Pengelompokan gambar seperti jaring, garis bersambung, diagram

advertisement
PENGGUNAAN PETA KONSEP DALAM PENDIDIKAN AWAL
Riduan1
ABSTRAK
Pengelompokan gambar seperti jaring, garis bersambung, diagram vena,
bagan grafis, dan peta konsep lazim dikenal sebagai alat/instruksi pembelajaran.
Metode-metode tersebut membantu guru dan siswa tidak hanya dalam
mengidentifikasi dan memvisualisasikan pengetahuan dan pengalaman mereka,
tapi juga untuk memperkuat dan memperjelas hubungan antara materi-materi
pembelajaran. Artikel ini berusaha mendiskusikan kegunaan peta konsep
terhadap pendidikan awal. Dalam sebuah teori dinyatakan bahwa informasi
diproses dan disimpan dalam memori, baik dalam bentuk bahasa maupun visual.
Dalam hal itu, bisa dikatakan bahwa peta konsep dapat digunakan pada masamasa awal pendidikan anak-anak untuk membantu mereka mempelajari
bagaimana cara “membaca” dan membuat peta konsep, dan para guru bisa
menggunakannya untuk mengidentifikasi anak-anak yang ketinggalan pelajaran
atau ketidakpahaman dengan menggunakannya sebagai alat evaluasi. Peta
konsep dapat membantu guru untuk merencanakan, menata, dan mengurutkan isi
materi pelajaran. Artikel ini bermaksud menelaah peta konsep dalam
perencanaan pengajaran dan berusaha mengilustrasikan beberapa
permasalahan penggunaan peta konsep pada anak-anak usia prasekolah dan
memberikan cara-cara untuk mengenalkan anak-anak terhadap proses membuat
peta konsep.
Kata Kunci : peta konsep, pendidikan awal
1. Pendahuluan
Sesuai dengan teori penyimpanan informasi ―dual-coding‖ (Paivio, 1991),
informasi diproses dan disimpan dalam memori dalam dua bentuk: bentuk bahasa (katakata atau pernyataan) dan bentuk nonbahasa, bentuk visual (gambar, mimik atau
gerakan tubuh). Satu sisi, informasi atau pengetahuan yang disimpan di dalam otak
dalam bentuk kode-kode mempunyai implikasi penting dalam pembelajaran. Marzano,
Pickering dan Pollock (2001) menyatakan
‖.......metode dasar untuk mempresentasikan pengetahuan baru kepada siswa adalah
melalui bahasa. Kami seringkali berbicara dengan mereka tentang informasi baru
dan menganjurkan untuk mempelajari hal tersebut.‖
Kenyataan bahwa pendidikan memberi porsi terhadap proses pengetahuan verbal
dimaksudkan untuk memancing siswa agar belajar mengunakan cara visual dalam
1
Riduan adalah dosen Program Studi Teknologi Pendidikan – FKIP Universitas Kutai Kartanegara.
1
merepresentasikan sebuah informasi. Pembelajaran secara visual tidak hanya
memberikan stimulus tetapi juga meningkatkan aktivitas otak (Marzano, 1998). Pada
saat siswa berusaha menyampaikan sesuatu yang mereka ketahui dalam sebuah bagan
visualisasi, mereka (sebenarnya) dipaksa untuk menggambarkan dua proses, apa yang
telah dipelajari dan bagaimana keterkaitan antaride, informasi dan konsep, sebuah
bentuk pengembangan kemampuan berpikir ke taraf yang lebih tinggi (seperti berpikir
analitis) dan menyatukan pengetahuan agar dapat merasakan lingkungan. Visualisasi
juga membantu siswa untuk menyimpan dan mengingat sebuah informasi dengan lebih
mudah.
Visualisasi
bisa
dibuat
dengan
dukungan
peralatan-peralatan
seperti
pengelompokan gambar, bentuk-bentuk fisik benda, simbol, dan menyusun aktivitas
kinestetik siswa, yakni aktivitas-aktivitas yang mencakup gerak fisik (Marzano,
Pickering, & Pollock, 2001). Dari situ, diharapkan metode yang digunakan dalam
pembelajaran secara visual adalah pengelompokan secara grafis (pengelompokan dalam
bentuk gambar), seperti diagram-diagram yang menggambarkan informasi secara
tersusun (seperti peta konsep), bentuk urutan waktu (seperti, rangkaian kegiatan, urutan
waktu), sebab akibat sebuah relationship (seperti diagram tulang ikan), perbandingan
(contoh, diagram vena), hubungan bebas antaride-ide (contoh, jaring atau peta pikiran),
dan bagaimana mengurutkan kejadian-kejadian yang saling berhubungan satu dengan
yang lain secara berulang-ulang (seperti diagram rantai kehidupan). Pengelompokan
gambar tidak hanya membantu siswa dalam ―membaca‖ dan memahami secara utuh
informasi-informasi tapi juga menumbuhkan ide-ide, menyusun pola pemikiran mereka,
dan belajar bagaimana membuat apa yang mereka ketahui dapat muncul atau tampak
dan bisa dipahami orang. Poin terakhir membutuhkan pemahaman siswa terhadap
materi-materi pembelajaran, mampu memahami hubungan antara konsep-konsep dan
menyusun prioritas informasi.
Kebanyakan metode pembelajaran visual sesuai dengan kebutuhan anak-anak
prasekolah. Diagram vena, rantai peristiwa, urutan waktu, dan diagram bundar bisa
digunakan untuk mengilustrasikan perbedaan-perbedaan dan persamaan-persamaan
(seperti antara manusia dan hewan), menunjukkan rangkaian kejadian dalam sebuah
cerita, menggambarkan langkah-langkah yang diambil dalam suatu proses (seperti
2
langkah-langkah membuat sesuatu), atau menunjukkan bagaimana kejadian-kejadian
yang berhubungan dan berulang-ulang (seperti perputaran air). Metode yang paling
sering digunakan dalam pendidikan anak-anak praTK adalah metode jaring. Jaringjaring adalah peta grafis yang digunakan guru untuk menyusun dan mengembangkan
keinginan siswa untuk mempelajari sebuah topik, konsep atau tema dan mendorong
munculnya pertanyaan-pertanyaan dan ide-ide kegiatan (Chard, 1998; Katz & Chard,
2000). Jaring juga sangat berguna sebagai alat merencanakan suatu kegiatan yang bisa
membantu anak-anak pra sekolah dan guru untuk merefleksikan pengetahuan,
pengalaman dan perasaan sebagai dasar yang menghasilkan kegiatan; mengidentifikasi
ide-ide dan konsep-konsep pokok yang menjadi pembahasan. Bisa dilihat bagaimana
perbedaaan hubungan siswa dengan siswa lainnya; dan mempertimbangkan
kemungkinan-kemungkinan kejadian (Katz & Chard, 2000; Workman & Anziano,
1993; Wray, 1999).
Cara efektif lain untuk membantu siswa memperlihatkan apa yang mereka
ketahui dan pahami dalam bentuk visual, meskipun cara ini jarang digunakan dalam
kelas kanak-kanak, adalah peta konsep. Mengingat tujuan pengajaran adalah untuk
memberi pemahaman kepada siswa dan pentingnya pengetahuan konseptual, para guru
membutuhkan teknik-teknik yang dapat membantu siswa dalam memahami bentuk/pola
dan hubungan-hubungan (lebih dari menghafal pada umumnya) dan membentuk
struktur mental yang diharapkan dapat membantu siswa dalam memahami pengetahuan
baru dan menghubungkannya dengan pengetahuan-pengetahuan lama yang telah
didapatkannya (Erikson, 2002). Ketika jaring/web secara grafis menunjukkan ide-ide
yang berhubungan dengan topik, peta konsep secara umum mengilustrasikan berbagai
hubungan yang ada diantara informasi-informasi. Itulah kenapa peta konsep, seperti
yang akan dijelaskan, seringkali dikumpulkan dalam bentuk hirarki. Dalam metode
jaring, topik atau konsep yang dipelajari biasanya ditemukan dalam lingkaran di bagian
tengah kertas, dikelilingi oleh ide-ide, pertanyaan-pertanyaan, atau kata-kata, dan selalu
berhubungan satu dengan lain.
2. Peta Konsep
Peta konsep dikembangkan Novak (1998) dan grup penelitinya pada awal 1970an di Universitas Cornell. Konsep tersebut muncul untuk merepresentasikan ―manfaat
3
hubungan antara konsep-konsep dalam bentuk pernyataan-pernyataan‖ secara visual
(Novak dan Gowin, 1984, hal. 15). Novak dan Canas (2006) menjelaskan,
‖.......pernyataan adalah ungkapan-ungkapan tentang suatu objek atau kejadian di dunia,
baik yang terjadi secara alamiah maupun disengaja.. mengandung dua atau lebih
konsep yang dihubungkan melalui rangkaian kata atau kalimat...‖
Pernyataan adalah salah satu elemen yang membuat peta konsep berbeda dari
konsep-konsep visualisasi yang lain (seperti pemetaan pikiran). Dengan kata lain, peta
konsep adalah ―rangkaian penjelasan konsep dan keterkaitannya yang dimaksudkan
untuk menjelaskan struktur pengetahuan yang disimpan oleh manusia di dalam pikiran
mereka‖ (Jonassen, Reevers, Hong, Harvey, & Peters, 1998, dan McAleese, 1998).
Dalam bentuk yang paling sederhana, peta konsep hanyalah terdiri atas dua konsep yang
dihubungkan dengan rangkaian kata menjadi bentuk yang jelas (Novak dan Gowin,
1984) – sebagai contoh, ―biji tumbuh menjadi tumbuhan.‖ Contoh sederhana lain
tentang peta konsep bisa dilihat pada gambar 1.
Gambar 1
Contoh sederhana peta konsep
Akan tetapi, Novak dan Gowin (1984) menyatakan bahwa ―karena manfaat
belajar muncul lebih mudah ketika konsep-konsep baru atau ide konsep dikumpulkan
secara meluas, konsep yang lebih inklusif, peta konsep bisa disusun dalam bentuk
hirarki; begitulah, lebih jelasnya, konsep yang umum berada di bagian atas peta,
dilanjutkan dengan konsep yang lebih spesifik, konsep khusus disusun secara berurutan
ke bawah (gambar 2).
4
Gambar 2
Peta konsep disusun secara hirarki
Baik peta konsep yang sederhana maupun yang lebih komplek, keduanya tidak
bisa lepas dari dua hal: konsep-konsep dan hubungan di antara mereka. Konsep
biasanya diuraikan dalam bentuk lingkaran atau kotak, yang dinamakan ―titik‖. Garis
penghubung, di sisi lain, biasanya muncul dalam bentuk garis (atau garis lengkung) atau
panah yang menghubungkan konsep-konsep. Garis biasanya ditandai dengan kata-kata
dengan tujuan untuk memperjelas hubungan antarkonsep, sedangkan tanda panah
digunakan untuk menunjukkan arah dari sebuah hubungan (seperti satu arah atau dua
arah). Konsep-konsep yang dihubungkan dengan garis, membentuk ungkapanungkapan, seperti yang dikatakan Novak dan Gowin sebagai pernyataan.
Peta konsep bisa memudahkan belajar mengajar dalam beberapa hal. Pertama,
sebagai catatan yang bisa memberikan inspirasi. Metode tersebut bisa menbantu guru
dan murid untuk mengidentifikasi kunci kalimat atau ide pokok dan dasar-dasar yang
menjadi fokus dalam pembelajaran. Kedua, pemetaan konsep bisa menghasilkan
―sebuah rangkaian peta visual‖ yang menggambarkan cara-cara yang bisa diambil para
guru ―untuk menghubungkan penjelasan arti dengan konsep‖. Ketiga, peta konsep dapat
5
menghasilkan kesimpulan secara visual tentang materi-materi yang telah dipelajari
siswa, dan selanjutnya bisa membantu para guru untuk mengetahui dan juga mengatasi
kesalahpahaman siswa dalam pelajaran (Novak dan Gowin, 1984).
Peta konsep juga efektif dalam membantu guru untuk mengetahui kelebihan dan
keistimewaan siswa dalam pelajaran dan mengatur proses belajar mengajar yang sesuai
dengan mereka. Pada kenyataannya, mengidentifikasi level pengetahuan murid sebelum
ia menerima pelajaran merupakan salah satu tujuan yang hendak dicapai oleh Novak
dan timnya (1988) pada awal pengembangan teori peta konsep. Terakhir, begitu siswa
belajar untuk memperluas pengetahuan mereka dan membuat peta konsep, peta mereka
bisa digunakan untuk memonitor perkembangan dan pencapaian pemahaman dalam
pengetahuan.
Menggunakan peta konsep, seperti penjelasan di atas, seseorang bisa
berargumen dengan rasional bahwa mereka mampu memahami dan mengetahui level
pengetahuan orang lain. Meskipun peta konsep bisa juga membantu menggambarkan
struktur dan pengetahuan seseorang, bagi beberapa peneliti, metode tersebut lebih dari
sekedar cara untuk ―menjelaskan struktur kognitis.‖ Lebih jauh, McAleese (1998 : 258)
menambahkan, fungsi lain yang tak kalah pentingnya dalam peta konsep adalah
―menghindari kebuntuan pikiran dan menunjukkan sebuah kesimpulan tentang
penyusunan struktur pengetahuan‖. Dalam kajian ini, peta konsep dilihat sebagai ―suatu
metode untuk menyatukan siswa dengan proses pembelajaran mereka‖.
Peta konsep bisa dibuat dengan ditulis tangan atau menggunakan softwaresoftware tertentu. Tujuan utama menggunakan komputer adalah bahwa konsep dan linknya bisa dengan mudah dimanipulasi dan diperbarui, bentuknya juga bisa dimodifikasi
dengan menambah, memperbesar atau memperkecil ukuran, dengan memberi warna,
simbol-simbol, gambar-gambar atau clip art (Dormer). Keuntungan lain peta konsep
dengan menggunakan software komputer adalah seorang siswa bisa membuat
bermacam-macam variasi peta konsep yang berbeda-beda, dengan menggunakan
templates yang telah disediakan (seperti bentuk struktur hirarki yang berbeda), untuk
digunakan dalam berbagai kurikulum pelajaran. Dikarenakan hal tersebut, peta konsep
berbasis komputer merupakan alternatif pembuatan peta konsep yang lebih fleksibel dan
familiar daripada cara tradisional dengan menggunakan kertas dan pensil.
6
3. Peta Konsep Dalam Pendidikan Awal Anak
Meskipun perkembangan literatur tentang peta konsep terus berkembang pesat,
namun sedikit sekali yang menulis tentang kegunaan peta konsep (atau grafis, secara
umum) pada pembelajaran anak pra sekolah (McAleese, 1998, 1999; Novak, 1998;
Santhanam, Leach, & Dawson, 1998; Zanting, Verloop, & Vermunt, 2003). Asumsi
yang berkembang adalah anak-anak usia prasekolah belum memiliki kemampuan dalam
menyatakan pendapat dalam beberapa cara (seperti menghubungkan pernyataan atau
kata-kata, mengurutkan kejadian-kejadian yang sedang berlangsung maupun yang telah
terjadi). Akan tetapi, pengetahuan tentang teori belajar sejak dini mampu
mengembangkan kreativitas anak untuk menyampaikan pengetahuannya dalam berbagai
cara (Smith, Cowie dan Blades, 2001). Figueiredo dkk (2004) membantu siswa usia 3
sampai 5 tahun dalam menjelaskan ―berbagai hal yang kami ketahui tentang sapi‖
dengan cara berdiskusi dan melihat objek secara langsung (pada langkah selanjutnya
diganti dengan gambar-gambar) dan memberikan model peta konsep dengan tujuan
membantu anak dalam membuat struktur peta konsep secara hirarki (contoh, sapi
memberi susu yang bisa diolah menjadi yogurt, keju, roti, dan seterusnya).
Peta konsep pada anak usia prasekolah bisa digunakan guru dan murid. Sebagai
alat mengajar. Peta konsep bisa digunakan untuk membantu siswa dalam memperjelas,
mengorganisasikan, menghubungkan, dan menyatukan ide-ide dan informasi tentang
suatu masalah. Pada saat yang sama, anak-anak belajar tentang sebuah cara alternatif
untuk mengekpresikan dan berkomunikasi tentang apa yang mereka ketahui dengan
yang lain. Sebagai tambahan, peta konsep membantu siswa memahami sebuah relasi
antara konsep-konsep dan penjelasannya dengan lebih mudah. Lebih lanjut, peta
konsep, seperti halnya jaring, lebih disukai oleh siswa, karena sifatnya visual, anak-anak
cenderung untuk mengulang dan mengembangkan peta konsep tersebut. Dari sini guru
bisa melihat bagaimana sebuah pengetahuan baru terkait dengan pengetahuan lama
dapat diterima dan dipahami oleh siswa serta mendiagnosa kesulitan-kesulitan
(misunderstanding) yang dialami siswa. Poin terakhir di atas (misunderstanding)
menjadi penting semenjak Ausubel, Novak dan Hanesian (1978) berargumen bahwa
kesalahpahaman merupakan hal yang sangat berpengaruh terhadap pembelajaran
selanjutnya. Namun kesalah-kesalahan tersebut bisa memberikan informasi kepada guru
tentang seberapa jauh pemahaman dan pengetahuan siswa terhadap suatu pelajaran.
7
Untuk memperbaiki kesalahan tersebut, guru hendaknya memberi kesempatan kepada
siswa untuk mengaplikasikan peta konsep dalam materi pelajaran lain, atau memberi
pekerjaan rumah yang bisa memaksa siswa untuk mereview ulang konsep-konsep
mereka dengan lebih kritis.
Peta konsep juga bisa digunakan untuk mengelompokkan materi pelajaran atau
kurikulum. Sebagai alat perencanaan, peta konsep dapat membantu guru dalam
merencanakan, menyusun dan mengurutkan materi pelajaran. Ketika seorang guru
membuat peta konsep tentang materi yang akan diajarkan, mereka dapat melihat
perbedaan dalam topik-topik dan tema-tema yang berkaitan, sehingga muncullah
kesinambungan antara materi, dan mengembangkan unit materi dan kegiatan sehingga
subjek-subjek yang berbeda berkaitan satu sama lain.
Kebanyakan guru kanak-kanak tertarik untuk menggunakan peta konsep
dikarenakan beberapa hal di bawah ini:
(a) Anak-anak tidak memiliki kemampuan secara langsung untuk membuat peta
konsep. Kenyataannya, seperti yang ditulis Sparks Lingield dan Warwick
(2003), anak kecil butuh diajar teknik peta konsep, pada awalnya mereka harus
dilatih secara langsung, jika perlu, sebelum mereka mampu membuat peta
konsep mereka sendiri (Ferry, 1997).
(b) Peta
konsep
mendapatkan
hendaknya
banyak
diperkenalkan
kesempatan
kepada
untuk
siswa
memanipulasi
setelah
objek
mereka
nyata,
mengobservasi apa yang terjadi di sekitar mereka, merekam observasi mereka,
dan mengomunikasikan penemuan dan hasil kerja mereka dalam bentuk yang
berbeda-beda.
(c) Anak-anak biasanya membuat peta konsep yang sederhana pada saat pertama
kali. Mereka biasanya membuat topik-topik yang umum (seperti hewan dan
tumbuh-tumbuhan), dan membuat konsep dalam jumlah sedikit. Gambar 3 dan 4
menunjukkan dua macam contoh peta konsep yang dipilih oleh Sparks Linfield
dan Warwick.
8
Gambar 3. contoh peta konsep yang menggunakan topik sederhana.
Gambar 4. contoh lain peta konsep sederhana
(d) Untuk lebih memudahkan siswa dalam memahami peta konsep, gambar-gambar
bisa diganti dengan teks berlabel karena anak-anak pada usia prasekolah lebih
mudah mengomunikasikan ide-ide mereka dalam bentuk simbol-simbol. Lukisan
dan gambar-gambar juga bisa digunakan anak-anak yang berkomunikasi dengan
bahasa yang berbeda atau yang mengalami permasalahan-permasalahan dalam
membaca dan menulis (Pearson & Somekh, 2003). Berdasarkan usia anak dan
pengalaman pertama mereka dalam peta konsep, guru juga bisa menggunakan
objek nyata untuk menjelaskan konsep dan hal-hal yang berkaitan. Ketika
keterampilan membaca dan menulis anak-anak berkembang dengan baik,
biasanya mereka bisa mengganti gambar, foto atau lukisan dengan kata-kata
sederhana. Dalam banyak kasus, hal terpenting dalam membantu pemahaman
siswa terhadap peta konsep (objek atau gambar) adalah menghubungkan konsep-
9
konsep tersebut dengan ungkapan-ungkapan yang bermanfaat dan menjelaskan
hubungan tersebut dengan gambar.
Setelah anak-anak meniru pembuatan peta konsep beberapa kali dan sebelum
guru menyuruh mereka memaparkan peta konsep mereka sendiri, ada beberapa hal yang
perlu dilakukan oleh seorang guru, yakni sebaiknya anak-anak diberi contoh variasi dan
bentuk-bentuk map yang berbeda-beda; model, variasi dan garis, kotak dan lingkaran
yang berbeda-beda. Berilah tugas pada siswa untuk mengisi kotak-kotak dalam sebuah
peta konsep dan menentukan arah panah garis penghubung (Yung, 1997; Noyd, 1998).
Berikut ini kerangka langkah-langkah mengajarkan peta konsep kepada siswa.
(a) Selama diskusi kelompok, berilah tugas kepada siswa untuk saling belajar dan
berinteraksi tentang sebuah topik, beri instruksi kepada siswa untuk
mengeksplorasi topik tersebut. Guru hendaknya menulis atau menggambar katakata kunci topik yang didapat dari ide, obsevasi dan diskusi mereka. Dalam hal
ini, hendaknya simbol atau gambar atau kalimat tersebut bisa dipahami oleh
anak-anak tanpa terkecuali.
(b) Kemudian, buatlah sebuah lingkaran besar di lantai dan mintalah anak-anak
untuk menyusun kalimat/kata sederhana yang mengekspresikan topik tersebut.
(c) Terakhir, ajaklah anak-anak untuk menghubungkan topik dan gambar-gambar
tersebut dengan garis penghubung atau tanda panah (jika dibutuhkan).
Selanjutnya berilah kalimat atau kata disekitar tanda penghubung tersebut untuk
memperjelas peta konsep.
4. Simpulan
Peta konsep berguna sebagai teknik dan metode mengajar pada anak-anak usia
prasekolah. Peta konsep bisa digunakan untuk membantu anak-anak dalam mengetahui
dan memahami hubungan antara konsep dengan ide-ide lain. Peta konsep juga
membantu guru untuk mengetahui perkembangan konsep dan pemahaman anak-anak,
kesalahpahaman dan mengaitkan pelajaran yang telah lalu dan pelajaran sekarang.
Dalam pendidikan prasekolah, guru hendaknya memberi contoh pembuatan peta konsep
10
dan memerintahkan mereka untuk menirunya, sebelum mereka diberi tugas untuk
membuat peta konsep.
11
Daftar Rujukan
Ausubel, et al (1978). Educational psychology: A cognitive view. New York: Holt,
Rinehart & Winston.
Chard, Sylvia C. (1998). On webbing. In Judy Harris Helm (Ed.), The project approach
catalog 2. Champaign, IL: ERIC Clearinghouse on Elementary and Early
Childhood
Education.
Retrieved
October
4,
2005,
from
http://ceep.crc.uiuc.edu/eecearchive/books/projcat2/listserv.html
Dormer, Stephanie. (n.d.). Concept mapping. Tuggeranong, Australian Capital
Territory: ACT Centre for Teaching and Learning. Retrieved November 5, 2005,
from http://activated.det.act.gov.au/learning/word/elt/7.0_ConceptMapping.pdf
Erickson, H. Lynn. (2002). Concept-based curriculum and instruction: Teaching
beyond the facts. Thousand Oaks, CA: Corwin Press.
Ferry, Brian. (1997). Using concept maps to help students organize the content of your
lectures. University of Wollongong Overview, 4(1), 3-8. Retrieved July 10, 2006,
from http://cedir.uow.edu.au/CEDIR/overview/overviewv4n2/ferry.html
Figueiredo, et al (2004). ―Things we know about the cow‖: Concept mapping in a
preschool setting. In Alberto J. Cañas, Joseph D. Novak, & Fermín M. Gonzalez
(Eds.), Proceedings of the 1st International Conference on Concept Mapping.
Pamplona, Spain: Universidad Pública de Navarra. Retrieved November 2, 2005,
from http://www.cmc.ihmc.us/papers/cmc2004-038.pdf
Gallenstein, Nancy L. (2005). Never too young for a concept map. Science and
Children, 43(1), 44-47.
Jonassen, David H.; Reeves, Thomas C.; Hong, Namsoo; Harvey, Douglas; & Peters,
Karen. (1997). Concept mapping as cognitive learning and assessment tools. Journal of
Interactive Learning Research, 8(3-4), 289-308.
Katz, Lilian G., & Chard, Sylvia C. (2000). Engaging children's minds: The project
approach (2nd ed.). Stamford, CT: Ablex.
M. Gonzalez (Eds.), Proceedings of the 1st International Conference on Concept
Mapping. Pamplona, Spain: Universidad Pública de Navarra. Retrieved
November 2, 2005, from http://www.cmc.ihmc.us/papers/cmc2004-195.pdf
Marzano, Robert J. (1998). A theory-based meta-analysis of research on instruction.
Aurora, CO: Mid-continent Educational Research Laboratory. Retrieved
November
12,
2005,
from
http://www.mcrel.org/PDF/Instruction/5982RR_InstructionMeta_Analysis.pdf
12
Marzano, Robert J.; Pickering, Debra J.; & Pollock, Jane E. (2001). Classroom
instruction that works. Research-based strategies for increasing student
achievement. Alexandria, VA: Association for Supervision and Curriculum
Development.
McAleese, Ray. (1998). The knowledge arena as an extension to the concept map:
Reflection in action. Interactive Learning Environments, 6(3), 251-272.
McAleese, Ray. (1999). Concept mapping—a critical review. Innovation in Education
and Training International, 36(4), 351-360.
Novak, Joseph D. (1998). Learning, creating, and using knowledge: Concept maps as
facilitative tools in schools and corporations. Mahwah, NJ: Erlbaum.
Novak, Joseph D., & Cañas, Alberto J. (2006). The theory underlying concept maps and
how to construct them (Technical report IHMC CmapTools 2006-01).
Pensacola: Florida Institute for Human and Machine Cognition (IHMC).
Retrieved
October
22,
2005,
from
http://cmap.ihmc.us/Publications/ResearchPapers/TheoryUnderlyingConceptMa
ps.pdf
Noyd, Robert. (1998). A primer on concept maps. USAFA Educator, 7(1). Retrieved
March 31, 2006, from http://academic.wsc.edu/frc/innovations.htm
Paivio, Allan. (1991). Dual coding theory: Retrospect and current status. Canadian
Journal of Psychology, 45(3), 255-287.
Pearson, Matthew, & Somekh, Bridget. (2003). Concept-mapping as a research tool: A
study of primary children’s representations of information and communication
technologies (ICT). Education and Information Technologies, 8(1), 5-22.
Smith, Peter K.; Cowie, Helen; & Blades, Mark. (2001). Understanding children’s
development (3rd ed.). Oxford: Blackwell.
Workman, Susan, & Anziano, Michael C. (1993). Curriculum webs: Weaving
connections from children to teachers. Young Children, 48(2), 4-9.
Wray, David. (1999). Inquiry in the classroom: Creating it, encouraging it, enjoying it.
Toronto: Pippin.
Young
in
art.
(n.d.).
Retrieved
April
1,
2006,
http://www.arts.ufl.edu/art/rt_room/teach/young_in_art/sequence/presymbolism.html
from
Yung, Hin-wai. (1997). Using concept maps to establish meaningful relationships.
University of Hong Kong, Department of Curriculum and Instruction. Retrieved
November
12,
2005,
from
13
http://www.fed.cuhk.edu.hk/~johnson/misconceptions/ce/learn/concept_map.ht
m
Zanting, Anneke; Verloop, Nico; & Vermunt, Jan D. (2003). Using interviews and
concept maps to access mentor teachers’ practical knowledge. Higher
Education, 46(2), 195-214.
14
Download