pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) - E

advertisement
ISSN 2087-2208
PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH (PEMILUKADA) SECARA LANGSUNG
“SEBUAH PILIHAN MODEL PEMERINTAHAN DAERAH DEMOKRATIS”
Oleh:
Leli Salman Al-Fairi, S.IP., M.Si
Abstrak
Sejak reformasi pemerintahan digulirkan, wajah politik lokal telah mengalami penataan ulang,
pergeseran paradigma dan terobosan sistem yang cukup progresif bahkan hampir melebihi amanat
konstitusinya. Pilihan untuk menerapkan model pemerintahan daerah demokratis telah mendorong
political will dari pemerintah Indonesia untuk melaksanakan Pemilihan Umum Kepala Daerah
(Pemilukada) secara langsung. Di mana esensi demokrasi pada tingkat lokal didasarkan pada prinsip
local choice and local voice, karena itu sebagai suatu keniscayaan dari upaya penguatan legitimasi
pemerintahan daerah dalam melaksanakan otonomi daerah. Harapan terbesarnya adalah pemilihan
kepala daerah secara langsung akan berkolerasi positif dengan pembangunan demokratisasi pada
tingkat lokal.
Kata kunci: Politik Lokal, Pemilukada, Model Pemerintahan Daerah Demokratis, Otonomi
Daerah.
PENDAHULUAN
Saluran demokrasi langsung pada tingkat pemerintahan lokal di Indonesia telah dibuka sejak
tahun 2005. Hingga tahun 2010 lalu, sudah 710 even Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada)
yang telah digelar. Ditambah lagi dengan rencana menggelar 107 Pemilukada pada tahun 2011, maka
totalnya secara keseluruhan akan menjadi 817 kali even demokrasi pada tingkat lokal/daerah.
Sebagai sebuah Negara demokrasi, maka konstitusi Indonesia secara fundamental mengakui dan
menjamin kedaulatan pada hakekatnya adalah milik rakyat. Hal ini disebutkan dalam Pasal 1 ayat (2)
UUD 1945, bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat, dan dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar”.
Pengejawantahan sistem demokrasi tersebut telah dimplemtasikan melalui reformasi electoral
dalam demokratisasi pemerintahan Indonesia dengan melakukan perubahan yang cukup “radikal”
dari sistem pemilihan tidak langsung (perwakilan) menjadi pemilihan langsung presiden dan wakil
presiden. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 6A ayat (1) UUD 1945, “Presiden dan Wakil Presiden dipilih
dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”.
Semangat dan tuntutan demokratisasi pemerintahan Indonesia tersebut telah berdampak pada
tuntutan konstitusional dari pemerintah daerah untuk melakukan “penyesuaian” sistem pemilihan
pada tingkat lokal. Hal ini tergambar dengan adanya ketentuan pada Pasal 18 ayat (4) UUD 1945
amandemen keempat yang mengisyaratkan pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara demokratis.
“Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi kabupaten,
dan kota dipilih secara demokratis”.
Ketentuan Pasal tersebut telah “ditafsirkan” sebagai sebuah perintah untuk melaksanakan
Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) secara langsung, hal ini telah menjiwai semangat
demokratisasi pemerintahan daerah yang didasarakan pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana beberapa kali telah diubah, terakhir dengan UndangUndang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah.
Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah tampaknya menjadi materi muatan utama di
dalam UU No 32 Tahun 2004, setidaknya terindikasi dari jumlah pasal yang mengaturnya, yakni mulai
FISIP UNWIR Indramayu
1
JURNAL ASPIRASI Vol.1 No.2 Februari 2011
Pasal 56 s/d Pasal 119 (sebanyak 64 pasal). Secara substantif, materi muatan yang terkandung dalam
pasal-pasal tersebut telah mencakup seluruh tahapan proses pemilihan, mulai dari pemilihan sampai
pemantauan bahkan sanksi hukum bagi pelanggaran yang terjadi.
Perubahan pola pemerintahan daerah yang sentralistis menjadi desentralistis telah membawa
pergeseran locus dan focus kekuasaan dari pusat ke daerah, termasuk perluasan kewenangan politik
pada tingkat lokal. Akan tetapi semangat desentralisasi tersebut masih belum diimbangi oleh
tumbuhnya pemahaman dan kesadaran akan nilai-nilai demokrasi substantif, masyarakat kita masih
memahami dan memaknai demokrasi sebagai formalisme sistem, berupa penempatan demokrasi
prosedural sebagai tujuan akhir.
Secara teoritis memang terdapat relevansi antara partisipasi langsung dengan demokrasi, akan
tetapi asumsi ini tidak dapat menjustifikasi secara langsung bahwa mekanisme dan sistem pemilihan
kepala daerah secara langsung akan berkolerasi atau berbanding lurus dengan terjadinya
demokratisasi pada tingkat lokal.
PERSPEKTIF YURIDIS: PEMILUKADA
Sejalan dengan amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
telah meletakkan dasar-dasar kehidupan berbangsa dan bernegara dengan meletakkan kedaulatan
berada di tangan rakyat yang diwujudkan melalui pengembangan format politik dalam negeri dan
pengembangan sistem pemerintahan termasuk sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah ke arah
yang lebih demokratis. Sebagai konsekuensi negara hukum, perubahan format politik dan sistem
pemerintahan harus ditindaklanjuti dengan perubahan peraturan perundang-undangan di bidang
politik dan pemerintahan dengan dilakukannya perubahan undang-undang yang mengatur susunan
dan kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan mengurangi tugas dan wewenang Dewan
Penvakilan Rakyat Daerah dalam hal rekruitmen pemerintah daerah.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menyebutkan bahwa
Pemerintahan Daerah adalah pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan daerah yang dilakukan oleh
lembaga pemerintahan daerah yaitu Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD).
Sementara itu, yang dimaksudkan dengan Kepala Daerah menurut UU ini adalah Kepala Pemerintahan
Daerah yang dipilih secara demokratis.
Pemilihan secara demokratis terhadap Kepala Daerah tersebut, dengan mengingat bahwa tugas
dan wewenang DPRD menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan
Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, menyatakan antara lain bahwa DPRD tidak memiliki tugas dan
wewenang untuk memilih Kepala daerah dan Wakil Kepala daerah, maka atas dasar hal tersebut
pemilihan secara demokratis dalam Undang-undang ini dilakukan oleh rakyat secara langsung.
Dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah mempunyai peran yang sangat strategis dalam rangka
pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, pemerataan, kesejahteraan masyarakat, memelihara
hubungan yang serasi antara Pemerintah dan Daerah serta antar Daerah untuk menjaga keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan figur Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah yang mampu mengembangkan inovasi, berwawasan ke depan dan siap melakukan
perubahan ke arah yang lebih baik.
Pasal 56 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, sebagai landasan yuridis formal pemilihan
kepala daerah dan wakil kepala daerah menyebutkan bahwa:
(1)
Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang
dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur
dan adil.
(2)
Pasangan calon sebagaiman dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh partai politik atau
gabungan partai politik.
2
Program Studi Ilmu Pemerintahan
ISSN 2087-2208
Pelaksanaan Pemilukada secara langsung sejalan dengan upaya pengembangan dan penguatan
sarana demokrasi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Di mana Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah dipilih secara langsung oleh rakyat yang dilaksanakan secara demokratis
berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil melalui pemungutan suara.
Proses pemilihan Kepala Daerah dilaksanakan melalui beberapa tahapan dimulai dari masa
persiapan dan tahap pelaksanaan, meliputi persiapan pemilihan, penyelenggaraan pemilihan,
penetapan pemilih, pendaftaran dan penetapan pasangan calon, kampanye, pemungutan dan
penghitungan suara, serta penetapan pasangan calon terpilih, pengesahan, dan pelantikan.
Tahapan pelaksanaan Pemilukada meliputi tahap persiapan dan tahap pelaksanaan, hal ini
sebagaimana diatur dalam Pasal 65 ayat (1), bahwa “Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah
dilaksanakan melalui masa persiapan, dan tahap pelaksanaan”. Di mana masa persiapan tersebut
meliputi:
1.
Pemberitahuan DPRD kepada kepala daerah mengenai berakhirnya masa jabatan;
2.
Pemberitahuan DPRD kepada KPUD mengenai berakhirnya masa jabatan kepala daerah;
3.
Perencanaan penyelenggaraan, meliputi penetapan tata cara dan jadwal tahapan
pelaksanaan pemilihan kepala daerah;
4.
Pembentukan Panitia Pengawas, PPK, PPS dan KPPS;
5.
Pemberitahuan dan pendaftaran pemantau.
Selanjutnya di dalam tahap pelaksanaan Pemilukada secara langsung menurut Undang-undang
tersebut adalah meliputi:
1.
Penetapan daftar pemilih;
2.
Pendaftaran dan Penetapan calon kepala daerah/wakil kepala daerah;
3.
Kampanye;
4.
Pemungutan suara;
5.
Penghitungan suara;
6.
Penetapan pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah terpilih, pengesahan, dan
pelantikan.
KERANGKA PEMIKIRAN: PEMILUKADA SEBAGAI PARADIGAMA BARU POLITIK LOKAL
Pada dasarnya perubahan paradigma pemerintahan daerah dengan beberapa karakteristik yang
telah disebutkan di atas, diharapkan dapat berimplikasi terhadap dinamika pemerintahan daerah.
Gejala ini dapat dilihat dengan adanya dua fenomena penting yang menjadi pusat perhatian banyak
orang, yaitu; penerapan model pemerintahan daerah demokratis (local democratic model) yang
merupakan upaya demokratisasi pemerintahan daerah melalui proses penguatan kedudukan dan
kewenangan politis dari legislatif lokal (DPRD) dan pola hubungan kerja yang dibangun antara DPRD
dengan kepala daerah secara efektif dalam penyelengaraan pemerintahan.
Penerapan model pemerintahan daerah demokratis, seperti digambarkan oleh John Halligan dan
Chris Aulich (dalam Hoessein 2001), di mana model pemerintahan daerah ini lebih menekankan pada
nilai-nilai demokrasi dan lokalitas dari pada efisiensi pelayanan:
The local dermocracy model values local differences and system diversity because local authority has
both the capacity and the legitimacy for local choice and local voice. This means the local authority can
and will make choices that differ from those made by others.
Otonomi daerah berkaitan erat dengan demokrasi, hal ini didasarkan pada pendapat Hoessein;
“Dalam konsep otonomi terkandung kebebasan untuk berprakarsa untuk mengambil keputusan atas
dasar aspirasi masyarakat yang memiliki status demikian tanpa kontrol langsung oleh Pemerintah
FISIP UNWIR Indramayu
3
JURNAL ASPIRASI Vol.1 No.2 Februari 2011
Pusat. Oleh karena itu kaitannya dengan demokrasi sangat erat”. Untuk lebih memperkuat
pendapatnya, Hoessein mengutip pendapat M.A. Muthalib dan Mohd. Akbar Ali Khan (1982), yang
menyamakan otonomi dengan demokrasi:
Conceptually, local autonomy tends to become a synonym of the freedom of locallity for self
determination or local democracy. No single body but the local people and then the representatives enjoy
supreme power in regard to the local sphere of action. Government interventien can be justified when the
larger interest is involved. Therefore, the people at large and their representatives alone can override the
local people and their representatives.
Inti dari otonomi dan demokrasi adalah menurut Moh. Hatta (dalam Koswara, 2000)
“…Memberikan otonomi daerah tidak saja berarti melaksanakan demokrasi, tetapi mendorong
berkembangnya auto-aktiviteit. Auto-aktiviteit artinya bertindak sendiri, melaksanakan sendiri apa
yang dianggap penting bagi lingkungan sendiri. Dengan berkembangnya auto-aktiviteit tercapailah apa
yang dimaksud demokrasi, y.i. pemerintahan yang dilaksanakan oleh rakyat, untuk rakyat. Rakyat
tidak saja menentukan nasibnya sendiri melainkan juga dan terutama memperbaiki nasibnya
sendiri…”
Sementara menurut Supriatna bahwa dimensi politik otonomi daerah dapat memberikan dasar
konsepsi atas demokratisasi pemerintahan daerah. Menurutnya; Dari sudut politik, desentralisasi ini
dimaksudkan untuk mendemokrasikan pemerintah daerah. Masyarakat daerah harus dapat dengan
leluasa memilih kepala pemerintahannya sendiri, membentuk atau memilih lembaga perwakilannya
sendiri, serta menyusun dan membuat peraturan sendiri. Dengan perkataan lain apapun yang terjadi
di daerah adalah: from the people, by the people dan for the people. Intervensi pusat terhadap daerah
harus dikurangi dan dibatasi, sehinggga kemandirian daerah benar-benar dapat terwujud.
Model demokrasi lokal menurut Gerry Stoker (dalam Hoessein 2001), demokrasi memiliki
sejumlah nilai. Pertama, pemerintahan daerah didasarkan atas kepercayaan adanya nilai dalam
penyebaran kekuasaan dan keterlibatan berbagai pengambilan keputusan di daerah. Kedua,
pandangan mengenai kekuatan dalam keanekaragaman tanggap terhadap kemajemukan tuntutan.
Ketiga, pemerintahan daerah bersifat lokal yang dapat memfasilitasi akses dan tanggap masyarakat
setempat, karena pemerintahan tersebut dekat dengan masyarakat. Keempat, penyebaran kekuasaan
merupakan nilai yang fundamental dan pemerintahan daerah yang terdiri atas lembaga-lembaga yang
didasarkan atas pemilihan dapat mewakili penyebaran kekuasaan politik yang absah dalam
masyarakat.
KONSEPSI TEORITIS: DEMOKRATISASI PEMERINTAHAN DAERAH
Pada suatu negara yang menganut bentuk pemerintahan dengan sistem demokratis, pada
dasarnya kedaulatan atau kekuasaan pada prinsipnya bersumber dari rakyat yang diamanahkan
kepada lembaga kedaulatan melalui mekanisme politik berdasarkan konstitusi. Pemerintahan yang
demokratis pada prinsipnya mempunyai tiga dimensi: Pertama, dimensi kemasyarakatan (equality);
Kedua, dimensi politik/pemerintahan (governing); Ketiga, dimensi pengaturan (rulling). Oleh karena
itu, sistem pemerintahan demokratis adalah bentuk pemerintahan sistem kekuasaan pemerintahan
yang bersumber pada konstitusional dan peraturan perundangan yang berlaku (limited government).
Sistem pemerintahan yang dibatasi dengan landasan hukum dalam proses dan mekanisme
pengelolaan kekuasaan baik dalam pengambilan keputusan maupun tindakan dalam urusan
pemerintahannya. Proses dan mekanisme pengelolaan kekuasaan dalam sistem demokrasi atas dasar
konsensus atau musyawarah melalui “bargaining, dialog” disebut “governing”.
Menurut Supriatna, bahwa esensi utama pemerintahan demokratis baik dengan sistem yang
sentralisasi lebih-lebih dengan sistem desentralisasi yang mencirikan legitimasi dan pemerintahan
yang bersih dan berwibawa pada karakteristik sebagai berikut:
1.
Komitmen kuat dari rakyat untuk membentuk pemerintahan amanah melalui proses politik
berdasarkan aturan yang konsisten;
2.
Perwujudan legitimasi pemerintahan yang proses kekuasaan atau kewenangannya memiliki
kredibilitas dari rakyat;
4
Program Studi Ilmu Pemerintahan
ISSN 2087-2208
3.
Pengelolaan kekuasaan dan pengambilan keputusan
pembangunan berorientasi pada kepentingan publik;
4.
Masyarakat memiliki kebebasan individu maupun kelompok untuk berserikat dan
berpartisipasi dalam proses pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan sehubungan
dengan pelayanan publik;
5.
Kerangka landasan hukum, etika dan moral terbentuk secara jelas dan konsisten serta
diketahui, dipahami maupun dihormati atau terpelihara oleh semua unsur pejabat negara,
pemerintah dan lapisan masyarakat;
6.
Pemerintah yang memiliki kemampuan responsif dan akuntabilitas tinggi serta
transparansi dalam kebijakan dan tindakannya; dan
7.
Pemerintah menyediakan informasi
pemerintahan dan pembangunan.
yang
akurat
fungsi
untuk
pemerintahan
terbentuknya
dan
jalannya
Sementara itu menurut beberapa ahli politik lainnya disebutkan bahwa terdapat persyaratan
institusional yang semestinya dapat dipenuhi oleh suatu pemerintahan demokratis. Beberapa
prasyarat institusional bagi pemerintahan yang demokratis, adalah sebagai berikut:
Pertama, demokrasi dipandang identik dengan suatu bentuk pemerintahan bersama, hal mana
setiap orang merasa berhak memerintah. Akan tetapi, sejalan dengan makin berkembangnya jumlah
anggota masyarakat serta banyak kepentingan yang ingin diwujudkan dalam masyarakat, muncullah
gagasan tentang demokrasi perwakilan. Kedua, pandangan yang menyebutkan bahwa demokrasi pada
dasarnya menunjuk pada hak berpartisipasi dalam mempengaruhi atau menentukan pembuatan
keputusan, terutama yang menyangkut kepentingan individu anggota masyarakat.
Ketiga, pandangan yang menunjuk pada prasyarat ekonomi bagi berkembangnya sistem
demokrasi. Preposisi yang dikemukakannya adalah “semakin sejahtera suatu bangsa atau negara,
maka semakin besar kemungkinannya untuk menopang sistem politik yang demokratis”. Keempat,
pandangan yang menunjukkan bahwa sistem politik demokratis ditentukan oleh kelompok sosial yang
berperan sebagai “intermediaries” (penghubung) antara negara dengan masyarakat (Dahl, 1982. P.59).
Dengan kata lain dapat dikemukakan bahwa keberadaan kelompok sosial yang sifatnya
“intermediaries” antara negara dengan masyarakat ini akan meminimalisir kemungkinan munculnya
pemerintahan yang otoriter, monarki absolut, dan/atau diktator totaliter.
Kelima, pandangan yang dikemukakan oleh Huntington yang menyatakan bahwa pendorong
utama tumbuhnya demokrasi di suatu negara adalah dorongan eksternal (eksternal democracy),
sejauh pengaruh luar tersebut lebih dominan daripada pengaruh internal masyarakat bersangkutan.
Keenam, pandangan yang menyatakan bahwa pendorong utama demokrasi adalah budaya politik
rakyat yang bersangkutan.Teori ini disebut juga sebagai “teori budaya politik” (Verba, 1965. P.513).
Hal itu didasari pemikiran bahwa konteks budaya politik, yang meliputi sistem relasi antar individu,
keyakinan keagamaan, nilai-nilai yang tumbuh dalam masyarakat yang kesemuanya itu menentukan
terbentuk tidaknya institusi demokrasi dalam suatu masyarakat.
MODEL PEMERINTAHAN DAERAH DEMOKRATIS
1. Model Efisiensi Struktural (structural efficiency model)
Model ini sangat menekankan pentingnya distribusi layanan secara efisien kepada masyarakat
setempat dalam penyelenggaraan desentralisasi. Agar tercapai uniformitas dan konformitas
mekanisme pelayanan secara efisien dan ekonomis, model ini mendorong campur tangan pemerintah
yang lebih besar sebagai kontrol terhadap pemerintah daerah (John Halligan dan Chris Aulich: 1998).
Pada umumnya model tersebut menganut skala prioritas tujuan desentralisasi pada efisiensi
pemerintahan dan persatuan bangsa (A.F. Leemans: 1970). Dalam negara yang menganut model
struktural efisiensi dengan skala prioritas tujuan desentralisasi pada efisiensi dan persatuan bangsa
terjadi berbagai kecenderungan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, (A.F. Leemans: 1970).
Pertama, terjadi kecenderungan untuk memangkas jumlah susunan daerah otonom. Kedua, terjadi
FISIP UNWIR Indramayu
5
JURNAL ASPIRASI Vol.1 No.2 Februari 2011
kecenderungan mengorbankan demokrasi dengan cara membatasi peran dan partisipasi lembaga
perwakilan rakyat daerah sebagai lembaga pembuat kebijakan dan lembaga kontrol.
Ketiga, kecenderungan keengganan pusat untuk menyerahkan wewenang dan diskresi yang lebih
besar kepada daerah otonom. Keempat, kecenderungan mengutamakan dekonsentrasi dari pada
desentralisasi. Kelima, terjadi semacam paradoks: di satu sisi efisiensi memerlukan wilayah dari
daerah otonom yang luas untuk memungkinkan tersedianya sumber daya yang lebih mendukung bagi
roda pemerintahan daerah, namun di sisi lain daerah otonom yang berwilayah luas dikhawatirkan
berpotensi, menjadi gerakan separatisme. Oleh karena itu, dalam pemangkasan susunan daerah
otonom, acapkali daerah otonom yang berwilayah luas menjadi sasaran utama untuk dilikuidasi.
2. Model Demokrasi Lokal (local democracy model)
Model ini lebih menekankan nilai-nilai demokrasi dan lokalitas dari pada efisiensi pelayanan.
Menurut John Halligan dan Chris Aulich (1998) menjelaskan bahwa “The local dermocracy model
values local differences and system diversity because local authority has both the capacity and the
legitimacy for local choice and local voice. This means the local authority can and will make choices that
differ from those made by others.” Model struktural efisiensi berakar pada teori pemerintahan daerah
yang dibangun menurut teori manajemen, sedangkan model demokrasi pada pemerintahan daerah
yang dibangun menurut teori politik (Danny Burns, Dobin Hambleton dan Paul Hoggett: 1994).
Model demokrasi menurut Gerry Stoker (1990), memiliki sejumlah nilai sebagai berikut:
1.
Pemerintahan daerah didasarkan atas kepercayaan adanya nilai dalam penyebaran
kekuasaan dan keterlibatan berbagai pengambilan keputusan di daerah.
2.
Pandangan mengenai kekuatan dalam keanekaragaman tanggap terhadap kemajemukan
tuntutan.
3.
Pemerintahan daerah bersifat lokal yang dapat memfasilitasi akses dan tanggap
masyarakat setempat, karena pemerintahan tersebut dekat dengan masyarakat.
4.
Penyebaran kekuasaan merupakan nilai yang fundamental dan pemerintahan daerah yang
terdiri atas lembaga-lembaga yang didasarkan atas pemilihan dapat mewakili penyebaran
kekuasaan politik yang absah dalam masyarakat.
Pemerintahan daerah yang demokratis, menurut Bowman dan Hampton (dalam Supriatna,1996),
adalah suatu pemerintahan daerah yang demokratis berarti suatu pemerintah yang berdasarkan
demokrasi dari bawah (grass-roots democracy) yang diwujudkan dalam bentuk suatu pemerintah
daerah yang representatif. Suatu pemerintah daerah yang representatif adalah adalah suatu
pemerintahan yang ditandai dengan adanya nilai-nilai demokrasi yaitu: kemerdekaan (freedom),
persamaan (equality), persaudaraan (fraternity), pertanggungjawaban politik (political responsibility)
dan partisipasi.
Ramlan Surbakti (dalam Bhakti dan Riza Sihbudi 2002) mengemukakan bahwa di dalam
pemerintahan daerah demokratis terdapat beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan, menurutnya,
“Sedikitnya ada tiga aspek demokrasi pada pemerintahan daerah: Pertama, para anggota Badan
Legislatif Daerah (DPRD) dan kepala eksekutif lokal (Gubernur, Bupati, Walikota) yang dipilih oleh
rakyat melalui pemilihan yang bebas dan adil; Kedua, legislatif dan eksekutif daerah yang secara politis
dapat bertanggung jawab terhadap konstituen dan rakyat daerah pada umumnya, juga dapat
bertanggung jawab secara hukum; Ketiga, masyarakat sipil yang mandiri dan terberdayakan di daerah
memiliki akses terbuka untuk mempengaruhi legislatif dan eksekutif lokal.
IMPLIKASI NEGATIF PEMILUKADA LANGSUNG
Pada tahun 2010 telah dilaksanakan Pemilukada untuk pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur
di 7 (tujuh) Provinsi dan pemilihan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota di 237
Kabupaten/Kota. Sementara itu, pada tahun 2011 akan diselenggarakan Pemilukada secara langsung
sebanyak 107 even.
6
Program Studi Ilmu Pemerintahan
ISSN 2087-2208
Ketika Pemilukada diinisiasikan oleh UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
diharapkan terjadi perbaikan dan peningkatan kualitas kehidupan demokrasi
di Indonesia,
khususnya pada pemerintahan daerah. Di mana dengan Pemilukada ini akan meningkatkan semangat
dan pendalaman nilai-nilai demokrasi substantif pada tingkat lokal. Dalam sistem ini masarakat
diberikan kesempatan untuk menyuarakan kepentingan lokal dan menentukan pilihannya pada
tingkat lokal (local voice and local choice).
Disamping hal tersebut, dengan adanya pilihan untuk melaksanakan Pemilukada ini telah
diletakan pada beberapa kerangka pemikiran dasar yaitu:
1.
Sebagai bentuk evaluasi dan koreksi total atas implementasi sistem pemilihan kepala
daerah secara tidak langsung melalui DPRD;
2.
Sebagai upaya dalam meminimalisir terjadinya praktik politik uang (money politcs);
3.
Sebagai sarana untuk memperkuat posisi dan daya tawar daerah dalam kerangka
memperjuangkan kepantingan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal; dan
4.
Sebagai salah satu instrumen fundamental dalam pelembagaan model demokrasi lokal
(local democracy model) dalam rangka pencapaian tujuan implementasi Otonomi Daerah.
Harapan yang terlalu tinggi terhadap penerapan sistem Pemilukada ini, belum dibarengi dengan
kesiapan infrastruktur dan penyiapan suprastruktur politik pada tingkat lokal serta peningkatan
kematangan berpolitik dari elit-elit lokal. Kondisi ini telah berdampak cukup luas terhadap
penyelenggaraan pemerintahan di daerah, pelayanan masyarakat daerah, dan proses pembangunan di
daerah akibat sering munculnya ekses negatif, Pemilukada secara umum telah menimbulkan sebuah
gejala anomali demokrasi lokal dengan citra negatif sistem Pemilukada akibat munculnya anarkisme,
money politics (politik uang), politisasi birokrasi, ego dan sentimen kedaerahan, suburnya paham
primordialistik, dan konflik elit politik lokal yang mendorong issue disintegrasi dan tuntutan
pemekaran daerah yang semakin tidak terkendali.
Beberapa permasalahan yang ikut mewarnai proses Pemilukada tersebut pada dasarnya
disebabkan oleh beberapa faktor, yang antara lain:
1.
Nilai-nilai lokal yang cenderung kontradiktif dengan prinsip-prinsip demokrasi;
2.
Pemahaman yang keliru dari masyarakat di daerah terhadap makna Otonomi Daerah;
3.
Kapasitas kelembagaan dan kualitas personal (SDM) dari penyelenggara Pemilukada;
4.
Kesiapan perangkat teknis (Penyelengara dan Pengawas) Pemilukada yang terkait
langsung dengan proses Pemilukada;
5.
Kepastian Data Pemilih Tetap;
6.
Daya dukung serta kesamaan persepsi antara pemerintah daerah dengan penyelenggara
Pemilukada; dan
7.
Kerancuan dan ketidakkonsistenan dari beberapa kebijakan pelaksana yang mengatur
secara teknis pelaksanaan Pemilukada.
UPAYA DAN STRATEGI
Pemilihan kepala daerah secara langsung dapat menjadi salah satu alternatif yang dapat dipilih
untuk meningkatkan legitimasi pemerintahan daerah dan proses penerapan local dermocracy model,
hal ini didasarkan pada suatu kerangka pemikiran sebagai berikut:
1.
Pilkada diperlukan untuk mengurangi bahkan memutuskan oligarki Partai Politik dalam
DPRD selama proses Pemilihan Kepala Daerah;
2.
Pilkada dapat meningkatkan kualitas akuntabilitas para elit lokal, termasuk kepala daerah;
3.
Pilkada berpeluang munculnya figur-figur alternatif yang memiliki kapabilitas dan
legitimasi riil dari masyarakat lokal; dan
FISIP UNWIR Indramayu
7
JURNAL ASPIRASI Vol.1 No.2 Februari 2011
4.
Pilkada dapat meningkatkan kualitas keterwakilan politik (political representativeness)
dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;
Cita-cita utama adanya penyelenggaraan Pemilukada secara langsung adalah terciptanya sebuah
struktur politik lokal yang demokratis dan sistem pemerintahan yang mampu berjalan secara efektif.
Melalui Pemilukada, rakyat memiliki kesempatan lebih luas untuk menentukan pasangan pemimpin
eksekutif sesuai dengan yang dikehendaki. Harapan terbesar tentunya para pemimpin yang terpilih
melalui Pemilukada agar mampu menjalankan fungsi dan perannya dalam berbagai kebijakan publik
dengan lebih optimal.
Dalam rangka menwujudkan Pemilukada yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dan
tanpa menimbulkan konflik pada tingkat lokal. Hal ini membutuhkan langkah-langkah strategis dalam
menghadapi berbagai permasalahan yang timbul selama tahapan, pelaksanaan dan pasca proses
Pemilukada. Untuk itu perlu dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1.
Perlu adanya upaya penataan kembali sistem pemerintahan pada tingkat nasional dan
lokal secara konstitusional;
2.
Memperbaiki mekanisme dan prosedur dalam sistem Pemilukada, melalui peninjauan
kembali beberapa regulasi yang mengatur secara teknis pelaksanaan Pilkada;
3.
Meningkatkan koordinasi antara penyelenggara Pemilukada dengan pihak-pihak lainnya
yang terkait, misalnya; KPUD, DPRD, Partai Politik, Panwas, Setda, Dinas Kependudukan;
4.
Mempertimbangkan untuk penataan ulang struktur penyelenggaran Pemilukada,
hubungan kerja, dan kewenangannya dalam rangka peningkatan kapasitas dan kualitas
personalnya;
5.
Memperbaiki sistem penganggaran dan penyediaan dana dalam alokasi APBD untuk
pelaksanaan Pemilukada; dan
6.
Penanaman dan peningkatan kesadaran atas nilai-nilai kebangsaan, prinsip-prinsip
demokrasi, dan pemberdayaan politik masyarakat di daerah melalui pelaksanaan
pendidikan politik bagi masyarakat di daerah.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Bhakti, Ikrar Nusa dan Riza Sihbudi(Editor). 2001. Menjauhi Demokrasi Kaum Penjahat; Belajar
dari Kekeliruan Negara-Negara Lain. Bandung: Mizan.
------------, dan Riza Sihbudi(Editor). 2002. Kontroversi Negara Federal; Mencari Bentuk Negara
Ideal Indonesia Masa Depan. Bandung: Mizan.
2.
Budiardjo, Miriam. 1996. Demokrasi di Indonesia; Demokrasi Parlementer dan Demokrasi
Pancasila. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
------------, 1998. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
3.
Burns, Danny. Robin Hambleton and Paul Hogget. 1994. The Politics of Decentralization
Revitalising Local Democracy. London: Macmillan.
4.
Cheema, G. Shabbir and Dennis A. Rondinelli. 1983. Decentralization and Development Policy
Implementation in Developing Countris. Beverly Hills/London/New Delhi: Sage Publications.
5.
Dirdjosanjata, Prajarta. Nico L Kana (penyunting). 2006. Demokrasi dan Potret Lokal Pemilu
2004. Salatiga: Pustaka Percik.
6.
Gaffar, Afan. 2002. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
7.
Gaffar, Afan. Ryaas Rasyid dan Syaukani. 2003. Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
8.
Gie, The Liang. 1993. Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Republik Indonesia. Jilid I, II, dan III.
Yogyakarta: Liberty.
8
Program Studi Ilmu Pemerintahan
ISSN 2087-2208
9.
Hidayat, Syarif. 2001. Hidden Autonomy; Sebuah Refleksi Realitas Otonomi Daerah di Indonesia.
Jakarta: JISIP No. 3 Tahun II. Januari 2001.
-----------, 2007. Too Much Too Soon: Local State Elite39s Perspective on the Puzzle of
Contemporary Indonesian Regional Autonomy Policy (edisi Dua Bahasa). Jakarta: Pt.
Rajawali Press.
10.
Hoessein, Bhenyamin. 2001. Reformasi Pemerintahan Daerah di Indonesia. Jakarta: JISIP No. 3
Tahun II. Januari 2001.
11.
Koswara, E. 2001. Pengaruh Format Politik Nasional Terhadap Demokrasi Lokal: Suatu Analisis
Kebijakan Otonomi Daerah Dan Prospek Demokrasi Lokal Menurut Undang-Undang No. 22 Tahun
1999. Dalam Dadang Julianto (penyunting). Arus Bawah Demokrasi: Otonomi dan Pemberdayaan
Desa. Yokyakarta: Lapera Pustaka Utama.
-----------, 2002. Otonomi Daerah yang Berorientasi pada Kepentingan Rakyat; Suatu Telaah
Mengenai Prospek dan Dampak Pelaksanaan Otonomi Daerah berdasarkan UU 22/1999
Tentang Pemerintahan Daerah. Bahan Kuliah pada Proram Pascasarjana Ilmu
Pemerintahan Unjani Cimahi.
12.
Maddick, Henry. 1963. Democracy, Decentralization and Development. London: Asia
13.
Ranney, Austin. 1996. Governing; An Introduction to Political Science. New Jersey: University of
California, Berkeley: Prentice-Hall.
14.
Ratnawati, Tri. 2006. Potret Pemerintahan Lokal di Indonesia di Masa Perubahan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
15.
Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana.
------------, 2002. Reformasi Politik: Gagasan Negara Kesatuan dan Federal. Dalam Ikrar
Nusa Bhakti dan Riza Sihbudi (editor). Kontroversi Negera Federal; Mencari Bentuk
Negara Ideal Indonesia Masa Depan. Bandung: Mizan.
16.
Supriatna, Tjahya. 1996. Sistem Administrasi Pemerintahan di Daerah. Jakarta: Bumi Aksara.
-------------, 2000. Akuntabilitas Pemerintahan dalam Administrasi Publik. Bandung: Indra
Prahasta.
17.
Thoha, Miftah. 2001. Hubungan Pusat dan Daerah. Jakarta: JISIP No. 3 Tahun II. Januari 2001.
18.
Thompson, Dennis F. 2000. Etika Politik Pejabat Negara. Terjemahan:Benyamin Molan. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
19.
Wasistiono, Sadu. 2002. Kapita Selekta Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Edisi Kedua.
Bandung: Fokusmedia.
------------, 2001. Implementasi Undang-Undang Otonomi Daerah dan Masalah Integrasi Nasional.
Makalah Kuliah Umum “Implementasi Undang-Undang Otonomi Daerah dan Masalah
Integrasi Nasional” pada Program Pascasarjana MIP-Unjani.
20.
Winter, William O. 1981. State and Local Government in a Decentralized Republic. New York:
Macmillan Publishing Co., Inc.
FISIP UNWIR Indramayu
9
Download