TINJAUAN PUSTAKA Permasalahan Hama Kedelai Seiring dengan berkembangnya industri makanan dan pakan ternak, permintaan terhadap komoditas kedelai meningkat pesat. Untuk memenuhi kebutuhan akan kedelai tersebut perlu ditingkatkan sasaran luas tanaman serta produktivitasnya. Salah satu kendala utama dalam usaha meningkatkan produksi kedelai adalah adanya serangan hama. Jenis hama yang menyerang tanaman kedelai di Indonesia sangat banyak. Ada sekelompok hama yang hanya merusak bagian tanaman tertentu, ada pula yang merusak hampir seluruh bagian tanaman. Sementara itu ada yang kehadirannya hanya membahayakan pada fase tertentu dan ada pula yang dapat merusak sepanjang pertumbuhan tanaman. Selain itu, terdapat pula serangga yang imago dan larva atau nimfanya merusak tanaman. Besar kecilnya pengaruh kerusakan tanaman dan kehilangan hasil akibat serangan hama ditentukan beberapa faktor yaitu tinggi rendahnya populasi hama yang hadir di pertanaman, bagian tanaman yang dirusak, tanggap tanaman terhadap serangan hama, dan fase pertumbuhan tanaman/umur tanaman. Adapun hama-hama utama pada tanaman kedelai yaitu lalat kacang (Ophiomyiia phaseoli), penggerek pucuk kedelai (Melanagromyza (Melanagromyza sojae), dolichostigma), ulat grayak penggerek (Spodoptera batang litura), ulat kedelai jengkal (Chrysodexis chalcites), penggulung daun (Lamprosema indicata), penggerek polong (Etiella zinknella), penghisap polong (Riptortus linearis), kepik hijau (Nezara viridula), penghisap polong (Piezodorus hubneri) (Marwoto et. al, 1999) Cara Pengendalian Pemantauan di sentra produksi kedelai menunjukkan bahwa pengendalian hama kedelai masih tertumpu pada penggunaan insektisida. Pada daerah yang petaninya mempunyai modal yang cukup hampir 90% petani menggunakan insektisida sebagai pengendali utama hama, sedang pada lahan marginal atau di 4 daerah yang petaninya kurang modal hanya 50% petani menggunakan insektisida. Namun demikian cara aplikasi insektisida masih belum sesuai dengan ketentuan. Di beberapa daerah ada yang sangat intensif memakai insektisida dengan dosis dan frekuensi yang tinggi tetapi ada pula yang menggunakan insektisida dengan dosis di bawah yang dianjurkan. Kedua cara tersebut berdampak negatif, hama tidak dapat terkendali dengan baik akibatnya timbul masalah resistensi dan resurgensi pada hama sasaran (Marwoto 2007). Dengan memahami konsepsi Pengendalian Hama Terpadu (PHT), maka pendekatan dalam memilih strategi pengendalian hama akan bertumpu pada pemanfaatan kombinasi yang kompatibel dari komponen pengendalian yang dipilih. PHT pada kedelai membatasi penggunaan insektisida kimiawi serta menghindari terjadinya ketahanan dan resurjensi hama terhadap insektisida dan dampak buruk penggunaan insektisida terhadap serangga berguna serta kesehatan manusia dan lingkungan. Adapun cara pengendaliannya didasarkan pada komponen-komponen PHT yang tersedia. Untuk mengatasi hama perusak bibit dapat dilakukan dengan cara melakukan penanaman secara serentak, sanitasi tanaman terserang, pergiliran tanaman dengan tanaman lain, menutup lubanglubang dengan jerami (mulsa), dan pemanfaatan agens hayati. Pengendalian terhadap hama perusak daun adalah dengan mengupayakan agar periode vegetatif dapat dilakukan serempak dalam areal luas, pada derah kronis dapat dilakukan pengolahan tanah untuk mematikan hama yang berada dalam tanah, serta pemanfaatan serangga berguna yang ada di pertanaman. Pengendalian hama perusak polong dilakukan dengan cara pergiliran tanaman, melakukan penanaman secara serentak, penggunaan tanaman perangkap, dan pemanfaatan musuh alami yang ada di sekitar areal pertanaman. Contoh pengendalian yang telah dilakukan pada Etiella zinknella yaitu dengan pelepasan parasitoid Trichogramma bactrae bactrae (Marwoto dan Saleh, 2003) dan Riptortus linearis dengan cendawan Lecanicillium lecanii (Prayogo dan Suharsono, 2005). 5 Bioekologi Trichogramma spp. Trichogrammatidae berasal dari bahasa Yunani kuno thriks atau trihos yang artinya rambut, dan grammata yang artinya gambar atau huruf. Disebut demikian karena adanya keteraturan (susunan) rambut pada sayap. (Pracaya, 2005) Parasit ini kecil, panjangnya 0,3-1,0 mm; warnanya hitam, hitam pucat, cokelat pucat atau kuning. Antenanya terdiri dari 3-8 ruas termasuk satu ruas cincin. Sayapnya berumbai-rumbai rambut (bulu-bulu) teratur dalam garis-garis atau pita-pita rambut, yang terpanjang terdapat pada tepi sayap. Ovipositornya pendek, kadang-kadang matanya berwarna merah. Populasi parasitoid Trichogramma spp. dipengaruhi oleh keberadaan inang dan lingkungan pertanaman (suhu, cuaca, udara). Populasi inang yang rendah menyebabkan parasitoid tidak dapat berkembang. Demikian pula jika lingkungan kurang mendukung, parasitoid tidak dapat berperan secara efektif. Naito dan Djuwarso (1993) menyatakan bahwa daya tahan hidup T. bactrae-bactrae mencapai 90% pada kisaran suhu 25−400C. Seekor parasitoid Trichogramma spp. mampu memarasit lebih dari satu spesies telur inang, dan sebutir telur inang dapat diparasit oleh lebih dari satu spesies Trichogramma spp. Hal ini menunjukkan bahwa satu spesies Trichogramma spp. mampu memarasit beberapa spesies hama. Parasitoid telur Trichogramma spp. bersifat polifag. Jenis inang parasitoid ini meliputi telur Chilo suppressalis (WLK), Chrysodeixis chalcites (Esper), dan Heliothis assulta GN. T. bactrae-bactrae dapat memarasit telur penggerek polong Etiella spp., telur ulat buah kedelai Helicoverpa armigera, dan telur ulat jengkal Chrysodeixis chalsites. Pelepasan parasitoid Trichogramma spp. di lapang untuk mengendalikan hama terutama hama dari kelompok Lepidoptera. Pada tanaman kedelai, sebagian besar hama penting didominasi oleh kelompok Lepidoptera. (Pracaya, 2005) Sumber : www.insectimages.org Gambar 2 Trichogramma spp. yang sedang memarasit telur 6 Cendawan Entomopatogen Lecanicillium lecanii Cendawan dari divisi Deuteromycotina merupakan cendawan yang memiliki siklus tidak sempurna atau biasa disebut imperfect fungi. Cendawan entomopatogen dari divisi Deuteromycotina dibagi menjadi dua kelas, yaitu kelas Hyphomycetes dan Coelomycetes. Banyak cendawan dari kelas tersebut yang memiliki daya virulen yang tinggi dan telah banyak diaplikasikan untuk mengendalikan serangga hama. Cendawan Lecanicillium lecanii termasuk dalam divisi Deuteromycotina kelas Hyphomycetes. Cendawan L. lecanii dapat digunakan untuk mengendalikan serangga hama terutama dari ordo Homoptera (Cloyd 2003) dan Hemiptera (Prayogo 2004). Cendawan L. lecanii mudah tumbuh pada berbagai media, terutama pada medium potato dextrose agar (PDA) dan beras. Di dalam cawan petri, diameter koloni dapat mencapai 4–5,5 cm pada 3 hari setelah inokulasi. Koloni cendawan berwarna putih pucat. Dua hari setelah inokulasi, cendawan sudah mampu memproduksi konidia. Kumpulan konidia ditopang oleh tangkai konidiofor yang membentuk pialid (whorls) seperti huruf V. Setiap konidia menopang 5-10 konidia yang terbungkus dalam kantong lendir. Konidia berbentuk silinder hingga elip, terdiri dari satu sel, tidak berwarna dan berukuran 2,30-10×1-2,60 µm. Cendawan entomopatogen memerlukan kelembaban yang tinggi untuk tumbuh dan berkembang, hal tersebut diperlukan selama proses pembentukan tabung kecambah (germ tube), sebelum terjadi penetrasi ke integumen serangga. Cendawan L. lecanii tumbuh baik pada suhu 18-30oC dan kelembaban minimal 80%. Pada kelembaban lebih dari 90% cendawan tumbuh sangat baik (Cloyd 2003). Cendawan V. lecanii mampu hidup pada bahan organik yang mati dalam rentang waktu yang sangat panjang (Tanada dan Kaya 1993). Keefektifan cendawan entomopatogen dipengaruhi oleh waktu aplikasi. Waktu aplikasi perlu diperhatikan karena cendawan entomopatogen sangat rentan terhadap sinar matahari khususnya sinar ultra violet (Cloyd 2003). Bila terkena sinar matahari dalam waktu 4 jam, cendawan L. lecanii akan kehilangan viabilitas sebesar 16%, dan bila terkena sinar matahari 8 jam, viabilitas berkurang hingga di 7 atas 50%. Oleh karena itu, bila cendawan diaplikasikan pada musim kemarau perlu dihindarkan dari sinar matahari langsung dan sebaiknya aplikasi dilakukan pada saat kelembaban udara tinggi yaitu sore hari (Suharsono dan Prayogo 2005). Aplikasi L. lecanii pada sore hari (setelah pukul 16.00) mampu menyebabkan kematian hama pengisap polong kedelai R. linearis hingga 80%. Makin tinggi mortalitas serangga, jumlah biji yang rusak pun makin menurun (Prayogo 2004). Keberhasilan pengendalian hama dengan cendawan entomopatogen juga ditentukan oleh konsentrasi cendawan yang diaplikasikan, yaitu kerapatan konidia dalam setiap ml air. Jumlah konidia berkaitan dengan banyaknya biakan cendawan yang dibutuhkan setiap hektar. Kerapatan konidia yang dibutuhkan untuk mengendalikan hama bergantung pada jenis dan populasi hama yang akan dikendalikan (Wikardi 1993). Pada tanaman pangan, kerapatan konidia yang dibutuhkan lebih tinggi dibandingkan dengan pada tanaman perkebunan. Miselium cendawan L. lecanii menghasilkan racun cyclodepsipeptide, bassianolide, yang juga dihasilkan oleh Beauveria bassiana. Selain itu, menghasilkan pula racun insektisida, seperti asam dipicolinic dan C25 coumpounds (Suharsono dan Prayogo 2005). Gambar 3 Koloni dan konidia dari cendawan Lecanicillium lecanii