BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Dalam beberapa dekade terakhir ini, paling kurang terdapat dua fenomena menarik yang terkait dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi di satu sisi, terutama perkembangan komunikasi yang dimediasikan komputer (Computer-Mediated Communication/CMC), dan perkembangan kehidupan demokrasi di sisi lain. Pertama, makin menguatnya gejala “Revolusi Internet”1, yaitu, perubahan sangat cepat yang terjadi dalam dunia internet itu sendiri, seperti dalam teknologi informasi dan komunikasi, dan perubahan dunia sosial aktual yang juga sangat cepat yang disebabkan oleh internet. Di samping itu dikatakan Revolusi Internat, karena keberhasilannya memasuki semua aktivitas kehidupan manusia, tidak hanya sebagai sumber pengaruh dari luar, tetapi sebagai bagian dari segala aktivitas manusia yang serba terkoneksi. Di dalam bidang media massa, salah satu bentuk nyata dari Revolusi Internet itu adalah lahir dan hadirnya berbagai media massa versi multimedia atau online. Sebelumnya mereka hanya mengandalkan media massa versi cetak atau elektronik saja. Selain itu, bentuk nyata dari Revolusi Internet adalah terciptanya fenomena media sosial seperti Facebook dan Twitter. Di samping itu adalah fenomena demokratisasi informasi seperti setiap orang bebas, kapan dan di mana saja, memberikan, mengakses, menerima, dan menyampaikan informasi. 1 Manuel Castells menyebutnya dengan istilah Revolusi Teknologi Informasi (The Information Technology Revolution). Lihat Castells, M, 2010, The Rise of Network Society, Second Edition With New Preface, West Sussex: John Willy & Sons Ltd, hal. 28. 1 Kedua, praktik demokrasi politik tidak lagi hanya berlangsung di ruang aktual namun juga telah berlangsung di ruang virtual atau cyber. Ini artinya, kontestasi politik, sebagai salah satu esensi demokrasi politik (di samping partisipasi dan kebebasan)2 tidak hanya dilakukan secara offline atau face to face, namun juga dilaksanakan secara online. Dalam kontestasi politik secara online tersebut umumnya berlangsung pada dan melalui bahasa, baik bahasa verbal seperti kata dan rangkaian kata maupun bahasa visual atau non-verbal seperti foto dan gambar. Di sini bahasa dijadikan ruang sekaligus aparatus bagi setiap pertaruangan atau kontestasi politik. Salah satu lingkungan internet yang dewasa ini seringkali dijadikan ruang kontestasi politik adalah komentar pembaca di media online. Di sini kontestasi politik berlangsung secara virtual dan online. Dalam media tersebut, baik media massa maupun media sosial, kehadiran ruang komentar pembaca tersebut sudah bersifat inheren atau melekat.3 Artinya, setiap media online senantiasa menyediakan ruang komentar online. Hal itu terkait dengan salah satu karakter internet yang „wajib‟interaktivitas dan konektivitas. Oleh sebab itu, ruang seperti ini tentu tidak dapat ditemukan di media massa tradisional, terutama media massa cetak. Dewasa ini, komentar semakin populer dan banyak diminati pembaca atau pengguna internet (user), baik dalam bentuk ekspresi dengan membaca komentar- 2 Robert Dahl mengabstraksikan demokrasi itu dengan padanannya “Poliarchy”. Lihat, Dahl, R, 2001, Perihal Demokrasi: Menjelajahi Teori dan Praktik Demokrasi Secara Singkat, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 3 Hal itu terutama, secara teknis, didorong oleh perkembangan teknologi web dari versi 2.0 ke web versi 3.0. Pada versi yang terakhir ini dimungkinakan terdapat software yang terkait dengan konstruksi channel atau kanal komentar online. 2 komentar maupun juga ramai terlibat dalam ekspresi dengan memberikan komentar. Sebelumnya, bagian dari ruang online yang populer dan banyak diminati untuk dijadikan panggung bagi kontestasi politik, atau pun panggung sosial budaya lainnya, sebagaimana umum ketahui, adalah media sosial seperti Facebook dan Twitter. Atau jauh sebelumnya lagi adalah, seperti ruang online chatgroups, chatting, newsgroups, usergroups, chatrooms, mailing lists, discussion lists, e-conferences, dan bulletin boards. Keberadaan komentar pembaca dalam media massa online telah mendorong keterlibatan khalayak pembaca terhadap berita dan wacana yang disajikan sekaligus dikembangkan oleh (redaksi) media massa online. Hal tersebut dimungkinkan karena karakteristik ruang komentar online bersifat serba terbuka. Sejauh ini, belum ada yang bersifat tertutup atau privat. Hal itu tentu berbeda dengan ruang dalam media sosial, seperti Facebook misalnya, yang selain dapat bertutur atau berkomunikasi secara terbuka seperti via pos-pos pada dinding (wall), juga masih dimungkinkan dapat bertutur secara tertutup atau privat satu sama lain melalu fitur pesan. Dalam komentar pembaca tersebut, khalayak pembaca dapat dikatakan seolah sedang benar-benar mengalami keleluasaan di satu sisi, dan secara bersamaan praktik komentar sedang mengalami euforia di sisi lain. Dalam konteks politik, dalam istilah Catherine Belsey, seperti dikutip Yasraf Amir Piliang, pembaca tersebut tengah tampil sebagai kekuatan (Reader’s power)4. 4 Lihat Piliang, A.Y., 2003, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, Yogyakarta: Jalasutra, hal. 120. Perlu dijelaskan di sini konteks munculnya term reader’s power tersebut adalah bersamaan dengan munculnya term the death of author yang dikemukakan oleh Roland Barthers. 3 Bila dikaitkan dengan ruang komentar online, kemunculan pembaca itu nampaknya juga berbanding lurus dengan lahirnya komentar pembaca menjadi kekuatan. Artinya, komentar online menjadi salah satu ruang sekaligus aparatus yang memiliki kekuasaan tersendiri. Misalnya, seperti ia dapat menciptakan pilihan untuk mengkonsumsi sekaligus memproduksi segala keputusan mana yang baik dan mana yang tidak baik melalui politik representasi dalam sebuah praktik wacana. Lebih dari itu, komentar pembaca online dapat dikatakan tidak sekedar sebagai ruang ekspresi khalayak pembaca, tetapi juga bila dianalogikan dengan film,5 merupakan sebuah teks sosial yang merekam sekaligus berbicara tentang dinamika realitas kehidupan (terutama virtual reality) di mana dan pada saat komentar itu dikonsumsi, diproduksi dan didistribusikan. Di sini komentar pembaca online melalui teks dan wacananya dapat menjadi jendela untuk melihat dan memahami realitas sosial, terutama realitas sosial virtual, yang terjadi pada ruang dan kurun waktu tertentu. Komentar pembaca tentang calon gubernur dalam sebuah kontestasi politik seperti pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) misalnya, merupakan pintu masuk yang penting untuk mengungkap dan memahami konfigurasi demokrasi yang termediasi teknologi internet, atau yang disebut fenomena cyberdemocracy. Di Indonesia, seiring dengan gejala semakin menguatnya desentralisasi politik dan otonomi daerah, praktik demokrasi yang kerapkali termediasi oleh internet, seperti tereproduksi oleh sebuah web portal berita sekaligus terkomentari 5 Lihat Noviani, R, 2011, “Konsep Diri Remaja Dalam Film Indonesia: Analisis Wacana Atas Film Remaja Indonesia Tahun 1970-2000-an”, KAWISTARA, Vol. 1, No. 1, hal. 41. 4 (commented) oleh khalayak pembaca, adalah pemilihan kepala daerah (pemilihan bupati, pemilihan wali kota, dan pemilihan gubernur).6 Praktik demokrasi dalam bentuk kontestasi calon kepala daerah tersebut, sebagaimana dikatakan di awal, tidak hanya berlangsung di ruang aktual yang face to face, melainkan telah berlangsung di ruang virtual yang online. Namun demikian, di dalam komentar online tersebut, para calon kepala daerah, termasuk calon gubernur, bila merujuk pada Theo van Leeuwen tentang pengkategorisasian partisipan atau aktor dalam wacana,7 alih-alih menjadi partisipan yang berkategori “agen”, di mana mereka dapat menampilkan peran dan identitasnya, malah mereka menjadi partipisan yang berkategirikan “pasien”, di mana mereka diperlakukan oleh pembaca sebagai objek komentar online dengan ragam politik representasi dan interaksi. Sejauh ini misalnya, calon gubernur tersebut direpresentasikan di dalam teks komentar online oleh pembaca dalam dan melalui bahasa verbal dan non verbal. Baik teks dan wacana yang bernada pengunggulan maupun yang diarahkan untuk pemarginalan pasangan calon tertentu. Secara khusus, penelitian ini mengkaji representasi calon gubernur di dalam teks komentar online. Untuk tidak menggeneralisasi, penelitian ini menggunakan strategi studi kasus, yaitu, representasi calon gubernur DKI Jakarta 6 7 Dalam lima tahun, pelaksanaan pemilihan kepala daerah tersebut di atas dapat berlangsung berkali-kali di berbagai daerah. Hal demikian dimungkinkan, karena sejauh ini pelaksanaan berbagai kontestasi politik pemilihan kepala daerah tersebut tidak diselenggarakan secara serentak. Tentu hal tersebut sangat berbeda dengan pemilihan presiden-wakil presiden, di mana even politik tersebut diselenggarakan secara reguler, yaitu satu kali dalam setiap lima tahun. Van Leeuwen, T, Leeuwen, v.T., 2008, Discourse and Practice: New Tools For Critical Discourse Analysis, New York: Oxford University Press, hal. 23. 5 tahun 2012 di ruang komentar pembaca Kompas.com. Dari analisis terhadap komentar online tersebut diharapkan tidak hanya kuasa kognisi dan ideologi yang diproduksi dari representasi calon gubernur dalam ruang komentar online yang terungkap dan teridentifikasi, namun juga strategi perepresentasian yang digunakan. Di samping itu, melalui analisis ini diharapkan dapat ditemukan juga konfigurasi cyberdemocracy itu sendiri di mana dan pada saat ia diekspresikan atau dipraktikan. Memang bersamaan dengan pesatnya kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, semua media massa online, seperti halnya media sosial online, memiliki dan menyediakan ruang komentar online. Ruang komentar ini umumnya disediakan oleh institusi media massa online sebagai ruang koneksi dan interaksi antara media massa dengan khalayak secara online di satu pihak, serta koneksi dan interaksi antara khalayak pembaca dengan khalayak pembaca lainnya secara online di pihak lain. Di samping itu ruang komentar online ini disediakan oleh pengelola media massa online dalam kerangka mengajak para pembaca untuk terlibat membangun budaya komentar yang baik. Di sini pembaca sebetulnya, bila merujuk pada berbagai pedoman komentar yang ditampilkan oleh pengelola media massa online, diajak untuk berdiskusi, berbagi ide dan pengetahuan, belajar saling menghargai antar pembaca dengan menggunakan bahasa yang baik dalam segala ekspresinya.8 8 Lihat misalnya pada Pedoman Komentar Online yang disediakan di Kompas.com dan Yahoo.com. 6 Keterlibatan khalayak pembaca di Kompas.com pada Pemilukada DKI Jakarta itu juga tentu sejatinya berlangsung pada dan melalui percakapan bahasa verbal yang baik, terutama dalam bentuk kosakata dan kalimat-kalimat. Teks-teks itu diproduksi oleh khalayak pembaca pada ruang komentar Kompas.com yang sengaja disediakan oleh redaksi Kompas.com itu sendiri. Nuansa koneksi dan interaksi pada setiap komentar yang dibuat khalayak pembaca sangat terasa ketika setiap komentar itu disediakan juga kolom “tanggapi komentar” dan kolom “laporkan komentar”. Di samping komentar dalam bentuk teks verbal, tersedia juga komentar dalam bentuk teks visual, seperti simbol gambar dengan tombol “jempol di atas“ dan “jempol di bawah”.9 Untuk simbol “jempol di atas” umumnya menandakan “Like” atau “Suka”, sedang simbol “jempol di bawah” umumnya menandakan “Dislike” atau “Tidak Suka”.10 Dengan kata lain, bahasa yang digunakan dalam koneksi dan interaksi di ruang komentar pembaca tidak selalu dalam bentuk teks tulisan melalui kata-kata atau kalimat-kalimat, melainkan juga dalam bentuk teks simbol atau teks gambar.11 9 Kedua gambar itu telah memberikan kemudahan bagi pengunjung atau warga internet untuk mengungkapkan perasaan dan mewakili pikiran warga internet yang tidak dapat dituliskan melalui teks kata-kata. 10 Bandingkan dengan beberapa situs lainnya yang tidak mencantumkan secara bersamaan kedua tombol tersebut di atas. Misalnya, di situs portal berita republika online, detik.com, jawapos.com, time.com, dan washingtonpost.com di mana dalam fitur atau ruang komentarnya hanya menampilkan tombol “Like” atau “jempol di atas” semata. Hal serupa berlangsung di portal komunitas atau situs tertutup, seperti movOn.Org, RNC.org, dan DNC.org di Amerika Serikat. Hal yang sama juga di dalam situs jejaring media sosial seperti Facebook. 11 Selain teks tulisan dan teks gambar di atas, bahwa bersamaan dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi telah memungkinkan antara warga internet berkomunikasi atau berinteraksi melalui suara maupun visual, seperti dalam dan melalui layanan Skype. 7 Gambar 1 Tombol Like dan Dislike Khusus untuk gambar “jempol di atas” atau tombol “Like”, sebetulnya tidak selalu bermakna suka, tetapi juga dapat berarti beragam dan arti itu hanya diketahui oleh pengklik tombol tersebut. Survei dan virtual etnografi Chiristine Hine12 misalnya, menemukan fenomena makna “Like” yang terjadi di dunia virtual. Fenomena itu difokuskan pada makna dan atau alasan mengapa pengguna mengklik tombol “Like” di kolom komentar yang ada di Facebook, yakni 1) menyukai, 2) menyetujui, 3) turut merasakan, 4) ungkapan simpati, dan (5) peninggal jejak. Lepas dari itu, mengingat komentar online yang bersumber dari teks berita dan wacana yang disajikan serta dikembangkan oleh media massa online, maka khalayak pembaca ini tampil tidak hanya sebagai produsen sekaligus juga sebagai konsumen (atau dengan akronimnya kondusen) teks dan wacana. Dari sekian banyak wacana yang disajikan dan dikembangkan portal berita Kompas.com selama Pemilukada DKI Jakarta tahun 2012, berlangsung dan banyak dikonsumsi sekaligus diproduksi khalayak pembaca, penelitian ini lebih fokus pada berita dan 12 Hine, C., 2000, Virtual Etnography, London dan New Delhi: SAGE Publication. 8 wacana yang paling banyak dikunjungi (terpopuler) sekaligus paling banyak dikomentari (terkomentari). Wacana dimaksud adalah politik SARA, politik simpatik, dan kedewasaan politik. Ketiga wacana tersebut banyak tersaji pada Pemilukada DKI Jakarta tahun 2012, yaitu khususnya ketika pemberitaan head to head antara pasangan FokeNara vis a vis Jokowi-Ahok sejak putaran pertama hingga putaran kedua.13 Berdasarkan itu, korpus penelitian ini adalah tiga wacana dan sembilan teks judul berita yang disajikan dan dikembangkan Kompas.com dengan tiga puluh tiga teks komentar online selama kurun waktu Pemilukada DKI Jakarta 2012. Sasaran atau objek material dan kasus dari penelitian ini, sebagaimana dikatakan di atas, adalah representasi Calon Gubernur DKI Jakarta 2012 di Kompas.com. Terdapat beberapa alasan mengapa penelitian ini mengambil studi kasus demikian. Pertama, untuk sasaran atau lokus penelitian yakni Kompas.com, didasarkan fakta bahwa Kompas.com merupakan bagian dari imperium kelompok bisnis media massa berpengaruh di Indonesia, yaitu Kompas Gramedia (KG), di mana salah satu unit usaha utamanya bergerak di bidang pers atau surat kabar. Di sini Harian Kompas tampil sebagai harian umum terbesar dan terkemuka di Indonesia. Untuk memastikan akuntabilitas distribusi harian Kompas, sejak tahun 1976, koran Kompas menggunakan jasa ABC (Audit Bureau of Circulations) untuk mengauditnya.14 13 Disengaja atau tidak, memang sejak putaran pertama Pemilukada DKI Jakarta, kedua pasangan calon ini yang sedang berkontestasi politik oleh banyak kalangan, terutama media massa, sudah dihadap-hadapkan, ketimbang dengan dan antara empat pasangang calon gubernur lainnya. 14 http://id.wikipedia.org/wiki/kompas_(surat-kabar) (diakses 24 Maret 2012). 9 Kedua, Kompas.com dalam website alexa.com dikatakan sebagai portal multimedia dan berita yang terpercaya (terkredible) dan terkemuka di Indonesia. Selain itu, Kompas.com sejak didirikannya 1995 dengan nama KCM, dan didirikan kembali pada 2008 dengan nama Kompas.com, telah masuk pada 25 website terpopuler yang dikunjungi pembaca. Menurut laporan urlrate.com, Kompas.com setiap harinya dikunjungi oleh 1.605.975 visitor atau pengguna internet, dan menunjukkan daily pageview sebanyak 12.847.656 viewer.15 Pada tahun 2011, situs ini meraih penghargaan Silver Award dalam Asian Digital Media Awards sebagai Best Newspaper Website in Asia. Saat penelitian ini dilaksanakan, Kompas.com di tingkat dunia atau tingkat global, dari puluhan ribu situs yang eksis, menduduki peringkat ke-741. Sedangkan di tingkat nasional, kompas.com dari 500 situs top menduduki peringkat ke-12.16 Bila dilihat hanya dari katagori portal berita, Kompas.com di Indonesia menduduki peringkat ke-2 di bawah Detik.com. Posisi ini dapat dikatakan sebagai „prestasi istimewa‟, mengingat Kompas.com, berbeda dengan Detik.com, yakni bukan situs berita online yang pertama didirikan di Indonesia. Kompas.com hanya merupakan „kepanjangan tangan‟ dari Harian Kompas versi cetak. 15 Lihat http://www.urlrate.com/www/kompas.com (diakes, 18 Juli 2013). Bandingkan dengan Alexa.com 16 http://www.alexa.com/siteinfo/kompas.com# (diakses, 6/11/2012). Ketika data ini diakses, untuk katagori tingkat nasional website terpopuler di atas kompas.com secara berturut-turut adalah: facebook; google co.id; google.com; blogspot; youtobe; yahoo; woldPress; kaskus co.id; twitter; detik.com; blogger.com; dan kompas.com. Bandingkan di website: www.urlrate.com. Kurang lebih delapan bulan kemudian, ketika tulisan ini direvisi, peringkat kompas.com secara global mengalami peningkatan menjadi peringkat ke-600. Namun demikian, di tingkat nasional, kompas.com mengalami penurungan peringkat, menjadi peringkat ke-16. Website di atasnya terdapat website tokobagus.com, adf.ly, Wikipedia.com, dan klikbca.com. Lihat http://www.alexa.com/siteinfo/kompas.com (diakses, 18 Juli 2013). 10 Ketiga, Kompas.com dalam pemberitaan Pemilukada DKI Jakarta 2012 telah dikunjungi dan dikomentari oleh pembaca yang dapat dikatagorikan sangat besar. Bila dirata-ratakan mereka dapat mencapai lebih dari seratus lima puluh ribu (150.000) pembaca untuk setiap pemberitaanya. Misalnya pada kasus pemberitaan dengan judul: Rhoma Irama: Jokowi-Ahok, "I Love Them All“, 06/08/2012, 14.52 WIB, sampai tanggal 7 Agustus 2012, telah dibaca:157.118 dan dikomentar: 212. Bahkan sebelumnya, dalam pemberitaan topik yang sama dengan judul yang berbeda, seperti topik “Jelaskan Duduk Perkara, Rhoma Irama Menangis”, 6/08/2012/ 10. 57, sampai tanggal 7/08/2012, telah dibaca: 268.962 dan dikomentar 472. Keempat, Pemilukada DKI Jakarta 2012 untuk kali ini tergolong menarik. Sebab untuk pertamakalinya diikuti oleh peserta paling banyak, sejak diadakan secara langsung, yaitu enam pasang calon gubernur-calon wakil gubernur (Fauzi Bowo-Nuchrowi Ramli [Partai Demokrat, PKB, Hanura], Nurwahid HidayatDidik J Rachbini [PKS-PAN], Joko Widodo-Tjahaja Purnama alias Ahok [PDIP, P Gerindra), Faisal Basri-Bien Benyamin [jalur independen], Hendardji Soepandji-Riza Fatria [jalur independen], dan Alex Nurdin-Nono Sampurno [P Golkar, PPP, PDS]). Selain itu, juga untuk pertamakalinya diikuti oleh dua calon yang masih aktif menjabat kepala daerah di daerahnya masing-masing, yaitu Alex Nurdin (sebagai Gubernur Sumatra Selatan) dan Joko Widodo (sebagai Wali Kota Solo). Pemilukada DKI Jakarta kali ini juga diikuti oleh dua pasang calon gubernur dan wakil gubernur dari jalur independen/perseorangan (pasangan Faisal Basri-Bien Benyamin dan pasangan Hendardji Supardji-Riza Fatria). 11 Kelima, pemilih DKI Jakarta memiliki proporsi kelas menengah paling besar dibanding daerah-daerah lain. Hal itu ditunjukkan dengan mayoritas warganya berpendidikan SLTA ke atas; dan pendapatan per kapita rata-rata sudah mencapai 10 ribu dolar pertahun, jauh di atas angka nasional (kurang lebih 3-4 ribu Dollar). Dan keenam, pemberitaan mengenai rangkaian perhelatan Pemilukada DKI Jakarta 2012 paling tinggi dibadingkan daerah lain. Salah satunya dalah media massa online Kompas.com, sejak tahap persiapan (bulan Maret 2012), tahap pelaksanaan, tahap pengumuman pasangan calon yang terpilih, tahap pelantikan hingga pasca pelantikan (bulan Oktober 2012). Bahkan di Kompas.com ini pemberitaan Pemilukada DKI Jakarta senantiasa menempati 10 besar berita top yang paling terpopuler dan terkomentari. Hal itu terutama berlangsung dalam wacana politik mengenai “politik SARA”, “politik simpatik” dan “kedewasaan politik”. Misalnya, wacana dengan tema “politik SARA”, dan dengan judul berita: “Rhoma Irama: Kampanye SARA Dibenarkan”. 30/7/2012. Wacana politik ini tayang pada tahap menjelang kampanye terbatas putaran kedua. Judul wacana ini terkatagori sebagai wacana terpopuler di Kompas.com dengan dikunjungi atau dibaca oleh 222.876 khalayak pembaca. Selain itu tema dan judul wacana ini termasuk juga wacana yang paling terkomentari dengan 1328 komentar.17 Begitu pun juga misalnya wacana dengan tema “politik rasis”, dan dengan judul berita: “Ahok: Saya ini Orang Indonesia Asli”, 11/04/2012. Berita atau wacana di Kompas.com ini tayang pada tahap setelah proses pendaftaran 17 http://megapolitan.kompas.com/read/2012/07/30/09144362/Rhoma.Irama.Kampanye.SARA.Dib enarkan (diakses, 20/07/2012) 12 pasangan calon gubernur dan wakil gubernur. Berita ini termasuk paling populer dengan dikunjungi atau dibaca oleh 35066 warga, dan berita wacana politik rasis ini juga paling terkomentari dengan 256 komentar. Popularitas berita Pemilukada DKI Jakarta dan keterlibatan warga berkomentar dalam Kompas.com makin mengalami peningkatan ketika perhelatan Pemilukada tersebut memasuki bulan Juli serta bulan-bulan berikutnya, terutama sampai Bulan Oktober 2012. Awal bulan Juli itu merupakan pekan terakhir dari tahap masa kampanye putaran pertama (24 Juni-7 Juli). Hal demikian misalnya dapat disimak pada pemberitaan dengan topik: “LSI Akui Surveinya Dibiayai Foke-Nara”, (1/7/2012), menjadi topik yang paling terkomentari dalam seminggu dengan dibaca 23282 dan 1124 komentar warga. Disusul kemudian di nomor urut 9 dan 10, dengan topik: “Timses Foke-Nara Klarifikasi Survei LSI”, 2/7/2012, dengan dibaca 14.114 dan 374 komentar; dan topik: “Dalam Kampanye, Nara Membawa Nama Harmoko”, 5/7/2012, dengan dibaca 1833 dan 346 komentar. Pada pekan kedua di Bulan Juli, berita-berita Pemilukada DKI Jakarta itu kembali mengalami peningkatan. Bahkan lebih dari itu, dari 10 besar berita terpopuler dan terkomentari selama pekan kedua itu, delapan di antaranya didominasi oleh berita Pemilukada DKI Jakarta. Secara berturut-turut delapan berita yang paling terpopuler dan terkomentari itu adalah: “Tim Foke: Pasangan Nomor Tiga Lakukan Money Politic”, 14/7/2012, dibaca 60411 dan muncul 913 komentar; “LSI: Putaran Kedua Akan Berjalan Sengit”, 11/7/2012, dibaca 23826 dan ada 868 Komentar; “Pengamat: Pasangan Jokowi-Ahok Kebal Serangan”, 14/7/2012, dibaca 50560 dan muncul 709 Komentar; “Foke: Putaran Kedua Saya 13 Menggandeng Rakyat”, 13/7/ 2012, dibaca 25814 dan ada 696 Komentar; “Sutiyoso: Jokowi Sederhana Seperti Saya”, 14/07/2012, dibaca 51607 dan muncul 625 Komentar; “PPP: Kemenangan Jokowi-Ahok Belum Tentu Berlanjut”, 13/7/2012, dibaca 25986 dan ada 596 komentar; “Jokowi-Ahok Didukung oleh 100 Persen Warga Tionghoa”, 11/7/2012, dibaca 38536 dan muncul 563 Komentar; dan “Foke: (Jokowi) Tahu Enggak Nomor Telpon Saya”, 13/7/2012, dibaca 54725 dan ada 552 Komentar.18 Popularitas dan keterlibatan warga dalam berkomentar di Kompas.com mengenai hiruk-pikuk Pemilukada mengalami peningkatannya yang sangat besar terjadi pada pekan pertama Bulan Agustus 2012. Deretan sepuluh besar berita terpopuler dan terkomentari pada Kompas.com diisi semuanya oleh berita dan komentar Pemilukada DKI Jakarta 2012. Deretan berita itu adalah: 1) “Berbuka Bareng Foke, Ustadz Ajak Pilih Gubernur Seiman”, 3/8/2012, dibaca 45265 dan ada 1314 komentar; 2) “Rhoma Irama tak Mau minta Maaf kepada JokowiAhok”, 6/8/2012, dibaca 162322 dan ada 873 komentar; 3) “Rhoma Irama: Jokowi-Ahok “I Love U Them””, 6/8/2012, dibaca 174241 dan ada 741 komentar; 4) “Ibunda Jokowi: Saya sudah Memaafkan Bang Haji”, 7/8/2012, dibaca 77487 dan ada 699 komentar; 5) “Jelaskan Duduk Perkara, Rhoma Irama Menangis”, 6/8/2012, dibaca 284185 dan ada 643 komentar; 6) “Nara Berharap Golkar, PPP, PKS Merapat”, 4/8/2012, dibaca 26808 dan ada 503 komentar; 7) “Nara: Apa 18 www.kompas.com/terkomentari/mingguan (Diakses, 20/10/2012). Hal serupa tidak ditemukan ketika Kompas.com ini memberitakan perhelatan politik yang sama. Sebut saja misalnya pemberitaan tentang Pemilukada Provinsi Jawa Barat tahun 2013. Misalnya, judul berita, “Tim Pemenangan Rieke-Teten Kecam Keras Aher-Deddy”, yang tayang pada hari Jum‟at, 28 Desember 2012, pukul 05.55, tidak sama sekali terkomentari. Lihat, http://www.regional.kompas.com/read/2012/12/28/Tim.Pemenangan.RiekeTeten.Kecam.Kers .AherDeddy (diakses, 25 Juli 2013). 14 yang Dimaksud Rhoma Sudah Jelas, 4/8/2012, dibaca 97370 dan ada 366 komentar; 8) “Putaran Kedua, Anas Yakin Foke-Nara Menang”, 4/8/2012, dibaca 20379 dan ada 339 komentar; 9) “Jika Tak Bisa Tangani SARA, Panwas Bubar Saja”, 1/8/2012, dibaca 23078 dan 335 komentar; dan 10) “Surydharma: FokeNara Pemimpin yang Dibutuhkan Jakarta”, 2/8/2012, dibaca 15626 dan ada 332 komentar.19 2. Permasalahan Mengacu pada gambaran di atas, komentar online, termasuk komentar pembaca Kompas.com, terlihat menjadi ruang terbuka alternatif bagi warga, di samping ruang-ruang yang telah ada sebelumnya, baik aktual maupun virtual, dalam mengekspresikan pandangannya. Di ruang ini aneka ragam pernyataan dapat disampaikan dengan lebih leluasa dan terbuka. Hal itu paling tidak, seperti telah disebutkan di atas, tergambar pada ruang komentar pembaca Kompas.com 19 www.kompas.com/terkomentari/mingguan, Ibid. Bandingkan dengan berita-berita lainnya di Kompas.com, baik yang bersamaan waktunya dengan Pemilukada DKI Jakarta, seperti berita Cicak Vs Buaya Jilid II tentang dugaan pengadaan Simulator kendaraan roda dua dan empat di Korlantas POLRI (Agustus-September 2012), atau berdekatan dan berjauhan waktu dalam penayangannya, seperti berita mengenai Gerakan Koin untuk Prita Mulyasari (SeptemberDesember 2009-Januari 2010), popularitas berita tentang Pemilukada DKI Jakarta 2012, terutama mengenai wacana politik SARA, masih paling tinggi. Berita Cicak Vs Buaya Jilid II ini misalnya hanya mendapatkan 69 komentar. Lihat, http://nasional.kompas.com/read/2012/08/03. (diakses, 25 Juli 2013). Sedangkan berita tentang Prita Mulyasari, yang ditayangkan pada hari Jum‟at, 4 Desember 2009, tidak ditemukan komentar. Lihat,http://megapolitan,kompas.com/read/2009/12/04/19465569/Koin.Peduli.Prita.Butuh.2.5.T on.Recehan. (diakses, 25 Juli 2013). Di portal berita lainnya, seperti di detik.com misalnya, berita tentang gerakkan koin untuk Prita ini misalnya hanya mendapatkan 79 komentar. Lihat, http://www.news.detik.com/read/2009/12/06/koin-untuk-prita-capai-rp.704-ribu. (diakses, 25 Juli 2013). Berita yang dianggap heboh di ruang offline dan ruang online, seperti berita SBY membuka akun pribadinya di Twitter, tidak menjadi berita yang terpoppuler dan terkomentari di Kompas.com ini, sebagaimana terpopuler dan terkomenrarinya berita-berita Pemilukada DKI Jakarta tahun 2012. Misalnya judul berita, “Ini Dia Akun Twitter Presiden SBY, yang tayang pada hari Sabtu, 13 April 2013, pukul 09.42, dibaca 23563 dan hanya dikomentari 24 pengunjung.Lihat,http://www.tekno.kompas.com/read/2013/04/13/Ini.Dia.Akun.Twitter.Preside n.SBY(Diakses, 25 Juli 2013). 15 selama Pemilukada DKI Jakarta tahun 2012. Hal ini menunjukkan bahwa kontestasi politik, termasuk pemilihan gubernur, dalam perebutan dukungan publik, menjadi tidak hanya berlangsung di jejaring media sosial, seperti Facebook dan Twitter, atau pun media tradisional, seperti media cetak dan media elektronik, namun juga berlangsung di ruang komentar media massa online. Sebenarnya bukan hanya calon kepala daerah, termasuk calon gubernur, yang biasa direpresentasikan di dalam komentar online, melainkan juga bagi setiap individu atau aktor sosial yang diberitakan oleh media massa online. Selain tentunya perepresentasian di luar aktor sosial, seperti peristiwa, tindakan sosial, objek material, posisi pembaca, dan lain sebagainya. Namun demikian, pada even Pemilukada, termasuk Pemilukada DKI Jakarta tahun 2012, yang banyak menyedot perhatian masyarakat luas, calon gubernur beserta pasangannya (calon wakil gubernur) menjadi aktor sosial yang paling banyak mendapatkan perlakuan tertentu oleh warga, khususnya warga pembaca media massa online, melalui praktik representasi di ruang komentar online-nya yang dipicu oleh berita dan wacana yang disajikan dan dikembangkan oleh media massa online. Hal itu misalnya, sebagaimana dikatakan sebelumnya, terekam dengan jelas di komentar Kompas.com. Sampai-sampai apapun yang ditayangkan mengenai Pemilukada DKI Jakarta 2012 di Kompas.com, bila dibandingkan dengan tema berita lainnya di situs yang sama, selalu saja menjadi berita yang paling terpopuler dan terkomentari. Oleh karena itu, komentar online, khususnya komentar pembaca Kompas.com, yang awalnya diperuntukkan bagi, seperti apa yang telah 16 dikemukakan di atas, konektivitas dan interaktivitas antara pembaca dan redaksi dan antara pembaca dengan pembaca, sebagai bagian dari asas ruang cyber, telah menjadi ruang perepresentasian aktor politik. Dengan kata lain, teks komentar tentang apapun termasuk tentang aktor sosial calon gubernur memiliki interrelasi dengan konteks di mana komentar itu dikonsumsi dan diproduksi. Di samping itu, komentar online telah menjadi „kepanjangan tangan‟ bagi perluasan jangkauan demokrasi politik yang sebelumnya hanya dipraktikkan di ruang offline dan media massa tradisional. Apalagi, seperti dikatakan di awal, dewasa ini internet telah merasuki setiap aspek-aspek kehidupan manusia. Dengan kata lain, sejauh ini tidak ada kehidupan sosial apapun dan dimana pun yang luput dari „intervensi‟ internet. Menelusuri wacana calon gubernur yang ditampilkan dan digambarkan dalam komentar online Kompas.com pada Pemilukada DKI Jakarta tahun 2012 menjadi sangat penting mengingat dunia demokrasi politik, termasuk kontestasi politik, yang sangat dinamis dan sulit untuk diprediksi. Melalui penelusuran wacana tersebut, terutama yang berbasis teks dan konteks, diharapkan dapat terungkap kognisi mengingat teks itu, bila merujuk pada Theo van Leeuwen (2008), dapat mencerminkan kognisi, sementara kognisi itu sendiri senantiasa mencerminkan ideologi dan kekuasaan tertentu yang beroperasi di balik semua praktik perepresentasian aktor sosial, termasuk calon gubernur. Kehidupan politik yang termediasi internet, seperti kontestasi politik di ruang komentar online, sejatinya sebagai perbaikan dan perluasan jangkauan ruang demokrasi. Oleh sebab itu, demokrasi di ruang cyber atau dikenal sebagai 17 cyberdemocracy dapat dikatakan sebagai „kepanjangan tangan‟ dari, terutama dalam pengertian perbaikan dan perluasan bagi kebebasan dan keterbukaan, demokrasi di ruang offline yang banyak tersendat dan terkotori praktik-praktik non-demokrasi. Sebut saja praktik-praktik anarkisme, fragmentasisme, egoisme, dan lain sebagainya. Padahal agar demokrasi tumbuh sehat, termasuk demokrasi di ruang cyber, selain semangat kontestasi, kebebasan dan keterbukaan, sangat dibutuhkan lingkungan atau ruang sehat pula. Seperti ruang-ruang yang dibayangkan Habermas20, penuh dengan berbagai nilai kepublikan seperti praktik kebebasan, diskusi atau perdebatan rasional, kemupakatan atau konsensus, dan saling menghargai atau menghormati antar individu. Hanya saja, bila mencermati ruang komentar pembaca Kompas.com tentang calon gubernur selama Pemilukada DKI Jakarta 2012, justru cenderung lebih banyak dijejali oleh komentar-komentar tanpa praktik diskusi, pertukaran ide atau pengetahuan dan konsensus. Komentar lebih banyak dipenuhi berbagai pernyataan sinisme, terutama, terhadap calon gubernur yang tidak disukainya, baik secara langsung terhadap calon gubernur maupun melalui tim kampanye dan simpatisanya. Terhadap calon gubernur yang tidak disukainya itu cenderung banyak ditampilkan sebagai calon gubernur buruk melalui kata-kata makian, sementara calon gubernur yang disukainya lebih digambarkan sebagai calon gubernur baik melalui kata-kata pujian. Lebih dari itu, ekspresi makian misalnya lebih banyak bernada vulgar, seperti menjurus „tabu‟ dan „rasis‟. Di sini manusia misalnya, dalam hal ini calon 20 Lihat Habermas, J, 2010, Ruang Publik: Sebuah kajian Tentang Kategori Masyarakat Borjuis, Bantul: Kreasi Wacana. 18 gubernur atau tim suksesnya, ditampilkan atau digambarkan melalui citra atau tanda yang identik dengan anggota tubuh yang „aurat‟, tanda di luar manusia, seperti binatang, dan pengucilan suatu suku atau etnis. Praktik komentar bernada tabu misalnya terdapat pada komentar yang disampaikan oleh pengunjung yang beridentis online Alexander (dalam judul dan isi berita: “Rhoma Irama: Kampanye SARA Dibenarkan ”, Kompas.com, 30 Juli 2012). “Organisasi pendukung Rhoma bernamakan SPERMA(Serikat PEndukung Rhoma iraMA) yg berorganisasikan PENIS( PEndiri Negara ISlam) dan VAGINA(VAriasi Gabungan Indonesia Akbar) dgn berprinsip Pancapoly(PolyGamy,PolyAndry,PolyGay,PolyLesbi,dan PolyTransvestite alias Banci)!!! Jadi Sodom-Gomorah ke 2...!” Di sini calon gubernur, dalam hal ini Foke, melalui tim juru kampanyenya H. Rhoma Irama ditampilkan dengan kosakata-kosakata yang jorok dan seronok, seperti SPERMA, PENIS dan VAGINA. Ketiga kosakata tersebut jelas merupakan bagian dari pernyataan sinisme melalui makian. Selain itu pernyataan tabu dapat ditemukan juga misalnya pada komentar yang disampaikan oleh pembaca yang beridentitas online Hatorangan Siahaan (dalam judul berita:“Roham Irama: Kampanye SARA Dibenarkan”, Kompas.com, 30 Juli 2012), seperti berikut ini. “SI RHOMA INI ADALAH “RAJA DANGDUT” SEKALIGUS RAJANYA “KAWIN-CERAI” SEKALIGUS PERLU DITAMBAH GELARNYA SEBAGAI “RAJA BAHLUL” ALIAS “ RAJA NGE....EN...” YANG BERUSAHA MENJADI “ MUBALIGH” ATAU “USTADZ” TETAPI TIDAK MENGETAHUI BAHWA DIRINYA ADALAH CERMIN YANG “BURUK”, YANG SANGAT “TIDAK PANTAS” UNTUK DI DENGARKAN SEGALA ISI KHOTBAHNYA, SERTA TIDAK SESUAI DENGAN JALAN HIDUPNYA YANG BERATI 19 MANUSIA “MUNAFIK”, HANYA ORANG BODOK YANG MAU MENDENGARKANNYA”. Pada isi komentar di atas kosakata yang merepresentasikan calon gubernur yang identik dengan seronok dan kotor, terutama, adalah nampak jelas terdapat pada kata “RAJA NGE..EN..”. Kata ini dapat menimbulkan pesan yang bermacam-macam, khususnya pesan yang „tidak patut‟ dalam hubungan sosial yang wajar dan normal. Sementara itu, pernyataan rasis dapat disimak pada komentar yang disampaikan oleh pembaca yang beridentitas online Paijo Waras (pada judul berita, “Foke-Nara: Orang Cerdas Pilih yang Akan Menang”, Kompas.com, 5 Mei 2012), seperti berikut ini. “Kalau pemilihnya sekelompok monyet pasti foke menang” Kata atau kosakata monyet pada komentar di atas merupakan tanda yang dapat menunjukkan makna telah berlangsungnya praktik rasis dari warga internet terhadap Foke, calon gubernur incumbent, sebagai ekspresi sinisme dan aksi cacimaki. Sebagaimana umum ketahui, dalam berapa budaya masyarakat, monyet merupakan binatang yang seringkali dijadikan simbol bagi perilaku yang licik sekaligus picik.21 Selanjutnya praktik rasisme, terutama praktik pengucilan terhadap suku atau etnis tertentu, dapat ditemukan pada komentar yang disampaikan oleh pembaca yang beridentitas online Susetyo Hadi (pada judul dan isi berita: ““FokeNara: Orang Cerdas Pilih yang Akan Menang”, Kompas.com, 5 Mei 2012), seperti berikut ini. 21 Baca misalnya dari hasil kajian Wijana, I.D.P dan Rohmadi, M., 2012, Sosiolinguistik: Kajian Teori dan Analisis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 20 betul bos,si kumis ini emang orang yg gak tau malu,nyata gagal membenahi jakarta masih merasa cerdas dan ahlinya,udah gitu rasisi lg,dia kira jakarta itu cma punya org betawi,inilah kalo orang kegedean kumis. Kosakata Betawi pada isi komentar di atas telah menciptakan praktik pembencian terhadap subyek atau aktor, dalam hal ini calon gubernur incumbent, melalui penggambaran suku atau etnis tertentu yang sebenarnya tengah dikucilkan atau dimarginalkan. Sebetulnya ekspresi sinisme seperti di atas merupakan fenomena umum dalam dunia media online dewasa ini. Fenomena itu belakangan telah memunculkan semacam pameo, bahwa setiap warga lingkungan aktual, termasuk raja atau presiden sekalipun, ketika memasuki ruang internet sekaligus menjadi warga biasa lingkungan internet, senantiasa harus siap dengan segala resiko iklim sinisme dan makiannya. Dalam beberapa kajian menyebutkan, hal itu dimungkinkan karena, salah satunya, faktor ahirarki dan anonymous identity.22 Di sini warga internet dalam interaksi tidak mengenal tingkatan-tingkatan status sosial di satu pihak, dan di pihak lain secara bersamaan mereka dapat dengan leluasa membuat sekaligus menggunakan identitas palsu, bahkan identitas ganda, dalam melakoni segala aktivitas maya-nya. Hal itu tentu menjadi problematis. Karena komentar online, sebagai bagian dari ruang cyber, yang tentunya dibayangkan dan diproyeksikan, terutama oleh kaum optimis dan advokat cyber, dapat menjadi ruang publik, ruang di mana 22 Lihat misalnya dalam kajian buku Andrew F. Wood dan Matthew J. Smith, 2005, Online Communication: Linking Technology, Identity and Culture, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc. 21 nilai-nilai kepublikan, seperti perdebatan atau musyawarah rasional dan kemupakatan benar-benar terpelihara dan terperaktikan. Persoalannya adalah apakah komentar online, khususnya komentar pembaca Kompas.com, merupakan ruang di mana demokrasi politik dapat tumbuh sehat dan kuat? Seandainya segala politik perepresentasian aktor sosial, khusunya calon gubernur, di dalam ruang komentar online sepenuhnya dilakukan melalui bahasa dengan berpatokan pada nilai kepublikan, maka komentar online menjadi ruang sehat dan kuat bagi demokrasi cyber. Namun sebaliknya, bila perepresentasian aktor sosial di komentar online lebih banyak dilakukan melalui bahasa dengan berpatokan pada nilai non-kepublikan, maka demokrasi cyber tidak aka nada bedanya dengan demokrasi offline, bahkan potensial melampauinya. Untuk mengungkap permasalahn di atas, sekali lagi, penelitian ini memfokuskan diri pada kasus perepresentasian calon gubernur DKI Jakarta tahun 2012 di dalam komentar Kompas.com. Melalui dan dalam teks komentar online itu kiranya dapat terungkap banyak informasi, sebagaimana akan dilacak pada penelitian penulis ini, yaitu, (1) Kognisi yang memproduksi sekaligus diproduksi dari representasi calon gubernur DKI Jakarta 2012 di ruang komentar pembaca Kompas.com; (2) Strategi representasi yang digunakan pada representasi calon gubernur di ruang komentar pembaca Kompas.com; (3) Ideologi dan kekuasaan yang terkandung dalam praktik representasi calon gubernur di ruang komentar pembaca Kompas.com; dan (4) konfigurasi cyberdemocracy di ruang komentar online. 22 Adapun pertanyaan-pertanyaan penelitian yang timbul dari permasalahan dan fukus penelitian di atas adalah: 1. Bagaimana calon gubernur DKI Jakarta 2012 direpresentasikan di ruang komentar online Kompas.com? 2. Apa yang diproduksi dari perepsentasian calon gubernur tersebut di ruang komentar online Kompas.com? 3. Mengapa calon gubernur tersebut direpresentasikan melalui wacana calon gubernur baik dan calon gubernur buruk di ruang komentar online Kompas.com? Wacana apa yang dikembangkan untuk merepresentasikan calon gubernur baik dan calon gubernur buruk? 3. Tujuan Penelitian Penelitan ini bertujuan untuk mengungkapkan strategi wacana yang digunakan para pembaca dalam perepresentasian calon gubernur DKI Jakarta di ruang komentar online Kompas.com tahun 2012. Dengan mengetahui strategi wacana yang digunakan pembaca dalam perepresentasian calon gubernur tersebut maka selanjutnya akan tertafsirkan mengenai wacana calon gubernur yang direpresentasikan dalam teks komentar online Kompas.com. Kemudian, dengan tertafsirkannya wacana calon gubernur selama Pemilukada DKI Jakarta tahun 2012 di komentar online Kompas.com maka berikutnya terjelaskan bahwa terdapat kuasa kognisi yang mempengaruhi serta ideologi yang tercerminkan dari perepresentasian calon gubernur yang dilakukan melalui wacana calon gubernur baik dan wacana gubernur buruk. Melalui tafsiran ini terjelaskan juga implikasi 23 dari politik representasi seperti itu terhadap konfigurasi cyberdemocracy di ruang komentar online. 1. Manfaat Penelitian Berpijak pada perumusan masalah dan tujuan penelitian di atas, maka penelitian ini dapat memberikan dua faedah dan harapan sekaligus, yakni: 1. Manfaat teoritis, penelitian ini dapat memberikan sumbangan kritis bagi upaya pengembangan teori mengenai hubungan demokrasi dan internet. Khususnya teori mengenai relasi cyberdemocracy dan ruang komentar online. Hubungan keduanya diharapkan membangun teori kritis mengenai ruang politik representasi melalui wacana. Teori-teori ini diharapkan tidak hanya berkontribusi bagi pengembangan media studies dan cultural studies, namun juga pada pengembangan terhadap ilmu-ilmu sosial lainnya, termasuk ilmu politik serta ilmu komunikasi dengan menghadirkan perspektif lintas-disiplin. 2. Manfaat praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan kritis, pertama, bagi segala pihak dalam upaya memulihkan, atau mengembalikan kualitas-kualitas hubungan sosial, seperti praktik kontestasi politik. Kualitas-kualitas tersebut terutama adalah kualitas nilai kepublikan dan nilai kemanusiaan. Sejauh ini, bersamaan dengan makin pesatnya kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, kontestasi politik yang beroperasi pada dan melalui media internet, seperti di ruang komentar online, cenderung telah mengalami proses dehumanisasi. Artinya, manusia banyak diperlakukan atau ditampilkan tidak melalui penggambaran yang sesuai dengan nilai-nilai dan tanda-tanda yang merujuk pada manusia, melainkan 24 dengan nilai-nilai dan tanda-tanda yang merujuk di luar manusia. Sebut saja misalnya memandang atau menilai manusia tidak lagi dilihat dari sudut sosial melainkan dengan menggunakan sudut pandang “serba teknologi”. Hal itu menunjukkan bahwa semua aktivitas manusia yang bersifat kemanusiaan pelan tapi pasti telah tereduksi oleh kuasa non-manusia. Secara praktis, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan kritik sosial terhadap fenomena dahsyatnya perkembangan internet, yang semakin memediasi dan mensimulasi segala aspek kehidupan umat manusia, termasuk dalam komunikasi inter-manusia. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan secara kritis bagi tumbuhnya kesadaran humanis semua khalayak pembaca. Atau umumnya bagi semua pengguna internet, dalam berinteraksi sosial antara mereka, baik di ruang online maupun di ruang offline. Dan kedua, bagi upaya pemeliharaan sekaligus pengembalian ruang cyber agar benar-benar menjadi ruang publik yang mengedepankan praktik-praktik atau nilai-nilai kepublikan. Di samping itu, komentar online diharapkan tidak serta merta menjadi ruang penampakan atau ruang permukaan tempat di mana hal remeh temeh terpraktikan, sementara hal bermakna terpinggirkan. 25