SOCIAL CAPITAL DAN PERKEMBANGAN KOTA1 Suatu Telaahan Untuk Mendukung Pembangunan Kota Berciri Manusia Iwan Nugroho The trend towards the transformation of our planet into an urban archipelago should not be considered as a fatality. The economies of agglomeration concept ought to be revised in the light of opportunities created for flexible specialization and decentralized industrialization by new techniques. … This search must deal with simultaneously with several factors: institutional and managerial models; new form of partnership between civil society, enterprises and public authorities (Sachs. 1996) A city represents much more than its architecture, and town planning encompass quite a bit more still. A city is a system--an ecological and social system of material and energy flow, governed by information, yet controlled by an ethical scale of value (Folch, 1996) Pendahuluan Perkembangan kota-kota khususnya di negara-negara sedang berkembang (NSB) yang kemudian menghasilkan fenomena dualisme merupakan cerminan dimana kota sebagai sistem keseimbangan (general equilibrium) dari berbagai interaksi (supply and demand) di dalamnya lebih didorong perkembangannya oleh faktor-faktor ekonomi lebih dari faktorfaktor ekologi dan sosialnya. Alasan utamanya karena kota dijadikan lokomotif ekonomi yang diandalkan oleh pemerintah dalam rangka percepatan pembangunan. Disinergi oleh kepentingan elit politik, kota menjadi sasaran (transformasi) bagi sektor berproduktifitas tinggi dan menjadi center of excellent yang memandu perkembangan kota ke arah yang makin canggih, efisien, dan modern. Perkembangan kota juga diiringi oleh beragam ‘substitusi’ alokasi sumberdaya, modal, dan dampak-dampak yang diakibatkannya. Jelasnya sistem produksi perkotaan memiliki subsitusi yang tinggi antara land dan non-land intensive, antara labor dan capital intensive, atau good dan bad environment. Bisa diduga, kuatnya dorongan faktor ekonomi memberikan implikasi yang mendasar terhadap (subsitusi) perilaku maupun interaksi warga masyarakat dalam hal faktor-faktor sosial dan ekologinya. Disinilah kemudian karakter individu lebih sering muncul seiring dengan apresiasinya yang makin spesifik dalam alokasi waktu dan ruang yang makin terbatas untuk kegiatan-kegiatan non ekonomi lainnya. Waktu dan ruang untuk non ekonomi yang terbatas menjadi sangat berharga dan menentukan ‘mode’ pilihan pemanfaatannnya disesuaikan dengan tingkat kendala sumberdaya yang tersedia. Pilihan itu antara lain terlihat misalnya lebih menyukai nonton televisi di rumah sendiri dibanding bercengkerama dengan tetangga di halaman rumah, lebih menyukai mendengar ceramah 1 Naskah telah dimuat pada majalah PRISMA, LP3ES Jakarta 6(Juni-Juli 1997): 3-13 2 agama melalui radio dibanding mengadakan pengajian bersama tetangga, atau memanfaatkan hari libur bersama keluarga ke luar kota dibanding kerja bakti merehabilitasi lingkungan sekitar rumah. Subsitusi tersebut di atas implisit di dalamnya adalah terjadinya pergeseran alokasi modal diantara man-made, human, natural dan social capital. Dan tentu saja dua modal terakhir posisinya menjadi kurang menguntungkan karena kuatnya dorongan faktor ekonomi lebih ‘berat’ kepada dua modal pertama. Dilihat dalam dimensi temporal, kecenderungan demikian jauh dari kaidah-kaidah yang dikehendaki dalam pembangunan berkelanjutan yang menurut Serageldin (1996) proporsi dua modal terakhir hendaknya senantiasa meningkat dengan waktu. Social capital merupakan jalinan ikatan-ikatan budaya, governance, dan social behaviour yang membuat sedemikian rupa sehingga fungsi dan tatanan sebuah masyarakat adalah lebih dari sekedar jumlah individunya. Social capital dan wujudnya sebagai kelembagaan inilah sumber dari legitimasi berfungsinya tatanan masyarakat untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, keberlanjutan pembangunan, maupun untuk kepentingan mediasi terhadap konflik dan kompetisi. Paper ini mencoba menelaah peran social capital dalam pembangunan perkotaan dan kemungkinan implikasinya dalam rangka menampilkan wajah kota yang lebih manusiawi. Perkembangan Perkotaan: Ringkasan Suatu Perjalanan Panjang Sejarah pembangunan atau perkembangan kota sangat terkait dengan keberadaan umat manusia di muka bumi. Ringkasnya, paling tidak dikenal empat fase (Boyden, 1996): (1) jaman purba (primeval phase), (2) pertanian tradisionil (early farming phase), (3) perkotaan tradisionil (early urban phase), dan (4) industri modern (modern industrial phase). Fase ke tiga dimulai lima ribu tahun yang lalu, dengan fenomena Mesopotamia dan disusul kemudian beberapa kota di India dan Cina. Kota-kota ini ukurannya relatif lebih besar dalam hal populasi dan kebanyakan penduduknya tidak secara langsung terlibat dengan aktifitas yang subsisten. Adapun kebutuhan penduduknya adalah disuplai oleh surplus produksi dari para petani yang bermukim dan bekerja di luar kota. Pada fase ini terjadi perubahan yang mendasar yang mempengaruhi organisasi kemasyarakatan dan pengalaman hidup (sebelumnya) dari anggota-anggotanya. Fase perkotaan tradisionil ini juga dicirikan oleh semakin meningkatnya jumlah populasi (biosocial development) yang kemudian menghasilkan interaksi dengan lingkungannya (termasuk munculnya penyakit-penyakit kota misalnya typhus, cholera, smallpox, atau malaria), relatif kecil keragaman dalam konsumsi makanan, spesialisasi pekerjaan (termasuk gender) yang berhirarki, dan munculnya konsep kepemilikan. Transisi dari fase perkotaan tradisionil ke fase industri modern berlangsung pertama kali saat Revolusi Industri di Amerika Utara dan Eropa sekitar 150 hingga 200 tahun yang lalu, dan ini pun sedang terjadi di beberapa kota NSB. Fase ini tergolong singkat dalam ukuran waktu. Namun demikian dampaknya sangat hebat terhadap permukaan bumi dan implikasinya. Karakteristik ekologi perkotaan tidak lagi sejalan dengan human existence phases seperti yang diilustrasikan dalam (keseimbangan) siklus populasi, energy, dan 3 biogeochemical. Pada keadaan ini yang sebenarnya terjadi adalah interaksi kenaikan sumberdaya, use of energy, dan waste production yang berjalan secara masif dan mengakibatkan tekanan maupun jenis ancaman baru terhadap lingkungan (biosphere). Kotakota yang berkembang pada masa transisi itu masih dapat kita lihat seperti sekarang, misalnya London, Paris dan kota besar lainnya. Tabel 1. Distribusi Penduduk Perkotaan, Pedesaan dan Dunia 1990 Persen Penduduk Dunia Wilayah Total Populasi Total Populasi Populasi Populasi Populasi Pedesaan Perkotaan millioncities Jumlah Millioncities Megacities2 juta ---------------------------- % ---------------------------- Dunia Afrika Asia Eropa Amerika Latin Amerika Utara Oceania 5285 633 3186 722 440 278 26 100.0 12.0 60.3 13.7 8.3 5.3 0.5 100.0 14.4 72.2 6.7 4.2 2.3 0.3 100.0 8.8 44.5 22.8 13.8 9.2 0.8 100.0 7.5 45.6 17.9 14.7 13.1 1.3 281 25 118 61 36 36 5 12 0 7 0 3 2 0 Sumber: United Nations Centre for Human Settlements (1996) compiled by Nature and Resources Editor (1996) Vol 32 No 2. Perkembangan kota-kota di NSB lain lagi. Begitu selesai perang dunia ke dua, ada gelombang besar-besaran munculnya negara-negara baru pasca kolonial. Diiringi urbanisasi yang masif, kota-kota di NSB berkembang sangat pesat sejalan dengan perhatian sektor ekonomi yang percepatan pertumbuhannya terus dipacu untuk mengejar ketertinggalannya. Pertumbuhan konsumsi sumberdaya lahan, air, energi, dan biomasa meningkat terus, menjadikan kota makin penting perannyaumumnya menyumbang lebih dari 50 persen GDP bahkan mencapai 70 persen di Amerika Latin. Akibatnya deskripsi maupun proyeksi perkembangan perkotaan NSB sungguh sangat memprihatinkan. Kalau pada tahun 1960 hanya tiga dari sepuluh kota besar di dunia ada di NSB maka pada tahun 2000 nanti akan menjadi delapan. Diantaranya adalah Mexico City (lebih dari 25 juta), Sao Paulo (22 juta), diikuti oleh Bombai, Calcutta, dan Shanghai. Tiga kota terakhir adalah kota-kota termiskin dengan populasi lebih dari 15 juta (Mahbub Ul Haq, 1995). Secara umum di NSB (Serageldin, 1995) akan diperoleh kenaikan sejumlah 2.4 miliar jiwa selama periode 1990 hingga 2020, atau setara satu juta orang tiap minggu selama 30 tahun. Dan data 1990 (Tabel 1) menunjukkan bahwa ada sejumlah 281 kota dengan penduduk di atas satu juta jiwa (million cities), sebagian besar terkonsentrasi di Benua Asia—setara tiga per lima populasi dunia, dua per lima populasi penduduk kota seluruh dunia, dan lebih dari dua per lima populasi million cities. 2 Jumlah penduduknya di atas 10 juta jiwa antara lain: New York, Los Angeles, Tokyo, Osaka, Seoul, Beijing, Shanghai, Bombai, Calcutta, Sao Paulo, Mexico City, dan Buenos Aires. 4 Fenomena tersebut segera saja mewarnai kajian tentang perkotaan, dan bahkan kemudian mendominasi substansi dalam cakupan yang lebih luas: makroekonomi, dimensi spasial, rendahnya produktifitas, kemiskinan, dan lingkungan (World Bank, 1991). Muncul permasalahan yang sebelumnya tidak pernah dibayangkan, yang tercakup dalam aspek ekonomi, sosial maupun lingkungan di NSB bahkan di negara maju sekalipun meliputi water supply, household waste, industrial waste, transportation, dan urban land (Kingsley et al., 1994). Disinilah kemudian memunculkan banyak keraguan sekaligus pertanyaan tentang dimensi utama bagi keberlanjutan pembangunan kota. Studi dan Strategi Pembangunan Perkotaan Sistem perkotaan sejak tahun 1970an dipandang sebagai studi yang interdispliner melibatkan pemikiran-pemikiran ecologist yang difokuskan ke dalam human system. Namun perkembangan ini tidak segera menampakkan hasilnya karena isyu ekologi hanya sebagai window dressing. Baru ketika UNESCO mendirikan program Man and Biosphere, kota dianggap sebagai ecological system, mencakup spektrum yang luas dari unsur-unsur biogeography, bioclimate, ekonomi, sosial, budaya, politik dan situasi-situasi pembangunan—yang memberikan perbaikan pengetahuan dan pemahaman kompleksitas human system dan membangun dasar-dasar paradigma ekologi sistem perkotaan-hinterlandindustri. Sasarannya adalah untuk meningkatkan efisiensi, self sufficiency, humanness of city, dan meminimkan dampaknya terhadap hinterland dalam upaya membuat mereka lebih sustainable, conserving dan livable (Celecia, 1996). Studi perkotaan dalam perkembangannya juga disinergi oleh munculnya kesadaran upaya-upaya penyelamatan bumi pada awal tujuh puluhan tahun. Pada tahun 1972 ketika konferensi Bumi di Stochholm, Swedia berlangsung, masyarakat dunia (diwakili tujuh pemimpin dunia) berhasil menetapkan apa yang disebut ‘Brown Agenda’. Agenda ini adalah cermin keprihatinan dari dampak buruk industrialisasi perkotaan (terutama negaranegara maju) yang menghasilkan polusi air dan udara perkotaan. Akan tetapi cakupan agenda ini sesungguhnya ‘sempit dan myopic’. Tidak lama kemudian diperbaharui lagi menjadi ‘Green Agenda’ yang spektrum substansi maupun pendekatannya meluas— mengikat dan melibatkan individu dan kelembagaan mulai tingkat lokal hingga global termasuk di dalamnya ekosistem desa dan kota dan kaitan-kaitannya. Sistem perkotaan yang dipelajari berdimensi intergeneration (Serageldin, 1995) dengan sasaran (1) menghapus kemiskinan, (2) melindungi lingkungan, dan (3) meningkatkan produktifitas perkotaan. Keadaan demikian memberi kesimpulan bahwa agenda pembangunan perkotaan terletak pada permasalahan warganya (a human problem). Permasalahan ini secara langsung atau tidak akan terasakan dalam beragam aktifitas manusianya, mempengaruhi kehidupan orangorang miskin dan anak-anaknya, hingga kepada penurunan efisiensi sistem produksi masyarakat secara keseluruhan. Beberapa kasus menonjol yang sangat tidak menguntungkan ditinjau dari aspek ekonomi, sosial, maupun lingkungan antara lain: 1. Bangkok mempunyai masalah pelik dalam pengelolaan transportasi. Diperkirakan setiap mobil rata-rata yang terjebak dalam kemacetan lalu lintas setara 44 hari dalam setahun. Ketidak efisienan ini selain mempengaruhi GDP Thailand, juga diperkirakan 5 mempengaruhi daya saing secara global dan keadaan angkatan kerjanya (Serageldin, 1995). 2. Jakarta mempunyai permasalahan dalam water supply dan household waste. Jumlah penduduk yang mampu mengakses air (piped system) kurang dari seperempatnya. Sekitar 30 persen penduduk membeli air dari para penjual resmi dengan harga lima kali dari piped system. Jakarta juga tidak punya saluran pembuangan (sewerage system) dalam tanah yang memadai, sistem septic tanknya hanya mampu menampung 25 persen populasi, dan kebanyakan orang menggunakan sungai untuk keperluan mandi, cuci, dan kakus, serta pembuangan sampah rumah tangga yang jumlahnya sekitar 30 persen (Hardoy and Satterthwaite, 1989 dalam Vanderschueren, Wegelin and Wekwete, 1996). 3. Cubatao, Brazil punya masalah dalam polusi dan bahan beracun di udara. Pada tahun 1980, sebagai akibat tingkat polusi yang ‘berat’ dari hasil industri perkotaan, dari seribu bayi yang dilahirkan 40 bayi meninggal dalam kandungan dan lebih 40 lainnya meninggal sebelum umur satu minggu (World Bank, 1991). Perhatian untuk menghapus kemiskinan, melindungi lingkungan, dan meningkatkan produktifitas perkotaan merupakan cerminan dari apa yang disebut triangle of sustainability (Serageldin, 1996), yang di dalamnya terdiri dari interaksi tujuan-tujuan (dimensi) ekonomi, sosial, dan ekologi yang saling melengkapi dan melindungi satu sama lain. Konsepsi lainnya yang sedang dikembangkan Bank Dunia adalah apa yang dikenal sustainability as opportunity. Konsep ini berangkat dari definisi berikut: Sustainability is to leave future generations as many opportunities as we ourselves have had, if not more. Konsep ini memandang bahwa pembangunan akan sustainable jika di dalamnya memberikan generasi mendatang income disertai opportunity pertumbuhan capital (minimal sama dengan generasi sekarang) yang dapat diperlihatkan dengan relatif lebih tinggi capital per kapita dibanding generasi sekarang (Gambar 1). Modal-modal itu dapat dilukiskan sebagai human capital (investasi dalam pendidikan, kesehatan, atau gizi), social capital (fungsi dan keberadaan kelembagaan dan budaya dalam masyarakat), natural capital (fungsi dan keberadaan sumberdaya alam dan lingkungan) dan man-made capital (investasi yang umumnya terhitung dalam anggaran perekonomian). Dua modal yang pertama proporsi dan jumlah mutlaknya senantiasa naik sedangkan dua modal jumlah mutlaknya boleh konstan. Yang menarik untuk dikaji dari modal-modal di atas dan menentukan tingkat sustainability adalah tidak terhindarkannya substitusi dari salah satu diantaranya. Pembangunan, termasuk di perkotaan, menjadi weak sustainability karena di dalamnya mencerminkan tingkat substitusi yang tinggi antara modal-modal di atas tanpa memperhatikan komposisi akhir modal. Dalam hal antara social capital dengan man-made capital misalnya hilangnya kesempatan bercengkerama dengan tetangga akibat kesibukan kerja. Sementara sensible sustainability memcerminkan tingkat subsitusi yang ‘berhati-hati’ sehingga berkurangnya salah satu modal diimbangi oleh tambahan modal lainnya. Ini dapat diberi contoh misalnya berkurangnya kesempatan bercengkerama dengan tetangga (sebagai social capital) digantikan oleh mengkaji kitab Al Qur’an (sebagai human capital). Dan terakhir strong sustainability adalah mencerminkan substitusi ‘terbatas’ (baca: komplemen) sehingga berkurangnya salah satu modal harus diimbangi lebih investasi untuk modal yang sama. Keadaan ini dapat digambarkan dengan berkurangnya kesempatan bercengkerama 6 dengan tetangga (sebagai social capital) digantikan oleh keikutsertaan dalam organisasi sosial (atas inisiatif lokal atau intervensi pemerintah) yang memberi benefit bagi sesama. Natural Social Capital Capital Natural Capital t Man-made Human Capital Capital Man-made Capital Social Capital Human Capital Gambar 1. Sustainability dan kenaikan stock capital per kapita (Serageldin, 1996) Contoh-contoh dari studi yang menarik dikemukakan adalah pengalaman Hongkong, Roma, Barcelona, Bangkok dan Seoul (Celecia, 1996). Kota-kota itu dipelajari mulai dari spektrum disiplin science hingga social untuk melihat (1) sumber dan aliran energi dan bahan seperti air, pangan, polutan, (2) karakteristik lingkungan perkotaan seperti keragaman biologi dan genetik, dan (3) peranan organisasi sosial dan budaya dalam mendukung kehidupan kota yang ‘urbane’. Dan poin terakhir (social capital) diakui yang paling menantang karena di dalamnya ditemui kesulitan-kesulitan— mengkualifiasi, mengkuantifikasi dan mengidentifikasi ciri-ciri, faktor dan proses dalam organisasi sosial— sehingga seringkali diabaikan dan ditolak dalam perencanaan dan perumusan kebijaksanaan. Meskipun demikian ada sedikit harapan khususnya dari pengalaman Roma dan Hongkong, yaitu betapa pentingnya membangun jalinan bersama (social capital) yang kuat antar individu-individu dari beragam disiplin, organisasi kemasyarakatan (misalnya LSM), private sector, dan pemerintah pada tingkat lokal, regional hingga nasional, sehingga membentuk sinergi dalam mendukung keberlanjutan pembangunan perkotaan. Dan ukuran tentang social capital nampaknya sejalan dengan keberadaan dan density sistem sosial yang lebih bersifat voluntary horizontal association dibanding hierarchical vertical association (Serageldin, 1996) yang didalamnya mencerminkan adanya equity, social cohesive, dan partisipasi (Serageldin, 1995). Model dan Empiris Social Capital Apa yang terjadi dengan perkembangan kota selama ini merupakan pengingkaran terhadap konsepsi klasik Adam Smith yang sebenarnya. Meskipun diakui perkembangan kota khususnya di NSB tidak benar-benar menerapkan konsepsi klasik maupun neoklasik, namun gejala dan kecenderungan orientasi pertumbuhan selama ini memperlihatkan bahwa 7 peran dari social capital sama sekali tidak disentuh. Dengan kata lain (perencanaan) pembangunan perkotaan ‘lebih berat’ kepada man-made capital yang didalamnya mengandalkan efisiensi alokasi sumberdaya dengan kriteria Pareto Optimality. Lebih lanjut alokasi sumberdaya perkotaan pun tidak seluruhnya terakomodasikan dalam sistem pasar sebagai exclusive good/bad. Bahkan dengan makin intensifnya konsentrasi manusia, barang dan jasa ke kota, maka akan ditemukan banyak jenis-jenis baru public good/bad. Dalam keadaan demikian sistem pertukaran yang efisien adalah berfungsinya pola-pola organisasi sosial ekonomi masyarakat yang dipandu oleh beragam tata nilai yang menjamin efisiensi alokasi sumberdaya dan tercapainya kesejahteraan. Gambaran pembangunan perkotaan dengan demikian mencerminkan banyak hal yang menjadi kajian ekonomi public choice dan organizational cooperation (implisit telah disebut dimuka). Di dalamnya social capital akan mempengaruhi kinerja produktifitas perkotaan melalui fungsi-fungsi kelembagaan dan organisasi pendukungnya (Gambar 2) yang pilihanpilihannya mempertimbangkan antara lain: 1. Jumlah organisasi (density). Semakin besar jumlah organisasi memberi peluang spesialisasi, kerjasama, dan koordinasi untuk memanfaatkan aktifitas ekonomi perkotaan. Keadaan ini juga akan meningkatkan frekwensi dan akses individu terhadap beragam sumberdaya maupun penyelesaian konflik dibelakangnya. 2. Hirarki (horizontal atau vertical). Organisasi yang berhirarki horizontal memberi peluang interdependency yang lebih saling menguntungkan dan kondusif bagi kerjasama. Hirarki ini juga memungkinkan proximity individu dengan individu lainnya, dengan organisasinya dan tentu saja implisit ada efisiensi dalam alokasi sumber-sumberdaya perkotaan dan keberlanjutannya. 3. Pemerintah (desentralisasi atau sentralisasi). Tingkat pengambilan keputusan desentralisasi memberi peluang mobilisasi organisasi untuk menjalankan aktifitas ekonomi. Dalam hubungan ini governance merupakan titik awal dari pengelolaan sumberdaya perkotaan, menentukan peranan private sector, dan mengoperasikan pelayanan dan infrastruktur perkotaan (Kingsley et al., 1994). 4. Relative size atau footprint3. Makin tinggi tingkat ketergantungan kota terhadap sumbersumberdaya pendukungnya, berarti menuntut kerjasama dan koordinasi antara organisasi, pemerintah, dan hirarkinya dalam upaya menekan externalities yang ditimbulkan di perkotaan maupun hinterlandnya. Karenanya kota-kota yang berukuran lebih kecil dianggap menguntungkan karena hirarki organisasi masyarakatnya lebih sederhana dan cohesive dalam menjalankan fungsi-fungsinya. 5. Cooperative relationship. Kerjasama non formal mungkin lebih tepat (dibanding formal) bila diketahui ada beaya transaksi yang tinggi dalam alokasi sumberdaya. Dalam pengertian lebih luas, kerjasama formal maupun non formal merupakan persyaratan penting dalam mengupayakan efisiensi alokasi sumberdaya perkotaan khususnya menghadapi kompleksitas dunia bisnis menyongsong globalisasi. 3 Girardet (1996) mengambil istilah footprint of city, yaitu lahan yang dibutuhkan untuk menyediakan atau mendukung kota untuk produksi makanan, kayu, dan untuk menyerap output CO2. Untuk London dengan luas wilayah 159000 ha, total footprint mencapai 125 kali atau setara 20 juta ha. Dengan populasi 12 persen dari total Inggris Raya, berarti London membutuhkan seluruh lahan produktif Inggris Raya 8 Budaya (non formal) Kesejahteraan Pasar Kelembagaan Alokasi Sumberdaya Masyarakat Persepsi Legal (formal) (Human Capital) Social Capital Man-made, and Natural Capital Gambar 2. Hubungan antara kelembagaan (social capital) dengan man-made, natural serta human capital Dan seiring meningkatnya stock social capital, meningkat pula ex post kesejahteraan masyarakat (net benefit) sebagai hasil meningkatnya jumlah transaksi, joint venture, output (Smith, Carrol, and Ashford, 1995); juga kualitas hidup, kualitas lingkungan, dan kemudahan-kemudahan lainnya yang dinikmati penduduk perkotaan. Upaya menghubungkan stock social capital terhadap output nasional (national account) mungkin saja akan menjadi kenyataan. Berdasar apa yang telah dicoba Bank Dunia (Serageldin, 1996) melalui genuine saving (setara dengan stock human capital), yaitu selisih (residue) total investasi dengan jumlah man-made dan natural capital, maka perhitungan social capital dapat diusulkan sebagai berikut: SC = TC - (MMC + NC) - HC dimana SC adalah social capital, TC total investasi (capital), MMC man-made capital, NC natural capital, dan HC adalah human capital. Apabila dihubungkan dengan uraian sebelumnya, maka SC merupakan fungsi yang ditunjukkan melalui persamaan berikut: SC = f(D, H, G, R, F) dimana D adalah density, H hirarki, G pemerintah, R relative size, dan F adalah cooperative relationship. Ilustrasi peranan social capital dalam program atau kebijaksanaan pembangunan perkotaan diberikan contoh berikut. Filosofi Cina yang didasari ajaran Confucianism, Taoism, Legalism, Ying-Yang dan Logicianism dipergunakan dalam perencanaan pembangunan dan pengelolaan kota Tianjin (kota terbesar ketiga di Cina sesudah Beijing dan Shanghai). Ajaran itu menekankan pandangan yang holistik antara manusia (ren) dengan 9 lingkungan (tian) dan mengutamakan harmony antara masyarakat dan individu, dan melihat kepentingan generasi sekarang dan mendatang. Nilai-nilai ini kemudian menyusun prinsipprinsip pengelolaan antara lain: (1) Dao-li, yaitu hubungan secara umum antara unsur-unsur sumberdaya alam misalnya geography atau ilkim, (2) Shi-li, yaitu perencanaan dan pengelolaan aktifitas manusia misalnya pertanian, warfare, politics, atau keluarga, (3) Qingli, yaitu persepsi, nilai, atau etika tentang lingkungan atau psychological feelings. Hal ini sedang dikaji secara ilmiah dan diadaptasikan dengan perkembangan kota yang begitu cepat4 akibat industrialisasi (Rusong, 1996). Program perbaikan kampung perkotaan yang dibiayai oleh Bank Dunia (Kampung Improvement Project Urban) adalah contoh di Indonesia. Upaya ini juga merupakan pengakuan tentang adanya fenomena dualisme dalam perkotaan, sekaligus mengangkat potensi social capital masyarakat tradisionil perkotaan sebagai investasi dalam meningkatkan produktifitas dan keberlanjutan pembangunan perkotaan dan lingkungannya. Bank Dunia kemudian tertarik melakukan studi lebih detil (rapid urban appraisal) di Surabaya dalam rangka menggali dan mendefinisikan persepsi dan kebutuhan pihak-pihak yang terlibat dalam merehabilitasi kampung-kampung kumuh: permasalahan sampah, saluran drainase, dan sanitasi lainnya. Hasilnya terbukti baik karena antara masyarakat, pemerintah, dan private sector dapat berkomunikasi (managed within the community) secara terbuka dan mengimplementasikan upaya-upaya perbaikannya (World Bank, 1994) Keadaan social capital dalam pembangunan perkotaan di Indonesia, sekalipun kurang akurat, setidaknya dapat dicerminkan dari data Susenas (Tabel 2 dan 3). Dari yang disebutkan sebagai kegiatan sosial budaya (KSB) tersebut (10 item), paling tidak, dapat dikelompokkan ke dalam kegiatan yang bersifat sosial dan individu. Adapun yang nampak mewakili kegiatan yang bersifat sosial antara lain melakukan atau menonton kesenian (MKS), menjadi anggota organisasi sosial (ORS) dan mendengar ceramah agama (CGA); dengan asumsi tiga kegiatan ini di dalamnya mencerminkan adanya equity, social cohesive, dan partisipasi. Sedangkan kegiatan lainnya adalah lebih kepada kegiatan individu yang mencerminkan rendahnya social capital. Data Tabel 2 memperlihatkan sekalipun persentase penduduk pedesaan yang melakukan KSB masih lebih kecil dibanding perkotaan namun kenaikannya dalam kurun 1984 hingga 1994 adalah lebih tinggi. Keadaan ini menunjukkan bahwa kemajuan pembangunan selama ini memang sejalan dengan meningkatnya KSB seperti yang disebutkan khususnya pada penduduk pedesaan. Sementara itu pemisahan KSB sebagai kegiatan individu dan sosial ternyata nampak konsisten kaitannya dengan fenomena perkotaan dan pedesaan. KSB yang individu khususnya MTV, FLM, MAJ, dan ORG dalam kurun waktu di atas, di perkotaan memang konsisten lebih tinggi di banding pedesaan. Hal sebaliknya juga, KSB sosial seperti MKS, ORS dan CGA adalah lebih tinggi di pedesaan. Keadaan ini memberi kesan bahwa masyarakat pedesaan masih menyimpan (stock) social capital seperti yang diperkirakan. Tabel 2. Persentase Penduduk 10 Tahun ke Atas Yang Melakukan Kegiatan Sosial 4 Pada tahun 1979, sebanyak 13.2 persen total populasi berada di perkotaan. Jumlahnya naik menjadi 20.4 persen pada tahun 1992. Diperkirakan lebih 500 juta jiwa penduduk Cina akan berada di perkotaan pada tahun 2000 10 Budaya (BPS, 1995) 1984 1987 1991 1994 K D K+D K D K+D K D K+D K D K+D Kegiatan Sos-Bud -Melakukan kegiatan sosial budaya (KSB) Mendengar radio (RAD) Menonton televisi (MTV) Menonton Film (FLM)) Membaca harian/ majalah (MAJ) Olahraga (ORG) Melakukan/menonton Kesenian (MKS) Menjadi anggota orsos (ORS) Merokok (ROK) Mendengar ceramah agama (CGA) Pernah ikut penataran P4 (PP4) Tidak Melakukan Kegiatan Sosial Budaya (TKSB) Total ------------------------------------------------------ % -------------------------------------------------------91,03 73,13 79,39 93,97 78,67 82,83 95,88 84,00 87,83 94,58 81,98 97,16 59,56 65,42 63,75 64,40 62,50 63,09 75,88 70,89 72,58 69,91 60,64 63,91 84,98 46,58 57,50 86,94 54,37 64,42 94,70 66,04 75,11 88,88 58,85 69,43 11,40 3,39 5,66 9,76 3,14 5,18 13,49 4,39 7,55 5,94 1,96 3,74 41,49 11,23 42,50 42,50 12,30 21,62 50,20 14,27 25,33 43,87 11,87 23,15 36,80 6,69 24,38 10,17 27,91 9,18 41,26 4,94 27,39 9,84 31,67 8,36 43,24 6,10 24,25 11,09 29,53 9,62 40,72 6,15 30,85 7,78 35,26 7,11 45,60 48,23 47,48 47,35 50,93 49,83 45,85 52,88 50,70 39,29 46,55 43,31 20,88 58,31 26,60 61,95 24,25 60,33 40,12 24,07 31,23 5,42 18,02 12,84 8,91 26,87 20,61 6,03 21,33 17,17 5,42 16,00 12,17 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 K=Perkotaan; D=Pedesaan Upaya melihat lebih detil KSB pada penduduk perkotaan disajikan melalui Tabel 3. Disini diasumsikan bahwa penduduk propinsi DKI adalah cermin sepenuhnya masyarakat perkotaan, sedangkan wilayah lainnya adalah masyarakat perkotaan yang belum ‘penuh’. Dari data ditunjukkan bahwa keragaman KSB antara DKI dibanding wilayah lainnya adalah relatif kecil, semuanya di atas 90 persen. Namun seperti uraian sebelumnya, kecenderungan perkotaan lebih individu dan pedesaan lebih sosial jelas sekali gejalanya. Untuk kegiatan MKS, ORS dan CAG pada DKI adalah 2.42, 19.0, dan 48.06 persen. Angka ini berada di bawah nasional yang masing-masing 6.15, 39.29 dan 58.31 persen. Wilayah yang stock social capitalnya tinggi adalah DIY, masing-masing untuk kegiatan di atas adalah 6.08, 61.46 dan 67.75 persen. Menyusul wilayah Jawa lainnya adalah Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Sementara itu gambaran KSB individu adalah berlawanan dengan uraian tadi. DKI pada KSB seperti MTV dan FLM relatif lebih tinggi dibanding wilayah lainnya. Agaknya sulit memberi kesimpulan tentang perbandingan KSB penduduk perkotaan antar propinsi ini. Meskipun kecenderungan penduduk perkotaan selain DKI memiliki stock social capital lebih tinggi namun keragamannya mungkin relatif kecil. Hal ini didasari kenyataan bahwa KSB individu di luar DKI ternyata umumnya hampir sama dengan DKI. 11 Tabel 3. Persentase Penduduk 10 Tahun ke Atas Perkotaan yang Melakukan Kegiatan Sosial Budaya Pada Beberapa Propinsi 1994 (BPS, 1995) Kegiatan sosial Budaya DKI Jabar Jateng Jatim DIY Indonesia -- Melakukan kegiatan sosial budaya (KSB) Mendengar radio (RAD) Menonton televisi (MTV) Menonton Film (FLM)) Membaca harian/majalah (MAJ) Olahraga (ORG) Melakukan/menonton Kesenian (MKS) Menjadi anggota orsos (ORS) Merokok (ROK) Mendengar ceramah agama (CGA) Pernah ikut penataran P4 (PP4) Tidak Melakukan Kegiatan Sosial Budaya (TKSB) Total ---------------------------------------------- % -----------------------------------------97,5 94,07 94,17 95,28 97,92 94,58 74,38 92,39 7,24 56,14 65,81 86,77 4,72 36,04 64,26 83,25 4,19 29,54 61,69 85,48 4,99 33,23 81,18 91,79 4,91 47,64 69,91 88,88 5,94 43,87 35,85 2,42 34,90 4,65 34,80 6,52 34,78 4,49 40,90 6,08 40,72 6,15 19,90 21,84 51,00 53,17 61,46 39,29 21,71 48,06 24,84 59,54 20,39 55,92 20,27 53,03 21,18 67,74 22,08 58,31 33,47 30,51 35,49 41,31 43,49 40,12 2,50 5,93 5,83 4,72 2,08 5,42 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 Gambaran menarik mengeksplorasi peran social capital ditunjukkan dalam Tabel 4 dan 5 khususnya melihat aktifitas dan alasan penduduk menjadi anggota organisasi sosial (ORS). KSB ini sengaja dilihat lebih detil karena lebih mencerminkan adanya equity, social cohesive, dan partisipasi. Apa yang disajikan dalam Tabel 4 sebenarnya masih memberikan gambaran umum yang sama dengan uraian sebelumnya, yaitu terjadinya pemisahan kegiatan individu dan sosial yang masing-masing mendominasi perkotaan dan pedesaan. Namun yang menarik dari Tabel 4 ini adalah masih relatif tingginya pilihan ORS keagamaan dibanding ORS lainnya. Ini memberi kesan bahwa nuansa keagamaan penduduk perkotaan masih lekat dan tentu saja pantas untuk dipertahankan untuk meningkatkan stock social capital. Sementara itu ORS tertinggi kedua, tanpa memperhatikan ORS kematian, adalah ORS kewanitaan di Jatim, Jateng dan DIY dan ORS kepemudaan di DKI dan Jabar. Dengan mengasumsikan ORS kewanitaan sebagai media yang lebih efektif (dibanding ORS kepemudaan) untuk menanamkan pendidikan dan nilai-nilai moral di dalam keluarga dan masyarakat, maka bisa jadi tambahan stock social capital di tiga propinsi tadi cukup tinggi dibanding DKI dan Jabar. Implisit dari fenomena ini adalah bahwa alokasi waktu untuk kepentingan keluarga dan kehidupan bermasyarakat perkotaan di Jateng, DIY dan Jatim relatif lebih tinggi. Tabel 4. Persentase Penduduk 10 Tahun ke atas Perkotaan yang Menjadi Anggota Organisasi Sosial Pada Beberapa Propinsi 1994 (BPS, 1995) 12 Jenis Organisasi Sosial DKI Jabar Jateng Jatim DIY Indonesia - Kepemudaan Keagamaan Kewanitaan Olahraga Kesenian Kematian Pembinaan dan Rehabilitasi sosial ----------------------------------------------- % -------------------------------------------- 33,81 43,38 17,65 17,45 4,69 10,18 10,05 31,61 43,30 16,06 11,52 2,21 22,02 7,43 28,97 40,79 30,16 10,65 2,74 38,59 5,28 21,24 50,66 26,69 7,52 1,99 47,81 4,00 30,08 57,18 36,76 11,54 3,38 12,51 9,67 25,24 48,10 22,65 9,97 2,64 38,33 5,94 Sementara itu data Tabel 5 agaknya mengejutkan dan kontroversial. Dengan mengasumsikan penduduk perkotaan DKI lebih berpendidikan dan intelektualini didukung oleh rendahnya persentase alasan tidak mengerti, maka nampak ironis dengan tingginya alasan tidak ada ORS (6.69 persen) dan rendahnya alasan tidak ada manfaat mengikuti ORS (1.91persen). Ini memberi kesan bahwa penduduk perkotaan DKI memang tidak punya inisiatif (baca: apatis) untuk melakukan koordinasi sebagai prasyarat penting terbentuknya organisasi (Smith et al., 1995). Gejala ini tentu saja menarik untuk diperdebatkan. Tabel 5. Alasan-alasan Tidak Menjadi Menjadi Anggota Organisasi Sosial Pada Beberapa Propinsi 1994 (BPS, 1995) Alasan-alasan DKI Jabar Jateng DIY Jatim - Tidak ada orsos Segan/malas Tidak ada manfaat Tidak mengerti Jumlah yang beralasan Lainnya Jumlah ---------------------------------------- % --------------------------------------- 6,69 15,16 1,91 15,75 39,51 60,49 100,00 6,44 10,48 1,68 21,67 40,27 59,73 100,00 5,28 11,79 2,31 14,78 34,16 65,84 100,00 3,55 27,05 4,41 26,68 61,69 38,31 100,00 0,97 17,12 4,78 26,18 49,05 50,95 100,00 Pe n u t u p Sekalipun pembangunan perkotaan terutama di NSB memperlihatkan kecenderungan yang kurang menguntungkan: munculnya permasalahan water supply, household waste, industrial waste, transportation, dan urban land, namun sejalan dengan peningkatan 13 manfaat-manfaat ekonomi, muncul pula kesadaran-kesadaran yang mempertanyakan tentang keberlanjutan dari sistem produksi dan juga posisi manusia di dalamnya. Keadaan ini sangat menggembirakan karena nampak mulai disadari adanya keterkaitan antar modal-modal pembangunan (man-made, natural, human, dan social capital). Dan umumnya studi perkotaan kemudian menunjukkan bahwa social capital merupakan obyek yang senantiasa menantang sejalan dengan manfaat-manfaatnya bagi umat manusia dan pembangunan perkotaan. Upaya membangun social capital adalah cermin peningkatan equity, social cohesive, dan partisipasi masyarakat. Hal ini dapat dilakukan dengan membangun kerjasama dan koordinasi bersama yang kuat antar individu-individu dari beragam disiplin, organisasi kemasyarakatan (misalnya LSM), private sector, dan pemerintah pada tingkat lokal, regional hingga nasional, sehingga membentuk sinergi dalam mendukung keberlanjutan pembangunan perkotaan. Pengalaman kota Tianjin dan Surabaya memperlihatkan bahwa social capital bermanfaat dalam perencanaan, pengelolaan dan upaya-upaya rehabilitasi permasalahan kota. Tianjin menggunakan tatanan nilai-nilai kepercayaan atau ajaran Cina sebagai dasar memahami harmoni antara manusia dan lingkungannya, sementara Surabaya membangun dan menggali persepsi melalui jalinan komunikasi dan kerja sama di antara organisasi sosialnya: masyarakat, pemerintah, dan private sector. Beberapa gambaran dari kegiatan sosial budaya penduduk Indonesia menunjukkan bahwa stock social capital penduduk perkotaan lebih rendah dibanding pedesaan. Kegiatan sosial budaya perkotaan lebih bersifat individu, misalnya dalam menonton televisi dan film, membaca surat kabar dan berolahraga. Sebaliknya kegiatan sosial budaya pedesaan cenderung dilakukan ‘bersama’ antara lain dalam menonton dan melakukan kesenian, mendengar ceramah agama, dan menjadi anggota organisasi sosial. Yang menggembirakan adalah masih tingginya persentase yang penduduk yang menjadi anggota organisasi sosial keagamaan baik di kota maupun desa. Ini tentu memberi kesan bahwa social capital dalam bentuk norma dan nuansa kehidupan agama masih ‘kental’ menjiwai perjalanan pembangunan. Namun ada juga yang agak menyedihkan dengan fenomena DKI. Bisa dikatakan bahwa penduduknya kurang berinisiatif (baca: apatis) untuk melakukan kerjasama dan koordinasi sebagai prasyarat penting terbentuknya organisasi. Ini diperkirakan akan dapat memperlemah stock total capital sekalipun man-made dan human capital di dalamnya diakui lebih baik dibanding wilayah lainnya. 14 Daftar Pustaka Boyden, S. 1996. Urbanization in a historical context. Nature & Resources. 32(2):2. BPS. 1995. Statistik Sosial Budaya: Hasil Susenas 1994. BPS Pusat Jakarta.. Celecia, J. 1996. Towards an urban ecology. Nature & Resources. 32(2):3-6. Folch, R. 1996. The approaching urbanization. Nature & Resources. 32(2):10-11. Girardet, H. 1996. The metabolism of cities. Nature & Resources. 32(2):6-7. Kingsley, G. T., B. W. Ferguson, B. T. Bower and S. R. Dice. 1994. Managing Urban Environmental Quality in Asia. World Bank, Washington, DC. 102p. Mahbub Ul Haq. 1995. Introduction. In: Serageldin, J., M. A. Cohen, K. C. Sivaramakrishnan (eds.). Proceeding of the Second Annual World Bank Conference on Environmental Sustainable Development, 19 - 21 September 1994, World Bank, Washington, DC. 21-23 Rusong, Wang. 1996. Thinking about urban interaction: a chinese approach. Nature & Resources. 32(2):7-8. Sach, I. 1996. Coping with the urban explosion. Nature & Resources. 32(2):6. Serageldin, I. 1995. The human face of the urban environment. In: Serageldin, J., M. A. Cohen, K. C. Sivaramakrishnan (eds.). Proceeding of the Second Annual World Bank Conference on Environmental Sustainable Development, 19 - 21 September 1994, World Bank, Washington, DC. 16-20 Serageldin, I. 1996. Sustainability and the Wealth of Nations, First steps in an ongoing journey. Environmentally Sustainable Development (ESD) Studies and Monographs Series No. 5. 21 p. Smith, K. G., S. J. Carrol, and S. J. Ashford. 1995. Intra- and Interorganizational cooperation: toward a research agenda. Academy of Management Journal. 38(1):723. Vanderschueren, F. E. Wegelin, and K. Wekwete. 1996. Policy Programme Option for Urban Poverty Reduction. A framework for action at municipal level. Published for the Urban Management Programme (UMP) by World Bank, Washington, DC. 55p. World Bank. 1991. Urban Policy and Economic Development: An agenda for the 1990s. A World bank Policy Paper. World Bank, Washington, DC. 87p. World Bank. 1994. Indonesia Environment and Development: Challenges for the Future. For official use only. Washington, D.C. 292p. 15