EVALUASI PERFORMA KARDIOPULMONARI TERAPI RESUSITASI

advertisement
i
EVALUASI PERFORMA KARDIOPULMONARI TERAPI
RESUSITASI CAIRAN PADA ANAK BABI (Sus scrofa) SEPSIS
CERELIA
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
ii
iii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Evaluasi Performa
Kardiopulmonari Terapi Resusitasi Cairan pada Anak Babi (Sus scrofa) Sepsis
adalah benar karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2015
Cerelia
NRP B04110146
iv
ABSTRAK
CERELIA. Evaluasi Performa Kardiopulmonari Terapi Resusitasi Cairan pada
Anak Babi (Sus scrofa) Sepsis. Dibimbing oleh GUNANTI dan RIKI SISWANDI.
Renjatan sepsis merupakan sindrom respon penyakit inflamasi secara
sistemik yang diikuti dengan kerusakan organ tubuh seperti jantung dan paru‒paru.
Tujuan dari penelitan ini mengevaluasi pengaruh peforma kardiopulmonari
terhadap sepsis dan setelah pemberian resusitasi cairan koloid (modified fluid
gelatin 4%) dan kristaloid (ringer asetat malat). Setiap perlakuan terdiri atas 4 ekor
anak babi. Induksi sepsis dilakukan melalui injeksi lipopolisakarida sebesar 50
ug/kg berat badan. Parameter yang diamati untuk performa jantung adalah cardiac
power index (CPI), global ejection fraction (GEF), left ventricular contractility
(dPmx), sistol dan diastol. Parameter yang diamati pada performa paru‒paru terdiri
dari extravascular lung water index (ELWI) dan pulmonary vascular permeablility
index (PVPI). Penurunan nilai parameter sistol dan diastol mengindikasikan adanya
gangguan peforma jantung. Peningkatan nilai parameter PVPI dan ELWI
menunjukkan adanya edema paru non kardiogenik. Cairan kristaloid maupun cairan
koloid tidak memberikan perbaikan pada peforma jantung. Cairan koloid
memberikan perbaikan pada peforma paru namun tidak pada cairan kristaloid.
Kata kunci: induksi sepsis,performa jantung, performa paru, resusitasi cairan
v
ABSTRACT
CERELIA. Evaluation of Cardiopulmonary Performance Fluid Resucitation
Therapy in Sepsis's Piglets (Sus Scrofa). Suppervised by GUNANTI and RIKI
SISWANDI.
Septic shock is a sistemic inflamatory response syndrome followed by organ
failure such as cardiac and pulmonary failures. The aim of this study was to
evaluate the effect of cardiopulmonary performance towards sepsis and after fluid
resucitation. Treatment groups were divided into colloid resucitation (modified
fluid gelatin 4%) and crystalloid resucitation (ringer asetate malate). Each
treatment were consist of 4 pigglets. Lipopolisacaride 50 ug/kg of body weight was
given to induce sepsis in the piglets. Parameter of observation were cardiac
peformance and pulmonary peformance. Observeable cardiac performance were
cardiac power index (CPI), global ejection fraction (GEF), left ventricular
contractility (dPmx), systole and diastole. Observeable pulmonary peformance
were extravascular lung water index (ELWI) and pulmonary vascular permeablility
index (PVPI). The decreasing of systole and diastole value indicates that were
disturbance on cardiac performances. The increasing in PVPI and ELWI indicated
the occurence of non‒cardiogenic pulmonary edema. Neither Crystalloid nor
colloid fluid did repair the cardiac performance. Colloid fluid however was found
able to improve the pulmonary peformance but this does not happen with
crystalloid fluid.
Keywords: cardiac peformance, induced sepsis, pulmonary performance, fluid
resucitation
vi
vii
EVALUASI PERFORMA KARDIOPULMONARI TERAPI
RESUSITASI CAIRAN PADA ANAK BABI (Sus scrofa) SEPSIS
CERELIA
Skripsi Penelitian
sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
viii
Judu1 Skripsi
Nama
NIM
Eva1uasi Pefonna Kardiopu1monari Terapi
Cairan pada Anak Babi (Sus scrofa) Sepsis
Cerelia
804110146
Resusitasi
Disetujui o1eh
Dr Drh Gunanti, MS
Pembimbing I
Tanggal Lulus:
1 6 SEP 2015
Drh Riki Siswandi, MSi
Pembimt ing II
x
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
nikmat dan karunia‒Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi penelitian.
Judul penelitian yang akan dilaksanakan adalah “Evaluasi Peforma
Kardiopulmonari Terapi Resusitasi Cairan pada Anak Babi (Sus scrofa) Sepsis”.
Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian payung untuk disertasi dr. Rismala
Dewi, SpA(K) yang dipromotor oleh Dr Drh Gunanti, MS. Adapun penyusunan
skripsi penelitian ini dilakukan sebagai salah satu syarat melakukan kelulusan
sarjana tingkat satu kedokteran hewan.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr Drh Gunanti, MS selaku
pembimbing I dan Drh Riki Siswandi, MSi selaku pembimbing II. Terima kasih
kepada Drh Abdul Zahid Ilyas, MSi selaku pembimbing akademik atas nasihat dan
bimbingan selama kuliah di Fakultas Kedokteran Hewan, dr. Rismala Dewi,
SpA(K) atas kerjasama dan nasihat selama penelitian. Terima kasih juga kepada
staff bedah Pak Kosasih, dan Pak Katim atas bantuan dan kerjasama selama
penelitian berlangsung. Terima kasih Abhi, Ega, Rina, Willa, Cindi dan Bagus
yang merupakan teman seperjuangan penelitian atas kerjasama dan masukkan
selama penelitian. Terima kasih juga pada teman-teman (Irene, Tania, Fleury, dan
Intan) yang membantu dalam menyelesaikan penulisan skirpsi. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua penulis, Ibu Mirjam Janita
Maranata dan Bapak Royhendra Santosa (Alm.), keluarga serta teman‒teman atas
segala doa dan dukungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
penelitian dengan baik.
Bogor, September 2015
Cerelia
xi
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Sepsis
Sus scrofa
Lipopolisakarida Eschericia coli (E. coli)
Pulse Continuous Cardiac Output/ PiCCO2
Cairan Kristaloid dan Koloid
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Bahan dan Alat Penelitian
Tahap Persiapan
Adaptasi Hewan
Tahap Pengamatan
Variabel yang Diamati
Analisa Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Indeks Kekuatan Jantung/ Cardiac Power Index
Fraksi Ejeksi Global/ Global Ejection Fraction
Indeks kontraktilitas ventrikel kiri/ Left Ventricular Contractility Index
Data Sistol
Data Diastol
Indeks Permeabilitas Vaskular Paru/ Pulmonary Vascular Permeability Index
Indeks Air Paru Ekstravaskular/Extravascular Lung Water Index
Pembahasan umum
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP
xii
xii
1
2
2
2
2
2
3
3
4
6
6
6
7
7
8
8
9
10
10
10
10
11
11
12
13
13
14
17
17
17
17
19
xii
DAFTAR TABEL
1. Penghitungan parameter pada alat PiCCO2
2. Rataan Indeks Kekuatan Jantung (W/m2)
3. Rataan Fraksi Ejeksi Global (%)
4. Rataan dPmx ‒Indeks kontraktilitas ventrikel kiri (mmHg/s)
5. Rataan Sistol (mmHg)
6. Rataan Diastol (mmHg)
7. Rataan Indeks Permeabilitas Vaskular Paru
8. Rataan Indeks Air Paru Ekstravaskular (mL/kg)
5
10
11
11
12
12
13
13
DAFTAR GAMBAR
1. Skematik perjalanan infeksi
2. Anak babi (Sus scrofa)
3. Grafik mengenai mean transit time dan down slope time
4. Persamaan rumus Stewart‒Hamilton
5. Alat PiCCO2
6. Alur pengambilan parameter performa jantung dan fungsi organ
2
3
4
5
7
9
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sepsis merupakan keadaan darah mengandung bakteri atau bakteremia dan
mengalami sindrom respons inflamasi sistemik (systemic inflammatory response
syndrome; SIRS). Lipopolisakarida (LPS) merupakan penyebab sepsis.
Lipopolisakarida yang masuk dalam sistem peredaraan darah tubuh akan memicu
munculnya mediator inflamasi yang bersifat kardiotosik. Hal tersebut dapat
menyebabkan sepsis serta depresi fungsi pompa jantung berupa disfungsi sistolik
dan diastolik. Keadaan disfungsi sistolik dan disfungsi diastolik ditandai dengan
adanya gangguan kontraktilitas ventrikel kanan dan kiri serta gangguan kepatuhan
ventrikel. Gangguan pada kepatuhan ventrikel menyebabkan penurunan sistem
pompa (fraksi ejeksi) jantung sistemik dan indeks kerja jantung kiri. Depresi
fungsi jantung pada keadaan sepsis menyebabkan prognosis yang buruk bagi
pasien yang sedang dirawat di rumah sakit (Priyantoro et al. 2010).
Dewi (2015) menyatakan persentase pasien anak yang mengalami sepsis
adalah 19.3%. Sebanyak 54% dari jumlah pasien yang mengalami sepsis
meninggal selama dilakukan perawatan. Priyantoro et al. (2010) menyatakan
angka mortalitas yang sangat tinggi dikarenakan sepsis berat yang berlanjut
menjadi renjatan sepsis. Sistem kardiovaskular dan sistem respirasi merupakan
sistem yang paling sering terganggu pada keadaan sepsis dan renjatan sepsis
hingga menyebabkan kematian.
Swindle (2007) menyatakan babi dapat digunakan untuk menggambarkan
patofisiologi penyakit pada manusia karena memiliki kesamaan sturktur anatomi
dan fisiologis pada manusia. Babi dapat menjadi hewan model pada penyakit
sepsis karena memperlihatkan perjalanan penyakit dan mekanisme terapinya
(Nemzek et al. 2008).
Penanganan awal terhadap renjatan sepsis disebut early goal theraphy/
terapi awal yang terarah. Tujuan terapi awal yang terarah yaitu menyesuaikan
preload dan afterload dengan sistem kontraksi jantung sehingga terbentuk
keseimbangan pengiriman oksigen secara sistemik. Penanganan tersebut
dilakukan hingga titik akhir renjatan sepsis atau hingga angka parameter mencapai
yang ditargetkan. Parameter yang harus dipertahankan berupa central venosus
pressure (CVP) 8‒12 mmHg dan saturasi vena cava superrior (ScvO2) ≥ 70%
(Rivers et al. 2001).
Resusitasi cairan yang sering digunakan pada penanganan awal yang terarah
yaitu kristaloid dan koloid. Pemberian cairan kristaloid, koloid, atau kombinasi
dari kedua cairan tersebut ditentukan berdasarkan lokasi kekurangan cairan terjadi
(ekstra/ intra/ inter seluler). Perbaikan fungsi jantung yang berarti belum
ditemukan pada penggunaan kedua resusitasi cairan ini. Perbedaan penggunaan
cairan plasma antara kristaloid dan koloid masih menjadi isu yang diperdebatkan
(Carcillo dan Fields 2002).
2
Perumusan Masalah
Dengan latar belakang di atas, masalah penelitian dapat dirumuskan sebagai
berikut:
1)
Apakah tahapan induksi sepsis yang dilakukan mempengaruhi
peforma paru dan jantung?
2)
Apakah resusitasi dengan cairan yang berbeda mempengaruhi
peforma paru dan jantung?
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi peforma jantung dan paru pada
saat sepsis, renjatan sepsis dan setelah pemberian cairan pada kelompok babi
menggunakan cairan koloid (modified fluid gelatin 4%/ MGF 4%) dengan
kelompok babi yang menggunakan cairan kristaloid (ringer asetat malat/ RAM).
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran gejala klinis pada
anak babi yang menderita sepsis yang disebabkan oleh LPS. Penelitian ini juga
diharapkan mampu mengevaluasi pengaruh cairan koloid (MGF 4%) dan
kristaloid (RAM) pada kejadian sepsis dengan hewan model anak babi terhadap
gejala klinis yang teramati.
TINJAUAN PUSTAKA
Sepsis
Sindrom respons inflamasi sistemik merupakan kumpulan manifestasi
klinis terhadap proses inflamasi akibat infeksi. Penyebab yang sering terjadi yaitu
sepsis terinfeksi oleh bakteri terutama bakteri Gram negatif. Bakteri Gram negatif
yang masuk ke dalam tubuh akan mati dan mengeluarkan toksin atau endotoksin.
Endotoksin tersebut menjadi pemicu adanya reaksi radang (sitokin). Sitokin yang
dihasilkan dalam jumlah besar menyebabkan respon sistemik. Respon tersebut
mempengaruhi kinerja organ tubuh diantaranya jantung, paru-paru, hati, ginjal,
dan usus. Keadaan tersebut disebut sebagai multi organ disfunction/ MOD.
Setelah tubuh mengalami MOD maka dilanjutkan dengan renjatan sepsis, serta
kematian.
Infeksi
SIRS
Sepsis
Renjatan
sepsis
Gambar 1 Skematik perjalanan infeksi
Sepsis
berat
3
Gambar 1 menunjukkan istilah sepsis yang digunakan berhubungan
dengan kondisi tubuh. Sepsis berat adalah keadaan klinis yang disertai dengan
adanya disfungsi organ dan hipoperfusi (hipotensi). Kelainan hipoperfusi pada
sepsis berat ditandai oleh asidosis laktat, oliguria atau perubahan status mental
(Priyantoro et al. 2010). Renjatan sepsis adalah sepsis yang disertai disfungsi
organ kardiovaskular, ditemukan saat takikardia dengan penurunan perfusi,
pemanjangan waktu pengisian kapiler, ekstremitas dingin, serta penurunan jumlah
urin (O'Brien et al. 2007).
Rudiger dan Singer (2012), menyatakan bahwa penelitian mengenai
patofisiologi sepsis dengan menggunakan hewan coba didapatkan adanya agen
yang bersifat kardiotoksik dalam darah. Agen kardiotoksik tersebut merupakan
faktor penting dalam terjadinya depresi fungsi jantung pada keadaan sepsis.
Priyantoro et al. (2010) menyatakan bahwa agen kardiotosik meliputi
(interleukin) IL–1, IL–8, protein komplemen (C3a), endotoksin (LPS), sitokin
(IL–1, IL–6, TNF–α), endothelin–1 (ET–1), oksida nitrat (ON), prostanoid
(tromboksan dan prostasiklin), dan molekul adhesi (intercellular adhesion
molecule‒1 & vascular cell adhesion molecule‒1).
Sus scrofa
Babi memiliki stuktur anatomi dan fisiologi yang dapat dianalogikan dengan
manusia. Sistem koroner babi menunjukkan kesamaan hampir 90% dengan
manusia. Secara hemodinamik, babi menunjukkan persamaan dengan manusia
dalam hal fungsi jantung. Anatomi jantung babi mempunyai persamaan dengan
jantung manusia kecuali ketiak aliran darah masuk vena azygous kiri
(hemiazygous) keluar pembuluh darah interkostal kemudian masuk ke sinus
koronarius. (Swindle 2007). Kisaran frekuensi jantung babi yang normal antara 70
sampai 120 detak per menit (Cochran 2004). Babi menjadi bagian penting dalam
penelitian biomedis. Babi merupakan model yang sangat baik untuk penyakit
kardiovaskular, aterosklerosis, farmakologi kulit, perbaikan luka, kanker,
diabetes, studi oftalmologi, dan penelitian toksikologi (Prather et al. 2008).
Gambar 2 Anak babi (Sus scrofa)
Lipopolisakarida Eschericia coli (E. coli)
Bakteri Gram negatif memiliki tiga lapisan dinding sel yaitu membran luar,
periplasma, dan membran dalam. Lipopolisakarida merupakan komponen utama
4
membran terluar dari bakteri Gram negatif seperti Escherichia coli dan berperan
sebagai endotoksin. Struktur dasar LPS terdiri dari lipid A, antigen O, dan inti
oligosakarida. Lipid A merupakan bagian LPS yang bersifat toksik, pada gugus
fosfat pada posisi C1 dan C4 menentukan toksisitasnya. Antigen O merupakan
polimer hasil dari pengulangan oligosakarida. Fungsi dari Antigen O adalah
membedakan antar spesies dan serologi spesifik bakteri (Rezania et al. 2011).
Lipopolisakarida yang diinjeksi ke dalam tubuh dapat mengaktifkan sistem
imun humoral dan selular sehingga timbul respon inflamasi secara sistemik.
Lipopolisakarida akan berikatan dengan LPS binding protein. Interaksi tersebut
berikatan dengan CD-14 yang merupakan reseptor makrofag melalui jalur TLR4 (
toll-like receptor). CD-14 memberi tanda pada makrofag untuk memfagositosis
kompleks tersebut. Hasil dari fagositosis oleh makrofag menginisiasi munculnya
mediator inflamasi seperti IL-1, TNF-α, IL-2, dan IFN. Mediator inflamasi IL-1
dan TNF-α menyebabkan leukocytemolecular activation pada endotel pembuluh
darah. Hal tersebut menginisiasi keluarnya mediator inflmasi yang kedua yaitu
ON, IL-6, IL-8 dan IL-10. Mediator inflamasi ini menyebabkan vasodilatasi,
kebocoran kapiler, kerusakan endotel, hipotensi, perfusi organ, dan kematian sel
(Abraham dan Singer 2007).
Pulse Continuous Cardiac Output/ PiCCO2
Alat untuk memonitor hemodinamika kerja jantung dan paru‒paru adalah
Pulse continuous cardiac output (PiCCO2®). Metode thermodilution
transpulmonary berdasarkan hukum Stewart‒Hamilton merupakan metode yang
digunakan pada alat PiCCO2®. Parameter yang didapatkan dari medode StewartHamilton adalah cardiac output/ CO, intra thoracal thermal volume/ ITTV,
global end diastolic volume/ GEDV, intrathoracic blood volume/ ITBV, dan
extravascular lung water/ EVLW (Vincent 2014).
Gambar 3 Grafik mean transit time dan down slope time (Vincent 2014)
Gambar 3 menunjukkan kurva termodilusi yang akan digunakan pada
metode Stewart-Hamilton untuk menghitung CO. Penghitungan CO didapatkan
dengan mengukur perbedaan suhu NaCl yang beredar pada atrium kanan menuju
5
ventrikel kiri yang diukur di arteri femoral kiri. Dasar dari persamaan ini adalah
laju aliran darah berbanding terbalik dengan perubahan suhu terhadap waktu. Hal
tersebut menyebabkan penurunan suhu berbanding terbalik dengan peningkatan
CO. Total volume NaCl saat dipompakan dan dideteksi oleh indikator
dipresentasikan oleh mean transit time. Pencampuran individual terbesar di ruang
indikator dilusi dipresentasikan oleh down slope time (Vincent 2014)
V x Tb − Ti K1 x K2
Tb t dt
Gambar 4 Persamaan rumus Stewart‒Hamilton (Vincent 2014)
Q=
Persamaan rumus (Gambar 4) menyatakan cara mendapatkan cardiac output
(Q) dengan metode termodilusi. Volume NaCl (V) dengan suhu yang dingin (Ti)
dimasukkan ke dalam aorta descendens. Suhu darah (Tb) bercampur dengan suhu
yang diinjeksikan diukur hingga mencapai indikator (Tb(t) dt). Konstanta (K1 dan
K2) yang dibutuhkan untuk mengoreksi perubahan suhu darah pada tiap individu
(Vincent 2014).
Penjelasan dan penghitungan dari Tabel 1 ditunjukkan sebagai berikut.
Volume NaCl yang didistribusi dari indikator termal menggambarkan volume
intra torakal (intra thoracal thermal volume; ITTV). Total volume ITTV
mencerminkan jumlah volume dari empat ruang jantung, dan volume pada
paru‒paru. Volume termal pulmonaris (pulmonary thermal volume; PTV)
menggambarkan dalam volume pada ruang paru‒paru. Total volume PTV yang
diukur terdiri dari volume intravscular, intestinal dan alveolar pada paru‒paru.
Volume keseluruhan akhir diastolik (global end diastolic volume; GEDV) adalah
kombinasi dari volume semua ruang jantung pada akhir diastolik. Parameter
GEDV digunakan untuk estimasi preload. Parameter EVLW diukur dari
perbedaan antara distribusi indikator termal di dalam dada (ITTV) dan volume
darah dalam thoraks. Parameter ini mengukur cairan dalam ruang antar intestinal
dan alveol dan mengukur adanya edema paru. Parameter ITBV merupakan jumlah
volume darah yang mengalir pada ruang toraks, empat ruang jantung, dan
pembuluh darah paru‒paru. Nilai ITBV secara konstan lebih tinggi dari nilai
GEDV sebesar 25% sehingga didapatkan penghitungan yang ditunjukkan pada
Tabel 1. Parameter PVPI merupakan rasio EVLW terhadap PTV. Parameter PVPI
mencerminkan tingkatan hambatan permeabilitas kapiler pada paru‒paru (Vincent
2014).
Tabel 1 Penghitungan parameter pada alat PiCCO2®
Indikator
ITTV
PTV
GEDV
ITBV
EVLW
PVPI
Rumus
CO × MTt dari indikator termal
CO × DSt (eskponensial waktu luruh dari kurva termodilusi)
ITTV‒PTV
1,25 × GEDV
ITTV – ITBV
EVLW/ PTV
(Vincent 2014)
6
Cairan Kristaloid dan Koloid
Jenis cairan yang sering digunakan pada renjatan sepsis adalah kristaloid
dan koloid. Pembagian jenis cairan ini didasarkan pada kemampuan larutan
melalui membran. Cairan kristaloid digunakan untuk mempertahankan dan
mengganti volume cairan ektraseluler, sedangkan cairan koloid digunakan untuk
mengganti volume cairan intravaskuler. Cara penggunaan kedua jenis larutan
plasma masih menjadi kontroversi (Schortgen et al. 2004).
Kristaloid
Larutan kristaloid mengandung elektrolit atau dekstrosa dan bersifat
isotonis. Pemberian kristaloid perlu dilakukan dalam volume lebih banyak
dibandingkan volume darah yang hilang. Waktu paruh intravaskular kristaloid
yaitu 20 sampai 30 menit. Cairan kristaloid akan keluar dari intravaskular masuk
ke interstital dalam waktu 30 sampai 60 menit dan akan keluar sebagai urin dalam
waktu 24 sampai 48 jam (Hanh et al. 2007).
Keuntungan kristaloid adalah mudah didapat, murah, dan efek samping
minimal sehingga sering digunakan untuk terapi yang membutuhkan cairan
intravaskular (renjatan hipovolumik). Kristaloid tidak memberikan reaksi radang
terhadap pasien yang menerimanya. Kerugian dari pemakaian kristaloid adalah
edema ekstrasel dengan efek yang paling mudah dilihat berupa edema paru‒paru
(Hanh et al. 2007).
Koloid
Koloid merupakan cairan resusitasi yang sering digunakan pada kasus
renjatan hipovolumik akibat hemoragi. Koloid dapat menggantikan volume darah
yang hilang. Larutan koloid yang sering digunakan adalah dekstran, pati hidroksi
etil, gelatin, dan albumin. Koloid memiliki ukuran partikel 1 sampai 500 nm
(Rivers et al. 2001). Larutan koloid juga digunakan sebagai pengisi cairan
intravaskular. Keuntungan dari cairan koloid adalah lebih bertahan lama pada
intravaskular dengan waktu paruh 3 sampai 6 jam. Kerugian larutan koloid yaitu
harga yang lebih mahal dari kristaloid, dan menyebabkan reaksi anafilaksis (Hahn
et al. 2007).
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian berlangsung dari tanggal 6 Juni sampai dengan 11 Juli 2014.
Operasi hewan dilakukan di Laboratorium Bedah Divisi Bedah dan Radiologi
Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi. Pemeliharaan hewan dilakukan di
kandang ruminansia kecil Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
7
Bahan dan Alat Penelitian
Penelitian ini menggunakan delapan ekor hewan model berupa anak babi
(Sus scrofa) dengan kriteria berumur 2 sampai 3 bulan dan berat badan sekitar 8
sampai 13 kg. Jenis kelamin hewan model yang dipakai adalah jantan dan betina.
Pengendalian secara kimia menggunakan preparat xylazine 2% (Ilium Xylazil100®, Ilium) dan ketamin 10% (Ketamil®, Ilium). Preparat pengendalian kimia per
inhalasi yang digunakan adalah isofluran (Aerrane®, Baxter). Atropin sulfat
(Atropine®, Ethica) diberikan sebagai premedikasi. Lipopolisakarida E. coli
sebagai agen pembuat sepsis diberikan dengan rute intravena. Cairan infus yang
digunakan adalah NaCl 0.9% (Ecosol NaCl®, B.Braun). Cairan kristaloid RAM
(Ringerfundin®, B.Braun) dan koloid MGF 4% (Gelofusin®, B.Braun) digunakan
sebagai cairan resusitasi. Kalium Klorida (KCl 7.46®, Otsuka) digunakan sebagai
agen eutanasia. Benang jahit yang digunakan berupa silk dan polypropilen.
Pengambilan data vital hewan model (suhu tubuh, frekuensi pernapasan, dan
frekuensi jantung) dilakukan dengan menggunakan stetoskop, termometer digital
dan pulse oxymetri yang dipasang pada ekor hewan model. Alat yang digunakan
selama penelitian adalah seperangkat alat bedah minor, laryngoscope,
endotracheal tube dengan diameter 6 sampai 7 mm, infus set, suction pump, iv
cath, jarum bulat tumpul, three way stop cock, syringe dengan volume 1mL, 3mL,
dan 25 mL, mesin anestesi, tabung oksigen, kateter vena sentral (Certolix®,
B.Braun) dan anestesi syringe pump. Seperangkat alat monitoring hemodinamika
(PiCCO2®, PULSION Medical Systems) digunakan untuk pengambilan data
fisiologi tubuh pasien secara real time.
Gambar 5 Alat PiCCO2®
Tahap Persiapan
Hewan digunakan dalam penelitian sudah dinyatakan sehat oleh dokter
hewan. Kriteria babi yang sehat dapat dilihat pada pemeriksaan radiografi,
laboratorium kimia darah, dan keberadaan telur cacing. Kelompok hewan model
dibagi dua berdasarkan cairan resusitasi yang diberikan. Setiap kelompok terdiri
dari 4 ekor hewan model. Kelompok pertama diterapi dengan cairan koloid
(MGF4%), sedangkan kelompok lainnya diterapi dengan cairan kristaloid (RAM).
Penelitian ini dilakukan dengan persetujuan Etik dari Komisi Etik Hewan FKH
IPB No. FRM/FKH/000‒78.
8
Adaptasi Hewan
Adaptasi hewan dilakukan dalam lingkungan dan pakan baru untuk
membiasakan hewan selama 7 hari. Hewan diberi pakan pada pagi dan sore hari
serta diberikan minum ad libitum. Kandang hewan dibersihkan pada pagi dan sore
hari. Kandang hewan didesinfekasikan setiap tiga hari. Hewan model menjalani
penapisan sebelum penelitian yang meliputi pemeriksaan fisik dan radiologi.
Hewan yang memperlihatkan gejala batuk, diberi antibiotik enrofloxacin
(Roxine®, Sanbe Farma) secara parenteral melalui intramuskuler (IM). Semua
hewan model diberi anthelmintik oxfendazole (Vermo-O®, Sanbe Farma) secara
per oral. Hewan yang dipakai dalam penelitian ditimbang terlebih dahulu karena
hanya hewan yang memiliki kriteria berat badan yang sesuai dengan prosedur
penelitian yang digunakan.
Tahap Pengamatan
Tahap persiapan meliputi hewan model dimandikan dengan antiseptik dan
alat yang akan digunakan dalam penelitian disterilisasi. Hewan model diberi
perlakukan penapisan berupa pemeriksaan fisik, kimiawi darah, keberadaan telur
cacing, dan radiografi.
Tahap preparasi diawali dengan penginduksian hewan model menggunakan
kombinasi ketamin 10% dan xylazine 2% secara IM sebelum pengamatan. Hewan
model yang sudah masuk tahap anestesi lalu dibawa ke meja operasi. Tahap
selanjutnya adalah pemasangan alat sensor saturasi dan pemasangan infus NaCl
0.9% pada vena auricularis. Atropin 0.25 mg/mL diberikan pada akses vakular
sebagai tahap premedikasi. Hewan model selanjutnya direstrain fisik dengan
posisi ventrodorsal menggunakan simpul tomfool. Hewan model kemudian
dianestesi perinhalasi. Hewan model yang dinyatakan telah teranestesi total
dipasang endotracheal tube ke dalam laringnya. Masa anestesi diperpanjang
menggunakan ketamin via intravena melalui kateter yang dipasang pada alat
syringe pump.
Tahap selanjutnya adalah tahap operasi pemasangan kateter untuk sensor
alat PiCCO2®. Alat kateter merupakan tempat menginduksi LPS, injeksi NaCl
dingin (8 oC), cairan resusitasi, dan preparat anestesikum. Alat kateter sensor
dipasang pada arteri femoralis dan vena cava cranialis. Jalur vaskular vena cava
cranialis didapatkan dengan menguakkan otot-otot pada daerah medial femoral
kiri. Jalur vaskular arteri femoralis didapatkan dengan menguakkan otot-otot pada
medial cervical kanan. Cairan antiseptik dan sterile water diberikan pada kedua
daerah penguakan tersebut sebelum tahap operasi.
Tahap pengambilan data dilakukan setelah kateter sudah terpasang dan
dihubungkan dengan alat PiCCO2®. Pemasukkan bolus NaCl dingin (8 oC )
melalui kateter diperlukan untuk menampilkan data pada alat PiCCO2®. Parameter
dicatat yaitu cardiac power index (CPI), global ejection fraction (GEF), left
ventricular contractility (dPmx), sistol, diastol, pulmonary vascular permeability
index (PVPI) dan ELWI. Data tersebut merupakan data awal penelitian.
Tahap sepsis dilakukan dengan menginduksi LPS dengan dosis 50 µg/kg
BB melalui kateter venosus sentral. Tanda sepsis ditandai adanya dengan
9
munculnya demam (hipotermia/ hipetermia), takikardia, dan takipnea.
Pengamatan lanjutan dilakukan jika dua dari tanda sepsis muncul. Renjatan sepsis
ditandai dengan adanya penurunan tekanan darah, denyut nadi yang meningkat
dan nilai intrathoracic blood volume index (ITBVI) < 850 mL/m2 dan EVLW >
10 mL/kg BB.
Dua kelompok hewan model yang telah memasuki tahap renjatan sepsis
diberi resusitasi cairan (MGF 4% atau RAM dengan dosis 20 mL/kg BB).
Pengambilan data dilakukan pada waktu satu jam dan tiga jam setelah resusitasi
cairan. Setelah semua data diperoleh hewan model dilakukan eutanasia dengan
memasukan Kalium Klorida (KCl) sebanyak 20 mL dengan dosis 1-2 meq/kg
intravena dengan hewan model tetap dalam keadaan teranestesi.
Anestesi
Data awal dari
PiCCO2®
Induksi endotoksin
Tanda sepsis
Data sepsis dari
PiCCO2®
Tanda renjatan sepsis
Data renjatan sepsis
dari PiCCO2®
Kelompok koloid
Kelompok kristaloid
Cairan koloid
(MFG 4%)
Cairan kristaloid
(RAM)
1 jam setelah resusitasi diberikan
3 jam setelah resusitasi diberikan
Data resusitasi setelah satu jam
dari PiCCO2®
Data resusitasi setelah tiga jam
dari PiCCO2®
Gambar 6 Alur pengambilan parameter performa jantung dan fungsi organ
Variabel yang Diamati
Variabel yang diamati berupa kontraktilitas jantung yang terdiri dari CPI,
GEF, dPmx, sistol, dan diastol. Variabel untuk pengamatan edema di organ paruparu terdiri dari ELWI dan PVPI.
10
Analisa Data
Data yang diperoleh dinyatakan dalam rataan dan simpangan baku. Data
diolah menggunakan SPSS 21 dan Microsoft Excel 2007. Perbedaan antara
pengamatan inter kelompok dan antar kelompok dianalisis menggunakan analisis
ragam atau ANOVA/ analyze of variant kemudian dilanjutkan dengan Duncan
pada selang kepercayaan 95%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Indeks Kekuatan Jantung/ Cardiac Power Index
Parameter CPI merupakan parameter untuk mengetahui kontraktilitas
jantung. Parameter CPI didapatkan dari pembagian kekuatan keluaran jantung
dibagi dengan luas area tubuh. Parameter indeks kekuatan jantung dan GEF
memiliki kemiripan yaitu mengukur kontraktilitas ventrikel kanan dan kiri.
Kisaran normal indeks kekuatan jantung untuk manusia 0.5‒0.7 W/m2 (Kirov et
al. 2005). Data CPI pada Tabel 2 menunjukkan tidak adanya perbedaan nyata
antar waktu pengamatan dan kelompok pemberian cairan.
Tabel 2 Rataan Indeks Kekuatan Jantung (W/m2)
Waktu Pengamatan
Awal
Sepsis
Renjatan sepsis
Resusitasi setelah 1 jam
Resusitasi setelah 3 jam
Kelompok babi
MGF 4%
0.69 ± 0.18a,x
0.78 ± 0.25a,x
0.55 ± 0.26a,x
0.53 ± 0.13a,x
0.58 ± 0.29a,x
RAM
0.74 ± 0.32a,x
0.75 ± 0.24a,x
0.66 ± 0.37a,x
0.75 ± 0.50a,x
0.92 ± 0.37a,x
Keterangan: Huruf superscript (a) yang sama pada kolom yang sama menyatakan tidak adanya
perbedaan nyata (p<0.05) antar tahap pengambilan sampel. Huruf superscript (x)
yang sama pada baris yang sama menyatakan tidak adanya perbedaan nyata
(p<0.05) antar kelompok pengamatan.
Fraksi Ejeksi Global/ Global Ejection Fraction
Fraksi ejeksi merupakan persentase darah yang dikeluarkan dari ventrikel
saat sistol. Fraksi ejeksi berkorelasi dengan total volume diastolik akhir. Kirov et
al. (2005) menyatakan bahwa parameter GEF merupakan parameter untuk
mengukur kontraktilitas miokardium secara global. Nilai fraksi ejeksi global
didapatkan dari hasil empat kali stroke volume dibagi total GEDV volume
preload. Rentang normal fraksi ejeksi global untuk manusia sebesar 25‒35%
(Kirov et al. 2005). Data GEF (Tabel 3) menunjukkan tidak adanya perbedaan
nyata antar waktu pengamatan pada pemberian cairan. Kelompok yang diberikan
11
cairan kristaloid menunjukkan perbedaan nyata pada waktu pengamatan resusitasi
setelah satu jam dan tiga jam.
Tabel 3 Rataan Fraksi Ejeksi Global (%)
Waktu Pengamatan
Awal
Sepsis
Renjatan sepsis
Resusitasi setelah 1 jam
Resusitasi setelah 3 jam
Kelompok babi
MGF 4%
RAM
a,x
37.75 ± 5.20
32.65 ± 7.01a,x
a,x
31.38 ± 9.57
36.20 ± 6.65a,x
37.13 ± 5.83a,x
35.58 ± 9.43a,x
a,x
40.70 ± 3.34
35.25 ± 6.13a,x
a,x
42.75 ± 8.65
44.25 ± 3.30b,x
Keterangan: Huruf superscript (a, b) yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan adanya
perbedaan nyata (p<0.05) antar tahap pengambilan sampel. Huruf superscript (x)
yang sama pada baris yang sama menyatakan tidak adanya perbedaan nyata
(p<0.05) antar kelompok pengamatan.
Indeks kontraktilitas ventrikel kiri/ Left Ventricular Contractility Index
Parameter dPmx mengukur kecepatan maksimum kenaikan tekanan pada
otot ventrikel kiri. Nilai dPmx merupakan indikator umum yang kuat dan sensitif
saat terjadi perubahan kontraktilitas jantung. Nilai dPmx dapat diukur dari
kecepatan tekanan aorta meningkat selama fase sistol. Rentang normal untuk
dPmx adalah 1200‒2000 mmHg/s untuk manusia (Kirov et al. 2005). Data dPmx
(Tabel 4) menunjukkan tidak adanya perbedaan nyata antar waktu pengamatan
dan kelompok pemberian cairan.
Tabel 4 Rataan dPmx ‒Indeks kontraktilitas ventrikel kiri (mmHg/s)
Waktu Pengamatan
Awal
Sepsis
Renjatan sepsis
Resusitasi setelah 1 jam
Resusitasi setelah 3 jam
Kelompok babi
MGF 4%
735.70 ± 168.56a,x
766.75 ± 178.99a,x
851.80 ± 101.37a,x
733.95 ± 092.34a,x
855.25 ± 129.12a,x
RAM
681.50 ± 047.07a,x
626.25 ± 083.97a,x
754.00 ± 176.37a,x
738.00 ± 072.34a,x
799.50 ± 046.76a,x
Keterangan: Huruf superscript (a) yang sama pada kolom yang sama menyatakan tidak adanya
perbedaan nyata (p<0.05) antar tahap pengambilan sampel. Huruf superscript (x)
yang sama pada baris yang sama menyatakan tidak adanya perbedaan nyata
(p<0.05) antar kelompok pengamatan.
Data Sistol
Tekanan sistolik merupakan kejadian ketika ventrikel kiri berkontraksi dan
memompakkan darah ke dalam aorta sehingga aorta membesar dan tekanan
meningkat hingga nilai puncaknya (Cunningham dan Klein 2007). Rentang
normal nilai sistol untuk hewan model babi adalah 112‒139 mmHg (Cochran
12
2004) sedangkan untuk manusia 90‒120 mmHg (Kirov et al. 2005). Data sistol
(Tabel 5) menunjukkan tidak adanya perbedaan nyata secara signifikan pada
waktu pengambilan sampel dan jenis reusistasi yang diberikan.
Tabel 5 Rataan Sistol (mmHg)
Kelompok babi
Waktu Pengamatan
Awal
Sepsis
Renjatan sepsis
Resusitasi setelah 1 jam
Resusitasi setelah 3 jam
MGF 4%
119.26 ± 12.86a,x
117.56 ± 25.06a,x
103.00 ± 24.09a,x
105.88 ± 18.68a,x
100.50 ± 15.64a,x
RAM
119.51 ± 05.71a,x
112.76 ± 09.47a,x
107.88 ± 04.48a,x
106.93 ± 14.04a,x
106.50 ± 18.70a,x
Keterangan: Huruf superscript (a) yang sama pada kolom yang sama menyatakan tidak adanya
perbedaan nyata (p<0.05) antar tahap pengambilan sampel. Huruf superscript (x)
yang sama pada baris yang sama menyatakan tidak adanya perbedaan nyata
(p<0.05) antar kelompok pengamatan.
Data Diastol
Nilai tekanan aorta minimal sebelum ejeksi jantung berikutnya yang
disebut dengan tekanan diastolik (Cunningham dan Klein 2007). Rentang normal
nilai diastol untuk hewan model babi yaitu 72‒98 mmHg (Cochran 2004) dan
untuk manusia 60‒80 mmHg (Kirov et al. 2005). Data diastol pada Tabel 6
menunjukkan adanya perbedaan nyata yang berarti (p<0.05) pada waktu
pengamatan sampel namun tidak berbeda nyata pada jenis cairan resusitasi yang
diberikan. Nilai diastol pada pengamatan sepsis hingga pengamatan resusitasi
setelah tiga jam pada kelompok cairan koloid dan kristaloid menurun. Nilai
diastol pada kelompok koloid lebih rendah dibandingkan pada kelompok
kristaloid saat pengamatan setelah resusitasi satu jam dan tiga jam.
Tabel 6 Rataan Diastol (mmHg)
Waktu Pengamatan
Awal
Sepsis
Renjatan sepsis
Resusitasi setelah 1 jam
Resusitasi setelah 3 jam
Kelompok babi
MGF 4%
77.71 ± 13.98a,x
74.50 ± 21.19ab,x
51.57 ± 23.86b,x
42.56 ± 06.12b,x
41.25 ± 11.24b,x
RAM
76.20 ± 07.46a,x
62.98 ± 08.71ab,x
59.05 ± 15.14ab,x
57.58 ± 13.78ab,x
51.00 ± 19.41b,x
Keterangan: Huruf superscript (a, b) yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan adanya
perbedaan nyata (p<0.05) antar tahap pengambilan sampel darah. Huruf superscript
(x) yang sama pada baris yang sama menyatakan tidak adanya perbedaan nyata
(p<0.05) antar kelompok pengamatan.
13
Indeks Permeabilitas Vaskular Paru/ Pulmonary Vascular Permeability Index
Parameter PVPI memberikan informasi tentang rasio antara air di luar
pembuluh darah paru‒paru dan volume darah paru‒paru. Rasio ini merupakan
ukuran permeabilitas vaskuler paru. Indeks permeabilitas vaskular paru
didapatkan dari penghitungan extravascular lung water (EVLW) dibagi dengan
pulmonary blood volume (PBV). Rentang normal PVPI sebesar 1.00‒3.00 untuk
manusia. Nilai PVPI dapat membedakan antara edema paru karena ARDS (acute
respiratory distress syndrome) atau kerusakan paru lainnya (Kirov et al. 2005).
Data PVPI (Tabel 7) menunjukkan adanya perbedaan nyata pada waktu
pengamatan di kelompok koloid. Waktu pengamatan pada kelompok kristaloid
tidak menunjukkan perbedaan nyata. Pemberian cairan antara kelompok koloid
dan kristaloid tidak menunjukkan adanya perbedaan nyata.
Tabel 7 Rataan Indeks Permeabilitas Vaskular Paru
Waktu Pengamatan
Awal
Sepsis
Renjatan sepsis
Resusitasi setelah 1 jam
Resusitasi setelah 3 jam
Kelompok babi
MGF 4%
RAM
a,x
2.20 ± 0.58
3.35 ± 0.31a,x
ab,x
2.54 ± 0.94
3.19 ± 0.34a,x
b,x
3.64 ± 0.96
3.11 ± 0.89a,x
3.23 ± 0.52ab,x
3.43 ± 0.82a,x
b,x
3.45 ± 0.37
3.40 ± 0.90a,x
Keterangan: Huruf superscript (a, b) yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan adanya
perbedaan nyata (p<0.05) antar tahap pengambilan sampel darah. Huruf superscript
(x) yang sama pada baris yang sama menyatakan tidak adanya perbedaan nyata
(p<0.05) antar kelompok pengamatan.
Indeks Air Paru Ekstravaskular/Extravascular Lung Water Index
Parameter ELWI adalah parameter untuk mengetahui kadar air dalam
paru‒paru di luar pembuluh darah. Hal tersebut disesuaikan dengan perbedaan
antara jumlah ITTV dan ITBV dibagi dengan berat badan. ELWI menunjukkan
tingkat keparahan edema paru. Nilai normal ELWI babi yaitu 16.3 ± 5.2 mL/kg
(Lopez et al. 2006). Data ELWI (Tabel 8) menunjukkan adanya perbedaan nyata
(p<0.05) pada waktu pengambilan sampel dan jenis cairan resusitasi yang
diberikan. Peningkatan nilai ELWI terjadi pada pengamatan sepsis dan renjatan
sepsis kedua kelompok cairan. Penurunan nilai ELWI terjadi pada pengamatan
resusitasi setelah satu jam dan tiga jam kelompok cairan koloid. Nilai ELWI
kelompok cairan kristaloid meningkat pada pengamatan resusitasi setelah satu jam
dan tiga jam.
14
Tabel 8 Rataan Indeks Air Paru Ekstravaskular (mL/kg)
Waktu Pengamatan
Awal
Sepsis
Renjatan sepsis
Resusitasi setelah 1 jam
Resusitasi setelah 3 jam
Kelompok babi
MGF 4%
13.25 ± 2.50a,x
16.50 ± 2.65ab,x
20.65 ± 4.33b,x
17.10 ± 0.84b,x
16.75 ± 2.50ab,x
RAM
14.77 ± 4.31a,x
17.52 ± 3.55ab,x
20.88 ± 3.01b,x
21.83 ± 2.96b,x
22.00 ± 2.16b,y
Keterangan: Huruf superscript (a, b) yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan adanya
perbedaan nyata (p<0.05) antar tahap pengambilan sampel darah. Huruf superscript
(x,y) yang berbeda pada baris yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata
(p<0.05) antar kelompok pengamatan
Pembahasan umum
Parameter ELWI (p<0.05) dan PVPI menyatakan adanya perbedaan nyata.
Kedua parameter tersebut mengindikasikan adanya edema paru waktu perlakuan
sepsis dan renjatan sepsis. Edema paru pada kejadian sepsis menyebabkan
terganggunya fungsi paru-paru (Kirov et al. 2005). Peningkatan nilai ELWI
menandakan adanya air yang masuk ke dalam intersitial alveolar. Hal tersebut
diakibatkan adanya peningkatan permeabilitas (PVPI) yang diakibatkan oleh
adanya kerusakan endotel yang diperantarai oleh mediator inflamasi (Kirov et al.
2005).
Parameter CPI dapat digunakan sebagai tanda bahwa adanya gangguan pada
fungsi jantung. Hasil penelitian menunjukkan tidak adanya penurunan nilai CPI
yang berarti waktu pengamatan sepsis dan renjatan sepsis. Gad et al. (2003)
menyatakan bahwa penurunan nilai CPI merupakan salah satu parameter yang
dapat memperlihatkan adanya kerusakan jantung yang dapat disebabkan oleh
sepsis. Fungsi jantung tidak mengalami kerusakan yang besar dan dapat
melakukan kompensasi saat sepsis maupun renjatan sepsis. Kompensasi organ
jantung terjadi untuk memenuhi oksigen sistemik akibat edema paru. Edema paru
yang terjadi menyebabkan kebutuhan oksigen sistemik berkurang sehingga terjadi
kompensasi pada jantung.
Kerusakan pada salah satu ruang jantung atau sebagian jantung tidak akan
menurunkan parameter CPI secara signifikan karena parameter CPI menghitung
kekuatan jantung dari keempat ruang jantung (Kirov et al. 2005). Kerusakan
jantung waktu pengamatan sepsis dan renjatan sepsis tidak besar karena waktu
penelitian yang berlangsung hanya tiga jam. Priyantoro et al. (2010) menyatakan
bahwa terjadinya kerusakan fungsi jantung memerlukan waktu 24 jam. Gangguan
fungsi jantung karena adanya kerusakan miokardium yang ditunjukkan dengan
penurunan kontraktilitas ketika renjatan sepsis dan sepsis (Priyantoro et al. 2010).
Parameter fraksi ejeksi juga memainkan peranan penting ketika terjadi
kerusakan pada fungsi jantung. Penurunan fraksi ejeksi mengindikasikan renjatan
sepsis, kardiomiopati, disfungsi sistolik, disfungsi diastolik, atau kegagalan
jantung (Ashraf et al. 2012). Waktu pengamatan sepsis dan renjatan sepsis
seharusnya ada penurunan fraksi ejeksi yang disebabkan jantung masuk tahap
kardiomiopati atau kegagalan jantung. Hasil penelitian menunjukkan tidak
15
terjadinya penurunan parameter GEF secara nyata waktu pengamatan sepsis dan
renjatan sepsis. Namun paramater sistol dan diastol menunjukkan penurunan.
Hasil tersebut diduga akibat kerusakan jantung tidak berat sehingga jantung masih
memiliki kemampuan untuk melakukan kompensasi. Kompensasi tersebut
dikarenakan edema paru yang terjadi waktu pengamatan sepsis dan renjatan
sepsis.
Penyebab lainnya yang membuat penurunan nilai GEF tidak berbeda nyata
pada penelitian ini adalah parameter GEF dan waktu penelitian. Parameter GEF
mengukur seluruh fraksi ejeksi dari keempat ruang jantung (Kirov et al. 2005).
Adanya kerusakan pada salah satu ruang jantung tidak membuat penurunan GEF
signifikan. Waktu penelitian yang hanya tiga jam menyebabkan hasil penelitian
tidak sesuai dengan pernyataan dari Steel dan Webster (2001) yaitu fraksi ejeksi
waktu renjatan sepsis dapat menurun hingga 32% dalam waktu pengamatan 24
jam.
Parameter dPmx merupakan salah satu parameter yang dapat menunjukkan
adanya kerusakan pada fungsi jantung. Penurunan nilai dPmx ditandai dengan
terjadinya iskemia pada miokardium dan kegagalan fungsi jantung. Hasil
penelitian ini menunjukkan tidak adanya penurunan dPmx yang signifikan. Hal
tersebut diduga karena kerusakan miokardium ventrikel kiri belum cukup besar.
Penyebab lainnya adalah tidak terjadinya kegagalan fungsi jantung dan iskemia
miokardium pada penelitian ini. Waktu penelitian yang dilaksanakan selama tiga
jam menjadi salah satu penyebab parameter dPmx tidak mengalami penurunan
secara nyata. Menurut Priyantoro et al. (2010) dibutuhkan waktu hingga 24 jam
untuk terjadinya kerusakan miokardium.
Parameter sistol dapat menunjukkan adanya gangguan pada performa
jantung. Hasil penelitian ini menunjukkan tidak adanya penurunan paramter sistol
secara signifikan waktu pengamatan sepsis dan renjatan sepsis. Hal tersebut
berkorelasi dengan hasil penelitian Hunter dan Doddi (2010) yaitu tahap renjatan
sepsis ditandai dengan disfungsi sistolik. Disfungsi sistolik diakibatkan oleh
depresi miokardium yang diperantarai oleh ON (Priyantoro et al. 2010). Hasil
penelitian waktu pengamatan renjatan sepsis berkorelasi dengan hasil dari
pernyataan Nemzek et al. (2008) yaitu hewan model tidak menunjukkan disfungsi
sistolik pada tahap sepsis namun langsung terlihat pada tahap renjatan sepsis.
Parameter sistol tidak mengalami penurunan yang berarti karena kerusakan
miokardium tidak terlalu besar dan jantung masih melakukan kompensasi. Hal
tersebut dapat dilihat dari parameter CPI dan GEF yang tidak mengalami
penurunan yang berarti.
Renjatan sepsis ditandai juga dengan penurunan tekanan diastol pada
penelitian ini. Salah satu penyebab penurunan tekanan diastol adalah edema paru
(Ashraf et al. 2012). Menurut Priyantoro et al.(2010) diduga bahwa sepsis
menyebabkan edema paru karena peningkatan tekanan intratoraks dan
peningkatan tekanan ventilasi. Hasil penelitian ini dengan menggunakan PiCCO2®
memperlihatkan penyebab awal terjadinya edema pulmonum yaitu kerusakan
endotel vaskular paru. Temuan ini berkorelasi dengan nilai parameter PVPI
(p<0.05) dan ELWI (p<0.05) meningkat saat sepsis dan renjatan sepsis.
Kerusakan endotel inilah yang kemudian menimbulkan peningkatan tekanan
intratoraks dan tekanan ventilasi.
16
Hasil penelitian menunjukkan tidak adanya perbaikan pada organ jantung
setelah diberi resusistasi cairan koloid maupun kristaloid. Hal tersebut dapat
dilihat pada parameter CPI, GEF, dPmx, sistol, dan diastol. Namun pernyataan
dari Singh et al. (2009) yang menyatakan bahwa kristaloid dapat meningkatkan
kontraktilitas miokardium sehingga tidak terjadi hipovolumik dan titik kritis
teratasi. Pernyataan Smith (2014) menyatakan bahwa koloid dapat menurunkan
endoktoksin, menurunkan konsentrasi faktor inflamasi, dan menghindari
penurunan kontraktilitas miokardium. Pernyataan dari Singh et al. (2009) dan
Smith (2014) tidak memberikan hasil yang sama dengan hasil penelitian ini.
Namun hasil penelitian ini dikuatkan dengan pernyataan dari Koami et al. (2014),
yaitu pemberian resusitasi cairan tidak memperbaiki parameter peforma jantung.
Peningkatan parameter CPI pada kelompok kristaloid sebesar 0.92 ± 0.37
2
W/m tidak menandakan terjadinya perbaikan fungsi jantung. Hal tersebut
dikarenakan terjadi distensi abdominal pada salah satu anak babi selama
penelitian berlangsung. Distensi abdominal terjadi karena hasil fermentasi
makanan berupa gas tertahan di dalam ruang abdomen sehingga vaskular di
sekitar ruang abdomen tertekan. Hal tersebut mengakibatkan adanya penurunan
preload dan penurunan oksigen secara sistemik. Faktor tersebut menyebabkan
jantung melakukan kompensasi untuk memenuhi kebutuhan akan oksigen
sistemik. Hal yang sama terjadi pada parameter GEF pada kelompok kristaloid
waktu pengambilan data resusitasi setelah tiga jam terjadi peningkatan sebesar
44.25 ± 3.30 %. Jantung mengalami kompensasi dikarenakan edema yang terjadi.
Edema tersebut mengakibatkan penurunan preload yang dilanjutkan penurunan
pasokan oksigen. Edema pada kelompok kristaloid tetap meningkat walaupun
sudah diberikan resusitasi setelah tiga jam.
Penelitan ini menunjukkan terjadinya peningkatan nilai ELWI (p<0.05)pada
kelompok kristaloid setelah tiga jam. Kejadian ini disebabkan oleh molekul cairan
kristaloid kecil sehingga mudah keluar dari lumen vaskular dan meningkatkan
volume cairan pada ruang paru (Hahn et al. 2007). Akibatnya edema yang terjadi
diperparah karena pemberian cairan kristaloid saat terjadi renjatan sepsis. Faktor
yang memperparah peningkatan nilai ELWI adalah peningkatan permeabilitas
pembuluh darah paru (PVPI). Akibatnya cairan semakin mudah masuk ke ruang
paru.
Hasil penelitian ini menunjukkan penurunan nilai ELWI setelah diberikan
cairan koloid. Hal tersebut dikarenakan koloid bersifat onkotik yaitu dapat
menarik cairan ektravaskular kembali ke vaskular. Hal tersebut dikarenakan sifat
fisik koloid memiliki molekul yang besar sehingga tidak dapat melewati
pembuluh darah. Penurunan nilai ELWI (p<0.05) pada penelitian menandakan
renjatan sepsis dianggap dapat teratasi, namun tidak terjadi penurunan pada
parameter PVPI. Hasil penelitian diperkuat dengan pernyataan dari Verheij et al.
(2006) yang menyatakan bahwa adanya penurunan nilai ELWI dengan pemberian
cairan koloid.
17
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Gangguan pada peforma jantung akibat induksi LPS hanya terlihat pada
parameter diastol dan parameter sistol. Kerusakan organ paru akibat induksi LPS
terlihat secara nyata pada parameter ELWI dan PVPI. Edema paru yang terjadi
merupakan edema paru non cardiogenic karena tidak adanya kerusakan pada
kontraktilitas jantung. Resusitasi kristaloid tidak memberikan perbaikan organ
jantung maupun paru. Resusitasi koloid memiliki kecenderungan memperbaiki
organ paru namun tidak pada organ jantung.
Saran
Pemeriksaan terhadap sel darah putih, sel darah merah, gas darah, radiografi
dan parameter pada PICCO2® yang lain diperlukan untuk menentukkan keadaan
sepsis dan penanganan yang tepat.
DAFTAR PUSTAKA
Abraham E, Singer M. 2007. Mechanisms of Sepsis -Induced Organ Dysfunction
and Recovery. Berlin (DE): Springer-Verlag.
Ashraf AO, Nader ES, Mahmoud MR. 2012. Cardiac functions in patients with
sepsis and septic shock. Egypt Heart J. 64(4):191-196.
Carcillo JA, Fields AI. 2002 Clinical practice parameters for hemodynamic
support of pediatric and neonatal patients in septic syok. Crit Care Med.
30(6):1365‒1378.
Cochran PE. 2004. Laboratory Manual for Comparative Veterinary Anatomy and
Physiology. New York (US): Delmar Learning.
Cunningham JG, Klein BG. 2007. Text Book of Veterinary Physiology. Ed ke-4.
Missouri(US): Saunders.
Dewi R. 2015. Pengaruh cairan koloid atau kristaloid terhadap kejadian acute
respiratory distress sysndrome pada hewan coba Sus scrofa dengan sepsis
berat: Kajian pada extravascular lung water, IL‒8, dan VCAM‒1
[disertasi]. Jakarta (ID): Universitas Indonesia.
Gad C, Yaron M, Edo K, Olga M, Ylia N, Adam S, Ricardo K, Zvi V. 2003. The
role of cardiac power and systemic vascular resistance in the
pathophysiology and diagnosis of patients with acute congestive heart
failure. Eur J Heart Fail. 5(4):443‒451.
Hahn RG, Prough DS, Svensen CI. 2007. Perioperative Fluid Theraphy. Florida
(US): CRC Pr.
Hunter JD, Doddi M. 2010. Sepsis and the heart. Br J Anasth. 104(1):3‒11.
18
Kirov MY, Kuzkov VV, Bjertnaes LJ. 2005. Extravascular lung water in sepsis.
Intensive Care Med. 6:449-640
Koami H. 2014. The effects of polymyxin B‒immoblized fiber hemoperfusion on
respiratory impairment in endotoxemic pigs. J Nippon Med Sch.
81(3):130‒138.
Lopez HJ, Ruperez M, Sanchez C, Gracia C, Gracia E. 2006. Estimation of the
parameters of cardiac function and of blood volume by arterial
thermodilution in an infant animal model. Paediatr Anaesth. 16(6):635‒640.
Nemzek JA, Hugunin KMS, Opp MR. 2008. Modeling sepsis in the laboratory:
merging sound science with animal well‒being. Comp Med: 58(2):120‒128.
O'Brien JM, Ali NA, Aberegg SK, Abraham E. 2007. Sepsis. Am J Med.
120:1012‒1022.
Prather RS, Shen M, Dai Y. 2008. Genetically modified pigs for medicine and
agriculture. Biotechnol Genet Eng Rev. 25:245‒266.
Priyantoro K, Lardo S, Yuniadi Y. 2010. Cardiac Dysfunction due to sepsis. J
Kardiol Indones. 31:177‒186.
Rezania S, Amirmozaffari N, Tabarraei B, Jeddi-Tehrani M, Zarei O, Alizadeh R,
Masjedian F, Zahrani AH. 2011. Extraction, purification, and
characterization of lipopolysaccharide from eschericia coli and salmonella
typhi. Avicenna J Med Biotechnol. 3(1):3-9.
Rivers E, Ngunyen B, Havstad S, Ressler J, Muzzin A, Knoblich B, Peterson E,
Tomlanovich M. 2001. Early goal‒directed therapy in the treatment of
severe sepsis and septic shock. N Eng J Med. 345(14):1368‒1377.
Rudiger A, Singer M. 2012. The heart in sepsis: from basic mechanism to clinical
management. Curr Vasc Pharmacol. 11(2):187‒195.
Schortgen F, Deye N, Brochard L. 2004. Preferred plasma volume expanders for
critically ill patients: result of an international survey. Intensive Care Med.
30(12):222‒229.
Singh A, Carlin BW, Shade D, Kaplan PD. 2009. The use of hypertonic saline for
fluid resuscitation in sepsis. Crit care nurse Q. 32(1):10‒13.
Smith BP. 2014. Large Animal Internal Medicine. Ed‒5. Missouri (US): Elsivier.
Swindle MM. 2007. Swine in the Laboratory Surgery, Anesthesia, Imaging, and
Experimental Techiniques. Ed ke-2. Boca Boltan(US): CRC Pr.
Verheij J, Lingen AV, Raijmakers PGHM, Rijnbuerger ER, Veerman DP,
Wisselink W, Girbes ARJ, Groeneveld ABJ. 2006. Effect of fluid loading
with saline or colloids on pulmonary permeability, oedema and lung injury
score after cardiac and major vascular surgery. Br J Anaesth. 96(1):21-30.
Vincent JL. 2014. Annula Update in Intensive Care and Emergency Medicine
2014. London (UK): Springer.
19
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandung pada 9 Mei 1992 sebagai anak kedua dari tiga
bersaudara pasangan bapak Royhendra Santosa dan Ibu Mirjam Janita Maranata.
Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar pada tahun 2005 di SD Santo
Yosef I dan melanjutkan pendidikan menengah pertama di SMP Santa Angela
Bandung hingga lulus tahun 2008. Pada tahun 2011 Penulis berhasil
menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMA Santa Angela Bandung. Pada
tahun yang sama penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan pendidikan di
Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi
Negara (SNMPTN) dengan Mayor Kedokteran Hewan.
Selama menjadi mahasiswa, penulis tergabung dalam beberapa organisasi.
Adapun organisasi yang diikuti yaitu UKM Badminton IPB (2011), Himpunan
Minat dan Profesi Satwa Liar sebagai kepala divisi infokom (2014). Penulis juga
mengikuti magang profesi dan beberapa kepanitiaan kegiatan kampus FKH IPB.
Download