lembaga wasiat wajibah dalam kompilasi hukum

advertisement
LEMBAGA WASIAT WAJIBAH DALAM KOMPILASI
HUKUM ISLAM DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI
Oleh : Anshoruddin
I.
PENDAHULUAN
1.
Teori Perubahan Sosial.
Bahwa berfungsinya hukum dalam masyarakat akan
menimbulkan situasi tertentu. Apabila hukum itu efektif
berlaku, akan menimbulkan perubahan, dan perubahan itu
dapat dikategorikan sebagai perubahan sosial, sebab suatu
perubahan sosial tidak lain adalah penyimpangan kolektif
dari pola-pola yang telah mapan.1
Banyak metode yang dapat digunakan dalam
mempengaruhi perubahan. Metode itu biasanya dipilih
berdasarkan asumsi tertentu. Cina dan Benne mengemukakan
tiga jenis strategi yang mereka sebut:
1) Rasional – empiris;
2) Normatife – edukatif;
3) Paksaan – kekuasaan.
Strategi pertama berasumsi bahwa manusia adalah
rasional dan mereka akan menuruti keputusan itu ditunjukkan
kepada mereka. Strategi kedua juga berasumsi bahwa
manusia adalah rasional tetapi mengakui manusia bertindak
berdasarkan norma-norma sosial, pengetahuan, dan
kepentingan sendiri. Karena itu perlu mengubah nilai dan
sikap maupun pemberian pengetahuan. Strategi ketiga
berasumsi bahwa manusia bertindak berdasarkan hubungan
kekuasaan – sah atau paksaan. 2.
Bahwa berdasarkan fenomenologi dan konstruksi sosial
tiga paradigma yakni fakta sosial, definisi sosial dan prilaku
sosial dalam sosiologi, sebenarnya mencoba menjelaskan
tarik tambang antara individu atau dikenal dengan Istilah
aktor dan masyarakat, termasuk struktur di dalamnya.
1
2
Amir Muallim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam, 2001, Hal. 106
Robert H. Lauer, Perspektif Tentang Perubahan Sosial, Hal. 495-496
1
Kemudian persoalanya menjadi apakah individu yang
mempengaruhi struktur atau sebaliknya struktur mendominasi
individu, sehingga tidak mempunyai pilihan lain untuk
bertindak. Jadi, bukan bagaimana individu dan struktur saling
mengisi dan membangun satu sama lain.3
Masyarakat ditandai oleh perubahan. Tingkat perubahan
antara masyarakat yang satu dan yang lain mungkin sangat
berbeda. Menurut Khaldun, di zaman lampau tak banyak
perubahan berarti yang terjadi selama jangka panjang. Tetapi
di masa hidupnya, seperti yang diamatinya “seluruh umat
manusia telah berubah dan seluruh dunia telah berubah,
semua manusia seolah-olah telah menjadi mahluk baru,
jelmaan baru, dunia telah melahirkan kehidupan baru”.
Hukum-hukum yang berlaku terhadap perubahan itu
bersifat sosiologis, bukan bersifat biologis atau bersifat
alamiah. Daya dorong sejarah harus dipahami menurut
fenomena sosial seperti solidaritas, kepemimpinan, mata
pencaharian dan kemakmuran. Perubahan sosial harus dilihat
menurut variabel-variabel sosial, yang dengan sendirinya
dapat menerangkan perubahan. 4
2.
Teori makro : Durkheim dan Max Weber
Teori makro menjelaskan hubungan atau kaitan antara
hukum dengan bidang-bidang lain di luarnya, seperti budaya,
politik, dan ekonomi. Dengan memberikan penjelasan
tersebut, teori makro ini memberi tahu kepada kita, bahwa
tempat hukum adalah dalam konteks yang luas yaitu hukum
tidak dapat dibicarakan terlepas dari korelat-korelat hukum
tersebut. hukum memiliki habitat dan kenyataan ini tidak
ditinggalkan dalam kajian sosiologi hukum.
Karya-karya Durkheim dan Max Weber merupakan
contoh klasik teori makro. Kedua raksasa pemikir tersebut
melihat sosiologi sebagai kajian terhadap masyarakat sebagai
suatu keseluruhan sehingga pengkajian mengenai hukum juga
3
4
Zainudin Maliki, Narasi Agung Tiga Teori Sosial Hegemonik, 2003 Hal. 232
Robert H. Lauer, Perspektif Tentang Perubahan Sosial, 2001 Hal. 43
2
ditempatkan kerangka pemahaman yang demikian itu
termasuk adalah lembaga wasiat wajibah itu tidak terlepas
dari teori makro, karena tidak bisa dipisahkan antara hukum
dengan bidang-bidang lainnya.
Durkheim menjelaskan, bahwa hukum muncul sebagai
suatu institusi yang sepesialistis sebagai bagian dari proses
perubahan dalam masyarakat yang dipolakan sebagai proses
diferensiasi sosial. Proses pembagian kerja dalam masyarakat
(division dutravail social) itu pada akhirnya memberi akibat
secara cap dibidang hukum, yaitu yang kemudian muncul
sebagai institusi yang berdiri sendiri melalui sekalian sifat
sepisial tersebut. Studi Unger mengenai hukum modern juga
sampai kepada kesimpulan diferensiasi tersebut. hukum
(modern) tidak dapat lagi diperlakukan sebagai bagian dari
suatu bidang lain karena memiliki karakter istik sendiri, baik
secara substantife, metodologis, institusional maupun
okupasional. 5
II.
HUKUM YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT
Pengukuhan hukum Islam terhadap hukum yang hidup dalam
masyarakat tersebut memberikan keyakinan bahwa hukum Islam
memiliki sifat keluwesan (elastisitas) yang memungkinkan untuk
diterapkan di segala tempat dan zaman hingga akan dirasakan
benar-benar bahwa agama Islam menjadi rahmat sekalian alam.
Dengan demikian, akan dapat diyakini pula bahwa hukum islam
yang bersifat universal itu benar-benar akan menghantar manusia
sejahtera dan bahagia.
Akan tetapi, hukum yang hidup dalam masyarakat akan dapat
diterima sebagai salah satu sumber hukum-hukum ijtihadiyah jika
memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut:
a. Dapat diterima dengan kemantapan jiwa oleh masyarakat,
didukung oleh pertimbangan akal yang sehat dan sejalan
dengan tuntutan watak pembawaan manusia.
5
Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum, 2002, Hal. 99-100
3
b.
c.
d.
e.
f.
Benar-benar merata menjadi kemantapan umum dalam
masyarakat dan dijalankan terus-menerus secara kontinyu.
Tidak bertentangan dengan nas Al-Qur‟an atau sunnah.
Dengan demikian, hukum yang hidup yang bertentangan
dengan nas tidak dapat diterima.
Benar-benar ada pada saat hukum – hukum ijtihadiyah
dibentuk.
Dirasakan masyarakat mempunyai kekuatan mengikat,
mengharuskan ditaati dan mempunyai kekuatan hukum.
Tidak terdapat persyaratan yang berakibat tidak berlakunya
hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut.
Diantara kualifikasi hukum yang hidup (living law ) untuk
dapat diterima sebagai salah satu sumber hukum- hukum
ijtihadiyah dan perlu mendapat perhatian ialah persyaratan tidak
boleh bertentangan dengan nas Al Qur‟an dan sunnah. Oleh
karena itu, untuk menilai apakah living law itu bertentangan
dengan nas atau tidak, perlu diadakan pengkajian secara seksama.
Ada kemungkinan, suatu living law sepintas lalu terlihat
bertentangan dengan nas, tetapi setelah dihadapkan kepada
berbagai nas dalam beberapa seginya, ternyata dapat diadakan
pendekatan antara living law yang berlaku dengan ketentuan nas
yang ada, tanpa memperlihatkan adanya pertentangan yang tidak
dapat dipertemukan.
Kerangka pemikiran diatas, berimplikasi pada perlunya
pendekatan alternatife dalam studi dan pemikiran fiqh. Dalam
kaitan ini yang dimaksud adalah pendekatan sejarah sosial dan
pendekatan sosiologis terhadap fiqh.
Yang dimaksud dengan pendekatan sejarah sosial dalam
pemikiran hukum Islam adalah pendekatan bahwa setiap produk
pemikiran hukum Islam pada dasarnya adalah hasil interaksi
antara sipemikir hukum dengan lingkungan sosio-kultural atau
sosio-politik yang mengitarinya. Oleh karena itu produk
pemikirannya itu sebenarnya bergantung pada lingkungannya itu.
Pendekatan ini memperkuat alasan dengan menuju kepada
kenyataan sejarah, bahwa produk-peoduk pemikiran yang sering
dianggap sebagai hukum Islam itu sebenarnya tidak lebih dari
4
interaksi tersebut. Pendekatan sejarah sosial ini penting sedikitnya
karena dua alas an: pertama, untuk meletakkan produk pemikiran
hukum Islam pada tempat yang seharusnya, dan kedua, untuk
memberikan keberanian kepada para pemikir hukum Islam agar
tidak ragu-ragu, bila merasa perlu, melakukan perubahan suatu
produk pemikiran hukum karena sejarah telah membuktikan,
bahwa umat Islam di berbagai penjuru dunia telah melakukannya
tanpa sedikitpun merasa keluar dari hukum Islam. Pendekatan
secara social berfungsi menelusuri bukti-bukti sejarah itu dan
sebagian dari bukti-bukti itu adalah adanya pengaruh faktor
lingkungan sosial budaya dalam kitab-kitab fiqh, aturan
perundang-undangan negeri negeri muslim, keputusan
pengadilan, fatwa-fatwa ulama.
Berdasarkan temuan-temuan dan penelitian diatas dapat
disimpulkan bahwa dari kenyataan sejarah hukum Isalm ternyata
bahwa faktor sosial budaya mempunyai pengaruh penting dalam
mewarnai produk-produk pemikiran hukum Islam, baik berbentuk
kitab fiqh, peraturan perundangan, keputusan pengadilan, maupun
fatwa-fatwa ulama di negeri muslim. Oleh karena itu, apa yang
disebut hukum Islam itu dalam kenyataan sebenarnya adalah
produk pemikiran yang merupakan hasil interaksi antara ulama
sebagai pemikir dengan lingkungan sosialnya. Meskipun AlQur‟an dan hadits mempunyai aturan yang bersifat hukum, tetapi
jumlahnya amat sedikit dibanding dengan jumlah persoalan hidup
yang memerlukan ketentuan hukumnya. Untuk mengisi
kekosongan itu, para ulama telah menggunakan akalnya dan
hasilnya adalah produk pemikiran hukum yang ada sekarang ini.
Apa warna atau dinamika produk pemikiran hukum itu akan
bergantung kepada keberanian para pemikir hukum Islam yang
ada sekarang.
Setelah dijelaskan pendekatan sejarah sosial dalam studi dan
pemikiran hukum Isalam, dalam studi dan penelitihan hukum
Islam diatas juga menggunakan pendekatan sosiologis. Yang
dimaksud dengan pendekatan sosiologis dalam studi dan
pemikiran hukum Islam adalah mempelajari faktor-faktor sosial,
politik, dan kultural yang melatarbelakangi lahirnya suatu produk
5
pemikiran fiqh, dan bagaimana dampak produk pemikiran fiqh itu
terhadap masyarakat.
Mengacu kepada perbedaan gejala studi Islam pada
umumnya, studi hukum Islam juga dapat dipandang sebagai
gejala budaya dan sebagai gejala sosial. Filsafat dan aturan
hukum Islam adalah gejala budaya. Sedangkan interaksi orangorang Islam denagan sesamanya atau dengan masyarakat nonmuslim di sekitar persoalan hukum Islam adalah gejala sosial. 6
III.
HUBUNGAN
ANTARA
PERUBAHAN-PERUBAHAN
SOSIAL DENGAN HUKUM.
Suatu perubahan sosial lebih mudah terjadi apabila suatu
masyarakat sering mengadakan kontak dengan masyarakatmasyarakat lain, atau telah mempunyai sistim pendidikan yang
maju. Sistim lapisan sosial yang terbuka, penduduk yang
heterogen serta ketidak puasan masyarakat terhadap bidang
kehidupan yang tertentu, dapat pula memperlancar terjadinya
perubahan- perubahan sosial,sudah tentu disamping faktor-faktor
yang dapat memperlancar peroses perubahan- perubahan sosial,
dapat juga diketemukan faktor- faktor
yang mungkin
menghambatnya seperti sikap masyarakat yang mengagungagungkan masa lampau (tradisionalisme),adanya kepentingankepentingan yang tertanam dengan kuat (vested- interest),
prasangka terhadap hal-hal yang baru atau asing, hambatanhambatan yang bersifat ideologis, dan seterusnya. Faktor- faktor
tersebut diatas sangat mempengaruhi terjadinya perubahanperubahan sosial beserta perosesnya.
Saluran- saluran yang dilalui oleh suatu proses perubahan
sosial pada umumnya adalah lembaga- lembaga kemasyarakatan
dibidang pemerintahan, ekonomi, pendidikan ,agama, dan
seterusnya. Lembaga kemasyarakatan mana yang merupakan titik
tolak, tergantung pada penilaian tertinggi yang diberikan oleh
masyarakat terhadap masing- masing lembaga kemasyarakatan
tersebut.
6
Amir Mu‟allim dan Yusdani, Konfigurasi pemikiran Hukum Islam, 2001, Hal.125-129
6
Didalam proses perubahan hukum (terutama yang tertulis)
pada umumnya dikenal adanya tiga badan yang dapat mengubah
hukum , yaitu badan-badan pembentuk hukum, badan- badan
penegak hukum dan badan- badan pelaksana hukum. Adanya
badan- badan pembentuk hukum yang khusus, adanya badanbadan peradilan yang menegakan hukum serta badan- badan
pelaksana yang menjalankan hukum, merupakan ciri- ciri yang
terdapat pada Negara-negara modern. Pada masyarakatmasyarakat sederhana, ketiga fungsi tadi mungkin berada
ditangan satu badan tertentu atau diserahkan pada unit-unit
terpenting dalam masyarakat seperti misalnya keluarga luas. Akan
tetapi ,baik pada masyarakat modern maupun sederhana ketiga
fungsi tersebut dijalankan dan merupakan saluran-saluran melalui
mana hukum mengalami perubahan-perubahan.
Kekuasaan kehakiman antara lain mempunyai fungsi untuk
membentuk hukum . didalam pasal 27 ayat 1 undang-undang no.
14/1970 dinyatakan bahwa hakim sebagai penegak hukumdan
keadilan diwajibkan untuk menggali, mengikuti dan memahami
nilai-nilai hukum yang hidup didalam masyarakat. Adanya
ketentuan tersebut membuktikan bahwa tugas hakim tidak saja
terbatas pada pengadilan berdasarkan hukum yang ada, akan
tetapi juga mencari dan menemukan hukum untuk kemudian
dituangkan didalam keputusannya nialai-nilai hukum yang
terdapat dalam masyarakat.7
IV.
PERUBAHAN SOSIAL BUDAYA DAN PERUBAHAN
HUKUM ISLAM
a.
Pengertian Perubahan Sosial dan Kebudayaan
Dalam menghadapi perubahan sosial budaya tentu
masalah ulama yang perlu diselesaikan ialah pembatasan
pengertian atau definisi perubahan sosial dan perubahan
kebudayaan itu sendiri. Ahli-ahli sosiologi dan antropologi
telah banyak membicarakan pengertian perubahan sosial
budaya kebudayaan.
7
Soerjono soekanto, pokok-pokok sosiologi hokum, 2002, 99-100
7
William F. Orburn berpendapat, ruang lingkup
perubahan sosial meliputi unsur-unsur material ataupun
bukan yang material unsure-unsur material itu berpengaruh
besar atas yang bukan material Kingsley Davis berpendapat
bahwa perubahan sosial ialah perubahan struktur dan funsi
masyarakat. Misalnya dengan timbulnya organisasi buruh
dalam masyarakat kapital, terjadi perubahan-perubahan
organisasi ekonomi dan politik.
Selo Soemardjan berpendapat bahwa perubahan sosial
adalah segala perubahan sosial dalam segala perubahan pada
lembaga-lembaga
kemasyarakatan
di
dalam suatu
masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk
dalamnya nilai-nilai, sikap-sikap dan pola-pola kelakuan di
antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Definisi ini
menekankan perubahan lembaga sosial, yang selanjutnya
mempengaruhi segi-segi lain struktur masyarakat Lembaga
sosial ialah unsur yang mengatur pergaulan hidup untuk
mencapai tata tertib melalui norma.
b.
Bentuk-bentuk Perubahan Sosial Kebudayaan
Perubahan-perubahan sosial dan kebudayaan yang terjadi
dalam masyarakat dikelompokkan ke dalam beberapa bentuk,
misalnya :
1) Perubahan-perubahan yang terjadi secara lambat dan
perubahan-perubahan yang terjadi secara sepat.
2) Perubahan yang dikehendaki (intended change) atau
perubahan yang direncanakan (planned change) dan
perubahan yang tidak dikehendaki (unintended change )
atau perubahan yang tidak direncanakan (unplanned
change).
c. Pengaruh Perubahan Sosial Terhadap Hukum Islam.
Pertanyaan yang timbul pertama, apakah hukum Islam
tidak dapat beradaptasi dengan perubahan sosial ?, atau
kedua, apakah karena para ulama pada waktu itu tidak berani
mengaktualisasikan nilai-nilai hukum Islam dalam konteks
8
sosio-kultural sehingga hukum Islam mengalami kekakuan
(tidak adaptif) dalam penerapannya?.
Hukum Islam bersifat universal, Universalitas ini
terdapat dalam syari‟ah (teks-teks hukum yang terdapat
dalam Al-Qur‟an dan al Hadist), yang ketentuanya masih
merupakan garis besar dan prinsip umumnya saja. Dalam
perubahan sosial, teks-teks inilah yang diinterpretasikan
sesuai dengan situasi dan kondisi sosio-kultural yang
dihadapi. Adanya proses penyesuaian (adjustment) ini akan
mewujudkan suatu keseimbangan dalam masyarakat yang
merupakan keadaan yang didambakan dalam setiap
masyarakat.
Dalam mendeteksi hukum ajaran Islam, ulama periode
lalu banyak melalui pendekatan ta‟abbudi (hukum Islam
diterima apa adanya tanpa komentar).
Karenanya, kausalitas „ilat hukum dan hikma tasyri‟
tidak banyak terungkap sehingga pikiran kaum muslim
menjadi jumud dan beku. Perubahan dalam hal ini dapat
ditempuh dengan jalan bahwa sebaiknya dalam memahami
ajaran/hukum Islam ditempuh lewat pendekatan ilmiah
rasional menuju pendekatan ta‟aqquli. Dengan prinsip ini
„llat hukum dan hikmah tasyri‟ dapat dicerna oleh penalaran
umat Islam terutama dalam masalah kemasyarakatan.
Teori tentang perubahan hukum dengan adanya
perubahan masyarakat ini prinsipnya sudah ada di dalam AlQur‟an dan Hadis, yang disebut dengan naskh al hakm
sebagimana yang disebutkan dalam firman Allah Q.S. 2 : 106
....‫ا‬ٍٙ‫ ِص‬ٚ‫ا أ‬ِٕٙ ‫ا ٔؤ خ تخيس‬ٙ‫ ٕٔس‬ٚ ‫ِا ٕٔسخ ِٓ ا يح أ‬
) : ‫(اٌثمس ج‬
Terjemah :
9
“Apa saja yang kami naskhkan, atau kami jadikan (manusia )
lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik dari
padanya atau yang sebanding dengannya…..” 8
Naskah menurut Istilah adalah menerapkan habis
berlakunya suatu hukumyang diambil dari ayat yang dibaca (
Al-Qur‟an dan Hadis). Hikmahnya ialah bahwa hukumhukum ini ditetapkan hanya semata mata untuk kemaslahatan
umat manusia, dan kemaslahatan ini dapat berbeda-beda
denagan perbedan situasi dan kondisi. Oleh karena itu jika
dalam suatu waktu ditetapkan suatu hukum karena adanya
suatu kebutuhan, kemudian kebutuhan ini ternyata hilang
maka yang mengandung hikmah adalah merubah dan
menggantikannya dengan hukum (baru) yang sesuai dengan
waktu lain, sehingga lebih baik dari pada hukum yang
pertama, atau seimbang dalam hal kegunaannya bagi
manusia.
Dengan menelaah secara mendalam Al-Qur‟an dan
Hadis, para Imam nazhab dan ulama lainnya maupun
menetapkan aturan yurisprudensi Islam dan mengajukan
kumpulan hukum yang dapat diterapkan pada situasi riil
zaman mereka, juga dapat dijadikan metode penetapan pada
zaman yang akan datang dengan kondisi dan corak
masyarakat yang berbeda. Gejala tersebut melahirkan definisi
hukum yang berubah sesuai kondisi dan sistim politik yang
berlaku bagi tiap-tiap Negara karena hal itu semata- mata
merupakan pemukulrataan dari teknik hukum yang
disesuaikan dengan keadaan sosial yang kongkrit.
Dalam perkembangan selanjutnya setelah hukum Islam
dijadikan hukum positif oleh beberapa Negara muslim
modern, maka ada sejumlah peraturan-peraturan yang cukup
menarik untuk dicermati dalam kaitannya dengan pengaruh
aspek-aspek
sosiologis
ketika
peraturan
tersebut
diformulasikan. Perubahan sosial dan perkembangan
masyarakat yang begitu pesat menuntut suatu pemikiran
8
Depag RI, Al-Qur‟an dan terjemahan, 1993, Hal. 29
10
keagamaan yang baru sehingga respon yang diberikan benarbenar dapat diterapkan sesuai dengan kondisi dan situasi saat
ini. Keterangan-keterangan diatas pada hakekatnya
memperkuat argumen bahwasanya hukum Islam dapat
beradaptasi dalam perubahan karena secara implisit AlQur‟an dan Hadis mempunyai karakter akan perubahan.
Adalah suatu fakta yang tidak dapat disangkal bahwa
ketentuan-ketentuan hukum itu dapat berubah dengan adanya
perubahan waktu tak terkecuali pada hukum Islam. 9
V.
DASAR HUKUM WASIAT WAJIBAH
Pengertian Wasiat wajibah adalah tindakan yang
dilakukan penguasa atau hakim sebagai aparat Negara untuk
memaksa atau memberi putusan wajib wasiat bagi orang yang
telah meninggal dunia, yang diberikan kepada orang tertentu
dalam keadaan tertentu pula. Dengan kata lain bahwa wasiat
wajibah adalah wasiat yang dipandang sebagai telah dilakukan
oleh seseorang yang akan meninggal dunia, walaupun sebenarnya
ia tidak ada meninggalkan wasiat itu.10
Yaitu firman Allah yang berbunyi :
‫ اٌد‬ٌٍٛ ‫ صيح‬ٌٛ‫ خ ا ْ ذس ن خيساا‬ٌّٛ‫ورة عٍيىُ اذا حضسا حد وُ ا‬
.ٓ‫ ف حما عٍىاٌّرمي‬ٚ ‫األ لس تيٓ تا ٌّعس‬ٚ ٓ‫ي‬
Artinya:
“Diwajibkan atas kamu apabila salah seorang diantara kamu
kedatangan (tanda-tanda) kematian, jika ia meninggalkan harta
yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib-kerabatnya
secara makruf. (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang
bertakwa”. 11
Ibnu Katsir menjelaskan tentang ayat tersebut dalam
tafsirnya Al-Quran Al Adhim juz 1 hal. 212 antara lain sebagai
berikut :
9
Mahkama Agung, Hukum Keluarga dan Peradilan Keluarga di Indonesia, 2001, Hal. 14-20
Al Imam Muhammad Abu Jahroh, Ahkamu attirkaati wa al mawaritsi, 1963, 231-232.
11
Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahan, 1993, Hal. 44
10
11
‫ض‬ٚ‫ ب ِٓ عٕدهللا أل ً٘ اٌفس‬ٛ‫ ج‬ٚٚ ً‫فا يح اٌّيسا ز حىُ ِسرم‬
‫ األ لا ز ب اٌر يٓ ال ِيسا‬ٝ‫ تم‬.‫ا حىُ ٘رٖ تاٌىٍيح‬ٙ‫اٌعصثا خ يس فع ت‬ٚ
‫ صيح‬ٌٛ‫ُ ِٓ اٌصٍس اسرٕٕؤ سا تا يح ا‬ٌٙ ٝ‫ ص‬ٛ‫ُ يسرحة ٌٗ اْ ي‬ٌٙ ‫ز‬
‫ فيٗ يثيد ٌيٍريٓ اال‬ٝ‫ ص‬ٛ‫ ِا حك اِس ئ ِسٍُ ٌٗ شيئ ي‬: ‫ٌحد يس‬ٚ
ٖ‫ تح عٕد‬ٛ‫ صيرٗ ِىر‬ٚٚ..)ٍُ‫ ِس‬ٚ ٜ‫اٖ اٌثخا ز‬ٚ‫) ز‬
Artinya :
“Ayat tentang warisan merupakan ketentuan hukum yang berdiri
sendiri dan kewajiban dari Allah untuk ahli furud dan asabah
yang menghapus keharusan mereka. Maka dianjurkan berwasiat
untuk mereka (sebanyak-banyaknya) sepertiga karena perintah
ayat wasiat itu dan karena ada hadits (yang artinya); “Tidak
layak seorang muslim yang memiliki sesuatu untuk diwariskan
sampai lewat dua malam kecuali wasiatnya itu telah tertulis
disisinya”. 12
Jadi oleh karena ٓ‫ اٌد ي‬ٌٛ‫( ا‬ibu-bapak) adalah tergolong
ahli waris yang telah jelas bagiannya, maka mereka tidak boleh
diwasiati karena ada sabda Nabi Saw. Yang berbunyi :
)ٕٝ‫اٖ اٌد از لط‬ٚ‫( ز‬.‫ا ز ز‬ٌٛ ‫ صيح‬ٚ ‫ال‬
Artinya: “tidak boleh berwasiat kepada ahli waris”. 13
Maka kewajiban berwasiat tinggal kepada “Al-Aqrabin”
(kerabat-kerabat) yang lain yang tidak tergolong ahli waris asabah
dan yang tidak ditentukan bagiannya, termasuk “cucu” yang
orang tuanya telah meninggal.
Jadi ulama Mesir tetap memandang bahwa ”cucu”terhijab
hirman oleh anak laki-laki, lalu dicari jalan keluarnya untuk tetap
memberi bagian dengan jalan “wasiat wajibah”.
Maka kalau Mesir memecahkan masalah “cucu” tersebut
dengan jalan membuat lembaga wasiat wajibah, ternyata Pakistan
dalam undang-undangnya tahun 1961 menempuh cara
“penggantian tempat” atau menempatkan cucu kalau bersama
12
13
Ibnu katsir, Tafsir Al-Qur‟an Al Adhim jus. 1, tt, 212
Ashon „aniy, Subulu as Salam juz. 3, tt, 106
12
dengan anak laki-laki menggantikan kedudukan orang tuanya,
sebagai “ahli waris pengganti” dan mendapat bagian yang sama
dengan bagian orang tuanya yang diganti (ayah/ibunya).
Sedangkan KHI, mengikuti jejak Pakistan, tidak seperti di
Mesir, dimana menurut pasal 185 ayat (1) dan (2) KHI. Cucu
kalau bersama dengan anak laki-laki, dapat menggantikan
kedudukan orang tuanya : sedang bagiannya tidak boleh melebihi
bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.
Contoh:
1. Ibu
Anak laki-laki
Cucu dari anak permpuan
Anak perempuan
: 1/6
:A
:A
:A
Pembagiannya demikian:
Asal masalah
Ibu
Anak laki-laki
Cucu dari anak perempuan
Anak perempuan
: 24
: 4
: 10
: 5
: 5
2. Ayah
Anak laki-laki
Cucu dari anak laki-laki
Anak perempuan
Pembagiannya demikian :
Asal masalah
Ayah
Anak laki-laki
Cucu dari anak laki-laki
Anak perempuan
14
: 1/6
:A
:A
:A
: 18
: 3
: 6
: 3
: 314
Imron AM, Makalah Pembaharuan Sistim Kewarisan Dalam Kompilasi Hukum Islam, 2003, 7-8
13
VI.
PENGGANTI
WAJIBAH
AHLI
WARIS
DIBANDING
WASIAT
Kompilasi Hukum Islam pasal 185 menempuh jalan dengan
pengganti ahli waris bagi cucu atau cucu-cucu dari pewaris yang
ayah/ibunya meninggal lebih dahulu dari pewaris maka Negaranegara Islam lainnya kebanyakan menempuh jalan dengan wasiat
wajibah. Pertama-tama perbandingan dengan Negara Mesir.
Wasiat wajibah di Mesir di atur oleh UU Wasiat Mesir No.
71 tahun 1946, pasal 76-79. wasiat wajibah berlaku pada cucu
atau cucu-cucu, yang ayah/ibunya meninggal dunia lebih dahulu
dari atau bersamaan waktunya dengan pewaris (kakek/nenek
mereka ), dengan ketentuan :
a. Kalau dari garis keturunan laki-laki maka berlaku seterusnya
sampai kebawah tetapi kalau dari garis keturunan anak
perempuan hanya terbatas sampai pada anak atau anak-anak
dari anak perempuan dari pewaris saja.
b. Pewaris di masa hidupnya belum pernah memberikan harta
kepada yang berhak menerima wasiat wajibah tersebut
seukuran hak wasiat wajibahnya.
c. Besarnya wasiat wajibah hanyalah sepertiga harta, entah yang
berhak menerima wasiat wajibah itu banyak atau sedikit,
campuran antara laki-laki atau perempuan maupun tidak.
Kalau yang berhak menerima wasiat wajibah tersebut
campuran antara laki-laki dan perempuan maka bagian
mereka adalah dua banding satu.
d. Wasiat wajibah didahulukan dari wasiat biasa. Kalau pewaris
telah membuat wasiat kepada mereka yang berhak menerima
wasiat wajibah tetapi kurang jumlahnya dari sepertiga maka
dicukupkanlah sampai jumlah sepertiga, tetapi bila telah
melebihi dari sepertiga maka kelebihan itu dianggap wasiat
biasa. Kalau yang berhak menerima wasiat wajibah tersebut
lebih dari seorang, ada yang diberi wasiat biasa dan ada yang
tidak maka yang belum diberi tersebut berhak mendapatkan
hak bagian wasiat wajibahnya. Kalau pewaris ada membuat
surat wasiat bisa dan ada pula meninggalkan mereka yang
berhak menerima wasiat wajibah maka wasiat wajibah
14
dibayar dulu dalam batas sepertiga, kemudian baru
diambilkan untuk wasiat biasa dalam batas sepertiga pula
(sesudah diambil untuk wasiat wajibah).15
Demikian jelas dan tuntasnya konsep wasiat wajibah di
Mesir, sedangkan konsep pengganti ahli waris dalam pasal 185
Kompilasi Hukum Islam belum demikian.
Selanjutnya perbandingan secara singkat dengan konsep
wasiat wajibah di Suria, Marokko, dan Tunisia, serta pengganti
ahli waris di Pakistan dan di Indonesia.
Menurut Undang-undang Personal Status Suriah tahun 1953,
pasal 257-288, di Suriah berlaku wasiat wajibah bagi keturunan
langsung melalui garis anak laki-laki yang meninggal dunia lebih
dahulu dari ayahnya (pewaris) dan tidak berlaku bagi keturunan
langsung melalui anak perempuan. Besarnya wasiat wajibah
adalah sepertiga. Lain-lainnyan sama dengan ketentuan wasiat
wajibah di Mesir.
Menurut Undang-undang Personal Status Marokko tahun
1957, pasal 266-269, di Marokko berlaku wasiat wajibah seperti
di Suriah.
Menurut Undang-undang Moslem Personal Tunisia tahun
956, pasal 192, di Tunisia berlaku wasiat wajibah bagi keturunan
langsung melalui garis laki-laki atau perempuan yang meninggal
dunia lebih dahulu dari ayahnya (pewaris). Besarnya wasiat
wajibah adalah sepertiga.
Menurut Undang-undang Moslem Personal Pakistan tahun
1962, pasal 5, di Pakistan berlaku konsep pengganti ahli waris
kepada cucu atau cucu-cucu, baik dari anak laki-laki maupun dari
anak perempuan pewaris, yang bagian mereka itu adalah seperti
bagian untuk ayah/ibunya (seolah-olah ayah/ibunya masih hidup),
tanpa ada pembatasan seperti pasal 185 Kompilasi Hukum Islam.
Dari perbandingan diatas, ternyata Mesir, Suriah, Marokko
dan Tunisia meletakkan dalam konsep wasiat wajibah, sedangkan
15
Abdul Fatah Ibrohim, Al Ahwalu akhsyah siyatu fii tasyrii‟aatihaa al muta‟addidah juz.II, 1997, 153-156
15
Pakistan dan Indonesia meletakan dalam konsep „pengganti ahli
waris‟.16
Al Qardlawy menganggap wasiat wajibah dalam per-undangundangan Mesir ini , sebagai gabungan dari ijtihad selektif
(intiqo‟i) dan ijtihad kreatif (insyaa‟i) yaitu ijtihad dengan cara
menyeleksi pendapat-pendapat ulama terdahulu yang dipandang
lebih cocok dan lebih kuat kemudian menambahkan dalam
pendapat tersebut unsur-unsur ijtihad baru. Ijtihad model ini
termasuk diantara macam ijtihad kontemporer.17
VII.
PANDANGAN
WAJIBAH
IBNU
HAZM
TENTANG
WASIAT
Beberapa ulama masih tetap berpendapat bahwa perintah
berwasiat dalam ayat al-Baqarah di atas masih tetap berlaku dan
nilainya masih tetap wajib. Perintah yang dibatalkan atau
tertakhsis (dikeluarkan dari ayat) hanyalah yang berhubungan
dengan keluarga yang telah menjadi ahli waris. Sedangkan untuk
kaum kerabat yang tidak menjadi ahli waris (kerabat yang karena
berbagai sebab tidak berhak mewaris) perintah berwasiat itu
masih tetap wajib, tidak dapat dialihkan kepada sunah atau
mubah. Salah seorang dari ulama ini, yang memberikan
penjelasan relatif lengkap sehingga mudah diikuti adalah Ibnu
Hazm, seorang ulama kelahiran Spanyol. Beliau berpendapat,
“apabila seseorang meninggal dunia maka dia wajib berwasiat”.
Perintah berwasiat dalam ayat diatas, menurut beliau, adalah
wajib dan bersifat qadha‟i. Maksudnya, kalau seseorang tidak
meninggalkan wasiat maka kaum kerabat yang tinggal wajib
mengeluarkan (memberikan ) jumlah tertentu dari warisan, yang
mereka anggap layak untuk kaum kerabat yang tidak berhak
mewaris. Ibnu Hazm menguatkan pendapatnya dengan beberapa
hadits salah sebuah hadits antara lain menyatakan :
ٍُ‫ س‬ٚ ٗ‫ هللا عٍي‬ٍٝ‫ ي هللا ص‬ٛ‫ّا أْ ز س‬ٕٙ‫ هللا ع‬ٝ‫عٓ اتٓ عّس ز ض‬
‫ فيٗ يثيد‬ٝ‫ ص‬ٛ‫ء يس يد أْ ي‬ٝ‫ ِا حك ا ِسئ ِسٍُ ٌٗ ش‬: ‫لا ي‬
16
17
Mimbar Hukum No. 23 Thn. VI, 1995, Hal. 59-60
Yusuf al Qardlawy, Ijtihad Dalam Syari‟at Islam, 1987, Hal. 173
16
.‫(سثً اٌسال َ ض‬.ٗ‫ ِرفك عٍي‬. ٖ‫ تح عٕد‬ٛ‫صيرٗ ِىر‬ٚٚ ‫ٌيٍريٓ إآل‬
) .‫ص‬
Artinya : “ Rosulullah saw bersabda, tidak biloh seorang muslim
yang mempunyai sesuatu untuk diwasiatkan tidur dua
malam berturut-turut. Kecuali setelah menuliskan
wasiatnya.18
Jumhur menolak hadits ini karena dua alasan. Pertama terjadi
perubahan matan. Dalam riwayat yang terpercaya, matan tersebut
bermakna untuk tidur dua malam berturut-turut sebelum
menuliskan wasiatnya. Kedua orang-orang yang meriwayatkan
hadits ini tidak ada yang melakukan wasiat. Ibnu Hazm
membantah uraian diatas. Beliau menganggap riwayat yang
dikutip di atas adalah terpercaya (memenuhi syarat) di samping
masih didukung oleh sanad lain yang juga terpercaya. Beliau
menganggap pernyataan jumhur itu tidak betul. Mengenai
pernyataan bahwa orang-orang dalam sanad hadits di atas tidak
ada yang berwasiat, beliau tolak karena pernyataan-pernyataan itu
tidak cukup kuat untuk di pegang, bahkan lemah.
Mengenai kerabat yang berhak menerima wasiat tesebut,
adalah orang-orang yang tidak menerima warisan baik karena
perbudakan, perbedaan agama, terhijab ataupun karena memang
bukan ahli waris. Sebagaimana dinyatakan dalam kitab AlMuhalla jilid 9 hal. 314 sebagai berikut :
‫ا‬,ْٛ‫ ٌمساترٗ اٌر يٓ ال يسش‬ٝ‫ص‬ٛ‫ وً ِسٍُ اْ ي‬ٍٝ‫فسض ع‬ٚ : ‫ِسٍٕح‬
‫ ال‬ٚ ‫ُ عٓ اٌّيساز ا‬ٙ‫اِا ال ْ ٕ٘ا ٌه ِٓ يجث‬ٚ ,‫اِا ٌىفس‬ٚ ,‫ِا ٌسق‬
‫ فا‬,‫ ذاٌه‬ٝ‫ ال حد ف‬,ٗ‫ُ تّا طا تد تٗ ٔفس‬ٌٙ ٝ‫ ص‬ٛ‫ ْ في‬ٛ‫ُ ال يس ش‬ٙٔ
ٚ ْ ‫ فا ْ وا‬.‫صي‬ٌٛ‫ا‬ٚ‫ ا‬,‫زشح‬ٌٛ ‫ال تد ِا زاٖ ا‬ٚ ‫ا‬ٛ‫ْ ٌُ يفعً اعط‬
ٛ‫ وا ففسض عٍيٗ ايضا اْ ي‬ٍِّٛٚ‫ ا‬,‫ اٌىفس‬ٍٝ‫احد ّ٘ا ع‬ٚ‫ ا‬,ٖ‫اٌدا‬
‫ فا ْ ٌُ يفعً اعطي‬.‫الحد ّ٘ا اْ ٌُ يىٓ االخس وراٌه‬ٚ‫ ا‬,‫ّا‬ٌٙ ٝ‫ص‬
.‫ فيّا شاء تعد ذاٌه‬ٝ‫ص‬ٛ‫ شُ ي‬,‫ال تد‬ٚ ‫ا عطيا ِٓ اٌّا ي‬ٚ‫ا‬
Artinya :
18
Ashon aniyi, Subulu assalam juz 3,103
17
diwajibkan atas setiap muslim untuk berwasiat kepada
anggota kerabat yang tidak mewarisi, sama karena ada
perbudakan, karena kekufuran, karena terhijab atau karena
bukan ahli waris. Hendaklah dia berwasiat serelanya, tidak ada
batas tertentu. Sekiranya dia tidak meninggalkan wasiat untuk
orang-orang ini, maka ahli waris atau pemegang wasiat
(sekiranya ada, misalnya karena dia berwasiat untuk orang atau
keperluan lain ) harus memberikan kepada mereka menurut yang
mereka anggap patut. Sekiranya kedua orang tuanya atau salah
seorangnya tidak beragama Islam atau menjadi budak orang
lain, maka dia wajib berwasiat untuk keduanya atau salah
seorang dari keduanya(yaitu yang dalam keadaan diatas ). Kalau
dia tidak berwasiat, maka harus diberikan, tidak boleh tidak
harus diberi, setelah ini dia bebas berwasiat untuk yang lainya.19
Kerabat yang beliau maksudkan disini adalah mulai dari
orang tua kebawah. Dengan kata lain, seseorang wajib berwasiat
kepada ayah dan ibu serta keturunan ayah dan ibu, baik yang
melalui dia sendiri ataupun yang melalui saudara-saudaranya
(apabila karena suatu sebab mereka tidak menjadi ahli waris).
Ibnu Hazm tidak menyebutkan jumlah yang harus diwasiatkan.
Hal ini diserahkan kepada ketulusan dan pertimbangan masingmasing, asal masih dalam batas sepertiga harta (warisan), batas
maksimal kebolehan berwasiat.20
VIII.
LEMBAGA WASIAT WAJIBAH DALAM PERSPEKTIF
SOSIOLOGI
Mengenai kasus wasiat wajibah terjadi perbedaan di Mesir
dan Indonesia. Fuqaha di Mesir dalam melakukan ijtihad untuk
menentukan hukum, selain berdasarkan pendapat-pendapat
fuqaha terdahulu, juga berdasarkan pada nilai sosial baru akibat
tuntutan masyarakat. Dari uraian tersebut nampaklah bahwa
penerimaan konsep wasiat wajibah yang diterapkan di Mesir ini
disebabkan oleh adanya kompromi antara pemikiran-pemikiran
fiqh pada satu sisi, dengan tuntutan sosial dan kebutuhan yang
19
20
Ibnu Hazm, Al Muhalla Jilid 9, tt, 314
Mimbar hukumNo. 29 Thn. VII, 1996, Hal. 100
18
berkembang di masyarakat pada posisi lain. Hal ini nampak dari
ketentuan undang-undang wasiat Mesir (apabila diamati secara
lebih teliti) yang menetapkan adanya wasiat wajibah yang
ditetapkan oleh penguasa bagi cucu yang ayah atau ibunya telah
meninggal sebelum kakek dan neneknya neninggal dunia
(mungkin juga meninggal bersamaan), terhadap harta peninggalan
kakek atau neneknya dengan batas maksimal sepertiga dari harta
peningalan tersebut.
Penetapan adanya wasiat wajibah dan pembatasan maksimal
sepertiga harta peninggalan pewaris didasarkan pada berbagai
pendapat yang tersebut dalam kitab-kitab fiqh. Sedangkan
penentuan bahwa yang berhak mendapat bagian wasiat ini kepada
cucu, selain didasarkan kepada pendapat Ibn Hazm juga
didasarkan pada kenyataan sosial adanya kekhawatirkan terhadap
nasib cucu yang telah ditinggal mati orang tuanya, akan
bertambah menderita apabila ia tidak mendapat bagian dari harta
peninggalan kakeknya hanya disebabkan orang tua meninggal
terlebih dahulu dari kakek atau neneknya.21 Sementara itu, sering
kali dijumpai kenyataan yang terjadi di masyarakat bahwa orang
tua si cucu tersebut pada masa hidupnya ikut membantu dalam
pengumpulan harta kakeknya. Oleh karena itu sudah sepantasnya
jika jerih payah orang tua si cucu tersebut dibalas dengan
memberikan sebagian harta peninggalan kakek atau neneknya
dengan jalan wasiat wajibah.
Di Indonesia sendiri dasar hukum yang digunakan oleh KHI
dalam menetapkan adanya wasiat wajibah ini adalah dengan jalan
mengkompromikan antara hukum Islam (referensi fiqh ) dengan
hukum adat. Pada ketentuan kitab-kitab fiqh anak angkat tidak
dapat menerima warisan dari peninggalan orang tua angkatnya.
Demikian pula sebaliknya orang tua angkat tidak dapat menerima
warisan dari anak angkatnya. Hal ini secara implisit disebutkan
dalam Al-Qur‟an surat al-Ahzab ayat : 4. disamping itu, ketika
dilaksanakan wawancara kepada beberapa ulama di seluruh
Indonesia pada saat pengumpulan bahan-bahan kompilasi, tidak
satupun ulama di Indonesia yang dapat menerima suatu pendapat
21
Al Imam Muhammad Abu Zahroh, Ahkamu attirkaat Wal Mawaarits, 1963, Hal. 230
19
bahwa adanya warisan dari orang tua angkatnya, demikian juga
sebaliknya.
Dalam menentukan syarat yang ditetapkan KHI ini, maka kita
tidak akan menemukan rincian syarat dan rukun wasiat yang
ditetapkannya. Akan tetapi dengan melihat pada bunyi pasal 209
kompilasi ini, maka dapat disimpulkan bahwa syarat wasiat
wajibah bagi orang tua dan anak atau orang angkat ini adalah jika
tidak menerima wasiat dari anak atau orang tua angkatnya yang
sudah meninggal dunia.
Apa yang disebut hukum Islam di dalam kenyataan yang
sebenarnya sebagian merupakan produk pemikiran yang
merupakan hasil interaksi antara ulama sebagai pemikir dengan
lingkungan sosialnya. Meskipun Al-Qur‟an dan Hadis
mempunyai aturan yang bersifat hukum, tetapi amat sedikit
dibandingkan dengan jumlah persoalan hidup yang memerlukan
ketentuan hukumnya. Oleh karena itu terdapat kekosongan yang
membutuhkan pengisian ketentuan hukum.
Untuk mengisi kekosongan ketentuan hukum itu, maka ulama
menggunakan akalnya dan hasilnya adalah produk pemikiran
hukum yang ada sekarang ini. Apakah warna dan dinamika
produk pemikiran hukum akan kita biarkan seperti apa adanya
sekarang ini ? hal ini tergantung pada keberanian para pemikir
hukum Islam yang ada sekarang. Hanya saja, barang kali perlu
diingatkan bahwa perpindahan seseorang atau masyarakat dari
sesuatu produk pemikiran hukum kepada produk pemikiran lainya
tidak berarti bahwa orang atau masyarakat itu sedang keluar dari
hukum Islam.22
Anak angkat sebagaimana menurut ketentuan syari‟at adalah
tidak tergolong ahli waris. Sedangkan disisi lain anak angkat
adalah sosok yang mempunyai pertalian hubungan kemanusiaan
yang bersifat khusus dalam hal kedekatan, saling membantu serta
penempatan statusnya dalam keluarga oleh orang tua angkatnya
sebagai layaknya keluarga sendiri (anak sendiri).
22
Mahkamah Agung, Hukum keluarga Dan Peradilan Keluarga di Indonesia, 2001, Hal. 57-60
20
Namun oleh karena tidak tergolong ahli waris, maka ketika
orang tua angkatnya meninggal lebih dulu atau sebaliknya, maka
praktis tidak memperoleh bagian dari tirkah, baik dari orang tua
angkat atau sebaliknya.
Maka KHI. Pasal 209 ayat 1 dan 2 memberikan bagian anak
angkat yang orang tua angkatnya meninggal lebih dahulu atau
sebaliknya, yang tidak menerima wasiat, diberi bagian dari tirkah
melalui wasiat wajibah sebanyak-banyaknya sepertiga dari tirkah
orang tua angkat atau sebaliknya.23
Bahwa pemberian bagian kepada anak angkat melalui
lembaga wasiat wajibah tersebut adalah selaras dengan pendapat
Ibnu Al-Musayyab dalam menafsirkan ayat 33 Surat Nisa‟ yang
berbunyi:
‫اٌر يٓ عمد خ‬ٚ ْ ٛ‫ اال لس ت‬ٚ ْ ‫اٌد ا‬ٌٛ‫ ِّا ذسن ا‬ٌٝ‫ ا‬ِٛ ‫ٌىً جعٍٕا‬ٚ
:‫يدا‬ٙ‫ شيء ش‬ٍٝ‫ و‬ٍٝ‫ ا ْ هللا وا ْ ع‬.ُٙ‫ ُ٘ ٔصيث‬ٛ‫ايّا ٔىُ فآ ذ‬
Artinya : “bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang
ditinggalkan ibu-bapak dan karib kerabat, kami jadikan
pewaris-pewarisnya. (Dan jika )ada orang-orang yang
kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka
berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya
Allah menyaksikan segala sesuatu.24
Ibnu Al-Musayyab menyatakan, bahwa ayat ini ditunjukan
kepada masyarakat Arab pra Islam yang menurut hukum Adat
mereka, anak angkat berkedudukan sebagai ahli waris seperti
kedudukan anak kandung. Sedang ayat ini menghapus ketentuan
Hukum Adat tersebut dan memberikan ketentuan baru, bahwa
anak angkat mendapat bagian melalui wasiat wajibah.
Ibnu al-Musayab menafsirkan firman Allah ‫اٌر يٓ عمد خ‬ٚ
ُ‫( ايّا ٔى‬dan orang-orang yang kamu telah mengikat janji dengan
mereka) diartikan sebagai “anak angkat “ yang harus diberi
bagian dari tirkah.
23
24
Depag RI, Himpunan Perundang-Undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama, 2001, Hal. 368
Depag Ri, Al-Qur‟an Dan Terjemahan, 1993, Hal. 123
21
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menafsirkan ayat tersebut antara
lain mengutip apa yang dikatakan Al-Zuhri dari Al- Musayyab
demikian :
ٛٔ ‫ اٌر يٓ وا‬ٝ‫ ٔز ٌد ٘رٖ اال يح ف‬: ‫ عٓ اتٓ اٌّسية‬ٜ ‫لا ي اٌز٘س‬ٚ
ٌُٙ ً‫ُ فجع‬ٙ‫ُ فؤ ٔزاي هللا في‬ٙٔ ٛ‫زش‬ٛ‫ْ زجاال غيساتٕاء ُ٘ ي‬ٕٛ‫ا يرث‬
.‫ صيح‬ٌٛ‫ ا‬ٝ‫ٔصيثا ف‬
Artinya “ Al-Zuhri bekata, dari Ibnu Al-Musayyab : ayat ini (Q.S.
4 :33) adalah berkenaan dengan orang-orang yang
mengangkat anak laki-laki, lalu mereka diberi hak waris
(seperti anak kandung), kemudian Allah menurunkan
ayat tersebut. Lalu memberi bagian kepada mereka
(anak angkat) wasiat wajibah”25
Maka pasal 209 KHI. Itu selaras denagan pendapat Ibnu AlMusayyab tersebut.
IX.
LEMBAGA WASIAT WAJIBAH DALAM KOMPILASI
HUKUM ISLAM
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia mempunyai ketentuan
tersendiri tentang konsep wasiat wajibah ini hanya kepada anak
angkat dan orang tua angkat saja. Dalam pasal 209 Kompilasi
Hukum Islam disebutkan bahwa harta peninggalan anak angkat
dibagi berdasarkan pasal 176 sampai dengan Pasal 193. trhadap
orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberikan wasiat
wajibah sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan anak
angkatnya. Sedangkan terhadap anak angkat yang tidak menerima
wasiat diberi wasiat wajibah di berikan sebanyak-banyaknya
sepertiga dari harta orang tua angkatnya. Tidak diketahui pasti
mengapa Kompilasi Hukum Islam di Indonesia merubah konsep
wasiat wajibah ini hanya terbatas kepada anak angkat dan orang
tua angkat saja, mungkin ini terpengaruh denagn pewarisan secara
plaatverfulling dalam hukum perdata ini ketentuan dari ahli waris
yang telah meninggal dunia lebih dahulu dalam hubungan hukum
yang sama seperti orang yang masih hidup.
25
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur‟an al adhim juz 1,Hal. 490
22
Secara garis besar antara waris pengganti (penggantian
kedudukan) dengan wasiat wajibah adalah sama. Perbedaannya,
jika dalam wasiat wajibah dibatasi penerimaannya, dalam waris
pengganti adalah menggantikan hak sesuaikan dengan hak yang
diterima orang yang digantikan itu. Jadi wasiat wajibah ini dapat
berfungsi sebagai alat untuk pengaliha hak secara waris kepada
orang yang tidak di tentukan sama sekali bagian pihak yang
menerima waris itu, dapat pula berfungsi sebagai ahli waris
pengganti dalam kapasitasnya menggatikan kedudukan orang
yang berhak menerima waris tetapi ia lebih dahulu meninggal
dunia dari pada orang yang menggantikan kedudukannya. Jika
wasiat wajibah berfungsi sebagai penggatia tempat ahli waris
yang telah meninggal dunia lebih dahulu, maka Kompilasi
Hukum Islam dal Pasal 185 menetapkan bahwa ahli waris yang
meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris, maka kedudukannya
dapat diganti oleh anaknya, kecuali mereka dipersalahkan telah
membunuh atau mencoba membunuh atau menganiyaya berat
pada si pewaris, atau juga dipersalahkan secara menfitnah telah
mengajukan pengaduan bahwa pewasiat telah melakukan suatu
kejahatan yang diancam hukuman lima tahun penjara atau hukum
yang lebih berat. Selain dari itu Kompilasi Hukum Isalm
jugamenetapkan bahwa bagian ahli waris penggati itu tidak boleh
melebihi dari bagian asli waris yang sederajat yang siganti. Jika
wasiat wajibah berfungsi sebagai pengalihan hak kepaada orang
yang bukan ahli waris sebagai mana yang ditentukan oleh hukum
waris Islam, maka Kompilasi Hukum Islam menetapkan batasan
sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan anak
angkatnyaatau sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan
orang tua angkatnya.
Oleh karena wasiat wajibah ini mempunyai titik singgung
secara langsung dengan hukum kewarisan Islam, maka
pelaksanaannya diserahkan kepada kebijaksanaan hakim dalam
menetapkan dalam proses pemeriksaan perkara waris yang
didajukan kepadanya. Hal ini penting diketahui oleh hakim karena
wasiat wajibah itu mempunyai tujuan untuk mendistribusikan
keadilan, yaitu memberikan bagian kepada ahli waris yang
mempunyai pertalian darah namun nash tidak memberikan bagian
23
yang semestinya, atau orang tua angkat dan anak angkat yang
mungkin sudah banyak berjasa kepada si pewaris tetapi tidak di
beri bagian dalam ketentuan hukum waris Islam maka hal ini
dapat dicapai jalan keluar dengan menerapkan wasiat wajibah
sehingga mereka dapat menerima bagian dari harta si pewaris.
Oleh karena itu, para hakim sangat diharapkan agar dalam
memeriksa perkara waris ini harus betul-betul memperhatikan
nilai-nilai moral yang hidup dalam masyarakat sehingga dengan
demikian hakim dapat merubah dirinya dari bauche de la loi
menjadi eageniur social yang menerapkan hukum sesuai dengan
prinsip keadilan dan kemanfaatan, serta adanya kepastian hukum
terhadap perkara yang diputuskannya.26
Bahwa Kompilasi Hukum Islam ini sesuai dengan
konsideranes Instruksi Presiden No. 1 tahun 1991 adalah bersifat
terbuka untuk dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman
dan pemenuhan kebutuhan hukum umat Islam Indonesia.27
X.
HUKUM WARISAN ORANG YANG MURTAD, WARIS
BERKAITAN KARENA
PERBEDAAN AGAMA DAN
PEWARIS ISLAM ANAK MUSLIM DAN NON MUSLIM
A. HUKUM WARISAN ORANG YANG MURTAD.
Menurut Hukum Islam Sebagai Berikut:
1. Jika seorang suami murtad/berpindah agama, kemudian
ia meninggal dunia maka keluarga yang palin dekatlah
yang beragama Islam menjadi ahli warisnya, yaitu dari
harta peninggalan yang ia usahakan sewaktu masih
menganut Islam, adapun harta hasil usaha sejak ia pindah
agama, maka harta tersebut diserahkan ke baitul mal.
2. Jika yang murtadnya itu, istri, lalu ia meninggal dunia,
maka keluarga yang paling dekatlah yang beragama
Islam menjadi ahli warisnya, yaitu dari harta
peninggalan yang ia usahakan sewaktu masih menganut
islam, dan dari harta peninggalan sejak ia pindah
26
27
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Materiel Dalam Praktek Peradilan Agama, 2003, 125-126
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Dan Peradilan Agama, 1997, Hal. 376
24
agama:dalam keadaan seperti ini tidak ada harta yang
harus diserahkan kebaitul mal.
3. Khusus mengenai warisan antara suami isteri yang keluar
dari Islam salah satunya atau kedua-duanya, jika
wafatnya suami atau isteri tersebut terjadi setelah
habisnya masa iddah furqoh karena RIDDAH, maka
antara suami isteri tersebut tidak saling mewarisi, sebab
masing-masing dari keduannya sudah menjadi orang lain
dengan terputusnya ikatan perkawinan tersebut dan
hapus pula segala hukum yang berkaitan dengan
perkawinan.
4. Jika suami atau isteri wafat didalam masa idah, maka
terbagi menjadi dua bagian, pertama: jika yang pindah
agama itu suami, lalu ia wafat maka isterinya yang
beragama Islam menjadi ahli warisnya, baik pindah
agamanya itu sewaktu suami dalam keadaan sehat, atau
dalam keadaan sakit yang hamper mati. Kedua: jika
pihak isteri yang pindah agama, dan sewaktu murtadnya
itu dalam keadaan sakit yang hampir mati, maka
suaminya yang beragama Islam menjadi ahli
warisnya, dan jika waktu murtadnya itu ia dalam
keadaan sehat, kemudian meningal dunia, maka bagi
suaminya tidak memperoleh bagian dari harta
warisan tersebut.
 Orang murtad laki-laki, ataupun orang murtad
perempuan, secara mutlak tidak salin mewarisi satu sama
lain, baik yang wafat itu (mayit itu) beragama Islam atau
tidak beragama Islam.
 Ketentuan menurut hukum Islam, bahwa orang yang
murtad jika bertaubat dengan sungguh-sungguh,
dengan mengucapkan pula duakalimat syahadat
kemudian menjahui segala perilaku yang bukan Islam,
artinya mengerjakan amalan-amalan Islam secara
keseluruhan maka jadilah seorang muslim yang
sempurna.28
28
Kamal Sholih al Bana, Al Musykilat al „amaliyah fii da‟awii an Nasabi Wal Irtsi, 2002, 154-155
25
B. WARIS
BERKAITAN
AGAMA.
KARENA
PERBEDAAN
Perbedaan agama diantara sesama mereka non muslim
tidak menghalangi seseorang diantara mereka menerima
warisan dari yang lainnya.
Sedangkan orang yang murtad (berpindah agama), tidak
menerima warisan dari lainnya (yang tidak murtad), sehingga
ia tidak menghayalkan bahwa orang non muslim itu
menerima warisan: dua pendapat hukum diatas menurut
pendapat Ulama Hanafi.
Dibedakan harta asal (yaitu harta sebelum murtad dan
harta setelah murtad). Hasil usaha orang yang murtad, yang
diperoleh setelah ia murtad adalah menjadi miliknya dan ia
wafat diserahkan pada baitul mal, demikian ini mengambil
pendapat As Safi‟i. Dan setiap harta hasil usaha orang murtad
laki-laki atau perempuan, yang diperoleh sebelum
RIDDAH, (maka jika ia wafat ahli warisnya) orang-orang
Islam yang paling dekat. (kerabat-kerabatnya).
Telah menjadi kesepakatan bahwa perbedaan warga
Negara (tempat tinggal) dikalangan sesama muslim tidak
menghalangi kewarisan.
Ulama berpeda pendapat dalam hal, jika dihubungkan
dengan orang non muslim (berbeda agama), apakah
termasuk halangan dalam memperoleh warisan atau
tidak.
ULAMA
HANAFIYAH,
berpendapat
penghalang dalam memperoleh warisan.
termasuk
Ahmad Bin Hambal dan dua imam lainnya
berpendapat, tidak menjadi penghalang dalam memperoleh
warisan, pendapat ini dipakai berdasarkan kenyataan
dalam kondisi seperti ini, adanya faktor kesamaan antara
orang-orang Islam dan non muslim.29
29
Abdul Fatah Ibrahim, Al Ahwalu as syahsiyah fii tasyrii‟aatihaa al Muta‟addidah, 1997, Hal. 162
26
C. HARTA WARISAN PEWARIS
MUSLIM DAN NON MUSLIM
ISLAM,
ANAK
Putusan mahkamah Agung RI No. 368. K/AG/1995,
Tanggal 16 juli 1998 dapat diangkat Abstrak/Kaidah Hukum
sebagai berikut:
 Suatu keluarga muslim, h Sanusi bin H. Irsjad dan
isterinya Hj. Sujatmi dalam perkawinannya telah
dilahirkan 6 orang anak kandung, lelaki dan perempuan.
Lima orang anak tetap muslim dan seorang anak
perempuan keluar dari Agama Islam dan memeluk
Agama Nasrani.
Kedua orang tuanya, H. Sanusi dan Hj. Sujatmi
berurutan wafat, dengan meninggalkan Harta Warisan,
yang kemudian melalui suatu putusan Peradilan Agama
Harta Peninggalan tersebut di bagi menurut hukum waris
Islam.
Lima orang anak yang muslim, ditetapkan sebaga Ahli
Waris dari ayahnya maupun ibunya almarhum dan
masing-masin anak memperoleh bagian dari harta
warisan kedua orang tuannya tersebut. Bagian anak lakilaki adalah dua bagian dari anak perempuan.
 Sedangkan anak kandung permpuan yang beragama non
Islam (Nasrani) setatus hukumnya bukan ahli waris,
namun ia berhak mendapat bagian dari harta warisan dari
kedua orang tuanya almarhum berdasarkan “wasiat
wajibah” yang bagiannya sama dengan bagian anak
perempuan ahli waris almarhum ayahnya dan
almarhumah ibunya.30
1) Contoh diktum putusan tersebut diatas sebagai berikut
Mengadili sendiri :
A. Dalam Eksepsi :
Menolak Eksepsi Turut Tergugat II
B. Dalam pokok perkara :
1. Mengabulkan gugatan sebagian
30
IKAHI, varia Peradilan Thn. XVII, No. 193, 2001, Hal. 112
27
2. Mengabulkan Ahli Waris sah dari almarhum H.
Sanusi bin H. Irsjad adalah :
a. Isteri almarhum H. Sanusi bernama Hj. Sujatmi
b. Anak-anak almarhum masing-masing:
1. Djoko Sampurno almarhum
2. Untung Legiyanto almarhum
3. Bambang Setiobudi almarhum
4. Siti Aisjah
5. Esti Nuri Purwati
3. Menyatakan turut tergugat II (Sri Widyastuti bin H.
Sanusi) berhak mendapat bagian dari harta
peninggalan “wasiat wajibah” sebesar bagian
sesorang anak perempuan ahli waris alm. H Sanusi
4. Menyatakan harta warisan peninggalan almarhum H.
Sanusi sebelum dikurangi dengan wasiat wajibah
untuk Sri Widyastuti (Turut Tergugat II) adalah
………………..dst……………….dst……………..
5. Menetapkan bagian masing-masing Ahli waris adalah
setiap anak lelaki mendapat dua kali bagian anak
perempuan.
6. Menetapkan Ahli waris sah dari almarhum Hj.
Sujatmi adalah :
a. Djoko Sampurno
b. Untung Legiyanto
c. Bambang Setyobudhi
d. Siti Aisjah
e. Esti Nur Purwanti
7. Menetapkan harta warisan dari Hj. Sujatmi binti
minggu sebelum dikurangi dengan “wasiat wajibah”
untuk Sri Widyastuti (turut tergugat II) adalah sebagai
berikut :…………dst…………dst…………..dst
8. Menetapkan besarnya ahli waris almarhum Hj.
Sujatmi adalah bagian anak sama dengan bagian dua
anak perempuan.
9. Menyatakan turut tergugat II (Sri Widyastuti binti H.
sanusi) berhak mendapat bagian dari harta
peninggalan almarhum Sujatmi berdasarkan “wasiat
28
wajibah” sebesar bagian seorang anak perempuan ahli
waris almarhum Hj. Sujatmi.
10. Dst……..dst…….31
2) Contoh putusan MA RI no. 38 K/AG/1998 tanggal 28
Oktober 1998 sesuai dengan pasal 209 Kompilasi Hukum
Islam bahwa seorang anak angkat berhak 1/3 (sepertiga)
bagian dari harta peninggalan orang tua angkatnya sebagai
suatu wasiat wajibah sebagai berikut:
Mengadili :
 mengabulkan permohonan kasasi.
 Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Agama
Jakarta.
Mengadili sendiri :
Dalam eksepsi :
Menolak eksepsi tergugat.
Dalam pokok perkara:
1. Mengabulkan gugatan sebagian.
2. Menetapkan pewaris meninggal dunia 21 Januari 1996.
3. Menetapkan “harta bersama” pewaris dengan isterinya
pertama Ny. Widawati Reiko Sogabe adalah : 11 sebelas
bidang tanah……dst.
4. Menetapkan bagian Ny. Widawati Reiko sebanyak = ½
(setengah) dari harta bersama.
5. Menetapkan harta peninggalan pewaris = ½
(setengah) dari harta bersama.
6. Menetapkan turut tergugat, YUSHIFUNI UENO
sebagai anak angkat pewaris.
7. Menetapkan bagian dari anak angkat tersebut adalah 1/3
bagian dari harta peninggalan pewaris.
8. Menetapkan ahli waris dari pewaris dan bagiannya
masing-masing sebagai berikut :
a. Ny. Widawati Reiko Sogabe isteri pertama
memperoleh 1/16 bagian dari harta warisan pada
angka 5.
31
IKAHI, Varia Peradilan Thn. XVII, No.193, 2001, Hal. 111
29
b.
Ny. Solifah bt Musodik, isteri kedua mendapat =
1/16 bagian dari harta warisan pada pada angka 5
c. Fitria Nur (anak) mendapat 13/24 bagian dari harta
warisan angka 5.
9. Menghukum tergugat untuk menyerahkan bagiannya Ny.
Soifah bt Musodik dan Fitria Nur sesuai bagiannya
masing-masing.
10. Menolak gugatan selebihnya.
Dalam Rekonpensi :
Dst…………dst………….dst……..32
XI.
KESIMPULAN/PENUTUP
1. Teori Makro karya Durkheim dan Max Weber yang
menjelaskan hubungan antara hukum dengan bidang-bidang
lainnya, tidak bisa dipisahkan satu sama lain adalah dapat
diterapkan dalam lembaga wasiat wajibah. Dalam hal ini
tidak jauh berbeda dengan pernyataan Ibnu Khaldun bahwa
Hukum-hukum yang berlaku terhadap perubahan itu, bersifat
sosiologi.
2. Wasiat wajibah adalah merupakan pembaharuan dan trobosan
hukum dibidang kewarisan.
3. Bahwa berdasarkan dari kenyataan sejarah hukum Islam,
ternyata faktor sosial budaya mempunyai pengaruh penting
dalam memahami produk-produk pemikiran hukum Islam,
baik berbentuk kitab Fiqh, Peraturan Perundangan, keputusan
pengadilan, maupun fatwa-fatwa Ulama di negeri Muslim.
4. Hukum Islam dapat beradaptasi dalam perubahan karena
secara implisit Al-Qur‟an dan Hadits mempunyai karakter
akan perubahan.
5. Lembaga wasiat wajibah dalam Kompilasi Hukum Islam
tidak hanya yang telah diatur dalam pasal 209 KHI saja yaitu
mengenai anak angkat tetapi bisa juga diterapkan kepada ahli
waris yang berbeda agama, sesuai dengan pasal 229 KHI.
32
ibid, 103
30
Demikian tulisan ini di buat, sudah barang tentu disana sini
masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu, saran dan kritik
yang membangun sangat kami harapkan demi perbaikan kedepan.
Pontianak , Rabu 9 September 2015
31
DAFTAR ISI
I. PENDAHULUAN
1. Teori Perubahan Sosial …………………………........................1
2. Teori Makro : Durkheim dan Max Weber ……...………….…..2
II. HUKUM YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT .....................3
III. HUBUNGAN ANTARA PERUBAHAN-PERUBAHAN SOSIAL
TENTANG HUKUM……………………………......……….….…6
IV. PERUBAHAN SOSIAL BUDAYA DAN PERUBAHAN HUKUM
ISLAM ……………………....……………………………..……...7
V. DASAR HUKUM WASIAT WAJIBAH …………………..….…11
VI. PENGGANTI AHLI WARIS DIBANDING WASIAT WAJIBAH
……….............................................................................................14
VII. PANDANGAN IBN HAZM TENTANG WASIAT WAJIBAH...16
VIII. LEMBAGA WASIAT WAJIBAH DALAM PERSPEKTIF
SOSIOLOGI....................................................................................15
IX. LEMBAGA WASIAT WAJIBAH DALAM KOMPILASI
HUKUM ISLAM…………………………………………………18
X. HUKUM WARISAN ORANG YANG MURTAD, WARIS
BERKAITAN KARENA PERBEDAAN AGAMA DAN
PEWARIS ISLAM ANAK MUSLIM DAN NON MUSLIM ... 24
A.HUKUM WARISAN ORANG YANG MURTAD ................ 24
B.WARIS BERKAITAN KARENA PERBEDAAN BERAGAMA
………......................................................................................26
C. HARTA WARISAN PEWARIS ISLAM, ANAK MUSLIM
DAN NON MUSLIM………………………………………...27
CONTOH PUTUSAN
Kasus Wasiat Wajibah
1. Putusan Mahkamah Agung RI No.368 K./AG/1995 tgl. 16 Juli
1998……………………..………………………...........…….27
2. Putusan Mahkama Agung RI No. 38 K./AG/1998 tgl. 28
Oktober 1998………………………...………………....…….29
XI. KESIMPULAN/PENUTUP..…………...……………………......30
32
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Fatah Ibrahim, AL AHWALUS AS SYAHSIYATU FII
TASYRII‟AATIHAA AL MUTA‟ADDIDAH, Al- isy‟aau,
Islandariyah Mesir, 1997.
Al Imam Muhammad Abu Zahro, AH KAMU ATTIRKAAT WAL
MAWAARITS, Darul Al Fikri Al Arabiyyi, Kairo, 1963
Ashon aniyi, SUBULU ASSALAM JUZ 3, Al Hidayah, Surabayah,
tt
Al Hikmah dan DITBINBADERA Islam, MIMBAR HUKUM No.
23 Thn. 23, PT. Intermas, Jakarta, 1995.
Al Hikmah dan DITBINBADERA Islam, MIMBAR HUKUM No.
29 Thn. VII, PT. Intermas, Jakarta, 1996.
Al-Qardlawy Yusuf, IJTIHAD DALAM SYARI‟AH ISLAM, Bulan
Bintang, Jakarta, 1987.
Daud Ali Mohammad, Prof. H. S.H, HUKUM ISLAM DAN
PERADILAN AGAMA, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
1997.
Depag RI, HIMPUNAN PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN DALAM LINGKUNGAN PERADILAN
AGAMA, Jakarta, 2001.
Depag RI, AL-QUR‟AN DAN TERJEMAHAN, PT. Intermas,
Jakarta, 1943.
Ibnu Katsir, TAFSIR AL QUR‟QN AL ADHIM JUZ I,
Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), VARIA PERADILAN No. 193
Thn. XVII, Jakarta, 2001
Ikatan hakim Indonesia (IKAHI), VARIA PERADILAN Thn. XV
No.180, Jakarta, 2000
Imron,
MA,
MAKALAH
PEMBAHARUAN
SISTIM
KEWARISAN DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM,
tt, Surabaya, 2003.
Ibnu Hazm, Al-MUHALLA jilid 9, Dar Al Afaaq Al jadidah,
Bairut,tt
Kamal Sholih al Bana, AL MUSYKILAT AL „AMALIYAH FII
DA‟AWII AN NASABI WAL IRTSI, „aalamil kutub, Kairo,
2002.
33
Laver Robert H, PERSPEKTIF TENTANG PERUBAHAN
SOSIAL, Rineka Cipta, Jakarta, 2001.
Maliki Zainuddin, DR. H. M.si, NARASI AGUNG Tiga Teori
Sosial Hegemonik, Lembaga Pengkajian Agama Dan
Masyarakat (LPAM), Surabaya, 2003.
Mu‟allim Amir dan Yusdani, KONFIGURASI PEMIKIRAN
HUKUM ISLAM, UII Press, Yogyakarta, 2001
Manan Abdul, Drs, H, SH, Sip, M.Hum, ANEKA MASALAH
HUKUM
MATERIEL
DALAM
PRAKTEK
PERADILAN AGAMA, Pustaka Bangsa Press, Jakarta,
2003.
Raharjo Satjipto, Prof. DR. SH, SOSIOLOGI HUKUM
PERKEMBANGAN
METODE
DAN
PILIHAN
MASALAH, Muhammadiyah University Press, Surakarta,
2002.
Soekanto Soerjono, DR. SH. MA., POKOK-POKOK SOSIOLOGI
HUKUM, PT Raharja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.
Sukadrja Ahmad. Prof. DR. H. SH., HUKUM KELUARGA DAN
PERADILAN KELUARGA DI INDONESIA, Mahkama
Agung, Jakarta, 2002.
34
Download