Pengaruh Kebudayaan pada Pola Ruang Rumah Melalui Perspektif

advertisement
Pengaruh Kebudayaan pada Pola Ruang Rumah
Melalui Perspektif Arsitektur Interior
Studi Kasus: Rumah Orang Betawi yang Pindah Keluar Jakarta
Annisa Meydina Putri, Toga H. Panjaitan (Pembimbing)
Arsitektur Interior, Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Manusia tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan yang telah dibentuk pada tempat tinggal asal manusia tersebut.
Kebudayaan juga diketahui dapat mempengaruhi pembentukan pola tatanan rumah tinggal. Namun, bagaimana
jika mereka dituntut untuk keluar dari daerah dimana kebudayaannya berasal, apakah pola terkait pengaruh
kebudayaan asal masih tercemin pada rumah mereka yang telah berada di lingkungan baru. Tulisan ini mencoba
membahas mengenai pengaruh kebudayaan pada pembentukan pola ruang rumah yang telah pindah keluar dari
daerah asalnya. Pembahasan dilihat melalui perspektif arsitektur interior yang menitikberatkan pada pengaturan
pola tatanan ruang dalam rumah. Pola tersebut ditinjau berdasarkan tingkatan intervensi penghuni terhadap
rumahnya, organisasi ruang, tata letak elemen interior, dan pemanfaatan ruang. Studi kasus dilakukan pada dua
rumah orang Betawi yang berada di Cimahi, Jawa Barat. Hasil studi kasus menunjukkan bahwa keduanya masih
mencerminkan pola kebudayaan asal mereka, meskipun lokasinya sudah berada di luar daerah asalnya. Hal ini
menunjukkan bahwa dalam subconscious mind penghuni masih tertanam pola tertentu yang berasal dari
kebudayaan asal dan terus terbawa sehingga mereka cenderung membentuk rumahnya sesuai dengan pola tadi.
The Influence of Culture on House’s Spatial Pattern through the Interior Architecture
Perspective. Case Study: Betawis’ House outside Jakarta
Abstract
Men cannot be separated from their culture that has been established in their origin place. Culture is also known
that it can affect the arrangement of house’s spatial order pattern. However, what if a group of people is required
to migrate out of their origin place, is their original culture of patterns still represented in their new house. This
study discusses the influence of culture on the configuration of house’s spatial pattern that had moved outside its
origin place. This discussion is observed from the interior architecture perspective that focuses on the
arrangement of space order pattern in the house. The pattern reviews based on the level of residents’ intervention
toward their house, the space organization, the layout of the interior elements, and the space utilization. The case
study was carried out in two Betawis’ houses in Cimahi, West Java. The result showed that both of them are still
representing its origin pattern, although the location is not in its origin place anymore. It indicates that the
specific pattern which comes from its origin culture is still embedded and involved in the residents’
subconscious mind, so that they will configure their house accordance with that pattern.
Keyword : Betawi; Culture; Dwelling; Space Order Pattern
1.
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Pada hakekatnya, manusia tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan, meliputi nilai,
pandangan hidup, keyakinan, kebiasaan, serta norma yang dianut sebagai ketetapan yang
Pengaruh kebudayaan..., Annisa Meydina Putri, FT UI, 2013
sudah ditentukan oleh suatu kelompok masyarakat. Selanjutnya, kebudayaan tadi akan
mempengaruhi pola pikir, lingkungan fisik, dan setiap tindakan yang diambil oleh manusia.
Hal ini dikarenakan dalam kebudayaan terkandung hal-hal yang berkaitan dengan persepsi
manusia terhadap kelompok dan lingkungannya dimana persepsi tersebut kemudian akan
diproyeksikan ke dalam suatu perwujudan tertentu (Sumaatmaja, 1996). Kemudian,
Koentjaraningrat (1981) menspesifikasikan perwujudan kebudayaan menjadi tiga kelompok,
yaitu wujud ide berupa gagasan, nilai, serta norma; wujud sistem sosial meliputi pola perilaku
manusia dalam masyarakat; dan wujud fisik berupa benda-benda hasil karya manusia.
Arsitektur sebagai hasil karya manusia terindikasi dapat merepresentasikan kebudayaan
suatu masyarakat yang berpedoman pada nilai, pandangan hidup, kebiasaan, serta keyakinan
mereka. Rumah yang merupakan produk arsitektur dianggap mampu menggambarkan sistem
dan nilai kebudayaan penghuni yang kemudian dimanifestasikan dalam perwujudannya (Babu
dan Kuttiah, 1996). Hal ini menunjukkan, setiap perwujudan yang terjadi pada rumah akan
mendapat pengaruh dari kebudayaan penghuni yang terlibat dalam proses pembentukannya.
Rumah adalah wadah dari ekspresi fisik gaya hidup dimana komponen dari gaya hidup
tersebut merupakan gabungan dari konsep kebudayaan, etika, karakter, dan pandangan hidup
penghuninya (Rapoport, 1969). Rumah selalu didesain dan dibangun sesuai dengan tradisi
tertentu yang mencerminkan pola atau cara penghuninya tinggal (Friedmann dkk, 1070).
Elemen pengisi ruang beserta pola penyusunannya pun disusun atas dasar tradisi tersebut
sehingga tercipta interior yang harmonis antara kebutuhan dengan struktur yang melingkupi
(Friedmann dkk, 1970). Membangun rumah merupakan fenomena kebudayaan dimana bentuk
fisik dan organisasi ruangnya sangat dipengaruhi oleh kebudayaan penghuni (Rapoport, 1969).
Kebudayaan itu sendiri adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya
manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang dijadikan milik diri dan diperoleh dengan cara
belajar (Koentjaraningrat, 1981). Sedangkan menurut Rapoport (1969), kebudayaan adalah
cara hidup yang khas dalam suatu kelompok yang memiliki sekumpulan nilai dan
kepercayaan untuk mewujudkan cita-cita serta kebutuhan manusia. Kebudayaan yang ada di
masyarakat dihasilkan dan dikukuhkan di daerah asal masyarakat itu sendiri (Rapoport, 1969).
Namun, permasalahannya adalah bagaimana ketika suatu kelompok masyarakat dituntut
untuk keluar dari daerah asalnya, apakah pola terkait pengaruh kebudayaan asal masih
tercemin pada rumah mereka yang telah berada di lingkungan baru. Salah satu contoh
nyatanya yaitu pada masyarakat Betawi. Menurut Ayyubi (2013), sebagai penduduk asli kota
Jakarta, masyarakat Betawi kerap terpinggirkan akibat derasnya arus kaum urban yang
berdatangan sehingga banyak dari mereka yang bermigrasi keluar dari daerah asalnya, Jakarta.
Pengaruh kebudayaan..., Annisa Meydina Putri, FT UI, 2013
Dikarenakan oleh tindakan migrasi tersebut, mereka kemudian dihadapkan pada pilihan untuk
tetap mempertahankan pola kebudayaan asal atau beradaptasi dengan kondisi yang telah ada
di lingkungan barunya. Tidak bisa dipungkiri bahwa nilai-nilai kebudayaan yang telah
melekat pada masyarakatnya akan mengalami dialektika. Begitupun pengaruhnya pada proses
pengaturan rumah. Segala bentuk pengaturan terkait pengaruh kebudayaan mereka pun akan
berdampak pada pembentukan pola tatanan di dalam rumah, khususnya pada pembentukan
organisasi ruang interior dimana mereka cenderung lebih sering berinteraksi terhadapnya.
1.2 Perumusan Masalah
a. Bagaimana penghuni membentuk pola tatanan ruang dalam rumah setelah mendiami
lingkungan baru di luar daerah asalnya?
b. Apakah pola ruang terkait pengaruh kebudayaan asal penghuni masih tercermin pada
tatanan dalam rumah yang berada di lingkungan baru?
c. Sejauh mana upaya intervensi ruang yang penghuni lakukan terhadap rumah mereka
agar sesuai dengan kebudayaannya?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui pengaruh kebudayaan asal yang dipegang
penghuni pada pembentukan pola tatanan di dalam rumah yang telah pindah keluar dari
daerah asal mereka pada kasus rumah orang Betawi di luar Jakarta. Selain itu, penulisan ini
juga bertujuan untuk mengetahui lebih lanjut tentang tingkat intervensi ruang yang dilakukan
penghuni terhadap rumah di lingkungan barunya. Tulisan ini diharapkan bisa menjadi bahan
pertimbangan dalam merancang tempat tinggal dengan memperhatikan kebudayaan penghuni.
2.
Tinjauan Teoritis
2.1 Pengaruh Kebudayaan dalam Pembentukan Arsitektur dan Interior
2.1.1 Manusia, Kebudayaan, dan Arsitektur
Geertz (1973) menyatakan bahwa kebudayaan dikarakterisasikan sebagai sekumpulan
rencana mekanisme kontrol, cara, peraturan, dan instruksi yang disebut program untuk
mengatur tingkah laku manusia. Menurut Geertz (1973), tingkah laku manusia berasal dari
kebiasaan tertentu yang dikontrol oleh nilai dan kepercayaan berupa kebudayaan yang telah
ditanamkan padanya. Menurut Hall (1973), “Culture controls behavior in deep and persisting
ways, many of which are outside of awareness and therefore beyond conscious control of the
individual” (p.25). Dengan kata lain, setiap tindakan manusia dipengaruhi kebudayaannya.
Pengaruh kebudayaan..., Annisa Meydina Putri, FT UI, 2013
McIver (dalam Supsiloani, 2008) mengatakan bahwa kebudayaan diciptakan manusia,
tapi pada gilirannya, kebudayaan menjadi kekuatan yang mengatur bahkan memaksa manusia
untuk melakukan tindakan dengan pola tertentu. Kebudayaan bukan hanya kekuatan dari luar
diri manusia, tapi juga tertanam dalam kepribadian masing-masing individu (McIver dalam
Supsiloani, 2008). McIver (dalam Supsiloani, 2008) melanjutkan, unsur paling sentral dalam
kebudayaan adalah nilai-nilai yang merupakan konsepsi tentang apa yang benar atau salah
(nilai moral), baik atau buruk (nilai etika), serta indah atau jelek (nilai estetika). Dari sistem
nilai ini kemudian tumbuh norma sebagai patokan atau rambu-rambu yang mengatur manusia
dalam masyarakat (McIver dalam Supsiloani, 2008). Dengan demikian, manusia menciptakan
kebudayaan sebagai pedoman, kemudian kebudayaan akan mengatur kehidupan manusia agar
sesuai dengannya hingga terbentuk pola tertentu dalam berpikir, berperilaku, dan berkehendak
yang nantinya juga turut mempengaruhi mereka dalam membentuk suatu karya tertentu.
Arsitektur sebagai hasil karya manusia merupakan salah satu wujud kebudayaan dimana
kebudayaan sebagai ide akan menghasilkan suatu pola atau bentuk tertentu kemudian
mengkomunikasikan kebudayaan yang berupa ide tadi (Prijotomo, 1988). Ini berarti bahwa
kebudayaan dapat dipahami melalui pola dan pembentukan arsitekturnya mengingat arsitektur
merupakan ekspresi suatu masyarakat dalam menanggapi permasalahan yang ada di sekitar
mereka. Menurut Budhisantoso (dalam Budihardjo, 1997), jika ingin memahami keterkaitan
antara arsitektur dengan kebudayaan suatu masyarakat, selain wujud dan gaya arsitekturnya,
kegunaan setiap ruangan, fungsi suatu arsitektur, dan makna sosialnya pun harus diperhatikan.
Arsitektur dapat mencerminkan penggunanya baik secara individual maupun dalam
kehidupan sosial budaya (Boedojo dkk, 1986). Menurut wawasan ini, arsitektur merupakan
lingkungan buatan manusia yang tidak hanya menjembatani antara manusia dan lingkungan
saja, tapi juga merupakan wahana ekspresi kultural untuk menata kehidupan mereka.
Kebudayaan dan pengalaman manusia akan menghasilkan tindakan tertentu yang
diimplementasikan pada lingkungan alami maupun lingkungan buatan (Boedojo, dkk, 1986).
Menurut Rapoport (dalam Snyder & Catanese, 1984), lingkungan buatan dirancang
manusia agar sesuai dengan kebudayaan dan aktivitas mereka. Lingkungan buatan dibangun
berdasarkan pilihan, keputusan, serta cara yang khas untuk melakukan sesuatu karena
manusia memiliki aturan untuk setiap tindakannya. Peraturan ini mengarahkan kepada pilihan
yang sistematik, konsisten, cenderung menurut pada hukum, dan mencerminkan kebudayaan
masyarakat terkait. Lingkungan buatan dikonseptualisasikan sebagai wadah kebudayaan
manusia yang bersifat normatif berupa nilai dan kepercayaan yang kemudian menjadi ciri
khas kelompok tersebut yang membedakannya dengan kelompok lain. Berbagai pilihan yang
Pengaruh kebudayaan..., Annisa Meydina Putri, FT UI, 2013
dibuat oleh manusia secara konsisten menurut pada kebudayaannya akan melahirkan gaya
(style) tertentu (Rapoport dalam Snyder & Catanese, 1984). Lingkungan buatan itu sendiri
adalah lingkungan yang telah melibatkan campur tangan manusia dalam penciptaannya.
Arsitektur merupakan salah satu lingkungan buatan manusia. Dengan kata lain, dalam
pembentukan arsitektur, kebudayaan menjadi faktor yang sangat berpengaruh. Hal ini berarti
bahwa setiap perwujudan arsitektur dipengaruhi oleh kebudayaan penghuninya yang sangat
menentukan dalam pembentukan ruang-ruang yang ada di dalam arsitektur tersebut.
2.1.2 Pengaruh Kebudayaan terhadap Pola Tatanan dalam Rumah Tinggal
Rumah sebagai produk arsitektur terindikasi dapat mencerminkan pengaruh kebudayaan
dan sistem nilai suatu masyarakat yang tidak hanya akan mempengaruhi bentuk fisik rumah
saja, melainkan juga organisasi ruangnya (Babu dan Kuttiah, 1996; Rapoport, 1969). Faktor
sosial budaya merupakan faktor utama dan paling menentukan dalam pembentukan rumah,
sedangkan faktor lain seperti kondisi iklim, ketersediaan material, dan teknologi yang
digunakan merupakan faktor sekunder atau faktor modifikasi saja (Rapoport, 1969).
Pertimbangan aspek norma, budaya, dan psikologis manusia dapat mempengaruhi
pembentukan pola ruang dalam rumah dimana rumah itu sendiri merupakan kelembagaan dan
perwujudan kebudayaan dasar (Rapoport dalam dalam Snyder dan Catanese, 1984). Rumah
tidak hanya dipandang sebagai struktur fisik wadah kegiatan sehari-hari saja, tapi juga pusat
jaringan sosial budaya dan tempat penghuni mengekspresikan dirinya dengan bebas sebagai
jati diri (Hayward, 1987). Perwujudan yang terjadi di dalam rumah menggambarkan makna
yang menunjukkan eksistensi kebudayaan, kebiasaan, dan karakter penghuni (Siregar, 2008).
Menurut Friedmann dkk (1970), rumah merupakan suatu indoor place yang selalu
dirancang sesuai dengan tradisi tertentu yang mencerminkan pola atau cara penghuninya
tinggal agar sesuai dengan kepribadian, kebiasaan, dan aktivitas mereka (Friedmann dkk,
1970). Berbagai elemen pengisi interior beserta pola penyusunannya pun disusun atas dasar
tradisi tersebut sehingga akan tercipta interior yang harmonis antara kebutuhan dengan
struktur yang melingkupinya (Friedmann dkk, 1970). Hal ini berarti bahwa kebudayaan juga
mempengaruhi pembentukan pola tatanan atau organisasi ruang dalam (interior) rumah.
2.1.3 Ruang dan Pembentukannya terkait Kebudayaan
Franck dan Lepori (2000) mengungkapkan tiga orientasi ruang, yaitu inside, outside,
dan insideout. Orientasi inside memposisikan manusia sebagai subjek dalam ruang sehingga
sangat memperhitungkan ruang personalnya. Dalam pembentukannya, kepekaan panca indra
serta pola pergerakan aktivitas di dalam ruang sangat diperhatikan sehingga ruang yang
Pengaruh kebudayaan..., Annisa Meydina Putri, FT UI, 2013
dihasilkan mengacu pada kegiatan manusia itu sendiri. Outside memposisikan manusia
sebagai the position of maker dan spectator. Hal ini berkaitan dengan bagaimana manusia
melihat ruang dari luar ruang tersebut yang menekankan pada visualitas manusia dan
lingkungan sekitarnya. Insideout menjelaskan pembentukan ruang terkait pengalaman ruang
dan pengaruh faktor sosial budaya yang telah dialami manusia (Franck dan Lepori, 2000).
Dengan demikian, pembentukan ruang dalam arsitektur tidak hanya melihat ruang luar
atau dalam saja, tapi juga hubungan antara keduanya serta faktor sosial budayanya. Arsitektur
diharapkan mampu memfasilitasi kebutuhan dan kegiatan manusia berdasarkan pengamatan
terhadap lingkungan sekitar dan pengaruh faktor lain yang melingkupinya sehingga muncul
gagasan mengenai manusia sebagai pembentuk dan pengguna ruang dengan menggabungkan
berbagai orientasi tadi dimana setiap ruang akan disesuaikan dengan penggunanya.
Pada proses pembentukan ruang, manusia merupakan subjek penentu sebagai pusat
pengalaman terhadap lingkungan sekitarnya sejak lahir (Franck dan Lepori, 2000). Dengan
kata lain, pada proses pembentukan ruang dalam arsitektur, pola tindakan dan pengalaman
manusialah yang menjadi referensi utama. Tubuh manusia memiliki respon individual
berdasarkan aksi natural yang terbentuk dari reaksi yang ditangkap oleh indra manusia dan
pola pergerakan berdasarkan aktivitasnya (Franck dan Lepori, 2000). Lebih lanjut lagi, Franck
dan Lepori (2000) mengungkapkan bahwa pembentukan ruang terkait dengan pengalaman
ruang yang telah dialami manusia, ruang yang telah diingat akan mempengaruhi pembentukan
ruang-ruang selanjutnya. Hal ini berkaitan dengan stimulus dalam diri manusia terkait kondisi
sosial dan budaya yang ada disekitarnya (Franck dan Lepori, 2000).
Kesemua aspek yang telah disebutkan mengacu pada kebudayaan manusia. Kebudayaan
membentuk suatu preferensi dan pola aktivitas tertentu. Manusia bergerak, mengalami, dan
melakukan tindakan sesuai dengan cara yang mereka ketahui, yaitu cara yang sehari-hari
mereka gunakan sesuai dengan latar belakang kebudayaan mereka. Tinggal dalam lingkungan
baru memicu dialektika dan tindakan adaptasi. Dalam hubungan antara proses adaptasi
dengan kebudayaan, konsep kebudayaan asal akan memberi masukan berupa persepsi moral
sebagai pengendali dalam mengambil keputusan (Bennet 1976). Oleh karena itu, akan tercipta
suatu tindakan yang mengarah pada pilihan untuk menyesuaikan dengan lingkungan yang ada
atau justru membuat lingkungan agar sesuai dengan kebudayaan manusia tersebut. Adaptasi
terkait pengaruh kebudayaan ini dapat terjadi saat pembentukan rumah sebab menurut Turner
(1972), rumah bukanlah hasil fisik yang sekali jadi, melainkan suatu proses berkelanjutan
terkait mobilitas sosial budaya penghuni dalam suatu kurun waktu. Ini menunjukkan bahwa
kebudayaan penghuni merupakan faktor penting dalam perancangan rumahnya.
Pengaruh kebudayaan..., Annisa Meydina Putri, FT UI, 2013
2.1.4 Metode Pembentukan Rumah melalui Pendekatan Arsitektur Interior
Menurut Ching (2012), perancangan interior merupakan suatu perencanaan, layout, dan
perancangan ruang di dalam suatu bangunan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Hal tadi
dapat mempengaruhi jenis dan bentuk aktivitas; menjaga aspirasi dan mengekspresikan ide;
serta mempengaruhi penampilan, mood, dan kepribadian dengan tujuan perbaikan fungsional,
nilai estetis, dan psikologis ruang (Ching, 2012). Hubungan antar elemen dibangun oleh pola
yang menentukan kualitas visual serta fungsional ruang interior yang mempengaruhi cara
manusia dalam menggunakan dan merasakan ruang tersebut (Ching, 2012).
Menurut Frazer Hay (2007), arsitektur interior adalah manipulasi ruang spasial meliputi
metode yang berkaitan dengan transformasi eksisting dan interior bangunan, terdiri dari
insertion, installation, dan intervention dimana pada pengaplikasiannya tetap memperhatikan
komposisi, fungsi, konteks, serta konektivitasnya dengan bangunan lain. Insertion merupakan
proses penyisipan elemen baru, namun dimensinya mengikuti elemen lama sehingga tidak
mengubah bentuk bangunan. Elemen baru menyesuaikan dengan elemen yang telah ada
sebelumnya. Installation merupakan proses pengubahan dimana elemen lama dan baru dapat
berdiri sendiri-sendiri. Elemen baru menjadi independent batasan bangunan yang dapat
dihilangkan sehingga bangunan dapat kembali seperti keadaan semula. Sedangkan pada
intervention, existing bangunan ikut ditransformasikan hingga membongkar bentuk bangunan
lama. Keadaan bangunan lama sudah benar-benar berubah sehingga elemen lama dan elemen
baru tidak dapat berdiri sendiri-sendiri lagi karena sifat dasar dari perubahan bentuk elemenelemen tersebut sudah sepenuhnya terjalin dan bergabung (Hay, 2007).
2.2 Kebudayaan Masyarakat Betawi
Shahab (2004) membagi kelompok masyarakat Betawi menjadi Betawi Tengah,
Betawi Pinggir, dan Betawi Pesisir. Masyarakat Betawi Pinggir terbagi lagi menjadi dua yaitu
Betawi Pinggir di Jakarta Utara dan Barat yang terpengaruh budaya Cina serta Betawi Pinggir
di Timur dan Selatan Jakarta yang dipengaruhi budaya Jawa khususnya Jawa Barat yang juga
bercampur dengan suku-suku lain. Betawi Pinggir di Utara Jakarta biasa disebut juga sebagai
Betawi Pesisir yang terbagi lagi menjadi Betawi Pesisir Darat (pesisir Jakarta Utara) dan
Pesisir Pulo (Kepulauan Seribu) (Shahab, 2004). Masyarakat Betawi Betawi Tengah dinilai
lebih adaptif, sedangkan masyarakat Betawi Pinggir dianggap paling kuat dalam memegang
teguh budaya serta tradisi Betawi (Shahab, 2004; Swadarma dan Aryanto, 2013).
Masyarakat Betawi memiliki ciri sederhana, santai, terbuka, humanis, senang dan
sering menjamu tamu, serta mayoritasnya beragama Islam (Saidi, 1997; Dinas Komunikasi,
Pengaruh kebudayaan..., Annisa Meydina Putri, FT UI, 2013
Informatika dan Kehumasan Pemprov DKI Jakarta, 2010). Sedangkan untuk ciri-ciri atau
tipikal pada rumah tinggal masyarakat Betawi, diantaranya adalah :
•
Tidak mengenal fengshui, orientasi ruang berdasarkan alasan praktis
•
Cenderung simetris, terdapat satu sumbu imajiner lurus di tengah massa bangunan
yang berfungsi sebagai jalur sirkulasi utama dengan ruangan lain pada sisi-sisinya
•
Terbagi menjadi tiga bagian yang tersusun berurutan dari depan ke belakang, yaitu
ruang depan (publik), ruang tengah (privat), dan ruang belakang (servis)
(Dinas Komunikasi, Informatika dan Kehumasan Pemprov DKI Jakarta, 2010;
Prasetya, 2007; Boedhisantoso dalam Prasetya, 2007)
3.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitis dengan
pendekatan kualitatif untuk mengetahui pengaruh kebudayaan asal penghuni dalam
pembentukan pola tatanan rumah di luar daerah asalnya. Penelitian dilakukan pada dua rumah
orang Betawi di Cimahi, Jawa Barat. Kedua rumah sebelumnya sudah memiliki eksisting
bangunan awal, namun telah dilakukan renovasi untuk menyesuaikan dengan preferensi
penghuninya. Kondisi ini dipilih karena berarti penghuni telah melibatkan diri sebagai subjek
utama pengguna ruang. Mereka membentuk rumahnya agar sesuai dengan preferensi ataupun
kebudayaan mereka sendiri, dan bukan merupakan rumah yang mass production lagi. Dari
proses renovasi yang dilakukan, yang menjadi fokus penelitian adalah pembentukan pola-pola
yang berkaitan dengan pengaruh kebudayaannya. Sejumlah pola kegiatan penghuni yang akan
dijelaskan memang memiliki kesamaan dengan beberapa kebudayaan non-Betawi lain. Tapi,
yang menjadi poin di sini adalah tindakan penghuni yang berupaya untuk membentuk dan
mengatur pola dalam rumahnya sebagai akibat dari pengaruh kebudayaan asal mereka.
Terdapat perbedaan kondisi pada kedua studi kasus, yaitu perbedaan spesifikasi daerah asal,
jangka waktu penempatan, serta waktu dilakukannya renovasi yang memungkinkan
terbentuknya pola ruang berbeda diantara keduanya terkait penyesuaian kebudayaan mereka.
Penelitian dilihat berdasarkan analisis keterlibatan penghuni dalam membentuk rumah
tinggalnya melalui metode arsitektur interior Frazer Hay (2007) serta analisis yang mengacu
pada pola keruangan tipikal rumah masyarakat Betawi berdasarkan organisasi ruang, tata
letak, pemanfaatan ruang, serta perbandingannya dengan rumah lama yang berlokasi di
Jakarta. Analisis tersebut akan menunjukkan intensitas pembentukan rumah tinggal yang
dilakukan oleh penghuni sehingga akan terindikasi sejauh mana kebudayaan asal penghuni
Pengaruh kebudayaan..., Annisa Meydina Putri, FT UI, 2013
dapat terlibat mempengaruhi pola dalam rumahnya. Informasi pada studi kasus diperoleh
melalui metode observasi langsung dan wawancara terhadap penghuni rumah. Nama-nama
pada studi kasus sengaja disamarkan demi menjaga keprivasian narasumber terkait.
4.
Hasil Penelitian
4.1
Studi Kasus Pertama
Rumah dihuni oleh empat penghuni tetap yaitu bapak R, isterinya, ibu mertuanya, anak
perempuannya, serta satu penghuni tidak tetap yaitu anak laki-laki bapak R. Mereka berasal
dari Betawi Tengah. Rumah yang telah ditempati selama sepuluh tahun ini dibeli dalam
keadaan terbangun. Saat pindah, rumah langsung ditempati begitu saja karena awalnya
mereka menganggap dapat beradaptasi dengan pola yang sudah ada di rumah barunya tersebut.
Tapi setelah dua tahun, mereka menyadari bahwa terdapat pola yang tidak sesuai hingga
kemudian merenovasinya. Menilik dari metode Hay (2007), penghuni telah melakukan
pengubahan sampai tahap intervention dimana existing bangunan ikut ditransformasi hingga
membongkar bentuk lama untuk menyesuaikan dengan kebutuhan ruang di dalamnya.
Publik
9
9
7
4
Servis
5
6
6
3
Ket. gambar:
4
8
5
1
2
Privat
8
7
3
2
1
1. Teras
2. Ruang tamu
3. Kamar anak perempuan
4. Kamar ibu mertua
5. Ruang keluarga
6. Kamar mandi
7. Kamar Bapak R & isteri
8. Dapur
9. Halaman belakang
Gambar 1. Denah rumah bapak R sebelum renovasi (kiri) dan sesudah renovasi (kanan)
Sumber: Ilustrasi pribadi berdasarkan observasi
Pada bagian luar, penghuni memperluas teras untuk mendukung kegiatan dan kebiasaan
mereka. Pada bagian dalam, posisi dapur yang awalnya berada di bagian depan dipindahkan
ke belakang. Menurut mereka, dapur merupakan area yang tidak pantas terlihat orang lain.
Dapur dianggap sebagai sesuatu yang harus disembunyikan karena berantakan dan merupakan
privasi penghuni. Ini juga disebabkan oleh aroma masakan dan bau asap yang dapat
mengganggu tamu sehingga membuatnya tidak nyaman. Menurut Saidi (2002), orang Betawi
Pengaruh kebudayaan..., Annisa Meydina Putri, FT UI, 2013
dikenal sangat menghargai tamu yang datang. Dikarenakan oleh pemindahan dapur, kamar
ibu mertua dan anak perempuan bapak R menjadi pindah ke depan. Menurut mereka, kamar
tidurlah yang sepantasnya berada di depan, sedangkan dapur di belakang. Hal ini disebabkan
lingkungan mereka telah membiasakan dan menanamkan pola seperti itu sehingga mereka
cenderung memberi labelling terhadap sesuatu yang pantas dan tidak pantas. Hal tersebut
mengakibatkan perubahan zona rumah yang semakin mendekati tipikal rumah Betawi.
Pembagian zona pada tipikal rumah orang Betawi terdiri dari tiga bagian yang
tersusun berurutan dari depan ke belakang meliputi publik, privat, dan servis (Boedhisantoso
dalam Prasetya, 2007). Pembagian zona rumah bapak R tidak terlalu berurutan seperti itu lagi,
melainkan lebih membaur. Namun, antara tipikal rumah Betawi dengan rumah bapak R
sebenarnya tidak jauh berbeda. Hanya posisi kamar mandi saja sebagai area servis yang
biasanya pada tipikal rumah Betawi tersembunyi di belakang, tapi justru terletak di tengah.
Selebihnya, pembagian ruang di rumah bapak R masih tersusun berurutan yaitu publik di
depan, privat di tengah, dan servis di belakang.
Seperti rumah orang Betawi umumnya, rumah bapak R juga memiliki teras yang cukup
luas dimana mereka memiliki kebiasaan untuk sering mengobrol bersama, menjamu tamu,
dan mengadakan acara tertentu. Karena teras sering digunakan, mereka tidak sekedar
memfasilitasinya dengan kursi teras biasa, tapi justru dengan sofa dan meja tamu. Teras yang
selalu digunakan bersama ini menunjukkan keterbukaan penghuni sebagai ciri orang Betawi.
Rumah ini memiliki tiga kamar dimana anak laki-laki bapak R tidak memiliki kamar
tersendiri. Anak laki-laki bapak R tidur di ruang keluarga karena jarang berada di rumah. Bila
ditilik dari kebudayaan Betawi, anak laki-laki yang tidak memiliki kamar adalah hal biasa
karena dianggap bisa tidur dimana saja (Prasetya, 2007). Kamar tidur anak perempuan bapak
R berada di depan dekat dengan pintu masuk. Pada tipikal rumah Betawi, kamar anak
perempuan memang biasanya diposisikan di paling depan dekat dari pintu masuk (Prasetya,
2007). Dahulunya, hal ini dipercaya dapat mempermudah akses anak tersebut untuk bertemu
teman laki-lakinya (Prasetya, 2007). Namun, sekarang hal tersebut sudah tidak dihiraukan lagi.
Posisi ini lebih dikarenakan mereka telah terbiasa dengan hal tersebut yang kemudian
tertananam menjadi pola tertentu dan terus diterapkan pada rumah tinggal mereka.
Semua kamar tidur di rumah bapak R diatur agar menyisakan space melintang ke arah
Barat (kiblat) untuk melakukan ibadah sholat. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Saidi
(1997) yang menyatakan bahwa mayoritas orang Betawi merupakan penganut agama Islam
yang cukup taat. Oleh karena itu pula, posisi WC pada rumah ini tidak menghadap kiblat
karena WC yang menghadap kiblat dianggap tidak etis. Mungkin hal ini tidak hanya berlaku
Pengaruh kebudayaan..., Annisa Meydina Putri, FT UI, 2013
pada masyarakat Betawi saja, tapi sebagai masyarakat yang memiliki pengaruh Islam cukup
kuat, sebagian besar orang Betawi juga turut menerapkan hal tersebut pada rumah mereka.
Di ruang keluarga, mereka hanya menggunakan karpet yang dianggap lebih terasa
kebersamaannya karena dinilai santai dan tidak kaku. Rumah bapak R tidak memiliki ruang
makan karena mereka tidak terbiasa makan di meja makan. Meja makan di dapur hanya
digunakan untuk meletakkan masakan matang. Mereka biasanya makan sambil mengobrol
dan menonton TV di ruang keluarga. Menurut Prasetya (2007), keberadaan ruang makan pada
kebanyakan rumah orang Betawi memang jarang, meskipun ada, biasanya penggunaannya
kurang maksimal. Berdasarkan keterangan bapak R dan penjelasan Saidi (1997) mengenai
sifat orang Betawi, disimpulkan bahwa kurang maksimalnya penggunaan ruang makan di
rumah orang Betawi mungkin karena anggapan bahwa makan di meja makan terlalu formal
dan kaku, sedangkan orang Betawi cenderung memiliki sifat sederhana dan santai.
Kelompok ruang pada kebanyakan rumah orang Betawi ditata ke dalam bentuk persegi
panjang sederhana berpola simetris. Terdapat sumbu abstrak imajiner lurus di tengah massa
bangunan sebagai jalur sirkulasi utama dimana ruangan lainnya berada pada sisi sumbu
tersebut (Prasetya, 2007). Rumah bapak R masih memiliki satu jalur sirkulasi utama dengan
ruangan lain pada sisinya, tapi tidak membentuk garis lurus yang simetris lagi.
Gambar 2. Denah umum rumah Betawi (kiri); denah rumah di Jakarta (tengah); denah rumah di Cimahi (kanan)
Sumber: Prasetya, 2007 (telah diolah kembali) (kiri); ilustrasi pribadi berdasarkan observasi (tengah & kanan)
Saat rumah bapak R di Jakarta dan di Cimahi dibandingkan, ternyata hanya terdapat
sedikit perbedaan dimana pada pembagian zona rumah di Jakarta masih tersusun menyerupai
tipikal rumah Betawi, sedangkan rumah di Cimahi lebih membaur. Selebihnya, kedua rumah
masih memiliki pola pengaturan yang sama. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
Pengaruh kebudayaan..., Annisa Meydina Putri, FT UI, 2013
meskipun berada di luar kota asalnya, pola-pola kebudayaan asal penghuni masih terbawa.
Organisasi ruang rumah bapak R masih cukup mencerminkan kebetawiannya, tapi telah
mengalami penyesuaian pada bagian-bagian tertentu.
4.2
Studi Kasus Kedua
Rumah dihuni oleh bapak H, isterinya, dan anak perempuannya. Mereka berasal dari
Kalisari, Betawi Pinggir. Masyarakat Betawi Pinggir cenderung akan lebih menunjukkan
kebetawiannya, begitupun pada rumah mereka (Swadarma dan Aryanto, 2013). Rumah bapak
H dibeli dalam keadaan terbangun dan telah ditempati selama enam tahun. Berbeda dengan
keluarga bapak R, keluarga bapak H sejak awal dapat langsung menyadari pola yang kurang
sesuai pada rumah mereka sehingga langsung merenovasinya mengingat mereka berasal dari
Betawi Pinggir yang menurut Shahab (2004) paling teguh memegang nilai budayanya.
Setelah selesai direnovasi, barulah kemudian mereka menempati rumah tersebut.
Dilihat dari metode Frazer Hay (2007), keluarga bapak H juga melakukan pengubahan
sampai tahap intervention. Existing rumah ikut ditransformasi hingga membongkar bentuk
lama agar sesuai dengan kebutuhan ruang di dalamnya. Pada bagian luar, penghuni
memperluas teras karena mereka telah terbiasa dengan teras yang luas. Selain itu, pada
eksisting sebelumnya, terdapat ruang makan, tapi, diubah menjadi kamar tidur. Berbagai
pengubahan yang dilakukan tadi berdampak pada perubahan aktivitas dan zona di dalam
rumah yang sebelumnya membaur, tapi, setelah dilakukan renovasi menjadi lebih berurutan.
6
9
7
5
2
1
8
5
3
3
4
Publik
6
7
4
2
Privat
Servis
Ket. gambar:
1
1. Teras
2. Ruang tamu
3. Kamar anak perempuan
4. Kamar bapak H & isteri
5. Ruang keluarga
6. Kamar mandi
7. Dapur
8. Ruang makan
9. Gudang/kamar tambahan
Gambar 3. Denah rumah bapak H sebelum renovasi (kiri) dan sesudah renovasi (kanan)
Sumber: Ilustrasi pribadi berdasarkan observasi
Organisasi ruang rumah ini persis mengikuti pola pada tipikal rumah Betawi. Terdapat
teras yang cukup luas untuk mewadahi acara tertentu serta kebiasaan mereka mengobrol dan
bersantai. Saat di teras, mereka selalu menyapa tetangga yang lewat dan tidak jarang berakhir
Pengaruh kebudayaan..., Annisa Meydina Putri, FT UI, 2013
pada kegiatan mengobrol di teras. Di teras terdapat kursi dan meja plastik yang ringan dan
mudah ditambah sesuai dengan jumlah tamu yang sering datang. Menurut Saidi (2002), bagi
orang Betawi, teras menjadi bagian terfavorit untuk melakukan aktivitas bersama.
Pengaturan posisi kamar tidur di rumah bapak H sama dengan rumah bapak R dan
tipikal rumah Betawi lain. Kamar anak perempuan bapak H juga terletak di depan. Dahulunya
memang terdapat pemaknaan tertentu, tapi sekarang posisi ini lebih karena faktor kebiasaan.
Pengaturan ini juga dikarenakan faktor efektifitas akses karena organisasi ruang pada rumah
Betawi juga ditentukan berdasarkan tuntutan praktis. Ruang keluarga bapak H juga sengaja
hanya menggunakan karpet karena mereka menganggap duduk lesehan terkesan lebih santai.
Posisi semua ruang servis terletak di belakang. Menurut bapak H, ruang servis berada di
belakang karena bersifat pribadi dan berantakan. Di dapur bapak H juga terdapat meja makan
untuk menyiapkan dan meletakkan masakan saja. Mereka biasanya makan di ruang keluarga
sambil mengobrol dan menonton TV. Di kebanyakan rumah Betawi memang jarang terdapat
ruang makan, meskipun ada biasanya penggunaannya kurang maksimal (Prasetya, 2007).
Mayoritas orang Betawi merupakan pemeluk agama Islam sehingga nilai-nilai
keislaman sering tercermin pada rumah mereka. Diantaranya, setiap kamar yang ada di rumah
bapak H menyisakan space yang melintang ke arah Barat (kiblat) untuk melakukan ibadah
sholat. Selain itu, posisi WC di kamar mandi pun tidak menghadap kiblat karena alasan etika.
Gambar 4. Denah umum rumah Betawi (kiri); denah rumah di Jakarta (tengah); denah rumah di Cimahi (kanan)
Sumber: Prasetya, 2007 (telah diolah kembali) (kiri); ilustrasi pribadi berdasarkan observasi (tengah & kanan)
Berbeda dengan rumah keluarga bapak R, pengelompokkan ruang di rumah bapak H
masih identik dengan pola pada tipikal rumah Betawi kebanyakan, yaitu berbentuk persegi
panjang berpola simetris dan terdapat sumbu abstrak imajiner lurus di tengah sebagai jalur
Pengaruh kebudayaan..., Annisa Meydina Putri, FT UI, 2013
sirkulasi utama, ruangan-ruangan lain berada pada sisi sumbu tersebut (Prasetya, 2007).
Selain itu, jika rumah bapak H yang berada di Jakarta dan di Cimahi dibandingkan, organisasi
dan pemanfaatan ruangnya ternyata masih sangat identik, keduanya menyerupai pola pada
tipikal rumah Betawi. Pembagian ruangnya terbagi menjadi tiga area yang teratur dan
berurutan yaitu publik, privat, dan servis. Kedua rumah juga memiliki satu jalur sirkulasi
utama dengan ruangan lain pada sisi-sisinya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
pola-pola yang berasal dari kebudayaan asal penghuni masih dapat terbawa dan turut
mempengaruhi pembentukan rumah mereka sehingga meskipun berada di luar kota asalnya,
pola pengaturan rumah bapak H masih sangat mencerminkan kebetawiannya.
5.
Pembahasan
Pada dasarnya, kedua studi kasus menunjukkan bahwa penghuni telah melibatkan diri
dalam pembentukan rumahnya. Hal tersebut terlihat dari upaya renovasi dan pengaturan yang
dilakukan karena terdapat beberapa hal yang dianggap tidak sesuai dengan nilai, norma,
budaya, ataupun kebiasaan penghuni. Ini mengindikasikan bahwa meskipun berada di luar
daerah asalnya, mereka masih membawa pola-pola akibat dari pengaruh kebudayaan asalnya.
Berdasarkan studi kasus, diketahui bahwa meskipun lokasinya telah berada di luar
daerah asalnya, rumah masih dapat mencerminkan pola-pola yang berasal dari pengaruh
kebudayaan asal -pada kasus ini kebudayaan masyarakat Betawi-. Terdapat persamaan dan
perbedaan yang diperlihatkan oleh kedua studi kasus dalam upaya mereka membentuk rumah
tinggal agar sesuai dengan kebiasaan, preferensi, dan kebudayaannya. Persamaannya terlihat
pada tingkatan pengubahan yang dilakukan, keduanya merenovasi rumah mereka sampai pada
tahap intervention dalam metode Frazer Hay (2007). Hal tersebut terindikasi dari upaya
penghuni yang mengubah fisik bagian dalam rumah dan juga turut mentransformasi eksisting
luar bangunan hingga menciptakan bentuk dan pola ruang baru pada rumah mereka.
Berbagai pengaturan dan renovasi yang dilakukan oleh penghuni di kedua studi kasus
membuktikan pernyataan Franck dan Lepori (2000) yang mengungkapkan, pada proses
pembentukan ruang, manusia adalah subjek penentu bagaimana arsitektur terbentuk karena
sangat dipengaruhi oleh keberadaan penggunanya. Tindakan penghuni di kedua studi kasus
menunjukkan bahwa mereka adalah subjek utama dalam pembentukan rumah tinggalnya
sehingga rumah diatur agar sesuai dengan kebudayaan mereka sendiri. Pengaturan ini
dipengaruhi oleh faktor kebiasaan dan kepercayaan pada nilai-nilai dalam kebudayaan mereka
yang kemudian tercermin pada organisasi serta pola ruang rumah. Hal ini berkaitan dengan
Pengaruh kebudayaan..., Annisa Meydina Putri, FT UI, 2013
pernyataan Rapoport (dalam Snyder & Catanese, 1984), pertimbangan aspek norma, budaya,
dan psikologis masyarakat dapat mempengaruhi pembentukan pola ruang dalam rumah.
Terdapat sedikit perbedaan pada pembentukan organisasi ruang diantara kedua studi
kasus. Dalam tipikal rumah Betawi, pembagian zonanya tersusun berurutan mulai dari area
publik di depan, privat di tengah, dan servis di belakang. Hal tersebut masih sangat diterapkan
di rumah bapak H. Namun pada rumah bapak R, pengaturan zonanya cenderung lebih
membaur. Selain itu, posisi jalur sirkulasi utama rumah bapak R tidak membentuk garis lurus
yang simetris lagi seperti pada tipikal rumah Betawi kebanyakan. Meskipun begitu, rumah
bapak R masih memiliki satu jalur sirkulasi utama dengan ruangan lain pada sisinya, hal
tersebut tidak berbeda jauh dengan pola pada rumah Betawi. Ini menunjukkan bahwa
organisasi ruang rumah bapak R masih mengikuti pola rumah Betawi, tapi telah mengalami
penyesuaian pada bagian-bagian tertentu. Berbeda dengan bapak R, posisi jalur sirkulasi
utama di rumah bapak H berada tepat di tengah massa bangunan membentuk garis lurus yang
di sisinya terdapat ruangan-ruangan lain, identik dengan pola pada tipikal rumah Betawi.
Perbedaan diantara dua studi kasus ini diduga disebabkan oleh perbedaan daerah asal mereka.
Keluarga bapak R berasal dari Betawi Tengah yang diketahui cenderung lebih adaptif
terhadap hal-hal di luar kebetawian (Swadarma dan Aryanto, 2013). Sedangkan keluarga
bapak H berasal dari Betawi Pinggir yang menurut Shahab (2004) merupakan masyarakat
Betawi yang paling kuat dan teguh memegang tradisi Betawi dibandingkan Betawi lainnya.
Ada beberapa kesamaan pada pemanfaatan ruang di kedua studi kasus. Keduanya samasama memanfaatkan ruang keluarga sebagai tempat untuk makan. Mereka tidak memiliki
ruang makan khusus, padahal keduanya masih memiliki space yang cukup jika ingin
merealisasikan keberadaan ruang makan, mereka juga sebenarnya memiliki meja makan di
dapur. Tapi, meja makan tersebut hanya digunakan untuk menyiapkan dan meletakkan
masakan matang saja. Mereka biasanya makan di ruang keluarga karena tidak terbiasa makan
di meja makan yang dianggapnya terlalu kaku. Clovis Heimsath (1988) mengungkapkan
bahwa tingkah laku manusia dipengaruhi oleh kebudayaannya dimana tingkah laku tersebut
memicu kegiatan tertentu yang dilakukannya secara berulang-ulang hingga menjadi kebiasaan.
Berbagai pengaturan yang dilakukan penghuni mendapat pengaruh dari nilai, norma,
dan kepercayaan mereka terkait latar belakang budayanya, seperti peletakkan WC yang tidak
etis menghadap kiblat (Barat), posisi area servis yang dinilai tidak pantas berada di bagian
depan rumah dan seharusnya disembunyikan dari pandangan tamu, kebiasaan menjamu tamu
yang dianggap baik karena alasan tertentu, dan pengaturan lainnya membuktikan pernyataan
McIver (dalam Supsiloani, 2008) yang mengatakan, kebudayaan merupakan sesuatu yang
Pengaruh kebudayaan..., Annisa Meydina Putri, FT UI, 2013
diciptakan oleh manusia, tapi pada gilirannya, kebudayaan menjadi suatu kekuatan yang
mengatur bahkan memaksa manusia untuk melakukan tindakan dengan polanya
tertentu. Kebudayaan memberikan konsepsi tentang apa yang benar atau salah (nilai moral),
baik atau buruk (nilai etika) serta indah atau jelek (nilai estetika). Dari sistem nilai tumbuh
norma sebagai patokan atau rambu-rambu yang mengatur (McIver dalam Supsiloani, 2008).
Sadar atau tidak, pola yang berasal dari
pengaruh kebudayaan asal masih tertanam
dan terbawa dalam subconscious mind
Manusia  subjek utama dalam ruang 
arsitektur/ interior mengacu pada pola perilaku,
aktivitas, kebiasaan, & kebudayaannya
Gambar 5. Skema pengaruh kebudayaan pada pembentukan pola rumah yang berada di luar daerah asal
Sumber: Ilustrasi pribadi
Kebudayaan akan menanamkan pandangan hidup, norma, dan nilai (moral, etika, juga
estetika) kepada masyarakatnya untuk melakukan sesuatu dengan pola tertentu berupa aturan,
larangan, ataupun kepercayaan sehingga mereka cenderung akan mentaati dan melakukan
pola tadi secara terus menerus dan berulang hingga menjadi terbiasa (Prijotomo, 1988;
McIver dalam Supsiloani, 2008; Heimsath 1988). Secara sadar ataupun tidak, pola tersebut
Pengaruh kebudayaan..., Annisa Meydina Putri, FT UI, 2013
terus melekat dan terbawa di dalam diri sehingga mereka cenderung akan membentuk
lingkungannya -dalam hal ini rumah tinggal- mengikuti pola tadi.
Dikarenakan mereka sudah terbiasa dan familiar akan suatu pola dari kebudayaan
asalnya, mereka baru akan merasa nyaman jika berada di dalam perwujudan pola tersebut. Hal
ini sesuai dengan pernyataan Franck dan Lepori (2000) yang menyatakan, pembentukan ruang
pada manusia berkaitan dengan pengalaman ruang yang telah dialaminya sejak lahir. Ruang
yang telah diingat akan mempengaruhi pembentukan ruang-ruang selanjutnya berkaitan
dengan stimulasi mengenai kondisi sosial dan budaya di sekitarnya (Franck dan Lepori, 2000).
Arsitektur merupakan wujud kebudayaan dimana kebudayaan sebagai ide akan menghasilkan
suatu pola atau bentuk tertentu kemudian arsitektur akan menunjukkan bagaimana pola dan
bentuk tersebut mengkomunikasikan pengaruh kebudayaan yang berupa ide tadi (Prijotomo,
1988). Tinggal di lingkungan baru memicu dialektika antara kebudayaan yang dibawa
penghuni dengan kondisi lingkungan yang ada. Menurut Bennet (1976), kebudayaan akan
memberi masukan berupa persepsi moral sebagai pengendali atau kontrol dalam mengarahkan
dan mengambil keputusan -dalam hal ini keputusan saat merancang pola rumah tinggal-.
6.
Kesimpulan
Manusia tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan yang melingkupinya. Kebudayaan
akan mempengaruhi setiap tindakan yang mereka ambil, salah satunya pada saat merancang
rumah sebagai perwujudan dari kebudayaan tersebut. Manusia cenderung akan membentuk
rumahnya sesuai dengan kebudayaan mereka karena manusia sebagai penghuni merupakan
pengguna atau subjek utama di dalam rumahnya. Hal ini berkaitan erat dengan aktivitas,
kebiasaan, kepercayaan, nilai, juga norma yang berasal dari kebudayaan asal manusia tersebut.
Ketika manusia dituntut untuk keluar dari daerah asalnya, mereka dihadapkan pada
pilihan untuk mempertahankan pola-pola kebudayaan asal mereka atau beradaptasi dengan
lingkungan barunya. Dalam hal ini, studi kasus yang diteliti adalah orang Betawi yang berada
di luar Jakarta yaitu di Cimahi, Jawa Barat. Fakta dari studi kasus menunjukkan bahwa polapola kebudayaan asal penghuni masih tercermin dan turut mempengaruhi pembentukan rumah
tinggalnya, meskipun telah berada di luar daerah asalnya. Pola tadi tertanam dan terbawa
dalam subconscious mind mereka. Hal tersebut terlihat dari pengaturan yang dilakukan
penghuni terhadap rumah yang awalnya dibeli dalam keadaan terbangun, tapi kemudian,
mereka renovasi agar sesuai dengannya. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa terdapat
beberapa hal yang telah mengalami penyesuaian karena alasan efektifitas penggunaan ruang.
Pengaruh kebudayaan..., Annisa Meydina Putri, FT UI, 2013
Berdasarkan studi kasus, dapat disimpulkan bahwa pengaruh kebudayaan di dalam
rumah dapat tercermin pada pola pengaturan dan penataan keruangannya yang terdiri dari:
 Pengubahan secara fisik
Keterlibatan penghuni dalam mengubah bentuk fisik rumah, mulai dari pengubahan
eksisting pada bagian luar juga bagian dalam bangunan untuk menyesuaikan dengan
preferensi, kebutuhan, dan kebudayaan penghuni tersebut.
 Organisasi ruang
Berupa pengaturan posisi ruang berikut sirkulasi di dalam rumah. Hal ini berkaitan
dengan rasa familiaritas penghuni terhadap suatu pola serta faktor efektifitas ruang
yang saling berhubungan untuk mempermudah akses terkait pola kegiatan dan
kebiasaan akibat pengaruh dari kebudayaannya.
 Tata letak elemen interior
Diperlihatkan dari pengaturan posisi furnitur di dalam rumah yang dilakukan oleh
penghuni berkaitan dengan kebiasaan, nilai, dan norma yang mereka pegang, seperti
nilai dan norma moral ataupun agama. Tata letak elemen interior berupa furnitur ini
merupakan hal yang paling fleksibel karena dapat diatur dengan mudah.
 Pemanfaatan ruang
Faktor kebiasaan dan pola kegiatan juga sangat berperan dalam poin ini yang
mengakibatkan adanya pemanfaatan ruang yang berbeda-beda, bahkan sampai pada
penumpukan dan pengalihfungsian ruang. Oleh karena itu, perlu dipelajari benar
kebiasaan dan pola aktivitas penghuni di dalam rumah tinggalnya.
Berdasarkan tingkatannya, kedua studi kasus melakukan pengubahan fisik sampai pada
tahap intervention (pengubahan eksisting luar & dalam). Berdasarkan organisasi ruang, tata
letak elemen interior, dan pemanfaatan ruangnya, keduanya cenderung masih mengikuti polapola dari kebudayaan asal mereka. Pengaturan dan pengubahan yang dilakukan oleh penghuni
terhadap rumahnya tersebut menunjukkan bahwa penghuni memiliki peran penting sebagai
referensi dasar saat dilakukan perancangan arsitektur. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa
manusia memiliki keterikatan yang cukup kuat dengan kebudayaannya yang mempengaruhi
dan mengatur mereka sebagai pengendali dalam memberikan persepsi moral dan rasa familiar
atau kebiasaan dalam bentuk pola tertentu. Kebudayaan mempengaruhi masyarakatnya
dengan menanamkan pandangan hidup, nilai, dan norma yang kemudian melahirkan aturan
dan kepercayaan berupa pola yang dilakukan secara berulang hingga menghasilkan kebiasaan.
Pengaruh kebudayaan..., Annisa Meydina Putri, FT UI, 2013
7.
Saran
Pada akhirnya, dengan memahami perlakuan penghuni dalam membentuk rumah
tinggal mereka agar sesuai dengan kebudayaannya, kita dapat mengambil beberapa pelajaran.
Dalam merancang pola keruangan suatu arsitektur -dalam hal ini rumah tinggal-, kita harus
memperhatikan aspek kebudayaan penghuni sebagai referensi dasar karena mereka adalah
aktor utama yang tinggal dan menggunakan arsitektur tersebut. Kita juga seharusnya
menyadari bahwa dalam merancang -pada kasus ini adalah merancang rumah tinggal- tidak
hanya mementingkan aspek estetika saja, tapi juga harus memperhatikan kebiasaan, pola
aktivitas, bahkan kepercayaan, nilai, dan norma tertentu terkait kebudayaan penghuninya.
Tulisan ini tentu masih memiliki kelemahan dan kekurangan. Terbatasnya referensi
mengenai tipikal rumah masyarakat Betawi menjadi permasalahan utama yang penulis temui.
Sumber-sumber mengenai tipikal rumah Betawi dalam tulisan ini pun masih terbuka untuk
dilakukan penelitian selanjutnya. Oleh karena itu, disarankan untuk dilakukan penelitianpenelitian sejenis demi pengembangan dan perbaikan tulisan yang telah ada sebelumnya.
8.
Al
Daftar Referensi
Ayyubi,
Sholahuddin.
2013.
“Budaya
Betawi
Mulai
Terpinggir”.
http://metro.sindonews.com/read/…/budaya-betawi-mulai-terpinggir. [diakses pada 24 April
2013 pukul 02.36 WIB].
Babu, Venkatesh dan Kalpana Kuttiah. 1996. “Cultural Continuity in Development”, Journal
Traditional Dwelling and Settlement, Vol. 96/IASTE, University of California at Berkeley,
Berkeley.
Bennet, J. W. 1976. The Ecological Transition Cultural Anthropology and Human Adaptation.
New York: Pergamon Press Inc.
Boedojo, Poedio, dkk. 1986. Arsitektur, Manusia, dan Pengamatannya. Jakarta: Djambatan.
Budhisantoso. 1997. Simposium: “Peranan Identitas Budaya dalam Karya Arsitektur”. Dalam
Jati Diri Arsitektur Indonesia oleh Eko Budihardjo (Ed.). Bandung: IKAPI.
Ching, D. K. dan Corky Binggeli. 2012. Interior Design Illustrated. New York: Wiley.
Dinas Komunikasi, Informatika, dan Kehumasan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. 2010.
“Suku Betawi”. http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/…/Betawi-Suku. [diakses pada 30
April 2013 pukul 15.05 WIB].
Franck, Karen A. dan R. Biancha Lepori. 2000. Architecture Inside Out. New York: WileyAcademy.
Pengaruh kebudayaan..., Annisa Meydina Putri, FT UI, 2013
Friedmann, Arnold, dkk. 1970. Interior design: an introduction to architectural interiors.
New York: American Elsevier.
Geertz, Clifford. 1973. The Interpretation of cultures. London: Hutchinson & Co. Publishers.
Gwinn, Robert P. 1986. The New Encyclopaedia Britannica - Volume 1. Chicago:
Encyclopaedia Britannica Inc.
Hall, Edward T. 1973. The Silent Language. New York: Anchor Doubleday.
Hay, Frazer. 2007. Interior Architecture, dalam Thinking Inside The Box. London: Middlesex
University.
Hayward, P.G. 1987. Homes as an Environmental and Psychological Concept. New York :
Holt, Renehart, dan Wiston.
Heimsath, Clovis. 1988. Arsitektur dari Segi Perilaku, Menuju Proses Perancangan yang
Dapat Dijelaskan. Bandung: Intermatra.
Koentjaraningrat. 1981. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Prasetya, Liu Ardy. 2007. “Sekolah Tinggi Arsitektur Jakarta”. Tesis. Fakultas Teknik.
Universitas Bina Nusantara. Jakarta.
Prijotomo, Josef. 1988. Ideas and Form of Javanese Architecture. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
Rapoport, Amos. 1969. House Form and Culture. New Jersey: Prentice-Hall International.
Saidi, Ridwan. 1997. Profil Orang Betawi: Asal Muasal, Kebudayaan, dan Adat Istiadatnya.
Jakarta: Gunara Kata.
Saidi, Ridwan. 2002. Badud Tanah Betawi. Jakarta: Gria Media Prima.
Shahab, Yasmine Zaki. 2004. Identitas dan Otoritas Rekonstruksi Tradisi Betawi. Depok:
Laboratorium Antropologi FISIP UI.
Siregar, Laksmi Gondokusumo. 2008. Makna Arsitektur. Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia.
Snyder, James C. dan Anthony J. Catanese. 1984. Pengantar Arsitektur. Jakarta: Erlangga.
Sumaatmaja, Nursid. 1996. Manusia dalam Konteks Sosial, Budaya, dan lingkungan Hidup.
Bandung: Alfabeta.
Supsiloani. 2008. “Analisa Nilai Budaya Masyarakat Dan Kaitannya Dalam Pembangunan
Wilayah
Di
Kecamatan
Raya
Kabupaten
Simalungun”.
http://repository.usu.ac.id/…/Chapter%20I.pdf. [diakses pada 20 April 2013 pukul 01.02
WIB].
Swadarma, Deni dan Yunus Aryanto. 2013. Rumah Etnik Betawi. Depok: Griya Kreasi.
Turner, John F. C. 1972. Freedom to Build. London: Marion Boyars Publisher Ltd.
Pengaruh kebudayaan..., Annisa Meydina Putri, FT UI, 2013
Download