BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Organisasi keagamaan adalah organisasi yang bermula dari pengalaman keagamaan yang dialami oleh pendiri organisasi itu dan para pengikutnya. Dari pengalaman demikian lahir suatu bentuk perkumpulan keagamaan yang kemudian menjadi organisasi keagamaan yang sangat terlembaga (Weber dalam O’Dea, 1996). Dengan kata lain, organisasi keagamaan adalah organisasi yang memiliki nilai dasar perjuangan berlandaskan pada dogma atau ajaran suatu agama. Dalam memperjuangkan terwujudnya tujuan organisasi, tentunya organisasi keagamaan memiliki budaya organisasi yang juga berlandaskan pada ajaran agama. Budaya organisasi merupakan sebuah identitas yang dapat membedakan organisasi satu dengan organisasi yang lain. Budaya organisasi tidak mengacu pada hal-hal seperti suku, etnis atau latar belakang seseorang namun budaya organisasi adalah cara hidup dari organisasi. Budaya organisasi bukan sekadar sebuah potongan puzzle melainkan puzzle itu sendiri (Pacanowsky dan Trijulo dalam West dan Turner, 2009: 298-299). Budaya organisasi adalah pesan yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan demi terwujudnya tujuan organsiasi. Setiap pesan yang dikirim dalam suatu organisasi mempunyai alasan tertentu mengapa dikirimkan dan diterima oleh orang tertentu. Greenbaum (dalam Goldhaber, 1986) mengatakan salah satu fungsi pesan dalam organsiasi adalah untuk mengatur dimana pesan yang berkenaan dengan kebijaksanaan dan peraturan organisasi. Pesan ini membantu organisasi untuk tetap hidup kekal. Pesan ini mencakup perintah, ketentuan, prosedur, aturan dan kontrol yang diberlakukan untuk mempermudah untuk mencapai tujuan organisasi. 1 Adanya pesan, komunikator, dan komunikan menunjukan adanya dinamika komunikasi organisasi yang terjadi dalam organisasi. Pace dan Faules (2010) mengatakan, dalam komunikasi organisasi kita berbicara tentang informasi yang berpindah secara formal dari seseorang yang otoritasnya lebih tinggi kepada orang lain yang otoritasnya lebih rendah – komunikasi ke bawah; informasi yang bergerak dari suatu jabatan yang otoritasnya lebih rendah kepada yang otoritasnya lebih tinggi- komunikasi ke atas; informasi yang bergerak di antara orang-orang dan jabatan-jabatan yang sama tingkat otoritasnya; komunikasi horisontal; atau informasi yang bergerak di antara bawahan satu dengan yang lainnya dan mereka menempati bagian dan fungsional berbeda- komunikasi lintas saluran. Selain komunikasi yang dilakukan secara formal, Pace dan Faules juga mengkatakan bahwa dalam komunikasi organisasi terdapat komunikasi informal. Faktor-faktor yang mengarahkan aliran informasi dalam organisasi lebih bersifat pribadi. Arah komunikasi kurang stabil. Informasi mengalir ke atas, ke bawah, horisontal dan melintasi saluran hanya dengan sedikit –kalau ada- perhatian pada hubunganhubungan posisional. Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM) adalah bagian dari lembaga pendidikan Muhammadiyah yang setara perguruan tinggi menerima lulusan dari Madrasah Aliyah atau SMA sederajat yang secara khusus mendidik dan mempersiapkan ulama tarjih Muhammadiyah yang memiliki kompetensi utama dalam mengembangkan keilmuan pada bidang tafaqquh fi ad-din (pendalaman ilmu agama), keulamaan, da’wah, pendidikan dan kepemimpinan Islami, yang mampu mengintegrasikan iman, ilmu dan amal. Para thalabah (mahasiswa) akan diberikan berbagai macam keahlian yang bersifat multidisipliner dan interdisipliner. Sebenarnya lembaga pendidikan ini tidak memperkenalkan dirinya sebagai pondok pesantren secara eksplisit, namun kehidupan dan aturan yang ada di dalamnya sangat tidak jauh berbeda dengan yang terdapat di pondok-pondok pesantren. Sebagai organisasi yang berlandaskan pada agama, tentunya PUTM memiliki budaya yang menjadi ciri khasnya. Budaya di PUTM yang sangat kental 2 antara lain wajib bangun setiap malam (kecuali malam Jum’at) untuk melakukan salat tahajud, setiap Senin dan Kamis wajib puasa sunah, memakai peci setiap salat, memakai baju lengan panjang ketika salat, dan beberapa nilai yang lain yang sudah menjadi kebiasaan PUTM semenjak dahulu. Kebiasaan tersebut pada hakikatnya adalah budaya yang baik, namun dalam mengkomunikasikan budayanya itu terkadang PUTM menggunakan pendekatan koersif. Thalabah mau tidak mau harus mentaati peraturan dengan apa adanya1. Hal yang tak jauh berbeda juga terjadi di Seminari Tinggi Santo Paulus adalah lembaga pendidikan calon imam berasrama. Lembaga ini menerima lulusan SMA, sarjana dan atau mereka yang sudah bekerja -lulusan dua terakhir ini sedikit sekali atau jarang-. Semua mahasiswa harus tinggal di asrama. Mereka adalah calon-calon imam atau pastor. Awalnya Seminari Tinggi Santo Paulus didirikan untuk memenuhi kebutuan imam di Indonesia, mereka berasal dari Sabang sampai Merauke. Dalam perkembangannya, banyak daerah mendirikan seminari tinggi -Malang, Bandung, regio Sumatra, Indonesia Timur, Makasar, Papua, dsb-, sehingga pada saat ini paling tidak Seminari Tinggi Santo Paulus Yogyakarta mendidik calon-calon imam untuk Kesukupan Agung Semarang, Keuskupan Purwokerto, Keuskupan Agung Jakarta, beberapa Keuskupan Surabaya dan Bandung (Kristanto, 2006). Sebagai organisasi keagamaan, Seminari Tinggi Santo Paulus sangat memegang teguh nilai-nilai spiritual yang ada pada ajaran Katolik yang kemudian menjadi landasan dalam menciptakan budaya organisasi. Karena merupakan organisasi dogmatis, para mahasiswa Seminari Tinggi Santo Paulus atau yang biasa disebut Seminaris mau tidak mau harus menerima nilai budaya organisasi yang ada. Diakui oleh Kris2, dalam menanamkan budaya organisasi, pengelola menggunakan cara paksaan kepada anak didiknya. Namun ia melakukan itu 1 Wawancara personal dengan Alma Febriana F. Thalabah PUTM. 25 April 2013. Dengan gayanya yang sedikit urakan, Alma menceritakan pengalamannya selama tiga tahun tinggal di PUTM,. Wawancara dilakukan di Warung Kopi Blandongan, Banguntapan. 2 Joseph Kristanto. Rektor Seminari Tinggi Santo Paulus. 27 April 2013. Berbalut Polo Shirt dan celana Jeans, sesekali mengecek ponsel Blackberrynya, Kris menceritakan pengalamannya selama memimpin Seminari Tinggi Santo Paulus. 3 semua bukan tanpa sebab, Kris melakukannya demi tercapainya tujuan Seminari Tinggi Santo Paulus yang salah satunya adalah tersedianya Imam Diosesan yang taat kepada keutamaan-keutamaan Krisitiani. PUTM yang merupakan lembaga pencetak kader ulama Muhammadiyah yang dikenal dengan Islam modern, sementara Seminari Tinggi Santo Paulus adalah tempat dilahirkannya para pemimpin agama Katolik yang memegang teguh nilai-nilai Kristiani, tentunya terjadi sebuah dinamika komunikasi organisasi dalam penguatan budaya organisasi demi mencapai tujuan di kedua organisasi tersebut. Berangkat dari teori dan fakta diatas, dalam penelitian ini akan mendeskripsikan dan menganalisis secara komprehensif dinamika komunikasi organisasi yang terjadi pada dua organisasi tersebut dalam penguatan budaya organiasasi. B. Rumusan Masalah Dari latar belakang permasalahan di atas, dapat dirumuskan pokok permasalahan penelitian sebagai berikut: bagaimana dinamika komunikasi organisasi dalam penguatan budaya organisasi di PUTM dan Seminari Tinggi Santo Paulus? C. Tujuan Penelitian Secara mikro penelitian ini ditujukan untuk melihat bagaimana dinamika komunikasi organisasi yang terjadi dalam penguatan budaya organisasi di PUTM dan Seminari Tinggi Santo Paulus demi mencapai tujuan organiasasi. Secara makro, penelitian ini ditujukan untuk mengetahui metode PUTM dan Seminari Santo Paulus mengelola komunikasi organisasi dalam penguatan budaya organisasi, serta tinjauan secara filosofis mengenai budaya organisasi di kedua organisasi tersebut. 4 D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara akademis maupun manfaat praktis bagi kajian ilmu komunikasi dan penelitian tentang dinamika komunikasi organisasi dalam penguatan nilai budaya organisasi. 1. Memperkaya kajian komunikasi khususnya studi tentang komunikasi organisasi dalam penguatan budaya organisasi. 2. Secara praktis penelitian ini dapat menggambarkan tentang penguatan budaya organsasi yang ditanamkan melalui komunikasi organisasi. E. Kerangka Teoritik E.1. Organisasi Keagamaan Organisasi keagamaan tumbuh berkembang secara khusus semula berasal dari pengalaman keagamaan yang dialami oleh pendiri organisasi itu dan para pangikutnya. Dari pengalaman demikian lahir suatu bentuk perkumpulan keagamaan yang kemudian menjadi organisasi keagamaan yang sangat terlembaga. Pengalaman keagamaan, sebagaimana yang diketahui merupakan suatu terobosan pengalaman sehari-hari, dengan begitu ia merupakan pengalaman kharismatik. Evolusi bentuk-bentuk stabil yang berasal dari “moment kharismatik” ini merupakan contoh penting dari apa yang dinamakan Weber sebagai “Rutinitas Kharisma” (Weber dalam O’Dea, 1996:70). Dalam masyarakat primitif, agama telah meluas secara merata keberbagai kegiatan dan hubungan sosial masyarakat. Ada dua faktor yang cenderung untuk memacukan perubahan dari situasi agama yang primitif dan kuno serta berciri kelompok baik agama maupun sosial kearah agama yang terorganisasi secara khusus. Faktor pertama adalah meningkatnya secara total “perubahan batin” atau kedalaman beragama (inner differentiation). Karena pembagian kerja dalam masyarakat kian berkembang dan kemudian melahirkan alokasi fungsi, alokasi fasilitas serta sistem imbal jasa yang semakit rumit, maka masyarakat cenderung mengembangkan suatu tingkat spesifikasi fungsi yang lebih tinggi. Kemudian 5 tampillah kelompok-kelompok dengan tujuan yang lebih jelas dan terperinci untuk melaksanakan berbagai kegiatan seperti produksi, pendidikan dan sejenisnya, yang sebelumnya ditangani oleh kelompok-kelompok yang lebih kabur, seperti keluarga. Agama yang teroganisasi secara khusus ini lahir akibat dari kecenderungan umum ke arah pengkhususan fungsional, yang kedua meningkatnya pengalaman keagamaan yang mengambil bentuk dalam berbagai corak organisasi agama baru (Wach dalam O’Dea, 1996: 90). Dengan demikian perkembangan organisasi keagamaan yang khusus menjunjukkan pengaruh umum ke proses kemasyarakatan dan perubahan kedalaman beragama. Pelembagaan agama berlangsung pada tiga tingkat yang saling mempengaruhi; yaitu antara ibadah, doktrin dan organisasi, ini sebenarnya beranjak dari kebutuhan akan stabilitas dan kesinambungan. Kharisma yang ada diubah bentuknya ke dalam kharisma instansi dan spontanitas relatif yang ada pada periode yang lebih awal digantikan dengan bentuk-bentuk yang terlembaga pada tiga tingkat. Proses penentuan selanjutnya sering bergalau dengan konflik yang tajam, keras dan berlangsung sepanjang abad. Proses mana yang ditampilkan oleh kebutuhan menjawab permasalahan yang timbul dari implikasi doktrin itu sendiri, kebutuhan untuk menafsirkan kembali implikasi ajaran-ajaran tradisional agar isinya tetap relevan dengan situasi baru, dan kebutuhan untuk mengatasi pengaruh eksentrik (O’Dea. 1996: 96). Uraian teori diatas dapat ditarik garis merah bahwa organisasi keagamaan berawal dari pengalaman kharisma sang pendiri organisasi menjadi rutinitas kharisma yang dilakukan oleh para pengikutnya, kemudian berubah menjadi kharisma instansi ketika sudah menjadi organisasi keagamaan. Dalam konteks penelitian ini, berdirinya PUTM dan Seminari Tinggi Santo Paulus berasal dari pengalaman kharisma para pendirinya kemudian menjadi rutinitas kharisma yang dilakukan olah para pengikutnya. Rutinitas kharisma inilah yang menjadi kharisma instansi PUTM dan Seminari Tinggi Santo Paulus ketika menjadi sebuah organisasi keagamaan. 6 Dalam penelitian ini, peneliti hanya melakukan observasi di PUTM Putra, karena data yang diperoleh dalam penelitian ini menyandingkan PUTM dengan Seminari Tinggi Santo Paulus yang semua mahasiswanya adalah laki-laki. Dalam kepercayaan Katolik, imam atau pemimpin agama hanya boleh dilakukan oleh seorang laki-laki. Bukan karena Gereja Katolik memandang wanita lebih rendah dari pria, namun karena sudah menjadi kodrat seorang imam adalah pria (Stefanus, 2009). Sementara itu, dalam ajaran Islam tidak ada larangan bagi perempuan untuk melakukan kegiatan keulamaan. Sebut saa, Nyai Ahmad Dahlan yang merupakan penggerak perempuan Muhammadiyah, Sholihah A. Wahid Hasyim yang merupakan teladan kaum Nahdiyin, Lutfiyah Sungkar yang merupakan mubaligah keluarga muslim dan beberapa ulama perempuan lainnya (Burhanudin, 2002). E.2. Budaya Organisasi Budaya organisasi merupakan suatu budaya yang dimiliki suatu organisasi. Namun budaya bukan sekedar kebiasaan atau perilaku yang relatif atau perilaku rata-rata (moderate behaviour) melainkan sebagai suatu karateristik yang unik dari suatu organisasi. Budaya dalam hal ini merupakan faktor yang memberikan spirit bagi organisasi dan membedakan dengan organisasi lain. Budaya organisasi merupakan metafora untuk menggambarkan norma, perasaan, dan pola-pola aktivitas suatu kelompok. Budaya organisasi merupakan iklim komunikasi yang berakar pada seperangkat norma yang sama. Budaya organisasi meliputi pemikiran kelompok, cara mengintepretasikan dan mengorganisasikan tindakan anggota organisasi (Liliweri, 2004: 326). Dalam budaya organsiasi terdapat nilai-nilai yang harus ditanamkan kepada anggota organisasi demi terwujudnya tujuan organisasi. Budaya organisasi adalah pesan yang disampaikan dari komunikator kepada komunikan. Setiap pesan yang dikirim dalam suatu organisasi mempunyai alasan tertentu mengapa dikirimkan dan diterima oleh orang tertentu. Greenbaum (dalam Goldhaber, 1986) mengatakan salah satu fungsi pesan dalam organsiasi adalah untuk mengatur 7 dimana pesan yang berkenaan dengan kebijaksanaan dan peraturan organisasi. Pesan ini membantu organisasi untuk tetap hidup kekal. Pesan ini mencakup perintah, ketentuan, prosedur, aturan dan kontrol yang diberlakukan untuk mempermudah untuk mencapai tujuan organisasi. Selain itu Greenbaum mengatakan fungsi lain dari pesan dalam komunikasi organisasi adalah untuk memberikan informasi dan instruksi. Pesanpesan ini adalah yang berkenaan dengan pelaksanaan tugas-tugas organisasi oleh anggota organisasi. Pesan ini mencakup pemberian informasi kepada anggota untuk melakukan tugas mereka secara efisien. Dengan kata lain fungsi pesan ini dapat hal yang berhubungan dengan output yang diinginkan oleh organisasi. Begitu juga di PUTM dan Seminari Tinggi Santo Paulus, budaya organisasi yang ada mempunyai tujuan mengapa pesan tersebut dikirimkan tentunya pesan budaya organisasi bertujuan untuk mengarahkan para anggotanya agar dapat mewujudkan tujuan organisasi. Budaya tersebut adalah ciri khas yang dimiliki oleh PUTM dan Seminari Tinggi Santo Paulus dan merupakan cara mengintepretasikan dan mengorganisasikan tindakan anggota organisasi. Menurut Robbins (2003) salah satu kekuatan dalam memainkan peranan yang penting dalam mempertahankan suatu budaya adalah sosialisasi. Sosialisasi adalah suatu proses yang mangadaptasikan anggota organisasi pada budaya organisasi tersebut. Sementara menurut Kreitner dan Kinicki (2003: 96) sosialisasi didefinisikan sebagai proses seseorang mempelajari nilai, norma, dan perilaku yang dituntut, yang memungkinkan ia untuk berpartisipasi sebagai anggota organisasi. Secara singkat sosialisasi organisasi mengubah orang baru menjadi orang yang berfungsi penuh dalam mempromosikan dan mendukkung nilai dan keyakinan dasar organisasi. Begitu pula dalam organisasi PUTM dan Seminari Tinggi Santo Pulus, dalam menguatkan budaya organisasi pada anggota terutama anggota baru, perlu dilakukan sosialisasi budaya organisasi demi terwujudnya tujuan organisasi, maka dari itu peneliti akan menganalisis tahap-tahap sosialisasi budaya organisasi di PUTM dan Seminari Tinggi Santo Paulus. 8 Menurut Daniel Feldman (dalam Kreitner dan Kinicki, 2003: 97-100) terdapat tiga tahap dalam sosialisasi budaya organisasi yang mengembangkan pemahaman yang lebih mengenai proses penting ini. Setiap tahap memiliki proses sosial dan persepsi hubungan dengannya. Model Feldman merinci proses prilaku dan afeksi yang timbul yang dapat digunakan untuk menilai seberapa baik individu bersosialisasi. Tahap tersebut adalah: 1. Tahap 1: Anticipatory Socializations (Sosialisasi Antisipasi). Sosialisasi organisasi dimulai sebelum individu benar-benar bergabung dengan organisasi. Informasi sosialisasi lebih dulu datang dari berbagai sumber. Semua informasi yang datang, baik formal ataupun informal, akurat ataupun tidak akurat membantu para individu mengantisipasi kenyataan organisasi. 2. Tahap 2: Encounter (Pertemuan). Tahap dua dimulai saat kontrak pekerjaan telah ditandatangani. Inilah saatnya membuat kejutan saat pendatang baru memasukki teritorial yang tidak dikenal. Para ilmuan perilaku bahwa kejutan realitas dapat terjadi selama fase pertemuan ini. Selama tahap encounter, individu ditantang untuk menyelesaikan konflik apa pun antra pekerjaan dan kepentingan di luar. 3. Tahap 3: Acquistion (Perubahan dan pemahaman yang bertambah). Penguasaan tugas-tugas penting dalam pemecahan konflik peranan menandai mulainya tahap akhir dari proses sosialisasi ini. Mereka tidak mengalami transisi ke tahap tiga secara sukarela atau tidak akan terisolasi dari jaringan sosial di dalam organisasi. Eksekutif senior sering memainkan peranan langsung dalam tahap perubahan dan pemahaman yang bertambah. Sementara hal yang hampir sama mengenai proses sosialisasi budaya organisasi juga disampaikan oleh Robbins (2003). Sosialisasi dikonsepkan sebagai seuatu proses yang terdiri dari tiga tahap, yaitu: 9 1. Tahap pertama yang disebut dengan tahap prakedatangan, merupakan waktu pembelajaran dalam proses sosialisasi yang terjadi sebelum seorang anggota baru bergabung dalam organisasi. 2. Tahap kedua adalah perjumpaan suatu proses sosialisasi. Di organisasi ini seorang anggota baru melihat seperti apa sebenarnya organisasi yang dimasukinya. Pada proses ini individu kemungkinan akan menghadapi perbedaan antara harapan dengan kenyataan. 3. Tahap ketiga yaitu metamorfosis, pada tahap ini anggota baru menyesuaikan diri pada nilai-nilai dan norma kelompok kerjanya. Ketiga proses sosialisasi seperti di atas, akan berpengaruh pada produktivitas kerja, komitmen organisasi dan tingkat keluar masuknya anggota organisasi. Robbins (2003) mengatakan suatu usaha individu dalam suatu organisasi dalam proses sosialisasi yang dilakukan secara bertahap yang dimulai dengan prakedatangan yang kemudian dilanjutkan dengan proses perjumpaan dimana setiap individu akan dihadapkan proses untuk dapat menyesuaikan diri pada nilai-nilai yang ada di organisasi. Dengan proses sosialisasi yang dilakukan oleh setiap anggota PUTM dan Seminari Tinggi Santo Paulus diharapkan setiap anggota dapat menyesuaikan diri dengan budaya organisasi yang baru sehingga setiap anggota organisasi dapat melihat dampak dari proses sosialisasi yang dilakukan apakah akan semakin meningkatkan komitmen dan produktifitas anggota organisasi atau justru akan membuat anggota organisasi keluar dari organisasi karena nilai-nilai yang tidak sesuai dengan norma kelompok atau nilainilai organisasi. E.3. Dinamika Komunikasi Organisasi Kata dinamika berasal dari kata dynamics (Yunani) yang bermakna “Kekuatan” (force). “Dynamics is facts or concepts which refer to conditions of change, expecially to forces”. Dinamika berarti tingkah laku warga yang satu secara langsung mempengaruhi warga yang lain secara timbal balik. Dinamika 10 berarti adanya interaksi dan interdependensi antara anggota kelompok yang satu dengan anggota kelompok secara keseluruhan (Santoso, 2009: 5). Sementara itu Harold D. Laswell menjelaskan komunikasi sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan: Who, Say what, In wich chanel, to whom, with what effet?? Kalimat ini kemudian dikenal dengan formula Laswell (Effendy, 1993: 256). Dari apa yang dikemukaan Laswell tadi pada intinya mencakup unsur-unsur komunikasi, yaitu adanya komunikator (yang menyampaikan pesan), pesan yang disampaikan, media yang digunakan (media, metode atau alat yang digunakan untuk menyampaikan pesan), komunikan/audience dan efek yang diharapkan. Secara sederhana dapatlah diartikan bahwa komunikasi merupakan kegiatan penyampaian pesan dengan tujuan menyamakan makna dari seseorang atau lembaga (komunikator) kepada audience (komunikan). Organisasi merupakan bagian dari masyarakat, Scein mengatakan organisasi merupakan satuan kegiatan rasional kegiatan sejumlah orang untuk mencapai beberapa tujuan umum melalui pembagian pekerjaan dan fungsi melalui hirarki otoritas dan tanggungjawab (Muhammad, 2002: 23). Setiap organisasi berada dalam keadaan fisik tertentu, teknologi, kebudayaan dan lingkungan sosial yang dimana organisasi tersebut harus menyesuaikan diri. Dari ketiga definisi diatas, dapat dielaborasikan bahwa dinamika komunikasi organisasi adalah interaksi dan interdependensi yang melibatkan dari komunikator, pesan, media, komunikan dan dampak komunikasi dalam mencapai tujuan organisasi melalui pembagian pekerjaan dan fungsi hirarki otoritas dan tanggungjawab. Dengan kata lain, dinamika komunikasi organisasi adalah sebuah interaksi yang terjadi didalam organisasi untuk mewujudkan tujuan organisasi. Begitu juga dalam penelitian ini, peneliti menemukan dinamika komunikasi organisasi yang menarik di PUTM dan Seminari Tinggi Santo Paulus dalam menguatkan budaya organisasi kepada Thalabah dan Seminaris. 11 Titik awal dalam interaksi penguatan nilai budaya organisasi adalah dari kekuatan sang komunikator. Berinteraksi dalam setiap hubungan memberikan kesempatan kepada komunikator untuk memaksimalkan fungsi berbagai macam saluran (penglihatan, pendengara, sentuhan dan pencuiman) digunakan dalam sebuah interaksi (West dan Turner, 2008:36). Dalam penelitian ini, komunikator merupakan orang yang menyampaikan pesan budaya organsiasi yaitu para pendamping yang merupakan representasi dari pengelola PUTM dan Seminari Tinggi Santo Paulus. Setelah melakukan fungsi komunikator dalam memaksimalkan fungsi di berbagai macam saluran, langkah selanjutnya adalah mengetahui arah pesan yang dituju dalam komunikasi organisasi yang terjadi di kedua organisasi. Secara umum komunikasi organisasi dapat dibedakan atas komunikasi formal dan komunikasi informal. Komunikasi formal salurannya ditentukan oleh struktur yang telah direncanakan dan tidak dapat dipungkiri oleh organisasi. Bila pesan mengalir melaui jalur resmi yang ditentukan oleh hierarki resmi organisasi atau oleh fungsi pekerjaan maka pesan itu berada dalam jalur komunikasi formal. Adapun fungsi penting sistem komunikasi formal menurut Liliweri (1997: 284) adalah sebagai berikut: 1) Komunikasi formal terbentuk sebagai fasilitas untuk mengkoordinir kegiatan pembagian kerja dalam organisasi. 2) Hubungan formal secara langsung hanya meliputi hubungan antara atasan dengan bawahan. Komunikasi langsung seperti ini memungkinkan dua pihak untuk berpartisipasi umpan balik secara cepat. 3) Komunikasi formal memungkinkan anggota dapat mengurangi atau menekankan waktu yang akan terbuang, atau kejenuhan produksi, mengeliminir ketidak pastian operasi pekerjaan, termasuk tumpang tindih tugas dan fungsi, serta pembaharuan menyeluruh yang berdampak pada efektivitas dan efisiensi. 12 4) Komunikasi formal menekankan terutama pada dukungan yang penuh dan kuat dari kekuasaan maelalui struktur dan hierarkis. Bertinghaus (1968) menyebutkan paling tidak ada tiga bentuk komunikasi formal, yaitu berdasarkan: (1) arah yang dituju: vertikal, horisontal/lateral (2) sifat, tipe jaringan komunikasi disesuaikan dengan tugas, misalnya pelaporan, perintah, pengarah atau perlindungan dan kepenasihatan dan (3) keformalan (sisi formal), sejauh mana alur komunikasi dibatasi oleh kewenangan. Dalam penelitian ini, peneliti akan melihat komunikasi dari arah yang dituju, yaitu pesan dalam komunikasi formal vertikal baik atas ke bawah, dari bawah ke atas dan juga komunikasi formal secara horisontal atau tingkat yang sama. Bentuk jaringan komunikasi vertikal terdiri atas vertikal dari atas dan dari bawah. Dalam komunikasi vertikal, pesan bergerak sepanjang saluran vertikal melalui dua arah, dari atas dan dari bawah. Komunikasi ke bawah (top down) dalam sebuah organisasi berarti bahwa informasi mengalir dari jabatan berorientasi lebih tinggi kepada mereka yang berotoritas lebih rendah. Biasanya, kita beranggapan bahwa informasi bergerak dari manajemen kepada para pegawai yang dalam penelitian ini adalah para pemimpin organisasi kepada anggota organisasi, namum dalam organisasi kebanyakan, hubungan ada pada kelompok manajemen (Davis dalam Pace, 1988: 184). Kebanyakan komunkasi ke bawah digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan yang berkenaan dengan tugas-tugas dan pemeliharaan. Pesan tersebut biasanya berhubungan dengan pengarahan, tujuan, disiplin, perintah, pertanyaan dan kebijaksanaan umum. Menurut Lewis (dalam Muhammad 2007: 108), komunikasi ke bawah adalah untuk menyampaikan tujuan, untuk merubah sikap, membentuk pendapat, mengurangi ketakutan dan kecurigaan yang timbul karena salah informasi, mencegah kesalahpahaman karena kurang informasi dan mempersiapkan anggota organisasi untuk menyesuaikan diri dengan perubahan. Sementara itu komunikasi dari bawah ke atas (bottom up) adalah pesan yang mengalir daru bawahan kepada atasan atau dengan kata lain komunikasi 13 yang terjadi dari tingkat yang lebih rendah kepada tingkat yang lebih tinggi. Tujuan komunikasi ini adalah untuk memberikan balikan, memberikan saran dan mengajukan pertanyaan. Komunikasi ini mempunyai efek pada penyempurnaan moral dan sikap bawahan, tipe pesan adalah integrasi dan pembauran (Muhammad, 2007: 116-117). Pendapat lain mengatakan, komunikasi ke atas berfungsi sebagai balikan bagi pemimpin memberikan petunjuk tentang keberhasilan suatu pesan yang disampaikan kepada bahawan dan dapat memberikan stimulus kepada anggotanya untuk berpartisipasi dalam merumuskan kebijakan bagi organisasinya (Goldhaber, 1986). Namun komunikasi ke atas memiliki kendala yang salah satunya yaitu perasaan para bawahan bahwa sang pemimpin tidak dapat menerima dan merespons terhadap apa yang dikatakan oleh bawahan (Sharma, 1979). Betuk komunikasi formal yang selanjutnya adalah komunikasi horizontal adalah pertukaran pesan di antara orang-orang yang sama tingkat otoritasnya di dalam organisasi (Muhammad, 2007). Pace dan Faules (2010: 95) mengatakan bahwa fungsi dari komunikasi horisontal adalah untuk saling memberikan informasi dalam perencanaan dan berbagai aktifitas. Ide dari banyak orang biasanya akan lebih baik dari pada ide satu orang. Oleh karena itu komunikasi horisontal sangat diperlukan untuk mecari ide yang lebih baik. Selain untuk saling memberikan informasi, komunikasi horisontal juga berfungsi untuk mengembangkan dukungan interpersonal. Karena sebagaian besar waktu dari anggota organisasi berinteraksi dengan teman sesamanya, maka mereka memperoleh dukungan interpersonal dari temannya. Hal ini memperkuat hubungan di antara sesama anggota dan akan membantu kekompakan dalam kerja kelompok sehingga dapat membantu pengelola dalam mewujudkan tujuan organisasi. Interaksi interpersonal ini akan mengembangakan rasa sosial dan emosional sesama anggota (Pace dan Faules, 2010: 95). Sedangkan komunikasi informal tidaklah direncanakan dan biasanya tidaklah mengikuti struktur formal organisasi, tetapi timbul dari interaksi sosial 14 yang wajar di antara anggota organisasi (everyday talk). Seperti yang disampaikan oleh Pace dan Faules (2010:199) komunikasi informal terjadi ketika anggota organisasi berinteraksi dengan yang lainnya tanpa memperhatikan posisi mereka dalam organisasi dan pengarahan arus informasi bersifat pribadi. Hubungan paling intim yang individu miliki dengan anggota yang lain dalam tingkat pribadi, antara teman dan juga dengan hirarki yang ada di atasnya. Jaringan komunikasi lebih dikenal sebagai desas-desus (grapvine) atau kabar angin. Informasi yang mengalir dalam jaringan grapvine ini, kelihatannya berubah-ubah dan tersembunyi. Dalam istilah komunikasi, grapvine dikatakan sebagai metode untuk menyampaikan rahasia dari orang ke orang yang tidak dapat diperoleh melalui jaringan-jaringan komunikasi formal. Komunikasi informal cenderung berisi laporan rahasia mengenai kejadian-kejadian yang tidak mengalir resmi. Informasi yang diperoleh dari desas-desus adalah yang berkenaan dengan apa yang didengar atau apa yang dikatakan orang dan bukan apa yang diumumkan oleh yang berkuasa. Walaupun grapvine itu membawa informasi yang informal tetapi ada manfaatnya bagi organisasi. Grapvine memberikan balikan kepada pimpinan mengenai sentimen bawahan. Dengan adanya jaringan komunikasi informal bawahan dapat menyalurkan ekspresi emosional dari pesan-pesan yang dapat mempercepat permusuhan dan rasa marah bila ditekan, grapvine dapat membantu menerjemahkan pengarahan pimpinan ke dalam bahasa yang lebih mudah dipahami oleh anggota organisasi (Muhammad, 2007). Sementara itu efek dari grapvine yang negatif dapat dikontrol oleh pimpinan dengan menjaga jaringan komunikasi formal yang bersifat terbuka, jujur, teliti dan sensitif terhadap komunikasi ke atas, ke bawah dan mendatar. Hubungan yang efektif antara atasan dan bawahan kelihatannya sangat krusial untuk mengontrol informasi informal. Supervisor dan manajer hendaklah membiarkan bawahan mengetahui bahwan mereka menerima dan memahami informasi grapvine, khususnya yang berkenaan dengan pernyataan perasaan karyawan walaupun informasi itu tidak lengkap dan tidak benar. 15 Begitu juga dalam penelitian ini, akan mengupas tentang pola komunikasi baik formal maupun informal dalam menguatkan budaya organisasi kepada para anggota organisasi di PUTM dan Seminari Tinggi Santo Paulus. Komunikasi organisasi secara formal meliputi tentang bagaimana komunikasi dari atas ke bawah, bawah ke atas dan horisontal di kedua organisasi ini. Selain komunikasi formal, dalam penelitian ini juga menghadirkan temuan komunikasi informal yang merupakan desas-desus atau grapvine yang ada di PUTM dan Seminari Tinggi Santo Paulus. Salah satu komunikasi organisasi yang paling nyata adalah konsep hubungan. Goldhaber mendefinisikan organisasi “sebuah hubungan yang saling bergantung (Pace dan Faules 2010:202). Bila satu dengan yang lain saling bergantung, ini berarti satu dengan yang lain saling mempengaruhi. Pola dan sifat dalam suatu organsiasi dapat ditentuka oleh stuktur atau hubungan posisional dan hubungan antar personal dimana individu-individu dalam organisasi bertindak di luar struktur peran sehingga menciptakan jariangn komunikasi informal. Keintiman hubungan yang kita miliki dengan orang lain dalam tingkat pribadi, antara teman, rekan sebaya biasanya disebut sebagai hubungan antar persona. Teman dekat cenderung memperhatikan dari pada yang lainya. “Dengan mereka kita mendapatkan hubungan antar persona yang saling memuaskan. Dengan mereka kita beresonansi, bergetar, dan sesuai, membuktikan bahwa mereka memperhatikan kita” (Pace dan Faules, 2010:202). Analisis khusus tentang efektifitas hubungan antar persona (Pace dan Boren, 1973) : 1) Menjaga kontak pribadi yang akrab, tanpa menimbulkan peransaan permusuhan. 2) Menetapkan dan menegaskan identitasantara individu dengan yang lain tanpa membesar-besarkan ketidaksepakatan. 16 3) Menyampaikan pesan kepada individu lain tanpa menimbulkan kebingungan, kesalahpahaman, penyimpangan atau perubahan lainnya yang disengaja. 4) Terlibat dalam pemecahan masalah yang lain dengan terbuka tanpa bersikap bertahan atau menghentikan proses. 5) Membantu untuk mengembangkan hubungan persona dan antara persona yang efektif. 6) Ikut serta dalam interaksi sosial informal tanpa terlibat dalam muslihat atau gurauan atau hal-hal lainnya yang mengganggu komunikasi yang menyenangkan. Tidak kita bisa lupa dalam proses komunikasi termasuk komunikasi organisasi adalah bagaimana caranya agar suatu pesan yang disampaikan komunikator itu menimbulkan dampak atau efek tertentu pada komunikan. Dampak yang ditumbulkan dapat diklasifikasikan menurut kadarnya sebagai berikut (Effendy, 2008: 7) 1) Dampak kognitif adalah timbul pada komunikan yang menyebabkan dia menjadi tahu atau meningkat intelektualitasnya. Di sini pesan yang disampaikan komunikator ditujukan kepada pemikiran si koumunikan. Dengan kata lain, tujuan komunikator hanyalah berkisar pada upaya mengubah pikiran diri komunikan. 2) Dampak afektif lebih tinggi kadarnya daripada dampak kognitif. Di sini tujuan komunikator bukan hanya sekedar supaya komunikan tahu, tetapi tergerak hatinya; menimbulkan perasaan tertentu, misalnya perasaan iba, terharu, sedih, gembira, marah dan sebagainya. 3) Yang paling tinggi kadarnya adalah dampak behavioural, yakni dampak yang timbul pada komunikan dalam bentuk perilaku, tindakan, atau kegiatan. 17 Fungsi teori dampak komunikasi dalam penelitian ini sebagai landasan peneliti dalam memberikan saran kepada pengelola PUTM dan Seminari Tinggi Santo Paulus dalam memetakan dampak dari berbagai macam pola komunikasi organisasi yang dilakukan dalam penguatan organisasi kepada para anggota. E.4. Kerangka Konsep Seperti yang telah dijabarkan dalam kerangka teori di atas, PUTM dan Seminari Tinggi Santo Paulus merupakan organisasi keagamaan dibidang pendidikan yang memiliki budaya organisasi masing-masing yang akan ditanamkan dan dikuatkan kepada thalabah dan seminaris. Untuk melihat logika komunikasi organisasi, serta menjawab dari rumusan masalah yang diajukan – yaitu bagaimana dinamika komunikasi organisasi yang terjadi di kedua organisasi tersebut- peneliti akan menggunakan kerangka konsep piramida terbalik dengan sejumlah variabel sebagai parameter, yang diantaranya adalah: 1. Variabel PUTM dan Seminari Tinggi Santo Paulus sebagai organsiasi keagamaan. Melalui variabel ini peneliti mengetahui sebab musabab PUTM dan Seminari Tinggi Santo Paulus sebagai organisasi keagamaan. 2. Variabel budaya organisasi. Melalui variabel ini peneliti mengetahui budaya organisasi yang ditanamkan di kedua organisasi. 3. Variabel dinamika komunikasi organisasi. Variabel ini dapat mengungkap bagaimana dinamika komunikasi organisasi yang terjadi selama proses pendalaman nilai budaya organisasi. Selain, itu variabel ini juga dapat mengungkap permasalahan komunikasi organisasi yang terjadi selama proses penguatan budaya organisasi. F. Metode Penelitian F.1 Desain penelitian Penelitian ini merupakan penelitian diskripstif kualitatif. Peneliti ingin menggambarkan secara alami tentang keadaan dengan tidak menggunakan hipotesis. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang dinamika 18 komunikasi dalam penguatan nilai budaya organisasi keagamaan di PUTM dan Seminari Tinggi Santo Paulus secara deskriptif. Melalui metode diskriptif akan mampu memaparkan fenomena secara rinci serta menghadirkan analisis yang lebih mendalam yang tidak mampu diungkapkan dengan metode kuantitatif. Penelitian ini menggunakan studi kasus karena mengangkat masalah empiris mengenai suatu kasus. Hal ini dimaksudkan agar lebih terfokus kepada objek kajian serta mampu menjelaskan objek-objek di sekitar kajian. Studi kasus merupakan suatu pendekatan untuk mempelajari, menerangkan atau mengintepretasi suatu “kasus” dalam konteksnya yang alamiah tanpa ada intervensi dari pihak luar ( Baedowi dalam agus Salim, 2006: 118) ). Studi kasus ini dapat dilakukan ketika peneliti ingin memahami atau menjelaskan suatu fenomena tertentu (Wimmer dan Dominick, 2006: 136). Studi kasus adalah pendekatan yang bisa secara detail memberikan gambaran mengenai latar belakang sifat dan suatu peristiwa. Dalam penelitian ini, bentuk pertanyaan utama yang diajukan adalah “bagaimana”, yang sangat cocok dengan pendekatan studi kasus. Wimmer dan Dominick (2006: 138) menjelaskan: the case study is most appropriate for quoestions that begin with “how” or “why”. Yin (2004: 13) menjelaskan bahwa pertanyaan “bagaimana” akan diarahkan pada serangkaian peristiwa kontemporer di mana hanya memiliki sedikit peluang untuk melakukan kontrol terhadap peristiwa tersebut. Studi kasus sangat tepat karena peneliti tidak dapat melakukan intervensi atau kontrol terhadap dinamika komunikasi organisasi dalam penguatan budaya organisasi di PUTM dan Seminari Tinggi Santo Paulus. Peneliti hanya dapat melakukan pengamatan dengan seksama secara utuh dan menyeluruh mengenai segala unsur dan faktor yang menjadi bagian dari dinamika komunikasi organisasi dalam penguatan budaya organisasi di kedua organisasi tersebut secara deskriptif ekplanatoris. 19 F.2. Lokasi penelitian Penelitian ini akan dilakukan di PUTM Putra yang tepatnya di Desa Ngipiksari Kecamatan Pakem Kabupaten Sleman Yogyakarta dan Seminari Tinggi Santo Paulus yang berlokasi di Jalan Kaliurang KM 7 Kentungan Sleman Yogyakarta. F.3 Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan tiga cara sesuai dengan jangkauan penelitian yang hendak dicapai dan relevansinya dengan rumusan masalah. Tiga cara yang dilakukan untuk mengumpulkan data guna kepentingan penelitian ini yaitu wawancara, observasi partisipasi dan penelusuran dokumen. Sementara itu untuk kriteria informan, peneliti memilih beberapa informan yang sesuai dengan kebutuhan penelitian ini. Infoman yang pertama adalah informan faham tentang desain dari budaya organisasi. Informan yang kedua adalah informan yang menyampaikan pesan budaya organisasi, dari informan ini dapat diketahui bagaimana cara kedua organisasi tersebut menguatkan budaya organisasi. Informan ketiga adalah informan yang menerima pesan budaya organisasi, dari informan ini dapat peneliti dapat menggali lebih dalam tentang bagaimana pesan diterima, difahami dan dijalankan. Penelitian dimulai dengan observasi awal pada bulan Februari 2013 di Seminari Tinggi Santo Paulus dengan mengikuti Perayaan Ekaristi Tahbisan Diakon. Peneliti mengikuti juga jamuan makan yang disediakan oleh Seminari Tinggi Santo Paulus. Peneliti sempat melakukan sounding kepada Rektor Seminari Tinggi Santo Paulus Romo Joseph Kristanto bahwa akan melaksanakan kegiatan penelitian di Seminari Tinggi Santo Paulus. Wawancara mendalam dilakukan oleh peneliti dengan key informan Rektor Seminari Tinggi Santo Paulus Romo Joseph Kristanto yang mendesain dan mengetahui mendalam tentang budaya organisasi yang ada di Seminari Tinggi Santo Paulus. 20 Wawancara penelitian selanjutnya di Seminari Tinggi Santo Paulus dilakukan dengan pendamping yang diberi kepercayaan untuk menguatkan budaya organisasi. Namun informan dengan kriteria ini susah ditemui karena alasan kesibukan dan padatnya kegiatan. Peneliti pun mengalihkan pada informan lain yang mempunyai kriteria yang hampir sama. Akhirnya peneliti menemui Boni Nugroho yang merupakan seminaris angkatan paling senior yang juga diberi tugas untuk mendapingi adik kelasnya dalam menguatkan budaya organisanisi. Informan yang ketiga di Seminari Tinggi Santo Paulus adalah Wegig Hari Nugroho yang merupakan Seminaris tingkat lima yang baru saja menyelesaikan masa pengabdian selama satu tahun di paroki atau yang disebuat sebagai toper. Alasan peneliti memilih informan ini karena Wegig adalah termasuk seminaris yang telah mengalami banyak pengalaman dalam menerima pesan budaya organisasi dan mengetahui bagaimana dinamika komunikasi organisasi. Peneliti mengalami kendala dalam obeservasi sebagai partisipan. Karena di Seminari Tinggi Santo Paulus para informan penelitian cukup berhati-hati dalam memberikan informasi yang peneliti ingin dalami. Peneliti hanya bisa melakukan wawancara informal walau masih terkesan kaku. Hal ini disebabkan karena peneliti dianggap orang asing dilingkungan tersebut. Selain itu kendala yang peneliti alami adalah padatnya jadwal para seminaris dan Romo dalam melaksanakan kegiatan Pastoral didalam atau di luar asrama, susahnya akses komunikasi kepada seminaris untuk melakukan janjian wawancara juga menjadi kendala dalam penelitian ini. Peneliti menggunakan sosial media facebook untuk membuat janji wawancara dengan seminaris, itupun harus menunggu balasan yang cukup lama karena penggunaan fasilitas internet di Seminari Tinggi Santo Paulus juga dibatasi. Selain menggunakan wawancara dan observasi partisipasi, peneliti juga menggunakan penelusuran dokumen sebagai pendukung data yang didapat dari wawancara dan observasi. Peneliti mendapat Buku Pedoman Calon Imam Diosesan langsung dari Romo Kris yang merupakan rektor Seminari Tinggi Santo 21 Paulus. Buku ini merupakan pernyataan resmi dari pengelola seminari tentang sejarah, visi, misi, tujuan dan cara hidup komunitas di Seminari Tinggi Santo Paulus. Sementara itu di Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah, penelitian diawali dengan observasi partisipasi pada Februari 2013. Wawancara mendalam dilakukan peneliti dengan Key Informan Ahmad Muhajir selaku wakil mudir (wakil direktur) PUTM yang ikut mendesain dan mengetahui mendalam tentang budaya organisasi. Wawancara penelitian selanjutnya di PUTM dilakukan dengan pendamping yang diberi kepercayaan untuk menguatkan budaya organisasi. Peneliti melakukan wawancara dengan Hudzaifaturahman sebagai musyrif PUTM, Rohmasyah dan Endi yang merupakan staf Tata Usaha PUTM dan juga membantu musyrif menjalankan tugas untuk menguatkan nilai budaya organisanisi kepada para thalabah. Informan yang ketiga di PUTM adalah para thalabah dari berbagai angkatan yang ada. Peneliti melakukan wawancara lebih mendalam dengan thalabah yang berada pada tingkat akhir yaitu Niki Alma Febriana dan Ahmad Syarif karena telah mengalami banyak pengalaman dalam menerima pesan budaya organisasi dan mengetahui bagaimana dinamika komunikasi organisasi. Observasi dan wawancara berlangsung pada berbagai kegiatan seperti ketika thalabah sedang melakukan aktifitas perkuliahan dan berdiskusi. Peneliti juga beberapa kali mengajak para thalabah mimun kopi bersama di luar asrama. Dengan kondisi seperti ini peneliti bisa mendapatkan informasi yang lebih alami. Dalam penelitian ini, peneliti melakukan pengamatan terkait dengan bagaimana pengelola PUTM dalam menguatankan nilai budaya organisasi dengan komunikasi. Selain menggunakan wawancara dan observasi partisipasi, peneliti juga menggunakan penelusuran dokumen sebagai data pendukung. Di PUTM peneliti menggunakan buku panduan yang dikeluarkan oleh pengelola. Dalam buku 22 panduan tersebut terdapat sejarah, visi, misi dan berbagai pernyataan resmi dari pengelola. F.4. Teknik Analisis Data Setelah mengumpulkan data, langkah selanjutnya yang peneliti tempuh adalah menganalisis data. Data ini akan dianalisis secara kualitatif dengan memilah data secara cermat dari berbagai informasi yang didapatkan. Sehingga hasilnya dapat memberikan pemahaman secara mendalam terhadap konsep yang diteliti serta menjawab rumusan masalah penelitian. Wawancara yang digunakan adalah wawancara tidak terstruktur yang memungkinkan peneliti untuk mengembangkan pertanyaan. Hal ini dilakukan agar data yang didapatkan lebih bervariasi tetapi tetap dalam koridor dinamika komunikasi organisasi dalam penguatan budaya organisasi di PUTM dan Seminari Tinggi Santo Paulus. Langkah-langkah analisis data yang digunakan adalah dengan terlebih dahulu mengolah data primer yang didapat melalui wawancara dan observasi langsung. Data diolah dengan cara mengklasifikasikan data-data tersebut untuk disederhanakan menjadi bagian-bagian kecil yang akan dihimpun atau disusun menjadi sebuah teks naratif untuk kemudian diambil kesimpulan dari data tersebut. Pengklasifikasian data sesuai dengan kebutuhan peneliti. Setelah data primer diolah, kemudian disingkronkan dengan data sekunder yang didapat dari penelusuran dokumen. Dengan melakukan singkronisasi data primer dan sekunder, diharapkan akan memperoleh informasi dan gambaran yang jelas mengenai masalah yang diteliti. Selanjutnya data tersebut disajikan dan dianalisis sesuai dengan kerangka konsep yang ada. F.5. Limitasi Penelitian Berdasarkan identifikasi masalah di atas, limitasi atau pembatasan penelitian masalah pada penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dinamika komunikasi organisasi yang terjadi di PUTM dan Seminari Tinggi Santo Paulus dalam penguatan nilai budaya organisasi demi tercapainya tujuan organisasi. 23