BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sepsis 2.1.1. Defenisi Sepsis merupakan respon sistemik pejamu terhadap infeksi dimana patogen atau toksin dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga terjadi aktivasi proses inflamasi. Berbagai definisi sepsis telah diajukan, namun definisi yang saat ini digunakan di klinik adalah definisi yang ditetapkan dalam consensus American College of Chest Physician dan Society of Critical Care Medicine pada tahun 1992 yang mendefinisikan sepsis, sindroma respon inflamasi sistemik (systemic inflammatory response syndrome / SIRS), sepsis berat, dan syok/renjatan septik (Chen et.al,2009). Tabel 2.1. Terminologi dan Definisi Sepsis Sindroma respons inflamasi sistemik (SIRS: systemic inflammatory response syndrome) Respon tubuh terhadap inflamasi sistemik mencakup 2 atau lebih keadaan berikut: suhu >38°C atau <36°C frekuensi jantung >90 kali/menit frekuensi nafas >20 kali/menit atau PaCO2 <32 mmHg leukosit darah >12.000/mm3, <4.000/mm3 atau batang >10% Sepsis Keadaan klinis berkaitan dengan infeksi dengan manifestasi SIRS. Sepsis berat Sepsis yang disertai dengan disfungsi organ, hipoperfusi atau hipotensi termasuk asidosis laktat, oliguria, dan penurunan kesadaran. Ranjatan septik Sepsis dengan hipotensi meskipun telah diberikan resusitasi cairan secara adekuat atau memerlukan vasopressor untuk mempertahaankan tekanan darah dan perfusi organ. Sumber: Chen et. al, 2009 Universitas Sumatera Utara 2.1.2. Etiologi Sepsis merupakan respon terhadap setiap kelas mikroorganisme. Dari hasil kultur darah ditemukan bakteri dan jamur 20-40% kasus dari sepsis. Bakteri gram negatif dan gram positif merupakan 70% dari penyebab infeksi sepsis berat dan sisanya jamur atau gabungan beberapa mikroorganisme. Pada pasien yang kultur darahnya negatif, penyebab infeksi tersebut biasanya diperiksa dengan menggunakan kultur lainnya atau pemeriksaan mikroskopis (Munford, 2008). Penelitian terbaru mengkonfirmasi bahwa infeksi dengan sumber lokasi saluran pernapasan dan urogenital adalah penyebab paling umum dari sepsis (Shapiro, 2010) Tabel 2.2. Penyebab Umum Sepsis pada Orang Sehat Sumber lokasi Mikroorganisme Kulit Staphylococcus aureus dan gram positif bentuk cocci lainnya Saluran kemih Eschericia coli dan gram negatif bentuk batang lainnya Saluran pernafasan Streptococcus pneumonia Usus dan kantung empedu Enterococcus faecalis, E.coli dan gram negative bentuk batang lainnya, Bacteroides fragilis Organ pelvis Neissseria gonorrhea,anaerob Sumber: Moss et.al,2012 Tabel 2.3.Penyebab Umum Sepsis pada Pasien yang Dirawat Masalah klinis Mikroorganisme Pemasanagan kateter Escherichia Proteus coli, spp., Klebsiella spp., Serratia spp., Pseudomonas spp. Penggunaan iv kateter Staphylococcus aureus, Staph.epidermidis, Klebsiella spp., Pseudomonas spp., Candida albicans Universitas Sumatera Utara Setelah operasi: Wound infection Staph. aureus, E. coli, anaerobes(tergantung lokasinya) Deep infection Tergantung lokasi anatominya Luka bakar coccus gram-positif, Pseudomonas spp., Candida albicans Pasien immunocompromised Semua mikroorganisme diatas Sumber: Moss et.al,2012 2.1.3. Insidensi Sepsis adalah penyakit yang berkontribusi pada lebih dari 200.000 kematian pertahun di Amerika Serikat. Insideni sepsis, sepsis berat dan syok septik meningkat selama 20 tahun terakhir, dan jumlah kasus >700.000 per tahun (3 per 1000 penduduk). Sekitar dua pertiga kasus terjadi pada pasien dengan penyakit terdahulu. Kejadian sepsis dan angka kematian meningkat pada penderita usia lanjut dan sudah adanya komorbiditas sebelumnya. Meningkatnya insiden sepsis berat di Amerika Serikat disebabkan oleh usia penduduk, meningkatnya pasien usia lanjut menyebabkan meningkatnya pasien dengan penyakit kronis, dan juga akibat berkembangnya sepsis pada pasien AIDS. Meluasnya penggunaan obat antimikroba, obat imunosupresif, pemakaian kateter jangka panjang dan ventilasi mekanik juga berperan. Infeksi bakteri invasif adalah penyebab kematian yang paling sering di seluruh dunia, terutama pada kalangan anak-anak (Munford, 2008). Setiap tahunnya sekitar 750.000 kasus sepsis berlanjut menjadi sepsis berat atau syok septik di Amerika Serikat. Sepsis dapat menyebabkan kematian akibat miokard akut infark, syok septik dan komplikasi sepsis yang paling umum terjadi meruoakan penyebab kematian di unit perawatan intensif noncoronary. Terjadinya syok septik akan meningkat jika dokter melakukan tindakan operasi yang lebih agresif, organisme yang ada semakin resisten, dan penurunan daya tahan tubuh akibat penyakit dan penggunaan obat imunosuppresan. Distrubusi sepsis proporsional atau sebanding menurut jenis kelamin (Widodo, 2004). Studi Universitas Sumatera Utara terbaru menunjukkan bahwa Amerika Afrika memiliki insiden yang lebih tinggi dari sepsis berat dibandingkan kulit putih (6 banding 3,6 per 1000 penduduk) dan angka kematian yang tinggi di UPI (32.1%) (Russell, 2012). 2.1.4. Tanda dan Gejala Manifestasi dari respon sepsis biasanya ditekankan pada gejala dan tandatanda penyakit yang mendasarinya dan infeksi primer. Tingkat di mana tanda dan gejala berkembang mungkin berbeda dari pasien dan pasien lainnya, dan gejala pada setiap pasien sangat bervariasi. Sebagai contoh, beberapa pasien dengan sepsis adalah normo-atau hipotermia, tidak ada demam paling sering terjadi pada neonatus, pada pasien lansia, dan pada orang dengan uremia atau alkoholisme (Munford, 2008). Pasien dalam fase awal sepsis sering mengalami cemas, demam, takikardi, dan takipnea (Dasenbrook & Merlo, 2008). Tanda-tanda dari sepsis sangat bervariasi. Berdasarkan studi, demam (70%), syok (40%), hipotermia (4%), ruam makulopapular, petekie, nodular, vesikular dengan nekrosis sentral (70% dengan meningococcemia), dan artritis (8%). Demam terjadi pada <60% dari bayi dibawah 3 bulan dan pada orang dewasa diatas 65 tahun (Gossman & Plantz, 2008). Infeksi menjadi keluhan utama pada pasien (Hinds et.al,2012). Perubahan status mental yang tidak dapat dijelaskan (LaRosa, 2010) juga merupakan tanda dan gejala pada sepsis. Adanya tanda dan gejala disseminated intravascular coagulation (DIC) meningkatkankan angka mortalitas (Saadat, 2008). Pada sepsis berat muncul dampak dari penurunan perfusi mempengaruhi setidaknya satu organ dengan gangguan kesadaran, hipoksemia (PO2 <75 mmHg), peningkatan laktat plasma, atau oliguria (≤30 ml / jam meskipun sudah diberikan cairan). Sekitar satu perempat dari pasien mengalami sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS) dengan infiltrat paru bilateral, hipoksemia (PO2 <70 mmHg, FiO2 >0,4), dan kapiler paru tekanan <18 mmHg .Pada syok septik terjadi hipoperfusi organ (Weber & Fontana, 2007). Universitas Sumatera Utara Diagnosis sepsis sering terlewat, khususnya pada pasien usia lanjut yang tanda-tanda klasik sering tidak muncul. Gejala ringan, takikardia dan takipnea menjadi satu-satunya petunjuk, Sehingga masih diperlukan pemeriksaan lebih lanjut yang dapat dikaitkan dengan hipotensi, penurunan output urin, peningkatan kreatinin plasma, intoleransi glukosa dan lainnya (Hinds et.al,2012). 2.1.5. Diagnosis Tindakan tes diagnostik pada pasien dengan sindrom sepsis atau dicurigai sindrom sepsis memiliki dua tujuan. Tes diagnostik digunakan untuk mengidentifikasi jenis dan lokasi infeksi dan juga menentukan tingkat keparahan infeksi untuk membantu dalam memfokuskan terapi (Shapiro et.al,2010). Bila pasien mengalami penurunan kesadaran, sebelum evaluasi diagnostik dimulai lakukan penilaian awal dari pasien yang sakit perhatikan jalan nafas (perlu untuk intubasi), pernapasan (laju pernafasan, gangguan pernapasan, denyut nadi), sirkulasi (denyut jantung, tekanan darah, tekanan vena jugularis, perfusi kulit), dan inisiasi cepat resusitasi (Russell, 2012). Kemudian dilakukan anamnesis riwayat penyakit dan juga beberapa pemeriksaan fisik untuk mencari etiologi sepsis. Sistem pernapasan adalah sumber yang paling umum infeksi pada pasien sepsis. Riwayat batuk produktif, demam, menggigil, gejala pernapasan atas, masalah tenggorokan dan nyeri telinga harus dicari. Kedua, adanya pneumonia dan temuan takipnea atau hipoksia telah terbukti merupakan alat prediksi kematian pada pasien dengan sepsis. Pemeriksaan fisik juga harus mencakup evaluasi rinci untuk infeksi fokal, misalnya tonsilitis eksudatif, nyeri pada sinus, injeksi membran timpani, dan ronki atau dullness pada auskultasi paru. Sistem pencernaan adalah yang kedua paling umum sumber sepsis. Sebuah riwayat nyeri perut, termasuk deskripsi, lokasi, waktu, dan faktor pemberat harus dicari. Riwayat lebih lanjut, termasuk adanya mual, muntah, dan diare harus dicatat. Pemeriksaan fisik yang cermat, mencari tanda-tanda iritasi peritoneal, nyeri perut, dan bising usus , sangat penting dalam mengidentifikasi sumber sepsis perut. Perhatian khusus harus diberikan temuan fisik memberi Universitas Sumatera Utara kesan sumber umum infeksi atau penyakit tanda Murphy menunjukkan kolesistitis, nyeri pada titik McBurney menunjukkan usus buntu, nyeri kuadran kiri bawah menunjukkan divertikulitis, dan pemeriksaan rektal mengungkapkan abses rektum atau prostatitis. Sistem neurologis diperiksa dengan mencari tanda-tanda meningitis, termasuk kaku kuduk, demam, dan perubahan kesadaran. Pemeriksaan neurologis terperinci adalah penting. Letargi atau perubahan mental mungkin menunjukkan penyakit neurologis primer atau hasil dari penurunan perfusi otak dari keadaan shock. Riwayat urogenital termasuk pertanyaan mengenai adanya nyeri pinggang, disuria, poliuria, discharge, pemasangan kateter, dan instrumentasi urogenital. Riwayat seksual untuk menilai resiko penyakit menular seksual. Alat kelamin juga harus diperiksa untuk melihat apakah ada bisul, discharge, dan lesi penis atau vulva. Pemeriksaan dubur harus dilakukan, menentukan ada nyeri, pembesaran prostat, konsisten dengan prostatitis. Nyeri adneksa pada wanita berpotensi abses tuba-ovarium. Riwayat muskuloskeletal adanya gejala ke sendi tertentu. Kemerahan, pembengkakan, dan sendi terasa hangat, terutama jika ada berbagai penurunan kemampuan gerak sendi, mungkin tanda-tanda sepsis arthritis dan mungkin arthrocentesis. Pasien harus benar-benar terbuka dan kulit diperiksa untuk melihat selulitis, abses, infeksi luka, atau trauma. Luka yang mendalam, benda asing sulit untuk mengidentifikasi secara klinis. Petechiae dan purpura merupakan infeksi Neisseria meningitidis atau DIC. Ruam seluruh tubuh merupakan eksotoksin dari pathogen seperti Staphylococcus aureus atau Streptococcus pyogenes (Shapiro et.al,2010). Pada pasien sepsis juga dilakukan pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang dalam menegakkan diagnosis.Pada tabel dibawah dijelaskan hal-hal yang menjadi indikator laboratorium pada penderita sepsis. Universitas Sumatera Utara Tabel 2.4.Indikator Laboratorium Penderita Sepsis Pemeriksaan Temuan Uraian Leukositosis atau leukopenia Endotoxemia menyebabkan Laboratorium Hitung leukosit leukopenia Hitung trombosit Trombositosis atau Peningkatan trombositopenia jumlahnya diawal menunjukkan respon fase akut; penurunan jumlah trombosit menunjukkan DIC Kaskade Defisiensi koagulasi defisiensi protein peningkatan C; Abnormalitas dapat diamati antitrombin; sebelum kegagalan organ D-dimer; dan tanpa pendarahan pemanjangan PT dan PTT Kreatinin Peningkatan kreatinin Indikasi gagal ginjal akut Asam laktat As.laktat>4mmol/L(36mg/dl) Hipoksia jaringan Enzim hati Peningkatan phosphatase, alkaline Gagal AST, hepatoselular akut ALT, disebabkan hipoperfusi bilirubin Serum fosfat Hipofosfatemia Berhubungan dengan level cytokin proinflammatory C-reaktif protein Meningkat Respon fase akut (CRP) Procalcitonin Meningkat Membedakan SIRS dengan atau tanpa infeksi Sumber:LaRosa,2010 Pemeriksaan penunjang yang digunakan foto toraks, pemeriksaan dengan prosedur radiografi dan radioisotop lain sesuai dengan dugaan sumber infeksi primer (Opal, 2012) Universitas Sumatera Utara 2.1.6. Penatalaksanaan Menurut Opal (2012), penatalaksanaan pada pasien sepsis dapat dibagi menjadi : 1. Nonfarmakologi Mempertahankan oksigenasi ke jaringan dengan saturasi >70% dengan melakukan ventilasi mekanik dan drainase infeksi fokal. 2. Sepsis Akut Menjaga tekanan darah dengan memberikan resusitasi cairan IV dan vasopressor yang bertujuan pencapaian kembali tekanan darah >65 mmHg, menurunkan serum laktat dan mengobati sumber infeksi. a. Hidrasi IV, kristaloid sama efektifnya dengan koloid sebagai resusitasi cairan. b. Terapi dengan vasopresor (mis., dopamin, norepinefrin, vasopressin) bila rata-rata tekanan darah 70 sampai 75 mm Hg tidak dapat dipertahankan oleh hidrasi saja. Penelitian baru-baru ini membandingkan vasopresin dosis rendah dengan norepinefrin menunjukkan bahwa vasopresin dosis rendah tidak mengurangi angka kematian dibandingkan dengan norepinefrin antara pasien dengan syok sepsis. c. Memperbaiki keadaan asidosis dengan memperbaiki perfusi jaringan dilakukan ventilasi mekanik ,bukan dengan memberikan bikarbonat. d. Antibiotik diberikan menurut sumber infeksi yang paling sering sebagai rekomendasi antibotik awal pasien sepsis. Sebaiknya diberikan antibiotik spektrum luas dari bakteri gram positif dan gram negative.cakupan yang luas bakteri gram positif dan gram negative (atau jamur jika terindikasi secara klinis). e. Pengobatan biologi Drotrecogin alfa (Xigris), suatu bentuk rekayasa genetika aktifasi protein C, telah disetujui untuk digunakan di pasien dengan sepsis berat dengan multiorgan disfungsi (atau APACHE II skor >24); bila dikombinasikan dengan terapi konvensional, dapat menurunkan angka mortalitas. Universitas Sumatera Utara 3. Sepsis kronis Terapi antibiotik berdasarkan hasil kultur dan umumnya terapi dilanjutkan minimal selama 2 minggu. 2.1.7. Prognosis Dokter harus mengidentifikasi tingkat keparahan penyakit pada pasien dengan infeksi dan memulai resusitasi agresif bagi pasien dengan potensi tinggi untuk menjadi kritis. Meskipun pasien telah memenuhi kriteria SIRS, ini sendiri hanya mampu memberikan sedikit prediksi dalam menentukan tingkat keparahan penyakit dan mortalitas. Angka Mortalitas di Emergency Department Sepsis (MEDS) telah membuat skor sebagai metode untuk mengelompokkan resiko mortalitas pasien dengan sepsis. Skor total dapat digunakan untuk menilai risiko kematian. Jadi, semakin besar jumlah faktor risiko, semakin besar kemungkinan pasien meninggal selama di ICU/UPI (Shapiro et.al,2010) Tabel 2.5.Prognosis Mortalitas di Emergency Department Sepsis (MEDS) Faktor resiko Penyakit terminal Skor MEDS (kemungkinan 6 poin kematian dalam 30 hari) Takipnea dan hipoksia 3 poin Syok Sepsis 3 poin Trombosit <150.000/min3 3 poin Bands >5% 3 poin Umur >65 tahun 3 poin Pneumoniae 2 poin Pasien panti jompo 2 poin Perubahan status mental 2 poin Resiko Kematian Total skor MEDS (% dari kematian akibat sepsis) Universitas Sumatera Utara Sangat rendah 0-4 (1,1%) Rendah 5-7 (4,4%) Sedang 8-12 (9,3%) Tinggi 13-15 (16,1%) Sangat tinggi >15 (39%) Sumber: Shapiro et.al,2010 2.2. UPI/ICU Unit Perawatan Intensif adalah suatu bagian dari rumah sakit yang mandiri (instalasi dibawah direktur pelayanan), dengan staf dan perlengkapan yang khusus yang ditujukan untuk observasi, perawatan dan juga terapi pasien, cedera atau penyulit-penyulit yang mengancam nyawa atau potensial mengancam nyawa. UPI menyediakan kemampuan, sarana, prasarana serta peralatan khusus untuk menunjang fungsi-fungsi vital dengan menggunakan keterampilan staf medik, perawat dan staf lain yang berpengalaman dalam pengelolaan keadaan-keadaan tersebut (Menkes,2010). Unit perawatan intensif harus mudah diakses oleh departemen darimana pasien dirawat dan dekat dengan departemen yang berbagi layanan. Sangat diharapkan pasien yang mengalami sakit kritis, orang-orang yang membutuhkan perawatan koroner atau perawatan ketergantungan tinggi terhadap penggunaan alat bantu dipisahkan karena pasien seperti ini sangat membutuhkan lingkungan yang tenang. Perawatan intensif telah berkembang sampai hari ini, tenaga kesehatan di Unit perawatan intensif harus mendedikasikan sesi konsultan untuk kegiatan manajemen, pengajaran dan audit. Sesi ini harus dibagi antara beberapa spesialis perawatan intensif. Selain itu, spesialis perawatan intensif harus didukung oleh dokter yang sedang dalam pelatihan yang dapat memberikan waktu 24 jam per hari sesuai giliran dan juga perawat. (Singer & Webb, 2005). Menurut Menkes (2010) pasien yang dirawat di UPI adalah: a. Pasien yang memerlukan intervensi medis segera oleh tim intensive care. Universitas Sumatera Utara b. Pasien yang memerlukan pengelolaan fungsi sistem organ tubuh secara terkoordinasi dan berkelanjutan sehingga dapat dilakukan pengawasan yang konstan dan metode terapi titrasi. c. Pasien sakit kritis yang memerlukan pemantauan kontinyu dan tindakan segera untuk mencegah timbulnya dekompensasi fisiologis. Pedoman ukuran UPI sangatlah dibutuhkan yaitu jumlah tempat tidur perawatan intensif tergantung pada aktivitas rumah sakit dan tempat tidur yang dibutuhkan untuk spesialisasi regional seperti operasi kardiotoraks atau bedah saraf. Unit dikatakan sangat kecil (<6 tempat tidur) atau sangat besar (> 14 tempat tidur) memang lebih sulit dalam pengelolahan tapi bisa lebih banyak menerima pasien baru (Singer & Webb, 2005). Bila kebutuhan masuk UPI melebihi tempat tidur yang tersedia, Kepala UPI menentukan berdasarkan prioritas kondisi medik,pasien mana yang akan dirawat di UPI. Prosedur untuk melakasanakan kebijakan ini harus dijelaskan secara terperinci (Menkes,2010). 1. Kriteria masuk UPI memberikan pelayanan antara lain pemantauan yang canggih dan terapi yang intensif. Dalam keadaan penggunaan tempat tidur yang tinggi, pasien yang memerlukan terapi intensif (prioritas 1) didahulukan dibandingkan pasien yang memerlukan pemantauan intensif (prioritas 3). Penilaian objektif atas beratnya penyakit dan prognosis hendaknya digunakan untuk menentukan prioritas masuk ke UPI : a. Pasien prioritas 1 (satu) Kelompok ini merupakan pasien sakit kritis, tidak stabil yang memerlukan terapi intensif dan tertitrasi, seperti: dukungan/bantuan ventilasi dan alat bantu suportif organ/sistem yang lain, infus obat-obat vasoaktif kontinyu, obat anti aritmia kontinyu, pengobatan kontinyu tertitrasi, dan lainlainnya. Contoh pasien kelompok ini antara lain, pasca bedah kardiotorasik, pasien sepsis berat, gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit yang mengancam nyawa. Institusi setempat dapat membuat kriteria spesifik untuk masuk UPI, seperti derajat hipoksemia, hipotensi dibawah tekanan darah tertentu. Terapi pada pasien prioritas 1 (satu) Universitas Sumatera Utara umumnya tidak mempunyai batas. b. Pasien prioritas 2 (dua) Pasien ini memerlukan pelayanan pemantauan canggih di UPI, sebab sangat berisiko bila tidak mendapatkan terapi intensif segera, misalnya pemantauan intensif menggunakan pulmonary arterial catheter. Contoh pasien seperti ini antara lain mereka yang menderita penyakit dasar jantung-paru, gagal ginjal akut dan berat atau yang telah mengalami pembedahan major. Terapi pada pasien prioritas 2 tidak mempunyai batas, karena kondisi mediknya senantiasa berubah. c. Pasien prioritas 3 (tiga) Pasien golongan ini adalah pasien sakit kritis, yang tidak stabil status kesehatan sebelumnya, penyakit yang mendasarinya, atau penyakit akutnya, secara sendirian atau kombinasi. Kemungkinan sembuh dan/atau manfaat terapi di UPI pada golongan ini sangat kecil. Contoh pasien ini antara lain pasien dengan keganasan metastatik disertai penyulit infeksi, pericardial tamponade, sumbatan jalan napas, atau pasien penyakit jantung, penyakit paru terminal disertai komplikasi penyakit akut berat. Pengelolaan pada pasien golongan ini hanya untuk mengatasi kegawatan akutnya saja, dan usaha terapi mungkin tidak sampai melakukan intubasi atau resusitasi jantung paru. d. Pengecualian Dengan pertimbangan luar biasa, dan atas persetujuan Kepala UPI, indikasi masuk pada beberapa golongan pasien bisa dikecualikan, dengan catatan bahwa pasien-pasien golongan demikian sewaktu waktu harus bisa dikeluarkan dari UPI agar fasilitas UPI yang terbatas tersebut dapat digunakan untuk pasien prioritas 1, 2, 3 (satu, dua, tiga). Pasien yang tergolong demikian antara lain: 1) Pasien yang memenuhi kriteria masuk tetapi menolak terapi tunjangan hidup yang agresif dan hanya demi “perawatan yang aman” saja. Ini tidak menyingkirkan pasien dengan perintah “DNR (Do Not Resuscitate)”. Universitas Sumatera Utara Sebenarnya pasien-pasien ini mungkin mendapat manfaat dari tunjangan canggih yang tersedia di UPI untuk meningkatkan kemungkinan survivalnya. 2) Pasien dalam keadaan vegetatif permanen. 3) Pasien yang telah dipastikan mengalami mati batang otak. Pasienpasien seperti itu dapat dimasukkan ke UPI untuk menunjang fungsi organ hanya untuk kepentingan donor organ. 2. Kriteria keluar Prioritas pasien dipindahkan dari UPI berdasarkan pertimbangan medis oleh kepala UPI dan tim yang merawat pasien. 3. Pengkajian ulang kerja Setiap UPI hendaknya membuat peraturan dan prosedur-prosedur masuk dan keluar, standar perawatan pasien, dan kriteria outcome yang spesifik. Kelengkapankelengkapan ini hendaknya dibuat oleh tim UPI di bawah supervisi komite medik, dan hendaknya dikaji ulang dan diperbaiki seperlunya berdasarkan keluaran pasien (outcome) dan pengukuran kinerja yang lain. Kepatuhan terhadap ketentuan masuk dan keluar harus dipantau oleh komite medik. Prinsip-prinsip yang tercantum dalam Tabel 2.6 menunjukkan beberapa kerangka kerja untuk menilai masalah etik di UPI. Namun, konflik sering muncul karena pasien sering tidak dapat berpartisipasi langsung dalam membuat keputusan terhadap perawatannya sendiri, banyak anggota keluarga terlibat. Pendapat hukum baru-baru ini mendukung konsep bahwa yang pasien yang kompeten dapat menolak terapi. Pengambilan keputusan terhadap pasien yang tidak kompeten lebih kontroversial (Peters, 2008). Tabel 2.6. Prinsip dalam Menilai Masalah Etik di UPI Beneficence-bertindak untuk kepentingan pasien dengan menopang kehidupan, mengobati penyakit, dan menghilangkan rasa sakit Nonmaleficence-tidak merugikan Autonomy-penting untuk penentuan nasib sendiri Universitas Sumatera Utara Informed consent-memberikan informasi faktual dan memadai kepada pasien yang berkompeten untuk membuat keputusan tentang perawatan mereka Substituted judgement-kemampuan anggota keluarga, wali, atau pengganti lain untuk membuat keputusan atas nama pasien pada dasar apa yang dia percaya pasien akan memilih jika kompeten Social justice-alokasi sumber daya medis sesuai dengan kebutuhan Advance directives- diberikan kebebasan kepada pasien sehubungan dengan pengobatan tetapi jika mereka dianggap sakit parah dan tidak lagi mampu untuk berpartisipasi dalam keputusan biasanya ada ketentuan atau permintaan penolakan lifesupport spesifik dan mengganti pembuat keputusan Sumber : (Peters, 2008) 2.3. Mortalitas Sepsis Berat di UPI/ICU Dalam menentukan insidensi dan mortalitas dari sepsis berat yang terjadi di Unit Perawatan Intensif (UPI) atau Intensive Care Unit (ICU) beberapa orang telah melakukan penelitian sebelumnya dan menemuka tingginya tingkat kejadian dan mortalitas sepsis berat yang dirawat di UPI/ICU. Beberapa penelitian tersebut ialah : 1. Sepuluh tahun sebelum penelitian yang dilakukan oleh Buisson et. al (2004) ada 8,45% pasien yang dirawat di Unit Perawatan Intensif (UPI) Prancis yang merupakan pasien sepsis berat dan 56% nya mengalami kematian di UPI. Pada saat penilitian tercatat 14,6% pasien menunjukan gejala sepsis berat dan 30% membutuhkan UPI. Selama 30 hari dirawat di ICU 35% pasien meninggal; setelah 2 bulan 41,9% dan sisanya tetap dibawah perawatan rumah sakit. Kesimpulan dari penilitian ini menyatakan bahwa terjadi peningkatan selama beberapa dekade tetapi angka kematian mulai menurun dikarenakan penangan sepsis yang meningkat. 2. Hasil dari insidensi pada populasi sepsis berat, angka kematian setelah keluar dari UPI dan mortalitas 28 hari setelah onset sepsis berat. Total pasien sepsis berat yang ada di UPI Australia dan New Zealand berjumlah Universitas Sumatera Utara 11,8% dari jumlah pasien yang dirawat di UPI. 26,5% pasien meninggal di ruangan UPI, 34,2% pasien meninggal setelah didiagnosa sepsis berat selama 28 hari (Finfer et.al,2004). 3. Insiden sepsis berat di UPI di Finlandia adalah 0.38/1000 pada populasi orang dewasa. Lama rata-rata pasien dirawt di UPI adalah ± 8,2 hari. Persentasi pasien di UPI, rumah sakit, dan tingkat kematian selama setahun berturut 15,5%, 28,3%, dan 40,9%. Kegagalan pernapasan adalah kegagalan organ yang paling sering (86,2%), syok septik pada 77% kasus dan gagal ginjal akut pada 20,6% kasus (Karlsson et.al,2007). Universitas Sumatera Utara