i EVALUASI PERFORMA KARDIOPULMONARI TERAPI RESUSITASI CAIRAN PADA ANAK BABI (Sus scrofa) SEPSIS CERELIA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015 ii iii PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Evaluasi Performa Kardiopulmonari Terapi Resusitasi Cairan pada Anak Babi (Sus scrofa) Sepsis adalah benar karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2015 Cerelia NRP B04110146 iv ABSTRAK CERELIA. Evaluasi Performa Kardiopulmonari Terapi Resusitasi Cairan pada Anak Babi (Sus scrofa) Sepsis. Dibimbing oleh GUNANTI dan RIKI SISWANDI. Renjatan sepsis merupakan sindrom respon penyakit inflamasi secara sistemik yang diikuti dengan kerusakan organ tubuh seperti jantung dan paru‒paru. Tujuan dari penelitan ini mengevaluasi pengaruh peforma kardiopulmonari terhadap sepsis dan setelah pemberian resusitasi cairan koloid (modified fluid gelatin 4%) dan kristaloid (ringer asetat malat). Setiap perlakuan terdiri atas 4 ekor anak babi. Induksi sepsis dilakukan melalui injeksi lipopolisakarida sebesar 50 ug/kg berat badan. Parameter yang diamati untuk performa jantung adalah cardiac power index (CPI), global ejection fraction (GEF), left ventricular contractility (dPmx), sistol dan diastol. Parameter yang diamati pada performa paru‒paru terdiri dari extravascular lung water index (ELWI) dan pulmonary vascular permeablility index (PVPI). Penurunan nilai parameter sistol dan diastol mengindikasikan adanya gangguan peforma jantung. Peningkatan nilai parameter PVPI dan ELWI menunjukkan adanya edema paru non kardiogenik. Cairan kristaloid maupun cairan koloid tidak memberikan perbaikan pada peforma jantung. Cairan koloid memberikan perbaikan pada peforma paru namun tidak pada cairan kristaloid. Kata kunci: induksi sepsis,performa jantung, performa paru, resusitasi cairan v ABSTRACT CERELIA. Evaluation of Cardiopulmonary Performance Fluid Resucitation Therapy in Sepsis's Piglets (Sus Scrofa). Suppervised by GUNANTI and RIKI SISWANDI. Septic shock is a sistemic inflamatory response syndrome followed by organ failure such as cardiac and pulmonary failures. The aim of this study was to evaluate the effect of cardiopulmonary performance towards sepsis and after fluid resucitation. Treatment groups were divided into colloid resucitation (modified fluid gelatin 4%) and crystalloid resucitation (ringer asetate malate). Each treatment were consist of 4 pigglets. Lipopolisacaride 50 ug/kg of body weight was given to induce sepsis in the piglets. Parameter of observation were cardiac peformance and pulmonary peformance. Observeable cardiac performance were cardiac power index (CPI), global ejection fraction (GEF), left ventricular contractility (dPmx), systole and diastole. Observeable pulmonary peformance were extravascular lung water index (ELWI) and pulmonary vascular permeablility index (PVPI). The decreasing of systole and diastole value indicates that were disturbance on cardiac performances. The increasing in PVPI and ELWI indicated the occurence of non‒cardiogenic pulmonary edema. Neither Crystalloid nor colloid fluid did repair the cardiac performance. Colloid fluid however was found able to improve the pulmonary peformance but this does not happen with crystalloid fluid. Keywords: cardiac peformance, induced sepsis, pulmonary performance, fluid resucitation vi vii EVALUASI PERFORMA KARDIOPULMONARI TERAPI RESUSITASI CAIRAN PADA ANAK BABI (Sus scrofa) SEPSIS CERELIA Skripsi Penelitian sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015 viii Judu1 Skripsi Nama NIM Eva1uasi Pefonna Kardiopu1monari Terapi Cairan pada Anak Babi (Sus scrofa) Sepsis Cerelia 804110146 Resusitasi Disetujui o1eh Dr Drh Gunanti, MS Pembimbing I Tanggal Lulus: 1 6 SEP 2015 Drh Riki Siswandi, MSi Pembimt ing II x PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala nikmat dan karunia‒Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi penelitian. Judul penelitian yang akan dilaksanakan adalah “Evaluasi Peforma Kardiopulmonari Terapi Resusitasi Cairan pada Anak Babi (Sus scrofa) Sepsis”. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian payung untuk disertasi dr. Rismala Dewi, SpA(K) yang dipromotor oleh Dr Drh Gunanti, MS. Adapun penyusunan skripsi penelitian ini dilakukan sebagai salah satu syarat melakukan kelulusan sarjana tingkat satu kedokteran hewan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr Drh Gunanti, MS selaku pembimbing I dan Drh Riki Siswandi, MSi selaku pembimbing II. Terima kasih kepada Drh Abdul Zahid Ilyas, MSi selaku pembimbing akademik atas nasihat dan bimbingan selama kuliah di Fakultas Kedokteran Hewan, dr. Rismala Dewi, SpA(K) atas kerjasama dan nasihat selama penelitian. Terima kasih juga kepada staff bedah Pak Kosasih, dan Pak Katim atas bantuan dan kerjasama selama penelitian berlangsung. Terima kasih Abhi, Ega, Rina, Willa, Cindi dan Bagus yang merupakan teman seperjuangan penelitian atas kerjasama dan masukkan selama penelitian. Terima kasih juga pada teman-teman (Irene, Tania, Fleury, dan Intan) yang membantu dalam menyelesaikan penulisan skirpsi. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua penulis, Ibu Mirjam Janita Maranata dan Bapak Royhendra Santosa (Alm.), keluarga serta teman‒teman atas segala doa dan dukungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi penelitian dengan baik. Bogor, September 2015 Cerelia xi DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Sepsis Sus scrofa Lipopolisakarida Eschericia coli (E. coli) Pulse Continuous Cardiac Output/ PiCCO2 Cairan Kristaloid dan Koloid METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Penelitian Tahap Persiapan Adaptasi Hewan Tahap Pengamatan Variabel yang Diamati Analisa Data HASIL DAN PEMBAHASAN Indeks Kekuatan Jantung/ Cardiac Power Index Fraksi Ejeksi Global/ Global Ejection Fraction Indeks kontraktilitas ventrikel kiri/ Left Ventricular Contractility Index Data Sistol Data Diastol Indeks Permeabilitas Vaskular Paru/ Pulmonary Vascular Permeability Index Indeks Air Paru Ekstravaskular/Extravascular Lung Water Index Pembahasan umum SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA RIWAYAT HIDUP xii xii 1 2 2 2 2 2 3 3 4 6 6 6 7 7 8 8 9 10 10 10 10 11 11 12 13 13 14 17 17 17 17 19 xii DAFTAR TABEL 1. Penghitungan parameter pada alat PiCCO2 2. Rataan Indeks Kekuatan Jantung (W/m2) 3. Rataan Fraksi Ejeksi Global (%) 4. Rataan dPmx ‒Indeks kontraktilitas ventrikel kiri (mmHg/s) 5. Rataan Sistol (mmHg) 6. Rataan Diastol (mmHg) 7. Rataan Indeks Permeabilitas Vaskular Paru 8. Rataan Indeks Air Paru Ekstravaskular (mL/kg) 5 10 11 11 12 12 13 13 DAFTAR GAMBAR 1. Skematik perjalanan infeksi 2. Anak babi (Sus scrofa) 3. Grafik mengenai mean transit time dan down slope time 4. Persamaan rumus Stewart‒Hamilton 5. Alat PiCCO2 6. Alur pengambilan parameter performa jantung dan fungsi organ 2 3 4 5 7 9 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sepsis merupakan keadaan darah mengandung bakteri atau bakteremia dan mengalami sindrom respons inflamasi sistemik (systemic inflammatory response syndrome; SIRS). Lipopolisakarida (LPS) merupakan penyebab sepsis. Lipopolisakarida yang masuk dalam sistem peredaraan darah tubuh akan memicu munculnya mediator inflamasi yang bersifat kardiotosik. Hal tersebut dapat menyebabkan sepsis serta depresi fungsi pompa jantung berupa disfungsi sistolik dan diastolik. Keadaan disfungsi sistolik dan disfungsi diastolik ditandai dengan adanya gangguan kontraktilitas ventrikel kanan dan kiri serta gangguan kepatuhan ventrikel. Gangguan pada kepatuhan ventrikel menyebabkan penurunan sistem pompa (fraksi ejeksi) jantung sistemik dan indeks kerja jantung kiri. Depresi fungsi jantung pada keadaan sepsis menyebabkan prognosis yang buruk bagi pasien yang sedang dirawat di rumah sakit (Priyantoro et al. 2010). Dewi (2015) menyatakan persentase pasien anak yang mengalami sepsis adalah 19.3%. Sebanyak 54% dari jumlah pasien yang mengalami sepsis meninggal selama dilakukan perawatan. Priyantoro et al. (2010) menyatakan angka mortalitas yang sangat tinggi dikarenakan sepsis berat yang berlanjut menjadi renjatan sepsis. Sistem kardiovaskular dan sistem respirasi merupakan sistem yang paling sering terganggu pada keadaan sepsis dan renjatan sepsis hingga menyebabkan kematian. Swindle (2007) menyatakan babi dapat digunakan untuk menggambarkan patofisiologi penyakit pada manusia karena memiliki kesamaan sturktur anatomi dan fisiologis pada manusia. Babi dapat menjadi hewan model pada penyakit sepsis karena memperlihatkan perjalanan penyakit dan mekanisme terapinya (Nemzek et al. 2008). Penanganan awal terhadap renjatan sepsis disebut early goal theraphy/ terapi awal yang terarah. Tujuan terapi awal yang terarah yaitu menyesuaikan preload dan afterload dengan sistem kontraksi jantung sehingga terbentuk keseimbangan pengiriman oksigen secara sistemik. Penanganan tersebut dilakukan hingga titik akhir renjatan sepsis atau hingga angka parameter mencapai yang ditargetkan. Parameter yang harus dipertahankan berupa central venosus pressure (CVP) 8‒12 mmHg dan saturasi vena cava superrior (ScvO2) ≥ 70% (Rivers et al. 2001). Resusitasi cairan yang sering digunakan pada penanganan awal yang terarah yaitu kristaloid dan koloid. Pemberian cairan kristaloid, koloid, atau kombinasi dari kedua cairan tersebut ditentukan berdasarkan lokasi kekurangan cairan terjadi (ekstra/ intra/ inter seluler). Perbaikan fungsi jantung yang berarti belum ditemukan pada penggunaan kedua resusitasi cairan ini. Perbedaan penggunaan cairan plasma antara kristaloid dan koloid masih menjadi isu yang diperdebatkan (Carcillo dan Fields 2002). 2 Perumusan Masalah Dengan latar belakang di atas, masalah penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut: 1) Apakah tahapan induksi sepsis yang dilakukan mempengaruhi peforma paru dan jantung? 2) Apakah resusitasi dengan cairan yang berbeda mempengaruhi peforma paru dan jantung? Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi peforma jantung dan paru pada saat sepsis, renjatan sepsis dan setelah pemberian cairan pada kelompok babi menggunakan cairan koloid (modified fluid gelatin 4%/ MGF 4%) dengan kelompok babi yang menggunakan cairan kristaloid (ringer asetat malat/ RAM). Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran gejala klinis pada anak babi yang menderita sepsis yang disebabkan oleh LPS. Penelitian ini juga diharapkan mampu mengevaluasi pengaruh cairan koloid (MGF 4%) dan kristaloid (RAM) pada kejadian sepsis dengan hewan model anak babi terhadap gejala klinis yang teramati. TINJAUAN PUSTAKA Sepsis Sindrom respons inflamasi sistemik merupakan kumpulan manifestasi klinis terhadap proses inflamasi akibat infeksi. Penyebab yang sering terjadi yaitu sepsis terinfeksi oleh bakteri terutama bakteri Gram negatif. Bakteri Gram negatif yang masuk ke dalam tubuh akan mati dan mengeluarkan toksin atau endotoksin. Endotoksin tersebut menjadi pemicu adanya reaksi radang (sitokin). Sitokin yang dihasilkan dalam jumlah besar menyebabkan respon sistemik. Respon tersebut mempengaruhi kinerja organ tubuh diantaranya jantung, paru-paru, hati, ginjal, dan usus. Keadaan tersebut disebut sebagai multi organ disfunction/ MOD. Setelah tubuh mengalami MOD maka dilanjutkan dengan renjatan sepsis, serta kematian. Infeksi SIRS Sepsis Renjatan sepsis Gambar 1 Skematik perjalanan infeksi Sepsis berat 3 Gambar 1 menunjukkan istilah sepsis yang digunakan berhubungan dengan kondisi tubuh. Sepsis berat adalah keadaan klinis yang disertai dengan adanya disfungsi organ dan hipoperfusi (hipotensi). Kelainan hipoperfusi pada sepsis berat ditandai oleh asidosis laktat, oliguria atau perubahan status mental (Priyantoro et al. 2010). Renjatan sepsis adalah sepsis yang disertai disfungsi organ kardiovaskular, ditemukan saat takikardia dengan penurunan perfusi, pemanjangan waktu pengisian kapiler, ekstremitas dingin, serta penurunan jumlah urin (O'Brien et al. 2007). Rudiger dan Singer (2012), menyatakan bahwa penelitian mengenai patofisiologi sepsis dengan menggunakan hewan coba didapatkan adanya agen yang bersifat kardiotoksik dalam darah. Agen kardiotoksik tersebut merupakan faktor penting dalam terjadinya depresi fungsi jantung pada keadaan sepsis. Priyantoro et al. (2010) menyatakan bahwa agen kardiotosik meliputi (interleukin) IL–1, IL–8, protein komplemen (C3a), endotoksin (LPS), sitokin (IL–1, IL–6, TNF–α), endothelin–1 (ET–1), oksida nitrat (ON), prostanoid (tromboksan dan prostasiklin), dan molekul adhesi (intercellular adhesion molecule‒1 & vascular cell adhesion molecule‒1). Sus scrofa Babi memiliki stuktur anatomi dan fisiologi yang dapat dianalogikan dengan manusia. Sistem koroner babi menunjukkan kesamaan hampir 90% dengan manusia. Secara hemodinamik, babi menunjukkan persamaan dengan manusia dalam hal fungsi jantung. Anatomi jantung babi mempunyai persamaan dengan jantung manusia kecuali ketiak aliran darah masuk vena azygous kiri (hemiazygous) keluar pembuluh darah interkostal kemudian masuk ke sinus koronarius. (Swindle 2007). Kisaran frekuensi jantung babi yang normal antara 70 sampai 120 detak per menit (Cochran 2004). Babi menjadi bagian penting dalam penelitian biomedis. Babi merupakan model yang sangat baik untuk penyakit kardiovaskular, aterosklerosis, farmakologi kulit, perbaikan luka, kanker, diabetes, studi oftalmologi, dan penelitian toksikologi (Prather et al. 2008). Gambar 2 Anak babi (Sus scrofa) Lipopolisakarida Eschericia coli (E. coli) Bakteri Gram negatif memiliki tiga lapisan dinding sel yaitu membran luar, periplasma, dan membran dalam. Lipopolisakarida merupakan komponen utama 4 membran terluar dari bakteri Gram negatif seperti Escherichia coli dan berperan sebagai endotoksin. Struktur dasar LPS terdiri dari lipid A, antigen O, dan inti oligosakarida. Lipid A merupakan bagian LPS yang bersifat toksik, pada gugus fosfat pada posisi C1 dan C4 menentukan toksisitasnya. Antigen O merupakan polimer hasil dari pengulangan oligosakarida. Fungsi dari Antigen O adalah membedakan antar spesies dan serologi spesifik bakteri (Rezania et al. 2011). Lipopolisakarida yang diinjeksi ke dalam tubuh dapat mengaktifkan sistem imun humoral dan selular sehingga timbul respon inflamasi secara sistemik. Lipopolisakarida akan berikatan dengan LPS binding protein. Interaksi tersebut berikatan dengan CD-14 yang merupakan reseptor makrofag melalui jalur TLR4 ( toll-like receptor). CD-14 memberi tanda pada makrofag untuk memfagositosis kompleks tersebut. Hasil dari fagositosis oleh makrofag menginisiasi munculnya mediator inflamasi seperti IL-1, TNF-α, IL-2, dan IFN. Mediator inflamasi IL-1 dan TNF-α menyebabkan leukocytemolecular activation pada endotel pembuluh darah. Hal tersebut menginisiasi keluarnya mediator inflmasi yang kedua yaitu ON, IL-6, IL-8 dan IL-10. Mediator inflamasi ini menyebabkan vasodilatasi, kebocoran kapiler, kerusakan endotel, hipotensi, perfusi organ, dan kematian sel (Abraham dan Singer 2007). Pulse Continuous Cardiac Output/ PiCCO2 Alat untuk memonitor hemodinamika kerja jantung dan paru‒paru adalah Pulse continuous cardiac output (PiCCO2®). Metode thermodilution transpulmonary berdasarkan hukum Stewart‒Hamilton merupakan metode yang digunakan pada alat PiCCO2®. Parameter yang didapatkan dari medode StewartHamilton adalah cardiac output/ CO, intra thoracal thermal volume/ ITTV, global end diastolic volume/ GEDV, intrathoracic blood volume/ ITBV, dan extravascular lung water/ EVLW (Vincent 2014). Gambar 3 Grafik mean transit time dan down slope time (Vincent 2014) Gambar 3 menunjukkan kurva termodilusi yang akan digunakan pada metode Stewart-Hamilton untuk menghitung CO. Penghitungan CO didapatkan dengan mengukur perbedaan suhu NaCl yang beredar pada atrium kanan menuju 5 ventrikel kiri yang diukur di arteri femoral kiri. Dasar dari persamaan ini adalah laju aliran darah berbanding terbalik dengan perubahan suhu terhadap waktu. Hal tersebut menyebabkan penurunan suhu berbanding terbalik dengan peningkatan CO. Total volume NaCl saat dipompakan dan dideteksi oleh indikator dipresentasikan oleh mean transit time. Pencampuran individual terbesar di ruang indikator dilusi dipresentasikan oleh down slope time (Vincent 2014) V x Tb − Ti K1 x K2 Tb t dt Gambar 4 Persamaan rumus Stewart‒Hamilton (Vincent 2014) Q= Persamaan rumus (Gambar 4) menyatakan cara mendapatkan cardiac output (Q) dengan metode termodilusi. Volume NaCl (V) dengan suhu yang dingin (Ti) dimasukkan ke dalam aorta descendens. Suhu darah (Tb) bercampur dengan suhu yang diinjeksikan diukur hingga mencapai indikator (Tb(t) dt). Konstanta (K1 dan K2) yang dibutuhkan untuk mengoreksi perubahan suhu darah pada tiap individu (Vincent 2014). Penjelasan dan penghitungan dari Tabel 1 ditunjukkan sebagai berikut. Volume NaCl yang didistribusi dari indikator termal menggambarkan volume intra torakal (intra thoracal thermal volume; ITTV). Total volume ITTV mencerminkan jumlah volume dari empat ruang jantung, dan volume pada paru‒paru. Volume termal pulmonaris (pulmonary thermal volume; PTV) menggambarkan dalam volume pada ruang paru‒paru. Total volume PTV yang diukur terdiri dari volume intravscular, intestinal dan alveolar pada paru‒paru. Volume keseluruhan akhir diastolik (global end diastolic volume; GEDV) adalah kombinasi dari volume semua ruang jantung pada akhir diastolik. Parameter GEDV digunakan untuk estimasi preload. Parameter EVLW diukur dari perbedaan antara distribusi indikator termal di dalam dada (ITTV) dan volume darah dalam thoraks. Parameter ini mengukur cairan dalam ruang antar intestinal dan alveol dan mengukur adanya edema paru. Parameter ITBV merupakan jumlah volume darah yang mengalir pada ruang toraks, empat ruang jantung, dan pembuluh darah paru‒paru. Nilai ITBV secara konstan lebih tinggi dari nilai GEDV sebesar 25% sehingga didapatkan penghitungan yang ditunjukkan pada Tabel 1. Parameter PVPI merupakan rasio EVLW terhadap PTV. Parameter PVPI mencerminkan tingkatan hambatan permeabilitas kapiler pada paru‒paru (Vincent 2014). Tabel 1 Penghitungan parameter pada alat PiCCO2® Indikator ITTV PTV GEDV ITBV EVLW PVPI Rumus CO × MTt dari indikator termal CO × DSt (eskponensial waktu luruh dari kurva termodilusi) ITTV‒PTV 1,25 × GEDV ITTV – ITBV EVLW/ PTV (Vincent 2014) 6 Cairan Kristaloid dan Koloid Jenis cairan yang sering digunakan pada renjatan sepsis adalah kristaloid dan koloid. Pembagian jenis cairan ini didasarkan pada kemampuan larutan melalui membran. Cairan kristaloid digunakan untuk mempertahankan dan mengganti volume cairan ektraseluler, sedangkan cairan koloid digunakan untuk mengganti volume cairan intravaskuler. Cara penggunaan kedua jenis larutan plasma masih menjadi kontroversi (Schortgen et al. 2004). Kristaloid Larutan kristaloid mengandung elektrolit atau dekstrosa dan bersifat isotonis. Pemberian kristaloid perlu dilakukan dalam volume lebih banyak dibandingkan volume darah yang hilang. Waktu paruh intravaskular kristaloid yaitu 20 sampai 30 menit. Cairan kristaloid akan keluar dari intravaskular masuk ke interstital dalam waktu 30 sampai 60 menit dan akan keluar sebagai urin dalam waktu 24 sampai 48 jam (Hanh et al. 2007). Keuntungan kristaloid adalah mudah didapat, murah, dan efek samping minimal sehingga sering digunakan untuk terapi yang membutuhkan cairan intravaskular (renjatan hipovolumik). Kristaloid tidak memberikan reaksi radang terhadap pasien yang menerimanya. Kerugian dari pemakaian kristaloid adalah edema ekstrasel dengan efek yang paling mudah dilihat berupa edema paru‒paru (Hanh et al. 2007). Koloid Koloid merupakan cairan resusitasi yang sering digunakan pada kasus renjatan hipovolumik akibat hemoragi. Koloid dapat menggantikan volume darah yang hilang. Larutan koloid yang sering digunakan adalah dekstran, pati hidroksi etil, gelatin, dan albumin. Koloid memiliki ukuran partikel 1 sampai 500 nm (Rivers et al. 2001). Larutan koloid juga digunakan sebagai pengisi cairan intravaskular. Keuntungan dari cairan koloid adalah lebih bertahan lama pada intravaskular dengan waktu paruh 3 sampai 6 jam. Kerugian larutan koloid yaitu harga yang lebih mahal dari kristaloid, dan menyebabkan reaksi anafilaksis (Hahn et al. 2007). METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian berlangsung dari tanggal 6 Juni sampai dengan 11 Juli 2014. Operasi hewan dilakukan di Laboratorium Bedah Divisi Bedah dan Radiologi Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi. Pemeliharaan hewan dilakukan di kandang ruminansia kecil Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. 7 Bahan dan Alat Penelitian Penelitian ini menggunakan delapan ekor hewan model berupa anak babi (Sus scrofa) dengan kriteria berumur 2 sampai 3 bulan dan berat badan sekitar 8 sampai 13 kg. Jenis kelamin hewan model yang dipakai adalah jantan dan betina. Pengendalian secara kimia menggunakan preparat xylazine 2% (Ilium Xylazil100®, Ilium) dan ketamin 10% (Ketamil®, Ilium). Preparat pengendalian kimia per inhalasi yang digunakan adalah isofluran (Aerrane®, Baxter). Atropin sulfat (Atropine®, Ethica) diberikan sebagai premedikasi. Lipopolisakarida E. coli sebagai agen pembuat sepsis diberikan dengan rute intravena. Cairan infus yang digunakan adalah NaCl 0.9% (Ecosol NaCl®, B.Braun). Cairan kristaloid RAM (Ringerfundin®, B.Braun) dan koloid MGF 4% (Gelofusin®, B.Braun) digunakan sebagai cairan resusitasi. Kalium Klorida (KCl 7.46®, Otsuka) digunakan sebagai agen eutanasia. Benang jahit yang digunakan berupa silk dan polypropilen. Pengambilan data vital hewan model (suhu tubuh, frekuensi pernapasan, dan frekuensi jantung) dilakukan dengan menggunakan stetoskop, termometer digital dan pulse oxymetri yang dipasang pada ekor hewan model. Alat yang digunakan selama penelitian adalah seperangkat alat bedah minor, laryngoscope, endotracheal tube dengan diameter 6 sampai 7 mm, infus set, suction pump, iv cath, jarum bulat tumpul, three way stop cock, syringe dengan volume 1mL, 3mL, dan 25 mL, mesin anestesi, tabung oksigen, kateter vena sentral (Certolix®, B.Braun) dan anestesi syringe pump. Seperangkat alat monitoring hemodinamika (PiCCO2®, PULSION Medical Systems) digunakan untuk pengambilan data fisiologi tubuh pasien secara real time. Gambar 5 Alat PiCCO2® Tahap Persiapan Hewan digunakan dalam penelitian sudah dinyatakan sehat oleh dokter hewan. Kriteria babi yang sehat dapat dilihat pada pemeriksaan radiografi, laboratorium kimia darah, dan keberadaan telur cacing. Kelompok hewan model dibagi dua berdasarkan cairan resusitasi yang diberikan. Setiap kelompok terdiri dari 4 ekor hewan model. Kelompok pertama diterapi dengan cairan koloid (MGF4%), sedangkan kelompok lainnya diterapi dengan cairan kristaloid (RAM). Penelitian ini dilakukan dengan persetujuan Etik dari Komisi Etik Hewan FKH IPB No. FRM/FKH/000‒78. 8 Adaptasi Hewan Adaptasi hewan dilakukan dalam lingkungan dan pakan baru untuk membiasakan hewan selama 7 hari. Hewan diberi pakan pada pagi dan sore hari serta diberikan minum ad libitum. Kandang hewan dibersihkan pada pagi dan sore hari. Kandang hewan didesinfekasikan setiap tiga hari. Hewan model menjalani penapisan sebelum penelitian yang meliputi pemeriksaan fisik dan radiologi. Hewan yang memperlihatkan gejala batuk, diberi antibiotik enrofloxacin (Roxine®, Sanbe Farma) secara parenteral melalui intramuskuler (IM). Semua hewan model diberi anthelmintik oxfendazole (Vermo-O®, Sanbe Farma) secara per oral. Hewan yang dipakai dalam penelitian ditimbang terlebih dahulu karena hanya hewan yang memiliki kriteria berat badan yang sesuai dengan prosedur penelitian yang digunakan. Tahap Pengamatan Tahap persiapan meliputi hewan model dimandikan dengan antiseptik dan alat yang akan digunakan dalam penelitian disterilisasi. Hewan model diberi perlakukan penapisan berupa pemeriksaan fisik, kimiawi darah, keberadaan telur cacing, dan radiografi. Tahap preparasi diawali dengan penginduksian hewan model menggunakan kombinasi ketamin 10% dan xylazine 2% secara IM sebelum pengamatan. Hewan model yang sudah masuk tahap anestesi lalu dibawa ke meja operasi. Tahap selanjutnya adalah pemasangan alat sensor saturasi dan pemasangan infus NaCl 0.9% pada vena auricularis. Atropin 0.25 mg/mL diberikan pada akses vakular sebagai tahap premedikasi. Hewan model selanjutnya direstrain fisik dengan posisi ventrodorsal menggunakan simpul tomfool. Hewan model kemudian dianestesi perinhalasi. Hewan model yang dinyatakan telah teranestesi total dipasang endotracheal tube ke dalam laringnya. Masa anestesi diperpanjang menggunakan ketamin via intravena melalui kateter yang dipasang pada alat syringe pump. Tahap selanjutnya adalah tahap operasi pemasangan kateter untuk sensor alat PiCCO2®. Alat kateter merupakan tempat menginduksi LPS, injeksi NaCl dingin (8 oC), cairan resusitasi, dan preparat anestesikum. Alat kateter sensor dipasang pada arteri femoralis dan vena cava cranialis. Jalur vaskular vena cava cranialis didapatkan dengan menguakkan otot-otot pada daerah medial femoral kiri. Jalur vaskular arteri femoralis didapatkan dengan menguakkan otot-otot pada medial cervical kanan. Cairan antiseptik dan sterile water diberikan pada kedua daerah penguakan tersebut sebelum tahap operasi. Tahap pengambilan data dilakukan setelah kateter sudah terpasang dan dihubungkan dengan alat PiCCO2®. Pemasukkan bolus NaCl dingin (8 oC ) melalui kateter diperlukan untuk menampilkan data pada alat PiCCO2®. Parameter dicatat yaitu cardiac power index (CPI), global ejection fraction (GEF), left ventricular contractility (dPmx), sistol, diastol, pulmonary vascular permeability index (PVPI) dan ELWI. Data tersebut merupakan data awal penelitian. Tahap sepsis dilakukan dengan menginduksi LPS dengan dosis 50 µg/kg BB melalui kateter venosus sentral. Tanda sepsis ditandai adanya dengan 9 munculnya demam (hipotermia/ hipetermia), takikardia, dan takipnea. Pengamatan lanjutan dilakukan jika dua dari tanda sepsis muncul. Renjatan sepsis ditandai dengan adanya penurunan tekanan darah, denyut nadi yang meningkat dan nilai intrathoracic blood volume index (ITBVI) < 850 mL/m2 dan EVLW > 10 mL/kg BB. Dua kelompok hewan model yang telah memasuki tahap renjatan sepsis diberi resusitasi cairan (MGF 4% atau RAM dengan dosis 20 mL/kg BB). Pengambilan data dilakukan pada waktu satu jam dan tiga jam setelah resusitasi cairan. Setelah semua data diperoleh hewan model dilakukan eutanasia dengan memasukan Kalium Klorida (KCl) sebanyak 20 mL dengan dosis 1-2 meq/kg intravena dengan hewan model tetap dalam keadaan teranestesi. Anestesi Data awal dari PiCCO2® Induksi endotoksin Tanda sepsis Data sepsis dari PiCCO2® Tanda renjatan sepsis Data renjatan sepsis dari PiCCO2® Kelompok koloid Kelompok kristaloid Cairan koloid (MFG 4%) Cairan kristaloid (RAM) 1 jam setelah resusitasi diberikan 3 jam setelah resusitasi diberikan Data resusitasi setelah satu jam dari PiCCO2® Data resusitasi setelah tiga jam dari PiCCO2® Gambar 6 Alur pengambilan parameter performa jantung dan fungsi organ Variabel yang Diamati Variabel yang diamati berupa kontraktilitas jantung yang terdiri dari CPI, GEF, dPmx, sistol, dan diastol. Variabel untuk pengamatan edema di organ paruparu terdiri dari ELWI dan PVPI. 10 Analisa Data Data yang diperoleh dinyatakan dalam rataan dan simpangan baku. Data diolah menggunakan SPSS 21 dan Microsoft Excel 2007. Perbedaan antara pengamatan inter kelompok dan antar kelompok dianalisis menggunakan analisis ragam atau ANOVA/ analyze of variant kemudian dilanjutkan dengan Duncan pada selang kepercayaan 95%. HASIL DAN PEMBAHASAN Indeks Kekuatan Jantung/ Cardiac Power Index Parameter CPI merupakan parameter untuk mengetahui kontraktilitas jantung. Parameter CPI didapatkan dari pembagian kekuatan keluaran jantung dibagi dengan luas area tubuh. Parameter indeks kekuatan jantung dan GEF memiliki kemiripan yaitu mengukur kontraktilitas ventrikel kanan dan kiri. Kisaran normal indeks kekuatan jantung untuk manusia 0.5‒0.7 W/m2 (Kirov et al. 2005). Data CPI pada Tabel 2 menunjukkan tidak adanya perbedaan nyata antar waktu pengamatan dan kelompok pemberian cairan. Tabel 2 Rataan Indeks Kekuatan Jantung (W/m2) Waktu Pengamatan Awal Sepsis Renjatan sepsis Resusitasi setelah 1 jam Resusitasi setelah 3 jam Kelompok babi MGF 4% 0.69 ± 0.18a,x 0.78 ± 0.25a,x 0.55 ± 0.26a,x 0.53 ± 0.13a,x 0.58 ± 0.29a,x RAM 0.74 ± 0.32a,x 0.75 ± 0.24a,x 0.66 ± 0.37a,x 0.75 ± 0.50a,x 0.92 ± 0.37a,x Keterangan: Huruf superscript (a) yang sama pada kolom yang sama menyatakan tidak adanya perbedaan nyata (p<0.05) antar tahap pengambilan sampel. Huruf superscript (x) yang sama pada baris yang sama menyatakan tidak adanya perbedaan nyata (p<0.05) antar kelompok pengamatan. Fraksi Ejeksi Global/ Global Ejection Fraction Fraksi ejeksi merupakan persentase darah yang dikeluarkan dari ventrikel saat sistol. Fraksi ejeksi berkorelasi dengan total volume diastolik akhir. Kirov et al. (2005) menyatakan bahwa parameter GEF merupakan parameter untuk mengukur kontraktilitas miokardium secara global. Nilai fraksi ejeksi global didapatkan dari hasil empat kali stroke volume dibagi total GEDV volume preload. Rentang normal fraksi ejeksi global untuk manusia sebesar 25‒35% (Kirov et al. 2005). Data GEF (Tabel 3) menunjukkan tidak adanya perbedaan nyata antar waktu pengamatan pada pemberian cairan. Kelompok yang diberikan 11 cairan kristaloid menunjukkan perbedaan nyata pada waktu pengamatan resusitasi setelah satu jam dan tiga jam. Tabel 3 Rataan Fraksi Ejeksi Global (%) Waktu Pengamatan Awal Sepsis Renjatan sepsis Resusitasi setelah 1 jam Resusitasi setelah 3 jam Kelompok babi MGF 4% RAM a,x 37.75 ± 5.20 32.65 ± 7.01a,x a,x 31.38 ± 9.57 36.20 ± 6.65a,x 37.13 ± 5.83a,x 35.58 ± 9.43a,x a,x 40.70 ± 3.34 35.25 ± 6.13a,x a,x 42.75 ± 8.65 44.25 ± 3.30b,x Keterangan: Huruf superscript (a, b) yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata (p<0.05) antar tahap pengambilan sampel. Huruf superscript (x) yang sama pada baris yang sama menyatakan tidak adanya perbedaan nyata (p<0.05) antar kelompok pengamatan. Indeks kontraktilitas ventrikel kiri/ Left Ventricular Contractility Index Parameter dPmx mengukur kecepatan maksimum kenaikan tekanan pada otot ventrikel kiri. Nilai dPmx merupakan indikator umum yang kuat dan sensitif saat terjadi perubahan kontraktilitas jantung. Nilai dPmx dapat diukur dari kecepatan tekanan aorta meningkat selama fase sistol. Rentang normal untuk dPmx adalah 1200‒2000 mmHg/s untuk manusia (Kirov et al. 2005). Data dPmx (Tabel 4) menunjukkan tidak adanya perbedaan nyata antar waktu pengamatan dan kelompok pemberian cairan. Tabel 4 Rataan dPmx ‒Indeks kontraktilitas ventrikel kiri (mmHg/s) Waktu Pengamatan Awal Sepsis Renjatan sepsis Resusitasi setelah 1 jam Resusitasi setelah 3 jam Kelompok babi MGF 4% 735.70 ± 168.56a,x 766.75 ± 178.99a,x 851.80 ± 101.37a,x 733.95 ± 092.34a,x 855.25 ± 129.12a,x RAM 681.50 ± 047.07a,x 626.25 ± 083.97a,x 754.00 ± 176.37a,x 738.00 ± 072.34a,x 799.50 ± 046.76a,x Keterangan: Huruf superscript (a) yang sama pada kolom yang sama menyatakan tidak adanya perbedaan nyata (p<0.05) antar tahap pengambilan sampel. Huruf superscript (x) yang sama pada baris yang sama menyatakan tidak adanya perbedaan nyata (p<0.05) antar kelompok pengamatan. Data Sistol Tekanan sistolik merupakan kejadian ketika ventrikel kiri berkontraksi dan memompakkan darah ke dalam aorta sehingga aorta membesar dan tekanan meningkat hingga nilai puncaknya (Cunningham dan Klein 2007). Rentang normal nilai sistol untuk hewan model babi adalah 112‒139 mmHg (Cochran 12 2004) sedangkan untuk manusia 90‒120 mmHg (Kirov et al. 2005). Data sistol (Tabel 5) menunjukkan tidak adanya perbedaan nyata secara signifikan pada waktu pengambilan sampel dan jenis reusistasi yang diberikan. Tabel 5 Rataan Sistol (mmHg) Kelompok babi Waktu Pengamatan Awal Sepsis Renjatan sepsis Resusitasi setelah 1 jam Resusitasi setelah 3 jam MGF 4% 119.26 ± 12.86a,x 117.56 ± 25.06a,x 103.00 ± 24.09a,x 105.88 ± 18.68a,x 100.50 ± 15.64a,x RAM 119.51 ± 05.71a,x 112.76 ± 09.47a,x 107.88 ± 04.48a,x 106.93 ± 14.04a,x 106.50 ± 18.70a,x Keterangan: Huruf superscript (a) yang sama pada kolom yang sama menyatakan tidak adanya perbedaan nyata (p<0.05) antar tahap pengambilan sampel. Huruf superscript (x) yang sama pada baris yang sama menyatakan tidak adanya perbedaan nyata (p<0.05) antar kelompok pengamatan. Data Diastol Nilai tekanan aorta minimal sebelum ejeksi jantung berikutnya yang disebut dengan tekanan diastolik (Cunningham dan Klein 2007). Rentang normal nilai diastol untuk hewan model babi yaitu 72‒98 mmHg (Cochran 2004) dan untuk manusia 60‒80 mmHg (Kirov et al. 2005). Data diastol pada Tabel 6 menunjukkan adanya perbedaan nyata yang berarti (p<0.05) pada waktu pengamatan sampel namun tidak berbeda nyata pada jenis cairan resusitasi yang diberikan. Nilai diastol pada pengamatan sepsis hingga pengamatan resusitasi setelah tiga jam pada kelompok cairan koloid dan kristaloid menurun. Nilai diastol pada kelompok koloid lebih rendah dibandingkan pada kelompok kristaloid saat pengamatan setelah resusitasi satu jam dan tiga jam. Tabel 6 Rataan Diastol (mmHg) Waktu Pengamatan Awal Sepsis Renjatan sepsis Resusitasi setelah 1 jam Resusitasi setelah 3 jam Kelompok babi MGF 4% 77.71 ± 13.98a,x 74.50 ± 21.19ab,x 51.57 ± 23.86b,x 42.56 ± 06.12b,x 41.25 ± 11.24b,x RAM 76.20 ± 07.46a,x 62.98 ± 08.71ab,x 59.05 ± 15.14ab,x 57.58 ± 13.78ab,x 51.00 ± 19.41b,x Keterangan: Huruf superscript (a, b) yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata (p<0.05) antar tahap pengambilan sampel darah. Huruf superscript (x) yang sama pada baris yang sama menyatakan tidak adanya perbedaan nyata (p<0.05) antar kelompok pengamatan. 13 Indeks Permeabilitas Vaskular Paru/ Pulmonary Vascular Permeability Index Parameter PVPI memberikan informasi tentang rasio antara air di luar pembuluh darah paru‒paru dan volume darah paru‒paru. Rasio ini merupakan ukuran permeabilitas vaskuler paru. Indeks permeabilitas vaskular paru didapatkan dari penghitungan extravascular lung water (EVLW) dibagi dengan pulmonary blood volume (PBV). Rentang normal PVPI sebesar 1.00‒3.00 untuk manusia. Nilai PVPI dapat membedakan antara edema paru karena ARDS (acute respiratory distress syndrome) atau kerusakan paru lainnya (Kirov et al. 2005). Data PVPI (Tabel 7) menunjukkan adanya perbedaan nyata pada waktu pengamatan di kelompok koloid. Waktu pengamatan pada kelompok kristaloid tidak menunjukkan perbedaan nyata. Pemberian cairan antara kelompok koloid dan kristaloid tidak menunjukkan adanya perbedaan nyata. Tabel 7 Rataan Indeks Permeabilitas Vaskular Paru Waktu Pengamatan Awal Sepsis Renjatan sepsis Resusitasi setelah 1 jam Resusitasi setelah 3 jam Kelompok babi MGF 4% RAM a,x 2.20 ± 0.58 3.35 ± 0.31a,x ab,x 2.54 ± 0.94 3.19 ± 0.34a,x b,x 3.64 ± 0.96 3.11 ± 0.89a,x 3.23 ± 0.52ab,x 3.43 ± 0.82a,x b,x 3.45 ± 0.37 3.40 ± 0.90a,x Keterangan: Huruf superscript (a, b) yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata (p<0.05) antar tahap pengambilan sampel darah. Huruf superscript (x) yang sama pada baris yang sama menyatakan tidak adanya perbedaan nyata (p<0.05) antar kelompok pengamatan. Indeks Air Paru Ekstravaskular/Extravascular Lung Water Index Parameter ELWI adalah parameter untuk mengetahui kadar air dalam paru‒paru di luar pembuluh darah. Hal tersebut disesuaikan dengan perbedaan antara jumlah ITTV dan ITBV dibagi dengan berat badan. ELWI menunjukkan tingkat keparahan edema paru. Nilai normal ELWI babi yaitu 16.3 ± 5.2 mL/kg (Lopez et al. 2006). Data ELWI (Tabel 8) menunjukkan adanya perbedaan nyata (p<0.05) pada waktu pengambilan sampel dan jenis cairan resusitasi yang diberikan. Peningkatan nilai ELWI terjadi pada pengamatan sepsis dan renjatan sepsis kedua kelompok cairan. Penurunan nilai ELWI terjadi pada pengamatan resusitasi setelah satu jam dan tiga jam kelompok cairan koloid. Nilai ELWI kelompok cairan kristaloid meningkat pada pengamatan resusitasi setelah satu jam dan tiga jam. 14 Tabel 8 Rataan Indeks Air Paru Ekstravaskular (mL/kg) Waktu Pengamatan Awal Sepsis Renjatan sepsis Resusitasi setelah 1 jam Resusitasi setelah 3 jam Kelompok babi MGF 4% 13.25 ± 2.50a,x 16.50 ± 2.65ab,x 20.65 ± 4.33b,x 17.10 ± 0.84b,x 16.75 ± 2.50ab,x RAM 14.77 ± 4.31a,x 17.52 ± 3.55ab,x 20.88 ± 3.01b,x 21.83 ± 2.96b,x 22.00 ± 2.16b,y Keterangan: Huruf superscript (a, b) yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata (p<0.05) antar tahap pengambilan sampel darah. Huruf superscript (x,y) yang berbeda pada baris yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata (p<0.05) antar kelompok pengamatan Pembahasan umum Parameter ELWI (p<0.05) dan PVPI menyatakan adanya perbedaan nyata. Kedua parameter tersebut mengindikasikan adanya edema paru waktu perlakuan sepsis dan renjatan sepsis. Edema paru pada kejadian sepsis menyebabkan terganggunya fungsi paru-paru (Kirov et al. 2005). Peningkatan nilai ELWI menandakan adanya air yang masuk ke dalam intersitial alveolar. Hal tersebut diakibatkan adanya peningkatan permeabilitas (PVPI) yang diakibatkan oleh adanya kerusakan endotel yang diperantarai oleh mediator inflamasi (Kirov et al. 2005). Parameter CPI dapat digunakan sebagai tanda bahwa adanya gangguan pada fungsi jantung. Hasil penelitian menunjukkan tidak adanya penurunan nilai CPI yang berarti waktu pengamatan sepsis dan renjatan sepsis. Gad et al. (2003) menyatakan bahwa penurunan nilai CPI merupakan salah satu parameter yang dapat memperlihatkan adanya kerusakan jantung yang dapat disebabkan oleh sepsis. Fungsi jantung tidak mengalami kerusakan yang besar dan dapat melakukan kompensasi saat sepsis maupun renjatan sepsis. Kompensasi organ jantung terjadi untuk memenuhi oksigen sistemik akibat edema paru. Edema paru yang terjadi menyebabkan kebutuhan oksigen sistemik berkurang sehingga terjadi kompensasi pada jantung. Kerusakan pada salah satu ruang jantung atau sebagian jantung tidak akan menurunkan parameter CPI secara signifikan karena parameter CPI menghitung kekuatan jantung dari keempat ruang jantung (Kirov et al. 2005). Kerusakan jantung waktu pengamatan sepsis dan renjatan sepsis tidak besar karena waktu penelitian yang berlangsung hanya tiga jam. Priyantoro et al. (2010) menyatakan bahwa terjadinya kerusakan fungsi jantung memerlukan waktu 24 jam. Gangguan fungsi jantung karena adanya kerusakan miokardium yang ditunjukkan dengan penurunan kontraktilitas ketika renjatan sepsis dan sepsis (Priyantoro et al. 2010). Parameter fraksi ejeksi juga memainkan peranan penting ketika terjadi kerusakan pada fungsi jantung. Penurunan fraksi ejeksi mengindikasikan renjatan sepsis, kardiomiopati, disfungsi sistolik, disfungsi diastolik, atau kegagalan jantung (Ashraf et al. 2012). Waktu pengamatan sepsis dan renjatan sepsis seharusnya ada penurunan fraksi ejeksi yang disebabkan jantung masuk tahap kardiomiopati atau kegagalan jantung. Hasil penelitian menunjukkan tidak 15 terjadinya penurunan parameter GEF secara nyata waktu pengamatan sepsis dan renjatan sepsis. Namun paramater sistol dan diastol menunjukkan penurunan. Hasil tersebut diduga akibat kerusakan jantung tidak berat sehingga jantung masih memiliki kemampuan untuk melakukan kompensasi. Kompensasi tersebut dikarenakan edema paru yang terjadi waktu pengamatan sepsis dan renjatan sepsis. Penyebab lainnya yang membuat penurunan nilai GEF tidak berbeda nyata pada penelitian ini adalah parameter GEF dan waktu penelitian. Parameter GEF mengukur seluruh fraksi ejeksi dari keempat ruang jantung (Kirov et al. 2005). Adanya kerusakan pada salah satu ruang jantung tidak membuat penurunan GEF signifikan. Waktu penelitian yang hanya tiga jam menyebabkan hasil penelitian tidak sesuai dengan pernyataan dari Steel dan Webster (2001) yaitu fraksi ejeksi waktu renjatan sepsis dapat menurun hingga 32% dalam waktu pengamatan 24 jam. Parameter dPmx merupakan salah satu parameter yang dapat menunjukkan adanya kerusakan pada fungsi jantung. Penurunan nilai dPmx ditandai dengan terjadinya iskemia pada miokardium dan kegagalan fungsi jantung. Hasil penelitian ini menunjukkan tidak adanya penurunan dPmx yang signifikan. Hal tersebut diduga karena kerusakan miokardium ventrikel kiri belum cukup besar. Penyebab lainnya adalah tidak terjadinya kegagalan fungsi jantung dan iskemia miokardium pada penelitian ini. Waktu penelitian yang dilaksanakan selama tiga jam menjadi salah satu penyebab parameter dPmx tidak mengalami penurunan secara nyata. Menurut Priyantoro et al. (2010) dibutuhkan waktu hingga 24 jam untuk terjadinya kerusakan miokardium. Parameter sistol dapat menunjukkan adanya gangguan pada performa jantung. Hasil penelitian ini menunjukkan tidak adanya penurunan paramter sistol secara signifikan waktu pengamatan sepsis dan renjatan sepsis. Hal tersebut berkorelasi dengan hasil penelitian Hunter dan Doddi (2010) yaitu tahap renjatan sepsis ditandai dengan disfungsi sistolik. Disfungsi sistolik diakibatkan oleh depresi miokardium yang diperantarai oleh ON (Priyantoro et al. 2010). Hasil penelitian waktu pengamatan renjatan sepsis berkorelasi dengan hasil dari pernyataan Nemzek et al. (2008) yaitu hewan model tidak menunjukkan disfungsi sistolik pada tahap sepsis namun langsung terlihat pada tahap renjatan sepsis. Parameter sistol tidak mengalami penurunan yang berarti karena kerusakan miokardium tidak terlalu besar dan jantung masih melakukan kompensasi. Hal tersebut dapat dilihat dari parameter CPI dan GEF yang tidak mengalami penurunan yang berarti. Renjatan sepsis ditandai juga dengan penurunan tekanan diastol pada penelitian ini. Salah satu penyebab penurunan tekanan diastol adalah edema paru (Ashraf et al. 2012). Menurut Priyantoro et al.(2010) diduga bahwa sepsis menyebabkan edema paru karena peningkatan tekanan intratoraks dan peningkatan tekanan ventilasi. Hasil penelitian ini dengan menggunakan PiCCO2® memperlihatkan penyebab awal terjadinya edema pulmonum yaitu kerusakan endotel vaskular paru. Temuan ini berkorelasi dengan nilai parameter PVPI (p<0.05) dan ELWI (p<0.05) meningkat saat sepsis dan renjatan sepsis. Kerusakan endotel inilah yang kemudian menimbulkan peningkatan tekanan intratoraks dan tekanan ventilasi. 16 Hasil penelitian menunjukkan tidak adanya perbaikan pada organ jantung setelah diberi resusistasi cairan koloid maupun kristaloid. Hal tersebut dapat dilihat pada parameter CPI, GEF, dPmx, sistol, dan diastol. Namun pernyataan dari Singh et al. (2009) yang menyatakan bahwa kristaloid dapat meningkatkan kontraktilitas miokardium sehingga tidak terjadi hipovolumik dan titik kritis teratasi. Pernyataan Smith (2014) menyatakan bahwa koloid dapat menurunkan endoktoksin, menurunkan konsentrasi faktor inflamasi, dan menghindari penurunan kontraktilitas miokardium. Pernyataan dari Singh et al. (2009) dan Smith (2014) tidak memberikan hasil yang sama dengan hasil penelitian ini. Namun hasil penelitian ini dikuatkan dengan pernyataan dari Koami et al. (2014), yaitu pemberian resusitasi cairan tidak memperbaiki parameter peforma jantung. Peningkatan parameter CPI pada kelompok kristaloid sebesar 0.92 ± 0.37 2 W/m tidak menandakan terjadinya perbaikan fungsi jantung. Hal tersebut dikarenakan terjadi distensi abdominal pada salah satu anak babi selama penelitian berlangsung. Distensi abdominal terjadi karena hasil fermentasi makanan berupa gas tertahan di dalam ruang abdomen sehingga vaskular di sekitar ruang abdomen tertekan. Hal tersebut mengakibatkan adanya penurunan preload dan penurunan oksigen secara sistemik. Faktor tersebut menyebabkan jantung melakukan kompensasi untuk memenuhi kebutuhan akan oksigen sistemik. Hal yang sama terjadi pada parameter GEF pada kelompok kristaloid waktu pengambilan data resusitasi setelah tiga jam terjadi peningkatan sebesar 44.25 ± 3.30 %. Jantung mengalami kompensasi dikarenakan edema yang terjadi. Edema tersebut mengakibatkan penurunan preload yang dilanjutkan penurunan pasokan oksigen. Edema pada kelompok kristaloid tetap meningkat walaupun sudah diberikan resusitasi setelah tiga jam. Penelitan ini menunjukkan terjadinya peningkatan nilai ELWI (p<0.05)pada kelompok kristaloid setelah tiga jam. Kejadian ini disebabkan oleh molekul cairan kristaloid kecil sehingga mudah keluar dari lumen vaskular dan meningkatkan volume cairan pada ruang paru (Hahn et al. 2007). Akibatnya edema yang terjadi diperparah karena pemberian cairan kristaloid saat terjadi renjatan sepsis. Faktor yang memperparah peningkatan nilai ELWI adalah peningkatan permeabilitas pembuluh darah paru (PVPI). Akibatnya cairan semakin mudah masuk ke ruang paru. Hasil penelitian ini menunjukkan penurunan nilai ELWI setelah diberikan cairan koloid. Hal tersebut dikarenakan koloid bersifat onkotik yaitu dapat menarik cairan ektravaskular kembali ke vaskular. Hal tersebut dikarenakan sifat fisik koloid memiliki molekul yang besar sehingga tidak dapat melewati pembuluh darah. Penurunan nilai ELWI (p<0.05) pada penelitian menandakan renjatan sepsis dianggap dapat teratasi, namun tidak terjadi penurunan pada parameter PVPI. Hasil penelitian diperkuat dengan pernyataan dari Verheij et al. (2006) yang menyatakan bahwa adanya penurunan nilai ELWI dengan pemberian cairan koloid. 17 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Gangguan pada peforma jantung akibat induksi LPS hanya terlihat pada parameter diastol dan parameter sistol. Kerusakan organ paru akibat induksi LPS terlihat secara nyata pada parameter ELWI dan PVPI. Edema paru yang terjadi merupakan edema paru non cardiogenic karena tidak adanya kerusakan pada kontraktilitas jantung. Resusitasi kristaloid tidak memberikan perbaikan organ jantung maupun paru. Resusitasi koloid memiliki kecenderungan memperbaiki organ paru namun tidak pada organ jantung. Saran Pemeriksaan terhadap sel darah putih, sel darah merah, gas darah, radiografi dan parameter pada PICCO2® yang lain diperlukan untuk menentukkan keadaan sepsis dan penanganan yang tepat. DAFTAR PUSTAKA Abraham E, Singer M. 2007. Mechanisms of Sepsis -Induced Organ Dysfunction and Recovery. Berlin (DE): Springer-Verlag. Ashraf AO, Nader ES, Mahmoud MR. 2012. Cardiac functions in patients with sepsis and septic shock. Egypt Heart J. 64(4):191-196. Carcillo JA, Fields AI. 2002 Clinical practice parameters for hemodynamic support of pediatric and neonatal patients in septic syok. Crit Care Med. 30(6):1365‒1378. Cochran PE. 2004. Laboratory Manual for Comparative Veterinary Anatomy and Physiology. New York (US): Delmar Learning. Cunningham JG, Klein BG. 2007. Text Book of Veterinary Physiology. Ed ke-4. Missouri(US): Saunders. Dewi R. 2015. Pengaruh cairan koloid atau kristaloid terhadap kejadian acute respiratory distress sysndrome pada hewan coba Sus scrofa dengan sepsis berat: Kajian pada extravascular lung water, IL‒8, dan VCAM‒1 [disertasi]. Jakarta (ID): Universitas Indonesia. Gad C, Yaron M, Edo K, Olga M, Ylia N, Adam S, Ricardo K, Zvi V. 2003. The role of cardiac power and systemic vascular resistance in the pathophysiology and diagnosis of patients with acute congestive heart failure. Eur J Heart Fail. 5(4):443‒451. Hahn RG, Prough DS, Svensen CI. 2007. Perioperative Fluid Theraphy. Florida (US): CRC Pr. Hunter JD, Doddi M. 2010. Sepsis and the heart. Br J Anasth. 104(1):3‒11. 18 Kirov MY, Kuzkov VV, Bjertnaes LJ. 2005. Extravascular lung water in sepsis. Intensive Care Med. 6:449-640 Koami H. 2014. The effects of polymyxin B‒immoblized fiber hemoperfusion on respiratory impairment in endotoxemic pigs. J Nippon Med Sch. 81(3):130‒138. Lopez HJ, Ruperez M, Sanchez C, Gracia C, Gracia E. 2006. Estimation of the parameters of cardiac function and of blood volume by arterial thermodilution in an infant animal model. Paediatr Anaesth. 16(6):635‒640. Nemzek JA, Hugunin KMS, Opp MR. 2008. Modeling sepsis in the laboratory: merging sound science with animal well‒being. Comp Med: 58(2):120‒128. O'Brien JM, Ali NA, Aberegg SK, Abraham E. 2007. Sepsis. Am J Med. 120:1012‒1022. Prather RS, Shen M, Dai Y. 2008. Genetically modified pigs for medicine and agriculture. Biotechnol Genet Eng Rev. 25:245‒266. Priyantoro K, Lardo S, Yuniadi Y. 2010. Cardiac Dysfunction due to sepsis. J Kardiol Indones. 31:177‒186. Rezania S, Amirmozaffari N, Tabarraei B, Jeddi-Tehrani M, Zarei O, Alizadeh R, Masjedian F, Zahrani AH. 2011. Extraction, purification, and characterization of lipopolysaccharide from eschericia coli and salmonella typhi. Avicenna J Med Biotechnol. 3(1):3-9. Rivers E, Ngunyen B, Havstad S, Ressler J, Muzzin A, Knoblich B, Peterson E, Tomlanovich M. 2001. Early goal‒directed therapy in the treatment of severe sepsis and septic shock. N Eng J Med. 345(14):1368‒1377. Rudiger A, Singer M. 2012. The heart in sepsis: from basic mechanism to clinical management. Curr Vasc Pharmacol. 11(2):187‒195. Schortgen F, Deye N, Brochard L. 2004. Preferred plasma volume expanders for critically ill patients: result of an international survey. Intensive Care Med. 30(12):222‒229. Singh A, Carlin BW, Shade D, Kaplan PD. 2009. The use of hypertonic saline for fluid resuscitation in sepsis. Crit care nurse Q. 32(1):10‒13. Smith BP. 2014. Large Animal Internal Medicine. Ed‒5. Missouri (US): Elsivier. Swindle MM. 2007. Swine in the Laboratory Surgery, Anesthesia, Imaging, and Experimental Techiniques. Ed ke-2. Boca Boltan(US): CRC Pr. Verheij J, Lingen AV, Raijmakers PGHM, Rijnbuerger ER, Veerman DP, Wisselink W, Girbes ARJ, Groeneveld ABJ. 2006. Effect of fluid loading with saline or colloids on pulmonary permeability, oedema and lung injury score after cardiac and major vascular surgery. Br J Anaesth. 96(1):21-30. Vincent JL. 2014. Annula Update in Intensive Care and Emergency Medicine 2014. London (UK): Springer. 19 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandung pada 9 Mei 1992 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara pasangan bapak Royhendra Santosa dan Ibu Mirjam Janita Maranata. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar pada tahun 2005 di SD Santo Yosef I dan melanjutkan pendidikan menengah pertama di SMP Santa Angela Bandung hingga lulus tahun 2008. Pada tahun 2011 Penulis berhasil menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMA Santa Angela Bandung. Pada tahun yang sama penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negara (SNMPTN) dengan Mayor Kedokteran Hewan. Selama menjadi mahasiswa, penulis tergabung dalam beberapa organisasi. Adapun organisasi yang diikuti yaitu UKM Badminton IPB (2011), Himpunan Minat dan Profesi Satwa Liar sebagai kepala divisi infokom (2014). Penulis juga mengikuti magang profesi dan beberapa kepanitiaan kegiatan kampus FKH IPB.