BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) merupakan sebuah proses pemilihan umum untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung oleh Warga Negara Indonesia dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pemilihan umum untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah dilakukan secara langsung telah diatur dalam Undang Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pemilukda meliputi: 1. Pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur 2. Pemilu Bupati dan Wakil Bupati 3. Pemilu Walikota dan Wakil Walikota Sistem pemilukada yang diterapkan di Indonesia merupakan wujud keberhasilan sistem demokrasi, namun dalam pengaplikasiannya dinilai oleh beberapa kalangan memberikan beban keuangan sangat besar bagi daerah yang menyelenggarakan pemilukada. Menurut Prasojo (2009) dalam Hartatik (2012), mahalnya pemilukada di Indonesia karena merupakan pesta akbar dan harus di biayai secara khusus, mulai dari pendaftaran, pengadaan barang dan jasa untuk pencoblosan, serta kampanye yang dilakukan partai politik dan calon kepala daerah. 1 2 Menurut The Indonesian Power for Democracy dan Konrad adenauer Stiftung dalam Ritonga dan Alam (2010), Pemilukada telah diselenggarakan sejak tahun 2005, yang secara langsung dilaksanakan di 314 daerah tingkat provinsi maupun kabupaten/kota di Indonesia. Menurut data Komisi Pemilihan Umum (KPU) di tahun 2012 terdapat 3 provinsi yang akan menyelenggarakan pemilukada, 32 kabupaten yang akan menyelenggarkan pemilihan umum kepala daerah dan 8 kota yang akan menyelenggarkan pemilukada dari daftar 43 daerah di tahun 2012. Jumlah kesuluruhan daftar pemilukada di tahun 2012 sebanyak 43 provinsi/kabupaten/kota yang menyelenggarkan pemilukada, di Pulau Jawa sebanyak 8 provinsi/ kabupaten/ kota dan di luar Pulau Jawa sebanyak 35 provinsi/ kabupaten / kota. (www.kpu.go.id) Dari semua biaya penyelenggaraan pemilukada secara langsung ternyata Propinsi Jawa Barat menempati rangking pertama sebagai provinsi penyelenggara pemilukada dengan biaya yang sangat besar yaitu 1.047 trliun rupiah, rincian dana tersebut diperuntukan bagi KPU Jawa Barat sebanyak 759.9 milyar rupiah, 151 Milyar Rupiah untuk keperluan Panitia Pengawas serta 136.4 milyar rupiah diperuntukan bagi biaya keamanan. Biaya yang sangat besar itu belum termasuk biaya untuk mengantisipasi adanya pemilukada ulang, berapa ratusan milyar lagi yang harus dibutuhkan hanya untuk pemilukada, padahal masih banyak rakyat miskin yang butuh jaminan kesehatan, pendidikan dan sebagainya, dan ini yang seharusnya lebih diutamakan, sungguh menjadi fakta yang sangat bertolak belakang dengan 3 pemilukada Jawa Barat yang menghabiskan biaya 1.047 triliun rupiah. Jika di bandingkan dengan biaya penyelenggaraan pemilukada di Sumatra Utara yang hanya menghabiskan anggaran sebesar Rp352,92 miliar, lebih terperinci Rp352.953.711.338 yang bersumber dari APBD Provinsi Sumatra Utara Tahun Anggaran 2012 dan 2013. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa anggaran pemilukada yang berada di Pulau Jawa terutama yang dekat dengan pemerintah pusat lebih tinggi anggarannya untuk pemilukada sedangkan di luar Pulau Jawa yang berada jauh dari pemerintah pusat cenderung anggaran yang digunakan lebih rendah. Efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemilukada belum pernah dievaluasi secara serius baik pemerintah pusat maupun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sehingga banyak kalangan mengindikasikan bahwa pemilukada langsung di beberapa daerah di Indonesia terjadi pembengkakan keuangan (Ritonga dan Alam, 2010). Sebagai calon Incumbent banyak kemudahan dalam mengakses pos-pos belanja dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk dijadikan kepentingan politik seperti pada pos belanja hibah, belanja bantuan sosial dan belanja bantuan keuangan. Keunggulan kekuasaan yang dimiliki incumbent memberikan keuntungan bagi incumbent dalam pengalokasian pos-pos belanja dalam APBD. Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2005 tentang pengelolaan keuangan daerah yang menyatakan bahwa kepala daerah selaku kepala pemerintahan adalah pemegang kekuasaan pengelolaan 4 keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan. Pemegang kekuasaan pengelolaan daerah mempunyai kewenangan, di antaranya adalah menetapkan kebijakan tentang pelaksanaan APBD. Kepala daerah yang mencalonkan diri kembali sebagai kepala daerah berpeluang besar memanfaatkan pos-pos belanja dalam APBD untuk kepentingan politik. Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) 59 Tahun 2007, belanja hibah dan belanja bantuan sosial tidak disalurkan melalui program atau kegiatan, bersifat tidak mengikat dan tidak berkelanjutan. Selain itu dalam Badan Pengawas keuangan dan Pembangunan (BPKP) 2007, menyebutkan bahwa belanja hibah, belanja bantuan sosial dan belanja bantuan keuangan termasuk dalam belanja yang disesuaikan dengan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. Dalam penilitian yang dilakukan oleh Ritonga dan Alam (2010) yang membuktikan bahwa alokasi belanja hibah dan belanja bantuan sosial di daerah Incumbent pada saat pemilukada lebih besar dibandingkan sebelum pemilukada. Selain itu Yuwani (2011) dalam Hartatik (2012) berpendapat bahwa alokasi belanja untuk belanja hibah dan belanja bantuan keuangan kabupaten / kota yang incumbent-nya mengikuti kembali pemilihan umum kepala daerah lebih besar daripada kabupaten / kota yang incumbent-nya tidak bermaksud untuk mengikuti kembali pemilihan umum kepala daerah di provinsi jawa tengah. Kabupaten / kota yang tergolong daerah miskin dan 5 menangah tidak memiliki diskresi yang cukup besar dalam mengalokasikan belanja daerahnya. Alokasi sumber daya dalam penganggaran mengalami distorsi ketika politisi berprilaku opportunistik. Perilaku oportunistik ini terkait dengan peluang untuk mendapatkan keuntungan pribadi pada pada proyek proyek yang akan dibiayai dengan anggaran, yakni pengalokasian akan lebih banyak untuk proyek proyek yang mudah dikorupsi (Mauro,1998a; 1998b, dalam Abdullah dan Asmara, 2006 dalam Hartatik 2012). Pemanfaatan pos belanja hibah, belanja bantuan sosial dan belanja bantuan keuangan akan lebih tepat digunakan untuk meningkatkan kemandirian daerah serta di imbangi dengan peningkatan pendapatan asli daerah (PAD). Penggabean (2009) mengatakan bahwa keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah sangat ditentukan oleh kemampuan masingmasing daerah untuk membiayai kegiatan kegiatan tertentu yang tercakup dalam tanggung jawab dari itu sendiri. Jika peningkatan belanja hibah, belanja bantuan sosial dan belanja bantuan keuangan digunakan dengan tepat sasaran dapat membantu penyelenggaraan otonomi daerah yang tentunya dapat membantu pembangunan daerah dan dapat dilihat dari kemandirian daerah tersebut. Ini bisa dilihat dari jumlah PAD yang lebih besar dibandingkan dengan jumlah dana perimbangan yang merupakan dana transfer dari pemerintah pusat. Berdasrkan latar belakang tersebut serta berbagai pendapat dari penelitian penelitian sebelumnya maka peneliti akan melakukan penelitian 6 dengan judul PENDAPATAN “ANALISIS DAN PEMANFAATAN BELANJA DAERAH ANGGARAN (APBD) DALAM MENCALONKAN DIRI KEMBALI PADA PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH (PEMILUKADA) DAN PERANANNYA UNTUK MENDUKUNG KEMANDIRIAN DAERAH” (Perbandingan Kondisi di Jawa dan di Luar Jawa) Penelitian ini merupakan replikasi dari penelitian sebelumya yang dilakukan oleh Ritonga dan Alam (2010). Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumya terletak pada periode penelitian yaitu tahun 2012 untuk memperoleh data yang up to date. Penelitian ini membandingkan jumlah penggunaan APBD daerah yang menyelenggarakan pemilukada yang incumbent-nya mengikuti kembali pemilihan umum kepala daerah yang berlangsung di Pulau Jawa dan di luar Pulau Jawa. Penelitian ini juga menambah satu variabel yaitu alokasi belanja bantuan keuangan, karena belanja bantuan keuangan termasuk dalam belanja tidak langsung yang pengalokasiannya cenderung subjektif dan pemanfaatannya didasarkan oleh inisiatif Bupati / Walikota sehingga berpeluang di manfaatkan oleh calon incumbent untuk kepentingan politik. B. Rumusan Masalah Berdasarkan permasalahan yang ada, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 7 1. Apakah terdapat perbedaan alokasi belanja hibah, belanja bantuan sosial dan belanja bantuan keuangan dalam APBD sebelum dan pada saat pelaksanaan pemilukada di daerah incumbent? 2. Apakah terapat perbedaan pengaruh alokasi belanja hibah, belanja bantuan sosial dan belanja bantuan keuangan dalam APBD antara pemilukada incumbent di Pulau Jawa dengan daerah pemilukada incumbent di luar Pulau Jawa? C. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mendapatkan bukti empiris: 1. Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan alokasi belanja hibah, belanja bantuan sosial dan belanja bantuan keuangan dalam APBD sebelum dan pada saat pelaksanaan Pemilukada di daerah incumbent? 2. Untuk mengetahui apakah terapat perbedaan pengaruh alokasi belanja hibah, belanja bantuan sosial dan belanja bantuan keuangan dalam APBD antara Pemilukada incumbent di Pulau Jawa dengan daerah pemilukada incumbent di luar Pulau Jawa? D. Manfaat penelitian Manfaat penelitian yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini: 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan referensi dan data tambahan bagi peneliti – peneliti selanjutnya dalam pengembangan penelitian di bidang akuntansi sektor publik. 8 2. Manfaat Praktik a. Bagi Kementerian Dalam Negeri Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai alternatif bagi Kementerian Dalam Negeri dalam penyusunan regulasi untuk mengendalikan penggunaan alokasi belanja hibah, belanja bantuan sosial dan belanja bantuan keuangan bagi pemerintah daerah dalam penyusunan APBD. b. Bagi DPRD Bagi pihak legislatif daerah (DPRD) maupun stakeholder daerah lainnya, hasil penelitian ini dapat menjadi bahan referensi pembanding dalam melaksanakan fungsi pengawasan pengelolaan keuangan daerah. c. Bagi pemerintah daerah Dapat memberikan masukan bagi pemerintah pusat maupun daerah dalam hal penyususnan kebijakan di masa yang akan datang.