- RP2U Unsyiah - Universitas Syiah Kuala

advertisement
PROCEEDING
THE 7th ACEH INTERNAL
MEDICINE SYMPOSIA (AIMS)
Hermes Palace Hotel, Banda Aceh, Indonesia
Thursday-Saturday On, July, 29-31 2016
Tema:
“The Challenge of The Globalisation Era :
How To Prepare Yourself For A Comprehensive Patient
Management ”
Editor :
Abdullah
Azzaki Abubakar
Masra Lena Siregar
Vera Abdullah
Desi Salwani
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala
RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh
2016
KATA PENGANTAR
KETUA PANITIA
ACEH INTERNAL MEDICINE SYMPOSIA (AIMS)
Assalamulaikum Wr. Wb dan Salam Sejahtera.
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, Shalawat dan Salam
disampaikan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW.
Panitia Pelaksana mengucapkan selamat datang di Banda Aceh kepada
semua Pembicara, Moderator dan Peserta baik Simposium maupun
Workshop ACLS-BLS pada acara Aceh Internal Medicine Symposia
(AIMS) ke-7 yang merupakan kegiatan yang ditunggu-tunggu setiap
tahunnya oleh kalangan klinisi. Acara ini tentunya menghadirkan
pendekatan yang komprehensif dalam manajemen penyakit. Kualitas
standar dalam manajemen sebaiknya ditingkatkan sejalan dengan
berkembangnya ilmu kedokteran. Menyikapi kondisi ini, kami berupaya
menjembatani klinisi untuk meningkatkan kemampuan dalam manajemen
pasien.
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada : Rektor
Universitas Syiah Kuala, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Syiah,
Direktur RSUD dr. Zainoel Abidin, Kepala Bagian/ SMF Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala atas dukungan yang
diberikan, kepada para pembicara dan moderator baik dalam daerah
maupun dari luar daerah, para peserta simposium dan workshop serta
rekan-rekan farmasi, atas segala partisipasinya sehingga pertemuan ini
dapat terselenggara dengan baik. Kepada seluruh panitia, saya
menyatakan penghargaan yang setinggi-tingginya atas segala jerih payah
yang telah dicurahkan untuk terselenggaranya kegiatan ini. Harapan
kami, semoga acara ini dapat memberikan manfaat bagi para klinisi.
Ketua Panitia Pelaksana
The 7th Aceh Internal Medicine Symposia (AIMS)
dr. Abdullah, SpPD-KGH, FINASIM
KATA PENGANTAR
DEKAN FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
Assalamu‘alaikum Wr Wb
Puji sukur kehadirat Allah SWT atas segala nikmat, shalawat dan
salam kepada Rasulullah SAW
Kami ucapkan selamat datang peserta Aceh Internal Medicine
Symposia (AIMS) ke-7 tahun 2016, kami bersyukur acara ini dapat
berlangsung dan telah menjadi salah satu acara ilmiah tetap di Banda
Aceh. Sebagai implementasi Tri Darma Perguruan Tinggi adalah suatu
keniscayaan untuk tetap terus mengikuti dan mengembangkan ilmu
pengetahuan agar dapat meningkatkan kualitas pelayanan kepada
masyarakat, khususnya bidang ilmu kedokteran. Dalam tiga hari ini
peserta akan mengikuti acara AIMS dengan tema “The Challenge of The
Globalisation Era : How to Prepare Yourself for a Comprehensive
Patient Management”. Semoga acara ini memberi kontribusi bagi
peningkatan kompetensi dalam bidang akademik maupun profesi dalam
mewujudkan Tri Darma Perguruan Tinggi.
Terimakasih dan penghargaan kami kepada Panitia, serta semua pihak
yang ikut terlibat dan mengupayakan acara ini dapat terlaksana.
Wassalamu‘alaikum Wr Wb
Banda Aceh, Juli 2016
Dr. dr. Maimun Syukri, SpPD-KGH, FINASIM
KATA PENGANTAR
DIREKTUR RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
dr. ZAINOEL BIDIN BANDA ACEH
Dalam kesempatan yang berbahagia ini kami menyampaikan rasa bangga
dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bagian / SMF Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala / RSUD dr.
Zainoel Abidin, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala dan
Ketua Panitia serta seluruh pihak yang telah mendukung pelaksanaan
acara ini.
Sebagaimana kita ketahui bahwa Aceh Internal Medicine Symposia
(AIMS) ke-7 tahun 2016 merupakan salah satu kegiatan yang
diselenggarakan oleh Bagian/ SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Syiah Kuala/ RSUD dr. Zainoel Abidin, yang
banyak memberikan manfaat dalam aplikasi ilmu terkini terutama kepada
dokter dan paramedis khususnya yang mengabdi di seluruh Provinsi Aceh.
Kami menyambut baik acara simposium dan workshop ini, sesuai dengan
misi Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin sebagai rumah sakit
pendidikan, yaitu meningkatkan kompetensi sumber daya manusia
melalui pendidikan, penelitian dan pengembangan ilmu kedokteran,
keperawatan dan ilmu kesehatan lainnya serta pengembangan sistem dan
prosedur pelayanan kesehatan yang bertaraf Internasional.
Akhirnya terlepas dari segala kekurangan dalam pelaksanaan kegiatan ini,
kami mengharapkan bahwa AIMS ke-7 ini dapat memberikan manfaat
dan aplikasi terkini ilmu pengetahuan dokter serta paramedis di Provinsi
Aceh yang berjalan secara terintegratif dan berkesinambungan.
Banda Aceh, Juli 2016
Direktur RSUD dr. Zainoel Abidin
dr. Fahrul Jamal, SpAn, KIC
KATA PENGANTAR
REKTOR UNIVERSITAS SYIAH KUALA
Assalamu‘alaikum Wr Wb
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi tuntutan di seluruh
dunia dalam kancah persaingan global. Ilmu kedokteran menjadi tonggak
terdepan dalam memberikan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat.
Informasi dan aplikasi ilmu terbaru sangat diharapkan bagi semua pihak
yang berkecimpung di bidang kesehatan. Semua ini sesuai dengan
harapan Tri Darma Perguruan Tinggi.
Program-program teraplikatif terus kami dukung dan upayakan untuk
mengembangkan pusat pendidikan spesifikasi yang berguna dan
memberikan hasil maksimal bagi masyarakat dengan menghasilkan
sumber daya manusia yang handal di bidangnya. Diantaranya berupa
program pendidikan bagi konsultan (Sp-2) maupun doktoral (S3)
tentunya akan banyak menciptakan penelitian yang berguna bagi dunia
kedokteran dan kesehatan. Dengan demikian kami akan mempersiapkan
rumah sakit pendidikan yang representatif dan penelitian yang
terintergrasi di lingkup Universitas Syiah Kuala yang dapat merekrut dan
menghasilkan sumber daya manusia yang mumpuni di bidangnya.
Pada kesempatan ini, saya menyambut baik dan selamat kepada panitia
Aceh Internal Medicine Symposium (AIMS) ke-7 yang telah
mempersiapkan kegiatan ini sehingga menjadi kegiatan yang konsumptif
bagi praktisi kesehatan.
Terima kasih kepada semua pihak yang telah berpartisipasi sehingga
acara ini dapat berjalan dengan baik.
Selamat dan semoga sukses.
Wassalamu‘alaikum Wr Wb
Rektor Universitas Syiah Kuala
Prof. Dr. Ir. Samsul Rizal, M.Eng
SUSUNAN PANITIA
THE 7th ACEH INTERNAL MEDICINE SYMPOSIA (AIMS)
Penasehat :
Rektor Universitas Syiah Kuala
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala
Direktur RSUD dr. Zainoel Abidin
Ketua PAPDI Provinsi Aceh
Ketua IDI Wilayah Provinsi Aceh
Penanggung Jawab :
Kepala Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala / RSUD dr. Zainoel Abidin
Ketua
Wakil Ketua
Sekretaris
Wakil Sekretaris
Bendahara
Seksi Ilmiah
Koordinator
Anggota
: dr. Abdullah, SpPD-KGH, FINASIM
: dr. Azzaki Abubakar, SpPD-KGEH
: dr. Masra Lena Siregar, SpPD
: dr. Vera Abdullah, SpPD
: dr. Eva Musdalita, SpPD
: dr. Kurnia Fitri Jamil, MKes,SpPD – KPTI, FINASIM
: dr. Desi Salwani, SpPD
dr. Siti Adewiah
dr. Febri Andini
dr. Ricky Virnardo
dr. Radit Nauval
dr. Munawar Anwar Fuadi
Seksi Dana dan Stand Pameran
Koordinator
: dr. Krishna W Sucipto,SpPD –KEMD, FINASIM
Anggota
: dr. Fauzi Yusuf, SpPD – KGEH, FINASIM
Dr. dr. Maimun Syukri, SpPD – KGH, FINASIM
dr. Syamsu Umar, SpPD, FINASIM
dr. Chacha Marissa Isfandiari, SpPD
dr. Nazaruddin
dr. Derina Dewi
Seksi Akomodasi dan Transportasi/ Wisata
Koordinator
: dr. Hendra Zufry, SpPD-KEMD, FINASIM
Anggota
: dr. Muhammad Riswan, SpPD-KHOM, FINASIM
dr. Hendra Wahyudi
dr. Teuku Muhammad Reza Tandi
dr. Fardiansyah
dr. Muhammad Reza Haris
Seksi Tempat dan perlengkapan
Koordinator
: dr. Ivan Ramayana, M. Ked (PD), SpPD
Anggota
: dr. Tambunta Tarigan
dr. Ridhalul Ikhsan
dr. Teuku Emier Bravo
dr. Afrizal
Seksi Publikasi dan Dokumentasi
Koordinator
: dr. M. Darma Muda Setia, SpPD
Anggota
: dr. Islamuddin, SpPD
dr. Sylva Nazli
dr. Muhammad Indra
dr. Ade Baswin
Seksi Acara
Koordinator
Anggota
: dr. Azhari Gani, SpPD-KKV, FCIC, FINASIM
: dr. Muhammad Diah, SpPD – KKV, FINASIM
dr. Agustia Sukri Ekadamayanti, SpPD
dr. Imelda
dr. Muhammhad Irfan
dr. Suheir Muzakkir
dr. Intan Juwita
Seksi Keamanan
Koordinator
: dr. M. Fuad, SpPD
Anggota
: dr. Teuku Mamfaluti, MKes, SpPD
dr. Abdul Aziz Mubarak
dr. Arie Setyawan
Seksi Konsumsi
Koordinator
: dr. Mahriani Sylvawani, SpPD
Anggota
: dr. Meta Maulinda
dr. Indah Fajarini
dr. Cut Herlinda TA
dr. Zurriaty Savitri
Sekretariat
Koordinator
Anggota
: dr. Price Maya, SpPD
: dr. Andrie Gunawan
dr. Nasriah
dr. Cut Henna
Hikmah Saputra
Hasdiana
Safrida
Muzakkir
Rita Maulina
Mursalina
Hendra Marlinta
Ferdian Fuad
Bakhruddin
Ummi Nadrah
DAFTAR KONTRIBUTOR
Abdullah
Divisi Ginjal dan Hipertensi, Bagian / SMF Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala / RSUD Dr. Zainoel Abidin
Banda Aceh
Asrul Harsal
Divisi Hematologi-Onkologi Medik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia / RS Kanker Dharmais
Jakarta
Azhari Gani
Divisi Kardiologi, Bagian / SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Syiah Kuala / RSUD Dr. Zainoel Abidin Banda
Aceh
Azzaki Abubakar
Divisi Gastroentero dan Hepatologi, Bagian / SMF Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala / RSUD Dr. Zainoel Abidin
Banda Aceh
Desi Salwani
Divisi Ginjal dan Hipertensi, Bagian / SMF Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala / RSUD Dr. Zainoel Abidin
Banda Aceh
Fauzi Yusuf
Divisi Gastroentero dan Hepatologi, Bagian / SMF Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala / RSUD Dr. Zainoel Abidin
Banda Aceh
Hendra Zufry
Divisi Endokrinologi, Metabolik dan Diabetes - Pusat Pelayanan
Tiroid Terpadu Bagian / SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Syiah Kuala / RSUD Dr. Zainoel Abidin Banda
Aceh
Islamuddin
Divisi Pulmonologi dan Penyakit Kritis Bagian / SMF Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala / RSUD Dr.
Zainoel Abidin Banda Aceh
Krishna W. Sucipto
Divisi Endokrinologi, Metabolik dan Diabetes- Pusat Pelayanan Tiroid
Terpadu Bagian / SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala / RSUD Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh
Mahriani Sylvawani
Divisi Rheumatologi Bagian / SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Syiah Kuala/RSUD Dr. Zainoel Abidin Banda
Aceh
Masra Lena Siregar
Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi Bagian / SMF Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala/RSUD Dr. Zainoel Abidin
Banda Aceh
Maimun Syukri
Divisi Ginjal dan Hipertensi Bagian / SMF Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala / RSUD Dr. Zainoel Abidin
Banda Aceh.
M. Darma Muda Setia
Divisi Geriatri Bagian / SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala / RSUD Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.
M. Diah
Divisi Kardiologi, Bagian / SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Syiah Kuala / RSUD Dr. Zainoel Abidin Banda
Aceh
Vera Abdullah
Divisi Psikosomatis Bagian / SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Syiah Kuala / RSUD Dr. Zainoel Abidin Banda
Aceh
T. Mamfaluti
Divisi Alergi-Imunologi Bagian / SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Syiah Kuala / RSUD Dr. Zainoel Abidin Banda
Aceh
Yensuari
Bagian Penyakit Dalam BLUD RSUD dr. Yuliddin Away Tapaktuan
Aceh Selatan.
DAFTAR ISI
Sambutan Ketua Panitia Pelaksana Aceh Internal Medicine Symposia
(AIMS) ke-7 .......................................................................................... iii
Sambutan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala ........... iv
Sambutan Direktur Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin
Banda Aceh ............................................................................................... v
Sambutan Rektor Universitas Syiah Kuala .............................................. vi
Susunan Panitia Aceh Internal Medicine Symposia (AIMS) ke-7 .......... vii
Daftar Kontributor .......................................................................................
Daftar Isi ......................................................................................................
SIMPOSIUM
PENDEKATAN DIAGNOSIS SINDROMA KORONER AKUT
Azhari Gani ...............................................................................................
ROLE OF ANTICOAGULANT IN ACUTE CORONARY SYNDROME
M Diah .......................................................................................................
STEROID : USE AND ABUSE
Hendra Zufry ...............................................................................................
APPLICATIONS OF STEROID IN INTERNAL MEDICINE CASES
Krishna W Sucipto ......................................................................................
MANAGEMENT NUTRITION IN CHRONIC KIDNEY DISEASE
Maimun Syukri ............................................................................................
KETO ACID IN CHRONIC KIDNEY DISEASE
Abdullah ......................................................................................................
TATALAKSANA SEPSIS PADA USIA LANJUT
Masra Lena Siregar......................................................................................
ULKUS DEKUBITUS PADA USIA LANJUT FOKUS PADA
PENCEGAHAN DAN TATALAKSANA
M.Darma Muda Setia ..................................................................................
DIAGNOSIS DAN PENANGANAN YANG CEPAT LUPUS
ERYTEMATOSUS SISTEMIK
Mahriani Sylvawani ....................................................................................
DIAGNOSIS AND MANAGEMENT OF HYPERSENSITIVITY
REACTION
T. Mamfaluti................................................................................................
RESUSITASI CAIRAN PADA WANITA HAMIL
Masra Lena Siregar .....................................................................................
HEPATITIS B PADA KEHAMILAN
Azzaki Abubakar .........................................................................................
DEPRESSION IN PREGNANCY
Vera Abdullah .............................................................................................
INISIASI INSULIN PADA PASIEN DM TIPE 2
Hendra Zufry ...............................................................................................
WHY, WHEN AND HOW TO ADD PRANDIAL INSULIN AFTER
BASAL OPTIMIZATION (FOCUS ON BASAL PLUS)
Krishna W Sucipto ......................................................................................
TEHNIK INJEKSI INSULIN
Yensuari ......................................................................................................
PPOK: DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
Islamuddin ...................................................................................................
GANGGUAN KESEIMBANGAN ELEKTROLIT
Desi Salwani ...............................................................................................
DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN GASTROESOPHAGEAL
REFLUX DISEASE
Azzaki Abubakar .........................................................................................
DIAGNOSIS AND MANAGEMENT OF UPPER
GASTROINTESTINAL BLEEDING
Fauzi Yusuf .................................................................................................
APPROPRIATE PAIN MANAGEMENT
Asrul Harsal.................................................................................................
UPDATE MANAGEMENT OF CANCER PAIN
Asrul Harsal .................................................................................................
WORKSHOP
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA TERKINI NODUL TIROID
Hendra Zufry ...............................................................................................
PENDEKATAN DIAGNOSIT KRISIS HIPERTENSI
Abdullah ......................................................................................................
MAKALAH BEBAS
PROBLEM DIAGNOSTIK ASITES PADA CA COLON
Arie Setyawan, Azzaki Abubakar, Fauzi yusuf ...........................................
KISTA DUKTUS KOLEDOKUS PADA DEWASA MUDA
Chairunnisa, M. Fuad ..................................................................................
FIBROSARKOMA GINJAL PADA WANITA DEWASA
Cut Henna Mariza, M.Fuad, M. Riswan......................................................
PLEBOTOMI SEBAGAI TERAPI PILIHAN PADA POLISITEMIA
VERA
Cut Herlinda TA, M.Fuad, M.Riswan .........................................................
A CASE OF DENGUE HEMORRHAGIC FEVER IN PREGNANT
WOMAN 34 WEEKS GESTATIONAL AGE
Imam Zahari, Cut Meurah Yeni ..................................................................
PERIKARDIOSINTESIS PADA EFUSI PERIKARDIUM MASIF
Indah Fajarini, Azhari Gani, M.Diah ...........................................................
CEREBRAL SALT WASTING SYNDROME PADA PASIEN TUMOR
CEREBELLUM DEXTRA
Munawar Anwar Fuadi, Muhammad Fuad, Desi Salwani, Abdullah,
Maimun Syukri ............................................................................................
KEHAMILAN DAN LUARAN PASIEN EKLAMSIA GRAVIDARUM
DAN DEMAM BERDARAH DENGUE DENGAN MANIFESTASI
GANGGUAN JANTUNG
Rizka Aditya, Cut Meurah Yeni, Yuyun Lisnawati ....................................
HUBUNGAN GAMBARAN ELEKTROKARDIOGRAM DENGAN
DERAJAT KEPARAHAN PENDERITA PENYAKT JANTUNG
KORONER DI RSUD dr. ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH
Ruziqni Arihanim P, Muhammad Ridwan, Ratna Idayati,
Muhammad Diah Yusuf, Taufik Suryadi ....................................................
HUBUNGAN FUNGSI SISTOLIK VENTRIKEL KIRI DENGAN
FUNGSI KOGNITIF PADA PASIEN GAGAL JANTUNG DI RUMAH
SAKIT UMUM dr. ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH 2015
Sarah Fadillah, Muhammad Ridwan, Bakhtiar , Teuku Mamfaluti,
Subhan Rio Pamungkas ...............................................................................
CARDIOVASCULAR DISEASE IN PREGNANCY: A CASE REPORT
Teuku Yudhi Iqbal, Mohd. Andalas ............................................................
Simposium
PENDEKATAN DIAGNOSIS
SINDROMA KORONER AKUT
Azhari Gani
Divisi Kardiologi Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam
Universitas Syiah Kuala, RSUD Zainoel Abidin Banda Aceh
Abstrak
Sindroma Koroner Akut (SKA) merupakan kejadian iskemik
atau infark pada miokard yang biasanya diakibatkan berkurangnya aliran
darah di arteri koroner. SKA terbagi menjadi infark miokard akut dengan
elevasi segmen ST (ST elevation myocardial infarction / STEMI), infark
miokard akut tanpa elevasi segmen ST (non ST elevation myocardial
infarction / NSTEMI), dan Angina Pektoris Tidak Stabil (APTS) /
Unstable Angina Pectoris (UAP). Kriteria diagnosis yang dipakai dari
adanya gejala klinis nyeri dada khas kardiak, adanya perubahan bentuk
EKG, perubahan pada biomarker jantung.
Keluhan klasik dengan nyeri dada tipikal ditandai dengan
perasaan tertekan pada retrosternal dan nafas yang terasa berat yang
menjalar ke lengan kiri (jarang pada kedua lengan atau ke lengan kanan),
leher dan rahang, dapat bersifat intermiten atau presisten.
Berubahnya nilai troponin pada beberapa jam pertama
memberikan pengaruh penting dalam diagnosis, dimana nilai prediksi
negatif dari troponin mencapai >99%.
Diagnosis yang akurat menentukan prognosis yang penting
pada kelangsungan hidup pasien. Diagnosa banding baik kardiak maupun
nonkardiak harus dipertimbangkan dari awal. Beberapa diagnosa banding
juga bersifat gawat darurat.
Kata Kunci : Sindrom Koroner Akut, STEMI, NSTEMI, UAP
PENDEKATAN DIAGNOSIS
SINDROMA KORONER AKUT
Azhari Gani
Divisi Kardiologi Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam
Universitas Syiah Kuala, RSUD Zainoel Abidin Banda Aceh
I. Pendahuluan
Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan salah satu manifestasi
klinis Penyakit Jantung Koroner (PJK) yang utama dan menyebabkan
angka perawatan rumah sakit yang sangat besar serta paling sering
mengakibatkan kematian. (Amsterdam EA, dkk 2014)
Diperkirakan 17,5 juta orang meninggal disebabkan
Cardiovascular diseases (CVD) di tahun 2012, yaitu 31% dari semua
kematian global. Kematian ini, sekitar 7,4 juta karena penyakit jantung
koroner dan 6,7 juta karena stroke. Lebih dari tiga perempat kematian
CVD berlangsung di negara berkembang. Dari 16 juta kematian di bawah
usia 70 karena penyakit tidak menular, 82% di negara-negara
berpenghasilan rendah dan menengah dan 37% disebabkan oleh CVD
(WHO 2014).
Di Indonesia, menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
tahun 2007 menunjukkan PJK menempati peringkat ke-3 penyebab
kematian setelah stroke dan hipertensi (Riskesdas 2008), bahkan PJK
pada orang dewasa masih termasuk dalam 10 besar penyakit tidak
menular paling banyak di Indonesia (Riskesdas 2013).
SKA adalah suatu istilah atau terminologi yang digunakan untuk
menggambarkan spektrum keadaan atau kumpulan proses penyakit yang
meliputi angina pektoris tidak stabil/APTS (unstable angina/UA), infark
miokard gelombang non-Q atau infark miokard tanpa elevasi segmen ST
(Non-ST elevation myocardial infarction/ NSTEMI), dan infark miokard
gelombang Q atau infark miokard dengan elevasi segmen ST (ST
elevation myocardial infarction/STEMI) (Gambar 1) (Amsterdam EA
2014).
APTS dan NSTEMI mempunyai patogenesis dan presentasi
klinik yang sama, hanya berbeda dalam derajatnya. Bila ditemui petanda
biokimia nekrosis miokard (peningkatan troponin I, troponin T, atau CKMB) maka diagnosis adalah NSTEMI, sedangkan bila petanda biokimia
ini tidak meninggi, maka diagnosis adalah APTS. (Amsterdam EA 2014)
II. Patogenesis SKA
SKA disebabkan oleh obstruksi dan oklusi trombotik pembuluh
darah koroner, yang disebabkan oleh plak aterosklerosis yang vulnerable
mengalami erosi, fisur, atau ruptur. Penyebab utama SKA yang dipicu
oleh erosi, fisur, atau rupturnya plak aterosklerotik adalah karena
terdapatnya kondisi plak aterosklerotik yang tidak stabil (vulnerable
atherosclerotic plaques) dengan karakteristik; lipid core besar, fibrous
cups tipis, dan bahu plak (shoulder region of the plague) penuh dengan
aktivitas sel-sel inflamasi seperti sel limfosit T dan sitokin. Tebalnya plak
yang dapat dilihat dengan persentase penyempitan pembuluh koroner
pada pemeriksaan angiografi koroner tidak berarti apa-apa selama plak
tersebut dalam keadaan stabil. Dengan kata lain, risiko terjadinya ruptur
pada plak aterosklerosis bukan ditentukan oleh besarnya plak (derajat
penyempitan) tetapi oleh kerentanan (vulnerability) plak.
Perkembangan terkini menjelaskan dan menetapkan bahwa
proses inflamasi memegang peran yang sangat menentukan dalam proses
patobiologis SKA, dimana vulnerabilitas plak sangat ditentukan oleh
proses inflamasi. Inflamasi dapat bersifat lokal (pada plak itu sendiri) dan
dapat bersifat sistemik. Inflamasi juga dapat mengganggu keseimbangan
homeostatik. Pada keadaan inflamasi terdapat peninggian konsentrasi
fibrinogen dan inhibitor aktivator plasminogen di dalam sirkulasi.
Inflamasi juga dapat menyebabkan vasospasme pada pembuluh darah
karena tergganggunya aliran darah.
Vasokonstriksi pembuluh darah koroner juga ikut berperan pada
patogenesis SKA. Vasokonstriksi terjadi sebagai respon terhadap
disfungsi endotel ringan dekat lesi atau sebagai respon terhadap disrupsi
plak dari lesi itu sendiri. Endotel berfungsi mengatur tonus vaskular
dengan mengeluarkan faktor relaksasi yaitu nitrit oksida (NO) yang
dikenal sebagai Endothelium Derived Relaxing Factor (EDRF),
prostasiklin, dan faktor kontraksi seperti endotelin-1, tromboksan A2,
prostaglandin H2. Pada disfungsi endotel, faktor kontraksi lebih dominan
dari pada faktor relaksasi. Pada plak yang mengalami disrupsi terjadi
platelet dependent vasocontriction yang diperantarai oleh serotonin dan
tromboksan A2, dan thrombin dependent vasoconstriction diduga akibat
interaksi langsung antara zat tersebut dengan sel otot polos pembuluh
darah.
Gambar 1. Ilustrasi progresifitas pembentukan plak dan onset NSTEMI, 1) arteri
normal, 2) lipid ekstra selular masuk ke subintima, 3) fibrofatty stage, 4) ekspresi
prokoagulan dan terbentuknya fribrosis, 5) terlepasnya jaringan fibrosis yang
merangsang terbentungya trombogensis sehingga mengkibatkan sindoroma
koroner akut, 6) resorpsi trombus diikuti akumulasi kolagen dan pertumbuhan
otot polos (dikutip dari Amsterdam EA, dkk. 2014)
III. Diagnosis
Diagnosa adanya suatu SKA harus ditegakkan secara cepat dan
tepat dan didasarkan pada tiga kriteria, yaitu; gejala klinis nyeri dada
spesifik, gambaran EKG (elektrokardiogram) dan evaluasi biokimia dari
enzim jantung (Roffi 2015)
Kriteria European Society of Cardiology (ESC 2015) untuk
nyeri angina untuk SKA memiliki kriteria berikut:
1. Nyeri berlangsung > 20 menit, nyeri pada saat istirahat
2. Onset baru (de novo) angina derajat II atau III Canadian
Cardivascular Society (CCS) classification
3. Nyeri baru yang lebih berat dari nyeri sebelumnya dan
setidaknya CCS derajat III (cresendo angina)
4. Post miokard infark
Tabel 1. Kriteria angina pectoris Canadian Cardiovascular Society (Lucien 1976)
Derajat
Deskripsi
Derajat Aktivitas fisik biasa tidak menyebabkan angina, seperti berjalan,
I
menaiki tangga. Angina pada aktivitas yang berat, cepat atau
berkepanjangan.
Derajat Keterbatasan ringan pada aktivitas biasa, berjalan atau menaiki
II
tangga dengan cepat, mendaki jalan menanjak, berjalan atau
menaiki tangga setelah makan, atau dalam cuaca dingin, atau dalam
kondisi stres, atau selama beberapa jam setelah bangun. Berjalan
lebih dari 2 blok pada jalanan datar.
Derajat Keterbatasan aktivitas fisik nyata. Berjalan satu atau dua blok pada
III
permukaan rata atau menaiki tangga pada keadaan dan kecepatan
normal
Derajat Ketidakmampuan dalam melakukan aktivitas fisik secara nyaman,
IV
sindroma angina muncul pada istirahat
1. Riwayat / Anamnesis
Gejala utama yang menandakan suatu SKA adalah nyeri dada
tipikal (angina). Sifat nyeri dada yang spesifik angina sebagai berikut
(Muller 2014) :
- Pasien dengan nyeri dada akut (>20 menit), dapat bersifat
intermiten atau presisten.
- Lokasi : substermal, retrostermal, dan prekordial
- Sifat nyeri : rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih
benda berat, seperti ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir.
- Penjalaran ke : leher, lengan kiri, mandibula, gigi,
punggung/interskapula, dan dapat juga ke lengan kanan.
- Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat atau obat nitrat
- Faktor pencetus : latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan
sesudah makan
- Gejala yang menyertai : mual, muntah, nyeri perut, sulit bernafas,
keringat dingin, lemas, dan sinkop.
2. Pemeriksaan Fisik
Tujuan dari pemeriksaan fisik adalah untuk mengidentifikasi
faktor pencetus dan kondisi lain sebagai konsekuensi dari
APTS/NSTEMI. Hipertensi tak terkontrol, anemia, tirotoksikosis,
stenosis aorta berat, kardiomiopati hipertropik dan kondisi lain, seperti
penyakit paru. Keadaan disfungsi ventrikel kiri (hipotensi, ronki dan
gallop S3) menunjukkan prognosis yang buruk (Haff 2012).
3. Elektrokardiografi
EKG memberi bantuan untuk diagnosis dan prognosis.
Rekaman yang dilakukan saat sedang nyeri dada sangat bermanfaat.
Gambaran diagnosis dari EKG adalah :
3.1. Gambaran EKG pada STEMI
Gambaran yang khas adalah elevasi segmen ST dari J point
setidaknya pada 2 sadapan sebesar 2 mm (0,2 mV) pada lakilaki atau 1,5mm (1,5 mV) pada wanita pada sadapan V2-V3
dan/atau lebih dari 1mm (0,1 mv) pada sadapan dada lain atau
pada sadapan ekstremitas. Kebanyakan pasien akan mengalami
evolusi EKG menjadi gelombang Q (Gambar 2). Blok cabang
kiri baru dapat dipertimbangkan sebagai STEMI (O‘Gara
2013).
Selama terjadi STEMI, dapat diamati karakteristik perubahan
morfologi EKG yang berbeda-beda dalam jangka waktu
tertentu, di antaranya adalah:
a. Gelombang T hiperakut
Pada periode awal terjadinya STEMI, bisa didapatkan adanya
gelombang T prominen. Gelombang T prominen itu disebut
gelombang T hiperakut, yaitu gelombang T yang tingginya
lebih dari 6 mm pada sadapan ekstremitas dan lebih dari 10
mm pada sadapan prekordial. Gelombang T hiperakut ini
merupakan tanda sugestif untuk STEMI dan terjadi dalam 30
menit setelah onset gejala. Namun, gelombang T prominen
ini tidak selalu spesifik untuk iskemia (O‘Gara 2013).
b. Gambaran awal elevasi segmen ST
Jika oklusi terjadi dalam waktu lama dan derajatnya
signifikan (menyumbat 90% lumen arteri koroner),
gelombang T prominen akan diikuti dengan deviasi segmen
ST. Elevasi segmen ST menggambarkan adanya daerah
miokardium yang berisiko mengalami kerusakan ireversibel
menuju kematian sel (dapat diukur berdasarkan peningkatan
kadar troponin) dan lokasinya melibatkan lapisan epikardial.
Diagnosis STEMI ditegakkan jika didapatkan elevasi segmen
ST minimal 0,1 mV (1 mm) pada sadapan ekstremitas dan
lebih dari 0,2 mV (2 mm) pada sadapan prekordial di dua
atau lebih sadapan yang bersesuaian. Elevasi segmen ST
merupakan gambaran khas infark miokardium akut
transmural, tetapi bisa ditemukan pula pada kelainan lain.
Pada kebanyakan kasus, untuk membedakan STEMI dari
kelainan lain biasanya tidak sulit, cukup dengan
memperhatikan gambaran klinisnya (O‘Gara 2013).
Gambar 2. Perubahan morfologi segmen ST dan gelombang T pada SKA
(O‘Gara 2013)
c. Elevasi segmen ST yang khas (berbentuk konveks)
Gelombang R mulai menghilang. Pada saat bersamaan, mulai
terbentuk gelombang Q patologis. Gelombang Q patologis
berhubungan dengan infark transmural yang disertai dengan
adanya fibrosis pada seluruh dinding. Pada 75% pasien,
elevasi segmen ST yang khas ini terbentuk dalam beberapa
jam sampai beberapa hari (O‘Gara 2013).
d. Inversi gelombang T
Bila berlangsung lama dan tidak dilakukan reperfusi arteri
koroner, elevasi segmen ST mulai menghilang kembali ke
garis isoelektrik. Bersamaan dengan itu, mulai timbul
gambaran inversi gelombang T. Gelombang T dapat kembali
normal dalam beberapa hari, minggu, atau bulan (O‘Gara
2013).
e. Morfologi segmen ST kembali normal
Segmen ST biasanya stabil dalam 12 jam, kemudian
mengalami resolusi sempurna setelah 72 jam. Elevasi
segmen ST biasanya menghilang sempurna dalam 2
minggu pada 95% kasus infark miokardium inferior dan 40%
kasus infark miokardium anterior. Elevasi segmen ST yang
menetap setelah 2 minggu berhubungan dengan morbiditas
yang lebih tinggi. Jika elevasi segmen ST menetap selama
beberapa bulan, perlu dipikirkan kemungkinan adanya
aneurisma ventrikel (O‘Gara 2013).
3.2. Gambaran EKG pada angina tidak stabil dan NSTEMI
Depresi segmen ST > 0,05 mV dan inversi gelombang T > 0,2
mV yang simetris di sandapan prekordial (Gambar 3).
Pada gambaran EKG normal, gelombang T biasanya positif
pada sadapan (lead) I, II, dan V3 sampai dengan V6; terbalik
pada sadapan aVR; bervariasi pada sadapan III, aVF, aVL, dan
V1; jarang didapatkan terbalik pada V2.
Perubahan EKG lainnya termasuk bundle branch block (BBB)
dan aritmia
jantung, terutama Sustained VT. Serial EKG harus dibuat jika
ditemukan adanya perubahan segmen ST. Namun EKG yang
normal pun tidak menyingkirkan diagnosis APTS/NSTEMI
(Roff 2015).
Gambar 3. Gelombang T terbalik (inversi) dan Depresi segmen ST (Roffi 2015)
4. Petanda Biokimia Jantung
Biomarker dapat dipakai sebagai pelengkap diagnosis selain
EKG 12 sadapan, dimana troponin lebih dipilih dalam melakukan
diagnosis. High sensitive troponin lebih dipilih, dan disarankan pada
semua pasien yang curigai sebagai NSTEMI. Dimana suatu negative
troponin memiliki nilai >95% nilai prediksi negatif untuk suatu infark,
sedangkan high sensitif troponin memiliki nilai negatif >99%. Petanda
biokimia seperti troponin I (TnI) dan troponin T (TnT) mempunyai nilai
prognostik yang lebih baik dari pada CKMB. Troponin C, TnI dan TnT
berkaitan dengan konstraksi dari sel miokrad. Susunan asam amino dari
Troponin C sama dengan sel otot jantung dan rangka, sedangkan pada
TnI dan TnT berbeda (Tabel 2). Nilai prognostik dari TnI atau TnT untuk
memprediksi risiko kematian, infark miokard dan kebutuhan
revaskularisasi dalam 30 hari, adalah sama (Keller 2011)
Kadar serum creatinine kinase (CK) dan fraksi MB merupakan
indikator penting dari nekrosis miokard. Keterbatasan utama dari kedua
petanda tersebut adalah relative rendahnya spesifikasi dan sensitivitas
saat awal (<6 jam) setelah onset serangan. Risiko yang lebih buruk pada
pasien tanpa elevasi segmen ST lebih besar pada pasien dengan
peningkatan nilai CKMB (Bhardwaj 2011).
Tabel 2. Rekomendasi AHA dalam mendiagnosis sindroma koroner akut
(Amsterdam 2014)
Kerena tingginya nilai sensitivitas dan akurasi diagnosis untuk
mendeteksi suatu akut koroner, waktu yang dibutuhkan untuk mendeteksi
troponin kedua dapat dipersingkat dengan pemakaian high sensitive
troponin assay (Gambar 4). ESC merekomendasikan pemakaian
algoritme 0h/3h Role Out algoritm (Roffi 21014).
Gambar 4. 0h/3h Role Iut algoritm pada pasien NSTEMI menggunakan high
sensitive troponin (Roffi 2014)
Gambar 5. 0 h/1 h rule-in and rule-out algorithms menggunakan high sensitivity
cardiac troponins (hs-cTn) assays pada pasien yang dicurigai (NSTEMI) 0 h and
1 h merujuk pada waktu dilakukan pemerikssan darah. NSTEMI dapat di Role
Out jika konsentrasi hs-cTn sangat rendah. Pasien sangat mungkin mengalami
NSTEMI jika konsentrasi hs-cTn meningkat sedikit atau konsentasi hs-cTn
meningkat dari jam pertama (Roffi 2015)
Sebagai alternatif dapat digunakan 0h/1h Role In jika high
sensitive toponin assay tersedia (Gambar 5). Algoritme Role In ini
memiliki 2 konsep, pertama kemungkinan suatu infark miokard jika
diikuti dengan peningkatan nilai high sensitif kardiak troponin. Kedua,
hampir dapat dipastikan jika terjadi peningkatan pada satu jam pertama,
maka juga akan terjadi peningkatan nilai pada jam ke 3 dan 6 (Roffi
2015).
Algoritme Role Out memiliki nilai prediksi negatif sebesar 98%
pada beberapa kohort dengan populasi yang cukup besar. Sedangkan
algoritme Role In memiliki nilai prediksi positif 75%-80% (Roffi 2015).
Pemakaian biomarker jantung sebagai alat diagnosis juga
direkomendasikan AHA, dimana pemakaian troponin harus diukur pada
jam ke-3 dan jam ke-6 setelah serangan untuk menidentifikasi adanya
pola peningkatan atau penurunan. Dimana adanya peningkatan kadar
troponin dan perubahan EKG akan dianggap sebagai suatu sindroma
koroner akut (Amsterdam 2014).
Evaluasi nilai troponin dalam 3 hingga 4 hari dapat digunakan
untuk sebagai evaluasi ukuran infark dan nekrosis (Reichlin 2013).
5. Pencitraan
Pencitraan dengan X-ray torak diperlukan untuk menyingkirkan
kemungkinan diagnosis nyeri dada yang bersumber dari paru. Adanya
pelebaran mediastinum dapat mengidentifikasi adanya diseksi aorta (Steg
2012).
Computed tomography scanning dengan kontras intravena
dapat membantu menyingkirkan kemungkinan adanya emboli paru
(Mockel M 2015).
Ekokardiografi transesofageal dapat mengidentifikasi adanya
efusi pleura, tanda tamponade, dan dapat mendeteksi adanya
abnormalitas pergerakan dinding jantung (Eggers 2012).
Cardiac magnetic resonance (CMR) dapat digunakan untuk
mendeteksi perfusi danabnormalitas pergerakan dinding jantung. CMR
juga dapat mendeteksi adanya jaringan parut (dengan menggunakan
kontras gadolinium) dan dapat membedakan dengan infak baru
(menggunakan T-2 untuk mendeteksi edema miokard), lebih jauh, CMR
dapat digunakan untuk membedakan infark dan miokarditis (Roffi 2015)
Pencitraan dengan radionuklir dapat digunakan untuk
mendeteksi adanya sindroma koroner akut. Deteksi terhadap adanya
defek perfusi pada miokard yang nekrosis dapat membantu diagnosis
pada pasien pasien dengan nyeri dada tanpa adanya perubahan EKG atau
peningkatan kardiak troponin (Roffi 2015).
Gambar 6. Algoritme diganosis sindroma koroner akut bedasarkan American
Heart Association (AHA) 2015.
IV. Diagnosis Banding
Diantara pasien yang masuk unit gawat darurat dengan keluhan
nyeri dada, 5-10% adalah STEMI, 15-20% adalah NSTEMI, 10%
unstable angina, 15% keadaan jantung yang lain, dan 50% adalah
penyakit non-kardiak. Beberapa kondisi kardiak dan non-kardiak dapat
menyerupai NSTEMI, kondisi ini harus dianggap sebagai suatu NSTEMI
karena dapat bersifat mengancam nyawa termasuk diseksi aorta, emboli
pulmonal dan tension pneumothorak. Ekhokardiografi direkomendasikan
pada semua pasien dengan hemodinamik tidak stabil yang dicurigai
akibat gangguan kardiovaskular (Zahlev 2015).
Tabel 3. Diagnosa banding sindroma koroner akut
V. Kesimpulan
Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan salah satu
manifestasi klinis Penyakit Jantung Koroner (PJK) yang utama dan
menyebabkan angka perawatan rumah sakit yang sangat besar serta
paling sering mengakibatkan kematian.
Diagnosa adanya suatu SKA harus ditegakkan secara cepat dan
tepat dan didasarkan pada tiga kriteria, yaitu; gejala klinis nyeri dada
spesifik, gambaran EKG (elektrokardiogram) dan evaluasi biokimia dari
enzim jantung.
Suatu negative troponin memiliki nilai >95% nilai prediksi
negatif untuk suatu infark, sedangkan high sensitif troponin memiliki
nilai negatif >99%. Petanda biokimia seperti troponin I (TnI) dan
troponin T (TnT) mempunyai nilai prognostik yang lebih baik dari pada
CKMB.
Selama STEMI, dapat diamati karakteristik perubahan
morfologi EKG yang berbeda-beda dalam jangka waktu tertentu. Terdiri
dari gelombang hiperakut T, gambaran awal elevasi segmen ST, Elevasi
segmen ST yang khas (berbentuk konveks), inversi gelombang T, dan
morfologi segmen ST kembali normal.
Gambaran EKG pada angina tidak stabil dan NSTEMI
didapatkan depresi segmen ST > 0,05 mV dan inversi gelombang T > 0,2
mV yang simetris di sandapan prekordial.
Diagnosa banding pasien yang masuk unit gawat darurat
dengan keluhan nyeri dada, 5-10% adalah STEMI, 15-20% adalah
NSTEMI, 10% unstable angina, 15% keadaan jantung yang lain, dan 50%
adalah penyakit non-kardiak.
DAFTAR PUSTAKA
Amsterdam EA, dkk. 2014 AHA/ACC Guideline for the Management of
Patients With Non–ST-Elevation Acute Coronary Syndromes A
Report of the American College of Cardiology/American Heart
Association Task Force on Practice Guidelines. Circulation.
2014;130:e344-e426.
Eggers K, Venge P, Lindahl B. High-sensitive cardiac troponin T
outperforms novel diagnostic biomarkers in patients with acute
chest pain. Clin Chim Acta. 2012;413:1135-40.
Bhardwaj A, dkk. A multicenter comparison of established and emerging
cardiac biomarkers for the diagnostic evaluation of chest pain in
the emergency department. Am Heart J. 2011;162:276-82.
Haff P. Highsensitivity cardiac troponin in the distinction of acute
myocardial infarction from acute cardiac noncoronary artery
disease. Circulation 2012;126:31–40.
Keller T. Serial changes in highly sensitive troponin I assay and early
diagnosis of myocardial infarction. JAMA 2011;306:2684–2693.
Lucien C. Grading of angina pectoris. Circulation 1976;54:5223.
Mockel M. Early discharge using single cardiac troponin and copeptin
testing in patients with suspected acute coronary syndrome (ACS):
a randomized,controlled clinical process study. Eur Heart J
2015;36:369–376.
Muller C. Biomarkers and acute coronary syndromes: an update. Eur
Heart J 2014;35:552–556.
O'Gara, dkk. 2013 ACCF/AHA STEMI Guideline: Full Text. JACC Vol.
61, No. 4, 2013.
O'Gara, dkk. 2013 ACCF/AHA guideline for the management of STelevation myocardial infarction: a report of the American College
of Cardiology Foundation/American Heart Association Task Force
on Practice Guidelines. Circulation. 2013;127.
Reichlin T, dkk. Risk stratification in patients with unstable angina using
absolute serial changes of 3 high-sensitive troponin assay. Am
Heart J 2013;165:371–378, e373.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007. Des 2008. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan, Republik
Indonesia.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kementerian Kesehatan RI. Jakarta: Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia.
Steg, dkk. ESC guidelines for the management of acute myocardial
infarction in patients presenting with ST-segment elevation. Eur
Heart J 2012;33:2569–2619.
Roffi M, dkk. 2015 ESC guidelines for the management of acute coronary
syndromes in patients presenting without persistent ST-segment
elevation. European Heart Journal. August 2015:1-59.
WHO. Global status report on noncommunicable diseases 2014.
Switzerland: WHO; 2014.
Zehlev Z, dkk. Diagnostic accuracy of single baseline measurementof
Elecsys troponin T high-sensitive assay for diagnosis of acute
myocardial infarction in emergency department: systematic review
and meta-analysis. BMJ 2015;350:h15.
ROLE OF ANTICOAGULANT IN ACUTE
CORONARY SYNDROME
Muhammad Diah
Divisi Kardiologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Unsyiah/RSUD dr. Zainoel Abidin, Banda Aceh
Pendahuluan
Acute Coronary Syndrome (ACS) atau sindrom koroner akut
disebabkan oleh ketidak stabilan koroner berupa pecahnya plak yang
menyebabkan aktivasi platelet, berhentinya aliran darah miokard, dan
iskemia koroner, yang mana akan berpotensi menghasilkan nekrosis
miokard. ACS terdiri atas unstable angina (tidak ada peningkatan
biomarker jantung), Non-ST-Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI),
dan ST-Elevation Myocardial Infarction (STEMI). ACS menyebabkan
lebih dari 1,4 juta angka rawatan di rumah sakit di Amerika Serikat. Di
Indonesia ACS masih dianggap sebagai penyumbang angka kematian
tertinggi dengan angka prevalensi 7,2% pada tahun 2007. Survei yang
dilakukan Departemen Kesehatan RI menyatakan prevalensi SKA di
Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat.
Trombosis platelet terkait fibrin pada arteri koroner adalah dasar
patologi dari infark miokard, dimana antiplatelet dan antikoagulan
merupakan landasan penatalaksanaan ACS, yang dapat mengurangi baik
tingkat morbiditas maupun kematian akibat ACS. Terapi medis rutin
yang diberikan selama ini adalah obat antiplatelet yang dikombinasikan
dengan antikoagulan parenteral seperti heparin atau low molecular weight
heparin. Kadang-kadang, pasien dianggap memerlukan terapi tiga
antikoagulan yaitu dengan aspirin, clopidogrel, dan warfarin setelah ACS,
oleh karena karena kondisi seperti atrial fibrillation (AF), trombosis vena
dalam, katup jantung prostetik, atau riwayat emboli paru. Pada gambar 1
dan 2 seperti yang terlihat pada lampiran adalah pedoman dari American
College of Cardiology Fondation dan American Heart Association
mengenai peranan berbagai macam antikoagulan dalam penanganan
ACS.
Gambar 1. Algoritma Terapi Antiplatelet dan Antikoagulan dalam
Penanganan NSTEMI.
Gambar 2. Algoritma Terapi Antiplatelet dan Antikoagulan dalam Penanganan
STEMI
Antiplatelet
Aspirin
Aspirin, suatu asetilat enzim cyclooxygenase-1 ireversibel,
bekerja dengan menghalangi pembentukan intraplatelet tromboksan A2
(Gambar 3), aggregator platelet yang ampuh dan vasokonstriktor endotel.
Uji klinis besar telah menegaskan bahwa aspirin dapat mengurangi nilai
morbiditas dan mortalitas sebanyak 50% pada pasien ACS.
Selama periode ACS, pasien harus menerima satu dosis aspirin
325 mg (dosis standar di Amerika Serikat). Aspirin harus dikunyah, oleh
karena penyerapan bukal menghasilkan efek sistemik yang lebih cepat
efek sistemik. Setelah itu, pasien harus menerima aspirin 81 mg per hari,
terus dilanjutkan tanpa batasan waktu. Dosis 81mg juga berlaku untuk
pasien yang menjalani Percutaneous Coronary Intervention (PCI) dimana
berhubungan dengan adanya stent. Rekomendasi sebelumnya
merekomendasikan dosis yang lebih tinggi, namun studi terbaru
menunjukkan bahwa dosis tinggi menimbulkan resiko perdarahan yang
lebih tinggi dari tanpa adanya manfaat klinis tambahan. Penggunaan
aspirin berlapis enterik tidak mengurangi resiko ini. Penggunaan
bersamaan dengan Non Steroid Antiinflammatory Drug (NSAID) harus
dihindari, karena NSAID mengikat trombosit secara reversibel, alih-alih
mencegah aspirin untuk berikatan. Saat aspirin keluar dari tubuh, NSAID
akan berikatan dengan trombosit, dan trombosit akan kembali aktif.
Gambar 3. Aktivasi Platelet dan Lokasi Kerja Antiplatelet
P2Y12 Receptor Inhibitors
Obat ini mengikat reseptor P2Y12 di trombosit untuk
menghambat adenosine diphosphate terkait aktivasi platelet (Gambar 3).
Clopidogrel dan prasugrel adalah prodrug yang ireversibel, sedangkan
ticagrelor bersifat reversibel.
Clopidogrel
Clopidogrel memiliki waktu paruh 8 jam dan waktu puncak
konsentrasi selama 4 jam. Sebanyak 85% dosis diinaktifkan oleh
esterase usus. Sisanya dimetabolisme terutama oleh sistem enzim
sitokrom P4502C19 ke bentuk metabolit aktif.
Dosis yang dianjurkan adalah bolus 600 mg pada awal perjalanan
ACS. Hal ini berkaitkan dengan tingkat kejadian kardiovaskular yang
lebih rendah dibandingkan dengan dosis 300 mg. Pada pasien ACS yang
tidak dapat menerima aspirin karena hipersensitivitas ataupun
kontraindikasi gastrointestinal, clopidogrel dapat menjadi terapi
alternatif.
Namun, pada pasien yang menjalani tindakan Coronary Artery
Bypass Grafting (CABG) beresiko perdarahan sebanyak 53% (resiko
absolut 3,3%) jika mendapat clopidogrel dalam waktu 5 hari tindakan.
Hal ini telah menyebabkan praktisi klinis menunda memberikan
clopidogrel sampai setelah anatomi koroner telah ditetapkan. Hal ini
menyebabkan pasien tidak mendapat manfaat antiiskemia dengan
memberikan clopidogrel sejak awal dan tetap menjadi isu perdebatan,
dengan kecenderungan untuk tetap memberikan clopidogrel sejak awal,
sebelum angiografi, berdasarkan risk-benefit ratio, kecuali ada
kemungkinan besar bahwa tindakan akhirnya akan diperlukan. Pilihan
lainnya adalah mempertimbangkan menggunakan short acting
glikoprotein IIb/ IIIa inhibitor intravena seperti Eptifibatide sebagai
"bridging therapy" sampai strategi reperfusi yang definitif ditentukan.
Prasugrel
Prasugrel adalah P2Y12 antagonis reseptor ireversibel (Gambar
3) yang dimetabolisme menjadi metabolit aktif lebih cepat dan lebih
dapat diprediksi dari clopidogrel. Waktu paruh prasugrel adalah 7 jam
dan puncak efek antiplatelet adalah dalam waktu 30 menit setelah dosis
oral, dibandingkan clopidogrel dalam waktu 4 jam. Oleh karena itu, jika
pasien NSTEMI akan menjalani ke kateterisasi segera, tidak boleh
menerima prasugrel terlebih dahulu, dan harus menerima setelahnya jika
hasil angiografi menunjukkan bahwa CABG tidak akan diperlukan
segera. Hal Ini merupakan pertimbangan penting bila menggunakan
prasugrel, oleh karena tingkat perdarahan akibat tindakan adalah empat
kali lebih tinggi pada prasugel dibanding dengan clopidogrel. Jika
memungkinkan, obat ini harus ditunda untuk setidaknya 7 hari sebelum
CABG.
Ticagrelor
Ticagrelor adalah inhibitor langsung reversibel dari reseptor
P2Y12, yang bekerja menghambat adenosine diphosphate terkait aktivasi
dan agregasi (Gambar 3). Memiliki waktu median puncak konsentrasi 1,3
sampai 2 jam dan waktu paruh dari 9 jam.
Ticagrelor berhubungan dengan insiden perdarahan 19% lebih
tinggi pada tindakan non CABG atau tindakan dengan pendarahan besar,
perdarahan intrakranial fatal, insiden dispnea yang lebih tinggi dan blok
ventrikel secara signifikan. Ticagrelor sebaiknya dihentikan 5 hari
sebelum CABG.
Glycoprotein IIb/IIIa Inhibitors
Eptifibatide, Tiroban, Abciximab
Glikoprotein IIb/IIIa inhibitor adalah obat intravena yang bekerja
dengan menghambat fibrinogen dan faktor Von Willebrand, jalur final
agregasi platelet (Gambar 3). Penggunaan obat ini untuk penatalaksanaan
ACS telah menurun, sebagian besar digunakan sebelum era terapi dual
antiplatelet.
Antikoagulan parenteral
Unfractioned Heparin
Heparin mengikat antitrombin yang berinteraksi dengan
antitrombin III dan menginduksi perubahan konformasi, menyebabkan
penghambatan cepat faktor IIa (trombin), faktor IXa, dan Faktor Xa
sehingga mencegah propagasi trombus lebih lanjut (Gambar 4). Bolus
heparin 60 unit/kg intravena menghasilkan waktu puncak 5 sampai 10
menit dan waktu paruh 30 sampai 60 menit. Efek heparin dapat dibalik
dengan memberikan protamine sulfat (1 mg per 100 unit heparin). Untuk
penatalaksanaan ACS, heparin diberikan berupa bolus 60 unit/kg, tidak
melebihi 4.000 unit, diikuti oleh infus drip 12 unit/kg /jam, dengan
pemantauan waktu tromboplastin parsial teraktivasi setiap 6 jam dengan
nilai tujuan 50 sampai 70 detik atau 1,5 sampai 2,5 kali kontrol. Efek
samping heparin termasuk trombositopenia, (kondisi yang berbeda), dan
perdarahan.
Kelebihan dari unfractioned heparin adalah murah, dan efeknya
dapat dengan cepat dibalik. Kelemahannya adalah efek samping yang
serius, termasuk heparin induced trombositopenia dan lebih mungkin
menyebabkan perdarahan dari pada antikoagulan intravena yang lebih
baru.
Bivalirudin
Bivalirudin adalah inhibitor trombin langsung sintetis terhadap
fase cairan dan ikatan gumpalan trombin (Gambar 4). Bivalirudin juga
menghambat trombosit secara langsung.
Enoxaparin
Enoxaparin adalah low molecular weight heparin yang
menghambat faktor Iia dan faktor Xa melalui antitrombin, kira-kira
dalam rasio 1: 3 (Gambar 4). Enoxaparin memiliki waktu puncak dari 10
menit ketika diberikan secara intravena, dan 3 sampai 5 jam ketika diberi
subkutan. Waktu paruh enoxaparin adalah 4,5 jam, namun akan lebih
panjang pada pasien dengan disfungsi ginjal, sehingga membutuhkan
penyesuaian dosis. Efek antikoagulan enoxaparin sebagian reversibel.
Jika itu harus dibalik antara 0 dan 8 jam setelah pemberian dosis,
pembalikan direkomendasikan menggunakan rejimen 1 mg protamine
sulfat untuk setiap 1 mg enoxaparin yang digunakan. Setelah 8 sampai 12
jam, digunakan 0,5 mg protamine untuk setiap 1 mg enoxaparin. Setelah
12 jam, protamine tidak diperlukan.
Dibandingkan dengan unfractioned heparin, enoxaparin kurang
berikatan plasma protein dan efek antikoagulan lebih konsisten.
Bioavailabilitas yang tinggi juga memungkinkan untuk pemberian dosis
subkutan. Aktivitas antiXa yang lebih besar sehingga menghambat
pembentukan trombin baru yang
lebih efektif, dan resiko dari
trombositopenia dan heparin induced trombositopenia yang lebih rendah.
Fondaparinux
Fondaparinux adalah sintetis pentasakarida yang secara tidak
langsung menghambat faktor Xa melalui aksi antitrombin (Gambar 4).
Setelah pemberian dosis 2.5 mg subkutan, konsentrasi waktu puncak 2
jam dan waktu paruh terjadi dalam 17-21 jam.
Meskipun penggunaan tambahan unfractioned heparin
tampaknya mengurangi resiko perdarahan, fondaparinux tetap merupakan
pilihan yang kurang ideal untuk tindakan PCI primer akibat STEMI.
Antikoagulan oral
Warfarin
Warfarin, suatu vitamin K antagonis oral, telah digunakan selama
beberapa dekade sebagai antikoagulan untuk pengobatan AF, katup
jantung buatan, trombosis vena dalam, emboli paru, dan berbagai
gangguan pembekuan. Penelitian sebelumnya mengevaluasi peran
warfarin dalam kombinasi dengan aspirin untuk pengobatan ACS.
Apixaban
Apixaban adalah faktor Xa inhibitor oral langsung dengan
penyerapan cepat, waktu paruh 12 jam, dan ekskresi ginjal 25%. Studi
APPRAISE yang membandingkan apixaban 5 mg dua kali sehari vs
plasebo untuk penanganan ACS, menemukan tidak ada perbedaan dalam
tingkat kematian kardiovaskular, infark miokard, dan stroke.
Gambar 4. Kaskade Koagulasi dan Lokasi Kerja Antikoagulan
Dabigatran
Dabigatran adalah inhibitor trombin langsung oral. Studi
REDEEM mebandingkan empat dosis dabigatran (50, 75, 110, dan 150
mg dua kali sehari) dan plasebo pada pasien ACS. Kelompok dabigatran
memiliki lebih beresiko terjadi pendarahan mayor dan minor, dan
semakin tinggi dosis maka akan lebih tinggi kejadian perdarahan.
Kesimpulan
Dalam pengobatan ACS, keuntungan memperbaiki perfusi
dengan mencegah propagasi trombus lebih lanjut dan agregasi platelet ,
sejalan dengan resiko perdarahan yang lebih tinggi secara signifikan. Hal
ini pada gilirannya akan meningkatkan resiko kematian melalui berbagai
mekanisme, termasuk shock, memburuknya iskemia, penghentian
antiplatelet dan terapi antikoagulasi menyebabkan stent thrombosis, dan
anemia menyebabkan transfusi, yang merambat yang mendasari
terjadinya proses inflamasi.
REFERENSI
1. Kar S dan Bhatt DL. Anticoagulants for the Treatment of Acute
Coronary Syndrome in the Era of New Oral Agents. Coronary
Artery Disease 2012, 23:380-90
2. Singh D, Gupta K, dan Vacek JL. Anticoagulant and Antiplatelet
Therapy in Acute Coronary Syndromes. Cleveland Clinic of
Journal of Medicine, Volume 81, Number 2, 2014:103-14
3. Pollack CV. Anticoagulation in Acute Coronary Syndrome and
Beyond. University of Pennsylvania Health System: 1-6
4. Wright RS, Anderson JL, Adams CD, et al; American College of
Cardiology Foundation/American Heart Association Task Force
on Practice Guidelines. 2011 ACCF/AHA focused update
incorporated into the ACC/ AHA 2007 Guidelines for the
Management of Patients with Unstable Angina/Non-STElevation Myocardial Infarction. J Am Coll Cardiol 2011;
57:e215–e367.
5. Jneid H, Anderson JL, Wright RS, et al. 2012 ACCF/AHA
focused update of the guideline for the management of patients
with unstable angina/ non-ST-elevation myocardial infarction
(updating the 2007 guideline and replacing the 2011 focused
update): a report of the American College of Cardiology
Foundation/American Heart Association Task Force on Practice
Guidelines. J Am Coll Cardiol 2012; 60:645–681.
6. Levine GN, Bates ER, Blankenship JC, et al; American College
of Cardiology Foundation; American Heart Association Task
Force on Practice Guidelines; Society for Cardiovascular
Angiography and Interventions. 2011 ACCF/AHA/SCAI
Guideline for Percutaneous Coronary Intervention. A report of
the American College of Cardiology Foundation/American Heart
Association Task Force on Practice Guidelines and the Society
for Cardiovascular Angiography and Interventions. J Am Coll
Cardiol 2011; 58:e44–e122.
7. Steg PG, Huber K, Andreotti F, et al. Bleeding in acute coronary
syndromes and percutaneous coronary interventions: position
paper by the Working Group on Thrombosis of the European
Society of Cardiology. Eur Heart J 2011; 32:1854–1864.
8. Giugliano RP, Braunwald E. The year in non-ST-segment
elevation acute coronary syndrome. J Am Coll Cardiol 2012;
60:2127-2039.
9. Braunwald E. Unstable angina and non-ST elevation myocardial
infarction. Am J Respir Crit Care Med 2012; 185:924–932.
10. Pedoman Tata Laksana Sindrom Akut. Perhimpunan Dokter
Spesialis Kardiovaskular Indonesia, Edisi Tiga, 2015.
STEROID : USE AND ABUSE
Hendra Zufry
Divisi Endokrinologi, Metabolik & Diabetes- Pusat Pelayanan Tiroid Terpadu.
Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Syiah
Kuala/RSUD.Dr.Zainoel Abidin Banda Aceh.
Pendahuluan
Testosteron adalah hormon dasar pada manusia yang
menghasilkan karakteristik seks sekunder laki-laki (androgenik)
merupakan hormon penting menjaga keseimbangan nitrogen yang
adekuat, sehingga membantu penyembuhan jaringan dan pemeliharaan
massa otot (anabolik). Testosteron memiliki aksi ganda digambarkan
dalam kapasitas androgenik dan anaboliknya.
SAA adalah obat yang berasal dari modifikasi molekul
testosteron untuk meningkatkan atau membatasi karakteristik tertentu dari
testosteron. Secara umum, testosteron telah diubah untuk memproduksi
obat yang lebih kurang sebagai anabolik atau androgenik, yang memiliki
perbedaan afinitas untuk reseptor testosteron, memiliki jalur breakdown
metabolisme yang berbeda, atau yang berkhasiat untuk penggunaan oral;
atau dapat juga dikombinasikan dari perubahan ini. Lebih dari seribu
senyawa yang berbeda telah disintesis dan dipelajari sejak tahun 1950
dengan harapan menghasilkan senyawa yang memiliki sifat anabolik atau
androgenic yang mempunyai efek lebih tinggi dari testosteron.
Secara umum, tujuan mengubah suatu SAA ini adalah untuk
meningkatkan karakteristik anabolik dan untuk mengurangi fitur
androgenik, sehingga dapat digandakan senyawa yang diinginkan, yaitu
karakter sifat anaboliknya, efek nitrogen-sparing senyawa dan
meminimalkan yang tidak diinginkan secara umum seperti sifat
androgenik, dan efek virilisasi.
Secara klinis, SAA telah digunakan untuk treatment sejumlah kondisi,
yaitu:
 Anemia
 Luka akut dan kronis
 Malnutrisi Kalori-Protein dengan penurunan berat badan
 luka bakar yang parah
 Perawakan pendek
 Osteoporosis
 Hipogonadisme Primer dan Skunder
 Katabolik skunder berkepanjangan untuk penggunaan jangka
panjang kortikosteroid
 Human immunodeficiency virus (HIV) sindrom wasting
Hampir sejak awal, testosteron dan analog anabolik-androgenik
telah digunakan dan disalahgunakan oleh individu yang ingin
meningkatkan efek anabolik dan potensi androgenik. Dengan demikian,
orang-orang ini bertujuan untuk meningkatkan kinerja fisik mereka dalam
pemugaran dan peningkatan fisik. Atlet angkat besi dan atlet trek blok
timur mengatur tahapan latihan atletik selama beberapa dekade dengan
menggunakan senyawa tersebut.
Penggunaan SAA telah menjadi fenomena di seluruh dunia,
perlahan-lahan merambat ke perguruan tinggi, SMA, dan bahkan tingkat
SMP.1 Penegasan awal dari komunitas medis bahwa "Steroid anabolik
belum dapat meningkatkan kemampuan atletik" di Physicians Desk
Reference 2002, berkontribusi untuk fenomena ini. Orang-orang yang
menyalahgunakan obat ini dengan cepat menyadari bahwa efek
peningkatan kinerja itu nyata dan kemudian tanpa memperhatikan
kontraindikasi, dosis rekomendasi, dan peringatan dari Praktisi
Kesehatan.2,3
Biopharmacology Testosteron
Testosteron, merupakan hormon seks pria yang utama,
diproduksi di testis dipengaruhi hormon luteinizing (LH) dalam jumlah
2,5-11 mg/d.4 Aktivitas testosteron dimediasi melalui reseptor androgen
yang hadir dalam berbagai jaringan di seluruh tubuh manusia.
Testosteron mengikat reseptor intraseluler dalam sitosol sel, membentuk
kompleks reseptor yang bermigrasi ke dalam nukleus, yang mengikat
asam deoksiribonukleat (DNA) segmen tertentu. Selanjutnya
mengaktifkan asam ribonukleat (mRNA) untuk meningkatkan transkripsi,
yang mengarah ke peningkatan laju sintesis protein; dalam kasus sel-sel
otot, ini berarti peningkatan produksi dari protein aktin dan myosin.
Setelah proses ini selesai, reseptor berdisosiasi kompleks dan didaur
ulang bersama dengan hormon, untuk mengulangi proses ini beberapa
kali sebelum metabolisme.
Aksi kerja anabolik testosteron terutama disebabkan testosteron
bertindak pada reseptor androgen pada jaringan anabolik-responsif. Efek
androgenik yang mungkin dimediasi melalui reseptor androgen yang
sama pada jaringan androgen-responsif di bawah pengaruh
dihidrotestosteron (DHT), yang diproduksi oleh interaksi dari 5-alpha
reductase (5AR) dengan testosteron dan pengurangan berikutnya dari C45 ganda obligasi. Selain itu, DHT tidak dapat menjalani pengurangan
lebih lanjut, juga bukan substrat untuk aromatase; dengan demikian, tidak
dikonversi ke metabolit estrogenik. DHT telah ditunjukkan untuk
mengikat ke reseptor dalam jaringan, seperti kulit, kulit kepala, dan
prostat, dan untuk mengerahkan 3-4 kali efek androgenik testosteron.
Dengan demikian, hormon utama yang memediasi efek androgenik
testosteron sebenarnya adalah 5-alpha berkurang DHT.
Mekanisme lain dari efek anabolik langsung dan tidak langsung
termasuk aktivitas anti-glukokortikoid yang dimediasi oleh perpindahan
dari glukokortikoid dari reseptor,5 meningkat pada aktivitas creatine
phosphokinase di otot rangka,6 dan peningkatan di sirkulasi faktor
pertumbuhan insulin (IGF)-1,7 serta up-regulasi reseptor IGF-1.8 Oleh
karena itu, dosis supraphysiologic testosteron atau AAS tidak
berpengaruh terhadap meningkatnya efek anabolik pada atlet yang sehat.
Biokimia dan Farmakologi
Kebanyakan AAS berasal dari 3 senyawa: testosteron,
dihidrotestosteron, dan 19-nortestosteron. Senyawa ketiga secara
struktural identik dengan testosteron kecuali untuk penghapusan karbon19. Senyawa induk ini menawarkan sifat yang berbeda yang berkaitan
dengan tindakan dan metabolisme yang umumnya konstan di seluruh
kelompok senyawa tersebut.
Ester Testosteron dan Turunannya
Ester testosteron semakin digunakan dalam terapi pengganti,
namun penyalahgunaan senyawa ini juga meningkat. Ester ini berbeda
dalam bentuk struktural dan ukuran berfungsi untuk menentukan tingkat
di mana testosteron dilepaskan dari jaringan.
Preparat testosteron umumnya adalah: Testosteron propionate,
Testosteron cypionate, Testosteron enanthate dan derivat testosterone
(Metiltestosteron)
Metiltestosteron adalah bentuk paling dasar dari anabolicandrogenic steroid (AAS). Eliminasi degradasi pertama terjadi di hepar,
sebisa mungkin dapat diberikan dosis minimal secara oral. Karena dapat
menyebabkan hepatotoksisitas terkait dosis. Efek samping androgenik
dan estrogenik sangat kuat dan merupakan pilihan yang buruk.
Methandrostenolone dapat mengurangi estrogenik dan sifat
androgenik.10 Steroid ini pertama kali diproduksi secara komersial pada
tahun 1960 oleh Ciba dengan nama merek "Dianabol" yang dengan cepat
menjadi steroid yang paling banyak digunakan dan disalahgunakan di
seluruh dunia, bahkan juga sampai saat ini. Agen ini sangat berefek
anabolik, dengan waktu paruh sekitar 4 jam. Gugus metil pada C-17
membuat AAS pada preparat oral dapat berpotensi sebagai hepatotoksik.
Fluoxymesterone adalah androgen ampuh yang diproduksi di
bawah nama merek "Halotestin". Dapat diberikan secara oral, namun
dapat menimbulkan keprihatinan terhadap kondisi hepatiknya. AAS ini
tidak disukai dalam praktek klinis karena efek anaboliknya yang minim,
namun atlet menyalahgunakannya untuk adrogenic.
Derivat Nandrolone11
Nandrolone dekanoat adalah anabolik kuat dengan profil
keamanan yang relatif menguntungkan.12 Nandrolone adalah obat yang
relatif aman dengan efek androgenik minimal dan tindakan anabolik
cukup pada dosis terapi. Nandrolone dekanoat adalah preparat
intramuskular (IM) dan tidak memiliki sifat hepatotoksik. Namun, agen
ini adalah salah satu AAS paling banyak disalahgunakan, karena
kemanjurannya.13
Ethylestrenol adalah derivat oral 19-nortestosteron dan
dipasarkan di Amerika Serikat dengan nama merek Maxibolin, tetapi saat
ini telah dihentikan.
Trenbolone merupakan obat androgenik dan anabolik yang
ampuh memliki efek androgenik yang lebih dibandingkan nandrolone.
Trenbolone adalah obat Eropa dengan rekor penyalahgunaan sangat
tinggi. Di USA, digunakan dalam preparate dokter hewan sebagai
trenbolone asetat.
Derivat DHT
Oxandrolone AAS sangat anabolik, dengan efek androgenik
kecil pada dosis terapi. Pertama kali dipasarkan oleh Searle, DHT
dihentikan pada pertengahan 1990-an. BTG mematenkan kembali AAS
sebagai Oxandrin, sebagian besar untuk penggunaan obat pada penyakit
terkait HIV. Karena sifat androgeniknya ringan, oxandrolone adalah salah
satu dari beberapa agen disalahgunakan secara rutin oleh atlet wanita.
Atlet angkat besi, petinju, berusaha untuk meningkatkan kekuatan tanpa
mengalami penambahan berat badan.
Stanozolol adalah AAS sangat aktif dalam jaringan androgen dan
anabolik-sensitif. Ini adalah androgen lemah dari DHT dan memberikan
efek relatif kurang androgenik. AAS ini dipasarkan di USA dan luar
negeri sebagai Winstrol, dalam bentuk oral dan Injeksi. Atlet, baik itu
yang di trek dan lapangan, telah menyalahgunakannya. Pada tahun 1988,
sprinter Kanada Ben Johnson dicabut medali emas Olimpiade setelah
positif stanozolol.
Oxymetholone merupakan agen AAS yang cukup ampuh dan
unik. Aksi agen ini pada jaringan androgen sensitif dan cukup
androgenik. Oxymetholone adalah satu-satunya AAS yang untuk saat ini
dipertimbangkan menjadi sebagai suatu zat karsinogen.14. Oxymetholone
dipasarkan di USA sebagai Anadrol-50 dan disalahgunakan di seluruh
dunia oleh atlet angkat besi dan atlet kekuatan untuk efek anabolik dan
efek androgenik yang kuat.
Dampak buruk
Sebagian besar efek samping dari penggunaan anabolikandrogenik steroid (AAS) tergantung dari dosis dan reversibel dengan
penghentian agen penyebab atau agen. Ikhtisar mengenai efek samping
dan interaksi ini hanya mengenai gambarannya saja, dan tidak
dimaksudkan untuk mewakili spektrum penuh potensi efek samping.
Efek Kardiovaskular
Efek buruk yang paling umum dari penggunaan AAS pada sistem
kardiovaskular meliputi peningkatan denyut jantung, peningkatan tekanan
darah, dan perubahan metabolisme lipid, termasuk menurunkan highdensity lipoprotein (HDL) dan peningkatan lipoprotein densitas rendah
(LDL). Efek ini, bila dikombinasikan dengan pemulihan ginjal meningkat
ion, seperti natrium, menyebabkan retensi cairan dan dapat menyebabkan
peningkatan tekanan darah. Pengguna steroid anabolik dapat memiliki
penurunan ejeksi fraksi ventrikel kiri. Penyalahgunaan steroid Ananbolic
juga telah dikaitkan dengan aritmia ventrikel.11,15,16,17,18
Efek hepatik
Perubahan yang dibuat untuk C-17 untuk menghambat degradasi hati
membuat hampir semua sediaan oral hepatotoksik. ALT/ AST cenderung
naik 2-3 kali dari nilai normal. Rasio risiko dan manfaat masih terus
dievaluasi. Tumor hati primer telah dilaporkan, yang sebagian besar
adalah jinak. Beberapa laporan kasus ada anak muda, atlet sehat yang
telah meninggal karena karsinoma hati primer, dengan satu-satunya
faktor risiko diidentifikasi penggunaan AAS oral.19
Efek endokrin
Sistem endokrin memiliki array yang luar biasa dari checks and balances
yang memastikan tubuh manusia adalah pada atau dekat homeostasis
pada setiap titik waktu. Gangguan satu sistem umpan balik telah terbukti
menghasilkan perubahan dalam sistem umpan balik hormon lain melalui
perubahan reseptor langsung, serta melalui kompetisi untuk enzim umum
dan jalur metabolisme. Penelitian telah menunjukkan bahwa AAS
mengikat glukokortikoid, progesteron, dan reseptor estrogen dan
mengerahkan beberapa efek. AAS mempengaruhi KGDP dan
mengurangi toleransi glukosa, mungkin karena efek hati atau perubahan
reseptor insulin. Tiroksin-binding globulin (TBG) juga dapat diturunkan
dengan AAS dan mengakibatkan kadar total T4 menurun, dengan tingkat
T4 bebas yang tersisa normal. Up-regulasi hormon seks globulin
mengikat, dengan penurunan bersamaan di TBG, diduga menyebabkan
perubahan total tingkat T4. Efek samping yang paling jelas dan umum
adalah pertumbuhan tender, jaringan estrogen-sensitif di bawah puting
laki-laki. Pertumbuhan ini disebut ginekomastia dan dapat diobati secara
medis atau pembedahan.20
Efek urologi
Prostat laki-laki sangat sensitif terhadap androgen, terutama mereka yang
berkurang pada jaringan prostat menjadi dihidrotestosteron (DHT) atau
analog DHT. Menanggapi rangsangan ini, prostat tumbuh dalam ukuran,
berpotensi menyebabkan atau memperburuk benign prostatic hyperplasia
(BPH). Selain itu, penggunaan AAS pada pasien dengan karsinoma yang
mendasari prostat adalah benar-benar kontraindikasi karena potensi
pertumbuhan tumor hormon-sensitif. Namun, sebuah studi 3 tahun
hipogonadisme orang di terapi penggantian testosteron gagal
menunjukkan perbedaan yang signifikan antara kelompok dan kontrol
dalam gejala kencing, laju aliran urin, atau sisa urine postvoid.21
Efek hematologi
Faktor pembekuan langsung dapat dikurangi dengan peningkatan waktu
protrombin. Pada pasien dengan terapi antikoagulan bersamaan,
peningkatan ini bisa menyebabkan pendarahan. AASs penyebab
peningkatan hemoglobin dan hematokrit dan digunakan dalam banyak
kasus anemia, meskipun dokter harus menyadari potensi polisitemia.
Efek dermatologi
Kulit, terutama wajah dan kulit kepala, memiliki derajat yang tinggi dari
reseptor androgen dan 5AR. DHT diketahui menyebabkan peningkatan
produksi sebum, yang menyebabkan jerawat klinis. Juga, pola kebotakan
laki-laki berhubungan dengan produksi kulit kepala DHT dan mengikat,
bersama dengan faktor genetik yang mempengaruhi pertumbuhan rambut.
Pola kebotakan laki-laki sangat diperburuk oleh sebagian AAS pada
individu yang rentan.
Penggunaan klinis
Jelas, terapi penggantian hormon adalah penggunaan paling umum dari
testosteron. AAS memiliki banyak kegunaan klinis potensial lainnya.22
Sebagian besar pusat ini pada sifat anabolik obat ini dan penggunaannya
pada orang dengan cachexia, penderita HIV, hati dan gagal ginjal, PPOK,
beberapa jenis kanker, dan luka bakar, serta selama pemulihan pasca
operasi. Dalam semua kasus klinis, dengan pengecualian kanker, AAS
telah menunjukkan keberhasilan dalam kenaikan berat badan. Pada
infeksi HIV, penggantian testosteron dan penggunaan AAS umumnya
dianggap. AAS umum digunakan termasuk oxandrolone, nandrolone, dan
Oxymetholone. Semua 3 agen telah dipelajari untuk meningkatkan LBM
dan berat badan.23-26
AAS telah dipelajari dalam cachexia PPOK terkait. Stanozolol
(12 mg/ d), setelah 250 mg IM testosteron injeksi awal, telah terbukti
menghasilkan perbaikan yang signifikan dalam berat badan, indeks massa
tubuh pasien (BMI), dan kekuatan dibandingkan dengan kontrol pada 26
minggu.27,28,29 Gagal hati juga terkait dengan malnutrisi protein kalori dan
wasting. Dalam sebuah studi dari 273 pasien dengan penurunan berat
badan moderat karena hepatitis alkoholik, oxandrolone (80 mg/ d)
meningkatkan fungsi dan gizi parameter hati dan meningkatkan
kelangsungan hidup 6 bulan bila dibandingkan dengan kontrol.30
AAS pada penyembuhan luka bakar, termasuk ester testosteron,
stanozolol, oxandrolone, dan nandrolone. Agen ini meningkatkan sintesis
kolagen dan aktivitas fibroblas dermal31 dan memiliki efek positif pada
penyembuhan tarif di sebelumnya nonhealing luka.32 Cachexia terkait
kanker dan anemia yang sangat umum. AAS juga telah digunakan untuk
efek erythropoietik, biasanya dalam pengobatan leukemia.
AAS digunakan pada gagal ginjal, terutama pada pasien
hemodialisis, telah diteliti. Sebuah studi terkontrol plasebo double-blind
dari 29 pasien dialisis menerima baik nandrolone (100 mg/ minggu) atau
plasebo selama 6 bulan menunjukkan hasil yang signifikan dalam LBM
dan parameter fungsional.33 Studi juga menunjukkan bahwa efek
erythropoietic dari AAS (nandrolone dekanoat) berguna dalam penyakit
ginjal kronis dan pemakaian secara kombinasi lebih bermanfaat.34
Penyalahgunaan Anabolik-androgenik steroid
Sejumlah efek kompleks neurologis dari AAS masih dipelajari.
Berkaitan biopharmacology ini untuk individu menyalahgunakan AAS
adalah tugas yang sangat sulit karena beberapa faktor. Untuk satu, banyak
orang menyalahgunakan AAS melakukannya di relatif kerahasiaan, dan
banyak yang enggan untuk terlibat dalam penelitian medis yang valid.
Kurangnya standar saat melakukan penelitian-karena sejumlah besar agen
yang dijual di seluruh dunia di pasar gelap dan potensi relatif mereka,
atau kurang lengkap daripadanya-masalah lain. Banyak produk palsu
yang dijual dan digunakan, yang mempersulit studi penyalahgunaan.
Dalam lebih dari beberapa kasus, data yang kontradiktif ada,
terutama mengenai efek psikologis. Satu harus ingat bahwa interaksi
kekuatan, yang akhirnya mempengaruhi pelaku, luas dan multidimensi,
web kompleks gain diduga dan reward yang ada karena kondisi dan
masalah psikososial terkait. Penggunaan zat meningkatkan kinerja bukan
ide yang baru dan dapat tanggal kembali ke Yunani. Penggunaan AAS
untuk peningkatan kinerja dimulai pada tahun 1950 dengan atlet elit, dan
penggunaan yang telah perlahan-lahan menetes ke termasuk sekolah
tinggi dan tingkat SMP.
AAS telah ditunjukkan untuk mengubah suasana hati oleh
sejumlah mekanisme.35, 36, 37 Studi menunjukkan bahwa testosteron dan
AAS dapat bertindak sebagai pusat inhibitor MAO. Vogel dkk
membandingkan efek antidepresan dari amitriptyline (75 mg/d maks 300
mg/d) dengan orang-orang dari Mesterolone (100 mg/d, maks 550 mg/d)
dalam double-blind desain dengan 34 pasien rawat jalan laki-laki
depresi.38 Para peneliti menemukan bahwa 2 obat sama-sama efektif
dalam mengurangi gejala depresi dan Mesterolone diproduksi efek
samping lebih sedikit daripada amitriptyline. Studi lain gabungan
metiltestosteron (15 mg/d) dengan imipramine (25-50 mg/d) menemukan
respon paranoid cepat dalam 4 dari 5 orang dirawat.39 Hal ini
kemungkinan besar disebabkan inhibisi MAO pusat dengan
metiltestosteron, dikombinasikan dengan efek diketahui imipramine.
Respon cepat mereda ketika metiltestosteron dihentikan. Penelitian lain
menunjukkan testosteron, terutama pada periode prenatal tetapi juga
selama masa pubertas dan dewasa, adalah penting dalam membangun
kesiapan biologis untuk perilaku agresif normal dan dalam memfasilitasi
ekspresi agresi dalam pengaturan sosial yang sesuai. Laporan juga
menunjukkan bahwa faktor-faktor sosial dan belajar secara signifikan
mempengaruhi ekspresi yang sebenarnya.40 Tahun 1983 studi dari 32
lifter menggunakan AAS, 56% melaporkan peningkatan sementara
iritabilitas diri didefinisikan dan perilaku agresif. Ketika efek psikoaktif
menggabungkan dengan penguatan positif yang kuat dari berat badan dan
kekuatan keuntungan, serta dari peningkatan citra diri, AAS dibuktikan
dapat bersifat adiktif.1, 13
Sebuah studi retrospektif dirilis di British Journal of Sports
Medicine tahun 2013, mempelajari kekuatan atlet Swedia (angkat besi,
pelempar, pegulat) yang berlaga di tingkat elit antara tahun 1960 dan
1979. Dari 700 atlet yang disertakan, 20% mengaku menggunakan AAS
selama karir atletik mereka. Para pengguna AAS lebih mungkin telah
dirawat karena depresi, masalah konsentrasi, dan perilaku agresif.41
Kecanduan AAS umumnya diartikan sebagai kecanduan psikis,
tetapi efek penarikan yang terjadi ketika menggunakan AAS berhenti
secara jelas menunjukkan unsur kecanduan fisik juga. Beberapa
penelitian telah menunjukkan bahwa gejala penarikan termasuk depresi,
kelelahan, paranoia, dan pikiran dan perasaan bunuh diri.35
Sebuah ulasan di 1989 menyarankan bahwa efek psikoaktif,
gejala penarikan, dan mekanisme biologis yang mendasari AAS tampak
mirip dengan mekanisme dan komplikasi yang menyertai kokain,
alkohol, atau penyalahgunaan opioid. Beberapa pasien mungkin
memerlukan pengobatan untuk mengembalikan regulasi hormonal
fisiologis setelah penyalahgunaan AAS, sedangkan mendukung konseling
dan antidepresan obat dapat membantu dengan aspek psikologis.
Penyalahgunaan AAS juga meningkat pada atlet perempuan dari
semua tingkatan. kekhawatiran tambahan khusus untuk pelaku
perempuan termasuk pertumbuhan rambut wajah, kebotakan pola lakilaki atau regresi garis rambut frontal, atrofi payudara, pengkasaran kulit,
perubahan siklus menstruasi atau amenore, pembesaran klitoris, dan
memperdalam suara. The perubahan terhadap sistem reproduksi wanita
disebabkan oleh peningkatan buatan kadar testosteron, yang biasanya
hadir pada wanita dalam jumlah kecil. Karena sistem umpan balik
negatif, pelepasan LH dan FSH menurun, mengarah ke penurunan
estrogen dan progesteron.
AAS digunakan oleh wanita hamil dapat menyebabkan
pseudohermafroditisme atau virilisasi pada janin perempuan atau bahkan
kematian janin. Pada ulasan yang dirilis oleh American College of
Obstetricians dan Gynecologists tahun 2011, profesional kesehatan
didorong untuk mengatasi penggunaan dan konsekuensi dari zat,
mendorong penghentian, dan merujuk pasien ke pusat-pusat pengobatan
penyalahgunaan zat.
Penyalahgunaan AAS, terutama sejak abad ke-20, telah memiliki
efek merugikan pada penggunaan klinis dari senyawa ini. Obat ini
sekarang dianggap zat yang dikendalikan di Amerika Serikat (jadwal 2
dan 3), dan ini, bersama dengan perhatian media yang negatif yang
berlebihan, telah mengakibatkan penurunan tajam kesesuaian dalam
penggunaan klinis.
Memang, banyak AAS telah ditarik dari pasar AS; namun, minat klinis di
efek menguntungkan dari obat ini sekali lagi telah datang ke permukaan.
Dengan kenaikan baru-baru ini digunakan (diperkirakan 400%), AAS
sekali lagi diresepkan untuk aplikasi yang diketahui, dan penelitian yang
sedang berlangsung akan terus mengungkap novel menggunakan untuk
agen ini dan selanjutnya akan menentukan mekanisme aksi mereka.
Dengan demikian, dokter harus membantu untuk memastikan bahwa
AAS digunakan secara tepat dan tidak disalahgunakan.
Daftar Kepustakaan
1. Kokkevi A, Fotiou A, Chileva A, et al. Daily exercise and anabolic
steroids use in adolescents: a cross-national European study. Subst
Use Misuse. 2008 Aug 27. 1. [Medline].
2. Di Paolo M, Agozzino M, Toni C, et al. Sudden anabolic steroid
abuse-related death in athletes. Int J Cardiol. 2007 Jan 2. 114(1):1147. Epub 2005 Dec 20. [Medline].
3. Di Pasquale MG. Drug Use and Detection in Amateur Sports.
Warkworth, Ontario, Canada: MGD Press; 1984.
4. Rosenfeld RL. Role of androgens in growth and development of the
fetus, child, and adolescent. Adv Pediatr. 1972. 19.
5. Danhaive PA, Rousseau GG. Binding of glucocorticoid antagonists to
androgen and glucocorticoid hormone receptors in rat skeletal muscle.
J Steroid Biochem. 1986 Feb. 24(2):481-7. [Medline].
6. Samuels, Sellers, McCaulay. The source of excess creatine following
methyl testosterone. J Clin Endocrinol Metab. 1946.
7. Arnold AM, Peralta JM, Thonney ML. Ontogeny of growth hormone,
insulin-like growth factor-I, estradiol and cortisol in the growing
lamb: effect of testosterone. J Endocrinol. 1996 Sep. 150(3):391-9.
[Medline].
8. Urban RJ, Bodenburg YH, Gilkison C, et al. Testosterone
administration to elderly men increases skeletal muscle strength and
protein synthesis. Am J Physiol. 1995 Nov. 269(5 Pt 1):E820-6.
[Medline].
9. Dimick DF, Heron M, Baulieu EE, et al. A comparative study of the
metabolic fate of testosterone, 17 alpha-methyl-testosterone. 19-nortestosterone. 17 alpha-methyl-19-nor-testosterone and 17 alphamethylestr-5(10)-ene-17 beta-ol-3-one in normal males. Clin Chim
Acta. 1961 Jan. 6:63-71. [Medline].
10. Steele RE, Didato F, Steinetz BG. Relative importance of 5alpha
reduction for the androgenic and LH-inhibiting activities of delta-4-3ketosteroids. Steroids. 1977 Mar. 29(3):331-48. [Medline].
11. Phillis BD, Abeywardena MY, Adams MJ, et al. Nandrolone
potentiates arrhythmogenic effects of cardiac ischemia in the rat.
Toxicol Sci. 2007 Oct. 99(2):605-11. Epub 2007 Jul 25. [Medline].
[Full Text].
12. Gaul, Morato, Hayano, et al. Biosynthesis of estrogens. Endocrinol.
1962. 71:
13. Birgner C, Kindlundh-Högberg AM, Alsiö J, et al. The anabolic
androgenic steroid nandrolone decanoate affects mRNA expression of
dopaminergic but not serotonergic receptors. Brain Res. 2008 Sep 13.
[Medline].
14. Berkow R, ed. The Merck Manual of Diagnosis and Therapy. 15th ed.
Rahway, NJ: Merck Sharp and Dohme Research Laboratories; 1987.
1208.
15. Fineschi V, Riezzo I, Centini F, et al. Sudden cardiac death during
anabolic steroid abuse: morphologic and toxicologic findings in two
fatal cases of bodybuilders. Int J Legal Med. 2007 Jan. 121(1):48-53.
Epub 2005 Nov 15. [Medline].
16. Lau DH, Stiles MK, John B, et al. Atrial fibrillation and anabolic
steroid abuse. Int J Cardiol. 2007 Apr 25. 117(2):e86-7. [Medline].
17. Achar S, Rostamian A, Narayan SM. Cardiac and metabolic effects of
anabolic-androgenic steroid abuse on lipids, blood pressure, left
ventricular dimensions, and rhythm. Am J Cardiol. 2010 Sep 15.
106(6):893-901. [Medline].
18. Baggish AL, Weiner RB, Kanayama G, Hudson JI, Picard MH, Hutter
AM Jr, et al. Long-term anabolic-androgenic steroid use is associated
with left ventricular dysfunction. Circ Heart Fail. 2010 Jul 1.
3(4):472-6. [Medline]. [Full Text].
19. Schwingel PA, Cotrim HP, Salles BR, Almeida CE, dos Santos CR Jr,
Nachef B, et al. Anabolic-androgenic steroids: a possible new risk
factor of toxicant-associated fatty liver disease. Liver Int. 2011 Mar.
31(3):348-53. [Medline].
20. Basaria S. Androgen abuse in athletes: detection and consequences. J
Clin Endocrinol Metab. 2010 Apr. 95(4):1533-43. [Medline].
21. Snyder PJ, Peachey H, Hannoush P, et al. Effect of testosterone
treatment on bone mineral density in men over 65 years of age. J Clin
Endocrinol Metab. 1999 Jun. 84(6):1966-72. [Medline]. [Full Text].
22. Basaria S, Wahlstrom JT, Dobs AS. Clinical review 138: anabolicandrogenic steroid therapy in the treatment of chronic diseases. J Clin
Endocrinol Metab. 2001 Nov. 86(11):5108-17. [Medline]. [Full Text].
23. Berger JR, Pall L, Hall CD, et al. Oxandrolone in AIDS-wasting
myopathy. AIDS. 1996 Dec. 10(14):1657-62. [Medline].
24. Strawford A, Barbieri T, Van Loan M, et al. Resistance exercise and
supraphysiologic androgen therapy in eugonadal men with HIVrelated weight loss: a randomized controlled trial. JAMA. 1999 Apr
14. 281(14):1282-90. [Medline]. [Full Text].
25. Bucher, Berger, Fields-Gardner, et al. A prospective study on the
safely and effect of nandrolone decanoate in HIV positive patients.
Abstract of the 11th Conf. on AIDS. 1996.
26. Gold J, High HA, Li Y, et al. Safety and efficacy of nandrolone
decanoate for treatment of wasting in patients with HIV infection.
AIDS. 1996 Jun. 10(7):745-52. [Medline].
27. Ferreira IM, Verreschi IT, Nery LE, et al. The influence of 6 months
of oral anabolic steroids on body mass and respiratory muscles in
undernourished COPD patients. Chest. 1998 Jul. 114(1):19-28.
[Medline].
28. Schols AM, Soeters PB, Mostert R, et al. Physiologic effects of
nutritional support and anabolic steroids in patients with chronic
obstructive pulmonary disease. A placebo-controlled randomized trial.
Am J Respir Crit Care Med. 1995 Oct. 152(4 Pt 1):1268-74.
[Medline].
29. Spungen AM, Grimm DR, Strakhan M, et al. Treatment with an
anabolic agent is associated with improvement in respiratory function
in persons with tetraplegia: a pilot study. Mt Sinai J Med. 1999 May.
66(3):201-5. [Medline].
30. Mendenhall CL, Moritz TE, Roselle GA, et al. A study of oral
nutritional support with oxandrolone in malnourished patients with
alcoholic hepatitis: results of a Department of Veterans Affairs
cooperative study. Hepatology. 1993 Apr. 17(4):564-76. [Medline].
31. Falanga V, Greenberg AS, Zhou L, et al. Stimulation of collagen
synthesis by the anabolic steroid stanozolol. J Invest Dermatol. 1998
Dec. 111(6):1193-7. [Medline].
32. Demling R, De Santi L. Closure of the "non-healing wound"
corresponds with correction of weight loss using the anabolic agent
oxandrolone. Ostomy Wound Manage. 1998 Oct. 44(10):58-62, 64, 66
passim. [Medline].
33. Johansen KL, Mulligan K, Schambelan M. Anabolic effects of
nandrolone decanoate in patients receiving dialysis: a randomized
controlled trial. JAMA. 1999 Apr 14. 281(14):1275-81. [Medline].
[Full Text].
34. Gaughan WJ, Liss KA, Dunn SR, et al. A 6-month study of low-dose
recombinant human erythropoietin alone and in combination with
androgens for the treatment of anemia in chronic hemodialysis
patients. Am J Kidney Dis. 1997 Oct. 30(4):495-500. [Medline].
35. Talih F, Fattal O, Malone D Jr. Anabolic steroid abuse: psychiatric
and physical costs. Cleve Clin J Med. 2007 May. 74(5):341-4, 346,
349-52. [Medline].
36. Bahrke MS, Yesalis CE 3rd, Wright JE. Psychological and
behavioural effects of endogenous testosterone levels and anabolicandrogenic steroids among males. A review. Sports Med. 1990 Nov.
10(5):303-37. [Medline].
37. Graham MR, Evans P, Davies B, Baker JS. AAS, growth hormone,
and insulin abuse: psychological and neuroendocrine effects. Ther
Clin Risk Manag. 2008 Jun. 4(3):587-97. [Medline]. [Full Text].
38. Vogel W, Klaiber EL, Broverman DM. A comparison of the
antidepressant effects of a synthetic androgen (mesterolone) and
amitriptyline in depressed men. J Clin Psychiatry. 1985 Jan. 46(1):68. [Medline].
39. Wilson IC, Prange AJ Jr, Lara PP. Methyltestosterone with
imipramine in men: conversion of depression to paranoid reaction. Am
J Psychiatry. 1974 Jan. 131(1):21-4. [Medline].
40. Rada RT, Kellner R, Winslow WW. Plasma testosterone and
aggressive behavior. Psychosomatics. 1976 Jul-Sep. 17(3):138-42.
[Medline].
41. Lindqvist AS, Moberg T, Eriksson BO, Ehrnborg C, Rosén T, Fahlke
C. A retrospective 30-year follow-up study of former Swedish-elite
male athletes in power sports with a past anabolic androgenic steroids
use: a focus on mental health. Br J Sports Med. 2013 Oct. 47(15):9659. [Medline].
42. Berning JM, Adams KJ, Stamford BA. Anabolic steroid usage in
athletics: facts, fiction, and public relations. J Strength Conditioning
Res. 2004. 18(4):908–917.
43. Gruber AJ, Pope HG Jr. Psychiatric and medical effects of anabolicandrogenic steroid use in women. Psychother Psychosom. 2000.
69(1):19-26. [Medline].
44. Hartgens F, Kuipers H. Effects of androgenic-anabolic steroids in
athletes. Sports Med. 2004. 34(8):513-54. [Medline].
APPLICATIONS OF STEROID IN
INTERNAL MEDICINE CASES
Krishna W. Sucipto
Division of Endocrinology, Metabolism & Diabetes- Thyroid Center
Department of Internal Medicine, School of Medicine University of Syiah Kuala/
Dr. Zainoel Abidin General Teaching Hospital, Banda Aceh- Indonesia
Introduction
Steroids are perhaps one of the most widely used group of drugs
in present day practice, sometimes with indication and sometimes
without indications. Corticosteroids and their biologically active synthetic
derivatives differ in their metabolic (glucocorticoid) and electrolyteregulating (mineralocorticoid) activities. Glucocorticoid (GC) hormones
are secreted by the cortex of the adrenal gland, under control of the
hypothalamic-pituitary-adrenal axis. GCs are stress hormones that
facilitate a flight or fight reaction by providing substrate for oxidative
metabolism by increasing hepatic glucose production, adipose tissue
lipolysis and proteolysis, and by maintaining adequate blood pressure.1,2
In the clinic, synthetic GCs are extensively used in the treatment
of numerous disease entities due to their potent anti-inflammatory and
immunosuppressive actions when administered at pharmacological
dosages. GCs affect both the innate and the acquired immune system. As
such, GCs impair the ability of leukocytes to exit the bloodstream and
enter sites of infection and tissue injury, resulting in suppression of the
inflammatory response. In addition, GCs impair the phagocytic function
of macrophages and reduce the production of inflammatory cytokines
required for inflammatory responses. Moreover, GCs reduce the activity
of the acquired immune system by inducing T-cell depletion, while B-cell
function is mostly minimally altered by GC treatment.3 This paper
focuses on highlights the recent trends, relevance, and consensus issues
on the use of steroids as adjunct pharmacological agents in relation to
internal medicine practice along with emphasis on important clinical
aspects of usefulness.
Corticosteroids: A Brief History
In 1908, it was first established that ‗substances‘ secreted by the
adrenal gland were involved in glucose metabolism following studies in
adrenalectomised dogs that developed hypoglycaemia. In the following
decades, the critical role of the adrenal cortex in intermediary metabolism
and energy homeostasis was further characterised. A major advance was
made in 1936 with the simultaneous isolation of the inactive form of the
adrenal hormone cortisol, known as cortisone, by the Polish-born, Swiss
chemist Tadeusz Reichstein and the American chemist Edward Calvin
Kendall. This breakthrough enabled further experiments into the various
physiological roles of adrenal cortex hormones. The amount of cortisone
that could be isolated from bovine adrenal glands, however, was small
and the need to produce adrenocorticosteroids through synthetic methods
soon became apparent. This process was fuelled by the US entry into the
Second World War, when rumours circulated that Luftwaffe pilots were
taking adrenal extracts to increase their resistance to oxygen deprivation
at high altitudes. Although this rumour was never confirmed, it induced
an all-out quest for large-scale synthesis of active adrenal hormone. In
1946, Lewis Hastings Sarett of Merck Research Laboratories succeeded
in synthetically producing cortisone from desoxycholic acid.4,5
By the summer of 1948, sufficient material was produced to
initiate the first studies in humans. The newly produced cortisone indeed
improved the symptoms of Addison‘s disease. In addition, rheumatologist
Philip Showalter Hench, a friend and collaborator of Kendall, tested
cortisone in patients with rheumatoid arthritis. This was driven by
observations that joint complaints were reduced by jaundice and that the
newly discovered steroid cortisone seemed structurally related to bile
acids. Indeed, cortisone treatment induced a spectacular reduction in joint
tenderness and swelling in chronic rheumatoid arthritis patients. In the
following year, the use of cortisone was successfully introduced in the
treatment of other autoimmune diseases. In 1950, the ‗wonder drug‘
cortisone was officially launched as a pharmacological agent. In the same
year Tadeusz Reichstein, Philip Showalter Hench and Edward Calvin
Kendall shared the Nobel Prize for Physiology or Medicine ‗for research
on the structure and biological effects of adrenal cortex hormones‘.
Currently, over six decades later, GCs remain the cornerstone in the
treatment of numerous diseases that cover the entire spectrum of internal
medicine (table 1).4
Table 1. Common indications for systemic glucocorticoid therapy within the
field of internal medicine.
Subspeciality
Indication
Rheumatology
RA, SLE, GCA, PMR, Sarcoidosis
Nephrology
Vasculitis/glomerulonephritis
Gastroenterology
IBD, autoimmune hepatitis
Haemato-oncology
Lymphoma, multiple myeloma
Infectious diseases
Meningitis
Pulmonology
COPD
Emergency medicine
Anaphylactic/allergic reactions
COPD = chronic obstructive pulmonary disease; GCA = giant cell arteritis; IBD
= inflammatory bowel disease; PMR = polymyalgia rheumatica; RA =
rheumatoid arthritis; SLE = systemic lupus erythematosus
Mechanisms of Action Corticosteroids
Glucocorticoids increase or decrease transcription of many genes
to alter the synthesis of proteins that regulate their many physiologic
effects (eg, enzymes, transport proteins, structural proteins). Metabolic
effects do not occur for at least 45 to 60 minutes because of the time
required for protein synthesis. Several hours or days may be needed for
full production of proteins. Because the genes vary in different types of
body cells, glucocorticoid effects also vary, depending on the specific
cells being targeted. For example, supraphysiologic concentrations of
glucocorticoids induce the synthesis of lipolytic and proteolytic enzymes
and other specific proteins in various tissues. Overall, corticosteroids
have multiple mechanisms of action and effects (Fig. 1), including the
following:6,7
 Inhibiting arachidonic acid metabolism. Normally, when a body
cell is injured or activated by various stimuli, the enzyme
phospholipase A2 causes the phospholipids in cell membranes to
release arachidonic acid. Free arachidonic acid is then metabolized
to produce proinflammatory prostaglandins and leukotrienes. At
sites of tissue injury or inflammation, corticosteroids induce the
synthesis of proteins that suppress the activation of phospholipase
A2. This action, in turn, decreases the release of arachidonic acid
and the formation of prostaglandins and leukotrienes.
 Strengthening or stabilizing biologic membranes. Two biologic
membranes are especially important in inflammatory processes.
Stabilization of cell membranes inhibits the release of arachidonic
acid and production of prostaglandins and leukotrienes, as described
above. Stabilization of lysosomal membranes inhibits release of
bradykinin, histamine, enzymes, and perhaps other substances from
lysosomes. (Lysosomes are intracellular structures that contain
inflammatory chemical mediators and enzymes that destroy cellular
debris and phagocytized pathogens.) This reduces capillary
permeability and thus prevents leakage of fluid into the injured area
and development of edema. It also reduces the chemicals that
normally cause vasodilation and tissue irritation.
 Inhibiting the production of interleukin-1, tumor necrosis factor,
and other cytokines. This action also contributes to the antiinflammatory and immunosuppressant effects of glucocorticoids.
 Impairing phagocytosis. The drugs inhibit the ability of phagocytic
cells to leave the bloodstream and move into the injured or inflamed
tissue.
 Impairing lymphocytes. The drugs inhibit the ability of these
immune cells to increase in number and perform their functions.
 Inhibiting tissue repair. The drugs inhibit the growth of new
capillaries, fibroblasts, and collagen needed for tissue repair.
Fig.1
Inflammatory processes and anti-inflammatory actions of
corticosteroids. Cellular responses to injury include the following:
Phospholipid in the cell membrane is acted on by phospholipase to
release arachidonic acid. Metabolism of arachidonic acid produces
the inflammatory mediators prostaglandins and leukotrienes;
Lysosomal membrane breaks down and releases inflammatory
chemicals (eg, histamine, bradykinin, intracellular digestive
enzymes). White blood cells (WBCs) are drawn to the area and
release inflammatory cytokines (eg, interleukin-1 [IL-1], tumor
necrosis factor [TNF] alpha). Overall, corticosteroid drugs act to
inhibit the release, formation, or activation of various inflammatory
mediators.7
Corticosteroids are extensively used to treat many different
disorders. Except for replacement therapy in deficiency states, the use of
corticosteroids is largely empiric. Because the drugs affect virtually every
aspect of inflammatory and immune responses, they are used in the
treatment of a broad spectrum of diseases with an inflammatory or
immunologic component.1,3
Corticosteroid Therapy in Clinical Practice
 Corticosteroids and gastrointestinal conditions
Corticosteroids are useful in very few specific gastrointestinal
and hepatic conditions. These include inflammatory bowel diseases
(ulcerative colitis, Crohn‘s disease), autoimmune hepatitis, severe
alcoholic hepatitis, and certain other rare conditions like collagenous
sprue/eosinophlic gastroenteritis. Corticosteroids are ―double-edged
swords‖ and while useful, have potential dangers especially with
prolonged use. Other than the well known systemic side effects of
corticosteroids, specific effects in the gastrointestinal tract include an
increased incidence of complications of peptic ulcer disease and
reactivation of hepatitis B.3
 Corticosteroids in rheumatological conditions
In patients with acute gout affecting one or two joints,
intraarticular injection of a long-acting corticosteroid preparation, such as
methylprednisolone, triamcinolone acetonide or triamcinolone
hexatonide, will control symptoms within 1 to 2 days. It should be given
only when the diagnosis is confirmed and infection has been excluded.
Patients with polyarticular gout who have a suboptimal or delayed
response to oral non-steroidal anti-inflammatory drugs often benefit from
adjunctive corticosteroid injections into those joints with persistent
synovitis.1,7
Corticosteroid therapy is widely used in the management of
connective tissue diseases such as systemic lupus erythematosus,
polymyositis/dermatomyositis and systemic vasculitis. Corticosteroids
can been used as intravenous pulses to obtain rapid control of disease
activity in ill patients. More often varying dosages of oral prednisolone
are used depending on the disease condition, its manifestations and
disease activity. Based on pathophysiologic and pharmacokinetic data,
standardization of the terms such as "low" or "high" dose has been
recently proposed to minimize problems in interpretation of these
generally used terms. As there are specific indications for corticosteroids
in these multi-systemic disorders, they are best managed in, or comanaged with, a specialist practice.3
 Corticosteroid in Respiratory diseases
Corticosteroids are commonly used in the treatment of asthma
because of their anti-inflammatory effects. In addition, corticosteroids
increase the effects of adrenergic bronchodilators to prevent or treat
bronchoconstriction and bronchospasm. Other condition use steroid in
respiratory disorders such as chronic obstructive pulmonary disease
(COPD), and inflammatory disorders of nasal mucosa (rhinitis). In severe
asthma there is airway obstruction and airway inflammation. In order to
reduce the inflammation systemic corticosteroids must be included as part
of the regimen in all patients with acute severe asthma. Receptor-binding
affinities of lung corticosteroid receptors are reduced in the face of
airway inflammation, that‘s why multiple daily dosing of systemic
corticosteroids for the initial therapy of acute asthma exacerbations
appears necessary. As in severe COPD exacerbations, the optimal dose
and duration of steroids in severe asthma exacerbations are unknown. The
oral and IV routes are equally effective, so that the oral route may be used
if patients can swallow. Regarding the duration a 7 day-day course in
adults has been found to be as effective as 14-day course.8
 Corticosteroids in Hemato-oncology
Corticosteroids are commonly used in the treatment of
lymphomas, lymphocytic leukemias, and multiple myeloma. In these
disorders, corticosteroids inhibit cell reproduction and are cytotoxic to
lymphocytes. In addition to their anticancer effects in hematologic
malignancies, corticosteroids are beneficial in treatment of several signs
and symptoms that often accompany cancer, although the mechanisms of
action are unknown and drug/dosage regimens vary widely.
Corticosteroids are used to treat anorexia; nausea and vomiting; cerebral
edema and inflammation associated with brain metastases or radiation of
the head; spinal cord compression; pain and edema related to pressure on
nerves or bone metastases; graft-versus-host disease after bone marrow
transplantation; and other disorders that occur in clients with cancer.
Clients tend to feel better when taking corticosteroids, although the basic
disease process may be unchanged.1,3
 Corticosteroids in other conditions
There are many theoretical benefits of using steroids in patients
with anaphylaxis. However, there are no placebo-controlled trials to
confirm these assumed benefits of steroids in anaphylaxis. The use of
prednisone 1 mg/kg up to 50 mg orally or hydrocortisone 1.5-3 mg/kg IV
is suggested.3,4
Suppression of the HPA axis may occur with corticosteroid
therapy and may lead to life-threatening inability to increase cortisol
secretion when needed to cope with stress. It is most likely to occur with
abrupt withdrawal of systemic corticosteroid drugs. The risk of HPA
suppression is high with systemic drugs given for more than a few days,
although clients vary in degree and duration of suppression with
comparable doses, and the minimum dose and duration of therapy that
cause suppression are unknown. When corticosteroids are given for
replacement therapy, adrenal insufficiency is lifelong, and drug
administration must be continued. When the drugs are given for purposes
other than replacement and then discontinued, the HPA axis usually
recovers within several weeks to months, but recovery may take a year.
Several strategies have been developed to minimize HPA suppression and
risks of acute adrenal insufficiency, including:9
 Administering a systemic corticosteroid during highstress
situations (eg, moderate or severe illness, trauma, surgery) to
clients who have received pharmacologic doses for 2 weeks
within the previous year or who receive long-term systemic
therapy (ie, are steroid dependent)
 Giving short courses of systemic therapy for acute disorders, such
as asthma attacks, then decreasing the dose or stopping the drug
within a few days
 Gradually tapering the dose of any systemic corticosteroid.
Although specific guidelines for tapering dosage have not been
developed, higher doses and longer durations of administration in
general require slower tapering, possibly over several weeks. The
goal of tapering may be to stop the drug or to decrease the dosage
to the lowest effective amount.
 Using local rather than systemic therapy when possible, alone or
in combination with low doses of systemic drugs. Numerous
preparations are available fo local application, including aerosols
for oral or nasal inhalation; formulations for topical application to
the skin, eyes, and ears; and drugs for intra-articular injections.
 Using Alternate-day therapy (ADT), which involves titrating the
daily dose to the lowest effective maintenance level, then giving a
double dose every other day.
Conclusions
The use of corticosteroids started some 50 years ago. These drugs
were widely used but sometimes without strong indications. Most of the
uses of corticosteroids have been in the fields of rheumatology,
orthopaedics
dermatology,
oncology,
respiratory
medicine,
otorhinolaryngology (ENT) and ophthalmology. The latest development
towards greater safety of corticosteroids usage with preservation of full
efficacy is channeled at the glucocorticoid receptor so that reduced
potency in side effects is possible. These new insights may pave the way
for novel, safer therapies that retain the efficacy of currently prescribed
steroids. Until then we will have to prescribe sensibly and rationalize the
indications, dose, duration and preparation of the right steroid to the right
purpose.
References
1. Shaikh S, Verma H, Yadav N, Jauhari M, and Bullangowda J.
Applications of Steroid in Clinical Practice:A Review. 2012;(p)
1-11.
2. L. L. Bruton, J. S. Lazo, and K. L. Parker, Goodman & Gilman’S
the Pharmacological Basis of Therapeutics, 11th edition, 2006.
3. V. K. Grover, R. Babu, and S. P. S. Bedi, ―Steroid therapy
current indications in practice,‖ International Jugglers’
Association, 2007; 51(5); 389–339.
4. Raalte D.H and Diamant M. Steroid diabetes: from mechanism to
treatment?. 2014 ;72(2); 62-72.
5. Tole JW, Lieberman P. Biphasic anaphylaxis: review of
incidence, clinical predictors, and observation recommendations.
Immunol Allergy Clin North Am. 2007;27:309-26.
6. Gupta P and Bhatia V. Corticosteroid Physiology and Principles
of Therapy. Indian J Pediatr 2008; 75 (10) : 1039-1044.
7. Rhen T and Cidlowski J.A. Antiinflammatory Action of
Glucocorticoids — New Mechanisms for Old Drugs. N Engl J
Med 2005;353:1711-23.
8. Sin, D. D., Man, J., Sharpe, H., Gan, W. Q. and Paul Man, S.
F.Pharmacological management to reduce exacerbations in adults
with asthma: A systematic review and meta-analysis. Journal of
the American Medical Association. 2004; 292(3), 367–376.
9. Hoffmeister, A. M. dan Tietze, K. J. Adrenocortical dysfunction
and clinical use of steroids. In E. T. Herfindal & D. R. Gourley
(Eds.), Textbook of therapeutics: Drug and disease management
(7th ed., pp. 305–324). Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins. 2000.
MANAGEMENT NUTRITION IN CHRONIC
KIDNEY DISEASE
Suheir Muzakkir, Maimun Syukri
Divisi Ginjal dan Hipertensi Bagian/ SMF Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala /
RSUD. dr. Zainoel Abidin Banda Aceh
Abstrak
Setiap individu baik dalam keadaan sehat ataupun sakit
memerlukan nutrisi untuk mempertahankan homeostasis metabolisme
tubuhnya. Pada keadaan sehat maka kebutuhan nutrisi akan seimbang
dengan asupannya dari luar. Meningkatnya kebutuhan nutrient akibat
sesuatu sebab, tanpa diikuti oleh asupan yang cukup akan menimbulkan
ketidak seimbangan dalam metabolisme tubuh, dimana katabolisme akan
lebih besar dari anabolisme dan akan menyebabkan keadaan malnutrisi.
Malnutrisi sering terjadi pada pasien-pasien yang dirawat di Bagian
Penyakit Dalam, baik yang menderita penyakit kronis ataupun terjadi
pada pasien yang mengalami penyakit akut. Pada kegagalan fungsi ginjal
yang telah berlangsung lama pada penderita dengan gagal ginjal kronik,
diet disesuaikan dengan kebutuhan untuk menjaga kecukupan asupan
makanan dan nutrisi seimbang tanpa mengganggu fungsi ginjal, dan
meminimalkan kerusakan ginjal.
Kata Kunci: Anemia, Gagal Ginjal Kronik, Nutrisi
Abstract
Each individual well in a healthy condition or illness requires
nutrients to maintain her metabolism homeostasis. In a healthy state the
nutritional needs will be balanced with the intake from the outside. The
increased nutrient requirements due to any reason, without being
followed by a sufficient intake will cause an imbalance in the body's
metabolism, which will be larger than the catabolism and anabolism will
lead to malnutrition. Malnutrition is common in patients who were treated
at the Department of Internal Medicine, both suffering from chronic
diseases or in patients who experience an acute illness. On the failure of
kidney function that has lasted a long time in patients with chronic renal
failure, a diet tailored to the need to maintain adequate food intake and
nutrition balance
Keywords: Anemia, Cronic Kidney Disease, Nutrition
Pendahuluan
Terapi nutrisi adalah asupan nutrient yang dihitung dan
disesuaikan dengan kebutuhan dari seseorang yang tidak normal (atau
sakit) dalam upaya mencapai target tertentu (mencegah malnutrisi,
mengurangi overweight, dll). Pada keadaan gagal ginjal, ginjal tidak
dapat secara memadai mengeluarkan nitrogen dan sisa metabolisme, baik
akut, atau kronis fungsi ginjal menurun. Spektrum gejala dan keluhan
dari ginjal akut sangat bervariasi mulai dari anuria sampai dengan urin
output yang memadai, dan dari periode singkat menurunnya filtrasi
glomerulus sampai dengankebutuhan terhadap terapi pengganti ginjal
yang berkepanjangan. Untuk mencerminkan keragaman ini, the Acute
Dialysis Quality Initiative Group merekomendasikan perubahan dalam
terminologi dari gagal ginjal akut (acute kidney injury=AKI) Penyebab
utama AKI termasuk sepsis, trauma, hipotensi, pemakaian kontras
intravena, obat-obatan, dan sudah ada penyakit ginjal kronis (CKD).
Meskipun perbaikan dalam terapi dialisis dan pemberian dukungan
nutrisi, mortalitas AKI terus di kisaran 50% -60%. Banyak pedoman yang
dipakai untuk mengevaluasi bukti yang mendasari pemberian dukungan
nutrisi untuk pasien dengan AKI dan pada pasien penyakit ginjal kronik
(PGK).
Anemia Yang Disebabkan Oleh Sayuran Pada Penderita CKD
Pada pasien atau orang yang didiagnosis dengan PGK, penting
bagi mereka untuk memikirkan jenis diet yang cocok dan sesuai dengan
keadaan ginjalnya, namun tetap dibutuhkan oleh tubuh. Ada beberapa
jenis diet dan metode yang direkomendasikan untuk pasien dengan PGK
untuk menunjang kesehatan dan kondisi dari proses pemulihan.
Salah satu pilihan metode diet adalah menjadi seorang
vegetarian. Hal ini disebabkan bahwa salah satu program dari diet ginjal
adalah untuk mengontrol atau membatasi masukan protein.
Bagaimanapun, tubuh tetap memiliki kebutuhan untuk protein dalam
jumlah yang cukup, terutama bagi pasien PGK yang rutin menjalani
hemodialisis. Namun hal ini tidak menjadi hambatan bagi vegetarian atau
orang yang ingin menjadi vegetarian selama proses penyembuhan.
Dengan konsultasi bersama konsultan diet, mereka dapat
mengkombinasikan jenis makanan dan merencanakan menu yang sesuai
dengan kebutuhan ginjalnyaa.
Keuntungan dari diet vegetarian pada panderita PGK , sebagai
sumber protein nabati adalah :
-
Protenuria yang rendah
Rendahnya hambatan untuk laju filtrasi glumerolus (LGF) dan
aliran darah ginjal
Kerusakan jaringan ginjal lebih rendah dibandingkan dengan
protein hewani
Kecenderungan untuk terbentuk kista ginjal lebih rendah
Meningkatkan lemak dalam darah
Sumber protein yang berasal dari daging, ikan dan hewan
lainnya dapat digantikan dari sumber tumbuhan yang memiliki protein
yang sama seperti kedelai, tahu, kacang – kacangan , gandum , dan lainlainnya. Memodifikasi sumber protein lebih efektif dibandingkan
mengurangi asupan protein tubuh, terutama pada pasien PGK dengan
kegagalan ginjal yang progresif
Akan tetapi, diluar dari konteks kebutuhan nutrisi dan protein
tubuh kita, ginjal juga dapat mengalami masalah dari akibat diet,
misalnya terjadinya anemia. Hal ini disebabkan karena vegetarian tidak
mendapatkan asupan vitamin B 12 dalam diet vegetariannya, dimana B
12 didapatkan dari sumber hewani seperti daging, ikan, telur dan susu.
Defisiensi Vitamin B12 dapat menyebabkan gangguan sumsum tulang
dari saraf spinal untuk memproduksi sel darah merah ,dimana selama sel
darah merah ada, zat besi , vitamin B 12 dan asam folat tetap ada.
Apabila terjadi kekurangan salah satu dari produk ini, maka
produksi sel darh merah akan terganggu dan anemia akan terjadi. Anemia
yang terjadi akibat kekurangan vitamin B12 disebut anemia pernisiosa.
Dalam hal ini, pasien dengan gangguan ginjal yang mengalami anemia
akibat gangguan sekresi hormon eritropoetin dari ginjal, apabila
menjalani diet vegetarian, akan memiliki resiko besar mengalami anemia
berat.
Pasien yang menjalani diet vegetarian yang tidak
mengkonsumsi makanan dari sumber hewani dapat menambahkan
supplement vitamin B 12 dalam program dietnya untuk menjaga agar
kebutuhan vitamin B12 nya tercukupi.
Makanan Yang Sebaiknya Dihindari Untuk Menjaga Kesehatan
Ginjal
Makanan yang berbahaya bagi ginjal sering dikonsumsi dan
mudah ditemukan. Banyak yang tidak menyadarinya sampai mereka
mengalami gangguan ginjal. Dengan mengetahui lebih banyak makanan
yang berbahaya bagi ginjal, masyarakat seharusnya lebih bisa
menghindari makanan yang memiliki dampak buruk bagi ginjal.
Makanan tidak hanya memberikan manfaat sebagai sumber nutrisi dan
memiliki fungsi yang baik bagi kesehatan, tetapi juga memiliki dampak
terhadap kesehatan ginjal kita.
Makanan yang berbahaya bagi ginjal umumnya berasal dari
sumber hewani. Pada dasarnya, protein sangat berguna untuk
mempertahankan kesehatan tubuh, Akan tetapi, konsumsi yang
berlebihan dapat membahayakan ginjal kita. Sumber protein yang berasal
dari hewan seperti daging dan ikan mengandung pospor dan dan purine.
Kelebihan dari dua zat tersebut akan membahayakan ginjal. Purin dapat
dapat meningkatkan keasaman darah dan nyeri di sendi dan akhirnya
akan mengakibatkan efek di ginjal.
Natrium yang terlalu tinggi juga akan memberikan efek yang
tidak baik buat ginjal karena dapat meningkatkan tekanan darah sehingga
akan merusak ginjal. Jumlah natrium yang tinggi ditemukan dalam
garam, oleh karena itu kandungan garam harus dibatasi. Hindari
makanan yang terlalu asin. Makanan dan minuman dalam kemasan
biasanya memiliki kandungan natrium yang tinggi di setiap kemasannya.
Oleh karena itu, makanan dan minuman kemasan memiliki konsentrasi
natrium yang tinggi.
Disamping makanan, ada juga minuman seperti teh, kopi , wine
dan alkohol. Jenis minuman ini dapat menyebabkan penimbunan batu di
ginjal. Makanan yang berbahaya lainnya juga didapatkan pada makanan
dengan kadar kalium yang tinggi. Terlalu banyak kalium akan
meningkatkan kadar cairan di tubuh dan akhirnya menghancurkan sistem
kerja ginjal.
Makanan yang mengandung phospor tinggi juga merupakan
salah satu jenis makanan yang membahayakan ginjal. Makanan tinggi
phospor biasanya ditemukan pada makanan dengan kandungan coklat,
susu, kacang, dan bermacam – macam buahan. Kelebihan jumlah fosfor
dalam tubuh dapat menghambat penyerapan kalsium yang dapat
mempengaruhi ginjal. Untuk membantu kerja ginjal yang optimal, anda
harus menjalani hidup sehat dengan mengkonsumsi banyak air putih, dan
harus memperhatikan makanan yang berbahaya bagi ginjal
Diet Pada Penderita Hipertensi, Hiperkolesterolemia dan
Hiperurisemia
Resep sederhana untuk meningkatkan kondisi tubuh adalah
dengan makan dan olahraga yang tidak berlebihan. Akan tetapi, apa yang
terjadi adalah salah satu nya tidak melengkapi yang lain. Selain itu
banyaknya penyakit degenaratif membuat keadaan sulit untuk diobati.
Adanya keanekaragaman metabolisme manusia menyebabkan
meningkatnya resiko penyakit. Banyak orang menderita darah tinggi,
sementara yang lainnya mengalami peningkatan kolesterol dalam darah
yang akan menyebabkan penyakit jantung koroner
Diet Rendah Garam
Untuk pasien dengan hipertensi (peningkatan tekanan darah),
atau penyakit ginjal, hanya sedikit masukan garam yang dibutuhkan.
Pengurangan jumlah garam tidak diterapkan pada seluruh jenis garam,
namun pengurangan itu maksudnya adalah mengurangi jumlah dari
garam atau natrium klorida sebagai tambahan dalam makanan terutama
makanan yang mengandung MSG dan sodium karbonat
Direkomendasikan pada pasien untuk mengkonsumsi garam (
garam iodium) tidak lebih dari 6 gram per hari, setara dengan 1 sendok
teh. Diet diatur untuk membantu menurunkan tekanan darah yang tinggi
dan mengurangi penumpukan dari garam atau air di jaringan tubuh. Lebih
mudah untuk menjalani diet ini, karena hanya mengubah diet sesuai
penyakit, mengurangi kalori, konsumsi protein dan mineral sesuai
dengan kebutuhan tubuh.
Untuk memudahkan diet, cobalah untuk :
- Jangan meletakkan garam di meja makan
- Memilih sayuran segar. Makanan kalengan mengandung
banyak garam. Jika ingin mengkonsumsi sayuran kalengan,
sebaiknya dicuci dahulu dengan air sebelum dimakan untuk
mengurangi garam yang terkandung dalam makanan tersebut
- Memilih buah segar, karena buah segar umumnya memiliki
kandungan natrium yang rendah, namun tinggi akan kalium
- Menggunakan penyedap alami pada makanan seperti bawang
putih, bawang merah, jahe, kunyit, garam, gula atau cuka
- Memilih makanan ringan sejenis kacang , biskuit atau
makanan ringan lain yang tidak mengandung banyak garam
- Hindari kecap, MSG, touco dalam makanan yang anda
konsumsi
- Diet rendah kolesterol
Diet rendah kolesterol biasanya dijalani pada pasien yang tinggi
kolesterol dan pasien dengan gangguan jantung. Sesuai dengan
mekanismenya, kolesterol yang tinggi akan memicu penyumbatan
pembuluh darah yang dapat menyebabkan resiko untuk serangan jantung.
Pada dasarnya, tubuh manusia membutuhkan kolesterol sebagai bagian
untuk pertahanan sel seperti vitamin D, hormon anabolik, dan empedu.
Kegunaan diet ini adalah untuk menjaga kecukupan jumlah kolesterol di
dalam darah , yang secara tidak langsung bersamaan dengan proses
penurunan berat badan. Dalam diet, disarankan makan dalam jumlah
sedikit tapi sering.
Hindari makanan yang mengandung lemak jenuh, yang
umumnya ditemukan dalam daging sapi, daging domba, daging babi,
susu, cream , mentega, kuning telur, dan keju. Disamping dari bahaya
lemah jenuh, terdapat ancaman bahaya lemak yang bisa didapatkan dari
sayuran, seperti minyak kacang dan dan minyak kelapa. Minyak ini
sering dimanfaatkan dan disalahpersepsikan oleh para pedagang dalam
penjualan minyak goreng. Masyarakat dikenalkan minyak goreng yang
terbuat dari nabati seperti minyak kacang, minyak biji kapas, minyak
kedelai, minyak jagung, dan minyak biji matahari. Memang benar bahwa
minyak nabati yang berasal dari tumbuhan mengandung lemak tidak
jenuh dalam kandungannya. Akan tetapi sedikit yang mengetahui bahwa
lemak jenuh tetap akan ada saat minyak tersebut masuk dalam proses
pencernaan.
Bagaimanapun meyakinkannya minyak goreng nabati karena
mengandung lemak tidak jenuh, namun saat ia masuk kedalam tubuh
manusia, akibat reaksi alami proses pencernaan , pada akhirnya lemak tak
jenuh tersebut akan berubah menjadi asam lemak jenuh. Fokusnya adalah
mengurangi makanan berminyak. Apabila hal itu telah terjadi, segera
imbangi dengan olahraga, sehingga lemak jenuh akan dibakar menjadi
energi. Mulailah untuk memilih makanan dengan tinggi karbohidrat atau
serat seperti roti, nasi, gandum. Ayam dapat dikonsumsi tanpa kulit.
Untuk tambahan dapat ditambah dengan putih telur. Jangan lupa
mengurangi makanan yang kaya akan gula seperti es krim, coklat,
minuman ringan dan lainnya.
Diet Purin
Mengurangi konsumsi purin diperlukan pada pasien dengan
gangguan asam urat, dimana hal ini sangat dipengaruhi oleh gaya hidup
dan diet. Diet rendah purin bertujuan untuk mengurangi makanan kaya
akan purin seperti sarden, kale, jeroan,bayam. Jika normal kebutuhan
purin berkisar antara 600 – 1000 mg, pada program diet purin dikurangi
sekitar 120 – 150 mg. Dengan diet purin, kandungan purin bisa berkurang
di dalam darah dan meningkatkan pengeluaran asam urat.
Diet purin dapat dilakukan dengan tips berikut :
- Mengonsumsi kalori, protein, mineral, dan vitamin sesuai
dengan kebutuhan tubuh
- Dengan menggunakan makanan tinggi karbohidrat, dapat
mengurangi asam urat dari urin. Karbohidrat kompleks yang
dibutuhkan lebih dari 100 g/ hari. karbohidrat kompleks
terdapat pada ubi, roti, dan kentang.
- Diet rendah lemak juga dibutuhkan karena lemak memiliki
kecenderungan untuk menghambat pengeluaran asam urat
- Disamping diet rendah lemak, diet rendah protein juga
dibutuhkan, karena protein bisa meningkatkan level asam urat
dalam darah. Jumlah protein yang direkomendasikan untuk
pasien maksimal berkisar 50 – 70 g/hari
- Untuk mengurangi kelebihan asam urat dan mencegah
penumpukan asam urat di ginjal, cobalah untuk minum 2 –
3liter/ hari
- Jauhi alkohol, karena alkohol dapat mencegah pelepasan asam
urat dalam tubuh
Buah dan Pasien Dengan Penyakit Ginjal
Berdasarkan paradigma yang menunjukkan bahwa buah-buahan
mampu menyediakan nutrisi terbaik untuk tubuh, masyarakat sering
percaya bahwa seseorang yang sedang sakit membutuhkan tambahan
buah semasa dalam tahap penyembuhan. Tapi sayangnya tidak semua
penyakit bisa disembuhkan dengan buah-buahan . Beberapa penyakit
malah bisa bertambah buruk akibat buah- buahan, salah satunya adalah
penyakit ginjal.
Bertambahnya asam akan mengganggu sistem kerja ginjal,
terutama ginjal yang telah mengalami perburukan dibandingkan ginjal
pada orang yang sehat. Jika kita mengkonsumsi buah yang mengandung
banyak zat asam, ada kemungkinan ginjal akan mengalami inflamasi,
infeksi atau bahkan akan mencetuskan terjadinya batu ginjal.
Melihat hal ini, kita harus melakukan konsultasi kesehatan
dengan para ahli secara rutin pada pasien dengan penyakit ginjal. Hal ini
dimaksudkan kita harus meningkatkan kondisi ginjal dibandingkan
mengabaikannya akibat kerja yang berlebihan akibat asupan buah –
buahan.
Bagaimana Seharusnya Makan Penderita Gagal Ginjal Kronik?
Ada kegagalan fungsi ginjal yang telah berlangsung lama pada
penderita dengan gagal ginjal kronik. Diet disesuaikan dengan kebutuhan
untuk menjaga kecukupan asupan makanan dan nutrisi seimbang tanpa
mengganggu fungsi ginjal, dan meminimalkan kerusakan ginjal.
Diet pada pasien dengan gagal ginjal kronik pada dasarnya
memperlambat penurunan fungsi ginjal dengan cara mengurangi kerja
nefron dan mengurangi kadar urea darah.
Diet Yang Dibutuhkan Bagi Penderita PGK
Normalnya pasien dengan PGK memerlukan 35 kkal/kgBB.
Pada pasien geriatri ( lebih dari 60 tahun), kalori yang dibutuhkan adalah
30 kkal/kgBB , sesuai dengan komposisi berikut :
- Karbohidrat sebagai sumber energi sebanyak 50 – 60 % dari total
kalori
- Protein untuk mempertahankan jaringan tubuh dan mengganti
kerusakan sel sekitar 0,6 g/KgBB. Jika masukan energi tidak
cukup, proteinbisa diberikan sampai 0,75g/Kg. Protein yang
diberikan kurang dari normal, oleh karena itu disebut diet rendah
protein. Disarankan 50% protein yang dikonsumsi adalah protein
hewani . Anda dapat menggantinya dengan protein nabati yan
berasal dari kedelai segai variasi menu.
- Lemak dibutuhkan untuk energi sebesar 30 %, lebih disarankan
lemak tak jenuh.
-
Kebutuhan cairan disesuaikan dengan jumlah urin output dalam
24 jam ditambah IWL
Garam disesuaikan dengan ada tidaknya hipertensi. Sebagaimana
proses keseimbangan cairan tubuh . restriksi garam berkisar
antara 2,5 – 7,6 g/ hari sampai 1000 – 3000 mg natrium / hari
Kalium disesuaikan dengan ada tidaknya hiperkalemia , 40 – 70
meq/ hari
Jumlah fosfor yang disarankan ≤ 10 mg/ kg/ hari
Kalsium 1400 – 1600 mg/ hari
DAFTAR PUSTAKA
Cano NJM, Aparico M, Brandori G, Carero JJ, Cianciaruso B, Fiaccadusi
E et al. ESPEN Guidelines on Parenteral Nutrition : Adult Renal
Failure. Clinical Nutrition 28 (2009) 401–414.
Brown RO, Charlene Compher, and the American Society for Parenteral
and Enteral Nutrition (A.S.P.E.N.) Board of Directors. A.S.P.E.N.
Clinical Guidelines: Nutrition Support in Adult Acute and Chronic
Renal Failure JPEN J Parenter Enteral Nut 2010 34: 366.
Kondrup J, Allison S.P, Elia M, Vella B and Plauth M. ESPEN
Guidelines for Nutrition Screening 2002. Clinical Nutrition (2003)
22(4): 415–421
Locatelli F, Fouque D, Heimburger O, Drueke T.B, Cannata J.B, Horl
W.H, et al. Nutritional status in dialysis patients : a European
consensus. Nephrol Dial Transplant (2002) 17:563-572.
Lochsa H, Allisonb S.P, Meierc R, Pirlicha M, Kondrupd J, Schneidere
St, et al. Introductory to the ESPEN Guidelines on Enteral
Nutrition: Terminology, Definitions and General Topics. Clinical
Nutrition (2006) 25, 180–186.
Singer P, Berger M.M, Berghe G.V, Biolo G, Calder P, Forbes A, et al.
ESPEN Guidelines on Parenteral Nutrition: Intensive care. Clinical
Nutrition 28 (2009) 387–400
KETO ACID IN CHRONIC KIDNEY DISEASE
Abdullah
Divisi Ginjal dan Hipertensi Bagian/ SMF Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala /
RSUD. dr. Zainoel Abidin Banda Aceh
Pendahuluan
Penyakit ginjal kronis (PGK) adalah suatu sindroma klinis
dikarenakan penurunan fungsi ginjal yang menetap akibat kerusakan
nefron. Proses penurunan ini berjalan secara kronis dan progresif
sehingga pada akhirnya akan terjadi penyakit ginjal terminal (PGT),
dan pada saat ini diperlukan pengobatan pengganti ginjal.
Residual Renal Function (RRF) penting pada pasien penyakit
ginjal kronik (PGK). Temuan yang baru menunjukkan bahwa RRF
(dibandingkan RRF plus dialisis) merupakan prediktor yang esensial
mengenai kelangsungan hidup pasien dialisis. Pada pasien dialisis, selain
kecukupan dialisis, RRF berperan dalam menghambat inflamasi,
mempertahankan status nutrisi, mencegah hipertrofi ventrikel kiri,
menjaga keseimbangan antara kalsium dan fosfat serum, dan menurunkan
angka peritonitis. Pemahaman bahwa dialisis tidak dapat sepenuhnya
menggantikan fungsi ginjal menggarisbawahi pentingnya melindungi
RRF pada pasien PGK, bahkan setelah dialisis.
Asupan Rendah Protein dan Progresifitas Kemunduran Fungsi
Ginjal Pada Penderita PGK
Ada berbagai macam laporan penelitian tentang pengaruh
pembatasan protein pada diet dengan progresifitas PGK. Hampir semua
penelitian pada DM tipe1 menunjukkan adanya perbaikan dalam
pemeliharaan ginjal dengan diet rendah protein. Fouque dan Pedrini dkk
dalam penelitian meta analisisnya menunjukkan bahwa diet dengan
rendah protein dapat menahan progresifitas PGK secara bermakna pada
penderita DM.
Maschio dkk (1982) merupakan salah satu peneliti awal yang
menunjukkan manfaat pembatasan protein (0.6gram/kgBB/hari)
terhadap penurunan progresivitas faal ginjal pada penderita dengan
kreatinin serum1.5- 5.4mg/Dl .Rosman(1984) pada pengamatan selama 4
tahun mendapatkan pula manfaat dari diet rendah protein terhadap
penurunan fungsi ginjal. Ihle dkk (1989) pada penelitiannya terhadap 64
penderita dengan kreatinin serum 4.0 - 11.0 mg/dl selama 18 bulan
mendapatkan hanya 6% penderita dengan diet protein 0.4gram/kgBB/hari
jatuh dalam PGT dibanding 27% penderita dengan diet bebas protein.
Juga didapatkan perbedaan bermakna dalam penurunan laju filtrasi
glomerulus (LFG).
Penelitian The Modification of Die in Renal Disease Study
(MDRD Trial) merupakan penelitian multicenter besar yang menilai
manfaat penatalaksanaan diet rendah protein terhadap hambatan laju
progresifitas kemunduran fungsi ginjal pada penderita PGK non DM.
Dibandingkan antara kelompok dengan diet protein 0.58 gram/kgBB/hari
terhadap kelompok dengan diet normal protein 1,3gram/kgBB/hari pada
penderita dengan laju filtrasi glomerulus 25-55ml/menit/1,73m2 pada
kelompok A.Sedang pada kelompok B dibandingkan antara diet protein
0,58 gram/kgBB/hari dengan diet 0,28 gram/kgBB/hari ditambah dengan
2
ketoanalog pada penderita dengan LFG 13-24 ml/menit/1,73m . Dalam
observasi selama 2,2 tahun dengan pemeriksaan pembersihan kreatinin
setiap 4 bulan terdapat beberapa kontroversi mengenai pengaruh diet
rendah protein terhadap laju progresifitas penurunan fungsi ginjal,
tergantung saat dilakukan observasi. Tetapi dari laporan MDRD Trial
serta meta-analisis dan analisis sekundernya disimpulkan adanya korelasi
yang kuat antara asupan protein dan kemampuan untuk memperlambat
penurunan fungsi ginjal penderita PGK utamanya dengan LFG <
25ml/menit/1,73m2 dan cukup aman terhadap parameter nutrisi.
Keto Acid dan Manfaatnya pada Penderita PGK
Tujuan penatalaksanaan nutrisi penderita PGK adalah mencegah
penumpukan nitrogen hasil metabolisme tubuh :
1. Mempertahankan status gizi yang optimal agar tidak terjadi malnutrisi
dan agar kualitas hidup penderita sebaik mungkin
2. Mempertahankan atau menghambat progresifitas kemunduran faal
ginjal
3. Mengurangi atau mencegah gejala uremi dan gangguan metabolisme
pada PGK
Keto acid sering ditambahkan pada diet rendah protein pada
pasien PGK predialisis, tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan nutrisi
tetapi juga karena pengaruh independen terhadap pemeliharaan RRF.
Sebelumnya, belum terdapat studi acak dan prospektif yang mengevaluasi
pengaruh diet rendah protein dengan atau tanpa keto acid terhadap status
nutrisi dan RRF pada pasien dengan dialisis peritoneal.
Studi secara acak dilakukan untuk mengetahui apakah diet rendah
protein dengan atau tanpa keto acid aman dan dengan dipertahankannya
RRF selama dialisis peritoneal. Pertama-tama dilakukan studi
keseimbangan nitrogen untuk menilai keamanan diet rendah protein pada
pasien (n= 34) dengan dialisis peritoneal. Pasien secara acak mendapat
diet 1,2 g, 0,9 g, atau 0,6 g protein/kgBB ideal/hari selama 10 hari.
Kemudian 60 pasien dengan dialisis peritoneal stabil secara acak
mendapat diet rendah protein (LP: 0,6-0,8 g/kgBB ideal/hari), diet rendah
protein yang ditambah suplementasi keto acid (sLP: 0,6-0,8 g/kgBB
ideal/hari ditambah 0,12 g/kgBB ideal keto acid), diet tinggi protein (HP:
1-1,2 g/kgBB ideal/hari). Berdasarkan studi tersebut, beberapa hal yang
merupakan hasil studi diantaranya adalah: Keseimbangan nitrogen
positif atau netral dicapai pada 3 kelompok (pada studi keseimbangan
nitrogen). RRF stabil pada pasien kelompok sLP (3,84 ± 2,17 menjadi
3,39 ± 3,23 mL/menit/1,73 m2, p= tidak bermakna) sementara RRF
menurun pada kelompok LP (4,02 ± 2,49 menjadi 2,29 ± 1,72
mL/menit/1,73 m2, p<0,05) dan HP (4,25 ± 2,34 menjadi 2,55 ± 2,29
mL/menit/1,73 m2, p<0,05). Tidak terdapat perubahan terhadap status
nutrisi pada ketiga kelompok selama follow up.
Dari studi ini disimpulkan bahwa diet yang mengandung protein
0,6-0,8 g/kgBB ideal/hari aman, dan bila dikombinasikan dengan keto
acid, berkaitan dengan perbaikan dalam dipertahankannya RRF pada
pasien dialisis peritoneal yang relatif baru tanpa malnutrisi atau inflamasi
yang bermakna.
Suplemen Keto analogue/ Keto acid Menghambat Progresivitas
Penyakit Ginjal Kronik
Sebuah penelitian terbaru berikut ini menunjukkan bahwa diet
sangat rendah protein dengan suplementasi ketoanaloque/ketoacid selain
aman ternyata dapat menghambat progresivitas dari penyakit ginjal
kronik. Penelitian yang dilakukan di University of Medicine and
Pharmacy in Bucharest, Romania, ini merupakan penelitian prospektif
dengan desain acak dengan pembanding, yang bertujuan untuk
mengevaluasi keamanan dan efikasi dari suplemen ketoanaloque versus
diet rendah protein konvensional.
Subjek adalah pasien ginjal kronik tanpa diabetes dengan
estimasi nilai laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 30
mL/menit/1,73 m2, proteinuria <1g/g kreatinin urin, status nutrisi dan
kepatuhan diet yang baik untuk menjalani fase diet rendah protein. Pada
bulan ke-3 dilakukan pemisahan pada pasien secara acak, di mana dibagi
menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok yang mendapatkan suplemen
ketoanaloque (1 kapsul/5 kgBB dan diet protein nabati 0,3 g/kgBB/hari)
atau kelompok yang terus menjalani diet rendah protein konvensional
(0,6 gram protein/kgBB/hari) hingga bulan ke-15.Sejumlah 207 pasien
memenuhi kriteria inklusi. Selanjutnya dilakukan evaluasi waktu
dimulainya terapi pengganti ginjal (TPG), yaitu dialisis atau transplantasi,
atau terjadinya penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) >50%.
Hasil evaluasi setelah bulan ke-15 adalah jumlah pasien yang
mulai menjalani TPG atau mengalami penurunan nilai LFG>50% pada
kelompok
suplemen
ketoanaloque
secarasignifikan
lebih
rendah (13% vs 42%) jika dibandingkan kelompok kontrol (p<0,001).
Perbedaan antara dua kelompok adalah 10%.
Dari analisis Kaplan-Meier, probabilitas kumulatif untuk
terjadinya TPG atau turunnya nilai LFG>50% pada tahun pertama juga
lebih rendah pada kelompok suplemen ketoanaloque (12% vs 39%).
Probabilitas untuk terjadinya TPG atau penurunan LFG>50%
bahkan juga lebih rendah setelah dilakukan penyesuaian berbagai faktor
yang dapat mempengaruhi (estimasi LFG, indeks massa tubuh, C-reactive
protein(CRP), dan terapi angiotensin–converting enzyme inhibitor
[ACEI]/angiotensin receptor blocker [ARB]). adjusted hazard ratio, 0,10;
95% CI 0,05 s/d 0,20.
Efikasi dari suplemen ketoanaloque paling tinggi pada pasien
yang memiliki nilai LFG < 20 mL/menit. Pada kelompok suplemen
ketoanaloque terjadi perbaikan kondisi metabolik yang abnormal
(metabolisme kalsium-fosfat, bikarbonat). Suplementasi ketoanaloque
ditoleransi dengan baik oleh pasien, tidak dilaporkan efek samping
bermakna atau kejadian fatal akibat suplemen ini.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa suplementasi
ketoanaloque dapat diberikan secara aman dan bermanfaat dalam
memperlambat progresivitas kerusakan ginjal. Hasil penelitian ini
dipublikasikan secara online dalam Journal of the American Society of
Nephrology pada bulan Januari 2016.
Daftar Pustaka :
1. Jiang N, Qian J, Sun W, Lin A, Cao L, Wang Q, et al. Better
preservation of residual renal function in peritoneal dialysis patients
treated with a low-protein diet supplemented with keto acids: A
prospective, randomized trial. Nephrol Dial Transplant. 2009;
24:2551-8.
2. Teplan V. Supplements of keto acids in patients with chronic renal
failure. Nefroloji Dergisi 2004;13(1):3-7.
3. Garneata L and Mircescu G. Effect of low-protein diet supplemented
with keto acids on progression of chronic kidney disease. J Ren
Nutr. 2013 May;23(3):210-3. doi: 10.1053/j.jrn.2013.01.030.
4. Shah AP, Zadeh K, and Kopple JD. Is there a role for ketoacid
supplements in the management of CKD? Am J Kidney Dis. 2015
May;65(5):659-73. doi: 10.1053/j.ajkd.2014.09.029.
TATALAKSANA SEPSIS PADA USIA LANJUT
Masra Lena Siregar
Divisi Penyakit Tropik Infeksi Bagian/ SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Syiah Kuala – RSUD Dr. Zainoel Abidin
Pendahuluan
Pertambahan usia pada populasi dunia merupakan pola demografi
yang sangat menarik, penting dan terus berlanjut karena berhubungan
dengan semua sisi kehidupan sosial, ilmu pengetahuan dan kesehatan.
Sepsis merupakan keadaan yang mengancam jiwa dan berkaitan dengan
respon imun terhadap proses infeksi dengan persentase sekitar 20%
mengakibatkan kematian di rumah sakit. Insidensi sepsis berat akan terus
meningkat sejalan dengan pertambahan usia dengan rerata usia yang
menderita adalah 65 tahun. Penurunan fungsi sistem imun yang diikuti
dengan semakin bertambahnya usia merupakan faktor yang
meningkatkan terjadinya sepsis pada usia tua (≥ 65 tahun). Pembagian
usia tua terdiri dari young elderly dengan kisaran 65-85 tahun dan old
elderly (≥ 85 tahun).1
Pasien yang menderita sepsis berkisar 750.000 orang di Amerika
Serikat dan sekitar 60% adalah usia ≥ 60 tahun dan diperkirakan akan
meningkat sejalan dengan pertambahan usia dengan insidensi dua kali
lipat pada tahun 2030. Insiden sepsis pada semua umur berkisar 3 kasus
per 1000 populasi dan akan terus meningkat pada usia >85 tahun sebesar
26,2 kasus per 1000 populasi.2 Bakteremia merupakan penyebab
terbanyak infeksi pada usia tua dengan kisaran 40-50% dengan tingkat
mortalitas sekitar 40-60% dan akan terus meningkat dengan infeksi yang
disebabkan oleh bakteri gram negatif.3 Sari kepustakaan ini bertujuan
untuk melihat perbedaan penting dalam penanganan sepsis pada usia
lanjut yang berbeda dengan usia muda.
Definisi
Sepsis adalah infeksi yang terjadi bersamaan dengan munculnya
manifestasi sitemik, sedangkan evere sepsis adalah sepsis yang disertai
dengan disfungsi organ atau hipoperfusi organ. Sepsis induced
hypotension merupakan penurunan tekanan darah sistolik (TDS) <90
mmHG atau mean arterial pressure (MAP) <70 mmHg atau penurunan
TDS >40 mmHg atau kurang dari nilai normal tanpa ada penyebab
hipotensi lainnya, sedangkan syok sepsis adalah sepsis induced
hypotension yang tidak teratasi dengan resusitasi yang adekuat dan sepsis
induced tissue hypoperfusion adalah infeksi yang merangsang terjadinya
hipotensi, peningkatan laktat atau oliguria.4
Patofisiologi
Perubahan sistem imun tubuh yang dipengaruhi usia dinamakan
immunosenesence adalah proses kerusakan respon innate immunity yang
meliputi makrofag, netrofil, natural killer (NK) dan sel dendritik
sehingga terjadi proses inflamasi yang mengakibatkan sepsis melalui
pengkodean yang dilakukan oleh reseptor bakteri untuk mengenali
struktur patologi semua mikroorganisme seperti lipopolisakarida (LPS),
peptidoglikan, asam lipoethicoic, DNA (deoksiribonucleat acid) bakteri,
RNA (ribonucleat acid) bakteri dan glukan. Reseptor yang bersifat
soluble seperti mannan akan berikatan dengan lektin dan merangsang
terjadinya kaskade komplemen.2 Makrofag dan sel dendrit dikenal
sebagai reseptor endotik dan penanda yang berfungsi sebagai fagositosis
terhadap mikroorganisme, kemudian disalurkan ke lisosom yang dikenal
sebagai major compatibility complex (MHC II) yang terdapat pada
permukaan antigen-presenting cells (APC). Reseptor penanda seperti the
toll like receptors (TLR) akan meningkatkan jalur tranduksi melalui
mitogen-activated protein kinases dan mengaktivasi kerja nuclear factor
NF-kB serta menerjemahkan semua kode gen untuk sitokin sehingga akan
memicu pelepasan semua mediator proinflamasi termasuk asam
arakhidonat (prostglandin) dan sitokin. TNF-alpha merupakan mediator
utama yang berespon terhadap bakteri gram negatif yang bekerja secara
lokal pada jumlah yang sedikit terutama pada sel endotel dan leukosit,
meningkatkan kemampuan untuk membunuh bakteri, meningkatkan
permeabilitas, pelepasan interleukin (IL)-1 dan IL-6 dan aktivasi jalur
koagulasi melalui peningktan produksi faktor VII juga dilakukan oleh
TNF-alpha. Sel hipotalamus akan bekerja melalui perangsangan yang
dilakukan oleh reseptor tersebut dalam dosis tinggi sehingga akan
menimbulkan demam pada hepatosit dan pelepasam serum protein pada
fase akut, selanjutnya akan terjadi depresi miokard, vasodilatasi, efek
metabolik seperti hambatan lipase lipoprotein dan peningkatan
glukoneogenesis. Pelepasan IL-1, IL-6 yang merangsang pelepasan
limfosit T dan Limfosit B, IL-12 yang mempercepat munculnya sel
natural killer (NK) dan stimulasi CD8+ lymphocytes juga terjadi pada
tahap ini, seperti terlihat pada gambar 1.2,5
Sepsis berhubungan dengan stimulasi sistem imun yang
berlangsung terus menerus dan dicetuskan oleh TNF, IL-1 dan IL-12
sehingga menimbulkan systemic inflammatory response syndrome (SIRS)
dan menghambat kerja sistem imun yang diaktivasi oleh IL-10 yang
dikenal dengan compensative antinflammatory response syndrome
(CARS). Infeksi sistemik yang terjadi akan meningkatkan aktivasi
netrofil sehingga menyebabkan disfungsi dan kerusakan endotel ,
pembentukan fibrin, peningkatan permeabilitas, edema interstitial dan
penurunan difusi oksigen ke jaringan, kegagalan sumber energi selular
dan mengakibatkan kegagalan multi organ yang meliputi gastrointestinal,
ginjal, kardiovaskular, sistem saraf pusat, sistem hematopoitik dan hati
dan meningkatkan angka mortalitas.6
Gambar 1. Usia dan Patofisiologi Sepsis
2
Sistem imun pada geriatri berbeda dengan dewasa muda. Innate
immunity pada usia tua akan menimbulkan atrofi timus, perubahan dari
naïve sel T menjadi sel T memori yang berhubungan dengan perubahan
sitokin dan peningkatan sel T helper (Th)-2, penurunan fungsi makrofag
melalui penurunan sel proinflamasi, peningkatan sel inflamasi dan
penurunan aktifitas bakterisidal. Apoptosis yang merupakan proses
kematian sel yang dicetuskan melalui perangsangan ekstraseluler dan
intraselular yang ditandai dengan perubahan morfologi sel seperti
pengecilan sitoplsma, pengrusakan membran, pemadatan kromatin
nuklear, fragmentasi kromosom DNA dan pembentukan vesikel-vesikel
yang selanjutnya mengalami fagositosis oleh makrofag.7 Proses ini akan
meningkat sejalan dengan pertambahan usia dan mengakibatkan
gangguan fungsi mitokondria melalui peningkatan sintesa nitrit okside
(NO) dan radikal bebas, seperti telihat pada tabel 1.2
Faktor Resiko
Faktor resiko terjadinya sepsis pada usia lanjut sangat
dipengaruhi oleh penyakit komorbid, paparan instrumen atau prosedur,
malnutrisi dan status performance. Status performance meliputi atropi
otot, sarkopenia, perubahan respon hormon tropik seperto hormon
pertumbuhan, estrogen dan androgen, gangguan neurologi, gangguan
regulasi sitokin, perubahan metabolisme protein dan perubahan pola diet.
Status imun juga mengalami gangguan yang ditandai dengan mudahnya
terserang infeksi dan komplikasi pada penggunaan alat invasif atau
penyakit komorbid, sedangkan malnutrisi terjadi karena adanya gangguan
penciuman.3
Tabel 1. Perubahan Sistem Imun Pada Geriatri 2
Innate immunity Penurunan fungsi makrofag
Penurunan fungsi TLR
Penurunan mitogen activated protein kinase
Penurunan TNF-α dan IL-6
Peningkatan IL-10
Penurunan aktivitas bakterisidal
Sel limfosit T
Penurunan sel naïve
Penurunan fungsi mitogen-activated protein kinases
Penurunan respon sitokin tipe 1 (IL-2, TNF-alpha)
Peningkatan respon sitokin tipe 2 (IL-4, IL-10)
Sel Limfosit B
Penurunan jumlah sel B dan sel plasma
Peningkatan imunoglobin polispesifik dengan penurunan
produksi sel B 1
Penurunan respon neoantigen
Gambaran klinis
Gambaran klinis pada usia lanjut berbeda dengan dewasa muda
yang ditandai dengan gejala atau tanda SIRS yang minimal, tidak spesifik
atau tidak ada seperti cepat lelah, malaise, delirium, confusion dan
penurunan nafsu makan atau inkontinensia urin, tidak adanya demam dan
sering disertai dengan hipotermia (penurunan suhu tubuh). Sumber
infeksi yang terjadi sama seperti usia lainnya mencakup sistem
pernapasan, sistem urinarius, gastrointestinal, kulit dan jaringan lunak
dengan organisme yang sering ditemukan adalah bakteri gram negatif.3,8
Diagnosa
Sepsis ditegakkan sesuai dengan kriteria The surviving sepsis
campaign guideline 2012 yang tercantum dalam tabel 2.4
Tabel 2. Diagnosa Sepsis dan Severe Sepsis 4
Sepsis yaitu adanya infeksi atau diduga suatu infeksi diikuti dengan :
Variabel
Demam (suhu >38,3ºC) atau hipotermia ( suhu < 36ºC)
umum
Nadi >90 x/menit atau lebih dari 2x batas nilai atas
(SIRS)
Takipnue
Gangguan kesadaran
Edema atau balance cairan positif ( >20 ml/kgBB dalam 24
jam)
Hiperglikemia ( KGDS > 140 mg/dl atau 7,7 mmol/L) tanpa
riwayat Diabetes Mellitus
Variabel
Leukositosis (leukosit >12.000/uL) atau leukopenia ( leukosit <
inflamasi
4000/uL)
Leukosit dalam batas normal dengan peningkatan sel batang
>10%
Peningkatan C reactive protein (CRP) lebih dari 2x batas nilai
atas
Peningkatan procalcitonin lebih dari 2x batas nilai atas
Variabel
Hipotensi ( Tekanan darah sistolik/TDS <90 mmHg, MAP <70
hemodinamik mmHg, atau penurunan TDS >40 mmHg pada dewasa atau
kurang dari 2x batas nilai bawah)
Variabel
Hipoksemia (PaO2/ FiO2 <300)
disfungsi
Oliguria akut ( urine output <0,5 mL/KgBB/jam setelah 2 jam
organ
mendapatkan resusitasi cairan yang adekuat)
Peningkatan serum kreatinin >0,5 mg/dl
Gangguan koagulasi ( INR >1,5 atau aPTT >60 detik)
Ileus
Trombositopenia ( trombosit <100.000/uL)
Hiperbilirubinemia ( bilirubin total >4 mg/dl)
Variabel
Hiperlaktanemia (> 1 mmol/L)
perfusi
Penurunan pengisian kapiler
jaringan
Severe sepsis yaitu sepsis yang menyebabkan gangguan hipoperfusi atau
disfungsi organ:
Hipotensi akibat sepsis
Peningkatan laktat lebih dari nilai batas atas normal
Urine output <0,5 ml/kgBB/jam lebih dari 2 jam dengan resusitasi yang
adekuat
Acute Lung Injury dengan PaO2/ FiO2 <250 tanpa pneumonia
Acute Lung Injury dengan PaO2/ FiO2 <200 dengan pneumonia
Kreatinin serum >2 mg/dl
Bilirubin serum >2 mg/dl
Trombosit <100.000/uL
Koagulopati (INR >1,5)
Pembagian klasifikasi berdasarkan grading PIRO( Predisposition,
Insult or Infection, Response and Organ Dysfunction) juga menajdi
landasan untuk penengakan diagnosa sepsis, seperti terlihat pada tabel 3.9
Tabel 3. Grading PIRO
Variabel
Gejala klinik
Predisposing
Usia,
jenis
kelamin,
factor
penyakit
komorbid,
penggunaan steroid atau
terapi imunosupresi
Infection
Lokasi infeksi, tipe infeksi
Response
Suhu, denyut
tekanan darah
Organ dysfunction
Tekanan
darah,
output, Glasgow
scale (GCS)
jantung,
urine
coma
Laboratorium
Genetic polymorphism
Virulensi, organisme yang
resisten
Hitung jenis sel leukosit,
prothrombin time (PT),
Augmented
partial
thromboplastin
time
(aPTT),
kadar serum
laktat , marker sepsis
PaO2 /FIO2 , serum
kreatinin, serum bilirubin,
Jumlah trombosit
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan sepsis pada pasien tua dilakukan berdasarkan
guideline yang didasarkan atas patofisiologi penyakitnya meliputi
farmakologi, kontrol terhadap sumber penyakit dan terapi suportif seperti
pemberian cairan, ventilasi mekanik dan nutrisi. Kontrol terhadap sumber
infeksi meliputi drainase abses, membebaskan sumber infeksi tubuh dari
kontaminasi mikroba seperti penggunaan kateter. Ventilasi mekanik
diindikasikan pada gagal napas berat berdasarkan volume tidal (6
ml/kgBB) sehingga dapat menurunkan mortalitas, durasi penggunaan
ventilasi dan IL-6 pada pasien dengan ARDS (Acute Respiratory Distress
Syndrome).7
Goal Directed Therapy yang telah dibuktikan dari beberapa
penelitian membuktikan adanya penurunan mortalitas jika resusitasi
dilakukan secepatnya dengan target central venous pressure (CVP) 8-12
mmHg, mean arterial pressure (MAP) >65mmHg, urine output
>0.5mL/kg/h dan central venous oxygen saturation >70%
yang
didapatkan melalui pemberian terapi cairan secara agresif, pemberian
dobutamin dan transfusi darah.10 Peningkatan cardiac output (CO) sangat
diperlukan pada usia lanjut dengan mempertahankan peningkatan tekanan
sistolik karena terjadinya peningkatan denyut jantung yang berhubungan
dengan disfungsi diastolik, usia tua dan peningkatan volume preload
ventrikel kiri, tetapi harus dilakukan monitoring dengan CVP untuk
mempertahankan perfusi jaringan karena usia lanjut sangat rentan untuk
terjadinya dehidrasi, seperti telihat pada gambar 2.9
Pemeriksaan kultur harus dilakukan sesegera mungkin sejak
terdiagnosa sepsis dan sebelum pemberian antibiotik. Terapi empiris
antibiotik broadspectrum menjadi suatu pertimbangan dalam satu jam
pertama penanganan sepsis setelah pengambilan sampel kultur
berdasarkan penyakit komorbid, immunocompromised, home care, rawat
inap berulang dan penggunaan alat invasif. Peningkatan insidensi sepsis
berhubungan dengan resistensi mikroorganisme dan deescalation
dipertimbangkan jika hasil penyebab infeksi sudah terdeteksi.
Konsentrasi antibiotik dalam darah harus dievaluasi ketika akan
melakukan titrasi dosis sesuai dengan perubahan metabolik tubuh.
Konsentrasi antibiotik dipertahankan sekitar 2-5 kali diatas minimal
inhibitor concentration (MIC) untuk patogen spesifik pada jenis timedependent antibiotic seperti golongan beta laktam, glikopeptida dan
linezolid atau sekitar 40-100% diantara dua interval pemberian intravena,
sedangkan konsentrasi pada dependent antibiotics
(metronidazol,
kuinolon, aminoglikoside) disarankan konsentrasi maksimum plasma
(Cmax) sedkitnya 10 kali dari nilai MIC.8
Farmakokinetik dan farmakodinamik antibitoik yang digunakan
untuk mengatasi gangguan ini akan mengalami ketidakseimbangan pada
usia lanjut karena penurunan fungsi ginjal, penurunan lean mass tubuh
dan penurunan aliran darah hepar yang mempercepat timbulnya syok
sehingga diperlukan evaluasi untuk menilai efek samping dan perubahan
metabolik serta hemodinamik.2,11
Guideline internasional merekomendasikan pengobatan pada
penderita sepsis yang beresiko tinggi mengakibatkan kematian (APACHE
score >25), syok sepsis, sedikitnya terdapat 2 disfungsi organ dan sepsisinduced ARDS melalui peningkatan aktivitas protein C yang ditandai
dengan profibrinolitik, peningkatan anti koagulan, anti inflamasi dan efek
anti apoptosis. Protein C tidak boleh diberikan pada perdarahan aktif,
penggunaan anti koagulan, trombosit <30.000/uL, dan pasien yang
beresiko mengalami perdarahan yang tidak terkontrol. 2,12
Steroid diindikasikan pada keadaan syok refrakter dengan dosis
hidrokortison 50 mg yang diberikan secara IV setiap 6 jam selama 7 hari,
namun perubahan imunologis yang terjadi pada usia lanjut menjadi suatu
pertimbangan terhadap pemakaian steroid karena penggunaan dosis tinggi
menyebabkan imunodepresi, kontrol
gula darah yang buruk,
penyembuhan luka yang lama dan mioneuropati. Kondisi insufisiensi
adrenal akan menunjukkan perbaikan yang lebih nyata dengan
penggunaan steroid ini.2,12
Diagnosa syok septik
Resusitasi awal
Terapi cairan dan vasopresor yang optimal
Pemberian antibiotik yang adekuat dan
broadspesctrum
Target
CVP 8-12 mmHg
MAP ≥ 65 mmHg
Urine output ≥ 0,5 ml/kgBB/jam
Tekanan vena sentral atau mixed venous oxygen
saturation ≥70% atau ≥65%
Akses intravena (IV)
Monitoring indeks stroke dan
tekanan arteri
Hipotensi persisten, Disfungsi organ,
Tanda-tanda hipoperfusi jaringan
Pertimbangan hidrokortison 50 mg/kgBB/ 6 jam atau
10 mg/kgBB/hari
Echocardiografi untuk
menentukan fungsi
ventrikel kiri (Left
ventricel/LV)
Evaluasi tekanan
arteri untuk menilai
respon cairan
Fungsi LV depresi- normal
Dobutamin 2,5 ug/kgBB/menit
Syok persisten
LV hiperkinetik
Pertimbangan IV activated protein C 24
ug/kgBB/hari selama 9 jam
Respon cairan : pertimbangan RL 500 cc atau
albumin 5%
Monitoring : PaO2/FiO2,
saturasi O2, udema paru
Vasopressin 0,3
ug/kgBB/menit
dilanjutkan dengan
titrasi norepinefrin
Perbaikan Syok
Monitoring :
MAP, kadar
laktat, urine
output
Gambar 2. Algoritma manajemen syok sepsis dan sepsis pada usia lanjut 9
Sepsis yang terjadi pada usia tua mempunyai resiko tinggi untuk
menderita ansietas, nyeri dan delirium. Penggunaan sedasi atau sedatif
melalui pemberian IV secara intermiten dapat menurunkan resiko
penggunaan ventilator mekanik dibandingkan dengan pemberian secara
kontinous.2
Penanganan lainnya yang menjadi perhatian pada usia lanjut
adalah profilaksis yang diberikan terhadap deep vein thrombosis dengan
penggunaan obat dosis kecil unfractioned heparin, low molecular weight
heparin (LMWH) atau penggunaan alat mekanik, proton pump inhibitor
(PPI) untuk mencegah stress ulcer dan kontrol gula darah. Hiperglikemia
sering terjadi pada sepsis berat dan menyebabkan kerusakan mekanisme
pertahanan antimikroba dan mencetuskan terjadinya koagulopati,
sehingga target gula darah yang dipertahankan adalah berkisar 150-180
mg/dl untuk mencegah kerusakan imunologis dan meningkatkan resiko
koagulopati.11,12
Monitoring
Evaluasi yang dilakukan terhadap penatalaksanaan sepsis pada
penderita usia lanjut meliputi gejala klinik, pemeriksaan laju endap darah
(LED), darah rutin dan marker sepsis seperti CRP dan procalcitonin. 4,13,14
Lokasi infeksi menentukan keberhasilan terapi dan morbiditas pada kasus
sepsis pada lansia.15,16
Prognosa
Usia sangat mempengaruhi derajat keparahan sepsis, survival
rate dan tingkat mortalitas serta merupakan prediktor prognosa pada
penderita sepsis. Prognosa buruk terjadi pada pasien dengan infeksi
polimikroba dengan episode rekuren akibat bakteremia sekitar 9%
dengan resiko mortalitas dalam 1 tahun sebesar 3,6% dan juga
dipengaruhi oleh usia dan sumber infeksi ekstraintestinal.17,18
Prognosa sangat bergantung pada imunitas tubuh, infeksi
nosokomial, penyakit komorbid, derajat keparahan penyakit usia ≥75
tahun dan gangguan kesadaran.8 Mortality in emergency department
sepsis (MEDS) score dan procalcitonin yang meningkat merupakan
faktor prognostik yang dinilai pada usia lanjut dengan sepsis. MEDS
merupakan penilaian yang berdasarkan kardorespirasi, neurologi dan
hematologi. 16,19
Kesimpulan
Usia lanjut merupakan salah satu faktor predisposis untuk
terjadinya infeksi yang lebih berat dibandingkan dengan usia muda.
Perubahan sistem imun, nutrisi, gangguan mental dan penyakit komorbid
merupakan faktor pencetus yang dapat memperberat infeksi dan
mengakibatkan prognosa yang buruk pada penderita sehingga
penanganan yang cepat dan tepat harus dilakukan melalui evaluasi yang
ketat dan asupan nutrisi yang cukup.
Daftar pustaka
1. De Gaudio AR, Rinaldi S, Chelazzi C, Borracci T. Pathophysiology
Of Sepsis In The Elderly: Clinical Impact And Therapeutic
Considerations. Current Drug Targets. 2010;10:60-70
2. Girard TD, Opal SM, Ely EW. Severe Sepsis In The Elderly. Clin.
Infect Dis. 2010; 40:719-27
3. Destarac LA, Ely WE. Sepsis in Older Patients: An Emerging
Concern in Critical Care. Advances In Sepsis. 2011; 2(1):15-23
4. Dellinger PR, Levy MM, Rhodes A, Annane D, Gerlach H, Opal
SM, et al. Surviving Sepsis Campaign : International Guidelines For
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
Management Of Severe Sepsis And Septic Shock : 2012. CCJM.
2013;41(2):580-630
Kumar AT, Punith K, Sudhir U, Kumar R, Kumar NV, Rao MY.
Cytokine profile in elderly patients with sepsis. Indian J Crit Care
Med. 2011;13( 2):74-80
Gentile LF, Nacionales DC, Lopez MC, Szpila BE, Larson S,
Shawn, et al. Protective Immunity and Defects in the Neonatal and
Elderly Immune Response to Sepsis. The Journal of Immunology.
2014:1-11
Englert NC, Ross C.The Older Adult Experiencing Sepsis. Crit
Care. 2015;38(2):175–81
Nasa P, Juneja D, Singh O. Severe Sepsis And Septic Shock In The
Elderly: An Overview. World J Crit Care Med. 2012;1(1): 23-30
Raju Y. Treatment Of Sepsis And Delated Syndromes In The
Elderly: Indian Scenario. Geriatrics. 2010;26(176):763-7
Heppner HJ, Singler K, Kwetkat A, Popp S, Esslinger AS,
Bahrmann P, et al. Do Clinical Guidelines Improve Management Of
Sepsis In Critically Ill Elderly Patients? A Before-And-After Study
Of The Implementation Of A Sepsis Protocol. The Central European
Journal of Medicine. 2012:1-9
Yang Y , Yang KS, Hsann YM, Lim V, Ong BC. The Effect Of
Comorbidity And Age On Hospital Mortality And Length Of Stay In
Patients With Sepsis. J Crit Care. 2010;25:398-405
Martin GS , Mannino DM, Moss M. The Effect Of Age On The
Development And Outcome Of Adult Sepsis. Crit Care Med.
2010.;34: 15-21
Aminzadeh Z, Parsa E Relationship Between Age And Peripheral
White Blood Cell Count In Patients With Sepsis. Int J Prev
Med.2011;2(4): 238-42
Lee AJ, Kim SG. Mean Cell Volumes of Neutrophils and Monocytes
Are Promising Markers Of Sepsis In Elderly Patients. Blood Res.
2013;48:193-7
Anevlavis S, Kaltsas K, Bouros D. Procalcitonin As A Marker Of
Bacterial Infection In Elderly Patients. Pneumon. 2014;1(27):13-7
Sehgal V, Bajwa SJS, Consalvo JA, Bajaj A. Clinical Conundrums
In Management Of Sepsis In The Elderly. Journal Of Translational
Internal Medicine. 2015;3(3):108-26
Besch CL, Sanders CV. Managing Sepsis—A Common Cause Of
Geriatric Death. Geriatrics. 1986;41(4):55-67
Leibovici L. Long-Term Consequences Of Severe Infections.
European Society of Clinical Microbiology and Infectious Diseases.
2013;19:510–2
Palomba H, Corrêa TD, Silva E, Pardini A, Assuncao MS.
Comparative Analysis Of Survival Between Elderly And NonElderly Severe Sepsis And Septic Shock Resuscitated Patients.
Einstein. 2015;13(3):357-63
ULKUS DEKUBITUS PADA USIA LANJUT
FOKUS PADA PENCEGAHAN DAN
TATALAKSANA
M. Darma Muda Setia
Divisi Geriatri Bagian / SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/ RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh
Pendahuluan
Ulkus dekubitus merupakan suatu hal yang serius dengan angka
morbiditas dan mortalitas yang tinggi pada usia lanjut serta akan menjadi
beban keluarga dengan biaya perawatan tinggi. Di Negara-negara maju,
prevalensi ulkus dekubitus mencapai 11% yang terjadi dalam dua minggu
pertama perawatan. Ulkus dekubitus dapat dapat terjadi pada setiap
tahapan usia, pada usia lanjut merupakan masalah khusus akibat
imobilisasi yang merupakan masalah besar pada pasien geriatri.
Masalah ulkus dekubitus berhubungan dengan pengaduan
malpraktek medis di Amerika Serikat. Tindakan Prevensi ulkus dekubitus
lebih penting dilakukan pada pasien yang beresiko terjadi ulkus
decubitus.
Definisi
Ulkus dekubitus adalah kerusakan jaringan setempat pada kulit
dan/atau jaringan dibawahnya akibat tekanan, atau kombinasi antara
tekanan dengan pergeseran (Shear), pada bagian tubuh (Tulang) yang
menonjol. Ulkus dekubitus menandakan telah terjadi nekrosis jaringan
lokal, sering terjadi pada bagian tubuh yang menonjol, misalnya sakrum,
tuberositas iskialgia, trokanter, tumit. Ulkus dekubitus sering disebut
sebagai ischemic ulcer, Pressure Ulcer, Pressure sore, bed sore,
decubital ulcer.
Epidemiologi
Sebanyak ± 70% ulkus dekubitus terjadi pada pasien
geriatri.Prevalensi meningkat dengan bertambahnya umur, terutama umur
70-80 tahun. Secara umum insiden ulkus dekubitus di rumah sakit
berkisar 1,2%-3% dan dapat meningkat sampai 50% pada ruang rawat
akut yang berhubungan dengan mortalitas tinggi. Kejadian ulkus
dekubitus meningkat sesuai dengan dengan lama perawatan, hospitalisasi
meningkat 5 kali lipat bila pasien mengalami ulkus dekubitus.
Predileksi
Sebanyak 95 % ulkus dekubitus terjadi pada bagian belakang
tubuh.Daerah predileksi yang sering terjadi ulkus dekubitus adalah
sakrum, koksigeal, tuberositas ischialgia dan trokanter mayor. Sakrum
merupakan daerah tersering terjadi ulkus dekubitus (36%), tumit (30%),
daerah lain masing-masing 6%.
Daerah predileksi ulkus dekubitus:
 Posisi dorsal: os. Sakrum, koksigeus, tendon achiles, os oksipital
 Posisi abdominal: os frontal, arkus kostarum , krista illiaka,
genue
 Posisi Lateral: trokanter mayor, os zigomatikum, kostae lateral
dan maleolus lateralis
 Posisi duduk: tuberositas iskialgia, os oksipital, tumit.
Patogenesis
Ulkus dekubitus terjadi karena tekanan dari luar yang
menimbulkan iskemia setempat. Dalam keadaan normal, tekanan
intrakapiler arterial adalah ± 32 mmHg., tekanan ini dapat meningkat
mencapai maksimal 60 mmHg pada keadaan hiperemia. Tekanan midkapiler adalah ± 20 mmHg, sedangkan tekanan pada daerah vena adalah
13-15 mmHg.Efek destruksi jaringan yang berkaitan dengan keadaan
iskemia dapat terjadi dengan tekanan kapiler antara 32-60 mmHg yang
disebut tekanan suprakapiler. Bila keadaan suprakapiler ini tercapai, akan
terjadi Penurunan darah kapiler yang disusul iskemia setempat. Bila
seseorang mengalami iskemia imobilisasi pada tempat tidur secara pasif,
maka tekanan pada daerah sakrum akan mencapai 60-70 mmHg dan
daerah tumit 30-45 mmHg. Tekanan akan menimbulkan daerah iskemik
dan bila berlanjut terjadi nekrosis jaringan kulit.
Substansia H yang mirip histamin dilepaskan oleh sel-sel
iskemik, terjadi akumulasi metabolik seperti kalium, adenosine dipospat
(ADP), hydrogen dan asam laktat, yang diduga sebagai faktor penyebab
dilatasi pembuluh darah. Reaksi kompensasi sirkulasi akan tampak
hiperemis, reaksi tersebut masih efektif bila tekanan dihilangkan sebelum
terjadi periode krisis 1-2 jam.
Selain faktor tekanan, ada beberapa faktor lain yang dapat
memudahkan terjadi ulkus dekubitus, yaitu:
 Faktor teregangnya kulit akibat daya luncur antara tubuh dengan alas
tempat berbaring, terjadi pada penderita dengan posisi setengah
berbaring.
 Faktor terlipatnya kulit akibat gesekan badan yang kurus dengan alas
tempat tidur, sehingga seakan-akan kulit ― tertinggal‖ dari daerah
tubuh lainnya.


Kondisi microclimate.
Kondisi suhu dan kelembaban permukaan kulit atau jaringan.
Pada pasien imobilisasi dengan posisi setengah duduk dan
kecendrungan tubuh meluncur ke bawah, apalagi keadaan tubuh
basah.Sering kali hal ini dicegah dengan memberikan penghalang,
misalnya bantal kecil/ balok kayu pada kedua telapak kaki. Upaya ini
hanya akan mencegah pergerakan kulit yang terfiksasi dari alas, tetapi
rangka tulang akan cenderung maju kedepan. Akibatnya terjadi garisgaris penekanan/peregangan pada jaringan subkutan yang seakan-akan
tergunting pada tempat-tempat tertentu, dan akan terjadi penutupan
arteriol akibat terlalu teregang bahkan sampai robek. Tenaga
menggunting ini disebut shering force. Pada shering force terjadi fiksasi
kulit pada permukaan alas tempat tidur akan menyebabkan terjadi lipatanlipatan kulit, terutama terjadi pada penderita kurus dengan kulit kendur,
lipatan kulit menyebabkan distorsi dan menutup pembuluh darah.
Faktor Resiko
Faktor Resiko Primer
Faktor resiko primer merupakan faktor resiko yang menyebabkan
menurunnya pergerakan (morbiditas) sehingga terjadi imobilisasi
relative/total yaitu:
 Gangguan neurologis dengan paralisis: stroke, hemiplegia,
hemiparesis, paraplegia, tetraplegia.
 Gangguan fungsi kognitif dan Penurunan kesadaran.
 Intervensi bedah: anestesi (premedikasi, anestesi, fase
pemulihan) untuk jangka waktu yang lama.
 Gangguan psikiatrik dan obat psikotropik: psikosis akut
misalnya katatonia dan depresi akut, obat sedasi misalnya
neuroleptic, benzodiazepine
 Nyeri hebat
Faktor Resiko Sekunder
Faktor resiko sekunder adalah faktor-faktor yang dapat menurunkan
toleransi jaringan.
Faktor yang menurunkan tekanan intravaskuler:
 Hipotensi arterial: syok ( hipovolemik, septik, kardiogenik),
overdosis obat antihipertensi
 Dehidrasi: pemakaian diuretic,diare, sengatan matahari.
Faktor yang menurunkan transport oksigen ke sel:
 Anemia: hemoglobin < 9 g%
 Penyakit oklusi arteri perifer
 Mikroangiopati diabetic
 Hipotensi, Bradikardi
 Syok hipovolemik
Faktor yang meningkatkan konsumsi oksigen di sel:
 Demam 38oC
 Hipermetabolisme
 Infeksi, sitokemia
Faktor yang menyebabkan defisiensi nutrient dalam sel:
 Malnutisi: defisiensi protein, vitamin, mineral, trace elements
 Kakeksia: imobilitas karena katabolisme dan kelemahan otot
 Limfopenia yang berhubungan dengan malnutrisi: defisiensi
imun, gangguan penyembuhan luka.
Faktor yang melemahkan pertahanan kulit:
 Proses menua pada kulit: tipis, atrofi, dengan sedikit sel-sel
imun
 Higiene kulit buruk
 Penyakit kulit: eksema, kandidiasis
 Kandungan air pada kulit berkurang, daya regang menurun
integritas antara dermis dan epidermis menurun. Kulit kering
karena atrofi glandula sebaseus dan apokrin.
 Kulit menjadi halus mudah maserasi pada inkontinensia urin
dan alvi karena sering terpapar urin dan feses.
 Pemakaian obat steroid yang menyebabkan kulit atrofi, tipis,
mudah luka.
Faktor resiko ulkus decubitus dapat pula dibagi menjadi faktor
intrinsic dan ekstrinsik.
Faktor intrinsik adalah semua faktor yang yang berasal dari kelainan pada
pasien itu sendiri ( faktor resiko primer dan sekunder).
Faktor ekstrinsik, meliputi:
 Kebersihan tempat tidur
 Peralatan medis (infus, central venous pressure/CPV, ventilator)
yang menyebabkan penderita terinfeksi pada sikap tertentu
 Posisi duduk salah
 Perubahan posisi kurang.
Diagnosis
Anamnesis geriatri lengkap dilakukan baik autoanamnesis atau
aloanamnesis, terutama sehubungan untuk mencari faktor faktor resiko
(primer dan skunder ) misalnya lama terjadi imobilisasi, komorbid
penyakit (DM, stroke , penyakit pembuluh darah perifer , penurunan
fungsi perifer , penurunan fungsi kognitif ) dan riwayat ulkus decubitus
sebelumnya. Pemeriksaan fisik pada kulit dilakukan dengan teliti,
terutama pada daerah predileksi (bagian yang menonjol) terjadi decubitus
(sacrum, tumit, belikat, siku).Inspeksi pada kulit melihat adanya daerah
yang eritem/lesi, luka lecet, luka dalam.
Pengkajian paripurn pada pasien geritari (P3G)/Comprehensive
geriatric assessment) sangat diperlukan dalam mengidentifikasi pasien
yang beresiko ulkus decubitus.Komprehensif dalam menetukan masalah
kesehatan (Biopsikososio kultural). Serta mengetahui cadangan fisiologi
yang masih ada pada pasien usia lanjut dengan multi morbiditas.
Pengkajian paripurn pada pasien geritari mencakup pengkajian tingkat
mobilitas ( memeriksaActivity of Daily Living/ ADL Barthel), status
kognitif (Mini Mental State Examination/MMSE), status psikis (Geriatric
Depression Scale/GDS). Pemeriksaan status fungsional sebelum sakit,
saat sakit, selama perawatan dilakukan untuk evaluasi mencapai target
keberhasilan mobilisasi jangka pendek, menegah dan panjang.
Setelah dilakukan pengkajian paripurna, ditentukan langkah
langkah koordinasi tatalaksana dan rencana asuhan keperawatan melalui
tim terpadu geriatri.
Pemeriksaan untuk menilai terjadinya resiko ulkus decubitus
dengan menggunakan skala Norton yang sudah berkembang sejak tahun
1961.Nilai semakin rendah pada skala Norton berarti resiko ulkus
decubitus semakin tinggi. Skala lain untuk meniulai resiko ulkus
decubitus adalah skala Braden, skala waterlow. Skala Braden terdiri dari
6 sub skala yaitu persepsi sensori, klembaban, aktivitas, mobilitas, nutrisi
dan friction dan shear.
Diagnosis Banding
 Eritem non-palpable, yang ―memucat‖ (blanch) pada penekanan
 Lika kronik tipe yang lain (ulkus diabetes, ulkus venous)
 Ulkus decubitus atipikal
 Ulkus decubitus yang terjadi bukan pada tempat predileksi,
misalnya permukaan ekstensor lengan/ tungkai, dorsum kaki,
ujung jari
Tabel 1. Skala Norton ntuk Menilai Risiko Ulkus Dekubitus
Kondisi Pasien
Keterangan
Skor
Kondisi fisik umum
Baik
4
Cukup/lumayan
3
Buruk
2
Sangat Buruk
1
Kesadaran
Kompos Mentis
4
Apatis
3
Konfusio/spoor
2
Stupor/koma
1
Tingkat aktivitas
Ambulatori
4
Berjalan dengan bantuan
3
Hanya bisa duduk
2
Hanya bisa tiduran
1
Mobilitas
Bergerak bebas
4
Sedikit terbatas
3
Sangat terbatas
2
Tak bisa bergerak
1
Inkontinensia
Tidak ada
4
Kadang-kadang
3
Sering inkontinensia urin
2
Sering inkontinensia urin dan alvi
1
Skor < 26 = risiko tinggi
skor > 26 = risiko rendah
Klasifikasi
Klasifikasi ulkus decubitus berdasarkan dalamnya jaringan yang
mengalami
kerusakan.The
National
Pressure
UlcerAdvisory
panel(NPUAP) pada tahun 2007 memperbaharui klasifikasi ulkus
decubitus yang pertama kali di buat oleh shea.Klasifikasi baru tersebut
menambahkan dua stadium lagi yaitu ulkus decubitus yang tak dapat
diklasifikasikan (unstageable/unclassified) dan kerusakan jaringan dalam
(deep tissue injury).
Tabel 2. Klasifikasi Ulkus Dekubitus
Tipe Ulkus Dekubitus
Berdasarkan waktu yang diperlukan untuk penyembuhan dan
perbedaan temperatur ulkus dekubitus dengan kulit sekitarnya, ulkus
decubitus dibagi menjadi 3 bagian:
 Tipe normal
Beda temperatur ± 2,5 ˚C antara dareah ulkus dengan kulit sekitar
akan sembuh sekitar 6 minggu selama perawatan. Ulkus ini terjadi
karena iskemia jaringan setempat akibat tekanan namun pembuluh dan
aliran darah masih baik.
 Tipe arteriosklerotik
Beda temperatur < 1 ˚C antara daerah ulkus dengan kulit sekitar.Ulkus
decubitus terjadi karena tekanan dan arteriosklerotik pada pembuluh
darah, penyembuhan terjadi dalam 16 minggu.
 Tipe terminal
Terjadi pada penderita yang akan meninggal dan tidak akan sembuh.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan ulkus decubitus cukup sulit dan butuh waktu
lamaSehingga pencegahan sangat penting dilakukan.Pada tatalaksana
ulkus dekubitus diperlukan tim terpadu yang bekerja secara interdisiplin,
meliputi dokter, konsultan terkait, perawat, ahli gizi, bagian rehabilitasi
medic, ahli farmasi klinik. Pasien dan keluarga/ pramurawat harus
diedukasi mengenai risiko timbul ulkus decubitus dan perburukan yang
akan terjadi serta mengetahui tentang strategi pencegahan dan
penatalaksanaannya. Tatalaksana dapat berhasil bila disertai peran serta
keluarga terutama pramurawat (care giver).
Pencegahan
Pencegahan ulkus decubitus adalah hal yang utama karena
pengobatan ulkus decubitus membutuhkan waktu dan biaya yang
besar.Pencegahan dudah dimulai saat pertama kali kontak dengan pasien.
Tindakan pencegahan dibagi atas:
a. Perawatan kulit
 Bersikan kulit dengan air hangat (jangan panas)
 Oleskan lotion agar kulit tetap lembab
 Jaga pakaian dan sprei tetap kering. Hindari kulit dari
keringan dan urin.
 Periksa kulit tiap hari, terutama kulit pada bagian yang
menonjol, perhatikan adanya perubahan warna
kemerahan atau perubahan temperature
 Pijat kulit yang masih intake untuk membantu sirkulasi
dan kenyamanan. Hindari pijat pada bagian yang
menonjol.
b. Perubahan posisi tubuh
 Usahakan pasien secara rutin dapat pindah dari tempat
tidur ke kursi, berdiri dan berjalan. Bila pasien tidak
dapat bangun dari tempat tidur atau hanya bisa duduk di
kursi roda, pasien di bantu melakukan latihan linggup
gerak sendi (range of motion exercises)
 Miring ke kanan, ke kiri dan terlentang minimal setiap
2 jam. Gunakan bantal di bawah kaki untuk menjaga
agar tumit tidak besentuhan langsung dengan
kasur/matras
 Pada pasien yang duduk dikursi roda, lakukan
pergeseran dari tumpuan berat tubuh setiap 15 menit
 Jangan mengangkat kepala terlalu tinggi dari tempat
tidur, karena badan akan meluncur ke bawah sehingga
kulit pada punggung dan bokong akan lecet.

Gunakan bantal lunak untuk mengurangi tekanan pada
daerah yang menonjol, jangan menggunakan bantal
donat
 Jangan memindahkan pasien dengan cara menarik dari
tempat tidur
c. Alas tempat tidur
 Sprei, selimut dalam keadaan kering dengan permukaan
rata/ halus
 Gunakan kasur antidekubitus
d. Nutrisi dan hidrasi
Asupan makanan dan cairan cukup, termasuk vitamin dan
mineral.
Bila sudah terjadi ulkus decubitus, tentukan stadium dan
perencanaan tindakan :
 Stadium 1
Terjadi reaksi peradangan terbatas pada epidermis, kulit
kemerahan dibersihkan hati-hati dengan air hangat dan
sabun, diberi lotion, kemudian di pijat 2-3 kali/hari.
 Stadium 2
Perawatan luka memperhatikan syarat-syarat aseptik dan
antiseptik.Daerah ulkus digesek dengan es dan dihembus
dengan udara hangat bergantian untuk merangsang
sirkulasi.Dapat diberikan salep topikal untuk merangsang
timbulnya jaringan muda/ granulasi.Penggantian balut
dan pemberian salep jangan terlalu sering karena dapat
merusak pertumbuhan jaringan.
 Stadium 3
Luka kotor dan bernanah dibersihkan dengan larutan
NaCL fisiologis.Usahakan luka selalu bersih dan eksudat
dapat mengalir keluar.Balut jangan terlalu tebal agar
oksigenasi dan penguapan baik.Kelembaban luka dijaga
tetap basah, untuk mempermudah regenerasi sel-sel
kulit.Perlu pemberian antibiotika sistemik.
 Stadium 4
Perluasan ulkus sampai ke dasar tulang, sering disertai
jaringa nekrotik. Semua langkah diatas tetap dikerjakan,
jaringan nekrotik yang akan menghalangi pertumbuhan
jaringan/epitelisasi dibersihkan. Rawat bersama dengan
bagian bedah jika diperlukan tindakan operatif untuk
membersihkan luka dan menutup jaringan.
Komplikasi
Komplikasi sering terjadi pada stadium 3 dan 4, walaupun dapat
juga terjadi pada ulkus superfisial. Komplikasi yang dapat terjadi antara
lain :
1. Infeksi, sering bersifat multibakterial baik yang aerobic ataupun
aneorobik
2. Keterlibatan jaringan tulang dan sendi seperti periostitis, osteitis,
osteomielitis (38%), artritis septik
3. Septicemia
4. Anemia
5. Hipoalbuminemia
6. Kematian dengan angka mortalitas mencapai 48%
Referensi
1. National Pressure Ulcer Advisory Panel and European Pressure Ulcer
Advisory panel. Prevention and treatment of pressure ulcers. Clinical
practice guidelines. Washingtong DC: National pressure Ulcer
advisory Panel, 2009.
2. Bennet RG. Pressure Ulcers, O‘Sulivan J, DeVito EM, Remsburg R,
The increasing medical malpractice risk related to pressure ulcers in
the United States. J Am Geriatric Soc 2000, 48:73-81.
3. Orsted HL, Ohura T, Harding K. International review. Pressure ulcer
prevention: pressure, shear, friction and microclimate in contex: A
consensus document. London; Wound international, 2009; 703-715
4. Bates-Jensen BM. Pressure Ulcers. In : Hazzard‘s Geriatric Medicine
and Gerontology. Halter JB, Ouslander JG, Tinetti ME, et al. 6th
edition. 2009; 703-715
5. Thomas DR. Issues and Dilimmas in prevention and Treatmen of
pressure ulcers: a review : J Gerontol. 2001; 56 A: M328-M340.
6. Dharmarajan TS. Ugalino JT. Pressure Ulcers: Clinical feature and
management. Hospital Physician 2002: 64-71
7. Gender AC. Pressure ulcers prevention and management. Gerontology
update. ARN Network.2008: 8-9.
8. Chacon JMF, Blanes L, Hochman B, Feirrera LM. Prevalence
pressure ulcers among the elderly. Living and long stay institution in
sao paolo. Sao paolo Med J. 2009; 127(4): 211-5
9. Leffman C, Andreas J, Heinemann A, Leutenegger, Profener F (*
hrg.vom Robert Koch institute 2002): Decubitus, Gesundheitsberichterstatung des bundes, Heft 12,2002.
10. Heinemann A, Lockeman U, Matschke J, Tsokos M, Puschel k.
Decubitus in Umfeld der Sterbhephase: Epidemiologische, medizinrechtliche und etische aspekte. DMW 2000: 125: 45-51
11. Meehan M . National pressure ulcer prevalence survey. Adv Wound
Care. 1994;(5) : 27-37
12. Hartmann P. In : Phase specific wound management of decubital
ulcer. 2 nd edition. 2008: 14-15
13. Anders J, Heinemann A, Lefmann C et al. Decubitus ulcers:
Pathophysiolgy and primary prevention. Continuing medical
education. Dtsch Artebl int. Humberg 2010: 107(21) 371-82.
14. Pranarka K. Dekubitus. Dalam : Buku Ajar Geriatri ( Ilmu Kesehatan
Usia Lanjut). Editor: R. Boedi-Darmojo,H. Hadi Martono. Edisi ke-3.
2006: 234-45.
15. Langemo DK, Brown G. skin fails too: acute, crhonic, and end stage
skin failure. Adv skin wound care. 2006; 19:206-211
DIAGNOSIS DAN PENANGANAN YANG CEPAT
LUPUS ERYTEMATOSUS SISTEMIK
Mahriani Sylvawani
Divisi Reumatologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala, RSUD dr. Zainoel Abidin
PENDAHULUAN
Lupus eritematosus sistemik (LES) merupakan penyakit autoimun
kronis yang belum diketahui penyebab pastinya. Namun diduga bahwa
faktor genetik, hormonal serta lingkungan berperan dalam patofisiologi
penyakit ini. Penyakit ini menyebabkan inflamasi dengan beragam
manifestasi klinis, patofisiologi dan prognosis.1,2
LES menjadi penyakit reumatik utama di dunia selama 30 tahun
terahir dengan prevalensi yang bervariasi pada berbagai populasi, antara
2,9/100.000-400/100.000. Data di Amerika Serikat menyebutkan bahwa
terdapat rata-rata lima kasus LES per 100.000 penduduk setiap tahunnya.
Laporan dari National Arthritis Data Working Group tahun 2008 juga
menyebutkan bahwa kira-kira 250.000 penduduk Amerika adalah
penderita LES.1,2 Belum terdapat data epidemiologi LES yang mencakup
semua wilayah Indonesia. Data tahun 2002 di RSUP Cipto
Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1,4% kasus LES dari total
kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam, sementara
di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 Pasien LES atau 10,5% dari
total pasien yang berobat ke poliklinik reumatologi selama tahun 2010.2
Penelitian Amelia PA, data tahun 2013 (periode januari-desember) pada
RSUD Zainal Abidin Banda Aceh, didapatkan pasien LES yang berobat
ke poliklinik dan ruangan penyakit dalam sebanyak 30 orang.3
Harapan hidup pasien LES meningkat dalam beberapa tahun
terakhir. Persentase pasien yang bertahan hidup sampai 5 tahun kini
mencapai 90% yang sebelumnya hanya 50%. Namun, kematian karena
perjalanan penyakit ataupun terapi masih sangat tinggi, yaitu 4,6 kali
lebih tinggi dibandingkan kontrol sehat.4 Perkembangan terapi dan
skrining telah menyebabkan peningkatan angka prevalensi dan penurunan
angka mortalitas. Namun demikian, peningkatan harapan hidup ini
menyebabkan sequel dan disability karena perjalanan penyakit ataupun
terapi.5
Penyakit LES
ditandai dengan eksaserbasi dan remisi,
memerlukan pemantauan yang ketat akan aktivitas penyakitnya. Evaluasi
aktivitas penyakit ini
berguna sebagai panduan dalam pemberian terapi. Indeks untuk menilai
aktivitas
penyakit seperti SLEDAI, MEX-SLEDAI, SLAM, BILAG Score, dsb.
Dianjurkan untuk menggunakan MEX-SLEDAI karena MEX-SLEDAI
lebih mudah diterapkan pada pusat kesehatan primer yang jauh dari
tersedianya fasilitas laboratorium yang canggih.1,8
Berdasarkan berat-ringannya gejala yang muncul, LES dibagi
menjadi 3 tingkatan yaitu ringan, sedang, dan berat. Menurut kriteria
MEX-SLEDAI ,pasien yang memiliki skor < 2 tidak memiliki aktivitas
penyakit LES secara aktif (ringan), pasien yang memiliki skor 2-5
memiliki aktivitas penyakit LES secara aktif (sedang), dan pasien yang
memiliki skor > 5 memiliki aktivitas penyakit LES secara aktif (berat).8
Epidemiologi dan patofisiologi LES
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit autoimun
yang menyerang jaringan ataupun organ dengan beragam manifestasi
klinis, yang tidak diketahui penyebabnya.1,13
Prevalensi LES di Amerika Serikat diperkirakan sebesar 51 per
100.000 penduduk dengan resiko pada perempuan sembilan kali lebih
besar dari laki-laki. Di Indonesia belum terdapat data epidemiologi LES
yang mencakup seluruh Indonesia. Laporan tahun 2002 di RSUP Cipto
mangunkusumo didapatkan 1,4% kasus dari total kunjungan pasien di
poliklinik penyakit dalam divisi Reumatologi. Angka kematian pasien
LES hampir 5 kali lebih tinggi dari populasi umum.1,2,14
Penyebab pasti LES ini belum diketahui secara pasti, namun
diduga penyebabnya multifaktorial yang terdiri dari faktor genetik,
lingkungan dan hormonal.14
Resiko meningkat hingga 30 kali lipat pada orang dengan riwayat
LES pada salah satu anggota keluarganya, seperti meningkatnya resiko
pada saudara kandung dan kembar monozigot sebanyak 70%. Penelitian
mutakhir, seperti yang dilakukan oleh Genome-wide Association Studies
(GWAS) menunjukkan gen yang terlibat adalah gen yang mengkode
respon imun dan inflamasi (HLA-DR, PTPN 22, STAT4, IRF5, BLK,
OX40L, FCGR2A, BANK1, SPP1, IRAK1, TNFAIP3, C2, C4, CIq, PXK),
perbaikan DNA (TREX 1), aktivator inflamasi sel ke endhotelium
(ITGAM) dan respon jaringan terhadap luka (KLK 1, KLK 3).15
Faktor lain yang mempengaruhi terjadinya LES pada seseorang
adalah faktor lingkungan seperti radiasi ultra violet, tembakau, obatobatan dan infeksi virus. Radiasi sinar UV mengakibatkan apoptosis
keratosit, juga ditemukan bukti bahwa sinar UV dapat mengubah DNA
sehingga menyebabkan terbentuknya autoantibodi, sedangkan tembakau
terkait dengan zat yang terkandung di dalamnya, amino lipogenik
aromatik. Pengaruh obat-obatan memberikan variasi dari perjalanan
klinik LES, namun infeksi virus seperti rubela dan sitomegalovirus
menyebabkan perubahan ekspresi sel permukaan dan apoptosis.14,15
Faktor selanjutnya yaitu faktor hormonal. Hormon yang erat
kaitannya dengan patogenesis lupus adalah estrogen atau prolaktin.
Diduga bahwa pada pasien SLE terjadi peningkatan estrogen dengan
aktivitas androgen yang tidak adekuat sehingga terjadinya disregulasi
sistem imun. Estrogen mengaktivasi sel B poliklonal sehingga
mengakibatkan produksi auto antibodi yang berlebihan. Penelitian yang
dilakukan oleh Garcia-Gonzales dkk mendapatkan kadar leptin yang
lebih tinggi pada pasien LES perempuan dibandingkan kontrol sehat.
Sehingga Leptin yang merupakan hormon dari sel lemak diduga berperan
pada patogenesis LES.15,16
Meningkatnya apoptosis pada LES menyebabkan meningkatnya
kebocoran antigen intraseluler yang dapat merangsang respon autoimun
dan berpartisipasi dalam pembentukan kompleks imun. Peningkatan
apoptosis ini merangsang pembentukan IFNα dan pembentukan autoimun
dengan merusak sistem toleransi imun melalui aktivasi
antigen
presenting-cell (APC), sehingga terbentuk komplek imun dan respon
inflamasi secara terus menerus.16
Gambar 1. Proses Pembentukan Endogen dari Interferon-α (IFNα)16
Pembersihan (clearance) dari kompleks imun oleh sistem fagositmakrofag mengalami gangguan pada LES sehingga akan menghambat
eliminasi kompleks imun dari sirkulasi dan jaringan. Hal ini diduga
akibat dari penurunan jumlah CR1 yang merupakan reseptor untuk
komplemen dan terjadi gangguan fungsi dari reseptor pada permukaan
sel. Gangguan clearance ini juga diduga akibat dari ketidak adekuatan
fagositosis IgG2 dan IgG1.17,18
Dalam keadaan normal, sel-sel yang mengalami apoptosis akan
dimakan oleh makrofag pada fase awal dari apoptosis tanpa merangsang
terjadinya inflamasi dan respon imun. Terjadinya defek pada clearance
dari sel-sel apoptosis diduga akibat dari defek dalam jumlah dan kualitas
dari protein komplemen seperti C2, C4 atau C1q.18
LES juga ditandai oleh terjadinya penyimpangan sistem imun yang
melibatkan sel T, sel B dan sel-sel monosit. Akibatnya terjadi aktivasi sel
B poliklonal, meningkatnya jumlah sel yang menghasilkan antibodi,
hypergammaglobulinemia, produksi autoantibodi dan terbentuknya
kompleks imun. Aktivasi sel B poliklonal tersebut akan membentuk
antibodi yang tidak spesifik yang dapat bereaksi terhadap berbagai jenis
antigen termasuk antigen tubuh sendiri. Terdapat bukti bahwa sel B
pasien SLE lebih sensitif terhadap stimulasi sitokin seperti IL-6. Jumlah
sel B didapatkan meningkat di darah tepi pada setiap tahapan
aktivasinya.18,19
Sintesis dan sekresi autoantibodi pada pasienSLE diperantarai oleh
interaksi antara CD4+ dan CD8+ sel T helper, dan duoble negative T
cells (CD4- CD8-) dengan sel B. Terjadi kegagalan fungsi dari aktivitas
supresi CD8+ sel T suppressordan sel NK terhadap aktivitas sel B. CD8+
sel T dan sel NK pada pasien LES tidak mampu mengatur sintesis dari
imunoglobulin poliklonal dan produksi autoantibodi. Gagalnya supresi
terhadap sel B mungkin merupakan salah satu faktor yang menyebabkan
penyakit berlangsung terus menerus.20
Manifestasi Klinis LES
1. Gejala konstitusional
Kelelahan merupakan keluhan yang umum dijumpai pada
penderita LES dan biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis
lainnya. Namun, diperlukan pemeriksaan kadar C3 serum, mengingat
banyaknya kondisi lain yang juga menyebabkan kelelahan seperti anemia,
meningkatnya beban kerja, konflik kejiwaan serta pemakaian obat seperti
prednison. Kelelahan pada LES akan menunjukkan kadar C3 serum yang
rendah dan memberikan respons terhadap pemberian steroid atau
latihan.21,22
Penurunan berat badan dijumpai pada sebagian penderita LES.
Penurunan berat badan ini dapat disebabkan oleh menurunnya nafsu
makan atau gejala gastrointestinal dan terjadi dalam beberapa bulan
sebelum diagnosis ditegakkan. Gejala konstitusional lainnya adalah
demam. Demam akibat LES biasanya tidak disertai menggigil dan sulit
dibedakan dari sebab lainnya.22
Gambar 2. Patogenesis LES18
2.
Manifestasi muskuloskeletal
Manifestasi muskuloskeletal terjadi pada 53-95% pasien
LES. Miositis yang melibatkan otot-otot proksimal tubuh telah dilaporkan
sebanyak 5-11% kasus. Sedangkan Avascular Necrosis (AVN) pada
tulang terjadi pada 5-12% kasus. Sekitar 70% pasien menderita atralgia
atau artritis yang ditandai dengan pembengkakan, kemerahan yang
terkadang disertai efusi sering pada sendi jari tangan, pergelangan tangan,
siku, bahu dan lutut. Artritis pada LES ini bersifat non erosif.22
3.
Manifestasi kulit
Manifestasi kulit pada penyakit LES dapat berupa kutaneus
lupus akut yang ditandai dengan malar rash (Butterfly Rash), yaitu
bentukan ruam pada kedua pipi yang tidak melebihi lipatan nasolabial
dan ditandai dengan adanya ruam pada hidung yang menyambung dengan
ruam yang ada di pipi. Sedangkan simetrikal eritema sentrifugum, anular
eritema, psoriati LE, pitiariasis dan makulo papulo fotosensitif dapat
dijumpai pada kutaneus lupus sub akut. Selain itu, lupus diskoid yang
berupa bercak kemerahan dengan karatotik pada permukaanya
merupakan bentuk kutaneus lupus kronik yang ditandai dengan parut dan
atropi pada daerah sentral dan hiperpigmentasi pada tepinya.23
Vaskulitis kutaneus ditemukan pada hampir 70% pasien dengan
non spesifik kutaneus lupus. Gejala lainnya dapat berupa Raynaud’s
Phenomenon, alopesia, sklerodaktili, nodul reumatoid, perubahan
pigmentasi dan oral ulcer.23
4.
Manifestasi paru
Dapat dijumpai nyeri dada atau efusi pleura jernih dengan
peningkatan kadar protein dan leukosit atau friction rub yang merupakan
tanda pleuritis. Selain itu dapat juga dijumpai pneumonitis, pulmonary
haemorrhage, emboli paru atau hipertensi pulmonal. Alveolar
Haemorrhage biasanya terjadi pada pasien dengan titer anti ds-DNAyang
tinggi dan dengan penyakit paru aktif. Sedangkan Shrinking Lung
Syndrom ditandai dengan dispneu yang progressif dan gambaran paruparu yang kecil pada pemeriksaan radiografi.23
5.
Manifestasi kardiologis
Manifestasi kelainan jantung terbanyak adalah perikarditis dan
efusi perikardium yaitu sebanyak 66%, menyusul kelainan berupa
miokarditis dan endokarditis dengan kelainan katup yang paling sering
adalah katup mitral dan aorta. Selain itu, juga bisa didapatkan penyakit
koroner, hipertensi, gagal jantung dan kelainan konduksi.24
6.
Manifestasi renal
Hampir 50% pasien LES mengalami lupus nefritis dan
sebanyak 0,5% akan berkembang menjadi gagal ginjal kronik.
Pembentukan atau deposisi komplek imun pada ginjal menyebabkan
intra-glomerular inflamasi dengan aktivasi leukosit dan proliferasi sel
renal.24
7.
Manifestasi gastrointestinal
Manifestasi gastrointestinal dapat berupa hepatosplenomegali
nonspesifik, hepatitis lupois, lupus gut atau kolitis. Pankreatitis
merupakan kasus yang jarang, hanya sekitar 0,2-8,2 % kasus, namun
sudah didapatkan 10 kasus pankreatitis akut sebagai manifestasi awal dari
LES dan merupakan pertanda prognosis buruk. Selain itu juga bisa
didapatkan Lupus Mesenteric Vaskulitis (LMV) yang juga sering disebut
mesenteric arteritis, lupus enteritis, lupus vaskulitis, gastrointestinal
vaskulitis, intra abdominal vaskulitis, atau sindrom gastrointestinal akut.
Ju et al dan Tian et al. melaporkan prevalensi global pada seluruh pasien
LES adalah 0,2-9,7% dan terjadi pada 29% sampai 65% pada pasien
dengan nyeri abdomen akut.24,25
Protein-Losing Gastroenteropathy (PLGE) merupakan suatu
kondisi yang ditandai dengan edema dan hipoalbuminemia berat karena
hilangnya protein serum dari saluran pencernaan, keadaan ini mirip
dengan keadaan sindrom nefrotik. Sampai saat ini, dari berbagai data
literatur didapatkan 60 pasien LES dengan PLGE dan dominannya
adalah bangsa Asia. Penelitian Tian dkk pada tahun 2010 menyebutkan
bahwa 53,3% pasien LES menunjukkan PLGE sebagai manifestasi awal.
Gornisiewicz et al.dan Tian et al, juga menyimpulkan PLGE sering
terjadi pada pasien LES berat dengan keterlibatan banyak sistem organ.
Intestinal Psudo-Obstruction (IPO) merupakan kasus yang jarang, namun
telah diketahui bahwa disfungsi otot polos viscera serta nervus enterikus
dan atau saraf otonom viscera merupakan penyebab terjadinya IPO, dan
baru ditemukan 28 kasus berdasarkan laporan dari literatur di Inggris.25
Banyak manifestasi klinis lainnya yang juga didapatkan pada
psien LES seperti Ulcerativ Colitis (UC) dan telah dilaporkan 27 kasus
sampai saat ini dan hanya 3 kasus untuk eosinofilik enteritis pada pasien
LES.25
8.
Manifestasi neuropsikiatrik
Manifestasi neuropsikiatrik pasien LES dapat berupa
manifestasi yang sering terjadi (>5%) yaitu Cerebrovascular Disease
(CVD) dan kejang, relatif jarang (1-5%) seperti disfungsi kognitif berat,
depresi berat, Acute Confusional State (ACS), gangguan saraf perifer dan
psikosis.25,26
Perjalanan penyakit LES dapat menyebabkan gangguan baik
pada sistem saraf pusat maupun sistem saraf tepi. Kejang dilaporkan
terjadi pada 7-10% kasus, sedangkan neuropati perifer hanya terjadi pada
1% kasus. Demielinasi, transverse myelopathy dan chorea hanya pada
kurang dari 1% kasus. Disfungsi kognitif telah dilaporkan 20-30% dari
pasien LES dan psikosis hanya 3,5% yang ditandai dengan delusi atau
halusinasi.27,28
Sejumlah penelitian telah menyebutkan bahwa tingginya angka
kejadian gangguan psikiatrik pada pasien LES, terutama depresi atau
distress. Prevalensi depresi pada pasien LES berkisar antara 17-71% pada
berbagai penelitian yang telah dilakukan. Segui et al. dan Bachen et al.
melaporkan bahwa dari 20 pasien LES perempuan, 40% mengalami
gangguan psikiatrik, terutama Generalized Anxiety Disorder (GAD) dan
Panic Disorder. Tingginya angka kejadian Social Introversion dan
Obsessive-Compulsive Disorder (OCD) juga didapatkan pada pasien LES
dibandingkan dengan kontrol ataupun populasi sehat. Penelitian Bachen
et al, melaporkan 65% dari 326 sampel mengalami salah satu gangguan
berikut : MDD (47%), specific phobia (24%), social phobia (16%), OCD
(9%), panic disorder (8%), bipolar I disorder (formerly manic-depressive
disorder; 6%), GAD (4%), dysthymic disorder (3%), dan agoraphobia
tanpapanic disorder (1%).27
9.
Manifestasi hemik limfatik
Manifestasi kelainan hematologi dapat berupa anemia,
leukopenia, limphopenia, nitropenia ataupun trombopenia. Bentuk
terbanyak yang didapatkan adalah anemia karena penyakit kronis, anemia
hemolitik autoimunhanya didapatkan pada 10% kasus. Limfadenopati
terjadi pada sekitar 40% dari pasien.27,28
Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan darah lengkap untuk melihat hemoglobin, jumlah
leukosit, trombosit, limfosit dan LED, peningkatan LED menunjukkan
aktifnya penyakit.
b. Urin lengkap untuk melihat protein urin dan faal ginjal yang merujuk
adanya kelainan ginjal.
c. Pemeriksaan faal hati untuk melihat adanya autoimun hepatitis,
hemolitik anemia serta kadar albumin yang rendah.
d. Kadar CRP. Pada lupus yang aktif kadar CRP cenderung normal atau
dengan peningkatan yang tidak bermakna, sedangkan pada infeksi
terjadi peningkatan kadar CRP.
e. Pemeriksaan komplemen C3 dan C4, dimana didapatkan kedua
komplemen ini dengan kadar yang rendah pada lupus yang aktif.
f. Tes serologi.28
Anti-dsDNA merupakan tes spesifik untuk SLE, jarang didapatkan
pada penyakit lain dan spesifitasnya hampir 100%. Dengan demikian,
anti ds-DNA berkontribusi besar dalam upaya diagnostik dan merupakan
salah satu kriteria klasifikasi LES.28,29
Diagnosis LES
Diagnosis LES dapat ditegakkan jika memenuhi minimal 4 dari
11 kriteria
ACR untuk LES. Bila hanya terdapat 3 kriteria dan salah satunya adalah
ANA positif, maka sangat mungkin LES dan diagnosis ditegakkan
bergantung pada pengamatan klinis.1,31
Tabel 1. Kriteria Diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik (ACR 1997)1,31
Kriteria
Batasan
Ruam malar
Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah
malar dan cenderung tidak melibatkan lipat nasolabial.
Ruam diskoid
Plak eritema menonjol dengan keratotik dan sumbatan
folikular. Pada SLE lanjut dapat ditemukan parut atrofik.
Fotosensitivitas
Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar
matahari, baik dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh
dokter pemeriksa.
Ulkus mulut
Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan
dilihat oleh dokter pemeriksa.
Arthritis
Artritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi
perifer, ditandai oleh nyeri tekan, bengkak atau efusia.
Serositis :
Pleuritis
Perikarditis
Gangguan renal
Gangguan
neurologi
Gangguan
hematologi
Gangguan
imunologi
Antibodi
antinuklear
positif (ANA)
Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritc friction rub yang
didengar oleh dokter pemeriksa atau terdapat bukti efusi
pleura
Atau
Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial friction rub
atau terdapat bukti efusi perikardium.
Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau >3+ bila tidak
dilakukan pemeriksaan kuantitatif
Atau
Silinder seluler : dapat berupa silinder eritrosit, hemoglobin,
granular, tubular atau campuran.
Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau
gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis, atau
ketidak-seimbangan elektrolit).
Atau
Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau
gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis, atau
ketidak-seimbangan elektrolit).
Anemia hemolitik dengan retikulosis
Atau
Lekopenia <4.000/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau
lebih
Atau
Limfopenia <1.500/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau
lebih
Atau
Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa disebabkan oleh
obat-obatan.
Anti-DNA: antibodi terhadap native DNA dengan diter yang
abnormal
Atau
Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen nuklear Sm
Atau
Temuan positif terhadap antibodi anti fosfolipid yang
didasarkan atas:
1) kadar serum antibodi antikardiolipin abnormal baik IgG
atau IgM,
2) Tes lupus antikoagulan positif menggunakan metoda
standard, atau
3) hasil tes serologi positif palsu terhadap siflis sekurangkurangnya selama 6 bulandan dikonfirmasi dengan test
imobilisasi Treponemapallidum atau tesfluoresensi absorpsi
antibodi treponema.
Titer abnormal dari antibodi anti-nuklear berdasarkan
pemeriksaan imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat
pada setiap kurun waktu perjalan penyakit tanpa
keterlibatan obat yang diketahui berhubungan dengan
sindroma lupus yang diinduksi obat.
Penilaian Aktivitas Penyakit LES
Penyakit LES yang ditandai dengan eksaserbasi dan remisi,
memerlukan pemantauan yang ketat akan aktivitas penyakitnya. Evaluasi
aktivitas penyakit ini berguna sebagai panduan dalam pemberian terapi.
Indeks untuk menilai aktivitas penyakit seperti SLEDAI, MEX-SLEDAI,
SLAM, BILAG Score, dsb. Dianjurkan untuk menggunakan MEXSLEDAI karena MEX-SLEDAI lebih mudah diterapkan pada pusat
kesehatan primer yang jauh dari tersedianya fasilitas laboratorium yang
canggih.32,33
Tabel 2. Penilaian derajat keparahan LES (MEX-SLEDAI skor)1,32
Tanda
chek ( )
Bobot
8
Deskripsi
Gangguan
Neurologis
Definisi
Psikosa.
Gangguan
kemampuan
melaksanakan aktivitas fungsi normal
dikarenakan gangguan persepsi realitas.
(Halusinasi, kehilangan berasosiasi, isi
pikiran yang dangkal, berfikir yang tidak
logis).
CVA (Cerebrovascular accident) :
Sindrom baru. Eksklusi arteriosklerosis.
Kejang: Onset baru, eksklusi metabolik,
infeksi, atau pemakaian obat.
Sindrom otak organik : Sepeti :
a) kesadaran yang berkabut dengan
berkurangnya
kapasitas
untuk
memusatkan
pikiran
dan
ketidakmampuan
memberikan
perhatian
terhadap
lingkungan.
b) gangguan persepsi;
berbicara
melantur; insomnia atau perasaan
mengantuk sepanjang hari; meningkat
atau menurunnya aktivitas psikomotor.
Eksklusi penyebab metabolik, infeksi
atau
penggunaan obat.
Mononeurtis: Defisit sensorik atau
motorik yang baru disatu atau lebih saraf
kranial atau perifer.
Myelitis: Paraplegia dan/atau gangguan
mengontrol BAK/BAB dengan onset
yang
baru. Eksklusi penyebab lainnya
6
Gangguan
ginjal
4
Vaskulitis
(pada kulit)
3
3
Hemolisis
Trombositope
nia
Artritis
2
2
Gangguan
mukokutaneus
Castc, Heme granular atau sel darah
merah.
Haematuria. >5 /lpb. Eksklusi penyebab
lainnya (batu/infeksi)
Proteinuria. Onset baru, >0.5g/l pada
random spesimen. Peningkatan
kreatinine (> 5 mg/dl)
Nodul pada jari yang lunak, infark
periungual, splinter haemorrhages.
Data biopsi atau angiogram dari
vaskulitis.
Hb <12.0 g/dl.
Trombositopeni : < 100.000.
Bukan disebabkan oleh obat
Pembengkakan sendi atau efusi lebih
dari 2 sendi.
Ruam malar. Onset baru atau malar
erithema yang menonjol.
Mucous ulcers. Oral atau
nasopharyngeal ulserasi dengan onset
baru atau berulang.
2
Serositis
Abnormal Alopenia. Kehilangan
sebagaian atau seluruh rambut atau
mudahnya rambut rontok
Pleuritis. Terdapatnya nyeri pleura atau
pleural rub atau efusi pleura pada
pemeriksaan fisik.
Pericarditis. Terdapatnya nyeri
pericardial atau terdengarnya rub.
1
1
1
Demam
Kelelahan
Leukopeni
1
Limfopenia
Total skor MEX-SLEDAI
Peritonitis. Terdapatnya nyeri abdominal
difus dengan rebound tenderness
(Eksklusi penyakit intra-abdominal).
Demam > 38˚ C sesudah eksklusi infeksi
Kelelahan yang tidak dapat dijelaskan
Sel darah putih < 4000/mm3, bukan
akibat obat
Limfosit < 1200.mm3, bukan akibat
obat.
Derajat Berat Ringannya Penyakit LES1, 34,35
1. Kriteria untuk dikatakan LES ringan (Skor < 2) adalah:
a. Secara klinis tenang
b. Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa
c. Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung,
gastrointestinal, susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit.
Contoh, LES dengan manifestasi arthritis dan kulit.
2. Penyakit LES dengan tingkat keparahan sedang (skor 2-5) jika
ditemukan:
a. Nefritis ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I dan II)
b. Trombositopenia (trombosit 20-50x103/mm3)
c. Serositis mayor
3. Penyakit LES berat (skor > 5) atau mengancam nyawa apabila
ditemukan keadaan sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu:
a. Jantung: endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri koronaria,
miokarditis, tamponade jantung, hipertensi maligna.
b. Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis,
emboli paru,infark paru, fibrosis interstisial, shrinking lung.
c. Gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitis mesenterika.
d. Ginjal: nefritis proliferatif dan atau membranous.
e. Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh
(blister).
f. Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke,
mielopati transversa, mononeuritis, polineuritis, neuritis optik,
psikosis, sindroma demielinasi.
g. Hematologi:
anemia
hemolitik,
neutropenia
(leukosit
<1.000/mm3),
trombositopenia < 20.000/mm3, purpura
trombotik trombositopenia, thrombosis vena atau arteri.
Pilar Pengobatan
Baik untuk SLE ringan atau sedang dan berat, diperlukan
gabungan strategi pengobatan disebut pilar pengobatan. Pilar pengobatan
SLE ini seyogyanya dilakukan secara bersamaan dan berkesinambungan
agar tujuan pengobatan tercapai. Perlu dilakukan upaya pemantauan
penyakit mulai dari dokter umum di perifer sampai dokter konsultan,
terutama ahli reumatologi.
A. Pilar Pengobatan Lupus Eritematosus Sistemik
I. Edukasi dan konseling
II. Program rehabilitasi
III. Pengobatan medikamentosa
a. OAINS
b. Anti malaria
c. Steroid
d. Imunosupresan / Sitotoksik
I. Butir-butir edukasi terhadap pasien SLE
1. Penjelasan tentang apa itu lupus dan penyebabnya.
2. Tipe dari penyakit SLE dan perangai dari masing-masing tipe tersebut.
3. Masalah yang terkait dengan fisik: kegunaan latihan terutama yang
terkait
dengan pemakaian steroid seperti osteoporosis, istirahat, pemakaian
alat bantu maupun diet, mengatasi infeksi secepatnya maupun
pemakaian kontrasepsi.
4. Pengenalan masalah aspek psikologis: bagaimana pemahaman diri
pasien SLE, mengatasi rasa lelah, stres emosional, trauma psikis,
masalah terkait dengan keluarga atau tempat kerja dan pekerjaan itu
sendiri, mengatasi rasa nyeri.
5. Pemakaian obat mencakup jenis, dosis, lama pemberian dan
sebagainya. Perlu tidaknya suplementasi mineral dan vitamin. Obatobatan yang dipakai jangka panjang contohnya obat anti tuberkulosis
dan beberapa jenis lainnya termasuk antibiotikum.
6. Dimana pasien dapat memperoleh informasi tentang SLE, adakah
kelompok pendukung, yayasan yang bergerak dalam pemasyarakatan
SLE dan sebagainya.
II. Program Rehabilitasi
Terdapat berbagai modalitas yang dapat diberikan pada pasien
dengan SLE tergantung maksud dan tujuan dari program ini. Salah satu
hal penting adalah pemahaman akan turunnya masa otot hingga 30%
apabila pasien dengan LES dibiarkan dalam kondisi immobilitas selama
lebih dari 2 minggu. Disamping itu penurunan kekuatan otot akan terjadi
sekitar 1-5% per hari dalam kondisi imobilitas. Berbagai latihan
diperlukan untuk mempertahankan kestabilan sendi. Modalitas •fisik
seperti pemberian panas atau dingin diperlukan untuk mengurangi rasa
nyeri, menghilangkan kekakuan atau spasme otot. Demikian pula
modalitas lainnya seperti transcutaneous electrical nerve stimulation
(TENS) memberikan manfaat yang cukup besar pada pasien dengan nyeri
atau kekakuan otot.Secara garis besar, maka tujuan, indikasi dan tekhnis
pelaksanaan program rehabilitasi yang melibatkan beberapa maksud di
bawah ini, yaitu:
a. Istirahat
b. Terapi fisik
c. Terapi dengan modalitas
d. Ortotik
e. Lain-lain.
III. Terapi Medikamentosa
Berikut ini adalah jenis, dosis obat yang dipakai pada LES
serta pemantauannya :
Jenis Ob
Dosis
Klorokuin
250 mg/hr
(3,5-4 mg/ kgBB/hr)
Hidroksiklorokuin*
200-400 mg/hr
Azatioprin
Jenis Toksisitas
Pemantauan
Evaluasi Awal
Klinis
Funduskopi dan
lapangan pandang
mata setiap 3 – 6
bulan.
Laboratorik
Retinopati, keluhan GIT,
rash, mialgia, sakit kepala,
anemia hemolitik pada
pasien dengan defisiensi
G6PD.
Evaluasi mata,
G6PD pada pasien
beresiko.
50-150 mg per hari, dosis
terbagi 1-3, tergantung BB.
Mielosupresif,
hepatotoksik, gangguan
limfoproliferatif.
Darah tepi lengkap,
kreatinin, AST/
ALT.
Siklofosfamid
Po: 50-150 mg/ hr.
Iv: 500-750 mg/m2 dalam
dextrose 250 ml, infuse selama
1 jam.
Mielosupresif, gangguan
limfoproliferatif,
keganasan, imunosupresi,
sistitis hemoragik,
infertilitas.
Darah tepi lengkap,
hitung jenis
leukosit, urin
lengkap.
Metotreksat
7.5-20 mg/ minggu, dosis
tunggal atau terbagi 3.
Mielosupresif, fibrosis
hepatic, sirosis, infiltrate
pulmonal dan fibrosis.
Darah tepi lengkap,
foto thoraks,
serologi hepatitis B
dan C pada pasien
risiko tinggi, AST,
fungsi hati,
kreatinin.
Gejala
mielosupresif, sesak
nafas, mual muntah,
ulkus mulut.
Darah tepi lengkap terutama hitung
trombosit tiap 4-8 minggu, AST/ALT
dan albumi tiap 4-8minggu, urin lengkap
dan kreatinin.
Siklosporin A
2,5-5 mg/ kgBB atau sekitar
100- 400 mg/hr dalam 2 dosis,
tergantung berat badan.
Pembengkakan nyeri gusi,
peningkatan tekanan darah,
peningkatan pertumbuhan
rambut, gangguan fungsi
ginjal, nafsu makan
menurun, tremor.
Darah tepi lengkap,
kreatinin, urin
lengkap, LFT.
Gejala
hipersensitifitas
terhadap castor oil
(bila obat diberikan
injeksi), tekanan
darah, fungsi hati
dan ginjal.
Kreatinin, darah tepi lengkap, LFT.
1000-2000 mg dalam 2
dosis.
Mual, diare,
leucopenia.
Gejala
gastrointestinal.
Darah tepi lengkap terutama leukosit
dan hitung jenis.
Mikofenolat Mofetil
Gejala
mielosupresif.
Darah tepi lengkap tiap 1- 2 minggu dan
selanjutnya 1-3 bulan interval. AST tiap
tahun dan papsmear secara teratur.
Darah tepi lengkap tiap bulan, sitologi
urin dan papsmear tiap tahun seumur
hidup.
Kesimpulan
Lupus eritematosus sistemik merupakan penyakit autoimun
kronis yang belum diketahui penyebab pastinya. Faktor genetik,
hormonal serta lingkungan berperan dalam patofisiologi penyakit
ini. Lupus eritematosus sistemik menyebabkan inflamasi dengan
beragam manifestasi klinis, patofisiologi dan prognosis. Penegakan
diagnosis lebih dini dan penangan yang cepat dan tepat dapat mencegah
perburukan dan kerusakan organ lebih awal. Edukasi yang baik,
rehabilitasi dan medikamentosa obat sangat dibutuhkan dalam
penanganan LES.
Daftar Pustaka
1. Sudoyo WA. Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia
Untuk Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus. 2011; 154.
2. Biscile S,Chewolkar C. Lupus flare : How to diagnose and treat?.
Medicine up date. 2012; 281-7.
3. Amalia PA. Hubungan kadar anti-dsDNA dengan manifestasi
klinis penyakit lupus eritematosus sistemik di rumah sakit umum
daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. Skripsi Unsyiah. Fakultas
Kedokteran. 2014;1-63.
4. Petri M. Measuring disease activity and severity in clinical trials
and the clinic: same or different?. the Annual Congress of the
American College of Rheumatology.2012; 1-7.
5. Anyanwu C, Langenhan J, Werth P. Measurement of disease
severity in cutaneous autoimmune diseases. F1000 Prime
Reports. 2013; 5:1-6.
6. Kumar A. Indian Guidelines on the Managemet of SLE. J Indian
Rheumatol Assoc. 2002; 10 : 80 – 96.
7. Arbuckle M, James J, Kohlhase K, Rubertone M, Dennis G,
Harley J. Development of anti-dsDNA autoantibodies prior to
clinical diagnosis of systemic lupus erythematosus. Scandinavian
journal of immunology. 2011;54:211-9.
8. Liu C, Manzi S. Biomaekers for systemic lupus erythematosus: a
review and perspective. current opinion in rheumatology. 2005;
17: 543-9.
9. Alba P, Bento L, Cuadrado M, Karim Y, Tungekar M, Abbs I, et
al. Anti-dsDNA, Anti-SM antibodies, and The lupus
anticoagulant; significant factors associated with lupus nephritis.
Ann Rheum Dis. 2003;62: 556-60
10. Villalta D, Bizzaro N, Bassi N, Zen M, Gatto M. Anti-dsDNA
antobody isotype in Systemic lupus erytematosus; IgA in
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
addition to IgG anti-dsDNA help to identify glomerulonephritis
and active disease. Plos ONE. 2013; 8.
Sandhu G, Bansal A, Ranade A, Aggarwal R, Narayanswami G,.
Negative double stranded DNA and anti-smith antibodies in
lupus nephritis. Nephrology reviews. 2012;4:55-7.
Susanti H, Salman Y, Gunawan A, Handono K. Kadar antibodi
anti-dsDNA dan urine monocyte chemoattractant protein-1 pada
nefritis lupus. Jurnal kedokteran Brawijaya. 2012;27: 96-101.
Chaichian Y, Tammy O. Targeted therapies in systemic lupus
erythematosus : A state of the art review. J Clin Cell Immunol.
2013; 1-8.
Narayanan K, Marwaha V, Shankar S. Correlation betwen
systemic lupus erythematosus disease activity index, C3, C4, and
anti-dsDNA antibodies. MJAFI. 2010; 66 : 102-7.
Mosca M, Irastorza R, Khamashta M. Treatment of systemic
lupus erytematosus. Elsevier science inter immunopharmacology.
2010; 1065-75.
Bertsias G, Cervera R, Boumpas D. Systemic
lupus
erythematosus: pathogenesis and clinical features. EULAR
Textbook on Rheumatic Disease. 2012; 7: 37-54.
Handono K, Gunawan A, Rosandi R; Kadar autoantibodi dan
manifestasi klinis pada pasien nefritis lupus silent dan nefritis
lupus overt. M Med Indonesia.2012; 46: 157-62.
Moura G, Lima I, Barbosa L. Athanaziao D, Reis E, Reis M, et
al. Anti-C1q antibodies: Association with nephritis and disease
activity in systemic lupus erythematosus. J. Clin.
Lab.Anal.2009;23:19-23.
Monova D, Monovov S, Rosenova K, Argirova T.
Autoantibodies against C1q: view on association between
systemic lupus erythematosus disease manifestation and Ciq
autoantibodies. Ann Rheum Dis. 2012;61: 563-4.
Turner E, Dishi V, Chung P, Harris P, Pierce R, Asayuma y.
Endothelial function in systemic lupus erythematosus:
relationship to disease activity. Vascular Health and Risk
Management. 2005;1(4): 357– 60.
Stipinska B, Goricka P. Cytokines and MicroRNAs as Candidate
Biomarkers for Systemic Lupus Erythematosus. Int. J. Mol. Sci.
2015; 16: 24194-218.
Thai HS, Mak A. Anti-NR2A/B Antibodies and Other Major
Molecular Mechanisms in the Pathogenesis of Cognitive
Dysfunction in Systemic Lupus Erythematosus. Int. J. Mol. Sci.
2015;16: 282-92.
23. Kuhn A, Bonsmann G, Joachim H, Herzer P. The Diagnosis and
Treatment of Systemic Lupus Erythematosus. Dtsch Arztebl Int.
2015;112: 423–32.
24. Mikdashi1 J, Tenbrock O. Measuring disease activity in adults
with systemic lupus erythematosus: the challenges of
administrative burden and responsiveness to patient concerns in
clinical research,.Mikdashi and Nived Arthritis Research &
Therapy. 2015;17:183-93.
25. Ighe A, Dahlström O, SkogT, Sjowall C. Application of the 2012
Systemic Lupus International Collaborating Clinics classification
criteria to patients in a regional Swedish systemic lupus
erythematosus register. Arthritis Research & Therapy. 2015;17:118.
26. Croca S, Bassett P, Chambers S, Davari M, Fouad F, Leach O,
et al. IgG anti-apolipoprotein A-1 antibodies in patients with
systemic lupus erythematosus are associated with disease activity
and corticosteroid therapy: an observational study. Arthritis
Research & Therapy. 2015;17:1-10.
27. Freir EA, Souto LM, Ciconelli RM. Assessment measures in
systemic lupus erythematosus. Rev Bras Reumatol. 2011;51:7080.
28. Chambers SA, Allen E, Rahman A, Isenberg D. Damage and
mortality in a group of british patient with systemic lupus
erytematosus followed up forover 10 years. concise
report,.London. 2009;673-5.
29. Utomo WN. Hubungan antar aktivitas penyakit dengan status
kesehatan pada pasien LES (lupus eritematosus sistemik) di
RSUP dr. Kariadi, Semarang. Skripsi Universitas diponogoro.
Fakultas Kedokteran. 2012;1- 63.
30. Hoffman I, Peene I, Meheus i, huizinga T, Cebecauer L,
Isemberg D, et al. Specific antinuclear Antibodies are associated
with clinical features in systemic Lupus Erythematosus. Ann
Rheum Dis. 2004;63:1155-8.
31. Yung S, Cheung KF, Zhang Q, Chan TM. Anti-dsDNA
antibodies bind to mesangial annexin II in lupus nephritis. J Am
Soc Nephrol. 2010; 21:1912-27.
32. Chiewthanakul P, Sawanyawisuth K, Foocharon C, Tiamkao S.
Clinical feature and predictive factors in Neuro-Psychiatric
Lupus. Asian Pac J Allergy Immunol. 2012; 30:552-60.
DIAGNOSIS AND MANAGEMENT OF
HYPERSENSITIVITY REACTION
T. Mamfaluti
Divisi Alergi-Imunologi Bagian/ SMF Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala /
RSUD. dr. Zainoel Abidin Banda Aceh
Pendahuluan
Reaksi hipersensitivitas yang didasari mekanisme imunologis
berlebihan terhadap bahan atau zat yang tidak berbahaya dikenal sebagai
reaksi alergi. Istilah alergi diperkenalkan pertama kali oleh dokter ahli
anak bernama Clemens von Pirquet (1906) yang diartikan sebagai reaksi
pejamu yang berubah. Pada saat ini alergi diartikan sebagai reaksi
seseorang yang menyimpang terhadap kontak atau pajanan zat asing
(alergen), dengan akibat timbulnya gejala-gejala klinis dimana pajanan
zat asing (alergen) tersebut tidak menimbulkan gejala bagi kebanyakan
orang. (Hollander, 20013; Kay, 2001; Baratawidjaja, 2009).
Insidensi penyakit alergi pada dua dekade terakhir mengalami
peningkatan dimana peningkatan insidensi terutama dialami oleh negaranegara maju dan daerah industri serta terjadi terutama di kalangan
menengah ke atas dengan tingkat pendidikan dan sosioekonomi tinggi.
Alergi juga berdampak pada penurunan kualitas hidup dan keadaan
sosioekonomi penderita. Prevalensi alergi yang meningkat di duga
berhubungann dengan pola hidup negara maju, terutama dalam
menurunnya penyakit infeksi, berkurangnya pajanan dengan berbagai
mikroorganisme (Baratawidjaja, 2009)
Istilah Yang Berkaitan dengan Reaksi Hipersensitivitas
A. Atopi
Atopi adalah kecenderungan genetik dalam keluarga untuk
terjadinya hipersensivitas kulit dan membran mukosa terhadap bahan
dalam lingkungan yang disertai dengan peningkatan produksi IgE dan
atau perubahan reaktivitas nonspesifik, yang menimbulkan penyakit
alergi seperti rinokonjungtivitas, asma bronkiale dan dermatitis atopik.
B. Alergen
Alergen adalah bahan yang dapat menginduksi respon antibodi IgE.
C. Alergi
Alergi adalah reakasi hipersensitivitas yang didasari mekanisme
imunologis baik antibodi maupun cell mediated. Manifestasi klinis
berupa asma, rhinokonjungtivitis atau eksema ( Peebles, 2012).
Mekanisme Reaksi hipersensitivitas
Reaksi hipersensitivitas terdiri dari berbagai kelainan yang
heterogen yang dapat dibagi menurut berbagai cara:
 Menurut waktu timbulnya reaksi:
A. Fase Dini
Respons alergi terjadi dalam beberapa tahap yang diawali
dengan sensitasi (pajanan dengan yang memacu produksi IgE spesifik),
reaksi fase dini yang terjadi dalam beberapa menit setelah pajanan dan
reaksi fase lambat yang terjadi kemudian. Pada reaksi dini, sel mast
melepaskan berbagai mediator yang menimbulkan rekasi di berbagai
organ sasaran seperti kulit, hidung, mata, otot polos bronkus, saluran cena
dan vaskular.
B. Fase Lambat
Fase lambat terjadi dalam beberapa jam dan menggambarkan
influks mediator . dalam fase lambat terjadi reaksi influks eosinofil yang
memproduksi mediator seperti MBP, ECP dan LT yang dapat merusak
jaringan dan berhubungan dengan reaksi alergi kronis. Sel Th2 yang
diaktifkan dalam fase lambat memproduksi sitokin yang berperan dalam
produksi IgE, kemotraksi eosinofil dan peningkatan jumlah sel mast
mukosa ( Baratawidjaja, 2012).

Menurut Gell dan Coombs
Reaksi hipersensivitas oleh Robert Coombs dan Phlip HH Gell
(1963) di bagi dalam 4 tipe reaksi. Pembaguan Gell dan Coombs dibuat
sebelum analisis yang mendetail mengenai subset dan fungsi sel T
diketahui. Berdasarkan penemuan-penemuan dalam penelitian imunologi
telah dikembangkkan beberapa modifikasi klasifikasi Gell dan Coombs
yang membagi lagi Tipe IV dalam beberapa subtipe reaksi. Meskipun
reaksi Tipe I, II dan III dianggap sebagai reaksi humoral, sebetulnya
reaks-reaksi tersebut masih memerlukan bantuan sel T atau peran selular.
Oleh karena itu pembagian Gell dan Coombs telah dimodifikasi lebih
lanjut.
Reaksi tipe I ( IgE mediated hypersensitivity)
Reaksi tipe I disebut juga reaksi tipe segera atau reaksi
atopi dan timbul segera sesudah tubuh terpajan dengan alergen.
Alergen yang masuk ke dalam tubuh menimbulkan respon imun
berupa produksi IgE yang kemudian akan berikatan dengan suatu
reseptor spesifik yang disebut Fcε-R yang terdapat pada dinding sel
mast dan basofil. Ig E yang terikat akan menetap selama beberapa
minggu. Pajanan ulang dengan alergen yang sama akan
menyebabkan degranulasi sel mast atau basofil dan mengakibatkan
pelepasan histamine dan mediator lain termasuk leukotrien,
prostaglandin, sitokin, SRS-A (slow reacting substance-A), faktor
kemotaksis, dan lain-lain. Mediator-mediator tersebut akan
menimbulkan perubahan pada jaringan, yaitu: vasodilatasi,
kontraksi otot polos, eksudasi cairan, edema, hipersekresi kelenjar
dan akumulasi sel-sel radang, terutama eosinofil dan limfosit.
Keadaan ini menimbulkan gejala klinis seperti urtikaria, dermatitis
atopik pada kulit, bronkospasme pada asma bronkiale, rinitis
alergika dengan gejala rinore dan obstruksi cavum nasi. Bila terjadi
pada sistim peredaran darah umum maka akan mengakibatkan syok
anafilaksis. (Welch JM, 2013, Mohanty, 2014, ).
Manifestasi klinis reaksi Tipe I dapat bervariasi dari
lokal, ringan sampai berat dan keadaan yang mengancam nyawa
seperti anafilaksis dan asma berat.
a. Reaksi lokal.
Reaksi hipersensivitas Tipe I lokal terbatas pada jaringan
atau organ spesifik yang biasanya melibatkan permukaan epitel
tempat alergen masuk. Kecenderungan untuk menunjukkan reaksi
Tipe I adalah diturunkan dan disebut atopi.
b. Reaksi sistemik-anafilaksis
Anafilaksis adalah reaksi Tipe I yang dapat fatal dan
terjadi dalam beberapa menit. Anafilaksis adalah reaksi
hipersensitivitas Gell dan Coombs Tipe I atau reaksi alergi yang
cepat, ditimbulkan IgE yang dapat mengancam nyawa. Sel Mast
dan basofil merupakan sel efektor yang melepaskan berbagai
mediator.Pada 2/3 pasien dengan anafilaksis, pemicu spesisfiknya
tidak dapat diidentifikasi.
c. Reaksi pseudoalergi atau anafilaktoid
Reaksi pseudoalergi atau anafilatoid adalah reaksi
sistemik umum yang melibatkan pelepasan mediator oeh sel mast
yang terjadi tidak melalui IgE. Secara klinis reaksi ini menyerupai
reaksi Tipe I seperti syok, urtikaria, broonkospasme, anafilaksis,
pruritus tetapi tidak berdasarkan atas reaksi imun. Reaksi ini tidak
memerlukan pajanan terdahulu untuk menimbulkan sensitasi.
Reaksi anafilaksis dapat ditimbulkan oleh antimikroba, protein,
kontras dengan yodium, AINS dan pelemasan otot (Baratawidjaja,
2012).
Reaksi tipe II ( reaksi sitotoksik )
Reaksi hipersensivitas Tipe II disebut juga reaksi
sitotoksik atau sitolitik, terjadi karena dibentuk antibodi jenis IgG
atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel
pejamu.Reaksi diawali oleh reaksi antara antibodi dan determinan
antigen yang merupakan bagian dari membran sel. Antibodi dapat
menimbulkan lisis sel yang diperantarai komplemen atau
melibatkan sel makrofag dan polymorphonuklear yang mempunyai
Fc dan reseptor komplemen. Reaksi Tipe II dapat menunjukkan
berbagai manifestasi klinik berupa reaksi transfusi, penyakit
hemilitik bayi baru lahir, anemia hemolitik(Thomas WR, 2001).
Reaksi tipe III atau kompleks imun
Normal komplek imun dala sirkulasi diikat dan diangkut
ke hati, limpa dan selanjutnya dimusnahkan oleh sel fagosit
mononuklear tampa bantuan komplemen. Pada umumnya komplek
imun yang besar dapat dimusnahkan denga mudah oleh makrofag
dalam hati. Komplek imun kecil dan larut sulit dimusnahkan dan
akan timbul masalah bila komplek imun tersebut mengendap di
jaringan.
Reaksi Tipe III mempunyai dua bentuk reaksi, lokal atau
fenomen Erthus dan reaksi sistemik-serum sickness. Manifestasi
klinik adalah reaksi arthus dengan gejala setempat: eritema, edema,
serta serum sickness yang menimbulkan reaksi inflamasi sistemik
seperti glomerulonefritis, atau rematoid artritis. Reaksi Herxheimer
adalah serum sickness yg terjadi sesudah pemberian obat untuk
penyakit infeksi kronis( sufilis, tripanosomiasis dan bruselosis)(
Baratawidjaja, 20012)
Reaksi tipe IV (Lymphocyte mediated delayed hipersensitivity)
Baik CD4+ maupun Cd8+ berperan dalam rekasi Tipe
IV. Sel T melepas sitokin, bersama dengan produksi mediator
sitotoksik lainnya menimbulkan respon inflamasi seperti pada
penyakit kulit hipersensitivitas tipe lambat.. Klinis berupa
dermatitis kontak, timbul setelah 24-72 jam kontak dengan antigen
obat, biasanya dalam bentuk topikal. Antigen penyebab antara lain
anestesi lokal, topical aminoglycosida, paraben, Preservative
ethylene diamine. Gejala lain yang sering timbul: erupsi kulit,
febris, ‖mucocutaneous steven johnson syndrome”.
Dewasa ini Reaksi hipersensivitas Tipe IV telah dibagi
dalam DTH yang terjadi melalui sel CD4+ dan T Cell Mediated
Cytosis yang terjadi melalui sel CD8+.
Manifestasi klinis reaksi Tipe IV:
a. Dermatis Kontak
Dermatis kontak adalah peyakit CD4+ ang dapat terjadi
akibat kontak dengan bahan tidak berbahaya. Kontak dengan
bahan seperti formaldehid, nikel dan berbagai bahan aktif dalam
cat rambut dapa menimbulkan dermatitis kontak terjadi melalui sel
Th1
b. Hipersensivitas tuberkulin
Hipersensiitas tuberkulin adalah bentuk alergi bakterial
spesifik terhadap produk filtrat biakan M. tuberkulosis yang bila
disuntikkan ke kulit akan menimbulkan reaksi hipersensitivitas
lambat tipe IV. Yang berperan pada reaksi ini adalah sel limfosit
CD4+. Pada individu yang pernah kontak dengan M. tuberkulosis,
kulit bengkak terjadi pada hari ke 7-10 pasca induksi.
c. T Cell Mediated Cytolysis ( Penyakit CD8+)
Dalam T Cell Mediated Cytolysis, kerusakan terjadi
melalui sel CD8+/CTL/Tc yang langsung membunuh sel sasaran.
Penyakit yang ditimbulkan hipersensivitas selular cenderung
terbatas pada beberapa organ saja dan biasanya tidak sistemik.
Pada penyakit virus hepatitis, virus sendiri tidak sitopatik, tetapi
kerusakan ditimbulkan oleh respon CTL terhadap hepatosisyang
terinfeksi ( Baratawidjaja, 2012, Thomas, 2001).
Diagnosis reaksi hipersensitivitas(alergi)
A. Pemeriksaan Klinis
Menegakkan diagnosis penyakit alergi diawali dengan
anamnesis yang cermat. Parameter riwayat alergi dan nonalergi perlu
diperhatikan.
B. Tes Diagnostik
Tes diperlukan untuk memastikan dianosis alergi, diagnosis
banding dari penyakit lainnya, menemukan alergen yang sebelumnya
tidak diduga dan pedoman pengobatan. Menghindari alergen spesifik dan
pengobatan hendaknya berdasarkan atas riwayat dan tes diagnosis yang
positif.
1. Tes in vivo
Berbagai jenis tes alergi seperti tes kulit (gosok, gores,
tusuk, intrakutan).
a. Tes Tusuk
Prinsip umum tes diagnosis adalah Tes Tusuk(TT) atau
Skin Prick Test (SPT). Uji kulit hipersensivitas cepat digunakan
secara luas untuk menemukan reakasi alergi yang diperantai IgE.
Pemeriksaan ini merupakan sarana diagnostik utama di bidang
alergi. Tes kulit diindikasikan untuk diagnostik reaksi IgE alergen
spesifik. Jika dilakukan dengan baik, SPT memberikan bukti yang
baik untuk menujukkan adanya alergi spesifik. Hasilnya harus
dihubungkan dengan riwayat klinis penderita. Besar reaksi SPT
tidak selalu berhubungan dengan gejala klinis.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
Tes intradermal
Tes gores
Tes tempel
Tes tuberkulin
Dermatografisme dan uji tekanan
Tes panas dan dingin
2. Tes in vitro
a. Pengukuran kadar IgE alergen spesifik dalam serum.
IgE spesifik dapat ditemukan dalam serum. Nilai total
IgE serum dan jumlah eosinofil dalam diagnosis rinitis adalah
kurang sensitif dan spesifik. IgE total dapat meningkat pada
beberapa sindrom nonatopik seperti defisiensi imun tertentu
termasuk HIV, mieloma IgE, nefritis insterstisial karena obat,
penyakit parasit dan penyakit kulit disamping ekzema dan sindrom
hiper-IgE (dermatis dan infeksi piogenik rekuren).
b. Petanda alergen dan inflamasi.
Tes invitro juga dilakukan untuk menemukan berbagai
pertanda alergi dan inflamasi .
c. Pemeriksaan Histamin.
Mediator alergi yang relevan seperti histamin dan triptase
yang dilepaskan sel mast dan basofil, triptase oleh sel mast, ECP
oleh eosinofil, merupakan pertanda intensitas rekasi alergi.
d. Tes Provokasi
Dilakukan dengan memajankan organ yang terliat
alergen. Tes provokasi terpenting dalam praktek adalah, tes
konjungtival, nasal, bronkial, oral, dan pernteral (misalnya
subkutan untuk anatesi lokal). Sistem skoring digunakan sebagai
indikasi tes provokasi adalah bila jumlah skor >5.
Penanganan
Konsep umum penaganan penyakit alergi dan titik-titik
intervensinya seperti mencegah alergen, produksi antibodi dan pelepasan
mediator. Pada umumnya ada 4 prinsi utama dalam penanganan penyakit
alergi.
A. Mengontrol lingkungan
Yaitu menghindari faktor yang menimbulkan gejala.
B. Pengobatan
Secara farmakologi menggunakan obat seperti antihistamain,
stabilisasi sel mas, modifier Leukotrien , epinefrin, Kortikosteroid,
teofilin, dekongestan, β-adrenergik agonis. Secara nonfarmakologik
menggunakan pengobatan fisis, konsultasi psikosomatik.
C.
Imunoterapi
Efekif pada penderita yang benar denan RA, AB dan sengatan
serangga. Diberikan dengan pengawasan dan pengarahan ahli alergi
/imunologi serta petugas kesehatan yang terlatih untuk menangani
anafilaktik.
D. Penyuluhan
Penderita belajar tentang pemicu gejala alergi, mengetahui caracara menangani penyakit dan mampu memberitahukan kepada yang lain
mengenai apa yang harus dilakukan pada keadaan darurat.
Pencegahan Penyakit Alergi
Ada tiga stategi pencegahan yang merupakan kunci untuk meminimalkan
respon alergi yaitu :
- Primer : fokus terhadap pencegahan sensitasi dan perkembangan
respon IgE,
- Sekunder : usaha untuk mencegah ekspresi penyakit meskipun
sensitasi terjadi.
- Tersier : sasaran untuk mengontrol faktor yang menimbulkan gejala.
Daftar Pustaka
1. Baratawidjaja KG, Rengganis I. Alergi Dasar. Interna Publising
Pusat Penerbit Ilmu Penyakit Dalam, edisi 1; 7-37.
2. Peebles RS, Church MK and Durham SR. Prinsiples of Allergy
diagnosis in : Holgate ST, Chruch MK, Broide DH, and Martinez
FD,eds. Allergy: 4th ed. Elsevier . 2012. 137-142.
3. Hollander SM. Approach to the Allergic Patient in : Joo S, Kau
AL,eds. Allergy, Asthma, and Immunology Subspecialty Consult:
2nd ed. Lippincott Williams & Wilkins. 2013 ; 1-3.
4. Welch JM, Kau AL. Basic Immunology Underlying Allergic
Reaction and Inflammation in : Joo S, Kau AL,eds. Allergy,
Asthma, and Immunology Subspecialty Consult: 2nd ed. Lippincott
Williams & Wilkins. 2013 ; 4-7.
5. Baratawidjaja KG, Rengganis I. Imunologi Dasar. Badan Penerbit
FKUI, edisi 10; 2012; 369-75.
6. Mohanty SK, Leela KS. Textbook of Immunology, 2nd Eds . Jaypee
Brothers Publisher (Ltd). 20114; 143-144.
7. Thomas WR. Hypersensitivity: Immunological. Encyclopedia of
Life Science. 2001; 1-3
RESUSITASI CAIRAN PADA WANITA HAMIL
Masra Lena Siregar
Divisi Penyakit Tropik Infeksi Bagian/ SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Syiah Kuala – RSUD Dr. Zainoel Abidin
Pendahuluan
Kehamilan merupakan suatu proses yang sangat rentan
terhadap infeksi dan meningkatkan resiko terjadinya komplikasi seperti
sepsis sebagai penyebab paling sering terjadinya morbiditas dan
mortalitas maternal yang berat. 1 Beberapa data penelitian menyebutkan
bahwa morbiditas maternal akut yang terjadi akibat sepsis memiliki
insiden yang bervariasi dengan kisaran 0,1-0,6 per 1000 kelahiran
dengan tingkat mortalitas dan morbiditas selama masa kehamilan
berkisar 7,6%. Predileksi terbanyak infeksi pada kehamilan terjadi
pada area pelvis sehingga diperlukan penggunaan antibiotik yang
bersifat broadspektrum dan tidak bersifat teratogenik.1,2
Definisi
Infeksi adalah respon inflamasi sebagai penanda adanya
mikroorganisme dalam jaringan sehat, sedangkan sepsis merupakan
infeksi yang terjadi bersamaan dengan munculnya manifestasi sitemik
atau Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) yang
ditandai dengan terdapatnya dua atau lebih variabel berikut ini,
yaitu: demam atau hipotermia (suhu >38ºC atau <36 ºC), takikardi
(nadi >90x/menit), takipneu (frekuensi napas >20 x/menit), leukosit
>12.000/mm3 atau <4.000/mm3, tetapi leukosit pada kehamilan
berkisar 5,1-12.200/mm3, trisemester (TM) III berkisar 8.500/mm3,
dan post partus berkisar 20-30.000/mm.3,4
Severe sepsis adalah sepsis yang disertai dengan disfungsi
organ atau hipoperfusi organ. Sepsis induced hypotension merupakan
penurunan tekanan darah sistolik (TDS) <90 mmHG atau mean arterial
pressure (MAP) <70 mmHg atau penurunan TDS >40 mmHg atau
kurang dari nilai normal tanpa ada penyebab hipotensi lainnya,
sedangkan syok sepsis adalah sepsis induced hypotension yang
tidak teratasi dengan resusitasi yang adekuat dan sepsisinduced tissue
hypoperfusion
adalah
infeksi
yang
merangsang
terjadinya
hipotensi, peningkatan laktat atau oliguria.3
Etiologi
Sepsis pada kehamilan merupakan hasil invasi bakteri ke
dalam cavum uteri dan paling sering melalui infeksi ascending dari
vagina atau cervix dan infeksi pada pelvis yang bersumber dari
mikroflora endogen vagina, mikroflora intestinal dan transmisi secara
seksual, seperti terlihat pada tabel 1.5,6
Tabel 1. Kuman Penyebab Syok Sepsis Pada Wanita Hamil. 6
Gram-negatif
Gram-positif
Anaerobic
Fungi
-
Escherichia coli
- Haemophilus influenzae
Klebsiella species
- Proteus species
Pseudomonas species - Serratia species
Pneumococcus
Streptococcus, groups A, B dan C
Enterococcus
Staphilococcus aureus
Listeria monocytogenes
Bacteroides species
Clostridium perfringens
Fusobacterium species
Peptococcus
Peptostreptococcus
-
Penyebab sepsis pada kehamilan dibedakan atas infeksi yang
berhubungan dengan obstetri dan non obstetri yang berkaitan dengan
prosedur operasi seperti aborsi septik dan korioamniositis, infeksi yang
tidak berhubungan dengan kehamilan tetapi terjadi pada populasi
obstetri seperti pielonefritis dan infeksi saluran kencing bagian bawah,
infeksi yang bersifat insidental selama kehamilan seperti pneumonia,
HIV dan infeksi yang terjadi di rumah sakit seperti hospital acqiured
pneumonia (HAP), seperti terlihat pada tabel 2.5,6
Perubahan Fisiologis pada Kehamilan yang berhubungan dengan
Sepsis dan Syok Sepsis
Beberapa perubahan fisiologi sistem tubuh pada kehamilan akan
meningkatkan resiko terjadinya infeksi, seperti dijelaskan berikut ini.5,6,7
A. Sistem kardiovaskular.
Sistem sirkulasi menjadi hiperdinamik melalui penurunan
resistensi vaskular sistemik pada awal kehamilan. Peningkatan
cardiac output maternal tercermin pada peningkatan denyut jantung
dan stroke volume dengan puncaknya berkisar 30-50% diatas nilai
normal pada kehamilan minggu ke-30 dan maksimum pada minggu
ke-32 dan disertai peningkatan stres jantung dengan manifestasi
berupa penurunan resistensi vaskular sistemik, vasodilatasi dan
depresi miokard sehingga menyebabkan kegagagalan hemodinamik
yang cepat. Kehamilan normal juga mengakibatkan penurunan serum
albumin yang mempengaruhi tekanan osmotik dan mengakibatkan
kerentanan yang tinggi terhadap resiko edema paru saat kegagalan
jantung terjadi.
Tabel 2. Diagnosis yang berhubungan dengan sepsis pada obstetric.6
Infections associated with
Chorioamnionitis
pregnancy and/or pregnancyPostpartum endometritis
related surgical procedures
Septic abortion
Septic thrombophlebitis
Puerpural sepsis
Infection of cesarean section wound
Episiotomy infection
Necrotizing fasciitis
Pelvic abscess
Infected cerciage
Amniocentesis – septic abortion
Umbilical cord biopsy
Infections unrelated to
pregnancy but occuring more
often in the obstetric
population
Lower urinary tract infection
Pyelonephritis
Malaria
Listeriosis
Viral hepatitis (E)
Varicella pneumonia
Coccidioidomycosis
Aspiration pneumonia
Incidental infections during
pregnancy
Community-acquired pneumonia
HIV-related infections
Toxoplasmosis
Cytomegalovirus
Gastrointestinal infections
Disseminated herpes
Hospital-acquired infections at
any hospital site including the
ICU
Pneumonia nosocomial
Ventilator-associated pneumonia
Catheter-related urinary tract infection
Central line associated infection
Skin and soft tissue infection related to
peripheral intravenous catheters, infected
surgical wound
B. Sistem respirasi.
Proses kehamilan dapat meningkatkan terjadinya ventilasi
permenit dan menyebabkan alkalosis respiratorik ringan, penurunan
volume tidal paru serta kompensasi oleh asidosis metabolik ringan.
Faktor ini akan menurunkan kemampuan wanita untuk
mengkompensasi untuk setiap asidosis yang merupakan bagian sepsis
dan syok sepsis terutama jika terjadi kegagalan respirasi.
C. Sistem renal.
Dilatasi ureter yang disebabkan oleh relaksasi otot polos
dan kompresi ureter oleh
kehamilan akan mengakibatkan
peningkatan resiko piuria dan pielonefritis, peningkatan tekanan
intravesika dan refluks vesikoureter, peningkatan aliran darah renal,
penurunan laju filtrasi glomerulus, peningkatan resiko bakteriuria
asimptomatik dan penurunan kadar ureum dan kreatinin yang terjadi
pada sistem renal.
D. Sistem hematologi.
Perubahan pada hematologi meliputi peningkatan volume
eritrosit, anemia dan peningkatan volume plasma sehingga
mencetuskan timbulnya penurunan suplai oksigen ke jaringan.
E. Sistem gastrointestinal.
Perubahan pada sistem gastrointestinal meliputi penurunan
tonus otot saluran cerna, pengosongan lambung yang lama,
peningkatan diafragma akibat kehamilan, peningkatan sel
proinflamasi dan perubahan komposisi empedu sehingga
menyebabkan
peningkatan
resiko
aspirasi,
kolestasis,
hiperbilirubinemia, ikterus dan perpindahan bakteri.
F. Sistem koagulasi.
Peningkatan faktor VII, VIII, IX, X, XII, Von willebrand,
fibrinogen, penurunan aktifitas fibrinolitik dan protein C merupakan
perubahan yang mempengaruhi sistem pembekuan darah sehingga
meningkatkan resiko tromboemboli dan disseminated intravascular
coagulation (DIC).8
G. Sistem genitalia
Perubahan fisiologis traktus genitalia bawah mencakup
penurunan pH dan peningkatan glikogen epitel vagina akan
menyebabkan timbulnya resiko infeksi intraamniotik dan resiko
menderita pielonefritis.5
Penanganan
Wanita hamil dengan sepsis dapat mengalami kematian yang
cepat setelah onset terjadi. Pengenalan yang cepat, stabilisasi dan
penanganan terhadap penyebab dasar dapat mencegah proses kematian
sel dan pasien. Pengenalan tanda-tanda syok melalui hipoksia jaringan
dan disfungsi organ merupakan kunci utama terhadap penanganan sepsis
yang diawali dengan tanda-tanda SIRS. Monitoring yang tepat terhadap
fungsi mental, denyut nadi, tekanan darah, frekuensi pernapasan dan suhu
direkomenasikan sebagai langkah awal untuk mendeteksi gangguan ini,
hal ini terlihat pada gambar 1 di bawah ini.5,9
Penatalaksanaan ditujukan untuk menstabilkan pasien sejalan
dengan diagnosa dan terapi resusitasi serta eliminasi sumber infeksi baik
dengan tindakan operasi maupun dengan penggunaan antibiotik yang
tepat bahkan tindakan operasi berdasarkan The Surviving Sepsis
Campaign (SSC) dalam 6 jam pertama dengan target resusitasi adalah
central venous pressure (CVP) 8-12 mmHg, mean arterial pressure
(MAP) 65 mmHg, produksi urin berkisar 0,5 cc/kgbb/jam dan central
venous (superior vena cava) atau mixed venous oxygen saturation 70%
atau 65%.9
Penanganan hemodinamik pada sepsis sangat berhubungan
dengan hipotensi, resusitasi cairan yang diawali dengan cairan hangat
sebanyak 500 ml setiap 15 menit dengan target cairan adalah 20
ml/kgBB selama 1 jam pertama terapi mengoptimalisasikan preload,
afterload dan kontraktilitas jantung. Evaluasi meliputi tanda vital, pulse
oxymetry, pemakaian CVC dan urin output untuk menghindari edema
pulmonal, menjaga cairan yang cukup dan mencegah overload dengan
peningkatan tekanan jantung tanpa perubahan hemodinamik. Pemberian
bukanlah suatu superior dibandingkan kristaloid tetapi penggunaan
cairan ini digunakan untuk mencegah kelebihan air akibat penggunaan
kristaloid. Penggunaan CVC dan central venous oxygen saturation
bertujuan untuk memastikan saturasi oksigen yang kembali ke jantung,
mencerminkan keseimbangan pengiriman oksigen ke sistemik dan
pemakaian oksigen di jaringan. Penurunan saturasi oksigen dapat terjadi
pada peningkatan konsumsi oksigen (hipertermia, stres) atau penurunan
oksigen (hipoksia, penurunan cardiac output, anemia).4
Gambar 1. Diagram Early Goal Directed Treatment Sepsis pada Kehamilan.5
Penggunaan vasopresor dipertimbangkan jika resusitasi cairan
mengalami kegagalan dengan MAP <50 mmHg. Tujuan pemberian
vasopresor ini adalah untuk mengembalikan perfusi jaringan yang efektif
dan menormalkan kembali metabolisme selular. Norepinefrin digunakan
sebagai lini pertama pemberian vasoaktif pada syok septik, meskipun
mempunyai resiko terjadinya penurunan aliran darah ke uterus, namun
dapat memberikan banyak keuntungan yaitu dengan memperbaiki
hemodinamik dan saturasi
oksigen sebesar 93% dibandingkan
pemberian dopamin sebesar 31%, selain itu penggunaan dopamin dapat
mengakibatkan aritmia, namun dosis rendah dapat memperbaiki
sirkulasi renal. Pemberian vasopresin dilakukan pada hipotensi refrakter
setelah resusitasi cairan dan pemberian norepinefrin tidak dapat
memperbaiki MAP dan fungsi renal.5,6
Infeksi pada kehamilan disebabkan oleh polimikroba dengan
kuman terbanyak disebabkan kuman penyebab infeksi terbanyak pada
kehamilan adalah streptococcus beta hemolitikus, Escherichia coli,
Clostridium, Staphylococcus aureus, Coliforms, Streptococcus species,
Enterococcus faecalis, Listeria monocytogenes dan Klebsiella, sedangkan
sumber infeksi yang
sering terjadi meliputi pyelonephritis,
chorioamnionitis, endometritis, septic abortion, necrotizing fasciitis dan
infeksi kulit. Antibiotik intravena diberikan sesegera mungkin dalam 1
jam sejak terdiagnosa dengan sepsis berat dan direkomendasikan
pemberian broadspectrum yang dapat mengeliminasi gram positif, gram
negatif dan bakteri anaerob dan diajurkan penggunaan kombinasi
seperti penisilin, aminoglikosida, vancomisin, clindamisin atau
piperacilin- tazobactam.
Farmakologi antibiotik juga menjadi suatu pertimbangan khusus
pada kehamilan karena adanya beberapa perubahan seperti volume
distribusi yang lebih besar dan berhubungan dengan absorbi, eksresi dan
mengakibatkan penurunan kadar obat dalam serum terutama untuk
antibiotik yang dieksresikan melalui urin dan keamanan antibiotik
terhadap janin.5,7,10 Pemberian dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan
mikrobiologi dan evaluasi ilakukan untuk melihat efikasi, mencegah
resistensi dan toksisitas. Pemeriksaan kultur dianjurkan untuk melihat
kuman dan sensitivitas antibiotik.
Pemberian kortikosteroid direkomendasikan pada penggunaan
vasopresor dan resusitasi cairan yang adekuat namun tidak mencapai
target dalam penanganan sepsis. Pemberian hidrokortison dosis rendah
200-300 mg per hari selama 7 hari yang terbagi dalam 3-4 dosis dapat
menurunkan angka mortalitas dan meningkatkan survival rate pada
penderita vasopressor-dependent septic shock.7
Kontrol gula darah dilakukan dengan pemberian secara
intravena pada pasien sepsis berat dengan target <180 mg/dl setiap 1-2
jam dan evaluasi setiap 4 jam dilakukan jika penderita sudah stabil.
Penanganan lainnya meliputi profilaksis terhadap stress ulcer dan deep
vein thrombosis. Pemberian komponen darah baik trombosit maupun
PRC (packed red cell) dilakukan sesuai dengan perdarahan yang
terjadi dengan target trombosit >50.000/mm3, sedangkan PRC
diberikan jika Hb <7 g/dl dengan target Hb 7-9 g/dl.1,3 Pemantauan
terhadap janin ditujukan
untuk mencegah gawat janin meliputi
monitoring dengan cardiotocography, pertimbangan untuk segera
dilahirkan dan pemakaian anestesi.8Mekanisme keseluruhan dapat
dilihat pada gambar 2.3
Kesimpulan
Penanganan yang cepat dan tepat terhadap sepsis pada
kehamilan dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas ibu dan
janin. Tercapainya target penanganan dalam 6 jam pertama memberikan
prognosis yang lebih baik dengan pemakaian antibiotik broadspectrum
serta mempertimbangkan efek teratogenik yang terjadi pada janin.
Daftar pustaka
1. Cormack C. Diagnosis And Management Of Maternal Sepsis And
Septic Shock . BJOG. 2011;118 (1):1–203
2. Fernandez R. Severe Sepsis And Septic Shock - Understanding a
Serious Killer. Intechopen. 2012:1-25
3. Barton and Shibai. Severe Sepsis And Septic Shock In Pregnancy.
Obstet Gynecol. 2012;120:689–706
4. Dellinger PR, Levy MM, Rhodes A, Annane D, Gerlach H, et al.
Surviving Sepsis Campaign : International Guidelines For
Management
Of
Severe Sepsis And Septic Shock. CCJM.
2013;41(2):580-630
5. SA Maternal & Neonatal Clinical Network. Clinical Practice
Guideline On Sepsis In Pregnancy. Government of South Australia.
2015:1-15
6. Ricardo Luiz Cordioli, Eduardo Cordioli, Romulo Negrini,
Eliezer Silva. Sepsis And Pregnancy: Do We Know How To Treat
This Situation?. Rev Bras Ter Intensiva. 2013;25(4):334-44
7. NHS. Obstetrics Empirical Antimicrobial Guidelines. NHS. 2015:1-5
8. Madiah A, Khan F. A Review Of Critical Care Management Of
Maternal Sepsis. Anaesth, Pain & Intensive Care. 2014;18(4):1-23
9. Mathai M, Sanghvi H, Guidotti RJ. Managing Complications In
Pregnancy And Childbirth. WHO.2000:1-390
10. Royal Hospital For Women. Sepsis In Pregnancy And Postpartum.
Maternity Services LOPs Group.2013:1-6.
HEPATITIS B PADA KEHAMILAN
Wira idiawati, Azzaki Abubakar
Divisi Gastroentero Hepatologi Bagian/ SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Syiah Kuala RSUD Zainoel Abidin Banda Aceh
I.
Pendahuluan
Hepatitis B merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus
hepatitis B (HBV) yang memiliki DNA (deoksiribonucleat acid)
berkapsul dan menginfeksi hati serta menimbulkan nekrosis dan
inflamasi hepatoselular. Infeksi HBV terbagi atas akut dan kronik dengan
derajat keparahan penyakit yang bervariasi yaitu diawali dengan gejala
asimptomatik, simptomatik dan progresif.1,2 Hepatitis B akut biasanya
sembuh sendiri yang ditandai dengan inflamasi akut dan nekrosis
hepatoselular dengan angka kejadian fatal 0,5-1%. Chronic Hepatitis B
(CHB) adalah hepatitis B surface antigen (HbsAg) persisten atau
menetap selama 6 bulan atau lebih dengan atau disertai replikasi viaral
aktif atau kejadian HCC dan inflamasi hati.1
Kronisitas hati sangat dipengaruhi oleh faktor usia dan sering
mengikuti proses infeksi akut pada neonatus yaitu sekitar 90% lahir dari
ibu dengan hepatitis B e antigen (HbeAg) positif, balita sekitar 20-60%
dan jarang terjadi (<5%) pada dewasa. Mayoritas penderita CHB
terinfeksi saat lahir atau pada masa balita. Hepatitis B merupakan
masalah utama kesehatan dengan estimasi 240 juta orang terinfeksi virus
ini terutama pada negara berkembang dan miskin. Komplikasi utama
CHB adalah sirosis dan hepatocellular carcinoma (HCC) yang mengenai
sekitar 20-30% penderita, sedangkan kematian terjadi pada 650.000
penderita.1,2 Pemberian obat antiviral dengan tujuan menekan replikasi
HBV dapat mencegah progresifitas penyakit menjadi sirosis, menurunkan
resiko HCC dan kematian, namun obat tersebut tidak tersedia secara
meluas atau digunakan di negara ekonomi rendah dan berkembang
sehingga pencegahan komplikasi tidak berjalan sempurna.1
Transmisi HBV dicegah mulai dari infeksi perinatal dan balita
melalui vaksinasi hepatitis B, vaksinasi ulangan dan strategi pencegahan
yang meliputi populasi seperti penggunaan obat suntik, hubungan sesama
jenis, pekerja seks komersial dan pencegaha transmisi penyakit ini pada
petugas kesehatan.3
II. Etiologi
HBV merupakan virus yang sangat kecil, berasal dari Hepadnavirus
family, bersifat hepatotropic dan menginfeksi manusia dengan inflamasi
hati yang terjadi melalui proses immune mediated. HBV juga dikenal
dengan virus onkogenik yang beresiko terjadinya HCC. Genome encodes
HbsAg, HBc Ag, polimerase virak dan protein HBx. Virus ini
mempunyai komponen luar yang dinamakan HbsAg dan komponen
dalam nukleosida yaitu hepatitis B core antigen ( HbcAg). HBV DNA
terdeteksi dalam serum dan digunakan untuk menilai replikasi virus. 1
III. Transmisi
Penularan HBV terjadi melalui paparan percutaneus atau mukosa
dan cairan tubuh termasuk saliva, menstruasi, vagina dan cairan sperma.
Transmisi secara seksual terjadi pada penderita l yang tidak mendapatkan
vaksinasi, homoseksual, heteroseksual dan kontak dengan pekerja seks
komersial. Infeksi yang terjadi pada dewasa mengakibatkan hepatitis
kronis pada 5% kasus. Penularan dapat terjadi secara insidental seperti
penggunaan alat medis, prosedur dental, sterilisasi alat medis yang tidak
adekuat, penyalahgunaan obat suntik, tatto dan akupuntur.1,4
Penularan perinatal merupakan rute utama infeksi HBV diseluruh
dunia terutama di Cina dan Asia Tenggara. Profilaksis yang tidak
dilakukan terutama pada ibu yang terinfeksi dengan HbeAg seropositif
akan menularkan ke bayi segera setelah lahir. Resiko penularan menjadi
lebih tinggi jika ibu menderita hepatitis B akut pada trisemester II atau III
kehamilan atau dalam 2 bulan setelah melahirkan. Infeksi pada fetus
terjadi melalui perdarahan antepartum dan plasenta. Resiko terjadinya
infeksi kroni meningkat pada usia 6 bulan sekitar 90% namun menurun
20-60% pada usia antara 6 bulan sampai 5 tahun. Transmisi horizontal
terjadi pada keluarga terutama antar anak-anak yaitu sekitar 50%.1,3,5
IV. Patogenesis
Fase inkubasi terjadi tanpa adanya respon host terhadap replikasi
virus karena HBV tidak merangsang sistem imun innate untuk mengenali
kuman patogen, sedangkan pada fase infeksi terjadi respon imun selular
termasuk antibodi HBV. Eliminasi HBV dimulai beberapa minggu
sebelum onset penyakit melalui mekanisme sel T dependen non sitolitik
tetapi kemudian respon imun sitolitik menimbulkan gejala hepatitis akut
dan mengakibatkan resolusi serologi klinis. Sel T akan menekan replikasi
virus ke kadar terendah dengan timbulnya Anti-HBc pada onset penyakit
dan merupakan antibodi HBV pertama, kemudian anti-HBe, anti-pre-S
dan anti-SHB yang bertujuan untuk mengeliminasi virus hepatitis pada
hati. anti-HBs
terbentuk selama fase konvalens, meningkatkan
opsonisasi HbsAg dan infeksi hepatosit dengan melaepaskan HBV.
Perbaikan serologi ditandai dengan hilangnya HbsAG selama beberap
bulan setelah onset penyakit. Vaksinasi mengakibatkan peningaktan
imunitas innate dan adaptif, mengakibatkan penurunan viral load dan
hilangnya virus dan mencegah infeksi HBV akut dan kronik.5,6
V.
Gambaran klinis
Acute phase of hepatitis B (AVH-B) mempunyai manifestasi klinis
yang bervariasi mulai subklinis atau hepatitis nonikterik, hepatitis ikterik
dan hepatitis fulminan. Perjalanan penyakitnya dimulai dari periode
inkubasi, preikterik, ikterik dan fase konvalesen. Fase inkubasi
merupakan onset timbulnya gejala atau jaundice sekitar 75 hari ( kisaran
40-140 hari). Onset HBV tidak menunjukkan gejala spesifik seperti
malaise, penuruna nafsu makan, nausea dan nyeri di regio perut kanan
atas. Fase ikterik ditandai dengan perburukan gejala seperi fatique dan
anoreksia, jaundice yang timbul beberapa hari sampai beberapa bulan
sekitar 2-3 minggu, gatal dan BAB pucat, sedangkan fase konvalesens
dimulai dengan perbaikan jaundice. Pemeriksaan fisik pada infeksi ini
adalah ditemukan hepatomegali ringan dan nyeri tekan ringan.6
CHB bersifat dinamik dan komplek dan progresifitas melalui
beberapa fase yaitu immune toleran, immune active, immune control dan
immune escape seperti terlihat pada gambar 1 berikut ini.7,8
Gambar 1. Fase infeksi dan marker pada hepatitis B
VI. Skrining
Pemeriksaan yang dilakukan untuk mendeteksi atau skrining awal
penderita hepatitis dapat dilakukan dengan menggunakan marker HbsAg
pada semua populasi yang beresiko menderita hepatitis Diagnosa HBV
melalui pemeriksaan HbsAg menurut Europe guideline terlihat pada
gambar 2 di bawah ini.9
Gambar 2. Skrining Hepatitis B dengan menggunakan serum HbsAg9
VII. Diagnosa
Diagnosa hepatitis B ditegakkan melalui beberapa pemeriksaan non
invasif seperti APRI (Aspartate Aminotrasnferase/ AST to platelet ratio
index) yang direkomendasikan oleh WHO untuk melihat adanya sirosis (
skor APRI > 2 pada dewasa) pada daerah dengan sumber daya yang
terbatas, selain itu juga dapat digunakan i (FibroScan) atau FibroTest
pada daerah maju. Pemeriksaaan APRI dapat digunakan untuk menilai
stadium penyakit hati pada tahap awal dan selama dilakukan evaluasi.
Algoritma diagnosis menurut WHO ini terlihat pada gambar 3 di bawah
ini.1
VIII. Penatalaksanaan
Tujuan utama pemberian terapi pada infeksi HBV adalah untuk
memperbaiki kualitas hidup dan bertahan hidup melalui pencegahan
progresifitas dan komplikai penyakit seperti sirosis, penyakit hati stadium
akhir, HCC dan kematians erta pencegahan transmisi HBV kepada orang
lain yang dilakukan melalui vaksinasi, pemberian terapi dan pencegahan
transmisi. CHB tidak bisa dieradikasi secara sempurna karena adanya
covalently closed circular DNA (cccDNA) pada nukleus sel hepatosit
yang terinfeksi dan genome HBV dapat berintegrasi dengan genome host
serta mencetuskan onkogenesis menjadi HCC.6
Gambar 3. Algoritma Diagnosis Dan Penatalaksanaan Hepatitis B Kronik 1
Prioritas pengobatan ditujukan pada semua usia dewasa, remaja dan
anak-anak yang menderita CHB dan memunyai gejala klinis sirosis
hepatis dekompensata atau kompensata berdasarkan skor APRI ( sirosis
jika skor > 2 pada dewasa) dan berdasarkan kadar SGPT, status HbeAg
atau kadar HBV DNA. Terapi juga direkomendasikan pada dewasa
dengan CHB yang tidak mempunyai gejala klinik sirosis berdasarkan
skor APRI tetapi berusia lebih dari 30 tahun, kadar SGPT yang persisten
abnormal dan tingginya replikasi HBV ( HBV DNA >20.000 IU/ml)
tanpa memperhatikan status HbeAg.1,3
Kehamilan sebagai salah satu populasi khusus membutuhkan
manajemen khusus dalam penanganan HBV karena berhubungan dengan
usia kehamilan dan janin. Manajemen HBV pada kehamilan juga
dijelaskan dalam gambar 4 berikut ini.8CHAPTER 5: WHO TO
TREAT AND
Gambar 4. Manajemen Hepatitis B Kronik Pada Kehamilan
Antiviral lini pertama yang direkomendasikan adalah golongan
nucleos(t)ide analogues (NAs) atau Peg-IFN. Perbandingan kedua terapi
tersebut dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini.9
Tabel 1. Perbandingan terapi pada infeksi CHB
Wanita hamil yang menderita HBV juga diberikan terapi seperti
pada dewasa lainnya dan dianjurkan pemberian tenofovir, namun tidak
direkomendasikan penggunaan antiviral secara rutin dalam mencegah
transmisi HBV secara vertikal dari ibu ke anak. Pencegahan hepatitis B
pada infant dan neonatal diberikan dalam 24 jam setelah lahir melalui
vaksinasi hepatitis B yang dibagi atas 2 atau 3 dosis.2 ,10Alur skrining,
diagnosa dan penatalaksanaan pada wanita hamil terlihat pada gambar 6
di bawah ini.10
Terapi interferon hanya diberikan pada wanita yang merencanakan
kehamilan bukan pada wanita hamil karena obat ini memiliki efek anti
proliferatif, sehingga dianjurkan untuk menggunakan kontrasepsi pada
wanita selama penggunaan interferon. Wanita hamil dengan HBV yng
membutuhkan terapi antiviral atau yang merencanakan kehamilan selama
menjalani terapi harus mempertimbangkan resiko dan keuntungan bagi
ibu dan janin seperti progresifitas penyakit, SGPT yang meningkat pada
kehamilan, gangguan pertumbuhan janin, penularan secara vertikal, terapi
dalam jangka waktu lama dan kehamilan berikutnya. Tenofovir
merupakan pilihan utama pada kehamilan dan diberikan mulai dari
semester I sampai semester III. Resiko terjadinya transmisi secara
vertikal selama periode perinatal dapat dicegah dengan penggunaan NAs
jangka pendek mulai usia kehamilan 28-32 minggu seperti tenofovir atau
telbuvidine pada ibu dengan HBV DNA diatas 6–7 log IU/ml dan
dihentikan setelah melahirkan dan menyusui jika tidak ada kontraindikasi
untuk menghentikan terapi ini. Menyusui tidak dianjurkan saat menjalani
pengobatan NAs dan tetap dilanjutkan meskipun ditemukan peningkatan
SGPT selama periode pengobatan. 6,9,11 Terapi antiviral yang digunakan
dalam kehamilan tercantum dalam tabel 2 berikut ini10.12
Vaksinasi yang dilakukan untuk mencegah HBV meliputi vaksinasi
aktif dengan menggunakan antigen HBsAg yang digunakan secara
tunggal atau kombinasi dengan vaksinasi lainnya. Vaksinasi pasif
diberikan dengan menggunakan Hepatitis B immunoglobulin (HBIg)
dengan dosis 0.06 mL/kgBB pada dewasa atau 200 IU pada infant secara
intramuskular (IM) dan bertahan selama 3-6 bulan.4,12,13 Indikasi
profilaksis sebelum paparan antara lain : semua bayi baru lahir, anak
dengan status HbsAg ibu yang tidak diketahui, anak-anak dan remaja
yang belum mendapatkan vaksinasi, dewasa yang memiliki faktor resiko
infeksi HBV dan pasien dengan penyakit infeksi berat. Vaksinasi
diberikan pada bulan 0, 1, dan 6, sedangkan pada bayi baru lahir
diberikan dalam 12 jam pertama.
Respon vaksin akan menurun pada perokok, obesitas, faktor genetik,
imunosuppresi, gagal ginjal dan lainnya. Jika tidak ada respon anti HBs,
maka vaksinas diulang kembali pada bulan ke-0, 1 dan 2.13,14,15
Profilaksis setelah paparan diberikan melalui penentuan status HbsAg
dan anti-HBs, negara endemis HBV, belum pernah mendapatkan
vaksinasi HBV sebelumnya sehingga harus diberikan HBIg dan vaksin
hepatitis B 24 jam setelah 24 jam paparan.2,7 Dosis booster tidak
diberikan secara rutin kecuali pada individu dengan resiko tinggi dan
diberikan jika kadar anti-HBs <10 mIU/ml. vaksinasi yang diberikan
pada wanita hamil tidak memiliki efek teratogenik atau faktor resiko
lainnya terhadap janin baik vaksinasis aktif atau pasif.14
Tabel 2. Terapi Antiviral Pada HBV dengan kehamilan dan efek samping
.
Prognosa
Kehamilan yang disertai dengan HBV mengakibatkan peningkatan
transmisi secara vertikal dari ibu ke bayi. Resiko terjangkitnya infeksi ini
dapat dikurangi melalui proses vaksinasi yang diberikan secepat mungkin
dan dilakukanvaksinasi booster untuk mencegah komplikasi lanjut dari
hepatitis B.
IX.
X.
Kesimpulan
Infeksi HBV pada kehamilan merupakan transmisi yang terjadi
secara vertikal. Diagnosa yang tepat dan penanganan yang cepat dapat
mencegah timbulnya komplikasi HBV baik terhadap ibu maupun janin.
XI.
1.
2.
3.
4.
Daftar Pustaka
Lesi O, McMahon B, Siegfried N, Abraham P, Aghokeng A, et al.
Guidelines For The Prevention, Care And Treatment Of Persons
With Chronic Hepatitis B Infection. WHO. 2015:1-166
Terrault NA , Bzowej NH, Chang KM, Hwang JP, Jonas MM, et
al. AASLD guidelines for treatment of chronic hepatitis B.
Hepatology. 2016; 16(1): 261-83
Vu Lam Ng, Gotsch Pb, Langan Rc. Caring for Pregnant Women
and Newborns with Hepatitis B or C. Am Fam Physician.
2010;82(10):1225-9
Buggs AM, Dronen SC. Viral Hepatitis. Emedicine.2015:1-21
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
Yapali S, Talaat N, Anna S. Management Of Hepatitis B: Our
Practice And How It Relates To The Guidelines. Clinical
Gastroenterology And Hepatology 2014;12:16–2
Sarin, Kumar, Lau, Abbas, Chan, et al. Asian-Pacific Clinical
Practice Guidelines On The Management Of Hepatitis B: A 2015
Update. Hepatol Int. 2016;10:1–98
Feld J, Janssen, Abbas Z, Elewaut A, Ferenci P, Isakov V.
Hepatitis B. WGO Global Guideline. 2015: 1-35
Han GR, Xu CL, Zhao W, Yang YF. Management of chronic
hepatitis
B
in
pregnancy.
World
J
Gastroentero.
2012;18(33):4517-21
Brook G, Soriano V, Bergin C European Guideline For The
Management Of Hepatitis B And C Virus Infections. International
Journal of STD & AIDS. 2010; 21:669–78
Apuzzio J, Block JM, Cullison S, Cohen C,Leong SL, Et Al.
Chronic Hepatitis B In Pregnancy A Workshop Consensus
Statement On Screening, Evaluation, And Management, Part 1-2.
The Female Patient. 2012;37:1-9
Curran M. Hepatitis B Virus (HBV) in Pregnancy. Perinatology.
2015:1-6
Borgia G, Carleo MA, Gaeta GB, Gentile I. Hepatitis B In
Pregnancy. World J Gastroenterol. 2012; 18(34): 4677-83
Ho V, Ho W Hepatitis B In Pregnancy: Specific Issues And
Considerations. J Antivir Antiretrovir. 2012;4(3)): 51-9
Stamatopoulos C, Louise B, Godfrey A, Haworth E, Ryder S,
Shing S. Guideline For Identifying And Testing Hepatitis B
Positive Pregnant Women And Neonates. NHS. 2014: 1-14
EMA, CHMP. Guideline On The Clinical Investigation Of
Hepatitis B Immunoglobulins. European Medicines Agency.
2015:1-11
DEPRESI PADA KEHAMILAN
Vera Abdullah
Divisi Psikosomatik Bagian / SMF Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala
Pendahuluan
Depresi pada kehamilan dan dua belas bulan pertama setelah
melahirkan diperkirakan terjadi sekitar 7-13 % pada wanita.1,2,3 Data
menunjukkan juga bahwa tingkatan depresi pada kehamilan lebih sering
terjadi dibandingkan setelah melahirkan. Pada depresi setelah melahirkan
terkait efek yang tidak diharapkan pada perkembangan dan berikut
perilaku anak masih belum diketahui. Dalam hal depresi pada kehamilan
ini bisa menjadi suatu kendala terhadap hubungan perkawinan dan
mempunyai dampak yang tidak diharapkan pada kehamilannya terkait
apa yang dirasakan oleh individu tersebut. Gejala depresif pada
kehamilan trimester akhir terkait dengan tingginya risiko depresi setelah
melahirkan, begitu juga dengan risiko persalinan seksio sesaria dan
terjadinya perawatan anak nantinya pada unit khusus. Pencegahan gejala
depresi demikian menjadi suatu hal yang menguntungkan untuk
pelayanan kesehatan masyarakat pada umumnya.2
Definisi Depresi
Depresi pada kehamilan (depresi perinatal) merupakan suatu
episode gangguan depresi mayor (Mayor depression disorder) yang
terjadi selama kehamilan atau dalam 6 bulan pertama setelah melahirkan,
dan merupakan satu satu dari komplikasi yang tersering baik dari periode
prenatal dan postpartum dengan prevalensi 10-15% pada wanita usia
produktif.4
Faktor Risiko
Beberapa penelitian menilai faktor risiko depresi pada kehamilan
diantaranya termasuk adanya pengaruh sosiodemografi seperti kurangnya
mengecap pendidikan, rendahnya status sosioekonomi, dan kurangnya
dukungan pasangan, selanjutnya variabel obstetriknya seperti riwayat
kehamilan sebelumnya, kehamilan yang tidak disengaja, adanya
komplikasi selama kehamilan, dan kondisi psikososial seperti episode
depresif sebelumnya, kehidupan yang penuh dengan stress, kekerasan
dalam rumah tangga, dan kurangnya dukungan sosial.5
Patogenesis
Patogenesis depresi pada kehamilan sampai saat ini belum
diketahui dan masih terus diteliti. Diduga adanya disregulasi hormonal,
abnormalitas pada aktivitas aksis hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA
axis) dan kontribusi genetik dan epigenetik yang berperan pada
perkembangan gangguan mood reproduksi selama kehamilan.4
Hormon steroid reproduktif wanita, estrogen dan progesteron
berasal dari prekursor umumnya yaitu kolesterol. Hormon ini selanjutnya
berfungsi untuk reproduksi yang menunjukkan efek neuroregulasi
potensial pada perilaku yang nonreproduktif termasuk mood dan kognitif.
Estrogen dan progesterone memiliki interaksi kuat dengan HPA axis dan
dapat mencetuskan abnormalitas HPA axis pada wanita yang rentan.
Menariknya, perubahan hormonal menempati transisi dari periode
kehamilan hingga setelah melahirkan. Kehamilan trimester ketiga dikenal
dengan tingginya kadar estrogen dan progesterone dan hiperaktif HPA
axis (normal pada kehamilan) dengan tingginya kadar kortisol plasma
yang dirangsang dengan adanya kadar estrogen dan progesterone yang
meningkat. Pada saat mau melahirkan dan selama transisi hingga periode
setelah melahirkan, terjadi penurunan cepat kadar estrogen dan
progesterone, saat ini aktivitas HPA axis tumpul karena tertekan oleh
sekresi hipotalamus kortikotropin releasing hormone (CRH). Penekanan
bisa disebabkan oleh lamanya waktu untuk mencapai hipertropis korteks
adrenal (karena keadaan hiperstimulus selama kehamilan) menuju pada
pengecilan ukurannya yang progresif dan secara bertahap mencapai
ukuran normal.4
Gambaran Klinis
Gejala depresi pada kehamilan sulit dibedakan dengan gejala
yang kebanyakan normal muncul selama kehamilan sehingga
menyebabkan salah persepsi sebagai gejala depresif yang akhirnya
mempengaruhi dalam diagnosisnya. Gejala depresif terkadang salah
diinterpresikan terkait dengan kehamilan. Sebagai contoh perubahan
dalam nafsu makan, tidur, hasrat dan kurangnya energi. Depresi pada
kehamilan tidak berbeda dengan depresi dalam periode lainnya dari
kehidupan.6
Gejala depresi mayor berdasarkan DSM-IV TR sebagai berikut :7
Dijumpai lima atau lebih gejala di bawah ini :
 selama periode dua minggu menunjukkan perubahan dari fungsi
sebelumya; minimal satu gejala berikut : 1. Mood depresif, 2.
Kehilangan minat;
Tidak termasuk gejala yang jelas terkait kondisi medis umum
atau mood inkoheren delusi atau halusinasi
 mood depresif hampir sepanjang hari, bisa setiap hari dengan
gejala subjektif (rasa sedih atau hampa) atau teramati oleh
orang lain (berurai air mata)
 penurunan minat hamper sepanjang hari, bisa setiap hari yang
dirasakan atau teramati oleh orang lain
 kehilangan berat badan yang nyata tanpa diet atau peningkatan
berat badan (perubahan lebih dari 5% berat badan dalam
sebulan) atau penurunan atau peningkatan dalam nafsu makan
hampir setiap hari
 insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari
 psikomotor agitasi atau retardasi hampir setiap hari (teramati
oleh orang lain, bukan hanya rasa gelisah atau gerakan yang
cenderung lambat
 keletihan atau kehilangan energy hampir setiap hari
 rasa tidak berharga atau rasa bersalah yang berlebihan (bisa
berupa delusi) hampir setiap hari
 berkurangnya kemampuan untuk berfikir atau konsentrasi atau
adanya kebimbangan hampir setiap hari (baik dirasakan atau
teramati)
 pemikiran berulang terhadap kematian (bukan hanya takut
mati), ide berulang untuk suicide tanpa rencana khusus, atau
usuha suicide atau rencana khusus untuk melakukan suicide
Diagnosis
Skrining terhadap depresi pada kehamilan yaitu :6
1. Prekonsepsi : sebaiknya ditanyakan riwayat gangguan mental dan
pengobatan pribadi dan keluarga
2. Kehamilan : selama kunjungan antenatal rutin yang pertama
3. Postpartum : selama kunjungan postnatal minggu 4, 6 dan
postpartum bulan 3, 4
Modalitas skiring depresi yang dapat digunakan pada kehamilan dan
setelah melahirkan yaitu :6
1. Edinburgh postnatal depression scale yang tervalidasi
2. Patient Health Questionnaire-9 (nilai ≥ 10 menunjukkan gejala
depresi yang bermakna klinis)
3. National Institute for Health and Clinical Excellence : skrining
untuk depresi pada kehamilan
Tatalaksana
Pada saat seorang wanita hamil didiagnosis depresi maka
individu tersebut harus mendapatkan pengobatan.7 Tujuan pengobatan
terapeutik pada depresi pada kehamilan yaitu untuk mencapai kestabilan
mental si ibu, tanpa menyebabkan cedera terhadap janinnya. Jadi perlu
menilai untung ruginya baik bagi ibu maupun janinnya terhadap risiko
penting pengobatan. Pilihan pengobatan untuk depresi pada kehamilan
termasuk farmakologi dan psikoterapi. Pada tingkatan depresi ringan
hingga sedang, psikoterapi direkomendasikan sebagai pilihan pertama.
Meskipun terdapat sedikit penelitian yang memfokuskan pada efikasi
psikoterapi terhadap depresi pada kehamilan, Tatalaksana sebaiknya
berdasarkan keputusan klinis dokter, kenyamanan pasien dan
ketersediaan fasilitas profesional dan dukungan terhadap individu.6
Data menunjukkan keterkaitan antara penggunaan selektif
serotonin reuptake inhibitor dengan kecilnya ukuran bayi selama dalam
masa kehamilan. Antidepresan dikatakan tidak terkait dengan malformasi
kongenital mayor, meskipun paroxetin telah dilabel oleh the US Food and
Drug Administration sebagai penyebab defek jantung septum pada janin
yang terpapar. Terdapat dua penelitian terkait pemakaian SSRI yang
didapatkan < 1% risiko absolut hipertensi pulmoner persisten pada bayi,
yang merupakan abnormalitas fungsional sangat fatal.8
Rekomendasi Perhimpunan Psikiatri Amerika dan Perhimpunan Obstetri
dan Ginekologi Amerika merekomendasikan sebagai berikut :6
1. Wanita yang rencana memulai suatu perkawinan dan mengalami
gejala depresi ringan selama 6 bulan atau lebih lama bisa melakukan
penurunan dosis obatnya. Hal ini tidak tepat untuk wanita dengan
riwayat ansietas dan depresi berat, atau yang memiliki gangguan
bipolar atu riwayat tentamen suicide.
2. Wanita hamil yang mengalami kondisi psikiatris stabil dan
cenderung melanjutkan pengobatan dapat melanjutkannya setelah
berkonsultasi dengan psikiater dan dokter obsginnya.
3. Wanita yang hamil dan mengalami depresi atau ansietas berat
sebaiknya tetap meneruskan pengobatan sebagaimana mereka
berisiko tinggi untuk kambuh.
Komplikasi
Kondisi depresi pada kehamilan bila tidak ditatalaksana dengan
baik akan berdampak terjadinya hal-hal sebagai berikut berupa depresi di
masa mendatang dalam perkiraan periode 5 tahunan, kelahiran bayi yang
tidak baik seperti rendahnya berat badan lahir, meningkatnya risiko
persalinan premature, dan preeklamsi pada ibu, begitu juga gangguan
fungsi kesehatan ibu. Kondisi tersebut juga mempengaruhi mood ibu
setelah melahirkan dan kaitannya dengan perasaan ibu terhadap bayinya.
Dampak lain berupa afek responsif terhadap bayi, masalah perilaku dan
perlambatan kognitif dan perkembangan bahasa untuk bayinya.9
Kesimpulan
Depresi pada kehamilan merupakan masalah yang serius perlu
perhatian kita untuk mengenal, mendiagnosis dan menatalaksananya
dengan baik, dengan harapan nantinya akan menghasilkan generasi
penerus bangsa yang prima dan kesehatan ibu dan anak dapat meningkat.
Daftar Pustaka
1. Bos SC et al., Is positive affect in pregnancy protective of
postpartum depression?, Rev Bras Psiquiatr. 2013;35:005-012.
2. Golding J, Steer C, Emmett P, Davis JM, Hibbeln JR, High levels
of Depressive Symptoms in Pregnancy With Low Omega-3 Fatty
Acid Intake From Fish, Epidemiology (Cambridge, Mass.) ·July
2009, 1-7.
3. Yonkers KA et al., The management of depression during
pregnancy: a report from the American Psychiatric Association
and the American College of Obstetricians and Gynecologists,
General Hospital Psychiatry 31 (2009) 403–413.
4. Brody SM, New insights into perinatal depression: pathogenesis
and treatment during pregnancy and postpartum, Dialogues Clin
Neurosci. 2011;13:89-100.
5. Coelho FMdC et al., Major depressive disorder during teenage
pregnancy: socio -demographic, obstetric and psychosocial
correlates, Rev Bras Psiquiatr. 2013;35:51–56.
6. Kim DR, O‘Reardon JP, Epperson CN, Guidelines for the
Management of Depression During Pregnancy, Curr Psychiatry
Rep. 2010 August ; 12(4): 279–281. doi:10.1007/s11920-0100114-x.
7. Mohapatra S, Yaduvanshi R, Agrawal A, Gupta B, Treatment of
Depression during Pregnancy, Delhi Psychiatry Journal, Vol. 16
No. 2, 1-6.
8. Clark R et al., Diagnosing and Treating Depression – Adult –
Primary Care Clinical Practice Guideline (CPG), Physician plus
Meriter, September 2013, 1-38.
9. Marcus SM, Flynn HA, Blow FC, Barry KL, Depressive
Symptoms among Pregnant Women Screened in Obstetrics
Settings, Journal Of Women‘s Health, Volume 12, Number 4,
2003, 1-10.
INISIASI INSULIN PADA PASIEN DM TIPE 2
Hendra Zufry
Divisi Endokrinologi, Metabolik & Diabetes- Pusat Pelayanan Tiroid Terpadu.
Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Syiah
Kuala/ RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.
Pendahuluan
Peningkatan kontrol glikemik telah terbukti dapat mengurangi
baik mikrovaskular dan komplikasi makrovaskular pada penderita DM
Tipe 2, Negara maju seperti Amerika Serikat dilaporkan 43% dari
penderita gagal mencapai kontrol glikemik yang baik, meskipun telah ada
beberapa kelompok obat anti-diabetes dapat mencapai target.1
Inisiasi insulin adalah suatu bentuk keputusan dan persetujuan
untuk menggunakan insulin antara healthcare provider (HCP) dan pasien
dimana proses pengambilan keputusan tersebut sangat dipengaruhi oleh
latar belakang sosiokultural dan sistem pelayanan kesehatan. Masalah
terbesar dalam inisiasi insulin adalah penolakan terhadap insulin
walaupun sudah disarankan untuk menggunakan insulin. Penelitian lain
di Netherland juga menunjukkan angka hamper sama yaiotu jumlah
pasien DM yang menolak insulin sebesar 39%, hasil penelitian yang
dilakukan di Pakistan menunjukkan 210 dari 307 pasien DM menolak
insulin. Di Indonesia tidak ditemukan secara pasti jumlah pasien DM
yang menolak untuk menggunakan insulin. Hanya saja seperlima hingga
sepertiga pasien menolak pemberian insulin dengan alasan takut.
American Diabetes Association (ADA)/EASD dalam konsensus
merekomendasikan penggunaan insulin basal/analog insulin sebagai start
up insulin sementara dalam inisiasi insulin pada penderita diabetes.
Kemampuan insulin basal untuk meningkatkan langkah-langkah kontrol
glikemik telah terbukti dalam berbagai penelitian. Meskipun insulin basal
secara efektif mengontrol glukosa plasma puasa akibatnya pada kontrol
glukosa postprandial tidak adekuat.1
Menurut Perkeni 2011 insulin diperlukan dalam keadaan
penurunan berat badan yang cepat, hiperglikemia berat yang disertai
ketosis, hiperosmolar non ketotik, hiperglikemia dengan asidosis laktat,
gagal dengan kombinasi OHO dasar optimal stress berar, kehamilan
dengan DM, ganguan fungsi ginjal, kontraindikasi dan atau alergi OHO
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa memulai insulin dengan
analog premixed adalah cara efektif untuk meningkatkan kontrol
glikemik dengan resiko minimal hipoglikemia. Namun cara yang paling
efektif untuk memulai insulin basal dibandingkan dengan premixed
masih belum jelas. 1
DM Tipe 2 (DMT2) dikatagorikan dalam DM yang tidak
tergantung dengan insulin, namun dalam penelitian yang dilakukan
novonordisk di 10 puskesmas wilayah Surabaya ditemukan 99 pasien
yang memakai OHO selama 6 tahun tetap tidak bisa mengendalikan
kadar glukosa darah ditandai dengan HbA1C mencapai 11%. Hal ini
terjadi karena sel beta pancreas sudah mengalami kerusakan pada saat
didiagnosis sehingga insulin perlu diberikan secara dini.
Prevalensi diabetes di Taiwan meningkat 1,2 kali terutama pada
orang tua, tingkat prevalensi adalah 20% dari populasi berusia 65 tahun
yang merupakan masalah bagi individu, masyarakat dan pelayanan
kesehatan. Pengelolaan pasien DMT2 pada usia lanjut menjadi sulit
karena terkait usia perubahan fisiologis dan penyakit komorbid,
komplikasi dan hypoglikemia. Insulin glargine telah terbukti dengan baik
dalam mengontrol glukosa darah puasa dengan resiko rendah
hipoglikemia. Insulin basal adalah pilihan umum untuk inisiasi insulin
pada penderita DM Tipe 2 yang tidak terkontrol dengan obat antidiabetes
oral (OAD). Penelitian di Taiwan memulai terapi insulin basal dengan
insulin glargine pada pasien usia lanjut dengan OAD dapat memberikan
kontrol glikemik yang efektif pada HbA1C dan fasting prandial glukosa
(FPG) sama dengan kelompok usia muda.2
Berbagai terapi farmakologi telah dikembangkan untuk diabetes,
terapi biasanya dimulai dengan obat hipoglikemia oral, seperti
metformin, sulfonylurea atau inkretins sangat efektif dalam mencapai
kontrol glikemik, selain dapat mengurangi mikro dan komplikasi
makrovaskular dan mengurangi mortalitas. Ketika terapi oral tidak
mencapai target, berbagai faktor, sejumlah pasien yang ragu-ragu untuk
memulai terapi insulin karena sakit ditempat suntikan seperti resiko efek
samping, berat badan dan kompleksitas terapi.3
Continuous subkutaneous insulin infusion (CSII) sebagai terapi
alternative yang digunakan multiple daily injection (MDI) untuk
pengobatan DM Tipe 1.4 Wanita dengan DM tipe 1 memberi hasil yang
baik dengan terapi CSII, mungkin berhubungan dengan keberadaan
subset dari individu dengan kontrol glukosa lebih baik .4
Penelitian Database retrospektif yang dilakukan di German,
terdapat peningkatan awal kontrol glikemik (HbA1C) setelah dimulainya
terapi insulin pada penderita DM Tipe 2 dalam perawatan primer yang
dipertahankan selama periode 3 tahun, namun tidak ada perbaikan
tambahan nilai HbA1C yang dicapai. Penelitian lain dalam perawatan
kesehatan primer di Firlandia selatan-barat (1991-1997), terapi inisiasi
insulin pada 883 pasien DMT2, rata-rata HbA1C menurun 10% menjadi
8% pada 12 bulan, tetapi peningkatan ini pada dasarnya tidak berubah
setelah 4 tahun, hal ini karena perubahan dosis insulin setiap hari pada
pasien ini meningkat tajam selama 4 tahun untuk mempertahakan kontrol
glikemik.5
American Diabetes Association (ADA), International Diabetes
Federation (IDF) merekomendasikan baik insulin premixed dan insulin
basal sebagai pilihan terapi yang lebih disukai untuk inisiasi insulin.6
Hambatan dalam inisiasi insulin
Inisiasi insulin dipengaruhi oleh adanya hambatan yang dirasakan oleh
pasien DM yang mengakibatkan pasien cenderung menolak insulin.
Penolakan terhadap insulin mengakibatkan tidak efektifitasnnya terapi
yang diberikan sehingga terdapat beberapa hambatan antara lain:
- Hipoglikemia
Ketakutan terjadi hipoglikemia setelah pemberian insulin
merupakan alasan terbesar yang dikemukakan pasien yang
menolak insulin. Kejadian hipoglikemia dengan insulin bervariasi
antara 6% sampai 64%.
- Penambahan berat badan
Penambahan berat badan sering terjadi pada pasien setelah
pemberian insulin. Peningkatan berat badan bisa mencapai 0,36,4 kg yang terjadi mulai minggu pertama sampai beberapa bulan
setelah menggunakan insulin dan setelah satu tahun peningkatan
berat badan menjadi semakin rendah. Peningkatan berat badan
terjadi karena glukosuria tidak terjadi sehingga sumber kalori
tidak terbuang serta efek lainnya yang disebabkan terkendalinya
glukosa darah.
- Efektifitas penggunaan terapi
Pemberian terapi insulin dirasa menyulitkan bagi pasien karena
adanya rasa tidak percaya diri untuk memberikan insulin secara
mandiri. Hal ini muncul karena informasi dan ketidaktahuan
pasien sehingga menjadi hambatan dalam penggunaan insulin.
Dari beberapa hasil penelitian sebelumnya tentang penolakan
insulin pada pasien DMT2 dipengaruhi oleh beberapa factor antara lain :
- usia
- jenis kelamin
-Tingkat pendidikan
-lama mengalami DM
- pendapatan
-pengetahuan
-sikap
-kepercayaan terhadap insulin
-efikasi diri
-interaksi dengan petugas kesehatan
Daftar Pustaka
1. M.John, Kalra s, Unnikrishnan AG,et al, Recommendation for
insulin initiation based on ethnicity, medic hipothesis, 2011; 460461
2. Ming-Nan Chien, Lee C, Liu S ,et al, Basal insulin initiation in
Elderly Patients with Type 2 Diabetes in Taiwan:A Comparison
with Younger Patiens,Intr J of gerontology, 2015; 142-145
3. Alba M, Duque M, Gutierez P, Time to and factors associated
with insulin initiation in patients with type 2 diabetes mellitus,
diabetes research and clinical practice 107,2015; 332-337
4. Esteves C, Belo S, Neves MC et al, Glycemic Control and
Weight Outcome After Initiation of Continuous Subcutaneous
Insulin Infusion Therapy,endocrinol diabetes metab, 2015;10
(2):128-132
5. Rathmann W,Strassburger K, Tamayo T, et al, Longitudinal
change in HbA1c after insulin initiation in primary care patients
with type 2 diabetes: A database analysis in UK and Germany,
Primer care Diabetes,2012; 47-52
6. Kalra S, Gupta Y, Insulin Initiation: Bringing Objectivity to
Choice, J of Diabetes & metabolic Disoeder, 2015;14:17
7. Initiation of Biphasic Insulin Aspart 30/70 in Subjects with Type
2 Diabetes mellitus in a Largely Primary Care-based Setting In
Sweden,
WHY, WHEN AND HOW TO ADD PRANDIAL
INSULIN AFTER BASAL OPTIMIZATION
(FOCUS ON BASAL PLUS)
Krishna W. Sucipto
Division of Endocrinology, Metabolism & Diabetes-Thyroid Center
Department of Internal Medicine, School of Medicine University of Syiah Kuala/
Dr. Zainoel Abidin General Teaching Hospital, Banda Aceh- Indonesia
Introduction
Type 2 diabetes mellitus (T2DM) is a progressive disease
characterized by co-existing insulin deficiency and insulin resistance. The
resulting hyperglycaemia is commonly associated with both micro- and
macro-vascular complications and intervention to improve glycaemic
control has been shown to limit such complications. Therefore,
appropriate and timely intervention strategies are essential. As b-cell
function declines, most patients with type 2 diabetes treated with oral
agents, in monotherapy or combination, will require insulin therapy.
Addition of basal insulin (glargine, detemir, or NPH/neutral protamine
lispro insulin) to previous treatment is accepted as the simplest way to
start insulin therapy in those patients. But even when basal insulin is
adequately titrated, some patients will also need prandial insulin to
achieve or maintain individual glycemic targets over time. Starting with
premixed insulin is an effective option, but it is frequently associated
with increased hypoglycemia risk, fixed meal schedules, and weight gain.
As an alternative, a novel approached known as ‗‗basal plus strategy‘‘
has been developed. This approach considers the addition of increasing
injections of prandial insulin, beginning with the meal that has the major
impact on postprandial glucose values.1,2 To address this issue, a panel of
clinical experts convened to develop practical recommendations on how
to initiate basal prandial therapy in patients with type 2 diabetes, focusing
on patient selection, simple dosing and titration, and monitoring.
Importance of prandial insulin
Insulin reduces blood glucose principally by inhibiting hepatic
glucose production and increasing peripheral uptake of glucose. Prandial
insulin secretion is impaired in people with diabetes, resulting in failure
to suppress endogenous glucose production, a higher and more prolonged
postprandial hyperglycaemia and increased fasting plasma glucose (FPG)
(Figure 1).3 Spikes in postprandial glucose levels have adverse metabolic
and cardiovascular consequences, including endothelial dysfunction,
activation of the polyol pathway, increased levels of markers of chronic
systemic inflammation, promotion of coagulation and cell adhesion and
increased production of free fatty acids. Observational studies have
consistently identified an association between postprandial
hyperglycaemia and an increased risk of coronary heart disease or
cardiovascular mortality.4
Fig.1 Physiological effects of abnormal insulin secretion in type 2 diabetes. 4
Poor glycaemic control (HbA1C > 8.5%) is associated with high
FPG. As treatment brings HbA1C closer to target, postprandial
hyperglycaemia accounts for a greater proportion of HbA1C than FPG.
Treatment aimed at reducing postprandial glucose will therefore be more
effective at improving glycaemic control further. Within the range 7.3–
8.4%, postprandial hyperglycaemia accounts for half of the total HbA1C
(Figure 2). Moreover, doses of basal insulin > 0.5 U⁄ kg cause additional
weight gain or increase the risk of hypoglycaemia. When optimal basal
therapy fails to maintain glycaemic targets, the preferred approach to
intensification is therefore not to increase the basal dose further but to
add a rapid-acting analogue at mealtimes.5,6
Rationale for Basal-Prandial Insulin Therapy
Both basal and postprandial glucose (PPG) excursions contribute
to hyperglycemia in type 2 diabetes, and treatment strategies that address
both components may enhance attainment of glycemic goals. The ADA
guidelines call for a fasting plasma glucose (FPG) target of 90– 130
mg/dL and a 2-hour PPG target of < 180 mg/dL. Failure to achieve
glycemic control can lead to the development of serious diabetes-related
complications.1,5 There is also a growing body of evidence indicating that
postprandial hyperglycemia independently contributes to an increased
risk for macrovascular complications. In fact, a meta-analysis of the data
has indicated that isolated postprandial hyperglycemia (2- hour PPG
>140 mg/dL) in the presence of normal FPG (< 110 mg/dL) and normal
A1C (< 6.1%) is associated with a 2-fold increase in the risk of death
from cardiovascular disease.5,6,7
Fig.2 Contribution of postprandial hyperglycaemia to overall glycaemic
control at different values of HbA1C.6
A stepwise approach to basal-prandial insulin therapy in patients
with type 2 diabetes allows treatment to be advanced as the disease
progresses to minimize the risk of complications. Initially, elevated
baseline FPG levels lead to a higher overall plasma glucose profile and
consequently higher PPG excursions. Also, the relative contribution of
FPG to A1C progressively increases as glycemic control worsens. The
first goal of a physiologic insulin therapy regimen, therefore, is to lower
the overall glycemic profile with basal insulin and normalize, or nearly
normalize, the FPG level. Conceptually, "fix the fasting first" is the initial
agenda. This is accomplished most efficiently by the addition of basal
insulin. Decreases in PPG excursions may also be achieved by lowering
the overall glycemic profile with basal insulin (Figure 3). However, as the
disease progresses, the capacity of patients with type 2 diabetes to
respond to PPG excursions becomes progressively impaired due to
reduced endogenous insulin secretion resulting from loss of β-cell
function. In many patients, basal insulin alone, when added to OADs, is
sufficient to attain glucose goals. Due to the natural history of type 2
diabetes, many patients eventually progress to a level of insulin
deficiency that requires initiation of prandial insulin (or pharmacotherapy
targeted to prandial insulin control) in addition to basal insulin. Prandial
insulin can be added with the appropriate meal or meals to control PPG
excursions.5,8
Fig.3 24-hour glucose profiles for representative patients at different levels
of glycemic control. Increasing A1C values reflect an elevated fasting
or preprandial (basal) blood glucose level and elevated PPG
excursions. At levels shown as "uncontrolled" A1C (9.0%), the
culprit is predominantly loss of control of the FPG, whereas the
difference between an A1C of upper normal (6.0%) vs "controlled"
A1C (7.0%) predominantly reflects increased PPG. PG = plasma
glucose8
Stepwise addition of prandial insulin to basal insulin
Clinicians can prepare patients for basal-prandial insulin therapy
by facilitating discussions about insulin and educating patients on aspects
of diabetes self-management, including the importance of diet and
exercise, injection techniques, carbohydrate counting, home glucose
monitoring, and hypoglycemia awareness. Clinicians should avoid using
insulin as a means for threatening or blaming patients for previous
treatment failure, but rather explain that insulin therapy is often a natural
consequence due to the progressive nature of the disease: nearly one third
of patients with type 2 diabetes are likely to require insulin at some point.
It is also important that clinicians discuss and come to an agreement with
patients on specific treatment goals for basal-prandial insulin therapy . If
oral antidiabetic drugs (OADs) have failed due to gross dietary
noncompliance, addition of insulin therapy is unlikely to achieve
glycemic goals without adequate diabetes education. Explaining the
significance of A1C measurements, discussing A1C goals, and sharing
results is an important motivational tool for patients on insulin therapy.8
If A1C goals are not achieved after a period of 3–6 months of
treatment with basal insulin plus OADs, patients should be instructed to
monitor glucose preprandially and/or 1–2 hours after each meal on a
rotating basis to identify the main meal that is contributing to
hyperglycemia (ie, high blood glucose levels at breakfast, lunch, dinner,
or bedtime). Once identified, 5–10 U of rapid-acting insulin should be
administered before this meal. If A1C goals are still not reached after 3–6
months of therapy with OADs and basal insulin plus 1 prandial insulin
dose at the main meal, prandial insulin can be added to other meals based
on home glucose monitoring. For example, if blood glucose levels are
high before lunch, add 5–10 U of rapid-acting insulin at breakfast, with
continued titration according to the schedule shown in Table 1.6,8,9
Tabel 1 : Titration Schedule for Basal and Prandial Insulin.8
Blood Glucose
Adjust Basal Insulin
Adjust Rapid-Acting Insulin
Levels for 3
Dose (U)
Dose (U per Injection)
Consecutive Days
(Fasting,
Preprandial, or
Bedtime)
≥ 180 mg/dl
+8
+3
160-180 mg/dl
+6
+2
140-160 mg/dl
+4
+2
120-140 mg/dl
+2
+1
100-120 mg/dl
+1
Maintain dose
80-100 mg/dl
Maintain dose
-1
60-80 mg/dl
-2
-2
<60 mg/dl
-4
-4
Comments :
 For elevated fasting
blood
glucose
levels, adjust only
the basal insulin
dose.
 For elevated preprandial
blood glucose at lunchtime,
adjust breakfast rapid-acting
insulin dose
 For elevated preprandial
blood glucose at dinnertime,
adjust lunchtime rapid-acting
insulin dose
 For elevated bedtime blood
glucose, adjust dinner time
rapid-acting insulin dose
A regimen comprising a single injection of basal insulin plus
three (or more) prandial insulin injections daily seems to be complex and,
therefore, patients need to be both well educated regarding diabetes and
highly motivated to maintain compliance with therapy and glucose
monitoring. Patients with type 2 diabetes who are appropriate candidates
for basalprandial insulin therapy include those who: 1) are unable to
achieve glycemic control on oral antidiabetic drugs, 2) are unable to
achieve glycemic control on split-mixed/premixed insulin regimens, 3)
are newly diagnosed but unlikely to respond to oral antidiabetic drugs
alone (ie, the patient has severe hyperglycemia or a markedly elevated
glycosylated hemoglobin A1C level for which oral antidiabetic drug
therapy alone is unlikely to achieve goals), and 4) prefer this therapy due
to socioeconomic or other individual considerations. Basal-prandial
insulin can be initiated in a simple stepwise manner, starting first with the
addition of basal insulin to the existing oral antidiabetic drug regimen,
followed by the introduction of 1 prandial insulin injection to the basal
insulin plus oral antidiabetic drug regimen (after basal insulin has been
optimized).8,9
Conclusions
Treatment aimed at reducing postprandial glucose is more
effective in improving glycaemic control near target levels. Rapid-acting
insulins provide the most physiological form of postprandial insulin
supplementation, and when added to basal insulin in patients with type 2
diabetes, can bring even relatively well controlled patients much closer to
target. Hence, additional therapy for post-prandial hyperglycaemia may
be needed to achieve an overall glycaemic control represented by
HbA1c<7%. Although new therapies are under development, prandial
insulin administration remains the standard approach to this clinical
problem.
References
1. Gururaj S, Crasto W, Jarvis J, Khunti K, and Davies M.J. New
insulins and newer insulin regimens: a review of their role in
improving glycaemic control in patients with diabetes. Postgrad
Med J. 2016;92:152–164.
2. Ampudia J.F, Rossetti P, and Axcaso J.F. Basal Plus Basal–Bolus
Approach in Type 2 Diabetes. 2011;13(1);S-75-S-83.
3. Satish K. Garg , Emily G. Moser . 2011. How Basal Insulin
Analogs Have Changed Diabetes CareHow Basal Insulin
Analogs Have Changed Diabetes Care. Diabetes Technology
Therapeutics 13:S1, S-1-S-4.
4. Raccah D, Bretzel R.G, Owens D, and Riddle M. When basal
insulin therapy in type 2 diabetes mellitus is not enough – what
next?. Diabetes Metab Res Rev 2007; 23: 257–264.
5. Buse JB, Bergenstal RM, Glass LC, Heilmann CR, Lewis MS,
Kwan AYM, Hoogwerf BJ, Rosenstock J: Use of twice-daily
exenatide in basal insulin–treated patients with type 2 diabetes.
Ann Intern Med 2011;154:103–112.
6. Pfutzner A and Forst T. Intensification with prandial insulin. Int J
Clin Pract, October 2009, 63 (Suppl. 164), 11–14.
7. Raccah D. Options for the intensification of insulin therapy when
basal insulin is not enough in type 2 diabetes mellitus. Diabetes,
Obesity and Metabolism, 10 (Suppl. 2), 2008, 76–82.
8. Edelman S, Dailey G, Floods T, Kuritzky L, and Renda S. A
practical approach for implementation of a basal-prandial insulin
therapy regimen in patients with type 2 diabetes. Osteopathic
Medicine and Primary Care 2007, 1:9
9. Monnier L, Colette C. Addition of rapid-acting insulin to basal
insulin therapy in type 2 diabetes: indications and modalities.
Diabetes Metab 2006; 32: 7–13.
TEHNIK INJEKSI INSULIN
Yensuari
Bagian Penyakit Dalam BLUD RSUD dr. Yuliddin Away
Tapaktuan Aceh Selatan
1. Pendahuluan
Jumlah global penderita diabetes saat ini diperkirakan mencapai
415 juta (satu dari sebelas dewasa) dan diperkirakan pada tahun 2040
akan meningkat menjadi 642 juta (satu dari sepuluh dewasa),1.
peningkatan tersebut terutama terjadi di negara berkembang sepeti
Indonesia. Lebih 25 % penderita diabetes menggunakan insulin untuk
mencapai kendali gula darah.2. Insulin diperlukan pada DM tipe 1, DM
tipe 2 dengan keadaan tertentu seperti penurunan berat badan yang cepat,
hipergliklemia berat yang disertai ketosis, ketoasidosis diabetik, status
hiperglikemia hyperosmolar (HHS), hiperglikemia dengan asidosis laktat,
gagal dengan kombinasi OHO (obat hiperglikemia oral) dosis hampir
maksimal, stress berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokardial
akut, stroke), kehamilan dengan diabetes atau diabetes gestasional yang
tidak terkendali dengan perencanaan makan, gagal fungsi ginjal atau hati
berat dan kontra indikasi atau alergi terhadap OHO.3,4,5.
Pada umumnya insulin diberikan dengan injeksi subcutan atau
intravena pada keadaan tertentu seperti diabetes dengan komplikasi akut
hiperglikemia, stress berat dan pada penderita yang tidak bisa makan dan
minum tanpa muntah.6 Selain insulin yang diberikan secara injeksi
subcutan untuk terapi diabetes, ada juga bahan (agent) lain seperti GLP-1
(glucagon like peptide 1) receptor agonist atau amylin agonist.7.
Teknik injeksi yang tepat merupakan salah satu faktor
terpenting dalam managemen diabetes untuk tercapainya kendali gula
darah yang baik, sama pentingnya dengan memilih jenis dan dosis bahan
(agent) yang akan diinjeksikan.8 Untuk mengoptimalkan teknik injeksi
yang tepat sangat diperlukan peranan tenaga kesehatan profesional untuk
mengajarkan (edukasi) penderita atau tenaga kesehatan lain bagaimana
injeksi yang benar dan mengatasi dampak psikologi yang dihadapi.
Tenaga kesehatan profesional harus memahami anatomi tempat yang
akan diinjeksi untuk menghindari injeksi intramuskular dan memastikan
bahwa injeksi yang dilakukan pada jaringan subcutan tanpa merembes
keluar dan komplikasi lain.9.
Tenaga kesehatan profesional yang mempunyai latar belakang
pendidikan formal sebagai edukator terbukti adanya penurunan HbA1C
(hemoglobin A1C) pada kelompok yang diberikan edukasi.10 Penurunan
HbA1C tersebut tentunya akibat terapi injeksi insulinnya yang diinjeksikan
dengan teknik yang tepat. Penurunan HbA1C akan mengurangi resiko
komplikasi makrovaskuler dan mikrovarkuler pada penderita DM tipe 2.
Dengan kata lain komplikasi tersebut sangat berhubungan dengan
keadaan hiperglikemia sebelumnya, dan penurunan HbA1C sebagai
gambaran kendali gula darah.11.
Dalam tulisan ini akan dibahas hanya terbatas injeksi insulin
subcutan dengan menggunakan pen needle seperti yang digunakan pada
insulin short-acting (human insulin), analog rapid-acting (lispro,
glulisine, dan aspart insulin) dan insulin analog campuran (premixed).
2. Anatomi Jaringan Subcutan
Kulit terdiri dari 3 lapisan yaitu epidermis, dermis dan
subcutan. Epidermis merupakan lapisan terluar yang merupakan lapisan
keratosit mengandung melanosit. Dibawah epidermis terdapat base
membrane yang merupakan bentuk berbagai lapisan (multilayered)
sebagai penyambung epidermis dan dermis, sedangkan lapisa dermis
merupakan penghubung epidermis dengan lapisan dibawahnya yang
mengandung kelenjar rambut, kuku, sebacea, keringat, serabut sel saraf
dan pembuluh darah serta pembulu lymph. Kemudian lapisan subcutis
yang merupakan lapisan jaringan longgar yang mengandung sel-sel
lemak dan menjadi sasaran tempat insulin diinjeksikan karena terdapat
aliran darah lambat dan sangat stabil yang akan mempengaruhi absorpsi
insulin dibanding lapisan dermis dan otot. 12.
Ketebalan lapisan epidermis dan dermis berkisar 1.2-3.0 mm
pada semua lokasi penyuntikan,13. maka untuk menghindari injeksi
intradermal panjang needle harus melebihi 3 mm.
3. Perawatan Sebelum Injeksi
3.1 Mengatasi dampak psikologi penderia.
Penderita diabetes dewasa kebanyakan tidak takut (phobia)
dengan jarum suntik, namun banyak yang khawatir dan merasa tidak
biasa saat melalukan injeksi terutama pada awal terapi. Peranan kita
sebagai tenaga kesehatan profesional atau tenaga kesehatan lain sangat
diperlukan untuk mengatasi dampak psikolgi yang dihadapi penderita
diabetes. Untuk menenangkan ketakutan dan kekhawatiran penderia
dapat diatasi dengan memberi contoh proses injeksi dengan
memggunakan cairan saline terhadap diri kita sendiri sebagai tenaga
kesehatan profesional atau memberi contoh proses injeksi
yang
diinjeksikan ke penderita dengan injeksi cairan saline atau satu unit
insulin.14.
Jika penggunaan insulin yang menjadi sumber kekhawatiran,
sebaiknya saat pertama kali penderita didiagnosa diabetes diberikan
pengertian mengenangi sifat alami perjalanan penyakinya dan
kemungkinan akan mendapat terapi insulin kedepannya serta menjelaskan
bahwa terapi insulin bukan merupakan akibat kegagalan terapi
sebelumnya atau terapi terakhir. Manfaat jangka pendek dan jangka
panjang terhadap kendali gula darah yang baik harus juga ditekankan
pada penderita. Menemukan kombinasi terapi yang tepat lebih awal untuk
kendali gula darah harus menjadi tujuan dari pada meminimalisir jumlah
kombinasi terapi yang digunakan. Sebaiknya penderita diberikan
penjelasan manfaat terapi insulin dan menghindari pengertian yang secara
tidak langsung menyatakan bahwa terapi insulin sebagai hukuman atau
ancaman akibat kegagalan terapi.15.
Memberikan pengertian dan penjelasan diatas sebaiknya dengan
menggunakan kiasan, gambar dan cerita yang sesuai serta memberikan
gambaran bahwa terapi injeksi insulin akan meningkatkan kualitas hidup
dan usia harapan hidup.16.
3.2 Terapi edukasi penderita.
Terapi edukasi yang dapat dilakukan seperti :
- Memberikan saran dan pengalaman serta mendiskusikan keputusan
untuk menerima atau tidak terapi injeksi insulin.17.
- Memberikan pengertian dan berdiskusi dengan penderita pada awal
terapi injeksi atau sedikitnya setiap tahun tentang topik : regimen atau
bahan yang diinjeksikan seperti jenis dan dosis insulin, memilih dan
menggunakan alat injeksi, memilih dan merawat serta memeriksa
sendiri lokasi atau tempat diinjeksi, teknik injeksi yang tepat termasuk
rotasi lokasi atau tempat diinjeksi, sudut injeksi, dan lipatan kulit,
panjang jarum (needle) yang sesuai dan pembuangan limbah alat yang
sudah digunakan. Mengevaluasi tehnik injeksi yang selama ini
dilakukan apakah sudat tepat dan menganjurkan memeriksa secara
mandiri dengan meraba lokasi atau tempat injeksi yang dilakukan
untuk mendeteksi adanya lipohipertropi sejak dini.17,18,19,20.
- Memastikan apakah semua informasi yang diberikan sudah sepenunya
dipahami.
3.3 Menentukan lokasi atau tempat injeksi.
Lokasi atau tempat injeksi yang direkomendasikan adalah
dinding andomen, paha, bokong dan lengan. (gambar 1)
Gambar 1. Lokasi atau tempat injeksi insulin
Memeriksa secara mandiri dengan melihat dan meraba (palpasi)
dan merubah lokasi atau tempa injeksi jika dijumpai lipohipertropi,
peradangan dan infeksi. Lokasi atau tempat injeksi harus bersih dan
dilakukan dengan tangan yang bersih. Desinfektan pada lokasi atau
tempat injeksi seperti alkohol tidak harus diberikan kecuali pada
penderita yang dirawat di rumah sakit. Hindari injeksi pada lengan, paha
atau panggul jika penderita akan melakukan latihan fisik, karena insulin
akan di absorpsi cepat dan terjadi hipoglikemia.22.
3.4 Penyimpanan insulin pen.
Insulin pen yang sedang digunakan disimpan pada suhu
ruangan maksimal satu bulan setelah digunakan dan sebelum tanggal
kadaluarsa. Sedangkan pen yang belum digunakan disimpan dilemari
pendingin di refrigator (bukan pembeku).23.
3.5 Memilih panjang dan diameter jarum suntik (needle).
Needle diperlukan untuk mengalirkan insulin ke jaringan
subcutan, panjang needle yang direkomendasikan adalah 4, 5 atau 6 mm
dan tergantung IMT (indeks massa tubuh) dengan diameter terkecil.
Melipat kulit saat injeksi tidak diperlukan pada penderita kurus yang
menggunakan needle 4 mm dan penderita gemuk (obese) yang
menggunakan needle 5 atau 6 mm dan pen tegak lurus 90 o dengan
permukaan kulit. Sedangkan penderita kurus yang menggunakan needle 5
tau 6 mm melipat kulit harus dilakukan untuk menghindari kemungkinan
injeksi intramuskular.24,25. Panjang needle > 8 mm tidak
direkomendasikan pada injeksi insulin menggunakan pen. Needle di
rekomendasikan hanya di pakai satu kali untuk menghindari rasa nyeri,
terlepasnya mirro-pragmen dari needle dan trtinggal di jaringan subcutan
dan robekan yang lebih luas akibat needle yang sudah tumpul.22,26.
4. Proses Saat Injeksi
Pasangkan needle ke pen dengan membuka kertas segel
jarum, dan pasangkan dengan memutar sekaligus menekan jarum. Pen
dengan insulin premixed harus diputar dan dibolak balikkan sebanyak 10
kali agar insulin tercampur dengan sempurna.27. Cabut dan buang tutup
luar jarum, putar dosis 2 unit pada pangkal pengatur ukuran yang akan
disuntikan, buka tutup dalam jarum dan arahkan pen ke atas dan ketuk
tabung pen yang berisi insulin untuk mengumpulkan gelembung udara.
Tekan knob dose ke atas hingga terlihat aliran insulin yang lancar hingga
keluar tetesan insulin.28.
Setelah panjang needle ditentukan dengan melihat needle
yang dimiliki atau yang tersedia (di pasarkan) di sekitar tempat tinggal
penderita, melipat kulit dilakukan sesuai dengan panjang needle yang
digunakan dan kurus atau gemuk penderita.29,30. (gambar 2).
Gambar 2. Melipat kulit (skin folds), gambar kanan cara yang benar dan kiri
yang salah.
Pegang dengan posisi ibu jari pada tombol tekan dan injeksikan
perlahan dengan arah tegak lurus terhadap permukaan kulit dan pastikan
tombol ibu jari pada pen ditekan sepenuhnya. Tunggu 10 detik (hitungan)
setelah dosis insulin seluruhnya diinjeksikan, sebelum mencabut pen
untuk menghindari perembesan atau aliran balik keluar melalui lubang
bekas injeksi. Pemijatan lokasi atau tempat injeksi sebelum atau sesudah
injeksi untuk mempercepat absorpsi tidak perlu dilakukan. Untuk
mengurangi rasa sakit saat injeksi gunakan jarum suntik (needle) baru
dan sekali pakai, jika menggunakan alkohol oleskan pada tempat injeksi
sampai mengering kemudian dilakukan injeksi, dan injeksi tidak
mengenai akar rambut. Setelah pen dicabut dari lokasi atau tempat injeksi
lepaskan needle dari pen untuk menghindari masuknya udara atau
kontaminasi lain serta mecegah kebocoran insulin. Pen digunakan untuk
satu orang dan tidak digunakan orang lain untuk menghindari penularan
penyakit tertentu. 22,27,28.
Untuk menjaga jaringan subcutan tetap normal harus merotasi
lokasi atau tempat injeksi secara tepat dan berkesinambungan. Penderita
harus di edukasi tentang manfaat dan melakukan rotasi lokasi atau tempat
injeksi sejak awal terapi injeksi insulin. Untuk mempermudah rotasi
dapat diikuti skema yang menggambarkan satu kuadran pada dinding
abdomen dan setengah kuadran pada salah satu sisi paha atau pangguldan
rotasi dapat dilakukan dengan menggunakan satu kuadran setiap
minggunya dan berputar searah jarum jam seperti pada gambar 3 dan 4.
Lokasi atau tempat injeksi sebaiknya dilakukan sedikit pada jarak 1 cm
dari injeksi sebelumnya untuk menghindari trauma jaringan berulang.22,30.
Gambar 3. Pola satu kuadran pada dinding abdomen.
Gambar 4. Pola separuh kuadran paha dan panggul.
5. Perawatan Setelah Injeksi.
5.1 Mencegah dan merawat komplikasi pada lokasi atau tempat
injeksi.
Pemeriksaan dengan melihat dan meraba (palpasi) lokasi atau
tempat injeksi harus dilakukan sedikitnya setahun sekali untuk
mendiagnosa lebih dini adanya lipohipertropi, dan jika lipohipertropi
sudah terjadi maka pemeriksaan tersebut dilakukan pada setiap kali
kunjungan. Penderta harus di edukasi agar dapat memeriksa secara
mandiri untuk mendiagnosa lipohipertropi atau komlikasi lain seperti
akibat reaksi alergi, infeksi atau peradangan. Lipohipertropi merupakan
penebalan kenyal (rubbery) pada jaringan subcutan didaerah bekas
injeksi, yang dapat terlihat dan lebih mudah dengan cara meraba
(palpasi). Lipohipertropi dialami lebih 50 % penderita dengan terapi
injeksi insulin, dan keadaan ini sangat penting untuk diperhatikan karena
adanya lipohipertropi absorpsi insulin menjadi lambat dan tidak
menentu. Injeksi insulin di sekitar jaringan subcutan yang sudah
mengalami lipohipertropi juga harus dihindari karena akan memperburuk
lipohipertropi dan kendali gula darah tidak tercapai dengan merubah
lokasi atau tempat injeksi ke tempat lain.22,30,32.
Pada saat injeksi terkadang needle mengenai pembuluh darah
yang akan menyebabkan perdarahan dan memar pada kulit dan subcutan.
Mengubah panjang dan diameter needle tidak terbukti secara signifikan
mengurangi kejadian tersebut. Perdarahan dan memar tersebut tidak akan
mempengaruhi absorpsi insulin dan kendali gula darah, walaupun
demikian rotasi lokasi atau tempat injeksi sangat dianjurkan.33,34.
5.2 Pembungan limbah needle.
Pembuangan limbah biologi terkontaminasi harus menjadi
perhatian kita sebagai tenaga kesehatan dan penderita sendiri. Pembungan
limbah tidak boleh dilakukan pada tempat pembuangan limbah umum
karena akan menciderai pasien sendiri, keluarga dan penyedia layanan
pengutip atau pembungan sampah. Edukasi pembungan limbah harus
diberikan sejak awal terapi dengan membuang needle yang sudah
terpakai di tempat atau wadah pembungan sampah khusus untuk needle,
atau wadah lain seperti botol plastik tertutup dan tidak bocor. Sebagai
tempat pembungan akhir penderita harus difasilitasi untuk membuang
limbah di rumah sakit atau fasilitas kesehatan lain.30
6. Kesimpulan
Peningkatan jumlah penderita diabetes tipe 2 yang terus
bertambah juga akan meningkatan penggunaan injeksi insulin. Edukasi
teknik injeksi insulin yang tepat harus diberikan kepada tenaga kesehatan
lain dan keluarga serta penderita diabetes agar kendali gula yang baik
dapat tercapai. Edukasi meliputi penyimpanan pen insulin, memilih dan
merotasi lokasi atau tempat injeksi, memilih penjang dan diameter needle
yang sesuai, proses injeksi yang tepat serta mendiagnosa secara mandiri
komplikasi pada lokasi atau tempat injeksi dan pembuangan limbah
biologi terkontaminasi.
Secara keseluruhan urutan proses saat injeksi yang benar adalah
membuat atau tidak lipatan pada kulit, suntikan insulin perlahan, biarkan
jarum di kulit selama 10 detik (saat menyuntik dengan pen ), tarik jarum
dari kulit, lepaskan lipatan kulit, buang jarum suntik dengan aman.
Keaadan tersebut harus benar benar diperhatiakn dan dilakukan
karena teknik injeksi insulin yang tepat sama pentingnya dengan memilih
jenis dan dosis insulin yang akan diberikan kepada penderita diabetes.
DAFTAR PUSTAKA
1. Website of the International Diabetes Federation: IDF Diabetes
Atlas
Update.
2012.
[http://www.idf.org/diabetesatlas/
previouseditions], Accessed 28.11.2012.
2. Centers for Disease Control and Preven- tion (CDC) National
Center for Health Statistics, Division of Health Interview Statistics,
data from the National Health Interview Survey. Age-Adjusted
Percentage of Adults with Diabetes using Diabetes Medication by
Type of Medication, United States, 1997–2003. Data computed by
the personnel of the Division of Diabetes Translation, National
Center for Chronic Disease Prevention and Health Promotion,
CDC. Available online at http://www.cdc.gov/diabetes/ statistics
/medusa /fig2.htm. 2008.
3. Perkumpulan Endokrinologi Indonesis. Konsensus Pengendalian
dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. 2011.
4. American Diabetes Association. Standards of medical care in
diabetes 2015. Diad Care 2015;38 (suppl,1).
5. Cheng AYY, Zinman B. Principles of insulin Therapy. In : Kahn
CR, Weir GC, King GL, Jacobson AM, Moses AC, Smith RJ,
editors. Joslin‘s Diabetes mellitus, 14 nd ed. New York : Lippincott
Williams & Wilkins; 2005.p. 659-70.
6. Jenkins D, Rogers S. Guideline for the use of continuous variable
rate intravenous insulin infusion (CVRII). Woecestershire
NHS,2015;WHAT-END-011:1-15.
7. Baron AD, Kim D, Weyer C. Novel peptides under development
for the treatment of type 1 and type 2 diabetes mellitus. Curr Drug
Targets Immune Endocr Metabol Disord. 2002; 2:63-82.
8. De Meijer PHEM, Lutterman JA, van Lier HJJ, Van t Laar A. The
variability of the absorption of subcutaneously injected insulin;
effect of injection technique and relation with brittleness. Diabet
Med 1990;7:499-505.
9. Vaag A, Damgaard Pedersen K, Lauritzen M, Hildebrandt P, BeckNielsen H. Intramuscular versus subcutaneous injection of
unmodified insulin; consequences for blood glukose control in
patients with type 1 diabetes mellitus. Diabetic Medicine 1990a; 7:
335-42.
10. Loveman E, Frampton G, Clegg A. The clinical effectiveness of
diabetes education models for type 2 diabetes. Health Technology
Assessment 2008 ;12 :1- 36
11. Stratton IM, Adler AI, Neil HAW, Matthews DR, Manley SE,
Cull CA, Hadden D, Turner RC, Holman RR. On behalf of the
UK Prospective Diabetes Study Group Association of glycaemia
with macrovascular and microvascular complications of type 2
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
diabetes (UKPDS 35): prospective observational study
BMJ.2000; Vol 321.
Kanitakis, J. Anatomy, histology and immunohistochemistry of
normal human skin. European Journal of Dermatology, 2002;
12: 390–401.
Laurent A, Mistretta F, Bottigioli D, Dahel K, Goujon C, Nicolas
JF, Hennino A, Laurent PE. Echographic measurement of skin
thickness in adults by high frequency ultrasound to assess the
appropriate microneedle length for intradermal delivery of
vaccines. Vaccine. 2007;25:6423-30.
Polonsky W, Jackson R. What‘s so tough about taking insulin?
Addressing the problem of psychological insulin resistance in
type 2 diabetes. Clinical Diabetes 2004;22:147-50.
Meece J. Dispelling myths and removing barriers about insulin in
type 2 diabetes. The Diabetes Educator 2006; 32:9S-18S.
Davis SN, Renda SM. Psychological insulin resistance:
overcoming barriers to starting insulin therapy. Diabetes Educ.
2006; 4:146S-52S.
Joy SV. Clinical pearls and strategies to optimize patient
outcomes. Diabetes Educ. 2008;3:54S-9S.
Genev NM, Flack JR, Hoskins PL, et al. Diabetes education;
whose priorities are met? Diabetic Medicine 1992; 9: 475-9.
Klonoff DC. The pen is mightier than the needle (and syringe).
Diabetes Technol Ther. 2001;3:631-3.
Heinemann L, Hompesch M, Kapitza C, Harvey NG, Ginsberg
BH, Pettis RJ. Intra-dermal insulin lispro application with a new
microneedle delivery system led to a substantially more rapid
insulin absorption than subcutaneous injection. Diabetologia.
2006;49: abstract.
Pledger J, Hicks D, Kirkland F, Down S. Importance of injection
technique in diabetes Journal of Diabetes Nursing.2012;16:160-5.
Diabetes care in the UK. The first UK injection technique
recommendations 2nd edition. 2011
Perriello G, Torlone E, Di Santo S, Fanelli C, De Feo P,
Santusanio F, Brunetti P. Effect of storage temperature on
pharmacokinetics and pharmadynamics of insulinmixtures
injected subcutaneously in subjects with type 1 (insulindependent) diabetes mellitus. Diabetologia. 1988; 31:811-5.
Birkebaek NH, Solvig J, Hansen B, Jorgensen C, Smedegaard J,
Christiansen JS. (observations) A 4-mm needle reduces the risk
of intramuscular injection without increasing backflow to skin
suface in lean diabetic children and adult. Diabetes Care
2008;31:e65.
25. Kreugel G, Keers JC, Kerstes MN, Wolffenbuttel BHR.
Randomized trial on the influence of the length of two insulin
pen needle on glycemic control and patient preference in obese
patients
with
diabetes.
Diabetes
Technology
&
Therapeutics.2011;13:737-41.
26. Torrance T. Effecct of insulin needle reuse, size and site of
injection on the risk of bending and breaking. Journal of Diabetes
Nursing.2008;12:29-33.
27. NovoMix 30 FlexPen, 30 % soluble insulin aspart (rys) and 70 %
insulin aspart (rys) crystallised with protamine. Consumer
Medicine Information. 2014:1-12.
28. Lantus, Insulin Glargin (rDNA origin). Product Monograph.
2015;13:1-58.
29. Strauss K. Insulin injection techniques. Practical Diabetes
International 1998;15:181-4.
30. A. Frid, L. Hirsch, R. Gaspar, D. Hicks, G. Kreugel, J. Liersch,
C. Letondeur, J.P. Sauvanet, N. Tubiana-Rufi, K. Strauss. New
injection recommendations for patients with diabetes. Diabetes &
Metabolism. 2010; 36: S3-S18.
31. Strauss K. Insulin injection techniques. Practical Diabetes
International 1998;15: 181-4.
32. Richardson T, D Kerr. Skin-related complications of insulin
therapy: epidemiology and emerging management strategies.
American J Clinical Dermatol.2003;4:661-7.
33. Kahara T Kawara S. Shimizu A, Hisada A, Noto Y & H Kida
(2004) Subcutaneous hematoma due to frequent insulin injections
in a single site. Intern Med.2004; 43:148-9.
34. Kreugel G, Beter HJM, Kerstens MN, Maatenter JC, Sluiter WJ,
Influence of needle size on metabolic control and patient
acceptance. European Diabetes Nursing.2007;4:51-5.
PPOK: DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
Islamuddin
Divisi Pulmonologi dan Penyakit Kritis
Bagian/ SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/ RS dr.Zainoel Abidin Banda Aceh
Pendahuluan
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyebab
utama insiden morbiditas dan mortalitas diseluruh dunia. Sebagian besar
penderita meninggal akibat PPOK atau disebabkan oleh komplikasi yang
ditimbulkannya. PPOK penyebab kematian nomor empat didunia yang
prevalensi dan mortalitas semakin meningkat dalam dekade saat ini.
Tembakau merupakan penyebab utama PPOK dan juga beberapa
penyakit lainnya. Saat ini anjuran berhenti merokok tembakau telah
meningkatkan kualitas kesehatan dan menurunkan prevalensi terjadinya
PPOK dan penyakit lain yang berkaitan dengan tembakau. Namun
demikian rokok tembakau bukan satu satunya faktor penyebab PPOK
yang mungkin pada belahan dunia lain bukan merupakan penyebab utama
PPOK. Tidak semua perokok akan menderita PPOK, hal ini semua
tergantung kepada faktor individu yang ada.
Difinisi, faktor risiko dan Patologi
PPOK merupakan penyakit akibat keterbatasan aliran udara yang
progresif yang disebabkan oleh respon inflamasi kronis pada jalan napas
serta paru oleh Karena partikel atau gas yang berbahaya. Insiden
eksaserbasi dan adanya penyakit penyerta berperan terhadap beratnya
penyakit.
Keterbatasan aliran udara yang kronis pada penyakit PPOK
disebabkan oleh gabungan penyakit jalan napas kecil (bronkiolitis
obstruktif) dan desturksi parenkim (emfisema). Inflamasi kronis
menimbulkan perubahan structural dan penyempitan saluran napas kecil.
Destruksi dari parenkim paru yang juga disebabkan oleh proses inflamasi
menyebabkan hilangnya perlekatan alveolus terhadap jalan napas kecil
dan menurunkan elastisitas paru, sehingga perubahan tersebut
mengurangi kemampuan jalan napas untuk tetap terbuka pada saat.
Keterbatasan jalan napas dapat diukur dengan spirometri.
Faktor risiko PPOK meliputi faktor eksogen seperti rokok dan
polusi udara ataupun factor endogen yang terdapat dari pasien sendiri.
Faktor yang paling sering menyebabkan PPOK adalah rokok ,selain itu
paparan debu, bahan kimia, perokok pasif dan penyakit infeksi saluran
napas juga berperan. Genetik merupakan factor endogen yang paling
pasti penyebab PPOK, defisiensi α-antitrypsin yang menjadi penyebab
dasar penyakit ini, namun ini sangat jarang terjadi di jepang.
Gambar.1. Diagram phenotype PPOK
Table.1.Faktor Risiko PPOK
Hipotesis yang menjelaskan patologi PPOK adalah terjadi akibat
ketidakseimbangan protease/antiprotease dan ketidakseimbangan
oksidan/antioksidan dan juga disertai adanya apoptosis sel paru itu
sendiri.
Kriteria Diagnosis
Gejala Klinis yang didapat seperti batuk dengan sputum, sesak
pada saat aktifitas serta usia pertengahan atau usia tua yang mempunayai
factor risiko seperti perokok harus diduga kearah PPOK. Spirometri
merupakan pemerikasaan baku emas dalam mendiagnosis PPOK. Adanya
hambatan aliran udara pada gambaran FEV1 (forced expiratory volume in
one second)/FVC 9Force Vital Capacity) kurang dari 70% setelah
pemberian bronkodilator sebagai diagnosis pasti PPOK.
Gambar 2. Patologi PPOK
Derajat PPOK terbagi atas derajat 0 : Kelompok dengan Risiko.,
derajat I :PPOK mild(FEV1 ≥ 80% nilai prediksi.derajat II: moderate
(50% ≤ FEV1 ≤80%prediksi). Derajat III : severe (FEV1≤ 50%
prediksi).derajat IV: Very severe FEV1≤ 30% prediksi atau FEV1≤ 50%
prediksi dengan gagal napas atau gagal jantung kanan.
Gambaran Klinis
Keluhan utama yang paling sering dialami penderita PPOK ialah
sesak napas pada saat aktivitas, batuk kronik dengan produksi sputum
yang banyak. Pemeriksaan fisik umumnya akan tidak dijumpai kecuali
penyakitnya telah memberat. Inspeksi tampak bentuk dada barrel chest
dan hoover sign.perkusi dada didapatkan suara yang timpani disertai
dengan hiperinflasi paru.palpasi akan terlihat penurunan gerakan paru
saat bernapas. Ekspirasi akan memanjang disertai suara respirasi yang
melemah akan kita dapatkan saat auskultasi,bahkan terkadang diserta
dengan wheezing.
Berat badan yang menurun disertai dengan anorexia akan didapati
seiring dengan progresifitas penyakit, ini akan mengakibatkan prognosis
yang buruk.
Pemeriksaan Penunjang
Sulit untuk mendeteksi adanya PPOK yang ringan dengan thorak
foto. CT Scan thorak lebih efektif untuk mendeteksi PPOK. Spirometri
merupakan pemeriksaan yang utama untuk mendiagnosis PPOK, nilai
FEV1/FVC ≤ 70% menunjukkan adanya keterbatasan aliran udara.
Gambar 3. Spirometri pada individu normal dan PPOK.
Gambar 4 Kurva Volume inspirasi normal (A). dan PPOK (B)
Tatalaksana PPOK stabil
 Derajat I (mild) PPOK diberikan short acting bronchodilator
(SABA) untuk meringakan gejala. Berhenti merokok sangat
dianjurkan pada penderita perokok.
 Derajat II (moderate) PPOK, long acting bronchodilator (LABA)
diberikan secara regular, chest Fisioterapi dapat dianjurkan untuk
mengurangi gejala, meningkatkan kualitas hidup dan
meningkatkan kemampuan aktivitas.
 Derajat II-IV (moderate to very severe) PPOK, long acting
bronchodilator regular serta mukolitik dapat diberikan atau
menggunakan dua bronkodilator dapat diberikan.
 Derajat
III-IV (severe to very severe), penggunaan
glukokortikosteroid inhalasi digunakan disamping bronkodilator.
Mencegah eksaserbasi dan memperbaiki kualitas hidup harus
menjadi tujuan utama terapi.
Table.2. Bronkodilator dan glukocortikosteroid yang digunakan pada PPOK
Tatalaksana nonfarmakologi meliputi ;
 Rehabilitasi pulmonary komprehensif.
 Terapi nutrisi
 Edukasi
 Terapi oksigen
 Ventilator support
 Pembedahan
 Tranplantasi paru
Tatalaksana PPOK eksaserbasi
Penyebab paling umum eksaserbasi pada PPOK ialah karena infeksi
saluran napas dan polusi udara. Sampai saat ini belum ada klasifikasi
yang tepat untuk merumuskan eksaserbasi pada PPOK termasuk juga
klasifikasi pada GOLD standar. Eksaserbasi meningkatkan frekuensi
rawatan dirumah sakit. Bronkodilator short acting digunakan untuk
mengontrol eksaserbasi, pemberian glukokortikosteroid dapat diberikan
dan antibiotik golongan quinolone,B-laktam/b-laktam inhibitor dan
sepalosporin generasi III dan IV harus diberikan.
Kesimpulan
1. PPOK derajat III dan IV tidak hanya menurunkan kualitas hidup dan
mengurangi kemampuan aktifitas tetapi juga prognosis yang buruk.
2. Terapi oksigen jangka panjang memperbaiki outcome namun tidak
mempengaruhi terhadap kadar karbon dioksida darah.
Daftar Pustaka
1. Fukuchi Y, Nishimura M, Ichinose M, et al : Prebalence of
chronic obstructive pulmonary disease in Japan: results from the
Nippon COPD epidemiology (NICE) study. Eur Respir J 2001;
18 (suppl 33): 275s.
2. Global Initiative for chronic Obstructive Lung Disease. Global
strategy for the diagnosis, management, and prevention of
chronic obstructive pulmonary disease : National Heart, Lung
and Blood Institute, National Institutes of Health. April 2001;
Publication Number 2701.
3. Jines PW : Measurement of breathlessness, Lung function tests,
physiological principles and clinical applications (eds by Hughes
JMB, Pride NB), pp121-131, WB Saunders, London, 1999.
4. Goddard PR, Nicholson EM, Lasco G, et al : Computed
tomography in pulmonary emphysema. Clin Radiol 1992 ; 33:
379-387
5. Gibson GJ : Lung volumes and elasticity, Lung function tests,
physiological principles and clinical applications (eds by Hughes
JMB, Pride NB), pp45-56, WB Saunders, London, 1999.
6. The Tobacco Use and Dependence Clinical Practice Guideline
Panel, Staff, and Consortium Representatives : A clinical practice
guideline for treating tobacco use and dependence, JAMA 2000 ;
283 : 3244-3254
7. Kidak K : Comprehensive pulmonary rehabilitation – A manual
for team management-( In Japanese), Medical Review, Tokyo,
1998.
8. Manual of pulmonary rehabilitation-exercise training-(In
Japanese). Japan Society for Respiratory Care/ Japanese
Respiratory Society/ Japanese Physical Therapy Association
2003.
9. Pulmonary rehabilitation guideline committee of the Japan
Society for Respiratory Care/ Guideline implementation and
management committee of Japanese Respiratory Society :
Statement on the pulmonary rehabilitation (In Japanese). Journal
of Japan Society for Respiratory Care 2001; 11; 321-330.
GANGGUAN KESEIMBANGAN ELEKTROLIT
Desi Salwani
Divisi Ginjal dan Hipertensi Bagian/ SMF Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala /
RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh
Hiponatremia
Hiponatremia adalah kadar kalium kurang dari 135 mEq/L (normal
135-145 mEq/L). Kadar natrium dan osmolaritas dalam batas normal
akan mempertahankan mekanisme homeostatik yang mempengaruhi
rangsangan rasa haus, sekresi ADH (antidiuretik hormon) dan proses
filtrasi natrium dalam ginjal.
Secara klinis keadaan hiponatremia tidak khas dan tidak spesifik
meskipun tenaga medis sudah mencurigai kuat ditemukan gejala disertai
dengan penurunan kesadaran. Umumnya tampak sebagai gambaran
retensi air akibat ketidak seimbangan dalam keseimbangan pengeluaran
dan pemasukan air.
Terdapat 3 mekanisme yaitu hiponatremia yang terjadi akibat faktor
faktor intrarenal seperti turunnya GFR (glomerular filtration rate) dan
meningkatnya reabsorbsi natrium dan air di tubulus proksimal yang
diikiuti penurunan reabsorbsi di tubulus distal yang menyebabkan
pengenceran di segmen segmen nefron. Kedua adalah hasil dari adanya
efek transportasi natrium klorida keluar pada segmen nefron pada TALH,
ketiga yang paling sering terjadi karena rangsangan sekresi vasopresin
oleh mekanisme non osmotik meskipun terdapat keadaan
hipoosmolaritas.
Sebab SIADH Malignant disease (Bronchogenic carcinoma),
Pulmonary disorders (Viral and bacterial pneumonias,Tuberculosis)
Neurologic disorders ( Encephalitis, Meningitis, Trauma, Stroke,
Alcohol withdrawaL), lain lain (HIV/AIDS, Acute psychosis, Acute
intermittent porphyria, Idiopathic)
Pendekatan diagnosis
Hiponatremia adalah kelebihan cairan relatif yang terjadi bila jumlah
asupan cairan melebihi kemampuan kesresi dan ketidak mampuan
menekan sekresi adh misalnya pada kehilangan cairan melalui saluran
cerna atau gagal jantung atau sirosis hati atau siadh (Sindrome Of
Inapropiate Adh Secretion), pendekatan diagnosis terkait dengan
klasifikasi hiponatremia
1. Hipovolemik hiponatremia
Pada kondisi ini terdapat penurunan kadar total natrium dalam tubuh
dan kadar air yang juga menurun. hal ini terjadi karena kehilangan air
dan solut yang tinggi dari pencernaan dan ginjal.
2. Hipervolemik hiponatremia
Kadar total natrium meningkat lebih dari kadar air dalam tubuh seperti
pada penyakit gagal jantung, sindroma nefrotik dan sirosis hati yang
berkaitan erat dengan sekresi air
3. Euvolemik hiponatremia
Pada pasien rawatan namun tanpa keluhan.
Pemeriksaan yang umumnya dilakukan adalah
1. Osmolaritas urin
Pemeriksaan osmolaritas urin untuk membedakan impaired freewater excretion dan polydipsia primer. osmolaritas urin >100
mOsm/kg merupakan pertanda bahwa ginjal tidak mampu
mengencerkan urin.
2. Osmolaritas serum
Untuk membedakan hyponatremia dan pseudohyponatremia.
3. Konsentrasi natrium urin
Untuk membedakan hyponatremia sekunder akibat hypovolemia dan
syndrome of inappropriate antidiuretic hormone secretion (SIADH).
Pada SIADH konsentrasi natrium urin 20-40 mEq/L. Pada
hypovolemia < 25 mEq/L
Tatalaksana
Prinsip penatalaksanan hiponatremia adalah dengan mengatasi
penyakit dasar dan menghentikan setiap obat yang ikut menyebabkan
hiponatremia. Sebelum memberikan terapi sebaiknya ditentukan apakah
hiponatremia merupakan hiponatremia hipoosmolalitas.
Untuk hiponatremia hiperosmolalitas, koreksi yang diberikan hanya
berupa air saja. Larutan pengganti yang diberikan adalah natrium
hipertonik, bisa berupa NaCl 3% atau 5% NaCl. Pada sediaan NaCl 3%
yang biasa dipakai, terdapat 513 mmol dalam 1 liter larutan. Koreksi pada
hiponatremia kronik yang tanpa gejala, dapat diberikan sediaan oral, yaitu
berupa tablet garam.
Koreksi natrium secara intravena harus diberikan secara lambat,
untuk mencegah central pontin myelinolysis (CPM). Kadar Na plasma
tidak boleh dinaikkan lebih dari 10-12 mmol/L dalam 24 jam pertama.
Terapi inisial diberikan untuk mencegah udem serebri. Untuk
hiponatremia akut dengan gejala serius, koreksi dilakukan agak cepat.
Kadar natrium plasma harus dinaikkan sebanyak 1,5-2 mmol/L dalam
waktu 3-4 jam pertama, sampai gejala menghilang. Kecepatan cairan
infus diberikan 2-3 ml/kg/jam, setelah itu dilanjutkan dengan 1
ml/kg/jam, sampai kadar Na 130 mmol/L. Untuk koreksi hiponatremia
kronik, diberikan dengan target kenaikan sebesar 0,5 mmol/L setiap 1
jam, maksimal 10 mmol/L dalam 24 jam. Kecepatan infus dapat
diberikan 0,5 – 1 ml/kg/jam. Pemantauan kadar Na serum harus
dilakukan setiap 2-4 jam. Untuk menetukan estimasi efek pemberian
cairan infus dalam menaikkan kadar natrium plasma, digunakan rumus:
Perubahan Na serum= (Na dalam cairan infus-Na serum)/(TBW+1)
Saat ini sedang mulai dipakai sediaan vasopressin receptor antagonis
untuk meningkatkan kadar natrium. Sediaan ini akan menghambat
reseptor V2 di tubulus yang akan meningkatkan ekskresi air, kemudian
akan memperbaiki keadaan hiponatremia. Demeclocycline dan litium
juga dapat dipakai dimana sedian ini akan mengahambat respon ginjal
terhadap vasopressin. Selain itu, sediaan ini dapat juga diberikan sebagai
pencegahan overkoreksi. Dosis democlocycline dapat diberikan 300-600
mg perhari.
Hipokalemia
Hipokalemia didefinisikan sebagai kalium plasma kurang dari 3,5
mEq/L. Hipokalemia dapat terjadi akibat asupan yang kurang,
perpindahan ke dalam sel atau kehilangan kalium renal maupun non
renal.
Regulasi Keseimbangan Kalium
Total cadangan kalium tubuh dan distribusi kalium dalam tubuh
diatur oleh hormon tertentu. Distribusi kalium transellular diatur oleh
minimal 2 sinyal hormonal yang memacu masuknya kation ke dalam sel.
Insulin dan katekolamin adrenergik akan meningkatkan ambilan
kalium ke dalam sel melalui stimulasi Na+/K+-ATP ase yang terdapat
pada membran sel. Insulin menyebabkan umpan balik, hiperkalemia akan
menstimulasi sekresi insulin dan hipokalemia akan menghambat sekresi
kalium. Hal ini tidak terjadi pada stimulasi adrenergik, namun blokade
adrenergik akan meningkatkan kalium serum dan agonis adrenergik akan
menurunkan kalium serum.
Sintesis N+/K+ ATP ase juga distimulasi oleh hormon tiroid yang
berperan pada kejadian hipokalemia pada kondisi Hipertiroidisme.
Pemberian alkali menyebabkan kalium masuk ke dalam sel. Pada
gagal ginjal kronik, pemberian bikarbonat hanya sedikit mempengaruhi
distribusi kalium transsellular.
Peran aldosteron dalam distribusi kalium transselular masih belum
jelas, namun hormon ini merupakan regulator mayor cadangan kalium
tubuh melalui eksresi kalium di ginjal.
Deplesi kalium atau hipokalemia juga dapat terjadi karena asupan
makanan yang mengandung kalium yang rendah.
Tabel 1. Jenis Obat obatan yang menyebabkan Hipokalemia
Perpindahan Kalium
Transelular
Adrenergic agonists
Epinephrine
Decongestants
Pseudoephedrine
Phenylpropanolamine
Bronchodilators
Albuterol
Terbutaline
Pirbuterol
Isoetharine
Kehilangan Melalui
Ginjal
Diuretics
Acetazolamide
Thiazides
Chlorthalidone
Indapamide
Metolazone
Quinethazone
Bumetanide
Ethacrynic acid
Furosemide
Kehilangan kalium
melalui feses
Phenolphthalein
Sodium polystyrene
sulfonate
Fenoterol
Ephedrine
Isoproterenol
Metaproterenol
Tocolytic agents
Ritodrine
Nylidrin
Theophylline
Caffeine
Verapamil intoxication
Chloroquine intoxication
Insulin overdose
Torsemide
Mineralocorticoids
Fludrocortisone
Substances with
mineralocorticoid
effects
Licorice
Carbenoxolone
Gossypol
High-dose
glucocorticoids
High-dose antibiotics
Penicillin
Nafcillin
Ampicillin
Carbenicillin
Drugs associated with
depletion
Aminoglycosides
Cisplatin
Foscarnet
Amphotericin B
Obat obat Yang menginduksi perpindahan kalium
Obat obat simpatomimetik
Obat-obat yang memiliki aktifitas simpatomimetik adalah
decongestan, bronkhodilator dan penghambat kontraksi rahim. Albuterol
inhalasi dengan dosis standar mampu menurunkan kalium serum 0,2-0,4
mmol per liter dan albuterol dosis selanjutnya setelah satu jam akan
menurunkan kalium serum 1 mmol/L. Pseudoefedrin akan menyebabkan
hipokalemia berat. Ritodrin, terbutalin dan penghambat kontraksi uterus
akan meurunkan kalium serum 2,5 mmol/L setelah 4-6 jam pemberian
obat tersebut secara intravena.
Meskipun Calcium channel bloker mampu meningkatkan ambilan
kalium ke dalam sel, namun obat ini tidak mempengaruhi kadar kalium
serum. Pemberian verapamil dosis tinggi akan mmenyebabkan
hipokalemia berat. Chlorokuin dosis tinggi mampu menurunkan kalium .
Insulin mampu memindahkan kalium ke dalam sel, sehingga pemberian
insulin mampu menurunkan konsentrasi kalium serum, namun tidak
terlalu bermakna secara klinis kecuali pemberian insulin dosis tinggi pada
Ketoasidosis Diabetikum
Obat yang menginduksi kehilangan kalium secara abnormal
Diuretik
Tiazid dan loop diuretik akan memblock chlorida yang terkait
dengan reabsorbsi (menghambat different membrane-transport protein)
akibatnya hantaran natrium ke collecting tubulus terganggu, reabsorbsi
natrium akan menyebabkan perubahana gradien elektrokimia pada sekresi
kalium. Kombinasi furosemid atau bumetanid dengan metolazon
menyebabkan hipokalemia sedang atau berat.
Obat obatan dengan Mineralkortikoid atau glukokortikoid
Fludrocortison merupakan mineral kortikoid yang digunakan secara
oral, mampu memcetuskan ekskresi kalium melalui ginjal.
Obat obat lain
Penicillin dan derivat sintetis yang diberikan secara intravena
dengan dosis besar akan meningkatkan ekskresi kalium ginjal melallui
peningkatan hantaran natrium di distal nefron. Aminoglycoside, cisplatin,
dan foscarnet menyebabkan kehilangan kalium melalui ginjal dengan
menginduksi deplesi magnesium. Amfoterisin B menyebabkan
kehilangan kalium ginjal melalui hambatan sekresi ion hidrogen pada sel
ductus collecting juga bersamaan dengan kejadian deplesi magnesium.
Laksansia dan enema
Laksansia dosis besar menyebabkan kehilangan kalium melalui feses
dan juga mampu menyebabkan hipokalemia.
Nondrug Causes Due To Transcellular Shifts
Hipokalemia berat dapat terjadi pada hipertiroidisme yang ditandai
dengan kelemahan otot yang berat. Gejala dan tanda hiperthiroidisme
umunya terkait dengan episode akut, kelemahan dan paralisis otot, namun
terkadang terjadi kesalahn diagnosis dengan familial periodic paralisis.
Kondisi ini sangat respon dengan pemberian kalium. Familial hipokalemi
periodik paralisis merupakan kelainan genetika outosom dominan,
berkaitan dengan mutasi gen encoding reseptor dehidroperidin, voltagegated calcium channel. Penyakit ini ditandai dengan serangan kelemahan
otot yang timbul mendadak terjadi akibat perurunan kalium serum
mendadak < 2,5 mmol/L, yang dapat dicetuskan oleh asupan makanan
kaya akan karbohidrat atau natrium, latihan berlebihan dan umunya
timbul spontan dalam waktu 24 jam. Meskipun hipokalemia yang terjadi
akibat perpindahan kalium ke dalam sel. namun pemberian kalium sangat
bermanfaat. Pencegahan yang dapat dilakukan dapat berupa pemberian
spironolakton, triamteren dan acetazolamid.
Senyawa barium yang terhirup juga dapat meyebabkan hipokalemia
melalui hambatan pengeluaran kalium dari sel dan pada kondisi berat
dapat menyebabkan kelemahan otot, paralisis dan rhabdomiolisis. Barium
juga menyebabkan muntah dan diare, hal ini juga menyebabkan
perburukan hipokalemia.
Pengobatan anemia pernisiosa berat dengan vitamin B dapat pula
menyebabkan penurunan kalium serum secara cepat akibat ambilan
kalium secara cepat oelh sel yang baru terbentuk. Hipokalemia juga
terjadi setelah transfusi washed red cell beku akibat ambilan kalium oleh
sel.
Nondrug Causes Due To Inadequate Dietary Intake
Asupan kalium yang kurang dari 1 gram per hari (25 mmol per hari),
deplesi kalium dan hipokalemia akibat ekskresi kalium ginjal.
Nondrug Causes Due To Abnormal Losses Of Potassium
Kehilangan melalui feses
Konsentrasi kalium dalam feses berkisar 80-90 mmol per liter,
namun karena kadar air dalam feses yang sangat rendah sehingga
kehilangan kalium dalam feses hanya 10 mmol per hari. Pada kondisi
diare, kadar kalium dalam feses akan menurun, namun jumlah feses yang
yang banyak akan menyebabkan hipokalemia. Volume feses akan
meningkat akibat diare dengan infeksi, kemoterapi pada kanker.
Kehilangan kalium melalui ginjal
Kehilangan kalium melalui ginjal dapat terjadi oleh berbagai sebab,
yang diklasifikasikan berdasarkan status keseimbangan asam basa.
CAUSES OF POTASSIUM LOSS IN URINE DUE TO
MINERALOCORTICOID EXCESS OR RENAL TRANSPORT
ABNORMALITIES.
Mineralocorticoid excess
Primary hyperaldosteronism
Adrenal adenoma
Adrenal carcinoma
Bilateral adrenal hyperplasia
Congenital adrenal hyperplasia*
11b-hydroxylase deficiency
17a-hydroxylase deficiency
Renin-secreting tumors
Ectopic corticotropin syndrome
Cushing‘s syndrome
Pituitary
Adrenal
Glucocorticoid-responsive aldosteronism*
Renovascular hypertension
Malignant hypertension
Vasculitis
Apparent mineralocorticoid excess
Liddle‘s syndrome*
11b-hydroxysteroid dehydrogenase deficiency*
Impaired chloride-associated sodium transport
Bartter‘s syndrome*
Gitelman‘s syndrome*
Metabolic Alkalosis
Kondisi alkalosis metabolik akan menginduksi deplesi khlorida
akibat muntah atau drainase gaster. Hipokalemia berlangsung selama
induksi alkalosis sebagai akibat kehilangan kalium melalui ginjal.
Pada kondisi chloride-sensitive form of metabolic alkalosis, pemberian
chlorida akan memperbaiki alkalosis dan memberi kesempatan replesi
cadangan kalium tubuh juka asupan kalium cukup. alkalosis metbolik
dengan hanya deplesi chlorida jarang terjadi. Penyebab paling sering
pada kondisi ini adalah primary hyperaldosteronisme, Hipokalemia juga
dapat terjadi pada Cushing’s syndrome, namun hipokalemia yang terjadi
lebih ringan dibandingkan pada hyperaldosteronisme. Abnormalitas
genetik akan mempengaruhi aktivitas transporter ion pada ginjal, namun
merupakan penyebab alkalosis metabolik yang jarang dan jarang
menyebabkan hipokalemia. Liddle’s syndrome dan 11 43-46 hydroxysteroid dehydrogenase deficiency akan menstimulasi reabsorbsi
natrium melalui duktus colecting dan menyebabkan
syndrome
mineralocorticoid excess. Abnormalitas ini menyebabkan hipertensi dan
hipokalemia namun aldosteron serum lebih rendah. Pada Barter
Syndrome ( menyebabkan inaktif transpoter natrium chlorida di loop
henle) dan Gitelman sindrome ( kelainan pada tubulus distal) akan
menyebakna alkalosis metabolik
dan hipokalemia namun tanpa
menyebabkan hipertensi.
Pendekatan Diagnosis
Gambaran klinis deplesi kalium sangat bervariasi, dan berat
ringannya tergantung derajat hipokalemia. Gejala jarang terjadi kecuali
kalium kurang dari 3 mEq/L.Mialgia, kelemahan otot atau cramp otot
ektremitas bawah merupakan keluhan yang sering. Hipokalemia yang
lebih berat dapat menyebabkan kelemahan progresif, hipoventilasi dan
paralisis komplit. Deplesi kalium yang berat dapat meningkatkan resiko
aritmia dan rabdomiolisis. Fungsi otot polos juga dapat terganggu dengan
gambaran klinis ilues paralitik.
Pada hipokalemia berat terdapat keluhan lemas dan konstipasi. Pada
kondisi kalium < 2,5 mmol/L, akan terjadi nekrosis otot dan pada kondisi
kalium < 2 mmol/L akan terjadi ascending
paralise, bahkan
mempengaruhi otot pernafasan. Keluhan yang terjadinya sejalan dengan
kecepatan penurunan kadar kalium serum. Pada pasien tanpa penyakit
jantung, dapat terjadi abnormalitas konduksi otot jantung yang tidak
lazim walaupun denngan kadar kalium kurang 3 mmol/L. Pada pasien
dengan iskemia, gagal jantung atau hipertropi ventrikel kiri, hipokalemia
ringan atau sedang mampu mencetuskan aritmia. Kondisi hipokalemia
akan memicu efek aritmogenik pada digoxin. Deplesi kalium dan
hipokalemia mampu meningkatkan tekanan darah sistolik dan diastolik
walaupun pada kondisi tanpa restriksi garam, kondisi ini mampu
mencetuskan retensi garam oleh ginjal.
Gejala neuro-muskular dan kardiak yang disebabkan hipokalemia
berhubungan dengan terjadinya gangguan potensial aksi. Berdasarkaan
persamaan Nerst, potensial membran istirahat behubungan dengan rasio
konsentrasi kalium intraseluler-ekstraseluler. Penurunan konsentrasi
kalium serum (ekstraselular) akan meningkatkan rasio sehingga
menyebabkan hiperpolarisasi membran sel. membuat potensial membran
istirahat lebih elektronegatif. Hal ini meningkatkan permeabilitas
natrium yang akan meningkatkan eksitabilitas membran. Hipokalemia
juga memperlambat repolarisasi ventrikel. Hal ini memperpanjang durasi
periode refrakter relatif dan memudahkan terjadinya reentrant.
Perubahan EKG akibat hipokalemia tidak sesuai dengan konsentrasi
kalium plasma. Perubahan awal berupa mendatarnya atau inversi
gelombang T, gelombang U prominen, depresi segmen Stdan
pemenjangan interval QT. Deplesi kalium berat dapat menyebabkan
pemanjangan interval PR, lowvoltage, dan pelebaran QRS dan
meningkatkan risioko aritmia ventrikel. Hipokalemia dapat meningkatkan
toksisitas digitalis.
Gambar.1 Gambaran Perubahan EKG pada Hipokalemia
Deplesi kalium meningkatkankan reabsorbsi HCO3 di tubulus
proksimal, meningkatkan ammoniagenesia renal dan emnngkatkan
sekresi H+ di tubulus distal. Hal ini menyebabkan alkalosis metabolik
yang sering terjadi pada pasien hipokalemia. Diabetes insipidus
nefrogenik dapat terjadi pada hipokalemia dan bermanifestasi sebagai
polidipsi dan poliuri. Diagnosis penyebab dicari denga anamnesis,
pemeriksaan fisik yang baik dan pemeriksaan penunjang.
Penatalaksanaan
Indikasi koreksi kalium dibagi dalam :
- Indikasi mutlak : pemberian kalium mutlak segera diberikan
yaitu pada keadaan pasien sedang dalam pengobatan digitalis,
pasien dengan ketosidosis diabetik, pasien dengan kelemahan
otot pernafasan dan pasien dengan hipokalemia berat (<2
mEq/L)
- Indikasi kuat : kalium harus diberikan dalam waktu tidak terlalu
lama yaitu pada keadaan insufisensi coroner/ iskemia otot
jantung, ensefalopati hepatik dan pasien menggunakan obat yang
dapat menyebabkan perpindahan kalium dari ekstra ke intrasel.
- Indikasi sedang : pemberian kalium tidak perlu segera, seperti
pada hipokalemia ringan ( K 3-3,5 mEq/L).
Pemerian kalium oral :
- Pemberian Kalium 40-60 mEq dapat meningkatkan kadar kalium
1-1,5 mEq/L dan pemberian 135-60 mEq dapat meningkakan
kadar kalium 2,5-3,5 mEq/L
Pemberian kalium intravena :
- Keceptan pemberian KCL melalui vena perifer 10 mEq per jam,
atau melalui vena sentral 20 mEq per jam atau lebih pada
keadaan tertentu
- Konsentrasi cairan infus KCL bila melalui vena perifer, KCL
maksimal 60 mEq dilarutkan dalam NaCl isotonis 1000 ml
karena bila melebihi dapat menimbulkan rasa nyeri dan
menyebabkan sclerosis vena.
- Konsentrasi cairan infus kalium bila melalui vena central, KCL
maksimal 40 mEq dilarukan dalam NaCl isotonis 100 ml.
- Pada keadaan arimia yang berbahaya atau adanya kelumpuhan
otot pernafasan, KCL dapat diberikan dengan kecepatan 40-100
meq/jam. KCL sebanyak 20 meq dilarutkan dalam 100 ml NaCl
isotonik.
Koreksi penyebab dari hipokalemia merupakan bagian dari terapi
hipokalemia.
1. Highest content (>1000 mg [25 mmol]/100 Dried figs, Molasses,
Seaweed
2. Very high content (>500 mg [12.5 mmol]/1Dried fruits (dates,
prunes) adalah Kacang-kacangan, Alpukat, Bran cereals,
Gandum, Lima beans
3. High content (>250 mg [6.2 mmol]/100 g) adalah sayur-sayuran,
spinach, tomat, brokoli, winter squash, beets, wortel, kembang
kol, kentang, buah-buahan,pisang, cantaloupe, kiwi, jeruk,
mangga, daging, ground beef, steak, babi, veal, kambing
Daftar Pustaka
1. Elhassan EA., Schrier RW. Disorders of extracellular volume. In:
Floege J, Johnson RJ, Feehally J, eds. Comprehensive clinical
nephrology. 4th ed. St. Louis: Elsevier Saunders; 2010. p. 85–99.
2. Hoorn EJ, Lindemans J, Zietse R. Development of severe
hyponatraemia in hospitalized patients: treatment-related risk
factors and inadequate management. Nephrol Dial Transplant.
2006;21(1):70-6.
3. Goh KP. Management of hyponatremia. Am Fam Physician.
2004;69(10):2387-94Schulman M, Narins RG. Hypokalemia and
cardiovascular disease. Am J Cardiol 1990;65:4E-9E.
4. Gennari FJ. Disorders of potassium metabolism. In: Suki WN,
Massry SG, eds. Therapy of renal diseases and related disorders.
3rd ed. Boston: Kluwer Academic, 1997:53-84.
5. Clausen T, Everts ME. Regulation of the Na,K-pump in skeletal
muscle. Kidney Int 1989;35:1-13.
6. Martinez R, Rietberg B, Skyler J, Oster JR, Perez GO. Effect of
hyperkalemia on insulin secretion. Experientia1991;47:270-2.
7. Rowe JW, Tobin JD, Rosa RM, Andres R. Effect of experimental
potassium deficiency on glucose and insulin metabolism.
Metabolism. 1980;29:498-502.
8. AdroguéHJ, Madias NE. Changes in plasma potassium
concentration during acute acid-base disturbances. Am J Med
1981;71:456-67.
9. Blumberg A, Wiedmann P, Ferrari P. Effect of prolonged
bicarbonate administration on plasma potassium in terminal renal
failure. Kidney Int. 1992;41:369-74.
10. Field MJ, Giebisch GJ. Hormonal control of renal potassium
excretion. Kidney Int 1985;27:379-87.
11. McKenna TJ, Island DP, Nicholson WE, Liddle GW. The effects
of potassium on early and late steps in aldosterone biosynthesis
in cells of the zona glomerulosa. Endocrinology 1978;103:14116.
12. Chiou C-Y, Kifor I, Moore TJ, Williams GH. The effect of
losartan on potassium-stimulated aldosterone secretion in vitro.
Endocrinology 1994;134:2371-5.
13. Tannen RL. Potassium disorders. In: Kokko JP, Tannen RL, eds.
Fluids and electrolytes. 3rd ed. Philadelphia: W.B. Saunders,
1996:111-99.
14. Hernandez RE, Schambelan M, Cogan MG, Colman J, Morris
RC Jr, Sebastian A. Dietary NaCl determines the severity of
potassium depletioninduced metabolic alkalosis. Kidney Int.
1987;31:1356-67.
15. Squires RD, Huth EJ. Experimental potassium depletion in
normal human subjects. I. Relation of ionic intakes to the renal
conservation of potassium. J Clin Invest 1959;38:1134-48
Algoritma
DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN
GASTROESOPHAGEAL REFLUX DISEASE
Muhammadji Ramazoni, Azzaki Abubakar
Divisi Gastroentero Hepatologi/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala RSUD Zainoel Abidin Banda Aceh
I.
Pendahuluan
Dalam beberapa tahun terakhir ini, perhatian para ahli terhadap
penyakit refluks gastroesofageal atau gastroesophageal reflux
disease(GERD) semakin meningkat, baik dari segi upaya untuk menelaah
patogenesis, menegakkan diagnosis, maupun dalam hal penatalaksanaan.
Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya perbedaan secara
regional dari segi prevalensi dan manifestasi klinik. Selain itu, data
regional juga menunjukkan adanya peningkatan angka kejadian
komplikasi seperti Barret‘s Esophagus dan adenokarsinoma. GERD
merupakan salah satu masalah pencernaan yang paling umum di seluruh
dunia. Hampir 1 dari 5 orang akan memiliki gejala setiap kali dalam
setahun dan 1 dari 10 akan menderita gejala secara teratur atau setiap
hari, hal ini telah menjadi perhatian para ahli GERD di Asia Pasifik
termasuk Indonesia yang merupakan Negara dengan problem gangguan
saluran cerna terbanyak di wilayah Asia Tenggara.
Kemajuan di bidang teknologi kedokteran, khususnya teknik
endoskopi gastrointestinal dan perangkat diagnostik lainnya seperti pHmetri 24 jam dan manometri, telah meningkatkan kemampuan
penatalaksanaan GERD. Di sisi lain, pengetahuan dan kemampuan para
dokter, baik dokter umum maupun spesialis penyakit dalam di negara kita
dalam penatalaksanaan GERD yang adekuat, dirasakan belum merata.
Begitu pula penyediaan sarana penunjang diagnostik dan terapeutik yang
tidak sama antara satu daerah dengan yang lainnya.
II.
Definisi
Konsensus Asia Pasifik mengenai GERD tahun 2008, GERD
didefinisikan sebagai suatu gangguan di mana isi lambung mengalami
refluks secara berulang ke dalam esofagus, yang menyebabkan terjadinya
gejala dan/atau komplikasi. Gejala GERD dapat mengalami tumpang
tindih dengan sindroma dispepsia, sehingga pembedaannya harus
dilakukan dengan cermat. Heartburn tidak mempunyai padanan kata
dalam bahasa Indonesia, sehingga anamnesis perlu dilakukan dengan
cermat. Masyarakat Asia nampaknya lebih mudah memahami regurgitasi
asam, yang diartikan sebagai perasaan adanya cairan asam di dalam
mulut.1
GERD juga dapat dipandang sebagai suatu kelainan yang
menyebabkan cairan lambung dengan berbagai
kandungannya
mengalami refluks ke dalam esofagus, dan menimbulkan gejala khas
seperti heartburn (rasa terbakar di dada yang kadang disertai rasa nyeri
dan pedih) serta gejala-gejala lain seperti regurgitasi (rasa asam dan pahit
di lidah), nyeri epigastrium, disfagia, dan odinofagia.2
Pasien dapat mengalami gejala-gejala lain seperti nyeri dada
non kardiak, kembung, mual, nyeri menelan, mudah kenyang dan nyeri
ulu hati, dengan atau tanpa gejala refluks yang tipikal. Pada beberapa
kasus dapat pula datang dengan gejala tidak tipikal yang tidak berasal
dari saluran cerna, seperti laringitis kronik, bronkitis, dan juga asma
bronkial. Penampilan yang tidak tipikal ini diakui merupakan salah satu
ciri dari pasien GERD Asia, di mana keluhan nyeri dada non kardiak
merupakan manifestasi umum.1
Terdapat dua kelompok pasien GERD, yaitu pasien dengan
esofagitis erosif yang ditandai dengan adanya kerusakan mukosa
esofagus pada pemeriksaan endoskopi (Erosive Esophagitis/ERD) dan
kelompok lain adalah pasien dengan gejala refluks yang mengganggu
tanpa adanya kerusakan mukosa esofagus pada pemeriksaan endoskopi
(Non-Erosive Reflux Disease/NERD). Data yang ada menunjukkan
bahwa gejala-gejala yang dialami oleh pasien NERD juga disebabkan
oleh asam, berdasarkan pemantauan pH, respons terhadap penekanan
asam dan tes Bernstein yang positif.1
GERD refrakter adalah pasien yang tidak berespons terhadap
terapi dengan penghambat pompa proton (Proton Pump Inhibitor/PPI)
dua kali sehari selama 4-8 minggu. Pembedaan ini penting oleh karena
individu dengan GERD refrakter ini harus menjalani endoskopi saluran
cerna bagian atas (SCBA) untuk mengeksklusi diagnosis penyakit ulkus
peptik atau kanker dan mengidentifikasi adanya esofagitis.3
Refluks non-asam (Non Acid Reflux/NAR) adalah suatu
kondisi di mana refluksat dapat berupa cairan empedu, cairan asam lemah
atau alkali, dan/atau gas.4
NAR dapat merujuk kepada:
a. Episode refluks yang terdiagnosis dengan manometri atau
skintigrafi tanpa adanya penurunan pH di bawah 4.
b. Kejadian GERD yang terdiagnosis dengan pemantauan metode
spektrofotometri (Bilitec).
c. Kejadian refluks yang terdiagnosis dengan pemantauan
impedansi tanpa adanya penurunan pH atau penurunan pH yang
tidak mencapai angka 4.
d. kejadian refluks yang terdiagnosis dengan pemantauan impedansi
tanpa adanya perubahan pH atau penurunan pH kurang dari 1.
Komplikasi GERD yakni Barrett‘s Esophagus didefinisikan
sebagai adanya epitel kolumnar yang dicurigai pada pemeriksaan
endoskopi dan terbukti dengan histologi yang membutuhkan adanya
metaplasia intestinal. Konsensus Asia Pasifik untuk GERD menekankan
pentingnya konfirmasi histologis yang menunjukkan epitel kolumnar
dengan metaplasia intestinal dan tidak hanya berdasarkan diagnosis
endoskopi, juga digarisbawahi bahwa biopsi yang secara akurat
merefleksikan perubahan Barrett harus dilakukan setelah GERD diterapi
secara adekuat. Untuk kondisi-kondisi di mana ada kecurigaan metaplasia
esofagus dari pemeriksaan endoskopi, namun masih menungggu
konfirmasi histopatologi, maka dapat digunakan istilah kecurigaan
endoskopi ada perubahan epitel toraks.1
III.
Epidemiologi
Prevalensi GERD dan komplikasinya di Asia, termasuk
Indonesia, secara umum lebih rendah dibandingkan dengan negara barat,
namun demikian data terakhir menunjukkan bahwa prevalensinya
semakin meningkat. Hal ini disebabkan oleh karena adanya perubahan
gaya hidup yang meningkatkan seseorang terkena GERD, seperti
merokok dan juga obesitas.1 Data epidemiologi dari Amerika Serikat
menunjukkan bahwa satu dari lima orang dewasa mengalami gejala
refluks esofageal (heartburn) dan atau regurgitasi asam sekali dalam
seminggu, serta lebih dari 40% mengalami gejala tersebut sekurangnya
sekali dalam sebulan.5
Prevalensi esofagitis di negara-negara barat menunjukkan rerata
berkisar antara 10-20%, sedangkan di Asia prevalensinya berkisar antara
3-5% dengan pengecualian di Jepang dan Taiwan yang berkisar antara
13-15% dan 15%. Suatu studi prevalensi terbaru di Jepang menunjukkan
rerata prevalensi sebesar 11,5% dengan GERD didefinisikan sebagai
perasaan dada terbakar paling tidak dua kali dalam seminggu.6,7
Indonesia sampai saat ini belum mempunyai data epidemiologi
yang lengkap mengenai kondisi ini. Laporan yang ada dari penelitian
Lelosutan SAR dkk di FKUI/RSCM-Jakarta menunjukkan bahwa dari
127 subyek penelitian yang menjalani endoskopi SCBA, 22,8% (30%)
subyek di antaranya menderita esofagitis.8 Penelitian lain, dari Syam AF
dkk, juga dari RSCM/FKUI-Jakarta, menunjukkan bahwa dari 1718
pasien yang menjalani pemeriksaan endoskopi SCBA atas indikasi
dispepsia selama 5 tahun menunjukkan adanya peningkatan prevalensi
esofagitis, dari 5,7% pada tahun awal penelitian sampai di tahun kelima
menjadi 25,18% dengan rata-rata persentase 13,13% per tahun.9
IV.
Patofisiologi dan patogenesis
GERD merupakan penyakit multifaktorial (Gambar 1), di mana
esofagitis dapat terjadi sebagai akibat dari refluks kandungan lambung ke
dalam esofagus apabila:11,12
a. Terjadi kontak dalam waktu yang cukup lama antara bahan
refluksat dengan mukosa esofagus.
b. Terjadi penurunan resistensi jaringan mukosa esofagus, walaupun
waktu kontak antara bahan refluksat dengan esofagus tidak cukup
lama.
c. Terjadi gangguan sensitivitas terhadap rangsangan isi lambung,
yang disebabkan oleh adanya modulasi persepsi neural esofageal
baik sentral maupun perifer.
Gambar 1. Etiopatogenesis terjadinya GERD.11,12
Kandungan isi lambung yang menambah potensi daya rusak
bahan refluksat di antaranya adalah: asam lambung, pepsin, garam
empedu dan enzim pankreas. Dari semua itu yang memiliki potensi daya
rusak paling tinggi adalah asam lambung. Beberapa hal yang
berperandalam patogenesis GERD, di antaranya adalah: peranan infeksi
Helicobacter pylori(H. pylori), peranan kebiasaan/gaya hidup, peranan
motilitas, dan hipersensitivitas viseral. 11,12
Peranan infeksi H. pylori dalam patogenesis GERD relatif kecil
dan kurang didukung oleh data yang ada. Namun demikian, ada
hubungan terbalik antara infeksi H. pylori dengan strain virulen (Cag A
positif ) dengan kejadian esofagitis, esofagus Barrett dan adenokarsinoma
esofagus.13 H. pylori tidak menyebabkan atau mencegah penyakit refluks
dan eradikasi dari H. pylori tidak meningkatkan risiko terjadinya GERD.1
Peranan Kebiasaan/Gaya Hidup kosumsi alkohol, diet serta
faktor psikis tidak bermakna dalam patogenesis GERD, namun demikian
khusus untuk populasi Asia-Pasifik ada kemungkinan alkohol
mempunyai peranan lebih penting sebagaimana ditunjukkan dalam studi
epidemiologi terkini dari Jepang.14,15 Beberapa studi observasional telah
menunjukkan bahwa pengaruh rokok dan berat badan berlebih sebagai
faktor risiko terjadinya GERD. Beberapa obat-obatan seperti
bronkodilator juga dapat mempengaruhi GERD. 7,15,16
Pada pasien GERD, mekanisme predominan adalah transient
lower esophageal spinchter relaxation (TLESR). Beberapa mekanisme
lain yang berperan dalam patogenesis GERD antara lain menurunnya
bersihan esofagus, disfungsi sfingter esofagus, dan pengosongan lambung
yang lambat.11,12
Akhir-akhir ini diketahui peranan refluks non-asam/gas dalam
patogenesis GERD yang didasarkan atas hipersensitivitas viseral.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, hipersensitivitas viseral
memodulasi persepsi neural sentral dan perifer terhadap rangsangan
regangan maupun zat non-asam dari lambung.11,12
V.
Diagnosis
Anamnesis yang cermat merupakan cara utama untuk
menegakkan diagnosis GERD. Gejala spesifik untuk GERD adalah
heartburn dan / atau regurgitasi yang timbul setelah makan. Di Asia
keluhan heartburn dan regurgitasi bukan merupakan penanda pasti untuk
GERD. Namun, terdapat kesepakatan dari para ahli bahwa kedua keluhan
tersebut merupakan karakteristik untuk GERD.1
Pada RS rujukan, sebelum dilakukan pemeriksaan endoskopi
untuk menegakkan diagnosis GERD, sebaiknya dilakukan pemeriksaan
penunjang lain untuk menyingkirkan penyakit dengan gejala yang
menyerupai GERD (laboratorium, EKG, USG, foto thoraks, dan lainnya
sesuai indikasi).
Para ahli Asia-Pasifik secara aklamasi menyatakan bahwa
strategi diagnostik GERD regional, harus mempertimbangkan adanya
kemungkinan timbulnya GERD bersamaan dengan kondisi lainnya
seperti kanker lambung dan ulkus peptikum. Terkait pemeriksaan H.
pylori untuk menyingkirkan infeksi pada pasien dengan gejala GERD di
daerah dengan prevalensi tinggi untuk kanker lambung dan ulkus
peptikum, para ahli masih bertentangan pendapat. Namun demikian,
pemeriksaan tetap direkomendasikan dengan mempertimbangkan faktorfaktor risiko termasuk komorbid, usia, histologi lambung, riwayat
keluarga, dan pilihan pasien.1
1. GERD-Q
Kuesioner GERD (GERD-Q) (Tabel 1) merupakan suatu
perangkat kuesioner yang dikembangkan untuk membantu diagnosis
GERD dan mengukur respons terhadap terapi. Kuesioner ini
dikembangkan berdasarkan data-data klinis dan informasi yang diperoleh
dari studi-studi klinis berkualitas dan juga dari wawancara kualitatif
terhadap pasien untuk mengevaluasi kemudahan pengisian kuesioner.
Kuesioner GERD merupakan kombinasi kuesioner tervalidasi yang
digunakan pada penelitian DIAMOND. Tingkat akurasi diagnosis dengan
mengkombinasi beberapa kuesioner tervalidasi akan meningkatkan
sensitivitas dan spesifisitas diagnosis.17,18
Analisis terhadap lebih dari 300 pasien di pelayanan primer
menunjukkan bahwa GERD-Q mampu memberikan sensitivitas dan
spesifisitas sebesar 65% dan 71%, serupa dengan hasil yang diperoleh
oleh gastroenterologis. Selain itu, GERD-Q juga menunjukkan
kemampuan untuk menilai dampak relatif GERD terhadap kehidupan
pasien dan membantu dalam memilih terapi.17
Di bawah ini adalah GERD-Q yang dapat diisi oleh pasien
sendiri. Untuk setiap pertanyaan, responden mengisi sesuai dengan
frekuensi gejala yang dirasakan dalam seminggu. Skor 8 ke atas
merupakan nilai potong yang dianjurkan untuk mendeteksi individuindividu dengan kecenderungan tinggi menderita GERD.17
2. Endoskopi saluran cerna bagian atas (SCBA)
Standar baku untuk diagnosis GERD dengan esofagitis erosif
adalah dengan menggunakan endoskopi SCBA dan ditemukan adanya
mucosal break pada esofagus. 1,19,20
Peran endoskopi SCBA dalam penegakan diagnosis GERD
adalah:
• Memastikan ada tidaknya kerusakan di esofagus berupa erosi,
ulserasi, striktur, esofagus Barrett atau keganasan, di samping
untuk menyingkirkan kelainan SCBA lainnya.
• Menilai berat ringannya mucosal break dengan menggunakan
klasifikasi Los Angeles modifikasi atau Savarry-Miller.
• Pengambilan sampel biopsi dilakukan jika dicurigai adanya
esophagus Barrett atau keganasan.
3. Pemeriksaan Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi dalam diagnosis GERD adalah untuk
menentukan adanya metaplasia, displasia, atau keganasan.
4. Pemeriksaan pH-metri 24 jam
Pemeriksaan pH-metri konvensional 24 jam atau kapsul 48 jam
(jika tersedia) dalam diagnosis NERD adalah:4,21
 Mengevaluasi pasien-pasien GERD yang tidak berespons dengan
terapi PPI.
 Mengevaluasi apakah pasien-pasien dengan gejala ekstra
esofageal sebelum terapi PPI atau setelah dinyatakan gagal
dengan terapi PPI.
 Memastikan diagnosis GERD sebelum operasi anti-refluks atau
untuk evaluasi gejala NERD berulang setelah operasi antirefluks.
5. PPI test
PPI test dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis pada
pasien dengan gejala tipikal dan tanpa adanya tanda bahaya atau risiko
esofagus Barrett. Tes ini dilakukan dengan memberikan PPI dosis ganda
selama 1-2 minggu tanpa didahului dengan pemeriksaan endoskopi. Jika
gejala menghilang dengan pemberian PPI dan muncul kembali jika terapi
PPI dihentikan, maka diagnosis GERD dapat ditegakkan. Tes dikatakan
positif, apabila terjadi perbaikan klinis dalam 1 minggu sebanyak lebih
dari 50%.1,19,21
Dalam sebuah studi metaanalisis, PPI test dinyatakan memiliki
sensitivitas sebesar 80% dan pesifitas sebesar 74% untuk penegakan
diagnosis pada pasien GERD dengan nyeri dada non kardiak. Hal ini
Menggambarkan PPI test dapat dipertimbangkan sebagai strategi yang
berguna dan memiliki kemungkinan nilai ekonomis dalam manajemen
pasien nyeri dada non kardiak tanpa tanda bahaya yang dicurigai
memiliki kelainan esofagus.12,18
6. Penunjang diagnosis lain
Pilihan pemeriksaan lain yang dapat dilakukan selain
pemeriksaan endoskopi dan pH metri yaitu: esofagografi barium,
manometri esophagus, tes impedans, tes Bilitec, tes bernstein
Tes ini untuk mengukur sensitivitas mukosa esofagus dengan
memasang selang trans-nasal dan melakukan perfusi bagian distal
esofagus dengan HCl 0,1 N dalam waktu kurang dari 1 jam. Tes ini
bersifat pelengkap terhadap pemantauan pH esofagus 24 jam pada pasien
dengan gejala tidak khas dan untuk keperluan penelitian. 2,7,21
7. Surveilans Barett’s esophagus
Saat ini pemeriksaan penyaring untuk esofagus Barrett masih
kontroversial, oleh karena kurangnya dampak pemeriksaan penyaring
terhadap mortalitas adenokarsinoma esofageal. Endoskopi surveilans
untuk individu dengan risiko tinggi disarankan untuk dilakukan sesuai
dengan tingkatan displasia yang ditemukan. Untuk pembahasan lebih
lanjut, harap melihat literatur terkait.2,15,18
VI. Penatalaksanaan
Pada dasarnya terdapat 5 target yang ingin dicapai dan harus
selalu menjadi perhatian saat merencanakan, merubah, serta
menghentikan terapi pada pasien GERD. Target tersebut adalah
menghilangkan gejala/keluhan, menyembuhkan lesi esofagus, mencegah
kekambuhan, memperbaiki kualitas hidup, dan mencegah timbulnya
komplikasi. 10,17
Gambar 2. Alur Pengobatan Berdasarkan Proses Diagnostik Pada Pelayanan Primer.
1. Penatalaksanaan non-farmakologik
Perhatian utama ditujukan kepada memodifikasi berat badan
berlebih dan meninggikan kepala lebih kurang 15-20 cm pada saat tidur,
serta faktor-faktor tambahan lain seperti menghentikan merokok, minum
alkohol, mengurangi makanan dan obat-obatan yang merangsang asam
lambung dan menyebabkan refluks, makan tidak boleh terlalu kenyang
dan makan malam paling lambat 3 jam sebelum tidur.28
2. Penatalaksanaan farmakologik
Obat-obatan yang telah diketahui dapat mengatasi gejala GERD
meliputi antasida, prokinetik, antagonis reseptor H2, Proton Pump
Inhibitor (PPI)dan Baclofen.5,9,17
Dari semua obat-obatan PPIpaling efektif dalam menghilangkan
gejala serta menyembuhkan lesi esofagitis pada GERD. PPI terbukti lebih
cepat menyembuhkan lesi esofagitis serta menghilangkan gejala GERD
dibanding golongan antagonis reseptor H2 dan prokinetik. Apabila PPI
tidak tersedia, dapat diberikan H2RA.14, 17
Pada individu-individu dengan gejala dada terbakar atau
regurgitasi episodik, penggunaan H2RA (H2-Receptor Antagonist)
dan/atau antasida dapat berguna untuk memberikan peredaan gejala yang
cepat. Selain itu, di Asia penggunaan prokinetik (antagonis dopamin dan
antagonis reseptor serotonin) dapat berguna sebagai terapi tambahan.1
Gambar 3. Alur Pengobatan Berdasarkan Proses Diagnostik Pada Pelayanan
Sekunder dan tersier.1
Pengobatan GERD dapat dimulai dengan PPI setelah diagnosis
GERD ditegakkan (lihat bab diagnosis). Dosis inisial PPI adalah dosis
tunggal per pagi hari sebelum makan selama 2 sampai 4 minggu. Apabila
masih ditemukan gejala sesuai GERD (PPI failure), sebaiknya PPI
diberikan secara berkelanjutan dengan dosis ganda sampai gejala
menghilang. Umumnya terapi dosis ganda dapat diberikan sampai 4-8
minggu.1,19,21
Apabila kondisi klinis masih belum menunjukkan perbaikan
harus dilakukan pemeriksaan endoskopi untuk mendapatkan kepastian
adanya kelainan pada mukosa saluran cerna atas. Untuk esofagitis ringan
dapat dilanjutkan dengan terapi on demand. Sedangkan untuk esofagitis
berat dilanjutkan dengan terapi pemeliharaan kontinu, yang dapat
diberikan sampai 6 bulan.1,19,20
Klasifikasi GERD berdasarkan hasil pemeriksaan endoskopi,
grade A dan B termasuk kategori klinis esofagitis ringan sedangkan grade
C dan D termasuk kategori klinis esofagitis berat. 1,19 Saat ini terapi untuk
refluks non-asam (NAR) masih berkembang. Studi dengan Baclofen
(sebuah agonis GABA-B) memberikan hasil yang menjanjikan, namun
masih memerlukan data lebih lanjut untuk dapat direkomendasikan rutin.
Terapi yang disarankan termasuk menghindari makan besar dan terlalu
malam, mempertahankan posisi tegak sampai 3 jam setelah makan,
penurunan berat badan dan tidur dengan kepala ditinggikan. Namun
demikian masih belum ada yang memastikan bahwa tindakan-tindakan
ini bermakna secara klinis. 18,10
Intervensi gaya hidup lainnya seperti menghentikan merokok
dan alkohol serta merubah pola diet mampu mengurangi gejala GERD
secara bermakna. Modifikasi gaya hidup digunakan sebagai terapi lini
pertama seperti penurunan berat badan, mengurangi merokok,
pengosongan lambung lebih dari 3 jam sebelum tidur malam. Sebuah
studi sistematik yang baru-baru ini dilakukan menunjukkan bahwa dari
semua intervensi gaya hidup yang dilakukan, hanya penurunan berat
badan dan meninggikan kepala saat tidur yang mempengaruhi gejala
GERD secara bermakna. 1, 20
3. Penatalaksanaan Endoskopik
Komplikasi GERD seperti Barret’s esophagus, striktur, stenosis
ataupun perdarahan, dapat dilakukan terapi endoskopik berupa Argon
plasma coagulation, ligasi, Endoscopic Mucosal Resection, bouginasi,
hemostasis atau dilatasi. Terapi endoscopi untuk GERD masih terus
berkembang dan sampai sejauh ini asih dalam konteks penelitian. Terapi
endoskopi yang telah dikembangkan adalah:
 Radiofrequency Energy Dilivery
 Endoscopicsuturing
4. Penatalaksanaan Bedah
Penatalaksanaan bedah mencakup tindakan pembedahan
antirefluks (fundoplikasi Nissen, perbaikan hiatus hernia, dll) dan
pembedahan untuk mengatasi komplikasi. Pembedahan antirefluks
(fundoplikasi Nissen) dapat disarankan untuk pasien-pasien yang
intoleran terhadap terapi pemeliharaan, atau dengan gejala mengganggu
yang menetap (GERD refrakter). Studi-studi yang ada menunjukkan
bahwa, apabila dilakukan dengan baik, efektivitas pembedahan
antirefluks ini setara dengan terapi medikamentosa, namun memiliki efek
samping disfagia, kembung, kesulitan bersendawa dan gangguan usus
pascapembedahan.1,20
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
Fock KM, Talley NJ, Fass R, et al. Asia-Pacific consensus on the
management of gastroesophageal reflux disease: update. J
Gastroenterol Hepatol 2012;23:8-22.
Martinez-Serna T, Tercero F, Jr., Filipi CJ, et al. Symptom priority
ranking in the care of gastroesophageal reflux: a review of 1,850
cases. Dig Dis 1999;17:219-24.
Richter JE. How to manage refractory GERD. Nat Clin Pract
Gastroenterol Hepatol 2010;4:658-64.
Sifrim D, Castell D, Dent J, Kahrilas PJ. Gastro-oesophageal reflux
monitoring: review and consensus report on detection and
definitions of acid, non-acid, and gas reflux. Gut 2009;53:1024-31.
Sontag SJ. The medical management of reflux esophagitis. Role of
antacids and acid inhibition. Gastroenterol Clin North Am
1990;19:683-712.
Fock KM, Talley N, Hunt R, et al. Report of the Asia-Pacific
consensus on the management of gastroesophageal reflux disease. J
Gastroenterol Hepatol 2004;19:357-67.
Fujiwara Y, Arakawa T. Epidemiology and clinical characteristics of
GERD in the Japanese population. J Gastroenterol 2009;44:518-34.
Lelosutan SA, Manan C, MS BMN. The Role of Gastric Acidity and
Lower Esophageal Sphincter Tone on Esophagitis among Dyspeptic
Patients. The Indonesian Journal of Gastroenterology, Hepatology,
and Digestive Endoscopy 2010;2:6-11.
Syam AF, Abdullah M, Rani AA. Prevalence of reflux esophagitis,
Barret‘s esophagus and esophageal cancer in Indonesian people
evaluation by endoscopy. Canc Res Treat 2010;5:83.
Rosaida MS, Goh KL. Gastro-oesophageal reflux disease, reflux
oesophagitis and non-erosive reflux disease in a multiracial Asian
population: a prospective, endoscopy based study. Eur J
Gastroenterol Hepatol 2004;16:495-501.
Dickman R, Fass R. The Pathophysiology of GERD. In. Wien ; New
York: Springer; 2011:13-22.
Quigley EM. New developments in the pathophysiology of gastrooesophageal reflux disease (GERD): implications for patient
management. Aliment Pharmacol Ther 2003;17 Suppl 2:43-51.
Wu JC, Sung JJ, Chan FK, et al. Helicobacter pylori infection is
associated with milder gastro-oesophageal reflux disease. Aliment
Pharmacol Ther 2009;14:427-32.
Pandolfino JE, Kahrilas PJ. Smoking and gastro-oesophageal reflux
disease. Eur J Gastroenterol Hepatol 2006;12:837-42.
15. Watanabe Y, Fujiwara Y, Shiba M, et al. Cigarette smoking and
alcohol consumption associated with gastro-oesophageal reflux
disease in Japanese men. Scand J Gastroenterol 2003;38:807-11.
16. Pandeya N, Webb PM, Sadeghi S, Green AC, Whiteman DC.
Gastro-oesophageal reflux symptoms and the risks of oesophageal
cancer: are the effects modified by smoking, NSAIDs or acid
suppressants? Gut 2010;59:31-8.
17 .Jones R, Junghard O, Dent J, et al. Development of the GerdQ, a
tool for the diagnosis and management of gastro-oesophageal reflux
disease in primary care. Aliment Pharmacol Ther 2009;30:1030-8.
18. Halling K, et al. Gut 2007; 56 (Suppl III) A209: Abstract: TUE-G88.
19. DeVault KR, Castell DO. Updated guidelines for the diagnosis and
treatment of gastroesophageal reflux disease. Am J Gastroenterol
2005;100:190-200.
20. Kahrilas PJ, Shaheen NJ, Vaezi MF, et al. American
Gastroenterological Association Medical Position Statement on the
management of gastroesophageal reflux disease. Gastroenterology
2008;135:1383-91, 91 e1-5.
21. Lichtenstein, David, et al. Role of Endoscopy in The Management of
GERD. American Society fo Gastrointestinal Endoscopy. 2007.
DIAGNOSIS AND MANAGEMENT OF
UPPER GASTROINTESTINAL BLEEDING
Hendra Wahyudi, Fauzi Yusuf
Divisi Gastroentero Hepatologi /SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala RSUD Zainoel Abidin Banda Aceh
Abstract
A rapid assessment and resuscitation should take precedence
over diagnostic evaluation in unstable patients with severe bleeding.
Patients with active bleeding cause hemodynamic instability should be
treated in intensive care unit (ICU) for resuscitation and observation,
and should consider to transfer patients with upper gastrointestinal
bleeding significantly to a tertiary medical center. Endoscopic findings,
such as the cause of the bleeding and the new bleeding stigmata, can be
combined with clinical factors to predict the risk of death and recurrent
bleeding using the Rockall Risk Scoring System. Management of acute
upper gastrointestinal bleeding consist of triage, general support,
resuscitation fluids, blood transfusions, administration of proton pump
inhibitor (PPI) and endoscopy.
Epidemiologi
Insidensi perdarahan saluran cerna bagian atas (PSCBA) setiap
tahun di rumah sakit diperkirakan sebesar 100 per 100.000 individu dan
lebih sering terjadi dibandingkan perdarahan saluran cerna bagian bawah
(PSCBB). Tingkat rawatan inap PSCBA diperkirakan enam kali lipat
lebih tinggi daripada PSCBB.1,2 Insiden PSCBA lebih tinggi pada pria
dibandingkan pada wanita (128 berbanding 65 per 100.000 dalam sebuah
studi) dan meningkat terhadap usia. frekuensi yang dilaporkan penyebab
spesifik dari UGIB bervariasi dan telah berubah dari waktu ke waktu.3–5
Patofisiologi
Ulkus peptikum merupakan hasil dari ketidakseimbangan antara
faktor-faktor yang menyebabkan kerusakan dengan system pertahanan
mukosa. Beberapa mekanisme protektif dapat mencegah kejadian ulkus
peptikum pada keadaan sehat (Gambar 2).6,7
Pada saat mekanisme-mekanisme ini terganggu atau tidak
berfungsi, maka mukosa menjadi rentan terhadap pelbagai serangan. Hal
ini sering ditemukan pada berbagai keadaan penyakit, diantaranya syok,
penyakit kardiovaskular, hati atau gagal ginjal, yang merupakan kondisi
predisposisi terjadinya penyakit ulkus peptikum.8
Gambar 2. Sistem pertahanan mukosa saluran cerna atas.6
Diagnosis
Pasien dengan perdarahan gastrointestinal (GI) atas akut
umumnya datang dengan keluhan hematemesis (muntah darah atau
seperti kopi) dan/ atau melena (feses hitam). Evaluasi awal pasien dengan
perdarahan GI atas akut melibatkan penilaian terhadap stabilitas
hemodinamik dan resusitasi jika diperlukan.6,9
Penilaian cepat dan resusitasi harus didahulukan dari pada
evaluasi diagnostik pada pasien yang tidak stabil dengan pendarahan
hebat. Beberapa pasien mungkin memerlukan intubasi untuk mengurangi
resiko aspirasi. Pasien dengan perdarahan aktif mengakibatkan
ketidakstabilan hemodinamik harus dirawat di unit perawatan intensif
untuk resusitasi dan observasi, serta harus mempertimbangkan
mentransfer pasien dengan perdarahan saluran cerna atas yang signifikan
ke pusat medis tersier.7,9
Anamnesis dan Pemeriksan Fisik
Tanda dan gejala tersering dari perdarahan saluran cerna bagian
atas adalah hematemesis (muntah darah), muntah berwarna coffee ground
dan melena (tinja seperti aspal/tar). Sekitar 30% pasien dengan
perdarahan ulkus datang dengan hematemesis, 20% dengan melena dan
50% dengan keduanya. Hematoskezia (darah segar di tinja) biasanya
menunjukkan sumber perdarahan saluran cerna bawah, oleh karena darah
dari saluran cerna atas berubah hitam dan serupa aspal pada saat melewati
saluran cerna, sehingga menghasilkan melena.6,7 Anamnesis yang penting
meliputi adanya nyeri perut; muntah seperti kopi; disfagia; feses
berwarna hitam; hematemesis; dan nyeri dada. Penggunaan obat
sebelumnya harus ditanyakan, terutama penggunaan clopidogrel (Plavix),
warfarin (Coumadin), NSAID, aspirin, selective serotonin reuptake
inhibitor (SSRI), dan kortikosteroid karena obat-obat ini meningkatkan
risiko perdarahan PSCBA.9
Meskipun demikian, 5% pasien dengan perdarahan ulkus
datang dengan hematoskezia, yang menandakan perdarahan berat, biasa
lebih dari 1.000 mL. Pasien yang datang dengan hematoskezia dan
disertai dengan tanda-tanda gangguan hemodinamik, seperti sinkop,
hipotensi postural, takikardia dan syok harus dicurigai menderita
perdarahan saluran cerna bagian atas.6
Tanda dan gejala nonspesifik termasuk nausea, vomitus, nyeri
epigastrik, fenomena vasovagal dan sinkop, serta adanya penyakit
komorbid tersering (misalnya diabetes melitus, penyakit jantung koroner,
stroke, penyakit ginjal kronik dan penyakit arthritis) dan riwayat
penggunaan obat-obatan harus diketahui.6
Penilaian hemodinamik (denyut nadi, tekanan darah), laju
pernafasan, status kesadaran, konjungtiva yang pucat, capillary refill
yang melambat, serta tidak ditemukannya stigmata sirosis hati kronik
merupakan tanda-tanda awal yang harus segera diidentifikasi. Takikardia
pada saat istirahat dan hipotensi ortostatik menunjukkan adanya
kehilangan darah yang cukup banyak. Luaran urin rendah, bibir kering
dan vena leher kolaps juga merupakan tanda yang cukup berguna.
Sebagai catatan, takikardia dapat tidak timbul apabila pasien
mendapatkan terapi dengan penyekat beta, sering digunakan pada pasien
gagal jantung dan sirosis hati.6
Tes laboratorium awal meliputi pengukuran hemoglobin,
hematokrit, nitrogen urea darah, dan kreatinin; trombosit; protrombin dan
partial tromboplastin time; rasio normalisasi internasional; tes fungsi hati;
dan golongan darah. Pasien dengan perdarahan aktif dan koagulopati
harus dipertimbangkan untuk transfusi dengan fresh frozen plasma, dan
pasien dengan perdarahan aktif dan trombositopenia harus
dipertimbangkan untuk dilakukan transfusi dengan platelets.10 Darah
umumnya harus diberikan pada pasien dengan tingkat hemoglobin 7 g per
dL ( 70 g per L) atau kurang; Tingkat hemoglobin harus dipertahankan
pada 9 g per dL (90 g per L).9
Pemeriksaan Penunjuang
Nasogastrik Tube Lavage
Apakah semua pasien dengan kecurigaan PSCBA dianjurkan
dipasang nasogastric lavage tube masih merupakan kontroversi.
Nasogastrik tube lavage memiliki sensitivitas rendah dan kemungkinan
hasil negatif yang lemah sangat tinggi terutama pada perdarahan saluran
cerna atas dengan gejala klinis melena atau hematochezia.11,12 Namun,
hasil yang positif pada nasogastric lavage tube menunjukkan bahwa
perdarahan saluran cerna atas jauh lebih mungkin, dan memprediksi
bahwa pendarahan tersebut disebabkan oleh lesi yang berisiko tinggi.11,12
Nasogastric lavage tube dibutuhkan untuk menghilangkan darah segar
atau bekuan darah dari gaster sebelum dilakukan endoskopi.13
Stratifikasi Risiko
Stratifikasi risiko berdasarkan penilaian klinis dan temuan
endoskopi. Penilaian klinis meliputi usia, adanya shock, tekanan darah
sistolik, denyut jantung, dan kondisi komorbiditas. Mortalitas meningkat
dengan usia yang lebih tua dan dengan meningkatnya jumlah temuan
kondisi komorbid.14 Temuan endoskopi, seperti penyebab perdarahan dan
stigmata perdarahan baru, dapat dikombinasikan dengan faktor-faktor
klinis untuk memprediksi kematian dan risiko perdarahan berulang
dengan menggunakan Rockall Risk Scoring System ( Tabel 1).
Tabel 1. Rockall Risk Scoring System.6
Variabel
Usia
Syok
Score 0
<60
Tidak ada
Score 1
60-79
Nadi>100
kali/menit,
TD normal
Komorbiditas
Tidak ada
-
Diagnosis
endoskopik
Robekan
MalloryWeiss, tidak
ada
lesi,
tidak
ada
stigmata
perdarahan
baru
Ulkus dasar
bersih,
pigmentasi
rata
Ulkus peptic,
esophagitis,
atau penyakit
erosive
Stigmata
endoskopik
atau
perdarahan
baru
-
Score 2
>80
Nadi>100
kali/menit,
TD sistolik
<100 mmHg
Penyakit
jantung
iskemik,
gagal jantung
kongestif,
komorbid
mayor
lainnya
Keganasan
saluran cerna
bagian atas
(SCBA)
Darah dalam
SCBA,
perdarahan
aktif visible
tanpa
perdarahan
atau bekuan
yang
menempel
Score 3
-
Gagal ginjal,
gagal
hati
atau
penyakit
metastatic
-
-
Pemeriksaan endoskopi, tidak hanya mendeteksi ulkus
peptikum, namun juga dapat digunakan untuk mengevaluasi stigmata
yang dikaitkan dengan peningkatan risiko perdarahan ulang (Gambar 1).6
Gambar 1. Stigmata endoskopik perdarahan ulkus peptikum baru. A,
perdarahan aktif menyemprot. B, perdarahan merembes. C,
pembuluh darah visible dengan bekuan sekeliling. D, bekuan
aheren. E, bintik pigmentasi dasar. F, ulkus berdasar bersih. 6
Diferensial Diagnosis
Perdarahan saluran cerna bagian atas dapat diklasifikasikan ke
dalam beberapa kategori berdasarkan faktor anatomi dan faktor
patofisiologi. Dari perspektif patofisiologi, lesi ulseratif dan erosif
(lambung atau duodenum ulkus, esofagitis, dan gastritis) jauh lebih
umum daripada lesi vaskular (varises, angiodisplasia), lesi massa
(adenocarcinoma, polip), atau lesitraumatik (Mallory-Weiss tears) (Tabel
2).15
 Penyebab tersering PSCBA bila diurutkan yaitu:9,15
1. Ulcus gaster atau duodenal
2. Varises esophagus
3. Esofagits erosive atau berat
4. Gastritis/duodenitis erosive atau berat
5. Gastropati hipertensi portal
6. Angiodisplasia
7. Lesi massa (polips atau kanker)
8. Mallory-Weiss syndrome
9. Lesi yang tidak diidentifikasi (10-15%)
 Penyebab lain yang jarang menyebabkan PSCBA: 9,15
1. Dieulafoy's lesion
2. Gastric antral vascular ectasia
3. Hemobilia
4. Hemosuccus pancreaticus
5. Aortoenteric fistula
6. Cameron lesions
7. Ectopic varices
8. Iatrogenic bleeding setelah intervensi endoskopik
Tabel 2. Penyebab perdarahan saluran cerna bagian atas (PSCBA).9
Diagnosis
Cara membedakan
Frekuensi (%)
Pedarahan
ulkus Riwayat penggunaan
62
peptikum
obat-obat aspirin16 atau
NSAID
yang
berhubungan dengan
nyeri perut, nyeri yang
berkurang
setelah
konsumsi
makanan,
riwayat
perdarahan
ulkus
peptikum,
infeksi
helicobacter
pylori
Gastritis dan duodenitis Sama
dengan
8
perdarahan
ulkus
peptikum
Varises esophagus
Riwayat sirosis dan
6
hipertensi portal
Mallory-Weiss tear
Riwayat
muntah4
muntah berulang
Malignansi
Riwayat
penurunan
2
Gastrointestinal
berat badan, merokok,
konsumsi alcohol
Malformasi
Perdarahan tanpa nyeri
10
arteriovenous
pada usia >70 tahun,
riwayat
anemia
defisiensi besi
Esophagitis atau ulkus Heartburn,
esophagus
indigestion,
atau
disfagia
Sumber
tidak 8
teridentifikasi
Penatalaksanaan
Triase
Semua pasien dengan instabilitas hemodinamik (shock,
hipotensi ortostatik) atau perdarahan aktif harus dirawat di unit perawatan
intensif untuk resusitasi dan observasi dengan monitoring tekanan darah,
monitoring elektrokardiogram, dan pulse oximetry.11
General support
Pasien harus menerima oksigen tambahan dengan kanula nasal
dan mendapat asupan makanan melalui mulut. Kateter intravena perifer
ukuran 16 atau kateter vena sentral harus dimasukkan dan penempatan
kateter arteri paru-paru harus dipertimbangkan pada pasien dengan
instabilitas hemodinamik atau yang membutuhkan pemantauan ketat
selama resusitasi.6,11
Resusitasi cairan
Resusitasi yang adekuat dan stabilisasi sangat penting sebelum
endoskopi untuk meminimalkan komplikasi yang terkait pengobatan.17
Pasien dengan perdarahan aktif harus menerima cairan infus (misalnya,
500 mL normal saline atau larutan Ringer laktat lebih dari 30 menit) dan
dilakukan pemeriksaan golongan darah untuk transfusi. Pasien berisiko
kelebihan cairan membutuhkan pemantauan intensif. Bila tekanan darah
gagal merespon upaya resusitasi awal, maka pemberian cairan harus
ditingkatkan.11
Transfusi darah
Keputusan untuk memulai transfusi darah bersifat individual.
Pendekatan untuk memulai transfusi darah jika hemoglobin adalah <7 g /
dL (70 g / L) untuk sebagian besar pasien (termasuk mereka dengan
penyakit arteri koroner stabil) bertujuan menjaga hemoglobin pada
tingkat ≥7 g / dL (70 g / L).13 Namun, pasien dengan perdarahan aktif dan
hipovolemia mungkin memerlukan transfusi darah meskipun hemoglobin
tampaknya normal.6
Hal lain yang sangat penting adalah untuk menghindari
overtransfusion pada pasien yang dicurigai perdarahan varises, karena
dapat memicu memburuknya perdarahan. Transfusi pasien dengan
dugaan perdarahan varises dengan hemoglobin> 10 g / dL (100 g / L)
harus dihindari.11
Pengobatan
Acid suppression - Pasien dirawat di rumah sakit dengan
perdarahan GI atas akut biasanya diobati dengan inhibitor pompa proton
(PPI). Pasien dengan perdarahan GI atas akut dimulai secara empiris pada
intravena (IV) PPI (misalnya, omeprazole 40 mg IV dua kali sehari).11,13
Pemberian PPI sebelum endoskopi dapat digunakan
(Rekomendasi 1B) untuk pasien dengan perdarahan ulkus peptikum
(PUP). Suasana lingkungan asam menyebabkan penghambatan agregasi
trombosit dan koagulasi plasma, juga menyebabkan terjadinya lisis pada
bekuan yang telah terbentuk. Pemberian PPI dapat secara cepat
menetralisasi asam lambung intraluminal, yang menghasilkan stabilisasi
bekuan darah. Pada jangka panjang, terapi antisekretorik juga mendukung
penyembuhan mukosa.6
Waktu endoskopi
Endoskopi telah menjadi alat untuk diagnosis dan tatalaksana
PSCBA yang utama. Tindakan ini memungkinkan untuk dilakukan
identifikasi sumber pendarahan dan terapi pada saat yang sama. Waktu
optimal endoskopi masih dalam perdebatan. Endoskopi darurat
memungkinkan untuk dilakukan hemostasis dini, namun dapat
menyebabkan terjadinya aspirasi darah dan desaturasi oksigen pada
pasien yang belum stabil. Sebagai tambahan, jumlah darah dan bekuan
yang banyak dapat mengganggu terapi target untuk focus pendarahan,
yang dapat menyebabkan dibutuhkannya prosedur endoskopik ulangan.6
Konsensus internasional dan Asia-Pasifik menganjurkan
endoskopi dini dalam waktu 24 jam setelah pasien dirawat, oleh karena
tindakan ini secara signifikan menurunkan lama rawat inap dan
memperbaiki luaran klinis. Endoskopi sangat dini (<12 jam) sampai saat
ini belum menunjukkan keuntungan tambahan dalam hal menurunkan
risiko pendarahan ulangan, pembedahan dan mortalitas bila dibandingkan
dengan waktu 24 jam. Namun demikian, endoskopi darurat harus
dipertimbangkan pada pasien dengan pendarahan berat. Pada pasien
dengan gambaran klinis risiko lebih tinggi (misalnya: takikardi, hipotensi,
muntah darah, atau darah segar pada NGT ) endoskopi dalam 12 jam
kemungkinan dapat meningkatkan luaran klinis.6
DAFTAR PUSTAKA
1. Longstreth G. Epidemiology of hospitalization for acute upper
gastrointestinal hemorrhage: a population-based study. Am J
Gastroenterol. 1995;90:206.
2. Lanas A, Perez-Aisa M, Feu F. A nationwide study of mortality
associated with hospital admission due to severe gastrointestinal
events and those associated with nonsteroidal antiinflammatory drug
use. Am J Gastroenterol2. 2005;100:1685.
3. Boonpongmanee S, Fleischer D, Pezzullo J. The frequency of peptic
ulcer as a cause of upper-GI bleeding is exaggerated. Gastrointest
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
Endosc. 2004;59:788.
Balderas V, Bhore R, Lara L. The hematocrit level in upper
gastrointestinal hemorrhage: safety of endoscopy and outcomes. Am
J Med. 2011;124:970.
Wollenman C, Chason R, Reisch J, Rockey D. Impact of ethnicity in
upper gastrointestinal hemorrhage. J Clin Gastroenterol.
2014;48:343.
Marcellus S, Syam A, Abdullah M, Fauzi A, Renaldi K. Konsensus
Nasional Penatalaksanaan Perdarahan Saluran Cerna Atas Non
Varises di Indonesia. In Jakarta: Perkumpulan Gastroenterology
Indonesia; 2012. p. 11–2.
Adi P. Pengelolaan Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas. In: Ilmu
Penyakit Dalam. 6th ed. Jakarta: PAPDI; 2014. p. 1873–80.
Hauser S, Pardi D, Poterucha J, Mayo Clinic. Mayo Clinic
gastroenterology and hepatology board review. In Mayo Clinic
Scientific Press; 2004.
Wilkins, Thad., Khan, Naiman., Nabh, Akash. RRS. Diagnosis and
management of upper gastrointestinal bleeding. 2011;33:1–26.
Barkun A, Bardou M, Kuipers E. International Consensus Upper
Gastrointestinal Bleeding Conference Group. International
consensus recommendations on the management of patients with
nonvariceal upper gastrointestinal bleeding. Ann Intern Med.
2010;152(2):101–13.
Saltzman J, Feldman M, Travis A. Approach to acute upper
gastrointestinal bleeding in adults. UpToDate Wolters Kluwer. 2016.
p. 1.
Aljebreen A, Fallone C, Barkun A. Nasogastric aspirate predicts
high-risk endoscopic lesions in patients with acute upper-GI
bleeding. Gastrointest Endosc. 2004;59:172.
Gralnek IM, Dumonceau J-M, Kuipers EJ, Lanas A, Sanders DS,
Kurien M, et al. Diagnosis and management of nonvariceal upper
gastrointestinal hemorrhage: European Society of Gastrointestinal
Endoscopy (ESGE) Guideline. Endoscopy. 2015;47:1–46.
Duggan J. Gastrointestinal hemorrhage: should we transfuse less?
Dig Dis Sci. 2009;54:1662.
Rockey C, Feldman M, Traveis A. Causes of upper gastrointestinal
bleeding in adults. UpToDate Wolters Kluwer. 2016. p. 1.
Laine L. Upper Gastrointestinal Bleeding Due to a Peptic Ulcer. N
Engl J Med. 2016;374:23.
Baradarian R, Ramdhaney S, Chapalamadugu R. Early intensive
resuscitation of patients with upper gastrointestinal bleeding
decreases mortality. Am J Gastroenterol. 2004;99:169.
APPROPIATE PAIN MANAGEMENT
Asrul Harsal
Divisi Hematologi Onkologi Medik Departemen Ilmu Peny Dalam , Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta.
Abstrak
Pengobatan Nyeri kanker masih dibawah standar , baik di
negara maju maupun di Indonesia. Penduduk Indonesia yang sangat
banyak pemakaian opioid pertahun hampir sama dengan pemakaian
negara Singapura per tahun, dan ini memberi kesan bahwa pasien nyeri
kanker di Indonesia tidak mendapatkan pengobatan nyeri yang baik.
Banyak hambatan dalam pemakaian opioid antara lain ; dari
pasien/keluarga, petugas kesehatan, pengatur kebijakan termasuk
pemerintah , semua ini berpengaruh terhadap penatalaksanaan nyeri berat
di Indonesia. Hambatan ini harus diatasi secara bersama sama agar pasien
nyeri kanker mendapatkan pengobatan yang optimal. Kesadaran akan
masalah nyeri sudah mulai ada yang terlihat dalam lembaran status pasien
rawat inap, nyeri termasuk 5 pemeriksaan dasar yaitu, tekanan darah ,
nadi , suhu, nafas dan nyeri (biasanya memakai skala VAS ( Visual
analog Scale 1 – 10 )).
Penatalaksanaan nyeri kanker harus multidisiplin yang
melibatkan banyak keahlian sesuai dengan
masalah saat itu.
Penatalaksanaan nyeri kanker terdiri dari 2 bagian : Medikamentosa dan
non medikamentosa. Hampir 90 % nyeri kanker dapat diatasi dengan cara
medikamentosa ( obat - obatan ) .
Penatalaksanaan nyeri kanker membutuhkan waktu yang cukup
untuk mengenal nyeri itu sendiri dengan asesmen yang baik . anamnesis
yang detil akan bisa mendeskripsi nyeri didukung oleh data imaging
,sehingga nyeri akan dikenal dan akan mendapat obat yang tepat dari
awal.
Penatalaksanaan nyeri ringan mungkin tidak ada masalah ,
untuk nyeri sedang dan berat pemakaian opioid kuat sudah harus
digunakan , karena ketidak tahuan , sehingga ketakutan akan opioid
menjadikan obat ini jarang dipergunakan atau hanya dosis kecil saja pada
hal pada pasien kanker stadium lanjut kebutuhan opioid bisa sangat besar.
Obat obat anti nyeri yang tersedia saat ini terbagi kepada 3
golongan , obat untuk nyeri ringan adalah parasetamol, asam mefenamat
dan anti steroid anti inflamasi. Untuk nyeri sedang obat yang dianjurkan
adalah codein atau tramadol dan ada yang sudah memulai dengan opioid
kuat seperti morfin yang dimulai dengan dosis rendah , untuk nyeri berat
dimulai dengan morfin drip dan pasien sebaiknya dirawat di rumah sakit
Pemakaian opioid kuat sebaiknya dengan titrasi agar
toleransinya baik sehingga pasien bisa mendapatkan dosis tinggi tanpa
efek samping . Dosis awal titrasi sangat bervariasi dan biasanya dimulai
dengan dosis rendah dan dinaikkan segera secara bertahap sampai nyeri
hilang.
Obat opioid kuat yang tersedia di Indonesia antara lain :
Morfin injeksi. Morfin oral Immediate tablet , morfin tablet
lepas lambat 12 jam. Hidromorphone tablet lepas lambat 24 jam dan
fentanyl patch / tempel kulit selama 72 jam. Pemakaian opioid harus
terus menerus tidak boleh kalau perlu dan jika tidak nyeri lagi maka
penurunan dosis secara bertahap tidak boleh tiba tiba.
Efek samping yang perlu diperhatikan adalah , obstipasi, mual ,
mengantuk, bradipneu. Diperlukan pencegahan obsstipasi dengan
memberikan laksansia pada saat awal pemberian opioid . Anti dotum
Naloxone harus tersedia pada tempat pelayanan yang memberikan opioid.
Kesimpulan
Penatalaksanaan nyeri kanker yang baik adalah berdasarkan
tingkatan dan jenis nyeri, pemakaian opioid yang tepat dengan efek
samping yang bisa dicegah, pemberian oioid terus menerus dan pasien
kanker bebas nyeri sehingga kualitas hidup pasien menjadi lebih baik
UPDATE MANAGEMENT OF CANCER PAIN
Asrul Harsal
Divisi Hematologi Onkologi Medik Departemen Ilmu Peny Dalam , Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta.
Abstrak
Nyeri Kanker merupakan keluhan yang tidak jarang ditemukan
pada pasien kanker , keluhan ini bisa didapat pada stadium awal dari
seorang penderita kanker dan lebih sering ditemukan pada penderita
kanker stadium lanjut. Pada perawatan paliatif pasien kanker, ditemukan
sekitar 70 % pasien kelompok ini mengeluh nyeri .
Penatalaksanaan nyeri kanker secara umum , berdasarkan
kepada step Ladder WHO yang sudah dipakai sejak 1986 dan sampai saat
ini masih dipakai dan bermanfaat untuk pasien nyeri kanker.
Menurut step Ladder WHO, nyeri kanker dibagi atas 3
kelompok, yaitu Nyeri ringan , nyeri sedang dan nyeri berat. Pembagian
ini menjadi penting sekali karena merupakan pedoman untuk menentukan
tingkatan nyeri dan sekaligus untuk menentukan pemakaian obat yang
diberikan
Nyeri adalah sesuatu yang sangat subjektif , sehingga
diperlukan suatu alat bantu untuk mrnyamakan persepsi . Ada banyak
cara yang bisa dipakai, antara lain : Visual Analog Scale ( VAS ),
Numeric Rating Scale (NRS ) , Brief Inventory Report ( BIP ) dan
lainnya. Semua sistem ini bisa dipakai, akan tetapi yang sering
digunakan adalah VAS.
Penatalaksanaan nyeri kanker memerlukan beberapa tahap yang
saling terkait dan erat sekali hubungannya, yaitu :
1. Asesment / Penilaian.
Asesmen ini merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaan
nyeri kanker.Asesmen meliputi anamnesis yang jelas dan detil,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan imajing yang menunjang
diagnosis kanker . Hasilnya adalah tingkatan nyeri. Selain
tingkatan nyeri juga diperlukan jenis nyeri , yang meliputi, nyeri
visceral, somatik, neuropatik dan nyeri psikogenik . Dan
biasanya nyeri kanker adalah gabungan dari beberapa jenis
tersebut. Sehingga akan dapat diberikan obat nyeri yang sesuai.
2. Pengobatan.
Nyeri ringan dengan nilai VAS 1 – 4 , obat yang dianjurkan
adalah , Parasetamol, asam mefenamat,atau NSAID.
Nyeri sedang : Nyeri sedang adalah nyeri dengan nilai VAS 4 –
6. Pengobatan yang diberikan ada 2 pendapat . Pertama . Opioid
Ringan seperti Codein atau Tramadol .Kedua,Opioid kuat ,
Morfin drip atau oral .
Nyeri Berat : Opioid kuat , dimulai dengan Morfin drip , dititrasi
dengan ketat sampai tercapai dosis yang sesuai , dengan
melakukan asesmen secara berkala.
Selain opioid perlu diperhatikan juga obat ajuvan yang akan
membantu manfaat obat nyeri yang dipakai antara lain
,kortikosteroid, Gabapentin/ pregabalin, amitriptiline dan
bisfosfonat yang bermanfaat pada nyeri tulang.
3. Reasesmen dan evaluasi.
Penilaian kembali dilakukan secara ketat pada nyeri berat,antara
15 menit sampai 60 menit sampai nyeri hilang . Evaluasi
dilakukan setelah nyeri terkontrol dengan baik, apakah dosis
morfin masih perlu diteruskan atau bisa diturunkan , adakalanya
dosis perlu dinaikkan , tergantung kondisi pasien saat itu.
Kesimpulan.
Nyeri kanker merupakan masalah besar pada pasien kanker
stadium lanjut, nyeri kanker bisa diatasi dengan baik dengan target bebas
nyeri, Obat opioid merupakan anti nyeri kanker yang harus digunakan
pada nyeri berat agar pasien bebas nyeri. Obat ajuvan diperlukan untuk
mendukung obat anti nyeri .
Workshop
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA TERKINI
NODUL TIROID
Hendra Zufry
Divisi Endokrinologi, Metabolik & Diabetes- Pusat Pelayanan Tiroid Terpadu
Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Syiah
Kuala/RSUD.Dr.Zainoel Abidin Banda Aceh.
I.
Pendahuluan
Menurut American Thyroid Association, nodul tiroid mengacu
pada semua pertumbuhan abnormal pada sel-sel tiroid menjadi kumpulan
massa (benjolan) di dalam kelenjar tiroid. Walaupun sebagian besar
nodul tiroid bersifat jinak (nonkanker), namun terdapat kemungkinan
sebagian nodul tiroid merupakan keganasan pada tiroid. Oleh karena itu,
evaluasi nodul tiroid dilakukan untuk menemukan kasus keganasan pada
tiroid. 1
Penyakit nodul tiroid umum ditemukan di masyarakat. Risiko
untuk mengalami nodul tiroid diperkirakan sebesar 5-50% bergantung
pada sensitivitas metode yang digunakan dan populasi yang diteliti.
Nodul tiroid lebih sering ditemukan pada wanita dibandingkan pria.
Walaupun secara umum sering ditemukan, namun keganasan kelenjar
tiroid hanya sebesar 0.004% dari populasi setiap tahun atau sebanyak
12.000 kasus baru pertahun. Prevalensi nodul tiroid meningkat secara
linier dengan penambahan usia, pajanan sinar radiasi pengion, dan
defisiensi iodium. Prevalensi ini dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin,
riwayat radiasi sinar pengion yang pernah diterima pasien, serta riwayat
keganasan tiroid pada keluarga. Anak-anak di bawah usia 20 tahun
dengan nodul tiroid dingin mempunyai risiko keganasan dua kali lipat
dibandingkan usia dewasa. Kelompok usia di atas 60 tahun selain
memiliki prevalensi keganasan lebih tinggi, juga mempunyai tingkat
agresivitas penyakit yang lebih berat. 2
Etiologi dan Patofisiologi1,2
Nodul tiroid sebagian besar disebabkan oleh neoplasma jinak
(non-kanker), selain itu 1% nodul tiroid disebabkan kanker tiroid. Jenis
tersering dari nodul tiroid non-kanker adalah nodul koloid dan neoplasma
follikuler. Nodul yang memproduksi hormon tiroid melebihi kebutuhan
tubuh disebut autonomous nodule, hal ini akan bermanifestasi menjadi
keadaan hipertiroidisme. Sedangkan jika nodul terisi cairan atau darah
disebut sebagai kista tiroid.
Gangguan pada jalur TRH-TSH hormon tiroid ini menyebabkan
perubahan dalam struktur dan fungsi kelenjar tiroid gondok. Jika suatu
kelompok kecil sel tiroid, sel inflamasi, atau sel maligna metastase ke
II.
kelenjar tiroid, akan menyebabkan nodul tiroid (Mulinda, 2005)
Defisiensi dalam sintesis atau uptake hormon tiroid akan menyebabkan
peningkatan produksi TSH. Peningkatan TSH menyebabkan peningkatan
jumlah dan hiperplasi sel kelenjar tyroid untuk menormalisir level
hormon tiroid. Jika proses ini terus menerus, akan terbentuk hipertrofi
kelenjar tiroid (struma). Penyebab defisiensi hormon tiroid termasuk
inborn error sintesis hormon tiroid, defisiensi iodida dan goitrogen .
III.
Diagnosis Nodul tiroid
Diagnosis klinis nodul tiroid ditentukan dari anamnesa,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang
bertujuan untuk memberi keterangan tambahan atau menentukan tindakan
definitif. Pemeriksaan penunjang untuk nodul tiroid diantaranya dengan
pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan USG, pemeriksaan scanning
tiroid /sidik tiroid. Pemeriksaan FNAB (Fine Needle Aspiration Biopsy),
dan pemeriksaan histopatologi dengan parafin coupe atau potong beku .
2. Anamnesa dan pemeriksaan Fisik
Anamnesis sangatlah pentinglah untuk mengetahui patogenesis
atau macam kelainan dari nodul tiroid. Perlu ditanyakan apakah penderita
dari daerah endemis dan banyak tetangga yang sakit seperti penderita.
Apakah sebelumnya penderita pernah mengalami sakit leher bagian
depan bawah disertai peningkatan suhu tubuh (tiroiditis kronis). Apakah
ada yang meninggal akibat penyakit yang sama dengan penderita
(karsinoma tiroid tipe meduler) . Pada status lokalis pemeriksaan fisik
perlu dinilai :2
1. jumlah nodul, diffusa atau terlokalisasi
2. Permukaan nodul rata atau noduler
3. konsistensi lunak atau padat
4. Mobilisasi, dapat digerakkan atau terfiksasi
5. nyeri pada penekanan : ada atau tidak
6. pembesaran gelenjar getah bening
2. Pemeriksaan Penunjang
2.1. Evaluasi Laboratorium
Pemeriksaan TSH sebaiknya dilakukan pada pasien dengan
gejala hipotiroidisme atau tirotoksikosis (gambar 4). Jika kadar TSH
dalam batas normal, maka aspirasi nodul dapat dipertimbangkan. Jika
level TSH rendah, maka diagnosis mengarah ke hipertiroidisme.
Sedangkan jika level TSH meningkat, maka dapat ditegakkan suatu
diagnosis hipotiroidisme. Kadar kalsitonin diperiksa pada pasien dengan
riwayat karsinoma tiroid dalam keluarga. Tes fungsi tiroid sebaiknya
tidak digunakan untuk membedakan nodul tiroid jinak dan ganas. T4,
antibodi antitiroid peroksidase dan pemeriksaan tiroglobulin kurang
bermakna dalam menentukan apakah nodul tiroid bersifat jinak atau
ganas, tetapi pemeriksaan ini dapat membantu diagnosis penyakit Graves
atau tiroiditis Hashimoto.
2.2. Pemeriksaan Sidik Tiroid.3
Hasil pemeriksaan dengan radioisotop adalah teraan ukuran,
bentuk lokasi, dan yang utama ialah fungsi bagian-bagian tiroid. Pada
pemeriksaan ini pasien diberi Nal peroral dan setelah 24 jam secara
fotografik ditentukan konsentrasi yodium radioaktif yang ditangkap oleh
tiroid. Dari hasil sidik tiroid dibedakan 3 bentuk :
·Nodul dingin bila penangkapan yodium nihil atau kurang dibandingkan
sekitarnya.
· Nodul panas bila penangkapan yodium lebih banyak dari pada
sekitarnya. Keadaan ini memperlihatkan aktivitas yang berlebih.
·Nodul hangat bila penangkapan yodium sama dengan sekitarnya. Ini
berarti fungsi nodul sama dengan bagian tiroid yang lain.
2.3. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG).3
Pemeriksaan ini dapat membedakan antara padat, cair, dan
beberapa bentuk kelainan, tetapi belum dapat membedakan dengan pasti
ganas atau jinak. Kelainan kelainan yang dapat didiagnosis dengan USG :
·Kista
·Adenoma
·Kemungkinan karsinoma
·Tiroiditis
2.4. Biopsi Aspirasi Jarum Halus (Fine Needle Aspiration/FNA)4
Mempergunakan jarum suntik no. 22-27. Pada kista dapat juga
dihisap cairan secukupnya, sehingga dapat mengecilkan nodul .
Dilakukan khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan.
Biopsi aspirasi jarum halus tidak nyeri, hampir tidak menyababkan
bahaya penyebaran selsel ganas. Kerugian pemeriksaan ini dapat
memberika hasil negatif palsu karena lokasi biopsi kurang tepat, teknik
biopsi kurang benar, pembuatan preparat yang kurang baik atau positif
palsu karena salah interpretasi oleh ahli sitologi.
2.5. Termografi
Metode pemeriksaan berdasarkan pengukuran suhu kulit pada
suatu tempat dengan memakai Dynamic Telethermography. Pemeriksaan
ini dilakukan khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan.
Hasilnya disebut panas apabila perbedaan panas dengan sekitarnya > 0,9o
C dan dingin apabila <>o C. Pada penelitian Alves didapatkan bahwa
pada yang ganas semua hasilnya panas. Pemeriksaan ini paling sensitif
dan spesifik bila dibanding dengan pemeriksaan lain.
2.6. Petanda Tumor
Pada pemeriksaan ini yang diukur adalah peninggian
tiroglobulin (Tg) serum. Kadar Tg serum normal antara 1,5-3,0 ng/ml,
pada kelainan jinak rataa-rata 323 ng/ml, dan pada keganasan rata-rata
424 ng/ml.
2.7. Acoustic Radiation Force Impulse Imaging (ARFI)5
RFI memiliki sensitivitas tinggi dan spesifisitas untuk
identifikasi tiroid. Teknik ini mungkin berguna untuk memilih pasien
dengan nodul tiroid untuk operasi.
2.8. Qualitative Elastography6
Elastography memiliki spesifisitas dan sensitivitas untuk akurasi
diagnostik. Kekuatan utamanya dapat mendeteksi benignity, terutama
pada
soft
nodul
jinak.
sehingga hal ini dapat mencegah prosedur diagnostik invasif yang tidak
diperlukan pasien.
2.9. Shear Wave Elastography (SWE)7
parameter kuantitatif SWE adalah prediktor independen
darievaluasi keganasan tiroid untuk memprediksi keganasan tiroid.
2.10. Combination of FNA and Core Biopsy (CFNACB)8
Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien yang tidak terdiagnosa
dengan fine needle aspirasi . CFNACB lebih superior dibandingkan
dengan CB atau FNA saja. CFNACB dapat menjadi acuan yang kuat
sebagai alternatif untuk melakukan tindakan bedah yang tidak bisa di
diagnosa melalui FNAs.
IV.
Tatalaksana Nodul Tiroid 1,9
4.1. Terapi Medikamentosa dan Bedah pada Pasien Nodul Tiroid Jinak
Rekomendasi terapi rutin supresi TSH untuk nodul tiroid jinak
pada populasi yang cukup yodium tidak dianjurkan. Rekomendasi pasien
individu dengan nodul jinak, padat, atau nodul sebagian besar padat
nodul harus mengkonsumsi asupan yodium yang adekuat. Jika tidak
adekuat asupan yodiumnya maka dianjurkan pemberian suplemen harian
150 lg iodine.(Strong recommendation, Moderate-quality evidence).
Rekomendasi tindakan bedah dipertimbangkan pada nodul yang
jinak setelah FNA berulang dengan ukuran> 4 cm, menyebabkan gejala
penekanan pada struktural simptomp, atau berdasarkan pada kondisis
klinis. (Weak recommendation, Low-quality evidence). Pasien dengan
nodul yang jinak setelah FNA harus secara teratur dipantau. kebanyakan
asimtomatik nodul menunjukkan pertumbuhan moderat harus diikuti
tanpa intervensi. (Strong recommendation, Low-quality evidence).
Rekuren nodul tiroid kistik dengan sitologi jinak harus
dipertimbangkan untuk operasi pengangkatan atau percutaneous ethanol
injection (PEI) berdasarkan gejala tekan dan kepentingan kosmetik. nodul
kistik asimtomatik mungkin diikuti konservatif. (Weak recommendation,
Low-quality evidence). Tidak ada data yang merekomendasikan pada
penggunaan terapi hormon tiroid pada pasien dengan nodul yang jinak
berdasarkan hasil sitologi sitologi. (No recommendation, Insufficient
evidence)
4.2. Tindakan Ablasi pada Nodul Tiroid.
Rekomendasi US-Guided mengenai tindakan ablasi nodul tiroid
adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengurangi volume nodul tiroid jinak, chemical (etanol) atau
termal (laser dan frekuensi radio) ablasi merupakan modalitas yang
dapat dipertimbangkan,
2. Recurrent nodul tiroid cystic setelah aspirasi sederhana dapat diobati
dengan ablasi etanol, tergantung pada compresiv simptom dan
kepentingan kosmetik,
3. Ablasi termal (frekuensi radio atau laser) menunjukkan efikasi dan
keamanan yang tinggi dalam pengobatan nodul tiroid padat yang
jinak, dan mungkin dianggap sebagai alternatif yang valid untuk
operasi.
4.3. Inisial Managemen Guidline : DIFFERENTIATED THYROID
CANCER
Tujuan dasar dari terapi awal pasien dengan DTC adalah
untuk meningkatkan kelangsungan hidup secara keseluruhan dan
penyakit-spesifik, mengurangi risiko persisten / penyakit berulang dan
morbiditas terkait, stratifikasi risiko, meminimalkan morbiditas terkait
pengobatan dan tidak perlu terapi. Tujuan spesifik dari terapi awal
adalah:
1. Mengangkat tumor primer
2. Minimalkan risiko kekambuhan penyakit dan metastasis.
Operasi yang memadai adalah pengobatan yang paling penting
variabel yang mempengaruhi prognosis, sedangkan pengobatan
RAI, penekanan TSH, dan perawatan lainnya masing-masing
bermain peran tambahan pada setidaknya beberapa pasien .
3. Memfasilitasi perawatan pasca operasi dengan RAI yang sesuai.
4. Penetapan staging yang akurat dan stratifikasi risiko penyakit.
5. Pengawasan jangka panjang untuk kekambuhan penyakit.
6. Minimalkan morbiditas terkait pengobatan. Luasnya operasi dan
pengalaman dokter bedah kedua bermain peran penting dalam
menentukan risiko komplikasi bedah.
DAFTAR PUSTAKA
1. American Thyroid Association Management Guidelines for
Adult Patients with Thyroid Nodules and Differentiated Thyroid
Cancer 2015 Volume 26, Number 1, 2016.
2. Ashor R. Shaha,MD. Diagnosis and work-up of thyroid nodules.
2003.
3. Jung Hee Shin, MD1, Jung Hwan Baek, MD2, Jin Chung.
Ultrasonography Diagnosis and Imaging-Based Management of
Thyroid Nodules: Revised Korean Society of Thyroid Radiology
Consensus Statement and Recommendations Korean J Radiol
2016;17(3):370-395.
4. Young Hen Lee, MD1, Jung Hwan Baek, MD2, So Lyung Jung,
MD3, Jin Young Kwak, MD4, Ji-hoon Kim, MD5, Jung Hee
Shin, MD6. Ultrasound-Guided Fine Needle Aspiration of
Thyroid Nodules: A Consensus Statement by the Korean Society
of Thyroid Radiology, Korean J Radiol 2015;16(2):391-401.
5. Jia Zhan, Jia-Mei Jin, Xue-Hong Diao, Yue Chen, Acoustic
radiation force impulse imaging (ARFI) for differentiation
ofbenign and malignant thyroid nodules—A meta-analysis,2015.
6. Sjoerd Nell, Jakob W. Kist , Thomas P.A. Debray, Bart de
Keizer, Timotheus J. van Oostenbruggea, Inne H.M. Borel
Rinkesa, Gerlof D. Valkd, Menno R. Vriens, Qualitative
elastography can replace thyroid nodule fine-needle aspiration in
patients with soft thyroid nodules. A systematic review and metaanalysis, 2015.
7. Ah Young Parka, Eun Ju Sona, Kyunghwa Hanb, Ji Hyun
Youka,Jeong-Ah Kima, Cheong Soo Park, Shear wave
elastography of thyroid nodules for the prediction ofmalignancy
in a large scale study, 2014.
8. Anthony E. Samir,Abhinav Vij, Melanie K. Seale, Gaurav Desai,
Elkan Halpern, William C. Faquin, Sareh Parangi, Peter F. Hahn,
and Gilbert H. Daniels,Ultrasound-Guided Percutaneous Thyroid
Nodule Core Biopsy: Clinical Utility in Patients with Prior
Nondiagnostic Fine-Needle Aspirate, Volume 22, Number 5,
2012.
9. Jung Hee Shin, MD1, Jung Hwan Baek, MD2, Jin Chung, MD3,
Eun Ju Ha, MD4, Ji-hoon Kim, MD5, Young Hen Lee,et al ,
Ultrasonography Diagnosis and Imaging-Based Management of
Thyroid Nodules: Revised Korean Society of Thyroid Radiology
Consensus Statement and Recommendations, Korean J Radiol
2016;17(3):370-395.
PENDEKATAN DIAGNOSIT KRISIS HIPERTENSI
Abdullah
Divisi Ginjal dan Hipertensi Bagian/ SMF Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala /
RSUD. dr. Zainoel Abidin Banda Aceh
Pendahuluan
Hipertensi krisis merupakan salah satu kegawatan dibidang
neurovaskular yang sering dijumpai di instalasi gawat darurat.
Hipertensi krisis ditandai dengan peningkatan tekanan darah akut dan
sering berhubungan dengan gejala sistemik yang merupakan
konsekuensi dari peningkatan darah tersebut. Ini merupakan
komplikasi yang sering dari penderita dengan hipertensi dan
membutuhkan penanganan segera untuk mencegah komplikasi yang
mengancam jiwa.
Duapuluh persen pasien hipertensi yang datang ke UGD
adalah
pasien
hipertensi krisis. Data di Amerika Serikat
menunjukkan peningkatan prevalensi hipertensi dari 6,7% pada
penduduk berusia 20-39 tahun, menjadi 65% pada penduduk berusia
diatas 60 tahun. Data ini dari total penduduk 30% diantaranya
menderita hipertensi dan hampir 1%-2% akan berlanjut menjadi
hipertensi krisis disertai kerusakan organ target. Sebagian besar
pasien dengan stroke perdarahan mengalami hipertensi krisis.
Pada JNC 7 tidak menyertakan hipertensi krisis ke dalam tiga
stadium klasifikasi hipertensi, namun hipertensi krisis dikategorikan
dalam pembahasan hipertensi sebagai keadaan khusus yang
memerlukan tatalaksana yang lebih agresif.
Tabel 1. Klasifikasi tekanan darah menurut JNC-7
Klasifikasi Tekanan Darah
Normal
Prehipertensi
Hipertensi stadium 1
Hipertensi stadium 2
Sistolik (mmHg)
Diastolik (mmHg)
< 120
120-139
140-159
≥ 160
dan < 80
atau 80-89
atau 90-99
atau ≥ 100
Definisi
Terdapat perbedaan dari beberapa sumber mengenai definisi
peningkatan darah akut. Definisi yang paing sering dipakai adalah:
1. Hipertensi emergensi (darurat)
Peningkatan tekanan darah sistolik >180 mmHg atau
diastolik > 120 mmHg secara mendadak disertai kerusakan organ
target. Hipertensi emergensi harus ditanggulangi sesegera mungkin
dalam satu jam dengan memberikan obat-obatan anti hipertensi
intravena.
2. Hipertensi urgensi (mendesak)
Peningkatan tekanan darah seperti pada hipertensi
emergensi namun tanpa disertai kerusakan organ target. Pada
keadaan ini tekanan darah harus segera diturunkan dalam 24 jam
dengan memberikan obat-obatan anti hipertensi oral.
Dikenal beberapa istilah yang berkaitan dengan hipertensi
krisis antara lain:
1. Hipertensi refrakter
Respon pengobatan yang tidak memuaskan dan tekanan darah >
200/110 mmHg, walaupun telah diberikan pengobatan yang efektif
(triple drug) pada penderita dan kepatuhan pasien.
2. Hipertensi akselerasi
Peningkatan tekanan darah diastolik > 120 mmHg disertai dengan
kelainan funduskopi. Bila tidak diobati dapat berlanjut ke fase
maligna.
3. Hipertensi maligna
Penderita hipertensi akselerasi dengan tekanan darah diastolik >
120-130 mmHg dan kelainan funduskopi disertai papil edema,
peninggian tekanan intrakranial, kerusakan yang cepat dari vaskular,
gagal ginjal akut, ataupun kematian bila penderita tidak
mendapatkan pengobatan. Hipertensi maligna biasanya pada
penderita dengan riwayat hipertensi esensial ataupun sekunder dan
jarang pada penderita yang sebelumnya mempunyai tekanan darah
normal.
4. Hipertensi ensefalopati
Kenaikan tekanan darah dengan tiba-tiba disertai dengan keluhan
sakit kepala yang hebat, penurunan kesadaran dan keadaan ini dapat
menjadi reversibel bila tekanan darah tersebut diturunkan.
Etiologi dan Patofisiologi
Faktor penyebab hipertensi intinya terdapat perubahan
vascular, berupa disfungsi endotel, remodeling, dan arterial striffness.
Namun faktor penyebab hipertensi emergensi dan hipertensi urgensi
masih belum dipahami. Diduga karena terjadinya
peningkatan
tekanan darah secara cepat disertai peningkatan resistensi vaskular.
Peningkatan tekanan darah yang mendadak ini akan menyebabkan
jejas endotel dan nekrosis fibrinoid arteriol sehingga membuat kerusakan
vaskular, deposisi platelet, fibrin dan kerusakan fungsi autoregulasi.
Tabel 2.Penyebab hipertensi emergensi
Essential Hypertension
Penyakit Ginjal
Penyakit parenkim Ginjal
Pielonefritis kronik
Glomerulonefritis
Vaskular/kelainan pada glomerulus
Sistemeik lupus eritematosus
Sistemik sclerosis
Vaskulitis ginjal (makroskopik poliarteritis nodusa, Wegener‘s
granulomatosis)
Nefritis tubulointersisial
Penyakit vascular pada ginja;
Stenosis arteri ginjal
Fibromuskular displasis
Penyakit Arteriosklerosis renovaskular
Makroskopik poliarteritis nodusa
Obat-obatan
Abrupt withdrawal of a centrally acting α2-adrenergic agonist (clonidine
methyldopa)
Phencyclidine, cocacine or other sympathomimetic drug intoxication
Interaction with monoamine oxidase inhibitors
Kehamilan
Eklamsi/pre-eklamsi berat
Endokrin
Pheochromocytoma
Primary aldosteronisme
Glucocorticoid excess
Renin-secreting tumors
Kelainan Sistem Syaraf Pusat
CVA infarction/haemorrhage
Cedera kepala
Gambar 1. Patofisiologi hipertensi emergensi.
Mekanisme Autoregulasi
Autoregulasi merupakan penyesuaian fisiologis organ tubuh
terhadap kebutuhan dan pasokan darah dengan mengadakan
perubahan pada resistensi terhadap aliran darah dengan berbagai
tingkatan perubahan kontraksi/dilatasi pembuluh darah. Bila tekanan
darah turun maka akan terjadi vasodilatasi dan jika tekanan darah naik
akan terjadi vasokonstriksi. Pada individu normotensi, aliran darah
otak masih tetap pada fluktuasi Mean Atrial Pressure (MAP) 60-70
mmHg. Bila MAP turun di bawah batas autoregulasi, maka otak akan
mengeluarkan oksigen lebih banyak dari darah untuk kompensasi
dari aliran darah yang menurun. Bila mekanisme ini gagal, maka
akan terjadi iskemia otak dengan manifestasi klinik seperti mual,
menguap, pingsan dan sinkop.
Pada penderita hipertensi kronis, penyakit serebrovaskuar dan
usia tua, batas ambang autoregulasi ini akan berubah dan bergeser
ke kanan pada kurva,sehingga pengurangan aliran darah dapat
terjadi pada tekanan darah yang lebih tinggi (lihat gambar 2).
Gambar 2. Kurva autoregulasi tekanan darah.
Pada penelitian Stragard, dilakukan pemgukuran MAP pada
penderita hipertensi dengan yang nor- motensi. Didapatkan
penderita hipertensi dengan pengobatan mempunyai nilai diantara
grup normotensi dan hipertensi tanpa pengobatan. Orang dengan
hipertensi terkontrol cenderung meng- geser autoregulasi ke arah
normal.
Dari penelitian didapatkan bahwa
baik orang
yang
normotensi maupun hipertensi, diperkirakan bahwa batas terendah
dari autoregulasi otak adalah kira-kira 25% di bawah resting MAP. Oleh
karena itu dalam pengobatan hipertensi krisis, penurunan MAP
sebanyak 20%-25% dalam beberapa menit atau jam,tergantung dari
apakah emergensi atau urgensi. Penurunan tekanan darah pada
penderita diseksi aorta akut ataupun edema paru akibat payah
jantung kiri dilakukan dalam tempo 15-30 menit dan bisa lebih cepat
lagi dibandingkan hipertensi emergensi lainya. Penderita hipertensi
ensefalopati, penurunan tekanan darah 25% dalam 2-3 jam. Untuk
pasien dengan infark serebri akut atau- pun perdarahan intrakranial,
penurunan tekanan darah dilakukan lebih lambat (6-12 jam) dan
harus dijaga agar tekanan darah tidak lebih rendah dari 170-180/100
mmHg.
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis hipertensi krisis berhubungan dengan
kerusakan organ target yang ada. Tanda dan gejala hipertensi krisis
berbeda-beda setiap pasien. Pada pasien dengan hipertensi krisis
de- ngan perdarahan intrakranial akan dijumpai keluhan sakit kepala,
penurunan tingkat kesadaran dan tanda neurologi fokal berupa
hemiparesis atau paresis nervus cranialis. Pada hipertensi ensefalopati
didapatkan penurunan kesadaran dan atau defisit neurologi fokal.
Pada pemeriksaan fisik pasien bisa saja ditemukan retinopati
dengan perubahan arteriola, perdara- han dan eksudasi maupun
papiledema. Pada sebagian pasien yang lain manifestasi
kardiovaskular bisa saja muncul lebih dominan seperti; angina, akut
miokardial infark atau gagal jantung kiri akut. Dan beberapa pasien
yang lain gagal ginjal akut dengan oligouria dan atau hematuria
bisa saja terjadi.
Gambar 3. Papiledema. Perhatikan adanya pembengkakan dari optik disc dengan
margin kabur.
Tabel 3. Hipertensi emergensi (darurat)
Hipertensi berat dengan tekanan darah > 180/120 mmHg disertai dengan satu
atau lebih kondisi akut berikut :
1. Perdarahan intra kranial atau perdarahan subarakhnoid
2. Hipertensi ensefalopati
3. Diseksi aorta akut
4. Edema paru akut
5. Eklampsia
6. Feokromositoma
7. Funduskopi KW III atau IV
8. Insuffisiensi ginjal akut
9. Infark miokard akut
10. Sindrom kelebihan katekolamin yang lain : sindrom withdrawal atau
obat ant ihipertensi
Hipertensi Urgensi (mendesak).
Hipertensi berat dengan tekanan darah > 180/120 mmHg, tetapi
dengan minimal atau tanpa kerusakan organ sasaran dan tidak
dijumpai keadaan pada tabel 3. :
1. Funduskopi KW 1 atau KW 2
2. Hipertensi post operasi
3. Hipertensi tak terkontrol/tanpa diobati pada perioperatif
Pendekatan Diagnosis
Kemampuan dalam mendiagnosis hipertensi emergensi dan
urgensi harus dapat dilakukan dengan cepat dan tepat sehingga
dapat mengurangi angka
morbiditas dan mortalitas
pasien.
Anamnesis tentang riwayat penyakit hipertensinya, obat-obatan anti
hipertensi yang rutin diminum, kepatuhan minum obat, riwayat
konsumsi kokain, amphetamine dan phencyclidine. Riwayat penyakit
yang menyertai dan penyakit kardiovaskular atau ginjal penting
dievaluasi. Tanda-tanda defisit neurologik harus diperiksa seperti
sakit kepala,penurunan kesadaran, hemiparesis dan kejang.
Gambar 4. Alur Pendekatan Diagnosis pada Pasien Hipertensi.
Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan seperti hitung
jenis, elektrolit, kreatinin dan urinalisa. Foto thorax, E K G d a n C T s c a n kepala sangat penting diperiksa untuk pasien-pasien dengan
sesak nafas, nyeri dada atau perubahan status neurologis. Pada
keadaan gagal jantung kiri dan hipertrofi ventrikel kiri pemeriksaan
ekokardiografi
perlu
dilakukan. Berikut adalah
bagan alur
pendekatan diagnostik pada pasien hipertensi:
Kesimpulan
Hipertensi krisis merupakan salah satu kegawatan di bidang
neuro-cardiovaskular yang sering dijumpai di instalasi gawat darurat.
Hipertensi krisis terdiri dari hipertensi emergensi dan hipertensi urgensi.
Keduanya harus ditangani dengan tepat dan segera sehingga
prognosisnya terhadap organ target (otak, ginjal dan jantung) dan
sistemik dapat ditanggulangi.
Daftar Pustaka
1. Rampengan SH. Krisis Hipertensi. Hipertensi Emergensi dan
Hipertensi- Urgensi. BIKBiomed. 2007. Vol.3, No.4 :163-8.
2. Saguner AM, Dur S, Perrig M, Schiemann U, Stuck AE, et al. Risk
Factors Promoting Hypertensive Crises: Evidence From a
LongitudinalStudy. Am J Hypertensi. 2010. 23:775-780.
3. Kaplan NM. Primary hypertension. In: Clinical Hypertension. 9 ed.
Lippincott Williams &Wilkins; 2006: 50-104.
4. Varon J, Marik PE. Clinical Review: The Management of
Hypertensive crises. Critical CareJournals. 2003.
5. Immink RV, Born BH, Montfrans GA, Koopmans RP, Karemaker JM,
et al. ImpairedCerebral Autoregulation in Pasient with Malignant
Hypertension. Journal of the AmericanHeart Association. 2004.
110:2241-2245.
6. Thomas L. Managing Hypertensive Emergency in the ED. Can
FamPhysician. 2011.57:1137-41.
7. Manning L, Robinson T.G, and Anderson C.S. Control of Blood
Pressure in Hypertensive Neurological Emergencies.Curr Hypertens
Rep .2014. 16:436.
8. Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, et al. The Seventh Report of
the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation,
and Treatment of High Blood Pressure: the JNC 7 report. JAMA;
2003;289: 2560–72.
Makalah Bebas
PROBLEM DIAGNOSTIK ASITES PADA CA COLON
Arie Setyawan*, Azzaki Abubakar**, Fauzi Yusuf**
*PPDS Ilmu Penyakit Dalam
**Divisi Gastro Entero Hepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala
Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh
Abstrak
Pendahuluan
Asites merupakan akumulasi patologis dari cairan dalam cavum
peritoneal dan tanda suatu prognosis yang kurang baik pada beberapa penyakit.
Asites juga menyebabkan pengelolaan penyakit dasarnya menjadi semakin
kompleks. Infeksi pada cairan asites akan lebih memperberat perjalanan penyakit
dasarnya. Asites dapat disebabkan oleh beberapa kejadian diantaranya
malignansi, penyakit hati kronis dengan hipertensi portal, gagal ginjal kongestif
dan tuberkulosis. Salah satu penyebab asites tersering non sirotik dapat
disebabkan oleh karsinoma.
Kasus
Seorang perempuan 69 tahun dengan problem diagnostik awal asites.
Pasien datang dengan keluhan perut membesar sejak 1 bulan terakhir.
Pemeriksaan USG didapatkan Asites non sirotik, dari hasil kolonoskopi tampak
massa di caecum curiga carsinoma caecum dan polip caecum. Hasil CT-Scan
Abdomen tampak Asites dengan multiple lesi hypodens dilobus kanan hepar dan
efusi pleura bilateral. Hasil patologi anatomi post laparotomi eksplorasi adalah
mucoid adenocarcinoma colon dengan metastase ovarium.
Diskusi
Asites merupakan akumulasi patologis dari cairan dalam cavum
peritoneal. Asites dapat disebabkan oleh beberapa kejadian diantaranya
malignansi, salah satu penyebab asites tersering non cirotik dapat disebabkan
oleh karsinoma. Pemeriksaan USG didapatkan Asites non sirotik, dari hasil
kolonoskopi tampak massa di caecum curiga carsinoma caecum dan polip
caecum. Hasil CT-Scan Abdomen tampak Asites dengan multiple lesi hypodens
dilobus kanan hepar dan efusi pleura bilateral. Pasien dilakukan tindakan operasi
laparotomi eksplorasi dengan diagnosa atas indikasi Tumor caecum et
hemorrhoid externa. Hasil biopsi patologi anatomi adalah mucoid
adenocarcinoma colon dengan metastase ovarium.
Kesimpulan
Kasus ini dibawakan karena keberhasilan diagnostik
dalam
menegakkan diagnosa pasti terhadap pasien, sebelum pasien meninggal dengan
permasalahan ketidaksesuaian klinis dengan hasil pemeriksaan penunjang, serta
menentukan tindak lanjut penatalaksanaan dan pilihan regimen kemoterapi
terhadap pasien.
Keywords : Asites, Adenocarcinoma Colon, Kemoterapi
KISTA DUKTUS KOLEDOKUS PADA DEWASA MUDA
Chairunnisa*, M.Fuad**
*PPDS Ilmu Penyakit Dalam
* Bagian/ SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Syiah
Kuala / RSUD dr.Zainoel Abidin Banda Aceh
Abstrak
Pendahuluan
Kista duktus koledokus adalah dilatasi kistik dari saluran empedu baik
intrahepatik maupun ekstrahepatik. Adanya dilatasi yang mengganggu aliran
empedu ekstrahepatik, aliran empedu intrahepatik, maupun keduanya nantinya
akan menyebabkan obstruksi saluran empedu dan bahkan duodenum. Dilatasi
paling sering terjadi pada duktus koledokus (common bile duct), tapi dilatasi
saluran empedu intra hepatik saja atau berkombinasi dengan abnormalitas
saluran ekstrahepatik juga mulai banyak ditemukan.
Kasus
Pasien seorang wanita umur 24 tahun datang dengan keluhan kuning
seluruh badan yang dialami sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Kuning
kedua mata dan kemudian seluruh tubuh. Pada pemeriksaan fisik didapati
conjungtiva palpebra inferior pucat, sklera ikterik, massa di epigastrium,
konsistensi keras, permukaan rata dan tepi tumpul, lien tidak teraba. Terapi
drainase kista duktus koledokus.
Diskusi
Kista duktus koledokus adalah dilatasi kistik dari saluran empedu baik
intrahepatik maupun ekstra hepatik. Kista koledokus dijumpai nyeri pada regio
hipokondrium kanan atas. Komplikasi kolelitiasis, hipertensi portal dan biliary
ascites. Prognosis setelah eksisi kista adalah baik.
Kesimpulan
Telah dilaporkan seorang wanita muda usia 24 tahun, dengan keluhan
utama nyeri perut bagian atas kanan sejak 2 bulan SMRS dan didiagnosa
menderita kista duktus koledokus. Pada pemeriksaan fisik didapati conjungtiva
anemis, ikterik, abdomen dilakukan pemeriksaan hepar dan lien tidak teraba,
penderita di rawat di bagian Penyakit Dalam rawat bersama dengan divisi
gastroenterologi. Hasil CT-Scan adalah suspect kista di ductus koledokus dan
intrahepatik dengan disertai obstruktif system bilier intrahepatik.
Hasil
Ultrasonografi dijumpai kista duktus koledokus intrahepatik dengan obstruksi
sistem bilier intrahepatik, dilakukan tindakan exisi kista. Kasus ini dimajukan
karena merupakan suatu kasus yang jarang dijumpai pada dewasa muda .
Keyword : Kista duktus koledokus, duktus intrahepatik, duktus ekstrahepatik
FIBROSARKOMA GINJAL PADA WANITA DEWASA
Cut Henna Mariza*, M.Fuad**, M.Riswan**
*PPDS Ilmu Penyakit Dalam
**Divisi Hematologi dan Onkologi Medik, Bagian/ SMF Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala
Rumah sakit Umum Daerah Zainoel Abidin Banda Aceh
Abstrak
Pendahuluan
Fibrosarcoma infantile dikenal sebagai Mesoblastic nefroma (MN)
juga dikenal sebagai fetal mesenchymal hamartoma atau leiomyomatous
hamartoma, biasanya dijumpai bayi. Fibrosarcoma (MN). Pada dewasa, tumor
ini sangat jarang terjadi. Berdasarkan literatur, hanya 23 kasus fibrosarkoma
pada dewasa yang dilaporkan sampai tahun 1999 dan 38 kasus yang telah
dilaporkan sampai tahun 2007.
Kasus
Dilaporkan wanita 39 tahun, dengan benjolan diperut kanan sejak 1
bulan disertai mual, muntah, perut terasa kembung serta nyeri tulang belakang.
Penurunan berat badan > 4 Kg selama 4 bulan, Telah menjalani operasi
pengangkatan ginjal kanan, dengan hasil suatu mesoblastic nephroma (infantile
fibrosarcoma). CT-Scan abdomen dijumpai proses metastase hepar, paru,
mediastinum, tulang dan mioma uteri, setelah dilakukan kemoterapi siklus
kedua, pasien mengalami Gagal Ginjal Kronik dan dilakukan hemodialisa.
Diskusi
Fibrosarkoma dapat terjadi akibat pengaruh paparan radiasi dari
lingkungan yang mengakibatkan terjadinya translokasi kromosom pada sekitar
90% kasus. x-radiation dan gamma radiation paling berpotensi menyebabkan
kerusakan jaringan. Ionisasi radiasi menyebabkan terjadinya perubahan genetik
yang meliputi mutasi gen, mutasi mini-satellit, formasi mikronukleus, aberasi
kromosomal, perubahan ploidi, DNA stand breaks dan instabilitas kromosom.
Ionisasi radiasi mempengaruhi semua fase dalam siklus sel, namun fase G 2
merupakan yang paling sensitif.
Kesimpulan
Prognosis suatu kasus fibrosarcoma ginjal pada dewasa adalah baik,
setelah dilakukan operasi pengangkatan seluruh tumor, namun kekambuhan lokal
dapat terjadi yang disebabkan oleh operasi pengangkatan tumor yang inkomplit.
Kekambuhan lokal dengan metastase ke hati telah dilaporkan 21 tahun setelah
operasi pengangkatan ginjal dan juga kekambuhan tumor diketahui 2 tahun
setelah reseksi tumor.
Kata kunci : Fibrosarkoma, Gagal Ginjal Kronik, Hemodialisa.
PLEBOTOMI SEBAGAI TERAPI PILIHAN
PADA POLISITEMIA VERA
Cut Herlinda TA*, M. Fuad**, M. Riswan**
*PPDS Ilmu Penyakit Dalam
**Divisi Hematologi dan Onkologi Medik Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala/
Rumah Sakit Umum Daerah Zainoel Abidin Banda Aceh
Abstrak
Pendahuluan
Polisitemia vera adalah suatu keganasan derajat rendah sel-sel induk
hematopoitik dengan karakteristik peningkatan jumlah eritrosit absolut dan
volume darah total, biasanya disertai dengan lekositosis, trombositosis dan
splenomegali. Polisitemia vera dapat mengenai semua umur, sering pada pasien
berumur 40-60 tahun, dengan perbandingan antara pria dan wanita 2:1, di
Amerika Serikat angka kejadiannya ialah 2,3 per 100.000 penduduk dalam
setahun. Plebotomi merupakan pengobatan yang adekuat bagi pasien polisitemia
selama bertahun-tahun dan merupakan pengobatan yang dianjurkan.
Kasus
Dilaporkan kasus seorang wanita 58 tahun dengan perdarahan melalui
hidung atau mimisan 2-3 kali perhari, berlangsung selama sekitar 3 menit setiap
mimisan dengan jumlah 10-15 cc, disertai nyeri kepala, mata memerah dan
pandangan kabur, mudah lelah dan kedua kaki terasa panas. Laboratorium
ditemukan trombositosis, leukositosis, peningkatan hemoglobin dan hematokrit.
Diskusi
Suatu penelitian sitogenetika menunjukkan adanya kariotipe abnormal
di sel induk hemopoisis pada pasien dengan polisitemia vera. Klasifikasi
eritrositosis tergantung dengan volume sel darah merah dalam menegakkan
diagnosis, karena gambaran klinis yang hampir sama. International
Polycythemia Vera Study Group ke 2 dan menurut kriteria WHO. Pada
Polisitemia Vera tujuan plebotomi adalah mempertahankan hematokrit ≤ 45%,
untuk mencegah timbulnya hiperviskositas dan penurunan shear rate. Manfaat
plebotomi disamping menurunkan sel darah merah juga menurunkan viskositas
darah kembali normal sehingga resiko timbulnya trombosis berkurang
Kesimpulan
Diagnosis ditegakkan oleh 2 kriteria mayor , 1 kriteria minor. Setelah
di lakukan tindakan plebotomi 2 ( dua ) kali sebanyak 600cc , pasien mengalami
perbaikan gejala klinis dan pasien diperbolehkan pulang berobat jalan .
Key word : Polisemia Vera, Plebotomi, Hemoglobin
A CASE OF DENGUE HEMORRHAGIC FEVER IN
PREGNANT WOMAN 34 WEEKS GESTATIONAL AGE
*Imam Zahari, **Cut Meurah Yeni
* Fetomaternal division Syiah Kuala Hospital, Banda aceh - Indonesia
** Department of Obstetrics and Gynecology, Faculty of Medicine University of
Syiah Kuala
Abstract
Dengue hemorrhagic fever is a global problem of tropical disease,
especially in Indonesia. In recent times, the incidence has been increasing among
adults and more cases of dengue fever and dengue hemorrhagic fever in
pregnancy are being reported. We managed one case of dengue hemorrhagic
fever during pregnancy which developed during antepartum periods. Patient
complained contraction and bloodslym since 8 hours before admission without
waterbroke, patient went to midwife, and then referred to RSCM, due to no
facilities (no NICU). No history of cavities. Patient had history of preterm labor
in previous pregnancy. This case was treated conservatively. Two days after lung
maturation in the ward patient complained fever. We diagnosed dengue
hemorrhagic fever during pregnancy with clinical pictures of fever,
hemoconcentration and thrombocytopenia with serological proof, and positive in
rumple leed test result. We decided to perform emergency C Section 5 days after
admission. Patient and the baby were in good condition before discharged. A
sound knowledge of its diagnosis and management plays a vital role for an
obstetrician, particularly regarding the mode of delivery. Supportive care with
analgesics, bed rest, adequate fluid replacement and maintenance of electrolyte
balance forms the main stay of treatment.
Discussion
We have presented cases of Dengue hemorrhagic fever seen during
the antepartum periods. The clinical picture is as same as for non pregnant
patients. Antepartum management should be conservative. To our knowledge,
there is no report that the Dengue virus can cause congenital anomalies,
spontaneous abortion, premature labour or fetal death. The patients should be
admitted to a hospital for close observation. Intravenous fluid replacement
should be given if indicated. In this case, the patient was referred to RSCM for
preparation of NICU for preterm birth.
It is uncertain whether the Dengue Virus can cause thrombocytopenia
in neonate as seen in idiophatic thrombocytopenic purpura. Therefore, the
treatments should be conservative, symptomatic and carried on through stage of
shock. The critical periode (stage of shock) usually passed within 24 to 48 hours.
If delivery is inevitable, the vaginal route is preferable to the abdominal route.
Uterine contractions after delivery will strangulate the blood vessels that were
torn during parturition and cause hemostasis even though coagulation defects are
still ongoing. However, when cesarean section is unavoidable, platelet
concentrates should be given intraoperatively or post operatively as necessary.
The route of delivery should be given intraoperatively or post operatively as
necessary. The route of delivery should be considered under obstetric indication.
Tocolytic drugs may be considered until the patient recovers from the
stage of shock and the platelet count returns to a normal level. Nevertheles, most
of tocolysis can cause tachycardia whic may obscure the patient status.
Magnesium sulfate might be a drug of choice in this situation because of it
doesnt cause tachycardia.
In this case, the platelet count was reduced from 222,000 to 120,000
from the admission to the sixth day. So, we decided to terminate the pregnancy
by C section.
The average incubation period of dengue fever is estimated to be
about 7 days. Dengue infection in the neonate has been reported in many studies.
All babies were asymptomatic at birth except one who had fever and was found
to be dengue negative. Dengue serology was not performed on normal babies
and hence no comment could be made on vertical transmission. However,
studies conducted in India, Thailand and Colombia failed to find evidence of
vertical transmission among their study subjects.
Keywords: Dengue hemorrhagic fever, pregnancy
Reference
1.
Narayana Swamy M1, Pooja Patil, T Sruthi IOSR Journal of Dental and
Medical Sciences IOSR-JDMS e-ISSN: 2279-0853, p-ISSN: 2279-0861. Volume
13, Issue 2 Ver. I. Feb. 2014, PP 71-73
2.
Pouliot SH, Xiong X, Harville E, Paz-Soldan V, Tomashek KM.
Maternal dengue and pregnancy outcomes: a systematicreview.
ObstetGynecolSurv 2010;65: 107–118.
3.
Adam I, Jumaa AM, Elbashir HM, Karsany MS. Maternal and perinatal
outcomes of dengue in PortSudan, Eastern Sudan. Virol J 2010;7: 153.
4.
Deen JL, Harris E, Wills B, Balmaseda A, Hammond SN, Rocha C et
al. The WHO dengue classification and case definitions: time for a reassessment.
Lancet 2011;368: a. 170-3.
5.
Suvit B, Somchai T, NimitT. Dengue Hemorragic fever during
pregnancy: antepartum, intrapartum and postpartum management j.Obstet.
Gynacol. Res. Vol. 23, No.5:445-448 2012
6.
Dengue fever. Yellow book traveller‘s Health. Atlanta: Centers for
Disease Control and Prevention; c2008.
7.
Chye JK, Lim CT, Ng KB, Lim JM, George R, Lam SK. Vertical
transmission of dengue. Clin Infect Dis 2007; 25: P. 1374–7.
PERIKARDIOSINTESIS PADA EFUSI PERIKARDIUM MASIF
Indah Fajarini*, Azhari Gani**, M. Diah**
*PPDS Ilmu Penyakit Dalam
**Divisi Kardiologi Bagian/ SMF Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala
RSUD dr. Zainoel Abidin Banda aceh
Abstrak
Pendahuluan
Perikardium terdiri dari perikardium viseralis yang melekat ke
miokardium dan perikardium parietalis yang terdiri dari jaringan elastis dan
kolagen serta vili-vili penghasil cairan perkardium dan membungkus
perikardium. Efusi perikardium merupakan hasil perjalanan klinis dari suatu
penyakit yang disebabkan oleh infeksi, keganasan maupun trauma. Cairan
tersebut dapat berupa transudat, eksudat, pioperikardium, atau hemoperikardium.
Efusi perikardium bisa akut atau kronis, dan lamanya perkembangan memiliki
pengaruh besar terhadap gejala-gejala pasien.Diagnosis ditegakkan berdasarkan
gejala klinis, pemeriksaan fisik, laboratorium, EKG, radiologi, dan
ekokardiografi . Pengobatan disesuaikan dengan etiologi, dengan mengatasi
penyakit dasarnya (misalnya pemberian antibiotik, steroid). Jika terjadi
tamponade, diperlukan drainase segera (perikardiosentesis).
Kasus
Pria, usia 20 tahun datang dengan keluhan sesak nafas sejak 2 minggu
sebelum masuk rumah sakit. Dari hasil anamnese, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang lainnya pasien didiagnosa dengan : Efusi perikardium
masif dengan tanda-tanda tamponade. Berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan
fisik, laboratorium, radiologi, EKG, dan ekokardiografi dilakukan tindakan
perikardiosentesis.
Diskusi
Efusi perikardium adalah penumpukan cairan abnormal dalam ruang
perikardium. Cairan dapat berupa eksudat, pioperikardium, atau
hemoperikardium. Efusi perikardium merupakan hasil perjalanan klinis dari
suatu penyakit. Gejala efusi perikardial meliputi antara lain : nyeri dada, jantung
berdebar-debar, batuk, sesak nafas, suara serak, kecemasan dan kebingungan.
Kesimpulan
Dengan diagnosa tepat dan penanganan yang cepat terhadap kasus ini
dapat menolong hidup pasien.
Keyword : Efusi Pericardium, Tamponade jantung, Perikardiosintesis
Cerebral Salt Wasting Syndrome
Pada Pasien Tumor Cerebellum Dextra
Munawar Anwar Fuadi,* Muhammad Fuad,** Desi Salwani,***
Abdullah***,Maimun Syukri***
*Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis Penyakit Dalam
**DPJP Ruang PenyakitDalam Pria
***Divisi Ginjal Hipertensi
Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam
Universitas Syiah Kuala / RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh
Pendahuluan
Cerebral salt wasting syndrome (CSWS) adalah penyakit yang ditandai
dengan poliuria, natriuresis, hipovolemia, hiponatremia dimana kondisi tersebut
merupakan sekunder dari lesi patologis di otak baik berupa trauma,malignansi,
maupun infeksi.
Kasus
Pasien laki-laki 58 tahun, dengan keluhan penurunan kesadaran.
Kecurigaan awal hiponatremia pada Syndrome Iapropiate Anti Diuretic
Hormone (SIADH). Dalam perjalanan klinis pasien di dapatkan gejala poliuria
dan tumor di otak. Setelah dilakukan pemeriksaan CT scan ditemukan tumor
Cerebellum Dextra, diagnosa berubah menjadi CSWS. Pasien dilakukan
penatalaksanaan secara konservatif dengan terapi rehidrasi cairan dan mengalami
perbaikan dalam hal kesadaran dan poliuria.
Diskusi
Kriteria untuk diagnosis CSWS adalah natrium serum normal atau
rendah, osmolalitas serum normal atau rendah, osmolalitas urin normal atau
rendah, peningkatan hematokrit,urea, Hipourisemia dan peningkatan natrium
urin. Rehidrasi merupakan pengobatan utama pada CSWS.
Kesimpulan
Dilaporkan satu kasus seorang laki-laki 58 tahun dengan CSWS.
Diagnosa pasien berdasarkan klinis, laboratorium dan pemeriksaan penunjang
berupa CT Scan.
Kata kunci: Cerebral salt wasting syndrome, tumor Cerebellum, Hiponatremia
KEHAMILAN DAN LUARAN PASIEN EKLAMSIA GRAVIDARUM
DAN DEMAM BERDARAH DENGUE DENGAN MANIFESTASI
GANGGUAN JANTUNG
*Rizka Aditya, **Cut Meurah Yeni, ***Yuyun Lisnawati
* Departemen Obstetri dan Ginekologi, Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala
** Departemen Obstetri dan Ginekologi, Divisi Fetomaternal RSU dr.Zainoel Abidin
*** Departemen Obstetri dan Ginekologi, Divisi Fetomaternal RSUP Persahabatan
Pendahuluan
Kumpulan secara klinis dan laboratorium pada preeklamsi dan demam
berdarah dengue banyak kesamaan namun pada tatalaksana keduanya berbeda. 2, 6
Laporan Kasus
Ny.25 tahun, gravida 1, rujukan dari RSUD tipe B dengan HELLP
syndrome. Demam sejak 5 hari, naik turun, hanya minum obat penurun panas.
Pemeriksaan fisik TD 170/100mmHg, bradikardi 42 x/menit, suhu 36.8°C, USG
biometri sesuai kehamilan 33 minggu dengan taksiran berat janin 2000g, indeks
cairan amnion 1cm, dan SDAU 2.52. CTG kategori III. Laboratorium Hb 15.4
g/dL, Ht 44%, trombositopenia 11.000/uL, PT dan aPTT menunjukkan no
coagulation, D-dimer 6.507mg/dL, SGOT 1098 U/L dan SGPT 324 U/L, LDH
1652 U/L, asam urat 9.2mg/dL, serum Mg 10.37 mg/dL, kalsium 8.7 mg/dL,
protein urin +2, Ig M dan Ig G anti-dengue positif. Pasien bradikardi
simptomatik diterapi dengan sulfas atropine, transfusi trombosit konsentrat 10
unit. Dalam perawatan mengalami kejang tonik klonik selama 2 menit dan
penurunan kesadaran (GCS E3M4V2), TD 150/100 mmHg, nadi 113x/menit
serta mengalami hematemesis. Terminasi kehamilan perabdominal saat
trombosit 24.000/uL, PT 0.9x, dan aPTT 0.9x dan dilakukan B-lynch.
Pasca seksio sesaria perawatan di ICU, dengan ventilator selama 2
hari, kondisi perbaikan. Pasien mengalami bradikari kembali, EKG
menggambarkan sinus bradikadi, foto thorax gambaran pneumoni tanpa
kardiomegali. Echocardiografi normal. CT-scan kepala tanpa kontras tidak
terdapat lesi patologis intrakranial.
Pembahasan
Infeksi virus dengue pada jantung dapat mengakibatkan abnormalitas
sistem konduksi jantung yang bervariasi gangguan konduksi atrioventricular,
supraventricular aritmia, dan miokarditis, perikarditis. Berbagai laporan kasus
mengenai kondisi gangguan jantung pada infeksi dengue diantaranya oleh Wali
yang melaporkan 70% dari 17 pasien dengan demam berdarah dengue/dengue
syok sindrom berhasil melewati kondisi dimana terjadi vetrikular hipokinetik
(EF 40%), Kabra terdapat 16.7% dari 54 anak-anak yang menderita demam
berdarah dengue didapatkan penurunan penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri
hingga <50%, dari Srilangka juga dilaporkan terdapat abnormalitas EKG pada
62.5% dari 120 penderita demam berdarah dengue. Laporan-laporan tersebut
menggambarkan tidak sedikit terjadi komplikasi jantung pada penderita infeksi
dengue. Termasuk bradikardi pada penderita demam berdarah dengue (Lateef
2007, Kularatne 2007, Phompran 2004)10. Bradikardi, takikardi, efusi pericardial,
disfungsi diastolic adalah gejala yang paling umum terjadi. Pada pasien dengan
gangguan jantung tersebut sering dapat ditemukan peningkatan CPK-MB yang
diduga berasal dari destruksi sel miokardial oleh virus dngue (DENV). Infeksi
DENV menyebabkan gangguan Ca2+ peningkatan kadar calcium dalam
sitoplasma yang menjadi penyebab gangguan irama jantung serta berpengaruh
pada fungsi kontraktilitas jantung.11,12
Perubahan kardiovaskular pada preeklamsi menyebabkan penurunan
cardiac output sebagai akibat peningkatan risistensi perifer, sehingga pada
echocardiografi sebaiknya diukur fungsi miokardial dan fungsi ejeksi vetrikel
kiri. Kerusakan endotel dapat menyebabkan pula fokal nekrosis dan perdarahan
miokardium yang dapat pula menggangu konduksi jantung. 5
Kesimpulan
Manifestasi klinis akibat kerusakan endotel pada preeklamsi dan
demam berdarah dengue pada kehamilan dapat mengenai seluruh tubuh,
manifestasi kardiovaskular sering diabaikan, seperti gangguan konduksi hingga
miokarditis. Pengaruh keduanya terhadap kehamilan mimiliki prognosis yang
buruk dan merupakan penyebab salah kematian pada ibu hamil.
Kata kunci : preeklamsi, eklamsi, HELLP sindrom, demam berdarah dengue
Daftar Pustaka
1.
Pooja C, Amrita Y, Viney C. Clinical implications and treatment of
dengue. Asian Pacific Journal of Tropical Medicine. 2014:169-78.
2.
Khamim K, Khamim B, Pengsaa K. Dengue Infection In Pregnancy.
Southeast Asian J Trop Med Public Health. 2015;46:153-60.
3.
Robert JM, Bernstein IM, Druzin M, Gaiser RR, Granger JP, Jeyabalan A,
et al. Hypertension in Pregnancy. The American Collage of Obstetricians
and Gynecologists. 2013.
4.
Magee LA, Pels A, Helewa M, Rey E, Dadelszen Pv. Diagnosis,
Evaluation, and Management of the Hypertensive Disorders of Pregnancy:
Executive Summary. SOGC. 2014;36(5):416-38.
5.
Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, al e. Williams Obstetrics. 24 ed.
New York: Mc Graw Hill Education; 2014. 23-2900 p.
6.
Pallavi, Sur K. Dengue: Management Guidelines. Journal of the
Vivekananda Institute of Medical Sciences. 2012:37-43.
7.
Prasittisuk C, Kalra NL, Dash AP. Comprehensive Guidelines for
Prevention and Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever.
World Health Organization. 2011:1-195.
8.
Paixão ES, Teixeira MG, Costa MdCN, Rodrigues LC. Dengue during
pregnancy and adverse fetal outcomes: a systematic review and metaanalysis. Lancet Infect Dis. 2016;16:1-9.
9.
Gabbe SG, Niebyl JR, Simpson JL, Landon MB, Galan HL, Jauniaux
ERM. Obstetrics: Normal And Problem Pregnancies, Sixth Edition.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2012.
10. Lee I-K, Lee W-H, Liu J-W, Yang KD. Acute myocarditis in dengue
hemorrhagic fever: a case report and review of cardiac complications in
dengue-affected patients. International Journal of Infectious Diseases.
2010;14:e919-22.
11. Salgado DM, Eltit JM, Mansfield K, Panqueba C, Castro D, Vega MR, et
al. Heart and Skeletal Muscle Are Targets of Dengue Virus Infection.
Pediatr Infect Dis J. 2010;29(3):238-4
12. Aneja VK, Kochar G, Bisht N. Unusual Manifestations Of Dengue Fever.
Apollo Medicine.2010;7:69-76
HUBUNGAN GAMBARAN ELEKTROKARDIOGRAM DENGAN
DERAJAT KEPARAHAN PENDERITA PENYAKT JANTUNG
KORONER DI RSUD dr. ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH
Ruziqni Arihanim P1, Muhammad Ridwan2, Ratna Idayati3,
Muhammad Diah Yusuf4, Taufik Suryadi5
1) Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala; 2) Staf Pengajar
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala/SMF Jantung Rumah Sakit Umum
Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh; 3) Staf Pengajar Bagian Fisiologi
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala; 4) Staf Pengajar Fakultas
Kedokteran Universitas Syiah Kuala/SMF Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit
Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh; 5) Staf Pengajar Fakultas
Kedokteran Universitas Syiah Kuala/SMF Ilmu Forensik Rumah Sakit Umum
Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh
ABSTRAK
Penyakit Jantung Koroner merupakan salah satu penyakit
kardiovaskular yang tetap berada pada urutan pertama sebagai penyebab
kematian terbanyak pada penderitanya. Di RSUDZA Banda Aceh dari tahun
2012 hingga 2014, jumlah pasien PJK mengalami peningkatan yang signifikan
tiap tahunnya. Penyakit ini dapat diperiksa dengan EKG dan kateter jantung.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara gambaran EKG
dengan derajat keparahan penderita PJK serta untuk mendapatkan pola gambaran
EKG pada penderita PJK. Penelitian ini menggunakan metode analitik dengan
pendekatan retrospektif. Penelitian dilakukan di ruangan rekam medik Rumah
Sakit Umum dr. Zainoel Abidin Banda Aceh dari bulan Febuari 2015 hingga
Januari 2016. Pengumpulan data rekam medik diambil dari 80 sampel yang
menderita PJK dan memenuhi kriteria inklusi yang terdiri dari 65 laki-laki dan
15 perempuan. Pada penelitian ini diperoleh pola gambaran EKG yang paling
banyak ditemukan adalah infark miokard lama sebanyak 37 orang (46,3%) dan
hasil pemeriksaan kateter jantung menunjukan dominasi PJK derajat severe
stenosis sebanyak 57 orang (71,3%). Analisis data menggunakan Uji Korelasi
Spearman (p<0,05) terhadap gambaran EKG dan derajat keparahan PJK
memperoleh nilai p 0,000 dimana nilai p lebih kecil dari 0,05. Kesimpulan
penelitian ini adalah terdapat hubungan antara gambaran EKG dengan derajat
keparahan PJK.
Kata kunci : derajat PJK, EKG, infark miokard lama, kateter jantung, PJK
HUBUNGAN FUNGSI SISTOLIK VENTRIKEL KIRI
DENGAN FUNGSI KOGNITIF PADA PASIEN GAGAL
JANTUNG DI RUMAH SAKIT UMUM
dr. ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH 2015
Sarah Fadillah1, Muhammad Ridwan2, Bakhtiar 3,
Teuku Mamfaluti 4, Subhan Rio Pamungkas 5
1) Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala; 2) Staf Pengajar
Jantung Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala/Rumah Sakit Umum
Daerah dr.Zainoel Abidin Banda Aceh; 3) Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala/Rumah Sakit Umum Daerah dr.
Zainoel Abidin Banda Aceh; 4) Staf Pengajar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Syiah Kuala/Rumah Sakit Umum Daerah dr.Zainoel
Abidin Banda Aceh; 5) Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/Rumah Sakit Umum Daerah dr.Zainoel Abidin Banda
Aceh
ABSTRAK
Fungsi pemompaan jantung yang buruk pada keadaan gagal jantung
mengakibatkan penurunan perfusi darah ke otak sehingga terjadi perubahan
aliran darah serta kerusakan struktur otak. Perubahan tersebut dapat
menyebabkan gangguan fungsi pada berbagai lobus otak, salah satunya ialah
gangguan fungsi kognitif. Fungsi kognitif memiliki peran penting terhadap
kualitas hidup, morbiditas dan mortalitas pasien gagal jantung. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui hubungan antara fungsi sistolik ventrikel kiri dengan
fungsi kognitif pada pasien gagal jantung di Rumah Sakit Umum dr. Zainoel
Abidin Banda Aceh. Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional
menggunakan rancangan cross sectional. Sampel dipilih secara non-probability
sampling terhadap pasien gagal jantung dewasa yang melakukan pemeriksaan
ekokardiografi di Poliklinik Jantung Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin
Banda Aceh mulai Desember 2015 sampai Januari 2016. Data yang dikumpulkan
berupa nilai Fraksi Ejeksi Ventrikel Kiri (FEVK) dari hasil pemeriksaan
Transthoracic Echocardiography (TTE) dan fungsi kognitif pasien dengan
kuesioner Mini Mental State Examination (MMSE). Selama penelitian
berlangsung, didapatkan sampel sebanyak 100 pasien yang terdiri dari 67 orang
laki-laki dan 33 orang perempuan dengan rerata nilai FEVK ialah 58,82 dan
rerata skor MMSE 24,48. Analisis data menggunakan uji korelasi Spearman
menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi bermakna antara fungsi sistolik
ventrikel kiri dengan fungsi kognitif pada pasien gagal jantung di Rumah Sakit
Umum dr. Zainoel Abidin Banda Aceh (p = 0,689) dengan kekuatan korelasi
sangat lemah (r = 0,041). Kesimpulan penelitian adalah fungsi sistolik ventrikel
kiri tidak mempengaruhi fungsi kognitif pada pasien gagal jantung.
Kata Kunci: fungsi sistolik ventrikel kiri, fungsi kognitif, gagal jantung, fraksi
ejeksi, Mini Mental State Examination.
CARDIOVASCULAR DISEASE IN PREGNANCY:
A CASE REPORT
Teuku Yudhi Iqbal, Mohd. Andalas
Department of Obstetric and Gynecology,
University of Syiah Kuala, Zainoel Abidin Hospital
ABSTRACT
Cardiovascular diseases arise during 0,2% to 4% of all pregnancies,
with Congenital Heart Disease (CHD) being the most common preexisting
condition and hypertension the most common acquired condition. The presence
of CVD in pregnant women posing a difficult clinical scenario in which the
responsibility of the treating physician extends to the unborn fetus. The
complexity of management these patients requires a multidisciplinary approach
with the involvement of obstetricians, cardiologists, anesthesiologists and
internist who are experienced in caring for these patients. We reported a 21 years
old woman at term gestational age, referred to our hospital due to Cardiovascular
disease suspected Eisenmenger‘s syndrome. Supportive care and expeditious
delivery are essential to optimal maternal-fetal outcomes and remain as the
mainstay treatment for CHD.
Keyword: Cardiovascular disease, Cardiovascular disease in pregnancy,
Congenital Heart Disease, Eisenmenger‘s Syndrom
Download