PENGETAHUAN KESEHATAN REPRODUKSI TERHADAP PRILAKU SEKSUAL REMAJA Titus Tambaip Stikes Yaleka, Merauke, Papua PENDAHULUAN Masa remaja merupakan masa perkembangan yang ditandai oleh perubahan-perubahan yang berhubungan dengan perkembangan psikoseksual, dan juga terjadi perubahan dalam hubungan dengan orangtua dan cita-cita mereka, dimana pembentukan cita-cita merupakan proses pembentukan orientasi masa depan. Stanley Hall menyatakan bahwa masa remaja merupakan masa badai dan tekanan (storm and stress). Menurut Erickson masa remaja adalah masa terjadinya krisis identitas atau pencarian identitas diri. Gagasan Erickson ini dikuatkan oleh James Marcia yang menemukan bahwa ada empat status identitas diri pada remaja yaitu identity diffusion/ confussion, moratorium, foreclosure, dan identity achieved (Santrock, 2003, Papalia, dkk, 2001, Monks, dkk, 2000, Muss, 1988). Karakteristik remaja yang sedang berproses untuk mencari identitas diri ini juga sering menimbulkan masalah pada diri remaja. Beberapa masalah yang sering terjadi pada remaja antara lain: 1. Kecanggungan dalam pergaulan dan kekakuan dalam gerakan. 2. Ketidakstabilan emosi. 3. Adanya perasaan kosong akibat perombakan pandangan dan petunjuk hidup. 4. Adanya sikap menentang dan menantang orang tua. 5. Pertentangan di dalam dirinya sering menjadi pangkal penyebab pertentangan-pertentang dengan orang tua. 6. Kegelisahan karena banyak hal diinginkan tetapi remaja tidak sanggup memenuhi semuanya. 7. Senang bereksperimentasi. 8. Senang bereksplorasi. 9. Mempunyai banyak fantasi, khayalan, dan bualan. 10. Kecenderungan membentuk kelompok dan kecenderungan kegiatan berkelompok Kurangnya pengetahuan para remaja tentang kesehatan reproduksi, dan kemudian mereka memperoleh informasi tetapi dari sumber yang salah, merupakan salah satu penyebab terjadinya permasalahan remaja yang berkaitan dengan persoalan seks, seperti hubungan seks diluar nikah, penyakit menular seksual (PMS), perilaku seksual yang menyimpang, bahkan tidak sedikit terjadi kehamilan yang tidak di inginkan dan aborsi. Padahal pemahaman yang benar tentang seksualitas manusia amat diperlukan bagi para remaja, demi perilaku seksual yang benar dan sehat di masa dewasa sampai mereka menikah dan memiliki anak. Pendidikan tersebut diperlukan agar para remaja dapat menghindari perilaku seks yang beresiko, yang membahayakan kesehatan reproduksi dan seksualnya. Dalam hal ini, orang tua sebagai sumber utama dan pertama dalam pendidikan kesehatan reproduksi memiliki peran yang sangat penting. Namun ternyata tidak mudah bagi orang tua untuk memberikan pendidikan seks kepada anak remajanya dengan posisi sebagai sumber utama tersebut. Setidaknya ada dua penyebab. Pertama, bahwa ilmu tentang kesehatan reproduksi dan mental remaja bukanlah hal yang mudah. Kedua, budaya kita menyebabkan orang tua merasa tidak nyaman berbicara masalah seks kepada anak remajanya. Sebagaimana diketahui, pengertian kesehatan reproduksi menurut WHO yang dikutip oleh Hadiwinarto (2016), adalah suatu keadaan fisik, mental, dan sosial yang utuh, tidak hanya bebas dari penyakit atau kecacatan dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi, serta prosesnya. Dari definisi kesehatan reproduksi diatas, sudah tergambarkan tidak mudahnya orang tua dalam menguasai ilmu kesehatan reproduksi yang mencakup aspek fisik, mental, dan sosial tersebut. Secara umum, orangtua mungkin mampu melaksanakan kewajibannya mendidik putra-putrinya, misalnya tentang budi pekerti, dan mengajarinya tentang akhlak mulia, serta menghindarkannya dari teman-teman yang berakhlak buruk. Tetapi untuk memberikan pendidikan seks ini memang diperlukan ilmu dan keahlian tersendiri. Sebenarnya telah terdapat acuan tentang bagaimana tahapan dalam memberikan pendidikan kesehatan reproduksi kepada anak sejak usia dini berdasarkan perkembangan usia anak (Nurohmah dalam Uyun, 2013), yaitu: 1. Balita (1-5 tahun). Pada usia ini, penanaman pendidikan kesehatan reproduksi cukup mudah dilakukan, yaitu mulai mengenalkan kepada anak tentang organ reproduksi yang dimilikinya secara singkat. Dapat dilakukan ketika memandikan si anak dengan memberitahu organ yang dimilikinya, misalnya rambut, kepala, tangan, kaki, perut, penis dan vagina. Terangkan juga perbedaan alat kelamin dari lawan jenisnya. Tandaskan bahwa alat kelamin tersebut tidak boleh dipertontonkan dengan sembarangan. Pada usia ini juga perlu ditanamkan sikap asertif, yaitu berani berkata tidak kepada orang lain yang akan berlaku tidak senonoh. Dengan demikian dapat melindungi diri anak terhadap maraknya kasus kekerasan seksual dan pelecehan seksual. 2. Usia 3–10 tahun. Pada usia ini, anak biasanya sudah mulai aktif bertanya tentang seks. Misalnya anak akan bertanya tentang dari mana ia berasal. Atau pertanyaan-pertanyaan umum mengenai asal-usul bayi. Jawaban-jawaban yang sederhana dan terus terang biasanya efektif. 3. Usia menjelang remaja. Pada saat ini, anak semakin berkembang, mulai saatnya diterangkan mengenai menstruasi (haid), mimpi basah, dan juga perubahan-perubahan fisik yang terjadi pada seseorang remaja. Orangtua bisa menerangkan bahwa si gadis kecil akan mengalami perubahan bentuk payudara, atau terangkan akan adanya tumbuh bulu-bulu di sekitar alat kelaminnya. 4. Usia remaja. Pada saat ini, seorang remaja akan mengalami banyak perubahan secara seksual. Orangtua perlu lebih intensif menanamkan nilai moral yang baik kepadanya. Berikan penjelasan mengenai kerugian seks bebas seperti penyakit yang ditularkan dan akibat-akibat lainnya secara emosi. Panduan tersebut mungkin dapat sedikit memberikan arahan tentang materi apa yang dapat diberikan sesuai dengan perkembangan usia anak. Namun tetap saja penguasaan materi tentang kesehatan reproduksi secara benar dan tentang bagaimana cara penyampaiannya yang tepat kepada anak masih merupakan masalah bagi para orang tua. Memang pemerintah melalui BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional) telah menyediakan akses informasi, baik kepada remaja maupun kepada orang tua, melalui Pusat Informasi dan Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja (PIK-KRR). Tetapi waktu, kesempatan, dan kemauan orang tua untuk memperoleh informasi tersebut di PIK-KRR sangatlah terbatas. Mungkin BKKBN harus lebih proaktif dalam memberikan informasi kesehatan reproduksi remaja ke masyarakat, dalam bentuk sosialisasi, penyuluhan, atau pelatihan. Akhirnya, apabila orang tua tetap merasa sangat tidak nyaman untuk memberikan pendidikan seks bagi putra-putrinya, segera meminta bantuan kepada pihak yang lebih ahli dan berpengalaman dalam hal tersebut. Pustaka: 1. http://www.kompasiana.com/lhapiye/kesulitan-orang-tua-dalam-memberikanpendidikan-kesehatan-reproduksi-bagi-remaja_578d8d91d79373db04aa27c7 2. https://www.syekhnurjati.ac.id/jurnal/index.php/holistik/article/download/93/94 3. Tajmiati A, et al., Implementation Reproductive Health Module Design Childhood on Family, Journal of Health, Medicine and Nursing, www.iiste.org, ISSN 2422-8419, Vol.24, 2016