PANDANGAN ISLAM TENTANG PROSES KEJADIAN MANUSIA

advertisement
113
PANDANGAN ISLAM TENTANG PROSES KEJADIAN MANUSIA
DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENDIDIKAN
Siti Suwaibatul Aslamiyah
(Universitas Islam Lamongan)
Abstract: Human beings are most perfect creature of Allah SWT than the others because the
human is composed of two elements namely the physical and spiritual elements, and besides that
humans also equipped by Allah with a set of potential (fitrah) in the form of aql, qalb, and naf.
With that human nature would choose life. If you want to live in accordance with nature, so
different from other creatures, then let him use psychic element is dominant. If not, it will lose
its essence as a human. As a creature, he certainly does not happen by itself but made by Allah
(Surat ar-Rum: 40). Therefore, in the article entitled "Islamic views on the human creation
process and implications to education" the author explains about human nature, the process of
human creation, the position of man, and the value of education in the process of human
creation.
As a conclusion of this paper is that: (1) Man in the language of the Qur'an is taken from the
word al-Insan, al-Basyar, and al-Nas is a creature that has a complete physical and psychic.
With physical completeness, it can carry out tasks that require physical support and the
completeness of the psychic he can carry out tasks that require mental support. (2) the process of
human events through three stages, namely: a) the physical/material (nuthfah,‘alaqah,
mudlghah, ‘idham, andlahm). B). Process nonphysical/immaterial (blowing) blowing spirit into
man so that he moves and different from other creatures. C) the birth process (a perfect human
being). (3) Humans have a position as a human servant of God ('Abd Allah), and as the
vicegerent of Allah (khalifah Allah fi al-ardhi). (4) The educational values that need to be
developed in the process of Islamic education, namely: a) Introducing teak man, how human
created, where it came from and how he lives so they do not forget themselves. b) The increase in
faith, the development of knowledge or understanding and also in-depth appreciation of the
signs of His majesty and greatness as a Creator, c) Development of the human body and spirit
in harmony and the development of human nature in an integrated manner. d) Development of
scientific spirit to seek and find the truth of His verses..
Kata Kunci: Pandangan Islam, proses kejadian manusia, pendidikan
Pendahuluan
Manusia adalah makhluk Tuhan yang paling sempurna, paling unik dan
menarik.Tidak ada makhluk Allah yang lebih bagus dari pada manusia. Karena manusia
dibekali Allah dengan seperangkat potensi (fitrah) berupa aql, qalb,dan naf . Dengan fitrah
itulah manusia akan memilih hidupnya. Manusia pun telah diberi oleh Allah bermacammacam kemampuan yang mungkin antara manusia satu dengan yang lain berbeda.
Kemampuan atau potensi yang dimiliki oleh manusia tersebut telah dibawanya sejak lahir,
yaitu sejak manusia masih dalam kandungan Allah telah memberi potensi tersebut.
Untuk mengaktualisasikan kemampuan-kemampuan atau potensi-potensi tersebut,
manusia membutuhkan pendidikan. Dengan melalui proses pendidikan, manusia dapat
mengembangkan bakat, minat dan kemampuan yang dimilikinya. Oleh karena itu, antara
manusia dan pendidikan tidak bisa dipisahkan keduanya saling terkait sehingga manusia
disebut anima educandum.
Hampir semua orang dikenai pendidikan dan melaksanakan pendidikan. Sebab
pendidikan tidak pernah terpisah dengan kehidupan manusia. Anak-anak menerima
pendidikan dari orang tuanya dan begitu pula nantinya manakala anak-anak itu sudah
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
114
dewasa dan berkeluarga mereka juga akan mendidik anak-anaknya. Begitu juga di sekolah
dan perguruan tinggi, para siswa dan mahasiswa dididik oleh guru dan dosen. Pendidikan
adalah khas milik dan alat manusia. Tidak ada makhluk lain yang membutuhkan
pendidikan, kecuali manusia.
Manusia adalah makhluk Allah. Ia dan alam semesta bukan terjadi sendirinya, tetapi
dijadikan oleh Allah SWT sebagaimana firman-Nya dalam surat Ar-Rum ayat 40 yang
artinya:
Allahlah yang menciptakan kamu, kemudian memberimu rezeki, kemudian mematikan kamu,
kemudian menghidupkan kamu (kembali di akhirat)adakah diantara mereka yang kamu
sekutukan dengan Allah itu yang dapat berbuat sesuatu yang demikian itu? Maha Suci Dia
dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan.1
Sebagai makhluk Allah, manusia pun mempunyai kewajiban untuk mengabdi dan
beribadat kepada-Nya sebagaimana yang di perintahkan-Nya dalam surat Az-Zariyat: 56
yang artinya: “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadat kepada-Ku2
Orang yang beribadat kepada Allah ini adalah orang yang disayangi-Nya. Kepadanya
diturunkan suatu ajaran melalui Rasul-Nya secara berturut dan beruntun, mulai dari Rasul
pertama, Adam a.s. sampai kepada Rasul terakhir, Muhammad SAW. Ajaran yang telah
disempurnakan melalui rasul terakhir ini dinamakan syari’at Islam yang terkumpul dalam
kitab yang bernama al-Qur’an, dan yang telah dijelaskan oleh Rasulullah dengan sabdanya,
dengan perbuatannya dan pengakuannya, seterusnya dikembangkan oleh para pengikunya
yang sudah memiliki kemampuan untuk berijtihad. Melalui ajaran inilah kita melihat dan
mengetahui pandangan Islam mengenai manusia, mulai dari siapakah manusia itu,
bagaimana proses kejadian manusia, apa kedudukan manusia, dan nilai-nilai apa yang
dapat diterapkan dalam pendidikan menurut ajaran atau syari’at Islam.
Oleh karena itu dalam tulisan yang sangat sederhana ini lebih lanjut dijelaskan tentang
hakekat manusia, proses kejadian manusia, kedudukan manusia, dan nilai-nilai pendidikan
dalam proses kejadian manusia
Hakekat Manusia
Pemahaman tentang hakekat manusia merupakan bagian yang sangat penting karena
dalam proses pendidikan manusia bukan saja objek tetapi juga sebagai subjek, sehingga
pendekatan yang harus dilakukan dan aspek yang diperlukan dapat direncanakan secara
matang.
Manusia adalah makhluk Tuhan yang paling sempurna, paling unik dan menarik.
Banyak para ahli dalam berbagai bidang memberikan penafsiran tentang hakekat manusia.
Sastraprateja, mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang historis (sejarah). Manusia
hanya dapat dilihat dalam perjalanan sejarah dalam sejarah bangsa manusia. Lebih lanjut ia
mengatakan, bahwa apa yang kita peroleh dari pengamatan kita atas pengamatan manusia
adalah suatu rangkaian anthropological constants yaitu dorongan-dorongan dan orientasi yang
tetap dimiliki manusia. Ada enam anthropological constants yang dapat ditarik dari
pengalaman sejarah umat manusia yaitu: 1) Relai manusia dengan kejasmanian, alam dan
lingkungan ekologis, 2) ketertiban dengan sesama, 3) keterikatan dengan struktur soaial dan
institusional 4) ketergantungan masyarakat dan kebudayaan pada waktu dan tempat, 5)
hubungan timbal balik antara teori dan praktek, 6) kesadaran religius dan para pemeluk
agama.
Alexis Carrel, mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang misterius, karena
derajat keterpisahan manusia dari dirinya berbanding terbalik dengan perhatiannya yang
demikian tinggi terhadap dunia yang ada di luar dirinya.
1
2
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya, (Surabaya: Mekar surabaya, 2004), 575
Ibid. 756
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
115
Ibn ‘Arabi melukiskan hakekat manusia dengan mengatakan bahwa, tak ada makhluk
Allah yang lebih bagus dari pada manusia. Allah SWT membuatnya hidup, mengetahui,
berkuasa, nerkehendak, berbicara, mendengar, melihat dan memutuskan, dan ini adalah
merupakan sifat-sifat rahbaniyah.
Murthada Mutahhari melukiskan gambaran al-Qur’an tentang manusia sebagai
berikut: al-Qur’an menggambarkan manusia sebagai suatu makhluk pilihan Tuhan, sebagai
khalifah-Nya di bumi, serta sebagai makhluk yang semi samawi dan semi duniawiyang
dalam dirinya ditanamkan sifat mengakui Tuhan, bebas terpercaya, rasa tanggungjawab
terhadap dirinya maupun alam semesta, serta dikarunia keunggulan untuk menguasai alam
semesta, langit dan bumi, manusia dupusakai ke arah kecenderungan kepada kebaikan dan
kejahatan. Kemajuam mereka dimulai dengan kelemahan dan ketidakmampuan yang
ekmudian bergerak kearah kekuatan, tetapi itu tidak akan emnghapus kegelisahan mereka,
kecuali kalau mereka dekat dengan Tuhan dan mengingat-Nya. Kapasitas mereka tidak
terbatas, baik dalam kemampuan belajar maupun dalam menerapkan ilmu. Mereka
memiliki keluhuran dan martabat nuluriah. Motivasi dan pendorong mereka dalam banyak
hal, tidak bersifat keberadaan. Akhirnya mereka dapat secara leluasa memanfaatkan nikmat
dan karunia yang dilimpahkan Allah kepada mereka namun pada saat yang sama, mereka
menunaikan kewajiban mereka kepada Tuhan.3
Berdasarkan pandangan para ahli di atas terlihat betapa sulitnya untuk mencari
definisi yang representatif dalam mengenal manusia. Untuk itu harus pula dilihat
pengertian manusia dari segi kata yang digunakan. Al-Qur’an memperkenalkan tiga kata
(istilah) yang bisa digunakan untuk menunjuk pengertian manusia, yakni; al-Insan, al-Basyar,
dan al-Nas.
1) Al-Insan terbentuk dari kata nasiya yang berarti lupa. Kata al-Insan dinyatakan dalam alQur’an sebanyak 73 kali yang diebut dalam 43 surat. Kata al-Insan pada umumnya
digunakan menggambarkan pada keistimewaan manusia menyandang predikat khalifah
di muka bumi, sekaligus dihubungkan dengan proses penciptaannya. Keistimewaan
tersebut karena manusia merupakan makhluk psikis dan fisik yang memiliki potensi
dasar yaitu fitrah dan kalbu. Potensi ini menempatkan manusia sebagai makhluk Allah
yang mulia dan tertinggi dibanding makhluk-Nya yang lain. Kata al-Insan juga
menunjukkan pada proses kejadian manusia baik proses penciptaan Adam, sebagaimana
yang tertulis dalam al-Qur’an surat Shaad, 38 ayat 71-72.4 Maupun proses manusia pasca
Adam di alam rahim, sebagaimana yang tertulis dalam al-Qur’an surat Al-Mu’minun, 23
ayat 12-13, yang berlangsung secara utuh dan berproses. 5
2) Al-Basyar dinyatakan dalam al-Qur’an sebanyak 36 kali yang tersebar dalam 26 surat.
Secara etimologi al-Basyar merupakan bentuk jamak yang berarti kulit kepala, wajah dan
tubuh menjadi tempat tumbuhnya rambut. Pemaknaan manusia dengan al-Basyar
memberikan pengertian bahwa manusia adalah makhluk biologis serta memiliki sifatsifat yang ada di dalamnya, seperti makan, minum, perlu hiburan, seks dan lain
sebagainya. Kata al-Basyar ditunjukkan kepada seluruh manusia tanpa terkecuali.
Penggunaan kata al-Basyar mempunyai makna bahwa manusia secara umum mempunyai
persamaan dengan ciri pokok dari makhluk Allah lainnya secara umum seperti hewan
dan tumbuh-tumbuhan. Ciri pokok yang umum itu diantaranya adalah persamaan,
dalam dunia ini memerlukan ruang dan waktu, serta tunduk terhadap sunnatullah.
Secara biologis manusia memiliki ketergantungan yang sama dengan hewan dan
tumbuh-tumbuhan terhadap alam, seperti makan, minum dan lain sebagainya. Dengan
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), 2
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya, 656
5 Ibid.475-476
3
4
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
116
demikian penggunaan kata al-Basyar pada manusia hanya menunjukkan persamaan pada
makhluk lainnya pada aspek material atau dimensi alamiahnya saja.
Al Ghazali menyatakan bahwa manusia merupakan ciptaan Allah SWT yang terdiri atas
dua unsur yakni unsur jasmani dan rohani. Namun jika manusia ingin hidup sesuai
dengan fitrahnya, sehingga akan membedakan dirinya dengan makhluk Allah lainnya,
maka hendaklah ia mempergunakan unsur psikisnya secara dominan. Jika tidak, manusia
akan kehilangan esensinya sebagai manusia.
3) Al-Nas dinyatakan dala al-Qur’an sebanyak 240 kali yang tersebar dalam 53 surat. Kata
an-Nas menunjuk pada hakekat manusia sebagai makhluk sosial, dan ditunjukkan kepada
seluruh manusia secara umum tanpa melihat statusnya apakah beriman atau kafir.
Penggunaan kata ini lebih bersifat umum dalam mendefinisikan manusia dibanding
dengan kata al-Insan. Kata al-Nas juga digunakan untuk menunjukkan bahwa karakter
manusia senantiasa berada dalam keadaan labil. Meskipun telah dianugerahkan Allah
SWT dengan berbagai potensi yang bisa digunakan untuk mengenal Tuhannya, namun
hanya sebagian manusia yang mau mempergunakannya sesuai dengan ajaran Tuhannya.
Sedangkan sebagian yang lain tidak menggunakan potensi tersebut bahkan ada yang
mempergunakan untuk mempertentang ke-Mahakuasaan Tuhan. Sifat ini dikatakan
Allah dengan menggunakan kata wa min al-Nas. Dengan berpijak pada pemaknaan
tersebut, dapat dikategorikan manusia sebagai makhluk yang berdimensi ganda, yaitu
sebagai makhluk yang mulia dan tercela.6
Pendifinisian yang dikatakan Allah dalam al-Qur’an dengan menyebut manusia
dengan istilah al-Insan, al-Basyar, dan al-Nas memberikan gambaran akan keunikan serta
kesempurnaan manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT. Referensi ini memperlihatkan
bahwa manusia merupakan satu kesatuan yang utuh, antara aspek material (fisik) dan im
material (psikis) yang dipandu oleh ruh Ilahiah. Antara aspek fisik dan aspek psikis saling
berhubungan.
Seluruh uraian tersebut di atas memberikan gambaran bahwa manusia adalah
makhluk yang memiliki kelengkapan fisik dan psikis. Dengan kelengkapan fisik, ia dapat
melaksanakan tugas-tugas yang memerlukan dukungan fisik dan dengan kelengkapan
psikis ia dapat melaksanakan tugas-tugas yang memerlukan dukungan mental. Selanjutnya
agar kedua unsur tersebut dapat berfungsi dengan baik dan produktif, maka perlu dibina
dan diberikan pendidikan yang seimbang, harmonis dan integral.
Proses kejadian manusia
Proses kejadian manusia pada umumnya secara rinci dijelaskan melalui al-Qur’an
surat Al-Mu’minun ayat 12-14, yang artinya:
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah.
Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (nuthfah) yang disimpan dalam tempat yang
kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu
Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu
tulang belulang itu Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah
Allah, Pencipta Yang Paling Baik.7
Berdasarkan ayat tersebut di atas M. Quraish Shihab menyimpulkan bahwa proses
kejadian manusia secara fisik/materi ada lima tahap, yaitu (1) nuthfah, (2)‘alaqah,(3) mudlghah
atau pembentuk organ-organ penting. (4) ‘idham (tulang), (5) lahm (daging). Kemudian Allah
menjadikan makhluk berbentuk lain (khalqan akhar). Kemudian Allah menjadikan makhluk
berbentuk lain (khakqan akhar). Menurut Ibnu Katsir, yang dimaksud dengan ‘tsumma
ansya’nahu khalqan akhar’ adalah kemudian Tuhan meniupkan ruh ke dalam diri manusia
6
7
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, 3-6
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya, 475-476
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
117
sehingga ia bergerak dan menjadi makhluk lain (berbeda dengan sebelumnya) yang
memiliki pendengaran, penglihatan, indera yang menangkap pengertian, gerakan dan
sebagainya. 8 Sedangkan menurut Al-Razi, yang dimaksud khalqan akhar adalah bentuk
makhluk yang jelas yang kemudian bisa bercakap-cakap, bisa mendengar, dan bisa melihat,
yang berbeda dengan sebelumnya. Dan Tuhan telah menganugerahkan berbagai fitrah dan
hikmah yang unik dan hebat, baik pada lahir maupun bathin manusia; bahkan pada
setiapbanggota tubuhnya, yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. 9 Hal ini
sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Allah SWT dalam al-Qur’an surat Al-Sajdah ayat 9
yang artinya:
Kemudian Dia menyempurnakannya dan meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Nya, dan Dia
telah menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati, (tetapi) kamu sedikit sekali
bersyukur.10
Berpijak dari keterangan tersebut, jelaslah bahwa hakekat kejadian manusia adalah
melalui tiga proses, yakni (1) proses fisik/materi atau disebut jasadi dengan melalui lima
tahap pemrosesan, dari nuthfah, kemudian ‘alaqah, mudlghah, ‘idham, dan lahm membungkus
‘idham atau mengikuti bentuk rangka yang menggambarkan wujud manusia. (2) proses
nonfisik/immateri atau disebut ruh, dengan melalui satu tahap yaitu tahap
penghembusan/peniupan ruh ke dalam diri manusia sehingga ia bergerak dan berbeda
dengan makhluk lainnya. Pada saat itu manusia memiliki berbagai potensi, seperti
pendengaran, penglihatan, dan perasaan (hati). (3) proses kelahiran bayi (menjadi manusia
sempurna). Padasaat bayi itu dilahirkan dari rahim ibu, sudah membawa/memiliki potensi,
fitrah, dan hikmah yang hebat dan unik, baik lahir maupun batin. Dengan demikian
manusia adalah makhluk yang terdiri dari jasad dan ruh yang menyatu jadi satu sekaligus
yang disebut dengan jati dirinya sendiri.
Para embriolog menamakan periode pertama dari proses kejadian manusia itu dengan
“periode ovum”, dimana pertemuan antara sel kelamin bapak(sperma) dan sel kelamin
ibu(ovum) bersatu kedua intinya dan membentuk suatu zat baru dalam rahim ibu, atau oleh
al-Qur’an dinamakan “fii araarin makiin” (dalam suatu tempat yang kokoh. Pertemuan antara
kedua el tersebut oleh al-Qur’an diebut “nuthfah amsaj”(QS. Al-Insaan:2). Muhammad
Husain Ath-Thabathaba’i, mengartikan kalimat tersebut dengan “ikhtilath ma’al-dzukur wa alinats” (bercampurnya sperma laki-laki dan ovum wanita). Ibnu Katsir, juga memberikan
pengertian demikian yakni percampuran air mani laki-laki dan air mani wanita, kemudian
mengalami transformasi ke berbagai bentuk dan kondisi. Pengertian yang sama juga
diberikan oleh Ikrimah, Mujahid, dan Hasan bin Rabi’, bahwa yang dimaksud “nuthfah
amsaj” adalahpercampuran air mani laki-laki dan perempuan. 11
Menurut Maurice Bucaille, yang menyebabkan pembuahan telur atau memungkinkan
reproduksi adalah sebuah sel panjang yang besarnya 1/10.000 (sepersepuluh ribu)
milimeter. Saru dari beberapa juta sel yang dikeluarkan oleh manusia dalam keadaan
normal dapat asuk dalam telur wanita (ovule). Sebagian besar tetap di jalan dan tidak
sampai ke trayek yang menuntun dari kelamin wanita sampai ke telur (ovule) di dalam
uterus dan trompe. Dengan demikian hanya bagian sangat kecil dari cairan yang
menunjukkan aktivitas sangat kompleks.
Pembuahan dari hasil pertemuan itu dan yang menghasilkan zat baru tersebut
membelah menjadi dua, kemudian empat, kemudian delapan dan seterusnya sambil
Usman Abu Bakar & Surohim, Fungsi Ganda Lembaga Pendidikan Islam (Yogyakarta: Safiria Insania
Press, 2005), 22
9 Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam (upaya mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004),7
10 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya, 587
11 Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, 8
8
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
118
bergerak menuju ke kantong kehamilan, dan melekat, berdempet serta masuk ke dinding
rahim. Tahap inilah yang disebut dengan ‘alaqah (tahap kedua).
Banyak mufassir yang menerjemahkan ‘alaqah dengan segumpal darah atau darah
yang membeku, seperti Al-Lusi, Al-Maraghi, Ath-Thabathaba’i, Al-Raghib Al-Asfahani,
HAMKA dan sebagainya. Sementara ahli kedokteran (antara lain Maurice Bucaille),
menyatakan bahwa terjemahan yang tepat untuk ‘alaqah adalah “sesuatu yang melekat” dan
ini sesuaai dengan penemuan sains modern. Manusia tidak pernah melewati tahap
“gumpalan darah” karena itu, terjemahan alaqah dengan segumpal darah perlu dikoreksi.12
Menurut M. Quraish Shihab, arti ‘alaq adalah (1) darah yang membeku; (2) sesuatu
yang hitam seperti cacing yang terdapat di dalam air, bila diminum oleh seekor binatang
maka ia tergantung atau terhalang di kerongkongan binatang tersebut; (3) tergantung atau
berdempet. Disamping ketiga arti yang dikemukakan itu, para ahli bahasa Arab juga
menyatakan bahwa “sesuatu dapat dinamai sesuai dengan keadaan atau sifatnya”. Atas
dasar inilah maka dapat saja kata ‘alaq menggambarkan suatu zat tertentu yang oleh alQur’an disebut ‘alaq/’alaqah atas dasar keadaannya yang ketiga itu tergantung atau
berdempet dan melekat di dinding rahim, sebagaimana dikemukakan oleh para ahli.
Tahap ‘alaq/’alaqah tersebut merupakan tahap atau periode penting dalam proses
kejadian manusia. Sementara embrioloq menyatakan bahwa apabila hasil pembuahan
tersebut tidak berdempet atau tergantung di dinding rahim maka keguguran akan terjadi.
Atau apabila ketergantungan atau pendepetannya tidak kokoh maka bayi yang dilahirkan
menderita cacat sejak lahir.
Tahap berikutnya adalah mudlghah. Ibnu Katsir memberikan pengertian mudlghah
sebagai “qih’qh kq ql-bidl’ah min al-lahm la syakl fiha wala takhthith”, yakni sepotong daging
yang tidak berbentuk dan tidak berukuran. Al-Raghib al-Asfahani mengartikan dengan
sepotong daging seukuran sesuatu yang dikunyah dan belum masak. Mudlghah ini
sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-Hajj ayat 5, ada yang mukhallaqah dan ada pula yang
ghoiru mukhallaqah, dalam arti ada yang terbentuk secara sempurna dan ada pula yang cacat
atau tidak terbentuk secara sempurna. Hal ini terkait dengan tahap atau periode
sebelumnya, yang oleh embriolog dipandang sebagai periode penting dalam proses kejadian
manusia.
Pada proses selanjutnya, mudlghah tersebut dijadikan sebagai tulang (‘idham). Menurut
Al-Maraghi bahwa di dalam mudlghah terkandung beberapa unsur, diantaranya terdapat
elemen-elemen/bahan-bahan yang membentuk tulang, sehingga menjadi tulang, juga
mengandung elemen-elemen yang membentuk daging (lahm), dan bahan-bahan makanan
yang dicerna oleh manusia juga mengandung kedua unsur tersebut dan merupakan sumber
terbentuknya darah. Sedangkan elemen-elemen daging yang ada pada mudlghah tersebut
menjadi daging yang segar (lahm), yang kemudian dijadikan sebagai pembungkus tulang
bagaikan pakaian yang berfungsi untuk menutupi tubuh manusia. Daging (lahm) tersebut
mengikuti bentuk rangka yang menggambarkan bentuk manusia.
Setelah itu Allah menjadikan makhluk yang berbentuk lain, yakni bukan sekedar
fisik/materi/jasadi, tetapi juga nonfisik/immateri. Sebagaimana firman Allah dalam QS. AlMu’minun ayat 14: “.........tsumma ansya’naahu khalqan akhar”. Menurut Al-Raghib Asfahani,
kata al insya’mengandung makna i-jad al-syai’ wa tarbiyatuh (mewujudkan/mengadakan
sesuatu dan memeliharanya).
Mengapa dalam redaksi ayat tersebut digunakan kata al-insya’bukan kata al-khalq yang
artinya sama-sama mewujudkan atau menciptakan. Menurut Muhammad Husain AthThabathaba’i bahwa hal itu menunjukkan terjadinya sesuatu hal yang baru yang tidak
dicakup dan tidak diiringi oleh materi sebelumnya. Misalnya ‘alaqah walaupun ia berbeda
dengan nuthfah dalam hal sifat dan ciri-cirinya, baik dari segi warna, rasa dan sebagainya,
12
Ibid. 8
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
119
tetapi di dalam nuthfah itu ada suatu tempat masing-masing dari sifat dan ciri-ciri tersebut
yang sejenis walaupun tidak serupa, sebagaimana putih berubah menjadi merah, keduanya
sama-sama warna, demikian juga proses kejadian fisik lainnya (seperti mudlghah merupakan
perubahan bentuk dari materi sebelumnya, yaitu ‘alaqah dan seterusnya). Berbeda halnya
dengan khalqan akhar (makhluk dalam bentuk lain) yang diciptakan oleh Allah, ia adalah
memiliki hayat, ‘ilm, dan qudrat. Substansi manusia tersebut asalnya tidak ada pada tahaptahap sebelumnya (lima tahap proses kejadian manusia secara fisik), dan tidak ada sesuatu
pun yang sepadan dengan substansi tersebut, baik dari segi ciri-ciri maupun sifatnya. Hayat,
‘ilm, qudrat pada diri manusia itu merupakan sumber yang baru yang didahului oleh tiada
atau bukan merupakan perubahan bentuk dari materi sebelumnya, misalnya lahm.
Menurut Sayyid Qutub, yang dikutip oleh Muhaimin dalam bukunya yang berjudul
paradigma pendidikan Islam, menyatakan bahwa pada tahap tersebut manusia memiliki
ciri-ciri yang istimewa. Dalam hal pertumbuhan manusia secara fisik, janin manusia itu
serupa dengan janin hewan. Tetapi janin manusia berbentuk makhluk lain dan berubah
menjadi makhluk yang istimewa, yang siap untuk berkembangmencapai kemajuan.
Sedangkan hewan tetap dalam martabat hewan, yang terlepas dari ciri-ciri tertentu yang
dimiliki oleh janin manusia tersebut. Dengan kata lain, pada tahap inilah yang merupakan
tahap yang membedakan antara manusia dengan hewan.13
Kedudukan manusia
Kesatuan wujud manusia antara fisik dan psikis serta didukung oleh potensi-potensi
yang ada membuktikan bahwa manusia sebagai ahsan al-taqwin dan menempatkan manusia
pada posisi yang strategis yaitu:
1. Sebagai hamba Allah (‘Abd Allah)
Kata ‘Abd memiliki makna ketaatan, ketundukan dan kepatuhan yang kesemuanya
itu hanya layak diberikan kepada Tuhan. Sebagai hamba Allah manusia tidak bisa
terlepas dari kekuasaan-Nya, karena manusia mempunyai fitrah (potensi) untuk
beragama. Mulai dari manusia purba sampai kepada manusia modern sekarang,
mengakui bahwadi luar dirinya ada kekuasaan transendental (Allah).
Pada masa purba, manusia mengasumsikannya lewat mitos yang melahirkan
agama animisme dan dinamisme. Meskipun dengan pikiran dan kondisi yang cukup
sederhana, manusia dahulu sudah mengakui bahwa di luar dirinya ada zat yang lebih
berkuasa dan menguasai seluruh kehidupannya. Namun mereka tidak mengetahui
hakekat zat yang berkuasa. Mereka aplikasikan apa yang mereka yakini dengan berbagai
bentuk upacara ritual seperti pemujaan terhadap batu besar, gunung, matahari dan roh
nenek moyang mereka. Kesemuanya itu menjadi bukti bahwa ia adalah makhluk yang
memiliki potensi untuk beragama. Allah SWT berfirman:
Maka hadapknlah wajahmu kepada agama (Allah), tetaplah pada fitrah Allah yang telah
menciptakan manusia menurut fitrah (agama) itu tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah
agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS. 30:30)
Ayat di atas menjelaskan bahwa bagaimanapun primitifnya suatu suku bangsa
manusia, mereka akan mangakui adanya Zat Yang Maha Kuasa di luar dirinya.
Selanjutnya Allah SWT berfirman:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”
(QS. 51:56)
Ayat tersebut melihat bahwa seluruh tugas manusia dalam hidup ini berakumulasi
pada tanggungjawab mengabdi (beribadah) kepada-Nya
13
Ibid. 10
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
120
Pengakuan manusia akan adanya Tuhan secara naluriah menurut al-Qur’an
disebabkan telah terjadinya dialog anatara Allah dan roh manusia ketika ia berada di
alam arwah. Firman Allah SWT:
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi
mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku
ini Tuhanmu?”, mereka (anak-anak Adam) menjawab:”Betul (Engkau Tuhan kami). Kami menjadi
saksi.....(QS.7:172)
Dengan demikian kepercayaan dan ketergantungan manusia dengan Tuhannya,
tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia itu sendiri. karena manusia telah berikrar
sejak alam mitsak bahwa Allah SWT adalah Tuhannya.
Kepercayaan manusia kepada Zat Yang Maha Agung yang ada di luar dirinya
diiringi tunduk dan patuh kepada-Nya. Kepatuhan tersebut kemudian dimanifestasikan
lewat peribadatan-peribadatan ritual sehingga manusia memiliki beban dan tugas sebagai
makhluk pengabdi kepada Tuhannya. Rasa tunduk dan kepatuhan manusia kepada Allah
merupakan tabiat asli (fitrah) manusia yang dimiliki oleh setiap mausia sebagai nilai
ubudiyah kepada-Nya.
Untuk itulah Allah mengutus para Rasul-Nya sebagai pemberi petunjuk kepada
manusia, mana yang harus mereka sembah sebenarnya. Lewat instingtif pengakuan akan
adanya Zat Yang Menguasainya, akal, bimbingan wahyu (ajaran agama) yang
disampaikan dengan perantaraan Rasul, manusia diharapkan mampu mengenal
Khaliqnya lewat pengabdian yang ditunjukkannya dalam kehidupan.14
2. Sebagai khalifah Allah (khalifah Allah fi al-ardhi)
Kata khalifah berasal dari fi’il madli khalafa yang berarti “mengganti dan
melanjutkan”. Bila pengertian tersebut ditarik pada pengertian khalifah, maka dalam
konteks ini artinya lebih cenderung kepada pengertian mengganti yaitu pergantian antara
satu individu dengan individu yang lain.
Menurut Quraish Shihab, yang dikutip oleh Ramayulis dalam buku Ilmu
Pendidikan Islam, istilah khalifah dalam bentuk (mufrad (tunggal) yang berarti penguasa
polotik hanya digunakan untuk nabi-nabi yang dalam hal ini babi Adam as. Dan tidak
digunakan untuk manusia pada umumnya. Sedangkan untuk manusia biasa digunakan
khala’if yang di dalamnya mengandung arti yang lebih luas, yaitu bukan hanya sebagai
penguasa politik tetapi juga penguasa dalam berbagai bidang kehidupan. Dalam
hubungannya dengan kedudukan manusia di alam ini nampaknya lebih cocok digunakan
istilah khala’if dari pada khalifah. Namum yang terjadi dalam penggunaan sehari hari
adalah bahwa manusia sebagai khalifah di muka bumi. Pendapat yang demikian tidak
salah karena dalam istilah khala’if terkandung makna khalifah. Sebagai seorang khalifah ia
berfungsi menggantikan orang lain dan menempati tempat serta kedudukannya. Ia
menggantikan orang l menggantikan kedudukan kepemimpinannya atau kekuasaannya.
Untuk lebih jelasnya fungsi kekhalifaan manusia di alam ini, dapat dilihat dalam
ayat-ayat ini :
Dan Dialah yang menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah di bumi dan Dia mengangkat
(derajat) sebagian kamu di atas yang lain beberapa derajat... (QS. Al-An’am, 6: 165)
Dialah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi. Barangsiapa yang kafir,
maka (akibat) kakafirannya menimpa dirinya sendiri (QS. Fathir, 35:39)
Dan herankah kamu bahwaada peringatan yang datang dari Tuhanmu melalui seorang lakilaki dari kalanganmu sendiri, untuk memberi peringatan kepadamu? Ingatlah ketika Dia
menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah setelah kaum Nuh, dan Dia lebihkan kamu dalam
14
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, 9
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
121
kekuatan tubuh dan perawakan. Makaa ingatlah akan nikmat Allah agar kamu beruntung. (QS.
Al-A’raf, 7:69)15
Ayat-ayat di atas disamping menjelaskan kedudukan manusia di alam raya ini
sebagai khalifah juga memberi isyarat tentang perlunya sikap moral atau etika yang harus
ditegakkan dalam melaksanakan fungsi kekhalifaannya itu.
Untuk melaksanakan tugasnya sebagai khalifah, Allah telah memberikan kepada
manusia seperangkat potensi (fitrah) berupa aql, qalb, dan nafs. Namun demikian,
aktualisasi fitrah itu tidaklah otomatis berkembang, melainkan tergantung pada manusia
itu sendiri. Untuk itu, Allah menurunkan wahyu-Nya kepada para Nabi agar menjadi
pedoman bagi manusia dalam mengaktualisasikan fitrahnya sehingga manusia dapat
tampil sebagai makhluk Allah yang tinggi martabatnya.16
Nilai-nilai Pendidikan dalam Proses Kejadian Manusia
Dari uraian tentang proses kejadian manusia tersebut, maka dapat ditemukan nilainilai pendidikan yang perlu dikembangkan dalam proses pendidkan Islam, yaitu berikut ini:
Pertama, salah satu cara yang ditempuh oleh al-Qur’an dalam menghantarkan manusia
untuk menghayati petunjuk-petunjuk Allah ialah dengan cara memperkenalkan jati diri
manusia itu sendiri, bagaimana asal kejadiannya, dari mana datangnya dan bagaimana dia
hidup. Ini sangat perlu diingatkan kepada manusia melalui proses pendidikan, sebab
gelombang hidup dan kehidupan sering kali menyebabkan manusia lupa diri.
Kedua, ayat-ayat yang menyangkut proses kejadian manusia tersebut secara implisit
mengungkapkan pula kehebatan, kebesaran dan keagungan Allah SWT dalam menciptakan
manusia, sebagaimana ditunjukkan pula oleh Allah pada ayat-ayat lain tentang kebesaran
dan kehebatan-Nya dalam menciptakan alam semesta ini. pendidikan dalam Islam antara
lain diarahkan kepada peningkatan iman, pengembangan wawasan atau pemahaman serta
penghayatan secara mendalam terhadap tanda-tanda keagungan dan kebesaran-Nya sebagai
Sang Maha Pencipta.
Ketiga, proses kejadian manusia menurut al-Qur’an pada dasarnya melalui dua proses
dengan enam tahap, yaitu proses fisik/materi/jasadi (dengan lima tahap), dan proses
nonfisik/immateri (dengan satu tahap tersendiri). Secara fisik manusia berproses dari
nuthfah, kemudian ‘alaqah, mudlghah, ‘idham, dan lahm yang membungkus ‘idham atau
mengikuti bentuk rangka yang menggambarkan bentuk manusia. Sedangkan secara nonfisik
yaitu merupakan tahap penghembusan/peniupan ruh pada diri manusia sehingga dia
berbeda debgan makhluk lainnya. Pada saat itu manusia memiliki berbagai potensi, fitrah
dan hikmah yang hebat dan unik, baik lahir maupun batin; bahkan setiap anggota tubuhnya
dapat dikembangkan menuju kemajuan peradaban manusia. Pendidikan dalam Islam antara
lain dapat diarahkan kepada pengembangan jasmani dan rohani manusia secara harmonis
serta pengembangan fitrah manusia secara terpadu.
Keempat, proses kejadian manusia yang tertuang dalam al-Qur’an tersebut ternyata
semakin diperkuat oleh penemuan-penemuan ilmiah, sehingga lebih memperkuat
keyakinan manusia akan kebenaran al-Qur’an sebagai wahyu dari Allah SWT bukan buatan
atau ciptaan nabi Muhammad SAW. Pendidikan dalam Islam, antara lain diarahkan kepada
pengembangan seangat ilmiah untuk mencari dan menemukan kebenaran ayat-ayat-Nya.17
Penutup
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa:
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya, 202, 622, 213-214
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, 10
17 Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam (upaya mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004),11-12
15
16
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
122
1. Manusia dalam bahasa al-Qur’an diambil dari kata al-Insan, al-Basyar, dan al-Nas yang
dapat diambil makna bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki kelengkapan fisik
dan psikis. Dengan kelengkapan fisik, ia dapat melaksanakan tugas-tugas yang
memerlukan dukungan fisik dan dengan kelengkapan psikis ia dapat melaksanakan
tugas-tugas yang memerlukan dukungan mental. Selanjutnya agar kedua unsur tersebut
dapat berfungsi dengan baik dan produktif, maka perlu dibina dan diberikan pendidikan
yang seimbang, harmonis dan integral.
2. Proses kejadian manusia adalah melalui tiga proses, yakni
a. Proses fisik/materi atau disebut jasadi dengan melalui lima tahap pemrosesan;
dari nuthfah, kemudian ‘alaqah, mudlghah, ‘idham, dan lahm membungkus ‘idham atau
mengikuti bentuk rangka yang menggambarkan wujud manusia.
b. Proses nonfisik/immateri atau disebut ruh, dengan melalui satu tahap yaitu tahap
penghembusan/peniupan ruh ke dalam diri manusia sehingga ia bergerak dan
berbeda dengan makhluk lainnya. Pada saat itu manusia memiliki berbagai potensi,
seperti pendengaran, penglihatan, dan perasaan (hati).
c. Proses kelahiran bayi (menjadi manusia sempurna).
Proses kejadian manusia tersebut sudah diterangkan dalam al-Qur’an surat AlMu’minun:12-14 dan surat Al-Sajdah ayat 9
3. Sebagai makhluk Allah manusia memiliki kedudukan yang mulia dan tertinggi
dibandingkan dengan makhluk-Nya yang lain karena manusia memiliki keistimewaan
yakni kesatuan wujud antara fisik dan psikis serta didukung oleh potensi-potensi yang
ada. Dengan keistimewaan tersebut menempatkan manusia pada posisi (1) sebagai
hamba Allah manusia (‘Abd Allah), bahwa seluruh tugas manusia dalam hidup ini
berakumulasi pada tanggungjawab mengabdi (beribadah) kepada-Nya, dan (2) Sebagai
khalifah Allah (khalifah Allah fi al-ardhi), sebagai pemimpin di muka bumi yang memiliki
tugas dan tanggungjawab untuk memelihara dan melestarikan segala apa yang ada di
muka bumi.
4. Nilai-nilai pendidikan yang perlu dikembangkan dalam proses pendidkan Islam, yaitu:
a. Memperkenalkan jati diri manusia, bagaimana asal kejadiannya, dari mana datangnya
dan bagaimana dia hidup agar mereka tidak lupa diri.
b. Pendidikan dalam Islam diarahkan kepada peningkatan iman, pengembangan
wawasan atau pemahaman serta penghayatan secara mendalam terhadap tanda-tanda
keagungan dan kebesaran-Nya sebagai Sang Maha Pencipta
c. Pendidikan dalam Islam diarahkan kepada pengembangan jasmani dan rohani
manusia secara harmonis serta pengembangan fitrah manusia secara terpadu.
d. Pendidikan dalam Islam diarahkan kepada pengembangan seangat ilmiah untuk
mencari dan menemukan kebenaran ayat-ayat-Nya.
Daftar Rujukan
Al-Qur’an dan terjemahnya,
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam (upaya mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah,
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2002
Usman Abu Bakar & Surohim, Fungsi Ganda Lembaga Pendidikan Islam, Yogyakarta: Safiria
Insania Press, 2005
Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2012
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
Download