Jurnal Ilmiah DIDAKTIKA Februari 2011 VOL. XI NO. 2, 343-358 PEMBENTUKAN DAN PERKEMBANGAN PENDIDIKAN PADA MASA NABI Al Musanna Dosen DPK pada STAI Gajah Putih Takengon Abstract Islamic education founded from the history during the prophet era; either from Mecca period or Madinah period. In this era,various foundation required to be formed which was then becoming the pattern in developing education for the next era. As the central figure in islamic history, prophet always faced and gave an active response toward many problems occurred. The understanding toward historical situation and prophet‘s creative responses gives contribution to enrich knowledge repertoire and at the same time to be a pattern in social engineering through education. Abstrak Pembahasan mengenai pendidikan Islam, tidak dapat dilepaskan dari fondasi kesejarahan yang diletakkan pada masa Nabi; baik dalam periode Makkah maupun periode Madinah. Pada masa inilah, berbagai landasan penting dibentuk dan menjadi acuan dalam perkembangan pendidikan pada masa selanjutnya. Sebagai figur sentral dalam sejarah Islam, Nabi senantiasa bergelut dan memberi respon aktif terhadap berbagai persoalan yang mengemuka. Pemahaman terhadap situasi kesejarahan dan respon kreatif Nabi memberi kontribusi dalam memperkaya khazanah keilmuan dan sekaligus menjadi acuan dalam rekayasa sosial (social engineering) melalui pendidikan. Kata Kunci: sejarah, materi, lembaga pendidikan. PENDAHULUAN Pembahasan mengenai pendidikan senantiasa menarik perhatian. Ini karena pendidikan merupakan bahagian yang tak terpisahkan dari hidup manusia. Upaya manusia dalam memperbaiki kualitas hidupnya dan rekayasa masa depan yang lebih baik sangat ditentukan oleh kreativitas menata pendidikan saat ini. Dalam lintasan sejarah manusia, berbagai pemikiran pendidikan berkembang dengan mengusung berbagai kecendrungannya. Berbagai corak yang mendasari pendidikan meuncul dan mengalami pasang surut, di antaranya pendidikan Islam. PEMBENTUKAN DAN PERKEMBANGAN PENDIDIKAN PADA MASA NABI Sejarah pendidikan Islam, merupakan cabang ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam, baik dari segi gagasan atau ide-ide, konsep, lembaga maupun operasionalisasi sejak zaman Nabi Muhammad SAW., sampai sekarang.1 Azyumardi Azra misalnya menyatakan, bahwa pembicaraan mengenai sejarah pendidikan Islam, sama halnya dengan membicarakan Islam. Sebab sejarah pendidikan Islam lahir bersamaan dengan lahirnya Islam itu sendiri.3 Karenanya, dalam uraian ini, telaahan difokuskan pada landasan historis keberadaan masyarakat yang dihadapi Rasulullah dan bagaimanakah metode Rasul mensosialisasikan Islam ditengahtengah masyarakat, serta mengidentifikasi institusi pendidikan Islam masa Nabi. PEMBAHASAN Pendidikan Islam Periode Makkah Situasi Geografis dan Sosio-Kultural Makkah Pra-Islam Dalam membicarakan sejarah, hal yang sangat penting dikemukakan adalah mengenai latar belakang sosio-kultural masyarakatnya. Kaedah ini juga berlaku kita temukan dalam membahas mengenai sejarah kelahiran Islam dan pergulatannya untuk menegakkan sebuah tatanan baru ditengah puing-puing warisan masyarakat Arab yang berada pada titik nadirnya. Respon Nabi tidak lain merupakan konsekuensi logis dari prilaku keseharian masyarakat Arabi saat itu. Dalam catatan sejarahnya, Arabia merupakan kawasan tandus yang sangat gersang. Kondisi geografis ini turut memberi kontribusi terhadap karakter masyarakat Arabia.4 Sebagai kawasan yang dikelilingi padang pasir, kehidupan 1 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, Cet. I, Jakarta: Rajawali Pers, 1995, hal. 9. Mengutip pandangan Asma Hasan Fahmi, dalam mempelajari pendidikan Islam, yang terpenting dipelajari adalah mengenai lembaga-lembaga pengajarannya dan sistemnya, kurikulum dan tujuannya, metode-metode mengajar dan cara-caranya. Lihat, Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, terj. Ibrahim Husein, cet. I, Jakarta: Bulan Bintang, 1979, hal. 29. 3 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Cet. I, Jakarta: Logos, 1999, hal. vii. 4 Ibn Khaldun, memberikan uraian panjang mengenai dampak lingkungan terhadap pembentukan kepribadian manusia. Lingkungan yang panas dan tandus menurutnya telah menumbuhkan watak keras dan pantang menyerah bagi masyarakat yang mendiaminya. Sebaliknya kawasan tropis yang subur biasanya melahirkan watak tenang dan kurang agresif. Lebih jelas, lihat dalam Ibn Khaldun, Muqaddimah, terj. Ahmadie Thoha, cet. II. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), hal. 97. Terdapat beberapa sifat lyang melembaga dalam masyarakat Badwi. 344----|--- Jurnal Ilmiah Didaktika Vol. XI, No. 2, Februari 2011 Al Musanna ekonomi bertumpu pada perdagangan. Masyarakat Arabia menamai kawasannya dengan sebutan jazirah Arab yang berarti pulau Arab. Sedangkan sebahagian sejarawan menamai kawasan tersebut “sibhul jazirah” yang berarti semenanjung.5 Jazirah Arab merupakan daerah gurun pasir yang luas, dibatasi laut pada tiga sisi dan terbentang antara dua pusat peradaban tertua, lembah Nil dan Tigris-Efrat.6 Penting disebutkan situasi intelektual di Makkah ketika Muhammad menjadi Rasul. Makkah merupakan pusat perdagangan penting di Arabia, sehingga di tempat ini berbagai transaksi terjadi. Dalam praktiknya, transaksi dilakukan secara lisan sehingga budaya tulis kurang berkembang.9 Meskipun demikian, ini tidak berarti, sama sekali tidak berarti menafikan adanya sekelompok kecil orang yang mampu membaca dan menulis.11 Terdapatnya minoritas perorangan yang mampu membaca dan menulis setidaknya dibuktikan dengan berkembangnya lembaga pendidikan membaca dan menulis di kalangan bangsa Arab pra-Islam, dan dikenalnya sejumlah guru yang hidup sebelum Islam, seperti Bisyr bin Abdul Malik, Sufyan bin Umayyah bin ‘Abdi Syams, Umar bin Zarrah, Abu Qays dan Sebagaimana diungkapkan Engineer; watak keras, ketabahan dan keuletan adalah keistimewaan mereka, sedangkan kurangnya disiplin dan menghormati kekuasaan merupakan kekurangan mereka. Asghar Ali Engineer, Asal Usul dan Perkembangan Islam, terj. Imam Baehaqi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, hal. 20. 5 Ahmad Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam I, cet. IX , Jakarta: Al-Husna, 1997, hal. 30. 6 Harun Nasution (Penyt), Sejarah Ringkas Islam, terj. Anas Ma’ruf, cet. II, Jakarta: Djambatan, 1994, hal. 6 Untuk melancarkan berbagai kegiatan hidupnya masyarakat Arab sangat menggantungkan nasibnya pada kemurahan yang telah diberikan Tuhan kepada mereka melalui unta, binatang ini memiliki beberapa keistimewaan yang sangat penting dan sesuai kebutuhan transportasi di padang pasir. Sebagai bukti betapa pentingnya unta dalam kehidupan masyarakat Arab, Philip K. Hiti misalnya mengemukakan, di kalangan masyarakat Arab, penamaan atau julukan kepada unta sangat kaya dalam bahasa Arab, hingga mencapai jumlah seribuan. Lihat Philip K. Hitti, History of The Arabs, ed. X, Great Britain: Oxford University Pres, 1974, hal. 22. 9 Para Sejarawan semisal A. Syalabi, Mahmud Yunus, Zuhairini dan lain-lain kerap mengutip pendapat yang menyatakan bahwa jumlah orang yang memiliki kemampuan menulis dan membaca di kalangan masyarakat Makkah pra-Islam ada 17 orang. Namun, seorang peneliti hadits yang tekun dan telah melahirkan beberapa karya monumental mengenai sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadits, Mohammad Mustafa Azami, membantah pendapat tersebut. Lihat M.M. Azami, “Studi dalam Literatur Hadits Masa Awal”, terj. Yanto Mustofa, dalam Al-Hikmah No. 8, Bandung: Yayasan Mutahhari, 199, hal. 26. Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam; Kajian atas Lembaga-Lembaga Pendidikan, Cet. I, Bandung: Mizan, 1994 hal. 16. 11 Hasan Langgulung menyatakan bahwa bangsa Arab tidak mempunyai sains dan seni, tetapi pernyataan ini menjadi kontradiktif dengan uraiannya berikutnya, yakni ketika ia menyatakan bahwa bangsa Arab telah mengembangkan senandung sastera yang diperlombakan di pasar-pasar seni seperti Ukaz, dan Zil Majaz Lih. Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, Cet. II, Jakarta: Al-Husna Zikra, 1992, hal. 66. Jurnal Ilmiah Didaktika Vol. XI, No. 2, Februari 2011----|----345 PEMBENTUKAN DAN PERKEMBANGAN PENDIDIKAN PADA MASA NABI lain-lain.12 Ringkasnya, demikian Hasan Asari, “menjelang Islam, bangsa Arab telah mengembangkan kegiatan sastra, terutama puisi yang diekspresikan dan ditransmisikan secara lisan. Tulisan telah dikenal, meskipun untuk kalangan terbatas. Pendidikan terstruktur pada taraf sederhana, sudah berkembang”.13 Secara geografis, Mekkah berada di kawasan gurun tandus, tetapi posisinya pada lintasan silang jalur perdagangan menjadikan Mekkah sebagai sentra perdagangan penting. Selain itu, terdapatnya pusat peribadatan yang menjadi kebanggaan masyarakat Arab dan sekaligus tempat terkonsentrasinya sesembahan mereka menjadikan Mekkah sebagai kawasan penting. Tetapi kondisi ini hanya memberi keuntungan pada sebagian kecil masyarakat, khususnya para aristokrat lokal, yang menikmati berbagai fasilitas. Dengan kata lain, terjadi disekuilibrum dalam masyarakat; baik dalam bidang pemerintahan maupun perekonomian. Dalam suasana demikianlah Muhammad mendapat mandat memperbaiki masyarakat secara total. Kekecewaan Muhammad terhadap prilaku masyarakat, membuat Muhammad mengambil sikap mengasingkan diri, tahannuts, di Gua Hira.14 Setelah mengasingkan diri beberapa waktu, pada tanggal 10 Agustus 610 M, datanglah utusan Tuhan menyampaikan wahyu yang sekaligus merupakan pemberian mandat kenabian kepadanya untuk memperbaiki dan mengarahkan kaumnya menuju tauhid. Ayat pertama turun adalah surat al-Alaq 1-5: 1. Bacalah, bacalah dengan nama Tuhan-mu yang telah menciptakan, 2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah, 3. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah, 4. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam, 5. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.15 12 Hasan Asari, Menyingkap…, hal. 18. 13 Hasan Asari, Menyingkap... lihat juga dalam Ahmad Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam, terj. Muchtar Yahya dan M. Sanusi Latif, Jakarta: Bulan Bintang, tt, hal. 45. 14 Haekal menyebutkan kebiasaan mengasingkan diri untuk beribadah ini dikenal dengan tahannuf dan tahannus. “tahannuf atau tahannafa, asal katanya seakar dengan hanif, yang berarti cenderung kepada kebenaran, meninggalkan berhala dan beribadat kepada Allah atau sebaliknya dari perbuatan syirik”. Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, terj. Ali Audah, cet. VIII, Jakarta: Tintamas, 1982, hal. 85. 15 Depag R.I, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra, 1989, hal. 1079. Peristiwa luar biasa ini mengejutkan Muhammad SAW. Dia merasa tergetar mengenal kesejatian wahyu yang diterimanya. William E Phipps menyatakan, Keterkejutan yang dialami Muhammad menunjukkan kesejatian dan kejujuran Muhammad. Sebab penipu lihai, tidak akan merasa 346----|--- Jurnal Ilmiah Didaktika Vol. XI, No. 2, Februari 2011 Al Musanna Strategi Pendidikan Islam Periode Makkah Dengan turunnya wahyu pertama, Muhammad Saw memulai misinya. Seruan Muhammad untuk mewujudkan keadilan dalam berbagai aspeknya melahirkan konflik antara Muhammad dengan aristokrat Makkah. Karenanya Rasulullah mengembangkan serangkaian grand scenario pembebasan manusia dari akar kesejarahannya yang terdistosri.18 Tahap pertama setelah menerima risalah, beliau mulai merobah tatanan yang ada melalui penyebaran misi penyelamatan manusia dengan cara sembunyi-sembunyi, dengan arti beliau masih melakukannya terbatas pada orang terdekatnya. Langkah ini didasari dua alasan yang sangat rasional, yakni alasan sosiologis dan psikologis. Fase ini berlangsung selama tiga tahun sejak tahun 610-613 M. ada beberapa orang yang menerima seruannya, yakni; “Khadijah binti Khuwailid, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Haritsah, Abu Bakar, Usman bin Affan, Zubeir ibnu ‘Awwam, Sa’ad ibnu Abi Waqash, Abdurrahman ibn Auf, Thalhah ibn Ubaidillah, Abu “Ubaidillah ibnul Jarrah dan Al-Arqam ibnu Abil Arqam”.19 Dalam fase ini orang Mekkah terkesan membiarkannya, reaksi keras mulai bermunculan ketika Nabi Muhammad mulai menyampaikan dakwahnya secara terbuka dan tidak hanya terbatas kepada kerabatnya (Q.S. Al-Hijr: 94). Materi Pendidikan Islam Periode Makkah Dalam periode Makkah, tema sentral seruan Rasulullah adalah Tauhid. Ajaran tauhid menjadi pokok seruan Rasulullah secara terus menerus. Fazlur Rahman menyebutkan bahwa elan vital al-Qur’an adalah penentangannya terhadap disekuilibrum ekonomi dan ketidakadilan sosial dalam masyarakat Makkah. Lebih lanjut Rahman menyatakan “sejak sebermula sekali al-Qur’an mencela dua buah menderita sama sekali.William E. Phipps, Muhammad dan Isa, terj. Ilyas Hasan, Bandung: Mizan, 1998, hal. 55. 18 Yang dimaksudkan dengan pernyataan ini adalah, bahwa orang Arab, baik yang ada di Makkah maupun dikawasan Arabia lainnya, pada dasarnya masih mempunyai ikatan emosional dan kultural dengan agama yang di bawa oleh Ibrahim, agama hanif. Tetapi dalam perjalanan sejarahnya ajaran yang disampaikan Ibrahim ini banyak yang diselewengkan pemuka agama yang terjebak pada kepentingan sesaat. Penjelasan mengenai hal ini dapat dilihat dalam Ahmad Amin, Islam dari Masa ke Masa, terj. Abu Laila dan Muhammad Tohir, cet. I, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991. 19 Ahmad Syalabi, Sejarah Pendidikan…, hal. 84. Jurnal Ilmiah Didaktika Vol. XI, No. 2, Februari 2011----|----347 PEMBENTUKAN DAN PERKEMBANGAN PENDIDIKAN PADA MASA NABI aspek yang saling berhubungan erat dalam masyarakat tersebut; politheisme dan ketimpangan sosio-ekonomi.”22 Titik tekan kerasulannya dalam periode ini tergambar jelas dalam ayat-ayat yang diturunkan di Mekkah yang oleh para ulama diklasifikasikan menjadi surah atau ayat Makkiyah.20 Adapun surat Makkiyah memiliki ciri tema; ajaran kepada Tauhid dan beribadah hanya kepada Allah, pembuktian mengenai risalah, kebangkitan dan hari pembalasan, argumentasi terhadap orang-orang musyrik dengan menggunakan bukti-bukti rasional dan ayat-ayat kauniyah.21 Ajaran tauhid dan seruan mewujudkan tatanan masyarakat yang adil dilakukan Rasulullah dengan bijaksana. Pendekatan rasionalitas dan keteladanan memberi pengaruh penting dalam menyadarkan masyarakat. Sayyid Amir Ali, menguraikan pendekatan Rasulullah dalam menyampaikan ajaran tauhid melalui ajakan merenungi fenomena keagungan Tuhan pada wujud ciptaan-Nya. Dalam hal ini Amir Ali menyatakan, “..Nabi yang membawa monotheisme itu terutama adalah Nabi pengagum alam. Seruannya untuk hidup bersusila dan penegasannya yang sungguh-sungguh tentang kekuasaan Tuhan, berdasarkan pengakuan rasionil dan intelektual terhadap asuatu susunan yang ada dalam segala hal”.24 Sebagai ringkasan mengenai materi pendidikan dalam periode Makkah, berikut disajikan paparan Mahmud Yunus, yang menyatakan bahwa materi pendidikan dalam era pembinaan pendidikan Islam periode Makkah meliputi; 1. Pendidikan keagamaan. Pendidikan ini menekankan penanaman kesadaran bahwa amalan manusia sepenuhnya memiliki kaitan erat dengan Tuhan. Tidak ada amal apapun yang dapat dilepaskan dari pengawasan dan kemudian imbalan yang diberikan Tuhan. 22 Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur’an, terj. Anas Mahyuddin, cet. I, Bandung: Pustaka, 1983, hal. 55. Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1995, hal. 23. 20 Pola pendekatan ini tampak jelas dalam kajian Ulum al-Qur’an, dimana terdapat dua pendekatan yang di gunakan dalam mengklasifikasikan dua priodisasi ini, yakni; berdasarkan tinjauan tematik dan tinjauan linguistik. Pada pendekatan pertama klasifikasi didasarkan pada kandungan yang terdapat dalam wahyu-wahyu itu sendiri, misalnya tentang tauhid, mayoritas ayatnya merupakan ayat yang diturunkan di Makkah meskipun tidak tertutup kemungkinan ada sebahagiannya yang juga masih diturunkan dalam periode Madinah. Sedangkan pendekatan kedua dilihat pada lapadz-lapadz yang digunakan. Kajian lebih lanjut lihat Manna Khalil alQathtan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, terj. Muzakir AS, Jakarta: Litera Antar Nusa, 2001. 21 Manna Khalil al-Qathtan, Studi Ilmu-Ilmu..., hal. 87. 24 Sayid Amir Ali, Api Islam, terj. H.B. Yassien, Jakarta: Bulan Bintang, 1978, hal. 135. 348----|--- Jurnal Ilmiah Didaktika Vol. XI, No. 2, Februari 2011 Al Musanna 2. Pendidikan akliyah dan ilmiyah. Yakni penekanan kembali kepada masyarakat untuk mengaktifkan potensi rasional yang dimilikinya dengan mengamati gejala-gejala alam dan menarik pelajaran yang berharga dari berbagai peristiwa itu, dan adanya kemauan kuat untuk membersihkan diri dari mitos-mitos yang telah membelenggu pikiran dan tindakan. 3. Pendidikan akhlak dan budi pekerti. Hal ini berkaitan dengan penataan kembali interaksi antara sesama manusia maupun antara manusia dengan Tuhan. Perbaikan hubungan yang tercemar kebiasaan eksploitasi dan dominasi digantikan hubungan saling menyayangi dan menghormati. 4. Pendidikan jasmani. Hal ini berkaitan dengan pesan-pesan awal Islam yang sangat menekankan akan pentingnya menjaga kebersihan. Kebersihan dalam Islam tidak hanya dibatasi pada kualitas material, tetapi juga mencakup pentingnya mewujudkan kebersihan spiritual dan emosional. Ini misalnya terwujud dengan berbagai amalan ibadah yang memadukan antara kebersihan jasmani sebagai titik awal berangkatnya untuk mencapai kebersihan rohani, seperti shalat.25 Pendidikan yang dilakukan ini perlahan mulai menemukan tempatnya. Terlebih, setelah dijadikannya rumah al-Arqam sebagai tempat berkumpulnya orang-orang yang ingin mempelajari Islam secara lebih intensif. Tempat inilah yang ditabalkan sebagai institusi pendidikan Islam pertama.26 Perjuangan di Makkah berlangsung 13 tahun, sampai beliau hijrah ke Madinah. Sejarah Pendidikan Islam Periode Madinah Sejarah Madinah Menjelang Islam Sebagaimana diuraikan sebelumnya, dalam periode Makkah banyak tantangan yang dihadapi Rasulullah. Tantangan itu ada yang diwujudkan dalam tindakan pisik serta ada pula yang bersifat psikologis, seperti teror dan intimidasi. Menghadapi berbagai kekerasan dan tindak permusuhan para aristokrat Makkah, Nabi memutuskan memberi ijin kepada para sahabatnya berhijrah. Hijrah ini terjadi dalam dua gelombang yakni yang pertama ke daerah Habsyi (Ethiopia) dan yang kedua ke Yatsrib. Dalam peristiwa hijrah yang kedua, Nabi turut serta. Peristiwa hijrah merupakan momentum penting dan menjadi titik balik dalam 25 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, cet. I, Bandung: al-Maarif, 1966, hal. 5-6. 26 M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam; Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Inter-Disipliner, cet. II, Jakarta: Bina Aksara, 1993, hal. 83. Jurnal Ilmiah Didaktika Vol. XI, No. 2, Februari 2011----|----349 PEMBENTUKAN DAN PERKEMBANGAN PENDIDIKAN PADA MASA NABI sejarah Islam. Pentingnya peristiwa ini, sebagaimana dikemukakan seorang sosiolog muslim kontemporer, Akbar S, Ahmed, tidak saja telah mengubah wajah dunia Arab, tetapi menorehkan peristiwa monumental dalam sejarah dunia.28 Sebelum kedatangan Muhammad, di Yatsrib terjadi malaise—mengutip istilah yang dipakai Montgomery Watt--atau krisis sosial.30 Krisis ini tergambar jelas dengan terjadinya konfrontasi bersenjata antara kedua suku utama di Yatsrib (‘Aus dan Khazraj). Selain itu disharmoni juga tergambar pada konflik laten antara Arab dengan Yahudi. Akar komflik bermula dari intervensi orang Yahudi yang merasa tersaingi dan dominasinya di Yatsrib menjadi semakin berkurang sejak semakin menguatnya kekuatan orang Arab. Untuk itu, mereka menggunakan politik adu domba, divide at impera. Berdasarkan tinjauan religiusnya dapat dikemukakan, Yahudi merupakan kelompok dominan. Sebutan Yahudi, tidak saja identitas keagamaan an sich, tetapi juga melambangkan satu kesatuan sosial atau dalam istilah saat ini disebut sebagai identitas sosial yang kokoh. Jadi, label Yahudi yang dilekatkan tidak saja merupakan ikatan sosial, tetapi juga menjadi identitas ideologi. Untuk memperoleh gambaran mengenai watak dan prilaku golongan Yahudi berikut dikutip penjelasan Mubarakfury yang menyatakan; Orang Yahudi berasal dari bangsa Ibrani. Ketika mendapat tekanan dari bangsa Asyur dan Romawi, mereka berpihak kepada orang-orang Hijaz. Setelah bergabung dengan orang Arab, mereka hidup ala Arab, berbahasa Arab dan mengenakan pakaian Arab pada umumnya, sehingga nama kabilah dan namanama mereka juga menggunakan nama Arab, serta merekapun kawin dengan orang-orang Arab. Sekalipun begitu mereka tetap menjaga fanatisme jenis mereka sebagai orang-orang Yahudi dan tidak menyatu dengan bangsa Arab. Bahkan mereka membanggakan diri sebagai bangsa Israel (Yahudi) dan melecehkan bangsa Arab dengan menggelarinya Ummiyin, alias orang-orang yang jalang dan buas, buta huruf, hina dan terbelakang. Mereka tidak terlalu berhasrat menyebarluaskan agamanya, karena materi agamanya tak lebih dari 28 Akbar S. Ahmed, Citra Muslim : Tinjauan Sejarah dan Sosiologi, terj. Nunding Ram dan Ramli Yakub, cet. I, Jakarta; Erlangga, 1992, hal. 22 Lihat juga Syed Hossein Nasr, Muhammad Kekasih Allah, terj. R. Soeryadi Joyopranoto, cet. II, Jakarta: Srigunting, 1997. 30 Montgomery Watt, Muhammad: Prophet and Statesman, Great Britain: Oxford University Press, 1969, hal. 85. 350----|--- Jurnal Ilmiah Didaktika Vol. XI, No. 2, Februari 2011 Al Musanna ramalan nasib, sihir, mantera-mantera, hembusan pada buhul dan yang serupa dengan itu. Oleh karena itu mereka membual sebagai ahli ilmu, keutaman, kelebihan dan kepeloporan dalam kehidupan spiritual.31 Selain Yahudi, politheisme telah berkembang dan mendapatkan tempat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Yatsrib. Hal ini setidaknya terbukti dalam peristiwa bai’ah Aqabah. Dalam peristiwa tersebut, salah satu kesepakatannya adalah orang-orang Yatsrib yang datang ke Makkah untuk meninggalkan penyembahan berhala dan beralih menyembah Allah semata.32 Perkembangan Institusi Pendidikan di Madinah Dalam membicarakan institusi pendidikan di Madinah, tidak dapat mengabaikan peranan masjid, Kuttab, dan rumah-rumag penduduk. Dalam uraian berikut akan dijelaskan mengenai keberadaan tempat-tempat pendidikan Islam. Secara garis besar setidaknya terdapat tiga lembaga pendidikan Islam dalam periode Madinah, masjid, kuttab, dan rumah penduduk. Salah satu peristiwa penting pasca keberangkatan Rasulullah menuju Madinah adalah didirikannya Masjid. Fungsi masjid pada masa ini tidak hanya untuk penyelenggaraan ibadah formal saja-seperti kebanyakan masjid yang ada saat ini. Sebagaimana dikemukakan Stanton, masjid pada masa Rasul mempunyai fungsi yang beragam, yakni sebagai pusat kegiatan masyarakat, sebagai gedung pertemuan, rumah ibadah dan lembaga pendidikan.33 Dalam masjid inilah para pemeluk Islam baik yang lama maupun yang baru--atau bahkan orang yang masih berada dalam tahap penjajakan berkumpul dan saling memperkaya pemahamannya mengenai ajaran dan pengamalan Islam. Selain, itu bagi sebagian kaum muslimin, keberadaan masjid menjadi lebih penting. Bahkan, di Madinah terdapat sahabat yang terdiri dari orang-orang pilihan, baik karena alasan ekonomi maupun motif ibadah yang menjadikan masjid sebagai pusat aktivitasnya. Golongan ini dalam sejarah dikenal dengan ahl al-suffah. Ahlu suffah, adalah orang yang berdiam disudut masjid Madinah. Pada 31 Syaikh Shafryur Rahman al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, terj. Kathur Suhardi, cet. I, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1997, hal. 242. 32 Ibn Hisyam, Siratun Nabi, Jilid II, (Darul Fikri: tp, tt), hal. 41. 33 Charles Micheal Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, terj. Afandi dan Hasan Asari, cet. I, Jakarta; Logos, 1994, hal. 23. Jurnal Ilmiah Didaktika Vol. XI, No. 2, Februari 2011----|----351 PEMBENTUKAN DAN PERKEMBANGAN PENDIDIKAN PADA MASA NABI awalnya tempat itu merupakan bagian yang integral dari masjid, tetapi karena terjadinya perpindahan arah kiblat maka, ruang itu akhirnya menjadi terletak di bagian belakang masjid. Lalu, atas instruksi Nabi bagian itu diberi atap, sehingga dapat ditempati orang-orang muhajirin yang belum mempunyai tempat domisili, maupun bagi para utusan yang hendak berjumpa dengan Rasul. Di tempat ini, orang Madinah yang berkecukupan menghabiskan waktunya didasarkan pada motivasi mengikuti kehidupan asketis (zuhud).34 Dalam kesehariannya, disamping mencari nafkah, ahl al-suffah menghabiskan waktunya beribadah dan mengadakan pendalaman ajaran agama. Selain itu sebagaimana diungkapkan Akram mereka memanfaatkan waktunya untuk belajar menulis. Guru yang mengajarkan menulis bagi ahl al-suffah adalah Ubadah bin al-Shamit, dan perawi yang banyak meriwayatkan hadits Rasulullah, Abu Hurairah.35 Selain masjid, lembaga pendidikan lainnya adalah Kuttab. Istilah kuttab sendiri—yang kemudian populer sebagai institusi pendidikan berasal dari kata “taktib yang berarti belajar menulis, dan belajar menulis itulah fungsinya kuttab,” demikian diuraikan Syalabi.36 Kebiasaan dan kemampuan membaca dan menulis telah berkembang di kalangan masyarakat Arab pra-Islam, meskipun masih pada tataran minimal. Sehingga, ketika Islam datang potensi penting ini mendapatkan daya dorong baru. Ppada awalnya mayoritas pengajarnya adalah orang non-muslim, khususnya Yahudi dan Nasrani.37 Namun seiring bergulirnya waktu jumlah ummat Islam yang menguasai keterampilan membaca dan menulis meningkat pesat. Sehingga kuttab tidak lagi mengajarkan membaca dan menulis al-Qur’an an-sich. Ahmad Syalabi menyatakan terdapat dua corak pendidikan dalam kuttab pada masa-masa awal pertumbuhan dan perkembangan Islam, yakni mengajarkan tulis baca dan mengajarkan al-Qur’an pada tingkat dasar.38 Selain masjid dan kuttab, pendidikan Islam juga berlangsung di rumahrumah penduduk. Dalam hal ini penting dicatat bahwa Nabi adalah orang yang begitu peduli terhadap orang-orang di sekitarnya, terlebih lagi terhadap komunitas 34 Akram Dhiyaudin Umari, Masyarakat Madany: Tinjauan Historis Kehidupan Zaman Nabi, terj. Mun’im A. Sirry, cet. II, Jakarta: Gema Insani Press, 1999, hal. 98. 35 34 36 37 Akram Dhiyaudin Umari, Masyarakat Madany: Tinjauan ..., hal. 101. Ahmad Syalabi, Sejarah Pendidikan…, hal. 38. Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Mohammad, cet. II, Bandung: Pustaka, 1994, hal. 263. 38 Ahmad Syalabi, Sejarah Pendidikan…, hal. 35. 352----|--- Jurnal Ilmiah Didaktika Vol. XI, No. 2, Februari 2011 Al Musanna muslim. Sehingga tidaklah mengherankan bila dalam setiap kesempatan beliau menyediakan waktu untuk memberikan masukan dan pencerahan kepada ummatnya mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan masalah yang muncul. Sehingga tidaklah mengherankan bila dalam sebuah hadits dinyatakan bahwa Rasulullah mengkhususkan hari-hari tertentu untuk memberikan pengajaran kepada kaum perempuan, karena berbagai kesibukan menyebabkan mereka tidak mempunyai kesempatan mengikuti secara total segala yang disampaikan Rasulullah.39 Materi Pendidikan Islam Periode Madinah Setelah terbentuknya komunitas muslim, maka menjadi sangat penting dilakukan pembinaan secara berkesinambungan mengenai berbagai aspek kehidupan masyarakat. Dibandingkan periode Makkah, terdapat beberapa perbedaan dengan periode Madinah, terutama dikaitkan dengan posisi Rasulullah sendiri. Dalam masa Makkah Nabi Muhammad Saw, masih berfungsi sebagai pemimpin bagi kaum muslimin saja, sementara kepemimpinannya tidaklah efektif dalam mengatur atau mempengaruhi kebijakan administrasi dan pemerintahan di Makkah. Sebaliknya di Madinah, Nabi tampil sebagai pemimpin yang dihormati semua kalangan. Hal ini misalnya dibuktikan dalah salah satu butir piagam Madinah (Madinah Charter), khususnya pasal 42 yang menyatakan, “...jika ada pertikaian atau kontroversi yang diperkirakan akan mengakibatkan keonaran atau gangguan itu harus di dirujukkan kepada Allah dan Muhammad Saw.”40 Dari penjelasan tersebut, tergambar bahwa materi pendidikan dalam periode Madinah bertambah luas. Artinya pendidikan tidak lagi hanya sebatas pada pengajaran ibadah mahdhah saja, tetapi mancakup berbagai kajian lainnya, seperti muamalah, baik yang bersifat interen ummat Islam maupun yang bersifat eksteren, yakni berkaitan dengan interaksi dengan komunitas Madinah lainnya. Berbagai lapangan kehidupan seperti berdagang, pertukaran dan pertanian mendapat perhatian Rasulullah, dan kepada sahabatnya beliau berulangkali menyampaikan untuk bekerja keras mencari berbagai karunia yang diberikan-Nya. 39 Mahmud Yunus, Sejarah..., hal. 20. lihat juga uraian mengenai perhatian Rasulullah kepada para wanita untuk mengikuti pengajaran yang tersendiri mengenai berbagai persoalan dalam Abdul Hamid al-Hasyimi, Mendidik Ala Rasulullah (Bagaimana Rasulullah Mendidik) terj. Ibn Ibrahim, cet. I, Jakarta: Pustaka Azzam, 2001, hal. 137-163. 40 Akram Dhiyaudi Umari, Masyarakat Madani…, hal. 121. Jurnal Ilmiah Didaktika Vol. XI, No. 2, Februari 2011----|----353 PEMBENTUKAN DAN PERKEMBANGAN PENDIDIKAN PADA MASA NABI Perhatian Nabi dalam menyebarluaskan kemampuan membaca dan menulis semakin bertambah setelah berhijrah. Sehingga jumlah orang yang mampu membaca dan menulis meningkat selama periode Madinah. Usaha meningkatkan kemampuan membaca dan menulis tidak hanya melibatkan pelajar muslim saja, bahkan para tawanan Badar diberikan kemudahan membebaskan dirinya melalui pengajaran sepuluh orang muslim membaca dan menulis. Bukti lain, perhatian Nabi terhadap membaca dan menulis adalah terdapatnya juru tulis Nabi, di antaranya; Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Sa’d bin Abi Sarh (tetapi ia kemudian ia murtad), Utsman bin Affan, Syurahbil bin Hasanah, Aban bin Saad, Chalid bin Sa’id, Al-‘alaq bin al-Hadrami, Muawiyah bin abi Sofyan, Hanzalah bin al-Rabi’. 41 Metode Pendidikan pada Masa Nabi Dalam pelaksanaan pendidikan ini Rasulullah telah mempraktekkan berbagai metode yang mudah dipahami dan meninggalkan bekas yang mendalam dalam diri pengikutnya. Di antaranya yang terpenting adalah keteladanan beliau sendiri, yang menjadikan dirinya sebagai aplikasi langsung dari segenap pedoman dan tuntunan yang diajarkannya. Berikut dikemukakan beberapa metode yang ditempuh Nabi dalam memberikan pendidikan kepada para pengikutnya Metode Hikmah dan Mauidah Hasanah. Ini merupakan metode yang sangat penting yang diterapkan Rasulullah Saw. dan langsung disebutkan dalam al-Qur’an. Dalam surah an-Nahl, misalnya Allah dengan tegas memberikan sebuah pedoman yang jelas bahwa keberhasilan pembawa pesan (da’i) dalam meyakinkan p-ara pendengar atau tujuan dari seruannya. Untuk menimbulkan keyakinan itu maka yang penting dilakukan adalah menyampaikan pesan secara bijaksana dan kemauan untuk mengadu argumentasi secara fair (Surat An-Nahl, 125). Metode memotivasi bertanya Dalam pendidikan moderen, kegiatan guru merangsang peserta didik mengembangkan potensi kritisnya dalam menyikapi berbagai persoalan, ini sering 41 Muhammad Yunus, Sejarah ..., hal. 19. 354----|--- Jurnal Ilmiah Didaktika Vol. XI, No. 2, Februari 2011 Al Musanna disebut dengan metode Socrates. Dalam hal ini, terkadang Nabi juga melemparkan pertanyaan. Sahabat yang mengetahui jawaban kemudian memberikan jawaban, bila tidak ada yang mengetahuinya maka mereka mengembalikannya kepada Rasulullah. Tujuan dari hal ini adalah untuk lebih menguatkan bekasnya dalam diri sahabat. Selain itu, Nabi juga kerap menggunakan penyegaran dalam pembelajaran. Setelah melalui serangkaian aktivitas belajar, maka tidaklah merupakan hal yang aneh bila timbul kejenuhan-kejenuhan. Untuk menghindari hal tersebut, Rasulullah SAW. melakukan antsipasi melalui pemberian peluang kepada sahabatnya mengambil masa jeda (beristirahat) pembelajaran. Untuk itu Nabi memiliki kemampuan untuk mengenali audiennya. Hal ini bertujuan membentuk pendekatan yang lebih tepat sehingga memberikan manfaat yang maksimal. Metode Kiasan Yang dimaksud dengan metode ini adalah kemampuan untuk menangkap makna dibalik peristiwa yang terjadi. Misalnya terjadi suatu peristiwa yang sangat umum kemudian Rasulullah menarik makna yang ada dibalik kenyataan tersebut dan menjelaskan kepada sahabat-sahabatnya. Dengan demikian Nabi mengalihkan realitas indrawi kepada realitas kejiwaan. Metode ini banyak dipakai Rasul ketika harus menjelaskan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan hal-hal yang sangat sensitiv dalam hubungan suami istri misalnya. Beliau tidak menggunakan bahasa yang vulgar, tetapi beliau menjelaskan hal tersebut dengan menggunakan bahasa kinayah. Ini misalnya terdapat dalam hadits yang menyatakan, “aku akan menjamin seseorang untuk masuk sorga, bila ia mampu menjaga antara kedua bibir dan apa yang terdapat diantara kedua kakinya. Yang dimaksud antara kedua kaki adalah farj (kemaluan). Metode gradual Manusia adalah mahluk yang mempunyai keterbatasan-keterbatasan. Karenanya, diperlukan tahapan-tahapan dalam memahami sesuatu, prinsip gradualitas ini tidak hanya terdapat pada yang diterapkan Nabi, tetapi juga terdapat pada penetapan hukum dalam al-Qur’an. Metode kisah Jurnal Ilmiah Didaktika Vol. XI, No. 2, Februari 2011----|----355 PEMBENTUKAN DAN PERKEMBANGAN PENDIDIKAN PADA MASA NABI Dalam berbagai riwayat ditemukan banyak sekali kisah-kisah yang disampaikan Rasulullah Saw., baik mengenai kisah orang-orang yang mendapat keridhaan Allah, maupun orang yang mendapat kemurkaan Allah karena keingkaran dan pembangkangannya. Efektifitas metode kisah dalam membentuk watak telah diakui sejak lama.43 Metode keteladanan. Sejarawan umumnya sepakat bahwa salah satu rahasia kesuksesan Rasulullah adalah kemampuannya menyatukan ucapan dan perbuatan. Selalu Nabi sebagai pelaksana pertama peraturan yang disampaikannya, demikian juga halnya larangan. Hal ini memberi bekas dalam kesadaran pengikutnya. SIMPULAN Pendidikan yang berlangsung pada masa Nabi bersifat totalitas. Artinya, Nabi memberi perhatian menyeluruh pada pengembangan segenap aspek kepribadian manusia yang mencakup pembinaan rohani, jasmani, aspek intelektual, emosional dan spiritualnya. Dalam rangka menyukseskan pendidikan ini Rasulullah menerapkan berbagai metode yang relevan dengan konteksnya, sehingga melahirkan sinergi berkelanjutan menuju tatanan masyarakat ideal. Secara umum dalam melihat perkembangan pendidikan pada masa Nabi, sejarawan mengklasifikasikannya menjadi dua periode, yakni periode Makkah dan Madinah. Terdapat beberapa karakteristik yang membedakan antara kedua periode ini, terutama dilihat pada titik tekan materinya. Dalam masa Makkah orientasi pendidikan yang sangat menonjol adalah penanaman fondasi Tauhid dan akhlak. Sementara dalam periode Madinah selain memantapkan materi yang telah diajarkan di Makkah, beliau dengan bimbingan wahyu mulai mengajarkan syariat yang mencakup tata pergaulan yang luas. Untuk itu, berkembang berbagai lembaga pembelajaran. Di antaranya; Masjid, Kuttab dan rumah-rumah penduduk. 43 M. Alawi Al-Maududi Maliki, Prinsip-Prinsip Pendidikan Rasulullah terj. Muhammad Ihya’ Ulumuddin, cet. I, Jakarta: Gema Insani Press, 2002 .Juga Muhammad Quthb, Sistem Pendidikan Islam, terj. Lukman Harun, cet. I, Bandung: al-Maarif, 1984. 356----|--- Jurnal Ilmiah Didaktika Vol. XI, No. 2, Februari 2011 Al Musanna DAFTAR PUSTAKA Ahmed, Akbar S., Citra Muslim: Tinjauan Sejarah dan Sosiologi, terj. Nunding Ram dan Ramli Yakub, cet. I, Jakarta: Erlangga, 1992. Al-Hasyimi, Abdul Hamid, Mendidik Ala Rasulullah (Bagaimana Rasulullah Mendidik) terj. Ibn Ibrahim, cet. I, Jakarta: Pustaka Azzam, 2001. Ali, Sayid Amir, Api Islam, terj. H.B. Yassien, Jakarta: Bulan Bintang, 1978. Al-Mubarakfury, Syaikh Shafryur Rahman, Sirah Nabawiyah, terj. Kathur Suhardi, cet. I, Jakarta; Pustaka Al-Kautsar, 1997. Al-Qathtan, Manna Khalil, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, terj. Muzakir AS, Jakarta: Litera Antar Nusa, 2001. Amin, Ahmad, Islam dari Masa ke Masa, terj. Abu Laila dan Muhammad Tohir, cet. I, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991. Asari, Hasan, Menyingkap Zaman Keemasan Islam; Kajian atas Lembaga-Lembaga Pendidikan, Cet. I, Bandung: Mizan, 1994. Azami, M.M., “Studi dalam Literatur Hadits Masa Awal”, terj. Yanto Mustofa, AlHikmah No. 8, Bandung; Yayasan Mutahhari, 1993. Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Cet. I, Jakarta: Logos, 1999. Depag R.I, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra, 1989. Engineer, Asghar Ali, Asal Usul dan Perkembangan Islam, terj. Imam Baehaqi, Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 1999. Fahmi, Asma Hasan, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, terj. Ibrahim Husein, cet. I, Jakarta: Bulan Bintang, 1979. Haekal, Muhammad Husain, Sejarah Hidup Muhammad, terj. Ali Audah, cet. VIII, Jakarta: Tintamas, 1982. Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, Cet. I, Jakarta: Rajawali Pers, 1995. Hitti, Philip K., History of The Arabs, ed. X, Great Britain: Oxford University Pres, 1974. Hisyam, Ibn, Siratun Nabi, Jilid II, Darul Fikri: tp, tt Khaldun, Ibn, Muqaddimah, terj. Ahmadie Thoha, cet. II. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002. Langgulung, Hasan, Asas-Asas Pendidikan Islam, Cet. II, Jakarta: Al-Husna Zikra, 1992. Maliki, M. Alawi Al-Maududi, Prinsip-Prinsip Pendidikan Rasulullah terj. Muhammad Ihya’ Ulumuddin, cet. I, Jakarta: Gema Insani Press, 2002. Nasr, Syed Hossein, Muhammad Kekasih Allah, terj. R. Soeryadi Joyopranoto, cet. II, Jakarta: Srigunting, 1997. Jurnal Ilmiah Didaktika Vol. XI, No. 2, Februari 2011----|----357 PEMBENTUKAN DAN PERKEMBANGAN PENDIDIKAN PADA MASA NABI Nasution, Harun, (Penyt), Sejarah Ringkas Islam, terj. Anas Ma’ruf, cet. II, Jakarta: Djambatan, 1994. Stanton, Charles Micheal, Pendidikan Tinggi dalam Islam, terj. Afandi dan Hasan Asari, cet. I, Jakarta: Logos, 1994. Syalabi, Ahmad, Sejarah Pendidikan Islam, terj. Muchtar Yahya dan M. Sanusi Latif, Jakarta: Bulan Bintang, tt. ______, Sejarah Kebudayaan Islam I, cet. IX, Jakarta: Al-Husna, 1997. Phipps, William E., Muhammad dan Isa, terj. Ilyas Hasan, Bandung: Mizan, 1998. Quthb, Muhammad, Sistem Pendidikan Islam, terj. Lukman Harun, cet. I, Bandung: Al-Maarif, 1984. Rahman, Fazlur, Islam, terj. Ahsin Mohammad, cet. II, Bandung: Pustaka, 1994. ______, Tema Pokok al-Qur’an, terj. Anas Mahyuddin, cet. I, Bandung: Pustaka, 1983 Umari, Akram Dhiyaudin, Masyarakat Madany: Tinjauan Historis Kehidupan Zaman Nabi, terj. Mun’im A. Sirry, cet. II, Jakarta: Gema Insani Press, 1999. Watt, Montgomery, Muhammad: Prophet and Statesman, Great Britain; Oxford University Press, 1969. Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1995. 358----|--- Jurnal Ilmiah Didaktika Vol. XI, No. 2, Februari 2011