Yusmani Prayogo.pmd - Pusat Perpustakaan dan Penyebaran

advertisement
PROSPEK CENDAWAN ENTOMOPATOGEN
Metarhizium anisopliae UNTUK MENGENDALIKAN
ULAT GRAYAK Spodoptera litura PADA KEDELAI
Yusmani Prayogo, Wedanimbi Tengkano, dan Marwoto
Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Kotak Pos 66, Malang 65101
ABSTRAK
Ulat grayak (Spodoptera litura) merupakan salah satu hama penting pada tanaman kedelai. Hama ini telah
menyebar di 22 propinsi di Indonesia. Ulat instar muda menyerang daun sehingga bagian daun yang tertinggal
hanya epidermis atas dan tulang-tulang daun, sedangkan ulat instar tua merusak tulang-tulang daun sehingga
tampak lubang-lubang bekas gigitan. Kerugian hasil akibat serangan hama ini mencapai 40%. Pengendalian ulat
grayak umumnya masih mengandalkan insektisida kimia, padahal penggunaan insektisida yang kurang bijaksana
dapat menyebabkan resurjensi, resistensi, dan musnahnya musuh alami. Pemanfaatan cendawan entomopatogen
untuk mengendalikan hama merupakan salah satu komponen pengendalian hama terpadu (PHT). Metarhizium
anisopliae merupakan cendawan entomopatogen yang mempunyai kemampuan menginfeksi beberapa jenis serangga
dari ordo Coleoptera, Lepidoptera, Hemiptera, Homoptera, dan Isoptera. Keefektifan cendawan M. anisopliae
dalam mengendalikan S. litura dapat ditingkatkan dengan 1) menggunakan media tumbuh jagung manis untuk
meningkatkan sporulasi dan virulensi cendawan tersebut, 2) meningkatkan kerapatan konidia M. anisopliae hingga
107/ml, 3) melakukan aplikasi M. anisopliae tiga kali, 4) mengaplikasikan M. anisopliae pada S. litura instar I, 5)
menyimpan M. anisopliae di dalam ruang kamar mandi dengan suhu antara 20−26o C untuk mempertahankan
viabilitasnya, dan 6) menggunakan biakan M. anisopliae umur 1 bulan. Dari beberapa hasil kajian, cendawan M.
anisopliae mempunyai prospek yang baik sebagai salah satu agen hayati dalam pengendalian hama terpadu S. litura
pada tanaman kedelai.
Kata kunci: Metarhizium anisopliae, Spodoptera litura, kedelai, pengendalian hama
ABSTRACT
Prospect of entomophatogenic fungus Metarhizium anisopliae to control Spodoptera litura on soybean
Spodoptera litura is the most destructive pests in soybean which causes yield losses up to 40%. The pest is widely
distributed throughout 22 provinces in Indonesia. Young instar attacks the foliage so that the remaining leaf part
is only top epidermis and leaf inter-vein, while the old one attacks the main-vein that causes many holes on the
leaf. At present, more than 90% of the farmers treat this insect using chemical insecticide. Several negative
impacts are reported due to the unwisely insecticide application, i.e. insect resistance and resurgence. The integration
of biological agents like entomopathogenic fungi in integrated pest management (IPM) is one of the famous
options to control S. litura. Metarhizium anisopliae is able to infect several kinds of insect of Coleoptera,
Lepidoptera, Hemiptera, Homoptera, and Isoptera groups. The effectiveness of M. anisopliae against S. litura
could be increased by: 1) using sweet corn medium to optimize virulence and spore production, 2) using the
optimum killing densities of conidia 107/ml, 3) applying M. anisopliae three times, 4) applying M. anisopliae to
the first instar of S. litura, 5) keeping M. anisopliae in the bathroom condition about 20−26oC to stabilize the
fungus viability, and 6) using the most effective colonies of one month old. This result indicated that M. anisopliae
has a good prospect as a biological agent in controlling S. litura.
Keywords: Metarhizium anisopliae, Spodoptera litura, soybean, pest control
U
lat grayak Spodoptera litura F.
(Lepidoptera: Noctuidae) merupakan salah satu hama penting pada tanaman kedelai (Arifin 1992; Soekarna dan
Harnoto 1993; Tengkano dan Soehardjan
Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005
1993). Hama ini tersebar luas di beberapa
negara, seperti Jepang, Cina, Mesir,
India, Sri Lanka, Filipina, Thailand, dan
Indonesia (Okada 1977; Singh dan van
Emden 1979). Di Indonesia, S. litura
banyak ditemukan di Jawa Barat, Jawa
Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan,
dan Sumatera Selatan (Tengkano dan
Soehardjan 1993). S. litura dapat hidup
pada berbagai jenis tanaman, seperti
19
tembakau, kacang tanah, ubi jalar, cabai,
bawang merah, kacang hijau, dan jagung
(Arifin 1992; Tengkano dan Soehardjan
1993).
Noch et al. (1983) melaporkan bahwa
setiap ekor ngengat betina dapat menghasilkan telur hingga 3.000 butir yang
terdiri atas 11 kelompok dengan 350 butir
tiap kelompok telur. Setelah telur menetas,
ulat tinggal untuk sementara waktu di
tempat telur diletakkan, kemudian beberapa hari setelah itu ulat berpencar.
Stadium ulat terdiri atas enam instar dan
berlangsung selama 13−17 hari (Noch et
al. 1983). Ulat instar muda merusak daun
sehingga bagian daun yang tersisa
hanya tulang-tulang daun epidermis
bagian atas. Ulat instar tua merusak
tulang-tulang daun sehingga tampak
lubang-lubang bekas gigitan. Selain
merusak daun, larva juga menyerang
polong muda.
Selama ini, pengendalian ulat grayak
yang dilakukan oleh petani masih mengandalkan insektisida kimia (Marwoto 1992;
Marwoto dan Neering 1992). Padahal,
penggunaan insektisida yang kurang
bijaksana dapat menyebabkan resistensi,
resurjensi, dan musnahnya musuh alami.
Peran musuh alami sebagai salah satu
agen hayati semakin penting sejalan
dengan penerapan konsep pengendalian
hama terpadu (Rauf 1994; Rauf et al. 1994;
Rauf 1996).
Cendawan entomopatogen merupakan salah satu agen hayati yang potensial
untuk mengendalikan hama kedelai
(Sumartini et al. 2001). Beberapa jenis
cendawan entomopatogen yang telah
dimanfaatkan untuk mengendalikan
hama tanaman perkebunan dan sayuran
adalah Metarhizium anisopliae, Beauveria bassiana, Paecilomyces sp.,
Verticillium sp., dan Spicaria sp. (Gabriel
dan Riyanto 1989; Widayat dan Rayati
1993a; Pendland dan Boucias 1998).
Cendawan M. anisopliae mampu menginfeksi hama yang mempunyai tipe mulut
menusuk dan mengisap, yaitu Riptortus
linearis baik stadia nimfa maupun imago
(Sumartini et al. 2001). Di samping itu, M.
anisopliae juga mampu menginfeksi hama
yang mempunyai tipe mulut menggigit
seperti S. litura (Prayogo dan Tengkano
2002a; 2002b; 2002c). Dengan demikian
terbuka peluang yang sangat luas untuk
memanfaatkan cendawan M. anisopliae
sebagai salah satu agen hayati dalam
program pengelolaan hama kedelai.
Beberapa kelebihan pemanfaatan cen20
dawan entomopatogen dalam pengendalian hama adalah mempunyai kapasitas
reproduksi yang tinggi, siklus hidupnya
pendek, dapat membentuk spora yang
tahan lama di alam walaupun dalam
kondisi yang tidak menguntungkan,
relatif aman, bersifat selektif, relatif
mudah diproduksi, dan sangat kecil
kemungkinan terjadi resistensi (Hall
1973).
KARAKTERISTIK CENDAWAN M. anisopliae
M. anisopliae adalah salah satu cendawan
entomopatogen yang termasuk dalam
devisi Deuteromycotina: Hyphomycetes.
Cendawan ini biasa disebut dengan
green muscardine fungus dan tersebar
luas di seluruh dunia (Lee dan Hou 1989;
Tanada dan Kaya 1993; Kanga et al. 2003;
Strack 2003). M. anisopliae telah lama
digunakan sebagai agen hayati dan dapat
menginfeksi beberapa jenis serangga,
antara lain dari ordo Coleoptera, Lepidoptera, Homoptera, Hemiptera, dan
Isoptera (Gabriel dan Riyanto 1989;
Baehaki dan Noviyanti 1993; Strack
2003). Cendawan ini pertama kali digunakan untuk mengendalikan hama
kumbang kelapa lebih dari 85 tahun yang
lalu, dan sejak itu digunakan di beberapa
negara termasuk Indonesia (Gabriel dan
Riyanto 1989).
Pada awal pertumbuhan, koloni
cendawan berwarna putih, kemudian
berubah menjadi hijau gelap dengan
bertambahnya umur (Gambar 1). Koloni
dapat tumbuh dengan cepat pada be-
Gambar 1.
berapa media seperti potato dextrose
agar (PDA), jagung, dan beras (Prayogo
dan Tengkano 2002a). Miselium bersekat,
diameter 1,98−2,97 µm, konidiofor tersusun tegak, berlapis, dan bercabang
yang dipenuhi dengan konidia. Konidia
bersel satu berwarna hialin, berbentuk
bulat silinder dengan ukuran 9,94 x 3,96
µm (Gambar 2). Cendawan ini bersifat
parasit pada beberapa jenis serangga dan
bersifat saprofit di dalam tanah dengan
bertahan pada sisa-sisa tanaman (Barnett
dan Hunter 1972; Alexopoulos dan Mims
1979).
Temperatur optimum untuk pertumbuhan M. anisopliae berkisar 22−
27oC (Roddam dan Rath 1997), walaupun
beberapa laporan menyebutkan bahwa
cendawan masih dapat tumbuh pada
temperatur yang lebih dingin (Glare et al.
1995; Luz et al. 1998; Bidochka et al.
2000). Konidia akan membentuk kecambah pada kelembapan di atas 90%
(Millstein et al. 1983), namun demikian
Milner et al. (1997) melaporkan bahwa
Gambar 2.
Konidia cendawan M. anisopliae (Prayogo 2004).
Koloni cendawan M. anisopliae pada tubuh S. litura (kiri) dan koloni
M. anisopliae umur satu bulan pada media PDA (kanan) (Prayogo
2004).
Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005
konidia akan berkecambah dengan baik
dan patogenisitasnya meningkat bila
kelembapan udara sangat tinggi hingga
100%. Patogenisitas cendawan M.
anisopliae akan menurun apabila kelembapan udara di bawah 86%.
Hardaningsih (2001) banyak menemukan cendawan M. anisopliae pada
tubuh S. litura di pertanaman kedelai di
Kendalpayak (Malang). Widayat dan
Rayati (1993a) menemukan M. anisopliae
yang menginfeksi beberapa jenis hama
seperti ulat api (Setora nitens), ulat jengkal
(Ectropis bhurmitra), ulat penggulung
daun (Homona cofferia), dan kumbang
tanah (Uloma sp.) di perkebunan teh di
Jawa Barat.
MEKANISME INFEKSI
M. anisopliae
Ferron (1985) menggolongkan empat
tahapan etiologi penyakit serangga
yang disebabkan oleh cendawan. Tahap
pertama adalah inokulasi, yaitu kontak
antara propagul cendawan dengan tubuh
serangga. Propagul cendawan M. anisopliae berupa konidia karena merupakan
cendawan yang berkembang biak secara
tidak sempurna (Barnett dan Hunter 1972;
Ferron 1985). Dalam proses ini, senyawa
mukopolisakarida memegang peranan
penting.
Tahap kedua adalah proses penempelan dan perkecambahan propagul
cendawan (Gambar 3) pada integumen
serangga (Ferron 1985; Butts 2003; Kanga
et al. 2003). Kelembapan udara yang
tinggi dan bahkan kadang-kadang air
diperlukan untuk perkecambahan propagul cendawan (Silva dan Messias
1985; Glare dan Milner 1991). Pada tahap
ini, cendawan dapat memanfaatkan
senyawa-senyawa yang terdapat pada
integumen.
Tahap ketiga yaitu penetrasi dan
invasi. Dalam melakukan penetrasi menembus integumen, cendawan membentuk
tabung kecambah (appresorium) (Tyrrell
dan MacLeod 1975; Perry et al. 1982;
Bidochka et al. 2000). Dalam hal ini titik
penetrasi sangat dipengaruhi oleh konfigurasi morfologi integumen (Santoso
1993). Penembusan dilakukan secara
mekanis atau kimiawi dengan mengeluarkan enzim dan toksin.
Tahap keempat yaitu destruksi
pada titik penetrasi dan terbentuknya
Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005
blastospora (Gambar 4) yang kemudian
beredar ke dalam hemolimfa dan membentuk hifa sekunder untuk menyerang
jaringan lainnya (Lee dan Hou 1989;
Tanada dan Kaya 1993; Strack 2003).
Pada umumnya serangga sudah mati
sebelum proliferasi blastospora.
Enam senyawa enzim dikeluarkan
oleh M. anisopliae, yaitu lipase, khitinase, amilase, proteinase (Lee dan Hou
1989), pospatase, dan esterase (Freimoser
et al. 2003). Serangga juga mengembangkan sistem pertahanan diri dengan
cara fagositosis atau enkapsulasi dengan
membentuk granuloma (Gillespie dan
Claydon 1989; Huxham et al. 1989;
Gillespie et al. 1997; Charnley 2003).
Pada waktu serangga mati, fase
perkembangan saprofit cendawan dimulai dengan penyerangan jaringan dan
berakhir dengan pembentukan organ
reproduksi (Gambar 4). Pada umumnya semua jaringan dan cairan tubuh
serangga habis digunakan oleh cendawan, sehingga serangga mati dengan
tubuh yang mengeras seperti mumi.
Pertumbuhan cendawan diikuti dengan
pengeluaran pigmen atau toksin yang
dapat melindungi serangga dari serangan
mikroorganisme lain terutama bakteri.
Tidak selalu cendawan tumbuh ke luar
menembus integumen serangga. Apabila
keadaan kurang mendukung, perkembangan saprofit hanya berlangsung di
dalam jasad serangga tanpa ke luar
menembus integumen. Dalam hal ini
cendawan membentuk struktur khusus
untuk dapat bertahan, yaitu arthrospora
(Ferron 1985).
Gambar 3.
Konidia cendawan M. anisopliae yang menempel pada integumen
serangga (kiri) dan yang membentuk tabung kecambah (kanan)
(Prayogo 2004).
Gambar 4.
Cendawan M. anisopliae yang membentuk blastospora (kiri) dan
organ atau struktur baru yang di bentuk (kanan) (Prayogo 2004).
21
PENINGKATAN KEEFEKTIFAN M. anisopliae DALAM
MENGENDALIKAN S. litura
Media Sporulasi
Media yang dipakai untuk menumbuhkan cendawan entomopatogen sangat
menentukan laju pembentukan koloni
dan jumlah konidia selama pertumbuhan.
Jumlah konidia akan menentukan keefektifan cendawan entomopatogen dalam
mengendalikan serangga (Widayat dan
Rayati 1993b). Media dari jagung manis
atau jagung lokal + gula 1% menghasilkan
jumlah konidia dan persentase daya
kecambah konidia yang lebih tinggi
dibandingkan media yang lain (Prayogo
dan Tengkano 2002a; Tabel 1). Kardin
dan Priyatno (1996) menyatakan bahwa
cendawan entomopatogen membutuhkan
media dengan kandungan gula yang
tinggi di samping protein. Media dengan
kadar gula yang tinggi akan meningkatkan virulensi cendawan entomopatogen
(Kucera 1971; Samsinakova et al. 1971;
Samsinakova et al. 1977).
Sporulasi M. anisopliae dipengaruhi
oleh kandungan nutrisi dari media
tumbuh yang digunakan (Susilo et al.
1993). Media tumbuh yang mengandung
komponen nitrogen dari unsur organik
paling banyak digunakan untuk menumbuhkan M. anisopliae. Media
sebagai bahan pembawa (bearer) spora
seperti agar dapat menyediakan hara
yang cukup dan sangat dibutuhkan
untuk pembentukan konidia cendawan
entomopatogen (Widayat dan Rayati
1993a).
Daya kecambah (viabilitas) cendawan entomopatogen merupakan awal
dari stadia pertumbuhan cendawan
sebelum melakukan penetrasi ke integumen serangga. Oleh karena itu,
persentase daya kecambah sangat
menentukan keberhasilan cendawan
dalam pertumbuhan selanjutnya. Faktor
lingkungan (sinar matahari, kelembapan,
dan temperatur) sangat menentukan
keberhasilan proses infeksi di samping
faktor ganti kulit (moulting) dari serangga
(Silva dan Messias 1985; Widayat dan
Rayati 1993b; Luz et al. 1998).
Media tumbuh juga mempengaruhi
virulensi M. anisopliae pada S. litura
(Tabel 2). Virulensi yang tinggi umumnya disebabkan oleh toksin yang
terkandung dalam cendawan (Widayat
dan Rayati 1993b). Toksin yang terkandung dalam M. anisopliae dapat
menyebabkan mortalitas Spodoptera
frugiperda hingga 100% (Gutierrez et al.
1998). Toksin menyebabkan terjadinya
lisis pada integumen serangga yang
tersusun dari protein dan khitin (Samson
et al. 1988).
Virulensi M. anisopliae yang ditumbuhkan pada media jagung manis paling
Tabel 2. Virulensi M. anisopliae dari
beberapa media tumbuh
terhadap S. litura.
Jenis media
tumbuh
Jagung lokal
Jagung lokal
+ gula 1%
Jagung BISI-1
Jagung Semar 2
Jagung manis
Mortalitas S. litura
(%)
3 HSA
8 HSA
12 HSA
8
20,10
14,25
45,50
48
70,25
15,50
15,75
20,50
23
21
52,50
54,25
53
72,50
HSA = hari setelah aplikasi.
Sumber: Prayogo dan Tengkano (2002a).
Tabel 1. Sporulasi dan daya kecambah M. anisopliae umur 21 hari setelah
inokulasi pada beberapa media tumbuh.
Jenis media tumbuh
Jagung
Jagung
Jagung
Jagung
Jagung
lokal
lokal + gula 1%
BISI-1
Semar 2
manis
Total konidia
Konidia
berkecambah
Daya kecambah
(%)
120
2.461
196
150
2.814
100
2.365
178
128
2.717
83,30
96,10
90,80
85,30
96,60
Sumber: Prayogo dan Tengkano (2002a).
22
tinggi yaitu 72,80% untuk dapat menyebabkan mortalitas S. litura. Jagung
lokal juga dapat digunakan sebagai media
tumbuh M. anisopliae. Namun, media
tersebut perlu ditambah gula 1% agar
virulensinya meningkat hingga 70,25%,
setara dengan virulensi cendawan yang
ditumbuhkan pada media jagung manis
(Tabel 2).
Kerapatan Konidia
Mortalitas serangga sangat ditentukan
oleh kerapatan konidia cendawan entomopatogen yang diaplikasikan (Baehaki
dan Noviyanti 1993; Haryanta et al.
1993; Nurdin et al. 1993; Widayat dan
Rayati 1993b). Makin tinggi kerapatan
konidia M. anisopliae, makin tinggi
pula mortalitas S. litura (Prayogo dan
Tengkano 2004, Tabel 3). Kerapatan
konidia M. anisopliae 10 7/ml paling
optimal untuk mengendalikan S. litura.
Romero et al. (1997) juga menyatakan
bahwa kerapatan konidia 107/ml sudah
mampu membunuh serangga dari ordo
Lepidoptera.
Kerapatan konidia yang optimal
untuk mengendalikan hama bergantung
pada jenis serangga yang akan dikendalikan. Baehaki dan Noviyanti (1993)
memerlukan kerapatan konidia 1015/ml M.
anisopliae untuk mengendalikan imago
wereng coklat, sedangkan Luz et al. (1998)
serta Wang dan Powell (2001) hanya memerlukan kerapatan konidia 105−106/ml
untuk mengendalikan Triatoma infestans.
Frekuensi Aplikasi
Mortalitas S. litura juga sangat ditentukan oleh frekuensi aplikasi M. anisopliae
(Prayogo dan Tengkano 2004). Aplikasi
M. anisopliae satu kali sebenarnya sudah
Tabel 3. Mortalitas S. litura pada
beberapa kerapatan konidia
M. anisopliae.
Kerapatan koniMortalitas S. litura
dia M. anisop(%)
liae per ml
3 HSA
8 HSA
12 HSA
104
105
106
107
108
35,33
43,67
45,67
56
51
44,33
54
60
79
70,67
48
55
64,33
83,33
71,67
HSA = hari setelah aplikasi.
Sumber: Prayogo dan Tengkano (2004).
Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005
mampu mematikan S. litura hingga 40%
(Gambar 5). Namun, tingkat mortalitas
S. litura meningkat hingga 83% bila
aplikasi ditingkatkan menjadi tiga kali
berturut-turut selama 3 hari. Widayat dan
Rayati (1993b) menganjurkan aplikasi M.
anisopliae empat kali untuk mengendalikan ulat jengkal (E. bhurmitra).
Kenyataan ini mengindikasikan bahwa
aplikasi cendawan entomopatogen perlu
dilakukan lebih dari satu kali, apalagi
bila serangga hama mempunyai siklus
hidup yang terdiri atas beberapa stadia
instar seperti S. litura. Aplikasi berulang
diperlukan pula untuk mengantisipasi
faktor lingkungan yang kurang mendukung sehingga tingkat keberhasilannya
rendah.
Tabel 4. Mortalitas instar S. litura
akibat infeksi M. anisopliae.
Instar
S. litura
I
II
III
IV
V
VI
Mortalitas S. litura
(%)
3 HSA
8 HSA
12 HSA
39,75
32,75
16,25
9,35
17
26,50
40,50
33,50
18,25
12,25
20,50
31,30
43
35,25
18
21,50
32,50
33,50
Keefektifan cendawan M. anisopliae
dalam mengendalikan S. litura, di samping dipengaruhi oleh media tumbuh,
tingkat virulensi, dan frekuensi aplikasi,
juga sangat ditentukan oleh umur instar
serangga tersebut. Larva instar I paling
rentan terhadap cendawan M. anisopliae
(Tabel 4), karena lapisan integumen
serangga masih sangat tipis sehingga
cendawan sangat mudah melakukan
penetrasi. Di samping itu, pergantian
kulit serangga juga mempengaruhi
keberhasilan aplikasi cendawan entomopatogen.
Tempat Penyimpanan
Umur Biakan
Ruang penyimpanan biakan cendawan
entomopatogen akan menentukan viabi-
Umur biakan M. anisopliae sangat
mempengaruhi virulensinya pada larva S.
Gambar 7.
100
3 HSA
80
8 HSA
123
123
123
12 HSA
a
60
a
40
20
0
a
1234
1234
1234
1234
1234
1234
1234
1234
1234
1234
1234
1x
a
123
123
b 123
123
123
123
123
123
b
123
123
123
123
123
123
123
123
123
1234
1234
1234
1234
1234
1234
b1234
1234
b 1234
1234
1234
1234
1234
1234
1234
1234
1234
1234
1234
1234
1234
1234
1234
2x
3x
a
Frekuensi aplikasi
Gambar 5. Mortalitas S. litura pada beberapa frekuensi aplikasi
M. anisopliae (Prayogo dan
Tengkano 2002c).
Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005
60
40
50
20
40
30
0
20
0
123
123
123
123
123
123
123
123
123
123
123
123
123
123
Refrigerator
Pengaruh tempat penyimpanan M. anisopliae terhadap mortalitas S. litura
(Prayogo dan Tengkano
2002c).
a
a 1234
1234
1234
1234
1234
1234
a 1234
1234
1234
1234
1234
1234
1234
1234
1234
1234
1234
1234
1234
1234
1234
1234
1234
1234
1234
1234
1
10
b
b
Mortalitas S. litura (%)
80
60
b
1234
1234
1234
1234
1234
1234
1234
1234
1234
1234
1234
1234
1234
1234
b
litura. Biakan cendawan berumur 1 bulan
paling efektif mengendalikan S. litura
(Gambar 8). Pada biakan berumur 2 atau 3
bulan, nutrisi dalam media banyak
digunakan untuk memproduksi konidia
sehingga cendawan kehabisan cadangan
nutrisi. Akibatnya konidia cendawan
banyak yang membentuk struktur khusus
yaitu arthrospora untuk menghindari
lingkungan yang tidak sesuai (Ferron
1985). Oleh karena itu, beberapa organ
khusus tidak efektif lagi bila digunakan
sebagai organ infektif terhadap hama
sasaran. Samson et al. (1988) melaporkan
bahwa kualitas dan kuantitas nutrisi dari
media sangat mempengaruhi virulensi
cendawan entomopatogen. Selanjutnya
Boucias dan Pendland (1984); Woods
dan Grula (1984); Boucias dan Latge
(1988); dan Leger et al. (1989) menyebutkan bahwa di samping kualitas dan
kuantitas nutrisi, komponen substrat
S. litura ganti kulit (%)
70
b
3 HSA
123 8 HSA
123
123 12 HSA
b
S. ruangan
K. mandi
100
Mortalitas S. litura (%)
a
a 1234
1234
1234
1234
1234
a 1234
1234
1234
1234
1234
1234
1234
1234
1234
1234
1234
1234
1234
HSA = hari setelah aplikasi.
Sumber: Prayogo dan Tengkano (2004).
litas cendawan. Menurut Kogler (1967)
dalam (Widayat dan Rayati 1993a),
viabilitas konidia cendawan entomopatogen dipengaruhi oleh suhu, kelembapan, pH, radiasi sinar matahari, dan
kandungan nutrisi bahan pembawa.
Prayogo dan Tengkano (2002c) menyatakan bahwa ruang kamar mandi dengan
temperatur 20−26oC cukup baik untuk
menyimpan biakan cendawan. Suhu dan
kelembapan yang sesuai bagi cendawan
akan mengurangi dehidrasi cendawan
saat disimpan. Dehidrasi yang berlebihan
akan mengakibatkan kerusakan pada
struktur cendawan khususnya konidia,
sehingga banyak konidia yang infektif
sebelum melakukan proses infeksi pada
serangga inang.
Umur Instar S. litura
Mortalitas S. litura (%)
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
3 HSA
8 HSA
123
123 12 HSA
a
b
b 123
123
123
123
123
123
123
123
123
123
2
b
b
b
1234
1234
1234
1234
1234
1234
1234
1234
3
Lama penyimpanan (bulan)
Instar
I
Gambar 6.
Instar
II
Instar
III
Instar Instar Instar
IV
V
VI
Pengaruh umur instar S.
litura terhadap persentase
larva ganti kulit (Prayogo dan Tengkano 2002b).
Gambar 8.
Pengaruh lama penyimpanan M. anisopliae terhadap mortalitas S. litura
(Prayogo dan Tengkano
2002c).
23
pada integumen juga berpengaruh
terhadap proses infeksi.
KESIMPULAN
Cendawan M. anisopliae mempunyai
potensi yang tinggi sebagai salah satu
agen hayati dalam pengendalian ulat
grayak. Sporulasi dan virulensi M.
anisopliae dapat ditingkatkan dengan
menumbuhkannya pada media jagung
manis atau jagung lokal + gula 1%.
Kerapatan konidia M. anisopliae 107/ml
dan aplikasi sebanyak tiga kali paling
efektif untuk mengendalikan S. litura. S.
litura instar I paling rentan terhadap
aplikasi M. anisopliae. Kamar mandi
dengan temperatur 20−26o C paling sesuai untuk menyimpan biakan cendawan
agar viabilitasnya tetap tinggi. Biakan
cendawan M. anisopliae umur 1 bulan
paling efektif untuk mengendalikan S.
litura.
employee number = 573 [20 December
2003].
perda (Lepidoptera: Noctuidae) in the
Mexican states of Michoacan, Colima,
Jalisco and Tamaulipas. CAB Abstract. 6(10):
1 p.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada
Dr. Yusdar Hilman, Dr. Titis Adisarwanto,
Dr. Nasir Saleh, Dr. Ir. A.A. Rahmiana, dan
Ir. Yuliantoro Baliadi, MS., atas koreksi dan
penyempurnaan naskah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Alexopoulos, C.J. and C.W. Mims. 1979.
Introductory of Mycology. 3 rd ed. John
Wiley & Sons, New York. 177 pp.
Arifin, M. 1992. Bioekologi, serangan, dan
pengendalian hama pemakan daun kedelai.
hlm. 81−103. Dalam Marwoto, N. Saleh,
Sunardi, dan A. Winarto (Ed.). Risalah
Lokakarya Pengendalian Hama Terpadu
Tanaman Kedelai. Balai Penelitian Tanaman
Pangan, Malang, 8−10 Agustus 1991.
Barnett, H.L. and B.B. Hunter. 1972. Illustrated
Genera of Imperfect Fungi. 3rd ed. Burgess
Publishing Company, Minneapolis, Minnesota. 241 pp.
Baehaki, S.E. dan Noviyanti. 1993. Pengaruh
umur biakan Metarhizium anisopliae strain
lokal Sukamandi terhadap perkembangan
wereng coklat. hlm.113−124. Dalam E.
Martono, E. Mahrub, N.S. Putra, dan Y.
Trisetyawati (Ed.). Simposium Patologi
Serangga I. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 12−13 Oktober 1993.
Bidochka, M.J., A.M. Kamp, and J.N.A. Decroos.
2000. Insect pathogenic fungi: from genes
to populations. Fungal Pathol. 171−193.
Boucias, D.G. and J.C. Pendland. 1984.
Nutritional requirements for conidial
germination of several host range pathotypes of the entomopathogenic fungus
Nomuraea rileyi. J. Invertebr. Pathol. (43):
288−292.
Boucias, D.G. and J.P. Latge. 1988. Nonspecific
induction of germination of Conidiobolus
obscurus and Nomuraea rileyi with host and
host cuticle extracts. J. Invertebr. Pathol.
(51): 168−171.
Butts, E. 2003. Metarhizium anisopliae strain
F52, biopesticide fact sheet. US Environmental Protection Agency. http://www.epa.
gov/pesticides/biopesticides.htm[20
December 2003].
Charnley, K. 2003. Fungal pathogens of insects,
from mechanisms of pathogenicity to host
defense. Department of Biology & Biochemistry University of Bath. http://www.
bath.ac.uk/expertise/showperson. p h p ?
24
Ferron, P. 1985. Fungal control. Comprehensive
Insect Phisiology, Biochem. Pharmacol.
(12): 313−346.
Freimoser, F.M., S. Screen, S. Bagga, G. Hu, and
R.J. St. Leger. 2003. Expressed sequence tag
(EST) analysis of two subspecies of
Metarhizium anisopliae reveals a plethora
of secreted proteins with potential activity
in insect hosts. http://mic.sgmjournals.org/
cgi/ontent/abstract/149/1/239.htm [20 December 2003] Microbiology (149): 239−
247.
Gabriel, B.P. dan Riyanto. 1989. Metarhizium
anisopliae (Metsch.) Sor. Taksonomi,
patologi, produksi, dan aplikasinya. Proyek
Pengembangan Perlindungan Tanaman Perkebunan, Departemen Pertanian, Jakarta. 25
hlm.
Gillespie, A.T. and N. Claydon. 1989. The use
of entomogenous fungi for pest control and
the role of toxin in pathogenesis. Pesticide
Sci. (27): 203−215.
Gillespie, J.P., M.R. Kanost, and R. Trenczek.
1997. Biological mediators of insect
immunity. Ann. Rev. Entomol. (42): 611−
643.
Glare, T.R. and R.J. Milner. 1991. Ecology of
entomopathogenic fungi, p. 547−612. In
Arora D.K., L. Ajello, and K.G. Mukerji
(Eds.). Handbook of Applied Mycology (2).
Humans, Animals and Insects, Marcel
Dekker Inc., New York.
Glare, T.R., R.J. Townsend, and S.D. Young.
1995. Temperature limitations on field
effectiveness of Metarhizium anisopliae
against Costelytra zealandica (White)
(Coleoptera: Scarabidae) in Canterbury. The
New Zealand Plant Protection Society
Incorporated http://www.hornet.co.nz/publications/nzpps/proceeding/94/94 266. htm
[20 December 2003].
Gutierrez, L.R., J.J. Hamm, O.J. Molina, E.M.
Lopez, and R.A. Pescador. 1998. Occurrence
of entomopathogens of Spodoptera frugi-
Hall, T.M. 1973. Use of microorganisms in
biological control. p. 610−628. In P. Debach,
(Ed.). Biological Control of Insects Pest and
Weeds. Chapman and Hall Ltd., London.
Hardaningsih, S. 2001. Identifikasi ras jamur
entomophaga. Hasil Penelitian Komponen
Teknologi Tanaman Kacang-kacangan dan
Umbi-umbian. Balai Penelitian Tanaman
Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Malang.
hlm. 53−59.
Haryanta, D., A. Susilo, dan H. Prasetyono.
1993. Pengaruh dosis dan waktu aplikasi
cendawan Beauveria bassiana terhadap
efektivitas pengendalian bubuk buah kopi
(Hypothenemus hampei). hlm. 249−254.
Dalam E. Martono, E. Mahrub, N.S. Putra,
dan Y. Trisetyawati (Ed.). Simposium
Patologi Serangga I. Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta, 12−13 Oktober 1993.
Huxham, I.M., A.M. Lackie, and N.J.
Mccorkindale. 1989. Inhibitory effects of
cyclodepsipeptides, destruxins, from the
fungus Metarhizium anisopliae, on cellular
immunity in insects. J. Insects Physiol. (35):
97−107.
Kanga, L.B.B., W.A. Jones, and R.R. James.
2003. Field trials using fungal pathogen,
Metarhizium anisopliae (Deuteromycetes:
Hyphomycetes) to control the ectoparasitic
mite, Varroa destructor (Acari:Varroidae) in
honey bee, Apis mellifera (Hymenoptera:
Apidae) colonies. J. Environ. Entomol (96):
1.091−1.099. http://www.bioone.org/bioone/
? request=get-abstract&issn=0022 0493&
volume=096&1ssue=048&page= 1.091.htm
[20 December 2003].
Kardin, M.K. dan T.P. Priyatno. 1996. Pemanfaatan cendawan Hirsutella citriformis
untuk pengendalian wereng coklat (Nilaparvata lugens Stal.). Temu Teknologi dan
Persiapan Pemasyarakatan Pengendalian
Hama Terpadu. Lembang, 27−29 Mei 1996.
25 hlm.
Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005
Kucera, M. 1971. Toxin of the entomophagous
fungus Beauveria bassiana: Effect of
nitrogen sources on formation of the toxic
protease in submerged culture. J. Invertebr.
Pathol. (17): 211−215.
Lee, P.C. and R. Hou. 1989. Pathogenesis of
Metarhizium anisopliae var. anisopliae in
the smaller brown planthopper, laodelphax
striatellus. Chinese J. Entomol. (9): 13−19.
http://www.entsoc.org.tw/english/journal/
9vol/nol/2.htm. [20 December 2003].
Luz, C., M.S. Tigano, I.G. Silva, C.M.T. Cordeiro,
and S.M. Aljanabi. 1998. Selection of
Beauveria bassiana and Metarhizium
anisopliae isolates to control Triatoma
infestans. Memorias do Instituto Oswaldo
Cruz 93: 839−846 [serial online] http://
memorias.ioc.fiocruz.br/936/3556.html. [20
December 2003].
Marwoto. 1992. Masalah pengendalian hama
kedelai di tingkat petani. hlm. 37−43. Dalam
Marwoto, N. Saleh, Sunardi, dan A. Winarto
(Ed.). Risalah Lokakarya Pengendalian
Hama Terpadu Tanaman Kedelai. Balai
Penelitian Tanaman Pangan Malang, 8−10
Agustus 1991.
Marwoto dan K.E. Neering. 1992. Pengendalian
hama kedelai dengan insektisida berdasarkan
pemantauan. hlm. 59−65. Dalam Marwoto,
N. Saleh, Sunardi, dan A. Winarto (Ed.).
Risalah Lokakarya Pengendalian Hama
Terpadu Tanaman Kedelai. Balai Penelitian
Tanaman Pangan Malang, 8−10 Agustus
1991.
Millstein, J.A., G.C. Brown, and G.L. Nordin.
1983. Microclimate moisture and conidial
production in Erynia sp. (Entomophthorales:
Entomoptoraceae) in vivo production rate
and duration under constant and fluctuating
moisture regimes. Environ. Entomol. (12):
1.344−1.349.
Milner, R.J., J.A. Staples, and G.G. Lutton. 1997.
The effect of humidity on germination and
infection of termites by the hyphomycete,
Metarhizium anisopliae. J. Inverterbr. Pathol.
(69): 64−69.
Noch, I.P., A. Rahayu, A. Wahyu, dan O.
Mochida. 1983. Bionomi ulat grayak
Spodoptera litura Fabricius (Lepidoptera:
Noctuidae) sebagai salah satu hama kacangkacangan. Kongres Entomologi II, Jakarta,
24−26 Januari 1983. 12 hlm.
Nurdin, F., J. Gani, dan Z.B. Kiman. 1993. Pengaruh beberapa konsentrasi insektisida
biologi Thuricide HP terhadap mortalitas
larva ulat grayak Spodoptera litura pada
tanaman kedelai. hlm. 239−248. Dalam E.
Martono, E. Mahrub, N.S. Putra, dan Y.
Trisetyawati (Ed.). Simposium Patologi
Serangga I. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 12−13 Oktober 1993.
Okada, M. 1977. Studies of the utilization and
mass production of Spodoptera litura nuclear
polyhedrosis virus for control of the tobacco
cutworm, Spodoptera litura Fabricius. Rev.
Plant Protection Res. Tokyo, Japan (10):
102−128.
Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005
Pendland, J.C. and D.G. Boucias. 1998.
Phagocytosis of lectin opsonized fungal cells
and endocytosis of the ligand by insect
Spodoptera exigua granular hemocytes: an
ultrastructural and immunocytochemical
study. CAB (Abstract) (6)7: 1 p.
Perry, D.F., D. Tyrrell, and A.J. Delyzer. 1982.
The mode of germination of Zoophthora
radicans zygospores. Mycologia (74): 549−
554.
Prayogo, Y. dan W. Tengkano. 2002a. Pengaruh
media tumbuh terhadap daya kecambah,
sporulasi dan virulensi Metarhizium
anisopliae (Metchnikoff) Sorokin isolat
Kendalpayak pada larva Spodoptera litura.
SAINTEKS. Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu Pertanian. (9)4: 233−242.
Prayogo, Y. dan W. Tengkano. 2002b. Pengaruh
umur larva Spodoptera litura terhadap
efektivitas Metarhizium anisopliae isolat
Kendalpayak. Dalam N.R. Nganro, C. Sugandawati, M. Zairin Jr, A. Basukriadi, A.
Tahir, P. Sukardi, I. Sulistyo, B. Subardjo, T.
Hardiyati, E. Yuwono, Y. Sistina (Ed.).
Majalah Ilmiah Biologi Biosfera (19)3: 70−
76.
Prayogo, Y. dan W. Tengkano. 2002c. Pengaruh
tempat dan lama penyimpanan suspensi
spora Metarhizium anisopliae terhadap
tingkat kematian larva Spodoptera litura.
hlm. 259−268. Dalam K. Mulya, S. Rusli,
Supriyadi, E.A. Wikardi, M. Djazuli, E.
Karmawati, D. Manohara, O. Rostiana (Ed.).
Prosiding Seminar Nasional dan Pameran
Pertanian Organik, Jakarta, 2−3 Juli 2002.
Prayogo, Y. 2004. Pemanfaatan cendawan
entomopatogen Metarhizium anisopliae
(Metsch.) Sorokin untuk mengendalikan
hama ulat grayak Spodoptera litura pada
kedelai. [Kolokium Pengendalian Hama
Terpadu]. Departemen Hama dan Penyakit
Tumbuhan. Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor. 23 hlm.
Prayogo, Y. dan W. Tengkano. 2004. Pengaruh
konsentrasi dan frekuensi aplikasi Metarhizium anisopliae isolat Kendalpayak terhadap tingkat kematian Spodoptera litura.
Dalam Sudjatinah, Umiyati, P. Bintoro,
P. Widiyaningrum, I.O. Utami (Ed.). SAINTEKS. Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu Pertanian
(10)3: 209−216.
Rauf, A. 1994. Pengendalian hama terpadu: Back
to basic. Seminar Himpunan Mahasiswa Proteksi Tanaman. Fakultas Pertanian Institut
Pertanian Bogor, 3 Desember 1994.
Rauf, A., T. Marse, dan N.K. Hutagalung. 1994.
Pengendalian hama terpadu: Kasus sekolah
lapang di Jawa Barat. Seminar Nasional
Pengembangan Keterkaitan Kelembagaan
dalam Rangka Peningkatan Kualitas Sumber
Daya Manusia Agribisnis, Bogor, 20
September 1994.
Rauf, A. 1996. Analisis ekosistem dalam pengendalian hama terpadu. Pelatihan Peramalan
Hama dan Penyakit Tanaman Padi dan
Palawija Tingkat Nasional, Jatisari, 2−9
Januari 1996.
Roddam, L.F. and A.D. Rath. 1997. Isolation
and characterisation of Metarhizium
anisopliae and Beauveria bassiana from
subantarctic Macquarie Island. J. Invertebr.
Pathol. (69): 285−288.
Romero, M., M. Estrada, R.F. Castaneda, and M.
Lujan. 1997. Morphological and pathogenical characterization of Metarhizium
anisopliae (Metsch.) Sorokin. Cane Sugar
15(1): 17−25. http://memorias.ioc. fiocruz.br/936/3556.html. [20 December 2003].
Samsinakova, A., S. Misikova, and J. Leopolod.
1971. Action of enzymatic systems of
Beauveria bassiana on the cuticle of the
greater wax moth larvae Galleria mellonella.
J. Invertebr. Pathol. (18): 322−330.
Samsinakova, A., C. Bajan, S. Kalalova, K.
Kmitowa, and M. Wojciechowska. 1977.
The effect of some entomophagous fungi
on the Colorado beetle and their enzyme
activity. Bull. Acad. Pol. Sci. (25): 521−526.
Samson, R.A., H.C. Evans, and J.P. Latge. 1988.
Atlas of Entomopatogenic Fungi. Tokyo.
Prinjesverlag Berlin Heifelberg, New York,
London. 188 pp.
Santoso, T. 1993. Dasar-dasar patologi serangga.
hlm. 1−15. Dalam E. Martono, E. Mahrub,
N.S. Putra, dan Y. Trisetyawati (Ed.).
Simposium Patologi Serangga I. Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta,12−13 Oktober
1993.
Soekarna, D. dan Harnoto. 1993. Pengendalian
hama kedelai. Dalam Kedelai. Edisi ke-2.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. hlm. 319−330.
Silva, J.C. and C.L. Messias. 1985. Virulence of
Metarhizium anisopliae to Rhodnius
prolixus. Cienc Cult. (7): 37−40.
Singh, R.S. and H.F. van Emden. 1979. Insect
pests of grain legumes. Ann. Rev. Entomol.
(24): 255−278.
Strack, B.H. 2003. Biological control of termites
by the fungal entomopathogen Metarhizium
anisopliae. http://www.utoronto.ca/forest/
termite/metani_1.htm [20 December 2003].
St. Leger, R.J., T.M. Butt, M.S. Goettel, R.C.
Staples, and D.W. Roberts. 1989. Production
in vitro of appressoria by the entomopathogenic fungus Metarhizium anisopliae.
Exp. Mycol. 13: 274−288.
Sumartini, Y. Prayogo, S.W. Indiati, dan S.
Hardaningsih. 2001. Pemanfaatan jamur
Metarhizium anisopliae untuk pengendalian
pengisap polong (Riptortus linearis) pada
kedelai. hlm. 154−157. Dalam S.E. Baehaki,
E. Santosa, Hendarsih, S.T. Suryana, N.
Widarta, dan Sukrino (Ed.). Simposium
Pengendalian Hayati Serangga, Balai
Penelitian Tanaman Padi Sukamandi, 14−
15 Maret 2001.
Susilo, A., S. Santoso, dan H.A. Tutung. 1993.
Sporulasi, viabilitas cendawan Metarhizium
anisopliae (Metscnikoff) Sorokin pada media
jagung dan patogenisitasnya terhadap larva
25
Oryctes rhinoceros. hlm. 104−111. Dalam
E. Martono, E. Mahrub, N.S. Putra, dan Y.
Trisetyawati (Ed.). Simposium Patologi
Serangga I. Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta, 12−13 Oktober 1993.
Tanada, Y. and H.K. Kaya. 1993. Insect
Pathology. Academic Press, Inc., California.
666 pp.
Tengkano, W. dan M. Soehardjan. 1993. Jenis
hama utama pada berbagai fase pertumbuhan
tanaman kedelai. Dalam Kedelai. Edisi ke2. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Pangan, Bogor. hlm. 295−318.
Tyrrell, D. and D.M. MacLeod. 1975. In vitro
germination of entomophthora aphids resting spores. Can. J. Bot. (53): 1.188−1.191.
26
Wang, C. and J.E. Powell. 2001. Isolation and
evaluation of Metarhizium anisopliae for
control of Coptotermes formosanus and
Reticulitermes flavipes. An Entomol Odyssey
of ESA. http://esa.cofex.com/esa/2001/
techprogram/paper_1411.htm [20 December 2003].
Widayat, W. dan D.J. Rayati. 1993a. Hasil
penelitian jamur entomopatogenik lokal dan
prospek penggunaannya sebagai insektisida
hayati. hlm. 61−74. Dalam E. Martono, E.
Mahrub, N.S. Putra, dan Y. Trisetyawati
(Ed.). Simposium Patologi Serangga I.
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 12−
13 Oktober 1993.
Widayat, W. dan D.J. Rayati. 1993b. Pengaruh
frekuensi penyemprotan jamur entomopatogenik terhadap ulat jengkal (Ectropis
bhurmitra) di perkebunan teh. hlm. 91−98.
Dalam E. Martono, E. Mahrub, N.S. Putra,
dan Y. Trisetyawati (Ed.). Simposium
Patologi Serangga I. Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta, 12−13 Oktober 1993.
Woods, S.P. and E.A. Grula. 1984. Utilizable
surface nutrients on Heliothis zea available
for growth of Beauveria bassiana. J.
Invertebr. Pathol. (43): 259−269.
Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005
Download