BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja adalah fase pertumbuhan dan perkembangan saat individu mencapai usia 10-19 tahun. Dalam rentang waktu ini terjadi pertumbuhan fisik yang cepat, termasuk pertumbuhan serta kematangan dari fungsi organ reproduksi. Seiring dengan pertumbuhan fisik, remaja juga mengalami perubahan jiwa.Remaja menjadi individu sensitif, mudah cemas, frustasi, tetapi juga mudah tertawa.Perubahan emosi menjadikan remaja sebagai individu agresif dan mudah bereaksi terhadap rangsangan.Remaja mulai mampu berpikir abstrak, mengkritik, dan ingin mengetahui hal baru. Apabila tidak didasari dengan pengetahuan cukup, mencoba hal baru berhubungan dengan kesehatan reproduksi bisa memberikan dampak yang akan menghancurkan masa depan remaja dan keluarga. Berbagai data dan hasil penelitian menunjukan bahwa kasus yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi remaja terutama seks pranikah dari waktu ke waktu semakin mengkawatirkan. Hal ini terjadi seiring merosotnya nilai-nilai moral kehidupan bermasyarakat dan menganggap perilaku seksual merupakan hal yang biasa terjadi (Zimmermann and Iwanski, 2014). Penduduk remaja (10-19 tahun) pada dekade terakhir terus meningkat. Jumlah remaja mencapai 1,8 milyar populasi dunia (UNFPA, 2014). Berdasarkan data Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKKRI) tahun 2012 remaja di Indonesia berjumlah lebih dari 43,6 juta (BPS and Macro International, 2012 ). Permasalahan jumlah remaja yang besar ini diiringi dengan kompleksnya permasalahan pada masa transisi remaja. Peningkatan dorongan seksual dan perubahan alamiah pada remaja sering menimbulkan permasalahan serius (Knopf et al., 2007). Kurangnya pemahaman tentang perilaku seksual pada remaja amat merugikan bagi remaja sendiri termasuk keluarganya, sebab pada masa ini remaja mengalami perkembangan penting yaitu kognitif, sosial dan seksual (Soetjiningsih, 2007). Oleh sebab itu keberadaan pusat pelayanan kesehatan reproduksi yang khusus melayani remaja sangat diperlukan supaya tidak terjadi 1 perilaku remaja yang merugikan seperti seks pranikah dan terjadi kehamilan tidak diinginkan pada remaja. Program kesehatan reproduksi remaja (KRR) merupakan penjabaran dari Misi Keluarga Berencana Nasional yaitu mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas sejak dini dalam rangka menciptakan keluarga berkualitas pada tahun 2015.Salah satu bentuk dari program kesehatan reproduksi remaja adalah pembentukan Pusat Informasi dan Konsultasi Kesehatan Reproduksi Remaja (PIK-KRR). Tujuan dari Pusat Informasi dan Konsultasi Kesehatan Reproduksi Remaja (PIK-KRR) adalah membantu remaja agar memiliki pengetahuan, kesadaran, sikap dan perilaku kehidupan reproduksi yang sehat (BKKBN and YAI, 2002). Banyak remaja terlibat dalam aktivitas seksual sejak dini (Escobar-Chaves et al., 2005). Hasil penelitian data riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2013 menunjukkan bahwa prevalensi umur perkawinan yang terjadi pada umur kurang dari 15 tahun sebesar 2,6% dan usia 15-19 tahun sebanyak 23,9% (Kementerian Kesehatan RI, 2013). Dari hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Badan Kesehatan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tahun 2013, menyebutkan sebanyak 4,38% remaja usia 10-14 tahun telah melakukan aktivitas seks bebas, sedang remaja usia 14-19 tahun sebanyak 41,8% (BKKBN, 2013). Berdasarkan Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Provinsi DIY oleh Badan Pemberdayaan Perempuan dan Masyarakat Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebesar 54,40% dari remaja ternyata tidak mengetahui hubungan seks pertama kali bisa menyebabkan kehamilan. Di Provinsi DIY sebagian besar perilaku berpacaran remaja antara lain pegangan tangan dan atau berpelukan 88,70%, mencium bibir pacar 49,17%, menyentuh alat kelamin pacar/sebaliknya 13,29%, masturbasi/onani dengan pacarnya 9,63% dan 12,29% pernah melakukan hubungan badan. Persentase kehamilan dari remaja yang melakukan hubungan badan mencapai 10,53%, kehamilan tersebut tidak direncanakan. Hal ini menunjukkan bahwa masa pacaran remaja cukup rentan dengan kehamilan yang tidak dikehendaki (KTD) (BPPM Provinsi DIY, 2011). 2 Perilaku seks pranikah ini mengakibatkan risiko terjadinya kehamilan tidak diinginkan.Sebanyak 605 remaja pernah mengalami kehamilan berakhir dengan aborsi.Hampir 20 juta dari 46 juta unsafe abortions dan 13% berakhir kematian (BPS and International, 2008). Di Provinsi DIY menurut hasil rekapan data PKPR Dinas Kesehatan tahun 2012 menunjukkan kasus paling tinggi pada kesehatan remaja, yaitu persalinan remaja 108 kasus, kehamilan tidak diinginkan 83 kasus, dan seks pranikah 77 kasus (Dinkes Prop. DIY, 2013). Sedangkan di Kabupaten Bantul tahun 2013 masalah remaja yang paling tinggi juga persalinan remaja 49 kasus, anemia 30 kasus, dan seks pranikah 26 kasus (Dinkes Kab. Bantul, 2014). Data Kementerian Agama Provinsi DIY (2014) menunjukkan angka menikah dibawah umur cenderung meningkat (< 19 tahun Laki-laki dan < 16 tahun perempuan) tahun 2011 sebanyak 357 pasang, tahun 2012 naik menjadi 399 pasang, dan 2013 sebanyak 434 pasang. Kabupaten Bantul paling dominan dibandingkan daerah yang lain di Yogyakarta dalam angka pernikahan dibawah umur. Pada tahun 2013 Kecamatan Sewon merupakan daerah paling tinggi angka pernikahan dibawah umur yaitu 14 kasus dibandingkan kecamatan yang ada di Kabupaten Bantul (Kementerian Agama Kab. Bantul, 2014). Wilopo (2010) salah satu upaya yang perlu dilakukan untuk mengurangi dan mencegah permasalahan remaja tersebut adalah penyediaan tempat pelayanan kesehatan reproduksi remaja yang mudah diterima dan terjangkau. Program pemerintah Indonesia dalam mengatasi dan mencegah permasalahan remaja tersebut diantaranya melalui pusat informasi konseling remaja (PIK-KRR) (BKKBN, 2010). Pusat pelayanan KRR telah didirikan di beberapa daerah baik berupa pelayanan informasi, konsultasi maupun dalam bentuk klinik seperti , informasi KRR di SLTP/SLTA, klinik konsultasi remaja, youth center-PKBI, Puskesmas Pedulu Remaja, dan dan sebagainya. Pada tahun 2001 telah dilaksanakan pilot project suatu model “integrated” pelayanan KRR melalui pendidik sebaya dan konselor sebaya. Model ini digunakan oleh pemerintah sebagai model PIK-KRR secara nasional (Kiting et al., 2004). Menurut BKKBN target jumlah PIK-KRR 3 tahun 2009 secara nasional adalah 900 buah, namun keberadaan PIK-KRR saat ini masih terbatas jangkauanya dan masih belum memuaskan (BKKBN, 2010). Dari hasil penelitian Kementrian Pemberdayaan dan Perempuan dan Masyarakat Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2005 sebanyak 95% remaja menyatakan pernah mendapat pendidikan berkaitan dengan seksualitas, sedangkan tahun 2011 sebanyak 91,45% (64,77% sering dan 26,68% pernah sekali) pernah mendapatkan pendidikan serupa. Jika melihat dari hasil tersebut terjadi penurunan intensitas pendidikan kesehatan reproduksi bagi remaja di sekolah. Pada penelitian ini juga diperoleh bahwa 94,80% remaja tahun 2005 dan tahun 2011 sebanyak 84,40% menyatakan setuju dengan adanya pendidikan kesehatan reproduksi. Dengan demikian telah terjadi penurunan intensitas sikap persetujuan remaja seiring berkurangnya intensitas pendidikan yang diberikan terkait kesehatan reproduksi (BPPM Provinsi DIY, 2011). Rendahnya pemanfaatan PIK-KRR oleh remaja ditemukan juga permasalahan dampak PIKKRR terhadap pengetahuan remaja mengenai kesehatan reproduksi (Partini, 2007). Berdasarkan permasalahan tersebut penulis ingin meneliti pemanfaatan PIK-KRR terhadap pengetahuan, sikap, dan perilaku seks pranikah pada remaja di SMA N 1 Sewon Bantul Yogyakarta. B. Rumusan Masalah Penduduk remaja (10-19 tahun) pada dekade terakhir terus meningkat. Jumlah remaja mencapai 1,8 milyar populasi dunia. Pengetahuan, sikap dan perilaku remaja yang kurang terhadap kesehatan reproduksi dapat berpengaruh terhadap berbagai hal kejadian akibat perilaku seks pranikah pada remaja. Berbagai upaya dalam rangka untuk menurunkan kejadian seks pranikah pada remaja telah dilakukan oleh pemerintah salah satunya mendirikan pusat pelayanan kesehatan reproduksi remaja di beberapa daerah baik berupa pelayanan klinik, seperti: informasi KRR (PIK-KRR) di SMP/SMA. Permasalahan program PIK-KRR adalah kurangnya pemanfaatan PIK-KRR ini oleh remaja. Dari permasalah tersebut, maka dapat dirumuskan masalah “Bagaimana hubungan 4 pemanfaatan PIK-KRR oleh siswa-siswi terhadap pengetahuan, sikap dan perilaku tentang seks pranikah?” C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Untuk mengkaji dan mengetahui pemanfaatan PIK-KRR terhadap pengetahuan, sikap dan perilaku tentang seks pranikah pada siswa-siswi SMA N 1 Sewon, Kabupaten Bantul. 2. Tujuan khusus a. Menganalisis tingkat pengetahuan terhadap seks pranikah pada siswasiswi SMA N 1 Sewon, Kabupaten Bantul. b. Menganalisis gambaran Sikap terhadap seks pranikah pada siswa-siswi SMA N 1 Sewon, Kabupaten Bantul. c. Menganalisis presentase perilaku terhadap seks pranikah pada siswa-siswi SMA N 1 Sewon, Kabupaten Bantul. d. Menganalisis faktor penghambat dan pendukung pelaksanaan PIK-KRR di SMA N 1 Sewon, Kabupaten Bantul. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat menambah wawasan dan khasanah keilmuan kesehatan reproduksi remaja yang biasa dijadikan referensi penelitian selanjutnya. 2. Manfaat Praktis Dapat memberikan masukan yang penting bagi guru dan professional di bidang kesehatan reproduksi remaja dalam membuat rencana promosi, media komunikasi dan model PIK-KRR untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, dan perilaku positif terhadap seks pranikah. 5 E. Keaslian Penelitian 1. Onyeonoro et al. (2011) melaksanakan pnelitian tetang “Sources of sex information and its effect on sexual practices among in-school female adolescents in osisioma ngwa LGA, Nigeria Tenggara. Sebanyak 304 siswi diseleksi dengan teknik multi stage sampling. Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi sumber- sumber informasi tentang seks dan dampaknya terhadap praktek seksual pada siswi remaja di Osisioma LGA, Nigeria Tenggara. Hasil penelitiannya adalah bahwa media dan teman sebaya adalah sumber informasi tentang seksualitas yang utama. Keluarga dan sekolah tidak dilibatkan dalam upaya membekali pendidikan seks dini. Media dan teman sebaya berpengaruh negative yang sangat dominan. Pengetahuan siswi remaja tentang seks rendah. Perilaku seks pranikah, perilaku seks dini dan seks yang tidak aman merupakan hal yang umum dilakukan mereka. 2. Agampodi et al. (2008) dalam penelitian yang berjudul “Adolescents perception of reproductive health care service in Sri Langka”. Tujuannya untuk mengeksplorasi pengetahuan masalah kesehatan reproduksi, perilaku mencari pelayanan kesehatan, persepsi layanan dan hambatan untuk mendapatka n pelayanan KRR di Sril Langka. Hasil penelitian kurangynya pengetahuan, dan ketersediaan layanan kesehatan reproduksi untuk remaja, adanya persepsi remaja yang negative terhadap layanan dan tersebut. Penelitiannya merupakan studi kualitatif pada 32 remaja berusia 17-19 tahun. 3. Lou and Chen (2009) melaksanakan penelitian tentang “Relationships among sexual knowledge, sexual attitudes, an safe sex behavior among adolescents: A structural equation model”. Penelitian ini penelitian crosssectional terhadap 823 remaja yang duduk di s emester 5 dari fakultas kedokteran, keperawatan dan menejemen sebuah perguruan tinggi di Taiwan pusat. Penelitian ini bertujuan untuk menguji penyebab dan dampak dari faktor yang berpengaruh terhadap kesehatan reproduksi diantara remaja Taiwan. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pengetahuan tentang seksualitas memiliki dampak negatif terhadap perilaku seks dan tidak signifikan terhadap perilaku seks aman. 6 Remaja memiliki pengetahuan seks yang tinggi memiliki perilaku positif lebih rendah dan cenderung tidak melakukan perilaku seks yang aman. 4. Rudatini and Ismail (2012) melakukan penelitian tentang “Perilaku seksual pranikah dan persepsi harga diri pada remaja SMA di Purwokerto” metode penelitian crosssectional, jumlah sampel 176 siswa SMA di Purwokerto. Hasil analisis penelitian ini menunjukkan bahwa remaja yang mempunyai persepsi harga diri tinggi berpeluang 3,8 kali lebih besar untuk berperilaku seksual pranikah ringan bila dibanding dengan remaja SMA yang memiliki persepsi harga diri yang rendah. 7