`Masalah Cina` di Indonesia

advertisement
BAB I
‘Masalah Cina’ di Indonesia
A.
Latar Belakang
Sejarah panjang keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia cukup banyak
meninggalkan dan menyisakan polemik kehidupan sosial, politik, dan budaya bagi
identitas etnis Tionghoa di Indonesia. Sejak masa pemerintahan kolonial HindiaBelanda, kebijakan-kebijakan terhadap etnis Tionghoa mulai diberlakukan.
Kehadiran dan keberartian orang-orang etnis Tionghoa seringkali disikapi acuh
tak acuh oleh masyarakat Pribumi dan Pemerintah, atau bahkan diekspresikan
secara ekstrem, dengan sangat membenci atau justru menyenangi orang-orang
etnis ini, namun tetap dalam kondisi-kondisi tertentu saja orang-orang etnis
Tionghoa mendapatkan perlakuan tersebut. Pendeknya, terdapat suatu sikap yang
tidak menentu terhadap golongan ini, yang juga terlihat pada badan-badan
Pemerintah, seperti tercermin pada kebijakan-kebijakan serta peraturan yang
diberlakukan sejak zaman kolonial hingga kini.
Kenyataan kedua adalah bahwa suatu golongan tidak perlu merupakan
kelompok yang besar untuk mempunyai kedudukan yang berarti. Proporsi orang
etnis Tionghoa terhadap seluruh penduduk Indonesia adalah sangat kecil dan
boleh dikatakan hampir tidak banyak berubah sejak tahun 1930 sampai sekarang.
Hanya sekitar 2% dari jumlah penduduk Indonesia pada tahun 1930 dan 2,6%
pada tahun 1965. Kenyataan ketiga, bahwa Indonesia, seperti kebanyakan Negara
di Asia Tenggara lainnya, mempunyai apa yang dinamakan “Masalah Tionghoa”
1
atau “Masalah Cina”. Adanya masalah ini dapat diukur terutama dari frekuensi
terjadinya tindakan kekerasan terhadap mereka sebagai sasaran langsung maupun
tidak langsung.
Melihat masalah Tionghoa sebagai bagian dari kenyataan kebhinekaan
masyarakat Indonesia ini, mengharuskan suatu pengetahuan dan pengertian yang
lebih mendalam mengenai sejarah dan peranan golongan minoritas dalam
masyarakat luas. Untuk itu kemudian muncul kesimpulan bahwa walaupun jumlah
orang etnis Tionghoa di Indonesia relativ sedikit, mereka merupakan kelompok
minoritas yang berarti. Dengan kata lain, meskipun dari segi ekonomi etnis
Tionghoa lebih menonjol dari Pribumi, kemungkinan terjadinya benturanbenturan diperbesar dengan adanya segi-segi sosial, budaya, dan politik, dan
dasar-dasarnya terbentuk sejak pemerintahan kolonial Belanda dengan kebijakan
‘devide et impera’nya, yang secara sangat sistematis memisahkan berbagai
golongan penduduk dengan golongan lainnya, termasuk golongan etnis
Tionghoa. 1
Siapakah orang Tionghoa di Indonesia? Skinner mengemukakan
bahwasannya penggolongan etnis Tionghoa di Indonesia tidak dapat didasarkan
hanya dari kriteria ras, hukum ataupun budaya yang melatarbelakangi hadirnya
etnis Tionghoa di Indonesia, tetapi pada identifikasi sosial. “Di Indonesia seorang
keturunan Tionghoa disebut orang Tionghoa, jika ia bertindak sebagai anggota
dari dan mengidentifikasikan dirinya dengan masyarakat Tionghoa”. Disebutnya
1
G. Tan, Mely. 1979. Golongan Etnis Tionghoa Di Indonesia : Suatu Masalah Pembinaan Kesatuan Bangsa.
Jakarta. Gramedia
2
bahwa satu-satunya ciri budaya yang dapat diandalkan adalah penggunaan nama
keluarga Tionghoa. Namun, sejak tahun 1966 ada anjuran penggantian nama bagi
orang-orang keturunan asing yang kemudian mengakibatkan perubahan nama
secara massal oleh orang-orang Tionghoa. Mereka yang sudah menjadi warga
Negara Indonesia dalam sensus-sensus sejak berdirinya Republik Indonesia tidak
dibedakan dari warga Negara Indonesia lainnya. Sedangkan dalam kehidupan
sehari-hari acap kali mereka sukar dibedakan dari mereka yang dinamakan
‘Pribumi’. Tidak jarang terjadi bahwa seorang yang disangka keturunan
Tionghoa, ternyata merupakan orang Manado, Bengkulu atau orang Jawa. Dengan
demikian sukar pula untuk diketahui dengan pasti berapa dan siapa sebenarnya
warga Negara keturunan Tionghoa di Indonesia.
Kalaupun dapat diadakan pembedaan antara orang-orang etnis Tionghoa
menurut kewarganegaraannya, masih ada suatu perbedaan pokok lainnya, ialah
menurut orientasi kebudayaannya. Kita dapat membedakan antara mereka yang
orientasi kebudayaannya berintikan kebudayaan yang berasal dari Tiongkok
(berbahasa Tionghoa dirumah, pernah bersekolah di sekolah Tionghoa,
mempunyai hubungan kerabat atau dagang dengan orang Tionghoa lain diluar
Indonesia), yang biasanya dinamakan orang Tionghoa ‘Totok’; dan mereka yang
orientasi kebudayaannya berintikan kebudayaan setempat, seperti Jawa, Sunda,
Ambon Manado, yang dirumahnya menggunakan bahasa setempat; pendeknya,
mereka yang telah mengalami proses akulturasi yang mendalam dengan
kebudayaan dimana mereka dilahirkan dan dibesarkan. Orang-orang ini biasanya
dinamakan ‘peranakan’.
3
Dalam kenyataannya terlihat bahwa orientasi kebudayaan ini melintasi
status kewarganegaraan: seorang Totok biasanya, tapi tidak selalu, warga Negara
asing dan ia bisa dilahirkan di luar Indonesia tapi juga di Indonesia; seorang
peranakan biasanya, tapi tidak selalu, warga Negara Indonesia dan ia selalu
kelahiran Indonesia. Seorang peranakan biasanya, tetapi tidak selalu, dilahirkan
dari perkawinan campuran (kebanyakan adalah keturunan dari ayah Tionghoa dan
ibu Indonesia), karena itu berdasarkan ras mereka bukan orang tionghoa lagi.
Namun pada umumnya masyarakat luas tidak dapat, dan pada waktu dan
keadaan tertentu berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu, tidak mau
membedakan antara mereka yang warga Negara Indonesia dan yang warga
Negara asing, sehingga terdapat kekaburan dan ketidaktepatan mengenai status
hukum maupun status sosial dalam masyarakat luas. Dan jikalau tindakan ini
dibenarkan dan diteruskan, maka seorang keturunan Tionghoa secara turun
temurun tetap diperlakukan seakan-akan ‘sekali Tionghoa tetap Tionghoa’.
Dengan kata lain, seorang keturunan Tionghoa selalu diingatkan bahwa ia adalah
keturunan Tionghoa dan harus selalu mempunyai dokumen khusus untuk
membuktikan kewarganegaraannya. 2
Dari hasil observasi M.G Tan (1976), terdapat kesan bahwa hubungan
golongan etnis Tionghoa dengan golongan etnis lainnya cenderung tegang dan
saling curiga. Sejalan dengan kesimpulan yang diutarakan oleh Edward M. Bruner
pada tahun 1957-1958 dan dilanjutkan pada tahun 1969-1971 dengan judul The
2
Ibid
4
Expression of Ethnicity In Indonesia (1972), bahwasannya keturunan perkawinan
campur antara orang Tionghoa dan orang Indonesia tidak membentuk suku bangsa
baru. Mereka memilih identitas salah satu orang tuanya yang didasarkan pada
status siapa di masyarakat yang lebih tinggi. Pada umumnya mereka lebih
memilih identitas Tionghoa karena sebagian besar dari perkawinan campuran itu
terdiri dari ayah Tionghoa dan ibu Indonesia. “Ke-Tionghoa-an” mereka, menurut
Tan, diwujudkan dalam ciri-ciri kebudayaan mereka, seperti pemujaan terhadap
nenek moyang, nilai dan norma tertentu, bahkan kadang-kadang juga nama
mereka, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. 3
Hal ini sangat serupa dengan apa yang terjadi dengan etnis Tionghoa di
Indonesia. Disebutkan sebelumnya, bahwa sudah sejak zaman pemerintahan
Hindia-Belanda politik ‘pemisahan’ golongan antar etnis telah diberlakukan,
termasuk etnis Tionghoa. Keterbatasan akses dan keterbatasan berdemokrasi
untuk menempatkan sikap kebangsaan etnis Tionghoa di Indonesia semakin
dikebiri oleh Negara, bahkan oleh masyarakatnya. Etnis Tionghoa sangat dibatasi
untuk menunjukkan sikap mereka dalam memaknai ke-Indonesia-an nya.
Kebudayaan serta kebiasaan yang mereka miliki seperti ‘terpangkas’ dengan
adanya aturan-aturan dan pembatasan-pembatasan secara tidak langsung yang
dilakukan oleh Negara maupun Pribumi. Stereotip yang tumbuh dan berkembang
terlebih sejak masa Orde Baru, semakin menguatkan kelemahan etnis Tionghoa
yang kemudian berlabelkan ‘minoritas’, bahkan di Tanah Airnya sendiri ketika
mereka telah berasimilasi dan berakulturasi menjadi warga Negara Indonesia.
3
Ibid
5
Pembatasan-pembatasan tersebut menjadi awal mula terbentuknya
‘benteng’ antara etnis Tionghoa dengan Negara dan pribumi. Insecurity terhadap
Negara dan pribumi kemudian disebut-sebut sebagai penyebab eksklusif nya etnis
Tionghoa dibandingkan dengan pribumi dan etnis lainnya. Eksklusifitas ini yang
kemudian mulai berkembang menjadi pola hidup dan kebiasaan, bahkan budaya
bagi beberapa lapisan etnis golongan Tionghoa itu sendiri. Seperti misalnya ketika
kita melihat banyak dari golongan etnis Tionghoa menengah keatas yang menjadi
sangat eksklusif dibanding dengan orang-orang etnis Tionghoa lainnya. Misal,
jika kita melihat orang-orang etnis Tionghoa yang tersebar di Ibukota Jakarta.
Etnis Tionghoa tersebut kemudian menyebar, dan beraglomerasi pada daerahdaerah tertentu yang menunjukkan identitas mereka masing-masing. Etnis
Tionghoa peranakan, yang berasimilasi dengan orang Indonesia, dan kebanyakan
dari mereka bermata pencaharian sebagai pedagang, bertempat tinggal di sekitaran
Glodok dan jalan Gajah Mada, yang kemudian orang bilang sebagai ‘Cina
Benteng’. Sebutan Cina Benteng muncul karena ada pembedaan latar belakang
financial dengan orang Tionghoa ‘Totok’ lainnya, yang beraglomerasi di sekitaran
daerah Kelapa Gading dan Pluit, Jakarta Utara. Orang-orang Tionghoa ini dikenal
sebagai pengusaha, golongan menengah keatas, yang cukup menguasai pusat
perekonomian dan bisnis, baik di Ibukota maupun di daerah-daerah. Padahal sejak
zaman dahulu, orang Tionghoa sudah dikenal sebagai pedagang. Namun seiring
berjalannya waktu, orang-orang Tionghoa di Indonesia mulai bertransformasi
menjadi konglomerat yang kapitalis. Tinggal di daerah-daerah pemukiman
tertentu yang memisahkan diri dengan pemukiman etnis atau golongan lain. Etnis
6
Tionghoa membangun in-group yang tanpa mereka sadari semakin menjauhkan
etnis mereka dengan budaya demokrasi dengan masyarakat Indonesia yang
pluralis.
Insecurity juga disebut-sebut sebagai faktor yang dijadikan alasan pilihan
anak-anak Tionghoa disekolahkan di sekolah-sekolah swasta, terlebih berbasis
Yayasan. Perlu diingat bahwasannya pilihan tersebut merupakan hasil dari luka
lama yang dirasakan pada pemerintahan masa Orde Baru, dimana kebijakan
Soeharto yang mengimbau anak-anak berkebangsaan asing yang tinggal di
Indonesia untuk masuk sekolah Negeri dan swasta yang mengajarkan kurikulum
nasional. Salah satu bagian kebijakan ini tentang pendirian organisasi mengatur
pemberian izin Pemerintah hanya kepada organisasi yang bergerak di bidang
kesehatan, keagamaan, dan jasa pemakaman serta olah raga dan hiburan, dengan
jumlah tertentu warga asing (Tionghoa). Pembatasan ini dapat dilihat sebagai
upaya Pemerintah untuk menekan segala macam kegiatan politik dan atau gerakan
yang melibatkan unsur komunisme (Aimee, 2010). Selain itu, maraknya bullying
oleh golongan pribumi kepada etnis Tionghoa di sekolah-sekolah juga menjadi
factor insecurity yang dirasakan orang-orang Tionghoa di sekolah Negeri dan
swasta pribumi tersebut.
Karena adanya pembatasan dan insecurity tersebut, budaya dan bahasa
Tionghoa yang sebelumnya, pada masa pemerintahan kolonial Belanda, masih
diperbolehkan sekolah nya, pada masa pemerintahan Orde Baru justru dipangkas.
Hal tersebut kemudian berdampak pada mind-set dan rational-choice etnis
Tionghoa pasca Orde Baru untuk dapat ‘menghidupkan’ kembali kebudayaan dan
7
kebiasaan lama sekolah mereka. Dimana mereka dapat merasakan keamanan dan
kelestarian budaya Tionghoa hanya dengan lingkungan yang berisikan orangorang Tionghoa juga.
Berdasarkan fenomena-fenomena tersebut, dapat dipahami bahwasannya
pemikiran tentang identitas Indonesia Tionghoa merupakan konsep yang sukar
ditangkap dan melibatkan banyak penyebab yang saling berkaitan, terutama
sejarah masa lampau etnis Tionghoa di Indonesia. Penyebab yang saling terkait ini
dan dapat meliputi teritorialitas, afiliasi agama, pengaruh keluarga, sikap
hubungan antara Pribumi dengan Tionghoa, kelas, patriarki, dan pencarian jodoh,
semuanya memberi andil kepada corak sistem representasi yang mendasari pola
interaksi dan identifikasi diantara orang Indonesia Tionghoa. 4 Dan seiring
berjalannya waktu, sejarah etnis Tionghoa dari zaman kolonial Belanda, Orde
Baru, Reformasi sampai pada saat ini kemudian semakin mengalami proses
pergeseran. Dari etnis minoritas, menjadi etnis dan komunitas yang superior dan
bahkan eksklusif. Mereka yang dahulu termarjinalkan, kini memegang kekuatan
pada beberapa sektor vital Negara, seperti perekonomian. Pribumi tidak lagi
memandang mereka sebagai orang-orang minoritas yang tidak memiliki hak dan
akses terhadap Negara dan lingkungan seperti perspektif terdahulu. Namun, justru
keadaan berbalik. Kini kebanyakan etnis Tionghoa yang lebih memegang kendali
daripada orang-orang Pribumi dan bahkan oleh Negara. Mereka seakan terpisah
dari Negara dan masyarakat lainnya, membentuk suatu ‘komunitas’ atau in-group
atas dasar kultur subjektifnya, dengan kekuatan finansial, terlebih di dukung
4
Dawis, Aimee Ph.D. 2010. Orang Indonesia Tionghoa Mencari Identitas. Jakarta. Gramedia
8
dengan perkembangan stereotip masyarakat akan kehidupan sosial etnis Tionghoa
di Indonesia, mereka bertransformasi menjadi etnis yang superior dan eksklusif.
Namun tanpa disadari, dengan kebudayaan dan life style etnis mereka sendiri lah
yang memperkuat label dan disain ‘minoritas’ tersebut, sehingga “Tionghoa akan
tetap Tionghoa”.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan di bagian latar belakang,
maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana proses self-minoritisasi terjadi di Jakarta?
C.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk menyingkap bahwasannya proses inklusi
maupun eksklusi, dalam hal ini terkait label ‘minoritas’ terhadap etnis Tionghoa,
tidak dapat dilihat hanya melalui perspektif Negara dan masyarakat Pribumi saja.
Namun, dapat kita lihat bahwa adanya label ‘minoritas’ terhadap etnis Tionghoa
merupakan sesuatu yang ‘dilestarikan’ oleh etnis Tionghoa itu sendiri melalui
kultural subjektif nya yang berupa kebudayaan dan kebiasaan etnis Tionghoa.
D.
Kerangka Teori
Penelitian ini dilakukan untuk menyingkap bahwasannya proses inklusi
maupun eksklusi, dalam hal ini terkait label ‘minoritas’ terhadap etnis Tionghoa,
9
tidak dapat dilihat hanya melalui perspektif Negara dan masyarakat Pribumi saja.
Namun, dapat kita lihat bahwa adanya label ‘minoritas’ terhadap etnis Tionghoa
merupakan sesuatu yang ‘dilestarikan’ oleh etnis Tionghoa itu sendiri melalui
kultural subjektif nya yang berupa kebudayaan dan kebiasaan etnis Tionghoa.
Skema dibawah menjelaskan proses praduga adanya self-minoritisasi oleh
etnis Tionghoa di Indonesia. Self-minoritisasi sendiri merupakan istilah yang
penulis buat untuk menjelaskan fenomena yang menjadi kecurigaan penulis
terhadap kemungkinan label ‘minoritas’, yang baik sengaja maupun tidak sengaja,
‘dilestarikan’ oleh etnis Tionghoa melalui kebudayaan, kebiasaan, serta kehidupan
sosial etnis Tionghoa di Indonesia. Negara, masyarakat, dan etnis (Tionghoa
maupun etnis lainnya), yang terdapat pada skema dibawah merupakan aktor-aktor
yang memiliki perspektif masing-masing terhadap aktor lainnya. Perspektifperspektif
tersebut
ditunjukkan
dengan
lingkaran
yang
masing-masing
menunjukan komunitas Negara, Pribumi dan Tionghoa itu sendiri yang saling
terkait satu sama lain. Dari perspektif-perspektif yang ada, kemudian berkembang
menjadi stereotip yang melekat di masyarakat hingga saat ini. Namun ditengahtengah stereotip yang ada di masyarakat, bahwasannya etnis Tionghoa adalah
golongan ‘minoritas’ di Indonesia, patut dipertanyakan apakah jangan-jangan ada
praktik self-minoritisasi yang secara sengaja maupun tidak sengaja ‘dibentuk’ dan
‘dilestarikan’ oleh etnis Tionghoa melalui budaya, kebiasaan, dan kehidupan
sosialnya sendiri. Sehingga sampai saat ini ‘Masalah Cina’ atau keminoritasan
etnis Tionghoa masih menjadi problematika yang belum terselesaikan di
Indonesia.
10
Konsep yang penulis coba tawarkan dalam membangun kerangka teori
adalah terkait identitas sosial serta turunannya, yakni stereotip. Dalam khazanah
psikologi sosial kajian terhadap proses interaksi antarkelompok sosial tersebut
kemudian melahirkan sebuah tradisi teoretis yang kuat dan berpengaruh hingga
sekarang, yang disebut sebagai teori identitas sosial. Area kajian teori identitas
sosial adalah pembahasan tentang perilaku-perilaku individu dalam konteks
hubungan antarkelompok yang mencerminkan keberadaan unit-unit sosial lebih
besar dimana individu bernaung didalamnya, seperti organisasi-organisasi sosial,
sistem-sistem kebudayaan, dan sistem-sistem sosial lainnya yang mana individu
cenderung akan menempatkan hal-hal tersebut sebagai rujukan bagi perilakuperilaku sosialnya (Tajfel, 1974). Dengan demikian terdapat pula pola yang relatif
stabil mengenai proses terbentuknya perilaku-perilaku individu di level interaksi
antarkelompok, yaitu bahwa setiap hal yang dipikirkan, dirasakan, dan dilakukan
individu pada dasarnya merupakan manifestasi dari nilai-nilai, kebiasaankebiasaan, aturan-aturan, dan norma-norma tertentu yang berkembang di level
kelompok (Padilla dan Perez, 2003). Dengan kata lain, perilaku individu
merupakan fungsi langsung dari sistem-sistem nilai yang berkembang di
kelompoknya.
11
SelfMinoritisasi
Identitas sosial terbentuk dari keterlibatan, rasa peduli, dan rasa bangga
individu sebagai bagian dari kelompok sosial yang dinaunginya (Hogg dan
Abram, 1990: 2-3). Ia merupakan bagian dari konsep diri individu yang
bersumber dari pengetahuan tentang keanggotaannya dalam suatu kelompok
sosial yang menganut nilai, norma, dan ikatan emosional tertentu yang mampu
menyatukan anggota-anggotanya (Tajfel, 1982: 2). Dengan demikian, identitas
sosial adalah bagian dari konsep diri individu yang berasal dari pengetahuannya
selama berada dalam sebuah kelompok sosial tertentu melalui mana individu
tersebut dengan sengaja menginternalisasi nilai-nilai, turut berpartisipasi, serta
mengembangkan rasa peduli dan kebanggaan terhadap kelompoknya.
Teori identitas sosial memiliki tiga asumsi utama. Yang pertama, setiap
individu akan berusaha mempertahankan konsep dirinya yang positif. Kedua,
konsep diri tersebut lahir dari identifikasi terhadap kelompok sosial yang lebih
12
besar. Dan yang ketiga, upaya individu dalam mempertahankan konsep dirinya
yang
positif
itu
cenderung
dilakukan
dengan
membanding-bandingkan
kelompoknya dengan kelompok lain (Operario dan Fiske, 1999: 26-54). Proses
perbandingan sosial ini umumnya didorong oleh motif persaingan antarkelompok,
yang tidak jarang akan berujung pada konflik sosial ketika variabel-variabel
struktural seperti distribusi kekuasaan yang tidak adil, hierarki sosial yang terlalu
timpang, persaingan memperebutkan sumber daya dan pengaruh, serta upaya
mempertahankan harga diri kelompok itu tereskalasi dalam hubungan
antarkelompok. Kondisi ini memungkinkan masing-masing kelompok sosial akan
mempersepsi kelompok lain (outgroup) sebagai pesaing, ancaman jahat, buruk,
sementara dalam waktu yang bersamaan akan muncul kecenderungan yang
sebaliknya, yaitu melihat kelompok (ingroup) sendiri sebagai yang lebih baik dan
unggul (Padilla dan Perez, 2003).
Pembahasan mengenai teori identitas sosial tentu tidak dapat dipisahkan
dengan teori kategorisasi diri (self-categorization theory). Menurut Turner dkk
(1987: 8-10), realitas sosial merupakan tempat berkembangnya nilai-nilai yang
menjadi acuan bagi identitas kelompok, dan dalam perkembangannya kemudian
melahirkan batas-batas antarkelompok. Identitas yang mewujud dalam interaksi
sosial dengan demikian merupakan penjelmaan dari kegiatan memilih, menyerap,
sekaligus mempertahankan nilai-nilai tersebut, sehingga dalam konteks ini bisa
dibaca
bahwa
pada
dasarnya
setiap
kelompok
akan
membawa
dan
memperjuangkan kepentingannya masing-masing dalam interaksi sosial. Hal ini
juga dipahami bahwa kecenderungan sebuah kelompok sosial untuk menyerap
13
nilai-nilai tertentu ketimbang yang lainnya merupakan cara kelompok tersebut
dalam membuat batas pembeda antara dirinya dengan kelompok-kelompok lain.
Proses yang mewakilinya disebut dengan kategorisasi diri. Bagi individu yang
menjadi bagian dari kelompok sosial tersebut selanjutnya akan menempatkan
nilai-nilai yang berkembang dalam kelompoknya itu (ingroup) sebagai rujukan
dalam berperilaku dan menjadi bagian dari identitas sosialnya, sementara disaat
yang bersamaan dia akan bersikap sebaliknya untuk kelompok lain, yaitu
cenderung merendahkan nilai-nilai yang berkembang dan dianut oleh kelompok
lain (outgroup) (Krizan dan Baron, 2007).
Kategorisasi diri sebagai bagian tak terpisahkan dari kelompok pada
akhirnya akan melahirkan apa yang disebut depersonalisasi (depersonalization)
atau kondisi dimana identitas personal semakin melemah dan identitas sosial
semakin menguat. Menurut Hogg dan Mullin, depersonalisasi muncul dari motifmotif untuk mereduksi ketidakpastian yang dialami individu. Ketidakpastian itu
dapat diredusir bilamana individu bersedia meleburkan dirinya kedalam identitas
kelompok yang dapat menjamin rasa aman dan keutuhan. Ketika depersonalisasi
terjadi, anggota-anggota kelompok melihat diri mereka sebagai satu kesatuan dan
akan melihat individu-individu dari kelompok lain sebagai pihak yang berbeda
dengan diri mereka (Hogg dan Mullin, 1999: 254-257).
“Identitas sosial merupakan seperangkat ciri-ciri, kepercaayaan, hasrat,
atau prinsip-prinsip tindakan yang membuat seseorang berpikir bahwa
dirinya secara sosial itu berbeda dari orang lain dalam sejumlah cara,
yakni (a) dia bisa memperoleh kebanggan dari dirinya; (b) kalaupun dia
14
tidak mendapat kebanggan itu, dia akan tetap menggunakan identitas
tersebut untuk mengarahkan tindakan-tindakannya. Sebab tanpa hal itu,
dia tidak akan tahu tentang bagaimana cara bertindak dan apa yang mesti
dilakukan; atau (c) dia merasa tidak dapat mengubahnya sekalipun dia
mengkehendakinya.” (Fearon, 1999: 25)
Syarat (b) dan (c) secara langsung berhubungan dengan counterexample.
Syarat (b) menjelaskan kondisi dimana kita terkadang melihat identitas personal
sebagai seperangkat prinsip atau norma yang secara fundamental mengarahkan
dan membentuk perilaku sehari-hari kita tanpa kita menyadari mengapa kita
mempercayainya begitu saja. Sementara (c) menjelaskan kondisi dimana kita acap
kali harus menerima atau melakukan hal-hal tersebut diluar kendali kita,
meskipun kita sebenarnya telah mencoba untuk tidak mengakui atau
melakukannya. Kondisi ini mengindikasikan bahwa dalam kehidupan kita
memiliki aspek-aspek atau atribut-atribut tertentu yang menuntut kita untuk
menerimanya begitu saja. 5 Meskipun orang-orang Tionghoa tidak mengakui
bahwa mereka adalah bagian entitas yang minoritas, namun karena secara objektif
Negara dan masyarakat (pribumi) selama berpuluh-puluh tahun bahwa mereka
adalah minoritas, akhirnya mereka harus mengakui identitas mereka di Indonesia
sebagai entitas minoritas dan menjalani kehidupan sehari-hari layaknya kaum
minor dengan segala keterbatasan.
Afif, Afthonul. 2012. Identitas Tionghoa Muslim Indonesia: Pergulatan Mencari Jati Diri.
Depok. Kepik
5
15
Sebagaimana telah disinggung diatas, kategorisasi diri ini kemudian
berdampak pada munculnya fenomena depersonalisasi. Depersonalisasi terjadi
ketika dalam diri individu muncul kebutuhan untuk mereduksi ketidakpastianketidakpastian dalam lingkungan sosialnya, yaitu dengan jalan meleburkan diri
kedalam kelompok sehingga muncul perasaan aman dan utuh (Hogg dan Mullin,
1999: 261-162). Ketika depersonalisasi ini terjadi, anggota-anggota kelompok
akan melihat satu sama lain sebagai entitas homogen (outgroup homogenity) yang
berbeda dengan diri mereka (Schaller, 1992). Dengan demikian, kategorisasi
sosial pada dasarnya adalah proses pengelompokan sosial yang lebih bersifat
emosional daripada rasional.
Selain faktor pengkategorisasian diri, kemudian ada juga faktor
perbandingan sosial yang memperkuat dalam pembentukan identitas minoritas
etnis Tionghoa di Indonesia. Tajfel menyebutkan bahwa manfaat perbandingan
sosial antar kelompok bagi anggota-anggota kelompok bukan hanya kemudian
mereka lebih mampu menjelaskan siapa diri mereka yang sebenarnya, tetapi juga
mampu mengevaluasi secara positif signifikansi dan relevansi perbandingan sosial
itu guna mencapai keunikan identitas kelompok mereka (Tajfel, 1972: 296).
Faktor lain mengapa perbandingan sosial itu penting bagi individu juga karena
adanya motif untuk mengurangi ketidakpastian-ketidakpastian kondisi sosial
individu. Ketika individu merasa kurang mampu mengatasi ketidakpastianketidakpastian situasi di lingkungan sosialnya, maka secara naluriah akan muncul
kebutuhan untuk menggabungkan diri kedalam kelompok yang dianggap mampu
memberikan jaminan rasa aman. Sementara dalam konteks relasi antara kelompok
16
yang tidak aman, kreativitas sosial ditampilkan dalam bentuk-bentuk perlakuan
yang lebih merepresentasikan antagonisme kelompok, bentuknya yang paling
nyata adalah dengan memperkuat dan menegaskan supremasi ideologi kelompok
dihadapan kelompok lain. Konsekuensinya, diskriminasi sosial tidak lagi bersifat
laten, melainkan sudah menjadi manifestasi dalam hubungan antar kelompok.
Kompetisi sosial dilakukan, superioritas kelompok secara sengaja akan
ditunjukkan melalui tindakan-tindakan diskriminasi yang bersifat langsung
dengan maksud untuk membuat kelompok lain tidak berdaya dan tetap mengakui
superioritas kelompok yang berstatus tinggi atau berbeda. 6
Hal-hal tersebut kemudin bisa dipahami sebagai bentuk eksklusi sosial.
Eksklusi sosial dipahami sebagai dinamika proses atas multidimensi progresif
yang memecahkan ‘ikatan sosial’ pada level individu dan kelompok. Dengan
demikian, ikatan sosial, yakni relasi sosial, institusi-institusi serta identitasidentitas diimajinasikan atas dasar ‘rasa memiliki’. Eksklusi sosial kemudian
‘menghalangi’ partisipasi penuh yang telah ditentukan secara normatif atas
kegiatan-kegiatan yang diberikan masyarakat dan menghiraukan akses informasi,
sumber-sumber, kemampuan bersosial, pengetahuan serta identitas, kemudian
mengikis harga diri dan mengurangi kemampuan untuk mencapai tujuan
personal. 7
Perlu ditekankan juga bahwa eksklusi dan inklusi sosial merupakan
antonim yang tidak sempurna sehingga bisa dipahami tergantung pada konteks
Ibid.
Disarikan dari: Silver, Hilary. 2007. The process of social exclusion: the dynamics of an
evolving concept. Department of Sociology Brown University Providence, Rhode Island, USA
6
7
17
permasalahan yang terjadi. Dalam konteks Tionghoa, adanya diskriminasi yang
mereka terima dan dipahami sebagai bentuk eksklusi Pribumi terhadap kelompok
etnis Tionghoa bisa jadi merupakan bentuk inklusi yang sebaliknya juga
dilakukan etnis Tionghoa sebagai upaya menjaga eksistensi mereka dalam
kehidupan sosialnya. Seperti halnya seseorang yang hidup sendiri dan menutup
diri, kemudian diartikan bahwa hal tersebut merupakan hal yang merugikan
karena idealnya ada keluarga yang secara ekonomi, sosial, dan kultural dapat
membantu seseorang tersebut dalam melanjutkan hidup. Namun, ia memilih untuk
hidup sendiri, terlepas dari orang lain dan memilih untuk hidup tidak bergantung
pada orang lain. Sehingga kemudian hal ini dipandang sebagai sebuah
‘keuntungan’ yang dipilih karena dengan demikian ia dapat mengekspresikan
dirinya tanpa harus menimbulkan konflik sosial. 8
Sama halnya dengan apa yang terjadi pada etnis Tionghoa di Indonesia.
Proses inklusi dan eksklusi kemudian menimbulkan ambivalensi terhadap
identitas Tionghoa di Indonesia. Etnis Tionghoa yang dieksklusikan Pribumi pada
kenyataannya memang termarjinalkan, namun tidak sepenuhnya terisolasi secara
sosial. Hal ini dapat dilihat ketika etnis Tionghoa pada satu sisi tereksklusikan
oleh Pribumi, namun disatu sisi mereka menginklusikan diri dalam kelompok
etnis Tionghoa untuk mendapatkan kepastian-kepastian dalam kehidupan
sosialnya sehingga dipandang sebagai kelompok yang eksklusif dan superior oleh
Pribumi.
8
Ibid.
18
Indonesia Pasca Orde Baru memberikan gambaran yang lebih beragam
mengenai kondisi orang Tionghoa di Indonesia. Tekanan Negara yang semakin
melonggar memberikan kesempatan kepada mereka untuk menampilkan
identitasnya secara lebih terbuka. Namun, tidak bisa dilupakan begitu saja bahwa
orang Tionghoa Indonesia saat ini merupakan subjek sejarah yang telah mewarisi
pengalaman hidup spesifik dengan kelompok etnis lainnya, sehingga mereka
sudah sepantasnya dipandang secara berbeda. Identitas mereka saat ini dapat
dianggap sebagai konsekuensi dari ikhtiar mendefinisikan diri yang digerakkan
oleh momen-momen psikologis yang kompleks, semacam koeksistensi antara
tindakan mengingat, melupakan, dan berharap sekaligus.
H.C Triandis (1972), seorang ahli psikologi sosial terkemuka dewasa ini
menunjukkan gagasan yang disebutnya kultur subjektif, yang berarti cara khas
suatu golongan kebudayaan dalam memandang lingkungan sosialnya. Sebagian
besar konflik antargolongan yang telah terjadi, menurut Triandis, diakibatkan oleh
kultur subjektif yang berbeda-beda. Kemanapun kita memandang, kita akan
melihat konflik. Dari berbagai konflik yang terjadi ada yang berlatar belakang
kepentingan golongan, agama, ataupun ideologi. Walaupun latar belakangnya
berbeda-beda, semua konflik itu bisa meningkat jadi agresi, menghancurkan umat
manusia, dan merusak proses ekologi makhluk hidup.
Seperti juga dirumuskan oleh Herskovits (1955: 305), kultur bagi Triandis
berarti bagian dari lingkungan manusia yang merupakan hasil cipta manusia.
Kultur subjektif adalah cara khas suatu komunitas kultur dalam memandang, atau
dalam istilah teknisnya mempersepsi lingkungan yang merupakan hasil ciptaan
19
manusia. Triandis berpendapat bahwa dalam analisis kultur subjektif, stereotip
adalah konsep sentral, sedangkan kategori merupakan unsur dasar yang paling
penting. Semua golongan melakukan kategorisasi (Kluckhohn, 1954), namun
kategorisasi masing-masing kultur berbeda-beda. Menurut Turner dkk (1987: 810), realitas sosial merupakan tempat berkembangnya nilai-nilai yang menjadi
acuan bagi identitas kelompok, dan dalam perkembangannya kemudian
melahirkan batas-batas antar kelompok. Identitas yang mewujud dalam interaksi
sosial dengan demikian merupakan penjelmaan dari kegiatan memilih, menyerap,
sekaligus mempertahankan nilai-nilai tersebut, sehingga dalam konteks ini bisa
dibaca
bahwa
pada
dasarnya
setiap
kelompok
akan
membawa
dan
memperjuangkan kepentingannya masing-masing dalam interaksi sosial. Hal ini
juga dipahami bahwa kecenderungan sebuah kelompok sosial untuk menyerap
nilai-nilai tertentu ketimbang yang lainnya merupakan cara kelompok tersebut
dalam membuat batas pembeda antara dirinya dengan kelompok-kelompok lain.
Proses yang mewakilinya disebut dengan kategorisasi diri. Bagi individu yang
menjadi bagian dari kelompok sosial tersebut selanjutnya akan menepatkan nilainilai yang berkembang dalam kelompoknya itu (ingroup) sebagai rujukan dalam
berperilaku dan menjadi bagian dari identitas sosialnya, sementara disaat yang
bersamaan dia akan bersikap sebaliknya untuk kelompok lain, yaitu cenderung
merendahkan nilai-nilai yang berkembang dan dianut oleh kelompok lain
(outgroup) (Krizan dan Baron, 2007).
Stereotip sendiri adalah kategori khusus tentang keyakinan yang
mengaitkan golongan-golongan etnis dengan atribut-atribut pribadi. Stereotip
20
dianggap sebagai unsur sentral dalam analisis kultur subjektif. D.T. Campbell
(1967: 821) memberikan petunjuk bahwa semakin besar perbedaan yang nyata
tentang kebiasaan-kebiasaan tertentu, segi-segi penampilan fisik, atau bendabenda kebudayaan, semakin besar kemungkinan hal-hal itu akan tampil pada
gambaran stereotip dari kelompok tertentu tentang kelompok lain. Menurut
Lippman (1922: 1), stereotip adalah gambar dikepala yang merupakan
rekonstruksi dari keadaan lingkungan yang sebenarnya. Selanjutnya, ia
berpendapat bahwa stereotip merupakan salah satu mekanisme penyederhana
untuk mengendalikan lingkungan, karena keadaan lingkungan yang sebenarnya
terlalu luas, terlalu majemuk, dan bergerak terlalu cepat untuk bisa dikenali segera
(1922: 16). Gambaran kita tentang keadaan lingkungan itulah yang menentukan
apa yang kita lakukan. Dengan demikian, tindakan-tindakan seseorang tidaklah
didasarkan pada pengenalan langsung terhadap keadaan lingkungan sebenarnya,
namun berdasarkan gambaran yang dibuatnya sendiri atau yang diberikan
kepadanya oleh orang lain (1922: 25).
Seperti yang kita tahu bahwasannya label ‘minoritas’ telah melekat bagi
etnis Tionghoa di Indonesia sejak zaman pemerintahan Hindia-Belanda. Selama
itu pula sejarah Cina di Indonesia telah banyak membentuk stereotip yang
kemudian berkembang di masyarakat menjadi ‘keajegan’ atau kultur sosial.
Stereotip itu sendiri lahir dari perspektif-perspektif yang ditimbulkan dari Negara
dan masyarakat, baik dari regulasi-regulasi bentukan Negara maupun kehidupan
sosial di masyarakat terhadap etnis Tionghoa. Sehingga kemudian dari perspektif,
berkembang menjadi stereotip, dan sampai pada akhirnya lahirlah label
21
‘minoritas’ tersebut untuk etnis Tionghoa sebagai identitas yang melekat sampai
sekarang. Adanya kontinuitas terhadap proses pelabelan tersebut, kemudian
seperti membuat ‘zona nyaman’ bagi orang-orang etnis Tionghoa terhadap
kehidupan ‘minoritas’ sosial nya di Indonesia, baik kehidupan bernegara maupun
bermasyarakat. Indikasi adanya ‘zona-nyaman’ tersebut kemudian menjadi
keingintahuan penulis terhadap adanya praktik self-minoritisasi oleh etnis
Tionghoa tersebut. Proses self-minoritisasi ini boleh dibilang masih ‘kasat mata’,
diluar pemikiran mainstream yang ada di masyarakat bahwasannya label
‘minoritas’ tersebut lahir karena adanya sejarah kelam etnis Tionghoa di
Indonesia. Oleh karena itu, penulis menempatkan proses self-minoritisasi tersebut
didalam proses terbentuknya identitas, baik melalui stereotip yang dibentuk oleh
Negara maupun masyarakat.
Penting untuk diketahui, bahwasannya tulisan ini merupakan salah satu
studi psikologi sosial yang mengupas ‘masalah Cina’ terkait label minoritas yang
telah melekat dalam kelompok etnis Tionghoa di Indonesia. Psikologi sosial
adalah disiplin ilmu yang memahami, menjelaskan dan memprediksi bagaimana
pikiran, perasaan, dan tindakan-tindakan individu yang dipengaruhi oleh pikiran,
perasaan, dan tindakan-tindakan orang lain yang dilihatnya, atau bahkan hanya
dibayangkannya (Gordon Alport, 1968). Hal tersebut dapat dijelaskan melalui
adanya respon yang diberikan etnis Tionghoa melalui budaya dan kehidupan
sehari-harinya terhadap proses stereotyping yang diberikan oleh pihak Negara dan
pribumi, yang kemudian melahirkan proses self-minoritisasi oleh orang-orang
Tionghoa tersebut.
22
E.
Definisi Konseptual
E.1. Identitas dan Kultur Subjektif
Merupakan suatu hal yang melekat dalam diri individu yang merupakan
hasil konstruksi sosial. Dalam konteks etnis, identitas sendiri dimaknai sebagai
suatu ke’khas’an yang dijunjung tinggi oleh suatu kelompok etnis, yang berbeda
dengan etnis lainnya, baik dari segi bahasa, adat istiadat, nilai dan norma, maupun
kebiasaannya. Dalam praktiknya, konsep kultur subjektif, yakni cara khas suatu
golongan kebudayaan dalam memandang lingkungan sosialnya, membantu dalam
melihat bagaimana identitas tersebut terbentuk dalam suatu kelompok etnis.
E.2. Stereotyping dan Labeling ‘Minoritas’ Terhadap Etnis Tionghoa
Dalam pembentukan identitas, stereotip yang lahir dari konsep kultur
subjektif berperan sebagai ‘penyumbang’ lahirnya identitas yang melekat dalam
diri individu, kelompok, maupun kelompok etnis. Stereotip sendiri adalah kategori
khusus tentang keyakinan yang mengaitkan golongan-golongan etnis dengan
atribut-atribut pribadi. Kontinuitas Negara dan masyarakat diluar etnis Tionghoa
selama berpuluh-puluh tahun dalam stereotyping kemudian memberikan identitas
yang sampai sekarang terlestarikan dalam kelompok etnis Tionghoa sebagai
kelompok minoritas. Dibalik itu, yang harus kita akui bahwasannya etnis
Tionghoa tidak lantas menjadi benar-benar minoritas ketika mereka kemudian
justru ‘mengeksklusifkan’ diri ditengah label minoritas yang dilekatkan kepada
mereka.
23
E.3. Self-Minoritisasi
Self-minoritisasi adalah istilah yang dibuat penulis sebagai suatu proses
individu maupun kelompok dalam upaya meminoritaskan diri sendiri. Dalam
hubungannya dengan identitas etnis, self-minoritasasi dapat dilakukan dengan
berbagai cara internal melalui kebudayaan maupun adat istiadat, kebiasaan
individu atau kelompok, yang dilakukan baik sengaja maupun tidak sengaja. Selfminoritasasi dalam kasus Tionghoa disebut-sebut terjadi karena kuatnya stereotip
yang ada di masyarakat mengenai etnis Tionghoa sehingga mereka merasa
insecure untuk kemudian menutup diri dari berbagai hal yang ada di masyarakat.
Oleh karena itu, kemudian masyarakat semakin memandang mereka sebagai
kelompok minoritas.
F.
Definisi Operasional
Definisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini adalah terkait
dengan cara pandang antara Negara, Pribumi dan etnis Tionghoa tentang
bagaimana mereka menilai dan saling melekatkan stereotip satu sama lain. Lebih
jauh dikhususkan tentang bagaimana Pribumi dan Tionghoa yang saling
melekatkan stereotip yang kemudian membangun sekat dalam kehidupan sosial
diantara keduanya. Adanya sekat-sekat pembeda dalam kehidupan sosial Pribumi
dan Tionghoa kemudian membentuk sebuah zona nyaman, yang secara sengaja
maupun tidak sengaja diciptakan oleh etnis Tionghoa, dimana etnis Tionghoa
‘merasa’ dapat hidup terlepas dari ketidakpastian dan ketidakamanan yang mereka
24
terima ditengah-tengah Pribumi. Kehidupan dalam ‘zona nyaman’ etnis Tionghoa
ini meliputi kategorisasi diri dalam hal nilai, norma, kebudayaan serta ‘life style’
yang lebih jauh dipergunakan kelompok etnis Tionghoa sebagai rujukan dalam
berkehidupan sosial, hingga akhirnya semakin menguatkan sekat pembeda antara
Pribumi dengan Tionghoa melalui stereotip yang semakin dilekatkan oleh Pribumi
dan Negara.
G.
Metode Penelitian
Penelitian yang akan dilakukan ini akan mencoba melihat bagaimana
pembentukan label minoritas terhadap etnis Tionghoa di Indonesia dilakukan oleh
internal kelompok etnis Tionghoa itu sendiri melalui kultur subjektifnya.
Disamping dari catatan sejarah yang ada bahwa lahirnya identitas minoritas bagi
etnis Tionghoa merupakan hasil konstruksi identitas yang dilakukan oleh Negara
dan Pribumi melalui proses stereotyping.
Kepentingan utama penelitian ini bukan untuk menghasilkan data yang
dapat di perlakukan umum (generalisasi), tetapi lebih merupakan “penggambaran
kental” atau “thick description” (cf. Geertz, 1974, h. 45) sehingga pendekatan
yang lebih sesuai digunakan adalah pendekatan kualitatif. Digunakannya metode
ini dilandasi akan kebutuhan pemahaman terhadap pembentukan identitas kultur
subjektif etnis Tionghoa dalam kaitannya dengan proses stereotyping oleh Negara
dan Pribumi yang menghasilkan label minoritas bagi etnis Tionghoa.
25
Lebih jauh lagi, bahwa pada konteks penelitian ini realitas yang terbentuk
tidaklah bersifat tunggal. Hal ini sejalan dengan anggapan jika penelitian kualitatif
menganggap sebuah realitas sosial merupakan hasil konstruksi pemikiran dan
bersifat holistis, tidak seperti penelitian kuantitatif yang mengandaikan bahwa
realitas sosial bersifat tunggal, konkret dan teramati. 9 Fleksibilitas juga menjadi
faktor lain mengapa penulis menggunakan pendekatan kualitatif sebagai metode
penelitian, mengingat kemungkinan ketidaksesuaian data yang diperoleh dari
informan atau data lapangan terhadap hipotesis sebelumnya. Dan yang terakhir,
penulis memahami bahwa penelitian ini tidak akan bebas nilai dari nilai-nilai yang
ada disekitar penulis nantinya.
Metode
penelitian
yang
akan
digunakan
oleh
penulis
adalah
etnometodologi. Etnometodologi pada dasarnya adalah ‘anak’ dari fenomenologi
Schutzian. Ia mengangkat reflective glance yang dianggap penting oleh Schutz
dalam memberikan makna bagi perilaku dalam investigasi sosiologis. Garfinkel,
penemu etnometodologi berpendapat bahwa ciri utama etnometodologi adalah
‘reflektif’-nya. Ini berarti bahwa cara orang bertindak dan mengatur struktur
sosialnya sama dengan prosedur pemberian nilai terhadap struktur tersebut. Dalam
hal ini, penulis mencoba untuk mewawancarai narasumber yang dirasa
berkompeten dan memiliki pengetahuan maupun pengalaman yang cukup
mengenai proses stereotyping maupun proses pembentukan identitas apapun
terhadap etnis Tionghoa. Target utama penulis adalah narasumber dari etnis
Hendarso, Emy Susanti. Penelitian Kualitatif: Sebuah Pengantar. Dalam Metode Penelitian
Sosial, Berbagai Alternatif Pendekatan. Kencana: Jakarta. 2007. Halaman 168
9
26
Tionghoa yang mengalami ‘pembatasan’ dalam kehidupan sehari-harinya dan
dikenai stereotip oleh lingkungan sekitarnya.
Penggunaan etnometodologi dalam penelitian ini juga dibantu dengan
metode ilustrative case study yang membantu dalam menggambarkan keadaan
psiko-sosial narasumber ketika diwawancarai tentang pengalaman hidupnya
sebagai etnis Tionghoa yang termarjinalkan. Wawancara dalam metode
etnometodologi diarahkan pada respon etnis Tionghoa terhadap stereotip-stereotip
yang berkembang mengenai etnisnya, sehingga penulis kemudian dapat
mengetahui bagaimana kemudian mereka bertindak dan menilai struktur sosialnya
sama halnya dengan bagaimana prosedur pemberian nilai tersebut dilakukan
terhadap etnis mereka. Hal ini yang penulis kira dapat membantu untuk
mengetahui dan menggambarkan bagaimana reflective glance itu bekerja melalui
peristiwa-peristiwa yang dinilai sebagai bentuk self-minoritisasi etnis Tionghoa di
Jakarta. Dengan demikian diharapkan penulis dapat menemukan makna dari
reflektif yang dialami oleh narasumber yang menjadi ciri utama dari
etnometodologi. Sementara, studi literatur digunakan untuk mendapatkan data
sekunder yang sekiranya menyokong dan memperkuat argumen penulis dalam
penelitian ini.
Fenomenologi sendiri menurut Bogdan dan Biklen (1982) adalah dimana
peneliti dengan pendekatan fenomenologis berusaha memahami makna dari suatu
peristiwa dan saling pengaruhnya dengan manusia dalam situasi tertentu. 10
10 Alsa, Asmadi. 2003. Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif serta Kombinasinya dalam
Penelitian Psikologi. Yogyakarta. PUSTAKA PELAJAR
27
Dengan demikian, manusia dianggap melakukan hal ini secara terus-menerus serta
secara praktis manusia menciptakan dan membuat ulang dunia sosial. Dalam
memberikan penilaian dan mencipta dunia, manusia dianggap sangat kompeten
dan terampil dalam menjelaskan setting pengalaman sosial setiap hari.
Etnometodologi berusaha menggunakan kompetensi ini untuk mengemukakan
pemahaman yang semestinya tentang bagaimana dunia sosial bekerja yang tidak
diinterpretasikan oleh sosiolog lain.
11
Dalam implementasi observasinya, penulis
mencoba melihat bagaimana reflective glance, yang merupakan respon terhadap
stereotyping oleh Pribumi dan Negara terhadap etnis Tionghoa kemudian dapat
mempengaruhi kehidupan etnis Tionghoa di Indonesia, terutama di daerah Pluit
dan Kelapa Gading, Jakarta Utara, serta beberapa daerah di Bekasi. Untuk
kemudian, penulis dapat melihat dan menemukan makna atas kebudayaan dan
kehidupan sehari-hari etnis Tionghoa yang mereka jalani sebagai kelompok
minoritas sehingga diharapkan penulis akan melihat tahap pengkategorisasian diri
yang nantinya akan berujung pada proses self-minoritasasi pada etnis Tionghoa
tersebut.
Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan data melalui individu yang
mempunyai pengalaman pada suatu fenomena melalui teknik observasi dan
wawancara sistematik, kemudian membangun deskripsi gabungan mengenai
esensi sebuah pengalaman untuk seluruh individu. Deskripsi tersebut terdiri dari
kejadian sosial yang dapat diamati lewat indera (what) untuk kemudian
memberikan penafsiran terhadap kejadian sosial yang terjadi (how). Kekuatan dari
11 Bungin, Burhan. 2011. Metode Penelitian Kualitatif, Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam
Varian Kontemporer. Jakarta: Rajawali Pers.
28
metode ini adalah pendekatan yang holistik, sehingga diperoleh pemahaman yang
utuh dari objek yang diamati. Namun disamping itu juga terdapat kelemahan
seperti rawan penginterpretasian dan objektivitas, juga penggeneralisasian yang
dianggap tidak bisa berlaku secara umum karena membatasi diri pada suatu
setting tertentu.
G.1. Teknik Pengumpulan Data
G.1.1. Objek Penelitian
Dalam tulisan ini, penulis akan memfokuskan objek penelitian terhadap
kelompok etnis Tionghoa golongan menengah keatas di daerah Jakarta. Jakarta
sebagai lokasi penelitian ini tidaklah penulis pilih secara acak. Dalam banyak hal,
Jakarta sebagai ibukota Negara sekaligus kota metropolitan menarik para
pelajar/mahasiswa, kaum professional muda, pebisnis dan aktivis dari berbagai
Provinsi untuk datang dan mengadu nasib disana. Dengan demikian Jakarta
merupakan percampuran identitas yang majemuk. Kerusuhan anti-China pada Mei
1998 bermula juga di Jakarta, dan inilah kerusuhan yang berlangsung lebih parah
dari kota-kota lain. Jakarta merupakan pusat bisnis dan pemerintahan Indonesia:
disinilah kelompok-kelompok lobi Tionghoa dan berbagai organisasi nonpemerintah dapat menyampaikan agenda-agenda mereka kepada pengambil
kebijakan. Di Jakarta jugalah dampak berbagai kebijakan resmi pasca-1998 paling
cepat kelihatan. Jakarta merupakan tempat yang paling semarak bagi warga
Indonesia-Tionghoa untuk mengartikulasikan kembali identitas mereka: dalam
beberapa tahun terakhir ini, lembaga-lembaga kursus bahasa Mandarin
29
bermunculan di berbagai tempat, begitu pula pers dan media massa berbahasa
Mandarin serta organisasi-orgnanisasi politik, sosial dan keagamaan dikalangan
komunitas Tionghoa.
Jakarta juga menjadi tempat berbagai identitas ketionghoaan yang berbeda
saling berinteraksi. Tidaklah selalu mudah untuk mendefinisikan siapa yang
dimaksud dengan warga ‘Jakarta keturunan Tionghoa’. dalam penelitian ini,
istilah ‘Tionghoa Jakarta’ mengacu pada komunitas Tionghoa yang bersifat lintasdaerah yang berasal dari berbagai Provinsi yang berbeda, yang belajar, bekerja,
atau bermukim di Jakarta. Istilah ini juga merujuk pada warga Tionghoa ‘asli’
Jakarta, baik encek maupun encim (istilah yang mengandung pengertian lelaki dan
perempuan totok dari generasi tua) di kawasan Glodok, Jakarta Pusat, dan para
‘Hitachi’ (Hitam tapi China) atau yang lazim disebut China Betawi di Kota
Tangerang. Meskipun penulis tidak melakukan survei di berbagai Provinsi di
Indonesia dan mengamati beragam perbedaan identitas ketionghoaan di berbagai
daerah, penelitian yang ditulis didalam skripsi ini tidak bisa diabaikan begitu saja
hanya karena semata-mata terbatas pada ketionghoaan di Jakarta. Dengan meneliti
keragaman komunitas Tionghoa di ibukota ini berarti penulis telah mengkaji
berbagai pandangan yang berbeda di dalam satu tempat, yakni Jakarta. 12
G.1.2. Jenis Data
Penelitian ini memfokuskan pada proses self-minoritisasi yang mungkin
dilakukan etnis Tionghoa atas dasar kultur subjektifnya, baik kebudayaannya
12 Disarikan dari Prawacana dalam buku Yau Hoon, Chang. 2012. Identitas Tionghoa PascaSuharto: Budaya, Politik dan Media. Jakarta. Yayasan Nabil dan LP3ES.
30
maupun kebiasaan mereka. Kita menempatkan etnis Tionghoa sebagai obyek
material untuk menjelaskan dan membaca bagaimana sebenarnya identitas yang
mereka sandang sampai saat ini sebagai golongan ‘minoritas’ merupakan hasil
konstruksi kehidupan mereka sendiri sepanjang sejarah Tionghoa di Indonesia.
Untuk itu, penulis dalam penelitian ini membutuhkan data sebagai berikut:
1. Konstruksi historis stereotip terhadap etnis Tionghoa di Indonesia.
2. Proses stereotyping dan interaksi antara Negara, masyarakat
(Pribumi) dan etnis Tionghoa dalam pembentukan identitas
‘minoritas’ untuk etnis Tionghoa di Indonesia
3. Data-data terkait kebudayaan dan kebiasaan etnis Tionghoa di
tengah-tengah masyarakat yang bersifat ‘eksklusif’, yang semakin
memperkuat batasan dan perbedaan identitas dengan masyarakat
etnis lainnya
4. Respon
golongan
etnis
Tionghoa
terhadap
kehidupan
bermasyarakat tersebut yang kemudian dipahami sebagai proses
self-minoritisasi.
G.1.3. Sumber Data
Dalam penelitian ini digunakan dua jenis data, yaitu pengumpulan data
primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan dengan beberapa
cara, antara lain wawancara, observasi, dan analisis riwayat hidup yang
merupakan bagian dari teknik wawancara. Wawancara dalam suatu penelitian
adalah semua yang berhubungan dengan aktivitas mencari keterangan dengan
31
perbincangan secara langsung (face to face). 13 Lowongan dalam data yang tidak
dapat dicatat dari observasi harus diisi dengan data yang didapat dari wawancara
(Paul 1953: 441-442); Koentjaraningrat 1986; 129).
14
Wawancara ini dilakukan
dengan etnis Tionghoa dari beberapa golongan yang tesebar dalam beberapa
kawasan di Jakarta Utara dan Bekasi, juga dengan masyarakat sekitar yang
berinteraksi dengan kelompok etnis Tionghoa tersebut. Beberapa orang yang
menjadi narasumber utama dalam penelitian ini antara lain adalah:
1. Monica Suryanata dan keluarga (Etnis Tionghoa golongan
menengah kebawah)
2. Jason Iskandar (Etnis Tionghoa, Mahasiswa UGM asal Jakarta)
3. Beberapa pengusaha (Etnis Tionghoa golongan menengah keatas)
4. Masyarakat pribumi (diluar etnis Tionghoa)
Kemudian lebih dari itu, wawancara dapat dikembangkan dengan metode
analisis life history untuk memperoleh pandangan dari dalam: melalui reaksi,
tanggapan, interpretasi, dan penglihatan para warga terhadap dan mengenai
masyarakat atau etnis yang bersangkutan, sehingga diperoleh pengertian yang
mendalam dan detail. Selain itu, penulis juga melakukan observasi terkait datadata yang ada dilapangan dengan lokus seperti yang sudah disampaikan
sebelumnya serta obyek dan lingkungan terkait data-data yang diperlukan. Lebih
jauh penulis juga melakukan obrolan non-formal dengan beberapa actor yang
13 Musta’in Mashud. Teknik Wawancara. Dalam Metode Penelitian Sosial, Berbagai Alternatif
Pendekatan. Kencana: Jakarta. 2007. halaman 69-70
14 Bungin, Burhan. 2011. Metode Penelitian Kualitatif, Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam
Varian Kontemporer. Jakarta: Rajawali Pers. halaman 100
32
terkait maupun memiliki peranan dalam proses self-minoritasasi oleh etnis
Tionghoa.
Dan untuk data-data sekunder, dibantu lewat referensi-referensi dari buku,
jurnal, maupun dokumen-dokumen, baik digital maupun tidak, yang memuat
pembahasan-pembahasan terkait dengan etnis Tionghoa maupun fenomenafenomena terkait lainnya.
G.1.4. Teknik Analisis Data
Pada kenyataannya, analisis data dalam penelitian berlangsung bersamaan
dengan proses pengumpulan data. Diantaranya adalah melalui tiga tahap model
air, yaitu reduksi data, penyajian data dan verifikasi. 15 Reduksi data dapat
dimaknai sebagai sebuah aktivitas untuk menggolongkan data, mengarahkan,
membuang data-data yang tidak relevan, dan melakukan pengorganisasian atas
data dengan sedemikian rupa. Dilanjutkan dengan penyajian data yang dapat
dilakukan dengan berbagai cara, misalkan menunjukkan data-data yang relevan
tersebut dalam format teks maupun dengan format yang lain, seperti tabel, grafik,
dan lain sebagainya. Dan sentuhan terakhirnya adalah verifikasi data atau
kesimpulan. Penarikan kesimpulan ini dilakukan dengan pemikiran yang
mendalam serta kritis atas temuan-temuan yang ada, baik data sekunder maupun
primer, juga relevansinya terhadap konsepsi-konsepsi yang menjadi guide dalam
penelitian ini.
15 Dikutip dari Miles and Huberman (1994:429) dalam Data Management and Analysis
Methods
33
H.
Sistematika Penulisan
Penelitian ini nantinya akan terbagi kedalam lima bab. Bab pertama
merupakan bab yang memuat latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian,
kerangka teori, dan metode yang digunakan dalam penelitian ini. Bab kedua
sebelumnya akan me-refresh sedikit tentang siapakah etnis Tionghoa di Indonesia.
Kemudian lebih jauh, pada bab dua ini akan dipaparkan perihal konteks
penelitian, yakni bagaimana stereotip terhadap etnis Tionghoa pertama kali
dikonstruksikan, baik oleh Negara maupun masyarakat pribumi, sampai pada
akhirnya ‘terlembagakan’ dalam diri etnis Tionghoa di Indonesia. Bab ketiga akan
menjelaskan proses stereotyping dan interaksi antara Negara, masyarakat
(Pribumi) dan etnis Tionghoa dalam pembentukan identitas ‘minoritas’ etnis
Tionghoa di Indonesia. Kemudian pada bab empat akan dipaparkan hasil
observasi dan wawancara penelitian terhadap kebudayaan dan kebiasaan hidup
sehari-hari etnis Tionghoa, bagaimana hal tersebut kemudian dimengerti sebagai
proses pembentukan identitas etnis Tionghoa, untuk kemudian lebih jauh
dipahami sebagai proses self-minoritisasi itu sendiri. Dan yang terakhir, yaitu bab
lima, penulis akan mengungkapkan intisari dan kesimpulan dari penelitian ini
serta sumbangan apa yang sekiranya mampu diberikan oleh penelitian ini bagi
studi mengenai ‘Masalah Cina’ yang masih belum terselesaikan di Indonesia.
34
Download