PENGARUH BBLR (BERAT BADAN LAHIR RENDAH) DAN

advertisement
PENGARUH BBLR (BERAT BADAN LAHIR RENDAH) DAN PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF
TERHADAP PERUBAHAN STATUS STUNTING PADA BALITA DI KOTA DAN KABUPATEN
TANGERANG PROVINSI BANTEN
Leni Sri Rahayu dan Mira Sofyaningsih
1)
1)
Staf Pengajar Program Studi Gizi Fakultas Ilmu-ilmu Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA
ABSTRAK
Salah satu masalah kesehatan di Indonesia adalah tingginya prevalensi stunting pada bayi. Stunting
(tubuh yang pendek) menggambarkan keadaan gizi yang kurang yang sudah berjalan lama dan
memerlukan waktu bagi anak untuk berkembang serta pulih kembali. Gangguan gizi pada anak bayi
dan balita akan membawa dampak terhadap peningkatan risiko kesakitan dan kematian,
keterlambatan perkembangan motorik dan mental, serta menurunnya kemampuan fisik anak dan
gangguan pertumbuhan yang biasanya tidak dapat diperbaiki (irreversible). Tujuan penelitian ini
untuk mengetahui perubahan status stunting dari usia 6-12 bulan ke usia 3-4 tahun serta
mengetahui pengaruh pemberian ASI eksklusif dan BBLR terhadap perubahan status stunting.
Penelitian ini merupakan penelitian analitik noneksperimental yang merupakan follow up survey
dengan rancangan kohort retrospektif (non concurrent cohort). Sebanyak 644 balita dari 20 desa di
Kota dan Kabupaten Tangerang menjadi sampel dari 1235 populasi balita yang telah diukur berat
dan panjang badannya pada tahun 2008. Hasil penelitian menunjukkan terjadi peningkatan
prevalensi stunting dari 15% pada saat usia 6-12 bulan menjadi 34,6% pada saat usia 3-4 tahun.
Terjadi perbedaan status stunting dari usia 6-12 bulan ke usia 3-4 tahun berdasarkan uji pairedsample t test dengan nilai p value < 0,001. Pada penelitian ini juga didapatkan hubungan antara
BBLR, prematur, dan panjang badan lahir dengan kejadian stunting pada usia 6-12 bulan dengan
nilai p value < 0,001, namun tidak menunjukkan hubungan yang signifikan dengan kejadian stunting
pada usia 3-4 tahun. Berdasarkan uji statistik multivariat ditemukan tidak ada pengaruh BBLR dan
pemberian ASI Eksklusif dengan perubahan status stunting.
Key words: stunting, ASI eksklusif, BBLR
ABSTRACT
One health problem in Indonesia is the high prevalence of stunted infants. Stunting (short body)
described the nutritional situation of less longstanding and take time for children to grow and recover.
Nutritional disorders in infants and young children will bring the impact of an increased risk of
morbidity and mortality, delayed motor and mental development, and declining physical abilities of
children and growth disorders that usually can not be fixed (irreversible). The purpose of this study to
determine changes in status of stunted from the age of 6-12 months to 3-4 years of age and
determine the effect of exclusive breastfeeding and low birth weight to changes in the status stunted.
This research is an analytic noneksperimental the follow-up survey with retrospective cohort design
(non-concurrent cohort). A total of 644 infants from 20 villages in Tangerang City and County of the
1235 population sample of children who had measured weight and body length in 2008. The results
showed an increase in the prevalence of stunted than 15% at age 6-12 months to 34.6% at age 3-4
years. There is a difference stunted status from ages 6-12 months to 3-4 years of age based on
paired-sample test t test with p value <0.001. In this study also found the relationship between low
birth weight, prematurity, birth weight and length with the occurrence of stunted at age 6-12 months
with a p value <0.001, but did not show any significant correlation with the incidence of stunted at the
age of 3-4 years. Based on multivariate statistical tests found no effect of exclusive breast feeding of
LBW
and
with
the
change
of
status
stunted.
Key words: stunted, exclusive breastfeeding, low birth weight
Prosiding Seminar Nasional
“Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia”
12 April 2011
160
PENDAHULUAN
Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumber daya
manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat, dan
kesehatan yang prima di samping penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Kekurangan
gizi dapat merusak kualitas SDM (Atmarita dan Falah, 2004).
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 diketahui prevalensi gizi kurang
sebesar 18,4%, balita pendek sebesar 36,8 %, dan balita kurus sebesar 13,6 %. Hal ini menunjukkan
bahwa meskipun prevalensi gizi kurang lebih rendah dibandingkan target pembangunan kesehatan
Indonesia 2009 sebesar 20% dan Millenium Development Goals (MDGs) 2015 sebesar 18,5%, namun
prevalensi balita pendek dan balita kurus masih menjadi masalah kesehatan masyarakat (Depkes RI,
2008).
Stunting yang terjadi pada masa anak merupakan faktor risiko meningkatnya angka kematian,
kemampuan kognitif, dan perkembangan motorik yang rendah serta fungsi-fungsi tubuh yang tidak
seimbang (Allen & Gillespie, 2001). Berdasarkan hasil penelitian Mendez dan Adair (1999), perubahan
status stunting berhubungan dengan umur. Stunting yang terjadi pada usia 7-12 bulan, hanya 9,5%
yang berubah menjadi normal pada saat berusia 2 tahun. Peneliti di Peru menemukan prevalensi
stunting meningkat sebesar 9,7% pada anak usia 15 bulan dibandingkan pada saat anak usia 12 bulan
(Marquis et al.,1997), sedangkan menurut Martorell (1994) sebagian besar stunting terjadi pada usia 23 tahun. Gagal tumbuh yang terjadi akibat kurang gizi pada masa-masa emas ini akan berakibat buruk
pada kehidupan berikutnya dan sulit diperbaiki.
Prediktor terkuat terjadinya stunting pada usia 12 bulan adalah berat badan lahir rendah
(Espo, M et al.,2002). Sebagian besar bayi dengan BBLR mengalami gangguan pertumbuhan pada
masa kanak-kanak. Di negara-negara Asia, seperti Bangladesh, RRC, India, Pakistan, Filipina, dan Sri
Lanka, kejadian BBLR dapat memprediksi keadaan gizi anak pada masa prasekolah. Sebuah
kesimpulan dari 12 studi yang telah dilakukan mengungkapkan pertumbuhan bayi IUGR (Intra Uterine
Growth Retardation) mengalami kegagalan pertumbuhan pada dua tahun pertama. Pada usia 17
sampai 19 tahun, pria dan wanita yang lahir IUGR-BBLR memiliki tinggi badan 5 cm lebih pendek dan
berat badan 5 kg lebih rendah dibandingkan dengan anak yang lahir normal.(Allen & Gillespie, 2001)
Pemberian ASI dan pemberian makanan pendamping ASI yang terlalu dini juga berhubungan
dengan kejadian stunting pada anak (Adair & Guilkey, 1997). Pada penelitian yang dilakukan Avianti
(2006) menunjukkan walaupun secara statistik hubungan pemberian ASI eksklusif dengan stunting
pada anak umur 2 tahun tidak bermakna, namun secara klinis anak yang tidak mendapat ASI eksklusif
cukup mempengaruhi kejadian stunting (OR = 1,98).
Wilayah Tangerang termasuk salah satu kabupaten yang terdapat di propinsi Banten, yang
merupakan salah satu propinsi yang memiliki masalah gizi kronis maupun akut, dengan prevalensi
wasting (BB/TB) maupun prevalensi stunting (TB/U) di atas angka nasional yaitu 14,1% dan 38,9%
(Depkes, 2007). Pada tahun 2008 telah dilakukan skrining pengukuran panjang badan pada bayi di
Prosiding Seminar Nasional
“Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia”
12 April 2011
161
wilayah Kota dan Kabupaten Tangerang dan diperoleh prevalensi stunting sebesar 15%. Berdasarkan
latar belakang di atas peneliti tertarik untuk melihat bagaimana perubahan status stunting pada balita
berumur 2-3 tahun dibandingkan pada saat bayi (6 – 12 bulan). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui perubahan status stunting dari usia 6-12 bulan ke usia 3-4 tahun dan melihat pengaruh
pemberian ASI eksklusif dan BBLR dengan perubahan status stunting.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini merupakan penelitian analitik noneksperimental yang merupakan follow up
survey dengan rancangan kohort retrospektif (non concurrent cohort). Penelitian dilakukan di Kota dan
Kabupaten Tangerang Propinsi Banten pada bulan Januari – Februari 2011. Penentuan tempat
didasarkan dari hasil skrining stunting yang telah dilakukan pada bayi oleh PT Care Indonesia pada
bulan Maret 2008. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh balita yang pada waktu bayi telah
diukur panjang badannya yaitu pada tahun 2008 di daerah Kota dan Kabupaten Tangerang berjumlah
1235 bayi yang tersebar di 20 desa. Kriteria eksklusi adalah tidak tinggal di wilayah penelitian dan
terdiagnosis menderita penyakit kronis (penyakit jantung, thalassemia, dan lain-lain) atau mengalami
kelainan kromosom/kongenital berat, seperti Sindrom Down dan Sindrom Turner.
Pengolahan data melalui proses entry, editing, cleaning dan tabeling dengan menggunakan
program komputer.
Selanjutnya analisis data dilakukan dengan analisis univariat, bivariat, dan
multivariat. Analisis
univariat dilakukan untuk menganalisis karakteristik sampel, analisis bivariat
dilakukan untuk melihat perbedaan dan hubungan antar variabel dengan uji statistik yang digunakan
adalah Paired t-test dan uji Chi Square. Analisis multivariat dilakukan untuk menentukan variabel mana
yang paling mempengaruhi terjadinya perubahan status stunting dari usia 6-12 bulan ke usia 3-4
tahun. Analisis statistik yang digunakan adalah multiple logistic regression.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Subjek Penelitian
Pada pengumpulan data tahun 2011, subjek yang berhasil ditemukan ada sebanyak 664 balita
(53,8%). Sebagian besar balita (45,0%) tidak menjadi subjek dikarenakan berpindah tempat tinggal,
sedangkan sisanya memiliki kriteria eksklusi yang lain yaitu karena subjek meninggal (9 orang), 1
orang balita mengalami kecacatan. Berdasarkan uji statistik t-test menunjukkan tidak ada perbedaan
karakteristik subjek pada tahun 2008 dan 2011 (pvalue = 1,00).
Prosiding Seminar Nasional
“Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia”
12 April 2011
162
Tabel 1. Distribusi Karakteristik Subjek pada Tahun 2011
Karakteristik Subjek
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
Umur
36 – 47 bulan
47 – 49 bulan
Berat Badan Lahir
Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)
Berat Badan Lahir Normal (BBLN)
Tidak Tahu
Panjang Badan Lahir
Stunting
Normal
Tidak tahu
Usia Kehamilan
Prematur (< 36 bulan)
Normal (≥ 36 bulan)
Status Stunting
Severe Stunting
Stunting
Normal
Pemberian ASI Eksklusif :
Tidak ASI Eksklusif
ASI Eksklusif
Lamanya Waktu Pemberian ASI :
< 2 tahun
≥ 2 tahun
N
%
353
311
664
53,2
46,8
100,0
657
7
664
98,9
1,1
100,0
40
587
37
664
6,0
88,4
5,6
100,0
47
386
231
664
7,1
58,1
34,8
100,0
53
611
664
8,0
92,0
100,0
18
149
434
664
12,2
22,4
65,4
100,0
241
423
664
36,3
63,7
100,0
346
318
664
52,1
47,9
100,0
Sebagian subjek adalah laki-laki yaitu sebanyak 535 (53,2%). Umur subjek berkisar antara 37
– 49 bulan, dan sebagian besar sampel berumur 36 - 47 bulan (3 tahun) yaitu sebanyak 98,9%.
Setiap tahun diperkirakan 15,5% anak lahir BBLR dan 95% diantaranya lahir di negara
berkembang. Di Indonesia, berdasarkan data Depkes tahun 2004 dilaporkan bahwa angka BBLR
diperkirakan mencapai 350.000 bayi setiap tahunnya. Hasil penelitian di Kota dan Kabupaten
Tangerang menunjukkan sebagian besar subjek memiliki berat badan lahir normal (≥ 2500 gram ) yaitu
sebanyak 88,4%, sedangkan subjek yang lahir dengan BBLR ditemukan sebesar 6%. Angka BBLR
tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan hasil analisis data Riskesdas 2007 yang menunjukkan
angka BBLR sebesar 4,8% (Fatimah, 2008).
Panjang badan pada saat lahir menuunjukkan sebanyak 58,1% termasuk kategori normal,
namun sebanyak 34,8% menyatakan tidak tahu atau lupa. Salah satu faktor yang menyebabkan
Prosiding Seminar Nasional
“Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia”
12 April 2011
163
orang tua tidak tahu panjang badan maupun berat badan anaknya pada saat lahir adalah karena
sebagian ibu melahirkan dengan bantuan dukun. Berdasarkan status stunting sebagian besar subjek
termasuk normal (65,4%), namun masih ditemukan subjek dengan kondisi severe stunting sebanyak
12,2% dan stunting sebanyak 22,4%.
Sebagian subjek juga telah mendapat ASI eksklusif selama 6 bulan yaitu sebanyak 423 balita
(63,7 %). Angka tersebut tidak terlalu berbeda dengan hasil dari Riskesdas tahun 2007 yakni jumlah
ibu yang memberikan ASI eksklusif 0-6 bulan sebesar 62,6% (Depkes, 2007). Pada penelitian ini
ditemukan hanya 47,9% balita yang mendapat ASI sampai usia 2 tahun.
Perubahan Status Stunting
Hasil uji statistik menunjukkan telah terjadi perubahan status stunting dari usia 6-12 bulan ke
usia 3-4 tahun berdasarkan uji paired-sample t test dengan nilai p value < 0,001. Secara keseluruhan
perubahan status stunting pada balita dapat terlihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Perubahan Status Stunting dari Usia 6-12 Bulan ke Usia 4 Tahun
Perubahan Status Stunting
N
%
197
29,7
29
4,4
396
59,6
42
6,3
664
100
Perubahan status stunting menurun meliputi perubahan status stunting yang pada usia 6-12
Menurun
Tetap
Normal
Meningkat
bulan mengalami stunting berubah menjadi severe stunting dan yang awalnya memiliki status normal
pada usia 3-4 tahun menjadi stunting atau severe stunting. Subjek yang awalnya stunting berubah
menjadi severe stunting ditemukan sebanyak 22 orang (3,3%), sedangkan yang awalnya normal
berubah menjadi stunting sebanyak 124 orang (18,7%) dan yang awalnya normal berubah menjadi
severe stunting sebanyak 51 orang (7,7%).
Status tetap menunjukkan bahwa status stunting pada usia 6-12 bulan memiliki status stunting
dan usia 3-4 tahun tetap mengalami stunting (3,2%) atau yang awalnya mengalami severe stunting
tetap menderita severe stunting (1,2%). Perubahan status stunting normal menunjukkan bahwa pada
usia 6-12 bulan subjek memiliki status normal dan tetap normal pada usia 3-4 tahun. Pada penelitian
ini sebanyak 396 (59,6%) memiliki status normal.
Status stunting meningkat meliputi perubahan status stunting yang pada usia 6-12 bulan
mengalami severe stunting, pada usia 3-4 tahun berubah menjadi stunting atau normal, dan yang
awalnya mengalami stunting berubah menjadi normal.
Pada usia 3-4 tahun diperoleh kasus baru stunting sebanyak 137 balita yang menunjukkan
adanya insiden kejadian stunting sebesar 20,6%.
Prosiding Seminar Nasional
“Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia”
12 April 2011
164
Di samping itu, hasil pengumpulan data juga menunjukkan terdapat peningkatan angka
prevalensi stunting pada usia 3-4 tahun dibandingkan angka prevalensi stunting pada usia 6-12 bulan
seperti terlihat pada Gambar 1.
Pada diagram di atas terlihat prevalensi stunting pada tahun 2011 sebesar 34,6% dengan
prevalensi severe stunting meningkat sebesar 9,8% dan prevalensi stunting meningkat sebesar 10,8%
dibandingkan dengan angka prevalensi pada tahun 2008. Walaupun demikian angka prevalensi
tersebut masih di bawah angka prevalensi stunting nasional pada tahun 2007 yaitu sebesar 36,8%
(Depkes, 2007). Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Adair dan
Guilkey (1997) yang menunjukkan kejadian stunting meningkat pada saat usia 2-3 tahun.
Kejadian stunting pada saat bayi (6-12 bulan) merupakan faktor yang berhubungan dengan
kejadian stunting pada masa balita (3-4 tahun). Hal ini dapat kita lihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Distribusi Status Stunting pada Usia 3-4 Tahun Berdasarkan Status Stunting pada Usia
6-12 Bulan
Status stunting pada usia
6-12 bulan
Stunting
Normal
2
X = 28,7
Status stunting pada usia 4 tahun
Stunting
Normal
55 (59,1%)
38 (40,9%)
175 (30,6%)
396 (69,4%)
230 (34,6%)
434 (65,4%)
p-value = 0,000 RR = 1,9
Tabel 3 di atas menunjukkan kejadian stunting pada usia 4 tahun lebih besar terjadi pada
balita yang memiliki riwayat stunting pada usia 6-12 bulan (59,1%) daripada balita yang memiliki status
normal pada usia 6-12 bulan (30,6%). Hasil uji Chi Square didapat ada hubungan antara kejadian
stunting pada usia 6-12 bulan dengan kejadian stunting pada usia 3-4 tahun dengan p value = 0,000.
Dari hasil perhitungan risiko relatif didapatkan kejadian stunting pada usia 6-12 bulan memiliki risiko
sebesar 1,9 kali untuk tetap stunting pada usia 3-4 tahun dibandingkan dengan balita yang memiliki
status normal pada usia 6-12 bulan.
Prosiding Seminar Nasional
“Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia”
12 April 2011
165
Hubungan BBLR dan Pemberian ASI Eksklusif dengan Status Stunting
Pada usia 6-12 bulan kejadian stunting berhubungan dengan kejadian BBLR, panjang badan
lahir, dan kejadian prematur, seperti terlihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Distribusi Status Stunting Usia 6-12 Bulan Berdasarkan Berat Badan Lahir, Panjang
Badan Lahir, Usia Kehamilan, dan Pemberian ASI Eksklusif
Karakteristik
Stunting
Berat badan lahir
BBLR
BBLN
Panjang Badan Lahir
Stunting
Normal
Usia Kehamilan
Prematur
Normal
ASI Eksklusif
Tidak ASI Eksklusif
ASI Eksklusif
*
Status Stunting Usia 6-12 Bulan
Normal
X2
RR
P Value
*
17 (42,5%)
70 (11,9%)
87 (13,9%)
23 (57,5%)
517 (88,1%)
540 (86,1%)
29,3
3,6
0,000
13 (27,7%)
45 (11,7%)
58 (13,4%)
34 (72,3%)
341 (88,3%)
375 (86,6%)
9,3
2,4
0,002
14 (26,4%)
79 (12,9%)
93 (14%)
39 (73,6%)
532 (87,1%)
571 (86,0%)
7,4
2,0
0,007
64 (15,1%)
29 (12%)
93 (14%)
359 (84,9%)
212 (88%)
571 (86%)
1,2
1,3
0,269
*
*
Signifikan pada α = 0,01
Hasil penelitian yang dilakukan di daerah Jawa Barat menunjukkan percepatan pertumbuhan
bayi dengan BBLR terjadi pada 3-6 bulan postnatal, selanjutnya sesudah umur 6 bulan kurva
pertumbuhan bayi berat lahir rendah tampak lebih mendatar (Alisjahbana, dkk, 1995). Pada Tabel 4 di
atas terlihat bahwa kejadian berat badan lahir rendah (BBLR) memiliki hubungan yang signifikan
dengan kejadian stunting pada usia 6-12 bulan dengan p value < 0,01. Bayi yang lahir dengan BBLR
mempunyai risiko untuk mengalami stunting pada usia 6-12 bulan sebesar 3,6 kali dibandingkan
dengan bayi yang lahir dengan berat badan normal. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian
lain yang dilakukan Fatimah (2009) yang menunjukkan bayi dengan BBLR memiliki risiko untuk
mengalami stunting pada saat bayi sebesar 1,7 (OR = 1,743).
Panjang badan lahir merupakan faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting pada saat
subjek berumur 6-12 bulan. Hal ini ditunjukkan dengan uji Chi Square dengan nilai p value < 0,01 dan
nilai RR yang didapat menunjukkan bahwa panjang badan lahir yang kurang dari normal memiliki risiko
untuk mengalami stunting pada usia 6-12 bulan sebesar 2,4 kali dibandingkan dengan bayi yang lahir
dengan panjang badan normal.
Kejadian prematur juga berhubungan dengan kejadian stunting pada saat subjek berumur 612 bulan. Bayi yang lahir prematur memiliki risiko untuk mengalami stunting sebesar 2 kali lebih besar
dibandingkan dengan subjek yang lahir normal.
Prosiding Seminar Nasional
“Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia”
12 April 2011
166
Pemberian ASI Eksklusif selama 6 bulan menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan
dengan kejadian stunting pada usia 6-12 bulan. Walaupun demikian dilihat dari nilai RR, bayi yang
tidak diberi ASI eksklusif memiliki risiko 1,3 kali lebih besar untuk mengalami stunting pada usia 6-12
bulan dibandingkan dengan bayi yang diberi ASI eksklusif.
Berbeda dengan faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting pada usia 6-12 bulan,
pada usia 3-4 tahun kejadian BBLR, panjang badan lahir, prematur, pemberian ASI eksklusif dan
lamanya pemberian ASI menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan dengan kejadian stunting
pada usia 3-4 tahun, seperti terlihat pada Tabel 5 di bawah ini.
Tabel 5. Distribusi Status Stunting Usia 3-4 Tahun Berdasarkan Berat Badan Lahir, Panjang
Badan Lahir, Usia Kehamilan, Pemberian ASI Eksklusif dan Lama Pemberian ASI Eksklusif
Karakteristik
Stunting
Berat badan lahir
BBLR
BBLN
Panjang Badan Lahir
Stunting
Normal
Usia Kehamilan
Prematur
Normal
ASI Eksklusif
Tidak ASI Eksklusif
ASI Eksklusif
Lama Pemberian ASI
< 2 tahun
≥ 2 tahun
17 (42,5%)
193 (32,9%)
210 (33,5%)
21 (44,7%)
120 (31,1%)
141 (32,6%)
19 (35,8%)
211 (34,5%)
230 (34,6%)
153 (36,2%)
77 (31,1%)
230 (34,6%)
112 (32,4%)
118 (37,1%)
230 (34,6%)
Status Stunting Usia 4 Tahun
Normal
X2
RR
1,6
1,3
23 (57,5%)
394 (67,1%)
417 (66,5%)
3,5
1,4
26 (55,3%)
266 (68,9%)
292 (67,4%)
0,04
1,0
34 (64,2%)
400 (65,5%)
434 (65,4%)
1,2
1,1
270 (63,8%)
164 (68,0%)
434 (65,4%)
1,6
0,9
234 (67,6%)
200 (62,9%)
434 (65,4%)
P Value
0,212
0,060
0,80
0,272
1,642
Angka kematian bayi yang cukup tinggi di dunia sebenarnya dapat dihindari dengan
pemberian air susu ibu. Meski penyebab langsung kematian bayi umumnya penyakit infeksi, seperti
infeksi saluran pernapasan akut, diare, dan campak, tetapi penyebab yang mendasari pada 54 persen
kematian bayi adalah gizi kurang. Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan ada 170
juta anak mengalami gizi kurang di seluruh dunia. Sebanyak 3 juta anak di antaranya meninggal tiap
tahun akibat kurang gizi.
Hasil penelitian yang dilakukan di Kota dan Kabupaten Tangerang menunjukkan bahwa
pemberian ASI eksklusif dan lamanya pemberian ASI tidak berhubungan dengan kejadian stunting
pada usia 6-12 bulan maupun pada usia 3-4 tahun. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian
yang dilakukan di Bengkulu tahun 2008 bahwa tidak didapatkan hubungan antara pemberian ASI
ekslusif dengan kejadian stunting pada anak umur 2-3 tahun. Kejadian stunting pada anak umur 2-3
Prosiding Seminar Nasional
“Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia”
12 April 2011
167
tahun mungkin disebabkan beberapa faktor yaitu status asupan energi, protein, zat gizi mikro, serta
kondisi penyakit infeksi (Syarif, 2008). Penelitian lain yang di lakukan di Kabupaten Bogor juga
menunjukkan tidak ada hubungan antara konsumsi ASI dengan kejadian stunting tetapi asupan energi
dan protein yang berasal dari MP-ASI menunjukkan hubungan yang signifikan dengan kejadian
stunting pada usia 6-12 bulan (Astari, dkk, 2006).
Tabel 6. Analisis Regresi Logistik Berganda terhadap Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Perubahan Status Stunting
Variabel
1. BBLR
2. Prematur
3. Panjang badan lahir
4. ASI Eksklusif
5. Lamanya pemberian ASI
Signifkan p value = 0,001
CI 95%
0,342 - 2,536
0,268 – 1,563
0,956 – 3,696
0,797 – 1,879
0,538 – 1,229
RR
0,9
0,7
1,9
1,2
0,8
P value
0,889
0,333
0,067
0,356
0,326
Berdasarkan uji analisis multivariat di atas tidak ada variabel yang mempengaruhi perubahan
status stunting pada balita. Namun demikian panjang badan lahir memiliki risiko sebesar 1,9 kali untuk
mengalami perubahan status stunting. Perubahan status stunting dapat dipengaruhi oleh banyak faktor
meliputi faktor genetik dan lingkungan. Suatu program intervensi di Peru yang meliputi paket program
gizi, kesehatan, higiene, dan stimulasi telah berhasil menurunkan angka stunting sebesar 17,2%. Pada
awal program ditemukan prevalensi stunting sebesar 54,1% dan menjadi 36,9% setelah program
berjalan selama 4 tahun. Intervensi yang diakukan berupa promosi tentang pertumbuhan dan
perkembangan, pengawasan pada saat prenatal, pemberian ASI eksklusif, pemberian makanan anak
sampai usia 2 tahun, pengawasan kejadian defisiensi vitamin A dan Fe, sampai kesehatan diri dan
keluarga (Lechtig, et al, 2009).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1.
Pada penelitian ini ditemukan sebagian besar subjek penelitian berjenis kelamin laki-laki (53,2%),
jumlah subjek yang lahir dengan berat badan lahir rendah ditemukan sebanyak 6%, prematur
sebanyak 8%, panjang badan lahir kurang (stunting) sebanyak 7,1%, subjek yang tidak diberi ASI
eksklusif sebanyak 36,3%, dan yang diberi ASI kurang dari 2 tahun ada sebesar 52%.
2.
Terjadi peningkatan prevalensi stunting pada saat usia 3-4 tahun yaitu ditemukan severe stunting
sebesar 12,2 % dan stunting sebesar 22,4%.
3.
Terjadi perubahan status stunting pada usia 3-4 tahun dibandingkan dengan usia 6-12 bulan yaitu
yang termasuk meningkat ada sebanyak 6,3%, normal 59,6%, tetap 4,4%, dan menurun 29,7%.
4.
Berdasarkan uji statistik Chi Square ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara kejadian
BBLR, prematur, dan panjang badan lahir kurang dengan kejadian stunting pada usia 6-12 bulan.
5.
Berdasarkan uji statistik multivariat
tidak ditemukan pengaruh BBLR dan
pemberian ASI
eksklusif terhadap perubahan status stunting.
Prosiding Seminar Nasional
“Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia”
12 April 2011
168
Saran
1.
Saran untuk pengelola program kesehatan dan gizi di tingkat propinsi, kota dan kabupaten: perlu
adanya pemantauan terus-menerus terhadap pertumbuhan anak baik sejak masa bayi dan balita
sehingga program intervensi yang akan diberikan dapat direncanakan sebelumnya dan dapat
lebih efektif.
2.
Dalam upaya memperbaiki status gizi dan kesehatan anak maka perlu adanya pola asuhan nutrisi
yang baik bagi wanita sejak masa hamil, masa bayi, masa balita, dan anak-anak agar terpenuhi
kebutuhan gizi dan tercapainya pertumbuhan yang optimal.
3.
Diperlukan suatu kajian lanjutan untuk melihat faktor-faktor lain terutama yang berhubungan
dengan asupan gizi mikro maupun makronutrien terkait dengan kejadian stunting pada usia 3-4
tahun.
DAFTAR PUSTAKA
Adair, L.S & Guilkey, D.K. (1997) Age-Specific Determinants of Stunting in Filipino Children. J.Nutr. 127:314-320
Allen, L.H. & Gillespie, S.R. (2001) What Works? A Review of The Efficacy and Effectiveness of Nutrition
Interventions. Manila: ADB.
Astari Dwi Lita, Nasoetion Amini, Dwiriani Cesilia Meti. 2006. Hubungan Konsumsi ASI dan MP-ASI Serta
Kejadian Stunting Anak Usia 6-12 Bulan di Kabupaten Bogor. Media Gizi dan Kesehatan Masyarakat.
Juli.2006
Atmarita & Falah, S.T. 2004. Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Widyakarya Nasional Pangan dan
Gizi VIII, 17-19 Mei 2004. Jakarta.
Avianti A. 2006. Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan Status Gizi Berdasarkan Tinggi Badan Menurut Umur
Pada Anak Umur 2 Tahun di Kabupaten Purworejo Propinsi Jawa Tengan Tesis, Universitas Gajah
Mada.
Depkes. 2007. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Nasional. Badan Penelitian dan
Pengembangan. Departemen Kesehatan RI.
Espo M., T, Kulmala, K. Maleta, T. Cullinan, M-L Salin, P Ashorn. 2002. Determinants of linear growth and
predictors of severe stunting during infancy in rural Malawi. Acta Paediatr, 91 : 1364-1370
Fatimah, Siti. 2008. Dampak Berat Badan Lahir Terhadap Status Gizi Bayi. [email protected].
Lechtig A., Cornale G. Ugaz, E.M. Arias, L. 2009. Decreasing stunting, anemia, and Vitamin A Deficiency in Peru,
Food and Nutrition Bulletin. , vol. 30, no. 1. 37-48. The United Nations University.
Marquis, G.S. Habicht, J.P. Lanata, C.F. Black, E.R. Rasmussen, K.M. 1997. Association of Breastfeeding and
Stunting in Peruvian Toddlers: An Example of Reverse Causality. International Journal of Epidemiology.
Vol. 26, No. 2. 349-356.
Mendez, M.A. & Adair, L.S. 1999. Severity and Timing in The First Two Year of Life Affect Performance on
Cognitive Tests I Late Chilhood, The Journal of Nutrition, 129: 1555–1562.
Syafiq, A. (2007) Tinjauan atas Kesehatan dan Gizi Anak Usia Dini, Makalah pada Diskusi Peningkatan
Kesehatan dan Gizi Anak Usia Dini, Bappenas, 17 Juli 2007
Prosiding Seminar Nasional
“Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia”
12 April 2011
169
Download