PENGGUNAAN PETA KONSEP DALAM PENDIDIKAN AWAL Riduan1 ABSTRAK Pengelompokan gambar seperti jaring, garis bersambung, diagram vena, bagan grafis, dan peta konsep lazim dikenal sebagai alat/instruksi pembelajaran. Metode-metode tersebut membantu guru dan siswa tidak hanya dalam mengidentifikasi dan memvisualisasikan pengetahuan dan pengalaman mereka, tapi juga untuk memperkuat dan memperjelas hubungan antara materi-materi pembelajaran. Artikel ini berusaha mendiskusikan kegunaan peta konsep terhadap pendidikan awal. Dalam sebuah teori dinyatakan bahwa informasi diproses dan disimpan dalam memori, baik dalam bentuk bahasa maupun visual. Dalam hal itu, bisa dikatakan bahwa peta konsep dapat digunakan pada masamasa awal pendidikan anak-anak untuk membantu mereka mempelajari bagaimana cara “membaca” dan membuat peta konsep, dan para guru bisa menggunakannya untuk mengidentifikasi anak-anak yang ketinggalan pelajaran atau ketidakpahaman dengan menggunakannya sebagai alat evaluasi. Peta konsep dapat membantu guru untuk merencanakan, menata, dan mengurutkan isi materi pelajaran. Artikel ini bermaksud menelaah peta konsep dalam perencanaan pengajaran dan berusaha mengilustrasikan beberapa permasalahan penggunaan peta konsep pada anak-anak usia prasekolah dan memberikan cara-cara untuk mengenalkan anak-anak terhadap proses membuat peta konsep. Kata Kunci : peta konsep, pendidikan awal 1. Pendahuluan Sesuai dengan teori penyimpanan informasi ―dual-coding‖ (Paivio, 1991), informasi diproses dan disimpan dalam memori dalam dua bentuk: bentuk bahasa (katakata atau pernyataan) dan bentuk nonbahasa, bentuk visual (gambar, mimik atau gerakan tubuh). Satu sisi, informasi atau pengetahuan yang disimpan di dalam otak dalam bentuk kode-kode mempunyai implikasi penting dalam pembelajaran. Marzano, Pickering dan Pollock (2001) menyatakan ‖.......metode dasar untuk mempresentasikan pengetahuan baru kepada siswa adalah melalui bahasa. Kami seringkali berbicara dengan mereka tentang informasi baru dan menganjurkan untuk mempelajari hal tersebut.‖ Kenyataan bahwa pendidikan memberi porsi terhadap proses pengetahuan verbal dimaksudkan untuk memancing siswa agar belajar mengunakan cara visual dalam 1 Riduan adalah dosen Program Studi Teknologi Pendidikan – FKIP Universitas Kutai Kartanegara. 1 merepresentasikan sebuah informasi. Pembelajaran secara visual tidak hanya memberikan stimulus tetapi juga meningkatkan aktivitas otak (Marzano, 1998). Pada saat siswa berusaha menyampaikan sesuatu yang mereka ketahui dalam sebuah bagan visualisasi, mereka (sebenarnya) dipaksa untuk menggambarkan dua proses, apa yang telah dipelajari dan bagaimana keterkaitan antaride, informasi dan konsep, sebuah bentuk pengembangan kemampuan berpikir ke taraf yang lebih tinggi (seperti berpikir analitis) dan menyatukan pengetahuan agar dapat merasakan lingkungan. Visualisasi juga membantu siswa untuk menyimpan dan mengingat sebuah informasi dengan lebih mudah. Visualisasi bisa dibuat dengan dukungan peralatan-peralatan seperti pengelompokan gambar, bentuk-bentuk fisik benda, simbol, dan menyusun aktivitas kinestetik siswa, yakni aktivitas-aktivitas yang mencakup gerak fisik (Marzano, Pickering, & Pollock, 2001). Dari situ, diharapkan metode yang digunakan dalam pembelajaran secara visual adalah pengelompokan secara grafis (pengelompokan dalam bentuk gambar), seperti diagram-diagram yang menggambarkan informasi secara tersusun (seperti peta konsep), bentuk urutan waktu (seperti, rangkaian kegiatan, urutan waktu), sebab akibat sebuah relationship (seperti diagram tulang ikan), perbandingan (contoh, diagram vena), hubungan bebas antaride-ide (contoh, jaring atau peta pikiran), dan bagaimana mengurutkan kejadian-kejadian yang saling berhubungan satu dengan yang lain secara berulang-ulang (seperti diagram rantai kehidupan). Pengelompokan gambar tidak hanya membantu siswa dalam ―membaca‖ dan memahami secara utuh informasi-informasi tapi juga menumbuhkan ide-ide, menyusun pola pemikiran mereka, dan belajar bagaimana membuat apa yang mereka ketahui dapat muncul atau tampak dan bisa dipahami orang. Poin terakhir membutuhkan pemahaman siswa terhadap materi-materi pembelajaran, mampu memahami hubungan antara konsep-konsep dan menyusun prioritas informasi. Kebanyakan metode pembelajaran visual sesuai dengan kebutuhan anak-anak prasekolah. Diagram vena, rantai peristiwa, urutan waktu, dan diagram bundar bisa digunakan untuk mengilustrasikan perbedaan-perbedaan dan persamaan-persamaan (seperti antara manusia dan hewan), menunjukkan rangkaian kejadian dalam sebuah cerita, menggambarkan langkah-langkah yang diambil dalam suatu proses (seperti 2 langkah-langkah membuat sesuatu), atau menunjukkan bagaimana kejadian-kejadian yang berhubungan dan berulang-ulang (seperti perputaran air). Metode yang paling sering digunakan dalam pendidikan anak-anak praTK adalah metode jaring. Jaringjaring adalah peta grafis yang digunakan guru untuk menyusun dan mengembangkan keinginan siswa untuk mempelajari sebuah topik, konsep atau tema dan mendorong munculnya pertanyaan-pertanyaan dan ide-ide kegiatan (Chard, 1998; Katz & Chard, 2000). Jaring juga sangat berguna sebagai alat merencanakan suatu kegiatan yang bisa membantu anak-anak pra sekolah dan guru untuk merefleksikan pengetahuan, pengalaman dan perasaan sebagai dasar yang menghasilkan kegiatan; mengidentifikasi ide-ide dan konsep-konsep pokok yang menjadi pembahasan. Bisa dilihat bagaimana perbedaaan hubungan siswa dengan siswa lainnya; dan mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan kejadian (Katz & Chard, 2000; Workman & Anziano, 1993; Wray, 1999). Cara efektif lain untuk membantu siswa memperlihatkan apa yang mereka ketahui dan pahami dalam bentuk visual, meskipun cara ini jarang digunakan dalam kelas kanak-kanak, adalah peta konsep. Mengingat tujuan pengajaran adalah untuk memberi pemahaman kepada siswa dan pentingnya pengetahuan konseptual, para guru membutuhkan teknik-teknik yang dapat membantu siswa dalam memahami bentuk/pola dan hubungan-hubungan (lebih dari menghafal pada umumnya) dan membentuk struktur mental yang diharapkan dapat membantu siswa dalam memahami pengetahuan baru dan menghubungkannya dengan pengetahuan-pengetahuan lama yang telah didapatkannya (Erikson, 2002). Ketika jaring/web secara grafis menunjukkan ide-ide yang berhubungan dengan topik, peta konsep secara umum mengilustrasikan berbagai hubungan yang ada diantara informasi-informasi. Itulah kenapa peta konsep, seperti yang akan dijelaskan, seringkali dikumpulkan dalam bentuk hirarki. Dalam metode jaring, topik atau konsep yang dipelajari biasanya ditemukan dalam lingkaran di bagian tengah kertas, dikelilingi oleh ide-ide, pertanyaan-pertanyaan, atau kata-kata, dan selalu berhubungan satu dengan lain. 2. Peta Konsep Peta konsep dikembangkan Novak (1998) dan grup penelitinya pada awal 1970an di Universitas Cornell. Konsep tersebut muncul untuk merepresentasikan ―manfaat 3 hubungan antara konsep-konsep dalam bentuk pernyataan-pernyataan‖ secara visual (Novak dan Gowin, 1984, hal. 15). Novak dan Canas (2006) menjelaskan, ‖.......pernyataan adalah ungkapan-ungkapan tentang suatu objek atau kejadian di dunia, baik yang terjadi secara alamiah maupun disengaja.. mengandung dua atau lebih konsep yang dihubungkan melalui rangkaian kata atau kalimat...‖ Pernyataan adalah salah satu elemen yang membuat peta konsep berbeda dari konsep-konsep visualisasi yang lain (seperti pemetaan pikiran). Dengan kata lain, peta konsep adalah ―rangkaian penjelasan konsep dan keterkaitannya yang dimaksudkan untuk menjelaskan struktur pengetahuan yang disimpan oleh manusia di dalam pikiran mereka‖ (Jonassen, Reevers, Hong, Harvey, & Peters, 1998, dan McAleese, 1998). Dalam bentuk yang paling sederhana, peta konsep hanyalah terdiri atas dua konsep yang dihubungkan dengan rangkaian kata menjadi bentuk yang jelas (Novak dan Gowin, 1984) – sebagai contoh, ―biji tumbuh menjadi tumbuhan.‖ Contoh sederhana lain tentang peta konsep bisa dilihat pada gambar 1. Gambar 1 Contoh sederhana peta konsep Akan tetapi, Novak dan Gowin (1984) menyatakan bahwa ―karena manfaat belajar muncul lebih mudah ketika konsep-konsep baru atau ide konsep dikumpulkan secara meluas, konsep yang lebih inklusif, peta konsep bisa disusun dalam bentuk hirarki; begitulah, lebih jelasnya, konsep yang umum berada di bagian atas peta, dilanjutkan dengan konsep yang lebih spesifik, konsep khusus disusun secara berurutan ke bawah (gambar 2). 4 Gambar 2 Peta konsep disusun secara hirarki Baik peta konsep yang sederhana maupun yang lebih komplek, keduanya tidak bisa lepas dari dua hal: konsep-konsep dan hubungan di antara mereka. Konsep biasanya diuraikan dalam bentuk lingkaran atau kotak, yang dinamakan ―titik‖. Garis penghubung, di sisi lain, biasanya muncul dalam bentuk garis (atau garis lengkung) atau panah yang menghubungkan konsep-konsep. Garis biasanya ditandai dengan kata-kata dengan tujuan untuk memperjelas hubungan antarkonsep, sedangkan tanda panah digunakan untuk menunjukkan arah dari sebuah hubungan (seperti satu arah atau dua arah). Konsep-konsep yang dihubungkan dengan garis, membentuk ungkapanungkapan, seperti yang dikatakan Novak dan Gowin sebagai pernyataan. Peta konsep bisa memudahkan belajar mengajar dalam beberapa hal. Pertama, sebagai catatan yang bisa memberikan inspirasi. Metode tersebut bisa menbantu guru dan murid untuk mengidentifikasi kunci kalimat atau ide pokok dan dasar-dasar yang menjadi fokus dalam pembelajaran. Kedua, pemetaan konsep bisa menghasilkan ―sebuah rangkaian peta visual‖ yang menggambarkan cara-cara yang bisa diambil para guru ―untuk menghubungkan penjelasan arti dengan konsep‖. Ketiga, peta konsep dapat 5 menghasilkan kesimpulan secara visual tentang materi-materi yang telah dipelajari siswa, dan selanjutnya bisa membantu para guru untuk mengetahui dan juga mengatasi kesalahpahaman siswa dalam pelajaran (Novak dan Gowin, 1984). Peta konsep juga efektif dalam membantu guru untuk mengetahui kelebihan dan keistimewaan siswa dalam pelajaran dan mengatur proses belajar mengajar yang sesuai dengan mereka. Pada kenyataannya, mengidentifikasi level pengetahuan murid sebelum ia menerima pelajaran merupakan salah satu tujuan yang hendak dicapai oleh Novak dan timnya (1988) pada awal pengembangan teori peta konsep. Terakhir, begitu siswa belajar untuk memperluas pengetahuan mereka dan membuat peta konsep, peta mereka bisa digunakan untuk memonitor perkembangan dan pencapaian pemahaman dalam pengetahuan. Menggunakan peta konsep, seperti penjelasan di atas, seseorang bisa berargumen dengan rasional bahwa mereka mampu memahami dan mengetahui level pengetahuan orang lain. Meskipun peta konsep bisa juga membantu menggambarkan struktur dan pengetahuan seseorang, bagi beberapa peneliti, metode tersebut lebih dari sekedar cara untuk ―menjelaskan struktur kognitis.‖ Lebih jauh, McAleese (1998 : 258) menambahkan, fungsi lain yang tak kalah pentingnya dalam peta konsep adalah ―menghindari kebuntuan pikiran dan menunjukkan sebuah kesimpulan tentang penyusunan struktur pengetahuan‖. Dalam kajian ini, peta konsep dilihat sebagai ―suatu metode untuk menyatukan siswa dengan proses pembelajaran mereka‖. Peta konsep bisa dibuat dengan ditulis tangan atau menggunakan softwaresoftware tertentu. Tujuan utama menggunakan komputer adalah bahwa konsep dan linknya bisa dengan mudah dimanipulasi dan diperbarui, bentuknya juga bisa dimodifikasi dengan menambah, memperbesar atau memperkecil ukuran, dengan memberi warna, simbol-simbol, gambar-gambar atau clip art (Dormer). Keuntungan lain peta konsep dengan menggunakan software komputer adalah seorang siswa bisa membuat bermacam-macam variasi peta konsep yang berbeda-beda, dengan menggunakan templates yang telah disediakan (seperti bentuk struktur hirarki yang berbeda), untuk digunakan dalam berbagai kurikulum pelajaran. Dikarenakan hal tersebut, peta konsep berbasis komputer merupakan alternatif pembuatan peta konsep yang lebih fleksibel dan familiar daripada cara tradisional dengan menggunakan kertas dan pensil. 6 3. Peta Konsep Dalam Pendidikan Awal Anak Meskipun perkembangan literatur tentang peta konsep terus berkembang pesat, namun sedikit sekali yang menulis tentang kegunaan peta konsep (atau grafis, secara umum) pada pembelajaran anak pra sekolah (McAleese, 1998, 1999; Novak, 1998; Santhanam, Leach, & Dawson, 1998; Zanting, Verloop, & Vermunt, 2003). Asumsi yang berkembang adalah anak-anak usia prasekolah belum memiliki kemampuan dalam menyatakan pendapat dalam beberapa cara (seperti menghubungkan pernyataan atau kata-kata, mengurutkan kejadian-kejadian yang sedang berlangsung maupun yang telah terjadi). Akan tetapi, pengetahuan tentang teori belajar sejak dini mampu mengembangkan kreativitas anak untuk menyampaikan pengetahuannya dalam berbagai cara (Smith, Cowie dan Blades, 2001). Figueiredo dkk (2004) membantu siswa usia 3 sampai 5 tahun dalam menjelaskan ―berbagai hal yang kami ketahui tentang sapi‖ dengan cara berdiskusi dan melihat objek secara langsung (pada langkah selanjutnya diganti dengan gambar-gambar) dan memberikan model peta konsep dengan tujuan membantu anak dalam membuat struktur peta konsep secara hirarki (contoh, sapi memberi susu yang bisa diolah menjadi yogurt, keju, roti, dan seterusnya). Peta konsep pada anak usia prasekolah bisa digunakan guru dan murid. Sebagai alat mengajar. Peta konsep bisa digunakan untuk membantu siswa dalam memperjelas, mengorganisasikan, menghubungkan, dan menyatukan ide-ide dan informasi tentang suatu masalah. Pada saat yang sama, anak-anak belajar tentang sebuah cara alternatif untuk mengekpresikan dan berkomunikasi tentang apa yang mereka ketahui dengan yang lain. Sebagai tambahan, peta konsep membantu siswa memahami sebuah relasi antara konsep-konsep dan penjelasannya dengan lebih mudah. Lebih lanjut, peta konsep, seperti halnya jaring, lebih disukai oleh siswa, karena sifatnya visual, anak-anak cenderung untuk mengulang dan mengembangkan peta konsep tersebut. Dari sini guru bisa melihat bagaimana sebuah pengetahuan baru terkait dengan pengetahuan lama dapat diterima dan dipahami oleh siswa serta mendiagnosa kesulitan-kesulitan (misunderstanding) yang dialami siswa. Poin terakhir di atas (misunderstanding) menjadi penting semenjak Ausubel, Novak dan Hanesian (1978) berargumen bahwa kesalahpahaman merupakan hal yang sangat berpengaruh terhadap pembelajaran selanjutnya. Namun kesalah-kesalahan tersebut bisa memberikan informasi kepada guru tentang seberapa jauh pemahaman dan pengetahuan siswa terhadap suatu pelajaran. 7 Untuk memperbaiki kesalahan tersebut, guru hendaknya memberi kesempatan kepada siswa untuk mengaplikasikan peta konsep dalam materi pelajaran lain, atau memberi pekerjaan rumah yang bisa memaksa siswa untuk mereview ulang konsep-konsep mereka dengan lebih kritis. Peta konsep juga bisa digunakan untuk mengelompokkan materi pelajaran atau kurikulum. Sebagai alat perencanaan, peta konsep dapat membantu guru dalam merencanakan, menyusun dan mengurutkan materi pelajaran. Ketika seorang guru membuat peta konsep tentang materi yang akan diajarkan, mereka dapat melihat perbedaan dalam topik-topik dan tema-tema yang berkaitan, sehingga muncullah kesinambungan antara materi, dan mengembangkan unit materi dan kegiatan sehingga subjek-subjek yang berbeda berkaitan satu sama lain. Kebanyakan guru kanak-kanak tertarik untuk menggunakan peta konsep dikarenakan beberapa hal di bawah ini: (a) Anak-anak tidak memiliki kemampuan secara langsung untuk membuat peta konsep. Kenyataannya, seperti yang ditulis Sparks Lingield dan Warwick (2003), anak kecil butuh diajar teknik peta konsep, pada awalnya mereka harus dilatih secara langsung, jika perlu, sebelum mereka mampu membuat peta konsep mereka sendiri (Ferry, 1997). (b) Peta konsep mendapatkan hendaknya banyak diperkenalkan kesempatan kepada untuk siswa memanipulasi setelah objek mereka nyata, mengobservasi apa yang terjadi di sekitar mereka, merekam observasi mereka, dan mengomunikasikan penemuan dan hasil kerja mereka dalam bentuk yang berbeda-beda. (c) Anak-anak biasanya membuat peta konsep yang sederhana pada saat pertama kali. Mereka biasanya membuat topik-topik yang umum (seperti hewan dan tumbuh-tumbuhan), dan membuat konsep dalam jumlah sedikit. Gambar 3 dan 4 menunjukkan dua macam contoh peta konsep yang dipilih oleh Sparks Linfield dan Warwick. 8 Gambar 3. contoh peta konsep yang menggunakan topik sederhana. Gambar 4. contoh lain peta konsep sederhana (d) Untuk lebih memudahkan siswa dalam memahami peta konsep, gambar-gambar bisa diganti dengan teks berlabel karena anak-anak pada usia prasekolah lebih mudah mengomunikasikan ide-ide mereka dalam bentuk simbol-simbol. Lukisan dan gambar-gambar juga bisa digunakan anak-anak yang berkomunikasi dengan bahasa yang berbeda atau yang mengalami permasalahan-permasalahan dalam membaca dan menulis (Pearson & Somekh, 2003). Berdasarkan usia anak dan pengalaman pertama mereka dalam peta konsep, guru juga bisa menggunakan objek nyata untuk menjelaskan konsep dan hal-hal yang berkaitan. Ketika keterampilan membaca dan menulis anak-anak berkembang dengan baik, biasanya mereka bisa mengganti gambar, foto atau lukisan dengan kata-kata sederhana. Dalam banyak kasus, hal terpenting dalam membantu pemahaman siswa terhadap peta konsep (objek atau gambar) adalah menghubungkan konsep- 9 konsep tersebut dengan ungkapan-ungkapan yang bermanfaat dan menjelaskan hubungan tersebut dengan gambar. Setelah anak-anak meniru pembuatan peta konsep beberapa kali dan sebelum guru menyuruh mereka memaparkan peta konsep mereka sendiri, ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh seorang guru, yakni sebaiknya anak-anak diberi contoh variasi dan bentuk-bentuk map yang berbeda-beda; model, variasi dan garis, kotak dan lingkaran yang berbeda-beda. Berilah tugas pada siswa untuk mengisi kotak-kotak dalam sebuah peta konsep dan menentukan arah panah garis penghubung (Yung, 1997; Noyd, 1998). Berikut ini kerangka langkah-langkah mengajarkan peta konsep kepada siswa. (a) Selama diskusi kelompok, berilah tugas kepada siswa untuk saling belajar dan berinteraksi tentang sebuah topik, beri instruksi kepada siswa untuk mengeksplorasi topik tersebut. Guru hendaknya menulis atau menggambar katakata kunci topik yang didapat dari ide, obsevasi dan diskusi mereka. Dalam hal ini, hendaknya simbol atau gambar atau kalimat tersebut bisa dipahami oleh anak-anak tanpa terkecuali. (b) Kemudian, buatlah sebuah lingkaran besar di lantai dan mintalah anak-anak untuk menyusun kalimat/kata sederhana yang mengekspresikan topik tersebut. (c) Terakhir, ajaklah anak-anak untuk menghubungkan topik dan gambar-gambar tersebut dengan garis penghubung atau tanda panah (jika dibutuhkan). Selanjutnya berilah kalimat atau kata disekitar tanda penghubung tersebut untuk memperjelas peta konsep. 4. Simpulan Peta konsep berguna sebagai teknik dan metode mengajar pada anak-anak usia prasekolah. Peta konsep bisa digunakan untuk membantu anak-anak dalam mengetahui dan memahami hubungan antara konsep dengan ide-ide lain. Peta konsep juga membantu guru untuk mengetahui perkembangan konsep dan pemahaman anak-anak, kesalahpahaman dan mengaitkan pelajaran yang telah lalu dan pelajaran sekarang. Dalam pendidikan prasekolah, guru hendaknya memberi contoh pembuatan peta konsep 10 dan memerintahkan mereka untuk menirunya, sebelum mereka diberi tugas untuk membuat peta konsep. 11 Daftar Rujukan Ausubel, et al (1978). Educational psychology: A cognitive view. New York: Holt, Rinehart & Winston. Chard, Sylvia C. (1998). On webbing. In Judy Harris Helm (Ed.), The project approach catalog 2. Champaign, IL: ERIC Clearinghouse on Elementary and Early Childhood Education. Retrieved October 4, 2005, from http://ceep.crc.uiuc.edu/eecearchive/books/projcat2/listserv.html Dormer, Stephanie. (n.d.). Concept mapping. Tuggeranong, Australian Capital Territory: ACT Centre for Teaching and Learning. Retrieved November 5, 2005, from http://activated.det.act.gov.au/learning/word/elt/7.0_ConceptMapping.pdf Erickson, H. Lynn. (2002). Concept-based curriculum and instruction: Teaching beyond the facts. Thousand Oaks, CA: Corwin Press. Ferry, Brian. (1997). Using concept maps to help students organize the content of your lectures. University of Wollongong Overview, 4(1), 3-8. Retrieved July 10, 2006, from http://cedir.uow.edu.au/CEDIR/overview/overviewv4n2/ferry.html Figueiredo, et al (2004). ―Things we know about the cow‖: Concept mapping in a preschool setting. In Alberto J. Cañas, Joseph D. Novak, & Fermín M. Gonzalez (Eds.), Proceedings of the 1st International Conference on Concept Mapping. Pamplona, Spain: Universidad Pública de Navarra. Retrieved November 2, 2005, from http://www.cmc.ihmc.us/papers/cmc2004-038.pdf Gallenstein, Nancy L. (2005). Never too young for a concept map. Science and Children, 43(1), 44-47. Jonassen, David H.; Reeves, Thomas C.; Hong, Namsoo; Harvey, Douglas; & Peters, Karen. (1997). Concept mapping as cognitive learning and assessment tools. Journal of Interactive Learning Research, 8(3-4), 289-308. Katz, Lilian G., & Chard, Sylvia C. (2000). Engaging children's minds: The project approach (2nd ed.). Stamford, CT: Ablex. M. Gonzalez (Eds.), Proceedings of the 1st International Conference on Concept Mapping. Pamplona, Spain: Universidad Pública de Navarra. Retrieved November 2, 2005, from http://www.cmc.ihmc.us/papers/cmc2004-195.pdf Marzano, Robert J. (1998). A theory-based meta-analysis of research on instruction. Aurora, CO: Mid-continent Educational Research Laboratory. Retrieved November 12, 2005, from http://www.mcrel.org/PDF/Instruction/5982RR_InstructionMeta_Analysis.pdf 12 Marzano, Robert J.; Pickering, Debra J.; & Pollock, Jane E. (2001). Classroom instruction that works. Research-based strategies for increasing student achievement. Alexandria, VA: Association for Supervision and Curriculum Development. McAleese, Ray. (1998). The knowledge arena as an extension to the concept map: Reflection in action. Interactive Learning Environments, 6(3), 251-272. McAleese, Ray. (1999). Concept mapping—a critical review. Innovation in Education and Training International, 36(4), 351-360. Novak, Joseph D. (1998). Learning, creating, and using knowledge: Concept maps as facilitative tools in schools and corporations. Mahwah, NJ: Erlbaum. Novak, Joseph D., & Cañas, Alberto J. (2006). The theory underlying concept maps and how to construct them (Technical report IHMC CmapTools 2006-01). Pensacola: Florida Institute for Human and Machine Cognition (IHMC). Retrieved October 22, 2005, from http://cmap.ihmc.us/Publications/ResearchPapers/TheoryUnderlyingConceptMa ps.pdf Noyd, Robert. (1998). A primer on concept maps. USAFA Educator, 7(1). Retrieved March 31, 2006, from http://academic.wsc.edu/frc/innovations.htm Paivio, Allan. (1991). Dual coding theory: Retrospect and current status. Canadian Journal of Psychology, 45(3), 255-287. Pearson, Matthew, & Somekh, Bridget. (2003). Concept-mapping as a research tool: A study of primary children’s representations of information and communication technologies (ICT). Education and Information Technologies, 8(1), 5-22. Smith, Peter K.; Cowie, Helen; & Blades, Mark. (2001). Understanding children’s development (3rd ed.). Oxford: Blackwell. Workman, Susan, & Anziano, Michael C. (1993). Curriculum webs: Weaving connections from children to teachers. Young Children, 48(2), 4-9. Wray, David. (1999). Inquiry in the classroom: Creating it, encouraging it, enjoying it. Toronto: Pippin. Young in art. (n.d.). Retrieved April 1, 2006, http://www.arts.ufl.edu/art/rt_room/teach/young_in_art/sequence/presymbolism.html from Yung, Hin-wai. (1997). Using concept maps to establish meaningful relationships. University of Hong Kong, Department of Curriculum and Instruction. Retrieved November 12, 2005, from 13 http://www.fed.cuhk.edu.hk/~johnson/misconceptions/ce/learn/concept_map.ht m Zanting, Anneke; Verloop, Nico; & Vermunt, Jan D. (2003). Using interviews and concept maps to access mentor teachers’ practical knowledge. Higher Education, 46(2), 195-214. 14