«'erspeRjif -----------------~----- BADAN HUKUM TVRI DAN RRI SEBAGAI LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK Oleh : Sasa Djuarsa Sendjaja, Ph.D Staf Pengajar Departemen I/mu Komunikasi FISIP UI Abstract TVRI and RR/, according to the Broadcasting Law are categorized as Public Broadcasting Institution which is established legally by the state and is independent, neutral, non-commercial and functions to provide services to the public, based on the public interest. Considering the characteristics of both TVRI and RR/, "Badan Hukum Milik Negara 1' (The State Owned Corporate Body) is considered as the appropriate corporate body status for these two broadcasting media. Keywords: Badan Hukum, Lembaga Penyiaran Publik, demokratisasi media, media organik Latar Belakang Salah satu implikasi dari ditetapkannya TVRI dan RRI menjadi Lembaga Penyiaran Publik (LPP), adalah berkenaan dengan format badan hukum yang ideal bagi kedua lembaga penyiaran tersebut. TVRI dan RRI yang semula merupakan lembaga penyiaran pemerintah harus mentransformasikan diri menjadi Lembaga Penyiaran Publik sesuai amanat UU No. 32 tahun 2002 tentang penyiaran, serta membawa konsekuensi pada perlunya pembahan dalam hal pengelolaan kelembagaan, keuangan, status karyawan hingga orientasi perencanaan progrnm. Dalam konstelasi dunia penyiaran ; Indonesia dewasa ini, terdapat empat hal mengapa eksistensi Lembaga Penyiaran Publik, sebagaimana dikemukakan oleh : para akhli (Habermas, 1989; McQuail, 2000; Summers dkk." 1978; Kellner, 1990), dipandang penting. Pertama, dalam konteks demokratisasi kehidupan berbangsa dan penguatan civil society · maka sejatinya publik berhak mendapatkan siaran yang lebih mencerdaskan, lebih mengisi kepala dengan sesuatu yang lebih bermakna dari pada sekedar menjual kepala kepnda pemasang iklan melalui logika rating. Pada hazanah penyiaran komersial misah1ya, akan sangat sulit menemukan programpro grnm pendidikan yang bersifat instruksional yang memungkinkan Jurnal Bisnis & Birokrasi No. 02/Vol. XIV/Mei/2006 .L dilakukannya distance ·[earning, programprogram tentang kedalaman dan keteduhan agama serta budi pekerti, program-program untuk meningkatkan apresiasi terhadap kemajemukan dalam kehidupan bermasyarakat (living in colors), atau bahkan sekedar program-program untuk anak-anak yang bersih dari adegan kekerasan. Kedua, dalam konteks tersebut ma:Ka kebutuhan akan siaran yang tersedia secara geografis merupakan sesuatu yang tak bisa ditawar lagi. Bahwa setiap warga berhak memperoleh siaran yang mencerdaskan tanpa adanya batasa1q geografis, apalagi batasan sosiopolitis. Lembaga penyiaran komersial misalnya, selalu mempertimbangkan potensi ekonomi berikut jumlah penduduk suatu daerah untuk membuka jaringan siarannya. Maka untuk daerah dengan potensi beserta jumlah penduduk minim tentu tidak akan menerima siaran. Padahal sebagai sesama warga negara, penduduk di daerah tersebut juga berhak memperoleh perlakuan yang sama, termasuk kesamaan menerima siaran. Penyiaran publik mengatasi kendala tersebut melalui logika pelayanan publik. Ketiga, penyiaran publik merupakan entitas penyiaran yang memiliki concern lebih terhadap identitas dan kultur nasionaL Penyiaran komersial misalnya terlalu berorientasi pada usahausaha profit making. Sehingga persoalan identitas dan kultur nasional tergusur oleh ekspansi komodifikasi budaya populer, budaya kontemporer dan budaya langsung jadi (instant). Sedangkan tipe Jurnal Bisnis & Birokrasi No. 02/Vol. XIV/Mei/2006 penyiaran lain semisal penyiaran komunitas, di samping jangkauan siaran yang hanya sekitar .radius 6 km, inefektivitas juga terletak pada relatif kecilnya konteks isu yang diangkat. Secara umum, penyajian siaran penyiaran komunitas meniscayakan keterlibatannya dalam konteks lokalitas. Keterbatasan yang memang menjadi ciri penyiaran komunitas ini- relatif kurang efektif bila dibandingkan dengan penyiaran publik (yang dalam DU No. 32 tahun 2002 dimungkinkan untuk bersiaran secara nasional) untuk melakukan penguatan (empowerment) identitas dan kultur nasional. l Keenzpat, demokratisasi media meniscayakan adanya suatu lembaga penyiaran yang bersifat independen, baik dari kepentingan negara maupun kepentingan komersial. Pada satu sisi, penguasaan negara atas penyiaran akan menjadikan penyiaran sebagai alat penegak ideologi penguasa (ideological state apparatus), dan pada sisi lain, penguasaan besar-besaran pasar atas penyiaran akan mengakibatkan· penggunaan logic of acumulation and exclusion sebagai penentu apa dan bagaimana sesuatu ditayangkan. Maka, untuk sekedar mencontohkan, sebagaimana terbukukan dalam sejarah, era TVRI sebagai yayasan dan UPT (Unit Pelaksana Teknis) Departemen Penerangan merupakan personifikasi nyaris sempurna penguasaan negara (baca: penguasa)· atas TVRI, yang sejatinya milik publik. Nampak jelas ketika____itu, TVRI memerankan diri sebagai media organik pemerintah. Selain menjadi ------------,-~----~-----IBadan Hukum TVRidan RRI: humas pemerintah, TVRI juga menjadi media efektif dalam melakukan indoktrinasi terutama selama Orde Baru herkuasa. Seluruh realitas simbolik yang dibangun TVRI waktu itu mengkonstruksi realitas kekuasaan ala Orde Baru sebagai realitas objektif. Muara dari intervensi tersebut adalah tidak terpenuhinya kebutuhan publik untuk mengembangkan diri melalui spektrum gelombang radio (sebagai transmisi siaran mayoritas), yang nota-bene adalah milik publik (public goods). Penyiaran publik dibutuhkan karena karakteristik imparsialitas dan ragam varietas progi·am yang dimiliki. Penetapan TVRI dan RRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik dalam konteks Indonesia kekinian juga dipandang tepat karena beberapa alasan. Alasan pertama, TVRI dan RRI didirikan dan dibiayai (sebagian) oleh dana negara melalui APBN. Jika dikembalikan ke logika asal bahwa dana APBN pada hakikatnya adalah dana publik, maka sudah sepatutnya pula jika TVRI dan RRI mengabdi pada kepentingan publik. Kedua, terlepas dari dinamika historisnya, TVRI dan RRI merupakan icon pemersatu bangsa, sekaligus berperan sebagai penanda rasa nasionalisme. Ketiga, TVRI dan RRI memiliki wilayah jangkauan siaran (coverage area) terluas. TVRI misalnya mampu menjangkau 841.522 Km2 atau 42,90 % dad wilayah Indonesia clan 169.282.000 orang, atau 81.90 % warga Indonesia. Alasan keempat, TVRI dan RRI memiliki kiprah yang paling lama dalam dunia penyiaran, sehingga dengan d,emikian kedua lembaga penyiaran tersebut memiliki SDM yang relatif lebih berpengalaman dan lebih terampil. TVRI dan RRI dalam kapasitasnya sebagai institusi publik sedikitnya mensyaratkan dua dimensi operasional yang harus dipenuhi. Dimensi pertama berkaitan dengan teknis operasionalmanajerial, dan dimensi kedua menyangkut bidang isi program (content) penyiaran. Pada dimensi pertama, semua kegiatan operasional manajerial media siaran publik menjadi tanggung jawab publik. Pada banyak kasus Lembaga Penyiaran Publik di berbagai negara seperti CBC (Kanada), PBS (Amerika), BBC (Inggris), NHK (Jepang), dan ABC (Australia), kehidupan media publik secara finansial didukung oleh publik melalui pajak, iuran, lisensi, iklan, bantuan pemerintah, maupun usaha lain yang berkaitan dengan penyiaran. Dimensi kedua (isi penyiaran publik) selalu dikaitkan dengan jenis, sasaran dan prioritas program. Jenis program merujuk pada pengadaan program-program siaran yang tidak dilakukan oleh siaran komersial. Artinya, jika media siaran komersial memusatkan perhatiannya pada hiburan dan berita, maka media siaran publik menawarkan siaran-siaran dokumenter, drama, pendidikan, seni dan ilmu pengetahuan. Hal ini tidak berarti penyiaran publik tidak menyiarkan berita dan hiburan, hanya orientasi siaran lembaga penyiaran publik berbeda dengan penyiaran komersial yang profit oriented. Perbedaan antara penyiaran publik dan penyiaran komersial juga terdapat pada pada tataran sasaran khalayaknya (audzence~. Media siaran komersial yang did ukung oleh iklan cenderung hanya berkonsentrasi pada Jurna( Bisnis & Birokrasi No. 02/Vol. XIV/Mei/2006 program-program yang merangsang daya tarik khalayak dalam jumlah yang besar (massa). Sementara media penyiaran publik bergerak lebih jauh dari itu, karena harus melay~ni semua kelompok masyarakat. Maka tidak heran jika dalam penyiaran publik terdapat juga siaran yang ditujukan untuk melayani kelompok minoritas, yang banyak diabaikan oleh penyiaran komersial. Di BBC (Inggris) misalnya, masih kita jumpai program siaran berbahasa Welsh, untuk kelompok minoritas pengucap bahasa Welsh. M.elalui dinamika semacam itu, penyiaran publik dapat memungkinkan dirinya untuk tampil sebagai cultural forum (fomm budaya) yang bermakna. Lembaga Penyiaran Publik diharapkan memiliki andil yang sangat besar dalam menciptakan democratic culture di Indonesia. Kultur rm mengedepankan partisipasi publik dalam penyelenggaraan sistem kenegaraan. Untuk dapat menjalankan peran sebagai agen demolcratisasi setidaknya terdapat tiga pilar yang menandakan hakikat lembaga penyiaran publik. Pertama, Lembaga Penyiaran Publik menjalankan fungsi sebagai public sen1ice. Fungsi ini dijalankanoleh Lembaga Penyiaran Publik dengan menyiarkan program-program yang memberikan manfaat bagi publik. Program-program demikian dapat merupakan program dengan content budaya, pendidikan atau pun program yang berorientasi pada kaum minoritas. Penyelenggaraan program-programnya pun memprioritaskan partisipasi atau gagasan publik sehingga media tersebut benar- Jurnal Bisnis & Birokrosi No. 02/Vol. XIV/Mei/2006 benar milik publik yang dapat dimanfaatkan sebagai sarana diskusi atau mengekspresikan ide-ide publik Kedua, Lembaga Penyiaran Publik tidak berodentasi pada pencarian keuntungan. Batasan yang mungkin memperjelas konsepsi ini menyangkut operasionalisasi usahanya yang tidak semata-mata diarahkan untuk mengejar keuntungan. Orientasi yang berlebihan pada komersialisasi hanya akan menyebabkan lembaga tersebut tidak independen dan berada di bawah pengaruh cnpi tal. Jika hal ini dipertahankan, lembaga akan diintervensi oleh kepentingan pasar dan hanya berorientasi 'menjual' program yang laku dipasaran. Secara filosofis hal ini merupakan pengingkaran terhadap eksistensi Lembaga Penyiaran Publik yang menonjolkan program-program edukasi termasuk program-program yang secara ekonomis mungkin tidak layak karena bertautan dengan kepentingan kelompok minoritas. Meskipun demikian, tidak berarti Lembaga Penyiaran Publik tidak boleh untung, sebab keuntungan yang diperolehnya dapat dimanfaatkan untuk perbaikan program, peningkatan profesionalisme dan pengembangan lembaga. Ketersediaan dana yang cukup pun dapat menjaga independensinya dari pengaruh atau intervensi dari berbagai pihak yang memiliki kepentingan. Menyangkut kriteria ini, Lembaga Penyiaran Publik dituntut untuk tidak menjadi badan hukum yang memiliki orientasi menjual saham secara terbuka sebab akan melibatkan sejumlah pemodal yang berkeinginan untuk mendapatkan keuntungan semata. ------------,------------IBadanHukum WRidanRRI: Ketiga, Lembaga Penyiaran Publik dikelola dengan melibatkan partisipasi publik. Keterlibatan publik dalam hal ini menyangkut supervisi dan evaluasi publik dalam penyelenggaraan siarannya. Misalnya saja menyangkut penentuan kebijakan soal isi program,, iklan yang boleh ditayangkan serta pemanfaatan keuntungan yang diperolehnya. 2. Tujuan Penelitian TVRI. dalam kedudukannya sebagai lembaga penyiaran publik. b. Regulasi dan pengaturan lebih lanjut agar TVRI dan RRI dapat menjalankan visi dan misi sebagai lembaga penyia1~an publik. 3. Metodologi Penelitian rn1 memaparkan berbagai pemikiran yang dimulai dari pembahasan mengenai ragam lembaga penyiaran untuk memposisikan letak, Tabel 1 Kriteria Lembaga Penyiaran Kepemilikan 2 I Negara/state Ownership Orientasi Program Sumber Dana Kombinasi; pajak (laxj, iklan (advertiser), iuran pelanggan (lisence) Korporasi Otonom/ Autonomous Swasta/pri vate ownership Kombinasi: iuran pelanggan (lisence), pajak (Im). iklan (adver/iser), Kombinasi: iuran pelanggan (lisence), iklan (advertise!), Berangkat dari kerangka permasalahan sebagaimana dikemukakan di bagian sebelumnya,, penelitian ini dilakukan dengan tujuan utama untuk memperoleh pemahaman yang mendalam mengenai : a. Bentuk dan karakteristik badan hukum yang tepat untuk RRI dan 3 Khalayak/penonton/ publik Pem eri nta h/Negara Bisnis Khalayak/penonton/ publik Pemerintah/Negara Bisnis Khalayak/penonton/publik Pernerintah/Negara Bisnis Kriteria Lembaga Penyiaran 4 Publik Pemeri ntah/Negara Komersial Publik Pemeri ntah/Negara Komersial Publik Pemeri ntah/Negara Komersial pijakan filosofis, hakekat,, definisi serta konsep publik dalam Lembaga Penyiaran Publik sendiri. Pemahaman m1 selanjutnya digunakan untuk melihat keberadaan TVRI dan RRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik dalam dua Undang-undang yang be1·kaitan secara langsung yaitu UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan UU No 19 Tahun Jurnal Bisnis & Birokrasi No. 02/Vol. XIV /Mei/2006 2003 tentang Badan Usaha ·Milik Negara (BUMN). Selanjutnya penelitian ini berusaha memberikan masukan terhadap status badan hukum TVRI dan RRI agar bisa menjalankan fungsinya sebagai Lembaga Penyiaran Publik secar-a maksimal baik dari tinjauan yuridis maupun ekonomis perusahaan. Pada dasarnya secara metodologis, penelitian ini bersifat eksploratif dengan pendekatan kualitatif. Pendekatan ini dipandang tepat untuk mendapatkan g_ambaran secara menyeluruh dan komprehensif terhadap berbagai aspek yang terkait dengan pola dan mekanisme pengelolaan TVRI dan RRI se bagai Iembaga penyiaran publik. Pengumpulan data dan informasi menggunakan sejumlah (15 orang) nara sumber (resource persons) dari berbagai kalangan yang terdiri dari pejabat di lingkungan TVRI dan RRI, pejabat pemerintah, pakar komunikasi/ media, pakar/ pengamat kebijakan publik/ pakar/ pengamat hukum, pakar/ pengamat ekonomi dan anggota DPR. Pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara mendalam (indepth interview) yang dikombinasikan dengan FGDs (Focus Group Discussions). Sedangkan untuk data sekunder dilakukan dengan studi kepustakaan dan observasi tak berstruktur (unstructured observasion). 4. Tinjauan Teoritis mengenai Lembaga Penyiaran Publik Jurnal Bisnis & Birokrasi No. 02/Vol. XIV /Mei/2006 Ragam Lembaga Penyiaran !Dalam memilah berbagai lembaga penyiaran, Summers dkk (1978) inembagi lembaga penyiaran menjadi tiga jenis yaitu media penyiaran publik, media penyiaran pernerintah/ negara, dan media penyi~ran kornersial. Pengkategorian in.'i dilihat berdasarkan kepemilikan, sumber dana serta orientasi program yang selanjutnya bisa dilihat dalarn tabel berikut : Tabel di atas menunjukkan secara jelas bahwa dalam memasukkan sebuah lembaga penyiaran ke dalarn sebuah kategori tertentu, maka perlu dilihat berbagai aspek yang rnendasari pemilahan tersebut seperti kepemilikan atau surnber pembiayaan. Akan tetapi, seringkali aspek kunci yang paling dipertimbangkan adalah orientasi program sebagai landasan pembuatan program keseluruhan yang menunjukkan pemfungsian media penyiaran terse but ke dalam masyarakat. Dengan demikian bagi Summers, siapapun yang memiliki lembaga penyiaran tersebut serta dengan sumber biaya dari manapun, sebenarnya, asal orientasi programnya ditujukan kepada publik maka lembaga penyiaran tersebut bisa dikategorikan sebagai lembaga penyiaran publik. Sementara, jika orientasi programnya ditujukan pada pemerintah atau negara maka lembaga penyiaran tersebut bisa dikategorikan sebagai lembaga penyiaran pemerintah atau negara. Sedangkan bila orientasi programnya ditujukan pada bisnis maka lembaga penyiaran tersebut bisa dikategorikan sebagai lernbaga penyiaran -----------------------iBadanHukumTVRidanRRI: komersial. Sementara itu, Depok School (baca: paradigma sebagian besar pemikir komunikasi FISIP. UI, Depok ) sebagaimana dikemukakan oleh Gazali (2002) lebih melihat Lembaga Penyiaran Publik dari karakter lembaganya temtama arah skala supervisi dan evaluasi oleh publik. Per bedaan ketiga lembaga penyiaran ini bisa dilihat dari aspek definisi, khalayak, visi, jangkauan area siaran, ukuran kesuksesan, pemilik/ pendiri, pengambil kepu tusan tertinggi, suinber pemasukan serta kriteria dan jumlah materi iklan. Dari aspek definisinya, bisa dilihat bahwa lembaga penyiaran komersial mendasarkan operasinya atas prinsip-prinsip pencapaian keuntungan ekonomi secara komersial. Lembaga penyiaran publik memberikan pengakuan secara signifikan terhadap peran supervisi dan evaluasi oleh publik melalui sebuah lembaga supervisi yang khusus didirikan untuk tujuan tersebut, sedangkan penyiaran komunitas memberikan pengakuan secara signifikan terhadap peran supervisi dan evaluasi oleh anggota komunitasnya melalui sebuah lembaga supervisi yang khusus didirikan untuk tujuan tersebut. Perbedaan mendasar lain adalah berkaitan dengan khalayak. Khalayak lembaga penyiaran komersial adalah umum dan terbuka leba.r, khalayak lembaga penyiaran publik adalah umum dan lebih dari satu komunitas, sedangkan khalayak lembaga penyiaran komunitas adalah suatu komunitas tertentu. Visi dari ketiga lembaga penyiaran tersebut juga berbeda satu sama lainnya. Lembaga penyiaran komersial mempunyai visi untuk memberi hiburan; .infmmasi, dan pendidikan . berdasarkan prinsip pencapaian ek.onomi secara komersial. Visi lembaga penyiaran publik secara singkat adalah meningkatkan kualitas hidup publik dengan meningkatkan apresiasi terhadap keberagaman yang ada dalam masyarakat. Sementara itu, visi lembaga penyiaran komunitas lebih ditekankan pada tujuan meningkatkan kualitas hidup anggota komunitasnya. Ulcuran kesuksesan dari masingmasing lembaga penyiaran juga berbeda. Untuk lembaga penyiaran komersial, rating untuk masing-masing program dan pemasukan iklan menjadi tolok ukur keberhasilan. Untuk lembaga penyiaran publik, ukuran keberhasilannya ditentukan oleh tingkat pemenuhan kebutuhan dan kepuasan berbagai kelompok publiknya (termasuk kelompok minoritas). Untuk lembaga penyiaran komunitas, kesuksesan bisa ditenggarai oleh kepuasan anggota komunitasnya karena mereka terlibat secara aktii untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Badan Hukum Lembaga Penyiaran Publik Setidaknya ada empat hal mengapa pengaturan badan hukum TVRI dan RRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik dipandang penting. Pertama, walaupun secara eksplisit UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran menyatakan bahwa lembaga penyiaran publik, yang terdiri dari TVRI dan RRI, adalah berbadan hukum negara (pasal 14 dan 15), namun pada saat yang sama UU Jurnal Bisnis & Birokrasi No. 02/Vol. XIV /Mei/2006 tersebuttidaksecara jelas menetapkan apa bentuk badan bukum dimaksud. UU Penyiaran hanya mengamanatkan pemerintah bersama KPI untuk mengatur lebih lanjut. Dalam iklim demokrasi kekinian,, salah satu urgensi penetapan badan hukum penyiaran publik terkait dengan hak asasi manusia tentang kebebasan berbicarn (freedom of speech), yang menjamin kebebasan seseorang untuk memperoleh dan menyebarkan pendapatnya tanpa adanya intervensi, bahkan dari pemerintah. N amun pada saat yang bersamaan, juga berlaku regulasi pembatasan aktivitas media seperti regulasi UU Telekomunikasi yang membatasi penggunaan spektrum gelombang radio. Nilai demokrasi karenanya menghendaki kriteria yang jelas dan fair tentang pengaturan alokasi akses publik. kebebasan aliran ide dan posisi dari kelompok minoritas. Hal lain adalah adanya hak privasi (right to privacy) seseorang untuk tidak menerima informasi tertentu. Dalam batas tertentu, kebebasan untuk menyampaikan infromasi (freedom of information) memang dibatasi oleh hak privasi seseorang (right to privacy). Yang perlu digarisbawahi dalam hal ini, sebagaimana diungkapkan Feintuck (1999), adalah limitasi keberagaman (diversity) sendirt seperti kekerasan dan pornografi merupakan hal yang tetap tidak dapat dieksploitir atas nama keberagaman. Dalam perkembangannya aspek diversity, lebih ~anyak diafiliasikan sebagai aspek politik dan ekonomi dalam konteks ideologi suatu negara. Regulasi badan hukum lembaga penyiaran publik akan menjawab tantangan ini. Kedua, keterbatasan fekwensi. Tanpa regulasi,, maka interferensi signal Keempat, terdapat alasan ekonomi mengapa regulasi lembaga penyiaran publik diperlukan. Tanpa regulasi akan terjadi konsentrasi, bahkan monopoli media. Sinkronisai diperlukan bagi penyusunan regulasi lembaga penyiaran publik agar tidak berbenturan dengan berbagai kesepakatan internc::sionat misalnya tentang pasar bebas dari AFT A niscaya terjadi. Dan ketika itu terjadi maka aspek dasar komunikasi tidak tercapai. Sebagai ilustrasi sederhana dapat cligambarkan bahwa jika pada saat yang bersamaan terdapat dua orang atau ~ebih berbicara, maka proses komunikasi pasti mengalami kegagalan. Regulasi badan hukum penyiarnn publik akan menentukan siapa yang berhak menyiarkan" serta bagaimana dan siapa· yang tidak. Dalam konteks demikian regulasi berperan sebagai mekanisme konh·ol (control mechanism). 11 Ketiga, demokrasi menghendaki 11 ad an ya sesua tu" yang menjamin keberagaman (diversity) politik dan kebudayaan, dengan menjamin Jurnor Bisnis & Birokrasi No. 02/Vol. XIV/Mei/2006 Pijakan Filosofis Lembaga Penyiaran Publik Secara filosofis, urgensi kehadiran media penyiaran publik berangkat dari kehidupan publik yang dilihat dari posisi sebagai warga masyarakat hanya dalam dua ranah, yaitu dalam "lingkup kekuasaanu dan "lingkup pasar" -------------~-,--.-------1Badan Hukum TVRidanRRI: (Habermas,1989; Golding & Murdock, 1996; Kellner, 1990). Pandangan dikotomis ini mengabaikan kenya ta an lainnya, yaitu adanya ranah publik yang diharapkan dapat menjadi zona bebas dan netral yang di dalamnya berlangsung dinamika kehidupan yang bersih dari kekuasaan dan pasar. Habermas menyebut ranah ini sebagai ranah publik (public sphere). Menurut Habermas, ~ad~ awalnya media dibentuk dan men1ad1 bagian integral dari public sphere te~ap~ kemudian dikomersialkan men1ad1 komoditi (commodified) melalui disfribusi secara massal dan menjual khalayak ~assa ke perusahaan periklanan, sehingga media menjauh da1·i peran public sphere. Terbukanya public sphere sebagai prasarat penguatan civil society dapat diwujudkan antara lain dimulai dari paradigma yang menggerakkan di~a~k~ kehidupan publik yang berbas1s mla1 kultural (Habermas, 1989; Kellner, 1990). Nilai kultural ini merupakan pemaknaan atas setiap kegiatan dalam ranah publik. Ini dapat dilihat dengan dua cara. Pertama, secara negatif yaitu dominasi dan monopoli kekuasaan dan pasar harus dijauhkan dari kehidupan publik, da1:" kedua, secara positif membangun otonorm dan independensi institusi sosial. Maka, membangun civil society pada dasarnya ad al ah membalik arus u tama yang ta dinya "dari kekuasaan negara dan pasar ke warga", menjadi da1·i warga ke kekuasaan negara dan pasar". Untuk itu diperlukan ranah publik yang secara re la tif memiliki otonomi dan independensi, yang di dalamnya /1 berlangsung kegiatan kultural dalam berbagai aspek kehidupan fungsional. Civil society sebagai format baru kehidupan publik diharapkan dapat menjadi visi bersama penyelenggaraan media massa. Dari visi yang semacam itu dapat dibayangkan misi yan~ per~u dijalankan, sesuai dengan fungs1 media penyiaran dalam ranah publik. D~lam konteks reformasi kekinian, mestmya terbuka peluang untuk membangun format baru atas keberadaan media penyiaran pemerintah (RRI/TVRI) menjadi institusi otonom dan independen yang menjalankan fungsi kultural dalam ranah publik (baca: media penyiaran publik). Dalam konteks inL pe~yi~ran publik diperlukan untuk men1un1ung nilai-nilai yang banyak ditinggalkan oleh media komersial, seperti idependensi, solidaritas, keanekaragaman (opini dan akses), objektivitas dan kualitas informasi (Mc Quail, 2000). Tidak dipungkiri perkembangan lembaga penyiaran di Indonesia dipengaruhi oleh rezimentasi Orde Baru. Munculnya dua kategori penyiaran yang berorientasi pad a kepentingan pemerintah dan komersial tidak lain merupakan bagian dari perkembangan masa tersebut. TVRI dan RRI yang menjalankan fungsi propaganda dengan memprioritaskan program-program pemerintah mendapatkan klaim sebagai media organik pemerintah yang keberadaannya dirancang oleh, dari dan untuk pemerintah. Kinerja (performance) TVRI dan RRI yang demikian pada akhirnya menorehkan kesan mendalam di masyarnkat tentang keberadaan sebuah lembaga penyiaran pemerintah. Jurnal Bisnis & Birokrasi No. 02/Vol. XIV/Mei/2006 Potret demikian menunjukkan dinamika perjalanan sistem penyiaran Indonesia yang hingga kini sibuk mencari bentuk dan aktualitasnya. Arus perubahan yang memunculkan wacana demokrasi bagi sistem penyiaran di Indonesia menghendaki bentuk lembaga penyiaran yang lain yang dinilai lebih aspiratif serta tidak mendeskriditkan kepentingan atau kebebasan publik untuk mendapatkan dan menyampaikan informasi. Oleh karena itu,. muncullah gagasan un tuk memiliki Lembaga Penyiaran Publik dan Lembaga Penyiaran Komunitas sebagai solusinya. Dalam sebuah negara yang demokratis persoalan diversihj of content dan diversihJ of ownership mempakan hal penting yang harus diperhatikan dalam penyelenggarnan lembaga penyiaran. Keberadaan Lembaga Penyiaran Publik dan Komunitas akan memberikan ruang bagi masyarakat Indonesia dalam memperoleh pesan multi perspektif, sehingga dominasi content yang ~ebelumnya dilakukan oleh pemerintah maupun kelompok pemodal dapat dihindari. Masyarakat dapat memilih dan menentukan program siaran menurut kepentingan mereka. Keberadaan televisi publik di banyak negara dipercaya mampu mernbangun democratic culture (Habermas,. 1989; Gurevitch dkk.,, 1982). Potensi ini dapatterwujud jika televisi publik dikelola dengan memberikan ruang untuk kebebasan berekspresi dan debat terbuka; memberikan peluang akses yang sama bagi setiap warga negara serta menjadi arena negosiasi bagi kelompok-kelompok kepentingan. Jurnal Bisnis & Birokrasi No. 02/Vol. XIV /Mei/2006 Format program mengutamakan partisipasi publik, program-program untuk kelompok minoritas seperti anakanak, perlindungan budaya serta identitas budaya nasional dan regional. Konsep public sphere yang dikemukakan oleh Habermas dapat diwujudkan melalui penyelenggaraan Lembaga Penyiaran Publik karena ruang publik ini memiliki fungsi bagi publik untuk melakukan diskusi yang rasional, membentuk opini serta menjalankan pengawasan terhadap pemerintah. Pada hakekatnya public sphere tidak lain merupakan kawasan a tau ruang yang netral dimana publik memiliki akses yang sarna dan berpartisipasi dalam wacana publik dalam kedudukan yang sama pula. Muara dari idealisasi tersebut adalah terbentuknya komunikasi yang efektif yang sekaligus menciptakan diversitas politis dan kultural. Selain berhubungan dengan keterbatasan frekuensi, komunikasi yang efektif juga berkaitan dengan demokratisasi komunikasi, yang meliputi jaminan negara untuk memungkinkan terjadinya keberagaman komunikasi. Di Inggris, misalnya,. dimana hampir dua pertiga sirkulasi koran nasional hanya dikuasai oleh dua kelompok berita (yaitu News Corporation 37% dan Mirror Group 26%), maka ketika salah satu kelompok tersebut juga terjun dalam bidang penyiaran, maka dipastikan akan te1jadi pembatasan rentang sudut pandang yang ditampilkan media penyiaran. Tanpa regulasi yang menjamin keberagaman penyiaran, kondisi yang berkembang akan cenderung monopolistik. Kondisi yang monopolistik merupakan jembatan emas menuju ---~----~------------IBadanHukum TVRidanRRL· monopoli informasi, yang berujung pada monopoli kebenaran. Diversitas politis dan kultural merupakan upaya lebih lanjut dari prinsip "diversity of content and ownership" yang bertalian era t dengan nilai demokrasi yang menghendaki te1jadinya aliran ide secara bebas melalui suatu instrumen yang memungkinkan semua orang dapat mengaksesnya secarn merata. Jika satudua orang atau kelompok mendon:tinasi _kepemilikan media, dan menggunakan posisi tersebut untuk mengontrol isi tampilan media, maka ketika itulah te1jadi reduksi 'keberngaman sudut pandang' (heterodox view). Dalam konteks industl'i media global kekinian, walaupun secara apologis McQuail (2000) menunjukkan bahwa aspek diversitas lebih banyak ditemukan pada lembaga penyiaran publik, namun dengan cennat ia membagi diversitas menjadi 'horizontal diversih/ yaitu varietas jumlah program atau tipe program yang ditawarkan pada konsumen dalam satu kurun waktu bersamaan, dan 'vertical diversih/, yaitu jumlah varietas program yang ditawarkan suatu channel kepada konsumen dalam keseluruhan skedul. Diversitas politis sebagaimana di atas, pada banyak titik sangat berkaitan dengan diversitas kulturaL Kesepakatan yang banyak diterima menyebutkan bahwa suatu program penyiaran akan semakin baik dinilai bila semakin tinggi tingkat relevansinya untuk beragam ras, gender, umm, jenis kelamin sampai pada wilayah geografis. Namun demikian, mainstreaming program penyiaran bukan untuk memberangus keberagaman kultural yang ada. Maka, masih tetap diperlukan program penyiaran yang ditujukan untuk kelompok minoritas kultural tertentu. Sebagaimana telah disinggung, di BBC (Inggris) mis aInya, tetap ditayangkan program berbahasa Welsh. Dalam konteks relasi negara vis-avis negara, isu diversitas kultural pun digunakan untuk 'melindungi' nasionalisme dari ekspansi imperialisme kultural internasional. Di Prancis, misalnya, produk sinema dan produk siaran AS dipandang sebagai sesuatu "yang mengancam' rasa nasionalitas dan kultur linguistik. Feintuck (1998), dengan mengutip Thomas, mengatakan bahwa eksistensi bahasa minoritas dalam media selain 'menormalisasi' status pengucap bahasa .minoritas tersebut, juga dapat menaikkan estimasi-diri (self-esteem) diri , mereka. Atas dasar tersebut pula, di banyak negara yang menganut sistem paternalistik, seperti di Inggris, rentang material penyiaran yang meliputi 'rasa dan kesopanan (taste and decency) dibatasi oleh negara dalam rangka melindungi minoritas. 5. Hasil Penelitian : TVRI dan RRI sebagai Badan H:ukum Milik Negara (BHMN) Problematik penentuan bentuk badan hukum bagi TVRI dan RRt menurut pandangan para narasumber akhli hukum dan ekonomi, pada dasarnya bersumber dari kegamangan TVRI dan RRI sebagai lembaga publik Kegamangan Jurnal Bisnis & Birokrasi No. 02/Vol. XIV/Mei/2006 tersebut berawal dari ketidaksiapan lembaga ini menerima predikat sebagai lembaga penyiaran publik. Kegamangan ini jelas-jelas tercermin dari sikap mereka (terutama TVRI) yang ngotot untuk mengubah bad.an hukumnya menjadi Persero. Ada semacam mis-persepsi tentang penyelenggaraan Lembaga Penyiarnn Publik ka1·ena kurang ditangkapnya hakikat penyelenggaraan lembaga penyiaran tersebut oleh para pengelolanya. Persoalan pun menjadi berkembang karena pijakan hukum baik UU tentang BHMN maupun UU Penyiaran menunjukkan beberapa perbedaan yang cukup mendasar hingga Lembaga Pe1i.yiaran Publik tidak dapat dikerangkai dalam UU yang menga tur bentuk badan hukum tersebut. Meski berkembang opini untuk mengatur permasalahan badan hukum tersebut melalui penajaman visinya dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, namun satu persoalan yang perlu ditegaskan kembali adalah, seberapa konsisten batasan-batasan komersialisasi, profit dan sebagainya secara konsisten diberlakukan ? /1 11 • Menurut para narasumber, diperlukan kehatian-hatian dan kecermatan tersendiri mengingat badan hukum TVRI sebagai persern tidak memberikan ruang yang cukup untuk mempersia pk an dil'i se bagai Lembaga Penyiaran Publik. PP No. 9/2002 yang dikeluarkan pada 17 April 2002 menetapkan bahwa badan hukum TVRI adalah persero. Status tersebut, menurut mereka, kurang memungkinkan adanya Lembaga Supervisi Penyiaran Publik yang Jurnal Bisnis & Birokrasi No. 02/Vol. XIV/Mei/2006 jharus dipertimbangkan supervisi dan evaluasinya oleh manajemen TVRI, lmengingat dalam status Persero yang mengambil keputusan yang nantinya mengikat manajemen adalah RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham). Hal ini kontradiktif karena dalam status barn sebagai Lembaga Penyiaran Publik, P,.isalnya, meniscayakan terdapatnya ~istem kontrol fungsi publik untuk mempertanggungjawabkan segala program TVRI dengan ukuran moral dan tata nilai publik yang dilayaninya. Berdasarkan kondisi tersebut, TVRI clan RRI, sebagaimana p.irekomendasikan dalam FGDs dengan para narasumber, perlu mempertimbangkan langkah-langkah berikut untuk memperjelas status dan fungsi badan hukumnya sebagai lembaga penyiaran publik. Pertama, merumuskan kembali apa yang diinginkan oleh TVRI dan RRI dalam menjalankan perannya sebagai lembaga penyiaran publik. Dalam konteks ini TVRI dan RRI harus memahami betul hakekat Lembaga Penyiaran Publik dan dapat membedakan fungsinya dari bentuk lembaga penyiaran lainnya. Kedua, TVRI dan RRI perlu merancang Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang secara jelas merumuskan visinya sebagai lembaga penyiaran publik. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga terse but berfungsi sebagai landasan dalam mengembangkan strategi lembaga yang berorientasi pada kepentingan publik. Ketiga, menentukan badan hukum yang sesuai. - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - I B a d a n H u k u m 7VRidanRRI: Modal dan Sumber Pembiayaan Intervensi Pemerintah Organ lndependensi Netral Tttjuan Akses Publik Dana Publik Akuntabi Ii tas Publik Keterlibatan publik Lembaga supervisi Tabet 2 Alternatif Status Badan Hukum TVRI dan sebagai Lembaga Penyiaran PubJik Pe rum Persero Minimal 51 % sahamnya _atau Seluruhnya seluruhnya dimiliki oleh dimiliki negara negara Relatif tinggi Relatif rendah RRI BHMNPTN Awalnya dimiliki dari Kekayaan Negara yang dipisahkan Relatif rendah RUPS, Direksi, Komisaris Menteri, Direksi, Maj elis Wali Amanat, Dewan Pengawas Dewan Audit, Senat Akademik, Pimpinan, Dasen, Tenaga Adiministrasi, Pustaka wan, Unsur Pelaksana Akademik, Unsur Pelaksana Administrasi, dan Unsur penunjang Relatif tinggi Relatif tinggi Relatif rend ah Ku rang Sedang Tinggi Komersial Komersial untuk Tidak komersial (nirpelayanan publik !aha) Hanya pada pemilikan saham Tidak ada Dimungkinkan ketika Persero melakukan 'go public' Hanya ketika Persero 'go Tidak Dimungkinkan public' clan itupun biasanya dimungkinkan dibeli secara saham perseorangan Te1jamin baik melalui RUPS Tidak Te1jamin melalui audit maupun audit akuntan publik dimungkinkan akuntan publik yang yang diumumkan meJalui diumumkan melalui media massa media massa Melalui RUPS Tidak ada Berperan dalam Majelis Wali Amanah Tidak Tidak dimungkinkan Dimungkinkan dimungkinkan Dalam menentukan badan hukum yang sesuai untuk TVRI dan RRI, perlu diperhatikan bahwa dalam UU Penyiaran tahun 2002 dinyatakan bahwa Lembaga Penyiaran Publik - dalam hal ini TVRI dan RRI - merupakan lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum yang didirikan oleh negara. Dari pasal ini tidak dapat Jurnal Bisnis & Birokrasi No. 02/Vol. XIV /Mei/2006 l dipungkfri lagi bahwa badan hukum TVRI dan RRI adalah badan hukum negara. Menuiut pandangan para narasumber, status TVRI dan RRI sebagai badan hukum .negara ini jika disesuaikan dengan UU BUMN tahun 2003, maka TVRI dan RRI hanya mempunyai dua altematif badan hukum yaitu Persero atau Perum. Sedangkan apabila dilihat kemungkinan pengembangannya, Badan Hukum Milik Negara (BHMN) seperti l_~ng ~ialam~ oleh beberapa Perguruan ifmggi Negen yang menerapkan otonomi kampus, TVRI dan RRI bisa mempe1iuangkan status BHMN sebagai badan hukum yang sesuai dengan ka pasitas TVRI dan RRI sebagai lembaga penyiaran publik. Pada hakekatnya, badan hukum dapat bersifat privat dan publik. Posisi persero dan perum masuk dalam katagori privat, yang artinya harus memberi keuntungan karena bersifat profit oriented. Di indonesia sendiri belum ada perangkat hukum yang memadai dalam menempatkan status hukum TVRI dan RRI sebagai lembaga penyiaran publik. Oleh karena itu salah saru solusi adalah dengan menggunakan PP (Pera turan Pemerintah) sebagai landasan hukum yang menguatkan kedua lembaga (TVRI dan RRI) sebagai lembaga penyiaran publik. Karena berada dalam masa transisi, bisa saja diterapkan aturan yang bersifat proteksi atau membatasi. Ini bertujuan untuk menyiapkan iklim yang· lebih baik, dan sekaligus memberikan kesempatan untuk belajar. BHMN merupakan usulan yang cukup bisa Jurnol Bisnis & Birokrasi No. 02/Vol. XIV/Mei/2006 diterima, karena sekalipun dimiliki oleh pemerintah tetapi tidak mutlak. Ada !keterlibatan, akses dan pengawasan publik dalam BHMN. Selain itu, dari sisi kajian ekonomi perusahan juga memungkinkan. Hanya saja yang perlu diingat bahwa dalam memilih badan hukum untuk TVRI dan RRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik hakekat dan filosofi dari Lembaga Penyiaran Publik ~endiri harus diperhatikan. Jangan sampai status Lembaga Penyiaran Publik jini dilekatkan hanya untuk sekedar memenuhi tuntutan publik dengan menjalankan fungsi penyiaran publik tanpa memperhatikan keterlibatan serta levaluasi oleh publik karena materi programnya hanya ditentukan oleh segelintir orang yang menjadi penentu keputusan dalam lembaga tersebut. Tabel di bawah m1 berusaha memperbandingkan kemungkinan ketiga status badan hukum negara TVRI dan RRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik. Diliha t dari modal dan sumber pembiayaan lembaga, tampak bahwa BHMN mempakan badan hukum negara yang lebih fleksibel karena meski modal awalnya berasal dari negara, peluang untuk mengelola keuangan sendiri terbuka termasuk dalam menambah pemasukan dari sumber lain. Konsekuensi positif tentu saja terletak pada adanya ruang untuk meminimalisir intervensi pemerintah dalam penyelenggaraan BHMN ini yang sekaligus membuat independensi BHMN menjadi relatif tinggi dibandingkan dengan Perum dan Persero. Kemandirian dan kenetralan BHMN juga bisa dilihat dari adanya organ BHMN yang meliputi berbagai ---------~----_.:._ _ _ _ _ _ _ _ jsadan Hukum unsur baik pemerintah maupun publik seperti Majelis Wali Amanat,. Dewan Audit, Senat Akademik, Pimpinan,. Do sen, Tenaga Administrasi, Pustakawan, Unsur Pelaksana Akademik, Unsur Pelaksana· Administrasi, dan Unsur Penunjang. Dari komposisi ini terlihat bahwa pemerintah tidak mendorninasi pengelolaan BHMN. TVRI dan RRI: Berkaitan dengan keberadaan Majelis Wali Amanah sebagai salah satu organ BHMN, terlihat bahwa akses dan keterlibatan publik dalam BHMN perguruan tinggi negeri dimungkinkan karena Majelis W ali Amanah yang merupakan organ Perguruan Tinggi yang berfungsi untuk mewakili Pernerintah dan Masyarakat dengan menjadi wakil dari unsur-unsur Menteri, Senat Akademik, Masyarakat dan Rektor. maupun ekonomi menurut para narasumber,. format BHMN ini juga bisa diterapkan untuk TVRI dan RRI. Bahkan, tampak dengan jelas bahwa hakekat L~mbaga Penyiaran Publik yang d1sandang TVRI dan RRI juga bisa diwadahi dalam BHMN ala Perguruan Tinggi Negeri. Hanya saja,. kalaupun TVRI dan RRI menggunakan format BHMN ini nantinya, pola-pola yang ada dalam BHMN harus disesuaikan dengan kondisi TVRI dan RRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik. Sebagai contoh, dalam rekrutmen dana publik, TVRI dan RRI bisa menentukan dana publik berdasarkan kebutuhan. Jika cara demikian yang ditempuh, TVRI dan RRI perlu menyelenggarakan transparansi dan akuntabilias publik terkait dengan persoalan manajemen dan finansial. Sementara tujuan dari BHMN pun jelas yaitu sebagai lembaga negara yang nir-laba yang tidak seperti Persero dan Perum yang tegas men ya takan diri sebagai badan usaha milik negara yang bertujuan mengejar keuntungan. Dalam BHMN ini juga dimungkinkan adanya penyerapan dana publik, seperti misalnya Perguruan Tinggi N egeri mendapatkan dana publik dalam bentuk SPP (Sumbangan Pembiayaan Pendidikan), BOP (Biaya Operasional Pendidikan) dan SP A (Sumbangan Pengembangan Akademik). N amun demikian, para narasumber mengingatkan bahwa proses perubahan badan hukum baru dari TVRI sebagai Persero dan RRI sebagai Perjan menjadi badan hukum yang baru, misalnya BHMN, bukanlah semudah berganti baju tapi tetap dengan badan yang sama. Proses ini membutuhkan intensi yang kuat serta kesediaan beketja keras secara professional untuk tak hanya mengubah badan hukumnya saja, melainkan juga melaksanakan fungsinya secara maksimal se bagai Lembaga Penyiaran Publik. Dengan mengkaji format BHMN yang sedang diterapkan pada beberapa Perguruan Tinggi N egeri di atas, disesuaikan dengan hakeka t Lembaga Penyiaran Publik, maka terlihat bahwa secara teoritik baik dari tinjauan hukum Untuk membuat TVRI dan RRI berfungsi secara maksimal sebagai lembaga penyiaran publik, menurut pendapat para narasumber, ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh kedua institusi ini. Pertama~· sesuai dengan hakekatnya sebagai lembaga penyiaran, Jurnal Bisnis & Birokrasi No. 02/Vol. XIV /Mei/2006 l tentu saja TVRI dan RRI harus membangun infrastruktur penyiaran yang bagus agar bisa menyampaikan suara dan atau gambar yang bagus/berkualitas bagi khalayaknya. Kedua, pembuatan program yang menarik dan sesuai dengan kebutuhan publik betapapun khalayak tersebut terbatas. Ketigal memposisikan institusinya sebagai Lembaga Penyiaran Publik yang tentu saja memberikan pengakuan secara signifikan terhadap peran supervisi dan evaluasi oleh publik melalui sebuah lembaga supervisi yang khusus didirikan untuk tujuan tersebut. Keempat, bersungguh-sungguh menjadikan institusinya terbuka untuk kepentingan publik. Keli ma, mengkondisikan sumber daya manusia yang ada untuk bersikap profesional sesuai dengan ketrampilan yang dipunyai masing-masing. Kelima hal inilah yang hams dipikirkan secara intensif oleh TVRI dan RRI, karena selama ini proses menuju Lembaga Penyiaran Publik dalam kedua institusi ini justru lebih banyak mendapat hambatan karena adanya konflik internal dimana sebagian khalayak internal menginginkan adanya pemfungsian TVRI dan RRI sepenuhnya sebagai lembaga penyiaran publik, sementara sebagian sisanya menginginkan insitusi ini juga berfungsi untuk mencari keuntungan demi peningkatan kesejahteraan karyawan sekaligus kualitas isi siaran. sebelumnya, akhirnya dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut : 1. TVRI dan RRI diamanatkan menjadi Lembaga Penyiaran Publik yang berorientasi kepada kepentingan publik. Sebagai Lembaga Penyiaran Publik, TVRI dan RRI harus bersifat independen, sustainable, berkualitas dan mampu membiayai sendiri dana operasionalnya, baik dengan cara menggali potensi sumber daya maupun menggali kontribusi masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut TVRI dan RRI memerlukan status badan hukum yang sesuai. Status badan hukum yang tepat untuk mencapai tujuan tersebut adalah BHMN (Badan Hukum Milik Negara). 2. TVRI dan RRI memerlukan regulasi dan pengaturan lebih lanjut agar TVRI dan RRI dapat menjalankan visi dan misinya sebagai Lembaga Penyiaran Publik. Pengaturan juga diperlukan untuk hal-hal yang berkaitan dengan peningkatan kualitas SDM, upgrading peralatan, peningkatan partisipasi publik, akuntabilitas serta upaya peningkatan integritas TVRI dan RRI dalam konteks hubungan pusatdaerah. Referensi 6. Kesimpulan Feintuck, Mike, (1998), Media Regulation, Public Interest and Law~ Edinburg F Edinburgh University. Press Berdasakan uraian yang telah dikemukakan di bagian-bagian Gazali, Effendi, (2002), Penyiaran Alternatif Tapi Mutlak, Jakarta: Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UI Jurna! Bisnis & Birokrasi No. 02/Vol. XIV/Mei/2006 _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _.;__________ lsadan Hukum TVRI dan RRI: Golding, P., and Murdock, G. (1996). Culture, . Communication and Political Economy, in J. Curran and M. Gurevitch (Eds), Mass Media and Society. London : Edward Arnold. Gurevitch, M., Bennet, T., Curran, J. & Woolacott,J. (1982) (Eds). Culture, Society and the Media. London : Methuen. Habermas, Jurgen, (1989). The Structural Transformation of The Public Sphere: an InquinJ into a Categon1 of Bourgeois Societlj, Translated by Thomas Burger. Cambridge, Massachussetts: MIT Press Kellner, Douglas, (1990), Television and Tire Crisis of Democracy, Oxford: Westview Press, Inc. McQuail, D (2000). Mc Quail's Mass Communication Tlieonj, 4 111 Edition. London : SAGE Publications. Pandjaitan, Hinca IP., (ed.), (2003), Membangun Sistem Penyiaran yang Demokratis, Jakarta: PT. Warta Global Indonesia Sendjaja, S. Djuarsa dan Ashadi Siregar, (2001). Kumpulan Makalah Seminar Televisi Publik. Yogyakarta: UGM Surrune1·s, Harrison B., Robert E. Summers, John H. Pennybacker. (1978). Broadcasting .and the Public. California : Wardsworth. TVRI (2002), 40 Tahun TVRI: Dari Pembebasan Menuju Pencerahan, Jakarta Voght, Erich, Pelayanan Umum Sebagai ~alah Satu Bentuk Penyiaran, . IFriedrich-Ebert-Stiftung, .Jakarta, 2001 Peraturan Perundang-undangan PP RI No. 61 Tahun 1999 tentarig Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum PP RI No. 9 Tahun 2002 tentang perubahan badan hukum TVRI sebagai persero UU RI No.19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) UU RI No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran UU RI No.2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional Jurnal Bisnis & Birokrasi No. 02/Vol. XIV /Mei/2006