KEBIJAKAN PENANAMAN MODAL DAN PELUANG INVESTASI

advertisement
B
O
K
S
Model Inflasi Harga Komoditas di Kota Padang
1. Latar Belakang
Inflasi merupakan suatu fenomena di mana terjadi kenaikan harga barang secara umum dan
berlangsung secara terus menerus. Dalam Boediono (1995), pengaruh inflasi dapat memiliki
dampak positif atau negatif tergantung seberapa parah atau tidaknya tingkat inflasi tersebut*. Inflasi
yang ringan atau moderat akan membuat perekonomian menjadi bergairah karena dapat mendorong
laju investasi yang kemudian membuka lapangan pekerjaan sehingga dapat mengurangi
pengangguran dan pada akhirnya mendorong pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, inflasi yang tidak
stabil akan menciptakan ketidakpasian bagi para pelaku ekonomi dalam mengambil keputusan
untuk melaksanakan konsumsi, investasi, dan produksi yang pada akhirnya akan menghambat
pertumbuhan ekonomi. Oleh sebab itu, pengendalian inflasi untuk mencapai kestabilan harga
barang dan jasa merupakan prasyarat penting dalam menciptakan kesejahteraan dan pertumbuhan
ekonomi jangka panjang.
Berdasarkan beberapa penelitian yang pernah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa
pengendalian inflasi di daerah tidak cukup hanya melalui kebijakan moneter yang berskala nasional
seperti dengan penetapan BI-rate sebagai suku bunga acuan dengan tujuan menekan laju inflasi.
Sebagaimana diketahui, inflasi nasional pada dasarnya merupakan gabungan dari inflasi di seluruh
daerah. Permasalahan inflasi daerah yang sebagian besar bersifat non-moneter membutuhkan
koordinasi yang baik antara Bank Indonesia dengan Pemerintah Daerah melalui dinas atau instansi
terkait.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui komoditas apa saja yang secara
signifikan mempengaruhi laju inflasi kota Padang dengan memanfaatkan data monitoring
pergerakan harga dari Biro Perekonomian Sumatera Barat. Setelah didapatkan komoditas yang
dimaksud selanjutnya akan dibentuk sebuah model regresi berganda yang dapat digunakan untuk
memperkirakan besarnya tingkat inflasi atau deflasi yang akan terjadi pada bulan yang
bersangkutan.
Jenis data yang digunakan dalam studi ini adalah data sekunder yang merupakan data harga
bulanan dari beberapa komoditas yang diperkirakan menjadi penyumbang inflasi di kota Padang
mulai periode 2003:1 sampai 2008:12. Komoditas yang dimaksud adalah beras, cabe merah, telur
ayam ras, gula pasir, tepung terigu, minyak goreng curah, ayam ras, daging sapi, minyak tanah,
emas dan semen. Untuk membangun model regresi berganda maka langkah awal yang
dilakukan adalah menentukan variable dependen dan independen yang akan digunakan.
Dalam studi ini variable dependen adalah variable IHK kota Padang yang telah disetarakan
menggunakan tahun dasar 2007. Selanjutnya variable independen (11 komoditas) yang
diperkirakan dapat mempengaruhi pergerakan IHK dimasukkan secara bersama-sama
kedalam model.
*
Boediono, Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi No. 5: Ekonomi Moneter, BPFE
Yogyakarta, 1995.
2. Teori dan Studi Literatur
2.1. Teori Pembentukan Inflasi
Mengacu pada teori ekonomi Neo-Keynesian dalam Gordon (1997)† pendekatan
determinan inflasi Indonesia dapat dijelaskan melalui inflasi permintaan, inflasi
penawaran, dan ekspektasi inflasi. Pendekatan model pembentukan inflasi ini dikenal juga
dengan istilah Expectation-Augmented Phillips Curve. Inflasi permintaan direfleksikan
sebagai pergerakan sepanjang kurva Phillips sedangkan inflasi penawaran dan ekspektasi
inflasi direfleksikan sebagai pergeseran kurva Phillips sehingga mengubah trade-off antara
inflasi dan pertumbuhan ekonomi atau tingkat pengangguran‡.
Inflasi Permintaan (demand-pull inflation)
Jenis inflasi ini biasa dikenal sebagai Phillips Curve Inflation, yaitu merupakan
inflasi yang dipicu oleh interaksi permintaan dan penawaran domestik jangka panjang.
Dalam hal ini kebijakan moneter merupakan salah satu determinan penting pada jenis
inflasi ini melalui pengaruhnya terhadap konsumsi, produksi dan investasi. Faktor-faktor
lain yang juga mempengaruhi adalah perubahan gradual atau kejutan kebijakan fiskal,
permintaan luar negeri, perubahan perilaku konsumen dan produsen serta tingkat dan
pertumbuhan efisiensi dan produktivitas perekonomian.
Inflasi Penawaran (cost-push inflation)
Cost-push inflation atau juga bisa disebut supply-shock inflation merupakan inflasi
penawaran yang disebabkan oleh kenaikan pada biaya produksi atau biaya pengadaan
barang dan jasa. Inflasi penawaran ini mencakup supply shocks inflation yang memicu
kenaikan harga penawaran barang. Faktor shocks yang memicu inflasi ini adalah kenaikan
harga komoditas internasional—termasuk harga minyak mentah dunia, kenaikan harga
komoditas yang harganya dikontrol pemerintah, kenaikan atau penurunan harga bahan
makanan akibat gangguan produksi yang disebabkan oleh gangguan iklim, perubahan
harga barang impor akibat dari terjadinya perubahan nilai tukar, dan kenaikan inflasi luar
negeri.
Ekspektasi Inflasi
Faktor ekspektasi inflasi dipengaruhi oleh perilaku masyarakat yang dapat bersikap
adaptif atau forward looking. Ekspektasi inflasi merupakan determinan inflasi yang
berperan penting secara subyektif dalam pembentukan harga dan upah. Jika pelaku
ekonomi menilai bahwa berdasarkan pengalaman inflasi masa lalu inflasi akan tetap terjadi
atau bertahan, maka pelaku ekonomi tersebut akan menaikkan harga, meskipun prospek
ekonomi tidak menunjukkan sinyal akan terjadi tekanan permintaan. Secara umum dapat
dikatakan bahwa espektasi inflasi pada dasarnya dibentuk oleh pandangan subyektif dari
pelaku ekonomi mengenai apa yang akan terjadi ke depan. Perilaku pembentukan
†
Robert J. Gordon, ―The Time-Varying NAIRU and its Implications for Economic Policy‖. Journal of
Economic Perspectives – Vol. 11, No.1, 1997, hlm. 11-32.
‡
Lihat Akhris Hutabarat, ―Determinan Inflasi di Indonesia,‖ Occasional Paper, Biro Riset Ekonomi, Bank
Indonesia, Juni 2005.
ekspektasi inflasi ini disebut ekspektasi inflasi adaptif, yang terbentuk dari peristiwaperistiwa ekonomi di masa lalu yang mengakibatkan inflasi menjadi persisten.
2.2. Studi Literatur
Dengan mempelajari pengalaman 14 negara berkembang selama periode 1980-an
dan 1990-an, Mohanty and Klau (2001)§ menemukan bahwa shock penawaran eksogen,
khususnya harga makanan, merupakan penentu penting variabilitas inflasi. Harga makanan
biasanya merupakan bagian yang besar dalam pembentukan Indeks Harga Konsumen
(IHK) di negara berkembang. Selain itu harga makanan sangat volatile karena dipengaruhi
cuaca dan restriksi perdagangan. Faktor permintaan yang didekati dengan menggunakan
kesenjangan output, dan kelebihan uang (excess money) tidak memainkan peran yang
besar. Namun demikian, pertumbuhan upah dan perubahan nilai tukar memiliki pengaruh
terhadap volatilitas inflasi di banyak negara. Penelitian ini juga menemukan bahwa
persistensi inflasi memainkan peran penting dalam menjelaskan tingkat dan variasi inflasi.
Marhastari dan Miranti (2008) dalam penelitiannya mengemukaan bahwa ekspektasi
inflasi, output gap, nilai tukar Rp/USD, dan dummy Idul Fitri berpengaruh positif dan
signifikan terhadap tingkat inflasi inti pada periode 2004-2007. Sedangkan untuk
menganalisis inflasi volatile food digunakan variabel ekspektasi volatile food, produksi
padi Kota Tasikmalaya, dan produksi padi Kabupaten Ciamis sebagai salah satu pemasok
kebutuhan beras di Kota Tasikmalaya. Variabel ekspektasi berpengaruh positif dan
signifikan terhadap tingkat inflasi volatile food, sedangkan variabel produksi padi yang
merupakan proxy dari komoditas beras sebagai komoditas penyumbang terbesar kelompok
bahan makanan berpengaruh negatif. Hal ini berarti bahwa penurunan produksi padi akan
meningkatkan inflasi volatile food.
Sementara itu Wimanda (2006) dalam studinya mengenai inflasi regional di
Indonesia juga menemukan bahwa setelah krisis ekonomi tingkat volatilitas inflasi di
daerah menjadi lebih tinggi. Selain itu, antara inflasi-inflasi daerah dengan inflasi nasional
tidak menunjukkan adanya konvergensi sehingga pola pergerakannya seringkali berbeda
dari pergerakan inflasi nasional. Hal inilah yang dapat mengakibatkan kebijakan moneter
tidak secara penuh efektif dalam menekan laju inflasi di daerah**.
3. Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan
3.1. Kesimpulan
 Berdasarkan model inflasi harga komoditas yang dibentuk, komoditas yang secara signifikan
mempengaruhi pembentukan IHK kota Padang adalah nilai IHK itu sendiri pada waktu
sebelumnya, harga beras, harga daging ayam ras, harga cabe, dan harga minyak tanah. Jika
diurutkan dari besarnya nilai koefisien regresi maka nilai IHK lag1 merupakan variable yang
§
Mohanty, M.S. and M. Klau (2001), ―What determines inflation in emerging market countries?‖ BIS papers
No 8. Modeling aspects of the inflation process and the monetary transmission mechanism in emerging
market countries.
**
Lihat selengkapnya pada Rizki E. Wimanda, ―Regional Inflation in Indonesia: Characteristic,
Convergence, and Determinants,‖ Bank Indonesia Working Paper, No.13, Oktober 2006.
paling besar dalam mempengaruhi pergerakan IHK kota Padang, diikuti oleh harga minyak
tanah, daging ayam ras, beras, dan cabe.
 Besarnya pengaruh variable IHK lag 1 dalam pembentukan IHK kota Padang menunjukkan
bahwa variable ekspektasi inflasi yang di proxy dengan IHK lag1 merupakan determinan
utama inflasi di kota Padang. Hal ini juga menunjukkan bahwa perilaku inflasi masyarakat
kota Padang masih bersifat adaptif (backward looking).
 Hasil estimasi menggunakan model proyeksi inflasi berhasil menghasilkan nilai deviasi yang
relatif kecil yaitu rata-rata sebesar 0,63. Hal ini menandakan bahwa model yang dibangun
sudah cukup baik dalam menggambarkan pergerakan inflasi yang ada.
 Hasil proyeksi menggunakan model inflasi harga komoditas menunjukkan bahwa trend laju
inflasi tahunan kota Padang sepanjang triwulan I-2009 cenderung mengalami perlambatan.
Perlambatan ini akan berlanjut hingga bulan April 2009. Meredanya tekanan inflasi lebih
disebabkan tidak adanya gejolak yang berarti pada kelompok bahan makanan sebagai
penyumbang inflasi terbesar kota Padang. Telah masuknya musim panen untuk beberapa
komoditas bahan pokok serta didukung oleh kondisi cuaca yang relatif baik turut menunjang
menurunnya tekanan inflasi pada periode ini.
3.2. Implikasi Kebijakan
 Pemanfaatan harga komoditas tampak cukup baik digunakan untuk mengamati pergerakan
inflasi di daerah. Variable komoditas yang digunakan dalam studi ini masih sangat terbatas
dikarenakan masih minimnya ketersediaan data harga komoditas dalam series yang panjang.
Data yang disediakan oleh Biro Perekonomian sebenarnya sudah sangat baik karena untuk
setiap kelompok pembentuk IHK sudah tersedia data harga komoditas yang dianggap
dominan mempengaruhi pergerakan kelompok tersebut. Jika data ini digunakan untuk
analisa, diharapkan bahwa untuk setiap kelompok pembentuk IHK akan ada satu atau lebih
komoditas yang signifikan dalam mempengaruhi pergerakan IHK kota Padang sehingga
dapat dilakukan analisa pergerakan inflasi berdasarkan kelompok barang dan jasa.
 Pergerakan/fluktuasi harga minyak tanah, daging ayam ras, beras, dan cabe merupakan
faktor penting untuk mengetahui arah pergerakan inflasi kota Padang. Pengendalian terhadap
supply/pasokan keempat komoditi dimaksud diharapkan dapat menahan laju inflasi kota
Padang.
 Untuk studi selanjutnya dan penerapannya pada pelaksanaan tugas rutin, maka akan lebih
baik jika data yang digunakan dapat berasal dari sample yang serupa dengan BPS baik dari
sisi sampling pasar yang digunakan maupun komoditas yang dipantau. Sehingga model yang
akan dibentuk dapat menjadi lebih baik lagi.
Download