LEGAL OPINION CALON INDEPENDEN PEMILUKADA BAB I PENDAHULUAN Pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah, atau seringkali disebut Pilkada, adalah pemilihan umum untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung di Indonesia oleh penduduk daerah setempat yang memenuhi syarat. Sebelumnya, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Langsung atau sering disebut Pilkada Langsung merupakan mekanisme demokratis dalam rangka rekrutmen pemimpin di daerah, dimana rakyat secara menyeluruh memiliki hak dan kebebasan untuk memilih calon – calon yang didukungnya. Indonesia sendiri baru memberlakuan pilkada secara langsung ketika dikeluarkannya Undang – Undang No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah No. 6/2005 mengenai Tata cara Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah, merupakan tonggak baru penegakan kedaulatan rakyat daerah di Indonesia. Undang - Undang No. 32 tahun 2004 ditetapkan pada Oktober 2004 memberikan perubahan yang sangat sigifikan dalam tata pemerintahan dan bahkan adanya pemilihan kepala daerah secara langsung. Ini berarti semangat untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat daerah untuk berbenah sesuai dengan keinginannya. Dan pada akhirnya setiap kepala daerah akan terasa lebih dekat dengan rakyat. Artinya semua kebijakan yang akan diambil kepala daerah benar - benar berdasarkan kebutuhan rakyat yang sesungguhnya. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, peserta Pilkada adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Ketentuan ini diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa peserta pilkada juga dapat berasal dari pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang. Undang-undang ini menindaklanjuti keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan beberapa pasal menyangkut peserta Pilkada dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. 1 Undang - Undang Nomor 12 Tahun 2008 perubahan kedua atas Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dalam Pasal 59 (1) Peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik dan pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang. Perjalanan sistem politik di Indonesia memasuki babak baru setelah Mahkamah Konstitusi (MK) pada hari Senin (23/07/07). Tepat pada waktu ini Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Nomor 5/PUU-V/2007 tentang putusan perkara permohonan Pengajuan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang pada dasarnya merupakan putusan untuk melegitimasi secara tegas posisi calon perseorangan untuk dapat maju dalam sebuah pemilihan kepala daerah (gubernur, walikota, dan bupati) tanpa partai politik. Putusan MK tersebut merupakan langkah maju dari pelembagaan demokratisasi baik secara nasional maupun lokal. Secara sederhana pengertian calon independen yang dimaksud di dalam keputusan Mahkamah Konstitusi adalah calon perseorangan yang dapat berkompetisi dalam rekrutmen pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah melalui mekanisme pilkada tanpa mempergunakan partai politik sebagai media perjuangannya. Sistem baru calon independen ini akan membuka ruang demokrasi arus lokal yang melahirkan persaingan sehat sebagai upaya mencari figur pemimpin berkualitas, guna menjawab tantangan daerah di tengah arus global. Persaingan melalui calon independen berimplikasi positif sebagai solusi atas pembangunan lokal di saat dukungan sumber daya alam kita yang saat ini semakin terbatas. Perbedaan yang kontras antara calon independen dengan calon dari partai politik adalah masalah pengorganisasian infrastruktur dengan suprastruktur politiknya. Calon independen tidak memiliki infrastruktur politik yang jelas. Sehingga, apa yang menjaga hubungan konstituen (infrastruktur) dengan lembaga eksekutif (suprastruktur) tidak ada. Justru posisi eksekutif yang diisi oleh calon independen tidak akan memperoleh legitimasi politik yang kuat dari DPRD Propinsi dan Kabupaten/Kota karena representasi dari kekuatan berbagai parpol. 2 BAB II KERANGKA TEORI A. Pengertian Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Ruang lingkupnya Pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah, atau seringkali disebut Pilkada, adalah pemilihan umum untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung di Indonesia oleh penduduk daerah setempat yang memenuhi syarat. Sebelumnya, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pemilihan umum kepala daerah (pilkada) juga merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan/atau kabupaten/kota berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.1 Kemudian dalam perkembangannya muncul wacana agar kepala daerah dapat maju tidak hanya melalui kendaraan politik (parpol), namun juga melalui jalur independen yang tidak berafiliasi dengan parpol manapun. Perdebatan mengenai partisipasi calon independen dalam pemilihan kepala daerah sudah lama, sejak disahkannya UU No 32/2004. Perdebatan muncul karena UU tersebut dianggap diskriminatif dan berlawanan dengan konstitusi, UUD 1945. Diskriminatif karena UU tersebut hanya mengijinkan partai-partai politik atau gabungan partai politik yang mendapatkan 15% kursi atau suara di daerah yang bersangkutan. Berlawanan dengan UUD 1945 karena konstitusi menjamin hak politik individu masyarakat untuk memilih dan dipilih. Tetapi terlepas dari perdebatan itu, tetapan tersebut tetap diberlakukan untuk semakin menjunjung demokrasi di Indonesia. Akhirnya, UU No. 32 Tahun 2004 khususnya pada Pasal 59 (1)—Peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik dan pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang— mengalami revisi sebanyak dua kali yang melahirkan UU No. 12 Tahun 2008 dan dengan dukungan 1 Pasal 1 ayat (1) PP No. 6/2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah 3 Keputusan MK tahun 2007, ditetapkanlah bahwa calon independen diterima untuk mencalonkan diri di pilkada. B. Modal Sosial Selama satu dekade terakhir, modal sosial menjadi perhatian serius dalam sosiologi, ekonomi, ilmu politik, kesehatan dan bahkan dikembangkan oleh kerjakerja agen pembangunan internasional. Perhatian serius pada modal sosial tampaknya paralel dengan perhatian pada good governance, desentralisasi, demokrasi lokal, pemberdayaan, civil society dan seterusnya. Secara akademik, apa sebenarnya yang dimaksud dengan “modal sosial”? Istilah “modal sosial” sebenarnya sudah lama dikenalkan oleh sosiolog kenamaan Emile Durkheim pada abad ke-19. Durkheim menyebut istilah “modal sosial” untuk menyatakan ikatan sosial antarmanusia di dalam sebuah masyarakat sangat penting untuk membentuk kohesivitas sosial dalam mencapai tujuan bermasyarakat.2 Ia merupakan sebuah kekuatan untuk mencapai tujuan hidup bersama yang tidak mungkin dicapai secara personal. Sebagai contoh, misalnya, kegiatan pendidikan. Pendidikan merupakan aktivitas kolektif antara pendidik, siswa, masyarakat, dan pemerintah. Sebagai sebuah aktivitas kolektif, pendidikan memerlukan kerjasama banyak pihak, mulai dari pemimpin sekolah, para guru, tenaga administrasi, murid, orangtua siswa, komite sekolah, dan tentu pemerintah. Jika semuanya fungsional sesuai tugas dan peran masing-masing, maka pendidikan akan berjalan baik dengan hasil yang baik pula Dalam hubungannya dengan konteks politik, kami melihat bahwa modal sosial merupakan salah satu penggerak masyarkat, mengapa mereka mau bersatu dan apa yang menjadi pengikat mereka. Dengan menelaah modal sosial, kami berusaha melihat apakah modal sosial ini berhasil dieksploitasi oleh calon independen untuk bisa memenangkan pilkada. Dalam makalah ini, kami akan mengangkat konsep model sosial yang diutarakan oleh Robet Putnam dalam tulisannya, Making Democracy Work, dikemukakan bahwa terdapat tiga unsur penting yang dapat menjamin keterikatan 2 Diakses dari http://mudjiarahardjo.com/artikel/204-mengenal-modal-sosial.html pada tanggal 15 Desember 2012 4 sosial masyarakat; yaitu keberadaan norma, nilai sosial dan kepercayaan (trust) serta jaringan sosial (social networks).3 Putnam menjelaskan bahwa modal sosial adalah sebuah sumber daya yang individu atau kelompok orang memiliki atau gagal untuk memiliki4, selanjutnya Ia menjelaskan bahwa modal sosial mengacu pada norma dan jaringan kerja masyarakat sipil yang melicinkan tindakan kerjasama diantara warga negara dan institusi mereka. Maka dalam kaitannya dengan individu dalam politik, sering kali modal sosial ini diasosiasikan dengan apa yang melekat dan dimiliki oleh individu yang dapat mempengaruhi orang lain dan terlihat berbeda dari individu lainnya secara kualitas. Modal sosial tersebut dapat berupa kekayaan, popularitas, jaringan, organisasi, rekam jejak pengalaman, hubungan masyarakat, dan lainlain.5 James Coleman (1988) adalah sosiolog pertama yang mengusung modal sosial ke dalam mainstream ilmu sosial Amerika6, yang kemudian menurut Sutoro Eko semakin dipopulerkan oleh studi Robert Putnam (1993, 1995, 2000). Secara akademik studi tentang “modal sosial, desentralisasi dan demokrasi lokal” berada dalam haluan pendekatan berpusat pada masyarakat, sebagai sebuah studi alternatif atas studi tentang otonomi daerah yang selama ini sibuk membicarakan masalah kerangka regulasi dan kebijakan, pemilihan kepala daerah, kinerja DPRD, investasi daerah, pendapatan asli daerah, dan sebagainya. Membuat desentralisasi dan demokrasi bekerja lebih baik tidak cukup hanya disandarkan pada kebijakan yang demokratis (akuntabel, responsif dan partisipatif), komitmen elite lokal, atau capacity building bagi pemerintah daerah, melainkan juga harus digerakkan oleh modal sosial dalam sektor masyarakat sipil. Martti Siisiäinen , “Two Concepts of Social Capital: Bourdieu vs. Putnam” Department of Social Sciences and Philosophy University of Jyväskyla. 4 Sutoro Eko, Modal Sosial, Desentralisasi dan Demokrasi Lokal, draft makalah disajikan dalam Seminar Internasional IV “Dinamika Politik Lokal di Indonesia: Demokrasi dan Partisipasi”, yang digelar oleh Yayasan Percik dan The Ford Foundation, Salatiga, 15-18 Juli 2003. 5 Diadaptasi dan dimodifikasi oleh Sutoro Eko dari Coleman (1988, 1990), Putnam (1993, 2000), North (1990), Bain dan Hicks (1998), Uphoff (2000), Colleta dan Cullen (2001) dalam Modal Sosial, Desentralisasi dan Demokrasi Lokal. 6 James Coleman, Social Capital in the Creation of Human Capital, dalam American Journal of Sociology I (1988) 94 (supplement), p. 95-120. 3 5 BAB III PEMBAHASAN A. Permasalahan Hukum Dipecat dari pimpinan Partai Golkar, karena tersangkut kasus Bank Perkreditan Rakyat Tripanca Setiadana, tidak membuat Satono (kandidat calon bupati independent tahun 2011) kehilangan akal untuk mempertahankan jabatan dan ikut pemilihan bupati Lampung Timur tahun 2010. Satono bakal maju sebagai kandidat independen. Satono telah telah menyerahkan daftar dukungan sebanyak 262 ribu orang, atau hampir 35 persen dari total jumlah mata pilih, di Kabupaten Lampung Timur ke Komisi Pemilihan Umum Daerah sebagai syarat pencalonan. Jumlah dukungan ini jauh lebih besar dari persyaratan untuk maju. "Syarat minimalnya cuma empat persen dari jumlah penduduk Lampung Timur atau sekitar 38-an ribu saja," . Satono memilih maju melalui jalur independen setelah Partai Golkar memecat dirinya dari kursi ketua Dewan Pengurus Daerah Partai Golkar Lampung Timur. "Ini dukungan ril yang telah dikumpulkan tim kami," ujarnya. Ratusan ribu dukungan itu menyertakan foto kopi kartu tanda penduduk dan tanda tangan pendukung. Pada Pilkada Lampung Timur Satono nanti menggandeng Erwin, mantan ketua Komisi Pemilihan Umum Daerah Lampung Timur. Pasangan itu menyebut dirinya dengan SAE atau Satono dan Erwin. Selanjutnya KPUD Lampung Timur akan memverifikasi faktual dukungan tersebut setelah jadwal penyerahan dukungan ditutup pekan depan.7 B. Analisis Dalam konsep mengenai Negara Hukum Modern yang berfungsi sebagai welfare state, berdasarkan konferensi di Bangkok tahun 1965, salah satu syarat dasar yang penting untuk mewujudkan apa yang dinamakan Rule of Law adalah pemilihan umum yang bebas. Dengan kata lain, penyelanggaraan pemilihan 7 http://www.tempo.co/read/news/2010/01/06/058217451/Dipecat-Golkar-Bupati-LampungTimur-Maju-Sebagai-Calon-Independen di akses pada tanggal 18 Desember 2012 6 umum yang bebas adalah sebagai salah satu tolak ukur untuk menentukan keberhasilan demokrasi di suatu negara hukum.8 Pemilihan umum yang berkualitas pada dasarnya dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi proses dan hasilnya. Pemilu dapat dikatakan berkualitas dari sisi psosesnya, apabila Pemilu itu berlangsung secara demokratis, aman, tertib, dan lancar, serta jujur dan adil. Sedangkan apabila dilihat dari sisi hasilnya, Pemilu itu harus dapat menghasilkan wakil – wakil rakyat dan pemimpin negara yang mampu mensejahterakan rakyat, di samping pula mengangkat harkat dan martabat bangsa di mata dunia Internasional. Begitu pentingnya kedudukan dan fungsi wakil rakyat dalam siklus ketatanegaraan dan agar wakil – wakil rakyat benar – benar bertindak atas nama rakyat, maka wakil rakyat itu harus ditentukan sendiri oleh rakyat, yaitu melalui Pemilihan Umum (general election) . Di negara demokratis, pemilu adalah sumber utama untuk rekruitmen politisi dengan partai politik sebagai sarana utama dalam penominasian kandidat. Kegiatan seseorang dalam partai politik merupakan suatu bentuk partisipasi politik yang mencakup semua kegiatan sukarela melalui mana seseorang turut serta dalam proses pemilihan pemimpin – pemimpin politik dan turut serta secara langsung atau tak langsung dalam pembentukan kebijaksanaan umum. Oleh karena itu, keberadaan partai politik merupakan instrumen yang paling esensial dalam pelaksanaan pemilu, terlepas dari adanya faktor – faktor lain yang menentukan seperti yang saat ini sedang hangatnya, yaitu adanya kesempatan untuk mengikuti pemilu secara independen atau perseorangan.9 Kehadiran calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah penting artinya dalam rangka mendobrak kejumudan demokrasi procedural pemilihan kepala daerah menuju demokrasi lokal yang berkeadilan. Mengingat begitu vitalnya pemilihan seorang kepala daerah, agar kesempatan setiap orang untuk maju dalam pemilihan sesuai dengan hak baik memilih maupun dipilih, maka pemilihan melalui jalur independen juga harus diperhitungkan sebagai jaminan hak konstitusional. Budiardjo, Miriam, 2007. Dasar – Dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, h. 23 9 Abdullah, Rozali. 2009. Mewujudkan Pemilu Yang Lebih Berkualitas (Pemilu Legislatif). Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, h. 11 8 7 Penyuguhan pandangan atau pendapat hukum (legal opinion) yang dibuat oleh para kritikus hukum yang terdiri dari intelektual akademisi, praktisi hukum, maupun pengamat masalah sosial politik dan hukum umumnya berisikan masukan (input) dalam sudut pandang fungsi penerapan hukum dan manfaatnya dalam masyarakat, dan bagaimana cara kerja hukum itu agar tidak meresahkan masyarakat apabila disosialisasikan sebagai produk perangkat hukum. Berdasarkan hal tersebut, guna dapat memberikan masukan yang kedepannya bermanfaat bagi recht vinding, maka dibuatlah sebuah Legal Opinion yang berjudul “Calon Independen Pemilukada Untuk Mewujudkan Terobosan Demokrasi yang Baik” a. Analisis pencalonan independen pemilukada dalam perspektif yuridis normative Apabila melihat secara yuridis normatif maka haruslah dilihat dari hirearki peraturan perundangan mulai dari yang tertinggi sebagai grundnorm hingga peraturan – peraturan organis yang ada dibawahnya. Dalam hal ini terdapat 2 peraturan yang dijadikan rujukan dalam hal pencalonan indpenden dalam pemilukada, yaitu Pasal 18 (4) UUD 1945 melawan UU No. 12 tahun 2008 tentang Pemerintah daerah. Pasal 18 (4) UUD 1945 ”Gubernur, Bupati, dan Walikota masing – masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.” Pasal 56 (1) UU No. 32 Tahun 2004 ”Pasangan Calon sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik atau perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang yang memenuhi persyaratan sebagaimana ketentuan dalam Undang-Undang ini.” Menurut Legal Argument dari penulis, Ketentuan dari pasal 18 (4) UUD 1945 secara implisit sebenarnya memberikan kesempatan yang lebih terbuka kepada calon kepala daerah, dalam artian tidak mengharuskan calon kepala daerah berasal dari kalangan partai politik. UUD 1945 memang tidak mengatur secara jelas perihal pilkada, akan tetapi berdasarkan perumusan pasal 18 UUD 1945 dapat disimpulkan bahwa pemerintah daerah yang dikehendaki adalah otonomi 8 daerah termasuk dalam penentuan kepala daerah, entah melalui partai maupun perseorangan. Hal ini bertentangan bahwasanya ternyata UU No. 32 tahun 2004 memberikan suatu garis demakarsi atau pembatas dimana hanya calon yang melalui partai politik ataupun gabungan partai politik sajalah yang dapat mengikuti pemilukada secara langsung. Tetapi kemudian UU No. 32 tahun 2004 ini dirubah UU No. 12 Tahun 2008 bahwasannya dalam pasal 59 ayat (1) Peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah: a. pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. (b) pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang. Selanjutnya, menurut legal opinion dari penulis, secara normative ketentuan dalam UUD 1945 melalui pasal 18 (4) dan UU No. 12 Tahun 2008 pasal 59 (1) memberikan jalan bagi jalur independen dan tidak memberi pembatasan jalur pencalonan hanya melalui partai politik, jadi tidak menutup hak konstitusional warga negara dalam hal mengenai hak untuk dipilih. b. Analisis pencalonan independen pemilukada dalam perspektif sosiologis. Dalam hal menilai urgensi pencalonan independen pemilukada secara sosiologis, maka terdapat tiga hal yang dijadikan legal reasoning sebagai tolak ukurnya yaitu: 1) Praktek Politik Uang dalam Pemilukada Praktek money politik dalam pemilukada tidak dapat dipungkiri keberadaannya bahkan cenderung meningkat. Politik uang dalam pemilukada telah memasuki setiap elemen, mulai dari keterlibatan calon kepala daerah, DPRD, dan parpol pengusung hingga konstituennya. Menurut legal argumen dari penulis, bahwasanya fungsi rekrutmen parpol menjadikan lahan terbesar praktek money politik yang cenderung ke arah korupsi, dimana pergerakan uang yang dimulai sejak proses pendaftaran seseorang ketika menjadi calon kepala daerah dari parpol tertentu terutama dari pihak incumbent (berdasarkan riset Transparancy International Indonesia).10 10 Ibid, h. 15 9 Menurut Legal Opinion dari Penulis, kehadiran calon perseorangan dalam pemilukada akan dapat meminimalisir praktek politik uang dikarenakan tidak perlunya ”membayar mahal” untuk berkompetisi melalui jalur. 2) Degradasi peranan Partai Politik dalam Pemilihan Umum Urgensi kebutuhan pencalonan secara independen diperlukan mengingat hal yang dinamakan oleh penulis sebagai ”Degradasi Peranan Parpol”. Kondisi parpol yang selalu fluktuatif tergantung dengan arah percaturan politik, menjadikan sering parpol terlihat tidak sehat dan melupakan fungsi intinya, yang akhirnya menjadikan kinerja dari parpol itu sangat diluar harapan, terlepas dari kualitas dari kader – kadernya ataukan mesin parpol itu sendiri.11 Bahwasanya kehadiran calon perseorangan dalam pilkada langsung dalam jangka panjang diprediksi akan menyederhanakan jumlah partai secara natural sekaligus membuka mata parpol untuk menjalankan fungsinya dengan sebaik – baiknya. 3) Penurunan partisipasi masyarakat dalam Pemilukada. Mengutip dari pendapat Kacung Marijan, munculnya fenomena golput dalam pemilukada secara lamgsung pada dasarnya tidak berbeda jauh dengan perilaku memilih yang terjadi pada pemilu tingkat nasional, yakni munculnya pemilih yang kritis dan apatis. Menurut Legal argument dari penulis sejalan dengan pendapat di atas, sifat kirit dan apatis yang ditunjukan oleh pemilih adalah didasarkan dengan adanya ketidakpercayaan terhadap partai politik ditambah tidak terakomodirnya kepentingan mereka. Maka dengan adanya calon independen dalam pemilukada, maka dapat meningkatkan partisipasi pemilih dengan penafsiran bahwa calon individu ini dapat menjadi pilihan alternatif bagi pemilih yang mengalami penurunan kepercayaan politik. 11 Pamungkas, Sigit. 2009. Perihal Pemilu. Yogyakarta : Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol Universitas Gajah Mada, h. 32 10 c. Analisis pencalonan independen pemilukada dalam perspektif HAM dan Demokrasi Dari perspektf Hak asasi Manusia, pencalonan sebagai kepala daerah secara independen merupakan bentuk dari pengaplikasian perlindungan HAM dalam bidang sipil dan politik. Dalam konvenan sipil dan politik pasal 25 (b), disebutkan bahwa : Pasal 25 b “Setiap warga negara harus mempunyai hak dan kesempatan, tanpa pembedaan apapun sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 dan tanpa pembatasan yang tidak layak, untuk Memilih dan dipilih pada pemilihan umum berkala yang murni, dan dengan hak pilih yang universal dan sama, serta dilakukan melalui pemungutan suara secara rahasia untuk menjamin kebebasan menyatakan keinginan dari para pemilih” Sementara dalam ketentuan Pasal 28 D ayat 3 UUD 1945 dinyatakan pula bahwa: Pasal 28D (3) “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan sama dalam pemerintahan” Dengan kata lain, hak untuk memilih dan dipilih tidak menentukan batasan apakah seseorang dapat dipilih dalam pemilihan melalui calon independen maupun partai politik, karena esensinya adalah sama yaitu hak untuk dipilih. Salah satu cara untuk menilai apakah pemilu atau pemilukada yang demokratis adalah diakomodasinya oleh substansi peraturan perundangan – undangan yang memberikan peluang kepada semua warga negara untuk dipilih dan memilih secara adil. Dengan dapatnya pengajuan secara independen, maka setidak – tidaknya menjadi salah satu bukti terwujudnya demokrasi yang baik.12 Menurut Sirajuddin, pencalonan independen dalam pemilukada tidakah bertentangan denan nilai HAM dan demokrasi, namun justru mengakomodir HAM dan demokrasi itu sendiri. Pembatasan pengajuan calon hanya melalui partai politik atau gabungan partai politik justru memasung HAM dan nilai – nilai demokrasi yang terkandung filsafat bangsa.13 Sirajuddin. 2008. Jurnal Transisi (Media Penguatan Demokrasi Lokal). Malang : In – Trans, h. 22 13 Ibid, h. 25 12 11 BAB IV KESIMPULAN Melihat dari berbagai faktor yang ada dapat dilihat bahwasanya pemilukada dengan menggunakan calon independen adalah sah secara yuridis normatif dalam rangka penciptaan demokrasi, penegakkan HAM, dan perwujudan pemilukada yang lebih bersih, berkualitas, dan berlegitimasi. Serta, pembatasan untuk maju secara independen dalam pemilukada adalah inkonstitusional. Namun perlu diingat, bahwasanya walaupun misalnya dikemudian hari diperkenankan pencalonan secara independen, haruslah pencalonan itu secara tidak tak terbatas. Dalam artian, calon independen tersebut harus memiliki verifikasi dan standarisasi layaknya partai politik agar dapat menjadi calon kepala daerah. 12 DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Rozali. 2009. Mewujudkan Pemilu Yang Lebih Berkualitas (Pemilu Legislatif). Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Amos, Abraham, 2004. Legal Opinion (Aktualisasi Teoritis & Empirisme – Dengan Eksra Suplemen Legal Audit & Legal Reasoning). Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada. Budiardjo, Miriam, 2007. Dasar – Dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Pamungkas, Sigit. 2009. Perihal Pemilu. Yogyakarta : Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol Universitas Gajah Mada. Sirajuddin. 2008. Jurnal Transisi (Media Penguatan Demokrasi Lokal). Malang : In – Trans. Tricahyo, Ibnu, 2009. Reformasi Pemilu (Menuju Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal). Malang : In – Trans. 13