1 SEJARAH TURUNNYA AL-QUR'AN (Melacak Akar Historisitas Turunnya al-Qur'an) S. Mahmudah Noorhayati Abstract: This paper examines the history of the fall of al-Qur'an. Based on the literature review, it is known that the condition of Arabia before the revelation of the Koran is ignorance in its wild and loud. Although there is disagreement about the periodization of the decline of the Koran, but it seems clear the presence of the Koran in the midst of the Arab community has been able to change the mindset and subdue the wild character of the pagan Arabs into civilized society and character. Key Words: Koran, History, Saudi, Arabia. Pendahuluan Allah menurunkan al-Qur'an kepada Nabi kita Muhammad saw untuk memberi petunjuk kepada manusia. Turunnya al-Qur'an merupakan peristiwa besar yang sekaligus menyatakan kedudukannya bagi penghuni langit dan penghuni bumi. Sebagai satu-satunya wahyu yang masih ada hingga sekarang, al-Qur'an merupakan Kitab yang tidak pernah tercampur dengan kebatilan dari manapun datangnya. Sebagai verbum-dei (kalamu Allah), al-Qur'an mencakup spiritualitas dan doa Muhammad (al-baqarat al-Muhammadiyat), dan semua jalan spiritualnya berasal dari substansi eksistensi Rasul sendiri melalui penurunan Firman Tuhan ke dalam jiwa rasulnya yang suci.1 Kandungan pesan Illahi yang disampaikan Nabi pada permulaan abad ke-7 itu telah meletakkan basis untuk kehidupan individual dan sosial kaum muslimin dalam segala aspeknya. Bahkan, masyarakat muslim mengawali eksistensinya dan memperoleh kekuatan hidup dengan merespon da'wah al-Qur'an. Menjadi suatu keharusan dan keniscayaan bagi orang-orang Islam untuk mengenal sejarah turunnya al-Qur'an, karena al-Qur'an selain sebagai sumber ajaran Islam, juga sebagai way of life yang menjamin kesenangan dan kebahagiaan dunia akhirat bagi pemeluknya. Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia yang meletakkan dasar-dasar prinsipil segala persoalan kehidupan dan merupakan Kitab yang universal. Dari masa ke masa telah banyak diantara para pakar berlomba-lomba atau berkompetisi mengkaji dan menganalisa keistimewaan al-Qur'an berdasarkan disiplin Dosen STAIT Modern Sahid Bogor. Email: [email protected] Wahid, Studi al-Qur'an Kontempoter; perspektif Islam dan Barat (Bandung: Pustaka Setia, Agustus 2005), h. 33. 1Marzuki 2 ilmunya masing-masing.2 Meski berbeda disiplin, namun hasilnya sesungguhnya sama bahwa al-Qur'an merupakan Kitab yang diturunkan oleh Allah swt yang mempunyai keistimewaan sangat tinggi dibanding dengan kitab-kitab sebelumnya. Kalau dilihat dari turunnya sebagai sebuah tamsil saja, al-Qur'an diturunkan oleh Allah swt kepada Nabi Muhammad saw tidak dimulai secara kronologis seperti pada kitab perjanjian lama atau sejarah genealogis seperti pada kitab perjanjian baru3 dan juga sering kita jumpai dalam ayat-ayat al-Qur'an ditulis secara acak, sebagaimana yang ditegaskan Quraish Shihab seorang mufassir Indonesia bahwa penulisan al-Qur'an secara acak mencerminkan adanya antara satu ayat dengan ayat lainnya terdapat kesinambungan yang harus kita taati dan kita jalani perintah atau petunjuk-Nya.4 Pada kesempatan lain, Quraish Syihab menegaskan bahwa mempelajari al-Qur'an wajib hukumnya, karena al-Qur'an sangat erat kaitannya dengan ilmu pengetahuan.5 Dengan kata lain, mungkin Quraish Shihab akan mengungkapkan bahwa al-Qur'an tidak mampu berbicara sendiri membawa misi yang ada pada dirinya tanpa dipelajari, dipahami, dan dianalisa dengan metode yang relevan serta ditopang dengan disiplin ilmu-ilmu yang lain. Sementara pada masa sekarang yang notabene kehidupan serba modern, maka al-Qur'an harus mampu menjawab tantangan zaman. Lebih jauh, konteks sosial dan kultural pewahyuan penting dipahami oleh siapapun yang ingin menerapkan aturan atau ajaran al-Qur’an. Tentu saja banyak tingkatan konteks pemahaman yang diperlukan untuk menarik makna dari sebuah teks, baik yang bersifat lisan maupun tulisan. Kehidupan di Arabia Sebelum Turunnya al-Qur'an Kisah pewahyuan al-Qur’an bermula di Makkah, kota padang pasir yang terletak di Hijaz, wilayah semenanjung Arab sebelah barat laut. Pada abad ke enam, Makkah adalah daerah yang tidak nyaman dan miskin sumber daya alam. Makkah bukan wilayah oase yang teduh dan dipenuhi pohon kurma sebagaimana Yatsrib, kota yang tidak jauh dari Makkah tempat berdirinya komunitas muslim pertama.6 Makkah adalah kota tandus tak bermata air, sepi tanpa penghuni yang beberapa waktu kemudian menjadi kota ramai berkat adanya mata air Zamzam, air yang mengalir berkat tendangan kaki nabi Ismail di kala haus mendera, rupanya mampu memberi kehidupan baru bagi kota Makkah. Di kota ini pula, dibangunlah bangunan sederhana bernama Ka’bah, bangunan berbentuk kubus yang dibangun oleh nabi Ibrahim dan putranya, nabi Ismail tersebut sebagai pusat ritual peribadatan. Makkah menjadi kota sakral, pusat dimana seluruh umat muslim berkumpul menjadi tamu Allah swt dalam menyempurnakan keimanannya. 2Muhammad 3Muhammad Ali al-Shabuni, al-Tibyan fi Ulum al-Qur’an (Beirut: Alam al-Kutub, 1985), h. 7. Abdal Halim, Understanding Qur'an: Themes and Style (London: LB. Tauris & Ltd, 1999), h. 13. 4M. Quraish Syihab, Membumikan al-Qur'an (Cet. 18; Bandung: Mizan, 1998), h. 56. 5Ibid., h. 33. 6Ingrid Mattson, Ulumul Qur’an Zaman Kita Pengantar Untuk Memahami Konteks, Kisah, dan Sejarah al-Qur’an (Jakarta: Zaman, 2013), h. 18. 3 Seiring dengan itu, pada sisi lain Makkah justru menjadi penopang tumbuhnya sebuah kota perdagangan. Di penghujung abad ke-6, para pedagang besar kota Makkah memegang kontrol monopoli atas perniagaan bolak balik dari pinggiran, pesisir barat arabia ke laut tengah. Kafilah-kafilah musim dingin dan musim panas secara tradisional menjalani rute selatan dan utara dengan teratur. Rute ke selatan adalah ke Yaman atau ke Abisinia dengan barang dagangan diangkut ke dan dari India melalui laut.7 Pohon kurma dan air zam-zam menjadi teman penghilang dahaga, tempat istirahat yang nyaman bagi para pedagang. Tidak mengherankan jika ayat-ayat al-Qur'an banyak mengandung idiom-idiom perdagangan, yaitu orang-orang yang sibuk dalam berniaga sebagaimana tercermin dalam bahasa dan gagasan-gagasan kitab suci tersebut. Basis kehidupan di padang pasir adalah penggembala dan pengembangbiakan unta. Makanan pokok para pengembara adalah susu unta. Kurma dan anggur hanya dari kelebihan penjualan unta atau dari hasil penjaga keamanan para kafilah. Curah hujan di Semenanjung Arabia tidak teratur. Kaum pengembara harus mengubahubah geraknya selaras dengan kejadian pada setiap iklim. Mereka menjadi kaum nomaden, ketika tetumbuhan di musim semi telah berakhir, pengembara harus pindah ke daerah-daerah yang belum terjamah. Kondisi ini telah mencetak karakter kaum Arab menjadi liar dan kuat. Pola hidup yang diekspresikan dalam syair-syair menunjukkan bahwa hidonisme merupakan orientasi masyarakat jahiliyah yang berkecenderungan duniawi. Semangat kesukuan merupakan sumber gagasan perilaku yang terpenting bagi masyarakat Arab kuno. Semangat kesukuan juga mempresentasikan kelas-kelas yang menjadi kebanggaan bagi tiap-tiap suku telah membuat masyarakat Arab mengagungkan keganasan dan kekejaman yang buta dalam membela sukunya. Tradisi ini menjadi sebuah kewajiban yang paling suci dari segala kewajiban yang telah menjadi agama padang pasir yang sesungguhnya.8 Dunia mistis dan kekuatan pada supranatural merupakan bagian dari kepercayaan kaum Arab pra Islam. Mereka meyakini bahwa ruang dan waktu tertentu memiliki peran tertentu bagi sesuatu yang gaib. Misalnya, jika di tengah perjalanan mereka melintasi lembah yang angker, mereka akan beristirahat dekat pohon yang telah diberkati dengan sesajen, kemudian atas petunjuk peramal mereka mengambil arah dan melanjutkan pengembaraannya. Tradisi yang sudah mendarahdaging ini telah mengaburkan bahwa mereka pernah menerima ajaran-ajaran samawi. Membuat dan menyembah patung-patung, berhala sebagai simbol kehadiran tuhan mereka, telah menggeser ajaran samawi menjadi asing dan usang sehingga tidak mengherankan ketika Nabi Muhammad mendakwahkan kenabiannya menjadi bahan celaan dan tertawaan. Meskipun gelar al-Amiin yang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad adalah seorang yang arif dan jujur telah diakui oleh masyarakatnya, namun kenabian yang Nabi Muhammad proklamirkan dianggap sebagai kebohongan besar. Inilah tantangan besar yang datangnya justru dari kaumnya sendiri hingga di luar batas toleransi. Kecaman-kecaman atas tradisi mereka tidak mampu meluluhkan 7W. Montgomeri Watt, Pengantar Studi al-Qur'an (Cet. 2; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h. 7. 8Toshihiko h. 66. Izutsu, Konsep-konsep Etika Religius dalam al-Qur'an (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993), 4 karakter yang membatu.9 Sikap keras kepala mereka inilah yang akhirnya menjadi pilihan Nabi Muhammad saw untuk keluar dari komunitasnya sendiri. Inilah periode pra Islam yang disebut juga masa Jahiliyah, dimana masyarakatnya tidak bermoral, dzalim, tidak dewasa, suka balas dendam, dan dilingkupi kebodohan. Namun inilah sasaran utama misi awal Islam, menghancurkan sikap kekeraskepalaan pagan Arab yang sebenarnya bisa dijadikan modal dasar bagi penanaman nilai-nilai fundamental Islam yang dibawa oleh al-Qur'an. Karakteristik dasar masyarakat Arab sebelum Islam adalah suatu pra-kondisi bagi perkembangan Islam dan sebagai sarana yang menyediakan ekspansi Arab yang mencengangkan.10 Sifat pengorbanan dan kesetiaan yang kuat terdapat klain suku merupakan potensi terjalinnya solidaritas dan kerjasama dalam kehidupan Islam. Sikap keras dan gagah berani merupakan modal dasar bagi penyebaran awal Islam. Pada kenyataannya, al-Qur'an telah mampu mengubah pola pikir dan menundukkan karakter liar pagan Arab menjadi masyarakat yang berbudaya, menuntun mereka menuju pembaruan spiritual. Dengan kalimat laa ilaha illa Allah, nabi Muhammad saw mampu menegakkan tauhid dan menyatukan kaum yang kuat kesukuannya. Formulasi peradaban Islam abad pertengahan merupakan kristalisasi revolusi budaya Arab yang dijiwai oleh semangat al-Qur'an. Sementara itu, kondisi masyarakat Madinah sebelum kedatangan Islam lebih bersifat plural. Hal ini disebabkan oleh kondisi geografis yang jauh lebih subur dibanding dengan Makkah yang gersang dan tandus. Kehidupan keagamaan telah mewarnai masyarakat Madinah yang hidup secara berkelompok sesuai dengan klain suku. Masing-masing suku di Madinah secara umum saling memperkuat dan bersaing dalam bidang ekonomi dan pertahanan. Struktur masyarakat agraris sangat memungkinkan untuk terbentuknya pranata sosial yang lebih maju dan berbudaya jika dibandingkan Makkah yang masih nomaden. Pandangan hidup yang sudah beragama samawi akan merespon kedatangan agama baru yang dibawa oleh nabi Muhammad dengan cara yang jauh berbeda dengan masyarakat Makkah yang menganut politeisme. Periodesasi Turunnya al-Qur'an Al-Qur’an terdiri dari 30 juz, 6666 ayat, 114 surah, diturunkan oleh Allah swt. kepada nabi Muhammad saw melalui perantara malaikat Jibril secara bertahap dalam tempo 22 tahun 2 bulan 22 hari, yaitu malam 17 Ramadhan tahun 41 dari kelahiran Nabi, sampai 9 Dzulhijjah haji Wada’ tahun 63 dari kelahiran nabi atau tahun 10 H. 11 Dalam proses pewahyuannya, terdapat beberapa cara, yaitu pertama, al-Qur’an turun dengan cara Allah swt. berbicara langsung kepada nabi Muhammad dalam keadaan terjaga (tidak tidur). Kedua, malaikat Jibril turun dalam wujud manusianya dan membacakan ayat-ayat al-Qur’an kepada nabi Muhammad, kemudian diikuti oleh nabi Muhammad. Dan yang ketiga, al-Qur’an turun dengan didahului suara gemerincing lonceng yang sangat kuat. Cara yang terakhir inilah cara yang dirasa nabi 9Lihrat QS. al-Baqarah [2] :1-3. Rahman, Islam (Bandung: Pustaka, 1995), h. 1-2. 11Hudhari Bik, Tarikh al-Tasyri’ al-Islami, terj. Mohammad Zuhri (ttp: Rajamurah al-Qana’ah, 1980), h. 5-6. 10Fazlur 5 Muhammad sangat berat saat menerima wahyu Allah swt. Sedangkan pendapat lainnya muncul dari al-Suyuti seorang ahli al-Qur’an menyebutkan beberapa model lain dari pewahyuan al-Qur’an, yaitu pewahyuan dalam tidur dan pewahyuan nabi selama perjalanan Isra.12 Dalam beberapa doktrin teologis dikatakan bahwa sebelum diturunkan, alQur'an telah tersimpan dalam Lauh al-Mahfudz (QS.al-Buruj: 21-22), yaitu catatan gaib yang sangat besar, detail, dan kompleks tentang segala sesuatu yang tercipta, baik yang ada, akan ada dan sudah tiada.13 Catatan ini telah tertulis sejak zaman Azali (zaman sebelum ada penciptaan). Kemudian diturunkan secara total, utuh ke Baitul Izzah yang berada di lapisan langit terdekat dengan bumi (sama'ad dunya), kemudian diturunkan oleh malaikat Jibril secara gradual, tidak secara sekaligus, melainkan turun sesuai dengan kebutuhan. Bahkan, sering wahyu turun untuk menjawab pertanyaan para sahabat yang dilontarkan kepada nabi atau untuk membenarkan tindakan nabi Muhammad saw. Meski demikian, banyak pula ayat atau surat yang diturunkan tanpa melalui latar belakang pertanyaan atau kejadian tertentu.14 Pendapat lain menyebutkan bahwa kayfiyat diturunkannya al-Qur’an ada 3, yaitu: Pendapat pertama, al-Qur’an diturunkan ke langit dunia pada layl al-qadr sekaligus yakni lengkap dari awal hingga akhirnya. Kemudian diturunkan secara berangsurangsur sesudah itu dalam tempo 20 tahun atau 23 tahun atau 25 tahun berdasar pada perselisihan yang terjadi tentang berapa lama nabi bermukim di Makkah sesudah beliau diangkat menjadi rasul. Pendapat kedua, al-Qur’an diturunkan ke langit dunia dalam 20 kali layl al qadr dalam 20 tahun atau 23 layl al-qadr dalam 23 tahun, atau 25 layl al daqr dalam 25 tahun. Pada tiap-tiap malam diturunkan ke langit dunia, sekedar yang hendak diturunkan dalam tahun itu kepada nabi Muhammad saw secara berangsur-angsur. Pendapat ketiga, al-Qur’an itu permulaan turunnya ialah di malam layl al qadr, kemudian diturunkan setelah itu dengan berangsur-angsur dalam berbagai waktu.15 Pendapat lain menyebutkan bahwa al-Qur’an diturunkan dalam tiga kali dan tiga tingkat. Pertama, diturunkan le Lauh al-mahfudz. Kedua, ke Baityl Izzah di langit dunia. dan Ketiga diturunkan berangsur-angsur. Bagi Subhi ash-Shalih dalam bukunya Membahas ilmu-ilmu al-Qur’ann menjelaskan bahwa pendefinisian turunnya al-Qur’an seperti tersebut di atas merupakan hal yang mustahil, karena sesungguhnya proses turunnya al-Qur’an merupakan hal yang ghaib dan juga berlawanan dengan dzahir al-Qur’an.16 Adapun menurut ulama Jumhur bahwa lafadz al-Qur’an tertulis di lauh al-mahfudz lalu dipindah dan diturunkan ke bumi. Dengan demikian, tidak ada lagi lafadz-lafadz al-Qur’an di lauh al-mahfudz. 12Jalaluddin Abdurrahman ibn Abu Bakar al-Suyuti, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, jilid 2, (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1999), h. 168-171. 13Ahmad Shams Madyan, Peta Pembelajaran al-Qur'an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 60. 14Rosihan Anwar, Ulum al-Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 2007), h. 36. 15M. Hasbi Ash-Shiddiqi, Sejarah Pengantar Ilmu al-Qur’an danTafsir (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 74. 16Subhi ash-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu al-Qur’an, terj. Nur Rakhim., dkk. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), h. 55-56. 6 Menurut Hasbi ash-Shiddiqi yang dinukilkan bukan lafadz yang termaktub disana, hanya disalin lalu diturunkan. 17 Turunnya al-Qur'an pertama kali pada layl al-qadr, yaitu ketika al-Qur'an dari kerajaan Tuhan ke dasar manusia, menjadikan adanya malam al-mi'raj; ketika nabi naik ke singgasana Tuhan sebagai realisasi semua bentuk spiritualitas dalam Islam. Turunnya al-Qur'an yang kedua kali secara bertahap, berbeda dengan kitab-kitab yang turun sebelumnya, sangat mengagetkan orang dan menimbulkan keraguan terhadapnya sebelum jelas bagi mereka rahasia hikmah Illahi yang ada di balik itu. Berbicara tentang periode turunnya al-Qur'an, maka kita akan mengalami pro dan kontra dikalangan ulama Ulum al-Qur'an sendiri, sebagaimana tercermin dalam kitab al-Itqan Fi Ulum al-Qur'an yang dikarang oleh Imam al-Suyuti. Disana terdapat beberapa pendapat dan perdebatan yang begitu alot dan sengit karena sama-sama mengklaim pendapat tersebut datangnya dari Muhammad saw. Dalam Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an karya Manna Khalil al-Qattan, proses penurunan al-Qur’an dibedakan menjadi dua, yaitu turunnya al-Qur’an secara sekaligus dan turunnya al-Qur’an secara bertahap. Dalam pendefinisian tersebut disertakan juga pendapat-pendapat dari masing-masing madzhab beserta dalil pendukungnya.18 Melihat dari sisi pokok tujuan dan fungsi al-Qur'an diturunkannya pada nabi Muhammad saw khususnya, dan kepada seluruh masyarakat pada umumnya, Quraish Shihab membagi periode turunnya al-Qur'an ke dalam 3 periode.19 Periode pertama merupakan awal turunnya wahyu pertama (iqra’) dimana nabi Muhammad belum diangkat menjadi Rasul, saat nabi Muhammad saw berkhalwat dan bertahanus (kontemplasi) di gua Hira,20 pada tanggal 17 ramadlan 41 nubuwah.21 Dengan wahyu pertama itu, Muhammad merupakan seorang nabi yang tidak ditugaskan untuk menyampaikan apa yang diterima. Baru setelah turunnya wahyu yang kedualah Muhammad ditugaskan untuk mnyampaikan wahyu-wahyu yang diterimanya.22 Adapun kandungan wahyu berkisar dalam tiga hal, yaitu pendidikan bagi Rasulullah saw dalam membentuk kepribadiannya sebagaimana dalam QS. 74: 1-7, QS 73:5, QS 26: 214-216, pengetahuan-pengetahuan dasar mengenai sifat dan af’al Allah swt. sebagaimana dalam QS. 87 dan QS. 112, keterangan mengenai dasar-dasar akhlak Islamiyah, serta bantahan-bantahan secara umum mengenai pandangan hidup masyarakat jahiliyah ketika itu. Periode ini berlangsung sekitar 4-5 tahun dan telah menimbulkan bermacammacam reaksi di kalangan masyarakat Arab ketika itu. Reaksi tersebut nyata dalam tiga hal pokok; segolongan kecil dari mereka menerima dengan baik ajaran-ajaran alQur’an, sebagian besar dari masyarakat menolak ajaran al-Qur’an karena kebodohan 17Ash-Shiddiqi, Sejarah Pengantar, h. 52. Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an (Cet. 5; Jakarta: Litera Antar Nusa, 2000), h. 144-156. 19M. Quraish, Membumikan …, h. 35. 20Tahanus memang menjadi sebuah tradisi orang-orang Arab yang diproyeksikan sebagai pemimpin masa depan untuk mencari inspirasi atau ilham. 21Al-Shabuni, al-Tibyan, 16; Al-Suyuti, al-Itqan Fi Ulum al-Qur'an (Beirut: Dar al-Fikr,t.t.), h. 56; Lihat juga Alawy al-Maliki, Zubdah al-Itqan Fi Ulum al-Qur'an (Beirut, Dar al-Fikr, t.t), h. 20. 22QS. 74:1-2. 18Lihat 7 mereka, keteguhan dalam mempertahankan tradisinya, dan dakwah al-Qur’an mulai melebar melampaui perbatasan Makkah menuju daerah-daerah sekitarnya. Periode kedua dari sejarah turunnya al-Qur’an berlangsung selama 8-9 tahun. Pada masa terjadi pertarungan hebat antara gerakan Islam dan jahiliyah, gerakan oposisi terhadap Islam menggunakan segala cara dan sistem untuk menghalangi kemajuan dakwah Islamiah. Di mulai dari munculnya fitnah, intimidasi dan penganiayaan yang mengakibatkan para penganut ajaran al-Qur’an ketika itu terpaksa berhijrah ke Habsyah dan akhirnya berhijrah ke Madinah termasuk Rasulullah saw. Pada periode ini, wahyu diturunkan oleh Allah swt. mulai mengarahkan pada ajaran universal, sehingga nabi Muhammad saw mulai berdakwah dengan terangterangan karena dilihat dari ayat yang diturunkan bersifat ajaran ketauhidan dan ajaran ritual-ritual personal yang tidak menyangkut kepada nabi sepenuhnya.23 Pada masa tersebut, ayat-ayat al-Qur’an silih berganti menerangkan kewajibankewajiban prinsipil penganutnya sesuai dengan kondisi dakwah ketika itu sebagaimana dalam QS. 16: 125. Di lain pihak, ayat-ayat kecaman dan ancaman yang pedas terus mengalir kepada kaum musyrik yang berpaling dari kebenaran sebagaimana dalam QS. 41: 13. Selain itu, turun juga ayat-ayat yang mengandung argumentasi mengenai keesaan Tuhan dan kepastian hari kiamat. Peroide ketiga, dakwah islamiyah telah dapat dirasakan dan terwujud dengan prestasi gemilang, karena penganut-penganutnya telah dapat hidup dengan bebas tanpa ada tekanan dan gangguan dalam menjalankan ajaran-ajaran agama di Yatsrib yang kemudian dikenal dengan sebutan al-Madinah al-Munawwaroh (kota yang cemerlang). Periode ini berlangsung selama 10 tahun, yang mana dalam periode ini timbul berbagai macam gejolak pemikiran-pemikiran yang berkaitan dengan pengembangan dan perkembangan kota, diantaranya adalah; prinsip-prinsip apakah yang mau dipakai atau diterapkan oleh orang-orang Islam Madinah untuk mencapai kebahagiaan atau bagaimanakah sikap kita terhadap orang-orang munafik, ahl al-kitab, orang-orang kafir, dan lain-lain, semuanya diterangkan dalam al-Qur'an dengan cara yang berbeda-beda. Ayat-ayat lainnya juga menerangkan tentang akhlak dan suluk yang harus diikuti oleh setiap Muslim dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, ayatayat yang turun ditujukan kepada orang-orang munafik, ahl kitab dan orang-orang musyrik.24 Sementara itu, berdasarkan keterangan ulama yang diperoleh dalam kitab-kitab ulum al-Qur'an bahwa periode turunnya al-Qur'an terbagi menjadi 2 periode yaitu periode sebelum hijrah (surat makkiyah) dan periode setelah hijrah (ayat madaniyah).25 Periodesasi makkiyah-madaniyah ini berpijak pada peristiwa hijrah Nabi sebagai titik peralihan. Dinamakan periode makkiyah, karena ayat-ayat yang diturunkan ketika nabi Muhammad saw di Makkah dan sekitarnya sebelum melakukan hijrah ke Madinah, umumnya berisi indzar (peringatan) sedangkan ayat madaniyah karena ayat-ayat diturunkan ketika nabi Muhammad saw berada di Madinah dan umumnya berisi 23Al-Maliki, Zubdah, h. 35-36. Membumikan, h. 38. 25Al-Suyuti, al-Itqan, h. 23-24; Ash-Siddiqi, Sejarah, h. 52-56; Lihat juga M. Hasbi ash-Siddiqi, Ilmu-Ilmu al-Qur'an: Ilmu-Ilmu Pokok dalam Menafsirkan al-Qur'an (Semarang: PT. Rizki Putra, 2002), h. 80-81. 24Shihab, 8 tentang risalah. Sementara Hasby as-Sidiqi berpendapat bahwa surat-surat yang diturunkan di Makkah sejumlah 91 surat, dan adapun surat-surat yang diturunkan di madinah sebanyak 23 surat ini didasarkan pada pernyataan al-Khudari dalam kitabnya tharik al-tashri' al- islami.26 Dalam rangka untuk membedakan ayat makkiyah dan ayat madaniyah, maka ulama ilmu tafsir membuat ciri-ciri yang membedakan agar tidak terjadi salah paham dalam memahami keduanya. Ciri-cirinya sebagai berikut; ayat makkiyah biasanya berkarakter pendek sedangkan ayat madaniyah berkarakter sebaliknya yaitu panjang-panjang (ayat tiwal) ayat madaniyyah biasanya dimulai dengan 'yaa ayyuhal ladzina a..manu', sementara ayat makkiyah dimulai dengan ''yaa ayyuhan annasu'', kebanyakan dari ayat makkiyah mengandung kajian ketauhidan atau kepercayaan adanya Allah Sang Maha Pencipta, siksaan dan nikmat di hari kemudian serta urusan-urusan kebaikan. Adapun yang berkaitan dengan hukum-hukum yang tegas dan jelas kandungannya kebanyakan di turunkan di Madinah.27 Semua ayat yang diturunkan di Madinah memberikan bimbingan kepada kaum muslim menuju jalan yang diridhai Allah swt disamping mendorong mereka untuk berjihad di jalan Allah swt dan juga kita anjurkan untuk memberi bimbingan akhlak yang baik kepada kaum muslimin yang hidup pada waktu itu. Dengan kata lain, pembagian tahapan turunnya al-Qur'an secara global terbagi dalam beberapa fase yang disesuaikan dengan aspek periode, geografi, dan sosiologi. Pandangan pertama didasarkan pada aspek periode yang digabungkan dengan aspek geografis. Dalam hal ini biasa dikategorikan dengan periode Makkah dan Madinah atau sebelum dan sesudah hijrah dengan memiliki karakter masing-masing dari ayat yang turun.28 Sementara dari aspek yang berkaitan dengan tujuan-tujuan al-Qur'an dengan obyek penyampaian misinya, yaitu manusia secara umum, bagi Quraish membagi dengan 3 periode, yaitu dua periode Makkah dan sisanya periode Madinah dengan pertimbangan aspek antropologis dan psikologis. Terkandung hikmah dan faedah yang besar atas turunnya al-Qur’an secara berangsur-angsur, antara lain: Pertama, untuk menguatkan hati Rasul ketika menyampaikan dakwah, dimana nabi sering berhadapan dengan para penentangnya. Kedua, menentang dan melemahkan para penentang al-Qur’an, dimana nabi sering dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan sulit yang dilontarkan orang-orang musyrik dengan tujuan melemahkan nabi. Turunnya al-Qur’an yang berangsur-angsur ini menentang mereka untuk membuat sesuatu yang serupa dengan al-Qur’an, namun kenyataannya mereka tidak mampu, disinilah kemukjizatan al-Qur’an yang tidak tertandingi apapun dan siapapun. Ketiga, memudahkan untuk dihafal dan dipahami. Mengingat al-Qur’an turun di tengah-tengah masyarakat Arab yang ummi, yang tidak memiliki pengetahuan tentang bacaan dan tulisan, maka turunnya al-Qur’an secara berangsur-angsur ini memudahkan mereka untuk menghafal dan memahami. Keempat, mengikuti peristiwa dan kejadian-kejadian, dan Kelima, membuktikan 26Ash-Siddiqi, Sejarah, h. 35-36. h. 56. Lihat juga Nur Rofi’ah, al-Qur’an dalam Mulyadi Kartanegara, Pengantar Studi Islam (Jakarta: Ushul Press, 2011), h. 109-111. 28Ash-Shalih, Membahas …, h. 167. 27Ibid., 9 dengan pasti bahwa al-Qur’an turun dari Allah swt. sampai Dia menyempurnakan agama ini dan mencukupkan nikmat-Nya.29 Penutup Meruntut akar kesejarahan turunnya al-Qur’an merupakan bagian penting dalam memahami pesan yang terkandung dalam al-Qur’an secara utuh dan menyeluruh. Sejarah sebagai sumber ilmu pengetahuan mengungkapkan peristiwa masa silam, baik peristiwa politik, sosial maupun ekonomi pada suatu negara atau bangsa. Sejarah turunnya al-Qur’an mengindikasikan penalaran kritis dan usaha yang cermat untuk mencari kebenaran, suatu penjelasan tentang sebab dan asal-usul turunnya ayat-ayat al-Qur’an yang diamanahkan pada nabi Muhammad saw. Mempelajari sejarah alQur’an berarti bersinggungan dengan periodesasi dan rekonstruksi proses genesis, perubahan dan perkembangan dari turunnya al-Qur’an. 29Rosihon Anwar, Ibid., h. 36-37. 10 DAFTAR PUSTAKA Anwar, Rosihan. Ulum al-Qur’an. Bandung: Pustaka Setia, 2007. Bik, Hudhari. Tarikh al-Tasyri’ al-Islami, terj. Mohammad Zuhri. ttp: Rajamurah alQana’ah, 1980. Halim, Muhammad Abdal. Understanding Qur'an: Themes and Style. london: LB. Tauris&Ltd, 1999. Izutsu, Toshihiko. Konsep-konsep Etika Religius dalam al-Qur'an. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993. Madyan, Ahmad Shams. Peta Pembelajaran al-Qur'an. Yogyakarta:Pustaka Pelajar, cet. I; 2008. Maliki Alawy. Zubdah al-Itqan Fi Ulum al-Qur'an. Beirut, Dar al-Fikr, t.t. Mattson, Ingrid. Ulumul Qur’an Zaman Kita Pengantar Untuk Memahami Konteks, Kisah, Dan Sejarah al-Qur’an, terj. R cecep Lukman Yasin. Jakarta: Zaman, 2013. Rahman, Fazlur. Islam. Bandung:Pustaka,1995. Rofi’ah, Nur. al-Qur’an dalam Mulyadi Kartanegara, Pengantar Studi Islam. Jakarta: Ushul Press, 2011 Ash-Shalih, Subhi. Membahas Ilmu-ilmu al-Qur’an, terj. Nur Rakhim., dkk. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993. Al-Shabuni, Muhammad Ali. al-Tibyan fi Ulum al-Qur’an. Beirut: Alam al-Kutub, 1985. Ash-Shiddiqi, M. Hasbi. Sejarah Pengantar Ilmu al-Qur’an dan Tafsir. Jakarta: Bulan Bintang, 1993. -------. Ilmu-ilmu al-Qur'an: Ilmu-Ilmu Pokok dalam Menafsirkan al-Qur'an. Semarang: PT. Rizki Putra, 2002. Al-Suyuti, Jalaluddin Abdurrahman ibn Abu Bakar. al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, jilid 2. Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1999. Syihab, M.Quraish. Membumikan al-Qur'an, cet XVIII. Bandung: Mizan, 1998. Al-Qattan, Manna Khalil. Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an. Jakarta: Litera Antar Nusa, cet. V, 2000. Wahid, Marzuki. Studi al-Qur'an Kontempoter; Perspektif Islam dan Barat. Bandung: Pustaka Setia, 2005. Watt, W. Montgomeri. Pengantar Studi al-Qur'an, cet 2. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.