1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sepsis

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sepsis adalah suatu penyebab kematian terbanyak di ruang Intensive
Care Unit di dunia (Ramond dan Anand, 2005) dan insidennya terus meningkat
(Oscar dkk., 2006). Di Amerika Serikat sepsis adalah penyebab kematian pada
pasien dengan kondisi yang kritis, menyebabkan 750.000 orang terkena sepsis
dan lebih dari 210.000 orang meninggal karena sepsis (Hotchkiss dan Irene,
2003). Pada 1990, Centers for Disease Control and Prevention melaporkan
sekitar 450.000 kasus septikemia per tahun di Amerika Serikat dengan lebih dari
100.000 kematian. Terjadi 750.000 kasus septik berat per tahun, dengan angka
kematian 28,6 % (Aird, 2003). Sedangkan di Indonesia melalui sebuah penelitian
yang dilakukan selama Januari 2006-Desember 2007 terdapat angka kejadian
sepsis 33,5% (229 dari 683 kasus, dengan mortalitas sebesar 50,2% (115
kematian dari 229)) di bagian PICU/NICU RSUD Dr. Moewardi (Pujiastuti, 2008).
Sepsis menjadi penyebab utama kematian pada bayi usia 7-28 hari, menurut
data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 (Riskesdas, 2007).
Sepsis disebabkan oleh bakteri gram negatif, bakteri gram positif, jamur,
virus, dan parasit. Proporsi infeksi yang disebabkan bakteri gram negatif antara
30-80% dan bakteri gram positif antara 6-24% dari jumlah kasus sepsis (Edwin
dkk.,
2003).
Produk
yang
berperan
penting
terhadap
sepsis
adalah
lipopolisakarida (LPS), merupakan struktur dominan pada membran terluar
bakteri gram-negatif (Gatot, 2008).
1
Beberapa sistem organ yang dapat mengalami disfungsi atau gagal organ
adalah sistem sirkulasi, hati, ginjal, pernafasan, dan sistem saraf pusat. Sindrom
disfungsi organ adalah awal terjadinya sepsis berat yang diakibatkan karena
kerusakan sel parenkim dan sel endotel organ secara luas yang terjadi melalui
beberapa mekanisme yaitu : hipoksik- hipoksia, sitotoksis langsung, apoptosis
dan imunosupresi (Sharma, 2006). Produksi sitokin yang berlebihan pada sepsis
akan menyebabkan aktivitas respon sistemik terutama pada paru-paru, hati,
ginjal, usus, dan organ lainnya sehingga terjadi apoptosis maupun nekrosis
jaringan sehingga terjadi gagal organ dan akhirnya menyebabkan kematian
(Elena dkk, 2006).
Pada keadaan syok septik yang ditandai oleh adanya hipotensi walaupun
telah diberikan cairan yang cukup, digunakan untuk memahami adanya sindrom
klinis sepsis persisten yang menyebabkan hipoperfusi jaringan (L’her dan Sebert,
2001). Tekanan darah sendiri tidak mencukupi untuk identifikasi ada atau
tidaknya hipoperfusi jaringan pada pasien sepsis karena pada pasien sepsis
yang menyebabkan hipoperfusi dapat menunjukkan tekanan darah yang normal.
Sehingga penting untuk menunjukkan tanda-tanda lain adanya hipoperfusi
jaringan
(Meregalli
dkk,
2004).
Penanda
hipoperfusi
jaringan
dapat
diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu indeks hipoperfusi global dan indeks
hipoperfusi organ. Salah satu indeks hipoperfusi organ pada jantung adalah
iskemia miokardium (Cavazzoni dan Dellinger, 2006).
Pada pasien kritis dengan sepsis, terjadi peningkatan kadar asam laktat
dan juga defisiensi thiamine. Hal ini terjadi karena adanya penurunan aktivitas
enzim piruvat dehidrogenase pada proses dekarboksilasi oksidatif, sehingga
terjadi metabolisme anaerob
yang menghasilkan laktat (Donnino dkk. 2010).
2
Selain itu, gangguan perfusi jaringan juga dapat menyebabkan meningkatnya
konsentrasi laktat pada darah yang dapat mengakibatkan gagal organ seperti
pada penderita sepsis berat (Wilujeng, 2009).
Gejala klinik kekurangan thiamine menyangkut sistem saraf dan jantung.
Tanpa thiamine piropospat, piruvat tidak dapat masuk siklus kreb, dan
kekurangan energi otot jantung akan menyebabkan kegagalan jantung
(Almatsier, 2004). Defisiensi Thiamine menyebabkan turunnya fungsi enzim αketoglutarat dehidrogenase sehingga menyebabkan turunya produksi ATP dari
siklus asam sitrat. Disamping itu, defisiensi thiamine juga berpengaruh terhadap
enzim piruvat dehidrogenase yang berakibat deplesi dari asetil KOA. Sejumlah
glukosa diperlukan untuk membentuk ATP yang diperlukan dalam kontraksi akan
dialihkan dari oksidasi glukosa ke jalur hexosamine yang pada nantinya akan
menghasilkan penumpukan dari produk sisanya berupa UDP-β-N-asetilglukosamin
dan
UDP-N-asetil-galaktosamin.
Penumpukan
dari
adenosin
berakibat pada penurunan kontraksi atau kelemahan pada otot jantung (Hadi,
2010). Sehingga thiamine sangat berperan dalam kelancaran otot jantung dan
mencegah terjadinya kondisi yang lebih buruk pada pasien sepsis.
Kerusakan miokardium dikenali keberadaanya antara lain dengan
menggunakan test enzim jantung, seperti: kreatin-kinase (CK), kreatin-kinase MB
(CKMB) dan laktat dehidrogenase (LDH). Kriteria untuk Infark Miocardiac Akut
ialah terdapat peningkatan nilai enzim jantung (CKMB) atau troponin I atau
Troponin T dengan gejala dan adanya perubahan EKG yang diduga iskemia
(Nawawi, 2006). Pada penelitian ini, akan diperiksa kadar CKMB untuk
mengetahui kerusakan organ jantung.
3
Oleh karena itu, dilakukan penelitian ini agar proses metabolisme seluler
dapat
berjalan
dengan
lancar.
Pemberian
thiamine
diharapkan
dapat
memperlancar proses dekarboksilasi oksidatif sehingga menurunkan terjadinya
penimbunan
penderita
adenosin sehingga mencegah terjadinya disfungsi organ pada
sepsis.
Selain
itu,
pemberian
thiamine
diharapkan
dapat
memaksimalkan proses pengobatan pada pasien sepsis.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka permasalahan yang diajukan pada
penelitian ini adalah apakah pemberian thiamine dapat menurunkan kadar CKMB
pada tikus putih (Rattus novergicus) galur Sprague Dawley sepsis yang diinduksi
dengan cecal ligation and puncture.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui efek pemberian thiamine sebagai langkah pengobatan untuk
mencegah disfungsi organ pada sepsis.
2. Tujuan khusus
Mengetahui efek pemberian thiamine terhadap kadar CKMB tikus putih
sepsis yang diinduksi dengan cecal ligation and puncture.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi tenaga medis
Memberikan informasi kepada para tenaga medis tentang manfaat
thiamine sebagai pengobatan untuk mencegah terjadinya gagal organ pada
penderita sepsis.
4
2. Bagi ilmu pengetahuan
Memberikan informasi tentang manfaat thiamine dan sebagai landasan
untuk pengembangan penelitian-penelitian selanjutnya yang berhubungan
dengan sepsis.
3. Bagi peneliti
Menambah ilmu pengetahuan tentang sepsis dan kaitannya dengan
kerusakan organ serta cara pengobatannya.
E. Keaslian Penelitian
1. Wilujeng, Harnowo (2009) dengan judul hubungan konsentrasi laktat darah
dengan disfungsi- gagal organ multipel pada pasien sepsis yang diukur
dengan skor SOFA (Sepsis Related Organ Failure Assessment). Penelitian
ini dilakukan di HCU (High Care Unit) Bagian penyakit dalam RSUD Dr.
Moewardi Surakarta dengan jenis penelitian observasional crossectional.
Subjek penelitiannya berjumlah 13 orang yang sudah diseleksi dengan
menggunakan kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditentukan oleh
peneliti. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan konsentrasi laktat
darah dengan disfungsi organ multipel pada pasien sepsis dengan
menggunakan skor SOFA. Hasilnya adalah terjadi penurunan kadar laktat,
dan terdapat hasil signifikan pada isfungsi kardiovaskuler (P<0,05) dan
tidak bermakna pada organ lainnya (Hati, ginjal, paru- paru, koagulasi, dan
saraf). Persamaan penelitian adalah ingin mengetahui disfungsi organ pada
sepsis, sedangkan perbedaannya terdapat pada subjek, metode, dan
variabel yang digunakan.
5
2. Nandi, D, Patra, R.C, dan Swarup, D (2005) dengan judul Effect of
cysteine, methionine, ascorbic acid and thiamine on arsenic-induced
oxidative stress and biochemichal alterations in rats. Penelitian ini bertujuan
untuk melihat efek cystein, methionine, asam askorbat dan thiamine
terhadap stress oksidatif pada tikus yang diinduksi dengan arsenik. Subjek
terdiri dari 2 kelompok, yaitu kelompok kontrol dan kelompok perlakuan.
Kelompok perlakuan diberikan dosis cysteine, methionine, asam askorbat,
dan thiamine sebanyak 25 mg/kg BB dan kelompok kontrol diberikan
plasebo.
Hasilnya terdapat hasil yang signifikan pemberian cysteine,
methionine, asam askorbat, dan thiamine pada tikus yang mengalami
stress oksidatif (P<0,05). Persamaan penelitian adalah pemberian dosis
thiamine yang sama, yaitu 25 mg/kg BB tikus. Perbedaannya adalah pada
tujuan dan metode yang digunakan.
3. Croner, S Roland dkk. (2006) dengan judul Hepatic platelet and leukocyte
adherence during endotoxemia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
kadar platelet dan leukosit yang diduga menjadi indikator kerusakan hati
pada tikus yang sepsis. Penelitian ini merupakan penelitian experimental
dengan subjek tikus wistar jantan dengan berat 292 ± 17 gr. Tikus ini dibuat
sepsis dengan metode cecal ligation and puncture (CLP). Pengamatan
dilakukan selama 20 jam setelah proses CLP. Hasilnya adalah adanya
penurunan aliran darah, peningkatan platelet, dan peningkaran leukosit
setelah 3 jam proses CLP (p<0,05). Setelah 10 jam proses CLP terjadi
peningkatan SGPT, SGOT dan penurunan tekanan arteri rata- rata
(p<0,05). Persamaaan penelitian adalah metode sepsis yang digunakan
(metode CLP). Perbedaannya terdapat pada subjek dan variabel terikatnya.
6
Download