III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Kualitas Air 3.1.1.1 Suhu Berdasarkan hasil penelitian, suhu pada media pemeliharaan ikan lele berkisar antara 27oC sampai dengan 29oC. Suhu media pemeliharaan dari setiap perlakuan A, B, C, D, dan E tidak memiliki perbedaan secara nyata (P>0.05) (Lampiran 2). Sedangkan berdasarkan grafik, diketahui bahwa suhu media pada semua perlakuan stabil mulai awal sampai akhir pemeliharaan ikan lele (Gambar 1). Gambar 1. Nilai suhu media pemeliharaan 3.1.1.2 Derajat Keasaman Berdasarkan hasil penelitian, nilai derajat keasaman pada media air kolam pemeliharaan ikan lele relatif sama yaitu berkisar antara 6 sampai dengan 7. Nilai pH yang diperoleh dari perlakuan A, B, C, D, dan E tidak menunjukkan perbedaan secara nyata (P>0,05) (Lampiran 3). Sedangkan berdasarkan gambar, derajat keasaman media pemeliharaan ikan lele pada semua perlakuan tidak mengalami perubahan yang berarti mulai dari awal pemeliharaan sampai akhir pemeliharaan (Gambar 2). 6 Gambar 2. Nilai derajat keasaman media pemeliharaan ikan lele 3.1.1.3 Oksigen Terlarut Berdasarkan hasil penelitian, nilai oksigen terlarut berkisar antara 0.4 mg/L sampai dengan 5,5 mg/L. Nilai oksigen terlarut dari setiap perlakuan A, B, C, D, dan E tidak berbeda nyata (P>0,05) (Laampiran 4). Semua perlakuan oksigen terlarut mengalami penurunan jika dilihat dari awal pemeliharaan. Berdasarkan grafik penurunan nilai oksigen terlarut terjadi sampai dengan hari ke-20. Kemudian setelah hari ke-20 oksigen terlarut sudah stabil pada kisaran nilai diatas 2 mg/L (Gambar 3). Gambar 3. Nilai oksigen terlarut media pemeliharaan ikan lele 7 3.1.1.4 Amonia Berdasarkan hasil penelitian, nilai amonia berkisar antara 0.0001 mg/L sampai dengan 0,004 mg/L. Nilai amonia perlakuan C (30% Tepung Limbah Udang dan 70% Tepung Ikan) berbeda nyata dengan perlakuan kontrol, B (0% Tepung Limbah Udang dan 100% Tepung Ikan), D (45% Tepung Limbah Udang dan 55% Tepung Ikan), dan E (60% Tepung Limbah Udang dan 40% Tepung Ikan) (P<0,05). Sedangkan nilai amonia terbaik terdapat pada perlakuan A dan B karena nilainya tidak berbeda nyata antar perlakuan tetapi berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. (Lampiran 5). Semua perlakuan nilai amonia mengalami peningkatan. Berdasarkan grafik , peningkatan nilai amonia terjadi mulai awal pemeliharaan sampai dengan akhir pemeliharaan (Gambar 4). Gambar 4. Nilai Amonia media pemeliharaan ikan lele 3.1.1.5 Nitrit Berdasarkan hasil penelitian, nilai nitrit pada media pemeliharaan ikan lele berkisar antara 0.01 mg/L sampai dengan 0,05 mg/L. Berdasarkan nilai nitrit dari semua perlakuan memperlihatkan perlakuan D memiliki nilai yang lebih rendah dari perlakuan yang lain. Sampai dengan hari ke 10 nilai nitrit perlakuan D berbeda nyata dengan perlakuan kontrol (P<0,05). Tetapi nilai nitrit perlakuan B lebih rendah dibandingkan perlakuan A, C, D, dan E (Lampiran 6). Berdasarkan 8 grafik, nilai nitrit selalu mengalami perubahan seiring bertambahnya umur ikan lele (Gambar 5). Gambar 5. Nilai nitrit media pemeliharaan ikan lele 3.1.1.6 Nitrat Berdasarkan hasil penelitian, nilai nitrat pada media pemeliharaan ikan lele berkisar antara 0.5 mg/L sampai dengan 2 mg/L. Berdasarkan nilai nitrat yang diperoleh, perlakuan A tidak berbeda nyata dengan perlakuan B dan E (P>0,05) (Lampiran 7). Pada semua perlakuan nilai nitrat mengalami peningkatan pada 10 hari pertama kemudian mengalami penurunan. Nilai nitrat media pemeliharaan stabil pada hari ke-20 sampai dengan akhir pemeliharaan. Rata-rata nilai nitrat tertinggi terdapat pada perlakuan tepung kepala udang sebanyak 60%. Sedangkan rata-rata nilai nitrat terendah terdapat pada perlakuan tepung kepala udang sebanyak 0% (Gambar 6). 9 Gambar 6. Nilai nitrat media pemeliharaan ikan lele 3.1.1.7 Total Nitrogen Berdasarkan hasil penelitian, nilai total nitrogen pada media pemeliharaan ikan lele berkisar antara 0.8 mg/L sampai dengan 7 mg/L. berdasrkan nilai total nitrogen yang diperoleh perlakuan A lebih rendah dibandingkan perlakuan B, C, D, dan E. hasil uji statistik yang dilakukan menunjukkan bahwa pada hari ke 10 dan hari 20 nilai total nitrogen perlakuan A berbeda nyata dengan perlakuan lainnya (P<0,05) (Lampiran 8). Nilai total nitrogen mengalami peningkatan sampai 20 hari pertama kemudian mengalami penurunan. Nilai total nitrogen media pemeliharaan menurun pada hari ke-20 sampai dengan akhir pemeliharaan. Rata-rata nilai total nitrogen tertinggi terdapat pada perlakuan tepung kepala udang sebanyak 60%. Sedangkan rata-rata nilai total nitrogen terendah terdapat pada perlakuan tepung kepala udang sebanyak 0% (Gambar 7). 10 Gambar 7. Nilai total nitrogen media pemeliharaan ikan lele 3.1.1.8 Total Phospat Berdasarkan hasil penelitian, nilai total phospat pada media pemeliharaan ikan lele berkisar antara 0.8 mg/L sampai dengan 2,8 mg/L. Berdasarkan nilai phospat yang diperoleh A tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya (P>0,05). Nilai total phospat mengalami peningkatan sampai akhir pemeliharaan. Nilai total phospat media pemeliharaan stabil pada hari ke-10 sampai dengan hari ke-20. Kemudian nilai total phospat mengalami penigkatan sampai akhir pemeliharaan (Gambar 8). Gambar 8. Nilai total phospat media pemeliharaan ikan lele 11 3.1.2 Parameter Penunjang 3.1.2.1 Rata-rata Pertambahan Bobot Berdasarkan hasil rata-rata pertambahan bobot selama pemeliharaan ikan lele. Pertambahan bobot terbaik terdapat pada perlakuan C dengan komposisi limbah kepala udang sebanyak 30%, sedangkan nilai pertambahan bobot terendah terdapat pada perlakuan E dengan komposisi limbah udang sebanyak 60%. (Gambar 9). Gambar 9. Rata-rata pertambahan bobot 3.1.2.2 Laju Pertumbuhan Harian (Spesific Growth Rate) Berdasarkan hasil laju pertumbuhan bobot harian selama pemeliharaan ikan lele. Laju pertumbuhan bobot harian terbaik terdapat pada perlakuan C dengan nilai 2,62±0,20%, sedangkan nilai terendah terdapat pada perlakuan D dengan nilai 2,05±0,10%. Dari uji statistik yang dilakukan pada perlakuan subsitusi limbah kepala udang tidak terdapat perbedaan pada perlakuan B, C, dan D. Sedangkan pada kontrol hasilnya tidak berbeda nyata terhadap semua perlakuan. Perbedaan secara nyata terdapat pada perlakuan E terhadap perlakuan B, C, dan D. (Gambar 10). 12 Gambar 10. Laju pertumbuhan harian pemeliharaan ikan lele Clarias sp. Keterangan : Perlakuan A = 0% Tepung limbah kepala udang dan 100% Tepung ikan Perlakuan B = 15% Tepung limbah kepala udang dan 85% Tepung ikan Perlakuan C = 30% Tepung limbah kepala udang dan 70% Tepung ikan Perlakuan D = 45% Tepung limbah kepala udang dan 55% Tepung ikan Perlakuan E = 60% Tepung limbah kepala udang dan 40% Tepung ikan Huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan nyata (P<0.05) 3.1.2.3 Konversi Pakan Berdasarkan hasil konversi pakan selama pemeliharaan ikan lele. Konversi pakan terbaik terdapat pada perlakuan C dengan nilai 2,79±0,27, sedangkan nilai terendah terdapat pada perlakuan E dengan nilai 3,79±0,27. Dari uji statistik yang telah dilakukan diperoleh hasil bahwa pada perlakuan C dan D berbeda nyata terhadap perlakuan E. Perlakuan C dan D nilai konversi pakannya lebih baik dibandingkan perlakuan A atau kontrol. Perlakuan B dan kontrol tidak berbeda nyata terhadap perlakuan lainnya. Sedangkan perlakuan E berbeda nyata terhadap perlakuan B dan C. (Gambar 11). 13 Gambar 11. Konversi Pakan pemeliharaan ikan lele Clarias sp. Keterangan : Perlakuan A = 0% Tepung limbah kepala udang dan 100% Tepung ikan Perlakuan B = 15% Tepung limbah kepala udang dan 85% Tepung ikan Perlakuan C = 30% Tepung limbah kepala udang dan 70% Tepung ikan Perlakuan D = 45% Tepung limbah kepala udang dan 55% Tepung ikan Perlakuan E = 60% Tepung limbah kepala udang dan 40% Tepung ikan Huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan nyata (P<0.05) 3.1.2.4 Tingkat Kelangsungan Hidup Berdasarkan hasil tingkat kelangsungan hidup selama pemeliharaan ikan lele. Kelangsungan hidup terbaik terdapat pada perlakuan C dan D dengan nilai 98,67±2,31% sedangkan nilai terendah terdapat pada perlakuan E dengan nilai 93,33±8,53%. Dari uji statistik yang dilakukan diketahui bahwa pada semua perlakuan tidak berbeda nyata. (Gambar 12). 14 Gambar 12. Tingkat Kelangsungan Hidup pemeliharaan ikan lele Clarias sp. Keterangan : Perlakuan A = 0% Tepung limbah kepala udang dan 100% Tepung ikan Perlakuan B = 15% Tepung limbah kepala udang dan 85% Tepung ikan Perlakuan C = 30% Tepung limbah kepala udang dan 70% Tepung ikan Perlakuan D = 45% Tepung limbah kepala udang dan 55% Tepung ikan Perlakuan E = 60% Tepung limbah kepala udang dan 40% Tepung ikan Huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan nyata (P>0.05) 3.2 Pembahasan Suhu pada setiap perlakuan menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata yaitu berkisar antara 27,5oC-28,8oC (P>0,05). Suhu sangat mempengaruhi laju metabolisme dari ikan lele yang dipelihara. Kisaran suhu ini menyebabkan ikan lele dapat tumbuh dengan baik. Suhu pemeliharaan ini sesuai dengan Khairuman dan Amri (2008) yang menyatakan suhu optimum untuk kehidupan lele adalah 27ºC. Serta Mulyanto (1992), yang menyatakan bahwa suhu yang baik untuk kehidupan ikan di daerah tropis berkisar antara 25-32oC. Pada suhu tersebut ikan dapat tumbuh baik karena proses metabolismenya berjalan dengan baik. Suhu yang stabil juga berakibat pada tingkat kelangsungan hidup ikan. Hal inilah salah satu penyebab sehingga ikan lele yang dipelihara sedikit mengalami kematian. Nilai tingkat kelangsungan hidup yang diperoleh dari hasil perhitungan menunjukkan bahwa tingkat kelangsungan hidup semua perlakuan berada diatas 15 90%. Pada proses budidaya ikan, fluktuasi suhu tidak boleh lebih dari 4oC karena ikan akan mudah terkena serangan penyakit yang disebabkan oleh bakteri (Nugroho, 2002). Berdasarkan penelitian, nilai pH mulai awal pemeliharaan sampai dengan akhir, menunjukkan tidak adanya perbedaan nyata (P>0,05). Nilai pH pada penelitian ini masih dalam batas toleransi ikan yaitu berkisar antar 6-7 (Lampiran 14). Seperti diungkapkan oleh Moll (1983) dalam Sudaryanti (1990), Nilai pH optimum berkisar antara 8-9, sedangkan jika pH di bawah 6 reaksi akan seketika terhenti. Pada pH 7 oksidasi amonia menjadi nitrit meningkat, sedangkan oksidasi nitrit menjadi nitrat lebih cepat pada pH asam. Menurut Strauss (2000), Ketika pada suatu perairan rasio C : N besar, maka akan mengakibatkan persaingan antara bakteri heterotrof dengan bakteri nitrifikasi dalam merebutkan amonia. Hal ini dapat menurunkan laju nitrifikasi. Oksigen terlarut adalah oksigen yang terkandung di dalam air. Kadar oksigen yang terlarut di perairan alami bervariasi tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air, dan tekanan atmosfer (Jeffries dan Mills, 1996 dalam Effendi, 2000). Peningkatan suhu sebesar 10C akan meningkatkan konsumsi oksigen sekitar 10% (Brown, 1987). Oksigen terlarut merupakan salah satu parameter yang berpengaruh dalam kelangsungan hidup ikan. Pada penelitian yang dilakukan diperoleh hasil bahwa pada awal penelitian sampai dengan hari ke-20 oksigen mengalami penurunan sampai kisaran 0.5 mg/L. Setelah hari ke-20 jumlah oksigen terlarut baru stabil pada kisaran diatas 2 mg/L. Berdasarkan hasil uji statistik yang dilakukan menunjukkan bahwa pada semua perlakuan tidak berbeda nyata (P>0,05). Meskipun nilai oksigen terlarut rendah benih ikan lele masih dapat hidup dikarenakan ikan lele memiliki organ pernafasan tambahan. Menurut Suyanto (1999), Ikan lele mempunyai organ pernafasan tambahan (arborescent) yang memungkinkan ikan ini dapat mengambil oksigen langsung dari udara, sehingga ikan lele dapat hidup dalam air yang kandungan oksigennya sedikit. Nilai oksigen terlarut yang rendah pada saat awal pemeliharaan sampai dengan hari ke-30 diduga karena aktifitas bakteri yang tinggi untuk menguraikan amonia menjadi nitrit serta nitrit yang diuraikan menjadi nitrat. Bakteri yang terdapat pada media pemeliharaan kemungkinan merupakan bakteri nitrifikasi. 16 Sedangkan nilai total nitrogen selama pemeliharaan yang dari awal pemeliharaan sampai hari ke-20 juga tinggi. Bakteri nitrifikasi membutuhkan oksigen dalam jumlah yang besar dalam proses kerja pada penelitian ini. Seperti diungkapkan Moll (1983) dalam Juhaeni (2002), bakteri nitrifikasi memerlukan oksigen untuk melakukan proses nitrifikasi dari amonia dan nitrit, sehingga diperlukan aerasi penuh diseluruh permukaan, di mana aktivitas bakteri terjadi. Pernyataan ini didukung oleh Boyd (1990) yang menyatakan bahwa dekomposisi secara aerobik membutuhkan ketersediaan oksigen yang kontinyu dan proses tersebut akan lebih cepat ketika konsentrasi oksigen terlarut mendekati jenuh. Hal inilah yang menyebabkan turunnya nilai oksigen terlarut pada media pemeliharaan. tetapi nilai oksigen yang rendah tersebut masih dalam ambang batas toleransi ikan lele karena tidak terjadi kematian pada ikan lele yang dipelihara. Sedangkan untuk penurunan oksigen dari awal sampai hari ke-20 kemudian mengalami peningkatan pada hari ke-30 karena jumlah nitrogen yang ada pada media pemeliharaan ikan lele. Oksigen digunakan untuk perubahan bentuk dari limbah nitrogen yang dihasilkan. Turunnya nilai total nitrogen dipengaruhi oleh jumlah pakan yang tercerna serta hasil buangan sisa metabolisme dari ikan lele yang dipelihara berkurang (Gambar 7.) Berdasarkan hasil perhitungan selama pemeliharaan, diperoleh nilai amonia antara 0,0001-0,008 mg/L (Lampiran 16). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa pada hari ke 20 dan hari 30 nilai amonia perlakuan A dan B berbeda nyata dengan perlakuan lainnya (P<0,05) (Lampiran 5). Keberadaan amonia akan mengurangi daya ikat butir darah merah terhadap oksigen, sehingga pertumbuhan ikan terhambat. Jumlah amonia dalam air akan bertambah, sesuai dengan peningkatan aktivitas dan kenaikan suhu air. Ekskresi ikan juga mempengaruhi kandungan amoniak dalam air. Ekskresi ikan berasal dari katabolisme protein pakan dan dikeluarkan dalam bentuk amonia dan urea ke air. Kandungan amoniak dalam air sumber yang baik tidak lebih dari 0,1 ppm. Air yang mengandung 1,0 ppm sudah diangap tercemar. Air yang mengandung amonia tinggi bersifat toksik karena akan menghambat ekskresi pada ikan (Chen et al., 1993). Nilai nitrit pada penelitian ini berkisar antara 0,01-0,04 mg/L (Lampiran 17). Berdasarkan uji statistik yang dilakukan nilai nitrit pada hari ke 10, diperoleh 17 hasil bahwa perlakuan A berbeda nyata dengan perlakuan C, D, dan E (P<0,05) (Lampiran 7). Nitrit yang tinggi didalam perairan sangat berbahaya bagi udang dan ikan, karena nitrit dalam darah mengoksidasi haemoglobin menjadi metahaemoglobin yang tidak mampu mengedarkan oksigen (Spotte, 1979 dalam Darmawan dan Erik, 2010). kandungan nitrit sebaiknya lebih kecil dari 0,3 ppm. Kadar oksigen terlarut dalam air merupakan faktor pembatas dan sangat berpengaruh terhadap berlangsungnya proses nitrifikasi. Menurut Moore (1992), kadar nitrit yang lebih dari 0,05 mg/L dapat bersifat toksik bagi organisme perairan yang sangat sensitif.. Sehingga kandungan nitrit pada penelitian ini termasuk kedalam kondisi dapat ditoleransi oleh ikan lele. Nilai nitrat pada penelitian ini berkisar antara 0,0-2 mg/L (Lampiran 18). Sedangkan menurut uji statistik, diperoleh hasil bahwa pada hari ke 10 perlakuan A berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Sedangkan pada hari ke 30 perlakuan E berbeda nyata dengan perlakuan A, B, dan C (Lampiran 7). Nitrat merupakan senyawa yang tidak berbahaya bagi organisme budidaya. Nilai nitrat pada pemeliharaan selama penelitian juga menunjukkan kisaran nilai 0,5-1,5 ppm. Menurut Volenweider (1969) dalam Wetzel (1975), kadar nitrat sebesar 1–5 mg/L termasuk kedalam perairan mesotrofik. Nitrat pada perairan mampu menstimulasi meningkatnya jumlah alga (blooming algae). Nilai total nitrogen yang diperleh pada penelitian ini berkisar antara 0,8-7 mg/L (Lampiran 19). Menurut uji statistik yang dilakukan diperoleh hasil bahwa perlakuan A merupakan perlakuan terbaik dengan nilai 4,227 mg/L pada hari ke 10 dan 6,227 pada hari ke 20 karena berbeda nyata dengan perlakuan lain (Lampiran 8).Total nitrogen yang meningkat pada awal pemeliharaan sampai dengan hari ke-20 diakibatkan jumlah pakan yang tidak termakan serta tingginya sisa hasil metabolisme ikan yang dikeluarkan ke lingkungan menjadi penyebabnya. Sedangkan nilai total nitrogen yang menurun pada hari ke-20 sampai akhir pemeliharaan menunjukkan bahwa pakan optimal diserap oleh ikan sehingga hasil buangannya berupa nitrogen jumlahnya sedikit. Nilai total phospat pada penelitian ini berkisar antara 0,1-3 mg/L (Lampiran 20). Total phospat terbaik terdapat pada perlakuan D. Total phospat di perairan 18 pada perlakuan menunjukkan bahwa nilai yang stabil sampai dengan hari ke-20. Phospat pada perairan berfungsi untuk bahan pertumbuhan plankton . Sebagian besar limbah udang berasal dari kulit, kepala, dan ekornya. Menurut Resmi (2000), tepung kepala udang sebelum dilakukan pengolahan mengandung zat-zat makanan yaitu protein 46,20%, serat kasar 16,85% dan kalsium 9,40%. Jumlah protein yang tinggi diharapkan mampu menggurangi penggunaan tepung ikan yang harganya mahal di pasaran. Hasil dari perhitungan pertambahan bobot ikan lele selama pemeliharaan (Gambar 9.) menunjukkan bahwa rata-rata pertambahan bobot terbaik terdapat pada perlakuan C. Sedangkan pertambahan bobot terendah ditunjukkan pada perlakuan E. Pertambahan bobot pada semua perlakuan mengalami kenaikan dari awal sampai dengan akhir pemeliharaan. Perlakuan C pertambahan bobot lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Dari hasil perhitungan laju pertumbuhan spesifik selama pemeliharaan (Gambar 2.) diketahui bahwa perlakuan C dengan konsentrasi limbah kepala udang sebanyak 30% memberikan nilai pertumbuhan yang terbaik sebesar 2,69±0,47%. Berdasarkan uji statistik yang dilakukan diperoleh hasil bahwa laju pertumbuhan spesifik tidak berbeda nyata antara perlakuan C dengan konsentrasi subsitusi limbah kepala udang sebanyak 30% yang bernilai 2,69±0,47% dan konsentrasi 45% yang bernilai 2,62±0,20%. Berdasarkan penelitian ini jumlah maksimum tepung kepala udang yang mampu menggantikan tepung ikan dalam pakan adalah sebanyak 45%. Karena pada jumlah tersebut ikan lele masih dapat tumbuh dengan baik. Kelangsungan hidup dari semua perlakuan tidak menunjukkan perbedaan secara nyata (P>0,05). Tingkat kelangsungan hidup yang masih baik dikarenakan kualitas air yang masih dalam ambang batas toleransi ikan. Walaupun demikian amonia dan nitrit yang paling baik terdapat pada perlakuan B yaitu substitusi 15%. Dimana perlakuan B tidak berbeda nyata dengan perlakuan A (substitusi 0%). Dari hasil bahasan secara keseluruhan, berdasarkan nilai ekonomi perlakuan B memberikan dampak yang lebih baik dibandingkan perlakuan lainnya. Pada perubahan bobot perlakuan B juga memiliki nilai yang lebih baik dibandingkan perlakuan A (Lampiran 22). 19 Dalam industri budidaya pakan menyerap hampir 80% biaya produksi. Menurut Behrends (1990), apabila harga ransum dapat ditekan sebanyak 2% saja, maka keuntungan dari penjualan produk peternakan (karkas) meningkat sampai sebesar 8 persen. Sesuai dengan pendapat Rasyaf (1994), bahwa yang sangat menentukan tinggi rendahnya harga ransum adalah bahan makanan sumber protein yang berasal dari bahan asal hewani. Bila dihitung secara nominal berdasarkan kandungan protein kasar pada limbah udang, maka pada tahun 2004 diperoleh limbah udang sebesar 66,3 ribu ton atau setara 88,5 ton protein kasar. Jumlah tersebut merupakan potensi bahan baku pakan sebagai sumber protein hewani yang sangat besar, namun dibalik beberapa kelebihan yang dimiliki limbah udang ini memiliki beberapa kekurangan seperti tingginya kandungan serat kasar dan terdapatnya kandungan zat antinutrisi khitin yang menyebabkan kecernaan terhadap protein menjadi rendah. Sehingga dalam penggunaan untuk pakan tepung limbah kepala udang jumlahnya harus dibatasi. Pada penelitian ini dari kondisi kualitas airnya diperoleh hasil bahwa penggunaan subsitusi tepung limbah kepala udang maksimal yang masih mampu menunjang pertumbuhan ikan lele adalah konsentrasi sebanyak 45%. Pernyataan ini sesuai dengan Purwaningsih (2000), limbah udang terdiri dari 30% khitin dari bahan keringnya. Adanya khitin ini mengakibatkan adanya keterbatasan atau faktor pembatas dalam penggunaan limbah udang untuk dijadikan bahan penyusun pakan ikan jika digunakan secara langsung tanpa dilakukan pengolahan. 20