1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pluralisme budaya

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pluralisme budaya masyarakat dunia terusik ketika semangat propaganda
dan militansi terhadap paham radikal agama memusnahkan banyak situs dan
artefak bersejarah yang menjadi saksi dari kayanya sejarah peradaban Dunia. Pada
tanggal 26 Februari 2001, Mullah Mohammed Omar, pimpinan Taliban yang
merupakan Rezim berkuasa di Afganistan pada waktu itu memutuskan untuk
menghancurkan semua patung di Afganistan karena telah atau dapat menjadi
berhala.1 Puncaknya, dua patung Buddha terbesar di dunia yang dipahat di atas
dinding berbatu di Lembah Bamiyan berukuran 55 dan 37 meter, secara membabi
buta dibombardir dan dihancurkan setelah satu bulan lamanya upaya tersebut
dilakukan oleh Taliban yang dimulai pada tanggal 1 Maret 2001. Patung itu
merupakan peninggalan Agama Buddha yang pernah berkembang di Afganisthan
dari era kerajaan Gandhara pada abad ke-tiga dan ke-lima yang terletak sekitar 90
mil sebelah barat kota Kabul.2
Penghancuran terhadap patung Buddha Bamiyan Afganistan tersebut
membangkitkan kesadaran masyarakat dunia akan keberlangsungan objek benda
1
Francesco Fianconi dan Federico Lenzerini, 2003, "The Destruction of the Buddhas of
Bamiyan and International Law" dalam European Journal of International Law, Oxford
University Press, London, h. 626.
2
Artikel Berita berjudul "Giant Afghan Buddhas destroyed, Taleban says" diposting pada
tanggal
11
Maret
2001,
diakses
dalam
laman
web:
http://www.edition.cnn.com/2001/WORLD/asiapcf/central/03/11/afghanistan.buddhas.03/index.ht
ml pada tanggal 14 Oktober 2015 Pukul 22.45 WITA.
1
2
budaya dunia yang juga bisa terancam oleh rezim atau penguasa yang sewenangwenang. Kasus ini menyita perhatian masyarakat dunia dan mencetuskan adanya
istilah “crimes against cultural heritage of mankind” (kejahatan terhadap
kekayaan budaya umat manusia), seperti yang diungkapkan oleh Koichiro
Matsura, Direktur Jenderal UNESCO yang ketika itu menyatakan: “one of the
things we should look into in the future is how to set up a new legal framework
with credible punishment for crimes against culture”. 3
Penghancuran dengan kekerasan terhadap patung Buddha Bamiyan oleh
pasukan militer dan pemerintah Taliban Afghanistan bisa dilihat sebagai contoh
nyata dalam sejarah dari keterpurukan pelestarian benda budaya.4 Berbeda halnya
dengan kerusakan perang konvensional terhadap warisan budaya yang
mempengaruhi properti musuh, penghancuran patung Buddha Bamiyan
menyangkut warisan budaya bangsa Afghanistan. Patung-patung itu berada di
wilayahnya dan menjadi milik masa lalu peradaban pra-Islam kuno masyarakat
Afghanistan.5
Hampir sama dengan apa yang dilakukan oleh Taliban di tahun 2001,
dunia juga dikejutkan dengan tindakan vandalisme brutal yang dilakukan oleh
Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Sejak pertengahan tahun 2014 hingga
Maret 2015 lalu ISIS melakukan tindakan penghancuran terhadap tempat-tempat
3
Artikel Berita berjudul "UNESCO Demands New Laws After Taliban Destruction", yang
ditulis oleh Bureau, diposting pada tanggal 14 Maret 2001, dalam laman web:
http://zeenews.india.com/news/south/asia/unesco-demands-new-laws-after-taliban-destruction_98
30.html, diakses pada tanggal 14 Oktober 2015 Pukul 00.14 WITA
4
Francesco Fianconi dan Federico Lenzerini, Loc.Cit
5
Ibid,h.620
3
bersejarah serta benda-benda arkeologis lainnya di Irak dan Suriah. Pada tanggal 6
Maret 2015 ISIS telah menghancurkan situs arkeologi kuno Nimrud di kota Mosul
yang merupakan kota kedua terbesar di Irak. ISIS juga meratakan beberapa situs
yang terletak di sebelah utara Irak tersebut. Pada tanggal 23 Juni 2014 Kelompok
militan ISIS menghancurkan museum arkeologi di Kota Mosul yang menyimpan
koleksi benda-benda bersejarah berusia 2.000 tahun.6
ISIS juga menghancurkan bangunan-bangunan bersejarah yang menjadi
saksi kejayaan perkembangan Islam di Suriah. Pada tanggal 19 Agustus 2014 ISIS
menghancurkan Kompleks Masjid Jirjis yang dibangun di atas pemakaman
Quraisy di Mosul pada akhir abad ke-14, termasuk biara kecil yang didedikasikan
untuk Nabi Jerjis, atau disebut juga Nabi George.7 Tidak hanya itu, mereka juga
menghancurkan Makam Nabi Yunus dan Masjid Nabi Daniel dari abad ke-11 di
Kota Mosul pada tanggal 24 Juli 2014. ISIS menganggap bahwa selama ini ritual
dan doa yang dilakukan di sekitar makam sebagai perbuatan dosa sehingga
mereka merusak tempat itu. ISIS juga telah merusak sebuah Masjid Al-Askari
yang terletak di Kota Samara, Irak pada tanggal 30 Juni 2014.8
Irina Bokova, Direktur Jenderal UNESCO telah mengeluarkan pernyataan
mengecam aksi brutal ISIS yang sengaja menghancurkan kota kuno Nimrud
seraya menyatakan bahwa tindakan tersebut merupakan kejahatan perang.
UNESCO kemudian membicarakan hal tersebut dengan Ketua Dewan Keamanan
6
Akses Internet dalam artikel berita berjudul “UNESCO Kecam Penghancuran Kota Kuno
di Irak oleh ISIS” dalam website : http://www.satuharapan.com/, diakses pada tanggal 07 April
2015.
7
Akses Internet dalam artikel berita berjudul “Situs-situs Bersejarah yang Dihancurkan
oleh ISIS” dalam website : http://news.okezone.com/read/2015/03/13/18/1118392/situs-situsbersejarah-yang-dihancurkan-isis, diakses pada tanggal 07 April 2015, Pukul 16.45 WITA.
8
Ibid
4
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Mahkamah Kriminal Internasional
(International Criminal Court/ICC).9 Tindakan-tindakan tersebut di atas dapat
dikategorikan sebagai iconoclast yang mengancam pluralitas masyarakat serta
hilangnya identitas budaya dan sejarah masyarakat.
Tindakan iconoclast dapat termanifestasi dalam berbagai bentuk agresi
terhadap gambar, patung, ataupun benda budaya lainnya yang merefleksikan ikon
atau simbol tertentu. Di dalamnya terdapat tindakan vandalisme (termasuk
tindakan agresi perang, kekerasan patologis atau psikologis, dan perusakan atau
mutilasi benda budaya karena alasan prinsip politik atau agama); tetapi dalam
prakteknya, motif dilakukannya perbuatan ini jauh lebih jelas dan lebih sulit
terurai. Dalam beberapa kasus terjadi akumulasi antara banyak tindakan tersebut
yang dilakukan secara spontan dalam bentuk kekerasan individu dan atau secara
bersama-sama dengan terorganisir di antara kelompok yang bermusuhan.10 Dalam
motif umum atau teologis yang dikemukakan untuk menentukan alasan
dilakukannya kejahatan iconoclastic, motif psikologis individu mungkin muncul
untuk menerima semacam legitimasi dalam domain sosial, hukum, teologi atau
filsafat merujuk pada tindakan kekerasan fisik terhadap gambar/ikon, baik yang
bersifat dua atau tiga dimensi, dan kadang-kadang juga mengincar bangunanbangunan.11
Di Indonesia, tindakan iconoclast terhadap benda budaya bersejarah
pernah menimpa peninggalan Candi Borobudur dari zaman Dinasti Syailendra
yang
terletak
9
di
Borobudur,
Magelang,
Jawa
Tengah pada
tanggal 21
Ibid
David Freedberg, 1985, Iconoclasts and Their Motives, Masrssen, Schwartz, h.10
11
Ibid
10
5
Januari 1985.12 Beberapa ledakan yang cukup dahsyat menghancurkan tujuh stupa
pada candi (tujuh stupa yang rusak terkena ledakan terletak di sisi timur, tiga
stupa di lantai 8, dua stupa di lantai 9, dan empat stupa di lantai 10). Otak
peristiwa pemboman ini diketahui sebagai "Ibrahim" alias Mohammad Jawad
alias "Kresna" yang oleh kepolisian penyidik peristiwa pemboman ini disebut
sebagai dalang pengeboman.13 Walaupun begitu, sosok Mohammad Jawad, otak
peristiwa peledakan Candi Borobudur ini masih belum ditemukan dan belum
berhasil diringkus oleh kepolisian Indonesia hingga saat ini. Setelah penyelidikan,
Polisi Indonesia menangkap dua bersaudara Abdulkadir bin Ali Alhabsyi dan
Husein bin Ali Alhabsyi yang dituding sebagai pelaku peledakan Candi
Borobudur ini. 14
Dalam contoh kasus kejadian iconoclast yang dilakukan oleh Taliban dan
ISIS, tindakan iconoclast dilakukan secara sewenang-wenang oleh kelompok
militan atau rezim otoriter yang berkuasa secara terorganisir. Tujuan
penghancuran itu tidak terkait dengan cara apapun untuk tujuan militer, tetapi
terinspirasi oleh kehendak belaka untuk memberantas setiap manifestasi budaya
kreatif dengan didasari oleh paham radikal bahwa kepercayaan suatu komunitas
masyarakat yang berkembang pada zaman dahulu maupun yang masih
berkembang pada zaman kini bertentangan dengan pemahaman religius, sosial,
dan budaya yang mereka yakini.15
12
Akses Internet dalam artikel berjudul “Pengeboman Borobudur, Ikhwanul Muslimin dan
PKS" dalam website : http://www.muslimedianews.com/2014/11/pengeboman-borobudurikhwanul-muslimin.html, diakses pada tanggal 07 April 2015.
13
Ibid
14
Ibid
15
Francesco Fianconi dan Federico Lenzerini, Op.Cit, h.620
6
Upaya tersebut dilakukan sebagai sebuah aksi kekerasan dan teror untuk
menciptakan masyarakat yang monoculture (penyeragaman budaya), serta
pengekangan hak-hak asasi manusia salah satunya hak-hak sosial budaya
masyarakat dengan tindakan-tindakan intoleran. Pendapat Meskel seperti yang
dikutip oleh Silverman dan Ruggles, dengan tegas menyatakan bahwa, hilangnya
kebudayaan dapat secara mudah diklasifikasikan sebagai kejahatan yang
berdampak pada banyak generasi, menghapus ingatan budaya, dan menghilangkan
jejak dengan kehidupan masyarakat di masa lalu yang terjalin dalam membentuk
dan menjaga identitas kekinian masyarakat dunia. Tindakan ini dapat merujuk
pada genosida, sejak tindakan yang dilakukan itu tidak dalam batas kewajaran.16
Piagam Venice 1964 dalam pembukaannya, menyebutkan properti budaya
milik masyarakat merupakan harta budaya umat manusia, karena setiap
masyarakat memberi kontribusi pada kebudayaan di seluruh dunia.17 Monumen
bersejarah dari beberapa generasi masyarakat mengingatkan pada kehidupan masa
kini sebagai saksi hidup dari tradisi kuno mereka. Orang-orang menjadi lebih
sadar akan kesatuan nilai-nilai kemanusiaan dan menganggap monumen kuno
sebagai warisan bersama. Hal ini merupakan tanggung jawab masyarakat untuk
melindungi mereka bagi generasi masa depan. Ini adalah tugas kita secara penuh
untuk menjaga mereka dalam bentuk keasliannya.18
Padahal kebebasan dalam mengekspresikan dan mengembangkan nilainilai sosial budaya telah dijamin melalui ketentuan yang fundamental di dalam
16
Helaine Silverman dan D. Fairchild Ruggles, 2007, Cultural Heritage and Human
Rights, Spinger, New York, h.5
17
The Venice Charter: International Charter for the Conservation and Restoration of
Monuments and Sites. ICOMOS and UNESCO, May 1964, Preamble.
18
Ibid
7
sejumlah instrumen internasional seperti Universal Declaration of Human Rights
(UDHR),19 International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights
(ICESCR), serta Universal Declaration on Cultural Diversity (UDCD)20 yang
dikeluarkan oleh PBB melalui UNESCO. Setiap masyarakat dan individu
memiliki hak-hak sosial dan budaya untuk hidup dalam keberagaman.
Menurut Jean-Marie Henckaerts, terdapat dua aliran Hukum Humaniter
Internasional/ International Humanitarian Law (HHI) menyangkut perlindungan
benda budaya. Aliran yang pertama berasal dari Regulasi Den Haag. Aliran ini
menyatakan bahwa diharuskannya sifat kehati-hatian yang khusus dalam
pelaksanaan operasi militer juga larangan melakukan perampasan, penghancuran,
atau perusakan dengan sengaja terhadap gedung-gedung dan bangunan-bangunan
semacam itu.21 Aliran yang kedua yaitu berasal dari beberapa aturan spesifik
dalam Konvensi Den Haag 1954 tentang Perlindungan Benda Budaya, yang
melindungi "benda-benda yang mempunyai arti sangat penting sebagai pusaka
budaya setiap bangsa" dan memberlakukan sebuah tanda pembeda spesifik untuk
mengenali benda-benda semacam itu. Hal ini agar benda-benda budaya tersebut
tidak diserang atau ada pada resiko kehancuran atau kerusakan. HI Kebiasaan juga
melarang setiap bentuk pencurian, penjarahan, atau penyalahgunaan dan setiap
tindakan vandalisme yang diarahkan terhadap benda-benda semacam itu. 22
19
Pasal 27 ayat (1) dan (2) Universal Declaration of Human Rights
Pasal 1 Universal Declaration on Cultural Diversity
21
Jean-Marie Henckaerts dalam artikel berjudul "Study on Customary International
Humanitarian Law," dalam International Review of Red Cross, Volume 87. No. 857, Maret 2005.
h.20
22
Ibid.
20
8
Protokol II Konvensi Den Haag 1954 tahun 1999 mengenalkan sistem
perlindungan baru: “enhanced protection (peningkatan perlindungan)”.23 Dalam
Pasal 28 Second Protocol 1999, dikatakan bahwa negara anggota harus
mengambil semua langkah penting untuk memastikan adanya sanksi pada orang
yang melakukan pelanggaran ketentuan Protokol II tahun 1999 dan Konvensi Den
Haag 1954. Pasal 15 Second Protocol 1999, memberi pengaturan bahwa setiap
negara anggota harus mempunyai peraturan dalam yurisdiksi negerinya sendiri
untuk memberi hukuman pada pelaku perusakan benda budaya yang telah
didaftarkan dalam teritorial negara tersebut.
Di Indonesia sendiri, pengaturan mengenai perlindungan terhadap Benda
Budaya telah diundangkan dalam Undang-Undang No.11 Tahun 2010 tentang
Cagar Budaya. Dalam Poin menimbang pada undang-undang ini, huruf (b)
menyatakan bahwa untuk melestarikan cagar budaya, negara bertanggung jawab
dalam pengaturan pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya.
Serta tindakan-tindakan pengrusakan benda budaya/ cagar budaya tersebut diatur
secara khusus dalam Bab XI mengenai Ketentuan Pidana yang didalamnya
terdapat aturan pemidanaan terhadap tindakan-tindakan yang mengancam
23
Terdapat tiga syarat properti budaya yang layak dimasukan dalam kategori “enhanced
protection”, yakni:
a. Benda cagar budaya tersebut merupakan benda warisan budaya yang memiliki nilai
yang sangat penting bagi umat manusia
b. Benda cagar budaya tersebut memperoleh tindakan hukum dan administrasi yang
mengakui nilai sejarah dan budaya dan mendapatkan tingkat perlindungan yang
paling tinggi
c. Benda cagar budaya tersebut tidak digunakan untuk kepentingan militer atau
perlindungan militer yang harus dideklarasikan oleh para negara peserta
Bab 3 Pasal 10 Second Protocol to the 1954 Convention
9
keselamatan benda cagar budaya, salah satunya tindakan pengrusakan (Pasal
105)24 dan pencurian (Pasal 106).25
Dalam contoh kasus Taliban dan ISIS, tindakan iconoclast tersebut justru
dilakukan oleh negara atau pihak rezim penguasa yang semestinya bertanggung
jawab terhadap benda-benda budaya yang ada di wilayahnya sesuai dengan Pasal
28, Second Protocol 1999. Tindakan-tindakan iconoclast yang dilakukan oleh
kelompok-kelompok ekstrimis Taliban dan ISIS tersebut jauh dari upaya
perlindungan benda budaya dan telah mengancam hak-hak hidup, hak-hak sosial,
hak-hak ekonomi, serta hak-hak budaya masyarakat.
Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC)
menjadi lembaga yang memiliki potensi kekuatan hukum untuk mengadili kasus
tersebut. Pasal 8 Statuta ICC memungkinkan pengadilan atas kejahatan hukum
perang, penyerangan secara sengaja institusi agama dan budaya, dan juga rumah
sakit.26 Berdasarkan pada uraian permasalahan tersebut maka sangat menarik
24
"Setiap orang yang dengan sengaja merusak Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 66 Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 15
(lima belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)." Pasal 105, UU No.11 Tahun 2010
Tentang Perlindungan Cagar Budaya.
25
Ayat (1) :
"Setiap orang yang mencuri Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 Ayat (2),
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan/atau denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).
Ayat (2):
"Setiap orang yang menadah hasil pencurian Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada
Ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling
banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)." Pasal 106, ibid
26
Intentionally directing attacks against buildings dedicated to religion, education, art,
science or charitable purposes, historic monuments, hospitals and places where the sick and
wounded are collected, provided they are not military objectives (Terjemahan penulis: Dengan
sengaja mengarahkan serangan terhadap gedung-gedung yang didedikasikan untuk agama,
pendidikan, seni, ilmu pengetahuan atau tujuan amal, monumen bersejarah, rumah sakit dan
10
dikaji secara lebih mendalam dan dituangkan dalam sebuah penulisan karya
ilmiah
yang
berjudul:
“Tinjauan
Hukum
Internasional
Mengenai
Penghancuran Benda Budaya (Iconoclast) Sebagai Kejahatan Terhadap
Kemanusiaan”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas dapat dikemukakan dua rumusan
masalah yang penting untuk dikaji, yaitu :
1) Bagaimana pengaturan hukum internasional terhadap kejahatan penghancuran
benda budaya (Iconoclast)?
2) Bagaimanakah upaya pertanggungjawaban kejahatan Iconoclast dalam
perspektif hukum pidana internasional?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Agar penulisan karya ilmiah ini tidak jauh menyimpang dari pokok
permasalahan maka perlu pembatasan ruang lingkup dalam pembahasannya.
Dalam skripsi ini akan ditinjau mengenai pengaturan hukum internasional
tindakan penghancuran benda budaya Iconoclast terhadap objek sipil yang
memiliki nilai budaya dan historis bagi umat manusia.
Dalam pokok pembahasan pertama akan dibatasi pada pengaturan HAM
dan Hukum Humaniter terhadap pelanggaran Iconoclast dalam norma-norma
tempat-tempat di mana orang sakit dan terluka dikumpulkan, asalkan mereka tidak menjadi target
tujuan militer)
Rome Statute of International Criminal Court yang diadopsi di Roma, 17 Juli 1998, Pasal 8 Ayat
(2) Huruf (e) Point (iv).
11
hukum tertulis Internasional yang terkait dengan pelanggaran hak-hak asasi
masyarakat dan pelanggaran terhadap upaya perlindungan/ pelestarian bendabenda budaya baik dalam masa damai maupun dalam masa konflik bersenjata.
Dalam pokok bahasan kedua selanjutnya akan dibahas mengenai upaya
penegakan hukum internasional yang dapat dilakukan untuk mengadili kejahatan
Iconoclast dalam norma-norma hukum internasional. Selanjutnya diuraikan
upaya-upaya yang bisa dilakukan dari segi hukum untuk menegakkan hukum
internasional berkaitan dengan tindakan Iconoclast tersebut.
1.4 Originalitas Penelitian
Untuk memperhatikan originalitas skripsi ini maka dalam penelitian ini
digunakan berbagai sumber pustaka/ literatur seperti jurnal, skripsi, maupun karya
ilmiah hukum lainnya serta berbagai sumber peraturan perundang-undangan,
konvensi, perjanjian, maupun deklarasi Internasional. Sumber pustaka tersebut
digunakan sebagai sumber pendukung, pedoman, dan acuan dalam menjawab
masalah-masalah yang diangkat dalam penelitian ini. Selain itu literatur ini juga
digunakan untuk memperkaya wawasan yang dipetik secara selektif yang
berhubungan langsung dengan kajian mengenai iconoclast sebagai tindak
kejahatan terhadap kemanusiaan.
Dari pengamatan penulis, dalam perpustakaan skripsi yang ada di Fakultas
Hukum Universitas Udayana maupun di universitas lain yang penulis lacak
melalui media internet, belum ada penelitian skripsi yang sama dengan tulisan ini,
namun terdapat beberapa skripsi yang terkait dengan tulisan ini. Berikut adalah
12
judul skripsi, identitas penulis, serta rumusan masalah yang disajikan dalam
bentuk tabel.
Tabel 1.1 Daftar Penelitian Sejenis
No
Judul
1. Perlindungan Terhadap
Benda Budaya Pada
Masa Konflik Bersenjata
Menurut
Hukum
Humaniter Internasional:
Penerapannya
oleh
International Criminal
Tribunal for the Former
Yugoslavia
Dalam
Kasus-Kasus Dubrovnik.
2.
Eksistensi Convention on
the Means of Prohibiting
and Preventing the Illicit
Import,
Export
and
Transfer of Ownership of
Cultural Property (1970)
Terhadap Perlindungan
Benda-Benda
Cagar
Budaya
Dalam
Menangani Perdagangan
Penulis
Rumusan Masalah
Sasha
Izni 1. Bagaimanakah sejarah
Shadrina,
perkembangan konsep
Fakultas Hukum
perlindungan terhadap
Universitas
benda budaya pada
Indonesia, Depok,
masa
konflik
2012
bersenjata?
2. Bagaimanakah Hukum
Humaniter
Internasional mengatur
perihal perlindungan
benda budaya pada
masa
konflik
bersenjata?
3. Bagaimanakah
penerapan ketentuanketentuan
dalam
hukum internasional
terkait
perlindungan
terhadap benda budaya
oleh
International
Criminal Tribunal for
The
Former
Yugoslavia
dalam
kasus-kasus
Dubrovnik?
Fenni
Pratama 1. Bagaimanakah pengBassi,
Fakultas
aturan
perlindungan
Hukum
terhadap benda-benda
Universitas
cagar budaya menurut
Hasanudin,
Convention on the
Makasar, 2014
Means of Prohibiting
and Preventing the
Illicit Import, Export
and
Transfer
of
13
Ilegal
di
Internasional.
Tingkat
Ownership of Cultural
Property 1970?
2. Bagaimana
bentukbentuk perlindungan
benda-benda
cagar
budaya
menurut
Convention on the
Means of Prohibiting
and Preventing the
Illicit Import, Export
and
Transfer
of
Ownership of Cultural
Property 1970?
1.5 Tujuan Penelitian
Penelitian yang dilakukan ini memiliki tujuan untuk mengkaji, menelusuri
dan menjawab permasalahan yang dikemukakan dalam rumusan masalah. Dari
rumusan masalah tersebut dapat dibagi dalam dua tujuan yaitu tujuan umum dan
tujuan khusus.
1.5.1 Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ketentuanketentuan hukum internasional yang berhubungan dengan tindakan Iconoclast
sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan serta untuk mengetahui upaya hukum
yang dapat dilakukan terhadap tindak kejahatan ini.
1.5.2 Tujuan Khusus
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:
1. Untuk menganalisa pengaturan hukum internasional terhadap kejahatan
penghancuran benda budaya iconoclast.
14
2. Untuk menganalisa upaya pertanggungjawaban dalam menindak kejahatan
iconoclast dalam perspektif hukum pidana internasional.
1.6 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari pelaksanaan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.6.1
Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan penjelasan dan memperkaya
khasanah ilmu pengetahuan hukum mengenai ketentuan-ketentuan hukum
internasional yang mengatur tindakan iconoclast sebagai kejahtan terhadap
kemanusiaan.
1.6.2
Manfaat Praktis
Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi
kepada berbagai pihak terkait dengan perlindungan benda budaya, khususnya di
Indonesia, yaitu:
1. Bagi
Direktorat
Jenderal
Kebudayaan
Kementerian
Pendidikan
dan
Kebudayaan Republik Indonesia, penelitian ini diharapkan memberikan
manfaat yakni dapat menjadi rujukan untuk menyusun peraturan dan
kebijakan dalam mengantisipasi tindakan-tindakan Iconoclast dan vandalisme
benda-benda arkeologis yang ada di Indonesia dalam situasi damai maupun
dalam keadaan konflik bersenjata.
2. Bagi Tentara Nasional Indonesia, melalui penelitian ini diharapkan dapat
memberikan informasi mengenai aturan hukum humaniter dalam upaya
15
perlindungan benda-benda budaya baik dalam situasi damai maupun dalam
konflik bersenjata.
3. Bagi Arkeolog, penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan
mengenai dukungan hukum internasional dalam upaya perlindungan bendabenda budaya bernilai sejarah yang ada di Indonesia agar tidak terjadi kejadian
serupa serta membantu para arkeolog dalam menelaah dasar hukum yang
dapat digunakan apabila di kemudian hari ditemukan kejadian semacam ini.
1.7 Kerangka Teori
Salah satu unsur terpenting dalam penelitian yang memiliki peran sangat
besar adalah teori. Menurut Neumen, seperti yang dikutip oleh Sugiono, teori
adalah seperangkat konstruk (konsep), definisi, dan proposisi yang berfungsi
untuk melihat fenomena secara sistematik, melalui spesifikasi hubungan antara
variabel, sehingga dapat berguna untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena.27
Dalam membahas permasalahan yang ada, penelitian ini menggunakan Teori
Relativisme Budaya dan Teori Prinsip Pembedaan.
1.7.1
Teori Relativisme Budaya (Cultural Relativist Theory)
Relativisme secara umum dapat didefinisikan sebagai penolakan terhadap
bentuk kebenaran universal tertentu. Relativisme dapat dibahas dalam berbagai
bidang. Kesamaan yang dimiliki oleh semua bentuk atau sub-bentuk relativisme
adalah keyakinan bahwa sesuatu bersifat relatif terhadap prinsip tertentu dan
27
Sugiyono, 2010, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kwalitatif Dan
R & D, Cv. Alfa Beta, Bandung, h.52
16
penolakan bahwa prinsip itu mutlak benar atau paling sahih.28 Perkembangan
budaya tidak sama dari setiap wilayah di belahan bumi. Ada batas relatif antara
budaya yang satu dengan yang lain. Lingkungan sosial, lingkungan fisik, dan
perilaku manusia adalah sebuah sistem yang membentuk budaya seseorang atau
sekelompok orang.29 Sehingga perbedaan yang terbentuk diantara budaya-budaya
yang ada terjadi akibat adanya bentuk perbedaan secara relatif antara budaya yang
satu dengan yang lainnya, tergantung pada kondisi lingkungan sosial, perilaku
dari manusia, dan kondisi lingkungan fisiknya.
Teori relativisme budaya (cultural relativist theory) memandang teori hakhak kodrati dan penekanannya pada universalitas sebagai suatu pemaksaan atas
suatu budaya terhadap budaya yang lain yang diberi nama imperalisme budaya
(cultural imperalism).30 Menurut para penganut teori relativisme budaya, tidak
ada suatu hak yang bersifat universal. Mereka merasa bahwa teori hak-hak kodrati
mengabaikan dasar sosial dari identitas yang dimiliki oleh individu sebagai
manusia. Manusia merupakan produk dari beberapa lingkungan sosial dan budaya
serta tradisi-tradisi budaya dan peradaban yang berbeda yang memuat cara-cara
yang berbeda. Oleh karena itu, hak-hak yang dimiliki oleh seluruh manusia setiap
saat dan di semua tempat merupakan hak-hak yang menjadikan manusia terlepas
secara sosial (desocialized) dan budaya (deculturized).31 Relativisme budaya
memandang bahwa tidak ada budaya yang lebih baik dari budaya lainya,
28
Mohammad A. Shomali, 2005, Relativisme Etika, Serambi, Jakarta, h.31
Koentjara Ningrat, 1974, Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan, Gramedia,
Jakarta. h.56
30
Todung Mulya Lubis,1993, In Search of Human Rights Legal-Political Dilemmas of
Indonesia’s New Order, 1966-1990, Gramedia, Jakarta, h.19
31
Ibid
29
17
karenanya tidak ada kebenaran atau kesalahan yang bersifat internasional.
Relativisme budaya menolak pandangan bahwa terdapat kebenaran yang bersifat
universal dari budaya-budaya tertentu. Relativitas budaya adalah suatu prinsip
bahwa kepercayaan dan aktivitas individu harus difahami berdasarkan
kebudayaannya.32
1.7.2
Teori Prinsip Pembedaan (Distinction Principle Theory)
Dalam Hukum Humaniter Internasional (HHI) terdapat beberapa prinsip.
Salah satu prinsip yang penting dalam Hukum Humaniter Internasional adalah
pembagian penduduk (warga negara) yang sedang berperang maupun yang sedang
terlibat dalam suatu pertikaian bersenjata (armed conflict). Kombatan adalah
golongan orang yang turut serta secara aktif dalam permusuhan, sedangkan
penduduk sipil adalah golongan orang yang tidak turut serta dalam permusuhan.33
Di samping pembedaan secara subyek (yakni membedakan penduduk menjadi
golongan kombatan dan penduduk sipil), prinsip pembedaan ini membedakan pula
objek-objek yang berada di suatu negara yang bersengketa menjadi dua kategori,
yaitu objek-objek sipil (civilian objects) dan sasaran-sasaran militer (military
objectives).34
Dalam Daftar Aturan-aturan Hukum Humaniter Internasional Kebiasaan,35
bagian pertama menjelaskan mengenai Pembedaan antara Objek Sipil dan Sasaran
Militer. Pada Aturan 7 disebutkan: "Pihak-pihak yang terlibat konflik harus setiap
32
Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, 1998, Komunikasi Antarbudaya. Remaja
Rosdakarya, Bandung, h. 78
33
Arlina Permanasari, dkk, 1999, Pengantar Hukum Humaniter, ICRC, Jakarta, h.73
34
Ibid
35
Mengenai Daftar Aturan-Aturan Hukum Humaniter Internasional Kebiasaan ini, penulis
kutip dalam bagian Lampiran tulisan Jean-Marie Henckaerts, Op.Cit., h.26-44
18
saat membedakan antara objek sipil dan sasaran militer. Penyerangan hanya boleh
diarahkan kepada sasaran militer. Penyerangan tidak boleh diarahkan kepada
objek sipil".
Dalam situasi konflik, pihak-pihak yang terlibat diwajibkan untuk
membedakan antara objek-objek militer yang boleh diserang dan objek-objek sipil
yang harus dilindungi. Mengenai pengertian tentang Objek Sipil dijelaskan dalam
Aturan 9 yang menyebutkan: "Objek sipil adalah semua objek yang bukan
merupakan sasaran militer". Sehingga objek sipil tersebut sama sekali tidak terkait
dengan militer termasuk Benda Budaya. Penghormatan terhadap Benda Budaya
sebagai objek sipil yang harus dilindungi ditegaskan juga dalam Aturan 38 yang
terdiri dari poin (A) dan (B) yang menyebutkan:
"Masing-masing pihak yang terlibat konflik harus menghormati bendabenda budaya:
A. Dalam pelaksanaan operasi militer, kehati-hatian khusus harus
dilakukan untuk menghindari timbulnya kerusakan terhadap
bangunan-bangunan yang didedikasikan untuk tujuan keagamaan,
seni, ilmu pengetahuan, pendidikan, atau amal dan terhadap
monumen-monumen bersejarah, kecuali jika bangunan-bangunan
tersebut merupakan sasaran militer.
B. Benda-benda yang mempunyai arti sangat penting sebagai pusaka
budaya setiap bangsa tidak boleh dijadikan objek penyerangan,
kecuali jika penyerangannya harus dilakukan demi kepentingan
militer yang imperatif.
Sebagai Objek Sipil, para pihak yang berkonflik diwajibkan untuk
melindunginya dari penghancuran, pencurian, penjarahan, dan setiap tindakan
perusakan pada benda-benda budaya dan lembaga-lembaga lainnya yang
didedikasikan untuk kehidupan sosial masyarakat. Hal tersebut dijelaskan dalam
Aturan 40 yang berbunyi:
19
Masing-masing pihak yang berkonflik harus melindungi benda-benda
budaya:
A. Merebut, menghancurkan, atau dengan sengaja merusak lembagalembaga yang didedikasikan untuk tujuan keagamaan, amal,
pendidikan, seni dan ilmu pengetahuan, monumen-monumen
bersejarah, karya-karya seni, dan karya-karya ilmu pengetahuan
adalah dilarang
B. Setiap tindakan pencurian, penjarahan, atau perebutan dan setiap
tindakan perusakan yang diarahkan kepada benda-benda yang
mempunyai nilai penting sebagai pusaka budaya setiap bangsa
adalah dilarang.
1.8 Metode Penelitian
1.8.1
Jenis Penelitian
Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
jenis penelitian hukum normatif, yaitu metode penelitian hukum yang dilakukan
dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder.36 Penelitian ini ditujukan pada
penelitian yang mengkaji peraturan-peraturan tertulis atau bahan-bahan hukum
lain. Penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder
yang ada di perpustakaan. Untuk lebih lanjut, yang dimaksud dengan data
sekunder dalam penelitian jenis ini adalah:37
1. Bahan Hukum Primer yang merupakan bahan-bahan hukum yang
mengikat dan terdiri dari norma-norma dasar, peraturan dasar, peraturan
perundang-undangan,
bahan
hukum
yang
tidak
dikodifikasikan,
yurisprudensi, traktat, dan bahan-bahan hukum lainnya yang hingga kini
masih berlaku;
36
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan
Singkat), Rajawali Pers, Jakarta, h. 13-14.
37
Ibid, h.52
20
2. Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan tentang bahan hukum primer, seperti
rancangan UU, hasil-hasil penelitian, hasil karya ilmiah dari kalangan
hukum;
3. Bahan Hukum Tersier merupakan bahan hukum yang memberikan
petunjuk terhadap bahan hukum Primer maupun Sekunder. Contohnya:
kamus, ensiklopedia, artikel berita, dan sebagainya.
1.8.2
Jenis Pendekatan
Dalam Penelitian ini menggunakan beberapa pendekatan untuk mengkaji
setiap permasalahan. Jenis-jenis pendekatan tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Pendekatan Undang-undang (Statute Approach). Pendekatan ini dilakukan
dengan menelaah semua instrumen hukum internasional yang bersangkut paut
dengan isu hukum yang sedang ditangani;38
2. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach). Pendekatan ini beranjak dari
pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang tertulis dalam sumbersumber literatur yang dikutip. Doktrin-doktrin tersebut merupakan sandaran
bagi
peneliti
dalam membangun suatu argumentasi
hukum
dalam
memecahkan isu yang dihadapi.39 Ada beberapa konsep yang penting dan
relevan dengan persoalan dalam penelitian ini, antara lain konsep relativisme
budaya (Cultural Relativist) dan konsep prinsip pembedaan (Distinction
Principle);
38
39
Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, cetakan ke-11, Kencana, Jakarta, h.93
Ibid,. h.95
21
3. Pendekatan Studi Kasus (Case Study Aproach), Pendekatan kasus dilakukan
dengan cara melakukan telah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu
yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan mengenai kejahatan
Iconoclastyang telah memiliki kekuatan hukum tetap.40
1.8.3
Sifat Penelitian
Sifat penelitian yang digunakan adalah penelitian yang bersifat deskriptif
normatif. Penelitian deskriptif normatif ini memaparkan mengenai aspek-aspek
yang diteliti yakni bagaimana hukum internasional mengatur mengenai
perlindungan benda budaya terhadap tindakan iconoclast dalam perspektif HAM
dan Hukum Humaniter serta upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap kasuskasus iconoclast yang menghancurkan banyak situs-situs bersejarah serta bendabenda arkeologis dalam perspektif hukum pidana internasional.
1.8.4
Sumber Bahan Hukum
Penelitian ini merupakan penelitian normatif sehingga data-data yang
digunakan sebagai sumber data adalah bahan-bahan hukum primer (bahan-bahan
hukum yang bersifat mengikat), bahan hukum sekunder (bahan hukum yang
memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer) dan bahan hukum tersier
(bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum
primer dan sekunder).41 Bahan-bahan hukum tersebut terdiri dari:
1. Bahan-bahan hukum primer didapatkan dari peraturan-peraturan deklarasi,
konvensi-konvensi internasional. Pengaturan mengenai HAM yang dikaji
meliputi: Universal Declaration of Human Rights (UDHR), International
40
41
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, h. 93
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Op.Cit,. h.13
22
Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR), Universal
Declaration on Cultural Diversity (UDCD), Declaration on the Elimination
of All Forms of Intolerance and of Discrimination Based on Religion or
Belief (DEDR), serta International Covenant on Civil and Political Rights
(ICCPR). Adapun pangaturan mengenai HHI dalam peraturan hukum
internasional yang dikaji meliputi: Convention IV Respecting the Laws and
Customs of War on Land (1907), Convention IV Relative to Civilian Persons
in Time of War (1949), Convention for the Protection of Cultural Property in
the Event of Armed Conflict (1954), Protocols Additional to the Geneva
Convention of 12 August 1949 (1977), Rekomendasi pada Meeting of the
Intergovernmental Group of Experts for the Protection of War Victims
Geneva
(1995),
UNESCO
Declaration
Concerning
The Intentional
Destruction of Cultural Heritage (2003).
2. Bahan hukum sekunder, yaitu berupa bahan pustaka yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer.42 Antara lain yang diperoleh dari
hasil penelitian, pendapat pakar hukum, karya tulis hukum yang termuat
dalam media massa, buku-buku hukum (text book), serta jurnal-jurnal hukum
mengenai perlindungan benda-benda budaya pada masa konflik bersenjata.
3. Bahan hukum tersier yang menunjang penelitian ini seperti kamus hukum dan
ensiklopedia, dan sumber-sumber lainnya yang terkait dengan penelitian guna
memperluas wawasan/ memperkaya sudut pandang didalam melakukan
penelitian.
42
Ibid, h.29
23
1.8.5
Teknik Pengumpulan Data
Dalam penyusunan skripsi ini metode pengumpulan data yang digunakan
yaitu melalui metode studi kepustakaan. Metode studi kepustakaan dilakukan
dengan melakukan studi pada buku-buku, literatur, atau kepustakaan lainnya
sebagai bahan bacaan. Studi kepustakaan dalam penelitian ini dilakuan untuk
memperoleh data skunder dengan cara membaca literatur, hasil penelitian,
majalah ilmiah, jurnal dan dokumen yang relevan dengan topik penelitian.
1.8.6
Teknik Analisis
Teknik analisis data adalah suatu metode pengolahan data (bahan hukum)
dengan jalan menganalisa untuk memperoleh kesimpulan umum, setelah
memperoleh data.43 Dalam studi terhadap kasus hukum, metode analisis yang
banyak digunakan adalah content analysis method yang menguraikan materi
peristiwa hukum atau produk hukum secara rinci guna memudahkan interpretasi
dalam pembahasan.44 Hasil penelitian kemudian dipaparkan dengan menggunakan
metode deskriptif argumentatif yaitu dengan cara memberikan gambaran terhadap
permasalahan-permasalahan
yang
akan
dibahas
dengan
mengedepankan
pemikiran yang logis dan sistematis.
43
Riduan, 2004, Metode dan Teknik Penyusunan Tesis, Alfabeta Cataka Pratama, Bandung.
h.32
44
Abdul Kadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Cet 1, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, h.42
Download