BAB II TINJAUAN UMUM BENDA BUDAYA WARISAN DUNIA, ICONOCLAST, DAN KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN 2.1 Tinjauan Umum Kebudayaan dan Benda Budaya Warisan Dunia 2.1.1 Definisi Budaya dan Wujud Kebudayaan Kebudayaan mempunyai definisi yang sangat luas dan begitu kompleks. E.B. Tylor mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan aktivitas manusia, termasuk pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, dan kebiasaan- kebiasaan lain.45 Definisi lain dikemukakan oleh Marvin Harris, yang menjabarkan kebudayaan sebagai seluruh aspek kehidupan manusia dalam masyarakat, yang diperoleh dengan cara belajar, termasuk pikiran dan tingkah laku.46 Kata budaya berasal dari kata buddhayah sebagai bentuk jamak dari buddhi (Sanskerta) yang berarti 'akal'. Dalam Bahasa Inggris, kebudayaan lebih diartikan sebagai culture, yang berasal dari kata "cultura" Bahasa Latin (colo, colere:), yang berarti bercocok tanam.47 Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan sedikitnya mempunyai tiga wujud, yaitu: 48 1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. Wujud ini merupakan wujud ide 45 E.B. Tylor dalam Nyoman Kutha Ratna, 2005, Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h.5 46 Harris, Marvin, 1999, Theories of Culture in Postmodern Times. Altamira Press, New York, h.19 47 Koentjaraningrat,1974, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, cet. 7, PT.Gramedia, Jakarta, h. 80 48 Ibid,.h.16-18 24 25 dari kebudayaan yang bersifat abstrak, yang bentuknya berada dalam pemikiran, suatu adat istiadat. Berperan sebagai tata kelakuan yang mengatur, mengendali, memberi arah kepada kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat. 2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia ke masyarakat. Wujud ini sering disebut sebagai sistem sosial, mengendalikan tata kelakuan hidup yang memiliki pola dari masyarakat itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas manusia yang berinteraksi berdasar adat istiadat serta bersifat kongkrit. 3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud ini disebut kebudayaan fisik yang diaplikasikan dalam seluruh aktivitas fisik, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat. Wujud ini yang bersifat paling kongkrit, karena dapat disentuh dan dilihat bentuknya. Wujud-wujud kebudayaan ini hidup dan berkembang di masyarakat sebagai sebuah warisan budaya (Cultural Heritage) yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi maupun warisan benda berwujud yang masih dapat dilihat keberadaannya hingga saat ini. Identitas masyarakat (pribadi dan komunitas) terbentuk melalui benda-benda budaya yang bersifat nyata dan budaya yang bersifat tak-benda, serta pembentukan identitas yang kuat tampaknya akan menjadi hal fundamental yang baik. Tapi heritage juga terkait dengan identitas dan wilayah.49 Cultural Heritage dapat menjadi potensi untuk mengembangkan interaksi antar masyarakat dunia serta membina hubungan yang baik dengan dasar 49 Helaine Silverman dan D. Fairchild Ruggles,Op.Cit., h.3 26 persaudaraan dan kedamaian untuk menciptakan stabilitas dunia yang harmonis dan meminimalisir terjadinya konflik-konflik antar negara. 2.1.2 Pengertian Benda Budaya dalam Perjanjian Internasional Tangible Heritage merupakan warisan budaya dunia yang berwujud benda sehingga sering diidentikkan dengan benda budaya yang dalam hukum Internasional sering diistilahkan dengan 'cultural property'. Secara umum cultural property merujuk pada obyek-obyek tertentu dalam ruang lingkup terbatas yang dapat dibedakan dari obyek biasa karena signifikasi budaya yang dimiliki benda tersebut dan atau karena kelangkaannya.50 Segala upaya untuk mendefinisikannya akan menunjukkan sifat heterogen dari benda budaya.51 Oleh karena itu, pengkategorian terhadap benda budaya sangatlah tidak terbatas.52 Dibandingkan dengan intangible heritage, kekayaan budaya dunia berupa benda (tangible heritage) sifatnya lebih nyata dan jelas keberadaannya karena ia dapat diamati secara objektif melalui pengamatan indra sehingga lebih mudah untuk dilindungi oleh hukum internasional. Properti Budaya merupakan wujud budaya yang sangat kongkrit, yaitu merupakan buah hasil karya seni masyarakat tertentu, berbentuk, berupa benda, dapat disentuh dan dilihat. Definisi mengenai benda budaya dapat ditemukan dalam berbagai konvensi internasional. Convention for the Protection of Cultural Property in the Event of Armed Conflict (Hague Convention of 1954) dalam Pasal 1, menyatakan definisi benda/properti budaya : 50 John Henry Merryman, 2005, “Cultural Property Internationalism”, International Journal of Cultural Property 12, h.11. Jurnal dapat diakses pada web: http://biblio.juridicas.unam.mx/libros/2/642/32.pdf 51 Ibid., h.11. 52 Ibid., h.12. 27 a. benda bergerak atau tidak bergerak yang bernilai sangat penting bagi warisan budaya setiap orang, seperti monumen arsitektur, seni atau sejarah, baik yang bersifat keagamaan atau sekuler; situs arkeologi; kelompok bangunan yang, secara keseluruhan, bersifat penting bagi sejarah atau seni; karya seni; manuskrip, buku dan benda-benda lain yang bernilai seni, sejarah atau kepentingan arkeologis; serta koleksi ilmiah dan koleksi penting dari buku atau arsip atau reproduksi dari properti yang didefinisikan di atas b. bangunan dengan tujuan utama dan efektifitasnya adalah untuk melestarikan atau memamerkan properti budaya bergerak seperti yang didefinisikan dalam sub-ayat (a) seperti museum, perpustakaan besar dan deposit arsip, dan perlindungan juga dimaksudkan untuk tempattempat yang menaunginya, dalam hal terjadi konflik bersenjata, properti budaya bergerak yang didefinisikan dalam sub ayat (a) c. pusat-pusat/sentra yang mengandung sejumlah besar properti budaya sebagaimana dimaksud dalam huruf (a) dan (b), dikenal sebagai "sentra-sentra mengandung monumen/ centers containing monuments". (Terjemahan Penulis) Convention on the Means of Prohibiting and Preventing the Illicit Import, Export, and Transfer of Ownership of Cultural Property yang dikeluarkan 1970 juga memberikan definisi tentang benda/properti budaya. Definisi properti budaya dalam Konvensi ini diuraikan secara rinci dalam Pasal 1 yang berbunyi: "Untuk tujuan Konvensi ini, istilah 'kekayaan budaya' berarti properti yang, dalam khasanah agama atau sekuler, yang secara khusus ditunjuk oleh masing-masing Negara untuk dijadikan sebagai benda bernilai penting bagi arkeologi, prasejarah, sejarah, sastra, seni atau ilmu pengetahuan dan yang milik kategori berikut: (a) Koleksi dan spesimen fauna dan flora langka, mineral dan anatomi, dan obyek paleontologi; (b) Properti sejarah, termasuk sejarah ilmu pengetahuan, teknologi, militer, dan sejarah sosial, mengenai sejarah perjalanan hidup pemimpin bangsa, pemikir, peneliti, dan seniman dan juga (yang terkait) pada kepentingan event nasional; (c) Produk penggalian arkeologi (termasuk penemuan yang bersifat umum dan rahasia) atau dari penemuan arkeologi; (d) Bagian dari monumen bersejarah atau artistik atau situs arkeologis yang telah patah; (e) Benda antik yang berusia lebih dari seratus tahun seperti artefak, koin, atau stempel; (f) Obyek yang terkait kepentingan etnologi (entitas etnik); (g) Properti yang memiliki nilai seni, seperti: 28 i. Gambar, lukisan, dan gambar yang dibuat seluruhnya dengan tangan dalam berbagai metode dan berbagai material (tidak termasuk desain industri dan benda pabrik yang dihias dengan tangan); ii. Karya asli seni patung dan pahatan di bahan apapun; iii. Ukiran asli, cetakan, dan litograf (tulisan-tulisan); iv. Kumpulan seni asli assemblages (sejenis mozaik) dan montage (komposisi benda berbentuk gambar) di bahan apapun; (h) Manuskrip langka dan incunabula (buku-buku cetakan awal ditahun 1500-an), buku-buku lama, dokumen dan publikasi minat khusus (sejarah, seni, ilmu pengetahuan, sastra, dll) secara tunggal atau koleksi; (i) Prangko/benda pos, pendapatan dan sejenis perangko, tunggal atau koleksi; (j) Benda-benda furnitur yang berusia lebih dari seratus tahun dan alat musik tua". (Terjemahan Penulis) Selain definisi dari benda budaya tersebut, dalam Pasal 4 Konvensi 1970 juga membatasi kategori dari benda yang dilindungi. "Negara anggota yang pada Konvensi ini mengakui bahwa untuk tujuan Konvensi Properti yang termasuk kategori berikut merupakan bagian dari warisan budaya masing-masing Negara: (a) Benda budaya yang diciptakan oleh kecerdasan individu atau kolektif warga negara dari Negara yang bersangkutan, dan benda budaya yang penting bagi Negara yang bersangkutan yang diciptakan dalam wilayah Negara, atau yang diciptakan oleh warga negara asing atau orang tanpa kewarganegaraan penduduk dalam wilayah tersebut; (b) Benda budaya yang ditemukan didalam teritori negara tersebut; (c) Benda budaya yang dikuasai untuk kepentingan misi penelitian arkeologi, etnologis atau ilmu alam, dengan persetujuan dari pihak yang berwenang dari negara asal harta tersebut; (d) Benda budaya yang telah menjadi subyek dari pertukaran bebas dalam kesepakatan; (e) Kekayaan budaya yang diterima sebagai hadiah atau dibeli secara legal dengan persetujuan dari pihak yang berwenang dari negara asal harta tersebut" (Terjemahan Penulis) Dalam World Heritage Convention 1972 (Konvensi Warisan Dunia Tahun 1972) tentang Perlindungan atas Kekayaan Budaya dan Kekayaan Alam Dunia, mengenalkan konsep “World Cultural Heritage” sebagai bagian dari kekayaan 29 warisan dunia.53 Konvensi ini merupakan instrumen hukum internasional yang mengenalkan konsep modern tentang kekayaan budaya dunia. Pengertian world heritage dalam Konvensi ini menekankan pada kekayaan budaya seluruh umat manusia (world heritage of mankind as a whole), kekayaan seluruh bangsa dunia (heritage of all the nations of the world), dan kekayaan budaya tersebut „unik dan tak tergantikan‟ (this unique and irreplaceable property) yang dimiliki tidak hanya oleh orang-orang tertentu.54 Definisi tentang “Cultural Heritage” yang merujuk pada 'Cultural Property' dinyatakan dalam Pasal 1 World Heritage Convention 1972 merujuk pada benda-benda/ objek-objek yang tampak secara fisik misalnya seperti: a). Monumen (karya arsitektur, karya patung monumental dan lukisan, elemen atau struktur yang bersifat arkeologis, prasasti, gua tempat tinggal dan kombinasi fitur, yang memiliki nilai universal yang luar biasa dari sudut pandang sejarah, seni atau ilmu); b). Kelompok bangunan (kelompok bangunan yang terpisah atau terhubung karena arsitektur mereka, homogenitas atau tempat mereka dalam lanskap, yang memiliki nilai universal yang luar biasa dari sudut pandang sejarah, seni atau ilmu; dan c). Situs (karya manusia atau karya gabungan alam dan manusia, dan wilayah geografis termasuk situs arkeologis yang memiliki nilai universal yang luar biasa dari sejarah, estetika, ethnologi atau sudut pandang antropologi). 53 Dalam pembukaan World Heritage Convention 1972, dinyatakan bahwa bagian dari warisan budaya atau alam yang luar biasa menarik dan karena itu perlu dipertahankan sebagai bagian dari warisan dunia umat manusia secara keseluruhan; “Considering that parts of the cultural or natural heritage are of outstanding interest and therefore need to be preserved as part of the world heritage of mankind as a whole” 54 „To whatever people it may belong’. Seventeenth Session of the General Conference of UNESCO, Paris 1972 30 2.2 Tinjauan Umum Kejahatan Terhadap Benda Budaya Warisan Dunia (Iconoclast) Pentingnya nilai-nilai historis, budaya, seni, ilmu pengetahuan, dan kemanusiaan yang terdapat dalam kebudayaan dunia menjadikannya sebagai aset penting yang dapat memberikan rekam jejak kepada kita akan perkembangan peradaban manusia. Faktanya keberadaan benda-benda budaya kerapkali terancam berbagai tindakan kriminal yang bisa merusak bahkan menghilangkan keberadaannya. Berbagai macam motif tindak kejahatan dapat menimpa bendabenda budaya ini, mulai dari pencurian, target operasi militer, vandalisme/pengrusakan, hingga pemusnahan secara total. Motif-motif kejahatan tersebut muncul dari berbagai aspek, mulai dari ekonomi, politik, kepentingan militer, hingga sentimen agama. Dari sudut pandang selisih paham ideologi yang saat ini menjadi sorotan dunia ialah tindakan Iconoclast yang dilakukan oleh Taliban pada 2001 dan ISIS pada tahun 2014 hingga kini (2015). Tindakan Iconoclast bukan hanya dilakukan oleh Taliban dan ISIS saja namun hal tersebut telah menjadi bagian dari perjalanan sejarah perkembangan agama-agama dan politik di dunia. Dimana penghancuran terhadap simbol-simbol berupa bangunan monumental, bendabenda seni, dan benda-benda bersejarah yang merujuk pada suatu golongan tertentu di rusak dan/atau dihancurkan atas dasar kesewenang-wenangan penegakan hukum golongan pribadi yang menyingkirkan nilai-nilai kemanusiaan 31 dan hak-hak asasi yang dimiliki oleh setiap orang terhadap budaya dan kepercayaannya. 2.2.1 Pengertian Iconoclast Iconoclast adalah contoh yang lazim terjadi sebagai sebuah pelanggaran dalam terjadinya konflik yang dapat menjadikan hal itu sulit bagi ahli hukum merancang sebuah peraturan hukum yang dibuat untuk melindungi kekayaan budaya dalam hal terjadinya konflik.55 Iconoclast berasal dari bahasa Yunani: eikonomakhia, yang berarti tindakan memerangi atau menghancurkan gambar/ikon. Iconoclast adalah suatu tindakan menghancurkan gambar-gambar, ikon-ikon, atau patung-patung, atau simbol-simbol dan monumen-monumen lain, baik yang bermakna religius maupun yang bermakna politis.56 Beberapa literatur menunjukkan perspektif yang berbeda mengenai istilah iconoclast-me. Sarah Brook seperti yang dikutip oleh Joris D.Kila dan Marc Balcells, tindakan itu bisa berarti "penghancuran gambar/simbol" dan mengacu pada dorongan yang berulang terjadi akibat latar belakang sejarah yang pernah terjadi sebelumnya yang menggerakan mereka untuk merusak atau menghancurkan gambar/ikon demi alasan agama atau politik.57 Deskripsi lain menganggap iconoclast sebagai tindakan yang sangat menentang keyakinan yang 55 Joris D.Kila dan Marc Balcells, 2015, Cultural Property Crime: An Overview and analyis of Contemporary Perspectives and trends, Koninlijke Brill, Leiden., h.168. Fersi Dokumen dapat diakses dalam web: http://traffickingculture.org/wp-content/uploads/2015/06/2015-Crimeand-conflict-in-Kila-and-Balcells.unlocked.pdf 56 Adolf Heuken, 1991, Ensiklopedi gereja, Volume 1, Yayasan Cipta Loka Caraka, Jakarta, h.71 57 Sarah Brooks dalam Joris D.Kila dan Marc Balcells, Loc.Cit 32 berlaku dalam adat istiadat kebiasaan masyarakat umum dan tradisi lain yang berkembang.58 Iconoclast dalam sebuah konflik adalah contoh kejahatan yang tidak memiliki ukuran kepastian. Tindakan iconoclast menjadi sulit untuk diatur di bawah undang-undang yang dirancang melindungi kekayaan budaya dalam situasi konflik. Iconoclast-me kontemporer, bagaimanapun juga, saat ini masih terjadi di dunia yang semakin sekuler. Oleh karena itu lebih baik untuk mendefinisikan kembali atau menyempurnakan istilah ini sebagai tindakan menyerang manifestasi materi ide dan keyakinan yang tidak terbatas pada representasi agama tertentu.59 Menjadi penting untuk menetapkan apa yang menyebabkan tindakan iconoclast tersebut dilakukan. Joris D.Kila dan Marc Balcells mengutip pendapat Morgan yang juga mengutip pendapat Freedberg, berpendapat bahwa "kekuatan pendorong di belakang reaksi destruktif gambar-gambar/icon biasanya muncul akibat adanya rasa takut akan munculnya penyembahan terhadap gambar tersebut, kebangkitan emosi masa yang di dorong rasa penghormatan terhadap gambargambar tersebut secara sosial, politik, dan lain-lain yang menimbulkan haluan baru golongan orang-orang yang mendukung ikon/ gambar tersebut".60 Freedberg berpendapat berdasarkan konteks sejarah dan agama, tindakan ini menunjukkan bahwa orang-orang di zaman itu mengetahui bahwa resiko yang muncul akibat rasa takut tersebut akan berubah menjadi pengabdian yang membabi buta terhadap paham keyakinan pemujaan terhadap gambar/ objek citra. Pengabdian, ibadah, atau penyembahan terhadap benda-benda yang dianggap sebagai berhala (oleh 58 Ibid Ibid 60 Ibid 59 33 kaum iconoclastic), hanya dapat dicegah dengan menghancurkan citra (objek) yang hampir secara mandiri menjadi satu-satunya pemicu dilakukannya tindakan iconoclast.61 Dari perspektif ini, orang-orang yang menghancurkan gambar/ikon simbol-simbol tertentu untuk motif agama hanyalah membela iman mereka. Hal ini secara tidak langsung membuka gerbang diskusi antar masyarakat dan komunitas dunia mengenai hukum dan pertimbangan kemanusiaan yang akan mencakup didalamnya kebebasan beragama.62 Sentimen Agama merupakan salah satu faktor yang mendorong kuat terjadinya tindakan Iconoclast. Penghancuran ikon berwujud benda budaya seperti patung dan citra lain sejenisnya tidak sematamata sebagai akibat dari sentimen agama. Hal ini menjadi berkembang sebagai sebuah kejahatan yang menyerang simbol-simbol ide/ gagasan lain yang tidak hanya murni sebagai ekspresi keagamaan, melainkan merambah pada sentimen gagasan ideologi, rezim politik, ekonomi, dan lainnya. 2.2.2 Perkembangan Kejahatan Iconoclast Dari sentimen agama, ketakutan terhadap penyimpangan pemujaan terhadap benda-benda iconic atau pengidolaan itulah yang berperan dalam kasus terjadinya tindakan iconoclast. Hal itu tampaknya datang dari berbagai motivasi, dari alasan agama seperti paham ideologi yang seharusnya penyembah berhala (patung) takut kepada Tuhan, bukan kepada ikon itu,63 didorong kepentingan politik untuk mebinasakan identitas atau upaya penyeragaman, dan aksi perusakan 61 Ibid Ibid 63 Ibid, h. 173 62 34 itu didorong oleh kemarahan-kemarahan ambisius dengan alasan penegakan hukum Tuhan.64 Sepanjang sejarah peradaban manusia, kehancuran dan hilangnya warisan budaya telah terus-menerus terjadi sebagai konsekuensi dari tindakan iconoclast fanatik atau sebagai efek 'pasti' dari konflik bersenjata.65 Sejak awal masehi sekitar tahun 391, Kaisar Romawi Theodosius memerintahkan untuk melakukan pembongkaran Kuil Serapis di Alexandria, untuk melenyapkan benteng terakhir basis pertahanan dari orang-orang yang masih memeluk Agama Paganisme/nonKristen.66 Pada tahun 630 Masehi, setelah Nabi Muhammad menguasai Mekah, ia bersama pengikutnya menghancurkan 360 patung-patung Bani Quraisy yang ada di dalam dan di sekitar area Ka'bah untuk menegakkan Islam dan hukum Allah.67 Selanjutnya adalah peristiwa terkenal wabah iconoclastic Bizantium. Kejadian itu terjadi sekitar tahun 726-730 Masehi, dimana Kaisar Bizantium Leo III, yang menentang penyembahan gambar/ ikon, mulai melakukan kampanye Iconoclast dengan memerintahkan penghapusan gambar Yesus yang terpampang mencolok ditempatkan di atas pintu masuk utama ke istana besar Konstantinopel yang juga dikenal sebagai Chalk Gate. Di Belanda, wabah iconoclast juga terjadi pada tahun 1566 yang dikenal sebagai "Beeldenstorm" dan hal itu disebabkan oleh konflik agama antara Calvinis dan Katolik yang mengakibatkan skala besar kerusakan interior Gereja dan asrama biarawan.68 Kerusakan dan penjarahan 64 Ibid Francesco Fianconi dan Federico Lenzerini, Op.Cit., h. 619-620 66 Ibid 67 Oliver Leaman, 2004, Islamic Aestethics: An Introduction, Eddin Burgh University Press, Eddin Burgh, h.5 68 Francesco Fianconi dan Federico Lenzerini, Op.Cit., h.620 65 35 selama Perang Salib mewakili beberapa kasus awal kerentanan kekayaan budaya selama peperangan.69 Revolusi Perancis, yang berlangsung selama sepuluh tahun sejak tahun 1789, merupakan masa di mana terjadi perkembangan pandangan serta sikap terhadap perlindungan benda budaya baik pada masa perang maupun damai dan meluasnya penerimaan terhadap doktrin pembedaan yang dipopulerkan di Perancis oleh Rousseau.70 Situasi yang tidak menentu saat Revolusi menimbulkan ancaman yang besar terhadap keberadaan karya seni dan bangunan di seluruh Perancis.71 Ancaman tersebut terbukti nyata saat Versailles di jarah segala propertinya oleh para pemberontak, dan benda-benda yang terjarah dinasionalisasi dan dibawa ke Paris. Sebagai salah satu upaya untuk menanggapi hal tersebut, sebuah dekrit dikeluarkan pada tanggal 13 April 1793 untuk melindungi patungpatung master piece.72 Dalam masa yang lebih baru, pada tahun 1992, ekstrimis Hindu menghancurkan Masjid Babri, atas dasar bahwa Masjid tersebut dibangun pada abad ke enambelas diatas fondasi kuil Hindu untuk memuja Rama yang ada jauh sebelumnya hingga menimbulkan konflik fisik dan jatuhnya korban jiwa.73 Perang Balkan akibat sentimen etnis dan agama telah menyuguhkan tontonan kehancuran 69 Patric J. Boylan, 2002,"The Concept of Cultural Protection in Times of Armed Conflict: from the Crusades to the New Millennium", dalam Jurnal Illicit Antiquities: The Theft of Culture and the Extinction of Archaeology. Editor: Neil Brodie dan Kathryn Walker Tubb, Routledge, New York, h.43. Jurnal ini dapat diakses dalam website: http://hiotuxliwisbp6mi.onion.link/video/torrents.complete/Routledge/0415233887.Routledge.Illic it.Antiquities.The.Theft.of.Culture.and.the.Extinction.of.Archaeology.Dec.2001.pdf 70 Ibid 71 Ibid 72 Roger O‟Keefe, 2006, The Protection of Cultural Property in the Event of Armed Conflict. Cambridge University Press, Cambridge. (Selanjutnya disebut dengan Roger O'Keefe 1), h. 14. 73 Francesco Fianconi dan Federico Lenzerini, Op.Cit, h.625 36 masjid-masjid di Bosnia. Penjarahan luas dan transfer paksa benda budaya yang disertai pengeboman hampir di setiap area perang.74 Memasuki abad 21, Penghancuran dengan kekerasan terhadap patung batu besar Buddha Bamiyan oleh pasukan militer dan pemerintah Taliban Afghanistan Maret 2001 membangkitkan kesadaran masyarakat dunia akan keberadaan objek kekayaan budaya dunia juga bisa terancam oleh rezim atau penguasa yang sewenangwenang. Aturan-aturan dalam hukum internasional terhadap kekayaan budaya dunia belum mampu memberikan jaminan pasti penghukuman terhadap pelaku kejahatan terhadap benda budaya dunia. Karena penghukuman hanya dapat dilakukan negara masing-masing.75 Penghancuran Patung Buddha Bamiyan mengingatkan dunia internasional hukum internasional masih belum memiliki kekuatan dalam upaya perlindungan warisan budaya dunia. Ketika itu bahkan pimpinan Taliban Mullah Mohammed Omar yang memimpin upaya perusakan tersebut tak dapat dihukum, walaupun sudah jelas peranan para pelakunya. Kasus inilah yang kemudian memicu UNESCO untuk mengkaji ulang seluruh peristiwa hukum yang berkaitan dengan perlindungan dan penghukuman terhadap perusakan warisan budaya dunia yang telah terjadi beberapa dekade ini sejak dikeluarkannya Konvensi –Konvensi Jenewa 1949 dalam sebuah pertemuan Convention Concerning The Protection of The World Cultural and Natural Heritage World Heritage Commite, pertemuan sesi ke-25, di Finlandia pada tanggal 11-16 Desember 200176. 74 Ibid Ibid 76 Majelis Umum dalam Komite Warisan Dunia, ke-25 dibentuk untuk mempertimbangkan: cara dan sarana dalam pelaksanaan World Heritage Convention agar dapat diperkuat, terutama 75 37 Hampir sama dengan apa yang dilakukan oleh Taliban di tahun 2001, dunia kini juga dikejutkan dengan tindakan vandalisme brutal yang dilakukan oleh ISIS (Islamic State of Iraq and Syria). ISIS secara membabi buta telah menghancurkan berbagai monumen situs bersejarah, artefak-artefak serta bendabenda arkeologis lainnya di wilayah Irak dan Syriah. Konflik yang berlangsung memungkinkan ISIS untuk menjarah museum dan menggali situs kuno untuk setiap koin emas dan artefak yang mereka bisa atur lalu lintasnya dan menjadi sumber pendapatan bagi mereka.77 ISIS juga memanfaatkan tingkat pengangguran yang tinggi di kalangan pemuda untuk menciptakan insentif yang lebih bagi penjarahan situs arkeologi dan sejarah. ISIS mengeluarkan izin kepada penduduk setempat untuk menggali situs-situs kuno dan membayar sesuai persentase dari nilai jual benda budaya dari penemuan mereka.78 Uang yang mereka dapatkan pada gilirannya, memungkinkan ISIS untuk melanjutkan serangan terhadap warga sipil Irak dan warisan budayanya. Diperkirakan ISIS menghasilkan US $ 200 Juta per tahun dari penjarahan dalam kaitannya dengan Konvensi UNESCO untuk perlindungan warisan budaya terkait lainnya; langkah-langkah untuk meningkatkan promosi pendidikan, kegiatan peningkatan kesadaran dan komunikasi mengenai nilai-nilai yang tak tergantikan dari warisan budaya manusia; dan mekanisme yang harus ditingkatkan untuk mempromosikan potensi dan dokumentasi ilmiah dari properti warisan budaya dunia yang ada. Bagian II dokumen ini menyajikan teks penuh Resolusi yang diadopsi oleh Majelis Umum sejak sidang umum ke-13 tentang langkah-langkah yang diambil untuk melindungi warisan budaya Afghanistan. Komisi IV Konferensi Umum Kebudayaan UNESCO pada sesi 31 membahas agenda tentang tindakan yang merupakan "kejahatan terhadap warisan budaya umat manusia". Konferensi Umum mengadopsi Resolusi yang disajikan dalam dokumen ini pada bagian III. Convention Concerning The Protection Of The World Cultural And Natural Heritage World Heritage Committee Twenty-fifth session, Helsinki, Finland 11 – 16 December 2001. Executive Summary. 77 Tobin Hartnell dan Bilal Wahab, dalam artikel berjudul "Stop ISIS and Save Iraq's Cultural Heritage" dalam website: http://rudaw.net/mobile/english/opinion/23042015, diakses pada tanggal 18 Desember 2015, Pukul 20.06 WITA 78 Ibid 38 budaya.79 The New York Times melaporkan bahwa ISIS bekerja sama dengan jaringan mafia yang terorganisir dan pedagang gelap.80 Para penawar membuat pesanan khusus dan meminta ISIS untuk mencari tipe barang antik tertentu untuk digali. Memang bagi ISIS, pendapatan dari artefak yang diperdagangkan menjadi pendapatan kedua setelah minyak. Dibandingkan dengan minyak, artefak lebih mudah dijarah dan sulit untuk menghentikan para tentara militernya.81 Sejak pertengahan tahun 2014 hingga Maret 2015 lalu ISIS menunjukkan fanatisme mereka terhadap tempat-tempat bersejarah. ISIS telah berhasil menghancurkan banyak situs-situs bersejarah serta benda-benda arkeologis lainnya di Irak dan Suriah. UNESCO telah membicarakan hal tersebut dengan ketua Dewan Keamanan PBB dan Mahkamah Kriminal Internasional (International Criminal Court).82 Irena Bukova yang beranggapan bahwa penghancuran warisan sejarah itu memang target utama ISIS. ISIS memang mengincarnya secara sistematis.83 Strategi ini dipakai untuk menghancurkan identitas masyarakat dengan cara menghilangkan warisan budaya mereka. Beberapa situs arkeologi telah dihancurkan oleh ISIS di Irak dan Suriah, seperti Nimrud dan Hatra.84 79 Ibid Sarah Almukhtar, dalam artikel berjudul "The Strategy Behind the Islamic State's Destruction of Ancient Site", dikutip dalam website: http://www.nytimes.com/interactive/2015/06/29/world/middleeast/isis-historic-sites-control.html? _r=0, diakses pada tanggal 18 Desember 2015, Pukul 20.17 WITA. 81 Ibid 82 Akses Internet dalam artikel berita berjudul “UNESCO Kecam Penghancuran Kota Kuno di Irak oleh ISIS” dalam website : http://www.satuharapan.com/, diakses pada tanggal 07 April 2015. 83 Ibid 84 Dikutip dari artikel berita berjudul: "ISIS hancurkan 'patung sitaan' di Palmyra". Yang diunggah pada tanggal 02 Juli 2015, diakses dalam website: 80 39 2.2.3 Kejahatan Terhadap Benda Budaya Iconoclast dalam Hukum Internasional Mengenai pengertian kejahatan terhadap benda budaya dapat kita amati dalam berbagai statuta internasional. Salah satunya terdapat dalam Bab 4 dalam Second Protocol of Hague Convention 1954 yang menjelaskan mengenai “Criminal Responsibility and Jurisdiction” atau kewenangan dan pertanggung jawaban tindak kriminal. Pengertian kejahatan terdapat dalam Pasal 15, mengenai pelanggaran berat dalam protokol ini (Serious violations of this protocol). Pada Pasal 15 ayat 1 disebutkan bahwa: Setiap orang melakukan kejahatan dalam pengertian Protokol ini jika orang tersebut sengaja dan melanggar Konvensi atau Protokol ini melakukan salah satu dari tindakan berikut: a) menyerang obyek benda budaya yang ada dalam enhanced protection; b) menggunakan atau memanfaatkan obyek benda budaya atau lingkungan sekitarnya yang berada dibawah perlindungan khusus untuk aksi militer; c) perusakan besar-besaran properti budaya dalam perlindungan Konvensi dan Protokol ini; d) menjadikan properti budaya dalam perlindungan Konvensi dan Protokol ini sebagai obyek penyerangan; e) pencurian, perusakan, penyalah gunaan, atau tindakan vandalisme atas properti budaya yang dilindungi Konvensi. (Terjemahan Penulis) Definisi mengenai kejahatan terhadap benda budaya juga terdapat dalam Additional Protocol I 1977, Geneva Conventions (Protokol Tambahan I 1977). Protokol ini berkenaan dengan aturan mengenai perlindungan para korban dalam masa sengketa bersenjata internasional. Mengenai pengertian kejahatan terhadap http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2015/07/150702_dunia_isis_palmyra, Oktober 2015, pukul 14.45 WITA pada tanggal 03 40 kekayaan budaya dunia terdapat dalam Section II, Repression of Breaches of the Conventions and of this Protocol (Represi Pelanggaran dari Konvensi dan Protokol ini) pada Pasal 85 ayat (4) menyebutkan: "Selain pelanggaran berat yang didefinisikan dalam paragraf sebelumnya dan di dalam Konvensi ini, hal-hal berikut ini juga akan dianggap sebagai pelanggaran berat dari Protokol ini, jika dilakukan dengan sengaja dan melanggar Konvensi atau Protokol: (d) Memanfaatkan monumen bersejarah yang dikenal umum, karya seni, tempat peribadatan yang mengandung kekayaan budaya dan spiritual masyarakat dan tempat tersebut telah berada dalam special protection yang telah diatur secara khusus, contohnya, dalam lingkup kerja organisasi internasional yang berkompeten, sebagai obyek penyerangan, hingga menyebabkan suatu akibat dari perusakan besarbesaran dimana tidak ditemukan bukti pelanggaran pada Pasal 53, sub-paragraf b, dan bila memanfaatkan monumen-monumen bersejarah, karya seni dan tempat ibadat yang tak berlokasi dalam obyek militer." (Terjemahan Penulis) Kemudian pada ayat (5), dikatakan bahwa pelanggaran berat pada ketentuan dalam Protokol Tambahan I ini ditentukan sebagai War Crimes atau Kejahatan Perang. Dalam International Criminal Tribunal For Former Yugoslavia (ICTY) Statute, kejahatan terhadap benda budaya dunia terdapat dalam Pasal 3 „Violations of the Laws or Customs of War‟ (Pelanggaran Hukum atau Kebiasaan Perang). Menyatakan bahwa: Mahkamah Internasional haruslah memiliki kuasa untuk menghukum orang yang melakukan pelanggaran hukum dan kebiasaan perang. Pelanggaran tersebut harus meliputi, namun tak dibatasi dengan :... (b) perusakan membabi buta dari kota besar, kota atau desa, atau kehancuran yang tidak dibenarkan oleh kepentingan militer; (c) serangan, atau pemboman, dengan cara apapun, dari kota, desa, tempat tinggal, atau bangunan yang dipertahankan; (d) penyitaan, penghancuran atau pengrusakan yang sengaja dilakukan pada tempat yang didedikasikan untuk kegiatan agama, amal dan 41 pendidikan, seni dan ilmu pengetahuan, monumen bersejarah dan karya seni dan ilmu pengetahuan; (e) penjarahan properti publik atau privat. (Terjemahan Penulis) Dalam Rome Statute of the International Criminal Court (ICC) 17 July 1998, kejahatan terhadap kekayaan budaya dunia juga digolongkan dalam “War crimes”.85 Pengaturannya terdapat dalam Pasal 8 ayat (2) huruf (b) poin (ix) dan Pasal 8 ayat (2) huruf (e) poin (iv) yang memberi penghukuman atas perusakan yang disengaja terhadap properti budaya dalam konflik bersenjata internasional maupun bukan internasional. Pasal-Pasal tersebut berbunyi: - Pasal 8 ayat (2) huruf (a) poin (iv) : "Kejahatan perang" berarti pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949, yaitu, melakukan salah satu tindakan berikut terhadap orang atau properti yang dilindungi berdasarkan ketentuan konvensi Jenewa terkait dengan): … (iv) kehancuran dan perampasan properti, yang tidak dibenarkan oleh kepentingan militer dan dilakukan secara tidak sah dan membabibuta; - Pasal 8 ayat (2) huruf (b): Pelanggaran serius lainnya dari hukum dan kebiasaan yang berlaku dalam konflik bersenjata internasional, dalam kerangka yang ditetapkan hukum internasional, yaitu, salah satu tindakan berikut:… (v) menyerang atau membombardir, dengan cara apapun, kota, desa, tempat tinggal atau bangunan yang dipertahankan dan tempat yang tidak digunakan sebagai tujuan militer);… (ix) sengaja mengarahkan serangan terhadap gedung-gedung yang didedikasikan untuk kegiatan agama, pendidikan, seni, ilmu pengetahuan tujuan amal, monumen bersejarah, rumah sakit, dan tempat-tempat di mana orang sakit dan terluka dikumpulkan, asalkan tempat-tempat itu tidak menjadi tujuan/sasaran militer;... (Terjemahan Penulis) 85 Rome Statute Of The International Criminal Court, Article 8 dibuat dengan judul "War Crime" yang mengindikasikan tindakan-tindakan apa saja yang dapat digolongkan sebagai kejahatan perang. 42 - Pasal 8 ayat (2) huruf (e) : Pelanggaran serius lainnya dari hukum dan kebiasaan yang berlaku dalam konflik bersenjata bukan dari karakter internasional, dalam rangka membentuk suatu hukum internasional, yaitu tindakan berikut : … (ii) sengaja mengarahkan serangan terhadap gedung-gedung, material, unit medis dan transportasi, dan personil yang menggunakan lambang khas dari Konvensi Jenewa sesuai dengan hukum internasional) ;… (iv) sengaja mengarahkan serangan terhadap gedung-gedung yang didedikasikan untuk agama, pendidikan, seni, ilmu pengetahuan atau tujuan amal, monumen bersejarah, rumah sakit dan tempat-tempat di mana orang sakit dan terluka dikumpulkan, asalkan mereka tidak ditergetkan untuk tujuan militer. (Terjemahan Penulis) Dalam Statuta ICC ini tindakan yang dapat digolongkan sebagai "War Crime" yang bisa dihukum oleh ketentuan statuta ini ialah perusakan terhadap benda milik suatu bangsa seperti bangunan, unit medis, rumah sakit, rumah, bangunan bersejarah, gedung pendidikan, gedung yang bertujuan untuk dijadikan sebagai tempat penelitian ilmiah atau kepentingan sosial, mengacu pada konvensi Jenewa 1949. 2.3 Tinjauan Umum Kejahatan Terhadap Kemanusiaan 2.3.1 Pengertian Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Menurut Richard Vernon seperti yang dikutip oleh David Luban,86 ungkapan "kejahatan terhadap kemanusiaan" telah memicu pengertian luar biasa dalam pemikiran hukum dan moral dunia pasca-Perang Dunia II. Ini menunjukkan, setidaknya dalam dua cara yang berbeda betapa besarnya pelanggaran ini. Pertama; frase "kejahatan terhadap kemanusiaan" menunjukkan pelanggaran yang menimbulkan kesedihan hati tidak hanya bagi korban dan 86 Richard Vernon dikutip oleh David Luban, 2004, Dalam The Yale Journal of International Law Vol 29:85, " A Theory of Crime Against Humanity", Gorgetown Law Faculty Publication, Gorgetown, h.86 43 komunitas mereka sendiri, tetapi juga semua umat manusia, tanpa memandang asal komunitas mereka. Kedua; ungkapan itu menunjukkan bahwa pelanggaran tersebut memangkas secara dalam prinsip kemanusiaan yang pokok dimana kita semua sebagai manusia menyebarkannya kepada sesama manusia dan hal ini yang membedakan kita dari makhluk alam lainnya.87 Kejahatan terhadap kemanusian merupakan sebuah penyangkalan kepada nilai-nilai humanis yang kita miliki sebagai manusia untuk hidup saling menghargai, bertoleransi, menyayangi, dan bersama-sama mencintai hidup dan kehidupan ini sebagai makhluk yang berkembang dan diciptakan dari bumi yang sama. Dalam penafsiran ini, "kejahatan terhadap kemanusiaan" menunjukkan bahwa ciri pelanggaran ini ada pada kesalahan pihak-pihak yang berkepentingan. Dalam hukum, beberapa kesalahan terpimpin, seperti tindakan-tindakan yang menyebabkan kerugian yang diperkirakan mempengaruhi korban dan orang-orang yang terkait dengan golongan mereka.88 Kesalahan lain yang diderita korban sama-sama menentukan bahwa tindakan itu juga melanggar norma penting masyarakat, dan masyarakat akan berusaha untuk mempertahankan hak-hak korban yang dimiliki secara merdeka. Kesalahan ini adalah kejahatan, bukan hanya gugatan atau pelanggaran terhadap masyarakat sipil dan lainnya, bukan hanya korban, tetapi hal ini memiliki kepentingan kontribusi dalam penjatuhan hukuman.89 Herlambang, dalam analisisnya terhadap kasus Kordic and Cerkez, Tindakan‐tindakan 87 Ibid Ibid, h.88 89 Ibid 88 tidak manusiawi sebagai suatu kejahatan terhadap 44 kemanusiaan didasarkan pada tindakan‐tindakan yang memenuhi kondisi‐kondisi sebagai berikut: Pertama, penderitaan korban telah terjadi secara serius terhadap tubuh maupun mentalnya, tingkat dari kekejaman haruslah dinilai dalam kasus per kasus dengan memperhatikan keadaan individu; Kedua, penderitaan haruslah akibat dari suatu tindakan atau pembiaran pelaku kejahatan atau bawahannya; Ketiga, saat tindak kejahatan dilakukan, pelaku kejahatan atau bawahannya haruslah telah tergerak oleh niat untuk mengakibatkan kerusakan atau penderitaan serius terhadap fisik dan mental para korban.90 Elemen hukum ini juga haruslah dibuktikan bahwa tindakan‐tindakan tersebut dilakukan sebagai bagian suatu serangan meluas dan sistematik terhadap sebuah populasi sipil. Tidak hanya menyebabkan penderitaan secara fisik saja namun kejahatan terhadap kemanusiaan juga menyebabkan penderitaan secara mental kepada kelompok populasi sipil tertentu.91 2.3.2 Pengaturan Hukum Internasional Mengenai Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Istilah “kejahatan terhadap kemanusiaan” pertama kali diungkapkan dalam Nuremberg Charter pada tahun 1945; tetapi tetap menjadi sebuah kontroversi apakah ini merupakan tindakan legislatif menciptakan sebuah definisi kejahatan baru atau apakah itu hanya diartikulasikan sebagai kejahatan yang 90 R. Herlambang Perdana Wiratraman, "Konsep Dan Pengaturan Hukum Kejahatan Terhadap Kemanusiaan" dalam Jurnal Ilmu Hukum Yuridika Volume 23 No. 2 Mei‐Agustus 2008 Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, h.10 analisisnya dalam kasus Kordic and Cerkez, (ICTY, Appeal Chamber), December, 17, 2004 91 Ibid 45 sudah tertanam dalam struktur hukum kebiasaan internasional.92 Pandangan di kemudian hari ini bisa dibilang didukung oleh prinsip-prinsip umum hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa, misalnya, sebagaimana dibuktikan oleh, "Klausula Martens" pada tahun 1899 dan 1907 Konvensi Den Haag, mengacu pada "hukum kemanusiaan"; Deklarasi Bersama 28 Mei 1915, mengutuk "kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban", dan laporan tahun 1999 dari Commission on the Responsibility of the Authors of War, menganjurkan untuk mengenakan tanggung jawab pidana secara individual untuk pelanggaran terhadap "hukum kemanusiaan".93 Pasal 6 huruf (c) dari Nuremberg Charter mendefinisikan "kejahatan terhadap kemanusiaan" sebagai: "Pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, deportasi, dan tindakantindakan lain yang tidak manusiawi yang dilakukan terhadap penduduk sipil, sebelum atau selama perang, atau penganiayaan atas dasar politik, ras atau agama dalam perbuatannya atau sehubungan dengan kejahatan yang ada pada yurisdiksi Pengadilan, apakah tindakan itu termasuk atau tidak melanggar hukum negara di mana perbuatan itu dilakukan" (Terjemahan Penulis) Formulasi dalam Nuremberg Charter kemudian digabungkan dengan beberapa perubahan, dalam Tokyo Charter dan dalam Allied Control Council Law No. 10.94 Pada dekade berikutnya, upaya untuk menguraikan definisi yang secara umum diterima dari kejahatan terhadap kemanusiaan tidak membuat kemajuan.95 92 Darryl Robinson, 1999, "Defining 'Crimes Against Humanity' at the Rome Conference", The American Journal of International Law, Vol. 93, No. 1 (Jan., 1999), Newyork, American Society of International Law. h.44 93 Ibid 94 Tokyo Charter, supra note 2; Allied Control Council Law No. 10, Control Council For Germany, Official Gazetre, Jan. 31, 1946, at 50. Darryl Robinson, Op.Cit. h.45 95 Setelah menyusun laporan tentang pokok-pokok Nuremberg Tribunal pada tahun 1950, Komisi Hukum Internasional menyiapkan rancangan peraturan terhadap pelanggaran Perdamaian dan Keamanan Manusia pada tahun 1954, dan ditindaklanjuti dengan penyampaian draft peraturan 46 Perkembangan utama berikutnya adalah adopsi oleh Dewan Keamanan ICTY (International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia) dan Statuta ICTR (International Criminal Tribunal for Rwanda) pada tahun 1993 dan 1994 secara tersendiri. Definisi "kejahatan terhadap kemanusiaan" di setiap Statuta berisi daftar tindakan tidak manusiawi, diawali oleh pembukaan yang menggambarkan keadaan di mana komisi dari perumusan peraturan tersebut mengkaji seberapa besar dampak tindakan-tindakan kejahatan tersebut terhadap kemanusiaan.96 Ada perbedaan antara kedua definisi ini; misalnya, Statuta ICTY menunjukkan bahwa penghubungan konflik bersenjata dengan perbuatan tersebut diperlukan, sedangkan Statuta ICTR menunjukkan bahwa motif diskriminatif diperlukan didalamnya. Uraian selanjutnya akan disajikan pengertian kejahatan terhadap Kemanusiaan (Crime Against Humanity) yang diatur dalam beberapa Statuta internasional. 2.3.2.1. International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia (ICTY) Dalam Statuta ICTY, kejahatan terhadap kemanusiaan terdapat dalam Pasal 5 (Crime Against Humanity) yang menyebutkan: Pengadilan Internasional (untuk Yugoslavia) memiliki kemampuan untuk menuntut orang-orang yang bertanggung jawab atas kejahatan berikut ketika dilakukan dalam konflik bersenjata, baik internasional maupun internal dalam karakter, dan ditujukan terhadap penduduk sipil: (a) pembunuhan; (b) pemusnahan; (c) perbudakan; (d) deportasi; (e) penjara; (f) persekusi; Kejahatan terhadap Perdamaian dan Keamanan Manusia pada tahun 1991 dan revisi lain pada tahun 1996; tapi ini belum berkembang menjadi instrumen internasional., Ibid 96 Ibid, h.45 47 (g) perkosaan ; (h) penganiayaan atas dasar politik, ras dan agama; (i) tindakan tidak manusiawi lainnya (Terjemahan Penulis) Dalam Statuta ICTY, kejahatan yang disebutkan di atas haruslah dilakukan pada saat perang sejak tahun 1991, dan dilakukan di negara bekas Yugoslavia termasuk Macedonia dan Kosovo.97 2.3.2.2. International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) Statuta ICTR memberikan pengaturan tentang kejahatan kemanusiaan yang sedikit berbeda dengan Statuta ICTY. Pengaturan kejahatan kemanusiaan diatur dalam Pasal 3 (Crime Against Humanity) sebagai berikut: "Pengadilan Internasional untuk Rwanda memiliki kemampuan untuk menuntut setiap orang yang bertanggung jawab atas kejahatan berikut ini yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang sistematis dan meluas terhadap penduduk sipil atas dasar kebangsaan, politik, etnis, ras, atau agama: a) pembunuhan; b) pemusnahan; c) perbudakan; d) deportasi; e) pengekangan; f) persekusi; g) pemerkosaan ; h) penganiayaan atas dasar politik, ras dan agama; i) tindakan tidak manusiawi lainnya" (Terjemahan Penulis) Perbedaan mendasar pengaturan mengenai kejahatan kemanusiaan dari kedua Statuta ICTY dan ICTR di atas dapat dilihat dari kondisi saat perbuatan tersebut dilakukan. Dalam Statuta ICTY ditegaskan bahwa syarat terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan adalah perbuatan tersebut dilakukan pada saat situasi konflik bersenjata baik bersifat internasional maupun bersifat domestik. Sedangkan dalam Statuta ICTR, kejahatan kemanusiaan terjadi ketika perbuatan 97 Tolib Effendi, Op.Cit. h. 103 48 tersebut dilakukan sebagai bagian dari serangan yang bersifat meluas dan sistematis serta perbuatan penyerangan tersebut dilakukan atas dasar diskriminasi kebangsaan, politik, etnis, ras, atau agama. 2.3.2.3. Rome Statute of The International Criminal Court (ICC) Perkembangan hukum internasional dalam memerangi kejahatan terhadap kemanusiaan mencapai puncaknya pada 17 Juli 1998. Konferensi Diplomatik PBB mengesahkan Statuta Roma tentang Pendirian Mahkamah Pengadilan Internasional, yang akan mengadili pelaku kejahatan yang paling serius dan menjadi perhatian masyarakat internasional, yaitu: Genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. Dimasukkannya kejahatan terhadap kemanusiaan ke dalam Statuta Roma mengokohkan konsep tersebut menjadi suatu treaty norm.98 Penciptaan Pengadilan juga membuka jalan untuk pengembangan badan yurisprudensi internasional tentang kejahatan terhadap kemanusiaan, yang membantu memandu delegasi dalam pertemuan pada Konferensi Roma.99 Pasal 7 ayat (1) dari Rome Statute menjadi rujukan yuridis mengenai definisi tentang kejahatan terhadap kemanusian dalam penilaian-penilaian kasuskasus kemanusiaan yang isinya: (1) Untuk tujuan Statuta ini, 'kejahatan terhadap kemanusiaan' berarti salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematis terhadap penduduk sipil, dengan pengetahuan terhadap serangan : (a) Pembunuhan ; (b) Pembasmian; 98 Mahkamah Agung Republik Indonesia bekerjasama dengan Kedutaan Besar Kerajaan Denmark, The Asia Foundation dan Lembaga Studi dan Advokat Masyarakat (ELSAM),Op.Cit., h. 23 99 Darryl Robinson, Op.Cit. h.45 49 (c) Perbudakan; (d) Deportasi atau pemindahan penduduk secara paksa; (e) Pemenjaraan atau perampasan berat kebebasan fisik lain yang melanggar aturan dasar hukum internasional; (f) Penyiksaan; (g) Pemerkosaan, perbudakan seksual, prostitusi, kehamilan paksa, sterilisasi paksa, atau bentuk lain dari kekerasan seksual yang memiliki titik berat sebanding; (h) Persekusi (Persecution) terhadap kelompok yang diidentifikasi atau secara kolektiv merujuk pada politik, rasial, nasional, etnis, budaya, agama, jenis kelamin sebagaimana didefinisikan dalam Ayat 3, atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional, sehubungan dengan tindakan apapun yang disebut dalam Ayat ini atau kejahatan dalam yurisdiksi Pengadilan;100 (i) Penghilangan paksa orang; (j) Kejahatan apartheid; (k) Perbuatan tak manusiawi lainnya dengan sifat yang sama secara sengaja menyebabkan penderitaan, atau luka serius terhadap badan atau mental atau kesehatan fisik. (Terjemahan Penulis) Pasal 7 ayat (1) dari Rome Statute adalah kontribusi yang signifikan terhadap perbaikan hukum pidana internasional, karena hal itu merupakan contoh pertama dari definisi kejahatan terhadap kemanusiaan yang dikembangkan oleh negosiasi multilateral antara 160 negara.101 Dimasukkannya tindakan penghilangan paksa dan kejahatan apartheid secara eksplisit mengakui dua jenis tindakan tidak manusiawi yang menjadi perhatian khusus pada masyarakat internasional. Istilah ini relatif jelas seperti "penganiayaan" dan "tindakan tidak manusiawi lainnya" yang dipertahankan dengan memperjelas dan mempertegas ruang lingkup mereka dalam Ayat (2) dan (3).102 100 Persekusi (Persecution) dijelaskan dalam Pasal 7 ayat (2), point (g) bahwa: "Persekusi" berarti perampasan secara intentional dan keras dari hak-hak fundamental yang bertentangan dengan Hukum Internasional dengan alasan dari identitas dan kolektivitas kelompok tertentu. 101 Darryl Robinson, Op.Cit. h.45 102 Ibid 50 Statuta Roma 1998 memiliki syarat yang lebih lengkap dan rinci dibanding kedua Statuta sebelumnya (ICTY dan ICTR). Syarat tersebut diantaranya: 1. Luas dan sistematis. Chesterman seperti yang dikutip oleh Tolib, berpendapat bahwa istilah luas (widespread) merujuk pada banyaknya jumlah korban, sedangkan istilah sistematis (systematiche) merujuk pada adanya kebijakan atau rencan untuk melakukan serangan yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. 2. Sebagai bagian dari serangan yang luas dan sistematis. Perbuatan yang dimaksud sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dalam Pasal 7 Statuta Roma 1998 harus merupakan bagian dari serangan yang luas dan sistematis. 3. Dengan pengetahuan terhadap adanya serangan. Istilah “with knowledge of the attack” dalam kalimat “…acts committed…with knowledge of the attack” mensyaratkan bahwa upaya dikatakan ada terhadap kejahatan kemanusiaan apabila, pelaku yang melakukan tindakan yang dirinci sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan haruslah mengetahui bahwa di lingkungannya sedang terjadi serangan yang luas dan sistematis terhadap target kejahatan.103 Dari ketentuan Pasal 7 ayat (1) dari Rome Statute di atas dapat dilihat bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan tidak saja terjadi dalam masa perang atau pada 103 Tolib Effendi, Op. Cit., h. 110 51 saat konflik bersenjata tetapi juga dapat terjadi pada masa damai. Pertangggung jawab terhadap kejahatan ini tidak terbatas kepada aparatur negara (state actor), melainkan juga pada pihak yang bukan dari unsur negara (non-state actors). 2.3.3 Penghancuran Properti Budaya (Iconoclast) sebagai Tindak Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Tindakan penghancuran benda budaya secara membabibuta dalam bentuk perbuatan iconoclast merupakan perbuatan yang tidak hanya menimbulkan kerugian secara materiil namun juga memiliki efek moral terhadap korban yang memiliki hubungan batin secara emosional terhadap benda-benda ataupun objekobjek budaya tersebut. Kejahatan iconoclast dapat dikategorikan tidak hanya hanya sebagai kejahatan perang/War Crime saja namun secara luas ia juga merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan/ Crime Against Humanity, faktanya terkadang tindak kejahatan itu dapat juga terjadi dalam situasi keadaan tanpa perang (masa damai). Seperti dalam kejadian tindak penghancuran Masjid Babri di India dimana negara tidak dalam situasi perang baik dengan pemberontak maupun dengan negara lain.104 Menurut Richard Vernon seperti yang dikutip oleh David Luban, ungkapan "kejahatan terhadap kemanusiaan" telah mengakuisisi gaung luar biasa dalam pemikiran hukum dan moral dunia pasca-Perang Dunia II. Ini menunjukkan, setidaknya dalam dua cara yang berbeda betapa besarnya pelanggaran ini. Pertama, frase "kejahatan terhadap kemanusiaan" menunjukkan pelanggaran yang menimbulkan kesedihan hati tidak hanya bagi korban dan 104 Fransesco Fianconi dan Federico Lenzerini, Op.Cit,. h.625 52 komunitas mereka sendiri, tetapi juga semua umat manusia, tanpa memandang asal komunitas mereka. Kedua, ungkapan itu menunjukkan bahwa pelanggaran tersebut memangkas secara dalam pelanggaran terhadap kemanusiaan yang pokok dimana kita semua sebagai manusia menyebarkannya kepada sesama manusia dan hal ini yang membedakan kita dari makhluk alam lainnya.105 Kejahatan terhadap kemanusian merupakan sebuah penyangkalan kepada nilai-nilai humanis yang kita miliki sebagai manusia untuk hidup saling menghargai, bertoleransi, menyayangi, dan bersama-sama menghargai hidup dan kehidupan ini sebagai makhluk yang berkembang dan diciptakan dari bumi yang sama-sama kita nikmati. Para sarjana mengatakan bahwa kehancuran benda budaya secara disengaja dan membabibuta begitu merugikan dibandingkan dengan kehancuran yang disebabkan akibat konflik. Roger O‟keefe, terkait dengan penghancuran properti budaya dan kejahatan terhadap kemanusiaan merujuk pada International Military Tribunal (IMT) di Nuremberg yang menghakimi kasus penganiayaan dengan 'alasan politik, ras dan agama' masyarakat Muslim Bosnia menyatakan bahwa penghancuran yang melanggar hukum dan penjarahan kekayaan budaya di wilayah-wilayah pendudukan seperti di Timur Yugoslavia tidak hanya untuk kejahatan perang pada skala yang luas tetapi juga untuk kejahatan terhadap kemanusiaan.106 IMT menyatakan bahwa penghancuran yang melanggar hukum 105 Richard Vernon, 2002, What Is a Crime Against Humanity?, 10 J. POL. PHIL. h.231, 242-45, dikutip dari David Luban, 2004, Dalam The Yale Journal of International Law Vol 29:85, " A Theory of Crime Against Humanity", Gorgetown, Gorgetown Law Faculty Publication. h.86 106 Nuremberg Judgment (1947) 41 American Journal of International Law 172, 249, Roger O‟keefe, 2011, "Protection Of Cultural Property Under International Criminal Law", dalam Melbourne Journal of International Law, Melbourne, h.42 dapat diakses dalam web: 53 dan penjarahan kekayaan budaya tidak hanya dinilai sebagai kejahatan perang pada skala yang luas tetapi juga sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.107 Kejahatan tertentu terhadap kemanusiaan dari 'penganiayaan atas dasar politik, rasial dan agama' yang terwujud dalam Pasal yang dijelaskan dalam Statuta ICTY, Pasal 5 huruf (h).108 Dalam sidang pengadilan Blaškić Trial, Pasal 5 ICTY ini dijabarkan dalam Paragraf 233: "Meliputi tidak hanya kerugian fisik dan mental dan juga pelanggaran pada kebebasan individu tetapi juga bertindak ... seperti menargetkan properti, asalkan orang yang menjadi korban secara khusus dipilih atas dasar benda tersebut terkait dengan milik komunitas tertentu" (Terjemahan Penulis)109 Majelis menerima pendapat penuntut bahwa kategori penganiayaan yang dilakukan dapat mengambil bentuk tindakan penyitaan diskriminatif atau penghancuran bangunan simbolik milik penduduk Muslim Bosnia Herzegovina.110 Syarat mens rea/ keadaan mental untuk kejahatan terhadap kemanusiaan adalah niat untuk melakukan pelanggaran yang mendasari tindakan tersebut kemudian dikombinasikan dengan pengetahuan tentang bagaimana tindakan tersebut meluas atau dilakukan secara sistematis melalui serangan terhadap penduduk sipil.111 Adapun tindakan penganiayaan khusus dalam bentuk penghancuran diskriminatif benda budaya, terdakwa harus dibuktikan bahwa tindakannya dilakukan untuk menghancurkan atau merusak properti secara http://www.austlii.edu.au/au/journals/MelbJIL/2010/13.html. (Selanjutnya disebut dengan Roger O' keefe 2) 107 Ibid 108 Ibid. h.43 109 Ibid 110 Blaškić Trial (International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia, Trial Chamber, Case No IT-95-14-T, 3 March 2000) para.227 111 Kunarac Appeal (International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia, Appeals Chamber, Case No IT-96-23 & IT-96-23/1-A, 12 June 2002) para.102. 54 ekstensif atau telah bertindak secara membabibuta mengabaikan kemungkinan dari kerusakan atau kehancuran benda budaya tersebut.112 112 Milutinović Trial (International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia, Trial Chamber,Case No IT-05-87-T, 26 February 2009) para.206 dan para.210.