PROPOSAL PENGEMBANGAN KREATIVITAS MAHASISWA JUDUL PROGRAM LESBIAN, GAY, BISEKSUAL, DAN TRANSGENDER (LGBT) DALAM PERSPEKTIF AGAMA BUDDHA BIDANG KEGIATAN: PKM-GAGASAN TERTULIS DIUSULKAN OLEH: Dandan Lestari (2013.14.0465) SEKOLAH TINGGI AGAMA BUDDHA (STAB) KERTARAJASA BATU RINGKASAN Sepanjang sejarah peradaban manusia, LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) selalu menjadi polemik. Demikian pula dalam komunitas Buddhis. Berbagai label negatif dilekatkan kepada LGBT yang menimbulkan diskrimimasi sosial sehingga menekankan kelompok tersebut. Ajaran Buddha tentang LGBT terkait dengan istilah pandaka maupun ubhatobyanjanaka. Vinaya menentukan bahwa kelompok tersebut tidak dapat menjadi seorang bikkhu. Di sisi lain, Buddha mengajarkan kesetaraan dan cinta kasih kepada semua makhluk. Ajaran ini mengantisipasi homofobia dan diskriminasi sosial. Selain itu, permasalahan pokok dalam pandangan Buddhis, bukanlah heteroseksual atau homoseksual, melainkan pengendalian diri dan pencapaian pencerahan tanpa keterikatan pada hawa nafsu. Kata kunci: LGBT, pandaka, ubhatobyanjanaka , Buddhisme PENDAHULUAN Homoseksual sudah menjadi polemik sejak peradaban manusia menyejarah. Dua sisi koin menggambarkan problematis yang menjadikan masalah biologis ini menjadi fenomena sosial. Di satu sisi, tidak dapat ditampik kecenderungan seksual menyukai sesama jenis. Selain itu, normanorma gender juga menarik batas hitam-putih perilaku sosial perempuan dan laki-laki, sehingga sanksi sosial akan menimpa seseorang yang melangkah di luar batas-batas itu, misal dengan memberi label negatif banci kepada seorang laki-laki yang bersikap “keperempuan- perempuanan”. Tak sedikit orang yang merasa tak berdaya karena terperangkap dalam “tubuh yang salah”, laki-laki yang merasa jiwanya perempuan atau sebaliknya. Ketidakberdayaan ini membawa mereka pada keputus-asaan dan keinginan untuk bunuh diri. Selain itu, stigma negatif membuat penderitaan yang sangat besar bagi orang yang kelompok homoseksual, biseksual, dan trans-gender (LGBT) ini. Oleh karena itu, artikel ini akan menguraikan perspektif Buddhis tentang LGBT yang membawa pencerahan dengan mengutamakan pengendalian diri dan kesetaraan semua makhluk. Artikel ilmiah ini ditulis dalam rangka lomba penulisan artikel karya ilmiah Mahaniti Loka Dhamma tingkat nasional ke-V tahun 2016. GAGASAN Pada dasarnya tidak ada alasan untuk mendeskriminasi LGBT karena mereka juga adalah manusia seperti kita. Seperti yang diungkapkan Kusumaningrum (2008: 111), “Lesbian adalah manusia perempuan seperti manusia pada umumnya, dimana dalam 24 jam kehidupannya sehari adalah beraktivitas dan hidup seperti manusia lainnya: bernafas, berpikir, atau belajar atau berkegiatan lain seperti umumnya manusia lainnya yang berbeda hanya prefensi seksualnya.” Lebih lanjut, Dr. John F. Knight (2004: 181) menjelaskan, lesbianisme terjadi apabila dua orang wanita tertarik satu sama lain secara seksualitas. Kaum lesbian pada umumnya tidak memiliki ketertarikan kepada teman prianya. Mereka merasa anggota teman sejenis kelamin mereka lebih menarik untuk diajak bergaul, dan menikmati suatu hubungan erotis dengan mereka. Selain lesbian, homoseksual juga mencakup gay, yang mengacu pada pria yang menganggap pria lain lebih menarik secara seksual daripada perempuan (Knight, 2004: 182). Kemungkinan lain adalah biseksual, yaitu seseorang individu yang tertarik pada dua jenis kelamin. Jadi, biseksual adalah laki-laki yang menyukai laki-laki dan perempuan. Begitu juga perempuan yang mempunyai hasrat seksual baik kepada laki-laki juga perempuan. Preferensi seksual ini juga terkait dengan penampilan. Transgender adalah seorang laki-laki yang berpenampilan perempuan, atau masyarakat biasanya menyebutnya sebagai waria (wanita pria). Di sisi lain, perempuan yang berpenampilan maskulin lebih tidak menonjol dan mungkin hanya mendapat label tomboy dari masyarakat dan tidak dianggap transgender. Di samping itu, transeksual adalah seseorang baik laki-laki atau perempuan yang mengganti alat kelaminnya. Polemik mencuat dengan adanya perbedaan pandangan bahwa kecenderungan seksual tersebut bersifat natural atau “bawaan lahir”. Namun, di sisi lain, ada pula yang memandangnya sebagai kelainan seksual, penyimpangan, atau penyakit. Dalam hal ini, lingkungan dianggap sebagai faktor pemicu LGBT seperti salah asuh dan salah pergaulan, kekerasan dalam rumah tangga, dan trauma seksual. Oleh sebab itu, pihak ini menganggap bahwa LGBT harus ditekan, disembuhkan, dan “diluruskan”. Terkait dengan pro-kontra ini, lembaga-lembaga hukum, agama, dan masyarakat pun menunjukkan dinamikanya dalam menyikapi hal ini. Dalam legalitas pernikahan, setidaknya sudah ada 22 negara yang melegalkan pernikahan sesama jenis. LGBT dalam Sejarah Kebudayaan Indonesia Mengemukanya globalitas sering dianggap sebagai salah satu pemicu maraknya LGBT di Indonesia. LGBT dipandang semata-mata sebagai produk pergaulan dengan bangsa asing. Padahal, LGBT sudah mempunyai sejarah panjang dalam peradaban bangsa ini. Kisah homoseksual tokoh seniman Cebolang terkuak dalam Serat Centhini. Laki-laki yang terusir dari rumahnya mencari nafkah dengan menjadi penari. Dalam perkembangannya ia menjadi primadona penari yang mampu menarik perhatian banyak pria setiap ia pentas. Kisah Cebolang ini dikatakan melatari bentu-bentuk kesenian tradisional masyarakat yang bernuansa LGBT, seperti Reog Ponorogo (Koeswinarno, 2004: 7). Dalam komunitas Reog, gemblak, yang terlibat homoseksual, justru dihormati oleh masyarakat. Selain, Srikandi memang terlahir sebagai wanita namun karena adanya sabda dewa, Srikandi diasuh sebagai seorang pria, bahkan kadangkala berjenis kelamin netral (waria). Dalam versi Jawa, Srikandi dan Arjuna tidak bisa mempunyai keturunan karena Srikandi (waria) dan Arjuna (keperempuan-perempuanan). Dalam versi yang lainnya, Raja Drupada mengetahui bahwa Srikandi akan menjadi penyebab dari kematian Bisma. Karena Raja Drupada takut jika nantinya ia akan menjadi musuh Bisma, ia mengusir Srikandi. Dalam pengusirannya di tengah hutan Srikandi berdoa dan berganti jenis kelamin menjadi laki-laki. Dalam versi lain juga diceritakan Srikandi kabur dari kerajaan Panchala kemudian ia bertemu dengan seorang yaksa (pria) dan menukar jenis kelaminnya dengan Srikandi. Demikian legenda yang menggambarkan keberadaan trangender dalam masyarakat kita. Oleh karena itu, tidaklah tepat bila dikatakan bahwa LGBT merupakan fenomena budaya Barat semata. Homoseksual dan Hermafrodit dalam Theravada Kaum homoseksual dalam Buddhis disebut sebagai pandaka, sedangkan hermafrodit memiliki istilah Pali ‘ubhatobyanjanaka’. Kitab Vinaya melarang para bhikkhu untuk berhubungan seksual dengan pria, pandaka maupun ubhatobyanjanaka. Hal ini dijelaskan melalui kutipan sebagai berikut: “...Terjadi pelanggaran parajika bila melakukan percabulan… dengan hermafrodit manusia… dengan hermafrodit bukan manusia… dengan hermafrodit hewan melalui tiga jalan: anus, lubang kemaluan, mulut. Terjadi pelanggaran parajika bila melakukan percabulan dengan pandaka manusia melalui dua jalan: anus dan mulut… dengan pandaka bukan manusia… dengan pandaka hewan… dengan pria [28] manusia… dengan pria bukan manusia… dengan hewan jantan melalui dua jalan: anus dan mulut Terjadi pelanggaran parajika bagi seorang bhikkhu yang memperkenankan alat kelaminnya memasuki anus… lubang kemaluan… mulut wanita bukan manusia… hewan betina… hermafrodit manusia… hermafrodit bukan manusia… hermafrodit hewan. Terjadi pelanggaran parajika bagi seorang bhikkhu yang memperkenankan alat kelaminnya memasuki anus… mulut pandaka manusia. Terjadi pelanggaran parajika bagi seorang bhikkhu yang membiarkan alat kelaminnya memasuki anus… mulut pandaka bukan manusia… pandaka hewan… pria (manusia)… pria bukan manusia… hewan jantan.” (Vinaya Pitaka, Suttavibhanga Vol I:72). Di dalam Theravada, ada dua jenis ubhatobyanjanaka, yaitu itthi-ubhatobyanjanaka (hermafrodit perempuan) dan purisa ubhatobyanjanaka (hermafrodit laki-laki). Itthiubhatobyanjanaka adalah seseorang yang mengubah pikiran perempuannya menjadi pikiran laki-laki, alat kelamin perempuannya berubah menjadi alat kelamin laki-laki dan mampu berhubungan seks dengan perempuan. Sedangkan purisa-ubhatobyanjanaka adalah seseorang yang bernafsu melihat seorang pria dan kehilangan kejantannya, tubuhnya menjadi seorang wanita dan mampu berhubungan seks dengan pria. Dalam komentar Buddhaghosa, ubhatobyanjanaka muncul akibat ketidakcocokan antara “kekuatan” maskulin dan feminin (indriya) dengan organ seksual (byanjana). Ia mendeksripsikan bahwa sikap laki-laki atau wanita muncul dari “kekuatan maskulin” (purusindriya) dan “kekuatan feminin” (itthindriya). Namun, Buddhaghosa mengatakan bahwa kekuatan kelamin ini tidak berpengaruh pada organ seksual, ubhatobyanjanaka mendeskripsikan seorang manusia dengan satu kelamin tapi dengan “kekuatan” yang lain, misalnya seorang pria namun feminin ataupun seorang wanita tapi maskulin. Jadi antara seks biologis dengan orientasi seksual dibedakan. Berdasarkan catatan ini Buddhaghosa menjelaskan ubhatobyanjanaka sebagai biseks atau homoseksual. Pandaka juga dibagi menjadi pandaka pria dan pandaka wanita. Kisah ubhatobyanjanaka yang mengalami perubahan seks ada dalam Dhammapada Atthakatha appamada vagga bab ii: Suatu hari Soreyya beserta seorang teman dan beberapa pembantu pergi dengan sebuah kereta yang mewah untuk membersihkan diri (mandi). Pada saat itu, Mahakaccayana Thera sedang mengatur jubahnya di pinggir luar kota, karena ia akan memasuki kota Soreyya untuk ber-pindapatta. Pemuda Soreyya melihat sinar keemasan dari Mahakaccayana Thera, berpikir, "Bagaimana apabila Mahakaccayana Thera menjadi istriku, atau bagaimana apabila warna kulit istriku seperti itu." Karena muncul keinginan seperti itu, kelaminnya berubah menjadi seorang wanita. Dengan sangat malu, ia turun dari kereta dan berlari, pada jalan menuju ke arah Taxila. Pembantunya kehilangan dia, mencarinya, tetapi tidak dapat menemukannya. Soreyya, sekarang seorang wanita, memberikan cincinnya sebagai ongkos kepada beberapa orang yang bepergian ke Taxila, dengan harapan agar ia diizinkan ikut dalam kereta mereka. Setelah tiba di Taxila, teman-teman Soreyya berkata kepada seorang pemuda kaya di Taxila, tentang perempuan yang datang bersama mereka. Pemuda kaya itu melihat Soreyya yang begitu cantik dan seumur dengannya, menikahi Soreyya. Perkawinan itu membuahkan dua anak laki-laki, dan ada juga dua anak laki-laki dari perkawinan Soreyya pada waktu masih sebagai pria. Laki-laki dari kota Soreyya menasehatinya untuk meminta maaf kepada Mahakaccayana Thera. Mahakaccayana Thera diundang ke rumah perempuan Soreyya dan menerima dana makanan darinya. Sesudah bersantap perempuan Soreyya dibawa menghadap Mahakaccayana Thera, dan laki-laki dari kota Soreyya berbicara kepada Mahakaccayana Thera bahwa perempuan ini pada waktu dulu adalah seorang anak laki-laki orang kaya di kota Soreyya. Ia kemudian menjelaskan kepada Mahakaccayana Thera bagaimana Soreyya menjadi perempuan karena berpikiran jelek pada saat menghormati Mahakaccayana Thera. Perempuan Soreyya dengan hormat meminta maaf kepada Mahakaccayana Thera. Mahakaccayana Thera berkata, "Bangunlah, saya memaafkanmu." Segera setelah kata-kata itu diucapkan, perempuan tersebut berubah kelamin menjadi seorang laki-laki. Soreyya kemudian merenungkan bagaimana dengan satu keberadaan diri dan dengan satu keberadaan tubuh jasmani ia berubah kelamin, bagaimana anak-anak telah dilahirkannya. Merasa sangat cemas dan jijik terhadap segala hal itu, ia memutuskan untuk meninggalkan hidup berumah tangga, dan memasuki Pasamuan Sangha di bawah bimbingan Mahakaccayana Thera Kemudian ia menyendiri dan dengan rajin, merenungkan penghancuran dan proses tubuh jasmani. Tidak terlalu lama kemudian, ia mencapai kesucian Arahat, bersamaan dengan pandangan terang analitis. Dalam hal ini, perubahan jenis kelamin dari laki-laki ke perempuan perlu dimaknai sebagai gambaran akibat dari suatu pikiran buruk dan tidak menghormat pada yang patut dihormat. Selain itu, hal ini sesuai dengan ajaran Buddha bahwa untuk menjadi Buddha, seseorang harus terlahir menjadi laki-laki. Dengan demikian, cerita tersebut tidak berhubungan dengan orientasi seksual seperti halnya dalam wacana LGBT. Terkait dengan hal itu, dalam Vinaya (Vinaya pitaka, Suttavibhanga:volume 1:71), disebutkan ada lima macam Pandaka (homoseks). 1. Asittakapandaka (Skt. Asekapandaka / Asecanapandaka) Seorang pria yang mendapatkan kepuasan seksual dengan cara melakukan oral seks dengan pria lain dan mengeluarkan spermanya. Pandaka ini juga berrati mereka yang menjadi terbangkitkan gairah seksualnya karena telah berhasil merangsang dan mengeluarkan sperma pria lain. 2. Ussuyapandaka (Skt. Irsyapandaka) Seseorang yang mendapatkan kepuasan seksual dengan hanya melihat seorang pria dan wanita melakukan hubungan seks, dan merasakan kecemburuan. 3. Opakkamikapandaka (Skt. Apatpandaka) Sida-sida (kasim), yaitu pria yang dikebiri, tidak memiliki organ seksual lengkap. Tipe pandaka ini menjadi pandaka setelah mereka lahir, berbeda dengan tipe pandaka yang lain, yang sudah menjadi pandaka sejak lahir. 4. Pakkhapandaka (Skt. Paksapandaka) Orang-orang yang gairah seksualnya bangkit tergantung pada fase bulan, di mana gairah seksualnya bangkit pada masa 2 minggu periode bulan gelap atau periode bulan purnama, 2 minggu sisanya mereka menjadi impoten. 5. Napumsakapandaka (Skt. Prakrtipandaka) Seseorang tanpa jenis organ kelamin yang jelas atau yang terlahir dalam keadaan tidak beralat kelamin, apakah pria atau wanita, hanya memiliki saluran kencing. Untuk menjadi seorang bhikkhu harus memenuhi beberapa syarat yang telah menjadi kesepakatan bersama Sangha. Di dalam syarat tersebut tercantum seseorang yang memiliki jenis kelamin yang tidak jelas, “pandaka atau ubhatobyanjanaka”, tidak bisa ditahbiskan menjadi seorang bhikkhu. Sikap Buddhisme terhadap LGBT Agama Budddha memiliki beberapa karakter yang seharunya dimiliki para siswanya di antaranya yaitu karakter yang sering dibacakan dalam paritta Brahmavihara adalah cinta kasih (metta), kasih sayang (karuna), simpati (mudita), dan hati seimbang (upekha). Untuk menyikapi kaum LGBT “pandaka atau ubhatobyanjanaka” dalam Agama Buddha. Buddha Theravada Sang Buddha mengajarkan para siswanya untuk mengembangkan metta (cinta kasih universal) dengan merenungkan semoga semua mahluk hidup berbahagia, bebas dari derita, bebas dari mendengki dan didengki, bebas dari menyakiti dan disakiti, bebas dari derita jasmani dan batin, serta berharap mereka dapat menjalankan hidup dengan bahagia. Seperti halnya manusia lain, kaum LGBT “pandaka atau ubhatobyanjanaka” adalah manusia biasa, yang perlu kita pancarkan cinta kasih. Cinta kasih (metta) yang saya maksud di sini lebih menekankan mengenai cinta kasih yang bersifat universal diapliakasikan melalui rasa toleransi terhadap kaum LGBT “pandaka atau ubhatobyanjanaka” tersebut, bukan malah membenci ataupun menjauhi mereka. Seperti yang tertuang dalam Karaniya Metta Sutta, di mana dalam karaniyametta sutta syair ke-7 dituliskan agar kita memancarkan cinta kasih sebagaimana seorang ibu mempertaruhkan jiwanya melindungi putra tunggalnya, demikianlah terhadap semua mahluk kembangkan pikiran cinta kasih tanpa batas. Dengan demikian, seperti yang dikemukakan oleh Chih Yin Shih (2015: 190), meskipun terdapat pandangan yang berbedabeda tentang homoseksual, Buddhadhamma berperan dalam mengatasi homofobia. Selain ajaran tentang cinta kasih tanpa diskriminasi, ajaran Buddha tentang pengendalian diri juga menjadi hal pokok dalam mengatasi polemik tentang LGBT, seperti yang ditandaskan oleh Chih Yin Shih (2015: 193), “Baik heteroseksualitas dan homoseksualitas keduanya melibatkan nafsu inria yang berdasarkan pada kebodohan”. KESIMPULAN Agama Buddha yang identik atau sangat populer dengan ajaran Cinta Kasih yang bersifat universal (metta) mengajarkan kepada para siswanya agar mengembangkan serta memancarkan rasa cinta kasih yang bersifat universal tanpa batas kepada semua mahluk. Untuk menyikapi kaum LGBT(lesbian, gay, biseksual, dan Transgender) tersebut Agama Buddha menerapkan ajaran tersebut yakni metta atau cinta kasih dengan mengembangkan rasa toleransi terhadap kaum LGBT. Mengembangkan rasa toleransi yakni bersifat menerima kaum LGBT tersebut sebagaimana adanya diri mereka. Seperti yang telah diajarkan oleh Guru Agung Buddha Gautama hendaknya kita memancarkan cinta kasih (metta) kepada siapa saja dan keseluruh penjuru tanpa rasa pilih kasih ataupun sepihak. DAFTAR PUSTAKA Aggabalo, Bikkhu. (2207). Dhammapa Atthakata. Jakarta:Perpustakaan Narada. Chih Yin Shi. 2015. “Analisa Naratif Wacana Buddhis tentang Pernikahan Sejenis di Taiwan: Studi Kasus oleh Master Chao Hwei”. Paper dipresentasikan dalam Sakyadhita Konferensi Internasional Perempuan Buddhist ke-14. Yogyakarta, 20-30 Juni 2015. Jeto, Bikkhu. (1989). Navakovada. Jakarta:Yayasan Dhammadipa Arama. Koeswinarno (2004). Hidup Sebagai Waria. Yogyakarta:LkiS. Kusumaningrum. (2008). “Seksualitas Lesbian”. Dalam Jurnal Perempuan. Jakarta:Yayasan Jurnal Perempuan (YJP). Knight, John F. (2004). Jadi, Kamu Sudah Remaja?. Indonesia:Indonesia Publishing House. Rasyid, Teja S.M. (1994). Materi Pokok Kitab Suci Vinaya Pitaka II. Jakarta:Jendral Bimbingan Masyarakat Hindu dan Buddha. Sangha Theravada Indonesia (2005). Paritta Suci edisi II. Jakarta: Yayasan Sangha Theravada Indonesia. Thitayanno, Bikkhu (2005). Vinaya Pitaka Volume I. Medan:Indonesia Tipitaka Center (ITC). Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. (2008). KBBI edisi IV. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta: Balai Pustaka