perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user BAB IV

advertisement
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV
ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
A. Analisis Data
Analisis kajian stilistika pada lirik lagu komunitas JHF adalah analisis mengenai
gaya (style) yang ditunjukkan dalam lirik lagu komunitas JHF. Data yang berupa
lirik-lirik lagu tersebut telah disajikan dan dapat di lihat pada halaman lampiran yang
didalamnya terdapat lirik-lirik dari 10 lagu komunitas JHF beserta terjemahannya.
Deskripsi mengenai gaya (style) yang akan dianalisis dalam penelitian ini yaitu, 1)
pemanfaatan aspek bunyi (purwakanthi), 2) Pilihan kata dan aspek penanda
morfologis, 3) Penggunaan gaya bahasa, dan 4) Penggunaan pencitraan dalam lirik
lagu komunitas JHF.
1. Pemanfaatan Aspek Bunyi (Purwakanthi)
Purwakanthi adalah bentuk persamaan bunyi pada suatu kalimat, baik itu bunyi
vokal atau konsonan saja maupun persamaan kata dalam sebuah kalimat. Adanya
persamaan aspek bunyi ini menunjukkan nilai keestetisan dari kalimat tersebut
apabila diucapkan. Dalam lirik lagu komunitas JHF ditemukan adanya pemanfaatan
pada aspek bunyi (purwakanthi) yang terdiri dari purwakanthi swara, purwakanthi
sastra, dan purwakanthi lumaksita (basa).
a. Purwakanthi Swara (Asonansi)
Purwakanthi swara merupakan bentuk pengulangan pada bunyi vokal dalam
satuan larik kalimat yang biasanya digunakan dalam suatu karya puisi maupun
commit to user
50
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
51
prosa untuk menunjukkan adanya nilai keindahan yang ada didalamnya.
Pengulangan bunyi vokal yang sama ini terjadi baik diawali maupun tidak diawali
oleh bunyi vokal konsonan. Dalam lirik lagu komunitas JHF ditemukan adanya
purwakanthi swara, dapat ditunjukkan pada data-data berikut.
1) Asonansi Bunyi Vokal /a/ [a]
(1)
Nagari gemah ripah kang merdika (SOS/4/3)
‘Negara tenteram makmur yang merdeka’
(2)
Marang donya lan manungsane (SOS/9/4)
‘Pada dunia dan manusianya’
(3)
Lho kok ratu kadi pak tani (NKP/5/4)
‘Lho mengapa ratu seperti pak tani’
(4)
Mlarat rung karuan susah
Susah ra isa disawang (NKP/6/2,3)
‘Miskin belum tentu susah’
‘Susah tak bisa dipandang’
(5)
Yen sapimu masuk angin tambanana
Jamune ulekan lombok, bawang, uyah, kecap (NKP/7/4,5)
‘Jika sapimu masuk angin obatilah’
‘Jamunya ulekan cabai, bawang, garam, kecap’
(6)
Ondhe-ondhe jemblem bakwan
Urip ki padha wong jajan
Kabeh ora bisa dipangan
Mula elingana dhandhanggulane jajan (NKP/12/1-4)
‘Ondhe-ondhe jemblem bakwan’
‘Hidup itu sama seperti orang jajan’
‘Semua tidak bisa dimakan’
‘Maka ingatkan enaknya jajan’
(7)
Marang kawula ingkang kathah lepat lan dosa (NP/17/4)
‘Pada saya yang banyak salah dan dosa’
(8)
Yo Ki Ageng Gantas gek ndang dibrantas
Wis saya panas
Sumangga kersa dipunbabat tuntas (KN/6/2-4)
‘Mari Ki Ageng Gantas segera dibrantas’
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
52
‘Sudah semakin panas’
‘Mari ikut menyelesaikan’
(9)
Mangke ndak dhawah (KN/8/1)
‘Nanti malah jatuh’
(10)
Matak aji gaman sami dipunhunus teng arsa (KN/11/3)
‘Menggunakan kekuatan dengan alat yang digunakan di muka’
(11)
Saka jaman perjuangan nganti merdeka (JI/4/2)
‘Dari zaman perjuangan hingga merdeka’
(12)
Nek wong kere leh gendhakan ning hotel murahan
Durung nganti anget kena razia kisinan (OCON/3/3,4)
‘Kalau orang miskin berselingkuh di hotel murahan’
‘Belum sampai hangat kena razia memalukan’
(13)
Beras larang minyak mundhak ra karu-karuan (OCON/6/3)
‘Beras mahal minyak naik tidak tanggung-tanggung’
(14)
Bar digambar temone seneng ora karuan
Saking senenge nganti gelem dijak kelonan
Cepet-cepet gage dha golek hotel murahan
Lagi krusak-krusek lha kok ya ana gropyokan (OCON/11/1-4)
‘Setelah digambar temonnya suka tidak karuan’
‘Karena begitu sukanya sampai mau diajak tidur’
‘Cepat-cepat pada mencari hotel yang murah’
‘Baru krusak-krusek lha kok ya ada grebekan’
(15)
Akale wong lanang nek dolan ning pasar Kembang
Gawe alasan golek aman ben ra konangan (OCON/18/1,2)
‘Akalnya laki-laki kalau main di pasar Kembang’
‘Membuat alasan cari aman supaya tidak ketahuan’
(16)
Manuk podhang mabur mlebu kurungan
Gage dikancing nganggo gembok kuningan
Ra entek-entek lehku seneng gendhakan
Nganti modar nganti tekan kuburan (OCON/22/1-4)
‘Burung podang terbang masuk sangkar’
‘Segera dikunci dengan gembok kuningan’
‘Tak habis-habis aku suka selingkuh’
‘Sampai mati sampai di kuburan’
(17)
Pancen saiki jamane, jaman edan
Munggah bulan numpak dokar, saya edan (JJJE/1/1,2)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
53
‘Memang sekarang zamannya, zaman gila’
‘Naik ke bulan dengan dokar, makin gila’
(18)
Jamane jaman edan
Ra edan ra keduman (JJJE/5/1,2)
‘Zamannya zaman gila’
‘Tak gila tak kebagian’
(19)
Budhal ngajar ja nganti telat (JJG/3/3)
‘Berangkat mengajar jangan sampai terlambat’
(20)
Yen nangis ndak ilang ayune (LL/2/4)
‘Kalau menangis nanti hilang cantiknya’
(21)
Marang kanugrahan kang satuhu marang putramu (LL/7/4)
‘Pada keanugerahan yang sesungguhnya pada anakmu’
(22)
Kae bulane ndadari (LL/8/2)
‘Itu bulannya bundar’
(23)
Nalika biyen sangang sasi ing garbane
Ibu tansah sabar nadyan ra penak rasane (LL/9/1,2)
‘Ketika dulu sembilan bulan diperutnya’
‘Ibu selalu sabar walaupun tidak nyaman rasanya’
(24)
Marang ibu kang wis nggulawentah (LL/10/1)
‘Pada ibu yang sudah mendidik’
Pada data yang telah dipaparkan di atas dapat ditemukan berbagai bentuk
atau pola yang bervariasi dari purwakanthi swara (asonansi) /a/ [a]. Pola
yang bervariasi tersebut dapat dilihat pada asonansi /a/ [a] yang muncul di
hampir semua unsur langsungnya yang dapat menambah nilai estetis dari
kalimat itu sendiri seiring dengan keselarasan bunyi yang ada. Pola tersebut
dapat ditunjukkan pada data (1), (3), (11), (19), dan (20) yang muncul bunyi
/a/ pada empat kata dalam satu kalimat atau unsur langsungnya. Data (2) dan
(24) muncul bunyi /a/ pada tiga kata dalam satu kalimat. Sedangkan pada data
(7) muncul sebanyak enam kali, yaitu pada kata marang ‘pada’, kawula
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
54
‘saya’, ingkang ‘yang’, kathah ‘banyak’, lepat ‘salah’, lan ‘dan’, data (10)
muncul lima kali pada kata macak ‘berhias’, aji ‘nilai’, gaman ‘alat’, sami
‘pada’, arsa ‘muka’. Data (4), (5), (15), (17), dan (23) pada dua baris
kalimatnya hampir semua kata mengandung asonansi /a/ [a] yang semakin
menunjukkan adanya keselarasan bunyi vokal /a/ [a].
Selain itu, ditemukan juga adanya asonansi /a/ [a] disemua kata di dalam
kalimatnya yaitu pada data (9), (13), (18), (21), dan (22). Pemanfaatan bunyi
asonansi /a/ [a] yang muncul pada data (6), (12), (14), dan (16) terletak pada
suku kata yang terakhir di setiap kalimatnya, dimana bunyi vokal yang
muncul secara berulang-ulang tersebut selalu diiringi dengan akhiran bunyi
konsonan /n/. Data (6) pada kata bakwan ’bakwan’, jajan ‘jajan’, dipangan
‘dimakan’, data (12) pada kata murahan ‘murahan’, kisinan ‘malu’, data (14)
pada kata karuan ‘karuan’, kelonan ’tidur berangkulan’, murahan ‘murahan’,
gropyokan ‘grebekan’, dan data (16) pada kata kurungan ‘sangkar’, kuningan
‘kuningan’, gendhakan ‘selingkuhan’, kuburan ‘kuburan’. Sedangkan data
(8), asonansi bunyi [a] muncul di akhir suku kata unsur langsungnya dengan
diiringi akhiran bunyi konsonan /s/ yaitu pada kata dibrantas ’diberantas’,
panas ‘panas’, tuntas ‘tuntas’. Adanya permainan bunyi yang muncul dengan
segala variasi polanya sangat menentukan keestetisan keselarasan dan
kesesuaian bunyi yang diciptakan dalam kalimat.
2) Asonansi Bunyi Vokal /a/ [ɔ]
(25)
Ana beja ana cilaka (NKP/2/2)
‘Ada untung ada celaka’
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
55
(26)
Yen ngelak ngombea
Yen ngelih mangana
Yen kesel ngasoa
Yen ngantuk turua (NKP/11/1-4)
‘Jika haus minumlah’
‘Jika lapar makanlah’
‘Jika lelah istirahatlah’
‘Jika ngantuk tidurlah’
(27)
Kowe bakal bisa urip rekasa
Ning kudu percaya uga sregep ndonga
Gusti paringana luwih pangapura (NKP/17/1-3)
‘Kamu nantinya bisa hidup susah’
‘Namun harus percaya juga rajin berdoa’
‘Allah berilah maaf yang lebih’
(28)
Coba rungokna apa sing takkadhakna (KN/2/1)
‘Coba dengarlah apa yang kukatakan’
(29)
Wadya bala kula sampun sumadya (KN/11/2)
‘Pasukan saya sudah di tengah’
(30)
Rungokna iki gatra saka Ngayogyakarta (JI/2/1)
‘Dengarlah ini untaian kata dari Yogyakarta’
(31)
Jaman biyen isih ngonthel numpak pit onta
Saiki wis numpak mobil gedhe tur dawa
Tuku apa-apa ra perlu ndelok rega
Kamengkon ndhisik kerep njaluk aku sega (JJL/13/1-4)
‘Zaman dulu masih bersepeda naik sepeda onta’
‘Sekarang sudah naik mobil besar dan panjang’
‘Membeli apa-apa tak perlu melihat harga’
‘Padahal dulu sering minta aku nasi’
(32)
Bojo loro kabeh kok seneng nggodha
Wis merdeka sih ana kumpeni landa (OCON/19/2-3)
‘Istri dua semua kok suka menggoda’
‘Sudah merdeka masih ada kompeni asing’
(33)
Guru iku wakile wong tuwa
Dipasrahi ndidik anak bisa dadi utama
Mula guru kudu ngadohi panggodha
Uripe sacukupe, sederhana, lan prasaja (JJG/5/1-4)
‘Guru itu wakilnya orangtua’
‘Diamanahi mendidik anak bisa menjadi utama’
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
56
‘Maka guru harus menjauhi hal-hal yang menggoda’
‘Hidup secukupnya, sederhana, dan bersahaja’
(34)
Sekolahku adoh, hondaku taun pitu lima
Disetater macet, eh..karbulatore nggodha
Mula aku ra isa, ora isa teka
Teng..pas jam pitu kurang lima (JJG/9/1-4)
‘Sekolahku jauh, hondaku tahun tujuh lima’
‘Disetater macet, eh..karbulatornya menggoda’
‘Maka aku tak bisa, tidak bisa datang’
‘Teng..tepat pukul tujuh kurang lima’
(35)
Tak gadhang bisa urip mulya
Dadia wanita utama
Ngluhurke asmane wong tua
Dadia pendekaring bangsa (LL/3/1-4)
‘Kuharap bisa hidup bahagia’
‘Jadilah wanita utama’
‘Menjunjung tinggi nama orangtua’
‘Jadilah pahlawan bangsa’
(36)
Mula dha mangertia ibu kuwi suwarga (LL/12/3)
‘Maka pada mengertilah ibu itu surga’
Pada data yang telah dipaparkan di atas, ada tiga variasi pola purwakanthi
swara (asonansi) bunyi /a/ [ɔ] yaitu terletak di akhir suku kata saja dalam
setiap kalimat atau unsur langsungnya, terletak disemua suku kata dalam
kalimat, dan ada juga yang terletak di hampir semua suku kata pada kalimat.
Pada data (26), (27), (31), (32), (33), (34), dan (35) adalah pola variasi
asonansi yang bunyi /a/ [ɔ] terletak di akhir suku kata dalam setiap kalimat.
Pemanfaatan bunyi dengan pola tersebut digunakan untuk memperoleh efek
penekanan di setiap suku kata akhir, sehingga dapat memberikan kesan indah
ketika setiap kalimat diucapkan.
Data (25) pemanfaatan bunyi /a/ [ɔ] terletak disemua suku katanya, yaitu
pada kata ana ‘ada’, beja ‘untung’, cilaka ‘celaka’. Dengan adanya pola
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
57
variasi di setiap kata tersebut menunjukkan bahwa bunyi /a/ [ɔ] sangat
dimanfaatkan oleh pengarang di dalam penyusunan kalimat. Data (28), (30)
adalah data yang menunjukkan pola variasi asonansi yang bunyi /a/ [ɔ]
terletak di hampir semua suku kata unsur langsungnya. Pada data (29)
memiliki dua variasi asonansi bunyi [ɔ], dimana terdapat keindahan bunyi [ɔ]
dihampir semua unsur langsungnya dan keindahan asonansi juga terdapat
pada kata pertama dan kata terakhir suku kata kedua muncul asonansi bunyi
[ɔ] dengan diawali oleh konsonan /dy/, yaitu pada kata wadya ‘pasukan’ dan
sumadya ’tengah’. Data (36) asonansi bunyi [ɔ] yang ditunjukkan berada di
suku kata terakhir yaitu pada kata mula ‘maka’, dha ‘pada’, mangertia
‘mengertilah’, dan suwarga ‘surga’. Dengan adanya pemanfaatan bunyi /a/ [ɔ]
dengan beberapa pola variasinya, menunjukkan bahwa pengarang sangat
mempertimbangkan di dalam penyusunan kalimat-kalimatnya yang bertujuan
untuk memberikan efek estetis dan menciptakan keselarasan bunyi yang ada.
3) Asonansi Bunyi Vokal /i/ [i]
(37)
Merapi ngelingake marang ing Gusti
Segara ngelingake kudu ngidak bumi (SOS/4/6)
‘Merapi mengingatkan pada sang Pencipta’
‘Laut mengingatkan harus menginjak bumi’
(38)
Ngono kuwi jiwa Jawi
Manunggaling kawula Gusti
Mbalung sumsum padha diugemi
Minangka tekad dadi sesanti
Sadumuk bathuk sanyari bumi (SOS/5/1-5)
‘Seperti itu jiwa Jawa’
‘Memasrahkan diri pada Pencipta’
‘Mendarah daging dipegang teguh’
‘Ketika sebuah niat menjadi pertanda’
‘Membela kebenaran hingga mati’
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
58
(39)
Precil mijet wohing ranti (NKP/2/4)
‘Sebentar sekali’
(40)
Ki Daruna Ni Daruni
Wis ya aku bali menyang giri
Kyai Petruk ratu ning Merapi
Lho kok ratu kadi pak tani (NKP/5/1-5)
‘Pak Daruna Bu Daruni’
‘Sudah ya saya kembali ke gunung’
‘Kyai Petruk ratu di Merapi’
‘Lho kok ratu seperti pak tani’
(41)
Pring ori, urip iku mati
Kabeh sing urip mesti bakale mati (NP/4/1,2)
‘Bambu ori, hidup itu mati’
‘Semua yang hidup pasti pada akhirnya mati’
(42)
Mugi Gusti ngapurani kawula alit sing kebak dosa iki (KN/6/1)
‘Semoga Allah memaafkan orang kecil yang banyak dosa ini’
(43)
Inspirasine wis ilang dipendhem mati
Rasa solidaritase wis padha lali
Karya seni kontemporer jaman saiki
Mung kaya mut-mutan ning ilat krasa legi (JJL/4/1-4)
‘Inspirasinya sudah hilang dikubur mati’
‘Rasa solidaritasnya sudah pada lupa’
‘Karya seni kontemporer zaman sekarang’
‘Hanya seperti mengunyah di lidah terasa manis’
(44)
Ana kancaku sing kepengin dadi artis
Pancen dasar bocahe senengane narsis
Banjur tingkah polahe mung sing manis-manis
Malah kaya permen rasane kringis-kringis (JJL/8/1-4)
‘Ada temanku yang ingin jadi artis’
‘Memang dasar anaknya suka narsis’
‘Lalu tingkah lakunya hanya yang manis-manis’
‘Malah seperti permen rasanya kringis-kringis’
(45)
Ana kancaku pelukis kluyuran bengi-bengi
Pamite lunga jare arep golek inspirasi
Ning dalan ketemu karo temon bodine seksi
Kenalan trus gelem digambar ra nganggo klambi (OCON/10/1-4)
‘Ada temanku pelukis main malam-malam’
‘Pamitnya pergi katanya mau cari inspirasi’
‘Di jalan bertemu dengan temon bodinya seksi’
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
59
‘Kenalan lalu mau digambar tidak memakai pakaian’
(46)
Sing nggropyok polisi numpak pick-up bakul kursi
Tanpa basa-basi kabeh kamar disatroni
Banjur diklumpuke dikon antri siji-siji
Kabeh digeledhah nek ana sing nyolo wadi (OCON/12/1-4)
‘Yang menggrebek polisi naik pick-up penjual kursi’
‘Tanpa basa-basi semua kamar dicek’
‘Lalu dikumpulkan disuruh antri satu-satu’
‘Semua digeledah kalau ada yang menyembunyikan rahasia’
(47)
Politik saiki malih dadi campursari (JJJE/13/4)
‘Politik sekarang berubah menjadi campursari’
(48)
Sepur gluthuk kecemplung kali
Negarane ambruk elite lali (JJJE/16/1,2)
‘Kereta api masuk ke sungai’
‘Negaranya ambruk elitnya lupa’
(49)
Gajiku sethithik mung dadi silit (JJG/2/4)
‘Gajiku sedikit hanya jadi kotoran’
(50)
Bengi kudune ngoreksi malah tak gawe nyambi
Ngojek ning jurusan Brebah Gendhingsari
Bali tekan bengi awak kesel njaluk prei
PR murid-muridku ra sida takkoreksi (JJG/11/1-4)
‘Malam seharusnya mengoreksi malah kujadikan sampingan’
‘Ngojek di jurusan Brebah Gendingsari’
‘Pulang sampai malam badan capek minta libur’
‘PR murid-muridku tidak jadi kukoreksi’
(51)
Tambah bengi ora tambah sepi
Tambah anget tambah menari
Dadak teka rombongan pulisi
Ana gropyokan kabeh mlayu wedi (JJG/16/1-4)
‘Semakin malam tidak semakin sepi’
‘Semakin hangat semakin menari’
‘Tiba-tiba datang rombongan polisi’
‘Ada grebekan semua lari ketakutan’
(52)
Aku mlayu sandhalku keri
Kesusu malah nabrak pulisi
Aku kaget setengah mati
Pulisine malah takrangkuli (JJG/17/1-4)
‘Aku lari sandalku ketinggalan’
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
60
‘Terburu-buru malah menabrak polisi’
‘Aku kaget setengah mati’
‘Polisinya malah kupeluki’
(53)
Aku konangan nek guru negri
Guru kok mendem, jare pak pulisi
Tak awur wae leh ku nyauri
Sampeyan pulisi lha kok korupsi (JJG/18/1-4)
‘Aku ketahuan kalau guru negeri’
‘Guru kok mabuk, kata pak polisi’
‘Asal saja yang kujawab’
‘Kamu polisi lha kok korupsi’
(54)
Supados kula saged migunani
Marang nusa bangsa tumrapipun agami (LL/4/3,4)
‘Supaya saya bisa bermanfaat’
‘Bagi nusa bangsa terhadap agama’
(55)
Kae bulane ndadari
Kaya mas buta nggilani (LL/8/2,3)
‘Itu bulannya bulat’
‘Seperti raksasa yang menjijikkan’
Dari data-data di atas, ada dua macam pola variasi asonansi bunyi /i/ [i]
yang ditemukan, yaitu asonansi bunyi [i] yang terletak di akhir suku kata
setiap unsur langsungnya dan terletak dihampir semua unsur langsungnya.
Untuk pola variasi bunyi [i] yang letaknya di akhir suku kata tiap unsur
langsungnya, seperti data (37), (38), (40), (43), (44), (45), (46), (48), (50),
(51), (52), (53), (54), dan (55). Data (44) keindahan asonansi bunyi [i] muncul
dengan diikuti oleh bunyi konsonan /s/ di tiap suku kata akhir masing-masing
kalimat. Pola variasi dengan adanya persamaan bunyi [i] di akhir suku kata ini
lebih banyak mewarnai di lirik-lirik lagu JHF yang bertujuan untuk
memperindah dan memberi kesan puitis antara lirik satu dengan berikutnya.
Data yang menunjukkan asonansi bunyi [i] yang letaknya dihampir semua
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
61
unsur langsungnya adalah data (39), (41), (42), (47), dan (49). Pola variasi
tersebut bertujuan untuk memberikan efek penekanan pada bunyi [i] agar nilai
keindahan pada kalimat atau unsur-unsur langsungnya muncul.
4) Asonansi Bunyi Vokal /i/ [I]
(56)
Urip iku amrih piye isa ning harmoni (SOS/16/2)
‘Hidup itu seharusnya bagaimana bisa harmoni’
(57)
Pring kuning, urip iku eling (NP/6/3)
‘Bambu kuning, hidup itu ingat’
(58)
Tambur wis ditabuh, suling wis muni (JI/6/1)
‘Genderang sudah ditabuh, suling sudah berbunyi’
Dari data yang telah dipaparkan, ditemukan satu pola variasi asonansi
bunyi [I], yaitu letak persamaan bunyi [I] berada di hampir semua unsur
langsung atau kalimat. Bunyi [I] data (56) muncul tiga kali, pada unsur
pertama kata urip ‘hidup’ dan amrih ‘agar’, unsur keduanya pada kata ning
‘di’. Data (57) muncul sebanyak empat kali di hampir semua unsur
langsungnya, pada kata pring ‘bambu’, kuning ‘kuning’, urip ‘hidup’, eling
‘ingat’ yang menunjukkan adanya fungsi penegasan mengenai penggambaran
hidup di dunia. Data (58) pemanfaatan bunyi [I] sebanyak tiga kali muncul
pada unsur langsung yang pertama dan kedua, pada kata wis ‘sudah’ di unsur
langsung pertama dan kedua, pada kata suling ‘suling’ di unsur langsung
kedua yang memberikan kesan penjelasan maksud bahwa genderang dan
suling sudah dibunyikan. Adanya persamaan bunyi [I] yang di ikuti dengan
bunyi konsonan memberikan tambahan pada keestetisan kalimat.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
62
5) Asonansi Bunyi Vokal /u/ [u]
(59)
Merapi yaiku
Keraton yaiku
Segara yaiku
Pancering tugu (SOS/3/1-4)
‘Merapi yaitu’
‘Keraton yaitu’
‘Laut yaitu’
‘Pusatnya tugu’
(60)
Mulane uripmu aja dha kaku (NKP/16/1)
‘Maka dari itu hidupmu jangan kaku’
(61)
Nderek langkung nuwun sewu
Njaluk donga lan restu
Ji ro lu
Aku tak nyoba melu mlebu
Nak ora entuk mengko takgajul matamu
Prek su (KN/1/1-4)
‘Permisi’
‘Minta doa dan restu’
‘Tu dua tiga’
‘Aku coba ikut masuk’
‘Kalau tidak boleh nantu kupukul matamu’
‘Prek su’
(62)
Nek takpikir-pikir kok kaya tukang kayu
Mung waton ngemali apa-apa sing payu
Seni saiki nuruti pasar sing mlaku
Dadi bakulan asal tau sama tau (JJL/9/1-4)
‘Kalau kupikir-pikir kok seperti tukang kayu’
‘Hanya asal menghitung apa saja yang laku’
‘Seni sekarang mengikuti pasar yang berjalan’
‘Jadi penjual asal tahu sama tahu’
(63)
Saya suwe dodolane kok saya payu
Tambah sugih wonge uripe tambah maju
Omahe dadi gedhong dicet werna biru
Gedhe magrong-magrong kamare ana pitu, weh wolu (JJL/10/1-4)
‘Semakin lama jualannya kok semakin laris’
‘Tambah kaya orangnya hidupnya tambah maju’
‘Rumahnya jadi gedongan dicat warna biru’
‘Besar gedongan kamarnya ada tujuh, weh delapan’
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
63
(64)
Jaman semana isih ramah karo aku
Kok saiki sikape malih dadi kaku
Ganti hp nganggo hp tipe terbaru
Senengane mung blanja wo mlaku-mlaku (JJL/14/1-4)
‘Zaman dahulu masih ramah denganku’
‘Kok sekarang sikapnya malah jadi kaku’
‘Ganti hp pakai hp tipe terbaru’
‘Sukanya hanya belanja wo jalan-jalan’
(65)
Niatku tuku manuk, leh kurungan (JJJE/2/2)
‘Niatku beli burung, dapat kurungan’
(66)
Sega kucing regane sewu
Rakyate luwe ra isa ngguyu
Rejeki seret kok ra metu-metu
E lha nasibe ya wis kuwi mau (JJJE/4/1-4)
‘Nasi kucing harganya seribu’
‘Rakyatnya lapar tak bisa tersenyum’
‘Rejeki susah kok tak keluar-keluar’
‘E lha nasibnya ya sudah itu tadi’
(67)
Kok ya tega-tegane Sumanto, presidenku
Yo bersatu padhu milih sing kleru (JJJE/17/3,4)
‘Mengapa begitu teganya Sumanto, presidenku’
‘Mari bersatu padu memilih yang keliru’
(68)
Aku ngelak takombeni ciu
Botole putih jerone biru
Aku seneng dadi guru
Masia mendem tetep digugu (JJG/1/1-4)
‘Aku haus kuminumi minuman keras’
‘Botolnya putih dalamnya biru’
‘Aku senang jadi guru’
‘Walaupun mabuk tetap diteladani’
(69)
Ciuku cap guru lan murid (JJG/2/2)
‘Minuman kerasku cap guru dan murid’
(70)
Aku wajib nagih SPP muridku
Nek nganti telat diseneni pimpinanku
Ning anakku dhewe nangis nganti kaku
Merga sekolahe durung takbayar ping telu (JJG/10/1-4)
‘Aku wajib menagih SPP muridku’
‘Kalau sampai terlambat dimarahi pimpinanku’
‘Namun anakku sendiri menangis sampai kaku’
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
64
‘Karena sekolahnya belum kubayar tiga kali’
(71)
Anakku sing ayu rupane(LL/2/3)
‘Anakku yang cantik wajahnya’
(72)
Ibu ing peputra badhe nyuwun pangestu
Tansah lancar anggen kula nuntut ilmu (LL/4/1,2)
‘Ibu anakmu mau minta doa restu’
‘Agar lancar saya menuntut ilmu’
(73)
Pandongane ibuku
Iku sipat kandelku
Gegamaning uripku
Jroning sanubariku (LL/6/1-4)
‘Doanya ibuku’
‘Itu sifat yang ada padaku’
‘Senjata hidupku’
‘Di dalam sanubariku’
(74)
Tetes ingkang waspamu
Tanda tulus atimu
Ingkang tansah lumintu
Marang kanugrahan kang satuhu marang putramu (LL/7/1-4)
‘Tetes air matamu’
‘Tanda tulus hatimu’
‘Yang selalu mengalir’
‘Pada keanugerahan yang selalu untuk putramu’
(75)
Yen ibu nganti duka uripmu bakale susah (LL/10/4)
‘Kalau ibu sampai sedih hidupmu nantinya akan susah’
(76)
Sapa kang wani mblenjani dhawuhe ibu
Apa maneh nglalekne ibu
Bakal nampa dosa sajroning uripmu
Kena murkane Gusti wujud bebendu (LL/11/1-4)
‘Siapa yang berani mengingkari perintah ibu’
‘Apa lagi berani melupakan ibu’
‘Nantinya menerima dosa di dalam hidupmu’
‘Terkena murkanya Allah yang berwujud bencana’
Dari data-data di atas, ditemukan dua pola variasi asonansi bunyi [u], yaitu
pengulangan bunyi [u] yang terletak di akhir suku kata pada tiap kalimat dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
65
di hampir semua unsur langsungnya. Data (59), (61), (62), (63), (64), (66),
(67), (68), (70), (72), (73), (74), dan (76) letak bunyi [u] berada di akhir suku
kata tiap unsur langsungnya. Pola variasi tersebut digunakan pengarang untuk
menunjukkan bahwa antara kalimat satu dengan kalimat selanjutannya sangat
berhubungan, dan kesan indah ingin ditonjolkan oleh pengarang di tiap larik
dalam lagu komunitas JHF.
Data (60), (65), (69), dan (71) penggunaan bunyi [u] sebanyak tiga kali
muncul pada unsur langsung pertama dan kedua yang memberikan nilai
kepaduan bunyi yang menarik pada kalimat tersebut. Sedangkan data (75)
pemanfaatan bunyi [u] sebanyak empat kali pada unsur langsung pertama kata
ibu ‘ibu’, duka ‘sedih’ dan unsur langsung kedua kata uripmu ‘hidupmu’,
susah ‘susah’ yang memberikan fungsi penekanan untuk menjelaskan maksud
akan sebab dan akibat dari kalimat pada data tersebut.
6) Asonansi Bunyi Vokal /u/ [U]
(77)
Pring wuluh, urip iku tuwuh
Aja mung embuh ethok-ethok ora weruh (NP/5/3,4)
‘Bambu wuluh, hidup itu tumbuh’
‘Jangan hanya tidak peduli pura-pura tidak tahu’
(78)
Ora bakal bubrah marga isa melur
Kena dinggo mikul, ning aja ketungkul (NP/15/1,2)
‘Tidak akan rusak karena bisa membaur’
‘Bisa digunakan memikul, tapi jangan terlena’
(79)
Pak Dul sirahe gundhul
Tuku rokok ning Pasar Sentul
Arepa silul kudu wani cucul
Ora cucul ora ngebul (OCON/1/1-4)
‘Pak Dul kepalanya gundul’
‘Beli rokok di pasar Sentul’
‘Kalaupun silul harus berani membuka pakaian’
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
66
‘Tidak membuka tidak mengebul’
(80)
Tak emban slendang batik kawung
Yen nangis ibu mundhak bingung (LL/13/3,4)
‘Ku beri selendang batik kawung’
‘Kalau menangis ibu bisa bingung’
Penggunaan asonansi [U] pada data-data di atas memiliki dua pola variasi,
dimana pola variasi tersebut pemanfaatan bunyi [U] terletak di akhir suku kata
tiap kalimat atau unsur langsungnya dan di hampir semua unsur langsung atau
kalimatnya. Data (77) penggunaan bunyi [U] sebanyak lima kali muncul di
hampir semua unsur langsung, dimana asonansi bunyi [U] tersebut selalu
diikuti oleh bunyi konsonan /h/, seperti pada kata wuluh ‘wuluh’, tuwuh
‘tumbuh’, mung ‘hanya’, embuh ‘tidak tahu’, weruh ‘tahu’. Dengan adanya
kemunculan persamaan bunyi tersebut dapat menambah kesan kemenarikan
dari kalimat-kalimatnya. Data (78) asonansi bunyi [U] muncul di suku kata
yang terakhir setiap kalimatnya, yaitu pada kata melur ‘membaur’ dan
ketungkul ‘terlena’. Data (79) keindahan asonansi bunyi [U] muncul dengan
diikuti bunyi konsonan /l/ di suku kata akhir tiap kalimatnya. Sedangkan data
(80) adalah data dengan penggunaan asonansi bunyi [U] juga terletak di akhir
suku kata pada unsur langsung atau kalimatnya yang diikuti oleh bunyi
konsonan /ng/, yaitu pada kata kawung ‘kawung’ dan bingung ‘bingung’ yang
secara langsung akan memberikan nilai keestetisan terhadap kepaduan bunyi
yang tercipta.
Adapun dalam analisis data ditemukan asonansi [U] bentuk kombinasi,
yaitu.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
67
(81)
Pring apus, urip iku lampus
Dadi wong urip aja seneng apus-apus (NP/4/3,4)
‘Bambu apus, hidup itu mati’
‘Jadi orang hidup jangan suka berbohong’
Data (81) penggunaan bunyi [U] muncul sebanyak empat kali pada dua
baris kalimat yang keindahan asonansinya berbentuk kombinasi dengan
konsonan [p] diawal dan konsonan [s] diakhir huruf vokal [U] sehingga
membentuk bunyi [pUs], yaitu kata apus ‘apus’, lampus ‘mati’, apus-apus
‘berbohong’. Adanya persamaan bunyi tersebut memberikan efek kejelasan
mengenai penggambaran tentang hidup yang hendaknya memiliki sifat jujur.
7) Asonansi Bunyi Vokal /e/ [e]
(82)
Tanda bumi reresik nandang gawe
Marang donya lan manungsane (SOS/8/3,4)
‘Tanda bumi sedang membersihkan dalam bekerja’
‘Pada dunia dan manusianya’
(83)
Njur wetenge wedhakana ki parutan jahe
Urip kudu nyambut gawe
Ja sakpenake dhewe
Kabeh ana aturane (NKP/8/1-4)
‘Lalu perutnya olesilah parutan jahe’
‘Hidup harus bekerja’
‘Jangan seenaknya sendiri’
‘Semua ada aturannya’
(84)
Jaman saiki kabeh dha blereng matane
Padha nuruti pasar apa pesenane
Ngene wis dadi caraku golek pangane
Seni ra penting sing penting entuk duite (JJL/3/1-4)
‘Zaman sekarang semua pada tak jelas matanya’
‘Semua menuruti pasar apa pesanannya’
‘Seperti ini sudah jadi caraku mencari makannya’
‘Seni tidak penting yang penting dapat uangnya’
(85)
Sing dibojo nilai rupiah lan dolare
Golek cara ben payu laris dagangane
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
68
Karya senine lali nggambarke rakyate
Rakyat sing urip sengsara apes nasibe (JJL/5/1-4)
‘Yang disuguhkan nilai rupiah dan dolarnya’
‘Cari cara supaya laku laris dagangannya’
‘Karya seninya lupa menggambarkan rakyatnya’
‘Rakyat yang hidup sengsara sial nasibnya’
(86)
Petruk bingung ngekep bojone
Pikiran nglamun mikir gendhakane
Pancen kadhung rusak negarane
Mula aja gumun nek rakyate kere (OCON/2/1-4)
‘Petruk bingung mendekap istrinya’
‘Pikiran melamun memikirkan selingkuhannya’
‘Memang terlanjur rusak negaranya’
‘Maka jangan heran kalau rakyatnya miskin’
(87)
Timbang mikir nasib susahe
Trima mendem mbangane luwe (JJG/15/1,2)
‘Daripada mikir nasib susahnya’
‘Mendingan mabuk daripada lapar’
Purwakanthi swara (asonansi) bunyi [e] di atas memiliki pola variasi yang
terletak di akhir suku kata pada unsur langsungnya kemudian diulang kembali
pada suku kata terakhir pada unsur langsung berikutnya. Seperti pada data
(82) kata gawe ‘buat’ dan manungsane ‘manusianya’. Selain itu data (83),
(84), (85), (86), dan (87) penggunaan asonansi [e] juga terletak di suku kata
akhir pada kalimat yang kemudian diulang kembali di akhir suku kata pada
kalimat selanjutnya. Hal tersebut menandakan adanya pemilihan kata yang
dilakukan pengarang dalam penyusunan kata-kata untuk menjadi sebuah
kalimat agar keindahan kecocokan dan keselarasan bunyi muncul.
8) Asonansi Bunyi Vokal /e/ [ɛ]
(88)
Merapi horeg, laut kidul gedheg
Angin ribut, udan bledhek (SOS/8/1,2)
‘Merapi gemuruh, laut selatan bergelombang’
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
69
‘Angin ribut, hujan petir’
Pemilihan kata yang menghadirkan asonansi bunyi [ɛ] pada akhir suku kata
di tiap kalimat atau unsur langsung, pada kata gedeg ‘geleng’ dan bledek
‘petir’ mampu memberikan kesan kemenarikan dan memberikan fungsi
kejelasan mengenai suatu peristiwa atau keadaan.
9) Asonansi Bunyi Vokal /e/ [ǝ]
(89)
Pring kuwi suket, dhuwur tur jejeg
Rejeki seret, ra sah dha buneg (NP/3/3,4)
‘Bambu itu rumput, tinggi dan lurus’
‘Rejeki tersendat, tak usah pada pusing’
(90)
Ana kupat kecemplung ning jero santen
Menawi lepat kawula nyuwun ngapunten (OCON/23/3,4)
‘Ada kupat masuk ke dalam santan’
‘Apabila salah saya minta maaf’
Penggunaan asonansi pada data-data di atas melalui pemilihan kata mampu
menghadirkan purwakanthi swara (asonansi) bunyi [ǝ], yaitu pada data (89),
persamaan bunyi [ǝ] hampir terletak disemua unsur langsung, sebanyak lima
kali muncul pada unsur langsungnya. Sedangkan data (90) muncul sebanyak
enam kali, yaitu pada kata kecemplung ‘masuk’, jero ‘dalam’, santen ‘santan’,
menawi ‘apabila’, lepat ‘salah’, dan ngapunten ‘maaf’. Pemilihan kata-kata
yang menunjukkan asonansi bunyi [ǝ] tersebut digunakan pengarang untuk
memberikan kejelasan atau menerangkan maksud dari kalimat pertama yang
kemudian penjelasannya tersebut diletakkan pada kalimat selanjutnya atau
kalimat kedua.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
70
10) Asonansi Bunyi Vokal /o/ [O]
(91)
Pring reketeg gunung gamping ambrol
Ati kudu teteg ja nganti urip ketakol.
Pring reketeg gunung gamping ambrol
Uripa sing jejeg nek ra eling jebol (NP/1/1-4)
‘Bambu reketeg gunung gamping runtuh’
‘Hati harus tegar jangan sampai hidup terlunta-lunta’
‘Bambu reketeg gunung gamping runtuh’
‘Hiduplah yang lurus kalau tidak ingat roboh’
(92)
Urip kuwi abot ja digawe abot
Akeh repot sak trek ora amot (NP/15/3,4)
‘Hidup itu berat, jangan dibuat berat’
‘Banyak repot, setruk tidak muat’
(93)
Omahe ra meh diparani bos kagol
Takon apa ana karya sing siap didol
Karya seni kaya dagangan jenang dodol
Seni kok saya mawut wis modhol-modhol (JJL/15/1-4)
‘Rumahnya kan mau didatangi bos yang kecewa’
‘Bertanya apa ada karya yang siap dijual’
‘Karya seni seperti dagangan jenang dodol’
‘Seni kok semakin ruwet sudah amburadul’
Pola variasi asonansi bunyi [O] yang sering muncul pada data-data di atas,
penggunaan bunyi [O] terletak di akhir suku kata pada unsur langsung atau
kalimatnya kemudian diulang kembali dengan bunyi [O] yang sama pada
unsur langsung atau kalimat berikutnya. Data (91) dan (93) merupakan data
dengan asonansi bunyi [O] terletak di suku kata akhir pada setiap kalimatnya,
dimana asonansi bunyi [O] yang muncul tersebut selalu diikuti oleh bunyi
konsonan /l/. Pola variasi tersebut dimunculkan pengarang untuk menonjolkan
keselarasan bunyi dan keindahan bunyi yang terletak pada akhir kalimatkalimatnya. Data (92) sebanyak empat kali muncul penggunaan bunyi [O] di
akhir suku kata setiap unsur langsung pada kalimat-kalimatnya dengan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
71
kemunculan asonansi [O] yang selalu diiringi bunyi konsonan /t/. Pada unsur
langsung pertama kata abot ‘berat’, yang dimunculkan kembali di akhir suku
kata unsur langsung pertama dengan kata yang sama. Kemudian pada unsur
langsung kedua kata repot ‘repot’ kata amot ‘muat’. Dengan penggunaan
asonansi bunyi [O] yang beruntun secara teratur menunjukkan bahwa
pengarang ingin memberikan efek penekanan untuk menjelaskan bahwa hidup
itu berat dan banyak sekali kerepotan, sehingga jangan sampai dibuat semakin
berat dan repot.
b. Purwakanthi Sastra (Aliterasi)
Purwakanthi sastra (aliterasi) merupakan suatu bentuk pemanfaatan bunyi
dengan pengulangan bunyi konsonan di dalam sebuah kalimat atau rangkaian
kalimat yang bertujuan untuk menonjolkan keestetisan dari kalimat atau
rangkaian kalimat tersebut. Pada lirik lagu komunitas JHF ditemukan penggunaan
aliterasi beberapa bunyi konsonan. Dapat dilihat pada pemaparan di bawah ini.
1) Aliterasi Bunyi Konsonan /d/ [d]
(94)
Ora peduli donya dadi neraka (JI/2/4)
‘Tidak peduli dunia menjadi neraka’
Data (94) dalam pemilihan kata-kata terdapat penggunaan aliterasi bunyi
[d] yang muncul sebanyak tiga kali dan bervariasi. Pada unsur langsung yang
pertama pada kata peduli ‘peduli’ dan di unsur langsungnya yang kedua pada
kata donya ‘dunia’ dan neraka ‘neraka’. Fungsi penekanan bunyi yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
72
ditimbulkan untuk menjelaskan suatu ketidakpedulian terhadap apa yang
terjadi.
2) Aliterasi Bunyi Konsonan /k/ [k]
(95)
Ndelok arek wedok irunge mekrok (JJJE/10/1)
‘Melihat seorang wanita hidungnya mengembang’
Penggunaan aliterasi pada data (95) mampu menghadirkan pengulangan
bunyi [k] yang muncul sebanyak empat kali dalam unsur langsungnya. Pada
unsur langsung yang pertama aliterasi bunyi [k] muncul di akhir suku kata,
yaitu pada kata ndelok ‘melihat’, arek ‘seorang’, wedok ‘wanita’ dan pada
unsur langsung kedua aliterasi bunyi [k] terletak bervariasi, yaitu di tengah
dan akhir suku kata, seperti kata mekrok ‘mengembang’. Di dalam kalimat
tersebut kemunculan keindahan aliterasi bunyi [k] sangat dominan dengan
awalan bunyi vokal [O] sehingga membentuk bunyi [Ok] yang ditunjukkan
pada kata ndelok ‘melihat’, wedok ‘wanita’, dan mekrok ‘mengembang’.
Penggunaan aliterasi [k] pada data tersebut selain berfungsi untuk memberi
penekanan terhadap kalimat juga sangat mendukung untuk menonjolkan
keindahan keselarasan bunyi.
3) Aliterasi Bunyi Konsonan /l/ [l]
(96)
Koalisi politike mung perselingkuhan (OCON/6/2)
‘Kerjasama politiknya hanya perselingkuhan’
(97)
Pilih lali timbang kalah (JJJE/5/3)
‘Pilih lupa daripada kalah’
(98)
Ilmu ilang kesingsal-singsal (JJG/15/3)
‘Ilmu hilang tersingal-singal’
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
73
(99)
Taklela lela lela ledhung (LL/2/1)
‘Kutimang timang anakku’
Data (96) penggunaan aliterasi bunyi [l] muncul sebanyak tiga kali di
tengah suku kata unsur langsungnya, yaitu pada kata koalisi ‘kerjasama’,
politike ‘politiknya’, perselingkuhan ‘perselingkuhan’. Data (97) dan (99)
aliterasi bunyi [l] muncul dengan pola bervariasi, yaitu di awal dan tengah
suku kata unsur langsungnya. Sedangkan data (98) penggunaan aliterasi bunyi
[l] terdapat disemua unsur langsungnya dengan letak bunyi [l] yang
bervariasi, yaitu di tengah dan akhir suku kata pada unsur langsung atau
kalimat ilmu ilang kesingsal-singsal ‘ilmu hilang tersingal-singal’. Hal
tersebut berfungsi untuk memberikan efek kejelasan penggambaran mengenai
ilmu.
4) Aliterasi Bunyi Konsonan /m/ [m]
(100) Mangga sami jumangkah (KN/7/5)
‘Mari bersama melangkah’
(101) Sumangga sami mireng (KN/8/2)
‘Mari bersama memperhatikan’
(102) Mpun mangga sami jumeneng (KN/9/1)
‘Sudah mari bersama berdiri’
Penggunaan aliterasi bunyi [m] pada data (100), (101), dan (102) muncul
dengan pola bervariasi di semua suku kata pada tiap unsur langsung. Pola
variasi tersebut bunyi [m] terletak di awal dan tengah suku kata. Dari ketika
data di atas, memiliki keselarasan atau kepaduan bunyi yang indah dan efek
penekanan yang ada berfungsi untuk menjelaskan ajakan secara bersamasama.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
74
5) Aliterasi Bunyi Konsonan /N/ [ŋ]
(103) Pring deling, tegese kendel lan eling
Kendel marga eling timbang nggrundel nganti suwing (NP/3/1,2)
‘Bambu deling, maksudnya berani dan ingat’
‘Berani karena ingat daripada menggerutu sampai sumbing’
(104) Pring petung, urip iku suwung.
Sanajan suwung nanging aja padha bingung (NP/5/1,2)
‘Bambu petung, hidup itu sepi’
‘Walaupun sepi tetapi jangan pada bingung’
(105) Angking tembang saking lebeting manah (KN/7/3)
‘Asal nyanyian dari dalamnya hati’
(106) Nanging kedah ing anteng (KN/8/3)
‘Tetapi harus tenang’
(107) Nek wong gedhe konangan selingkuh malah kondhang (OCON/4/1)
‘Kalau orang besar ketahuan selingkuh malah terkenal’
(108) Dendeng-dendeng garing dioseng-oseng (JJJE/7/4)
‘Dendeng-dendeng kering dioseng-oseng’
Pada data-data di atas ada beberapa macam pola penggunaan bunyi
konsonan [ŋ]. Data (103) memiliki dua pola penggunaan aliterasi bunyi [ŋ],
yaitu pada unsur langsung pertama persamaan bunyi konsonan [ŋ] terletak di
suku kata akhir, kata pring ‘bambu’, deling ‘deling’, eling ‘ingat’. Sedangkan
pada unsur langsung kedua persamaan bunyi konsonan [ŋ] terletak di suku
kata akhir, yaiktu kata eling ‘ingat’, timbang ‘daripada’, suwing ‘sumbing’
dan di awal suku kata, yaitu kata nggrundel ‘menggerutu’, nganti ‘sampai’.
Data (104) aliterasi bunyi [ŋ] unsul langsung pertama terletak di akhir suku
kata, pring petung, urip iku suwung ‘bambu petung, hidup itu sepi’, dan pada
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
75
unsur langsung kedua terletak di akhir suku kata sekaligus di tengah suku
kata, yaitu kata suwung ‘sepi’, nanging ‘tetapi’, bingung ‘bingung’.
Data (107) juga memiliki pola variasi pada penggunaan aliterasi bunyi [ŋ],
yaitu di akhir dan tengah suku kata pada unsur langsungnya. Data (105),
(106), dan (108) adalah penggunaan aliterasi bunyi [ŋ] yang terletak di akhir
suku kata pada unsur langsungnya. Semua pola yang bervariasi tersebut
sangat mendukung dalam keserasian bunyi pada sebuah komposisi kalimat.
6) Aliterasi Bunyi Konsonan /r/ [r]
(109) Swarga durung weruh, neraka durung wanuh (NKP/1/2)
‘Surga belum melihat, neraka belum tahu’
Penggunaan aliterasi bunyi [r] pada data (109) muncul sebanyak lima kali
yang sebelumnya diikuti dengan bunyi vokal. Penggunaan aliterasi tersebut
terletak di tengan suku kata, swarga durung weruh, neraka durung wanuh
‘surga belum melihat, neraka belum tahu’ yang menunjukkan fungsi
penegasan untuk menjelaskan bahwa belum mengetahui surga dan neraka.
7) Aliterasi Bunyi Konsonan /s/ [s]
(110) Sing sajak nggegirisi (KN/4/2)
‘Yang berlagak menakutkan’
Penggunaan aliterasi bunyi [s] pada data (110) muncul sebanyak tiga kali
di setiap unsur langsung. Pada unsur langsung pertama penggunaan aliterasi
bunyi [s] terletak di awal suku kata, yaitu pada kata sing ‘yang’, sajak
‘berlagak’. Sedangkan pada unsur langsung kedua terletak di bagian akhir
suku kata, yaitu kata nggegirisi ‘menakutkan’. Adanya pemanfaatan bunyi [s]
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
76
di setiap unsur langsung tersebut berfungsi untuk memberikan efek penekanan
pada tiap suku kata kalimat agar maksud dan gambaran tentang hal yang
menakutkan tersebut mudah tersampaikan kepada penikmat lagu.
8) Aliterasi Bunyi Konsonan /w/ [w]
(111) Ngono kuwi jiwa Jawi (SOS/5/1)
‘Seperti itu jiwa Jawa’
Data (111) merupakan satu larik lagu yang didalamnya memuat aliterasi
/w/ yang muncul sebanyak tiga kali, yaitu pada kata kuwi ‘itu’, jiwa ‘jiwa’,
Jawi ‘Jawa’. Perulangan bunyi /w/ tersebut berfungsi untuk memperindah
kalimat sehingga dapat menarik perhatian pembaca atau penikmat lagu.
c. Purwakanthi Lumaksita (Basa)
Purwakanthi lumaksita atau purwakanthi basa adalah bentuk penggunaan kata
atau suku kata yang dianggap penting atau menarik pada satu kalimat kemudian
diulang kembali pada kalimat selanjutnya dengan tujuan untuk menonjolkan
unsur kemenarikan atau memperjelas makna. Dalam lirik-lirik lagu JHF
ditemukan beberapa bentuk perulangan dari purwakanthi lumaksita (basa). Dapat
dilihat pada data-data berikut.
(112) Mlarat rung karuan susah
Susah ra isa disawang (NKP/6/2,3)
‘Miskin belum tentu susah’
‘Susah tak bisa dipandang’
(113) Pring deling, tegese kendel lan eling
Kendel marga eling timbang nggrundel nganti suwing (NP/3/1,2)
‘Bambu deling, maksudnya berani dan ingat’
‘Berani karena ingat daripada menggerutu sampai sumbing’
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
77
(114) Pring petung, urip iku suwung
Sanajan suwung nanging aja padha bingung (NP/5/1,2)
‘Bambu petung, hidup itu sepi’
‘Walaupun sepi tetapi jangan pada bingung’
(115) Pring cendani, urip iku wani
Wani ngadhepi aja mlayu marga wedi (NP/6/1,2)
‘Bambu cendani, hidup itu berani’
‘Berani menghadapi jangan lari karena takut’
(116) Pring kuning, urip iku eling
Wajib padha eling, eling marang sing Peparing (NP/6/3,4)
‘Bambu kuning, hidup itu ingat’
‘Wajib ingat, ingat pada sang Maha Pemberi’
(117) Karya senine lali nggambarke rakyate
Rakyat sing urip sengsara apes nasibe (JJL/5/3,4)
‘Karya seninya lupa menggambarkan rakyatnya’
‘Rakyat yang hidup sengsara sial nasibnya’
(118) Jamane jaman edan
Ra edan ra keduman (JJJE/5/1,2)
‘Zamannya zaman gila’
‘Tak gila tak kebagian’
Perulangan suku kata atau kata pada data (112) terletak pada kata susah
‘susah’ di unsur langsung yang pertama kemudian diulang kembali pada unsur
langsung berikutnya. Data (113) perulangan di unsur langsung pertama kata
eling ‘ingat’ yang diulang kembali pada unsur langsung kedua. Data (114)
suku kata suwung ‘sepi’ pada unsur langsung yang pertama diulang kembali
pada unsur langsung berikutnya. Data (115) terdapat perulangan suku kata
wani ‘berani’ yang kembali diulang pada unsur langsung berikutnya.
Sedangkan data (116) kata eling ‘ingat’ pada unsur langsung pertama diulang
kembali sebanyak dua kali pada unsur langsung yang kedua yang semakin
menambah unsur kemenarikan pada kalimat. Pada data (117) purwakanthi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
78
basa muncul pada kata rakyat ‘rakyat’ yang terletak di akhir kalimat,
kemudian diulang kembali di awal kalimat berikutnya dengan kata yang sama.
Data (118) muncul perulangan pada kata edan ‘gila’ di unsur langsung
pertama yang diulang kembali pada unsur langsung berikutnya. Dengan
adanya perulangan perulangan kata atau suku kata tersebut dapat
memunculkan unsur keindahan kalimat sehingga bisa menarik perhatian para
penikmat lagu.
2. Diksi dan Aspek Penanda Morfologis
a. Diksi (Pilihan Kata)
Diksi (pilihan kata) adalah bentuk pemanfaatan terhadap kata-kata yang
sesuai dengan kebutuhan, yang dipilih berdasarkan perbandingan untuk
menonjolkan nilai keindahan atau efek kemenarikan. Pada lirik lagu
komunitas JHF memanfaatkan pilihan-pilihan kata yang beragam. Hal
tersebut dapat dilihat melalui analisis yang telah dilakukan mengenai pilihan
kata pada lirik lagu komunitas JHF, yaitu meliputi sinonim, antonim,
penggunaan kosakata bahasa Indonesia, penggunaan kosakata bahasa Inggris,
adanya partikel afektif, kata sapaan, kata seru, tembung saroja, dan tembung
plutan. Hasil dari analisis lirik lagu komunitas JHF mengenai pilihan kata
atau diksi dapat dilihat pada pemaparan berikut.
1) Sinonim
Sinonim adalah dua kata atau lebih yang memiliki makna yang hampir
sama atau sama yang bertujuan untuk membantu dalam menyampaikan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
79
gagasan secara umum. Dalam lirik lagu komunitas JHF ditemukan
beberapa kalimat yang mengandung sinonim, dapat dilihat pada analisis di
bawah ini.
(119) Marang kawula ingkang kathah lepat lan dosa (NP/17/4)
‘Pada saya yang banyak salah dan dosa’
(120)
Rakyat sing urip sengsara apes nasibe (JJL/5/4)
‘Rakyat yang hidup sengsara sial nasibnya’
(121) Bandane ludes, leh nilep pada ilang (OCON/21/4)
‘Hartanya lenyap, yang melenyapkan pada hilang’
Pada data (119) adanya sinonim pada kata lepat ‘salah’ dan dosa
‘dosa’ di unsur langsung kedua yang didalamnya mengandung kesamaan
berdasarkan kadar afektif. Data (120) kata yang bersinonim ditunjukkan
pada unsur langsung pertama kata sengsara ‘sengsara’ dan unsur langsung
kedua apes ‘sial’ didalamnya terdapat kesamaan kadar afektif. Data (121)
pemanfaatan sinonim ditunjukkan pada unsur langsung pertama kata ludes
dan ilang yang berarti hilang yang didalamnya terdapat kesamaan aspek
semantik yang penggunaan kata-kata tersebut harus berdasarkan
kesesuaian dengan konteks kalimat.
2) Antonim
Antonim atau lawan kata adalah hubungan makna pada suatu kata
dengan kata lain yang berbeda atau bertentangan. Dalam lirik lagu
komunitas JHF ditemukan adanya penggunaan antonim sebagai berikut.
(122) Swarga durung weruh, neraka durung wanuh (NKP/1/2)
‘Surga belum melihat, neraka belum tahu’
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
80
(123) Ana urip ana mati (NKP/2/3)
‘Ada hidup ada mati’
(124) Ngatur urip lan mati (NP/18/3)
‘Mengatur hidup dan mati’
(125) Rasane kaya swarga
Ora peduli donya dadi neraka (JI/2/3,4)
‘Rasanya seperti surga’
‘Tidak peduli dunia menjadi neraka’
(126) Sing lali bener sing eling salah (JJJE/5/4)
‘Yang lupa benar yang ingat salah’
Pada data (122) dan (125) terdapat oposisi mutlak antara kata swarga
‘surga’ pada unsur langsung pertama dan kata neraka ‘neraka’ pada unsur
langsung yang kedua (swarga><neraka). Sedangkan data (123) dan (124)
pada unsur langsung pertama kata urip ‘hidup’ dan unsur langsung kedua
kata mati ‘mati’ mengandung oposisi mutlak (urip><mati). Data (126)
antonim ditunjukkan pada unsur langsung pertama kata bener ‘benar’ dan
unsur langsung kedua kata salah ‘salah’ yang mengandung oposisi mutlak
( bener><salah).
(127) Ana beja ana cilaka (NKP/2/2)
‘Ada untung ada celaka’
(128) Senenge saklentheng
Susahe sarendheng (NKP/4/1,2)
‘Senangnya sebiji kapas’
‘Susahnya sewaktu-waktu’
(129) Wani ngadhepi aja mlayu marga wedi (NP/6/2)
‘Berani menghadapi jangan lari karena takut’
(130) Nek wong gedhe konangan selingkuh malah kondhang
Nek wong cilik sing konangan diarak telanjang (OCON/4/1,2)
‘Kalau orang besar ketahuan selingkuh malah terkenal’
‘Kalau orang kecil yang ketahuan dituduh telanjang’
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
81
Data (127) terdapat antonim pada pada unsur langsung pertama kata
beja ‘untung’ dan unsur langsung kedua kata cilaka ‘celaka’ yang
mengandung oposisi kutub (beja><cilaka). Data (128) pemanfaatan
antonim pada unsur langsung pertama kata senenge ‘senangnya’ dan pada
unsur langsung kedua kata susahe ‘susahnya’yang mengandung oposisi
kutub (senenge><susahe). Data (129) antonim ditunjukkan pada unsur
langsung pertama kata wani ‘berani’ dan pada unsur langsung kedua kata
wedi ‘takut’ termasuk dalam oposisi kutub (wani><wedi). Sedangkan data
(130) terdapat antonim pada unsur langsung pertama kata wong gedhe
‘orang besar’dan unsur langsung keduanya kata wong cilik ‘orang kecil’
termasuk dalam oposisi kutub (wong gedhe><wong cilik). Pasangan katakata tersebut dapat dikatakan oposisi kutub karena terdapat gradasi
diantara oposisi keduanya, seperti data (127) beja banget ‘sangat untung’,
beja ‘untung’, rada beja ‘agak untung’, cilaka banget ‘sangat celaka’,
cilaka ‘celaka’, rada cilaka ‘agak celaka’, dan gradasi tersebut juga
diterapkan pada data (128), (129), dan (130).
(131) Ciuku cap guru lan murid (JJG/2/2)
‘Minuman kerasku cap guru dan murid’
Data (131) terdapat penggunaan antonim pada kata guru ‘guru’ dan
murid ‘murid’ (guru><murid) yang termasuk dalam oposisi hubungan.
Dapat dikatakan oposisi hubungan karena pada kenyataannya, adanya
guru selayaknya dilengkapi dengan adanya murid, begitu juga sebaliknya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
82
3) Kosakata Bahasa Indonesia
Dalam lirik lagu komunitas JHF penggunaan bahasa yang digunakan
tidak hanya bahasa Jawa sebagaimana merupakan bahasa sehari-hari
masayarakat Jogja dan sekitarnya, namun juga bahasa Indonesia juga
digunakan didalamnya secara bersamaan. Walaupun demikian bahasa
Jawa tetap sebagai bahasa yang digunakan dalam lirik lagu komunita JHF.
(132) Bumi pertiwi saudara kami
Yang harus dijaga dan dihormati
Menerima sekaligus memberi (SOS/9/2-3)
(133) Budaya adalah senjata
Memanusiakan manusia
Bangun jiwanya, bangun raganya
Sentosa dalam puspa warna (SOS/10/1-4)
(134) Jogja Jogja tetap istimewa
Istimewa negerinya istimewa orangnya
Jogja Jogja tetap istimewa
Jogja istimewa untuk Indonesia (JI/1/1-4)
(135) Tanah lahirkan tahta, tahta untuk rakyat
Dimana rajanya bersemi di kalbu rakyat
Demikianlah singgasana bermartabat
Berdiri kokoh untuk mengayomi rakyat (JI/3/1-4)
(136) Jogja istimewa bukan hanya daerahnya
Tapi juga karena orang-orangnya (JI/4/3,4)
(137) Menyerang tanpa pasukan
Menang tanpa merendahkan
Kesaktian tanpa ajian
Kekayaan tanpa kemewahan (JI/7/1-4)
(138) Tenang bagai ombak gemuruh laksana merapi
Tradisi hidup di tengah modernisasi (JI/8/1,2)
(139) Jogja istimewa bukan hanya tuk dirinya
Jogja istimewa untuk Indonesia (JI/12/3,4)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
83
(140) Segala sesuatu ditentukan dengan uang (OCON/4/4)
(141) Moral itu adalah tata susila
Siapa yang melanggar akan kena razia (OCON/14/1,2)
(142) Ibu kemanapun aku melangkah
Aku selalu mengingatmu
Kau membimbingku dari aku lahir
Aku rindu ibu (LL/1/1-4)
Data (132) mempergunakan kosakata bahasa Indonesia pada tiga larik
kalimat atau pada semua unsur langsungnya secara utuh tanpa diawali atau
diakhiri dengan kosakata bahasa Jawa. Data (133), (135), (137), dan (142)
penggunaan kosakata bahasa Indonesia pada empat larik kalimat secara
utuh. Data (134) penggunaan kosakata bahasa Indonesia terletak pada
empat larik kalimat secara utuh tanpa diawali atau diakhiri oleh kosakata
bahasa Jawa yang didalamnya terdapat perulangan kalimat “Jogja-Jogja
tetap istimewa” sebagai tanda penekanan dari empat larik kalimat untuk
menonjolkan efek kejelasan mengenai Jogja yang selalu istimewa. Data
(136) dan (138) terdapat penggunaan kosakata bahasa Indonesia secara
utuh di semua unsur langsungnya, yaitu pada dua larik kalimat. Data (139)
penggunaan kosakata bahasa Indonesia pada secara utuh pada dua larik
kalimat atau di semua unsur langsungnya, adanya penekanan pada frasa
“Jogja istimewa” yang diulang kembali pada unsur langsung berikutnya
yang menandakan dalam kalimat-kalimat tersebut memberitahukan
kepada pembaca atau penikmat lagu bahwa Jogja istimewa. Data (140)
menggunakan kosakata bahasa Indonesia pada satu larik kalimat secara
utuh atau di semua unsur langsungnya. Sedangkan data (141) adalah data
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
84
yang menggunakan kosakata bahasa Indonesia secara utuh di semua unsur
langsungnya yang terdiri dari dua larik kalimat yang didalamnya berisi
penjelasan singkat tentang moral.
(143) Dadi bakulan asal tau sama tau (JJL/9/4)
‘Jadi penjual asal tau sama tau’
(144) Ganti hp nganggo hp tipe terbaru (JJL/14/3)
‘Ganti hp menggunakan hp tipe terbaru’
(145) Bermain cinta lupa daratan ra konangan (OCON/3/2)
‘Bermain cinta lupa daratan tidak ketahuan’
(146) Tanpa basa-basi kabeh kamar disatroni (OCON/12/2)
‘Tanpa basa-basi semua kamar digrebek’
(147) Polisi muni Anda telah berbuat ruyal
Itu artinya Anda sudah melanggar moral (OCON/13/1,2)
‘Polisi mengatakan Anda telah berbuat ruyal’
‘Itu artinya Anda sudah melanggar moral’
(148) Politik saiki cen seneng main belakang (OCON/18/3)
‘Politik sekarang memang senang main belakang’
(149) Saiki jamane wis maju berkembang (JJG/4/3)
‘Sekarang zamannya sudah maju berkembang’
Data (143), (144), (148), dan (149) penggunaan kosakata bahasa
Indonesia terletak di belakang larik kalimat atau pada unsur langsung yang
kedua, yaitu data (143) pada kalimat “asal tau sama tau”, data (144) frasa
“tipe terbaru”, data (148) pada frasa “main belakang”, dan data (149) pada
frasa “maju berkembang”. Data (147) terdapat penggunaan bahasa
Indonesia berupa frasa kalimat “Anda telah berbuat ruyal” di akhir larik
kalimat pada unsur langsung pertama kemudian dilanjutkan dengan
menggunakan bahasa Indonesia kembali secara utuh di dalam kalimat.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
85
Data (145) dan (146) adalah data yang menggunakan bahasa Indonesia di
awal larik kalimat atau penggunaan bahasa Indonesia pada unsur langsung
pertama yang selanjutnya menggunakan bahasa Jawa.
4) Kosakata Bahasa Inggris
Dalam lirik lagu komunitas JHF ada beberapa macam bahasa yang
digunakan. Salah satu bahasa yang mewarnainya adalah bahasa Inggris.
Hal tersebut bertujuan untuk memberikan kesan indah atau menunjukkan
keuniversalan lagu yang dinyanyikan, sehingga orang-orang asing dapat
terbantu untuk mengetahui apa isi dan maksud dari lirik-lirik lagunya. Di
bawah ini adalah hasil analisis dari penggunaan kosakata bahasa Inggris
yang ada dalam lirik lagu komunitas JHF.
(150) We are from Jogja
The heart of Java
Our rhyme is mantra
Flows down like lava
We are from Jogja
The heart of Java
Our culture is weapon
Yeah, this Song of Sabdatama (SOS/1-2/1-8)
‘Kita dari Jogja’
‘Jantungnya Jawa’
‘Rime kita adalah mantra’
‘Turun seperti lava’
‘Kita dari Jogja’
‘Jantungnya Jawa’
‘Budaya kita adalah senjata’
‘Yeah, ini lagu dari Sabdatama’
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
86
(151) In our land where we stand, never afraid coz we all friends
We may vary but hand in hand, appreciate and understand
Why democracy if occupied by oligarchy (SOS/13/1-3)
‘Di tanah kita dimana kita berdiri, tidak pernah takut karena kita
semua teman’
‘Kita mungkin berbeda tetapi tetap berpegang tangan, menghargai
dan saling mengerti’
‘Mengapa kebebasan ada jika hanya untuk membohongi orang
kecil’
(152) Why religion if only to kill humanity (SOS/14/1)
‘Untuk apa beragama jika hanya untuk membunuh manusia’
(153) Hey oxymoron, you don’t need to teach me (SOS/14/3)
‘Hey oximoron, kamu tidak perlu untuk mengajariku’
(154) What Jogja want is harmony in diversity (SOS/15/1)
‘Betapa Jogja menginginkan kerukunan dalam beragama’
(155) We don’t care of what you say
Your ridiculous words will go away
Coz in this land where we stand
We’ll fight to the death until the end (SOS/15/3-6)
‘Kita tidak peduli apa yang kamu katakan’
‘Kata-kata konyolmu akan mati’
‘Karena di tanah ini dimana kita berdiri’
‘Kita akan berjuang sampai mati’
(156) Ganti hp nganggo hp tipe terbaru (JJL/14/3)
‘Ganti hp menggunakan hp tipe terbaru’
(157) Nganggo tank-top mlaku ning pasar Bantul (OCON/20/1)
‘Memakai pakaian singlet berjalan di pasar Bantul’
Data (150), (151), (152), (153), (154), dan (155) adalah sebagian lirik
yang terdapat dalam lagu Song of Sabdatama dengan penggunaan bahasa
Inggris dalam rangkaian kalimat secara utuh. Pada data (156) terdapat
singkatan kata “hp” yang kepanjangannya adalah handphone, dimana kata
tersebut merupakan kosakata yang berasal dari bahasa Inggris. Data (157)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
87
penggunaan bahasa Inggris terdapat pada kata tank-top ‘pakaian singlet’,
sehingga penggunaan bahasa Inggris tidak secara utuh dalam kalimatnya.
Adanya penggunaan bahasa Inggris pada bagian-bagian tertentu dalam
lagu komunitas JHF ini menunjukkan adanya ciri khas bahwa lagu
tersebut memiliki bobot lagu yang lebih dari standar atau tidak biasa-biasa
saja. Selain itu adanya bahasa Inggris tersebut dapat menarik perhatian
pembaca atau pendengar untuk mengetahui makna yang terkandung dalam
kalimat.
5) Partikel Afektif
Penggunaan partikel afektif dalam lirik lagu komunitas JHF ada
beberapa macam bentuk partikel, seperti lho, kok, e, dan lha. Partikel
afektif tersebut digunakan untuk mengungkapkan rasa dari orang yang
berbicara. Makna-makna yang terdapat dalam partikel-partikel afektif
tersebut disesuaikan dengan konteks atau bentuk kalimat secara
keseluruhan. Berikut adalah pemaparan hasil analisis data dari partikel
afektif yang ada dalam lirik lagu komunitas JHF.
(158) Lho kok ratu kadi pak tani (NKP/5/4)
‘Lho mengapa ratu seperti pak tani’
(159) Lho kok anteng (KN/8/4)
‘Lho mengapa tenang’
Data (158) dan (159) terdapat penggunaan partikel afektif sebanyak
dua macam yaitu partikel “lho” dan “kok” yang letaknya di awal kalimat
atau pada unsur langsung yang pertama. Partikel-partikel afektif yang ada
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
88
pada data di atas menunjukkan ekspresi kekagetan atau keheranan pada
sebuah keadaan yang terjadi.
(160) Kok isih dha ngrasani (KN/3/2)
‘Mengapa masih pada menggunjing’
(161) Kok njenengan kendel tenan menapa pun duwe cekelan
Kok wantun eyel-eyelan (KN/10/3,4)
‘Mengapa kamu berani sekali apa sudah punya pegangan’
‘Mengapa berani membantah’
(162) Kok saiki sikape malih dadi kaku (JJL/14/2)
‘Mengapa sekarang sikapnya berubah jadi kaku’
(163) Kok ya tega-tegane Sumanto, presidenku (JJJE/17/3)
‘Mengapa begitu teganya Sumanto, presidenku’
Data (160), (162), dan (163) adalah data yang menggunaan partikel
afektif berupa “kok” di awal kalimat atau pada unsur langsung yang
pertama Pada data (160) partikel “kok” menyatakan penegasan bahwa
keadaan saat itu masih pada membicarakan sesuatu. Data (162) partikel
“kok” menyatakan suatu ekpresi keheranan terhadap perubahan sikap
yang dimaksud pada kalimat tersebut. Sedangkan data (163) juga
menunjukkan ekpresi keheranan atau kekagetan. Data (161) partikel
afektif berupa “kok” yang terletak di awal unsur langsungnya, atau di
awal kalimat-kalimatnya, menyatakan suatu penegasan yang mengarah ke
kesombongan.
(164) Nek takpikir-pikir kok kaya tukang kayu (JJL/9/1)
‘Kalau kupikir-pikir mengapa seperti tukang kayu’
(165) Saya suwe dodolane kok saya payu (JJL/10/1)
‘Semakin lama jualannya mengapa semakin laku’
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
89
(166) Seni kok saya mawut wis modhol-modhol (JJL/15/4)
‘Seni mengapa semakin semrawut sudah amburadul’
(167) Ana celeng ndhegleng kok nyalon presiden (JJJE/7/5)
‘Ada babi hutan agak gila mengapa mencalonkan presiden’
Data (164), (165), (166), dan (167) adalah data yang menggunakan
partikel afektif berupa “kok” yang terletak di tengah kalimat. Pada data
(164) dan (165) partikel “kok” terletak pada unsur langsung yang kedua,
yang menyatakan ekpresi rasa keheranan atau kekagetan. Data (166) letak
partikel “kok” di unsur langsung pertama yang penyatakan suatu
keheranan mengenai keadaan seni sekarang ini. Data (167) adalah data
yang menggunakan partikel “kok” pada unsur langsung kedua yang
menunjukkan ekspresi rasa heran sebagai bentuk protes terhadap orang
yang mencalonkan presiden.
(168) Pelukise nyaut durung perang kok wis damai
Wong durung telanjang lha kok wis digawe rame (OCON/15/3,4)
‘Pelukisnya menyanggah belum perang mengapa sudah damai’
‘Orang belum telanjang lha mengapa sudah dibuat ramai’
(169) Guru kok mendem, jare pak pulisi
Takawur wae lehku nyauri
Sampeyan pulisi lha kok korupsi (JJG/18/2-4)
‘Guru mengapa mabuk, kata pak polisi’
‘Kuasal saja jawabanku’
‘Kamu polisi lha mengapa korupsi’
Penggunaan partikel “kok” dan “lha kok” pada data (168) menyatakan
suatu ekpresi penegasan sebagai protes yang dilakukan oleh subjek yaitu
pelukis pada saat terjadi penggrebekan. Data (169) partikel “kok”
menyatakan suatu keheranan polisi terhadap guru, sedangkan partikel “lha
kok” mengarah pada bentuk ekpresi sindiran seorang guru kepada polisi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
90
(170) Lho lik o (KN/11/1)
‘Lho lik o’
(171) Lha politike saiki, ngedhangdhutan (JJJE/1/3)
‘Lha politiknya sekarang, ngedangdutan’
(172) Rakyate lha ra ngerti sapa, sing digugu (JJJE/3/3)
‘Rakyatnya lha tak tau siapa, yang diteladani’
(173) Rejeki seret kok ra metu-metu
E lha nasibe ya wis kuwi mau (JJJE/4/3,4)
‘Rejeki tersendat mengapa tak keluar-keluar’
‘E lha nasibnya ya sudah itu tadi’
Data (170) penggunaan partikel afektif “lho” di awal kalimat atau
unsur langsungnya yang merupakan suatu bentuk penegasan untuk
mengawali kalimat yang selanjutnya. Pada data (171) partikel “lha” yang
terletak pada unsur langsung yang pertama, menyatakan penegasan yang
mengarah ke suatu sindiran terhadap kondisi politik yang sekarang ini.
Data (172) terdapat penggunaan partikel “lha” pada unsur langsung yang
pertama,
yang
menunjukkan
suatu
penegasan
yang
didalamnya
mengandung pertanyaan mengenai siapa yang pantas diteladani oleh
rakyat. Sedangkan data (173) partikel “kok” pada unsur langsung yang
pertama menunjukkan suatu keheranan, dan partikel “e lha” pada unsur
langsung kedua menunjukkan adanya suatu bentuk kepasrahan dari
penutur.
6) Kata Sapaan
Ada beberapa lagu komunitas JHF yang memiliki unsur komunikatif
yang digunakan untuk sekedar menyapa atau ingin mengatakan sesuatu
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
91
pada pendengar atau penikmat lagu. Unsur yang komunikatif tersebut
menunjukkan adanya kata-kata sapaan. Dalam analisis data ditemukan
beberapa kata sapaan yang ada pada lirik lagu komunitas JHF, dapat
dilihat pada pemaparan berikut.
(174) Kowe bakal bisa urip rekasa (NP/17/1)
‘Kamu nantinya bisa hidup susah’
(175) Dudu kowe, ning Gusti sing mesti luwih ngerti (NP/18/2)
‘Bukan kamu, tapi Allah yang pasti lebih tau’
(176) Nak ora seneng kana kowe dha minggata
Aku ra ngurus kowe arep ngomong apa (KN/2/2,3)
‘Kalau tidak suka sana kalian pada pergi’
‘Aku tak mengurus kamu mau bilang apa’
(177) Nak perlu kowe mengko takantemi (KN/2/5)
‘Kalau perlu kamu nanti kupukuli’
Pada data (174), (175), (176), dan (177) didalamnya terdapat
penggunaan kata sapaan berupa kata ganti orang kedua, yaitu kata kowe
‘kamu’. Data (174) dan (175) penggunaan kata sapaan kowe ‘kamu’
terletak pada unsur langsung pertama yang merupakan bentuk sapaan
untuk memberitahukan sesuatu. Data (176) kata sapaan yang digunakan
terletak pada unsur langsung pertama dan kedua, kata kowe ‘kamu’ dalam
konteks kalimat menunjukkan bahasa yang kasar karena ada unsur
ketidakpedulian. Sedangkan data (177) kata sapaan kowe ‘kamu’ terletak
pada unsur langsung kedua, yang menunjukkan sebuah ancaman.
(178) Pun Mas boten isa aten-atenan bablas (KN/10/1)
‘Sudah mas tidak bisa bertabiat terus saja’
(179) Bapak-bapak, ibu-ibu mula dulur elinga pepatah iki (JJG/6/1)
‘Bapak-bapak, ibu-ibu maka saudara ingatlah pepatah ini’
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
92
Penggunaan kata sapaan pada data (178) berupa sebutan untuk
kekerabatan yaitu kata mas ‘kakak’ pada unsur langsung pertama yang
merupakan sebutan untuk seorang kakak laki-laki. Data (179) penggunaan
kata sapaan di setiap unsur langsungnya, yaitu pada kata bapak-bapak
‘bapak-bapak’, ibu-ibu ‘ibu-ibu’, dan dulur ‘saudara’ yang pemakaiannya
terkesan lebih sopan dan terasa akrab.
7) Kata Seru (Interjeksi)
Penggunaan kata seru (interjeksi) bertujuan untuk mengungkapkan atau
menggambarkan perasaan pembicara, seperti rasa kaget, kecewa, susah,
senang, maupun sedih. Dalam lirik lagu komunitas JHF ditemukan
beberapa macam kata seru, seperti eh, ayo, wadhuh. Dapat dilihat pada
hasil analisis data berikut ini.
(180) Eh..kapiran eh..kapirun (NKP/7/1)
‘Eh..kapiran eh kapirun’
(181) Disetater macet, eh..karbulatore nggodha (JJG/9/2)
‘Dinyalakan macet, eh karbulatornya menggoda’
Pada data (180) terdapat penggunaan kata seru yang terletak di setiap
unsur langsungnya, yaitu kata “eh”, yang menyatakan interjeksi seruan
atau panggilan meminta perhatian. Sedangkan data (181) penggunaan kata
seru “eh” berada pada unsur langsung yang kedua menyatakan suatu
kekesalan yang ternyata karbulator motornya menggoda sehingga disetater
tidak bisa atau macet.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
93
(182) Ayo dadi siji ngadhepi musuh-musuh sing saya kemaki (KN/5/5)
‘Mari jadi satu menghadapi musuh-musuh yang semakin
sombong’
(183) Nek cen kui aku ngerti ayo gek ndang budhal (OCON/13/4)
‘Kalau memang itu saya tau mari segera berangkat’
Data (182) dan (183) merupakan data yang menggunakan kata seru
“ayo”. Pada data (182) kata seru “ayo” terletak di awal kalimat atau pada
unsur langsung pertama yang menyatakan interjeksi seruan atau suatu
ajakan. Sedangkan data (183) kata seru “ayo” terletak pada unsur
langsung kedua yang juga mengandung maksud seruan untuk mengajak
berangkat.
(184) Yo Ki Ageng Gantas gek ndang dibrantas (KN/6/2)
‘Mari Ki Ageng Gantas segera dibrantas’
(185) Yo bersatu padhu milih sing kleru (JJJE/17/4)
‘Mari bersatu padu memilih yang keliru’
(186) Wadhuh dhuh dhuh cek enake (JJG/2/1)
‘Waduh duh duh kok enaknya’
Adanya penggunaan kata seru pada data (184), (185), dan (186) yang
bervariasi dengan kesamaan yaitu terletak di awal kalimat atau pada unsur
langsung yang pertama. Data (184) dan (185) kata seru yang digunakan
adalah “yo” yang menyatakan suatu seruan atau ajakan untuk segera
memberantas dan memilih yang salah. Sedangkan data (186) kata serua
yang digunakan yaitu wadhuh ‘waduh’ yang menyatakan keheranan yang
mengarah ke suatu kelegaan karena merasakan enaknya minum minuman
keras.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
94
8) Tembung Saroja
Tembung saroja yaitu dua kata yang memiliki makna yang sama atau
hampir sama jika dipakai secara bersamaan, maknanya akan beda apabila
salah satu kata tersebut berdiri sendiri. Dalam lirik lagu komunitas JHF
ditemukan beberapa larik yang mengandung tembung saroja. Dapat
dilihat pada penjabaran analisis berikut.
(187) Nagari gemah ripah kang merdika (SOS/4/3)
‘Negara tenteram makmur yang merdeka’
(188) Bakal mukti pakarti (NP/18/7)
‘Nantinya pekerjaan mulia’
(189) Sumangga kersa dipunbabat tuntas (KN/6/4)
‘Mari yang berkenan diselesaikan sampai tuntas’
(190) Supados kawontenan cacah tenterem adhem ayem ati marem
(KN/9/5)
‘Supaya mendapat ketentraman sejuk tenang hati puas’
(191) Bablas menapa milih babak bundhas (KN/10/2)
‘Terus atau pilih babak belur’
(192) Wadya bala kula sampun sumadya (KN/11/2)
‘Pasukan saya sudah ditengah’
(193) Kula ki Ageng Gantas pun cekap atur wicara (KN/11/5)
‘Saya Ki Ageng Gantas sudah cukup yang berbicara’
(194) Ning kene tansah edi peni lan mardika (JI/2/5)
‘Disini selalu nyaman dan merdeka’
(195) Nyebarake seni lan budhi pekerti (JI/8/4)
‘Menyebarkan seni dan pebuatan baik’
(196) Banjur tingkah polahe mung sing manis-manis (JJL/8/3)
‘Lalu tingkah lakunya hanya yang manis-manis’
(197) Tingkah lakune ja na sing kliru (JJG/3/4)
‘Tingkah lakunya jangan ada yang keliru’
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
95
Adanya tembung saroja dalam data (187) ditunjukkan pada kata
gemah ripah ‘tenteram makmur’ termasuk tembung saroja karena kata
tersebut merupakan hasil gabungan dari kata gemah ‘tenteram’ dan ripah
‘makmur’, kedua kata tersebut memiliki makna yang hampir sama. Hal
tersebut juga sama dengan tembung saroja yang ada pada data (188) pada
kata mukti pakarti yang berarti pekerjaan mulia, data (189), pada kata
dipunbabat tuntas yang berarti diselesaikan tuntas, kemudian data (190)
kata adhem ayem ‘sejuk tenang’, data (191) kata babak bundhas ‘babak
belur’, dan data (192) dalam kalimat terdapat kata wadya bala ‘pasukan’
yang termasuk tembung saroja karena memiliki makna yang hampir sama.
Data (193) kata atur wicara yang berarti berbicara. Selanjutnya data (194)
pada kata edi peni ‘nyaman’, data (195) kata budhi pekerti ‘perbuatan
baik’, data (196) pada kata tingkah polahe ‘tingkah lakunya’, dan data
(197) kata tingkah lakune “tingkah lakunya’. Pemilihan kata dengan
menggunakan tembung saroja seperti data-data di atas, mempunyai
maksud bahwa sang pengarang ingin memberikan kesan arkhais pada
kalimat-kalimat tersebut.
9) Tembung Plutan
Tembung plutan adalah pemendekan kata atau pengurangan jumlah
suku kata yang dilakukan untuk melancarkan ketika kata tersebut
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
96
diucapkan. Ada beberapa macam tembung plutan yang ditemukan dalam
lirik lagu komunitas JHF. Berikut adalah hasil analisis datanya.
(198) Ya Ngayogyakarta Hadiningrat negeriku
Nagari gemah ripah kang merdika
Kaya kang kaserat ing Sabdatama (SOS/4/2-4)
‘Ya Yogyakarta Hadiningrat negeriku’
‘Negara tenteram makmur yang merdeka’
‘Seperti yang tertulis di Sabdatama’
(199) Nggo apa demokrasi nek mung ngapusi (SOS/13/4)
‘Buat apa demokrasi kalau hanya membohongi’
(200) Nggo apa agama nek mung arep dha mateni (SOS/14/2)
‘Buat apa agama kalau hanya akan membunuh’
(201) Ja susah nek ra duwe (NKP/3/4)
‘Jangan susah kalau tak punya’
(202) Sugih rung karuan seneng
Mlarat rung karuan susah
Susah ra isa disawang
Bisane mung dirasake dhewe (NKP/6/1-4)
‘Kaya belum tentu senang’
‘Miskin belum tentu susah’
‘Susah tak bisa dipandang’
‘Bisanya hanya dirasakan sendiri’
(203) Njur wetenge wedhakana ki parutan jahe (NKP/8/1)
‘Lalu perutnya olesilah ini parutan jahe’
(204) Rejeki seret, ra sah dha buneg (NP/3/4)
‘Rejeki tersendat, tak usah pada bingung’
Pada data-data di atas penggunaan tembung plutan lebih dari satu
macam dan bervariasi yang berfungsi untuk memudahkan ketika
diucapkan dan menambah efek kemenarikan terhadap kalimat. Data (198)
terdapat tembung plutan sebanyak dua macam muncul disetiap unsur
langsungnya, yaitu pada unsur langsung yang pertama kata ya ‘ya’ yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
97
berasal dari kata iya ‘iya’, kemudian pada unsur langsung yang kedua dan
ketiga kata kang ‘yang’ berasal dari kata ingkang ‘yang’. Data (199)
muncul di setiap unsur langsungnya, yaitu kata nggo ‘untuk’ dari kata
kanggo ‘untuk’ dan kata mung ‘hanya’ berasal dari kata amung ‘hanya’.
Data (200) pada unsur langsung pertama pada kata nggo ‘untuk’ dari kata
kanggo ‘untuk’, dan pada unsur langsung yang kedua kata mung ‘hanya’
berasal dari kata amung ‘hanya dan kata dha ‘sama’ dari kata padha
‘sama’. Pada data (201) tembung plutan ditunjukkan pada setiap unsure
langsungnya, yaitu kata ja ‘jangan’ dari kata aja ‘jangan’ dan kata ra
‘tidak’ berasal dari kata ora ‘tidak’. Data (202) tembung plutan juga
muncul di setiap unsur langsung. Pada unsur langsung pertama dan kedua
kata rung ‘belum’ dari kata durung ‘belum’ dan pada unsur langsung
ketiga dan keempat kata ra ‘tidak’ dari kata ora ‘tidak’ dan mung ‘hanya’
dari kata amung ‘hanya’. Data (203) terdapat tembung plutan yang
terletak di setiap unsur langsungnya, yaitu kata njur ‘lalu’ dari kata banjur
‘lalu’ dan kata ki ‘ini’ dari kata iki ‘ini’. Sedangkan data (204) tembung
plutan terletak pada unsur langsung kedua pada kata ra ‘tidak’ dari kata
ora ‘tidak’, sah ‘usah’ dari kata usah ‘usah’, dan kata dha ‘sama’ dari
kata padha ‘sama’.
(205) Kena dinggo mikul, ning aja ketungkul
Urip kuwi abot, ja digawe abot (NP/15/2,3)
‘Dapat dipakai memikul, tetapi jangan tertunduk’
‘Hidup itu berat, jangan dibuat berat’
(206) Mulane uripmu aja dha kaku
Melura, pasraha, ra sah dha nesu
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
98
Aja mangu-mangu ning terus mlaku
Sanajan ro ngguyu aja lali wektu (NP/16/1-4)
‘Makanya hidupmu jangan pada kaku’
‘Membaurlah, pasrahlah, tidak usah pada marah’
‘Jangan ragu tapi terus jalan’
‘Walaupun dengan tertawa jangan lupa waktu’
(207) Nak ora seneng kana kowe dha minggata
Aku ra ngurus kowe arep ngomong apa
Rasah dha kemlinthi aku ra wedi (KN/2/2-4)
‘Kalau tidak suka sana kamu pada pergi’
‘Aku tidak mengurus kamu mau ngomong apa’
‘Tidak usah sombong aku tidak takut’
(208) Apa dha ra ngerti yen ning kene ana mc
Sing ra tau mati (KN/4/3,4)
‘Apa pada tidak tahu kalau di sini ada mc’
‘Yang tak pernah mati’
(209) Saka aku ra sah dha meri
Melu rotra kabeh ra bakal rugi
Aku ra ngapusi (KN/5/2-4)
‘Dari aku tak usah pada iri’
‘Ikut rotra semua tak bakal rugi’
‘Aku tak bohong’
(210) Kok njenengan kendel tenan menapa pun duwe cekelan (KN/10/3)
‘Mengapa kamu berani sekali apa sudah punya pegangan’
(211) Koalisi politike mung perselingkuhan
Beras larang minyak mundak ra karu-karuan
Politike nglambrah mung ribut ngurus gendhakan (OCON/6/2-4)
‘Kerjasama politiknya hanya perselingkuhan’
‘Beras mahal minyak naik tak karu-karuan’
‘Politiknya menyebar hanya rebut mengurus selingkuhan’
Penggunaan tembung plutan pada data (205) terletak di semua unsur
langsung, yaitu kata ning ‘di’ dari kata aning ‘di’ dan kata ja ‘jangan’
berasal dari kata aja ‘jangan’. Data (206) tembung plutan terletak pada
empat unsur langsungnya. Unsur langsung pertama kata dha ‘sama’ dari
kata padha ‘sama’, unsur langsung kedua kata ra ‘tidak’ dari kata ora
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
99
‘tidak’, sah ‘usah’ dari kata usah ‘usah’, dan kata dha ‘sama’ dari kata
padha ‘sama’, unsur langsung ketiga dan keempat pada kata ning ‘di’ dari
kata aning ‘di’ dan kata ro ‘dengan’ berasal dari kata karo ‘dengan’. Data
(207) tembung plutan terletak di ketiga unsur langsungnya, yaitu kata dha
‘sama’ dari kata padha ‘sama’, ra ‘tidak’ dari kata ora ‘tidak’, dan pada
kata dha ‘sama’ berasal dari kata padha ‘sama’, ra ‘tidak’dari kata ora
‘tidak’. Data (208) dan (209) penggunaan tembung plutan terletak di
setiap unsur langsungnya, pada kata dha ‘sama’ berasal dari kata padha
‘sama’ dan kata ra ‘tidak’ dari kata ora ‘tidak’. Data (210) tembung
plutan terletak setiap unsur langsung, yaitu kata njenengan ‘kamu’
berasal dari kata panjenengan ‘kamu’. Dan data (211) terdapat tembung
plutan yang juga terletak pada semua unsur langsungnya, ditunjukkan
pada kata mung ‘hanya’ dari kata amung ‘hanya’ dan kata ra ‘tidak’ dari
kata ora ‘tidak’.
(212) Dadia wong seni kritis peduli ro wong cilik
Wong politik munafik ra gelem nampa kritik
Geleme nampa duit cacahe ra sethithik (OCON/7/2-4)
‘Jadilah orang seni kritis peduli dengan orang kecil’
‘Orang politik munafik hanya mau menerima kritik’
‘Maunya menerima uang jumlahnya tidak sedikit’
(213) Gawe alasan golek aman ben ra konangan
Politik saiki cen seneng main belakang (OCON/18/2,3)
‘Membuat alasan cari aman supaya tak ketahuan’
‘Politik sekarang memang senang main belakang’
(214) Ra entek-entek lehku seneng gendhakan (OCON/22/3)
‘Tak habis-habis aku suka selingkuhan’
(215) Ning ndi ning ndi wong cilik mati (JJJE/14/2)
Dimana dimana orang kecil mati’
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
100
(216) Budhal ngajar ja nganti telat
Tingkah lakune ja na sing kliru (JJG/3/3,4)
‘Berangkat mengajar jangan sampai telat’
‘Tingkah lakunya jangan ada yang keliru’
(217) Guru ra leh kesed ben ra ketinggalan (JJG/4/4)
‘Guru tak boleh malas supaya tak ketinggalan’
(218) Ra isa disingkiri mung kudu ditrima (JJG/12/4)
‘Tak bisa menghindar hanya harus diterima’
Penggunaan tembung plutan pada data-data di atas terdapat pada semua
unsur langsung yang ada. Data (212), (213), (214), (217), dan (218)
didalamnya terdapat tembung plutan kata ra ‘tidak’ yang berasal dari kata
ora ‘tidak’. Data (212) ada juga tembung plutan kata ro ‘dengan’ yang
berasal dari kata karo ‘dengan’. Data (213) terdapat plutan cen ‘memang’
dari kata pancen ‘memang’. Data (214) terdapat kata lehku ‘olehku’ dari
kata olehku ‘olehku’. Sedangkan data (215) pada kata ndi ‘mana’ dari kata
ngendi ‘mana’ yang diulang sebanyak dua kali. Data (216) tembung
plutan yang digunakan adalah kata ja ‘jangan dari kata aja ‘jangan’, dan
kata na ‘ada’ dari kata ana ‘ada’. Data (217) dan (218) tembung plutan
yang digunakan adalah kata leh ‘oleh’ dari kata oleh ‘oleh’ dan kata mung
‘hanya’ dari kata amung ‘hanya’.
(219) Ra usah nggurui merga ora migunani (SOS/14/4)
‘Tak usah menggurui karena tidak berguna’
(220) Uripa sing jejeg nek ra eling jebol (NP/1/4)
‘Hiduplah yang lurus kalau tidak ingat roboh’
(221) Jarene wis ra sudi (KN/3/1)
Katanya sudah tidak sudi’
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
101
(222) Prajapati ra tau wedi ngadhepi sesumbarmu (KN/4/1)
‘Projopati tidak pernah takut menghadapi perkataanmu’
(223) Seni ra penting sing penting entuk duite (JJL/3/4)
‘Seni tak penting yang penting dapat uangnya’
(224) Tuku apa-apa ra perlu ndelok rega (JJL/13/3)
‘Beli apa-apa tak perlu lihat harga’
(225) Bermain cinta lupa daratan ra konangan (OCON/3/2)
‘Bermain cinta lupa daratan tak ketahuan’
(226) Kenalan trus gelem digambar ra nganggo klambi (OCON/10/4)
‘Kenalan terus mau digambar tak memakai pakaian’
(227) Politik ra dong bingung, kentekan program (JJJE/2/3)
‘Politik tidak dong bingung, kehabisan program’
(228) Rakyate lha ra ngerti sapa, sing digugu (JJJE/3/3)
‘Rakyatnya lha tak tau siapa, yang diteladani’
(229) Rakyate luwe ra isa ngguyu
Rejeki seret kok ra metu-metu (JJJE/4/2,3)
‘Rakyatnya lapar tak bisa tertawa’
‘Rejeki tersendat kok tak keluar-keluar’
(230) Ra edan ra keduman (JJJE/5/2)
‘Tidak gila tidak kebagian’
(231) Ekonomi mampet, krisis ra lunga (JJJE/8/1)
‘Ekonomi mampet, krisis tak pergi’
(232) Mula aku ra isa, ora isa teka (JJG/9/3)
‘Maka aku tak bisa, tidak bisa datang’
(233) PR murid-muridku ra sida takkoreksi (JJG/11/4)
PR murid-muridku tak jadi kukoreksi’
(234) Ibu tansah sabar nadyan ra penak rasane (LL/9/2)
‘Ibu selalu sabar walaupun tak nyaman rasanya’
Pada data-data di atas adalah penggunaan tembung plutan kata ra
‘tidak’ yang berasal dari kata ora ‘tidak’. Data (219), (222), (223), (227),
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
102
(228), dan (232) kata ra ‘tidak’ terletak pada unsur langsung yang
pertama. Sedangkan data (220), (221), (224), (225), (226), (231), (233),
dan (234) penggunaan kata ra ‘tidak’ terletak pada unsur langsung yang
kedua. Pada data (229) dan (230) adanya tembung plutan kata ra ‘tidak’
terletak di masing-masing unsur langsung, yaitu pertama dan kedua.
(235) Mung donya sing kuweruh (NKP/1/3)
‘Hanya dunia yang kuketahui’
(236) Urip aja mung nenuwun (NKP/7/3)
‘Hidup jangan hanya meminta’
(237) Aja mung embuh ethok-ethok ora weruh (NP/5/4)
‘Jangan hanya tidak peduli pura-pura tidak tahu’
(238) Pring iku mung suket (NP/9/1)
‘Bambu itu hanya rumput’
(239) Tampare ya mung pring (NP/9/8)
‘Tamparnya ya hanya bambu’
(240) Mung kaya mut-mutan ning ilat krasa legi (JJL/4/4)
‘Hanya seperti unyahan di lidah terasa manis’
(241) Banjur tingkah polahe mung sing manis-manis (JJL/8/3)
‘Lalu tingkah lakunya hanya yang manis-manis’
(242) Mung waton ngemali apa-apa sing payu (JJL/9/2)
‘Hanya asal menghitung apa saja yang laku’
(243) Senengane mung blanja wo mlaku-mlaku (JJL/14/4)
‘Sukanya hanya belanja wo jalan-jalan’
(244) Gajiku sethitik mung dadi silit (JJG/2/4)
‘Gajiku sedikit hanya jadi kotoran’
Penggunaan tembung plutan pada data (235), (236), (237), (238),
(239), (240), (241), (242), dan (243) berupa kata mung ‘hanya’ yang
berasal dari kata amung ‘hanya’. Pada data (235), (237), (240), (242), dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
103
(243) penggunaan kata mung ‘hanya’ berada pada unsur langsung yang
pertama. Sedangkan data (236), (238), (239), (241), dan (244) kata mung
‘hanya’ terletak pada unsur langsungnya yang kedua.
(245) Kyai Petruk ratu ning Merapi (NKP/5/3)
‘Kyai Petruk ratu di Merapi’
(246) Ja sapenake dhewe (NKP/8/3)
‘Jangan seenaknya sendiri’
(247) Ki dhapur sampurnaning wong (NKP/10/4)
‘Ini dapur kesempurnaan orang’
(248) Urip ki padha wong njajan (NKP/12/2)
‘Hidup itu sama seperti orang jajan’
(249) Ati kudu teteg ja nganti urip ketakol (NP/1/2)
‘Hati harus tegar jangan sampai hidup terlunta-lunta’
(250) Ning kudu percaya uga sregep ndonga (NP/17/2)
‘Tetapi harus percaya juga rajin berdoa’
Data (245) dan (250) adalah data yang didalamnya menggunakan
tembung plutan pada unsur langsung kedua kata ning ‘di’ yang berasal
dari kata aning ‘di’. Pada data (246) dan (249) tembung plutan yang
digunakan adalah kata ja ‘jangan’ yang berasal dari kata aja ‘jangan’.
Data (247) dan (248) terdapat kata ki ‘ini’ yang berasal dari kata iki ‘ini’
pada unsur langsungnya yang pertama. Sedangkan data (250) kata ning
‘tapi’ yang berasal dari kata nanging ‘tetapi’ menunjukkan adanya
tembung plutan.
(251) Pancen penting tumraping manungsa sing dha eling (NP/11/3)
‘Memang penting bagi manusia yang saling ingat’
(252) Kok isih dha ngrasani
Kanca-kanca sing arep dha mulai, gagi (KN/3/2,3)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
104
‘Mengapa masih pada membicarakannya’
‘Teman-teman yang mau pada mulai, buruan’
(253) Jaman saiki kabeh dha blereng matane (JJL/3/1)
‘Zaman sekarang semua pada tak jelas matanya’
(254) Cepet-cepet gage dha golek hotel murahan (OCON/11/3)
‘Cepat-cepat buruan pada cari hotel murahan’
(255) Rakyat wis dha mlarat marga kurang mangan (JJJE/9/4)
‘Rakyatnya sudah pada miskin karena kurang makan’
(256) Mula dha mangertia ibu kuwi suwarga (LL/12/3)
‘Maka pada mengertilah ibu itu surga’
Data-data di atas adalah data yang menggunakan pemanfaatan tembung
plutan kata dha ‘sama’ yang berasal dari kata padha ‘sama’ Pada data
(251), (253), dan (254) kata dha ‘sama’ berada pada unsur langsung yang
kedua. Sedangkan data (255) dan (256) adanya kata dha ‘sama’ terletak
pada unsur langsungnya yang pertama. Data (252) penggunaan tembung
plutan kata dha ‘sama’ terletak pada unsur langsung yang pertama dan
kedua.
(257) Mangke ndak dhawah (KN/8/1)
‘Nanti bisa jatuh’
(258) Pun mangga sami jumeneng (KN/9/1)
‘Sudah mari bersama berdiri’
(259) Sedaya ingkang teng mriki saged tumindak nekat (KN/9/9)
‘Semua yang di sini bisa bertindak nekat’
(260) Pun Mas boten isa aten-atenan bablas (KN/10/1)
‘Sudah Mas tidak bisa bertabiat terus saja’
(261) Menapa pun ampuh tenan (KN/10/5)
‘Apa sudah ampuh benar’
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
105
(262) Macak aji gaman sami dipunhunus teng arsa (KN/11/3)
‘Berhias dengan alat berharga yang dipakai ke muka’
(263) Kula Ki Ageng Gantas pun cekap atur wicara (KN/11/5)
‘Saya Ki Ageng Gantas sudah cukup berbicara’
(264) Yen nangis ndak ilang ayune (LL/2/4)
‘Kalau menangis nanti hilang cantiknya’
Data (257) dan (254) didalamnya memanfaatkan tembung plutan pada
kata ndak ‘bisa’ yang berasal dari kata mundhak ‘bisa’ pada unsur
langsung yang kedua di data masing-masing. Data (258), (260), (261), dan
(263) terdapat penggunaan tembung plutan kata pun ‘sudah’ yang berasal
dari kata sampun ‘sudah’. Data (258), (260), dan (261) kata pun ‘sudah’
terletak pada unsur langsung yang pertama, sedangkan data (263) kata
pun ‘sudah’ terletak pada unsur langsung yang kedua. Data (259) dan
(262) memanfaatkan tembung plutan kata teng ‘ke’ dari kata dhateng ‘ke’.
Pada data (259) kata teng ‘ke’ terletak pada unsur langsung pertama,
sedangkan data (262) terletak pada unsur langsung kedua.
(265) Bar digambar temone seneng ora karuan (OCON/11/1)
‘Setelah digambar temonnya senang tidak karuan’
(266) Nek cen kui aku ngerti ayo gek ndang budhal (OCON/13/4)
‘Kalau memang itu aku tahu ayo segera berangkat’
(267) Jebul ngantukan, ro mbolosan (JJJE/15/2)
‘Ternyata ngantukan, dan suka membolos’
(268) Marga sekolahe durung takbayar ping telu (JJG/10/4)
‘Karena sekolahnya belum kubayar tiga kali’
(269) Jroning sanubariku (LL/6/4)
‘Di dalam sanubariku’
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
106
Pada data (265) terdapat penggunaan tembung plutan pada kata bar
‘selesai’ dari kata bibar ‘selesai’ yang terletak pada unsur langsung
pertama. Data (266) kata cen ‘memang’ yang berasal dari kata pancen
‘memang’ pada unsur langsung pertama. Sedangkan data (267) adanya
penggunaan tembung plutan pada kata ro ‘dengan’ yang berasal dari kata
karo ‘dengan’ pada unsur langsung kedua, dan data (268) kata marga
‘karena’ dari kata amarga ‘karena pada unsur langsung pertamanya. Pada
data (269) kata jroning ‘di dalam’ berasal dari kata jero ‘dalam’ kemudian
mendapat akhiran {-ing}.
b. Aspek Penanda Morfologis
Penggunaan ragam literer yang berupa penanda morfologis bertujuan
untuk mencapai kepuasan estetis, yaitu ditandai dengan pemakaian kata
dengan cara hati-hati dan mempergunakan unsur-unsur gramatikal atau gaya
tertentu. Dalam lirik lagu komunitas JHF ada dua macam penanda morfologis
yang digunakan, yaitu reduplikasi dan afiksasi.
1) Reduplikasi
Reduplikasi merupakan bentuk perulangan kata sebagai bentuk dasar,
baik secara keseluruhan, sebagian saja ataupun perubahan tersebut
mengalami perubahan bunyi. Dalam lirik lagu komunitas JHF ada dua
macam reduplikasi yang ditemukan, yaitu dwipurwa ‘perulangan suku
kata muka’, dan dwilingga salin swara ‘perulangan kata yang mengalami
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
107
perubahan bunyi’. Hal tersebut dapat dilihat pada hasil analisis data
tersebut.
a) Dwipurwa
(270) Minangka tekad dadi sesanti (SOS/5/4)
‘Dimana sebuah niat menjadi pertanda’
(271) Tanda bumi reresik nandang gawe (SOS/8/3)
‘Tanda bumi membersihkan pekerjaannya’
(272) Urip aja mung nenuwun (NKP/7/3)
‘Hidup jangan hanya meminta’
(273) Wajib padha eling, eling marang sing Peparing (NP/6/4)
‘Wajib pada ingat, ingat kepada yang Maha Pemberi’
(274) Eling awake, eling pepadhane (NP/11/4)
‘Ingat diri sendiri, ingat sesamanya’
(275) Ibu ing peputra badhe nyuwun pangestu (LL/4/1)
‘Ibu anakmu mau minta doa restu’
(276) Gegamaning uripku (LL/6/3)
‘Senjatanya hidupku’
(277) Kena murkane Gusti wujud bebendu (LL/11/4)
‘Terkena marahnya Allah berwujud bencana’
Data (270) terdapat penggunaan dwipurwa pada kata sesanti
‘pertanda’ yang berasal dari kata dasar santi ‘tanda’. Pada data (271)
dan (272) dwipurwa ditunjukkan oleh kata reresik ‘membersihkan’
yang berasal dari kata resik ‘bersih’dan kata nenuwun ‘meminta’ dari
kata nuwun ‘minta’. Sedangkan data (273) dan (274) pengulangan
suku kata pertama pada kata Peparing ‘Pemberi’ dari kata paring
‘beri’, dan kata pepadhane ‘sesamanya’ dari kata padha ‘sama’. Data
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
108
(275), (276), dan (277) pengulangan terdapat pada kata peputra ‘anak’
yang berasal dari kata putra ‘putra’, gegamaning ‘senjatanya’
mendapat akhiran {-ing} yang berasal dari kata gaman ‘alat’, dan kata
bebendu ‘bencana’ dari kata bendu ‘bencana’. Pemanfaatan dwipurwa
tersebut dapat menunjukkan kearkhaisan pada kalimat.
b) Dwilingga Salin Swara
(278) Mesam-mesem lan sumringah (KN/9/6)
‘Senyam-senyum dan ceria’
(279) Lirak-lirik karepe ngejak turu kelonan (OCON/6/1)
‘Lirak-lirik maksudnya mengajak tidur berdua’
(280) Lagi krusak-krusek lha kok ya ana gropyokan (OCON/11/4)
‘Baru krusak-krusek lha mengapa ya ada grebekan’
(281) Ning atine panas, tem getam-getem (JJJE/7/3)
‘Dihatinya panas, tem getam-getem’
(282) Rada gremat-gremet, rejekine mampet (JJJE/15/4)
‘Agak merayap-rayap, rejekinya mampet’
Data-data di atas adalah data dengan penggunaan dwilingga salin
swara atau pengulangan kaya yang mengalami perubahan bunyi,
bertujuan untuk memperindah bunyi pada kata yang diulang, sehingga
dapat memunculkan unsur kemenarikan ketika didengar. Data (278)
pengulangan ditunjukkan pada kata mesam-mesem ‘senyam-senyum’
menyatakan aktivitas yang dilakukan secara berulang. Data (279)
terdapat pada kata lirak-lirik ‘lirak-lirik’ yang juga menyatakan
aktivitas
yang
ditunjukkan
diulang-ulang.
oleh
kata
Pada
data
krusak-krusek
commit to user
(280)
pengulangan
‘krusak-krusek’
yang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
109
menyatakan suara yang terdengar berulang-ulang. Sedangkan data
(281) dan (282) dwilingga salin swara terdapat pada kata getamgetem ‘getam-getem’ dan gremat-gremet ‘merayap-rayap’ yang
menyatakan suatu perasaan yang mendongkol dan gerakan yang
berulang-ulang dilakukan.
2) Afiksasi
Afiksasi adalah proses pembentukan kata dengan cara menambahkan
afiks pada bentuk dasar yang nantinya akan mengubah makna gramatikal.
Dalam lirik lagu komunitas JHF ditemukan beberapa bentuk afiksasi
literer berupa prefiks, infiks, dan sufiks yang dapat dilihat pada analisis
data berikut ini.
a) Prefiks {ka-}
(283) Kaya kang kaserat ing Sabdatama (SOS/4/4)
‘Seperti yang tertulis di Sabdatama’
Pada data (283) terdapat afiksasi bentuk literer yang berupa prefiks
{ka-} bergabung dengan kata dasar serat ‘tulis’ yang menunjukkan
kegiatan yang sudah dilakukan sebelumnya yaitu tertulis. Pada data
tersebut penambahan afiks memberikan kesan kepuitisan pada kalimat.
b) Prefiks {ma-}
(284) Mula dha mangertia ibu kuwi suwarga (LL/12/3)
‘Maka pada mengertilah ibu itu surga’
Penambahan di awal berupa afiks {ma-} pada data di atas
bergabung dengan kata ngerti ‘tahu’ dan akhiran {–a} yang
menyatakan keadaan dimana hendaknya bisa mengerti seorang ibu.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
110
c) Infiks {-um-}
(285) Mangga sami jumangkah (KN/7/5)
‘Mari bersama melangkah’
(286) Sedaya ingkang teng mriki saged tumindak nekat (KN/9/9)
‘Semua yang di sini bisa bertindak nekat’
(287) Ingkang tansah lumintu (LL/7/3)
‘Yang selalu mengalir’
(288) Wiwit saka bayi nganti gedhe jumangkah (LL/10/2)
‘Mulai dari bayi sampai besar melangkah’
Pada data (285) dan (288) penambahan afiks berupa sisipan {-um-}
yang bergabung dengan kata jangkah ‘langkah’ menunjukkan suatu
bentuk aktivitas melangkah. Data (286), dan (287) infiks {-um-}
bergabung dengan kata tindak ‘tindak’ dan lintu ‘berjalan terus’
menerangkan suatu keadaan. Penambahan infiks {-um-} berfungsi
untuk menonjolkan unsur keindahan kalimat.
d) Sufiks {-ing}
(289) Ditohi pecahing dhadha (SOS/5/6)
‘Ditandai pengorbanan jiwa’
(290) Luntaking ludira nganti pathi (SOS/5/7)
‘Keluarnya darah hingga mati’
(291) Precil mijet wohing ranti (NKP/2/4)
‘Sebentar sekali’
(292) Pancen penting tumraping manungsa sing dha eling (NP/11/3)
‘Memang penting bagi manusia yang pada ingat’
(293) Paring tentreming ati (NP/18/5)
‘Memberi ketentraman hati’
(294) Angking tembang saking lebeting manah (KN/7/3)
‘Asal nyanyian dari dalamnya hati’
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
111
(295) Dadia pendekaring bangsa (LL/3/4)
‘Jadilah pahlawan bangsa’
(296) Kang sumandhing jeroning raga (LL/5/3)
‘Yang bersanding di dalam raga’
(297) Gegamaning uripku
Jroning sanubariku (LL/6/3,4)
‘Senjatanya hidupku’
‘Di dalam sanubariku’
Data-data di atas adalah data menunjukkan adanya sufiks {-ing}
pada
masing-masing
menunjukkan
unsur
kelitereran
pada
langsungnya.
kata
dasar
Berfungsi
yang
untuk
mengalami
penambahan imbuhan, yaitu akhiran {-e}. Data (289), (290), (291),
(292), (293), (294), dan (295) adalah data dengan penggunaan sufiks
{-ing} yang menyatakan keadaan, dimana kata dasar pecah ‘pecah’,
luntak ‘keluar’, woh ‘tumbuh’, tumrap ‘kepada’, tentrem ‘tentram’,
lebet ‘dalam’, dan kata pendekar ‘pahlawan’ bergabung dengan
akhiran atau sufiks {-ing}. Data (296) muncul dua kali sufiks {-ing},
yaitu penambahan infiks {-um-} bergabung dengan kata sanding
‘sanding’ kemudian diakhiri dengan sufiks {-ing}, dan yang kedua
kata jero ‘dalam’ bergabung dengan sufiks {-ing} menyatakan suatu
keadaan yang bertempat di dalam raga. Data (297) terdapat
penambahan berupa sufiks{-ing} muncul sebanyak dua kali, yaitu kata
gaman ‘alat’ yang mengalami pengulangan di suku kata awal dan kata
jero ‘dalam’ yang bergabung dengan sufiks {-ing} menerangkan suatu
gambaran tentang doa seorang ibu.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
112
3.
Gaya Bahasa atau Majas
Gaya bahasa merupakan cara untuk mengekspresikan bahasa yang didalamnya
memiliki kekhasan tertentu yang dapat merangsang imajinasi pendengaratau
pembaca, dan memberikan nilai keindahan tersendiri sesuai dengan apa yang ingin
dituju. Dalam analisis data pada lirik lagu komunitas JHF ditemukan beberapa
macam gaya bahasa, yaitu epistrofa, mesodiplosis, anafora, anadiplosis, repetisi utuh,
metonimia, sarkasme, simile, personifikasi, enumerasia, koreksio, dan hiperbola.
Hasil analisis data tersebut dapat dilihat pada pemaparan di bawah ini.
a. Epistrofa
Epistrofa adalah repetisi yang berwujud pengulangan kata atau frasa pada
akhir baris atau kalimat secara berurutan. Dalam analisis data pada lirik lagu
komunitas JHF ditemukan kalimat-kalimat yang menunjukkan gaya bahasa
epistrofa, dapat dilihat pada hasil analisis berikut.
(298) Merapi yaiku
Keraton yaiku
Segara yaiku (SOS/3/1-3)
‘Merapi yaitu’
‘Keraton yaitu’
‘Laut yaitu’
(299) Pring iku mung suket, ning omah asale saka pring,
Usuk saka pring, cagak saka pring
Gedhek iku pring, lincak uga pring
Kepang cetha pring, tampare ya mung pring (NP/9/1-4)
‘Bambu itu hanya rumput, tapi rumah asalnya dari bambu’
‘Penyangga dari bambu, tiang dari bambu’
‘Dinding itu bambu, balai-balai juga bambu’
‘Anyaman jelas bambu, talinya ya hanya bambu’
(300) Kalo, tampah, serok asale saka pring.
Pikulan, tepas, tenggok digawe nganggo pring.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
113
Mangan enak mancing iwak, walesane ya pring
Jangan bung aku gandrung, jebule bakal pring (NP/10/1-4)
‘Kalo, tampah, serok asalnya dari bambu’
‘Pikulan, kipas, keranjang dibuat dengan bambu’
‘Makan enak memancing ikan, gandar pancingnya ya bambu’
‘Sayur bung aku suka, ternyata benih bambu’
Pada data-data diatas ditemukan adanya pengulangan di setiap akhir kalimat.
Data (298) terdapat kata yaiku ‘yaitu’ yang diulang sebanyak tiga kali pada setiap
akhir kalimat yang memiliki maksud bahwa pengarang ingin menjelaskan merapi,
keraton, dan laut itu berpusat di Yogyakarta. Data (299) adanya pengulangan
pada kata pring ‘bambu’ muncul sebanyak tujuh kali pada setiap akhir kalimat,
dengan maksud pengarang ingin menjelaskan bahwa bambu memiliki banyak
manfaat dalam kehidupan manusia. Sedangkan data (300) kata pring ‘bambu’
diulang sebanyak empat kali, dengan maksud pengarang ingin menyampaikan
manfaat-manfaat dari bambu. Dengan adanya pengulangan di akhir kalimat
seperti data-data di atas, selain menambah kekhasan tersendiri, juga dapat
memudahkan pembaca atau pendengar untuk mengerti maksud apa yang
disampaikan pengarang.
b. Mesodiplosis
Mesodiplosis adalah pengulangan yang bertempat di tengah baris pada kalimat
secara berurutan. Dalam analisis lirik lagu komunitas JHF, ditemukan kalimatkalimat yang mengandung gaya bahasa mesodiplosis, dapat dilihat pada hasil
analisis berikut ini.
(301) Merapi ngelingake marang ing Gusti
Segara ngelingake kudu ngidak bumi (SOS/4/6)
‘Merapi mengingatkan pada sang Pencipta’
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
114
‘Laut mengingatkan harus menginjak bumi’
(302) Swarga durung weruh
Neraka durung wanuh (NKP/1/2)
‘Surga belum lihat’
‘Neraka belum tahu’
(303) Seneng mesthi susah
Susah mesthi seneng (NKP/3/1,2)
‘Senang pasti susah’
‘Susah pasti senang’
(304) Susah jebule seneng
Seneng jebule susah (NKP/4/3,4)
‘Susah ternyata senang’
‘Senang ternyata susah’
(305) Sugih rung karuan seneng
Mlarat rung karuan susah (NKP/6/1,2)
‘Kaya belum tentu senang’
‘Miskin belum tentu susah’
(306) Pipi padha pipi
Bokong padha bokong (NKP/10/1,2)
‘Pipi dengan pipi’
‘Bokong dengan bokong’
Pada data-data di atas, gaya bahasa mesodiplosis yang ditunjukkan memiliki
kesamaan, yaitu muncul sebanyak dua kali, yaitu pada unsur langsung atau
kalimat pertama dan kedua. Data (301) gaya bahasa mesodiplosis ditunjukkan
pada kata ngelingake ‘mengingatkan’ yang ada pada setiap unsur langsungnya,
dimana pengarang ingin menekankan kalimat tersebut agar makna yang ada
didalamnya dapat tersampaikan dan menjadi renungan bagi diri pembaca atau
pendengar. Pada data (302) kata durung ‘belum’, pengarang ingin menekankan
surga dan neraka belum diketahui seperti apa wujudnya. Data (303) pengulangan
terdapat pada kata mesthi ‘pasti’ yang memiliki maksud bahwa pengarang ingin
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
115
meyakinkan pembaca atau pendengar mengenai hidup yang didalamnya ada susah
dan senang. Data (304) kata jebule ‘ternyata’ memiliki maksud pengarang ingin
menyampaikan bahwa hidup itu tak selamanya senang atau susah, di dalam
kesenangan atau kebahagian pasti ada kesusahan walaupun itu tidak seberapa.
Data (305) terdapat kata rung karuan ‘belum tentu’ yang didalamnya pengarang
bermaksud ingin menyampaikan tentang kemiskinan dan kekayaan belum tentu
selamanya membuat susah ataupun senang. Sedangkan data (306) pengulangan
terletak pada kata padha ‘sama’ dimana pengarang bermaksud untuk menegaskan
isi kalimat tersebut. Penggunaan gaya bahasa mesodiplosis memperlihatkan
bahwa lirik-lirik lagu JHF memiliki banyak keunikan didalamnya.
c. Anafora
Anafora adalah repetisi yang berwujud perulangan kata atau frasa pertama
pada tiap baris atau kalimat berikutnya. Dalam lirik lagu komunitas JHF terdapat
penggunaan gaya bahasa anafora, dapat dilihat pada hasil analisis berikut.
(307) Ana beja, ana cilaka
Ana urip, ana mati (NKP/2/2,3)
‘Ada untung, ada celaka’
‘Ada hidup, ada mati’
(308) Yen ngelak ngombea
Yen ngelih mangana
Yen kesel ngasoa
Yen ngantuk turua (NKP/11/1-4)
‘Kalau haus minumlah’
‘Kalau lapar makanlah’
‘Kalau lelah istirahatlah’
‘Kalau ngantuk tidurlah’
(309) Aja nggresula, aja wedi (NKP/18/1)
‘Jangan mengeluh, jangan takut’
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
116
(310) Eling awake, eling pepadhane
Eling patine, lan eling Gustine (NP/11/3,4)
‘Ingat diri sendiri, ingat sesamanya’
‘Ingat matinya, dan ingat Penciptanya’
(311) Guru iku conto sing ditiru
Guru iku conto sing digugu (JJG/3/1,2)
‘Guru itu contoh yang ditiru’
‘Guru itu contoh yang diteladani’
Pada data (307) terdapat gaya bahasa anafora pada kata ana ‘ada’ yang
muncul sebanyak empat kali pada setiap unsur langsungnya yang memiliki
maksud bahwa pengarang ingin menyampaikan unsur-unsur yang ada dalam
kehidupan. Data (308) kata yen ‘kalau’ muncul sebanyak empat kali dimana
pengarang bermaksud ingin memberikan saran-saran
yang selanyaknya
dilakukan. Data (309) terdapat pada kata aja ‘jangan’ yang diulang pada kalimat
selanjutnya bertujuan untuk menekankan pada pembahasan yang dimaksud, yaitu
dalam hidup hendaknya jangan mengeluh dan takut. Data (310) kata eling ‘ingat’
yang diulang sebanyak empat kali pada setiap unsur langsung yang bersangkutan
dimana pengarang bermaksud untuk mengingatkan pada pembaca atau pendengar
hendaknya selalu ingat terhadap Pencipta, diri sendiri, dan orang lain disekitar
kita. Pada data (311) terdapat kalimat guru iku conto sing ‘guru itu contoh yang’
diulang sebanyak dua kali pada tiap unsur langsungnya, pengarang menekankan
kembali mengenai guru yang semestinya memberikan contoh baik.
d. Anadiplosis
Anadiplosis adalah gaya bahasa dimana suatu kata atau frasa terakhir dari
suatu klausa atau kalimat menjadi kata atau frasa pertama. Dalam analisis pada
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
117
lirik lagu komunitas JHF ditemukan beberapa larik yang termasuk ke dalam gaya
bahasa anadiplosis, dapat dilihat pada hasil analisis berikut.
(312) Seneng mesthi susah
Susah mesthi seneng (NKP/3/1,2)
‘Senang pasti susah’
‘Susah pasti senang’
(313) Susah jebule seneng
Seneng jebule susah (NKP/4/3,4)
‘Susah ternyata senang’
‘Senang ternyata susah’
Pada data (312) kata seneng ‘senang’ dan susah ‘susah’ pada unsur langsung
yang pertama atau kalimat pertama diulang kembali pada kalimat berikutnya
dengan penggunaannya yang dibalik menjadi susah ‘susah’ dan seneng ‘senang’.
Sedangkan data (313) kata susah ‘susah’ dan seneng ‘senang’ diulang kembali
pada kalimat berikutnya dengan penggunaan kata yang dibalik, yaitu seneng
‘senang’ kemudian susah ‘susah’. Kedua data tersebut bertujuan untuk
menekankan kata senang dan susah dimana selalu ada dalam kehidupan.
e. Repetisi Utuh
Repetisi utuh adalah adalah bentuk pengulangan pada satuan lingual baik itu
berupa satu baris kalimat maupun satu bait atau beberapa kalimat yang diulang
secara utuh. Dalam lagu-lagu komunitas JHF ditemukan adanya bait-bait atau
beberapa kalimat yang diulang beberapa kali ketika dinyanyikan. Hal tersebut
dapat dilihat pada hasil analisis di bawah ini.
(314) We are from Jogja
The heart of Java
Our rhyme is mantra
Flows down like lava
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
118
We are from Jogja
The heart of Java
Our culture is weapon
Yeah, this Song of Sabdatama (SOS/1-2)
‘Kita dari Jogja’
‘Jantungnya Jawa’
‘Rime kita adalah mantra’
‘Turun seperti lava’
‘Kita dari Jogja’
‘Jantungnya Jawa’
‘Budaya kita adalah senjata’
‘Yeah, ini lagu dari Sabdatama’
(315) Ki Daruna Ni Daruni
Wis ya aku bali menyang Giri
Kyai Petruk ratu ning Merapi
Lho kok ratu kadi pak tani (NKP/5/1-4)
‘Pak Daruna, Bu Daruni’
‘Sudah ya saya kembali ke gunung’
‘Kyai Petruk ratu di Merapi’
‘Lho mengapa ratu seperti pak tani’
(316) Pring reketeg gunung gamping ambrol
Ati kudu teteg ja nganti urip ketakol
Pring reketeg gunung gamping ambrol
Uripa sing jejeg nek ra eling jebol (NP/1/1-4)
‘Bambu reketeg gunung gamping runtuh’
‘Hati harus tegar jangan sampai hidup terlunta-lunta’
‘Bambu reketeg gunung gamping runtuh’
‘Hiduplah yang lurus kalau tidak ingat roboh’
(317) Jogja Jogja tetap istimewa
Istimewa negerinya istimewa orangnya
Jogja Jogja tetap istimewa
Jogja istimewa untuk Indonesia (JI/1/1-4)
(318) Ngemut permen, permen lollipop
Bunder tur gepeng rasane legi
Kepengin beken pengen dadi ngetop
Karyane laris tur senine mati (JJL/1/1-4)
‘Mengunyah permen, permen lollipop’
‘Bundar dan pipih rasanya manis’
‘Ingin keren ingin jadi ngetop’
‘Karyanya laris namun seninya mati’
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
119
(319) Pak Dul sirahe gundhul
Tuku rokok ning pasar Sentul
Arepa silul kudu wani cucul
Ora cucul ora ngebul (OCON/1/1-4)
‘Pak Dul kepalanya gundul’
‘Beli rokok di pasar Sentul’
‘Kalaupun silul harus berani membuka pakaian’
‘Tidak membuka tidak mengebul’
(320) Jamane jaman edan
Ra edan ra keduman
Pilih lali timbang kalah
Sing lali bener sing eling salah (JJJE/5/1-4)
‘Zamannya zaman gila’
‘Tak gila tak kebagian’
‘Pilih lupa daripada kalah’
‘Yang lupa benar yang ingat salah’
(321) Aku ngelak takombeni ciu
Botole putih jerone biru
Aku seneng dadi guru
Masia mendem tetep digugu
Wadhuh-dhuh-dhuh cek enake
Ciuku cap guru lan murid
Wadhuh-dhuh-dhuh cek nasipe
Gajiku thitik mung dadi silit (JJG/1-2)
‘Aku haus kuminumi minuman alkohol’
‘Botolnya putih dalamnya biru’
‘Aku senang jadi guru’
‘Walaupun mabuk tetap diteladani’
‘Waduh duh duh kok enaknya’
‘Minuman alkoholku cap guru dan murid’
‘Waduh duh duh kok nasibnya’
‘Gajiku sedikit hanya jadi kotoran’
(322) Ibu kemanapun aku melangkah
Aku selalu mengingatmu
Kau membimbingku dari aku lahir
Aku rindu ibu (LL/1/1-4)
(323) Taklela lela lela ledhung
Cep menenga aja pijer nangis (LL/2/1,2)
‘Kutimang timang anakku’
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
120
‘Sudah diamlah jangan terus menangis’
Data-data di atas merupakan beberapa kalimat yang diucapkan secara berulang
pada masing-masing lagu komunitas JHF. Data (314) adalah bagian dari lirik lagu
komunitas JHF berjudul Song of Sabdatama, diulang sebanyak dua kali yaitu
pada bait ke-6 dan 7, serta bait ke-16 dan 17. Data (315) dari lagu Ngelmu Kyai
Petruk dengan perulangan sebanyak dua kali pada baris ke-9 dan 13. Data (316)
bagian dari lagu Ngelmu Pring yang diulang sebanyak tujuh kali pada bait ke-2,
7, 8, 13, 14, 19, dan ke-20. Data (317) diambil dari lagu Jogja Istimewa yang
mengalami perulangan sebanyak lima kali yaitu di bait ke-5, 9, 13, 14, dan ke-15.
Pada data (318) diambil dari lagu Jula Juli Lollipop dengan perulangan sebanyak
sembilan kali, pada bait yang ke-2, 6, 7, 11, 12, 16, 17, 18, dan ke-19. Data (319)
dari lagu Ora Cucul Ora Ngebul yang diulang kembali sebanyak enam kali, yaitu
pada bait ke-8, 9, 16, 17, 24, dan ke-25. Data (320) diambil dari lagu Jula Juli
Jaman Edan yang diulang kembali sebanyak tujuh kali di bait ke-6, 11, 12, 18,
19, 20, dan ke-21. Pada data (321) bagian dari lagu Jula Juli Guru yang
mengalami perulangan sebanyak empat kali di bait ke-7 dan 8, 13 dan 14, 19 dan
20, serta 21 dan 22. Sedangkan data (322) dan (323) merupakan bagian dari lagu
Lela Ledhung, data (322) yang diulang kembali sebanyak satu kali di bait ke-14
dan data (323) diulang pada bait ke-13 larik satu dan dua. Dengan adanya
perulangan yang berkali-kali seperti pada data-data di atas, menunjukkan unsur
ketertarikan bagi pembaca atau pendengar sehingga kesan atau nilai lagu dapat
mudah dicapai yang diwakilkan dari beberapa kalimat yang diulang-ulang
tersebut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
121
f. Metonimia
Metonimia merupakan gaya bahasa dengan cara mempergunakan suatu objek
lain yang memiliki hubungan dekat dengan objek yang sesungguhnya. Gaya
bahasa metonimia di dalam lirik-lirik lagu komunitas JHF ditemukan pada
beberapa kalimat yang dapat dilihat pada hasil analisis data berikut.
(324) Sing nggropyok polisi numpak pick-up bakul kursi (OCON/12/1)
‘Yang menggerebek polisi naik pick-up penjual kursi’
(325) Nganggo tank-top mlaku ning pasar Bantul (OCON/20/1)
‘Memakai pakaian singlet jalan di Pasar Bantul’
(326) Sekolahku adoh, hondaku taun pitu lima (JJG/9/1)
‘Sekolahku jauh, hondaku tahun tujuh lima’
Data (324) penggunaan gaya bahasa metonimia terletak pada frasa numpak
pick-up ‘naik pick up’ sebagai objek pengganti yang memiliki kedekatan dengan
objek yang sesungguhnya, yaitu mengacu pada sebuah mobil yang berfungsi
sebagai pengangkut barang. Data (325) frasa nganggo tank-top ‘memakai
pakaian singlet’ sebagai objek pengganti dari sebuah pakaian yang modelnya
tidak ada lengannya. Data (326) kata hondaku langsung mengacu pada sebuah
kendaran bermotor sebagai objek yang sesungguhnya. Penggunaan gaya bahasa
metonimia ini memberikan kesan ketertarikan pada pembaca atau pendengar
untuk berimajinasi secara langsung terhadap kalimat yang disampaikan.
g. Sarkasme
Sarkasme adalah gaya bahasa yang mempergunakan kata-kata yang kasar atau
kata-kata yang cenderung tidak sopan. Penggunaan gaya bahasa ini sering muncul
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
122
hanya pada satu lagu saja, sehingga tidak mendominasi kata-kata dalam lirik lagu
komunitas JHF. Hal tersebut dapat dilihat melalui analisis data di bawah ini.
(327) Nak ora entuk mengko takgajul matamu
Prek su..!! (KN/1/5,6)
‘Kalau tidak boleh nanti kupukul matamu’
‘Prek su’
(328) Nak ora seneng kana kowe dha minggata (KN/2/2)
‘Kalau tidak suka sana kamu pada pergi’
(329) Masamu nyothe apik dhewe ngono pa su! (KN/3/5)
‘Kau kira menjajakan diri bagus sendiri apa su’
(330) Menawi boten pitados kula aturi minggat (KN/9/8)
‘Apabila tidak berkenan saya persilahkan pergi’
Pada data-data di atas penggunaan gaya bahasa sarkasme cukup mendominasi
di dalam lagu komunitas JHF yang berjudul Kula Nuwun. Data (327) pada frasa
takgajul matamu ‘kupukul matamu’ dan prek su ‘prek su’ merupakan kata-kata
yang kurang sopan atau tidak semestinya diucapkan kepada orang lain. Pada data
tersebut menunjukkan bahwa sang pengarang merasa kesal terhadap orang lain
yang dimaksud, karena sesuatu hal yang diinginkan tidak dapat terpenuhi. Data
(328) dan (330) kata minggata ‘pergilah’ dan minggat ‘pergi’ merupakan
ungkapan suatu kekecewaan yang bercampur dengan emosi. Data (329) kata su
adalah kata yang sama sekali tidak pantas untuk diucapkan kepada orang lain.
Keluarnya kata tersebut mununjukkan suatu sindiran terhadap orang lain yanmg
didalamnya mengandung nasihat bahwa menjajakan diri itu tidak seharusnya
dilakukan. Dari data-data penggunaan gaya bahasa sarkasme memberikan sebuah
penekanan di dalam makna agar pembaca atau pendengar dapat dengan mudah
menangkap maksud atau nasihat-nasihat yang terkandung didalamnya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
123
h. Simile
Simile disebut sebagai gaya bahasa perbandingan dimana dua hal yang
dianggap sebagai sesuatu yang sama. Ada beberapa kalimat dalam lirik lagu
komunitas JHF yang menunjukkan gaya bahasa simile. Penggunaan gaya bahasa
tersebut dapat dilihat pada hasil analisis sebagai berikut.
(331) Negeri paling penak
Rasane kaya swarga (JI/2/2,3)
‘Negara paling nyaman’
‘Rasanya seperti surga’
(332) Karya seni kontemporer jaman saiki
Mung kaya mut-mutan ning ilat krasa legi (JJL/4/3,4)
‘Karya seni kontemporer zaman sekarang’
‘Hanya seperti unyahan di lidah terasa manis’
(333) Nek takpikir-pikir kok kaya tukang kayu
Mung waton ngemali apa-apa sing payu (JJL/9/1,2)
‘Kalau kupikir-pikir mengapa seperti tukang kayu’
‘Hanya asal menghitung.apa-apa yang laku’
(334) Karya seni kaya dagangan jenang dodol (JJL/15/3)
‘Karya seni seperti berjualan jenang dodol’
(335) Mula aja munafik kaya wong-wong politik (OCON/7/1)
‘Maka jangan munafik seperti orang-orang politik’
(336) Kae bulane ndadari
Kaya mas buta nggilani (LL/8/2,3)
‘Itu bulannya bundar’
‘Seperti raksasa menjijikkan’
Data (331) negeri paling penak ‘negara paling nyaman’ yang dimaksud
adalah Yogyakarta dibandingkan dengan kenyamanan yang ada di surga yang
penuh dengan keindahan. Data (332) membandingakn karya seni di zaman
sekarang dengan unyahan di lidah yang terasa manis, dalam hal ini orang-orang
yang berkecimpung dalam seni di zaman sekarang hanya ingin hasilnya yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
124
menguntungkan saja, tidak mau menghargai proses yang sebelumnya harus
dijalani. Data (333) seni dibandingkan dengan tukang kayu, dimana hanya
mengitung apa saja yang laku, hanya mau menerima hasilnya saja tidak mau
berusaha secara maksimal. Data (334) yang menunjukkan adanya perbandingan
seni dengan berjualan jenang dodol, maksud didalamnya seni zaman sekarang
banyak karya-karya yang siap untuk dijual. Data (335) orang-orang yang munafik
dibandingkan dengan orang-orang yang berkecimpung dalam politik, karena
dunia politik orang-orang yang terpilih menjadi wakil rakyat banyak mengumbar
janji kepada rakyat namun banyak yang tidak ditepati, sehingga hanya omong
kosong saja. Data (336) bulan dibandingkan dengan raksasa yang menakutkan
dan menjijikkan. Penggambaran bulan saat itu berwarna kuning keorangean yang
membentuk lingkaran besar dengan dikelilingi awan disekitarnya, sehingga
kelihatan menyeramkan. Gaya bahasa simile ini menunjukkan ciri khas dari
pengarang dalam lagu komunitas JHF yang dapat merangsang pembaca atau
pendengar untuk berimajinasi dan memahami maksud yang sesungguhnya.
i. Personifikasi
Personifikasi merupakan jenis gaya bahasa dengan cara menggambarkan
benda-benda mati yang seakan-akan dapat hidup atau memiliki sifat-sifat seperti
manusia. Pemanfaatan gaya bahasa ini dapat menimbulkan rangsangan imajinasi
pembaca atau pendengar. Adapun hasil analisis mengenai gaya bahasa
personifikasi dalam lirik-lirik lagu komunitas JHF, yaitu sebagai berikut.
(337) Marang bumi sing nglairake dhewe tansah kelingan (JI/10/4)
‘Pada bumi yang melahirkan kita selalu teringat’
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
125
(338) Disetater macet, eh karbulatore nggodha (JJG/9/2)
‘Dinyalakan macet, eh karbulatornya menggoda’
Data (337) bumi diibaratkan seperti makhluk hidup, biasanya kata melahirkan
digunakan pada makhluk hidup yang akan mempunyai keturunan. Data (338)
adanya penggunaan gaya bahasa personifikasi pada frasa kabulatore nggodha
‘kabulatornya menggoda’, dimana benda mati yaitu kabulator memiliki sifat-sifat
seperti manusia yaitu menggoda. Pengarang ingin memberikan penekanan dalam
kalimat dengan cara penggunaan gaya bahasa personifikasi ini, yaitu
membandingkan dan memberi gambaran seperti apa yang dilakukan makhluk
hidup atau seolah-olah hal itu benda hidup, agar pembaca atau pendengar mudah
mencapai makna yang dituju.
j. Enumerasia
Enumerasia adalah gaya bahasa yang digunakan untuk melukiskan suatu
peristiwa atau keadaan dengan cara memberikan gambaran-gambaran yang jelas.
Pemanfaatan gaya bahasa enumerasia membantu dalam memperjelas terhadap
kalimat yang ada. Dalam lirik lagu JHF ditemukan beberapa kalimat yang
mengandung gaya bahasa enumerasia, dengan hasil analisis data sebagai berikut.
(339) Merapi horeg, laut kidul gedheg,
Angin ribut, udan bledhek (SOS/8/1,2)
‘Merapi gemuruh, laut selatan bergelombang’
‘Angin ribut, hujan petir’
(340) Tambur wis ditabuh, suling wis muni (JI/6/1)
‘Genderang sudah dipukul, suling sudah berbunyi’
Data (339) peristiwa dilukiskan pada dua baris kalimat secara utuh.
Penggambaran mengenai gunung merapi, laut selatan, angin, dan hujan begitu
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
126
jelas bagaikan dalam keadaan yang menakutkan. Data (340) genderang dan suling
digambarkan sudah ditabuh dan dibunyikan. Pemanfaatan gaya bahasa ini sangat
memperjelas mengenai keadaan yang dimaksud dalam kalimat. Dengan
memberikan penggambaran-penggambaran yang lebih lanjut pembaca atau
pendengar secara langsung dapat menangkap maksud yang dituju.
k. Koreksio
Koreksio merupakan bentuk gaya bahasa penegasan berupa pembetulan pada
kata-kata yang salah ataupun memang sengaja dimunculkan pada suatu kalimat.
Dalam lirik lagu komunitas JHF ditemukan satu kalimat yang menunjukkan gaya
mbahasa ini, hasil analisis data sebagai berikut.
(341) Gedhe magrong-magrong kamare ana pitu, weh wolu (JJL/10/4)
‘Besar gedongan kamarnya ada delapan, weh tujuh’
Data (341) terdapat pembetulan mengenai perhitungan kamar rumah dari kata
ana pitu ‘ada tujuh’ menjadi weh wolu ‘weh delapan’. Pembetulan tersebut dibuat
secara sengaja oleh pengarang untuk memnerikan kesan humoris terhadap kalimat
tersebut.
l. Hiperbola
Hiperbola adalah gaya bahasa yang digunakan untuk menggambarkan suatu
keadaan yang dirasakan berlebihan dari sesuatu yang dijadikan objek
sesungguhnya. Penggunaan gaya bahasa ini memberikan unsur ketidakmungkinan
dalam arti kalimatnya. Gaya bahasa hiperbola ditemukan dalam lirik lagu
komunitas JHF, dengan hasil analisis sebagai berikut.
(342) Ditohi pecahing dhadha (SOS/5/6)
‘Ditandai pengorbanan jiwa’
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
127
(343) Munggah bulan numpak dokar, saya edan (JJJE/1/2)
‘Ke bulan naik dokar, semakin gila’
Data (342) pada frasa pecahing dhadha ‘pecahnya dada’ dirasakan berlebihan
dari objek yang sesungguhnya yaitu kata pecah biasa digunakan pada benda yang
berbahan kaca atau sejenisnya, namun dalam kalimat tersebut digunakan untuk
menggambarkan dada. Data (343) kalimat munggah bulan numpak dokar ‘ke
bulan naik dokar’ menunjukkan suatu hal yang berlebihan atau sama sekali tidak
mungkin terjadi, karena kuda tidak bisa terbang dan tidak bisa bernafas ketika
diangkasa. Kemunculan gaya bahasa ini memberikan kesan indah tersendiri
karena adanya penekanan pada kata-kata yang dapat menarik perhatian dari
pembaca atau pendengar.
4.
Pencitraan
Pencitraan adalah gambaran kiasan tentang tanggapan indera manusia yang
ditafsirkan sendiri oleh pembaca atau pendengar, didapat dari sebuah kalimat atau
kumpulan kalimat bertujuan untuk membantu dalam penghayatan suatu karya sastra.
Pemanfaatan pencitraan dalam lirik lagu komunitas JHF ditemukan adanya empat
macam pencitraan, yaitu citra penglihatan, pendengaran, perabaan, dan citra gerak.
Untuk hasil analisisnya dapat dilihat pada pemaparan berikut ini.
a. Citraan Penglihatan
Citraan penglihatan merupakan bentuk penggambaran yang menekankan
pengalaman
visual
(penglihatan)
yang
commit to user
dialami
pengarang
kemudian
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
128
diformulasikan ke dalam rangkaian kata yang dapat dipahami sebagai ciri
penglihatan yang memberi rangsangan kepada indera penglihatan. Dalam lirik
lagu komunitas JHF yang terlihat adanya penggunaan citra penglihatan dapat
dilihat pada hasil analisis di bawah ini.
(344) Mung donya sing kuweruh (NKP/1/3)
‘Hanya dunia yang kuketahui’
(345) Jaman saiki kabeh dha blereng matane (JJL/3/1)
‘Zaman sekarang semua pada tidak jelas matanya’
(346) Lirak-lirik karepe ngejak turu kelonan (OCON/6/1)
‘Lirak-lirik maksudnya mengajak tidur berdua’
(347) Ning dalan ketemu karo temon bodine seksi (OCON/10/3)
‘Di jalan bertemu dengan temon bodinya seksi’
(348) Ndelok arek wedok irunge mekrok (JJJE/10/1)
‘Melihat seorang wanita hidungnya mengembang’
(349) Kae bulane ndadari (LL/8/2)
‘Itu bulannya bundar’
Data (344) yang menunjukkan gambaran penglihatan adalah kata kuweruh
‘kuketahui’ yang menjelaskan secara nyata bahwa hanya dunia yang dilihat,
sedangkan dunia akhirat belum diketahui. Data (345) pada frasa blereng matane
‘tidak jelas matanya’ adalah sebuah bentuk kata kiasan yang digunakan untuk
menggantikan objek sesungguhnya yaitu tidak bisa melihat mana yang salah dan
benar, atau baik dan buruk. Frasa tersebut merangsang imajinasi pembaca atau
pendengar untuk membayangkan orang yang kabur penglihatannya. Data (346)
bentuk
reduplikasi
lirak-lirik
‘lirak-lirik’
menunjukkan
penggambaran
penglihatan secara nyata yang berupa aktivitas gerak mata untuk mengisyaratkan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
129
sesuatu. Data (347) kalimat temon bodine seksi ‘temon bodinya seksi’
menunjukkan penggambaran penglihatan, untuk bisa mengetahui bentuk tubuh
temon seksi dengan menggunakan mata untuk melihatnya. Data (348) kata ndelok
‘melihat’ secara langsung dan nyata menjadi acuan dalam penggambaran
penglihatan dimana wanita yang dilihat memiliki hidung yang mengembang. Data
(349) pada frasa bulane ndadari ‘bulannya bundar’ menjadi acuan yang
merangsang munculnya rangsangan untuk berimajinasi melihat bulan yang saat
itu berbentuk bundar. Penggunaan penggambaran penglihatan pada lirik lagu JHF
menambah adanya ciri khas yang ditunjukkan oleh lagu-lagu JHF dimana
rangsangan imajinasi pembaca atau pendengar dapat dengan mudah muncul dan
maksud dari kalimat pun juga dapat dengan mudah tersampaikan.
b. Citraan Pendengaran
Citraan pendengaran adalah penggambaran bahasa sebagai perwujudan dari
pengalaman pendengaran (audio) yang dapat memberikan rangsangan kepada
indera pendengaran sehingga mempengaruhi imajinasi pembaca untuk memahami
teks sastra secara lebih utuh. Penggunaan citraan pendengaran pada lirik lagu
komunitas JHF yaitu.
(350) Coba rungokna apa sing takkadhakna (KN/2/1)
‘Coba dengarlah apa yang kukatakan’
(351) Rungokna iki gatra saka Ngayogyakarta (JI/2/1)
‘Dengarlah ini untaian lagu dari Yogyakarta’
(352) Ana koruptor watuk, hukume beres (JJJE/3/4)
‘Ada koruptor batuk, hukumnya beres’
(353) Disetater macet, eh karbulatore nggodha (JJG/9/2)
‘Dinyalakan macet, eh karbulatornya menggoda’
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
130
Data (350) dan (351) citraan pendengaran terdapat pada kata rungokna
‘dengarlah’ yang menjadi acuan secara nyata langsung menimbulkan imaji untuk
mempersiapkan pendengaran dengan baik untuk mendengarkan apa yang akan
dikatakan dan mendengarkan bahwa yang disampaikan adalah sebuah lagu dari
Yogyakarta. Data (352) pada frasa koruptor watuk ‘koruptor batuk’ merupakan
acuan citraan pendengaran yang berupa sebuah isyarat, dimana acuan tersebut
dapat merangsang pembaca atau pendengar untuk membayangkan seorang
koruptor yang sedang batuk. Data (353) frasa disetater macet ‘dinyalakan macet’
adalah acuan yang secara langsung merangsang imaji untuk mendengarkan suara
setater motor yang macet. Citraan pendengaran sangat membantu untuk
menggambarkan secara jelas mengenai kalimat yang disampaikan oleh pembaca
atau pendengar.
c. Citraan Perabaan
Citraan Perabaan adalah penggambaran dengan bahasa yang diperoleh melalui
pengalaman indera perabaan, seringkali menggambarkan bagaimana sesuatu
secara erotik dan sensual dapat memancing imajinasi pembaca. Dalam lirik lagu
komunitas JHF ditemukan kalimat yang menunjukkan penggambaran perabaan,
yaitu.
(354) Petruk bingung ngekep bojone (OCON/2/1)
‘Petruk bingung mendekap istrinya’
(355) Saking senenge nganti gelem dijak kelonan (OCON/11/2)
‘Karena terlalu senang sampai mau diajak tidur berangkulan’
(356) Pulisine malah takrangkuli (JJG/17/4)
‘Polisinya malah kupeluki’
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
131
Data (354) frasa ngekep bojone ‘mendekap istrinya’ menjadi acuan dalam
penggambaran perabaan, dimana aktivitas sedang mendekap istrinya karena
kebingungan, sehingga imajinasi secara langsung muncul untuk membayangkan
dalam kondisi sedang mendekap. Data (355) acuan citraan perabaan terletak pada
kata kelonan ‘tidur berangkulan’ yang menimbulkan imaji mengenai aktivitas
tidur berangkulan dimana penggambaran mengenai perabaan muncul sesuai
dengan pemikiran pembaca atau pendengar. Data (356) kata takrangkuli
‘kupeluki’ menjadi acuan dalam penggambaran perabaan, dimana merangsang
imajinasi mengenai aktivitas dua tubuh yang saling berpelukan satu sama lain.
Penggambaran perabaan memang identik dengan sesuatu yang sensual di dalam
lirik lagu komunitas JHF, namun hal tersebut menjadikan ciri khas tertentu dalam
lagu-lagunya.
d. Citraan Gerak
Citraan gerak menggambarkan sesuatu yang sesungguhnya tidak bergerak,
tetapi dilukiskan sebagai dapat bergerak, ataupun gambaran gerak pada
umumnya. Penggambaran gerak dalam lirik lagu komunitas JHF ditemukan
padabeberapa kalimatnya, dapat dilihat pada hasil analisis berikut.
(357) Tekan titi wancine ya digotong nganggo pring (NP/12/2)
‘Sampai akhir hayatnya ya diangkat dengan bambu’
(358) Sampun kakehan polah
Mangga sami jumangkah (KN/7/4-5)
‘Sudah banyak tingkah’
‘Mari bersama melangkah’
(359) Senengane mung blanja wo mlaku-mlaku (JJL/14/4)
‘Sukanya hanya belanja wo jalan-jalan’
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
132
(360) Nganggo tank-top mlaku ning pasar Bantul (OCON/20/1)
‘Memakai tank-top jalan di pasar Bantul’
(361) Manuk Podang mabur mlebu kurungan (OCON/22/1)
‘Burung Podang terbang masuk sangkar’
(362) Aku ngelak takombeni ciu (JJG/1/1)
‘Aku haus kuminumi minuman alkohol’
(363) Aku mlayu sandhalku keri (JJG/17/1)
‘Aku lari sandalku ketinggalan’
Data (357) kata digotong ‘diangkat’ merupakan acuan yang berupa aktivitas
sedang membawa dengan bahu, acuan tersebut menimbulkan rangsangan untuk
membayangkan jenazah yang sedang diangkut dengan bambu menuju tempat
pemakaman. Data (358) citraan pendengaran ditunjukkan pada acuan kata
jumangkah ‘melangkah’ yang berupa aktivitas berjalan kedepan, dan iamji
muncul mengenai langkahan kaki yang maju kedepan. Data (359) dan (360)
penggunaan kata dasar mlaku ‘jalan’ menjadi acuan dalam menimbulkan
penggambaran menggerakkan kaki melangkah sesuai dengan tujuan yang
dikehendaki. Data (361) kata mabur ‘terbang’ sebagai acuan yang menunjukkan
citraan gerak, dimana merupakan aktivitas gerak pada burung, sehingga imajinasi
muncul secara langsung mengenai burung yang sedang terbang menuju
sangkarnya. Data (362) kata takombeni ‘kuminumi’ menunjukkan referen
penggambaran aktivitas gerak sedang meminum dengan menggunakan tangan,
sehingga hal tersebut munimbukan imaji gerak meminum minuman alkohol
dalam keadaan sedang mabuk-mabukan. Data (363) kata mlayu ‘lari’ secara
langsung menjadi acuan dalam menggambarkan suatu aktivitas gerak,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
133
merangsang adanya imajinasi mengenai gerak berlari sampai-sampai sandalnya
ketinggalan. Ditemukannya citraan gerak menunjukkan bahwa pengarang
memberikan kemudahan kepada pendengaratau pembaca dalam menangkap
maksud yang ada didalamnya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
134
B. Pembahasan
Setelah lirik lagu komunitas JHF dianalisis, ditemukan banyak pemanfaatan pada
bahasa Jawa yang ada dalam lirik lagu, seperti pemanfaatan bunyi, pilihan kata yang
sesuai, aspek morfologis yang literer, gaya bahasa yang indah, dan pencitraan atau
penggambaran pada bahasa yang menimbulkan imajinasi pembacaatau pendengar.
Semua hal tersebut menjadikan ciri khas dalam lagu-lagu komunitas JHF yang dapat
menarik perhatian pendengarnya. Adapun kualifikasi mengenai lirik lagu komunitas
JHF
yang telah dianalisis
sebelumnya, dimulai dari pemanfaatan bunyi
(purwakanthi), diksi dan aspek morfologis, gaya bahasa, kemudian pencitraan.
Terdapat pemanfaatan bunyi (purwakanthi) yang ditemukan dalam lirik lagu
komunitas JHF, yaitu purwakanthi swara, purwakanthi sastra, dan purwakanthi basa
(lumaksita). Purwakanthi swara (asonansi) ditemukan sebanyak 10 macam, yaitu
asonansi [a], [ɔ], [i], [I], [u], [U], [e], [ɛ], [ǝ], dan asonansi [O]. Dari beberapa macam
asonansi, yang paling banyak ditemukan pada data yaitu asonansi [a] sebanyak 24
data. Kemudian disusul oleh asonansi [i] sebanyak 19 data. Asonansi [u] sebanyak 18
data, asonansi [ɔ] sebanyak 12 data. Selanjutnya asonansi [e] berjumlah 6 data,
asonansi [U] berjumlah 5 data, asonansi [I] dan [O] berjumlah 3 data, asonansi [ǝ]
berjumlah 2 data, dan terakhir pada asonansi [ɛ] sebanyak 1 data yang ditemukan.
Sedangkan untuk purwakanthi sastra (aliterasi) terdapat 8 macam yang ditemukan
dalam lirik lagu komunitas JHF, yaitu aliterasi [d], [k], [l], [m], [ŋ], [r], [s], dan
aliterasi [w]. Aliterasi yang paling dominan pada data adalah aliterasi [ŋ] sebanyak 6
data, kemudian pada aliterasi [l] sebanyak 4 data, disusul aliterasi [m] berjumlah 3
data, dan pada aliterasi [d], [k], [r], [s], [w] ditemukan dengan jumlah data yang sama
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
135
sebanyak 1 data. Pemanfaatan purwakanthi basa (lumaksita) ditemukan sebanyak 7
data. Adanya pemanfaatan bunyi yang bermacam-macam dengan letak di masingmasing unsur langsung yang berbeda ini memperlihatkan dalam penyusunan lirik
lagu komunitas JHF memerlukan pertimbangan yang tepat agar unsur keselarasan
dan kepaduan bunyi yang muncul dapat menimbulkan keindahan bahasa yang
tercipta.
Pilihan kata (diksi) yang muncul dalam lirik lagu komunitas JHF ditemukan ada 9
macam, yaitu sinonim, antonim, penggunaan kosakata bahasa Indonesia dan bahasa
Inggris, partikel afektif, adanya kata sapaan, kata seru (interjeksi), tembung saroja,
dan adanya tembung plutan. Dari beberapa diksi tersebut, yang paling mendominasi
dari lirik lagu komunitas JHF adalah tembung plutan dengan jumlah data sebanyak
72 data. Kemudian penggunaan kosakata bahasa Indonesia mendominasi yang kedua
dengan jumlah 18 data. Disusul pemanfaatan partikel afektif dengan jumlah 16 data,
tembung saroja sebanyak 11 data, dan antonim sebanyak 10 data. Penggunaan
kosakata bahasa Inggris terdapat 8 data dan kata seru sebanyak 7 data, kata sapaan 6
data, dan terakhir ditemukan sinonim sebanyak 3 data. Adanya penemuan diksi yang
bermacam-macam sangat tepat untuk memunculkan nilai estetis terhadap bahasa
yang disampaikan, selain itu juga dapat memudahkan bagi pendengaratau pembaca
mengerti maksud yang ingin disampaikan.
Penggunaan aspek penanda morfologis yang literer terdiri dari dua macam, yaitu
reduplikasi dan afiksasi. Pada reduplikasi yang ada dalam lirik lagu JHF ditemukan
dua jenis reduplikasi yang literer, yaitu dwipurwa dan dwilingga salin swara, dengan
jumlah data sebanyak 8 dan 5 data. Penggunaan afiksasi ditemukan 4 macam, yaitu
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
136
sufiks {-ing} yang paling mendominasi dengan data sebanyak 9 data, kemudian
infiks {-um-} berjumlah 4 data, prefiks {ka-} dan {ma-} dengan jumlah data
sebanyak 1 data. Aspek morfologis yang literer dengan beberapa jenis reduplikasi dan
afiksasi di masing-masing unsur langsungnya memberikan kontribusi keindahan
dalam bahasa yang ada pada lirik lagu komunitas JHF.
Gaya bahasa juga mewarnai bahasa dalam lirik lagu komunitas JHF. Ditemukan
banyak gaya bahasa sebanyak 12 macam, yaitu epistrofa, mesodiplosis, anafora,
anadiplosis, repetisi utuh, metonimia, sarkasme, simile, personifikasi, enumerasia,
koreksio, dan hiperbola. Dari beberapa macam gaya bahasa yang ditemukan dalam
analisis, paling mendominasi adalah repetisi utuh sebanyak 10 data, kemudian gaya
bahasa simile dan mesodiplosis dengan data sebanyak 6 data. Gaya bahasa anafora
ditemukan sebanyak 5 data, gaya bahasa sarkasme sebanyak 4 data. Selanjutnya gaya
bahasa epistrofa dan metonimia ditemukan sebanyak 3 data. Pada gaya bahasa
hiperbola, personifikasi, enumerasia, dan anadiplosis sebanyak 2 data yang
ditemukan. Terakhir gaya bahasa koreksio ada 1 data yang ditemukan. Beberapa gaya
bahasa yang menghiasi lirik lagu komunitas JHF ini sangat mendukung untuk
menonjolkan nilai keindahan dari lagu-lagunya, kesan humoris dan imajinasi muncul
secara langsung dalambahasa yang mengandung gaya bahasa tersebut.
Penggambaran melalui bahasa atau pencitraan juga terdapat dalam lirik lagu
komunitas JHF. Ditemukan ada 4 macam pencitraan yang mewarnai bahasa dalam
lirik lagu komunitas JHF, yaitu citraan penglihatan, pendengaran, perabaan, dan
citraan gerak. Pencitraan yang paling dominan adalah citraan gerak dengan jumlah
data sebanyak 7 data, dilanjutkan oleh citraan penglihatan sebanyak 6 data.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
137
Kemudian citraan pendengaran berjumlah 4 data, dan terakhir citraan perabaan
dengan jumlah 3 data. Penggambaran-penggambaran melalui bahasa yang
disampaikan ini sangat merangsang imajinasi pendengar atau pembaca untuk
membayangkan aktivitas apa yang dimaksud dalam bahasa yang disampaikan
tersebut, sehingga pemanfaatan bahasa pada pencitraan ini sangat menarik perhatian
dari pembaca atau pendengar.
commit to user
Download