gagasan penerapan syaria`t islam dalam majalah suara hidayatullah

advertisement
http://www.karyailmiah.polnes.ac.id
GAGASAN PENERAPAN SYARIA’T ISLAM DALAM MAJALAH
SUARA HIDAYATULLAH
Abdul Rahman
(Dosen Agama Islam Politeknik Negeri Samarinda)
Abstrak
Artikel ini membahas tentang gagasan penerapan syari’at Islam dalam majalah Suara
Hidayatullah (SH). Dalam pengkajian penulis, ditemukan bahwa gagasan penegakan syari’at
Islam dalam majalah SH cukup menarik. Menarik, karena berusaha keluar dari dua arus
pemikiran yang selama ini sudah menjadi pola baku di kalangan pemikir politik Islam Indonesia,
yakni formalistik dan subtantialistik. SH justru mencoba mengelaborasi keduanya dengan
keyakinan bahwa pemisahan kedua pola tersebut adalah sebuah kekeliruan karena
bertentangan dengan sifat dasar Islam yang serba meliputi.
Kata Kunci: penerapan syari’at Islam, Suara Hidayatullah
PENDAHULUAN
Media massa diyakini sebagai wadah yang
strategis
dalam
menuangkan
sekaligus
menawarkan ide dan gagasan-gagasan tertentu.
Hal tersebut didasarkan pada satu asumsi bahwa
ide dan gagasan tersebut pasti akan dibaca,
dianalisa, bahkan akan dianut oleh khalayak ramai.
Pada sisi lain, sudah menjadi aksioma bahwa ciri
utama manusia modern adalah memiliki akses
yang begitu luas terhadap media massa.
Tegasnya, media massa sudah menjadi ikon
manusia modern.
Karena itu, tidak mengherankan jika dalam
dua dasawarsa terakhir pertumbuhan dan
perkembangan media massa, khususnya di
Indonesia, begitu pesat, baik cetak maupun
elektronik. Dalam konteks media massa Islam
(media yang didirikan oleh orang-orang Islam dan
diharapkan dikonsumsi oleh masyarakat Islam),
misalnya tidak luput dari fenomena tersebut. Di
antara media tersebut umumnya media cetak,
seperti jurnal, majalah, tabloit dan surat kabar.
Salah satu di antara media Islam yang cukup
terkenal saat ini adalah Majalah Suara Hidayatullah
(selanjutnya disebut SH). Majalah SH dianggap
oleh banyak kalangan sebagai salah satu, kalau
bukan satu-satunya, media massa Islam yang tetap
survive di tengah maraknya persaingan media
Riset / 1293
massa Nasional. Menurut pengamatan penulis,
salah satu hal menarik dan sudah menjadi ciri khas
majalah ini adalah konsistensinya sebagai media
yang mengambil jalur dakwah Islam sebagai visimisinya. Berbagai rubrik yang ditawarkan kepada
pembacanya diformulasi dalam idiom-idiom dan
gaya bahasa dakwah. Karena itu, narasi yang
bersipat mengajak, menawarkan, “menggurui”,
bahkan mengkritik (halus maupun tajam) sangat
mudah ditemukan dalam majalah ini.
Salah satu menu utama Majalah SH pada
setiap terbitan adalah rubrik “kajian utama”. Rubrik
ini berisi tulisan-tulisan ilmiah dengan tema-tema
tertentu yang saat terbit menjadi pembicaraan
hangat. Dalam kaitan ini, Majalah SH sejak edisi
Juni 2001 sampai April 2003 menurunkan tulisan
berkala (bersambung) dengan mengusung tema
besar yang saat itu menjadi issu hangat secara
nasional maupun lokal, yakni “Penegakan Syari’at
Islam.”
Tema inilah yang akan menjadi focus kajian
dalam pembahasan selanjutnya. Walaupun sudah
lewat beberapa tahun lalu, namun tema ini masih
sangat relevan untuk dikaji kembali, sebab sampai
saat ini tema tersebut masih menjadi pembicaraan
hangat, bukan saja di kalangan elit agama, tapi
juga di kalangan masyarakat awam.
JURNAL EKSIS
Vol. 6 No.1, Maret 2010: 1267 – 1266
SOSOK
(SH)
MAJALAH
SUARA HIDAYATULLAH
Majalah SH adalah sebuah Majalah Islam
bulanan yang diterbitkan di Surabaya oleh Yayasan
Penerbitan Pesantren
Hidayatullah Gunung
Tembak Kalimantan Timur. Dengan Siup.
No.1105/SK/Mempen/ Siupp/199 tanggal 19 Maret
1999. Dirintis oleh Abdullatief Usman dan Manshur
Salbu, kemudian didirikan oleh Ustadz Abdullah
Said, sekaligus pimpinan Pesantren Hidayatullah
Gunung Tembak saat itu
Alamat redaksi majalah ini sekarang di Jl.
Brigjen Katamso 180 Rewwin Waru Surabaya.
Perkembangannya dapat dikatakan cukup baik,
terbukti hingga saat ini, agen atau distributornya
sebanyak 164 yang tersebar di seluruh Indonesia.
Selain tampil dengan terbitan konvensional,
Hidayatullah juga memiliki website dengan alamat
w.w.w.Hidayatullah.com. Inilah yang kemudian
mendapat penghargaan sebagai salah satu website
terbaik di Indonesia dalam kategori Portal dan
Direktori. Bersama Detik.com, Astaga.com, dan
Satune.com, pada tahun 2001.
Dakwah adalah visi dan misi majalah ini. Hal
ini tergambar dalam mottonya “Katakan Tiada Ilah
Selain Allah Pasti Menang”. Sepanjang terbitan
2001-2004, makna motto tersebut tidak pernah
didapatkan penjelasannya. Namun, jika dianalisis
secara cermat, dapat diduga bahwa motto tersebut
merupakan bentuk kristalisasi dari seluruh
gagasan, pikiran, pendapat dan kebijakan serta
tawaran yang tertuang dalam isi majalah, atau
boleh jadi motto tersebut menjadi ruh atau
inspirator seluruh isi majalah.
Segmen pembaca SH dapat dikatakan
homogen. Hal ini didasarkan pada pengamatan
penulis bahwa distributor dan pelanggang majalah
ini adalah orang-orang yang dikenal berafiliasi
kepada organisasi-organisasi yang mempunyai
kemiripan, kalau bukan persamaan, garis
perjuangan,
seperti
Muhammadiyah,
PKS,
Hizbuttahrir,
Al-Wahdah
dan
organisasi
Hidayatullah sendiri. Para pembaca majalah ini
adalah mereka yang biasanya berpandangan
“keras” atau yang sering disebut sebagai
“fundamentalis” (walaupun sebutan ini masih
mengundang perdebatan). Dalam hal ini penulis
tegaskan bahwa kesimpulan ini bukan berdasarkan
survei atau penelitian secara serius, akan tetapi
hanya didasarkan pada amatan terhadap gagasangagasan para pembaca yang termuat dalam rublik
“Surat Pembaca”. Mereka selalu berada pada area
“konfrontasi”
terhadap
pihak
“lain”
dan
memposisikan diri sebagai yang paling benar dan
Islami. Istilah-istilah yang mereka gunakan
umumnya diadopsi dari bahasa Arab, mislanya
ikhwan atau akhwat, manhaj, jihad, Islam kaffah,
bid’ah, muryrik, dan lain-lain.
JURNAL EKSIS
Vol. 6 No.1, Maret 2010: 1267 – 1266
GAGASAN PENERAPAN SYARI’AT ISLAM
DALAM MAJALAH SUARA HIDAYATULLAH
Sistematika Tema dan Gagasan
Gagasan penerapan syari’at dalam Majalah
SH terdapat pada rublik “kajian utama” sejak edisi
Juni 2001 sampai April 2003. Gagasan besar ini
mengambil tema “Syari’at Islam dalam Negara”.
Tujuan tema ini adalah membangun kesadaran
berislam
sebagaimana
generasi
awal
melakukannya. Struktur artikelnya selalu sama,
yaitu tiga tulisan pada setiap edisi. Tulisan pertama
menggali
agenda-agenda
penting
yang
diisyaratkan Alquran dan Assunnah. Tulisan kedua
merefleksikan berbagai pengalaman nyata di
sepanjang sejarah peradaban Islam. Sedangkan
tulisan ketiga menyeret semua gagasan cemerlang
itu ke dunia nyata kita hari ini. Dari tiga tulisan
tersebut penulis akan lebih banyak menganalisis
tulisan ketiga, sebab di sanalah gagasan
penegakan syari’at Islam dielaborasi secara aktual
dan dikaitkan dengan issu-issu kontemporer,
walaupun nantinya sesekali mengutip dan
menganalisis tulisan pertama dan kedua.
Gagasan-gagasan
tersebut
diformat
sedemikian rupa sehingga menjadi rangkaian
gagasan yang utuh, walapun dalam hal-hal tertentu
tidak sistematis. Tema pokok dipecah ke dalam
sub-sub tema per edisi. Berikut dapat dicermati
tema-tema tersebut sejak Juni 2001-April 2003,
secara berurutan adalah : Menyiapkan Negara
Madinah, Senjata Baru Perang Peradaban, Model
Muslim Unggulan, Aktor Intelektual Peradaban
Wahyu, Harakah Yang Dijamin Allah, Mengelolah
Perbedaan Kita (Edisi Juni-Desember 2001),
Syariat
Sebagai
Rahmat,
Ekonomi
Yang
Membahagiakan,
Syari’at
Yang
Mencegah
Disintegrasi, Syari’at Kuatkan Rakyat, - 400 Tahun
di Bawah Syari’at Penjajah,
Rabun Syari’at,
Nikmatnya Kesucian Jiwa, Hidup Berjama’ah Itu
Indah, Ijtihad Warna-Warni, Lekas Tumbang
Sekularisme, Bila syari’at Tanpa Negara, Tenang
Menghadapi Kezdhaliman (Edisi Januari-Desember
2002), Islam Menolak Dikratorisme, Jama’ah dan
Penghianatan, Semakin Kuat Karena Difitnah,
Siapakah Negera Ini Bersyari’at (Edisi Januari-April
2003)
Adapun penulis tetap pada kajian utama
terdiri dari tiga orang, yaitu: M. Anis Matta, Ustadz
Untung Wahono, dan Ustadz Hamim Thohari.
Ketiganya berkolabori dalam membangun kerangka
dasar gagasan-gagasan pada sub tema dalam
setiap edisi.
Penting ditegaskan lebih awal bahwa dalam
mengkaji gagasan tersebut, penulis tidak mengacu
pada urutan sistematika sub tema setiap edisi,
seperti yang disebutkan di atas, tapi akan
mengelaborasinya sesuai dengan kepentingan
runtutnya analisis. Hal ini dilakukan sebab tematema tersebut yang juga tidak sistematis. Sebagai
Riset / 1294
http://www.karyailmiah.polnes.ac.id
contoh; pengertian penerapan syari’at dalam
negara justru ditemukan pada edisi April 3003.
Landasan/Dasar Gagasan Penerapan Syari’at
Islam dalam SH
Makna Penerapan Syari’at Islam
Landasan Teologis
Makna penegakan syari’at Islam yang
dimaksud oleh SH dapat dibaca pada edisi April
2003. Berikut penjelasan M. Amin Matta:
“Apakah persisnya yang kita maksud
dengan penerapan syari’at Islam? Apakah salah
satu di atara tiga pengertian ini, yakni
mengakomodasi satuan-satuan hukum perdata dan
pidana Islam dalam konstitusi dan undang-undang
serta berbagai penjabaran hukumnya? Atau
mengisi segenap ruang-ruang konstitusi dan
undang-undang
serta
berbagai
penjabaran
hukumnya di negara kita dengan ajaran Islam?
Atau mengatur negara ini pada semua aspeknya,
dengan cara Islam dan oleh orang-orang Islam”.
Pengertian pertama memandang Islam sebagai
salah satu refrensi perundang-undangan nasional.
Pengertian kedua memandang Islam sebagai
refrensi utama yang mewarnai seluruh aspek
perundang-undangan nasional. Pengertian ketiga
memandang Islam sebagai refrensi utama
sekaligus
penguasaan
mayoritas.
Dalam
pandangan ini Islam menjadi ruh yang mewarnai
konstitusi dengan segala derivasinya (penjabaran)
hukumnya, sekaligus mempunyai “kekuatan
eksekusi” yang memungkinkannya mengarahkan
segenap kehidupan berbangsa dan bernegara.
Nampaknya, dari ketiga defenisi penerapan
syari’at Islam di atas, SH menganut pengertian
ketiga. Hal ini dapat difahami dari penjelasan Anis
Matta selanjutnya:
… penerapan syari’at Islam tidak dapat
dipandang sebagai sebuah proses perundangundangan ansich. Ia merupakan proses yang
menyeluruh, yang menandai terjadinya peralihan
besar-besaran pada struktur idiologi, budaya dan
kekuasaan dalam sebuah masyarakat. Tentu saja
peralihan itu mempunyai implikasi sangat besar
dalam kehidupan masyarakat, sebab yang berubah
adalah keseluruhan tatanan kehidupan mereka.
Penyederhanaan yang berlebihan terhadap proses
penerapan syari’at Islam hanya akan membuat kita
bekerja di tengah kejutan-kejutan. Terlalu banyak
fakta yang tidak terduga yang akan kita hadapi.
Kita akan kesulitan mengantisipasinya. Dalam
keadaan begitu, peluang gagal kita lebih besar.
Menjadikan syari’at Islam sebagai ruh dalam setiap
aspek kehidupan bernegara dengan segala turunan
aturan dan perundang-undangannya, dengan
demikian, berarti tak ada ruang yang tersisa bagi
isme-isme lain yang dapat menjadi pilihan dalam
hidup bernegara dan berbangsa.
Pilihan pengertian ketiga di atas akan lebih
jelas ketika sampai sub bab bentuk-bentuk
penerapan syari’at Islam yang akan dikaji pada
akhir pembahasan.
Landasan teologis yang dimaksud adalah
konsep-konsep yang lahir dari hasil rumusanrumusan logis terhadap ayat-ayat al-Qur’an.
Landasan tersebut adalah:
Pertama, kesempurnaan Islam. Ayat yang
menjadi rujukan utama dalam menjelaskan
dasar/landasan teologis adalah QS. al-Maidah
(5):3. “Pada hari ini telah kusempurnakan bagian
agamamu dan telah kucukupkan nikmat-Ku, dan
telah kuridhai Islam sebagai agamamu.” Menurut
Hamim Thohari, ayat tersebut menegaskan dua
hal: (a) bahwa agama Islam telah sempurna.
Ajarannya telah lengkap, mencakup segala hal
yang dibutuhkan manusia. ajaran agama ini telah
meliputi segala aspek kehidupan. Bentukbentuknya telah sempurna, utuh dan tidak ada
cacat, dan (b) ayat ini juga menegaskan bahwa
satu-satunya agama yang diridhai Allah adalah
Islam. Islam dalam pengertian ayat ini bermakna
ajaran, sekaligus nama agama itu sendiri. Masalah
ini perlu dipertegas sebab masih ada sebagian
kalangan yang berpendapat bahwa Islam itu bisa
meliputi seluruh agama samawi, baik Yahudi
maupun Nasrani. Bahkan ada pula yang membuat
seluruh agama, termasuk agama non samawi. Ayat
ini jelas-jelas menunjukkan Islam sebagai nama
satu-satunya agama yang ridhai allah swt.
Kadua, keuniversalan Islam. Ada beberapa
ayat yang dijadikan rujukan dalam menjelaskan
keuniversalan Islam, yaitu (a) QS. al-A’raf (7):158
“Katakanlah, hai manusia sesungguhnya aku
adalah utusan Allah kepadamu semua”, (b) QS.
Furqaan (25):1 “Maha suci Allah yang telah
menurunkan
al-Furgan
(al-Qur’an)
kepada
hambanya, agar dia menjadi pemberi peringatan
kepada seluruh alam”, (c) QS. al-Anbiyaa’ (21):107
“Dan tiadalah kami mengutus kamu (Muhammad)
melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh
alam”, dan (d) QS. Shaad (38):67 “Al-Qur’an itu
tiada lain hanyalah peringatan bagi seluruh alam”.
Menurut Hamim Thohari bahwa Islam
bukanlah ajaran untuk daerah atau wilayah
tertentu. Penduduk yang mendiami semua wilayah
dan kawasan di bumi ini wajib tunduk dan patuh
kepada ajaran Islam. Islam bukan pula risalah yang
diperuntukkan bagi kelas masyarakat tertentu.
Islam bukan hanya untuk kelas elit atau sebaliknya.
Bukan pula terbatas untuk kelas hamba sahaya.
Islam untuk semua kelas sosial, baik kaya maupun
miskin, baik yang berkuasa maupun yang dikuasai,
baik yang terdidik maupun yang kurang terdidik.
Islam untuk semua. Islam bukan juga ditujukan
untuk suatu masa, tapi berlaku sejak diturunkan
kepada Rasulullah Muhammad saw. hingga akhir
zaman. Risalah ini berlaku abadi, sepanjang masa,
hingga hari kiamat nanti. Tidak ada syari’at setelah
Riset / 1295
JURNAL EKSIS
Vol. 6 No.1, Maret 2010: 1267 – 1266
Islam. Tidak ada kitab lagi yang diturunkan setelah
al-Qur’an, dan tiada lagi Nabi setelah Nabi
Muhammad saw.
Katiga, Islam tidak mengenal dikotomi duniaakhirat. Ayat-ayat yang dijadikan alasan untuk
menegaskan landasan di atas adalah: (a) QS.
Thaahaa (20):6 “Kepunyaan Allah-lah segala yang
ada di langit semua yang di bumi, semua yang ada
di antara keduanya dan semua yang ada di bawah
tanah”, (b) QS. Yunus (10):6 “Dan ingatlah
kepunyaan Allah-lah semua yang ada di langit, dan
yang ada di bumi”, dan (c) QS. Ar-Ra’d (13):31
“Sebenarnya segala urusan itu adalah kepunyaan
Allah”.
Ketika menjelaskan landasan ini Hamim
Thohari mengutip pendapat al-Aqqad bahwa,
“Islam merupakan ideologi yang terbaik bagi
manusia, baik sebagai individu atau sebagai
anggota masyarakat, ketika beraktifitas untuk
ruhnya atau jazadnya, ketika melihat dunianya
maupun akhiratnya, ketika dalam keadaan damai
dan perang, ketika memberi hak untuk dirinya atau
ketika melaksanakan perintah pimpinan dan
negaranya. Ia menegaskan kembali, “tidak dapat
dikatakan muslim lantaran dia hanya menyakini
eksistensi ruhani dan mengingkari jasmaninya, dan
atau lantaran dia menyatakan Islam-nya dalam
suatu kondisi tertentu dan meninggalkannya dalam
situasi yang lain. Seseorang dikatakan muslim
dengan aqidahnya yang utuh pada semua situasi
dan kondisi, baik ketika dia sendiri atau ketika dia
bergaul dengan yang lain dalam kehidupan
bermasyarakat.
Pandangan holistik ini didasarkan pada dua
alasan: (1) karena Islam mengajarkan bahwa alam
semesta dan semua makhluk ciptaannya sematamata milik Allah swt. Tidak ada sedikitpun bagi
kaisar, raja, presiden, perdana menteri atau
sebutan-sebutan lainnya bagi para penguasa. Oleh
karenanya, dalam sistem keyakinan Islam, tidak
ada tuntutan bagi umat Islam kepada mereka
kecuali atas perintah-Nya, dan (2) bahwa
kehidupan ini sesungguhnya merupakan satu
kesatuan yang tidak dapat dibagi-bagi atau dipilahpilah. Agama tidak bisa dipisahkan dari negara,
ekonomi tidak bisa dipisah dari moral, demikian
pula individu tidak dapat dipisah dari keluarga dan
masyarakat.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
dalam membangun gagasan besar syari’at dalam
negara, SH tetap mengacu pada dasar-dasar
teologis Alquran. Kesempurnaan Islam (syari’at)
tetap menjadi semacan “Grand Theory” dalam
merekonstruksi seluruh pondasi gagasan tersebut.
Landasan Historis
Selain landasan teologis seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya gagasan penegakan syari’at
Islam yang ditawarkan dalam majalah SH, juga
mengacu pada romantisme masa lalu dalam
JURNAL EKSIS
Vol. 6 No.1, Maret 2010: 1267 – 1266
perjalanan dakwa Rasulullah. Dalam hal ini,
momen atau peristiwa Hijrah menjadi tonggak
sejarah dari sebuah gerakan tauhid menjadi
sebuah negara madinah.
Dalam kaitan
ini.
M.
Anis Matta
menjelaskan:
“Hijrah dalam sejarah da’wah Rasulullah
saw. adalah sebuah metaformosis dari “gerakan”
menjadi “negara”. Tiga belas tahun sebelumnya
Rasulullah saw melakukan penetrasi sosial yang
sangat sistematis. Saat itu Islam menjadi jalan
hidup individu, Islam “memanusia’, dan manusia
kemudian “memasyarakat”. Sekarang, melalui
Hijrah, masyarakat itu “menegara”, dan Madinah
adalah wilayahnya. Kalau individu membutuhkan
Aqidah, maka negara membutuhkan perangkat
sistem. Begitulah, setelah komunitas muslim
menegara dan mereka memilih Madinah sebagai
wilayah, Allah swt menurunkan perangkat sistem
yang mereka butuhkan; maka turunlah ayat-ayat
hukum dan berbagai kode etik sosial, ekonomi,
politik dan keamanan lainnya. Lengkaplah sudah
susunan kandungan sebuah negara, manusia,
tanah dan sistem. Apa yang kemudian dilakukan
Rasulullah saw. sebenarnya relatif mirip dengan
semua yang mungkin dilakukan para pemimpin
politik yang baru mendirikan Negara: (1)
membangun infrastruktur negara dengan mesjid
sebagai simbol dan perangkat utamanya, (2)
menciptakan kohesi sosial melalui proses
persaudaraan antara dua komunitas darah yang
berbeda tapi menyatu sebagai komunitas agama
antara sebagian komunitas “Quraisy” dan “Yatsrib”
menjadi komunitas “Muhajirin” dan “Anshar”, (3)
membuat nota kesepakatan untuk hidup bersama
dengan komunitas lain yang berbeda, sebagai
sebuah masyarakat pluralistik yang mendiami
wilayah yang sama, melalui Piagam Madinah, dan
(4) memandang sistem pertahanan negara melalui
konsep jihad fi sabilillah.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami
bahwa momentum hijrah Rasulullah saw. dari
Mekah ke Madinah menjadi prototipe sebuah
revolusi sosial dalam membangun sebuah bangsa
dan negara yang tangguh. Priode Mekah dalam
pandangan M. Anis Matta adalah priode
pembentukan karakter sosial dalam sebuah
gerakan massa. Dari gerakan massa itulah
kemudian mencari tempat permulaan bagi
munculnya sebuah Negara, dan tempat tersebut
adalah kota Yastrib yang kemudian menjadi
Madinah.
Romantisme inilah yang nampaknya selalu
menjadi acuan dalam membangun gagasan-gasan
penerapan syari’at Islam yang ditawarkan majalah
SH. Hal ini tampak jelas dalam ungkapan M. Anis
Matta di atas. Kata kuncinya, yakni “Apa yang
kemudian dilakukan Rasulullah saw. sebenarnya
relatif mirip dengan semua yang mungkin di
Riset / 1296
http://www.karyailmiah.polnes.ac.id
lakukan para pemimpin politik yang baru
mendirikan negara”.
Selanjutnya, Menurut M. Anis Matta, untuk
dapat memahami konsep penerapan syariat Islam
serta berbagai landasannya, seperti yang
tergambar di atas. Ada beberapa kerangka logika
yang harus disepakati, yaitu (1) bahwa Islam
adalah sistem kehidupan yang integral dan
konfrehensif, yang karenanya memiliki semua
kelayakan untuk dijadikan sebagai refrensi utama
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, (2)
bahwa berkah sistem kehidupan Islam hanya dapat
dirasakan masyarakat apabila ia benar-benar
diterapkan dalam segenap aspek kehidupan
berbangsa dan bernegara kita, (3) bahwa untuk
dapat diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, maka diperlukan dua bentuk kekuatan;
kekuatan legalitas dan kekuatan eksekusi, dan (4)
bahwa untuk dapat memiliki kekuatan legalitas dan
kekuatan eksekusi, diperlukan kekuasaan yang
besar dan sangat berwibawa yang diakui secara de
fakto maupun dejure.
Jika diamati secara seksama keempat
kerangka logika di atas dapat dirujuk pada dua
landasan yang telah disebutkan sebelumnya.
Kerangka logika pertama dan kedua dapat di lihat
artikulasinya dalam landasan teologis. Sedangkan
dua poin terakhir dapat dilihat penjabarannya
dalam landasan historis. Landasan teologis
berfungsi sebagai legitimasi ilahiah dalam gagasan
penegakan syari’at Islam. Sedangkan landasan
historis diyakini sebagai justifikasi sosio-historis
yang ditawarkan. Adapun landasan teologis
bukanlah sekedar apologi yang terkesan dicari-cari,
namun memperoleh pembuktian dalam kanca
sosio-historis dari perjalanan panjang sejarah
perdaban Islam.
Agenda Utama Penerapan Syari’at Islam
Menyiapkan Landasan yang Kokoh
Membangun Manusia yang Unggul
Ada beberapa langkah penting yang harus
dimantapkan sebelum penerapan syari’at Islam
mulai dilakukan. Dalam kaitan ini M. Anis Matta
mengemukakan:
“Sebuah cita-cita yang luhur membutuhkan
manusia-manusia yang sama luhurnya dengan
cita-cita itu. Sebuah cita-cita yang besar
mebutuhkan
manusia-manusia
yang
sama
besarnya dengan cita-cita itu. Sebuah sistem yang
baik hanya akan memperlihatkan keindahannya
jika diterapkan oleh manusia-manusia yang sama
baiknya dengan sistem itu. Karena itu, ketika Islam
diturunkan sebagai sistem kehidupan yang paling
konprehensif dan integral, ia telah melahirkan
sebuah fenomena kehidupan yang indah, karena
dua hal: (1) kebenaran risalahnya, dan (2)
kekuatan pesona Rasulnya. Oleh karena itu
manusia muslim harus direkonstruksi ulang dalam
tiga tahapan, (1) kita harus memperbaharui
“afiliasinya” kepada Islam kembali, sebab
Riset / 1297
keislaman kaum muslimin saat ini lebih banyak
dibentuk oleh warisan lingkungan sosial, bukan dari
pemahaman dan kesadaran yang mendalam
tentang Islam (2) setelah memperbaharui
keislaman kaum muslimin dengan memperbaharui
pembahasannya terhadap Islam, setiap (individu).
Manusia muslim harus kita bawa kedalam
komunitas muslim yang besar. Di mana ia menjadi
bagian dari masyarakatnya dan berpartisipasi
dalam membangun masyarakat tersebut. Apabila
pada tahapan pertama, yaitu tahapan “afiliasi”, kita
menciptakan manusia muslim yang saleh, maka
tahapan kedua ini manusia saleh itu kita leburkan
kedalam
masyarakat,
agar
“mendistribusi
kesalehannya kepada yang lain, agar keshalehan
individual itu berkembang menjadi kesalehan
kolektif, dan (3) menjamin bahwa setiap orang yang
berpartisipasi itu benar-benar dapat mencapai
tingkat paling optimal dalam memberikan
konstribusi kepada Islam.
Dalam pandangan SH, faktor sumber daya
manusia sangat menentukan dalam mewujudkan
sebuah cita-cita. Sebuah agenda besar harus
dilakukan oleh manusia unggul. Penerapan syari’at
Islam bukanlah sebuah cita-cita kecil. Ia adalah
agenda “maha” besar. Ia memerlukan manusiamanusia yang mempunyai ilmu dan keterampilan,
pemahaman terhadap Islam secara benar dan
konfrehensip mutlak dimiliki oleh mereka guna
membangun manusia cerdas dan shaleh. Setelah
itu, manusia-manusia unggul tersebut diharapkan
mampu memberikan konstribusi secara luas
kepada masyarakat di sekelilingnya. Tegasnya,
penerapan syari’at Islam harus dimulai dengan
mencetak manusia-manusia unggul. Manusia yang
kuat dan berpengetahuan memdalam tentang
Islam, serta mempunyai kepedulian sosial yang
tinggi.
Untuk merealisasikan cita-cita penerapan
syari’at Islam terlebih dahulu disiapkan landasan
yang kokoh. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa
penerapan syari’at Islam akan menghadapi
tantangan dan hambatan yang tidak kecil. Menurut
M. Anis Matta, kesiapan tersebut dapat diukur
melalui beberapa standar berikut ini:
(1) adanya komitmen dan kekuatan Akidah
pada sebagian besar kalangan kaum muslim, yaitu
komitmen Akidah yang menandai kesiapan
idiologis masyarakat muslim untuk hidup dengan
sistem Islam pada seluruh tatanan kehidupannya,
(2) supremasi pemikiran Islam di tengah
masyarakat sehingga muncul kepercayaan umum
bahwa secara konseptual Islamlah yang paling siap
menyelamatkan bangsa dan negara. Dengan
begitu, Islam jadi arah yang membentuk arus
pemikiran nasional, (3) sebaran kultural yang luas
di mana Islam menjadi faktor pembentuk opini
publik dan untuk kebahagiannya tersimbolkan
JURNAL EKSIS
Vol. 6 No.1, Maret 2010: 1267 – 1266
dalam tampilan-tampilan budaya, seperti pakaian,
produk kesenian, etika sosial, istilah-istilah umum
dalam pergaulan dan seterusnya, (4) keterampilan
akademis
yang
handal
untuk
dapat
mentranspormasi (legal drafting) ajaran-ajaran
Islam ke dalam formal konstitusi, undang-undang
dan derivasi hukum lainnya, (5) kompetensi
eksekusi yang kuat, di mana terdapat sekelompok
tenaga leadership di tingkat negara yang visioner
dan memiliki kemampuan teknis untuk mengelola
negara. Merekalah yang menentukan di tingkat
aplikasi seperti apa wajah Islam dalam kenyataan,
dan karenanya. Menentukan berhasil tidaknya
proyek Islamisasi tersebut, (6) kemandirian
materian yang memungkinkan bangsa kita tetap
survive begitu kita menghadapi isolasi atau
embargo, (7) kapasitas pertahanan yang tangguh,
sebab tantangan eksternal yang mungkin kita
hadapi tidak terbatas pada gangguan ekonomi,
tetapi juga gangguan pertahanan, (8) koneksi
internasional yang akan memungkinkan kita tetap
eksis dalam percaturan internasional, atau tetap
memiliki akses ke luar begitu kita menghadapi
embargo atau invasi, dan (9) tuntutan politik yang
ditandai dengan adanya partai-partai politik
bersama publik yang secara resmi meminta
penerapan syari’at Islam di tingkat konstitusi.
Partai-partai politik itu harus menjadikan Islam
sebagai proposal politiknya.
Mencermati sembilan standar penilaian
kesiapan penerapan syari’at di atas pada dasarnya
dapat di kelompokkan menjadi empat: (1) standar
kesiapan idiologis, yaitu masyarakat Islam harus
dimantapkan akidah Islamiahnya, (2) standar
kesiapan sistem dan konstitusi, yaitu merumuskan
kerangka sistem konstitusional dalam setiap aspek
kehidupan individu maupun kolektif. Dalam hal ini,
syari’at Islam harus menjadi sumber pertama dan
utama, (3) standar kesiapan sumber daya manusia.
Bagaimanapun juga para penengak syari’at Islam
haruslah terdiri dari orang-orang yang mempunyai
kecerdasan intelektual, emosional dan spritual
Islam, dan (4) standar kesiapan infra struktur yang
tangguh dan mandiri, seperti sistem ekonomi,
politik, dan budaya.
Konsep Negara
Persoalan bagaimana konsep negara dalam
wacana penegakan syari’at Islam merupakan salah
satu hal paling krusial, sebab sebagian umat Islam
menghendaki perubahan bentuk negara menjadi
negara Islam dan sebagian yang lain menghendaki
bentuk khilafah atau kekhalifahan, seperti pada
Islam klasik.
Dalam persoalan ini, gagasan penegakan
syari’at Islam yang ditawarkan SH, justru tidak
menghendaki perubahan sistem atau bentuk
negara. Hamim Thohari menjelaskan: “Islam tidak
pernah menjadikan negara sebagai salah satu
pokok keyakinan, tidak pula menjadikannya
JURNAL EKSIS
Vol. 6 No.1, Maret 2010: 1267 – 1266
sebagai salah satu ajaran prinsipnya, apalagi
sebagai ritual keagamaan. Dalam konsepsi Islam,
hubungan “agama” dan “negara” tidak dapat
digabungkan, tidak pula dipisahkan. Artinya, antara
keduanya hanya bisa dibedakan. Lebih jelasnya,
negara tidak bisa diagamakan. Negara tak lebih
dari alat atau media, atau bahkan sebuah syarat
untuk terlaksananya sebuah aturan atau perintah
Allah. Jika aturan atau perintah itu hanya bisa
terlaksana jika menggunakan alat berupa negara,
maka keberadaan negara menjadi wajib.
Tidak termuatnya gagasan mengenai negara
dalam al-Qur’an dan Sunnah sama sekali bukan
karena Allah alpa atau Rasulullah lupa. Ketiadaan
perintah eksplisit itu mengandung isyarat memberi
peluang cukup bagi manusia untuk berijtihad dan
berkreasi dalam rangka memilih cara yang paling
efektif
untuk melaksanakan
aturan Allah.
Tegasnya, dalam pandangan SH tidak memberikan
penegasan bagaimana bentuk negara dalam Islam,
yang lebih penting adalah bagaimana aturan Allah
(syari’at) Islam dapat ditegakkan.
Dalam kaitan ini M. Anis Matta menjelaskan:
“Apabila kita ingin meringkas tahapan pertumbuhan
Islam
dalam
sejarah,
maka
kita
dapat
meringkasnya dalam tiga kata: “Manusia, Negara
dan Peradaban.” Manusia adalah subyeknya,
negara adalah instruksinya, dan peradaban adalah
karyanya. Dalam kerangka pemikiran seperti itu,
bentuk negara memang menjadi sangat pleksibel.
Walaupun pemikiran politik Islam mengakui bahwa
khilafah,
khususnya
yang
berlaku
pada
khulafa’urasyidin, adalah bentuk negara yang
terbaik. Tapi mereka tidak menafikan bentukbentuk lain yang pernah ada.
Negara Islam adalah negara risalah yang
hanya berhenti bertumbuh ketika risalah itu telah
menjadi kenyataan hidup. Sasarannya adalah
seluruhnya manusia yang mendiami bumi, karena
itu wilayahnya selalu meluas mengikuti jejak kaki
manusia. Dalam pertumbuhan yang dinamis itu,
maka bentuknya harus bersifat pleksibel agar dapat
mengakomodasi tuntutan pertumbuhan tersebut.
Hal yang permanen dalam konsep politik Islam
adalah fungsi negara sebagai insrtumen penegak
syari’at Allah. Adapun bentuk negara, mulai dari
khilafah, dinasti hingga negara bangsa (nation
state) dan sitem pemerintahannya, mulai dari
parlementer, presidensial hingga monarki, semua
tetap dapat diakomodasi selama negara itu
menjelaskan fungsi dasarnya.
Dua Penjelasan di atas dengan jelas
menegaskan bahwa bentuk negara bukanlah
sesuatu yang signifikan dipersoalkan dalam upaya
penegakan syari’at Islam, sebab negara hanyalah
alat atau media. Islam sama sekali tidak pernah
menawarkan
satu
bentuk
atau
sistem
ketatanegaraan. Hal itu menjadi kewenangan
ijtihad umat Islam untuk merumuskannya. Bagi SH,
yang paling penting dalam wacana politik Islam
Riset / 1298
http://www.karyailmiah.polnes.ac.id
adalah fungsi Negara, yakni sejatinya berfungsi
untuk melaksanakan dan mengawal proses
pelaksanaan penegakan syari’at Islam tersebut.
Apapun bentuk dan sistem negara, jika syari’at
Islam menjadi anutan dan menjiwai seluruh sistem
kehidupan berbangsa dan bernegara, itulah yang
terbaik. Jadi, persoalannya tidak pada bentuknya,
tapi pada fungsinya. Artinya, dengan atau tanpa
negara, syari’at harus tegak.
Bentuk Penegakan Syari’at Islam
Nampaknya, penegakan syari’at Islam
dalam pandangan SH inplisit dalam gerakan
dakwah. Oleh karena itu, gagasan penegakan
syari’at Islam selalu mengacu pada pola gerakan
dakwah yang dilakukan Rasulullah saw, baik di
Makkah maupun di Madinah, baik kultural maupun
srtuktural.
Seperti yang telah dijelaskan pada awal
tulisan ini bahwa yang dimaksud dengan
penegakan syari’at Islam versi SH adalah
menjadikan syari’at Islam sebagai sumber utama
dan pertama dalam mengkonstruksi seluruh tata
kehidupan, baik yang berkaitan dengan persoalan
individu mampu kolektif. Dalam hal ini syari’at Islam
dijadikan ruh dalam setiap institusi dan tatanan
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Lalu, bagaimana bentuk penegakan tersebut
dalam kaitannya dengan sinergis antara dakwa
kultural dan dakwa struktural? Dalam kaitan ini
Untung Wahono menjelaskan:
“Apakah dakwah semata-mata berutusan
dengan perbaikan diri pribadi yang target akhirnya
sebuah sistem individu yang kokoh, ataukah
da’wah punya kepentingan juga terhadap
perbaikan masyarakat dan negara dengan target
sebuah sistem sosial politik yang mantap. Sejarah
memperlihatkan da’wah Islam yang dikembangkan
Nabi Muhammad saw. berorientasi sekaligus
menciptakan budaya (luhur) dan tatanan (struktur)
yang mampu menunjang pelaksanaan syari’at
Islam.”
Hal senada juga ditegaskan oleh Hamim
Thohari:
“Sesungguhnya, arah dakwah Rasulullah
sudah jelas dari awal hingga akhirnya. Ia bukan
sekedar gerakan kultural semata, juga bukan
struktural saja. Kedua pendekatan ini dilakukan
secara paralel, baik ketika di Makkah maupun di
Madinah.”
Sejarah kemudian mencatat bahwa setelah
kekuasaan di Madinah
di tangan Rasulullah,
dakwah Islam menjadi lebih baik dan cepat
berkembang. Kekuasaan itu benar-benar efektif
untuk meningkatkan seluruh komponen masyarakat
yang berada dalam kekuasaan maupun di luar
struktur. Harus diakui bahwa dengan kekuasaan
itu, syari’at Islam menjadi berlaku secara efektif,
mengikat ke dalam dan keluar.
Riset / 1299
Dalam konteks Indonesia, kedua bentuk
pendekatan tersebut pernah berjalan sendirisendiri. Di satu sisi segolongan ulama melakukan
pendekatan da’wah kultural. Sedangkan pada sisi
lain
segolongan
politisi, dan cendikiawan
melakukan
pendekatan
struktural.Dalam
pandangan SH, dikotomi kedua pendekatan
tersebut memiliki banyak kekurangan. M.Anis Matta
menjelaskan.
“Dialetika pendekatan ini sesungguhnya
dialetika aturan dua gagasan yang sama-sama
tidak sempurna, tidak intergral dan tidak
konfrehensif. Kedua pendekatan itu seharusnya
diintegrasikan sebagai sebuah strategi yang utuh.
Tapi karena mereka saling memisahkan diri,
akibatnya mereka saling mematikan. Jadi kritik atas
keduanya adalah kritik atas ketidak sempurnaan
dan ketidak integralan, bukan kritik pada subtansi
pendekatannya. Kesalahannya adalah ketika
mereka melakukan pemisahan itu.”
Penjelaskan tersebut mengisyaratkan bahwa
politik dan budaya adalah dua hal yang tidak dapat
dipisahkan. Demikian juga perjuangan melalui dua
jalur itu. Setiap kali ada upaya memilih salah
satunya, itu sama artinya dengan menafikan
sebuah faktor penentu kehidupan yang tidak
mungkin dinafikan. Islam sebagai sebuah sistem
yang konfrehensif tidak pernah memisahkan
keduanya. Begitulah Rasulullah saw yang
membawa risalah ini menggunakan kedua
pendekatan itu sekaligus.
Dalam konteks dakwah inilah artikulasi
syari’at
Islam harus diterapkan
sekaligus
ditegakkan. Syari’at Islam dalam jalur kultural
hendaknya
menjadi
soko
guru
dalam
menggerakkan istitusi-institusi sosial dalam rangka
membangun peradaban yang tangguh. Sementara
dalam jalur struktural, syari’at Islam hendaknya
menjadi pola gerakan dalam membangun kerangka
idiologis kekuatan. Dalam arti bahwa manusiamanusia yang memegang kekuatan, sejatinya
terdiri dari individu-individu yang mempunyai
akidah Islam yang kokoh dan tingkah laku yang
merupakan cerminan dari akhlak al-karimah.
Selanjutnya, pada level sistem hukum,
syari’at Islam harus menjadi payung bagi seluruh
perundang-undangan yang ada di bawahnya.
Artinya, seluruh hirarki perundang-undangan, mulai
dari tingkat paling rendah sampai paling tinggi
harus
bernafaskan
syari’at
Islam.
Dalam
pandangan SH kedua jalur pendekatan tersebut
harus berjalan sinergis tanpa ada yang harus
diprioritaskan. Keduanya harus berjalan bersama
dan bersinergi.
PENUTUP/SIMPULAN
Gagasan penerapan syari’at Islam dalam
negara yang tertuang dalam Majalah SH adalah
sebuah gagasan yang penulis anggap cukup
konfrehensip. Dalam kaitannya dengan wacana
JURNAL EKSIS
Vol. 6 No.1, Maret 2010: 1267 – 1266
pemikiran politik Islam di Indonesia, gagasan
tersebut pada segmen-segmen tertentu bukanlah
hal baru, tapi lebih bersifat menguatkan kembali
gagasan-gagasan yang pernah ada walaupun
harus diakui terdapat gagasan-gagasan baru di
dalamnya.
Penerapan syari’at Islam yang dimaksud
Suara Hidayatullah adalah sebuah sinergis dan
kolaborasi antara penerapan syari’at Islam pada
jalur kultural dan jalur struktural. Pada jalur pertama
menekankan upaya artikulasi syari’at Islam dalam
kehidupan sosial kemasyarakatan, baik secara
individu maupun kolektif. Sasaran utamanya adalah
agar syari’at Islam menjadi nilai-nilai dasar dalam
bertutur dan bertingkah laku dalam kehidupan
secara fersonal maupun pada hubungan sosial.
Pada jalur struktural, penerapan syari’at
Islam menekankan upaya menjadikannya sebagai
idiologi pergerakan. Semua institusi struktural
hendaknya menjadikan syari’at Islam sebagai basis
atau kerangka dasarnya. Menjadikan syari’at Islam
sebagai sumber utama rumusan perundangundangan negara adalah sesuatu yang tidak dapat
di tawar-tawar, sebab dalam pandangan SH,
syari’at Islam adalah sesuatu yang sempurna dan
merupakan
kewajiban
bagi
umat
Islam
menjadikannya sebagai pedoman dalam semua
aspek, tanpa terkecuali dan tanpa ada pembedaan.
Gagasan
tersebut
didasarkan
pada
landasan teologis yang jelas, yakni adanya ayatayat al-Qur’an yang secara tegas menyatakan
kesempurnaan Islam. Lagi pula, dasar-dasar
teologis tersebut dalam pemahaman SH telah
dipraktekkan dalam sejarah perjuangan Rasulullah,
baik di Makkah maupun di Madinah. Terbukti
bahwa perjuangan Nabi tersebut diakui telah
berhasil memperlihatkan pada ummat manusia
sebuah tatanan kehidupan maju dan dinamis, baik
dalam bentuk budaya maupun dalam bentuk
negara.
Dapat dipahami pula bahwa penerapan
syari’at Islam dalam negara yang digagas SH
terakumulasi dalam gerakan dan paradigma
dakwah Islam. Artinya, bahwa upaya penerapan
syari’at Islam pada dasarnya dalam kerangka tugas
suci setiap muslim, yaitu amar ma’ruf nahi mungkar
yang akhirnya bermuara pada pengejawantahan
syari’at Islam atau petunjuk-petunjuk Allah di muka
bumi. Karena itu, menurut SH penerapan syari’at
Islam tidak terkait dengan bentuk negara. Sebab
negara hanyalah wadah atau alat semata. Apapun
bentuk
negara
dan
sistem
apapun
ketatanegaraannya, bukanlah persoalan, yang
lebih penting adalah fungsi negara sebagai
pengawal berlakunya syari’at Islam tetap berjalan.
Dari keseluruhan gagasan
pemikiran
penerapan syari’at Islam yang ditawarkan Majalah
SH dapat disimpulkan bahwa tidak mengikuti
sepenuhnya corak pemikiran politik Islam di
Indonesia yang selama ini seolah telah mapan,
JURNAL EKSIS
Vol. 6 No.1, Maret 2010: 1267 – 1266
yaitu formalistis dan subtantialistis. Akan tetapi SH
justru berusaha mengelaborasi kedua corak
pemikiran tersebut. Hal ini dapat diamati, misalnya
pada sisi landasan atau asas teologis, SH
sepenuhnya
mengadopsi
corak
pemikiran
formalistik, yaitu kesempurnaan cakupan Islam dan
kewajiban menerapkannya. Kemudian upaya
mengaktualisasikan romantisme masa lalu sebagai
generasi ideal dan harus menjadi prototipe
masyarakat Islam kapan dan di manapun berada.
Namun pada bentuk negara, Suara Hidayatullah
agaknya
mengadopsi
corak
pemikiran
subtansialistik, yakni bahwa Islam tidak pernah
menawarkan
satu
bentuk
dan
sistem
ketatanegaraan tertentu. Hal yang terpenting
adalah fungsi negara sebagai penjaga sekaligus
pelaksana syari’at Islam, tetapi berjalan. Namun
demikian, dalam persoalan formalisasi syari’at
Islam ke dalam bentuk-bentuk atau satuan-satuan
hukum, SH mengambil garis tegas bahwa syari’at
Islam harus menjadi sumber utama dan pertama
bagi seluruh bangunan sistem perundangundangan dalam negara, mulai dari hirarki yang
paling rendah sampai yang paling tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Djalil, Matori. Apa Kabar Partai Islam? dalam
Abu Zahra (ed) Politik Demi Tuhan, Cet.
II; Bandung: Pustaka Hidayah, 1999
Majalah Suara Hidayatullah, Edisi Juni-Desember
2001, Edisi Januari-Desember 2002,
Edisi Januari-April 2003.
Rakhmat, Jalaluddin. Catatan Kang Jalal: Visi
Media, Politik dan Pendidikan. Cet. II;
Bandung: Rosda Karya, 1998
Riset / 1300
Download