PROSPEK CENDAWAN ENTOMOPATOGEN Metarhizium anisopliae UNTUK MENGENDALIKAN ULAT GRAYAK Spodoptera litura PADA KEDELAI Yusmani Prayogo, Wedanimbi Tengkano, dan Marwoto Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Kotak Pos 66, Malang 65101 ABSTRAK Ulat grayak (Spodoptera litura) merupakan salah satu hama penting pada tanaman kedelai. Hama ini telah menyebar di 22 propinsi di Indonesia. Ulat instar muda menyerang daun sehingga bagian daun yang tertinggal hanya epidermis atas dan tulang-tulang daun, sedangkan ulat instar tua merusak tulang-tulang daun sehingga tampak lubang-lubang bekas gigitan. Kerugian hasil akibat serangan hama ini mencapai 40%. Pengendalian ulat grayak umumnya masih mengandalkan insektisida kimia, padahal penggunaan insektisida yang kurang bijaksana dapat menyebabkan resurjensi, resistensi, dan musnahnya musuh alami. Pemanfaatan cendawan entomopatogen untuk mengendalikan hama merupakan salah satu komponen pengendalian hama terpadu (PHT). Metarhizium anisopliae merupakan cendawan entomopatogen yang mempunyai kemampuan menginfeksi beberapa jenis serangga dari ordo Coleoptera, Lepidoptera, Hemiptera, Homoptera, dan Isoptera. Keefektifan cendawan M. anisopliae dalam mengendalikan S. litura dapat ditingkatkan dengan 1) menggunakan media tumbuh jagung manis untuk meningkatkan sporulasi dan virulensi cendawan tersebut, 2) meningkatkan kerapatan konidia M. anisopliae hingga 107/ml, 3) melakukan aplikasi M. anisopliae tiga kali, 4) mengaplikasikan M. anisopliae pada S. litura instar I, 5) menyimpan M. anisopliae di dalam ruang kamar mandi dengan suhu antara 20−26o C untuk mempertahankan viabilitasnya, dan 6) menggunakan biakan M. anisopliae umur 1 bulan. Dari beberapa hasil kajian, cendawan M. anisopliae mempunyai prospek yang baik sebagai salah satu agen hayati dalam pengendalian hama terpadu S. litura pada tanaman kedelai. Kata kunci: Metarhizium anisopliae, Spodoptera litura, kedelai, pengendalian hama ABSTRACT Prospect of entomophatogenic fungus Metarhizium anisopliae to control Spodoptera litura on soybean Spodoptera litura is the most destructive pests in soybean which causes yield losses up to 40%. The pest is widely distributed throughout 22 provinces in Indonesia. Young instar attacks the foliage so that the remaining leaf part is only top epidermis and leaf inter-vein, while the old one attacks the main-vein that causes many holes on the leaf. At present, more than 90% of the farmers treat this insect using chemical insecticide. Several negative impacts are reported due to the unwisely insecticide application, i.e. insect resistance and resurgence. The integration of biological agents like entomopathogenic fungi in integrated pest management (IPM) is one of the famous options to control S. litura. Metarhizium anisopliae is able to infect several kinds of insect of Coleoptera, Lepidoptera, Hemiptera, Homoptera, and Isoptera groups. The effectiveness of M. anisopliae against S. litura could be increased by: 1) using sweet corn medium to optimize virulence and spore production, 2) using the optimum killing densities of conidia 107/ml, 3) applying M. anisopliae three times, 4) applying M. anisopliae to the first instar of S. litura, 5) keeping M. anisopliae in the bathroom condition about 20−26oC to stabilize the fungus viability, and 6) using the most effective colonies of one month old. This result indicated that M. anisopliae has a good prospect as a biological agent in controlling S. litura. Keywords: Metarhizium anisopliae, Spodoptera litura, soybean, pest control U lat grayak Spodoptera litura F. (Lepidoptera: Noctuidae) merupakan salah satu hama penting pada tanaman kedelai (Arifin 1992; Soekarna dan Harnoto 1993; Tengkano dan Soehardjan Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005 1993). Hama ini tersebar luas di beberapa negara, seperti Jepang, Cina, Mesir, India, Sri Lanka, Filipina, Thailand, dan Indonesia (Okada 1977; Singh dan van Emden 1979). Di Indonesia, S. litura banyak ditemukan di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Selatan (Tengkano dan Soehardjan 1993). S. litura dapat hidup pada berbagai jenis tanaman, seperti 19 tembakau, kacang tanah, ubi jalar, cabai, bawang merah, kacang hijau, dan jagung (Arifin 1992; Tengkano dan Soehardjan 1993). Noch et al. (1983) melaporkan bahwa setiap ekor ngengat betina dapat menghasilkan telur hingga 3.000 butir yang terdiri atas 11 kelompok dengan 350 butir tiap kelompok telur. Setelah telur menetas, ulat tinggal untuk sementara waktu di tempat telur diletakkan, kemudian beberapa hari setelah itu ulat berpencar. Stadium ulat terdiri atas enam instar dan berlangsung selama 13−17 hari (Noch et al. 1983). Ulat instar muda merusak daun sehingga bagian daun yang tersisa hanya tulang-tulang daun epidermis bagian atas. Ulat instar tua merusak tulang-tulang daun sehingga tampak lubang-lubang bekas gigitan. Selain merusak daun, larva juga menyerang polong muda. Selama ini, pengendalian ulat grayak yang dilakukan oleh petani masih mengandalkan insektisida kimia (Marwoto 1992; Marwoto dan Neering 1992). Padahal, penggunaan insektisida yang kurang bijaksana dapat menyebabkan resistensi, resurjensi, dan musnahnya musuh alami. Peran musuh alami sebagai salah satu agen hayati semakin penting sejalan dengan penerapan konsep pengendalian hama terpadu (Rauf 1994; Rauf et al. 1994; Rauf 1996). Cendawan entomopatogen merupakan salah satu agen hayati yang potensial untuk mengendalikan hama kedelai (Sumartini et al. 2001). Beberapa jenis cendawan entomopatogen yang telah dimanfaatkan untuk mengendalikan hama tanaman perkebunan dan sayuran adalah Metarhizium anisopliae, Beauveria bassiana, Paecilomyces sp., Verticillium sp., dan Spicaria sp. (Gabriel dan Riyanto 1989; Widayat dan Rayati 1993a; Pendland dan Boucias 1998). Cendawan M. anisopliae mampu menginfeksi hama yang mempunyai tipe mulut menusuk dan mengisap, yaitu Riptortus linearis baik stadia nimfa maupun imago (Sumartini et al. 2001). Di samping itu, M. anisopliae juga mampu menginfeksi hama yang mempunyai tipe mulut menggigit seperti S. litura (Prayogo dan Tengkano 2002a; 2002b; 2002c). Dengan demikian terbuka peluang yang sangat luas untuk memanfaatkan cendawan M. anisopliae sebagai salah satu agen hayati dalam program pengelolaan hama kedelai. Beberapa kelebihan pemanfaatan cen20 dawan entomopatogen dalam pengendalian hama adalah mempunyai kapasitas reproduksi yang tinggi, siklus hidupnya pendek, dapat membentuk spora yang tahan lama di alam walaupun dalam kondisi yang tidak menguntungkan, relatif aman, bersifat selektif, relatif mudah diproduksi, dan sangat kecil kemungkinan terjadi resistensi (Hall 1973). KARAKTERISTIK CENDAWAN M. anisopliae M. anisopliae adalah salah satu cendawan entomopatogen yang termasuk dalam devisi Deuteromycotina: Hyphomycetes. Cendawan ini biasa disebut dengan green muscardine fungus dan tersebar luas di seluruh dunia (Lee dan Hou 1989; Tanada dan Kaya 1993; Kanga et al. 2003; Strack 2003). M. anisopliae telah lama digunakan sebagai agen hayati dan dapat menginfeksi beberapa jenis serangga, antara lain dari ordo Coleoptera, Lepidoptera, Homoptera, Hemiptera, dan Isoptera (Gabriel dan Riyanto 1989; Baehaki dan Noviyanti 1993; Strack 2003). Cendawan ini pertama kali digunakan untuk mengendalikan hama kumbang kelapa lebih dari 85 tahun yang lalu, dan sejak itu digunakan di beberapa negara termasuk Indonesia (Gabriel dan Riyanto 1989). Pada awal pertumbuhan, koloni cendawan berwarna putih, kemudian berubah menjadi hijau gelap dengan bertambahnya umur (Gambar 1). Koloni dapat tumbuh dengan cepat pada be- Gambar 1. berapa media seperti potato dextrose agar (PDA), jagung, dan beras (Prayogo dan Tengkano 2002a). Miselium bersekat, diameter 1,98−2,97 µm, konidiofor tersusun tegak, berlapis, dan bercabang yang dipenuhi dengan konidia. Konidia bersel satu berwarna hialin, berbentuk bulat silinder dengan ukuran 9,94 x 3,96 µm (Gambar 2). Cendawan ini bersifat parasit pada beberapa jenis serangga dan bersifat saprofit di dalam tanah dengan bertahan pada sisa-sisa tanaman (Barnett dan Hunter 1972; Alexopoulos dan Mims 1979). Temperatur optimum untuk pertumbuhan M. anisopliae berkisar 22− 27oC (Roddam dan Rath 1997), walaupun beberapa laporan menyebutkan bahwa cendawan masih dapat tumbuh pada temperatur yang lebih dingin (Glare et al. 1995; Luz et al. 1998; Bidochka et al. 2000). Konidia akan membentuk kecambah pada kelembapan di atas 90% (Millstein et al. 1983), namun demikian Milner et al. (1997) melaporkan bahwa Gambar 2. Konidia cendawan M. anisopliae (Prayogo 2004). Koloni cendawan M. anisopliae pada tubuh S. litura (kiri) dan koloni M. anisopliae umur satu bulan pada media PDA (kanan) (Prayogo 2004). Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005 konidia akan berkecambah dengan baik dan patogenisitasnya meningkat bila kelembapan udara sangat tinggi hingga 100%. Patogenisitas cendawan M. anisopliae akan menurun apabila kelembapan udara di bawah 86%. Hardaningsih (2001) banyak menemukan cendawan M. anisopliae pada tubuh S. litura di pertanaman kedelai di Kendalpayak (Malang). Widayat dan Rayati (1993a) menemukan M. anisopliae yang menginfeksi beberapa jenis hama seperti ulat api (Setora nitens), ulat jengkal (Ectropis bhurmitra), ulat penggulung daun (Homona cofferia), dan kumbang tanah (Uloma sp.) di perkebunan teh di Jawa Barat. MEKANISME INFEKSI M. anisopliae Ferron (1985) menggolongkan empat tahapan etiologi penyakit serangga yang disebabkan oleh cendawan. Tahap pertama adalah inokulasi, yaitu kontak antara propagul cendawan dengan tubuh serangga. Propagul cendawan M. anisopliae berupa konidia karena merupakan cendawan yang berkembang biak secara tidak sempurna (Barnett dan Hunter 1972; Ferron 1985). Dalam proses ini, senyawa mukopolisakarida memegang peranan penting. Tahap kedua adalah proses penempelan dan perkecambahan propagul cendawan (Gambar 3) pada integumen serangga (Ferron 1985; Butts 2003; Kanga et al. 2003). Kelembapan udara yang tinggi dan bahkan kadang-kadang air diperlukan untuk perkecambahan propagul cendawan (Silva dan Messias 1985; Glare dan Milner 1991). Pada tahap ini, cendawan dapat memanfaatkan senyawa-senyawa yang terdapat pada integumen. Tahap ketiga yaitu penetrasi dan invasi. Dalam melakukan penetrasi menembus integumen, cendawan membentuk tabung kecambah (appresorium) (Tyrrell dan MacLeod 1975; Perry et al. 1982; Bidochka et al. 2000). Dalam hal ini titik penetrasi sangat dipengaruhi oleh konfigurasi morfologi integumen (Santoso 1993). Penembusan dilakukan secara mekanis atau kimiawi dengan mengeluarkan enzim dan toksin. Tahap keempat yaitu destruksi pada titik penetrasi dan terbentuknya Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005 blastospora (Gambar 4) yang kemudian beredar ke dalam hemolimfa dan membentuk hifa sekunder untuk menyerang jaringan lainnya (Lee dan Hou 1989; Tanada dan Kaya 1993; Strack 2003). Pada umumnya serangga sudah mati sebelum proliferasi blastospora. Enam senyawa enzim dikeluarkan oleh M. anisopliae, yaitu lipase, khitinase, amilase, proteinase (Lee dan Hou 1989), pospatase, dan esterase (Freimoser et al. 2003). Serangga juga mengembangkan sistem pertahanan diri dengan cara fagositosis atau enkapsulasi dengan membentuk granuloma (Gillespie dan Claydon 1989; Huxham et al. 1989; Gillespie et al. 1997; Charnley 2003). Pada waktu serangga mati, fase perkembangan saprofit cendawan dimulai dengan penyerangan jaringan dan berakhir dengan pembentukan organ reproduksi (Gambar 4). Pada umumnya semua jaringan dan cairan tubuh serangga habis digunakan oleh cendawan, sehingga serangga mati dengan tubuh yang mengeras seperti mumi. Pertumbuhan cendawan diikuti dengan pengeluaran pigmen atau toksin yang dapat melindungi serangga dari serangan mikroorganisme lain terutama bakteri. Tidak selalu cendawan tumbuh ke luar menembus integumen serangga. Apabila keadaan kurang mendukung, perkembangan saprofit hanya berlangsung di dalam jasad serangga tanpa ke luar menembus integumen. Dalam hal ini cendawan membentuk struktur khusus untuk dapat bertahan, yaitu arthrospora (Ferron 1985). Gambar 3. Konidia cendawan M. anisopliae yang menempel pada integumen serangga (kiri) dan yang membentuk tabung kecambah (kanan) (Prayogo 2004). Gambar 4. Cendawan M. anisopliae yang membentuk blastospora (kiri) dan organ atau struktur baru yang di bentuk (kanan) (Prayogo 2004). 21 PENINGKATAN KEEFEKTIFAN M. anisopliae DALAM MENGENDALIKAN S. litura Media Sporulasi Media yang dipakai untuk menumbuhkan cendawan entomopatogen sangat menentukan laju pembentukan koloni dan jumlah konidia selama pertumbuhan. Jumlah konidia akan menentukan keefektifan cendawan entomopatogen dalam mengendalikan serangga (Widayat dan Rayati 1993b). Media dari jagung manis atau jagung lokal + gula 1% menghasilkan jumlah konidia dan persentase daya kecambah konidia yang lebih tinggi dibandingkan media yang lain (Prayogo dan Tengkano 2002a; Tabel 1). Kardin dan Priyatno (1996) menyatakan bahwa cendawan entomopatogen membutuhkan media dengan kandungan gula yang tinggi di samping protein. Media dengan kadar gula yang tinggi akan meningkatkan virulensi cendawan entomopatogen (Kucera 1971; Samsinakova et al. 1971; Samsinakova et al. 1977). Sporulasi M. anisopliae dipengaruhi oleh kandungan nutrisi dari media tumbuh yang digunakan (Susilo et al. 1993). Media tumbuh yang mengandung komponen nitrogen dari unsur organik paling banyak digunakan untuk menumbuhkan M. anisopliae. Media sebagai bahan pembawa (bearer) spora seperti agar dapat menyediakan hara yang cukup dan sangat dibutuhkan untuk pembentukan konidia cendawan entomopatogen (Widayat dan Rayati 1993a). Daya kecambah (viabilitas) cendawan entomopatogen merupakan awal dari stadia pertumbuhan cendawan sebelum melakukan penetrasi ke integumen serangga. Oleh karena itu, persentase daya kecambah sangat menentukan keberhasilan cendawan dalam pertumbuhan selanjutnya. Faktor lingkungan (sinar matahari, kelembapan, dan temperatur) sangat menentukan keberhasilan proses infeksi di samping faktor ganti kulit (moulting) dari serangga (Silva dan Messias 1985; Widayat dan Rayati 1993b; Luz et al. 1998). Media tumbuh juga mempengaruhi virulensi M. anisopliae pada S. litura (Tabel 2). Virulensi yang tinggi umumnya disebabkan oleh toksin yang terkandung dalam cendawan (Widayat dan Rayati 1993b). Toksin yang terkandung dalam M. anisopliae dapat menyebabkan mortalitas Spodoptera frugiperda hingga 100% (Gutierrez et al. 1998). Toksin menyebabkan terjadinya lisis pada integumen serangga yang tersusun dari protein dan khitin (Samson et al. 1988). Virulensi M. anisopliae yang ditumbuhkan pada media jagung manis paling Tabel 2. Virulensi M. anisopliae dari beberapa media tumbuh terhadap S. litura. Jenis media tumbuh Jagung lokal Jagung lokal + gula 1% Jagung BISI-1 Jagung Semar 2 Jagung manis Mortalitas S. litura (%) 3 HSA 8 HSA 12 HSA 8 20,10 14,25 45,50 48 70,25 15,50 15,75 20,50 23 21 52,50 54,25 53 72,50 HSA = hari setelah aplikasi. Sumber: Prayogo dan Tengkano (2002a). Tabel 1. Sporulasi dan daya kecambah M. anisopliae umur 21 hari setelah inokulasi pada beberapa media tumbuh. Jenis media tumbuh Jagung Jagung Jagung Jagung Jagung lokal lokal + gula 1% BISI-1 Semar 2 manis Total konidia Konidia berkecambah Daya kecambah (%) 120 2.461 196 150 2.814 100 2.365 178 128 2.717 83,30 96,10 90,80 85,30 96,60 Sumber: Prayogo dan Tengkano (2002a). 22 tinggi yaitu 72,80% untuk dapat menyebabkan mortalitas S. litura. Jagung lokal juga dapat digunakan sebagai media tumbuh M. anisopliae. Namun, media tersebut perlu ditambah gula 1% agar virulensinya meningkat hingga 70,25%, setara dengan virulensi cendawan yang ditumbuhkan pada media jagung manis (Tabel 2). Kerapatan Konidia Mortalitas serangga sangat ditentukan oleh kerapatan konidia cendawan entomopatogen yang diaplikasikan (Baehaki dan Noviyanti 1993; Haryanta et al. 1993; Nurdin et al. 1993; Widayat dan Rayati 1993b). Makin tinggi kerapatan konidia M. anisopliae, makin tinggi pula mortalitas S. litura (Prayogo dan Tengkano 2004, Tabel 3). Kerapatan konidia M. anisopliae 10 7/ml paling optimal untuk mengendalikan S. litura. Romero et al. (1997) juga menyatakan bahwa kerapatan konidia 107/ml sudah mampu membunuh serangga dari ordo Lepidoptera. Kerapatan konidia yang optimal untuk mengendalikan hama bergantung pada jenis serangga yang akan dikendalikan. Baehaki dan Noviyanti (1993) memerlukan kerapatan konidia 1015/ml M. anisopliae untuk mengendalikan imago wereng coklat, sedangkan Luz et al. (1998) serta Wang dan Powell (2001) hanya memerlukan kerapatan konidia 105−106/ml untuk mengendalikan Triatoma infestans. Frekuensi Aplikasi Mortalitas S. litura juga sangat ditentukan oleh frekuensi aplikasi M. anisopliae (Prayogo dan Tengkano 2004). Aplikasi M. anisopliae satu kali sebenarnya sudah Tabel 3. Mortalitas S. litura pada beberapa kerapatan konidia M. anisopliae. Kerapatan koniMortalitas S. litura dia M. anisop(%) liae per ml 3 HSA 8 HSA 12 HSA 104 105 106 107 108 35,33 43,67 45,67 56 51 44,33 54 60 79 70,67 48 55 64,33 83,33 71,67 HSA = hari setelah aplikasi. Sumber: Prayogo dan Tengkano (2004). Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005 mampu mematikan S. litura hingga 40% (Gambar 5). Namun, tingkat mortalitas S. litura meningkat hingga 83% bila aplikasi ditingkatkan menjadi tiga kali berturut-turut selama 3 hari. Widayat dan Rayati (1993b) menganjurkan aplikasi M. anisopliae empat kali untuk mengendalikan ulat jengkal (E. bhurmitra). Kenyataan ini mengindikasikan bahwa aplikasi cendawan entomopatogen perlu dilakukan lebih dari satu kali, apalagi bila serangga hama mempunyai siklus hidup yang terdiri atas beberapa stadia instar seperti S. litura. Aplikasi berulang diperlukan pula untuk mengantisipasi faktor lingkungan yang kurang mendukung sehingga tingkat keberhasilannya rendah. Tabel 4. Mortalitas instar S. litura akibat infeksi M. anisopliae. Instar S. litura I II III IV V VI Mortalitas S. litura (%) 3 HSA 8 HSA 12 HSA 39,75 32,75 16,25 9,35 17 26,50 40,50 33,50 18,25 12,25 20,50 31,30 43 35,25 18 21,50 32,50 33,50 Keefektifan cendawan M. anisopliae dalam mengendalikan S. litura, di samping dipengaruhi oleh media tumbuh, tingkat virulensi, dan frekuensi aplikasi, juga sangat ditentukan oleh umur instar serangga tersebut. Larva instar I paling rentan terhadap cendawan M. anisopliae (Tabel 4), karena lapisan integumen serangga masih sangat tipis sehingga cendawan sangat mudah melakukan penetrasi. Di samping itu, pergantian kulit serangga juga mempengaruhi keberhasilan aplikasi cendawan entomopatogen. Tempat Penyimpanan Umur Biakan Ruang penyimpanan biakan cendawan entomopatogen akan menentukan viabi- Umur biakan M. anisopliae sangat mempengaruhi virulensinya pada larva S. Gambar 7. 100 3 HSA 80 8 HSA 123 123 123 12 HSA a 60 a 40 20 0 a 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1x a 123 123 b 123 123 123 123 123 123 b 123 123 123 123 123 123 123 123 123 1234 1234 1234 1234 1234 1234 b1234 1234 b 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 2x 3x a Frekuensi aplikasi Gambar 5. Mortalitas S. litura pada beberapa frekuensi aplikasi M. anisopliae (Prayogo dan Tengkano 2002c). Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005 60 40 50 20 40 30 0 20 0 123 123 123 123 123 123 123 123 123 123 123 123 123 123 Refrigerator Pengaruh tempat penyimpanan M. anisopliae terhadap mortalitas S. litura (Prayogo dan Tengkano 2002c). a a 1234 1234 1234 1234 1234 1234 a 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1 10 b b Mortalitas S. litura (%) 80 60 b 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 b litura. Biakan cendawan berumur 1 bulan paling efektif mengendalikan S. litura (Gambar 8). Pada biakan berumur 2 atau 3 bulan, nutrisi dalam media banyak digunakan untuk memproduksi konidia sehingga cendawan kehabisan cadangan nutrisi. Akibatnya konidia cendawan banyak yang membentuk struktur khusus yaitu arthrospora untuk menghindari lingkungan yang tidak sesuai (Ferron 1985). Oleh karena itu, beberapa organ khusus tidak efektif lagi bila digunakan sebagai organ infektif terhadap hama sasaran. Samson et al. (1988) melaporkan bahwa kualitas dan kuantitas nutrisi dari media sangat mempengaruhi virulensi cendawan entomopatogen. Selanjutnya Boucias dan Pendland (1984); Woods dan Grula (1984); Boucias dan Latge (1988); dan Leger et al. (1989) menyebutkan bahwa di samping kualitas dan kuantitas nutrisi, komponen substrat S. litura ganti kulit (%) 70 b 3 HSA 123 8 HSA 123 123 12 HSA b S. ruangan K. mandi 100 Mortalitas S. litura (%) a a 1234 1234 1234 1234 1234 a 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 HSA = hari setelah aplikasi. Sumber: Prayogo dan Tengkano (2004). litas cendawan. Menurut Kogler (1967) dalam (Widayat dan Rayati 1993a), viabilitas konidia cendawan entomopatogen dipengaruhi oleh suhu, kelembapan, pH, radiasi sinar matahari, dan kandungan nutrisi bahan pembawa. Prayogo dan Tengkano (2002c) menyatakan bahwa ruang kamar mandi dengan temperatur 20−26oC cukup baik untuk menyimpan biakan cendawan. Suhu dan kelembapan yang sesuai bagi cendawan akan mengurangi dehidrasi cendawan saat disimpan. Dehidrasi yang berlebihan akan mengakibatkan kerusakan pada struktur cendawan khususnya konidia, sehingga banyak konidia yang infektif sebelum melakukan proses infeksi pada serangga inang. Umur Instar S. litura Mortalitas S. litura (%) 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 3 HSA 8 HSA 123 123 12 HSA a b b 123 123 123 123 123 123 123 123 123 123 2 b b b 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 3 Lama penyimpanan (bulan) Instar I Gambar 6. Instar II Instar III Instar Instar Instar IV V VI Pengaruh umur instar S. litura terhadap persentase larva ganti kulit (Prayogo dan Tengkano 2002b). Gambar 8. Pengaruh lama penyimpanan M. anisopliae terhadap mortalitas S. litura (Prayogo dan Tengkano 2002c). 23 pada integumen juga berpengaruh terhadap proses infeksi. KESIMPULAN Cendawan M. anisopliae mempunyai potensi yang tinggi sebagai salah satu agen hayati dalam pengendalian ulat grayak. Sporulasi dan virulensi M. anisopliae dapat ditingkatkan dengan menumbuhkannya pada media jagung manis atau jagung lokal + gula 1%. Kerapatan konidia M. anisopliae 107/ml dan aplikasi sebanyak tiga kali paling efektif untuk mengendalikan S. litura. S. litura instar I paling rentan terhadap aplikasi M. anisopliae. Kamar mandi dengan temperatur 20−26o C paling sesuai untuk menyimpan biakan cendawan agar viabilitasnya tetap tinggi. Biakan cendawan M. anisopliae umur 1 bulan paling efektif untuk mengendalikan S. litura. employee number = 573 [20 December 2003]. perda (Lepidoptera: Noctuidae) in the Mexican states of Michoacan, Colima, Jalisco and Tamaulipas. CAB Abstract. 6(10): 1 p. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Yusdar Hilman, Dr. Titis Adisarwanto, Dr. Nasir Saleh, Dr. Ir. A.A. Rahmiana, dan Ir. Yuliantoro Baliadi, MS., atas koreksi dan penyempurnaan naskah ini. DAFTAR PUSTAKA Alexopoulos, C.J. and C.W. Mims. 1979. Introductory of Mycology. 3 rd ed. John Wiley & Sons, New York. 177 pp. Arifin, M. 1992. Bioekologi, serangan, dan pengendalian hama pemakan daun kedelai. hlm. 81−103. Dalam Marwoto, N. Saleh, Sunardi, dan A. Winarto (Ed.). Risalah Lokakarya Pengendalian Hama Terpadu Tanaman Kedelai. Balai Penelitian Tanaman Pangan, Malang, 8−10 Agustus 1991. Barnett, H.L. and B.B. Hunter. 1972. Illustrated Genera of Imperfect Fungi. 3rd ed. Burgess Publishing Company, Minneapolis, Minnesota. 241 pp. Baehaki, S.E. dan Noviyanti. 1993. Pengaruh umur biakan Metarhizium anisopliae strain lokal Sukamandi terhadap perkembangan wereng coklat. hlm.113−124. Dalam E. Martono, E. Mahrub, N.S. Putra, dan Y. Trisetyawati (Ed.). Simposium Patologi Serangga I. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 12−13 Oktober 1993. Bidochka, M.J., A.M. Kamp, and J.N.A. Decroos. 2000. Insect pathogenic fungi: from genes to populations. Fungal Pathol. 171−193. Boucias, D.G. and J.C. Pendland. 1984. Nutritional requirements for conidial germination of several host range pathotypes of the entomopathogenic fungus Nomuraea rileyi. J. Invertebr. Pathol. (43): 288−292. Boucias, D.G. and J.P. Latge. 1988. Nonspecific induction of germination of Conidiobolus obscurus and Nomuraea rileyi with host and host cuticle extracts. J. Invertebr. Pathol. (51): 168−171. Butts, E. 2003. Metarhizium anisopliae strain F52, biopesticide fact sheet. US Environmental Protection Agency. http://www.epa. gov/pesticides/biopesticides.htm[20 December 2003]. Charnley, K. 2003. Fungal pathogens of insects, from mechanisms of pathogenicity to host defense. Department of Biology & Biochemistry University of Bath. http://www. bath.ac.uk/expertise/showperson. p h p ? 24 Ferron, P. 1985. Fungal control. Comprehensive Insect Phisiology, Biochem. Pharmacol. (12): 313−346. Freimoser, F.M., S. Screen, S. Bagga, G. Hu, and R.J. St. Leger. 2003. Expressed sequence tag (EST) analysis of two subspecies of Metarhizium anisopliae reveals a plethora of secreted proteins with potential activity in insect hosts. http://mic.sgmjournals.org/ cgi/ontent/abstract/149/1/239.htm [20 December 2003] Microbiology (149): 239− 247. Gabriel, B.P. dan Riyanto. 1989. Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sor. Taksonomi, patologi, produksi, dan aplikasinya. Proyek Pengembangan Perlindungan Tanaman Perkebunan, Departemen Pertanian, Jakarta. 25 hlm. Gillespie, A.T. and N. Claydon. 1989. The use of entomogenous fungi for pest control and the role of toxin in pathogenesis. Pesticide Sci. (27): 203−215. Gillespie, J.P., M.R. Kanost, and R. Trenczek. 1997. Biological mediators of insect immunity. Ann. Rev. Entomol. (42): 611− 643. Glare, T.R. and R.J. Milner. 1991. Ecology of entomopathogenic fungi, p. 547−612. In Arora D.K., L. Ajello, and K.G. Mukerji (Eds.). Handbook of Applied Mycology (2). Humans, Animals and Insects, Marcel Dekker Inc., New York. Glare, T.R., R.J. Townsend, and S.D. Young. 1995. Temperature limitations on field effectiveness of Metarhizium anisopliae against Costelytra zealandica (White) (Coleoptera: Scarabidae) in Canterbury. The New Zealand Plant Protection Society Incorporated http://www.hornet.co.nz/publications/nzpps/proceeding/94/94 266. htm [20 December 2003]. Gutierrez, L.R., J.J. Hamm, O.J. Molina, E.M. Lopez, and R.A. Pescador. 1998. Occurrence of entomopathogens of Spodoptera frugi- Hall, T.M. 1973. Use of microorganisms in biological control. p. 610−628. In P. Debach, (Ed.). Biological Control of Insects Pest and Weeds. Chapman and Hall Ltd., London. Hardaningsih, S. 2001. Identifikasi ras jamur entomophaga. Hasil Penelitian Komponen Teknologi Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Malang. hlm. 53−59. Haryanta, D., A. Susilo, dan H. Prasetyono. 1993. Pengaruh dosis dan waktu aplikasi cendawan Beauveria bassiana terhadap efektivitas pengendalian bubuk buah kopi (Hypothenemus hampei). hlm. 249−254. Dalam E. Martono, E. Mahrub, N.S. Putra, dan Y. Trisetyawati (Ed.). Simposium Patologi Serangga I. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 12−13 Oktober 1993. Huxham, I.M., A.M. Lackie, and N.J. Mccorkindale. 1989. Inhibitory effects of cyclodepsipeptides, destruxins, from the fungus Metarhizium anisopliae, on cellular immunity in insects. J. Insects Physiol. (35): 97−107. Kanga, L.B.B., W.A. Jones, and R.R. James. 2003. Field trials using fungal pathogen, Metarhizium anisopliae (Deuteromycetes: Hyphomycetes) to control the ectoparasitic mite, Varroa destructor (Acari:Varroidae) in honey bee, Apis mellifera (Hymenoptera: Apidae) colonies. J. Environ. Entomol (96): 1.091−1.099. http://www.bioone.org/bioone/ ? request=get-abstract&issn=0022 0493& volume=096&1ssue=048&page= 1.091.htm [20 December 2003]. Kardin, M.K. dan T.P. Priyatno. 1996. Pemanfaatan cendawan Hirsutella citriformis untuk pengendalian wereng coklat (Nilaparvata lugens Stal.). Temu Teknologi dan Persiapan Pemasyarakatan Pengendalian Hama Terpadu. Lembang, 27−29 Mei 1996. 25 hlm. Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005 Kucera, M. 1971. Toxin of the entomophagous fungus Beauveria bassiana: Effect of nitrogen sources on formation of the toxic protease in submerged culture. J. Invertebr. Pathol. (17): 211−215. Lee, P.C. and R. Hou. 1989. Pathogenesis of Metarhizium anisopliae var. anisopliae in the smaller brown planthopper, laodelphax striatellus. Chinese J. Entomol. (9): 13−19. http://www.entsoc.org.tw/english/journal/ 9vol/nol/2.htm. [20 December 2003]. Luz, C., M.S. Tigano, I.G. Silva, C.M.T. Cordeiro, and S.M. Aljanabi. 1998. Selection of Beauveria bassiana and Metarhizium anisopliae isolates to control Triatoma infestans. Memorias do Instituto Oswaldo Cruz 93: 839−846 [serial online] http:// memorias.ioc.fiocruz.br/936/3556.html. [20 December 2003]. Marwoto. 1992. Masalah pengendalian hama kedelai di tingkat petani. hlm. 37−43. Dalam Marwoto, N. Saleh, Sunardi, dan A. Winarto (Ed.). Risalah Lokakarya Pengendalian Hama Terpadu Tanaman Kedelai. Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang, 8−10 Agustus 1991. Marwoto dan K.E. Neering. 1992. Pengendalian hama kedelai dengan insektisida berdasarkan pemantauan. hlm. 59−65. Dalam Marwoto, N. Saleh, Sunardi, dan A. Winarto (Ed.). Risalah Lokakarya Pengendalian Hama Terpadu Tanaman Kedelai. Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang, 8−10 Agustus 1991. Millstein, J.A., G.C. Brown, and G.L. Nordin. 1983. Microclimate moisture and conidial production in Erynia sp. (Entomophthorales: Entomoptoraceae) in vivo production rate and duration under constant and fluctuating moisture regimes. Environ. Entomol. (12): 1.344−1.349. Milner, R.J., J.A. Staples, and G.G. Lutton. 1997. The effect of humidity on germination and infection of termites by the hyphomycete, Metarhizium anisopliae. J. Inverterbr. Pathol. (69): 64−69. Noch, I.P., A. Rahayu, A. Wahyu, dan O. Mochida. 1983. Bionomi ulat grayak Spodoptera litura Fabricius (Lepidoptera: Noctuidae) sebagai salah satu hama kacangkacangan. Kongres Entomologi II, Jakarta, 24−26 Januari 1983. 12 hlm. Nurdin, F., J. Gani, dan Z.B. Kiman. 1993. Pengaruh beberapa konsentrasi insektisida biologi Thuricide HP terhadap mortalitas larva ulat grayak Spodoptera litura pada tanaman kedelai. hlm. 239−248. Dalam E. Martono, E. Mahrub, N.S. Putra, dan Y. Trisetyawati (Ed.). Simposium Patologi Serangga I. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 12−13 Oktober 1993. Okada, M. 1977. Studies of the utilization and mass production of Spodoptera litura nuclear polyhedrosis virus for control of the tobacco cutworm, Spodoptera litura Fabricius. Rev. Plant Protection Res. Tokyo, Japan (10): 102−128. Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005 Pendland, J.C. and D.G. Boucias. 1998. Phagocytosis of lectin opsonized fungal cells and endocytosis of the ligand by insect Spodoptera exigua granular hemocytes: an ultrastructural and immunocytochemical study. CAB (Abstract) (6)7: 1 p. Perry, D.F., D. Tyrrell, and A.J. Delyzer. 1982. The mode of germination of Zoophthora radicans zygospores. Mycologia (74): 549− 554. Prayogo, Y. dan W. Tengkano. 2002a. Pengaruh media tumbuh terhadap daya kecambah, sporulasi dan virulensi Metarhizium anisopliae (Metchnikoff) Sorokin isolat Kendalpayak pada larva Spodoptera litura. SAINTEKS. Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu Pertanian. (9)4: 233−242. Prayogo, Y. dan W. Tengkano. 2002b. Pengaruh umur larva Spodoptera litura terhadap efektivitas Metarhizium anisopliae isolat Kendalpayak. Dalam N.R. Nganro, C. Sugandawati, M. Zairin Jr, A. Basukriadi, A. Tahir, P. Sukardi, I. Sulistyo, B. Subardjo, T. Hardiyati, E. Yuwono, Y. Sistina (Ed.). Majalah Ilmiah Biologi Biosfera (19)3: 70− 76. Prayogo, Y. dan W. Tengkano. 2002c. Pengaruh tempat dan lama penyimpanan suspensi spora Metarhizium anisopliae terhadap tingkat kematian larva Spodoptera litura. hlm. 259−268. Dalam K. Mulya, S. Rusli, Supriyadi, E.A. Wikardi, M. Djazuli, E. Karmawati, D. Manohara, O. Rostiana (Ed.). Prosiding Seminar Nasional dan Pameran Pertanian Organik, Jakarta, 2−3 Juli 2002. Prayogo, Y. 2004. Pemanfaatan cendawan entomopatogen Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sorokin untuk mengendalikan hama ulat grayak Spodoptera litura pada kedelai. [Kolokium Pengendalian Hama Terpadu]. Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 23 hlm. Prayogo, Y. dan W. Tengkano. 2004. Pengaruh konsentrasi dan frekuensi aplikasi Metarhizium anisopliae isolat Kendalpayak terhadap tingkat kematian Spodoptera litura. Dalam Sudjatinah, Umiyati, P. Bintoro, P. Widiyaningrum, I.O. Utami (Ed.). SAINTEKS. Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu Pertanian (10)3: 209−216. Rauf, A. 1994. Pengendalian hama terpadu: Back to basic. Seminar Himpunan Mahasiswa Proteksi Tanaman. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, 3 Desember 1994. Rauf, A., T. Marse, dan N.K. Hutagalung. 1994. Pengendalian hama terpadu: Kasus sekolah lapang di Jawa Barat. Seminar Nasional Pengembangan Keterkaitan Kelembagaan dalam Rangka Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia Agribisnis, Bogor, 20 September 1994. Rauf, A. 1996. Analisis ekosistem dalam pengendalian hama terpadu. Pelatihan Peramalan Hama dan Penyakit Tanaman Padi dan Palawija Tingkat Nasional, Jatisari, 2−9 Januari 1996. Roddam, L.F. and A.D. Rath. 1997. Isolation and characterisation of Metarhizium anisopliae and Beauveria bassiana from subantarctic Macquarie Island. J. Invertebr. Pathol. (69): 285−288. Romero, M., M. Estrada, R.F. Castaneda, and M. Lujan. 1997. Morphological and pathogenical characterization of Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sorokin. Cane Sugar 15(1): 17−25. http://memorias.ioc. fiocruz.br/936/3556.html. [20 December 2003]. Samsinakova, A., S. Misikova, and J. Leopolod. 1971. Action of enzymatic systems of Beauveria bassiana on the cuticle of the greater wax moth larvae Galleria mellonella. J. Invertebr. Pathol. (18): 322−330. Samsinakova, A., C. Bajan, S. Kalalova, K. Kmitowa, and M. Wojciechowska. 1977. The effect of some entomophagous fungi on the Colorado beetle and their enzyme activity. Bull. Acad. Pol. Sci. (25): 521−526. Samson, R.A., H.C. Evans, and J.P. Latge. 1988. Atlas of Entomopatogenic Fungi. Tokyo. Prinjesverlag Berlin Heifelberg, New York, London. 188 pp. Santoso, T. 1993. Dasar-dasar patologi serangga. hlm. 1−15. Dalam E. Martono, E. Mahrub, N.S. Putra, dan Y. Trisetyawati (Ed.). Simposium Patologi Serangga I. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,12−13 Oktober 1993. Soekarna, D. dan Harnoto. 1993. Pengendalian hama kedelai. Dalam Kedelai. Edisi ke-2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. hlm. 319−330. Silva, J.C. and C.L. Messias. 1985. Virulence of Metarhizium anisopliae to Rhodnius prolixus. Cienc Cult. (7): 37−40. Singh, R.S. and H.F. van Emden. 1979. Insect pests of grain legumes. Ann. Rev. Entomol. (24): 255−278. Strack, B.H. 2003. Biological control of termites by the fungal entomopathogen Metarhizium anisopliae. http://www.utoronto.ca/forest/ termite/metani_1.htm [20 December 2003]. St. Leger, R.J., T.M. Butt, M.S. Goettel, R.C. Staples, and D.W. Roberts. 1989. Production in vitro of appressoria by the entomopathogenic fungus Metarhizium anisopliae. Exp. Mycol. 13: 274−288. Sumartini, Y. Prayogo, S.W. Indiati, dan S. Hardaningsih. 2001. Pemanfaatan jamur Metarhizium anisopliae untuk pengendalian pengisap polong (Riptortus linearis) pada kedelai. hlm. 154−157. Dalam S.E. Baehaki, E. Santosa, Hendarsih, S.T. Suryana, N. Widarta, dan Sukrino (Ed.). Simposium Pengendalian Hayati Serangga, Balai Penelitian Tanaman Padi Sukamandi, 14− 15 Maret 2001. Susilo, A., S. Santoso, dan H.A. Tutung. 1993. Sporulasi, viabilitas cendawan Metarhizium anisopliae (Metscnikoff) Sorokin pada media jagung dan patogenisitasnya terhadap larva 25 Oryctes rhinoceros. hlm. 104−111. Dalam E. Martono, E. Mahrub, N.S. Putra, dan Y. Trisetyawati (Ed.). Simposium Patologi Serangga I. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta, 12−13 Oktober 1993. Tanada, Y. and H.K. Kaya. 1993. Insect Pathology. Academic Press, Inc., California. 666 pp. Tengkano, W. dan M. Soehardjan. 1993. Jenis hama utama pada berbagai fase pertumbuhan tanaman kedelai. Dalam Kedelai. Edisi ke2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. hlm. 295−318. Tyrrell, D. and D.M. MacLeod. 1975. In vitro germination of entomophthora aphids resting spores. Can. J. Bot. (53): 1.188−1.191. 26 Wang, C. and J.E. Powell. 2001. Isolation and evaluation of Metarhizium anisopliae for control of Coptotermes formosanus and Reticulitermes flavipes. An Entomol Odyssey of ESA. http://esa.cofex.com/esa/2001/ techprogram/paper_1411.htm [20 December 2003]. Widayat, W. dan D.J. Rayati. 1993a. Hasil penelitian jamur entomopatogenik lokal dan prospek penggunaannya sebagai insektisida hayati. hlm. 61−74. Dalam E. Martono, E. Mahrub, N.S. Putra, dan Y. Trisetyawati (Ed.). Simposium Patologi Serangga I. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 12− 13 Oktober 1993. Widayat, W. dan D.J. Rayati. 1993b. Pengaruh frekuensi penyemprotan jamur entomopatogenik terhadap ulat jengkal (Ectropis bhurmitra) di perkebunan teh. hlm. 91−98. Dalam E. Martono, E. Mahrub, N.S. Putra, dan Y. Trisetyawati (Ed.). Simposium Patologi Serangga I. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 12−13 Oktober 1993. Woods, S.P. and E.A. Grula. 1984. Utilizable surface nutrients on Heliothis zea available for growth of Beauveria bassiana. J. Invertebr. Pathol. (43): 259−269. Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005