skripsi hardcover

advertisement
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil
3.1.1 Kualitas Air
3.1.1.1 Suhu
Berdasarkan hasil penelitian, suhu pada media pemeliharaan ikan lele
berkisar antara 27oC sampai dengan 29oC. Suhu media pemeliharaan dari setiap
perlakuan A, B, C, D, dan E tidak memiliki perbedaan secara nyata (P>0.05)
(Lampiran 2). Sedangkan berdasarkan grafik, diketahui bahwa suhu media pada
semua perlakuan stabil mulai awal sampai akhir pemeliharaan ikan lele (Gambar
1).
Gambar 1. Nilai suhu media pemeliharaan
3.1.1.2 Derajat Keasaman
Berdasarkan hasil penelitian, nilai derajat keasaman pada media air kolam
pemeliharaan ikan lele relatif sama yaitu berkisar antara 6 sampai dengan 7. Nilai
pH yang diperoleh dari perlakuan A, B, C, D, dan E tidak menunjukkan perbedaan
secara nyata (P>0,05) (Lampiran 3). Sedangkan berdasarkan gambar, derajat
keasaman media pemeliharaan ikan lele pada semua perlakuan tidak mengalami
perubahan yang berarti mulai dari awal pemeliharaan sampai akhir pemeliharaan
(Gambar 2).
6
Gambar 2. Nilai derajat keasaman media pemeliharaan ikan lele
3.1.1.3 Oksigen Terlarut
Berdasarkan hasil penelitian, nilai oksigen terlarut berkisar antara 0.4 mg/L
sampai dengan 5,5 mg/L. Nilai oksigen terlarut dari setiap perlakuan A, B, C, D,
dan E tidak berbeda nyata (P>0,05) (Laampiran 4). Semua perlakuan oksigen
terlarut mengalami penurunan jika dilihat dari awal pemeliharaan. Berdasarkan
grafik penurunan nilai oksigen terlarut terjadi sampai dengan hari ke-20.
Kemudian setelah hari ke-20 oksigen terlarut sudah stabil pada kisaran nilai diatas
2 mg/L (Gambar 3).
Gambar 3. Nilai oksigen terlarut media pemeliharaan ikan lele
7
3.1.1.4 Amonia
Berdasarkan hasil penelitian, nilai amonia berkisar antara 0.0001 mg/L
sampai dengan 0,004 mg/L. Nilai amonia perlakuan C (30% Tepung Limbah
Udang dan 70% Tepung Ikan) berbeda nyata dengan perlakuan kontrol, B (0%
Tepung Limbah Udang dan 100% Tepung Ikan), D (45% Tepung Limbah Udang
dan 55% Tepung Ikan), dan E (60% Tepung Limbah Udang dan 40% Tepung
Ikan) (P<0,05). Sedangkan nilai amonia terbaik terdapat pada perlakuan A dan B
karena nilainya tidak berbeda nyata antar perlakuan tetapi berbeda nyata dengan
perlakuan lainnya. (Lampiran 5). Semua perlakuan nilai amonia mengalami
peningkatan. Berdasarkan grafik , peningkatan nilai amonia terjadi mulai awal
pemeliharaan sampai dengan akhir pemeliharaan (Gambar 4).
Gambar 4. Nilai Amonia media pemeliharaan ikan lele
3.1.1.5 Nitrit
Berdasarkan hasil penelitian, nilai nitrit pada media pemeliharaan ikan lele
berkisar antara 0.01 mg/L sampai dengan 0,05 mg/L. Berdasarkan nilai nitrit dari
semua perlakuan memperlihatkan perlakuan D memiliki nilai yang lebih rendah
dari perlakuan yang lain. Sampai dengan hari ke 10 nilai nitrit perlakuan D
berbeda nyata dengan perlakuan kontrol (P<0,05). Tetapi nilai nitrit perlakuan B
lebih rendah dibandingkan perlakuan A, C, D, dan E (Lampiran 6). Berdasarkan
8
grafik, nilai nitrit selalu mengalami perubahan seiring bertambahnya umur ikan
lele (Gambar 5).
Gambar 5. Nilai nitrit media pemeliharaan ikan lele
3.1.1.6 Nitrat
Berdasarkan hasil penelitian, nilai nitrat pada media pemeliharaan ikan lele
berkisar antara 0.5 mg/L sampai dengan 2 mg/L. Berdasarkan nilai nitrat yang
diperoleh, perlakuan A tidak berbeda nyata dengan perlakuan B dan E (P>0,05)
(Lampiran 7). Pada semua perlakuan nilai nitrat mengalami peningkatan pada 10
hari pertama kemudian mengalami penurunan. Nilai nitrat media pemeliharaan
stabil pada hari ke-20 sampai dengan akhir pemeliharaan. Rata-rata nilai nitrat
tertinggi terdapat pada perlakuan tepung kepala udang sebanyak 60%. Sedangkan
rata-rata nilai nitrat terendah terdapat pada perlakuan tepung kepala udang
sebanyak 0% (Gambar 6).
9
Gambar 6. Nilai nitrat media pemeliharaan ikan lele
3.1.1.7 Total Nitrogen
Berdasarkan hasil penelitian, nilai total nitrogen pada media pemeliharaan
ikan lele berkisar antara 0.8 mg/L sampai dengan 7 mg/L. berdasrkan nilai total
nitrogen yang diperoleh perlakuan A lebih rendah dibandingkan perlakuan B, C,
D, dan E. hasil uji statistik yang dilakukan menunjukkan bahwa pada hari ke 10
dan hari 20 nilai total nitrogen perlakuan A berbeda nyata dengan perlakuan
lainnya (P<0,05) (Lampiran 8). Nilai total nitrogen mengalami peningkatan
sampai 20 hari pertama kemudian mengalami penurunan. Nilai total nitrogen
media pemeliharaan menurun pada hari ke-20 sampai dengan akhir pemeliharaan.
Rata-rata nilai total nitrogen tertinggi terdapat pada perlakuan tepung kepala
udang sebanyak 60%. Sedangkan rata-rata nilai total nitrogen terendah terdapat
pada perlakuan tepung kepala udang sebanyak 0% (Gambar 7).
10
Gambar 7. Nilai total nitrogen media pemeliharaan ikan lele
3.1.1.8 Total Phospat
Berdasarkan hasil penelitian, nilai total phospat pada media pemeliharaan
ikan lele berkisar antara 0.8 mg/L sampai dengan 2,8 mg/L. Berdasarkan nilai
phospat yang diperoleh A tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya (P>0,05).
Nilai total phospat mengalami peningkatan sampai akhir pemeliharaan. Nilai total
phospat media pemeliharaan stabil pada hari ke-10 sampai dengan hari ke-20.
Kemudian nilai total phospat mengalami penigkatan sampai akhir pemeliharaan
(Gambar 8).
Gambar 8. Nilai total phospat media pemeliharaan ikan lele
11
3.1.2 Parameter Penunjang
3.1.2.1 Rata-rata Pertambahan Bobot
Berdasarkan hasil rata-rata pertambahan bobot selama pemeliharaan ikan
lele. Pertambahan bobot terbaik terdapat pada perlakuan C dengan komposisi
limbah kepala udang sebanyak 30%, sedangkan nilai pertambahan bobot terendah
terdapat pada perlakuan E dengan komposisi limbah udang sebanyak 60%.
(Gambar 9).
Gambar 9. Rata-rata pertambahan bobot
3.1.2.2 Laju Pertumbuhan Harian (Spesific Growth Rate)
Berdasarkan hasil laju pertumbuhan bobot harian selama pemeliharaan ikan
lele. Laju pertumbuhan bobot harian terbaik terdapat pada perlakuan C dengan
nilai 2,62±0,20%, sedangkan nilai terendah terdapat pada perlakuan D dengan
nilai 2,05±0,10%. Dari uji statistik yang dilakukan pada perlakuan subsitusi
limbah kepala udang tidak terdapat perbedaan pada perlakuan B, C, dan D.
Sedangkan pada kontrol hasilnya tidak berbeda nyata terhadap semua perlakuan.
Perbedaan secara nyata terdapat pada perlakuan E terhadap perlakuan B, C, dan
D. (Gambar 10).
12
Gambar 10. Laju pertumbuhan harian pemeliharaan ikan lele Clarias sp.
Keterangan :
Perlakuan A = 0% Tepung limbah kepala udang dan 100% Tepung ikan
Perlakuan B = 15% Tepung limbah kepala udang dan 85% Tepung ikan
Perlakuan C = 30% Tepung limbah kepala udang dan 70% Tepung ikan
Perlakuan D = 45% Tepung limbah kepala udang dan 55% Tepung ikan
Perlakuan E = 60% Tepung limbah kepala udang dan 40% Tepung ikan
Huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan nyata (P<0.05)
3.1.2.3 Konversi Pakan
Berdasarkan hasil konversi pakan selama pemeliharaan ikan lele. Konversi
pakan terbaik terdapat pada perlakuan C dengan nilai 2,79±0,27, sedangkan nilai
terendah terdapat pada perlakuan E dengan nilai 3,79±0,27. Dari uji statistik yang
telah dilakukan diperoleh hasil bahwa pada perlakuan C dan D berbeda nyata
terhadap perlakuan E. Perlakuan C dan D nilai konversi pakannya lebih baik
dibandingkan perlakuan A atau kontrol. Perlakuan B dan kontrol tidak berbeda
nyata terhadap perlakuan lainnya. Sedangkan perlakuan E berbeda nyata terhadap
perlakuan B dan C. (Gambar 11).
13
Gambar 11. Konversi Pakan pemeliharaan ikan lele Clarias sp.
Keterangan :
Perlakuan A = 0% Tepung limbah kepala udang dan 100% Tepung ikan
Perlakuan B = 15% Tepung limbah kepala udang dan 85% Tepung ikan
Perlakuan C = 30% Tepung limbah kepala udang dan 70% Tepung ikan
Perlakuan D = 45% Tepung limbah kepala udang dan 55% Tepung ikan
Perlakuan E = 60% Tepung limbah kepala udang dan 40% Tepung ikan
Huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan nyata (P<0.05)
3.1.2.4 Tingkat Kelangsungan Hidup
Berdasarkan hasil tingkat kelangsungan hidup selama pemeliharaan ikan
lele. Kelangsungan hidup terbaik terdapat pada perlakuan C dan D dengan nilai
98,67±2,31% sedangkan nilai terendah terdapat pada perlakuan E dengan nilai
93,33±8,53%. Dari uji statistik yang dilakukan diketahui bahwa pada semua
perlakuan tidak berbeda nyata. (Gambar 12).
14
Gambar 12. Tingkat Kelangsungan Hidup pemeliharaan ikan lele Clarias sp.
Keterangan :
Perlakuan A = 0% Tepung limbah kepala udang dan 100% Tepung ikan
Perlakuan B = 15% Tepung limbah kepala udang dan 85% Tepung ikan
Perlakuan C = 30% Tepung limbah kepala udang dan 70% Tepung ikan
Perlakuan D = 45% Tepung limbah kepala udang dan 55% Tepung ikan
Perlakuan E = 60% Tepung limbah kepala udang dan 40% Tepung ikan
Huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan nyata (P>0.05)
3.2 Pembahasan
Suhu pada setiap perlakuan menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata
yaitu berkisar antara 27,5oC-28,8oC (P>0,05). Suhu sangat mempengaruhi laju
metabolisme dari ikan lele yang dipelihara. Kisaran suhu ini menyebabkan ikan
lele dapat tumbuh dengan baik. Suhu pemeliharaan ini sesuai dengan Khairuman
dan Amri (2008) yang menyatakan suhu optimum untuk kehidupan lele adalah
27ºC. Serta Mulyanto (1992), yang menyatakan bahwa suhu yang baik untuk
kehidupan ikan di daerah tropis berkisar antara 25-32oC. Pada suhu tersebut ikan
dapat tumbuh baik karena proses metabolismenya berjalan dengan baik.
Suhu yang stabil juga berakibat pada tingkat kelangsungan hidup ikan. Hal
inilah salah satu penyebab sehingga ikan lele yang dipelihara sedikit mengalami
kematian. Nilai tingkat kelangsungan hidup yang diperoleh dari hasil perhitungan
menunjukkan bahwa tingkat kelangsungan hidup semua perlakuan berada diatas
15
90%. Pada proses budidaya ikan, fluktuasi suhu tidak boleh lebih dari 4oC karena
ikan akan mudah terkena serangan penyakit yang disebabkan oleh bakteri
(Nugroho, 2002).
Berdasarkan penelitian, nilai pH mulai awal pemeliharaan sampai dengan akhir,
menunjukkan tidak adanya perbedaan nyata (P>0,05). Nilai pH pada penelitian ini
masih dalam batas toleransi ikan yaitu berkisar antar 6-7 (Lampiran 14). Seperti
diungkapkan oleh Moll (1983) dalam Sudaryanti (1990), Nilai pH optimum berkisar
antara 8-9, sedangkan jika pH di bawah 6 reaksi akan seketika terhenti. Pada pH 7
oksidasi amonia menjadi nitrit meningkat, sedangkan oksidasi nitrit menjadi nitrat
lebih cepat pada pH asam. Menurut Strauss (2000), Ketika pada suatu perairan rasio
C : N besar, maka akan mengakibatkan persaingan antara bakteri heterotrof dengan
bakteri nitrifikasi dalam merebutkan amonia. Hal ini dapat menurunkan laju
nitrifikasi.
Oksigen terlarut adalah oksigen yang terkandung di dalam air. Kadar
oksigen yang terlarut di perairan alami bervariasi tergantung pada suhu, salinitas,
turbulensi air, dan tekanan atmosfer (Jeffries dan Mills, 1996 dalam Effendi,
2000). Peningkatan suhu sebesar 10C akan meningkatkan konsumsi oksigen
sekitar 10% (Brown, 1987). Oksigen terlarut merupakan salah satu parameter
yang berpengaruh dalam kelangsungan hidup ikan. Pada penelitian yang
dilakukan diperoleh hasil bahwa pada awal penelitian sampai dengan hari ke-20
oksigen mengalami penurunan sampai kisaran 0.5 mg/L. Setelah hari ke-20
jumlah oksigen terlarut baru stabil pada kisaran diatas 2 mg/L. Berdasarkan hasil
uji statistik yang dilakukan menunjukkan bahwa pada semua perlakuan tidak
berbeda nyata (P>0,05). Meskipun nilai oksigen terlarut rendah benih ikan lele
masih dapat hidup dikarenakan ikan lele memiliki organ pernafasan tambahan.
Menurut Suyanto (1999), Ikan lele mempunyai organ pernafasan tambahan
(arborescent) yang memungkinkan ikan ini dapat mengambil oksigen langsung
dari udara, sehingga ikan lele dapat hidup dalam air yang kandungan oksigennya
sedikit.
Nilai oksigen terlarut yang rendah pada saat awal pemeliharaan sampai
dengan hari ke-30 diduga karena aktifitas bakteri yang tinggi untuk menguraikan
amonia menjadi nitrit serta nitrit yang diuraikan menjadi nitrat. Bakteri yang
terdapat pada media pemeliharaan kemungkinan merupakan bakteri nitrifikasi.
16
Sedangkan nilai total nitrogen selama pemeliharaan yang dari awal pemeliharaan
sampai hari ke-20 juga tinggi. Bakteri nitrifikasi membutuhkan oksigen dalam
jumlah yang besar dalam proses kerja pada penelitian ini. Seperti diungkapkan
Moll (1983) dalam Juhaeni (2002), bakteri nitrifikasi memerlukan oksigen untuk
melakukan proses nitrifikasi dari amonia dan nitrit, sehingga diperlukan aerasi
penuh diseluruh permukaan, di mana aktivitas bakteri terjadi. Pernyataan ini
didukung oleh Boyd (1990) yang menyatakan bahwa dekomposisi secara aerobik
membutuhkan ketersediaan oksigen yang kontinyu dan proses tersebut akan lebih
cepat ketika konsentrasi oksigen terlarut mendekati jenuh. Hal inilah yang
menyebabkan turunnya nilai oksigen terlarut pada media pemeliharaan. tetapi
nilai oksigen yang rendah tersebut masih dalam ambang batas toleransi ikan lele
karena tidak terjadi kematian pada ikan lele yang dipelihara.
Sedangkan untuk penurunan oksigen dari awal sampai hari ke-20 kemudian
mengalami peningkatan pada hari ke-30 karena jumlah nitrogen yang ada pada
media pemeliharaan ikan lele. Oksigen digunakan untuk perubahan bentuk dari
limbah nitrogen yang dihasilkan. Turunnya nilai total nitrogen dipengaruhi oleh
jumlah pakan yang tercerna serta hasil buangan sisa metabolisme dari ikan lele
yang dipelihara berkurang (Gambar 7.)
Berdasarkan hasil perhitungan selama pemeliharaan, diperoleh nilai amonia
antara 0,0001-0,008 mg/L (Lampiran 16). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa
pada hari ke 20 dan hari 30 nilai amonia perlakuan A dan B berbeda nyata dengan
perlakuan lainnya (P<0,05) (Lampiran 5). Keberadaan amonia akan mengurangi
daya ikat butir darah merah terhadap oksigen, sehingga pertumbuhan ikan
terhambat. Jumlah amonia dalam air akan bertambah, sesuai dengan peningkatan
aktivitas dan kenaikan suhu air. Ekskresi ikan juga mempengaruhi kandungan
amoniak dalam air. Ekskresi ikan berasal dari katabolisme protein pakan dan
dikeluarkan dalam bentuk amonia dan urea ke air. Kandungan amoniak dalam air
sumber yang baik tidak lebih dari 0,1 ppm. Air yang mengandung 1,0 ppm sudah
diangap tercemar. Air yang mengandung amonia tinggi bersifat toksik karena
akan menghambat ekskresi pada ikan (Chen et al., 1993).
Nilai nitrit pada penelitian ini berkisar antara 0,01-0,04 mg/L (Lampiran
17). Berdasarkan uji statistik yang dilakukan nilai nitrit pada hari ke 10, diperoleh
17
hasil bahwa perlakuan A berbeda nyata dengan perlakuan C, D, dan E (P<0,05)
(Lampiran 7). Nitrit yang tinggi didalam perairan sangat berbahaya bagi udang
dan ikan, karena nitrit dalam darah mengoksidasi haemoglobin menjadi metahaemoglobin yang tidak mampu mengedarkan oksigen (Spotte, 1979 dalam
Darmawan dan Erik, 2010). kandungan nitrit sebaiknya lebih kecil dari 0,3 ppm.
Kadar oksigen terlarut dalam air merupakan faktor pembatas dan sangat
berpengaruh terhadap berlangsungnya proses nitrifikasi. Menurut Moore (1992),
kadar nitrit yang lebih dari 0,05 mg/L dapat bersifat toksik bagi organisme
perairan yang sangat sensitif.. Sehingga kandungan nitrit pada penelitian ini
termasuk kedalam kondisi dapat ditoleransi oleh ikan lele.
Nilai nitrat pada penelitian ini berkisar antara 0,0-2 mg/L (Lampiran 18).
Sedangkan menurut uji statistik, diperoleh hasil bahwa pada hari ke 10 perlakuan
A berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Sedangkan pada hari ke 30 perlakuan
E berbeda nyata dengan perlakuan A, B, dan C (Lampiran 7). Nitrat merupakan
senyawa yang tidak berbahaya bagi organisme budidaya. Nilai nitrat pada
pemeliharaan selama penelitian juga menunjukkan kisaran nilai 0,5-1,5 ppm.
Menurut Volenweider (1969) dalam Wetzel (1975), kadar nitrat sebesar 1–5 mg/L
termasuk kedalam perairan mesotrofik. Nitrat pada perairan mampu menstimulasi
meningkatnya jumlah alga (blooming algae).
Nilai total nitrogen yang diperleh pada penelitian ini berkisar antara 0,8-7
mg/L (Lampiran 19). Menurut uji statistik yang dilakukan diperoleh hasil bahwa
perlakuan A merupakan perlakuan terbaik dengan nilai 4,227 mg/L pada hari ke
10 dan 6,227 pada hari ke 20 karena berbeda nyata dengan perlakuan lain
(Lampiran 8).Total nitrogen yang meningkat pada awal pemeliharaan sampai
dengan hari ke-20 diakibatkan jumlah pakan yang tidak termakan serta tingginya
sisa hasil metabolisme ikan yang dikeluarkan ke lingkungan menjadi
penyebabnya. Sedangkan nilai total nitrogen yang menurun pada hari ke-20
sampai akhir pemeliharaan menunjukkan bahwa pakan optimal diserap oleh ikan
sehingga hasil buangannya berupa nitrogen jumlahnya sedikit.
Nilai total phospat pada penelitian ini berkisar antara 0,1-3 mg/L (Lampiran
20). Total phospat terbaik terdapat pada perlakuan D. Total phospat di perairan
18
pada perlakuan menunjukkan bahwa nilai yang stabil sampai dengan hari ke-20.
Phospat pada perairan berfungsi untuk bahan pertumbuhan plankton .
Sebagian besar limbah udang berasal dari kulit, kepala, dan ekornya.
Menurut Resmi (2000), tepung kepala udang sebelum dilakukan pengolahan
mengandung zat-zat makanan yaitu protein 46,20%, serat kasar 16,85% dan
kalsium 9,40%. Jumlah protein yang tinggi diharapkan mampu menggurangi
penggunaan tepung ikan yang harganya mahal di pasaran.
Hasil dari perhitungan pertambahan bobot ikan lele selama pemeliharaan
(Gambar 9.) menunjukkan bahwa rata-rata pertambahan bobot terbaik terdapat
pada perlakuan C. Sedangkan pertambahan bobot terendah ditunjukkan pada
perlakuan E. Pertambahan bobot pada semua perlakuan mengalami kenaikan dari
awal sampai dengan akhir pemeliharaan. Perlakuan C pertambahan bobot lebih
tinggi dibandingkan dengan kontrol.
Dari hasil perhitungan laju pertumbuhan spesifik selama pemeliharaan
(Gambar 2.) diketahui bahwa perlakuan C dengan konsentrasi limbah kepala
udang sebanyak 30% memberikan nilai pertumbuhan yang terbaik sebesar
2,69±0,47%. Berdasarkan uji statistik yang dilakukan diperoleh hasil bahwa laju
pertumbuhan spesifik tidak berbeda nyata antara perlakuan C dengan konsentrasi
subsitusi limbah kepala udang sebanyak 30% yang bernilai 2,69±0,47% dan
konsentrasi 45% yang bernilai 2,62±0,20%. Berdasarkan penelitian ini jumlah
maksimum tepung kepala udang yang mampu menggantikan tepung ikan dalam
pakan adalah sebanyak 45%. Karena pada jumlah tersebut ikan lele masih dapat
tumbuh dengan baik.
Kelangsungan hidup dari semua perlakuan tidak menunjukkan perbedaan
secara nyata (P>0,05). Tingkat kelangsungan hidup yang masih baik dikarenakan
kualitas air yang masih dalam ambang batas toleransi ikan. Walaupun demikian
amonia dan nitrit yang paling baik terdapat pada perlakuan B yaitu substitusi
15%. Dimana perlakuan B tidak berbeda nyata dengan perlakuan A (substitusi
0%). Dari hasil bahasan secara keseluruhan, berdasarkan nilai ekonomi perlakuan
B memberikan dampak yang lebih baik dibandingkan perlakuan lainnya. Pada
perubahan bobot perlakuan B juga memiliki nilai yang lebih baik dibandingkan
perlakuan A (Lampiran 22).
19
Dalam industri budidaya pakan menyerap hampir 80% biaya produksi.
Menurut Behrends (1990), apabila harga ransum dapat ditekan sebanyak 2%
saja, maka keuntungan dari penjualan produk peternakan (karkas) meningkat
sampai sebesar 8 persen. Sesuai dengan pendapat Rasyaf (1994), bahwa yang
sangat menentukan tinggi rendahnya harga ransum adalah bahan makanan
sumber protein yang berasal dari bahan asal hewani. Bila dihitung secara nominal
berdasarkan kandungan protein kasar pada limbah udang, maka pada tahun 2004
diperoleh limbah udang sebesar 66,3 ribu ton atau setara 88,5 ton protein kasar.
Jumlah tersebut merupakan potensi bahan baku pakan sebagai sumber protein
hewani yang sangat besar, namun dibalik beberapa kelebihan yang dimiliki
limbah udang ini memiliki beberapa kekurangan seperti tingginya kandungan
serat kasar dan terdapatnya kandungan zat antinutrisi khitin yang menyebabkan
kecernaan terhadap protein menjadi rendah. Sehingga dalam penggunaan untuk
pakan tepung limbah kepala udang jumlahnya harus dibatasi. Pada penelitian ini
dari kondisi kualitas airnya diperoleh hasil bahwa penggunaan subsitusi tepung
limbah kepala udang maksimal yang masih mampu menunjang pertumbuhan ikan
lele adalah konsentrasi sebanyak 45%. Pernyataan ini sesuai dengan Purwaningsih
(2000), limbah udang terdiri dari 30% khitin dari bahan keringnya. Adanya khitin
ini mengakibatkan adanya keterbatasan atau faktor pembatas dalam penggunaan
limbah udang untuk dijadikan bahan penyusun pakan ikan jika digunakan secara
langsung tanpa dilakukan pengolahan.
20
Download