BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pluralisme budaya masyarakat dunia terusik ketika semangat propaganda dan militansi terhadap paham radikal agama memusnahkan banyak situs dan artefak bersejarah yang menjadi saksi dari kayanya sejarah peradaban Dunia. Pada tanggal 26 Februari 2001, Mullah Mohammed Omar, pimpinan Taliban yang merupakan Rezim berkuasa di Afganistan pada waktu itu memutuskan untuk menghancurkan semua patung di Afganistan karena telah atau dapat menjadi berhala.1 Puncaknya, dua patung Buddha terbesar di dunia yang dipahat di atas dinding berbatu di Lembah Bamiyan berukuran 55 dan 37 meter, secara membabi buta dibombardir dan dihancurkan setelah satu bulan lamanya upaya tersebut dilakukan oleh Taliban yang dimulai pada tanggal 1 Maret 2001. Patung itu merupakan peninggalan Agama Buddha yang pernah berkembang di Afganisthan dari era kerajaan Gandhara pada abad ke-tiga dan ke-lima yang terletak sekitar 90 mil sebelah barat kota Kabul.2 Penghancuran terhadap patung Buddha Bamiyan Afganistan tersebut membangkitkan kesadaran masyarakat dunia akan keberlangsungan objek benda 1 Francesco Fianconi dan Federico Lenzerini, 2003, "The Destruction of the Buddhas of Bamiyan and International Law" dalam European Journal of International Law, Oxford University Press, London, h. 626. 2 Artikel Berita berjudul "Giant Afghan Buddhas destroyed, Taleban says" diposting pada tanggal 11 Maret 2001, diakses dalam laman web: http://www.edition.cnn.com/2001/WORLD/asiapcf/central/03/11/afghanistan.buddhas.03/index.ht ml pada tanggal 14 Oktober 2015 Pukul 22.45 WITA. 1 2 budaya dunia yang juga bisa terancam oleh rezim atau penguasa yang sewenangwenang. Kasus ini menyita perhatian masyarakat dunia dan mencetuskan adanya istilah “crimes against cultural heritage of mankind” (kejahatan terhadap kekayaan budaya umat manusia), seperti yang diungkapkan oleh Koichiro Matsura, Direktur Jenderal UNESCO yang ketika itu menyatakan: “one of the things we should look into in the future is how to set up a new legal framework with credible punishment for crimes against culture”. 3 Penghancuran dengan kekerasan terhadap patung Buddha Bamiyan oleh pasukan militer dan pemerintah Taliban Afghanistan bisa dilihat sebagai contoh nyata dalam sejarah dari keterpurukan pelestarian benda budaya.4 Berbeda halnya dengan kerusakan perang konvensional terhadap warisan budaya yang mempengaruhi properti musuh, penghancuran patung Buddha Bamiyan menyangkut warisan budaya bangsa Afghanistan. Patung-patung itu berada di wilayahnya dan menjadi milik masa lalu peradaban pra-Islam kuno masyarakat Afghanistan.5 Hampir sama dengan apa yang dilakukan oleh Taliban di tahun 2001, dunia juga dikejutkan dengan tindakan vandalisme brutal yang dilakukan oleh Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Sejak pertengahan tahun 2014 hingga Maret 2015 lalu ISIS melakukan tindakan penghancuran terhadap tempat-tempat 3 Artikel Berita berjudul "UNESCO Demands New Laws After Taliban Destruction", yang ditulis oleh Bureau, diposting pada tanggal 14 Maret 2001, dalam laman web: http://zeenews.india.com/news/south/asia/unesco-demands-new-laws-after-taliban-destruction_98 30.html, diakses pada tanggal 14 Oktober 2015 Pukul 00.14 WITA 4 Francesco Fianconi dan Federico Lenzerini, Loc.Cit 5 Ibid,h.620 3 bersejarah serta benda-benda arkeologis lainnya di Irak dan Suriah. Pada tanggal 6 Maret 2015 ISIS telah menghancurkan situs arkeologi kuno Nimrud di kota Mosul yang merupakan kota kedua terbesar di Irak. ISIS juga meratakan beberapa situs yang terletak di sebelah utara Irak tersebut. Pada tanggal 23 Juni 2014 Kelompok militan ISIS menghancurkan museum arkeologi di Kota Mosul yang menyimpan koleksi benda-benda bersejarah berusia 2.000 tahun.6 ISIS juga menghancurkan bangunan-bangunan bersejarah yang menjadi saksi kejayaan perkembangan Islam di Suriah. Pada tanggal 19 Agustus 2014 ISIS menghancurkan Kompleks Masjid Jirjis yang dibangun di atas pemakaman Quraisy di Mosul pada akhir abad ke-14, termasuk biara kecil yang didedikasikan untuk Nabi Jerjis, atau disebut juga Nabi George.7 Tidak hanya itu, mereka juga menghancurkan Makam Nabi Yunus dan Masjid Nabi Daniel dari abad ke-11 di Kota Mosul pada tanggal 24 Juli 2014. ISIS menganggap bahwa selama ini ritual dan doa yang dilakukan di sekitar makam sebagai perbuatan dosa sehingga mereka merusak tempat itu. ISIS juga telah merusak sebuah Masjid Al-Askari yang terletak di Kota Samara, Irak pada tanggal 30 Juni 2014.8 Irina Bokova, Direktur Jenderal UNESCO telah mengeluarkan pernyataan mengecam aksi brutal ISIS yang sengaja menghancurkan kota kuno Nimrud seraya menyatakan bahwa tindakan tersebut merupakan kejahatan perang. UNESCO kemudian membicarakan hal tersebut dengan Ketua Dewan Keamanan 6 Akses Internet dalam artikel berita berjudul “UNESCO Kecam Penghancuran Kota Kuno di Irak oleh ISIS” dalam website : http://www.satuharapan.com/, diakses pada tanggal 07 April 2015. 7 Akses Internet dalam artikel berita berjudul “Situs-situs Bersejarah yang Dihancurkan oleh ISIS” dalam website : http://news.okezone.com/read/2015/03/13/18/1118392/situs-situsbersejarah-yang-dihancurkan-isis, diakses pada tanggal 07 April 2015, Pukul 16.45 WITA. 8 Ibid 4 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Mahkamah Kriminal Internasional (International Criminal Court/ICC).9 Tindakan-tindakan tersebut di atas dapat dikategorikan sebagai iconoclast yang mengancam pluralitas masyarakat serta hilangnya identitas budaya dan sejarah masyarakat. Tindakan iconoclast dapat termanifestasi dalam berbagai bentuk agresi terhadap gambar, patung, ataupun benda budaya lainnya yang merefleksikan ikon atau simbol tertentu. Di dalamnya terdapat tindakan vandalisme (termasuk tindakan agresi perang, kekerasan patologis atau psikologis, dan perusakan atau mutilasi benda budaya karena alasan prinsip politik atau agama); tetapi dalam prakteknya, motif dilakukannya perbuatan ini jauh lebih jelas dan lebih sulit terurai. Dalam beberapa kasus terjadi akumulasi antara banyak tindakan tersebut yang dilakukan secara spontan dalam bentuk kekerasan individu dan atau secara bersama-sama dengan terorganisir di antara kelompok yang bermusuhan.10 Dalam motif umum atau teologis yang dikemukakan untuk menentukan alasan dilakukannya kejahatan iconoclastic, motif psikologis individu mungkin muncul untuk menerima semacam legitimasi dalam domain sosial, hukum, teologi atau filsafat merujuk pada tindakan kekerasan fisik terhadap gambar/ikon, baik yang bersifat dua atau tiga dimensi, dan kadang-kadang juga mengincar bangunanbangunan.11 Di Indonesia, tindakan iconoclast terhadap benda budaya bersejarah pernah menimpa peninggalan Candi Borobudur dari zaman Dinasti Syailendra yang terletak 9 di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah pada tanggal 21 Ibid David Freedberg, 1985, Iconoclasts and Their Motives, Masrssen, Schwartz, h.10 11 Ibid 10 5 Januari 1985.12 Beberapa ledakan yang cukup dahsyat menghancurkan tujuh stupa pada candi (tujuh stupa yang rusak terkena ledakan terletak di sisi timur, tiga stupa di lantai 8, dua stupa di lantai 9, dan empat stupa di lantai 10). Otak peristiwa pemboman ini diketahui sebagai "Ibrahim" alias Mohammad Jawad alias "Kresna" yang oleh kepolisian penyidik peristiwa pemboman ini disebut sebagai dalang pengeboman.13 Walaupun begitu, sosok Mohammad Jawad, otak peristiwa peledakan Candi Borobudur ini masih belum ditemukan dan belum berhasil diringkus oleh kepolisian Indonesia hingga saat ini. Setelah penyelidikan, Polisi Indonesia menangkap dua bersaudara Abdulkadir bin Ali Alhabsyi dan Husein bin Ali Alhabsyi yang dituding sebagai pelaku peledakan Candi Borobudur ini. 14 Dalam contoh kasus kejadian iconoclast yang dilakukan oleh Taliban dan ISIS, tindakan iconoclast dilakukan secara sewenang-wenang oleh kelompok militan atau rezim otoriter yang berkuasa secara terorganisir. Tujuan penghancuran itu tidak terkait dengan cara apapun untuk tujuan militer, tetapi terinspirasi oleh kehendak belaka untuk memberantas setiap manifestasi budaya kreatif dengan didasari oleh paham radikal bahwa kepercayaan suatu komunitas masyarakat yang berkembang pada zaman dahulu maupun yang masih berkembang pada zaman kini bertentangan dengan pemahaman religius, sosial, dan budaya yang mereka yakini.15 12 Akses Internet dalam artikel berjudul “Pengeboman Borobudur, Ikhwanul Muslimin dan PKS" dalam website : http://www.muslimedianews.com/2014/11/pengeboman-borobudurikhwanul-muslimin.html, diakses pada tanggal 07 April 2015. 13 Ibid 14 Ibid 15 Francesco Fianconi dan Federico Lenzerini, Op.Cit, h.620 6 Upaya tersebut dilakukan sebagai sebuah aksi kekerasan dan teror untuk menciptakan masyarakat yang monoculture (penyeragaman budaya), serta pengekangan hak-hak asasi manusia salah satunya hak-hak sosial budaya masyarakat dengan tindakan-tindakan intoleran. Pendapat Meskel seperti yang dikutip oleh Silverman dan Ruggles, dengan tegas menyatakan bahwa, hilangnya kebudayaan dapat secara mudah diklasifikasikan sebagai kejahatan yang berdampak pada banyak generasi, menghapus ingatan budaya, dan menghilangkan jejak dengan kehidupan masyarakat di masa lalu yang terjalin dalam membentuk dan menjaga identitas kekinian masyarakat dunia. Tindakan ini dapat merujuk pada genosida, sejak tindakan yang dilakukan itu tidak dalam batas kewajaran.16 Piagam Venice 1964 dalam pembukaannya, menyebutkan properti budaya milik masyarakat merupakan harta budaya umat manusia, karena setiap masyarakat memberi kontribusi pada kebudayaan di seluruh dunia.17 Monumen bersejarah dari beberapa generasi masyarakat mengingatkan pada kehidupan masa kini sebagai saksi hidup dari tradisi kuno mereka. Orang-orang menjadi lebih sadar akan kesatuan nilai-nilai kemanusiaan dan menganggap monumen kuno sebagai warisan bersama. Hal ini merupakan tanggung jawab masyarakat untuk melindungi mereka bagi generasi masa depan. Ini adalah tugas kita secara penuh untuk menjaga mereka dalam bentuk keasliannya.18 Padahal kebebasan dalam mengekspresikan dan mengembangkan nilainilai sosial budaya telah dijamin melalui ketentuan yang fundamental di dalam 16 Helaine Silverman dan D. Fairchild Ruggles, 2007, Cultural Heritage and Human Rights, Spinger, New York, h.5 17 The Venice Charter: International Charter for the Conservation and Restoration of Monuments and Sites. ICOMOS and UNESCO, May 1964, Preamble. 18 Ibid 7 sejumlah instrumen internasional seperti Universal Declaration of Human Rights (UDHR),19 International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR), serta Universal Declaration on Cultural Diversity (UDCD)20 yang dikeluarkan oleh PBB melalui UNESCO. Setiap masyarakat dan individu memiliki hak-hak sosial dan budaya untuk hidup dalam keberagaman. Menurut Jean-Marie Henckaerts, terdapat dua aliran Hukum Humaniter Internasional/ International Humanitarian Law (HHI) menyangkut perlindungan benda budaya. Aliran yang pertama berasal dari Regulasi Den Haag. Aliran ini menyatakan bahwa diharuskannya sifat kehati-hatian yang khusus dalam pelaksanaan operasi militer juga larangan melakukan perampasan, penghancuran, atau perusakan dengan sengaja terhadap gedung-gedung dan bangunan-bangunan semacam itu.21 Aliran yang kedua yaitu berasal dari beberapa aturan spesifik dalam Konvensi Den Haag 1954 tentang Perlindungan Benda Budaya, yang melindungi "benda-benda yang mempunyai arti sangat penting sebagai pusaka budaya setiap bangsa" dan memberlakukan sebuah tanda pembeda spesifik untuk mengenali benda-benda semacam itu. Hal ini agar benda-benda budaya tersebut tidak diserang atau ada pada resiko kehancuran atau kerusakan. HI Kebiasaan juga melarang setiap bentuk pencurian, penjarahan, atau penyalahgunaan dan setiap tindakan vandalisme yang diarahkan terhadap benda-benda semacam itu. 22 19 Pasal 27 ayat (1) dan (2) Universal Declaration of Human Rights Pasal 1 Universal Declaration on Cultural Diversity 21 Jean-Marie Henckaerts dalam artikel berjudul "Study on Customary International Humanitarian Law," dalam International Review of Red Cross, Volume 87. No. 857, Maret 2005. h.20 22 Ibid. 20 8 Protokol II Konvensi Den Haag 1954 tahun 1999 mengenalkan sistem perlindungan baru: “enhanced protection (peningkatan perlindungan)”.23 Dalam Pasal 28 Second Protocol 1999, dikatakan bahwa negara anggota harus mengambil semua langkah penting untuk memastikan adanya sanksi pada orang yang melakukan pelanggaran ketentuan Protokol II tahun 1999 dan Konvensi Den Haag 1954. Pasal 15 Second Protocol 1999, memberi pengaturan bahwa setiap negara anggota harus mempunyai peraturan dalam yurisdiksi negerinya sendiri untuk memberi hukuman pada pelaku perusakan benda budaya yang telah didaftarkan dalam teritorial negara tersebut. Di Indonesia sendiri, pengaturan mengenai perlindungan terhadap Benda Budaya telah diundangkan dalam Undang-Undang No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Dalam Poin menimbang pada undang-undang ini, huruf (b) menyatakan bahwa untuk melestarikan cagar budaya, negara bertanggung jawab dalam pengaturan pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya. Serta tindakan-tindakan pengrusakan benda budaya/ cagar budaya tersebut diatur secara khusus dalam Bab XI mengenai Ketentuan Pidana yang didalamnya terdapat aturan pemidanaan terhadap tindakan-tindakan yang mengancam 23 Terdapat tiga syarat properti budaya yang layak dimasukan dalam kategori “enhanced protection”, yakni: a. Benda cagar budaya tersebut merupakan benda warisan budaya yang memiliki nilai yang sangat penting bagi umat manusia b. Benda cagar budaya tersebut memperoleh tindakan hukum dan administrasi yang mengakui nilai sejarah dan budaya dan mendapatkan tingkat perlindungan yang paling tinggi c. Benda cagar budaya tersebut tidak digunakan untuk kepentingan militer atau perlindungan militer yang harus dideklarasikan oleh para negara peserta Bab 3 Pasal 10 Second Protocol to the 1954 Convention 9 keselamatan benda cagar budaya, salah satunya tindakan pengrusakan (Pasal 105)24 dan pencurian (Pasal 106).25 Dalam contoh kasus Taliban dan ISIS, tindakan iconoclast tersebut justru dilakukan oleh negara atau pihak rezim penguasa yang semestinya bertanggung jawab terhadap benda-benda budaya yang ada di wilayahnya sesuai dengan Pasal 28, Second Protocol 1999. Tindakan-tindakan iconoclast yang dilakukan oleh kelompok-kelompok ekstrimis Taliban dan ISIS tersebut jauh dari upaya perlindungan benda budaya dan telah mengancam hak-hak hidup, hak-hak sosial, hak-hak ekonomi, serta hak-hak budaya masyarakat. Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) menjadi lembaga yang memiliki potensi kekuatan hukum untuk mengadili kasus tersebut. Pasal 8 Statuta ICC memungkinkan pengadilan atas kejahatan hukum perang, penyerangan secara sengaja institusi agama dan budaya, dan juga rumah sakit.26 Berdasarkan pada uraian permasalahan tersebut maka sangat menarik 24 "Setiap orang yang dengan sengaja merusak Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)." Pasal 105, UU No.11 Tahun 2010 Tentang Perlindungan Cagar Budaya. 25 Ayat (1) : "Setiap orang yang mencuri Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 Ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah). Ayat (2): "Setiap orang yang menadah hasil pencurian Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)." Pasal 106, ibid 26 Intentionally directing attacks against buildings dedicated to religion, education, art, science or charitable purposes, historic monuments, hospitals and places where the sick and wounded are collected, provided they are not military objectives (Terjemahan penulis: Dengan sengaja mengarahkan serangan terhadap gedung-gedung yang didedikasikan untuk agama, pendidikan, seni, ilmu pengetahuan atau tujuan amal, monumen bersejarah, rumah sakit dan 10 dikaji secara lebih mendalam dan dituangkan dalam sebuah penulisan karya ilmiah yang berjudul: “Tinjauan Hukum Internasional Mengenai Penghancuran Benda Budaya (Iconoclast) Sebagai Kejahatan Terhadap Kemanusiaan”. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas dapat dikemukakan dua rumusan masalah yang penting untuk dikaji, yaitu : 1) Bagaimana pengaturan hukum internasional terhadap kejahatan penghancuran benda budaya (Iconoclast)? 2) Bagaimanakah upaya pertanggungjawaban kejahatan Iconoclast dalam perspektif hukum pidana internasional? 1.3 Ruang Lingkup Masalah Agar penulisan karya ilmiah ini tidak jauh menyimpang dari pokok permasalahan maka perlu pembatasan ruang lingkup dalam pembahasannya. Dalam skripsi ini akan ditinjau mengenai pengaturan hukum internasional tindakan penghancuran benda budaya Iconoclast terhadap objek sipil yang memiliki nilai budaya dan historis bagi umat manusia. Dalam pokok pembahasan pertama akan dibatasi pada pengaturan HAM dan Hukum Humaniter terhadap pelanggaran Iconoclast dalam norma-norma tempat-tempat di mana orang sakit dan terluka dikumpulkan, asalkan mereka tidak menjadi target tujuan militer) Rome Statute of International Criminal Court yang diadopsi di Roma, 17 Juli 1998, Pasal 8 Ayat (2) Huruf (e) Point (iv). 11 hukum tertulis Internasional yang terkait dengan pelanggaran hak-hak asasi masyarakat dan pelanggaran terhadap upaya perlindungan/ pelestarian bendabenda budaya baik dalam masa damai maupun dalam masa konflik bersenjata. Dalam pokok bahasan kedua selanjutnya akan dibahas mengenai upaya penegakan hukum internasional yang dapat dilakukan untuk mengadili kejahatan Iconoclast dalam norma-norma hukum internasional. Selanjutnya diuraikan upaya-upaya yang bisa dilakukan dari segi hukum untuk menegakkan hukum internasional berkaitan dengan tindakan Iconoclast tersebut. 1.4 Originalitas Penelitian Untuk memperhatikan originalitas skripsi ini maka dalam penelitian ini digunakan berbagai sumber pustaka/ literatur seperti jurnal, skripsi, maupun karya ilmiah hukum lainnya serta berbagai sumber peraturan perundang-undangan, konvensi, perjanjian, maupun deklarasi Internasional. Sumber pustaka tersebut digunakan sebagai sumber pendukung, pedoman, dan acuan dalam menjawab masalah-masalah yang diangkat dalam penelitian ini. Selain itu literatur ini juga digunakan untuk memperkaya wawasan yang dipetik secara selektif yang berhubungan langsung dengan kajian mengenai iconoclast sebagai tindak kejahatan terhadap kemanusiaan. Dari pengamatan penulis, dalam perpustakaan skripsi yang ada di Fakultas Hukum Universitas Udayana maupun di universitas lain yang penulis lacak melalui media internet, belum ada penelitian skripsi yang sama dengan tulisan ini, namun terdapat beberapa skripsi yang terkait dengan tulisan ini. Berikut adalah 12 judul skripsi, identitas penulis, serta rumusan masalah yang disajikan dalam bentuk tabel. Tabel 1.1 Daftar Penelitian Sejenis No Judul 1. Perlindungan Terhadap Benda Budaya Pada Masa Konflik Bersenjata Menurut Hukum Humaniter Internasional: Penerapannya oleh International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia Dalam Kasus-Kasus Dubrovnik. 2. Eksistensi Convention on the Means of Prohibiting and Preventing the Illicit Import, Export and Transfer of Ownership of Cultural Property (1970) Terhadap Perlindungan Benda-Benda Cagar Budaya Dalam Menangani Perdagangan Penulis Rumusan Masalah Sasha Izni 1. Bagaimanakah sejarah Shadrina, perkembangan konsep Fakultas Hukum perlindungan terhadap Universitas benda budaya pada Indonesia, Depok, masa konflik 2012 bersenjata? 2. Bagaimanakah Hukum Humaniter Internasional mengatur perihal perlindungan benda budaya pada masa konflik bersenjata? 3. Bagaimanakah penerapan ketentuanketentuan dalam hukum internasional terkait perlindungan terhadap benda budaya oleh International Criminal Tribunal for The Former Yugoslavia dalam kasus-kasus Dubrovnik? Fenni Pratama 1. Bagaimanakah pengBassi, Fakultas aturan perlindungan Hukum terhadap benda-benda Universitas cagar budaya menurut Hasanudin, Convention on the Makasar, 2014 Means of Prohibiting and Preventing the Illicit Import, Export and Transfer of 13 Ilegal di Internasional. Tingkat Ownership of Cultural Property 1970? 2. Bagaimana bentukbentuk perlindungan benda-benda cagar budaya menurut Convention on the Means of Prohibiting and Preventing the Illicit Import, Export and Transfer of Ownership of Cultural Property 1970? 1.5 Tujuan Penelitian Penelitian yang dilakukan ini memiliki tujuan untuk mengkaji, menelusuri dan menjawab permasalahan yang dikemukakan dalam rumusan masalah. Dari rumusan masalah tersebut dapat dibagi dalam dua tujuan yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. 1.5.1 Tujuan Umum Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ketentuanketentuan hukum internasional yang berhubungan dengan tindakan Iconoclast sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan serta untuk mengetahui upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap tindak kejahatan ini. 1.5.2 Tujuan Khusus Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: 1. Untuk menganalisa pengaturan hukum internasional terhadap kejahatan penghancuran benda budaya iconoclast. 14 2. Untuk menganalisa upaya pertanggungjawaban dalam menindak kejahatan iconoclast dalam perspektif hukum pidana internasional. 1.6 Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari pelaksanaan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.6.1 Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan penjelasan dan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan hukum mengenai ketentuan-ketentuan hukum internasional yang mengatur tindakan iconoclast sebagai kejahtan terhadap kemanusiaan. 1.6.2 Manfaat Praktis Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi kepada berbagai pihak terkait dengan perlindungan benda budaya, khususnya di Indonesia, yaitu: 1. Bagi Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, penelitian ini diharapkan memberikan manfaat yakni dapat menjadi rujukan untuk menyusun peraturan dan kebijakan dalam mengantisipasi tindakan-tindakan Iconoclast dan vandalisme benda-benda arkeologis yang ada di Indonesia dalam situasi damai maupun dalam keadaan konflik bersenjata. 2. Bagi Tentara Nasional Indonesia, melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai aturan hukum humaniter dalam upaya 15 perlindungan benda-benda budaya baik dalam situasi damai maupun dalam konflik bersenjata. 3. Bagi Arkeolog, penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan mengenai dukungan hukum internasional dalam upaya perlindungan bendabenda budaya bernilai sejarah yang ada di Indonesia agar tidak terjadi kejadian serupa serta membantu para arkeolog dalam menelaah dasar hukum yang dapat digunakan apabila di kemudian hari ditemukan kejadian semacam ini. 1.7 Kerangka Teori Salah satu unsur terpenting dalam penelitian yang memiliki peran sangat besar adalah teori. Menurut Neumen, seperti yang dikutip oleh Sugiono, teori adalah seperangkat konstruk (konsep), definisi, dan proposisi yang berfungsi untuk melihat fenomena secara sistematik, melalui spesifikasi hubungan antara variabel, sehingga dapat berguna untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena.27 Dalam membahas permasalahan yang ada, penelitian ini menggunakan Teori Relativisme Budaya dan Teori Prinsip Pembedaan. 1.7.1 Teori Relativisme Budaya (Cultural Relativist Theory) Relativisme secara umum dapat didefinisikan sebagai penolakan terhadap bentuk kebenaran universal tertentu. Relativisme dapat dibahas dalam berbagai bidang. Kesamaan yang dimiliki oleh semua bentuk atau sub-bentuk relativisme adalah keyakinan bahwa sesuatu bersifat relatif terhadap prinsip tertentu dan 27 Sugiyono, 2010, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kwalitatif Dan R & D, Cv. Alfa Beta, Bandung, h.52 16 penolakan bahwa prinsip itu mutlak benar atau paling sahih.28 Perkembangan budaya tidak sama dari setiap wilayah di belahan bumi. Ada batas relatif antara budaya yang satu dengan yang lain. Lingkungan sosial, lingkungan fisik, dan perilaku manusia adalah sebuah sistem yang membentuk budaya seseorang atau sekelompok orang.29 Sehingga perbedaan yang terbentuk diantara budaya-budaya yang ada terjadi akibat adanya bentuk perbedaan secara relatif antara budaya yang satu dengan yang lainnya, tergantung pada kondisi lingkungan sosial, perilaku dari manusia, dan kondisi lingkungan fisiknya. Teori relativisme budaya (cultural relativist theory) memandang teori hakhak kodrati dan penekanannya pada universalitas sebagai suatu pemaksaan atas suatu budaya terhadap budaya yang lain yang diberi nama imperalisme budaya (cultural imperalism).30 Menurut para penganut teori relativisme budaya, tidak ada suatu hak yang bersifat universal. Mereka merasa bahwa teori hak-hak kodrati mengabaikan dasar sosial dari identitas yang dimiliki oleh individu sebagai manusia. Manusia merupakan produk dari beberapa lingkungan sosial dan budaya serta tradisi-tradisi budaya dan peradaban yang berbeda yang memuat cara-cara yang berbeda. Oleh karena itu, hak-hak yang dimiliki oleh seluruh manusia setiap saat dan di semua tempat merupakan hak-hak yang menjadikan manusia terlepas secara sosial (desocialized) dan budaya (deculturized).31 Relativisme budaya memandang bahwa tidak ada budaya yang lebih baik dari budaya lainya, 28 Mohammad A. Shomali, 2005, Relativisme Etika, Serambi, Jakarta, h.31 Koentjara Ningrat, 1974, Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan, Gramedia, Jakarta. h.56 30 Todung Mulya Lubis,1993, In Search of Human Rights Legal-Political Dilemmas of Indonesia’s New Order, 1966-1990, Gramedia, Jakarta, h.19 31 Ibid 29 17 karenanya tidak ada kebenaran atau kesalahan yang bersifat internasional. Relativisme budaya menolak pandangan bahwa terdapat kebenaran yang bersifat universal dari budaya-budaya tertentu. Relativitas budaya adalah suatu prinsip bahwa kepercayaan dan aktivitas individu harus difahami berdasarkan kebudayaannya.32 1.7.2 Teori Prinsip Pembedaan (Distinction Principle Theory) Dalam Hukum Humaniter Internasional (HHI) terdapat beberapa prinsip. Salah satu prinsip yang penting dalam Hukum Humaniter Internasional adalah pembagian penduduk (warga negara) yang sedang berperang maupun yang sedang terlibat dalam suatu pertikaian bersenjata (armed conflict). Kombatan adalah golongan orang yang turut serta secara aktif dalam permusuhan, sedangkan penduduk sipil adalah golongan orang yang tidak turut serta dalam permusuhan.33 Di samping pembedaan secara subyek (yakni membedakan penduduk menjadi golongan kombatan dan penduduk sipil), prinsip pembedaan ini membedakan pula objek-objek yang berada di suatu negara yang bersengketa menjadi dua kategori, yaitu objek-objek sipil (civilian objects) dan sasaran-sasaran militer (military objectives).34 Dalam Daftar Aturan-aturan Hukum Humaniter Internasional Kebiasaan,35 bagian pertama menjelaskan mengenai Pembedaan antara Objek Sipil dan Sasaran Militer. Pada Aturan 7 disebutkan: "Pihak-pihak yang terlibat konflik harus setiap 32 Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, 1998, Komunikasi Antarbudaya. Remaja Rosdakarya, Bandung, h. 78 33 Arlina Permanasari, dkk, 1999, Pengantar Hukum Humaniter, ICRC, Jakarta, h.73 34 Ibid 35 Mengenai Daftar Aturan-Aturan Hukum Humaniter Internasional Kebiasaan ini, penulis kutip dalam bagian Lampiran tulisan Jean-Marie Henckaerts, Op.Cit., h.26-44 18 saat membedakan antara objek sipil dan sasaran militer. Penyerangan hanya boleh diarahkan kepada sasaran militer. Penyerangan tidak boleh diarahkan kepada objek sipil". Dalam situasi konflik, pihak-pihak yang terlibat diwajibkan untuk membedakan antara objek-objek militer yang boleh diserang dan objek-objek sipil yang harus dilindungi. Mengenai pengertian tentang Objek Sipil dijelaskan dalam Aturan 9 yang menyebutkan: "Objek sipil adalah semua objek yang bukan merupakan sasaran militer". Sehingga objek sipil tersebut sama sekali tidak terkait dengan militer termasuk Benda Budaya. Penghormatan terhadap Benda Budaya sebagai objek sipil yang harus dilindungi ditegaskan juga dalam Aturan 38 yang terdiri dari poin (A) dan (B) yang menyebutkan: "Masing-masing pihak yang terlibat konflik harus menghormati bendabenda budaya: A. Dalam pelaksanaan operasi militer, kehati-hatian khusus harus dilakukan untuk menghindari timbulnya kerusakan terhadap bangunan-bangunan yang didedikasikan untuk tujuan keagamaan, seni, ilmu pengetahuan, pendidikan, atau amal dan terhadap monumen-monumen bersejarah, kecuali jika bangunan-bangunan tersebut merupakan sasaran militer. B. Benda-benda yang mempunyai arti sangat penting sebagai pusaka budaya setiap bangsa tidak boleh dijadikan objek penyerangan, kecuali jika penyerangannya harus dilakukan demi kepentingan militer yang imperatif. Sebagai Objek Sipil, para pihak yang berkonflik diwajibkan untuk melindunginya dari penghancuran, pencurian, penjarahan, dan setiap tindakan perusakan pada benda-benda budaya dan lembaga-lembaga lainnya yang didedikasikan untuk kehidupan sosial masyarakat. Hal tersebut dijelaskan dalam Aturan 40 yang berbunyi: 19 Masing-masing pihak yang berkonflik harus melindungi benda-benda budaya: A. Merebut, menghancurkan, atau dengan sengaja merusak lembagalembaga yang didedikasikan untuk tujuan keagamaan, amal, pendidikan, seni dan ilmu pengetahuan, monumen-monumen bersejarah, karya-karya seni, dan karya-karya ilmu pengetahuan adalah dilarang B. Setiap tindakan pencurian, penjarahan, atau perebutan dan setiap tindakan perusakan yang diarahkan kepada benda-benda yang mempunyai nilai penting sebagai pusaka budaya setiap bangsa adalah dilarang. 1.8 Metode Penelitian 1.8.1 Jenis Penelitian Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif, yaitu metode penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder.36 Penelitian ini ditujukan pada penelitian yang mengkaji peraturan-peraturan tertulis atau bahan-bahan hukum lain. Penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan. Untuk lebih lanjut, yang dimaksud dengan data sekunder dalam penelitian jenis ini adalah:37 1. Bahan Hukum Primer yang merupakan bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari norma-norma dasar, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, bahan hukum yang tidak dikodifikasikan, yurisprudensi, traktat, dan bahan-bahan hukum lainnya yang hingga kini masih berlaku; 36 Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Rajawali Pers, Jakarta, h. 13-14. 37 Ibid, h.52 20 2. Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan tentang bahan hukum primer, seperti rancangan UU, hasil-hasil penelitian, hasil karya ilmiah dari kalangan hukum; 3. Bahan Hukum Tersier merupakan bahan hukum yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum Primer maupun Sekunder. Contohnya: kamus, ensiklopedia, artikel berita, dan sebagainya. 1.8.2 Jenis Pendekatan Dalam Penelitian ini menggunakan beberapa pendekatan untuk mengkaji setiap permasalahan. Jenis-jenis pendekatan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Pendekatan Undang-undang (Statute Approach). Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah semua instrumen hukum internasional yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani;38 2. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach). Pendekatan ini beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang tertulis dalam sumbersumber literatur yang dikutip. Doktrin-doktrin tersebut merupakan sandaran bagi peneliti dalam membangun suatu argumentasi hukum dalam memecahkan isu yang dihadapi.39 Ada beberapa konsep yang penting dan relevan dengan persoalan dalam penelitian ini, antara lain konsep relativisme budaya (Cultural Relativist) dan konsep prinsip pembedaan (Distinction Principle); 38 39 Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, cetakan ke-11, Kencana, Jakarta, h.93 Ibid,. h.95 21 3. Pendekatan Studi Kasus (Case Study Aproach), Pendekatan kasus dilakukan dengan cara melakukan telah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan mengenai kejahatan Iconoclastyang telah memiliki kekuatan hukum tetap.40 1.8.3 Sifat Penelitian Sifat penelitian yang digunakan adalah penelitian yang bersifat deskriptif normatif. Penelitian deskriptif normatif ini memaparkan mengenai aspek-aspek yang diteliti yakni bagaimana hukum internasional mengatur mengenai perlindungan benda budaya terhadap tindakan iconoclast dalam perspektif HAM dan Hukum Humaniter serta upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap kasuskasus iconoclast yang menghancurkan banyak situs-situs bersejarah serta bendabenda arkeologis dalam perspektif hukum pidana internasional. 1.8.4 Sumber Bahan Hukum Penelitian ini merupakan penelitian normatif sehingga data-data yang digunakan sebagai sumber data adalah bahan-bahan hukum primer (bahan-bahan hukum yang bersifat mengikat), bahan hukum sekunder (bahan hukum yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer) dan bahan hukum tersier (bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder).41 Bahan-bahan hukum tersebut terdiri dari: 1. Bahan-bahan hukum primer didapatkan dari peraturan-peraturan deklarasi, konvensi-konvensi internasional. Pengaturan mengenai HAM yang dikaji meliputi: Universal Declaration of Human Rights (UDHR), International 40 41 Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, h. 93 Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Op.Cit,. h.13 22 Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR), Universal Declaration on Cultural Diversity (UDCD), Declaration on the Elimination of All Forms of Intolerance and of Discrimination Based on Religion or Belief (DEDR), serta International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Adapun pangaturan mengenai HHI dalam peraturan hukum internasional yang dikaji meliputi: Convention IV Respecting the Laws and Customs of War on Land (1907), Convention IV Relative to Civilian Persons in Time of War (1949), Convention for the Protection of Cultural Property in the Event of Armed Conflict (1954), Protocols Additional to the Geneva Convention of 12 August 1949 (1977), Rekomendasi pada Meeting of the Intergovernmental Group of Experts for the Protection of War Victims Geneva (1995), UNESCO Declaration Concerning The Intentional Destruction of Cultural Heritage (2003). 2. Bahan hukum sekunder, yaitu berupa bahan pustaka yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.42 Antara lain yang diperoleh dari hasil penelitian, pendapat pakar hukum, karya tulis hukum yang termuat dalam media massa, buku-buku hukum (text book), serta jurnal-jurnal hukum mengenai perlindungan benda-benda budaya pada masa konflik bersenjata. 3. Bahan hukum tersier yang menunjang penelitian ini seperti kamus hukum dan ensiklopedia, dan sumber-sumber lainnya yang terkait dengan penelitian guna memperluas wawasan/ memperkaya sudut pandang didalam melakukan penelitian. 42 Ibid, h.29 23 1.8.5 Teknik Pengumpulan Data Dalam penyusunan skripsi ini metode pengumpulan data yang digunakan yaitu melalui metode studi kepustakaan. Metode studi kepustakaan dilakukan dengan melakukan studi pada buku-buku, literatur, atau kepustakaan lainnya sebagai bahan bacaan. Studi kepustakaan dalam penelitian ini dilakuan untuk memperoleh data skunder dengan cara membaca literatur, hasil penelitian, majalah ilmiah, jurnal dan dokumen yang relevan dengan topik penelitian. 1.8.6 Teknik Analisis Teknik analisis data adalah suatu metode pengolahan data (bahan hukum) dengan jalan menganalisa untuk memperoleh kesimpulan umum, setelah memperoleh data.43 Dalam studi terhadap kasus hukum, metode analisis yang banyak digunakan adalah content analysis method yang menguraikan materi peristiwa hukum atau produk hukum secara rinci guna memudahkan interpretasi dalam pembahasan.44 Hasil penelitian kemudian dipaparkan dengan menggunakan metode deskriptif argumentatif yaitu dengan cara memberikan gambaran terhadap permasalahan-permasalahan yang akan dibahas dengan mengedepankan pemikiran yang logis dan sistematis. 43 Riduan, 2004, Metode dan Teknik Penyusunan Tesis, Alfabeta Cataka Pratama, Bandung. h.32 44 Abdul Kadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Cet 1, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h.42