KULIAH GAGAL JANTUNG AKUT Dr. Isman Firdaus, Sp.JP Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI Definisi Suatu sindroma dimana timbulnya tanda dan gejala yang berlangsung cepat dan singkat (dalam jam atau hari) akibat disfungsi jantung. Keadaan ini dapat terjadi pada penderita dengan atau tanpa kelainan jantung sebelumnya, dan dapat mematikan bila tidak diatasi segera. Disfungsi jantung yang dimaksud meliputi disfungsi sistolik atau diastolik, irama jantung abnormal, atau terdapat ketidak sesuaian antara preload dan afterload (preload and afterload mismatch). GJA sendiri dapat terjadi sebagai onset baru GJA pada penderita tanpa disfungsi jantung sebelumnya (disebut sebagai acute de novo) atau dekompensasi akut dari gagal jantung kronik (GJK) yang sudah diketahui sebelumnya (acute on chronic), GJA seperti ini dikategorikan sebagai gagal jantung akut dekompensata (GJAD). Pasien GJA terdiri atas 6 subset klinis sebagai berikut : 1. Gagal jantung akut dekompensata (dekompensasi gagal jantung kronik) Terdapat tanda dan gejala GJA yang ringan dan tidak memenuhi kriteria untuk syok kardiogenik, edema pulmoner, atau krisis hipertensi. 2. Sindroma koroner akut dan gagal jantung (de novo) 3. GJA hipertensif Terdapat tanda dan gejala gagal jantung terkait dengan tekanan darah tinggi dan fungsi ventrikel kiri yang masih baik disertai gambaran edema pulmoner akut dari foto toraks. 4. Edema paru akut Terdapat distress pernafasan yang berat, ronki kasar (crakles) diseluruh lapang paru, orthopnoea, saturasi O2 < 90% pada udara kamar sebelum terapi. 5. Syok kardiogenik Keadaaan dimana ada tanda hipoperfusi jaringan akibat gagal jantung setelah koreksi preload. Parameter hemodinamik syok kardiogenik antara lain penurunan tekanan darah (TD sistolik < 90 mmHg atau turunnya tekanan arteri rerata (mean arterial pressure = MAP) > 30 mmHg dan / atau penurunan diuresis (< 0,5 cc/kg/jam), dengan laju nadi > 60 denyut per menit dengan atau tanpa bukti kongesti organ. 6. Gagal jantung kanan akut Ditandai sindroma output rendah dengan peningkatan vena juguler, hepatomegali dan hipotensi. GJA dikelompokkan menjadi 4 kategori profil hemodinamik (dapat menentukan prognosis) sebagai acuan untuk strategi tatalaksana lebih lanjut secara cepat, yaitu: Kelas I (grup A) (hangat dan kering). kelas II (grup B) (hangat dan basah). kelas III (grup L ) (dingin dan kering). kelas IV (grup C (dingin dan basah). Gambar 12. Profil hemodinamik gagal jantung akut Patofisiologi Gambar 13. Fase Inisiasi GJA Gambar 14. Fase Amplifikasi GJA Diagnosis Gagal Jantung Akut Diagnosis gagal jantung akut berdasarkan tanda dan gejala klinis Pemeriksaan penunjang seperti EKG, foto toraks, biomarker BNP/NT-Pro BNP, dan dopler echocardiografi dapat membantu dalam menegakkan diagnosis GJA. Pasien dengan kecurigaan GJA harus segera ditentukan profil hemodinamik dalam dua menit. Gambar 15. Algoritma diagnosis GJA Tabel 25. Batasan nilai NT-proBNP pada Gagal Jantung Akut. (Dikutip dari Januzzi et al. Am J Cardiol 2005; 95:948 -54) BATASAN NILAI NT-pro BNP UNTUK GJA NT-proBNP < 300 pg/ml Bukan GJA NT-proBNP 300 – 1800 pg/ml Ragu GJA Lihat batasan usia NT-proBNP > 1800 pg/dl Hampir pasti GJA Tabel. 26. Batasan nilai NT-proBNP berdasarkan usia. (Dikutip dari Januzzi et al. Am J Cardiol 2005; 95:948 -54) Usia (tahun) Nilai NT-pro BNP (pg/ml) < 50 300 - 450 > 450 50 - 75 300 - 900 > 900 > 75 300 - 1800 > 1800 Interpretasi : GJA masih diragukan GJA hampir pasti Tanda dan gejala GJA Pemeriksaan secara sistematik terhadap sirkulasi perifer, pengisian vena, dan suhu perifer harus dilakukan. Pengisian ventrikel kanan pada gagal jantung dekompensasi dapat dinilai dari tekanan vena jugularis. Ketika vena jugularis interna adalah tidak dapat dipakai untuk evaluasi ( misalnya karena katup vena), maka vena jugularis eksterna dapat dipergunakan. Pengisian jantung kiri diukur dengan auskulatasi dada, apakah terdengar ronki basah di lapang paru, yang biasanya berarti peningkatan tekanan baji kapiler paru. Profil hemodinamik harus segera ditegakkan, dan konfirmasi kongesti pulmoner harus segera dilakukan dengan bantuan foto toraks. Bunyi jantung (S3, S4) harus ditentukan. Kualitas bunyi jantung, adanya gallop dan murmur penting untuk diagnosa dan penilaian klinis. Pemeriksaan luasnya arteriosklerosis dengan mencari adanya denyut yang berkurang dan adanya bruit di karotis dan abdomen juga penting, terutama pada pasien tua. Elektrokardiogram Gambaran EKG pada penderita gagal jantung akut pada umumnya abnormal. Pemeriksaan EKG digunakan untuk mengetahui irama jantung, etiologi gagal jantung akut, kondisi jantung seperti sindroma koroner akut , dan hipertrofi rongga jantung. Aritmia jantung harus dinilai dengan EKG 12 sadapan kemudian dipasang EKG monitor kontinu. Foto Thorax dan Pencitraan Lain Foto thorax harus dilakukan untuk evaluasi kelainan tambahan paru (infeksi, tanda kongesti) maupun jantung (bentuk dan ukuran) dan kongesti paru. Juga diperlukan untuk konfirmasi diagnosis, dan tindak lanjut untuk evaluasi adanya perbaikan atau perburukan. CT scan dan scintigrafi toraks dilakukan untuk mengetahui emboli paru atau penyakit paru lainnya. Ekokardiografi Transesofageal dan MRI untuk menyingkirkan diseksi aorta. Laboratorium Beberapa pemeriksaan laboratorium yang sesuai indikasi harus dilakukan pada pasien dengan gagal jantung akut. Tabel 27. Pemeriksaan laboratorium pada pasien yang dirawat dengan gagal jantung akut Darah rutin Wajib Hitung trombosit Selalu INR Jika pasien dengan antikoagulan CRP Perlu dipertimbangkan D-DImer Perlu dipertimbangkan (mungkin false positif jika pasien telah lamadi RS Urea, Elektrolit (Na, K, Ureum, Selalu Kreatinin) Gula darah Selalu CKmb, TnT Selalu Analisa gas darah Pada gagal jantung berat dan DM Transaminase Perlu dipertimbangkan Urinalisis Perlu dipertimbangkan Plasma BNP/ NTproBNP Perlu dipertimbangkan Analisa gas darah arteri (Astrup) diperiksa pada semua pasien dengan GJA yang berat. Pemeriksaan non invasif seperti oksimetri dapat menggantikan data Astrup namun tidak bermakna pada kondisi low output. Ekokardiografi Pemeriksaan ekokardiografi dilakukan untuk evaluasi perubahan fungsi dan struktrur jantung pada gagal jantung akut seperti pada sindrom koroner akut. Hal penting yang harus dinilai dengan ekokardiografi : fungsi ventrikel kiri dan kanan, keadaan katup, perikard, komplikasi mekanik dari infark miokard dan adanya massa di jantung (jarang), tekanan arteri pulmonal, dan curah jantung. Tujuan Penanganan Gagal Jantung Akut Tujuan jangka pendek dalam tatalaksana GJA adalah untuk memperbaiki gejala dan stabilisasi hemodinamik (tabel 3). Perbaikan jangka pendek juga harus diikuti dengan perbaikan jangka panjang, dengan menghindari atau membatasi kerusakan jantung. Monitoring Pasien dengan Gagal Jantung Akut Monitoring pasien dengan gagal jantung akut harus segera dilakukan saat pasien tiba di EMG, bersamaan dengan dilakukannuya diagnostik lainnya untuk mengetahui kelainan primer. Monitoring Non Invasive Monitoring dasar seperti suhu, pernafasan, denyut jantung EKG, tekanan darah merupakan keharusan. Monitor tekanan darah saat memulai pengobatan dilakukan teratur (tiap 5 menit) hingga dosis vasodilator, diuretik atau intotropik sudah stabil. Pulse oksimetri dipakai untuk mengukur saturasi oksigen, terutama pada pasien yang diberikan oksigen dengan FiO2 lebih tinggi dari udara biasa. Curah jantung dimonitor non-ivasif dengan pemeriksaan dopler. Monitoring Invasif Saluran arteri; Pemasangan kateter arteri diindikasikan untuk monitoring tekanan darah secara kontinu atau pemeriksaan analisa gas darah berulang bila hemodinamik masih belum stabil. Saluran CVP (central venous pressure=tekanan vena sentral); digunakan untuk pemberian cairan dan obat, serta monitor CVP. Saluran arteri pulmonal (pulmonal artery catheter=PAC) untuk mengukur tekanan baji kapeler pulmonal dapat dipertimbangkan. bagi pasien yang tidak respon dengan pengobatan biasa dan pasien dengan kombinasi kongesti dan hipoperfusi sebagai petunjuk apakah cairannya yang diberikan dan vasoaktif dan inotropik sudah cukup. Gambar 16. Algoritme sistematis tatalaksana dini GJA di Emergensi Tatalaksana awal di Unit Emergensi/Unit Gawat Darurat : Penatalaksaaan resusitasi Lakukan langkah-langkah ABC. Bila gelisah atau nyeri berikan analgesi/sedasi. Perbaiki hipoksemia. Bila Saturasi O2 > 95% berikan O2 melalui kanula nasal 4-6 L/menit. Bila Saturasi O2 < 95% berikan O2 melalui NRM 15 L/menit atau CPAP dengan PEEP 5-10 cmH2O. Pertimbangkan intubasi dan hiperventilasi dengan O 2 100% bila jelas terjadi penurunan kesadaran, sulit mempertahankan jalan napas penderita, atau bila GCS ≤ 8 dan tidak ada riwayat PPOK. Bila ada riwayat PPOK, berikan O2 secara titrasi untuk mempertahankan saturasi O2 ± 90%. Bila terjadi hipoventilasi berat lakukan bantu napas dengan BVM dan O 2 100% (“bagingbaging”) dan pertimbangkan intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik. Bila terjadi disritmia, lakukan penatalaksanaan sesuai protokol aritmia. Jika MAP > 70 mmHg pertimbangkan pemberian vasodilator atau diuretik jika terdapat tandatanda kongesti. Diuretik diberikan bila ditemukan adanya fluid overload. Jika MAP < 70 mmHg maka lakukan pemberian challenge test, berikan 50-100 ml/10 menit kristaloid atau koloid. Bila tekanan sistolik pasca pemberian challenge test tidak respon (masih < 70 mmHg), maka berikan infuse Dopamin start 5 mcg/kg/menit, titrasi hingga didapatkan tekanan sistolik >100 mmHg. Bila tekanan sistolik tetap <70 mmHg pertimbangkan pemasangan IABP. Bila IABP tidak memungkinkan dapat diberikan norepinefrin sampai tekanan sistolik >80 mmHg. Farmakoterapi GJA Morfin dan analog Morphine diberikan pada penanganan awal pasien dengan GJA yang berat terutama jika disertai keluhan gelisah dan sesak nafas. Morfin diberikan secara intravena 3 mg segera setelah pemasangan infus pasien GJA dan pemberian dapat diulangi bila diperlukan. Antikoagulan Antikoagulan diberikan pada fibrilasi atrium dan SKA. Diperlukan monitoring ketat pada penderita GJA yang diserta disfungsi liver. LMWH kontraindikasi pada gagal ginjal dengan CCT< 30 cc/menit. Vasodilator pada GJA Vasodilator diindikasikan pada kebanyakan pasien GJA sebagai terapi lini pertama. Nitrat. Nitrat dapat diberikan oral atau intravena. Titrasi nitrat intravena dengan furosemid dosis rendah telah terbukti superior dibandingkan terapi furosemid saja. Titrasi nitrogliserin dimulai dengan dosis rendah 5-200 ug/menit atau isosorbid dinitrat 110 mg/jam dilakukan dengan pemantauan ketat tekanan darah. Dosis perlu dikurangi bila tekanan darah sistolik di bawah 90-100 mmHg dan dihentikan bila terus terjadi penurunan TD. Sodium Nitroprusid (SNP). Direkomendasikan pada pasien dengan gagal jantung akut yang berat terutama pasien GJA dengan dengan afterload tinggi seperti gagal jantung hipertensif atau regurgitasi mitral. Dosis dititrasi bertahap dimulai 0,3ug/kg/menit dinaikkan hingga 5 ug/kg/menit). Titrasi nitroprusid harus dengan pemantauan jalur arterial secara ketat. Pemberian SNP yang berkepanjangan dapat meningkatkan toksisitas metabolit tiosianida dan sianida terutama pada pasien dengan gangguan ginjal dan hepar. Nesiritide. Pemberian infus nesiritide pada pasien gagal jantung kongestif memberikan manfaat pada perbaikan hemodinamik dengan meningkatkan ekskresi natrium dan menekan aktifitas renin-angiotensin-aldosteron dan aktifitas saraf simpatik. Pemberian Nesiritide akan memperbaiki hemodinamik lebih efektif dengan sedikit komplikasi bila dibandingkan dengan pemberian nitrogliserin. Diberikan bolus 2 ug/kgbb dilanjutkan dengan infus 0,01 ug/kg/menit. Antagonis kalsium. Obat golongan antagonis kalsium tidak direkomendasikan pada GJA. Tabel 28. Dosis dan indikasi penggunaan vasodilator Vasodilator Glyceryl trinitrate, Indikasi GJA dengan TD adekuat 5mononitrate Dosis Start 20 ug/menit, ditingkatkan hingga 200 ug/min Isosorbid dinitrate GJA dengan TD adekuat Start 1 mg/jam, ditingkatkan hingga 10 mg/jam Nitroprusside Krisis hipertensi, syok 0,3 – 5 ug/kg/menit kardiogenik dengan kombinasi inotropik Nesiritide Gagal jantung akut Bolus 2 ug/kg dilanjutkan dekompensata 0,015 – 0,03 ug/kg/menit Penghambat Enzim konversi angiotensin (EKA) pada GJA Penghambat EKA tidak diindikasikan pada stabilisasi dini pasien dengan GJA. Penghambat EKA intravena harus dihindari. Dosis awal pemberian obat penghambat EKA harus rendah dan ditingkatkan secara progresif setelah stabilisasi dini dalam 48 jam. Diuretik Diuretik diindikasikan pada pasien gagal jantung akut dekompensata yang disertai gejala dan tanda retensi cairan. Loop diuretic terpilih karena efeknya yang kuat dan cepat. Dosis dititrasi sesuai respon diuresis serta berkurangnya gejala dan tanda kongesti. Khusus pada SKA, diuretik diberikan dosis rendah dan lebih diutamakan vasodilator. Pemberian dosis loading diikuti infus kontinu lebih efektif daripada bolus saja. Thiazid atau spironolakton dosis rendah dapat digabung dengan furosemid dan lebih efektif daripada dosis tinggi satu jenis obat. Kombinasi diuretik dengan dobutamin, dopamin atau nitrat lebih efektif daripada dosis tinggi diuretik saja. Perlu diperhatikan efek samping berupa: aktivasi neurohormonal (angiotensinaldosteron) dan simpatis, hipokalemia, hipomagnesemia dan alkalosis hipokloremi yang dapat memicu aritmia; nefrotoksik (gagal ginjal); penurunan isi sekuncup dan curah jantung. Asetazolamid intravena dapat diberikan pada alkalosis akibat efek samping diuretik. Tabel 29. Dosis pemberian diuretik Derajat retensi cairan Sedang Berat Diuretik Dosis (mg) Keterangan Furosemid 20-40 Oral / IV Bumetanid 0,5 – 1,0 Dosis dititrasi Torasemid Furosemide 10 – 20 40 -100 Monitor N,K, Cr dan TD IV Furosemid kontinu 5 – 40 mg/jam Bumetanid 1–4 Oral / IV Torasemid 20 - 100 Oral Tambah HZT atau Metolazone atau spironolakton 2,5 – 50, 2x sehari Pada keadaan alkalosis Asetazolamid 0,5 Refrakter loop diuretik dan HZT Tambah dopamin dosis renal atau dobutamin sebagai agen inotropik Refrakter loop diuretik 2,5 – 10, 1x sehari Lebih poten bila CCT < 30 cc/mnt 25 – 50, 1x sehari Diberikan bila tidak ada gagal ginjal atau serum kalium rendah Intravena Pertimbangkan untuk ultrafiltrasi atau hemodialisis bila disertai gagal ginjal Resistensi diuretik Keadaan klinis berupa berkurang atau hilangnya respon diuresis pada saat pengobatan belum mencapai target (edema belum teratasi). Kondisi ini memberi prognosis yang buruk. Tatalaksana resistensi diuretik Restriksi cairan dan natrium serta koreksi elektrolit Koreksi cairan bila hipovolemia Naikkan dosis atau frekuensi diuretik Gunakan intravena atau infus kontinu diuretik Kombinasi diuretik dengan HCT atau spironolakton, dopamin atau dobutamin Kurangi dosis penghambat EKA atau dengan dosis EKA yang sangat rendah. Ultrafiltrasi atau hemodialisis bila strategi diatas tidak efektif Penyekat beta atau beta blocker (BB) BB merupakan kontraindikasi pada GJA Pada pasien IMA dengan GJA yang telah terkontrol, BB harus segera diberikan Pada pasien CHF dengan GJA yang telah stabil, BB harus segera diberikan setelah episode akut. Pemberian BB seperti bisoprolol, carvedilol atau metoprolol diawali dengan dosis kecil dan dinaikkan perlahan dan progresif sampai target dosis tercapai. Dosis harus disesuaikan pula dengan respon individual. Pasien yang telah diterapi dengan BB lalu mengalami perburukan gagal jantung, maka pengobatan dengan BB harus dilanjutkan kecuali terdapat penggunaan inotropik. Dosis BB dapat diturunkan bila terdapat tanda overdosis BB (bradikardi dan hipotensi). Inotropik Inotropik diindikasikan bila terdapat hipoperfusi perifer (hipotensi dan penurunan fungsi ginjal) dengan atau tanpa tanda kongesti/edema paru dan refrakter terhadap koreksi volume cairan, diuretik dan vasodilator. Pedoman pemberian inotropik pada gambar 8. Gambar 17. Algoritme penggunaan Inotropik pada GJA Dopamin Pada dosis rendah (<2ug/kg/m) bekerja pada reseptor dopamin perifer, menurunkan tahanan perifer, vasodilatasi di renal, splanknik, koroner dan pembuluh serebral. Dosis tersebut dapat meningkatkan perfusi ginjal, LFG, dan diuresis Dosis >2 ug/kg/m, timbul aktivasi reseptor β dan meningkatkan kontraktilitas serta curah jantung. Dosis >5ug/kg/m, timbul aktivasi reseptor α dan meningkatkan tahanan vaskular perifer. Terjadi peningkatan afterload dan tekanan arteri pulmonal. Dobutamin Memiliki efek inotropik dan kronotropik sehingga meningkatkan curah jantung dan menurunkan simpatis dan tahanan perifer. Pada dosis rendah, terjadi vasodilatasi ringan arterial sehingga meningkatkan isi sekuncup akibat penurunan afterload Dosis dimulai dari 2-3 ug/kg/m dan dapat dinaikkan hingga 20 ug/kg/m. Pada pasien dalam terapi BB, dosis dobutamin dinaikkan hingga 15-20 ug/kg/m untuk mendapatkan efek inotropik Pemberian dobutamin jangka panjang (24-48 jam) akan berdampak berkurangnya toleransi dan efek hemodinamik, risiko tinggi aritmia, dan iskemia. Fosfodiesterase inhibitor (milrinone, enoximone) Milrinon dan enoxamin memberi efek inotropik, lusitropik dan vasodilatasi perifer, sehingga meningkatkan isi sekuncup, menurunkan tekanan arteri pulmonal, tekanan wedge paru, tahanan perifer sistemik dan pulmonal. Efek obat ini tetap bekerja meskipun pasien dalam terapi BB. Pemberian milrinon diawali bolus 25 ug/kg dalam 10-20 menit yang dilanjuti 0,3750,75 ug/kg/m. Pemberian Enoximone diawali bolus 0,25-0,75 mg/kg dilanjutkan dengan infus kontinu 1,25 – 7,5 ug/kg/mnt. Diperkirakan lebih aman untuk digunakan, terutama pada gagal jantung iskemik. Levosimendan Cara kerja melalui sensitisasi kalsium pada protein kontraktil serta pembukaan jalur kalium di otot polos sehingga terjadi vasodilatasi perifer. Diindikasikan pada gagal jantung dengan curah jantung rendah akibat disfungsi ventrikel kiri tanpa hipotensi berat. Pemberian diawali loading 12-24 ug/kg lalu infus kontinu 0,05-0,1 ug/kg/m. Efek obat tetap atau bahkan meningkat pada pasien dalam terapi BB. Pengobatan vasopresor pada syok kardiogenik Pemberian vasopresor diindikasikan bila pemberian kombinasi inotropik dan fluid challenge gagal memperbaiki perfusi organ. Vasopressor diberikan pada kondisi emergensi dimana terdapat hipotensi yang mengancam nyawa. Pada pasien syok kardiogenik yang disertai tahanan vaskular sistemik yang tinggi maka pemberian vasopressor harus hati-hati karena akan meningkatkan afterload kemudian akan memperburuk aliran ke organ. Pemberian norepinefrin sebagai vasopresor dimulai dengan dosis 0,2 ug/kg/mnt dan dapat ditingkatkan sampai 1 ug/kg/mnt. Kombinasi norepinefrin dan dobutamin dapat memperbaiki hemodinamik. Pemberian inotropik dengan glikosida jantung tidak direkomendasikan terutama pada pasien GJA dengan IMA Indikasi glikosida jantung (digoksin) yaitu pada GJA yang dicetuskan oleh takikardi seperti fibrilasi atrium yang tidak dapat dikendalikan dengan beta bloker. Kontraindikasi glikosida jantung antara lain bradikardi, AV blok derajat dua dan tiga, sick sinus síndrome, carotid sinus síndrome, WPW, HOCM, hipokalemi, dan hiperkalemi. Tabel 30. Cara dan dosis pemberian obat-obatan inotropik intravena. Inotropik Bolus Kecepatan infus IV Dobutamin No bolus 2-20 ug/kg/min Dopamin No bolus < 3 ug/kg/min :renal effect 3-5 ug/kg/min :Inotropik >5 ug/kg/min : vasopresor Milrinone 25-75 ug/kg selama 10-20 min 0,375-0,75 ug/kg/min Enoximone 0,25-0,75 mg/kg 1,25-7,5 ug/kg/min Levosimendan 12-24 ug/kg selama 10 min 0,1 ug/kg/min, dapat diturunkan 0,05 atau dinaikkan 0,2 ug/kg/min Norepinefrin No bolus 0,2 – 1 ug/kg/min Epinefrin Bolus : 1 mg bisa diberikan saat 0,05 – 0,5 ug/kg/min resusitasi, dapat diulang tiap 35 menit. Penyakit dasar dan komorbid yang menyertai GJA Penyakit dasar ataupun penyerta pencetus terjadinya GJA antara lain penyakit jantung koroner, penyakit katup, penyakit trombosis katup, diseksi aorta, hipertensi, gagal ginjal, penyakit paru dan bronkokonstriksi, gagal jantung akut peri-operatif. 1. Penyakit jantung koroner Dianjurkan pemeriksaan angiografi koroner. Pada infark miokard akut, reperfusi dengan angioplasti emergensi harus segera dilakukan Pada syok kardiogenik maka angiografi koroner dan revaskularisasi harus segera dilakukan Ekokardiografi dilakukan untuk mengetahui fungsi global ventrikel, kelainan katup dan menyingkirkan kelainan jantung lainnya seperti perimiokarditis, kardiomiopati, dan emboli paru. Gambar 18.a Ruptur free wall 18.b. Ruptur septum ventrikel 18.c. Mitral regurgitasi akut 18.d. Hiperdinamik IVS, SAM dan syok kardiogenik Gamabar 18. Algoritme tatalaksana GJA pada IMA dengan komplikasi mekanik 2. Penyakit katup GJA dapat disebabkan kondisi katup seperti regurgitasi katup mitral dan aorta akut (biasanya disebabkan endokarditis dan trauma), stenosis katup aorta dan mitral, trombosis katup prostetik atau diseksi aorta. Regurgitasi katup yang bersifat akut, penyebab tersering adalah endokarditis infektif. Tatalaksana GJA dan intervensi bedah harus segera dilakukan. Intervensi bedah tidak bermanfaat bila MR akut terjadi berkepanjangan disertai penurunan indeks kardiak < 1,5 L/mnt/m 2 dan fraksi ejeksi < 35%. AR akut yang disertai endokarditis infektif harus segera dilakukan intervensi bedah. 3. GJA dengan trombosis katup prostetik Semua pasien dengan gejala gagal jantung yang dicurigai trombosis katup prostetik harus segera dilakukan ekokardiografi dan fluoroskopi. Kematian bedah diatas meja operasi sangat tinggi pada pasien yang sangat kritis dan hemodinamik tidak stabil (NYHA III-IV, kardiogenik syok, edema pulmoner) Terapi trombolitik dan pembedahan dapat dilakukan pada pasien NYHA I-II atau troimbus non-obstriktif.. Terapi trombolitik tidak efektif bila sudah terjadi pertumbuhan jaringan fibrosa (pannus) Trombolitik yang digunakan: rTPA 10 mg bolus IV dilanjutkan infus 90 mg selama 90 menit, streptokinase 250-500.000 IU selama 20 menit dilanjutkan infus 1-1,5 juta IU selama 10 jam. Setelah trombolitik UFH harus diberikan IV pada semua pasien (target APTT 1,5 – 2 kali kontrol). Urokinase juga diberikan sebagai dengan dosis 4400 IU/kg/jam selama 12 jam tanpa heparin atau 2000 IU/kg/jam bersama heparin selama 24 jam. 4. GJA dengan Diseksi aorta GJA terjadi bersama krisis hipertensi, AR akut atau iskemi miokard. Diagnosis harus segera ditegakkan, TEE harus dilakukan untuk menilai morfologi dan fungsi katup. 5. GJA dan hipertensi GJA sering terjadi sebagai komplikasi emergensi hipertensif. Edema paru yang diindukis oleh hipertensi sering terjadi pada wanita>65 tahun, dengan riwayat hipertensi yang lama, hipertrofi ventrikel kiri, dan terapi hipertensi yang tidak adekut. Tujuan penanganan edema paru akut dengan hipertensi adalah penurunan preload dan afterload, mengurangi iskemia jantung, dan mempertahanankan ventilasi yang cukup dengan menghilangakan edema. Terapi yang digunakan adalah terapi oksigen, CPAP atau ventilasi non invasif, dan jika perlu ventilasi mekanik (biasanya untuk jangka pendek saja) dan pemberian antihipertensi intravena. Target awal pemberian antihipertensi IV adalah penurunan tekanan darah sistolik atau diastolik sebesar 30 mmHg kemudian dilanjutkan dengan penurunan tekananan darah hingga ke level sebelum hipertensi krisis (dalam beberapa menit). Penurunan tekanan darah yang cepat dapat dicapai dengan (1) loop diuretik intravena, terutama jika terdapat tanda kelebihan cairan dengan riwayat gagal jantung kronik (2) nitrogliserin atau nitropursid intgraveda untuk menurunan preloada vena dan afterload arteri dan meningkatan aliran darah koroner, (3) penyekat calsium chanel (seperti nicardipin). Penyekat beta tidak boleh diberikan bila edema pulmoner masih berlangsung. 6. GJA dengan gagal ginjal Gagal jantung menyebabkan hipoperfusi ginjal, beberapa obat-obatan juga memperburuk ginjal seperti diuretik, penghambat EKA, dan steroid. Kondisi anemi, gangguan elektrolit, dan asidosis metabolik harus dikoreksi karena dapat menyebabkan airtmia dan penurunan respon terapi dan perburukan prognosis. Peningkatan kadar kreatinin > 25-30 % dan kadar kreatinin > 3,5 mg/dl merupakan kontraindikasi relatif pemberian penghambat EKA CVVH dianjurkan pada pasien dengan disfungsi ginjal dan retensi cairan yang berat. Gagal jantung berisiko tinggi terjadinya gagal ginjal pasca pemeberian media kontras. Pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan sedikit kontras isoosmotik, menghentikan obat-obatan yang bersifat nefrotoksik sperti NSAID, dan pretreatment dengan N-acetylcystein, dan atau reseptor DA1 agonis fenoldopam selektif, dan peri-prosedular hemodialisis. 7. GJA pada penyakit paru dan bronkokonstriksi Apabila terjadi bronkokonstrisi pada pasien GJA, bronkodilator harus berikan. Sering ditemukan pada pasien yang disertai penyakit paru seperti asma, PPOK dan infeksi paru. Terapi awal diberikan 2,5 mg albuterol (salbutamol) (0,5 ml larutan 0,5% pada 2,5 ml salin) dengan nebulizer selama 20 menit. Hal ini dapat diulang beberapa jam pada beberapa jam pertama. 8. GJA dengan aritmia 8.1. Bradiaritmia Bradiaritmia merupakan kondisi yuang sering pada pasien dengan IMA, terutama pada penyumbatan arteri koroner kanan (RCA). Penatalaksanaan bradiaritmia diawali dengan pemberian atropine 0,25-0,5 mg intravena, dapat diulang. Isoproterenol 2-20 µg/kg/menit dapat diberikan infus pada disosiasi AV dengan respon ventrikel rendah. Teofilin IV dapat diberikan 0,2 – 0,4 mg/kg/jam bolus kemudian dilanjutkan dengan pemberian infus. TPM harus segera dipasang bila terapi medikamentosa tidak menolong. (Gambar 19, algoritme tatalaksana bradikardi) Gambar 19. Algoritma bradikardi 8.2. Takikardi supraventrikuler Kontrol laju ventrikel penting pada pasien GJA yang disertai AF Jika hemodinamik tidak stabil harus dilakukan tindakan kardioversi setelah menyingkirkan trombus di LV dengan pemeriksaan ekokardiografi. Digitalisasi cepat dipertimbangkan terutama bila AF terjadi sekunder karena GJA. (algoritme tatalaksan takiaritmia gambar 20) Gambar 20. Algoritma takikardi 9. GJA perioperatif Insiden perioperatif dengan komplikasi IMA dengan kematian 5 % pada pasien dengan faktor resiko seprti: usia > 70 tahun, angina pada MI, CHF, dalam pengobatan anti aritmia, pengobatan DM, aktifitas fisik yang terbatas, hiperlipidemia, atau merokok. Insiden terjadi pada 3 hari setelah operasi. Tindakan bedah pada GJA Berapa kondisi yang memerlukan tindakan bedah pada GJA antara lain syok kardiogenik setelah IMA dengan stenosis beberapa pembuluh darah koroner, ventrikel septal defek paska infark, ruptur dinding ventrikel, GJA dengan kelainan katup yang berat, trombosis katup prostetik, diseksi aorta, regurgitasi mitral akibat : ruptur otot papiler, disfungsi otot papilar, endokartis, trauma; regurgitasi katup aorta karena endokarditis, diseksi aorta, trauma tumpul dada, ruptur anerisma sinus valsalva. Alat bantu mekanik dan transplantasi jantung Alat bantu mekanik sementara diindikasikan pada pasien dengan GJA yang tidak respon dengan terapi konvensional, dan masih potensial untuk pemulihan otot jantung atau sebagai jembatan untuk transplasntasi atau intervensi yang akan menghasilkan pemulihan yang bermakna. Alat bantu yang sering dipakai adalah IABP (intra aortic baloon pump) dan ventrikel assist device. IABP diberikan pada pasien syok kardiogenik atau gagal jantung kiri yang berat disertai (1) tidak respon dengan pemberian cairan, vasodilator atau inotropik, (ii) komplikasi regurgitasi mitral yang bermakna atau ruptur sekat ventrikel atau (iii) disertai iskemi miokard yang berat untuk persiapan revaskularisasi.