PENDIDIKAN PADA MASA NABI (Proses pembudayaan manusia di era Makkah) Oleh Al Mawardi. MS, S. Ag, M. Ag (Dosen Agama di Politeknik Negeri Lhokseumawe) Abstract Education is the process pemanusiaan whole. In the context of Islamic history, education has been going on since the time of the Prophet Muhammad in Mecca and Medina. Orientation of education in the era of the Prophet Muhammad was focused on the actualization of the values of monotheism. While the main strategy is through a good imitation. In general, the curriculum at different Mecca to Medina period. At the time of the Prophet in Mecca, the curriculum is more oriented to monotheism, whereas since the Prophet migrated to Medina, the Islamic education curriculum is more oriented to the things that are social and cultural. Prophet Muhammad was a successful teacher in fostering the learners to become qualified man (insan kamil). The success of the prophet education for its ability to reform the system of ignorance into the Islamic civilization in a period of less than 23 years. I. Pendahuluan Sejarah pendidikan Islam, merupakan "satu cabang ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam, baik dari segi gagasan atau ide-ide, konsep, lembaga maupun operasionalisasi sejak zaman nabi Muhammad Saw. hingga saat ini".1 Dalam pandangan Asma Hasan Fahmi, dalam mempelajari pendidikan Islam, yang terpenting sekali dipelajari adalah mengenai lembaga-lembaga pengajarannya dan sistemnya, kurikulum dan tujuannya, metode-metode mengajar dan cara-caranya.2 Pembicaraan mengenai pendidikan Islam tidak dapat dilepaskan dari dua hal yang sangat esensial dan menjadi dasar bagi tegaknya pondasi pendidikan Islam itu sendiri, kedua hal tersebut adalah al-Qur`an dan sunnah Rasulullah Saw. Sehingga tidaklah berlebihan apa yang dikemukakan Azyumardi Azra, bahwa berbicara mengenai sejarah pendidikan Islam, sama halnya dengan membicarakan Islam itu sendiri, sebab sejarah pendidikan Islam lahir bersamaan dengan lahirnya Islam itu sendiri yakni bila dipakai pengertian yang seluas-luasnya.3 1 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembangan, cet. I, (Jakarta: Rajawali Pers, 1995), hal. 9 2 Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, terj. Ibrahim Husein, cet. I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hal. 29 3 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, cet. I, (Jakarta: Logos, 1999), hal. vii 1 Sebagaimana tergambar jelas dari judul, makalah ini akan mencoba memetakan beberapa prinsip yang mendasari pendidikan Islam yang telah dipancangkan tonggaknya oleh Rasulullah. Tetapi karena tema kajian ini juga sangat erat kaitannya dengan sejarah, maka pada bahagian awal dari makalah ini akan dikemukakan latar historis keberadaan masyarakat yang dihadap Rasulullah dan kemudian secara sepintas juga akan diuraikan bagaimanakah metode yang ditempuh Rasul dalam mensosialisasikan Islam di tengah-tengah masyarakatnya, sehingga akhirnya beliau berhasil menyemaikan benih-benih tauhid di tengah kemusyrikan yang telah melanda sebagian besar masyarakat yang dihadapinya pada saat priode Makkah. Untuk lebih terfokusnya kajian ini dirasakan penting untuk mengemukakan persoalan-persoalan yang menjadi concern makalah singkat ini; 1. Bagaimanakah konteks masyarakat yang dihadapi Nabi pada masa-masa awal beliau menyebarkan Islam, terutama berkaitan dengan perkembangan pendidikannya di priode Makkah? 2. Strategi apa saja yang ditempuh nabi Muhammad dalam menyukseskan misinya melalui upaya pendidikan yang akan memperbaiki tata hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan makhluk Allah yang lainnya? 3. Bagaimanakah kurikulum dan metode pendidikan yang diterapkan oleh nabi Muhammad ketika berada di Makkah? Untuk menjawab persoalan-persoalan tersebut, penulis akan menelusuri fakta yang berhasil dikumpulkan para sejarawan dan kemudian membuat rekonstruksi atas data kesejarahan tersebut serta dalam waktu yang bersamaan memberikan interpretasi dan analisis sebatas kemampuan penulis. II. Situasi Sosio-Kultural Makkah Pra-Islam Dalam membicarakan sejarah, hal yang sangat penting dikemukakan adalah mengenai latar belakang terjadinya sebuah peristiwa yang dikaitkan dengan kondisi sosio-kultural masyarakat yang ada pada saat itu. Kaedah ini juga ditemukan dalam membahas mengenai sejarah kelahiran Islam dan pergulatannya untuk menegakkan sebuah tatanan baru di tengah puing-puing warisan masyarakat Arab yang sedang 2 berada pada titik nadirnya. Respon yang diberikan oleh Muhammad tidak lain merupakan konsekwensi logis dari prilaku yang telah menjadi fenomena umum dalam keseharian masyarakat Arabia saat itu. Sebagai seorang yang diutus untuk menunaikan misi kerasulan, Muhammad Saw. Telah berhasil membuat berbagai terobosan ang berarti, sehingga ia mendapat julukan yang beragam. Ada yang menamakannya sebagai seorang pemimpin militer, pemimpin agama, pemimpin pemerintahan dan juga adapula yang menyebutnya sebagai guru yang berhasil. Dalam memaknai terma yang terakhir, yakni antara pendidik dan pendai terdpat kesimpangiuran, yang manakah posisi Nabi yang dominan. Sebenarnya menurut pandangan penulis tidak terdapat perbedaan yang esensial atau mendasar dalam pengklasifikasian ini, tetapi keduanya merupakan dua sisi yang saling melengkapi, atau dengan kata lain fenomena tersebut ibarat dua sisi dari satu keping mata uang. Penting juga untuk disebutkan mengenai situasi intelektual yang ada di Makkah pada saat Muhammad diangkat menjadi Rasul. Sebagaimana yang telah disebutkan pada bahagian terdahulu, Makkah adalah pusat perdagangan yang penting, sehingga di tempat ini berbagai transaksi terjadi, tetapi tuntutan situasi ini sama sekali kurang berpengaruh pada berkembangnya budaya tulis menulis dalam masyarakat. 4Yang berkembang pada saat itu adalah tradisi lisan yang bertumpu pada hafalan.5 Tetapi ini sama sekali tidak berarti menapikan adanya sekelompok kecil orang yang mampu membaca dan menulis.6 Terdapatnya minoritas orang yang mampu membaca dan menulis setidaknya dibuktikan dengan telah berkembangnya lembaga pendidikan untuk mengajarkan kemampuan membaca dan menulis dikalangan bangsa Arab pra-Islam. Yang juga mendukung pernyataan ini adalah 4 Para sejarawan semisal A. Syalabi, Mahmud Yunus, Zuhairini dan lain-lain kerap mengutip pendapat yang menyatakan bahwa jumlah orang yang meiliki kemampuan menulis dan membaca di kalangan masyarakat Makkah pra-Islam ada 17 orang, namun seorang peneliti hadits yang sangat tekun dan telah melahirkan beberapa karya yang monumental mengenai sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadits, Prof. Dr. Mohammad Mustafa Azami, telah membantah pendapat tersebut. Untuk lebih jelasnya lihat M.M. Azami, "Studi Dalam Literatur Hadits Masa Awal", terj. Yanto Mustofa, dalam Al-Hikmah No. 8, (Bandung: Yayasan Mutahhari, 1993),hal. 26 5 Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam: Kajian atas Lembaga-Lembaga Pendidikan, cet. I, (Bandung: Mizan, 1994), hal.16 6 Hasan Langgulung menyatakan bahwa bangsa Arab tidak mempunyai sains dan seni, tetapi pernyataan ini menjadi kontradiktif dengan uraiannya yang berikutnya, yakni ketika ia menyatakan bahwa bangsa Arab telah mengembangkan senandung sastera yang diperlombakan di Pasar-pasar seni seperti Ukaz, dan Zil Majaz. Lih. Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, cet. II, (Jakarta: Al-Husna Zikra, 1992), hal. 66 3 telah dikenalnya sejumlah guru yang hidup sebelum masa Islam, seperti Bisyr bin Abdul Malik, Sufyan bin Umayyah bin `Abdi Syams, `Umar bin Zarrah, Abu Qays dan lain-lain.7 Ringkas kata, demikian dikemukakan Hasan Asari, "menjelang datangnya Islam, bangsa Arab pada dasarnya telah mengembangkan suatu kegiatan sastra, terutama dalam bentuk puisi. Meskipun sistem ekspresi dan transmisi yang dominan adalah lisan, tulisan telah mulai dikenal, mekipun untuk kalangan yang terbatas. Paling tidak untuk kalangan tertentu (Yahudi dan Kristen) pendidikan yang terstruktur, meskipun masih sangat sederhana, sudah mulai berkembang".8 Meskipun Mekkah berada di kawasan gurun yang tandus, tetapi posisinya yang unik yang berada pada lintasan silang jalur perdagangan telah menjadikan Mekkah sebagai kota atau katakanlah pusat perdagangan yang penting. Selain itu terdapatnya pusat peribadatan yang menjadi kebanggaan masyarakat Arab dan sekaligus tempat terkonsentrasinya sesembahan mereka yang mengelilingi Ka’bah telah menjadikan Makkah sebagai kawasan elit. Tetapi kondisi ini membawa berbagai dampak yang tidak merata bagi penduduk Makkah. Keberuntungan hanya menjadi milik para aristokrat lokal, yang menikmati berbagai fasilitas yang bertumpu pada penderitaan dan pengorbanan dari klangan mustadafinnya, seperti budak dan orang-orang miskin lainnya. Dengan kata lain telah terjadi disekuilibrum dalam masyarakat, baik dalam bidang pemerintahan maupun perekonomian. Dalam suasana yang demikianlah Muhammad diangkat oleh Allah untuk memperbaiki secara komprehensif situasi yang tidak menggembirakan bagi perwujudan manusia sebagai Khalifah-Nya permukaan bumi. Kekecewaan Muhammad terhadap prilaku menyimpang yang dipraktekkan masyarakat, membuat Muhammad mengambil sikap dengan mengasingkan diri, tahannuts.9 Prosesi ini, pada akhirnya membawa hasil yang sangat penting tidak hanya bagi bangsa Arab tetapi juga bagi keseluruhan ummat manusia. Setelah sekian lama Muhammad mengasingkan diri di Gua Hira, pada tanggal 10 Agustus tahun 610 M. 7 Hasan asari, Menyingkap…hal. 18 Ibid. lihat juga dalam Ahmad Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam, terj. Muchtar Yahya dan M. Sanusi Latif, (Jakarta: Bulan Bintang, tt), hal. 9 Haekal menyebutkan kebiasaan untuk mengasingkan diri untuk beribadah ini dikenal dengan tahannuf dan tahannuts. " tahannuf atau tahannafa, mungkin asal katanya seakar dengan hanif, yang berarti cenderung kepada kebenaran, meninggalkan berhala dan beribadat kepada Allah atau sebaliknya dari perbuatan syirik”. Untuk lebih jelasnya dapat di lihat dalam Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, terj. Ali Audah, cet.VIII, (Jakarta; Tintamas, 1982), hal. 85 8 4 Kehadiran Malaikat Jibril As untuk menyampaikan wahyu kepada Muhammad yang sekaligus merupakan pemberian mandat kenabian kepadanya untuk memperbaiki dan menata serta mengarahkan kaumnya untuk menuju kepada jalan yang diridhai Allah Swt, dan meninggalkan berbagai prilaku yang menyimpang yang telah mereka praktekkan sebelumnya. Ayat-ayat yang pertama sekali disampaikan oleh malaikat Jibril pada waktu itu adalah ayat 1-5 dari Surat al-Alaq; yang isinya: “1.Bacalah, bacalah dengan (menyebut) nama Tuhan-mu yang telah menciptakan, 2. Dia telah enciptakan manusia dari segumpal darah. 3.Bacalah dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah. 4.Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. 5.Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”.10 Peristiwa yang luar biasa ini telah mengejutkan Muhammad. Ia merasa begitu tergetar mengenai kesejatian wahyu yang diterimanya dan ini menunjukkan ketulusannya.11 Sejak saat itu, misi pendidikan ketauhidan telah menyatu dalam diri Muhammad, dan mulai saat itulah beliau menjadikan pendidikan secara komprehensif. III. Strategi Pendidikan Islam pada Priode Makkah Diutusnya Muhammad Saw sebagai rasul merupakan rahmat yang besar bagi ummat manusia. Dan merupakan salah satu bukti kasih sayang Allah kepada manusia, karena setelah manusia dikaruniakan dengan akal yang dapat memungkinkannya untuk mengenal Tuhan melalui pengamatan dan perenungan yang mendalam terhadap penomena kealaman. Tetapi, dengan anugerah ini tidaklah semua manusia dapat menggunakan akalnya secara maksimal yang dapat menghantarkan manusia yang bersangkutan itu memperoleh pengetahuan yang benar mengenai Tuhan. Pada sisi lain kehadiran rasul di tengah manusia berfungsi untuk menjelaskan berbagai persoalan yang akal manusia tidak mempunyai kapasitas yang memadai untuk menyingkapnya misalnya mengenai hal-hal ghaib, surga dan neraka dan lain sebagainya. Seperti yang diungkapkan Syaikh Muhammad Abduh bahwa “jalan yang untuk mengetahui adanya Allah dan sifat-sifatnya yang sempurna 10 Departemen Agama R.I, Al-qur’an dan Terjemahnya, ( Semarang; Toha Putra, 1989), hal.1079 11 William E. Phipps, Muhammad dan Isa, terj. Ilyas hasan, cet.I, (Bandung: Mizan, 1998), hal.55 5 adalah jalan syariat (Agama) semata-mata: dengan pengertian, bahwa hal itu tidak menafikan sama sekali, bahwa mengetahui Allah dengan melalui akal (rasio) ada juga baiknya”.12 Meskipun demikian luhur misi yang dibawanya, tetapi sebagai manusia biasa yang berhadapan dengan manusia yang juga mempunyai arah dan kecenderungan yang berbeda, maka tak terhindarkan lagi terjadi konflik-konflik baik yang bersifat pisik maupun psikis. Oleh karenanya Rasulullah mengembangkan serangkaian grand scenario untuk membebaskan manusia dari keterkungkungannya yang bersumber dari akar kesejarahan yang telah terdistorsi.13 Pada tahap pertama setelah menerima risalah, beliau mulai merobah tatanan yang ada dengan jalan menyebarkan misi penyelamatan manusia dengan cara yang masih tersembunyi, dengan arti beliau masih melakukannya terbatas kepada orangorang yang telah beliau kena. Langkah ini beliau tempuh setidaknya didorong dua alasan yang sangat rasional, yakni alasan sosiologis dan psikologis. Secara sosiologis dan logika kekuatan bila sejak awal Muhammad Saw. mendakwahkan ajaran yang diterimanya tanpa memperhitungkan dan mempersiapkan fondasi yang kokoh bagi tegaknya agama yang dibawanya maka yang terjadi hanya ada dua kemungkinan yaitu diterima atau sebaliknya agama ini akan hancur sebelum berkembang. Sebaliknya secara psikologis, penentangan yang terang-terangan dan disampaikan secara radikal terhadap berbagai penyimpangan dan penyembahan berhala, dapat diramalkan respon yang diberikan masyarakat Makkah yang telah terbiasa dengan penyembahan berhala tentu bisa membahayakan Nabi dan para pengikutnya yang kebanyakan berasal dari gologan lemah dalam struktur masyarakat Makkah. Fase ini berlangsung selama tiga tahun sejak tahun 610-613 M. ada beberapa orang yang menerima seruannya, yakni; “Isteri beliau, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin haritsah, Abu Bakar, Usman bin Affan, Zubeir ibnul ‘Awwam, Sa’ad ibnu Abi Waqash, 12 Syaikh Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, terj.Firdaus A.N., cet. IX, (Jakarta: Bulan Bintang,1992),hal 64 13 Yang dimaksudkan dengan pernyataan ini adalah, bahwa orang Arab, baik yang ada di Makkah maupun dikawasan Arabia lainnya, pada dasarnya masih mempunyai ikatan emosional dan kultural dengan agama yang di bawa oleh Ibrahim, agama hanif. Tetapi dalam perjalanan sejarahnya ajaran yang disampaiakan Ibrahim ini banyak yang diselewengkan oleh para pemuka agama yang terjebak pada kepentingan sesaat. Penjelasan yang cukup memadai mengenai hal ini dapat dilihat dalam Ahmad Amin, Islam dari Masa ke Masa, terj. Abu Laila dan Muhammad Tohir, cet. I, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991), terutama pada bahagian pertamanaya. 6 Abdurrahman ibn Auf, Thalhah ibn Ubaidillah, Abu ‘Ubaidillah ibnul Jarrah dan Al-Arqam ibnu Abil Arqam”.14 Dalam fase ini orang Mekkah terkesan membiarkannya, reaksi keras mulai bermunculan ketika Nabi Muhammad mulai menyampaikan dakwahnya secara terbuka. Turunnya Wahyu yang memerintahkan Nabi Muhammad menyampaikan seruannya secara terbuka dan tidak hanya terbatas kepada kerabatnya (Q.S. Al-Hijr: 94). Titik tekan misi kerasulannya dalam priode ini tergambar jelas dalam ayat-ayat yang diturunkan di Mekkah yang oleh para ulama kemudian membuat klasifikasi mengenai priodisasi wahyu dengan nama makkiah dan madaniyyah.15 yang memiliki ciri tema sebagai berikut; 1. Ajaran kepada Tauhid dan beribadah hanya kepada Allah, Pembuktian mengenai risalah, kebangkitan dan hari pembalasan, argumentasi terhadap orang-orang musyrik dengan menggunakan bukti-bukti rasional dan ayat-ayat kauniyah. 2. Peletakan dasar-dasar umum bagi perundang-undangan dan akhlak mulia yang menjadi dasar terbentuknya masyarakat; dan penyingkapan dosa orang musyrik dalam penumpahan dara, memakan harta anak yatim secara zalim, penguburan hidup-hidup bayi perempuan dan tradisi buruk lainnya.16 IV. Materi Pendidikan Islam dalam Priode Makkah Dalam priode Makkah, yang menjadi tema sentral seruan yang disampaikan Rasulullah adalah Tauhid. Ajaran tauhid dalam segenap aspeknya menjadi tema sentral yang digemakan Rasulullah secara terus menerus. Sebagai gambaran, Fazlur Rahman menyebutkan bahwa elan vital dari al-Qur`an adalah penentangannya terhadap disekuilibrum ekonomi dan ketidakadilan sosial dalam masyarakat Makkah. Lebih lanjut Rahman menyatakan "sejak sebermula sekali al-Qur`an 14 Ahmad Syalabi, Op. Cit., hal 84 Pola pendekatan ini akan tampak jelas dalam kajian ulum al-Qur`an, dimana terdapat dua pendekatan yang dapat dipergunakan untuk melihat ciri yang medasar yang terdapat dalam dua priodisasi ini, yakni berdasarkan pada tinjauan tematik dan tinjauan linguistik. Pada pendekatan pertama klasifikasi didasarkan pada kandungan yang terdapat dalam wahyu-wahyu itu sendiri, misalnya tentang tauhid, mayoritas ayatnya merupakan ayat yang diturunkan di Makkah—meskipun tidak tertutup kemungkinan ada sebahagiannya yang juga masih diturunkan dalam priode Madinah. Sedangkan berdasarkan pendekatan kedua dilihat pada lapadz-lapadz yang dipergunakan. Kajian lebih lanjut dapat dilihat dalam Manna Khalil Al-Qathtan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur`an, terj. Muzakkir AS., (Jakarta : Litera Antar Nusa, 2000). 16 Manna Khalil al-Qattaan, Studi Ilmu…hal.87 15 7 mencela dua buah aspek yang saling berhubungan erat di dalam masyarakat tersebut; politheisme dan dan ketimpangan sosio-ekonomi".17 Perilaku menyimpang ini tentu tidak dapat dipisahkan dari adanya pemahaman yang tidak lagi murni terhadap semangat dasar tauhid yang merupakan misi inti dari seluruh Nabi dan Rasul yang pernah diutus Allah kepada manusia. Prinsif tauhid ini, telah bercampur dengan politheisme yang tersebar luas di kalangan masyarakat Makkah pada saat itu. Jadi misi terberat Rasulullah adalah untuk membersihkan pemahaman terhadap esensi tauhid itu sendiri yang kemudian dengan adanya pencerahan tersebut akan memberikan implikasi pada pembentukan moralitas dan perilaku yang islami. Menurut Zuhairini dkk. "tugas inti Muhammad dalam priode Makkah adalah untuk memancarkan kembali sinar tauhid dalam kehidupan umat manusia umumnya, dan yang pertama-tama dihadapinya adalah kehidupan bangsa Arab pada masanya. Dan inilah yang menjadi intisari dari pendidikan Islam pada masa/priode Makkah".18 Ajaran tauhid yang kemudian dibarengi pula untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang lebih adil dilakukan Rasulullah dengan cara yang bijaksana. Pendekatan rasionalitas yang dipadukan dengan keteladanan dan kesucian perilakunya telah memberikan pengaruh yang sangat penting dalam menyadarkan masyarakat yang ada disekitarnya untuk menelaah kembali prilaku yang selama ini mereka lakukan. Amir Ali dalam karyanya The Spirit of Islam, menguraikan pendekatan yang dilakukan Nabi dengan ungkapan yang indah, yakni ketika Rasulullah menyampaikan ajaran tauhid dengan mengajak orang untuk merenungi fenomena keagungan Tuhan yang nampak pada wujud ciptaan-Nya. Amir Ali menyatakan, Nabi Yang membawa monotheisme itu terutama adalah Nabi Pengagum Alam. Seruannya untuk hidup bersusila dan penegasannya yang sungguh-sungguh tentang kekuasaan Tuhan, berdasarkan pengakuan rasionil dan intelektual terhadap suatu susunan yang ada dalam segala, pengakuan kehadiran yang nampak dari suatu Kecerdasan, suatu Iradat, yang mengatur, memimpin dan memerintah alam semesta. Mukzizatnya yang paling besar adalah Kitab yang didalamnya ia telah mencurahkan dengan bahasa ilham segala "pernyataan ala, 17 Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur`an, terj. Anas Mahyuddin, cet. I, (Bandung: Pustaka, 1983), hal. 55 18 Zuhairini dkk., Sejarah Pendidikan Islam, cet.IV, (Jakarta: DEPAG dan Bumi Aksara, 1995), hal. 23 8 kata hati dan nubuwat". Apakah kamu meminta mukzizat yang lebih besar dari ini, wahai kaum yang kafir! dari bahasamu yang hina yang dipilih menjadi bahasa Kitab yang tidak ada taranya satu ayat daripadanya saaja mengalahkan semua puisimu kencanan dan kasidah-kasidahmu yang digantung untuk menyampaiakan berita gembira tentang karunia bagi seluruh ummat, peringatan terhadap kesombongan dan kezaliman.19 Sebagai ringkasan dalam melihat materi yang disampaikan Rasulullah Saw. dalam priode Makkah, kiranya tepat untuk menyajikan paparan yang dikemukakan Mahmud Yunus, yang menyatakan bahwa materi pendidikan dalam era pembinaan pendidikan Islam masa Makkah meliputi; 1. Pendidikan keagamaan, yaitu adanya kesadaran bahwa amalan manusia sepenuhnya memiliki kaitan yang erat dengan Tuhan. Tidak ada amal apapun yang dapat dilepaskan dari pengawasan dan kemudian imbalan yang akan diberikan Tuhan. 2. Pendidikan akliyah dan ilmiyah, yakni penekanan kembali kepada masyarakat untuk mengaktifkan potensi rasional yang dimilikinya dengan mengamati gejala-gejala alam dan menarik pelajaran yang berharga dari berbagai peristiwa itu, dan adanya kemauan kuat untuk membersihkan diri dari mitos-mitos yang telah membelenggu pikiran dan tindakan. 3. Pendidikan akhlak dan budi pekerti. Hal ini berkaitan dengan penataan kembali interaksi baik antara sesama manusia maupun antara manusia dengan Tuhan. Perbaiakan hubungan yang telah tercemar dengan kebiasaan eksploitasi dan dominasi yang harus digantikan dengan pola hubungan yang saling menyayangi dan menghormati. 4. Pendidikan jasmani. Hal berkaitan dengan pesan-pesan awal Islam yang sangat menekankan akan pentingnya menjaga kebersihan. Kebersihan dalam Islam tidak hanya dibatasi pada kualitas material, tetapi juga mencakup pentingnya mewujudkan kebersihan spiritual dan emosional. Ini misalnya terwujud dengan berbagai amalan ibadah yang memadukan antara kebersihan jasmani sebagai titik awal berangkatnya untuk mencapai kebersihan rohani, seperti shalat.20 Pendidikan yang dilakuklan ini perlahan mulai menemukan lahannya, meskipun tantangan yang beliau hadapi juga sangat berat. Perjuangan ini kemudian bertambah kuat setelah beliau menjadikan rumah al-Arqam bi Abi al-Arqam sebagai tempat berkumpulnya orang-orang yang telah dan ingin mempelajari Islam secara lebih intensif. Tempat inilah yang kemudian menurut para sejarawan yang dapat dianggap sebagai institusi pendidikan Islam yang pertama tentu saja masih dalam bentuknya 19 Sayid Amir Ali, Api Islam, terj. H.B. Yassien, cet. III, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hal. 135 20 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, cet. I, (Bandung: al-Maarif, 1966 ), hal.5-6 9 yang sangat sederhana.21 Adapun hal yang terpenting yang telah diletakkan fondasinya selama pendidikan yang berlangsung di Makkah adalah Aqidah, Ibadah dan akhlak.22 Perjuangan Rasululah dalam kegiatan pendidkan di Makkah berlangsung selama lebih kurang 13 tahun, dari tahun 610 M. hingga tahun 622 M. yakni kemudian tiba masanya beliau hijrah ke Madinah yang sebelumnya bernama Yatsrib. V. Penutup Dari uraian di atas diketahui bahwa pendidikan telah tumbuh di kalangan bangsa Arab, meskipun hanya terbatas pada kemampuan membaca dan menulis, tetapi hal ini masih bersifat sangat elitis. Artinya tidak banyak orang yang mempunyai kemampuan dalam bidang ini, dan inipun umumnya hanya terbatas pada penganut agama Yahudi dan Nasrani. Watak yang demikian kemudian mengalami sebuah pergeseran yang sangat besar dengan diangkatnya Muhammad sebagai rasul. Misi pertama yang beliau lakukan adalah dengan mendidik akhlak manusia dalam keseluruhannya aspeknya; hubungan manusia dengan Tuhan, dengan manusia dan hubungan manusia dengan lingkungannya. Perjuangan menegakkan tauhid di kalangan masyarakat Quraisy mendapat tantangan yang keras dari kalangan bangsawan Makkah. Terutama ketika nabi Muhammad mulai mempertanyakan secara kritis berbagai praktek atau tradisi yang menyimpang dari ajaran Nabi Ibrahim, yang merupakan agama yang telah berkembang sebelum diutusnya Muhammad. Konflik yang berkepanjangan ini kemudian menyebabkan Rasulullah memutuskan untuk melakukan hijrah. Dalam masa Makkah orientasi pendidikan yang sangat menonjol adalah penanaman fondasi Tauhid dan akhlak. Untuk terlaksananya pendidikan sebagaimana yang diharapkan berkembanglah berbagai lembaga yang berfungsi sebagai tempat terjadinya proses pembelajaran. Di antaranya yang terpenting adalah Masjid, Kuttab dan rumah-rumah penduduk. Pendidikan yang berlangsung pada masa nabi bersifat totalitas. Ini artinya Rasululah memberikan perhatian yang 21 M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdaasarkan Pendekatamn Inter-Disipliner, cet. II, (Jakarta: Bina Aksara, 1993), hal. 83. lih. Juga Mamud Yunus, Sejarah Pendidikan …hal. 6 22 Mahmud Yunus, sejarah….hal. 9-12 10 menyeluruh pada pengembangan segenap aspek kepribadian manusia yang mencakup pembinaan rohani, jasmani. Aspek intelektual, emosional dan spiritualnya. Dalam rangka menyukseskan pendidikan ini Rasulullah menerapkan berbagai metode yang relevan dengan konteks yang dihadapinya, sehingga terjadi sinergi yang berkelanjutan yang kemudian menghasilkan sebuah tatanan masyarakat yang ideal. Daftar Pustaka Abdul Hamid al-Hasyimi, 2001, Mendidik Ala Rasulullah (Bagaimana Rasulullah Mendidik), terj. Ibn Ibrahim, cet. I, Jakarta: Pustaka Azzam Ahmad Amin, 1991, Islam dari Masa ke Masa, terj. Abu Laila dan Muhammad Tohir, cet. I, Bandung: Remaja Rosdakarya Ahmad Syalabi, 1997, Sejarah Kebudayaan Islam I, cet. IX,Jakarta; Al-Husna Zikra. _______, Sejarah Pendidikan Islam, terj. Muchtar Yahya dan M. Sanusi Latif, Jakarta: Bulan Bintang. Akram Dhiyaudin Umari, 1999, Masyarakat Madany: Tinjauan Historis Kehidupan Zaman Nabi, terj. Mun’im A. Sirry, cet.II, Jakarta: GIP. Asghar Ali Engineer, 1999, Asal Usul dan Perkembangan Islam, terj.Imam Baehaqi, Yogyakarta;Pustaka Pelajar. Asma Hasan Fahmi, 1979, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, terj. Ibrahim Husein, cet. I, Jakarta: Bulan Bintang. Azyumardi Azra, 1999, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, cet. I, Jakarta: Logos. Charles Michael Stanton, 1994, Pendidikan Tinggi Dalam Islam, terj. Afandi dan Hasan Asari, cet. I, Jakarta: Logos. Hasan Langgulung, 1992, Asas-Asas Pendidikan Islam, cet. II, Jakarta: Al-Husna Zikra. Hasbullah, 1995, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembangan, cet. I, Jakarta: Rajawali Pers. M. Alawi Al-Maududi Maliki, 2002, Prinsip-Prinsip Pendidikan Rasulullah (Ushul At-Tarbawiyah an-Nabawiyah), terj. Muhammad Ihya` Ulumuddin, cet. I, Jakarta: Gema Insani Press. M. Arifin, 1993, Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatamn Inter-Disipliner, cet. II, Jakarta: Bina Aksara. Mahmud Yunus, 1996, Sejarah Pendidikan Islam, cet. I, Bandung: al-Maarif. Muhammad H. Haekal, 1982, Sejarah Hidup Muhammad, terj. Ali Audah, cet.VIII, Jakarta; Tintamas. Muhammad Quthb, 1984, Sistem Pendidikan Islam, terj. Lukman Harun, cet. I, Bandung: al-Maarif. Philip K. Hitti, 1974, Hsitory of The Arabs, ed. X, Great Britain; Oxford University Press. Syed Hossein Nasr, 1997, Muhammad Kekasih Allah, terj.R.Soeryadi Joyopranoto,cet.II, Jakarta; Srigunting. Zuhairini dkk., 1995, Sejarah Pendidikan Islam, cet.IV, Jakarta: DEPAG dan Bumi Aksara. 11