagnosis GJA
Tabel 25. Batasan nilai NT-proBNP pada Gagal Jantung Akut. (Dikutip dari Januzzi et al. Am J
Cardiol 2005; 95:948 -54)
BATASAN NILAI NT-pro BNP UNTUK GJA
NT-proBNP < 300 pg/ml
Bukan GJA
NT-proBNP 300 – 1800 pg/ml
Ragu GJA Lihat batasan usia
NT-proBNP > 1800 pg/dl
Hampir pasti GJA
Tabel. 26. Batasan nilai NT-proBNP berdasarkan usia. (Dikutip dari Januzzi et al. Am J Cardiol
2005; 95:948 -54)
Usia (tahun)
Nilai NT-pro BNP (pg/ml)
< 50
300 - 450
> 450
50 - 75
300 - 900
> 900
> 75
300 - 1800
> 1800
Interpretasi :
GJA masih diragukan
GJA hampir pasti
Tanda dan gejala GJA
Pemeriksaan secara sistematik terhadap sirkulasi perifer, pengisian vena, dan suhu perifer harus
dilakukan. Pengisian ventrikel kanan pada gagal jantung dekompensasi dapat dinilai dari tekanan
vena jugularis. Ketika vena jugularis interna adalah tidak dapat dipakai untuk evaluasi ( misalnya
karena katup vena), maka vena jugularis eksterna dapat dipergunakan. Pengisian jantung kiri
diukur dengan auskulatasi dada, apakah terdengar ronki basah di lapang paru, yang biasanya
berarti peningkatan tekanan baji kapiler paru. Profil hemodinamik harus segera ditegakkan, dan
konfirmasi kongesti pulmoner harus segera dilakukan dengan bantuan foto toraks. Bunyi jantung
(S3, S4) harus ditentukan. Kualitas bunyi jantung, adanya gallop dan murmur penting untuk
diagnosa dan penilaian klinis. Pemeriksaan luasnya arteriosklerosis dengan mencari adanya
denyut yang berkurang dan adanya bruit di karotis dan abdomen juga penting, terutama pada
pasien tua.
Elektrokardiogram
Gambaran EKG pada penderita gagal jantung akut pada umumnya abnormal. Pemeriksaan EKG
digunakan untuk mengetahui irama jantung, etiologi gagal jantung akut, kondisi jantung seperti
sindroma koroner akut , dan hipertrofi rongga jantung. Aritmia jantung harus dinilai dengan EKG
12 sadapan kemudian dipasang EKG monitor kontinu.
Foto Thorax dan Pencitraan Lain
Foto thorax harus dilakukan untuk evaluasi kelainan tambahan paru (infeksi, tanda kongesti)
maupun jantung (bentuk dan ukuran) dan kongesti paru. Juga diperlukan untuk konfirmasi
diagnosis, dan tindak lanjut untuk evaluasi adanya perbaikan atau perburukan. CT scan dan
scintigrafi toraks dilakukan untuk mengetahui emboli paru atau penyakit paru lainnya.
Ekokardiografi Transesofageal dan MRI untuk menyingkirkan diseksi aorta.
Laboratorium
Beberapa pemeriksaan laboratorium yang sesuai indikasi harus dilakukan pada pasien dengan
gagal jantung akut.
Tabel 27. Pemeriksaan laboratorium pada pasien yang dirawat dengan gagal jantung akut
Darah rutin
Wajib
Hitung trombosit
Selalu
INR
Jika pasien dengan antikoagulan
CRP
Perlu dipertimbangkan
D-DImer
Perlu dipertimbangkan (mungkin false positif jika pasien
telah lamadi RS
Urea, Elektrolit (Na, K, Ureum,
Selalu
Kreatinin)
Gula darah
Selalu
CKmb, TnT
Selalu
Analisa gas darah
Pada gagal jantung berat dan DM
Transaminase
Perlu dipertimbangkan
Urinalisis
Perlu dipertimbangkan
Plasma BNP/ NTproBNP
Perlu dipertimbangkan
Analisa gas darah arteri (Astrup) diperiksa pada semua pasien dengan GJA yang berat.
Pemeriksaan non invasif seperti oksimetri dapat menggantikan data Astrup namun tidak
bermakna pada kondisi low output.
Ekokardiografi
Pemeriksaan ekokardiografi dilakukan untuk evaluasi perubahan fungsi dan struktrur jantung
pada gagal jantung akut seperti pada sindrom koroner akut. Hal penting yang harus dinilai
dengan ekokardiografi : fungsi ventrikel kiri dan kanan, keadaan katup, perikard, komplikasi
mekanik dari infark miokard dan adanya massa di jantung (jarang), tekanan arteri pulmonal, dan
curah jantung.
Tujuan Penanganan Gagal Jantung Akut
Tujuan jangka pendek dalam tatalaksana GJA adalah untuk memperbaiki gejala dan stabilisasi
hemodinamik (tabel 3). Perbaikan jangka pendek juga harus diikuti dengan perbaikan jangka
panjang, dengan menghindari atau membatasi kerusakan jantung.
Monitoring Pasien dengan Gagal Jantung Akut
Monitoring pasien dengan gagal jantung akut harus segera dilakukan saat pasien tiba di EMG,
bersamaan dengan dilakukannuya diagnostik lainnya untuk mengetahui kelainan primer.
Monitoring Non Invasive
Monitoring dasar seperti suhu, pernafasan, denyut jantung EKG, tekanan darah merupakan
keharusan. Monitor tekanan darah saat memulai pengobatan dilakukan teratur (tiap 5 menit)
hingga dosis vasodilator, diuretik atau intotropik sudah stabil. Pulse oksimetri dipakai untuk
mengukur saturasi oksigen, terutama pada pasien yang diberikan oksigen dengan FiO2 lebih
tinggi dari udara biasa. Curah jantung dimonitor non-ivasif dengan pemeriksaan dopler.
Monitoring Invasif
Saluran arteri; Pemasangan kateter arteri diindikasikan untuk monitoring tekanan darah secara
kontinu atau pemeriksaan analisa gas darah berulang bila hemodinamik masih belum stabil.
Saluran CVP (central venous pressure=tekanan vena sentral); digunakan untuk pemberian cairan
dan obat, serta monitor CVP. Saluran arteri pulmonal (pulmonal artery catheter=PAC) untuk
mengukur tekanan baji kapeler pulmonal dapat dipertimbangkan. bagi pasien yang tidak respon
dengan pengobatan biasa dan pasien dengan kombinasi kongesti dan hipoperfusi sebagai
petunjuk apakah cairannya yang diberikan dan vasoaktif dan inotropik sudah cukup.
Gambar 16. Algoritme sistematis tatalaksana dini GJA di Emergensi
Tatalaksana awal di Unit Emergensi/Unit Gawat Darurat :
Penatalaksaaan resusitasi
 Lakukan langkah-langkah ABC.
 Bila gelisah atau nyeri berikan analgesi/sedasi.
 Perbaiki hipoksemia.
 Bila Saturasi O2 > 95% berikan O2 melalui kanula nasal 4-6 L/menit.
 Bila Saturasi O2 < 95% berikan O2 melalui NRM 15 L/menit atau CPAP dengan PEEP 5-10
cmH2O.
 Pertimbangkan intubasi dan hiperventilasi dengan O 2 100% bila jelas terjadi penurunan
kesadaran, sulit mempertahankan jalan napas penderita, atau bila GCS ≤ 8 dan tidak ada
riwayat PPOK.
 Bila ada riwayat PPOK, berikan O2 secara titrasi untuk mempertahankan saturasi O2 ± 90%.
 Bila terjadi hipoventilasi berat lakukan bantu napas dengan BVM dan O 2 100% (“bagingbaging”) dan pertimbangkan intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik.
 Bila terjadi disritmia, lakukan penatalaksanaan sesuai protokol aritmia.
 Jika MAP > 70 mmHg pertimbangkan pemberian vasodilator atau diuretik jika terdapat tandatanda kongesti. Diuretik diberikan bila ditemukan adanya fluid overload.
 Jika MAP < 70 mmHg maka lakukan pemberian challenge test, berikan 50-100 ml/10 menit
kristaloid atau koloid.
 Bila tekanan sistolik pasca pemberian challenge test tidak respon (masih < 70 mmHg), maka
berikan infuse Dopamin start 5 mcg/kg/menit, titrasi hingga didapatkan tekanan sistolik >100
mmHg. Bila tekanan sistolik tetap <70 mmHg pertimbangkan pemasangan IABP. Bila IABP
tidak memungkinkan dapat diberikan norepinefrin sampai tekanan sistolik >80 mmHg.
Farmakoterapi GJA
Morfin dan analog

Morphine diberikan pada penanganan awal pasien dengan GJA yang berat terutama jika
disertai keluhan gelisah dan sesak nafas.

Morfin diberikan secara intravena 3 mg segera setelah pemasangan infus pasien GJA dan
pemberian dapat diulangi bila diperlukan.
Antikoagulan

Antikoagulan diberikan pada fibrilasi atrium dan SKA. Diperlukan monitoring ketat pada
penderita GJA yang diserta disfungsi liver. LMWH kontraindikasi pada gagal ginjal dengan
CCT< 30 cc/menit.
Vasodilator pada GJA

Vasodilator diindikasikan pada kebanyakan pasien GJA sebagai terapi lini pertama.

Nitrat. Nitrat dapat diberikan oral atau intravena. Titrasi nitrat intravena dengan
furosemid dosis rendah telah terbukti superior dibandingkan terapi furosemid saja.
Titrasi nitrogliserin dimulai dengan dosis rendah 5-200 ug/menit atau isosorbid dinitrat 110 mg/jam dilakukan dengan pemantauan ketat tekanan darah. Dosis perlu dikurangi
bila tekanan darah sistolik di bawah 90-100 mmHg dan dihentikan bila terus terjadi
penurunan TD.

Sodium Nitroprusid (SNP). Direkomendasikan pada pasien dengan gagal jantung akut
yang berat terutama pasien GJA dengan dengan afterload tinggi seperti gagal jantung
hipertensif atau regurgitasi mitral. Dosis dititrasi bertahap dimulai 0,3ug/kg/menit
dinaikkan hingga 5 ug/kg/menit). Titrasi nitroprusid harus dengan pemantauan jalur
arterial secara ketat. Pemberian SNP yang berkepanjangan dapat meningkatkan
toksisitas metabolit tiosianida dan sianida terutama pada pasien dengan gangguan ginjal
dan hepar.

Nesiritide. Pemberian infus nesiritide pada pasien gagal jantung kongestif memberikan
manfaat pada perbaikan hemodinamik dengan meningkatkan ekskresi natrium dan
menekan aktifitas renin-angiotensin-aldosteron dan aktifitas saraf simpatik. Pemberian
Nesiritide akan memperbaiki hemodinamik lebih efektif dengan sedikit komplikasi bila
dibandingkan dengan pemberian nitrogliserin. Diberikan bolus 2 ug/kgbb dilanjutkan
dengan infus 0,01 ug/kg/menit.

Antagonis kalsium. Obat golongan antagonis kalsium tidak direkomendasikan pada
GJA.
Tabel 28. Dosis dan indikasi penggunaan vasodilator
Vasodilator
Glyceryl trinitrate,
Indikasi
GJA dengan TD adekuat
5mononitrate
Dosis
Start 20 ug/menit,
ditingkatkan hingga 200
ug/min
Isosorbid dinitrate
GJA dengan TD adekuat
Start 1 mg/jam, ditingkatkan
hingga 10 mg/jam
Nitroprusside
Krisis hipertensi, syok
0,3 – 5 ug/kg/menit
kardiogenik dengan
kombinasi inotropik
Nesiritide
Gagal jantung akut
Bolus 2 ug/kg dilanjutkan
dekompensata
0,015 – 0,03 ug/kg/menit
Penghambat Enzim konversi angiotensin (EKA) pada GJA

Penghambat EKA tidak diindikasikan pada stabilisasi dini pasien dengan GJA.

Penghambat EKA intravena harus dihindari. Dosis awal pemberian obat penghambat
EKA harus rendah dan ditingkatkan secara progresif setelah stabilisasi dini dalam 48
jam.
Diuretik

Diuretik diindikasikan pada pasien gagal jantung akut dekompensata yang disertai
gejala dan tanda retensi cairan.

Loop diuretic terpilih karena efeknya yang kuat dan cepat. Dosis dititrasi sesuai respon
diuresis serta berkurangnya gejala dan tanda kongesti.

Khusus pada SKA, diuretik diberikan dosis rendah dan lebih diutamakan vasodilator.

Pemberian dosis loading diikuti infus kontinu lebih efektif daripada bolus saja.

Thiazid atau spironolakton dosis rendah dapat digabung dengan furosemid dan lebih
efektif daripada dosis tinggi satu jenis obat.

Kombinasi diuretik dengan dobutamin, dopamin atau nitrat lebih efektif daripada dosis
tinggi diuretik saja.

Perlu diperhatikan efek samping berupa: aktivasi neurohormonal (angiotensinaldosteron) dan simpatis, hipokalemia, hipomagnesemia dan alkalosis hipokloremi yang
dapat memicu aritmia; nefrotoksik (gagal ginjal); penurunan isi sekuncup dan curah
jantung.

Asetazolamid intravena dapat diberikan pada alkalosis akibat efek samping diuretik.
Tabel 29. Dosis pemberian diuretik
Derajat retensi
cairan
Sedang
Berat
Diuretik
Dosis (mg)
Keterangan
Furosemid
20-40
Oral / IV
Bumetanid
0,5 – 1,0
Dosis dititrasi
Torasemid
Furosemide
10 – 20
40 -100
Monitor N,K, Cr dan TD
IV
Furosemid
kontinu
5 – 40 mg/jam
Bumetanid
1–4
Oral / IV
Torasemid
20 - 100
Oral
Tambah HZT
atau
Metolazone
atau
spironolakton
2,5 – 50, 2x sehari
Pada keadaan
alkalosis
Asetazolamid
0,5
Refrakter loop
diuretik dan HZT
Tambah
dopamin dosis
renal atau
dobutamin
sebagai agen
inotropik
Refrakter loop
diuretik
2,5 – 10, 1x sehari
Lebih poten bila CCT < 30 cc/mnt
25 – 50, 1x sehari
Diberikan bila tidak ada gagal ginjal
atau serum kalium rendah
Intravena
Pertimbangkan untuk ultrafiltrasi
atau hemodialisis bila disertai gagal
ginjal
Resistensi diuretik

Keadaan klinis berupa berkurang atau hilangnya respon diuresis pada saat pengobatan
belum mencapai target (edema belum teratasi). Kondisi ini memberi prognosis yang buruk.

Tatalaksana resistensi diuretik

Restriksi cairan dan natrium serta koreksi elektrolit

Koreksi cairan bila hipovolemia

Naikkan dosis atau frekuensi diuretik

Gunakan intravena atau infus kontinu diuretik

Kombinasi diuretik dengan HCT atau spironolakton, dopamin atau dobutamin

Kurangi dosis penghambat EKA atau dengan dosis EKA yang sangat rendah.

Ultrafiltrasi atau hemodialisis bila strategi diatas tidak efektif
Penyekat beta atau beta blocker (BB)

BB merupakan kontraindikasi pada GJA

Pada pasien IMA dengan GJA yang telah terkontrol, BB harus segera diberikan

Pada pasien CHF dengan GJA yang telah stabil, BB harus segera diberikan setelah
episode akut.

Pemberian BB seperti bisoprolol, carvedilol atau metoprolol diawali dengan dosis kecil dan
dinaikkan perlahan dan progresif sampai target dosis tercapai. Dosis harus disesuaikan
pula dengan respon individual.

Pasien yang telah diterapi dengan BB lalu mengalami perburukan gagal jantung, maka
pengobatan dengan BB harus dilanjutkan kecuali terdapat penggunaan inotropik. Dosis BB
dapat diturunkan bila terdapat tanda overdosis BB (bradikardi dan hipotensi).
Inotropik

Inotropik diindikasikan bila terdapat hipoperfusi perifer (hipotensi dan penurunan fungsi
ginjal) dengan atau tanpa tanda kongesti/edema paru dan refrakter terhadap koreksi
volume cairan, diuretik dan vasodilator. Pedoman pemberian inotropik pada gambar 8.
Gambar 17. Algoritme penggunaan Inotropik pada GJA

Dopamin

Pada dosis rendah (<2ug/kg/m) bekerja pada reseptor dopamin perifer, menurunkan
tahanan perifer, vasodilatasi di renal, splanknik, koroner dan pembuluh serebral.
Dosis tersebut dapat meningkatkan perfusi ginjal, LFG, dan diuresis

Dosis >2 ug/kg/m, timbul aktivasi reseptor β dan meningkatkan kontraktilitas serta
curah jantung.

Dosis >5ug/kg/m, timbul aktivasi reseptor α dan meningkatkan tahanan vaskular
perifer. Terjadi peningkatan afterload dan tekanan arteri pulmonal.

Dobutamin

Memiliki efek inotropik dan kronotropik sehingga meningkatkan curah jantung dan
menurunkan simpatis dan tahanan perifer.

Pada dosis rendah, terjadi vasodilatasi ringan arterial sehingga meningkatkan isi
sekuncup akibat penurunan afterload

Dosis dimulai dari 2-3 ug/kg/m dan dapat dinaikkan hingga 20 ug/kg/m.

Pada pasien dalam terapi BB, dosis dobutamin dinaikkan hingga 15-20 ug/kg/m
untuk mendapatkan efek inotropik

Pemberian dobutamin jangka panjang (24-48 jam) akan berdampak berkurangnya
toleransi dan efek hemodinamik, risiko tinggi aritmia, dan iskemia.

Fosfodiesterase inhibitor (milrinone, enoximone)

Milrinon dan enoxamin memberi efek inotropik, lusitropik dan vasodilatasi perifer,
sehingga meningkatkan isi sekuncup, menurunkan tekanan arteri pulmonal, tekanan
wedge paru, tahanan perifer sistemik dan pulmonal.

Efek obat ini tetap bekerja meskipun pasien dalam terapi BB.

Pemberian milrinon diawali bolus 25 ug/kg dalam 10-20 menit yang dilanjuti 0,3750,75 ug/kg/m.

Pemberian Enoximone diawali bolus 0,25-0,75 mg/kg dilanjutkan dengan infus
kontinu 1,25 – 7,5 ug/kg/mnt.


Diperkirakan lebih aman untuk digunakan, terutama pada gagal jantung iskemik.
Levosimendan

Cara kerja melalui sensitisasi kalsium pada protein kontraktil serta pembukaan jalur
kalium di otot polos sehingga terjadi vasodilatasi perifer.

Diindikasikan pada gagal jantung dengan curah jantung rendah akibat disfungsi
ventrikel kiri tanpa hipotensi berat.


Pemberian diawali loading 12-24 ug/kg lalu infus kontinu 0,05-0,1 ug/kg/m.

Efek obat tetap atau bahkan meningkat pada pasien dalam terapi BB.
Pengobatan vasopresor pada syok kardiogenik
 Pemberian vasopresor diindikasikan bila pemberian kombinasi inotropik dan fluid
challenge gagal memperbaiki perfusi organ.
 Vasopressor diberikan pada kondisi emergensi dimana terdapat hipotensi yang
mengancam nyawa.
 Pada pasien syok kardiogenik yang disertai tahanan vaskular sistemik yang tinggi
maka pemberian vasopressor harus hati-hati karena akan meningkatkan afterload
kemudian akan memperburuk aliran ke organ.
 Pemberian norepinefrin sebagai vasopresor dimulai dengan dosis 0,2 ug/kg/mnt dan
dapat ditingkatkan sampai 1 ug/kg/mnt.
 Kombinasi norepinefrin dan dobutamin dapat memperbaiki hemodinamik.
 Pemberian inotropik dengan glikosida jantung tidak direkomendasikan terutama pada
pasien GJA dengan IMA
 Indikasi glikosida jantung (digoksin) yaitu pada GJA yang dicetuskan oleh takikardi
seperti fibrilasi atrium yang tidak dapat dikendalikan dengan beta bloker.
 Kontraindikasi glikosida jantung antara lain bradikardi, AV blok derajat dua dan tiga,
sick sinus síndrome, carotid sinus síndrome, WPW, HOCM, hipokalemi, dan
hiperkalemi.
Tabel 30. Cara dan dosis pemberian obat-obatan inotropik intravena.
Inotropik
Bolus
Kecepatan infus IV
Dobutamin
No bolus
2-20 ug/kg/min
Dopamin
No bolus
< 3 ug/kg/min :renal effect
3-5 ug/kg/min :Inotropik
>5 ug/kg/min : vasopresor
Milrinone
25-75 ug/kg selama 10-20 min
0,375-0,75 ug/kg/min
Enoximone
0,25-0,75 mg/kg
1,25-7,5 ug/kg/min
Levosimendan
12-24 ug/kg selama 10 min
0,1 ug/kg/min, dapat diturunkan
0,05 atau dinaikkan 0,2
ug/kg/min
Norepinefrin
No bolus
0,2 – 1 ug/kg/min
Epinefrin
Bolus : 1 mg bisa diberikan saat
0,05 – 0,5 ug/kg/min
resusitasi, dapat diulang tiap 35 menit.
Penyakit dasar dan komorbid yang menyertai GJA
Penyakit dasar ataupun penyerta pencetus terjadinya GJA antara lain penyakit jantung
koroner, penyakit katup, penyakit trombosis katup, diseksi aorta, hipertensi, gagal ginjal, penyakit
paru dan bronkokonstriksi, gagal jantung akut peri-operatif.
1. Penyakit jantung koroner

Dianjurkan pemeriksaan angiografi koroner.

Pada infark miokard akut, reperfusi dengan angioplasti emergensi harus segera
dilakukan

Pada syok kardiogenik maka angiografi koroner dan revaskularisasi harus segera
dilakukan

Ekokardiografi dilakukan untuk mengetahui fungsi global ventrikel, kelainan katup dan
menyingkirkan kelainan jantung lainnya seperti perimiokarditis, kardiomiopati, dan emboli
paru.
Gambar 18.a Ruptur free wall
18.b. Ruptur septum ventrikel
18.c. Mitral regurgitasi akut
18.d. Hiperdinamik IVS, SAM dan syok
kardiogenik
Gamabar 18. Algoritme tatalaksana GJA pada IMA dengan komplikasi mekanik
2. Penyakit katup

GJA dapat disebabkan kondisi katup seperti regurgitasi katup mitral dan aorta akut
(biasanya disebabkan endokarditis dan trauma), stenosis katup aorta dan mitral, trombosis
katup prostetik atau diseksi aorta.

Regurgitasi katup yang bersifat akut, penyebab tersering adalah endokarditis infektif.
Tatalaksana GJA dan intervensi bedah harus segera dilakukan.

Intervensi bedah tidak bermanfaat bila MR akut terjadi berkepanjangan disertai penurunan
indeks kardiak < 1,5 L/mnt/m 2 dan fraksi ejeksi < 35%.

AR akut yang disertai endokarditis infektif harus segera dilakukan intervensi bedah.
3. GJA dengan trombosis katup prostetik
 Semua pasien dengan gejala gagal jantung yang dicurigai trombosis katup prostetik harus
segera dilakukan ekokardiografi dan fluoroskopi.
 Kematian bedah diatas meja operasi sangat tinggi pada pasien yang sangat kritis dan
hemodinamik tidak stabil (NYHA III-IV, kardiogenik syok, edema pulmoner)
 Terapi trombolitik dan pembedahan dapat dilakukan pada pasien NYHA I-II atau troimbus
non-obstriktif..
 Terapi trombolitik tidak efektif bila sudah terjadi pertumbuhan jaringan fibrosa (pannus)

Trombolitik yang digunakan: rTPA 10 mg bolus IV dilanjutkan infus 90 mg selama 90 menit,
streptokinase 250-500.000 IU selama 20 menit dilanjutkan infus 1-1,5 juta IU selama 10 jam.
Setelah trombolitik UFH harus diberikan IV pada semua pasien (target APTT 1,5 – 2 kali
kontrol). Urokinase juga diberikan sebagai dengan dosis 4400 IU/kg/jam selama 12 jam tanpa
heparin atau 2000 IU/kg/jam bersama heparin selama 24 jam.
4. GJA dengan Diseksi aorta
 GJA terjadi bersama krisis hipertensi, AR akut atau iskemi miokard. Diagnosis harus segera
ditegakkan, TEE harus dilakukan untuk menilai morfologi dan fungsi katup.
5. GJA dan hipertensi

GJA sering terjadi sebagai komplikasi emergensi hipertensif. Edema paru yang diindukis
oleh hipertensi sering terjadi pada wanita>65 tahun, dengan riwayat hipertensi yang lama,
hipertrofi ventrikel kiri, dan terapi hipertensi yang tidak adekut.

Tujuan penanganan edema paru akut dengan hipertensi adalah penurunan preload dan
afterload, mengurangi iskemia jantung, dan mempertahanankan ventilasi yang cukup
dengan menghilangakan edema. Terapi yang digunakan adalah terapi oksigen, CPAP atau
ventilasi non invasif, dan jika perlu ventilasi mekanik (biasanya untuk jangka pendek saja)
dan pemberian antihipertensi intravena.

Target awal pemberian antihipertensi IV adalah penurunan tekanan darah sistolik atau
diastolik sebesar 30 mmHg kemudian dilanjutkan dengan penurunan tekananan darah
hingga ke level sebelum hipertensi krisis (dalam beberapa menit).

Penurunan tekanan darah yang cepat dapat dicapai dengan (1) loop diuretik intravena,
terutama jika terdapat tanda kelebihan cairan dengan riwayat gagal jantung kronik (2)
nitrogliserin atau nitropursid intgraveda untuk menurunan preloada vena dan afterload arteri
dan meningkatan aliran darah koroner, (3) penyekat calsium chanel (seperti nicardipin).

Penyekat beta tidak boleh diberikan bila edema pulmoner masih berlangsung.
6. GJA dengan gagal ginjal

Gagal jantung menyebabkan hipoperfusi ginjal, beberapa obat-obatan juga memperburuk
ginjal seperti diuretik, penghambat EKA, dan steroid.

Kondisi anemi, gangguan elektrolit, dan asidosis metabolik harus dikoreksi karena dapat
menyebabkan airtmia dan penurunan respon terapi dan perburukan prognosis.

Peningkatan kadar kreatinin > 25-30 % dan kadar kreatinin > 3,5 mg/dl merupakan
kontraindikasi relatif pemberian penghambat EKA

CVVH dianjurkan pada pasien dengan disfungsi ginjal dan retensi cairan yang berat.

Gagal jantung berisiko tinggi terjadinya gagal ginjal pasca pemeberian media kontras.
Pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan sedikit kontras isoosmotik, menghentikan obat-obatan yang bersifat nefrotoksik sperti NSAID, dan pretreatment dengan N-acetylcystein, dan atau reseptor DA1 agonis fenoldopam selektif, dan
peri-prosedular hemodialisis.
7. GJA pada penyakit paru dan bronkokonstriksi

Apabila terjadi bronkokonstrisi pada pasien GJA, bronkodilator harus berikan.

Sering ditemukan pada pasien yang disertai penyakit paru seperti asma, PPOK dan infeksi
paru.

Terapi awal diberikan 2,5 mg albuterol (salbutamol) (0,5 ml larutan 0,5% pada 2,5 ml salin)
dengan nebulizer selama 20 menit. Hal ini dapat diulang beberapa jam pada beberapa jam
pertama.
8. GJA dengan aritmia
8.1. Bradiaritmia

Bradiaritmia merupakan kondisi yuang sering pada pasien dengan IMA, terutama pada
penyumbatan arteri koroner kanan (RCA).

Penatalaksanaan bradiaritmia diawali dengan pemberian atropine 0,25-0,5 mg intravena,
dapat diulang. Isoproterenol 2-20 µg/kg/menit dapat diberikan infus pada disosiasi AV
dengan respon
ventrikel rendah. Teofilin IV dapat diberikan 0,2 – 0,4 mg/kg/jam bolus
kemudian dilanjutkan dengan pemberian infus.

TPM harus segera dipasang bila terapi medikamentosa tidak menolong. (Gambar 19,
algoritme tatalaksana bradikardi)
Gambar 19. Algoritma bradikardi
8.2. Takikardi supraventrikuler

Kontrol laju ventrikel penting pada pasien GJA yang disertai AF

Jika hemodinamik tidak stabil harus dilakukan tindakan kardioversi setelah menyingkirkan
trombus di LV dengan pemeriksaan ekokardiografi.

Digitalisasi cepat dipertimbangkan terutama bila AF terjadi sekunder karena GJA. (algoritme
tatalaksan takiaritmia gambar 20)
Gambar 20. Algoritma takikardi
9. GJA perioperatif

Insiden perioperatif dengan komplikasi IMA dengan kematian 5 % pada pasien dengan
faktor resiko seprti: usia > 70 tahun, angina pada MI, CHF, dalam pengobatan anti aritmia,
pengobatan DM, aktifitas fisik yang terbatas, hiperlipidemia, atau merokok.

Insiden terjadi pada 3 hari setelah operasi.
Tindakan bedah pada GJA

Berapa kondisi yang memerlukan tindakan bedah pada GJA antara lain syok kardiogenik
setelah IMA dengan stenosis beberapa pembuluh darah koroner, ventrikel septal defek
paska infark, ruptur dinding ventrikel, GJA dengan kelainan katup yang berat, trombosis
katup prostetik, diseksi aorta, regurgitasi mitral akibat : ruptur otot papiler, disfungsi otot
papilar, endokartis, trauma; regurgitasi katup aorta karena endokarditis, diseksi aorta,
trauma tumpul dada, ruptur anerisma sinus valsalva.
Alat bantu mekanik dan transplantasi jantung

Alat bantu mekanik sementara diindikasikan pada pasien dengan GJA yang tidak respon
dengan terapi konvensional, dan masih potensial untuk pemulihan otot jantung atau sebagai
jembatan untuk transplasntasi atau intervensi yang akan menghasilkan pemulihan yang
bermakna.

Alat bantu yang sering dipakai adalah IABP (intra aortic baloon pump) dan ventrikel assist
device. IABP diberikan pada pasien syok kardiogenik atau gagal jantung kiri yang berat
disertai (1) tidak respon dengan pemberian cairan, vasodilator atau inotropik, (ii) komplikasi
regurgitasi mitral yang bermakna atau ruptur sekat ventrikel atau (iii) disertai iskemi miokard
yang berat untuk persiapan revaskularisasi.
Download