TINJAUAN PUSTAKA Rayap Morfologi, Persebaran dan Taksonomi Rayap Rayap adalah serangga yang ukurannya kecil sampai sedang, hidup dalam kelompok-kelompok sosial dengan sistem kasta yang berkembang sempurna. Dalam koloni terdapat rayap bersayap dan tidak bersayap, juga ada yang bersayap pendek. Sayapnya berjumlah empat buah, berbentuk seperti selaput dengan pertulangan yang sederhana dan reticulate. Bentuk, ukuran dan tekstur sayap depan sama dengan sayap belakang dan oleh karena itu dimasukan dalam ordo Isoptera (iso = sama, ptera = sayap) (Borror dan De Long, 1954). Perbedaan utama antara rayap dengan serangga sosial seperti semut dan lebah adalah pada semut dan lebah memiliki tahap larva dan pupa yang tidak aktif di dalam koloninya sedangkan pada rayap, nimfa yang sering disebut rayap muda mempunyai aktifitas yang tinggi (Pearce, 1997). Perbedaan lainnya adalah pada rayap, raja atau rayap jantan dan ratu rayap atau rayap betina tetap hidup selama waktu hidupnya dan tidak mati setelah kawin. Beberapa negara sub-tropik mengenal rayap sebagai semut putih (white ant) karena secara sepintas antar keduanya mempunyai penampilan yang hampir sama (Pearce, 1997). Namun sesungguhnya antara rayap dan semut tidak memiliki hubungan filogenetika yang dekat bahkan secara morfologi antara keduanya mudah dibedakan. Rayap memiliki antena yang lurus dan berbentuk manik, sedangkan semut memiliki antena yang menyiku. Toraks dan abdomen rayap bergabung dalam ukuran yang hampir sama, sedangkan toraks dan dan abdomen semut bergabung dengan pinggang yang ramping. Sayap-sayap rayap memiliki bentuk, ukuran dan pola yang serupa disertai pertulangan sayap yang banyak dan berukuran kecil, sedangkan sayap semut memiliki bentuk, ukuran dan pola yang berlainan dengan pertulangan yang sedikit (Tambunan dan Nandika, 1989). Menurut Tarumingkeng (1971) dari segi filogenetika semut mendekati golongan lebah, sehingga keduanya dicakup dalam ordo yang sama Hymenoptera, sedangkan rayap termasuk ordo Isoptera. Secara filogenetika rayap (Ordo Isoptera) dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu rayap tingkat rendah (lower termites) dan rayap tingkat tinggi (higher termites). Perbedaan antara keduanya antara lain terletak pada tingkat pengaturan organisasi di dalam koloninya dan simbion pada sistem pencernaan yang berperan dalam proses penguraian selulosa. Pada rayap tingkat rendah umumnya simbion yang hidup di dalam saluran pencernaannya adalah dari golongan protozoa sedangkan pada rayap tingkat tinggi peranan protozoa digantikan oleh bakteri. Rayap tingkat rendah terdiri dari enam famili, yaitu: Mastotermitidae, Kalotermitidae, Hodotermitidae, Termopsidae, Rhinotermitidae, dan Serretermitidae (Krishna 1970). Rayap tersebar tidak hanya di daerah tropik tapi juga mencakup sebagian besar daerah sub tropik. Sebarannya bahkan cenderung meluas ke daerah-daerah beriklim sedang dengan batas-batas 50° LU dan LS (Pearce, 1997). Di daerah tropik rayap dapat dijumpai mulai dari daerah pantai sampai daerah dengan ketinggian 3000 meter di atas permukaan laut. Hingga saat ini di dunia terdapat lebih dari 2500 jenis rayap yang terbagi ke dalam tujuh famili, 15 sub-famili, dan 200 genus. Di Indonesia sampai dengan tahun 1970 sudah ditemukan tidak kurang dari 200 jenis rayap dari berbagai genus (Tarumingkeng, 1971). Rayap termasuk kelompok serangga sosial yang hidup dalam koloni-koloni dengan pembagian kasta yang jelas. Menurut Kofoid (1946) dan Roonwal (1978) di dalam koloni setiap jenis rayap terdapat tiga kasta yang memiliki bentuk yang berbeda sesuai dengan fungsinya masing-masing, yaitu: kasta reproduktif, kasta prajurit, dan kasta pekerja. Kasta reproduktif terdiri atas individu-individu seksual yaitu betina (ratu) yang tugasnya bertelur dan jantan (raja) yang tugasnya membuahi betina. Kasta ini dibedakan menjadi kasta reproduktif primer dan kasta reproduktif suplementer atau neoten. Kasta reproduktif primer terdiri atas serangga-serangga dewasa yang bersayap dan merupakan pendiri koloni. Menurut Richard dan Davies (1996) kasta reproduktif suplementer muncul segera setelah kasta reproduktif primer mati atau hilang karena fragmentasi koloni. Kasta ini dapat terbentuk beberapa kali dalam jumlah yang besar sesuai dengan perkembangan koloni. Selanjutnya, kasta ini menggantikan fungsi kasta reproduktif primer untuk perkembangan koloni. Kasta prajurit berfungsi melindungi koloni terhadap gangguan dari luar, khususnya semut dan vertebrata pemangsa (Tambunan dan Nandika, 1989). Kasta pekerja merupakan anggota koloni yang sangat penting dalam koloni rayap. Tidak kurang dari 80% populasi dalam koloni rayap merupakan individuindividu kasta pekerja. Kasta pekerja umumnya berwarna pucat dengan kutikula hanya sedikit mengalami penebalan sehingga tampak menyerupai nimfa (Richards dan Davies, 1996). Fungsi kasta pekerja adalah sebagai pencari makan, merawat telur, membuat dan memelihara sarang, serta membunuh dan memakan rayaprayap yang tidak produktif). Sifat kanibalisme berfungsi untuk mempertahankan prinsip efisiensi dan konservasi energi, dan berperan dalam mengatur keseimbangan koloni (Tarumingkeng 1971). Menurut Harris (1971) dari tujuh famili rayap, famili Rhinotermitidae, Kalotermitidae dan Termitidae paling banyak menimbulkan masalah kerusakan. Jenis-jenis terpenting dari keluarga Rhinotermitidae adalah C. curvignathus dan C. travians. Tho (1992) menyatakan bahwa jenis rayap dalam famili Coptotermitidae masih sulit dibedakan secara teliti, terdapat beberapa jenis yang secara morfologi sangat mirip tetapi dapat dipisahkan berdasarkan perbedaan yang sangat kecil. Menurut Tambunan dan Nandika (1989), C. curvignathus merupakan salah satu rayap tanah paling luas serangannya di Indonesia. Adapun klasifikasi jenis rayap ini adalah sebagai berikut: Phylum : Arthropoda Kelas : Insecta Sub Kelas : Pterigota Ordo : Isoptera Famili : Rhinotermitidae Sub Famili : Coptotermitidae Genus : Coptotermes Species : C. curvignathus Holmgren Nama Daerah : Rengas atau anai-anai putih Menurut Tarumingkeng (1971), ciri-ciri famili Rhinotermitidae adalah memiliki fontanel (ubun-ubun) yang merupakan sebuah tempat yang pucat, kecil dan cekung di bagian depan kepala antara dua mata, pronotum agak datar dan lebih lebih sempit dari kepalanya. Kepala berwarna kuning, antena, labrum, dan pronotum kuning pucat. Bentuk kepala bulat dengan ukuran panjang sedikit lebih besar daripada lebarnya, memiliki fontanel yang lebar. Antena terdiri dari 15 segmen; segmen kedua dan segmen keempat sama panjangnya (Thapa, 1981). Mandibel berbentuk seperti arit dan melengkung di ujungnya; batas antara sebelah dalam dari mandibel kanan sama sekali rata. Panjang kepala dengan mandibel 2,46 - 2,66 mm, panjang kepala tanpa mandibel 1,56 - 1,68 mm. Lebar kepala 1,40 - 1,44 mm dengan lebar pronotum 1,00 - 1,03 mm dan panjangnya 0,56 mm (Thapa, 1981). Panjang badan 5,5 - 6 mm. Bagian abdomen ditutupi dengan rambut yang menyerupai duri. Abdomen berwarna putih kekuning-kuningan. Kasta reproduktif mempunyai panjang badan 7,5 - 8,0 mm, sedang yang bersayap, panjang sayap direntangkan adalah 15 - 16 mm. Kasta pekerja panjangnya 4,5 - 5 mm, prajurit 5 - 5,3 mm dengan panjang mandibel ± 0,9 mm dan lebar kepala 1,4 - 1,5 mm (Suratmo, 1974). Prajurit C. curvignathus berukuran lebih besar dari C. travians, dan dapat dikatakan C. curvignathus merupakan jenis yang berukuran paling besar dari pada rayap Coptotermes lainnya di Indonesia. Menurut Tarumingkeng (1971) ukuran curvignathus prajurit C. 3,2 – 3,8 mm, sedangkan ukuran prajurit C.travians lebih pendek. Biologi Rayap Harris (1971) menyatakan terdapat tiga cara yang berbeda di dalam pembentukan koloni rayap, yaitu; (1) melalui sepasang imago rayap yang bersayap atau rayap penerbang (laron); (2) melalui pemisahan koloni dari koloni utama dan membentuk kasta reproduksi suplementer; dan (3) melalui proses migrasi dari sebagian koloni rayap termasuk kasta reproduktif ke sebuah tempat baru, selanjutnya koloni yang tertinggal mengembangkan kasta reproduktif suplementer. Menurut Lee dan Wood (1971) koloni rayap dibentuk oleh sepasang kasta reproduktif bersayap dan melalui fragmentasi koloni. Demikian juga menurut Tarumingkeng (1971), satu koloni rayap terbentuk dari sepasang rayap bersayap (laron) betina dan jantan yang melakukan kopulasi dan menemukan habitat yang cocok. Koloni rayap terbentuk pula melalui fragmen koloni yang terpisah dari koloni utama karena suatu bencana yang menimpa koloni utama. Kasta reproduktif bersayap akan muncul dari koloni pada musim-musim tertentu, dan berkumpul di dalam koloni sebelum bersialang (swarming) keluar sarang. Beberapa jenis rayap di daerah tropik bersialang pada awal musim hujan. Masa bersialang ini merupakan masa perkawinan sepasang imago yang bertemu dan segera meninggalkan sayapnya serta mencari tempat yang sesuai di dalam tanah atau kayu. Pemilihan sarang mungkin pula terjadi sebelum kasta reproduksi berpasangan (Lee dan Wood, 1971). Famili Rinotermitidae dikenal sebagai rayap tanah. Jenis rayap ini bisa hidup meski tanpa berhubungan dengan tanah jika kayu yang diserang mendapat air yang cukup secara teratur, misalnya pada bagian-bagian rumah yang memperoleh air hujan karena kebocoran atap dan bagian-bagian dekat kamar mandi. Oganisasi dari anggota famili ini sudah sedikit lebih maju dari pada Kalotermitidae. Pembagian kerja sudah ada, jumlah anggota koloni lebih besar. Makanannya diperoleh dari kayu (baik yang masih hidup atau mati), bambu dan bahan-bahan berselulosa lainnya. Menurut Jonnes dan Trosset (1991) dalam satu koloni besar terdapat pembiak, pekerja dan prajurit dengan tubuh dan fungsi yang berbeda. Kasta reproduktif primer terdiri dari ratu dan raja sedangkan kasta reproduktif sekunder terdiri dari individu yang dapat menggantikan kedudukan ratu dan raja apabila diperlukan. Tugas kasta pekerja ialah mencari, memberi makan dan memelihara anggota koloni. Sedangkan kasta prajurit menjaga keamanan koloni terhadap gangguan dari luar sehingga bentuk kepala dan mandibelnya besar. Apabila diganggu, kasta prajurit akan mengeluarkan cairan (eksudat) seperti susu dari lubang fontanel yang terdapat di kepalanya (Soemarni, 1983). Ratu semasa hidupnya hanya menghasilkan telur sedangkan makannya dilayani pekerja. Seekor ratu dapat hidup selama 6 20 tahun, bahkan sampai berpuluh-puluh tahun (Roonwall, 1978). Jika kasta reproduktif mati atau koloni membutuhkan pertambahan kasta reproduktif bagi perluasan koloni, akan dibentuk kasta reproduktif sekunder (neoten). Neoten terbentuk beberapa kali dalam jumlah besar sesuai dengan perkembangan koloni. Beberapa jenis rayap dapat membentuk kasta reproduktif dari pekerja, yaitu apabila kasta pekerja tersebut akan berfungsi sebagai ratu baru, sehingga terbentuk koloni baru yang lengkap (Su et al., 1997). Koloni rayap dapat hidup pada kedalaman tanah hingga 5 - 6 meter untuk berlindung dari perubahan cuaca yang kurang menguntungkan. Koloni dapat mencapai jumlah maksimal 200.000 individu dan pada beberapa spesies tertentu dapat berjumlah lebih banyak lagi dalam waktu 4 - 5 tahun. Koloni akan muncul saat imago rayap reproduktif jantan dan betina bertemu. Ratu rayap dapat hidup lebih dari 25 tahun dan mampu meninggalkan telur hingga 60.000 butir selama hidupnya. Telur-telur tersebut berwarna putih kekuningan dan siap menetas setalah masa inkubasi selama 50 - 60 hari (Pearce, 1997). Rayap pekerja dan rayap prajurit tidak dapat menghasilkan keturunan, berbeda dengan ratu rayap yang berfungsi sebagai penghasil keturunan. Keduanya mampu mencapai dewasa dalam waktu setahun dan mampu hidup hanya selama ± 5 tahun. Secara khusus apabila dibandingkan dengan rayap prajurit, rayap pekerja lebih membutuhkan kelembaban tertentu untuk dapat terus bertahan selama hidupnya (Tarumingkeng, 1992 dan Pearce, 1997). Secara ekonomis rayap sangat merusak karena aktifitas makannya dan seringkali rayap merusak berbagai struktur atau bahan yang digunakan manusia. Sebaliknya bila rayap memerankan fungsinya sebagai perombak pohon-pohon yang mati dan produk tumbuhan lainnya hingga dapat dimanfaatkan menjadi zat yang dapat dipakai kembali oleh tanaman maka rayap menjadi sangat bermanfaat bagi manusia (Gao et al., 1990; Pearce, 1997; Nandika et al., 1999). Pada prinsipnya makanan utama rayap adalah selulosa (Noirot, 1970), sehingga kayu dan jaringan tanaman lain serta bahan-bahan yang terbuat dari selulosa seperti kayu, kertas, kain, plastik dan lainnya merupakan sumber makanan utama. Sasaran dan daya jangkau rayap terhadap bahan-bahan tersebut diatas dapat mencapai jarak puluhan meter dari sarangnya. Secara ekonomis rayap sangat berperan dalam kehidupan manusia, salah satunya adalah peranannya dalam memperpendek umur pakai bangunan (Surjokusumo, 1992; Tarumingkeng, 1992). Dari seluruh kerugian yang diderita akibat aktifitas makan rayap hampir sebagian besar diakibatkan oleh rayap tanah (Pearce 1997). Salah satu rayap tanah yang paling merusak di Indonesia adalah C. curvignathus. Secara umum rayap dari spesies ini selalu membutuhkan kelembaban tinggi dalam kehidupannya dan tempat hidupnya akan dipenuhi dengan liang-liang kembara yang sekaligus berfungsi sebagai air conditioner. Liang kembara ini mampu dibuat rayap diatas permukaan beton, kayu, pipa dan sebagainya (Nandika et al., 1999). Jenis rayap C. curvignathus, selain menyerang tanaman kelapa dan kelapa sawit juga dilaporkan menyerang beberapa perkebunan karet di Sumatera. Nilai kerugian akibat serangan rayap pada tanaman karet belum diketahui, tetapi cukup banyak menyebabkan kematian pada tanaman karet terutama pada tanaman muda berumur satu sampai dua tahun. Menurut Roonwal (1978) C. curvignathus merupakan satu-satunya spesies rayap yang menyerang tanaman karet yang masih hidup di Indonesia dan Malaysia. Rayap tanah adalah golongan rayap yang bersarang di dalam tanah dan membangun liang kembara (tunnels) yang menghubungkan sarangnya dengan benda yang diserangnya, dan rayap jenis ini dapat hidup walau tanpa berhubungan dengan tanah jika kayu yang terserang mendapat air secara teratur, misalnya pada bagian-bagian rumah yang memperoleh air hujan karena kebocoran atap dan bagian-bagian dekat kamar mandi. Lebih dari dua juta ekor rayap tanah dapat hidup dalam satu koloni. Ratu dari beberapa jenis rayap mampu meletakkan 86.000 telur setiap hari dan bertahan hidup hingga enam sampai dua puluh tahun (Nandika et al., 1999). Sebanyak kurang lebih 300 spesies rayap dari seluruh spesies rayap yang tersebar di dunia dikenal sebagai hama yang menyebabkan kerusakan pada berbagai spesies tanaman perkebunan, kehutanan, dan pertanian. Di Indonesia sendiri diduga terdapat 20 spesies rayap yang dikenal sebagai hama penting pada tanaman perkebunan dan kehutanan. Rayap tanah C. curvignathus Holmgren merupakan spesies rayap yang penting sebagai hama pada tanaman pertanian, perkebunan dan kehutanan di Indonesia. Menurut Nandika (1999) terjadinya serangan rayap pada bangunan gedung sangat dipengaruhi oleh kondisi bio-fisik tapak dan bangunan itu sendiri. Dalam hal-ini jelas terkait dengan keragaman jenis dan kerentanan bangunan, baik dari segi desain, tekhnik sipil maupun pemeliharaannya. Terdapat tiga jalan utama, sehingga rayap dapat masuk ke dalam rumah (Dizon, 1983) yaitu; (1) menyerang langsung kayu yang berhubungan dengan tanah; (2) melalui retakan-retakan dan celah-celah plesteran, pondasi dinding tembok; dan (3) membangun pipa-pipa perlindungan di atas bahan-bahan yang tidak dapat ditembus untuk mencapai sasaran. Menurut Pearce (1997) pada berbagai jenis tanaman, rayap tanah menyerang dengan cara; (1) masuk melalui akar dan pangkal batang tanaman : (2) masuk melalui polong di dalam tanah pada tanaman kacang-kacangan; dan (3) masuk melalui akar-akar pada tanaman ubi jalar. Pengendalian Rayap Tanah 1. Pengendalian Fisik dan Mekanik Teknologi pengendalian rayap dengan menggunakan bahan anti rayap non kimiawi sebagai penghalang fisik (physical barrier) telah banyak dikembangkan di beberapa negara khususnya di Australia, Amerika Serikat, dan Jepang, sebagian dari produknya telah mulai dipasarkan dan beberapa diantaranya masih dalam taraf penelitian. Di Australia standar pengendalian dengan teknologi ini sudah ada sejak tahun 1974 (AS-1974). Walau demikian penggunaannya secara luas baru populer beberapa tahun terakhir ini setelah penggunaan termitisida dikhawatirkan pengaruhnya terhadap lingkungan dan kesehatan manusia. Di Indonesia, sampai saat ini, standar pengendalian rayap dengan menggunakan bahan anti rayap non kimiawi sebagai penghalang fisik belum populer. 2. Pengendalian Kimia Menurut Nandika et al. (1999), sampai saat ini, pengendalian serangan rayap pada bangunan masih bertumpu pada penggunaan pestisida anti rayap (termitisida) yang diaplikasikan baik melalui perlakuan tanah (soil treatment ) maupun dengan cara impregnasi termitisida ke dalam kayu melalui pengawetan kayu. Dengan cara tersebut akan terbentuk suatu rintangan kimiawi (chemical barrier) di sekeliling bangunan yang mampu menghalangi penetrasi rayap ke dalam bangunan atau melindungi kayu dari serangan rayap. Pengawetan kayu merupakan pemberian perlakuan kimia dan atau perlakuan fisik terhadap kayu untuk memperpanjang masa pakai kayu. Dalam kenyataan sehari-hari, yang dimaksud dengan pengawetan kayu adalah proses pemasukan bahan kimia ke dalam kayu untuk meningkatkan keawetannya. Bahan kimia yang digunakan dalam perlakuan tersebut disebut bahan pengawet kayu. Pengawetan kayu dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu: metode pelaburan, pencelupan, rendaman, rendaman dingin, rendaman panas dingin, vakum tekan dan injeksi. Perlakuan tanah (soil treatment) adalah upaya memasukkan pestisida anti rayap (termitisida) kepada tanah di bawah dan di sekeliling bangunan agar terbentuk penghalang kimia yang memisahkan antara koloni rayap di dalam tanah dengan kayu di dalam bangunan. Menurut sifat aplikasinya, ada dua teknik perlakuan tanah, yaitu; (1) perlakuan pra konstruksi (pre construction treatment) bila perlakuan dilaksanakan menjelang/sewaktu bangunan didirikan; dan (2) perlakuan pasca konstruksi (Post construction treatment) bila perlakuan dilaksanakan pada bangunan yang sudah berdiri. Teknologi lain yang dapat digunakan dalam pengendalian rayap adalah dengan menggunakan metode pengumpanan (baiting). French (1991) menyatakan bahwa teknik ini memiliki beberapa keuntungan di antaranya lebih ramah lingkungan karena bahan kimia yang digunakan tidak mencemari tanah, memiliki sasaran yang spesifik (rayap), mudah dalam penggunaannya, dan mempunyai kemampuan mengeliminasi koloni secara total. Dalam metode pengumpanan digunakan insektisida yang dikemas dalam bentuk yang disenangi rayap sehingga menarik untuk dimakan. Prinsip teknologi ini adalah memanfaatkan sifat trofalaksis rayap, yaitu racun yang dimakan disebarkan ke dalam koloni oleh rayap pekerja. Untuk itu racun yang digunakan harus bekerja secara lambat (slow action) sehingga rayap pemakan umpan masih sempat kembali ke sarangnya dan menyebarkan racun kepada anggota koloni lainnya. 3. Pengendalian Hayati Pengendalian hayati meliputi penggunaan musuh alami, yang biasanya berhubungan dengan rayap tetapi tidak memberikan pengaruh yang berbahaya kecuali apabila berada pada jumlah yang besar. Pengendalian ini diarahkan untuk memanipulasi musuh-musuh alami tersebut sehingga dapat mengurangi populasi rayap sampai tingkat yang dapat diterima secara ekonomis. Musuh-musuh alami rayap yang dikenal termasuk nematoda, jamur, dan virus, di samping organisme lain seperti semut dan predator pemakan laron. Nematoda merupakan agens pengendalian biologis yang efektif untuk rayap yang hidup di dalam sarang bukit. Beberapa ratus nematoda mampu ditularkan dari satu individu rayap ke individu yang lain setelah penularan oleh satu individu nematoda dewasa. Namun demikian, masalah utama penggunaan nematoda untuk pengendalian adalah dalam mentransfer rayap sehingga berhubungan secara langsung dengan nematoda dan daya tahan nematoda tersebut yang memerlukan air bebas. Rayap yang terinfeksi oleh nematoda cenderung diisolasi dari koloninya oleh rayap pekerja lainnya, oleh karena itu menghambat infeksi nematoda lebih lanjut. Pengaruh nematoda Steinernema pada Reticulitermes telah diuji coba oleh Empsky dan Capinera (1988). Penggunaan nematoda dari genus yang sama di Cina cukup efektif untuk pengendalian C. formosus dan R. speratus pada dosis 4000-8000 nematoda / 3 ml. Penggunaan jamur pathogen Metarrhizium anisopliae dan Beauveria bassiana tampak lebih berhasil untuk pengendalian rayap. Beberapa jenis jamur lain yang potensial untuk digunakan dalam pengendalian rayap adalah Aspergillus flavus, Serratia marcescens, Entomophtera virulenta dan Absidia coerulea. Pada masa yang akan datang penggunaan virus untuk pengendalian rayap lebih memberikan harapan terutama karena cara penularannya kepada rayap lebih mudah dibandingkan penggunaan organisme lain seperti nematoda. Namun demikian beberapa hasil penelitian para ahli sampai saat ini menunjukkan bahwa keefektifan penggunaan musuh alami untuk pengendalian rayap di lapangan masih sangat rendah. Nematoda Entomopatogen Biologi dan Siklus Hidup Nematoda Entomopatogen Nematoda entomopatogen (NEP) adalah nematoda yang hidup dalam tubuh serangga dan bersifat parasit terhadap inangnya. Sebagian besar NEP mempunyai siklus hidup sederhana dan pada dasarnya mempunyai stadia utama dari perkembangan telur, juvenil dan dewasa. Secara morfologis larva infektif (juvenil 3) teradaptasi untuk tetap hidup dalam jangka waktu lama di lingkungan sambil menunggu serangga inang. Pada umumnya mengalami empat kali pergantian kulit sebelum mencapai dewasa dan pergantian kulit dapat saja terjadi di dalam telur, di lingkungan dan di dalam tubuh serangga inangnya (Kaya dan Gaugler, 1993). Menurut Kaya dan Gaugler (1993) pada saat nematoda entomopatogen mendapatkan inang yang cocok, akan melakukan penetrasi melalui lubang alami (mulut, anus, dan spirakel) atau penetrasi langsung melalui kutikula. Juvenil infektif Heterorhabditis sp memiliki tonjolan gigi pada ujung kepala sehingga dapat melakukan penetrasi pada integumen inang, meskipun penetrasi langsung melalui kutikula ini jarang terjadi. Setelah berhasil memenetrasi inang, nematoda entomopatogen akan melepaskan bakteri simbionnya ke dalam hemolimf, selanjutnya bakteri berkembang dan akan membunuh inang setelah 24 - 48 jam (Ehlers dan Peters, 1995). Umumnya setiap nematoda entomopatogen mempunyai interaksi mutualistik dengan satu jenis bakteri, tetapi bakteri Xenorhabdus spp dapat berasosiasi dengan lebih dari satu jenis nematoda entomopatogen (Kaya dan Gaugler, 1993). Menurut Ehlers dan Peters (1995), tanpa adanya bakteri simbion nematoda entomopatogen tidak dapat berkembang biak dengan baik, di sisi lain bakteri simbion tidak dapat hidup tanpa nematoda entomopatogen. Siklus Hidup nematoda entomopatogen Steinernema spp (All strain) disajikan pada Gambar 1. Gambar 1. Siklus Hidup Nematoda Entomopatogen (Sumber : Kaya ,1993) Hubungan mutualistik ini bagi nematoda patogen serangga menurut Kaya dan Gaugler (1993) adalah memberikan beberapa keuntungan yaitu dapat membunuh inang dengan cepat secara septicemia, menyediakan nutrisi yang cocok, membuat lingkungan yang cocok bagi perkembangan dan reproduksi nematoda. Bakteri simbion juga mampu memproduksi senyawa antibiotik (bakteriosin) yang dapat menghambat perkembangan mikroorganisme sekunder yang ada dalam tubuh serangga inang. Sedangkan fungsi nematoda entomopatogen bagi bakteri adalah melindungi bakteri dari kondisi ekstrim dalam tanah dan melindungi bakteri dari kemungkinan adanya protein anti bakteri yang dikeluarkan oleh serangga inang. Steinernematidae memiliki kutikula yang halus dibagian lateralnya, esophagus memiliki tiga bagian termasuk metacorpus dan menyebabkan warna karamel hingga coklat tua pada uji kutikula serangga inang. Panjang tubuhnya berkisar antara 221-676 µm dengan lebar 19-28 µm. Lubang eksretori dan nerve ring larva infektif di bagian anterior. Setelah dewasa jantan memiliki testis tunggal, sepasang spikula dan terdapat gubernaculum Heterorabditidae memiliki panjang tubuh 260-715 µm dengan lebar tubuh 16-27 µm. Nematoda dewasa Heterorhabtidae memiliki sistem reproduksi hermaprodit. Serangga yang serserang oleh Heterorhabditis, warna kutikulanya akan menjadi merah, merah bata atau oranye. Lubang ekskretori dan nerve ring larva infektif berada dibagian posterior (Bahari 2000) Potensi Nematoda Sebagai Agens Pengendali Hayati Glazer (1992) melaporkan bahwa S. carpocapsae memiliki patogenitas yang cukup tinggi terhadap Helicoverpa armigera, Earias insulata dan Galleria mellonella di laboratorium. Gejala serangan S. carpocapsae pada Spodoptera litura ditandai dengan perubahan warna larva menjadi coklat kekuningan dan tubuh larva menjadi lembek. Menurut Simoes dan Rosa (1996) hal ini dikarenakan adanya simbiose mutualisme antara S. carpocapsae dengan X. nematiphilus yang menghasilkan eksotoksin. Terdapat hubungan antara mortalitas inang dengan nematoda yang masuk dalam tubuh inang, hal ini juga digunakan sebagai ukuran infektifitas nematoda (Caroli et.al,. 1996) dan efisiensi invasi (persentase nematode yang menyerang inang). Epsky dan Capinera (1994) menguji infektifitas S. carpocapsae strain DD136 terhadap S. litura pada media tanah pasir dalam cawan petri dengan kosentrasi 1000 IJ/serangga dapat menyebabkan mortalitas 100% dan efisiensi invasi 22 %. Menurut Caroli et.al.(1996) persentase nematoda yang masuk pada S. exigua telah diinokulasi dengan S.carpocapsae dengan kosentrasi 200 IJ/ml mencapai 20 %. Patogenisitas nematoda secara umum melalui beberapa tahap antara lain invasi, evasi dan toksikogenesis. Tahapan tersebut di atas akan dilalui secara berurutan, mulai saat nematoda berhasil mempenetrasi serangga inang hingga bakteri simbion nematoda keluar menuju bagian dalam tubuh serangga dan melepaskan racun yang dapat menyebabkan kematian serangga. Masing-masing tahapan tersebut sangat dipengaruhi oleh enzim, pH, suhu dalam tubuh serangga (Downes dan Griffin, 1996; Simoes dan Rosa, 1996; Sulistyanto, 1998), dan suhu lingkungan (Gauge et al, 1994; Grewal et al, 1994; Glazer et al. 1996; Griffin et al. 1996). Suhu lingkungan yang kurang menguntungkan akan menggagalkan proses penetrasi nematoda ke dalam tubuh serangga, dan akan menyebabkan nematoda mengalami kematian (Griffin, 1996). Demikian pula dengan pH dalam tubuh serangga yang tidak mendukung perkembangbiakan bakteri simbion nematoda akan menghambat perkembangbiakan bakteri simbion nematoda dalam tubuh serangga inang (Schiroki dan Hague, 1997). Perkembangbiakan bakteri simbion yang lambat juga akan memperlambat kematian serangga inang (Strauch dan Ehlers, 1998). Meskipun toksin yang dikeluarkan bakteri simbion memiliki peranan penting dalam meracuni serangga inang namun simbiose antara bakteri dan nematoda merupakan syarat mutlak yang hampir tidak dapat dipisahkan antara keduanya. Dalam hal ini bakteri tidak pernah dapat masuk ke dalam tubuh serangga inang tanpa nematoda. Sehingga antara bakteri simbion dan nematoda saling menguntungkan satu dengan lainnya (Sulistyanto, 1999).