Document

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Wasiat adalah pemberian seseorang kepada orang lain, baik berupa
benda, piutang, maupun manfaat untuk dimiliki oleh penerima wasiat sebagai
pemberian yang berlaku setelah wafatnya orang yang berwasiat.1
Bicara masalah wasiat tidak bisa lepas dari masalah kewarisan, hal ini
terlihat jelas pada Al-Qur’an Surat An-Nisa’ Ayat 11, yang mana ayat tersebut
merupakan ayat kewarisan yang menjelaskan secara detail masing-masing
bagian ahli waris, dan di dalam ayat tersebut di tegaskan pembagian harta
peninggalan itu harus di adakan sesudah di penuhi wasiat dan hutang dari
pewaris.
Dasar hukum di syariatkannya wasiat:
1. Al-Qur’an
Di dalam Ayat Surat An-Nisa’ 11
....    
  .... 
Sesudah dipenuhi wasiat yang dia buat atau sesudah dibayar . . .“
2
”. . . .hutangnya
1 Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Rajawali Pers, 2014),
hlm. 107.
2 Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemah, (Jakarta: Sera Jaya Sentra, 1988),
hlm. 117.
1
2
Hukum Islam mengatur pula masalah wasiat. Apabila seseorang telah
merasa dekat ajalnya, sedangkan ia akan meninggalkan harta yang banyak
maka ia wajib membuat wasiat. Hukum wajib membuat wasiat tadi hanya
berlaku untuk ibu- bapak dan keluarga dekatnya yang pantas ditolong dengan
syarat ada kekhawatiran bahwa bagian yang akan mereka peroleh dari harta
peninggalannya tidak cukup bagi keperluan mereka.
Lembaga wasiat di dalam hukum Islam memiliki beberapa dalil Naqly
baik yang terdapat dalam Al-Qur’an maupun di dalam Hadist Nabi
Muhammad Saw.
Adapun dalil Al-Qur’an Surat Al-Baqarah: 180 Firman Allah:
   
   


 






 
“Diwajibkan Atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak,
berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini
adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”.3
2. As-Sunnah
Sabda Rasulullah bersabda:
‫لعن ِااببن لعابلاس لقالل النن الننالس لغ ر‬
‫ضلواِاملن الرثبلِاث ِاالل ى الرربِاع لفِاانن لرسسلولل‬
‫صنل ى اللب لعللريِاه لوسلنلم لقالل لالرثلبخخبث لوالرثلبخخبث لكِاشخخريبر )رواه الابخخخارى‬
‫اللِا ل‬
(‫ومسلم‬
“Dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Alangkah baiaknya jika manusia
mengurangi wasiat mereka dari sepertiga ke seperempat. Karena
sesungguhnya Rasulullah SAW, telah bersabda, ‘Wasiat itu
sepertiga, sedangkan sepertiga itu sudah banyak,” (Riwayat
Bukhari dan Muslim).4
3 Sudarsono,S.H., Hukum Islam dan Sistem Bilateral,(Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1991),
hlm. 105.
4 Ibid., hlm. 106.
3
Para ulama’ mengamalkan hadits ini mengandung pengertian, bahwa
seseorang tidak diperbolehkan memberikan wasiat lebih dari sepertiga.
Bahkan sebagian ulama’ mensunnatkan agar seseorang memberikan wasiat
kurang dari sepertiga, sebagaiman yang disabdakan Rasulullah Saw “Dan
sepertiga itu sudah banyak”. Demikian pula dengan ijma’ para ulama’ juga
menetapkan larangan untuk memberikan wasiat lebih dari sepertiga.5
Ibnu Hazmin berpendapat bahwa berwasiat hukumnya wajib bagi
orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta, dan itu tidak hanya
bersifat qadha’i atas setiap orang yang meninggal dunia dan meninggalkan
harta. Artinya wajib berwasiat tidak hanya sebagai tanggung jawab seseorang
dalam menjalankan perintah Agama, tetapi jika seseorang meninggal dunia
maka ia wajib berwasiat, apabila ia tidak berwasiat maka kaum kerabat yang
masih hidup wajib mengeluarkan sejumlah tertentu dari hartanya untuk
disedekahkan untuk memenuhi kewajiban berwasiat.6
Menurut pendapat Ulama Hanafiah yang memandang shighat (wujud
pernyataan) wasiat cukup melalui ijab pemberi wasiat (al-mushi), tampak
sama dengan asas yang juga dianut dalam hukum perdata Barat. “Pada
asasnya suatu pernyataan yang demikian (wasiat) adalah keluar dari suatu
pihak saja dan setiap waktu dapat ditarik kembali oleh yang membuatnya.
Baik Hukum Islam maupun hukum Barat, kedudukanya tidak membenarkan
(melarang) wasiat seseorang yang merugikan ahli waris yang sudah
5 Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Fiqih Wanita Edisi Lengkap, (Jakarta: pustaka AlKautsar, 1998), hlm. 495.
6 Anshary, Hukum Kewarisan Islam Indonesia, (Bandung: PT. Mandar Maju, 2013), hlm.
160.
4
seharusnya mendapatkan warisan. Burgerlijk Wotboek (BW) Menegaskan
bahwa.7
Dalam KUH Perdata (BW) Pasal 874 disebutkan:
“Segala harta peninggalan seseorang yang meninggal dunia, adalah
kepunyaan para ahli warisnya menurut Undang-Undang sejauh mengenai
hal itu dia belum mengadakan ketetapan yang sah”.8
Dalam Hukum Perdata Pasal 874 menyimpulkan suatu asas penting
hukum waris yaitu bahwa ketetapan pewaris berdasarkan Undang-Undang, ini
baru berlaku jika pewaris tidak atau telah mengambil suatu ketetapan yang
menyimpang mengenai harta peninggalannya, ketetapan mana yang harus
dituangkan dalam bentuk surat wasiat.9
Dalam KUH Perdata (BW) dalam Pasal 875 disebutkan:
“Adapun yang dimaksud surat wasiat atau testemen adalah sebuah
akta berisi pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya terjadi
setelah ia meninggal dunia dan yang dapat dicabut kembali lagi”.10
Oleh karena itu surat wasiat atau testament “Akta” yang menunjukkan
pada syarat, bahwa wasiat harus berbentuk suatu tulisan atau sesuatu yang
tertulis.
Keberadaan wasiat dalam sistem hukum keluarga khususnya hukum
keluarga Islam terutama dihubungkan dengan hukum kewarisan tentu
memiliki kedudukan yang sangat penting. Urgensi wasiat semakin terasa
7 Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2005), hlm. 130.
8 Niniek Suparni, KUH Perdata, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005), hlm. 228.
9 J. Satrio, Hukum Waris, (Bandung: Penerbit ALUMNI, cet.2, 1992), hlm. 179.
10 Niniek Suparni, SH., loc.cit.
5
keberadaanya dalam rangka mengawal dan menjamin kesejahteraan keluarga
atau bahkan masyarakat. Sehubungan arti penting dari kedudukan wasiat
dalam hukum keluarga Islam di tengah-tengah keluarga muslim, ini mudah
dimengerti jika ada beberapa negara Islam yang memasukkan diktum wasiat
wajibah dalam Undang-undang Kewarisan.11
Dalam kewenangan absolut pada pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama menyatakan bahwa “Pengadilan Agama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat
pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: Perkawinan,
waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syariah.
Salah satunya adalah Wasiat penjelasan resmi dari Undang-Undang No 3
Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama. Wasiat adalah perbuatan seseorang memberikan
suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga badan hukum yang
berlaku setelah yang memberikan tersebut meninggal dunia.12
Dalam kewenangan pengadilan meliputi kewenangan relatif dan
kewenangan absolut harus diperhatikan sebelum membuat permohonan atau
gugatan yang diajukan ke pengadilan. Hal ini perlu diperhatikan karena
11 Muhammad Amin Summa, op.cit., hlm. 133.
12 Ahmad Kamil, M. Fauzan, Hukum Perlindungan Anak dan Pengangkatan Anak di
Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 4.
6
kekeliruan dalam menentukan kewenangan pengadilan yang akan memeriksa
perkara akan mengakibatkan gugatan di tolak atau tidak diterima.13
Dalam KHI Pasal 171 huruf F disebutkan “Wasiat adalah pemberian
suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku
setelah pewaris meninggal dunia”.14
Pengadilan Agama yang memberikan hak wasiat kepada anak angkat
melalui lembaga wasiat wajibah. Dalam kasus yang terjadi di Pengadilan
Agama, masalah wasiat wajibah biasanya masuk dalam sengketa waris.
Misalnya orang tua angkat, yang karena kasih sayangnya kepada anak
angkatnya lalu berwasiat dengan menyerahkan dan mengatasnamakan seluruh
harta kekayaannya kepada anak angkatnya. Karena orang tua kandung, dan
saudara kandung merasa berhak atas harta almarhum atau almarhumah yang
hanya meninggalkan anak angkat saja, lalu mereka mengajukan gugatan
waris. Dalam kasus ini umumnya wasiat dibatalkan oleh Pengadilan Agama
dan hanya diberlakukan paling banyak 1/3 (sepetiga) saja. Selebihnya di
bagikan kepada ahli waris.
Penerapan lembaga hukum wasiat wajibah dalam kasus sengketa anak
angkat dan ahli waris beda agama di Indonesia merupakan perkembangan
hukum baru. Khusus mengenai ahli waris beda Agama yang diberikan harta
warisan
melalui
lembaga
wasiat
wajibah
harus
melalui
berbagai
13 Abdullah Tri Wahyuni, Peradilan Agama di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Offset, 2004), hlm. 131.
14 Departemen Agama, Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam, (Yokyakarta: Pustaka
Ustisia, 2009), hlm. 118.
7
pertimbangan hukum yang mendalam, sehingga antara kasus yang satu
dengan lainnya tidak selalu memiliki hukum terapan yang sama.
Konsep di atas dinamakan wasiat wajibah, karena mempunyai makna
suatu tindakan pembebanan oleh hakim atau lembaga yang mempunyai hak,
harta seseorang yang telah meninggal dunia, tetapi tidak melakukan wasiat
secara suka rela, agar diambil hak atau benda peninggalannya untuk diberikan
kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu pula.
B. Penegasan Judul.
Untuk menyeragamkan dan menghilangkan
kesalahpahaman
penafsiran judul yang penulis menguraikan masing-masing istilah yang
penulis pakai dalam skripsi ini:
STUDI ANALISIS
:
Dua kata yang berdiri sendiri tetapi saling
berkaitan, studi memiliki arti suatu kajian,
telaah, penelitian atau penyelidikan Ilmiah.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Analisis
diartikan penyelidikan terhadap suatu peristiwa
(karangan, perbuatan dan sebagainya) untk
mengetahui keadaan yang sebenarnya (sebab-
TENTANG
:
musibah, duduk perkaranya dan sebagainya)15
Perihal, terhadap, dekat di depan (muka), tetap
(lurus), kira-kira (pada), mengenai.16
WASIAT WAJIBAH :
15 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2007), cet. 4. hlm. 43.
16 Ibid., hlm. 1175.
8
DALAM
HUKUM ISLAM
:
:
Paham benar-benar (ilmu Pengetahuan).18
Peraturan atau adat yang secara resmi dianggap
mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa atau
HUKUM
(BW)
pemerintah dalam ajaran Hukum Islam.19
PERDATA Hukum acara yang menyelesaikan dan
:
mempertahankan hukum perdata materiil atau
hukum perdata formal.20
KONTEKS
: Kontekstual berhubungan dengan konteks.21
KEWENANGAN
: Wenang, wewenanag, Kewenangan.22
PENGADILAN AGAMA Pengadilan adalah bahan atau organisasi yang
JEPARA
:
diadakan oleh negara untuk mengurus dan
mengadili
Pengadilan
perselisihan-perselisihan
Agama
sering
hukum.23
disebut
pula
Mahkamah Syar’iyah, artinya Pengadilan atau
Mahkamah yang menyelesaikan perselisihan
hukum Agama atau Hukum Syara.24
17 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeven,
1996), cet. 1, hlm. 1930.
18 Departemen Pendidikan, op.cit., hlm. 232.
19 Ibid., hlm. 410.
20 Ibid.
21 Ibid., hlm. 591.
22 W.J.S. Poerwadarmita, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT. Intan Pariwara,
2011), hlm. 1366.
23 Ensiklopedi Indonesia Jilid 5,. hlm. 2632.
9
Jadi maksud dari judul diatas, Studi Analisis Tentang Wasiat Wajibah
dalam Hukum Islam dan dalam Hukum Perdata (BW) (Konteks Kewenangan
Pengadilan Agama Jepara).
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan atas paparan latar belakang tersebut, masalah pokok yang
penulis bahasa dalam penyusunan skripsi ini adalah:
1. Bagaimana mekanisme wasiat wajibah menurut Hukum Islam dan
Hukum Perdata (BW) ?
2. Bagaimana Faktor pendukung penghambat pelaksanaan wasiat wajibah
menurut Hukum Islam dan Hukum Perdata (BW) di Indonesia ?
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan jawaban terhadap
masalah-masalah diatas yaitu:
1. Untuk mengetahui mekanisme wasiat wajibah menurut Hukum Islam dan
Hukum Perdata (BW).
2. Mengetahui Bagaimana faktor pendukung dan penghambat pelaksanaan
wasiat wajibah menurut Hukum Islam dan Hukum Perdata (BW).
E. Manfaat Penelitian
Setiap penelitian diharapkan adanya manfaat yang dapat diambil dari
penelitian yang dikaji, sebab manfaat penelitian akan menentukan nilai dari
kualitas penelitian tersebut. Ada manfaat penelitian yaitu sebagaimana
berikut:
1. Manfaat Teoritis
Yaitu sebagai sarana untuk mengembangkan dan memperdalam
Khazanah keilmuan khususnya Wasiat Wajibah dalam Hukum Islam dan
Hukum Perdata (BW).
2. Manfaat Praktis
24 Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia,( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2003), hlm 4.
10
a. Penelitian ini diharapkan mampu menambah pengetahuan penulis di
bidang ilmu hukum Islam serta memberikan pengetahuan kepada
masyarakat tentang Wasist Wajibah.
b. Memberikan sumbangan pemikiran dan memecahkan permasalahan
yang ada hubungannya dengan Wasiat Wajibah dalam Hukum Isalam
dan Hukum Perdata (BW) .
3. Manfaat Akademis
Peneliti ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi atau studi
komparatif bagi pihak-pihak yang ingin mengkaji lebih dalam tentang
permasalahan tersebut, yang mempunyai relevansi dengan penelitian ini.
F. Telaah Pustaka
Kajian tentang Wasiat Wajibah memang telah beredar di kalangan
masyarakat, baik yang berupa sebuah buku maupun tulisan dan dalam media
masa. Namun sejauh pengamatan penulis belum ada sebuah buku atau karya
yang secara ekstrinsik.
Beberapa penelitian yang membahas tentang wasiat wajibah ini telah
cukup banyak dilakukan, namun sepengetahuan penulis belum ada yang
membahas lebih terperinci masalah Studi analisis tentang wasiat wajibah
dalam Hukum Islam dan Hukum Perdata (BW)(Konteks kewenangan
Pengadilan Agama Jepara). Adapun beberapa penelitian tersebut adalah:
Abdull Ghofur, 2003, dalam skripsinya yang berjudul “Pengajuan KHI
Terhadap Ketentuan Wasiat Menurut Madzhab Syafi’i Di Indonesia”, disini
dijelaskan mengenai pendapat Assyafi’i mengenai wasiat, dan juga sejarah
pelaksanaan wasiat kaitanya dengan Inpres No 1 Tahun 1991 tentang KHI.
Muhammad Zainuddin, 2005, dalam skripsinya yang berjudul “Studi
Analisis Tentang Wasiat Perspektif Hukum Islam”, dijelaskan mengenai
11
bagaimana tinjauan filsafat hukum Islam dan aspek pembentukan hukum
Islam.
Dalam Skripsi “Analisis Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam Tentang
Wasiat Wajibah Dalam Kajian Normatif Yuridis”. Oleh Sri Darmayanti pada
tahun 2011 menerangkan bahwa Implikasikan pasal 209 KHI adalah setelah
terjadinya pengangkatan anak akan terjadi pula akibat hukum yang telah
terjadi pengangkatan anak akan terjadi pula akibat hukum yang telah diatur
dalam pasal 209 tentang wasiat wajibah. Sisi Konstruksi pasal 209 KHI
tentang wasiat wajibah disini masih memerlukan pengembangan dan
pengkajian yang merujuk pada kitab-kitab fiqih, Al-Qur’an dan Hadis.
G. Metode Penelitian
Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini sebagai sumber
data yang menjadi pedoman penyusunan skripsi ini adalah:
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Penelitian ini adalah lapangan (field research), yaitu mengumpulkan data
yang dilakukan penelitian ditempat terjadinya segala yang diselidiki.
Penelitian lapangan bermaksud mempelajari secara intensif tentang latar
belakang, keadaan sekarang dan interaksi suatu sosial, individu,
kelompok, lembaga dan masyarakat.25
2. Metode Pengumpulan Data
Tahapan-tahapan yang dilakukan oleh penulis dalam pengumpulan data
adalah sebagai berikut:
a. Wawancara
Wawancara merupakan salah satu bagian yang terpenting dari setiap
survai, karena tanpa wawancara, peneliti akan kehilangan informasi
25 Saifuddin Anwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 1.
12
yang hanya dapat di peroleh dengan jalan bertanya langsung kepada
responden secara langsung.26
b. Data Primer
Data primer yaitu data yang didapat dari sumber pertama baik dari
individu atau perseorangan.27 Data jenis ini dalam skripsi ini
diantaranya berupa Undang-Undang, KUH Perdata, KHI, buku Fiqih,
Al-Qur’an, pendapat seorang ahli yang berkenaan dengan wasiat dan
lain-lain.
c. Data sekunder
Data sekunder merupakan data primer yang telah diolah lebih lanjut
dan disajikan baik oleh pihak pengumpulan data primer atau pihak
lain.28 Data jenis ini dalam skripsi ini diantaranya seperti penjabaran
dan penjelasan dari sebuah Undang-Undang.
3. Metode Analisis Data
Setelah data-data terkumpul maka penulis akan menelaah dan
menganalisanya dengan menggunakan metode sebagai berikut:
a. Induktif
Menganalisa secara induktif yaitu suatu proses logika yaitu
berangkat dari data empiris lewat observasi menuju kapada teori,
dengan kata lain induktif adalah proses mengorganisasikan faktafakta atau hasil-hasil pengamatan yang terpisah-pisah menjadi suatu
rangkaian hubungan atau suatu generalisasi.29
b. Deduktif
26Marsi Singarimbun & Sofian Effendi, Metode Penelitian Survai, (Jakarta: LP3ES,
2011), cet. 4. hlm. 192.
27 Husein Umar, Metode Penelitian Untuk Skripsi Dan Teknis Bisnis Edisi Kedua,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 42.
28 Ibid.
13
Menganalisa secara deduktif yaitu suatu proses pendekatan yang
berangkat dari keberadaan umum mengenai suatu fenomena (teori)
dan menggeneralisasikan keberadaan tersebutpada suatu peristiwa
atau data tertentu yang berciri sama dengan fenomena yang
bersangkutan
(prediksi).
Dengan
kata
lain
deduktif
berarti
menyimpulkan hubungan yang tadinya tidak tampak berdasarkan
generalisasi yang sudah ada.30
c. Komparatif
Metode komparatif ini adalah
suatu
pembahasan
dengan
membandingkan beberapa pendapat, disini kejelian kita dalam
kemampuan melakukan perbandingan-perbandingan disepanjang
proses pengumpulan data dan analisis data adalah senjata utama.31
H. Sistematika Penilisan Skripsi
Untuk memudahkan penjelasan, pemahaman dan penelaahan pokok
pembahasan yang akan dibahas, maka penulis menyusun sistematika
penulisan skripsi sebagai berikut:
1. Bagian Muka, terdiri dari:
Halaman judul, halaman nota pembimbing, halaman pengesahan,
halaman motto, halaman persembahan, abstrak, halaman kata pengantar
dan halaman daftar isi. Bagian isi terdiri dari beberapa bab:
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
B. Penegasan judul
C. Rumusan masalah
29 Saifudin Azwar, Metodelogi Penelitian, (Yogyakarta: PT.Pustaka Pelajar, 2011). hlm.
40.
30 Ibid.
31 Burhan Bugin, Analisis Data Penelitian Kualitatif, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2010), hlm. 72-73.
14
D. Tujuan penelitian
E. Manfaat penelitian
F. Telaah pustaka
G. Metode penelitian
H. Sistematika penulisan skripsi.
BAB II : KETENTUAN UMUM TENTANG WASIAT WAJIBAH
A. Pengertian dan dasar hukum wasiat
B. Syarat dan rukun wasiat
C. Teknis pelaksanaan wasiat
D. Unsur dalam KUH Perdata wasiat
E. Landasan teori hukum acara dan hukum materiil
F. Hakikat dan sejarah singkat wasiat wajibah
BAB III : SEJARAH SINGKAT DI PENGADILAN AGAMA
JEPARA
A. Sekilas Tentang Pengadilan Agama Jepara
1. Sejarah Pengadilan Agama Jepara
2. Lokasi dan Wilayah Hukum Pengadilan Agama Jepara
3. Struktur Pengadilan Agama Jepara
B. Cara Pembagian dan Batasan Wasiat Wajibah Dalam
Hukum Islam dan Hukum Perdata (BW)
C. Faktor Pendukung dan Penghambat Pelaksanaan Wasiat
Wajibah Dalam Hukum Islam dan Hukum Perdata (BW)
di Indonesia
BAB IV : ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Analisis tentang Wasiat Wajibah terhadap Ulama’ dan
Ahli Hukum Islam.
B. Analisis tentang Wasiat Wajibah dalam Hukum Perdata
(BW).
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran-saran
Bagian akhir, terdiri dari:
Daftar pustaka, daftar riwayat hidup dan lampiran-lampiran.
15
Download