BAB II2007des1-3

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Rayap
Indonesia merupakan wilayah sebaran rayap yang penting di dunia, baik
ditinjau dari keragaman jenis serangga tersebut yang mencapai tidak kurang dari
200 jenis atau kurang lebih 10% dari keragaman jenis rayap di dunia, maupun
ditinjau dari luasnya sebaran geografis dari Aceh sampai Papua. Kondisi iklim
dan tanah serta keragaman jenis tumbuhan di Indonesia yang tinggi sangat
mendukung kehidupan rayap, dan 80% daratan Indonesia merupakan habitat
yang baik bagi kehidupan berbagai jenis serangga ini (Nandika et al. 2003).
Beberapa faktor dapat menyebabkan rayap menyerang bangunan, antara lain
kayu yang tertimbun tanah pada waktu pembangunan, ada celah pada pondasi
tembok, sistem ventilasi kurang baik, kayu yang berhubungan langsung dengan
tanah dan kondisi biofisik tapak bangunan itu sendiri yang menguntungkan
kehidupan rayap.
Menurut Lewis (2006) perkiraan kerugian yang ditimbulkan oleh rayap
secara global sulit ditemukan pada referensi tetapi pasti mencapai milyaran dollar
Amerika setiap tahun. Di Indonesia, pada tahun 2000 kerugian ekonomi yang
disebabkan oleh serangan rayap pada bangunan diperkirakan mencapai 200 – 300
juta dollar Amerika (Yusuf 2004).
Rayap merupakan serangga sosial yang tergolong ke dalam ordo Isoptera
yang hidup dalam satu koloni dengan organisasi individu yang secara morfologi
dibedakan menjadi bentuk dan kasta yang berlainan. Kasta yang terdapat di
dalam koloni rayap meliputi kasta pekerja, kasta prajurit dan kasta reproduktif,
masing-masing kasta melakukan fungsi yang berbeda satu dengan lainnya
(Pearce 1997).
Kasta pekerja merupakan anggota yang sangat penting dalam koloni rayap,
tidak kurang dari 80 – 95% populasi dalam koloni rayap merupakan individuindividu kasta pekerja. Kasta pekerja umumnya berwarna pucat dengan kutikula
hanya sedikit mengalami penebalan sehingga nampak menyerupai nimfa. Kasta
prajurit berfungsi melindungi koloni terhadap gangguan dari luar, khususnya
semut dan vertebrata predator. Kasta prajurit mampu menyerang musuhnya
6
dengan mandibel yang dapat menusuk, mengiris dan menjepit. Biasanya gigitan
kasta prajurit pada tubuh musuhnya sukar dilepaskan sampai prajurit itu mati
sekalipun (Nandika et al. 2003)
Kasta reproduktif terdiri dari individu-individu seksual yaitu betina (ratu)
yang tugasnya bertelur dan jantan (raja) yang tugasnya membuahi betina. Kasta
ini dibedakan menjadi kasta reproduktif primer dan kasta reproduktif suplementer
atau neoten. Kasta reproduktif primer terdiri dari serangga-serangga dewasa yang
bersayap dan merupakan pendiri koloni. Menurut Richard dan Davies (1996)
neoten muncul segera setelah kasta reproduktif primer mati atau hilang setelah
pemisahan koloni. Neoten dapat terbentuk beberapa kali dalam jumlah yang besar
sesuai dengan perkembangan koloni. Selanjutnya, neoten menggantikan fungsi
kasta reproduktif primer untuk perkembangan koloni.
Krishna dan Weesner (1969) menyatakan rayap adalah serangga sosial yang
dapat diklasifikasikan ke dalam 6 famili dan 15 sub famili. Famili tersebut
adalah: Mastotermitidae, Kalotermitidae, Hodotermitidae, Rhinotermitidae,
Serritermitidae dan Termitidae. Rayap tanah genus Coptotermes termasuk ke
dalam sub famili Coptotermitinae famili Rhinotermitidae. Menurut Tambunan
dan Nandika (1987), Coptotermes spp. merupakan salah satu rayap tanah paling
luas serangannya di Indonesia, dan diklasifikasikan sebagai berikut:
Filum
: Arthropoda
Kelas
: Insecta
Sub-klas
: Pterigota
Ordo
: Isoptera
Famili
: Rhinotermitidae
Sub-famili
: Coptotermitinae
Genus
: Coptotermes
Thapa (1981) menyatakan genus Coptotermes memiliki kepala bewarna
kuning, antena, labrum dan pronotum kuning pucat, bentuk kepala bulat
ukuran panjang sedikit lebih besar dari lebarnya, memiliki fontanel yang lebih
lebar. Antena rata-rata terdiri dari 15 segmen; segmen kedua dan segmen ke
empat sama panjangnya. Mandibel berbentuk seperti arit dan melengkung di
ujungnya; sebelah dalam dari mandibel kanan sama sekali rata. Panjang kepala
7
tanpa mandibel 1,56 mm – 1,68 mm. Lebar kepala 1,40 mm – 1,44 mm.
Bagian abdomen yang bewarna putih kekuning-kuningan ditutupi rambut
menyerupai duri. Suratmo (1974) menyatakan panjang badan kasta reproduktif
7,5 mm – 8,0 mm, kasta pekerja 4,5 mm – 5,0 mm dan prajurit 5,0 mm – 5,3
mm.
Tarumingkeng (2004) menyatakan, di Indonesia jenis Coptotermes yang
telah
teridentifikasi
adalah
a).
Coptotermes
curvignathus
Holmgren
merupakan jenis terbesar dengan ciri, jumlah ruas antena prajurit 14 -16,
panjang kepala prajurit (termasuk mandibel) 2,4 - 2,6 mm. b). Coptotermes
travians Holmgren dengan ciri, jumlah ruas antena prajurit 13 - 15; panjang
kepala prajurit 1,8 - 2,1 mm mandibel relatif pendek, kira-kira sepanjang
setengah panjang kepala c). Coptotermes havilandi Holmgren (C. javanicus
Kemner) dengan ciri, jumlah ruas antena prajurit 15 - 18; panjang kepala
prajurit 2,0 - 2,2. Mandibel lebih panjang dari pada C. travians d).
Coptotermes kalshoveni Kemner dengan ciri, jumlah ruas antena prajurit 13 14 panjang kepala prajurit 1,6 - 1,7 mm. Jenis ini merupakan yang terkecil di
antara genus Coptotermes.
Pengendalian Rayap
Pengendalian rayap tanah di Indonesia telah banyak dilakukan dengan cara
mengimpregnasikan bahan pengawet (termitisida) ke dalam kayu, melakukan
penyemprotan ke dalam tanah (soil treatment), sistim pengumpanan dan kontak
langsung. Yusuf (2001b), menyatakan bahwa sampai saat ini upaya pengendalian
rayap yang populer di Indonesia adalah melalui penggunaan insektisida, baik
metode perlakuan kayu maupun perlakuan tanah (soil treatment); dengan cara
tersebut akan terbentuk rintangan kimiawi (chemical barrier) baik di kayu
maupun tanah sekeliling bangunan.
Menurut Pearce (1997), metode tradisional meliputi pencelupan kayu pada
aspal batu bara, petrol, creosote atau pentachlorophenol, juga dapat memberikan
perlindungan pada kayu untuk beberapa tahun. Selain hal tersebut membakar
pada bahagian ujung kayu yang kontak dengan tanah atau melapisi kayu dengan
minyak mesin atau diesel juga dapat memberikan perlindungan jangka pendek.
8
Garam metal dan oksida, seperti merkuri klorida, copper sulphate, merkuri, zinc
oksida dapat efektif untuk 3-5 tahun. Chlorpyrifos, permethrin, bifenthrin,
cypermethrin dan deltamethrin juga efektif, tetapi lebih mahal dan kegunaannya
dibatasi untuk bangunan yang bernilai tinggi.
Pearce (1997) menyatakan bahwa, teknik pengumpanan lebih menguntungkan karena tanah tidak lagi terkontaminasi oleh bahan kimia, dan dapat
meringankan pekerjaan dari perlakuan yang intensif. Caranya yaitu menempatkan
umpan yang tidak beracun dekat koloni rayap dan kemudian mengulangi
penempatan umpan yang mengandung racun. Keefektifan umpan tergantung pada
perilaku rayap, yang penting rayap harus dapat menemukan umpan dan dengan
reaksi racun yang lambat rayap dapat menyebarkan ke koloninya. Hal tersebut
dapat terlaksana jika umpan lebih menarik dari pada makanan di sekeli-lingnya.
Gula, madu, penambahan jamur pelapuk, asam amino, sumber nitrogen bahkan
feromon dapat meningkatkan laju konsumsi.
Yusuf (2001a), melakukan penelitian pengendalian terhadap rayap tanah
Coptotermes sp. dengan menggunakan chlorpenapyr pada berbagai konsentrasi
dengan sistem pengumpanan, hasil penelitiannya menunjukan bahwa waktu
aplikasi dan konsentrasi perlakuan sangat mempengaruhi mortalitas yang terjadi.
Chlorpenapyr juga dapat diaplikasikan dengan metode duster (Yusuf, 2001b).
Perlakuan pada kayu yang juga penting adalah fumigasi, baik dengan
sulphuryl fluoride atau methyl bromides. Perlindungan museum, perpustakaan
dan tempat penyimpanan dokumen cocok menggunakan cara fumigasi ini
terutama untuk serangan rayap kayu kering. Selain ini juga digunakan
electroguns yang mengandalkan gas galleries. Metode lebih baru yang sedang
dicobakan adalah membakar propane (gas metan) dekat kayu yang terinfeksi
rayap dengan menaikan suhu sampai 66 oC; cara ini bermanfaat untuk perlakuan
khusus pada rayap kayu kering (Pearce 1997).
Cara pengendalian lainnya, seperti dengan menggunakan nematoda
entomopatogen Steinernema carpocapsae juga dapat dilakukan (Bakti 2004).
Cates (2007) menyatakan bahwa, penggendalian serangga dapat juga
menggunakan agens hayati lain, termasuk berbagai spesies cendawan, bacteria,
nematoda dan virus.
9
Cendawan Entomopatogen
Cendawan adalah organisme multi seluler yang berfilamen dan memiliki
khitin, khitosan, glukan dan mannan dalam dinding selnya. Klasifikasinya
didasarkan pada produksi konidia atau spora, struktur morfologi, alat reproduksi,
ciri-ciri koloni dan sifat hifanya (Lay & Hastowo 1992).
Cendawan entomopatogen pertama kali dilaporkan lebih dari 2000 tahun
yang lalu, teridentifikasi di China pada cendawan Cordyceps (Ascomycota) yang
menginfeksi larva Lepidoptera (Boucias & Pendland 1998). Carruthers dan Hurar
1990 dalam Oliveira et al. (2003) menyatakan bahwa cendawan entomopatogen
merupakan cendawan yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengendalian
hayati penting untuk banyak serangga hama. Pengendalian hayati lebih berhasil
bila dilengkapi dengan pemanfaatan cendawan entomopatogen.
Keragaman antar jenis cendawan entomopatogen sangat tinggi. Menurut
klasifikasi yang dikemukakan oleh Ainsworth 1963 dalam Butt et al. (2001),
cendawan terdiri dari dua Divisi yaitu Myxomycota dan Eumycota. Cendawan
entomopatogen ditemukan pada Divisi Eumycota yang terdiri dari sub-divisi:
Mastigomycotina,
Zygomycotina,
Ascomycotina,
Basidiomycotina
dan
Deuteromycotina. Menurut Tanada dan Kaya (1993) Kebanyakan cendawan
entomopatogen ditemukan pada sub-divisi Zygomycotina, klas Zygomycetes,
ordo Entomophthorales; sub-divisi Ascomycotina, klas Pyrenomycetes, ordo
Sphaeriales, klas Laboulbeniomycetes, ordo Laboulbeniales; dan pada sub-divisi
Deuteromycotina, klas Hyphomycetes, ordo Moniliales.
Beberapa genus cendawan entomopatogen yang tergolong ke dalam subdivisi Deuteromycotina, klas Hyphomycetes, ordo Moniliales dan famili
Moniliaceae,
misalnya:
Aspergilus,
Beauveria,
Fusarium,
Metarhizium,
Paecilomyces dan Verticilium (Boucias & Pendland 1998).
Keragaman intraspesies pada cendawan entomopatogen umum terlihat pada
perbedaan virulensinya (Hajek & Leger 1994). Hal-hal yang mempengaruhi
perbedaan keragaman intraspesies di antaranya adalah sumber isolat, inang dan
faktor daerah geografis asal isolat (Varela & Morales 1995; Beretta et al. 1998).
Hal ini akan berakibat pada keragaman karakter di dalam spesies baik secara
fisiologis maupun genetik. Secara umum dikemukakan bahwa strain dari spesies
10
cendawan patogen yang diisolasi dari satu jenis inang lebih virulen untuk inang
tersebut dibandingkan dengan strain yang diisolasi dari inang yang lain. Seperti
yang dikemukakan oleh Boucias dan Pendland (1998), cendawan B. bassiana
yang diisolasi dari lingkungan koloni rayap lebih tinggi virulensinya jika
diinfeksikan terhadap rayap.
Boucias dan Pendland (1998) mengemukakan, cendawan entomopatogen
dicirikan oleh kemampuannya untuk menempel dan menembus kutikula inang
dan dapat tumbuh ke bahagian internal inang (hemocoel) dan mengkonsumsinya
sehingga nutrisi di dalam hemolymph habis oleh pertumbuhan cendawan yang
begitu cepat, sehingga menyebabkan inang akan mati. Di samping itu cendawan
dapat menghancurkan jaringan lainnya atau dengan melepaskan zat beracun yang
mengganggu perkembangan inang secara normal. Beberapa zat beracun (toxin)
yang dihasilkan cendawan yang dapat membunuh serangga adalah: beauvericin
oleh B. bassiana, Paecilomyces, Fusarium dan bassianolide oleh B. bassiana,
cyclosporin A oleh B. bassiana, Verticillium, Fusarium, Tolypocladium dan
oosporein oleh B. bassiana, asam oksalat oleh Beauveria brongniartii, destruxins
oleh M. anisopliae dan Aspergillus ochraceus, cytochalasins oleh M. anisopliae,
swainsonine oleh M. anisopliae, aflatoxins oleh Aspergillus, asam kojic oleh
Aspergilus flavus dan restrictocin oleh Aspergillus fumigatus.
Ferron 1981 di dalam Scholte et al. (2004), menyatakan bahwa di dalam
studi histopathological pada jaringan elaterid yang diinfeksi M. anisopliae
memperlihatkan bahwa toxin (destruxin) membunuh serangga inang dengan
merangsang atau memacu terjadinya kemerosotan jaringan serangga inang. Hal
ini mengakibatkan keutuhan struktural membran hilang, kemudian terjadi
dehidrasi sel akibat kehilangan cairan. Dalam hal ini memungkinkan terjadinya
penyumbatan spiracles dan dapat menyebabkan kematian sebelum penyerbuan
pada hemocoel terlihat nyata dan pembentukan tubuh hifa masih sedikit.
Kemampuan patogen untuk bisa menimbulkan penyakit ditentukan oleh
berbagai faktor yaitu patogen, inang dan lingkungan. Dari segi patogen, dosis dan
cara aplikasi akan mempengaruhi mortalitas serangga. Dari segi inang, berbagai
faktor fisiologi dan morfologi inang mempengaruhi kerentanan serangga terhadap
cendawan entomopatogen, seperti kerapatan populasi, perilaku, umur, nutrisi,
11
genetika dan perlakuan. Salah satu faktor yang berperan penting dalam
keberhasilan penggunaan cendawan entomopatogen adalah stadia perkembangan
serangga karena tidak seluruh stadia dalam perkembangan serangga rentan
terhadap infeksi cendawan. Dari segi lingkungan, berbagai faktor lingkungan
seperti radiasi matahari, suhu, kelembaban relatif, curah hujan dan tanah sangat
mempengaruhi efikasi cendawan entomopatogen terhadap serangga hama. Semua
faktor lingkungan saling berinteraksi, dan interaksi yang komplek dan dinamik
ini menentukan efikasi cendawan (Inglis et al. 2001).
Di
antara
cendawan
entomopatogen
yang
dimanfaatkan
untuk
mengendalikan rayap Coptotermes sp., Reticulitermes flavipes atau Odontotermes
adalah M. anisopliae dan B. bassiana. Kedua jenis cendawan ini telah diuji
keefektifannya oleh Zoberi 1995 dalam Bayon et al. (2000) di laboratorium
dengan sistem pengumpanan dan kontak secara langsung. Percobaan ini
mengkontaminasi rayap R. flavipes dengan M. anisopliae yaitu menempatkan
konidia cendawan pada rayap pekerja. Hal ini menghasilkan 100% mortalitas
dalam waktu 5 hari, dan 12 hari pada metode pengumpanan. Penelitian lainnya
yaitu dengan cara pemindahan rayap kasta pekerja yang terkontaminasi sebagai
vektor penyakit cendawan ke rayap yang sehat di dalam cawan petri. Dengan cara
ini rayap yang sehat mati setelah 8 hari.
Dengan metode pengumpanan selembar kertas saring, Suzuki (1991)
membuktikan keefektifan patogen M. anisopliae terhadap Coptotermes
formosanus dan Reticulitermes speratus dengan hasil LT50 11 hari. Selain hal ini,
kertas terkontaminasi spora M. anisopliae juga berperan penting untuk laju
mortalitas rayap Cryptotermes brevis (Nash & Moein 1997 dalam Bayon et al.
2000). Milner et al. (1996) menyatakan spesies cendawan M. anisopliae dan
B. bassiana tidak bersifat patogen terhadap mamalia dan spesifik terhadap rayap.
Saat ini M. anisopliae telah secara komersil dikembangkan ke dalam suatu
produk yang disebut dengan Bio-BlastTM, termitisida hayati yang telah di daftar
oleh US EPA pada tahun 1994 (Rath & Tidbury 1996; Krueger et al. 1995 dalam
Bayon et al. 2000) untuk diaplikasikan di atas tanah. Cloyd (2003) menyatakan
pada uji laboratorium, kematian rayap dapat terjadi pada hari ke 4 – 10,
12
tergantung pada temperatur. Viabilitas cendawan menurun pada temperatur tinggi
dan virulensi cendawan menurun pada temperatur rendah.
Maniania et al. (2002) telah melakukan studi di lapangan selama dua musim
untuk menilai kemanjuran cendawan entomopatogen M. anisopliae. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa formulasi granular dapat bermanfaat sebagai
pengendalian rayap di ekosistem pertanian jagung.
Download