24 BAB II TINJAUAN UMUM BENDA BUDAYA WARISAN DUNIA

advertisement
BAB II
TINJAUAN UMUM BENDA BUDAYA WARISAN DUNIA, ICONOCLAST,
DAN KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN
2.1 Tinjauan Umum Kebudayaan dan Benda Budaya Warisan Dunia
2.1.1
Definisi Budaya dan Wujud Kebudayaan
Kebudayaan mempunyai definisi yang sangat luas dan begitu kompleks.
E.B. Tylor mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan aktivitas manusia,
termasuk pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, dan
kebiasaan- kebiasaan lain.45 Definisi lain dikemukakan oleh Marvin Harris, yang
menjabarkan kebudayaan sebagai seluruh aspek
kehidupan manusia dalam
masyarakat, yang diperoleh dengan cara belajar, termasuk pikiran dan tingkah
laku.46 Kata budaya berasal dari kata buddhayah sebagai bentuk jamak dari
buddhi (Sanskerta) yang berarti 'akal'. Dalam Bahasa Inggris, kebudayaan lebih
diartikan sebagai culture, yang berasal dari kata "cultura" Bahasa Latin (colo,
colere:), yang berarti bercocok tanam.47
Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan sedikitnya mempunyai tiga wujud,
yaitu: 48
1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai,
norma-norma, peraturan dan sebagainya. Wujud ini merupakan wujud ide
45
E.B. Tylor dalam Nyoman Kutha Ratna, 2005, Sastra dan Cultural Studies: Representasi
Fiksi dan Fakta. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h.5
46
Harris, Marvin, 1999, Theories of Culture in Postmodern Times. Altamira Press, New
York, h.19
47
Koentjaraningrat,1974, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, cet. 7, PT.Gramedia,
Jakarta, h. 80
48
Ibid,.h.16-18
24
25
dari kebudayaan yang bersifat abstrak, yang bentuknya berada dalam
pemikiran, suatu adat istiadat. Berperan sebagai tata kelakuan yang mengatur,
mengendali, memberi arah kepada kelakuan dan perbuatan manusia dalam
masyarakat.
2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari
manusia ke masyarakat. Wujud ini sering disebut sebagai sistem sosial,
mengendalikan tata kelakuan hidup yang memiliki pola dari masyarakat itu
sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas manusia yang berinteraksi
berdasar adat istiadat serta bersifat kongkrit.
3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud ini
disebut kebudayaan fisik yang diaplikasikan dalam seluruh aktivitas fisik,
perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat. Wujud ini yang
bersifat paling kongkrit, karena dapat disentuh dan dilihat bentuknya.
Wujud-wujud kebudayaan ini hidup dan berkembang di masyarakat
sebagai sebuah warisan budaya (Cultural Heritage) yang diwariskan secara turun
temurun dari generasi ke generasi maupun warisan benda berwujud yang masih
dapat dilihat keberadaannya hingga saat ini. Identitas masyarakat (pribadi dan
komunitas) terbentuk melalui benda-benda budaya yang bersifat nyata dan budaya
yang bersifat tak-benda, serta pembentukan identitas yang kuat tampaknya akan
menjadi hal fundamental yang baik. Tapi heritage juga terkait dengan identitas
dan wilayah.49 Cultural Heritage dapat menjadi potensi untuk mengembangkan
interaksi antar masyarakat dunia serta membina hubungan yang baik dengan dasar
49
Helaine Silverman dan D. Fairchild Ruggles,Op.Cit., h.3
26
persaudaraan dan kedamaian untuk menciptakan stabilitas dunia yang harmonis
dan meminimalisir terjadinya konflik-konflik antar negara.
2.1.2 Pengertian Benda Budaya dalam Perjanjian Internasional
Tangible Heritage merupakan warisan budaya dunia yang berwujud
benda sehingga sering diidentikkan dengan benda budaya yang dalam hukum
Internasional sering diistilahkan dengan 'cultural property'. Secara umum cultural
property merujuk pada obyek-obyek tertentu dalam ruang lingkup terbatas yang
dapat dibedakan dari obyek biasa karena signifikasi budaya yang dimiliki benda
tersebut dan atau karena kelangkaannya.50 Segala upaya untuk mendefinisikannya
akan menunjukkan sifat heterogen
dari benda budaya.51 Oleh karena itu,
pengkategorian terhadap benda budaya sangatlah tidak terbatas.52 Dibandingkan
dengan intangible heritage, kekayaan budaya dunia berupa benda (tangible
heritage) sifatnya lebih nyata dan jelas keberadaannya karena ia dapat diamati
secara objektif melalui pengamatan indra sehingga lebih mudah untuk dilindungi
oleh hukum internasional.
Properti Budaya merupakan wujud budaya yang sangat kongkrit, yaitu
merupakan buah hasil karya seni masyarakat tertentu, berbentuk, berupa benda,
dapat disentuh dan dilihat. Definisi mengenai benda budaya dapat ditemukan
dalam berbagai konvensi internasional. Convention for the Protection of Cultural
Property in the Event of Armed Conflict (Hague Convention of 1954) dalam Pasal
1, menyatakan definisi benda/properti budaya :
50
John Henry Merryman, 2005, “Cultural Property Internationalism”, International Journal
of
Cultural
Property
12,
h.11.
Jurnal
dapat
diakses
pada
web:
http://biblio.juridicas.unam.mx/libros/2/642/32.pdf
51
Ibid., h.11.
52
Ibid., h.12.
27
a. benda bergerak atau tidak bergerak yang bernilai sangat penting bagi
warisan budaya setiap orang, seperti monumen arsitektur, seni atau
sejarah, baik yang bersifat keagamaan atau sekuler; situs arkeologi;
kelompok bangunan yang, secara keseluruhan, bersifat penting bagi
sejarah atau seni; karya seni; manuskrip, buku dan benda-benda lain
yang bernilai seni, sejarah atau kepentingan arkeologis; serta koleksi
ilmiah dan koleksi penting dari buku atau arsip atau reproduksi dari
properti yang didefinisikan di atas
b. bangunan dengan tujuan utama dan efektifitasnya adalah untuk
melestarikan atau memamerkan properti budaya bergerak seperti yang
didefinisikan dalam sub-ayat (a) seperti museum, perpustakaan besar
dan deposit arsip, dan perlindungan juga dimaksudkan untuk tempattempat yang menaunginya, dalam hal terjadi konflik bersenjata, properti
budaya bergerak yang didefinisikan dalam sub ayat (a)
c. pusat-pusat/sentra yang mengandung sejumlah besar properti budaya
sebagaimana dimaksud dalam huruf (a) dan (b), dikenal sebagai
"sentra-sentra mengandung monumen/ centers containing monuments".
(Terjemahan Penulis)
Convention on the Means of Prohibiting and Preventing the Illicit Import,
Export, and Transfer of Ownership of Cultural Property yang dikeluarkan 1970
juga memberikan definisi tentang benda/properti budaya. Definisi properti budaya
dalam Konvensi ini diuraikan secara rinci dalam Pasal 1 yang berbunyi:
"Untuk tujuan Konvensi ini, istilah 'kekayaan budaya' berarti properti
yang, dalam khasanah agama atau sekuler, yang secara khusus ditunjuk oleh
masing-masing Negara untuk dijadikan sebagai benda bernilai penting bagi
arkeologi, prasejarah, sejarah, sastra, seni atau ilmu pengetahuan dan yang
milik kategori berikut:
(a) Koleksi dan spesimen fauna dan flora langka, mineral dan anatomi,
dan obyek paleontologi;
(b) Properti sejarah, termasuk sejarah ilmu pengetahuan, teknologi,
militer, dan sejarah sosial, mengenai sejarah perjalanan hidup
pemimpin bangsa, pemikir, peneliti, dan seniman dan juga (yang
terkait) pada kepentingan event nasional;
(c) Produk penggalian arkeologi (termasuk penemuan yang bersifat
umum dan rahasia) atau dari penemuan arkeologi;
(d) Bagian dari monumen bersejarah atau artistik atau situs arkeologis
yang telah patah;
(e) Benda antik yang berusia lebih dari seratus tahun seperti artefak,
koin, atau stempel;
(f) Obyek yang terkait kepentingan etnologi (entitas etnik);
(g) Properti yang memiliki nilai seni, seperti:
28
i.
Gambar, lukisan, dan gambar yang dibuat seluruhnya dengan
tangan dalam berbagai metode dan berbagai material (tidak
termasuk desain industri dan benda pabrik yang dihias dengan
tangan);
ii. Karya asli seni patung dan pahatan di bahan apapun;
iii. Ukiran asli, cetakan, dan litograf (tulisan-tulisan);
iv. Kumpulan seni asli assemblages (sejenis mozaik) dan montage
(komposisi benda berbentuk gambar) di bahan apapun;
(h) Manuskrip langka dan incunabula (buku-buku cetakan awal ditahun
1500-an), buku-buku lama, dokumen dan publikasi minat khusus
(sejarah, seni, ilmu pengetahuan, sastra, dll) secara tunggal atau
koleksi;
(i) Prangko/benda pos, pendapatan dan sejenis perangko, tunggal atau
koleksi;
(j) Benda-benda furnitur yang berusia lebih dari seratus tahun dan alat
musik tua". (Terjemahan Penulis)
Selain definisi dari benda budaya tersebut, dalam Pasal 4 Konvensi 1970
juga membatasi kategori dari benda yang dilindungi.
"Negara anggota yang pada Konvensi ini mengakui bahwa untuk
tujuan Konvensi Properti yang termasuk kategori berikut merupakan
bagian dari warisan budaya masing-masing Negara:
(a) Benda budaya yang diciptakan oleh kecerdasan individu atau kolektif
warga negara dari Negara yang bersangkutan, dan benda budaya yang
penting bagi Negara yang bersangkutan yang diciptakan dalam
wilayah Negara, atau yang diciptakan oleh warga negara asing atau
orang tanpa kewarganegaraan penduduk dalam wilayah tersebut;
(b) Benda budaya yang ditemukan didalam teritori negara tersebut;
(c) Benda budaya yang dikuasai untuk kepentingan misi penelitian
arkeologi, etnologis atau ilmu alam, dengan persetujuan dari pihak
yang berwenang dari negara asal harta tersebut;
(d) Benda budaya yang telah menjadi subyek dari pertukaran bebas dalam
kesepakatan;
(e) Kekayaan budaya yang diterima sebagai hadiah atau dibeli secara
legal dengan persetujuan dari pihak yang berwenang dari negara asal
harta tersebut" (Terjemahan Penulis)
Dalam World Heritage Convention 1972 (Konvensi Warisan Dunia Tahun
1972) tentang Perlindungan atas Kekayaan Budaya dan Kekayaan Alam Dunia,
mengenalkan konsep “World Cultural Heritage” sebagai bagian dari kekayaan
29
warisan dunia.53 Konvensi ini merupakan instrumen hukum internasional yang
mengenalkan konsep modern tentang kekayaan budaya dunia. Pengertian world
heritage dalam Konvensi ini menekankan pada kekayaan budaya seluruh umat
manusia (world heritage of mankind as a whole), kekayaan seluruh bangsa dunia
(heritage of all the nations of the world), dan kekayaan budaya tersebut „unik dan
tak tergantikan‟ (this unique and irreplaceable property) yang dimiliki tidak
hanya oleh orang-orang tertentu.54
Definisi tentang “Cultural Heritage” yang merujuk pada 'Cultural
Property' dinyatakan dalam Pasal 1 World Heritage Convention 1972 merujuk
pada benda-benda/ objek-objek yang tampak secara fisik misalnya seperti: a).
Monumen (karya arsitektur, karya patung monumental dan lukisan, elemen atau
struktur yang bersifat arkeologis, prasasti, gua tempat tinggal dan kombinasi fitur,
yang memiliki nilai universal yang luar biasa dari sudut pandang sejarah, seni atau
ilmu); b). Kelompok bangunan (kelompok bangunan yang terpisah atau
terhubung karena arsitektur mereka, homogenitas atau tempat mereka dalam
lanskap, yang memiliki nilai universal yang luar biasa dari sudut pandang sejarah,
seni atau ilmu; dan c). Situs (karya manusia atau karya gabungan alam dan
manusia, dan wilayah geografis termasuk situs arkeologis yang memiliki nilai
universal yang luar biasa dari sejarah, estetika, ethnologi atau sudut pandang
antropologi).
53
Dalam pembukaan World Heritage Convention 1972, dinyatakan bahwa bagian dari
warisan budaya atau alam yang luar biasa menarik dan karena itu perlu dipertahankan sebagai
bagian dari warisan dunia umat manusia secara keseluruhan; “Considering that parts of the
cultural or natural heritage are of outstanding interest and therefore need to be preserved as part
of the world heritage of mankind as a whole”
54
„To whatever people it may belong’. Seventeenth Session of the General Conference of
UNESCO, Paris 1972
30
2.2 Tinjauan Umum Kejahatan Terhadap Benda Budaya Warisan Dunia
(Iconoclast)
Pentingnya nilai-nilai historis, budaya, seni, ilmu pengetahuan, dan
kemanusiaan yang terdapat dalam kebudayaan dunia menjadikannya sebagai aset
penting yang dapat memberikan rekam jejak kepada kita akan perkembangan
peradaban manusia. Faktanya keberadaan benda-benda budaya kerapkali terancam
berbagai tindakan kriminal yang bisa merusak bahkan menghilangkan
keberadaannya. Berbagai macam motif tindak kejahatan dapat menimpa bendabenda
budaya
ini,
mulai
dari
pencurian,
target
operasi
militer,
vandalisme/pengrusakan, hingga pemusnahan secara total. Motif-motif kejahatan
tersebut muncul dari berbagai aspek, mulai dari ekonomi, politik, kepentingan
militer, hingga sentimen agama.
Dari sudut pandang selisih paham ideologi yang saat ini menjadi sorotan
dunia ialah tindakan Iconoclast yang dilakukan oleh Taliban pada 2001 dan ISIS
pada tahun 2014 hingga kini (2015). Tindakan Iconoclast bukan hanya dilakukan
oleh Taliban dan ISIS saja namun hal tersebut telah menjadi bagian dari
perjalanan sejarah perkembangan agama-agama dan politik di dunia. Dimana
penghancuran terhadap simbol-simbol berupa bangunan monumental, bendabenda seni, dan benda-benda bersejarah yang merujuk pada suatu golongan
tertentu di rusak dan/atau dihancurkan atas dasar kesewenang-wenangan
penegakan hukum golongan pribadi yang menyingkirkan nilai-nilai kemanusiaan
31
dan hak-hak asasi yang dimiliki oleh setiap orang terhadap budaya dan
kepercayaannya.
2.2.1 Pengertian Iconoclast
Iconoclast adalah contoh yang lazim terjadi sebagai sebuah pelanggaran
dalam terjadinya konflik yang dapat menjadikan hal itu sulit bagi ahli hukum
merancang sebuah peraturan hukum yang dibuat untuk melindungi kekayaan
budaya dalam hal terjadinya konflik.55 Iconoclast berasal dari bahasa
Yunani: eikonomakhia, yang berarti tindakan memerangi atau menghancurkan
gambar/ikon. Iconoclast adalah suatu tindakan menghancurkan gambar-gambar,
ikon-ikon, atau patung-patung, atau simbol-simbol dan monumen-monumen lain,
baik yang bermakna religius maupun yang bermakna politis.56
Beberapa literatur menunjukkan perspektif yang berbeda mengenai
istilah iconoclast-me. Sarah Brook seperti yang dikutip oleh Joris D.Kila dan
Marc Balcells, tindakan itu bisa berarti "penghancuran gambar/simbol" dan
mengacu pada dorongan yang berulang terjadi akibat latar belakang sejarah yang
pernah terjadi sebelumnya yang menggerakan mereka untuk merusak atau
menghancurkan gambar/ikon demi alasan agama atau politik.57 Deskripsi lain
menganggap iconoclast sebagai tindakan yang sangat menentang keyakinan yang
55
Joris D.Kila dan Marc Balcells, 2015, Cultural Property Crime: An Overview and
analyis of Contemporary Perspectives and trends, Koninlijke Brill, Leiden., h.168. Fersi Dokumen
dapat diakses dalam web: http://traffickingculture.org/wp-content/uploads/2015/06/2015-Crimeand-conflict-in-Kila-and-Balcells.unlocked.pdf
56
Adolf Heuken, 1991, Ensiklopedi gereja, Volume 1, Yayasan Cipta Loka Caraka, Jakarta,
h.71
57
Sarah Brooks dalam Joris D.Kila dan Marc Balcells, Loc.Cit
32
berlaku dalam adat istiadat kebiasaan masyarakat umum dan tradisi lain yang
berkembang.58
Iconoclast dalam sebuah konflik adalah contoh kejahatan yang tidak
memiliki ukuran kepastian. Tindakan iconoclast menjadi sulit untuk diatur di
bawah undang-undang yang dirancang melindungi kekayaan budaya dalam situasi
konflik. Iconoclast-me kontemporer, bagaimanapun juga, saat ini masih terjadi di
dunia yang semakin sekuler. Oleh karena itu lebih baik untuk mendefinisikan
kembali atau menyempurnakan istilah ini sebagai tindakan menyerang manifestasi
materi ide dan keyakinan yang tidak terbatas pada representasi agama tertentu.59
Menjadi penting untuk menetapkan apa yang menyebabkan tindakan
iconoclast tersebut dilakukan. Joris D.Kila dan Marc Balcells mengutip pendapat
Morgan yang juga mengutip pendapat Freedberg, berpendapat bahwa "kekuatan
pendorong di belakang reaksi destruktif gambar-gambar/icon biasanya muncul
akibat adanya rasa takut akan munculnya penyembahan terhadap gambar tersebut,
kebangkitan emosi masa yang di dorong rasa penghormatan terhadap gambargambar tersebut secara sosial, politik, dan lain-lain yang menimbulkan haluan
baru golongan orang-orang yang mendukung ikon/ gambar tersebut".60 Freedberg
berpendapat berdasarkan konteks sejarah dan agama, tindakan ini menunjukkan
bahwa orang-orang di zaman itu mengetahui bahwa resiko yang muncul akibat
rasa takut tersebut akan berubah menjadi pengabdian yang membabi buta terhadap
paham keyakinan pemujaan terhadap gambar/ objek citra. Pengabdian, ibadah,
atau penyembahan terhadap benda-benda yang dianggap sebagai berhala (oleh
58
Ibid
Ibid
60
Ibid
59
33
kaum iconoclastic), hanya dapat dicegah dengan menghancurkan citra (objek)
yang hampir secara mandiri menjadi satu-satunya pemicu dilakukannya tindakan
iconoclast.61
Dari perspektif ini, orang-orang yang menghancurkan gambar/ikon
simbol-simbol tertentu untuk motif agama hanyalah membela iman mereka. Hal
ini secara tidak langsung membuka gerbang diskusi antar masyarakat dan
komunitas dunia mengenai hukum dan pertimbangan kemanusiaan yang akan
mencakup didalamnya kebebasan beragama.62 Sentimen Agama merupakan salah
satu faktor yang mendorong kuat terjadinya tindakan Iconoclast. Penghancuran
ikon berwujud benda budaya seperti patung dan citra lain sejenisnya tidak sematamata sebagai akibat dari sentimen agama. Hal ini menjadi berkembang sebagai
sebuah kejahatan yang menyerang simbol-simbol ide/ gagasan lain yang tidak
hanya murni sebagai ekspresi keagamaan, melainkan merambah pada sentimen
gagasan ideologi, rezim politik, ekonomi, dan lainnya.
2.2.2 Perkembangan Kejahatan Iconoclast
Dari sentimen agama, ketakutan terhadap penyimpangan pemujaan
terhadap benda-benda iconic atau pengidolaan itulah yang berperan dalam kasus
terjadinya tindakan iconoclast. Hal itu tampaknya datang dari berbagai motivasi,
dari alasan agama seperti paham ideologi yang seharusnya penyembah berhala
(patung) takut kepada Tuhan, bukan kepada ikon itu,63 didorong kepentingan
politik untuk mebinasakan identitas atau upaya penyeragaman, dan aksi perusakan
61
Ibid
Ibid
63
Ibid, h. 173
62
34
itu didorong oleh kemarahan-kemarahan ambisius dengan alasan penegakan
hukum Tuhan.64
Sepanjang sejarah peradaban manusia, kehancuran dan hilangnya warisan
budaya telah terus-menerus terjadi sebagai konsekuensi dari tindakan iconoclast
fanatik atau sebagai efek 'pasti' dari konflik bersenjata.65 Sejak awal masehi
sekitar tahun 391, Kaisar Romawi Theodosius memerintahkan untuk melakukan
pembongkaran Kuil Serapis di Alexandria, untuk melenyapkan benteng terakhir
basis pertahanan dari orang-orang yang masih memeluk Agama Paganisme/nonKristen.66 Pada tahun 630 Masehi, setelah Nabi Muhammad menguasai Mekah, ia
bersama pengikutnya menghancurkan 360 patung-patung Bani Quraisy yang ada
di dalam dan di sekitar area Ka'bah untuk menegakkan Islam dan hukum Allah.67
Selanjutnya adalah peristiwa terkenal wabah iconoclastic Bizantium.
Kejadian itu terjadi sekitar tahun 726-730 Masehi, dimana Kaisar Bizantium Leo
III, yang menentang penyembahan gambar/ ikon, mulai melakukan kampanye
Iconoclast dengan memerintahkan penghapusan gambar Yesus yang terpampang
mencolok ditempatkan di atas pintu masuk utama ke istana besar Konstantinopel
yang juga dikenal sebagai Chalk Gate. Di Belanda, wabah iconoclast juga terjadi
pada tahun 1566 yang dikenal sebagai "Beeldenstorm" dan hal itu disebabkan oleh
konflik agama antara Calvinis dan Katolik yang mengakibatkan skala besar
kerusakan interior Gereja dan asrama biarawan.68 Kerusakan dan penjarahan
64
Ibid
Francesco Fianconi dan Federico Lenzerini, Op.Cit., h. 619-620
66
Ibid
67
Oliver Leaman, 2004, Islamic Aestethics: An Introduction, Eddin Burgh University
Press, Eddin Burgh, h.5
68
Francesco Fianconi dan Federico Lenzerini, Op.Cit., h.620
65
35
selama Perang Salib mewakili beberapa kasus awal kerentanan kekayaan budaya
selama peperangan.69
Revolusi Perancis, yang berlangsung selama sepuluh tahun sejak tahun
1789, merupakan masa di mana terjadi perkembangan pandangan serta sikap
terhadap perlindungan benda budaya baik pada masa perang maupun damai dan
meluasnya penerimaan terhadap doktrin pembedaan yang dipopulerkan di
Perancis oleh Rousseau.70 Situasi yang tidak menentu saat Revolusi menimbulkan
ancaman yang besar terhadap keberadaan karya seni dan bangunan di seluruh
Perancis.71 Ancaman tersebut terbukti nyata saat Versailles di jarah segala
propertinya oleh para pemberontak, dan benda-benda yang terjarah dinasionalisasi
dan dibawa ke Paris. Sebagai salah satu upaya untuk menanggapi hal tersebut,
sebuah dekrit dikeluarkan pada tanggal 13 April 1793 untuk melindungi patungpatung master piece.72
Dalam masa yang lebih baru, pada tahun 1992, ekstrimis Hindu
menghancurkan Masjid Babri, atas dasar bahwa Masjid tersebut dibangun pada
abad ke enambelas diatas fondasi kuil Hindu untuk memuja Rama yang ada jauh
sebelumnya hingga menimbulkan konflik fisik dan jatuhnya korban jiwa.73 Perang
Balkan akibat sentimen etnis dan agama telah menyuguhkan tontonan kehancuran
69
Patric J. Boylan, 2002,"The Concept of Cultural Protection in Times of Armed Conflict:
from the Crusades to the New Millennium", dalam Jurnal Illicit Antiquities: The Theft of Culture
and the Extinction of Archaeology. Editor: Neil Brodie dan Kathryn Walker Tubb, Routledge,
New
York,
h.43.
Jurnal
ini
dapat
diakses
dalam
website:
http://hiotuxliwisbp6mi.onion.link/video/torrents.complete/Routledge/0415233887.Routledge.Illic
it.Antiquities.The.Theft.of.Culture.and.the.Extinction.of.Archaeology.Dec.2001.pdf
70
Ibid
71
Ibid
72
Roger O‟Keefe, 2006, The Protection of Cultural Property in the Event of Armed
Conflict. Cambridge University Press, Cambridge. (Selanjutnya disebut dengan Roger O'Keefe 1),
h. 14.
73
Francesco Fianconi dan Federico Lenzerini, Op.Cit, h.625
36
masjid-masjid di Bosnia. Penjarahan luas dan transfer paksa benda budaya yang
disertai pengeboman hampir di setiap area perang.74 Memasuki abad 21,
Penghancuran dengan kekerasan terhadap patung batu besar Buddha Bamiyan
oleh pasukan militer dan pemerintah Taliban Afghanistan Maret 2001
membangkitkan kesadaran masyarakat dunia akan keberadaan objek kekayaan
budaya dunia juga bisa terancam oleh rezim atau penguasa yang sewenangwenang. Aturan-aturan dalam hukum internasional terhadap kekayaan budaya
dunia belum mampu memberikan jaminan pasti penghukuman terhadap pelaku
kejahatan terhadap benda budaya dunia. Karena penghukuman hanya dapat
dilakukan negara masing-masing.75
Penghancuran Patung Buddha Bamiyan mengingatkan dunia internasional
hukum internasional masih belum memiliki kekuatan dalam upaya perlindungan
warisan budaya dunia. Ketika itu bahkan pimpinan Taliban Mullah Mohammed
Omar yang memimpin upaya perusakan tersebut tak dapat dihukum, walaupun
sudah jelas peranan para pelakunya. Kasus inilah yang kemudian memicu
UNESCO untuk mengkaji ulang seluruh peristiwa hukum yang berkaitan dengan
perlindungan dan penghukuman terhadap perusakan warisan budaya dunia yang
telah terjadi beberapa dekade ini sejak dikeluarkannya Konvensi –Konvensi
Jenewa 1949 dalam sebuah pertemuan Convention Concerning The Protection of
The World Cultural and Natural Heritage World Heritage Commite, pertemuan
sesi ke-25, di Finlandia pada tanggal 11-16 Desember 200176.
74
Ibid
Ibid
76
Majelis Umum dalam Komite Warisan Dunia, ke-25 dibentuk untuk mempertimbangkan:
cara dan sarana dalam pelaksanaan World Heritage Convention agar dapat diperkuat, terutama
75
37
Hampir sama dengan apa yang dilakukan oleh Taliban di tahun 2001,
dunia kini juga dikejutkan dengan tindakan vandalisme brutal yang dilakukan oleh
ISIS (Islamic State of Iraq and Syria). ISIS secara membabi buta telah
menghancurkan berbagai monumen situs bersejarah, artefak-artefak serta bendabenda arkeologis lainnya di wilayah Irak dan Syriah. Konflik yang berlangsung
memungkinkan ISIS untuk menjarah museum dan menggali situs kuno untuk
setiap koin emas dan artefak yang mereka bisa atur lalu lintasnya dan menjadi
sumber pendapatan bagi mereka.77 ISIS juga memanfaatkan tingkat pengangguran
yang tinggi di kalangan pemuda untuk menciptakan insentif yang lebih bagi
penjarahan situs arkeologi dan sejarah. ISIS mengeluarkan izin kepada penduduk
setempat untuk menggali situs-situs kuno dan membayar sesuai persentase dari
nilai jual benda budaya dari penemuan mereka.78
Uang yang mereka dapatkan pada gilirannya, memungkinkan ISIS untuk
melanjutkan serangan terhadap warga sipil Irak dan warisan budayanya.
Diperkirakan ISIS menghasilkan US $ 200 Juta per tahun dari penjarahan
dalam kaitannya dengan Konvensi UNESCO untuk perlindungan warisan budaya terkait lainnya;
langkah-langkah untuk meningkatkan promosi pendidikan, kegiatan peningkatan kesadaran dan
komunikasi mengenai nilai-nilai yang tak tergantikan dari warisan budaya manusia; dan
mekanisme yang harus ditingkatkan untuk mempromosikan potensi dan dokumentasi ilmiah dari
properti warisan budaya dunia yang ada. Bagian II dokumen ini menyajikan teks penuh Resolusi
yang diadopsi oleh Majelis Umum sejak sidang umum ke-13 tentang langkah-langkah yang
diambil untuk melindungi warisan budaya Afghanistan. Komisi IV Konferensi Umum
Kebudayaan UNESCO pada sesi 31 membahas agenda tentang tindakan yang merupakan
"kejahatan terhadap warisan budaya umat manusia". Konferensi Umum mengadopsi Resolusi yang
disajikan dalam dokumen ini pada bagian III. Convention Concerning The Protection Of The
World Cultural And Natural Heritage World Heritage Committee Twenty-fifth session, Helsinki,
Finland 11 – 16 December 2001. Executive Summary.
77
Tobin Hartnell dan Bilal Wahab, dalam artikel berjudul "Stop ISIS and Save Iraq's
Cultural Heritage" dalam website: http://rudaw.net/mobile/english/opinion/23042015, diakses pada
tanggal 18 Desember 2015, Pukul 20.06 WITA
78
Ibid
38
budaya.79 The New York Times melaporkan bahwa ISIS bekerja sama dengan
jaringan mafia yang terorganisir dan pedagang gelap.80 Para penawar membuat
pesanan khusus dan meminta ISIS untuk mencari tipe barang antik tertentu untuk
digali. Memang bagi ISIS, pendapatan dari artefak yang diperdagangkan menjadi
pendapatan kedua setelah minyak. Dibandingkan dengan minyak, artefak lebih
mudah dijarah dan sulit untuk menghentikan para tentara militernya.81
Sejak pertengahan tahun 2014 hingga Maret 2015 lalu ISIS menunjukkan
fanatisme mereka terhadap tempat-tempat bersejarah. ISIS telah berhasil
menghancurkan banyak situs-situs bersejarah serta benda-benda arkeologis
lainnya di Irak dan Suriah. UNESCO telah membicarakan hal tersebut dengan
ketua
Dewan
Keamanan
PBB
dan
Mahkamah
Kriminal
Internasional
(International Criminal Court).82 Irena Bukova yang beranggapan bahwa
penghancuran warisan sejarah itu memang target utama ISIS. ISIS memang
mengincarnya secara sistematis.83 Strategi ini dipakai untuk menghancurkan
identitas masyarakat dengan cara menghilangkan warisan budaya mereka.
Beberapa situs arkeologi telah dihancurkan oleh ISIS di Irak dan Suriah, seperti
Nimrud dan Hatra.84
79
Ibid
Sarah Almukhtar, dalam artikel berjudul "The Strategy Behind the Islamic State's
Destruction
of
Ancient
Site",
dikutip
dalam
website:
http://www.nytimes.com/interactive/2015/06/29/world/middleeast/isis-historic-sites-control.html?
_r=0, diakses pada tanggal 18 Desember 2015, Pukul 20.17 WITA.
81
Ibid
82
Akses Internet dalam artikel berita berjudul “UNESCO Kecam Penghancuran Kota Kuno
di Irak oleh ISIS” dalam website : http://www.satuharapan.com/, diakses pada tanggal 07 April
2015.
83
Ibid
84 Dikutip dari artikel berita berjudul: "ISIS hancurkan 'patung sitaan' di Palmyra". Yang
diunggah
pada
tanggal
02
Juli
2015,
diakses
dalam
website:
80
39
2.2.3 Kejahatan Terhadap Benda Budaya Iconoclast dalam Hukum
Internasional
Mengenai pengertian kejahatan terhadap benda budaya dapat kita amati
dalam berbagai statuta internasional. Salah satunya terdapat dalam Bab 4 dalam
Second Protocol of Hague Convention 1954 yang menjelaskan mengenai
“Criminal Responsibility and Jurisdiction” atau kewenangan dan pertanggung
jawaban tindak kriminal. Pengertian kejahatan terdapat dalam Pasal 15, mengenai
pelanggaran berat dalam protokol ini (Serious violations of this protocol). Pada
Pasal 15 ayat 1 disebutkan bahwa:
Setiap orang melakukan kejahatan dalam pengertian Protokol ini jika
orang tersebut sengaja dan melanggar Konvensi atau Protokol ini
melakukan salah satu dari tindakan berikut:
a) menyerang obyek benda budaya yang ada dalam enhanced
protection;
b) menggunakan atau memanfaatkan obyek benda budaya atau
lingkungan sekitarnya yang berada dibawah perlindungan khusus
untuk aksi militer;
c) perusakan besar-besaran properti budaya dalam perlindungan
Konvensi dan Protokol ini;
d) menjadikan properti budaya dalam perlindungan Konvensi dan
Protokol ini sebagai obyek penyerangan;
e) pencurian, perusakan, penyalah gunaan, atau tindakan vandalisme
atas properti budaya yang dilindungi Konvensi. (Terjemahan
Penulis)
Definisi mengenai kejahatan terhadap benda budaya juga terdapat dalam
Additional Protocol I 1977, Geneva Conventions (Protokol Tambahan I 1977).
Protokol ini berkenaan dengan aturan mengenai perlindungan para korban dalam
masa sengketa bersenjata internasional. Mengenai pengertian kejahatan terhadap
http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2015/07/150702_dunia_isis_palmyra,
Oktober 2015, pukul 14.45 WITA
pada
tanggal
03
40
kekayaan budaya dunia terdapat dalam Section II, Repression of Breaches of the
Conventions and of this Protocol (Represi Pelanggaran dari Konvensi dan
Protokol ini) pada Pasal 85 ayat (4) menyebutkan:
"Selain pelanggaran berat yang didefinisikan dalam paragraf
sebelumnya dan di dalam Konvensi ini, hal-hal berikut ini juga akan
dianggap sebagai pelanggaran berat dari Protokol ini, jika dilakukan dengan
sengaja dan melanggar Konvensi atau Protokol:
(d) Memanfaatkan monumen bersejarah yang dikenal umum, karya seni,
tempat peribadatan yang mengandung kekayaan budaya dan spiritual
masyarakat dan tempat tersebut telah berada dalam special protection
yang telah diatur secara khusus, contohnya, dalam lingkup kerja
organisasi internasional yang berkompeten, sebagai obyek
penyerangan, hingga menyebabkan suatu akibat dari perusakan besarbesaran dimana tidak ditemukan bukti pelanggaran pada Pasal 53,
sub-paragraf b, dan bila memanfaatkan monumen-monumen
bersejarah, karya seni dan tempat ibadat yang tak berlokasi dalam
obyek militer." (Terjemahan Penulis)
Kemudian pada ayat (5), dikatakan bahwa pelanggaran berat pada ketentuan
dalam Protokol Tambahan I ini ditentukan sebagai War Crimes atau Kejahatan
Perang.
Dalam International Criminal Tribunal For Former Yugoslavia (ICTY)
Statute, kejahatan terhadap benda budaya dunia terdapat dalam Pasal 3 „Violations
of the Laws or Customs of War‟ (Pelanggaran Hukum atau Kebiasaan Perang).
Menyatakan bahwa:
Mahkamah Internasional haruslah memiliki kuasa untuk
menghukum orang yang melakukan pelanggaran hukum dan kebiasaan
perang. Pelanggaran tersebut harus meliputi, namun tak dibatasi dengan
:...
(b) perusakan membabi buta dari kota besar, kota atau desa, atau
kehancuran yang tidak dibenarkan oleh kepentingan militer;
(c) serangan, atau pemboman, dengan cara apapun, dari kota, desa,
tempat tinggal, atau bangunan yang dipertahankan;
(d) penyitaan, penghancuran atau pengrusakan yang sengaja dilakukan
pada tempat yang didedikasikan untuk kegiatan agama, amal dan
41
pendidikan, seni dan ilmu pengetahuan, monumen bersejarah dan
karya seni dan ilmu pengetahuan;
(e) penjarahan properti publik atau privat. (Terjemahan Penulis)
Dalam Rome Statute of the International Criminal Court (ICC) 17 July
1998, kejahatan terhadap kekayaan budaya dunia juga digolongkan dalam “War
crimes”.85 Pengaturannya terdapat dalam Pasal 8 ayat (2) huruf (b) poin (ix) dan
Pasal 8 ayat (2) huruf (e) poin (iv) yang memberi penghukuman atas perusakan
yang disengaja terhadap properti budaya dalam konflik bersenjata internasional
maupun bukan internasional. Pasal-Pasal tersebut berbunyi:
- Pasal 8 ayat (2) huruf (a) poin (iv) :
"Kejahatan perang" berarti pelanggaran berat terhadap Konvensi
Jenewa 12 Agustus 1949, yaitu, melakukan salah satu tindakan berikut
terhadap orang atau properti yang dilindungi berdasarkan ketentuan
konvensi Jenewa terkait dengan): …
(iv) kehancuran dan perampasan properti, yang tidak dibenarkan oleh
kepentingan militer dan dilakukan secara tidak sah dan membabibuta;
- Pasal 8 ayat (2) huruf (b):
Pelanggaran serius lainnya dari hukum dan kebiasaan yang berlaku
dalam konflik bersenjata internasional, dalam kerangka yang ditetapkan
hukum internasional, yaitu, salah satu tindakan berikut:…
(v) menyerang atau membombardir, dengan cara apapun, kota, desa,
tempat tinggal atau bangunan yang dipertahankan dan tempat yang
tidak digunakan sebagai tujuan militer);…
(ix) sengaja mengarahkan serangan terhadap gedung-gedung yang
didedikasikan untuk kegiatan agama, pendidikan, seni, ilmu
pengetahuan tujuan amal, monumen bersejarah, rumah sakit, dan
tempat-tempat di mana orang sakit dan terluka dikumpulkan, asalkan
tempat-tempat itu tidak menjadi tujuan/sasaran militer;... (Terjemahan
Penulis)
85
Rome Statute Of The International Criminal Court, Article 8 dibuat dengan judul "War
Crime" yang mengindikasikan tindakan-tindakan apa saja yang dapat digolongkan sebagai
kejahatan perang.
42
- Pasal 8 ayat (2) huruf (e) :
Pelanggaran serius lainnya dari hukum dan kebiasaan yang berlaku
dalam konflik bersenjata bukan dari karakter internasional, dalam rangka
membentuk suatu hukum internasional, yaitu tindakan berikut : …
(ii) sengaja mengarahkan serangan terhadap gedung-gedung, material,
unit medis dan transportasi, dan personil yang menggunakan lambang
khas dari Konvensi Jenewa sesuai dengan hukum internasional) ;…
(iv) sengaja mengarahkan serangan terhadap gedung-gedung yang
didedikasikan untuk agama, pendidikan, seni, ilmu pengetahuan atau
tujuan amal, monumen bersejarah, rumah sakit dan tempat-tempat di
mana orang sakit dan terluka dikumpulkan, asalkan mereka tidak
ditergetkan untuk tujuan militer. (Terjemahan Penulis)
Dalam Statuta ICC ini tindakan yang dapat digolongkan sebagai "War
Crime" yang bisa dihukum oleh ketentuan statuta ini ialah perusakan terhadap
benda milik suatu bangsa seperti bangunan, unit medis, rumah sakit, rumah,
bangunan bersejarah, gedung pendidikan, gedung yang bertujuan untuk dijadikan
sebagai tempat penelitian ilmiah atau kepentingan sosial, mengacu pada konvensi
Jenewa 1949.
2.3 Tinjauan Umum Kejahatan Terhadap Kemanusiaan
2.3.1 Pengertian Kejahatan Terhadap Kemanusiaan
Menurut Richard Vernon seperti yang dikutip oleh David Luban,86
ungkapan "kejahatan terhadap kemanusiaan" telah memicu pengertian luar biasa
dalam pemikiran hukum dan moral dunia pasca-Perang Dunia II. Ini
menunjukkan, setidaknya dalam dua cara yang berbeda betapa besarnya
pelanggaran ini. Pertama; frase "kejahatan terhadap kemanusiaan" menunjukkan
pelanggaran yang menimbulkan kesedihan hati tidak hanya bagi korban dan
86
Richard Vernon dikutip oleh David Luban, 2004, Dalam The Yale Journal of
International Law Vol 29:85, " A Theory of Crime Against Humanity", Gorgetown Law Faculty
Publication, Gorgetown, h.86
43
komunitas mereka sendiri, tetapi juga semua umat manusia, tanpa memandang
asal komunitas mereka. Kedua; ungkapan itu menunjukkan bahwa pelanggaran
tersebut memangkas secara dalam prinsip kemanusiaan yang pokok dimana kita
semua sebagai manusia menyebarkannya kepada sesama manusia dan hal ini yang
membedakan kita dari makhluk alam lainnya.87 Kejahatan terhadap kemanusian
merupakan sebuah penyangkalan kepada nilai-nilai humanis yang kita miliki
sebagai manusia untuk hidup saling menghargai, bertoleransi, menyayangi, dan
bersama-sama mencintai hidup dan kehidupan ini sebagai makhluk yang
berkembang dan diciptakan dari bumi yang sama.
Dalam penafsiran ini, "kejahatan terhadap kemanusiaan" menunjukkan
bahwa ciri pelanggaran ini ada pada kesalahan pihak-pihak yang berkepentingan.
Dalam hukum, beberapa kesalahan terpimpin, seperti tindakan-tindakan yang
menyebabkan kerugian yang diperkirakan mempengaruhi korban dan orang-orang
yang terkait dengan golongan mereka.88 Kesalahan lain yang diderita korban
sama-sama menentukan bahwa tindakan itu juga melanggar norma penting
masyarakat, dan masyarakat akan berusaha untuk mempertahankan hak-hak
korban yang dimiliki secara merdeka. Kesalahan ini adalah kejahatan, bukan
hanya gugatan atau pelanggaran terhadap masyarakat sipil dan lainnya, bukan
hanya korban, tetapi hal ini memiliki kepentingan kontribusi dalam penjatuhan
hukuman.89
Herlambang, dalam analisisnya terhadap kasus Kordic and Cerkez,
Tindakan‐tindakan
87
Ibid
Ibid, h.88
89
Ibid
88
tidak
manusiawi
sebagai
suatu
kejahatan
terhadap
44
kemanusiaan didasarkan pada tindakan‐tindakan yang memenuhi kondisi‐kondisi
sebagai berikut: Pertama, penderitaan korban telah terjadi secara serius terhadap
tubuh maupun mentalnya, tingkat dari kekejaman haruslah dinilai dalam kasus per
kasus dengan memperhatikan keadaan individu; Kedua, penderitaan haruslah
akibat dari suatu tindakan atau pembiaran pelaku kejahatan atau bawahannya;
Ketiga, saat tindak kejahatan dilakukan, pelaku kejahatan atau bawahannya
haruslah telah tergerak oleh niat untuk mengakibatkan kerusakan atau penderitaan
serius terhadap fisik dan mental para korban.90 Elemen hukum ini juga haruslah
dibuktikan bahwa tindakan‐tindakan tersebut dilakukan sebagai bagian suatu
serangan meluas dan sistematik terhadap sebuah populasi sipil. Tidak hanya
menyebabkan
penderitaan secara
fisik
saja
namun
kejahatan
terhadap
kemanusiaan juga menyebabkan penderitaan secara mental kepada kelompok
populasi sipil tertentu.91
2.3.2 Pengaturan Hukum Internasional Mengenai Kejahatan Terhadap
Kemanusiaan
Istilah “kejahatan terhadap kemanusiaan” pertama kali diungkapkan
dalam Nuremberg Charter pada tahun 1945; tetapi tetap menjadi sebuah
kontroversi apakah ini merupakan tindakan legislatif menciptakan sebuah definisi
kejahatan baru atau apakah itu hanya diartikulasikan sebagai kejahatan yang
90
R. Herlambang Perdana Wiratraman, "Konsep Dan Pengaturan Hukum Kejahatan
Terhadap Kemanusiaan" dalam Jurnal Ilmu Hukum Yuridika Volume 23 No. 2 Mei‐Agustus 2008
Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, h.10 analisisnya dalam kasus Kordic and
Cerkez, (ICTY, Appeal Chamber), December, 17, 2004
91
Ibid
45
sudah tertanam dalam struktur hukum kebiasaan internasional.92 Pandangan di
kemudian hari ini bisa dibilang didukung oleh prinsip-prinsip umum hukum yang
diakui oleh bangsa-bangsa, misalnya, sebagaimana dibuktikan oleh, "Klausula
Martens" pada tahun 1899 dan 1907 Konvensi Den Haag, mengacu pada "hukum
kemanusiaan"; Deklarasi Bersama 28 Mei 1915, mengutuk "kejahatan terhadap
kemanusiaan dan peradaban", dan laporan tahun 1999 dari Commission on the
Responsibility of the Authors of War, menganjurkan untuk mengenakan tanggung
jawab
pidana
secara
individual
untuk
pelanggaran
terhadap
"hukum
kemanusiaan".93
Pasal 6 huruf (c) dari Nuremberg Charter mendefinisikan "kejahatan
terhadap kemanusiaan" sebagai:
"Pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, deportasi, dan tindakantindakan lain yang tidak manusiawi yang dilakukan terhadap penduduk
sipil, sebelum atau selama perang, atau penganiayaan atas dasar politik, ras
atau agama dalam perbuatannya atau sehubungan dengan kejahatan yang
ada pada yurisdiksi Pengadilan, apakah tindakan itu termasuk atau tidak
melanggar hukum negara di mana perbuatan itu dilakukan" (Terjemahan
Penulis)
Formulasi dalam Nuremberg Charter kemudian digabungkan dengan beberapa
perubahan, dalam Tokyo Charter dan dalam Allied Control Council Law No. 10.94
Pada dekade berikutnya, upaya untuk menguraikan definisi yang secara umum
diterima dari kejahatan terhadap kemanusiaan tidak membuat kemajuan.95
92
Darryl Robinson, 1999, "Defining 'Crimes Against Humanity' at the Rome Conference",
The American Journal of International Law, Vol. 93, No. 1 (Jan., 1999), Newyork, American
Society of International Law. h.44
93
Ibid
94
Tokyo Charter, supra note 2; Allied Control Council Law No. 10, Control Council For
Germany, Official Gazetre, Jan. 31, 1946, at 50. Darryl Robinson, Op.Cit. h.45
95
Setelah menyusun laporan tentang pokok-pokok Nuremberg Tribunal pada tahun 1950,
Komisi Hukum Internasional menyiapkan rancangan peraturan terhadap pelanggaran Perdamaian
dan Keamanan Manusia pada tahun 1954, dan ditindaklanjuti dengan penyampaian draft peraturan
46
Perkembangan utama berikutnya adalah adopsi oleh Dewan Keamanan
ICTY (International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia) dan Statuta
ICTR (International Criminal Tribunal for Rwanda) pada tahun 1993 dan 1994
secara tersendiri. Definisi "kejahatan terhadap kemanusiaan" di setiap Statuta
berisi daftar tindakan tidak manusiawi, diawali oleh pembukaan yang
menggambarkan keadaan di mana komisi dari perumusan peraturan tersebut
mengkaji seberapa besar dampak tindakan-tindakan kejahatan tersebut terhadap
kemanusiaan.96 Ada perbedaan antara kedua definisi ini; misalnya, Statuta ICTY
menunjukkan bahwa penghubungan konflik bersenjata dengan perbuatan tersebut
diperlukan, sedangkan Statuta ICTR menunjukkan bahwa motif diskriminatif
diperlukan didalamnya. Uraian selanjutnya akan disajikan pengertian kejahatan
terhadap Kemanusiaan (Crime Against Humanity) yang diatur dalam beberapa
Statuta internasional.
2.3.2.1. International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia (ICTY)
Dalam Statuta ICTY, kejahatan terhadap kemanusiaan terdapat dalam
Pasal 5 (Crime Against Humanity) yang menyebutkan:
Pengadilan Internasional (untuk Yugoslavia) memiliki kemampuan
untuk menuntut orang-orang yang bertanggung jawab atas kejahatan berikut
ketika dilakukan dalam konflik bersenjata, baik internasional maupun
internal dalam karakter, dan ditujukan terhadap penduduk sipil:
(a) pembunuhan;
(b) pemusnahan;
(c) perbudakan;
(d) deportasi;
(e) penjara;
(f) persekusi;
Kejahatan terhadap Perdamaian dan Keamanan Manusia pada tahun 1991 dan revisi lain pada
tahun 1996; tapi ini belum berkembang menjadi instrumen internasional., Ibid
96
Ibid, h.45
47
(g) perkosaan ;
(h) penganiayaan atas dasar politik, ras dan agama;
(i) tindakan tidak manusiawi lainnya (Terjemahan Penulis)
Dalam Statuta ICTY, kejahatan yang disebutkan di atas haruslah
dilakukan pada saat perang sejak tahun 1991, dan dilakukan di negara bekas
Yugoslavia termasuk Macedonia dan Kosovo.97
2.3.2.2.
International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR)
Statuta ICTR memberikan pengaturan tentang kejahatan kemanusiaan
yang sedikit berbeda dengan Statuta ICTY. Pengaturan kejahatan kemanusiaan
diatur dalam Pasal 3 (Crime Against Humanity) sebagai berikut:
"Pengadilan Internasional untuk Rwanda memiliki kemampuan untuk
menuntut setiap orang yang bertanggung jawab atas kejahatan berikut ini
yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang sistematis dan meluas
terhadap penduduk sipil atas dasar kebangsaan, politik, etnis, ras, atau
agama:
a) pembunuhan;
b) pemusnahan;
c) perbudakan;
d) deportasi;
e) pengekangan;
f) persekusi;
g) pemerkosaan ;
h) penganiayaan atas dasar politik, ras dan agama;
i) tindakan tidak manusiawi lainnya" (Terjemahan Penulis)
Perbedaan mendasar pengaturan mengenai kejahatan kemanusiaan dari
kedua Statuta ICTY dan ICTR di atas dapat dilihat dari kondisi saat perbuatan
tersebut dilakukan. Dalam Statuta ICTY ditegaskan bahwa syarat terjadinya
kejahatan terhadap kemanusiaan adalah perbuatan tersebut dilakukan pada saat
situasi konflik bersenjata baik bersifat internasional maupun bersifat domestik.
Sedangkan dalam Statuta ICTR, kejahatan kemanusiaan terjadi ketika perbuatan
97
Tolib Effendi, Op.Cit. h. 103
48
tersebut dilakukan sebagai bagian dari serangan yang bersifat meluas dan
sistematis serta perbuatan penyerangan tersebut dilakukan atas dasar diskriminasi
kebangsaan, politik, etnis, ras, atau agama.
2.3.2.3.
Rome Statute of The International Criminal Court (ICC)
Perkembangan hukum internasional dalam memerangi kejahatan
terhadap kemanusiaan mencapai puncaknya pada 17 Juli 1998. Konferensi
Diplomatik PBB mengesahkan Statuta Roma tentang Pendirian Mahkamah
Pengadilan Internasional, yang akan mengadili pelaku kejahatan yang paling
serius dan menjadi perhatian masyarakat internasional, yaitu: Genosida, kejahatan
terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. Dimasukkannya
kejahatan terhadap kemanusiaan ke dalam Statuta Roma mengokohkan konsep
tersebut menjadi suatu treaty norm.98 Penciptaan Pengadilan juga membuka jalan
untuk pengembangan badan yurisprudensi internasional tentang kejahatan
terhadap kemanusiaan, yang membantu memandu delegasi dalam pertemuan pada
Konferensi Roma.99
Pasal 7 ayat (1) dari Rome Statute menjadi rujukan yuridis mengenai
definisi tentang kejahatan terhadap kemanusian dalam penilaian-penilaian kasuskasus kemanusiaan yang isinya:
(1) Untuk tujuan Statuta ini, 'kejahatan terhadap kemanusiaan' berarti
salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang
meluas atau sistematis terhadap penduduk sipil, dengan pengetahuan
terhadap serangan :
(a) Pembunuhan ;
(b) Pembasmian;
98
Mahkamah Agung Republik Indonesia bekerjasama dengan Kedutaan Besar Kerajaan
Denmark, The Asia Foundation dan Lembaga Studi dan Advokat Masyarakat (ELSAM),Op.Cit.,
h. 23
99
Darryl Robinson, Op.Cit. h.45
49
(c) Perbudakan;
(d) Deportasi atau pemindahan penduduk secara paksa;
(e) Pemenjaraan atau perampasan berat kebebasan fisik lain yang
melanggar aturan dasar hukum internasional;
(f) Penyiksaan;
(g) Pemerkosaan, perbudakan seksual, prostitusi, kehamilan
paksa, sterilisasi paksa, atau bentuk lain dari kekerasan seksual
yang memiliki titik berat sebanding;
(h) Persekusi (Persecution) terhadap kelompok yang diidentifikasi
atau secara kolektiv merujuk pada politik, rasial, nasional,
etnis, budaya, agama, jenis kelamin sebagaimana didefinisikan
dalam Ayat 3, atau alasan lain yang telah diakui secara
universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum
internasional, sehubungan dengan tindakan apapun yang
disebut dalam Ayat ini atau kejahatan dalam yurisdiksi
Pengadilan;100
(i) Penghilangan paksa orang;
(j) Kejahatan apartheid;
(k) Perbuatan tak manusiawi lainnya dengan sifat yang sama
secara sengaja menyebabkan penderitaan, atau luka serius
terhadap badan atau mental atau kesehatan fisik. (Terjemahan
Penulis)
Pasal 7 ayat (1) dari Rome Statute adalah kontribusi yang signifikan
terhadap perbaikan hukum pidana internasional, karena hal itu merupakan contoh
pertama dari definisi kejahatan terhadap kemanusiaan yang dikembangkan oleh
negosiasi
multilateral
antara
160
negara.101
Dimasukkannya
tindakan
penghilangan paksa dan kejahatan apartheid secara eksplisit mengakui dua jenis
tindakan tidak manusiawi yang menjadi perhatian khusus pada masyarakat
internasional. Istilah ini relatif jelas seperti "penganiayaan" dan "tindakan tidak
manusiawi lainnya" yang dipertahankan dengan memperjelas dan mempertegas
ruang lingkup mereka dalam Ayat (2) dan (3).102
100
Persekusi (Persecution) dijelaskan dalam Pasal 7 ayat (2), point (g) bahwa: "Persekusi"
berarti perampasan secara intentional dan keras dari hak-hak fundamental yang bertentangan
dengan Hukum Internasional dengan alasan dari identitas dan kolektivitas kelompok tertentu.
101
Darryl Robinson, Op.Cit. h.45
102
Ibid
50
Statuta Roma 1998 memiliki syarat yang lebih lengkap dan rinci
dibanding kedua Statuta sebelumnya (ICTY dan ICTR). Syarat tersebut
diantaranya:
1. Luas dan sistematis.
Chesterman seperti yang dikutip oleh Tolib, berpendapat bahwa
istilah luas (widespread) merujuk pada banyaknya jumlah korban,
sedangkan istilah sistematis (systematiche) merujuk pada adanya kebijakan
atau rencan untuk melakukan serangan yang merupakan kejahatan terhadap
kemanusiaan.
2. Sebagai bagian dari serangan yang luas dan sistematis.
Perbuatan yang dimaksud sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan
dalam Pasal 7 Statuta Roma 1998 harus merupakan bagian dari serangan
yang luas dan sistematis.
3. Dengan pengetahuan terhadap adanya serangan.
Istilah “with knowledge of the attack” dalam kalimat “…acts
committed…with knowledge of the attack” mensyaratkan bahwa upaya
dikatakan ada terhadap kejahatan kemanusiaan apabila, pelaku yang
melakukan tindakan yang dirinci sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan
haruslah mengetahui bahwa di lingkungannya sedang terjadi serangan yang
luas dan sistematis terhadap target kejahatan.103
Dari ketentuan Pasal 7 ayat (1) dari Rome Statute di atas dapat dilihat bahwa
kejahatan terhadap kemanusiaan tidak saja terjadi dalam masa perang atau pada
103
Tolib Effendi, Op. Cit., h. 110
51
saat konflik bersenjata tetapi juga dapat terjadi pada masa damai. Pertangggung
jawab terhadap kejahatan ini tidak terbatas kepada aparatur negara (state actor),
melainkan juga pada pihak yang bukan dari unsur negara (non-state actors).
2.3.3 Penghancuran
Properti
Budaya
(Iconoclast)
sebagai
Tindak
Kejahatan Terhadap Kemanusiaan
Tindakan penghancuran benda budaya secara membabibuta dalam bentuk
perbuatan iconoclast merupakan perbuatan yang tidak hanya menimbulkan
kerugian secara materiil namun juga memiliki efek moral terhadap korban yang
memiliki hubungan batin secara emosional terhadap benda-benda ataupun objekobjek budaya tersebut. Kejahatan iconoclast dapat dikategorikan tidak hanya
hanya sebagai kejahatan perang/War Crime saja namun secara luas ia juga
merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan/ Crime Against Humanity, faktanya
terkadang tindak kejahatan itu dapat juga terjadi dalam situasi keadaan tanpa
perang (masa damai). Seperti dalam kejadian tindak penghancuran Masjid Babri
di India dimana negara tidak dalam situasi perang baik dengan pemberontak
maupun dengan negara lain.104
Menurut Richard Vernon seperti yang dikutip oleh David Luban,
ungkapan "kejahatan terhadap kemanusiaan" telah mengakuisisi gaung luar biasa
dalam pemikiran hukum dan moral dunia pasca-Perang Dunia II. Ini
menunjukkan, setidaknya dalam dua cara yang berbeda betapa besarnya
pelanggaran ini. Pertama, frase "kejahatan terhadap kemanusiaan" menunjukkan
pelanggaran yang menimbulkan kesedihan hati tidak hanya bagi korban dan
104
Fransesco Fianconi dan Federico Lenzerini, Op.Cit,. h.625
52
komunitas mereka sendiri, tetapi juga semua umat manusia, tanpa memandang
asal komunitas mereka. Kedua, ungkapan itu menunjukkan bahwa pelanggaran
tersebut memangkas secara dalam pelanggaran terhadap kemanusiaan yang pokok
dimana kita semua sebagai manusia menyebarkannya kepada sesama manusia dan
hal ini yang membedakan kita dari makhluk alam lainnya.105 Kejahatan terhadap
kemanusian merupakan sebuah penyangkalan kepada nilai-nilai humanis yang
kita miliki sebagai manusia untuk hidup saling menghargai, bertoleransi,
menyayangi, dan bersama-sama menghargai hidup dan kehidupan ini sebagai
makhluk yang berkembang dan diciptakan dari bumi yang sama-sama kita
nikmati.
Para sarjana mengatakan bahwa kehancuran benda budaya secara
disengaja dan membabibuta begitu merugikan dibandingkan dengan kehancuran
yang disebabkan akibat konflik. Roger O‟keefe, terkait dengan penghancuran
properti budaya dan kejahatan terhadap kemanusiaan merujuk pada International
Military Tribunal (IMT) di Nuremberg yang menghakimi kasus penganiayaan
dengan 'alasan politik, ras dan agama' masyarakat Muslim Bosnia menyatakan
bahwa penghancuran yang melanggar hukum dan penjarahan kekayaan budaya di
wilayah-wilayah pendudukan seperti di Timur Yugoslavia tidak hanya untuk
kejahatan perang pada skala yang luas tetapi juga untuk kejahatan terhadap
kemanusiaan.106 IMT menyatakan bahwa penghancuran yang melanggar hukum
105
Richard Vernon, 2002, What Is a Crime Against Humanity?, 10 J. POL. PHIL. h.231,
242-45, dikutip dari David Luban, 2004, Dalam The Yale Journal of International Law Vol 29:85,
" A Theory of Crime Against Humanity", Gorgetown, Gorgetown Law Faculty Publication. h.86
106
Nuremberg Judgment (1947) 41 American Journal of International Law 172, 249, Roger
O‟keefe, 2011, "Protection Of Cultural Property Under International Criminal Law", dalam
Melbourne Journal of International Law, Melbourne, h.42 dapat diakses dalam web:
53
dan penjarahan kekayaan budaya tidak hanya dinilai sebagai kejahatan perang
pada skala yang luas tetapi juga sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.107
Kejahatan tertentu terhadap kemanusiaan dari 'penganiayaan atas dasar politik,
rasial dan agama' yang terwujud dalam Pasal yang dijelaskan dalam Statuta ICTY,
Pasal 5 huruf (h).108 Dalam sidang pengadilan Blaškić Trial, Pasal 5 ICTY ini
dijabarkan dalam Paragraf 233:
"Meliputi tidak hanya kerugian fisik dan mental dan juga
pelanggaran pada kebebasan individu tetapi juga bertindak ... seperti
menargetkan properti, asalkan orang yang menjadi korban secara khusus
dipilih atas dasar benda tersebut terkait dengan milik komunitas tertentu"
(Terjemahan Penulis)109
Majelis menerima pendapat penuntut bahwa kategori penganiayaan yang
dilakukan dapat mengambil bentuk tindakan penyitaan diskriminatif atau
penghancuran bangunan simbolik milik penduduk Muslim Bosnia Herzegovina.110
Syarat mens rea/ keadaan mental untuk kejahatan terhadap kemanusiaan
adalah niat untuk melakukan pelanggaran yang mendasari tindakan tersebut
kemudian dikombinasikan dengan pengetahuan tentang bagaimana tindakan
tersebut meluas atau dilakukan secara sistematis melalui serangan terhadap
penduduk sipil.111 Adapun tindakan penganiayaan khusus dalam bentuk
penghancuran diskriminatif benda budaya, terdakwa harus dibuktikan bahwa
tindakannya dilakukan untuk menghancurkan atau merusak properti secara
http://www.austlii.edu.au/au/journals/MelbJIL/2010/13.html. (Selanjutnya disebut dengan Roger
O' keefe 2)
107
Ibid
108
Ibid. h.43
109
Ibid
110
Blaškić Trial (International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia, Trial
Chamber, Case No IT-95-14-T, 3 March 2000) para.227
111
Kunarac Appeal (International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia, Appeals
Chamber, Case No IT-96-23 & IT-96-23/1-A, 12 June 2002) para.102.
54
ekstensif atau telah bertindak secara membabibuta mengabaikan kemungkinan
dari kerusakan atau kehancuran benda budaya tersebut.112
112
Milutinović Trial (International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia, Trial
Chamber,Case No IT-05-87-T, 26 February 2009) para.206 dan para.210.
Download