perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN A. Analisis Data Analisis kajian stilistika pada lirik lagu komunitas JHF adalah analisis mengenai gaya (style) yang ditunjukkan dalam lirik lagu komunitas JHF. Data yang berupa lirik-lirik lagu tersebut telah disajikan dan dapat di lihat pada halaman lampiran yang didalamnya terdapat lirik-lirik dari 10 lagu komunitas JHF beserta terjemahannya. Deskripsi mengenai gaya (style) yang akan dianalisis dalam penelitian ini yaitu, 1) pemanfaatan aspek bunyi (purwakanthi), 2) Pilihan kata dan aspek penanda morfologis, 3) Penggunaan gaya bahasa, dan 4) Penggunaan pencitraan dalam lirik lagu komunitas JHF. 1. Pemanfaatan Aspek Bunyi (Purwakanthi) Purwakanthi adalah bentuk persamaan bunyi pada suatu kalimat, baik itu bunyi vokal atau konsonan saja maupun persamaan kata dalam sebuah kalimat. Adanya persamaan aspek bunyi ini menunjukkan nilai keestetisan dari kalimat tersebut apabila diucapkan. Dalam lirik lagu komunitas JHF ditemukan adanya pemanfaatan pada aspek bunyi (purwakanthi) yang terdiri dari purwakanthi swara, purwakanthi sastra, dan purwakanthi lumaksita (basa). a. Purwakanthi Swara (Asonansi) Purwakanthi swara merupakan bentuk pengulangan pada bunyi vokal dalam satuan larik kalimat yang biasanya digunakan dalam suatu karya puisi maupun commit to user 50 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 51 prosa untuk menunjukkan adanya nilai keindahan yang ada didalamnya. Pengulangan bunyi vokal yang sama ini terjadi baik diawali maupun tidak diawali oleh bunyi vokal konsonan. Dalam lirik lagu komunitas JHF ditemukan adanya purwakanthi swara, dapat ditunjukkan pada data-data berikut. 1) Asonansi Bunyi Vokal /a/ [a] (1) Nagari gemah ripah kang merdika (SOS/4/3) ‘Negara tenteram makmur yang merdeka’ (2) Marang donya lan manungsane (SOS/9/4) ‘Pada dunia dan manusianya’ (3) Lho kok ratu kadi pak tani (NKP/5/4) ‘Lho mengapa ratu seperti pak tani’ (4) Mlarat rung karuan susah Susah ra isa disawang (NKP/6/2,3) ‘Miskin belum tentu susah’ ‘Susah tak bisa dipandang’ (5) Yen sapimu masuk angin tambanana Jamune ulekan lombok, bawang, uyah, kecap (NKP/7/4,5) ‘Jika sapimu masuk angin obatilah’ ‘Jamunya ulekan cabai, bawang, garam, kecap’ (6) Ondhe-ondhe jemblem bakwan Urip ki padha wong jajan Kabeh ora bisa dipangan Mula elingana dhandhanggulane jajan (NKP/12/1-4) ‘Ondhe-ondhe jemblem bakwan’ ‘Hidup itu sama seperti orang jajan’ ‘Semua tidak bisa dimakan’ ‘Maka ingatkan enaknya jajan’ (7) Marang kawula ingkang kathah lepat lan dosa (NP/17/4) ‘Pada saya yang banyak salah dan dosa’ (8) Yo Ki Ageng Gantas gek ndang dibrantas Wis saya panas Sumangga kersa dipunbabat tuntas (KN/6/2-4) ‘Mari Ki Ageng Gantas segera dibrantas’ commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 52 ‘Sudah semakin panas’ ‘Mari ikut menyelesaikan’ (9) Mangke ndak dhawah (KN/8/1) ‘Nanti malah jatuh’ (10) Matak aji gaman sami dipunhunus teng arsa (KN/11/3) ‘Menggunakan kekuatan dengan alat yang digunakan di muka’ (11) Saka jaman perjuangan nganti merdeka (JI/4/2) ‘Dari zaman perjuangan hingga merdeka’ (12) Nek wong kere leh gendhakan ning hotel murahan Durung nganti anget kena razia kisinan (OCON/3/3,4) ‘Kalau orang miskin berselingkuh di hotel murahan’ ‘Belum sampai hangat kena razia memalukan’ (13) Beras larang minyak mundhak ra karu-karuan (OCON/6/3) ‘Beras mahal minyak naik tidak tanggung-tanggung’ (14) Bar digambar temone seneng ora karuan Saking senenge nganti gelem dijak kelonan Cepet-cepet gage dha golek hotel murahan Lagi krusak-krusek lha kok ya ana gropyokan (OCON/11/1-4) ‘Setelah digambar temonnya suka tidak karuan’ ‘Karena begitu sukanya sampai mau diajak tidur’ ‘Cepat-cepat pada mencari hotel yang murah’ ‘Baru krusak-krusek lha kok ya ada grebekan’ (15) Akale wong lanang nek dolan ning pasar Kembang Gawe alasan golek aman ben ra konangan (OCON/18/1,2) ‘Akalnya laki-laki kalau main di pasar Kembang’ ‘Membuat alasan cari aman supaya tidak ketahuan’ (16) Manuk podhang mabur mlebu kurungan Gage dikancing nganggo gembok kuningan Ra entek-entek lehku seneng gendhakan Nganti modar nganti tekan kuburan (OCON/22/1-4) ‘Burung podang terbang masuk sangkar’ ‘Segera dikunci dengan gembok kuningan’ ‘Tak habis-habis aku suka selingkuh’ ‘Sampai mati sampai di kuburan’ (17) Pancen saiki jamane, jaman edan Munggah bulan numpak dokar, saya edan (JJJE/1/1,2) commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 53 ‘Memang sekarang zamannya, zaman gila’ ‘Naik ke bulan dengan dokar, makin gila’ (18) Jamane jaman edan Ra edan ra keduman (JJJE/5/1,2) ‘Zamannya zaman gila’ ‘Tak gila tak kebagian’ (19) Budhal ngajar ja nganti telat (JJG/3/3) ‘Berangkat mengajar jangan sampai terlambat’ (20) Yen nangis ndak ilang ayune (LL/2/4) ‘Kalau menangis nanti hilang cantiknya’ (21) Marang kanugrahan kang satuhu marang putramu (LL/7/4) ‘Pada keanugerahan yang sesungguhnya pada anakmu’ (22) Kae bulane ndadari (LL/8/2) ‘Itu bulannya bundar’ (23) Nalika biyen sangang sasi ing garbane Ibu tansah sabar nadyan ra penak rasane (LL/9/1,2) ‘Ketika dulu sembilan bulan diperutnya’ ‘Ibu selalu sabar walaupun tidak nyaman rasanya’ (24) Marang ibu kang wis nggulawentah (LL/10/1) ‘Pada ibu yang sudah mendidik’ Pada data yang telah dipaparkan di atas dapat ditemukan berbagai bentuk atau pola yang bervariasi dari purwakanthi swara (asonansi) /a/ [a]. Pola yang bervariasi tersebut dapat dilihat pada asonansi /a/ [a] yang muncul di hampir semua unsur langsungnya yang dapat menambah nilai estetis dari kalimat itu sendiri seiring dengan keselarasan bunyi yang ada. Pola tersebut dapat ditunjukkan pada data (1), (3), (11), (19), dan (20) yang muncul bunyi /a/ pada empat kata dalam satu kalimat atau unsur langsungnya. Data (2) dan (24) muncul bunyi /a/ pada tiga kata dalam satu kalimat. Sedangkan pada data (7) muncul sebanyak enam kali, yaitu pada kata marang ‘pada’, kawula commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 54 ‘saya’, ingkang ‘yang’, kathah ‘banyak’, lepat ‘salah’, lan ‘dan’, data (10) muncul lima kali pada kata macak ‘berhias’, aji ‘nilai’, gaman ‘alat’, sami ‘pada’, arsa ‘muka’. Data (4), (5), (15), (17), dan (23) pada dua baris kalimatnya hampir semua kata mengandung asonansi /a/ [a] yang semakin menunjukkan adanya keselarasan bunyi vokal /a/ [a]. Selain itu, ditemukan juga adanya asonansi /a/ [a] disemua kata di dalam kalimatnya yaitu pada data (9), (13), (18), (21), dan (22). Pemanfaatan bunyi asonansi /a/ [a] yang muncul pada data (6), (12), (14), dan (16) terletak pada suku kata yang terakhir di setiap kalimatnya, dimana bunyi vokal yang muncul secara berulang-ulang tersebut selalu diiringi dengan akhiran bunyi konsonan /n/. Data (6) pada kata bakwan ’bakwan’, jajan ‘jajan’, dipangan ‘dimakan’, data (12) pada kata murahan ‘murahan’, kisinan ‘malu’, data (14) pada kata karuan ‘karuan’, kelonan ’tidur berangkulan’, murahan ‘murahan’, gropyokan ‘grebekan’, dan data (16) pada kata kurungan ‘sangkar’, kuningan ‘kuningan’, gendhakan ‘selingkuhan’, kuburan ‘kuburan’. Sedangkan data (8), asonansi bunyi [a] muncul di akhir suku kata unsur langsungnya dengan diiringi akhiran bunyi konsonan /s/ yaitu pada kata dibrantas ’diberantas’, panas ‘panas’, tuntas ‘tuntas’. Adanya permainan bunyi yang muncul dengan segala variasi polanya sangat menentukan keestetisan keselarasan dan kesesuaian bunyi yang diciptakan dalam kalimat. 2) Asonansi Bunyi Vokal /a/ [ɔ] (25) Ana beja ana cilaka (NKP/2/2) ‘Ada untung ada celaka’ commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 55 (26) Yen ngelak ngombea Yen ngelih mangana Yen kesel ngasoa Yen ngantuk turua (NKP/11/1-4) ‘Jika haus minumlah’ ‘Jika lapar makanlah’ ‘Jika lelah istirahatlah’ ‘Jika ngantuk tidurlah’ (27) Kowe bakal bisa urip rekasa Ning kudu percaya uga sregep ndonga Gusti paringana luwih pangapura (NKP/17/1-3) ‘Kamu nantinya bisa hidup susah’ ‘Namun harus percaya juga rajin berdoa’ ‘Allah berilah maaf yang lebih’ (28) Coba rungokna apa sing takkadhakna (KN/2/1) ‘Coba dengarlah apa yang kukatakan’ (29) Wadya bala kula sampun sumadya (KN/11/2) ‘Pasukan saya sudah di tengah’ (30) Rungokna iki gatra saka Ngayogyakarta (JI/2/1) ‘Dengarlah ini untaian kata dari Yogyakarta’ (31) Jaman biyen isih ngonthel numpak pit onta Saiki wis numpak mobil gedhe tur dawa Tuku apa-apa ra perlu ndelok rega Kamengkon ndhisik kerep njaluk aku sega (JJL/13/1-4) ‘Zaman dulu masih bersepeda naik sepeda onta’ ‘Sekarang sudah naik mobil besar dan panjang’ ‘Membeli apa-apa tak perlu melihat harga’ ‘Padahal dulu sering minta aku nasi’ (32) Bojo loro kabeh kok seneng nggodha Wis merdeka sih ana kumpeni landa (OCON/19/2-3) ‘Istri dua semua kok suka menggoda’ ‘Sudah merdeka masih ada kompeni asing’ (33) Guru iku wakile wong tuwa Dipasrahi ndidik anak bisa dadi utama Mula guru kudu ngadohi panggodha Uripe sacukupe, sederhana, lan prasaja (JJG/5/1-4) ‘Guru itu wakilnya orangtua’ ‘Diamanahi mendidik anak bisa menjadi utama’ commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 56 ‘Maka guru harus menjauhi hal-hal yang menggoda’ ‘Hidup secukupnya, sederhana, dan bersahaja’ (34) Sekolahku adoh, hondaku taun pitu lima Disetater macet, eh..karbulatore nggodha Mula aku ra isa, ora isa teka Teng..pas jam pitu kurang lima (JJG/9/1-4) ‘Sekolahku jauh, hondaku tahun tujuh lima’ ‘Disetater macet, eh..karbulatornya menggoda’ ‘Maka aku tak bisa, tidak bisa datang’ ‘Teng..tepat pukul tujuh kurang lima’ (35) Tak gadhang bisa urip mulya Dadia wanita utama Ngluhurke asmane wong tua Dadia pendekaring bangsa (LL/3/1-4) ‘Kuharap bisa hidup bahagia’ ‘Jadilah wanita utama’ ‘Menjunjung tinggi nama orangtua’ ‘Jadilah pahlawan bangsa’ (36) Mula dha mangertia ibu kuwi suwarga (LL/12/3) ‘Maka pada mengertilah ibu itu surga’ Pada data yang telah dipaparkan di atas, ada tiga variasi pola purwakanthi swara (asonansi) bunyi /a/ [ɔ] yaitu terletak di akhir suku kata saja dalam setiap kalimat atau unsur langsungnya, terletak disemua suku kata dalam kalimat, dan ada juga yang terletak di hampir semua suku kata pada kalimat. Pada data (26), (27), (31), (32), (33), (34), dan (35) adalah pola variasi asonansi yang bunyi /a/ [ɔ] terletak di akhir suku kata dalam setiap kalimat. Pemanfaatan bunyi dengan pola tersebut digunakan untuk memperoleh efek penekanan di setiap suku kata akhir, sehingga dapat memberikan kesan indah ketika setiap kalimat diucapkan. Data (25) pemanfaatan bunyi /a/ [ɔ] terletak disemua suku katanya, yaitu pada kata ana ‘ada’, beja ‘untung’, cilaka ‘celaka’. Dengan adanya pola commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 57 variasi di setiap kata tersebut menunjukkan bahwa bunyi /a/ [ɔ] sangat dimanfaatkan oleh pengarang di dalam penyusunan kalimat. Data (28), (30) adalah data yang menunjukkan pola variasi asonansi yang bunyi /a/ [ɔ] terletak di hampir semua suku kata unsur langsungnya. Pada data (29) memiliki dua variasi asonansi bunyi [ɔ], dimana terdapat keindahan bunyi [ɔ] dihampir semua unsur langsungnya dan keindahan asonansi juga terdapat pada kata pertama dan kata terakhir suku kata kedua muncul asonansi bunyi [ɔ] dengan diawali oleh konsonan /dy/, yaitu pada kata wadya ‘pasukan’ dan sumadya ’tengah’. Data (36) asonansi bunyi [ɔ] yang ditunjukkan berada di suku kata terakhir yaitu pada kata mula ‘maka’, dha ‘pada’, mangertia ‘mengertilah’, dan suwarga ‘surga’. Dengan adanya pemanfaatan bunyi /a/ [ɔ] dengan beberapa pola variasinya, menunjukkan bahwa pengarang sangat mempertimbangkan di dalam penyusunan kalimat-kalimatnya yang bertujuan untuk memberikan efek estetis dan menciptakan keselarasan bunyi yang ada. 3) Asonansi Bunyi Vokal /i/ [i] (37) Merapi ngelingake marang ing Gusti Segara ngelingake kudu ngidak bumi (SOS/4/6) ‘Merapi mengingatkan pada sang Pencipta’ ‘Laut mengingatkan harus menginjak bumi’ (38) Ngono kuwi jiwa Jawi Manunggaling kawula Gusti Mbalung sumsum padha diugemi Minangka tekad dadi sesanti Sadumuk bathuk sanyari bumi (SOS/5/1-5) ‘Seperti itu jiwa Jawa’ ‘Memasrahkan diri pada Pencipta’ ‘Mendarah daging dipegang teguh’ ‘Ketika sebuah niat menjadi pertanda’ ‘Membela kebenaran hingga mati’ commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 58 (39) Precil mijet wohing ranti (NKP/2/4) ‘Sebentar sekali’ (40) Ki Daruna Ni Daruni Wis ya aku bali menyang giri Kyai Petruk ratu ning Merapi Lho kok ratu kadi pak tani (NKP/5/1-5) ‘Pak Daruna Bu Daruni’ ‘Sudah ya saya kembali ke gunung’ ‘Kyai Petruk ratu di Merapi’ ‘Lho kok ratu seperti pak tani’ (41) Pring ori, urip iku mati Kabeh sing urip mesti bakale mati (NP/4/1,2) ‘Bambu ori, hidup itu mati’ ‘Semua yang hidup pasti pada akhirnya mati’ (42) Mugi Gusti ngapurani kawula alit sing kebak dosa iki (KN/6/1) ‘Semoga Allah memaafkan orang kecil yang banyak dosa ini’ (43) Inspirasine wis ilang dipendhem mati Rasa solidaritase wis padha lali Karya seni kontemporer jaman saiki Mung kaya mut-mutan ning ilat krasa legi (JJL/4/1-4) ‘Inspirasinya sudah hilang dikubur mati’ ‘Rasa solidaritasnya sudah pada lupa’ ‘Karya seni kontemporer zaman sekarang’ ‘Hanya seperti mengunyah di lidah terasa manis’ (44) Ana kancaku sing kepengin dadi artis Pancen dasar bocahe senengane narsis Banjur tingkah polahe mung sing manis-manis Malah kaya permen rasane kringis-kringis (JJL/8/1-4) ‘Ada temanku yang ingin jadi artis’ ‘Memang dasar anaknya suka narsis’ ‘Lalu tingkah lakunya hanya yang manis-manis’ ‘Malah seperti permen rasanya kringis-kringis’ (45) Ana kancaku pelukis kluyuran bengi-bengi Pamite lunga jare arep golek inspirasi Ning dalan ketemu karo temon bodine seksi Kenalan trus gelem digambar ra nganggo klambi (OCON/10/1-4) ‘Ada temanku pelukis main malam-malam’ ‘Pamitnya pergi katanya mau cari inspirasi’ ‘Di jalan bertemu dengan temon bodinya seksi’ commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 59 ‘Kenalan lalu mau digambar tidak memakai pakaian’ (46) Sing nggropyok polisi numpak pick-up bakul kursi Tanpa basa-basi kabeh kamar disatroni Banjur diklumpuke dikon antri siji-siji Kabeh digeledhah nek ana sing nyolo wadi (OCON/12/1-4) ‘Yang menggrebek polisi naik pick-up penjual kursi’ ‘Tanpa basa-basi semua kamar dicek’ ‘Lalu dikumpulkan disuruh antri satu-satu’ ‘Semua digeledah kalau ada yang menyembunyikan rahasia’ (47) Politik saiki malih dadi campursari (JJJE/13/4) ‘Politik sekarang berubah menjadi campursari’ (48) Sepur gluthuk kecemplung kali Negarane ambruk elite lali (JJJE/16/1,2) ‘Kereta api masuk ke sungai’ ‘Negaranya ambruk elitnya lupa’ (49) Gajiku sethithik mung dadi silit (JJG/2/4) ‘Gajiku sedikit hanya jadi kotoran’ (50) Bengi kudune ngoreksi malah tak gawe nyambi Ngojek ning jurusan Brebah Gendhingsari Bali tekan bengi awak kesel njaluk prei PR murid-muridku ra sida takkoreksi (JJG/11/1-4) ‘Malam seharusnya mengoreksi malah kujadikan sampingan’ ‘Ngojek di jurusan Brebah Gendingsari’ ‘Pulang sampai malam badan capek minta libur’ ‘PR murid-muridku tidak jadi kukoreksi’ (51) Tambah bengi ora tambah sepi Tambah anget tambah menari Dadak teka rombongan pulisi Ana gropyokan kabeh mlayu wedi (JJG/16/1-4) ‘Semakin malam tidak semakin sepi’ ‘Semakin hangat semakin menari’ ‘Tiba-tiba datang rombongan polisi’ ‘Ada grebekan semua lari ketakutan’ (52) Aku mlayu sandhalku keri Kesusu malah nabrak pulisi Aku kaget setengah mati Pulisine malah takrangkuli (JJG/17/1-4) ‘Aku lari sandalku ketinggalan’ commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 60 ‘Terburu-buru malah menabrak polisi’ ‘Aku kaget setengah mati’ ‘Polisinya malah kupeluki’ (53) Aku konangan nek guru negri Guru kok mendem, jare pak pulisi Tak awur wae leh ku nyauri Sampeyan pulisi lha kok korupsi (JJG/18/1-4) ‘Aku ketahuan kalau guru negeri’ ‘Guru kok mabuk, kata pak polisi’ ‘Asal saja yang kujawab’ ‘Kamu polisi lha kok korupsi’ (54) Supados kula saged migunani Marang nusa bangsa tumrapipun agami (LL/4/3,4) ‘Supaya saya bisa bermanfaat’ ‘Bagi nusa bangsa terhadap agama’ (55) Kae bulane ndadari Kaya mas buta nggilani (LL/8/2,3) ‘Itu bulannya bulat’ ‘Seperti raksasa yang menjijikkan’ Dari data-data di atas, ada dua macam pola variasi asonansi bunyi /i/ [i] yang ditemukan, yaitu asonansi bunyi [i] yang terletak di akhir suku kata setiap unsur langsungnya dan terletak dihampir semua unsur langsungnya. Untuk pola variasi bunyi [i] yang letaknya di akhir suku kata tiap unsur langsungnya, seperti data (37), (38), (40), (43), (44), (45), (46), (48), (50), (51), (52), (53), (54), dan (55). Data (44) keindahan asonansi bunyi [i] muncul dengan diikuti oleh bunyi konsonan /s/ di tiap suku kata akhir masing-masing kalimat. Pola variasi dengan adanya persamaan bunyi [i] di akhir suku kata ini lebih banyak mewarnai di lirik-lirik lagu JHF yang bertujuan untuk memperindah dan memberi kesan puitis antara lirik satu dengan berikutnya. Data yang menunjukkan asonansi bunyi [i] yang letaknya dihampir semua commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 61 unsur langsungnya adalah data (39), (41), (42), (47), dan (49). Pola variasi tersebut bertujuan untuk memberikan efek penekanan pada bunyi [i] agar nilai keindahan pada kalimat atau unsur-unsur langsungnya muncul. 4) Asonansi Bunyi Vokal /i/ [I] (56) Urip iku amrih piye isa ning harmoni (SOS/16/2) ‘Hidup itu seharusnya bagaimana bisa harmoni’ (57) Pring kuning, urip iku eling (NP/6/3) ‘Bambu kuning, hidup itu ingat’ (58) Tambur wis ditabuh, suling wis muni (JI/6/1) ‘Genderang sudah ditabuh, suling sudah berbunyi’ Dari data yang telah dipaparkan, ditemukan satu pola variasi asonansi bunyi [I], yaitu letak persamaan bunyi [I] berada di hampir semua unsur langsung atau kalimat. Bunyi [I] data (56) muncul tiga kali, pada unsur pertama kata urip ‘hidup’ dan amrih ‘agar’, unsur keduanya pada kata ning ‘di’. Data (57) muncul sebanyak empat kali di hampir semua unsur langsungnya, pada kata pring ‘bambu’, kuning ‘kuning’, urip ‘hidup’, eling ‘ingat’ yang menunjukkan adanya fungsi penegasan mengenai penggambaran hidup di dunia. Data (58) pemanfaatan bunyi [I] sebanyak tiga kali muncul pada unsur langsung yang pertama dan kedua, pada kata wis ‘sudah’ di unsur langsung pertama dan kedua, pada kata suling ‘suling’ di unsur langsung kedua yang memberikan kesan penjelasan maksud bahwa genderang dan suling sudah dibunyikan. Adanya persamaan bunyi [I] yang di ikuti dengan bunyi konsonan memberikan tambahan pada keestetisan kalimat. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 62 5) Asonansi Bunyi Vokal /u/ [u] (59) Merapi yaiku Keraton yaiku Segara yaiku Pancering tugu (SOS/3/1-4) ‘Merapi yaitu’ ‘Keraton yaitu’ ‘Laut yaitu’ ‘Pusatnya tugu’ (60) Mulane uripmu aja dha kaku (NKP/16/1) ‘Maka dari itu hidupmu jangan kaku’ (61) Nderek langkung nuwun sewu Njaluk donga lan restu Ji ro lu Aku tak nyoba melu mlebu Nak ora entuk mengko takgajul matamu Prek su (KN/1/1-4) ‘Permisi’ ‘Minta doa dan restu’ ‘Tu dua tiga’ ‘Aku coba ikut masuk’ ‘Kalau tidak boleh nantu kupukul matamu’ ‘Prek su’ (62) Nek takpikir-pikir kok kaya tukang kayu Mung waton ngemali apa-apa sing payu Seni saiki nuruti pasar sing mlaku Dadi bakulan asal tau sama tau (JJL/9/1-4) ‘Kalau kupikir-pikir kok seperti tukang kayu’ ‘Hanya asal menghitung apa saja yang laku’ ‘Seni sekarang mengikuti pasar yang berjalan’ ‘Jadi penjual asal tahu sama tahu’ (63) Saya suwe dodolane kok saya payu Tambah sugih wonge uripe tambah maju Omahe dadi gedhong dicet werna biru Gedhe magrong-magrong kamare ana pitu, weh wolu (JJL/10/1-4) ‘Semakin lama jualannya kok semakin laris’ ‘Tambah kaya orangnya hidupnya tambah maju’ ‘Rumahnya jadi gedongan dicat warna biru’ ‘Besar gedongan kamarnya ada tujuh, weh delapan’ commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 63 (64) Jaman semana isih ramah karo aku Kok saiki sikape malih dadi kaku Ganti hp nganggo hp tipe terbaru Senengane mung blanja wo mlaku-mlaku (JJL/14/1-4) ‘Zaman dahulu masih ramah denganku’ ‘Kok sekarang sikapnya malah jadi kaku’ ‘Ganti hp pakai hp tipe terbaru’ ‘Sukanya hanya belanja wo jalan-jalan’ (65) Niatku tuku manuk, leh kurungan (JJJE/2/2) ‘Niatku beli burung, dapat kurungan’ (66) Sega kucing regane sewu Rakyate luwe ra isa ngguyu Rejeki seret kok ra metu-metu E lha nasibe ya wis kuwi mau (JJJE/4/1-4) ‘Nasi kucing harganya seribu’ ‘Rakyatnya lapar tak bisa tersenyum’ ‘Rejeki susah kok tak keluar-keluar’ ‘E lha nasibnya ya sudah itu tadi’ (67) Kok ya tega-tegane Sumanto, presidenku Yo bersatu padhu milih sing kleru (JJJE/17/3,4) ‘Mengapa begitu teganya Sumanto, presidenku’ ‘Mari bersatu padu memilih yang keliru’ (68) Aku ngelak takombeni ciu Botole putih jerone biru Aku seneng dadi guru Masia mendem tetep digugu (JJG/1/1-4) ‘Aku haus kuminumi minuman keras’ ‘Botolnya putih dalamnya biru’ ‘Aku senang jadi guru’ ‘Walaupun mabuk tetap diteladani’ (69) Ciuku cap guru lan murid (JJG/2/2) ‘Minuman kerasku cap guru dan murid’ (70) Aku wajib nagih SPP muridku Nek nganti telat diseneni pimpinanku Ning anakku dhewe nangis nganti kaku Merga sekolahe durung takbayar ping telu (JJG/10/1-4) ‘Aku wajib menagih SPP muridku’ ‘Kalau sampai terlambat dimarahi pimpinanku’ ‘Namun anakku sendiri menangis sampai kaku’ commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 64 ‘Karena sekolahnya belum kubayar tiga kali’ (71) Anakku sing ayu rupane(LL/2/3) ‘Anakku yang cantik wajahnya’ (72) Ibu ing peputra badhe nyuwun pangestu Tansah lancar anggen kula nuntut ilmu (LL/4/1,2) ‘Ibu anakmu mau minta doa restu’ ‘Agar lancar saya menuntut ilmu’ (73) Pandongane ibuku Iku sipat kandelku Gegamaning uripku Jroning sanubariku (LL/6/1-4) ‘Doanya ibuku’ ‘Itu sifat yang ada padaku’ ‘Senjata hidupku’ ‘Di dalam sanubariku’ (74) Tetes ingkang waspamu Tanda tulus atimu Ingkang tansah lumintu Marang kanugrahan kang satuhu marang putramu (LL/7/1-4) ‘Tetes air matamu’ ‘Tanda tulus hatimu’ ‘Yang selalu mengalir’ ‘Pada keanugerahan yang selalu untuk putramu’ (75) Yen ibu nganti duka uripmu bakale susah (LL/10/4) ‘Kalau ibu sampai sedih hidupmu nantinya akan susah’ (76) Sapa kang wani mblenjani dhawuhe ibu Apa maneh nglalekne ibu Bakal nampa dosa sajroning uripmu Kena murkane Gusti wujud bebendu (LL/11/1-4) ‘Siapa yang berani mengingkari perintah ibu’ ‘Apa lagi berani melupakan ibu’ ‘Nantinya menerima dosa di dalam hidupmu’ ‘Terkena murkanya Allah yang berwujud bencana’ Dari data-data di atas, ditemukan dua pola variasi asonansi bunyi [u], yaitu pengulangan bunyi [u] yang terletak di akhir suku kata pada tiap kalimat dan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 65 di hampir semua unsur langsungnya. Data (59), (61), (62), (63), (64), (66), (67), (68), (70), (72), (73), (74), dan (76) letak bunyi [u] berada di akhir suku kata tiap unsur langsungnya. Pola variasi tersebut digunakan pengarang untuk menunjukkan bahwa antara kalimat satu dengan kalimat selanjutannya sangat berhubungan, dan kesan indah ingin ditonjolkan oleh pengarang di tiap larik dalam lagu komunitas JHF. Data (60), (65), (69), dan (71) penggunaan bunyi [u] sebanyak tiga kali muncul pada unsur langsung pertama dan kedua yang memberikan nilai kepaduan bunyi yang menarik pada kalimat tersebut. Sedangkan data (75) pemanfaatan bunyi [u] sebanyak empat kali pada unsur langsung pertama kata ibu ‘ibu’, duka ‘sedih’ dan unsur langsung kedua kata uripmu ‘hidupmu’, susah ‘susah’ yang memberikan fungsi penekanan untuk menjelaskan maksud akan sebab dan akibat dari kalimat pada data tersebut. 6) Asonansi Bunyi Vokal /u/ [U] (77) Pring wuluh, urip iku tuwuh Aja mung embuh ethok-ethok ora weruh (NP/5/3,4) ‘Bambu wuluh, hidup itu tumbuh’ ‘Jangan hanya tidak peduli pura-pura tidak tahu’ (78) Ora bakal bubrah marga isa melur Kena dinggo mikul, ning aja ketungkul (NP/15/1,2) ‘Tidak akan rusak karena bisa membaur’ ‘Bisa digunakan memikul, tapi jangan terlena’ (79) Pak Dul sirahe gundhul Tuku rokok ning Pasar Sentul Arepa silul kudu wani cucul Ora cucul ora ngebul (OCON/1/1-4) ‘Pak Dul kepalanya gundul’ ‘Beli rokok di pasar Sentul’ ‘Kalaupun silul harus berani membuka pakaian’ commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 66 ‘Tidak membuka tidak mengebul’ (80) Tak emban slendang batik kawung Yen nangis ibu mundhak bingung (LL/13/3,4) ‘Ku beri selendang batik kawung’ ‘Kalau menangis ibu bisa bingung’ Penggunaan asonansi [U] pada data-data di atas memiliki dua pola variasi, dimana pola variasi tersebut pemanfaatan bunyi [U] terletak di akhir suku kata tiap kalimat atau unsur langsungnya dan di hampir semua unsur langsung atau kalimatnya. Data (77) penggunaan bunyi [U] sebanyak lima kali muncul di hampir semua unsur langsung, dimana asonansi bunyi [U] tersebut selalu diikuti oleh bunyi konsonan /h/, seperti pada kata wuluh ‘wuluh’, tuwuh ‘tumbuh’, mung ‘hanya’, embuh ‘tidak tahu’, weruh ‘tahu’. Dengan adanya kemunculan persamaan bunyi tersebut dapat menambah kesan kemenarikan dari kalimat-kalimatnya. Data (78) asonansi bunyi [U] muncul di suku kata yang terakhir setiap kalimatnya, yaitu pada kata melur ‘membaur’ dan ketungkul ‘terlena’. Data (79) keindahan asonansi bunyi [U] muncul dengan diikuti bunyi konsonan /l/ di suku kata akhir tiap kalimatnya. Sedangkan data (80) adalah data dengan penggunaan asonansi bunyi [U] juga terletak di akhir suku kata pada unsur langsung atau kalimatnya yang diikuti oleh bunyi konsonan /ng/, yaitu pada kata kawung ‘kawung’ dan bingung ‘bingung’ yang secara langsung akan memberikan nilai keestetisan terhadap kepaduan bunyi yang tercipta. Adapun dalam analisis data ditemukan asonansi [U] bentuk kombinasi, yaitu. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 67 (81) Pring apus, urip iku lampus Dadi wong urip aja seneng apus-apus (NP/4/3,4) ‘Bambu apus, hidup itu mati’ ‘Jadi orang hidup jangan suka berbohong’ Data (81) penggunaan bunyi [U] muncul sebanyak empat kali pada dua baris kalimat yang keindahan asonansinya berbentuk kombinasi dengan konsonan [p] diawal dan konsonan [s] diakhir huruf vokal [U] sehingga membentuk bunyi [pUs], yaitu kata apus ‘apus’, lampus ‘mati’, apus-apus ‘berbohong’. Adanya persamaan bunyi tersebut memberikan efek kejelasan mengenai penggambaran tentang hidup yang hendaknya memiliki sifat jujur. 7) Asonansi Bunyi Vokal /e/ [e] (82) Tanda bumi reresik nandang gawe Marang donya lan manungsane (SOS/8/3,4) ‘Tanda bumi sedang membersihkan dalam bekerja’ ‘Pada dunia dan manusianya’ (83) Njur wetenge wedhakana ki parutan jahe Urip kudu nyambut gawe Ja sakpenake dhewe Kabeh ana aturane (NKP/8/1-4) ‘Lalu perutnya olesilah parutan jahe’ ‘Hidup harus bekerja’ ‘Jangan seenaknya sendiri’ ‘Semua ada aturannya’ (84) Jaman saiki kabeh dha blereng matane Padha nuruti pasar apa pesenane Ngene wis dadi caraku golek pangane Seni ra penting sing penting entuk duite (JJL/3/1-4) ‘Zaman sekarang semua pada tak jelas matanya’ ‘Semua menuruti pasar apa pesanannya’ ‘Seperti ini sudah jadi caraku mencari makannya’ ‘Seni tidak penting yang penting dapat uangnya’ (85) Sing dibojo nilai rupiah lan dolare Golek cara ben payu laris dagangane commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 68 Karya senine lali nggambarke rakyate Rakyat sing urip sengsara apes nasibe (JJL/5/1-4) ‘Yang disuguhkan nilai rupiah dan dolarnya’ ‘Cari cara supaya laku laris dagangannya’ ‘Karya seninya lupa menggambarkan rakyatnya’ ‘Rakyat yang hidup sengsara sial nasibnya’ (86) Petruk bingung ngekep bojone Pikiran nglamun mikir gendhakane Pancen kadhung rusak negarane Mula aja gumun nek rakyate kere (OCON/2/1-4) ‘Petruk bingung mendekap istrinya’ ‘Pikiran melamun memikirkan selingkuhannya’ ‘Memang terlanjur rusak negaranya’ ‘Maka jangan heran kalau rakyatnya miskin’ (87) Timbang mikir nasib susahe Trima mendem mbangane luwe (JJG/15/1,2) ‘Daripada mikir nasib susahnya’ ‘Mendingan mabuk daripada lapar’ Purwakanthi swara (asonansi) bunyi [e] di atas memiliki pola variasi yang terletak di akhir suku kata pada unsur langsungnya kemudian diulang kembali pada suku kata terakhir pada unsur langsung berikutnya. Seperti pada data (82) kata gawe ‘buat’ dan manungsane ‘manusianya’. Selain itu data (83), (84), (85), (86), dan (87) penggunaan asonansi [e] juga terletak di suku kata akhir pada kalimat yang kemudian diulang kembali di akhir suku kata pada kalimat selanjutnya. Hal tersebut menandakan adanya pemilihan kata yang dilakukan pengarang dalam penyusunan kata-kata untuk menjadi sebuah kalimat agar keindahan kecocokan dan keselarasan bunyi muncul. 8) Asonansi Bunyi Vokal /e/ [ɛ] (88) Merapi horeg, laut kidul gedheg Angin ribut, udan bledhek (SOS/8/1,2) ‘Merapi gemuruh, laut selatan bergelombang’ commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 69 ‘Angin ribut, hujan petir’ Pemilihan kata yang menghadirkan asonansi bunyi [ɛ] pada akhir suku kata di tiap kalimat atau unsur langsung, pada kata gedeg ‘geleng’ dan bledek ‘petir’ mampu memberikan kesan kemenarikan dan memberikan fungsi kejelasan mengenai suatu peristiwa atau keadaan. 9) Asonansi Bunyi Vokal /e/ [ǝ] (89) Pring kuwi suket, dhuwur tur jejeg Rejeki seret, ra sah dha buneg (NP/3/3,4) ‘Bambu itu rumput, tinggi dan lurus’ ‘Rejeki tersendat, tak usah pada pusing’ (90) Ana kupat kecemplung ning jero santen Menawi lepat kawula nyuwun ngapunten (OCON/23/3,4) ‘Ada kupat masuk ke dalam santan’ ‘Apabila salah saya minta maaf’ Penggunaan asonansi pada data-data di atas melalui pemilihan kata mampu menghadirkan purwakanthi swara (asonansi) bunyi [ǝ], yaitu pada data (89), persamaan bunyi [ǝ] hampir terletak disemua unsur langsung, sebanyak lima kali muncul pada unsur langsungnya. Sedangkan data (90) muncul sebanyak enam kali, yaitu pada kata kecemplung ‘masuk’, jero ‘dalam’, santen ‘santan’, menawi ‘apabila’, lepat ‘salah’, dan ngapunten ‘maaf’. Pemilihan kata-kata yang menunjukkan asonansi bunyi [ǝ] tersebut digunakan pengarang untuk memberikan kejelasan atau menerangkan maksud dari kalimat pertama yang kemudian penjelasannya tersebut diletakkan pada kalimat selanjutnya atau kalimat kedua. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 70 10) Asonansi Bunyi Vokal /o/ [O] (91) Pring reketeg gunung gamping ambrol Ati kudu teteg ja nganti urip ketakol. Pring reketeg gunung gamping ambrol Uripa sing jejeg nek ra eling jebol (NP/1/1-4) ‘Bambu reketeg gunung gamping runtuh’ ‘Hati harus tegar jangan sampai hidup terlunta-lunta’ ‘Bambu reketeg gunung gamping runtuh’ ‘Hiduplah yang lurus kalau tidak ingat roboh’ (92) Urip kuwi abot ja digawe abot Akeh repot sak trek ora amot (NP/15/3,4) ‘Hidup itu berat, jangan dibuat berat’ ‘Banyak repot, setruk tidak muat’ (93) Omahe ra meh diparani bos kagol Takon apa ana karya sing siap didol Karya seni kaya dagangan jenang dodol Seni kok saya mawut wis modhol-modhol (JJL/15/1-4) ‘Rumahnya kan mau didatangi bos yang kecewa’ ‘Bertanya apa ada karya yang siap dijual’ ‘Karya seni seperti dagangan jenang dodol’ ‘Seni kok semakin ruwet sudah amburadul’ Pola variasi asonansi bunyi [O] yang sering muncul pada data-data di atas, penggunaan bunyi [O] terletak di akhir suku kata pada unsur langsung atau kalimatnya kemudian diulang kembali dengan bunyi [O] yang sama pada unsur langsung atau kalimat berikutnya. Data (91) dan (93) merupakan data dengan asonansi bunyi [O] terletak di suku kata akhir pada setiap kalimatnya, dimana asonansi bunyi [O] yang muncul tersebut selalu diikuti oleh bunyi konsonan /l/. Pola variasi tersebut dimunculkan pengarang untuk menonjolkan keselarasan bunyi dan keindahan bunyi yang terletak pada akhir kalimatkalimatnya. Data (92) sebanyak empat kali muncul penggunaan bunyi [O] di akhir suku kata setiap unsur langsung pada kalimat-kalimatnya dengan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 71 kemunculan asonansi [O] yang selalu diiringi bunyi konsonan /t/. Pada unsur langsung pertama kata abot ‘berat’, yang dimunculkan kembali di akhir suku kata unsur langsung pertama dengan kata yang sama. Kemudian pada unsur langsung kedua kata repot ‘repot’ kata amot ‘muat’. Dengan penggunaan asonansi bunyi [O] yang beruntun secara teratur menunjukkan bahwa pengarang ingin memberikan efek penekanan untuk menjelaskan bahwa hidup itu berat dan banyak sekali kerepotan, sehingga jangan sampai dibuat semakin berat dan repot. b. Purwakanthi Sastra (Aliterasi) Purwakanthi sastra (aliterasi) merupakan suatu bentuk pemanfaatan bunyi dengan pengulangan bunyi konsonan di dalam sebuah kalimat atau rangkaian kalimat yang bertujuan untuk menonjolkan keestetisan dari kalimat atau rangkaian kalimat tersebut. Pada lirik lagu komunitas JHF ditemukan penggunaan aliterasi beberapa bunyi konsonan. Dapat dilihat pada pemaparan di bawah ini. 1) Aliterasi Bunyi Konsonan /d/ [d] (94) Ora peduli donya dadi neraka (JI/2/4) ‘Tidak peduli dunia menjadi neraka’ Data (94) dalam pemilihan kata-kata terdapat penggunaan aliterasi bunyi [d] yang muncul sebanyak tiga kali dan bervariasi. Pada unsur langsung yang pertama pada kata peduli ‘peduli’ dan di unsur langsungnya yang kedua pada kata donya ‘dunia’ dan neraka ‘neraka’. Fungsi penekanan bunyi yang commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 72 ditimbulkan untuk menjelaskan suatu ketidakpedulian terhadap apa yang terjadi. 2) Aliterasi Bunyi Konsonan /k/ [k] (95) Ndelok arek wedok irunge mekrok (JJJE/10/1) ‘Melihat seorang wanita hidungnya mengembang’ Penggunaan aliterasi pada data (95) mampu menghadirkan pengulangan bunyi [k] yang muncul sebanyak empat kali dalam unsur langsungnya. Pada unsur langsung yang pertama aliterasi bunyi [k] muncul di akhir suku kata, yaitu pada kata ndelok ‘melihat’, arek ‘seorang’, wedok ‘wanita’ dan pada unsur langsung kedua aliterasi bunyi [k] terletak bervariasi, yaitu di tengah dan akhir suku kata, seperti kata mekrok ‘mengembang’. Di dalam kalimat tersebut kemunculan keindahan aliterasi bunyi [k] sangat dominan dengan awalan bunyi vokal [O] sehingga membentuk bunyi [Ok] yang ditunjukkan pada kata ndelok ‘melihat’, wedok ‘wanita’, dan mekrok ‘mengembang’. Penggunaan aliterasi [k] pada data tersebut selain berfungsi untuk memberi penekanan terhadap kalimat juga sangat mendukung untuk menonjolkan keindahan keselarasan bunyi. 3) Aliterasi Bunyi Konsonan /l/ [l] (96) Koalisi politike mung perselingkuhan (OCON/6/2) ‘Kerjasama politiknya hanya perselingkuhan’ (97) Pilih lali timbang kalah (JJJE/5/3) ‘Pilih lupa daripada kalah’ (98) Ilmu ilang kesingsal-singsal (JJG/15/3) ‘Ilmu hilang tersingal-singal’ commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 73 (99) Taklela lela lela ledhung (LL/2/1) ‘Kutimang timang anakku’ Data (96) penggunaan aliterasi bunyi [l] muncul sebanyak tiga kali di tengah suku kata unsur langsungnya, yaitu pada kata koalisi ‘kerjasama’, politike ‘politiknya’, perselingkuhan ‘perselingkuhan’. Data (97) dan (99) aliterasi bunyi [l] muncul dengan pola bervariasi, yaitu di awal dan tengah suku kata unsur langsungnya. Sedangkan data (98) penggunaan aliterasi bunyi [l] terdapat disemua unsur langsungnya dengan letak bunyi [l] yang bervariasi, yaitu di tengah dan akhir suku kata pada unsur langsung atau kalimat ilmu ilang kesingsal-singsal ‘ilmu hilang tersingal-singal’. Hal tersebut berfungsi untuk memberikan efek kejelasan penggambaran mengenai ilmu. 4) Aliterasi Bunyi Konsonan /m/ [m] (100) Mangga sami jumangkah (KN/7/5) ‘Mari bersama melangkah’ (101) Sumangga sami mireng (KN/8/2) ‘Mari bersama memperhatikan’ (102) Mpun mangga sami jumeneng (KN/9/1) ‘Sudah mari bersama berdiri’ Penggunaan aliterasi bunyi [m] pada data (100), (101), dan (102) muncul dengan pola bervariasi di semua suku kata pada tiap unsur langsung. Pola variasi tersebut bunyi [m] terletak di awal dan tengah suku kata. Dari ketika data di atas, memiliki keselarasan atau kepaduan bunyi yang indah dan efek penekanan yang ada berfungsi untuk menjelaskan ajakan secara bersamasama. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 74 5) Aliterasi Bunyi Konsonan /N/ [ŋ] (103) Pring deling, tegese kendel lan eling Kendel marga eling timbang nggrundel nganti suwing (NP/3/1,2) ‘Bambu deling, maksudnya berani dan ingat’ ‘Berani karena ingat daripada menggerutu sampai sumbing’ (104) Pring petung, urip iku suwung. Sanajan suwung nanging aja padha bingung (NP/5/1,2) ‘Bambu petung, hidup itu sepi’ ‘Walaupun sepi tetapi jangan pada bingung’ (105) Angking tembang saking lebeting manah (KN/7/3) ‘Asal nyanyian dari dalamnya hati’ (106) Nanging kedah ing anteng (KN/8/3) ‘Tetapi harus tenang’ (107) Nek wong gedhe konangan selingkuh malah kondhang (OCON/4/1) ‘Kalau orang besar ketahuan selingkuh malah terkenal’ (108) Dendeng-dendeng garing dioseng-oseng (JJJE/7/4) ‘Dendeng-dendeng kering dioseng-oseng’ Pada data-data di atas ada beberapa macam pola penggunaan bunyi konsonan [ŋ]. Data (103) memiliki dua pola penggunaan aliterasi bunyi [ŋ], yaitu pada unsur langsung pertama persamaan bunyi konsonan [ŋ] terletak di suku kata akhir, kata pring ‘bambu’, deling ‘deling’, eling ‘ingat’. Sedangkan pada unsur langsung kedua persamaan bunyi konsonan [ŋ] terletak di suku kata akhir, yaiktu kata eling ‘ingat’, timbang ‘daripada’, suwing ‘sumbing’ dan di awal suku kata, yaitu kata nggrundel ‘menggerutu’, nganti ‘sampai’. Data (104) aliterasi bunyi [ŋ] unsul langsung pertama terletak di akhir suku kata, pring petung, urip iku suwung ‘bambu petung, hidup itu sepi’, dan pada commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 75 unsur langsung kedua terletak di akhir suku kata sekaligus di tengah suku kata, yaitu kata suwung ‘sepi’, nanging ‘tetapi’, bingung ‘bingung’. Data (107) juga memiliki pola variasi pada penggunaan aliterasi bunyi [ŋ], yaitu di akhir dan tengah suku kata pada unsur langsungnya. Data (105), (106), dan (108) adalah penggunaan aliterasi bunyi [ŋ] yang terletak di akhir suku kata pada unsur langsungnya. Semua pola yang bervariasi tersebut sangat mendukung dalam keserasian bunyi pada sebuah komposisi kalimat. 6) Aliterasi Bunyi Konsonan /r/ [r] (109) Swarga durung weruh, neraka durung wanuh (NKP/1/2) ‘Surga belum melihat, neraka belum tahu’ Penggunaan aliterasi bunyi [r] pada data (109) muncul sebanyak lima kali yang sebelumnya diikuti dengan bunyi vokal. Penggunaan aliterasi tersebut terletak di tengan suku kata, swarga durung weruh, neraka durung wanuh ‘surga belum melihat, neraka belum tahu’ yang menunjukkan fungsi penegasan untuk menjelaskan bahwa belum mengetahui surga dan neraka. 7) Aliterasi Bunyi Konsonan /s/ [s] (110) Sing sajak nggegirisi (KN/4/2) ‘Yang berlagak menakutkan’ Penggunaan aliterasi bunyi [s] pada data (110) muncul sebanyak tiga kali di setiap unsur langsung. Pada unsur langsung pertama penggunaan aliterasi bunyi [s] terletak di awal suku kata, yaitu pada kata sing ‘yang’, sajak ‘berlagak’. Sedangkan pada unsur langsung kedua terletak di bagian akhir suku kata, yaitu kata nggegirisi ‘menakutkan’. Adanya pemanfaatan bunyi [s] commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 76 di setiap unsur langsung tersebut berfungsi untuk memberikan efek penekanan pada tiap suku kata kalimat agar maksud dan gambaran tentang hal yang menakutkan tersebut mudah tersampaikan kepada penikmat lagu. 8) Aliterasi Bunyi Konsonan /w/ [w] (111) Ngono kuwi jiwa Jawi (SOS/5/1) ‘Seperti itu jiwa Jawa’ Data (111) merupakan satu larik lagu yang didalamnya memuat aliterasi /w/ yang muncul sebanyak tiga kali, yaitu pada kata kuwi ‘itu’, jiwa ‘jiwa’, Jawi ‘Jawa’. Perulangan bunyi /w/ tersebut berfungsi untuk memperindah kalimat sehingga dapat menarik perhatian pembaca atau penikmat lagu. c. Purwakanthi Lumaksita (Basa) Purwakanthi lumaksita atau purwakanthi basa adalah bentuk penggunaan kata atau suku kata yang dianggap penting atau menarik pada satu kalimat kemudian diulang kembali pada kalimat selanjutnya dengan tujuan untuk menonjolkan unsur kemenarikan atau memperjelas makna. Dalam lirik-lirik lagu JHF ditemukan beberapa bentuk perulangan dari purwakanthi lumaksita (basa). Dapat dilihat pada data-data berikut. (112) Mlarat rung karuan susah Susah ra isa disawang (NKP/6/2,3) ‘Miskin belum tentu susah’ ‘Susah tak bisa dipandang’ (113) Pring deling, tegese kendel lan eling Kendel marga eling timbang nggrundel nganti suwing (NP/3/1,2) ‘Bambu deling, maksudnya berani dan ingat’ ‘Berani karena ingat daripada menggerutu sampai sumbing’ commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 77 (114) Pring petung, urip iku suwung Sanajan suwung nanging aja padha bingung (NP/5/1,2) ‘Bambu petung, hidup itu sepi’ ‘Walaupun sepi tetapi jangan pada bingung’ (115) Pring cendani, urip iku wani Wani ngadhepi aja mlayu marga wedi (NP/6/1,2) ‘Bambu cendani, hidup itu berani’ ‘Berani menghadapi jangan lari karena takut’ (116) Pring kuning, urip iku eling Wajib padha eling, eling marang sing Peparing (NP/6/3,4) ‘Bambu kuning, hidup itu ingat’ ‘Wajib ingat, ingat pada sang Maha Pemberi’ (117) Karya senine lali nggambarke rakyate Rakyat sing urip sengsara apes nasibe (JJL/5/3,4) ‘Karya seninya lupa menggambarkan rakyatnya’ ‘Rakyat yang hidup sengsara sial nasibnya’ (118) Jamane jaman edan Ra edan ra keduman (JJJE/5/1,2) ‘Zamannya zaman gila’ ‘Tak gila tak kebagian’ Perulangan suku kata atau kata pada data (112) terletak pada kata susah ‘susah’ di unsur langsung yang pertama kemudian diulang kembali pada unsur langsung berikutnya. Data (113) perulangan di unsur langsung pertama kata eling ‘ingat’ yang diulang kembali pada unsur langsung kedua. Data (114) suku kata suwung ‘sepi’ pada unsur langsung yang pertama diulang kembali pada unsur langsung berikutnya. Data (115) terdapat perulangan suku kata wani ‘berani’ yang kembali diulang pada unsur langsung berikutnya. Sedangkan data (116) kata eling ‘ingat’ pada unsur langsung pertama diulang kembali sebanyak dua kali pada unsur langsung yang kedua yang semakin menambah unsur kemenarikan pada kalimat. Pada data (117) purwakanthi commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 78 basa muncul pada kata rakyat ‘rakyat’ yang terletak di akhir kalimat, kemudian diulang kembali di awal kalimat berikutnya dengan kata yang sama. Data (118) muncul perulangan pada kata edan ‘gila’ di unsur langsung pertama yang diulang kembali pada unsur langsung berikutnya. Dengan adanya perulangan perulangan kata atau suku kata tersebut dapat memunculkan unsur keindahan kalimat sehingga bisa menarik perhatian para penikmat lagu. 2. Diksi dan Aspek Penanda Morfologis a. Diksi (Pilihan Kata) Diksi (pilihan kata) adalah bentuk pemanfaatan terhadap kata-kata yang sesuai dengan kebutuhan, yang dipilih berdasarkan perbandingan untuk menonjolkan nilai keindahan atau efek kemenarikan. Pada lirik lagu komunitas JHF memanfaatkan pilihan-pilihan kata yang beragam. Hal tersebut dapat dilihat melalui analisis yang telah dilakukan mengenai pilihan kata pada lirik lagu komunitas JHF, yaitu meliputi sinonim, antonim, penggunaan kosakata bahasa Indonesia, penggunaan kosakata bahasa Inggris, adanya partikel afektif, kata sapaan, kata seru, tembung saroja, dan tembung plutan. Hasil dari analisis lirik lagu komunitas JHF mengenai pilihan kata atau diksi dapat dilihat pada pemaparan berikut. 1) Sinonim Sinonim adalah dua kata atau lebih yang memiliki makna yang hampir sama atau sama yang bertujuan untuk membantu dalam menyampaikan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 79 gagasan secara umum. Dalam lirik lagu komunitas JHF ditemukan beberapa kalimat yang mengandung sinonim, dapat dilihat pada analisis di bawah ini. (119) Marang kawula ingkang kathah lepat lan dosa (NP/17/4) ‘Pada saya yang banyak salah dan dosa’ (120) Rakyat sing urip sengsara apes nasibe (JJL/5/4) ‘Rakyat yang hidup sengsara sial nasibnya’ (121) Bandane ludes, leh nilep pada ilang (OCON/21/4) ‘Hartanya lenyap, yang melenyapkan pada hilang’ Pada data (119) adanya sinonim pada kata lepat ‘salah’ dan dosa ‘dosa’ di unsur langsung kedua yang didalamnya mengandung kesamaan berdasarkan kadar afektif. Data (120) kata yang bersinonim ditunjukkan pada unsur langsung pertama kata sengsara ‘sengsara’ dan unsur langsung kedua apes ‘sial’ didalamnya terdapat kesamaan kadar afektif. Data (121) pemanfaatan sinonim ditunjukkan pada unsur langsung pertama kata ludes dan ilang yang berarti hilang yang didalamnya terdapat kesamaan aspek semantik yang penggunaan kata-kata tersebut harus berdasarkan kesesuaian dengan konteks kalimat. 2) Antonim Antonim atau lawan kata adalah hubungan makna pada suatu kata dengan kata lain yang berbeda atau bertentangan. Dalam lirik lagu komunitas JHF ditemukan adanya penggunaan antonim sebagai berikut. (122) Swarga durung weruh, neraka durung wanuh (NKP/1/2) ‘Surga belum melihat, neraka belum tahu’ commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 80 (123) Ana urip ana mati (NKP/2/3) ‘Ada hidup ada mati’ (124) Ngatur urip lan mati (NP/18/3) ‘Mengatur hidup dan mati’ (125) Rasane kaya swarga Ora peduli donya dadi neraka (JI/2/3,4) ‘Rasanya seperti surga’ ‘Tidak peduli dunia menjadi neraka’ (126) Sing lali bener sing eling salah (JJJE/5/4) ‘Yang lupa benar yang ingat salah’ Pada data (122) dan (125) terdapat oposisi mutlak antara kata swarga ‘surga’ pada unsur langsung pertama dan kata neraka ‘neraka’ pada unsur langsung yang kedua (swarga><neraka). Sedangkan data (123) dan (124) pada unsur langsung pertama kata urip ‘hidup’ dan unsur langsung kedua kata mati ‘mati’ mengandung oposisi mutlak (urip><mati). Data (126) antonim ditunjukkan pada unsur langsung pertama kata bener ‘benar’ dan unsur langsung kedua kata salah ‘salah’ yang mengandung oposisi mutlak ( bener><salah). (127) Ana beja ana cilaka (NKP/2/2) ‘Ada untung ada celaka’ (128) Senenge saklentheng Susahe sarendheng (NKP/4/1,2) ‘Senangnya sebiji kapas’ ‘Susahnya sewaktu-waktu’ (129) Wani ngadhepi aja mlayu marga wedi (NP/6/2) ‘Berani menghadapi jangan lari karena takut’ (130) Nek wong gedhe konangan selingkuh malah kondhang Nek wong cilik sing konangan diarak telanjang (OCON/4/1,2) ‘Kalau orang besar ketahuan selingkuh malah terkenal’ ‘Kalau orang kecil yang ketahuan dituduh telanjang’ commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 81 Data (127) terdapat antonim pada pada unsur langsung pertama kata beja ‘untung’ dan unsur langsung kedua kata cilaka ‘celaka’ yang mengandung oposisi kutub (beja><cilaka). Data (128) pemanfaatan antonim pada unsur langsung pertama kata senenge ‘senangnya’ dan pada unsur langsung kedua kata susahe ‘susahnya’yang mengandung oposisi kutub (senenge><susahe). Data (129) antonim ditunjukkan pada unsur langsung pertama kata wani ‘berani’ dan pada unsur langsung kedua kata wedi ‘takut’ termasuk dalam oposisi kutub (wani><wedi). Sedangkan data (130) terdapat antonim pada unsur langsung pertama kata wong gedhe ‘orang besar’dan unsur langsung keduanya kata wong cilik ‘orang kecil’ termasuk dalam oposisi kutub (wong gedhe><wong cilik). Pasangan katakata tersebut dapat dikatakan oposisi kutub karena terdapat gradasi diantara oposisi keduanya, seperti data (127) beja banget ‘sangat untung’, beja ‘untung’, rada beja ‘agak untung’, cilaka banget ‘sangat celaka’, cilaka ‘celaka’, rada cilaka ‘agak celaka’, dan gradasi tersebut juga diterapkan pada data (128), (129), dan (130). (131) Ciuku cap guru lan murid (JJG/2/2) ‘Minuman kerasku cap guru dan murid’ Data (131) terdapat penggunaan antonim pada kata guru ‘guru’ dan murid ‘murid’ (guru><murid) yang termasuk dalam oposisi hubungan. Dapat dikatakan oposisi hubungan karena pada kenyataannya, adanya guru selayaknya dilengkapi dengan adanya murid, begitu juga sebaliknya. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 82 3) Kosakata Bahasa Indonesia Dalam lirik lagu komunitas JHF penggunaan bahasa yang digunakan tidak hanya bahasa Jawa sebagaimana merupakan bahasa sehari-hari masayarakat Jogja dan sekitarnya, namun juga bahasa Indonesia juga digunakan didalamnya secara bersamaan. Walaupun demikian bahasa Jawa tetap sebagai bahasa yang digunakan dalam lirik lagu komunita JHF. (132) Bumi pertiwi saudara kami Yang harus dijaga dan dihormati Menerima sekaligus memberi (SOS/9/2-3) (133) Budaya adalah senjata Memanusiakan manusia Bangun jiwanya, bangun raganya Sentosa dalam puspa warna (SOS/10/1-4) (134) Jogja Jogja tetap istimewa Istimewa negerinya istimewa orangnya Jogja Jogja tetap istimewa Jogja istimewa untuk Indonesia (JI/1/1-4) (135) Tanah lahirkan tahta, tahta untuk rakyat Dimana rajanya bersemi di kalbu rakyat Demikianlah singgasana bermartabat Berdiri kokoh untuk mengayomi rakyat (JI/3/1-4) (136) Jogja istimewa bukan hanya daerahnya Tapi juga karena orang-orangnya (JI/4/3,4) (137) Menyerang tanpa pasukan Menang tanpa merendahkan Kesaktian tanpa ajian Kekayaan tanpa kemewahan (JI/7/1-4) (138) Tenang bagai ombak gemuruh laksana merapi Tradisi hidup di tengah modernisasi (JI/8/1,2) (139) Jogja istimewa bukan hanya tuk dirinya Jogja istimewa untuk Indonesia (JI/12/3,4) commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 83 (140) Segala sesuatu ditentukan dengan uang (OCON/4/4) (141) Moral itu adalah tata susila Siapa yang melanggar akan kena razia (OCON/14/1,2) (142) Ibu kemanapun aku melangkah Aku selalu mengingatmu Kau membimbingku dari aku lahir Aku rindu ibu (LL/1/1-4) Data (132) mempergunakan kosakata bahasa Indonesia pada tiga larik kalimat atau pada semua unsur langsungnya secara utuh tanpa diawali atau diakhiri dengan kosakata bahasa Jawa. Data (133), (135), (137), dan (142) penggunaan kosakata bahasa Indonesia pada empat larik kalimat secara utuh. Data (134) penggunaan kosakata bahasa Indonesia terletak pada empat larik kalimat secara utuh tanpa diawali atau diakhiri oleh kosakata bahasa Jawa yang didalamnya terdapat perulangan kalimat “Jogja-Jogja tetap istimewa” sebagai tanda penekanan dari empat larik kalimat untuk menonjolkan efek kejelasan mengenai Jogja yang selalu istimewa. Data (136) dan (138) terdapat penggunaan kosakata bahasa Indonesia secara utuh di semua unsur langsungnya, yaitu pada dua larik kalimat. Data (139) penggunaan kosakata bahasa Indonesia pada secara utuh pada dua larik kalimat atau di semua unsur langsungnya, adanya penekanan pada frasa “Jogja istimewa” yang diulang kembali pada unsur langsung berikutnya yang menandakan dalam kalimat-kalimat tersebut memberitahukan kepada pembaca atau penikmat lagu bahwa Jogja istimewa. Data (140) menggunakan kosakata bahasa Indonesia pada satu larik kalimat secara utuh atau di semua unsur langsungnya. Sedangkan data (141) adalah data commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 84 yang menggunakan kosakata bahasa Indonesia secara utuh di semua unsur langsungnya yang terdiri dari dua larik kalimat yang didalamnya berisi penjelasan singkat tentang moral. (143) Dadi bakulan asal tau sama tau (JJL/9/4) ‘Jadi penjual asal tau sama tau’ (144) Ganti hp nganggo hp tipe terbaru (JJL/14/3) ‘Ganti hp menggunakan hp tipe terbaru’ (145) Bermain cinta lupa daratan ra konangan (OCON/3/2) ‘Bermain cinta lupa daratan tidak ketahuan’ (146) Tanpa basa-basi kabeh kamar disatroni (OCON/12/2) ‘Tanpa basa-basi semua kamar digrebek’ (147) Polisi muni Anda telah berbuat ruyal Itu artinya Anda sudah melanggar moral (OCON/13/1,2) ‘Polisi mengatakan Anda telah berbuat ruyal’ ‘Itu artinya Anda sudah melanggar moral’ (148) Politik saiki cen seneng main belakang (OCON/18/3) ‘Politik sekarang memang senang main belakang’ (149) Saiki jamane wis maju berkembang (JJG/4/3) ‘Sekarang zamannya sudah maju berkembang’ Data (143), (144), (148), dan (149) penggunaan kosakata bahasa Indonesia terletak di belakang larik kalimat atau pada unsur langsung yang kedua, yaitu data (143) pada kalimat “asal tau sama tau”, data (144) frasa “tipe terbaru”, data (148) pada frasa “main belakang”, dan data (149) pada frasa “maju berkembang”. Data (147) terdapat penggunaan bahasa Indonesia berupa frasa kalimat “Anda telah berbuat ruyal” di akhir larik kalimat pada unsur langsung pertama kemudian dilanjutkan dengan menggunakan bahasa Indonesia kembali secara utuh di dalam kalimat. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 85 Data (145) dan (146) adalah data yang menggunakan bahasa Indonesia di awal larik kalimat atau penggunaan bahasa Indonesia pada unsur langsung pertama yang selanjutnya menggunakan bahasa Jawa. 4) Kosakata Bahasa Inggris Dalam lirik lagu komunitas JHF ada beberapa macam bahasa yang digunakan. Salah satu bahasa yang mewarnainya adalah bahasa Inggris. Hal tersebut bertujuan untuk memberikan kesan indah atau menunjukkan keuniversalan lagu yang dinyanyikan, sehingga orang-orang asing dapat terbantu untuk mengetahui apa isi dan maksud dari lirik-lirik lagunya. Di bawah ini adalah hasil analisis dari penggunaan kosakata bahasa Inggris yang ada dalam lirik lagu komunitas JHF. (150) We are from Jogja The heart of Java Our rhyme is mantra Flows down like lava We are from Jogja The heart of Java Our culture is weapon Yeah, this Song of Sabdatama (SOS/1-2/1-8) ‘Kita dari Jogja’ ‘Jantungnya Jawa’ ‘Rime kita adalah mantra’ ‘Turun seperti lava’ ‘Kita dari Jogja’ ‘Jantungnya Jawa’ ‘Budaya kita adalah senjata’ ‘Yeah, ini lagu dari Sabdatama’ commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 86 (151) In our land where we stand, never afraid coz we all friends We may vary but hand in hand, appreciate and understand Why democracy if occupied by oligarchy (SOS/13/1-3) ‘Di tanah kita dimana kita berdiri, tidak pernah takut karena kita semua teman’ ‘Kita mungkin berbeda tetapi tetap berpegang tangan, menghargai dan saling mengerti’ ‘Mengapa kebebasan ada jika hanya untuk membohongi orang kecil’ (152) Why religion if only to kill humanity (SOS/14/1) ‘Untuk apa beragama jika hanya untuk membunuh manusia’ (153) Hey oxymoron, you don’t need to teach me (SOS/14/3) ‘Hey oximoron, kamu tidak perlu untuk mengajariku’ (154) What Jogja want is harmony in diversity (SOS/15/1) ‘Betapa Jogja menginginkan kerukunan dalam beragama’ (155) We don’t care of what you say Your ridiculous words will go away Coz in this land where we stand We’ll fight to the death until the end (SOS/15/3-6) ‘Kita tidak peduli apa yang kamu katakan’ ‘Kata-kata konyolmu akan mati’ ‘Karena di tanah ini dimana kita berdiri’ ‘Kita akan berjuang sampai mati’ (156) Ganti hp nganggo hp tipe terbaru (JJL/14/3) ‘Ganti hp menggunakan hp tipe terbaru’ (157) Nganggo tank-top mlaku ning pasar Bantul (OCON/20/1) ‘Memakai pakaian singlet berjalan di pasar Bantul’ Data (150), (151), (152), (153), (154), dan (155) adalah sebagian lirik yang terdapat dalam lagu Song of Sabdatama dengan penggunaan bahasa Inggris dalam rangkaian kalimat secara utuh. Pada data (156) terdapat singkatan kata “hp” yang kepanjangannya adalah handphone, dimana kata tersebut merupakan kosakata yang berasal dari bahasa Inggris. Data (157) commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 87 penggunaan bahasa Inggris terdapat pada kata tank-top ‘pakaian singlet’, sehingga penggunaan bahasa Inggris tidak secara utuh dalam kalimatnya. Adanya penggunaan bahasa Inggris pada bagian-bagian tertentu dalam lagu komunitas JHF ini menunjukkan adanya ciri khas bahwa lagu tersebut memiliki bobot lagu yang lebih dari standar atau tidak biasa-biasa saja. Selain itu adanya bahasa Inggris tersebut dapat menarik perhatian pembaca atau pendengar untuk mengetahui makna yang terkandung dalam kalimat. 5) Partikel Afektif Penggunaan partikel afektif dalam lirik lagu komunitas JHF ada beberapa macam bentuk partikel, seperti lho, kok, e, dan lha. Partikel afektif tersebut digunakan untuk mengungkapkan rasa dari orang yang berbicara. Makna-makna yang terdapat dalam partikel-partikel afektif tersebut disesuaikan dengan konteks atau bentuk kalimat secara keseluruhan. Berikut adalah pemaparan hasil analisis data dari partikel afektif yang ada dalam lirik lagu komunitas JHF. (158) Lho kok ratu kadi pak tani (NKP/5/4) ‘Lho mengapa ratu seperti pak tani’ (159) Lho kok anteng (KN/8/4) ‘Lho mengapa tenang’ Data (158) dan (159) terdapat penggunaan partikel afektif sebanyak dua macam yaitu partikel “lho” dan “kok” yang letaknya di awal kalimat atau pada unsur langsung yang pertama. Partikel-partikel afektif yang ada commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 88 pada data di atas menunjukkan ekspresi kekagetan atau keheranan pada sebuah keadaan yang terjadi. (160) Kok isih dha ngrasani (KN/3/2) ‘Mengapa masih pada menggunjing’ (161) Kok njenengan kendel tenan menapa pun duwe cekelan Kok wantun eyel-eyelan (KN/10/3,4) ‘Mengapa kamu berani sekali apa sudah punya pegangan’ ‘Mengapa berani membantah’ (162) Kok saiki sikape malih dadi kaku (JJL/14/2) ‘Mengapa sekarang sikapnya berubah jadi kaku’ (163) Kok ya tega-tegane Sumanto, presidenku (JJJE/17/3) ‘Mengapa begitu teganya Sumanto, presidenku’ Data (160), (162), dan (163) adalah data yang menggunaan partikel afektif berupa “kok” di awal kalimat atau pada unsur langsung yang pertama Pada data (160) partikel “kok” menyatakan penegasan bahwa keadaan saat itu masih pada membicarakan sesuatu. Data (162) partikel “kok” menyatakan suatu ekpresi keheranan terhadap perubahan sikap yang dimaksud pada kalimat tersebut. Sedangkan data (163) juga menunjukkan ekpresi keheranan atau kekagetan. Data (161) partikel afektif berupa “kok” yang terletak di awal unsur langsungnya, atau di awal kalimat-kalimatnya, menyatakan suatu penegasan yang mengarah ke kesombongan. (164) Nek takpikir-pikir kok kaya tukang kayu (JJL/9/1) ‘Kalau kupikir-pikir mengapa seperti tukang kayu’ (165) Saya suwe dodolane kok saya payu (JJL/10/1) ‘Semakin lama jualannya mengapa semakin laku’ commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 89 (166) Seni kok saya mawut wis modhol-modhol (JJL/15/4) ‘Seni mengapa semakin semrawut sudah amburadul’ (167) Ana celeng ndhegleng kok nyalon presiden (JJJE/7/5) ‘Ada babi hutan agak gila mengapa mencalonkan presiden’ Data (164), (165), (166), dan (167) adalah data yang menggunakan partikel afektif berupa “kok” yang terletak di tengah kalimat. Pada data (164) dan (165) partikel “kok” terletak pada unsur langsung yang kedua, yang menyatakan ekpresi rasa keheranan atau kekagetan. Data (166) letak partikel “kok” di unsur langsung pertama yang penyatakan suatu keheranan mengenai keadaan seni sekarang ini. Data (167) adalah data yang menggunakan partikel “kok” pada unsur langsung kedua yang menunjukkan ekspresi rasa heran sebagai bentuk protes terhadap orang yang mencalonkan presiden. (168) Pelukise nyaut durung perang kok wis damai Wong durung telanjang lha kok wis digawe rame (OCON/15/3,4) ‘Pelukisnya menyanggah belum perang mengapa sudah damai’ ‘Orang belum telanjang lha mengapa sudah dibuat ramai’ (169) Guru kok mendem, jare pak pulisi Takawur wae lehku nyauri Sampeyan pulisi lha kok korupsi (JJG/18/2-4) ‘Guru mengapa mabuk, kata pak polisi’ ‘Kuasal saja jawabanku’ ‘Kamu polisi lha mengapa korupsi’ Penggunaan partikel “kok” dan “lha kok” pada data (168) menyatakan suatu ekpresi penegasan sebagai protes yang dilakukan oleh subjek yaitu pelukis pada saat terjadi penggrebekan. Data (169) partikel “kok” menyatakan suatu keheranan polisi terhadap guru, sedangkan partikel “lha kok” mengarah pada bentuk ekpresi sindiran seorang guru kepada polisi. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 90 (170) Lho lik o (KN/11/1) ‘Lho lik o’ (171) Lha politike saiki, ngedhangdhutan (JJJE/1/3) ‘Lha politiknya sekarang, ngedangdutan’ (172) Rakyate lha ra ngerti sapa, sing digugu (JJJE/3/3) ‘Rakyatnya lha tak tau siapa, yang diteladani’ (173) Rejeki seret kok ra metu-metu E lha nasibe ya wis kuwi mau (JJJE/4/3,4) ‘Rejeki tersendat mengapa tak keluar-keluar’ ‘E lha nasibnya ya sudah itu tadi’ Data (170) penggunaan partikel afektif “lho” di awal kalimat atau unsur langsungnya yang merupakan suatu bentuk penegasan untuk mengawali kalimat yang selanjutnya. Pada data (171) partikel “lha” yang terletak pada unsur langsung yang pertama, menyatakan penegasan yang mengarah ke suatu sindiran terhadap kondisi politik yang sekarang ini. Data (172) terdapat penggunaan partikel “lha” pada unsur langsung yang pertama, yang menunjukkan suatu penegasan yang didalamnya mengandung pertanyaan mengenai siapa yang pantas diteladani oleh rakyat. Sedangkan data (173) partikel “kok” pada unsur langsung yang pertama menunjukkan suatu keheranan, dan partikel “e lha” pada unsur langsung kedua menunjukkan adanya suatu bentuk kepasrahan dari penutur. 6) Kata Sapaan Ada beberapa lagu komunitas JHF yang memiliki unsur komunikatif yang digunakan untuk sekedar menyapa atau ingin mengatakan sesuatu commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 91 pada pendengar atau penikmat lagu. Unsur yang komunikatif tersebut menunjukkan adanya kata-kata sapaan. Dalam analisis data ditemukan beberapa kata sapaan yang ada pada lirik lagu komunitas JHF, dapat dilihat pada pemaparan berikut. (174) Kowe bakal bisa urip rekasa (NP/17/1) ‘Kamu nantinya bisa hidup susah’ (175) Dudu kowe, ning Gusti sing mesti luwih ngerti (NP/18/2) ‘Bukan kamu, tapi Allah yang pasti lebih tau’ (176) Nak ora seneng kana kowe dha minggata Aku ra ngurus kowe arep ngomong apa (KN/2/2,3) ‘Kalau tidak suka sana kalian pada pergi’ ‘Aku tak mengurus kamu mau bilang apa’ (177) Nak perlu kowe mengko takantemi (KN/2/5) ‘Kalau perlu kamu nanti kupukuli’ Pada data (174), (175), (176), dan (177) didalamnya terdapat penggunaan kata sapaan berupa kata ganti orang kedua, yaitu kata kowe ‘kamu’. Data (174) dan (175) penggunaan kata sapaan kowe ‘kamu’ terletak pada unsur langsung pertama yang merupakan bentuk sapaan untuk memberitahukan sesuatu. Data (176) kata sapaan yang digunakan terletak pada unsur langsung pertama dan kedua, kata kowe ‘kamu’ dalam konteks kalimat menunjukkan bahasa yang kasar karena ada unsur ketidakpedulian. Sedangkan data (177) kata sapaan kowe ‘kamu’ terletak pada unsur langsung kedua, yang menunjukkan sebuah ancaman. (178) Pun Mas boten isa aten-atenan bablas (KN/10/1) ‘Sudah mas tidak bisa bertabiat terus saja’ (179) Bapak-bapak, ibu-ibu mula dulur elinga pepatah iki (JJG/6/1) ‘Bapak-bapak, ibu-ibu maka saudara ingatlah pepatah ini’ commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 92 Penggunaan kata sapaan pada data (178) berupa sebutan untuk kekerabatan yaitu kata mas ‘kakak’ pada unsur langsung pertama yang merupakan sebutan untuk seorang kakak laki-laki. Data (179) penggunaan kata sapaan di setiap unsur langsungnya, yaitu pada kata bapak-bapak ‘bapak-bapak’, ibu-ibu ‘ibu-ibu’, dan dulur ‘saudara’ yang pemakaiannya terkesan lebih sopan dan terasa akrab. 7) Kata Seru (Interjeksi) Penggunaan kata seru (interjeksi) bertujuan untuk mengungkapkan atau menggambarkan perasaan pembicara, seperti rasa kaget, kecewa, susah, senang, maupun sedih. Dalam lirik lagu komunitas JHF ditemukan beberapa macam kata seru, seperti eh, ayo, wadhuh. Dapat dilihat pada hasil analisis data berikut ini. (180) Eh..kapiran eh..kapirun (NKP/7/1) ‘Eh..kapiran eh kapirun’ (181) Disetater macet, eh..karbulatore nggodha (JJG/9/2) ‘Dinyalakan macet, eh karbulatornya menggoda’ Pada data (180) terdapat penggunaan kata seru yang terletak di setiap unsur langsungnya, yaitu kata “eh”, yang menyatakan interjeksi seruan atau panggilan meminta perhatian. Sedangkan data (181) penggunaan kata seru “eh” berada pada unsur langsung yang kedua menyatakan suatu kekesalan yang ternyata karbulator motornya menggoda sehingga disetater tidak bisa atau macet. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 93 (182) Ayo dadi siji ngadhepi musuh-musuh sing saya kemaki (KN/5/5) ‘Mari jadi satu menghadapi musuh-musuh yang semakin sombong’ (183) Nek cen kui aku ngerti ayo gek ndang budhal (OCON/13/4) ‘Kalau memang itu saya tau mari segera berangkat’ Data (182) dan (183) merupakan data yang menggunakan kata seru “ayo”. Pada data (182) kata seru “ayo” terletak di awal kalimat atau pada unsur langsung pertama yang menyatakan interjeksi seruan atau suatu ajakan. Sedangkan data (183) kata seru “ayo” terletak pada unsur langsung kedua yang juga mengandung maksud seruan untuk mengajak berangkat. (184) Yo Ki Ageng Gantas gek ndang dibrantas (KN/6/2) ‘Mari Ki Ageng Gantas segera dibrantas’ (185) Yo bersatu padhu milih sing kleru (JJJE/17/4) ‘Mari bersatu padu memilih yang keliru’ (186) Wadhuh dhuh dhuh cek enake (JJG/2/1) ‘Waduh duh duh kok enaknya’ Adanya penggunaan kata seru pada data (184), (185), dan (186) yang bervariasi dengan kesamaan yaitu terletak di awal kalimat atau pada unsur langsung yang pertama. Data (184) dan (185) kata seru yang digunakan adalah “yo” yang menyatakan suatu seruan atau ajakan untuk segera memberantas dan memilih yang salah. Sedangkan data (186) kata serua yang digunakan yaitu wadhuh ‘waduh’ yang menyatakan keheranan yang mengarah ke suatu kelegaan karena merasakan enaknya minum minuman keras. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 94 8) Tembung Saroja Tembung saroja yaitu dua kata yang memiliki makna yang sama atau hampir sama jika dipakai secara bersamaan, maknanya akan beda apabila salah satu kata tersebut berdiri sendiri. Dalam lirik lagu komunitas JHF ditemukan beberapa larik yang mengandung tembung saroja. Dapat dilihat pada penjabaran analisis berikut. (187) Nagari gemah ripah kang merdika (SOS/4/3) ‘Negara tenteram makmur yang merdeka’ (188) Bakal mukti pakarti (NP/18/7) ‘Nantinya pekerjaan mulia’ (189) Sumangga kersa dipunbabat tuntas (KN/6/4) ‘Mari yang berkenan diselesaikan sampai tuntas’ (190) Supados kawontenan cacah tenterem adhem ayem ati marem (KN/9/5) ‘Supaya mendapat ketentraman sejuk tenang hati puas’ (191) Bablas menapa milih babak bundhas (KN/10/2) ‘Terus atau pilih babak belur’ (192) Wadya bala kula sampun sumadya (KN/11/2) ‘Pasukan saya sudah ditengah’ (193) Kula ki Ageng Gantas pun cekap atur wicara (KN/11/5) ‘Saya Ki Ageng Gantas sudah cukup yang berbicara’ (194) Ning kene tansah edi peni lan mardika (JI/2/5) ‘Disini selalu nyaman dan merdeka’ (195) Nyebarake seni lan budhi pekerti (JI/8/4) ‘Menyebarkan seni dan pebuatan baik’ (196) Banjur tingkah polahe mung sing manis-manis (JJL/8/3) ‘Lalu tingkah lakunya hanya yang manis-manis’ (197) Tingkah lakune ja na sing kliru (JJG/3/4) ‘Tingkah lakunya jangan ada yang keliru’ commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 95 Adanya tembung saroja dalam data (187) ditunjukkan pada kata gemah ripah ‘tenteram makmur’ termasuk tembung saroja karena kata tersebut merupakan hasil gabungan dari kata gemah ‘tenteram’ dan ripah ‘makmur’, kedua kata tersebut memiliki makna yang hampir sama. Hal tersebut juga sama dengan tembung saroja yang ada pada data (188) pada kata mukti pakarti yang berarti pekerjaan mulia, data (189), pada kata dipunbabat tuntas yang berarti diselesaikan tuntas, kemudian data (190) kata adhem ayem ‘sejuk tenang’, data (191) kata babak bundhas ‘babak belur’, dan data (192) dalam kalimat terdapat kata wadya bala ‘pasukan’ yang termasuk tembung saroja karena memiliki makna yang hampir sama. Data (193) kata atur wicara yang berarti berbicara. Selanjutnya data (194) pada kata edi peni ‘nyaman’, data (195) kata budhi pekerti ‘perbuatan baik’, data (196) pada kata tingkah polahe ‘tingkah lakunya’, dan data (197) kata tingkah lakune “tingkah lakunya’. Pemilihan kata dengan menggunakan tembung saroja seperti data-data di atas, mempunyai maksud bahwa sang pengarang ingin memberikan kesan arkhais pada kalimat-kalimat tersebut. 9) Tembung Plutan Tembung plutan adalah pemendekan kata atau pengurangan jumlah suku kata yang dilakukan untuk melancarkan ketika kata tersebut commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 96 diucapkan. Ada beberapa macam tembung plutan yang ditemukan dalam lirik lagu komunitas JHF. Berikut adalah hasil analisis datanya. (198) Ya Ngayogyakarta Hadiningrat negeriku Nagari gemah ripah kang merdika Kaya kang kaserat ing Sabdatama (SOS/4/2-4) ‘Ya Yogyakarta Hadiningrat negeriku’ ‘Negara tenteram makmur yang merdeka’ ‘Seperti yang tertulis di Sabdatama’ (199) Nggo apa demokrasi nek mung ngapusi (SOS/13/4) ‘Buat apa demokrasi kalau hanya membohongi’ (200) Nggo apa agama nek mung arep dha mateni (SOS/14/2) ‘Buat apa agama kalau hanya akan membunuh’ (201) Ja susah nek ra duwe (NKP/3/4) ‘Jangan susah kalau tak punya’ (202) Sugih rung karuan seneng Mlarat rung karuan susah Susah ra isa disawang Bisane mung dirasake dhewe (NKP/6/1-4) ‘Kaya belum tentu senang’ ‘Miskin belum tentu susah’ ‘Susah tak bisa dipandang’ ‘Bisanya hanya dirasakan sendiri’ (203) Njur wetenge wedhakana ki parutan jahe (NKP/8/1) ‘Lalu perutnya olesilah ini parutan jahe’ (204) Rejeki seret, ra sah dha buneg (NP/3/4) ‘Rejeki tersendat, tak usah pada bingung’ Pada data-data di atas penggunaan tembung plutan lebih dari satu macam dan bervariasi yang berfungsi untuk memudahkan ketika diucapkan dan menambah efek kemenarikan terhadap kalimat. Data (198) terdapat tembung plutan sebanyak dua macam muncul disetiap unsur langsungnya, yaitu pada unsur langsung yang pertama kata ya ‘ya’ yang commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 97 berasal dari kata iya ‘iya’, kemudian pada unsur langsung yang kedua dan ketiga kata kang ‘yang’ berasal dari kata ingkang ‘yang’. Data (199) muncul di setiap unsur langsungnya, yaitu kata nggo ‘untuk’ dari kata kanggo ‘untuk’ dan kata mung ‘hanya’ berasal dari kata amung ‘hanya’. Data (200) pada unsur langsung pertama pada kata nggo ‘untuk’ dari kata kanggo ‘untuk’, dan pada unsur langsung yang kedua kata mung ‘hanya’ berasal dari kata amung ‘hanya dan kata dha ‘sama’ dari kata padha ‘sama’. Pada data (201) tembung plutan ditunjukkan pada setiap unsure langsungnya, yaitu kata ja ‘jangan’ dari kata aja ‘jangan’ dan kata ra ‘tidak’ berasal dari kata ora ‘tidak’. Data (202) tembung plutan juga muncul di setiap unsur langsung. Pada unsur langsung pertama dan kedua kata rung ‘belum’ dari kata durung ‘belum’ dan pada unsur langsung ketiga dan keempat kata ra ‘tidak’ dari kata ora ‘tidak’ dan mung ‘hanya’ dari kata amung ‘hanya’. Data (203) terdapat tembung plutan yang terletak di setiap unsur langsungnya, yaitu kata njur ‘lalu’ dari kata banjur ‘lalu’ dan kata ki ‘ini’ dari kata iki ‘ini’. Sedangkan data (204) tembung plutan terletak pada unsur langsung kedua pada kata ra ‘tidak’ dari kata ora ‘tidak’, sah ‘usah’ dari kata usah ‘usah’, dan kata dha ‘sama’ dari kata padha ‘sama’. (205) Kena dinggo mikul, ning aja ketungkul Urip kuwi abot, ja digawe abot (NP/15/2,3) ‘Dapat dipakai memikul, tetapi jangan tertunduk’ ‘Hidup itu berat, jangan dibuat berat’ (206) Mulane uripmu aja dha kaku Melura, pasraha, ra sah dha nesu commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 98 Aja mangu-mangu ning terus mlaku Sanajan ro ngguyu aja lali wektu (NP/16/1-4) ‘Makanya hidupmu jangan pada kaku’ ‘Membaurlah, pasrahlah, tidak usah pada marah’ ‘Jangan ragu tapi terus jalan’ ‘Walaupun dengan tertawa jangan lupa waktu’ (207) Nak ora seneng kana kowe dha minggata Aku ra ngurus kowe arep ngomong apa Rasah dha kemlinthi aku ra wedi (KN/2/2-4) ‘Kalau tidak suka sana kamu pada pergi’ ‘Aku tidak mengurus kamu mau ngomong apa’ ‘Tidak usah sombong aku tidak takut’ (208) Apa dha ra ngerti yen ning kene ana mc Sing ra tau mati (KN/4/3,4) ‘Apa pada tidak tahu kalau di sini ada mc’ ‘Yang tak pernah mati’ (209) Saka aku ra sah dha meri Melu rotra kabeh ra bakal rugi Aku ra ngapusi (KN/5/2-4) ‘Dari aku tak usah pada iri’ ‘Ikut rotra semua tak bakal rugi’ ‘Aku tak bohong’ (210) Kok njenengan kendel tenan menapa pun duwe cekelan (KN/10/3) ‘Mengapa kamu berani sekali apa sudah punya pegangan’ (211) Koalisi politike mung perselingkuhan Beras larang minyak mundak ra karu-karuan Politike nglambrah mung ribut ngurus gendhakan (OCON/6/2-4) ‘Kerjasama politiknya hanya perselingkuhan’ ‘Beras mahal minyak naik tak karu-karuan’ ‘Politiknya menyebar hanya rebut mengurus selingkuhan’ Penggunaan tembung plutan pada data (205) terletak di semua unsur langsung, yaitu kata ning ‘di’ dari kata aning ‘di’ dan kata ja ‘jangan’ berasal dari kata aja ‘jangan’. Data (206) tembung plutan terletak pada empat unsur langsungnya. Unsur langsung pertama kata dha ‘sama’ dari kata padha ‘sama’, unsur langsung kedua kata ra ‘tidak’ dari kata ora commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 99 ‘tidak’, sah ‘usah’ dari kata usah ‘usah’, dan kata dha ‘sama’ dari kata padha ‘sama’, unsur langsung ketiga dan keempat pada kata ning ‘di’ dari kata aning ‘di’ dan kata ro ‘dengan’ berasal dari kata karo ‘dengan’. Data (207) tembung plutan terletak di ketiga unsur langsungnya, yaitu kata dha ‘sama’ dari kata padha ‘sama’, ra ‘tidak’ dari kata ora ‘tidak’, dan pada kata dha ‘sama’ berasal dari kata padha ‘sama’, ra ‘tidak’dari kata ora ‘tidak’. Data (208) dan (209) penggunaan tembung plutan terletak di setiap unsur langsungnya, pada kata dha ‘sama’ berasal dari kata padha ‘sama’ dan kata ra ‘tidak’ dari kata ora ‘tidak’. Data (210) tembung plutan terletak setiap unsur langsung, yaitu kata njenengan ‘kamu’ berasal dari kata panjenengan ‘kamu’. Dan data (211) terdapat tembung plutan yang juga terletak pada semua unsur langsungnya, ditunjukkan pada kata mung ‘hanya’ dari kata amung ‘hanya’ dan kata ra ‘tidak’ dari kata ora ‘tidak’. (212) Dadia wong seni kritis peduli ro wong cilik Wong politik munafik ra gelem nampa kritik Geleme nampa duit cacahe ra sethithik (OCON/7/2-4) ‘Jadilah orang seni kritis peduli dengan orang kecil’ ‘Orang politik munafik hanya mau menerima kritik’ ‘Maunya menerima uang jumlahnya tidak sedikit’ (213) Gawe alasan golek aman ben ra konangan Politik saiki cen seneng main belakang (OCON/18/2,3) ‘Membuat alasan cari aman supaya tak ketahuan’ ‘Politik sekarang memang senang main belakang’ (214) Ra entek-entek lehku seneng gendhakan (OCON/22/3) ‘Tak habis-habis aku suka selingkuhan’ (215) Ning ndi ning ndi wong cilik mati (JJJE/14/2) Dimana dimana orang kecil mati’ commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 100 (216) Budhal ngajar ja nganti telat Tingkah lakune ja na sing kliru (JJG/3/3,4) ‘Berangkat mengajar jangan sampai telat’ ‘Tingkah lakunya jangan ada yang keliru’ (217) Guru ra leh kesed ben ra ketinggalan (JJG/4/4) ‘Guru tak boleh malas supaya tak ketinggalan’ (218) Ra isa disingkiri mung kudu ditrima (JJG/12/4) ‘Tak bisa menghindar hanya harus diterima’ Penggunaan tembung plutan pada data-data di atas terdapat pada semua unsur langsung yang ada. Data (212), (213), (214), (217), dan (218) didalamnya terdapat tembung plutan kata ra ‘tidak’ yang berasal dari kata ora ‘tidak’. Data (212) ada juga tembung plutan kata ro ‘dengan’ yang berasal dari kata karo ‘dengan’. Data (213) terdapat plutan cen ‘memang’ dari kata pancen ‘memang’. Data (214) terdapat kata lehku ‘olehku’ dari kata olehku ‘olehku’. Sedangkan data (215) pada kata ndi ‘mana’ dari kata ngendi ‘mana’ yang diulang sebanyak dua kali. Data (216) tembung plutan yang digunakan adalah kata ja ‘jangan dari kata aja ‘jangan’, dan kata na ‘ada’ dari kata ana ‘ada’. Data (217) dan (218) tembung plutan yang digunakan adalah kata leh ‘oleh’ dari kata oleh ‘oleh’ dan kata mung ‘hanya’ dari kata amung ‘hanya’. (219) Ra usah nggurui merga ora migunani (SOS/14/4) ‘Tak usah menggurui karena tidak berguna’ (220) Uripa sing jejeg nek ra eling jebol (NP/1/4) ‘Hiduplah yang lurus kalau tidak ingat roboh’ (221) Jarene wis ra sudi (KN/3/1) Katanya sudah tidak sudi’ commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 101 (222) Prajapati ra tau wedi ngadhepi sesumbarmu (KN/4/1) ‘Projopati tidak pernah takut menghadapi perkataanmu’ (223) Seni ra penting sing penting entuk duite (JJL/3/4) ‘Seni tak penting yang penting dapat uangnya’ (224) Tuku apa-apa ra perlu ndelok rega (JJL/13/3) ‘Beli apa-apa tak perlu lihat harga’ (225) Bermain cinta lupa daratan ra konangan (OCON/3/2) ‘Bermain cinta lupa daratan tak ketahuan’ (226) Kenalan trus gelem digambar ra nganggo klambi (OCON/10/4) ‘Kenalan terus mau digambar tak memakai pakaian’ (227) Politik ra dong bingung, kentekan program (JJJE/2/3) ‘Politik tidak dong bingung, kehabisan program’ (228) Rakyate lha ra ngerti sapa, sing digugu (JJJE/3/3) ‘Rakyatnya lha tak tau siapa, yang diteladani’ (229) Rakyate luwe ra isa ngguyu Rejeki seret kok ra metu-metu (JJJE/4/2,3) ‘Rakyatnya lapar tak bisa tertawa’ ‘Rejeki tersendat kok tak keluar-keluar’ (230) Ra edan ra keduman (JJJE/5/2) ‘Tidak gila tidak kebagian’ (231) Ekonomi mampet, krisis ra lunga (JJJE/8/1) ‘Ekonomi mampet, krisis tak pergi’ (232) Mula aku ra isa, ora isa teka (JJG/9/3) ‘Maka aku tak bisa, tidak bisa datang’ (233) PR murid-muridku ra sida takkoreksi (JJG/11/4) PR murid-muridku tak jadi kukoreksi’ (234) Ibu tansah sabar nadyan ra penak rasane (LL/9/2) ‘Ibu selalu sabar walaupun tak nyaman rasanya’ Pada data-data di atas adalah penggunaan tembung plutan kata ra ‘tidak’ yang berasal dari kata ora ‘tidak’. Data (219), (222), (223), (227), commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 102 (228), dan (232) kata ra ‘tidak’ terletak pada unsur langsung yang pertama. Sedangkan data (220), (221), (224), (225), (226), (231), (233), dan (234) penggunaan kata ra ‘tidak’ terletak pada unsur langsung yang kedua. Pada data (229) dan (230) adanya tembung plutan kata ra ‘tidak’ terletak di masing-masing unsur langsung, yaitu pertama dan kedua. (235) Mung donya sing kuweruh (NKP/1/3) ‘Hanya dunia yang kuketahui’ (236) Urip aja mung nenuwun (NKP/7/3) ‘Hidup jangan hanya meminta’ (237) Aja mung embuh ethok-ethok ora weruh (NP/5/4) ‘Jangan hanya tidak peduli pura-pura tidak tahu’ (238) Pring iku mung suket (NP/9/1) ‘Bambu itu hanya rumput’ (239) Tampare ya mung pring (NP/9/8) ‘Tamparnya ya hanya bambu’ (240) Mung kaya mut-mutan ning ilat krasa legi (JJL/4/4) ‘Hanya seperti unyahan di lidah terasa manis’ (241) Banjur tingkah polahe mung sing manis-manis (JJL/8/3) ‘Lalu tingkah lakunya hanya yang manis-manis’ (242) Mung waton ngemali apa-apa sing payu (JJL/9/2) ‘Hanya asal menghitung apa saja yang laku’ (243) Senengane mung blanja wo mlaku-mlaku (JJL/14/4) ‘Sukanya hanya belanja wo jalan-jalan’ (244) Gajiku sethitik mung dadi silit (JJG/2/4) ‘Gajiku sedikit hanya jadi kotoran’ Penggunaan tembung plutan pada data (235), (236), (237), (238), (239), (240), (241), (242), dan (243) berupa kata mung ‘hanya’ yang berasal dari kata amung ‘hanya’. Pada data (235), (237), (240), (242), dan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 103 (243) penggunaan kata mung ‘hanya’ berada pada unsur langsung yang pertama. Sedangkan data (236), (238), (239), (241), dan (244) kata mung ‘hanya’ terletak pada unsur langsungnya yang kedua. (245) Kyai Petruk ratu ning Merapi (NKP/5/3) ‘Kyai Petruk ratu di Merapi’ (246) Ja sapenake dhewe (NKP/8/3) ‘Jangan seenaknya sendiri’ (247) Ki dhapur sampurnaning wong (NKP/10/4) ‘Ini dapur kesempurnaan orang’ (248) Urip ki padha wong njajan (NKP/12/2) ‘Hidup itu sama seperti orang jajan’ (249) Ati kudu teteg ja nganti urip ketakol (NP/1/2) ‘Hati harus tegar jangan sampai hidup terlunta-lunta’ (250) Ning kudu percaya uga sregep ndonga (NP/17/2) ‘Tetapi harus percaya juga rajin berdoa’ Data (245) dan (250) adalah data yang didalamnya menggunakan tembung plutan pada unsur langsung kedua kata ning ‘di’ yang berasal dari kata aning ‘di’. Pada data (246) dan (249) tembung plutan yang digunakan adalah kata ja ‘jangan’ yang berasal dari kata aja ‘jangan’. Data (247) dan (248) terdapat kata ki ‘ini’ yang berasal dari kata iki ‘ini’ pada unsur langsungnya yang pertama. Sedangkan data (250) kata ning ‘tapi’ yang berasal dari kata nanging ‘tetapi’ menunjukkan adanya tembung plutan. (251) Pancen penting tumraping manungsa sing dha eling (NP/11/3) ‘Memang penting bagi manusia yang saling ingat’ (252) Kok isih dha ngrasani Kanca-kanca sing arep dha mulai, gagi (KN/3/2,3) commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 104 ‘Mengapa masih pada membicarakannya’ ‘Teman-teman yang mau pada mulai, buruan’ (253) Jaman saiki kabeh dha blereng matane (JJL/3/1) ‘Zaman sekarang semua pada tak jelas matanya’ (254) Cepet-cepet gage dha golek hotel murahan (OCON/11/3) ‘Cepat-cepat buruan pada cari hotel murahan’ (255) Rakyat wis dha mlarat marga kurang mangan (JJJE/9/4) ‘Rakyatnya sudah pada miskin karena kurang makan’ (256) Mula dha mangertia ibu kuwi suwarga (LL/12/3) ‘Maka pada mengertilah ibu itu surga’ Data-data di atas adalah data yang menggunakan pemanfaatan tembung plutan kata dha ‘sama’ yang berasal dari kata padha ‘sama’ Pada data (251), (253), dan (254) kata dha ‘sama’ berada pada unsur langsung yang kedua. Sedangkan data (255) dan (256) adanya kata dha ‘sama’ terletak pada unsur langsungnya yang pertama. Data (252) penggunaan tembung plutan kata dha ‘sama’ terletak pada unsur langsung yang pertama dan kedua. (257) Mangke ndak dhawah (KN/8/1) ‘Nanti bisa jatuh’ (258) Pun mangga sami jumeneng (KN/9/1) ‘Sudah mari bersama berdiri’ (259) Sedaya ingkang teng mriki saged tumindak nekat (KN/9/9) ‘Semua yang di sini bisa bertindak nekat’ (260) Pun Mas boten isa aten-atenan bablas (KN/10/1) ‘Sudah Mas tidak bisa bertabiat terus saja’ (261) Menapa pun ampuh tenan (KN/10/5) ‘Apa sudah ampuh benar’ commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 105 (262) Macak aji gaman sami dipunhunus teng arsa (KN/11/3) ‘Berhias dengan alat berharga yang dipakai ke muka’ (263) Kula Ki Ageng Gantas pun cekap atur wicara (KN/11/5) ‘Saya Ki Ageng Gantas sudah cukup berbicara’ (264) Yen nangis ndak ilang ayune (LL/2/4) ‘Kalau menangis nanti hilang cantiknya’ Data (257) dan (254) didalamnya memanfaatkan tembung plutan pada kata ndak ‘bisa’ yang berasal dari kata mundhak ‘bisa’ pada unsur langsung yang kedua di data masing-masing. Data (258), (260), (261), dan (263) terdapat penggunaan tembung plutan kata pun ‘sudah’ yang berasal dari kata sampun ‘sudah’. Data (258), (260), dan (261) kata pun ‘sudah’ terletak pada unsur langsung yang pertama, sedangkan data (263) kata pun ‘sudah’ terletak pada unsur langsung yang kedua. Data (259) dan (262) memanfaatkan tembung plutan kata teng ‘ke’ dari kata dhateng ‘ke’. Pada data (259) kata teng ‘ke’ terletak pada unsur langsung pertama, sedangkan data (262) terletak pada unsur langsung kedua. (265) Bar digambar temone seneng ora karuan (OCON/11/1) ‘Setelah digambar temonnya senang tidak karuan’ (266) Nek cen kui aku ngerti ayo gek ndang budhal (OCON/13/4) ‘Kalau memang itu aku tahu ayo segera berangkat’ (267) Jebul ngantukan, ro mbolosan (JJJE/15/2) ‘Ternyata ngantukan, dan suka membolos’ (268) Marga sekolahe durung takbayar ping telu (JJG/10/4) ‘Karena sekolahnya belum kubayar tiga kali’ (269) Jroning sanubariku (LL/6/4) ‘Di dalam sanubariku’ commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 106 Pada data (265) terdapat penggunaan tembung plutan pada kata bar ‘selesai’ dari kata bibar ‘selesai’ yang terletak pada unsur langsung pertama. Data (266) kata cen ‘memang’ yang berasal dari kata pancen ‘memang’ pada unsur langsung pertama. Sedangkan data (267) adanya penggunaan tembung plutan pada kata ro ‘dengan’ yang berasal dari kata karo ‘dengan’ pada unsur langsung kedua, dan data (268) kata marga ‘karena’ dari kata amarga ‘karena pada unsur langsung pertamanya. Pada data (269) kata jroning ‘di dalam’ berasal dari kata jero ‘dalam’ kemudian mendapat akhiran {-ing}. b. Aspek Penanda Morfologis Penggunaan ragam literer yang berupa penanda morfologis bertujuan untuk mencapai kepuasan estetis, yaitu ditandai dengan pemakaian kata dengan cara hati-hati dan mempergunakan unsur-unsur gramatikal atau gaya tertentu. Dalam lirik lagu komunitas JHF ada dua macam penanda morfologis yang digunakan, yaitu reduplikasi dan afiksasi. 1) Reduplikasi Reduplikasi merupakan bentuk perulangan kata sebagai bentuk dasar, baik secara keseluruhan, sebagian saja ataupun perubahan tersebut mengalami perubahan bunyi. Dalam lirik lagu komunitas JHF ada dua macam reduplikasi yang ditemukan, yaitu dwipurwa ‘perulangan suku kata muka’, dan dwilingga salin swara ‘perulangan kata yang mengalami commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 107 perubahan bunyi’. Hal tersebut dapat dilihat pada hasil analisis data tersebut. a) Dwipurwa (270) Minangka tekad dadi sesanti (SOS/5/4) ‘Dimana sebuah niat menjadi pertanda’ (271) Tanda bumi reresik nandang gawe (SOS/8/3) ‘Tanda bumi membersihkan pekerjaannya’ (272) Urip aja mung nenuwun (NKP/7/3) ‘Hidup jangan hanya meminta’ (273) Wajib padha eling, eling marang sing Peparing (NP/6/4) ‘Wajib pada ingat, ingat kepada yang Maha Pemberi’ (274) Eling awake, eling pepadhane (NP/11/4) ‘Ingat diri sendiri, ingat sesamanya’ (275) Ibu ing peputra badhe nyuwun pangestu (LL/4/1) ‘Ibu anakmu mau minta doa restu’ (276) Gegamaning uripku (LL/6/3) ‘Senjatanya hidupku’ (277) Kena murkane Gusti wujud bebendu (LL/11/4) ‘Terkena marahnya Allah berwujud bencana’ Data (270) terdapat penggunaan dwipurwa pada kata sesanti ‘pertanda’ yang berasal dari kata dasar santi ‘tanda’. Pada data (271) dan (272) dwipurwa ditunjukkan oleh kata reresik ‘membersihkan’ yang berasal dari kata resik ‘bersih’dan kata nenuwun ‘meminta’ dari kata nuwun ‘minta’. Sedangkan data (273) dan (274) pengulangan suku kata pertama pada kata Peparing ‘Pemberi’ dari kata paring ‘beri’, dan kata pepadhane ‘sesamanya’ dari kata padha ‘sama’. Data commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 108 (275), (276), dan (277) pengulangan terdapat pada kata peputra ‘anak’ yang berasal dari kata putra ‘putra’, gegamaning ‘senjatanya’ mendapat akhiran {-ing} yang berasal dari kata gaman ‘alat’, dan kata bebendu ‘bencana’ dari kata bendu ‘bencana’. Pemanfaatan dwipurwa tersebut dapat menunjukkan kearkhaisan pada kalimat. b) Dwilingga Salin Swara (278) Mesam-mesem lan sumringah (KN/9/6) ‘Senyam-senyum dan ceria’ (279) Lirak-lirik karepe ngejak turu kelonan (OCON/6/1) ‘Lirak-lirik maksudnya mengajak tidur berdua’ (280) Lagi krusak-krusek lha kok ya ana gropyokan (OCON/11/4) ‘Baru krusak-krusek lha mengapa ya ada grebekan’ (281) Ning atine panas, tem getam-getem (JJJE/7/3) ‘Dihatinya panas, tem getam-getem’ (282) Rada gremat-gremet, rejekine mampet (JJJE/15/4) ‘Agak merayap-rayap, rejekinya mampet’ Data-data di atas adalah data dengan penggunaan dwilingga salin swara atau pengulangan kaya yang mengalami perubahan bunyi, bertujuan untuk memperindah bunyi pada kata yang diulang, sehingga dapat memunculkan unsur kemenarikan ketika didengar. Data (278) pengulangan ditunjukkan pada kata mesam-mesem ‘senyam-senyum’ menyatakan aktivitas yang dilakukan secara berulang. Data (279) terdapat pada kata lirak-lirik ‘lirak-lirik’ yang juga menyatakan aktivitas yang ditunjukkan diulang-ulang. oleh kata Pada data krusak-krusek commit to user (280) pengulangan ‘krusak-krusek’ yang perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 109 menyatakan suara yang terdengar berulang-ulang. Sedangkan data (281) dan (282) dwilingga salin swara terdapat pada kata getamgetem ‘getam-getem’ dan gremat-gremet ‘merayap-rayap’ yang menyatakan suatu perasaan yang mendongkol dan gerakan yang berulang-ulang dilakukan. 2) Afiksasi Afiksasi adalah proses pembentukan kata dengan cara menambahkan afiks pada bentuk dasar yang nantinya akan mengubah makna gramatikal. Dalam lirik lagu komunitas JHF ditemukan beberapa bentuk afiksasi literer berupa prefiks, infiks, dan sufiks yang dapat dilihat pada analisis data berikut ini. a) Prefiks {ka-} (283) Kaya kang kaserat ing Sabdatama (SOS/4/4) ‘Seperti yang tertulis di Sabdatama’ Pada data (283) terdapat afiksasi bentuk literer yang berupa prefiks {ka-} bergabung dengan kata dasar serat ‘tulis’ yang menunjukkan kegiatan yang sudah dilakukan sebelumnya yaitu tertulis. Pada data tersebut penambahan afiks memberikan kesan kepuitisan pada kalimat. b) Prefiks {ma-} (284) Mula dha mangertia ibu kuwi suwarga (LL/12/3) ‘Maka pada mengertilah ibu itu surga’ Penambahan di awal berupa afiks {ma-} pada data di atas bergabung dengan kata ngerti ‘tahu’ dan akhiran {–a} yang menyatakan keadaan dimana hendaknya bisa mengerti seorang ibu. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 110 c) Infiks {-um-} (285) Mangga sami jumangkah (KN/7/5) ‘Mari bersama melangkah’ (286) Sedaya ingkang teng mriki saged tumindak nekat (KN/9/9) ‘Semua yang di sini bisa bertindak nekat’ (287) Ingkang tansah lumintu (LL/7/3) ‘Yang selalu mengalir’ (288) Wiwit saka bayi nganti gedhe jumangkah (LL/10/2) ‘Mulai dari bayi sampai besar melangkah’ Pada data (285) dan (288) penambahan afiks berupa sisipan {-um-} yang bergabung dengan kata jangkah ‘langkah’ menunjukkan suatu bentuk aktivitas melangkah. Data (286), dan (287) infiks {-um-} bergabung dengan kata tindak ‘tindak’ dan lintu ‘berjalan terus’ menerangkan suatu keadaan. Penambahan infiks {-um-} berfungsi untuk menonjolkan unsur keindahan kalimat. d) Sufiks {-ing} (289) Ditohi pecahing dhadha (SOS/5/6) ‘Ditandai pengorbanan jiwa’ (290) Luntaking ludira nganti pathi (SOS/5/7) ‘Keluarnya darah hingga mati’ (291) Precil mijet wohing ranti (NKP/2/4) ‘Sebentar sekali’ (292) Pancen penting tumraping manungsa sing dha eling (NP/11/3) ‘Memang penting bagi manusia yang pada ingat’ (293) Paring tentreming ati (NP/18/5) ‘Memberi ketentraman hati’ (294) Angking tembang saking lebeting manah (KN/7/3) ‘Asal nyanyian dari dalamnya hati’ commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 111 (295) Dadia pendekaring bangsa (LL/3/4) ‘Jadilah pahlawan bangsa’ (296) Kang sumandhing jeroning raga (LL/5/3) ‘Yang bersanding di dalam raga’ (297) Gegamaning uripku Jroning sanubariku (LL/6/3,4) ‘Senjatanya hidupku’ ‘Di dalam sanubariku’ Data-data di atas adalah data menunjukkan adanya sufiks {-ing} pada masing-masing menunjukkan unsur kelitereran pada langsungnya. kata dasar Berfungsi yang untuk mengalami penambahan imbuhan, yaitu akhiran {-e}. Data (289), (290), (291), (292), (293), (294), dan (295) adalah data dengan penggunaan sufiks {-ing} yang menyatakan keadaan, dimana kata dasar pecah ‘pecah’, luntak ‘keluar’, woh ‘tumbuh’, tumrap ‘kepada’, tentrem ‘tentram’, lebet ‘dalam’, dan kata pendekar ‘pahlawan’ bergabung dengan akhiran atau sufiks {-ing}. Data (296) muncul dua kali sufiks {-ing}, yaitu penambahan infiks {-um-} bergabung dengan kata sanding ‘sanding’ kemudian diakhiri dengan sufiks {-ing}, dan yang kedua kata jero ‘dalam’ bergabung dengan sufiks {-ing} menyatakan suatu keadaan yang bertempat di dalam raga. Data (297) terdapat penambahan berupa sufiks{-ing} muncul sebanyak dua kali, yaitu kata gaman ‘alat’ yang mengalami pengulangan di suku kata awal dan kata jero ‘dalam’ yang bergabung dengan sufiks {-ing} menerangkan suatu gambaran tentang doa seorang ibu. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 112 3. Gaya Bahasa atau Majas Gaya bahasa merupakan cara untuk mengekspresikan bahasa yang didalamnya memiliki kekhasan tertentu yang dapat merangsang imajinasi pendengaratau pembaca, dan memberikan nilai keindahan tersendiri sesuai dengan apa yang ingin dituju. Dalam analisis data pada lirik lagu komunitas JHF ditemukan beberapa macam gaya bahasa, yaitu epistrofa, mesodiplosis, anafora, anadiplosis, repetisi utuh, metonimia, sarkasme, simile, personifikasi, enumerasia, koreksio, dan hiperbola. Hasil analisis data tersebut dapat dilihat pada pemaparan di bawah ini. a. Epistrofa Epistrofa adalah repetisi yang berwujud pengulangan kata atau frasa pada akhir baris atau kalimat secara berurutan. Dalam analisis data pada lirik lagu komunitas JHF ditemukan kalimat-kalimat yang menunjukkan gaya bahasa epistrofa, dapat dilihat pada hasil analisis berikut. (298) Merapi yaiku Keraton yaiku Segara yaiku (SOS/3/1-3) ‘Merapi yaitu’ ‘Keraton yaitu’ ‘Laut yaitu’ (299) Pring iku mung suket, ning omah asale saka pring, Usuk saka pring, cagak saka pring Gedhek iku pring, lincak uga pring Kepang cetha pring, tampare ya mung pring (NP/9/1-4) ‘Bambu itu hanya rumput, tapi rumah asalnya dari bambu’ ‘Penyangga dari bambu, tiang dari bambu’ ‘Dinding itu bambu, balai-balai juga bambu’ ‘Anyaman jelas bambu, talinya ya hanya bambu’ (300) Kalo, tampah, serok asale saka pring. Pikulan, tepas, tenggok digawe nganggo pring. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 113 Mangan enak mancing iwak, walesane ya pring Jangan bung aku gandrung, jebule bakal pring (NP/10/1-4) ‘Kalo, tampah, serok asalnya dari bambu’ ‘Pikulan, kipas, keranjang dibuat dengan bambu’ ‘Makan enak memancing ikan, gandar pancingnya ya bambu’ ‘Sayur bung aku suka, ternyata benih bambu’ Pada data-data diatas ditemukan adanya pengulangan di setiap akhir kalimat. Data (298) terdapat kata yaiku ‘yaitu’ yang diulang sebanyak tiga kali pada setiap akhir kalimat yang memiliki maksud bahwa pengarang ingin menjelaskan merapi, keraton, dan laut itu berpusat di Yogyakarta. Data (299) adanya pengulangan pada kata pring ‘bambu’ muncul sebanyak tujuh kali pada setiap akhir kalimat, dengan maksud pengarang ingin menjelaskan bahwa bambu memiliki banyak manfaat dalam kehidupan manusia. Sedangkan data (300) kata pring ‘bambu’ diulang sebanyak empat kali, dengan maksud pengarang ingin menyampaikan manfaat-manfaat dari bambu. Dengan adanya pengulangan di akhir kalimat seperti data-data di atas, selain menambah kekhasan tersendiri, juga dapat memudahkan pembaca atau pendengar untuk mengerti maksud apa yang disampaikan pengarang. b. Mesodiplosis Mesodiplosis adalah pengulangan yang bertempat di tengah baris pada kalimat secara berurutan. Dalam analisis lirik lagu komunitas JHF, ditemukan kalimatkalimat yang mengandung gaya bahasa mesodiplosis, dapat dilihat pada hasil analisis berikut ini. (301) Merapi ngelingake marang ing Gusti Segara ngelingake kudu ngidak bumi (SOS/4/6) ‘Merapi mengingatkan pada sang Pencipta’ commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 114 ‘Laut mengingatkan harus menginjak bumi’ (302) Swarga durung weruh Neraka durung wanuh (NKP/1/2) ‘Surga belum lihat’ ‘Neraka belum tahu’ (303) Seneng mesthi susah Susah mesthi seneng (NKP/3/1,2) ‘Senang pasti susah’ ‘Susah pasti senang’ (304) Susah jebule seneng Seneng jebule susah (NKP/4/3,4) ‘Susah ternyata senang’ ‘Senang ternyata susah’ (305) Sugih rung karuan seneng Mlarat rung karuan susah (NKP/6/1,2) ‘Kaya belum tentu senang’ ‘Miskin belum tentu susah’ (306) Pipi padha pipi Bokong padha bokong (NKP/10/1,2) ‘Pipi dengan pipi’ ‘Bokong dengan bokong’ Pada data-data di atas, gaya bahasa mesodiplosis yang ditunjukkan memiliki kesamaan, yaitu muncul sebanyak dua kali, yaitu pada unsur langsung atau kalimat pertama dan kedua. Data (301) gaya bahasa mesodiplosis ditunjukkan pada kata ngelingake ‘mengingatkan’ yang ada pada setiap unsur langsungnya, dimana pengarang ingin menekankan kalimat tersebut agar makna yang ada didalamnya dapat tersampaikan dan menjadi renungan bagi diri pembaca atau pendengar. Pada data (302) kata durung ‘belum’, pengarang ingin menekankan surga dan neraka belum diketahui seperti apa wujudnya. Data (303) pengulangan terdapat pada kata mesthi ‘pasti’ yang memiliki maksud bahwa pengarang ingin commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 115 meyakinkan pembaca atau pendengar mengenai hidup yang didalamnya ada susah dan senang. Data (304) kata jebule ‘ternyata’ memiliki maksud pengarang ingin menyampaikan bahwa hidup itu tak selamanya senang atau susah, di dalam kesenangan atau kebahagian pasti ada kesusahan walaupun itu tidak seberapa. Data (305) terdapat kata rung karuan ‘belum tentu’ yang didalamnya pengarang bermaksud ingin menyampaikan tentang kemiskinan dan kekayaan belum tentu selamanya membuat susah ataupun senang. Sedangkan data (306) pengulangan terletak pada kata padha ‘sama’ dimana pengarang bermaksud untuk menegaskan isi kalimat tersebut. Penggunaan gaya bahasa mesodiplosis memperlihatkan bahwa lirik-lirik lagu JHF memiliki banyak keunikan didalamnya. c. Anafora Anafora adalah repetisi yang berwujud perulangan kata atau frasa pertama pada tiap baris atau kalimat berikutnya. Dalam lirik lagu komunitas JHF terdapat penggunaan gaya bahasa anafora, dapat dilihat pada hasil analisis berikut. (307) Ana beja, ana cilaka Ana urip, ana mati (NKP/2/2,3) ‘Ada untung, ada celaka’ ‘Ada hidup, ada mati’ (308) Yen ngelak ngombea Yen ngelih mangana Yen kesel ngasoa Yen ngantuk turua (NKP/11/1-4) ‘Kalau haus minumlah’ ‘Kalau lapar makanlah’ ‘Kalau lelah istirahatlah’ ‘Kalau ngantuk tidurlah’ (309) Aja nggresula, aja wedi (NKP/18/1) ‘Jangan mengeluh, jangan takut’ commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 116 (310) Eling awake, eling pepadhane Eling patine, lan eling Gustine (NP/11/3,4) ‘Ingat diri sendiri, ingat sesamanya’ ‘Ingat matinya, dan ingat Penciptanya’ (311) Guru iku conto sing ditiru Guru iku conto sing digugu (JJG/3/1,2) ‘Guru itu contoh yang ditiru’ ‘Guru itu contoh yang diteladani’ Pada data (307) terdapat gaya bahasa anafora pada kata ana ‘ada’ yang muncul sebanyak empat kali pada setiap unsur langsungnya yang memiliki maksud bahwa pengarang ingin menyampaikan unsur-unsur yang ada dalam kehidupan. Data (308) kata yen ‘kalau’ muncul sebanyak empat kali dimana pengarang bermaksud ingin memberikan saran-saran yang selanyaknya dilakukan. Data (309) terdapat pada kata aja ‘jangan’ yang diulang pada kalimat selanjutnya bertujuan untuk menekankan pada pembahasan yang dimaksud, yaitu dalam hidup hendaknya jangan mengeluh dan takut. Data (310) kata eling ‘ingat’ yang diulang sebanyak empat kali pada setiap unsur langsung yang bersangkutan dimana pengarang bermaksud untuk mengingatkan pada pembaca atau pendengar hendaknya selalu ingat terhadap Pencipta, diri sendiri, dan orang lain disekitar kita. Pada data (311) terdapat kalimat guru iku conto sing ‘guru itu contoh yang’ diulang sebanyak dua kali pada tiap unsur langsungnya, pengarang menekankan kembali mengenai guru yang semestinya memberikan contoh baik. d. Anadiplosis Anadiplosis adalah gaya bahasa dimana suatu kata atau frasa terakhir dari suatu klausa atau kalimat menjadi kata atau frasa pertama. Dalam analisis pada commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 117 lirik lagu komunitas JHF ditemukan beberapa larik yang termasuk ke dalam gaya bahasa anadiplosis, dapat dilihat pada hasil analisis berikut. (312) Seneng mesthi susah Susah mesthi seneng (NKP/3/1,2) ‘Senang pasti susah’ ‘Susah pasti senang’ (313) Susah jebule seneng Seneng jebule susah (NKP/4/3,4) ‘Susah ternyata senang’ ‘Senang ternyata susah’ Pada data (312) kata seneng ‘senang’ dan susah ‘susah’ pada unsur langsung yang pertama atau kalimat pertama diulang kembali pada kalimat berikutnya dengan penggunaannya yang dibalik menjadi susah ‘susah’ dan seneng ‘senang’. Sedangkan data (313) kata susah ‘susah’ dan seneng ‘senang’ diulang kembali pada kalimat berikutnya dengan penggunaan kata yang dibalik, yaitu seneng ‘senang’ kemudian susah ‘susah’. Kedua data tersebut bertujuan untuk menekankan kata senang dan susah dimana selalu ada dalam kehidupan. e. Repetisi Utuh Repetisi utuh adalah adalah bentuk pengulangan pada satuan lingual baik itu berupa satu baris kalimat maupun satu bait atau beberapa kalimat yang diulang secara utuh. Dalam lagu-lagu komunitas JHF ditemukan adanya bait-bait atau beberapa kalimat yang diulang beberapa kali ketika dinyanyikan. Hal tersebut dapat dilihat pada hasil analisis di bawah ini. (314) We are from Jogja The heart of Java Our rhyme is mantra Flows down like lava commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 118 We are from Jogja The heart of Java Our culture is weapon Yeah, this Song of Sabdatama (SOS/1-2) ‘Kita dari Jogja’ ‘Jantungnya Jawa’ ‘Rime kita adalah mantra’ ‘Turun seperti lava’ ‘Kita dari Jogja’ ‘Jantungnya Jawa’ ‘Budaya kita adalah senjata’ ‘Yeah, ini lagu dari Sabdatama’ (315) Ki Daruna Ni Daruni Wis ya aku bali menyang Giri Kyai Petruk ratu ning Merapi Lho kok ratu kadi pak tani (NKP/5/1-4) ‘Pak Daruna, Bu Daruni’ ‘Sudah ya saya kembali ke gunung’ ‘Kyai Petruk ratu di Merapi’ ‘Lho mengapa ratu seperti pak tani’ (316) Pring reketeg gunung gamping ambrol Ati kudu teteg ja nganti urip ketakol Pring reketeg gunung gamping ambrol Uripa sing jejeg nek ra eling jebol (NP/1/1-4) ‘Bambu reketeg gunung gamping runtuh’ ‘Hati harus tegar jangan sampai hidup terlunta-lunta’ ‘Bambu reketeg gunung gamping runtuh’ ‘Hiduplah yang lurus kalau tidak ingat roboh’ (317) Jogja Jogja tetap istimewa Istimewa negerinya istimewa orangnya Jogja Jogja tetap istimewa Jogja istimewa untuk Indonesia (JI/1/1-4) (318) Ngemut permen, permen lollipop Bunder tur gepeng rasane legi Kepengin beken pengen dadi ngetop Karyane laris tur senine mati (JJL/1/1-4) ‘Mengunyah permen, permen lollipop’ ‘Bundar dan pipih rasanya manis’ ‘Ingin keren ingin jadi ngetop’ ‘Karyanya laris namun seninya mati’ commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 119 (319) Pak Dul sirahe gundhul Tuku rokok ning pasar Sentul Arepa silul kudu wani cucul Ora cucul ora ngebul (OCON/1/1-4) ‘Pak Dul kepalanya gundul’ ‘Beli rokok di pasar Sentul’ ‘Kalaupun silul harus berani membuka pakaian’ ‘Tidak membuka tidak mengebul’ (320) Jamane jaman edan Ra edan ra keduman Pilih lali timbang kalah Sing lali bener sing eling salah (JJJE/5/1-4) ‘Zamannya zaman gila’ ‘Tak gila tak kebagian’ ‘Pilih lupa daripada kalah’ ‘Yang lupa benar yang ingat salah’ (321) Aku ngelak takombeni ciu Botole putih jerone biru Aku seneng dadi guru Masia mendem tetep digugu Wadhuh-dhuh-dhuh cek enake Ciuku cap guru lan murid Wadhuh-dhuh-dhuh cek nasipe Gajiku thitik mung dadi silit (JJG/1-2) ‘Aku haus kuminumi minuman alkohol’ ‘Botolnya putih dalamnya biru’ ‘Aku senang jadi guru’ ‘Walaupun mabuk tetap diteladani’ ‘Waduh duh duh kok enaknya’ ‘Minuman alkoholku cap guru dan murid’ ‘Waduh duh duh kok nasibnya’ ‘Gajiku sedikit hanya jadi kotoran’ (322) Ibu kemanapun aku melangkah Aku selalu mengingatmu Kau membimbingku dari aku lahir Aku rindu ibu (LL/1/1-4) (323) Taklela lela lela ledhung Cep menenga aja pijer nangis (LL/2/1,2) ‘Kutimang timang anakku’ commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 120 ‘Sudah diamlah jangan terus menangis’ Data-data di atas merupakan beberapa kalimat yang diucapkan secara berulang pada masing-masing lagu komunitas JHF. Data (314) adalah bagian dari lirik lagu komunitas JHF berjudul Song of Sabdatama, diulang sebanyak dua kali yaitu pada bait ke-6 dan 7, serta bait ke-16 dan 17. Data (315) dari lagu Ngelmu Kyai Petruk dengan perulangan sebanyak dua kali pada baris ke-9 dan 13. Data (316) bagian dari lagu Ngelmu Pring yang diulang sebanyak tujuh kali pada bait ke-2, 7, 8, 13, 14, 19, dan ke-20. Data (317) diambil dari lagu Jogja Istimewa yang mengalami perulangan sebanyak lima kali yaitu di bait ke-5, 9, 13, 14, dan ke-15. Pada data (318) diambil dari lagu Jula Juli Lollipop dengan perulangan sebanyak sembilan kali, pada bait yang ke-2, 6, 7, 11, 12, 16, 17, 18, dan ke-19. Data (319) dari lagu Ora Cucul Ora Ngebul yang diulang kembali sebanyak enam kali, yaitu pada bait ke-8, 9, 16, 17, 24, dan ke-25. Data (320) diambil dari lagu Jula Juli Jaman Edan yang diulang kembali sebanyak tujuh kali di bait ke-6, 11, 12, 18, 19, 20, dan ke-21. Pada data (321) bagian dari lagu Jula Juli Guru yang mengalami perulangan sebanyak empat kali di bait ke-7 dan 8, 13 dan 14, 19 dan 20, serta 21 dan 22. Sedangkan data (322) dan (323) merupakan bagian dari lagu Lela Ledhung, data (322) yang diulang kembali sebanyak satu kali di bait ke-14 dan data (323) diulang pada bait ke-13 larik satu dan dua. Dengan adanya perulangan yang berkali-kali seperti pada data-data di atas, menunjukkan unsur ketertarikan bagi pembaca atau pendengar sehingga kesan atau nilai lagu dapat mudah dicapai yang diwakilkan dari beberapa kalimat yang diulang-ulang tersebut. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 121 f. Metonimia Metonimia merupakan gaya bahasa dengan cara mempergunakan suatu objek lain yang memiliki hubungan dekat dengan objek yang sesungguhnya. Gaya bahasa metonimia di dalam lirik-lirik lagu komunitas JHF ditemukan pada beberapa kalimat yang dapat dilihat pada hasil analisis data berikut. (324) Sing nggropyok polisi numpak pick-up bakul kursi (OCON/12/1) ‘Yang menggerebek polisi naik pick-up penjual kursi’ (325) Nganggo tank-top mlaku ning pasar Bantul (OCON/20/1) ‘Memakai pakaian singlet jalan di Pasar Bantul’ (326) Sekolahku adoh, hondaku taun pitu lima (JJG/9/1) ‘Sekolahku jauh, hondaku tahun tujuh lima’ Data (324) penggunaan gaya bahasa metonimia terletak pada frasa numpak pick-up ‘naik pick up’ sebagai objek pengganti yang memiliki kedekatan dengan objek yang sesungguhnya, yaitu mengacu pada sebuah mobil yang berfungsi sebagai pengangkut barang. Data (325) frasa nganggo tank-top ‘memakai pakaian singlet’ sebagai objek pengganti dari sebuah pakaian yang modelnya tidak ada lengannya. Data (326) kata hondaku langsung mengacu pada sebuah kendaran bermotor sebagai objek yang sesungguhnya. Penggunaan gaya bahasa metonimia ini memberikan kesan ketertarikan pada pembaca atau pendengar untuk berimajinasi secara langsung terhadap kalimat yang disampaikan. g. Sarkasme Sarkasme adalah gaya bahasa yang mempergunakan kata-kata yang kasar atau kata-kata yang cenderung tidak sopan. Penggunaan gaya bahasa ini sering muncul commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 122 hanya pada satu lagu saja, sehingga tidak mendominasi kata-kata dalam lirik lagu komunitas JHF. Hal tersebut dapat dilihat melalui analisis data di bawah ini. (327) Nak ora entuk mengko takgajul matamu Prek su..!! (KN/1/5,6) ‘Kalau tidak boleh nanti kupukul matamu’ ‘Prek su’ (328) Nak ora seneng kana kowe dha minggata (KN/2/2) ‘Kalau tidak suka sana kamu pada pergi’ (329) Masamu nyothe apik dhewe ngono pa su! (KN/3/5) ‘Kau kira menjajakan diri bagus sendiri apa su’ (330) Menawi boten pitados kula aturi minggat (KN/9/8) ‘Apabila tidak berkenan saya persilahkan pergi’ Pada data-data di atas penggunaan gaya bahasa sarkasme cukup mendominasi di dalam lagu komunitas JHF yang berjudul Kula Nuwun. Data (327) pada frasa takgajul matamu ‘kupukul matamu’ dan prek su ‘prek su’ merupakan kata-kata yang kurang sopan atau tidak semestinya diucapkan kepada orang lain. Pada data tersebut menunjukkan bahwa sang pengarang merasa kesal terhadap orang lain yang dimaksud, karena sesuatu hal yang diinginkan tidak dapat terpenuhi. Data (328) dan (330) kata minggata ‘pergilah’ dan minggat ‘pergi’ merupakan ungkapan suatu kekecewaan yang bercampur dengan emosi. Data (329) kata su adalah kata yang sama sekali tidak pantas untuk diucapkan kepada orang lain. Keluarnya kata tersebut mununjukkan suatu sindiran terhadap orang lain yanmg didalamnya mengandung nasihat bahwa menjajakan diri itu tidak seharusnya dilakukan. Dari data-data penggunaan gaya bahasa sarkasme memberikan sebuah penekanan di dalam makna agar pembaca atau pendengar dapat dengan mudah menangkap maksud atau nasihat-nasihat yang terkandung didalamnya. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 123 h. Simile Simile disebut sebagai gaya bahasa perbandingan dimana dua hal yang dianggap sebagai sesuatu yang sama. Ada beberapa kalimat dalam lirik lagu komunitas JHF yang menunjukkan gaya bahasa simile. Penggunaan gaya bahasa tersebut dapat dilihat pada hasil analisis sebagai berikut. (331) Negeri paling penak Rasane kaya swarga (JI/2/2,3) ‘Negara paling nyaman’ ‘Rasanya seperti surga’ (332) Karya seni kontemporer jaman saiki Mung kaya mut-mutan ning ilat krasa legi (JJL/4/3,4) ‘Karya seni kontemporer zaman sekarang’ ‘Hanya seperti unyahan di lidah terasa manis’ (333) Nek takpikir-pikir kok kaya tukang kayu Mung waton ngemali apa-apa sing payu (JJL/9/1,2) ‘Kalau kupikir-pikir mengapa seperti tukang kayu’ ‘Hanya asal menghitung.apa-apa yang laku’ (334) Karya seni kaya dagangan jenang dodol (JJL/15/3) ‘Karya seni seperti berjualan jenang dodol’ (335) Mula aja munafik kaya wong-wong politik (OCON/7/1) ‘Maka jangan munafik seperti orang-orang politik’ (336) Kae bulane ndadari Kaya mas buta nggilani (LL/8/2,3) ‘Itu bulannya bundar’ ‘Seperti raksasa menjijikkan’ Data (331) negeri paling penak ‘negara paling nyaman’ yang dimaksud adalah Yogyakarta dibandingkan dengan kenyamanan yang ada di surga yang penuh dengan keindahan. Data (332) membandingakn karya seni di zaman sekarang dengan unyahan di lidah yang terasa manis, dalam hal ini orang-orang yang berkecimpung dalam seni di zaman sekarang hanya ingin hasilnya yang commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 124 menguntungkan saja, tidak mau menghargai proses yang sebelumnya harus dijalani. Data (333) seni dibandingkan dengan tukang kayu, dimana hanya mengitung apa saja yang laku, hanya mau menerima hasilnya saja tidak mau berusaha secara maksimal. Data (334) yang menunjukkan adanya perbandingan seni dengan berjualan jenang dodol, maksud didalamnya seni zaman sekarang banyak karya-karya yang siap untuk dijual. Data (335) orang-orang yang munafik dibandingkan dengan orang-orang yang berkecimpung dalam politik, karena dunia politik orang-orang yang terpilih menjadi wakil rakyat banyak mengumbar janji kepada rakyat namun banyak yang tidak ditepati, sehingga hanya omong kosong saja. Data (336) bulan dibandingkan dengan raksasa yang menakutkan dan menjijikkan. Penggambaran bulan saat itu berwarna kuning keorangean yang membentuk lingkaran besar dengan dikelilingi awan disekitarnya, sehingga kelihatan menyeramkan. Gaya bahasa simile ini menunjukkan ciri khas dari pengarang dalam lagu komunitas JHF yang dapat merangsang pembaca atau pendengar untuk berimajinasi dan memahami maksud yang sesungguhnya. i. Personifikasi Personifikasi merupakan jenis gaya bahasa dengan cara menggambarkan benda-benda mati yang seakan-akan dapat hidup atau memiliki sifat-sifat seperti manusia. Pemanfaatan gaya bahasa ini dapat menimbulkan rangsangan imajinasi pembaca atau pendengar. Adapun hasil analisis mengenai gaya bahasa personifikasi dalam lirik-lirik lagu komunitas JHF, yaitu sebagai berikut. (337) Marang bumi sing nglairake dhewe tansah kelingan (JI/10/4) ‘Pada bumi yang melahirkan kita selalu teringat’ commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 125 (338) Disetater macet, eh karbulatore nggodha (JJG/9/2) ‘Dinyalakan macet, eh karbulatornya menggoda’ Data (337) bumi diibaratkan seperti makhluk hidup, biasanya kata melahirkan digunakan pada makhluk hidup yang akan mempunyai keturunan. Data (338) adanya penggunaan gaya bahasa personifikasi pada frasa kabulatore nggodha ‘kabulatornya menggoda’, dimana benda mati yaitu kabulator memiliki sifat-sifat seperti manusia yaitu menggoda. Pengarang ingin memberikan penekanan dalam kalimat dengan cara penggunaan gaya bahasa personifikasi ini, yaitu membandingkan dan memberi gambaran seperti apa yang dilakukan makhluk hidup atau seolah-olah hal itu benda hidup, agar pembaca atau pendengar mudah mencapai makna yang dituju. j. Enumerasia Enumerasia adalah gaya bahasa yang digunakan untuk melukiskan suatu peristiwa atau keadaan dengan cara memberikan gambaran-gambaran yang jelas. Pemanfaatan gaya bahasa enumerasia membantu dalam memperjelas terhadap kalimat yang ada. Dalam lirik lagu JHF ditemukan beberapa kalimat yang mengandung gaya bahasa enumerasia, dengan hasil analisis data sebagai berikut. (339) Merapi horeg, laut kidul gedheg, Angin ribut, udan bledhek (SOS/8/1,2) ‘Merapi gemuruh, laut selatan bergelombang’ ‘Angin ribut, hujan petir’ (340) Tambur wis ditabuh, suling wis muni (JI/6/1) ‘Genderang sudah dipukul, suling sudah berbunyi’ Data (339) peristiwa dilukiskan pada dua baris kalimat secara utuh. Penggambaran mengenai gunung merapi, laut selatan, angin, dan hujan begitu commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 126 jelas bagaikan dalam keadaan yang menakutkan. Data (340) genderang dan suling digambarkan sudah ditabuh dan dibunyikan. Pemanfaatan gaya bahasa ini sangat memperjelas mengenai keadaan yang dimaksud dalam kalimat. Dengan memberikan penggambaran-penggambaran yang lebih lanjut pembaca atau pendengar secara langsung dapat menangkap maksud yang dituju. k. Koreksio Koreksio merupakan bentuk gaya bahasa penegasan berupa pembetulan pada kata-kata yang salah ataupun memang sengaja dimunculkan pada suatu kalimat. Dalam lirik lagu komunitas JHF ditemukan satu kalimat yang menunjukkan gaya mbahasa ini, hasil analisis data sebagai berikut. (341) Gedhe magrong-magrong kamare ana pitu, weh wolu (JJL/10/4) ‘Besar gedongan kamarnya ada delapan, weh tujuh’ Data (341) terdapat pembetulan mengenai perhitungan kamar rumah dari kata ana pitu ‘ada tujuh’ menjadi weh wolu ‘weh delapan’. Pembetulan tersebut dibuat secara sengaja oleh pengarang untuk memnerikan kesan humoris terhadap kalimat tersebut. l. Hiperbola Hiperbola adalah gaya bahasa yang digunakan untuk menggambarkan suatu keadaan yang dirasakan berlebihan dari sesuatu yang dijadikan objek sesungguhnya. Penggunaan gaya bahasa ini memberikan unsur ketidakmungkinan dalam arti kalimatnya. Gaya bahasa hiperbola ditemukan dalam lirik lagu komunitas JHF, dengan hasil analisis sebagai berikut. (342) Ditohi pecahing dhadha (SOS/5/6) ‘Ditandai pengorbanan jiwa’ commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 127 (343) Munggah bulan numpak dokar, saya edan (JJJE/1/2) ‘Ke bulan naik dokar, semakin gila’ Data (342) pada frasa pecahing dhadha ‘pecahnya dada’ dirasakan berlebihan dari objek yang sesungguhnya yaitu kata pecah biasa digunakan pada benda yang berbahan kaca atau sejenisnya, namun dalam kalimat tersebut digunakan untuk menggambarkan dada. Data (343) kalimat munggah bulan numpak dokar ‘ke bulan naik dokar’ menunjukkan suatu hal yang berlebihan atau sama sekali tidak mungkin terjadi, karena kuda tidak bisa terbang dan tidak bisa bernafas ketika diangkasa. Kemunculan gaya bahasa ini memberikan kesan indah tersendiri karena adanya penekanan pada kata-kata yang dapat menarik perhatian dari pembaca atau pendengar. 4. Pencitraan Pencitraan adalah gambaran kiasan tentang tanggapan indera manusia yang ditafsirkan sendiri oleh pembaca atau pendengar, didapat dari sebuah kalimat atau kumpulan kalimat bertujuan untuk membantu dalam penghayatan suatu karya sastra. Pemanfaatan pencitraan dalam lirik lagu komunitas JHF ditemukan adanya empat macam pencitraan, yaitu citra penglihatan, pendengaran, perabaan, dan citra gerak. Untuk hasil analisisnya dapat dilihat pada pemaparan berikut ini. a. Citraan Penglihatan Citraan penglihatan merupakan bentuk penggambaran yang menekankan pengalaman visual (penglihatan) yang commit to user dialami pengarang kemudian perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 128 diformulasikan ke dalam rangkaian kata yang dapat dipahami sebagai ciri penglihatan yang memberi rangsangan kepada indera penglihatan. Dalam lirik lagu komunitas JHF yang terlihat adanya penggunaan citra penglihatan dapat dilihat pada hasil analisis di bawah ini. (344) Mung donya sing kuweruh (NKP/1/3) ‘Hanya dunia yang kuketahui’ (345) Jaman saiki kabeh dha blereng matane (JJL/3/1) ‘Zaman sekarang semua pada tidak jelas matanya’ (346) Lirak-lirik karepe ngejak turu kelonan (OCON/6/1) ‘Lirak-lirik maksudnya mengajak tidur berdua’ (347) Ning dalan ketemu karo temon bodine seksi (OCON/10/3) ‘Di jalan bertemu dengan temon bodinya seksi’ (348) Ndelok arek wedok irunge mekrok (JJJE/10/1) ‘Melihat seorang wanita hidungnya mengembang’ (349) Kae bulane ndadari (LL/8/2) ‘Itu bulannya bundar’ Data (344) yang menunjukkan gambaran penglihatan adalah kata kuweruh ‘kuketahui’ yang menjelaskan secara nyata bahwa hanya dunia yang dilihat, sedangkan dunia akhirat belum diketahui. Data (345) pada frasa blereng matane ‘tidak jelas matanya’ adalah sebuah bentuk kata kiasan yang digunakan untuk menggantikan objek sesungguhnya yaitu tidak bisa melihat mana yang salah dan benar, atau baik dan buruk. Frasa tersebut merangsang imajinasi pembaca atau pendengar untuk membayangkan orang yang kabur penglihatannya. Data (346) bentuk reduplikasi lirak-lirik ‘lirak-lirik’ menunjukkan penggambaran penglihatan secara nyata yang berupa aktivitas gerak mata untuk mengisyaratkan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 129 sesuatu. Data (347) kalimat temon bodine seksi ‘temon bodinya seksi’ menunjukkan penggambaran penglihatan, untuk bisa mengetahui bentuk tubuh temon seksi dengan menggunakan mata untuk melihatnya. Data (348) kata ndelok ‘melihat’ secara langsung dan nyata menjadi acuan dalam penggambaran penglihatan dimana wanita yang dilihat memiliki hidung yang mengembang. Data (349) pada frasa bulane ndadari ‘bulannya bundar’ menjadi acuan yang merangsang munculnya rangsangan untuk berimajinasi melihat bulan yang saat itu berbentuk bundar. Penggunaan penggambaran penglihatan pada lirik lagu JHF menambah adanya ciri khas yang ditunjukkan oleh lagu-lagu JHF dimana rangsangan imajinasi pembaca atau pendengar dapat dengan mudah muncul dan maksud dari kalimat pun juga dapat dengan mudah tersampaikan. b. Citraan Pendengaran Citraan pendengaran adalah penggambaran bahasa sebagai perwujudan dari pengalaman pendengaran (audio) yang dapat memberikan rangsangan kepada indera pendengaran sehingga mempengaruhi imajinasi pembaca untuk memahami teks sastra secara lebih utuh. Penggunaan citraan pendengaran pada lirik lagu komunitas JHF yaitu. (350) Coba rungokna apa sing takkadhakna (KN/2/1) ‘Coba dengarlah apa yang kukatakan’ (351) Rungokna iki gatra saka Ngayogyakarta (JI/2/1) ‘Dengarlah ini untaian lagu dari Yogyakarta’ (352) Ana koruptor watuk, hukume beres (JJJE/3/4) ‘Ada koruptor batuk, hukumnya beres’ (353) Disetater macet, eh karbulatore nggodha (JJG/9/2) ‘Dinyalakan macet, eh karbulatornya menggoda’ commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 130 Data (350) dan (351) citraan pendengaran terdapat pada kata rungokna ‘dengarlah’ yang menjadi acuan secara nyata langsung menimbulkan imaji untuk mempersiapkan pendengaran dengan baik untuk mendengarkan apa yang akan dikatakan dan mendengarkan bahwa yang disampaikan adalah sebuah lagu dari Yogyakarta. Data (352) pada frasa koruptor watuk ‘koruptor batuk’ merupakan acuan citraan pendengaran yang berupa sebuah isyarat, dimana acuan tersebut dapat merangsang pembaca atau pendengar untuk membayangkan seorang koruptor yang sedang batuk. Data (353) frasa disetater macet ‘dinyalakan macet’ adalah acuan yang secara langsung merangsang imaji untuk mendengarkan suara setater motor yang macet. Citraan pendengaran sangat membantu untuk menggambarkan secara jelas mengenai kalimat yang disampaikan oleh pembaca atau pendengar. c. Citraan Perabaan Citraan Perabaan adalah penggambaran dengan bahasa yang diperoleh melalui pengalaman indera perabaan, seringkali menggambarkan bagaimana sesuatu secara erotik dan sensual dapat memancing imajinasi pembaca. Dalam lirik lagu komunitas JHF ditemukan kalimat yang menunjukkan penggambaran perabaan, yaitu. (354) Petruk bingung ngekep bojone (OCON/2/1) ‘Petruk bingung mendekap istrinya’ (355) Saking senenge nganti gelem dijak kelonan (OCON/11/2) ‘Karena terlalu senang sampai mau diajak tidur berangkulan’ (356) Pulisine malah takrangkuli (JJG/17/4) ‘Polisinya malah kupeluki’ commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 131 Data (354) frasa ngekep bojone ‘mendekap istrinya’ menjadi acuan dalam penggambaran perabaan, dimana aktivitas sedang mendekap istrinya karena kebingungan, sehingga imajinasi secara langsung muncul untuk membayangkan dalam kondisi sedang mendekap. Data (355) acuan citraan perabaan terletak pada kata kelonan ‘tidur berangkulan’ yang menimbulkan imaji mengenai aktivitas tidur berangkulan dimana penggambaran mengenai perabaan muncul sesuai dengan pemikiran pembaca atau pendengar. Data (356) kata takrangkuli ‘kupeluki’ menjadi acuan dalam penggambaran perabaan, dimana merangsang imajinasi mengenai aktivitas dua tubuh yang saling berpelukan satu sama lain. Penggambaran perabaan memang identik dengan sesuatu yang sensual di dalam lirik lagu komunitas JHF, namun hal tersebut menjadikan ciri khas tertentu dalam lagu-lagunya. d. Citraan Gerak Citraan gerak menggambarkan sesuatu yang sesungguhnya tidak bergerak, tetapi dilukiskan sebagai dapat bergerak, ataupun gambaran gerak pada umumnya. Penggambaran gerak dalam lirik lagu komunitas JHF ditemukan padabeberapa kalimatnya, dapat dilihat pada hasil analisis berikut. (357) Tekan titi wancine ya digotong nganggo pring (NP/12/2) ‘Sampai akhir hayatnya ya diangkat dengan bambu’ (358) Sampun kakehan polah Mangga sami jumangkah (KN/7/4-5) ‘Sudah banyak tingkah’ ‘Mari bersama melangkah’ (359) Senengane mung blanja wo mlaku-mlaku (JJL/14/4) ‘Sukanya hanya belanja wo jalan-jalan’ commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 132 (360) Nganggo tank-top mlaku ning pasar Bantul (OCON/20/1) ‘Memakai tank-top jalan di pasar Bantul’ (361) Manuk Podang mabur mlebu kurungan (OCON/22/1) ‘Burung Podang terbang masuk sangkar’ (362) Aku ngelak takombeni ciu (JJG/1/1) ‘Aku haus kuminumi minuman alkohol’ (363) Aku mlayu sandhalku keri (JJG/17/1) ‘Aku lari sandalku ketinggalan’ Data (357) kata digotong ‘diangkat’ merupakan acuan yang berupa aktivitas sedang membawa dengan bahu, acuan tersebut menimbulkan rangsangan untuk membayangkan jenazah yang sedang diangkut dengan bambu menuju tempat pemakaman. Data (358) citraan pendengaran ditunjukkan pada acuan kata jumangkah ‘melangkah’ yang berupa aktivitas berjalan kedepan, dan iamji muncul mengenai langkahan kaki yang maju kedepan. Data (359) dan (360) penggunaan kata dasar mlaku ‘jalan’ menjadi acuan dalam menimbulkan penggambaran menggerakkan kaki melangkah sesuai dengan tujuan yang dikehendaki. Data (361) kata mabur ‘terbang’ sebagai acuan yang menunjukkan citraan gerak, dimana merupakan aktivitas gerak pada burung, sehingga imajinasi muncul secara langsung mengenai burung yang sedang terbang menuju sangkarnya. Data (362) kata takombeni ‘kuminumi’ menunjukkan referen penggambaran aktivitas gerak sedang meminum dengan menggunakan tangan, sehingga hal tersebut munimbukan imaji gerak meminum minuman alkohol dalam keadaan sedang mabuk-mabukan. Data (363) kata mlayu ‘lari’ secara langsung menjadi acuan dalam menggambarkan suatu aktivitas gerak, commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 133 merangsang adanya imajinasi mengenai gerak berlari sampai-sampai sandalnya ketinggalan. Ditemukannya citraan gerak menunjukkan bahwa pengarang memberikan kemudahan kepada pendengaratau pembaca dalam menangkap maksud yang ada didalamnya. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 134 B. Pembahasan Setelah lirik lagu komunitas JHF dianalisis, ditemukan banyak pemanfaatan pada bahasa Jawa yang ada dalam lirik lagu, seperti pemanfaatan bunyi, pilihan kata yang sesuai, aspek morfologis yang literer, gaya bahasa yang indah, dan pencitraan atau penggambaran pada bahasa yang menimbulkan imajinasi pembacaatau pendengar. Semua hal tersebut menjadikan ciri khas dalam lagu-lagu komunitas JHF yang dapat menarik perhatian pendengarnya. Adapun kualifikasi mengenai lirik lagu komunitas JHF yang telah dianalisis sebelumnya, dimulai dari pemanfaatan bunyi (purwakanthi), diksi dan aspek morfologis, gaya bahasa, kemudian pencitraan. Terdapat pemanfaatan bunyi (purwakanthi) yang ditemukan dalam lirik lagu komunitas JHF, yaitu purwakanthi swara, purwakanthi sastra, dan purwakanthi basa (lumaksita). Purwakanthi swara (asonansi) ditemukan sebanyak 10 macam, yaitu asonansi [a], [ɔ], [i], [I], [u], [U], [e], [ɛ], [ǝ], dan asonansi [O]. Dari beberapa macam asonansi, yang paling banyak ditemukan pada data yaitu asonansi [a] sebanyak 24 data. Kemudian disusul oleh asonansi [i] sebanyak 19 data. Asonansi [u] sebanyak 18 data, asonansi [ɔ] sebanyak 12 data. Selanjutnya asonansi [e] berjumlah 6 data, asonansi [U] berjumlah 5 data, asonansi [I] dan [O] berjumlah 3 data, asonansi [ǝ] berjumlah 2 data, dan terakhir pada asonansi [ɛ] sebanyak 1 data yang ditemukan. Sedangkan untuk purwakanthi sastra (aliterasi) terdapat 8 macam yang ditemukan dalam lirik lagu komunitas JHF, yaitu aliterasi [d], [k], [l], [m], [ŋ], [r], [s], dan aliterasi [w]. Aliterasi yang paling dominan pada data adalah aliterasi [ŋ] sebanyak 6 data, kemudian pada aliterasi [l] sebanyak 4 data, disusul aliterasi [m] berjumlah 3 data, dan pada aliterasi [d], [k], [r], [s], [w] ditemukan dengan jumlah data yang sama commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 135 sebanyak 1 data. Pemanfaatan purwakanthi basa (lumaksita) ditemukan sebanyak 7 data. Adanya pemanfaatan bunyi yang bermacam-macam dengan letak di masingmasing unsur langsung yang berbeda ini memperlihatkan dalam penyusunan lirik lagu komunitas JHF memerlukan pertimbangan yang tepat agar unsur keselarasan dan kepaduan bunyi yang muncul dapat menimbulkan keindahan bahasa yang tercipta. Pilihan kata (diksi) yang muncul dalam lirik lagu komunitas JHF ditemukan ada 9 macam, yaitu sinonim, antonim, penggunaan kosakata bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, partikel afektif, adanya kata sapaan, kata seru (interjeksi), tembung saroja, dan adanya tembung plutan. Dari beberapa diksi tersebut, yang paling mendominasi dari lirik lagu komunitas JHF adalah tembung plutan dengan jumlah data sebanyak 72 data. Kemudian penggunaan kosakata bahasa Indonesia mendominasi yang kedua dengan jumlah 18 data. Disusul pemanfaatan partikel afektif dengan jumlah 16 data, tembung saroja sebanyak 11 data, dan antonim sebanyak 10 data. Penggunaan kosakata bahasa Inggris terdapat 8 data dan kata seru sebanyak 7 data, kata sapaan 6 data, dan terakhir ditemukan sinonim sebanyak 3 data. Adanya penemuan diksi yang bermacam-macam sangat tepat untuk memunculkan nilai estetis terhadap bahasa yang disampaikan, selain itu juga dapat memudahkan bagi pendengaratau pembaca mengerti maksud yang ingin disampaikan. Penggunaan aspek penanda morfologis yang literer terdiri dari dua macam, yaitu reduplikasi dan afiksasi. Pada reduplikasi yang ada dalam lirik lagu JHF ditemukan dua jenis reduplikasi yang literer, yaitu dwipurwa dan dwilingga salin swara, dengan jumlah data sebanyak 8 dan 5 data. Penggunaan afiksasi ditemukan 4 macam, yaitu commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 136 sufiks {-ing} yang paling mendominasi dengan data sebanyak 9 data, kemudian infiks {-um-} berjumlah 4 data, prefiks {ka-} dan {ma-} dengan jumlah data sebanyak 1 data. Aspek morfologis yang literer dengan beberapa jenis reduplikasi dan afiksasi di masing-masing unsur langsungnya memberikan kontribusi keindahan dalam bahasa yang ada pada lirik lagu komunitas JHF. Gaya bahasa juga mewarnai bahasa dalam lirik lagu komunitas JHF. Ditemukan banyak gaya bahasa sebanyak 12 macam, yaitu epistrofa, mesodiplosis, anafora, anadiplosis, repetisi utuh, metonimia, sarkasme, simile, personifikasi, enumerasia, koreksio, dan hiperbola. Dari beberapa macam gaya bahasa yang ditemukan dalam analisis, paling mendominasi adalah repetisi utuh sebanyak 10 data, kemudian gaya bahasa simile dan mesodiplosis dengan data sebanyak 6 data. Gaya bahasa anafora ditemukan sebanyak 5 data, gaya bahasa sarkasme sebanyak 4 data. Selanjutnya gaya bahasa epistrofa dan metonimia ditemukan sebanyak 3 data. Pada gaya bahasa hiperbola, personifikasi, enumerasia, dan anadiplosis sebanyak 2 data yang ditemukan. Terakhir gaya bahasa koreksio ada 1 data yang ditemukan. Beberapa gaya bahasa yang menghiasi lirik lagu komunitas JHF ini sangat mendukung untuk menonjolkan nilai keindahan dari lagu-lagunya, kesan humoris dan imajinasi muncul secara langsung dalambahasa yang mengandung gaya bahasa tersebut. Penggambaran melalui bahasa atau pencitraan juga terdapat dalam lirik lagu komunitas JHF. Ditemukan ada 4 macam pencitraan yang mewarnai bahasa dalam lirik lagu komunitas JHF, yaitu citraan penglihatan, pendengaran, perabaan, dan citraan gerak. Pencitraan yang paling dominan adalah citraan gerak dengan jumlah data sebanyak 7 data, dilanjutkan oleh citraan penglihatan sebanyak 6 data. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 137 Kemudian citraan pendengaran berjumlah 4 data, dan terakhir citraan perabaan dengan jumlah 3 data. Penggambaran-penggambaran melalui bahasa yang disampaikan ini sangat merangsang imajinasi pendengar atau pembaca untuk membayangkan aktivitas apa yang dimaksud dalam bahasa yang disampaikan tersebut, sehingga pemanfaatan bahasa pada pencitraan ini sangat menarik perhatian dari pembaca atau pendengar. commit to user