PERGESERAN SIKAP POLITIK MASSA NU, PPP, dan

advertisement
PERGESERAN SIKAP POLITIK
MASSA NU, PPP, dan PKB
Analisa pada Pemilu Legislatif 2014 di Kota Tasikmalaya
UU No 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta
Fungsi dan Sifat hak Cipta Pasal 2
1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta atau pemegang Hak
Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul
secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi
pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Hak Terkait Pasal 49
1. Pelaku memiliki hak eksklusif untuk memberikan izin atau melarang
pihak lain yang tanpa persetujuannya membuat, memperbanyak, atau
menyiarkan rekaman suara dan/atau gambar pertunjukannya.
Sanksi Pelanggaran Pasal 72
1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu)
bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah),
atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan,
atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran
Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
ii
Edi Kusmayadi
PERGESERAN SIKAP POLITIK
MASSA NU, PPP, dan PKB
Analisa pada Pemilu Legislatif 2014 di Kota Tasikmalaya
iii
Jl.Rajawali, G. Elang 6, No 3, Drono, Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman
Jl.Kaliurang Km.9,3 – Yogyakarta 55581
Telp/Faks: (0274) 4533427
Website: www.deepublish.co.id
www.penerbitdeepublish.com
E-mail: [email protected]
Katalog Dalam Terbitan (KDT)
KUSMAYADI, Edi
Pergeseran Sikap Politik Massa NU, PPP, dan PKB : Analisa pada Pemilu
Legislatif 2014 di Kota Tasikmalaya/oleh Edi Kusmayadi.--Ed.1, Cet. 1-Yogyakarta: Deepublish, Agustus 2016.
xii, 133 hlm.; Uk:14x20 cm
ISBN 978-Nomor ISBN
1. Klasifikasi Buku
I. Judul
Cetakan ke ...: Bulan-Tahun (ditulis mulai cetakan kedua)
No.DDC
Hak Cipta 2016, Pada Penulis
Desain cover
Penata letak
: Diisi nama
: Invalindiant Candrawinata
PENERBIT DEEPUBLISH
(Grup Penerbitan CV BUDI UTAMA)
Anggota IKAPI (076/DIY/2012)
Copyright © 2016 by Deepublish Publisher
All Right Reserved
Isi diluar tanggung jawab percetakan
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau
memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari Penerbit.
iv
Kebebasan warga negara dalam menentukan pilihan
pada perhelatan pemilu legislatif 2014, memberikan corak
dan warna tersendiri pada proses berdemokrasi
masyarakat di berbagai tempat. Demikian pula warga
negara yang mencoba perolehan keuntungan mendapatkan
perolehan suara dan dukungan masyarakat, pada pesta
demokrasi lima tahunan itu. Berbagai cara dan pendekatan
calon/kandidat legislatif dan tim sukses menjadi hal yang
menarik untuk dikaji dari pendekatan ilmu politik,
komunikasi politik, perilaku politik, psikologi politik,
sosiologi dan kebudayaan.
Aktifitas kandidat dan tim sukses pada pemilu
legislatif, menunjukkan intensitas yang tinggi untuk
mendapat dukungan masyarakat, disisi lain warga
masyarakat menanggapinya dengan sikap dan perilaku
yang sangat beragam, mulai dari warga masyarakat yang
menunggu perintah dan ajakan warga lain, sampai pada
warga masyarakat yang sangat aktif untuk memobilisasi
warga lainnya. Pergeseran sikap dan perilaku pemilihpun
mulai terjadi di tengah-tengah persaingan kandidat
legislatif untuk mendapat dukungan suara pemilih,
pendekatan dengan menggunakan simbol-simbol tertentu
yang menjadi ciri khas partai politik, slogan dengan
menggunakan bahasa politik, agama dan kearifan lokal
bermunculan di berbagai penjuru kota sampai pada
penggunaan pengaruh pemuka/tokoh masyarakat dan
v
kyai/ustadz/ajengan. Figuritas dan popularitas kandidat
di tengah masyarakat menjadi moment penting untuk
dijadikan modal dalam mensosialisasikan diri. Namun
demikian, disisi lain masih terdapat kandidat/calon yang
hanya menyerahkan segalanya kepada tim sukses atau
partai pengusungnya, sehingga yang terjadi dan dilakukan
tim sukses adalah pemberian sejumlah hadiah/bantuan
kepada warga calon pemilih, tanpa memberikan penjelasan
tentang program yang akan dilakukan, atau aspirasi apa
yang berkembang di masyarakat untuk dipenuhi oleh calon
jika ia terpilih.
Buku ini menyajikan tentang fenomena dan fakta
sebagaimana tersebut di atas, khususnya yang
berhubungan dengan fenomena pergeseran sikap politik
massa Nahdlatul Ulama di kalangan Partai Persatuan
Pembangunan dan Partai Kebangkitan Bangsa di Kota
Tasikmalaya. Realitas politik pergeseran sikap massa NU
menjadi hal yang menarik untuk diangkat dalam tulisan
ini, mulai dari sikap dan perilaku massa NU sebagai
pemilih, sikap dan perilaku politik para kandidat legislatif,
sikap dan perilaku tokoh masyarakat, kyai dan
pengaruhnya terhadap sikap dan perilaku pemilih massa
nahdiyin, situasi dan kondisi lingkungan masyarakat dan
kecenderungan keberpihakan kelompok masyarakat
tertentu, baik terhadap calon/kandidat maupun terhadap
partai politik.
Kajian dan analisa ini dapat dijadikan bahan
masukan bagi semua pihak, mohon ma‟af atas segala
vi
kekurangan dalam analisa dan kajian ini karena
keterbatasan penulis dalam berbagai hal. Pada kesempatan
yang baik ini, penulis menyampaikan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang
terhormat Bapak KH. Didi Hudaya, selaku Ketua
Tanfidziyah PC Nahdlatul Ulama Kota Tasikmalaya dan
Pimpinan/Pengasuh Pondok Pesantren Bustanul Ulum
Tasikmalaya, yang telah berkenan memberikan kata
sambutan pada buku ini serta memberikan berbagai
penjelasan dan informasi tentang Nahdiyin di Kota
Tasikmalaya. Terimakasih dan penghargaan yang tinggi
penulis sampaikan kepada Dekan dan Dosen Fisip
Universitas Siliwangi Tasikmalaya, serta semua pihak yang
telah membantu menyelesaikan buku ini, semoga Alloh
SWT membalas semua kebaikannya. Amin.
Tasikmalaya, 27 Juli 2016
Penulis,
vii
viii
KATA PENGANTAR .............................................................. v
DAFTAR ISI ............................................................................. ix
DAFTAR TABEL ..................................................................... xi
BAB I
PENDAHULUAN ...................................................................... 1
1.1. Latar belakang .................................................................. 1
1.2. Fokus Penulisan................................................................ 6
1.3. Maksud Penulisan ............................................................ 9
1.4. Tujuan Penulisan .............................................................. 9
1.5. Kegunaan Penulisan ........................................................ 9
1.6. Hasil Penelitian Politik Lokal ....................................... 11
BAB II
SIKAP POLITIK ........................................................................ 16
2.1. Sikap Politik dan Sikap Kemasyarakatan NU............ 16
2.2. Perilaku Politik dan Perilaku Pemilih ......................... 23
2.3. Kyai dan Pesantren ........................................................ 28
2.4. Budaya dan Tradisi Nahdiyin ...................................... 36
BAB III
POLITIK DAN NAHDLATUL ULAMA............................... 44
3.1. Profil Nahdlatul Ulama ................................................. 44
3.2. Sejarah Nahdlatul Ulama Tasikmalaya....................... 50
3.3. Politik Nahdlatul Ulama ............................................... 57
3.4. Proses Politik Partai Kebangkitan Bangsa .................. 65
ix
3.5.
3.6.
Proses Politik Partai Persatuan Pembangunan .......... 75
Pemilu Legislatif 2014 Kota Tasikmalaya ................... 81
BAB IV
SIKAP POLITIK MASSA NU.................................................. 83
4.1. Sejarah Kota Tasikmalaya ............................................. 83
4.2. Pengurus NU dan Jumlah Nahdiyin Kota
Tasikmalaya .................................................................... 89
4.3. Calon legislatif Kota Tasikmalaya tahun 2014 dan
Daerah Pemilihan ........................................................... 90
4.4. Sikap politik massa NU PPP ....................................... 111
4.5. Sikap politik massa NU PKB ...................................... 114
4.6. Pergeseran sikap politik .............................................. 117
BAB V
KESIMPULAN ........................................................................ 126
5.1. Kesimpulan ................................................................... 126
DAFTAR PUSTAKA ............................................................ 129
TENTANG PENULIS .......................................................... 133
x
Tabel. 3.1 :
Tabel 4.1. :
Tabel 4.2
:
Tabel 4.3
:
Tabel 4.4
:
Tabel .4.5 :
Tabel .4.6 :
Tabel .4.7 :
Tabel .4.8 :
Tabel. 4.9 :
Susunan Pengurus PBNU ........................................ 49
Luas Wilayah Administratif Kecamatan Dan
Kelurahan................................................................... 88
Data Administrasi Pemerintahan Kota
Tasikmalaya ............................................................... 88
Daftar Jumlah Calon Legislatif Kota
Tasikmalaya Tahun 2014 ......................................... 91
Daftar Pemilih Tetap Pemilu Legislatif 2014
Kota Tasikmalaya ..................................................... 92
Daftar Nama Calon Legislatif Terpilih di
Daerah Pemilihan I Tahun 2014 .............................. 95
Daftar Nama Calon Legislatif Terpilih Di
Daerah Pemilihan II Tahun 2014 ............................ 97
Daftar Nama Calon Legislatif Terpilih Di
Daerah Pemilihan III Tahun 2014 ........................... 98
Daftar Nama Calon Legislatif Terpilih Di
Daerah Pemilihan IV Tahun 2014 ......................... 102
Perbandingan Jumlah kursi DPRD Kota
Tasikmalaya Hasil Pemilu Legislatif 2009
dengan Hasil Pemilu Legislatif 2014 .................... 104
xi
xii
s
PENDAHULUAN
1.1.
Latar belakang
ejarah mencatat bahwa kalangan Nahdiyin di
Indonesia melalui Nahdlatul Ulama (NU) terjun ke
dunia politik praktis pada saat menyatakan
memisahkan diri dengan Masyumi, tiga tahun berikutnya
Nahdlatul Ulama mengikuti Pemilu pada tahun 1955.
Meskipun suara yang diperolehnya belum sebanding
dengan jumlah jamaah dan anggota Nahdiyin yang
tersebar di tanah air. Pada masa Demokrasi Terpimpin NU
dikenal sebagai partai yang mendukung Sukarno. Namun
setelah pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI),
NU tampil sebagai salah satu golongan yang aktif menekan
PKI, terutama lewat sayap pemudanya Gerakan Pemuda
Ansor. Pada era Orde Baru dibawah kepemimpinan
Soeharto, NU kemudian menggabungkan diri dengan
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada tahun 1973 atas
desakan penguasa Orde Baru. Pada tahun 1977 dan 1982,
setelah partai politik difusikan dari 10 Partai Politik
menjadi 3 Partai Politik yakni Golongan Karya (Golkar),
PPP dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), maka sebagian
besar kaum Nahdiyin memberikan dukungan kepada PPP,
meskipun banyak diantara kaum nahdiyin yang memberi
dukungan kepada Golkar, karena alasan Pegawai Negeri
Sipil (PNS) dan kedekatan dengan elite penguasa pada
1
masa itu. Pasca reformasi tahun 1998, pemerintah
membuka kran-kran politik bagi warga negaranya untuk
membentuk atau mendirikan partai politik. Realitas politik
menunjukkan
bahwa
Abdurrahman
Wahid
mendeklarasikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB),
kemudian tahun 1999 menjadi peserta pemilu legislatif,
hasilnya PKB memperoleh 51 kursi di DPR-RI, fenomena
inilah yang menghantarkan Gus Dur menjadi Presiden RI.
Perjalanan berikutnya pada pemilu 2004 PKB memperoleh
52 kursi DPR, Pemilu 2009 PKB memperoleh 27 kursi DPR,
dan pada tahun 2014 PKB memperoleh kursi sebanyak 47
kursi DPR. (Sumber : KPU-Pusat tahun 2014).
Dinamika politik kaum nahdiyin, tidak hanya
berlangsung di Pusat Ibu Kota Jakarta atau di daerah yang
menjadi cikal bakal berdirinya NU, namun berlangsung
pula di berbagai daerah khususnya di Pulau Jawa termasuk
di Kota Tasikmalaya. Menjelang pemilukada kota
Tasikmalaya tahun 2012, ada hal yang menarik untuk dikaji
dan dijadikan bahan pertimbangan para kandidat
Walikota/Wakil Walikota, yaitu sosok Kyai NU Pemimpin
Pondok Pesantren dan Ulama NU di luar Pondok
Pesantren. Mengapa hal ini dianggap menarik untuk dikaji
dan dijadikan bahan pertimbangan. Alasannya cukup
sederhana, bahwa peran kyai sangatlah besar dalam
kehidupan sosial masyarakat Tasikmalaya, bahkan
kepemimpinannya melebihi kapasitas seorang Lurah atau
RW dalam kehidupan masyarakat Kota Tasikmalaya.
2
Bagaimana peran kyai dalam kehidupan sosial
kemasyarakatan, sampai pada bagaimana peran kyai dalam
kehidupan politiknya, yang secara tradisional mampu
mempengaruhi sikap dan orientasi politik masyarakat di
sekitarnya. Faktor perilaku politik kyai sangat berpengaruh
dalam masyarakat, mulai dari masalah individu maupun
masalah sosial sampai pada persoalan politis dan ekonomis
yang secara bersamaan saling berinteraksi membentuk satu
kesatuan yang utuh. Belajar dari Pemilukada Kabupaten
Tasikmalaya beberapa waktu lalu, betapa besarnya peran
dan pengaruh kyai NU dan diluar NU dalam kehidupan
politik lokal. Hal ini masih terkait aspek sosiologis, bahwa
pada masyarakat kita masih banyak pengaruh
ketokohan/kebapaan (patrilineal) dalam menentukan sikap
dan tindakannya dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.
Sejarah membuktikan ketika NU lahir pada tahun
1926, dalam perkembangannya setelah kemerdekaan
sampai sekarang, NU terorganisir dengan baik.
Keterlibatan kyai NU dalam politik merupakan dampak
dari keterlibatan NU dalam politik, menjadikan mereka
ikut berkiprah dalam memenangkan partai tertentu dan
acapkali kyai yang berpolitik tidak bisa lepas dari konflik
kepentingan kepartaian dan agama, sehingga terjadi
benturan yang melibatkan umat di belakangnya. Kyai yang
menjalankan politik praktis hanya terpolarisasi dalam dua
partai yaitu PPP dan PKB. Pemerintah memberi
kemudahan terhadap kyai berupa fasilitas untuk
berdakwah, keterlibatan kyai dalam politik menimbulkan
3
sikap fanatisme yang dilakukan oleh jamaahnya dan santri.
Oleh karena itu perilaku politik kyai NU mempunyai
pengaruh pada sikap politik masyarakat. Bahkan lebih
besar pengaruhnya jika yang berperan adalah kyai yang
berasal dari Pondok Pesantren NU dan memiliki reputasi
di masyarakat.
Kehadiran Kyai Pesantren NU pada proses politik di
ranah lokal Tasikmalaya, memberikan kontribusi besar
dalam perolehan suara kandidat legislator di daerah
pemilihan Kota Tasikmalaya. Sehingga para kandidat
legislator baik untuk pusat, provinsi maupun daerah,
terutama pada masa-masa kampanye para kyai NU dari
kalangan pesantren dan pemilik pesantren difasilitasi oleh
para kandidat untuk menjadi juru kampanye menjelang
pemilu legislatif 2014. Bagaimana dengan kyai
Muhammadyah atau Persis, peran dan pengaruhnya sama
saja, yang membedakan adalah keterkaitan para kyai
Muhammadyah dan Persis dengan parpol tidak nampak
jelas sebagaimana kyai NU. Misalnya PAN yang dimotori
oleh Amin Rais pada awal berdirinya, tidak serta merta
warga muhammadiyah menjadi warga/anggota PAN, atau
PBB/PKS tidak identik dengan Persis. Namun perilaku
para kyai kesemuanya memiliki pengaruh besar terhadap
sikap dan tindakan serta orientasi masyarakatnya dalam
proses politik.
Kecenderungan kaum nahdiyin di Kota Tasikmalaya
pada pemilu legislatif 2014, melakukan pergeseran
dukungan ke partai politik lain di luar PKB dan PPP,
4
diduga karena kemelut di tubuh PKB versi Muhaemin
dengan PKB versi Gus Dur yang berkepanjangan dan tidak
menemukan titik penyelesaian di internal partai masingmasing, berimbas pada kebijakan pengurus PKB versi Gus
Dur untuk menentukan pilihannya masing-masing
anggota, kader dan simpatisannya pada pemilu legislatif
2014. Namun demikian, perolehan kursi PKB untuk DPRD
Kota Tasikmalaya, bertambah satu kursi, karena pada
pemilu legislatif 2009, PKB di Kota Tasikmalaya, hanya
mendapat satu kursi.
Sementara itu, perolehan kursi dari PPP untuk Kota
Tasikmalaya bertambah satu kursi dari sembilan kursi hasil
pemilu legislatif 2009, menjadi sepuluh kursi hasil pemilu
legislatif 2014. Fenomena inilah yang menjadi menarik
untuk diteliti, apakah penambahan suara di PKB dan PPP
Kota Tasikmalaya, berasal dari pemilih yang bukan massa
NU atau dari kalangan Nahdiyin khususnya pemilih
pemula. Jika kita telaah dari jumlah pengurus
partai/anggota/kader, masing-masing partai, maka jumlah
suara yang diperolehnya sudah barang tentu lebih banyak
dari yang diperoleh pada pemilu legislatif 2014.
Persoalannya adalah perkiraan jumlah Nahdiyin di Kota
Tasikmalaya yang sangat besar, namun hasil yang di dapat
tidak sesuai dengan jumlah Nahdiyin di kedua partai
tersebut, padahal jumlah pemilih pada pemilu legislatif
tahun 2014 sebanyak 473.596 orang.
Disisi lain, dukungan Nahdiyin ke partai Islam lain
adalah diduga karena kemelut yang terjadi di tubuh DPC-
5
PPP Kota Tasikmalaya, ditandai dengan keluarnya Surat
Peringatan (SP) yang keluarkan oleh Pengurus Harian DPC
PPP Kota Tasikmalaya kepada sejumlah kadernya yang
tercatat sebagai pengurus DPC PPP. Konflik pun menjadi
memanas karena kader yang diberi surat peringatan ini
adalah kader militan yang pengaruhnya pun cukup kuat
.Mereka yang diberi SP oleh pengurus DPC PPP Kota
Tasikmalaya adalah mantan Ketua DPC PPP Kota Tasik,
Otong Koswara yang saat itu menjabat sebagai Ketua
DPRD Kota Tasikmalaya. Selain Otong, dua tokoh senior
PPP yang juga sebagai perintis lahirnya PPP Kota
Tasikmalaya, yaitu Pepen Ruspendi dan Yeyen Munawar,
dan Fakhrurrazi Lubis. Mereka diberi Surat Peringatan oleh
Pengurus Harian DPC PPP Kota Tasikmalaya karena
dianggap tidak loyal terhadap keputusan partai.
Ketidakloyalan itu, menurut pengurus DPC PPP, terlihat
dari sikap politik mereka dalam menghadapi Pilkada Kota
Tasik 2012 lalu. Perpecahan yang terjadi di Kepengurusan
Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Kota Tasikmalaya,
menyusul pengunduran diri Wakil Ketuanya, H. Omay
Qomarudin yang mundur dari jabatannya setelah beberapa
bulan ditetapkan sebagai unsur pimpinan di partai
berlambang kabah pada bulan Juni 2011. (Sumber :
Kompas.com, juni 2011 diunduh pada hari Selasa 17 Februari
2015, pk.12.29)
1.2.
Fokus Penulisan
Kemelut yang terjadi menjelang pemilu legislatif 2014
di tingkat pusat, yang terkait dengan ketua umum PPP
6
yang terindikasi melakukan penyimpangan keuangan
tentang dana haji dan ikut serta pada kampanye partai
Gerindra, sehingga pengurus, kader dan simpatisan kubu
PPP, banyak yang mengalihkan dukungannya ke partai
Islam lain seperti ; PAN, PBB, PKS, maupun ke partai yang
berbasis nasionalis, seperti PDIP, Gerindra, Hanura,
NasDem. Pergeseran sikap politik massa nahdiyin PPP dan
PKB inilah yang menarik untuk diteliti dan dikaji,
disamping fenomena lain yang terkait dengan interest
pengurus dan kader partai PKB dan PPP dalam proses
politik di tingkat lokal Kota Tasikmalaya, serta yang terkait
dengan
bargaining
politic
pada
ranah
kedudukan/kekuasaan tingkat lokal, maupun pada tataran
akomodasi kepentingan partai/pengurus partai/kader/
warga NU, dengan pihak penguasa lokal. Kecenderungan
pemilih massa NU di Kota Tasikmalaya, tidak terlepas dari
pengaruh politik nasional, khususnya yang terkait dengan
partisipasi pemilih pada berbagai kegiatan pemilu, baik
tingkat nasional, tingkat daerah provinsi (Pilgub) maupun
pada pemilukada untuk pemilihan calon Bupati/Walikota.
Melorotnya prosentase pemilih yang menggunakan hak
suaranya terjadi pada pemilu 2004 dan Pilpres. Ironisnya
titik penurunan itu terjadi saat demokrasi dan kebebasan
sangat terbuka lebar. Pada Pemilu 1999, pemilih yang tidak
menggunakan hak pilihnya alias golput, naik menjadi 7,2
persen dibandingkan Pemilu 1997 yang hanya 6,4 persen
saja. Puncak penurunan partisipasi itu terjadi saat Pemilu
2004 lalu. Dalam tiga rangakaian pemilu yang
7
diselenggarakan secara berurutan kala itu, sebanyak 16
persen dari pemilih terdaftar tidak menyumbangkan
suaranya untuk pemilu legislatif.
Kemudian, angka ini mengalami kenaikan menjadi
21,77 persen pada saat pilpres putaran pertama. Pada
akhirnya, angka ini kembali mengalami kenaikan pada saat
pilpres putaran kedua menjadi 23,37 persen. Lalu mengapa
orang tidak memilih.? Secara teoritis yang dapat
menjelaskan hal ini yaitu melalui pendekatan teori-teori
perilaku pemilih (voter behavior) dan pemahaman sistem
kepartaian yang berlaku. Alasan lain ialah, warga
masyarakat yang tidak terdaftar pada DPT, karena sedang
berada di luar daerah dan tidak bisa pulang karena alasan
ekonomi atau alasan jarak tempuh, atau karena sedang
sakit dan tidak dapat hadir di TPS, atau telah terdaftar di
DPT akan tetapi tidak dapat hadir di TPS karena
menjalankan tugas (masinis kereta api, supir Bus, awak
kapal dll). Di beberapa tempat warga masyarakat
menganggap bahwa golput sebagai hal yang wajar dan
biasa, karena interpretasi warga masyarakat tersebut
bahwa golput adalah singkatan dari “golongan pemungut
uang tunai “. Mereka melakukan transaksi dengan beberapa
calon jika ingin mendapat dukungan dari kelompoknya,
ironisnya siapa yang berani memberi/ membayar dengan
jumlah yang besar, maka calon tersebut yang akan
didukungnya. Jika hal ini terus dibiarkan dan merambah ke
sejumlah warga masyarakat lain, maka demokrasi yang
dilakukan di tingkat arus bawah adalah demokrasi
8
transaksional, bukan nilai demokrasi substansial. Hal
tersebut harus menjadi pekerjaan rumah seluruh partai
politik, pemerintah daerah, pemuka agama, tokoh
masyarakat, untuk meluruskan pandangan dan sikap yang
keliru. (Edi Kusmayadi, 2014 : 23 – 25)
1.3.
Maksud Penulisan
Penulisan buku ini dimaksudkan untuk mengetahui
dan memahami bagaimana proses terjadinya pergeseran
sikap/pandangan/orientasi politik, dan faktor-faktor yang
menyebabkan pergeseran sikap/pandangan/orientasi
politik massa NU PPP dan PKB, pada pemilu legislatif 2014
di Kota Tasikmalaya.
1.4.
Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui
dan menganalisis proses terjadinya pergeseran sikap/
pandangan/orientasi politik massa NU PPP dan PKB, serta
untuk mengetahui dan menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi pergeseran sikap/pandangan/ orientasi
politik massa NU, kader, anggota dan simpatisan partai
politik PPP dan PKB pada pemilu legislatif 2014 di Kota
Tasikmalaya.
1.5.
Kegunaan Penulisan
Secara akademis penulisan ini diharapkan dapat
menambah khazanah ilmu pengetahuan dalam;
1. Pengembangan Ilmu Politik, terutama yang terkait
dengan konsep pemilihan umum dan politik lokal.
9
2.
3.
Pendekatan tentang sikap dan perilaku pemilih pada
pesta demokrasi di ranah lokal menjadi hal yang
menarik untuk dikaji dan dijadikan bahan untuk
pengembangan ilmu politik.
Dinamika politik lokal memberi gambaran tentang
proses interaksi dan interdependensi warga
masyarakat lokal dalam peristiwa dan hajatan pemilu
di daerah.
Faktor-faktor
yang
mempengaruhi
terjadinya
pergeseran sikap politik masyarakat, diharapkan
memberi manfaat pengetahuan bagi kajian ilmu
politik khususnya politik lokal dan kajian demokrasi
di tingkat lokal, bagi mahasiswa, akademisi dan
masyarakat luas.
Secara praktis, penulisan ini diharapkan dapat
memberikan masukan dan kontribusi bagi berbagai pihak
dan kalangan yang terkait dalam pengelolaan partai politik
dan pembinaan masyarakat.
Pertama, bagi pemerintah daerah, hasil penelitian
diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan pelajaran
bagi pembinaan partai politik di daerah terkait dengan
adanya konflik internal partai politik di Kota Tasikmalaya;
Kedua, Pengurus NU Kota Tasikmalaya, Pimpinan
Partai Politik PPP dan PKB khususnya, dan partai politik
lain peserta pemilu legislatif tahun 2014 di Kota
Tasikmalaya,
hasil
penelitian
diharapkan
dapat
mengungkap hal-hal yang positif, adanya pergeseran
sikap/pandangan/orientasi massa NU PPP dan PKB,
10
untuk dijadikan bahan pertimbangan dan kebijakan
pembinaan melalui pendekatan kultural dan manajemen
daya sentuh kepada massa NU di berbagai wilayah di Kota
Tasikmalaya.
1.6.
Hasil Penelitian Politik Lokal
Penelitian politik lokal dengan tema tentang sikap
dan perilaku politik yang dilakukan oleh penulis dan
penelitian pihak lain di Kota Tasikmalaya sebelumnya,
adalah sebagai berikut;
1. Hasil penelitian terdahulu yang dilakukan Oleh
Akhmad Satori dan Mohammad Ali Andrias, dengan
judul “Pergeseran Perilaku Politik Islam Tradisional
Pasca Pemilu Legislatif Tahun 2009 di Kota Tasikmalaya”
menyimpulkan sebagai berikut: bahwa terdapat
pergeseran perilaku memilih di kalangan Islam
tradisional di Tasikmalaya, hal ini tidak terlepas dari
beberapa faktor, antara lain: pertama, semakin
rasionalnya warga NU dalam partisipasi politik
untuk memilih; kedua, pengaruh teknologi, informasi
dan budaya politik; ketiga, sebagian besar warga NU
cenderung pragmatis atau moderat dalam masalah
politik; keempat, tidak menafikan bahwa pecahnya
kongsi Muhaemin dan Gus-Dur ikut berpengaruh
terhadap partisipasi politik warga NU secara umum,
sehingga warga NU bingung menentukan sikap
untuk memilih; kelima, pergeseran perilaku pemilih
NU dengan pecahnya kongsi PKB, menjadikan
perolehan suara PKB semakin melorot, ini yang
11
2.
3.
12
menyebabkan warga NU tidak tertarik lagi dengan
politik.
Hasil penelitian yang dilakukan Subhan Agung,
Tahun 2013 dengan Judul; “Pergeseran Perilaku Politik
Elit dalam Proses dan Pasca Pemilukada Kota Tasikmalaya
2012” yang menekankan pada aspek pergeseran
pendukung calon Syarif Hidayat ke pasangan BudiDede, Pergeseran tersebut disebabkan oleh faktor
politis yaitu tidak terakomodasikannya kepentingan
lembaga dan pertimbangan elelktabilitas calon yang
diusung, pergeseran sikap dan perilaku politik
karena terdapat eskalasi informasi dari berbagai
media yang mempengaruhi suka dan tidak suka
pemilih terhada elit yang akan dipilih.
Hasil Penelitian penulis dan Subhan Agung, Rino
Sundawa, Tahun 2012 dengan judul penelitin :
“Dinamika elit politik menjelang pilkada Kota
Tasikmalaya“. Penelitian terfokus pada dinamika elit
politi/elit parpol yang akan mencalonkan dan
dicalonkan oleh partai politik di Kota Tasikmalaya.
Peran yang dilakukan partai politik dalam
membangun koalisasi untuk mengusung kandidat
yang dianggap kapabel oleh semua parpol
pendukungnya setelah ada komitmen politik parpol
pendukung. Peran kyai dan ulama yang berpengaruh
di Kota Tasikmalaya, pada proses marketing politik
untuk mempengaruhi massa/masyarakat pemilih
pada pilkada tahun 2012 di Kota Tasikmalaya. Pada
proses menjelang Pemilukada Kota Tasikmalaya,
4.
terjadi manufer politik yang dilakukan oleh elit
politik dan Partai Politik. Manufer politik yang
dilakukannya terkait dengan komitmen untuk
melakukan bargaining position elit politik, baik yang
terkait dengan posisi di Partai Politik maupun di luar
partai politik. Demikian pula yang terjadi dengan
pembuatan rancangan bargaining politik lainnya,
misalnya tentang kontribusi bakal calon wakil
walikota dari partai yang akan berkoalisi, atau
seberapa besar nilai yang didapat dari partai politik
yang mengusung kandidat walikota dari partai yang
akan ikut koalisi dijadikan konsideran dalam memilih
partai koalisi.
Hasil Penelitian yang dilakukan penulis pada Tahun
2014, dengan judul; “Respon Pemilih terhadap calon
legislatif pada Pemilu Legislatif 2014 di Daerah Pemilihan
I (Kecamatan Cihideung, Tawang dan Bungursari).
Bahwa respon pemilih terhadap calon legislatif tidak
lagi memperhatikan simbol dan lambang partai,
masyarakat
lebih
memilih
individu/person
dibandingkan dengan memilih partai politik tertentu.
Alasan yang mereka kemukakan ialah, bahwa partai
politik seringkali memberikan alasan-alasan tertentu
yang tidak banyak dipahami oleh warga masyarakat,
seperti misalnya program yang dijalankan oleh
pemerintah daerah adalah merupakan hasil
perjuangan partai politik tertentu. Sikap responden
lebih baik memilih individunya daripada partai
politik pengusungnya, hal ini disebabkan intensitas
13
5.
14
sosialisasi terhadap warga masyarakat seringkali
dilakukan oleh perorangan daripada sosialisasi partai
politiknya. Dari 12 partai politik peserta pemilu
legislatif, yang banyak dikenal oleh responden adalah
sebagai berikut; PPP 26,6 persen, Golkar 13,3 persen,
PDIP 20 persen, PKS 6,6 persen, PAN 10 persen, PKB
3,3 persen, PBB 3,3 persen, Demokrat 10 persen,
Gerindra 3,3 persen, Hanura 3,3 persen, Nasdem
tidak tahu, Partai PPKI tidak tahu.
Hasil penelitian tahun 2015, dengan judul “Pergeseran
Sikap Politik Massa NU PPP dan PKB pada Pemilu
Legislatif 2014”. Penelitian ini dilakukan atas dasar
pengalaman penulis di lapangan, pada saat penelitian
pada tahun 2014, karena hasil pemilu 2014,
menunjukkan adanya dinamika politik masyarakat di
Kota Tasikmalaya, terkait dengan kekisruhan pada
partai politik peserta pemilu legislatif 2014. Pada
pemilu legislatif tahun 2014, terjadi pergeseran
pilihan atau dukungan khususnya pada parpol yang
memiliki basis massa NU; Pergeseran di tubuh parpol
di tingkat lokal Tasikmalaya, berpengaruh pada
perolehan kursi DPRD, dan merubah peta kekuatan
politik di arus bawah. Pergeseran yang terjadi di
tataran basis massa partai politik, tidak serta merta
dipengaruhi oleh keluarnya atau berpindahnya elite
politik dari partai politik tertentu ke partai politik
lain, melainkan ada faktor lain yang berpengaruh,
yaitu ; manuver politik yang dilakukan elite parpol di
tingkat lokal, baik dalam proses pencalonan
Walikota/Wakil Walikota khususnya yang berkaitan
dengan keputusan berkoalisi dengan partai politik
lain; penyebab lain ialah adanya pengaruh kyai
pimpinan pondok pesantren atau ulama/ustadz/
ajengan di luar pondok pesantren terhadap massa
NU, serta kurangnya manajemen daya sentuh elite
parpol terhadap kader dan anggota partai.
15
SIKAP POLITIK
2.1.
Sikap Politik dan Sikap Kemasyarakatan NU
enurut G.W. Alport (dalam Tri Rusmi
Widayatun, 1999 :218) sikap adalah kesiapan
seseorang untuk bertindak. Seiring dengan
pendapat G.W. Alport di atas Tri Rusmi Widayatun
memberikan pengertian sikap adalah “keadaan mental dan
syaraf dari kesiapan, yang diatur melalui pengalaman yang
memberikan pengaruh dinamik atau terarah terhadap
respon individu pada semua obyek dan situasi yang
berkaitan dengannya. Jalaluddin Rakhmat (1992:39)
mengemukakan lima pengertian sikap, yaitu: Pertama,
sikap adalah kecenderungan bertindak, berpersepsi,
berpikir, dan merasa dalam menghadapi objek, ide, situasi,
atau nilai. Kedua, sikap mempunyai daya penolong atau
motivasi. Ketiga, sikap lebih menetap. Keempat, sikap
mengandung aspek evaluatif: artinya mengandung nilai
menyenangkan atau tidak menyenangkan. Kelima, sikap
timbul dari pengalaman: tidak dibawa sejak lahir, tetapi
merupakan hasil belajar. Karena itu sikap dapat diperteguh
atau diubah.
La Piere (dalam Azwar,1995:5), mendefinisikan sikap
sebagai perilaku, tendensi atau kesiapan antisipatif,
predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial.
M
16
Lebih lanjut Anwar (1995:6) menyatakan bahwa ada dua
pendekatan baru dalam mendefinisikan sikap yang
dikembangkan oleh para psikologi sosial mutakhir.
Pendekatan pertama adalah memandang sikap sebagai
kombinasi reaksi kognitif, afektif dan perilaku terhadap
suatu obyek. Ketiga komponen ini secara bersama-sama
mengorganisasikan sikap individu. Pendekatan kedua
timbul dikarenakan adanya ketidakpuasan atas penjelasan
mengenai inkonsistensi yang terjadi antara ketiga
komponen kognisi, afeksi dan konasi dalam membentuk
sikap. Pengikut pendekatan ini memandang perlu untuk
membatasi konsep sikapnya pada aspek afektif saja.
Definisi yang mereka ajukan mengatakan bahwa sikap
tidak lain adalah penilaian (afek) positif atau negatif
terhadap suatau obyek. Sedang komponen kecenderungan
bertindak berkenaan dengan keinginan individu untuk
melakukan perbuatan sesuai dengan keyakinan dan
keinginannya. Sikap seseorang terhadap suatu obyek atau
subyek dapat positif atau negatif. Manifestasi sikap terlihat
dari tanggapan seseorang apakah ia menerima atau
menolak, setuju atau tidak setuju terhadap obyek atau
subyek. Komponen sikap berkaitan satu dengan yang
lainnya. Dari manapun kita memulai dalam analisis sikap,
ketiga komponen tersebut tetap dalam ikatan satu sistem.
Sikap individu sangat erat kaitannya dengan perilaku
mereka. Jika faktor sikap telah mempengaruhi ataupun
menumbuhkan sikap seseorang, maka antara sikap dan
perilaku adalah konsisten, sebagaimana yang dikemukakan
17
oleh Krech dan Ballacy, Morgan King, dan Howard. Pakar
psikologi memberi batasan yang sama tentang pengertian
sikap, seperti yang dikemukakan oleh ahli psikologi W.J
Thomas (dalam Edi Kusmayadi, 2014:26), yang
memberikan
batasan
sikap
sebagai
tingkatan
kecenderungan yang bersifat positif maupun negatif, yang
berhubungan dengan obyek psikologi. Obyek psikologi di
sini meliputi : simbol, kata-kata, slogan, orang, lembaga,
ide dan sebagainya. Sarnoff dalam Sarwono, 2000 (dalam
Edi Kusmayadi 2014:26) mengidentifikasikan sikap sebagai
kesediaan untuk bereaksi (disposition to react) secara positif
(favorably) atau secara negatif (unfavorably) terhadap obyek
– obyek tertentu. D. Krech dan R.S Crutchfield, dalam
Sears, 1999 (dalam Edi Kusmayadi 2014:26) berpendapat
bahwa sikap sebagai organisasi yang bersifat menetap dari
proses motivasional, emosional, perseptual, dan kognitif
mengenai aspek dunia individu.
Meskipun ada beberapa perbedaan pengertian sikap,
tetapi berdasarkan pendapat tersebut di atas, bahwa sikap
adalah keadaan diri dalam manusia yang menggerakkan
untuk bertindak atau berbuat dalam kegiatan sosial dengan
perasaan tertentu di dalam menanggapi obyek situasi atau
kondisi di lingkungan sekitarnya. Selain itu sikap juga
memberikan kesiapan untuk merespon yang sifatnya
positif atau negatif terhadap obyek atau situasi. Bila konsep
sikap dihubungkan dengan politik, maka sikap tersebut
dapat dilakukan individu atau berbagai kelompok. Sikap
politik dapat diartikan sebagai suatu kesiapan bertindak,
18
berpersepsi seseorang atau kelompok untuk mengahadapi,
merespon masalah-masalah politik yang terjadi yang
diungkapkannya dengan berbagai bentuk.
Sebagai contoh, ada kebijakan yang dikeluarkan
pihak yang berwenang akan menimbulkan reaksi yang
bermacam-macam. Ada yang menerima sebagaimana
adanya, ada yang menyatakan penolakan, ada yang
melakukan protes secara halus, ada yang melakukan unjuk
rasa dan ada pula yang lebih suka diam tanpa memberikan
reaksi apa-apa. Karena diam juga dapat dikatakan sebagai
sikap politik, sebab dengan diam tidak berarti bahwa yang
bersangkutan tidak memiliki penghayatan terhadap objek
atau persoalan tertentu yang ada disekitarnya. Diam dapat
berarti setuju, dapat berarti netral, dapat berarti menolak,
akan tetapi merasa tidak berdaya untuk membuat pilihan.
Menurut Fadillah Putra ( 2003 : 200 ) sikap politik
adalah merupakan hubungan atau pertalian diantara
keyakinan yang telah melekat dan mendorong seseorang
untuk menanggapi suatu obyek atau situasi politik dengan
cara tertentu. Sikap dan perilaku masyarakat dipengaruhi
oleh proses dan peristiwa historis masa lalu dan
merupakan kesinambungan yang dinamis. Peristiwa atau
kejadian politik secara umum maupun yang menimpa pada
individu atau kelompok masyarakat, baik yang
menyangkut sistem politik atau ketidak stabilan politik,
janji politik dari calon pemimpin atau calon wakil rakyat
yang tidak pernah ditepati dapat mempengaruhi perilaku
politik masyarakat. Sikap politik dapat diungkapkan dalam
19
berbagai bentuk. Bila sikap politik tersebut bersifat positif,
maka perilaku politik yang ditunjukkan akan bersifat
positif. Sebaliknya, bila sikap politik yang ditunjukkan
bersifat negatif, maka perilaku politik yang ditunjukan nya
bersifat negatif. Positif atau negatifnya suatu sikap politik,
tergantung pada beberapa hal, yakni ideologi dari aktor
sikap politik tersebut, organisasi yang menunjukan sikap
politik tersebut, budaya-budaya yang hidup di lingkungan
aktor sikap politik tersebut.
Sikap politik NU seperti yang tertera pada poin 4,
Pokok-Pokok Pikiran tentang Khittah NU 1926 (dalam HA.
Thoyfoer MC, 2010:41-42), yang menegaskan bahwa;
penjelasan sikap kemasyarakatan Nahdlatul Ulama yang
dirumuskan dalam empat bentuk sikap, yaitu;
a. Sikap Tawassuth Wal-I‟tidal (tengah-tengah dalam
hidup bersama serta selalu jujur);
b. Sikap Tasamuh (toleran dan saling menghormati
terhadap perbedaan pendapat);
c. Sikap Tawazun (menyelaraskan sikap berkhidmah
pada Alloh SWT, dalam arti kepentingan akhirat”,
dan sikap pada kepentingan lingkungan untuk
kemaslahatan hidup di dunia);
d. Sikap yang selalu ber-Amar Ma‟ruf Nahi Munkar
untuk mendorong dirinya dan orang lain agar
berbuat baik serta meninggalkan perbuatan yang
tidak terpuji.
Sikap kemasyarakatan Nahdlatul Ulama pada tataran
akar rumput, sudah barangtentu akan berbeda dalam
20
tataran operasional kehidupan kemasyarakatan dan
kehidupan politik maupun pada pengamalan ajaran agama
Islam, hal ini dikarenakan pokok-pokok pikiran tersebut
tidak dilakukan sosialisasi instruksi PBNU, sehingga tidak
terinternalisasi di massa pendukung NU/kaum Nahdiyin.
Namun jika dikaji lebih dalam makna dari hasil Muktamar
NU ke 28 di Yogyakarta, berkaitan dengan “ijtihad” politik
yang seringkali mendorong berubahnya keputusan dan
perilaku politik NU. Terdapat sembilan pokok pedoman
bagi warga NU dalam bidang politik. Seperti yang
dikemukakan Hairus Salim dan Nurudin Amin (1997 : 45
dalam Asep Saeful Muhtadi 2004 :35), yaitu antara lain;
1. Berpolitik bagi NU mengandung arti keterlibatan
warga negara dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara secara menyeluruh sesuai dengan
Pancasila dan UUD 1945;
2. Politik bagi NU adalah politik yang berwawasan
kebangsaan dan menuju integrasi bangsa dengan
langkah-langkah yang senantiasa menjunjung tinggi
persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita-cita
bersama, yaitu terwujudnya masyarakat yang adil
dan makmur lahir batin, dan dilakukan sebagai amal
ibadah menuju kebahagiaan di dunia dan kehidupan
akhirat;
3. Politik NU adalah pengembangan nilai-nilai
kemerdekaan yang hakiki dan demokratis, mendidik
kedewasaan bangsa untuk menyadari hak, kewajiban
21
4.
5.
6.
7.
8.
9.
22
dan tanggung jawab untuk mencapai kemaslahatan
bersama.
Berpolitik bagi NU haruslah dilakukan dengan moral,
etika dan budaya yang ber-Ketuhanan Yang Maha
Esa, berperikemanusiaan yang adil dan beradab,
menjunjung tinggi persatuan Indonesia, berKerakyatan
yang
dipimpin
oleh
hikmah
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilam,
dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Berpolitik bagi NU haruslah dilakukan dengan
kejujuran nurani dan moral agama, konstitusional,
adil sesuai dengan peraturan dan norma-norma yang
disepakati, serta dapat mengembangkan mekanisme
musyawarah dalam memecahkan masalah bersama.
Berpolitik bagi NU dilakukan untuk memperkokoh
konsensus-konsensus nasional, dan dilaksanakan
sesuai dengan ahlaqul karimah sebagai pengamalan
ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jamaah.
Berpolitik Bagi NU, dengan dalih apapun, tidak boleh
dilakukan dengan mengorbankan kepentingan
bersama dan memecah belah persatuan.
Perbedaan pandangan diantara aspirasi-aspirasi
politik warga NU harus tetap berjalan dalam suasana
persaudaraan, tawadu dan saling menghargai satu
sama lain, sehingga dalam berpolitik itu tetap dijaga
kesatuan dan persatuan di lingkungan NU.
Berpolitik bagi NU menuntut adanya komunikasi
kemasyarakatan timbal balik dalam pembangunan
nasional
untuk
menciptakan
iklim
yang
memungkinkan
perkembangan
organisasi
kemasyarakatan yang lebih mandiri dan mampu
melaksanakan fungsinya sebagai sarana masyarakat
untuk berserikat, menyalurkan aspirasi serta
berpartisipasi dalam pembangunan.
Pedoman ini, sedianya dijadikan sebagai landasan
operasional bagi partai politik dengan basis massa NU baik
di tingkat pusat maupun di daerah. Agar partai politik
dengan basis massa warga nahdiyin dapat meraih suara
banyak di berbagai daerah dan memiliki perwakilan yang
dapat memperjuangkan aspirasi dan kepentingan warga
nahdiyin. Pada tataran akar rumput warga nahdiyin,
pedoman tersebut tidak banyak yang mengetahui, mereka
cenderung bersifat pragmatis, dan mengikuti jejak sikap
dan perilaku politik warga nahdiyin lainnya. Warga
nahdiyin lebih mengedepankan loyalitasnya kepada apa
yang disampaikan oleh kyai atau ustadz maupun ajengan,
daripada harus bersikap dan berperilaku yang
diperintahkan oleh pengurus organisasi atau partai politik.
2.2.
Perilaku Politik dan Perilaku Pemilih
Mohammad Ali Andrias (dalam Edi Kusmayadi,
2014:24), menyebutkan bahwa jika dilihat dari sudut
pandang perilaku pemiliih, maka terdapat beberapa teori
besar yang membantu kita mendapatkan jawaban mengapa
orang tidak memilih. Teori tersebut diantaranya teori
sosiologis, teori psikologi, teori ekonomi-politik dan teori
23
struktur. Teori sosial memberi gambaran bagi pemilih yang
tidak menggunakan hak pilihnya dari status sosial, teori
psikologik memberi penjelasan bahwa kedekatan seseorang
dengan partai dan kandidat akan mempengaruhi pilihanpilihan politiknya, sedangkan teori ekonomi politik
memberi penjelasan bahwa golput dilakukan melalui
pertimbangan-pertimbangan secara rasional. Adapun teori
struktur merupakan bagian di luar perilaku pemilih yang
berhubungan dengan struktur dan sistem politik yang
berlaku. Teori-teori ini cukup memberikan informasi secara
ilmiah tentang tipologi dan karakteristik golput.
Realitas politik lokal, menggambarkan ketidak
hadiran pemilih ke tempat pemungutan suara (TPS)
disebabkan oleh beberapa alasan, termasuk dalam
penghitungan suara di TPS masih banyak terdapat surat
suara yang tidak dicoblos, sehingga dikatergorikan tidak
sah, yang kemudian terakumulasikan pada jumlah suara
yang tidak sah, sehingga dianggap oleh masyarakat awam
sebagai sesuatu yang sama nilainya dengan ketidak
hadiran warga di TPS. Pada beberapa TPS pada saat pemilu
legislatif, masih banyak terdapat warga masyarakat yang
tidak menggunakan hak pilihnya dikarenakan berbagai
alasan. Ketidak hadiran pemilih di tempat pemungutan
suara menandakan kurangnya kesadaran warga negara
pada proses politik, yang pada akhirnya tingkat partisipasi
politik pada proses pemilu menjadi tidak optimal.
Sedangkan yang dimaksud dengan perilaku politik
adalah tindakan atau kegiatan seseorang atau kelompok
24
dalam kegiatan politik. Menurut Ramlan Surbakti ( 1992 :
131 ), mengemukakan bahwa perilaku politik adalah
sebagai kegiatan yang berkenaan dengan proses
pembuatan dan keputusan politik. Perilaku politik
merupakan salah satu unsur atau aspek perilaku secara
umum, disamping perilaku politik, masih terdapat
perilaku-perilaku lain seperti perilaku organisasi, perilaku
budaya, perilaku konsumen/ekonomi, perilaku keagamaan
dan lain sebagainya.
Fadillah Putra (2003 : 200 ). Menyebut bahwa perilaku
politik meliputi tanggapan internal seperti persepsi, sikap,
orientasi dan keyakinan serta tindakan-tindakan nyata
seperti pemberian suara, protes, lobi dan sebagainya.
Persepsi politik berkaitan dengan gambaran suatu obyek
tertentu, baik mengenai keterangan, informasi dari sesuatu
hal, maupun gambaran tentang obyek atau situasi politik
dengan cara tertentu. Sedangkan sikap politik adalah
merupakan hubungan atau pertalian diantara keyakinan
yang telah melekat dan mendorong seseorang untuk
menanggapi suatu obyek atau situasi politik dengan cara
tertentu. Sikap dan perilaku masyarakat dipengaruhi oleh
proses dan peristiwa historis masa lalu dan merupakan
kesinambungan yang dinamis. Peristiwa atau kejadian
politik secara umum maupun yang menimpa pada
individu atau kelompok masyarakat, baik yang
menyangkut sistem politik atau ketidak stabilan politik,
janji politik dari calon pemimpin atau calon wakil rakyat
25
yang tidak pernah ditepati dapat mempengaruhi perilaku
politik masyarakat.
Perilaku pemilih merupakan tingkah laku seseorang
dalam menentukan pilihannya yang dirasa paling disukai
atau paling cocok. Secara umum teori tentang perilaku
memilih dikategorikan kedalam dua kubu yaitu ; Mazhab
Colombia dan Mazhab Michigan ( Fadillah Putra , 2003 : 201 ).
Mazhab Colombia menekankan pada faktor sosiologis
dalam
membentuk
perilaku
masyarakat
dalam
menentukan pilihan di pemilu. Model ini melihat
masyarakat sebagai satu kesatuan kelompok yang bersifat
vertikal dari tingkat yang terbawah hingga yang teratas.
Penganut pendekatan ini percaya bahwa masyarakat
terstruktur oleh norma-norma dasar sosial yang
berdasarkan atas pengelompokan sosiologis seperti agama,
kelas ( status sosial ), pekerjaan, umur, jenis kelamin
dianggap mempunyai peranan yang cukup menentukan
dalam membentuk perilaku memilih. Oleh karena itu
preferensi pilihan terhadap suatu partai politik merupakan
suatu produk dari karakteristik sosial individu yang
bersangkutan (Gaffar, Affan, 1992 : 43 ). Kelemahan
mazhab ini antara lain;
1. Sulitnya mengukur indikator secara tetap tentang
kelas dan tingkat pendidikan karena kemungkinan
konsep kelas dan pendidikan berbeda antara Negara
satu dengan lainnya;
2. Norma sosial tidak menjamin seseorang menentukan
pilihannya tidak akan menyimpang.
26
Mazhab Michigan menekankan pada faktor
psikologis pemilih, artinya penentuan pemilihan
masyarakat banyak dipengaruhi oleh kekuatan psikologis
yang berkembang dalam dirinya, yang merupakan akibat
dari proses sosialisasi politik. Sikap dan perilaku pemilih
ditentukan oleh idealisme, tingkat kecerdasan, faktor
biologis, keinginan dan kehendak hati. Jenis pemilih
menurut Firmanzah, (2008:120-124) antara lain; Pemilih
rasional; pemilih jenis ini memiliki ciri khas yang tidak
begitu mementingkan ikatan ideologi kepada suatu partai
politik atau seorang kontestan. Faktor seperti paham, asalusul, tradisional, budaya, agama dan psikografis memang
dipertimbangkan juga, tetapi bukan hal yang signifikan.
Pemilih dalam hal ini ingin melepaskan hal-hal yang
bersifat dogmatis, „tradisional,‟ dan ikatan lokasi dalam
kehidupan politiknya. Analisis kognitif dan pertimbangan
logis sangat dominan dalam proses pengambilan
keputusan.
Hal yang terpenting bagi jenis pemilih ini adalah apa
yang bisa (dan yang telah) dilakukan oleh sebuah partai
atau seorang kontestan, dari pada paham dan nilai partai
atau kontestan. Pemilih kritis, pemilih jenis ini merupakan
perpaduan antara tingginya orientasi pada kemampuan
partai politik atau seorang kontestan dalam menuntaskan
permasalahan bangsa maupun tingginya orientasi mereka
akan hal-hal yang bersifat ideologis. Pentingnya ikatan
ideologis membuat loyalitas pemilih terhadap sebuah
partai atau seorang kontestan cukup tinggi dan tidak
27
semudah „rational voter‟ untuk berpaling ke partai lain.
Pemilih jenis ini adalah pemilih yang kritis, artinya mereka
akan selalu menganalisis kaitan antara sistem nilai partai
(ideology) dengan kebijakan yang dibuat. Tiga
kemungkinan akan muncul ketika terdapat perbedaan
antara nilai ideology dengan „platform‟partai: (1)
memberikan kritik internal, (2) frustasi, dan (3) membuat
partai baru yang memiliki kemiripan karakteristik ideology
dengan partai lama.
Pemilih tradisional adalah jenis pemilih yang bisa
dimobilisasi selama periode kampanye Loyalitas tinggi
merupakan salah satu ciri khas paling kelihatan bagi
pemiilh jenis ini. Apa saja yang dibilang dan dikatakan oleh
seorang leader politik merupakan sebuah kebenaran yang
sulit dibantah. Ideologi diangap sebagai satu landasan
dalam membuat suatu keputusan serta bertindak, dan
terkadang kebenarannya tidak bisa diganggu gugat.
Pemilih skeptis, pemilih keempat adalah pemilih yang
tidak memiliki orientasi ideologi cukup tinggi dengan
sebuah partai atau seorang kontestan, juga tidak
menjadikan kebijakan sebagai sesuatu yang penting.
Keinginan untuk terlibat dalam sebuah partai politik pada
pemilih jenis ini sangat kurang, karena ikatan ideologis
mereka memang rendah sekali.
2.3.
Kyai dan Pesantren
Seperti dikemukakan Nur Syam (2013), Dosen
Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel Surabaya, bahwa
Kyai dan tokoh pesantren sering kali menjadi lahan sasaran
28
para politisi dalam membangun basis dukungan politik.
Pada setiap Pemilihan Umum (Pemilu) maka suara kyai
dan santri selalu diperebutkan bukan saja oleh partai-partai
politik berbasis Islam saja melainkan juga partai-partai
politik berbasis nasionalis. Dalam upaya meraup simpati
dari kalangan Islam yang menjadi pengikut setia kyai,
banyak partai politik yang menempatkan kyai dan tokoh
pesatren pada jajaran pengurus partai dengan harapan
dapat menjadi vote getter dalam pemilu.
Kecenderungan ini disatu sisi memperluas akses
politik kalangan Islam. Sedikit banyak hal ini tentu juga
memberikan perluasan pengaruh Islam pada berbagai
kelompok
politik,
sebagaimana
ditandai
dengan
munculnya sayap Islam dalam PDIP. Di sisi lain, situasi ini
juga melahirkan fragmentasi politik yang unik di kalangan
umat Islam sendiri, berupa terulangnya oportunisme
politik di kalangan tokoh-tokoh politik Islam sebagaimana
pengalaman era 1950-an. Pergulatan politik antar tokoh
Islam sendiri memperlihatkan kuatnya oportunisme di
kalangan politisi muslim. Perbedaan afiliasi politik
menjadikan mereka nyaris tidak pernah satu suara dalam
menyikapi berbagai persoalan politik. Lebih jauh Nur
Syam, menyatakan bahwa di kalangan NU, dimana kyai
dan tokoh pesantren menjadi pilar kultural utamanya,
muncul beberapa partai politik yang masing-masing
mengklaim sebagai representasi politik komunitas ini.
Masing-masing juga berupaya menempatkan beberapa kyai
29
dan tokoh pesantren sebagai motor penggerak ataupun
sekedar legimitasi.
(Sumber : www.himmaba.com/2013/09/kyai-santri-danpolitik.html, di unduh pada hari Senin, 18 Juli 2016,
pukul.09.10)
Pada proses politik di tataran lokal seperti yang
terjadi di Kota Tasikmalaya, menjelang pemilu legislatif
2014, mengalami pergeseran yang semula pada pemilu
sebelum aktor politik yang biasanya dilakukan oleh politisi,
pengusaha daerah, akademisi, masyarakat umum dan
profesional, mengalami perubahan, karena adanya aktor
lain yaitu; Kyai, Ulama, Ustadz, Ajengan (sunda) yaitu guru
ngaji. Mereka adalah sosok yang selama ini dikenal hidup
di tengah-tengah santri dan masyarakat khususnya Kyai.
Sebagian Ulama/Ustadz/Ajengan NU, mulai merambah
wilayah politik partisan lokal, dengan peran sebagai
katalisator dan mediator pada proses pemilu yang intinya
memberikan dukungan kepada kandidat legislatif dan
memberi restu.
Kota Tasikmalaya dengan julukan sebagai kota santri,
menjadi magnet bagi berbagai kalangan kandidat legislatif
untuk mendapat raihan suara pada pemilu legislatif 2014,
dengan mendatangi sejumlah pondok pesantren untuk
mendapat dukungan dan restu dari kyai dansantri serta
warga masyarakat sekitar pondok pesantren. Jumlah
Pesantren di Kota Tasikmalaya sampai dengan tahun 2014
sebanyak 91 buah yang tersebar di delapan kecamatan,
yaitu; Kecamatan Cibeureum 32 Pondok Pesantren,
30
Kecamatan Kawalu 11 Pondok Pesantren, Kecamatan
Indihiang 5 Pondok Pesantren, Kecamatan Cipedes 8
Pondok Pesantren, Cihideung 1 Pondok Pesantren,
Kecamatan Tawang 2 Pondok Pesantren, Kecamatan
Mangkubumi 12 Pondok Pesantren dan Kecamatan
Tamansari
20
Pondok
Pesantren.
Sumber:info
kotakita.blogspot.com/2014/10/daftar-ponpes-di-kota...
Jika tiap pesantren terdapat satu orang Kyai, maka
jumlah kyai di Kota Tasikmalaya adalah sebanyak 91
orang. Kondisi ini menjadi lahan subur bagi para kandidat
kepala daerah atau calon legislator, baik untuk tingkat
pusat, provinsi maupun tingkat daerah. Keberadaan
pesantren dan kyai memotivasi para kandidat untuk
mendapatkan dukungan suara dan pengaruh kyai pada
perhelatan pemilu. Di Kota Tasikmalaya, Kyai yang
menjalankan politik praktis hanya terpolarisasi dalam
partai politik PPP, PKB, sedangkan pada partai politik
seperti PKS, PBB, dan PAN, peran kyai tidak seperti pada
partai politik PPP dan PKB. Pada partai politik PKS, PBB
dan PAN, yang berperan adalah Ustadz dan Ajengan.
Namun demikian, tidak seluruhnya kyai mengambil peran
dan aktif dalam proses politik lokal, masih banyak para
kyai di kota ini yang tetap konsisten menjalankan perannya
sebagai pimpinan pondok pesantren, sebagai guru bagi
santrinya dalam mengajarkan ilmu-ilmu agama, menjadi
pengayom dan pelindung para santri dan warga
masyarakat di sekitarnya, memberikan da‟wah bagi
masyarakat, menjadi suri tauladan bagi warga masyarakat
dan kyai sebagai pewaris nabi.
31
Pada sebagian pondok pesantren NU, perilaku politik
kyai NU mempunyai pengaruh pada sikap politik
masyarakat dan santrinya, sehingga pondok pesantren
tertentu seringkali didatangi oleh para kandidat kepala
daerah dan kandidat legislator. Kehadiran para kandidat
kepala daerah atau kandidat legislatif, disamping untuk
melakukan kunjungan silaturahmi, ke para kyai di Pondok
Pesantren tertentu, juga sekaligus meminta restu dari para
kyai. Permintaan restu ini ditafsirkan sebagai permintaan
dukungan suara dari kyai, karena kyai memiliki aset calon
pemilih yang mudah dipengaruhi.
Bagaimana dengan kyai Muhammadyah atau Persis,
peran dan pengaruhnya sama saja, yang membedakan
adalah keterkaitan para kyai muhammadyah dan persis
dengan parpol tidak nampak jelas sebagaimana kyai NU.
Misalnya PAN pada awal berdirinya, tidak serta merta
warga muhamamadyah menjadi pengurus/anggota PAN,
atau PBB/PKS tidak identik dengan Persis. Namun
perilaku para kyai/ustadz atau ajengan kesemuanya
memiliki pengaruh besar terhadap sikap dan tindakan serta
orientasi masyarakatnya dalam proses politik, terutama
pada pemilu legislatif tahun 2009 dan tahun 2014.
Hasil penelitian yang dilakukan penulis tahun 2012,
tentang “Dinamika Elit politik lokal menjelang Pemilukada
tahun 2012, mengisyaratkan bahwa terdapat korelasi yang
positif antara pengaruh kyai/ulama dengan pemenangan
calon pada perhelatan pemilu, baik pemilukada, pilpres,
pilgub dan pemilu legislatif. Hal ini tidak terlepas dari
32
kuatnya peran dan pengaruh kyai / ulama dalam ranah
politik lokal di Kota Tasikmalaya. Karena isu-isu populis
yang paling diterima oleh sebagian besar pemilih rasional
adalah isu-isu seputar religiusitas dan nilai-nilai Islam,
disamping itu jaringan ketokohan ulama sangat kuat dan
menguasai simpul-simpul massa sampai ke peloksokpeloksok. Ulama oleh para politisi yang akan bertarung
pada Pemilukada 2012 di Kota Tasikmalaya, dijadikan
sebuah simbol pencitraan kepada masyarakat. Citra diri
yang
ingin
dibentuk
manakala
calon
tersebut
menggandeng ulama adalah citra yang religius dengan
komitmen mengangkat nilai-nilai religius Islam. Pada
kontestasi politik termasuk Pemilukada maupun Pemilu
legislatif 2014, banyak kyai/ulama yang melibatkan diri
dengan cara memberikan dukungan kepada salah satu
calon yang akan bertarung. Dari sisi idealitas, komitmen
ulama ketika melibatkan diri pada politik praktis adalah
dalam rangka memperjuangkan atau mengakomodasikan
nilai-nilai Islam ke dalam tataran kebijakan. Pemetaan
peran ulama dan respon ulama pada Pemilukada kota
Tasikmalaya 2012 mendatang disampaikan oleh KH. Mufti,
dia adalah Sekretaris Eksekutif Majelis Ulama Indonesia
Kota Tasikmalaya. Dia mengatakan bahwa setiap kontestasi
politik termasuk Pemilukada, ulama akan selalu
melibatkan diri dengan cara memberikan dukungan
kepada salah satu calon yang akan bertarung. Dari sisi
idealitas, komitmen ulama ketika melibatkan diri pada
politik praktis adalah dalam rangka memperjuangkan atau
33
mengakomodasikan nilai-nilai Islam ke dalam tataran
kebijakan. Pemetaan ulama yang disampaikan oleh KH.
Mufti; sebagai berikut :
 Pertama, ulama kharismatik yang tidak memiliki
jabatan struktural di partai politik atau di organisasi
politik yang memiliki afiliasi pada kekuatan politik
tertentu.
 Kedua, ulama kharismatik yang memiliki jabatan
struktural di partai politik atau di organisasi politik
yang memiliki afiliasi pada kekuatan politik tertentu.
 Ketiga, ulama ditingkat akar rumput yang tidak
memiliki jabatan struktural di partai politik atau di
organisasi politik yang memiliki afiliasi pada
kekuatan politik tertentu.
 Keempat, adalah ulama akar rumput yang memiliki
jabatan struktural di partai politik atau di organisasi
politik yang memiliki afiliasi pada kekuatan politik
tertentu.
 Kelompok ulama pertama merupakan kelompok
ulama yang tergolong independen, tapi kemudian
pada saat menjelang Pemilu akan menentukan
dukungannya kepada salah satu calon yang dipicu
oleh faktor kedekatan, ideologi, komitmen. Dua cara
keterlibatan ulama adalah didekati atau mendekati.
Kelompok ulama yang kedua merupakan kelompok
ulama yang memang telah memiliki afiliasi politik
tertentu, jadi modal politiknya telah dibangun
berdasarkan jaringan yang telah terbentuk, entah di
34
partai politik atau organisasi politik tertentu.
Walaupun pada kenyataannya berkaca pada
Pemilukada 2007 berdasarkan konstelasi politik yang
terus berkembang dukungan ulama kelompok ini
tidak melulu berdasarkan jaringan partai politik atau
organisasi politik yang sudah dibangun, tapi
dukungan itu berdasarkan pendekatan ketokohan
calon yang akan bertarung.
Kelompok ulama yang ketiga, sama halnya dengan
kelompok ulama yang pertama, mereka cenderung
independen, tetapi karena hirarkis jaringan ulama dari atas
hingga ke akar rumput, akhirnya ulama ditingkat akar
rumput ini akan melibatkan diri untuk dukung
mendukung kepada salah satu calon. Tapi sebagian besar
ulama akar rumput ini tidak pernah melibatkan diri secara
aktif dalam mendukung salah satu calon, sifatnya hanya
sekedar memfasilitasi calon dengan masyarakat ketika
calon tersebut melakukan safari politik ke daerahnya,
karena seperti biasanya bila salah satu calon ingin bersafari
politik ke pelosok daerah, orang pertama yang dikunjungi
atau diminta memfasilitasi adalah ulama.
Terakhir adalah kelompok ulama keempat, kelompok
ulama ini sama halnya dengan kelompok ulama yang
kedua, mereka sudah memiliki afiliasi politik tertentu
sehingga akan mudah ditebak kepada siapa ulama itu
memberikan dukungan. Tapi lagi-lagi karena adanya
perubahan dinamika politik yang ada, ulama ditingkat akar
rumput ini memberikan dukungan dengan bebas tanpa
35
adanya keterikatan dengan partai atau organiasai politik
yang mempunyai afiliasi dengan calon tertentu.
Dari pemetaan diatas, bisa disimpulkan bahwa
respon ulama menjelang Pemilu legislatif 2014 sama halnya
dengan respon ulama pada Pemilu–pemilu sebelumnya,
bahwa dalam setiap konstelasi politik dalam tataran
idealitas para ulama ingin memperjuangkan nilai-nilai
religius. Tetapi karena berbagai dinamika dan kepentingankepentingan politik tertentu, tidak ada batasan yang jelas
antara perjuangan mengakomodasikan nilai-nilai religius
dengan perjuangan mendapatkan kekuasaan. (Edi
Kusmayadi : 2014- 79 -82)
2.4.
Budaya dan Tradisi Nahdiyin
Perilaku pemilih pada setiap proses dan kegiatan
pemilu seringkali berubah-ubah, dari pemilu satu ke
pemilu berikutnya. Perubahan sikap dan orientasi pemilih
tidak hanya dipengaruhi oleh faktor dominasi partai
politik/elit politik tertentu, akan tetapi lingkungan
pergaulan masyarakat pemilih, budaya politik kaula akan
bergeser menjadi budaya politik partisipan, atau
sebaliknya, atau karena kondisi sosial ekonomi yang
mempengaruhi kondisi kehidupan pemilih. Realita
kehidupan masyarakat yang seringkali didasari oleh
kurangnya kesadaran hidup bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara, berakibat pada tingkat partisipasi politik
masyarakat, tingkat partisipasi politik masyarakat
berkaitan erat dengan budaya politik masyarakat.
36
Seperti yang dikemukakan oleh Gabriel A. Almond
(dalam Mochtar Mas‟oed 1998 : 41-42). Budaya politik
dimaknai sebagai sikap, nilai, informasi dan kecakapan
yang dimiliki seseorang, yang kemudian membentuk
orientasi individu atau kelompok terhadap proses dan
system politik. Dengan kata lain, budaya politik
menentukan partisipasi seseorang dalam kaitannya dengan
proses politik. Almon menjelaskan berbagai pola orientasi
politik yang dikaitkan dengan tinggi rendahnya tingkat
partisipasi politik warga masyarakat yang diidentifikasi
dalam tiga pola, yaitu partisipan, subyek dan parokial.
Warga masyarakat yang berbudaya partisipan adalah
warga masyarakat yang memiliki tingkat pengetahuan
politik dan tingkat partisipasi politik yang tinggi, serta
senantiasa terlibat aktif dalam proses pengambilan
keputusan politik atau mempengaruhi proses pengambilan
keputusan politik. Sebaliknya, mereka yang memiliki
pengetahuan cukup dan kadang-kadang turut serta dalam
aktivitas politik meskipun tidak menentukan proses politik
disebut sebagai masyarakat berbudaya subyek. Sementara
itu, masyarakat yang tidak aktif dalam politik atau
keterlibatannya di dalam politik hanya lima tahun sekali,
karena memiliki tingkat pengetahuan politik yang rendah
disebut sebagai masyarakat berbudaya parokial.
Muslim Mukti, (2012 : 78 -79) menyebutkan beberapa
budaya politik sebagai berikut; Budaya politik adalah
aspek politik dari nilai-nilai yang terdiri atas pengetahuan,
adat istiadat, takhayul, dan mitos. Semuanya dikenal dan
37
diketahui oleh sebagian besar masyarakat. Budaya politik
memberikan alasan rasional untuk menolak atau menerima
nilai dan norma lain; budaya politik dapat dilihat dari
aspek doktrin dan aspek generik, aspek doktrin
menekankan isi, seperti sosialisme, demokrasi, atau
nasionalisme. Aspek generik menganalisis bentuk, peranan
dan ciri-ciri budaya politik,seperti militan, utopis, terbuka
atau tertutup; khakikat dan ciri budaya politik yang
menyangkut masalah nilai-niai adalah prinsip dasar yang
melandasi pandangan hidup yang berhubungan dengan
masalah tujuan. Bentuk budaya politik yang menyangkut
sikap dan norma, yaitu sikap terbuka dan tertutup, tingka
militansi seseorang terhadap orang laindalam pergaulan
masyarakat, pola kepemimpinan (konformitas atau
mendorong inisiatif kebebasan), sikap terhadap mobilitas
(mempertahankan status quo atau mendorong mobilitas),
dan prioritas kebijakan (menekankan ekonomi atau
politik). Budaya politik di Indonesia mengalami
transformasi nilai budaya terutama di kalangan elit
kekuasaan, demikian pula yang terjadi di kalangan pemuka
agama dan tokoh masyarakat. Nilai budaya dimaksud lebih
mengarah pada gaya hidup dan pola interaksi sosial,
sehingga yang terjadi adalah implikasi pada kehidupan
masyarakat umum. Budaya politik masyarakat pada proses
politik seringkali dipengaruhi oleh sikap dan perilaku
calon pemimpin atau pemuka/tokoh masyarakat termasuk
tokoh agama, sehingga yang terjadi adalah sikap dan
perilaku pemimpin yang lebih menonjol dalam proses
38
politik. Artinya, sebagian warga masyarakat pemilih
menggantungkan pilihannya pada pilihan yang ditentukan
oleh pemuka/tokoh masyarakat. Demikian pula yang
terjadi pada massa nahdiyin baik di lingkungan pondok
pesantren maupun di luar lingkungan pondok pesantren.
Mereka akan menentukan sikap dan perilaku politiknya,
setelah mendapatkan pesan moral atau himbauan maupun
instruksi
dari
orang
yang
dipandang
sebagai
pemuka/tokoh atau kyai. Pesan moral atau Tausiah yang
dilakukan bersamaan dengan aktivitas rutin masyarakat
atau warga nahdiyin pada pengajian rutin atau kegiatan
keagamaan lainnya, menjadi momen yang tepat untuk
menyampaikan berbagai hal, baik yang menyangkut
keagamaan,
kemasyarakatan,
pembangunan,
pemerintahan, politik dan hal-hal yang terkait dengan
pesan yang diinginkan oleh para kandidat melalui kyai
atau tokoh masyarakat yang dipandang berpengaruh.
Komunikasi politik menjadi ajang untuk melakukan
kesepakatan antara pemuka/tokoh/kyai, dengan para
kandidat dalam proses politik pemilu legislatif di Kota
Tasikmalaya. Komunikasi dan pesan politik yang
disampaikan dilakukan pada kegiatan yang menjadi tradisi
atau kebiasaan masyarakat, terutama warga nahdiyin
disela-sela acara seperti; Peringatan Maulid Nabi
Muhammad SAW, Peringatan Isra Mi‟raj, Syukuran
Khitanan Anak, Tahlilan dan lain sebagainya. Sehingga
dalam memahami konsep budaya yang berlaku di Kota
Tasikmalaya, setiap orang akan merasakan tradisi
39
keagamaan yang sangat kental ditengah masyarakat
Nahdiyin terutama di lingkungan Pondok Pesantren, ket‟adzim-an seseorang sebagai sikap penghormatan terhadap
para sesepuh (pimpinan) pondok pesantren yang ditunjukan
secara verbal melalui sebutan kyai yang digunakan oleh
masyarakat umum, akang (Abang/Kaka) oleh para santri,
dan sebutan ajengan (Guru Mengaji/orang yang memiliki
ilmu keagamaan),tetapi tidak memiliki pondok pesantren
dan
biasa
mengadakan
kegiatan
pengajian
di
Mesjid/Mushola atau tajug (mesjid kecil, biasa berada
dipinggiran perkampuangan).
Dalam kehidupan masyarakat Kota Tasikmalaya
budaya t‟adzim dimaknai sebagai kerendahan diri atas
keterbatasan ilmu dan pengetahuan, sehingga masyarakat
berkewajiban untuk taqlid terhadap para kyai. Taqlid dalam
pandangan ini adalah melaksanakan segala yang
disampaikan dan dicontohkan oleh para kyai tanpa
mengkaji landasannya secara langsung, karena kyai
dianggap mampu merepresentasikan ajaran Islam yang
dapat dijadikan rujukan di kalangan kaum nahdiyin.
Kebiasaan tersebut terus berlangsung dari waktu-kewaktu,
sehingga dari kondisi tersebut menempatkan strata sosial
yang tinggi bagi para kyai. Strata sosial tersebut dihasilkan
dari ilmu serta ketokohan yang dimiliki oleh para kyai
ditengah masyarakat, karena kyai dianggap luhur
keberadaannya dan dapat dijadikan tempat rujukan setiap
permasalahan masyarakat. Dalam pelaksanaan kehidupan
beragama, masyarakat memahami konseptualisasi ajaran
40
Islam dari para kyai, ajaran tersebut dikembangan melalui
pondok-pondok pesantren, dan dituangkan dalam berbagai
tradisi kebudayaan. Misal; ketika menjelang fajar, setiap
harinya pada pukul 03.00 dini hari, suara adzan awal akan
berkumandang hampir disetiap mesjid di lingkungan kaum
nahdiyin, kemudian dilanjutkan dengan pembacaan doadoa seperti doa bangun tidur “Alhamdulillahiladzi Ahyana
Ba‟dama Ama Tana Wailaihin Nutsur” (Segala puji bagi Alloh
yang menghidupkan aku kembali setelah mematikanku
sementara waktu, dan kepada-Nyalah aku akan kembali)
dan pembacaan ayat-ayat al-Quran. Tujuan aktivitas ini
adalah untuk membangunkan orang-orang yang masih
tidur dan mengingatkan bahwa sebentar lagi akan tiba
waktu sholat Subuh. Setelah melaksanakan Sholat Subuh
masyarakat akan melaksanakan wiridan, yaitu kegiatan
berdoa secara berjamaah (bersama-sama), wiridan diawali
dengan pembacaan istigfar, al-fatihah, ayat qursi, tasbih,
tahmid, takbir, tahlil dan doa-doa.
Kegiatan rutin masyarakat berbeda-beda tergantung
dari mesjid dan kyai di lingkungannya masing-masing.
Setelah Wiridan selesai masyarakat akan kembali
ketempatnya masing-masing, dimana para satri akan
kembali ke pondok untuk melaksanakan aktivitas
kepesantrenan, sementara masyarakat umum akan bersiapsiap untuk melaksanakan aktivitas perniagaan, atau dalam
bahasa asli mereka sering disebut dengan istilah Sunda
“digawe/ngadamel” (bekerja). Pada sore harinya masyarakat
di lingkungan pondok pesantren atau di lingkungan mesjid
41
yang berbasis kaum nahdiyin, akan kita dengar suara pujipujian. Puji-pujian tersebut berupa pembacaan shalawat,
doa dan pangeling-ngeling (pengingat), seperti “Allohuma
Sholi „Ala Muhammad Ya Rabbi Shali „Alaihi Wasalim,
Allohuma Shali „Ala Muhammad Ya Rabbi Balig Hul Washilah”
atau dengan puji-pujian menggunakan bahasa sunda
seperti, “Eling-eling ummat muslimin muslimat, hayu urang
berjamaah sholat maghrib, eta kawajiban urang keur di dunia,
kange pibekeleun urang jaga di akherat. Dua puluh tujuh
ganjaran nu berjamaah, lamun sorangan hiji ge mun bener
fatihah (ingatlah wahai umat muslimin muslimat, marilah
kita menjalankan shalat maghrib secara berjamaah, karena
itu merupakan kewajiban selama kita hidup di dunia,
untuk bekal nanti kehidupan di akhirat. Dua puluh tujuh
pahala bagi orang yang melaksanakan shalat berjamaah,
kalau shalat sendiri hanya akan mendapatkan satu pahala
saja itupun kalau benar dalam membacakan surat alfatihah)”. Makna dari aktivitas tersebut yaitu berupa
pengingat untuk masyarakat agar menghentikan
aktivitasnya karena akan menjelang malam, selain itu
aktivitas tersebut juga mengingatkan akan datangnya
waktu Shalat Maghrib sekaligus mengajak masyarakat
untuk melaksanakan shalat secara berjamaah. Dalam Tahun
Qomariah (Hijriah), Maghrib merupakan awal pergantian
tanggal, sehingga dalam pandangan umat Islam waktu
tersebut penting diawali dengan melaksanakan kebaikan.
Setelah melaksanakan Solat Maghrib kegiatan para santri
akan dilanjutkan dengan Wiridan, dan setelah itu aktivitas
kepesantrenan akan kembali dilajutkan sampai pukul 22.00,
42
dan setelah itu para satri akan kembali ke kobong (kamar
tempat beristirahat para santri) untuk beristirahat sampai
subuh.
Dalam kehidupan masyarakat kaum nahdiyin di Kota
Tasikmalaya, sepanjang waktu masyarakat dapat
mendengarkan pengajian secara terus menerus, baik rutin
kepesantrenan yang dikhususkan untuk para santri, atau
pengajian umum yang dilaksanakan oleh masyarakat, baik
pengajian rutin mingguan, bulanan, yang biasa
dilaksanakan di mesjid-mesjid dan madrasah. Proses sosial
budaya sebagaimana di atas, pada kelompok masyarakat
tertentu terutama kaum nahdiyin, Ta‟dzim/perhormatan
dan Taqlid menjadi dasar atau acuan dalam kehidupan
kemasyarakatan, sehingga ketika Kyai, Ajengan, Ustadz
menyampaikan pesan moral, pesan keagamaan atau pesan
yang terkait dengan unsur politik, maka yang terjadi
adalah kepatuhan dan ketaatan masyarakat terhadap
pesan-pesan tersebut, meskipun substansi atau makna dari
pesan dimaksud tidak seluruhnya dipahami.
43
POLITIK DAN NAHDLATUL ULAMA
3.1.
Profil Nahdlatul Ulama
erdasarkan hasil survey LSI 2013 (Kompas, Sabtu 31
Januari 2015, kolom 4), jumlah Nahdiyin di
Indonesia adalah sebanyak 86,4 juta orang, dari
kalangan mereka yang memiliki ikatan cukup kuat dengan
dunia pesantren. Jaringan NU; 31 pengurus wilayah
(Provinsi), 339 pengurus cabang (Kabupaten/Kota), 12
pengurus cabang istimewa, 2.630 majelis wakil cabang
(kecamatan),
dan
37.125
pengurus
ranting
(desa/kelurahan). Badan Otonom terdiri dari :1). Muslimat
NU untuk anggota perempuan Nahdlatul Ulama; 2).
Fatayat NU untuk anggota perempuan muda Nahdlatul
Ulama. 3). Gerakan Pemuda Ansor NU untuk anggota lakilaki muda Nahdlatul Ulama yang maksimal berusia 40
tahun. 4). IPNU untuk pelajar dan santri laki-laki Nahdlatul
Ulama yang maksimal berusia 30 tahun. 5). IPPNU untuk
pelajar dan santri perempuan Nahdlatul Ulama yang
maksimal berusia 30 tahun. Anggaran Dasar (AD) dan
Anggaran Rumah Tangganya (ART), Nahdlatul Ulama
menyampaikan
bahwa
NU
merupakan
jamiah
(perkumpulan) berbadan hukum yang bergerak dalam
bidang keagamaan, pendidikan dan sosial. Struktur
Organisasi Nahdaltul Ulama terdiri dari Pengurus Besar
B
44
untuk tingkat pusat, Pengurus Wilayah untuk tingkat
propinsi, Pengurus Cabang untuk tingkat kabupaten/kota,
Pengurus Cabang Istimewa untuk luar negri, Pengurus
Majelis Wakil Cabang untuk tingkat kecamatan, Pengurus
Ranting untuk tingkat desa/ kelurahan dan Pengurus Anak
ranting. Pola pendidikan NU bertumpu pada pola
pendidikan berbasis pesantren dan pendidikan formal,
pendidikan pesantren ditujukan untuk mejaga kelestarian
ajaran Islam Ahlussunah Waljamaah Nahdlatul Ulama, yang
secara eksplisit tertuang dalam Anggaran Dasar (1927) dan
Satutent Nahdlatoel Oelama (1927), yang menyatakan bahwa
pondok pesantren merupakan wadah untuk mencetak
sumberdaya manusia dan mencerdaskan masyarakat.
Sementara pendidikan formal, ditujukan untuk menjawab
tuntutan zaman mengenai kebutuhan pendidikan formal
para santri,mulai dari tingkat sekolah dasar sampai
perguruan tinggi.
Seiring perkembangan zaman, tuntutan yang
dihadapi Nahdlatul Ulama Kota Tasikmalaya sebagai
organisasi keagamaan dan kemasyarakatan semakin
kompleks. Nahdlatul Ulama Kota Tasikmalaya mendirikan
berbagai badan otonom untuk mewadahi, sekaligus sebagai
sarana pemberdayaan masyarakat, karena badan-badan
otonom tersebut juga sudah ada di Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama. Badan-badan otonom yang ada di Kota
Tasikmalaya diantaranya Muslimat NU, Gerakan Pemuda
(GP) Ansor, Fatayat NU, Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama
(IPNU), Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU), Dari
45
organisasi-organisasi tersebut munculah klasifikasi kader
Nahdlatul Ulama yang terdiri dari Kader Struktural dan
Kader Kultural NU. Kader Struktural NU didefinisikan
sebagai orang-orang yang terlibat dalam pendidikan
pengkaderan NU yang diawali melalui keterlibatanya di
pondok pesantren, pendidikan formal, kegiatan-kegiatan di
badan otonom, dan aktif mengikuti pengkaderan disemua
tahapan keorganisasian, kemudian masuk menjadi
pengurus. Tahapan menjadi pengurus diawali dari
keterlibatanya dalam kepengurusan terendah seperti
tingkat ranting, lalu maju ketingkat kecamatan dan
kemudian masuk menjadi pengurus cabang. Sementara
kader kultural NU, di peruntukan untuk orang-orang yang
mengikuti Ajaran Islam Ahlussunah Waljamaah Nahdlatul
Ulama kemudian menerapkannya dalam kehidupannya,
baik dalam peribadatan maupun dalam proses interaksi
kebudayaan.
Pokok-Pokok Ajaran Islam Ahlussunah Waljamaah
Nahdlatul Ulama terdiri dari penerapan aqidah/teologi
dengan mengikuti manhaj dan pemikiran Abu Hasan alAsy‟ari dan Abu Mansur al-Maturidi, dalam bidang
fiqih/hukum Islam, bermadzhab secara qauli dan manhaji
kepada salah satu madzhibul arba‟ah (Hanafi, Maliki, Syafi‟i
dan Hambali) dimana yang lebih populer dikalangan NU
adalah Syafi‟i,dalam bidang tasawuf mengikuti Imam alBaghdadi dan Abu Hamid al-Ghazali.
Sejumlah nama tokoh Nahdlatul Ulama di Indonesia
yang sangat berjasa dalam pembentukan organisasi/
46
lembaga keagamaan Nahdlatul Ulama dan memiliki
pengaruh besar di kalangan kaum Nahdiyin, antara lain;
1. KH. Hasyim Asyari, lahir di Jombang Jawa Timur
pada tanggal 10 April 1875, dan meninggal dunia
pada tanggal 25 Juni 1947 di Jombang. Di kalangan
nahdiyin dan ulama pesantren, ia dijuluki “Hadratus
Syeikh” yang berarti mahaguru. Beliau dikenal
sebagai tokoh pendidikan pembaru pesantren. Selain
mengajarkan agama dalam pesantren, ia juga
mengajar
para
santri
membaca
buku-buku
pengetahuan umum. Tahun 1899, sepulang dari
Mekkah, Hasyim Asy‟ari mendirikan Pesantren Tebu
Ireng Jombang. Tahun 1926, ia menjadi salah satu
pemrakarsa berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) yang
berarti Kebangkitan Ulama. Tahun 1942, ia di penjara
empat bulan oleh Jepang. Selanjutnya, pada awal
kemerdekaan ia bersama ulama lainnya di Jawa
Timur menyerukan Resolusi Jihad melawan Belanda
dan sekutu. Fatwa itu akhirnya menjadi pemantik
pertempuran heroik 10 November 1945 di Surabaya
yang kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan.
Setelah wafat, atas jasa-jasanya kepada negara, ia
dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.
2. KH. Wahid Hasyim, Lahir di Jombang, 1 Juni 1914
dan meninggal di Cimahi Jawa Barat, 19 April 1953.
Beliau adalah putra kelima dari Hasyim Asy‟ari,
pendiri NU. Ia merupakan salah satu anggota
termuda Badan Penyelidik Usaha Persiapan
47
3.
4.
48
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Beliau
pernah menjadi menteri agama pertama RI dan pada
tiga kabinet lainnya (Hatta, Natsir, dan Sukiman). Di
bawah kepemimpinannya, NU menyatakan keluar
dari Masyumi pada 1952 dan mendirikan Partai NU
tahun 1964. Wahid Hasyim ditetapkan sebagai
Pahlawan Kemerdekaan Indonesia.
KH. A. Wahab Chasbullah, lahir di Jombang 31 Maret
1888, dan meninggal di Jombang 29 Desember 1971.
Bersama dengan KH Hasyim Asy‟ari menghimpun
tokoh pesantren dan keduanya mendirikan Nahdlatul
Ulama (Kebangkitan Ulama) tahun 1926. Kiai Wahab
juga berperan membentuk Majelis Syuro Muslimin
Indonesia
(Masyumi).
Pada
masa
perjuanganmempertahankan kemerdekaan, Kiai
Wahab bersama Hasyim Asy‟ari dari Jombang
merumuskan Resolusi Jihad sebagai dukungan
terhadap perjuangan kemerdekaan. Sesudah Hasyim
Asy‟ari meninggal, Kiai Wahab menjadi Rois Am NU,
November 2014, Presiden Joko Widodo memberikan
penghargaan gelar Pahlawan Nasional kepada tokoh
tersebut.
KH Abdurrahman Wahid, lahir di Jombang 7
September 1940, meninggal : Jakarta 30 Desember
2009. Gus Dur adalah putra pertama KH Wahid
Hasyim dan cucu pendiri NU, KH Hasyim Asy‟ari.
Pada Musyawarah Nasional NU 1984, ia terpilih
sebagai Ketua Umum PBNU. Selama masa jabatan
pertamanya, Gus Dur fokus mereformasi sistem
pendidikan pesantren dan berhasil meningkatkan
kualitas
sistem
pendidikan
pesantren
NU.
Selanjutnya ia terpilih kembali hingga tahun 1999.
Dimasa kepemimpinannya NU kembali ke khittah
1926, yakni bergerak di bidang sosial dan keagamaan.
Kiprah politiknya dimulai pada awal reformasi
menjelang kejatuhan rezim Orde Baru. Gus Dur
tercatat sebagai salah satu tokoh reformasi.
Selanjutnya ia menggagas berdirinya Partai
Kebangkitan Bangsa untuk mewadahi aspirasi politik
warga NU. Pada pemilihan presiden 1999, Gus Dur
terpilih sebagai presiden ke-4 RI dalam sidang MPR.
Namun, dalam Sidang Istimewa MPR tahun 2001, ia
diberhentikan sebagai presiden .(Sumber : Kompas,
Sabtu, 31 Januari 2015, hal 5, kolom 2 -3)
Adapun tokoh pendiri NU dan menjadi Pengurus
Nahdlatul Ulama tingkat pusat sejak NU didirikan sampai
dengan tahun 2014, dapat dilihat pada tabel di bawah ini;
Tabel. 3.1 :
Periode
1926
1952-1954
1954-1956
Susunan Pengurus PBNU
Ketua Umum PBNU
H. Hasan Gipo
KH Masjkur (diangkat
menjadi Menteri Agama)
digantikan KH Wahid
Hasyim
KH M. Dahlan
Rois Am
KH Hasyim Asy‟ari
KH Abdul Wahab
Chasbullah
KH Abdul
Chasbullah
Wahab
49
Periode
1956-1959
Ketua Umum PBNU
KH Idham Cholid
1959-1962
KH Idham Cholid
1962-1967
KH Idham Cholid
1967-1971
KH Idham Cholid
1971-1979
KH Idham Cholid
1979-1984
1984-1989
1989-1994
1994-1999
1999-2004
KH Idham Cholid
KH Abdurrahman Wahid
KH Abdurrahman Wahid
KH Abdurrahman Wahid
KH Hasyim Muzadi
2004-2009
KH Hasyim Muzadi
2010-2015
KH Said Agil Siroj
Rois Am
KH Abdul Wahab
Chasbullah
KH Abdul Wahab
Chasbullah
KH Abdul Wahab
Chasbullah
KH Abdul Wahab
Chasbullah
KH Abdul Wahab
Chasbullah
KH Bisri Syamsuri
KH Achmad Sidiq
KH Achmad Sidiq
KH Ilyas Ruhiat
KH
MA
Sahal
Mahfudin
KH
MA
Sahal
Mahfudin
KH
MA
Sahal
Mahfudin (Meninggal
dunia Januari 2014)
KH Mustafa Bisri
Sumber : Kompas, Sabtu, 31 Januari 2015, hal 5, kolom 2 -3
3.2.
Sejarah Nahdlatul Ulama Tasikmalaya
Seperti yang dikemukakan Romdhon (2015 : 1-2,
dalam Abdul Rohman, 2015 : 65-71), bahwa awal semangat
pendirian Nahdlatul Ulama (NU) di Tasikmalaya datang
dari salah seorang Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)
ke Tasikmalaya yaitu; KH. Abdullah Ubaid untuk
berpidato di Mesjid Agung Tasikmalaya. Ketika itu beliau
membahas qadliyah, kebijakan kolonial Belanda terkait
50
suntik mayat. Dalam pidatonya beliau menfatwakan bahwa
suntik mayat itu haram. Pidato tersebut mendapatkan
sambutan hangat dari para hadirin, tetapi mendapat
kecaman dan reaksi keras dari polisi kolonial Belanda.
Peristiwa ini memberi inspirasi kepada para kyai di
Tasikmalaya untuk ikut bergabung dengan Nahdlatul
Ulama. Selain itu NU telah masuk ke Tasikmalaya sekitar
Tahun 1928 yang dibawa oleh KH. Padlil asal Cikotok
Parigi, yang kemudian menetap di Nagarawangi (Pada
tahun 1933 Pamarican, Parigi dan Cijulang masih termasuk
daerah Tasikmalaya). Kehadiran NU di Tasikmalaya
mendapat sambutan dari kalangan pesantren, karena
secara kultural antara NU dan pesantren sangat erat
hubungannya.
Lalu
bergabunglah
para
ajengan
Tasikmalaya dengan NU seperti KH. O. Qolyubi Pesantren
Madewangi Tamansari, KH. Syabandi Pesantren Cilenga,
KH. Dahlan Pesantren Cicarulang, KH. Roehiat Pesantren
Cipasung, KH. Yahya Pesantren Madiapada, KH.
Samsoedin Pesantren Gegernoong, KH. Zainal Mustofa
Pesantren Sukamanah. Pada masa itu sebagian kyai
tersebut belum memiliki titel Kyai sebagaimana tercantum
dalam buletin Al-Mawa‟idz. No. 7 Tahun 1933. Pendirian
NU secara formal di Tasikmalaya berawal dari rapat yang
dilakukan di kediaman KH. M. Fadlil atau kediaman KH.
Dimyati Nagarawangi. Dalam rapat tersebut diputuskan
bahwa Rais Syuriah NU Tasikmalaya oleh KH. M. Fadlil
Pesantren Cikotok, dan Ketua Tanfidziah oleh KH. Dasuki.
Namun kebangkitan NU di Tasikmalaya mendapat
tantangan keras dari kolonial Belanda, terutama dari
51
Perkoempoelan Goeroe Ngadji yang didirikan oleh kolonial
Belanda.
Perkoempoelan Goeroe Ngaji didirkan oleh Bupati
Kanjeng Dalem Tasikmalaya R.A.A Wiratuningrat bersama
Penghulu pada tanggal 15 Juni 1926. Upacara
peresmiannya dihadiri oleh Camat Tasikmalaya, Camat
Indihiang dan Camat Kawalu. Salah satu anggotanya
adalah KH. M. Soedjai Pasantren Kudang, KH. M.
Djarkasyi Pasantren Jajaway, KH. M. Pachroerodji
Pasantren Sukalaya dan KH. M. Fachroedin Pasantren
CIkalang. Perkumpulan ini menerbitkan Majalah Al-Imtisal
satu bulan dua kali. Perkumpulan ini mendukung
kebijakan Kolonial dimana sebagian ummat Islam dan
Ajengan Tasikmalaya kurang simpati terhadap Penghulu
dan Perkumpulan ini. Perkumpulan ini oleh Ajenganajengan Tasikmalaya lainnya dijuluki dengan Ulama Idzhar
“Idzharu Bay‟atil Muluk wal Umara”.
Kanjeng Dalem pernah menanyakan perihal
pendirian NU di Tasikmalaya kepada Agan Aon Pesantren
Mangunreja pada Tahun 1927, setelah itu Agan Aon
berpidato di hadapan santri-santrinya, termasuk KH.
Saidili Pesantren Cipanengah Tawang Banteng. Isi pidato
tersebut adalah :
“Barudak kaula tos kadongkapan Kanjeng Dalem ti Tasik,
saur anjeuna kiwari aya dua perkumpulan anyar, nu hiji di
kulon nyaeta al-Ittihad al-Islamiyah, nuhiji deui diwetan,
nyaeta NO (Nahdlatoel Oelama/Nahdaltul Ulama). Kula
nyarek moal, nitah moal, jeung asana anu bakal lanamah
NO nu ti wetan. Kieu we pamanggih kaula, mun rek asup
52
kadinya baca “Rabbi adkhilni mudkhala shidqin wa
akhrijni mukhraja shidqin waj‟alli min ladunka sulthanan
nashirin”. Baca tilu balik bari ramo leungeun katuhu
dempet ku kelek kenca, mun hate loyog pek asup kadinya,
mun hate teu loyog nya ulah.
Artinya: “Anak-anak, saya telah didatangi oleh
Kanjeng Dalem dari Tasik. Beliau mengemukakan bahwa
pada saat ini terdapat dua organisasi baru, satu ada di
barat, satu lagi ada di timur yaitu NU. Saya (yaitu Agan
Aon) tidak akan marah, tidak akan menyuruh. Namun
rasanya yang akan maju adalah NU yang dari timur. Ini
saja pendapat saya. Apabila ingin masuk ke NU, baca:
Rabbiadkhilni mudkhala shidqin wa akhrijni mukhraja shidqin
waj‟alli min ladunka sulthanan nashiran, 3 kali sambil
menjepit 3 jari tangan kanan dalam ketiak kiri. Apabila hati
menyetujui silahkan masuk ke NU, apabila hati tidak
menyetujui ya jangan masuk.” Yang dimaksud di Kulon (di
Barat) oleh Agan Aon adalah Al-Ittihad Al-Islamiyyah (AII)
yang didirikan oleh KH. A. Sanusi (Ajengan Genteng)
Pesantren Cantayan Sukabumi. Al-Ittihad Al-Islamiyyah
dibubarkan oleh Penjajah Jepang, lalu pada tahun 1952
bersama KH.Abdul Halim pendiri Persyarikatan Umat
Islam, KH. A. Sanusi sepakat untukmenyatukan kedua
organisasi mereka menjadi Persatuan Umat Islam (PUI).
Tekanan yang dilakukan kolonial belanda terhadap NU
tidak cukup hanya itu, NU terus ditekan oleh penguasa
karena dianggap menyaingi idzhar. Malah bukan hanya
NU, pengajian “Godebag” yang dipimpin oleh KH.
Mubarok Pesantren Suryalaya juga di bubarkan. Untuk
53
mengatasi hal tersebut, KH. M. Padlil terus melakukan
konsolidasi baik dengan musyawarah bersama para kyai,
ataupun dengan penambahan pengurus-pengurus baru.
Salah satunya dengan menunjuk juragan (sebutan dan
panggilan untuk orang yang dihormati/orang yang
memiliki kedudukan sosial di masyarakat/orang dari
keturunan ningrat di Tatar Sunda), Ahmad menjadi Ketua
Pengurus Cabang (PC) NU Tasikmalaya, tetapi hal tersebut
tidak
mengurangi
tekanan
dari
penguasa
dan
menyebabkan pembubaran kepengurusan yang dipimpin
oleh juragan Ahmad.
Setelah itu para kyai NU di Tasikmalaya yang
dipimpin KH. M. Fadlil mendatangi Juragan Soetisna
Senjaya, untuk ditawari menjadi Ketua NU Tasikmalaya.
Juragan Soetisna Senjaya menjawab “piraku Ketua NU
simkuring? jalma baragajul (Artinya: “Mengapa saya menjadi
Ketua NU? Saya adalah orang yang tidak baik!”)”, namun
semua kyai Tasikmalaya sepakat bahwa beliau orang yang
paling cakap untuk menjadi Ketua NU Tasikmalaya. Raden
Soetisna Senjaya atau biasa dikenal dengan Soetsen adalah
salah satu tokoh Paguyuban Pasundan, guru HIS
(Hollandsch Inlandsche School) dan MULO (Meer Uitgebreid
Lager Ondewijs). Dalam majalah Lalayang Domas tanggal 13
Agustus 1927 dikemukan dalam artikel berjudul “Welvaart
van land en volk” bahwa Paguyuban Pasundan didirikan
untuk
mengembangkan
Islam
dan
memperluas
pendidikan. Pemuka-pemuka Paguyuban Pasundan adalah
orang-orang Islam yang memiliki rasa tanggung jawab
besar terhadap kemajuan agamanya.
54
Pada Tahun 1932 diselenggarakan Rapat NU di HIS
Pasundan II Jajaway Jl. Dewi Sartika Tasikmalaya. Pada
rapat tersebut diputuskan bahwa yang menjadi Rohis
Syuriyah adalah KH. Syabandi Pesantren Cilenga, dan
Juragan Soetisna Senjaya sebagai Ketua PC NU
Tasikmalaya dengan syarat agar KH. O. Hoelaemi (Pak
Emi) diangkat menjadi sekretarisnya. Pada rapat tersebut
diputuskan pula H. Masduki sebagai Wakil Ketua, dan
Tabi‟i sebagai Wakil Sekretaris. Sedangkan KH. Zaenal
Mustofa Pesantren Sukamanah menjadi Wakil Syuriyah
NU. Dibawah kepemimpinan Soetisna Senjaya NU
Tasikmalaya bisa maju pesat, karena inteletual Soetisna
Senjaya disandingkan dengan keulamaan Pak Emi.
Salah satu keberhasilan kepengurusan ini adalah
menerbitkan majalah mingguan al-Mawa‟idz yang bisa
menandingi majalah al-Imtisal milik Perkoempoelan Goeroe
Ngaji. Pembaca al-Mawa‟idz tersebar bukan hanya di
Tasikmalaya saja, namun menjangkau daerah lain, bahkan
di dalam majalah tersebut dicantumkan kalimat “Loear
Indonesia”. Pesatnya majalah al-Mawa‟idz dikarenakan :
a. Pengalaman jurnalistik Soetisna Senjaya sebagai
pengasuh Soerat Kabar Sipatahoenan milik
Pagoeyoeban Pasoendan Cabang Tasikmalaya mulai
dari 1924-1942.
b. Tekanan dari ulama Idzhar yang di bantu oleh
kolonial Belanda.
c. Pengorbanan dan keikhlasan para pengelolanya.
55
Pada awal mulanya Kantor NU menyewa gedung
disebelah rel kereta api sebelah utara Jajaway, kemudian
pindah ke Cipedes di lingkungan yang dipenuhi oleh
anggota al-Ittihad al-Islamiyah. Walapun belum memiliki
kantor yang permanen, namun kegiatan NU Tasikmalaya
berjalan dengan lancar. Pada Kongres NU ke-10 di Solo
pada Tanggal 14-19 April 1935 M/10-15 Muharam 1354 H,
NU Tasikmalaya mengirimkan tiga utusannya dan
melaporkan bahwa NU Tasikmalaya telah memiliki zakat
komite yang belum dimiliki oleh cabang NU manapun.
Pada masa kepengurusan Pak Emi, NU Tasikmalaya
bisa memiliki kantor permanen di Jl. dr. Sukarjo. Kantor
tersebut dibeli dari H. Fakih yang menginginkan agar
gedung societat miliknya tidak dipakai maksiat, maka
gedung tersebut ditawarkan ke NU Tasikmalaya melalui H.
Azhari senilai f 4.500,-. NU Tasikmalaya mecicil uang
pembayaran gedung tersebut kepada H. Azhari tanpa
terikat waktu dan besar cicilannya. Uang cicilan tersebut di
dapatkan dari sumbangan jamaah (Sunda : perelek)
pengajian mingguan, dari 15 ketif (Pecahan uang rupiah)
sampai f 3.- dengan cara ngiderkeun (mengedarkan) kopiah.
Setelah uang cicilan terkumpul f 2000.-lebih, H. Azhari
berucap “keun we sesanamah, tong dilunasan sadayana itungitung wakaf keur ulama bade dipimilik NU mangga (Artinya:
“Biarlah sisanya, tidak perlu dilunasi semuanya, anggap
saja wakaf untuk ulama, mau dimiliki NU juga tidak apaapa)”.
56
3.3.
Politik Nahdlatul Ulama
Pada muktamar NU di Situbondo tahun 1984, NU
menyatakan untuk Kembali ke Khittah 1926, yaitu NU
untuk tidak berpolitik praktis lagi. Ketua Umum Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH A. Hasyim Muzadi
membeberkan peran Gus Dur dalam Muktamar ke-27 NU
di Situbondo pada 1984. Hasil terpenting dalam Muktamar
ini adalah kembalinya NU ke Khittah 1926 dan penerimaan
terhadap Pancasila sebagai asas tunggal. Hal ini
disampaikannya dalam acara peluncuran buku ”Sejuta Hati
untuk Gus Dur" karya Damien Demantra, di aula PBNU,
Jakarta, Jum‟at (8/1). Acara ini dihadiri putri tertua Gus
Dur Anissa Qotrunnada, sejumlah rekan seperjuangan Gus
Dur, tokoh lintas agama, dan ratusan simpatisan Gus Dur.
Menurut Hasyim, aktivitas Gus Dur secara formal dalam
organisasi NU dimulai pada 1979 dalam Muktamar NU di
Semarang.
Pasca muktamar Gus Dur diangkat sebagai wakil
katib Syuriyah PBNU. Setahun kemudian Gus Dur
memunculkan konsep agar NU menjadi bagian dari civil
society, dan terlepas dari partai politik. Gus Dur
menginginkan agar NU ditempatkan sebagai tata nilai,
sementara kepentingan politik bisa dijalankan oleh para
kadernya. “Ini karya pertama Gus Dur di PBNU.
Alasannya karena NU punya dasar nilai kenapa mesti
bergabung dengan kelompok kepentingan. Saya tanya
apakah politik salah, tidak, kata Gus Dur, saya pun juga
nanti akan berpolitik. Tapi NU-nya ini perlu diletakkan
57
sebagai tata nilai bukan tata kepentingan,” kata Hasyim
mengenang Gus Dur. Maka dirumuskanlah Khitttah NU.
Awalnya, Khittah ini tidak disetujui oleh banyak
orang karena banyak kalangan NU yang sedang menikmati
kepentingan politik. Waktu itu NU masih berposisi sebagai
partai politik, sebagai bagian dari Partai Persatuan
Pembangunan (PPP). Beberapa konsep yang diajukan Gus
Dur didiskusikan secara serius dan diuji oleh seluruh
ulama di Indonesia dalam tenggang waktu sekitar tiga
tahun. Selain soal kembalinya NU ke civil society yang
kemudian disebut Khittah, ada dua hal lagi yang diajukan
Gus Dur yakni soal penerimaan NU terhadap Pancasila dan
UUD 1945 sebagai ideologi negara dan konstitusi negara,
dan soal kemandirian jamiyah NU. Ketika diusulkan NU
kembali ke Khittah ini memang banyak reaksi, tapi tidak
sebanyak reaksi yang muncul terkait usulan penetapan
kembali Pancasila sebagai satu-satunya asas. Namun
karena Gus Dur di-back up ulama besar KH.Achmad Sidiiq,
maka loloslah keputusan bahwa Pancasila sudah fina. Saya
kira satu-satunya organisasi besar yang paling dulu
menerima Pancasila sebagai satu-satunyanya azas adalah
NU, kata Hasyim.
Perdebatan yang muncul pada waktu itu adalah
apakah Islam cukup diartikan secara tekstual sehingga
mengarah pada formalisasi agama atau harus diartikan
secara substansial. Gus Dur, kata Hasyim, menekankan
perlunya melihat Islam secara substansial sehingga perlu
dibedakan antara teologi ritual dengan humanisme. Dan
58
pada titik humanisme inilah yang mempertemukan antara
Islam dengan agama lain dalam satu naungan Negara
kesatuan Republik Indonesia. ”Berbagai embrio pemikiran
Gus Dur ini diteruskan dalam Muktamar NU di Situbondo
dengan sebutan 'Khittah'. Maka berkhittah itu, perlu
ditekankan di sini, tidak sekedar lepas dari partai tapi
bangunan pemikiran NU. Dan Gus Dur yang mempelopori
ini,”kataHasyim.Sumber:http://id.wikipedia.org/wiki/Na
hdlatul_Ulamakanal3.word.press.com/2009/05/15/sejarah
-berdirinya-nahdlatul-ulamafatayat.or.id/Sejarah. diunduh
pada hari Rabu 12 Februari 2015, pk. 10.22
Asep Saeful Muhtadi (2004 : 2), menyatakan ada dua
alasan dari hasil muktamar Situbondo, yaitu : Pertama,
karena NU merupakan ormas (organisasi massa) Islam
yang pertama menerima Pancasila sebagai satu-satunya
asas di satu pihak, meskipun di pihak lain, sesungguhnya
belum ada ketentuan yang mengharuskan ormas apa pun
untuk menerima Pancasila sebagai asas organisasi, karena
pada saat itu kewajiban tersebut baru berlaku bagi
organisasi-organisasi politik. Kedua adanya perubahan
sikap politik yang dramatik berkenaan dengan kebijakan
pemerintah Orde Baru (Orba), dari konfrontatif menjadi
akomodatif.
Pasca Orde Baru, terdapat fenomena unik pada diri
NU dalam hal berpolitik. Perubahan peta sosial-politik
pada masa ini direspon NU dengan menggagas sebuah
partai politik yang kemudian ditindaklanjuti dengan
pembentukan panitia kecil dalam rangka merumuskan
59
pembentukan partai politik tersebut. Lahirlah Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB). Karena alasan integralitas
wadah penyaluran aspirasi warga NU, PKB lantas diklaim
sebagai satu-satunya sayap politik resmi milik warga NU.
Sebelumnya, nama yang diusulkan PBNU adalah Partai
Kebangkitan Umat (PKU), (Faisal Ismail, 1999: 35).
Sekilas perilaku politik NU ini dapat dikatakan
kontra-produktif dengan pola perilaku politik NU pasca
Khittah di mana NU memutuskan untuk menarik diri dari
percaturan politik praktis untuk kembali kepada garis
perjuangan semula yakni sebagai organisasi sosialkeagamaan. Juga aktivitas perpolitikan NU yang banyak
diorientasikan kepada pemberdayaan masyarakat sipil
(civil society) dalam kerangka kontrol terhadap kekuasaan
(moral force). Namun demikian, tindakan NU untuk turut
membidani kelahiran PKB dan keterlibatan politik di dalam
partai itu tidak serta merta dapat dijadikan dalih untuk
menjustifikasi bahwa NU telah berpolitik praktis dan
mengingkari Khittah tersebut. Sebab, NU sendiri telah
membuat garis pembatas yang sangat tegas dimana
hubungan antara NU dan PKB hanyalah bersifat moral,
kultural, historis, aspiratif, bukannya bersifat struktural
(Hasyim Muzadi, 1999: 108). Pada tataran civil society massa
NU cenderung untuk lebih mengedepankan pesan kiai atau
ulama, ketimbang pesan yang disampaikan oleh pihak lain,
oleh sebab keberadaan kiai atau ulama NU memiliki status
sosial dan pola kepemimpinan yang khas dan berperan
besar bagi di warga NU. Merujuk pada konsep pembedaan
60
batasan antara kiai dan ulama dari Hiroko Horikosi (dalam
Asep Saeful Muhtadi 2004 : 49), mengemukakan dua model
kepemimpinan sosial yang berkembang di kalangan
masyarakat muslim;
Pertama, model kepemimpinan “simbolik”. Model ini
mengasumsikan bahwa seseorang menjadi pemimpin
karena ia menjadi simbol dari sesuatu yang dianggapnya
adiluhung, atau merupakan simbol dari konsep metafisika
tertentu. Dalam masyarakat tradisional, kiai merupakan
wakil atau simbol kehadiran Nabi di muka bumi. Ia adalah
pewaris tradisi para Nabi (waratsat al-anbiya), sehingga
ajaran yang dibawanya pun adalah ajaran para Nabi.
Karena itu, model kepemimpinan kiai termasuk jenis ini.
Kedua, model kepemimpinan “administratif”, yakni
kepemimpinan yang diperoleh seseorang karena posisi
yang diperankannya dalam suatu struktur administratif
tertentu. Misalnya seseorang dianggap pemimpin karena
secara administratif ia mendapat tugas sebagai ketua RT,
meskipun ke-RT-annya sendiri tidak memiliki hubungan
apa pun dengan konsep-konsep metafisika, dan karenanya
tidak menyimbolkan apa pun. Kepengikutan yang dimiliki
kiai atas dasar posisinya sebagai elite sosial seperti itu,
merupakan contoh sederhana dari pola kepemimpinan ini.
Berdasarkan kriteria pola kepemimpinan administratif
tersebut, maka ulama lebih bisa dikategorikan sebagai
model kedua. Kiai yang tergabung dalam lembaga Majelis
Ulama dan tidak memiliki pesantren, biasanya disebut pula
ulama.
61
Tasikmalaya memiliki pigur kyai sekaligus ulama
dan pengaruhnya lebih besar jika dibanding dengan kyai
NU lainnya di Tasikmalaya, yaitu; Alm. KH. Ilyas Rukhyat
Pimpinan dan Pengasuh Pondok Pesantren CipasungSingaparna-Tasikmalaya. KH.Ilyas, punya pengaruh besar,
dikarenakan peran sosial politisnya melebihi jangkauan
rentang kendali wilayah tempat pesantrennya, beliau
memiliki pengaruh nasional karena posisinya di NU
sebagai Rois Am PBNU. Nahdlatul Ulama (NU) sendiri
merupakan organisasi perkumpulan kiai yang didirikan
oleh sejumlah kiai pesantren untuk salah satunya
mempertahankan tradisi keagamaan dari pengaruh
pemikiran para pembaharu. Ia merupakan organisasi
keagamaan yang tidak bisa dipisahkan dari komunitas kiai
dan tradisi pesantren. Jika dianalisa susunan kepengurusan
NU sejak periode berdirinya tahun 1926 sampai saat ini,
akan tampak bahwa organisasi ini dipenuhi oleh para kiai
pesantren. Mereka yang bukan termasuk kelompok kiai,
biasanya diangkat karena kemampuan manajerialnya yang
tidak dimiliki oleh banyak kiai. Bahkan karena adanya
kriteria yang tidak tertulis ini, kiai-kiai yang tidak
mempunyai santri dan pesantren akan mendapat hambatan
dalam promosi kepemimpinan di tingkat pusat kekuasaan
NU. KH. Anwar Musadad dari Jawa Barat, misalnya,
terhambat untuk menjadi Rois Am pada pertemuan
Kaliurang karena alasan tidak memiliki pesantren. (Asep
Syaeful Muhtadi 2004 : 55).
62
Kenyataan dalam kehidupan masyarakat tradisional
maupun modern peran kiai sampai saat ini, menjadi figur
yang masih dianggap besar pengaruhnya, sehingga,
banyak kiai kharismatik di berbagai daerah termasuk di
Kota Tasikmalaya, yang berafiliasi terhadap partai politik
PKB atau PPP. Politik simbol seringkali menyertai proses
politik di tataran lokal, karena dengan politik simbol
memudahkan masyarakat terpengaruh oleh kekuatan
simbol dan nama besar kiai. Simbol kiai seringkali
diidentikan oleh masyarakat dengan pakaian jubah yang
dikenakan kiai, cium tangan kepada kiai dari jamaah atau
santri, lambang NU atau lambang Ka‟bah dan lain
sebagainya.
Simbol-simbol
tadi
menjadi
cirikhas
warga/massa NU (meskipun tidak semua warga NU)
sehingga yang mudah dicerna dan diinternalisasikan dalam
kehidupan kemasyarakatan, adalah seperti tersebut di atas.
Basis massa NU pendukung PKB dan PPP di Kota
Tasikmalaya, tersebar di semua wilayah Kelurahan,
RW/RT, serta lingkungan Pondok Pesantren. Kota
Tasikmalaya yang terdiri dari 10 Kecamatan dan 69
Kelurahan, dengan jumlah penduduk lk. 509.817 dan
jumlah pemilih pada pemilu legislatif 2014 sebanyak
473.596 orang, (Edi Kusmayadi, 2014:3). Kondisi tersebut
memberikan warna dan corak dalam sistem sosial, sistem
budaya, dan kehidupan beragama yang khas, sehingga
Kota Tasikmalaya diberi julukan kota santri, karena banyak
pondok pesantren yang tersebar di seluruh wilayah
kelurahan, yang jumlahnya mencapai 91 Pondok Pesantren.
63
Kecamatan Cibeureum adalah merupakan wilayah dengan
jumlah pondok pesantren paling banyak, yaitu sebanyak 32
pondok pesantren.
Keberadaan NU di Kota Tasikmalaya cukup menarik
untuk diamati. Sebagian ciri-ciri yang dikemukakan
pengamat tentang NU, seperti bersifat tradisional dan
berbasis sosial massa pedesaan, memang masih
menemukan pembenaran histrorisnya. Akan tetapi, bahkan
sejak awal kelahirannya, basis sosial NU bukan sematamata masyarakat pedesaan. Sebagian masyarakat kota
diketahui juga menjadi pendukung NU, termasuk dari
kalangan pengusaha, birokrat, kalangan TNI/Polri,
akademisi, politisi maupun buruh. Modernisasi tampaknya
telah direspon oleh kyai-kyai NU secara terbuka, bukan
dengan mengisolasikan diri atau dengan cara reaksioner,
bahkan banyak kalangan kyai NU yang masuk sebagai
pengurus partai politik, atau berafiliasi dengan partai
politik tertentu.
Kota dan Kabupaten Tasikmalaya merupakan kota
dengan basis massa Nahdlatul Ulama yang terbesar di Jawa
Barat.
Realitas
politik
menunjukkan
bahwa
Kota/kabupaten Tasikmalaya menjadi daerah pemilihan
para kandidat dari PKB dan PPP, dan partai lain yang
berbasis Islam maupun nasionalis, karena daerah
pemilihan Kota/Kabupaten Tasikmalaya, dan Garut, sering
menjadi daerah untuk mendapatkan perolehan suara yang
akan menentukan kandidat legislatif, baik untuk pusat,
provinsi maupun untuk daerah kota/kabupaten. Di daerah
64
pemilihan inilah para kandidat legislator seringkali
bersaing untuk mendapatkan simpati masyarakat, maka
tidak heran pondok pesantren menjadi prioritas kunjungan
para kandidat.
3.4.
Proses Politik Partai Kebangkitan Bangsa
Partai Kebangkitan Bangsa atau lebih dikenal dengan
nama PKB pada awal pendiriannya dimulai tanggal 11 Mei
1998. Ketika itu para Kyai sepuh dari Langitan
mengadakan sebuah pertemuan. Dalam pertemuan
tersebut, mereka membicarakan tentang situasi terakhir
yang kala itu saat reformasi dimana perlu diadakan sebuah
perubahan yang besar-besaran untuk menyelamatkan
negara ini dari kehancuran. Tanggal 30 Mei 1998, diadakan
pertemuan (istighosah) akbar di Jawa Timur. Semua
sesepuh serta Kyai berkumpul di PWNU Jawa Timur.
Dalam pertemuan tersebut, para kyai mendesak agar KH.
Cholil Bisri untuk menggagas dan membidani pendirian
Partai Politik untuk mengaplikasikan aspirasi para kyai
tersebut.
Tetapi KH.Cholil Bisri menolaknya dan lebih memilih
mengurus Pondok Pesantren. Karena terus didorong oleh
para Kyai, akhirnya tanggal 6 Juni 1998 KH.Cholil Bisri
mengundang sekitar 20 Kyai untuk membicarakan hal
tersebut. Tetapi diluar dugaan, lebih dari 200 Kyai
menghadiri pertemuan tersebut. Dari pertemuan tersebut
terbentuklah panitian kecil yang diebut Tim "Lajnah" yang
terdiri dari 11 orang. KH. Cholil Bisri sendiri sebagai ketua
dengan Gus Yus sebagai sekretaris. Tim inilah yang
65
bertugas menyusun platform, komponen-komponen partai
(termasuk logo) Partai. Selain itu terbentuk juga Tim
Asistensi Lajnah terdiri dari 14 orang yang diketuai oleh
Matori Abdul Djalil dan sekretarisnya Asnan Mulatif.
Tanggal 18 Juni 1998, panitia tersebut mengadakan
pertemuan dengan PBNU, yang kemudian dilanjutkan
dengan audiensi bersama tokoh-tokoh politik NU yang ada
dalam partai Golkar, PDI, dan PPP. Panitia tersebut
mengajak untuk bergabung tanpa adanya paksaan. Namun
PBNU menolak tawaran pendirian partai tersebut. Setelah
itu pada tanggal 4 Juli 1998, Tim „Lajnah‟ beserta Tim dari
NU mengadakan semacam konferensi besar di Bandung
dengan mengundang seluruh PW NU se-Indonesia yang
dihadiri oleh 27 perwakilan. Pada hari itu juga diputuskan
pembentukan Partai. Waktu itu banyak usulan nama mulai
dari Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Kebangkitan
Ummat sampai Partai Nahdlatul Ummat.
Dengan musyawarah yang panjang akhirnya
ditetapkan nama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai
nama partai tersebut. Kemudian ditentukan siapa saja yang
menjadi deklarator PKB. Disepakati 72 deklarator, sesuai
dengan usia NU ketika itu. Jumlah itu terdiri dari Tim
Lajenah (11), Tim Asistensi Lajenah (14), Tim NU (5), Tim
Asistensi NU (7), Perwakilan Wilayah (27 x 2), Mulai dari
Para Ketua Event Organisasi NU, tokoh-tokoh Pesantren
dan
tokoh-tokoh
masyarakat.
Semua
deklarator
membubuhkan tandatangan dilengkapi naskah deklarasi.
Lalu diserahkan ke PBNU untuk mencari pemimpin partai
66
ini. Ketika masuk ke PBNU, dinyatakan bahwa yang
menjadi deklaratornya 5 orang saja, bukan 72 orang.
Kelima orang itu yakni KH Munasir Allahilham, KH
Ilyas Ruchyat Tasikmalaya, KH Muchid Muzadi Jember
dan KH. A. Mustofa Bisri Rembang dan ditambah KH
Abddurahman Wahid sebagai ketua umum PBNU. Nama
72 deklarator dari Tim Lajnah itu dihapus semua oleh
PBNU. Pada akhirnya tanggal 23 Juli 1998 di Jakarta lewat
sebuah deklarasi oleh para kiai-kiai Nahdlatul Ulama,
seperti Munasir Ali, Ilyas Ruchiyat, Abdurrahman Wahid,
A. Mustofa Bisri, dan A. Muhith Muzadi berdirilah Partai
Kebangkitan Bangsa atau lebih dikenal dengan nama PKB
sebagai Partai Politik di Indonesia. Kemudian Partai
Kebangkitan Bangsa untuk pertama kalinya mengikuti
Pemilu di tahun 1999, PKB juga pernah mengajukan Gus
Dur sebagai Presiden dengan masa jabatan tahun 19992001. Selanjutnya di tahun 2004 PKB juga terdaftar sebagai
Partai peserta Pemilu. Partai ini banyak membidik kaum
NU. Sumber : partaislam.blogspot.com/.../sejarah-berdirinyapartai-k.diunduh pada hari Kamis, 12 Februari 2015, pk. 13.03)
Partai yang didirikan pada 23 Juli 1998 di Ciganjur
Jakarta ini awalnya dikenal sebagai partai yang mewadahi
kelompok masyarakat Nahdlatul Ulama. Dalam risalah
sejarahnya, PBNU awalnya memang memandatkan lima
tokoh NU (KH. Ilyas Ruchiyat, KH Abdurrahman Wahid
atau Gus Dur, KH. Moenasir Ali, KH Mustofa Bisri atau
Gus Mus, dan KH.A. Muchid Muzadi), untuk merumuskan
sebuah partai politik. Namun dalam perjalanannya, Partai
Kebangkitan Bangsa atau sering dikenal PKB ini
67
mengalami turbulensi yang sangat dahsyat hingga pada
pemilu 2004 dan pemilu 2009 masyarakat NU mengalami
kebingungan untuk menyampaikan aspirasi politiknya
akibat diaspora elit NU dalam pelembagaan partai.Dalam
perjalanannya, PKB mengalami perpecahan antara kubu
Muhaimin Iskandar dan kubu Gus Dur. Kini kubu Gus Dur
yang direpresentasikan melalui Yenni Wahid setelah
meninggalnya Gus Dur mendirikan partai sendiri yang
juga mengambil ceruk massa NU dengan mendeklarasikan
Partai Kebangkitan Bangsa Indonesia Bersatu. Sebelumnya,
dalam pemilu 2009 lalu, surat suara menunjukkan bahwa
tidak hanya PKB yang menjadi wadah aspirasi politik
warga NU, namun juga terdapat Partai Kebangkitan
Nahdlatul Ulama atau PKNU.
Saat ini PKB berdasarkan kongres partai dipimpin
oleh Muhaimin Iskandar. Sementara dalam Kabinet
Indonesia Bersatu II, PKB menempatkan dua menteri yaitu
Muhaimin Iskandar sebagai Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi, dan Helmi Faisal Zaini sebagai Menteri
Pembangunan Daerah Tertinggal. Dalam riwayat
perolehan suara partai sejak PKB didirikan, pada pemilu
1999 sebagai pemilu yang pertama kali diikuti, PKB
mendapatkan perolehan suara 12,61 % sebagai perolehan
suara tertinggi dalam sejarah partai. Pada pemilu 1999 PKB
mendapatkan 51 kursi di parlemen.Sedangkan pada pemilu
2004, suara PKB turun menjadi sebesar 10,57% namun
perolehan kursi partai di parlemen naik satu kursi menjadi
52 kursi. Namun, pada pemilu 2009 lalu, perolehan suara
68
PKB turun jauh hanya menjadi 4,9% dengan perolehan
kursi di parlemen sebesar 21 kursi. (Sumber
:poltracking.com/partai-kebangkitan-bangsa-pkb, diunduh pada
hari Kamis, 12 Februari 2015, pk. 13.22)
Sudah terlalu sering PKB konflik, dari konflik internal
PKB tersebut memunculkan nama-nama baru selain Gus
Dur. Mereka adalah Matori Abdul Djalil, Alwi Shihab, dan
Muhaimin Iskandar. Meskipun sebelum Muktamar PKB di
Semarang Alwi sempat duet dengan Muhaimin, yang pada
akhirnya mereka harus pecah. Konflik internal PKB selalu
diselesaikan lewat Muktamar Luar Biasa. Namun
sayangnya
perpecahan
diantara
mereka
sering
menimbulkan Muktamar Luar Biasa yang sifatnya
tandingan. Dan hal ini pula yang menyebabkan semakin
meruncingnya konflik internal antar kubu.
Pada Muktamar II PKB di Semarang, posisi
Muhaimin Iskandar begitu kuat. Dan hasil dari Muktamar
II PKB di Semarang dimenangkan oleh Gus Dur –
Muhaimin Iskandar. Meskipun hasil Muktamar II PKB di
Semarang dipertanyakan oleh Forum Kiai Langitan yang
notabene selama ini sebenarnya adalah pendukung Gus
Dur. Upaya untuk mediasi demi tercapainya islah sudah
dilakukan. Dengan melibatkan para mediator yang
diharapkan bisa membawa mereka kepada islah. Namun
kata “islah” tidak dapat dicapai. Hingga akhirnya harus
dilanjutkan dengan melaksanakan Muktamar PKB. Kedua
kubu yang berseteru sama-sama mengadakan Muktamar.
kubu Muhaimin melaksanakan Muktamar PKB di
Semarang, sedangkan kubu Alwi melaksanakan Muktamar
69
PKB di Surabaya. Yang pada akhirnya kedua Muktamar
tersebut menghasilkan hasil yang berbeda pula.
Muktamar II di Semarang menghasilkan Muhaimin
sebagai Ketua Umum PKB, sedangkan Muktamar di
Surabaya menghasilkan Anam sebagai Ketua Umum PKB.
Duet antara Gus Dur – Muhaimin Iskandar ternyata tidak
bertahan lama. Mereka pecah menjadi dua kubu, yakni
kubu Gus Dur dan Kubu Muhaimin. Pecat memecat seakan
menjadi budaya di PKB. Bahkan Zannuba Arifah Chafsoh
alias Yenni Wahid dipecat dari kursi Sekjen DPP PKB yang
kemudian digantikan oleh Lukman Edy. Ironisnya PKB
kubu Gus Dur dan PKB kubu Muhaimin sama-sama
mendaftar ke KPU sebagai partai politik peserta Pemilu
2009 dengan nama parpol yang sama. Sebelum menjelang
Pemilu 2009, PKB kubu Muhaimin bermaksud untuk
menyelenggarakan Muktamar Luar Biasa (MLB).
Muktamar Luar Biasa tersebut tersebut diselenggarakan
pada tanggal 2 – 4 Mei 2008. Perseteruan semakin
meruncing ketika kubu Gus Dur pun bertekad untuk
menyelenggarakan Muktamar Luar Biasa tandingan.Kubu
Gus Dur menggelar MLB mendahului kubu Muhaimin,
yakni pada hari rabu tanggal 30 April 2008 hingga hari
kamis 1 Mei 2008 di Pondok Pesantren (Ponpes) AlAshriyyah Nurul Iman, Kecamatan Parung, Kabupaten
Bogor. Sedangkan PKB kubu Muhaimin menyelenggarakan
MLB pada tanggal 2– 4 Mei 2008 di sebuah hotel di
kawasan Ancol, Jakarta Utara. Lukman Edy menyatakan
70
bahwa yang pertama kali mencetuskan akan melaksanakan
MLB adalah DPP PKB Muhaimin Iskandar.
Persiapan yang dilakukan pun sudah matang karena
berdasarkan masukan dari cabang-cabang melalui surat
dukungan untuk menyelesaikan konflik melalui MLB. Gus
Dur pun selaku Ketua Dewan Syuro diundang dalam acara
tersebut untuk memberikan laporan pertanggungjawabannya. MLB yang diselenggarakan kubu Yenni
Wahid tidak representatif dan banyak melanggar AD/ART.
Banyak syarat-syarat menyelenggarakan MLB yang
terdapat dalam AD/ART yang dilanggar oleh Yeni Wahid.
Salah satunya adalah pengiriman materi MLB ke cabangcabang di seluruh tanah air, seharusnya dilakukan minimal
tujuh hari sebelum pelaksanaan Muktamar Luar Biasa.
Di dalam AD/ART PKB ditegaskan bahwa
keputusan partai ada di tangan Dewan Tanfidz. Sedangkan
Dewan Syuro hanyalah sebagai pengawas. Bagi sebuah
partai politik dan organisasi sosial modern yang lain
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART)
merupakan urat nadi bagi eksistensi dan kelangsungan
hidupnya. AD/ART merupakan landasan hukum yang
utama, sehingga kinerja partai politik bisa berjalan sesuai
aturan dan pada gilirannya sesuatu sesuai fatsun (akhlaq
karimah). AD/ART mengatur keseluruhan tata-kelola
partai politik, sehingga pelanggaran terhadap salah satu
pasal saja bisa merusak kinerja partai bersangkutan. Karena
itu, manajemen partai politik akan berjalan efektif dan
akumulatif dari segi apapun, jika AD/ART selalu menjadi
71
landasan dan tujuan dalam kehidupan kepartaian.
Ketundukan kepada AD/ART merupakan manifestasi dari
kehidupan partai politik modern. Tidak dibenarkan adanya
posisi tertentu yang berada di atas AD/ART atau
menafsirkan AD/ART sesuai kepentingannya. Kalau
demikian yang terjadi, maka kehidupan partai politik akan
rusak dan hancur dari dalam.
Di masa lalu, dalam sejarah Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB) ada gejala di mana sejumlah pihak seringkali
menempatkan diri berada di atas AD/ART, meskipun
AD/ART PKB sendiri sama sekali tidak mengatur
demikian. Akibat hal itu, untuk jangka waktu yang lama
kehidupan politik PKB mengalami proses yang cenderung
disharmonis, disintegratif dan degraditif, dan mencapai
titik kulminasinya pada Muktamar Luar Biasa (MLB) PKB
di Ancol, Jakarta 2–4 Mei2008. Berangkat dari pengalaman
itulah, pada Muktamar Luar Biasa (MLB) PKB di Ancol
Jakarta, kemudian disepakati AD/ART yang baru, yang
isinya dirumuskan dengan niat tulus dan tekad kuat untuk
mewujudkan PKB sebagai partai modern, partai yang
berjalan di atas aturan dan etika yang jelas, dimana segala
bentuk penyalahgunaan kekuasaan oleh siapapun sudah
ditutup, dan efektifitas kerja partai didorong seluasluasnya. Karena itu, penerbitan AD/ART hasil MLB PKB di
Ancol, Jakarta ini akan menjadi pedoman bagi kehidupan
partai di semua level kepengurusan. Sehingga programprogram dan kebijakan partai selalu sesuai dengan aturan
yang ada, etika politik dan selaras dengan aspirasi anggota
72
serta masyarakat luas.Muktamar Luar Biasa (MLB) Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB) berkaitan tentang perubahan
atas Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai
Kebangkitan Bangsa. Hal ini berdasarkan pertimbangan
bahwa Muktamar Luar Biasa Partai Kebangkitan Bangsa
sebagai forum permusyawaratan tertinggi partai yang
berfungsi sebagai representasi dari pemegang kedaulatan
partai yang memiliki kewenangan untuk merubah maupun
menambah Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga
Partai Kebangkitan Bangsa. Anggaran Dasar dan Anggaran
Rumah Tangga yang ditetapkan pada Muktamar II PKB di
Semarang tahun 2005 dipandang perlu untuk diadakan
perubahan dan tambahan.
Karena itulah perlu diputuskan Ketetapan
Muktamar Luar Biasa Partai Kebangkitan Bangsa tentang
Perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga
Partai Kebangkitan Bangsa.Hal ini dilakukan mengingat
Anggaran Dasar Partai Kebangkitan Bangsa, Anggaran
Rumah Tangga Partai Kebangkitan Bangsa, dan Ketetapan
Muktamar Luar Biasa Partai Kebangkitan Bangsa Nomor
1/MLB/PKB/V/2008 tentang Peraturan Tata Tertib
Muktamar Luar Biasa Partai Kebangkitan Bangsa. Dan hal
ini juga memperhatikan Hasil Musyawarah dalam komisi
Muktamar Luar Biasa Partai Kebangkitan Bangsa yang
bertugas untuk membahas Rancangan Anggaran Dasar dan
Anggara Rumah Tangga Partai Kebangkitan Bangsa. Serta
saran-saran, pendapat-pendapat, dan usul-usul yang
73
disampaikan dalam Sidang Pleno V Muktamar Luar Biasa
PKB pada tanggal 3 Mei 2008.
Muktamar Luar Biasa Partai Kebangkitan Bangsa di
Ancol ini menghasilkan beberapa keputusan. Yaitu
menetapkan Ketetapan Muktamar Luar Biasa Partai
Kebangkitan Bangsa tentang perubahan Anggaran Dasar
dan Anggaran Rumah Tangga Partai Kebangkitan Bangsa.
Serta mengesahkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah
Tangga Partai Kebangkitan Bangsa.Hasil Muktamar Luar
Biasa Partai Kebangkitan Bangsa kubu Muhaimin Iskandar
tidak diterima oleh kubu Gus Dur. Karena mereka
menganggap bahwa keputusan MLB mereka lah yang sah.
Dengan demikian konflik internal PKB pun semakin
meruncing. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik Bab XIV tentang
Penyelesaian Perselisihan Partai Politik Pasal 32 disebutkan
bahwa, (1) Perselisihan Partai Politik diselesaikan cara
musyawarah mufakat; (2) Dalam hal musyawarah mufakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai,
penyelesaian perselisihan Partai Politik ditempuh melalui
pengadilan atau di luar pengadilan; Dan (3) Penyelesaian
perselisihan di luar pengadilan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dapat dilakukan melalui rekonsiliasi, mediasi,
atau arbitrase Partai Politik yang mekanismenya diatur
dalam AD dan ART.Pada pasal 33 pun disebutkan bahwa
(1) Perkara Partai Politik berkenaan dengan ketentuan
Undang-Undang ini diajukan melalui pengadilan negeri;
(2) Putusan pengadilan negeri adalah putusan tingkat
74
pertama dan terakhir, dan hanya dapat diajukan kasasi
Mahkamah Agung; (3) Perkara sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diselesaikan oleh pengadilan negeri paling
lama 60 (enam puluh) hari sejak gugatan perkara terdaftar
di kepaniteraan pengadilan negeri dan oleh Mahkamah
Agung paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak memori kasasi
terdaftar di kepaniteraan Mahkamah Agung.Upaya untuk
islah sudah banyak dilakukan antara kedua kubu. Namun
selalu mendapatkan hasil yang tidak diharapkan. Hingga
pada akhirnya perkara konflik internal kubu Gus Dur dan
kubu Muhaimin diajukan ke Mahkamah Agung.
Keputusan kasasi oleh Mahkamah memenangkan PKB
kubu Munas Ancol yakni Muhaimin Iskandar dan Lukman
Edy. Dan akhirnya kubu Gus Dur “menerima” keputusan
kasasi oleh Mahkamah Agung tersebut, meski tidak
menyebut kata “islah” melainkan kata “harmonisasi”.
3.5.
Proses Politik Partai Persatuan Pembangunan
Partai Persatuan Pembangunan atau PPP adalah
partai Islam paling senior dari partai Islam yang ada
sekarang (hasil peserta pemilu 2009 dan 2014). Senioritas
partai ini dimulai sejak tahun 1971 sebagai produk dari
politik fusi partai Orde Baru sehingga PPP adalah hasil
penggabungan empat partai Islam waktu itu, yaitu Partai
Nahdlatul Ulama, Partai Muslimin Indonesia atau Parmusi,
Partai Syarikat Islam Indonesia atau PSII, dan Partai Islam
Perti. Alhasil, selama lebih kurang lebih tiga dekade hingga
akhirnya Soeharto jatuh pada 1998, PPP adalah satusatunya partai yang mengakomodasi preferensi politik
75
Islam. Artinya, bagi setiap warga muslim yang mempunyai
preferensi politik agama Islam pasti akan menjatuhkan
pilihannya ke PPP, tapi tidak otomatis warga muslim di
Indonesia adalah PPP.
Pada pemilu 1999 ketika penunggalan preferensi
Islam ke PPP berakhir yang ditandai dengan berdirinya
partai berbasis massa Islam baru seperti Partai Kebangkitan
Bangsa, Partai Keadilan, Partai Amanat Nasional, Partai
Bulan Bintang, Partai Nahdlatul Ulama, dan beberapa
partai lainnya perolehan suara PPP kemudian menurun
walaupun masih berada dua digit menjadi 10,71% (58 kursi
parlemen). Praktis setelah reformasi, PPP sebagai
organisasi kepartaian tidak begitu terdengar karena
tergantinkan oleh aktor-aktor Islam penting yang akhirnya
mendirikan partai sendiri seperti Amien Rais dan Gus
Dur.Sedangkan pada pemilu 2004, perolehan suara PPP
semakin menurun hanya menjadi 8,15% dengan konversi
suara menjadi 58 kursi di parlemen.
Namun pada pemilu legislatif 2009, perolehan suara
PPP turun cukup tajam menjadi 5,32% dengan konversi
suara menjadi 37 kursi di parlemen di bawah partai Islam
yang datang kemudian seperti PKS. Artinya, sejarah
elektoral PPP menunjukkan „konsistensi‟ penurunan suara
sejak berakhirnya rezim Soeharto.Padahal pada era orde
baru, PPP adalah partai yang hampir selalu menjadi partai
pemenang kedua setelah Golkar dengan perolehan suara
dua digit di atas 15%, bahkan pada pemilu 1977 PPP
mendapatkan lebih dari 29% suara. Pada pemilihan
76
presiden secara langsung 2004 lalu, PPP mengajukan
kadernya Hamzah Haz yang saat itu juga menjabat sebagai
ketua umum partai berpasangan dengan Agum Gumelar
sebagai Calon Presiden namun kalah pada putaran
pertama. Dari rangkaian panjang tersebut, sejak pemilu
2004, PPP merupakan partai yang loyal dalam koalisi
pemerintahan SBY hingga menuju pemilu 2014 saat
ini.Sejak 2004, PPP melalui Ketua Umumnya Surya Dharma
Ali (sejak 2007) dan Djan Fariz bergabung dalam Kabinet
Indonesia Bersatu sebagai menteri agama dan menteri
perumahan rakyat. Loyalitas PPP sebagai partai koalisi
pendukung pemerintahan ditunjukkan melalui beberapa
sikap politiknya di parlemen dalam mendukung sikap
politik partai pemerintah.
Walaupun dalam beberapa kasus PPP memilih
berbeda sikap dengan dengan Partai Demokrat seperti
pada kasus Bank Century. Jika kita melihat perkembangan
elektabilitas PPP menuju pemilu 2014, dalam banyak survei
PPP cenderung berada di angka elektabilitas 5-7%. Artinya,
kematangan sejarah yang panjang dengan kapasitas
infrastruktur dan sistem kepartaian yang mapan tidak
lantas menjamin PPP berada pada stabilitas elektabilitas.
Selain soal pergeseran perilaku pemilih, PPP adalah partai
tua yang sepertinya „berhenti‟ melakukan transformasi dan
adaptasi kelembagaan di dalam iklim politik pasca
reformasi saat ini yang sama sekali berbeda. (sumber
:poltracking.com/partai-diunduh pada hari Kamis, 12 Februari
2015, pk.13.17)
77
Kemelut yang terjadi di Partai PPP, sampai saat ini
belum berakhir, masing-masing kubu hasil muktamar
Surabaya dan kubu hasil Muktamar Jakarta. Kepengurusan
PPP pecah saat Sekretaris Jenderal DPP PPP
Romahurmuziy mengadakan muktamar pada 17 Oktober
2014 di Surabaya.Muktamar itu melengserkan ketua umum
sebelumnya,
Suryadharma
Ali,
dan
memilih
Romahurmuziy dan Mardiono sebagai ketua umum dan
wakilnya. Pada 30 Oktober, giliran pengurus partai kubu
Suryadharma yang menggelar muktamar di Jakarta. Dalam
acara itu, Djan Faridz terpilih sebagai ketua
umum.Menurut Humphrey, berdasarkan pasal 32 UU
Partai Politik, apabila ada perselisihan dalam internal
partai, maka harus diselesaikan terlebih dahulu segala
permasalahan yang ada dalam partai, termasuk dualisme
ini."Kalau sesuai aturan, maka diselesaikan masalahnya
lebih
dulu,
tidak
boleh
menggelar
kegiatan
apapun.Seharusnya seperti itu," katanya.Pada Minggu, 15
Februari 2015, DPP PPP versi Muktamar Surabaya
mengumumkan akan menggelar Mukernas I PPP di Jakarta
selama 17-19 Februari. "Mukernas merupakan forum
tertinggi setelah muktamar yang akan membahas beberapa
persoalan penting dan isu terkini," kata Isa Muchsin, Ketua
Bidang Organisasi, Keanggotaan, dan Kaderisasi DPP PPP
kubu Romy. Salah satu yang akan dibahas nanti adalah
pemilihan
kepala
daerah
serentak
pada
2015.
(Sumber:www.tempo.co/.../Partai-Persatuan
PembangunanPPP. Diunduh pada hari Jum‟at 20 Februari 2015, pukul. 08.38).
78
Namun demikian, pasca mukernas DPP PPP versi
Muktamar Surabaya (Kubu Romy), yang selesai tanggal 19
Februari 2015, maka pada hari Rabu tanggal 25 Februari
2015, kubu Romy dikejutkan dengan putusan pengadilan
Tata Usaha Negara (PTUN) akhirnya secara resmi
mengetok palu menerima gugatan kubu PPP Djan Faridz
dan membatalkan SK Kemenkumham PPP kubu
Romahurmuziy. Ketua DPP PPP kubu Djan Faridz Sofwat
Hadi mendesak kepada PPP kubu Romahurmuziy untuk
dapat
menerima
kekalahan
dan
membubarkan
kepengurusan pasca putusan PTUN. Kubu Djan Faridz
menyatakan bahwa DPP PPP versi Romy harus ikut bubar
setelah dikalahkan secara hukum di PTUN sebagai
konsekwensi logis sebagaitergugat atas perkara ini.Dia
menjelaskan, dalam proses persidangan di PTUN masingmasing pihak yaitu pihak Hasil Muktamar PPP di Surabaya
dengan Ketum Romy dan pihak Hasil Muktamar PPP di
Jakarta dengan Ketum Djan Faridz. Masing-masing pihak
mengeluarkan dalil-dalil dan pengajuan alat-alat bukti
serta keterangan-keterangan ahli untuk meyakinkan Hakim
PTUN dalam ambil Putusan demi kebenaran dan
keadilan.Muktamar yang dimana, yang benar dan sah
sesuai AD/ART serta Putusan Mahkamah Partai PPP.
Karena itu, Sofwan menyatakan dengan adanya putusan
itu (PTUN) pihak PPP versi Romy akan menghormati dan
mematuhi hukum. Sehingga tidak lagi merasa DPP PPP
yang dipimpinnya sebagai yang sah dan tidak
79
menimbulkan kegaduhan di Kepengurusan PPP tingkat
Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha
Negara memutuskan menerima gugatan yang diajukan
mantan Ketua Umum PPP Surya Dharma Ali terkait
pengesahan Kemenkumham terhadap kepengurusan PPP
kubu Romahurmuziy atau Romi. Surat Keputusan
Kemenkumham yang diperoleh pihak Romy dianggap
batal."Mengabulkan
gugatan
penggugat
diterima
seluruhnya, kemudian membatalkan Surat Keputusan
Menteri Hukum dan HAM No. M.HH-07.AH.11.01 Tahun
2014, kata Ketua Majelis Hakim Teguh Satya Bhakti dalam
membacakan putusannya di ruang sidang, Gedung PTUN,
Jakarta Timur, Rabu (25/2/2015). Majelis hakim menilai
gugatan ini terjadi karena pihak tergugat yaitu
Kemenkumham melakukan intervensi terhadap konflik
internal parpol."Sikap tergugat tidak menimbulkan
kepastian hukum. Selain itu, pengadilan tidak bisa
membiarkan tergugat yang menerbitkan SK dan
membiarkan masalah ini dengan melempar ke PTUN.
Sumber :harianterbit.com (diunduh pada hari Kamis, 26
Februari 2015, pk. 09.20).
Jika kondisi tersebut kemudian terjadi lagi gugatan
yang diajukan oleh fihak yang kalah pada hasil sidang
PTUN dan dibiarkan berlarut-larut, maka diperkirakan
akan berdampak pada perolehan suara pada pemilu yang
akan datang. Kondisi ini, akan berpengaruh pula pada
tingkat kepercayaan masyarakat banyak di berbagai daerah
di tanah air, tidak menutup kemungkinan, kekisruhan
80
internal partai menjadi pintu pembuka bagi pergeseran
sikap pengurus, kader, simpatisan dan anggota partai
berlambang ka‟bah, ke partai lain. Namun demikian,
kondisi dan realita politik lokal Tasikmalaya, terkait
dengan masalah tersebut di atas, tidak akan banyak
berpengaruh, hal ini dikarenakan untuk sementara ini
tingkat loyalitas pengurus, anggota, kader dan simpatisan
PPP cukup tinggi, sehingga perolehan suara PPP di daerah
ini, tidak akan banyak berubah. Fluktuasi perolehan suara
PPP tidak terlalu signifikan, meskipun terjadi gejolak
politik di internal partai.
3.6.
Pemilu Legislatif 2014 Kota Tasikmalaya
Pesta demokrasi Pemilu Legislatif yang digelar pada
9 April 2014, telah selesai dilaksanakan, meskipun masih
menyisakan beberapa masalah, baik di tingkat pusat
maupun di daerah. Sebanyak 15 partai peserta Pemilu yang
terdiri dari 12 partai nasional dan 3 partai lokal (Aceh) telah
bertarung memperebutkan kursi legislatif di tingkat
kabupaten/kota, provinsi, dan pusat (nasional). 12 Partai
nasional peserta pemilu 2014 yaitu: (1) Partai NasDem; (2)
PKB; (3) PKS; (4) PDI Perjuangan; (5) Partai Golkar; (6)
Partai Gerindra; (7) Partai Demokrat; (8) PAN; (9) PPP; (10)
Partai Hanura; (14) PBB; dan (15) PKP Indonesia.
Sedangkan Partai lokal Aceh sebanyak 3 partai yakni;
Partai Damai Aceh (11); Partai Nasional Aceh (12); dan
Partai Aceh (13). Pertarungan memperebutkan kursi di
tingkat pusat melibatkan 6.576 Caleg DPR RI, ribuan Caleg
DPD RI, dan puluhan ribu Caleg DPRD Provinsi dan DPRD
81
Kabupaten/Kota. Sementara itu, di Kota Tasikmalaya pada
Pemilu legislatif 2014 diikuti 12 partai nasional dan
melibatkan sebanyak 493 orang caleg, memperebutkan 45
kursi DPRD Kota Tasikmalaya, dapat dipastikan sebanyak
448 orang tidak akan lolos. Bagi partai secara nasional,
kontestasi Pemilu 2014 dipastikan lebih berat ketimbang
kontestasi Pemilu 2009 lalu. Oleh sebab ketentuan PT
(parliamentary threshold) atau ambang batas perolehan suara
partai secara nasional untuk bisa menempatkan wakilnya
di parlemen (DPR RI) pada Pemilu 2014 lebih tinggi, yakni
3,5 %. Sementara pada pemilu legislatif 2009 PT
(parliamentary threshold) sebesar 2,5 % suara. Selain itu,
biaya yang harus dikeluarkan partai juga dipastikan akan
semakin besar. Pada perhelatan akbar pemilu 2014, seluruh
kontestasi Pemilu, tidak ada satu pun partai yang ingin
kalah. Semuanya bermaksud meraih kemenangan.
Minimal, target lolos PT 3,5 % tercapai. Namun fakta dan
realita menunjukkan bahwa dua partai nasional yakni; PBB
dan PKPI tidak lolos, karena perolehan suara secara
nasional dibawah 3,5 %.(Edi Kusmayadi, 2014 : 1-2 )
82
SIKAP POLITIK MASSA NU
4.1.
Sejarah Kota Tasikmalaya
abupaten Tasikmalaya berdiri pada tanggal 21
Agustus 1111. Dalam buku berjudul Kumpulan
Sejarah Tasikmalaya, dijelaskan bahwa kata
Tasikmalaya berasal dari dua suku kata, yaitu kata Tasik
dan Laya yang berarti dalam bahasa Sunda “keusik
ngalayah”, atau dalam bahasa Indonesia berarti banyak
pasir dimana-mana. Pendapat kedua menyampaikan
bahwa Tasikmalaya berasal dari kata Tasik dan Malaya,
yang berarti Tasik adalah danau; laut (Sunda: cai ngembeng),
dan Malaya diartikan nama deretan pegunungan di pantai
Malabar India. Kalau di gabung secara keseluruhan berarti
gunung (bukit) yang terdapat di Tasikmalaya banyaknya
seperti air laut (Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya, 2012 :
4).
Sejarah berdirinya Kabupaten Tasikmalaya (BPS
Kabupaten Tasikmalaya, 2015 : 5-6) dimulai pada abad ke
VII sampai abad ke XII di wilayah yang sekarang dikenal
sebagai Kabupaten Tasikmalaya, diketahui adanya suatu
bentuk
Pemerintahan
Kebataraan
dengan
pusat
pemerintahannya di sekitar Galunggung, dengan
kekuasaan mengabisheka raja-raja (dari Kerajaan Galuh) atau
dengan kata lain raja baru dianggap syah bila mendapat
persetujuan Batara yang bertahta di Galunggung. Batara
K
83
atau sesepuh yang memerintah pada masa abad tersebut
adalah sang Batara Semplak Waja, Batara Kuncung Putih,
Batara Kawindu, Batara Wastuhayu, dan Batari Hyang
yang pada masa pemerintahannya mengalami perubahan
bentuk dari kebataraan menjadi kerajaan.
Kerajaan ini bernama Kerajaan Galunggung yang
berdiri pada tanggal 13 Bhadra pada 1033 Saka atau 21
Agustus 1111 dengan penguasa pertamanya yaitu Batari
Hyang, berdasarkan Prasasti Geger Hanjuang yang
ditemukan di bukit Geger Hanjuang, Desa Linggawangi,
Kecamatan Leuwisari, Tasikmalaya. Dari Sang Batari inilah
mengemuka ajarannya yang dikenal sebagai Sang Hyang
Siksakandang Karesian. Ajarannya masih dijadikan ajaran
resmi pada jaman Prabu Siliwangi (1482-1521 M) yang
bertahta di Pakuan Pajajaran. Kerajaan Galunggung ini
bertahan sampai 6 raja berikutnya yang masih keturunan
Batari Hyang. Periode selanjutnya adalah periode
pemerintahan di Sukakerta dengan Ibukota di Dayeuh
Tengah (sekarang termasuk dalam Kecamatan Salopa,
Tasikmalaya), yang merupakan salah satu daerah bawahan
dari Kerajaan Pajajaran. Penguasa pertama adalah Sri
Gading Anteg, yang masa hidupnya sejaman dengan Prabu
Siliwangi. Dalem Sukakerta sebagai penerus tahta
diperkirakan sejaman dengan Prabu Surawisesa (1521-1535
M) Raja Pajajaran yang menggantikan Prabu Siliwangi.
Pada masa pemerintahan Prabu Surawisesa
kedudukan Pajajaran sudah mulai terdesak oleh gerakan
kerajaan Islam yang dipelopori oleh Cirebon dan Demak.
84
Sunan Gunung Jati sejak Tahun 1528 berkeliling keseluruh
wilayah tanah Sunda untuk mengajarkan Agama Islam.
Ketika Pajajaran mulai lemah, daerah-daerah kekuasaannya
terutama yang terletak di bagian timur berusaha
melepaskan diri. Mungkin sekali Dalem Sukakerta atau
Dalem Sentawoan sudah menjadi penguasa Sukakerta yang
merdeka, lepas dari Pajajaran. Tidak mustahil pula kedua
penguasa itu sudah masuk Islam.
Periode selanjutnya adalah pemerintahan di
Sukapura yang didahului oleh masa pergolakan di wilayah
Priangan yang berlangsung lebih kurang 10 tahun.
Munculnya pergolakan ini sebagai akibat persaingan tiga
kekuatan besar di Pulau Jawa pada awal abad XVII Masehi
: Mataram, Banten, dan VOC yang berkedudukan di
Batavia. Wirawangsa sebagai penguasa Sukakerta
kemudian diangkat menjadi Bupati daerah Sukapura,
dengan gelar Wiradadaha I, sebagai hadiah dari Sultan
Agung
Mataram
atas
jasa-jasanya
membasmi
pemberontakan Dipati Ukur. Ibu kota negeri yang awalnya
di Dayeuh Tengah, kemudian dipindah ke Leuwiloa
Sukaraja dan “negara” disebut “Sukapura”.
Pada masa pemerintahan R.T. Surialaga (1813-1814)
Ibu kota Kabupaten Sukapura dipindahkan ke
Tasikmalaya. Kemudian pada masa pemerintahan
Wiradadaha VIII Ibu kota dipindahkan ke Manonjaya
(1832). Perpindahan Ibukota ini dengan alasan untuk
memperkuat benteng-benteng pertahanan Belanda dalam
menghadapi Diponegoro. Pada tanggal 1 Oktober 1901 Ibu
85
kota Sukapura dipindahkan kembali ke Tasikmalaya. Latar
belakang pemindahan ini cenderung berdasarkan alasan
ekonomis bagi kepentingan Belanda. Pada waktu itu
daerah Galunggung yang subur menjadi penghasil kopi
dan nila. Sebelum diekspor melalui Batavia terlebih dahulu
dikumpulkan di suatu tempat, biasanya di Ibukota daerah.
Letak Manonjaya kurang memenuhi untuk dijadikan
tempat pengumpulan hasil-hasil perkebunan yang ada di
Galunggung.
Nama Kabupaten Sukapura pada Tahun 1913 diganti
namanya menjadi Kabupaten Tasikmalaya dengan R.A.A
Wiratanuningrat (1908-1937) sebagai Bupatinya. Tanggal 21
Agustus 1111 Masehi dijadikan Hari Jadi Tasikmalaya
berdasarkan Prasasti Geger Hanjuang yang dibuat sebagai
tanda upacara pentasbihan atau penobatan Batari Hyang
sebagai Penguasa di Galunggung, dan pada Tahun 2001,
tepatnya pada Tanggal 17 Oktober Kabupaten Tasikmalaya
di mekarkan menjadi dua daerah yaitu Kabupaten
Tasikmalaya dan Kota Tasikmalaya, hal ini berdasarkan
ketetapan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2001.
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2001 tentang
Pembentukan Kota Tasikmalaya, telah mengantarkan
Pemerintah Kota Administratif Tasikmalaya melewati
pintu gerbang Daerah Otonomi Kota Tasikmalaya, untuk
menjadi daerah yang mempunyai kewenangan untuk
mengatur rumah tangga sendiri. Pembentukan Pemerintah
Kota Tasikmalaya tak lepas dari peran serta semua pihak
maupun berbagai steakholder di daerah Kota Tasikmalaya
86
yang mendukung pembentukan tersebut. Tentunya dengan
pembentukan Kota Tasikmalaya harus ditindak lanjuti
dengan menyediakan berbagai prasarana maupun sarana
guna menunjang penyelenggaraan Pemerintah Kota
Tasikmalaya.
Sumber web site Pemkot juga menyebutkan bahwa
pada tanggal 18 Oktober 2001 pelantikan Drs. H. Wahyu
Suradiharja sebagai PJ. Walikota Tasikmalaya oleh
Gubernur Jawa Barat dilaksanakan di Gedung Sate
Bandung. Sesuai Undang-Undang No. 10 Tahun 2001
bahwa wilayah Kota Tasikmalaya terdiri dari 8 Kecamatan
dengan jumlah Kelurahan sebanyak 15 dan Desa sebanyak
54, tetapi dalam perjalanannya melalui Perda No. 30 Tahun
2003 tentang perubahan status Desa menjadi Kelurahan,
desa-desa dilingkungan Pemerintah Kota Tasikmalaya
berubah statusnya menjadi Kelurahan, oleh karena itu
maka jumlah kelurahan menjadi sebanyak 69 kelurahan.
Kota Tasikmalaya secara geografis memiliki posisi yang
strategis, yaitu berada pada 108˚ 08' 38" - 108˚ 24' 02" BT
dan 7˚ 10'. Luas wilayah Kota Tasikmalaya 183,85 km2 yang
meliputi wilayah 10 Kecamatan, yaitu Cipedes, Cihideung,
Tawang, Tamansari, Mangkubumi, Kawalu, Indihiang,
Cibeureum, Purbaratu dan Bungursari. Data luas
administrasi
kecamatan
dan
data
administrasi
pemerintahan ke-10 Kecamatan yang mencakup 69
Kelurahan sebagaimana tercantum pada tabel di bawah ini
:
87
Tabel 4.1. :
Luas Wilayah Administratif Kecamatan
Dan Kelurahan
No Kecamatan
1
Cihideung
2
Cipedes
3
Tawang
4
Indihiang
5
Kawalu
6
Cibeureum
7
Tamansari
8
Mangkubumi
9
Purbaratu
10
Bungursari
Jumlah
Luas Wilayah (Km2)
5,49
8,97
7,08
11.04
42,78
19,04
35,99
24,53
12,02
16.91
183,85
Jumlah Kelurahan
6
4
5
6
10
9
8
8
6
7
69
Sumber : BPS Kota Tasikmalaya tahun 2015
Tabel 4.2
Kecamatan
:
Data Administrasi
Tasikmalaya
Ibu Kota
Pemerintahan
Jumlah
Kelurahan
Jumlah
RW
Kawalu
Talagasari
10
113
Tamansari
Tamanjaya
8
89
Cibeureum
Ciherang
9
85
Purbaratu
Purbaratu
6
55
Tawang
Kahuripan
6
63
Cihideung
Argasari
6
68
Mangkubumi Mangkubumi
8
89
Indihiang
Sukamaju kidul 6
61
Bungursari
Bungursari
7
66
Cipedes
Nagarasari
4
70
Kota Tasikmalaya
69
759
Sumber : Kota Tasikmalaya dalam angka tahun 2013
88
Kota
Jumlah
RT
420
324
333
232
304
351
407
267
237
329
3.204
4.2.
Pengurus NU dan Jumlah Nahdiyin Kota
Tasikmalaya
Pengasuh Pondok Pesantren Bustanul Ulum, KH.
Didi Hudaya, mengemban amanah untuk memimpin NU
Kota Tasikmalaya periode 2013-2018. Ia terpilih pada
Konfercab yang digelar di Komplek Argasari, Kota
Tasikmalaya. Didi terpilih sebagai ketua tanfidziyah.
Sementara KH Aban Bunyamin, Pengasuh Pesantren
Miftahul Ulum, Bungursari, terpilih sebagai rais syuriyah.
Ia mengantongi 6 suara (10 MWC dan 1 PC) hak suara.
Hanya selisih satu angka dari Pengasuh Pondok Pesantren
Raudatul Muta‟alimien, KH Ate Mushodiq Bahrum.
Jumlah Nahdiyin di Indonesia hasil survey ISNU
kurang lebih 83 juta orang, atau 35 persen dari total jumlah
penduduk Indonesia. Untuk jumlah warga NU
menggunakan
data
survey
ISNU
sebagaimana
disampaikan oleh Pengurus Koperasi MabadiKu PWNU
Jawa Timur yaitu 83 juta jiwa. Maka prosentase nahdliyyin
adalah 32,72 % atau dibulatkan menjadi 33 persen dari total
jumlah penduduk Indonesia, bila menggunakan data
terbaru Biro Sensus . Sementara bila tetap menggunakan
data BPS 2010, diperoleh 34,92 % atau 35 persen dari total
jumlah penduduk Indonesia. Adapun bila dibandingkan
dengan total jumlah umat Islam, maka jumlah warga
nahdliyyin hanya berkisar 40 % dari total jumlah umat
Islam Indonesia. Artinya masih ada sekitar 60 persen atau
207.176.162 - 83 juta = 124.176.162 umat Islam Indonesia
yang bukan warga NU, dan itu tersebar diberbagai
kelompok-kelompok umat Islam lainnya.
89
sumber:(http://www.muslimedianews.com/2014/05/jumlahwarga-nu-83-juta-jiwa-diunduh pada hari Senin, 7 Maret 2016,
pukul. 11.15)
Jika angka prosentase tersebut digunakan untuk
perkiraan jumlah nahdiyin di Kota Tasikmalaya, maka
diperoleh angka sebagai berikut : 35 % x 657.217 (sumber
BPS Kota Tasikmalaya, tahun 2014) = 230.025 orang. Jumlah
tersebut merupakan potensi bagi semua calon legislatif
Kota Tasikmalaya, sehingga seringkali massa NU disebut
massa yang seksi, karena menjadi pusat perhatian dari
berbagai partai politik dan kandidatnya. Persoalannya ialah
massa yang banyak itu, dapat dijadikan modal oleh setiap
kandidat sebagai lumbung perolehan suara pada pemilu
legislatif 2014 atau malah menjadi penghambat dalam
sosialisasi kandidat.
4.3.
Calon legislatif Kota Tasikmalaya tahun 2014 dan
Daerah Pemilihan
Komisi Pemilihan Umum Kota Tasikmalaya telah
menetapkan Daftar Calon Tetap (DCT) Anggota DPRD
Kota Tasikmalaya Tahun 2014 pada tanggal 22 Agustus
2013, sebanyak 493 orang telah resmi namanya tercatat
sebagai calon anggota DPRD Kota Tasikmalaya pada
pemilihan umum legislatif tahun 2014 mendatang. Dari
sebanyak 496 orang yang terdaftar dalam Daftar Calon
Sementara (DCS). Daftar calon legislatif 2014 secara rinci
dapat dilihat pada tabel di bawah ini;
90
Tabel 4.3
No
1
2
3
4
:
Daftar Jumlah Calon
Tasikmalaya Tahun 2014
Nama Partai Politik
Legislatif
Calon
Tetap
45
37
45
45
Kota
Ket
Partai Nasional demokrat
Partai Kebangkitan Bangsa
Partai Keadilan Sejahtera
Partai
Demokrasi
Indonesia
Perjuangan
5
Partai Golongan Karya
45
6
Partai Gerakan Indonesia Raya
45
7
Partai Demokrat
45
8
Partai Amanat Nasional
45
9
Partai Persatuan Pembangunan
45
10
Partai Hati Nurani Rakyat
42
11
Partai Bulan Bintang
44
12
Partai Keadilan dan Persatuan 10
Indonesia
Jumlah
493
Sumber : KPU Kota Tasikmalaya tahun 2014
Daerah pemilihan di Kota Tasikmalaya ditetapkan
sebanyak empat daerah pemilihan (Dapil). Daerah
Pemilihan I meliputi Kecamatan Cihideung,Tawang dan
Bungursari, Daerah Pemilihan II meliputi Kecamatan
Cipedes, Indihiang, Daerah Pemilihan III (Kecamatan
Cibeureum, Tamansari dan Purbaratu), Daerah Pemilihan
IV meliputi Kecamatan Kawalu dan Mangkubumi.
Daerah pemilihan 1 dengan jumlah calon sebanyak
134 orang, sementara alokasi/jatah kursi dari daerah
pemilihan 1 sebanyak 12 kursi, dengan demikian setiap
satu orang calon akan bersaing untuk memperebutkan
91
jatah 12 kursi atau 1 : 11 orang, artinya setiap satu calon
akan bersaing dengan sebelas calon legislatif. Daerah
Pemilihan II jumlah calon sebanyak 109 orang untuk
memperebutkan sebanyak 10 kursi, setiap satu orang calon
akan bersaing untuk memperebutkan jatah 10 kursi atau 1 :
9 orang. Daerah Pemilihan III jumlah calon sebanyak 120
orang yang akan memperebutkan sebanyak 11 kursi, setiap
satu orang calon akan bersaing untuk memperebutkan
jatah 11 kursi atau 1 : 10 orang, Daerah Pemilihan IV
jumlah calon sebanyak 130 orang yang memperebutkan
kursi sebanyak 12 kursi. setiap satu orang calon akan
bersaing untuk memperebutkan jatah 12 kursi atau 1 : 11
orang. Sedangkan jumlah pemilih yang terdaftar pada DPT
(daftar pemilih tetap) sebanyak 473.596 orang dengan
rincian sebagai berikut;
Tabel 4.4
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
:
Daftar Pemilih Tetap Pemilu Legislatif 2014
Kota Tasikmalaya
Nama
Kecamatan
Cihideng
Cipedes
Tawang
Indihiang
Kawalu
Cibeureum
Tamansari
Mangkubumi
Bungursari
Purbaratu
JUMLAH
Jml
Kelurahan
6
4
5
6
10
9
8
8
7
6
69
Jml
TPS
156
162
119
110
177
120
135
158
97
87
1.321
Jumlah Pemilih
L
26.358
27.936
22.237
18.271
32.260
23.452
23.971
31.633
18.444
15.174
239.736
Sumber : KPU Kota Tasikmalaya tahun 2013
92
P
25.903
27.226
22.717
18.059
30.951
23.042
22.770
31.064
17.547
14.581
233.860
Total
52.261
55.162
44.954
36.330
63.211
46.494
46.741
62.697
35.991
29.755
473.596
Komisi Pemilihan Umum Kota Tasikmalaya telah
menetapkan Daftar Calon Tetap (DCT) Anggota DPRD
Kota Tasikmalaya Tahun 2014 pada tanggal 22 Agustus
2013, sebanyak 493 orang telah resmi namanya tercatat
sebagai calon anggota DPRD Kota Tasikmalaya pada
pemilihan umum legislatif tahun 2014 dari sebanyak 496
orang yang terdaftar dalam Daftar Calon Sementara (DCS).
Jumlah pemilih sebanyak 473.596, yang terdiri dari jumlah
pemilih laki-laki sebanyak 239.736, jumlah pemilih
perempuan sebanyak 233.860, yang tersebar di 1.321
Tempat Pemungutan Suara (TPS), di 69 Kelurahan dan 10
Kecamatan. (sumber : KPU Kota Tasikmalaya, tahun 2014).
Perolehan suara masing-masing calon anggota DPRD
Kota Tasikmalaya di Dapilnya masing-masing adalah
sebagai berikut; Di Dapil I, jumlah pemilih tetap yang
terdaftar di DPT sebanyak 133.876, surat suara yang sah
sebanyak 100.764, surat suara yang tidak sah sebanyak
7.744, tingkat partisipasi masyarakat pemilih sebesar 81,05
persen. Jumlah calon yang lolos menjadi anggota DPRD
setelah perolehan suaranya mendekati Bilangan Pembagi
Pemilih (BPP), atau melebihi BPP sebanyak 12 orang, calon
yang berasal dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
sebanyak 2 orang, sedangkan calon yang diusung oleh PKB
tidak ada yang lolos, karena calon dari partai tersebut,
tidak ada seorangpun calon yang memperoleh suara yang
mendekati angka BPP, bahkan ada calon dari partai
tersebut yang hanya memperoleh dukungan suara
sebanyak 31 suara. Jumlah perolehan suara PKB di Dapil I
93
secara keseluruhan dari 11 orang calon yang diusulkan
ditambah suara partai sebesar 3.962 atau rata-rata hanya
memperoleh 360 suara.
Jika dilihat dari letak geografis, demografis dan basis
massa NU, Dapil I memiliki potensi dukungan massa NU
yang sangat banyak, ditambah jumlah pesantren dan
loyalis nahdiyin. Namun kenyataan di lapangan
menunjukkan hal yang sebaliknya, hal inilah yang menjadi
pertanyaan pengurus partai, mengapa massa Nahdiyin
tidak memberikan dukungan kepada calon dari PKB,
padahal PKB adalah Nahdiyin. Figuritas dan kapasitas
calon dari PKB di Dapil I patut dipertanyakan, mengingat
masyarakat pemilih massa Nahdiyin di beberapa tempat di
Dapil I banyak tidak dikenal, sehingga pemilih massa
Nahdiyin memilih calon yang dikenal dan memiliki
program yang jelas bagi masyarakat pemilih. Disisi lain,
massa Nahdiyin di berbagai tempat di dapil ini, lebih baik
menunggu arahan dan
petunjuk dari
pemuka
agama/kyai/ustad/ajengan yang ada di lingkungan massa
nahdiyin, karena kelompok pemilih tersebut termasuk
massa pemilih yang loyal terhadap petunjuk/arahan dari
kyai, sehingga massa ini disebut sebagai pemilih
tradisional. Seperti yang dikemukakan oleh Firmansyah
(2008:120-124) Pemilih tradisional adalah jenis pemilih yang
bisa dimobilisasi selama periode kampanye. Loyalitas
tinggi merupakan salah satu ciri khas paling kelihatan bagi
pemiilh jenis ini. Apa saja yang dibilang dan dikatakan oleh
seorang leader politik merupakan sebuah kebenaran yang
94
sulit dibantah. Adapun nama calon legislatif dari daerah
pemilihan I (Kecamatan Cihideung, Tawang dan
Bungursari), adalah sebagai berikut;
Tabel .4.5 :
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Daftar Nama Calon Legislatif Terpilih di
Daerah Pemilihan I Tahun 2014
Daerah Pemilihan I
Nama Partai dan Perolehan
Suara
Ir. Tjahja Wandawa
Dede Muhamad Muharam
Muslim
Sri Puspitawati
Rachmat Soegandar
H. Dayat Mustopa. SIP
Aslim. SH
Drs. H. Rachmat Slamet,
MM
Jeni Jayusman. S.Sos
Wahidin
H.R. Ramdani Mun‟im.
SIP
H. Muslim Sumarna. M.Si
Nasdem, 1.571 Suara
PKS, 1.872 Suara
PDI Perjuangan, 6.389 Suara
PDI Perjuangan, 3.486 Suara
PDI Perjuangan, 1.705 Suara
Partai Golkar, 1.810 Suara
Partai Gerindra, 1.906 Suara
Partai Demokrat, 2.601 Suara
PAN, 3.065 Suara
PAN, 2.213 Suara
PPP, 3.197 Suara
PPP 2.312 Suara
Sumber : KPUD Kota Tasikmalaya 2014
Di Daerah Pemilihan (Dapil) II, (Kecamatan Cipedes –
Indihiang), secara geografis daerah tersebut berada di
wilayah bagian utara Kota Tasikmalaya, jumlah pemilih
sebanyak 92.201, jumlah suara sah sebanyak 70.461, suara
tidak sah sebanyak 5.293, dengan tingkat partisipasi
pemilih mencapai 82,16 persen. Jumlah calon yang lolos
menjadi anggota DPRD sebanyak 10 orang dari 109 orang
calon, calon dari PPP sebanyak 3 orang, calon yang lolos
95
memperoleh dukungan suara 11.946. Sedangkan calon dari
PKB sebanyak 6 orang, namun tidak satupun calon yang
lolos menjadi anggota DPRD Kota Tasikmalaya. Karena
perolehan suara calon dari PKB terbesar 987 suara dan
terkecil sebanyak 68 suara. Di daerah pemilihan II, massa
nahdiyin cukup banyak tersebar di beberapa wilayah
kelurahan dan RW, basis massa nahdiyin berada di wilayah
kecamatan Indihiang dan sebagian di wilayah kecamatan
Cipedes, terutama di wilayah Kelurahan Panglayungan,
Cipedes, Cigeureung, basis massa Nahdiyin yang cukup
banyak di daerah ini, tidak berbanding lurus dengan
perolehan suara/dukungan kepada calon dari PKB.
Masalahnya ialah bahwa massa NU yang berafiliasi dengan
PKB dan PBR bergeser pilihannya ke PPP. Hal ini
dikarenakan salah satu calon dari PPP yang mendapat
dukungan suara terbanyak, adalah putra dari tokoh politik
PBR dan pengusaha ternama di daerahnya, sehingga massa
nahdiyin dapat dimobilisasi dan dipengaruhi oleh calon
dimaksud, dengan bantuan orang tua dan pemuka agama
di daerahnya, karena orang tua calon dimaksud dikenal
sangat
dekat
dengan
sejumlah
kyai/ulama/
ajengan/pemuka masyarakat, sehingga memudahkan
untuk memperoleh dukungan suara bagi anaknya. Nama nama calon legislatif dari daerah pemilihan II (Kecamatan
Cipedes dan Indihiang), yang terpilih adalah sebagai
berikut;
96
Tabel .4.6 :
Daftar Nama Calon Legislatif Terpilih Di
Daerah Pemilihan II Tahun 2014
No
Daerah Pemilihan II
1
2
3
4
5
6
7
8
Parid
Eti Guspitawati S.Sos
Drs. H. Ate Tachjan
Andi Warsandi SE
dr.H. Wahyu Sumawidjaja
Bagas Suryono
Rico Oktora S.Kom
Tedi Gunandi S.Kom
Nama Partai dan Perolehan
Suara
PKS, 1.257 Suara
PDI Perjuangan, 2.549 Suara
Golkar, 1.360 Suara
Gerindra, 1.787 Suara
Demokrat, 972 Suara
PAN, 2.453 Suara
PPP, 4.310 Suara
PPP, 4.142 Suara
9
10
H. Yoke Yuliantie
Herman Suherman S.PdI
PPP, 3.494 Suara
PBB, 1.588 Suara
Sumber : KPUD Kota Tasikmalaya 2014
Daerah Pemilihan III (Kecamatan Cibeureum,
Tamansari dan Purbaratu), jumlah pemilih sebanyak
122.912 orang, jumlah surat suara sah sebanyak 98.224
suara, suara tidak sah sebanyak 6.325 suara, tingkat
partisipasi pemilih 85,06 persen. Jumlah calon anggota
DPRD di dapil III sebanyak 120 orang, dari jumlah tersebut
hanya 11 orang yang dinyatakan lolos menjadi anggota
DPRD, dari 11 orang yang dinyatakan lolos, sebanyak 3
orang calon dari PPP dan 1 orang dari PKB, dengan
perolehan suara sebanyak 2.393 suara. Di Dapil III, PKB
memperoleh dukungan suara sehingga meloloskan
calonnya menjadi anggota DPRD, karena dapil III
merupakan wilayah dengan basis massa nahdiyin yang
sangat banyak, disisi lain loyalitas massa nahdiyin baik
97
terhadap partai politik maupun terhadap kyai/pemuka
masyarakat cukup tinggi. Hal ini di buktikan dengan angka
tingkat partisipasi pemilihnya pada pemilu legislatif tahun
2014 adalah yang tertinggi dari empat Dapil di Kota
Tasikmalaya.
Loyalitas massa nahdiyin di daerah ini terhadap
petunjuk atau arahan kyai/ajengan/ustadz cukup tinggi,
sehingga mobilisasi massa nahdiyin baik dari massa PPP
maupun masa nahdiyin PKB mudah untuk dilakukan oleh
kyai/ajengan/ustadz. Ketaatan massa nahdiyin tersebut
didasarkan atas keyakinan dan kepercayaan massa
terhadap para pewaris nabi, karena menurut mereka harus
dikedepankan sikap Tawazun (menyelaraskan sikap
berkhidmah pada Alloh SWT, dalam arti “kepentingan
akhirat”, dan sikap pada kepentingan lingkungan untuk
kemaslahatan hidup di dunia), sikap tersebut adalah salah
satu sikap kemasyarakatan kaum nahdiyin yang sudah
menjadi pedoman dalam kehidupan beragama dan
bermasyarakat. Nama - nama calon legislatif dari daerah
pemilihan III (Kecamatan Cibeureum, Purbaratu dan
Tamansari), yang terpilih adalah sebagai berikut;
Tabel .4.7 :
No
1
2
3
4
98
Daftar Nama Calon Legislatif Terpilih Di
Daerah Pemilihan III Tahun 2014
Daerah Pemilihan III
Wahid
Dede S.IP
Dodo Rosada SH
H. Nurul Awalin S.Ag,
Nama Partai dan Perolehan
Suara
PKB, 2.393 Suara
PKS, 2.275 Suar
PDI Perjuangan, 1.671 Suara
Partai Golkar, 2.416 Suara
No
5
6
7
8
9
10
Daerah Pemilihan III
Msi
Romdoni Maftuh
Anang Sapa‟at S.Sos
Ade Lukman
Agus Wahyudin, SH, MH
Sindy Wijayanti SH
H. Tatang Multiara, S.Sos
Nama Partai dan Perolehan
Suara
Partai Gerindra, 2.024 Suara
Partai Demokrat, 1.656 Suara
PAN, 2.808 Suara
PPP, 5.516 Suara
PPP, 4.467 Suara
PPP, 3.094 Suara
11
Kurnia Hidayat, SH
PBB, 2.293 Suara
Sumber : KPUD Kota Tasikmalaya 2014
Daerah Pemilihan IV (Kecamatan Kawalu dan
Mangkubumi), jumlah pemilih tetap sebanyak 126.507,
jumlah suara sah sebanyak 99.781, suara tidak sah 6.288,
tingkat partisipasi pemilih sebesar 83.84 persen. Jumlah
calon legislatif sebanyak 130 orang yang memperebutkan
12 kursi. Calon dari PKB yang lolos sebanyak 1 orang
menjadi anggota DPRD Kota Tasikmalaya, dengan jumlah
suara yang diperolehnya sebanyak 1.922, sedangkan
perolehan suara partai dan calon sebanyak 7.544 atau ratarata calon hanya memperoleh suara sebanyak 755 suara.
Basis massa nahdiyin PKB dan PPP di Dapil III, cukup
potensial sehingga masing-masing calon berkompetisi
untuk
memperoleh
dukungan
dari
kalangan
kyai/ulama/ajengan/ustadz/pemuka masyarakat. Basis
massa nahdiyin di Kecamatan Kawalu dan Mangkubumi,
memliki karakter yang hampir sama dengan daerah lain di
Kota Tasikmalaya, misalnya dengan basis massa di
Kecamatan Tamansari dan Cibeureum. Secara geografis
99
wilayah tersebut berbatasan langsung dengan wilayah
Kawalu, sehingga proses sosial masyarakatnya memiliki
ciri dan karakter yang sama, baik pola interaksi sosial,
aksentuasi bahasa, tradisi yang ada, budaya masyarakat
termasuk budaya politik. Budaya politik kawula
mendominasi dalam proses sosial dan proses politik,
artinya massa nahdiyin baik dari PKB/PPP atau di luar
partai politik tersebut, menyandarkan segalanya kepada
kyai/ajengan/ulama/ustadz dan pemuka masyarakat
yang dipandang sangat berpengaruh dalam kehidupan
pribadi/kelompok massa nahdiyin.
Secara umum di Kota Tasikmalaya, terdapat
beberapa wilayah yang merupakan tempat tinggal
kumpulan komunitas masyarakat. yang terbentuk atas
dasar sistim kekerabatan dan paguyuban berdasarkan
keturunan,
atau
paguyuban
asal
daerahnya.
Pemuka/tokoh
masyarakat
tersebut
berasal
dari
keluarga/kerabat
asli
keturunan
dari
komunitas/paguyuban masyarakat tersebut atau warga
asli wilayah tersebut yang dipandang terkemuka dari segi
sosial ekonomi atau terkemuka karena tingkat
pendidikannya, sehingga warga masyarakat seringkali
menyandarkan diri sikapnya terhadap pemuka/tokoh
masyarakat tersebut. Sikap ini mencerminkan adanya
dominasi ketokohan yang berperan untuk menentukan
sikap dan perilaku serta orientasi warga/keluarganya
bergantung pada pemuka masyarakat tersebut. Sikap dan
perilaku warga masyarakat yang bersifat paternalistik,
100
secara turun temurun dari generasi ke generasi berikutnya
tidak pernah berubah. Faktor ini menjadi kendala bagi
kandidat atau calon untuk menerobos masuk ke dalam
komunitas masyarakat tersebut dalam rangka sosialisasi
atau sekedar silaturahmi. Jika calon/kandidat berhasil
masuk ke dalam komunitas masyarakat tersebut, hanya
sebatas etika pergaulan masyarakat yaitu menerima setiap
tamu yang bersilaturahmi, tetapi tidak akan mengikuti apa
yang diinginkan oleh kandidat/calon legislatif yang
bersangkutan, kecuali ada komitmen lain diluar norma
masyarakat tersebut.
Ikatan primordialisme kesukuan, keturunan, status
sosial ekonomi, keagamaan dan sebagainya. menjadi salah
satu alasan penting dari masyarakat dalam menyikapi
terhadap elektabilitas calon legislatif. Jika seorang kandidat
memiliki latar belakang ikatan primordialisme yang sama
dengan ikatan primordialisme masyarakat bersangkutan,
maka hal tersebut menjadi alternatif pilihan masyarakat.
Ikatan emosional menjadi pertimbangan penting bagi
masyarakat untuk menentukan pilihannya. Ikatan
emosional masyarakat tidak hanya didasarkan atas sistim
kekerabatan semata, akan tetapi agama menjadi pengikat
ikatan emosional, asal daerah atau tempat tinggal,
ras/suku, budaya, dan status sosial ekonomi, sosial budaya
juga menjadi unsur penting dalam ikatan emosinal
komunitas masyarakat tertentu. Komunitas masyarakat
yang heterogen cenderung lebih bersifat rasional,
pragmatis, tidak mudah untuk dipengaruhi, terkadang
101
memiliki sikap ambivalen, berorientasi ke materi. Sikap dan
pandangan untuk memilih atau tidak memilih dalam
proses politik lebih besar, sehingga tingkat kesadaran dan
partisipasi politiknya ditentukan oleh sikap dan pandangan
individu yang bersangkutan, tidak mudah untuk
dipengaruhi oleh tokoh atau ikatan primordialisme
tertentu. Kondisi sosial masyarakat pada strata demikian,
diperlukan adanya kandidat/calon yang memiliki
kapabilitas yang tinggi baik dari aspek sosiologis atau
popularitas dan reputasi pada kelompok masyarakat
tersebut. Jika hal tersebut mampu dilakukan oleh seorang
kandidat, maka sangat terbuka perolehan suara pemilih
didapat dari komunitas masyarakat tersebut. Nama - nama
calon legislatif dari daerah pemilihan IV (Kecamatan
Kawalu dan Mangkubumi), yang terpilih adalah sebagai
berikut;
Tabel .4.8 :
No
Daftar Nama Calon Legislatif Terpilih Di
Daerah Pemilihan IV Tahun 2014
Daerah Pemilihan IV
Nama Partai dan Perolehan
Suara
1
Drs. H. A. Badruzaman,
MPd
PKB, 1.922 Suara
2
Heri Ahmadi, SP.dI
KS, 2.188 Suara
3
Drs. H. Denny Romdony
PDIP, 6.043 Suara
4
Imas Farmawati
PDIP, 2.453 Suara
5
H. Undang Syafrudin
Partai Golkar, 3.269 Suara
6
Isep Rislia, SP
Partai Golkar, 2.214 Suara
7
Ali Ridlo Muthahari
Partai Gerindra, 3.114 Suara
102
No
Daerah Pemilihan IV
Nama Partai dan Perolehan
Suara
8
Irman Rachman, SE
Partai Demokrat, 1.728 Suara
9
H. Mamat Rahmat, SH
PAN, 2.755 Suara
10
H. Enjang Bilawani, SH,
SHI
PPP, 4.285 Suara
11
Drs. H. Ajat Sudrajat
PPP, 2.659 Suara
12
Ichwan Shafa, SE
PBB, 1.198 Suara
Sumber : KPUD Kota Tasikmalaya 2014
Calon legislatif yang terpilih di masing-masing
Daerah Pemilihannya, kemudian di tetapkan sebagai
anggota DPRD terpilih periode 2014 – 2019, berdasarkan
Surat Keputusan KPU Kota Tasikmalaya Nomor :
43/Kpts/KPU-Kota-011.329197/2014, tanggal 13 Mei 2014,
tentang Calon Anggota DPRD Kota Tasikmalaya Terpilih
dalam Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Tahun 2014, ditetapkan sebanyak 45 orang
anggota Dewan terpilih periode 2014 – 2019, dengan
susunan sebagai berikut ; Partai NasDem 1 kursi, PKB 2
kursi, PKS 4 kursi, PDIP 7 kursi, Golkar 5 kursi, Gerindra 4
kursi, Demokrat 4 kursi, PAN, 5 kursi, PPP 10 kursi, PBB 3
kursi. Sedangkan Partai Politik yang tidak mendapatkan
kursi DPRD Kota Tasikmalaya adalah Partai Hanura dan
PKPI.
Dengan demikian diperoleh gambaran tentang peta
kekuatan politik lokal di Kota Tasikmalaya, dengan
membandingkan perolehan suara masing-masing partai
103
politik yang terlihat pada perolehan kursi DPRD Kota
Tasikmalaya hasil Pemilu Legislatif tahun 2009 dengan
hasil Pemilu Legislatif tahun 2014, sebagai berikut;
Tabel. 4.9 :
No
Perbandingan Jumlah kursi DPRD Kota
Tasikmalaya Hasil Pemilu Legislatif 2009
dengan Hasil Pemilu Legislatif 2014
Pemilu Legislatif 2009
Partai Politik
Jumlah
Kursi
Gerindra
1
PKS
4
PAN
7
PKB
1
Golkar
4
PPP
8
PBB
3
PDIP
5
PBR
4
Demokrat
8
No
Pemilu Legislatif 2014
Partai Politik
Jumlah
Kursi
1
1
NasDem
1
2
2
PKB
2
3
3
PKS
4
4
4
PDIP
7
5
5
Golkar
5
6
6
Gerindra
4
7
7
Demokrat
4
8
8
PAN
5
9
9
PPP
10
10
10
Hanura
11
PBB
3
12
PKPI
Jumlah
45
Jumlah
45
Sumber : KPUD Kota Tasikmalaya 2009 & 2014
Dari data di atas dapat dijelaskan bahwa partai PKB
yang semula hanya mendapat 1 kursi di DPRD meningkat
menjadi 2 kursi pada pemilu legislatif 2014, sementara
partai PPP yang semula hanya mendapat 8 kursi pada
pemilu 2009, meningkat menjadi 10 kursi pada pemilu
104
legislatif 2014, setelah sebelumnya partai PBR menyatakan
bergabung dengan PPP, karena PBR tidak lolos verifikasi
tingkat pusat. Perolehan suara PPP di Kota Tasikmalaya
pada pemilu legislatif 2014, sungguh luar biasa, partai ini
memperoleh suara 88.478 suara (19 %) dari jumlah pemilih
tetap, sehingga partai ini layak mendapat jatah 10 kursi di
DPRD Kota Tasikmalaya. Dari 12 partai politik peserta
pemilu legislatif tahun 2014, dua partai politik tidak
mendapat jatah kursi di DPRD Kota Tasikmalaya, yaitu
Partai Hanura dan partai PKPI.
Penambahan perolehan suara PKB di Kota
Tasikmalaya, dikarenakan pengaruh pendiri partai PPP di
Kota Tasikmalaya yang hijrah ke PKB berpengaruh besar
terhadap perolehan suara, karena kader dan simpatisan
tokoh partai PPP banyak yang masih loyal terhadap tokohtokoh yang dipecat oleh DPC-PPP Kota Tasikmalaya.
Sedangkan penambahan perolehan suara PPP di Kota
Tasikmalaya pada pemilu legislatif 2014, kemungkinan
besar berasal dari massa NU yang sebelumnya tergabung
di PBR dan partai Demokrat, disamping massa NU yang
tergabung sebelumnya dengan PKB kubu Gus-Dur, serta
dari massa partai lain. Alasan lain terkait dengan
pergeseran sikap politik massa NU PKB dan PPP di Kota
Tasikmalaya, didasarkan atas alasan sosilogis, demografis,
psikologis dan lingkungan tempat tinggal masyarakat
massa nahdiyin. Faktor demografis didasarkan atas tingkat
densitas/penyebaran penduduk di suatu wilayah/daerah
di masing-masing Daerah Pemilihan, ikut berperan
105
menentukan perilaku pemilih, jika terdapat pola
pemukiman penduduk dengan kepadatan rendah
cenderung masyarakatnya yang menjadi pemilih mudah
untuk
dikendalikan/dikondisikan,
meskipun
tidak
seluruhnya lapisan masyarakat dapat dikondisikan.
Kecenderungan sikap dan perilaku pemilih untuk
patuh pada pemuka / tokoh atau pimpinan masyarakat
tersebut sangat besar, karena loyalitas masyarakat terhadap
pemuka/tokoh masyarakat cukup tinggi, sehingga perilaku
pemilih dapat dengan mudah dipengaruhi oleh pihakpihak yang berpengaruh di tempat pemukiman masyarakat
dimaksud. Pola pemukiman seperti ini banyak terdapat di
wilayah Kecamatan Tawang terutama di sebagian wilayah
Kelurahan Kahuripan dan Kelurahan Cikalang, Kecamatan
Cihideung di Kelurahan Tugu Raja, Cilembang dan
Argasari. Kecamatan Indihiang hampir seluruh wilayah
kelurahan dan Cipedes di Kelurahan Panglayungan,
Cipedes, Cigeureung. Sedangkan untuk Dapil III dan IV
hampir seluruh wilayah kecamatan memiliki pola
pemukiman dengan kepadatan yang hampir sama. Hal ini
berbeda dengan pola pemukiman penduduk dengan
kepadatan yang tinggi/sangat tinggi, seperti di sebagian
wilayah yang termasuk Kecamatan Cihideung sebagian
Kelurahan Cilembang dan Kelurahan Nagarawangi dan
sebagian di kelurahan lainnya, kecenderungan perilaku
pemilih sangat beragam, mereka pada umumnya tidak
mudah dikendalikan atau dikondisikan, meskipun ada
beberapa tempat yang mudah untuk dikendalikan/
106
dikondisikan. Demikian pula di Kecamatan Tawang
sebagian wilayah Kahuripan, Cikalang, hal ini terkait
dengan seberapa besar pengaruh pemuka masyarakat
terhadap warga masyarakat sekitarnya.
Perilaku pemilih pada pola pemukiman ini, lebih
mengedepankan kepentingan pribadi/kelompoknya jika
dibanding dengan mengedepankan kepentingan orang
lain. Kegiatan warga masyarakat pada kelompok
masyarakat tersebut dalam proses politik diperhitungkan
dengan seberapa besar konvensasi yang akan diperolehnya
dibandingkan dengan kegiatan keseharian mereka dalam
mencari nafkah hidupnya. Terkecuali jika pemilih tersebut
tidak memiliki pekerjaan tetap, maka proses politik
menjelang pemilu legislatif menjadi ajang mencari materi
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Tempat tinggal/pemukiman yang dimaksud adalah
tempat tinggal warga masyarakat / pemilih pada pemilu
legislatif 2014. Letak daerah/wilayah tempat tinggal atau
pemukiman warga masyarakat menentukan sikap,
pandangan dan orientasi pemilih, karena keberadaan
pemilih di suatu tempat ditentukan ikatan-ikatan sosial
warga masyarakat tersebut, baik dari unsur keturunan, asal
daerah, ras/etnik, agama, faktor ekonomis dan sebagainya.
Hal tersebut terkait dengan pola pemukiman penduduk
karena faktor densitas yang menyebabkan berkembangnya
pola-pola pemukiman baru bagi penduduk kota, seperti
komplek perumahan baik yang bersifat umum (perumahan
yang dibangun pemerintah/swasta), maupun yang bersifat
107
khusus seperti komplek perumahan BI, perumahan TNI,
komplek perumahan yang dibangun pihak pengembang
yang tersebar di berbagai wilayah pinggiran maupun di
tengah kota. Pola pemukiman tersebut mempengaruhi pula
sikap dan orientasi pemilih, karena banyak pemukiman
penduduk yang tinggal di komplek perumahan yang tidak
terjangkau sosialisasi para calon legislatif. Pola pemukiman
juga seperti tersebut memiliki keberagaman pola hidup dan
gaya hidup masing-masing penghuninya, pola tadi
mempengaruhi pola pikir dan sikap warga masyarakat.
Loyalitas pemilih massa nahdiyin dari PKB maupun
PPP disebabkan oleh; Pertama ; ketaatan pemilih terhadap
partai politik yang menjadi apiliasi pemilih, atau karena
kesukaan pemilih terhadap kandidat, sebagai pendukung
partai politik, kader dan pengurus partai politik. Kedua
adalah warga masyarakat biasa yang tidak berapiliasi
terhadap partai politik, bukan sebagai kader atau pengurus
partai politik, tapi ada ikatan emosional selaku kaum
nahdiyin dan mengikuti ketaatan kaum nahdiyin lainnya.
Banyaknya partai politik peserta pemilu pada tahun
ini, menjadi penyebab utama warga masyarakat berdalih
untuk memilih atau tidak memilih salah satu partai politik
tertentu. Atau untuk memilih/tidak memilih calon
legislatif dalam pemilu legislatif tahun 2014. Alasan yang
dikemukakan warga masyarakat di beberapa tempat
tertentu mengemukakan sebagai berikut;
108
a.
b.
c.
d.
e.
Adanya ajakan dari pengurus atau kader dan
pemuka masyarakat untuk bergabung dengan partai
baru dengan dalih akan dijadikan pengurus;
Adanya kekecewaan massa NU terhadap partai
politik tertentu yang menjajikan sesuatu akan tetapi
tidak ditepati, sehingga pemilih menentukan sikap
dan orientasi untuk tidak memilih calon legislatif dari
partai politik tersebut.
Kekecewaan pengurus partai politik tertentu di
tingkat bawah terhadap kepengurusan partai politik
di tingkat atas, menyebabkan banyak pengurus partai
politik tertentu di tingkat bawah berpindah menjadi
pengurus partai politik lain atau partai politik baru,
hal berdampak pada konstituennya ikut berpindah
pilihan, baik terhadap partai politiknya maupun
terhadap calon legislatifnya meskipun terdapat ikatan
keluarga maupun ikatan-ikatan priomordialisme
yang lain;
Karena tidak terikat oleh partai politik, maka massa
NU memiliki kebebasan untuk menentukan
pilihannya sendiri, baik kepada partai politik
maupun kepada calon legislatif;
Masih terdapat massa NU yang tetap loyal terhadap
partai politik tertentu, namun tidak akan memilih
calon legislatif baik dari partai politik yang
disukainya maupun dari partai politik lain; Hal ini
disebabkan berbagai alasan yang mempengaruhi
sikap dan orientasi pemilih, yaitu;
109
1)
2)
3)
4)
110
Platform partai politik tersebut sudah dipahami
oleh pemilih, namun tidak tertarik terhadap
calon yang diusung oleh partai politik yang
bersangkutan;
Simbol, lambang, azas partai yang sudah
terinternalisasi terhadap pemilih, namun sikap
ketidaksukaan
terhadap
calon
legislatif,
dilatarbelakangi oleh adanya konflik antar
pengurus atau antar kader dengan pengurus
maupun antar calon legislatif dengan kader
maupun anggota partai politik.
Masih terdapat massa NU dengan tingkat
partisipasi politiknya cukup tinggi yaitu mereka
akan tetap memilih calon legislatif yang
disukainya dengan tidak melihat latar belakang
partai politiknya;
Banyak massa NU yang akan memilih calon
legislatif dengan syarat-syarat tertentu; misalnya;
calon yang bersangkutan pertama kali melalukan
silaturahmi kepada warga nahdiyin meskipun
tidak ada ikatan perjanjian tertentu. Calon
pemilih akan memilih calon legislatif yang
memiliki kualitas moral yang baik di masyarakat,
memiliki kemampuan yang tinggi, sering bergaul
dengan masyarakat, menunjukkan adanya bukti
pengabdian terhadap warga masyarakat bukan
berupa janji, warga masyarakat akan memilih
calon yang memberikan kontribusi materi untuk
5)
memenuhi kebutuhan hidup warga masyarakat.
Calon pemilih akan memilih calon legislatif yang
memberikan manfaat bagi masyarakat umum
baik berupa sarana dan prasarana yang akan
menunjang pertumbuhan ekonomi dan lapangan
kerja bagi masyarakat.
Pada beberapa tempat pemukiman warga
masyarakat di daerah pemilihan I – IV, terdapat
komunitas pemilih yang memiliki sikap terbuka
untuk menentukan pilihannya, dengan ketentuan
bahwa calon legislatif yang mereka unggulkan
untuk tingkat kota berasal dari partai politik
tertentu, sedangkan untuk calon legislatif untuk
tingkat provinsi dan pusat memilih calon dari
partai politik lain dan sebaliknya.
4.4.
Sikap politik massa NU PPP
Sikap politik massa atau pendukung NU di berbagai
wilayah Kota Tasikmalaya, berdasarkan tempat tinggal
dapat dibagi menjadi beberapa kelompok besar massa NU;
Pertama; kelompok massa NU yang bertempat
tinggal di pinggiran kota, memiliki sikap yang umumnya
bergantung pada sikap politik pengurus NU di Kelurahan
atau Kecamatan. Karena untuk masalah pilihan politik
warga NU, seringkali diarahkan oleh pengurus NU daerah
setempat. Namun demikian, tidak seluruhnya warga NU
mengindahkan pengarahan pengurus NU, terkadang
warga NU memilih sikap politik yang tidak terpengaruh
oleh pengarahan dan petunjuk dari pengurus Parpol (PPP),
111
baik yang menjadi pengurus NU maupun Parpol. Mereka
akan lebih loyal sikap politiknya terhadap kyai atau ulama
setempat maupun pemuka masyarakat yang berpengaruh
di daerah tempat tinggalnya.
Kedua, kelompok massa NU yang bersikap pragmatis,
artinya, kelompok massa ini akan bersikap bagaimana
kebutuhan dan kepentingan kelompok tersebut dipenuhi
atau dijanjikan oleh kandidat atau tim sukses kandidat
maupun keluarga besar dari kandidat, termasuk dari
parpol mana kandidat dimaksud berasal. Kelompok kedua
massa ini sering menjadi kelompok penyangga suara atau
menjadi pialang terhadap kandidat lain, sehingga mereka
lebih diuntungkan secara ekonomi, karena akan mendapat
konvensasi materi dari berbagai pihak, jika kandidat
dimaksud ingin mendapat dukungan dari kelompok ini.
Akan tetapi tidak seluruhnya kelompok ini berada di
seluruh wilayah kelurahan yang ada di Kota Tasikmalaya,
kelompok massa ini tersebar di beberapa wilayah RW di
daerah
pinggiran
dan
sebagian
wilayah
kota.
Kemungkinan terjadi adanya pergeseran sikap politik
massa NU pada kelompok tersebut, sangat dimungkinkan,
bahkan kemungkinan besar terjadi eksodus besar-besaran
di masing-masing daerah pemilihan, terutama daerah
pemilihan I, daerah pemilihan II dan daerah pemilihan III.
Ketiga, yaitu kelompok besar massa NU yang
memiliki sikap politik mendukung kandidat dari parpol
lain, karena latar belakang pengaruh pengurus parpol yang
hijrah ke parpol lain, pengaruh karena kekecewaan dari
112
kandidat parpol yang tidak menepati janji politiknya, latar
belakang profesi, keturunan/keluarga dan asal daerah
menjadi pilihan sikap politik massa dimaksud dalam
menentukan pilihannya yang tidak berasal dari parpol PPP.
Pada kelompok ini banyak terjadinya pergeseran sikap dan
orientasi politik massa nahdiyin.
Keempat; kelompok masyarakat massa NU atau
wilayah yang berbasis massa NU yang memberikan
dukungan dan sikap politiknya pada pemilu legislatif 2014,
kepada kandidat dari partai lain, karena alasan kepedulian
calon/kandidat tersebut terhadap pembangunan sarana
ibadah di sekitar masyarakat dan kepedulian yang
bersangkutan terhadap pembangunan Pondok Pesantren
yang berada di wilayah tersebut.
Kelima;
kelompok besar massa NU yang
berada/bertempat tinggal di komplek Pondok Pesantren
yang memberikan dukungan terhadap kandidat/calon
legislatif dari parpol lain, karena pengaruh pengasuh
pondok pesantren atau pimpinan pondok pesantren yang
mengarahkan massa dan santrinya untuk menentukan
pilihannya kepada kandidat yang ditentukan oleh
pengasuh/pimpinan pondok pesantren. Kelima type sikap
politik massa NU sebagaimana diuraikan di atas,
merupakan gambaran umum massa NU yang berada di
wilayah yang berbasis massa PPP, dan wilayah yang
terdapat pengurus dari parpol tersebut. Penomena tersebut
banyak terjadi di daerah pemilihan III, karena di daerah
pemilihan III (Kecamatan Cibeurem, Purbaratu dan
113
Tamansari), banyak terdapat pondok pesantren yang
tersebar di ketiga kecamatan tersebut.
4.5.
Sikap politik massa NU PKB
Ada yang berbeda dengan sikap politik massa NU
PKB dengan sikap politik massa NU PPP di Kota
Tasikmalaya. Perbedaan dimaksud meskipun tidak dapat
digeneralisasi, namun menjadi perhatian penulis terkait
dengan ketaatan/loyalitas massa NU dari PKB, loyalitas
dimaksud ialah ketaatannya pada ajaran bagi kaum
nahdiyin (yaitu empat bentuk sikap kemasyarakatan NU);
a. Sikap Tawassuth Wal-I‟tidal (tengah-tengah dalam
hidup bersama serta selalu jujur)
b. Sikap Tasamuh (toleran dan saling menghormat
terhadap perbedaan pendapat)
c. Sikap Tawazun (menyelaraskan sikap berkhidmah
pada Alloh SWT, dalam arti “kepentingan akhirat”,
dan sikap pada kepentingan lingkungan untuk
kemaslahatan hidup di dunia)
d. Sikap yang selalu ber-Amar Ma‟ruf Nahi Munkar
untuk mendorong dirinya dan orang lain agar
berbuat baik serta meninggalkan perbuatan yang
tidak terpuji.
Keempat sikap kemasyarakatan dimaksud, oleh
sebagian massa NU harus dijunjung tinggi dalam
kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara.
Meskipun, tidak banyak dipahami oleh massa NU dari
PKB, namun seringkali dijadikan dasar pijakan dalam
114
kehidupan kemasyarakatan. Ketaatan masa NU PKB,
dilaksanakan pada tataran kehidupan masyarakat di
berbagai wilayah/daerah di Kota Tasikmalaya, begitu jelas
tampak pada proses kepemimpinan simbolik para
ulama/kyai NU dari PKB yang mempengaruhi massa NU
PKB, untuk melakukan hak pilihnya pada pemilu legislatif
dengan memberikan dukungan kepada kandidat yang
disebut dan ditetapkan oleh ulama/kyai yang menjadi
panutan/pemuka agama/tokoh masyarakat di lingkungan
massa NU PKB.
Sehingga yang terjadi adalah dominasi suara
terhadap kandidat legislatif di tempat pemungutan suara
yang tidak jauh dari lingkungan wilayah tempat tinggal
ulama/kyai dimaksud. Berbeda dengan lingkungan massa
NU PPP, pada lingkungan massa NU PKB, banyak massa
NU PKB pada tempat pemungutan suara yang
memberikan dukungannya kepada kandidat yang berasal
dari partai yang sama yaitu PKB, meskipun
orang/kandidatnya tidak dikenal oleh massa NU PKB di
lingkungannya, namun karena ketaatan kepada sang
ulama/kyai yang ada di lingkungan kehidupan masyarakat
tersebut, massa NU PKB, cenderung untuk memberikan
dukungan dan sikap politiknya kepada orang/kandidat
yang secara simbolik terdapat ikatan emosional yang sama
yaitu PKB. Peristiwa tersebut terjadi di Daerah Pemilihan
III (Cibeureum, Tamansari dan Purbaratu), yang
merupakan basis massa NU terbesar di Kota Tasikmalaya,
baik calon dari PPP maupun calon dari PKB, mendapat
115
dukungan cukup banyak, jika di banding dengan
perolehan suara calon dari partai lain. Hal ini disebabkan
adanya hubungan yang erat antara ikatan emosional,
ikatan primordial massa NU dengan kandidat, disamping
itu ada memori yang melekat pada massa NU terhadap
kandidat yang dipilihnya, seperti yang dikemukakan oleh
Fadillah Putra (2003:200). sikap politik adalah merupakan
hubungan atau pertalian diantara keyakinan yang telah
melekat dan mendorong seseorang untuk menanggapi
suatu obyek atau situasi politik dengan cara tertentu.
Sikap dan perilaku masyarakat pemilih di beberapa
tempat di Dapil I sampai dengan Dapil IV, banyak
dipengaruhi oleh proses dan peristiwa historis masa lalu
dan merupakan kesinambungan yang dinamis. Peristiwa
atau kejadian politik secara umum maupun yang menimpa
pada individu atau kelompok masyarakat, baik yang
menyangkut sistem politik atau ketidakstabilan politik,
janji politik dari calon pemimpin atau calon wakil rakyat
yang tidak pernah ditepati dapat mempengaruhi perilaku
politik masyarakat,sikap politik dapat diungkapkan dalam
berbagai bentuk.
Bila sikap politik tersebut bersifat positif, maka
perilaku politik yang ditunjukkan akan bersifat positif.
Sebaliknya, bila sikap politik yang ditunjukkan bersifat
negatif, maka perilaku politik yang ditunjukannya bersifat
negatif. Positif atau negatifnya suatu sikap politik,
tergantung pada beberapa hal, yakni ideologi dari aktor
sikap politik tersebut, organisasi yang menunjukan sikap
116
politik tersebut, budaya-budaya yang hidup di lingkungan
aktor sikap politik tersebut.
Misalnya, pada Dapil I terdapat calon dari PKB yang
hanya memperoleh suara 31, ini menandakan bahwa
kandidat tersebut tidak banyak berperan, tidak dikenal
oleh konstituennya, atau karena alasan seperti tersebut di
atas, yaitu hanya mengumbar janji, tidak dekat dengan
massa nahdiyin, figuritasnya kurang disenangi atau karena
sikap massa nahdiyin yang skeptis terhadap calon tersebut,
sehingga perolehan suaranya hampir sama dengan
pemilihan ketua RT di berbagai tempat. Kandidat lain
adalah pengasuh/pengurus salah satu pondok pesantren di
Kecamatan Tawang, ia adalah warga nahdiyin, namun
karena dicalonkan dari partai lain di luar PPP dan PKB, di
TPS yang dekat dengan tempat tinggalnya dan masih
berada di lingkungan pondok pesantren tersebut, tidak
banyak memperoleh dukungan massa NU atau pemilih
lain di luar warga nahdiyin. Kurangnya simpati pemilih
terhadap calon dimaksud dikarenakan sikap dan perilaku
kandidat yang diusung partai lain, karena partai tersebut
oleh pemilih di lingkungannya dipandang sebagai partai
yang bukan partainya kaum nahdiyin.
4.6.
Pergeseran sikap politik
Pada kegiatan pra pemilu atau pada masa kampanye
di Kota Tasikmalaya, semua parpol baik yang berbasis
massa Islam maupun NU semuanya bergerak untuk
merangkul para kyai dan pesantren. Baik Demokrat, PDIP,
Golkar, PPP, PKB maupun PKS dan yang lainnya, karena
117
NU itu memang seksi, artinya massa NU/pemilih massa
NU cukup banyak dan berada/tersebar disemua
lingkungan kehidupan masyarakat Kota Tasikmalaya,
sehingga massa NU menjadi pusat perhatian kandidat dan
partai politik untuk melakukan pendekatan dan mencari
dukungan serta restu dari para Kyai. Dari hasil penelitian
yang dilakukan penulis, diperoleh berbagai hal yang
mempengaruhi pergeseran sikap politik massa NU di Kota
Tasikmalaya, yang dipandang sebagai faktor yang
mempengaruhi pergeseran sikap yang lebih dominan,
yaitu;
1.
Faktor Figuritas Kyai
Figuritas Kyai dan nama besar Pesantren menjadi
faktor yang dominan yang mempengaruhi terjadinya
pergeseran sikap politik massa NU baik massa NU
pendukung/simpatisan/massa yang berafiliasi kepada
Partai
Persatuan
Pembangunan
maupun
Partai
Kebangkitan Bangsa di Kota Tasikmalaya.Peran kyai pada
pemilu legislatif 2014 menjadi epicentrum seluruh kandidat
dari berbagai partai politik peserta pemilu legislatif baik
untuk tingkat pusat maupun daerah. Pendekatan para
kandidat kepada para Kyai yang memiliki pengaruh besar
di masyarakat pemilih, dilakukan dengan berbagai macam
cara.
Kendati demikian, tidak seluruh kandidat yang
datang ke Kyai dapat diakomodir permintaan
dukungannya untuk memperoleh suara di lingkungan
pesantren maupun di luar pesantren. Berdasarkan
118
pengamatan penulis dan hasil wawancara dengan berbagai
pengurus pondok pesantren yang dipandang memiliki
pengaruh besar di Kota Tasikmalaya, bahwa pihak
pesantren dan Kyai mengakomodir kandidat dari berbagai
partai politik yang memiliki visi yang sama dengan Pondok
Pesantrennya, namun demikian permintaan dukungan dari
Kyai pemilik Pondok Pesantren, langsung direspon dan
dijanjikan akan mendapatkan suara banyak bagi seseorang
kandidat, karena adakalanya Kyai
menyerahkan
sepenuhnya kepada santri dan masyarakat yang berada di
lingkungan pondok pesantren untuk menentukan
pilihannya. Hal ini berbeda dengan yang terjadi di Pondok
Pesantren lainnya, peran Kyai sangat dominan ketika
kandidat yang diakomodir mendapat dukungan penuh
dari Kyai dan santrinya serta warga masyarakat yang
berada di lingkungan pesantrennya.
Misalnya di Pondok Pesantren Riyadlul Ulum
Kawalu, kandidat yang berasal dari Partai Politik di luar
PPP dan PKB mendapat dukungan dari Kyai dan santrinya
serta warga masyarakat di lingkungan pesantren dengan
perolehan suara yang cukup banyak dan mengalahkan
kandidat yang berasal dari PPP dan PKB. Alasannya cukup
rasional, bahwa kandidat dimaksud adalah orang NU dan
berdomisili di dekan pesantren tersebut serta sering
memberikan dukungan/bantuan terhadap pesantren
dimaksud, meskipun yang bersangkutan diusung oleh
partai di luar PPP dan PKB.
119
2.
Faktor Figuritas Kandidat
Figuritas kandidat legislatif baik untuk tingkat pusat,
provinsi maupun tingkat Kota Tasikmalaya, menjadi
perhatian besar semua kalangan, hal ini dikarenakan
marketing politik yang dilakukan oleh kandidat dari
berbagai partai politik mendapat apresiasi dari berbagai
pihak dan kalangan. Baik dari aspek pemasaran dan
sosialisasi kandidat kepada masyarakat melalui media
cetak, media elektronik lokal, banner, spanduk, baligo
dengan jargon politik yang beraneka ragam. Kesemuanya
memberikan pengaruh psikologis terhadap masyarakat
luas, namun apakah pengaruh tersebut bersifat negatif atau
positif, bergantung pada perspektif masing-masing calon
pemilihnya.
Pada beberapa tempat pemilihan di empat daerah
pemilihan, media yang dipakai untuk memasarkan dan
mensosialisasikan kandidat sebagaimana tersebut di atas,
ternyata tidak banyak mempengaruhi perolehan suara atau
dukungan dari pemilih di daerah pemilihannya masingmasing. Kandidat yang berhasil memperoleh dukungan
suara banyak, ternyata di tentukan oleh seberapa besar
pengaruh figuritas/popularitas dan reputasi yang dicapai
yang diketahui oleh konstituennya atau oleh masyarakat
lainnya. Keterpilihan seorang kandidat idealnya harus
memenuhi standar yang diinginkan pemilih, artinya
pemilih akan menentukan pilihannya didasarkan atas
seberapa besar kontribusi dan partisipasi kandidat
terhadap pemilih atau kelompok pemilih. Seberapa besar
120
syarat-syarat kandidat terpenuhi secara umum seperti ;
kapabilitas intelektual, kepemimpinan, etika dan moral.
Kejelasan tentang visi dan misi serta program yang
disampaikan kandidat, apakah pemilih memahami akan
visi dan misi dan program yang disampaikan/ dilakukan
seorang kandidat sesuai dengan aspirasi, kebutuhan dan
kepentingan masyarakat banyak atau tidak. Jika hal
tersebut di atas tidak dipenuhi oleh seorang kandidat,
maka pemilih pada suatu saat akan beralih sikap dan
orientasinya ke kandidat lain. Syarat-syarat seperti tersebut
di atas, akan sulit diketahui oleh calon pemilih, ketika
calon/kandidat tidak dikenal secara langsung atau bertatap
muka langsung dengan masyarakat pemilih. Sikap dan
orientasi pemilih massa NU dari simpatisan/kader/
pengurus PKB, sama halnya seperti yang dikemukakan
oleh Morgan dan King, bahwa sikap dan orientasi calon
pemilih didasarkan atas komponen kognitif, afektif dan
kecenderungan tindakan. Sikap Kognitif artinya calon
pemilih menilai kandidat dari berbagai aspek baik bersifat
langsung ketika kandidat datang di daerah calon pemilih
atau melalui informasi yang diperoleh dari pihak lain
tentang kandidat tersebut.
3.
Faktor Lingkungan masyarakat
Lingkungan hidup masyarakat, baik di tingkat RT
maupun tingkat RW/Kedusunan, ternyata memiliki
pengaruh besar terhadap sikap dan orientasi pemilih dalam
menentukan pilihannya. Domisili atau tempat tinggal
pemilih ternyata memiliki ciri khas masing-masing yang
121
didasari oleh homogenitas dan heterogenitas warga
masyarakatnya. Di wilayah Kecamatan Cihideung dan
Tawang terutama di lingkungan pusat kota, sikap politik
pemilih lebih ditentukan pada faktor kebebasan
individunya, karena di lingkungan ini sebagian besar
pemilih adalah pemilih rasional dan skeptis. Kondisi
tersebut sangat berpengaruh terhadap kandidat yang
kurang memahami sikap dan budaya politik warga
masyarakat dimaksud. Oleh karena itu, kandidat yang
memiliki hubungan sosial ekonomi yang baik dan memiliki
kedekatan emosional karena keterikatan obyek tertentu,
yang memperoleh dukungan suara yang banyak dari
pemilih di lingkungan warga masyarakat dimaksud.
Namun, hal ini berbeda dengan wilayah atau lingkungan
di Kecamatan Cihideung dan Tawang daerah pinggiran,
yang mayoritas pemilihnya bersifat homogen etniknya.
4.
Politik Simbol
Massa nahdiyin baik dari PKB maupun PPP masih
sangat menjunjung tinggi nilai-nilai yang di ajarkan oleh
para Kyai/ulama/ajengan/ustadz dalam lingkungan
kehidupannya. Dalam tradisi warga nahdiyin kyai
merupakan pribadi yang memiliki istimewa. Pendapat kyai
menjadi
rujukan
utama
dalam
proses
sosial
kemasyarakatan maupun dalam pengambilan keputusan
baik dalam masalah agama maupun masalah sosial dan
politik. Sosok kyai/ulama/ajengan/ustadz nahdiyin,
menurut warga nahdiyin adalah sosok pewaris nabi, oleh
karena itu sikap massa nahdiyin dalam hal-hal tertentu
122
menyandarkan segala sesuatunya tergantung apa yang
disampaikan
kyai/ulama/ajengan/ustadz.
Massa
nahdiyin, sampai sekarang masih melekat dengan simbol
pakaian yang sering dipakai para kyai yaitu, baju
gamis/haramain, sorban, tasbeh, termasuk simbol non verbal
seperti cium tangan warga nahdiyin/santri kepada kyai,
tabaruq (untuk mendapat berkah), dan nilai-nilai dalam
peribadatan seperti maulid Nabi, Rajaban (Isra Mi‟raj) ,
Qunut, Sholawat, Marhabanan, istighosah dan lain sebagainya.
Dalam kehidupan kemasyarakatan sikap warga
nahdiyin, dilandasi dengan empat sikap kemasyarakatan
NU, yaitu; a. Sikap Tawassuth Wal-I‟tidal (tengah-tengah
dalam hidup bersama serta selalu jujur), b. Sikap Tasamuh
(toleran dan saling menghormat terhadap perbedaan
pendapat); c. Sikap Tawazun (menyelaraskan sikap
berkhidmah pada Alloh SWT, dalam arti “kepentingan
akhirat”, dan sikap pada kepentingan lingkungan untuk
kemaslahatan hidup di dunia); d. Sikap yang selalu berAmar Ma‟ruf Nahi Munkar untuk mendorong dirinya dan
orang lain agar berbuat baik serta meninggalkan perbuatan
yang tidak terpuji.
Simbol yang bersifat verbal maupun simbol non
verbal dan nilai-nilai seperti tersebut di atas, disamping
dijadikan pegangan, pedoman dan landasan dalam
kehidupan beragama dan kemasyarakatan. Simbol dan
nilai tersebut secara tersirat dijadikan sebagai pembanding
dan pembeda dalam proses sosial kemasyarakatan dan
proses politik. Artinya, warga nahdiyin akan menilai partai
123
politik atau calon yang akan maju dalam pemilu legislatif,
apakah memiliki kesamaan dengan simbol dan nilai-nilai
yang dianut warga nahdiyin atau tidak. Jika terdapat
kesamaan sikap politik yang sama dengan warga nahdiyin
yang diaktualisasikan dalam simbol dan nilai-nilai yang
dianut warga nahdiyin, maka warga nahdiyin sangat
terbuka dan memberikan respon positif terhadap calon
dimaksud. Namun sebaliknya apabila tidak ada kesamaan
sikap politik, simbol dan nilai-nilai yang dianut warga
nahdiyin, maka warga nahdiyin tidak akan meresponnya.
Sikap tersebut sama halnya dengan pendapat yang
disampaikan Fadillah (2003 :200) Bila sikap politik tersebut
bersifat positif, maka perilaku politik yang ditunjukkan
akan bersifat positif. Sebaliknya, bila sikap politik yang
ditunjukkan bersifat negatif, maka perilaku politik yang
ditunjukan nya bersifat negatif. Positif atau negatifnya
suatu sikap politik, tergantung pada beberapa hal, yakni
ideologi dari aktor sikap politik tersebut, organisasi yang
menunjukan sikap politik tersebut, budaya-budaya yang
hidup di lingkungan aktor sikap politik tersebut.
Pendekatan melalui simbol dan nilai-nilai kepada
warga nahdiyin oleh partai politik atau oleh calon legislatif,
dilakukan melalui kegiatan yang sering dilakukan warga
nahdiyin pada acara maulid Nabi, (Peringatan Kelahiran
Nabi Muhammad SAW), Rajaban (Peringatan Isra Mi‟raj
Nabi Muhammad SAW), Tahlilan, Do‟a Istigosah atau
kegiatan syukuran yang dilaksanakan warga nahdiyin.
Karena momen tersebut adalah tempat berkumpulnya
124
warga nahdiyin, baik massa nahdiyin PPP maupun massa
nahdiyin PKB, sehingga kesempatan tersebut dapat
dijadikan ajang silaturahmi, sosialisasi dan sekaligus
mempromosikan diri masing-masing calon legislatif atau
partai politik yang mengusungnya.
125
KESIMPULAN
5.1.
Kesimpulan
ari hasil penelitian ini diketahui bahwa pergeseran
sikap politik massa Nahdlatul Ulama Partai PKB
dan Partai PPP pada pemilu legislatif tahun 2014
di Kota Tasikmalaya disebabkan oleh sikap politik massa
NU PPP ; Pertama; kelompok massa NU yang bertempat
tinggal di pinggiran kota, memiliki sikap politik pada
pemilu legislatif 2014, bergantung pada sikap politik
pengurus NU wilayah tempat tinggalnya. Kedua, kelompok
massa NU PPP yang bersikap pragmatis, kelompok ini
tersebar di berbagai tempat di Dapil I sampai dengan Dapil
IV. Ketiga, massa NU PPP, memiliki sikap politik
mendukung kandidat dari parpol lain, karena latar
belakang pengaruh pengurus parpol yang hijrah ke parpol
lain, pengaruh karena kekecewaan dari parpol yang tidak
menepati janji politiknya. Keempat; kelompok masyarakat
massa NU atau wilayah yang berbasis massa NU yang
memberikan dukungan dan sikap politiknya kepada
kandidat dari partai lain karena kontribusi calon terhadap
nassa di daerahnya. Kelima; sikap politik massa NU yang
berada
dilingkungan
Pondok
Pesantren.
untuk
menentukan pilihannya kepada kandidat yang ditentukan
oleh pengasuh/pimpinan pondok pesantren. Sedangkan
D
126
sikap politk massa NU PKB yaitu loyalitas massa NU dari
PKB, loyalitas dimaksud ialah ketaatannya pada ajaran bagi
kaum nahdiyin (yaitu empat bentuk sikap kemasyarakatan
NU); Sikap Tawassuth Wal-I‟tidal, Sikap Tasamuh., Sikap
Tawazun, Sikap yang selalu ber-Amar Ma‟ruf Nahi Munkar.
Yang berbeda ialah bahwa di lingkungan massa NU PPP,
lambang parpol lebih dominan mempengaruhi sikap dan
perilaku pemilih, sedangkan pada lingkungan massa NU
PKB, sikap politiknya dilandasi oleh simbol/lambang dan
nilai-nilai NU yang sama dengan lambang/simbol PKB.
Masih banyak terdapat massa NU PKB di daerah pemilihan
yang berbasis warga nahdiyin memberikan dukungan
kepada kandidat yang berasal dari partai PKB atau partai
lain karena arahan/instruksi. Loyalitas warga nahdiyin
sangat kental dengan nilai dan pedoman NU.
Adapun
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
pergeseran sikap politik massa NU PPP dan PKB antara
lain ; Faktor Figuritas Kyai, Pendekatan para kandidat
kepada para Kyai yang memiliki pengaruh besar di
masyarakat pemilih, dilakukan dengan berbagai macam
cara. Faktor Figuritas Kandidat/calon, sosialisasi kandidat
kepada masyarakat melalui media cetak, media elektronik
lokal, banner, spanduk, baligo dengan berbagai jargon
politik, memberikan pengaruh psikologis. Faktor
Lingkungan hidup masyarakat, ternyata memiliki
pengaruh besar terhadap sikap dan orientasi pemilih dalam
menentukan pilihannya. Faktor Politik Simbol, massa
nahdiyin PKB maupun PPP sangat menjunjung tinggi nilai-
127
nilai yang di ajarkan oleh para Kyai/ulama/ajengan/
ustadz, karena kiayi/ulama/ajengan/ustadz adalah sosok
yang istimewa karena kyai adalah pewaris nabi. Oleh
karena itu sikap massa nahdiyin dalam hal-hal tertentu
menyandarkan segala sesuatunya tergantung apa yang
disampaikan kyai/ulama/ajengan/ustadz. Massa nahdiyin
percaya simbol yang bersifat verbal dan non verbal
merupakan
bagian
dari
hidup
beragama
dan
kemasyarakatan yang sulit untuk dipisahkan.
128
Amin MS, Muhammad “ Mengislamkan Kursi dan Meja “
Yayasan Lembaga Pewaris Negeri (YLKPN)
Pekanbaru bekerjasama dengan Penerbit Pustaka
Pelajar, Yogyakarta 2009
Firmanzah.”Marketing Politik: antara pemahaman dan
realitas”. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2008
Gaffar, Afan, “ Politik Indonesia : Transisi Menuju Demokrasi”
Yogyakarta, Penerbit Pustaka Pelajar, 1999
Harison, Lisa, “ Metodologi Penelitian Politik”, Jakarta :
Penerbit Prenada Media Group 2007
Huntington, Samuel P. dan Nelson, Joan.. “Partisipasi Politik
di Negara Berkembang”. Jakarta: Rineka Cipta. 1994
Ismail, Faisal 1999: 35; “Ideologi Hegemoni dan Otoritas
Agama””, Yogyakarta: PT Tiara Wacana 1999
Kusmayadi,Edi “Realitas dan Dinamika Politik LokalPenerbit.
Deepublish. Yogyakarta, Tahun 2015.
Muzadi, Hasyim, “ NU di Tengah Agenda Persoalan Bangsa “
Logo, Jakarta, 1999.
Mukti, Muslim,M.Si,“Teori-Teori Politik” Bandung: Penerbit
Pustaka Setia, 2012
Mas‟oed, Mochtar dan Colin Mac Andrews, “Perbandingan
Sistem Politik “Yogyakarta, Gadjah MadaUniversity
Press, 2000
Putra,Fadillah.“Partai Politik dan Kebijakan Publik”.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
129
Rakhmat, Jalaludin. “Psikologi Komunikasi”. Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2008
S. Azwar: “Sikap Manusia : Teori dan Pengukurannya”.
Yogyakarta, Penerbit Pustaka Pelajar, 1995
Seful Muhtadi, Asep. “Komunikasi Politik Nahdlatul Ulama
Pergulatan Pemikiran Politik Radikal dan Akomodatif”
Jakarta, LP3ES, 2004
Surbakti, Ramlan, “ Memahami Ilmu Politik” Jakarta,
Grasindo Gramedia Widiasarana, 2010
Thoyfoer. MC,HA “Politik Kebangsaan NU, Tafsir Khittah
Nahdlatul
Ulama
1926”
Penerbit
Mutiara,
Yogyakarta. 2010
Widayatun, Tri Rusmi.” Ilmu Perilaku”. Jakarta: Sagung
Seto. 1999
Jurnal : Subhan Agung. “ Pergeseran Perilaku Elit Politik
dalam Proses dan Pasca Pemilukada Kota Tasikmalaya
Jurnal Ilmu Politik dan Pemerintahan, Volume
1,Nomor 2, Juli 2013, LPPM Universitas Siliwangi
Tasikmalaya.
Penelitian: Kusmayadi, Edi. Dkk. “Dinamika Elit Politik
menjelang Pilkada Kota Tasikmalaya“.
Penelitian : Kusmayadi, Edi, 2014 “Respon Pemilih Pada Pra
Pemilu Legislatif tahun 2014 (studi kasus di Daerah
Pemilihan Kecamatan Cihideung, Tawang dan
Bungursari) Kota Tasikmalaya”
Rujukan Elektronik
Lingkaran
Survey
Indonesia“ResponPemilihdi
berbagaikota“,Melalui
130
id.wikipedia.org/wiki/Lingkaran_Survei_Indonesi
a
Ratna Adining Tyas .“ Budaya Politik “ melalui ,
www.kompasiana.com/RatnaAdiningTyas (12/1/14)
Lau (2003) & Redlawsk, (2006), “lima jenis heuristics
Perilaku
Pemilih”.melalui
webandikamongilala.wordpress.com. (16/1/14)
Sarnoff “ Pengertian respon dan Sikap ”.Melalui
www.duniapsikologi.com/sikap(10/1/14)politik.kompasiana.com/.../wakil-ketuadpc-ppp-meng.(diunduh pada hari Selasa 17
Februari 2015, pk.12.29).
http://id.wikipedia.org/wiki/Nahdlatul_Ulama
kanal3.word.press.com/2009/05/15/sejarahberdirinya-nahdlatul-ulamafatayat.or.id/Sejarah.
diunduh pada hari Rabu 12 Februari 2015, pk.10.22
partaislam.blogspot.com/.../sejarah-berdirinya-partaik.diunduh pada hari Kamis, 12 Februari 2015,
pk.13.03.poltracking.com/partai-kebangkitanbangsa-pkb,(diunduh pada hari Kamis, 12 Februari
2015, pk. 13.22).
poltracking.com/partai-diunduh pada hari Kamis, 12
Februari 2015, pk.13.17)
www.tempo.co/.../Partai-Persatuan-Pembangunan-PPP.
(diunduh pada hari Jum‟at 20 Februari 2015, pukul.
08.38).
harianterbit.com (diunduh pada hari Kamis, 26 Februari
2015, pk. 09.20).
131
http://www.muslimedianews.com/2014/05/jumlahwarga-nu-83-juta-jiwa-diunduh pada hari Senin, 7
Maret 2016, pukul. 11.15)
Website
resmi
Pemerintah
Kota
Tasikmalaya
http://tasikmalayakota.go.id
info-kotakita.blogspot.com/2014/10/daftar-ponpesdikota.
https://www.academia.edu/10420486/Sejarah_Berdirinya
_NU_di_Tasikmalaya. 21/1/2016
Sumber lain :
Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 Tentang Pemilu
Kemenkumham, Jakarta. 2009
Harian Kompas, Sabtu, 31 Januari 2015, hal 5, kolom 2 -3
Media Center KPU Jabar, diakses tanggal 12 Januari 2004
KPU Daerah Kota Tasikmalaya tahun 2014
Badan Pusat Statistik Kota Tasikmalaya, “Tasikmalaya
dalam Angka Tahun 2013”
132
Lahir di Pamarican Ciamis tanggal 7
Mei 1956, anak kelima dari delapan
bersaudara, Putra dari Alm. Bapak Omo
Kisma Djajadihardja dan Ibu Almh, Omoh
Salamah. Menyelesaikan Studi S1, di Fisip
Universitas Tanjungpura Pontianak Kalimantan Barat
tahun 1984, S2 di STIA YPPT Tasikmalaya tahun 2005,
Lulusan Lemhannas Suscadoswar angkatan ke 46 tahun
2002. Dosen Fisip Unsil, menjabat Wakil Dekan Fisip Unsil
sejak 2009. Pemimpin Redaksi Jurnal Ilmu Politik dan
Pemerintahan sejak 2009. Alamat Rumah Jl. Peta Gunung
Roay II No.18 Rt.05/Rw.14 Kelurahan Kahuripan
Kecamatan Tawang Kota Tasikmalaya, e-mail :
[email protected]. HP. 081313810055. Nama Isteri Ida
Rosida, Anak Pertama : Ira Mala Kusuma, SE (lulusan
Fakultas Ekonomi Unsil tahun 2007), Anak Kedua Fitria
Zahara Kusuma,S.IP,.M.Si, (Lulusan HI-Fisip Unjani
Bandung tahun 2011 – lulusan STIA YPPT Tasikmalaya
tahun 2015), Anak ketiga Mochammad Fachry Azis
Kusuma (Mahasiswa Jurusan Komunikasi Fisip Unsoed
Purwokerto). Karya Tulis : Buku “Realitas dan Dinamika
Politik Lokal” Penerbit, Deepublish Yogyakarta tahun 2014.
133
Download