PERGESERAN SIKAP POLITIK MASSA NU, PPP, dan PKB Analisa pada Pemilu Legislatif 2014 di Kota Tasikmalaya UU No 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta Fungsi dan Sifat hak Cipta Pasal 2 1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta atau pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hak Terkait Pasal 49 1. Pelaku memiliki hak eksklusif untuk memberikan izin atau melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya membuat, memperbanyak, atau menyiarkan rekaman suara dan/atau gambar pertunjukannya. Sanksi Pelanggaran Pasal 72 1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) ii Edi Kusmayadi PERGESERAN SIKAP POLITIK MASSA NU, PPP, dan PKB Analisa pada Pemilu Legislatif 2014 di Kota Tasikmalaya iii Jl.Rajawali, G. Elang 6, No 3, Drono, Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman Jl.Kaliurang Km.9,3 – Yogyakarta 55581 Telp/Faks: (0274) 4533427 Website: www.deepublish.co.id www.penerbitdeepublish.com E-mail: [email protected] Katalog Dalam Terbitan (KDT) KUSMAYADI, Edi Pergeseran Sikap Politik Massa NU, PPP, dan PKB : Analisa pada Pemilu Legislatif 2014 di Kota Tasikmalaya/oleh Edi Kusmayadi.--Ed.1, Cet. 1-Yogyakarta: Deepublish, Agustus 2016. xii, 133 hlm.; Uk:14x20 cm ISBN 978-Nomor ISBN 1. Klasifikasi Buku I. Judul Cetakan ke ...: Bulan-Tahun (ditulis mulai cetakan kedua) No.DDC Hak Cipta 2016, Pada Penulis Desain cover Penata letak : Diisi nama : Invalindiant Candrawinata PENERBIT DEEPUBLISH (Grup Penerbitan CV BUDI UTAMA) Anggota IKAPI (076/DIY/2012) Copyright © 2016 by Deepublish Publisher All Right Reserved Isi diluar tanggung jawab percetakan Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit. iv Kebebasan warga negara dalam menentukan pilihan pada perhelatan pemilu legislatif 2014, memberikan corak dan warna tersendiri pada proses berdemokrasi masyarakat di berbagai tempat. Demikian pula warga negara yang mencoba perolehan keuntungan mendapatkan perolehan suara dan dukungan masyarakat, pada pesta demokrasi lima tahunan itu. Berbagai cara dan pendekatan calon/kandidat legislatif dan tim sukses menjadi hal yang menarik untuk dikaji dari pendekatan ilmu politik, komunikasi politik, perilaku politik, psikologi politik, sosiologi dan kebudayaan. Aktifitas kandidat dan tim sukses pada pemilu legislatif, menunjukkan intensitas yang tinggi untuk mendapat dukungan masyarakat, disisi lain warga masyarakat menanggapinya dengan sikap dan perilaku yang sangat beragam, mulai dari warga masyarakat yang menunggu perintah dan ajakan warga lain, sampai pada warga masyarakat yang sangat aktif untuk memobilisasi warga lainnya. Pergeseran sikap dan perilaku pemilihpun mulai terjadi di tengah-tengah persaingan kandidat legislatif untuk mendapat dukungan suara pemilih, pendekatan dengan menggunakan simbol-simbol tertentu yang menjadi ciri khas partai politik, slogan dengan menggunakan bahasa politik, agama dan kearifan lokal bermunculan di berbagai penjuru kota sampai pada penggunaan pengaruh pemuka/tokoh masyarakat dan v kyai/ustadz/ajengan. Figuritas dan popularitas kandidat di tengah masyarakat menjadi moment penting untuk dijadikan modal dalam mensosialisasikan diri. Namun demikian, disisi lain masih terdapat kandidat/calon yang hanya menyerahkan segalanya kepada tim sukses atau partai pengusungnya, sehingga yang terjadi dan dilakukan tim sukses adalah pemberian sejumlah hadiah/bantuan kepada warga calon pemilih, tanpa memberikan penjelasan tentang program yang akan dilakukan, atau aspirasi apa yang berkembang di masyarakat untuk dipenuhi oleh calon jika ia terpilih. Buku ini menyajikan tentang fenomena dan fakta sebagaimana tersebut di atas, khususnya yang berhubungan dengan fenomena pergeseran sikap politik massa Nahdlatul Ulama di kalangan Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Kebangkitan Bangsa di Kota Tasikmalaya. Realitas politik pergeseran sikap massa NU menjadi hal yang menarik untuk diangkat dalam tulisan ini, mulai dari sikap dan perilaku massa NU sebagai pemilih, sikap dan perilaku politik para kandidat legislatif, sikap dan perilaku tokoh masyarakat, kyai dan pengaruhnya terhadap sikap dan perilaku pemilih massa nahdiyin, situasi dan kondisi lingkungan masyarakat dan kecenderungan keberpihakan kelompok masyarakat tertentu, baik terhadap calon/kandidat maupun terhadap partai politik. Kajian dan analisa ini dapat dijadikan bahan masukan bagi semua pihak, mohon ma‟af atas segala vi kekurangan dalam analisa dan kajian ini karena keterbatasan penulis dalam berbagai hal. Pada kesempatan yang baik ini, penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat Bapak KH. Didi Hudaya, selaku Ketua Tanfidziyah PC Nahdlatul Ulama Kota Tasikmalaya dan Pimpinan/Pengasuh Pondok Pesantren Bustanul Ulum Tasikmalaya, yang telah berkenan memberikan kata sambutan pada buku ini serta memberikan berbagai penjelasan dan informasi tentang Nahdiyin di Kota Tasikmalaya. Terimakasih dan penghargaan yang tinggi penulis sampaikan kepada Dekan dan Dosen Fisip Universitas Siliwangi Tasikmalaya, serta semua pihak yang telah membantu menyelesaikan buku ini, semoga Alloh SWT membalas semua kebaikannya. Amin. Tasikmalaya, 27 Juli 2016 Penulis, vii viii KATA PENGANTAR .............................................................. v DAFTAR ISI ............................................................................. ix DAFTAR TABEL ..................................................................... xi BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1 1.1. Latar belakang .................................................................. 1 1.2. Fokus Penulisan................................................................ 6 1.3. Maksud Penulisan ............................................................ 9 1.4. Tujuan Penulisan .............................................................. 9 1.5. Kegunaan Penulisan ........................................................ 9 1.6. Hasil Penelitian Politik Lokal ....................................... 11 BAB II SIKAP POLITIK ........................................................................ 16 2.1. Sikap Politik dan Sikap Kemasyarakatan NU............ 16 2.2. Perilaku Politik dan Perilaku Pemilih ......................... 23 2.3. Kyai dan Pesantren ........................................................ 28 2.4. Budaya dan Tradisi Nahdiyin ...................................... 36 BAB III POLITIK DAN NAHDLATUL ULAMA............................... 44 3.1. Profil Nahdlatul Ulama ................................................. 44 3.2. Sejarah Nahdlatul Ulama Tasikmalaya....................... 50 3.3. Politik Nahdlatul Ulama ............................................... 57 3.4. Proses Politik Partai Kebangkitan Bangsa .................. 65 ix 3.5. 3.6. Proses Politik Partai Persatuan Pembangunan .......... 75 Pemilu Legislatif 2014 Kota Tasikmalaya ................... 81 BAB IV SIKAP POLITIK MASSA NU.................................................. 83 4.1. Sejarah Kota Tasikmalaya ............................................. 83 4.2. Pengurus NU dan Jumlah Nahdiyin Kota Tasikmalaya .................................................................... 89 4.3. Calon legislatif Kota Tasikmalaya tahun 2014 dan Daerah Pemilihan ........................................................... 90 4.4. Sikap politik massa NU PPP ....................................... 111 4.5. Sikap politik massa NU PKB ...................................... 114 4.6. Pergeseran sikap politik .............................................. 117 BAB V KESIMPULAN ........................................................................ 126 5.1. Kesimpulan ................................................................... 126 DAFTAR PUSTAKA ............................................................ 129 TENTANG PENULIS .......................................................... 133 x Tabel. 3.1 : Tabel 4.1. : Tabel 4.2 : Tabel 4.3 : Tabel 4.4 : Tabel .4.5 : Tabel .4.6 : Tabel .4.7 : Tabel .4.8 : Tabel. 4.9 : Susunan Pengurus PBNU ........................................ 49 Luas Wilayah Administratif Kecamatan Dan Kelurahan................................................................... 88 Data Administrasi Pemerintahan Kota Tasikmalaya ............................................................... 88 Daftar Jumlah Calon Legislatif Kota Tasikmalaya Tahun 2014 ......................................... 91 Daftar Pemilih Tetap Pemilu Legislatif 2014 Kota Tasikmalaya ..................................................... 92 Daftar Nama Calon Legislatif Terpilih di Daerah Pemilihan I Tahun 2014 .............................. 95 Daftar Nama Calon Legislatif Terpilih Di Daerah Pemilihan II Tahun 2014 ............................ 97 Daftar Nama Calon Legislatif Terpilih Di Daerah Pemilihan III Tahun 2014 ........................... 98 Daftar Nama Calon Legislatif Terpilih Di Daerah Pemilihan IV Tahun 2014 ......................... 102 Perbandingan Jumlah kursi DPRD Kota Tasikmalaya Hasil Pemilu Legislatif 2009 dengan Hasil Pemilu Legislatif 2014 .................... 104 xi xii s PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang ejarah mencatat bahwa kalangan Nahdiyin di Indonesia melalui Nahdlatul Ulama (NU) terjun ke dunia politik praktis pada saat menyatakan memisahkan diri dengan Masyumi, tiga tahun berikutnya Nahdlatul Ulama mengikuti Pemilu pada tahun 1955. Meskipun suara yang diperolehnya belum sebanding dengan jumlah jamaah dan anggota Nahdiyin yang tersebar di tanah air. Pada masa Demokrasi Terpimpin NU dikenal sebagai partai yang mendukung Sukarno. Namun setelah pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI), NU tampil sebagai salah satu golongan yang aktif menekan PKI, terutama lewat sayap pemudanya Gerakan Pemuda Ansor. Pada era Orde Baru dibawah kepemimpinan Soeharto, NU kemudian menggabungkan diri dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada tahun 1973 atas desakan penguasa Orde Baru. Pada tahun 1977 dan 1982, setelah partai politik difusikan dari 10 Partai Politik menjadi 3 Partai Politik yakni Golongan Karya (Golkar), PPP dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), maka sebagian besar kaum Nahdiyin memberikan dukungan kepada PPP, meskipun banyak diantara kaum nahdiyin yang memberi dukungan kepada Golkar, karena alasan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan kedekatan dengan elite penguasa pada 1 masa itu. Pasca reformasi tahun 1998, pemerintah membuka kran-kran politik bagi warga negaranya untuk membentuk atau mendirikan partai politik. Realitas politik menunjukkan bahwa Abdurrahman Wahid mendeklarasikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), kemudian tahun 1999 menjadi peserta pemilu legislatif, hasilnya PKB memperoleh 51 kursi di DPR-RI, fenomena inilah yang menghantarkan Gus Dur menjadi Presiden RI. Perjalanan berikutnya pada pemilu 2004 PKB memperoleh 52 kursi DPR, Pemilu 2009 PKB memperoleh 27 kursi DPR, dan pada tahun 2014 PKB memperoleh kursi sebanyak 47 kursi DPR. (Sumber : KPU-Pusat tahun 2014). Dinamika politik kaum nahdiyin, tidak hanya berlangsung di Pusat Ibu Kota Jakarta atau di daerah yang menjadi cikal bakal berdirinya NU, namun berlangsung pula di berbagai daerah khususnya di Pulau Jawa termasuk di Kota Tasikmalaya. Menjelang pemilukada kota Tasikmalaya tahun 2012, ada hal yang menarik untuk dikaji dan dijadikan bahan pertimbangan para kandidat Walikota/Wakil Walikota, yaitu sosok Kyai NU Pemimpin Pondok Pesantren dan Ulama NU di luar Pondok Pesantren. Mengapa hal ini dianggap menarik untuk dikaji dan dijadikan bahan pertimbangan. Alasannya cukup sederhana, bahwa peran kyai sangatlah besar dalam kehidupan sosial masyarakat Tasikmalaya, bahkan kepemimpinannya melebihi kapasitas seorang Lurah atau RW dalam kehidupan masyarakat Kota Tasikmalaya. 2 Bagaimana peran kyai dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, sampai pada bagaimana peran kyai dalam kehidupan politiknya, yang secara tradisional mampu mempengaruhi sikap dan orientasi politik masyarakat di sekitarnya. Faktor perilaku politik kyai sangat berpengaruh dalam masyarakat, mulai dari masalah individu maupun masalah sosial sampai pada persoalan politis dan ekonomis yang secara bersamaan saling berinteraksi membentuk satu kesatuan yang utuh. Belajar dari Pemilukada Kabupaten Tasikmalaya beberapa waktu lalu, betapa besarnya peran dan pengaruh kyai NU dan diluar NU dalam kehidupan politik lokal. Hal ini masih terkait aspek sosiologis, bahwa pada masyarakat kita masih banyak pengaruh ketokohan/kebapaan (patrilineal) dalam menentukan sikap dan tindakannya dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Sejarah membuktikan ketika NU lahir pada tahun 1926, dalam perkembangannya setelah kemerdekaan sampai sekarang, NU terorganisir dengan baik. Keterlibatan kyai NU dalam politik merupakan dampak dari keterlibatan NU dalam politik, menjadikan mereka ikut berkiprah dalam memenangkan partai tertentu dan acapkali kyai yang berpolitik tidak bisa lepas dari konflik kepentingan kepartaian dan agama, sehingga terjadi benturan yang melibatkan umat di belakangnya. Kyai yang menjalankan politik praktis hanya terpolarisasi dalam dua partai yaitu PPP dan PKB. Pemerintah memberi kemudahan terhadap kyai berupa fasilitas untuk berdakwah, keterlibatan kyai dalam politik menimbulkan 3 sikap fanatisme yang dilakukan oleh jamaahnya dan santri. Oleh karena itu perilaku politik kyai NU mempunyai pengaruh pada sikap politik masyarakat. Bahkan lebih besar pengaruhnya jika yang berperan adalah kyai yang berasal dari Pondok Pesantren NU dan memiliki reputasi di masyarakat. Kehadiran Kyai Pesantren NU pada proses politik di ranah lokal Tasikmalaya, memberikan kontribusi besar dalam perolehan suara kandidat legislator di daerah pemilihan Kota Tasikmalaya. Sehingga para kandidat legislator baik untuk pusat, provinsi maupun daerah, terutama pada masa-masa kampanye para kyai NU dari kalangan pesantren dan pemilik pesantren difasilitasi oleh para kandidat untuk menjadi juru kampanye menjelang pemilu legislatif 2014. Bagaimana dengan kyai Muhammadyah atau Persis, peran dan pengaruhnya sama saja, yang membedakan adalah keterkaitan para kyai Muhammadyah dan Persis dengan parpol tidak nampak jelas sebagaimana kyai NU. Misalnya PAN yang dimotori oleh Amin Rais pada awal berdirinya, tidak serta merta warga muhammadiyah menjadi warga/anggota PAN, atau PBB/PKS tidak identik dengan Persis. Namun perilaku para kyai kesemuanya memiliki pengaruh besar terhadap sikap dan tindakan serta orientasi masyarakatnya dalam proses politik. Kecenderungan kaum nahdiyin di Kota Tasikmalaya pada pemilu legislatif 2014, melakukan pergeseran dukungan ke partai politik lain di luar PKB dan PPP, 4 diduga karena kemelut di tubuh PKB versi Muhaemin dengan PKB versi Gus Dur yang berkepanjangan dan tidak menemukan titik penyelesaian di internal partai masingmasing, berimbas pada kebijakan pengurus PKB versi Gus Dur untuk menentukan pilihannya masing-masing anggota, kader dan simpatisannya pada pemilu legislatif 2014. Namun demikian, perolehan kursi PKB untuk DPRD Kota Tasikmalaya, bertambah satu kursi, karena pada pemilu legislatif 2009, PKB di Kota Tasikmalaya, hanya mendapat satu kursi. Sementara itu, perolehan kursi dari PPP untuk Kota Tasikmalaya bertambah satu kursi dari sembilan kursi hasil pemilu legislatif 2009, menjadi sepuluh kursi hasil pemilu legislatif 2014. Fenomena inilah yang menjadi menarik untuk diteliti, apakah penambahan suara di PKB dan PPP Kota Tasikmalaya, berasal dari pemilih yang bukan massa NU atau dari kalangan Nahdiyin khususnya pemilih pemula. Jika kita telaah dari jumlah pengurus partai/anggota/kader, masing-masing partai, maka jumlah suara yang diperolehnya sudah barang tentu lebih banyak dari yang diperoleh pada pemilu legislatif 2014. Persoalannya adalah perkiraan jumlah Nahdiyin di Kota Tasikmalaya yang sangat besar, namun hasil yang di dapat tidak sesuai dengan jumlah Nahdiyin di kedua partai tersebut, padahal jumlah pemilih pada pemilu legislatif tahun 2014 sebanyak 473.596 orang. Disisi lain, dukungan Nahdiyin ke partai Islam lain adalah diduga karena kemelut yang terjadi di tubuh DPC- 5 PPP Kota Tasikmalaya, ditandai dengan keluarnya Surat Peringatan (SP) yang keluarkan oleh Pengurus Harian DPC PPP Kota Tasikmalaya kepada sejumlah kadernya yang tercatat sebagai pengurus DPC PPP. Konflik pun menjadi memanas karena kader yang diberi surat peringatan ini adalah kader militan yang pengaruhnya pun cukup kuat .Mereka yang diberi SP oleh pengurus DPC PPP Kota Tasikmalaya adalah mantan Ketua DPC PPP Kota Tasik, Otong Koswara yang saat itu menjabat sebagai Ketua DPRD Kota Tasikmalaya. Selain Otong, dua tokoh senior PPP yang juga sebagai perintis lahirnya PPP Kota Tasikmalaya, yaitu Pepen Ruspendi dan Yeyen Munawar, dan Fakhrurrazi Lubis. Mereka diberi Surat Peringatan oleh Pengurus Harian DPC PPP Kota Tasikmalaya karena dianggap tidak loyal terhadap keputusan partai. Ketidakloyalan itu, menurut pengurus DPC PPP, terlihat dari sikap politik mereka dalam menghadapi Pilkada Kota Tasik 2012 lalu. Perpecahan yang terjadi di Kepengurusan Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Kota Tasikmalaya, menyusul pengunduran diri Wakil Ketuanya, H. Omay Qomarudin yang mundur dari jabatannya setelah beberapa bulan ditetapkan sebagai unsur pimpinan di partai berlambang kabah pada bulan Juni 2011. (Sumber : Kompas.com, juni 2011 diunduh pada hari Selasa 17 Februari 2015, pk.12.29) 1.2. Fokus Penulisan Kemelut yang terjadi menjelang pemilu legislatif 2014 di tingkat pusat, yang terkait dengan ketua umum PPP 6 yang terindikasi melakukan penyimpangan keuangan tentang dana haji dan ikut serta pada kampanye partai Gerindra, sehingga pengurus, kader dan simpatisan kubu PPP, banyak yang mengalihkan dukungannya ke partai Islam lain seperti ; PAN, PBB, PKS, maupun ke partai yang berbasis nasionalis, seperti PDIP, Gerindra, Hanura, NasDem. Pergeseran sikap politik massa nahdiyin PPP dan PKB inilah yang menarik untuk diteliti dan dikaji, disamping fenomena lain yang terkait dengan interest pengurus dan kader partai PKB dan PPP dalam proses politik di tingkat lokal Kota Tasikmalaya, serta yang terkait dengan bargaining politic pada ranah kedudukan/kekuasaan tingkat lokal, maupun pada tataran akomodasi kepentingan partai/pengurus partai/kader/ warga NU, dengan pihak penguasa lokal. Kecenderungan pemilih massa NU di Kota Tasikmalaya, tidak terlepas dari pengaruh politik nasional, khususnya yang terkait dengan partisipasi pemilih pada berbagai kegiatan pemilu, baik tingkat nasional, tingkat daerah provinsi (Pilgub) maupun pada pemilukada untuk pemilihan calon Bupati/Walikota. Melorotnya prosentase pemilih yang menggunakan hak suaranya terjadi pada pemilu 2004 dan Pilpres. Ironisnya titik penurunan itu terjadi saat demokrasi dan kebebasan sangat terbuka lebar. Pada Pemilu 1999, pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya alias golput, naik menjadi 7,2 persen dibandingkan Pemilu 1997 yang hanya 6,4 persen saja. Puncak penurunan partisipasi itu terjadi saat Pemilu 2004 lalu. Dalam tiga rangakaian pemilu yang 7 diselenggarakan secara berurutan kala itu, sebanyak 16 persen dari pemilih terdaftar tidak menyumbangkan suaranya untuk pemilu legislatif. Kemudian, angka ini mengalami kenaikan menjadi 21,77 persen pada saat pilpres putaran pertama. Pada akhirnya, angka ini kembali mengalami kenaikan pada saat pilpres putaran kedua menjadi 23,37 persen. Lalu mengapa orang tidak memilih.? Secara teoritis yang dapat menjelaskan hal ini yaitu melalui pendekatan teori-teori perilaku pemilih (voter behavior) dan pemahaman sistem kepartaian yang berlaku. Alasan lain ialah, warga masyarakat yang tidak terdaftar pada DPT, karena sedang berada di luar daerah dan tidak bisa pulang karena alasan ekonomi atau alasan jarak tempuh, atau karena sedang sakit dan tidak dapat hadir di TPS, atau telah terdaftar di DPT akan tetapi tidak dapat hadir di TPS karena menjalankan tugas (masinis kereta api, supir Bus, awak kapal dll). Di beberapa tempat warga masyarakat menganggap bahwa golput sebagai hal yang wajar dan biasa, karena interpretasi warga masyarakat tersebut bahwa golput adalah singkatan dari “golongan pemungut uang tunai “. Mereka melakukan transaksi dengan beberapa calon jika ingin mendapat dukungan dari kelompoknya, ironisnya siapa yang berani memberi/ membayar dengan jumlah yang besar, maka calon tersebut yang akan didukungnya. Jika hal ini terus dibiarkan dan merambah ke sejumlah warga masyarakat lain, maka demokrasi yang dilakukan di tingkat arus bawah adalah demokrasi 8 transaksional, bukan nilai demokrasi substansial. Hal tersebut harus menjadi pekerjaan rumah seluruh partai politik, pemerintah daerah, pemuka agama, tokoh masyarakat, untuk meluruskan pandangan dan sikap yang keliru. (Edi Kusmayadi, 2014 : 23 – 25) 1.3. Maksud Penulisan Penulisan buku ini dimaksudkan untuk mengetahui dan memahami bagaimana proses terjadinya pergeseran sikap/pandangan/orientasi politik, dan faktor-faktor yang menyebabkan pergeseran sikap/pandangan/orientasi politik massa NU PPP dan PKB, pada pemilu legislatif 2014 di Kota Tasikmalaya. 1.4. Tujuan Penulisan Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis proses terjadinya pergeseran sikap/ pandangan/orientasi politik massa NU PPP dan PKB, serta untuk mengetahui dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pergeseran sikap/pandangan/ orientasi politik massa NU, kader, anggota dan simpatisan partai politik PPP dan PKB pada pemilu legislatif 2014 di Kota Tasikmalaya. 1.5. Kegunaan Penulisan Secara akademis penulisan ini diharapkan dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan dalam; 1. Pengembangan Ilmu Politik, terutama yang terkait dengan konsep pemilihan umum dan politik lokal. 9 2. 3. Pendekatan tentang sikap dan perilaku pemilih pada pesta demokrasi di ranah lokal menjadi hal yang menarik untuk dikaji dan dijadikan bahan untuk pengembangan ilmu politik. Dinamika politik lokal memberi gambaran tentang proses interaksi dan interdependensi warga masyarakat lokal dalam peristiwa dan hajatan pemilu di daerah. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya pergeseran sikap politik masyarakat, diharapkan memberi manfaat pengetahuan bagi kajian ilmu politik khususnya politik lokal dan kajian demokrasi di tingkat lokal, bagi mahasiswa, akademisi dan masyarakat luas. Secara praktis, penulisan ini diharapkan dapat memberikan masukan dan kontribusi bagi berbagai pihak dan kalangan yang terkait dalam pengelolaan partai politik dan pembinaan masyarakat. Pertama, bagi pemerintah daerah, hasil penelitian diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan pelajaran bagi pembinaan partai politik di daerah terkait dengan adanya konflik internal partai politik di Kota Tasikmalaya; Kedua, Pengurus NU Kota Tasikmalaya, Pimpinan Partai Politik PPP dan PKB khususnya, dan partai politik lain peserta pemilu legislatif tahun 2014 di Kota Tasikmalaya, hasil penelitian diharapkan dapat mengungkap hal-hal yang positif, adanya pergeseran sikap/pandangan/orientasi massa NU PPP dan PKB, 10 untuk dijadikan bahan pertimbangan dan kebijakan pembinaan melalui pendekatan kultural dan manajemen daya sentuh kepada massa NU di berbagai wilayah di Kota Tasikmalaya. 1.6. Hasil Penelitian Politik Lokal Penelitian politik lokal dengan tema tentang sikap dan perilaku politik yang dilakukan oleh penulis dan penelitian pihak lain di Kota Tasikmalaya sebelumnya, adalah sebagai berikut; 1. Hasil penelitian terdahulu yang dilakukan Oleh Akhmad Satori dan Mohammad Ali Andrias, dengan judul “Pergeseran Perilaku Politik Islam Tradisional Pasca Pemilu Legislatif Tahun 2009 di Kota Tasikmalaya” menyimpulkan sebagai berikut: bahwa terdapat pergeseran perilaku memilih di kalangan Islam tradisional di Tasikmalaya, hal ini tidak terlepas dari beberapa faktor, antara lain: pertama, semakin rasionalnya warga NU dalam partisipasi politik untuk memilih; kedua, pengaruh teknologi, informasi dan budaya politik; ketiga, sebagian besar warga NU cenderung pragmatis atau moderat dalam masalah politik; keempat, tidak menafikan bahwa pecahnya kongsi Muhaemin dan Gus-Dur ikut berpengaruh terhadap partisipasi politik warga NU secara umum, sehingga warga NU bingung menentukan sikap untuk memilih; kelima, pergeseran perilaku pemilih NU dengan pecahnya kongsi PKB, menjadikan perolehan suara PKB semakin melorot, ini yang 11 2. 3. 12 menyebabkan warga NU tidak tertarik lagi dengan politik. Hasil penelitian yang dilakukan Subhan Agung, Tahun 2013 dengan Judul; “Pergeseran Perilaku Politik Elit dalam Proses dan Pasca Pemilukada Kota Tasikmalaya 2012” yang menekankan pada aspek pergeseran pendukung calon Syarif Hidayat ke pasangan BudiDede, Pergeseran tersebut disebabkan oleh faktor politis yaitu tidak terakomodasikannya kepentingan lembaga dan pertimbangan elelktabilitas calon yang diusung, pergeseran sikap dan perilaku politik karena terdapat eskalasi informasi dari berbagai media yang mempengaruhi suka dan tidak suka pemilih terhada elit yang akan dipilih. Hasil Penelitian penulis dan Subhan Agung, Rino Sundawa, Tahun 2012 dengan judul penelitin : “Dinamika elit politik menjelang pilkada Kota Tasikmalaya“. Penelitian terfokus pada dinamika elit politi/elit parpol yang akan mencalonkan dan dicalonkan oleh partai politik di Kota Tasikmalaya. Peran yang dilakukan partai politik dalam membangun koalisasi untuk mengusung kandidat yang dianggap kapabel oleh semua parpol pendukungnya setelah ada komitmen politik parpol pendukung. Peran kyai dan ulama yang berpengaruh di Kota Tasikmalaya, pada proses marketing politik untuk mempengaruhi massa/masyarakat pemilih pada pilkada tahun 2012 di Kota Tasikmalaya. Pada proses menjelang Pemilukada Kota Tasikmalaya, 4. terjadi manufer politik yang dilakukan oleh elit politik dan Partai Politik. Manufer politik yang dilakukannya terkait dengan komitmen untuk melakukan bargaining position elit politik, baik yang terkait dengan posisi di Partai Politik maupun di luar partai politik. Demikian pula yang terjadi dengan pembuatan rancangan bargaining politik lainnya, misalnya tentang kontribusi bakal calon wakil walikota dari partai yang akan berkoalisi, atau seberapa besar nilai yang didapat dari partai politik yang mengusung kandidat walikota dari partai yang akan ikut koalisi dijadikan konsideran dalam memilih partai koalisi. Hasil Penelitian yang dilakukan penulis pada Tahun 2014, dengan judul; “Respon Pemilih terhadap calon legislatif pada Pemilu Legislatif 2014 di Daerah Pemilihan I (Kecamatan Cihideung, Tawang dan Bungursari). Bahwa respon pemilih terhadap calon legislatif tidak lagi memperhatikan simbol dan lambang partai, masyarakat lebih memilih individu/person dibandingkan dengan memilih partai politik tertentu. Alasan yang mereka kemukakan ialah, bahwa partai politik seringkali memberikan alasan-alasan tertentu yang tidak banyak dipahami oleh warga masyarakat, seperti misalnya program yang dijalankan oleh pemerintah daerah adalah merupakan hasil perjuangan partai politik tertentu. Sikap responden lebih baik memilih individunya daripada partai politik pengusungnya, hal ini disebabkan intensitas 13 5. 14 sosialisasi terhadap warga masyarakat seringkali dilakukan oleh perorangan daripada sosialisasi partai politiknya. Dari 12 partai politik peserta pemilu legislatif, yang banyak dikenal oleh responden adalah sebagai berikut; PPP 26,6 persen, Golkar 13,3 persen, PDIP 20 persen, PKS 6,6 persen, PAN 10 persen, PKB 3,3 persen, PBB 3,3 persen, Demokrat 10 persen, Gerindra 3,3 persen, Hanura 3,3 persen, Nasdem tidak tahu, Partai PPKI tidak tahu. Hasil penelitian tahun 2015, dengan judul “Pergeseran Sikap Politik Massa NU PPP dan PKB pada Pemilu Legislatif 2014”. Penelitian ini dilakukan atas dasar pengalaman penulis di lapangan, pada saat penelitian pada tahun 2014, karena hasil pemilu 2014, menunjukkan adanya dinamika politik masyarakat di Kota Tasikmalaya, terkait dengan kekisruhan pada partai politik peserta pemilu legislatif 2014. Pada pemilu legislatif tahun 2014, terjadi pergeseran pilihan atau dukungan khususnya pada parpol yang memiliki basis massa NU; Pergeseran di tubuh parpol di tingkat lokal Tasikmalaya, berpengaruh pada perolehan kursi DPRD, dan merubah peta kekuatan politik di arus bawah. Pergeseran yang terjadi di tataran basis massa partai politik, tidak serta merta dipengaruhi oleh keluarnya atau berpindahnya elite politik dari partai politik tertentu ke partai politik lain, melainkan ada faktor lain yang berpengaruh, yaitu ; manuver politik yang dilakukan elite parpol di tingkat lokal, baik dalam proses pencalonan Walikota/Wakil Walikota khususnya yang berkaitan dengan keputusan berkoalisi dengan partai politik lain; penyebab lain ialah adanya pengaruh kyai pimpinan pondok pesantren atau ulama/ustadz/ ajengan di luar pondok pesantren terhadap massa NU, serta kurangnya manajemen daya sentuh elite parpol terhadap kader dan anggota partai. 15 SIKAP POLITIK 2.1. Sikap Politik dan Sikap Kemasyarakatan NU enurut G.W. Alport (dalam Tri Rusmi Widayatun, 1999 :218) sikap adalah kesiapan seseorang untuk bertindak. Seiring dengan pendapat G.W. Alport di atas Tri Rusmi Widayatun memberikan pengertian sikap adalah “keadaan mental dan syaraf dari kesiapan, yang diatur melalui pengalaman yang memberikan pengaruh dinamik atau terarah terhadap respon individu pada semua obyek dan situasi yang berkaitan dengannya. Jalaluddin Rakhmat (1992:39) mengemukakan lima pengertian sikap, yaitu: Pertama, sikap adalah kecenderungan bertindak, berpersepsi, berpikir, dan merasa dalam menghadapi objek, ide, situasi, atau nilai. Kedua, sikap mempunyai daya penolong atau motivasi. Ketiga, sikap lebih menetap. Keempat, sikap mengandung aspek evaluatif: artinya mengandung nilai menyenangkan atau tidak menyenangkan. Kelima, sikap timbul dari pengalaman: tidak dibawa sejak lahir, tetapi merupakan hasil belajar. Karena itu sikap dapat diperteguh atau diubah. La Piere (dalam Azwar,1995:5), mendefinisikan sikap sebagai perilaku, tendensi atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial. M 16 Lebih lanjut Anwar (1995:6) menyatakan bahwa ada dua pendekatan baru dalam mendefinisikan sikap yang dikembangkan oleh para psikologi sosial mutakhir. Pendekatan pertama adalah memandang sikap sebagai kombinasi reaksi kognitif, afektif dan perilaku terhadap suatu obyek. Ketiga komponen ini secara bersama-sama mengorganisasikan sikap individu. Pendekatan kedua timbul dikarenakan adanya ketidakpuasan atas penjelasan mengenai inkonsistensi yang terjadi antara ketiga komponen kognisi, afeksi dan konasi dalam membentuk sikap. Pengikut pendekatan ini memandang perlu untuk membatasi konsep sikapnya pada aspek afektif saja. Definisi yang mereka ajukan mengatakan bahwa sikap tidak lain adalah penilaian (afek) positif atau negatif terhadap suatau obyek. Sedang komponen kecenderungan bertindak berkenaan dengan keinginan individu untuk melakukan perbuatan sesuai dengan keyakinan dan keinginannya. Sikap seseorang terhadap suatu obyek atau subyek dapat positif atau negatif. Manifestasi sikap terlihat dari tanggapan seseorang apakah ia menerima atau menolak, setuju atau tidak setuju terhadap obyek atau subyek. Komponen sikap berkaitan satu dengan yang lainnya. Dari manapun kita memulai dalam analisis sikap, ketiga komponen tersebut tetap dalam ikatan satu sistem. Sikap individu sangat erat kaitannya dengan perilaku mereka. Jika faktor sikap telah mempengaruhi ataupun menumbuhkan sikap seseorang, maka antara sikap dan perilaku adalah konsisten, sebagaimana yang dikemukakan 17 oleh Krech dan Ballacy, Morgan King, dan Howard. Pakar psikologi memberi batasan yang sama tentang pengertian sikap, seperti yang dikemukakan oleh ahli psikologi W.J Thomas (dalam Edi Kusmayadi, 2014:26), yang memberikan batasan sikap sebagai tingkatan kecenderungan yang bersifat positif maupun negatif, yang berhubungan dengan obyek psikologi. Obyek psikologi di sini meliputi : simbol, kata-kata, slogan, orang, lembaga, ide dan sebagainya. Sarnoff dalam Sarwono, 2000 (dalam Edi Kusmayadi 2014:26) mengidentifikasikan sikap sebagai kesediaan untuk bereaksi (disposition to react) secara positif (favorably) atau secara negatif (unfavorably) terhadap obyek – obyek tertentu. D. Krech dan R.S Crutchfield, dalam Sears, 1999 (dalam Edi Kusmayadi 2014:26) berpendapat bahwa sikap sebagai organisasi yang bersifat menetap dari proses motivasional, emosional, perseptual, dan kognitif mengenai aspek dunia individu. Meskipun ada beberapa perbedaan pengertian sikap, tetapi berdasarkan pendapat tersebut di atas, bahwa sikap adalah keadaan diri dalam manusia yang menggerakkan untuk bertindak atau berbuat dalam kegiatan sosial dengan perasaan tertentu di dalam menanggapi obyek situasi atau kondisi di lingkungan sekitarnya. Selain itu sikap juga memberikan kesiapan untuk merespon yang sifatnya positif atau negatif terhadap obyek atau situasi. Bila konsep sikap dihubungkan dengan politik, maka sikap tersebut dapat dilakukan individu atau berbagai kelompok. Sikap politik dapat diartikan sebagai suatu kesiapan bertindak, 18 berpersepsi seseorang atau kelompok untuk mengahadapi, merespon masalah-masalah politik yang terjadi yang diungkapkannya dengan berbagai bentuk. Sebagai contoh, ada kebijakan yang dikeluarkan pihak yang berwenang akan menimbulkan reaksi yang bermacam-macam. Ada yang menerima sebagaimana adanya, ada yang menyatakan penolakan, ada yang melakukan protes secara halus, ada yang melakukan unjuk rasa dan ada pula yang lebih suka diam tanpa memberikan reaksi apa-apa. Karena diam juga dapat dikatakan sebagai sikap politik, sebab dengan diam tidak berarti bahwa yang bersangkutan tidak memiliki penghayatan terhadap objek atau persoalan tertentu yang ada disekitarnya. Diam dapat berarti setuju, dapat berarti netral, dapat berarti menolak, akan tetapi merasa tidak berdaya untuk membuat pilihan. Menurut Fadillah Putra ( 2003 : 200 ) sikap politik adalah merupakan hubungan atau pertalian diantara keyakinan yang telah melekat dan mendorong seseorang untuk menanggapi suatu obyek atau situasi politik dengan cara tertentu. Sikap dan perilaku masyarakat dipengaruhi oleh proses dan peristiwa historis masa lalu dan merupakan kesinambungan yang dinamis. Peristiwa atau kejadian politik secara umum maupun yang menimpa pada individu atau kelompok masyarakat, baik yang menyangkut sistem politik atau ketidak stabilan politik, janji politik dari calon pemimpin atau calon wakil rakyat yang tidak pernah ditepati dapat mempengaruhi perilaku politik masyarakat. Sikap politik dapat diungkapkan dalam 19 berbagai bentuk. Bila sikap politik tersebut bersifat positif, maka perilaku politik yang ditunjukkan akan bersifat positif. Sebaliknya, bila sikap politik yang ditunjukkan bersifat negatif, maka perilaku politik yang ditunjukan nya bersifat negatif. Positif atau negatifnya suatu sikap politik, tergantung pada beberapa hal, yakni ideologi dari aktor sikap politik tersebut, organisasi yang menunjukan sikap politik tersebut, budaya-budaya yang hidup di lingkungan aktor sikap politik tersebut. Sikap politik NU seperti yang tertera pada poin 4, Pokok-Pokok Pikiran tentang Khittah NU 1926 (dalam HA. Thoyfoer MC, 2010:41-42), yang menegaskan bahwa; penjelasan sikap kemasyarakatan Nahdlatul Ulama yang dirumuskan dalam empat bentuk sikap, yaitu; a. Sikap Tawassuth Wal-I‟tidal (tengah-tengah dalam hidup bersama serta selalu jujur); b. Sikap Tasamuh (toleran dan saling menghormati terhadap perbedaan pendapat); c. Sikap Tawazun (menyelaraskan sikap berkhidmah pada Alloh SWT, dalam arti kepentingan akhirat”, dan sikap pada kepentingan lingkungan untuk kemaslahatan hidup di dunia); d. Sikap yang selalu ber-Amar Ma‟ruf Nahi Munkar untuk mendorong dirinya dan orang lain agar berbuat baik serta meninggalkan perbuatan yang tidak terpuji. Sikap kemasyarakatan Nahdlatul Ulama pada tataran akar rumput, sudah barangtentu akan berbeda dalam 20 tataran operasional kehidupan kemasyarakatan dan kehidupan politik maupun pada pengamalan ajaran agama Islam, hal ini dikarenakan pokok-pokok pikiran tersebut tidak dilakukan sosialisasi instruksi PBNU, sehingga tidak terinternalisasi di massa pendukung NU/kaum Nahdiyin. Namun jika dikaji lebih dalam makna dari hasil Muktamar NU ke 28 di Yogyakarta, berkaitan dengan “ijtihad” politik yang seringkali mendorong berubahnya keputusan dan perilaku politik NU. Terdapat sembilan pokok pedoman bagi warga NU dalam bidang politik. Seperti yang dikemukakan Hairus Salim dan Nurudin Amin (1997 : 45 dalam Asep Saeful Muhtadi 2004 :35), yaitu antara lain; 1. Berpolitik bagi NU mengandung arti keterlibatan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945; 2. Politik bagi NU adalah politik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integrasi bangsa dengan langkah-langkah yang senantiasa menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita-cita bersama, yaitu terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur lahir batin, dan dilakukan sebagai amal ibadah menuju kebahagiaan di dunia dan kehidupan akhirat; 3. Politik NU adalah pengembangan nilai-nilai kemerdekaan yang hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari hak, kewajiban 21 4. 5. 6. 7. 8. 9. 22 dan tanggung jawab untuk mencapai kemaslahatan bersama. Berpolitik bagi NU haruslah dilakukan dengan moral, etika dan budaya yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, berperikemanusiaan yang adil dan beradab, menjunjung tinggi persatuan Indonesia, berKerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilam, dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Berpolitik bagi NU haruslah dilakukan dengan kejujuran nurani dan moral agama, konstitusional, adil sesuai dengan peraturan dan norma-norma yang disepakati, serta dapat mengembangkan mekanisme musyawarah dalam memecahkan masalah bersama. Berpolitik bagi NU dilakukan untuk memperkokoh konsensus-konsensus nasional, dan dilaksanakan sesuai dengan ahlaqul karimah sebagai pengamalan ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jamaah. Berpolitik Bagi NU, dengan dalih apapun, tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama dan memecah belah persatuan. Perbedaan pandangan diantara aspirasi-aspirasi politik warga NU harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadu dan saling menghargai satu sama lain, sehingga dalam berpolitik itu tetap dijaga kesatuan dan persatuan di lingkungan NU. Berpolitik bagi NU menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan timbal balik dalam pembangunan nasional untuk menciptakan iklim yang memungkinkan perkembangan organisasi kemasyarakatan yang lebih mandiri dan mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana masyarakat untuk berserikat, menyalurkan aspirasi serta berpartisipasi dalam pembangunan. Pedoman ini, sedianya dijadikan sebagai landasan operasional bagi partai politik dengan basis massa NU baik di tingkat pusat maupun di daerah. Agar partai politik dengan basis massa warga nahdiyin dapat meraih suara banyak di berbagai daerah dan memiliki perwakilan yang dapat memperjuangkan aspirasi dan kepentingan warga nahdiyin. Pada tataran akar rumput warga nahdiyin, pedoman tersebut tidak banyak yang mengetahui, mereka cenderung bersifat pragmatis, dan mengikuti jejak sikap dan perilaku politik warga nahdiyin lainnya. Warga nahdiyin lebih mengedepankan loyalitasnya kepada apa yang disampaikan oleh kyai atau ustadz maupun ajengan, daripada harus bersikap dan berperilaku yang diperintahkan oleh pengurus organisasi atau partai politik. 2.2. Perilaku Politik dan Perilaku Pemilih Mohammad Ali Andrias (dalam Edi Kusmayadi, 2014:24), menyebutkan bahwa jika dilihat dari sudut pandang perilaku pemiliih, maka terdapat beberapa teori besar yang membantu kita mendapatkan jawaban mengapa orang tidak memilih. Teori tersebut diantaranya teori sosiologis, teori psikologi, teori ekonomi-politik dan teori 23 struktur. Teori sosial memberi gambaran bagi pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya dari status sosial, teori psikologik memberi penjelasan bahwa kedekatan seseorang dengan partai dan kandidat akan mempengaruhi pilihanpilihan politiknya, sedangkan teori ekonomi politik memberi penjelasan bahwa golput dilakukan melalui pertimbangan-pertimbangan secara rasional. Adapun teori struktur merupakan bagian di luar perilaku pemilih yang berhubungan dengan struktur dan sistem politik yang berlaku. Teori-teori ini cukup memberikan informasi secara ilmiah tentang tipologi dan karakteristik golput. Realitas politik lokal, menggambarkan ketidak hadiran pemilih ke tempat pemungutan suara (TPS) disebabkan oleh beberapa alasan, termasuk dalam penghitungan suara di TPS masih banyak terdapat surat suara yang tidak dicoblos, sehingga dikatergorikan tidak sah, yang kemudian terakumulasikan pada jumlah suara yang tidak sah, sehingga dianggap oleh masyarakat awam sebagai sesuatu yang sama nilainya dengan ketidak hadiran warga di TPS. Pada beberapa TPS pada saat pemilu legislatif, masih banyak terdapat warga masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya dikarenakan berbagai alasan. Ketidak hadiran pemilih di tempat pemungutan suara menandakan kurangnya kesadaran warga negara pada proses politik, yang pada akhirnya tingkat partisipasi politik pada proses pemilu menjadi tidak optimal. Sedangkan yang dimaksud dengan perilaku politik adalah tindakan atau kegiatan seseorang atau kelompok 24 dalam kegiatan politik. Menurut Ramlan Surbakti ( 1992 : 131 ), mengemukakan bahwa perilaku politik adalah sebagai kegiatan yang berkenaan dengan proses pembuatan dan keputusan politik. Perilaku politik merupakan salah satu unsur atau aspek perilaku secara umum, disamping perilaku politik, masih terdapat perilaku-perilaku lain seperti perilaku organisasi, perilaku budaya, perilaku konsumen/ekonomi, perilaku keagamaan dan lain sebagainya. Fadillah Putra (2003 : 200 ). Menyebut bahwa perilaku politik meliputi tanggapan internal seperti persepsi, sikap, orientasi dan keyakinan serta tindakan-tindakan nyata seperti pemberian suara, protes, lobi dan sebagainya. Persepsi politik berkaitan dengan gambaran suatu obyek tertentu, baik mengenai keterangan, informasi dari sesuatu hal, maupun gambaran tentang obyek atau situasi politik dengan cara tertentu. Sedangkan sikap politik adalah merupakan hubungan atau pertalian diantara keyakinan yang telah melekat dan mendorong seseorang untuk menanggapi suatu obyek atau situasi politik dengan cara tertentu. Sikap dan perilaku masyarakat dipengaruhi oleh proses dan peristiwa historis masa lalu dan merupakan kesinambungan yang dinamis. Peristiwa atau kejadian politik secara umum maupun yang menimpa pada individu atau kelompok masyarakat, baik yang menyangkut sistem politik atau ketidak stabilan politik, janji politik dari calon pemimpin atau calon wakil rakyat 25 yang tidak pernah ditepati dapat mempengaruhi perilaku politik masyarakat. Perilaku pemilih merupakan tingkah laku seseorang dalam menentukan pilihannya yang dirasa paling disukai atau paling cocok. Secara umum teori tentang perilaku memilih dikategorikan kedalam dua kubu yaitu ; Mazhab Colombia dan Mazhab Michigan ( Fadillah Putra , 2003 : 201 ). Mazhab Colombia menekankan pada faktor sosiologis dalam membentuk perilaku masyarakat dalam menentukan pilihan di pemilu. Model ini melihat masyarakat sebagai satu kesatuan kelompok yang bersifat vertikal dari tingkat yang terbawah hingga yang teratas. Penganut pendekatan ini percaya bahwa masyarakat terstruktur oleh norma-norma dasar sosial yang berdasarkan atas pengelompokan sosiologis seperti agama, kelas ( status sosial ), pekerjaan, umur, jenis kelamin dianggap mempunyai peranan yang cukup menentukan dalam membentuk perilaku memilih. Oleh karena itu preferensi pilihan terhadap suatu partai politik merupakan suatu produk dari karakteristik sosial individu yang bersangkutan (Gaffar, Affan, 1992 : 43 ). Kelemahan mazhab ini antara lain; 1. Sulitnya mengukur indikator secara tetap tentang kelas dan tingkat pendidikan karena kemungkinan konsep kelas dan pendidikan berbeda antara Negara satu dengan lainnya; 2. Norma sosial tidak menjamin seseorang menentukan pilihannya tidak akan menyimpang. 26 Mazhab Michigan menekankan pada faktor psikologis pemilih, artinya penentuan pemilihan masyarakat banyak dipengaruhi oleh kekuatan psikologis yang berkembang dalam dirinya, yang merupakan akibat dari proses sosialisasi politik. Sikap dan perilaku pemilih ditentukan oleh idealisme, tingkat kecerdasan, faktor biologis, keinginan dan kehendak hati. Jenis pemilih menurut Firmanzah, (2008:120-124) antara lain; Pemilih rasional; pemilih jenis ini memiliki ciri khas yang tidak begitu mementingkan ikatan ideologi kepada suatu partai politik atau seorang kontestan. Faktor seperti paham, asalusul, tradisional, budaya, agama dan psikografis memang dipertimbangkan juga, tetapi bukan hal yang signifikan. Pemilih dalam hal ini ingin melepaskan hal-hal yang bersifat dogmatis, „tradisional,‟ dan ikatan lokasi dalam kehidupan politiknya. Analisis kognitif dan pertimbangan logis sangat dominan dalam proses pengambilan keputusan. Hal yang terpenting bagi jenis pemilih ini adalah apa yang bisa (dan yang telah) dilakukan oleh sebuah partai atau seorang kontestan, dari pada paham dan nilai partai atau kontestan. Pemilih kritis, pemilih jenis ini merupakan perpaduan antara tingginya orientasi pada kemampuan partai politik atau seorang kontestan dalam menuntaskan permasalahan bangsa maupun tingginya orientasi mereka akan hal-hal yang bersifat ideologis. Pentingnya ikatan ideologis membuat loyalitas pemilih terhadap sebuah partai atau seorang kontestan cukup tinggi dan tidak 27 semudah „rational voter‟ untuk berpaling ke partai lain. Pemilih jenis ini adalah pemilih yang kritis, artinya mereka akan selalu menganalisis kaitan antara sistem nilai partai (ideology) dengan kebijakan yang dibuat. Tiga kemungkinan akan muncul ketika terdapat perbedaan antara nilai ideology dengan „platform‟partai: (1) memberikan kritik internal, (2) frustasi, dan (3) membuat partai baru yang memiliki kemiripan karakteristik ideology dengan partai lama. Pemilih tradisional adalah jenis pemilih yang bisa dimobilisasi selama periode kampanye Loyalitas tinggi merupakan salah satu ciri khas paling kelihatan bagi pemiilh jenis ini. Apa saja yang dibilang dan dikatakan oleh seorang leader politik merupakan sebuah kebenaran yang sulit dibantah. Ideologi diangap sebagai satu landasan dalam membuat suatu keputusan serta bertindak, dan terkadang kebenarannya tidak bisa diganggu gugat. Pemilih skeptis, pemilih keempat adalah pemilih yang tidak memiliki orientasi ideologi cukup tinggi dengan sebuah partai atau seorang kontestan, juga tidak menjadikan kebijakan sebagai sesuatu yang penting. Keinginan untuk terlibat dalam sebuah partai politik pada pemilih jenis ini sangat kurang, karena ikatan ideologis mereka memang rendah sekali. 2.3. Kyai dan Pesantren Seperti dikemukakan Nur Syam (2013), Dosen Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel Surabaya, bahwa Kyai dan tokoh pesantren sering kali menjadi lahan sasaran 28 para politisi dalam membangun basis dukungan politik. Pada setiap Pemilihan Umum (Pemilu) maka suara kyai dan santri selalu diperebutkan bukan saja oleh partai-partai politik berbasis Islam saja melainkan juga partai-partai politik berbasis nasionalis. Dalam upaya meraup simpati dari kalangan Islam yang menjadi pengikut setia kyai, banyak partai politik yang menempatkan kyai dan tokoh pesatren pada jajaran pengurus partai dengan harapan dapat menjadi vote getter dalam pemilu. Kecenderungan ini disatu sisi memperluas akses politik kalangan Islam. Sedikit banyak hal ini tentu juga memberikan perluasan pengaruh Islam pada berbagai kelompok politik, sebagaimana ditandai dengan munculnya sayap Islam dalam PDIP. Di sisi lain, situasi ini juga melahirkan fragmentasi politik yang unik di kalangan umat Islam sendiri, berupa terulangnya oportunisme politik di kalangan tokoh-tokoh politik Islam sebagaimana pengalaman era 1950-an. Pergulatan politik antar tokoh Islam sendiri memperlihatkan kuatnya oportunisme di kalangan politisi muslim. Perbedaan afiliasi politik menjadikan mereka nyaris tidak pernah satu suara dalam menyikapi berbagai persoalan politik. Lebih jauh Nur Syam, menyatakan bahwa di kalangan NU, dimana kyai dan tokoh pesantren menjadi pilar kultural utamanya, muncul beberapa partai politik yang masing-masing mengklaim sebagai representasi politik komunitas ini. Masing-masing juga berupaya menempatkan beberapa kyai 29 dan tokoh pesantren sebagai motor penggerak ataupun sekedar legimitasi. (Sumber : www.himmaba.com/2013/09/kyai-santri-danpolitik.html, di unduh pada hari Senin, 18 Juli 2016, pukul.09.10) Pada proses politik di tataran lokal seperti yang terjadi di Kota Tasikmalaya, menjelang pemilu legislatif 2014, mengalami pergeseran yang semula pada pemilu sebelum aktor politik yang biasanya dilakukan oleh politisi, pengusaha daerah, akademisi, masyarakat umum dan profesional, mengalami perubahan, karena adanya aktor lain yaitu; Kyai, Ulama, Ustadz, Ajengan (sunda) yaitu guru ngaji. Mereka adalah sosok yang selama ini dikenal hidup di tengah-tengah santri dan masyarakat khususnya Kyai. Sebagian Ulama/Ustadz/Ajengan NU, mulai merambah wilayah politik partisan lokal, dengan peran sebagai katalisator dan mediator pada proses pemilu yang intinya memberikan dukungan kepada kandidat legislatif dan memberi restu. Kota Tasikmalaya dengan julukan sebagai kota santri, menjadi magnet bagi berbagai kalangan kandidat legislatif untuk mendapat raihan suara pada pemilu legislatif 2014, dengan mendatangi sejumlah pondok pesantren untuk mendapat dukungan dan restu dari kyai dansantri serta warga masyarakat sekitar pondok pesantren. Jumlah Pesantren di Kota Tasikmalaya sampai dengan tahun 2014 sebanyak 91 buah yang tersebar di delapan kecamatan, yaitu; Kecamatan Cibeureum 32 Pondok Pesantren, 30 Kecamatan Kawalu 11 Pondok Pesantren, Kecamatan Indihiang 5 Pondok Pesantren, Kecamatan Cipedes 8 Pondok Pesantren, Cihideung 1 Pondok Pesantren, Kecamatan Tawang 2 Pondok Pesantren, Kecamatan Mangkubumi 12 Pondok Pesantren dan Kecamatan Tamansari 20 Pondok Pesantren. Sumber:info kotakita.blogspot.com/2014/10/daftar-ponpes-di-kota... Jika tiap pesantren terdapat satu orang Kyai, maka jumlah kyai di Kota Tasikmalaya adalah sebanyak 91 orang. Kondisi ini menjadi lahan subur bagi para kandidat kepala daerah atau calon legislator, baik untuk tingkat pusat, provinsi maupun tingkat daerah. Keberadaan pesantren dan kyai memotivasi para kandidat untuk mendapatkan dukungan suara dan pengaruh kyai pada perhelatan pemilu. Di Kota Tasikmalaya, Kyai yang menjalankan politik praktis hanya terpolarisasi dalam partai politik PPP, PKB, sedangkan pada partai politik seperti PKS, PBB, dan PAN, peran kyai tidak seperti pada partai politik PPP dan PKB. Pada partai politik PKS, PBB dan PAN, yang berperan adalah Ustadz dan Ajengan. Namun demikian, tidak seluruhnya kyai mengambil peran dan aktif dalam proses politik lokal, masih banyak para kyai di kota ini yang tetap konsisten menjalankan perannya sebagai pimpinan pondok pesantren, sebagai guru bagi santrinya dalam mengajarkan ilmu-ilmu agama, menjadi pengayom dan pelindung para santri dan warga masyarakat di sekitarnya, memberikan da‟wah bagi masyarakat, menjadi suri tauladan bagi warga masyarakat dan kyai sebagai pewaris nabi. 31 Pada sebagian pondok pesantren NU, perilaku politik kyai NU mempunyai pengaruh pada sikap politik masyarakat dan santrinya, sehingga pondok pesantren tertentu seringkali didatangi oleh para kandidat kepala daerah dan kandidat legislator. Kehadiran para kandidat kepala daerah atau kandidat legislatif, disamping untuk melakukan kunjungan silaturahmi, ke para kyai di Pondok Pesantren tertentu, juga sekaligus meminta restu dari para kyai. Permintaan restu ini ditafsirkan sebagai permintaan dukungan suara dari kyai, karena kyai memiliki aset calon pemilih yang mudah dipengaruhi. Bagaimana dengan kyai Muhammadyah atau Persis, peran dan pengaruhnya sama saja, yang membedakan adalah keterkaitan para kyai muhammadyah dan persis dengan parpol tidak nampak jelas sebagaimana kyai NU. Misalnya PAN pada awal berdirinya, tidak serta merta warga muhamamadyah menjadi pengurus/anggota PAN, atau PBB/PKS tidak identik dengan Persis. Namun perilaku para kyai/ustadz atau ajengan kesemuanya memiliki pengaruh besar terhadap sikap dan tindakan serta orientasi masyarakatnya dalam proses politik, terutama pada pemilu legislatif tahun 2009 dan tahun 2014. Hasil penelitian yang dilakukan penulis tahun 2012, tentang “Dinamika Elit politik lokal menjelang Pemilukada tahun 2012, mengisyaratkan bahwa terdapat korelasi yang positif antara pengaruh kyai/ulama dengan pemenangan calon pada perhelatan pemilu, baik pemilukada, pilpres, pilgub dan pemilu legislatif. Hal ini tidak terlepas dari 32 kuatnya peran dan pengaruh kyai / ulama dalam ranah politik lokal di Kota Tasikmalaya. Karena isu-isu populis yang paling diterima oleh sebagian besar pemilih rasional adalah isu-isu seputar religiusitas dan nilai-nilai Islam, disamping itu jaringan ketokohan ulama sangat kuat dan menguasai simpul-simpul massa sampai ke peloksokpeloksok. Ulama oleh para politisi yang akan bertarung pada Pemilukada 2012 di Kota Tasikmalaya, dijadikan sebuah simbol pencitraan kepada masyarakat. Citra diri yang ingin dibentuk manakala calon tersebut menggandeng ulama adalah citra yang religius dengan komitmen mengangkat nilai-nilai religius Islam. Pada kontestasi politik termasuk Pemilukada maupun Pemilu legislatif 2014, banyak kyai/ulama yang melibatkan diri dengan cara memberikan dukungan kepada salah satu calon yang akan bertarung. Dari sisi idealitas, komitmen ulama ketika melibatkan diri pada politik praktis adalah dalam rangka memperjuangkan atau mengakomodasikan nilai-nilai Islam ke dalam tataran kebijakan. Pemetaan peran ulama dan respon ulama pada Pemilukada kota Tasikmalaya 2012 mendatang disampaikan oleh KH. Mufti, dia adalah Sekretaris Eksekutif Majelis Ulama Indonesia Kota Tasikmalaya. Dia mengatakan bahwa setiap kontestasi politik termasuk Pemilukada, ulama akan selalu melibatkan diri dengan cara memberikan dukungan kepada salah satu calon yang akan bertarung. Dari sisi idealitas, komitmen ulama ketika melibatkan diri pada politik praktis adalah dalam rangka memperjuangkan atau 33 mengakomodasikan nilai-nilai Islam ke dalam tataran kebijakan. Pemetaan ulama yang disampaikan oleh KH. Mufti; sebagai berikut : Pertama, ulama kharismatik yang tidak memiliki jabatan struktural di partai politik atau di organisasi politik yang memiliki afiliasi pada kekuatan politik tertentu. Kedua, ulama kharismatik yang memiliki jabatan struktural di partai politik atau di organisasi politik yang memiliki afiliasi pada kekuatan politik tertentu. Ketiga, ulama ditingkat akar rumput yang tidak memiliki jabatan struktural di partai politik atau di organisasi politik yang memiliki afiliasi pada kekuatan politik tertentu. Keempat, adalah ulama akar rumput yang memiliki jabatan struktural di partai politik atau di organisasi politik yang memiliki afiliasi pada kekuatan politik tertentu. Kelompok ulama pertama merupakan kelompok ulama yang tergolong independen, tapi kemudian pada saat menjelang Pemilu akan menentukan dukungannya kepada salah satu calon yang dipicu oleh faktor kedekatan, ideologi, komitmen. Dua cara keterlibatan ulama adalah didekati atau mendekati. Kelompok ulama yang kedua merupakan kelompok ulama yang memang telah memiliki afiliasi politik tertentu, jadi modal politiknya telah dibangun berdasarkan jaringan yang telah terbentuk, entah di 34 partai politik atau organisasi politik tertentu. Walaupun pada kenyataannya berkaca pada Pemilukada 2007 berdasarkan konstelasi politik yang terus berkembang dukungan ulama kelompok ini tidak melulu berdasarkan jaringan partai politik atau organisasi politik yang sudah dibangun, tapi dukungan itu berdasarkan pendekatan ketokohan calon yang akan bertarung. Kelompok ulama yang ketiga, sama halnya dengan kelompok ulama yang pertama, mereka cenderung independen, tetapi karena hirarkis jaringan ulama dari atas hingga ke akar rumput, akhirnya ulama ditingkat akar rumput ini akan melibatkan diri untuk dukung mendukung kepada salah satu calon. Tapi sebagian besar ulama akar rumput ini tidak pernah melibatkan diri secara aktif dalam mendukung salah satu calon, sifatnya hanya sekedar memfasilitasi calon dengan masyarakat ketika calon tersebut melakukan safari politik ke daerahnya, karena seperti biasanya bila salah satu calon ingin bersafari politik ke pelosok daerah, orang pertama yang dikunjungi atau diminta memfasilitasi adalah ulama. Terakhir adalah kelompok ulama keempat, kelompok ulama ini sama halnya dengan kelompok ulama yang kedua, mereka sudah memiliki afiliasi politik tertentu sehingga akan mudah ditebak kepada siapa ulama itu memberikan dukungan. Tapi lagi-lagi karena adanya perubahan dinamika politik yang ada, ulama ditingkat akar rumput ini memberikan dukungan dengan bebas tanpa 35 adanya keterikatan dengan partai atau organiasai politik yang mempunyai afiliasi dengan calon tertentu. Dari pemetaan diatas, bisa disimpulkan bahwa respon ulama menjelang Pemilu legislatif 2014 sama halnya dengan respon ulama pada Pemilu–pemilu sebelumnya, bahwa dalam setiap konstelasi politik dalam tataran idealitas para ulama ingin memperjuangkan nilai-nilai religius. Tetapi karena berbagai dinamika dan kepentingankepentingan politik tertentu, tidak ada batasan yang jelas antara perjuangan mengakomodasikan nilai-nilai religius dengan perjuangan mendapatkan kekuasaan. (Edi Kusmayadi : 2014- 79 -82) 2.4. Budaya dan Tradisi Nahdiyin Perilaku pemilih pada setiap proses dan kegiatan pemilu seringkali berubah-ubah, dari pemilu satu ke pemilu berikutnya. Perubahan sikap dan orientasi pemilih tidak hanya dipengaruhi oleh faktor dominasi partai politik/elit politik tertentu, akan tetapi lingkungan pergaulan masyarakat pemilih, budaya politik kaula akan bergeser menjadi budaya politik partisipan, atau sebaliknya, atau karena kondisi sosial ekonomi yang mempengaruhi kondisi kehidupan pemilih. Realita kehidupan masyarakat yang seringkali didasari oleh kurangnya kesadaran hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, berakibat pada tingkat partisipasi politik masyarakat, tingkat partisipasi politik masyarakat berkaitan erat dengan budaya politik masyarakat. 36 Seperti yang dikemukakan oleh Gabriel A. Almond (dalam Mochtar Mas‟oed 1998 : 41-42). Budaya politik dimaknai sebagai sikap, nilai, informasi dan kecakapan yang dimiliki seseorang, yang kemudian membentuk orientasi individu atau kelompok terhadap proses dan system politik. Dengan kata lain, budaya politik menentukan partisipasi seseorang dalam kaitannya dengan proses politik. Almon menjelaskan berbagai pola orientasi politik yang dikaitkan dengan tinggi rendahnya tingkat partisipasi politik warga masyarakat yang diidentifikasi dalam tiga pola, yaitu partisipan, subyek dan parokial. Warga masyarakat yang berbudaya partisipan adalah warga masyarakat yang memiliki tingkat pengetahuan politik dan tingkat partisipasi politik yang tinggi, serta senantiasa terlibat aktif dalam proses pengambilan keputusan politik atau mempengaruhi proses pengambilan keputusan politik. Sebaliknya, mereka yang memiliki pengetahuan cukup dan kadang-kadang turut serta dalam aktivitas politik meskipun tidak menentukan proses politik disebut sebagai masyarakat berbudaya subyek. Sementara itu, masyarakat yang tidak aktif dalam politik atau keterlibatannya di dalam politik hanya lima tahun sekali, karena memiliki tingkat pengetahuan politik yang rendah disebut sebagai masyarakat berbudaya parokial. Muslim Mukti, (2012 : 78 -79) menyebutkan beberapa budaya politik sebagai berikut; Budaya politik adalah aspek politik dari nilai-nilai yang terdiri atas pengetahuan, adat istiadat, takhayul, dan mitos. Semuanya dikenal dan 37 diketahui oleh sebagian besar masyarakat. Budaya politik memberikan alasan rasional untuk menolak atau menerima nilai dan norma lain; budaya politik dapat dilihat dari aspek doktrin dan aspek generik, aspek doktrin menekankan isi, seperti sosialisme, demokrasi, atau nasionalisme. Aspek generik menganalisis bentuk, peranan dan ciri-ciri budaya politik,seperti militan, utopis, terbuka atau tertutup; khakikat dan ciri budaya politik yang menyangkut masalah nilai-niai adalah prinsip dasar yang melandasi pandangan hidup yang berhubungan dengan masalah tujuan. Bentuk budaya politik yang menyangkut sikap dan norma, yaitu sikap terbuka dan tertutup, tingka militansi seseorang terhadap orang laindalam pergaulan masyarakat, pola kepemimpinan (konformitas atau mendorong inisiatif kebebasan), sikap terhadap mobilitas (mempertahankan status quo atau mendorong mobilitas), dan prioritas kebijakan (menekankan ekonomi atau politik). Budaya politik di Indonesia mengalami transformasi nilai budaya terutama di kalangan elit kekuasaan, demikian pula yang terjadi di kalangan pemuka agama dan tokoh masyarakat. Nilai budaya dimaksud lebih mengarah pada gaya hidup dan pola interaksi sosial, sehingga yang terjadi adalah implikasi pada kehidupan masyarakat umum. Budaya politik masyarakat pada proses politik seringkali dipengaruhi oleh sikap dan perilaku calon pemimpin atau pemuka/tokoh masyarakat termasuk tokoh agama, sehingga yang terjadi adalah sikap dan perilaku pemimpin yang lebih menonjol dalam proses 38 politik. Artinya, sebagian warga masyarakat pemilih menggantungkan pilihannya pada pilihan yang ditentukan oleh pemuka/tokoh masyarakat. Demikian pula yang terjadi pada massa nahdiyin baik di lingkungan pondok pesantren maupun di luar lingkungan pondok pesantren. Mereka akan menentukan sikap dan perilaku politiknya, setelah mendapatkan pesan moral atau himbauan maupun instruksi dari orang yang dipandang sebagai pemuka/tokoh atau kyai. Pesan moral atau Tausiah yang dilakukan bersamaan dengan aktivitas rutin masyarakat atau warga nahdiyin pada pengajian rutin atau kegiatan keagamaan lainnya, menjadi momen yang tepat untuk menyampaikan berbagai hal, baik yang menyangkut keagamaan, kemasyarakatan, pembangunan, pemerintahan, politik dan hal-hal yang terkait dengan pesan yang diinginkan oleh para kandidat melalui kyai atau tokoh masyarakat yang dipandang berpengaruh. Komunikasi politik menjadi ajang untuk melakukan kesepakatan antara pemuka/tokoh/kyai, dengan para kandidat dalam proses politik pemilu legislatif di Kota Tasikmalaya. Komunikasi dan pesan politik yang disampaikan dilakukan pada kegiatan yang menjadi tradisi atau kebiasaan masyarakat, terutama warga nahdiyin disela-sela acara seperti; Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, Peringatan Isra Mi‟raj, Syukuran Khitanan Anak, Tahlilan dan lain sebagainya. Sehingga dalam memahami konsep budaya yang berlaku di Kota Tasikmalaya, setiap orang akan merasakan tradisi 39 keagamaan yang sangat kental ditengah masyarakat Nahdiyin terutama di lingkungan Pondok Pesantren, ket‟adzim-an seseorang sebagai sikap penghormatan terhadap para sesepuh (pimpinan) pondok pesantren yang ditunjukan secara verbal melalui sebutan kyai yang digunakan oleh masyarakat umum, akang (Abang/Kaka) oleh para santri, dan sebutan ajengan (Guru Mengaji/orang yang memiliki ilmu keagamaan),tetapi tidak memiliki pondok pesantren dan biasa mengadakan kegiatan pengajian di Mesjid/Mushola atau tajug (mesjid kecil, biasa berada dipinggiran perkampuangan). Dalam kehidupan masyarakat Kota Tasikmalaya budaya t‟adzim dimaknai sebagai kerendahan diri atas keterbatasan ilmu dan pengetahuan, sehingga masyarakat berkewajiban untuk taqlid terhadap para kyai. Taqlid dalam pandangan ini adalah melaksanakan segala yang disampaikan dan dicontohkan oleh para kyai tanpa mengkaji landasannya secara langsung, karena kyai dianggap mampu merepresentasikan ajaran Islam yang dapat dijadikan rujukan di kalangan kaum nahdiyin. Kebiasaan tersebut terus berlangsung dari waktu-kewaktu, sehingga dari kondisi tersebut menempatkan strata sosial yang tinggi bagi para kyai. Strata sosial tersebut dihasilkan dari ilmu serta ketokohan yang dimiliki oleh para kyai ditengah masyarakat, karena kyai dianggap luhur keberadaannya dan dapat dijadikan tempat rujukan setiap permasalahan masyarakat. Dalam pelaksanaan kehidupan beragama, masyarakat memahami konseptualisasi ajaran 40 Islam dari para kyai, ajaran tersebut dikembangan melalui pondok-pondok pesantren, dan dituangkan dalam berbagai tradisi kebudayaan. Misal; ketika menjelang fajar, setiap harinya pada pukul 03.00 dini hari, suara adzan awal akan berkumandang hampir disetiap mesjid di lingkungan kaum nahdiyin, kemudian dilanjutkan dengan pembacaan doadoa seperti doa bangun tidur “Alhamdulillahiladzi Ahyana Ba‟dama Ama Tana Wailaihin Nutsur” (Segala puji bagi Alloh yang menghidupkan aku kembali setelah mematikanku sementara waktu, dan kepada-Nyalah aku akan kembali) dan pembacaan ayat-ayat al-Quran. Tujuan aktivitas ini adalah untuk membangunkan orang-orang yang masih tidur dan mengingatkan bahwa sebentar lagi akan tiba waktu sholat Subuh. Setelah melaksanakan Sholat Subuh masyarakat akan melaksanakan wiridan, yaitu kegiatan berdoa secara berjamaah (bersama-sama), wiridan diawali dengan pembacaan istigfar, al-fatihah, ayat qursi, tasbih, tahmid, takbir, tahlil dan doa-doa. Kegiatan rutin masyarakat berbeda-beda tergantung dari mesjid dan kyai di lingkungannya masing-masing. Setelah Wiridan selesai masyarakat akan kembali ketempatnya masing-masing, dimana para satri akan kembali ke pondok untuk melaksanakan aktivitas kepesantrenan, sementara masyarakat umum akan bersiapsiap untuk melaksanakan aktivitas perniagaan, atau dalam bahasa asli mereka sering disebut dengan istilah Sunda “digawe/ngadamel” (bekerja). Pada sore harinya masyarakat di lingkungan pondok pesantren atau di lingkungan mesjid 41 yang berbasis kaum nahdiyin, akan kita dengar suara pujipujian. Puji-pujian tersebut berupa pembacaan shalawat, doa dan pangeling-ngeling (pengingat), seperti “Allohuma Sholi „Ala Muhammad Ya Rabbi Shali „Alaihi Wasalim, Allohuma Shali „Ala Muhammad Ya Rabbi Balig Hul Washilah” atau dengan puji-pujian menggunakan bahasa sunda seperti, “Eling-eling ummat muslimin muslimat, hayu urang berjamaah sholat maghrib, eta kawajiban urang keur di dunia, kange pibekeleun urang jaga di akherat. Dua puluh tujuh ganjaran nu berjamaah, lamun sorangan hiji ge mun bener fatihah (ingatlah wahai umat muslimin muslimat, marilah kita menjalankan shalat maghrib secara berjamaah, karena itu merupakan kewajiban selama kita hidup di dunia, untuk bekal nanti kehidupan di akhirat. Dua puluh tujuh pahala bagi orang yang melaksanakan shalat berjamaah, kalau shalat sendiri hanya akan mendapatkan satu pahala saja itupun kalau benar dalam membacakan surat alfatihah)”. Makna dari aktivitas tersebut yaitu berupa pengingat untuk masyarakat agar menghentikan aktivitasnya karena akan menjelang malam, selain itu aktivitas tersebut juga mengingatkan akan datangnya waktu Shalat Maghrib sekaligus mengajak masyarakat untuk melaksanakan shalat secara berjamaah. Dalam Tahun Qomariah (Hijriah), Maghrib merupakan awal pergantian tanggal, sehingga dalam pandangan umat Islam waktu tersebut penting diawali dengan melaksanakan kebaikan. Setelah melaksanakan Solat Maghrib kegiatan para santri akan dilanjutkan dengan Wiridan, dan setelah itu aktivitas kepesantrenan akan kembali dilajutkan sampai pukul 22.00, 42 dan setelah itu para satri akan kembali ke kobong (kamar tempat beristirahat para santri) untuk beristirahat sampai subuh. Dalam kehidupan masyarakat kaum nahdiyin di Kota Tasikmalaya, sepanjang waktu masyarakat dapat mendengarkan pengajian secara terus menerus, baik rutin kepesantrenan yang dikhususkan untuk para santri, atau pengajian umum yang dilaksanakan oleh masyarakat, baik pengajian rutin mingguan, bulanan, yang biasa dilaksanakan di mesjid-mesjid dan madrasah. Proses sosial budaya sebagaimana di atas, pada kelompok masyarakat tertentu terutama kaum nahdiyin, Ta‟dzim/perhormatan dan Taqlid menjadi dasar atau acuan dalam kehidupan kemasyarakatan, sehingga ketika Kyai, Ajengan, Ustadz menyampaikan pesan moral, pesan keagamaan atau pesan yang terkait dengan unsur politik, maka yang terjadi adalah kepatuhan dan ketaatan masyarakat terhadap pesan-pesan tersebut, meskipun substansi atau makna dari pesan dimaksud tidak seluruhnya dipahami. 43 POLITIK DAN NAHDLATUL ULAMA 3.1. Profil Nahdlatul Ulama erdasarkan hasil survey LSI 2013 (Kompas, Sabtu 31 Januari 2015, kolom 4), jumlah Nahdiyin di Indonesia adalah sebanyak 86,4 juta orang, dari kalangan mereka yang memiliki ikatan cukup kuat dengan dunia pesantren. Jaringan NU; 31 pengurus wilayah (Provinsi), 339 pengurus cabang (Kabupaten/Kota), 12 pengurus cabang istimewa, 2.630 majelis wakil cabang (kecamatan), dan 37.125 pengurus ranting (desa/kelurahan). Badan Otonom terdiri dari :1). Muslimat NU untuk anggota perempuan Nahdlatul Ulama; 2). Fatayat NU untuk anggota perempuan muda Nahdlatul Ulama. 3). Gerakan Pemuda Ansor NU untuk anggota lakilaki muda Nahdlatul Ulama yang maksimal berusia 40 tahun. 4). IPNU untuk pelajar dan santri laki-laki Nahdlatul Ulama yang maksimal berusia 30 tahun. 5). IPPNU untuk pelajar dan santri perempuan Nahdlatul Ulama yang maksimal berusia 30 tahun. Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangganya (ART), Nahdlatul Ulama menyampaikan bahwa NU merupakan jamiah (perkumpulan) berbadan hukum yang bergerak dalam bidang keagamaan, pendidikan dan sosial. Struktur Organisasi Nahdaltul Ulama terdiri dari Pengurus Besar B 44 untuk tingkat pusat, Pengurus Wilayah untuk tingkat propinsi, Pengurus Cabang untuk tingkat kabupaten/kota, Pengurus Cabang Istimewa untuk luar negri, Pengurus Majelis Wakil Cabang untuk tingkat kecamatan, Pengurus Ranting untuk tingkat desa/ kelurahan dan Pengurus Anak ranting. Pola pendidikan NU bertumpu pada pola pendidikan berbasis pesantren dan pendidikan formal, pendidikan pesantren ditujukan untuk mejaga kelestarian ajaran Islam Ahlussunah Waljamaah Nahdlatul Ulama, yang secara eksplisit tertuang dalam Anggaran Dasar (1927) dan Satutent Nahdlatoel Oelama (1927), yang menyatakan bahwa pondok pesantren merupakan wadah untuk mencetak sumberdaya manusia dan mencerdaskan masyarakat. Sementara pendidikan formal, ditujukan untuk menjawab tuntutan zaman mengenai kebutuhan pendidikan formal para santri,mulai dari tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Seiring perkembangan zaman, tuntutan yang dihadapi Nahdlatul Ulama Kota Tasikmalaya sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan semakin kompleks. Nahdlatul Ulama Kota Tasikmalaya mendirikan berbagai badan otonom untuk mewadahi, sekaligus sebagai sarana pemberdayaan masyarakat, karena badan-badan otonom tersebut juga sudah ada di Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Badan-badan otonom yang ada di Kota Tasikmalaya diantaranya Muslimat NU, Gerakan Pemuda (GP) Ansor, Fatayat NU, Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU), Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU), Dari 45 organisasi-organisasi tersebut munculah klasifikasi kader Nahdlatul Ulama yang terdiri dari Kader Struktural dan Kader Kultural NU. Kader Struktural NU didefinisikan sebagai orang-orang yang terlibat dalam pendidikan pengkaderan NU yang diawali melalui keterlibatanya di pondok pesantren, pendidikan formal, kegiatan-kegiatan di badan otonom, dan aktif mengikuti pengkaderan disemua tahapan keorganisasian, kemudian masuk menjadi pengurus. Tahapan menjadi pengurus diawali dari keterlibatanya dalam kepengurusan terendah seperti tingkat ranting, lalu maju ketingkat kecamatan dan kemudian masuk menjadi pengurus cabang. Sementara kader kultural NU, di peruntukan untuk orang-orang yang mengikuti Ajaran Islam Ahlussunah Waljamaah Nahdlatul Ulama kemudian menerapkannya dalam kehidupannya, baik dalam peribadatan maupun dalam proses interaksi kebudayaan. Pokok-Pokok Ajaran Islam Ahlussunah Waljamaah Nahdlatul Ulama terdiri dari penerapan aqidah/teologi dengan mengikuti manhaj dan pemikiran Abu Hasan alAsy‟ari dan Abu Mansur al-Maturidi, dalam bidang fiqih/hukum Islam, bermadzhab secara qauli dan manhaji kepada salah satu madzhibul arba‟ah (Hanafi, Maliki, Syafi‟i dan Hambali) dimana yang lebih populer dikalangan NU adalah Syafi‟i,dalam bidang tasawuf mengikuti Imam alBaghdadi dan Abu Hamid al-Ghazali. Sejumlah nama tokoh Nahdlatul Ulama di Indonesia yang sangat berjasa dalam pembentukan organisasi/ 46 lembaga keagamaan Nahdlatul Ulama dan memiliki pengaruh besar di kalangan kaum Nahdiyin, antara lain; 1. KH. Hasyim Asyari, lahir di Jombang Jawa Timur pada tanggal 10 April 1875, dan meninggal dunia pada tanggal 25 Juni 1947 di Jombang. Di kalangan nahdiyin dan ulama pesantren, ia dijuluki “Hadratus Syeikh” yang berarti mahaguru. Beliau dikenal sebagai tokoh pendidikan pembaru pesantren. Selain mengajarkan agama dalam pesantren, ia juga mengajar para santri membaca buku-buku pengetahuan umum. Tahun 1899, sepulang dari Mekkah, Hasyim Asy‟ari mendirikan Pesantren Tebu Ireng Jombang. Tahun 1926, ia menjadi salah satu pemrakarsa berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) yang berarti Kebangkitan Ulama. Tahun 1942, ia di penjara empat bulan oleh Jepang. Selanjutnya, pada awal kemerdekaan ia bersama ulama lainnya di Jawa Timur menyerukan Resolusi Jihad melawan Belanda dan sekutu. Fatwa itu akhirnya menjadi pemantik pertempuran heroik 10 November 1945 di Surabaya yang kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan. Setelah wafat, atas jasa-jasanya kepada negara, ia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. 2. KH. Wahid Hasyim, Lahir di Jombang, 1 Juni 1914 dan meninggal di Cimahi Jawa Barat, 19 April 1953. Beliau adalah putra kelima dari Hasyim Asy‟ari, pendiri NU. Ia merupakan salah satu anggota termuda Badan Penyelidik Usaha Persiapan 47 3. 4. 48 Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Beliau pernah menjadi menteri agama pertama RI dan pada tiga kabinet lainnya (Hatta, Natsir, dan Sukiman). Di bawah kepemimpinannya, NU menyatakan keluar dari Masyumi pada 1952 dan mendirikan Partai NU tahun 1964. Wahid Hasyim ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Indonesia. KH. A. Wahab Chasbullah, lahir di Jombang 31 Maret 1888, dan meninggal di Jombang 29 Desember 1971. Bersama dengan KH Hasyim Asy‟ari menghimpun tokoh pesantren dan keduanya mendirikan Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) tahun 1926. Kiai Wahab juga berperan membentuk Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Pada masa perjuanganmempertahankan kemerdekaan, Kiai Wahab bersama Hasyim Asy‟ari dari Jombang merumuskan Resolusi Jihad sebagai dukungan terhadap perjuangan kemerdekaan. Sesudah Hasyim Asy‟ari meninggal, Kiai Wahab menjadi Rois Am NU, November 2014, Presiden Joko Widodo memberikan penghargaan gelar Pahlawan Nasional kepada tokoh tersebut. KH Abdurrahman Wahid, lahir di Jombang 7 September 1940, meninggal : Jakarta 30 Desember 2009. Gus Dur adalah putra pertama KH Wahid Hasyim dan cucu pendiri NU, KH Hasyim Asy‟ari. Pada Musyawarah Nasional NU 1984, ia terpilih sebagai Ketua Umum PBNU. Selama masa jabatan pertamanya, Gus Dur fokus mereformasi sistem pendidikan pesantren dan berhasil meningkatkan kualitas sistem pendidikan pesantren NU. Selanjutnya ia terpilih kembali hingga tahun 1999. Dimasa kepemimpinannya NU kembali ke khittah 1926, yakni bergerak di bidang sosial dan keagamaan. Kiprah politiknya dimulai pada awal reformasi menjelang kejatuhan rezim Orde Baru. Gus Dur tercatat sebagai salah satu tokoh reformasi. Selanjutnya ia menggagas berdirinya Partai Kebangkitan Bangsa untuk mewadahi aspirasi politik warga NU. Pada pemilihan presiden 1999, Gus Dur terpilih sebagai presiden ke-4 RI dalam sidang MPR. Namun, dalam Sidang Istimewa MPR tahun 2001, ia diberhentikan sebagai presiden .(Sumber : Kompas, Sabtu, 31 Januari 2015, hal 5, kolom 2 -3) Adapun tokoh pendiri NU dan menjadi Pengurus Nahdlatul Ulama tingkat pusat sejak NU didirikan sampai dengan tahun 2014, dapat dilihat pada tabel di bawah ini; Tabel. 3.1 : Periode 1926 1952-1954 1954-1956 Susunan Pengurus PBNU Ketua Umum PBNU H. Hasan Gipo KH Masjkur (diangkat menjadi Menteri Agama) digantikan KH Wahid Hasyim KH M. Dahlan Rois Am KH Hasyim Asy‟ari KH Abdul Wahab Chasbullah KH Abdul Chasbullah Wahab 49 Periode 1956-1959 Ketua Umum PBNU KH Idham Cholid 1959-1962 KH Idham Cholid 1962-1967 KH Idham Cholid 1967-1971 KH Idham Cholid 1971-1979 KH Idham Cholid 1979-1984 1984-1989 1989-1994 1994-1999 1999-2004 KH Idham Cholid KH Abdurrahman Wahid KH Abdurrahman Wahid KH Abdurrahman Wahid KH Hasyim Muzadi 2004-2009 KH Hasyim Muzadi 2010-2015 KH Said Agil Siroj Rois Am KH Abdul Wahab Chasbullah KH Abdul Wahab Chasbullah KH Abdul Wahab Chasbullah KH Abdul Wahab Chasbullah KH Abdul Wahab Chasbullah KH Bisri Syamsuri KH Achmad Sidiq KH Achmad Sidiq KH Ilyas Ruhiat KH MA Sahal Mahfudin KH MA Sahal Mahfudin KH MA Sahal Mahfudin (Meninggal dunia Januari 2014) KH Mustafa Bisri Sumber : Kompas, Sabtu, 31 Januari 2015, hal 5, kolom 2 -3 3.2. Sejarah Nahdlatul Ulama Tasikmalaya Seperti yang dikemukakan Romdhon (2015 : 1-2, dalam Abdul Rohman, 2015 : 65-71), bahwa awal semangat pendirian Nahdlatul Ulama (NU) di Tasikmalaya datang dari salah seorang Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ke Tasikmalaya yaitu; KH. Abdullah Ubaid untuk berpidato di Mesjid Agung Tasikmalaya. Ketika itu beliau membahas qadliyah, kebijakan kolonial Belanda terkait 50 suntik mayat. Dalam pidatonya beliau menfatwakan bahwa suntik mayat itu haram. Pidato tersebut mendapatkan sambutan hangat dari para hadirin, tetapi mendapat kecaman dan reaksi keras dari polisi kolonial Belanda. Peristiwa ini memberi inspirasi kepada para kyai di Tasikmalaya untuk ikut bergabung dengan Nahdlatul Ulama. Selain itu NU telah masuk ke Tasikmalaya sekitar Tahun 1928 yang dibawa oleh KH. Padlil asal Cikotok Parigi, yang kemudian menetap di Nagarawangi (Pada tahun 1933 Pamarican, Parigi dan Cijulang masih termasuk daerah Tasikmalaya). Kehadiran NU di Tasikmalaya mendapat sambutan dari kalangan pesantren, karena secara kultural antara NU dan pesantren sangat erat hubungannya. Lalu bergabunglah para ajengan Tasikmalaya dengan NU seperti KH. O. Qolyubi Pesantren Madewangi Tamansari, KH. Syabandi Pesantren Cilenga, KH. Dahlan Pesantren Cicarulang, KH. Roehiat Pesantren Cipasung, KH. Yahya Pesantren Madiapada, KH. Samsoedin Pesantren Gegernoong, KH. Zainal Mustofa Pesantren Sukamanah. Pada masa itu sebagian kyai tersebut belum memiliki titel Kyai sebagaimana tercantum dalam buletin Al-Mawa‟idz. No. 7 Tahun 1933. Pendirian NU secara formal di Tasikmalaya berawal dari rapat yang dilakukan di kediaman KH. M. Fadlil atau kediaman KH. Dimyati Nagarawangi. Dalam rapat tersebut diputuskan bahwa Rais Syuriah NU Tasikmalaya oleh KH. M. Fadlil Pesantren Cikotok, dan Ketua Tanfidziah oleh KH. Dasuki. Namun kebangkitan NU di Tasikmalaya mendapat tantangan keras dari kolonial Belanda, terutama dari 51 Perkoempoelan Goeroe Ngadji yang didirikan oleh kolonial Belanda. Perkoempoelan Goeroe Ngaji didirkan oleh Bupati Kanjeng Dalem Tasikmalaya R.A.A Wiratuningrat bersama Penghulu pada tanggal 15 Juni 1926. Upacara peresmiannya dihadiri oleh Camat Tasikmalaya, Camat Indihiang dan Camat Kawalu. Salah satu anggotanya adalah KH. M. Soedjai Pasantren Kudang, KH. M. Djarkasyi Pasantren Jajaway, KH. M. Pachroerodji Pasantren Sukalaya dan KH. M. Fachroedin Pasantren CIkalang. Perkumpulan ini menerbitkan Majalah Al-Imtisal satu bulan dua kali. Perkumpulan ini mendukung kebijakan Kolonial dimana sebagian ummat Islam dan Ajengan Tasikmalaya kurang simpati terhadap Penghulu dan Perkumpulan ini. Perkumpulan ini oleh Ajenganajengan Tasikmalaya lainnya dijuluki dengan Ulama Idzhar “Idzharu Bay‟atil Muluk wal Umara”. Kanjeng Dalem pernah menanyakan perihal pendirian NU di Tasikmalaya kepada Agan Aon Pesantren Mangunreja pada Tahun 1927, setelah itu Agan Aon berpidato di hadapan santri-santrinya, termasuk KH. Saidili Pesantren Cipanengah Tawang Banteng. Isi pidato tersebut adalah : “Barudak kaula tos kadongkapan Kanjeng Dalem ti Tasik, saur anjeuna kiwari aya dua perkumpulan anyar, nu hiji di kulon nyaeta al-Ittihad al-Islamiyah, nuhiji deui diwetan, nyaeta NO (Nahdlatoel Oelama/Nahdaltul Ulama). Kula nyarek moal, nitah moal, jeung asana anu bakal lanamah NO nu ti wetan. Kieu we pamanggih kaula, mun rek asup 52 kadinya baca “Rabbi adkhilni mudkhala shidqin wa akhrijni mukhraja shidqin waj‟alli min ladunka sulthanan nashirin”. Baca tilu balik bari ramo leungeun katuhu dempet ku kelek kenca, mun hate loyog pek asup kadinya, mun hate teu loyog nya ulah. Artinya: “Anak-anak, saya telah didatangi oleh Kanjeng Dalem dari Tasik. Beliau mengemukakan bahwa pada saat ini terdapat dua organisasi baru, satu ada di barat, satu lagi ada di timur yaitu NU. Saya (yaitu Agan Aon) tidak akan marah, tidak akan menyuruh. Namun rasanya yang akan maju adalah NU yang dari timur. Ini saja pendapat saya. Apabila ingin masuk ke NU, baca: Rabbiadkhilni mudkhala shidqin wa akhrijni mukhraja shidqin waj‟alli min ladunka sulthanan nashiran, 3 kali sambil menjepit 3 jari tangan kanan dalam ketiak kiri. Apabila hati menyetujui silahkan masuk ke NU, apabila hati tidak menyetujui ya jangan masuk.” Yang dimaksud di Kulon (di Barat) oleh Agan Aon adalah Al-Ittihad Al-Islamiyyah (AII) yang didirikan oleh KH. A. Sanusi (Ajengan Genteng) Pesantren Cantayan Sukabumi. Al-Ittihad Al-Islamiyyah dibubarkan oleh Penjajah Jepang, lalu pada tahun 1952 bersama KH.Abdul Halim pendiri Persyarikatan Umat Islam, KH. A. Sanusi sepakat untukmenyatukan kedua organisasi mereka menjadi Persatuan Umat Islam (PUI). Tekanan yang dilakukan kolonial belanda terhadap NU tidak cukup hanya itu, NU terus ditekan oleh penguasa karena dianggap menyaingi idzhar. Malah bukan hanya NU, pengajian “Godebag” yang dipimpin oleh KH. Mubarok Pesantren Suryalaya juga di bubarkan. Untuk 53 mengatasi hal tersebut, KH. M. Padlil terus melakukan konsolidasi baik dengan musyawarah bersama para kyai, ataupun dengan penambahan pengurus-pengurus baru. Salah satunya dengan menunjuk juragan (sebutan dan panggilan untuk orang yang dihormati/orang yang memiliki kedudukan sosial di masyarakat/orang dari keturunan ningrat di Tatar Sunda), Ahmad menjadi Ketua Pengurus Cabang (PC) NU Tasikmalaya, tetapi hal tersebut tidak mengurangi tekanan dari penguasa dan menyebabkan pembubaran kepengurusan yang dipimpin oleh juragan Ahmad. Setelah itu para kyai NU di Tasikmalaya yang dipimpin KH. M. Fadlil mendatangi Juragan Soetisna Senjaya, untuk ditawari menjadi Ketua NU Tasikmalaya. Juragan Soetisna Senjaya menjawab “piraku Ketua NU simkuring? jalma baragajul (Artinya: “Mengapa saya menjadi Ketua NU? Saya adalah orang yang tidak baik!”)”, namun semua kyai Tasikmalaya sepakat bahwa beliau orang yang paling cakap untuk menjadi Ketua NU Tasikmalaya. Raden Soetisna Senjaya atau biasa dikenal dengan Soetsen adalah salah satu tokoh Paguyuban Pasundan, guru HIS (Hollandsch Inlandsche School) dan MULO (Meer Uitgebreid Lager Ondewijs). Dalam majalah Lalayang Domas tanggal 13 Agustus 1927 dikemukan dalam artikel berjudul “Welvaart van land en volk” bahwa Paguyuban Pasundan didirikan untuk mengembangkan Islam dan memperluas pendidikan. Pemuka-pemuka Paguyuban Pasundan adalah orang-orang Islam yang memiliki rasa tanggung jawab besar terhadap kemajuan agamanya. 54 Pada Tahun 1932 diselenggarakan Rapat NU di HIS Pasundan II Jajaway Jl. Dewi Sartika Tasikmalaya. Pada rapat tersebut diputuskan bahwa yang menjadi Rohis Syuriyah adalah KH. Syabandi Pesantren Cilenga, dan Juragan Soetisna Senjaya sebagai Ketua PC NU Tasikmalaya dengan syarat agar KH. O. Hoelaemi (Pak Emi) diangkat menjadi sekretarisnya. Pada rapat tersebut diputuskan pula H. Masduki sebagai Wakil Ketua, dan Tabi‟i sebagai Wakil Sekretaris. Sedangkan KH. Zaenal Mustofa Pesantren Sukamanah menjadi Wakil Syuriyah NU. Dibawah kepemimpinan Soetisna Senjaya NU Tasikmalaya bisa maju pesat, karena inteletual Soetisna Senjaya disandingkan dengan keulamaan Pak Emi. Salah satu keberhasilan kepengurusan ini adalah menerbitkan majalah mingguan al-Mawa‟idz yang bisa menandingi majalah al-Imtisal milik Perkoempoelan Goeroe Ngaji. Pembaca al-Mawa‟idz tersebar bukan hanya di Tasikmalaya saja, namun menjangkau daerah lain, bahkan di dalam majalah tersebut dicantumkan kalimat “Loear Indonesia”. Pesatnya majalah al-Mawa‟idz dikarenakan : a. Pengalaman jurnalistik Soetisna Senjaya sebagai pengasuh Soerat Kabar Sipatahoenan milik Pagoeyoeban Pasoendan Cabang Tasikmalaya mulai dari 1924-1942. b. Tekanan dari ulama Idzhar yang di bantu oleh kolonial Belanda. c. Pengorbanan dan keikhlasan para pengelolanya. 55 Pada awal mulanya Kantor NU menyewa gedung disebelah rel kereta api sebelah utara Jajaway, kemudian pindah ke Cipedes di lingkungan yang dipenuhi oleh anggota al-Ittihad al-Islamiyah. Walapun belum memiliki kantor yang permanen, namun kegiatan NU Tasikmalaya berjalan dengan lancar. Pada Kongres NU ke-10 di Solo pada Tanggal 14-19 April 1935 M/10-15 Muharam 1354 H, NU Tasikmalaya mengirimkan tiga utusannya dan melaporkan bahwa NU Tasikmalaya telah memiliki zakat komite yang belum dimiliki oleh cabang NU manapun. Pada masa kepengurusan Pak Emi, NU Tasikmalaya bisa memiliki kantor permanen di Jl. dr. Sukarjo. Kantor tersebut dibeli dari H. Fakih yang menginginkan agar gedung societat miliknya tidak dipakai maksiat, maka gedung tersebut ditawarkan ke NU Tasikmalaya melalui H. Azhari senilai f 4.500,-. NU Tasikmalaya mecicil uang pembayaran gedung tersebut kepada H. Azhari tanpa terikat waktu dan besar cicilannya. Uang cicilan tersebut di dapatkan dari sumbangan jamaah (Sunda : perelek) pengajian mingguan, dari 15 ketif (Pecahan uang rupiah) sampai f 3.- dengan cara ngiderkeun (mengedarkan) kopiah. Setelah uang cicilan terkumpul f 2000.-lebih, H. Azhari berucap “keun we sesanamah, tong dilunasan sadayana itungitung wakaf keur ulama bade dipimilik NU mangga (Artinya: “Biarlah sisanya, tidak perlu dilunasi semuanya, anggap saja wakaf untuk ulama, mau dimiliki NU juga tidak apaapa)”. 56 3.3. Politik Nahdlatul Ulama Pada muktamar NU di Situbondo tahun 1984, NU menyatakan untuk Kembali ke Khittah 1926, yaitu NU untuk tidak berpolitik praktis lagi. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH A. Hasyim Muzadi membeberkan peran Gus Dur dalam Muktamar ke-27 NU di Situbondo pada 1984. Hasil terpenting dalam Muktamar ini adalah kembalinya NU ke Khittah 1926 dan penerimaan terhadap Pancasila sebagai asas tunggal. Hal ini disampaikannya dalam acara peluncuran buku ”Sejuta Hati untuk Gus Dur" karya Damien Demantra, di aula PBNU, Jakarta, Jum‟at (8/1). Acara ini dihadiri putri tertua Gus Dur Anissa Qotrunnada, sejumlah rekan seperjuangan Gus Dur, tokoh lintas agama, dan ratusan simpatisan Gus Dur. Menurut Hasyim, aktivitas Gus Dur secara formal dalam organisasi NU dimulai pada 1979 dalam Muktamar NU di Semarang. Pasca muktamar Gus Dur diangkat sebagai wakil katib Syuriyah PBNU. Setahun kemudian Gus Dur memunculkan konsep agar NU menjadi bagian dari civil society, dan terlepas dari partai politik. Gus Dur menginginkan agar NU ditempatkan sebagai tata nilai, sementara kepentingan politik bisa dijalankan oleh para kadernya. “Ini karya pertama Gus Dur di PBNU. Alasannya karena NU punya dasar nilai kenapa mesti bergabung dengan kelompok kepentingan. Saya tanya apakah politik salah, tidak, kata Gus Dur, saya pun juga nanti akan berpolitik. Tapi NU-nya ini perlu diletakkan 57 sebagai tata nilai bukan tata kepentingan,” kata Hasyim mengenang Gus Dur. Maka dirumuskanlah Khitttah NU. Awalnya, Khittah ini tidak disetujui oleh banyak orang karena banyak kalangan NU yang sedang menikmati kepentingan politik. Waktu itu NU masih berposisi sebagai partai politik, sebagai bagian dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Beberapa konsep yang diajukan Gus Dur didiskusikan secara serius dan diuji oleh seluruh ulama di Indonesia dalam tenggang waktu sekitar tiga tahun. Selain soal kembalinya NU ke civil society yang kemudian disebut Khittah, ada dua hal lagi yang diajukan Gus Dur yakni soal penerimaan NU terhadap Pancasila dan UUD 1945 sebagai ideologi negara dan konstitusi negara, dan soal kemandirian jamiyah NU. Ketika diusulkan NU kembali ke Khittah ini memang banyak reaksi, tapi tidak sebanyak reaksi yang muncul terkait usulan penetapan kembali Pancasila sebagai satu-satunya asas. Namun karena Gus Dur di-back up ulama besar KH.Achmad Sidiiq, maka loloslah keputusan bahwa Pancasila sudah fina. Saya kira satu-satunya organisasi besar yang paling dulu menerima Pancasila sebagai satu-satunyanya azas adalah NU, kata Hasyim. Perdebatan yang muncul pada waktu itu adalah apakah Islam cukup diartikan secara tekstual sehingga mengarah pada formalisasi agama atau harus diartikan secara substansial. Gus Dur, kata Hasyim, menekankan perlunya melihat Islam secara substansial sehingga perlu dibedakan antara teologi ritual dengan humanisme. Dan 58 pada titik humanisme inilah yang mempertemukan antara Islam dengan agama lain dalam satu naungan Negara kesatuan Republik Indonesia. ”Berbagai embrio pemikiran Gus Dur ini diteruskan dalam Muktamar NU di Situbondo dengan sebutan 'Khittah'. Maka berkhittah itu, perlu ditekankan di sini, tidak sekedar lepas dari partai tapi bangunan pemikiran NU. Dan Gus Dur yang mempelopori ini,”kataHasyim.Sumber:http://id.wikipedia.org/wiki/Na hdlatul_Ulamakanal3.word.press.com/2009/05/15/sejarah -berdirinya-nahdlatul-ulamafatayat.or.id/Sejarah. diunduh pada hari Rabu 12 Februari 2015, pk. 10.22 Asep Saeful Muhtadi (2004 : 2), menyatakan ada dua alasan dari hasil muktamar Situbondo, yaitu : Pertama, karena NU merupakan ormas (organisasi massa) Islam yang pertama menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas di satu pihak, meskipun di pihak lain, sesungguhnya belum ada ketentuan yang mengharuskan ormas apa pun untuk menerima Pancasila sebagai asas organisasi, karena pada saat itu kewajiban tersebut baru berlaku bagi organisasi-organisasi politik. Kedua adanya perubahan sikap politik yang dramatik berkenaan dengan kebijakan pemerintah Orde Baru (Orba), dari konfrontatif menjadi akomodatif. Pasca Orde Baru, terdapat fenomena unik pada diri NU dalam hal berpolitik. Perubahan peta sosial-politik pada masa ini direspon NU dengan menggagas sebuah partai politik yang kemudian ditindaklanjuti dengan pembentukan panitia kecil dalam rangka merumuskan 59 pembentukan partai politik tersebut. Lahirlah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Karena alasan integralitas wadah penyaluran aspirasi warga NU, PKB lantas diklaim sebagai satu-satunya sayap politik resmi milik warga NU. Sebelumnya, nama yang diusulkan PBNU adalah Partai Kebangkitan Umat (PKU), (Faisal Ismail, 1999: 35). Sekilas perilaku politik NU ini dapat dikatakan kontra-produktif dengan pola perilaku politik NU pasca Khittah di mana NU memutuskan untuk menarik diri dari percaturan politik praktis untuk kembali kepada garis perjuangan semula yakni sebagai organisasi sosialkeagamaan. Juga aktivitas perpolitikan NU yang banyak diorientasikan kepada pemberdayaan masyarakat sipil (civil society) dalam kerangka kontrol terhadap kekuasaan (moral force). Namun demikian, tindakan NU untuk turut membidani kelahiran PKB dan keterlibatan politik di dalam partai itu tidak serta merta dapat dijadikan dalih untuk menjustifikasi bahwa NU telah berpolitik praktis dan mengingkari Khittah tersebut. Sebab, NU sendiri telah membuat garis pembatas yang sangat tegas dimana hubungan antara NU dan PKB hanyalah bersifat moral, kultural, historis, aspiratif, bukannya bersifat struktural (Hasyim Muzadi, 1999: 108). Pada tataran civil society massa NU cenderung untuk lebih mengedepankan pesan kiai atau ulama, ketimbang pesan yang disampaikan oleh pihak lain, oleh sebab keberadaan kiai atau ulama NU memiliki status sosial dan pola kepemimpinan yang khas dan berperan besar bagi di warga NU. Merujuk pada konsep pembedaan 60 batasan antara kiai dan ulama dari Hiroko Horikosi (dalam Asep Saeful Muhtadi 2004 : 49), mengemukakan dua model kepemimpinan sosial yang berkembang di kalangan masyarakat muslim; Pertama, model kepemimpinan “simbolik”. Model ini mengasumsikan bahwa seseorang menjadi pemimpin karena ia menjadi simbol dari sesuatu yang dianggapnya adiluhung, atau merupakan simbol dari konsep metafisika tertentu. Dalam masyarakat tradisional, kiai merupakan wakil atau simbol kehadiran Nabi di muka bumi. Ia adalah pewaris tradisi para Nabi (waratsat al-anbiya), sehingga ajaran yang dibawanya pun adalah ajaran para Nabi. Karena itu, model kepemimpinan kiai termasuk jenis ini. Kedua, model kepemimpinan “administratif”, yakni kepemimpinan yang diperoleh seseorang karena posisi yang diperankannya dalam suatu struktur administratif tertentu. Misalnya seseorang dianggap pemimpin karena secara administratif ia mendapat tugas sebagai ketua RT, meskipun ke-RT-annya sendiri tidak memiliki hubungan apa pun dengan konsep-konsep metafisika, dan karenanya tidak menyimbolkan apa pun. Kepengikutan yang dimiliki kiai atas dasar posisinya sebagai elite sosial seperti itu, merupakan contoh sederhana dari pola kepemimpinan ini. Berdasarkan kriteria pola kepemimpinan administratif tersebut, maka ulama lebih bisa dikategorikan sebagai model kedua. Kiai yang tergabung dalam lembaga Majelis Ulama dan tidak memiliki pesantren, biasanya disebut pula ulama. 61 Tasikmalaya memiliki pigur kyai sekaligus ulama dan pengaruhnya lebih besar jika dibanding dengan kyai NU lainnya di Tasikmalaya, yaitu; Alm. KH. Ilyas Rukhyat Pimpinan dan Pengasuh Pondok Pesantren CipasungSingaparna-Tasikmalaya. KH.Ilyas, punya pengaruh besar, dikarenakan peran sosial politisnya melebihi jangkauan rentang kendali wilayah tempat pesantrennya, beliau memiliki pengaruh nasional karena posisinya di NU sebagai Rois Am PBNU. Nahdlatul Ulama (NU) sendiri merupakan organisasi perkumpulan kiai yang didirikan oleh sejumlah kiai pesantren untuk salah satunya mempertahankan tradisi keagamaan dari pengaruh pemikiran para pembaharu. Ia merupakan organisasi keagamaan yang tidak bisa dipisahkan dari komunitas kiai dan tradisi pesantren. Jika dianalisa susunan kepengurusan NU sejak periode berdirinya tahun 1926 sampai saat ini, akan tampak bahwa organisasi ini dipenuhi oleh para kiai pesantren. Mereka yang bukan termasuk kelompok kiai, biasanya diangkat karena kemampuan manajerialnya yang tidak dimiliki oleh banyak kiai. Bahkan karena adanya kriteria yang tidak tertulis ini, kiai-kiai yang tidak mempunyai santri dan pesantren akan mendapat hambatan dalam promosi kepemimpinan di tingkat pusat kekuasaan NU. KH. Anwar Musadad dari Jawa Barat, misalnya, terhambat untuk menjadi Rois Am pada pertemuan Kaliurang karena alasan tidak memiliki pesantren. (Asep Syaeful Muhtadi 2004 : 55). 62 Kenyataan dalam kehidupan masyarakat tradisional maupun modern peran kiai sampai saat ini, menjadi figur yang masih dianggap besar pengaruhnya, sehingga, banyak kiai kharismatik di berbagai daerah termasuk di Kota Tasikmalaya, yang berafiliasi terhadap partai politik PKB atau PPP. Politik simbol seringkali menyertai proses politik di tataran lokal, karena dengan politik simbol memudahkan masyarakat terpengaruh oleh kekuatan simbol dan nama besar kiai. Simbol kiai seringkali diidentikan oleh masyarakat dengan pakaian jubah yang dikenakan kiai, cium tangan kepada kiai dari jamaah atau santri, lambang NU atau lambang Ka‟bah dan lain sebagainya. Simbol-simbol tadi menjadi cirikhas warga/massa NU (meskipun tidak semua warga NU) sehingga yang mudah dicerna dan diinternalisasikan dalam kehidupan kemasyarakatan, adalah seperti tersebut di atas. Basis massa NU pendukung PKB dan PPP di Kota Tasikmalaya, tersebar di semua wilayah Kelurahan, RW/RT, serta lingkungan Pondok Pesantren. Kota Tasikmalaya yang terdiri dari 10 Kecamatan dan 69 Kelurahan, dengan jumlah penduduk lk. 509.817 dan jumlah pemilih pada pemilu legislatif 2014 sebanyak 473.596 orang, (Edi Kusmayadi, 2014:3). Kondisi tersebut memberikan warna dan corak dalam sistem sosial, sistem budaya, dan kehidupan beragama yang khas, sehingga Kota Tasikmalaya diberi julukan kota santri, karena banyak pondok pesantren yang tersebar di seluruh wilayah kelurahan, yang jumlahnya mencapai 91 Pondok Pesantren. 63 Kecamatan Cibeureum adalah merupakan wilayah dengan jumlah pondok pesantren paling banyak, yaitu sebanyak 32 pondok pesantren. Keberadaan NU di Kota Tasikmalaya cukup menarik untuk diamati. Sebagian ciri-ciri yang dikemukakan pengamat tentang NU, seperti bersifat tradisional dan berbasis sosial massa pedesaan, memang masih menemukan pembenaran histrorisnya. Akan tetapi, bahkan sejak awal kelahirannya, basis sosial NU bukan sematamata masyarakat pedesaan. Sebagian masyarakat kota diketahui juga menjadi pendukung NU, termasuk dari kalangan pengusaha, birokrat, kalangan TNI/Polri, akademisi, politisi maupun buruh. Modernisasi tampaknya telah direspon oleh kyai-kyai NU secara terbuka, bukan dengan mengisolasikan diri atau dengan cara reaksioner, bahkan banyak kalangan kyai NU yang masuk sebagai pengurus partai politik, atau berafiliasi dengan partai politik tertentu. Kota dan Kabupaten Tasikmalaya merupakan kota dengan basis massa Nahdlatul Ulama yang terbesar di Jawa Barat. Realitas politik menunjukkan bahwa Kota/kabupaten Tasikmalaya menjadi daerah pemilihan para kandidat dari PKB dan PPP, dan partai lain yang berbasis Islam maupun nasionalis, karena daerah pemilihan Kota/Kabupaten Tasikmalaya, dan Garut, sering menjadi daerah untuk mendapatkan perolehan suara yang akan menentukan kandidat legislatif, baik untuk pusat, provinsi maupun untuk daerah kota/kabupaten. Di daerah 64 pemilihan inilah para kandidat legislator seringkali bersaing untuk mendapatkan simpati masyarakat, maka tidak heran pondok pesantren menjadi prioritas kunjungan para kandidat. 3.4. Proses Politik Partai Kebangkitan Bangsa Partai Kebangkitan Bangsa atau lebih dikenal dengan nama PKB pada awal pendiriannya dimulai tanggal 11 Mei 1998. Ketika itu para Kyai sepuh dari Langitan mengadakan sebuah pertemuan. Dalam pertemuan tersebut, mereka membicarakan tentang situasi terakhir yang kala itu saat reformasi dimana perlu diadakan sebuah perubahan yang besar-besaran untuk menyelamatkan negara ini dari kehancuran. Tanggal 30 Mei 1998, diadakan pertemuan (istighosah) akbar di Jawa Timur. Semua sesepuh serta Kyai berkumpul di PWNU Jawa Timur. Dalam pertemuan tersebut, para kyai mendesak agar KH. Cholil Bisri untuk menggagas dan membidani pendirian Partai Politik untuk mengaplikasikan aspirasi para kyai tersebut. Tetapi KH.Cholil Bisri menolaknya dan lebih memilih mengurus Pondok Pesantren. Karena terus didorong oleh para Kyai, akhirnya tanggal 6 Juni 1998 KH.Cholil Bisri mengundang sekitar 20 Kyai untuk membicarakan hal tersebut. Tetapi diluar dugaan, lebih dari 200 Kyai menghadiri pertemuan tersebut. Dari pertemuan tersebut terbentuklah panitian kecil yang diebut Tim "Lajnah" yang terdiri dari 11 orang. KH. Cholil Bisri sendiri sebagai ketua dengan Gus Yus sebagai sekretaris. Tim inilah yang 65 bertugas menyusun platform, komponen-komponen partai (termasuk logo) Partai. Selain itu terbentuk juga Tim Asistensi Lajnah terdiri dari 14 orang yang diketuai oleh Matori Abdul Djalil dan sekretarisnya Asnan Mulatif. Tanggal 18 Juni 1998, panitia tersebut mengadakan pertemuan dengan PBNU, yang kemudian dilanjutkan dengan audiensi bersama tokoh-tokoh politik NU yang ada dalam partai Golkar, PDI, dan PPP. Panitia tersebut mengajak untuk bergabung tanpa adanya paksaan. Namun PBNU menolak tawaran pendirian partai tersebut. Setelah itu pada tanggal 4 Juli 1998, Tim „Lajnah‟ beserta Tim dari NU mengadakan semacam konferensi besar di Bandung dengan mengundang seluruh PW NU se-Indonesia yang dihadiri oleh 27 perwakilan. Pada hari itu juga diputuskan pembentukan Partai. Waktu itu banyak usulan nama mulai dari Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Kebangkitan Ummat sampai Partai Nahdlatul Ummat. Dengan musyawarah yang panjang akhirnya ditetapkan nama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai nama partai tersebut. Kemudian ditentukan siapa saja yang menjadi deklarator PKB. Disepakati 72 deklarator, sesuai dengan usia NU ketika itu. Jumlah itu terdiri dari Tim Lajenah (11), Tim Asistensi Lajenah (14), Tim NU (5), Tim Asistensi NU (7), Perwakilan Wilayah (27 x 2), Mulai dari Para Ketua Event Organisasi NU, tokoh-tokoh Pesantren dan tokoh-tokoh masyarakat. Semua deklarator membubuhkan tandatangan dilengkapi naskah deklarasi. Lalu diserahkan ke PBNU untuk mencari pemimpin partai 66 ini. Ketika masuk ke PBNU, dinyatakan bahwa yang menjadi deklaratornya 5 orang saja, bukan 72 orang. Kelima orang itu yakni KH Munasir Allahilham, KH Ilyas Ruchyat Tasikmalaya, KH Muchid Muzadi Jember dan KH. A. Mustofa Bisri Rembang dan ditambah KH Abddurahman Wahid sebagai ketua umum PBNU. Nama 72 deklarator dari Tim Lajnah itu dihapus semua oleh PBNU. Pada akhirnya tanggal 23 Juli 1998 di Jakarta lewat sebuah deklarasi oleh para kiai-kiai Nahdlatul Ulama, seperti Munasir Ali, Ilyas Ruchiyat, Abdurrahman Wahid, A. Mustofa Bisri, dan A. Muhith Muzadi berdirilah Partai Kebangkitan Bangsa atau lebih dikenal dengan nama PKB sebagai Partai Politik di Indonesia. Kemudian Partai Kebangkitan Bangsa untuk pertama kalinya mengikuti Pemilu di tahun 1999, PKB juga pernah mengajukan Gus Dur sebagai Presiden dengan masa jabatan tahun 19992001. Selanjutnya di tahun 2004 PKB juga terdaftar sebagai Partai peserta Pemilu. Partai ini banyak membidik kaum NU. Sumber : partaislam.blogspot.com/.../sejarah-berdirinyapartai-k.diunduh pada hari Kamis, 12 Februari 2015, pk. 13.03) Partai yang didirikan pada 23 Juli 1998 di Ciganjur Jakarta ini awalnya dikenal sebagai partai yang mewadahi kelompok masyarakat Nahdlatul Ulama. Dalam risalah sejarahnya, PBNU awalnya memang memandatkan lima tokoh NU (KH. Ilyas Ruchiyat, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, KH. Moenasir Ali, KH Mustofa Bisri atau Gus Mus, dan KH.A. Muchid Muzadi), untuk merumuskan sebuah partai politik. Namun dalam perjalanannya, Partai Kebangkitan Bangsa atau sering dikenal PKB ini 67 mengalami turbulensi yang sangat dahsyat hingga pada pemilu 2004 dan pemilu 2009 masyarakat NU mengalami kebingungan untuk menyampaikan aspirasi politiknya akibat diaspora elit NU dalam pelembagaan partai.Dalam perjalanannya, PKB mengalami perpecahan antara kubu Muhaimin Iskandar dan kubu Gus Dur. Kini kubu Gus Dur yang direpresentasikan melalui Yenni Wahid setelah meninggalnya Gus Dur mendirikan partai sendiri yang juga mengambil ceruk massa NU dengan mendeklarasikan Partai Kebangkitan Bangsa Indonesia Bersatu. Sebelumnya, dalam pemilu 2009 lalu, surat suara menunjukkan bahwa tidak hanya PKB yang menjadi wadah aspirasi politik warga NU, namun juga terdapat Partai Kebangkitan Nahdlatul Ulama atau PKNU. Saat ini PKB berdasarkan kongres partai dipimpin oleh Muhaimin Iskandar. Sementara dalam Kabinet Indonesia Bersatu II, PKB menempatkan dua menteri yaitu Muhaimin Iskandar sebagai Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan Helmi Faisal Zaini sebagai Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal. Dalam riwayat perolehan suara partai sejak PKB didirikan, pada pemilu 1999 sebagai pemilu yang pertama kali diikuti, PKB mendapatkan perolehan suara 12,61 % sebagai perolehan suara tertinggi dalam sejarah partai. Pada pemilu 1999 PKB mendapatkan 51 kursi di parlemen.Sedangkan pada pemilu 2004, suara PKB turun menjadi sebesar 10,57% namun perolehan kursi partai di parlemen naik satu kursi menjadi 52 kursi. Namun, pada pemilu 2009 lalu, perolehan suara 68 PKB turun jauh hanya menjadi 4,9% dengan perolehan kursi di parlemen sebesar 21 kursi. (Sumber :poltracking.com/partai-kebangkitan-bangsa-pkb, diunduh pada hari Kamis, 12 Februari 2015, pk. 13.22) Sudah terlalu sering PKB konflik, dari konflik internal PKB tersebut memunculkan nama-nama baru selain Gus Dur. Mereka adalah Matori Abdul Djalil, Alwi Shihab, dan Muhaimin Iskandar. Meskipun sebelum Muktamar PKB di Semarang Alwi sempat duet dengan Muhaimin, yang pada akhirnya mereka harus pecah. Konflik internal PKB selalu diselesaikan lewat Muktamar Luar Biasa. Namun sayangnya perpecahan diantara mereka sering menimbulkan Muktamar Luar Biasa yang sifatnya tandingan. Dan hal ini pula yang menyebabkan semakin meruncingnya konflik internal antar kubu. Pada Muktamar II PKB di Semarang, posisi Muhaimin Iskandar begitu kuat. Dan hasil dari Muktamar II PKB di Semarang dimenangkan oleh Gus Dur – Muhaimin Iskandar. Meskipun hasil Muktamar II PKB di Semarang dipertanyakan oleh Forum Kiai Langitan yang notabene selama ini sebenarnya adalah pendukung Gus Dur. Upaya untuk mediasi demi tercapainya islah sudah dilakukan. Dengan melibatkan para mediator yang diharapkan bisa membawa mereka kepada islah. Namun kata “islah” tidak dapat dicapai. Hingga akhirnya harus dilanjutkan dengan melaksanakan Muktamar PKB. Kedua kubu yang berseteru sama-sama mengadakan Muktamar. kubu Muhaimin melaksanakan Muktamar PKB di Semarang, sedangkan kubu Alwi melaksanakan Muktamar 69 PKB di Surabaya. Yang pada akhirnya kedua Muktamar tersebut menghasilkan hasil yang berbeda pula. Muktamar II di Semarang menghasilkan Muhaimin sebagai Ketua Umum PKB, sedangkan Muktamar di Surabaya menghasilkan Anam sebagai Ketua Umum PKB. Duet antara Gus Dur – Muhaimin Iskandar ternyata tidak bertahan lama. Mereka pecah menjadi dua kubu, yakni kubu Gus Dur dan Kubu Muhaimin. Pecat memecat seakan menjadi budaya di PKB. Bahkan Zannuba Arifah Chafsoh alias Yenni Wahid dipecat dari kursi Sekjen DPP PKB yang kemudian digantikan oleh Lukman Edy. Ironisnya PKB kubu Gus Dur dan PKB kubu Muhaimin sama-sama mendaftar ke KPU sebagai partai politik peserta Pemilu 2009 dengan nama parpol yang sama. Sebelum menjelang Pemilu 2009, PKB kubu Muhaimin bermaksud untuk menyelenggarakan Muktamar Luar Biasa (MLB). Muktamar Luar Biasa tersebut tersebut diselenggarakan pada tanggal 2 – 4 Mei 2008. Perseteruan semakin meruncing ketika kubu Gus Dur pun bertekad untuk menyelenggarakan Muktamar Luar Biasa tandingan.Kubu Gus Dur menggelar MLB mendahului kubu Muhaimin, yakni pada hari rabu tanggal 30 April 2008 hingga hari kamis 1 Mei 2008 di Pondok Pesantren (Ponpes) AlAshriyyah Nurul Iman, Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor. Sedangkan PKB kubu Muhaimin menyelenggarakan MLB pada tanggal 2– 4 Mei 2008 di sebuah hotel di kawasan Ancol, Jakarta Utara. Lukman Edy menyatakan 70 bahwa yang pertama kali mencetuskan akan melaksanakan MLB adalah DPP PKB Muhaimin Iskandar. Persiapan yang dilakukan pun sudah matang karena berdasarkan masukan dari cabang-cabang melalui surat dukungan untuk menyelesaikan konflik melalui MLB. Gus Dur pun selaku Ketua Dewan Syuro diundang dalam acara tersebut untuk memberikan laporan pertanggungjawabannya. MLB yang diselenggarakan kubu Yenni Wahid tidak representatif dan banyak melanggar AD/ART. Banyak syarat-syarat menyelenggarakan MLB yang terdapat dalam AD/ART yang dilanggar oleh Yeni Wahid. Salah satunya adalah pengiriman materi MLB ke cabangcabang di seluruh tanah air, seharusnya dilakukan minimal tujuh hari sebelum pelaksanaan Muktamar Luar Biasa. Di dalam AD/ART PKB ditegaskan bahwa keputusan partai ada di tangan Dewan Tanfidz. Sedangkan Dewan Syuro hanyalah sebagai pengawas. Bagi sebuah partai politik dan organisasi sosial modern yang lain Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) merupakan urat nadi bagi eksistensi dan kelangsungan hidupnya. AD/ART merupakan landasan hukum yang utama, sehingga kinerja partai politik bisa berjalan sesuai aturan dan pada gilirannya sesuatu sesuai fatsun (akhlaq karimah). AD/ART mengatur keseluruhan tata-kelola partai politik, sehingga pelanggaran terhadap salah satu pasal saja bisa merusak kinerja partai bersangkutan. Karena itu, manajemen partai politik akan berjalan efektif dan akumulatif dari segi apapun, jika AD/ART selalu menjadi 71 landasan dan tujuan dalam kehidupan kepartaian. Ketundukan kepada AD/ART merupakan manifestasi dari kehidupan partai politik modern. Tidak dibenarkan adanya posisi tertentu yang berada di atas AD/ART atau menafsirkan AD/ART sesuai kepentingannya. Kalau demikian yang terjadi, maka kehidupan partai politik akan rusak dan hancur dari dalam. Di masa lalu, dalam sejarah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ada gejala di mana sejumlah pihak seringkali menempatkan diri berada di atas AD/ART, meskipun AD/ART PKB sendiri sama sekali tidak mengatur demikian. Akibat hal itu, untuk jangka waktu yang lama kehidupan politik PKB mengalami proses yang cenderung disharmonis, disintegratif dan degraditif, dan mencapai titik kulminasinya pada Muktamar Luar Biasa (MLB) PKB di Ancol, Jakarta 2–4 Mei2008. Berangkat dari pengalaman itulah, pada Muktamar Luar Biasa (MLB) PKB di Ancol Jakarta, kemudian disepakati AD/ART yang baru, yang isinya dirumuskan dengan niat tulus dan tekad kuat untuk mewujudkan PKB sebagai partai modern, partai yang berjalan di atas aturan dan etika yang jelas, dimana segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan oleh siapapun sudah ditutup, dan efektifitas kerja partai didorong seluasluasnya. Karena itu, penerbitan AD/ART hasil MLB PKB di Ancol, Jakarta ini akan menjadi pedoman bagi kehidupan partai di semua level kepengurusan. Sehingga programprogram dan kebijakan partai selalu sesuai dengan aturan yang ada, etika politik dan selaras dengan aspirasi anggota 72 serta masyarakat luas.Muktamar Luar Biasa (MLB) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) berkaitan tentang perubahan atas Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai Kebangkitan Bangsa. Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa Muktamar Luar Biasa Partai Kebangkitan Bangsa sebagai forum permusyawaratan tertinggi partai yang berfungsi sebagai representasi dari pemegang kedaulatan partai yang memiliki kewenangan untuk merubah maupun menambah Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai Kebangkitan Bangsa. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang ditetapkan pada Muktamar II PKB di Semarang tahun 2005 dipandang perlu untuk diadakan perubahan dan tambahan. Karena itulah perlu diputuskan Ketetapan Muktamar Luar Biasa Partai Kebangkitan Bangsa tentang Perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai Kebangkitan Bangsa.Hal ini dilakukan mengingat Anggaran Dasar Partai Kebangkitan Bangsa, Anggaran Rumah Tangga Partai Kebangkitan Bangsa, dan Ketetapan Muktamar Luar Biasa Partai Kebangkitan Bangsa Nomor 1/MLB/PKB/V/2008 tentang Peraturan Tata Tertib Muktamar Luar Biasa Partai Kebangkitan Bangsa. Dan hal ini juga memperhatikan Hasil Musyawarah dalam komisi Muktamar Luar Biasa Partai Kebangkitan Bangsa yang bertugas untuk membahas Rancangan Anggaran Dasar dan Anggara Rumah Tangga Partai Kebangkitan Bangsa. Serta saran-saran, pendapat-pendapat, dan usul-usul yang 73 disampaikan dalam Sidang Pleno V Muktamar Luar Biasa PKB pada tanggal 3 Mei 2008. Muktamar Luar Biasa Partai Kebangkitan Bangsa di Ancol ini menghasilkan beberapa keputusan. Yaitu menetapkan Ketetapan Muktamar Luar Biasa Partai Kebangkitan Bangsa tentang perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai Kebangkitan Bangsa. Serta mengesahkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai Kebangkitan Bangsa.Hasil Muktamar Luar Biasa Partai Kebangkitan Bangsa kubu Muhaimin Iskandar tidak diterima oleh kubu Gus Dur. Karena mereka menganggap bahwa keputusan MLB mereka lah yang sah. Dengan demikian konflik internal PKB pun semakin meruncing. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik Bab XIV tentang Penyelesaian Perselisihan Partai Politik Pasal 32 disebutkan bahwa, (1) Perselisihan Partai Politik diselesaikan cara musyawarah mufakat; (2) Dalam hal musyawarah mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, penyelesaian perselisihan Partai Politik ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan; Dan (3) Penyelesaian perselisihan di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan melalui rekonsiliasi, mediasi, atau arbitrase Partai Politik yang mekanismenya diatur dalam AD dan ART.Pada pasal 33 pun disebutkan bahwa (1) Perkara Partai Politik berkenaan dengan ketentuan Undang-Undang ini diajukan melalui pengadilan negeri; (2) Putusan pengadilan negeri adalah putusan tingkat 74 pertama dan terakhir, dan hanya dapat diajukan kasasi Mahkamah Agung; (3) Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselesaikan oleh pengadilan negeri paling lama 60 (enam puluh) hari sejak gugatan perkara terdaftar di kepaniteraan pengadilan negeri dan oleh Mahkamah Agung paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak memori kasasi terdaftar di kepaniteraan Mahkamah Agung.Upaya untuk islah sudah banyak dilakukan antara kedua kubu. Namun selalu mendapatkan hasil yang tidak diharapkan. Hingga pada akhirnya perkara konflik internal kubu Gus Dur dan kubu Muhaimin diajukan ke Mahkamah Agung. Keputusan kasasi oleh Mahkamah memenangkan PKB kubu Munas Ancol yakni Muhaimin Iskandar dan Lukman Edy. Dan akhirnya kubu Gus Dur “menerima” keputusan kasasi oleh Mahkamah Agung tersebut, meski tidak menyebut kata “islah” melainkan kata “harmonisasi”. 3.5. Proses Politik Partai Persatuan Pembangunan Partai Persatuan Pembangunan atau PPP adalah partai Islam paling senior dari partai Islam yang ada sekarang (hasil peserta pemilu 2009 dan 2014). Senioritas partai ini dimulai sejak tahun 1971 sebagai produk dari politik fusi partai Orde Baru sehingga PPP adalah hasil penggabungan empat partai Islam waktu itu, yaitu Partai Nahdlatul Ulama, Partai Muslimin Indonesia atau Parmusi, Partai Syarikat Islam Indonesia atau PSII, dan Partai Islam Perti. Alhasil, selama lebih kurang lebih tiga dekade hingga akhirnya Soeharto jatuh pada 1998, PPP adalah satusatunya partai yang mengakomodasi preferensi politik 75 Islam. Artinya, bagi setiap warga muslim yang mempunyai preferensi politik agama Islam pasti akan menjatuhkan pilihannya ke PPP, tapi tidak otomatis warga muslim di Indonesia adalah PPP. Pada pemilu 1999 ketika penunggalan preferensi Islam ke PPP berakhir yang ditandai dengan berdirinya partai berbasis massa Islam baru seperti Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Keadilan, Partai Amanat Nasional, Partai Bulan Bintang, Partai Nahdlatul Ulama, dan beberapa partai lainnya perolehan suara PPP kemudian menurun walaupun masih berada dua digit menjadi 10,71% (58 kursi parlemen). Praktis setelah reformasi, PPP sebagai organisasi kepartaian tidak begitu terdengar karena tergantinkan oleh aktor-aktor Islam penting yang akhirnya mendirikan partai sendiri seperti Amien Rais dan Gus Dur.Sedangkan pada pemilu 2004, perolehan suara PPP semakin menurun hanya menjadi 8,15% dengan konversi suara menjadi 58 kursi di parlemen. Namun pada pemilu legislatif 2009, perolehan suara PPP turun cukup tajam menjadi 5,32% dengan konversi suara menjadi 37 kursi di parlemen di bawah partai Islam yang datang kemudian seperti PKS. Artinya, sejarah elektoral PPP menunjukkan „konsistensi‟ penurunan suara sejak berakhirnya rezim Soeharto.Padahal pada era orde baru, PPP adalah partai yang hampir selalu menjadi partai pemenang kedua setelah Golkar dengan perolehan suara dua digit di atas 15%, bahkan pada pemilu 1977 PPP mendapatkan lebih dari 29% suara. Pada pemilihan 76 presiden secara langsung 2004 lalu, PPP mengajukan kadernya Hamzah Haz yang saat itu juga menjabat sebagai ketua umum partai berpasangan dengan Agum Gumelar sebagai Calon Presiden namun kalah pada putaran pertama. Dari rangkaian panjang tersebut, sejak pemilu 2004, PPP merupakan partai yang loyal dalam koalisi pemerintahan SBY hingga menuju pemilu 2014 saat ini.Sejak 2004, PPP melalui Ketua Umumnya Surya Dharma Ali (sejak 2007) dan Djan Fariz bergabung dalam Kabinet Indonesia Bersatu sebagai menteri agama dan menteri perumahan rakyat. Loyalitas PPP sebagai partai koalisi pendukung pemerintahan ditunjukkan melalui beberapa sikap politiknya di parlemen dalam mendukung sikap politik partai pemerintah. Walaupun dalam beberapa kasus PPP memilih berbeda sikap dengan dengan Partai Demokrat seperti pada kasus Bank Century. Jika kita melihat perkembangan elektabilitas PPP menuju pemilu 2014, dalam banyak survei PPP cenderung berada di angka elektabilitas 5-7%. Artinya, kematangan sejarah yang panjang dengan kapasitas infrastruktur dan sistem kepartaian yang mapan tidak lantas menjamin PPP berada pada stabilitas elektabilitas. Selain soal pergeseran perilaku pemilih, PPP adalah partai tua yang sepertinya „berhenti‟ melakukan transformasi dan adaptasi kelembagaan di dalam iklim politik pasca reformasi saat ini yang sama sekali berbeda. (sumber :poltracking.com/partai-diunduh pada hari Kamis, 12 Februari 2015, pk.13.17) 77 Kemelut yang terjadi di Partai PPP, sampai saat ini belum berakhir, masing-masing kubu hasil muktamar Surabaya dan kubu hasil Muktamar Jakarta. Kepengurusan PPP pecah saat Sekretaris Jenderal DPP PPP Romahurmuziy mengadakan muktamar pada 17 Oktober 2014 di Surabaya.Muktamar itu melengserkan ketua umum sebelumnya, Suryadharma Ali, dan memilih Romahurmuziy dan Mardiono sebagai ketua umum dan wakilnya. Pada 30 Oktober, giliran pengurus partai kubu Suryadharma yang menggelar muktamar di Jakarta. Dalam acara itu, Djan Faridz terpilih sebagai ketua umum.Menurut Humphrey, berdasarkan pasal 32 UU Partai Politik, apabila ada perselisihan dalam internal partai, maka harus diselesaikan terlebih dahulu segala permasalahan yang ada dalam partai, termasuk dualisme ini."Kalau sesuai aturan, maka diselesaikan masalahnya lebih dulu, tidak boleh menggelar kegiatan apapun.Seharusnya seperti itu," katanya.Pada Minggu, 15 Februari 2015, DPP PPP versi Muktamar Surabaya mengumumkan akan menggelar Mukernas I PPP di Jakarta selama 17-19 Februari. "Mukernas merupakan forum tertinggi setelah muktamar yang akan membahas beberapa persoalan penting dan isu terkini," kata Isa Muchsin, Ketua Bidang Organisasi, Keanggotaan, dan Kaderisasi DPP PPP kubu Romy. Salah satu yang akan dibahas nanti adalah pemilihan kepala daerah serentak pada 2015. (Sumber:www.tempo.co/.../Partai-Persatuan PembangunanPPP. Diunduh pada hari Jum‟at 20 Februari 2015, pukul. 08.38). 78 Namun demikian, pasca mukernas DPP PPP versi Muktamar Surabaya (Kubu Romy), yang selesai tanggal 19 Februari 2015, maka pada hari Rabu tanggal 25 Februari 2015, kubu Romy dikejutkan dengan putusan pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) akhirnya secara resmi mengetok palu menerima gugatan kubu PPP Djan Faridz dan membatalkan SK Kemenkumham PPP kubu Romahurmuziy. Ketua DPP PPP kubu Djan Faridz Sofwat Hadi mendesak kepada PPP kubu Romahurmuziy untuk dapat menerima kekalahan dan membubarkan kepengurusan pasca putusan PTUN. Kubu Djan Faridz menyatakan bahwa DPP PPP versi Romy harus ikut bubar setelah dikalahkan secara hukum di PTUN sebagai konsekwensi logis sebagaitergugat atas perkara ini.Dia menjelaskan, dalam proses persidangan di PTUN masingmasing pihak yaitu pihak Hasil Muktamar PPP di Surabaya dengan Ketum Romy dan pihak Hasil Muktamar PPP di Jakarta dengan Ketum Djan Faridz. Masing-masing pihak mengeluarkan dalil-dalil dan pengajuan alat-alat bukti serta keterangan-keterangan ahli untuk meyakinkan Hakim PTUN dalam ambil Putusan demi kebenaran dan keadilan.Muktamar yang dimana, yang benar dan sah sesuai AD/ART serta Putusan Mahkamah Partai PPP. Karena itu, Sofwan menyatakan dengan adanya putusan itu (PTUN) pihak PPP versi Romy akan menghormati dan mematuhi hukum. Sehingga tidak lagi merasa DPP PPP yang dipimpinnya sebagai yang sah dan tidak 79 menimbulkan kegaduhan di Kepengurusan PPP tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota. Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara memutuskan menerima gugatan yang diajukan mantan Ketua Umum PPP Surya Dharma Ali terkait pengesahan Kemenkumham terhadap kepengurusan PPP kubu Romahurmuziy atau Romi. Surat Keputusan Kemenkumham yang diperoleh pihak Romy dianggap batal."Mengabulkan gugatan penggugat diterima seluruhnya, kemudian membatalkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM No. M.HH-07.AH.11.01 Tahun 2014, kata Ketua Majelis Hakim Teguh Satya Bhakti dalam membacakan putusannya di ruang sidang, Gedung PTUN, Jakarta Timur, Rabu (25/2/2015). Majelis hakim menilai gugatan ini terjadi karena pihak tergugat yaitu Kemenkumham melakukan intervensi terhadap konflik internal parpol."Sikap tergugat tidak menimbulkan kepastian hukum. Selain itu, pengadilan tidak bisa membiarkan tergugat yang menerbitkan SK dan membiarkan masalah ini dengan melempar ke PTUN. Sumber :harianterbit.com (diunduh pada hari Kamis, 26 Februari 2015, pk. 09.20). Jika kondisi tersebut kemudian terjadi lagi gugatan yang diajukan oleh fihak yang kalah pada hasil sidang PTUN dan dibiarkan berlarut-larut, maka diperkirakan akan berdampak pada perolehan suara pada pemilu yang akan datang. Kondisi ini, akan berpengaruh pula pada tingkat kepercayaan masyarakat banyak di berbagai daerah di tanah air, tidak menutup kemungkinan, kekisruhan 80 internal partai menjadi pintu pembuka bagi pergeseran sikap pengurus, kader, simpatisan dan anggota partai berlambang ka‟bah, ke partai lain. Namun demikian, kondisi dan realita politik lokal Tasikmalaya, terkait dengan masalah tersebut di atas, tidak akan banyak berpengaruh, hal ini dikarenakan untuk sementara ini tingkat loyalitas pengurus, anggota, kader dan simpatisan PPP cukup tinggi, sehingga perolehan suara PPP di daerah ini, tidak akan banyak berubah. Fluktuasi perolehan suara PPP tidak terlalu signifikan, meskipun terjadi gejolak politik di internal partai. 3.6. Pemilu Legislatif 2014 Kota Tasikmalaya Pesta demokrasi Pemilu Legislatif yang digelar pada 9 April 2014, telah selesai dilaksanakan, meskipun masih menyisakan beberapa masalah, baik di tingkat pusat maupun di daerah. Sebanyak 15 partai peserta Pemilu yang terdiri dari 12 partai nasional dan 3 partai lokal (Aceh) telah bertarung memperebutkan kursi legislatif di tingkat kabupaten/kota, provinsi, dan pusat (nasional). 12 Partai nasional peserta pemilu 2014 yaitu: (1) Partai NasDem; (2) PKB; (3) PKS; (4) PDI Perjuangan; (5) Partai Golkar; (6) Partai Gerindra; (7) Partai Demokrat; (8) PAN; (9) PPP; (10) Partai Hanura; (14) PBB; dan (15) PKP Indonesia. Sedangkan Partai lokal Aceh sebanyak 3 partai yakni; Partai Damai Aceh (11); Partai Nasional Aceh (12); dan Partai Aceh (13). Pertarungan memperebutkan kursi di tingkat pusat melibatkan 6.576 Caleg DPR RI, ribuan Caleg DPD RI, dan puluhan ribu Caleg DPRD Provinsi dan DPRD 81 Kabupaten/Kota. Sementara itu, di Kota Tasikmalaya pada Pemilu legislatif 2014 diikuti 12 partai nasional dan melibatkan sebanyak 493 orang caleg, memperebutkan 45 kursi DPRD Kota Tasikmalaya, dapat dipastikan sebanyak 448 orang tidak akan lolos. Bagi partai secara nasional, kontestasi Pemilu 2014 dipastikan lebih berat ketimbang kontestasi Pemilu 2009 lalu. Oleh sebab ketentuan PT (parliamentary threshold) atau ambang batas perolehan suara partai secara nasional untuk bisa menempatkan wakilnya di parlemen (DPR RI) pada Pemilu 2014 lebih tinggi, yakni 3,5 %. Sementara pada pemilu legislatif 2009 PT (parliamentary threshold) sebesar 2,5 % suara. Selain itu, biaya yang harus dikeluarkan partai juga dipastikan akan semakin besar. Pada perhelatan akbar pemilu 2014, seluruh kontestasi Pemilu, tidak ada satu pun partai yang ingin kalah. Semuanya bermaksud meraih kemenangan. Minimal, target lolos PT 3,5 % tercapai. Namun fakta dan realita menunjukkan bahwa dua partai nasional yakni; PBB dan PKPI tidak lolos, karena perolehan suara secara nasional dibawah 3,5 %.(Edi Kusmayadi, 2014 : 1-2 ) 82 SIKAP POLITIK MASSA NU 4.1. Sejarah Kota Tasikmalaya abupaten Tasikmalaya berdiri pada tanggal 21 Agustus 1111. Dalam buku berjudul Kumpulan Sejarah Tasikmalaya, dijelaskan bahwa kata Tasikmalaya berasal dari dua suku kata, yaitu kata Tasik dan Laya yang berarti dalam bahasa Sunda “keusik ngalayah”, atau dalam bahasa Indonesia berarti banyak pasir dimana-mana. Pendapat kedua menyampaikan bahwa Tasikmalaya berasal dari kata Tasik dan Malaya, yang berarti Tasik adalah danau; laut (Sunda: cai ngembeng), dan Malaya diartikan nama deretan pegunungan di pantai Malabar India. Kalau di gabung secara keseluruhan berarti gunung (bukit) yang terdapat di Tasikmalaya banyaknya seperti air laut (Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya, 2012 : 4). Sejarah berdirinya Kabupaten Tasikmalaya (BPS Kabupaten Tasikmalaya, 2015 : 5-6) dimulai pada abad ke VII sampai abad ke XII di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Kabupaten Tasikmalaya, diketahui adanya suatu bentuk Pemerintahan Kebataraan dengan pusat pemerintahannya di sekitar Galunggung, dengan kekuasaan mengabisheka raja-raja (dari Kerajaan Galuh) atau dengan kata lain raja baru dianggap syah bila mendapat persetujuan Batara yang bertahta di Galunggung. Batara K 83 atau sesepuh yang memerintah pada masa abad tersebut adalah sang Batara Semplak Waja, Batara Kuncung Putih, Batara Kawindu, Batara Wastuhayu, dan Batari Hyang yang pada masa pemerintahannya mengalami perubahan bentuk dari kebataraan menjadi kerajaan. Kerajaan ini bernama Kerajaan Galunggung yang berdiri pada tanggal 13 Bhadra pada 1033 Saka atau 21 Agustus 1111 dengan penguasa pertamanya yaitu Batari Hyang, berdasarkan Prasasti Geger Hanjuang yang ditemukan di bukit Geger Hanjuang, Desa Linggawangi, Kecamatan Leuwisari, Tasikmalaya. Dari Sang Batari inilah mengemuka ajarannya yang dikenal sebagai Sang Hyang Siksakandang Karesian. Ajarannya masih dijadikan ajaran resmi pada jaman Prabu Siliwangi (1482-1521 M) yang bertahta di Pakuan Pajajaran. Kerajaan Galunggung ini bertahan sampai 6 raja berikutnya yang masih keturunan Batari Hyang. Periode selanjutnya adalah periode pemerintahan di Sukakerta dengan Ibukota di Dayeuh Tengah (sekarang termasuk dalam Kecamatan Salopa, Tasikmalaya), yang merupakan salah satu daerah bawahan dari Kerajaan Pajajaran. Penguasa pertama adalah Sri Gading Anteg, yang masa hidupnya sejaman dengan Prabu Siliwangi. Dalem Sukakerta sebagai penerus tahta diperkirakan sejaman dengan Prabu Surawisesa (1521-1535 M) Raja Pajajaran yang menggantikan Prabu Siliwangi. Pada masa pemerintahan Prabu Surawisesa kedudukan Pajajaran sudah mulai terdesak oleh gerakan kerajaan Islam yang dipelopori oleh Cirebon dan Demak. 84 Sunan Gunung Jati sejak Tahun 1528 berkeliling keseluruh wilayah tanah Sunda untuk mengajarkan Agama Islam. Ketika Pajajaran mulai lemah, daerah-daerah kekuasaannya terutama yang terletak di bagian timur berusaha melepaskan diri. Mungkin sekali Dalem Sukakerta atau Dalem Sentawoan sudah menjadi penguasa Sukakerta yang merdeka, lepas dari Pajajaran. Tidak mustahil pula kedua penguasa itu sudah masuk Islam. Periode selanjutnya adalah pemerintahan di Sukapura yang didahului oleh masa pergolakan di wilayah Priangan yang berlangsung lebih kurang 10 tahun. Munculnya pergolakan ini sebagai akibat persaingan tiga kekuatan besar di Pulau Jawa pada awal abad XVII Masehi : Mataram, Banten, dan VOC yang berkedudukan di Batavia. Wirawangsa sebagai penguasa Sukakerta kemudian diangkat menjadi Bupati daerah Sukapura, dengan gelar Wiradadaha I, sebagai hadiah dari Sultan Agung Mataram atas jasa-jasanya membasmi pemberontakan Dipati Ukur. Ibu kota negeri yang awalnya di Dayeuh Tengah, kemudian dipindah ke Leuwiloa Sukaraja dan “negara” disebut “Sukapura”. Pada masa pemerintahan R.T. Surialaga (1813-1814) Ibu kota Kabupaten Sukapura dipindahkan ke Tasikmalaya. Kemudian pada masa pemerintahan Wiradadaha VIII Ibu kota dipindahkan ke Manonjaya (1832). Perpindahan Ibukota ini dengan alasan untuk memperkuat benteng-benteng pertahanan Belanda dalam menghadapi Diponegoro. Pada tanggal 1 Oktober 1901 Ibu 85 kota Sukapura dipindahkan kembali ke Tasikmalaya. Latar belakang pemindahan ini cenderung berdasarkan alasan ekonomis bagi kepentingan Belanda. Pada waktu itu daerah Galunggung yang subur menjadi penghasil kopi dan nila. Sebelum diekspor melalui Batavia terlebih dahulu dikumpulkan di suatu tempat, biasanya di Ibukota daerah. Letak Manonjaya kurang memenuhi untuk dijadikan tempat pengumpulan hasil-hasil perkebunan yang ada di Galunggung. Nama Kabupaten Sukapura pada Tahun 1913 diganti namanya menjadi Kabupaten Tasikmalaya dengan R.A.A Wiratanuningrat (1908-1937) sebagai Bupatinya. Tanggal 21 Agustus 1111 Masehi dijadikan Hari Jadi Tasikmalaya berdasarkan Prasasti Geger Hanjuang yang dibuat sebagai tanda upacara pentasbihan atau penobatan Batari Hyang sebagai Penguasa di Galunggung, dan pada Tahun 2001, tepatnya pada Tanggal 17 Oktober Kabupaten Tasikmalaya di mekarkan menjadi dua daerah yaitu Kabupaten Tasikmalaya dan Kota Tasikmalaya, hal ini berdasarkan ketetapan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2001. Undang-undang Nomor 10 Tahun 2001 tentang Pembentukan Kota Tasikmalaya, telah mengantarkan Pemerintah Kota Administratif Tasikmalaya melewati pintu gerbang Daerah Otonomi Kota Tasikmalaya, untuk menjadi daerah yang mempunyai kewenangan untuk mengatur rumah tangga sendiri. Pembentukan Pemerintah Kota Tasikmalaya tak lepas dari peran serta semua pihak maupun berbagai steakholder di daerah Kota Tasikmalaya 86 yang mendukung pembentukan tersebut. Tentunya dengan pembentukan Kota Tasikmalaya harus ditindak lanjuti dengan menyediakan berbagai prasarana maupun sarana guna menunjang penyelenggaraan Pemerintah Kota Tasikmalaya. Sumber web site Pemkot juga menyebutkan bahwa pada tanggal 18 Oktober 2001 pelantikan Drs. H. Wahyu Suradiharja sebagai PJ. Walikota Tasikmalaya oleh Gubernur Jawa Barat dilaksanakan di Gedung Sate Bandung. Sesuai Undang-Undang No. 10 Tahun 2001 bahwa wilayah Kota Tasikmalaya terdiri dari 8 Kecamatan dengan jumlah Kelurahan sebanyak 15 dan Desa sebanyak 54, tetapi dalam perjalanannya melalui Perda No. 30 Tahun 2003 tentang perubahan status Desa menjadi Kelurahan, desa-desa dilingkungan Pemerintah Kota Tasikmalaya berubah statusnya menjadi Kelurahan, oleh karena itu maka jumlah kelurahan menjadi sebanyak 69 kelurahan. Kota Tasikmalaya secara geografis memiliki posisi yang strategis, yaitu berada pada 108˚ 08' 38" - 108˚ 24' 02" BT dan 7˚ 10'. Luas wilayah Kota Tasikmalaya 183,85 km2 yang meliputi wilayah 10 Kecamatan, yaitu Cipedes, Cihideung, Tawang, Tamansari, Mangkubumi, Kawalu, Indihiang, Cibeureum, Purbaratu dan Bungursari. Data luas administrasi kecamatan dan data administrasi pemerintahan ke-10 Kecamatan yang mencakup 69 Kelurahan sebagaimana tercantum pada tabel di bawah ini : 87 Tabel 4.1. : Luas Wilayah Administratif Kecamatan Dan Kelurahan No Kecamatan 1 Cihideung 2 Cipedes 3 Tawang 4 Indihiang 5 Kawalu 6 Cibeureum 7 Tamansari 8 Mangkubumi 9 Purbaratu 10 Bungursari Jumlah Luas Wilayah (Km2) 5,49 8,97 7,08 11.04 42,78 19,04 35,99 24,53 12,02 16.91 183,85 Jumlah Kelurahan 6 4 5 6 10 9 8 8 6 7 69 Sumber : BPS Kota Tasikmalaya tahun 2015 Tabel 4.2 Kecamatan : Data Administrasi Tasikmalaya Ibu Kota Pemerintahan Jumlah Kelurahan Jumlah RW Kawalu Talagasari 10 113 Tamansari Tamanjaya 8 89 Cibeureum Ciherang 9 85 Purbaratu Purbaratu 6 55 Tawang Kahuripan 6 63 Cihideung Argasari 6 68 Mangkubumi Mangkubumi 8 89 Indihiang Sukamaju kidul 6 61 Bungursari Bungursari 7 66 Cipedes Nagarasari 4 70 Kota Tasikmalaya 69 759 Sumber : Kota Tasikmalaya dalam angka tahun 2013 88 Kota Jumlah RT 420 324 333 232 304 351 407 267 237 329 3.204 4.2. Pengurus NU dan Jumlah Nahdiyin Kota Tasikmalaya Pengasuh Pondok Pesantren Bustanul Ulum, KH. Didi Hudaya, mengemban amanah untuk memimpin NU Kota Tasikmalaya periode 2013-2018. Ia terpilih pada Konfercab yang digelar di Komplek Argasari, Kota Tasikmalaya. Didi terpilih sebagai ketua tanfidziyah. Sementara KH Aban Bunyamin, Pengasuh Pesantren Miftahul Ulum, Bungursari, terpilih sebagai rais syuriyah. Ia mengantongi 6 suara (10 MWC dan 1 PC) hak suara. Hanya selisih satu angka dari Pengasuh Pondok Pesantren Raudatul Muta‟alimien, KH Ate Mushodiq Bahrum. Jumlah Nahdiyin di Indonesia hasil survey ISNU kurang lebih 83 juta orang, atau 35 persen dari total jumlah penduduk Indonesia. Untuk jumlah warga NU menggunakan data survey ISNU sebagaimana disampaikan oleh Pengurus Koperasi MabadiKu PWNU Jawa Timur yaitu 83 juta jiwa. Maka prosentase nahdliyyin adalah 32,72 % atau dibulatkan menjadi 33 persen dari total jumlah penduduk Indonesia, bila menggunakan data terbaru Biro Sensus . Sementara bila tetap menggunakan data BPS 2010, diperoleh 34,92 % atau 35 persen dari total jumlah penduduk Indonesia. Adapun bila dibandingkan dengan total jumlah umat Islam, maka jumlah warga nahdliyyin hanya berkisar 40 % dari total jumlah umat Islam Indonesia. Artinya masih ada sekitar 60 persen atau 207.176.162 - 83 juta = 124.176.162 umat Islam Indonesia yang bukan warga NU, dan itu tersebar diberbagai kelompok-kelompok umat Islam lainnya. 89 sumber:(http://www.muslimedianews.com/2014/05/jumlahwarga-nu-83-juta-jiwa-diunduh pada hari Senin, 7 Maret 2016, pukul. 11.15) Jika angka prosentase tersebut digunakan untuk perkiraan jumlah nahdiyin di Kota Tasikmalaya, maka diperoleh angka sebagai berikut : 35 % x 657.217 (sumber BPS Kota Tasikmalaya, tahun 2014) = 230.025 orang. Jumlah tersebut merupakan potensi bagi semua calon legislatif Kota Tasikmalaya, sehingga seringkali massa NU disebut massa yang seksi, karena menjadi pusat perhatian dari berbagai partai politik dan kandidatnya. Persoalannya ialah massa yang banyak itu, dapat dijadikan modal oleh setiap kandidat sebagai lumbung perolehan suara pada pemilu legislatif 2014 atau malah menjadi penghambat dalam sosialisasi kandidat. 4.3. Calon legislatif Kota Tasikmalaya tahun 2014 dan Daerah Pemilihan Komisi Pemilihan Umum Kota Tasikmalaya telah menetapkan Daftar Calon Tetap (DCT) Anggota DPRD Kota Tasikmalaya Tahun 2014 pada tanggal 22 Agustus 2013, sebanyak 493 orang telah resmi namanya tercatat sebagai calon anggota DPRD Kota Tasikmalaya pada pemilihan umum legislatif tahun 2014 mendatang. Dari sebanyak 496 orang yang terdaftar dalam Daftar Calon Sementara (DCS). Daftar calon legislatif 2014 secara rinci dapat dilihat pada tabel di bawah ini; 90 Tabel 4.3 No 1 2 3 4 : Daftar Jumlah Calon Tasikmalaya Tahun 2014 Nama Partai Politik Legislatif Calon Tetap 45 37 45 45 Kota Ket Partai Nasional demokrat Partai Kebangkitan Bangsa Partai Keadilan Sejahtera Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 5 Partai Golongan Karya 45 6 Partai Gerakan Indonesia Raya 45 7 Partai Demokrat 45 8 Partai Amanat Nasional 45 9 Partai Persatuan Pembangunan 45 10 Partai Hati Nurani Rakyat 42 11 Partai Bulan Bintang 44 12 Partai Keadilan dan Persatuan 10 Indonesia Jumlah 493 Sumber : KPU Kota Tasikmalaya tahun 2014 Daerah pemilihan di Kota Tasikmalaya ditetapkan sebanyak empat daerah pemilihan (Dapil). Daerah Pemilihan I meliputi Kecamatan Cihideung,Tawang dan Bungursari, Daerah Pemilihan II meliputi Kecamatan Cipedes, Indihiang, Daerah Pemilihan III (Kecamatan Cibeureum, Tamansari dan Purbaratu), Daerah Pemilihan IV meliputi Kecamatan Kawalu dan Mangkubumi. Daerah pemilihan 1 dengan jumlah calon sebanyak 134 orang, sementara alokasi/jatah kursi dari daerah pemilihan 1 sebanyak 12 kursi, dengan demikian setiap satu orang calon akan bersaing untuk memperebutkan 91 jatah 12 kursi atau 1 : 11 orang, artinya setiap satu calon akan bersaing dengan sebelas calon legislatif. Daerah Pemilihan II jumlah calon sebanyak 109 orang untuk memperebutkan sebanyak 10 kursi, setiap satu orang calon akan bersaing untuk memperebutkan jatah 10 kursi atau 1 : 9 orang. Daerah Pemilihan III jumlah calon sebanyak 120 orang yang akan memperebutkan sebanyak 11 kursi, setiap satu orang calon akan bersaing untuk memperebutkan jatah 11 kursi atau 1 : 10 orang, Daerah Pemilihan IV jumlah calon sebanyak 130 orang yang memperebutkan kursi sebanyak 12 kursi. setiap satu orang calon akan bersaing untuk memperebutkan jatah 12 kursi atau 1 : 11 orang. Sedangkan jumlah pemilih yang terdaftar pada DPT (daftar pemilih tetap) sebanyak 473.596 orang dengan rincian sebagai berikut; Tabel 4.4 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 : Daftar Pemilih Tetap Pemilu Legislatif 2014 Kota Tasikmalaya Nama Kecamatan Cihideng Cipedes Tawang Indihiang Kawalu Cibeureum Tamansari Mangkubumi Bungursari Purbaratu JUMLAH Jml Kelurahan 6 4 5 6 10 9 8 8 7 6 69 Jml TPS 156 162 119 110 177 120 135 158 97 87 1.321 Jumlah Pemilih L 26.358 27.936 22.237 18.271 32.260 23.452 23.971 31.633 18.444 15.174 239.736 Sumber : KPU Kota Tasikmalaya tahun 2013 92 P 25.903 27.226 22.717 18.059 30.951 23.042 22.770 31.064 17.547 14.581 233.860 Total 52.261 55.162 44.954 36.330 63.211 46.494 46.741 62.697 35.991 29.755 473.596 Komisi Pemilihan Umum Kota Tasikmalaya telah menetapkan Daftar Calon Tetap (DCT) Anggota DPRD Kota Tasikmalaya Tahun 2014 pada tanggal 22 Agustus 2013, sebanyak 493 orang telah resmi namanya tercatat sebagai calon anggota DPRD Kota Tasikmalaya pada pemilihan umum legislatif tahun 2014 dari sebanyak 496 orang yang terdaftar dalam Daftar Calon Sementara (DCS). Jumlah pemilih sebanyak 473.596, yang terdiri dari jumlah pemilih laki-laki sebanyak 239.736, jumlah pemilih perempuan sebanyak 233.860, yang tersebar di 1.321 Tempat Pemungutan Suara (TPS), di 69 Kelurahan dan 10 Kecamatan. (sumber : KPU Kota Tasikmalaya, tahun 2014). Perolehan suara masing-masing calon anggota DPRD Kota Tasikmalaya di Dapilnya masing-masing adalah sebagai berikut; Di Dapil I, jumlah pemilih tetap yang terdaftar di DPT sebanyak 133.876, surat suara yang sah sebanyak 100.764, surat suara yang tidak sah sebanyak 7.744, tingkat partisipasi masyarakat pemilih sebesar 81,05 persen. Jumlah calon yang lolos menjadi anggota DPRD setelah perolehan suaranya mendekati Bilangan Pembagi Pemilih (BPP), atau melebihi BPP sebanyak 12 orang, calon yang berasal dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sebanyak 2 orang, sedangkan calon yang diusung oleh PKB tidak ada yang lolos, karena calon dari partai tersebut, tidak ada seorangpun calon yang memperoleh suara yang mendekati angka BPP, bahkan ada calon dari partai tersebut yang hanya memperoleh dukungan suara sebanyak 31 suara. Jumlah perolehan suara PKB di Dapil I 93 secara keseluruhan dari 11 orang calon yang diusulkan ditambah suara partai sebesar 3.962 atau rata-rata hanya memperoleh 360 suara. Jika dilihat dari letak geografis, demografis dan basis massa NU, Dapil I memiliki potensi dukungan massa NU yang sangat banyak, ditambah jumlah pesantren dan loyalis nahdiyin. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan hal yang sebaliknya, hal inilah yang menjadi pertanyaan pengurus partai, mengapa massa Nahdiyin tidak memberikan dukungan kepada calon dari PKB, padahal PKB adalah Nahdiyin. Figuritas dan kapasitas calon dari PKB di Dapil I patut dipertanyakan, mengingat masyarakat pemilih massa Nahdiyin di beberapa tempat di Dapil I banyak tidak dikenal, sehingga pemilih massa Nahdiyin memilih calon yang dikenal dan memiliki program yang jelas bagi masyarakat pemilih. Disisi lain, massa Nahdiyin di berbagai tempat di dapil ini, lebih baik menunggu arahan dan petunjuk dari pemuka agama/kyai/ustad/ajengan yang ada di lingkungan massa nahdiyin, karena kelompok pemilih tersebut termasuk massa pemilih yang loyal terhadap petunjuk/arahan dari kyai, sehingga massa ini disebut sebagai pemilih tradisional. Seperti yang dikemukakan oleh Firmansyah (2008:120-124) Pemilih tradisional adalah jenis pemilih yang bisa dimobilisasi selama periode kampanye. Loyalitas tinggi merupakan salah satu ciri khas paling kelihatan bagi pemiilh jenis ini. Apa saja yang dibilang dan dikatakan oleh seorang leader politik merupakan sebuah kebenaran yang 94 sulit dibantah. Adapun nama calon legislatif dari daerah pemilihan I (Kecamatan Cihideung, Tawang dan Bungursari), adalah sebagai berikut; Tabel .4.5 : No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Daftar Nama Calon Legislatif Terpilih di Daerah Pemilihan I Tahun 2014 Daerah Pemilihan I Nama Partai dan Perolehan Suara Ir. Tjahja Wandawa Dede Muhamad Muharam Muslim Sri Puspitawati Rachmat Soegandar H. Dayat Mustopa. SIP Aslim. SH Drs. H. Rachmat Slamet, MM Jeni Jayusman. S.Sos Wahidin H.R. Ramdani Mun‟im. SIP H. Muslim Sumarna. M.Si Nasdem, 1.571 Suara PKS, 1.872 Suara PDI Perjuangan, 6.389 Suara PDI Perjuangan, 3.486 Suara PDI Perjuangan, 1.705 Suara Partai Golkar, 1.810 Suara Partai Gerindra, 1.906 Suara Partai Demokrat, 2.601 Suara PAN, 3.065 Suara PAN, 2.213 Suara PPP, 3.197 Suara PPP 2.312 Suara Sumber : KPUD Kota Tasikmalaya 2014 Di Daerah Pemilihan (Dapil) II, (Kecamatan Cipedes – Indihiang), secara geografis daerah tersebut berada di wilayah bagian utara Kota Tasikmalaya, jumlah pemilih sebanyak 92.201, jumlah suara sah sebanyak 70.461, suara tidak sah sebanyak 5.293, dengan tingkat partisipasi pemilih mencapai 82,16 persen. Jumlah calon yang lolos menjadi anggota DPRD sebanyak 10 orang dari 109 orang calon, calon dari PPP sebanyak 3 orang, calon yang lolos 95 memperoleh dukungan suara 11.946. Sedangkan calon dari PKB sebanyak 6 orang, namun tidak satupun calon yang lolos menjadi anggota DPRD Kota Tasikmalaya. Karena perolehan suara calon dari PKB terbesar 987 suara dan terkecil sebanyak 68 suara. Di daerah pemilihan II, massa nahdiyin cukup banyak tersebar di beberapa wilayah kelurahan dan RW, basis massa nahdiyin berada di wilayah kecamatan Indihiang dan sebagian di wilayah kecamatan Cipedes, terutama di wilayah Kelurahan Panglayungan, Cipedes, Cigeureung, basis massa Nahdiyin yang cukup banyak di daerah ini, tidak berbanding lurus dengan perolehan suara/dukungan kepada calon dari PKB. Masalahnya ialah bahwa massa NU yang berafiliasi dengan PKB dan PBR bergeser pilihannya ke PPP. Hal ini dikarenakan salah satu calon dari PPP yang mendapat dukungan suara terbanyak, adalah putra dari tokoh politik PBR dan pengusaha ternama di daerahnya, sehingga massa nahdiyin dapat dimobilisasi dan dipengaruhi oleh calon dimaksud, dengan bantuan orang tua dan pemuka agama di daerahnya, karena orang tua calon dimaksud dikenal sangat dekat dengan sejumlah kyai/ulama/ ajengan/pemuka masyarakat, sehingga memudahkan untuk memperoleh dukungan suara bagi anaknya. Nama nama calon legislatif dari daerah pemilihan II (Kecamatan Cipedes dan Indihiang), yang terpilih adalah sebagai berikut; 96 Tabel .4.6 : Daftar Nama Calon Legislatif Terpilih Di Daerah Pemilihan II Tahun 2014 No Daerah Pemilihan II 1 2 3 4 5 6 7 8 Parid Eti Guspitawati S.Sos Drs. H. Ate Tachjan Andi Warsandi SE dr.H. Wahyu Sumawidjaja Bagas Suryono Rico Oktora S.Kom Tedi Gunandi S.Kom Nama Partai dan Perolehan Suara PKS, 1.257 Suara PDI Perjuangan, 2.549 Suara Golkar, 1.360 Suara Gerindra, 1.787 Suara Demokrat, 972 Suara PAN, 2.453 Suara PPP, 4.310 Suara PPP, 4.142 Suara 9 10 H. Yoke Yuliantie Herman Suherman S.PdI PPP, 3.494 Suara PBB, 1.588 Suara Sumber : KPUD Kota Tasikmalaya 2014 Daerah Pemilihan III (Kecamatan Cibeureum, Tamansari dan Purbaratu), jumlah pemilih sebanyak 122.912 orang, jumlah surat suara sah sebanyak 98.224 suara, suara tidak sah sebanyak 6.325 suara, tingkat partisipasi pemilih 85,06 persen. Jumlah calon anggota DPRD di dapil III sebanyak 120 orang, dari jumlah tersebut hanya 11 orang yang dinyatakan lolos menjadi anggota DPRD, dari 11 orang yang dinyatakan lolos, sebanyak 3 orang calon dari PPP dan 1 orang dari PKB, dengan perolehan suara sebanyak 2.393 suara. Di Dapil III, PKB memperoleh dukungan suara sehingga meloloskan calonnya menjadi anggota DPRD, karena dapil III merupakan wilayah dengan basis massa nahdiyin yang sangat banyak, disisi lain loyalitas massa nahdiyin baik 97 terhadap partai politik maupun terhadap kyai/pemuka masyarakat cukup tinggi. Hal ini di buktikan dengan angka tingkat partisipasi pemilihnya pada pemilu legislatif tahun 2014 adalah yang tertinggi dari empat Dapil di Kota Tasikmalaya. Loyalitas massa nahdiyin di daerah ini terhadap petunjuk atau arahan kyai/ajengan/ustadz cukup tinggi, sehingga mobilisasi massa nahdiyin baik dari massa PPP maupun masa nahdiyin PKB mudah untuk dilakukan oleh kyai/ajengan/ustadz. Ketaatan massa nahdiyin tersebut didasarkan atas keyakinan dan kepercayaan massa terhadap para pewaris nabi, karena menurut mereka harus dikedepankan sikap Tawazun (menyelaraskan sikap berkhidmah pada Alloh SWT, dalam arti “kepentingan akhirat”, dan sikap pada kepentingan lingkungan untuk kemaslahatan hidup di dunia), sikap tersebut adalah salah satu sikap kemasyarakatan kaum nahdiyin yang sudah menjadi pedoman dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Nama - nama calon legislatif dari daerah pemilihan III (Kecamatan Cibeureum, Purbaratu dan Tamansari), yang terpilih adalah sebagai berikut; Tabel .4.7 : No 1 2 3 4 98 Daftar Nama Calon Legislatif Terpilih Di Daerah Pemilihan III Tahun 2014 Daerah Pemilihan III Wahid Dede S.IP Dodo Rosada SH H. Nurul Awalin S.Ag, Nama Partai dan Perolehan Suara PKB, 2.393 Suara PKS, 2.275 Suar PDI Perjuangan, 1.671 Suara Partai Golkar, 2.416 Suara No 5 6 7 8 9 10 Daerah Pemilihan III Msi Romdoni Maftuh Anang Sapa‟at S.Sos Ade Lukman Agus Wahyudin, SH, MH Sindy Wijayanti SH H. Tatang Multiara, S.Sos Nama Partai dan Perolehan Suara Partai Gerindra, 2.024 Suara Partai Demokrat, 1.656 Suara PAN, 2.808 Suara PPP, 5.516 Suara PPP, 4.467 Suara PPP, 3.094 Suara 11 Kurnia Hidayat, SH PBB, 2.293 Suara Sumber : KPUD Kota Tasikmalaya 2014 Daerah Pemilihan IV (Kecamatan Kawalu dan Mangkubumi), jumlah pemilih tetap sebanyak 126.507, jumlah suara sah sebanyak 99.781, suara tidak sah 6.288, tingkat partisipasi pemilih sebesar 83.84 persen. Jumlah calon legislatif sebanyak 130 orang yang memperebutkan 12 kursi. Calon dari PKB yang lolos sebanyak 1 orang menjadi anggota DPRD Kota Tasikmalaya, dengan jumlah suara yang diperolehnya sebanyak 1.922, sedangkan perolehan suara partai dan calon sebanyak 7.544 atau ratarata calon hanya memperoleh suara sebanyak 755 suara. Basis massa nahdiyin PKB dan PPP di Dapil III, cukup potensial sehingga masing-masing calon berkompetisi untuk memperoleh dukungan dari kalangan kyai/ulama/ajengan/ustadz/pemuka masyarakat. Basis massa nahdiyin di Kecamatan Kawalu dan Mangkubumi, memliki karakter yang hampir sama dengan daerah lain di Kota Tasikmalaya, misalnya dengan basis massa di Kecamatan Tamansari dan Cibeureum. Secara geografis 99 wilayah tersebut berbatasan langsung dengan wilayah Kawalu, sehingga proses sosial masyarakatnya memiliki ciri dan karakter yang sama, baik pola interaksi sosial, aksentuasi bahasa, tradisi yang ada, budaya masyarakat termasuk budaya politik. Budaya politik kawula mendominasi dalam proses sosial dan proses politik, artinya massa nahdiyin baik dari PKB/PPP atau di luar partai politik tersebut, menyandarkan segalanya kepada kyai/ajengan/ulama/ustadz dan pemuka masyarakat yang dipandang sangat berpengaruh dalam kehidupan pribadi/kelompok massa nahdiyin. Secara umum di Kota Tasikmalaya, terdapat beberapa wilayah yang merupakan tempat tinggal kumpulan komunitas masyarakat. yang terbentuk atas dasar sistim kekerabatan dan paguyuban berdasarkan keturunan, atau paguyuban asal daerahnya. Pemuka/tokoh masyarakat tersebut berasal dari keluarga/kerabat asli keturunan dari komunitas/paguyuban masyarakat tersebut atau warga asli wilayah tersebut yang dipandang terkemuka dari segi sosial ekonomi atau terkemuka karena tingkat pendidikannya, sehingga warga masyarakat seringkali menyandarkan diri sikapnya terhadap pemuka/tokoh masyarakat tersebut. Sikap ini mencerminkan adanya dominasi ketokohan yang berperan untuk menentukan sikap dan perilaku serta orientasi warga/keluarganya bergantung pada pemuka masyarakat tersebut. Sikap dan perilaku warga masyarakat yang bersifat paternalistik, 100 secara turun temurun dari generasi ke generasi berikutnya tidak pernah berubah. Faktor ini menjadi kendala bagi kandidat atau calon untuk menerobos masuk ke dalam komunitas masyarakat tersebut dalam rangka sosialisasi atau sekedar silaturahmi. Jika calon/kandidat berhasil masuk ke dalam komunitas masyarakat tersebut, hanya sebatas etika pergaulan masyarakat yaitu menerima setiap tamu yang bersilaturahmi, tetapi tidak akan mengikuti apa yang diinginkan oleh kandidat/calon legislatif yang bersangkutan, kecuali ada komitmen lain diluar norma masyarakat tersebut. Ikatan primordialisme kesukuan, keturunan, status sosial ekonomi, keagamaan dan sebagainya. menjadi salah satu alasan penting dari masyarakat dalam menyikapi terhadap elektabilitas calon legislatif. Jika seorang kandidat memiliki latar belakang ikatan primordialisme yang sama dengan ikatan primordialisme masyarakat bersangkutan, maka hal tersebut menjadi alternatif pilihan masyarakat. Ikatan emosional menjadi pertimbangan penting bagi masyarakat untuk menentukan pilihannya. Ikatan emosional masyarakat tidak hanya didasarkan atas sistim kekerabatan semata, akan tetapi agama menjadi pengikat ikatan emosional, asal daerah atau tempat tinggal, ras/suku, budaya, dan status sosial ekonomi, sosial budaya juga menjadi unsur penting dalam ikatan emosinal komunitas masyarakat tertentu. Komunitas masyarakat yang heterogen cenderung lebih bersifat rasional, pragmatis, tidak mudah untuk dipengaruhi, terkadang 101 memiliki sikap ambivalen, berorientasi ke materi. Sikap dan pandangan untuk memilih atau tidak memilih dalam proses politik lebih besar, sehingga tingkat kesadaran dan partisipasi politiknya ditentukan oleh sikap dan pandangan individu yang bersangkutan, tidak mudah untuk dipengaruhi oleh tokoh atau ikatan primordialisme tertentu. Kondisi sosial masyarakat pada strata demikian, diperlukan adanya kandidat/calon yang memiliki kapabilitas yang tinggi baik dari aspek sosiologis atau popularitas dan reputasi pada kelompok masyarakat tersebut. Jika hal tersebut mampu dilakukan oleh seorang kandidat, maka sangat terbuka perolehan suara pemilih didapat dari komunitas masyarakat tersebut. Nama - nama calon legislatif dari daerah pemilihan IV (Kecamatan Kawalu dan Mangkubumi), yang terpilih adalah sebagai berikut; Tabel .4.8 : No Daftar Nama Calon Legislatif Terpilih Di Daerah Pemilihan IV Tahun 2014 Daerah Pemilihan IV Nama Partai dan Perolehan Suara 1 Drs. H. A. Badruzaman, MPd PKB, 1.922 Suara 2 Heri Ahmadi, SP.dI KS, 2.188 Suara 3 Drs. H. Denny Romdony PDIP, 6.043 Suara 4 Imas Farmawati PDIP, 2.453 Suara 5 H. Undang Syafrudin Partai Golkar, 3.269 Suara 6 Isep Rislia, SP Partai Golkar, 2.214 Suara 7 Ali Ridlo Muthahari Partai Gerindra, 3.114 Suara 102 No Daerah Pemilihan IV Nama Partai dan Perolehan Suara 8 Irman Rachman, SE Partai Demokrat, 1.728 Suara 9 H. Mamat Rahmat, SH PAN, 2.755 Suara 10 H. Enjang Bilawani, SH, SHI PPP, 4.285 Suara 11 Drs. H. Ajat Sudrajat PPP, 2.659 Suara 12 Ichwan Shafa, SE PBB, 1.198 Suara Sumber : KPUD Kota Tasikmalaya 2014 Calon legislatif yang terpilih di masing-masing Daerah Pemilihannya, kemudian di tetapkan sebagai anggota DPRD terpilih periode 2014 – 2019, berdasarkan Surat Keputusan KPU Kota Tasikmalaya Nomor : 43/Kpts/KPU-Kota-011.329197/2014, tanggal 13 Mei 2014, tentang Calon Anggota DPRD Kota Tasikmalaya Terpilih dalam Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tahun 2014, ditetapkan sebanyak 45 orang anggota Dewan terpilih periode 2014 – 2019, dengan susunan sebagai berikut ; Partai NasDem 1 kursi, PKB 2 kursi, PKS 4 kursi, PDIP 7 kursi, Golkar 5 kursi, Gerindra 4 kursi, Demokrat 4 kursi, PAN, 5 kursi, PPP 10 kursi, PBB 3 kursi. Sedangkan Partai Politik yang tidak mendapatkan kursi DPRD Kota Tasikmalaya adalah Partai Hanura dan PKPI. Dengan demikian diperoleh gambaran tentang peta kekuatan politik lokal di Kota Tasikmalaya, dengan membandingkan perolehan suara masing-masing partai 103 politik yang terlihat pada perolehan kursi DPRD Kota Tasikmalaya hasil Pemilu Legislatif tahun 2009 dengan hasil Pemilu Legislatif tahun 2014, sebagai berikut; Tabel. 4.9 : No Perbandingan Jumlah kursi DPRD Kota Tasikmalaya Hasil Pemilu Legislatif 2009 dengan Hasil Pemilu Legislatif 2014 Pemilu Legislatif 2009 Partai Politik Jumlah Kursi Gerindra 1 PKS 4 PAN 7 PKB 1 Golkar 4 PPP 8 PBB 3 PDIP 5 PBR 4 Demokrat 8 No Pemilu Legislatif 2014 Partai Politik Jumlah Kursi 1 1 NasDem 1 2 2 PKB 2 3 3 PKS 4 4 4 PDIP 7 5 5 Golkar 5 6 6 Gerindra 4 7 7 Demokrat 4 8 8 PAN 5 9 9 PPP 10 10 10 Hanura 11 PBB 3 12 PKPI Jumlah 45 Jumlah 45 Sumber : KPUD Kota Tasikmalaya 2009 & 2014 Dari data di atas dapat dijelaskan bahwa partai PKB yang semula hanya mendapat 1 kursi di DPRD meningkat menjadi 2 kursi pada pemilu legislatif 2014, sementara partai PPP yang semula hanya mendapat 8 kursi pada pemilu 2009, meningkat menjadi 10 kursi pada pemilu 104 legislatif 2014, setelah sebelumnya partai PBR menyatakan bergabung dengan PPP, karena PBR tidak lolos verifikasi tingkat pusat. Perolehan suara PPP di Kota Tasikmalaya pada pemilu legislatif 2014, sungguh luar biasa, partai ini memperoleh suara 88.478 suara (19 %) dari jumlah pemilih tetap, sehingga partai ini layak mendapat jatah 10 kursi di DPRD Kota Tasikmalaya. Dari 12 partai politik peserta pemilu legislatif tahun 2014, dua partai politik tidak mendapat jatah kursi di DPRD Kota Tasikmalaya, yaitu Partai Hanura dan partai PKPI. Penambahan perolehan suara PKB di Kota Tasikmalaya, dikarenakan pengaruh pendiri partai PPP di Kota Tasikmalaya yang hijrah ke PKB berpengaruh besar terhadap perolehan suara, karena kader dan simpatisan tokoh partai PPP banyak yang masih loyal terhadap tokohtokoh yang dipecat oleh DPC-PPP Kota Tasikmalaya. Sedangkan penambahan perolehan suara PPP di Kota Tasikmalaya pada pemilu legislatif 2014, kemungkinan besar berasal dari massa NU yang sebelumnya tergabung di PBR dan partai Demokrat, disamping massa NU yang tergabung sebelumnya dengan PKB kubu Gus-Dur, serta dari massa partai lain. Alasan lain terkait dengan pergeseran sikap politik massa NU PKB dan PPP di Kota Tasikmalaya, didasarkan atas alasan sosilogis, demografis, psikologis dan lingkungan tempat tinggal masyarakat massa nahdiyin. Faktor demografis didasarkan atas tingkat densitas/penyebaran penduduk di suatu wilayah/daerah di masing-masing Daerah Pemilihan, ikut berperan 105 menentukan perilaku pemilih, jika terdapat pola pemukiman penduduk dengan kepadatan rendah cenderung masyarakatnya yang menjadi pemilih mudah untuk dikendalikan/dikondisikan, meskipun tidak seluruhnya lapisan masyarakat dapat dikondisikan. Kecenderungan sikap dan perilaku pemilih untuk patuh pada pemuka / tokoh atau pimpinan masyarakat tersebut sangat besar, karena loyalitas masyarakat terhadap pemuka/tokoh masyarakat cukup tinggi, sehingga perilaku pemilih dapat dengan mudah dipengaruhi oleh pihakpihak yang berpengaruh di tempat pemukiman masyarakat dimaksud. Pola pemukiman seperti ini banyak terdapat di wilayah Kecamatan Tawang terutama di sebagian wilayah Kelurahan Kahuripan dan Kelurahan Cikalang, Kecamatan Cihideung di Kelurahan Tugu Raja, Cilembang dan Argasari. Kecamatan Indihiang hampir seluruh wilayah kelurahan dan Cipedes di Kelurahan Panglayungan, Cipedes, Cigeureung. Sedangkan untuk Dapil III dan IV hampir seluruh wilayah kecamatan memiliki pola pemukiman dengan kepadatan yang hampir sama. Hal ini berbeda dengan pola pemukiman penduduk dengan kepadatan yang tinggi/sangat tinggi, seperti di sebagian wilayah yang termasuk Kecamatan Cihideung sebagian Kelurahan Cilembang dan Kelurahan Nagarawangi dan sebagian di kelurahan lainnya, kecenderungan perilaku pemilih sangat beragam, mereka pada umumnya tidak mudah dikendalikan atau dikondisikan, meskipun ada beberapa tempat yang mudah untuk dikendalikan/ 106 dikondisikan. Demikian pula di Kecamatan Tawang sebagian wilayah Kahuripan, Cikalang, hal ini terkait dengan seberapa besar pengaruh pemuka masyarakat terhadap warga masyarakat sekitarnya. Perilaku pemilih pada pola pemukiman ini, lebih mengedepankan kepentingan pribadi/kelompoknya jika dibanding dengan mengedepankan kepentingan orang lain. Kegiatan warga masyarakat pada kelompok masyarakat tersebut dalam proses politik diperhitungkan dengan seberapa besar konvensasi yang akan diperolehnya dibandingkan dengan kegiatan keseharian mereka dalam mencari nafkah hidupnya. Terkecuali jika pemilih tersebut tidak memiliki pekerjaan tetap, maka proses politik menjelang pemilu legislatif menjadi ajang mencari materi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tempat tinggal/pemukiman yang dimaksud adalah tempat tinggal warga masyarakat / pemilih pada pemilu legislatif 2014. Letak daerah/wilayah tempat tinggal atau pemukiman warga masyarakat menentukan sikap, pandangan dan orientasi pemilih, karena keberadaan pemilih di suatu tempat ditentukan ikatan-ikatan sosial warga masyarakat tersebut, baik dari unsur keturunan, asal daerah, ras/etnik, agama, faktor ekonomis dan sebagainya. Hal tersebut terkait dengan pola pemukiman penduduk karena faktor densitas yang menyebabkan berkembangnya pola-pola pemukiman baru bagi penduduk kota, seperti komplek perumahan baik yang bersifat umum (perumahan yang dibangun pemerintah/swasta), maupun yang bersifat 107 khusus seperti komplek perumahan BI, perumahan TNI, komplek perumahan yang dibangun pihak pengembang yang tersebar di berbagai wilayah pinggiran maupun di tengah kota. Pola pemukiman tersebut mempengaruhi pula sikap dan orientasi pemilih, karena banyak pemukiman penduduk yang tinggal di komplek perumahan yang tidak terjangkau sosialisasi para calon legislatif. Pola pemukiman juga seperti tersebut memiliki keberagaman pola hidup dan gaya hidup masing-masing penghuninya, pola tadi mempengaruhi pola pikir dan sikap warga masyarakat. Loyalitas pemilih massa nahdiyin dari PKB maupun PPP disebabkan oleh; Pertama ; ketaatan pemilih terhadap partai politik yang menjadi apiliasi pemilih, atau karena kesukaan pemilih terhadap kandidat, sebagai pendukung partai politik, kader dan pengurus partai politik. Kedua adalah warga masyarakat biasa yang tidak berapiliasi terhadap partai politik, bukan sebagai kader atau pengurus partai politik, tapi ada ikatan emosional selaku kaum nahdiyin dan mengikuti ketaatan kaum nahdiyin lainnya. Banyaknya partai politik peserta pemilu pada tahun ini, menjadi penyebab utama warga masyarakat berdalih untuk memilih atau tidak memilih salah satu partai politik tertentu. Atau untuk memilih/tidak memilih calon legislatif dalam pemilu legislatif tahun 2014. Alasan yang dikemukakan warga masyarakat di beberapa tempat tertentu mengemukakan sebagai berikut; 108 a. b. c. d. e. Adanya ajakan dari pengurus atau kader dan pemuka masyarakat untuk bergabung dengan partai baru dengan dalih akan dijadikan pengurus; Adanya kekecewaan massa NU terhadap partai politik tertentu yang menjajikan sesuatu akan tetapi tidak ditepati, sehingga pemilih menentukan sikap dan orientasi untuk tidak memilih calon legislatif dari partai politik tersebut. Kekecewaan pengurus partai politik tertentu di tingkat bawah terhadap kepengurusan partai politik di tingkat atas, menyebabkan banyak pengurus partai politik tertentu di tingkat bawah berpindah menjadi pengurus partai politik lain atau partai politik baru, hal berdampak pada konstituennya ikut berpindah pilihan, baik terhadap partai politiknya maupun terhadap calon legislatifnya meskipun terdapat ikatan keluarga maupun ikatan-ikatan priomordialisme yang lain; Karena tidak terikat oleh partai politik, maka massa NU memiliki kebebasan untuk menentukan pilihannya sendiri, baik kepada partai politik maupun kepada calon legislatif; Masih terdapat massa NU yang tetap loyal terhadap partai politik tertentu, namun tidak akan memilih calon legislatif baik dari partai politik yang disukainya maupun dari partai politik lain; Hal ini disebabkan berbagai alasan yang mempengaruhi sikap dan orientasi pemilih, yaitu; 109 1) 2) 3) 4) 110 Platform partai politik tersebut sudah dipahami oleh pemilih, namun tidak tertarik terhadap calon yang diusung oleh partai politik yang bersangkutan; Simbol, lambang, azas partai yang sudah terinternalisasi terhadap pemilih, namun sikap ketidaksukaan terhadap calon legislatif, dilatarbelakangi oleh adanya konflik antar pengurus atau antar kader dengan pengurus maupun antar calon legislatif dengan kader maupun anggota partai politik. Masih terdapat massa NU dengan tingkat partisipasi politiknya cukup tinggi yaitu mereka akan tetap memilih calon legislatif yang disukainya dengan tidak melihat latar belakang partai politiknya; Banyak massa NU yang akan memilih calon legislatif dengan syarat-syarat tertentu; misalnya; calon yang bersangkutan pertama kali melalukan silaturahmi kepada warga nahdiyin meskipun tidak ada ikatan perjanjian tertentu. Calon pemilih akan memilih calon legislatif yang memiliki kualitas moral yang baik di masyarakat, memiliki kemampuan yang tinggi, sering bergaul dengan masyarakat, menunjukkan adanya bukti pengabdian terhadap warga masyarakat bukan berupa janji, warga masyarakat akan memilih calon yang memberikan kontribusi materi untuk 5) memenuhi kebutuhan hidup warga masyarakat. Calon pemilih akan memilih calon legislatif yang memberikan manfaat bagi masyarakat umum baik berupa sarana dan prasarana yang akan menunjang pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja bagi masyarakat. Pada beberapa tempat pemukiman warga masyarakat di daerah pemilihan I – IV, terdapat komunitas pemilih yang memiliki sikap terbuka untuk menentukan pilihannya, dengan ketentuan bahwa calon legislatif yang mereka unggulkan untuk tingkat kota berasal dari partai politik tertentu, sedangkan untuk calon legislatif untuk tingkat provinsi dan pusat memilih calon dari partai politik lain dan sebaliknya. 4.4. Sikap politik massa NU PPP Sikap politik massa atau pendukung NU di berbagai wilayah Kota Tasikmalaya, berdasarkan tempat tinggal dapat dibagi menjadi beberapa kelompok besar massa NU; Pertama; kelompok massa NU yang bertempat tinggal di pinggiran kota, memiliki sikap yang umumnya bergantung pada sikap politik pengurus NU di Kelurahan atau Kecamatan. Karena untuk masalah pilihan politik warga NU, seringkali diarahkan oleh pengurus NU daerah setempat. Namun demikian, tidak seluruhnya warga NU mengindahkan pengarahan pengurus NU, terkadang warga NU memilih sikap politik yang tidak terpengaruh oleh pengarahan dan petunjuk dari pengurus Parpol (PPP), 111 baik yang menjadi pengurus NU maupun Parpol. Mereka akan lebih loyal sikap politiknya terhadap kyai atau ulama setempat maupun pemuka masyarakat yang berpengaruh di daerah tempat tinggalnya. Kedua, kelompok massa NU yang bersikap pragmatis, artinya, kelompok massa ini akan bersikap bagaimana kebutuhan dan kepentingan kelompok tersebut dipenuhi atau dijanjikan oleh kandidat atau tim sukses kandidat maupun keluarga besar dari kandidat, termasuk dari parpol mana kandidat dimaksud berasal. Kelompok kedua massa ini sering menjadi kelompok penyangga suara atau menjadi pialang terhadap kandidat lain, sehingga mereka lebih diuntungkan secara ekonomi, karena akan mendapat konvensasi materi dari berbagai pihak, jika kandidat dimaksud ingin mendapat dukungan dari kelompok ini. Akan tetapi tidak seluruhnya kelompok ini berada di seluruh wilayah kelurahan yang ada di Kota Tasikmalaya, kelompok massa ini tersebar di beberapa wilayah RW di daerah pinggiran dan sebagian wilayah kota. Kemungkinan terjadi adanya pergeseran sikap politik massa NU pada kelompok tersebut, sangat dimungkinkan, bahkan kemungkinan besar terjadi eksodus besar-besaran di masing-masing daerah pemilihan, terutama daerah pemilihan I, daerah pemilihan II dan daerah pemilihan III. Ketiga, yaitu kelompok besar massa NU yang memiliki sikap politik mendukung kandidat dari parpol lain, karena latar belakang pengaruh pengurus parpol yang hijrah ke parpol lain, pengaruh karena kekecewaan dari 112 kandidat parpol yang tidak menepati janji politiknya, latar belakang profesi, keturunan/keluarga dan asal daerah menjadi pilihan sikap politik massa dimaksud dalam menentukan pilihannya yang tidak berasal dari parpol PPP. Pada kelompok ini banyak terjadinya pergeseran sikap dan orientasi politik massa nahdiyin. Keempat; kelompok masyarakat massa NU atau wilayah yang berbasis massa NU yang memberikan dukungan dan sikap politiknya pada pemilu legislatif 2014, kepada kandidat dari partai lain, karena alasan kepedulian calon/kandidat tersebut terhadap pembangunan sarana ibadah di sekitar masyarakat dan kepedulian yang bersangkutan terhadap pembangunan Pondok Pesantren yang berada di wilayah tersebut. Kelima; kelompok besar massa NU yang berada/bertempat tinggal di komplek Pondok Pesantren yang memberikan dukungan terhadap kandidat/calon legislatif dari parpol lain, karena pengaruh pengasuh pondok pesantren atau pimpinan pondok pesantren yang mengarahkan massa dan santrinya untuk menentukan pilihannya kepada kandidat yang ditentukan oleh pengasuh/pimpinan pondok pesantren. Kelima type sikap politik massa NU sebagaimana diuraikan di atas, merupakan gambaran umum massa NU yang berada di wilayah yang berbasis massa PPP, dan wilayah yang terdapat pengurus dari parpol tersebut. Penomena tersebut banyak terjadi di daerah pemilihan III, karena di daerah pemilihan III (Kecamatan Cibeurem, Purbaratu dan 113 Tamansari), banyak terdapat pondok pesantren yang tersebar di ketiga kecamatan tersebut. 4.5. Sikap politik massa NU PKB Ada yang berbeda dengan sikap politik massa NU PKB dengan sikap politik massa NU PPP di Kota Tasikmalaya. Perbedaan dimaksud meskipun tidak dapat digeneralisasi, namun menjadi perhatian penulis terkait dengan ketaatan/loyalitas massa NU dari PKB, loyalitas dimaksud ialah ketaatannya pada ajaran bagi kaum nahdiyin (yaitu empat bentuk sikap kemasyarakatan NU); a. Sikap Tawassuth Wal-I‟tidal (tengah-tengah dalam hidup bersama serta selalu jujur) b. Sikap Tasamuh (toleran dan saling menghormat terhadap perbedaan pendapat) c. Sikap Tawazun (menyelaraskan sikap berkhidmah pada Alloh SWT, dalam arti “kepentingan akhirat”, dan sikap pada kepentingan lingkungan untuk kemaslahatan hidup di dunia) d. Sikap yang selalu ber-Amar Ma‟ruf Nahi Munkar untuk mendorong dirinya dan orang lain agar berbuat baik serta meninggalkan perbuatan yang tidak terpuji. Keempat sikap kemasyarakatan dimaksud, oleh sebagian massa NU harus dijunjung tinggi dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Meskipun, tidak banyak dipahami oleh massa NU dari PKB, namun seringkali dijadikan dasar pijakan dalam 114 kehidupan kemasyarakatan. Ketaatan masa NU PKB, dilaksanakan pada tataran kehidupan masyarakat di berbagai wilayah/daerah di Kota Tasikmalaya, begitu jelas tampak pada proses kepemimpinan simbolik para ulama/kyai NU dari PKB yang mempengaruhi massa NU PKB, untuk melakukan hak pilihnya pada pemilu legislatif dengan memberikan dukungan kepada kandidat yang disebut dan ditetapkan oleh ulama/kyai yang menjadi panutan/pemuka agama/tokoh masyarakat di lingkungan massa NU PKB. Sehingga yang terjadi adalah dominasi suara terhadap kandidat legislatif di tempat pemungutan suara yang tidak jauh dari lingkungan wilayah tempat tinggal ulama/kyai dimaksud. Berbeda dengan lingkungan massa NU PPP, pada lingkungan massa NU PKB, banyak massa NU PKB pada tempat pemungutan suara yang memberikan dukungannya kepada kandidat yang berasal dari partai yang sama yaitu PKB, meskipun orang/kandidatnya tidak dikenal oleh massa NU PKB di lingkungannya, namun karena ketaatan kepada sang ulama/kyai yang ada di lingkungan kehidupan masyarakat tersebut, massa NU PKB, cenderung untuk memberikan dukungan dan sikap politiknya kepada orang/kandidat yang secara simbolik terdapat ikatan emosional yang sama yaitu PKB. Peristiwa tersebut terjadi di Daerah Pemilihan III (Cibeureum, Tamansari dan Purbaratu), yang merupakan basis massa NU terbesar di Kota Tasikmalaya, baik calon dari PPP maupun calon dari PKB, mendapat 115 dukungan cukup banyak, jika di banding dengan perolehan suara calon dari partai lain. Hal ini disebabkan adanya hubungan yang erat antara ikatan emosional, ikatan primordial massa NU dengan kandidat, disamping itu ada memori yang melekat pada massa NU terhadap kandidat yang dipilihnya, seperti yang dikemukakan oleh Fadillah Putra (2003:200). sikap politik adalah merupakan hubungan atau pertalian diantara keyakinan yang telah melekat dan mendorong seseorang untuk menanggapi suatu obyek atau situasi politik dengan cara tertentu. Sikap dan perilaku masyarakat pemilih di beberapa tempat di Dapil I sampai dengan Dapil IV, banyak dipengaruhi oleh proses dan peristiwa historis masa lalu dan merupakan kesinambungan yang dinamis. Peristiwa atau kejadian politik secara umum maupun yang menimpa pada individu atau kelompok masyarakat, baik yang menyangkut sistem politik atau ketidakstabilan politik, janji politik dari calon pemimpin atau calon wakil rakyat yang tidak pernah ditepati dapat mempengaruhi perilaku politik masyarakat,sikap politik dapat diungkapkan dalam berbagai bentuk. Bila sikap politik tersebut bersifat positif, maka perilaku politik yang ditunjukkan akan bersifat positif. Sebaliknya, bila sikap politik yang ditunjukkan bersifat negatif, maka perilaku politik yang ditunjukannya bersifat negatif. Positif atau negatifnya suatu sikap politik, tergantung pada beberapa hal, yakni ideologi dari aktor sikap politik tersebut, organisasi yang menunjukan sikap 116 politik tersebut, budaya-budaya yang hidup di lingkungan aktor sikap politik tersebut. Misalnya, pada Dapil I terdapat calon dari PKB yang hanya memperoleh suara 31, ini menandakan bahwa kandidat tersebut tidak banyak berperan, tidak dikenal oleh konstituennya, atau karena alasan seperti tersebut di atas, yaitu hanya mengumbar janji, tidak dekat dengan massa nahdiyin, figuritasnya kurang disenangi atau karena sikap massa nahdiyin yang skeptis terhadap calon tersebut, sehingga perolehan suaranya hampir sama dengan pemilihan ketua RT di berbagai tempat. Kandidat lain adalah pengasuh/pengurus salah satu pondok pesantren di Kecamatan Tawang, ia adalah warga nahdiyin, namun karena dicalonkan dari partai lain di luar PPP dan PKB, di TPS yang dekat dengan tempat tinggalnya dan masih berada di lingkungan pondok pesantren tersebut, tidak banyak memperoleh dukungan massa NU atau pemilih lain di luar warga nahdiyin. Kurangnya simpati pemilih terhadap calon dimaksud dikarenakan sikap dan perilaku kandidat yang diusung partai lain, karena partai tersebut oleh pemilih di lingkungannya dipandang sebagai partai yang bukan partainya kaum nahdiyin. 4.6. Pergeseran sikap politik Pada kegiatan pra pemilu atau pada masa kampanye di Kota Tasikmalaya, semua parpol baik yang berbasis massa Islam maupun NU semuanya bergerak untuk merangkul para kyai dan pesantren. Baik Demokrat, PDIP, Golkar, PPP, PKB maupun PKS dan yang lainnya, karena 117 NU itu memang seksi, artinya massa NU/pemilih massa NU cukup banyak dan berada/tersebar disemua lingkungan kehidupan masyarakat Kota Tasikmalaya, sehingga massa NU menjadi pusat perhatian kandidat dan partai politik untuk melakukan pendekatan dan mencari dukungan serta restu dari para Kyai. Dari hasil penelitian yang dilakukan penulis, diperoleh berbagai hal yang mempengaruhi pergeseran sikap politik massa NU di Kota Tasikmalaya, yang dipandang sebagai faktor yang mempengaruhi pergeseran sikap yang lebih dominan, yaitu; 1. Faktor Figuritas Kyai Figuritas Kyai dan nama besar Pesantren menjadi faktor yang dominan yang mempengaruhi terjadinya pergeseran sikap politik massa NU baik massa NU pendukung/simpatisan/massa yang berafiliasi kepada Partai Persatuan Pembangunan maupun Partai Kebangkitan Bangsa di Kota Tasikmalaya.Peran kyai pada pemilu legislatif 2014 menjadi epicentrum seluruh kandidat dari berbagai partai politik peserta pemilu legislatif baik untuk tingkat pusat maupun daerah. Pendekatan para kandidat kepada para Kyai yang memiliki pengaruh besar di masyarakat pemilih, dilakukan dengan berbagai macam cara. Kendati demikian, tidak seluruh kandidat yang datang ke Kyai dapat diakomodir permintaan dukungannya untuk memperoleh suara di lingkungan pesantren maupun di luar pesantren. Berdasarkan 118 pengamatan penulis dan hasil wawancara dengan berbagai pengurus pondok pesantren yang dipandang memiliki pengaruh besar di Kota Tasikmalaya, bahwa pihak pesantren dan Kyai mengakomodir kandidat dari berbagai partai politik yang memiliki visi yang sama dengan Pondok Pesantrennya, namun demikian permintaan dukungan dari Kyai pemilik Pondok Pesantren, langsung direspon dan dijanjikan akan mendapatkan suara banyak bagi seseorang kandidat, karena adakalanya Kyai menyerahkan sepenuhnya kepada santri dan masyarakat yang berada di lingkungan pondok pesantren untuk menentukan pilihannya. Hal ini berbeda dengan yang terjadi di Pondok Pesantren lainnya, peran Kyai sangat dominan ketika kandidat yang diakomodir mendapat dukungan penuh dari Kyai dan santrinya serta warga masyarakat yang berada di lingkungan pesantrennya. Misalnya di Pondok Pesantren Riyadlul Ulum Kawalu, kandidat yang berasal dari Partai Politik di luar PPP dan PKB mendapat dukungan dari Kyai dan santrinya serta warga masyarakat di lingkungan pesantren dengan perolehan suara yang cukup banyak dan mengalahkan kandidat yang berasal dari PPP dan PKB. Alasannya cukup rasional, bahwa kandidat dimaksud adalah orang NU dan berdomisili di dekan pesantren tersebut serta sering memberikan dukungan/bantuan terhadap pesantren dimaksud, meskipun yang bersangkutan diusung oleh partai di luar PPP dan PKB. 119 2. Faktor Figuritas Kandidat Figuritas kandidat legislatif baik untuk tingkat pusat, provinsi maupun tingkat Kota Tasikmalaya, menjadi perhatian besar semua kalangan, hal ini dikarenakan marketing politik yang dilakukan oleh kandidat dari berbagai partai politik mendapat apresiasi dari berbagai pihak dan kalangan. Baik dari aspek pemasaran dan sosialisasi kandidat kepada masyarakat melalui media cetak, media elektronik lokal, banner, spanduk, baligo dengan jargon politik yang beraneka ragam. Kesemuanya memberikan pengaruh psikologis terhadap masyarakat luas, namun apakah pengaruh tersebut bersifat negatif atau positif, bergantung pada perspektif masing-masing calon pemilihnya. Pada beberapa tempat pemilihan di empat daerah pemilihan, media yang dipakai untuk memasarkan dan mensosialisasikan kandidat sebagaimana tersebut di atas, ternyata tidak banyak mempengaruhi perolehan suara atau dukungan dari pemilih di daerah pemilihannya masingmasing. Kandidat yang berhasil memperoleh dukungan suara banyak, ternyata di tentukan oleh seberapa besar pengaruh figuritas/popularitas dan reputasi yang dicapai yang diketahui oleh konstituennya atau oleh masyarakat lainnya. Keterpilihan seorang kandidat idealnya harus memenuhi standar yang diinginkan pemilih, artinya pemilih akan menentukan pilihannya didasarkan atas seberapa besar kontribusi dan partisipasi kandidat terhadap pemilih atau kelompok pemilih. Seberapa besar 120 syarat-syarat kandidat terpenuhi secara umum seperti ; kapabilitas intelektual, kepemimpinan, etika dan moral. Kejelasan tentang visi dan misi serta program yang disampaikan kandidat, apakah pemilih memahami akan visi dan misi dan program yang disampaikan/ dilakukan seorang kandidat sesuai dengan aspirasi, kebutuhan dan kepentingan masyarakat banyak atau tidak. Jika hal tersebut di atas tidak dipenuhi oleh seorang kandidat, maka pemilih pada suatu saat akan beralih sikap dan orientasinya ke kandidat lain. Syarat-syarat seperti tersebut di atas, akan sulit diketahui oleh calon pemilih, ketika calon/kandidat tidak dikenal secara langsung atau bertatap muka langsung dengan masyarakat pemilih. Sikap dan orientasi pemilih massa NU dari simpatisan/kader/ pengurus PKB, sama halnya seperti yang dikemukakan oleh Morgan dan King, bahwa sikap dan orientasi calon pemilih didasarkan atas komponen kognitif, afektif dan kecenderungan tindakan. Sikap Kognitif artinya calon pemilih menilai kandidat dari berbagai aspek baik bersifat langsung ketika kandidat datang di daerah calon pemilih atau melalui informasi yang diperoleh dari pihak lain tentang kandidat tersebut. 3. Faktor Lingkungan masyarakat Lingkungan hidup masyarakat, baik di tingkat RT maupun tingkat RW/Kedusunan, ternyata memiliki pengaruh besar terhadap sikap dan orientasi pemilih dalam menentukan pilihannya. Domisili atau tempat tinggal pemilih ternyata memiliki ciri khas masing-masing yang 121 didasari oleh homogenitas dan heterogenitas warga masyarakatnya. Di wilayah Kecamatan Cihideung dan Tawang terutama di lingkungan pusat kota, sikap politik pemilih lebih ditentukan pada faktor kebebasan individunya, karena di lingkungan ini sebagian besar pemilih adalah pemilih rasional dan skeptis. Kondisi tersebut sangat berpengaruh terhadap kandidat yang kurang memahami sikap dan budaya politik warga masyarakat dimaksud. Oleh karena itu, kandidat yang memiliki hubungan sosial ekonomi yang baik dan memiliki kedekatan emosional karena keterikatan obyek tertentu, yang memperoleh dukungan suara yang banyak dari pemilih di lingkungan warga masyarakat dimaksud. Namun, hal ini berbeda dengan wilayah atau lingkungan di Kecamatan Cihideung dan Tawang daerah pinggiran, yang mayoritas pemilihnya bersifat homogen etniknya. 4. Politik Simbol Massa nahdiyin baik dari PKB maupun PPP masih sangat menjunjung tinggi nilai-nilai yang di ajarkan oleh para Kyai/ulama/ajengan/ustadz dalam lingkungan kehidupannya. Dalam tradisi warga nahdiyin kyai merupakan pribadi yang memiliki istimewa. Pendapat kyai menjadi rujukan utama dalam proses sosial kemasyarakatan maupun dalam pengambilan keputusan baik dalam masalah agama maupun masalah sosial dan politik. Sosok kyai/ulama/ajengan/ustadz nahdiyin, menurut warga nahdiyin adalah sosok pewaris nabi, oleh karena itu sikap massa nahdiyin dalam hal-hal tertentu 122 menyandarkan segala sesuatunya tergantung apa yang disampaikan kyai/ulama/ajengan/ustadz. Massa nahdiyin, sampai sekarang masih melekat dengan simbol pakaian yang sering dipakai para kyai yaitu, baju gamis/haramain, sorban, tasbeh, termasuk simbol non verbal seperti cium tangan warga nahdiyin/santri kepada kyai, tabaruq (untuk mendapat berkah), dan nilai-nilai dalam peribadatan seperti maulid Nabi, Rajaban (Isra Mi‟raj) , Qunut, Sholawat, Marhabanan, istighosah dan lain sebagainya. Dalam kehidupan kemasyarakatan sikap warga nahdiyin, dilandasi dengan empat sikap kemasyarakatan NU, yaitu; a. Sikap Tawassuth Wal-I‟tidal (tengah-tengah dalam hidup bersama serta selalu jujur), b. Sikap Tasamuh (toleran dan saling menghormat terhadap perbedaan pendapat); c. Sikap Tawazun (menyelaraskan sikap berkhidmah pada Alloh SWT, dalam arti “kepentingan akhirat”, dan sikap pada kepentingan lingkungan untuk kemaslahatan hidup di dunia); d. Sikap yang selalu berAmar Ma‟ruf Nahi Munkar untuk mendorong dirinya dan orang lain agar berbuat baik serta meninggalkan perbuatan yang tidak terpuji. Simbol yang bersifat verbal maupun simbol non verbal dan nilai-nilai seperti tersebut di atas, disamping dijadikan pegangan, pedoman dan landasan dalam kehidupan beragama dan kemasyarakatan. Simbol dan nilai tersebut secara tersirat dijadikan sebagai pembanding dan pembeda dalam proses sosial kemasyarakatan dan proses politik. Artinya, warga nahdiyin akan menilai partai 123 politik atau calon yang akan maju dalam pemilu legislatif, apakah memiliki kesamaan dengan simbol dan nilai-nilai yang dianut warga nahdiyin atau tidak. Jika terdapat kesamaan sikap politik yang sama dengan warga nahdiyin yang diaktualisasikan dalam simbol dan nilai-nilai yang dianut warga nahdiyin, maka warga nahdiyin sangat terbuka dan memberikan respon positif terhadap calon dimaksud. Namun sebaliknya apabila tidak ada kesamaan sikap politik, simbol dan nilai-nilai yang dianut warga nahdiyin, maka warga nahdiyin tidak akan meresponnya. Sikap tersebut sama halnya dengan pendapat yang disampaikan Fadillah (2003 :200) Bila sikap politik tersebut bersifat positif, maka perilaku politik yang ditunjukkan akan bersifat positif. Sebaliknya, bila sikap politik yang ditunjukkan bersifat negatif, maka perilaku politik yang ditunjukan nya bersifat negatif. Positif atau negatifnya suatu sikap politik, tergantung pada beberapa hal, yakni ideologi dari aktor sikap politik tersebut, organisasi yang menunjukan sikap politik tersebut, budaya-budaya yang hidup di lingkungan aktor sikap politik tersebut. Pendekatan melalui simbol dan nilai-nilai kepada warga nahdiyin oleh partai politik atau oleh calon legislatif, dilakukan melalui kegiatan yang sering dilakukan warga nahdiyin pada acara maulid Nabi, (Peringatan Kelahiran Nabi Muhammad SAW), Rajaban (Peringatan Isra Mi‟raj Nabi Muhammad SAW), Tahlilan, Do‟a Istigosah atau kegiatan syukuran yang dilaksanakan warga nahdiyin. Karena momen tersebut adalah tempat berkumpulnya 124 warga nahdiyin, baik massa nahdiyin PPP maupun massa nahdiyin PKB, sehingga kesempatan tersebut dapat dijadikan ajang silaturahmi, sosialisasi dan sekaligus mempromosikan diri masing-masing calon legislatif atau partai politik yang mengusungnya. 125 KESIMPULAN 5.1. Kesimpulan ari hasil penelitian ini diketahui bahwa pergeseran sikap politik massa Nahdlatul Ulama Partai PKB dan Partai PPP pada pemilu legislatif tahun 2014 di Kota Tasikmalaya disebabkan oleh sikap politik massa NU PPP ; Pertama; kelompok massa NU yang bertempat tinggal di pinggiran kota, memiliki sikap politik pada pemilu legislatif 2014, bergantung pada sikap politik pengurus NU wilayah tempat tinggalnya. Kedua, kelompok massa NU PPP yang bersikap pragmatis, kelompok ini tersebar di berbagai tempat di Dapil I sampai dengan Dapil IV. Ketiga, massa NU PPP, memiliki sikap politik mendukung kandidat dari parpol lain, karena latar belakang pengaruh pengurus parpol yang hijrah ke parpol lain, pengaruh karena kekecewaan dari parpol yang tidak menepati janji politiknya. Keempat; kelompok masyarakat massa NU atau wilayah yang berbasis massa NU yang memberikan dukungan dan sikap politiknya kepada kandidat dari partai lain karena kontribusi calon terhadap nassa di daerahnya. Kelima; sikap politik massa NU yang berada dilingkungan Pondok Pesantren. untuk menentukan pilihannya kepada kandidat yang ditentukan oleh pengasuh/pimpinan pondok pesantren. Sedangkan D 126 sikap politk massa NU PKB yaitu loyalitas massa NU dari PKB, loyalitas dimaksud ialah ketaatannya pada ajaran bagi kaum nahdiyin (yaitu empat bentuk sikap kemasyarakatan NU); Sikap Tawassuth Wal-I‟tidal, Sikap Tasamuh., Sikap Tawazun, Sikap yang selalu ber-Amar Ma‟ruf Nahi Munkar. Yang berbeda ialah bahwa di lingkungan massa NU PPP, lambang parpol lebih dominan mempengaruhi sikap dan perilaku pemilih, sedangkan pada lingkungan massa NU PKB, sikap politiknya dilandasi oleh simbol/lambang dan nilai-nilai NU yang sama dengan lambang/simbol PKB. Masih banyak terdapat massa NU PKB di daerah pemilihan yang berbasis warga nahdiyin memberikan dukungan kepada kandidat yang berasal dari partai PKB atau partai lain karena arahan/instruksi. Loyalitas warga nahdiyin sangat kental dengan nilai dan pedoman NU. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pergeseran sikap politik massa NU PPP dan PKB antara lain ; Faktor Figuritas Kyai, Pendekatan para kandidat kepada para Kyai yang memiliki pengaruh besar di masyarakat pemilih, dilakukan dengan berbagai macam cara. Faktor Figuritas Kandidat/calon, sosialisasi kandidat kepada masyarakat melalui media cetak, media elektronik lokal, banner, spanduk, baligo dengan berbagai jargon politik, memberikan pengaruh psikologis. Faktor Lingkungan hidup masyarakat, ternyata memiliki pengaruh besar terhadap sikap dan orientasi pemilih dalam menentukan pilihannya. Faktor Politik Simbol, massa nahdiyin PKB maupun PPP sangat menjunjung tinggi nilai- 127 nilai yang di ajarkan oleh para Kyai/ulama/ajengan/ ustadz, karena kiayi/ulama/ajengan/ustadz adalah sosok yang istimewa karena kyai adalah pewaris nabi. Oleh karena itu sikap massa nahdiyin dalam hal-hal tertentu menyandarkan segala sesuatunya tergantung apa yang disampaikan kyai/ulama/ajengan/ustadz. Massa nahdiyin percaya simbol yang bersifat verbal dan non verbal merupakan bagian dari hidup beragama dan kemasyarakatan yang sulit untuk dipisahkan. 128 Amin MS, Muhammad “ Mengislamkan Kursi dan Meja “ Yayasan Lembaga Pewaris Negeri (YLKPN) Pekanbaru bekerjasama dengan Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2009 Firmanzah.”Marketing Politik: antara pemahaman dan realitas”. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2008 Gaffar, Afan, “ Politik Indonesia : Transisi Menuju Demokrasi” Yogyakarta, Penerbit Pustaka Pelajar, 1999 Harison, Lisa, “ Metodologi Penelitian Politik”, Jakarta : Penerbit Prenada Media Group 2007 Huntington, Samuel P. dan Nelson, Joan.. “Partisipasi Politik di Negara Berkembang”. Jakarta: Rineka Cipta. 1994 Ismail, Faisal 1999: 35; “Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama””, Yogyakarta: PT Tiara Wacana 1999 Kusmayadi,Edi “Realitas dan Dinamika Politik LokalPenerbit. Deepublish. Yogyakarta, Tahun 2015. Muzadi, Hasyim, “ NU di Tengah Agenda Persoalan Bangsa “ Logo, Jakarta, 1999. Mukti, Muslim,M.Si,“Teori-Teori Politik” Bandung: Penerbit Pustaka Setia, 2012 Mas‟oed, Mochtar dan Colin Mac Andrews, “Perbandingan Sistem Politik “Yogyakarta, Gadjah MadaUniversity Press, 2000 Putra,Fadillah.“Partai Politik dan Kebijakan Publik”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003. 129 Rakhmat, Jalaludin. “Psikologi Komunikasi”. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008 S. Azwar: “Sikap Manusia : Teori dan Pengukurannya”. Yogyakarta, Penerbit Pustaka Pelajar, 1995 Seful Muhtadi, Asep. “Komunikasi Politik Nahdlatul Ulama Pergulatan Pemikiran Politik Radikal dan Akomodatif” Jakarta, LP3ES, 2004 Surbakti, Ramlan, “ Memahami Ilmu Politik” Jakarta, Grasindo Gramedia Widiasarana, 2010 Thoyfoer. MC,HA “Politik Kebangsaan NU, Tafsir Khittah Nahdlatul Ulama 1926” Penerbit Mutiara, Yogyakarta. 2010 Widayatun, Tri Rusmi.” Ilmu Perilaku”. Jakarta: Sagung Seto. 1999 Jurnal : Subhan Agung. “ Pergeseran Perilaku Elit Politik dalam Proses dan Pasca Pemilukada Kota Tasikmalaya Jurnal Ilmu Politik dan Pemerintahan, Volume 1,Nomor 2, Juli 2013, LPPM Universitas Siliwangi Tasikmalaya. Penelitian: Kusmayadi, Edi. Dkk. “Dinamika Elit Politik menjelang Pilkada Kota Tasikmalaya“. Penelitian : Kusmayadi, Edi, 2014 “Respon Pemilih Pada Pra Pemilu Legislatif tahun 2014 (studi kasus di Daerah Pemilihan Kecamatan Cihideung, Tawang dan Bungursari) Kota Tasikmalaya” Rujukan Elektronik Lingkaran Survey Indonesia“ResponPemilihdi berbagaikota“,Melalui 130 id.wikipedia.org/wiki/Lingkaran_Survei_Indonesi a Ratna Adining Tyas .“ Budaya Politik “ melalui , www.kompasiana.com/RatnaAdiningTyas (12/1/14) Lau (2003) & Redlawsk, (2006), “lima jenis heuristics Perilaku Pemilih”.melalui webandikamongilala.wordpress.com. (16/1/14) Sarnoff “ Pengertian respon dan Sikap ”.Melalui www.duniapsikologi.com/sikap(10/1/14)politik.kompasiana.com/.../wakil-ketuadpc-ppp-meng.(diunduh pada hari Selasa 17 Februari 2015, pk.12.29). http://id.wikipedia.org/wiki/Nahdlatul_Ulama kanal3.word.press.com/2009/05/15/sejarahberdirinya-nahdlatul-ulamafatayat.or.id/Sejarah. diunduh pada hari Rabu 12 Februari 2015, pk.10.22 partaislam.blogspot.com/.../sejarah-berdirinya-partaik.diunduh pada hari Kamis, 12 Februari 2015, pk.13.03.poltracking.com/partai-kebangkitanbangsa-pkb,(diunduh pada hari Kamis, 12 Februari 2015, pk. 13.22). poltracking.com/partai-diunduh pada hari Kamis, 12 Februari 2015, pk.13.17) www.tempo.co/.../Partai-Persatuan-Pembangunan-PPP. (diunduh pada hari Jum‟at 20 Februari 2015, pukul. 08.38). harianterbit.com (diunduh pada hari Kamis, 26 Februari 2015, pk. 09.20). 131 http://www.muslimedianews.com/2014/05/jumlahwarga-nu-83-juta-jiwa-diunduh pada hari Senin, 7 Maret 2016, pukul. 11.15) Website resmi Pemerintah Kota Tasikmalaya http://tasikmalayakota.go.id info-kotakita.blogspot.com/2014/10/daftar-ponpesdikota. https://www.academia.edu/10420486/Sejarah_Berdirinya _NU_di_Tasikmalaya. 21/1/2016 Sumber lain : Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 Tentang Pemilu Kemenkumham, Jakarta. 2009 Harian Kompas, Sabtu, 31 Januari 2015, hal 5, kolom 2 -3 Media Center KPU Jabar, diakses tanggal 12 Januari 2004 KPU Daerah Kota Tasikmalaya tahun 2014 Badan Pusat Statistik Kota Tasikmalaya, “Tasikmalaya dalam Angka Tahun 2013” 132 Lahir di Pamarican Ciamis tanggal 7 Mei 1956, anak kelima dari delapan bersaudara, Putra dari Alm. Bapak Omo Kisma Djajadihardja dan Ibu Almh, Omoh Salamah. Menyelesaikan Studi S1, di Fisip Universitas Tanjungpura Pontianak Kalimantan Barat tahun 1984, S2 di STIA YPPT Tasikmalaya tahun 2005, Lulusan Lemhannas Suscadoswar angkatan ke 46 tahun 2002. Dosen Fisip Unsil, menjabat Wakil Dekan Fisip Unsil sejak 2009. Pemimpin Redaksi Jurnal Ilmu Politik dan Pemerintahan sejak 2009. Alamat Rumah Jl. Peta Gunung Roay II No.18 Rt.05/Rw.14 Kelurahan Kahuripan Kecamatan Tawang Kota Tasikmalaya, e-mail : [email protected]. HP. 081313810055. Nama Isteri Ida Rosida, Anak Pertama : Ira Mala Kusuma, SE (lulusan Fakultas Ekonomi Unsil tahun 2007), Anak Kedua Fitria Zahara Kusuma,S.IP,.M.Si, (Lulusan HI-Fisip Unjani Bandung tahun 2011 – lulusan STIA YPPT Tasikmalaya tahun 2015), Anak ketiga Mochammad Fachry Azis Kusuma (Mahasiswa Jurusan Komunikasi Fisip Unsoed Purwokerto). Karya Tulis : Buku “Realitas dan Dinamika Politik Lokal” Penerbit, Deepublish Yogyakarta tahun 2014. 133