LEMBAGA WASIAT WAJIBAH DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI Oleh : Anshoruddin I. PENDAHULUAN 1. Teori Perubahan Sosial. Bahwa berfungsinya hukum dalam masyarakat akan menimbulkan situasi tertentu. Apabila hukum itu efektif berlaku, akan menimbulkan perubahan, dan perubahan itu dapat dikategorikan sebagai perubahan sosial, sebab suatu perubahan sosial tidak lain adalah penyimpangan kolektif dari pola-pola yang telah mapan.1 Banyak metode yang dapat digunakan dalam mempengaruhi perubahan. Metode itu biasanya dipilih berdasarkan asumsi tertentu. Cina dan Benne mengemukakan tiga jenis strategi yang mereka sebut: 1) Rasional – empiris; 2) Normatife – edukatif; 3) Paksaan – kekuasaan. Strategi pertama berasumsi bahwa manusia adalah rasional dan mereka akan menuruti keputusan itu ditunjukkan kepada mereka. Strategi kedua juga berasumsi bahwa manusia adalah rasional tetapi mengakui manusia bertindak berdasarkan norma-norma sosial, pengetahuan, dan kepentingan sendiri. Karena itu perlu mengubah nilai dan sikap maupun pemberian pengetahuan. Strategi ketiga berasumsi bahwa manusia bertindak berdasarkan hubungan kekuasaan – sah atau paksaan. 2. Bahwa berdasarkan fenomenologi dan konstruksi sosial tiga paradigma yakni fakta sosial, definisi sosial dan prilaku sosial dalam sosiologi, sebenarnya mencoba menjelaskan tarik tambang antara individu atau dikenal dengan Istilah aktor dan masyarakat, termasuk struktur di dalamnya. 1 2 Amir Muallim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam, 2001, Hal. 106 Robert H. Lauer, Perspektif Tentang Perubahan Sosial, Hal. 495-496 1 Kemudian persoalanya menjadi apakah individu yang mempengaruhi struktur atau sebaliknya struktur mendominasi individu, sehingga tidak mempunyai pilihan lain untuk bertindak. Jadi, bukan bagaimana individu dan struktur saling mengisi dan membangun satu sama lain.3 Masyarakat ditandai oleh perubahan. Tingkat perubahan antara masyarakat yang satu dan yang lain mungkin sangat berbeda. Menurut Khaldun, di zaman lampau tak banyak perubahan berarti yang terjadi selama jangka panjang. Tetapi di masa hidupnya, seperti yang diamatinya “seluruh umat manusia telah berubah dan seluruh dunia telah berubah, semua manusia seolah-olah telah menjadi mahluk baru, jelmaan baru, dunia telah melahirkan kehidupan baru”. Hukum-hukum yang berlaku terhadap perubahan itu bersifat sosiologis, bukan bersifat biologis atau bersifat alamiah. Daya dorong sejarah harus dipahami menurut fenomena sosial seperti solidaritas, kepemimpinan, mata pencaharian dan kemakmuran. Perubahan sosial harus dilihat menurut variabel-variabel sosial, yang dengan sendirinya dapat menerangkan perubahan. 4 2. Teori makro : Durkheim dan Max Weber Teori makro menjelaskan hubungan atau kaitan antara hukum dengan bidang-bidang lain di luarnya, seperti budaya, politik, dan ekonomi. Dengan memberikan penjelasan tersebut, teori makro ini memberi tahu kepada kita, bahwa tempat hukum adalah dalam konteks yang luas yaitu hukum tidak dapat dibicarakan terlepas dari korelat-korelat hukum tersebut. hukum memiliki habitat dan kenyataan ini tidak ditinggalkan dalam kajian sosiologi hukum. Karya-karya Durkheim dan Max Weber merupakan contoh klasik teori makro. Kedua raksasa pemikir tersebut melihat sosiologi sebagai kajian terhadap masyarakat sebagai suatu keseluruhan sehingga pengkajian mengenai hukum juga 3 4 Zainudin Maliki, Narasi Agung Tiga Teori Sosial Hegemonik, 2003 Hal. 232 Robert H. Lauer, Perspektif Tentang Perubahan Sosial, 2001 Hal. 43 2 ditempatkan kerangka pemahaman yang demikian itu termasuk adalah lembaga wasiat wajibah itu tidak terlepas dari teori makro, karena tidak bisa dipisahkan antara hukum dengan bidang-bidang lainnya. Durkheim menjelaskan, bahwa hukum muncul sebagai suatu institusi yang sepesialistis sebagai bagian dari proses perubahan dalam masyarakat yang dipolakan sebagai proses diferensiasi sosial. Proses pembagian kerja dalam masyarakat (division dutravail social) itu pada akhirnya memberi akibat secara cap dibidang hukum, yaitu yang kemudian muncul sebagai institusi yang berdiri sendiri melalui sekalian sifat sepisial tersebut. Studi Unger mengenai hukum modern juga sampai kepada kesimpulan diferensiasi tersebut. hukum (modern) tidak dapat lagi diperlakukan sebagai bagian dari suatu bidang lain karena memiliki karakter istik sendiri, baik secara substantife, metodologis, institusional maupun okupasional. 5 II. HUKUM YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT Pengukuhan hukum Islam terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut memberikan keyakinan bahwa hukum Islam memiliki sifat keluwesan (elastisitas) yang memungkinkan untuk diterapkan di segala tempat dan zaman hingga akan dirasakan benar-benar bahwa agama Islam menjadi rahmat sekalian alam. Dengan demikian, akan dapat diyakini pula bahwa hukum islam yang bersifat universal itu benar-benar akan menghantar manusia sejahtera dan bahagia. Akan tetapi, hukum yang hidup dalam masyarakat akan dapat diterima sebagai salah satu sumber hukum-hukum ijtihadiyah jika memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut: a. Dapat diterima dengan kemantapan jiwa oleh masyarakat, didukung oleh pertimbangan akal yang sehat dan sejalan dengan tuntutan watak pembawaan manusia. 5 Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum, 2002, Hal. 99-100 3 b. c. d. e. f. Benar-benar merata menjadi kemantapan umum dalam masyarakat dan dijalankan terus-menerus secara kontinyu. Tidak bertentangan dengan nas Al-Qur‟an atau sunnah. Dengan demikian, hukum yang hidup yang bertentangan dengan nas tidak dapat diterima. Benar-benar ada pada saat hukum – hukum ijtihadiyah dibentuk. Dirasakan masyarakat mempunyai kekuatan mengikat, mengharuskan ditaati dan mempunyai kekuatan hukum. Tidak terdapat persyaratan yang berakibat tidak berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut. Diantara kualifikasi hukum yang hidup (living law ) untuk dapat diterima sebagai salah satu sumber hukum- hukum ijtihadiyah dan perlu mendapat perhatian ialah persyaratan tidak boleh bertentangan dengan nas Al Qur‟an dan sunnah. Oleh karena itu, untuk menilai apakah living law itu bertentangan dengan nas atau tidak, perlu diadakan pengkajian secara seksama. Ada kemungkinan, suatu living law sepintas lalu terlihat bertentangan dengan nas, tetapi setelah dihadapkan kepada berbagai nas dalam beberapa seginya, ternyata dapat diadakan pendekatan antara living law yang berlaku dengan ketentuan nas yang ada, tanpa memperlihatkan adanya pertentangan yang tidak dapat dipertemukan. Kerangka pemikiran diatas, berimplikasi pada perlunya pendekatan alternatife dalam studi dan pemikiran fiqh. Dalam kaitan ini yang dimaksud adalah pendekatan sejarah sosial dan pendekatan sosiologis terhadap fiqh. Yang dimaksud dengan pendekatan sejarah sosial dalam pemikiran hukum Islam adalah pendekatan bahwa setiap produk pemikiran hukum Islam pada dasarnya adalah hasil interaksi antara sipemikir hukum dengan lingkungan sosio-kultural atau sosio-politik yang mengitarinya. Oleh karena itu produk pemikirannya itu sebenarnya bergantung pada lingkungannya itu. Pendekatan ini memperkuat alasan dengan menuju kepada kenyataan sejarah, bahwa produk-peoduk pemikiran yang sering dianggap sebagai hukum Islam itu sebenarnya tidak lebih dari 4 interaksi tersebut. Pendekatan sejarah sosial ini penting sedikitnya karena dua alas an: pertama, untuk meletakkan produk pemikiran hukum Islam pada tempat yang seharusnya, dan kedua, untuk memberikan keberanian kepada para pemikir hukum Islam agar tidak ragu-ragu, bila merasa perlu, melakukan perubahan suatu produk pemikiran hukum karena sejarah telah membuktikan, bahwa umat Islam di berbagai penjuru dunia telah melakukannya tanpa sedikitpun merasa keluar dari hukum Islam. Pendekatan secara social berfungsi menelusuri bukti-bukti sejarah itu dan sebagian dari bukti-bukti itu adalah adanya pengaruh faktor lingkungan sosial budaya dalam kitab-kitab fiqh, aturan perundang-undangan negeri negeri muslim, keputusan pengadilan, fatwa-fatwa ulama. Berdasarkan temuan-temuan dan penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa dari kenyataan sejarah hukum Isalm ternyata bahwa faktor sosial budaya mempunyai pengaruh penting dalam mewarnai produk-produk pemikiran hukum Islam, baik berbentuk kitab fiqh, peraturan perundangan, keputusan pengadilan, maupun fatwa-fatwa ulama di negeri muslim. Oleh karena itu, apa yang disebut hukum Islam itu dalam kenyataan sebenarnya adalah produk pemikiran yang merupakan hasil interaksi antara ulama sebagai pemikir dengan lingkungan sosialnya. Meskipun AlQur‟an dan hadits mempunyai aturan yang bersifat hukum, tetapi jumlahnya amat sedikit dibanding dengan jumlah persoalan hidup yang memerlukan ketentuan hukumnya. Untuk mengisi kekosongan itu, para ulama telah menggunakan akalnya dan hasilnya adalah produk pemikiran hukum yang ada sekarang ini. Apa warna atau dinamika produk pemikiran hukum itu akan bergantung kepada keberanian para pemikir hukum Islam yang ada sekarang. Setelah dijelaskan pendekatan sejarah sosial dalam studi dan pemikiran hukum Isalam, dalam studi dan penelitihan hukum Islam diatas juga menggunakan pendekatan sosiologis. Yang dimaksud dengan pendekatan sosiologis dalam studi dan pemikiran hukum Islam adalah mempelajari faktor-faktor sosial, politik, dan kultural yang melatarbelakangi lahirnya suatu produk 5 pemikiran fiqh, dan bagaimana dampak produk pemikiran fiqh itu terhadap masyarakat. Mengacu kepada perbedaan gejala studi Islam pada umumnya, studi hukum Islam juga dapat dipandang sebagai gejala budaya dan sebagai gejala sosial. Filsafat dan aturan hukum Islam adalah gejala budaya. Sedangkan interaksi orangorang Islam denagan sesamanya atau dengan masyarakat nonmuslim di sekitar persoalan hukum Islam adalah gejala sosial. 6 III. HUBUNGAN ANTARA PERUBAHAN-PERUBAHAN SOSIAL DENGAN HUKUM. Suatu perubahan sosial lebih mudah terjadi apabila suatu masyarakat sering mengadakan kontak dengan masyarakatmasyarakat lain, atau telah mempunyai sistim pendidikan yang maju. Sistim lapisan sosial yang terbuka, penduduk yang heterogen serta ketidak puasan masyarakat terhadap bidang kehidupan yang tertentu, dapat pula memperlancar terjadinya perubahan- perubahan sosial,sudah tentu disamping faktor-faktor yang dapat memperlancar peroses perubahan- perubahan sosial, dapat juga diketemukan faktor- faktor yang mungkin menghambatnya seperti sikap masyarakat yang mengagungagungkan masa lampau (tradisionalisme),adanya kepentingankepentingan yang tertanam dengan kuat (vested- interest), prasangka terhadap hal-hal yang baru atau asing, hambatanhambatan yang bersifat ideologis, dan seterusnya. Faktor- faktor tersebut diatas sangat mempengaruhi terjadinya perubahanperubahan sosial beserta perosesnya. Saluran- saluran yang dilalui oleh suatu proses perubahan sosial pada umumnya adalah lembaga- lembaga kemasyarakatan dibidang pemerintahan, ekonomi, pendidikan ,agama, dan seterusnya. Lembaga kemasyarakatan mana yang merupakan titik tolak, tergantung pada penilaian tertinggi yang diberikan oleh masyarakat terhadap masing- masing lembaga kemasyarakatan tersebut. 6 Amir Mu‟allim dan Yusdani, Konfigurasi pemikiran Hukum Islam, 2001, Hal.125-129 6 Didalam proses perubahan hukum (terutama yang tertulis) pada umumnya dikenal adanya tiga badan yang dapat mengubah hukum , yaitu badan-badan pembentuk hukum, badan- badan penegak hukum dan badan- badan pelaksana hukum. Adanya badan- badan pembentuk hukum yang khusus, adanya badanbadan peradilan yang menegakan hukum serta badan- badan pelaksana yang menjalankan hukum, merupakan ciri- ciri yang terdapat pada Negara-negara modern. Pada masyarakatmasyarakat sederhana, ketiga fungsi tadi mungkin berada ditangan satu badan tertentu atau diserahkan pada unit-unit terpenting dalam masyarakat seperti misalnya keluarga luas. Akan tetapi ,baik pada masyarakat modern maupun sederhana ketiga fungsi tersebut dijalankan dan merupakan saluran-saluran melalui mana hukum mengalami perubahan-perubahan. Kekuasaan kehakiman antara lain mempunyai fungsi untuk membentuk hukum . didalam pasal 27 ayat 1 undang-undang no. 14/1970 dinyatakan bahwa hakim sebagai penegak hukumdan keadilan diwajibkan untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup didalam masyarakat. Adanya ketentuan tersebut membuktikan bahwa tugas hakim tidak saja terbatas pada pengadilan berdasarkan hukum yang ada, akan tetapi juga mencari dan menemukan hukum untuk kemudian dituangkan didalam keputusannya nialai-nilai hukum yang terdapat dalam masyarakat.7 IV. PERUBAHAN SOSIAL BUDAYA DAN PERUBAHAN HUKUM ISLAM a. Pengertian Perubahan Sosial dan Kebudayaan Dalam menghadapi perubahan sosial budaya tentu masalah ulama yang perlu diselesaikan ialah pembatasan pengertian atau definisi perubahan sosial dan perubahan kebudayaan itu sendiri. Ahli-ahli sosiologi dan antropologi telah banyak membicarakan pengertian perubahan sosial budaya kebudayaan. 7 Soerjono soekanto, pokok-pokok sosiologi hokum, 2002, 99-100 7 William F. Orburn berpendapat, ruang lingkup perubahan sosial meliputi unsur-unsur material ataupun bukan yang material unsure-unsur material itu berpengaruh besar atas yang bukan material Kingsley Davis berpendapat bahwa perubahan sosial ialah perubahan struktur dan funsi masyarakat. Misalnya dengan timbulnya organisasi buruh dalam masyarakat kapital, terjadi perubahan-perubahan organisasi ekonomi dan politik. Selo Soemardjan berpendapat bahwa perubahan sosial adalah segala perubahan sosial dalam segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk dalamnya nilai-nilai, sikap-sikap dan pola-pola kelakuan di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Definisi ini menekankan perubahan lembaga sosial, yang selanjutnya mempengaruhi segi-segi lain struktur masyarakat Lembaga sosial ialah unsur yang mengatur pergaulan hidup untuk mencapai tata tertib melalui norma. b. Bentuk-bentuk Perubahan Sosial Kebudayaan Perubahan-perubahan sosial dan kebudayaan yang terjadi dalam masyarakat dikelompokkan ke dalam beberapa bentuk, misalnya : 1) Perubahan-perubahan yang terjadi secara lambat dan perubahan-perubahan yang terjadi secara sepat. 2) Perubahan yang dikehendaki (intended change) atau perubahan yang direncanakan (planned change) dan perubahan yang tidak dikehendaki (unintended change ) atau perubahan yang tidak direncanakan (unplanned change). c. Pengaruh Perubahan Sosial Terhadap Hukum Islam. Pertanyaan yang timbul pertama, apakah hukum Islam tidak dapat beradaptasi dengan perubahan sosial ?, atau kedua, apakah karena para ulama pada waktu itu tidak berani mengaktualisasikan nilai-nilai hukum Islam dalam konteks 8 sosio-kultural sehingga hukum Islam mengalami kekakuan (tidak adaptif) dalam penerapannya?. Hukum Islam bersifat universal, Universalitas ini terdapat dalam syari‟ah (teks-teks hukum yang terdapat dalam Al-Qur‟an dan al Hadist), yang ketentuanya masih merupakan garis besar dan prinsip umumnya saja. Dalam perubahan sosial, teks-teks inilah yang diinterpretasikan sesuai dengan situasi dan kondisi sosio-kultural yang dihadapi. Adanya proses penyesuaian (adjustment) ini akan mewujudkan suatu keseimbangan dalam masyarakat yang merupakan keadaan yang didambakan dalam setiap masyarakat. Dalam mendeteksi hukum ajaran Islam, ulama periode lalu banyak melalui pendekatan ta‟abbudi (hukum Islam diterima apa adanya tanpa komentar). Karenanya, kausalitas „ilat hukum dan hikma tasyri‟ tidak banyak terungkap sehingga pikiran kaum muslim menjadi jumud dan beku. Perubahan dalam hal ini dapat ditempuh dengan jalan bahwa sebaiknya dalam memahami ajaran/hukum Islam ditempuh lewat pendekatan ilmiah rasional menuju pendekatan ta‟aqquli. Dengan prinsip ini „llat hukum dan hikmah tasyri‟ dapat dicerna oleh penalaran umat Islam terutama dalam masalah kemasyarakatan. Teori tentang perubahan hukum dengan adanya perubahan masyarakat ini prinsipnya sudah ada di dalam AlQur‟an dan Hadis, yang disebut dengan naskh al hakm sebagimana yang disebutkan dalam firman Allah Q.S. 2 : 106 ....اٍٙ ِصٚا إِٔٙ ا ٔؤ خ تخيسٙ ٕٔسٚ ِا ٕٔسخ ِٓ ا يح أ ) : (اٌثمس ج Terjemah : 9 “Apa saja yang kami naskhkan, atau kami jadikan (manusia ) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik dari padanya atau yang sebanding dengannya…..” 8 Naskah menurut Istilah adalah menerapkan habis berlakunya suatu hukumyang diambil dari ayat yang dibaca ( Al-Qur‟an dan Hadis). Hikmahnya ialah bahwa hukumhukum ini ditetapkan hanya semata mata untuk kemaslahatan umat manusia, dan kemaslahatan ini dapat berbeda-beda denagan perbedan situasi dan kondisi. Oleh karena itu jika dalam suatu waktu ditetapkan suatu hukum karena adanya suatu kebutuhan, kemudian kebutuhan ini ternyata hilang maka yang mengandung hikmah adalah merubah dan menggantikannya dengan hukum (baru) yang sesuai dengan waktu lain, sehingga lebih baik dari pada hukum yang pertama, atau seimbang dalam hal kegunaannya bagi manusia. Dengan menelaah secara mendalam Al-Qur‟an dan Hadis, para Imam nazhab dan ulama lainnya maupun menetapkan aturan yurisprudensi Islam dan mengajukan kumpulan hukum yang dapat diterapkan pada situasi riil zaman mereka, juga dapat dijadikan metode penetapan pada zaman yang akan datang dengan kondisi dan corak masyarakat yang berbeda. Gejala tersebut melahirkan definisi hukum yang berubah sesuai kondisi dan sistim politik yang berlaku bagi tiap-tiap Negara karena hal itu semata- mata merupakan pemukulrataan dari teknik hukum yang disesuaikan dengan keadaan sosial yang kongkrit. Dalam perkembangan selanjutnya setelah hukum Islam dijadikan hukum positif oleh beberapa Negara muslim modern, maka ada sejumlah peraturan-peraturan yang cukup menarik untuk dicermati dalam kaitannya dengan pengaruh aspek-aspek sosiologis ketika peraturan tersebut diformulasikan. Perubahan sosial dan perkembangan masyarakat yang begitu pesat menuntut suatu pemikiran 8 Depag RI, Al-Qur‟an dan terjemahan, 1993, Hal. 29 10 keagamaan yang baru sehingga respon yang diberikan benarbenar dapat diterapkan sesuai dengan kondisi dan situasi saat ini. Keterangan-keterangan diatas pada hakekatnya memperkuat argumen bahwasanya hukum Islam dapat beradaptasi dalam perubahan karena secara implisit AlQur‟an dan Hadis mempunyai karakter akan perubahan. Adalah suatu fakta yang tidak dapat disangkal bahwa ketentuan-ketentuan hukum itu dapat berubah dengan adanya perubahan waktu tak terkecuali pada hukum Islam. 9 V. DASAR HUKUM WASIAT WAJIBAH Pengertian Wasiat wajibah adalah tindakan yang dilakukan penguasa atau hakim sebagai aparat Negara untuk memaksa atau memberi putusan wajib wasiat bagi orang yang telah meninggal dunia, yang diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu pula. Dengan kata lain bahwa wasiat wajibah adalah wasiat yang dipandang sebagai telah dilakukan oleh seseorang yang akan meninggal dunia, walaupun sebenarnya ia tidak ada meninggalkan wasiat itu.10 Yaitu firman Allah yang berbunyi : اٌدٌٍٛ صيحٌٛ خ ا ْ ذس ن خيسااٌّٛورة عٍيىُ اذا حضسا حد وُ ا .ٓ ف حما عٍىاٌّرميٚ األ لس تيٓ تا ٌّعسٚ ٓي Artinya: “Diwajibkan atas kamu apabila salah seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) kematian, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib-kerabatnya secara makruf. (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”. 11 Ibnu Katsir menjelaskan tentang ayat tersebut dalam tafsirnya Al-Quran Al Adhim juz 1 hal. 212 antara lain sebagai berikut : 9 Mahkama Agung, Hukum Keluarga dan Peradilan Keluarga di Indonesia, 2001, Hal. 14-20 Al Imam Muhammad Abu Jahroh, Ahkamu attirkaati wa al mawaritsi, 1963, 231-232. 11 Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahan, 1993, Hal. 44 10 11 ضٚ ب ِٓ عٕدهللا أل ً٘ اٌفسٛ جٚٚ ًفا يح اٌّيسا ز حىُ ِسرم األ لا ز ب اٌر يٓ ال ِيساٝ تم.ا حىُ ٘رٖ تاٌىٍيحٙاٌعصثا خ يس فع تٚ صيحٌُٛ ِٓ اٌصٍس اسرٕٕؤ سا تا يح اٌٙ ٝ صُٛ يسرحة ٌٗ اْ يٌٙ ز فيٗ يثيد ٌيٍريٓ االٝ صٛ ِا حك اِس ئ ِسٍُ ٌٗ شيئ ي: ٌحد يسٚ ٖ تح عٕدٛ صيرٗ ِىرٚٚ..)ٍُ ِسٚ ٜاٖ اٌثخا زٚ) ز Artinya : “Ayat tentang warisan merupakan ketentuan hukum yang berdiri sendiri dan kewajiban dari Allah untuk ahli furud dan asabah yang menghapus keharusan mereka. Maka dianjurkan berwasiat untuk mereka (sebanyak-banyaknya) sepertiga karena perintah ayat wasiat itu dan karena ada hadits (yang artinya); “Tidak layak seorang muslim yang memiliki sesuatu untuk diwariskan sampai lewat dua malam kecuali wasiatnya itu telah tertulis disisinya”. 12 Jadi oleh karena ٓ اٌد يٌٛ( اibu-bapak) adalah tergolong ahli waris yang telah jelas bagiannya, maka mereka tidak boleh diwasiati karena ada sabda Nabi Saw. Yang berbunyi : )ٕٝاٖ اٌد از لطٚ( ز.ا ز زٌٛ صيحٚ ال Artinya: “tidak boleh berwasiat kepada ahli waris”. 13 Maka kewajiban berwasiat tinggal kepada “Al-Aqrabin” (kerabat-kerabat) yang lain yang tidak tergolong ahli waris asabah dan yang tidak ditentukan bagiannya, termasuk “cucu” yang orang tuanya telah meninggal. Jadi ulama Mesir tetap memandang bahwa ”cucu”terhijab hirman oleh anak laki-laki, lalu dicari jalan keluarnya untuk tetap memberi bagian dengan jalan “wasiat wajibah”. Maka kalau Mesir memecahkan masalah “cucu” tersebut dengan jalan membuat lembaga wasiat wajibah, ternyata Pakistan dalam undang-undangnya tahun 1961 menempuh cara “penggantian tempat” atau menempatkan cucu kalau bersama 12 13 Ibnu katsir, Tafsir Al-Qur‟an Al Adhim jus. 1, tt, 212 Ashon „aniy, Subulu as Salam juz. 3, tt, 106 12 dengan anak laki-laki menggantikan kedudukan orang tuanya, sebagai “ahli waris pengganti” dan mendapat bagian yang sama dengan bagian orang tuanya yang diganti (ayah/ibunya). Sedangkan KHI, mengikuti jejak Pakistan, tidak seperti di Mesir, dimana menurut pasal 185 ayat (1) dan (2) KHI. Cucu kalau bersama dengan anak laki-laki, dapat menggantikan kedudukan orang tuanya : sedang bagiannya tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti. Contoh: 1. Ibu Anak laki-laki Cucu dari anak permpuan Anak perempuan : 1/6 :A :A :A Pembagiannya demikian: Asal masalah Ibu Anak laki-laki Cucu dari anak perempuan Anak perempuan : 24 : 4 : 10 : 5 : 5 2. Ayah Anak laki-laki Cucu dari anak laki-laki Anak perempuan Pembagiannya demikian : Asal masalah Ayah Anak laki-laki Cucu dari anak laki-laki Anak perempuan 14 : 1/6 :A :A :A : 18 : 3 : 6 : 3 : 314 Imron AM, Makalah Pembaharuan Sistim Kewarisan Dalam Kompilasi Hukum Islam, 2003, 7-8 13 VI. PENGGANTI WAJIBAH AHLI WARIS DIBANDING WASIAT Kompilasi Hukum Islam pasal 185 menempuh jalan dengan pengganti ahli waris bagi cucu atau cucu-cucu dari pewaris yang ayah/ibunya meninggal lebih dahulu dari pewaris maka Negaranegara Islam lainnya kebanyakan menempuh jalan dengan wasiat wajibah. Pertama-tama perbandingan dengan Negara Mesir. Wasiat wajibah di Mesir di atur oleh UU Wasiat Mesir No. 71 tahun 1946, pasal 76-79. wasiat wajibah berlaku pada cucu atau cucu-cucu, yang ayah/ibunya meninggal dunia lebih dahulu dari atau bersamaan waktunya dengan pewaris (kakek/nenek mereka ), dengan ketentuan : a. Kalau dari garis keturunan laki-laki maka berlaku seterusnya sampai kebawah tetapi kalau dari garis keturunan anak perempuan hanya terbatas sampai pada anak atau anak-anak dari anak perempuan dari pewaris saja. b. Pewaris di masa hidupnya belum pernah memberikan harta kepada yang berhak menerima wasiat wajibah tersebut seukuran hak wasiat wajibahnya. c. Besarnya wasiat wajibah hanyalah sepertiga harta, entah yang berhak menerima wasiat wajibah itu banyak atau sedikit, campuran antara laki-laki atau perempuan maupun tidak. Kalau yang berhak menerima wasiat wajibah tersebut campuran antara laki-laki dan perempuan maka bagian mereka adalah dua banding satu. d. Wasiat wajibah didahulukan dari wasiat biasa. Kalau pewaris telah membuat wasiat kepada mereka yang berhak menerima wasiat wajibah tetapi kurang jumlahnya dari sepertiga maka dicukupkanlah sampai jumlah sepertiga, tetapi bila telah melebihi dari sepertiga maka kelebihan itu dianggap wasiat biasa. Kalau yang berhak menerima wasiat wajibah tersebut lebih dari seorang, ada yang diberi wasiat biasa dan ada yang tidak maka yang belum diberi tersebut berhak mendapatkan hak bagian wasiat wajibahnya. Kalau pewaris ada membuat surat wasiat bisa dan ada pula meninggalkan mereka yang berhak menerima wasiat wajibah maka wasiat wajibah 14 dibayar dulu dalam batas sepertiga, kemudian baru diambilkan untuk wasiat biasa dalam batas sepertiga pula (sesudah diambil untuk wasiat wajibah).15 Demikian jelas dan tuntasnya konsep wasiat wajibah di Mesir, sedangkan konsep pengganti ahli waris dalam pasal 185 Kompilasi Hukum Islam belum demikian. Selanjutnya perbandingan secara singkat dengan konsep wasiat wajibah di Suria, Marokko, dan Tunisia, serta pengganti ahli waris di Pakistan dan di Indonesia. Menurut Undang-undang Personal Status Suriah tahun 1953, pasal 257-288, di Suriah berlaku wasiat wajibah bagi keturunan langsung melalui garis anak laki-laki yang meninggal dunia lebih dahulu dari ayahnya (pewaris) dan tidak berlaku bagi keturunan langsung melalui anak perempuan. Besarnya wasiat wajibah adalah sepertiga. Lain-lainnyan sama dengan ketentuan wasiat wajibah di Mesir. Menurut Undang-undang Personal Status Marokko tahun 1957, pasal 266-269, di Marokko berlaku wasiat wajibah seperti di Suriah. Menurut Undang-undang Moslem Personal Tunisia tahun 956, pasal 192, di Tunisia berlaku wasiat wajibah bagi keturunan langsung melalui garis laki-laki atau perempuan yang meninggal dunia lebih dahulu dari ayahnya (pewaris). Besarnya wasiat wajibah adalah sepertiga. Menurut Undang-undang Moslem Personal Pakistan tahun 1962, pasal 5, di Pakistan berlaku konsep pengganti ahli waris kepada cucu atau cucu-cucu, baik dari anak laki-laki maupun dari anak perempuan pewaris, yang bagian mereka itu adalah seperti bagian untuk ayah/ibunya (seolah-olah ayah/ibunya masih hidup), tanpa ada pembatasan seperti pasal 185 Kompilasi Hukum Islam. Dari perbandingan diatas, ternyata Mesir, Suriah, Marokko dan Tunisia meletakkan dalam konsep wasiat wajibah, sedangkan 15 Abdul Fatah Ibrohim, Al Ahwalu akhsyah siyatu fii tasyrii‟aatihaa al muta‟addidah juz.II, 1997, 153-156 15 Pakistan dan Indonesia meletakan dalam konsep „pengganti ahli waris‟.16 Al Qardlawy menganggap wasiat wajibah dalam per-undangundangan Mesir ini , sebagai gabungan dari ijtihad selektif (intiqo‟i) dan ijtihad kreatif (insyaa‟i) yaitu ijtihad dengan cara menyeleksi pendapat-pendapat ulama terdahulu yang dipandang lebih cocok dan lebih kuat kemudian menambahkan dalam pendapat tersebut unsur-unsur ijtihad baru. Ijtihad model ini termasuk diantara macam ijtihad kontemporer.17 VII. PANDANGAN WAJIBAH IBNU HAZM TENTANG WASIAT Beberapa ulama masih tetap berpendapat bahwa perintah berwasiat dalam ayat al-Baqarah di atas masih tetap berlaku dan nilainya masih tetap wajib. Perintah yang dibatalkan atau tertakhsis (dikeluarkan dari ayat) hanyalah yang berhubungan dengan keluarga yang telah menjadi ahli waris. Sedangkan untuk kaum kerabat yang tidak menjadi ahli waris (kerabat yang karena berbagai sebab tidak berhak mewaris) perintah berwasiat itu masih tetap wajib, tidak dapat dialihkan kepada sunah atau mubah. Salah seorang dari ulama ini, yang memberikan penjelasan relatif lengkap sehingga mudah diikuti adalah Ibnu Hazm, seorang ulama kelahiran Spanyol. Beliau berpendapat, “apabila seseorang meninggal dunia maka dia wajib berwasiat”. Perintah berwasiat dalam ayat diatas, menurut beliau, adalah wajib dan bersifat qadha‟i. Maksudnya, kalau seseorang tidak meninggalkan wasiat maka kaum kerabat yang tinggal wajib mengeluarkan (memberikan ) jumlah tertentu dari warisan, yang mereka anggap layak untuk kaum kerabat yang tidak berhak mewaris. Ibnu Hazm menguatkan pendapatnya dengan beberapa hadits salah sebuah hadits antara lain menyatakan : ٍُ سٚ ٗ هللا عٍيٍٝ ي هللا صّٛا أْ ز سٕٙ هللا عٝعٓ اتٓ عّس ز ض فيٗ يثيدٝ صٛء يس يد أْ يٝ ِا حك ا ِسئ ِسٍُ ٌٗ ش: لا ي 16 17 Mimbar Hukum No. 23 Thn. VI, 1995, Hal. 59-60 Yusuf al Qardlawy, Ijtihad Dalam Syari‟at Islam, 1987, Hal. 173 16 .(سثً اٌسال َ ض.ٗ ِرفك عٍي. ٖ تح عٕدٛصيرٗ ِىرٚٚ ٌيٍريٓ إآل ) .ص Artinya : “ Rosulullah saw bersabda, tidak biloh seorang muslim yang mempunyai sesuatu untuk diwasiatkan tidur dua malam berturut-turut. Kecuali setelah menuliskan wasiatnya.18 Jumhur menolak hadits ini karena dua alasan. Pertama terjadi perubahan matan. Dalam riwayat yang terpercaya, matan tersebut bermakna untuk tidur dua malam berturut-turut sebelum menuliskan wasiatnya. Kedua orang-orang yang meriwayatkan hadits ini tidak ada yang melakukan wasiat. Ibnu Hazm membantah uraian diatas. Beliau menganggap riwayat yang dikutip di atas adalah terpercaya (memenuhi syarat) di samping masih didukung oleh sanad lain yang juga terpercaya. Beliau menganggap pernyataan jumhur itu tidak betul. Mengenai pernyataan bahwa orang-orang dalam sanad hadits di atas tidak ada yang berwasiat, beliau tolak karena pernyataan-pernyataan itu tidak cukup kuat untuk di pegang, bahkan lemah. Mengenai kerabat yang berhak menerima wasiat tesebut, adalah orang-orang yang tidak menerima warisan baik karena perbudakan, perbedaan agama, terhijab ataupun karena memang bukan ahli waris. Sebagaimana dinyatakan dalam kitab AlMuhalla jilid 9 hal. 314 sebagai berikut : ا,ْٛ ٌمساترٗ اٌر يٓ ال يسشٝصٛ وً ِسٍُ اْ يٍٝفسض عٚ : ِسٍٕح الٚ ُ عٓ اٌّيساز اٙاِا ال ْ ٕ٘ا ٌه ِٓ يجثٚ ,اِا ٌىفسٚ ,ِا ٌسق فا, ذاٌهٝ ال حد ف,ُٗ تّا طا تد تٗ ٔفسٌٙ ٝ صٛ ْ فيُٛ ال يس شٙٔ ٚ ْ فا ْ وا.صيٌٛاٚ ا,زشحٌٛ ال تد ِا زاٖ اٚ اْٛ ٌُ يفعً اعط ٛ وا ففسض عٍيٗ ايضا اْ يٍِّٛٚ ا, اٌىفسٍٝاحد ّ٘ا عٚ ا,ٖاٌدا فا ْ ٌُ يفعً اعطي.الحد ّ٘ا اْ ٌُ يىٓ االخس وراٌهٚ ا,ّاٌٙ ٝص . فيّا شاء تعد ذاٌهٝصٛ شُ ي,ال تدٚ ا عطيا ِٓ اٌّا يٚا Artinya : 18 Ashon aniyi, Subulu assalam juz 3,103 17 diwajibkan atas setiap muslim untuk berwasiat kepada anggota kerabat yang tidak mewarisi, sama karena ada perbudakan, karena kekufuran, karena terhijab atau karena bukan ahli waris. Hendaklah dia berwasiat serelanya, tidak ada batas tertentu. Sekiranya dia tidak meninggalkan wasiat untuk orang-orang ini, maka ahli waris atau pemegang wasiat (sekiranya ada, misalnya karena dia berwasiat untuk orang atau keperluan lain ) harus memberikan kepada mereka menurut yang mereka anggap patut. Sekiranya kedua orang tuanya atau salah seorangnya tidak beragama Islam atau menjadi budak orang lain, maka dia wajib berwasiat untuk keduanya atau salah seorang dari keduanya(yaitu yang dalam keadaan diatas ). Kalau dia tidak berwasiat, maka harus diberikan, tidak boleh tidak harus diberi, setelah ini dia bebas berwasiat untuk yang lainya.19 Kerabat yang beliau maksudkan disini adalah mulai dari orang tua kebawah. Dengan kata lain, seseorang wajib berwasiat kepada ayah dan ibu serta keturunan ayah dan ibu, baik yang melalui dia sendiri ataupun yang melalui saudara-saudaranya (apabila karena suatu sebab mereka tidak menjadi ahli waris). Ibnu Hazm tidak menyebutkan jumlah yang harus diwasiatkan. Hal ini diserahkan kepada ketulusan dan pertimbangan masingmasing, asal masih dalam batas sepertiga harta (warisan), batas maksimal kebolehan berwasiat.20 VIII. LEMBAGA WASIAT WAJIBAH DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI Mengenai kasus wasiat wajibah terjadi perbedaan di Mesir dan Indonesia. Fuqaha di Mesir dalam melakukan ijtihad untuk menentukan hukum, selain berdasarkan pendapat-pendapat fuqaha terdahulu, juga berdasarkan pada nilai sosial baru akibat tuntutan masyarakat. Dari uraian tersebut nampaklah bahwa penerimaan konsep wasiat wajibah yang diterapkan di Mesir ini disebabkan oleh adanya kompromi antara pemikiran-pemikiran fiqh pada satu sisi, dengan tuntutan sosial dan kebutuhan yang 19 20 Ibnu Hazm, Al Muhalla Jilid 9, tt, 314 Mimbar hukumNo. 29 Thn. VII, 1996, Hal. 100 18 berkembang di masyarakat pada posisi lain. Hal ini nampak dari ketentuan undang-undang wasiat Mesir (apabila diamati secara lebih teliti) yang menetapkan adanya wasiat wajibah yang ditetapkan oleh penguasa bagi cucu yang ayah atau ibunya telah meninggal sebelum kakek dan neneknya neninggal dunia (mungkin juga meninggal bersamaan), terhadap harta peninggalan kakek atau neneknya dengan batas maksimal sepertiga dari harta peningalan tersebut. Penetapan adanya wasiat wajibah dan pembatasan maksimal sepertiga harta peninggalan pewaris didasarkan pada berbagai pendapat yang tersebut dalam kitab-kitab fiqh. Sedangkan penentuan bahwa yang berhak mendapat bagian wasiat ini kepada cucu, selain didasarkan kepada pendapat Ibn Hazm juga didasarkan pada kenyataan sosial adanya kekhawatirkan terhadap nasib cucu yang telah ditinggal mati orang tuanya, akan bertambah menderita apabila ia tidak mendapat bagian dari harta peninggalan kakeknya hanya disebabkan orang tua meninggal terlebih dahulu dari kakek atau neneknya.21 Sementara itu, sering kali dijumpai kenyataan yang terjadi di masyarakat bahwa orang tua si cucu tersebut pada masa hidupnya ikut membantu dalam pengumpulan harta kakeknya. Oleh karena itu sudah sepantasnya jika jerih payah orang tua si cucu tersebut dibalas dengan memberikan sebagian harta peninggalan kakek atau neneknya dengan jalan wasiat wajibah. Di Indonesia sendiri dasar hukum yang digunakan oleh KHI dalam menetapkan adanya wasiat wajibah ini adalah dengan jalan mengkompromikan antara hukum Islam (referensi fiqh ) dengan hukum adat. Pada ketentuan kitab-kitab fiqh anak angkat tidak dapat menerima warisan dari peninggalan orang tua angkatnya. Demikian pula sebaliknya orang tua angkat tidak dapat menerima warisan dari anak angkatnya. Hal ini secara implisit disebutkan dalam Al-Qur‟an surat al-Ahzab ayat : 4. disamping itu, ketika dilaksanakan wawancara kepada beberapa ulama di seluruh Indonesia pada saat pengumpulan bahan-bahan kompilasi, tidak satupun ulama di Indonesia yang dapat menerima suatu pendapat 21 Al Imam Muhammad Abu Zahroh, Ahkamu attirkaat Wal Mawaarits, 1963, Hal. 230 19 bahwa adanya warisan dari orang tua angkatnya, demikian juga sebaliknya. Dalam menentukan syarat yang ditetapkan KHI ini, maka kita tidak akan menemukan rincian syarat dan rukun wasiat yang ditetapkannya. Akan tetapi dengan melihat pada bunyi pasal 209 kompilasi ini, maka dapat disimpulkan bahwa syarat wasiat wajibah bagi orang tua dan anak atau orang angkat ini adalah jika tidak menerima wasiat dari anak atau orang tua angkatnya yang sudah meninggal dunia. Apa yang disebut hukum Islam di dalam kenyataan yang sebenarnya sebagian merupakan produk pemikiran yang merupakan hasil interaksi antara ulama sebagai pemikir dengan lingkungan sosialnya. Meskipun Al-Qur‟an dan Hadis mempunyai aturan yang bersifat hukum, tetapi amat sedikit dibandingkan dengan jumlah persoalan hidup yang memerlukan ketentuan hukumnya. Oleh karena itu terdapat kekosongan yang membutuhkan pengisian ketentuan hukum. Untuk mengisi kekosongan ketentuan hukum itu, maka ulama menggunakan akalnya dan hasilnya adalah produk pemikiran hukum yang ada sekarang ini. Apakah warna dan dinamika produk pemikiran hukum akan kita biarkan seperti apa adanya sekarang ini ? hal ini tergantung pada keberanian para pemikir hukum Islam yang ada sekarang. Hanya saja, barang kali perlu diingatkan bahwa perpindahan seseorang atau masyarakat dari sesuatu produk pemikiran hukum kepada produk pemikiran lainya tidak berarti bahwa orang atau masyarakat itu sedang keluar dari hukum Islam.22 Anak angkat sebagaimana menurut ketentuan syari‟at adalah tidak tergolong ahli waris. Sedangkan disisi lain anak angkat adalah sosok yang mempunyai pertalian hubungan kemanusiaan yang bersifat khusus dalam hal kedekatan, saling membantu serta penempatan statusnya dalam keluarga oleh orang tua angkatnya sebagai layaknya keluarga sendiri (anak sendiri). 22 Mahkamah Agung, Hukum keluarga Dan Peradilan Keluarga di Indonesia, 2001, Hal. 57-60 20 Namun oleh karena tidak tergolong ahli waris, maka ketika orang tua angkatnya meninggal lebih dulu atau sebaliknya, maka praktis tidak memperoleh bagian dari tirkah, baik dari orang tua angkat atau sebaliknya. Maka KHI. Pasal 209 ayat 1 dan 2 memberikan bagian anak angkat yang orang tua angkatnya meninggal lebih dahulu atau sebaliknya, yang tidak menerima wasiat, diberi bagian dari tirkah melalui wasiat wajibah sebanyak-banyaknya sepertiga dari tirkah orang tua angkat atau sebaliknya.23 Bahwa pemberian bagian kepada anak angkat melalui lembaga wasiat wajibah tersebut adalah selaras dengan pendapat Ibnu Al-Musayyab dalam menafsirkan ayat 33 Surat Nisa‟ yang berbunyi: اٌر يٓ عمد خٚ ْ ٛ اال لس تٚ ْ اٌد اٌٛ ِّا ذسن اٌٝ اِٛ ٌىً جعٍٕاٚ :يداٙ شيء شٍٝ وٍٝ ا ْ هللا وا ْ ع.ُٙ ُ٘ ٔصيثٛايّا ٔىُ فآ ذ Artinya : “bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu-bapak dan karib kerabat, kami jadikan pewaris-pewarisnya. (Dan jika )ada orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.24 Ibnu Al-Musayyab menyatakan, bahwa ayat ini ditunjukan kepada masyarakat Arab pra Islam yang menurut hukum Adat mereka, anak angkat berkedudukan sebagai ahli waris seperti kedudukan anak kandung. Sedang ayat ini menghapus ketentuan Hukum Adat tersebut dan memberikan ketentuan baru, bahwa anak angkat mendapat bagian melalui wasiat wajibah. Ibnu al-Musayab menafsirkan firman Allah اٌر يٓ عمد خٚ ُ( ايّا ٔىdan orang-orang yang kamu telah mengikat janji dengan mereka) diartikan sebagai “anak angkat “ yang harus diberi bagian dari tirkah. 23 24 Depag RI, Himpunan Perundang-Undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama, 2001, Hal. 368 Depag Ri, Al-Qur‟an Dan Terjemahan, 1993, Hal. 123 21 Ibnu Katsir dalam tafsirnya menafsirkan ayat tersebut antara lain mengutip apa yang dikatakan Al-Zuhri dari Al- Musayyab demikian : ٛٔ اٌر يٓ واٝ ٔز ٌد ٘رٖ اال يح ف: عٓ اتٓ اٌّسيةٜ لا ي اٌز٘سٚ ٌُٙ ًُ فجعُٙ فؤ ٔزاي هللا فيٙٔ ٛزشْٛ زجاال غيساتٕاء ُ٘ يٕٛا يرث . صيحٌٛ اٝٔصيثا ف Artinya “ Al-Zuhri bekata, dari Ibnu Al-Musayyab : ayat ini (Q.S. 4 :33) adalah berkenaan dengan orang-orang yang mengangkat anak laki-laki, lalu mereka diberi hak waris (seperti anak kandung), kemudian Allah menurunkan ayat tersebut. Lalu memberi bagian kepada mereka (anak angkat) wasiat wajibah”25 Maka pasal 209 KHI. Itu selaras denagan pendapat Ibnu AlMusayyab tersebut. IX. LEMBAGA WASIAT WAJIBAH DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM Kompilasi Hukum Islam di Indonesia mempunyai ketentuan tersendiri tentang konsep wasiat wajibah ini hanya kepada anak angkat dan orang tua angkat saja. Dalam pasal 209 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal 176 sampai dengan Pasal 193. trhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberikan wasiat wajibah sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan anak angkatnya. Sedangkan terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah di berikan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta orang tua angkatnya. Tidak diketahui pasti mengapa Kompilasi Hukum Islam di Indonesia merubah konsep wasiat wajibah ini hanya terbatas kepada anak angkat dan orang tua angkat saja, mungkin ini terpengaruh denagn pewarisan secara plaatverfulling dalam hukum perdata ini ketentuan dari ahli waris yang telah meninggal dunia lebih dahulu dalam hubungan hukum yang sama seperti orang yang masih hidup. 25 Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur‟an al adhim juz 1,Hal. 490 22 Secara garis besar antara waris pengganti (penggantian kedudukan) dengan wasiat wajibah adalah sama. Perbedaannya, jika dalam wasiat wajibah dibatasi penerimaannya, dalam waris pengganti adalah menggantikan hak sesuaikan dengan hak yang diterima orang yang digantikan itu. Jadi wasiat wajibah ini dapat berfungsi sebagai alat untuk pengaliha hak secara waris kepada orang yang tidak di tentukan sama sekali bagian pihak yang menerima waris itu, dapat pula berfungsi sebagai ahli waris pengganti dalam kapasitasnya menggatikan kedudukan orang yang berhak menerima waris tetapi ia lebih dahulu meninggal dunia dari pada orang yang menggantikan kedudukannya. Jika wasiat wajibah berfungsi sebagai penggatia tempat ahli waris yang telah meninggal dunia lebih dahulu, maka Kompilasi Hukum Islam dal Pasal 185 menetapkan bahwa ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris, maka kedudukannya dapat diganti oleh anaknya, kecuali mereka dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiyaya berat pada si pewaris, atau juga dipersalahkan secara menfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewasiat telah melakukan suatu kejahatan yang diancam hukuman lima tahun penjara atau hukum yang lebih berat. Selain dari itu Kompilasi Hukum Isalm jugamenetapkan bahwa bagian ahli waris penggati itu tidak boleh melebihi dari bagian asli waris yang sederajat yang siganti. Jika wasiat wajibah berfungsi sebagai pengalihan hak kepaada orang yang bukan ahli waris sebagai mana yang ditentukan oleh hukum waris Islam, maka Kompilasi Hukum Islam menetapkan batasan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan anak angkatnyaatau sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan orang tua angkatnya. Oleh karena wasiat wajibah ini mempunyai titik singgung secara langsung dengan hukum kewarisan Islam, maka pelaksanaannya diserahkan kepada kebijaksanaan hakim dalam menetapkan dalam proses pemeriksaan perkara waris yang didajukan kepadanya. Hal ini penting diketahui oleh hakim karena wasiat wajibah itu mempunyai tujuan untuk mendistribusikan keadilan, yaitu memberikan bagian kepada ahli waris yang mempunyai pertalian darah namun nash tidak memberikan bagian 23 yang semestinya, atau orang tua angkat dan anak angkat yang mungkin sudah banyak berjasa kepada si pewaris tetapi tidak di beri bagian dalam ketentuan hukum waris Islam maka hal ini dapat dicapai jalan keluar dengan menerapkan wasiat wajibah sehingga mereka dapat menerima bagian dari harta si pewaris. Oleh karena itu, para hakim sangat diharapkan agar dalam memeriksa perkara waris ini harus betul-betul memperhatikan nilai-nilai moral yang hidup dalam masyarakat sehingga dengan demikian hakim dapat merubah dirinya dari bauche de la loi menjadi eageniur social yang menerapkan hukum sesuai dengan prinsip keadilan dan kemanfaatan, serta adanya kepastian hukum terhadap perkara yang diputuskannya.26 Bahwa Kompilasi Hukum Islam ini sesuai dengan konsideranes Instruksi Presiden No. 1 tahun 1991 adalah bersifat terbuka untuk dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman dan pemenuhan kebutuhan hukum umat Islam Indonesia.27 X. HUKUM WARISAN ORANG YANG MURTAD, WARIS BERKAITAN KARENA PERBEDAAN AGAMA DAN PEWARIS ISLAM ANAK MUSLIM DAN NON MUSLIM A. HUKUM WARISAN ORANG YANG MURTAD. Menurut Hukum Islam Sebagai Berikut: 1. Jika seorang suami murtad/berpindah agama, kemudian ia meninggal dunia maka keluarga yang palin dekatlah yang beragama Islam menjadi ahli warisnya, yaitu dari harta peninggalan yang ia usahakan sewaktu masih menganut Islam, adapun harta hasil usaha sejak ia pindah agama, maka harta tersebut diserahkan ke baitul mal. 2. Jika yang murtadnya itu, istri, lalu ia meninggal dunia, maka keluarga yang paling dekatlah yang beragama Islam menjadi ahli warisnya, yaitu dari harta peninggalan yang ia usahakan sewaktu masih menganut islam, dan dari harta peninggalan sejak ia pindah 26 27 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Materiel Dalam Praktek Peradilan Agama, 2003, 125-126 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Dan Peradilan Agama, 1997, Hal. 376 24 agama:dalam keadaan seperti ini tidak ada harta yang harus diserahkan kebaitul mal. 3. Khusus mengenai warisan antara suami isteri yang keluar dari Islam salah satunya atau kedua-duanya, jika wafatnya suami atau isteri tersebut terjadi setelah habisnya masa iddah furqoh karena RIDDAH, maka antara suami isteri tersebut tidak saling mewarisi, sebab masing-masing dari keduannya sudah menjadi orang lain dengan terputusnya ikatan perkawinan tersebut dan hapus pula segala hukum yang berkaitan dengan perkawinan. 4. Jika suami atau isteri wafat didalam masa idah, maka terbagi menjadi dua bagian, pertama: jika yang pindah agama itu suami, lalu ia wafat maka isterinya yang beragama Islam menjadi ahli warisnya, baik pindah agamanya itu sewaktu suami dalam keadaan sehat, atau dalam keadaan sakit yang hamper mati. Kedua: jika pihak isteri yang pindah agama, dan sewaktu murtadnya itu dalam keadaan sakit yang hampir mati, maka suaminya yang beragama Islam menjadi ahli warisnya, dan jika waktu murtadnya itu ia dalam keadaan sehat, kemudian meningal dunia, maka bagi suaminya tidak memperoleh bagian dari harta warisan tersebut. Orang murtad laki-laki, ataupun orang murtad perempuan, secara mutlak tidak salin mewarisi satu sama lain, baik yang wafat itu (mayit itu) beragama Islam atau tidak beragama Islam. Ketentuan menurut hukum Islam, bahwa orang yang murtad jika bertaubat dengan sungguh-sungguh, dengan mengucapkan pula duakalimat syahadat kemudian menjahui segala perilaku yang bukan Islam, artinya mengerjakan amalan-amalan Islam secara keseluruhan maka jadilah seorang muslim yang sempurna.28 28 Kamal Sholih al Bana, Al Musykilat al „amaliyah fii da‟awii an Nasabi Wal Irtsi, 2002, 154-155 25 B. WARIS BERKAITAN AGAMA. KARENA PERBEDAAN Perbedaan agama diantara sesama mereka non muslim tidak menghalangi seseorang diantara mereka menerima warisan dari yang lainnya. Sedangkan orang yang murtad (berpindah agama), tidak menerima warisan dari lainnya (yang tidak murtad), sehingga ia tidak menghayalkan bahwa orang non muslim itu menerima warisan: dua pendapat hukum diatas menurut pendapat Ulama Hanafi. Dibedakan harta asal (yaitu harta sebelum murtad dan harta setelah murtad). Hasil usaha orang yang murtad, yang diperoleh setelah ia murtad adalah menjadi miliknya dan ia wafat diserahkan pada baitul mal, demikian ini mengambil pendapat As Safi‟i. Dan setiap harta hasil usaha orang murtad laki-laki atau perempuan, yang diperoleh sebelum RIDDAH, (maka jika ia wafat ahli warisnya) orang-orang Islam yang paling dekat. (kerabat-kerabatnya). Telah menjadi kesepakatan bahwa perbedaan warga Negara (tempat tinggal) dikalangan sesama muslim tidak menghalangi kewarisan. Ulama berpeda pendapat dalam hal, jika dihubungkan dengan orang non muslim (berbeda agama), apakah termasuk halangan dalam memperoleh warisan atau tidak. ULAMA HANAFIYAH, berpendapat penghalang dalam memperoleh warisan. termasuk Ahmad Bin Hambal dan dua imam lainnya berpendapat, tidak menjadi penghalang dalam memperoleh warisan, pendapat ini dipakai berdasarkan kenyataan dalam kondisi seperti ini, adanya faktor kesamaan antara orang-orang Islam dan non muslim.29 29 Abdul Fatah Ibrahim, Al Ahwalu as syahsiyah fii tasyrii‟aatihaa al Muta‟addidah, 1997, Hal. 162 26 C. HARTA WARISAN PEWARIS MUSLIM DAN NON MUSLIM ISLAM, ANAK Putusan mahkamah Agung RI No. 368. K/AG/1995, Tanggal 16 juli 1998 dapat diangkat Abstrak/Kaidah Hukum sebagai berikut: Suatu keluarga muslim, h Sanusi bin H. Irsjad dan isterinya Hj. Sujatmi dalam perkawinannya telah dilahirkan 6 orang anak kandung, lelaki dan perempuan. Lima orang anak tetap muslim dan seorang anak perempuan keluar dari Agama Islam dan memeluk Agama Nasrani. Kedua orang tuanya, H. Sanusi dan Hj. Sujatmi berurutan wafat, dengan meninggalkan Harta Warisan, yang kemudian melalui suatu putusan Peradilan Agama Harta Peninggalan tersebut di bagi menurut hukum waris Islam. Lima orang anak yang muslim, ditetapkan sebaga Ahli Waris dari ayahnya maupun ibunya almarhum dan masing-masin anak memperoleh bagian dari harta warisan kedua orang tuannya tersebut. Bagian anak lakilaki adalah dua bagian dari anak perempuan. Sedangkan anak kandung permpuan yang beragama non Islam (Nasrani) setatus hukumnya bukan ahli waris, namun ia berhak mendapat bagian dari harta warisan dari kedua orang tuanya almarhum berdasarkan “wasiat wajibah” yang bagiannya sama dengan bagian anak perempuan ahli waris almarhum ayahnya dan almarhumah ibunya.30 1) Contoh diktum putusan tersebut diatas sebagai berikut Mengadili sendiri : A. Dalam Eksepsi : Menolak Eksepsi Turut Tergugat II B. Dalam pokok perkara : 1. Mengabulkan gugatan sebagian 30 IKAHI, varia Peradilan Thn. XVII, No. 193, 2001, Hal. 112 27 2. Mengabulkan Ahli Waris sah dari almarhum H. Sanusi bin H. Irsjad adalah : a. Isteri almarhum H. Sanusi bernama Hj. Sujatmi b. Anak-anak almarhum masing-masing: 1. Djoko Sampurno almarhum 2. Untung Legiyanto almarhum 3. Bambang Setiobudi almarhum 4. Siti Aisjah 5. Esti Nuri Purwati 3. Menyatakan turut tergugat II (Sri Widyastuti bin H. Sanusi) berhak mendapat bagian dari harta peninggalan “wasiat wajibah” sebesar bagian sesorang anak perempuan ahli waris alm. H Sanusi 4. Menyatakan harta warisan peninggalan almarhum H. Sanusi sebelum dikurangi dengan wasiat wajibah untuk Sri Widyastuti (Turut Tergugat II) adalah ………………..dst……………….dst…………….. 5. Menetapkan bagian masing-masing Ahli waris adalah setiap anak lelaki mendapat dua kali bagian anak perempuan. 6. Menetapkan Ahli waris sah dari almarhum Hj. Sujatmi adalah : a. Djoko Sampurno b. Untung Legiyanto c. Bambang Setyobudhi d. Siti Aisjah e. Esti Nur Purwanti 7. Menetapkan harta warisan dari Hj. Sujatmi binti minggu sebelum dikurangi dengan “wasiat wajibah” untuk Sri Widyastuti (turut tergugat II) adalah sebagai berikut :…………dst…………dst…………..dst 8. Menetapkan besarnya ahli waris almarhum Hj. Sujatmi adalah bagian anak sama dengan bagian dua anak perempuan. 9. Menyatakan turut tergugat II (Sri Widyastuti binti H. sanusi) berhak mendapat bagian dari harta peninggalan almarhum Sujatmi berdasarkan “wasiat 28 wajibah” sebesar bagian seorang anak perempuan ahli waris almarhum Hj. Sujatmi. 10. Dst……..dst…….31 2) Contoh putusan MA RI no. 38 K/AG/1998 tanggal 28 Oktober 1998 sesuai dengan pasal 209 Kompilasi Hukum Islam bahwa seorang anak angkat berhak 1/3 (sepertiga) bagian dari harta peninggalan orang tua angkatnya sebagai suatu wasiat wajibah sebagai berikut: Mengadili : mengabulkan permohonan kasasi. Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta. Mengadili sendiri : Dalam eksepsi : Menolak eksepsi tergugat. Dalam pokok perkara: 1. Mengabulkan gugatan sebagian. 2. Menetapkan pewaris meninggal dunia 21 Januari 1996. 3. Menetapkan “harta bersama” pewaris dengan isterinya pertama Ny. Widawati Reiko Sogabe adalah : 11 sebelas bidang tanah……dst. 4. Menetapkan bagian Ny. Widawati Reiko sebanyak = ½ (setengah) dari harta bersama. 5. Menetapkan harta peninggalan pewaris = ½ (setengah) dari harta bersama. 6. Menetapkan turut tergugat, YUSHIFUNI UENO sebagai anak angkat pewaris. 7. Menetapkan bagian dari anak angkat tersebut adalah 1/3 bagian dari harta peninggalan pewaris. 8. Menetapkan ahli waris dari pewaris dan bagiannya masing-masing sebagai berikut : a. Ny. Widawati Reiko Sogabe isteri pertama memperoleh 1/16 bagian dari harta warisan pada angka 5. 31 IKAHI, Varia Peradilan Thn. XVII, No.193, 2001, Hal. 111 29 b. Ny. Solifah bt Musodik, isteri kedua mendapat = 1/16 bagian dari harta warisan pada pada angka 5 c. Fitria Nur (anak) mendapat 13/24 bagian dari harta warisan angka 5. 9. Menghukum tergugat untuk menyerahkan bagiannya Ny. Soifah bt Musodik dan Fitria Nur sesuai bagiannya masing-masing. 10. Menolak gugatan selebihnya. Dalam Rekonpensi : Dst…………dst………….dst……..32 XI. KESIMPULAN/PENUTUP 1. Teori Makro karya Durkheim dan Max Weber yang menjelaskan hubungan antara hukum dengan bidang-bidang lainnya, tidak bisa dipisahkan satu sama lain adalah dapat diterapkan dalam lembaga wasiat wajibah. Dalam hal ini tidak jauh berbeda dengan pernyataan Ibnu Khaldun bahwa Hukum-hukum yang berlaku terhadap perubahan itu, bersifat sosiologi. 2. Wasiat wajibah adalah merupakan pembaharuan dan trobosan hukum dibidang kewarisan. 3. Bahwa berdasarkan dari kenyataan sejarah hukum Islam, ternyata faktor sosial budaya mempunyai pengaruh penting dalam memahami produk-produk pemikiran hukum Islam, baik berbentuk kitab Fiqh, Peraturan Perundangan, keputusan pengadilan, maupun fatwa-fatwa Ulama di negeri Muslim. 4. Hukum Islam dapat beradaptasi dalam perubahan karena secara implisit Al-Qur‟an dan Hadits mempunyai karakter akan perubahan. 5. Lembaga wasiat wajibah dalam Kompilasi Hukum Islam tidak hanya yang telah diatur dalam pasal 209 KHI saja yaitu mengenai anak angkat tetapi bisa juga diterapkan kepada ahli waris yang berbeda agama, sesuai dengan pasal 229 KHI. 32 ibid, 103 30 Demikian tulisan ini di buat, sudah barang tentu disana sini masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat kami harapkan demi perbaikan kedepan. Pontianak , Rabu 9 September 2015 31 DAFTAR ISI I. PENDAHULUAN 1. Teori Perubahan Sosial …………………………........................1 2. Teori Makro : Durkheim dan Max Weber ……...………….…..2 II. HUKUM YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT .....................3 III. HUBUNGAN ANTARA PERUBAHAN-PERUBAHAN SOSIAL TENTANG HUKUM……………………………......……….….…6 IV. PERUBAHAN SOSIAL BUDAYA DAN PERUBAHAN HUKUM ISLAM ……………………....……………………………..……...7 V. DASAR HUKUM WASIAT WAJIBAH …………………..….…11 VI. PENGGANTI AHLI WARIS DIBANDING WASIAT WAJIBAH ……….............................................................................................14 VII. PANDANGAN IBN HAZM TENTANG WASIAT WAJIBAH...16 VIII. LEMBAGA WASIAT WAJIBAH DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI....................................................................................15 IX. LEMBAGA WASIAT WAJIBAH DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM…………………………………………………18 X. HUKUM WARISAN ORANG YANG MURTAD, WARIS BERKAITAN KARENA PERBEDAAN AGAMA DAN PEWARIS ISLAM ANAK MUSLIM DAN NON MUSLIM ... 24 A.HUKUM WARISAN ORANG YANG MURTAD ................ 24 B.WARIS BERKAITAN KARENA PERBEDAAN BERAGAMA ………......................................................................................26 C. HARTA WARISAN PEWARIS ISLAM, ANAK MUSLIM DAN NON MUSLIM………………………………………...27 CONTOH PUTUSAN Kasus Wasiat Wajibah 1. Putusan Mahkamah Agung RI No.368 K./AG/1995 tgl. 16 Juli 1998……………………..………………………...........…….27 2. Putusan Mahkama Agung RI No. 38 K./AG/1998 tgl. 28 Oktober 1998………………………...………………....…….29 XI. KESIMPULAN/PENUTUP..…………...……………………......30 32 DAFTAR PUSTAKA Abdul Fatah Ibrahim, AL AHWALUS AS SYAHSIYATU FII TASYRII‟AATIHAA AL MUTA‟ADDIDAH, Al- isy‟aau, Islandariyah Mesir, 1997. Al Imam Muhammad Abu Zahro, AH KAMU ATTIRKAAT WAL MAWAARITS, Darul Al Fikri Al Arabiyyi, Kairo, 1963 Ashon aniyi, SUBULU ASSALAM JUZ 3, Al Hidayah, Surabayah, tt Al Hikmah dan DITBINBADERA Islam, MIMBAR HUKUM No. 23 Thn. 23, PT. Intermas, Jakarta, 1995. Al Hikmah dan DITBINBADERA Islam, MIMBAR HUKUM No. 29 Thn. VII, PT. Intermas, Jakarta, 1996. Al-Qardlawy Yusuf, IJTIHAD DALAM SYARI‟AH ISLAM, Bulan Bintang, Jakarta, 1987. Daud Ali Mohammad, Prof. H. S.H, HUKUM ISLAM DAN PERADILAN AGAMA, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997. Depag RI, HIMPUNAN PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN DALAM LINGKUNGAN PERADILAN AGAMA, Jakarta, 2001. Depag RI, AL-QUR‟AN DAN TERJEMAHAN, PT. Intermas, Jakarta, 1943. Ibnu Katsir, TAFSIR AL QUR‟QN AL ADHIM JUZ I, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), VARIA PERADILAN No. 193 Thn. XVII, Jakarta, 2001 Ikatan hakim Indonesia (IKAHI), VARIA PERADILAN Thn. XV No.180, Jakarta, 2000 Imron, MA, MAKALAH PEMBAHARUAN SISTIM KEWARISAN DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM, tt, Surabaya, 2003. Ibnu Hazm, Al-MUHALLA jilid 9, Dar Al Afaaq Al jadidah, Bairut,tt Kamal Sholih al Bana, AL MUSYKILAT AL „AMALIYAH FII DA‟AWII AN NASABI WAL IRTSI, „aalamil kutub, Kairo, 2002. 33 Laver Robert H, PERSPEKTIF TENTANG PERUBAHAN SOSIAL, Rineka Cipta, Jakarta, 2001. Maliki Zainuddin, DR. H. M.si, NARASI AGUNG Tiga Teori Sosial Hegemonik, Lembaga Pengkajian Agama Dan Masyarakat (LPAM), Surabaya, 2003. Mu‟allim Amir dan Yusdani, KONFIGURASI PEMIKIRAN HUKUM ISLAM, UII Press, Yogyakarta, 2001 Manan Abdul, Drs, H, SH, Sip, M.Hum, ANEKA MASALAH HUKUM MATERIEL DALAM PRAKTEK PERADILAN AGAMA, Pustaka Bangsa Press, Jakarta, 2003. Raharjo Satjipto, Prof. DR. SH, SOSIOLOGI HUKUM PERKEMBANGAN METODE DAN PILIHAN MASALAH, Muhammadiyah University Press, Surakarta, 2002. Soekanto Soerjono, DR. SH. MA., POKOK-POKOK SOSIOLOGI HUKUM, PT Raharja Grafindo Persada, Jakarta, 2002. Sukadrja Ahmad. Prof. DR. H. SH., HUKUM KELUARGA DAN PERADILAN KELUARGA DI INDONESIA, Mahkama Agung, Jakarta, 2002. 34