ISSN 2087-2208 PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH (PEMILUKADA) SECARA LANGSUNG “SEBUAH PILIHAN MODEL PEMERINTAHAN DAERAH DEMOKRATIS” Oleh: Leli Salman Al-Fairi, S.IP., M.Si Abstrak Sejak reformasi pemerintahan digulirkan, wajah politik lokal telah mengalami penataan ulang, pergeseran paradigma dan terobosan sistem yang cukup progresif bahkan hampir melebihi amanat konstitusinya. Pilihan untuk menerapkan model pemerintahan daerah demokratis telah mendorong political will dari pemerintah Indonesia untuk melaksanakan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) secara langsung. Di mana esensi demokrasi pada tingkat lokal didasarkan pada prinsip local choice and local voice, karena itu sebagai suatu keniscayaan dari upaya penguatan legitimasi pemerintahan daerah dalam melaksanakan otonomi daerah. Harapan terbesarnya adalah pemilihan kepala daerah secara langsung akan berkolerasi positif dengan pembangunan demokratisasi pada tingkat lokal. Kata kunci: Politik Lokal, Pemilukada, Model Pemerintahan Daerah Demokratis, Otonomi Daerah. PENDAHULUAN Saluran demokrasi langsung pada tingkat pemerintahan lokal di Indonesia telah dibuka sejak tahun 2005. Hingga tahun 2010 lalu, sudah 710 even Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) yang telah digelar. Ditambah lagi dengan rencana menggelar 107 Pemilukada pada tahun 2011, maka totalnya secara keseluruhan akan menjadi 817 kali even demokrasi pada tingkat lokal/daerah. Sebagai sebuah Negara demokrasi, maka konstitusi Indonesia secara fundamental mengakui dan menjamin kedaulatan pada hakekatnya adalah milik rakyat. Hal ini disebutkan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat, dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Pengejawantahan sistem demokrasi tersebut telah dimplemtasikan melalui reformasi electoral dalam demokratisasi pemerintahan Indonesia dengan melakukan perubahan yang cukup “radikal” dari sistem pemilihan tidak langsung (perwakilan) menjadi pemilihan langsung presiden dan wakil presiden. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 6A ayat (1) UUD 1945, “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”. Semangat dan tuntutan demokratisasi pemerintahan Indonesia tersebut telah berdampak pada tuntutan konstitusional dari pemerintah daerah untuk melakukan “penyesuaian” sistem pemilihan pada tingkat lokal. Hal ini tergambar dengan adanya ketentuan pada Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 amandemen keempat yang mengisyaratkan pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara demokratis. “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”. Ketentuan Pasal tersebut telah “ditafsirkan” sebagai sebuah perintah untuk melaksanakan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) secara langsung, hal ini telah menjiwai semangat demokratisasi pemerintahan daerah yang didasarakan pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana beberapa kali telah diubah, terakhir dengan UndangUndang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah. Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah tampaknya menjadi materi muatan utama di dalam UU No 32 Tahun 2004, setidaknya terindikasi dari jumlah pasal yang mengaturnya, yakni mulai FISIP UNWIR Indramayu 1 JURNAL ASPIRASI Vol.1 No.2 Februari 2011 Pasal 56 s/d Pasal 119 (sebanyak 64 pasal). Secara substantif, materi muatan yang terkandung dalam pasal-pasal tersebut telah mencakup seluruh tahapan proses pemilihan, mulai dari pemilihan sampai pemantauan bahkan sanksi hukum bagi pelanggaran yang terjadi. Perubahan pola pemerintahan daerah yang sentralistis menjadi desentralistis telah membawa pergeseran locus dan focus kekuasaan dari pusat ke daerah, termasuk perluasan kewenangan politik pada tingkat lokal. Akan tetapi semangat desentralisasi tersebut masih belum diimbangi oleh tumbuhnya pemahaman dan kesadaran akan nilai-nilai demokrasi substantif, masyarakat kita masih memahami dan memaknai demokrasi sebagai formalisme sistem, berupa penempatan demokrasi prosedural sebagai tujuan akhir. Secara teoritis memang terdapat relevansi antara partisipasi langsung dengan demokrasi, akan tetapi asumsi ini tidak dapat menjustifikasi secara langsung bahwa mekanisme dan sistem pemilihan kepala daerah secara langsung akan berkolerasi atau berbanding lurus dengan terjadinya demokratisasi pada tingkat lokal. PERSPEKTIF YURIDIS: PEMILUKADA Sejalan dengan amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah meletakkan dasar-dasar kehidupan berbangsa dan bernegara dengan meletakkan kedaulatan berada di tangan rakyat yang diwujudkan melalui pengembangan format politik dalam negeri dan pengembangan sistem pemerintahan termasuk sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah ke arah yang lebih demokratis. Sebagai konsekuensi negara hukum, perubahan format politik dan sistem pemerintahan harus ditindaklanjuti dengan perubahan peraturan perundang-undangan di bidang politik dan pemerintahan dengan dilakukannya perubahan undang-undang yang mengatur susunan dan kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan mengurangi tugas dan wewenang Dewan Penvakilan Rakyat Daerah dalam hal rekruitmen pemerintah daerah. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menyebutkan bahwa Pemerintahan Daerah adalah pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan daerah yang dilakukan oleh lembaga pemerintahan daerah yaitu Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD). Sementara itu, yang dimaksudkan dengan Kepala Daerah menurut UU ini adalah Kepala Pemerintahan Daerah yang dipilih secara demokratis. Pemilihan secara demokratis terhadap Kepala Daerah tersebut, dengan mengingat bahwa tugas dan wewenang DPRD menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, menyatakan antara lain bahwa DPRD tidak memiliki tugas dan wewenang untuk memilih Kepala daerah dan Wakil Kepala daerah, maka atas dasar hal tersebut pemilihan secara demokratis dalam Undang-undang ini dilakukan oleh rakyat secara langsung. Dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah mempunyai peran yang sangat strategis dalam rangka pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, pemerataan, kesejahteraan masyarakat, memelihara hubungan yang serasi antara Pemerintah dan Daerah serta antar Daerah untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan figur Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang mampu mengembangkan inovasi, berwawasan ke depan dan siap melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Pasal 56 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, sebagai landasan yuridis formal pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah menyebutkan bahwa: (1) Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. (2) Pasangan calon sebagaiman dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik. 2 Program Studi Ilmu Pemerintahan ISSN 2087-2208 Pelaksanaan Pemilukada secara langsung sejalan dengan upaya pengembangan dan penguatan sarana demokrasi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Di mana Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih secara langsung oleh rakyat yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil melalui pemungutan suara. Proses pemilihan Kepala Daerah dilaksanakan melalui beberapa tahapan dimulai dari masa persiapan dan tahap pelaksanaan, meliputi persiapan pemilihan, penyelenggaraan pemilihan, penetapan pemilih, pendaftaran dan penetapan pasangan calon, kampanye, pemungutan dan penghitungan suara, serta penetapan pasangan calon terpilih, pengesahan, dan pelantikan. Tahapan pelaksanaan Pemilukada meliputi tahap persiapan dan tahap pelaksanaan, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 65 ayat (1), bahwa “Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dilaksanakan melalui masa persiapan, dan tahap pelaksanaan”. Di mana masa persiapan tersebut meliputi: 1. Pemberitahuan DPRD kepada kepala daerah mengenai berakhirnya masa jabatan; 2. Pemberitahuan DPRD kepada KPUD mengenai berakhirnya masa jabatan kepala daerah; 3. Perencanaan penyelenggaraan, meliputi penetapan tata cara dan jadwal tahapan pelaksanaan pemilihan kepala daerah; 4. Pembentukan Panitia Pengawas, PPK, PPS dan KPPS; 5. Pemberitahuan dan pendaftaran pemantau. Selanjutnya di dalam tahap pelaksanaan Pemilukada secara langsung menurut Undang-undang tersebut adalah meliputi: 1. Penetapan daftar pemilih; 2. Pendaftaran dan Penetapan calon kepala daerah/wakil kepala daerah; 3. Kampanye; 4. Pemungutan suara; 5. Penghitungan suara; 6. Penetapan pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah terpilih, pengesahan, dan pelantikan. KERANGKA PEMIKIRAN: PEMILUKADA SEBAGAI PARADIGAMA BARU POLITIK LOKAL Pada dasarnya perubahan paradigma pemerintahan daerah dengan beberapa karakteristik yang telah disebutkan di atas, diharapkan dapat berimplikasi terhadap dinamika pemerintahan daerah. Gejala ini dapat dilihat dengan adanya dua fenomena penting yang menjadi pusat perhatian banyak orang, yaitu; penerapan model pemerintahan daerah demokratis (local democratic model) yang merupakan upaya demokratisasi pemerintahan daerah melalui proses penguatan kedudukan dan kewenangan politis dari legislatif lokal (DPRD) dan pola hubungan kerja yang dibangun antara DPRD dengan kepala daerah secara efektif dalam penyelengaraan pemerintahan. Penerapan model pemerintahan daerah demokratis, seperti digambarkan oleh John Halligan dan Chris Aulich (dalam Hoessein 2001), di mana model pemerintahan daerah ini lebih menekankan pada nilai-nilai demokrasi dan lokalitas dari pada efisiensi pelayanan: The local dermocracy model values local differences and system diversity because local authority has both the capacity and the legitimacy for local choice and local voice. This means the local authority can and will make choices that differ from those made by others. Otonomi daerah berkaitan erat dengan demokrasi, hal ini didasarkan pada pendapat Hoessein; “Dalam konsep otonomi terkandung kebebasan untuk berprakarsa untuk mengambil keputusan atas dasar aspirasi masyarakat yang memiliki status demikian tanpa kontrol langsung oleh Pemerintah FISIP UNWIR Indramayu 3 JURNAL ASPIRASI Vol.1 No.2 Februari 2011 Pusat. Oleh karena itu kaitannya dengan demokrasi sangat erat”. Untuk lebih memperkuat pendapatnya, Hoessein mengutip pendapat M.A. Muthalib dan Mohd. Akbar Ali Khan (1982), yang menyamakan otonomi dengan demokrasi: Conceptually, local autonomy tends to become a synonym of the freedom of locallity for self determination or local democracy. No single body but the local people and then the representatives enjoy supreme power in regard to the local sphere of action. Government interventien can be justified when the larger interest is involved. Therefore, the people at large and their representatives alone can override the local people and their representatives. Inti dari otonomi dan demokrasi adalah menurut Moh. Hatta (dalam Koswara, 2000) “…Memberikan otonomi daerah tidak saja berarti melaksanakan demokrasi, tetapi mendorong berkembangnya auto-aktiviteit. Auto-aktiviteit artinya bertindak sendiri, melaksanakan sendiri apa yang dianggap penting bagi lingkungan sendiri. Dengan berkembangnya auto-aktiviteit tercapailah apa yang dimaksud demokrasi, y.i. pemerintahan yang dilaksanakan oleh rakyat, untuk rakyat. Rakyat tidak saja menentukan nasibnya sendiri melainkan juga dan terutama memperbaiki nasibnya sendiri…” Sementara menurut Supriatna bahwa dimensi politik otonomi daerah dapat memberikan dasar konsepsi atas demokratisasi pemerintahan daerah. Menurutnya; Dari sudut politik, desentralisasi ini dimaksudkan untuk mendemokrasikan pemerintah daerah. Masyarakat daerah harus dapat dengan leluasa memilih kepala pemerintahannya sendiri, membentuk atau memilih lembaga perwakilannya sendiri, serta menyusun dan membuat peraturan sendiri. Dengan perkataan lain apapun yang terjadi di daerah adalah: from the people, by the people dan for the people. Intervensi pusat terhadap daerah harus dikurangi dan dibatasi, sehinggga kemandirian daerah benar-benar dapat terwujud. Model demokrasi lokal menurut Gerry Stoker (dalam Hoessein 2001), demokrasi memiliki sejumlah nilai. Pertama, pemerintahan daerah didasarkan atas kepercayaan adanya nilai dalam penyebaran kekuasaan dan keterlibatan berbagai pengambilan keputusan di daerah. Kedua, pandangan mengenai kekuatan dalam keanekaragaman tanggap terhadap kemajemukan tuntutan. Ketiga, pemerintahan daerah bersifat lokal yang dapat memfasilitasi akses dan tanggap masyarakat setempat, karena pemerintahan tersebut dekat dengan masyarakat. Keempat, penyebaran kekuasaan merupakan nilai yang fundamental dan pemerintahan daerah yang terdiri atas lembaga-lembaga yang didasarkan atas pemilihan dapat mewakili penyebaran kekuasaan politik yang absah dalam masyarakat. KONSEPSI TEORITIS: DEMOKRATISASI PEMERINTAHAN DAERAH Pada suatu negara yang menganut bentuk pemerintahan dengan sistem demokratis, pada dasarnya kedaulatan atau kekuasaan pada prinsipnya bersumber dari rakyat yang diamanahkan kepada lembaga kedaulatan melalui mekanisme politik berdasarkan konstitusi. Pemerintahan yang demokratis pada prinsipnya mempunyai tiga dimensi: Pertama, dimensi kemasyarakatan (equality); Kedua, dimensi politik/pemerintahan (governing); Ketiga, dimensi pengaturan (rulling). Oleh karena itu, sistem pemerintahan demokratis adalah bentuk pemerintahan sistem kekuasaan pemerintahan yang bersumber pada konstitusional dan peraturan perundangan yang berlaku (limited government). Sistem pemerintahan yang dibatasi dengan landasan hukum dalam proses dan mekanisme pengelolaan kekuasaan baik dalam pengambilan keputusan maupun tindakan dalam urusan pemerintahannya. Proses dan mekanisme pengelolaan kekuasaan dalam sistem demokrasi atas dasar konsensus atau musyawarah melalui “bargaining, dialog” disebut “governing”. Menurut Supriatna, bahwa esensi utama pemerintahan demokratis baik dengan sistem yang sentralisasi lebih-lebih dengan sistem desentralisasi yang mencirikan legitimasi dan pemerintahan yang bersih dan berwibawa pada karakteristik sebagai berikut: 1. Komitmen kuat dari rakyat untuk membentuk pemerintahan amanah melalui proses politik berdasarkan aturan yang konsisten; 2. Perwujudan legitimasi pemerintahan yang proses kekuasaan atau kewenangannya memiliki kredibilitas dari rakyat; 4 Program Studi Ilmu Pemerintahan ISSN 2087-2208 3. Pengelolaan kekuasaan dan pengambilan keputusan pembangunan berorientasi pada kepentingan publik; 4. Masyarakat memiliki kebebasan individu maupun kelompok untuk berserikat dan berpartisipasi dalam proses pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan sehubungan dengan pelayanan publik; 5. Kerangka landasan hukum, etika dan moral terbentuk secara jelas dan konsisten serta diketahui, dipahami maupun dihormati atau terpelihara oleh semua unsur pejabat negara, pemerintah dan lapisan masyarakat; 6. Pemerintah yang memiliki kemampuan responsif dan akuntabilitas tinggi serta transparansi dalam kebijakan dan tindakannya; dan 7. Pemerintah menyediakan informasi pemerintahan dan pembangunan. yang akurat fungsi untuk pemerintahan terbentuknya dan jalannya Sementara itu menurut beberapa ahli politik lainnya disebutkan bahwa terdapat persyaratan institusional yang semestinya dapat dipenuhi oleh suatu pemerintahan demokratis. Beberapa prasyarat institusional bagi pemerintahan yang demokratis, adalah sebagai berikut: Pertama, demokrasi dipandang identik dengan suatu bentuk pemerintahan bersama, hal mana setiap orang merasa berhak memerintah. Akan tetapi, sejalan dengan makin berkembangnya jumlah anggota masyarakat serta banyak kepentingan yang ingin diwujudkan dalam masyarakat, muncullah gagasan tentang demokrasi perwakilan. Kedua, pandangan yang menyebutkan bahwa demokrasi pada dasarnya menunjuk pada hak berpartisipasi dalam mempengaruhi atau menentukan pembuatan keputusan, terutama yang menyangkut kepentingan individu anggota masyarakat. Ketiga, pandangan yang menunjuk pada prasyarat ekonomi bagi berkembangnya sistem demokrasi. Preposisi yang dikemukakannya adalah “semakin sejahtera suatu bangsa atau negara, maka semakin besar kemungkinannya untuk menopang sistem politik yang demokratis”. Keempat, pandangan yang menunjukkan bahwa sistem politik demokratis ditentukan oleh kelompok sosial yang berperan sebagai “intermediaries” (penghubung) antara negara dengan masyarakat (Dahl, 1982. P.59). Dengan kata lain dapat dikemukakan bahwa keberadaan kelompok sosial yang sifatnya “intermediaries” antara negara dengan masyarakat ini akan meminimalisir kemungkinan munculnya pemerintahan yang otoriter, monarki absolut, dan/atau diktator totaliter. Kelima, pandangan yang dikemukakan oleh Huntington yang menyatakan bahwa pendorong utama tumbuhnya demokrasi di suatu negara adalah dorongan eksternal (eksternal democracy), sejauh pengaruh luar tersebut lebih dominan daripada pengaruh internal masyarakat bersangkutan. Keenam, pandangan yang menyatakan bahwa pendorong utama demokrasi adalah budaya politik rakyat yang bersangkutan.Teori ini disebut juga sebagai “teori budaya politik” (Verba, 1965. P.513). Hal itu didasari pemikiran bahwa konteks budaya politik, yang meliputi sistem relasi antar individu, keyakinan keagamaan, nilai-nilai yang tumbuh dalam masyarakat yang kesemuanya itu menentukan terbentuk tidaknya institusi demokrasi dalam suatu masyarakat. MODEL PEMERINTAHAN DAERAH DEMOKRATIS 1. Model Efisiensi Struktural (structural efficiency model) Model ini sangat menekankan pentingnya distribusi layanan secara efisien kepada masyarakat setempat dalam penyelenggaraan desentralisasi. Agar tercapai uniformitas dan konformitas mekanisme pelayanan secara efisien dan ekonomis, model ini mendorong campur tangan pemerintah yang lebih besar sebagai kontrol terhadap pemerintah daerah (John Halligan dan Chris Aulich: 1998). Pada umumnya model tersebut menganut skala prioritas tujuan desentralisasi pada efisiensi pemerintahan dan persatuan bangsa (A.F. Leemans: 1970). Dalam negara yang menganut model struktural efisiensi dengan skala prioritas tujuan desentralisasi pada efisiensi dan persatuan bangsa terjadi berbagai kecenderungan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, (A.F. Leemans: 1970). Pertama, terjadi kecenderungan untuk memangkas jumlah susunan daerah otonom. Kedua, terjadi FISIP UNWIR Indramayu 5 JURNAL ASPIRASI Vol.1 No.2 Februari 2011 kecenderungan mengorbankan demokrasi dengan cara membatasi peran dan partisipasi lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai lembaga pembuat kebijakan dan lembaga kontrol. Ketiga, kecenderungan keengganan pusat untuk menyerahkan wewenang dan diskresi yang lebih besar kepada daerah otonom. Keempat, kecenderungan mengutamakan dekonsentrasi dari pada desentralisasi. Kelima, terjadi semacam paradoks: di satu sisi efisiensi memerlukan wilayah dari daerah otonom yang luas untuk memungkinkan tersedianya sumber daya yang lebih mendukung bagi roda pemerintahan daerah, namun di sisi lain daerah otonom yang berwilayah luas dikhawatirkan berpotensi, menjadi gerakan separatisme. Oleh karena itu, dalam pemangkasan susunan daerah otonom, acapkali daerah otonom yang berwilayah luas menjadi sasaran utama untuk dilikuidasi. 2. Model Demokrasi Lokal (local democracy model) Model ini lebih menekankan nilai-nilai demokrasi dan lokalitas dari pada efisiensi pelayanan. Menurut John Halligan dan Chris Aulich (1998) menjelaskan bahwa “The local dermocracy model values local differences and system diversity because local authority has both the capacity and the legitimacy for local choice and local voice. This means the local authority can and will make choices that differ from those made by others.” Model struktural efisiensi berakar pada teori pemerintahan daerah yang dibangun menurut teori manajemen, sedangkan model demokrasi pada pemerintahan daerah yang dibangun menurut teori politik (Danny Burns, Dobin Hambleton dan Paul Hoggett: 1994). Model demokrasi menurut Gerry Stoker (1990), memiliki sejumlah nilai sebagai berikut: 1. Pemerintahan daerah didasarkan atas kepercayaan adanya nilai dalam penyebaran kekuasaan dan keterlibatan berbagai pengambilan keputusan di daerah. 2. Pandangan mengenai kekuatan dalam keanekaragaman tanggap terhadap kemajemukan tuntutan. 3. Pemerintahan daerah bersifat lokal yang dapat memfasilitasi akses dan tanggap masyarakat setempat, karena pemerintahan tersebut dekat dengan masyarakat. 4. Penyebaran kekuasaan merupakan nilai yang fundamental dan pemerintahan daerah yang terdiri atas lembaga-lembaga yang didasarkan atas pemilihan dapat mewakili penyebaran kekuasaan politik yang absah dalam masyarakat. Pemerintahan daerah yang demokratis, menurut Bowman dan Hampton (dalam Supriatna,1996), adalah suatu pemerintahan daerah yang demokratis berarti suatu pemerintah yang berdasarkan demokrasi dari bawah (grass-roots democracy) yang diwujudkan dalam bentuk suatu pemerintah daerah yang representatif. Suatu pemerintah daerah yang representatif adalah adalah suatu pemerintahan yang ditandai dengan adanya nilai-nilai demokrasi yaitu: kemerdekaan (freedom), persamaan (equality), persaudaraan (fraternity), pertanggungjawaban politik (political responsibility) dan partisipasi. Ramlan Surbakti (dalam Bhakti dan Riza Sihbudi 2002) mengemukakan bahwa di dalam pemerintahan daerah demokratis terdapat beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan, menurutnya, “Sedikitnya ada tiga aspek demokrasi pada pemerintahan daerah: Pertama, para anggota Badan Legislatif Daerah (DPRD) dan kepala eksekutif lokal (Gubernur, Bupati, Walikota) yang dipilih oleh rakyat melalui pemilihan yang bebas dan adil; Kedua, legislatif dan eksekutif daerah yang secara politis dapat bertanggung jawab terhadap konstituen dan rakyat daerah pada umumnya, juga dapat bertanggung jawab secara hukum; Ketiga, masyarakat sipil yang mandiri dan terberdayakan di daerah memiliki akses terbuka untuk mempengaruhi legislatif dan eksekutif lokal. IMPLIKASI NEGATIF PEMILUKADA LANGSUNG Pada tahun 2010 telah dilaksanakan Pemilukada untuk pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur di 7 (tujuh) Provinsi dan pemilihan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota di 237 Kabupaten/Kota. Sementara itu, pada tahun 2011 akan diselenggarakan Pemilukada secara langsung sebanyak 107 even. 6 Program Studi Ilmu Pemerintahan ISSN 2087-2208 Ketika Pemilukada diinisiasikan oleh UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, diharapkan terjadi perbaikan dan peningkatan kualitas kehidupan demokrasi di Indonesia, khususnya pada pemerintahan daerah. Di mana dengan Pemilukada ini akan meningkatkan semangat dan pendalaman nilai-nilai demokrasi substantif pada tingkat lokal. Dalam sistem ini masarakat diberikan kesempatan untuk menyuarakan kepentingan lokal dan menentukan pilihannya pada tingkat lokal (local voice and local choice). Disamping hal tersebut, dengan adanya pilihan untuk melaksanakan Pemilukada ini telah diletakan pada beberapa kerangka pemikiran dasar yaitu: 1. Sebagai bentuk evaluasi dan koreksi total atas implementasi sistem pemilihan kepala daerah secara tidak langsung melalui DPRD; 2. Sebagai upaya dalam meminimalisir terjadinya praktik politik uang (money politcs); 3. Sebagai sarana untuk memperkuat posisi dan daya tawar daerah dalam kerangka memperjuangkan kepantingan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal; dan 4. Sebagai salah satu instrumen fundamental dalam pelembagaan model demokrasi lokal (local democracy model) dalam rangka pencapaian tujuan implementasi Otonomi Daerah. Harapan yang terlalu tinggi terhadap penerapan sistem Pemilukada ini, belum dibarengi dengan kesiapan infrastruktur dan penyiapan suprastruktur politik pada tingkat lokal serta peningkatan kematangan berpolitik dari elit-elit lokal. Kondisi ini telah berdampak cukup luas terhadap penyelenggaraan pemerintahan di daerah, pelayanan masyarakat daerah, dan proses pembangunan di daerah akibat sering munculnya ekses negatif, Pemilukada secara umum telah menimbulkan sebuah gejala anomali demokrasi lokal dengan citra negatif sistem Pemilukada akibat munculnya anarkisme, money politics (politik uang), politisasi birokrasi, ego dan sentimen kedaerahan, suburnya paham primordialistik, dan konflik elit politik lokal yang mendorong issue disintegrasi dan tuntutan pemekaran daerah yang semakin tidak terkendali. Beberapa permasalahan yang ikut mewarnai proses Pemilukada tersebut pada dasarnya disebabkan oleh beberapa faktor, yang antara lain: 1. Nilai-nilai lokal yang cenderung kontradiktif dengan prinsip-prinsip demokrasi; 2. Pemahaman yang keliru dari masyarakat di daerah terhadap makna Otonomi Daerah; 3. Kapasitas kelembagaan dan kualitas personal (SDM) dari penyelenggara Pemilukada; 4. Kesiapan perangkat teknis (Penyelengara dan Pengawas) Pemilukada yang terkait langsung dengan proses Pemilukada; 5. Kepastian Data Pemilih Tetap; 6. Daya dukung serta kesamaan persepsi antara pemerintah daerah dengan penyelenggara Pemilukada; dan 7. Kerancuan dan ketidakkonsistenan dari beberapa kebijakan pelaksana yang mengatur secara teknis pelaksanaan Pemilukada. UPAYA DAN STRATEGI Pemilihan kepala daerah secara langsung dapat menjadi salah satu alternatif yang dapat dipilih untuk meningkatkan legitimasi pemerintahan daerah dan proses penerapan local dermocracy model, hal ini didasarkan pada suatu kerangka pemikiran sebagai berikut: 1. Pilkada diperlukan untuk mengurangi bahkan memutuskan oligarki Partai Politik dalam DPRD selama proses Pemilihan Kepala Daerah; 2. Pilkada dapat meningkatkan kualitas akuntabilitas para elit lokal, termasuk kepala daerah; 3. Pilkada berpeluang munculnya figur-figur alternatif yang memiliki kapabilitas dan legitimasi riil dari masyarakat lokal; dan FISIP UNWIR Indramayu 7 JURNAL ASPIRASI Vol.1 No.2 Februari 2011 4. Pilkada dapat meningkatkan kualitas keterwakilan politik (political representativeness) dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia; Cita-cita utama adanya penyelenggaraan Pemilukada secara langsung adalah terciptanya sebuah struktur politik lokal yang demokratis dan sistem pemerintahan yang mampu berjalan secara efektif. Melalui Pemilukada, rakyat memiliki kesempatan lebih luas untuk menentukan pasangan pemimpin eksekutif sesuai dengan yang dikehendaki. Harapan terbesar tentunya para pemimpin yang terpilih melalui Pemilukada agar mampu menjalankan fungsi dan perannya dalam berbagai kebijakan publik dengan lebih optimal. Dalam rangka menwujudkan Pemilukada yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dan tanpa menimbulkan konflik pada tingkat lokal. Hal ini membutuhkan langkah-langkah strategis dalam menghadapi berbagai permasalahan yang timbul selama tahapan, pelaksanaan dan pasca proses Pemilukada. Untuk itu perlu dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut: 1. Perlu adanya upaya penataan kembali sistem pemerintahan pada tingkat nasional dan lokal secara konstitusional; 2. Memperbaiki mekanisme dan prosedur dalam sistem Pemilukada, melalui peninjauan kembali beberapa regulasi yang mengatur secara teknis pelaksanaan Pilkada; 3. Meningkatkan koordinasi antara penyelenggara Pemilukada dengan pihak-pihak lainnya yang terkait, misalnya; KPUD, DPRD, Partai Politik, Panwas, Setda, Dinas Kependudukan; 4. Mempertimbangkan untuk penataan ulang struktur penyelenggaran Pemilukada, hubungan kerja, dan kewenangannya dalam rangka peningkatan kapasitas dan kualitas personalnya; 5. Memperbaiki sistem penganggaran dan penyediaan dana dalam alokasi APBD untuk pelaksanaan Pemilukada; dan 6. Penanaman dan peningkatan kesadaran atas nilai-nilai kebangsaan, prinsip-prinsip demokrasi, dan pemberdayaan politik masyarakat di daerah melalui pelaksanaan pendidikan politik bagi masyarakat di daerah. DAFTAR PUSTAKA 1. Bhakti, Ikrar Nusa dan Riza Sihbudi(Editor). 2001. Menjauhi Demokrasi Kaum Penjahat; Belajar dari Kekeliruan Negara-Negara Lain. Bandung: Mizan. ------------, dan Riza Sihbudi(Editor). 2002. Kontroversi Negara Federal; Mencari Bentuk Negara Ideal Indonesia Masa Depan. Bandung: Mizan. 2. Budiardjo, Miriam. 1996. Demokrasi di Indonesia; Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. ------------, 1998. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 3. Burns, Danny. Robin Hambleton and Paul Hogget. 1994. The Politics of Decentralization Revitalising Local Democracy. London: Macmillan. 4. Cheema, G. Shabbir and Dennis A. Rondinelli. 1983. Decentralization and Development Policy Implementation in Developing Countris. Beverly Hills/London/New Delhi: Sage Publications. 5. Dirdjosanjata, Prajarta. Nico L Kana (penyunting). 2006. Demokrasi dan Potret Lokal Pemilu 2004. Salatiga: Pustaka Percik. 6. Gaffar, Afan. 2002. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 7. Gaffar, Afan. Ryaas Rasyid dan Syaukani. 2003. Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 8. Gie, The Liang. 1993. Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Republik Indonesia. Jilid I, II, dan III. Yogyakarta: Liberty. 8 Program Studi Ilmu Pemerintahan ISSN 2087-2208 9. Hidayat, Syarif. 2001. Hidden Autonomy; Sebuah Refleksi Realitas Otonomi Daerah di Indonesia. Jakarta: JISIP No. 3 Tahun II. Januari 2001. -----------, 2007. Too Much Too Soon: Local State Elite39s Perspective on the Puzzle of Contemporary Indonesian Regional Autonomy Policy (edisi Dua Bahasa). Jakarta: Pt. Rajawali Press. 10. Hoessein, Bhenyamin. 2001. Reformasi Pemerintahan Daerah di Indonesia. Jakarta: JISIP No. 3 Tahun II. Januari 2001. 11. Koswara, E. 2001. Pengaruh Format Politik Nasional Terhadap Demokrasi Lokal: Suatu Analisis Kebijakan Otonomi Daerah Dan Prospek Demokrasi Lokal Menurut Undang-Undang No. 22 Tahun 1999. Dalam Dadang Julianto (penyunting). Arus Bawah Demokrasi: Otonomi dan Pemberdayaan Desa. Yokyakarta: Lapera Pustaka Utama. -----------, 2002. Otonomi Daerah yang Berorientasi pada Kepentingan Rakyat; Suatu Telaah Mengenai Prospek dan Dampak Pelaksanaan Otonomi Daerah berdasarkan UU 22/1999 Tentang Pemerintahan Daerah. Bahan Kuliah pada Proram Pascasarjana Ilmu Pemerintahan Unjani Cimahi. 12. Maddick, Henry. 1963. Democracy, Decentralization and Development. London: Asia 13. Ranney, Austin. 1996. Governing; An Introduction to Political Science. New Jersey: University of California, Berkeley: Prentice-Hall. 14. Ratnawati, Tri. 2006. Potret Pemerintahan Lokal di Indonesia di Masa Perubahan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 15. Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana. ------------, 2002. Reformasi Politik: Gagasan Negara Kesatuan dan Federal. Dalam Ikrar Nusa Bhakti dan Riza Sihbudi (editor). Kontroversi Negera Federal; Mencari Bentuk Negara Ideal Indonesia Masa Depan. Bandung: Mizan. 16. Supriatna, Tjahya. 1996. Sistem Administrasi Pemerintahan di Daerah. Jakarta: Bumi Aksara. -------------, 2000. Akuntabilitas Pemerintahan dalam Administrasi Publik. Bandung: Indra Prahasta. 17. Thoha, Miftah. 2001. Hubungan Pusat dan Daerah. Jakarta: JISIP No. 3 Tahun II. Januari 2001. 18. Thompson, Dennis F. 2000. Etika Politik Pejabat Negara. Terjemahan:Benyamin Molan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 19. Wasistiono, Sadu. 2002. Kapita Selekta Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Edisi Kedua. Bandung: Fokusmedia. ------------, 2001. Implementasi Undang-Undang Otonomi Daerah dan Masalah Integrasi Nasional. Makalah Kuliah Umum “Implementasi Undang-Undang Otonomi Daerah dan Masalah Integrasi Nasional” pada Program Pascasarjana MIP-Unjani. 20. Winter, William O. 1981. State and Local Government in a Decentralized Republic. New York: Macmillan Publishing Co., Inc. FISIP UNWIR Indramayu 9