perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian ini membahas instrumentalisme hukum1 dalam ruang politik.2 Dalam hal ini, Constitutional Review (selanjutnya ditulis CR)3 menjadi obyek pembahasan sebagai salah satu kinerja wewenang pengadilan dalam menegakan prinsip Negara Hukum dan supremasi konstitusi. Pendalaman prinsip Negara Hukum terwujud ke dalam sistem konstitusional, yang melahirkan komitmen “self-binding procedure”, yang mana pemerintah terikat oleh tata cara penggunaan kekuasaan yang diatur dalam konstitusi.4 Jika Istilah “instrumentalisme hukum” berasal dari khasanah teori hukum yang berkembang di Amerika Serikat “legal instrumentalism.” Secara prinsip, instrumentalisme hukum berpijak kepada pokok sebagai berikut: (i) tujuan negara dalam konkritisasi kebijakan pemerintah; (ii) kebijakan pemerintah ditetapkan dalam hukum untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu; (iii) tujuan-tujuan tertentu dirumuskan sebagai agregatisasi kehendak publik dalam aspek umum maupun khusus; (iv) tujuan-tujuan tertentu menjadi dasar evaluasi publik terhadap eksistensi hukum; dan (v) pembentukan hukum melalui prosedur legislasi dan/atau putusan pengadilan. Lihat: Bruce Pardy, “The Hand Is Invisble, Nature Know Best, and Justice is Blind: Markets, Ecosystems, Legal Instrumentalism, and The Natural Law of System”, Tulsa Law Review, Vol. 44, 2008, hlm. 68; Robert S. Summers, 1982, Instrumentalism and American Legal Theory, Ithaca, Cornell University Press, hlm. 21; dan Hans Gribnau, “Legal Principle and Legislative Instrumentalism”, dalam Arend Soetoeman (Editor), Pluralism and Law: Proceeding on the 20 th IVR World Congress, Amsterdam, ARSP Beifeth, hlm. 33-34. 1 2 Istilah “ruang politik” dalam penelitian ini berasal dari “political sphere” yang menunjukkan ruang tempat terjadinya diskursus segala hal mengenai negara, termasuk akses masyarakat terhadap lembaga negara, lembaga perwakilan, dan pengadilan serta akuntabilitas penyelenggaraan negara dalam implementasi kebijakan publik. Lihat: Darmawan Triwibowo, 2006, Gerakan Sosial: Wahana Civil Society bagi Demokratisasi, Jakarta, Penerbit Lp3ES, hlm. 5. 3 Istilah ini merujuk kepada pelaksanaan pengujian konstitusional suatu UndangUndang yang dilaksanakan oleh Mahkamah Agung atau Peradilan (khusus) Konstitusi, yang mana badan terakhir ini dikenal sebagai Mahkamah Konstitusi. Pengujian konstitusionalitas itu sendiri, sebagai suatu istilah hukum, harus dibedakan dari judicial review. Pertama, pengujian konstitusional (constitutional review), selain dilakukan oleh hakim, dapat pula dilakukan oleh lembaga selain hakim atau pengadilan, tergantung kepada lembaga mana konstitusi memberikan kewenangan untuk melakukannyaKedua, dalam konsep judicial review terkait pula pengertian yang lebih luas obyeknya, misalnya mencakup soal legalitas peraturan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, sedangkan pengujian konstitusional hanya menyangkut pengujian konstitutionalitasnya yaitu terhadap konstitusi. Lihat: Jimly Asshiddiqie, 2005, Model-Model Pengujian Konstitusional, Jakarta, Penerbit Konstitusi Press, hlm. 3. Juan Linz dan Alfred Stephen, “Defining and Crafting Democratic Transition, Constitution, and Consolidation”, dalam R. William Liddle (Editor), 2001, Crafting Indonesian Democracy, Bandung, Penerbit Mizan Pustaka, hlm. 30. Bandingkan juga dengan tulisan menarik commit“Konstitusi to user adalah hukum rakyat, bukan hukum Yonky Karman, yang antara lain mengatakan, Allah, juga bukan hukum pemerintah. Pemerintah dibentuk dan dikontrol oleh konstitusi. Otoritas 4 1 2 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id konstitusi dilanggar, tentu akan mengusik posisinya yang fundamental dan “tertinggi.” Perbuatan demikian berpotensi membuat konstitusi terancam tidak lagi supreme sebagai acuan dasar penyelenggaraan negara. Implikasinya konstitusi berlaku tanpa konstitutionalitas.5 Keadaan itu berpotensi menyayatnyayat idealita bahwa suatu konstitusi merupakan “a higher order law (which) will generally be entrenced.”6 Oleh karena pembicaraan mengenai konstitusi lebih mendekati isu yang bersifat politik, maka pembebanan kepada strategi mempertahankan konstitusi tak lepas pula akan diberi makna politik. Ada banyak strategi mempertahankan konstitusi dan salah satu aktor yang “menanggung” beban itu adalah pengadilan dengan pelekatan skema CR. Menyusul uraian lebih rinci pada pembahasan berikutnya, pelekatan kepada pengadilan sebagai strategi mempertahankan konstitusi telah melahirkan pemahaman “the judicialization of politic” . Pemahaman tersebut mempunyai 2 aspek yang berbeda akan tetapi berkaitan. Pertama, aspek yang memandang bahwa pengadilan “have embraced a new, higher profile political role that depicts them as defenders of constitutional commitments, advocates of rights, and arbiters of social policy conflicts.”7 Pengadilan kemudian “have been granted or have begun exerting the power to review legislation under the constitution”8 dan sebagai akibatnya, pengadilan “assumed a more significant role within important political and social debates that were traditionally left to the elected branches.”9 Kedua, “the judicialization of politic” dicirikan dengan “the growing use of law, legal pemerintah didelegasikan, bukan direbut, karena dipercaya oleh rakyat. Pemerintah harus menerjemahkan kepercayaan itu dalam kerja profesional dan jujur kepada masyarakat.” Lihat Yonky Karman, “Krisis Konstitusionalitas”, Kompas, Sabtu, 26 Maret 2011, hlm. 6. Fadjar Laksono, “Constitutional Review sebagai Ikhtiar Menghentikan Kejahatan terhadap Konstitusi guna Mewujudkan Konstitusionalitas Indonesia”, Jurnal Konstitusi, Vol. 5, No. 2, November 2008, hlm. 84. 5 6 Peter Layland, 2007, The Constitution of The United Kingdom: a Contextual Analysis, Oxford, Hart Publishing, hlm. 1. 7 Neal Tate dan Torbjorn Vallinder (Editors), 1995, The Global Expansion of Judicial Power, New York: New York University Press, hlm. 6-7. 8 Ibid., hlm. 7. 9 Ibid., hlm. 26. commit to user perpustakaan.uns.ac.id 3 digilib.uns.ac.id discourse, and litigation by a range of political actors, including politicians, social movements, and individual actors.”10 Sebagai akibatnya, seperti dituturkan sementara pakar tata negara, “legislators write laws with the courts’ language and opinions in mind and social movements, individual citizens and the political opposition alike frame their political struggles in the language of rights, and turn to courts to advance them.”11 Penelitian ini menekankan kepada aspek yang pertama yang berhubungan dengan “the discourse and activity of courts.” Dengan demikian, CR menunjuk upaya mempertahankan konstitusi melalui mekanisme pengadilan. Upaya mempertahankan konstitusi melalui mekanisme pengadilan tersebut sesungguhnya mempunyai relevansi gagasan mengenai supremasi hukum. Dalam rumpun pemikiran dan hukum, demokrasi acapkali dimaknai sebagai relasi kekuasaan di mana rakyat merupakan entitas tertinggi.12 Pemaknaan demikian menyusun bangun kedaulatan rakyat dengan pandangan bahwa kekuasaan tertinggi terletak di tangan rakyat. Akan tetapi, pengertian kedaulatan rakyat di sini bukanlah seperti gagasan Rousseau yang “mengidentifikasi kehendak negara dengan kehendak umum sehingga tidak bertentangan sama sekali antara kehendak individu (volonte parti cullere) dengen kehendak negara.”13 Pengertian kedaulatan rakyat dalam penelitian ini adalah rakyat bukan sebagai totalitas akan tetapi sebagai komunitas yang 10 Alec Stone Sweet, 2000, Governing with Judges: Constitutional Politics in Europe. Oxford and New York: Oxford University Press. Jean Comaroff dan John Comaroff, “Law and Disorder in the Postcolony”, Social Anthropoloy, Vol. 15, Vol. 2007, hlm. 133. 11 12 Konsepsi mengenai kekuasaan tertinggi (supreme authority) ini dikenal sebagai konsep “kedaulatan” atau “sovereignty.” Ide mengenai kedaulatan ini telah dikenal sejak zaman Yunani Kuno. Aristoteles misalnya, pada saat melakukan studi atas berbagai konstitusi sempat menyinggung adanya sesuatu yang “superior” dalam suatu unit politik, apakah itu satu, beberapa atau banyak. Lihat: Andrew Vincent, 1987, Theories of the State, Oxford, Basil Blackwell, hlm. 32. Secara konseptual, gagasan ini berpijak pada pemahaman “rakyat” sebagai “bangsa” dengan meyakini adanya suatu entitas misterius dari kehendak umum dan konsepsi masyarat organic sebagai fondasi nasional yang commit menggerakkan to usermasyarakat. Lihat: J.J. Rousseau, 1986, Kontrak Sosial (terjemahan), Jakarta, Penerbit Erlangga, hlm. 15. 13 4 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id pluralis.14 Kedaulatan rakyat bukan bersumber kepada satu kekuasaan yang memiliki totalitas, tetapi dalam bentuk pengearuh dari kekuatan-kekuatan yang berkembang di dalam masyarakat.15 Hal ini tidak berarti kedaulatan berada di tangan mayoritas, akan tetapi secara teoritis terletak pada representasinya sebagai resultan atas semua pengaruh kekuatan politik.16 Dengan demikian, tidak dapat diklaim sepenuhnya bahwa kekuatan mayoritas menjadi satusatunya kekuatan dalam suatu majelis pemilihan atau badan perwakilan, melainkan harus dipandang sebagai resultan dari seluruh kekuatan-kekuatan politik yang bertarung di tengah masyarakat. Berkaitan dengan hal itu, sekalipun demokrasi modern mempertahankan kehendak rakyat sebagai kekuasaan tertinggi, akan tetapi sistem pengambilan keputusan dilaksanakan melalui badan perwakilan. Oleh karena watak pluralis dari penyokong konfigurasi badan tersebut, maka sangat dimungkinkan bahwa keputusan-keputusan yang ditetapkan, termasuk UndangUndang, berpotensi untuk bertentangan dengan komitmen demokrasi itu sendiri terutama yang tertuang dalam konstitusi sebagai kontrak politik tertinggi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian, diperlukan suatu badan yang netral dan imparsial untuk melaksanaan forum yang memungkinkan peninjauan (review) terhadap keputusan-keputusan badan perwakilan dikaitkan dengan konstitusi sebagai dasar hukum tertinggi. 14 Pandangan pluralis berakar pada aliran pragmatism yang terutama berkembang di AS dan Inggris. Tokoh-tokoh yang terpenting adalah Wukkuan James dan John Dewey (AS) serta F.C.S. Schiller (Inggris). Pragmatism adalah aliran filsafat yang menekankan kepada aplikasi gagasan. Pada ranah pemikiran hukum, aliran ini menjadi dasar berkembangnya aliran realismpragmatis (Pragmatic Legal Realism) yang sangat berpengaruh pada perkembangan hukum dewasa ini. Lihat: Andrew Vincent, op.cit., hlm. 181. Baca juga: Lili Rasjidi, 1993, Filsafat Hukum: Apakah Hukum Itu?, Bandung, Penerbit Rosda Karya, hlm. 50; Theo Huijbers, 1993, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta, Penerbit Kanisius, hlm. 180; Mochtar Kusumaatmadja, 1995, Hukum, Masyarakat, dan Pembangunan Nasional, Bandung, Penerbit Bina Cipta, hlm. 9. 15 Pemikiran ini serupa dengan gagasan yang dikembangkan oleh Stanley I. Benn dalam konsep “influential sovereignty”, yang menunjuk adanya pengaruh-pengaruh “a rulling class”, mayoritas di badan perwakilan, pendeta, atau kelompok-kelompok sejenis lainnya. Lihat: Stanley I. Benn, “The Uses of Sovereingty”, dalam Anthony Quinton (Editor), 1982, Political Philosophy, London, Oxford University Press, hlm. 68. 16 hlm. 61-63. Arief Budiman, 1997, Teori Negara, Jakarta, Penerbit Pustaka Utama Gramedia, commit to user perpustakaan.uns.ac.id 5 digilib.uns.ac.id Di Indonesia, Perubahan17 UUD 194518 yang memanfaatkan momentum reformasi19 dengan kesepatan tertentu20 dan didorong oleh berbagai 17 Dalam konteks UUD 1945, perubahan dapat dikategorikan sebagai berikut: (i) Perubahan terhadap isi (substansi) ketentuan yang sudah ada; (ii) Penambahan ketentuan yang sudah ada; (iii) Pengembangan materi muatan yang sudah ada menjadi bab baru; (iv) Penambahan aturan yang sama sekali baru; (v) Penghapusan ketentuan yang sudah ada; (vi) Memasukkan dan memindahkan beberapa isi Penjelasan ke dalam Batang Tubuh; dan (vii) Perubahan struktur UUD 1945 dan menghapus Penjelasan sebagai bagian dari UUD 1945. Lihat: Bagir Manan, 2003, DPR, DPD, dan MPR Dalam UUD 1945 Baru, Jogjakarta, Penerbit FH UII Press, hlm. 1. 18 Perubahan UUD 1945 dimulai sejak Oktober 1999, yaitu Perubahan Pertama ayng ditetapkan oleh Sidang Umum Mejelis Permusyawaratan Rakyat pada tahun 1999, Perubahan Kedua yang ditetapkan pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat pada tahun 2000, Perubahan Ketiga yang ditetapkan pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat pada tahun 2001, dan Perubahan Keempat yang ditetapkan oleh Sidang tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 2002. Masing-masing diundangkan dalam Lembaran Negara No. 11, 12, 13, dan 14 Tahun 2006. Masalah penempatan Perubahan UUD dalam lembaran negara ini dipicu oleh sorotan sejumlah pihak, misalnya Ridwan Saidi, yang mengatakan bahwa tanpa penempatan dalam lembaran negara, Perubahan UUD tidak sah dan sebagai akibatnya, pemerintahan dan segala jabatan yang dibentuk tidak sah juga. Namun, Ketua Mahkamah Konstitusi (waktu itu) Jimly Asshiddiqie, mengatakan bahwa penempatan dalam lembaran negara hanya bersifat administratif dan tidak mempengaruhi keberlakuan Perubahan UUD 1945. Demikian juga Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (waktu itu) Hamid Awaluddin, mengatakan bahwa menunjuk ketentuan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Perundang-undangan, maka penempatan dalam lembaran negara bersifat informatif dan tidak menjadi syarat keberlakuan Perubahan UUD 1945. Kemudian, menurut Moh. Mahfud M.D., dari landasan yuridis dan filosofis, tuntutan penempatan UUD dalam lembaran negara tidak relevan. Lihat selengkapnya dalam Moh. Mahfud M.D., 2009, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Jakarta, Penerbit RajaGrafindo Persada, hlm. 348, dst. 19 Dalam teori konstitusi, dikenal adanya momentum untuk melakukan penyusunan dan/atau perubahan UUD. 20 Dalam melakukan Perubahan UUD 1945, Panitia Ad Hoc (PAH) I Majelis Permusyawaratan Rakyat menyusun kesepakatan dasar berkaitan dengan perubahan konstitusi yaitu: (i) tidak mengubah Pembukaan UUD; (ii) tetap mempertahankan Negara Kesatuan R.I.; (iii) mempertegas sistem presidensial; (iv) Penjelasan UUD 1945 yang memuat ketentuan normatif akan dimasukkan ke dalam pasal-pasal (Batang Tubuh); dan ((v) melakukan perubahan dengan cara addendum. Lihat dalam Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat, 2007, Panduan dalam Memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indoensia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses, dan Hasil Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Sesuai dengan Urutan, Bab, Pasal, dan Ayat, Jakarta, hlm. 13. Perlu diketahui, bahwa sekalipun perubahan dilakukan dengan addendum, berkembang juga usulan dari anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat pada waktu itu agar UUD 1945 tidak dijadikan landasan menyusun perubahan, bahkan kecenderungan menunjukkan sikap anggota untuk melakukan penggantian UUD 1945. Sekalipun demikian, masih ada juga anggota yang berpandangan sebaliknya. Lihat dalam Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat, 1999, Risalah Rapat ke-6 Panitia ad Hoc III BP MPR 13 Oktober 1999 No. MJ/230/3/13/99, hlm. commit to user 13. 6 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id alasan21, telah mengubah secara mendasar konfigurasi kenegaraan. Perubahan UUD 1945 tersebut telah menghasilkan analisis kesetaraan kedudukan lembaga negara yang memperkuat sistem check and balances sekaligus menyelesaikan apabila terjadi sengketa antarlembaga negara yang bersangkutan. Atas dasar itu, muncul pemikiran untuk membentuk MK. Setelah melalui pembahasan yang mendalam, pada akhirnya pemikiran tersebut diakomodasi dalam Perubahan Ketiga UUD 1945 yang disahkan oleh MPR pada 9 November 2001. Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 yang dirumuskan dalam Perubahan Keempat UUD 1945 menyebutkan bahwa MK dibentuk selambatlambatnya pada 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangannya dilakukan oleh MA. Memenuhi amanat Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 maka dibentuklah UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan diundangkan pada 13 Agustus 2003.22 Tugas konstitusional MK diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, yaitu (i) mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD; (ii) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD; (iii) memutus pembubaran partai politik; dan (iv) memutus perselisihan tentang hasil pemilu. Satu lagi kewajiban yang diemban oleh MK sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 adalah terkait dengan pemakzulan (impeachment) yakni memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. 21 Alasan-alasan Perubahan UUD 1945 secara akademik sudah diperlihatkan oleh banyak pakar hukum tata negara. Lihat antara lain: I Gde Pantja Astawa, “Beberapa Catatan tentang Perubahan UUD 1945”, Jurnal Demokrasi & HAM, Vol. 1, No. 4, September-November 2001, hlm. 33; Abdul Mukthie Fajar, 2003, Reformasi Konstitusi dalam Masa Transisi Paradigmatik, Malang, Penerbit In-Trans, hlm. 39; Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat, Panduan dalam Memasyarakatkan...., op.cit., hlm. 11-15; dan Budiman N.P.D Sinaga, 2009, Hukum Tata Negara: Perubahan Undang-Undang Dasar, Jakarta, Penerbit Tata Nusa, hlm. 156. 22 commit to user Dalam perkembangannya, kemudian diubah dengan UU No. 8 Tahun 2011. 7 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Kemudian, dengan ditetapkannya UU Penyelenggara Pemilu yang memastikan pemilukada masuk ke dalam rezim pemilu23 maka MK memiliki kompetensi terhadap obyek perselisihan pemilukada.24 Sekalipun demikian, perselisihan pemilukada ditangani oleh MA25, sampai dengan diubahnya ketentuan UU Pemerintahan Daerah yang memerintahkan penanganannya kepada MK.26 Secara sederhana mandat konstitusional MK dapat dilihat dalam ragaan berikut: Ragaan 1 Ranah Mandat Konstitusional MK Perubahan UUD 1945, MK: Kekuasaan Kehakiman CR Sengketa kewenangan konstitusional LN Perselisihan pemilu Pembubaran Parpol Pendapat Impeachment Sengketa Pilkada (UU) MEKANISME POLITIK Judicial Activism Penelitian ini berfokus pada wewenang konstitusional Mahkamah Konstitusi dalam CR. Namun demikian, oleh karena pemilukada berlangsung dalam suasana yang dinamis, antara lain karena peraturan perundang-undangan yang mengaturnya sebelumnya diuji oleh MK. Dengan demikian, sekalipun 23 Sampai dengan diundangkannya UU Pemerintahan Daerah pada tahun 2004, pemilukada dilaksanakan secara langsung oleh rakyat, namun tidak dalam kualifikasi sebagai rezim pemilu karena menjadi domain pemerintahan daerah. Pada tahap berikutnya, MK menguji UU Pemerintahan Daerah dan di masa depan pemilukada dilaksanakan secara langsung. 24 Ketentuan Pasal 1 angka 1 UU Penyelenggara Pemilu. Dengan regulasi baru ini, MK berwenang untuk mengadili perselisihan pemilukada yang mempengaruhi: (a) penentuan pasangan calon yang dapat mengikuti putaran kedua pemilukada; dan (b) terpilihnya pasangan calon sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah. Inilah yang lazim dikenal sebagai “obyek perselisihan oemilukada.” 25 26 Lihat ketentuan Pasal 108 UU Pemerintahan Daerah. Lihat ketentuan UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan UU Pemerintahan Daerah. Pasal 236C mengatakan, “penanganan sengketa hasil perhitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh MA dialihkan kepada MK paling lambat 18 bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan.” Karena UU yang bersangkutan diundangkan pada 24 April 2008, maka paling lambat penanganan oleh MK to pada 24 Oktober 2009. Faktanya pengalihan itu commit user terjadi pada Rabu, 29 Oktober 2008 perpustakaan.uns.ac.id 8 digilib.uns.ac.id selektif dan parsial, dinamika yang penting terkait dengan agenda kenegaraan tersebut harus disinggung dalam penelitian ini karena masih termasuk dalam jangkauan isu penelitian tersebut. Pelaksanaan wewenang MK, yang merupakan bentuk judicial activism27, dengan melakukan pengujian hukum, sesungguhnya menjaga konstitusionalitas UU, yang dalam perspektif tertentu sering menjadi “momok” (scourage) konstitusionalisme.28 Tidak berlebihan bahwa ada sementara anggapan “A burgeoning consensus on all sides of the political spectrum seems to be that judicial activism is bad.”29 Sebagai suatu konsep konstitusional, “is used so often and so imprecisely, its significance becomes questionable.”30 Di dalam praktik, putusan-putusan MK telah memberikan warna sendiri pada ketatanegaraan Indonesia. Khususnya dalam rangka melaksanakan kewenangan CR—yang antara lain berpengaruh kepada pemilu dan pemilukada, baik langsung maupun tidak langsung, MK telah memberikan warna baru bagi perkembangan hukum dan sistem hukum di Indonesia. Melalui putusan-putusan MK untuk CR, pengaruh tersebut mencakup hukum konstitusi dan menjangkau hampir semua lapangan hukum yaitu dalam bidang politik, hukum perekonomian, HAM, pelaksanaan CR oleh MK telah menghasilkan putusan-putusan yang penting dan memberikan khasanah baru. Secara akademik, banyak persoalan yang dapat ditelusuri atas putusanputusan CR tersebut. Ada putusan yang dinilai melampaui batas kewenangan MK dan masuk ke ranah legislatif, padahal putusannya bersifat final dan 27 The term “judicial activism” refers to a family of views concerning the nature of constitutional interpretation and the institutional role of the Court. Lihat William P. Marshall, “Conservatives and the Seven Sins of Judicial Activism”, Colorado Law Review, Vol. 73, 2002, hlm.1217-1220. 28 Lino Gralia, “ Rule of Law: Our Constitution Faces Death by ‘Due Process,’ Wall Street Journal, 24 Mei 2005, hlm. A12. Bruce Hausknecht, “Focus on the Family’s Issue Analysis” The Law & the Courts”, Q & A - Judicial Activism, http://www.citizenlink.org/FOSI/Courts/A000001374.cfm, diakses 26 Maret 2011. 29 Robert Justin Lipkin, “We commit Are Judicial Acitivist Now”, University of Cincinati Law to user Review, Vol. 77, 2008, hlm. 186. 30 9 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id mengikat.31 Selain itu, seperti telah disinggung di atas, pengaturan UUD 1945 tentang CR telah sedikit merancukan konsentrasi kekuasaan kehakiman dalam penanganan konflik peraturan dan konflik orang atau lembaga.32 Selanjutnya, terdapat putusan MK yang bersifat ultra petita (melampaui apa yang dimohonkan)33 seperti (ii) putusan pengujian UU Ketenagalistrikan34; (ii) putusan pengujian UU KKR35; dan (iii) putusan pengujian UU BHP36 yang mengarah kepada intervensi ke dalam bidang legislasi. Ada juga putusan yang dianggap melanggar asas nemo judex in causa sua (larangan memutus hal-hal yang menyangkut diri sendiri), serta putusan yang cenderung mengatur atau putusan yang didasarkan kepada pertentangan satu undang-undang dengan undang-undang lain, padahal mandat dari UUD 1945 adalah pengujian 31 Misalnya Putusan No. 012-016-019/PUU-IV/2006, yang antara lain mengatakan bahwa UU Tindak Pidana Korupsi 2002 tidak mempunyai kkeuatan hukum mengikat dan mulai efektif 3 tahun ke depan sejak putusan MK dibacakan. Padahal, ketentuan Pasal 47 UU MK 2003 mengatakan bahwa putusan berlaku sejak selesai dibacakan di persidangan. 32 Misalnya Putusan No. 005/PUU-IV/2006 yang mengeluarkan hakim-hakim MK dari obyek kewenangan pengawasan oleh KY. 33 Penelitian ELSAM menilai bahwa putusan MK yang melebihi apa yang diminta Pemohon (ultra petita) tersebut merupakan pelanggaran serius terhadap UU MK dan asas kardinal dalam hukum acara. Pertama, pelanggaran serius terhadap UU MK terjadi karena tidak ada peraturan atau ketentuan dalam UU MK yang membolehkan MK memutuskan melebihi apa yang dimohonkan. UU MK hanya mengatur mengenai prosedur pembuatan putusan dan format putusan. Sama sekali tidak mengatur mengenai kewenangan ultra petita. Kedua, pelanggaran serius terhadap asas kardinal dalam hukum acara, yaitu asas non ultra petita principle, yaitu asas yang berfungsi untuk “governing the Court’s judicial process, which does not allow the Court to deal with a subject in the dispositif of its judgment that the parties to the case have not, in their final submissions, asked it to adjudicate dan “to ensure that the Court does not exceed the jurisdictional confines spelled out by the parties in their final submissions”. Sehingga seharusnya Mahkamah Konstitusi “strictly limited to the consent given by the parties to a case” pelanggaran serius terhadap asas kardinal dalam hukum acara, yaitu asas non ultra petita principle, yaitu asas yang berfungsi untuk “governing the Court’s judicial process, which does not allow the Court to deal with a subject in the dispositif of its judgment that the parties to the case have not, in their final submissions, asked it to adjudicate28 dan “to ensure that the Court does not exceed the jurisdictional confines spelled out by the parties in their final submissions”. Sehingga seharusnya Mahkamah Konstitusi “strictly limited to the consent given by the parties to a case.” Pasal 45 s/d 49. Bandingkan juga: Bagian Menimbang huruf c Tap MPR No. XVII Tahun 1998 tentang Hak Asasi dan UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Lihat juga Nancy A. Combs, Daryl A. Mundis, Ucheora O. Onwuamaegbu, Mark B. Rees, and Jacqueline Weisman, “International Courts and Tribunals”, http://www.abanet.org, diakses 27 April 2012. 34 Putusan No. 001-021-022. 35 Putusan No. 006/PUU-IV/2006. 36 Putusan No. 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009. commit to user perpustakaan.uns.ac.id 10 digilib.uns.ac.id konstitusionalitas UU terhadap konstitusi. Hal yang perlu mendapatkan perhatian selanjutnya adalah masalah pelaksanaan putusan MK. Sebagai suatu kekuasaan yudisial, putusan pengadilan merupakan produk kenegaraan yang mengikat37 antara lain kemampuannya menciptakan atau menetapkan keadaan hukum baru.38 Oleh karena itu, MK sering dinilai menjadikan dirinya sebagai lembaga yang super body, karena dengan berlindung di dalam ketentuan UUD bahwa putusannya bersifat final dan mengikat, lembaga ini ada kalanya membuat putusan-putusan yang justru dapat dinilai melampaui kewenangan konstitusionalnya. Dengan melihat kecenderungan tersebut, muncul gagasan agar ada Perubahan UUD 1945 dan/atau amandemen UU MK yang dapat membatasi kewenangan dan dapat mengontrol MK. Arahnya adalah larangan bagi MK agar tidak membuat putusan yang melampaui wewenangnya dan masuk ke ranah lain seperti ranah legislatif dan yudisial.39 Pelaksanaan CR oleh MK sangat menarik untuk dikaji terutama dalam konteks transisi demokrasi di Indonesia. Makna penting format transisi demokrasi dalam memahami kinerja MK oleh karena secara empirik Indonesia 37 Lihat Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. 38 Maruarar Siahaan menyebutkan bahwa sifat dari amar putusan Mahkamah Konstitusi memiliki sifat declaratoir (menyatakan apa yang menjadi hukum), condemnatoir (menghukum tergugat atau termohon untuk melakukan suatu prestasi) dan constitutive (menciptakan suatu keadaan hukum baru). Lihat: Maruarar Siahaan, Hukum Acara Pengujian…, op.cit., hlm. 240-242. Sejak awal memang didesain bahwa putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian undang-undang bersifat declaratoir constitutief. Artinya putusan Mahkamah Konstitusi meniadakan satu keadaan hukum baru atau membentuk hukum baru sebagai negative legislator. Lihat: A. Fickar Hadjar, dkk. 2003. Pokok-pokok Pikiran dan Rancangan Undang-undang Mahkamah Konstitusi. Jakarta: KRHN dan Kemitraan, hlm. 34. 39 Walaupun sebenarnya kecenderungan praktik global menunjukkan bahwa MK dalam menjalankan fungsinya kadang-kadang membatasi Pemerintah dan penegak hukum. Dikatakan oleh seorang penulis bahwa: “The path to the constitutional court to determine the issue of legality is frequently confined to government and law makers. For example, in the case of the German Federal Constitutional Court the issue can be referred for resolution by the Federal government, the Land government or by a third of Bundestag members. There are many variations granting a right of referral to PM, prosecutor general, ombudsman, president of the high council of local authorities (Mali), president of the high broadcasting authority (Benin), or varying proportions of member of the legislature.” Lihat: Andrew Harding, Peter Leyland,dan Tania Groppi (Editors), “Constitutional Courts: Forms, Functions and Practice commit to userin Comparative Perspective”, Journal of Comparative Law, Vol. 3, No. 2, 2010, hlm. 15. perpustakaan.uns.ac.id 11 digilib.uns.ac.id mengalami transisi sistemtik (systemtic transition).40 Transisi semacam ini tidak bisa dijelaskan hanya dengan menggunakan catatan sejarah Indonesia terdahulu, karena ia harus dipandang sebagai suatu historic discontinuity. Pada satu sisi, kelembagaan legislasi yang sejak Perubahan UUD 1945 dialihkan ke DPR41 menampakkan kesan tidak diikuti dengan perencanaan dan kesadaran semangat pembentukan UU yang memadai42, walaupun hal yang sama terjadi di lingkungan pemerintah juga.43 Penelitian mengenai putusan MK menjadi 40 Terminologi systemic transition untuk Indonesia, diperkenalkan oleh Mishra yang menjelaskan proses transisi politik dan ekonomi yang terjadi serta bagaimana seharusnya proses tersebut disikapi, belajar dari pengalaman negara lain yang telah lebih dahulu mengalami transisi serupa. Lihat dalam: Satish Mishra, “Systemic Transition in Indonesia: Implications for Investor Confidence and Sustained Economic Recovery”, UNSFIR Working Paper 00/06, Jakarta, 2000. 41 Ketentuan Perubahan UUD 1945 yang dianggap menciptakan pergeseran kekuasaan legislatif itu adalah ketentuan Pasal 5 ayat (1) yang awalnya berbunyi, “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR” yang diubah menjadi, “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR.” Lalu, ketentuan Pasal 20 ayat (1) yang semula berbunyi, “Tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan DPR”, diubah menjadi “DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang.” Sementara pandangan mengatakan bahwa dengan adanya perubahan ketentuan UUD 1945 tersebut, maka telah terjadi pergeseran fungsi legislasi. Lihat pendapat-pendapat berikut: Jimly Aasshiddiqie, 2005, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, Jakarta, Pusat Studi HTN UI, hlm. 25; Jimly Asshiddiqie, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK, hlm. 135; H.A.S Natabaya, 2006, Sistem Peraturan Perundang-undangan Indonesia, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK, hlm. 42; dan Wicipto Setiadi, “Makna Persetujuan Bersama dalam Pembentukan Undang-Undang serta Penandatangan oleh Presiden atas Rancangan Undang-Undang yang telah Mendapat Peretujuan Bersama”, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 1, No. 2, 2006, hlm. 21. Sebagai wawasan, analisis implikasi ketentuan Perubahan UUD 1945 tersebut dalam praktik dapat dibaca, antara lain: Saldi Isra, 2010, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia, Jakarta, Penerbit Rajawali, hlm. 209-232. 42 Moh. Fajrul Falaakh, akademisi UGM dan anggota Komisi Hukum Nasional (KHN) mengatakan bahwa produk hukum yang dihasilkan oleh DPR makin tak keruan, tumpang tindih, dan menampakkan gejala otoritarianisme. Dalam beberapa hal, produk hukum itu justru mulai menjauh dari semangat reformasi. Hampir semua UU memiliki bobot ancaman pidana. Bahkan terdapat perbedaan yang mencolok dalam hal pengaturan ancaman pidana antara UU yang satu dan yang lain. Misalnya, di dalam KUHP, pencemaran nama baik diancam sanksi pidana yang rendah. Lain halnya dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Hal itu membuktikan cara pandang pembentuk UU terkait dengan substansi hukum tidak sinkron satu sama lain. Filosofi pemidanaan tidak dikuasai. Ancaman pemidanaan ini, sayangnya tidak dibarengi dengan pembenahan/peningkatan kualitas aparat penegak hukum, yakni penyelidik, penyidik, dan penuntut umum. Jadi, ada sisi yang memang saling menunjang gagalnya reformasi di bidang hukum. Lihat: Kompas, Senin, 21 Mei 2012, hlm. 4. 43 Sebagai contoh adalah kasus Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 33/2012 tentang Pendaftaran Organisasi Kemasyarakatan. Dalam peraturan itu antara lain diatur: (i) setiap organisasi kemasyarakatan (Ormas) harus terdaftar untuk memperoleh Surat Keterangan Terdaftar commit to SKT userdan juga bisa mencabutnya; (iii) ormas (SKT); (ii) pemerintah bisa menolak menerbitkan harus membuat surat pernyataan kesediaan atau persetujuan ormas dalam kepengurusannya perpustakaan.uns.ac.id 12 digilib.uns.ac.id penting karena posisi semacam itu putusan itu akan dihormati oleh cabang kekuasaan lain, termasuk pengadilan, baik karena personalitas para hakim maupun karena pertimbangan-pertimbangan hukum yang layak untuk dirujuk.44 Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Instrumentalisme Hukum dalam Ruang Politik (Pelaksanaan Constitutional Review dan Implikasinya terhadap Mahkamah Konstitusi dalam Transisi Demokrasi di Indonesia).” B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini disusun sebagai berikut: 1. Mengapa pelaksanaan CR oleh MK dalam transisi demokrasi di Indonesia menunjukkan adanya instrumentalisme hukum dalam ruang politik? 2. Bagaimanakah model pelaksanaan CR oleh MK di masa depan agar mampu mengawal proses transisi demokrasi di Indonesia? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk menganalisis pemahaman pelaksanaan CR oleh MK dalam transisi demokrasi di Indonesia; dan mencantumkan nama pejabat negara, pejabat pemerintahan, dan tokoh masyarakat; dan (iv) menteri, gubernur, bupati/walikota diberi wewenang untuk membekukan SKT, antara lain jika ormas menyebarkan ideology marxisme, ateisme, kapitalisme, sosialisme, dan ideologi lain yang bertentangan dengan Pancasila, termasuk merusak hubungan antara negara Indonesia dengan negara lain. Peraturan itu dianggap bertentangan UU No. 8/1985 dan bahkan dengan UUD 1945 terkait dengan kebebasan berserikat. Aturan itu dianggap memunculkan otoritarianisme di era demokrasi. Lihat: Tajuk Rencana, “Menguji Peraturan Mendagri”, Kompas, Sabtu, 19 Mei 2012, hlm. 6. 44 Dalam tradisi penelitian di AS, kedua hal itu tercakup dalam pendekatan penelitian masing-masing “attitudinal model” dan “legal model.” Dalam hal ini, model pertama “have inherited the mantle of legal realists in arguing that judges are influenced far more by their personal preferences than by the dictates of higher courts”, sedangkan yang kedua “have theorized that judges do in fact abide by the governing legal regime as embodied in binding precedent.” Diskusi yang menarik mengenai kedua pendekatan ini lihat: Frank B. Cross, “Political Science and the New Legal Realism: A Case of Unfortunate Interdisciplinary Ignorance”, New York University Law Review, Vol. 92, 2007, hlm. 315 commit dan Nancy Staudt, “Modeling Standing”, New York to C. user University Law Review, Vol. 79, 2004, hlm. 614. perpustakaan.uns.ac.id 13 digilib.uns.ac.id 2. Untuk merumuskan model pelaksanaan CR oleh MK di masa depan agar mampu mengawal proses transisi demokrasi di Indonesia. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Secara umum, penelitian ini memberikan pemahaman yang baru dalam memahami pelaksanaan CR oleh MK yang berdasarkan kepada kata kunci transisi demokrasi. Pemahaman baru ini diperlukan secara akademik dalam rangka memberikan pijakan yang lebih rasional dan realistis mengenai kelembagaan MK, khususnya terkait dengan wewenang CR. Dalam perspektif teori hukum, penelitian ini diharapkan memberikan manfaat berupa pemikiran baru kepada ilmu hukum tata negara pada umumnya dan masalah CR pada khususnya sebagai suatu tata legal yang bekerja dalam pergaulaan sosial dan politik. Manfaat penelitian ini juga diharapkan mendorong perkembangan hukum tata negara di Indonesia dan dikaitkan dengan cara berpikir yang multidisiplier, karena mayoritas kajian disiplin ini masih bersifat normatif. Dengan demikian, dari segi teori, penelitian ini dapat mensinergikan dan memperkuat konsep CR dalam kajian ketatanegaraan. 2. Manfaat Praktis Dalam perspektif praktis, penelitian ini diharapkan memberikan manfaat pada Pemerintah, DPR, dan MK, khususnya dalam melaksanakan wewenang CR, untuk memahami konstruksi hukum yang lebih rasional sehubungan dengan mandat UUD 1945. Rumusan manfaat ini didasari kepada realitas praktis dan akademik bahwa dalam perdebatan yang sedang berlangsung tentang kaitan hukum dan keadilan dengan transisi demokrasi, terdapat 2 kubu pemikiran yang saling bersaing, yaitu kaum realis dan kaum idealis, tentang kaitan antara hukum dan perkembangan demokrasi. Perbedaan pandangan ini muncul dari bias keilmuan (politik vs hukum) atau dari generalisasi pengalaman-pengalaman negara tertentu ke tingkat universal. Jadi, dalam teori politik, pandangan dominan tentang to user proses transisi demokrasicommit menggambarkan suatu urutan yang diawali 14 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id perubahan politik. Oleh karena itu, respon transisional suatu negara dijelaskan utamanya dengan batasan-batasan politik dan institusional yang relevan. commit to user 15 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id BAB II LANDASAN TEORI DAN KAJIAN PUSTAKA A. LANDASAN TEORITIS 1. Instrumentalisme Hukum Penelitian ini memandang bahwa hukum dalam masa transisi demokrasi, dalam hal ini konstitusi dalam posisi“law is a means to an end, or a tool for the social good.”45 Di dalam negara Welfare State46, instrumentalisme hukum ini meluas. Kondisinya seperti digambarkan oleh Bruce Pardy sebagai berikut:47 Courts frequently rely on policy grounds to justify idiosyncratic results in particular cases. Governments develop policies and programs designed to address a multitude of specific social issues. Legislatures grant administrative agencies broad mandates with minimal oversight, and officials act with their own initiative to craft solutions to what they perceive as pressing community needs. Everywhere state actors take it upon themselves to pursue the ends they deem appropriate. Instrumentalisme hukum dapat dilakukan melalui UU, pengadilan, maupun kombinasi keduanya. Instrumentalisme melalui UU meliputi 2 macam jenis. Menurut Bruce Pardy, “They can consist of either specific rules that apply to particular facts or parties, or 45 Brian Z. Tamanaha, “How an Instrumental View of Law Corrodes the Rule of Law”, DePaul Law Review, Vol. 56, 2007, hlm. 469. 46 Dalam literatur hukum ketatanegaraan di Indonesia, istilah Welfare State diterjemahkan sebagai “Negara Kesejahteraan.” Dalam garis besar, Negara Kesejahteraan menunjuk pada sebuah model ideal pembangunan yang difokuskan pada peningkatan kesejahteraan melalui pemberian peran yang lebih penting kepada negara dalam memberikan pelayanan sosial secara universal dan komprehensif kepada warganya.Lihat: Edi Suharto, “Peta dan Dinamika Welfare State di Berbagai Negara: Pelajaran Apa yang Bisa Dipetik untuk Membangun Indonesia?”, Makalah dalam Seminar “Mengkaji Ulang Relevansi Welfare State dan Terobosan melalui Desentralisasi- Otonomi di Indonesia”, Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta dan Perkumpulan Prakarsa Jakarta, bertempat di Wisma MM Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 25 Juli 2006, hlm. 3. Bruce Pardy, “The Hand Is Invisble, Nature Know Best, and Justice is Blind: Markets, Ecosystems, Legal Instrumentalism, The Natural Law of System”, Tulsa Law commitand to user Review, Vol. 44, 2008, hlm. 68. 47 16 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id vague rules that provide wide discretion to fashion unique solutions to particular social problems.”48 Namun, instrumentalisme hukum dapat berlangsung secara alami yaitu “the first because the rule itself is designed to achieve a specific purpose and the second because the statute creates a regime within which officials have the discretion to determine specific outcomes in specific situations.”49 Pembuatan UU menurut David Trubeck merupakan suatu “purposive human action”, yang tidak pernah bersifat otonom dan steril, melainkan sarat dengan kepentingan-kepentingan kelompok atau kekuatan-kekuatan potensial dalam suatu negara yang menginginkan kepentingan-kepentingannya dilegalisasi atau diproteksi dalam UU.50 Tidaklah mengherankan jika dalam konteks ini kemudian dipahami—seperti dikatakan oleh Duverger—bahwa UU merupakan “een neerlag van politieke machtsverhoudingen” (suatu endapan dari pertukuran antara kekuatankekuatan politik dalam masyarakat)51 atau dalam pandangan Karl Marx disebutnya sebagai “representasi kekuatan-kekuatan kapitalis.”52 Kekuatan-kekuatan nonhukum tadi, menurut Robert B. Siedman, akan terus berusaha masuk dan mempengaruhi setiap proses legislasi dan penegakannya.53 Sementara itu, pengadilan dianggap sebagai “professional bureaucracies.”54 Menurut Mitnzburg, “a professional bureaucracy is 48 Ibid. 49 Ibid. 50 David M. Trubeck, dalam Suparman Marzuki, 2011, Tragedi Politik Hukum HAM, Jogjakarta, Penerbit UII Press, hlm. 12. 51 Dalam Satjipto Rahardjo, 2004, Sosiologi Hukum: Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah, Surakarta, UMS Press, hlm. 127. 52 Selengkapnya dalam A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto, 1988, Hukum dan Perkembangan Sosial Buku Teks Sosiologi Buku I, Jakarta, Penerbit Sinar Harapan, hlm. 141-200. 53 William J. Chambliss dan Robert B. Siedman, 1992, Law and Development, Reading Mass, Adittion Wesley, hlm. 12. J.B.J.M. ten Berge, ‘Organisatie en individuele rechter in balans (over onafhankelijkheid en professionele autonomie)’ J.B.J.M. ten Berge and A. Hol (Editors), commit dalam to user 2006, De Onafhankelijkheid van de individuele rechter, , The Hague, , hlm. 6-9. 54 17 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id an organisation that hires people who have been through a process of intensive training to turn them into ‘specialists.’”55 Untuk menentukan watak spesialisasinya itu, “the complex work of the operating professionals cannot easily be formalized, or its outputs standardized by action planning and performance control systems the complex work of the operating professionals cannot easily be formalized, or its outputs standardized by action planning and performance control systems.”56 Oleh karena itu, amat sulit sebetulnya menilai kinerja pengadilan semata-mata dari segi keberadaan hakim karena “that basically judges are difficult to manage and access to justice cannot be so easily programmed around them because of their nature as professionals, and because of their control over productivity.”57 Pada dasarnya juga seorang hakim independen dalam mengambil putusan dan dalam konteks organisasinya; para hakim bekerja dalam kerangka kepastian hukum, sekalipun implementasi kerangka itu membutuhkan pengalaman untuk dapat menghasilkan suatu penafsiran. Perlu dicatat, penafsiran itu dibutuhkan karena secara tradisional, “judges are foremost supposed to be loyal to the law.”58 Secara de facto, para hakim—untuk perkara konstitusi atau administrasi, misalnya— acapkali mempunyai diskresi “due to elastic formulations of the laws allowing for its guardians to simultaneously determine their meaning thus playing a truly political role.”59 Secara mendasar lagi, para hakim dalam tradisi demokrasi liberal “increasingly forced to fill the gap left by authorities who should legitimately occupy it (i.e. the legislative 55 H. Mintzberg, “Structure in 5’s: A synthesis of the Research on Organization Design”, Management Science , Vol. 26, 2008, hlm. 333. 56 Ibid., hlm. 334. 57 Ibid. 58 Bart Nelissen, “Judicial Loyalty Through Dissent or Why The Timing is Perfect for Belgium to Embrace Separate Opinion”, Electronic Journal of Comparative Law, Vol. 15, No. 1, 2011, hlm. 5. 59 Ibid. commit to user 18 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id and the executive branch) with considerable psychological insecurity due to the loss of identifying guidelines.”60 Hal itu dibutuhkan karena “Both the legislative and the executive branch are often incapable to resolve social disputes, the task of producing the necessary law shifting to the judiciary as a result”, suatu keadaan yang dalam tradisi Prancis dikenal sebagai “la judiciarisation du droit.”61 Seperti dikatakan sebagai hasil World Congress of the International Academy of Comparative Law ke-17 di Utrecht University (16-22 Juli 2006) yang lalu, instrumentalisme pengadilan menjadi salah satu cara agar hukum “can be developed into more and more refined notions, interconnections and codifications coupled with increasingly sophisticated ways of interpretation.”62 Dalam tataran ideal, instrumentalisasi hukum dianggap bertentangan dengan Rule of Law karena secara tradisional prinsip ini mengandung pengertian “a system of governance based upon generally applicable, abstract rules and limited state discretion, in which the government is subject to the same law as individual citizens.”63 Nyatalah hal demikian menunjukkan dualisme, akan tetapi lazim diberlakukan, termasuk antara lain dalam pengalaman Amerika Serikat. Dikatakan oleh Brian Tamanaha64 bahwa: The legal tradition in the United States combines two core ideas. The first idea, known broadly as the rule of law, is that government officials and citizens are obligated to abide by the regime of legal rules that govern their conduct. The second idea, what I call legal instrumentalism, is that law is a means to 60 Ibid. 61 Ibid., hlm. 7. Bas de Gaay Fortman, “A Comparative Exploration into Human Rights as a MoralPolitical Force in Judicial Law Development”, Utrecht Law Review, Vol. 2, No. 2, 2006, hlm. 22. 62 63 Robert B. Keiter, “Beyond the Boundary Line: Constructing a Law of Ecosystem Management”, University of Colorado Law Review, Vol. 65, 2004, hlm. 293. 64 loc.cit. Brian Z. Tamanaha, “How commit an Instrumental to userView of Law Corrodes the Rule of Law”, 19 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id an end or an instrument for the social good. Both ideas are taken for granted and are equally fundamental in contemporary U.S. legal culture. It is seldom recognized that the combination of these two ideas is a unique historical development of relatively recent provenance and that, in certain crucial respects, they are a mismatched pair. Selanjutnya dikatakan bahwa “Both of these ideas have become firmly established as legal norms even though they directly conflict, at least when applied to courts and other adjudicative bodies. Although legal theorists have put forth compelling arguments that rulebound judging and a focus on purposes and ends cannot in principle be combined, this combination has in fact taken place in U.S. legal culture.”65 Instrumentalisme hukum, khususnya melalui pengadilan, secara filosofis menguraikan permasalahan yang berkait dengan “on what judges do?” Berkaca pada tradisi Amerika, pada awal pertumbuhan negara, “courts often resolved close cases with reference to public policy and conceptions of economic justice.”66 Hal ini karena pada masa paruh pertama abad ke-19, negara ini mengalami perluasan wilayah dan pertumbuhan ekonomi. Para pedagang dan pelaku usaha mencoba memperbaiki sistem hukum yang ada dengan cara “forg[ing] an alliance with the legal profession to advance their own interests through a transformation of the legal system.”67 Sampai penghujung abad ke-19, transformasi itu telah selesai. Untuk mempertahankan keadaan tersebut, diambil langkah yang simpel, yaitu “gave common law rules the appearance of being self-contained, apolitical, and inexorable, and which, by making ‘legal reasoning seem like mathematics, conveyed an air . . . of . . . inevitability about legal 65 Ibid., hlm. 489. 66 Morton J. Horwitz, “The Rise of Legal Formalism”, American Journal of Legal History, Vol.19, 2005, hlm. 251. 67 Ibid. commit to user 20 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id decisions.”68 Kerangka pikir ini bagi para hakim “was a protective device. They were middle-of-the-road conservatives, holding off the vulgar rich on one hand, the revolutionary masses on the other. The legal tradition represented balance, sound values, a commitment to orderly process.”69 Situasi inilah yang menandai kelahiran dan kejayaan formalism yang mengutamakan pijakan legalistic untuk melestarikan rule of law, yang dibalik itu sebenarnya mengabdi kepada kepentingan pelaku dan modal. Hakim cenderung “apply the governing law to the facts of a case in a logical, mechanical, and deliberative way.”70 Dalam kerangka ini, pengadilan tak ubahnya laksana “giant syllogism machine”, sementara para hakim seperti “highly skilled mechanic.”71 Belakangan mulai tahun 1920-an dan 1930-an, intrumentalisasi pengadilan dengan fungsi seperti itu mulai dikecam dan kemudian melahirkan pemikiran Legal Realism yang dipelopori oleh Yale and Columbia law schools and at Johns Hopkins’s short-lived Institute of Law.72 Pemikiran ini kemudian memunculkan kata-kata klise, nyaris latah, dalam dunia akademik dan praktik di Amerika, dengan jargon “we are all realist now.”73 Kalangan Positivist seperti Hart mengecam pemikiran Legal Realism dengan menyebutnya sebagai 68 Ibid., hlm. 252. 69 Ibid. Burt Neuborne, “Of Sausage Factories and Syllogism Machines: Formalism, Realism, and Exclusionary Selection Techniques”, New York University Law Review, Vol. 67, 2002, hlm. 421. 70 71 Ibid. Michael Steven Green, “Legal Realism as A Theory of Law”, William and Mary Law Review, Vol. 46, 2005, hlm. 1917. 72 73 Lihat antara lain: Gregory S. Alexander, “Comparing the Two Legal Realisms— American and Scandinavian”, American Journal of Comperative Law, Vol. 50, 2002, hlm. 13; Brian Leiter, “Rethinking Legal Realism: Toward a Naturalized Jurisprudence”, Texas Law Review, Vol. 76, 2007, hlm.267-268; Joseph William Singer, “Legal Realism Now”, California Law Review, Vol. 76, 2008, hlm. 467; John Henry Schlegel, “American Legal Realism and Empirical Social Science: From the Yale Experience”, Buffalo Law Review, Vol. 28, 1999, hlm. 460; dan Louise Weinberg, “Federal Common New York University of Law Review, Vol. commitLaw”, to user 83, 1999, hlm. 834. 21 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id “deeply implausible”74; sementara kalangan lain mengkritik dengan istilah “open to easy refutation”75, dan “a jurisprudential joke.”76 Walaupun kalangan dicermati secara menyeluruh pemikiran mereka yang digolongkan sebagai Realist seperti Karl Llewellyn, Jerome Frank, Walter Wheeler Cook, Felix Cohen, Hessel Yntema, Herman Oliphant, Max Radin, Leon Green, dan Joseph Hutcheson, memiliki karakter “even when the group is limited to those most commonly agreed to be realists”77 dan juga tak berguna apabila menganggap konstruksi pemikira mereka nihil sumbangannya terhadap filsafat hukum.78 Kalangan Realist percaya bahwa misi agung para hakim “follow an intuitive process to reach conclusions which they only later rationalize with deliberative reasoning.”79 Para hakim seharusnya “decides by feeling, and not by judgment; by ‘hunching’ and not by ratiocination and later uses deliberative faculties not only to justify that intuition to himself, but to make it pass muster.”80 Namun sesungguhnya jika ditelisik saksama, baik dalam sudut pandang formalism maupun realism, tidak pernah ada perumusan yang memuaskan mengenai role of judges sebagai bentuk instrumentalisasi hukum oleh pengadilan. Hal ini karena “Judges surely rely on intuition, Andrew Altman, “Legal Realism, Critical Legal Studies, and Dworkin”, Philosophy & Public Affair, Vol. 15, 2006, hlm. 206-207. Kata-kata Hart yang tajam mengenai kritik terhadap pandangan Realist adalah “talk of rules is a myth, cloaking the truth that law consists simply of the decisions of courts and the prediction of them.” 74 Leslie Green, “The Concept of Law Revisited”, Michigan Law Review, Vol. 94, 2006, hlm. 1694. 75 76 Brian Leiter,” Legal Realism and Legal Positivism Reconsidered”, Ethic, Vol. 111, 2001, hlm. 278. 77 Ibid., hlm. 280. Dalia Tsuk, “The New Deal Origins of American Legal Pluralism”, Florida State University Law Review, Vol. 29, 2001, hlm. 209. 78 79 Joseph C. Hutcheson, Jr., “The Judgment Intuitive: The Function of the “Hunch” in Judicial Decision”, Cornell Law Quartley, Vol.14, 2009, hlm. 285. 80 Ibid. commit to user 22 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id rendering a purely formalist model of judging clearly wrong yet they also appear able to apply legal rules to facts, similarly disproving a purely realist model of judging.”81 Demikian juga, tak serta merta bahwa kalangan Positivist memuja hukum semata sebagai instruksi penguasa yang berdaulat dan kalangan Realism semata-mata membatasi paham hukum mereka sebagai putusan pengadilan saja. Baik kiranya apabila dikatakan:82 Properly understood, however, it does not deny that statutes and the like can be law; nor does it deny that these laws can guide a judge’s decision making when the judge’s attitudes recommend conformity with the law. Instead, the theory rejects the ability of the law to provide reasons for conformity with what the law recommends that exist independently of the judge’s attitudes. The realists’ rejection of legal rules was an attack on the idea of political obligation and the duty to obey the law. A statute can be the law without being a legal rule in the relevant sense, for its status as law may not provide a rebellious judge with any reason to adjudicate as the statute instructs. Instrumentalisme hukum oleh pengadilan diidentifikasi dekat dengan persoalan politik, suatu hal yang belakangan diterima secara luas.83 Implikasi dari sudut pandang ini seperti ditulis oleh Ferejohn sebagai berikut.84 First, courts have been increasingly able and willing to limit and regulate the exercise of 81 Seperti dikatakan oleh Skeel, bahwa orang dengan gampangnya mengatakan penganut realism meskipun sesungguhnya hanya berdasarkan anggapan seolah-olah merumuskan pendapat hakim untuk menentukan hukum dalam suatu gampang tak lebih dari sekedar teknilitas belaka. Lihat: Brian Leiter, “Legal Realism and Legal Positivism Reconsidered”, Ethitcs, Vol. 111, 2001, hlm. 300. 82 Michael Steven Green, “Legal Realism as A Theory of Law”, op.cit., hlm. 1920. Stacia L. Haynie, “Structure and Context of Judicial Institutions in Democratizing Countries: The Philippines and South Africa”, Paper Prepared for Presentation at the World Democratization Conference, February 2000, hlm. 1. 83 John Ferejohn, “Judicialing Politic, Politzing Law”, Journal of Law and commit to user Contemporary Problems, Vol. 65, No. 3, 2002, hlm. 41. 84 23 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id parliamentary authority by imposing substantive limits on the power of legislative institutions. Second, courts have increasingly become places where substantive policy is made. Third, judges have been increasingly willing to regulate the conduct of political activity itself—whether practiced in or around legislatures, agencies, or the electorate— by constructing and enforcing standards of acceptable behavior for interest groups, political parties, and both elected and appointed officials. Sayangnya di luar sistem Amerika, bangun pengadilan dalam posisi itu belum mendesak menjadi sasaran studi. Oleh sebab itu, para ahli perbandingan hukum “ignored the study of courts as political institutions and judges as political actors presuming them incapable of affecting public policy.”85 Sehubungan dengan masalah ini, Gibson, Caldeira dan Baird mencatat bahwa:86 Comparativists know precious little about the judicial and legal system in countries outside the United States. We understand little or nothing about the degree to which various judiciaries are politicized; how judges make decisions; how, whether, and to what extent those decisions are implemented; ...or what effect courts have on institutions and cultures. The degree to which the field of comparative politics has ignored courts and law is as remarkable as it is regrettable. Sebaliknya, kalangan sarjana Amerika amat enggan untuk menguji teori dan studi perilaku pengadilan terhadap sistem hukum lain.87 Menurut pengamatan Eipstein, “only 14.1% of dissertations in the last five years (35 of 249) included a focus on courts outside the United States. Only five articles were published in the American 85 Ibid. 86 James L.Gibson, A. Gregory, dan Vanessa A. Baird, op.cit., Vol. 92, hlm.343. 87 C. Neal Tate dan Stacia L. Haynie, "The Philippine Supreme Court Under Authoritarian and Democratic Rule: Thecommit Perceptions of the Justices”, Asian Profile, 2004, Vol. 22, to user hlm. 226. 24 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Political Science Review or the American Journal of Political Science that at least in part explored courts abroad.”88 Langkanya studi tersebut menimbulkan pertanyaan besar sehubungan dengan fungsi pengadilan dalam arena yang lebih khusus sifatnya. Permasalahan tersebut adalah “What role can or do courts play in democratization?”89, kecuali sebagai “significance of alternative institutional structures or contexts to the judicial decision.”90 Instrumentalisme pengadilan mempunyai kedudukan yang penting karena menurut Becker, suatu pemerintahan "monopolized force of society organized to distribute some values authoritatively and to maintain internal order.”91 Kemudian negara dalam konteks ini “must delegate this power to various functionaries, among them courts.”92 Menurut Shapiro, guna mempertahankan format negara modern, maka: [T]he state substitutes a formal adjudicative machinery for the informal method of the mediation of conflicts. Modern courts represent the imposition of the authority of the regime within the allocation of gains and losses. The function of resolving conflicts is fulfilled in modern courts not by consent, but by a forum of compelled adjudication where a third party (the defendant) is forced to participate by the actions of the other two (the claimant and the courts). Saphiro menguraikan lebih lanjut mengapa para pihak mempercayai pengadilan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan hukum, yaitu: 88 Lee Epstein, “The Comparative Advantage”, Newsletter of the Law and Courts Section of the American Political Science Association, Vol. 9, 1999, hlm.1-6. 89 Stacia L. Haynie, “Structure and Context of Judicial Institutions…”, op.cit., hlm. 3. 90 Melinda Gann dan Paul Brace,"Toward an Integrated Model of Judicial Voting Behavior",American Politics Quarterly, Vol.20, 2002, hlm. 148. 91 Theodore L. Becker, 2007, Comparative Judicial Politics: The Political Functioning of Courts, Chicago: Rand McNally & Co. hlm. 18. 92 commit to user Stacia L. Haynie, op.cit., hlm. 4. 25 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Though the courts are clearly a component of the state, the structure of the courts can nonetheless retain the appearance, if not functioning, of independence. Independent courts are those that are free to resolve conflicts without interference from the government. This independence is crucial in establishing the rule of law. Pada akhirnya, seperti gagasan Dhavan, “courts are one component of the power filter through which social and economic forces gain recognition and legitimacy.”93 Pendapat Dhavan ini didukung oleh argumen Saphiro yang mengatakan bahwa pengadilan melakukan “a mediating continuum exists within societies, with ‘go-betweens’ on one end, and ‘formal judges’ on the other.”94 2. Constitutional Review Sebagai suatu istilah hukum, CR harus dibedakan dari judicial review. Pertama, CR selain dilakukan oleh hakim, dapat pula dilakukan oleh lembaga selain hakim atau pengadilan, tergantung kepada lembaga mana konstitusi memberikan kewenangan untuk melakukannya. Kedua, dalam konsep judicial review terkait pula pengertian yang lebih luas obyeknya, misalnya mencakup soal legalitas peraturan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, sedangkan CR hanya menyangkut pengujian konstitutionalitasnya yaitu terhadap konstitusi.95 Perlu juga dicamkan di sini, bahwa judicial review itu sendiri tidak identik dengan hak uji materiil (toetsingsrecht).96 93 Dalam Stacia L. Haynie, op.cit., hlm. 4. 94 Martin Shapiro, 2001, Courts: A Comparative and Political Analysis, Chicago, Illinois: University of Chicago Press.hlm. 3. 95 96 Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional, op.cit., hlm. 3. Kekeliruan konsep ini misalnya terdapat dalam buku Sri Soemantri. Profesor hukum tata negara Universitas Padjajaran, yang dari segi usia merupakan yang paling senior di Indonesia, dengan fasih menggunakan istilah “hak uji materiil” sebagai terjemahan konsep “materiele toetsingsrecht” yang ia bedakan dari istilah “hak uji formal” sebagai terjemahan “formele toetsingsrecht. Dalam mebedakan keduanya, Sri Soemantri hanya mengulas secara ringkas bahwa “hak uji materiil” menyangkut penilaian mengenai isi peraturan perundang-undangan apakah to tinggi user derajatnya. Sedangkan “hak uji formil” bertentangan atau tidak dengan peraturancommit yang lebih berkenaan dengan tata cara pembentukan suatu undang-undang apakah sesuai atau tidak dengan 26 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Menelaah pengujian norma hukum, perlu membedakan juga antara pengujian materiil (materiile toetsing) dan pengujian formil (formile toetsing). Kedua bentuk pengujian tersebut oleh UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dibedakan dengan istilah pem-bentukan undang-undang dan materi muatan undang-undang.97 Pengujian materiil adalah pengujian undang-undang yang dilakukan atas materinya. Pengujian tersebut berakibat pada dibatalkannya sebagian materi muatan atau bagian undang-undang yang bersangkutan. Yang dimaksud materi muatan undang-undang itu adalah isi ayat, asal dan/atau bagian-bagian tertentu dari suatu undang-undang bahkan bisa hanya satu kata, satu titik, satu koma atau satu huruf saja yang dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebaliknya, yang dimaksud bagian dari undang-undang itu dapat pula berupa keseluruhan dari suatu bagian atau keseluruhan dari suatu bab undang-undang yang bersangkutan.98 Dari perpektif teoritis, CR bertujuan untuk “transform public policy disputes into questions of constitutional interpretation that can be decided by texts, procedures, principles, and rules that are generally accepted as legal and not political.”99 Melalui putusan CR, “even onpopular ones, being accepted, because courts are viewed as appropriate institutions for making such decisions and commitmen to yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Dalam pembahasan secara keseluruhan, masalah “hak uji materiil” dibahas tetapi kadang-kadang bercampur dengan konsepsi “hak uji formil” seperti yang tercermin dalam definisi “hak menguji materiil.” Di samping itu, ketika menjelaskan “hak menguji materiil” di negara lain, istilah “hak uji materiil” atau “hak menguji material” itu disejajarkan begitu saja dengan istilah “judicial review.” Bahkan ketika menguraikan kosnepsi yang berlaku di Dewan Konstitusi Prancis, istilah yang tetap dipakai adalah “hak menguji material di Prancis.” Lihat: Sri Soemantri, loc.cit. 97 Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, op.cit., hlm. 57. 98 Ibid., hlm. 59-60. Adam Schwartz, 2000, The Struggle Constitutional Justice in Post-Communist commit to for user Europem Chicago: University of Chicago Press, hlm. 5. 99 27 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id procedure and process trumps concerns over outcomes.”100 Oleh sebab itu, kinerja CR “operate in an environment of national political constraints that compromise their own institutional legitimacy and decisional effacy.”101 Kasus “judicial review” yang didasarkan atas pengalaman MA Amerika Serikat memutus perkara Marbury versus Madison pada tahun 1803 itu menjadi contoh dan model yang ditiru di seluruh dunia, terutama oleh negara-negara demokrasi yang dipengaruhi oleh sistem konstitusi Amerika Serikat. Dalam model ini, CR dilakukan sepenuhnya oleh MA dengan status sebagai “the Guardian of the Constitution‟. Di samping itu, menurut doktrin yang kemudian biasa juga disebut sebagai doktrin John Marshall (John Marshall's doctrine), ‘judicial review‟ juga dilakukan atas persoalan-persoalan konstitusionalitas oleh semua pengadilan biasa melalui prosedur yang dinamakan pengujian terdesentralisasi atau pengujian tersebar (a decentralized or diffuse or dispersed review) di dalam perkara yang diperiksa di pengadilan biasa (incidenter). Artinya, pengujian demikian itu, tidak bersifat institusional sebagai perkara yang berdiri sendiri, melainkan termasuk di dalam perkara lain yang sedang diperiksa oleh hakim dalam semua lapisan pengadilan. Karena itu, oleh para sarjana, model Amerika ini juga biasa disebut sebagai “Decentralized Model”. Pengujian konstitusional yang dilakukan secara tersebar itu bersifat spesifik dan termasuk kategori ‘a posteriori review’. Sedangkan, MA dalam sistem tersebut menyediakan mekanisme untuk kesatuan sistem sebagai keseluruhan (the uniformity of jurisdiction). Dalam sistem yang tersebar, putusanputusan yang diambil hanya mengikat para pihak yang bersengketa dalam perkara James L. Gibson dan Gregory A. Caldeira, “Defenders of Democracy? Legitimacy, Populair Acceptance, and the South African Constitutional Court”, Journal of Politics, Vol. 65, 2005, hllm. 2. 100 George Vanberg, “Abstract Judicial Review, Legislative Bargaining, dan Policy commit to user Compromise”, Journal of Theoritical Politics, Vol. 10, 1998, hlm. 299. 101 28 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id yang bersangkutan (inter partes), kecuali dalam kerangka prinsip “stare decisis‟ yang mengharuskan pengadilan di kemudian hari terikat untuk mengikuti putusan serupa yang telah diambil sebelumnya oleh hakim lain atau dalam kasus lain. Dari segi kelembagaannya, sistem CR yang dilakukan oleh MA Amerika ini jelas berbeda pula dari tradisi yang sama di Eropa. Dalam sistem Amerika Serikat yang menganut tradisi ‘common law’, peranan hakim penting penting dalam proses pembentukan hukum menurut asas “precedent”. Bahkan hukum dalam sistem “common law‟ itu biasa disebut sebagai “judge-made law’, atau hukum buatan para hakim. Oleh karena itu, ketika John Marshall memprakarsai praktek pengujian konstitusionalitas undangundang oleh MA dan bahwa sejak masa-masa sebelumnyapun para hakim di semua tingkatannya di Amerika Serikat memang telah mewarisi tradisi pengujian atau mengesampingkan berlakunya sesuatu undang-undang yang dinilai bertentangan dengan cita keadilan dalam memeriksa setiap perkara yang dihadapkan kepada mereka, tergambar bahwa peranan hakim di Amerika Serikat memang besar dan memang seharusnya demikian. Lagi pula jumlah undang-undang dalam sistem demikian tidak sebanyak yang terdapat dalam tradisi di Eropa Kontinental yang dari waktu ke waktu lembaga-lembaga parlemennya terus memproduksi peraturan-peraturan tertulis. Karena itu, penerapan sistem “judicial review” itu tidak memerlukan lembaga baru, melainkan cukup dikaitkan dengan fungsi MA yang sudah ada. Lembaga MA itulah yang selanjutnya akan bertindak dan berperan sebagai Pengawal ataupun Pelindung Undang-Undang Dasar (the Guardian or the Protector of the Constitution). Sementara itu, sistem yang berkembang di Eropa menyangkut hubungan yang saling berkaitan antara prinsip supremasi konstitusi (the principle of the supremacy of the Constitution) dan prinsip supremasi commit to user parlemen (the principle of the supremacy of the Parliament). Asumsi 29 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id dasarnya adalah bahwa pemberlakuan prinsip “supremasi parlemen‟ harus diimbangi oleh penerapan prinsip “supremasi konstitusi‟, sehingga pelaksanaan asas kedaulatan rakyat yang tercermin di parlemen tidak menyimpang dari pesanpesan konstitusi sebagai “the supreme law of the land”. Dengan perkataan lain, dalam model ini, apabila prinsip kedaulatan rakyat yang tercermin dalam doktrin supremasi parlemen bertentangan dengan prinsip supremasi konstitusi, maka sesuai dengan cita-cita negara hukum, prinsip supremasi konstitusilah yang harus diutamakan. Proses pengujian konstitusionalitas dalam model ini, dikehendaki adanya pengadilan konstitusi yang berdiri sendiri dengan hakim-hakimnya yang mempunyai kehalian khusus di bidang ini. Dalam menjalankan kewenangannya MK melakukan pengujian konstitusional terutama atas normanorma yang bersifat abstrak (abstract review), meskipun pengujian atas norma konkrit juga dimungkinkan (concrete review). Bahkan, dalam model Eropa ini, pengujian dapat bersifat “a posteriori” (a posteriori review) ataupun bersifat “a priori” (a priori review). Pada umumnya, pengujian memang dilakukan secara “a poteriori”, tetapi pengujian “a priori” yang bersifat preventif juga biasa dipraktekkan. Segala putusan MK ini mempunyai kekuatan “erga omnes” yang bersifat mutlak berdasarkan prinsip kewenangan mutlak yang diberikan kepadanya oleh UUD (the absolute authority of the institution). Lembaga MK ini dibentuk sebagai satu-satunya organ yang berwenang menjalankan fungsi CR itu dengan kedudukan yang tersendiri di luar MA dan di luar lembaga-lembaga dalam cabangcabang kekuasaan lainnya yang menjalankan otoritas publik. 3. Transisi Demokrasi Istilah “transisi” dalam Bahasa Latin merupakan perpaduan dari 2 kata yaitu “trans” dan “cendo.” Kata “trans” diartikan sebagai commit to user seberang, di sebelah sana, di balik menyeberangi. Sementara kata 30 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id “cendo” diartikan melangkah ke sesuatu yang lain, berpindah. Dengan demikian, “transisi” diartikan sebagai “melangkah, berpindah, atau menyeberang ke sana.”102 Dalam Bahasa Inggris, “transisi” berasal dari kata “transition” yang artinya “peralihan” atau “pancaroba.”103 Dalam Kamus Bahasa Indonesia, “transisi” berarti sebagai “peralihan dari keadaan (tempat, tindakan, dan sebagainya) kepada yang lain.”104 Setelah mendalami makna leksikal di atas, maka dalam penelitian ini konteks “transisi” adalah peralihan atau perpindahan suatu sistem politik ke sistem politik yang lain. Menjelang purna abad ke-20, dunia menyaksikan sesuatu hal yang tak terkirakan ketika suatu negara mengalami transisi yang berbeda satu sama lain dan umumnya ditandai dengan gejala yang sama: perubahan dari rezim otoritarian ke demokrasi liberal. Transisi itu ada yang merupakan hasil dari (i) “the collapse of ideologies such as communism and apartheid which had held sway over governments in many parts of the world for a generation or more”; (ii) “the end of repressive regimes of a non-ideological character”; (iii) “withdrawal from their territories of outside powers which had either been occupying them or exercising de facto control over their running; (iv) by the emergence of “peace processes” in a number of societies whose populations had been riven by long-running ethnic, religious or other strife”; (v) some transitions of an illiberal character: from relatively stable and peaceful democracies to military dictatorships or other regimes antithetical to freedom and democracy, often following coups or other illegal seizures of power. 105 Paling akhir, bentuk transisi 102 Gregorius Sahdan, 2004, Jalan Transisi Demokrasi Pasca Soeharto, Jakarta, Penerbit Pondok Edukasi, hlm. 30-31. 103 John M. Echols dan Hassan Shadily, 1984, Kamus Inggris Indonesia, Cetakan XIII, Jakarta, Penerbit Gramedia, hlm. 601. 104 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1997, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Penerbit Balai Pustaka, hlm. 1070. to user in South Pasific”, Pasific Rim Law & Venkat Iyer, “Restorationcommit Constitutionalism Policy Journal, Vol. 15, No. 1, 2006, hlm. 39. 105 31 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id demokrasi adalah fenomena “the Arab Spring” yang melanda kawasan Afrika Utara dan Timur Tengah.106 Pada awalnya, konsep transisi demokrasi menjadi perdebatan akademik terutama ketika terjadi gelombang demokratisasi yang diawali oleh Portugal (1974), yang kemudian diikuti oleh Yunani, Spanyol, Filipina, Korea Selatan, Taiwan, Republik Ceko, Polandia, Hongaria, Benin, Nigeria, Malawi, dan sejumlah negara di kawasan Amerika Latin.107 Oleh karena setiap negara menempuh jangka waktu dan jangkauan yang berbeda-beda menuju demokratisasi108, maka diperlukan analisis teoritis yang mendalam dan kemudian memancing akademisi untuk merumuskan formulasi yang berbeda-beda juga. Dunia akademik kemudian melahirkan “transitology” yaitu “the study of the transition to democracy, has emerged as a specialty within the discipline of political science.”109 Sangat jarang kalangan hukum tata negara memberikan fokus perhatian yang cukup mengenai fenomena itu. 106 Fenomena ini masih terus berlangsung hingga kini dan menjadi penanda baru setelah adanya analisis bahwa transisi demokrasi berhenti sejak dekade 1990-an karena dunia kemudian mengalami “resesi demokrasi.” Itu terjadi setelah sejumlah negara yang berubah menjadi demokrasi kemudian berubah mengalami otoritarianisme. Fenomena “the Arab Spring” terjadi di Afrika Utara (Tunisia, Mesir, dan Libya) yang kemudian melompat ke kawasan Arab (Yaman, Bahrain, dan Suriah). Demokratisasi, dengan demikian, berlangsung dalam “kluster geografi.” Jika sebuah negara berhasil menyingkirkan seorang ditator, warga negara lain yang berbahasa sama—atau sekurang-kurangnya komunitas dalam bahasa dan budaya—yang mendengar kabar itu, yang melihat contoh yang diberikan negara lain, akan cenderung mengikutinya. Baca: Trias Kuncahyono, “Timur Tengah: Masih Musim Semi”, Kompas, Selasa, 15 Mei 2012, hlm. 10. 107 Samuel P. Huntington, 1991, op.cit., hlm. 679. 108 Seperti dikatakan oleh Timothy Garton Ash ketika mengamati demokratisasi di Eropa Timur pasca tumbangnya komunisme bahwa “In Poland it took ten years, in Hungary ten months, East Germany ten weeks: perhaps in Czechoslovakia it will take ten days.” Lihat: Sharon L. Wolchik and Jane L. Curry (Editors), 2008, Central and East European Politics: From Communism to Democracy. Rowman & Littlefield Publishers, Inc., hlm. 3. 109 Misalnya: Juan J. Linz and Alfred Stepan, Problems of Democratic Transition and Consolidation (JohnsHopkins U. Press, 1996); Jon Elster, Claus Offe, dan Ulrich K. Preuss, Institutional Design in Post-Communist Societies: Rebuilding the Ship at Sea (Cambridge University Press, 1998); Guillermo O’Donnell and Phillippe C. Schmitter, Transitions from Authoritarian Rule: Tentative Conclusions about Uncertain Democracies (1986); Guillermo O’Donnell, Phillippe C. Schmitter and L. Whitehead (eds.), Transition from Authoritarian Rule: commit to user Comparative Perspectives (1988). 32 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Kebanyakan literatur mengasumsikan transisi demokrasi sebagai perubahan rezim pemerintahan dari otoritarian menjadi demokratis.110 Fokus bagaimanakah demokrasi uraian berkisar dilaksanakan kepada dan mengapa dan dikonsilidasikan. Pembahasan pertama umumnya mencakup dampak relatif dari faktor struktural terhadap perubahan politik sehubungan dengan tindakantindakan elit politik. Oleh sebab itu, perubahan politik ditimpakan kepada kapasitas pemimpin untuk memobilisasi sumber daya, kemampuan melawan oposisi, dan kecerdikan dalam memanfaatkan kesempatan. Selanjutnya dijelaskan, “a complete theory of political agency would also attend to the endeavours of ordinary citizens, the interplay between elite and mass actions, and the unintended, as well as the planned consequences of political events.”111 Dalam konteks ini, “in order to understand and assess more accurately the prospects for democracy in a divided society in which conict is prevalent, it is important to analyse the conditions that will urge political actors in divided societies to choose a democratic political system.”112 Perdebatan yang kedua menyangkut, apakah perubahan politik itu diakibatkan oleh masalah domestik atau pengaruh tekanan internasional. Dalam hal ini, “The question is whether the trajectories of regime transition are best understood in terms of the separate and distinctive domestic histories of each state or, whether a more holistic perspective in which they are regarded as parts of larger international systems should be adopted. In the latter instance, they are subjected to 110 Seperti dikatakan oleh Samuel P. Huntington, dalam rangka demokratisasi acapkali “a lot of states have made a transition from authoritarian rule to multi-party systems that contested elections. This ‘Western-way’ democracy has generally been viewed as having ‘universal value’ and is not regarded as just Western anymore.” Baca: Samuel P. Huntington, “Democracy’s Third Wave,” Journal of Democracy, Vol.2, No.2, 1991, hlm.13. 111 Bratton and Van de Walle , “From Promise to Delivery: Official Development Assistance to South Africa, 1994-98", Centre for policy Studies, Research Report No. 68, 1997, hlm. 19-20. 112 Ibid. commit to user 33 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id powerful inuences from beyond their own borders. These questions are particularly relevant in the case of small, indebted polities on the margins of an increasingly global economy in a post-Cold War World.” 113 Perdebatan yang ketiga menyangkut apa yang dikenal sebagai the institutional choice, yaitu “explaining why political actors make the institutional choices they make for the transition and the new political order, is one of the approaches that are relevant in this regard.” Selanjutnya dikatakan bahwa “An understanding of the reasons for the choices made by the various actors will facilitate the description of the process of negotiated transition by explaining the positions of various actors during negotiations, and by making some tentative predictions about the outcomes thereof. 114 Masa transisi mencirikan bahwa negara tak secara instan berubah dari otoriter ke demokrasi. Menurut Philippe Schmitter, ada 5 fase perubahan tersebut, yaitu (i) persistence of authoritarian rule, (ii) demise of authoritarian rule, (iii) transition to democracy, (iv) consolidation of democracy, and (v) persistence of democracy.115 Berbagai literatur menguraiakan pergerakan dalam setiap fase tersebut dan terus menerus menuju kepada demokrasi. Untuk menuju dari satu fase ke fase berikutnya, maka diperlukan prakondisi yang umumnya mencakup 3 hal yaitu keadaan sosial ekonomi, proses, dan aktor. Precondition theory mencoba menguraikan secara spesifik kondisi sosial ekonomi yang menunjang demokratisasi. Menurut Seymour Lipset, prakondisi itu mencakup “favorable economic factors (e.g., per capita income, literacy rates) were the key preconditions for a successful transition. A variety of other preconditions were submitted 113 Ibid. 114 Ibid., hlm. 20. 115 Philippe C. Schmitter, "The Consolidation of Political Democracies," dalam Geoffrey Pridham (Editor), 1995, Transitions Democracy, Dartmouth: Dartmouth Publishing, committoto user hlm. 541. 34 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id by the field as broad preconditions: social values, political norms, culture, religion, race, geography, and bureaucracy.”116 Juan J. Linz dan Alfred C. Stepan menguraikan lagi keadaan yang lebih spesifik. Menurut keduanya, “that certain civil liberties and the rule of law must either pre-exist or co-develop with democracy. They argued that a transition’s success was more likely if the state had the capacity to govern (i.e., collect taxes, provide basic services, and maintain a monopoly on the use of force) and the institutionalization of a socially and politically regulated market.”117 Isu demokratisasi yang kedua adalah proses. Masalah ini mencakup pengertian yang lebih luas. “It includes a variety of processes that lead to democracy. Processes of interest include methods of autocratic demise, methods of transition, sequence of events, and paths to democracy.”118 Ada sedikit peberdaan mengenai penafsiran terhadap proses ini, di mana sebagian menganggap bahwa “the success of democratization is based upon the process of democratic institutionalization.”119 Isu demokratisasi yang ketiga adalah aktor. Eksplorasi literatur menunjukkan bahwa banyak diperbincangkan peran aktor dalam mempengaruhi proses demokratisasi. Sementara pendapat mengatakan, “In some cases, the demise of an authoritarian regime was caused by a 116 Larry Jay Diamond, Juan J. Linz, and Seymour Martin Lipset, 1988, Democracy in Developing Countries Boulder: L. Rienner, hlm. 6. 117 Juan J. Linz dan Alfred C. Stepan, 1996, Problems of Democratic Transition and Consolidation: Southern Europe, South America, and Post-Communist Europe, Baltimore: Johns Hopkins University Press, hlm. 29. 118 Terry Linn Karl and Philippe C. Schmitter, "Modes of Transition," dalam Geoffrey Pridham (Editor), 1995, Transitions to Democracy, Dartmouth: Dartmouth Publishing, hlm 164. Arend Lijphart, “Constitutional commit toDesign user for Divided Societies,” Journal of Democracy, Vol. 15, No. 2, 2004, hlm. 96. 119 35 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id split among the ruling elites.” Keterlibatan para aktor sangat bergantung “on structural and procedural issues.”120 Namun demikian, dalam analisis para pakar pada umumnya disepakati bahwa tidak ada faktor tunggal yang menentukan transisi demokrasi. Huntington misalnya, menguraikan masalah “a variety of democratization influences including historical democratic experience and values, culture, and economic equality.”121 Sementara itu, Diamonds menguraikan bahwa “a successful democratic transition is based on resources, legitimacy, and societal support.”122 Selanjutnya, Huntington juga menguraikan faktor-faktor yang menyumbang bagi kegagalan demokratisasi seperti “rapid reforms cause social and/or political polarization and violence causes the failure of the rule of law.”123 Sementara Linz and Stepan menyebut kegagalan demokratisasi karena “a prolonged bad economy will lead to regime demise regardless of its level of democracy.”124 Dalam perspektif yang lebih luas, Linz kemudian menyimpulkan bahwa kegagalan transisi demokrasi disumbangkan oleh faktor yang berhubungan dengan “breakdown is the result of processes initiated by the government’s incapacity to solve problems for which disloyal oppositions offer themselves a solution.”125 Pemerintah berkomitmen untuk menyelesaikan masalah, akan tetapi apabila mengalami kegagalan, pemerintah juga menolak untuk mengakuinya. Keadaan ini disebabkan 120 Lihat selengkapnya: Juan J. Linz and Alfred C. Stepan, Problems of Democratic Transition and Consolidation: Southern Europe, South America, and Post-Communist Europe, op.cit., hlm. 66-72. 121 Baca selengkapnya: Samuel P. Huntington, "Democracy's Third Wave," op.cit., hlm. 122 Lihat dalam Diamond, Linz, and Lipset, Democracy in Developing Countries, 137–148. op.cit., hlm. 6. 123 Ibid., hlm. 134-135. 124 Linz and Stepan, Problems of Democratic Transition and Consolidation: Southern Europe, South America, and Post-Communist Europe, op.cit., hlm. 80. 125 Lihat dalam: Ibid. commit to user 36 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id karena “the unsolvable problem to the loss of power, the power vacuum, and ultimately to the transfer of power…or civil war.”126 Bagi kalangan pemerhati hukum tata negara, keadaan masa transisi diharapkan menjadi kerangka bagi pengembangan keilmuan dengan mengadopsi isu “restoration constitutionalism”, yaitu suatu kondisi “a process under which, as part of the liberalising agenda, the transitional society is sought to be returned to the constitutional order that prevailed before the eclipse or collapse of democracy and/or the rule of law, rather than being faced with the prospect of fashioning a new constitutional order.”127 Salah satu usaha yang cukup populer sebagai bagian terbaru dari studi ini adalah kajian mengenai “transisional justice” yaitu suatu keadaan yang berusaha “to find ways and means of dealing with the maleficent legacies of a repressive society’s past as it grapples with the challenges of building a new liberal future.”128 Dari perspektif konstitusi, “The ever-present tension between constitutionalism and revolutionary change has occupied legal minds for centuries, and it has posed serious dilemmas for the architects of liberal regimes in societies emerging from authoritarianism or repressive government.”129 Hal ini karena kandungan pengertian konstitusionalisme memuat dasar-dasar tentang “institutional realization of liberalism, recognition of the sovereignty of the people, affirmation of the supremacy of the constitution, and a conception of equality before the law under which the rulers are subject to the same discipline and legal constraints as the ruled.”130 126 Ibid. 127 Venkat Iyer, op.cit., hlm. 40. 128 Ibid. 129 Hans Kelsen, The General Theory of Law and State, op.cit., hlm. 65. 130 Bo Li, What is Constitutionalism?, diunduh dari http://www.oycf.org/Perspectives/6_063000/what_is_constitutionalism.htm, diunduh di Surakarta, commit to user 27 April 2012. 37 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Namun demikian, situasi pada masa transisi dihadapkan pada konstitusi akan memberikan suatu warna tersendiri karena:131 Transitional constitutionalism not only is constituted by the prevailing political order but also is constitutive of political change. This is the constitutional document’s constructivist role. Traditional constitutions arise in a variety of processes, [often playing multiple roles: serving conventional constitution's purposes as well as] having other more radical purposes in transformative politics. Transitional constitution making is also responsive to prior rule, through principles that critically refine the prevailing political system, effecting further political change in the system. Transitional constitutions are simultaneously backward- and forward-looking, informed by a conception of constitutional justice that is distinctively transitional. Dari kutipan di atas, nampak bahwa penyusunan konstitusi merupakan penanda penting dalam transisi demokrasi132 dan dan sementara pakar menyebut pembentukan Konstitusi Jerman (1949) adalah penanda awal.133 Munculnya negara baru134 menyusul bubarnya Uni Soviet dan lepasnya militer dari sentralisasi politik yang melanda negara-negara di kawasan Asia, Afrika, dan Amerika Latin ditandai dengan pembentukan konstitusi baru. Sebagai akibatnya, “Lawyers, politicians, and political scientists have hailed the present moment as the new era of constitution-writing” seperti yang terjadi di negara- 131 Venkat Iyer, op.cit., hlm. 42. 132 Menurut Denny Indrayana, salah satu momentum untuk pembentukan konstitusi baru adalah “is possible only at certain extraordinary moments in a nation’s history.” Lihat: Denny Indrayana, 2008, Indonesian Constitutional Reform1999-2002: An Evaluation of Constitutional Making in Transition, Jakarta, Kompas Book Publishing, hlm. 29. 133 Lebih lengkap baca: K.V.Beyme, 2000, Parliamentary Democracy: Democratization, Destabilization, Reconsolidation, 1789-1999, London: Macmillan Press, hlm. 18-30. 134 Yaitu Hongaria, Bulgaria, Romania, Polandia, Republic Ceko, Slovakia, Latvia, Lithuania, Russia, Byelorussia, Slovenia, Kroasia, commit to Bosnia user dan Herzegovina, Macedonia, Serbia serta Montenegro . 38 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id negara Eropa Timur.135 Implikasi selanjutnya, di negara Eropa Timur dan Rusia secara antusias mulai tumbuh kajian-kajian ilmiah mengenai konstitusi136, baik yang membahas masalah pertumbuhan konstitusi di suatu negara137 maupun bentuk khusus dari aturan konstitusi baru, misalnya MK. Pembentukan konstitusi baru diharapkan akan menciptakan stabilitas pemerintahan, sehingga seperti dikatakan oleh Teitel, akan menciptakan “transitional constitutionalism” yang “refers to constitutional developments that occur immediately after a period of substantial political change.”138 Pada tahap ini, “Constitution-making must be recognized as a process or a forum for negotiation amid conflict and division.”139 Berbeda dengan pandangan studi hukum tata negara umumnya yang memandang konstitusi dalam suatu situasi politik yang stabil, dalam transisi demokrasi “constitutions as reflections of the balance of power at their time of drafting and thus does not consider them to have any particular role as agents of change or in transitions.”140 Dalam situasi transisi yang diwarnai dengan karakter “failure of state-building” seperti pada kasus Haiti, Liberia, Irak, dan Kosovo141 misalnya, pembentukan konstitusi baru merupakan 135 Dankwart Rustow “Democracy In The Late Twentieth Century: Historic Perspectives on a Global Revolution,” paper presented to CUNY Political Science Conference, March 9, 1990, hlm. 5. Misalnya: Christian Baulanger, “Constitutionalism in East Central Europe?”, East European Quartley, Vol. 33, 1999, hlm. 33-50. 136 Misalnya: Azhar Kusainova dan Gregory Gleason, “Constitutional Reform and Regional Politics in Kazastan”, Nationalities Papers, Vol. 26, 1998, hlm. 741-785. 137 Ruti Teitel, “Post-Communist Constitutionalism: A Transitional Perspective”, op.cit., hlm. 167-168. 138 139 Lihat: Vivien Hart, “Constitution-Making and the Transformation of Conflict”, Peace & Change, Vol. 26, 2001, hlm. 153-154. Lihat: Kirsti Samuels, “Post-Conflict Peace-Building and Constitution-Making”, Chicago Journal of International Law, Vol. 6, No. 2, 2006, hlm. 5. 140 141 Lihat dalam uraian laporan PBB pada United Nations, 2004, A More Secure World: Our Shared Responsibility, Report of the Secretary-General’s High-Level Panel on Threats, UN commit to user Doc A/59/565, hlm. 69 dan 263–264. 39 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id “the most critical problems involve a lack of knowledge of how to rebuild states.”142 Dengan demikian, konstitusi “is an opportunity to create a common vision of the future of a state and a road map on how to get there” dan “can be partly a peace agreement and partly a framework setting up the rules by which the new democracy will operate.”143 Secara ideal, konstitusi pada masa transisi “can drive the transformative process from conflict to peace, seek to transform the society from one that resorts to violence to one that resorts to political means to resolve conflict, and/or shape the governance framework that will regulate access to power and resources—all key reasons for conflict” dan juga merupakan “place mechanisms and institutions through which future conflict in the society can be managed without a return to violence.”144 Pembentukan konstitusi pada masa transisi demokrasi bertujuan “to provide a break with the old regime and act as the foundation of the new political order.”145 Namun demikian, seperti studi yang dilakukan oleh International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) terhadap 12 kasus pembentukan konstitusi di negara yang mengalami transisi menggambarkan “the complexity of these processes and the wide variety of factors that affect their outcome. Nonetheless, some interesting trends can be identified in the cases.”146 Dalam konteks ini, harus dipahami bahwa negoisasi baru terhadap sistem ketatanegaraan memang sering didorong oleh 142 Kirsti Samuels, op.cit., hlm. 2. 143 Ibid. 144 Ibid. Bruce Ackerman, “Constitutional Politics/Constitutional Law”, Yale Law Journal, Vol. 99, 1989, hlm.456. 145 A.A. Mohamoud, 2005, “The Role of Constitution-Building Processes in Democratization: Bahrain Case Study” IDEA, dapat diakses melalui commitInternational to user www.idea.int/conflict/cbp, diakses 26 April 2012. 146 40 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id kekuatan-kekuatan “bawah” namun “concrete steps toward democracy, such as scheduling elections and relinquishing control over the security apparatus, are often initiated by elites themselves.” 147 Tidak mengherankan apabila muncul sangkaan bahwa “a democratic transition is more likely if the elite manage to negotiate constitutional frameworks that continue to protect their interests after they exit”148 atau “if they can increase the odds that they continue to hold power under democracy by being elected to office.” 149 Bahkan dalam masa transisi demokrasi tersebut, “elites may circumvent democratic institutions to advance their own agenda or capture the policymaking process and block redistribution.”150 Dengan setting seperti itu, maka implikasi dari hasil constitutional making pada masa transisi demokrasi adalah “often followed by constitutional conflicts between state powers” dan “these conflicts can be defined as quarrels in which either two or more actors draw upon the same constitutional competence or one actor claims a competence that draws the disapproval of another.”151 Situasi demikian menuntut untuk “create judicial institutions, mechanisms and remedies for a complete rule of law constructed by democratic means.”152 Hal ini membuktikan bahwa dalam masa transisi demokrasi, “there is no group whose preferences and resources can predict outcomes with near certainty.”153 Lihat: Terry Karl, “Dilemmas of Democratization in Latin America”, Comparative Politics, Vol. 23, 2000, hlm. 21. 147 Roberto Perotti, “Growth, Income Distribution, and Democracy: What the Data Say”, Journal of Economic Growth , Vol. 1, 1996, hlm.149. 148 149 Ibid., hlm. 150. Daron Acemoglu dan James Robinson, “Persistence of Power, Elites, and Institutions”, American Economic Review, Vol. 98, 2008, hlm. 267. 150 151 A. Uzelac, op.cit., hlm. 206. 152 J.C. Calleros 2009, The Unfinished Transition to Democracy in Latin America, New York: Routledge, hlm. 180. to userin Comparative Politics, Journal World Adam Przeworski,” The commit role of Theory Politics, Vol. 48, 2006, hlm.17. 153 41 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Akan tetapi keberhasilan membuat konstitusi baru secara sempurna seringkali ditunjuk sebagai faktor yang mengantar negara dari transisi menuju demokrasi yang terkonsolidasi.154 Menurut Schmitter, “the transition phase is only ended when there is no threat to revert to status quo ante.”155 Sementara itu, menurut pemahaman Schedler, banyak pakar mempunyai perbedaan pendapat mengenai kapan berakhirnya suatu masa transisi156 dan dengan demikian, konsolidasi demokrasi mengandung 2 aspek penting. Pertama, “prevent movement away from democracy” yang sangat dipengaruhi oleh “the persistence or survival of democratic regimes or the erosion of democratic processes.”157 Menurut Lipset, demokrasi terkonsolidasi merupakan suatu fase untuk “normalized into democratic institutions such as political parties, respect for the rule of law, civil liberties, a culture of compromise, and civilian control of the military.”158 Kondisi ini berarti pemerintahan yang ada “has the support of the majority of the population and can withstand crisis.”159 Kedua, fokus kepada pergerakan proses menuju derajat demokrasi yang lebih tinggi. Inilah kondisi yang disebut oleh Stephens sebagai proses untuk melakukan “advanced democracy.”160 Seperti dikatakan oleh Linz, “the line is crossed once the elected government has taken office and the new constitution is complete.” Lihat: Juan J. Linz, "Transitions to Democracy," dalam Geoffrey Pridham (Editor), Transitions to Democracy, op.cit., , hlm. 121. 154 155 Schmitter, "The Consolidation of Political Democracies," hlm. 541. 156 Lihat selengkapnya dalam: Andreas Schedler, "What Is Democratic Consolidation?" Journal of Democracy , Vol. 9, No. 2, 1998. 157 Lihat kesimpulan dari Adam Przeworski, 2000, Democracy and Development: Political Institutions and Well- Being in the World, 1950–1990, Cambridge: Cambridge University Press. 158 Linz, "Transitions to Democracy," op.cit., hlm. 124–125. 159 Schmitter, “The Consolidation of Political Democracies,” op.cit., hlm. 551–553. John D. Stephens, "The Paradoxes of Contemporary Democracy: Formal, commit to user Participatory, and Social Dimensions," Comparative Politics, Vol. 29, No. 3, 2007, hlm. 323. 160 42 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Untuk memandu konsisten dan sistematisasi uraian, argumentasi, dan pentahapan penelitian, maka dibutuhkan kerangka pemikiran. Adapun kerangka pemikiran itu dapat disusun dalam ragaan sebagai berikut: Ragaan 2 Kerangka Pemikiran Instrumentalisme Hukum dalam Ruang Politik Demokrasi dan Kedaulatan Hukum Transformasi politik Respon-respon legal Kaitan antara hukum dengan transisi demokrasi Constitutional Review oleh Mahkamah Konstitusi Transisi Demokrasi Pengaturan Kekuasaan Legislatif Pembentukan Kebijakan Publik untuk pemenuhan hak politik dan penegakan hukum Pengaturan perekonomian dan pengelolaan sumber daya alam Penyelesaian Perselisihan Pemilu Kepala Daerah Berdasarkan ragaan di atas, maka kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut: Setelah Perubahan UUD 1945, sebagai penanda penting transisi demokrasi di Indonesia, dilembagakan MK sebagai pengadilan konstitusi dengan mandat antara lain melaksanakan wewenang CR. Dalam asumsi penulis, keberadaan MK menjadi penting sehubungan dengan mandat tersebut karena membuka arena politik dan hukum yang baru untuk mewujudkan citacita Rule of Law. Dalam konteks ini, MK merupakan instrumen hukum dan politik yang diharapkan mengawal transisi demokrasi commit to user konstitusi. wewenangnya yang mengendalikan supremasi melalui sifat 43 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Dalam ilmu politik, terdapat perbedaan substansial tentang arti istilah, tidak saja tentang “transisi”, namun juga batasan-batasan waktunya, “konsolidasi”, dan pada akhirnya juga, “demokrasi” sendiri. Dalam satu paradigma, “transisi” dibatasi oleh kriteria politik yang objektif, yang terutama bersifat prosedural. Jadi, untuk sementara waktu, kriteria untuk transisi menuju demokrasi difokuskan pada pemilihan umum dan prosedur lain yang terkait. Pengkajian dalam penelitian ini menunjukkan pergeseran dari definisi transisi semata-mata dalam prosedur demokratik, seperti proses pemilihan umum, ke arah penyelidikan yang lebih mendalam terhadap praktik-praktik lainnya yang menunjukkan penerimaan demokrasi dan kedaulatan hukum. Pada penelitian ini persoalan (i) Pengaturan kekuasaan legislatif; (ii) Pembentukan kebijakan publik untuk pemenuhan hak politik dan penegakan hukum; (iii) pengaturan perekonomian dan pengelolaan sumber daya alam; dan (iv) Penyelesaian perselisihan pemilu kepala daerah merupakan persoalan dalam masa transisi demokrasi. Pelaksanaan CR oleh MK dalam persoalanpersoalan tersebut merupakan instruemntalisme hukum untuk memberikan gambaran respon transisional suatu negara dijelaskan utamanya dengan batasan-batasan politik dan institusional yang relevan. Isu-isu yang ditelaah kemudian diusahakan untuk mengkonfirmasi kaitan antara hukum dan perkembangan demokrasi. B. Kajian Pustaka Dari penelusuran penulis, ada 12 disertasi sebagai penelitian yang relevan dengan isu hukum yang dikaji. Adapun ketujuh disertasi itu berikut ringkasan hasilnya, dapat dipaparkan dalam Tabel 2 di bawah ini. Tabel 2 Penelitian yang Relevan dengan Disertasi No. Sumber Judul Hasil 1. Moh. Mahfud Konfigurasi a. Perkembangan konfigurasi politik M.D. Politik dan dapat ditelaah sebagai berikutL (i) Produk Hukum setelah proklamasi 17 Agustus commit to user (Studi Pengaruh 1945, konfigurasi politik 44 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Politik terhadap Karakter Produk Hukum) (Disertasi UGM, Yogyakarta, 1993) 2. Satya Arinanto cenderung demokratis dan dapat diidentifikasi sebagai demokrasi liberal yang berlangsung sampai tahun 1959; *(ii) Konfigurasi politik 1945-1959 ditarik menjadi otoriter setelah Presiden Soekarno melemparkan konsepsinya tentang demokrasi terpimpin; dan (iii) konfigurasi politik pada masa Orde Baru bersifat otoritarian rezim dengan keberhasilan pembangunan ekonomi dan kompetisi kepartaian yang sangat terbatas. b. Karakter produk hukum dikaitkan dengan perkembangan konfigurasi politik adalah: (i) pada 1945-1959, hukum pemilu, pemda, dan pers bersifat demokratis; (ii) pada 1959-1966, hukum pemda dan pers bersifat konservatif; dan (iii) pada waktu berlangsungnya Orde Baru, karakter produk hukum pemilu, pemda, dan pers bersifat konservatif, dengan catatan berwatak responsif untuk isu-isu yang menyangkut pembangunan ekonomi. Hak Asasi a. Semenjak isu-isu tentang HAM Manusia dalam telah mengemuka dalam agenda Transisi Politik: internasional, perubahanUpaya Pencarian perubahan politik telah terjadi di Konsepsi berbagai negara yang selama ini Keadilan dikenal karena pola-pola Transisional di pelanggaran HAM beratnya. Indonesia dalam Kekuatan-kekuatan oposisi telah Era Reformasi berubah menjadi penguasa di (Disertasi UI, beberapa negara tersebut dan Jakarta, 2003) sebagian negara-negara lainnya, walaupun tidak sepenuhnya terputuskan dengan rezim sebelumnya yang lalim, namun telah menjauhkan dirinya dari mereka dan dari warisan pelanggaran-pelanggaran HAM commit to user yang dilakukan olehrezim-rezim perpustakaan.uns.ac.id 3. 45 digilib.uns.ac.id sebelumnya b. Proses transisi politik di Indonesia belum mencapai konsolidasi demokrasi karena tidak terpenuhi persyaratan-persyaratan, antara lain tidak dilakukannya tuntutan penyelesaian pelanggaran HAM warisan masa lalu dengan berpedoman kepada prinsipprinsip ideologi supremasi hukum. c. Dari berbagai pola penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat dalam era reformasi, tampak bahwa walaupun telah ada upayaupaya untuk mencari dan merumuskan suatu konsepsi keadilan transisional, namun dalam implementasinya masih sangat lemah. Pedro C. The Limits to a. The emergence of constitutional Magalhães Judicalization: courts in parliamentary Legislative Politic democracies as a response to the and need to find institutional bodies Constitutional able to arbitrate disputes about Review in the what the constitutional text Iberian means, resolving ambiguities and Democracies filling gaps in that incomplete (Thesis for contract. However, this view also Doctor of suggests that, as soon as those Philosophy in the institutional bodies are in place, a Graduate School dynamic of ever-increasing of The Ohio State judicialization of politics typicaly University, 2003) unfold; b. This study of the origin of these judicial institutions was important also for reasons other than demonstrating the complementarity of different approaches to institutional design. First, because it allowed us to see how such design was an eminently political process, where issues such as different modalities of judicial review, access to courts, and appointment commit to user and retention of justices were perpustakaan.uns.ac.id 4. 5. 46 digilib.uns.ac.id debated by political actors who displayed a remarkable level of awareness and sophistication about the distributional consequences of different choices for majority-opposition relations and policy outcomes. Second, because it allowed us to sketch hypotheses about which institutional design contexts are more likely to engender higher levels of judicialization of politics in the future. Zainal Arifin Pengujian a. Pembatasan obyek pengujian Hoesein Peraturan peraturan perundang-undangan Perundanghanya pada peraturan perundangundangan undangan di bawah undangMenurut undang, dikarenakan secara Konstitusi yuridis formal, UUD 1945 Indonesia: Studi (sebelum diubah) tidak mengenal tentang dan tidak mengatur tentang Perkembangan pengujian peraturan perundangPengaturan dan undangan dan sistem kekuasaan Pelaksanannya yang dianut adalah distribusi oleh Mahkamah kekuasaan yang mengarah pada Agung Republik “supremasi parlemen.” Indonesia Kurun b. Dalam kurun waktu 1970-1999 di Waktu 1970-2003 bawah UUD 1945, pengujian (Disertasi UI, peraturan perundang0undangan Jakarta, 2006) diatur dalam berbagai bentuk peraturan perundang0undangan dan pada waktu 2000-2003, pengujian peraturan perundangundangan diatur melalui Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 dan Perubahan UUD 1945 Pasal 24 ayat (2), 24A ayat (1), dan 24C ayat (1). c. Lembaga yang diberi wewenang oleh UUD 1945 untuk melakukan pengujian peraturan perundangundangan pada 1970-2003 telah mengalami pasang surut sesuai dengan tafsir MPR. Valina Menyusun a. Perubahan UUD 1945 commit to user Singka Konstitusi dimungkinkan karena Indonesia 47 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Subekti 6. Denny Indrayana Transisi: Pergulatan Kepentingan dan Pemikiran dalam Proses Perubahan UUD 1945 (Disertasi FISIP UI, Jakarta, 2006) berada dalam setting politik transisi demokrasi. Pada Perubahan UUD 1945 telah dilakukan pengaturan kembali distribution of power dalam rangka menegakkan kedaulatan rakyat dan agar kekuasaan negara dapat dibagi secara seimbang diantara cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif sehingga dapat memunculkan check and balances. b. Proses Perubahan UUD 1945 telah memunculkan dinamika dan interaksi politik diantara kesebelas fraksi dalam pembahasan 5 isu utama yaitu (i) dasar negara dan agama; (ii) DPR; (iii) DPD; (iv) MPR; serta (v) isu pemilihan presiden langsung. c. Perdebatan 5 masalah Perubahan UUD 1945 dipengaruhi oleh faktor identitas politik dan interest partai yang secara berkelindan mempengaruhi pandangan dan sikap-sikap fraksi selama proses perubahan UUD 1945. Indonesian a. The four constitutional Constitutional amendments that were passed Reform: An from 1999-2002 were reforms Evaluation of carried out in the troubled Constitutional transition from Soeharto’s Making in authoritarian regime. As with Transition (Ph.D other transitional constitutional Thesis, Faculty of processes in other countries, the Law, Melbaourne turbulent political climate colored University (2006) the amendment process in Indonesia. At the same time, the transition was a golden opportunity for Indonesia to demystify the symbolic text of the 1945 Constitution. The First commit to user Amendment in 1999 the initial perpustakaan.uns.ac.id 7. Roman Ivanchenko 48 digilib.uns.ac.id success which ‘opened up’ the authoritarian document and made possible for further amendments. b. One reason that the new Constitution is better is because the euphoric transitional period from Soeharto provided a setting that encouraged open constitutional debates in the MPR and allowed public participation in these debates, despite serious flaws in the MPR’s system for public engagement. Wide media overage and active advocacy by non-governmental organizations became a sort of public control system which prevented the amendment outcome from being overly politicized by the politicians in the MPR. c. Fom Indonesia’s experience, beside observing the general characteristics of constitutionmaking process in transition, scholars should note how the symbolic value of the 1945 Constitution strongly overshadowed the way the constitutional reform took place. Despite a process that was different to democratic processes in other countries, Indonesia’s slow, patchy and tentative process managed to lead the country to a more democratic Constitution and contribute significantly to Indonesia’s transition from overt authoritarianism. The Interactions a. Having the power to make law, between Congress Congress has to anticipate whether and Supreme the Court would invalidate a Court (Thesis for prospective statute. If necessary, Doctor of Congress will temper the Philosophy in the ideological content of its Graduate School legislation, or it will attempt to commit to user of The Ohio State increase the suitability of the 49 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id University, 2007) 8. Kaitlyn Louise Sill statute. The Supreme Court can accept trade-offs of increased suitability for lower ideological benefits. b. The suitability component of a federal statute also influences the probability of judicial invalidation and whether the Court grants a writ of certiorari. Ignoring this possibility is likely to lead to incorrect inferences. Additionally, one of the results suggests that when Congress makes law, its efforts to ensure the suitability of federal statutes are affected by Supreme Court preferences. Institutional a. Both measures of judicial Design and the independence are significantly Economy: and positively associated with Disentangling the economic growth, even Effects of the controlling for judicial review. Judicial When controlling for the effects Independence and of judicial independence, judicial Judicial Review review is negatively and on Economic significantly associated with Development economic growth, indicating that (Ph.D. Thesis, increased judicial review power The Departemen results in a decline in the of Political economic growth rate. Though Science, these findings do not support my Louisiana State hypothesis, they provide University, 2008) important insight into the relationship between the judiciary and economic growth and the nature of judicial review in general. Specifically, this study shows that the judiciary is not always beneficial and that too much power in the judiciary may have negative consequences for growth. b. In the state-directed economies, judicial review may be harmful because it decreases government autonomy and prevent actors commit to user from implementing necessary perpustakaan.uns.ac.id 9. Imam Soebechi 50 digilib.uns.ac.id policy. In a successful developmental state, the government‘s interests are deeply embedded in those of society and it has the autonomy to direct economic policy, so that its policy benefits the collective economic good rather than is used for rent-seeking. Because of this, government directed economic policy serves to coordinate and facilitate investment and technological advancement which pushes economic growth. Implementasi a. Pengujian Perda dilakukan Teori Norma melalui executive review dan Hukum judicial review sebagai upaya Berjenjang dalam mewujudkan keselarasan Uji Materiil peraturan perundang-undangan Perda Pajak dan dan menerapkan ajaran norma Retribusi Daerah hukum berjenjang, akan tetapi di Mahkamah executive review telah Agung (Disertasi menimbulkan praktik FH Unpad, pengawasan yang berlebihan dan Bandung, 2011) kedua mekanisme itu memungkinkan terjadinya pertentangan antara perda dengan peraturan perundang-undangan di tingkat pusat. b. Judicial Review tentang pajak daerah dan retribusi daerah di MA dapat dimohonkan baik oleh kepala daerah maupun warga masyarakat tetapi belum sepenuhnya memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mempertahankan kepentingannya dan hal tersebut perlu diatur kembalid alam peraturan perundang-undangan. c. Penerapan teori norma hukum berjenjang dalam judicial review terhadap Perda Pajak dan retribusi daerah dapat commit to user mewujudkan keteraturan hierarki perpustakaan.uns.ac.id 10. Muchamad Ali Safa’at 11. Katherine Vigilante 51 digilib.uns.ac.id perundang-undangan di Indonesia serta meminimalisir konflik kepentingan dalam antara Pusat dan Daerah serta mendorong otonomi daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pembubaran a. Pengaturan pembubaran partai Partai Politik: politik di Indonesia mengalami Pengaturan dan perubahan dari satu kurun waktu Praktik ke kurun waktu yang lain sesuai Pembubaran dengan kondisi politik dan Partai Politik demokrasi berkembang. dalam Pergulatan b. Dari berbagai bentuk Republik pembubaran, baik dari sisi (Disertasi FH peraturan maupun praktiknya Unibraw, 2009) terdapat model pembubaran yang harus dihindari pada masa yang akan datang karena berpeluang melanggar prinsip kebebasan berserikat dan dilakukan tanpa proses peradilan. c. Di masa mendatang sebaiknya, hanya terdapat 2 alasan pembubaran partai politik, yaitu pembubaran karena pelanggaran tertentu yang dilakukan oleh partai politik berdasarkan putusan pengadilan, dan karena partai politik tidak lagi memenuhi syarat sebagai badan hukum dan tidak lagi dapat menjalankan roda organisasi yang juga melalui proses peradilan. Deconstructing a. While several state legislatures, and Constructing governors, and/or citizenry have Activism: A New acted on the issue, only 4 Measure Applied supreme courts in Connecticut, to the Fifty State Iowa, Massachusetts, and New Supreme Courts Jersey have legalized gay (Ph.D. Thesis marriage in their states. The Political Studies, actions of these courts can surely the Faculty of the be considered activist; they have Graduate School inserted themselves directly into of Emory a highly charged and contentious commit to user University, 2010) policy. Only the New Jersey perpustakaan.uns.ac.id 52 digilib.uns.ac.id Supreme Court ranks highly on general independence while the other 3 rank toward the bottom; all of these courts, except Iowa, however, rank highly on this measure of specific independence. b. General activism by courts should not be excluded from any approach claimed to be comprehensive. Whether courts in general do not avoid conflict with their legislature and/or follow their policy preferences should be considered as part of anoverall view of activism. Moreover, the correlates of activism vary in their relationship depending on whether general or specific activism is being treated as the dependent variable. Improving both types of measures should have even greater implications with respect to institutional design and maintenance. c. Whether courts are successful in having their decisions carried out is certainly important but is not directly related to whether they engaged in public policy in the first place. Implementation is certainly an important aspect of policymaking, but including it as a necessary condition of activism may be too hard a requirement for any institution to pass. By focusing exclusively on independence, the suggestions I make to refine my approach could be adopted more easily. At a later date, impact could be assessed at least in terms of specific activism to further enhance our understanding of commit to usercourts as policy players in their 53 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id political environment. Perbedaan substansi disertasi ini dengan karya tulis di atas dapat diuraikan sebagai berikut. Karya tulis Moh. Mahfud M.D. membuktikan hipotesis bahwa konfigurasi politik akan mempengaruhi produk hukum. Berdasarkan asumsi, konsep, dan indikator tertentu temuan dan kesimpulan karya tulis tersebut, membuktikan bahwa karena hukum merupakan produk politik, maka karakter produk hukum berubah jika konfigurasi politik yang melahirkannya berubah. Dibandingkan dengan karya tulis tersebut, maka penelitian ini menyetujui hipotesis Moh. Mahfud M.D. bahwa hukum mempunyai interelasi dengan politik, akan tetapi apabila karya tersebut berpijak pada hukum dalam arti peraturan perundang-undangan, maka penelitian ini berpijak kepada hukum dalam arti putusan pengadilan, dalam hal ini MK, dalam kerangka pelaksanaan CR. Faktor konfigurasi politik dalam karya tulis Moh. Mahfud M.D. merupakan penggalan karakter politik sepanjang 1945-1990, sementara faktor politik dalam penelitian ini merupakan karakter dalam masa transisi demokrasi, yang dimulai sejak tahun 1998 sampai 2008. Dibandingkan dengan karya tulis Satya Arinanto, kesamaan dengan penelitian ini adalah sudut pandang interelasi isu dikaitkan dengan masa transisi di Indonesia. Hanya saja, ada perbedaan konsep mengenai transisi tersebut, di mana Satya Arinanto menggunakan istilah “transisi politik” untuk melukiskan kondisi politik 1998-2003, penelitian ini menggunakan istilah “transisi demokrasi” dengan indikator dan konsep yang tidak sama dengan karya tulis tersebut. Di samping itu, apabila Satya Arinanto menguraikan persepsi penegakan HAM dalam masa transisi, penelitian ini menguraikan pelaksanaan wewenang MK dalam CR dan pengaruhnya terhadap masa transisi demokrasi, yang menggunakan rentang waktu 2003-2008. Disertasi Pedro C. Magalhães merupakan karya ilmiah dalam bidang ilmu politik. Pada karya tulis itu dipaparkan bahwa keberadaan MK (constitutional court) dengan mengambil kasus di Spanyol dan Portugal pada commit to user perpustakaan.uns.ac.id 54 digilib.uns.ac.id mulanya sama dengan tuntutan keberadaan pengadilan konstitusi pada umumnya yaitu untuk menjadi pihak ketiga (arbiter) yang netral dalam rangka menentukan penafsiran konstitusi. Namun demikian, desain institusional dari MK ditentukan oleh aktor-aktor politik khususnya menyangkut 3 isu yaitu modalities of judicial review, access to courts, dan appointment and retention of justices. Dibandingkan karya tulis tersebut, disertasi ini mempunyai kesamaan pandangan bahwa MK merupakan pengadilan politik namun mempunyai perbedaan mengenai pendekatan dan problem analisis yang beranjak dari transisi demokrasi, bukan dalam konteks relasinya dengan aktoraktor politik yang lain. Tulisan Zainal Arifin Hoesein berbicara aspek normatif dan pelembagaan pengujian peraturan perundang-undangan oleh MA. Sementara itu, penelitian ini berbicara pelaksanaan wewenang MK dalam CR. Berbeda dengan tulisan Hoesein yang menekankan pada aspek historis dan normatif terhadap isu yang dibahas, maka dalam penelitian ini menggunakan asumsi adanya interelasi antara hukum dan politik, khususnya tercermin dalam putusan MK dalam rangka CR. Dengan demikian, di samping perbedaan mengenai obyek yang dikaji dan pendekatan yang digunakan, penelitian ini dibandingkan dengan tulisan Hoesein menggunakan perspektif yang berbeda dengan kajian tersebut. Kesamaan obyek kajian penelitian dibandingkan dengan karya tulis Valina Singka Soebekti adalah pada perspektif transisional yang digunakan untuk mengkaji isu yang diteliti. Hanya saja jika dicermati secara keseluruhan, rentang dan karakter transisional dalam karya Valina Singka Soebekti itu menunjuk kepada rentang 1999-2004, terutama pertumbuhan gagasan dan eksplorasi ide-ide politik yang berpengaruh terhadap norma-norma yang menjadi bagian dari Perubahan UUD 1945. Sementara itu, dalam penelitian ini perspektif transisi demokrasi dirumuskan untuk kurun waktu 2003-2009, yang penulis anggap sebagai fase awal pelaksanaan kinerja MK dalam wewenang CR. Berbeda dengan karya sebelumnya yang didedikasikan untuk penelitian commit to user perpustakaan.uns.ac.id 55 digilib.uns.ac.id politik, penelitian ini, walaupun menerima asumsi interelasi hukum dan politik, akan tetapi ranahnya adalah penelitian hukum. Hampir serupa dengan karya Valina Singka Subekti, tulisan Denny Indrayana memotret masa transisi dikaitkan dengan isu constitutional making. Keseluruhan pembahasan serupa dengan yang diteliti oleh Valina Singka Subekti, hanya indikator dan asumsi yang digunakan tidak sama. Pada dasarnya disertasi Denny Indrayana—yang menggunakan studi perbandingan dengan Thailand, Filipina, dan Afrika Selatan--menghasilkan konkluasi bahwa meskipun prosesnya amburadul, akan tetapi substansi yang dihasilkan sebagai kaidah Perubahan UUD 1945 berwatak demokratis. Rentang waktu yang diteliti oleh Denny Indrayana adalah 1998-2002, akan tetapi tidak memotret kinerja normatif dari perubahan konstitusi tersebut. Penelitian ini menyetujui asumsi Denny Indrayana bahwa salah satu ciri masa transisi demokrasi adalah constitutional making process, akan tetapi tidak membahas proses penyusunan UUD tersebut. Masa transisi dalam penelitian justru diasumsikan sebagai fase awal pelaksanaan kinerja MK dalam CR dengan fokus pada putusan-putusan pengadilan dalam isu terkait. Kemudian, penelitian ini juga memandang bahwa tahapan transisi demokrasi adalah pemilu, yang dalam praktik adalah pemilu legislatif, pemilu presiden, dan pemilu kepala daerah, walaupun fokus analisis adalah pada perselisihan yang muncul dari implementasi demokrasi tersebut. Disertasi Roman Ivanchenko, yang merupakan disertasi dalam kajian ilmu politik, memotret persoalan yang amat menarik yaitu hubungan antara Congress dengan MA. Dikatakan bahwa sebagai pemegang kekuasaan membentuk UU, Congress amat memperhitungkan potensi atau kemungkinan suatu UU Federal yang disahkan dibatalkan oleh MA. Untuk itu, Congress berusaha untuk menyusun UU dengan memperhatikan ideologi-ideologi politik yang sesuai dengan ideologi yang dianut oleh para hakim. Konsistensi semacam ini amat penting mengingat kedudukan UU Federal dalam perselisihan konstitusional di MA. Selain disiplin ilmu dan obyek kajian yang berbeda, disertasi Roman Ivanchenko di atas memberikan konstribusi penting commit to insipirasi user bagi penelitian ini untuk memberikan bahwa CR oleh MK tidak perpustakaan.uns.ac.id 56 digilib.uns.ac.id berada dalam ruang kosong, dengan dalih posisi pengadilan itu sendiri, namun harus dikonfirmasi sehubungan dengan relasi politik pada setiap tahap pembentukan UU. Dalam sudut pandang yang lebih luas menyangkut relasi pengadilan dan ekonomi, disertasi Kaitlyn Louise Sill dengan cerdas berusaha meyakinkan bahwa judicial review amat berpengaruh terhadap economic growth di suatu negara. Dengan mengambil survey di 117 negara, disertasi tersebut memberikan bukti hipotesis bahwa judicial review amat terkait dengan independence judiciary, suatu komitmen yang diperlukan untuk membangun ekonomi liberal. Akan tetapi suatu negara yang menganut judicial review— dengan konsekuensi dapat “membatalkan” produk UU—cenderung mempunyai pertumbuhan ekonomi yang rendah. Sebaliknya, jika mekanisme itu tidak ada, maka justru mengalami pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Secara ringkas, disertasi tersebut memberikan sumbangan inspirasi yang penting bahwa judicial review, yang juga dalam rumpun CR, tidak berada dalam ruang tanpa kendali berhadapan dengan faktor nonlegal. Oleh karena itu, penulis mencoba merumuskan keberadaan CR dengan relasinya terhadap transisi demokrasi di Indonesia. Tulisan Imam Soebechi hampir serupa dengan Zainal Arifin Hoesein, akan tetapi mempunyai perbedaan mengenai obyek yang dibahas. Karya Soebechi menguraikan dan menggambarkan pelaksanaan fungsi wewenang pengujian oleh MA akan tetapi sebatas dalam aturan-aturan pajak daerah dan retribusi daerah. Ada kesamaan dengan penelitian ini yaitu eksplorasi putusan pengadilan terkait isu yang dibahas, hanya saja penelitian ini mengkaji putusan MK dan dalam bingkai yang tidak legal an sich, akan tetapi mengkaitkannya menurut asumsi adanya interelasi antara politik dan hukum, dalam hal ini putusan MK. Karya tulis Muchammad Ali Safa’at mempunyai kesamaan dengan penelitian ini dalam hal obyek yang dikaji adalah pelaksanaan wewenang MK. Hanya saja, penelitian Safa’at bersifat futuritif karena pada kenyataannya commit to user wewenang MK dalam pembubaran partai politik belum pernah dilaksanakan. 57 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Sementara, penelitian ini berbicara mengenai kinerja MK dalam CR. Berbeda dengan tulisan Safa’at yang bersifat yuridis normatif, penelitian ini menggunakan perspektif transisi demokrasi untuk mempertegas adanya interelasi antara hukum dan politik. Oleh sebab itu, tulisan Safa’at, di luar uraian perbandingan pembubaran partai politik di Jerman dan Turki, tidak berbicara mengenai putusan pengadilan, sebaliknya penelitian ini berbicara mengenai putusan MK dalam rangka pelaksanaan CR. Disertasi yang ditulis oleh Katherine Vigilante dengan jelis memotret kinerja 50 MA di semua negara bagian Amerika. Setiap MA ternyata mempunyai semangat judicial activism yang berbeda-beda. Dengan menggunakan kasus pemenuhan hak-hak gay, MA di Connecticut, Iowa, Massachusetts,dan New Jersey dikenal sebagai pengadilan yang mempunyai aktivisme yang tinggi dan mempengaruhi kebijakan pemerintah. Tulisan Vigilante itu memberikan sumbangan yang sangat berharga karena memberikan data perbandingan hukum mengenai isu yang dikaji dalam disertasi ini yaitu CR. Walaupun ada perbedaan obyek kajian, yaitu pada MA negara bagian dan disertasi ini pada MK, serta substansi karya ilmiah yang didedikasikan untuk disertasi ilmu politik, sementara menggunakan pemahaman interelasi antara hukum dan politik. commit to user penelitian ini perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB III METODE PENELITIAN Metode penelitian akan sangat mempengaruhi perolehan bahan hukum dalam penelitian yang bersangkutan untuk selanjutnya dapat diolah dan dikembangkan secara optimal sesuai dengan metode ilmiah demi tercapainya tujuan penelitian yang dirumuskan. Menurut Peter Mahmud Marzuki, penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.161 Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyeleaikan masalah yang dihadapi. Adapun metode yang digunakan dalam disertasi ini dapat dijelaskan sebagai berikut: A. Jenis Penelitian Jenis penelitian dalam penulisan ini adalah penelitian hukum doktrinal (doctrinal research). Penelitian doktrinal merupakan “conceived in the legal research domain, is research ‘about’ what the prevailing state of legal doctrine, legal rule, or legal principle is.”162 Oleh sebab itu, pengertian penelitian hukum doktrinal adalah “as research into legal doctrines through analysis of statutory provisions and cases by the application of power of reasoning. It gives emphasis on analysis of legal rules, principles or doctrines.”163 Sehubungan dengan hal ini, “Doctrinal legal research endeavors to develop theories” sehingga bersifat sebagai “research in law” yang berhubungan dengan “systematic exposition, analysis and critical evaluation of legal rules, doctrines or concepts, their conceptual bases, and inter-relation” dan menjangkau “to the Constitution (where legal system have 161 Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Jakarta, Prenada Media, hlm. 35. 162 Khushal Vibhute dan Filipos Aynalem, “Legal Research Methods: Teaching Materials”, paper for the Justice and Legal System Research Institute, 2008, hlm. 78. 163 Ibid., hlm. 70. commit to user 58 59 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id one), to legislation (statutes, statutory instruments) and to the leading judicial decisions (the precedents).”164 Penelitian dalam doctrinal legal research akan mengkaji “around legal propositions and judicial pronouncements on the legal propositions of the appellate courts, and other conventional legal materials, such as parliamentary debates, revealing the legislative intent, policy and history of the rule or doctrine.”165 Dengan demikian sasaran dari penelitian hukum doktrinal adalah “(i) aims to study case law and statutory law, with a view to find law, (ii) aims at consistency and certainty of law, (iii) (to some extent) looks into the purpose and policy of law that exists, and (iv) aims to study legal institutions.”166 Sehubungan dengan jenis penelitian tersebut, maka mandat penulisan ini adalah melakukan eksposisi sistematis, analisis dan evaluasi kritis terhadap: (i) interelasi kinerja pengadilan konstitusi dalam kerangka transisi demokrasi melalui pemahaman (begrip) intrumentalisme hukum dalam ruang politik; dan (ii) model CR oleh MK di Indonesia agar dapat menunjang atau berperan sebagai instrumen transisi demokrasi. Oleh sebab itu, diharapkan disertasi ini akan menghasilkan tujuan riset berupa: (i) “a view to find law” terkait dengan eksplorasi terhadap putusan-putusan MK; (ii) “looks into the purpose and policy of law” sehubungan dengan pelembagaan CR dalam mekanisme pengadilan konstitusi dan konsistensinya dalam transisi demokrasi; serta (iii) “to study legal institutions”, yang menyangkut lukisan peran pengadilan konstitusi sebagai instrumentalisme hukum untuk mencapai sasaran-sasaran yang diinginkan dalam transisi demokrasi. B. Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu penelitian yang berupaya memberikan gambaran secara lengkap dan jelas mengenai objek penelitian, dapat berupa manusia atau gejala dan fenomena sosial tertentu. Penelitian 164 Ibid., hlm. 71. 165 Ibid., hlm. 73. 166 Ibid., hlm. 74. commit to user 60 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id deskriptif adalah penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan bahan yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya. Maksudnya adalah terutama untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu di dalam memperkuat teori-teori lama, atau di dalam kerangka menyusun teori-teori baru. Sifat penelitian deskriptif dalam penulisan ini adalah “attempts to test the logical coherence, consistency and technical soundness of a legal proposition or doctrine.”167 Koherensi, konsistensi, dan proposisi yang diuji itu adalah transisi demokrasi, instrumentalisme hukum melalui pengadilan, dan pelembagaan CR. Dengan demikian melalui deskripsi tersebut, mandat dari penelitian ini adalah untuk menunjukkan ”‘inbuilt’, ‘loopholes’, ‘gaps’, ‘ambiguities’ or ‘inconsistencies’ in the substantive law inquired into as well as in some of principles or doctrines embodied therein”168 sehubungan dengan transisi demokrasi, instrumentalisme hukum melalui pengadilan, dan pelembagaan CR. C. Pendekatan Penelitian Pendekatan penelitian yang digunakan penulis adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep (conceptual approach), pendekatan kasus (case study approach), dan pendekatan perbandingan (comparative approach). Penggunaan keempat pendekatan tersebut adalah untuk saling melengkapi antara satu pendekatan dengan pendekatan yang lain. Hal ini relevan dengan pernyataan Enid Campbhell bahwa satu pendekatan saja tidaklah memadai untuk menganalisis banyak kasus.169 (a) Pendekatan Perundang-undangan (statute approach) Pendekatan perundangan-undangan (statute approach) akan mencakup 2 hal yaitu metode pembentukan hukum dan metode penafsiran 167 Ibid., hlm. 81. 168 Kenneth Culp Davis, “Behavioral Science and Administrative Law”, Journal of Education Law, Vol. 17, 2005, hlm. 151-152. 169 commit to user Enid Campbell, et.all. , 1996, Legal Research, Sydney, The Law Book Company, hlm. 274. 61 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id hukum. Jan Gijssels dan Marck van Hoeve mengemukakan tentang metodesleer van het recht atau ajaran-ajaran tentang metode hukum, yang termasuk dalam kawasan teori hukum dan pada dasarnya dibedakan antara metode-metode pembentukan hukum (metodes van de rechtsvorming) dan metode-metode penerapan hukum (metodes van de rechtstoepassing).170 Dalam pengertian pertama dikemukan seperti teknik perundang-undangan (wetgevingstechniek), sedangkan yang kedua menyangkut metode-metode penafsiran undang-undang. Dari metode penafsiran perundang-undangan diharapkan nantinya memperoleh gambaran konsep hukum mengenai prinsipprinsip dan aturan hukum yang berhubungan dengan CR di Indonesia. Penggunaan pendekatan perundang-undangan (statute approach) merupakan condition sine quanon bagi disertasi ini karena merupakan penelitian doktrinal. Menurut Peter Mahmud Marzuki, pendekatan ini untuk mencari ratio legis dan dasar ontologis lahirnya perundang-undangan.171 Dengan mempelajari ratio legis dan dasar ontologis suatu undang-undang, maka akan mampu menangkap kandungan filosofis yang ada di belakang undang-undang itu. Dengan demikian, akan dapat menyimpulkan mengenai ada tidaknya benturan filosofis antara undang-undang dengan isi yang dihadapi.172 Adapun langkah yang dilakukan dengan pendekatan ini adalah: (i) mengadakan inventarisasi mengenai perundang-undangan yang berkaitan dengan CR di Indonesia; (ii) melakukan kategorisasi terhadap perundangundangan tersebut; dan (iii) melakukan analsis terhadap perundang-undangan. Dengan melakukan analisis, akan diperoleh hasil berupa penemuan prinsipprinsip dan aturan hukum CR dan diketahui konsistensi dan harmonisasi antara perundang-undangan tersebut. 170 Lihat dalam M. Hadi Subhan, 2008, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, Jakarta, Penerbit Kencana, hlm. 20. 171 Peter Mahmud Marzuki, op.cit., hlm. 93. 172 Ibid., hlm. 94. commit to user 62 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id (b) Pendekatan Konsep (Conceptual Approach) Pendekatan konsep (conceptual approach) adalah pendekatan yang melibatkan integrasi mental atas dua unit atau lebih yang diisolasikan menurut ciri khas dan yang disatukan dengan definisi yang khas. Kegiatan pengisolasian yang terlibat adalah merupakan proses abstraksi, yaitu fokus mental selektif yang menghilangkan atau memisahkan aspek realitas tertentu dari yang lain. Sedangkan penyatuan yang terlibat bukan semata-mata penjumlahan, melainkan integrasi, yaitu pemaduan unit menjadi sesuatu yang tunggal, entitas mental baru yang dipakai sebagai unit tunggal pemikiran (namun dapat dipecahkan menjadi unit komponen manakala diperlukan).173 Pendekatan konsep dalam disertasi ini terutama untuk merumuskan kerangka akademik mengenai format transisi demokrasi dengan kualifikasi konfigurasi politik yang dihasilkan dan bagaimanakah pengaruh konfigurasi politik tersebut terhadap kinerja pengadilan, khususnya yang menyangkut isu CR. (c) Pendekatan Kasus (Case Study Approach) Pendekatan kasus (case study approach) merupakan “a method of research where facts and grounds of each legal issue are dealt with by taking individual case.”174 Menurut P.V. Young, “case study is a method of exploring and analyzing of life of a social unit such as a person, a family, an institution, a cultural group or even entire community.”175 Goode dan Hatt mengatakan bahwa “case study is a way of organizing social data so as to preserve the utility character of the social object being studied.”176 Jadi, dapat disimpulkan bahwa “the case study is a method of legal research to explore and analyze the fact and data of a social unit and to organize social data for prescription 173 Johnny Ibrahim, 2005, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif. Malang: Banyumedia, hlm. 253 Narendra Man Shrestha, “Importance of Case Study Method in Legal Research”, A Research Paper Presented at Kathmandu School of Law, Juni 2003, hlm. 14. 174 175 Lihat dalam George J. Mouly, Publishing House (Pvt.) Ltd, India, hlm. 157. 176 Ibid. 2004, The Science of Educational Research, Eurasia commit to user perpustakaan.uns.ac.id 63 digilib.uns.ac.id of useful character and society.”177 Dalam konteks penelitian, pendekatan kasus (case study approach) mempunyai banyak manfaat, antara lain “very useful in sampling as it efficiently and orderly classifies the units selected for research based on data and information so collected.”178 Relevansi dengan disertasi ini, maka pendekatan kasus ditunjukkan dengan menganilisis salah satu unit dengan karakter khusus yaitu MK di Indonesia dengan wewenang CR-nya. Dengan demikian, hal ini mengkonfirmasi masalah utama yang akan diteliti ke dalam suatu subyek khusus yaitu instrumenalisme hukum melalui pengadilan. Pada ranah akademik, instrumentalisme hukum diteliti dengan asumsi bahwa hukum merupakan “a tool for sustaining or changing aspects of social life.”179 Kebanyakan riset mengenai isu ini “the belief that legal doctrine, until now an endogenous (or dependent) variable can be transformed magically into an exogenous (or independent) variable.”180 Dalam kancah ketatanegaraan, dasar itu diimplementasikan terhadap konstitusi yang “understanding apprehends constitutions as symbolic, cultural, discursively embedded, and operative in multiple sites. It may reject a strict division between legislation and interpretation, emphasizing constitutional culture as formal and informal interactions between citizens and officials.”181 Karena itu tidak semata-mata konstitusi “understanding regards them as utilitarian, rule-based, and represented satisfactorily by their texts. It takes their principle site of operation to be the constitutional or 177 Narendra Man Shrestha, op.cit., hlm. 18. 178 Ibid., hlm. 19. 179 Austin Sarat, “Pain, Powerlessness, and the Promises of Interdisciplinary Legal Scholarship: An Idiosyncratic:Autobiographical Account of Conflict and Continuity”, Windsor Y.B. Access to Justice, Vol. 18, 2000, hlm. 196. 180 Roderick A. Macdonald, Still “Law” and Still “Learning?”, Canada Journal of Law & Society, Vol. 18, 2003, hlm. 11. Reva B. Siegel, “Constitutional Culture, Social Movement Conflict and Constitutional commit to user Change: The Case of the De Facto ERA”, California Law Review, Vol. 94, 2006, hlm. 1324. 181 64 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id highest court.” 182 Jadi, “view of constitutions may regard them not only as mediating between cultures, but as constituting one (or more).”183 (d) Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach) Pendekatan lain penulis gunakan adalah pendekatan perbandingan (comperative approach). Menurut hemat penulis CR oleh MK merupakan salah satu bentuk dari isu hukum yang berkaitan dengan “globalization of the practice of modern constitutionalism”184, “rise of world constitutionalism”185, “judicial globalization”186, dan “the cosmopolitan character of modern constitutionalism”187, sebagai bagian dari “a transnational project of constitutional scholarly discourse.”188 Oleh sebab itu, “The mainstream comparatists’ orientation and method, including what they code, explicitly and implicitly, as relevant to constitutions’ operation, have strategic and political consequences.”189 Dengan demikian, penulis menganggap tepat apabila menggunakan pendekatan perbandingan. Dalam hal ini, pendekatan perbandingan yang digunakan dalam disertasi ini hanya meliputi pendekatan perbandingan secara minimal (minor comparative approach). Pendekatan perbandingan dalam disertasi ini digunakan untuk memperoleh informasi mengenai: (i) format transisi demkrasi; (ii) organisasi dan regulasi pengadilan konstitusi; dan (iii) deskripsi kinerja pengadilan Benjamin L. Berger, “White Fire: Structural Indeterminacy, Constitutional Design, and the Constitution Behind the Text”, Journal of Compulsory Law, Vol. 3, 2008, hlm. 249. 182 Robert C. Post, “Foreword: Fashioning the Legal Constitution: Culture, Courts, and Law”, Harvard Law Review, Vol. 117, hlm. 1245. 183 Sujit Choudhry,” Globalization in Search of Justification: Toward a Theory of Comparative Constitutional Interpretation”, Indiana Law Journal, Vol. 74, 1999, hlm. 821. 184 Bruce Ackerman, “The Rise of World Constitutionalism”, Virginia Law Review, Vol. 83, 185 2007, hlm. 772. Anne-Marie Slaughter, “Judicial Globalization”, Virginia Journal of International Law, Vol. 40, 2000, hlm. 1103. 186 Robert Leckey, “Thick Instrumentalism and Comparative Constitutionalism: The Case of Gay Rights”, Columbia Human Rights Law Review, Vol. 40, 2009, hlm. 427. 187 188 Ibid. 189 Ibid., hlm. 428. commit to user 65 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id konstitusi dalam transisi demokrasi. Kegunaan pendekatan ini adalah untuk memperoleh persamaan dan perbedaan di antara ketiga hal yang dikaji tersebut.190 Adapun disertasi ini direncakan akan membandingkan, pertama, format dan transisi demokrasi di negara-negara Eropa Selatan, Eropa Timur pasca bubarnya Uni Soviet, Asia, Afrika, dan Amerika Latin dengan ketentuan bahwa pilihan kepada negara akan ditentukan menurut subyektifitas peneliti sendiri demi efektifitas penelitian dengan pertimbangan ketersediaan literatur dan akses data serta proporsionalitas berupa relevansi dengan kondisi di Indonesia. Kedua, organisasi dan regulasi pengadilan konstitusi, terutama dalam tingkat konstitusi, baik yang melekat pada MA (the Supreme Court) yaitu Amerika Serikat, Jepang, Kanada, Australia, India, dan Israel maupun dengan kelembagaan tersendiri seperti MK atau istilah lain pada negara Spanyol, Portugal, Eropa Timur pasca bubarnya Uni Soviet, Asia, Afrika, dan Amerika Latin serta negara yang tidak mengadopsi CR yaitu Inggris. Ketiga, deskripsi kinerja pengadilan konstitusi dalam transisi demokrasi, terutama dengan negara-negara yang mempunyai kelembagaan MK atau istilah lain secara khusus yaitu negara Spanyol, Portugal, Eropa Timur pasca bubarnya Uni Soviet, Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Deskripsi tidaklah membahas rincian dan jenis putusan, akan tetapi difokuskan kepada upaya penemuan konsepsi mengenai kinerja pengadilan dalam lingkungan konfigurasi tertentu. Dengan demikian, kerangka instrumentalisme hukum dalam disertasi ini akan memperoleh bahan perbandingan dan dapat menjadi kerangka acuan untuk mengkaji isu serupa sehubungan dengan MK di Indonesia. D. Sumber Informasi Penelitian Dalam pandangan Peter Mahmud Marzuki, mengatakan bahwa pada dasarnya penelitian hukum tidak mengenal adanya data, sehingga yang digunakan sebagai sumber informasi adalah bahan hukum.191 Dalam hal ini adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. 190 Bandingkan, Peter Mahmud Marzuki, op.cit., hlm. 95. 191 Ibid. commit to user 66 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id a. Bahan hukum primer Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi, atau risalah dalam pembuatan peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.192 Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu : 1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman ; 3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi; 4) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor: 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang; 5) Putusan Mahkamah Konstitusi menyangkut perkara pengujian UU yang direncanakan meliputi putusan yang mengandung substansi transisi demokrasi, yaitu: (a) Putusan pengujian UU yang berimplikasi kepada bidang politik, perekonomian, korupsi, dan HAM; (b) Putusan pengujian UU yang berimplikasi kepada prinsip dan ketentuan-ketentuan check and balances system; (c) Putusan pengujian UU yang mencerminkan MK sebagai positive legislator dan pengendali “government action”; (d) Putusan pengujian UU yang bersifat menafsirkan kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip hukum acara pengujian UU, yaitu: (i) penafsiran mengenai legal standing; (ii) penafsiran mengenai syarat pengujian berupa kerugian konstitusional; dan (iii) penafsiran mengenai obyek dan daya jangkau pengujian. (e) Putusan pengujian UU yang terkait dengan sistem pemilu dan sistem kepartaian; dan 192 Ibid., hlm. 141. commit to user 67 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id (f) Putusan perselisihan hasil pemilukada yang ditetapkan pada 20082010. b. Bahan hukum sekunder Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi.193 Bahan hukum sekunder sebagai pendukung dari data yang akan digunakan di dalam penelitian ini yaitu buku-buku teks yang ditulis para ahli hukum, jurnal hukum, artikel internet, dan sumber lainnya yang memiliki korelasi untuk mendukung penelitian ini. E. Teknik Pengumpulan Sumber Informasi Penelitian Teknik pengumpulan bahan hukum dimaksudkan untuk memperoleh bahan hukum dalam penelitian. Teknik pengumpulan bahan hukum yang mendukung dan berkaitan dengan pemaparan penulisan hukum ini adalah studi dokumen. Studi dokumen adalah suatu alat pengumpulan bahan hukum yang dilakukan melalui bahan hukum tertulis dengan menggunakan content analysis.194 Studi dokumen ini berguna untuk mendapatkan landasan teori dengan mengkaji dan mempelajari buku-buku, literatur, artikel, majalah dan koran, karangan ilmiah, makalah dan sebagainya yang berkaitan erat dengan pokok permasalah dalam penelitian yang terkait dengan isu hukum yang dikaji. F. Teknik Analisis Sumber Informasi Penelitian Penelitian ini berusaha untuk mengerti atau memahami gejala yang diteliti untuk kemudian mendeskripsikan bahan-bahan yang diperoleh selama penelitian, yaitu apa yang tertera dalam bahan hukum yang relevan dan menjadi acuan dalam penelitian hukum kepustakaan. Mengkualitatifkan bahan adalah fokus utama dari penelitian hukum ini. Dengan demikian penulis 193 Ibid. 194 Ibid., hlm. 21. commit to user perpustakaan.uns.ac.id 68 digilib.uns.ac.id berharap untuk dapat memberikan gambaran utuh dan menyeluruh bagi fenomena yang diteliti. Metode penalaran yang dipilih oleh penulis adalah metode penalaran (logika) induktif sekaligus deduktif. Penalaran induksi digunakan untuk mengkaji obyek penelitian tersebut di atas sebagai premis minor yang dihubungkan dengan konsep normatif CR pada umumnya sebagai premis mayor yang akan menghasilkan kesimpulan prinsip-prinsip dan aturan-aturan hukum CR di Indonesia. Penalaran induksi lazim digunakan dalam kajian dengan pendekatan kasus (case study approach), sedangkan penalaran deduksi yang didasarkan pada aspek normatif dan evaluatif ini sebagai premis mayor. Alasan bahwa disertasi ini juga menggunakan penalaran deduksi adalah bahwa asas yang diperoleh secara induksi selanjutnya dapat digunakan untuk mengembangkan pemikiran deduksi untuk menghasilkan kesimpulan yang dapat dipakai untuk proses induksi selanjutnya. Menurut Arief Sidharta, dalam menyelesaikan masalah hukum, penalaran hukum melibatkan baik induksi jika penalarannya berdasarkan kasus-kasus terdahulu yang sudah diputus, maupun deduksi, jika penalarannya bertolak dari aturan hukum yang berlaku umum.195 195 167. Arief Sidharta, 1999, Refleksicommit tentang Struktur Hukum, Bandung, Penerbit Mandar Maju, hlm. to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB IV PERTUMBUHAN CONSTITUTIONAL REVIEW DAN BENTUK-BENTUK INSTRUMENTALISME HUKUM YANG MEMPENGARUHI FUNGSI PENGADILAN A. Constitutional Review: Penerimaan, Penolakan, dan Pertumbuhan Gagasan Seperti diuraiakan dalam Bab I subbab Latar Belakang Masalah, sendi-sendi dasar CR dianggap berasal dari inovasi hukum tata negara Amerika yang kemudian menjadi norma konstitusi yang demokratis. Pada sisi lain, sebelum Perang Dunia II, hanya sejumlah kecil konstitusi suatu negara yang memuat mekansime CR, namun sekarang sebanyak 158 dari 191 konstitusi yang secara tegas mengaturnya. Dari jumlah itu, sebanyak 79 konstitusi mendesain CR oleh badan pengadilan khusus dan sejumlah lainnnya melekatkan CR pada badan pengadilan umum atau MA. Hanya sebagian kecil konstitusi seperti China, Vietnam, dan Burma, menentukan wewenang itu pada Parlemen.196 Beberapa negara seperti Amerika mengembangkan mekanisme CR itu tanpa ketentuan mandat yang tegas dalam konstitusi. Perluasan penerimaan CR dapat menyangkut gagasan maupun kelembagaannya. Keberadaan CR sering diasosiakan dengan pikiran populer mengenai HAM di abad ke-20.197 Namun ilmuwan politik melihatnya sebagai salah satu mekanisme untuk menyelesaikan sengketa (dispute resolution).198 Pada rubrik ini menyajikan penerimaan CR dan mengkaji kembali bermacammacam penjelasan politik mengenai pembentukan, pertumbuhan, dan perluasan kelembagaan dengan tekanan pada gagasan dan kelembagaannya. Dari segi gagasan, penerimaan CR dapat dikaji dalam 4 gelombang. Masing-masing gagasan dalam tiap gelombang itu dapat dilihat dalam uraian sebagai berikut. Tom Ginsburg, “The Global Spread of Constitutional Review”, dalam Keith E. Whittington, et.al., 2008, Law and Politics, Oxford, Oxford University Press, hlm. 81. 196 197 Ibid., hlm. 82. 198 Ibid. commit to user 69 70 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id 1. Gelombang Pertama: Perkara Marbury sebagai Dasar (1803-1920) Pertumbuhan CR dalam fase waktu ini biasanya dikaitkan dengan pelembagaan Judicial Review pada perkembangan hukum yang terjadi di Amerika Serikat yang pada tahun 1803, disentakkan oleh putusan yang sangat controversial dan mengandung perdebatan luas diantara politisi dan pakar hukum, yaitu putusan Mahkamah Agung atas perkara Marbury V.S. Madison. Adapun kasus posisi atas perkara tersebut adalah sebagai berikut. Dalam pemilu tahun 1800 untuk masa jabatan keduanya, Presiden John Adams—sebagai incumbent--dikalahkan oleh Thomas Jefferson dari Partai Democratic-Republic (yang dewasa ini dikenal sebagai Partai Demokrat). Setelah kalah, dalam masa peralihan untuk serah terima jabatan dengan Presiden terpilih Thomas Jefferson, John Adams membuat keputusan-keputusan, yang menurut menurut para pengkritiknya dimaksudkan untuk “menyelematkan sahabat-sahabatnya sendiri supaya mendapatkan kedudukan-kedudukan yang penting.”199 Termasuk, Menteri Luar Negeri John Marshall yang diangkat sebagai Ketua MA (Chief Justice). Bahkan sampai detik-detik menjelang pukul 00.00 tanggal 3 Maret 1801, masa peralihan pemerintahan ke presiden baru, Presiden John Adams, dengan dibantu John Marshall yang tetap merangkap sebagai Menteri Luar Negeri, masih terus menyiapkan dan menandatangani suratsurat pengangkatan pejabat, termasuk beberapa orang diantara diangkat menjadi duta besar dan hakim. Diantara pejabat tersebut adalah William Marbury, Dennis Ramsay, Robert Townsend Hooe, dan William Harper, yang diangkat menjadi hakim perdamaian (justices of peace).200 Sayangnya, salinan surat pengangkatan mereka tidak sempat lagi diserahterimakan sebagaimana mestinya. Pada keesokan harinya, tanggal 4 Maret 1801, surat-surat tersebut masih berada di kantor kepresidenan. 199 Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional, op.cit., hlm. 17. 200 Ibid., hlm. 18. commit to user 71 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Karena itu, ketika Thomas Jefferson sebagai Presiden baru mulai bekerja pada hari pertama, surat-surat itu ditahan oleh James Madison yang diangkat sebagai Menteri Luar Negeri menggantikan John Adams. Atas dasar penahanan surat itulah maka William Marbury dan kawan-kawan melalui kuasa hukum mereka, Charles Lee (mantan Jaksa Agung Federal), mengajukan tuntutan langsung ke MA yang dipimpin oleh John Marshall agar sesuai kewenangannya memerintahkan Pemerintah melaksanakan “writ of mandamus’ dalam rangka penyerahkan surat-surat pengangkatan tersebut. Karena pengangkatan mereka menjadi hakim telah mendapat persetujuan Kongres sebagaiamana mestinya dan pengangkatan itu telah pula dituangkan dalam Keputusan Presiden yang telah ditandatangani dan dicap resmi (sealed). Dalam dalil gugatannya, Charles Lee menguraikan bahwa berdasarkan Judiciary Act Tahun 1789, MA bewenang memeriksa dan memutus perkata yang mereka ajukan serta mengeluarkan “writ of mandamus” yang mereka tuntut. Namun Pemerintahan Jefferson tetap menolak, bahkan menolak pula memberikan keterangan yang diminta oleh MA agar pemerintah menunjukkan bukti-bukti mengapa menurut Pemerintah “writ of mandamus” seperti yang didalihkan penggugat tidak dapat dikeluarkan. Malah sebaliknya, Kongres yang dikuasai oleh kaum Republik yang berpihak kepada Presiden Thomas Jefferson mengesahkan UU yang menunda persidangan MA salama lebih dari 1 tahun. Pada persidangan yang dibuka pada Februari 1803, Marbury Vs. Madison ini kembali menjadi pusat perhatian. Dalam putusan yang ditulis sendiri oleh John Marshall jelas sekali bahwa MA membenarkan bahwa pemerintahan John Adams telah melakukan semua persyaratan yang ditentutukan oleh hukum sehingga Marbury dan kawan-kawan dianggap memang berhak atas surat-surat pengangkatan mereka itu menurut hukum. Namun MA sendiri dalam putusannya menyatakan tidak berwenang memerintahkan kepada aparat untuk menyerahkan surat-surat dimaksud. commitbahwa to userpermohonan mengenai “writ of Selanjutnya, MA menyatakan perpustakaan.uns.ac.id 72 digilib.uns.ac.id mandamus” sebagaimana ditentukan oleh Section 13 dari Judiciary Act Tahun 1789 tidak dapat dibenarkan karena bertentangan dengan Article III Section 2 Konstitusi Amerika. Oleh karena itu, dalil yang diajukan oleh MA untuk memeriksa perkara tersebut bukan bersumber dari Judiciary Act Tahun 1789, akan tetapi dari kewenangan untuk menafsirkan konstitusi.201 Dalam putusan tersebut, meskipun MA dalam pertimbangannya menyatakan hak Marbury dan kawan-kawan adalah sah menurut hukum, tetapi gugatan Marbury dan kawan-kawan ditolak karena MA menyatakan tidak berwenang mengeluarkan “writ of mandamus” seperti yang diminta. Namun demikian, yang lebih penting lagi putusan itu membatalkan UU yang mengatur mengenai “writ of mandamus” itu sendiri yang dinilai oleh MA bertentangan dengan ketentuan Article III Section 2 Konstitusi Amerika. Dalam putusan itu, titik pemahaman penting adalah argumen bahwa MA merupakan pengawal konstitusi (the Guardian of the Constitution of the United States of America) yang bertanggung jawab menjamin agar norma dasar yang terkandung di dalamnya sungguhsungguh ditaati dan dilaksanakan.202 Dengan sendirinya, menurut John Marshall segala UU buatan Kongres apabila bertentangan dengan dengan konstitusi sebagai “the supreme law of the land” harus dinyatakan “null and void.” Kewenangan inilah yang kemudian dikenal sebagai Judicial Review sebagai sesuatu yang sama sebali baru dalam perkembangan hukum di Amerika Serikat sendiri maupun di dunia. Perlu dicatat bahwa kewenangan membatalkan undang-undang itu sama sekali tidak pernah dicantumkan dalam konstitusi203, karena itu merupakan sesuatu yang sama seali baru bahkan dalam sejarah hukum di dunia, karena yang telah 201 Ibid., hlm. 20. 202 Ibid., hlm. 19-20. Dikatakan oleh seorang penulis, “the text of the American Constitution is silent on the issue and it was not until the 1803 in Marbury Madison.” Lihat: Louis Henkin, 1990, The commit tov.user Age of Rights, New York: Columbia University Press, hlm. Xviii dan 65. 203 73 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id berkembang sebelumnya adalah kewenangan untuk menilai204, dan tidak sampai membatalkan seperti dalam perkara Marbury V.s. Madison itu.205 Oleh sebab itu, menurut penulis, dengan keaktifan hakim agung di bawah pimpinan John Marshall, maka lahirlah putusan yang melampaui preseden dan konstitusi, untuk menegakkan paham supremasi konstitusi itu sendiri.206 Dengan substansi demikian maka Judicial Review dalam putusan John Marshall tersebut berada dalam kategori Judicial Activism seperti sudah dipaparkan di bagian terdahulu dari bab ini.207 Pada awal revolusi sendiri, MA Amerika Serikat tidak menerima perkara yang substansinya adalah Judicial Review, guna memeriksa suatu UU yang bertentangan dengan konstitusi.208 Dalam riset yang dilakukan oleh William Casto, sampai saat itu MA percaya bahwa tidak ada UU yang dibatalkan, sepanjang tidak pernah ada perselisihan pelaksanaan konstitusi.209 David Currie, yang melakukan riset terhadap kinerja MA selama 100 tahun sejak 1801, mencatat bahwa sebelum putusan Marbury 204 Di Amerika Serikat sendiri, hanya ditemukan 5 (lima) perkara pada awal pelaksanaan konstitusi, termasuk perkara Marbury, yang mana putusannya menolak pemberlakuan Undang-Undang karena bertentangan dengan konstitusi. Lihat dalam Larry D. Kramer, “The Supreme Court 2000 Term: Foreword: We the Court”, Harvard Law Review, 2001, Vol 115, No. 4. 205 Saikrishna B. Prakash & John C. Yoo, “The Origins of Judicial Review”, University of Chicago Law Review, Vol. 70, 2003, hlm. 913. 206 Dapat dikatakan bahwa konstitusi telah ditafsirkan sedemikian rupa dengan keaktifan hakim, yang menyebabkan timbulnya norma baru yang jauh dari kehendak para pembentuk Undang-Undang Dasar itu sendiri. Baca: Davison Douglas, “The Rhetorical Uses of Marbury v. Madison: The Emergence of a Great Case”, 2003, Vol. 38, Wake Forest Law Review, No. 375, hlm. 386. 207 Seorang pakar menulis, bahwa formulasi pemahaman yang harus disusun adalah adanya momentum dalam perkara Marbury dan judicial review merupakan doktrin baru akibat putusan itu. Ditulis bahwa “[I]f any legal doctrine can be said to have been created in a moment, judicial review is that doctrine and Marbury is the moment.” Selengkapnya lihat: Suzanna Sherry, “The Founders’ Unwritten Constitution”, University of Chicago Law Review, 1987, Vol. 54, hlm. 1127. 208 Gordon Wood, “The Origins of Judicial Review Revisited, or How the Marshall Court Made More out of Less”, Washington & Lee Law Review, 1999, Vo. 56, hlm. 787 dan 809. 209 Ibid., hlm. 799. commit to user 74 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id itu tidak ada perkara yang meragukan untuk diputus menurut ketentuan dalam konstitusi.210 Jika dicermati sesungguhnya dalam putusan Marbury “did not found judicial review because the practice was well established before the case was decided”211, dan juga karena para pendiri negara beranggapan bahwa “that the Court would exercise this power.”212 Dengan demikian, seorang penulis mengatakan bahwa “Marbury did not become a famous case, moreover, until the latter part of the nineteenth century when the Supreme Court first began to flex its power of judicial review.”213 Bahkan “The Supreme Court did not seriously take up the invitation to enforce individual rights until after World War II.”214 Lagipula, seperti disampaikan oleh Philip Hamburger, “There is no evidence that seventeenth- and eighteenth-century judges described their constitutional decisions as judicial review.”215 Setelah memperhatikan paparan tersebut, kiranya rasional apa yang dikemukakan oleh Philip Hamburger, bahwa dalam Judicial Review tersebut “judges have a distinct power to review statutes and other government acts for their constitutionality.”216 Konteks dari Judicial Review tersebut adalah “a judge has an office or duty, in all decisions, to exercise judgment in accordwith the law of the land”.217 Dengan pengertian, Philip Hamburger menyebutkan Judicial Review merupakan bentuk lain dari Judicial Duty. 210 Ibid., hlm. 789. 211 Mary Sarah Bilder, “The Corporate Origins of Judicial Review”, Yale Law Journal, Vol. 116, 2006, hlm. 504. 212 Jack N. Rakove, The Origins of Judicial Review: A Plea for New Contexts, Standford Law Review, 1997, Vol. 49, hlm. 1031-1047. Davison M. Douglas, “The Rhetorical Uses of Marbury v. Madison: the Emergence of a ‘Great Case’, Wake Forest Law Review, 2003, Vol. 38, hlm. 375. 213 214 Ibid., hlm. 377. 215 Philip Hamburger, 2008, Law and Judicial Duty, Masschucet, Standford University Press, hlm. 188-189. Philip Hamburger, “A Tale of Two Paradigm: Judicial Review and Judicial Duty”, Stanford Law Review, 2010, Vol. 78, No, 6, hlm. 1162. 216 217 Ibid. commit to user 75 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Sekalipun secara konvensional diperlihatkan dalam putusan John Marshall yang amat terkenal dalam perkara Marbury Vs. Madison (1803), praktis judicial review telah dikenal dengan baik pada masa kolonial Amerika.218 Penyokong mekanisme ini adalah 3 gagasan besar yang muncul saat revolusi awal yaitu konsep hukum tertinggi (the higher law), kontrak sosial, dan supremasi konstitusi. Konsep hukum tertinggi—yang diwariskan dari tradisi Nasrani, mengisnyaratkan bahwa apabila di dalam suatu sistem hukum terbagi atas hukum tertinggi dan hukum dengan tingkatan lebih rendah, ada kebutuhan untuk membatasi bahwa hukum yang lebih rendah tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum yang tertinggi. Teori kontrak sosial—versi John Locke—memberikan pemahaman bahwa kewajiban pemerintah adalah untuk menyelenggarakan hak-hak dasar individu. Jika pemerintah abai terhadap komitmen tersebut, maka individu berhak untuk menuntut penegakan kontrak tadi. Untuk mempertegas tuntutan tersebut, maka kontrak sosial tadi—sebagai inovasi ketatanegaraan Amerika—diwujudkan dalam dokumen konstitusi.219 Hanya saja penerimaan konstitusi sebagai hukum yang tertinggi, tidak diikuti dengan ketentuan mengenai desain institusional sebagai mekanisme untuk mempertahankan supremasi tersebut. Para hakim sendiri tunduk kepada tradisi Anglo-American yang menjunjung tinggi legalitas hukum, sebagai warisan tradisi otonomi hukum Inggris. Menurut Ginsburg, “autonomy is not itself supremacy.”220 Bahkan, pendapat hakim Coke dalam perkara Bonham (1609-1610) yang memanggil hakim untuk meninggal kaidah hukum yang bertentangan dengan tradisi common law dan nalar tidak mendapatkan tanggapan selama kejayaan kedaulatan Parlemen pada abad ke-17 di Inggris. Pendapat Coke tersebut bersandar kepada argumentasi para pengacara muda di Amerika yang tidak Diskusi yang menarik soal ini, periksa: W.M. Treanor, “Judicial Review Before Marbury”, Stanford Law Review, Vol. 58, 2005, hlm. 455-462. 218 219 Tom Ginsburg, “The Global Spread of Constitutional Review”, op.cit., hlm. 82. 220 Ibid. commit to user 76 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id menyukai prinsip supremasi parlemen di Inggris. Tradisi yang mengakar mengenai otonomi hukum dan hukum alam mendorong sistem common law sebagai sumber bagi para hakim untuk menciptakan mekanisme adjudikasi sebagai pengawal hukum dalam kemerdekaan Amerika. Oleh sebab itu, judicial review pada hekakatnya merupakan ekspressi alamiah dari sistem Anglo-American dalam era positivisasi legislasi; sesuatu yang tidak dikenal dalam tradisi hukum Islam, China, atau Romawi.221 Seperti ditulis Saphiro, “The Islamic tradition had a strong emphasis on religiously-rooted natural law contrainst on temporal rulers, but lacked a general theory of legislation.”222 Sementara itu, tradisi China “had a theory of legislation but no notion of institutional constraint on the Emperor, who stood at the center of the cosmological system.”223 Pada awal revolusi sendiri, Mahkamah Agung Amerika Serikat tidak menerima perkara yang substansinya adalah Judicial Review, guna memeriksa suatu Undang-Undang yang bertentangan dengan konstitusi.224 Dalam riset yang dilakukan oleh William Casto, sampai saat itu Mahkamah Agung percaya bahwa tidak ada UU yang dibatalkan, sepanjang tidak pernah ada perselisihan pelaksanaan konstitusi.225 David Currie, yang melakukan riset terhadap kinerja Mahkamah Agung selama 100 tahun sejak 1801, mencatat bahwa sebelum putusan Marbury itu tidak ada perkara yang meragukan untuk diputus menurut ketentuan dalam konstitusi.226 Jika dicermati sesungguhnya dalam putusan Marbury “did not found judicial review because the practice was well established before the 221 Ibid., hlm. 83. 222 M. Saphiro, “The Globalization of Judicial Review”, dalam H. Scheiber dan L. Friedman (Editors), 1996, Legal Culture and the Legal Profession, Boulder Colo, Westview, hlm. 105. 223 Ibid. Gordon Wood, “The Origins of Judicial Review Revisited, or How the Marshall Court Made More out of Less”, Washington & Lee Law Review, 1999, Vol. 56, hlm. 787 dan 809. 224 225 Ibid., hlm. 799. 226 Ibid., hlm. 789. commit to user 77 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id case was decided”227, dan juga karena para pendiri negara beranggapan bahwa “that the Court would exercise this power.”228 Dengan demikian, seorang penulis mengatakan bahwa “Marbury did not become a famous case, moreover, until the latter part of the nineteenth century when the Supreme Court first began to flex its power of judicial review.”229 Bahkan “The Supreme Court did not seriously take up the invitation to enforce individual rights until after World War II.”230 Lagipula, seperti disampaikan oleh Philip Hamburger, “There is no evidence that seventeenth- and eighteenth-century judges described their constitutional decisions as judicial review.”231 Setelah memperhatikan paparan tersebut, kiranya rasional apa yang dikemukakan oleh Philip Hamburger, bahwa dalam Judicial Review tersebut “judges have a distinct power to review statutes and other government acts for their constitutionality.”232 Konteks dari Judicial Review tersebut adalah “a judge has an office or duty, in all decisions, to exercise judgment in accordwith the law of the land”.233 Dengan pengertian, Philip Hamburger menyebutkan Judicial Review merupakan bentuk lain dari Judicial Duty. Menurut Philip Hamburger, memahami Judicial Review tanpa mengkaitkannya dengan duty of judge, maka [I]t is difficult to find constitutional authority for constitutional decisions, and it therefore seems that early American judges in the 1780s, and especially after 1789, must have created their own most Mary Sarah Bilder, “The Corporate Origins of Judicial Review”, Yale Law Journal, 2006, Vol. 116. No. 502, hlm. 504. 227 Jack N. Rakove, “The Origins of Judicial Review: A Plea for New Contexts”, Standford Law Review, 1997, Vol. 49, hlm. 1031-1047. 228 229 Davison M. Douglas, op.cit., Vol. 38, hlm. 375. 230 Ibid., hlm. 377. 231 Philip Hamburger, 2008, Law and Judicial Duty, Masschucet, Standford University Press, hlm. 188-189. 232 Philip Hamburger, “A Tale of Two Paradigm: Judicial Review and Judicial Duty”, Stanford Law Review, 2010, Vol. 78, No, 6, hlm. 1162. 233 Ibid. commit to user 78 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id significant power—as if they lifted themselves up by their bootstraps to achieve a power their constitutions apparently did not give them. The judicial review paradigm thereby implies that constitutional decisions have only a rather contingent authority and that the judges have a remarkable degree of power, including a discretionary power of their own rule.”234 Namun, apabila memahami Judicial Review atas dasar kewajiban para hakim, maka di dalam praktik “judges have no distinct power over the constitutionality of government acts, but rather must make decisions on such matters because it is part of their office or duty.”235 Oleh sebab itu, menurut penulis, Judicial Review dalam tradisi di Amerika Serikat merupakan bagian dari Judicial Duty dan tidak merupakan paradigm peradilan tersendiri. Menjadikan Judicial Review sebagai paradigm akan menyebabkan kesulitan dan keragu-raguan mengenai dasar legitimasinya karena tidak ada kualifikasi dalam konstitusi.236 Sejauh ini menurut Suzanna Sherry, telah berkembang luas mengenai gagasan Judicial Review.237 Dalam tulisan yang sama, Sherry menegaskan bahwa hakekat Judicial Review adalah “that statutes would be judged for their consistency with fundamental principles of natural law, as well as for their consistency with the written constitution.”238 Substansi pendapat yang sama dianut oleh Randy Barnet239, Helen K. Michael240, 234 Ibid. 235 Ibid. 236 Lihat juga komentar senada: William W. Van Alstyne, “A Critical Guide to Marbury v. Madison”, Dule Law Journal, 1989, Vol. 22, No. 1. 237 Suzanna Sherry, op.cit., hlm. 1127. 238 Ibid. 239 Randy Barnett, “Reconceiving the Ninth Amendment”, Cornell Law Review, 1988, Vol. 74. Helen K. Michael, “The Role of Natural Law in Early American Constitutionalism”, commit to user North Carolina Law Review , 1991, Vol. 69, , hlm. 421. 240 perpustakaan.uns.ac.id 79 digilib.uns.ac.id dan Althur Wilmarth, Jr.241 Hampir setengah abad kemudian, putusan serupa tidak pernah lagi terjadi, sampai dengan Putusan Dred Scott selama terjadinya perang sipil.242 Praktik Mahkamah Agung Amerika Serikat dewasa ini juga telah menghasilkan pemahaman yang lebih luas lagi sehubungan dengan pengertian dan ruang lingkup Judicial Review. Mahkamah Agung membatalkan Undang-Undang yang disusun oleh Konggres dengan alasan bertentangan dengan prinsip-prinsip federalisme.243 Namum demikian, perkembangan praktik itu tetap bertumpu pada satu pemahaman, bahwa sejak semula hakekat Judicial Review adalah “Judicial supremacy in constitutional interpretation.”244 Dalam bahasa lain, Kramer mengatakan bahwa hakekat awal Judicial Review adalah “a power to be employed cautiously, only where the unconstitutionality of a law was clear beyond doubt.”245 Hal ini, lanjut Kramer, bahwa para pendiri negara “expected constitutional limits to be enforced through politics and by the people rather than in the courts”, yang berarti juga ““judges did not confine themselves strictly to text” dan “drew on well-established principles of the customary constitution.”246 Dengan demikian, dikembangkan justifikasi Judicial Review dengan dalil “a theory of interpretation.”247 Gagasan “judicial review” menjadi isu sangat strategis dalam 2 (dua) hal yaitu “why do social movements contest constitutional meaning Arthur Wilmarth, Jr., “Elusive Foundation: John Marshall, James Wilson, and the Problem of Reconciling Popular Sovereignty and Natural Law Jurisprudence in the New Federal Republic”, George Wahington University Law Reviwe, 2003, Vol. 72, No. 113. 241 Lino A. Graglia, “Constitutional Law without the Constitution: The Supreme Court’s Remaking of America” dalam Robert H. Bork, ed., 2005, A Country I Do Not Recognize: The Legal Assault on American Values , Stanford: Hoover Institution Press, hlm. 8. 242 243 William Michael Treanor, “Judicial Review Before Marbury”, Stanford Law Review, Mei 2005, hlm. 11. 244 Ibid., hlm. 12. 245 Larry D. Kramer, op.cit., hlm. 161-162. 246 Ibid., hlm. 99. Rudolf B. Schlesinger et al, 1998, Comparative Law: Cases-Text-Materials, 6th ed. commit to user (New York: Foundation Press, hlm. 283. 247 80 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id by fighting over judicial appointments in the United States, and why does such a strategy make little sense in democracies that constitutionalized rights in the late twentieth century?”248 Secara politik pula, pelembagaan CR di Amerika Serikat “has been both a model and an anti-model in the worldwide spread.”249 Bagi yang setuju dengan gagasan CR—dan karena itu harus disebarkan ke seluruh dunia—dilandaskan kepada asumsi bahwa “law is separate from politics and that courts have the power and the duty to maintain that distinction”250 dan juga karena “that courts that exercise judicial review are powerful political as well as legal actors.”251 Dalam praktik pengujian di Amerika Serikat, pertumbuhan pengujian UU sangat ketat. Dikatakan bahwa “Judicial review is not the review of statutes at large; judicial review is constitutional review of governmental action.”252 Pada sejumlah putusan, setiap Undang-Undang yang dihasilkan Kongres, (i) “sejauh mungkin dihindarkan sebagai bagian dari pertentangan antarcabang kekuasaan”253, (ii) “ditetapkan sebagai suatu rangkaian sebaliknya”254, keputusan yang (iii)“dihindarkan konstitusional dalam hingga pengujian oleh terbukti badan 248 Baca: Mauro Cappelletti, “Repudiating Montesquieu? The Expansion and Legitimacy of ‘Constitutional Justice’”, Catholic University Law Review, 1995, Vol. 35, No. 1. Heinz Klug, “Model and Anti-Model: The United States Constitution and the ‘Rise of World Constitutionalism’”, George Washington Law Review, Vol. 3, 2000, hlm. 597. 249 Miguel Schor, “Mapping Comparative Judicial Review”, Washington University of Global Studies Law Review, 2008, Vol. 7, hlm. 257. 250 251 Alec Stone Sweet, “Why Europe Rejected American Judicial Review and Why ItMay Not Matter” , Michigan Law Review, 2003, Vol. 101, hlm. 2744. Black Law Dictionary 864 (8th ed. 2004) (defining judicial review as “[a] court’s power to review the actions of other branches or levels of government; esp., the courts’ power to invalidate legislative and executive actions as being unconstitutional” (emphasis added). Dalam suatu putusannya, Mahkamah Agung Federal mengatakan bahwa “The Court must either hold that the Suspension Clause has ‘expanded’ in its application to aliens abroad, or acknowledge that it has no basis to set aside the actions of Congress and the President.” Putusan Perkara Boumediene v. Bush, 128 S. Ct. 2229, 2297 n.2 (2008). 252 253 Putusan Perkara Almendarez-Torres v. United States, 523 U.S. 224, 238 (1998) (“The [constitutional avoidance] doctrine seeks in part to minimize disagreement between the branches by preserving congressional enactments that might otherwise founder on constitutional objections.” to user Putusan Perkara Hepburncommit v. Griswold, 75 U.S. (8 Wall.) 603, 610 (1869) (“This court always approaches the consideration of [constitutional] questions of this nature 254 81 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id peradilan”255, dan (iv) “merupakan produk koordinatif antara pemerintah dan Konggres sehingga harus dibuktikan batas-batas konstitusi yang dilanggar oleh Konggres”256. Kemudian, jika pengadilan memandang hanya terdapat satu doktrin saja untuk menyelesaikan sengketa konstitusional, maka permohonan harus diabaikan kecuali permohonan itu benar-benar tidak dapat dihindarkan.257 Bahkan, suatu pengujian UndangUndang oleh Mahkamah Agung merupakan suatu “one of great gravity and delicacy.”258 Oleh karena itu, menyatakan suatu produk Konggres atau parlemen negara bagian bertentangan dengan konstitusi berarti has rendered void its attempt at legislation.259 Argumen diperlukannya “judicia review” dalam format American style ini adalah “it contributes to the efficacious protection of rights260, to the operation of representative institutions261, to the stability of legal decisions and settlement of disputes, to the realization of decisions made during constitutional moments or to the maintenance of other reluctantly; and its constant rule of decision has been, and is, that acts of Congress must be regarded as constitutional, unless clearly shown to be otherwise.”). 255 Putusan Perkara Ashwander v. Tenn. Valley Auth., 297 U.S. 288, 345-49 (1936) (Brandeis, J., concurring) (affirming the principle that the judiciary should avoid constitutional questions and enumerating seven strategies for doing so”). 256 Putusan Perkara United States v. Morrison, 529 U.S. 598, 607 (2000) (“Due respect for the decisions of a coordinate branch of Government demands that we invalidate a congressional enactment only upon a plain showing that Congress has exceeded its constitutional bounds.”). 257 Putusan Perkara Spector Motor Serv. v. McLaughlin, 323 U.S. 101, 105 (1994) (“If there is one doctrine more deeply rooted than any other in the process of constitutional adjudication, it is that we ought not to pass on questions of constitutionality . . . unless such adjudication is unavoidable.” 258 Putusan Perkara Adkins v. Children’s Hosp., 261 U.S. 525, 544 (1923). 259 Putusan Garland, 71 U.S. (4 Wall.) 333, 382 (1866) (Miller, J., dissenting). Lihat uraian lengkap, antara lain: Jeremey Waldron, “Freeman’s Defense of Judicial Review”, Law & Philosophy, 1994, Vol. 13, hlm. 27-36; Richard H. Fallon, “An Uneasy Case for Judicial Review”, Harvard Law Review, 2008, Vol. 121, hlm. 1693-1699; dan Frank B. Cross, “Institutions and Enforcement of the Bill of Rights”, Cornell Law Review, 2000, Vol. 85, hlm. 1529-1576; dan Wojciech Sadurski, “Judicial Review and the Protection of Constitutional Rights”, Oxford Law Journal, 2002, Vol. 22, hlm. 275-278. 260 Hal ini disebabkan karena “the Constitution is designed to protect the representative nature of government.” Lihat dalam: Allan Hutchinson, commit to user ”A Hard Core Case against Judicial Review”, Harvard Law Review, 2008, Vol. 57. 261 82 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id valuable aspects of liberal democracy.”262 Namun demikian, tetap saja bahwa “Judicial review can be successfully justified if it can be shown that individuals have a right to the judicial review of legislative decisions independent of the “correctness” of judicial decisions or other long-term contingent effects of judicial decision-making.”263 Hal ini karena “Judicial review provides an opportunity for individuals who believe (rightly or wrongly) that their rights have been violated to raise their grievance against the (actual or presumed) violation.”264 Penjelasan di atas membutuhkan sokongan ideologis terhadap CR, tetapi dalam sebagian tidak rinci sampai akhir abad ke-18. Salah satu pemahaman mengenai hakekat judicial review adalah “game theory” and sebagian menyangkut pertentangan antara Marshall dengan Jefferson dalam konteks perkara Marbury.265 Kontekstualisasi itu dijelaskan sebagai berikut: Marshall, in deciding wheter to order Jefferson to deliver a commission he did not want to deliver, faced uncertainty about the prospects of compliance. Jefferson too faced uncertainty with regard to reactions of other political actors to his various possible responses to Marshall. This set up a game theoretic situation in which alternative outcomes might easily have resulted. Marshall could have declinded to claim the power of judicial review, or deliverded it stillborn by ordering an action that woulrd generate presidential defiance. Instead, Marshall’s decision, to decline to irder the delivery of Marbury’s ill-fated commission but to establish judicial review, fit the strategic logic of Lihat uraian lengkap dalam: Thomas C. Grey, “Do We Have an Unwritten Constitution?”, Stanford Law Review, 1995, Vol. 27, hlm. 703-714 dan Einer R. Elhauge, “Does Interest Group Theory Justify More Intrusive Judicial Review”, Yale Law Journal, 1991, Vol. 101. 262 Yuval Eylon dan Alon Harel, “The Right to Judicial Review”, Virginia Review, Vol. 92, 2006, hlm. 991. 263 264 Law Ibid., hlm. 996. R. L. Clinton, “Game Theory, Legal History, and The Origins of Judicial Review: A Revisionist Analysis of Marbury V. Madison, commitAmerican to user Journal of Political Science, Vol. 38, 2004, hlm. 285. 265 83 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id the situation and established a new institutional equilibrium. Pandangan pada perkara Marbury itu ditentang oleh Graber yang mennggunakan “gradual political approach” terhadap CR, dengan mengatakan bahwa Madison dihadapkan pada situasi tanpa pilihan apapun, sehingga Marshall menggagasnya sebagai kunci untuk memberdayakan MA. Dalam hal ini Graber menguraikan pendapatnya menurut konteks dan sejarah panjang relasi diantara cabang-cabang kekuasaan dalam melaksanakan pengujian, dibandingkan menurut pandangan pada kasus tunggal.266 Pandangan lain menggunakan pijakan federalisme sebagai logika “judicial review” di masa awal pertumbuhan Amerika. Terdapat 2 alasan mendasar atau saling melengkapi dengan mengkaitkan federalisme dan “judicial review.” Pertama, ketika terdapat 2 badan atau tingkat pembentuk hukum dengan yurisdiksi yang berbeda, maka memungkinkan munculnya potensi konflik kewenangan. Pihak ketiga yang netral menyelesaikan persoalan yang timbul manakala kedua badan atau tingkat tersebut mengalami perselisihan.267 Bahkan, sistem federal nampaknya mempersyaratkan mekanisme semacam itu guna menyelesaikan sengketa kewenangan, dan kesesuaian antara federalisme dengan “judicial review” dapat diilustrasikan dengan banyaknya sistem federalisme yang mengatur pula ketentuan mengenai “judicial review.” Logika cabang-cabang kekuasaan dalam federalisme menampakkan struktur yang berkarakter fungsional, yang menuntut mekanisme penyelesaian perselisihan diantara cabang dan tingkat kekuasaan dalam struktur negara yang kompleks dan pembentuk hukum yang majemuk. 266 Lihat selengkapnya: M. Graber, “The Problematic Establishment of Judicial Review”, dalam H. Gillman dan C.Clayton (Editors), 1999, The Supreme Court in American Politics, Lawrence, University of Kansas Press, hlm. 28-42. 267 commit to user M. Saphiro, “The Globalization of Judicial Review”, op.cit., hlm. 106-107. 84 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Kedua, relasi federalisme dan “judicial review” adalah menyangkut kawasan perdagangan bebas (free trade).268 Dalam suatu kawasan perdagangan bebas dengan pembentuk hukum yang beragam, negara di hadapkan pada tindakan yang problematik terkait dengan otoritas legislasi pada setiap badan. Terdapat kecenderungan bahwa setiap negara bagian akan memberikan aturan-aturan yang terkait dengan proteksi. Jika demikian yang terjadi, maka konsep perdagangan bebas tidak dapat diberlakukan di seluruh wilayah. Setiap negara bagian harus mempunyai komitmen untuk melaksanakan sistem tersebut pada wilayah masingmasing. Ketentuan konstitusi yang membentuk pengadilan sebagai badan netral menjadi diperlukan karena untuk memastikan aturan-aturan yang ditetapkan oleh tiap-tiap negara bagian berkesesuaian dengan komitmen prinsip perdagangan bebas.269 Bahkan, dalam awal revolusi di Amerika, MA memberikan perhatian khusus terhadap persoalan ini yang dikaitkan dengan konsilidasi kekuatan nasional. Pendekatan fungsional (game theory, federalism) dapat digunakan untuk menjelaskan perluasan CR. Asumsi logis yang diuraikan dalam suatu perkara dapat digunakan untuk perkara yang muncul berikutnya. Di luar Amerika, CR jarang diterima sampai dengan berakhirnya Perang Dunia II. Sebagai contoh, MA Norwegia mempunyai kekuasaan serupa tapi cenderung untuk tidak menggunakannya.270 Portugal telah mengadopsi “judicial review” pada tahun 1909. Kelembagaan “judicial review” yang aktif dilaksanakan di hampir semua negara federal seperti Amerika, Kanada, dan Australia.271 Meksiko mengadopsi bentuk lain dari CR, dikenal sebagai “amparo” yang terbatas pada upaya hukum terhadap 268 Ibid., hlm. 107. Y. Qian dan B. Weingast, “Federalism as a Commitment to Market Insentives”, Journal of Economic Perspektive, Vol. 11, 2007, hlm. 89-93. 269 270 Baca selengkapnya: C. Smith, “Judicial Review of Parliamentary Legislation in the Norwegian System”, Public Law Journal, Vol. 45,to2000, commit userhlm. 595-606. 271 Badnar, et.al., 2001, hlm. 246. 85 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id tindakan individu yang melanggar konstitusi dan bentuk ini pada awal pertumbuhannya menyangkut masalah federalisme.272 Kesesuaian antara federalisme dengan CR, termasuk juga “free trade area” berlaku pula untuk menjelaskan dinamika CR di luar Amerika (khususnya dalam kasus Uni Eropa). Pemerhati federalisme menyatakan bahwa pada abad ke-20, keterkaitan itu menjadi terbatas, mengingat penerapan federalisme yang tidak sama. Namun demikian, perkembangan CR setelah Perang Dunia II di banyak negara tanpa mengkaitkannya dengan federalisme dan masalah internal “free trade area” menunjukkan bahwa kedua faktor itu bisa saja berkesusian tidak tidak dibutuhkan sebagai syarat pengadopsian.273 2. Gelombang Kedua: Mahkamah Konstitusi sebagai Penanda (19201940) Pada gelombang kedua penerimaan gagasan CR sebagaimana akan diuraikan dalam bagian ini, sesungguhnya merujuk kepada pertumbuhan pengujian di Eropa. Jika diperhatikan pada uraian sebelumnya, nampak bahwa “judicial review” dalam tradisi Amerika menunjukkan “virtually unique in having judicial review, if judicial review means a system in which ordinary judges can review and strike down legislation.”274 Dalam tahap berikutnya, negara lain, khususnya di Eropa yang bersedia menerima gagasan CR, menolak apabila para hakim dalam lingkungan peradilan umum dilibatkan dalam mekanisme konstitusional tersebut. Suatu hal yang menarik bahwa sesungguhnya di Eropa CR berasal dari Inggris, negara yang sering dianggap menempatkan supremasi parlemen dan menolak pengujian Undang-Undang. Pada abad ke-18, Privy Council (semacam Penasehat Kerajaan) diberikan 272 Ibid., hlm. 249. 273 Tom Ginsburg, “The Global Spread of Constitutional Review”, op.cit., hlm. 84. John E. Ferejohn, “Constitutional commit toReview user in the Global Contex”, Journal of Legislation and Public Policy, Vol. 6, 2002, hlm. 49. 274 86 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id wewenang untuk membatalkan suatu Undang-Undang yang disusun oleh negara yang menjadi koloni Inggris dengan alasan bertentangan dengan produk hukum yang ditetapkan oleh Parlemen Inggris atau bertentangan dengan tradisi Common Law.275 Pada perkembangan selanjutnya, pelembagaan CR dilaksanakan oleh Austria setelah Perang Dunia I276, dan pada era yang sama pada Kanada277 dan Swedia278, lalu dikembangkan di Jerman279 dan Italia280 setelah Perang Dunia II. Pelembagaan selanjutnya dilaksanakan di Spanyol281 dan Portugal282 setelah kejatuhan rezim otoritarian. Pelembagaan serupa berkembang lagi setelah runtuhnya Uni Soviet, di mana negara-negara yang tergabung sebagai federasi mandiri sebagai negara tersendiri.283 Di era pasca komunis tersebut, pelembagaan CR menunjukkan, “Subjecting their policy choices to judicial review, post-Communist rulers demonstrate their commitment to democracy and the rule of law to their domestic constituencies and to therest of the world.”284 Sampai sekarang telah 78 negara yang mengadopsi kelembagaan CR 275 Gagik Harutyunnyan, et.al, Study on Individual Accses to Constitutional Justice, Venice Comission, 27 Januari 2011, hlm. 10. Hans Kelsen, “Judicial Review of Legislation, op.cit., hlm. 185–186. Baca juga: Stanley L. Paulson, “Constitutional Review in the United States and Austria: Notes on the Beginnings”, Ratio Jurist, 2003, Vol.16, hlm. 223. 276 277 Jennifer Smith, “The Origins of Judicial Review in Canada”, Canada Journal Poltical Science, 1993, Vol. 16, No. 1. Michael Crommelin, “Intergovernmental Relations: Dispute Resolution in Federal Systems”, International Social Science Journal, 2001, Vol. 53, hlm. 139. 278 Donald P. Kommers, “The Constitutional Jurisprudence of the Federal Republic of Germany, Journal of Comparative Law, Vol 3 No. 4, 1989. 279 280 Alessandro Pizzorusso, op.cit., , hlm. 111-114. 281 Francisco Rubio Llorente, op.cit., , hlm. 127-131. 282 Rett R. Ludwikowski, loc.cit. 283 Robert F. Utter dan David C. Lundsgaard, op.cit., hlm. 585. 284 Alexei Trochev, op.cit., hlm. 514. commit to user 87 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id tersebut.285 Perkembangan itu sepaket dengan munculnya gelombang demokrasi baru dalam 2 dekade terakhir pada abad ke-20.286 Di Eropa, penerimaan gagasan CR berkembang dalam 3 tahap. Pertama, perkembangan di Jerman dan Italia selepas Perang Dunia II. Kedua, “was after the collapse of the Spanish and Portuguese authoritarian governments, and of the Greek dictatorship about quarter century ago.”287 Ketiga, “followed the collapse of the Soviet Union about ten years ago.”288 Menurut Schwartz: Before World War II, few European States had constitutional courts, and virtually none exercised any significant judicial review over legislation. After 1945 all that changed. West Germany, Italy, Austria, Cyprus, Turkey, Yugoslavia, Greece, Spain, Portugal and even France…created tribunals with power to annul legislative enactments inconsistent with constitutional requirements. Many of these courts have become significant—even powerful—actors.289 Hal itu dirintias pada abad ke-19, saat para sarjana Eropa mulai memikirkan dampak CR model Amerika Serikat.290 Gagasan CR di Amerika Serikat memperoleh perhatian dalam suatu perdebatan Majelis Nasional Jerman pada pertemuan di Frankfrut tahun 1848.291 Sekalipun di Frankfrut berlangsung diskusi yang menaruh harapan Seorang penulis berkata, ”Not so in the rest of the world. Around the globe, popular as well as academic interest in courts and judicial review is growing.” Baca: H. Kawshi Prempeh, “Marbury in Africa: Judicial Review and the Challenge of Constitutionalism in Africa”, Tulane Law Review, Vol. 80, 2006, hlm. 2. 285 Diskusi soal ini periksa: Cheryl Saunders, “The Use and Misuse of Comparative Constitutional Law”, 2006, Indiana Journal of Global Legal Studies, Vol. 13, No. 37. 286 Stephen Gardbaum, “The New Commonwealth Model of Constitutionalism”, American Journal of Comparative Law, Vol. 49, 2001, hlm. 714-715. 287 Rett R. Ludwikowski, “Fundamental Constitutional Rights in the New Constitutions of Eastern and Central Europe”, Cordozo Journal of International & Contemporary Law, Vol. 3, 1995, hlm. 73. 288 Herman Schwartz, "The New Eastern European Constitutional Courts”, Michigan Journal of International Law, 2002, Vol. 13, hlm. 763. 289 290 Helmut Steinberger, “Historic Influences of American Constitutionalism upon German Constitutional Development: Federalism and Judicial Review”, Columbia Journal of Transnasional Law, 2008, Vol. 36, hlm. 193. 291 Ibid., hlm. 194. commit to user 88 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id besar terhadap CR dengan mengkaji secara sungguh-sungguh perkara Marbury, akan tetapi di belahan Eropa yang lain secara berbeda disodorkan pemikiran oleh Prancis mengenai kemungkinan penerapan model lain dalam kelembagaannya. Sejumlah pakar di Eropa cenderung mencemaskan CR model Amerika Serikat tersebut karena akan menjerumuskan ke dalam sistem legislasi yang dipengaruhi oleh gerakan-gerakan sosial.292 Sama halnya dengan gagasan “judicial review”, ide CR di Eropa juga diwarnai dengan penerimaan dan penolakan. Pada satu sisi, affinitas CR terjadi karena, “Judges frequently make discretionary judgments when adjudicating constitutional cases.”293 Dalam konteks ini, disekresi merupakan “refer to those judgments that courts must make when, due to the indeterminacy of the relevant legal texts, there are two or more ways in which a judge who conscientiously applies the interpretive conventions of the legal profession could resolve a given dispute.294 Maknanya, dalam perkara konstitusi, hakim “often must choose from an array of conflicting—yet conventionally permissible— interpretive options.”295 Sekalipun di lingkungan pengadilan diskresi tersebut lumrah, akan tetapi “in popular political rhetoric, one often encounters fierce resistance to the proposition that much of the Constitution‘s text is indeterminate and that judges thus can reasonably disagree about what the Constitution prohibits or permits.”296 292 Alec Stone, 1992, The Birth of Judicial Politics in France: The Constitutional Council in Comparative Perspective , New York: Oxford University Press, hlm. 37-40. Theodore A. McKee, “Judges as Umpires”, Hofstra Law Review, 2007, Vol. 35, hlm. 1709-1710. 293 Todd E. Pettys, “Judicial Discretion in Constitutional Cases”, University of Iowa Legal Studies Research Paper, No. 10-36, Desember, 2010, hlm. 2. 294 Kent Greenawalt, “Discretion and Judicial Decision: The Elusive Quest for the Fetters that Bind Judges”, Columbia Law Review, 1995, Vol. 75, hlm. 359. 295 296 Harry T. Edwards, “The Role of a Judge in Modern Society: Some Reflections on Current Practice in Federal Appellate Adjudication”, Cleveland State Law Review, Vol.32, 2003, commit to user hlm. 385. 89 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Gagasan CR juga memunculkan diskursus pada saat berbicara mengenai efek dari wewenang pengujian, apakah mencakup pemberlakuan UU sebelum putusan pengujian dijatuhkan (Retroactive Perspective) atau mencakup pemberlakuan UU ke depan (Prospective Perspective)? Dalam hal sifat putusan pengujian itu Retroactive Perspective, maka “the law no longer exists and never did exist.”297 Putusan ini terjadi manakala “the substantive legal principles in force at the time of the unconstitutional act.”298 Basis pemikiran ini adalah “the courts is that these judgments declare the law as it has always been — that judges discover, not make the law — and apply the preexisting law to the dispute at hand.”299 Sementara itu, sifat Prospektif putusan menggambarkan bahwa putusan itu berlaku “postpone the operative date of the judgment”300, yang dapat dikatakan sebagai suatu “an exception to the norm of retroactive judicial law-making.”301 Di dalam praktik, putusan ini kadang-kadang mencampuradukkan keadaan masa transisi dan penolakan pembatalan suatu UU di mana substansinya adalah “the suspended declaration of invalidity for a temporary period of time, in order to give the government an opportunity to respond to the court’s judgment with new legislation that complies with the Constitution” sehingga menimbulkan kesan “make courts look like legislatures”302, karena “The courts have actively participated in this change in the legislative role, by remanding remedial issues to legislatures.”303 Putusan ini dalam 297 Sujid Choudrhy dan Kent Roach, “Putting the Past Behind Us? Prospective Judicial and Legislative Constitutional Remidies”, Supreme Court Law Review, Vol. 26, 2006, hlm.211212. 298 Ibid., hlm. 213. 299 Roach, Constitutional Remedies in Canada, Aurora, Canada Law Book, 1995, hlm. 300 Sujid Choudrhy dan Kent Roach,op.cit., hlm. 217. 301 Ibid., hlm. 218. 302 Ibid., hlm. 226. 303 Ibid., hlm. 227. 920. commit to user 90 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id praktik memnimbulkan kontroversi karena “Suspended declarations of invalidity are deeply controversial, because they allow an unconstitutional state of affairs to persist, thereby posing a threat to the very idea of constitutional supremacy.”304 Oleh sebab itu tidak kurang pula sejumlah penulis yang menetang adanya CR tersebut. Misalnya pemikir J.A.G. Griffith yang dalam basis argumennya menolak adanya wewenang untuk menguji konstitusionalitas Undang-Undang. Dalam pandangan Griffith, merupakan sesuatu yang “misleading to speak of certain rights of the individual as being fundamental and inherent in the person of the individu”305 dan akibatnya “so-called individual or human rights are no more or no less than political claims made by individuals on those in authority.”306 Griffith juga mengatakan pendapat itu tersusun dari anggapan bahwa “law is not and cannot be a substitute for politics”307 dan adanya Constittutional Review akan menyebabkan “pass political decisions out of the hands of politicians and into the hands of judges 304 Ibid., hlm. 230. 305 J.A. G. Griffith, “The Political Constitution”, Michigan Law Review, Vol. 42, 1989, No. 1. 306 Ibid., hlm. 17. Baca juga: T. Poole, “Tilting at Windmills? Truth and Illusion in the Political Constitution’”, Michigan Law Review, Vol. 70, 2007, hlm. 250. 307 Ibid., hlm. 16. commit to user 91 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id or other persons.”308 Demikian juga dengan J. Waldron309 dan R. Bellamy.310 Penentangan terhadap CR tersebut secara epistimologis berbeda dengan argumen bahwa pemenuhan hak-hak individu dapat dipaksakan oleh pengadilan sebagai salah satu kelaziman dalam demokrasi konstitusional. Dapat ditunjuk di sini penulis seperti John Rawls311, R. Dworkin312, P. Pettit313, C. Sunstein314, dan F. Michelman.315 Sekalipun berbasis liberal, menurut penulis, pandangan para penulis terakhir tersebut dapat diterima dibandingkan argumen Waldron dan Belammy, karena sesungguhnya tidak setiap keputusan yang dilakukan oleh para legislator dapat mencerminkan kaidah-kaidah demokrasi itu sendiri. Dalam kaitan ini, mempertahankan keberadaan 308 Ibid. J. Waldron, “The Core Case Againts Judicial Review”, Yale Law JournalVol. 115, 2006, hlm. 1346. Tulisan Waldron sangat populer dalam banyak law journal dan telah memperoleh tanggapan dari para pakar. Pada intinya, Waldron mengatakan bahwa pengadilan berhadapan dengan suatu perkara. Oleh karena itu, apa yang mereka putuskan sesungguhnya akan mencerminkan kebijakan para hakim mengenai perkara tersebut dan tidaklah hal ini dipersamakan dengan pandangan serupa dari kalangan legislator maupun pejabat pemerintah. Oleh sebab itu, sekalipun memandang bahwa constitutional review sangat berkaitan dengan demokrasi, tetapi Waldron berpendapat hal itu dapat dilaksanakan jika didukung dengan kondisi yang demokratis juga. Salah satu tulisan yang menurut saya cukup bagus dalam mengupas dan sekaligus melahirkan kritik terhadap Waldron adalah tulisan Richard H. Fallon. Baca: Richard H. Fallon, Jr., op.cit., , hlm. 1693. 309 310 R. Bellamy, 2007, Political Constitutionalism, A Republican Defence of the Constitutionality of Democracy, Cambridge: Cambridge University Press. Dalam salah satu bagian dari tulisan tersebut Bellamy menolak pandangan kalau pemenuhan hak individu akan terlaksana jika individu berhadapan dengan negara, karena pemenuhan tersebut lebih mencerminkan kondisi “continuously reflexive process, with citizens reinterpreting the basis of their collective life in new ways that correspond to their evolving needs and ideals.” 311 John Rawls, 1996, Political Liberalism, Columbia University Press. Ronald Dworkin, 1996, Freedom’s Law: The Moral Reading of the American Constitution, Oxford: Oxford University Press. 312 313 P. Pettit, 1997, Republicanism, A Theory of Freedom and Government, Oxford: Clarendon Press. 314 C. Sunstein, “Beyond the Republican Revival”, Yale Law Journal, Vol. 97, 1998, hlm.1539. F. Michelman, ‘Foreword:commit Traces oftoSelf-Government”, Harvard Law Review, Vol. user 100, No. 4, 1996. 315 92 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id hak-hak individu sebagaimana jaminan konstitusi melalui CR menjadi dapat diterima. Figur utama dalam pemikiran CR di Eropa adalah Hans Kelsen.316 Menurut Kelsen, dalam penerapan di Eropa, CR akan menampakkan benturan pemikiran diantara sentuhan konstitusi dengan persoalan politik. Hal ini karena “that civil law courts were not attractive organs to endow with the power of constitutional interpretation because they were staffed by civil servants and were ideologically accustomed to being subservient to legislatures.”317 Dengan demikian yang diperlukan adalah “a specialized constitutional court that could speak with a single, authoritative voice and have equal dignity with the legislature.”318 Pada sisi lain, tradisi Eropa menempatkan parlemen sebagai pemegang kedaulatan yang kekuasaannya merajalela di atas konstitusi itu sendiri. Dengan gagasan itu, Kelsen menganjurkan penolakan CR model Amerika Serikat karena menganggap konstitusi merupakan suatu bentuk hukum yang bersifat khusus dan ditentukan oleh faktor politik.319 Menurut Kelsen, dalam proses pembentukan hukum positif, lembaga yang menyusunnya dengan sengaja juga dilekatkan wewenang untuk mencabut hukum positif tersebut dan hal ini adalah pekerjaan Parlemen. Keberadaan pengadilan adalah “would therefore be circumscribed by carefully drafting constitutions to exclude from judicial competence broad principles such as equality, justice, and 316 Profesor tata negara Austria ini memegang peran penting dalam menyusun Konstitusi Autria 1920, yang antara lain memuat mengenai ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan Constitutional Review. Pengaturan ini dapat dikatakan sebagai pengalaman yang paling berharga mengenai kelembagaan Constitutional Review khas Eropa sebelum Perang Dunia II. Penting juga dicatat bahwa Kelsen juga memegang peran penting saat penyusunan konstitusi Jerman pasca Perang Dunia II. Diskusi lebih lanjut mengenai masalah ini, baca: Stanley L. Paulson, op.cit., hlm. 223. 317 Miguel Schor, “Judicial Review and American Exeptionalism”, op.cit., hlm.554. 318 Ibid. Mark Tushnet, “Marburycommit v. Madison Around the World”, Tennesse Law Review, to user Vol. 71, 2004, hlm. 251. 319 93 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id liberty.”320 Dengan demikian, akan tercipta “effect horizontal and vertical separation of powers, but courts would gain too much influence if they had a broad power to construct rights.”321 Namun gagasan Kelsen mengenai batasan pengadilan untuk construct rights ditentang oleh pemikir hukum di Eropa. Pengalaman kejahatan perang oleh Jerman dan praktik-praktik antidemokrasi lain justru harus memaksa pengadilan untuk melaksanakan hak-hak asasi.322 Walaupun demikian ada 3 hal pokok warisan pemikiran Hans Kelsen dalam CR di Eropa. Pertama, pengujian dilakukan secara terkonsentrasi oleh suatu badan pengadilan khusus yang menangani perkara konstitusi dibandingkan wewenang yang terdesentralisasi di semua tingkatan pengadilan seperti di Amerika Serikat. Kedua, pengujian tidak perlu mensyaratkan terjadinya suatu perkara konkrit sehubungan dengan legislasi, bahkan suatu Undang-Undang yang belum berlaku sekalipun dapat dimohonkan pengujian. Ketiga, pengisian jabatan hakim memerlukan dukungan Parlemen.323 Sebelum mengerucut gagasan mengenai CR yang dilekatkan pada organ khusus pengadilan di luar Mahkamah Agung, di Austria sendiri sudah muncul gagasan untuk mengadopsi model Marbury. Pada tahun 1867, MA Austria mendapatkan kewenangan baru untuk menangani sengketa yuridis yang berkenaan dengan perlindungan hakhak politik individu vis a vis pemerintah (public administration).324 Sebaliknya, pengadilan negara-negara bagian membuat putusan yang berkenaan dengan constitutional complaint (Statliche Alec Stone Sweet, “Why Europe Rejected American Judicial Review and Why It May Not Matter” , op.cit., hlm. 2766. 320 Stanley L. Paulson, “Constitutional Review in the United States and Austria: Notes on the Beginnings”, op.cit., hlm. 2767, 321 Mauro Cappelletti, “Repudiating Montesquieu? The Expansion and Legitimacy of ‘Constitutional Justice’, op.cit., hlm. 5-6. 322 323 Patricio Navia & Julio Rios, “The Constitutional Adjudication Mosaic of Latin America” , 2005, Comprative Politic Studies, hlm.189. 324 commit to user Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitutional, op.cit., hlm. 24. 94 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Verfassungsbeschwerde). Perkembangan yang terjadi ini yang selanjutnya makin mendorong lahirnya ide Hans Kelsen untuk membentuk mahkamah yang berdiri sendiri di luar MA Austria.325 Sementara itu, di negara-negara lain, muncul pula berbagai perkembangan baru untuk mengadopsi gagasan CR tersebut. Pengaturan aspek-aspek CR di Swiss sudah diatur dalam Konstitusi Federal 1848. Akan tetapi MA baru memperoleh wewenang resmi yang lebih luas dengan Perubahan Konstitusi Federal pada tahun 1874. Di Norwegia, ide mengenai CR tumbuh dari perkembangan pemikiran hukum sejak tahun 1890. Sementara itu, Romania memperkenalkan CR sebelum Perang Dunia I dengan mengikuti model Amerika Serikat.326 Negara lain yang hingga sebelum Perang Dunia II mengadopsi pengadilan konstitusi model Austria adalah Cekoslovakia (1920), Di Italia, secara resmi CR diterapkan pertama kali pada Konstitusi 1948 pasca kejatuhan pemerintahan fasis. Konstitusi baru, yang kerap disebut sebagai konstitusi demokrasi, menyandarkan kekuasaan pada kedaulatan rakyat, akan tetapi disertai dengan pengakuan supremasi konstitusi dengan perubahan yang bersifat rigid. Mekanisme CR diatur pada Pasal 134-139 Konstitusi 1948 dengan membentuk MK sebagai organ khusus di luar MA. Pilihan ini ditetapkan diantara berbagai gagasan mengenai guarantee of the Constitution, dengan menolak pengujian model Amerika Serikat dan menerima pemikiran Hans Kelsen. Namun pendirian Mahkamah Konstitusi itu sendiri baru terlaksana pada tahun 1956 dan hampir selama setengah abad kemudian, praktik CR berjalan secara dinamis, karena bagaimanapun, badan pengadilan di lingkungan peradilan 325 Ibid. 326 Ibid., hlm. 25. commit to user 95 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id umum juga memberikan kontribusi yang penting dalam pengujian tersebut.327 Berkebalikan dengan keadaan di atas, Belanda hingga sekarang konsisten menerapkan argumen bahwa “The constitutionality of Acts of Parliament and treaties shall not be reviewed by the courts.”328 Hal ini menjadikan Belanda sebagai “as one of the last liberal democracies to insist that the courts desist from reviewing the constitutionality of acts of parliament.”329 Di Belanda telah disusun Konstitusi 1814 dan direvisi tahun 1848, yang dalam proses tersebut “the inclusion of fundamental rights that the question of the courts’ role regarding such new rights became a bone of contention, one that ultimately led to the inclusion of the bar on constitutional review.”330 Hal itu digambarkan oleh Thorbeke, pakar kenegaraan yang pernah terlibat dalam penyusunan perubahan konstitusi pada masa itu, yang mengatakan bahwa “adopting the bar on review would politically speaking be easier to accomplish than to one day undo again.”331 Perdebatan mengenai CR terus diperbincangkan termasuk pada saat Perubahan Konstitusi pada tahun 1983.332 Kondisi di Belanda dengan demikian dapat digambarkan “it is intended to make the review of acts of parliament impossible on constitutional grounds.”333 Sementara itu, Inggris dikenal sebagai negara yang memiliki tradisi intelektual panjang untuk menolak memberdayakan pengadilan dalam skema pengujian untuk melindungi hak-hak asasi. Jeremy Tannia Groppi, “The Italian Constitutional Court: Towards ‘A Multysystem’ of Constitutional Review?”, op.cit., hlm. 101. 327 328 Charles F. Abernathy, op.cit., hlm. 595. 329 Wolfgang Hoffmann‐Riem, op.cit., hlm. 595. 330 Gerhard van der Schyff, op.cit., hlm. 276. 331 Ibid. 332 Maurice Adams & Gerhard van der Schyff, “Constitutional Review by the Judiciary in the Netherlands: A Matter of Politics, Democracy or Compensating Strategy?”, Zeitchrift fur Auslandisches Offentliches Recht Und Volkerrecht, Vol. 66, 2006, hlm. 399. 333 Ibid. commit to user 96 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Bentam merupakan mengembangkan sosok doktrin penting tersebut. dan Bentham berpengaruh amat untuk meragukan kemampuan pengadilan untuk dapat membatasi atau mengawasi perilaku parlemen. Dikatakan oleh Bentham, “Give the judges the power of annulling [Parliament’s] acts; and you transfer a portion of the supreme power from an assembly which the people have had some share, at least, in choosing, to a set of men in the choice of whom they have not had the least imaginable share.”334 Wawasan Bentham itu lestari dalam formulasi hukum tata negara Inggris baik dalam dimensi yang positif maupun negatif. Dimensi positif maksudnya adalah memperkuat kedaulatan parlemen dalam membentuk putusan-putusan yang partisipatorif, sementara dimensi negatif adalah posisi untuk menolak memberikan kekuasaan pengujian kepada pengadilan.335 Formulasi tersebut menjadi akar penolakan kuat terhadap CR di Inggris dan kemudian telah menghasilkan banyak tulisan tentang itu.336 Berhadapan dengan demokrasi, CR tidak diterima di Inggris karena alasan moral maupun empiris. Ditinjau dari sudut moral, “Constitutional Review is democratically illegitimate, because it allows unelected judges to constrain and sometimes override decisions made by our elected representatives.”337 Sementara itu, dari segi empiris ada semacam anggapan bahwa “that judges do not do a very good job of protecting rights” dan kenyataannya juga “that parliament 334 Lord Hoffmann, ‘Bentham and Human Rights’, 2001, CLP, Vol. 54, hlm. 61. “The positive dimension celebrates the value of democracy and the supreme importance of strong parliamentary government, in whose decision-making all citizens can participate to some degree. The negative dimension is contained in a deep-seated scepticism about judges and judicial power.” Lihat: D. Dyzenhaus, “op.cit, hlm. 62. 335 Lihat, antara lain: C. O’Cinneide, “Democracy, Rights and the Constitution – New Directions in the Human Rights Era”, CLP, Vol. 57, 2004, , hlm. 175; G. Phillipson, “Deference, Discretion, and Democracy in the Human Rights Act Era”, CLP, Vol. 60, 2007, hlm. 40; S. Fredman, “Judging Democracy: The Role of the Judiciary under the HRA 1998”, CLP, Vol. 53, 2000, hlm. 99. 336 337 1365. Jeremy Waldron, “The Core of thetoCase commit userAgainst Judicial Review”, op.cit, hlm. 97 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id did a consistently better job of protecting civil liberties over this period than judges and, moreover, that judges were often bent on denying the protection of civil liberties to individuals who belonged to groups which the judges considered politically dangerous.”338 Ketidakpercayaan kepada pengadilan akhirnya mengakibatkan “built upon empirical evidence and came out of the experience of frustration about judicial intervention in the social sphere over many years.”339 Walaupun demikian, Inggris tidaklah mengenal CR sepanjang dipahami sebagai prinsip seperti supremasi parlemen, tetapi di negara ini konstitusi tidaklah terkodifikasi dalam suatu naskah tertulis yang sistematis lazimnya dikenal pada negara lain. Pengujian yang dikenal sebatas dalam hukum administrasi negara dan tidak dalam pengertian CR. Melalui pengujian administratif tersebut, segala tindakan pemerintah dikontrol agar tetap tunduk pada aturan hukum. Setiap individu, penguasaha atau kelompok bisnis dapat mengajukan gugatan ke pengadilan terhadap legalisasi keputusan Menteri, lembaga pemerintahan, maupun badan-badan publik yang lain, termasuk otoritas lokal, otoritas imigrasi, badan-badan independen, dan lembaga pemutus sengketa lain. Pengujian ini dianggap tepat untuk mempertahankan doktrin kedaulatan parlemen dengan sekaligus menjalankan prinsip supremasi hukum.340 Di Prancis sendiri gagasan yang menentang pengujian model Amerika Serikat memperoleh dukungan yang kuat hingga pembentukan Konstitusi 1958.341 Dalam perkembangannya, sekalipun dikenal skema CR oleh Dewan Konstitusi, akan tetapi sifatnya lebih politik dibandingkan yuridis. Pada masa Republik III (1875-1940) dan K. Ewing, “The Futility of the Human Rights Act – A Long Footnote”, Bracton Law Journal, Vol. 37, 2005, hlm. 41. 338 339 Ibid. 340 Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional, op.cit., hlm. 65. 341 Miguel Schor, “Judicial Review and American Exeptionalism”, op.cit., hlm.554. commit to user 98 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Republik IV (1946-1957), ketentuan konstitusi menghindari adanya CR dan pengadilan konstitusi. Parlemen dapat mengubah konstitusi dengan suara mayoritas. Pada masa Republik III para pengamat sering berkomentar mengenai perilaku politisi yang tidak ubahnya seorang hakim konstitusi yang mengemukakan justifikasi legal atas tindakantindakannya. Pada masa Republik IV telah dibentuk alat internal parlemen yang disebut Komisi Konstitusi tetapi lembaga ini tidak pernah menghasilkan putusan apapun.342 Dewan Konstitusi sendiri sudah sejak tahun 1880-an dilepaskan dari Kementerian Kehakiman akibat tuntutan dari para praktisi hukum. Dengan demikian, wewenang legislasi parlemen menjadi lebih dominan, dibandingkan bahwa masalah pembentukan merupakan isu konstitusi. Pada masa Republik V (sejak 1958), persoalan itu lalu menjadi ajang perdebatan diantara politisi dan akademisi hukum. Di bawah pengawasan Jenderal Charles de Gaulle, disusun Konstitusi 1958 untuk menggantikan Konstitusi 1946. Ketika itu Michel Debre bersama dengan koleganya telah secara efektif mentransformasikan sebagian kekuasaan legislatif dari parlemen menjadi kewenangan yang dimiliki oleh eksekutif. Kemudian dibentuk Dewan Konstitusi sebagai organ tersendiri guna menjamin keberlangsungan distribusi kekuasaan yang mengalami restrukturisasi tersebut. Hal demikian tentu sangat berbeda dengan tradisi Bonapartis, di mana usaha-usaha untuk memperkuat kekuasaan eksekutif dalam periode tersebut dilakukan tanpa kehadiran yudisial yang berperan secara agresif.343 Sejak tahun 1970-an watak politik Dewan Konstitusi menjadi lebih kentara dan salah satu wewenang penting adalah “tightly restricted to the control of parliamentary statutes, after their adoption, 342 Diskusi lebih lanjut soal ini, periksa: Alec Stone Sweet, The Birth of Judicial Politic in France, op.cit., , hlm. 23-45. 343 Ibid., hlm. 46. commit to user 99 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id but before promulgation, upon referral by elected politicians.”344 Nampaklah bahwa motif Dewan Konstitusi adalah untuk mengendalikan kekuasaan parlemen melalui batas-batas konstitusi.345 Model pengujian di Prancis ini merupakan salah satu model yang berpengaruh dan kemudian diadopsi oleh banyak negara di Asia dan Afrika. Sebelum menuju kepada pertumbuhan gagasan di gelombang ke-3, sebagai akibat Perang Dunia II (1940-1945), maka telah terinterupsi perluasan CR di seluruh dunia. Bahkan, dalam masa tersebut, sejumlah negara yang mengoperasionalkan CR dalam suatu kelembagaan khusus kemudian gagal dilaksanakan, seperti kasus MK di Austria (1933-1945) dan Cekoslovakia yang bahkan terhenti sejak 1938. 3. Gelombang Ketiga: Adopsi Pengadilan Konstitusi Spesifik (19451990) Sesudah Perang Dunia II, gagasan CR menjadi salah satu navigasi penting dalam format kehidupan bernegara, terutama di Eropa. Ciri khas pada waktu itu adalah pilihan bentuk pengadilan khusus yang “almost concurrently founded in European states, and their main task is to ensure the comformity of laws and other normative acts with the Fundamental Law.”346 Banyak negara yang kemudian juga mengadopsi CR setelah Perang Dunia II tersebut seperti Brazil (untuk kedua kalinya sejak 1946), Jepang (1947), Burma (1947), Italia (1948), Thailand (1949), Jerman (1949), India (1949), Luxemburg (1950), Syiria (1950), Uruguay (1952), Prancis (1958), Alec Stone Sweet, “The Politics of Constitutional Review in France and Europe”, Journal ICON, Vol. 69, 2007, hlm. 70. 344 345 “The creation of the Conseil constitutional was originally intended as an additional mechanism to ensure executive by keeping Parliament within constitutional rule.” Periksa: John Bell, 1992, French Constitutional Law, Oxford University Press, hlm. 19-20. 346 commit to user Gagik Haruntyunnyan, op.cit., hlm. 3. 100 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id dan lain-lain.347 Sementara itu, di kalangan negara-negara berhalauan Komunis dengan sistem partai tunggal, mekanisme CR dianggap sebagai simbol keberadaan kaum borjuis sehingga ditolak. Pada fase ini mulai muncul pemikiran khas CR seperti praktik di Austria, Jerman, dan Spanyol, yang menentukan bahwa bukan saja kepada pengadilan konstitusi diberikan mekanisme untuk perlindungan hak-hak individual, akan tetapi kepada setiap warganegara pun mempunyai wewenang untuk mengajukan gugatan ke pengadilan. Gagasan CR semakin memperoleh tempat dengan munculnya gelombang demokratisasi sebagai bentuk tranformasi politik di Eropa yang ditandai dengan jatuhnya kediktatoran rezim militer seperti halnya di Yunani (1968), Portugal (1976), dan Spanyol (1978). Sebelumnya, gagasan CR telah diterima di Syprus (1960), Turki (1960), Aljazair (1963), dan Republik Federasi Yugoslavia (1963). 4. Gelombang Keempat: Penerimaan yang Semakin Luas (1990sekarang) Pada fase konfigurasi gagasan di masa gelombang ke-4 ini merupakan buah munculnya negara-negara independen baru. Runtuhnya Tembok Berlin yang memicu bersatunya Jerman (1990), bubarnya Uni Soviet (1991), dan konflik di Semenanjung Balkan, memunculkan negara-negara baru dan kemudian mendesain konstitusi secara rumit dan kaku. Mulaih diterima prinsip-prinsip pemisahan kekuasaan, yang antara lain dirumuskan dalam penerimaan gagasan CR secara komprehensif. Lebih dari itu, CR dianggap sebagai jalan ke arah yang lebih baik dan mendorong transformasi sosial dalam kondisi transisi.348 Gagasan CR kemudian acapkali dianggap berbarengan dengan penerimaan ide HAM yang semakin menglobal. Menurut Hamid Awaludin, ada 7 ciri utama yang menunjukkan HAM semakin 347 Ibid. 348 Ibid. commit to user 101 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id diterima dalam kancah global.349 Pertama, HAM telah menjadi agenda utama dalam hubungan internasional. Kedua, negara telah diwajibkan untuk melaksanakan norma-norma HAM melalui instrumen-instrumen hukum internasional mengenai HAM yang telah disepakati bersama. Ketiga, individu telah memiliki status hukum untuk dilindungi dari segala bentuk pelanggaran HAM. Keempat, konsep kedaulatan negara terpenetrasi oleh HAM. Kelima, aktor utama pemajuan dan penagakan HAM tidak lagi monopoli negara, tetapi juga aktor nonnegara, bahkan perusahaan-perusahaan multinasional, sudah ikut dalam agenda ini. Keenam, individu-individu yang memiliki pengaruh dan charisma serta komitmen dan kepemimpinan kuat, ikut menentukan jalannya pemajuan dan penegakan HAM. Ketujuh, telah terjadi perubahan persepsi dan pendekatan mengenai HAM. Masalah HAM tidak lagi ditekankan pada aspek-aspek legal semata, tetapi semua aspek kehidupan dilaksanakan dengan HAM. Di negara-negara yang mengalami transisi ke demokrasi setelah keruntuhan Uni Soviet pada dekade 1990-an misalnya, CR menjadi ide populer sepaket dengan perjuangan untuk menegakkan kembali independensi badan pengadilan.350 Padahal sebelum tahuntahun tersebut, “only two states in the region possessed anything like a constitutional tribunal neither of which gave the slightest hint of a robust constitutional review power.”351 Tidak mengherankan bahwa anutan Constitutional Review menjadi “a trade mark or as a proof of the democratic character of the respective country.”352 Pelembagaan CR bahkan merupakan “the more important mystery is the success of some of these courts in propelling, guiding, safeguarding, and making 349 Hamid Awaludin, op.cit. hlm. 7-8. W. Sadurski, “Postcommunist constitutional courts in search of political legitimacy,” European University Institute Law Working Paper No. 2001/11, Department of Law, European University Institute, Florence 2001, hlm. 8. 350 351 Ibid. 352 L. Sólyom, op.cit., hlm. 134. commit to user 102 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id themselves essential to the larger transformations to constitutional democracy of their respective states.”353 Dengan Constitutional Review tersebut, “The courts contributed to the process of transition to democracy in a number of vital ways ––some quite general, and some highly country-specific.”354 Mekanisme CR telah menghadirkan “an effective political check on other branches of the national (and in some cases local) government, partially diffused some of the most explosive conflicts over both substantive issues and interbranch power struggles,9 and generated an until-then unfathomable degree respect for the primacy of constitutional law and compliance with the courts’ edicts.”355 Bahkan, CR “reveal[ed] a radical development in the transition out of the Soviet-style governmental system of entirely centralised state power.”356 Hal ini karena tradisi sebelumnya, disebabkan pengaruh ajaran Marxis, “interpretations of the law, concepts such as justice, rule of law, and equality before the law were fictions.”357 Hukum tidak lebih dari sekadar instrumen pemerintah untuk memaksakan kehendak penguasa dan oleh karena itu maka “law acted to maintain the existing political system and to quash unrest” dan ”the judiciary in communist states was neither independent nor active.”358 Pada negara Eropa post communist tersebut, kebanyakan mengadopsi adanya kelembagaan pengadilan khusus yaitu MK setelah mengalami transisi ke demokrasi, kecuali Yugoslavia dan Polandia, yang masing-masing sejak 1963 dan 353 354 Ibid. W. Sadurski, op.cit., hlm. 7-8. 355 H. Schwartz, 2000, The Struggle for Constitutional Justice in Post-Communist Europem Chicago: University of Chicago Press, hlm. 100. 356 M. Brzezinski, op.cit., hlm. 130. 357 Gordon B. Smith, 1996, Reforming the Russian Legal System. New York: Cambridge University Press, hlm. 28. Kathryn Hendley, 1996, Trying to Make Law Matter: Legal Reform and Labor Law commit to user in the Soviet Union. Ann Arbor: University of Michigan Press, hlm. 16. 358 103 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id 1985 telah mengadopsi kelembagaan tersebut.359 Hampir semua negara dalam dekade tersebut membentuk Mahkamah Konstitusi seperti di Rusia, Polandia, Hongaria, Bulgaria, Ceko, Slovakia, Slovenia, Bosnia-Herzegovina, Macedonia, Lithuania, Georgia, Armenia, dan Azerbaijan. Menurut Jimly Asshiddiqie, MK di negara-negara demokrasi baru itu berhasil menempatkan diri sebagai pendatang baru yang cukup produktif dan “menjanjikan perbaikan.”360 Seperti disimpulkan Jan Erick Lane dan Ersson Svante, situasi di negara demokrasi baru itu terformat dalam kata-kata “if a country wishes to introduce democracy, then the best institutional devices it could employ in constitutional engineering are legal institutions such asstrong legal [judicial or constitutional] review.”361 Gelombang ke-4 sebagai penanda dinamika politik pada tahun 1990-an memaksa juga negara-negara di kawasan Amerika Latin untuk melakukan reformasi peradilan dan mendorong pelembagaan CR yang pada akhirnya menciptakan arus baru kekuasaan yang menghormati hukum dan hak-hak asasi.362 Di negara Amerika Latin, adopsi gaya pemisahan kekuasaan Amerika mengalami kegagalan karena “their ‘founding fathers’ were in fact rural oligarchs (caudillos) who adopted this system, not to guarantee personal freedom, but rather to establish a strong executive power for the purposesof preventing the disintegration of their newly independent states.363 Implementasi sistem tersebut di negara kawasan Amerika Latin menunjukkan “the 359 Herman Schwartz, op.cit., hlm. 29-30. 360 Jimly Asshiddiqie, op.cit., hlm. 40. 361 Jan-Erik Lane dan Ersson Svante op.cit., hlm. 178. 362 Diskusi mengenai judicial reform di negara kawasan Amerika Latin dapat dibaca antara lain: William Rafflift dan Edgardo Buscaglia, op.cit., hlm. 59-71 dan Peter DeShazo dan Juan Enrique Vagas, “loc.cit. Rett R. Ludwikowski, “Latin American Hybrid Constitutionalism: The United States Presidentialism in the Civil Law Melting Pot”, Boston University International Law commit to user Journal, Vol. 21, No.29, 2003, hlm. 51. 363 104 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id model of governance concentrated around the executive power.”364 Lagipula, semenjak masa penjajahan Portugis dan Spanyol, “almost all Latin American constitutions are provisions that permit both democracy and dictatorship.”365 Hal ini diperparah juga dengan kenyataan bahwa “constitutions are not entrenched because political leaders do not fear citizen mobilization when fundamental rules of the game are violated.”366 Sekalipun di sejumlah negara CR sudah diatur dalam konstitusi pada abad ke-19 dan ke-20, mekanisme itu hanya akan efektif apabila terjadi praksis yang memberikan independensi pengadilan di hadapan pemerintah dan parlemen. Hingga awal abad ke-20, konstitusi di kawasan ini gagal menghasilkan pengadilan yang independen. Praktik demokrasi yang terhenti pada dekade 1960-an dan 1970-an menyebabkan CR menjadi tidak berfungsi. Hal ini disebabkan karena pemerintah bebas untuk memilih mana diantara aturan-aturan dalam konstitusi yang harus dihormati dan mana yang harus disingkirkan baik karena watak diktatorial maupun karena pemerintahan dalam keadaan darurat, yang menyebabkan isu-isu ketatanegaraan dianggap tidak relevan. Pelembagaan CR yang populer di kawasan ini adalah mengintegrasikan ke MA atau membentuk Dewan Konstitusi (Constitutional Tribunal) secara khusus. Dalam hal diintegrasikan ke MA, maka ada yang dilekatkan kepada fungsi peradilan dari badan ini maupun dibentuk special chamber di lingkungan lembaga ini. Negara seperti Argentina (Konstitusi 1994), Brazil (Konstitusi 1994), Honduras (Konstitusi 1962), Meksiko (Konstitusi 1995), Nikaragua (Konstitusi 1987), Panama (Konstitusi 1941), dan Uruguay (Konstitusi 364 Ibid. 365 Keith S. Rosenn, “The Success of Constitutionalism in the United States and Its Failure in Latin America”, University of Miami Inter-American Law Review,Vol. 22, No. 1, 1990, hlm. 33. 366 commit to user Rett R. Ludwikowski, op.cit., hlm. 57. 105 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id 1967) merupakan contoh negara yang melembagakan CR pada Mahkamah Agung. Sementara itu, Costa Rica (Konstitusi 1989), El Savador (Konstitusi 1983), Paraguay (Konstitusi 1992), dan Venezuela (Konstitusi 2000) merupakan contoh negara yang membentuk special chamber dalam lingkungan MA. Sedangkan negara yang melembagakan CR dengan membentuk badan khusus adalah Bolivia (Konstitusi 1994), Chile (Konstitusi 1990), Kolumbia (Konstitusi 1991), Ekuador (Konstitusi 1998), Guetamala (Konstitusi 1985), dan Peru (Konstitusi 2001). Pertumbuhan gelombang demokratisasi yang dicirikan antara lain pelembagaan ide CR juga tidak luput di negara-negara kawasan Asia. Kejatuhan rezim Ferdinand Marcos di Filipina (1986) diikuti dengan demokratisasi di Korea Selatan (1987), Mongolia (1990), Taiwan dan Thailand (1992), Kamboja (1993), Indonesia (1999), dan Timor Leste (2002). Wajah baru demokratisasi di kawasan ini memberikan bahan untuk studi komparatif politik dengan format baru.367 Kebanyakan studi tersebut sedkit memperhatikan masalah penguatan secara politik dari pengadilan. Sekalipun isu pengadilan menjadi bagian dari diskusi mengenai rule of law dan rule of law sendiri merupakan salah satu konsentrasi utama dari transisi ke demokrasi, sedikit studi yang melihat keterkaitan antara demokrasi dengan peran pengadilan.368 Suatu pengecualian dari analisis ini adalah Singapura dan Hong Kong. Kedua negara itu dikategorikan sebagai “never faced any credible electoral” sehingga pembicaraan CR tidak dikaitkan dengan transisi ke demokrasi. Institusi CR sendiri tumbuh “This development has inspired a new generation of comparative analyses of institutions of democratic governance in the region.” Lihat: Aurel Croissant, Provisions, Practices, and Performances of Constitutional Review in Democrating East Asia, Paper to be Presented at IPSA-ECPR Joint Conference: Whatever Happened to North-South? Section: Transitional Justice, Reconciliation and the Quality of Democracies Panel: Constitutional Courts – Advocates or notaries of democracy?, San Paulo, 19 Februari 2011, hlm. 2. 367 368 Diskusi lebih lanjut mengenai hal ini, dapat dilihat dalam: C. Sunstein, “Constitutions and Democracy: An Epilogue”, dalam commit to userJ. Elster and R. Slagstad, 1993, (eds), Constitutionalism and Democracy. Cambridge: Cambridge University Press, hlm. 327-356. 106 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id seiring dengan tingkat perkembangan ekonomi yang tinggi, minimalisasi korupsi, kepatuhan terhadap tertib sipil, dan efisiensi pemerintahan. Oleh sebab itu, maka “the Singapore Supreme Court has consistently deferred to the Government, the Hong Kong Court of Final Appeal has taken a relatively activist stance in constitutional adjudication.”369 Oleh sebab itu:370 In Singapore constitutional rights were adopted as part of the symbolism expressing the city-state’s modernity and equality to the West, but then the Judicial Committee of the Privy Council and the early Supreme Court began importing actually liberal elements into their rulings. Nonetheless, in the past two decades constitutional judicial review was turned into a regularly used instrument for giving authoritative legal credibility to the government’s controversial decisions. In Hong Kong constitutional judicial review was introduced to express the colonial government’s disapproval of China’s human rights record, yet it has since 1997 became a robust and activist check on government authority. Dari kasus Singapura dan Hong Kong itu layak disampaikan bahwa CR “appears more important to democratic than to authoritarian polities.”371 Terkait dengan CR, Filipina menggunakan model Amerika di mana wewenang itu melekat pada MA, sementara model Prancis dianut di Kamboja dan Timor Leste. Indonesia dan Mongolia secara praksis tak pernah menikmati kebebasan pengadilan sampai terjadinya demokratisasi era 1990-an.di Taiwan Konstitusi 1947 mengadopsi the Council of Grand Justices yang mempunyai wewenang untuk menafsirkan Undang-Undang secara ekslusif, sekalipun badan ini melekat kepada pemerintah. Di Korea Selatan, Dewan Konstitusi menurut Konstitusi Repulik I (1948-1960), Republik Eric I.P., “A Positive Theory of Constitutional Judicial Review: Evidence in Singapore and Hongkong”, http://ssrn.com/abstract=1928867, diakses di Sukoharjo, 12 Oktober 2011, hlm. 15. 369 370 Ibid., hlm. 65. 371 Ibid., hlm. 66 commit to user 107 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id IV (1972-1980), dan Republik V (1980-1987), maupun MK menurut Konstitusi Republik II (1960-1961) dan MA menurut Konstitusi Republik III (1963-1972) tunduk di bawah kekuasaan Pemerintah. Sementara itu, Thailand, beberapa diantara 15 konstitusi yang dibentuk antara 1932-1991 mengatur MK yang berwenang menentukan konstitusionalitas UU produk parlemen dan keputusan pemerintah. Tetapi menurut Gisburg, “this power was not actively exercised as the lack of a stable system of constitutional rule worked against the emergence of an effective system of constitutional review.” Seiring dengan terjadinya transis ke demokrasi, terdapat perubahan adopsi mekanisme CR. Korea Selatan pada tahun 1988 menganut MK yang dekat dengan model Jerman.372 Sementara dalam reformasi konstitusi (1990-1992), Mongolia mengadopsi Dewan Konstitusi (Tsets) yang mempunyai wewenang terbatas. Untuk pertama kalinya dalam Konstitusi 1997 Thailand membentuk MK yang independen, akan tetapi dengan kudeta militer 2006, diberlakukan Konstitusi sementara yang mengatur mengenai Dewan Konstitusi, dan dengan telah diberlakukannya Konstitusi 2007, diatur MK dengan kewenangan yang diperluas hingga menangani constitutional complaint dan mengurangi pengaruh Senat dalam rekrutmen hakim. Sejak perubahan politik dari partai tunggal ke multipartai, pada tahun 1980 Taiwan mengadopsi the Council of Grand Justices of the Judicial Yuan yang memperkuat kelembagaan sejenis pada Konstitusi 1947.373 Dalam perubahan Konstitusi 1992, wewenang the Council of Grand Justices of the Judicial Yuan dperluas hingga menangani masalah pemilihan umum dan reformasi konstitusi serta konstitusionalitas partai politik. Dengan keaktifannya lembaga ini 372 Herbert Han-pao Ma, The Rule of Law in a Contemporary Confucian Society: A Reinterpretation, presentation to Harvard Law School’s East Asian Legal Studies Program (Spring 1998). G. Healy, “Judicial Activism in theto New Constitutional Court of Korea”, Columbia commit user Journal of Asian Law, Vol. 14, 2000, hlm. 213. 373 108 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id sejak 1995 menyatakan berwenang menangani masalah constitutional petition dan sejak 1997 berhasil merombak masa jabatan hakim konstitusi menjadi 8 tahun dan setengahnya diganti tiap 4 tahun dengan proses yang dimulai pada 2005. Di Indonesia, dengan memperlajari kasus pemberhentian Presiden Abdurrahman Wahid (2001), dibutuhkan dibandingkan lembaga mekanisme yang politik, merupakan sehingga forum pada tahun hukum 2003 dibentuklah menurut UU No. 24 Tahun 2003 lembaga Mahkamah Konstitusi.374 Sementara itu, di Afrika, Perkembangan CR sudah melampaui warisan Marbury (the legacy of Marbury) karena mekanisme tersebut telah mencapai “taking the constitution away from the courts.”375 Salah kawasan yang dengan cepat mengadopsi CR tersebut adalah kawasan Sub-Sahara Afrika. Sebelumnya, sistem politik di negara-negara kawasan ini umumnya ditandai dengan mekanisme yang antikompetitif, dikuasai oleh militer, partai tunggal, dan presiden yang berkuasa dalam jangka lama (“life president”). Situasi itu, yang merupakan warisan pasca kolonial376, kemudian berubah dengan dilaksanakannya pemilihan umum, pembatasan kekuasaan presiden, Jimly Asshiddiqie, 2009, “Creating a Constitutional Court for a New Democracy”, paper presented at Melbourne Law School, March 11, 2009, The University of Melbourne, hlm. 10. 374 Sanford Levinson, “Why I Do Not Teach Marbury (Except to Eastern Europeans) and Why You Shouldn’t Either”, Wake Forest Law Review, Vol. 38, 2003, hlm. 553. Baca juga: Michael J. Klarman, “How Great Were the “Great” Marshall Court Decisions?, Virginia Law Reviwe, Vol. 87, 2001, hlm. 1111-1113. 375 376 Sistem ketatanegaraan, termasuk isu yudisial dan Constitutional Review secara praksis sebenarnya bukanlah agenda baru dalam konteks post-colonial di Afrika. Pada umumnya, yang terjadi adalah penciptaan negara merdeka baru yang kemudian mereka melaksanakan bangun kenegaraan yang sebelumnya telah ditata selama kolonisasi. Pergantian konstitusi seketika menyebabkan terbentuknya rezim pemerintahan baru, suatu gambaran pula ketika junta militer berkuasa, mereka dengan segera membuat restorasi konstitusi guna memberikan cap legitimasi atas kekuasaan politiknya, yang kadang-kadang rezim seperti ini membuat konstitusi yang juga diberi label konstitusi demokratis. Diskusi lebih lanjut soal ini, periksa: Victor T. Le Vine, “The Fall and Rise of Constitutionalism in West Africa”, Journal of Modern Africa Studies, 1997, Vol. 35, hlm. 183-87 dan William Dale, “The toMaking commit user and Remaking of Commonwealth Constitutions”, International Law and Comperative Lagal Quartely, Vol.42, 1993, hlm. 67. perpustakaan.uns.ac.id 109 digilib.uns.ac.id dan pembentukan lembaga perwakilan rakyat, seperti terjadi di Nigeria, Ghana, Kenya, Senegal, Mozambique, Zambia, Tanzania, Malawi, Benin, Uganda, dan Mali. Tak kalah penting, dalam pembentukan gelombang baru demokrasi itu, terjadi reformasi konstitusi377, yang salah satu isu yang menonjol adalah pemberdayaan badan pengadilan. Pemberdayaan itu memberikan atribut konkrit kepada pengadilan untuk menafsirkan konstitusi, menguji undangundang baru, dan berbagai jaminan konstitusional lain.378 Diantara negara di kawasan ini yang paling populer adalah Afrika Selatan. Selepas penghapusan apharteid politic, Afrika Selatan memberlakukan Konstitusi Sementara (1993) yang memuat prinsipprinsip “a non-racial, multiparty democracy, based on respect for universal rights.”379 Setelah terbentuknya pemerintahan sipil yang mendorong terpilihnya Presiden Nelson Mandela dan diberlakukannya Konstitusi 1996, mekanisme CR dilembagakan ke dalam Mahkamah Konstitusi, yang meniru model Jerman dengan sedikit variasi. 380 Mengenai yurisdiksi Mahkamah ini, Karl E. Klare menulis: This institutionalfeature is significant for the argument of this essay because it means that the CCSA, unlike courts of mixed jurisdiction, is not able to build its legal legitimacy in nonconstitutional matters – even when deciding 377 Dalam literature, perubahan politik yang disertai dengan reformasi konstitusi merupakan suatu “ a constitutional moment”, yaitu suatu istilah untuk “describe episodic points in a country’s constitutional history when previously settled understandings as to the nature and structure of the constitutional order are repudiated without recourse to the formal amendment procedure and replaced by new understandings that are widely accepted as legitimate. “ Lihat H. Kawshi Prempeh, op.cit., hlm. 6. Christopher S. Wren, “Katutura Journal: For Namibians, After the Battles, a Civics Class”, N.Y.TIMES, 19 Maret 1991, hlm. A4. 378 Stephen Ellmann, “The New South African Constitution and Ethnic Division”, Columbia Human Rights Law Review, Vol. 26, hlm. 44. 379 380 Variasi tersebut adalah bahwa lingkungan pengadilan di bawah Mahkamah Agung mempunyai wewenang terbatas dalam melakukan judicial review, yang putusannya dapat dikoreksi oleh Mahkamah Konstitusi. Lihat: Lech Garlicki, “Constitutional Courts versus Supreme Courts”, International Law Journal oncommit Constituional Law, Vol. 44, No. 5, 2007, hlm. 50-54. to user Baca juga Pasal 169-172 Konstitusi Afrika Selatan (1996). 110 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id routine matters, the CCSA is declaring constitutional law that may have application in later, more politically controversial cases. If the theoretical reflections in the previous part are sound, this means that the CCSA must be alert in every case it decides to the potential impact of its decision on its institutional security.381 Pelembagaan seperti di Afrika Selatan juga dilaksanakan di negara Rwanda dan Togo, sementara Nigeria, Seychelles, Sierra Leone, dan Tanzania mengadoposi model Amerika Serikat. Sedangkan Senegal menggunakan model Prancis dengan membentuk Dewan Konstitusi. Berdasarkan uraian di atas, dapat dianalisis bahwa “judicial review” dalam awal mula tradisi di Amerika berangkat dari inovasi konstitusional MA tanpa terlebih dahulu ada pengaturan dalam konstitusi. Hal tersebut mengkonfirmasi sebagai “judicialization of politics” yang berangkat dari relasi horizontal antara Presiden dan Congress. Kemudian, dalam gelombang kedua, CR dalam demokrasi di Eropa (Barat) yang tumbuh pada masa pasca Perang Dunia II, penerimaan gagasannya berangkat dari asumsi bahwa para pembentuk UU (legislature) dapat bertindak keliru dan oleh sebab itu, pengadilan dianggap sebagai institusi yang tepat untuk “merapikan” kembali pembentukan legislasi. Dengan demikian, menjadi hal yang wajar, jika gagasan CR tumbuh berkesuaian dengan anutan sistem parlementer. Pada perkembangan berikutnya, dalam era gelombang ketiga, gagasan CR diterima seiring dengan demokratisasi yang mengadopsi kelembagaan khusus pengadilan konstitusi dengan penyesuaian seperlunya. Dalam tahap ketiga ini, mekanisme CR telah memberikan sumbangan yang penting bagi konsolidasi demokrasi. Karl E. Klare,”Legal Culture Transformative Constitutionalism”, African commitand to user Journal of Human Rights, Vol. 14, 1998, hlm. 146. 381 perpustakaan.uns.ac.id 111 digilib.uns.ac.id B. Model-Model Constitutional Review Pada rubrik ini akan dibahas mengenai model-model pengadilan konstitusi, yang antara lain mempunyai kewenangan untuk CR. Dimaksudkan sebagai model dalam tulisan ini adalah menyangkut desain institusional CR tersebut. Para sarjana dan praktisi memandang bahwa memang terdapat bermacam-macam cara untuk menyusun peradilan konstitusi (constitutional adjudication). Misalnya, para akademisi mempertimbangkan hakekat dan batas-batas “judicial activism.” Menurut pendapat Bork, “judicial role of applying neutral principles to constitutional problems rather than using judges' values in deciding cases.”382 Sementara itu, Johnson menyatakan bahwa “constitutional doctrines of federalism and separation of powers circumscribe judiciary in reviewing matters involving legislative and executive decisions.”383 Pada sisi lain, Posner mengemukakan pendapat bahwa substansi pengadilan konstitusi mengandung arti “role ofjudiciary as check on government institutions but only to extent allowed by Constitution and intent of framers.”384 Pada sisi lain, secara diamtral terdapat pandangan yang “disagree about the proper role of original intent, of the constitutional text itself, of tradition, and of popular and judicial moral reasoning in the process of constitutional adjudication.”385 Misalnya, pendapat John Alexander yang menyatakan bahwa “role of pre-constitutional rules of interpretation in theory that judges should look to original intent rather than creating law.”386 Demikian pula kecaman yang ditulis oleh M. Bork pada saat mengeksplorasi M. Bork, “Neutral Principles and Some First Amendment Problems”, Indiana Law Journal, Vol. 47, 2001, hlm. 113. 382 E. Johnson, “The Role of the Judiciary with Respect to the Other Branches of Government”, Georgia Law Review, Vol. 11, 2007, hlm. 463-469. 383 Posner, “The Meaning ofJudicial Self-Restraint”, Indiana Law Journal, Vol. 59, 2003, hlm. 218. 384 385 R. George Wright, “Two Model of Constitutional Adjudication”, American University Law Review, Vol. 40, 2001, hlm. 1358. John Alexander, “Paintingcommit Without to theuser Numbers: Non-Interpretive Judicial Review, University of Dayton Law Review, Vol. 8, 2003, hlm. 451. 386 112 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id gagasan mengenai “expanding on Madisonian dilemma of rule by majority versus rule by authoritative minority.”387 Jangkauan perkara CR pada hakekatnya adalah perkara yang menyangkut kasus-kasus konstitusional. Tidak gampang untuk menentukan karakter khusus dari sebuah kasus konstitusional. Salah satu yang sering ditonjolkan dalam penyelesaian masalah konstitusi adalah penafsiran yang kemudian terjepit dalam kekakuan hierarki hukum yang ada. Misalnya saja, apabila ada ketentuan UU yang memidanakan anak dalam tindakan melakukan akses informasi yang bersifat pornografi. Secara fundamental, ketentuan semacam itu akan segera dicap bertentangan dengan konstitusi, sepanjang hukum dasar menentukan mengenai kepastian soal “privacy.” Ketentuan konstitusi tidak boleh dihalang-halangi oleh ketentuan UU yang melanggarnya. Secara substansial, George Wright menyatakan ada 2 aliran untuk mendukung peradilan konstitusi yaitu aliran “the foundationalist” dan “the coherentist.”388 Dapat dikatakan bahwa “that foundationalism and coherentism in the constitutional context present different structural relationships between constitutional, statutory, and regulatory provisions.”389 Menurut aliran fondasionalisme, “the relations of justification between constitutional, statutory, and regulatory provisions exclusively conform to a strict hierarchy.”390 Pendapat ini dibangun dengan asumsi bahwa “that constitutional provisions are justified as long as attention is confined to the legal system.”391 Dengan demikian, “constitutional norms are justified, outside the legal system, by their self-evident nature, indubitable validity, or by moral principles outside the constitutional system, a foundationalist system 387 M. Bork, “Styles in Constitutional Theory”, Texas Law Journal, Vol. 26, 2003, hlm. 388 R. George Wright, op.cit., hlm. 3. 389 Ibid. 383-384. 390 Annis Alston, “Two Types of Foundationalism”, Journal of Philosophis, Vol. 73, 1996, hlm. 345. 391 Ibid., hlm. 345-346. commit to user 113 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id of case adjudication accepts those constitutional norms as given.”392 Sebagai suatu ketentuan dasar, “constitutional provisions validate and demarcate the legitimate content and scope of related statutes.”393 Sebagai akibatnya, “constitutional and statutory provisions act together in justifying and circumscribing the legitimate content of administrative regulations.”394 Sementara itu, aliran koherensisme mengatakan bahwa “permits departures from the strict hierarchy, asymmetry, and uni-directionality of constitutional foundationalism.”395 Secara sederhana, pemikiran koherensisme membuka kemungkinan “that a relevant statute or administrative regulation could help justify, provide content for, or demarcate the legitimate scope of a constitutional provision.”396 Dengan demikian, koherensisme mengizinkan untuk “the blurring or obscuring of the hierarchical structure within federal and state judicial systems.”397 Dalam konteks yang paling minimal, aliran ini “permits constitutional and statutory provisions to be treated as somehow mutually supporting, similar to the various planks of a raft.”398 Jika dicermati, aliran fondasianalisme dan aliran koherensisme samasama berbicara mengenai keabsahan pengadilan konstitusi. Keduanya, walaupun mempunyai perbedaan dasar argumentasi, juga sama-sama memberikan petunjuk dalil apa yang hendaknya muncul dan digunakan pada saat terjadinya perselisihan konstitusional. Perbedaan diantara keduanya terletak pada penekanan bahwa fondasionalisme menekankan hendaknya pengertian konstitusi ditelusuri menurut sudut pandang makna pada saat penyusunan (original intent), sementara aliran yang kedua menekankan pemberian makna konstitusi sehubungan dengan “due process of law.” 392 Ibid., hlm. 346. 393 Ibid. 394 Ibid. Van Cleve, “Foundationalism, Epistemic Principles, and the Cartesian Circle”, Philosophy Review, Vol. 88, 1999, hlm. 55. 395 396 Ibid., hlm. 57. 397 R. George Wright, op.cit., hlm. 5. 398 Ibid., hlm. 6. commit to user 114 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Dalam literature dikenal adanya 3 (tiga) sudut pandang untuk mendesain kelembagaan CR. Pertama, sudut pandang kultural historis. Pada sudut pandang ini, adopsi CR dilakukan dengan memperluas kelembagaan pada masa lampau, kecenderungan sejarah, atau faktor kebudayaan setempat. Perluasan CR secara historis sebagai dampak dari Perang Dunia II, semakin meluasnya campur tangan negara dalam kesejahteraan sosial, dan sebaran global demokrasi. Keanekaragaman dalam budaya hukum mencirikan kelembagaan yang sifatnya khas. Di dalam negara yang menganut Civil Law System, di mana dianut paham kesucian UUD dan hukum sebagai cermin kehendak rakyat, dan karena supremasi parlemen secara absolut tidak sejajar dengan kekuasaan pengadilan umum dalam menafsirkan ketentuan UU, maka pilihan biasanya kepada CR yang tersentralisasi.399 Di samping itu, pengadilan mereka biasanya ditandai dengan karakter hakim sebagai bagian dari birokrasi dan ketimpangan sehubungan sistem pengadilan unitaris dan ajaran stare decisis, negara-negara ini juga menolak pelembagaan model Amerika guna mengembangkan CR, akan tetapi dengan membentuk suatu Mahkamah Konstitusi.400 Sejarah atau kebudayaan dapat pula menjadi pijakan penjelas yang bersifat khusus dalam pelembagaan CR di negara-negara yang menganut tradisi Civil Law System. Situasi pascaperang di Jerman atau Italia, demokratisasi di Spanyol dan Portugal, situasi transisi 1989 di Eropa Timur penolakan CR melalui model Amerika Serikat disebabkan “intensified by the strong previous subordination of ordinary judges to authoritarian or totalitarian rulers and their socialization in a culture of political submission, which rendered them untrustworthy from the point of view of new democratic authorities.” 401 Penulis lain menegaskan adanya faktor historis dalam hal 399 Alec Stone Sweet , "Judging Socialist Reform: The Politics of Coordinate Construction in France and Germany”, op.cit., hlm. 401. 400 Herman Schwartz, The Struggle for Constitutional Justice in Eastern Europe, op.cit., hlm. 22. Lynn M. Maurer, "Parliamentary Influence commit to user in a New Democracy: The Spanish Congress", Journal of Legislative Studies, Vol. 5, 1999, hlm. 24. 401 115 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id adanya keanekaragaman pelembagaan CR tersebut. “Nations with no longstanding tradition of a reliable democracy and where deviations from parliamentary rule have occurred are seen as more likely to add centralized judicial review by constitutional courts to their set of new democratic institutions.402 Kedua, pendekatan fungsionalis. Menurut sudut pandang ini, kemampuan suatu negara untuk menyusun desain kelembagaan pengadilan akan menentukan terhadap penyelesaian persoalan tertentu baik dari sudut sosial, politik, ekonomi, maupun legal. Pendekatan fungsionalis menjelaskan bahwa keberadaan CR seringkali “have response to general political and social needs”, seperti “introducing institutional bulwarks against a recurrence of authoritarianism”403, “assuring the supremacy of the rule of law”404, “preventing unduly politicization of the judicial system”405 atau kebutuhan untuk "police the complex constitutional boundary arrangements in countries.”406 federal Penulis lain menghubungkan pilihan desain Constitutional Review dengan persoalan “preventing political decision-making gridlock caused by fragmented party systems or, conversely, introducing additional checks and balances on political systems that seem to lack them.”407 Beberapa penulis menguraiakan pilihan CR dari sudut pandang ekonomi politik, yang dihubungkan dengan “emergence of non-or anti- 402 Klaus von Beyme, "Institutional Choice in New Democracies: Bargaining Over Hungary's 1989 Electoral Law.”, Journal of Theoretical Politics, Vol. 13, 2001, hlm. 153; Alivizatos Heidi Ly, "The Judicialisation of Politics: Contemporary Trends in Research on European and Other Courts, West European Politics, Vol. 22, 1999, hlm. 583. 403 Alec Stone Sweet, The Birth of Judicial Politics in France. The Constitutional Council in Comparative Perspective, op.cit., hlm. 43. 404 George Brunner, "Decentralization in Spain: A Re-evaluation of Causal Factors", South European Society & Politics, Vol. 2, 2000, hlm. 80. 405 Bawn Beirich, "The Logic of Institutional Preferences: German Electoral Law as a Social Choice Outcome", American Journal of Political Science, Vol. 37, 2008, hlm. 965. 406 Baca ulasan selengkapnya dalam: Lawrence Baum, 1997, The Puzzle of Judicial Behavior, Ann Arbor, Michigan University Press. 407 commit to user Herman Schwartz, op.cit., hlm. 23 perpustakaan.uns.ac.id 116 digilib.uns.ac.id majoritarian institutions such as constitutional courts to their role as efficient solutions to collective-action problems”, sehingga pengujian tersebut akan menjalankan peran dalam “stabilizing potentially chaotic social choices, reducing transaction costs, fostering credible commitments, and solving coordination problems in economic and political markets.”408 Secara konkrit, perspektif ekonomi politik akan mendeskripsikan bahwa CR pertama-tama didorong oleh “creating checks upon unfettered majority rule such as judicial review, institutional designers contribute to give stability and credibility to policy outcomes and constitutional rules, protecting them against transient passions and mitigating agency losses in the relationship between voters, representatives and bureaucracies.409 Kedua, “if constitutions are seen as inevitably incomplete contracts, constitutional courts and other nonmajoritarian institutional bodies can be described as outside arbitrators in charge of filling gaps, resolving ambiguities, monitoring the behavior of the contracting parties, and assuring them that such ambiguities will not be explored for private gain.” Dengan kata lain, CR diharapkan menampakkan diri sebagai "institutional responses to the incomplete contract, the linked problem of uncertainty and enforcement.”410 Ketiga, pendekatan strategis. Dalam pendekatan ini, CR merupakan ajang tawar menawar diantara para aktor politik dalam rangka memperoleh keuntungan tertentu. Pembentukan suatu lembaga negara, terlepas apakah berpotensi untuk efektif atau tidak, akan dapat melembagkan kepentingan politik yang ada. Oleh sebab itu, “Under these assumptions, and since not all relevant political actors involved in these decisions have necessarily the same bargaining power, the balance of forces between them in the process of institutional design matters for which kind of institutions are chosen.”411 Dan 408 Lawrence Baum, op.cit., hlm. 45. 409 Ibid., hlm. 47. 410 Alec Stone Sweet, Governing with The Judge, op.cit., hlm. 44. Gabriel L.Negretto, “Constitution-Making and Institutional Design. The Transformation of Presidentialism in Argentina”, Political Science Review,Vol. 88, commit to American user 1999, hlm. 711. 411 117 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id karena kesadaran di luar kaidah hukum mengenai potensinya di waktu yang akan datang, “generalized uncertainty about the future electoral strength of each political actor and about the consequences of institutional choices might have an important impact in outcomes.”412 Dengan menggunakan pendekatan startegis itu, dimungkinkan untuk membuat prediksi mengenai keberadaan CR sebagai hasil konkrit dari desain tertentu. Menurut Negretto, jika suatu partai politik diramalkan tampil sebagai kekuatan dominan, maka penyusunan desain Constitutional Review “are expected to provide few checks on the power of the majority in terms of electoral mechanisms, executive-legislative balance, judicial independence, or decentralized structures of government.”413 Sebaliknya, jika suatu partai politik gagal menjadi pemenang pemilu pada masa yang akan datang, maka seperti dipaparkan oleh Ginsburg, maka CR akan didesain untuk menjaga kepentingan partai politik sebagai “a form of insurance to prospective electoral losers during the constitutional bargain.”414 Pengusungan keseimbangan ini yang akan menentukan desain institusi Constitutional Review. Sejauh mungkin, partai politik yang mendominasi akan tak hanya menerima gagasan Mahkamah Konstitusi yang berkuasa, tetapi juga berusaha memaksimalkan kepentingan mereka terhadap susunan pengadilan (dengan rekrutmen hakim yang dipengaruhi faktor politik)415 dan minimalisasi mereka akan pengaruh konfigurasi politik di masa yang akan datang (dengan memperlebar otonomi pengadilan). Kebanyakan pembentukan MK di negara yang mengalami demokratisasi banyak yang dapat dijelaskan dalam perspektif tersebut. Menurut Mandel, “parliamentary sovereignty is the battle cry of the 412 Ibid., hlm. 712. 413 Ibid., hlm. 716. 414 Tom Ginsburg, "Economic Analysis and the Design of Constitutional Courts", Law and Economics Working Paper No. 00-25, University of Illinois College of Law, hlm. 5. 415 Seperti dikatakan Ramseyer, bahwa "by politicizing appointments while depoliticizing control (…), they augment their influence during periods when they are out of power.” Lihat: J. Mark Ramseyer, "Thecommit Puzzlingto(In)dependence of Courts", Journal of Legal user Studies, Vol. 23, 2004, hlm. 740. 118 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id bourgeoisie so long as the suffrage is restricted to property owners. But both property owners and constitutional theory both lose confidence in parliaments the moment they threaten property.”416 Dalam konteks ini, pembentukan MK di Eropa yang begitu massif merupakan reaksi antisipatif dari dominasi modal ke perluasan hak pilih, “through which judicial institutions were empowered in order to constrain the policy-making discretion of future legislatures soon about to be controlled by their political adversaries.417 Pembentukan Dewan Konstitusi di Prancis nampak mengikuti pola tersebut. Persaingan yang terjadi bukan antara kaum oposisi dengan penguasa, melainkan tarik ulur antara eksekutif dengan Parlemen. Setelah era instabilitas demokrasi parlementer dan kekisruhan sistem multipartai pada masa Republik III dan Republik IV, pembentukan Dewan Konstitusi yang didorong oleh De Gaulle disokong untuk melucuti supremasi Parlemen. Dengan Konstitusi Republik V (Konstitusi 1958), Dewan Konstitusi diberikan wewenang untuk menguji terlebih dahulu RUU tidak hanya inferioritasnya terhadap Konstitusi, tetapi juga kesesuaian dengan Undang-Undang lain, termasuk penilaian yurisdiksi Parlemen, suatu usaha yang memungkinkan meredefinisikan ulang relasi antara eksekutif dan legislatif. Untuk memastikan bahwa Dewan Konstitusi tidak mengambilalih pengawasan oleh Parlemen, secara keseluruhan hal itu tercermin dalam rekrutmen anggota Dewan Konstitusi dan larangan menerima pengujian setelah Undang-Undang disahkan.418 Dengan demikian, dalam perspektif strategis, seperti ditulis oleh Ginsburg, pelembagaan CR “when no political actor is able to impose its preferences unilaterally on others and when there is generalized uncertainty about the prospective gains to be obtained from institutional choices.”419 Seperti juga ditulis oleh Schiemman, “When no one can impose ‘custommade’ institutional rules, either because they lack the power to impose 416 Lihat dalam Ibid., hlm. 743. 417 Ibid. 418 Tom Ginsburg, op.cit., hlm. 31. 419 Ibid., hlm. 7. commit to user perpustakaan.uns.ac.id 119 digilib.uns.ac.id anything at all or because they do not know which rules would bring greater benefits, the process of institutional choice becomes more complex, making the different levels of impatience displayed by negotiators more important for the final outcome, and even threatening to paralyze the process of institutional change altogether.420 Tetapi, “if the absence of an agreement and the breakdown of negotiations are seen as the worst possible outcomes — as they often are in periods of regime transition — political actors are likely to choose institutions that provide mutualguarantees and allow them to ‘hedge their bets’.”421 Dari uraian di atas, tidak ada penjelasan yang tegas sehubungan dengan relasi antara Parlemen dengan MK (dan juga penerimaan terhadap CR serta independensi pengadilan). Beberapa hal menunjukkan, “that when uncertainty prevails about which position each party will have in the future distribution of power, all actors have incentives to choose rules for judicial appointment and supervision that restrict the prerogatives of majorities and executives, giving a say to minorities in those processes.”422 Ketidakpastian itu juga dihubungkan dengan akses yang semakin terbuka dan wewenang yang secara umum besar bagi sebuah lembaga yang melaksanakan CR.423 Sementara itu, pandangan yang bertentangan juga dengan tegas mengatakan, “uncertainty about who will have control of government leads to less powerful and independent constitutional courts, as party leader ‘may prefer to leave parliamentary power less rather than more encumbered by judicial power, as a sort of hedge against limiting one's own power should one's party achieve office.”424 Terdapat pula pandangan yang mengatakan bahwa “when the 420 John W. Schiemman "Explaining Hungary's Constitutional Court: A Bargaining Approach" Archives Européenes de Sociologie, Vol. 18, 2001, hlm. 365-366. 421 Ibid., hlm. 335. 422 Ibid. 423 Bandingkan dengan Tom Ginsburg, 2001, op.cit., hlm. 34-37. 424 Smithey and Ishyiama, "Judges as Constitution Makers: Strategic Assertions of Judicial Authority" Paper presented to the Conference for the Scientific Study of the Judiciary, commit to user College State, October 2009, hlm. 12. perpustakaan.uns.ac.id 120 digilib.uns.ac.id termination of conflicts over institutional choices cannot be made by unilateral choices or when uncertainty prevails about the ‘properties of rules’ and party's own interests, the last resort is to use solutions that are readily available and are not seen as self-serving, borrowing from foreign or domestic historical precedents.425 Dari penjelasan mengenai motivasi pilihan desain institusional dari CR di atas, dapat tergambar adanya ragam model kelembagaan upaya pengujian tersebut. Ada pelembagaan dalam bentuk MK, ada yang berbentuk Dewan Konstitusi, ada fungsi pengujian yang terintegrasi dengan MA, dan ada pula yang terkait dengan fungsi-fungsi badan lain yang telah ada. Ragam bentuk itu menggambarkan bahwa metode dan prosedur pengujian itu sendiri banyak macam dan coraknya. Dari penelusuran literatur, menurut pendapat Penulis, terdapat 6 (enam) model kelembagaan yang utama dari CR yaitu model Amerika Serikat, model Austria, model Prancis, dan model Jerman. Berikut ini akan dikemukakan secara sederhana masing-masing model tersebut. 1. Model Amerika Praktik CR di Amerika Serikat dalam putusan yang sangat terkenal dalam perkara Marbury (1803) diberi cap sebagai Judicial Review, yang menekankan control terhadap tindakan pemerintah (government action) dengan ukuran kesesuain undang-undang terhadap konstitusi. Karena pengalaman sejarahnya sebagai negara yang mewarisi tradisi hukum ‘common law’ Amerika Serikat tidak memerluka lembaga yang berdiri sendiri di luar Mahkamah Agung. Tetapi di Amerika Serikat sendiri CR tersebut masih menimbulkan banyak perdebatan dan bahkan cenderung berkembang menjadi mitos.426 Perkara Marbury sendiri sering menjadi pembahasan kritis di banyak fakultas hukum di Amerika Serikat karena menjadi dasar pembenar bahwa “the Supreme Court created its 425 Lihat: John W. Schiemman, op.cit., hlm. 366. Martin Shapiro, “The Success of to Judicial commit user Review”, Constituional Dialogue in Comparative Perspektive, Vol. 193, 1999, hlm. 218. 426 121 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id authority to declare federal statutes unconstitutional.”427 Sekalipun dalam pertumbuhan peran MA selanjutnya, mekanisme itu jarang digunakan428, akan tetapi CR dengan menguji UU Federal tumbuh pada masa MA dipimpin oleh William Renquisht. Jika ada putusan yang menyatakan batal suatu Undang-Undang Federal, biasanya akan muncul reaksi, terutama diantara pendukung legislasi itu, yang pada intinya mempertanyakan legitimasi CR oleh Mahkmah Agung. Bermacam-macam argumen untuk mencela CR tersebut tumbuh sering dengan dinamika politik dan pertumbuhan sejarah Amerika, seperti pada masa awal pertumbuhan negara429, era Perang Sipil430, era New Deal431, dan masa gerakan perjuangan kebebasan sipil.432 Sekalipun demikian, cukup fair untuk mengatakan bahwa dalam rangka relasi antara pemerintah federal dengan negara bagian, CR tidak pernah menghasilkan gejolak revolusioner mengenai pola hubungan tersebut433 dan hingga kini pun tidak pernah ada serangan politik hebat terhadap putusan pengujian tersebut seperti pernah terjadi pada masa Perang Sipil atau New Deal. Meskipun demikian, terhadap era kepemimpinan William Renquisht, banyak kalangan akademisi yang melancarkan serangan tajam terhadap produk-produk CR Mahkamah Agung. Dari spektrum “kanan”, Hakim Robert Bork menyerang tajam putusan seperti isu aborsi, yang 427 Saikrishna B. Prakash dan John C. Yoo, “The Origins of Judicial Review”, op.cit., hlm. 770. 428 Setelah perkara Marbury, Mahkamah Agung tidak pernah memutuskan perkara yang membatalkan Undang-Undang Federal, sampai dengan putusan perkara Dred Scott v Sandford (1857). Lihat dalam Ibid. Saikrishna B. Prakash dan John C. Yoo, “The Puzzling Persistence of ProcessBased Federalism Theories”, Texas Law Review, Vol. 79 , 2001, hlm. 1459. 429 430 Lynn A. Baker dan Ernest A. Young, Federalism and the Double Standard of Judicial Review, Duke Law Journal, Vol. 51, 2001, hlm. 75. 431 Barry Cushman, 1998, Rethinking the New Deal Court: The Structure of a Constitutional Revolution, Oxford University Press, hlm. 12. 432 Saikrishna B. Prakash dan John C. Yoo, op.cit., hlm. 772. Jesse H. Choper and John C. Yoo, “The Scope of the Commerce Clause after commit to user Morrison”, Oklahoma City of University Law Review, Vol. 25, 2000, hlm. 843. 433 122 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id berpotensi untuk mengubah konstitusi sebagai tindaklanjut putusan tersebut.434 Dari spektrum “kiri”, Mark Tushnet mengatakan bahwa dalam putusan perkara affirmatif dan federalisme, putusan MA justru mengurangi makna CR itu sendiri.435 Satu tulisan yang cukup lengkap mengkritik CR adalah karya Larry Krammer dengan judul “Foreward: We the Court.”436 Menurut Krammer, dengan CR, MA mencoba menetapkan tapal batas baru mengenai sekat-sekat kekuasaan negara tanpa kebijaksanaan dan tanpa kesadaran. Selanjutnya, dengan menggunakan perspektif historis, Krammer kembali mengingatkan bahwa bahwa konstitusi sendiri bungkam mengenai kewenangan MA dalam CR terhadap UU Federal. Masih menurut Krammer, pada tahun 1787, CR menjadi perdebatan yang sangat tajam untuk sampai diputuskan sebagai salah satu ketentuan konstitusi mengingat tak ada kejelasan mengenai batas-batas wewenangnya. 437 Bahkan, penafsiran bahwa perkara Marbury merupakan kandungan CR, menurut Krammer jelas merupakan argumentasi yang tidak berdasar. Lepas dari perdebatan akademik itu, lazim diterima luas bahwa CR model Amerika Serikat ini kemudian menjadi dasar untuk pelembagaan mekanisme serupa di banyak negara. Dalam CR menurut tradisi Amerika pengujian dilakukan sepenuhnya oleh MA dengan status sebagai the Guardian of the Constitution. Di samping itu, menurut doktrin yang kemudian biasa juga disebut sebagai doktrin John Marshall (John Marshall’s doctrine), pengujian juga dilakukan atas persoalan-persoalan konstitusionalitas oleh semua pengadilan biasa melalui prosedur yang dinamakan pengujian terdesentralisasi atau pengujian tersebar (a decentralized or diffuse or dispersed review) di dalam perkara yang diperiksa oleh pengadilan biasa 434 Saikrishna B. Prakash dan John C. Yoo, “The Origins of Judicial Review”, op.cit., 435 Ibid. 436 Larry D. Kramer, “Foreword: We the Court”, Harvard Law Review, Vol. 115, No. 437 Ibid., hlm. 26-29. hlm. 773. 4, 2001. commit to user 123 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id (incidenter). Artinya, pengujian demikian itu tidak bersifat institusional sebagai perkara yang berdiri sendiri, melainkan termasuk di dalam perkara lain yang sedang diperiksa oleh hakim dalam semua lapisan pengadilan.438 Pengujian konstitusional yang dilakukan secara tersebar itu bersifat spesifik dan termasuk kategori a posteriori review. Sedangkan MA dalam sistem tersebut menyediakan mekanisme untuk kesatuan sistem sebagai keseluruhan (the uniformity of jurisdiction). Dalam sistem yang tersebar, putusan-putusan yang diambil hanya mengikat para pihak yang bersengketa dalam perkara yang bersangkutan (inter pares), kecuali dalam kerangka prinsip “stare decisis” yang mengharuskan pengadilan di kemudian hari terikat untuk mengikuti putusan serupa yang telah diambil sebelumnya oleh hakim lain atau dalam kasus lain. Pada pokoknya, putusan mengenai inkonstitusionalitas suatu undang-undang bersifat deklaratoir dan retrospektif (declaratory and retrospective), yaitu bersifat “ex tunc” dengan akibat yang “pro praeterito” yang menimbulkan efektif retroaktif ke belakang.439 Sistem yang demikian itu, terutama karena dipengaruhi oleh sistem konstitusi Amerika Serikat, antara lain diadopsikan oleh banyak negara seperti di Eropa oleh Denmark, Estonia, Irlandia, Norwegia, dan Swedia; di Afrika oleh Bostwana, Gambia, Ghana, Guinea, Kenya, Malawi, Namibia, Nigeria the Seychelles, Sierra Leone, Swaziland, dan Tanzania; di Timur Tengah oleh Iran dan Israel; di Asia oleh Bangladesh, Fiji, Hong Kong (sampai 1 Juli 1997), India, Jepang, Filipina, Kiribati, Malaysia, Negara Federal Micronesia, Nauru, Nepal, Selandia Baru, Palau, Papua Nugini, Singapura, Tibet, Tonga, Tuvalu, Vanuatu, da Samoa Barat. Negara-negara di kawasan Amerika Tengah dan Amerika Latin (Selatan) juga mengant model ini seperti di Argentina, Bahamas, Barbados, Belize, Bolivia, Dominica, Grenada, Guyana, Haiti, Jamaica, Meksiko, St. Christopher/Nevis, Trinidad dan Tobago. Semua mengikuti pola Amerika 438 Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional, op.cit., hlm. 47. 439 Ibid., hlm. 48. commit to user 124 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Serikat, yaitu dengan mengkaitkannya dengan kewenangan Mahkamah Agung sebagai “the Guardian of the Constitution.” Secara akademik, CR model Amerika Serikat ini telah menarik banyak kalangan dan menjadikannya hampir seluruhnya sebagai sasaran ketika berbicara mengenai kinerja pengadilan.440 Atas dasar hal tersebut telah terbangun bermacam-macam teori yang mencoba: To explain judicial decision-making in the U.S. Supreme Court. Formalists take the view that constitutional judges simply interpret and apply the Constitution in a conformist view of precedents. In a completely different perspective, the attitudinal model sees judicial preferences, with special emphasis on ideology, as the main explanatory model. Finally, agency theorists recognize the importance of judicial preferences but argue that they are implemented taking into account political and institutional realities.441 Jika ditelaah, maka secara orisinal, model Amerika ini mempunyai 4 ciri sebagai berikut. Pertama, mencakup bukan hanya pengujian UU, akan tetapi segala tindakan administrasi di segala tingkat pemerintahan. Kedua, pengujian dilaksanakan secara terdesentralisasi, dalam pengertian semua badan pengadilan di tiap tingkatan mempunyai wewenang untuk melaksanakannya sehubungan dengan pemeriksaan suatu kasus tertentu menurut kepentingan penggugat. Ketiga, rumusan hasil putusan pengadilan bersifat kasuistis, memperhatikan kepentingan penggugat, dan tidak memastikan untuk dipaksakan dalam jangkauan yang lebih luas. Keempat, pengujian bersifat konkrit (sehubungan dengan perkara hukum tertentu) dan berkarakter ex-post review. Baca antara lain: Saul Brenner dan Harold J. Spaeth, “Ideological Position as a Variable in the Authoring of Dissenting Opinions on the Warren and Burger Courts”, American Politics Quarterly, Vol. 16, 2008, hlm. 317. Secara umum, hampir 20 tahun terakhir empirical studies oleh kalangan ilmuwan hukum dan ekonomi telah menjadi pengadilan sebagai obyek kajian yang signifikan. Baca: Barry Friedman, “The Politics of Judicial Review”, Texas Law Review, Vol. 84, 2005, hlm. 256. 440 J. A. Segal dan A. D. Cover, “Ideological commit to user Values and the Votes of U.S. Supreme Court Justices”, American Political Science Review, Vol. 83, 1989, hlm. 557. 441 125 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Cukup menarik argumen Migule Schor dalam artikel berjudul “Judicial Review and American Exeptionalismi”, yang mengatakan bahwa CR dilaksanakan oleh MA karena bagaimanapun rumusan dalam konstitusi sepi dari gagasan akuntabilitas badan peradilan.442 Apalagi design hukum tata negara yang secara teoritis bertumpu kepada penafsiran konstitusi karena asal muasal check and balances berada dalam tatanan yang tidak seimbang seiring dengan pertumbuhan peran pengadilan.443 Dengan pentingnya penafsiran konstitusi ini, maka sejumlah praktisi kemudian memandang urgen mengenai profil para hakim yang akan duduk di MA. Pada titik inilah kemudian muncul perang pencalonan (appoipment battle) hakim agung yang digambarkan sebagai “by which social groups via over the meaning of the Constitution, since it is practically impossible to amend the Constitution in order to overrule the Supreme Court.”444 Tetapi perang pencalonan tersebut secara normatif berpeluang untuk merusak tatanan konstitusi.445 Hal ini karena, “The meaning of the Constitution should, however, reflect the views and desires of a supermajority, not those of a faction within the governing coalition with intense preferences.”446 Dengan demikian, menurut penulis, apabila sebuah negara mengadopsi CR model Amerika Serikat, tidaklah dengan segera dapat diberikan cap bahwa negara yang bersangkutan mengadopsi kelembagaan yang serupa. Menurut argumen seorang penulis, dengan semakin diterimanya CR, maka “Parliamentary supremacy is now a critically endangered constitutional species as many of the last holdouts succumbed to Miguel Schor, “Judicial Review and American Exeptionalism”, Osgoode Hall Law Journal, Vol. 46, 2008, hlm. 539. 442 443 Ibid., hlm. 540. Akhil Reed Amar, 2005, America’s Constitution: A Biography, New York: Random House, hlm 334. 444 445 Miguel Schor, “Squaring the Circle: Democratizing Judicial Review and the Counter-Constitutional Difficulty” ,Minnesota Journa l of International Law, Vol. 16, 2007, hlm. 67. 446 commit to user Miguel Schor, “Judicial Review and American Exeptionalism”, op.cit., hlm. 545. 126 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id [constitutional] judicial review.”447 Pengakuan kepada CR berarti menolak kepada Legislative Supremacy (Supremasi Parlemen), karena “affirm that courts have a privileged status in interpreting the Constitution.”448 Penerimaan CR juga berarti “a reconsideration of the role of the court in public life.”449 Dengan kata lain, “courts are not welcome intruders into democratic process, but invited (perhaps nacessary) release valve for the democrative impulses that cannot be addressed trough the ordinary legislative route.”450 Sehubungan dengan kenyataan tersebut, maka dalam teori ketatanegaraan dewasa ini berkembang apa yang dinamakan sebagai “theories of constrained [constitutional) judicial review.” Pandangan dalam teori ini mengakui bahwa pengadilan memiliki keistimewaan dan bakat penafsiran yang lebih memadai dalam menilai konstitusionalitas Undang-Undang, sehingga formulasi Supremasi Parlemen harus ditolak, akan tetapi teori ini juga menggarisbawahi bahwa kompetensi khusus pengadilan semacam itu haruslah melahirkan pertanggungjawaban konstitusi yang lebih besar guna memutus perkara-perkara kelembagaan nonadjudikatif terhadap parlemen dan bahkan termasuk kepada Pemerintah. Singkatnya, pandangan ini menolak Supremasi Parlemen dan tidak menerima Supremasi Pengadilan dalam isu pengujian konstitusionalitas Undang-Undang.451 Mark Tushnet, “New Forms of Judicial R.eview and the Persistence of Rights and Democracy- Based Worries”, Wake Forest Law Review, Vol. 38, 2003, hlm. 813-815. 447 Yuval Eylon and Alon Harel, “The Right to Judicial Review”, op.cit., hlm. 991. Baca juga: Alon Harel dan Tsvi Kahana, “The Easy Core Case for Judicial Review”, Journal of Legal Analysis,Vol. 2, 2010, hlm. 227. 448 449 Elena Martinez Balahona, “Judges as Invited Actors in the Political Arena: The Cases Costarica and Guatemala”, Mexican Law Review, Vol. 3, No. 1, 2007, hlm. 5, Corneel W. Clayton, “The Supply and Demand of the Judiciary Policy Making”, Law & Contemporer Problems, Vol. 65, 2002, hlm. 78. 450 James E. Fleming, “Judicial Review without Judicial Supremacy: Taking the Constitution Seriously Outside the Courts”, Fordham Law Review, Vol. 73, 2000, hlm. 1377 dan commit to user 1378-1379. 451 127 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Komitmen “theories of constrained [constitutional) judicial review” berasal dari anggapan bahwa perjalanan sejarah dan hakekat asalusul Constitutional Review di Amerika Serikat tidaklah menggiring kepada anggapan bahwa pengadilan harus dikatakan sebagai pihak paling akhir dalam memutus isu-isu sehubungan dengan penafsiran konstitusi. Lembaga-lembaga pemerintahan lain dan juga “rakyat” seharusnya berpartisipasi juga dalam penafsiran konstitusi.452 Negara semacam Inggris, Kanada, Selandia Baru, dan sejumlah negara bagian dan teritori khusus di Australia melaksanakan gagasan tersebut. “Serangan” terhadap CR, terutama yang mengadopsi pelembagaannya dalam model Amerika Serikat didasarkan kepada alasan “ it entrenches specific choices made by an unelected and unrepresentative judiciary”453, yang telah menyebabkan “a debilitating effect on the political branches by stripping them of their authority to act for and on behalf of their constituents.”454 Apabila diringkas, pendapat dari “theories of constrained [constitutional) judicial review” adalah sebagai berikut.455 Collectively, these theories view with alarm the rise to power of courts over the other branches. Their objections to the role of courts as having the exclusive power to invalidate legislation ranges from instrumental concerns-other branches are just as capable of constitutional interpretation-to concerns rooted in democratic legitimacy and political theory. Namely, these theories often refer to the counter-majoritarian difficulty and to the loss of autonomy, political participation and, 452 Lihat: Barry Friedman, “The Birth of an Academic Obsession: The History of the Countermajoritarian Difficulty, Part Five”, Yale Law Review, Vol. 112, 2002, hlm. 153. 453 Jeremy Waldron, “The Core of the Case Against Judicial Review”, op.cit., hlm. 134. Rachel E. Barkow, “More Supreme than Court – The Fall of the Political Question Doctrine and the Rise of Judicial Supremacy”, Columbia Law Review, Vol. 102, 2008, hlm. 237. Diskusi lebih lanjut mengenai hal ini dapat juga dilihat, antara lain dalam: Mark V. Tushnet, “Policy Distortion and Democratic Debilitation: Comparative Illumination of the Countermajoritarian Difficulty”, Michigan Law Review, Vol. 94, 2002, hlm. 245. 454 Larry Alexander & commit Fredrick toSchauer, “On Extrajudicial Constitutional user Interpretation”, Harvard Law Review, Vol. 110, 1997, hlm. 1359. 455 perpustakaan.uns.ac.id 128 digilib.uns.ac.id consequently, also legitimacy entailed in having courts and unelected judges – rather than the people – decide constitutional cases. At the same time, in contrast to traditional opponents of judicial review, these positions also acknowledge the significance and potential contribution that courts may have in identifying the constitutional meaning and in promoting constitutional values and thus they wish to grant courts a privileged (although not supreme or exclusive) role in interpreting the Constitution. Jika dicermati, pertentangan terhadap CR antara lain dapat dilacak kepada peran pengadilan, terutama sekali berkaitan dengan kondisi transisi politik. Dapat dicontohkan di sini, misalnya putusan MA Amerika Serikat di bawah Ketua MA Earl Warren dalam perkara Brown V.s. Board of Education, salah satu figur putusan yang cukup heroik.456 Para pendukung CR mengatakan bahwa “look at the experience of newer, transitional democracies to argue that judicial review has an important democratic payoff.”457 Sementara itu, pada posisi yang pesimis, ada anggapan bahwa Constitutional Review akan menyebabkan “weaken democracy by looking primarily at the record of older, consolidated democracies.”458 Model kelembagaan CR Amerika juga harus berhadapan dengan realitas konstitusional sehubungan dengan doktrin “Unitary Executive.” Dalam tradisi kepresiden di Amerika Serikat, “The President stands responsible for all discharge of policy, and is judged by his or her performance on election day.”459 Motif penumbuhan tradisi ini adalah Ken I. Kersch, “The New Legal Transnationalism, The Globalized Judiciary, and the Rule of Law”, Washington University of Global Studies Law Review, Vol. 4, 2005, hlm. 351-353. 456 Sujit Choudry, “The Lochner Era and Comparative Constitutionalism”, International Journal of Constitutional Law, Vol. 2, 2004,No. 56. 457 Mauro Cappelletti, “Repudiating Montesquieu? The Expansion and Legitimacy of “Constitutional Justice”, Catholic University Law Review, op.cit., hlm. 191. 458 459 Peter L. Strauss, “Overseer, or ‘the Decider’?: The President in Administrative Law, George Washington Law Review,Vol. 75, 2007, hlm. 696. Baca juga komentar serupa dalam commitoftothe user Robert V. Percival, “Presidential Management Administrative State: The No-So-Unitary Executive”, Duke Law Journal, Vol. 5, 2001, hlm. 963. perpustakaan.uns.ac.id 129 digilib.uns.ac.id sebagai “a tool not only to enhance accountability in the public eye for executive branch actions, but also to centralize power in the President himself”460, sehingga “administrative authority was concentrated in a single person.”461 Kekuasaan eksekutif yang semakin terpusat kepada Presiden inilah yang dikenal sebagai doktrin “Unitary Executive”, sebagai tafsir terhadap ketentuan Pasal II Konstitusi.462 Dari segi historis, pengakuan terhadap “Unitary Executive” ini sebelum ratifikasi (1789) sudah berlangsung463, termasuk pandangan yang berkembang selama abad ke-18 di kalangan ilmuwan politik.464 Praksis “Unitary Excutive” ini tercermin dalam peningkatan kapasitas mandiri Presiden untuk menafsirkan posisi konstitusionalnya dalam proses 460 Peter L. Staruss, op.cit., hlm. 697. Peter L. Strauss, Overseer, or “the Decider”?, op.cit., hlm. 599-601. Baca juga: Cass R. Sunstein, Constitutionalism After the New Deal, Harvard Law Review, Vol. 101, 1997, hlm. 432-433. 461 Christopher S. Yoo et.al., “The Unitary Executive During theThird Half-Century, 1889-1945”, Notre Dame Law Review, Vol. 80, 2004, hlm. 3. Lihat juga analisis konstitusional yang menghasilkan konklusi serupa dalam: Steven G. Calabresi, The Vesting Clauses as Power Grants, New York University Law Review, Vol.88, 1994, hlm. 1377; Steven G. Calabresi & Saikrishna B. Prakash, “The President’s Power to Execute the Laws”, Vol. 104, Yale Law Journal, 1994, hlm. 541; Steven G. Calabresi & Kevin H. Rhodes, “The Structural Constitution: Unitary Executive, Plural Judiciary”, Harvard Law Review, Vol. 105, 1992, hlm. 1153; Lawrence Lessig & Cass R. Sunstein, “The President and the Administration”, op.cit., hlm. 47–55 dan 119; dan A. Michael Froomkin, “The Imperial Presidency’s New Vestment”s, New York University Law Review, Vol. 88, 1994, hlm. 1346. 462 Pasal II Konstitusi sering dikenal sebagai The “Oath” Clause, yang menyatakan bahwa Presiden “will faithfully execute the Office of the President and will preserve, protect, and defend the Constitution of the United States.” Menurut Steven B. Clarabesi, “…it is a duty of the President to preserve, protect and defend his office, which is, or course, a creation of the Constitution itself. The President takes an oath to uphold that Constitution and the public judges him, and ought to judge him, by his vigilance in fulfilling that oath.” Lihat dalam Steven B. Clarabesi, “Advice to the Next Conservative President of the United States”, Harvard Journal of Law and Public Policy, Vol. 24, No. 369, Spring, 2001, hlm. 375. 463 Steven G. Calabresi & Saikrishna B. Prakash, op.cit., hlm. 603-605. Saikrishna Prakash, “The Essential Meaning of Executive Power”, University of Illinois Law Review, No. 701, 2003, , hlm. 753-789 dan hlm. 808-812. Lihat juga pendapat Steven Calabresi, yang mengatakan bahwa “the Federalist Papers advanced three arguments in favor of a unitary executive—energy, accountability, and separation of powers.” Lihat dalam Steven Calabresi “Some Normative Argumentscommit for the Unitary to userExecutive.” Arkansas Law Review, Vol. 48 No. 23, 1995. 464 perpustakaan.uns.ac.id 130 digilib.uns.ac.id pembentukan hukum465 dan “the increase in discretionary, policy-making authority wielded by administrative agencies.”466 Pertumbuhan kekuasaan Presiden yang semakin diperhitungkan ini berlangsung dengan alasan “the enormously significant and self-conscious changes in the role of the presidency from the period following Jackson through Franklin Roosevelt.”467 Pada wataknya yang unitarian tersebut, maka “president, as a coordinate branch of government, may independently interpret the Constitution.”468 Hal ini disebabkan oleh karena “the president is the only nationally elected official which makes him accountable for how laws are executed. Therefore, the president is best situated to coordinate agency activities and by virtue of his accountability and central position, he can bring energy to the administrative process that agency officials cannot muster by themselves.”469 Dalam kapasitas tersebut Presiden “not defend or enforce those statutes that are ‘clearly unconstitutional’ dan “to not defend and enforce those that encroach upon the prerogatives of the executive branch.”470 Dalam hal yang pertama, maka Presiden “accommodates the conflict between the constitutional mandate that the President execute the laws and his oath to support and to defend the Constitution”, sementara dalam hal yang kedua, Presiden akan “accommodates the occasional conflict between the roles of the President as the chief law enforcement officer of 465 Abner S. Greene, “Checks and Balances in an Era of Presidential Lawmaking”, op.cit, hlm. 138–153. Lawrence Lessig & Cass R. Sunstein, “The President and the Administration”, op.cit., hlm. 93-106. 466 467 Ibid., hlm. 84. Joel K Goldstein, “The Presidency and the Rule of Law: Some Preliminary Explorations”, Saint Louis University Law Journal, Vol. 43, 1999, hlm. 809. 468 469 Kenenth Mayer, 2001, With the Stroke of a Pen: Executive Orders and Presidential Power, New Jersey: Princeton University Press, hlm. 38. Note “Executive Discretion and the Defense of Statutes”, Yale Law commit toCongressional user Journal, Vol. 92, No.970, May,1993, hlm. 973. 470 131 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id the United States and the role of the Attorney General as the advocate of the executive branch.”471 Khususnya dalam melaksanakan kapasitas untuk menolak UU yang ‘clearly unconstitutional’ maka perisai utama dipegang oleh Departemen Kehakiman (Departemen of Justice) dan Kantor Pertimbangan Hukum (Office of Legal Council, OLC). Dalam hal ini fungsi Departemen Kehakiman, yang dipimpin oleh Jaksa Agung (Attorney General), dapat diuraikan sebagai berikut.472 In many cases, the Department of Justice will propose, as a fallback position, that an issue be addressed in a signing statement if it wouldbe politically impossible simply to veto a bill. For instance, at the very end of its session, Congress frequently passes large bills and then leaves town. The only choice we have is to veto the bill and, say, shut down the foreign operations of the US altogether for six months, or sign the bill and note exception to some provision we think is unconstitutional. Thus, in some instances, signing statements have directed subordinate officials to disregard provisions of a bill that are thought to be clearly unconstitutional and severable. Sementara itu, OLC berperan “both provides legal advice of a constitutional nature to all the departments within the executive branch and it provides ‘both written and oral advice in response to requests from the Counsel to the President.’”473 Semua UU harus diperiksa terlebih dahulu oleh 471 Ibid., hlm. 973-974. William P. Barr, “Attorney General’s Remarks”, Cardozo Law Review, Vol. 15, 1993, hlm. 33-34. 472 473 Neal Devins, “Political Will and the Unitary Executive: What Makes an Independent Agency Independent?” Cardozo Law Review, Vol. 15,1993, hlm. 281. OLC didirikan pada tahun 1953 untuk melakukan perlindungan konstitusional terhadap Presiden. Dalam perkembangannya, badan ini membawa pengaruh yang penting bukan saja sebagai konsultan legal Presiden dan badan-badan pemerintahan, tetapi juga menjadi penafsir commit dalam to userpertumbuhan dan pengembangan peran konstitusi itu sendiri. Lembaga ini, berperan Presiden dalam memberikan signing stateman, suatu pernyataan sikap Presiden bahwa Undang- 132 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id OLC sebelum ditolak atau ditandatangani oleh Presiden guna memastikan ketiadaan problem konstitusinya.474 Meskipun demikian, pendapat OLC bukanlah kata akhir, karena dalam suatu kasus, lembaga ini dinilai telah bertindak “overrule” dalam menentukan tingkat konstitusionalitas UndangUndang. Dalam studinya yang cukup komprehensif, Steven G. Calabresi and Christopher S. Yoo menyatakan bahwa cakupan “Unitary Executive” dalam tradisi ketatanegaraan Amerika Serikat adalah “include the President’s power of removal, the President’s power to direct subordinate executive officials, and the President’s power to nullify or veto subordinate executive officials’ exercise of discretionary executive power.”475 Dalam studi itu juga diungkapkan bahwa “the executive branch’s consistent opposition to congressional incursions of the unitary executive has been sufficiently consistent and sustained to refute any suggestion of presidential acquiescence in derogations from the unitary executive.”476 Sekalipun Presiden mempunyai kualifikasi untuk “to direct subordinate executive officials”, tetapi menurut Peter Strauss “but not the power to veto the decisions of subordinates.”477 Menurut Richard J. Pierce, Jr., hal ini disebabkan oleh alasan-alasan sebagai berikut:478 The difference between the power to veto and the power to remove is not subtle. If a President could veto a decision of an executive branch officer, he undoubtedly would do so with some frequency and often at little political cost. By contrast, removing an officer is always costly. Frequently, the cost of Undang yang telah ditandatanganinya, sesungguhnya mempunyai persoalan konstitusional yang menegaskan afiliasi sikap politiknya terhadap produk hukum tersebut. 474 William P. Barr, op.cit., hlm. 38. 475 Steven G. Calabresi and Christopher S. Yoo, 2008, The Unitary Executive: Presidential Power from Washington to Bush, Yale University Press, hlm. 14. 476 Ibid., hlm. 28. 477 Peter Strauss, Overseer of the Decider, op.cit., hlm. 696. Richard J. Pierce, Jr., “Saving the Unitary Executive Theory From Who Would Distort and Abuse It: A Review of the Unitary Executive commit to userBy Steven G. Calabresi and Chirstopher Yoo”, University of Pennsylvania Journal of Constitutional Law, 2009, hlm. 6. 478 133 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id removal is so high that a President reluctantly acquiesces in a decision with which he strongly disagrees in order to avoid incurring the high cost of removing the executive branch officer who made the decision. I will discuss the political cost of removing an executive branch officer systematically in a subsequent section of this essay, but one example provides a good illustration of the potentially high cost of removal. I believe that President Nixon’s unquestionably lawful decisions to remove Attorney General Elliot Richardson, Acting Attorney General William Ruckelshaus, and indirectly, Special Counsel Archibald Cox cost him the Presidency. By contrast President Clinton was able to survive a similar scandal because he was smart enough to know that removing Attorney General Reno and replacing her with someone who would remove Ken Starr would cost him far more than allowing Starr to continue the Whitewater investigation. Menurut Steven G. Calabresi and Christopher S. Yoo, dalam hal “removal power”, Presiden dalam berhadapan dengan Kongres selalu mendapatkan kemenangan.479 Tetapi kenyataan, seperti ditulis oleh Richard J. Pierce, Jr., “Three times the Court has upheld statutory limits on the President’s removal power; none of those cases has been overruled; and the President continues to be subject to statutory limits on his power to remove many executive branch officers.”480 Bahkan, “over the last half century no president has challenged those judicially-approved limits on his removal power by attempting to remove any of the many executive branch officers that are subject to such limits.”481 “Removal power” juga sering menjadi kasus yang menarik perhatian, khususnya yang menyangkut lembaga independen (independence agency), karena untuk lembaga semacam ini ada semacam 479 Big fights about whether the Constitution grants the President the removal power have erupted frequently, but each time the president in power has claimed that the Constitution gives the President power to remove and direct subordinates in the executive branch. And each time the president has prevailed. Op.cit., hlm. 9. 480 Richard J. Pierce, Jr., op.cit., hlm. 7. 481 Ibid. commit to user 134 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id anggapan beroperasi di luar jangkauan Presiden, seperti Komisi Bursa Efek (Securities and Exchange Commission) dan Komisi Komunikasi Federal (the Federal Communications Commission).482 Termasuk juga putusan Mahkamah Agung Federal yang mengabaikan veto legislatif, tata cara pelaksanaan veto Presiden, dan upaya Konggres untuk mengontrol pengeluaran negara melalui Gramm-Rudman-Hollings Act.483 2. Model Austria Kelembagaan CR model Austria ini telah dirintis pada tahun 1867 ketika didirikan Reichsgericht yang dimaksudkan sebagai pengadilan konstitusi di Kerajaan Austro-Hongaria. Pengadilan ini telah “relevant contribution to the development of judicial review was the power to adjudicate cases where a person had been violated in his or her constitutionally guaranteed political rights, although this did not yet extend to a scrutiny of legislative acts.”484 Seiring dengan berakhirnya masa Kerajaan, dengan berpijak kepada gagasan Hans Kelsen, untuk pertama kalinya MK didirikan dengan Konstitusi Federal Republik Austria (Bundes-Verfassungsgesetz) pada tahun 1920. Operasionalisasi pengadilan sempat dihentikan ketika kekuasaan rezim fasis (1934-1938) dan pendudukan Nazi-Jerman (1938-1945), dan setelah berakhirnya Perang Dunia II, MK kembali didirikan dengan pemulihan fungsi-fungsinya.485 Dalam perkembangan selanjutnya, sejumlah ketentuan konstitusi diubah dan menghasilkan norma-norma yang membentuk MK dewasa ini. 482 Masalah independent agency dan relasinya dengan Presiden sehubungan dengan unitary executive, cukup banyak diulas dalam berbagai tulisan di jurnal hukum. Periksa antara lain: David P. Currie, “The Distribution of Powers After Bowsher, Supreme Court Review, Vol. 19, 1996, hlm. 31-36; Peter M. Shane, “Independent Policymaking and Presidential Power: A Constitutional Analysis”, George Washington Law Review, Vol. 57, 1989, hlm. 608-623; dan Peter L. Strauss, “The Place of Agencies in Government: Separation of Powers and the Fourth Branch”, Columbia Law Review, Vol. 84, 1994, hlm. 573. Baca: Christopher S. Yoo, Steven G. Calabresi & Anthony J. Colangelo, “The Unitary Executive in the Modern Era, 1945–2004”, Iowa Law Review, Vol. 90, 2005, hlm. 603. 483 484 Anna Gamper dan Francesco Paramo, “The Constitutional Court of Austria: Modern Profiles of an Archetype of Constitutional Review”, Journal of Comparative Law, Vol. 3, 2007, hlm. 65. 485 Ibid., hlm. 65. commit to user 135 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Sejak rintisan Reichsgericht, model CR ini mempunyai karakteristik “as a model of constitutional review derived from its being the only court especially vested with the power to deal with violations of constitutionally guaranteed rights.”486 Historiografi inilah yang kemudian dilanjutkan oleh MK pada masa republik, yang kewenangannya mencakup “its power to review and strike down laws, the counter-model to the US model of constitutional review.”487 Pengadilan konstitusi model Austria ini mempunyai 3 karakteristik utama. Pertama, “a centralized and exclusive body, which means on the one hand that only one constitutional court exists (no decentralized constitutional courts are established in the Austrian Länder) and on the other hand that it is not up to the ordinary courts nor to any other state authority to decide on constitutional issues.”488 Kedua, “has the power to review laws and regulations both on an abstract and on a concrete basis.”489 Sebagai akibatnya, “the Court’s competence to decide a case does not depend on a person’s actual violation of rights in a concrete procedure or on any concrete case, but it can be invoked also by certain “abstract” appeals.”490 Ketiga, kewenangan pengadilan mencakup tindakan untuk “strikes down laws (and other legal provisions) if they are unconstitutional”, bahkan kemudian meluas terhadap “extends to a ‘negative kind of law-making’ and is not limited to just non-application of unconstitutional laws in a concrete case.”491 Di Austria sendiri, posisi MK kemudian menjadi unik dibandingkan dengan badan yudisial yang lain. Pada faktanya, badan ini kemudian memonopoli 486 Ibid. 487 Ibid. 488 Ibid., hlm. 66. 489 Ibid. 490 Ibid. 491 Ibid. penafsiran dan commit to user penyelesaian perselisihan 136 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id konstitusi. Dengan bergabungnya Austria ke dalam The European Convention on Human Rights and Fundamental Freedoms (1958) dan Uni Eropa (1995), MK menempatkan dirinya untuk menerima wewenang badan pengadilan lain dan di Eropa menjadi semacam “constitutional super-courts.” Berbeda dengan perkembangan di kawasan Eropa lainnya, MK tidak mengalami kesulitan berhadapan dengan pengadilan di tingkat Eropa. Wewenang MK pertama-tama bersumber kepada BundesVerfassungsgesetz sebagai rujukan utama, khususnya pada Bab VI Constitutional and Administrative Guarantees Pasal 137-148. Di dalam ketentuan tersebut MK diakui sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman di samping (i) Independent Administrative Senates of the Länder, suatu badan kuasi-yudisial untuk menangani sengketa banding administrasi; (ii) the Asylum Court; dan (iii) the Administrative Court. Karena model pelembagaan ini pada awalnya dikembangkan di Austria dan kemudian menyebar ke banyak negara di kawasan Eropa lainnya, maka penulis menyebutnya sebagai model Austria. Di samping itu, secara teoritis maupun praktik, Prancis juga melembagakan pengujian konstitusional itu ke dalam Dewan Konstitusi yang sifatnya khas dan juga mempunyai pengaruh yang signifikan dalam mengadopsi CR. Demikian juga Belgia, yang mempunyai Constitutional Arbitrage untuk pelembagaan pengujian tersebut. Padahal kedua negara tersebut juga terletak di kawasan Eropa. Karena sifatnya yang khusus, model Dewan Konstitusi Prancis menjadi salah satu arus utama CR, seperti yang akan dibahas dalam bagian lain dari bab ini. Seperti juga sudah diuraikan di muka, model Austria yang kemudian sangat berpengaruh di Eropa ini dikembangkan menurut gagasan yang dibangun oleh Hans Kelsen. Oleh Alec Stone Sweet, model pengujian ini “ought to experience more judicialization than systems that commit to user 137 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id do not.”492 Model pengujian ini berpengaruh di kawasan Eropa, yang sebelumnya kental dengan belenggu pemerintahan mayoritas dan supremasi parlemen. Selanjutnya, model Austria ini pada tahun 1930-an telah dipraktikkan di negara demokrasi saat itu seperti Austria, Czechoslovakia, dan Spanyol (dalam masa Republik II). Hampir 70 tahun kemudian, berdasarkan survey Freedom House telah muncul 35 negara demokrasi baru, dan hampir sebanyak 17 negara mengadopsi mekanisme pengujian tersebut. Gelombang demokratisasi menjadi faktor perluasan pelembagaan CR model Eropa tersebut; menambah jumlah yang sejak tahun 1970-an mengalami demokratisasi, sebanyak 13 negara (kecuali Yunani) di kawasan Eropa Selatan dan Timur.493 Estonia sendiri dianggap sebagai suatu pengecualian, karena Constitutional Review Chamber, sekalipun mempunyai wewenang khusus untuk melakukan pengujian konstitusional undang-undang, akan tetapi merupakan bagian khusus (“special chambers”) Mahkamah Agung.494 Model CR Austria ini berpijak kepada argumen bahwa hakim pada umumnya mempunyai wewenang untuk melaksanakan UU sebagai hasil kerja Parlemen. Konsekuensinya, kedudukan para hakim lebih rendah dibandingkan dengan Parlemen. Sehubungan dengan hal ini, maka sangat sulit untuk menciptakan hierarki peraturan perundang-undangan yang kaku jika pekerjaan yang memastikan pola ini dilakukan oleh para hakim biasa. Oleh sebab itu, dikehendaki adanya pengadilan konstitusi yang berdiri sendiri denan hakim-hakim yang mempunyai keahlian khusus di bidang ini. Dalam menjalan kewenangannya, MK melakukan pengujian konstitusional terutama atas norma-norma yang bersifat abstrak (actio), meskipun pengujian atas norma konkrit juga dimungkinkan (concrete review). Bahkan, dalam model Austria ini, pengujian dapat bersifat “a 492 Alec Stone Sweet, Governing With Judges, op.cit., hlm. 51. 493 Tom Gisburg, op.cit., hlm. 7-8. 494 Woljciech Sadurski, op.cit. hlm. xiii. commit to user perpustakaan.uns.ac.id 138 digilib.uns.ac.id posteriori” (a posteriori review) ataupun bersifat “a priori” (a prior review). 495 Pada umumnya, pengujian memang dilakukan secara “a posteriori”, tetapi pengujian “a priori” yang bersifat preventif juga biasa dipraktikkan. Segala putusan MK ini mempunyai kekuatan “erga omnes” yang bersifat mutlak berdasarkan prinsip kewenangan mutlak yang diberikan kepadanya oleh UUD (“the absolute authority of the institution”). Lembaga MK ini dibentuk sebagai satu-satunya organ yang berwenang menjalankan fungsi CR dengan kedudukan yang tersendiri di luar MA dan di luar lembaga-lembaga dalam cabang-cabang kekuasaan lain yang menjalankan otoritas politik.496 Dengan wewenang CR, maka MK diberi cap sebagai “negative legislator” karena dapat membatalkan Undang-Undang tetapi tidak berwenang untuk mengajukan usul rancangan Undang-Undang.497 Dalam tataran fakta, sentralisasi CR, “in a body outside of the conventional judiciary has been important to secure independence and the commitment to democratization after a period of an authoritarian government in many countries.”498 Bagaimanapun, “The judiciary is usually suspected of allegiance to the former regime, and hence, a new court is expected to be more responsive to the democratic ideals contemplated in the new constitution.”499 Walaupun aplikasi desain institusi dari model Austria ini berbeda-beda dan disesuaikan dengan faktor lokal, dan kemudian kompetensi dan pola organisasi pengadilan berkembang luas lebih dari sekedar sebagai “negative legislator.” 495 Jimly Asshiddiqie, op.cit., hlm. 51. 496 Ibid. Cap “negative legislator” ini didasarkan kepada kenyataan kemampuan Mahkamah Konstitusi dalam rangka mengeluarkan suatu Undang-Undang dari suatu sistem dan kemudian berbagi peran kekuasaan legislatif terhadap Parlemen. 497 498 Lech Garlicki, op.cit. hlm. 44. Dikusi yang menarik soalcommit ini, periksa: Tom Ginsburg, 2003, Judicial Review in to user New Democracies: Constitutional Courts in Asian Cases, Cambridge University Press. 499 139 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Pengujian “a priori” telah diperluas ke dalam pengujian “a posteriori” di sejumlah negara. Pengujian yang bersifat abstrak (abstract review) seperti yang dipraktikkan di Prancis telah dikembangkan ke dalam pola pengujian konkrit (concrete review) di Jerman atau Spanyol. Kebanyakan Mahkamah Konstitusi telah diberi kekuasaan baru, yang mayoritas berkisar pada wewenang untuk menyelesaikan sengketa pemilihan umum, legalisasi partai politik (larangan atau pemeriksaan audit partai politik), dan wewenang administrasi lainnya seperti di Taiwan. Pelembagaan CR dengan model Austria ini dipraktikkan di mayoritas negara anggota Uni Eropa yang bertradisi civil law system, dengan pengecualian di Belanda dan negara-negara Skandinavia. Semua bekas negara komunis di kawasan Eropa Timur dan Tengah mempraktikkan kelembagaan MK ini. Perluasan gaya Kelsenian di Jerman dan Spanyol, dan pengecualian khusus di Prancis, memberikan variasi desain institusi CR model Austria ini. Perkembangan juga nampak di Austria, yang untuk pertama kali saat dibentuk 1920, MK hanya berwenang melakukan pengujian abstrak (abstract review), namun pada tahun 1930-an mulai melaksanakan pengujian konkrit (concrete review). Mekanisme pengujian konkrit (concrete review) telah mengaburkan batas-batas MK dengan pengadilan pada umumnya, sekalipun diberikan bungkus sebagai Constitutional Complaint.500 Dengan perluasan wewenang itu, MK berhadapan dengan penyelesaian kasuskasus individual yang konkrit, yang berarti telah menyimpang jauh dari orisinalitas dari Hans Kelsen. Tak dipungkiri, dengan wewenang itu, MK berpotensi untuk melakukan gesekan dengan badan-badan pengadilan yang lain karena telah menciptakan yurisdiksi yang remang-remang diantara kedua badan. 500 Isu ini akan dibahas pada uraian-uraian berikutnya dalam bab ini, mengingat spesifikasi masalah dan praktik yang tidak sama diantara beberapa negara. Istilah yang digunakan secara umum adalah Constitutional Complaint, sekalipun ada juga istilah “individual acsess to the court” di beberapa negara anggota Uni Eropa atauto“user public litigation act sosial environment yang commit berkembang di India. perpustakaan.uns.ac.id 140 digilib.uns.ac.id Pengujian yang bersifat “a priori” (preventive preview) telah menggeser MK kepada posisi yang lemah, mengingat sebenarnya tak ada relevansi yang masuk akal antara pengujian preventif itu dengan penyelesaian perkara melalui pengujian konkrit (concrete review). Oleh sebab itu, mengingat pentingnya instrumen ini bagi pengadilan konstitusi, perlu diciptakan kreasi teknik-teknik tertentu. Misalnya di Prancis, gagasan mengenai conforming interpretation, sekalipun berlangsung karena kerelaan badan pengadilan yang memeriksa perkara tertentu, masih menjadi konsepsi yang berpengaruh.501 Pada sisi lain, meskipun pengujian abstrak amat terbatas limitasinya seperti di Korea Selatan dan Italia, kemampuan untuk mempertajam putusan-putusan mampu mengurangi pengaruh politik terhadap pengadilan.502 Kemungkinan terjadinya konflik wewenang antara MK dengan badan-badan pengadilan lainnya mempunyai implikasi substantif baik secara hukum maupun politik.503 Pertama, memaksa para hakim konstitusi untuk bertumpu semata-mata kepada teori konstitusi dan posisi bergengsi dari MK. Selanjutnya, kondisi ini akan memaksa terjadinya transformasi guna mengubah pengertian dan daya jangkau CR guna memberdayakan pengadilan dan menciptakan putusan-putusan yang bersifat apolitis. Kedua, akan meningkatkan pengaruh politik MK karena akan mendorong terjadi penyelesaian sengketa secara tidak langsung yang pada hakekatnya berpengaruh kepada sistem peradilan. Ketiga, MK akan menciptakan imbangan kekuasaan baru dan bergerak dari ‘negative legislator” ke arah “positive legislator” dengan tumpuan kepada penafsiran UndangUndang.504 Sekali mendapatkan cap sebagai “positive legislator” 501 Garlich, op.cit., hlm. 45. 502 Alec Stone Sweet, Governing With Judge, op.cit., hlm. 503 Nuno Garoupa and Tim Ginsburg, Building Reputation in Constitutional Courts: Party and Judicial Politics, mimeograph (2010) Leslie Turano, “Spain: Quis Custodiet Ipsos Custodes?: The Struggle for jurisdiction between the Tribunal Constitucional and the Tribunal Supremo”, International commit to user Journal of Constitutional Law,Vol. 4, 2006, hlm. 151. 504 perpustakaan.uns.ac.id 141 digilib.uns.ac.id Mahkamah Konstitusi akan berposisi untuk menentang Parlemen, bahkan menggantikannya manakala sistem perwakilan dalam kondisi tidak stabil. Sementara pengujian konkrit (concrete review) memperluas yudisialisasi (judizialitation) MK, hal kebalikannya adalah pada pengujian prefentif (preventive review) yang menimbulkan efek bertentangan. Pengujian prefentif akan mengurangi pengaruh politis dari MK. Memahami konstitusi bukanlah persoalan yang apolitis sifatnya dan hakekat originalitas Hans Kelsen mengenai CR sesungguhnya merupakan persoalan politik. Sudah tentu, bahwa ide MK dalam pelaksanaannya tidak sama dengan upaya memperkenankan politik partisan ke sistem pengadilan. Fungsi ganda MK sebagai institusi politik dan peradilan sekaligus (tidak hanya karena cap “negative legislator” namun juga pelaksanaan wewenang badan ini di Eropa seluruhnya) mempertegas “judicialization of politic” sekurang-kurangnya karena 3 (tiga) alasna. Pertama, sebagai konsekuensi dari posisi MK, yang mampu menciptakan keseimbangan baru kekuasaan negara berhadapan dengan institusi politik lainnya (seperti pemerintah dan badan-badan pengadilan lain). Kedua, hampir keseluruhan perluasan wewenang MK telah memberikan pengaruh kepada penciptaan konflik-konflik politik baru. Ketiga, peran politik MK yang tersebar menjadi penting. Kemudian, MK menjadi sosok penting dalam menengani perselisihan yang bersifat politik. Dengan ini, MK tak dapat menghindar dari incaran kekuatan politik dan agenda-agenda ideologi politik tertentu. 3. Model Prancis Model CR di Prancis dilaksanakan oleh Dewan Konstitusi, yang merupakan suatu tribunal yang dibentuk secara khusus untuk menegakkan kaidah-kaidah fundamental seperti tercantum dalam Pembukaan Konstitusi 1946 dan Deklarasi tentang Hak Asasi Manusia (1789). Kedua ketentuan itu diintegrasikan ke dalam Konstitusi Republik V (1958). Dewan commit to user Konstitusi merupakan organ yang merdeka dari pengaruh kekuasaan 142 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id parlemen sekaligus mampu menetapkan putusan yang mengikat organorgan lain.505 Pelembagaan Constitutional Review di Prancis mengalami proses yang panjang dan meletihkan. Semenjak berlaku Konstitusi Republik I (1792-1799), Republik II (1852), Republik Ketiga (1875-1940), dan Republik IV (1940-1946), sistem ketatanegaraan di Prancis secara absolut telah memasukkan doktrin kedaulatan parlemen. Konstitusi waktu itu pun dapat diubah melalui mekanisme yang sederhana dalam Majelis Nasional (National Assembly). Selama berlangsungnya periode tersebut, bukan berarti doktrin supremasi parlemen tidak dipermasalahkan oleh mereka yang meragukan kesucian organ tersebut. Oleh karena itu dalam praktik sebenarnya terdapat aneka langkah minimal untuk membatasi diskresi legislatif dengan tujuan melindungi hak-hak fundamental. Namun persoalan itu tidak pernah memperoleh persetujuan dari parlemen.506 Dalam hal ini, CR di Prancis sebenarnya telah dilaksanakan semenjak berlakunya Konstitusi Directoire pada tahun 1795.507 Pada saat itu seorang sarjana yang bernama Abbes de Seiyes mengusulkan betapa penting untuk segera membentuk jurie constituionare. Juri konstitusional menurut sarjana ini akan menjamin bahwa konstitusi dilaksanakan dengan benar dengan cara membatalkan produk legislasi yang dihasilkan oleh parlemen. Namun dalam periode setelah itu, yaitu saat berlaku konstitusi tahun 1799 berlaku, organ penjamin konstitusi adalah Senat Conservatuer, tetapi secara otoritatif sama sekali tidak menampakkan fungsi yang diharapkan. Pada masa Republik II (1852) organ yang sama dibentuk tetapi nasibnya serupa dengan organ yang dibentuk sebelumnya. 508 Sama halnya dengan Republik III, Konstitusi Republik IV juga menerapkan 505 Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi, op.cit., hlm. 228. 506 Ibid., hlm. 229. 507 Harun Alrasid, 1999, Pengisian Jabatan Presiden, Jakarta, Penerbit Rajawali, hlm. 508 Sri Soemantri, 1997, Hak Uji Material di Indonesia, op.cit., , hlm. 13. 11. commit to user perpustakaan.uns.ac.id 143 digilib.uns.ac.id sistem parlementer. Pada periode itu, kekuasaan riil tetap dikendalikan oleh jnagkauan kekuasaan perwakilan (aseemblies). Melalui perwakilan selanjutnya Presiden dipilih dan terhadap mereka, pemerintah diminta untuk meletakkan pertanggungjawaban.509 Pada dasawarsa berlaku Konstitusi 1946 kemudian ditetapkan Committee Constitutionnel. Komposisinya terdiri atas Presiden, Majelis Nasional (National Assembly) dan Senat (Council of Republic). Sedangkan 7 orang lainnya dicalonkan oleh Majelis Nasional dan 3 orang berikutnya dari Senat. Jumlah keseluruhan Committee Constitutionnel adalah 13 orang. Seluruh anggota adalah politisi yang memiliki kadar untuk menguji produk legislatif.510 Namun posisi komite pada waktu itu tidak lebih dari organ pemecah perseturuan antara dua kamar yang terdapat dalam Parlemen dan dibentuk sekedar untuk memperkokoh posisi Majelis Nasional (National Assembly)dan guna menolak putusan yang disusun oleh Senat. Pembentukan Konstitusi untuk menggantikan Konstitusi 1946 secara prinsip didesain oleh Conseillers d’Etat serta dilaksanakan di bawah pengaruh Jenderal de Gaulle. Dalam konstitusi baru (1958) kekuasaan parlemen mengalami rasionalisasi. Untuk itu dibentuk Dewan Konstitusi guna menjamin keberlangsungan pendistribusian kekuasaan yang baru mengalami resrtrukturisasi itu. Konstitusi 1958 menempatkan Dewan Konstitusi untuk mengawasi jangkauan la loi (undang-undang)511 dan le reglement (peraturan).512 Dewan Konstitusi juga menguji undang509 Ahmad Syahrizal, op.cit., hlm. 231. 510 Ibid. “Matter other those within the province of loi have a regulatory charcter…Conceil Constitutionnel has declared that they are regulatory by virtue of the preceding paragraph.” Lihat Pasal 37 Konstitusi Prancis (1958). 511 “In the course of the legislative procedures, if it appears that a private Member’s bill or an amandement is not within the provice of laoi; or is contrary to a delegation of authority granted by virtue of article 38, the Government can oppose it as inadmissible. In case of disagreement between the Government and the Precident of the relevant chamber, and at the request of one or other of them, the Counseil constitutionnel commit to user shall give a rulling within a period of eight days.” Lihat Pasal 41 Konstitusi Prancis (1958). 512 144 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id undang organik (secara umum)513 dan peraturan tata tertib Majelis Nasional (National Assembly) dan Senate.514 Pengujian juga dapat diarahkan kepada perjanjian internasional yang dibuat oleh pemerintah, yang mulai berlaku sejak amandemen konstitusi pada tahun 1974. 515 Suatu rancangan undang-undang organic yang telah dinyatakan tidak konstitusional tidak dapat diberlakukan. Putusan Dewan Konstitusi sendiri bersifat final dan mengikat seluruh kekuasaan publik, kewenangan administratif, maupun badan peradilan umum lainnya.516 Model Prancis dalam Constitutional Review ini berpengaruh luas juga di banyak negara, terutama di negara-negara yang pernah dijajah Prancis. Karena pengaruh sistem hukum Prancis yang juga sangat luas di berbagai negara, maka tentu saja pola atau model Prancis ini pun diadopsikan dan diikuti oleh banyak negara. Semua negara seperti di benua Afrika dan Asia yang menamakan lembaga pengawal konstitusinya dengan istilah “Dewan Konstitusi” dapat dikaitkan dengan pengaruh Constitutional Review model Prancis ini. Secara khusus dapat disebutkan di sini pola atau model kelembagaan institusi pelaksana Constitutional Review yang mengikuti Prancis ini antara lain adalah keberadaan Dewan Konstitusi di negara Lebanon (Timur Tengah), Aljzair (Algeria), Comoros, Djobouti, Ivory Coast, Maroko, Mauritania, Mozambik, dan Senegal di Afrika, serta Kamboja dan Kazakhztan di kawasan Asia. 4. Model Jerman Penulis menempatkan model Jerman dalam rubrik khusus karena CR dalam model ini mempunyai pengaruh yang luas dalam praktik di dunia, termasuk desain kelembagaan di Indonesia. Di Jerman, MK Federal (Bundesverfassungsgericht) mempunyai wewenang yang cukup 513 Pasal 61 Konstitusi Prancis (1958). 514 Baca komentar Sri Soemantri, op.cit., hlm. 41. 515 Pasal 54 Konstitusi Prancis (1958). 516 Pasal 62 Konstitusi Prancis (1958). commit to user 145 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id besar, sehingga menjadi pusat perhatian ahli-ahli hukum di seluruh penjuru dunia. Bahkan aneka kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi Federal saat ini “telah dijadikan rujukan di sejumlah negara yang membentuk organ pengawal konstitusi.”517 Dalam hal ini, MK Federal “vested with various competencies and therefore plays an outstanding role in Germany’s legal system as well as in its political and societal life.”518 Dengan wewenangnya untuk menilai penerapan Undang-Undang terhadap konstitusi dalam penangangan sengketa administrasi, perburuhan, fiskal, dan sosial, termasuk ketentuan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, CR oleh MK Federal dalam rangka pengujian terhadap Basic Law. Kemudian, MK Federal menguji putusan pengadilan lainnya yang melanggar hak-hak konstitusional warganegara, mengontrol produk legislatif dan eksekutif, serta memutus sengketa kewenangan diantara lembaga-lembaga negara yang diatur dalam konstitusi. Selanjutnya, MK Federal juga bertanggung jawab terhadap penyelesaian impeachment terhadap Presiden Federal dan memutus pembubaran partai politik. Dengan demikian, MK Jerman “acts at the interface of law, politics and society.”519 Jauh sebelum mencapai bentuk pelembagaan seperti sekarang, ketatanegaraan Jerman mengalami pasang surut dalam mengadopsi ide mengenai MK. Sudah sejak tahun 1815, Konfederasi Jerman pada saat itu mengangankan sebuah peradilan negara (state-adjudication) dan judicial review guna menjamin kepentingan setiap negara bagian anggota konfederasi tersebut. Tetapi dalam periode keberlakuan Konstitusi Paulskirche (1848-1849), harapan besar untuk melembagakan peradilan negara tidak menjadi kenyataan. Otto van Bismarck, sebagai pemimpin 517 Ahmad Syahrizal, op.cit., hlm. 190-191. 518 L. Baum, “What Judges Want: Judges' Goals and Judicial Behavior”, Political Research Quarterly, Vol. 47, 2004, hlm. 749. 519 Ibid., hlm. 768. commit to user 146 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id tertinggi saat itu, tidak menjadikan hak asasi manusia sebagai isu dasar dalam penyelenggaraan negara, sehingga jaminan untuk memantapkan kepentingan setiap negara bagian tidak perlu diselesaikan oleh suatu badan pengadilan dan oleh karena itu, sejak tahun 1871, sengketa konstitusi diputus oleh Majelis Federal (Federal Assembly).520 Pada periode 1918-1933, mekanisme judicial review dilembagakan dengan pembentukan Reichsgerichts. Lembaga ini didesain untuk menandingi kekuasaan Parlemen karena mempunyai wewenang untuk membatalkan produk legislasi. Akan tetapi, kekuasaan diktatorian yang kebetulan menyertai periode Reichsgerichts menjelma sebagai kerikil-kerikil yang tajam dan menggembosi seluruh gerak evolutif kekuasaan lembaga ini dalam kurun waktu tersebut.521 Banyak pemikir hukum terkenal seperti Carl Schmitt, Hermann Heller, dan Franz Neuman secara positif bersama-sama mengatakan kegagalan fungsi Reichsgerichts dan menunjuk sebagai sinyalemen degenerasi prinsip-prinsip negara konstitusional. Pasca Perang Dunia II, ketiga pemikir itu menolak CR gaya Amerika Serikat, akan tetapi memandang penting bahwa tugas dan kewajiban konstitusional dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi guna melindungi hak-hak asasi manusia. 522 Penyusunan Basic Law sendiri di Jerman sebagai salah satu “the most important post-war constitution”523 dan penyusunan itu sendiri “proven highly influential with scholars”524 dan “constitution designers.”525 520 Ibid., hlm. 193. 521 Bernd Hartmann, 'How American Ideas Travelled: Comparative Constitutional Law at Germany's National Assembly in 1848-1849', The Tulane European and Civil Law Forum, Vol. 17, 2002, hlm. 23. 522 Ibid., hlm. 195. Donald L. Horowitz, “Constitutional Courts: a Primer for Decision Makers”, Journal of Democracy, Vol. 17, 2006, hlm. 127. 523 524 Bruce Ackerman, “The New Separation of Powers”, Harvard Law Review, Vol. 113, 2000, hlm. 634- 636. 525 commit to user Mauro Cappelletti, “Repudiating Montesquieu?, op.cit., hlm. 191. 147 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Berdiri pada tahun 1951 di Karlsruhe, MK Federal sampai kini merupakan salah satu lembaga yang “has gained high acceptance among the population and is continuously ranked in the top three of the institutions citizens trust most.”526 Kelembagaan MK diatur dalam the Basic Law dan ditindaklanjuti dalam the Federal Constitutional Court Act (FCCA). Mahkamah berwenang untuk mengatur lebih lanjut peraturan internal dan hukum acara. Semenjak berdiri, sampai Desember 2007, lembaga ini sudah memutus sebanyak 160.000 perkara.527 Fungsi MK Federal mencakup 2 (dua) hal. Lembaga ini merupakan puncak peradilan konstitusi di Republik Federal Jerman, dan sekaligus mengendalikan cabang-cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudisial. Sebagai pemutus sengketa, Mahkamah menyelesaikan perkara dengan memberikan penafsiran spesifik terkait dengan Basic Law. Oleh sebab itu, para hakim mempunyai wewenang “to concretize rather unspecific terms of the Basic Law. Thus, ruling on the basis of constitutional law leads, as widely accepted, to a relatively high degree of developing and creating law.”528 Oleh sebab itu, MK kemudian memberikan “political influence of the court”529, karena terkait dengan kesadaran bahwa “constitutional law is political law” yang tercermin dari “the structure of the Basic Law and the status of the Constitutional Court within Germany’s constitutional and political system.”530 Oleh sebab itu, “Constitutional law sets the rules and determines certain procedures for the political decision making process. Therefore, it defines the framework 526 B. Schlink , “Ideological Values and the Votes of U.S. Supreme Court Justices Revisited”, The Journal of Politics, Vol. 57, 2007, hlm. 812. 527 Ibid., hlm. 823. C. Degenhart, “The Judicialization of Politics in Germany”, International Political Science Review, Vol. 15, 2007, hlm. 113. 528 529 Ibid. 530 Ibid., hlm. 120. commit to user 148 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id for political actions. Consequently, limiting the actions by interpreting this framework constitutes political action.”531 Persepsi tersebut terkait dengan fungsi MK sebagai organ konstitusi. Oleh karena menyelesaikan masalah-masalah yang berhubungan dengan konstitusi dalam putusan perkara konkrit, maka badan ini kemudian harus berhadapan dengan cabang kekuasaan lain seperti Parlemen sehingga kepadanya sering diberikan label sebagai “Highest Guardian of the Constitution.”532 Dengan karakter yang demikian, Mahkamah menjadi badan yang bersifat otonom. Tidak seperti jenis pengadilan lain yang diletakkan sebagai bagian dari urusan Menteri Kehakiman, dan untuk menentukan anggaran, badan ini berhubungan langsung dengan Parlemen dan Menteri Keuangan. Seperti telah disebutkan di atas, badan ini secara mandiri juga diperkenankan untuk menentukan aturan-aturan yang bersifat sebagai hukum acara.533 Keunikan MK Federal di Jerman ini juga menyangkut komposisi bangun peradilannya. Badan ini mempunyai 16 orang hakim, yang terbagi ke dalam Panel Pertama dan Panel Kedua, dengan susunan keanggotaan masing-masing 8 orang hakim.534 Secara umum dikatakan, bahwa Panel Pertama, menangani persoalan yang terkait dengan hak-hak dasar (basic rights).535 Sementara Panel Kedua menurut asumsi beberapa apkar adalah panel yang menangani masalah-masalah politik, yaitu menyelesaikan CR dan pengujian abstrak. Perlu dicatat bahwa penggunaan istilah CR di sini khas Jerman, yaitu digunakan untuk menyelesaikan perseleisihan yang dihadapi oleh lembaga-lembega negara. Kategori ini termasuk wewenang menyelesaikan sengketa kewenangan antara Pemerintah Federal dengan negara bagian atau perselisihan yang melibatkan organ-organ negara di 531 Ibid., hlm. 123. 532 Ibid. 533 Ibid. 534 FCCA, Pasal 2 ayat (2). 535 FCCA, Pasal 14 ayat (1). commit to user 149 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id tingkat federal saja. Putusan yang dibuat oleh kedua panel secara institusional adalah putusan final dan mengikat. Dalam prosedur acara yang berlaku, untuk memutus suatu perkara harus dihadiri oleh seluruh hakim (Plenum) yang terdiri dari 16 orang. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga konsistensi putusan.536 C. Eksplanasi Postur Pengadilan Konstitusi 1. Jangkauan Kewenangan Diskusi mengenai jangkauan kewenangan CR dapat diawali dengan pelacakan terhadap sistem yang digunakan. Pada satu sisi, sistem yang paling tua adalah sistem Amerika yang dikenal dengan “diffuse review.” Dalam hal ini, sistem menawarkan pengujian yang insidental, dengan akses langsung bagi setiap individu untuk mengajukan permohonan konstitusionalitas hukum di muka pengadilan. Pengadilan di lingkungan peradilan umum akan memeriksa konstitusionalitas UU atau tindakan individu. Para hakim dalam pengadilan yang bersangkutan diberi kekuasaan untuk tidak menerapkan suatu ketentuan UU dengan alasan bahwa UU yang bersangkutan bertentangan dengan konstitusi. Sisi praktis dari “diffuse review” ini adalah setiap individu dapat langsung mengajukan permohonan sehubungan dengan perkara yang dihadapi, tidak melalui persyaratan dan prosedur yang bersifat khusus lagi seperti apabila permohonan semacam itu diajukan ke MK. Bahayanya adalah memunculkan kemungkinan bahwa suatu ketentuan UU dalam sebuah putusan pengadilan dinyatakan bertentangan dengan konstitusi, akan tetapi dapat saja terjadi bahwa pengadilan yang sama dalam menangani perkara yang berbeda atau pengadilan dalam lingkungan yurisdiksi memberikan penafsiran yang berbeda terhadap ketentuan UU tersebut. Lebih-lebih apabila penafsiran secara beragam itu berlanjut pada pengadilan dalam tingkatan yang lebih tinggi atau bahkan sampai kepada upaya hukum di MA, namun ditolak, maka ketidakpastian mengenai substansi penafsiran 536 commit to user Sri Soemantri, op.cit., hlm. 47-48. 150 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id konstitusi itu akan semakin menjadi-jadi. Pada akhirnya, “diffuse review remains a perfectly valid form of constitutional justice.”537 Sebaliknya, dalam “concentrated system” yang membutuhkan kelembagaan pengadilan konstitusi secara khusus, pengujian “carried out either via indirect access or direct access. The former occurs in ordinary proceedings. The judge (the ordinary judge) hearing those proceedings will suspend them where an issue of constitutionality arises and will then issue a preliminary request to the Constitutional Court to determine the issue.”538 Adapun keuntungan yang segera diraih dari mekanisme ini adalah “i) greater unity of jurisdiction; and ii) legal security as it does not permit divergent decisions on issues of constitutionality to arise, which would render the application of a statute unclear.”539 Perlu dicatat bahwa berdasarkan sistem hukum yang berlaku amat sulit untuk memilah sistem pengujian yang meliputi “diffuse review” dengan “concentrated system.”Hal ini karena “The nature of a system is determined by a Court or Courts’ material competences, which determine whether or not there is one single institution that is entitled to decide constitutional matters.”540 Negara yang mengadopsi sistem “diffuse review” meliputi Denmark, Finlandia, Islandia, Norwegia, dan Swedia. Sementara itu, “concentrated system” dilaksanakan di Albania, Algeria; Andorra, Armenia, Austria, Azerbaijan, Belgia, Belarus, Kroasia, Republik Ceko, Prancis, Georgia; Jerman, Hongaria, Italia, Korea Selatan, Latvia, Liechtenstein, Lithuania, Luxembourg, Moldova, Montenegro, Polandia, Romania, Russia, Serbia, Slovakia, Slovenia, Spanyol,Yugoslavia, Turki, dan Ukraina. Hal yang perlu diperhatikan adalah sistem pengujian di Algerian, Maroko, Prancis, dan Tunisia, yang membentuk suatu badan khusus untuk melakukan pengujian, sekalipun 537 Gagik Harutyunyan, et.al., op.cit., hlm. 11. 538 Ibid., hlm. 12. 539 Ibid. 540 Ibid. commit to user 151 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id jenis wewenangnya berbeda dengan apa yang sudah diuraikan di muka. Ada pula suatu hal yang khas, ketika pengadilan dilekati kewenangan CR, pelaksanaan ada yang mencakup wewenang membatalkan suatu UU atau aturan berkenaan dengan pemeriksaan suatu perkara konkrit atas dasar permintaan badan pengadilan dalam tingkatan yang lebih rendah, yang membentuk sistem campuran. Contoh “mixed review” ini dilaksanakan di MA Brazil, sementara negara seperti Andorra, Chile, dan Peru membentuk suatu badan pengadilan konstitusi secara terpisah. Kemudian, Amerika dan negara lain seperti Argentina, Brazil, Canada, Estonia, Irlandia, Israel, Jepang, Malta, Meksiko, Monaco, Portugal, San Marino, Afrika Selatan, Yunani dan Swiss; menjalankan sistem “diffuse review” sekalipun beberapa diantaranya seperti Portugal dan Afrika Selatan juga membentuk MK sebagai pengadilan yang khusus melaksanakan pengujian. Di Belanda, tidak ada MK, dan MA juga tidak mempunyai kewenangan dalam rangka pengujian. Akan tetapi, “Every court in the Netherlands has the power (and duty) to review national law in the light of human rights conventions and other self-executing treaties.”541 Kasus yang lain terjadi di Cyprus. Berdasarkan ketentuan Konstitusi (1960) yang berlaku hingga sekarang, terdapat MK dan MA dengan yuridiksi masing-masing. Akan tetapi dengan perubahan konstitusi (1963), kedua lembaga itu dilebur sebagai MA sebagai badan pengadilan tertinggi dengan tetap mempertahankan fungsi yang telah ada sebelumnya. Dengan demikian, MA juga sekaligus berperan sebagai MK. Lembaga ini berwenang untuk menguji Rancangan UU, menjawab pertanyaan Presiden, menyelesaikan sengketa kewenangan lembaga negara, dan menguji konstitusionalitas UU. Menarik untuk dicermati bahwa ragam kelembagaan CR, khususnya dalam bentuk pengadilan konstitusi yang spesifik, juga mempunyai daya jangkau kewenangan yang beraneka ragam. Daya 541 Ibid., hlm. 13. commit to user 152 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id jangkau kewenangan tadi dalam berbagai jurnal internasional dirumuskan ke dalam 4 optik pengamatan yaitu “type, timing, jurisdiction, effects, and access.” Dalam hal ini, “type” menyangkut “whether the process of constitutional adjudication is concrete (when the review may not take place absent a real case or controversy) or abstract (when the review takes place absent a real case or controversy).”542 Kemudian, “timing” menentukan bahwa “if constitutional review occur a priori (before a law has been formally enacted) or a posteriori (after the law has been adopted).”543 Selanjutnya, “jurisdiction” berarti “can be either centralized (there is only one court responsible for it) or decentralized (more than one court can interpret the Constitution and render laws, decrees or regulations unconstitutional).”544 Pembicaraan mengenai “effect” berarti “the decisions in constitutional cases may be erga omnes (valid for everyone) or inter partes (valid only for the participants in the case).”545 Selanjutnya, istilah “access” berhubungan dengan “legal instruments can be open (any citizen has legal standing to use them) or restricted (only public authorities, such as a fraction of legislators or leaders of political parties, have legal standing).”546 Jangkauan wewenang pengadilan konstitusi dengan optik pengamatan “type, timing, and jurisdiction” yang dapat digunakan untuk “to identify four different kinds of legal instruments for constitutional control.”547 Hal ini karena secara teknis, “with these three features there could be eight different kinds of legal instruments.”548 Dalam hal ini, Julio Ríos Figueroa, “Institutions for Constitutional Justice in Latin America”, dalam Gretchen Helmke dan Julio Ríos Figueroa (eds.), 2007, Courts in Latin America, New York: Cambridge University Press, hlm. 20. 542 543 Ibid. 544 Ibid. 545 Ibid. 546 Ibid. 547 Ibid. 548 Ibid. commit to user 153 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id pengujian abstrak (abstract review) dapat dilaksanakan secara a priori maupun posteriori. Kemudian, pengujian konkrit (concrete review) hanya dapat berlangsung dapat berbentuk posteriori. Suatu pengujian konkrit tidak mungkin dilaksanakan secara a priori mengingat untuk pengujian harus dipersyaratkan bahwa suatu ketentuan norma hukum harus sudah berlaku terlebih dahulu. Lagipula, secara logis dipahami bahwa suatu pengujian yang bersifat a priori, daya jangkau wewenang tidak dapat didesentralisasikan karena ketentuan UU yang bersangkutan belum diundangkan. Serupa dengan hal itu, meskipun pengujian demikian dapat saja dibayangkan berlangsung secara terdesentralisasi namun secara ilmiah tidak dapat dipertanggungjawabkan mengingat kesulitan dalam praksisnya. Oleh sebab itu, dalam hal CR memberikan perkenan kepada para hakim untuk membatalkan suatu UU dalam mekanisme pengujian abstrak karena inkonstitusional dan dilaksanakan secara terdesentralisasi, bukan saja akan menyebabkan ketidakpastian hukum secara luar biasa, akan tetapi hakim di lingkungan pengadilan dengan tingkatan yang lebih rendah akan menjadi sangat berkuasa dan memberikan kesempatan kepada hakim tingkatan atas untuk membatalkan melalui mekanisme banding guna memberikan kepastian hukum terhadap sistem hukum yang ada. Dengan demikian, ada 4 kombinasi bentuk-bentuk CR yang secara teknis tidak dapat direkomendasikan yaitu (i) concrete centralized a posteriori; (ii) concrete decentralized a posteriori; (iii) abstract centralized a priori, dan (iv) abstract centralized a posteriori. Secara visual kombinasi keempat bentuk CR ini dapat dilihat dalam tabel berikut: commit to user 154 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Tabel 2 Kombinasi Bentuk-Bentuk Kewenangan Constitutional Review Concrete Jurisdiction/Timing A priori Abstract A A priori A posteriori Yes Yes Yes Yes Not Not possible recommended posteriori Centralized Not Possible Decentralized Not Possible Sumber: Julio Ríos Figueroa, “Institutions for Constitutional Justice in Latin America”, dalam Gretchen Helmke dan Julio Ríos Figueroa (eds.), 2007, Courts in Latin America, New York: Cambridge University Press, hlm. 37. Efek putusan diantara keempat bentuk CR tersebut juga dapat berlangsung dalam bermacam-macam cara dengan akses yang tidak sama satu dengan yang lain. Terkait dengan optik “effect” dan “acsess” maka “it is also possible to identify some combinations that are either logically impossible or unappealing for practical reasons.”549 Untuk bentuk CR yang pertama yaitu pengujian yang bersifat “concrete-centralized-a posteriori”, dikenal dengan antara lain dengan istilah “amparo” (Spanyol), “Verfassungsbeschwerde” (Jerman), atau “controversia constitucional” (Meksiko). Putusan perkara dalam bentuk ini dapat bersifat “erga omnes” (mengikat umum) atau “inter partes” (hanya mengikat para pihak). Akses terhadap bentuk CR ini dapat terbuka bagi seluruh warga negara atau hanya terbatas kepada badan-badan publik tertentu.550 Untuk bentuk CR yang bersifat “concrete-decentralized-a posteriori” dalam praktik dikenal antara lain dengan istilah “amparo” (Meksiko), “mandado de segurança” (Brasil), dan “habeas corpus” (yang lazim dipraktikkan di negara-negara Anglo-Saxon). Oleh karena bentuk ini 549 Julio Ríos Figueroa, op.cit., hlm. 21. Julio Rios-Figueroa, “The Institutional Setting for Constitutional Justice in Latin America”, Prepared for the Conference JudicialtoPolitics commit user in Latin America, CIDE, March 4‐8 2009, hlm. 10. 550 155 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id lazimnya dapat dilaksanakan dengan mengajukan permohonan kepada hakim dalam tingkatan pengadilan yang lebih rendah, maka sifat putusan pada umumnya adalah “inter partes.” Jika kemudian diajukan banding kepada pengadilan yang lebih tinggi atau diajukan ke pengadilan konstitusi, maka barulah sifat putusan menjadi “erga omnes.” Bentuk CR ini mengurangi terjadi pelanggaran HAM yang bersifat individual, oleh karena itu, pada umumnya akses untuk menggunakan instrumen ini dibatasi sedemikian rupa. Sementara itu, bentuk CR yang bersifat “abstract-centralized-a priori”, populer di Dewan Konstitusi Prancis. Pada hakekatnya, putusan pengujian bersifat “erga omnes” karena berurusan dengan kualitas proses pembentukan legislasi. Pengujian ini tidak membuka akses kepada setiap warganegara, karena yang menjadi subyek pemohon hanyalah para pihak yang terlibat dalam proses pembentukan legislasi tersebut, dalam konteks ini adalah (anggota) Parlemen dan pejabat eksekutif. Karakter pengujian “a priori” merujuk kepada situasi “inherently even more 'political' than constitutional control of a law which is already in force because it intervenes right after the adoption of a law, when political debate is still 'hot' and when the opposition sees its last hope in an annulations of the law by the constitutional court.”551 Keuntungan yang segera dipetik dengan pengujian ini adalah “that an unconstitutional law never enters into force, thus avoiding its possible negative impact on society.”552 Pada sisi lain, “a priori control is by definition abstract and cannot take into account the application of the law.”553 Padahal, di dalam praktik yang lazim terjadi adalah “often the negative consequences of legislation only become apparent in practice–through a possibly unconstitutional Schnutz Rudolf Dürr, “Comparative Overview of European Systems of Constitutional Justice”, ICL Journal, Vol. 5, 2011, hlm. 167. 551 552 Ibid. 553 Ibid. commit to user 156 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id application of the law by the ordinary courts.”554 Oleh sebab itu, pengujian “a priori” biasanya “certainly useful in the process of ratification of international treaties. Once a treaty is ratified, the State is bound by it and if the constitutional court discovers its unconstitutionality only later, the State is in the embarrassing situation that it can no longer apply in national law the treaty to which it is bound by under international law.”555 Oleh sebab itu, beberapa negara seperti Armenia, Austria, dan Spanyol, memberikan kewenangan pengujian “treaty” kepada MK. Akhirnya, bentuk pengujian “abstract-centralized-a posteriori”, pada intinya menyatakan tidak berlaku (deleting) suatu norma hukum atau bagian ketentuan dari kodifikasi dan kemungkinan bahwa efek dari putusan tersebut hanyalah mengikat bagi para pihak yang mengajukan permohonan. Akses terhadap permohonan pengujian ini dapat diajukan oleh setiap warganegara atau pada badan hukum publik tertentu. Uraian mengenai akses dan efek putusan dari setiap bentuk CR secara sederhana dapat divisualisasikan ke dalam tabel berikut ini. Tabel 3 Akses dan Efek Putusan Constitutional Review Bentuk CR Concrete- Akses Efek Putusan Open Restricted Erga Omnes Inter Pares Ya Ya Ya Ya Tidak Tidak Ya direkomendasika direkomendasi centralized-a posteriori Concrete - Ya decentralized‐a 554 Ibid. 555 Ibid. commit to user 157 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id posteriori n Abstract- Dikenal di Ya centralized-a priori Prancis Abstract- Ya kan Ya Tidak terlaksana Ya Ya Tidak centralized-a Catatan: “Tidak Mungkin Terlaksana” mengandung arti secara logis, kombinasi bentuk pengujian CR tidak dapat diterima baik secara teoritis maupun praktis, sementara “Tidak direkomendasikan” mengandung arti bahwa kombinasi bentuk CR tersebut dapat memungkinkan diatur, namun dalam praktik ada kemungkinankemungkinan untuk berlangsung tidak logis. Sumber: Julio Ríos Figueroa, “The Institutional Setting for Constitutional Justice in Latin America”, Prepared for the Conference Judicial Politics in Latin America, CIDE, March 4‐8 2009, hlm. 18. Perlu diketahui bahwa bentuk-bentuk CR tersebut akan berpengaruh di dalam perilaku pengadilan (judicial behavior) dalam penyelesaian perselisihan konstitusi. Bentuk “abstract-centralized-a posteriori” yang dirintis oleh Hans Kelsen “has been considered the most ‘political’ tool that judges possess by some scholars because it directly implies legislating albeit in a ‘negative’ way.”556 Konsep pengujian abstrak ini berbasis pemikiran bahwa “that state authorities (the Head of State, Government, Parliament itself, but often also parliamentary minorities) are empowered to request the control of the constitutionality of a law in the absence of a specific case of the application of this law.”557 Kritik yang disampaikan terhadap pengujian abstrak adalah “sometimes criticised for allowing judges to exercise legislative power, because they could foreclose policy initiatives by Parliament.”558 Sebagai contoh adalah MK Federal Jerman. Dalam hal ini, “the Constitutional Court is sometimes called upon by the opposition to review the constitutionality of Stone Sweet 2000, op.cit., hlm. 142. 557 Schnutz Rudolf Dürr, op.cit., hlm. 165. Baca juga: Alec Stone Sweet, 'The Politics of Constitutional Review in France and Europe', ICON, Vol. 5, 2007, hlm. 123. 558 Ibid. mungkint erlaksana posteriori 556 Mungkin commit to user 158 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id laws, even if there the adopted law is most likely in conformity with the Constitution. This may be part the political agenda of the opposition requesting effectively to settle policy disputes.”559 Walaupun demikian, dapat dikatakan bahwa “this is not a good instrument for judges to enforce rights, because it is too rough a tool that forces constitutional judges to decide whether a law or a part of it violates a constitutional right, when answers to those kinds of questions usually require contextual arguments for which ‘concrete’ instruments are better suited.”560 Gagasan seperti ini sebenarnya sudah dikemukakan oleh Rosenberg dengan mengatakan “since judges are gradualists, litigation for significant social reform must take place step-by-step, small changes must be argued before big ones.”561 Oleh sebab itu, ada pandangan yang mengatakan bahwa “abstractcentralized-a posteriori” ideal untuk instrument penyelesaian konflik politik, di mana badan-badan publik menjadi salah satu pihak. Hal ini seperti yang terjadi di Meksiko, di mana “the Supreme Court has been arbitrating partisan conflicts and leveling the playing field by nullifying biased state electoral laws.”562 Disertasi dengan karakter “acsess restricted”, bentuk ini “four make it good for settling political disputes but not that good for enforcing rights, while instruments that are ‘concrete’ are better for enforcing rights.”563 Untuk bentuk pengujian konkrit, terdapat 2 instrumen yang digunakan yaitu “centralized” dan “decentralized.” Rosenberg menegaskan bahwa dalam rangka penegakan hak-hak asasi, maka lebih baik melalui pengujian dengan “concrete-decentralized” sebagaimana 559 Ibid., hlm. 167. Julio Rios-Figueroa, “The Institutional Setting for Constitutional Justice in Latin America”, op.cit., hlm. 10. 560 561 Rosenberg 1991, 31 562 Ibid. 563 Ibid. commit to user 159 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Amerika.564 model Namun, bentuk “Constitutional Complaint” sebagaimana dipraktikkan di Spanyol dan Jerman misalnya, sesungguhnya merupakan bentuk dari pengujian “concrete-decentralized” tadi.565 Perlu juga dicatat bahwa pengujian “decentralized” pada umumnya disertai dengan akses yang bersifat umum (tanpa pembatasan), sementara karakter pengujian “centralized” sifat aksesnya dapat terbuka maupun dengan pembatasan tertentu. Sifat terbuka tersebut, sebagaimana umum disampaikan oleh para pakar, ditentukan untuk lebih mendorong pengadilan bersifat aktif dalam rangka mempertahankan hak-hak asasi. Sifat terbuka (open acsess) dalam doktrin hukum (perdata) dikenal sebagai prinsip “actio popularis.” Dalam hal ini, “actio popularis” merupakan instrumen yang “which gives any person the right to request the abstract review of a law without any personal interest.”566 Jika instrumen ini dianut oleh suatu pengadilan konstitusi, maka konsekuensinya akan menyebabkan “clog down a constitutional court, making it unable to take up within reasonable time really pressing issues, including human rights cases.”567 Seperti kesaksian ketua MK Kroasia yang pernah menyatakan fenomena luar biasa di mana “that a single person had made some 800 applications to Court, causing considerable disruption of the work of the Court.”568 Seperti disampaikan dalam uraian sebelumnya, bentuk CR yang berkarakter “concrete- decentralized-a posteriori” merupakan pilihan yang paling baik untuk melindungi hak-hak asasi, namun secara praksis dapat saja menimbulkan pertanyaan empiris, khususnya apabila suatu perkara bersifat lintas negara yang membutuhkan pendekatan perbandingan 564 Rosenberg, loc.cit. 565 Baca diskusi lebih lanjut dalam Stone Sweet 2000, hlm. 104-127. Schnutz Rudolf Dürr, “Comparative Overview of European Systems of Constitutional Justice”, ICL Journal, Vol. 5, 2011, hlm. 166. 566 567 Ibid. 568 Ibid. commit to user 160 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id hukum, dan suatu karakteristik dianggap lebih penting dibandingkan dengan yang lain. Perhatian kepada perilaku pengadilan (judicial behavior) dalam peradilan konstitusi, menurut Rosenberg, merupakan suatu penanda yang mudah untuk dijumpai mengingat “that the more rights are specified in the Constitution, the more likely judges will enforce some of them.”569 Seperti ditunjukkan dengan kinerja MK Kolumbia, yang “has been so active in rights enforcement is the more extensive catalogue of rights included in the 1991 Constitution as compared to the previous Constitution.”570 Secara umum, seperti dikemukakan oleh Siri Gloppen bahwa “rights are now incorporated into the legal frameworks of most countries, either in national constitutions, or in the form of human rights provisions in customary international law and legally binding treaties.”571 Oleh sebab itu, dalam ketatanegaraan kontemporer, “it wouldn’t be difficult for judges to find valid legal sources to sustain their rightsenforcement behavior, although the legitimacy of that move certainly varies across countries.”572 Para ahli juga mengemukakan bahwa andaikata pengadilan diberi wewenang untuk memeriksa perkara, tentu saja mereka akan lebih suka perkara yang mengandung unsur penegakan hak-hak asasi. Sebagai contoh, ketentuan mengenai “prerogative” pengadilan ini dijumpai antara lain dalam Konstitusi Meksiko. Oleh sebab itu, MA secara aktif menyukai menangani perkara-perkara yang berhubungan dengan hak asasi. Ketentuan serupa, walaupun samar-samar, dijumpai dalam konstitusi Argentina.573 569 Rosenberg 1991, op.cit., hlm. 11. 570 Julio RiosFigueroa, op.cit., hlm. 12. 571 Gloppen 2006, 40. 572 Ibid. 573 Julio Rios‐Figueroa, loc.cit. commit to user 161 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id 2. Akses Individual Di sini disoroti secara khusus mengenai akses individual (individual acsess) berkaitan dengan CR. Dalam hal ini, akses individual tersebut mencakup pengertian sebagai “the various different mechanisms that enable violations of individuals’ constitutionally guaranteed rights, either separately or jointly with others, to be brought before a constitutional court or equivalent body.”574 Akses tersebut meliputi 2 macam bentuk yaitu akses langsung (direct acsess) dan akses tidak langsung (indirect acsess). Dalam hal ini, “Direct access refers to the variety of legal means through which an individual can personally petition the Constitutional Court i.e., without the intervention of a third party.”575 Sedangkan,”Indirect access refers to mechanisms through which individual questions reach the Constitutional Court for adjudication via an intermediary body.”576 Banyak pakar yang mengemukakan bahwa keberadaan suatu konstitusi merupakan prasyarat untuk pelembagaan CR. Dalam kerangka akses individu terhadap pengadilan konstitusi, pernyataan itu berarti bahwa tanpa adanya ketentuan tertulis dalam konstitusi yang mengatur secara khusus, maka tidak ada kemungkinan baik bagi Parlemen maupun pengadilan, untuk membedakan hukum dengan persoalan konstitusi, serta pengujian mengenai hal terakhir dalam suatu standar tertentu dengan pilihan untuk membatalkan suatu ketentuan UU. Bagaimanapun, terdapat suatu negara yang tidak mempunyai konstitusi—dalam pengertian dokumen hukum tertulis—tetapi dianggap mempunyai konsttiusi tidak tertulis atau memberlakukan kebiasaan ketatanegaraan sebagai patokan dalam rangka menguji perjanjian internasional (treaty) dan hukum kebiasaan internasional (international customary law). Inggris merupakan contoh negara yang tidak mempunyai hierarki formal yang berpuncak 574 Gagik Harutyunyan, et.al., op.cit., hlm. 7. 575 Ibid. 576 Ibid. commit to user perpustakaan.uns.ac.id 162 digilib.uns.ac.id kepada konstitusi. Sebagai konsekeunsinya tidak ada kekuatan untuk menguji atau menilai kesesuaian UU dengan konstitusi. Walaupun demikian tidak berarti CR tidak dikenal di Inggris. Mekanisme CR dilaksanakan dalam 2 cara yaitu “first by reference to European Union law as the UK courts are required to review the compatibility of UK legislation with EU law and, where it is incompatible, disapply UK law; and secondly, since the introduction of the UK Human Rights Act 1998, a review power was introduced enabling its higher courts to examine the compatibility of UK legislation with those human rights protected by the European Convention on Human Rights 1950.”577 Di dalam praktik, “The control of legislation based on the Human Rights Act extends to the devolved legislatures in Scotland, Wales and Northern Ireland. In the case of these legislatures, legislation that is incompatible with a Convention right may be held to be ultra vires, outside the competence of the legislature in question.”578 Namun demikian, “the Human Rights Act 1998 has to a certain degree been given supra-legislative value, as courts are required to assess the compatibility of provisions in question with the European Convention on Human Rights and make a declaration of incompatibility.”579 Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa “Judicial protection of fundamental rights is gaining importance in the UK and the court’s declaration of incompatibility can have a persuasive effect on the Parliament whose formal sovereignty is remains unchallenged through this system.” Dapat dikemukakan juga bahwa “legality review (review of individual and general administrative acts in relation to Acts of Parliament including fundamental rights) has been taking more and more space since the 1940s and the common law system provides a number of principles, some of which might be considered as part of ‘unwritten 577 Ibid., hlm. 8. 578 Ibid. Lihat dalam: http://www.opsi.gov.uk/acts/acts1998/ukpga_19980042_en_1#pb2commit to user l1g3, diakses 25 Juni 2012, Pukul 02.20 WIB. 579 163 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id constitutional law’”.580 Dalam rujukan beberapa kasus terakhir, “constitutional review provided by the 1998 Act enables the courts to declare ordinary UK laws incompatible with protected human rights; albeit they remain law and the UK Parliament is left with the choice whether to amend or repeal the specific law.”581 Inggris juga mengembangkan kaidah hukum administrasi melalui “applies to all forms of executive decision, including secondary legislation, and this system now includes enforcement of the duty to protect Convention rights.”582 Terhadap pengadilan konstitusi, akses individu ini pada dasarnya berhubungan khusus dengan masalah HAM. Sehubungan dengan masalah ini, dapat dilihat sebagaimana juga ketentuan Konstitusi Prancis (1791) yang mensyaratkan bahwa “the constitutional texts must necessarily articulate, either as part of the text or as an appendix, a number of defined human rights.”583 Walaupun demikian, ada saja negara yang dalam ketentuan konstitusinya sama sekali tidak mengatur mengenai akses individu ini antara lain Algeria, Maroko, Belanda, dan Tunisia. Negara Prancis layak dimasukkan pula dalam kategori ini sekalipun desain CR dikenal dalam konstitusi (1958). Hanya saja dengan Perubahan Konstitusi (2008) ketentuan Pasal 61 ayat (1) yang membuka akses individu di hadapan pengadilan umum untuk mempertanyakan konstitusionalitas UU dalam batas-batas pemenuhan hak-hak konstitusionalnya.584 Oleh karena akses individual “predominately serves the function of protecting an individual’s fundamental rights and, as these rights–with the exception of political rights (e.g. right to vote)-and sometimes also social rights (e.g. right to social security) are usually conferred upon citizens and non580 Ibid. Lihat: D. Fontana, “Secondary Constitutional Review: American Lessons from the New British System of Constitutional Review”, dalam http://www.allacademic.com/meta/p178285_index.html, diakses 25 Juni 2012, Pukul 02.21 WIB. 581 582 Ibid. 583 Gagik Harutyunyan, et.al., op.cit., hlm. 9. 584 Ibid., hlm. 15. commit to user 164 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id citizens alike, individual access provisions typically concern all members of society.”585 Dalam praktik di Rusia, konstitusi menentukan bahwa setiap warganegara (citizenship) menjadi subyek permohonan CR di MK, akan tetapi pengadilan kemudian memperluas penafsiran dengan mencakup juga warganegara asing dan orang yang tidak mempunyai kewarganegaraan (stateless person). Di dalam praktik, akses individu yang bersifat langsung (direct individual accses) terhadap pengadilan konstitusi untuk “abstract review” meliputi 3 bentuk yaitu (i) actio popularis; (ii) individual suggestion; (iii) quasi of actio popularis. Sementara itu, dalam “concrete review” akses tersebut mencakup 3 bentuk yaitu (i) normative constitutional complaint; (ii) constitutional petition; dan (iii) full constitutional complaint. Selanjutnya, untuk akses tidak langsung, mencakup 3 bentuk yaitu (i) preliminary ruling procedures; (ii) Ombudsperson; dan (iii) badan-badan tertentu lainnya. Berikut ini akan dibahas mengenai bentuk-bentuk akses individu tersebut. (a) Actio Popularis Bentuk akses ini “implies that every person is entitled to take action against a normative act after its enactment, without needing to prove that he or she is currently and directly affected by the provision.”586 Menurut Kelsen, actio popularis dimaksudkan sebagai “broadest guarantee of a comprehensive constitutional review, as any individual may petition to the constitutional court” yang “fulfilling every citizen’s duty as a guardian of the constitution” dan tidak membutuhkan “a victim of a violation of their fundamental rights.”587 Ketentuan mengenai actio popularis ini dipraktikkan antara lain di 585 Ibid., hlm. 16. 586 Ibid., hlm. 21. Lihat dalam: A. van Aaken, “Making International Human Rights Protection More Effective: A Rational-Choice Approach to the Effectiveness of Ius Standi Provisions”, Preprints of the Max Planck Institute for Research oncommit Collective to Goods user Bonn, No. 16, 2005, Bonn, 2005, hlm. 14 587 165 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id negara Liechtenstein, Chile, Malta, Peru, Kroasia, Georgia, Hungaria, dan Yugoslavia. Di Israel, bentuk ini dilaksanakan dengan mempersyaratkan "public petitioners", di mana sejumlah orang dapat mengajukan secara bersama-sama bahwa suatu UU telah melanggar HAM ke MA. (b) Individual Suggestion Dalam suatu “abstract review” individu selaku pemohon dimungkinkan untuk melakukan “individual suggestion” dalam batasbatas kebebasan bertindak dari MK. Dalam mekanisme ini, “Individuals may approach the constitutional court in a direct manner, suggesting that the court review the constitutionality of a normative act.”588 Namun demikian, “the individual cannot insist that the constitutional court commences proceedings.”589 Beberapa negara antara lain Polandia, Hongaria, dan Albania, membuka kemungkinan untuk mekansime tersebut dalam perkara-perkara tertentu. Di Montenegro dan Serbia, apabila permintaan untuk menguji itu ditolak, maka harus diikuti dengan pemeriksaan pendahuluan dan diberikan alasan-alasan yang jelas. (c) Quasi Actio Popularis Bentuk “quasi actio popularis” merupakan bentuk diantara “abstract action popularis” dengan “normative constitutional complaint.” Kewenangan untuk pelaksanaan “quasi actio popularis” ini dibatasi dan menghindari kepentingan yang sama dengan “actio popularis”, dengan cara mempersyaratkan secara tegas bahwa seorang individu mempunyai kepentingan hukum terhadap norma-norma yang berlaku umum. Mekanisme ini relatif mirip dengan “normative constitutional complaint”, kecuali sehubungan dengan syarat bahwa “an applicant does not need to be directly affected” dan yang dibutuhkan hanyalah syarat bahwa “the legal provision interferes with their rights, legal interests or legal 588 Gagik Harutyunyan, et.al., op.cit., hlm. 21. 589 Ibid. commit to user 166 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id position.”590 Bentuk ini dilaksanakan antara lain pada pengadilan konstitusi di Yunani. (d) Normative Constitutional Complaint Menurut Alec Stone Sweet, “Protection of constitutional rights has been characterized as a main basis of legitimacy of constitutional adjudication.”591 Dalam konteks ini, Constitutional Complaint merupakan “a tool for the constitutional court for scrutinizes the activities of public authorities and redress infringement upon constitutionality guaranteed of rights of individuals.”592 Sebagai suatu akses terhadap pengadilan konstitusi, Constitutional Complaint sering dianggap sebagai “access to individual with grievances against the state to the Constitutional Court and allowing the latter to engange in adjudication of rights alters the traditional balances of power between the constitutional court and parliaments and significantly influences relation between ordinary and constitutional court.”593 Meskipun demikian, “mechanism of the Constitutional Complaint generates tension in relation between the constitutional court and the public authorities the act of which are subject to constitutional control”, akan tetapi mekanisme ini telah “demonstrated to be a valuable addition to the centralized model of judicial review and the divice that significantly enhances the potential of the constitutional court to contribute to the effective protection of fimdamental rights.”594 Setiap individu dapat mengajukan gugatan sehubungan dengan pelanggaran hak-hak fundamental yang didasarkan kepada berlakunya 590 Ibid., hlm. 22. Alec Stone Sweet, “Politic of Constitutional Review of Legislation in France and Europe”, International Journal of Constitutional Law, Vol. 5, 2007, hlm. 85. 591 592 Lihat: Herman Schwartz, The Strunggle for the Constitutional Justice, op.cit., hlm. 45-35. 593 Lech Garliki, “Constitutional Court Vs. Supreme Court”, International Journal of Constitutional Law, Vol. 5, 2007, hlm. 44. 594 Ibid. commit to user 167 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id suatu ketentuan normatif UU. Oleh sebab itu, dikaitkan dengan pengujian, maka mekanisme ini memerlukan konteks dalam perkara tertentu (a specific case). Di dalam sistem yang menyediakan “normative constitutional complaint”, setiap tindakan individu tidak dapat disangkal sebelum diputus oleh MK, dan pengujian itu sama sekali tidak berhubungan dengan aspek keberlakuan suatu norma dalam UU.595 Mekanisme ini dipertimbangkan sehubungan dengan efektifitas perlindungan hak-hak fundamental karena keberlakuan suatu norma dalam UU. Bentuk “normative constitutional complaint” (yang acapkali diberlakukan bersama-sama dengan jenis-jenis “complaint” lainnya) antara lain dilaksakan di Armenia, Austria, Belgia, Georgia, Hongaria, Polandia, Latvia, Luxembourg, Rusia, dan Romania.596 Suatu mekanisme yang terbatas dilaksanakan di Estonia, di mana atas resolusi Parlemen dan keputusan Presiden dapat dimintakan pengujian.597 Konstitusi Rusia memperkenankan setiap individu yang merasa hak-hak dan kebebasan fundamentalnya dilanggar atas suatu UU yang berlaku atau direncanakan berlaku, dapat mengajukan gugatan ke MK.598 Mekanisme yang dianut oleh Dewan Konstitusi Prancis, dalam suatu pengujian abstrak, amat dekat dengan “normative constitutional complaint” ini. Jika suatu rancangan UU yang disetujui Parlemen ditolak oleh Dewan Konstitusi, maka otomatis tindakan-tindakan yang berdasarkan RUU yang bersangkutan hilang dari tata hukum Prancis.599 (e) Constitutional Petition Di Ukraina, apabila setiap individu menilai bahwa hak-hak fundamentalnya dilanggar atas suatu ketentuan UU, dapat mengajukan ke M.-Fr. Rigaux, “Introduction of a Constitutional Review of Laws: Benefit, Purpose and Modalities”, Report for the Seminar on Constitutional Jurisdiction, Ramallah, 2008, hlm. 4. 595 596 Ibid., hlm. 7. 597 Ibid. 598 Ibid., hlm. 8. 599 Ibid., hlm. 9. commit to user 168 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id MK untuk memeriksa penafsiran atas konstitusionalitas UU tersebut. Titik tolak mekanisme ini adalah penafsiran ketentuan UU dan tidak pada suatu konstitusionalitas tindakan individu. Oleh sebab itu, “the constitutional petition materially fulfils the function of a normative constitutional complaint.”600 (f) Full Constitutional Complaint Secara teoritis, mekanisme “full constitutional complaint” dianggap sebagai mekanisme yang paling sempurna untuk akses individu terhadap MK dan pernyataan perlindungan hak-hak fundamental. Setiap individu, apabila sudah menempuh upaya hukum yang tersedia, tetap berpeluang untuk “complain against any act by the public authorities which violates directly and currently their fundamental rights.”601 Dalam hal ini, “an individual may challenge a general act if it is directly applicable on them, or challenge an individual act addressed to them.”602 Mekanisme “full constitutional complaint” antara lain dipraktikkan di negara Afrika Selatan, Albania, Andorra, Armenia, Austria, Azerbaijan, Belgium, Bosnia dan Herzegovina, Jerman, Kroatia, Cyprus603, Republik Ceko, Georgia, Latvia, Liechtenstein, Malta, Montenegro, Polandia, Serbia, Slovenia, Spanyol604, Swiss, bekas Yugoslavia, dan Slovenia. Variasi lain dari mekanisme ini adalah 600 Gagik Harutyunyan, et.al., op.cit., hlm. 22. 601 Ibid., hlm. 23. 602 Ibid. 603 Ketentuan di Cyprus menurut penulis termasuk unik. Seseorang yang akan mengajukan gugatan atas tindakan administrative yang merugikan hak-hak fundamentalnya, harus mempunyai kepentingan (interest) yang relevan. Yang dimaksud dengan “kepentingan” di sini harus dapat dibuktikan atas dasar kerugian finansial dan alamiah, jadi berbeda dengan makna “kepentingan” pada gugatan konstitusional pada umumnya. 604 Mekanisme ini dikenal dengan istilah “amparo” yang merupakan upaya terakhir yang dilakukan oleh individu di MK. Perlu diketahui, bahwa praktik ini tidak sama dengan mekanisme serupa yang mempersyaratkan keterkaitan dengan perkara konkrit untuk dipertahankan di pengadilan umum—yang juga dikenal sebagai “amparo”—sebagaimana dipraktikkan di negara Amerika Latin (Chile, Peru, Argentina, dan Meksiko). Reformasi peraturan di tahun 2007 di Spanyol, mempersyaratkan hal baru commit untuk mengajukan gugatan yaitu ada kepentingan to user konstitusional yang relevan. 169 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id “constitutional revision” di mana individu dapat mengajukan gugatan ke MK yang dapat menguji putusan pengadilan dalam lingkungan peradilan umum lainnya, akan tetapi tidak dapat menguji keputusan tata usaha negara. Mekanisme ini dikenal di Albania, Bosnia dan Herzegovina, Chile, dan Malta. Sebaliknya, di Austria, hanya keputusan tata usaha negara dan putusan the Asyllum Court yang dapat dimohonkan pengujian ke MK, tidak untuk perkara pidana dan perdata.605 (g) Preliminary Ruling Procedures Bentuk “preliminary rulling procedures” merupakan bentuk yang paling umum dijumpai dalam pembahasan mengenai akses individu yang bersifat tidak langsung terhadap pengadilan konstitusi. Ia merupakan semacam “pemeriksaan pendahuluan” yang terjadi pada saat pengadilan (umum) mempunyai keragu-raguan terhadap ketentuan UU yang diterapkan dalam suatu perkara konkrit, maka hakim dapat terlebih dahulu mengajukan permohonan kepada pengadilan konstitusi untuk menguji UU tersebut. Keuntungan dari bentuk akses ini adalah para hakim di lingkungan peradilan umum dapat memperoleh informasi secara baik dan menentukan hukum yang valid terhadap konstitusi. Selanjutnya, “preliminary ruling procedures complement the abstract consideration of any provision, as they facilitate review arising from concrete situations in which a provision is applied or should be applied.”606 Selanjutnya, ada 2 lagi keuntungan bentuk ini bagi sistem pengadilan tertentu. First, the effectiveness of preliminary ruling procedures heavily relies on the capacity and willingness of ordinary judges to identify potentially unconstitutional normative acts and to submit preliminary questions to the constitutional court. Secondly, it relies, to a lesser extent, on individuals using the procedure.607 605 Gagik Harutyunyan, et.al., op.cit., hlm. 23. 606 Ibid., hlm. 17. 607 Ibid. commit to user 170 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Hampir di semua negara Eropa menerapkan “preliminary rulling procedures”, kecuali Polandia dan Swiss. Di Lituania, “preliminary rulling procedures” menjadi satu-satunya bentuk akses individual ke MK. Di Belarusia, dalam pemeriksaan suatu perkara, “preliminary rulling procedures” menjadi satu-satunya bentuk akses individu kepada MK, dan menjadi bagian dari petisi yang diajukan ke berbagai lembaga negara. Sementara itu, “In states with diffuse constitutional review systems, preliminary questions are however relatively uncommon due to the competence that ordinary courts have to assess the constitutionality, or otherwise, of an applicable act.”608 Di banyak negara yang lain seperti Albania, Algeria, Andorra, Armenia, Belgia, Bulgaria, Kroatia, Republik Ceko, Prancis, Hongaria, Lithuania, Moldova, Polandia, Slovakia, Spanyol, Turki, dan Ukraina para pihak yang beracara di muka pengadilan umum, dianjurkan terlebih dahulu untuk mengajukan “preliminary rulling procedures” ke pengadilan konstitusi. Oleh karena bersifat anjuran, maka pengadilan konstitusi dapat menerima atau menolak permohonan tersebut. Variasi lain dari bentuk akses individu ini adalah “exception of unconstitutionality”, di mana dalam suatu pemeriksaan perkara konkrit tertentu, para pihak mengajukan keragu-raguan konstitusionalitas suatu UU yang diterapkan kepada hakim untuk menghentikan pemeriksaan dan menunggu putusan pengadilan konstitusi mengenai hal ini. Hakim yang bersangkutan mempunyai kekuasaan untuk memeriksa permohonan itu dan kemudian mengabulkan atau menolaknya. Penolakan hanya diperkenankan jika ada alasan-alasan yang sungguh-sungguh tidak terelakkan seperti misalnya substansi eksepsi yang tidak beralasan. Tipe akses ini diterapkan di Albania, Chile, Hungary, Italia, Luxembourg, Malta, Portugal, San Marino, dan Yunani. 608 Ibid. commit to user Di Afrika Selatan, 171 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id permohonan banding ke MK hanya boleh diajukan menurut syarat-syarat yang dintentukan oleh mahkamah, melalui suatu pernyataan bahwa suatu UU bersifat invalid oleh MK dan segala kasus yang identik harus merujuk kepada putusan tersebut. Pelaksanaan “exception of unconstitutionality” akan menjadi akses individu yang efektif apabila pengadilan dalam lingkungan peradilan umum mengajukan “preelimanary rulling procedures” seperti terjadi di Romania dan Slovenia. Di negara seperti Albania, Andorra, Armenia, Austria, Belgia, Belarusia, Bosnia-Herzegovina, Kroasia, Republik Ceko, Georgia, Hongaria, Italia, Liechtenstein, Lithuania, Luxembourg Malta, Polandia, Slovakia, Slovenia, Romania, Rusia, Spanyol, “The former Yugoslav Republic of Macedonia”, Turki dan Ukraina, semua pengadilan di lingkungan peradilan umum mempunyai kapasitas untuk mengajukan permohonan pemeriksaan konstitusionalitas UU kepada MK. Sebaliknya pada negara tertentu seperti Austria (concerning laws), Azerbaijan, Belarusia, Bulgaria, Latvia, Moldova, dan Yunani; diatur bahwa hanya pengadilan tertinggi yang boleh mengajukan pemeriksaan konstitusionalitas ke MK. Di Cyprus, hanya pengadilan dengan yurisdiksi perkara-perkara hukum keluarga yang boleh mengajukan pemeriksaan ke MK. Di Prancis, para hakim (umum) yang menerima permohonan untuk mengajukan pemeriksaan konstitusionalitas suatu UU, harus terlebih dahulu menyampaikan kepada MA, dan jika disetujui, maka permohonan itu diteruskan untuk diperiksa oleh Dewan Konstitusi. (h) Ombudsperson Dewasa ini banyak negara yang sudah memiliki Ombdusman, baik dengan watak sebagai komisi, mediator, maupun parliamentary, yang pada umumnya diseleksi dengan keterlibatan Parlemen. Para anggota Ombudsman bersifat independen dan tidak memihak. Di negara tertentu, mereka menjadi pembela HAM (human rights defenders) dan to user menyelidiki jika terjadi commit pelanggaran HAM. Ada negara yang mengatur 172 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id bahwa Ombudsman tidak dapat mengajukan permohonan ke MK dan hanya memberikan laporan kepada Parlemen, namun diatur dalam ketentuan konstitusi dan menjadi fasilitator jika terjadi sengketa antara badan-badan publik dengan individu seperti di Korea Selatan, Lithuania, dan Yunani. 609 Di Prancis dan Inggris, sekalipun Ombudsman mempunyai kapasitas untuk melindungi hak-hak individu, akan tetapi tidak dapat beracara di pengadilan. Ombdusman di Prancis (Médiateur de la République) mempunyai kewenangan untuk memeriksa setiap badan publik termasuk pengadilan. Pada negara yang melaksanakan CR dengan sistem “diffuse review”, Ombdusman mempunyai kapasitas untuk beracara di pengadilan, tetapi tidak di MA seperti Ombdusman di Finlandia. Kemudian, sejak tahun 2009, Brazil menyusun UU yang memungkinkan badan-badan publik yang membela kepentingan masyarakat menjadi pihak di pengadilan. Di negara yang menganut “concentrated review”, Ombudman mempunyai kewenangan untuk menjadi pemohon di MK, tanpa harus mempunyai kasus konkrit terlebih dahulu. Hal ini dilaksanakan di Kroatia, Estonia, Montenegro, Portugal, Slovenia, Spanyol, dan “the former Yugoslav Republic of Macedonia.” Di Azerbaijan, Peruvia, dan Ukrainia setiap anggota Ombudsman “have the power to initiate review of a normative act in relation to a concrete case with which the ombudsperson is currently dealing.”610 Kekuasaan serupa dilaksanakan di Austria, sekalipun dibatasi terhadap keputusan-keputusan tata usaha negara. Di Afrika Selatan, “the Public Protector may approach the Constitutional Court or other courts to fulfil their mandate to protect the public against unlawful state action, but may not investigate court decisions.”611 609 Ibid., hlm. 19. 610 Ibid. 611 Ibid. commit to user 173 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Kadang-kadang Ombudsman menjadi pihak turut serta (intervention) karena keahlian mereka untuk mempertinggi kualitas petisi yang diajukan oleh individu, seperti di Bosnia dan Herzegovina, Latvia, Rusia, dan Slovenia. Di Spanyol, intervensi Ombudsman terhadap “amparo” terbukti secara efektif telah membantu pemohon, termasuk dalam proses pengujian. Sebaliknya, di Slowakia, setiap anggota Ombudsman dapat terlibat dalam proses petisia, namun dilarang menjadi pihak untuk menjalankan inisiatif permohonan. Chile dan Uruguay merupakan contoh negara di kawasan Amerika Latin yang tidak mempunyai Ombudsman, tetapi belakangan—seperti di Chile— ada usulan perubahan UUD, yang memuat 3 ketentuan baru untuk pembentukan “Defensor del Pueblo.” Di Israel tidak terdapat Ombudsman, namun setiap orang dapat mengajukan hak konstitusionalnya di MA. (i) Badan Publik yang Lain Di sejumlah negara, Kejaksaan Agung selaku lembaga yang menjalankan penuntutan perkara, dapat menjadi pemohon di MK (seperti di Armenia612 dan Azarbaijan613). Lembaga lain, seperti anggota Parlemen, Presiden, dan Perdana Menteri dapat menjadi pemohon di MK (Albania, Andorra, Armenia, Austria, Belgia, Kroatia, Republik Ceko, Prancis, Portugal, Polandia, Latvia, Spanyol, Moldova, Romania, Rusia, Turki, dan Ukraina). Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa hanya di beberapa negara yang tidak mempunyai pengaturan mengenai akses individu terhadap pengujian UU atau keputusan tata usaha negara di pengadilan konstitusi (Algeria, Tunisia, dan Maroko). Sistem pengujian yang dianut akan menentukan jenis akses individu, yaitu akses langsung (direct accsess) dan akses tidak langsung (indirect accsess). Banyak juga negara yang menggabungkan ke dua jenis akses tersebut dalam pengaturannya. 612 Pasal 130 Konstitusi. 613 Pasal 150 Konstitusi. commit to user 174 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id 3. Komposisi, Rekrutmen, dan Masa Jabatan Hakim Penyelesaian sengketa yang tidak tuntas dan kemampuannya dalam melindungi hak-hak individu akan efektif apabila hakim tidak tunduk kepada eksekutif dan legislatif. Sehubungan dengan hal ini, maka cara rekrutmen yang partisan tidak direkomendasikan. Dengan mempertimbangkan pentingnya hakim dipilih secara langsung, maka secara praktis, “that the simplest way to appoint impartial constitutional judges is to select them by a supermajority of the parliament.” 614 Dalam cara seleksi ini, maka “selection requires wide consensus between the representatives of voters, it would provide an important guarantee that the interests of the minority of voters would be respected.”615 Bahkan, “the smaller the involvement of the executive branch of government in the appointment of judges, the more independent the court is.”616 Masalah seleksi hakim yang melibatkan Parlemen amat terkait dengan pemahaman mengenai teori pemisahan kekuasaan. Bagaimanakah hubungan antara partai politik terhadap hakim konstitusi dikaitkan dengan independensi pengadilan? Teori pemisahan kekuasaan mengatakan bahwa partai politik yang memerintah mempunyai sedikit pengaruh terhadap hakim, apabila terjadi devided government, yaitu pada saat Presiden tidak mempunyai dukungan mayoritas di Parlemen.617 Namun penelitian yang dilakukan oleh menyimpulkan bahwa “that political parties can exert strong leverage on judges, even under divided government, if opposition parties can form a legislative coalition to control the reappointment of these judges”, sehingga “that judicial independence is constrained when D.C. Mueller, 1991, “Constitutional Rights”, Journal of Law, Economics and Organisation, Vol. 7, 1991, hlm. 313. 614 615 Ibid., hlm. 314. 616 Ibid., hlm. 323. Rebecca Bill Chavez, “The Evolution of Judicial Autonomy in Argentina”, Journal commit to user of Politics, Vol. 36, 2004, hlm. 451. 617 175 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id judges have short terms and are re-appointed by congress, irrespective of whether the government is divided or unified.”618 Dalam artikelnya, Jun-inchi Satoh619, “... the Court has rarely exerted this power to strike down government legislation or acts. This reluctance is in part due to the very short tenures of the judges on the Court.” Akibat dari hal tersebut, maka, “Since the creation of the Court under Japan’s 1946 Constitution (the “Constitution”), there have in fact been sixteen different Chief Justices.” Dari pendapat itu, menunjukkan bahwa ada keterkaitan jarangnya judicial activism untuk melakukan pengujian konstitusional (constitutional review) atas UU dengan masa jabatan yang relatif pendek pada hakim di MA Jepang. Menurut ketentuan Pasal 79 Konstitusi Jepang, “The Supreme Court shall consist of a Chief Judge and such number of judges as may be determined by law; all such judges excepting the Chief Judge shall be appointed by the Cabinet. The appointment of the judges of the Supreme Court shall be reviewed by the people at the first general election of members of the House of Representatives following their appointment, and shall be reviewed again at the first general election of members of the House of Representatives after a lapse of ten years, and in the same manner thereafter.” Menurut ketentuan tersebut, MA meliputi seorang Ketua (Chief Justice) dan sejumlah hakim agung menurut aturan yang ditetapkan oleh Undang-Undang. Pencalonan hakim agung, kecuali Ketua, dilakukan oleh Kabinet. Pemilihan hakim agung dilakukan seiring dengan pemilihan umum tingkat pertama bagi anggota House of Representative dan dapat dipilih lagi pada pemilihan umum berikutnya setelah 10 tahun dan pada waktu lain yang ditentukan. Dalam praktiknya, MA meliputi 1 (satu) orang Ketua dan 14 hakim agung anggota. Kaisar mengangkat Ketua menurut usul Kabinet 618 Jeffrey A. Segal, “Separation-of-Powers Games in the Positive Theory of Congress and Courts”, American Political Science Review, Vol. 91, 1997, hlm. 28-44. 619 Op.cit., hlm. 603. commit to user perpustakaan.uns.ac.id 176 digilib.uns.ac.id (Pasal 6 Konstitusi Jepang). Dari komposisi hakim agung itu, 3 (tiga) kelompok dipilih dari kalangan profesi hukum (advokad, jaksa, dan hakim). Walaupun tidak ada ketentuan khusus, namun praktik sejak 1970an, 6 (enam) orang dipilih dari kalangan hakim, 4 (empat) orang dari kalangan advokat, dan 2 (dua) orang dari kalangan penuntut umum. Belakangan MA juga merekrut hakim agung dari kalangan akademisi, mantan diplomat, dan mantan menteri untuk memperluas basis pengetahuan hukum. Pada tahun 1994, untuk pertama kalinya MA mempunyai seorang hakim agung perempuan. Untuk selanjutnya, Mahkamah Agung mempunyai 3 (tiga) orang hakim agung perempuan, yang umumnya adalah mantan Menteri Tenaga Kerja atau mantan Menteri Kesehatan, Perburuhan, dan Kesejahteraan Sosial. Para hakim agung bertugas hingga usia 70 tahun.620 Berdasarkan ketentuan rekrutmen hakim agung di Jepang di atas, maka mekanismenya membutuhkan dukungan politik, khususnya dari partai yang memerintah. Dengan kondisi demikian, amat memungkinkan bahwa rekrutmen hakim agung dapat diintervensi oleh kepentingan politik. Padahal, secara umum penunjukkan maupun promosi hakim agung dapat menjadi tolok ukur seberapa jauh independensi kekuasaan kehakiman, yang merupakan nilai universal, karena pada tingkat teknis penunjukkan maupun promosi hakim (agung) membuka celang bagi intervensi terhadap badan peradilan.621 Dalam pandangan Md. Hussein Mollah, “Independent judiciary is the sin qua non-of a democratic government.”622 Hal ini karena, “Independence of judiciary truly means that the judges are in a position to render justice in accordance with their oath of office and only in 620 Akiko Ejima, “Enigmatig Attitude of the Supreme Court of Japan towards Foreign Precendents”, Paper for the Workshop 12 of the EightWorld Conggrss, London, 2008, hlm. 6. R. Andrew Hanssen, “The Effect of Judicial Institution on Uncertainty and the Rate of Litigation: Election versus Appointment of Stategas Judges”, The Journal of Legal Studies, Vol. XXVIII, Januari, 1999, hlm. 211. 621 Md. Hossein Mollah, “Separation Judiciary and Judicial Independence in commit to of user Bangladesh”, Journal Comparative Law Studies, Vol. 7, 2006, hlm. 445. 622 perpustakaan.uns.ac.id 177 digilib.uns.ac.id accordance with their own sense of justice without submitting to any kind of pressure or influence be it from executive or legislative or from the parties themselves or from the superiors and colleagues.”623 Selanjutnya dikatakan bahwa, “Independence of judiciary depends on some certain conditions like mode of appointment of the judges, security of their tenure in the office and adequate remuneration and privileges.”624 Untuk mewujudkan hal ini, maka separasi kekuasaan peradilan menjadi penting untuk dilakukan. Dalam hal ini, “The concept of separation of the judiciary from the executive refers to a situation in which the judicial branch of government acts as its own body frees from intervention and influences from the other branches of government particularly the executive.”625 Lebih lanjut dikatakan bahwa, “Complete separation is relatively unheard or outside of theory, meaning no judiciary is completely severed from the administrative and legislative bodies because this reduces the potency of checks and balances and creates inefficient communication between organs of the state.”626 Hal ini mengkonfirmasi pandangan L.P. Thean yang mengatakan bahwa “That the most common and most discussed feature of judicial independence is from governmental or executive intereference.”627 Namun demikian, “there is no single model of judicial independence or generally accepted set of institutions or best practices, at leastnone articulated with sufficient specificity to be useful for reformers.”628 Bagaimanapun, “Judicial independence is a multifaceted concept.”629 Hal ini disebabkan karena:630 623 Ibid. 624 Ibid., hlm. 447. 625 Ibid. 626 Ibid. L.P. Thean, “Judicial Independence and Effevtivenes”, Sourtern California Law Review, No. 72, 1999, hlm. 535. 627 commit to user Asian Development Bank, “Judicial Independence Overview and Country-level Summaries,”(2003), hlm. 2, dalam 628 178 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id The most basic form of judicial independence, decisional independence, refers to the ability of judges to decide cases independently in accordance with law and without (undue, inappropriate, or illegal) interference from other parties or entities. One prerequisite for decisional independence is that judges enjoy personal independence, which requires that their terms of office be reasonably secure; appointments and promotions should be elatively depoliticized; judges should be provided an adequate salary and should notbe dismissed or have their salaries reduced as long as they are performing adequately; transfers and promotions should be fair and according to preestablished rules; and judges should be assigned cases in an impartial manner. Secara umum, tradisi hukum Anglo-Saxon menetapkan bahwa hanya mereka yang telah mempunyai rekam jejak panjang dalam profesi hukum yang dapat dipilih sebagai hakim. Mereka dipilih dari orang-orang yang cakap hasil didikan perguruan tinggi. Ini yang dikatakan sebagai the professional model corresponding.631 Namun dalam tradisi civil law, yang dikenal sebagai beurocratic model corresponding, hakim adalah aparatur negara, yang mengalami pendidikan khusus setelah menyelesaikan pendidikan universitas.632 www.adb.org/Documents/Events/2003/RETA5987/Final_Overview_Report.pdf., diakses 27 Maret 2011. 629 Randall Peerenboom, “Judicial Independence in China Common Myths and Unfounded Assumptions”, Journal International Law Studies, Vol. 17, 2009, hlm. 71. 630 Ibid. 631 In common law, only experienced practitioners may become judges. It has a system of training based primarily on scholarly knowledge, with universities as the main providers for future judges’ education. Lihat: D. Woodhouse, “The Law and Politics: More Power to the Judge – and to the People?”, Parliamentary Affairs,Vol. 54, 2001, hlm. 223–237. 632 In civil law tradition, judges are trained in special schools after a recruitment conducted amongst university graduates. But the training is strictly separated between the legal actors who will be on the side of the parties, defending or not, and the legal actor who will be on the side of thestate – the judge. Furthermore, the judge is effectively a civil servant: they are there to serve the state, and ultimately the social structure, in accordance with their curia regis origin. The judge in civil law does not appear to be a totem similar to that commit to user found in common law. The only connection between the different actors of the legal team in the case of civil law is that of education. But the way the career of judges is organised (shaped by the 179 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Hasil studi David S. Law menunjukkan bagaimana berkuasanya seorang Ketua MA di Jepang. Bagaimanapun, “if he can attain the position of Chief Justice, he will enjoy influence over both the behavior and the composition of the Court.”633 Bentuk pengaruh Ketua Mahkamah Agung terutama adalah dalam menentukan seleksi hakim, termasuk hakim agung, berikut juga masalah proses pensiunnya, yang semuanya berlangsung tidak jelas dan penuh kerahasiaan. Pencalonan seorang hakim agung dilakukan oleh Perdana Menteri, yang pada gilirannya amat ditentukan oleh saran Ketua MA. Jika ada jabatan hakim agung yang lowong, maka Ketua “submits to the Prime Minister a list of candidates containing from one to three names. No Prime Minister in recent memory is known to have rejected the Chief Justice’s recommendations outright.”634 Pengaruh besar Ketua akan melembaga mengingat “vacancies occur much more frequently in Japan than in the United States owing to a combination of factors—namely, the relatively high number of seats, the statutorily imposed mandatory retirement age of seventy, and the practice of appointing justices in their mid-sixties.” Di Israel, komposisi MA mencerminkan watak yang menunjukkan adanya persaingan ideologis “between the liberal tradition, both Central-European and Anglo-American, and a very different, EastEuropean political style, which the judges observed in other governmental institutions, a style which had distinct antiliberal elements.”635 Hakim Agung diseleksi oleh suatu komisi yang susunannya meliputi 3 Hakim Agung, 2 wakil organisasi advokad, 2 anggota civil service structure, itself conditioned by the weight of the authority and symbolism of “public power”) creates a flow through the system, between “lower-level (young) judges” and “higher-level (older) judges”. Lihat dalam David Marrani, “Confronting the symbolic position of the judge in western European Legal Traditions: A comparative Essay”, European Journal of Legal Studies,Vol. 3, 2010, hlm. 60. 633 Op.cit., hlm. 1550. 634 Ibid. Eli M. Salzberger, “Judicial Activism in Israel”, Electronic copy available at: commit to user http://ssrn.com/abstract=984918, hlm. 22. 635 180 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id kabinet/menteri, dan 2 anggota parlemen (Knesset).636 Perempuan Hakim Agung untuk pertama kalinya diangkat pada 1977 dan jumlahnya terus bertambah, dan dewasa ini mencapai jumlah separuh dari susunan majelis, termasuk Ketua MA, Dorit Beinish. Keanggotaan 3 Hakim Agung yang dominan memberikan warna ideologis pada MA. Mereka cenderung mempunyai karakter nilai liberal dibandingkan pemerintah maupun parlemen. Pada praktiknya, untuk isu publik yang dominan seperti perdamaian, keamanan, dan hak asasi manusia, MA berwatak kiri dibandingkan cabang kekuasaan lain. Untuk isu moralitas dan hubungan negara dan agama, MA lebih kanan dibandingkan cabang kekuasaan lain. Di bawah pemerintahan Partai Buruh (yang berhalauan sosialis dan berkuasa hampir 30 tahun sampai tahun 1977), Mahkamah Agung lebih berwatak liberal, tetapi dewasa ini, karena sifat pemerintahannya yang liberal, “the Court is slowly shifting left to represent a more social justice orientated stanc.”637 Pada kondisi ideologis itu, maka putusan MA “not only in terms of ethnic, gender and religion, but also in terms of values and ideologies, is a separate cultural system and thus membership of the Court is exclusive to those who subscribe themselves to liberal values. The commitment to this value system, according to Mautner, ought to be a precondition for appointment.”638 Dalam kasus MA Singapura, Konstitusi menyebutkan bahwa watak independensi kekuasaan peradilan adalah adanya masa jabatan hakim. Para hakim agung hanya boleh diajukan dalam satu kali masa jabatan dan resmi berhenti ketika mencapai 65 tahun.639 Hakim agung hanya dapat diberhentikan oleh Presiden Singapura setelah memperoleh Dengan komposisi itu, maka “despite political input of the two Knesset members (traditionally one from the opposition) and two ministers, there is a majority of 5 to 4 of non-politicians and it gives the three Supreme Court judges an advantage as the largest group in the committee.” Ibid., hlm. 23. 636 637 Ibid., hlm. 26. 638 Ibid., hlm. 27. 639 Pasal 98 ayat (1) Konstitusi Singapura (1999 Revision). commit to user 181 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id rekomendasi dari sebuah majelis khusus yang dibentuk untuk memeriksa alasan-alasan pemberhentian dan majelis itu meliputi sebanyak-banyaknya 5 orang atau diambil dari mereka yang pernah menjabat hakim agung.640 Diatur juga bahwa renumerasi selama memangku jabatan hakim agung tidak boleh lebih rendah dibandingkan dengan pekerjaan mereka sebelumnya.641 Tetapi pengaturan dalam Konstitusi Singapura segera menunjukkan bahwa bentuk murni dari pemisahan peradilan tidak dapat dilaksanakan secara riil.642 Pada MK di Eropa, “They provide long terms, but rarely permit reappointment. So, basically, a judge will serve for ten years, nine years, seven years,some relatively longish term and then leave the court”, kata John E. Ferejohn.643 Contohnya, “In Bulgaria,Romania, Lithuania, and Hungary justices are elected for nine years, in Albania for two years, in Belarus for eleven years, in the Czech Republic and Ukraine for ten years, and in Slovakia for seven years; in Poland, the tenure of justices was eightyears, and was extended by the 1997 Constitution to nine years.”644 Akibat pola yang memerlukan dukungan politik ini, maka:645 [T]o get appointed to the German Federal Constitutional Court, a prospective justice must garner the votes of two thirds majorities in bothchambers of parliament (Bundestag and Bundesrat). Thus, all the major political formations must agree on a new appointment. As a result, 640 Pasal 98 ayat (3)-ayat (5) Konstitusi Singapura (1999 Revision). 641 Pasal 98 ayat (8) Konstitusi Singapura (1999 Revision). 642 Hal ini dapat dibaca antara lain dalam Pasal 95 Konstitusi yang mengatakan bahwa hakim agung ditetapkan oleh Presiden menurut pertimbangan Perdana Menteri. Pasal 23 mengatur bahwa penyelenggaraan wewenang eksekutif adalah Presiden menurut aturan yang ditetapkan dalam konstitusi atau oleh Kabinet atau menteri-menteri sebagai bagian dari Kabinet. Komposisi pengaturan rekrutmen yang segera kental dengan aroma peran eksekutif ini oleh L.P. Thean bahwa judicial independence from the executive does not lie solely in the provisions of the Constitution, but also in the complex mix political, economic, and other forces acting on the executive.” Lihat L.P. Thean, op,cit., hlm. 558. 643 Ibid. 644 Ibid. 645 Ibid., hlm. 58. commit to user 182 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id nearly all of the constitutional judges tend to have moderate judicial viewpoints. Menurut Veli-Pekka Hautamäki, dalam kasus Jerman dan Prancis, kenampakkan nilai-nilai politik dalam peran yang dilakukan oleh Pengadilan Konstitusi menjadi sesuatu yang lumrah, sepanjang masyarakat menerimanya sebagai ancangan pilihan karena ketidakmapuan parlemen dalam merealisasikan demokrasi. Dikatakan bahwa: [P]eople accept the political role of the courts, because there has been ‘chronic impotence’ in the actions of parliaments to realise democracy. In Germany and France, so it became clear, political attitudes affect the choice of judges morethan their competence in the field of law does, although the latter is still an important factor.646 Di Norwegia, tidak ada ketentuan pasti mengenai jumlah hakim agung pada Mahkamah Agung ((Høyesterett), tetapi biasanya tidak lebih dari 20 orang dan dipilih oleh Menteri Kehakiman. Tetapi hal ini tidak menjadi indikator pelabelan politik kepada MA ((Høyesterett), tetapi karena “that the Høyesterett also has a political function, because both law and politics belong to the role which the Høyesterett has as a ‘creator of law’ or as a ‘negative legislator.’647. Politisasi rekrutmen hakim agung juga terjadi di negara Amerika Latin seperti Argentina. Dengan mengadopsi model Amerika Serikat, dewasa ini Argentina menghadapi tantangan dalam reformasi peradilan dan sedang proses dalam tahapan dari masa “complicity in state terrorism” menuju “the service of a democratic system.” Menurut Alberto M. Binder, “[After] removal of judges who were compromised by their association with the military regime and the reinstatement of those illegally removed during the dictatorship...howeverafter 20 years of democracy, the process 646 Veli-Pekka Hautamäki, op.cit., hlm. 6. 647 Ibid., hlm. 9. commit to user 183 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id of naming judges is still subject to political pressure.”648 Persoalan serupa nyaris melanda sistem peradilan di negara-negara Amerika Latin. Hal ini seperti diungkapkan oleh Peter Hakim and Abraham Lowenthal sebagai berikut:649 Legislatures and judicial systems in much of Latin America still lack autonomy, stature, resources and competence needed to carry out all of their constitutional functions fully. Courts are overburdened and their proceedings, both criminal and civil, are routinely delayed for years. Judges are, for the most part, poorly trained and paid, and they lack the funding to conduct investigations and administer justice effectively. In many places, judicial decisions are heavily influenced by political considerations, intimidation or outright corruption. Problematika di Amerika Latin itu disebabkan karena:650 Since the colonial period, Latin American judiciaries have been compromised in many instances by their lack of independence from other branches of the governmentparticularly the executive in interpreting the law. Another debilitating factor is the fact that civil law judicial systems do not have to recognize that a court ruling in one case creates a precedent that is applicable also in subsequent legal cases. Di Bangladesh, sejak berdiri sebagai Negara tahun 1972, rekrutmen hakim di MA, juga pejabat publik bidang hukum lain, dilakukan menurut aturan-aturan yang ditetapkan oleh Presiden.651 Dalam aturan konstitusi semenjak awal sudah mengabaikan peran Ketua Mahkamah Agung dalam rekrutmen para hakim. Lebih-lebih mengingat Presiden sebagai kepala negara, maka tidak mungkin kekuasaan Presiden Alberto M. Binder, dalam Peter Dazo dan Juan Enrique Vagas, “Judicial Reform in Latin America: An Assesment”, Policy Papers on the Americas Volume XVII, Study 2, September 2006, CSIS, hlm. 3. 648 649 Peter Hakim dan Abraham Lowenthal, "Latin America's Fragile Democracies," Journal of Democracy,1991, hlm. 22. 650 William Ratliff dan Edgardo Buscaglia, op.cit., hlm. 64. 651 Pasal 115 Konstitusi Bangladesh. commit to user 184 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id itu dijalankan tanpa terlebih dahulu mendapatkan persetujuan Perdana Menteri sebagai kepala pemerintahan. Dengan demikian, ada dominasi eksekutif dalam proses pengangkatan hakim di Bangladesh.652 Dalam negara yang mengenal pengujian konstitusional (constitutional review) dengan model Austria, salah satu indikator independensinya adalah sehubungan dengan komposisi para hakim. Di kawasan Eropa Tengah dan Timur, yang mana pasca runtuhnya pemerintahan komunis setiap negara mempunyai Mahkamah Konstitusi, juga tidak mempunyai pola yang seragam dalam pengisian jabatan hakim konstitusi. Sekurang-kurangnya ada 3 model rekrutmen. Pertama, model split, artinya melibatkan beberapa organ dengan pelaksanaan yang terpisah satu sama lain, yang umumnya adalah Presiden, Parlemen, dan badan peradilan yang tertinggi. Sistem ini dipraktikkan di Bulgaria, Moldova, Romania, Serbia, dan Ukraina. Menurut Wojciech Sadurski:653 This system has its advantages (it prevents a domination of any single political viewpoint in the Court) but also its drawbacks: the judges may maintain loyalties to the organ that appointed them, and this results not only in a political dependence but also in a fragmentation of the Court. Di Rumania, untuk menghindari kelemahan itu, Ketua Parlemen, Senat, dan Presiden, mengganti seorang hakim setiap 3 tahun. Tetapi upaya ini juga tidak menghindarkan politisasi, karena tidak ada ketentuan yang menetapkan sifat memaksa mekanisme ini. Lagipula, calon yang diajukan ketiga badan itu selalu merupakan kalangan politisi. Demikian juga di Ukraina, saat terjadi krisis politik 2007-2008, dominasi partai politik Presiden menjadikan Mahkamah Konsitusi berwajah dua: sebagian hakimnya Presiden dan sebagian lagi hakimnya Perdana Menteri.654 652 Md. Awal Hossain Mollah, op.cit., hlm. 458. 653 Wojciech Sadurski, “Twenty Years After the Transition: Constitutional Review in Central and Eastern Europe”, diakses dari Electronic copy available at: http://ssrn.com/abstract=1437843, hlm. 4-5. commit to user 654 Ibid., hlm. 5. 185 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Kedua, model “collaborative”, karena “it requires cooperation between two branches of the government: the President and the legislative.”655 Sistem ini dipraktiikan di Albania, Republik Ceko, Slovakia, Slovenia dan Russia. Model ini mempunyai kelemahan di mana “there is no good collaboration between the President and the parliamentary majority, there may be a standstill in the process of appointing new judges.”656 Ketiga, model di mana rekrutmen sepenuhnya menjadi urusan parlemen dengan suara terbanyak mutlak seperti di Hongaria, atau dengan suara terbanyak sederhana, seperti Polandia dan Kroasia. Praktik di Polandia menunjukkan mekanisme ini mempunyai aroma politik yang tinggi sekalipun dimungkinkan bahwa akan diperoleh kandidat yang mempunyai daya dukung besar. Tetapi, dengan model parlementer, partai yang menguasai kursi akan terus menerus mengontrol para hakim, sementara partai oposisi—sekalipun mempunyai hak untuk mengajukan kandididat—tetap tidak akan bisa memperoleh dukungan besar. Selama kurun waktu 1989-2002, dari 29 calon hakim kosntitusi, sebanyak 27 hakim terpilih karena faktor mayoritas parlemen.657 Kenyataan ini menunjukkan bahwa, “it became increasingly apparent that each change of political configuration of the parliament will be reflected in future appointments.”658 Dengan demikian, di Polandia, komposisi parlemen (Majelis Rendah) akan menunjukkan wajah Mahkamah Konstitusi. Di Hongaria, dengan suara terbanyak sekalipun, tidak akan menyelesaikan masalah karena justru memancing polarasasi politik dengan kompromis yang tinggi untuk menyetujui pencalonan hakim. 655 Ibid. 656 Ibid. 657 Marek Safjan, “Politics and Constitutional Courts: A Judge‟s Personal Perspective”, EUI Department of Law Working Paper no 2000/10, available at http://cadmus.iue.it/dspace/bitstream/1814/8101/1/LAW-2008-10.pdf, at 17-18. 658 Ibid. commit to user 186 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Keadaan rekrutmen hakim konstitusi di kawasan ini, mencerminkan keadaan sebagai berikut.659 A common feature of all the appointment processes is their insufficient transparency and publicity. The general public is neither informed about the nominations nor particularly concerned about them. Partially, this might be due to a lack of understanding of the role of the Courts. They are often being perceived as yet another “ordinary” court; hence there is not expectation that the appointment procedure should be publicly debated. However, this practice seems to undergo a change due to some highly controversial cases that bring the Courts and their members into the centre of public attention as well as due to the increasingly proactive role assumed by the media and non-governmental organisations. Kebanyakan mengenal masa jabatan tertentu untuk hakim konstitusi antara 6-9 tahun, dengan variasi untuk dapat dipilih kembali seperti di Korea Selatan, Mongolia, dan Indonesia atau tidak dapat dipilih kembali seperti di Taiwan dan Thailand660 serta kemungkinan dapat dipecatnya hakim oleh politisi. Misalnya di Thailand, menurut Konstitusi 1997, sejumlah anggota parlemen atau 50.000 pemilih dapat mengajukan permohonan kepada Senat untuk melakukan impeachment terhadap anggota MK.661 Dalam Konstitusi 2007, jumlah pemilih yang dapat mengajukan permohonan dikurangi menjadi 20.000 pemilih. Di Mongolia, 659 Wojciech Sadurski, op.cit., hlm. 38. 660 Sebanyak 15 konstitusi yang diberlakukan dalam rentang 1932-1991, selalu mencantumkan mengenai Constitutional Tribunal yang mampu untuk melakukan pengujian konstitusional terhadap produk legislatif dan keputusan pemerintah. Pada keberlakuan Konstitusi 1997, dicantumkan adanya Mahkamah Konstitusi yang independen. Ketika terjadi kudeta milite rmelawan Perdana Menteri Thaksin Shinawarta (19 September 2006), Konstitusi 1997 dicabut dan digantikan oleh Konstitusi Sementara 2006 yang mempertahankan keberadaan Mahkamah Konstitusi. Kemudian dengan Konstitusi 2007, kembali diatur mengenai Mahkamah Konstitusi yang independen, bahkan dengan kewenangan yang meluas untuk menangani persoalan Constitutional Complaint dan memungkinkan keterlibatan Senat dalam rekrutmen hakim konstitusi. commit to user 661 Aurel Croissant, op.cit., hlm. 4. 187 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id parlemen dapat menolak putusan MK yang menyatakan inkonstitusionalitas Undang-Undang. Di Taiwan, wewenang mengisi jabatan Grand Justice melekat pada Presiden, yang mulai tahun 2005, pengisian itu harus memperoleh persetujuan Majelis Nasional.662 Sementara itu, Konstitusi 1997 Thailand mengatur sebanyak 7 hakim konstitusi diplih dari lingkungan badan peradilan, sementara 8 yang lain (5 orang ahli hukum dan 3 orang ilmuwan politik) diseleksi tersendiri oleh Senat.663 Menurut Konstitusi 2007, sebanyak 5 orang diajukan oleh badan peradilan sedangkan 4 orang hakim lainnya dipilih dalam seleksi yang diadakan oleh pengadilan dan Parlemen. Sebelum diangkat oleh Raja, harus terlebih dahulu diberitahukan kepada Senat.664 Korea Selatan dan Indonesia melibatkan ketiga cabang kekusaan dalam rangka mengisi jabatan hakim konstitusi. Susunan organisasi MK meliputi 9 orang hakim. Untuk dapat dinominasikan sebagai hakim, masing-masing harus terkualifikasi sebagai hakim dan memahami persoalan hukum. Proses pengangkatan hakim melibatkan Presiden, Majelis Nasional, dan MA, yang masing-masing dari institusi itu mencalonkan 3 orang hakim.665 Masa jabatan seorang hakim konstitusi adalah 9 tahun dan sesudah itu tidak dapat dipilih kembali. Selanjutnya, Ketua MK diangkat oleh Presiden setelah memperoleh konfirmasi dari Majelis Nasional. 662 Namun, mengingat Presiden adalah Ketua Partai yang menguasai mayoritas parlemen, maka kontrol demikian menjadi tidak efektif. Aurel Croissant, ibid. Menurut J.R.Klein, “the rule that nominees must receive the votes of threefourth of the committee enabled the four government representatives on the committee to effectively veto those candidates of whom the government disapproved.” Lihat dalam J.R. Klein (2003) „The Battle for Rule of Law in Thailand. The Constitutional Court of Thailand‟, dalam www.cdi.anu.edu.au/CDIwebsite_19982004/thailand/thailand_download/Thaiupadate_Klien_Con Court%20April, 2003, diakses 12 Maret 2011. 663 664 Pasal 204-206 Konstitusi 2007 Thailand. 665 Konstitusi Korea Selatan Pasal 111 ayat (2), (3), dan (4). commit to user 188 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Masih ada perselisihan berapa sesungguhnya jumlah hakim yang ideal dalam pengadilan konstitusi. Apabila jumlah hakim tidak banyak, maka memungkinkan CR relatif “inexpensive.” Bagaimanapun,”a small number of judges will increase the probability that each judge may cast the decisive vote in reaching a judicial decision and may restrict the views put forward to resolve a dispute, risking the quality of judicial rulings.”666 Pada sudut yang ekstrem, masa jabatan hakim di MA Amerika Serikat misalnya, dapat ditunjuk sebagai ciri yang paling independen dari para hakim. Sebaliknya, para hakim yang mempunyai masa jabatan tertentu, akan mempunyai sedikit independensi, apalagi jika mempertimbangkan posisi yang bersangkutan untuk pencalonan untuk masa jabatan berikutnya.Jadi, masa jabatan hakim akan berpengaruh terhadap tingkat independensinya. Perlu dicatat juga bahwa hakim akan menikmati kebebasan jika masa jabatan terpisah dari periodisasi pemilihan umum. Derajat independensi akan semaking tinggi, jika pemerintah tak mempunyai wewenang untuk mengurangi hak keuangan dan anggaran para hakim. Dalam pemahaman Tom Ginsburg, masa jabatan hakim yang dapat dipilih kembali dapat mengurangi tingkat independensi peradilan. Oleh karena itu ia mengusulkan agar seorang hakim menduduki jabatannya untuk satu periode saja.667 Karena ada kecenderungan negatif seperti dipaparkan Tom Ginsburg tersebut, maka jabatan seorang hakim konstitusi di Prancis dan Italia dibatasi hanya untuk sekali 9 tahun, Jerman dan Spanyol satu kali 12 tahun. Sementara itu di kawasan Amerika Latin, diatur ketentuan secara berbeda-beda. Di Bolivia 10 tahun dan tidak dapat dipilih kembali, Chile 8 tahun dan dapat dipilih kembali, Kolumbia 8 G. Tridimas, G, “A Political Economy Perspective of Judicial Review in the European Union. Judicial Appointments Rule, Accessibility and Jurisdiction of the European Court of Justice, European Journal of Law and Economics, 2004, Vol. 18, hlm. 99-110. 666 “…the possibility of reappointment has the potential to reduce judicial independence, as judges late in their terms who seek to remain in office must be sensitive to the political interest of those bodies that commit will reappoint them…” Lihat: Tom Ginsburg, Judicial to user Review ini New Democracies, op.cit., hlm. 47. 667 189 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id tahun dan tidak dapat dipilih kembali, Ekuador 4 tahun dan dapat dipilih kembali, serta Guetamala 5 tahun dan dapat dipilih kembali. Komposisi hakim amat penting untuk amatan terhadap pengambilan keputusan. Secara tradisional, Gibson et. al668, memformulasikan pengambilan keputusan hakim sebagai “are a function of what theyprefer to do, tempered by what they think they ought to do, but constrained by what they perceive is feasible to do.” Di Amerika Serikat, model pengambilan keputusan oleh MA telah menarik perhatian ilmuwan politik “since the early twentieth century.”669 Dalam perkembangan selanjutnya, persepsi pengambilan keputusan (decision making) para hakim lazim didekati dengan sudut pandang struktur hukum sebagai model analisis (legal model) dengan memperhatikan bagaimanakah ketentuan hukum acara dipatuhi dalam kerangka suatu putusan. Kelahiran aliran legal realism pada awal tahun 1920-an mengubah persepsi ini, karena pandangan selanjutnya nampak menyadari bahwa dalam mengambil keputusan, latar belakang pribadi dan preferensi ideologi menjadi faktor penting yang berpengaruh.670 Sesudah itu semakin berkembanglah studi mengenai sistem pengambilan keputusan pengadilan yang melahirkan bermacam-macam model pendekatan dan semakin memperluas sudut pandang teoritis mengenai hal ini. Diskursus para hakim dalam mengambil keputusan dan sikapnya secara individual, yang ditunjang dengan akses informasi yang tersedia luas, akan mendorong akuntabilitas hakim dalam merumuskan argumentasinya. Tetapi dalam kasus tertentu, seperti MA Uni Eropa, yang merahasiakan pengambilan keputusannya, juga mempunyai keuntungan tertentu jika berhadapan dengan kekuasaan pengadilan 668 James L. Gibson, et.al., “The Supreme Court and the U.S. Presidential Election of 2000: Wounds, Self-Inflicted or Otherwise?”, British Journal of Political Science, Vol. 33, 2003, hlm. 535. 669 Nancy Maveety, 2003, The Pioneers of Judicial Behavior, Michigan, University of Michigan Press, hlm. 2. Jeffrey A. Segal and Harold J. Spaeth, commit to 2002, user The Supreme Court and the Attitudinal Model Revisited., New York, Cambridge University Press, hlm. 110-111. 670 190 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id domestik.671 Berbeda dengan MA Amerika Serikat, perbedaan pendapat diantara para hakim tidak boleh dibuka. Hal ini sebagai jaminan untuk mencegah penarikan posisi hakim seandainya suatu negara menjadi pihak dalam perkaran dan dinyatakan kalah. Di Jerman juga berkembang kajian mengenai sistem pengambilan keputusan pada MK, akan tetapi berbeda dengan di Amerika Serikat yang meyakini adanya faktor nonlegal dalam pertimbangan para hakim, di sini “constitutional jurisdiction is the decision of a dispute by means and with the methods of law not political judgment.”672 Demikian pula dengan tradisi pada umumnya di Eropa bahwa studi semacam itu “has long associated itself with a descriptive picture of judicial decisionmaking, depicting judges as both neutral and benevolent actors.”673 Kajian bagaimana komposisi suara para hakim, sebagai salah satu simbol transparansi, merupakan salah satu kajian lapangan sosiologi hukum. Beberapa kajian dalam bidang ini menunjukkan bahwa secara umum afiliasi kepada sebuah partai politik tidak mempunyai pengaruh terhadap sikap hakim MK Federal dalam mengambik keputusan. Beruntung juga bahwa hampir 20 tahun terakhir para pakar ilmu politik mulai tertarik dalam studi pengambilan keputusan di MK Federal. Sebagai konsekuensinya, maka gaya studi pengambilan keputusan juga mulai berubah. Sebagai contoh, keputusan mengambil salah satu metode penafsiran konstitusi sudah lama menjadi keyakinan bahwa hal itu mencerminkan bagaimana putusan akan diformulasikan. Keyakinan itu belakangan sudah mulai ditolak karena tidak mencerminkan realitas mikro yang sesungguhnya. 671 G.Tridimas, “Judges and Taxes: Judicial Review, Judicial Independence and The Size of Government”, Constitutional Political Economy,Vol. 16, 2005, hlm. 30. 672 Ossenbühl . 1998, Law and Courts: Newsletter of the Law and Courts Section of the American Political Science Association, No. 4, hlm. 6-8. Dyevre, “Making Sense of Judicial Lawmaking: A Theory of Theories of Adjudication”, EUI Working Papers, MWP 2008/09. Diambil dari http://cadmus.eui.eu/dspace/bitstream/1814/8510/1/MWP_2008_09.pdfhlm. 8., diakses 19 commit to user November 2011. 673 perpustakaan.uns.ac.id 191 digilib.uns.ac.id Banyak kajian yang menunjukkan bahwa pilihan metode penafsiran bukanlah penentu tunggal. Lanfried misalnya, gambaran hakim yang netral tidak dijumpai di Jerman, karena putusan hakim dilandaskan atas keyakinan kepada nilai-nilai tertentu. Para hakim, kata Lanfried, telah mempunyai tiket tertentu untuk menuju kepada suatu arus politik dan itu tercermin dalam perkara pengujian.674 4. Efek dan Pelaksanaan Putusan Dalam hal pelaksanaan “preliminary review”, maka putusan pengadilan menguji suatu ketentuan RUU. Pada konteks ini tidak ada sarana atau pernyatan pembatalan; sehingga tidak perlu pengundangan putusan tersebut (misalnya di Prancis675 dan Italia676). Dalam hal bagian tertentu dari suatu ketentuan UU yang dibatalkan, maka bagian itu yang tidak lagi berlaku mengikat atau dalam hal kasus tertentu seperti bagian dari norma pada suatu perjanjian internasional (treaty) dinyatakan inkonstitusional, maka norma yang bersangkutan tidak menjadi bagian ketentuan yang diratifikasi. Di Prancis mekanisme ini dianut, sehingga jika ada suatu ketentuan UU yang dinyatakan inkonstitusional, maka Presiden terlebih dahulu harus menyusun perubahan norma tersebut sebelum diundangkan.677 Dalam hal pengujian “ex post facto review”, maka suatu norma dalam UU dinyatakan inkonstitusional sehingga tidak berlaku mengikat dan putusan itu bersifat “erga omnes.” Pernyataan tidak berlaku itu terhitung sejak tanggal diucapkan atau pengumuman putusan tersebut (ex nunc effect). Suatu variasi diterapkan di Bulgaria, bahwa putusan semacam itu berlaku 3 hari setelah pengundangan oleh pejabat perundang- 674 Lanfried, 1994, hlm. 118. 675 Pasal 62 ayat (1) Konstitusi (1958). 676 Pasal 127 Konstitusi. Venice Commission, “Decisions of Constitutional Courts and Equivalent Bodies and Their Execution”, Report adopted by the Commission at its 46th plenary meeting, 9-10 March commit to user 2001, hlm. 13. 677 192 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id perundangan.678 Suatu efek putusan yang bersifat retroaktif (ex tunc effect) merupakan suatu pengecualian. Dalam hal ini, “invalidation of a legislative measure does not apply only to the pending proceedings and to proceedings under way at the date of the judgment, but also to certain proceedings which have already been closed.”679 Di Belgia, “where judgments by the Court of Arbitration have effect ex tunc; nonetheless, the Court may indicate which effects of provisions that have been set aside must be considered irreversibly cancelled and which effects are maintained provisionally for a period which it specifies.”680 Sementara itu, di Portugal, “the principle of res judicata is maintained; the Constitutional Court may order an exception to this principle, in particular in criminal matters.”681 Sementara itu, di Irlandia, “where the courts may however limit the retroactive effect to persons who had brought court proceedings at the date of the judgment.”682 Di negara lain, MK diperkenankan menetapkan putusan yang retroaktif, seperti di Ardora dan Yunani. Di Jerman, “judgments in criminal matters which are based on an unconstitutional provision may be revised; other decisions are no longer capable of being carried out.”683 Sementara itu di Spanyol, “Constitutional Court have retroactive effect where the non-application of the unconstitutional provision would have resulted in a less severe criminal or administrative sanction or no sanction at all.”684 Di Slovenia, “the Constitutional Court may determine that a judgment is to have retroactive effect where regulations adopted for the 678 Ibid. 679 Ibid. 680 Pasal 8 Special Law on the Court of Arbitration. 681 Pasal 282 Konstitusi Portugal. 682 Venice Commission, “Decisions of Constitutional Courts…”, op.cit., hlm. 14. 683 Pasal 79 UU MK Jerman ( Law on the Constitutional Court). 684 Pasal 40 UU Organik MK Spanyol (Organic Law of the Constitutional Court). commit to user 193 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id exercise of public powers are annulled; a party adversely affected by a decision adopted on the basis of such a measure is entitled to seek the amendment or annulment of such measure, provided that it was adopted less than one year before.”685 Dalam praktik di Hongaria, putusan yang bersifat retroaktif dimungkinkan, “where required on grounds of legal certainty; the Constitutional Court will order the reopening of criminal proceedings which resulted in a sanction based on an unconstitutional provision where its adverse effects subsist.”686 Di Italia, keberlakuan putusan MK dalam keadaan tertentu ditentukan dalam praktik.687 Sementara itu, di Amerika, “the Supreme Court may, in certain cases, allow a reasonable time for carrying out its decisions, as in the case of the well-known judgment in Brown prohibiting racial segregation in schools.”688 Pada sisi lain, ketentuan di Romania menegaskan bahwa “a finding of unconstitutionality in a case of concrete review constitutes legal grounds for a retrial in civil cases, at the request of the party that claimed the exception of unconstitutionality, and in criminal cases in which the conviction was based on the provision declared unconstitutional.”689 Di sejumlah negara, putusan MK dapat diperintahkan untuk ditunda pelaksanaannya guna memberikan kesempatan kepada otoritas legislasi supaya mengubah UU untuk menyesuaikan dengan putusan tersebut. Keadaan tersebut dimungkinkan dalam hal: (i) “where several solutions consistent with the Constitution are possible”; (ii) “the effects of judgments are deferred in particular where the judgment has major budgetary implications (for example in the field of tax or social security benefits)”; dan/atau (iii) “where it requires administrative 685 Pasal 45-46 UU MK Slovenia (Law of the Constitutional Court). 686 Pasal 43 ayat (3) dan ayat (4) UU MK Hongaria. 687 Venice Commission, “Decisions of Constitutional Courts…”, op.cit., hlm. 15. 688 Ibid. 689 Pasal 26 the Law on the Organisation and Operation of the Constitutional Court. commit to user perpustakaan.uns.ac.id 194 digilib.uns.ac.id reorganizations.”690 Sebagai contoh, ketentuan Konstitusi Polandia mengatakan bahwa, “the Court may determine another date for the extinction of the binding force of the legislative measure. This time may not exceed 18 months in the case of a law and 12 months in the case of other legislative measures.”691 Sementara itu, di Slovenia diatur bahwa “judgments of the Constitutional Court are declaratory where they make a finding that there has been a legislative omission or that the unconstitutionality cannot be remedied by annulling or abrogating the contested measure; in such case, the Court sets a period for the competent authority to rectify the unconstitutionality.”692 Kondisi lain berlaku di Republik Ceko di mana “the Constitutional Court is even at liberty to determine the date on which its judgments take effect.”693 Pada sisi yang lain, putusan MK dapat saja merubah atau menambahkan ketentuan yang ada sebagai norma dalam UU. Di Italia, “the Constitutional Court sometimes gives judgments which result in the scope of a provision being extended to cover persons who have suffered unjustified discrimination or which add provisions directly derived from the Constitution to provisions declared unconstitutional on the ground that they fail to implement the Constitution fully.”694 Dalam kasus yang sama, ketentuan Konstitusi Romania menegaskan bahwa “for a specific institution in the framework of abstract preliminary review: the Court’s judgment has the effect of a suspensory veto, in that the unacceptable provision is sent back to the Parliament to be reexamined.”695 Selanjutnya, terkait dengan implikasi terhadap perubahan konstitusi, diatur bahwa 690 Venice Commission, “Decisions of Constitutional Courts…”, op.cit., hlm. 14. 691 Pasal 190 ayat (2). 692 Pasal 48 the Law on the Constitutional Court. 693 Pasal 170 the Law on the Constitutional Court. 694 Venice Commission, “Decisions of Constitutional Courts…”, op.cit., hlm. 14. Pasal 145 Konstitusi Romania, berbunyi “If the law is passed again in the same formulation by a majority of at least two-thirds members of each Chamber, the objection of commitoftotheuser unconstitutionality shall be removed, and promulgation there of shall be binding.” 695 195 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id “Parliament is thus authorised to derogate from the Court’s decision by the same majority as that which allows the revision of the Constitution; however, such a revision is not possible without a referendum the reexamination procedure is therefore not equivalent to a revision of the Constitution.”696 Mayoritas negara mengumumkan putusan MK secara formal. Putusan MK Bosnia dan Herzegovina diumumkan pada “the Official Gazettes of Bosnia and Herzegovina and its constituent entities.”697 Demikian pula putusan Special Supreme Court di Bulgaria, Estonia698, Hongaria699, Italia, Prancis, dan Yunani. Di Polandia, “judgments are published in the organ in which the contested measure was promulgated and, in the absence of such an organ, in the official gazette.”700 Di negara lain, misalnya Kanada, publikasi itu menyatu dalam laporan tahunan kinerja pengadilan yang bersangkutan.701 Namun demikian, laporan seperti itu kadang-kadang hanya memuat suatu putusan tertentu saja, seperti yang dilaksanakan di Yunani, Irlandia, dan Korea Selatan.702 Pelaksanaan putusan MK terhadap kewenangan lembaga lain beraneka ragam. Di Prancis, oleh karena sifatnya “constitutional preview”, maka putusan Dewan Konstitusi tidak perlu diundangkan.703 Situasi serupa dilaksanakan oleh negara yang mengadopsi “abstract review” yang ditujukan kepada suatu RUU, seperti di Bulgaria, Estonia, dan Turki, bahkan dapat berupa perintah langsung dari MK seperti di Kanada, Filandia, dan Republik Ceko. Di Albania, “in principle judgments of the 696 Pasal 147 Konstitusi Romania. 697 Pasal 71 the Rules of Procedure of the Court. 698 Pasal 24 ayat (1) the Law on Constitutional Review Court Procedure. 699 Pasal 41 the Law on the Constitutional Court. 700 Pasal 190 ayat (2) Konstitusi. 701 Venice Commission, “Decisions of Constitutional Courts…”, op.cit., hlm. 16. 702 Ibid. 703 Ibid. commit to user 196 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Constitutional Court have no effect on other authorities except where they determine the competent authority in a particular case.”704 Mayoritas dampak putusan MK terhadap otoritas lembaga lain menyangkut perintah pengundangan putusan oleh eksekutif seperti di Austria dan Indonesia. Dampak lain adalah perintah—bagi kategori jenis legislasi tertentu—untuk memperhatikan ketentuan konstitusi (Jepang, Lithuania, Moldova, dan Belanda). Di Slovaka, “the legislature has to bring the legislation into line with the Constitution within a period of six months of the decision of the Constitutional Court.”705 Di Republik Ceko, “that enforceable decisions of the Constitutional Court are binding on all authorities and persons.”706 Sementara itu, di Italia, Jaksa Agung “orders the release of anyone detained on the basis of an unconstitutional law.”707 Di negara lain, bentuk pelaksanaan putusan MK berupa perintah pembebasan terdakwa dari tahanan, misalnya di Swiss. Kemudian, bentuk lain adalah memerintahkan badan legislatif untuk mengubah ketentuan UU seperti di Korea Selatan dan Hongaria. Selanjutnya, di Hongaria, pelaksanaan putusan MK berupa “ordering the reopening of criminal proceedings which gave rise to a sanction with continuing adverse effects.”708 Di Slovenia, “where necessary, the Constitutional Court shall specify the institution responsible for the implementation and the conditions for applying the decision.”709 Di Ukraina, “may specify in its decision or its opinion the procedures to be followed in order to give effect to them and compel the competent institutions of the State to carry out the decision to comply with the opinion.”710 Pada negara lain, pengadilan 704 Ibid. 705 Pasal 132 Konstitusi Slovakia. 706 Pasal 89 Konstitusi Republik Ceko. 707 Venice Commission, “Decisions of Constitutional Courts…”, op.cit., hlm. 17. 708 Pasal 43 ayat (3) the Law on the Constitutional Court. 709 Pasal 40 ayat (2) dan Pasal 60 ayat (2) the Law on the Constitutional Court. 710 Pasal 70 the Law on the Constitutional Court. commit to user perpustakaan.uns.ac.id 197 digilib.uns.ac.id konstitusi dapat memperluas wewenangnya dengan memerintahkan badanbadan lain guna melaksanakan tindakan-tindakan tertentu seperti di Irlandia dan Malta. Di Amerika, bahkan MA dapat memerintahkan sanksi tertentu jika putusannya diabaikan.711 D. Bentuk-Bentuk Instrumentalisme Hukum yang Mempengaruhi Fungsi Pengadilan 1. Kasus Peru: Pengadilan dalam Keadilan Transisional (Transitional Justice) Dalam beberapa dekade terakhir, sudah menjadi perhatian pada tingkat global mengenai Rule of Law dalam situasi post-conflict dan masyarakat transisi (transitional societies). Dalam situasi tersebut, meminjam istilah Kahn, Rule of Law mengalami “sudden elevation as a panacea for the ills of countries in transition from dictatorships or statist economies.”712 Cakupan isu meliputi pula “a full range of judicial and non-judicial mechanisms including prosecuting perpetrators of human rights violations, revealing the truth about past crimes through truth commissions, providing victims/survivors with reparations and reforming governmental institutions.”713 Langkah-langkah itu menjadi penting dalam situasi transisi karena merupakan “an important tool in advancing the rule of law.”714 Bagian ini mencoba memaparkan bagaimana instrumentalisme Rule of Law dalam masa transisi di Peru. Kasus Peru menunjukkan tindakan politik dan hukum yang dilaksanakan secara sistematis oleh pemerintahan korup yang akhirnya 711 Venice Commission, “Decisions of Constitutional Courts…”, op.cit., hlm. 17. 712 Paul W. Kahn, 2000, The Cultural Study of Law: Reconstructing Legal Scholarship, Chicago, University of Chicago Press, hlm. 4. 713 Ruti G. Teitel, 2002, Transitional Justice, Oxford: Oxford University Press, hlm. 216. Jeswald W. Salacuse, “Justice, Rule of Law, and Economic Reconstruction in PostConflict States,” Studies in Internationalcommit Financial, and Technology Law, Vol. 8, 2007, toEconomic, user hlm. 255. 714 perpustakaan.uns.ac.id 198 digilib.uns.ac.id mereduksi Rule of Law.715 Pada saat Alberto Fujimori memenangkan pemilu presiden pada tahun 1990, ia mewarisi suatu negara yang krisis. Negara terperosok dalam inflasi yang mencapai 7.000%, kegagalan membayar utang luar negeri, dan kemerosotan pendapatan nasional.716 Lagipula, negara mengalami konflik internal antara militer dengan pemberontak Maois yang terhimpun dalam Sendero Luminoso sejak tahun 1980-an, era di mana justru negara ini telah mengalami transisi setelah sekian lama dalam cengkeraman kediktatoran militer.717 Capaian kuasa Fujimori seperti kisah dalam novel yang begitu dramatis. Fujimori, warganegara Peru keturunan Jepang, masih dianggap asing oleh pihak yang tidak menyukainya. Ia merupakan insinyur pertanian dan Dekan Fakultas Pertanian, yang kemudian membentuk partai sebagai “perahu politik” (Cambio90), hanya sebulan sebelum pemilu berlangsung. Ia dianggap sebagai sosok alternatif yang mewakili kelompok politik baru Peru yaitu kalangan “provincial, nonelite, nonwhite sectors” yang selama ini terpinggirkan dalam kancah politik nasional. 718 Sosok Fujimori akhirnya memenangkan pemilu setelah berhasil menekuk Mario Vargas Llosa. Pada masa awal memerintah, Fujimori menetapkan “Government of Emergency and National Reconstruction” yang memberinya kekuasaan untuk bertindak uniteral selama 7 bulan. Kebijakan itu didukung dengan reformasi ekonomi yang mengarah kepada neoliberalisme dan perbuatan nonlegal dalam memerangi terorisme.719 Untuk mengamankan kebijakan tersebut, Fujimori bersekutu dengan militer dengan mengabaikan Steven Levitsky, “Fujimori and Post-Party Politics in Peru,” Journal of Democracy, Vol. 10, 1999, hlm. 3. 715 Eduardo Ferrero Costa, “Peru’s Presidential Coup,” Journal of Democracy, Vol. 4, 1993, hlm. 29. 716 717 Ibid. 718 Atwood, “Democratic Dictators: Authoritarian Politics in Peru from Leguía to Fujimori”, SAIS Review, Vol. 21, No. (2), 2001, hlm. 155. Ernesto García Calderón,commit “High Anxiety to userin the Andes: Peru’s Decade of Living Dangerously,” Journal of Democracy, Vol. 12, 2001, hlm. 47. 719 199 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id mekanisme formal yang biasanya berlangsung untuk 2 tahun, dengan cara menunjuk secara permanen General Hermoza Rios sebagai kepala staf. Fujimori juga mengandalkan dukungan Badan Intelijen Nasional (Secret Intelligence Service) yang dipimpin oleh Vladimiro Montesinos. Pada 5 April 1992 Fujimori memerintahkan pengepungan tentara terhadap anggota Parlemen yang bersidang dan memerintahkan pembekuan lembaga perwakilan tersebut. Untuk memenuhi desakan internasional pada 18 Mei 1992, Fujimori menyelenggarakan pemilu dan berhasil menguasai parlemen, yang nantinya akan memberikan stempel legitimasi atas kekuasaannya dan menyusun konstitusi baru. Dengan mekanisme konstitusi dan demokrasi baru tersebut, Fujimori mulai mengabaikan Rule of Law dengan membiarkan terjadinya extrajudicial killing terhadap 9 mahasiswa dan seorang dosen pada tahun 1992 dengan dukungan Montesionos.720 Atas kasus tersebut, dengan desakan kekuatan nasional dan internasional, jaksa penuntut umum kemudian membentuk suatu komisi khusus pada tahun 1994. Akan tetapi, Fujimori mendesakkan suatu undang-undang pada tahun 1995 yang mengalihkan wewenang penuntutan ke pengadilan militer dan memungkinkan pemberian amnesti kepada aparat negara yang melakukan kekerasan. Akibat ketentuan tersebut, sejumlah tersangka dibebaskan dari penjara.721 Sebelumnya pada tahun 1993, Fujimori menetapkan suatu konstitusi baru yang mengelola kekuasaan tanpa akuntabilitas. Konstitusi yang dikendalikan penuh oleh Fujimori, memberikan kekuasaan yang luas kepada militer termasuk dalam menentukan anggaran dan penyusunan pengadilan. Konstitusi juga mengatur pembentukan “executive commission of the public ministry”,--yang secara kelembagaan berada di atas Ketua Jo-Marie Burt, “‘Quien habla es terrorista’ The Political Use of Fear in Fujimori’s Peru,” Latin American Research Review, Vol. 41, 2006, hlm. 247. 720 Lihat selengkapnya dalam: Lisa J. Laplante, “Outlawing Amnesty: The Return of Criminal Justice in Transitional Justice Schemes,” commit toVirginia user Journal of International Law, Vol. 49, 2009.. 721 200 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id MA dan Jaksa Agung--yang dalam praktik mengontrol penegakan hukum terhadap aparatur negara. Pengadilan jika diisi dengan hakim yang bersimpati terhadap militer.722 Lembaga MK dibentuk dengan komposisi 7 orang hakim, di mana 4 di antaranya dikendalikan oleh Fujimori. Suatu ketentuan ditetapkan bahwa MK dilarang membatalkan UU kecuali dengan dukungan minimal 6 hakim. Fujimori dengan dukungan intelijen mengendalikan surat kabar dan menguasai seluruh stasiun televisi dengan tujuan “for manipulation “reordered political and social meanings in Peru” and created a culture of fear that perpetuated the willingness of citizens to surrender their rights in exchange for safety.”723 Menurut Burt, “the instrumentalization of fear allowed the government to penetrate, control and immobilize civil society.”724 Selain itu, label “terrorist” juga dikenakan terhadap oposisi yang kritis. Sebagai akibatnya, “The institutional structures that protect individual and civil rights—the sine qua non of civil society organization—disappeared in this context. Without state institutions to guarantee the rights to organize, to free speech, and the inviolability of the person, civil society organization shriveled under the threat of state and insurgent violence by non-state actors, the state contributed decisively to the disarticulation and fragmentation of civil society.”725 Pada akhirnya, cerita kejatuhan Fujimori tidak disebabkan karena merebaknya pelanggaran HAM, akan tetapi karena korupsi. Pada September 2000, sekitar 6 minggu saat Fujimori memulai masa jabatan yang ketiga kalinya, beredar video yang memperlibat Montesinos menyuap banyak kalangan, seperti anggota parlemen, pengusaha, pemilik industri media, dan kalangan penting lain. Kemudian publik memperoleh 722 Cameron, hlm. 130. Steven Levitsky and Maxwell A. Cameron, “Democracy Without Parties? Political Parties and Regime Change in Fujimori’s Peru,” Latin American Politics and Society, Vol. 45, 2002, hlm. 17. 723 724 Jo-Marie Burt, op.cit., hlm. 235. 725 Ibid. commit to user 201 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id informasi bahwa sekitar 48 juta dolar AS dana ditemukan di 2 perbankan Swiss dan diperkirakan jutaan dolar yang lain tersebar dalam tempat yang belum diketahui. Dalam situasi yang makin terpojok, setelah Montesinos melarikan diri ke Panama, Fujimori kemudian melaksanakan pemilu pada Juli 2001 dan segera menonaktifkan badan intelijen. Pada 13 November 2001, setelah 6 hari pernyataannya mengundurkan diri sebagai Presiden, Fujimori melarikan diri ke Jepang. Parlemen menolak pengunduran diri sang Presiden sebagai tindakan tidak bermoral dan memutuskan memecat yang bersangkutan. Kemudian, pada Maret 2003 Interpol menetapkan Fujimori sebagai buron dan secara resmi pemerintah Peru mengajukan ekstradisi ke Jepang pada 31 Juli 2003. Tetapi Jepang menolak, karena menganggap Fujimori adalah warganegara Jepang, mengingat orang tuanya berasal dari Jepang.. Sesudah mundurnya Fujimori, Peru segera membentuk “The Truth and Reconciliation Commission” sebagai suatu komisi yang mempunyai wewenang untuk melaksanakan penyelidikan pelanggaran HAM pada tahun 2001. Setelah 2 tahun, komisi berhasil mengumpulkan sekitar 17.000 kesaksian dan 9 jilid laporan, yang antara lain memuat 70.000 korban pelanggaran HAM. Tetapi berbeda dengan komisi serupa di Afrika Selatan yang berwenang memberikan pengampunan, model Peru ini tidak mempunyai kapasitas serupa. Dalam perkembangan selanjutnya, secara mengejutkan Fujimori diketahui berada di Chile setelah terbang menggunakan jet pribadi melalui Meksiko pada 6 November 2005. Segera MA Chile memerintahkan penahanan yang bersangkutan dan beberapa bulan kemudian Peru mengajukan ekstradisi. Pada 10 September 2007, MA mengabulkan permohonan tersebut dan kemudian pada 22 September 2007, Fujimori diterbangkan ke Peru dan ditahan dalam sebuah penjara khusus di pinggiran kota Lima. Pada 7 April 2009, MA Peru menjatuhkan pidana penjara 25 tahun bagi Fujimori atas pelanggaran HAM, termasuk pelanggaran Rule of Law. commit to user 202 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Kasus Peru menjadi pelajaran yang berharga bagaimana Rule of Law mengalami 2 sisi instrumentalisasi sekaligus. Pada sisi yang pertama, Rule of Law menjadi alat yang efektif bagi Fujimori melaksanakan kediktatorannya sebagai Presiden sejak 1992. Kisah Peru kemudian membenarkan argumen Levitsky dan Way mengenai “diminished form of authoritarianism.”726 Kedua penulis ini menyatakan “[r]ather than openly violating democratic rules (for example, by banning or repressing the opposition and the media), incumbents are more likely to use bribery, cooptation, and more subtle forms of persecution, such as the use of tax authorities, compliant judiciaries, and other state agencies to ‘legally’ harass, persecute, or extort cooperative behavior from critics.”727 Pada posisi ini, Fujimori kemudian menjadi “one of the most recent dictators in Latin America, and perhaps learned that he had to be clever to maintain his repression. The learning curve for avoiding ‘being caught’ entailed finding ‘legal’ forms of silencing dissent” dengan strategi “dangerously weaken[ed] horizontal accountability” by insulating the executive from scrutiny” dengan jalan “impeded by a vigorous legislature, independent courts, and watchful citizens.”728 Pada sisi yang kedua, Rule of Law diinstrumentalisasi sebagai manajemen masa transisi untuk melakukan pemeriksaan atas pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Fujimori. Pada situasi transisi umumnya, amat sulit menerapkan “criminal justice” sebagai mekanisme untuk menyelesaikan kejahatan rezim terdahulu. Pada saat akan melakukan “law enforcement” negara menjadi sulit karena harus berhadapan dengan “sisa” kekuasaan terdahulu dan perlu negosiasi antara keinginan memidanakan dengan mengampuni. Sebalinya, di Peru, proses yang terjadi menetang kecenderungan umum, di mana peradilan pidana dapat berjalan tanpa Steven Levitsky dan Lucan A. Way, “Elections Without Democracy: The Rise of Competitive Authoritarianism,” Journal of Democracy, Vol. 13, 2002, hlm. 53. 726 727 Ibid., hlm. 62. 728 Ibid. commit to user perpustakaan.uns.ac.id 203 digilib.uns.ac.id interupsi politik dan berhasil memenjarakan Fujimori, orang yang sangat berkuasa dengan lumuran darah sejak 1992 dan tak terbayangkan juga, bahwa penghukuman itu hanya terjadi beberapa tahun kemudian terhadap sang diktator. 2. Kasus India: Pergulatan Pengadilan Melawan Kediktatoran Kasus India menunjukkan keunikan dalam konteks studi peradilan, terutama terkait dengan posisi para hakim, karena “it is wellaccepted that good judges are practicing both law and politics, while mediocre judges may be practicing either, both, or neither. They are not usually seen as political in the sense that they are allied to a particular political party’s ideology.”729 Akan tetapi, para hakim itu juga “having a sophisticated concept about their role in the political system and the policies that follow from these positions.”730 Suatu kajian menarik yang dilakukan oleh Marc Galanter menunjukkan keunikan perilaku hakim India yang “have both written about the tradition of black letter law in India, or the adherence to a formal legal perspective that shares much with the civil law tradition.”731 Para pakar politik juga sepakat bahwa para hakim “consistently write opinions that combine political and formal legal arguments, obliterating the dichotomy which often characterizes U.S. debates over judicial motivations.”732 Lebih lanjut, dapat dikatakan bahwa perilaku hakim di India merupakan tipe yang “difficult to explain as rational” karena “have behaved in ways that scholars of American courts find extremely puzzling; the justices have consistently challenged the executive branch even when their judicial institutions have been relatively new and their legitimacy has not been strongly established. And they have done so in the context of 729 Ibid. 730 Ibid. 731 Marc Galanter, “The Turn Against Law: The Recoil Against Expanding Accountability,” Texas Law Review, Vol. 81, 2002, hlm. 285. Marc Galanter, “The Hundred-year commit toDecline user of Trials and the Thirty Years War,” Standford Law Review, Vol. 57, 2005, hlm. 1255. 732 204 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id unified executive–legislative institutions, not in a separated powers context.” 733 dengan periode yang sudah berlangsung sejak masa penjajahan Inggris, India mencerminkan keunikan bagaimana interelasi pengadilan terhadap cabang kekuasaan yang lain. Hal ini perlu dibahas sebab “the justices who challenged the executive branch were acting in predictably strategic ways and that their decisions cannot be categorized as clearly formal or political.”734 Pengadilan, dalam hal ini MA, telah mengalami 3 kali fase pertumbuhan. Fase pertama, adalah “the Supreme Court of Judicature” yang didirikan oleh Inggris pada tahun 1773 dengan wewenang yang luas. Fase kedua adalah “the Federal Court of India” yang didirikan pada tahun 1935 dan khusus untuk mengadili perselisihan kewenangan antara Provinsi dan daerah. Fase ketiga adalah “the Supreme Court of India” yang dibentuk menurut Konstitusi 1950 dengan wewenang sebagai badan peradilan banding dan judicial review. Fokus pembahasan dalam rubric ini adalah pada fase yang ketiga, untuk membahas penegakan Rule of Law atas MA. Lembaga MA dibentuk menurut Konstitusi 1950 guna menggantikan kedudukan “the Federal Court of India.” Nyaris ketentuan mengenai struktur badan pengadilan dalam konstitusi sama dengan ketentuan tahun 1935. Selain banding dan judicial review, MA juga mempunyai fungsi untuk memberikan pertimbangan hukum. Semua perkara dapat dimintakan pemeriksaan ke MA, suatu hal yang berbeda dibandingkan dengan kelembagaan di Amerika yang dapat menentukan suatu kasus masuk dalam yurisdiksi mereka atau tidak.735 Pada awal pendirian di tahun 1950, MA mempunyai 8 orang hakim, yang terus menerus ditambah dan sekarang mencapai 26 hakim.736 Untuk 733 Alfred Darnell & Sunita Parikh, op.cit., hlm. 4. 734 Ibid. 735 Ibid., hlm. 6. 736 Lihat: Konstitusi India Pasal 124 ayat (1) dan ayat (4). commit to user 205 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id pemeriksaan perkara umumnya ditentukan 3-5 orang hakim dalam satu majelis, akan tetapi khusus untuk perkara konstitusi harus diperiksa minimum oleh 5 hakim. Bahkan untuk memeriksa ulang perkara yang sudah diputus sebelumnya oleh MA, ditentukan komposisi hakim yang lebih banyak, seperti dalam perkara Kesavananda Bharati (1973) yang melibatkan 13 orang hakim. Di India, Partai Kongres yang sempat mendominasi pemerintahan (1952-1977) amat progresif dengan menghapus lembaga-lembaga politik peninggalan kolonial Inggris, akan tetapi khusus untuk pengadilan, penguasa membiarkan situasinya berkembang seperti pada masa-masa sebelumnya. Dugaan sementara adalah para hakim dianggap tidak begitu berperan dalam perjuangan kemerdekaan dan lagipula pada awalnya pengadilan dianggap tidak memiliki fungsi signifikan dibandingkan dengan lembaga politik, misalnya dibandingkan dengan Parlemen yang dipilih melalui pemilu.737 Meskipun demikian, menurut kajian Burt Neuborne, dalam dekade pertama sejak konstitusi diberlakukan, para hakim cenderung menganggap diri mereka sebagai perisai konstitusi dan mempertahankan “the fundamental rights.”738 Serupa dengan tradisi supremasi parlemen di Inggris, mekanisme politik India memungkinkan parlemen mendelegasikan kewenangan mereka kepada Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan badan-badan independen. Pengadilan dapat membatalkan tindakan-tindakan delegasi tersebut sepanjang memenuhi persyaratan: (i) if the delegated power is too sweeping, (ii) if the delegated power is contradictory to the statute authorizing it, or (iii) if the delegated power is “repugnant to the general law.739 Dominasi pemerintahan mayoritas memaksa pengadilan harus cukup pintar memperhatikan realitas politik, karena pengadilan pun harus 737 Alfred Darnell & Sunita Parikh, op.cit., hlm. 26. 738 Burt Neuborne, “The Supreme Court of India”, Constitutional Law, Vol. 1, 2003, hlm. 478. 739 Ibid., hlm. 479. commit to user International Journal of 206 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id memahami kekuasaan luas Parlemen yang memungkinkan membentuk UU yang dipaksakan. Lagipula seiring dengan tumpukan perkara yang semakin banyak, pengadilan tak punya pilihan cukup untuk memeriksa perkara secara selektif.740 Oleh sebab itu, sikap MA yang frontal terhadap Pemerintah nyaris tidak dijumpai dibandingkan dengan tahun-tahun pertama pembentukan “the Federal Court.”741 Walaupun demikian, sejumlah kasus pada awal pembentukan MA sebenarnya menampakkan ciri-ciri sebagai putusan yang menentang pemerintah. Dalam kasus A. K. Gopalan v. State of Madras (1950) yang berhubungan dengan pemenjaraan terhadap Gopalan, aktivis Partai Komunis dengan menggunakan UU Antisubversif (1950), yang memungkinkan penahanan tanpa proses pengadilan dan tak ada keharusan pejabat untuk menjelaskan alasan-alasan penahan tersebut. Gopalan menguji ketentuan UU tersebut dengan alasan bertentangan terhadap “fundamental rights” dalam Konstitusi. Dalam putusan, MA secara mayoritas mempertahankan ketentuan UU tersebut dengan alasan kebutuhan bertindak pemerintah guna menjamin keamanan nasional, tetapi pengadilan juga berpendapat bahwa merupakan tindakan yang melanggar “the fundamental rights” apabila penahanan menurut UU tidak disertai dengan alasan-alasan yang jelas dan apabila dilakukan dengan melanggar limitasi wewenang pemerintah. Atas putusan itu, Pemerintah melakukan perubahan terhadap UU, terutama menyangkut alasan-alasan penahanan, akan tetapi kebijakan secara keseluruhan dari aspek politik tetap tidak berubah.742 Dalam kasus kompensasi redistribusi tanah, MA mempunyai pendirian yang lebih tegas terhadap kebijakan pemerintah dengan dalih perlindungan konstitusi. Sejak 1947, Partai Kongres mempunyai kebijakan untuk melakukan redistribusi tanah, terutama tanah yang dikuasai oleh 740 Ibid. 741 Alfred Darnell & Sunita Parikh, op.cit., hlm. 27. 742 Burt Neuborne, “The Supreme Court of India”, op.cit., hlm. 481-482. commit to user 207 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id tuan tanah yang harus dibagikan kepada pekerja mereka. Tentu saja para pemilik tanah kemudian melakukan complaint ke MA dengan dalih kebijakan melanggar “the fundamental rights.” Kasus ini membawa MA berhadapan dengan Pemerintah. Bagaimanapun, kebijakan itu menunjukan program sosialisme Partai Kongres, namun perampasan tanah tanpa kompensasi juga melanggar ketentuan UUD. Masalah itu memicu perdebatan mengenai siapa yang berhak melakukan penafsiran terhadap Konstitusi. Saat berbicara dengan parlemen, Perdana Menteri Nehru mengatakan bahwa, “Menafsirkan konstitusi haruslah sesuai dengan kehendak pembentuknya dan perubahan terhadapnya merupakan sesuatu dengan pertimbangan amat diperlukan sekali.” Terkait dengan “the fundamental rights” Nehru menegaskan pentingnya untuk memperhatikan keseimbangan sosial yang lebih besar.743 Tetapi MA mempunyai pandangan yang berbeda, jaminan ganti rugi tetaplah hak-hak individual yang mutlak dan dengan demikian, kebijakan pemerintah yang mengabaikan hal tersebut harus dibatalkan. Perdebatan antarcabang kekuasaan itu tak terpecahkan hingga tahun 1980, dan selama pemerintahan Indira Gandhi (1971-1977), Parlemen mengeluarkan pernyataan yang tegas bahwa MA sudah melanggar konstitusi dalam melaksanakan wewenangnya dan menyebut pengadilan sebagai lembaga yang sangat berbahaya. Sejak itu MA kehilangan gengsi sosialnya, sementara pengganti Nehru, L.B. Lastri dan Indira Gandhi segera memperoleh popularitas politik mereka. Dalam situasi itu, MA mempertimbangkan untuk tetap mempertahankan hak-hak dasar dalam UUD, meskipun sejumlah hakim khawatir berhadapan dengan Pemerintah.744 Bahkan rezim Gandhi kemudian membatasi wewenang MA dalam judicial review melalui serangkaian perubahan konstitusi. Konflik memanas antara MA dan pemerintahan Gandhi memuncak dengan putusan perkara Kesavananda Bharati v. State of Kerala (1973). 743 Ibid., hlm. 482. 744 Alfred Darnell & Sunita Parikh, op.cit., hlm. 28. commit to user 208 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Pengadilan mengambilalih pertimbangan dalam kasus Golak Nath v. State of Punjab (1967), yang menyatakan bahwa Parlemen tidak boleh melakukan perubahan UUD apabila jelas-jelas mengubah struktur dasar konstitusi. Beberapa hari setelah putusan itu, Ketua MA Sikri diganti dengan alasan sudah mencapai usia 65 tahun. Presiden India kemudian menunjuk A.N. Ray, sosok yang dianggap bersimpati terhadap Pemerintah, menjadi Ketua MA yang baru. Pada tahun 1976, Parlemen melakukan Perubahan Konstitusi yang menolak putusan Kesavananda Bharati, dan menegaskan bahwa segala perubahan konstitusi oleh Parlemen merupakan tindakan yang tidak dapat diganggu gugat oleh pengadilan dan tak ada pembatasan apapun atas kekuasaan parlemen dalam merubah konstitusi. Perubahan konstitusi tersebut merupakan tindakan serius Parlemen sepanjang “negara dalam keadaan darurat” sejak Juni 1975 hingga Maret 1977 saat diadakan pemilu baru. Dalam pemilu itu, Partai Kongres mengalami kekalahan dan kemudian Partai Janata mengambil alih pemerintahan. Dalam setahun Pemerintah meloloskan perubahan konstitusi yang mengatur ekses-eskes dari situasi darurat dan kemudian memulihkan kekuasaan judicial review, serta menentukan bahwa penggantian Ketua MA harus memperhatikan senioritas hakim agung. Pada tahun 1980, dalam kasus Minerva Mills, MA membuat putusan kompromistis yang mengakui struktur dasar konstitusi akan tetapi menghapuas “right to property” dari “the fundamental rights.” Sejak saat itu, terutama melalui “public interest litigation”, MA terus memperlebar kekausaanya dalam judicial review. 3. Kasus Filipina: Pengadilan anusia di tengah Krisis Politik Pada tanggal 25 Oktober 1986, ratusan orang dengan afiliasi politik yang bermacam-macam mengadakan aksi damai di Epifanio de los Santos Avenue (EDSA) in Metropolitan Manila guna menuntut pengunduran diri Presiden Ferdinand Marcos yang sudah berkuasa tanpa commitMarcos to user dituding memupuk kekuasaan kontrol 20 tahun lamanya. 209 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id sewenang-wenang. Eksekutif menjadi pengendali hukum sehingga tak ada UU, tak ada pemilu, dan sedikit sekali judicial review. Prinsip-prinsip demokrasi diabaikan. Warganegara semakin banyak dijebloskan ke dalam penjara tanpa pemeriksaan, terutama semenjak ditetapkannya negara dalam keadaan darurat. Militer pun tampil menjadi sosok yang tak tersentuh. Lembaga MA, nyaris selama 20 tahun kediktatoran Marcos diisi oleh para hakim dengan loyalitas tinggi kepada Marcos. Pengadilan tertinggi lalu menjadi instrument hukum yang menjadi perisai atas berbagai Keputusan Presiden yang memperbesar kekuasaan eksekutifnya, termasuk merampas kekuasaan legislatif. Seorang penulis mendeskripsikan krisis MA itu sebagai berikut:745 “...[T]he courts gave their cooperation and support to the dictatorship and to its program for a New Society under a new constitutional order. That was their best choice. Supposing that, because of their attachment to constitutionalism, they had resisted the dictatorship, the courts would simply have been replaced by military tribunals. The judges of the period had the sagacity and the foresight to trust the political leadership, and despite their misgivings, follow its path toward a promised constitutional order. It was by such faith and hope that we can justify their collaboration in strategies and measures which, in the fateful months of late 1972 and early 1973, were antithetical and destructive of republicanism. Indeed, looking at the period as a whole, the Judiciary as an institution was basically preserved and functioning all throughout, without disruption or disturbance. Saat people power sukses menggeser kedudukan Marcos dan mengantarkan Qurazon Aquino menjadi Presiden, segera dibentuk Komisi Konstitusi yang dipimpin bekas Ketua MA Roberto Concepcion —yang selalu kritis dalam putusannya terhadap tindakan Marcos—untuk menyusun konstitusi baru. Dalam rancangan itu, menguat gagasan untuk Neal Tate dan Stacia L. Haynie, “Authoritarianism and the Functions of Courts: A Time Series Analysis of the Philippine Supreme 1961-1987”, Law and Society Review, Vol. commitCourt, to user 27,1993, hlm. 707-740. 745 210 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id mempertinggi independensi pengadilan dan judicial review. Dengan konstitusi baru (1987), MA mempunyai kekuasaan yang lebih luas sehubungan dengan judicial review dan pembentukan hukum.746 Menurut Concepcion, perluasan itu diperlukan guna mencegah terulangnya ketertundukan MA dalam jerat politik, terutama saat mengadili perselisihan HAM. Dikatakan oleh Concepcion:747 Fellow Members of this Commission, this is actually a product of our experience during martial law. As a matter of fact, it has some antecedents in the past, but the role of the judiciary during the deposed regime was marred considerably by the circumstance that in a number of cases against the government, which then had no legal defense at all, the solicitor general set up the defense of political questions and got away with it. As a consequence, certain principles concerning particularly the writ of habeas corpus, that is, the authority of courts to order the release of political detainees, and other matters related to the operation and effect of martial law failed because the government set up the defense of political question. And the Supreme Court said: „Well, since it is political, we have no authority to pass upon it‟. The Committee on the Judiciary feels that this was not a proper solution of the questions involved. It did not merely request an encroachment upon the rights of the people, but it, in effect, encouraged further violations thereof during the martial law regime. Briefly stated, courts of justice determine the limits of power of the agencies and offices of the government as well as those of its officers. In other words, the judiciary is the final arbiter on the question whether or not a branch of government or any of its officials has acted without jurisdiction or in excess of jurisdiction or so capriciously as to constitute an abuse of discretion amounting to excess of jurisdiction or lack of jurisdiction. This is not only a judicial power but a duty to pass judgment on matters of this nature. Pasal 8 ayat (1) Konstitusi 1987 menegaskan: “The judicial power shall be vested in one Supreme Court and in such lower courts as may be established by law. Judicial power includes the duty of the courts of justice to settle actual controversies involving rights which are legally demandable and enforceable, and to determine whether or not there has been a grave abuse of discretion amounting to lack or excess of jurisdiction on the part of any branch or instrumentality of the Government.” 746 Lihat: Pacifico A. Agabin, Editor, 1996, Unconstitutional Essays, Manila, commit to user University of the Philippines Press, Chapter I. 747 perpustakaan.uns.ac.id 211 digilib.uns.ac.id Penolakan sementara pihak untuk memperluas judicial review dipandang oleh Pacifico Agabin sebagai “such an expansion of judicial review in light of the demonstrated history and ideological conservativism of the judiciary in the Philippines, stating that the “pendulum of judicial power [has swung] to the other extreme where the Supreme Court can now sit as „superlegislature‟ and „superpresident‟..If there is such a thing as judicial supremacy, this is it.”748 Serupa dengan itu, Florentino Feliciano mendukung perluasan judicial review dengan alasan “as a reflection of the strong expectations in [Philippine] society concerning the ability and willingness of our Court to function as part of the internal balance of power arrangements, and somehow to identify and check or contain the excesses of the political departments.”749 Para penyusun konstitusi amat percaya kekuatan MA sebagai penjaga demokrasi pasca tumbangnya kekuasaan diktator. Dalam kinerja selanjutnya, “The recent decisions of the Court in this decade‟s explosive constitutional controversies reveal that the Court remains highly conscious of its greater transformative and mediating role in Philippine democracy.”750 Sejarah berulang. Presiden Joseph Estrada (terpilih 1998) pada tahun 2001 mengalami people power yang mendesaknya mengundurkan diri. Pada perkembangan yang sama, MA dalam perkara Estrada v. Desierto et. al. memutuskan bahwa Estrada had “constructively resigned” from office, paving the way for an orderly constitutional succession in favour of the then-Vice President, Gloria Macapagal-Arroyo.”751 Dalam 748 Ibid., hlm. 167. 749 Florentino P. Felliciano, “The Application of Law: Some Recurring Aspects of the Process of Judicial Review and Decision Making”, American Journal of Juris, Vol. 37, 1992, hlm. 29. Dante Gatmaytan-Magno, “Changing Constitutions: Judicial Review and Redemption in the Philippines”, 25 University of California at Los Angeles Pasific Basin Law Journal, Vol 25, 2007, hlm. 23-24. 750 Ben Reid, “The Philippine Democratic commit to user Uprising and the Contradictions of Neoliberalism: EDSA II”, 22 Third World Quarterly, Vol. 22, No. 5, 2001, hlm. 777-793. 751 212 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id perkara tersebut, Hakim Agung (yang kemudian menjadi Ketua MA) Reynato Puno berpendapat yang membenarkan pengadilan memutus perkara politik itu:752 To a great degree, the 1987 Constitution has narrowed the reach of the political question doctrine when it expanded the power of judicial review of this court not only to settle actual controversies involving rights which are legally demandable and enforceable but also to determine whether or not there has been a grave abuse of discretion amounting to lack or excess of jurisdiction on the part of any branch or instrumentality of government. Heretofore, the judiciary has focused on the "thou shalt not's" of the Constitution directed against the exercise of its jurisdiction. With the new provision, however, courts are given a greater prerogative to determine what it can do to prevent grave abuse of discretion amounting to lack or excess of jurisdiction on the part of any branch or instrumentality of government… This Court cannot betray its primordial duty to defend and protect the Constitution. The Constitution, which embodies the people's sovereign will, is the bible of this Court. This Court exists to defend and protect the Constitution. To allow this constitutionally infirm initiative, propelled by deceptively gathered signatures, to alter basic principles in the Constitution is to allow a desecration of the Constitution. To allow such alteration and desecration is to lose this Court's raison d'etre. Kekuasaan MA di bawah Konstitusi 1987 juga memberikan wewenang pengadilan untuk mencegah terjadinya usaha untuk mengubah konstitusi seperti putusan dalam perkara Lambino v. Commission on Elections et.al. (2006), dengan alasan antara lain: The Constitution, as the fundamental law of the land, deserves the utmost respect and obedience of all the citizens of this nation. No one can trivialize the Constitution by cavalierly amending or revising it in blatant violation of the clearly specified modes of amendment and revision laid down in the Constitution itself. To allow such change in the Joseph E. Estrada v. Aniano Desierto in his capacity as Ombudsman, et al., G.R. commit to user No. 146710-15, March 2, 2001 (en banc). 752 213 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id fundamental law is to set adrift the Constitution in unchartered waters, to be tossed and turned by every dominant political group of the day. If this Court allows today a cavalier change in the Constitution outside the constitutionally prescribed modes, tomorrow the new dominant political group that comes will demand its own set of changes in the same cavalier and unconstitutional fashion. A revolving-door constitution does not augur well for the rule of law in this country. Dengan peran itu, MA mengalami kepercayaan diri dan persepsi kepercayaan publik yang tertinggi diantara lembaga negara yang ada.753 Sekalipun tak bersih dari campur tangan eksekutif (terutama saat komposisi hakim mayoritas berafiliasi kepada Presiden Gloria-Macapagal Arroyo)754, MA mempertahankan strategi independen dengan memperbesar perhatian terhadap private adjudication dan penilaian terhadap kebijakan publik.755 Serupa dengan peran pengadilan di situasi transisi di Afrika Selatan, di bawah Konstitusi 1987, MA Filipina “has demonstrated progressively liberal (and judicially activist) stances in recognizing the fullest protections of international standards on civil and political rights as “part of the law of the land.”756 Dari penelusuran sejarah, 30 tahun sebelum Konstitusi 1987 diberlakukan, MA Filipina secara agresif pernah dalam putusanputusannya mengadopsi ketentuan hukum internasional mengenai HAM. Dalam perkara Boris Mejoff v. The Director of Prisons (1951), MA “applied the Universal Declaration of Human Rights as ‘generally accepted principles of international law [forming] part of the law of the 753 Social Weather Station (SWS) comparative trust approval ratings of Philippine institutions from 2000 to 2009, at http://www.sws.org, diakses 25 April 2012. Stacia L. Haynie, “Paradise Lost: Politicisation of the Philippine Supreme Court in the Post Marcos Era”, Asian Studies Review, Vol. 22, No. 4, 1998, hlm. 459. 754 755 Stacia L. Haynie, “Resource Inequalities and Litigation Outcomes in the Philippine Supreme Court”, The Journal of Politics, Vol. 56, No.3, 1994, hlm. 752. Theunis Roux, “Principlecommit and Pragmatism to user on the Constitutional Court of South Africa”, 7International Journal of Constitutional Law, Vol. 7, 2009, hlm. 118. 756 214 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Nation’ to rule against the indefinite detention of foreign nationals or stateless aliens.” Semangat adopsi ketentuan internasional itu nyaris dirumuskan serupa dalam perkara Government of Hongkong Special Administrative Region v. Hon. Felixberto T. Olalia Jr, yang “affirmed the correctness of a lower court order granting bail to a potential extraditee (departing from previous jurisprudence that limited the exercise of the right to bail to criminal proceedings).”757 Namun demikian, dalam perkara Basco et al. v. Philippine Amusements and Gaming Corporation, MA menolak untuk menafsirkan bahwa ketentuan-ketentuan HAM sosial ekonomi menurut Bab XIII dan XIV Konstitusi 1987 “are merely statements of principles and policies. As such, they are basically not selfexecuting, meaning a law should be passed by Congress to clearly defined and effectuate such principles”, sehingga dapat dikaji bahwa “the Court did not provide a methodology for differentiating between justiciable and non-justiciable socio-economic provisions in the 1987 Constitution.”758 Hampir 20 tahun setelah Konstitusi 1987 diterapkan MA memberikan sumbangan penting terhadap pemenuhan HAM sosial ekonomi melalui mekanisme judicial review, antara lain: (i) nullifying administrative rules and regulations issued by the executive department that contravened the constitutionally-mandated agrarian reform Pendapat pengadilan antara lain mengatakan, “Thus, on December 10, 1948, the United Nations General Assembly adopted the Universal Declaration of Human Rights in which the right to life, liberty, and all the other fundamental rights of every person were proclaimed. While not a treaty, the principles contained in the said Declaration are now recognized as customarily binding upon the members of the international community. Thus, in Mejoff v. Director of Prisons, this Court, in granting bail to a prospective deportee, held that under the Constitution, the principles set forth in that Declaration are part of the law of the land. In 1966, the UN General Assembly also adopted the International Covenant on Civil and Political Rights which the Philippines signed and ratified. Fundamental among the rights enshrined therein are the rights of every person to life, liberty, and due process. Lihat: Government of Hongkong Special Administrative Region v. Hon. Felixberto T. Olalia Jr. and Juan Antonio Muñoz, G.R. No. 153675, April 19, 2007. 757 Basco et al. v. Philippinecommit Amusements and Gaming Corporation, G.R. No. 91649, to user May 14, 1991. 758 perpustakaan.uns.ac.id 215 digilib.uns.ac.id program;759 (ii) affirming the constitutional right to a fair and a speedy trial;760 (iii) affirming a lower court judgment finding the government‟s use of arrest, detention, and/or deportation orders to be illegal and arbitrary;761 (iv) enjoining the military and police‟s conduct of warrantless arrests and searches, „aerial target zonings‟ or „saturation drives‟ in areas where alleged subversives were supposedly hiding;762 (v) declaring search warrants defective and the ensuing seizure of private properties to be illegal;763; (vi) acquitting a person whose conviction for murder was based largely on an inadmissible extrajudicial confession (obtained without the presence of counsel);764 (vii) upholding the dismissal of a criminal charge on the basis of the constitutional right against double jeopardy;765 (viii) acquittal of a public officer due to a violation of the constitutional right of the accused to a speedy disposition of her case;766 (ix) prohibiting the compelled donation of print media space to the Commission on Elections without payment of just compensation;767 dan (x) prohibiting governmental restrictions on the publication of election survey results for unconstitutionally abridging the freedom of speech, expression, and the press.768 759 Luz Farms v. Secretary of the Department of Agrarian Reform, G.R. No. 86889, December 4, 1990. 760 Lisandro Abadia et al. v. Court of Appeals et al., G.R. No. 105597, September 23, 761 Andrea D. Domingo v. Herbert Markus Emil Scheer, G.R. No. 154745, January 29, 762 Eddie Guazon et al. v. Renato De Villa et al., G.R. No. 80508, January 30, 1990. 763 Republic of the Philippines v. Sandiganbayan et al., G.R. No. 104768, July 21, 764 People of the Philippines v. Elizar Tomaquin, G.R. No. 133188, July 23, 2004. 765 People v. Acelo Verra, G.R. No. 134732, May 29, 2002. 766 Imelda R. Marcos v. Sandiganbayan, et al., G.R. No. 126995, October 6, 1998. 767 Philippine Press Institute Inc. v. Commission on Elections, G.R. No. 119694, May 768 Social Weather Stations Inc. et al. to v. user Commission on Elections, G.R. No. 147571, commit 1994. 2004. 2003. 22, 1995. May 5, 2001. 216 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Sedemikian penting peranan pemenuhan HAM sebagai substansi judicial review di MA Filipina. Walaupun untuk konteks sekarang bisa saja prestasi itu tercoreng. Seperti diikuti dalam pemberitaan, Ketua MA Renato Corona menghadapi dakwaan (impeachment) oleh Senat karena dituding mengkhianati kepercayaan publik dan melanggar konstitusi dalam bentuk tindak pidana korupsi. Corona—yang ditunjuk oleh Presiden Gloria-Macapagal Arroyo menjelang akhir masa jabatan—dituduh menyembunyikan kekayaan sebesar 4 juta dollar AS (sekitar Rp 40 miliar). Dalam proses di Senat, 19 dari 23 anggota menyatakan Corona layak dipecat dan tidak boleh lagi menduduki jabatan publik. Proses ini jelas memberikan kemenangan politik bagi Presiden Benigno Aquino— yang pada 2010 lalu memenangi pemilu Presiden secara telak karena program antikorupsinya.769 Berdasarkan uraian di atas, nampak bahwa konstitusi diintrumentalisasikan lewat perluasan judicial review pada MA melalui “democratic constitutional making.” Hal ini membuktikan bahwa pemenuhan HAM merupakan tuntutan yang berlangsung dalam kondisi otoritarian maupun demokratik, dan adopsi dalam konstitusi tidaklah bersifat “self-execution”, karena di samping melalui legislasi, harus diwujudkan dalam “government action.” Dalam konteks inilah pentingnya MA memberikan jaminan perlindungan HAM melalui fungsi yang dilekatkan kepadanya. 4. Kasus Pakistan: Pengadilan Berhadapan Hukum Darurat Peranan pengadilan di Pengadilan sungguh rumit dan kompleks. Para hakim yang menentukan jalannya negara, menentukan aturan-aturan konstitusional berpengaruh terhadap kedaualatan nasioal, partisipasi politik, dan lembaga negara. Pengadilan memutuskan konflik antara Presiden dan pemerintah dalam kasus pembubaran Parlemen (1954, 1988, 1990, 1993), memberikan legalisasi atas kudeta (1958, 1977, 1999), 769 commit to user Lihat Kompas, Rabu, 30 Mei 2012, hlm. 10. perpustakaan.uns.ac.id 217 digilib.uns.ac.id menciptakan transisi politik antara pemerintah sipil dan militer (1972, 1986-1988), dan melanjutkan usaha-usaha untuk menentukan aspek substantif dan prosedural masalah politik, konstitusionalitas pemerintahan, dan dalam hal tertentu jua, demokrasi. Karena negara terus menerus mengalami masa transisi, pengadilan Pakistan lalu menjadi subyek dan sekaligus obyek perubahan politik yang terjadi. Konstitusi yang berhasil disusun pertama kali (1956) mentrasformasikan pengawasan kolonial ke desain mekanisme untuk mengendalikan eksekutif. Pengadilan diberi status otonomi untuk mengemban tanggung jawab ini. Konstitusi tersebut,”placed a greater burden on the judiciary to ensure that workable democracy could emerge than the courts could reasonably shoulder.”770 Sejak kemerdekaan (1947), Pakistan telah menerapkan 28 tahun hukum tata negara darurat atau hampir separuh waktu sejak kemerdekaan. Paling akhir hukum tata negara darurat itu diterapkan oleh Presiden Musharraf menyusul kematian mantan Perdana Menteri Benazir Bhutto (2007). Mengkaji pemerintah, politik, dan peran militer Pakistan menunjukkan bahwa nampaknya penerapan hukum tata negara darurat akan menjadi kecenderungan di masa depan, sekurangnya-kurangnya dalam jangka pendek dan jangka menengah. Sehubungan dengan hal ini, peranan Mahkamah Agung menjadi penting. Berdasarkan peran ini, penting untuk ditekankan bahwa ancaman kemerdekaan pengadilan adalah hukum tata negara darurat dan pemerintahan yang otoriter. Usaha dinamik MA untuk untuk menegaskan jangkauan judicial review selama hukum tata negara “normal” dan darurat, telah merugikan badan pengadilan ini. Tidak lama setelah penerapan Konstitusi 1956, Presiden Iskander Mirza memberlakukan keadaan darurat, menunda Konstitusi, memecat pejabat pusat dan propinsi, membubarkan Parlemen 770 hlm. 24. Paula R. Newberg, Judging the State: Court and Contitutional Politics in Pakistan, commit to user 218 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Nasional dan Propinsi, dan menghapus partai politik.771 Bersamaan dengan itu, Presiden menunjuk Jenderal Ayub Khan, Panglima Angkatan Bersenjata, sebagai Penguasa Pemerintahan Darurat. Kemudian diberlakukan Laws (Continuance in Force) Order (1958), untuk menciptakan “new legal order.” Sehubungan dengan hal ini, MA dalam putusan perkara The State V. Dosso (1958), membenarkan kebijaksanaan tersebut dengan mengganggap sebagai “a successful revolution.” Segera sesudah putusan ini dikeluarkan, Jenderal Ayub Khan memecat Presiden Mirza dan mengangkat dirinya sebagai Kepala Negara. Pada tahun 1962, pemerintahan militer Ayub Khan membentuk Konstitusi 1962, yang mengakhiri keadaan darurat. Sesudah adanya aksi massa yang menentang pemerintahannya, diikuti dengan kekacauan sipil, tiba-tiba Jenderal Ayub Khan mengundurkan diri dari jabatannya pada 24 Maret 1969. Pengunduran diri itu disampaikan kepada Panglima Angkatan Bersenjata, Jenderal Yahya Khan yang kemudian menggantikan posisi sebagai Presiden. Tak lama sesudah itu (31 Maret 1969), Yahya Khan mengumumkan pembatalan Konstitusi 1962, membubarkan Parlemen, dan memaksakan pemberlakuan keadaan darurat di seluruh negeri.772 Namun MA dalam putusan perkara Asma Jilani, menolak tindakan Yahya Khan, karena menurut pengadilan tindakan mengambilalih kekuasaan merupakan tindakan illegal dan bertentangan dengan konstitusi. Pada tahun 1972, ketika posisi Presiden diserahkan kepada Zulfikar Ali Bhuto sebagai hasil pemilu demokratis, pemberlakukan keadaan darurat dicabut. Tetapi saat itu pecah perang sipil yang berujung kepada pembentukan negara Bangladesh, sehingga memaksa pengunduan diri Yahya Khan. 771 LIhat: T. Mahmud, “Praetorianism and Common Law in Post Colonial Setting”, Utah Law Review, Vol. 80, 1993, hlm. 1243. Imtiaz Omar, 2009, Emergency Powers and the Courts of India and Pakistan, Den commit to user Haaq, Kluwer International Law, hlm. 144. 772 219 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Pada 5 Juli 1977, Panglima Angkatan Bersenjata Jenderal Zia-Ul Haq, menyusul krisis politik yang terjadi, mengambil alih kekuasaan. Jenderal Haw kemudian menyatakan negara dalam keadaan darurat, membatalkan Konstitusi 1973, memecat dan memenjarakan Perdana Menteri Zulfikar Ali Bhuto. Atas hal itu, MA menyatakan dukungannya terhadap kudeta ul Haq sebagai penerapan “the doctrine of necessity.”773 Pada 1977, sesudah Mahkamah Agung memutus petisi dalam perkara Begum Nusrat Bhutto V.Chief of Army Staff, untuk menetang pemberlakukan keadaan darurat dan menuntut pembebasan penahanan politisi termasuk bekas Perdana Menteri, sebuah keputusan yang dikeluarkan oleh Penguasa Darurat memaksa Ketua MA Yakub Ali mengundurkan diri.774 Selanjutnya, semua hakim senior dipaksa untuk mengucapkan sumpah kembali berdasarkan Provisional Constituional Order (1981). Hanya sebagian hakim yang diminta melakukan ini dan hakim yang lain menolak untuk mematuhi. Diantara yang tidak mematuhi, dan sebagai konsekuensinya harus melepas jabatan adalah hakim agung Anwarul Haq. Tetapi untuk peristiwa serupa pada setelah Jenderal Perves Musharraf melakukan kudeta terhadap Perdana Menteri Nawaz Sarief (1999), seluruh hakim agung dan para hakim lokal tidak ada yang melakukan perlawanan dan bersedia memenuhi perintah untuk mengucapkan sumpah di bawah pemerintahan baru. Dalam hal ini, MA— yang sebelumnya melegitimasi kudeta militer Musharraf—mengatakan bahwa pelaksanaan sumpah yang baru ini penting untuk “on the gound of safeguarding the remaining ‘institutional values’ of the nation.”775 Dalam tiap penerapan hukum tata negara darurat, maka MA “has continued, wioth varying of success, to insist on the minimum requirement of 773 774 775 Ibid., hlm. 62. Opcit.,, hlm. 1225. commit to user Imtiaz Omar, op.cit., , hlm. 143. perpustakaan.uns.ac.id 220 digilib.uns.ac.id constitutionalism….”776 Tindakan itu bukan tanpa risiko, yang acapkali berakibat penggantian posisi hakim agung. Memang dalam keadaan transisi, penggantian hakim akan menimbulkan persoalan serius bagi rezim transisional dan berpotensi untuk menghasilkan ongkos politik yang signifikan. Anggaran pemerintah akan terkuras untuk menata kembali posisi para hakim terhadap pengadilan. Semakin luas kebutuhan aparatur pengadilan, maka akan menyebabkan membengkaknya anggaran negara.777 Oleh sebab itu, dalam rangka efisiensi anggaran, pembaruan komposisi hakim umumnya terjadi pada hakim di lingkungan peradilan tertinggi.778 Namun demikian, solusi ini berpotensi menimbulkan masalah berupa ketidakpercayaan di lingkungan pengadilan yang lain, yaitu pada saat hakim yunior yang direkrut oleh rezim sebelumnya pada saat berikutnya akan dapat melakukan dominasi. Oleh sebab itu, lepas dari pertimbangan ekonomis, rekomposisi semua hakim lebih efisien dibandingkan hanya pada badan peradilan tertinggi. Sudah barang tentu anggaran negara tidaklah menjadi satu-satunya penentu. Ongkos politik (political cost) juga menjadi pertimbangan penting. Dalam negosiasi ketika terjadi transisi politik dari kedikatatoran militer di Chile dan Argentina pada tahun 1990-an misalnya, mempertahankan 776 Ibid. 777 Kasus Indonesia dengan berlakunya UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor mengkonfirmasi hal ini. Tanpa disadari UU baru ini sebenarnya mempunyai agenda untuk mereposisi hakim dalam fungsi yang khusus dengan konsekuensi penambahan aparatur dengan kekhususan pula. Ketentuan UU Pasal 4, misalnya, mengatur bahwa “Khusus untuk Daerah Ibukota Jakarta, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berkedudukan di setiap kotamadya, yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan.” Setelah diundangkan sampai pertengahan 2012, baru terbentuk 1 Pengadilan Tipikor yang menginduk Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dari laporan tahunan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 31 Desember 2011, terungkap bahwa perkara korupsi yang dilimpahkan tercatat 78 perkara. Jumlah ini akan bertambah karena ada 12 perkara sisa tahun 2010, sehingga seluruhnya menjadi 90 perkara. Hingga Desember 2011, para hakim hanya sanggup merampungkan 52 perkara. Untuk mengatasi hal itu, walaupun terlambat MA akan menambah jumlah Pengadilan Tipikor, yang konsekuensinya, di samping melakukan pelatihan bagi para hakim karir juga harus merekrut hakim dari kalangan non karir. Lihat: “Agar Hakim Tidak Pulang Malam”, Gatra, 4 Juli 2012, hlm. 94. 778 Kasus MA Indonesia dapat ditunjuk sebagai contoh. Pada awal berdirinya, MA mempunyai 9 orang hakim agung. Kemudian seiring dengan banyaknya perkara yang masuk, jumlah itu ditambah berturut-turut menjadi 19 orang, 24 orang, dan kemudian 51 orang. Sekarang dengan UU Kekuasaan Kehakiman 2004 dan 2009, jumlah hakim agung ditetapkan 60 orang. commit to user Lihat: Mahkamah Agung R.I., 2003, Cetak Biru Pembaruan MA, Jakarta, hlm. 44-45. 221 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id pengadilan dan memberlakukan khusus MA menjadi salah satu kesepakatan dari pengelolaan tersebut.779 Faktor politik yang lain adalah hubungan internasional dan reputasi investasi asing. Perombakan yudisial akan merusak citra dari rezim baru yang berkuasa. 779 commit to user Nuno Garoupa dan Maria A. Maldonado, op.cit., hlm. 597. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB V CONSTITUTIONAL REVIEW DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KINERJA MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM TRANSISI DEMOKRASI (SUATU PERBANDINGAN HUKUM) A. Catatan Awal Pertumbuhan pengaruh pengadilan terhadap transisi politik akhir-akhir ini telah berkembang menjadi perhatian penelitian baik di negara maju maupun negara berkembang. Fenomena ini menggambarkan sisi lain dari “judicialization of politics”, yang mencakup 2 pengertian. Pertama, perluasan lapangan pengadilan atau hakim dalam masalah politik atau administrasi. Kedua, meluasnya efek putusan pengadilan di luar kerangka tujuan pengadilan itu sendiri.780 Dewasa ini telah lebih dari 80% konstitusi di seluruh dunia mempunyai ketentuan yang berhubungan dengan CR.781 seperti diuraikan di dalam Bab III, demokrasi Barat mengadopsi CR sesudah Perang Dunia II, dan kebanyakan demokrasi gelombang ketiga kemudian mengikuti pola serupa. Perluasan CR ini mempunyai derajat teoritis yang penting bagi transisi demokrasi. Kebaikan demokrasi adalah mensyaratkan adanya “a selfencorcing mechanism” untuk menghalangi tirani mayoritas dan/atau oposisi terkoordinasi.782 Konstitusi dipercaya untuk memastikan bahwa mekanisme tersebut dengan melekatkan suatu kriteria yang tegas mengenai pelanggaran kesepakatan sosial, atau hal-hal yang berkenanaan dengan mana demokrasi dijalankan.783 Meskipun demikian, di dalam praktik, Parlemen yang dikuasai oleh kekuatan politik mayoritas mampu menetapkan UU yang bertentangan 780 Torbjorn Vallinder, op.cit., hlm. 13. Tom Ginsburg, “The Global Spread of Constitutional Review”, dalam Keith E. Whittington, et.al., 2008, The Oxford Handbook of Law and Politics, Oxford, Oxford University Press, hlm. 81. 782 Lihat: Barry R. Weingast, “The Political Foundations of Democracy and the Rule of commit user Law”, American Political Science Review, Vol. 91,toNo. 2, 1997, hlm. 245. 783 Ibid. 781 222 perpustakaan.uns.ac.id 223 digilib.uns.ac.id dengan konstitusi. Dalam hal ini, CR bertujuan “to rectify such constitutional violation by the majority.”784 Penelitian mengenai CR di waktu yang lampau memusatkan perhatian pada Amerika Serikat, di mana sistem pemisahan kekuasaan menempatkan pengadilan sebagai aktor penting dalam proses politik. Di negara lain, analisis terhadap CR secara ketatanegaraan hanya sedikit, kecuali kajian ilmiah yang bersifat deskriptif.785 Hanya saja sejak 10 tahun yang lalu, proses politik CR telah menjadi kajian yang menarik di negara maju maupun negara demokrasi baru. B. Pengalaman di Sejumlah Negara 1. Transisi Demokrasi dan Mahkamah Konstitusi di Eropa Timur Hingga tahun 1989, Eropa Timur berarti negara yang terletak diantara Jerman Timur dan Uni Soviet yang dikendalikan oleh Partai Komunis. Ideologi tersebut juga menunjukkan referensi wilayah: Praha, sekarang ibukota Republik Ceko, disebut sebagai “Timur”, sementara Wina, sekalipun terletak di sebelah Timur Praha, disebut sebagai “Barat.” Dengan pengertian ini, maka wilayah Eropa Timur dan Tengah mencakup negara Jerman Timur, Polandia, Cekoslovakia, Hongaria, Yugoslavia, Rumania, Bulgaria, dan Albania. Sesudah tahun 1989, Jerman Timur bubar, Cekoslovakia terpecah menjadi 2 negara (Republik Ceko dan Slovakia), dan Yugoslavia terbelah menjadi 6 negara independen (Bosnia, Kroasia, Macedonia, Montengro, Serbia, dan Slovenia). Ada 6 negara yang kemudian muncul sesudah bubarnya Uni Soviet yatu Estonia, Latvia, Lithuania, Belarusia, Ukraina, dan Moldova. Pada tahun 1990-an, ada lebih dari 4 negara di kawasan ini yang kemudian menjadi anggota Uni Eropa (2003). Transisi demokrasi di Eropa Timur secara konseptual dapat dipahami apabila memahami bentuk-bentuk tranformasi yang telah terjadi sebelumnya. Bentuk transformasi ini mencakup: (i) classical transition, 784 785 commit to user Ibid. LIhat: C. Neal Tate dan Torbjorn Vallinder (Editor), loc.cit. 224 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id yaitu perluasan demokratisasi di negara kapitalis (1860-1920); (ii) neoclassical transition, yang merujuk kepada demokratisasi berbasis kapitalis setelah Perang Dunia II (Jerman Barat, Italia, dan Jepang pada tahun 1940an; Spanyol dan Portugal pada tahun 1970-an; beberapa negara Amerika Latin pada 1970-an dan 1980-an; Korea Selatan dan Korea Selatan pada tahun 1980-an); (iii) market-oriented reform, di negara-negara nonkomunis (Jerman Barat dan negara Barat lain setelah Perang Dunia II; Korea Selatan dan Taiwan pada tahun 1960-an; Chile pada tahun 1970-an; Turki dan Meksiko pada tahun 1980-an, dan Argentina pada 1990-an); dan (iv) post communist transition di Asia (China sejak 1970-an dan Vietnam sejak 1980-an).786 Transisi demokrasi di Eropa Timur di awali pada tahun 1989.787 Mengkaji terjadinya transisi demokrasi setelah komunisme berakhir, para ahli berpaling terhadap bentuk pemerintahan yang dihasilkan. Dengan melihat pengalaman di Amerika Latin dan Eropa Selatan, dalam versi gelombang ketiga demokratisasi model Huntington, dapat diasumsikan bahwa transisi di negara Eropa Timur berasal dari negosiasi yang menghasilkan pembagian kekuasaan diantara elit-elit politik. Akan tetapi tidak semua ahli menyetujui asumsi tersebut, seperti yang dikemukakan oleh McFaul. Menurut McFaul, “when we take into account those former Soviet block countries that have been less successful at democratization, and examine persistence of dictatorship as well as emergence of democracy, we see that it was the non-cooperative rather than negotiated transitions that were most effective.”788 Sementara itu untuk faktor 786 Leszek Balcerowicz, “Post-Communist Transition: Some Lesson”, London, Institute of Economic Affairs, hlm. 20. 787 Perlu diperhatikan bahwa di kawasan Eropa yang lain, transisi demokrasi telah berlangsung pada tahun 1945 sesudah Perang Dunia II. Pada saat itu muncul “a new wave of democratization” dari negara-negara yang sebelumnya mengalami fasisme menjadi demokrasi bebas karena pengaruh Amerika seperti Jerman dan Italia. Lihat: Pero Maldini, 2007, Transition in Central and Eastern European Countries: Expereinces and Future, Zagreb, Political Science Research Centre, hlm. 37. 788 Michael McFaul, “The Fourth Wave of Democracy and Dictatorship commit to World,” user World Politics, Vol. 54, 2002, hlm. Noncooperative Transitions in the Postcommunist 212. perpustakaan.uns.ac.id 225 digilib.uns.ac.id pengaruh eksternal, para pakar menekankan kesempatan politik untuk melakukan sikap oposisi karena semakin menyusutnya pegaruh Soviet terhadap negara-negara satelitnya saat Michael Gorbachev mulai berkuasa.789 Proses demokratisasi sejak 1989 ditandai dengan pembentukan partai politik yang meningkat tajam.790 Salah satu kasus yang begitu ekstrim adalah saat pemilu parlemen di Polandia (1991), di mana “the cote was devided among some thirty parties, non of which won more than 12 percent of the total vote.”791 Dampak dari pemilu dengan multipartai kemudian menghasilkan pemerintahan yang bercorak koalisi, yang kemudian mendorong ketidakstabilan peemerintah, yang dimulai sejak awal pemilu atau saat penunjukkan Perdana Menteri. Namun demikian, tidak ada satu partai pun yang mengklaim sebagai penerus partai komunis. Di beberapa negara, termasuk Polandia, Hongaria, dan Bulgaria, dalam pemilu yang kedua atau ketiga, bekas partai komunis kembali mengendalikan pemerintahan. Bahkan, di semua negara bekas komunis di Eropa, dengan pengecualian di Hongaria, partai nasionalis berkembang luas dan seringkali memperoleh kesempatan untuk berkuasa. Dalam kasus Krosia semasa kepresidenan Tudjman dan Slovakia dalam era Presiden Meciar, partai nasionalis memperoleh suara terbanyak. Untuk memahami perkembangan politik setelah 1989, para pakar merujuk kepada pengalaman gelombang kedua dan gelombang ketiga demokratisasi di wilayah yang lain. Meskipun demikian, puncak dari tantangan pascakomunis adalah keberlanjutan demokrasi, privatisasi, regionalisasi, dan globalisasi, yang hadir di Eropa Timur dan Tengah dengan persoalan-persoalan yang berbeda dengan transformasi ekonomi Adrian Hyde Price, “Democratization in Eastern Europe: The External Dimension”, dalam Geoffrey Pridham dan Tatu Vanhanen (Editors), Democratization in Eastern Europe: Domestic and International Perspectives, London, Routledge, hlm. 220. 790 Ibid., hlm. 254. 791 David Mason dan James Kluegel, “Introduction: Public Opinion and Political Change ini the Postcommuniest States”, dalam David Mason, James Kluegel dan Bernd Wegener commit to userPublis Opinion in Capitalist and Post (Editors), 1995,Social Justice and Political Change: Communist States, Hawthrone, Aldine de Gruyter, hlm. 5. 789 perpustakaan.uns.ac.id 226 digilib.uns.ac.id dan politik di Asia Timur, Amerika Latin, atau China.792 Tidak seperti di Asia Timur, yang mengalami demokratisasi sesudah terhubung dengan gejala ekonomi global, di kawasan ini transformasi politik seiring dengan liberalisasi ekonomi. Saat transisi ekonomi dan politik di Amerika Latin berjalan bersamaan, akan tetapi tidak melibatkan perubahan aturan-aturan kepemilikan, seperti terjadi di Eropa Timur.793 Transisi demokrasi di wilayah ini juga tidak dapat begitu saja disandingkan dengan China. Saat kalangan sosialis menciptakan komunalisme, tetapi di China tidak diikuti dengan demokratisasi atau privatisasi. Bahkan, kenyataan di banyak negara bekas komunis ini begitu antusias untuk bergabung dengan Uni Eropa, telah menambahkan gelaja spesifik transisi demokrasi di kawasan ini. Seperti ditulis oleh Zdenek Kuhn, “one of the most widespread problems in post-communist countries, at least as far as is reflected very frequently in popular complaints, is the quality of the judiciary.”794 Penundaan, keanehan, dan putusan-putusan yang mengejutkan dan menjunjung tinggi formalism seringkali terjadi. Beberapa penulis mengatakan bahwa dalam situasi pasca komunis ini hukum, para cendekiawan, dan pengadilan mengalami krisis yang luar biasa. 795 Milos Zeman, bekas Perdana Menteri Republik Ceko, dalam memornya menulis antara lain,”no lazier and more imcompetent band than the Czech judges, who take lost of money for doing nothing.”796 Ungkapan ini menunjukkan hal yang sangat jelas dari budaya pengadilan di negara pasca komunis Jeffrey S. Kopstein dan David A. Relly, “Geographic Diffusion and the Transformation of the Postcommunist Word”, Wolrd Politics, Vol. 53, 2000, hlm. 1-37. 793 Lihat kajian oleh Marcus Kurtz dan Andrew Barnes, “The Political Foundations of Post-Communist Regimes: Marketization, Agrarian Legacies, or International Influences”, Comparative Political Studies, Vol. 35, No. 5, 2002, hlm. 524-553. 794 Zdenek Kuhn, “The Democratization and Modernization of Post-Communist Judiciaries”, dalam Alberto Febbrajo dan Wojciech Sadurski, 2010, Central and Eastern Europe after Transition: Towards a New Socio-Legal Semantic, Surrey, Ashgate Publishing Limited, hlm. 177. 795 Misalnya diuraikan dalam Csaba Varga, 1995, Transition to Rule of Law: On the Democratic Tranformation of Hungary, Budapest, Hungarian Acadamy of Science, Institute for commit to user Legal Studies. 796 Csaba Varga loc.cit. 792 227 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id yaitu, pertama, superioritas dan perilaku buruk para politisi terhadap para hakim yang seringkali disertai ejekan terhadap putusan-putusannya. Kedua, ketidakpercayaan yang meluas dari publik terhadap para hakim. Deskripsi semacam itu harus dilekatkan dengan tata hukum di masa lalu. Jatuhnya komunisme menempatkan sistem hukum dan politik yang sosialis tidak berdaya dalam menghadapi perkembangan sistem sosial yang baru. Ketidaksiapan tadi dapat bersikap menyeluruh seperti di Cekoslovakia, Jerman Timur dan negara-negara Eropa Timur lainnya; atau akibat reformasi yang tidak menyeluruh seperti di Polandia dan Hongaria. Sekalipun terdapat pembahasan guna menginisiasi kebijakan yang sesuai dalam rangka pembenahan pasca komunisme tersebut, akan tetapi tidak pernah ada upaya sungguh-sungguh untuk mereformasi secara radikal sistem hukum tersebut. Sehubungan dengan hal ini legitimasi MK di negara-negara ini ditandai dengan kecaman dari 2 pihak yaitu Parlemen dan pengadilan umum. Watak Parlemen yang lemah (sehubungan dengan meluasnya sistem kepartaian) memberikan pembenaran terhadap pemberian wewenang MK untuk melakukan CR. Keberatan pihak pengadilan umum sehubungan dengan terpangkasnya wewenang badan ini untuk melakukan penilaian terhadap ketentuan UU, yang muncul akibat sistem CR yang bergaya desentralisasi. Padahal suatu kecenderungan yang umum di negara pascakomunis ini adalah penerimaan CR yang sentralistis dengan memperkenalkan model Eropa.797 Alasan yang sangat mendasar bagi penerimaan diam-diam bagi penerimaan MK di negara-negara Eropa Timur adalah fenomena transisi demokrasi. Lembaga-lembaga negara setelah jatuhnya rezim komunis menjadi lemah dan mengalami demoralisasi; terjadinya kevakuman politik, dan meluasnya ketidakpercayaan terhadap Parlemen, birokrasi, dan 797 Lihat identifikais keberatan ini dalam Louis Favoreau, “American and European Models of Constitutional Justice”, dalam David S. Clark (Editor), 1990, Comparative and Private commit toMarryman user International Law: Essays in Honor of John Henry on His Seventieth Birthday, Berlin, Duncker Humblot, hlm. 110. 228 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id pengadilan. Dalam keadaan demikian MK “could claim the virtues of being new, untainted by the totalitarian past, and promising to perform the role of a true vanguard in reconstructing the axiology of the legal system.”798 Konfigurasi politik di negara Eropa Timur dalam periode transisi ini ditandai dengan ambiguitas dan kontradiksi secara mendalam; tekanan antara keberlanjutan (sesuatu yang lazim dalam transisi demokrasi, apabila dibandingkan dengan revolusi) dan perubahan (yang membentuk format baru terhadap format lama, termasuk ketentuan konstitusi). Kondisi ini mendorong argumentasi untuk pembentukan suatu badan yang akan memperoleh “a high degree of social prestige, independence, and authority.”799 Suatu MK yang kuat nampaknya cocok untuk syarat-syarat tersebut. Di bawah rezim komunis, penolakan CR begitu kuat, yang secara resmi dianggap bertentangan dengan doktrin supremasi parlemen nasional. Di samping itu, gagasan CR berarti bertentangan dengan keinginan Partai Komunis untuk mengendalikan kehidupan politik secara menyeluruh. Seorang pakar hukum Polandia, Stefan Rozmaryn, pada masa Stalin pernah mengatakan bahwa gagasan CR merupakan ide reaksioner dan bukan ide progresif. Namun demikian, dalam masa transisi demokrasi, penetangan keras terhadap gagasan CR meredup dan untuk pertama kalinya ide ini diusulkan untuk mengendalikan supremasi parlemen. Perlu dicatat, bahwa sebelum tumbangnya rezim komunisme, di kawasa ini hanya ada 2 negara yang memiliki MK, yaitu Yugoslavia (1963) dan Polandia (1985). Praktik di Yugoslavia yang mengenal MK tanpa meninggalkan doktrin “negara kesatuan”, merupakan contoh CR yang tidak ditolak oleh sistem komuns. Dalam hal ini, MK Federal Yugoslavia berfungsi untuk “menjamin tujuan-tujuan institusi tetapi tidak didedikasikan untuk menjaga hak-hak individu dan relasi antarunit pengadilan dalam sistem federal.” Di Polandia normatifikasi MK telah 798 799 Ibid. Ibid. commit to user perpustakaan.uns.ac.id 229 digilib.uns.ac.id dicantumkan dalam perubahan UUD (1982), akan tetapi undang-undang yang mengatur lebih lanjut baru dibentuk pada tahun 1985 dan MK beroperasi setahun kemudian (1986). Jika ditelisik lebih jauh, tradisi pembentukan MK juga sudah dirintis, bahkan sebelum Perang Dunia II. Dalam masa sebelum Perang Dunia II, tradisi CR dilaksanakan di setiap negara Eropa, meskipun lemah dan sesungguhnya tidak benar-benar eksis. Di beberapa negara, sejauh menyangkut CR, banyak yang mengadopsi kembali konstitusi mereka di masa lalu. Salah satu negara yang telah mempunyai MK dalam format model Kelsen adalah Cekoslovakia dan didirikan pada 1920 dan mulai melaksanakan wewenang pada November 1921. Pengadilan ini hanya memiliki kekuasaan untuk pengujian abstrak. Menariknya, wewenang ini berdampingan dengan kekuasaan pengadilan umum untuk meninjau konstitusionalitas undang-undang yang mereka terapkan, yang secara keseluruhan sistem ini menunjukkan keberlakuan secara bersama-sama antara model Eropa dan model Amerika. Putusan MK jarang yang bersifat ekstrim. Sepanjang eksistensinya (1921-1939), di samping menguji beberapa produk Parlemen, pengadilan hanya memutus 2 perkara pengujian undang-undang (1938), sekalipun tidak pernah menuntaskan pemeriksaannya. Di Rumania, kekuasaan pengujian konkrit oleh pengadilan diakui sejak awal abad ke-20, sekalipun tidak ada ketegasan dalam Konstitusi 1866. Pengadilan Bucharest berhasil merumuskan wewenang ini dalam Burahrest Tram Company (1912). Konstitusi Rumania selama perang saudara (1923 dan 1938) mengadopsi prinsip-prinsip pengujian konkrit yang dilaksanakan oleh pengadilan kasasi dan MA. Akan tetapi, pengujian konstitusionalitas UU dalam kasus yang diperiksa hanyalah dalam bagian pertimbangan dan tidak merupakan suatu putusan tersendiri. Wewenang pengadilan ini tidak sering dilaksanakan akan tetapi telah memberikan pengaruh terhadap praktik pengadilan di luar Rumania. Mengambil praktik user Balamzov, saat mengajukan di Rumania ini, pakar commit hukumtoStefan perpustakaan.uns.ac.id 230 digilib.uns.ac.id rancangan UUD (1936) di Bulgaria mengusulkan MA yang melaksanakan pengujian model Amerika. Gagasan ini mengambi alih pakar hukum Stefan Kirov yang mengajukan ide serupa di awal abad ke-20. Warisan gagasan Balazov begitu berpengaruh, terutama setelah kejatuhan rezim komunis, di mana para pakar hukum kemudian secara sistematis mengambi alih pemikirannya, meskipun ketentuan konstitusi pada akhirnya mengadopsi model Eropa. Setelah transisi demokrasi pada tahun 1989, Hongaria menjadi negara pertama yan mengadopsi MK melalui amandemen Konstitusi pada November 1989 dan secara cepat diikuti pembentukan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya, Cekoslovakia membentuk MK melalui amandemen UUD pada akhir 1990 dan bulan Februari 1991 UU MK dapat dibentuk. Di Rusia UU MK dibentuk bahkan sebelum reformasi konstitusi (Juli 1991). Untuk pertama kali MK Rusia beroperasi pada Oktober 1991 dan menepis tudingan bahwa lembaga itu tidak akan mempunyai kewenangan substantif, di masa kepemimpinan Valery D. Zorkin (19911993), MK menjadi lembaga progresif yang memunculkan kontroversi politik. Di tahun 1991 itu juga, Albania membentuk MK (dengan UU) dan diikuti oleh Bulgaria dan Rumania (melalui perubahan UUD). Pada tahuntahun berikutnya, negara bekas komunis di Eropa Timur dan Tengah membentuk MK. Di beberapa negara pembentukan MK tersendat-sendat. Di Ukraina pembentukan MK melalui reformasi konstitusi warisan Soviet (Oktober 1990) dan UU MK baru terbentuk pada Juni 1992. Leonid Yuzkhov telah ditunjuk menjadi Ketua MK, akan tetapi Komisi Yudisial gagal mengusulkan hakim konstitusi yang diperlukan dan baru pada Oktober 1996, saat dibentuk UU baru, MK mulai melaksanakan tugasnya. Di Latvia, perdebatan mengenai pembentukan MK berjalan selama bertahun-tahun sampai ada kesepakatan perubahan UUD pada Juni 1996 dan dengan pembentukan UU MK di tahun itu, maka barulah pada commit to user Desember 1996 mulai melaksanakan wewenangnya. 231 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Keunikan juga terjadi dalam pembentukan MK di Boznia & Herzegovina, di mana MK dibentuk dengan Konstitusi 1995 (yang merupakan bagian dari Kesepakatan Dayton untuk menghentikan perang di kawasan ini pada 1990-1993). Pembentukan MK tidak lazim, mencampuradukkan antara pengadilan “lokal dan internasional.” Sebanyak 6 hakim berasal dari Bosnia & Herzegovina (4 dipilih oleh DPR Federal dan 2 dipilih oleh Majelis Nasional) dan 3 hakim berasal dari luar negara tersebut, dengan ketentuan tidak boleh warganegara Bosnia & Herzegovina atau negara sekitarnya, dan diajukan oleh Ketua Pengadilan HAM Eropa setelah berkonsultasi dengan Presiden Bosnia & Herzegovina. Di Belarusia, MK dibentuk melalui Konstitusi 1994 dan mulai November 1996, telah membatalkan hampir 20 keputusan Presiden Lukashenko. Melalui amandemen Konstitusi, MK berubah menjadi lembaga yang tidak berdaya. Jika sebelumnya seluruh hakim ditunjuk dengan persetujuan Parlemen, mulai tahun 1996 ketentuan itu diubah menjadi 6 hakim dicalonkan oleh Presiden dan 6 hakim yang lain harus disetujui Senat. Pada praktiknya, seluruh hakim, baik langsung maupun tidak langsung, dicalonkan oleh Presiden. Selanjutnya, ketentuan baru membatasi bahwa hanya Presiden yang berwenang mengajukan pengujian UU. Presiden juga berwenang untuk memecat hakim dan wewenang untuk menyatakan tindakan Presiden melanggar konstitusi juga dihapus. Dengan demikian, MK Belarusia berubah menjadi lembaga palsu, yang menunjukkan keburukkan praktik demokrasi dan rule of law di negara itu. Sekalipun terdapat variasi mengenai postur dan kewenangan MK, namun dapat ditarik gambaran umum mengenai pengadilan konstitusi di Eropa Timur dan Tengah ini. Model MK mencerminkan sifat CR secara terpusat (centralized), dilaksanakan oleh sebuah pengadilan yang terdiri atas para hakim yang ditentukan masa jabatannya oleh cabang pemerintahan yang lain. Pelaksanaan CR berbasis kepada pengujian commit to user perpustakaan.uns.ac.id 232 digilib.uns.ac.id abstrak, berisfat “ex-post’, dan putusannya bersifat final dan mengikat terhadap pengujian konstitusionalitas UU atau peraturan yang lain. Pelaksanaan CR diselenggarakan oleh suatu badan pengadilan yang bersifat khusus, dibentuk di luar sistem pengadilan pada umumnya dan seringkali diatur dalam ketentuan konstitusi sebagai peraturan yang terpisah dari bab tentang kekuasaan kehakiman. Model pengaturan ini dijumpai dalam Konstitusi Rumania, Hongaria, Lithuania, Bulgaria, dan Ukraina. Sementara itu dalam konstitusi Slovakia, Republik Ceko, Rusia, dan Polandia, MK diatur berdampingan dengan sistem kekuasaan kehakiman yang lain. Nama MK adalah istilah yang dipakai secara umum, kecuali Estonia yang menggunakan istilah “Chamber of Constitutional Review” dan secara struktural menjadi bagian dari Mahkamah Agung. Tetapi fungsi badan di Estonia ini serupa dengan lazimnya MK di negaranegara lain. Para hakim ditunjuk untuk masa jabatan tertentu dan pada umumnya menjabat selama 9 tahun. Namun demikian di ada negara yang mengatur secara berbeda seperti Moldova (6 tahun), Kroasia (8 tahun), dan Republik Ceko (10 tahun). Dengan sejumlah pengecualian, posisi para hakim umumnya diisi oleh pakar hukum (khususnya pengajar hukum tata negara) atau hakim senior di lingkungan pengadilan yang lain. Sifat rekrtuemen adalah politik, sekalipun “kemampuan tinggi untuk menguasai persoalan hukum” menjadi salah satu diantara kriteria-kriteria untuk menentukan. Di kebanyakan MK di Eropa Timur dan Tengah, hakim konstitusi dicalonkan dalam suatu proises yang mensyaratkan dukungan legislatif dan eksekutif (antara lain Rumania, Albania, Republik Ceko, Slovakia, dan Rusia). Di negara lain, badan pengadilan tertinggi dilibatkan (Bulgaria, Lthuania, dan Ukraina). Di Hongaria dan Polandia, pencalonan hakim konstitusi hanya melibatkan Parlemen. Fungsi yang paling penting dari MK adalah melaksanakan CR. Pengujian itu sendiri bersifat abstrak, sekalipun di beberapa negara commit to user pengujian secara konkrit yang diberikan wewenang untuk melaksanakan 233 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id diajukan berdasarkan permintaa pengadilan lainnya dan beberapa diantaranya berwenang untuk melaksanakan constitutional complaint (Hongaria, Polandia, Slovenia, dan sebagainya). Untuk pengujian abstrak, lembaga yang menjadi pihak aalah Presiden atau sekelompok anggota Parlemen. Yang dapat dimohonkan pengujian adalah UU, kecuali di Rumania yang mengizinkan permohonan pengujian RUU. Di Hongaria, MK diberi wewenang untuk memberikan pendapat hukum atas rancangan UU sebelum dilakukan pemungutan suara di Parlemen. Semua MK di kawasan Eropa Timur dan Tengah mengatur bahwa semua putusan CR bersifat final dan mengikat, kecuali di Rumania. Di Rumania, putusan CR dapat dinilai oleh 2/3 anggota Parlemen dari 2 kamar. Di Polandia, sampai dengan pemberlakuan Konstitusi 1997, dijumpai juga mekanisme serupa. Uraian selanjutnya akan mendeskripsikan transisi politik di negara Eropa Timur. Deskripsi itu diikuti dengan pembahasan historiagrafi MK di negara yang bersangkutan dan kemudian diuraikan bagaimanakah kinerja MK dalam masa transisi demokrasi. a. Kasus Polandia (1) Desain Transisi Demokrasi: Politik dan Perubahan Konstitusi Kekalahan Polandia dalam Perang Dunia II menyebabkan negara di bawah pengaruh Uni Soviet termasuk sistem konstitusi, ekonomi, dan politik.800 Konstitusi 1952 (disahkan Juli 1952) yang 800 Polandia terlibat baik dalam Pertama dan Perang Dunia Kedua. Ketika Perang Dunia I dimulai pada Juli 1914 itu adalah masa penuh harapan bagi Polandia karena Rusia, Jerman dan Austria, tiga kekuatan yang membagi dan menduduki wilayah Polandia pada tahun 1795, berada di sisi yang berlawanan. Polandia menunggu untuk saat itu dan ketika perang dimulai mereka percaya waktu kebebasan dan kemerdekaan dekat. Sebagai warga Rusia, Jerman dan Austria, prajurit Polandia prajurit harus berjuang dengan diri sendiri selama Perang Dunia Pertama dan hal itu merupakan tragedi besar. Perang Dunia II dimulai pada tanggal 1 September 1940 di Polandia. Wieluń, sebuah kota kecil, yang dibatasi oleh sungai Westerplatte dekat Gdańsk adalah tempat yang pertama diserang oleh tentara Jerman. Pihak Jerman memiliki lebih banyak tentara dan senjata terutama tank dan pesawat dibandingkan Polandia, tetapi tentara Polandia, pekerja kantor pos di Gdańsk dan bahkan orang-orang muda (pramuka di Katowice) bertempur dengan gagah berani. Pada tanggal 3 September Inggris dan Perancis menyatakan perang terhadap Jerman, tetapi tidak ada tentara Inggris atau Perancis yang mulai pertempuran. Polandia harus berjuang tanpa dukungan. Terlebih lagi, pada 17 September tentara Soviet menginvasi bagian timur Polandiacommitdan to user seperti pada 23 Agustus 1939 Uni Soviet Jerman menandatangani perjanjian tentang persahabatan dan kerjasama (Molotov-Ribbentrop Pact). Presiden Polandia dan pemerintah 234 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id berhasil disusun kemudian—yang diberi sebutan “the Communist Constitution—sudah jauh dari akar tradisi asli tata hukum Polandia.801 Dengan demikian politik atau, dalam beberapa hal, konstitusi tersebut memperlihatkan ketimpangan otoritas. Konstitusi 1952 dianggap hanya menerjemahkan begitu saja ketentuan Konstitusi Uni Soviet 1936.802 Dengan sistem konstitusi yang demikian, di Polandia tidak ada hukum tata negara, tetapi hukum kebijakan. Sejak saat itu kemudian sendi-sendi kehidupan bernegara ditentukan oleh Partai Komunis yang disebut Polish United Workers Party (PZPR) yang selalu berkonsultasi dengan “saudaranya” di Moskow. Selanjutnya, Konstitusi 1952 diubah pada tahun 1976 untuk melakukan formalisasi terhadap monopoli kekuasaan partai komunis dalam rangka mencapai tujuan negara sosialis. Perubahan konstitusi ini memicu perlawanan kalangan oposisi yang semakin besar dan 3 tahun berikutnya terhimpun dalam suatu aliansi nasional yang meninggalkan negara itu. Pasukan Polandia terus bertarung dengan tentara Jerman Nazi sebelum hari pertama bulan Oktober. Setelah lama menghadapi perlawanan Polandia Jerman harus menunda operasi perang di barat. Lihat: http://www.gimksawerow.nazwa.pl/COMENIUS/Poland1.pdf, diakses di Surakarta, 21 Juni 2013. 801 Tradisi hukum ketatanegaraan Polandia diawali dengan penetapan Konstitusi 1791 pada 3 Mei 1791, yang dewasa ini diperingati sebagai “constitutional day.” Konstitusi ini dianggap sebagai cikal bakal pertumbuhan konstitusionalisme Polandia. Lihat: Daniel H. Cole, “Poland’s 1997 Constitution in Its Historical Context”, 22 September 1998, diunduh dari https://mckinneylaw.iu.edu/instructors/cole/web%20page/polconst.pdf, diakses di Surakarta, 21 Juni 2013. 802 Secara formal, penyusunan Konstitusi dilakukan oleh Komisi Konstitusi Parlemen, yang ditetapkan oleh undang-undang 26 Mei 1951, yang anggotanya, selain dari politisi Parlemen, termasuk "Wakil-wakil terkemuka dari kalangan ilmu pengetahuan, budaya dan seni". Tugas Komisi ini termasuk menyiapkan rancangan konstitusi dan melaksanakan diskusi nasional tentang hal itu, pengumpulan dan pengolahan setiap gerakan, koreksi dan komentar yang disarankan oleh warga dan kemudian menyerahkan kepada Parlemen. Pada kenyataannya, Komisi Konstitusi hanya mengadakan 4 pertemuan, dalam "debat" yang merupakan bentuk lainkampanye propaganda besar dan Konstitusi itu telah disusun oleh partai di tahun 1949-1951. Konstitusi ini tetap salinan hukum dasar yang ditulis sendiri oleh Joseph Stalin. Tentu saja, Komisi Konstitusi menerima hasil kerja tersebut. Pasca-perang "debat konstitusi" Polandia ditandai dengan karakter lembaga-lembaga demokratis, yang khas untuk sistem komunis, dan distorsi esensi mereka dengan dominasi partai komunis. Lihat: Ewa Poplawska, “Constitution Making in Poland: Some Reflection Populair Involment”, diunduh dari http://www.pravst.hr/dokumenti/zbornik/200888/zb200802_279.pdf, diakses di Surakarta, pada 21 commit to user Juni 2013. 235 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id dikenal sebagai Solidaritas, yang berambisi untuk mengguling PZPR dari kekuasaan. Ironisnya, Konstitusi 1976 tidak mengizinkan keberadaan Solidaritas. Dalam perkembangannya, Konstitusi 1976 diamandemen lagi pada 1982. Perubahan ini memperkenalkan 2 lembaga negara baru yaitu, pertama, MK (Constitutional Tribunal) untuk melakukan CR. Kedua, Pengadilan Negara (Tribunal State), sebuah badan peradilan semu dalam rangka memeriksa penyelenggara negara yang dituduh melakukan kejahatan. Kedua lembaga yang baru dibentuk itu selanjutnya memberikan sumbangan signifikan bagi perkembangan hukum di Polandia. Perpecahan kalangan komunisme mulai terjadi pada 1 Januari 1989 saat diberlakukan UU Aktivitas Ekonomi. Dengan berlakunya aturan ini, maka telah diakhiri percobaan sistem sosialisme di Polandia yang membebaskan banyak sektor ekonomi dari kontrol negara. Menyikapi dinamika politik itu, pada tanggal 6 Februari 1989 dan 5 April 1989, suatu rencana sistematis untuk tranfsormasi politik telah disepakati melalui negosiasi The Round Table antara perwakilan Partai Komunis dengan kalangan oposisi. Sebanyak 452 orang menjadi peserta negosiasi ini. Pembahasan dalam negosiasi itu dibagi ke dalam 3 kelompok kerja yaitu kelompok ekonomi dan kebijakan sosial (dipimpin oleh Wladyslaw Baka dan Witold Trzeciakowski), kelompok reformasi politik (dipimpin oleh Janusz Reykowski dan Bronislaw Geremek) dan kelompok pluralisme serikat dagang (dipimpin oleh Tadeusz Mazowiecki dan Romuald Sosnowski). Hasil pembicaraan negosiasi itu meliputi pembentukan Majelis Tinggi Parlemen (Senat), pembaruan komposisi DPR (Sejm, di mana 65% kursi diperuntukkan bagi partai yang berkuasa dan 35% untuk kalangan independen), jabatan Presiden untuk 6 tahun dan dipilih oleh kedua commit to user kamar Parlemen, perubahan UU berserikat, yang memungkinkan 236 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id registrasi bagi Solidaritas, dan akses ke media bagi oposisi. Negosiasi itu menjadi permulaan demokratisasi secara damai dengan menghindarkan pertumpahan darah seperti revolusi di Rumania dan eksekusi terhadap Presiden Nicolae Ceaisescu. Hal ini menghentikan monopoli rezim yang berkuasa dengan tranformasi yang sistematis dan menekan ongkos sosial. Rezim yang berkuasa setuju bernegosiasi dengan Solidaritas setelah bermusuhan dalam jangka waktu yang lama. Pengaruh faktor eksternal, dalam hal ini situasi di Uni Soviet tentu saja berperan dalam keputusan tersebut. Sebagai salah satu implikasi dari hasil negosiasi tersebut adalah pelaksanaan pemilu pada Juli 1989 yang secara langsung mengakhiri pemerintahan partai komunis. Kemenangan dalam pemilu tersebut menghantarkan Solidaritas menguasai 35% kursi DPR dan seluruh kursi Senat mempertinggi legitimasi peran kalangan oposisi. Inilah untuk pertama kalinya kalangan partai nonkomunis berperan dalam pemerintahan sepanjang 50 tahun terakhir. Situasi tersebut memungkinkan Solidaritas memimpin transisi kekuasaan ke dalam kekuatan politik demokratiik. Partai komunis setuju untuk menyerahkan pemerintahan kepada kalangan nonkumnis, yang dipimpin oleh Perdana Menteri Tadeusz Mazowiecki, sementara jabatan Presiden tetap mereka pertahankan. Posisi Presiden kemudian mengalami kemunduran legitimasi karena Jenderal Wojciech Jaruzelski dipilih oleh Parlemen dan bukan oleh rakyat secara langsung. Dalam perkembangan yang sama, partai komunis membubarkan diri. Dengan kejatuhan komunisme pada tahun 1989, banyak pandangan yang menghendaki agar Polandia mempunyai Konstitusi baru. Akan tetapi amat sulit untuk dicapai kesepakatan terkait dengan struktur pemerintahan atau perumusan hak asasi di to user Terdapat juga perbedaan yang dalam konstitusi commit baru tersebut. 237 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id meluas mengenai bagaimana merumuskan dan meratifikasi konstitusi tersebut. Selama konfigurasi politik pasca komunisme yang berlangsung hampir 8 tahun, 3 periode parlemen dan 2 periode pemerintahan gagal mencapai kesepakatan konstitusi baru tersebut. Parlemen sendiri dikuasai oleh mayoritas 6 partai politik dan secara keseluruhan terdapat 38 partai yang memperoleh kursi dalam jumlah yang berbeda-beda. Dari tahun 1989, sudah 3 kali dilakukan perubahan kecil dalam ketentuan Konstitusi 1952 (April dan Desember 1989 dan tahun 1992). Perubahan pada bulan April mewadahi sistem pemilu dengan keragaman partai politik dan menandai berakhirnya otoritarianisme di Polandia. Akan tetapi perubahan tersebut tidak menghapus partai komunis dan mereka masih terlibat dalam perubahan itu karena menguasai mayoritas kursi DPR. Perubahan pada April 1989, menekankan peran Presiden dalam sistem wewenang konstitusi Presiden Polandia. Jaruzelski, telah Dengan terjadi bertambahnya perimbangan kekuasaan terhadap dominasi partai di DPR. Dalam pandangan partai komunis, walaupun kehilangan pengaruh di Parlemen, akan tetapi mereka masih mengendalikan kekuasaan Presiden. Perubahan kali ini juga mempertegas independensi pengadilan dan para hakim MA ditentukan menjabat seumur hidup. Pengadilan negara bagian dipisahkan dari isntitusi penuntut umum. Konfigurasi politik mulai berubah tajam di bulan Desember 1989. Perdana Menteri dipegang oleh Solidaritas, sementara Presiden Jaruzelski, sekalipun masih resmi menjabat, namun merupakan sosok nonpartai. Perubahan Konstitusi 1952 di bulan April sudah dianggap using. Diperlukan konstitusi baru untuk menampung realitas politik yang ada. Perubahan Konstitusi 1952 pada Desember 1989 menghapus sebutan resmi negara to user Yang paling penting, Pasal “Republik Rakyatcommit Polandia.” 238 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id menegaskan prinsip negara hukum dengan menyatakan bahwa Polandia merupakan sebuah negara demokrasi yang berdasarkan hukum yang melaksanakan prinsip-prinsip keadilan sosial. Sehingga, sampai akhir 1989, Polandia tidak lagi merupakan negara komunis. Format konstitusi makin mencerminkan demokrasi Barat dibandingkan tradisi Uni Soviet. Untuk mempertajam keinginan menghapus partai komunis, pada September 1990, jabatan Presiden diperkuat dan untuk pertama kali akan dipilih secara langsung. Ketentuan baru ini memberikan Presiden legitimasi independen dan otonom di hadapan DPR. Sesudah terpilihnya pemimpin Solidaritas Lech Walesa sebagai Presiden pada 1991. Namun sejak itu, terjadi perselisihan politik terus menerus antara Presiden dengan DPR. Lech Walesa menafsirkan ketentuan konstitusi telah memperluas wewenangnya, sementara DPR menafsirkannya secara konservatif guna meyakinkan supremasi parlemen. Sudah 2 pemerintahan yang silih berganti, yaitu Perdana Menteri Jan Krzysztof Bielecki dan Jan Olszewski. Pada masa pemerintahan Perdana Menteri Olszwski terjadi krisis konstitusional karena adanya persilihan mengenai wewenang Presiden dalam merumuskan kebijakan pertahanan. Sebanyak 65% suara dalam jajak pendapat menganggap hal itu sebagai “political chaos.” Suatu perubahan konstitusi diperlukan guna menyeimbangkan kekuasaan pemerintah, parlemen, dan Presiden. Pada tahun 1992, DPR membentuk Komisi Konstitusi untuk merumuskan perubahan UUD. Suatu rancangan konstitusi dihasilkan pada tahun itu, yang dikenal sebagai “the Small Constitution.” Dalam rancangan ini menunjukkan upaya untuk “a compromise between presidential and parliamentary system of government.” commit to user 239 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Pemilu Parlemen dilaksanakan pada 1993 dengan ketentuan bahwa hanya partai yang mampu menembus ambang batas (parliamentary threshold) sebesar 5% yang diperbolehkan menempatkan wakilnya di Parlemen. Oleh sebab itu, hanya 6 partai yang mampu menempatkan wakil rakyat sehingga mencegah fragmentasi Parlemen dan kinerjanya diharapkan semakin efektif. Pada 16 Januari 1997, Parlemen menyetujui konstitusi baru dengan 45 suara setuju dan 2 menolak, serta 1 abstain. Majelis Nasional menyetujui pada 2 April 1997 dengan persetujuan 451 suara, penolakan 41 suara, dan 6 abstain. Dalam referendum yang diselenggarakan pada 25 April 1997,sebanyak 52,7% pemilih menyetujui konstitusi baru. Presiden Alexander Kwasniewski (yang mengalahkan Lech Walesa pada pemilu presiden 1995) menandatangani konstitusi ini pada 16 Juli 1997 dan menyatakan keberlakuan mulai 17 Oktober 1997. (2) Kinerja Mahkamah Konstitusi Mekanisme CR tidak pernah dikenal dalam sejarah konstitusi Polandia sebelum Perang Dunia II dan pada hakekatnya tidak ada perkembangan mekanisme itu di bawah dominasi Uni Soviet. Oleh sebab itu, saat transformasi dimulai (1980), Polandia tidak mempunyai tradisi CR sebagai rujukan. Gagasan membentuk MK dilaksanakan setelah aksi Solidaritas (1981) dan sesudah pemberlakuan hukum darurat, perubahan Konstitusi 1952 pada tahun 1982 kemudian membentuk lembaga baru, antara lain Konstitusi. Selanjutnya UU MK dibentuk pada 29 April 1985 dan sejak November 1985 untuk pertama kali hakim konstitusi dilantik dan mulai bekerja pada November 1986. Ini penulis sebut sebagai Fase Pertama MK Polandia. Pembentukan MK pada masa ini mencerminkan produk kompromi dan berbeda dengan model MK di Eropa Barat. Pembatasan yang paling penting sehubungan dengan putusan MK, di mana putusan MK masih dinilai commit to dan userputusan tadi dapat ditolak dengan berdasarkan pertimbangan DPR 240 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id dukungan 2/3 suara DPR. Dalam tahun-tahun pertama kinerja MK kasus-kasu yang menarik sehubungan dengan peraturan perundangundangan dan tindakan eksekutif, secara jelas membatasi kebebasan legislatif di hadapan eksekutif.803 Persoalan politik tidak begitu mengemuka saat itu, mengingat hanya sedikit aktor yang telah mengajukan permohonan ke MK. Pada tahun 1986-1989, terdapat 75 perkara dengan rincian sebagai berikut: (i) 6 perkara menyangkut CR; (ii) 48 perkara menyangkut pengujian peraturan perundang-undangan; dan (iii) 3 perkara menyangkut pendapat hukum atas keputusan pengadilan administrasi. Perubahan substantif terjadi pada tahun 1989. Dalam masa ini UU MK 1985 diubah guna menghapus pembatasan terhadap wewenang MK. Namun, ketentuan ini tidak berjalan efektif hingga tahun 1997, karena DPR bertahan dalam wewenang mereka untuk menguji putusan MK. Fase ini penulis sebut sebagai Fase Kedua MK Polandia. Dalam fase ini putusan MK mencerminkan prinsip dan tujuan pemisahan kekuasaan, mendefinisikan relasi diantara badan legislatif, eksekutif, dan pengadilan tata usaha negara pada umumnya. Pada perkara khusus, juga memuat larangan untuk saling mencampuri diantara cabang-cabang kekuasaan yang ada.804 Suatu elemen dasar dari pemisahan kekuasaan adalah independensi pengadilan dan hakim.805 Putusan yang lain mengenai hubungan Presiden dan cabang kekuasaan negara yang lain806, matapelajaran agama di sekolah807, aborsi808, lustrasi809, dan status media elektronik.810 Kebanyakan L. Garlicki, “Constitutional and Administrative Court as Custodians of the State Constitutions: Experience of East European Countries”, Tulane Law Review, Vol. 61, 1987, hlm. 1285. 804 Putusan No. 6 Tahun 1994. 805 Putusan No. 11 Tahun 1993, Putusan No. 6 Tahun 1994, Putusan No. 13 Tahun 1994, dan Putusan No. 1 Tahun 1995. 806 Putusan No. 10 Tahun 1992, Putusan No. 5 Tahun 1993, 807 commit toNo. user Putusan No, 11 Tahun 1990, Putusan 12 Tahun 1992. 808 Putusan No. 8 Tahun 1990, Putusan No. 26 Tahun 1996. 803 241 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id putusan tersebut mempunya efek besar fiskal, sosial, dan ekonomi. Sebagai contoh, putusan yang berimplikasi terhadap keuangan dan kemudian merubaha kebijakan adalah putusan MK terkait dengan pelaksanaan anggaran negara.811 Tidak ada keraguan, dalam fase kedua ini, MK berpartisipasi penting dalam proses pemerintahan. Semua putusan MK membawa pesan yang seragam: semua badan harus menyesuaikan dengan kosntitusi yang baru. Setelah pemberlakuan Konstitusi 1997, yang penulis sebagai sebagai Fase Ketiga MK Polandia, tidak ada keragu-raguan mengenai posisi MK sebagai lembaga pengadilan yang bebas dan terpisah. Tidak ada lagi ketentuan yang mencoba membatasi fungsi MK. Sekalipun pada diskusi di Parlemen muncul kekhawatiran menguatnya MK, pada akhirnya pengaturan bersifat positif bagi pengadilan, yang mengikuti standar peradilan Eropa. Dalam fase yang ketiga ini, perubahan penting yang terjadi adalah penghapusan wewenang DPR untuk mengesampingkan putusan MK serta pemberlakukan ketentuan “constitutional complaint” dan wewenang baru untuk menguji perjanjian internasional. Sekalipun demikian, ketentuan baru itu tidak mendorong terjadi perubahan revolusioner bagi MK. Pelaksanaan fungsi MK mengambil dasar praktik di tahun 1990-an, sehingga putusan setelah 1997 banyak yang merujuk kepada putusan sebelumnya sehingga terdapat kontinuitas. b. Kasus Slovenia (1) Desain Transisi Politik Lepasnya Slovenia dari federasi dipicu oleh kegagalan transisi di Yugoslavia. Reformasi ekonomi di tingkat federal dimulai sejak 1950 dan menghasilkan 4 sistem ekonomi yang diimplementasikan 809 Lustrasi adalah kebijakan yang melarang semua pejabat semasa rezim komunis untuk berpartisipasi dalam pemerintahan di rezim baru demokratis. Lihat Putusan No. 6 Tahun 1992. 810 Putusan No. 3 Tahun 1994. 811 commit to ini user Putusan No. 14 Tahun 1991. Putusan melarang pemberlakuan surut sistem dana pensiun dan tingkat upah menurut tingkat inflasi. 242 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id secara berbeda yaitu pemerintahan sosialisme (1954-1952), pemerintahan pasar sosialisme (1953-1962), sosialisme pasar (19631973), dan sosialisme kontraktual (1974-1988). Sistem yang terakhi ini menolak pasar sebagai basar alokasi sumber daya dan memanfaatkan pengaturan tidak langsung terhadap aktivitas ekonomi. Kegagalan sistem sosialisme kontraktual setelah kematian Presiden Josip Broz Tito (1980), meningkatnya harga minyak, dan pengetatan pasar keuangan global, di awal tahun 1980-an, menciptakan krissi ekonomi, sosial, dan politik yang dalam di Yugoslavia. Untuk pertama kali pemerintah federal gagal menciptakan keputusan-keputusan yang efektif untuk mengendalikan situasi. Usaha reformasi ekonomi yang diputuskan pada 1982 menemukan jalan buntu. Ekonomi memburuk dan tingkat pertumbuhan rendah, sementara inflasi dan pengangguran bertambah dan anggaran mengalami defisit. Pada bulan Mei 1988, Perdana Menteri Branko Mikulic memperkenalkan program stabilisasi ekonomi yang meliberalisasi tingkat harga, impor, dan pasar modal sekaligus membaatsi kebijakan fiskal dan moneter serta mengontrol upah. Kebijakan itu segera menunjukkan ketidakmampuan pemerintah dalam menjalankan disiplin fiskal dan moneter. Pada bulan Oktober, kebijakan upaha memicu reaksi sosial. Pemerintah mengundurkan diri dan digantikan oleh Ante Markovis, yang dengan tidak sabar melanjutkan usaha reformasi ekonomi dan meluncurkan program stabilisasi baru. Masih di tahun 1988, saat pemikir ideologis dan pakar ekonomi berspekulasi untuk mengubah sistem sosialisme, pemerintahan Mikulic menyatakan tidak mampu untuk mengatasi masalah ekonomi jika bertahan dengan sistem yang ada dan membentuk suatu komisi untuk mengkaji sistem reformasi. Bertentangan dengan harapan yang muncul, usulan Mikulic begit commit to user radikal, dan secara teoritis membingungkan dan tidak konsisten. 243 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Usulan ini menjanjikan kepemilikan bersama alat produksi merupakan jantung dari permasalahan ekonomi sehingga larangan kepemilikan individu akan dihapus. Relasi buruh dan pelaku usaha dijanjikan diubah dan pembagian keuntungan didasarkan atas saham. Sekalipun mengakui kepemilikan pribadi, komisi ini juga mengusulkan supaya kepemilikan bersama dipertahankan di atas kepentingan pribadi. Kebijakan reformasi ekonomi kemudian ditetapkan pada Oktober 1988 dan diadakan perubahan UUD beberapa bulan kemudian. Pengaturan yang sistematik hubungan buruh dan pelaku usaha dityetapkan pada 1988 dan 1989, yang jauh lebih radikal dibandingkan usulan komisi. Ketentuan UU Penanaman Modal Asing dan UU Perseroan diumungkan pada akhir Desember 1988. Ketentuan UU Modal Sosial (1989_ memungkinkan serikat kerja untuk menjual perusahaan kepada swasta. Hingga paruh pertama tahun 1990, reformasi ekonomi nampaknya berhasil. Akan tetapi suatu kesalahan fatal dibuat sebelum Desember, saat pemerintah memacu alokasi anggaran untuk sektor pertanian melalui kredit selektif dan diberikannya pendapatan ganda bagi pegawai federal. Pada pertengahan 1990, program ditinggalkan kecuali nilai tukar mata uang. Belanja publik dan swasta meningkat tajam tetapi aktivitas ekonomi anjlok. Usaha reformasi ekonomi bersamaan dengan percobaan perubahan politik. Liberalisasi partai politik ditetapkan 1989 dan dipersiapkan pelaksanaan pemilu yang bebas. Pelaksanaan pemilu di bulan Mei 1990 kemudian memecah belah negara; munculnya pemerintahan nasional secara yang didorong oleh kebencian terhadap federal dan mendorong Kroasia dan Serbia mempercepat pemisahan diri. Segala upaya pemerintah untuk melakukan kebijakan ekonomi dan pembangunan politik digagalkan. Fungsi negara kemudian berantakan: pajak tidak dipungut, pemalsuan uang merajalela, dan commit“barang to user impor” oleh negara bagian. Pada tugas-tugas khusus dianggap 244 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id pertengahan musim gugur 1990, Yugoslavia sebagai negara kemudian bubar. Meskipun demikian, sekalipun terjadi kegagalan sistemik di tingkat federal, negara bagian memperoleh banyak keuntungan untuk mencapai transisi ekonomi dan politik. Syarat untuk transisi seperti desentralisasi, liberalisasi harga, keterbukaan global, dan diversifikasi kepemilikan, secara minimal berkesesuaian dengan kegagalan ideologi sosialisme dan federasi. Sejak tahun 1945, Slovenia menjadi negara bagian Republik Federasi Yugoslavia. Selama bergabung dengan Yugoslavia, Slovenia merupakan negara yang paling “liberal” dalam sistem sosialisme tersebut. “Liberal” di sini dihubungkan dengan sistem komunisme: larangan kemajemukan politik dikompensasikan dengan sistem “check and balances” yang aneh dibandingkan dengan negara bagian yang lain. Sebagai wilayah yang paling menguntungkan di kawasan utara secara ekonomi, Slovenia dan Kroasia (dan dalam waktu singkat juga Serbia), merupakan negara yang paling tidak berhasil dalam mendorong liberalisasi politik di tingkat federal. Pada pertengahan 1980-an, Partai Komunis Slovenia menyadari pentingnya menghadapi tantangan globalisasi lebih cepat dibandingkan partai komunis di belahan dunia lainnya, yaitu sejak tahun 1960-an dan 1970-an, dengan pemimpin yang terkemuka adalah Stane Kavic.812 Malangnya, karena memperoleh tentangan dari lawan partai, maka perubahan yang dilaksanakan begitu pelan dan datang terlambat. Akan tetapi terbentuknya Masyarakat Ekonomi Eropa (cikal bakal Uni Eropa) menawarkan kesempatan baru untuk perkembangan lebih lanjut. Di kalangan intelektual Slovenia, seperti Dimitrij Rupel, yang kelak menjadi menteri luar negeri, mengatakan bahwa Eropa baru tidaklah seperti kerajaan Austro Hongaria, Uni Soviet, dan Federasi Yugoslavia. Eropa lebih merupakan kumpulan negara bangsa dan user Path: Democratic Transition and Rudolf Martin Rizman,commit 2006, to Uncertain Consolidation in Slovenia, Texas, Texas A&M University Press, hlm. 39. 812 245 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id bukan pemerintah yang didominasi oleh kalangan mayortias, seperti di Yugoslavia. Untuk mencapai posisi ini, Slovenia meyakini bahwa hanya perubahan signifikan di Beograd yang mampu mendorong ke arah itu. Slovenia sebelumnya menyerahkan kedaulatan terbatas kepada Beograd, dan karena Beograd dan Serbia tidak tertarik bergabung ke Uni Eropa, Slovenia kemudian menyatakan kemerdekaannya. Transisi demokrasi di Slovenia sebenarnya dimulai pada pemilu di tahun 1990. Pada awalnya, partai komunis menyampaikan bahwa pemerintah akan menerima apapun hasil pemilu dan menyerahkan kekuasaan. Hasil pemilu sendiri menunjukkan kemenangan kelompok antikomunis sebesar 55% yang tergabung dalam koalisi “Demos” (meliputi Partai Uni Demokrasi Slovenia, Partai Kristen Demokrat, Partai Uni Petani, Partai Uni Demokratik Sosial, dan Partai Hijau Slovenia). Partai komunis memperoleh 36% suara. Koalisi Demos kemudian membentuk pemerintahan yang mencita-citakan demokrasi pluralism dan mencapai kemerdekaan Slovenia.813 Setelah pemilu 1990 tersebut, Slovenia menawarkan sistem konfederasi kepada negara bagian lain. Akan tetapi Slobodan Milosevic—Presiden Serbia, negara bagian yang pertama kali melepaskan diri dari Yugoslavia (1989) dan memimpikan suatu Serbia Raya—secara arogan menolak usul Slovenia tersebut. Slovenia kemudian menghapus harapan terjadinya demokratisasi apabila bergabung dengan Yugoslavia. Pemerintah dan parlemen menyetujui suatu referendum untuk menentukan masa depan Slovenia. Dengan pengawasan internasional, referendum dilaksanakan pada akhir 1990 dan sebanyak 82% suara mendukung berdirinya negara Slovenia merdeka. commit to user 813 Ibid., hlm. 47. 246 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Pada 26 Juni 1991, Slovenia mengumumkan proklamasi kemerdekaan. Pemerintah Yugoslavvia mengirimkan pasukan untuk mencegah pelepasan diri itu. Rakyat Slovenia melawan intervensi itu dengan penuh semangat untuk mempertahankan wilayah dan polisi berhasil mencegah pergerakan pasukan Yugoslavia, yang sama sekali tidak menduga akan memperoleh perlawanan keras. Pada hari ke-5, sesudah mengalami kekalahan hebat, Beograd mengancam akan menghancurkan secara total wilayah Slovenia. Uni Eropa akhirnya turun tangan, mengirim misi ke Slovenia untuk melakukan mediasi. Akhirnya, pemerintah dan militer Yugoslavia secara mengejutkan menyatakan penarikan seluruh unit dan perlengkapan selama 3 bulan. Hal ini memberikan kesempatan kepada pemerintah Slovenia untuk secara efektif mengontrol seluruh wilayah dan memperoleh pengakuan secara internasional.814 Pada Juni 1992, Slovenia diterima sebagai anggota PBB. Dalam perkembangan setelah transisi demokrasi, Slovenia dikategorikan sebagai salah satu negara yang berhasil menjalani masa transisi. Pada tahun 1998, GDP mencapai US $11.200, yang sekalipun lebih rendah dibandingkan dengan Austria dan Italia, akan tetapi merupakan yang tertinggi di kawasan bekas negara komunis. Dalam tahun itu, Slovenia menikmati tingkat pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan Portugal dan Yunani. Slovenia juga mempunyai komposisi demografi yang tingkat homogenitasnya tinggi, sehingga nasionalisme yang dikembangkan tidak merupakan nasionalisme yang defensif. (2) Kinerja Mahkamah Konstitusi: Perluasan Kekuasaan Mahkamah Konstitusi Dibandingkan dengan Polandia, Slovenia mempunyai pengalaman dengan pembentukan MK yang pertama kali dibentuk melalui Konstitusi 1963. Sebelum ini, Konstitusi Federal Yugoslavia commit to user 814 Ibid., hlm. 48. 247 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id dan Konstitusi Slovenia menyatakan bahwa pengawasan pemenuhan prinsip konstitusi dan hukum dilaksanakan melalui prinsip pengaturan mandiri (self regulation) dalam sistem majelis (assembly system). Meskipun demikian, pengawsan ini terbukti tidak efektif. Pengawasan tersebut lebih merupakan usaha “to ensuring the coherence of policy expressed in certain legal acts and less to the assessment of legality in the proper sense in the world.”815 Majelis Federal Yugoslavia dan Majelis Negara Bagian kemudian dibentuk pada tahun 1963 berypa sebuah MK Federal dan MK Negara Bagian. Sementara itu untuk wilayah otonom, Vojvodina dan Kosovo dibentuk pada 1972, yang cukup mengejutkan karena tidak ada sistem komunis yang mendirikan badan semacam itu. 816 Untuk pertama kali, implementasi MK diselenggarakan dengan suatu perdebatan apakah pengadilan konstitusi menyesuaikan dengan prinsip dasar konstitusi sebagai suatu kesatuan, meskipun fungsi MK diharapkan sebagai faktor untuk menjamin konstitusionalitas dan legalitas, sesuatu yang merupakan perdebatan yang dipicu oleh kenyataan bahwa fungsi pengadilan tetap berhubungan dengan batasbatas sistem dan ideologi komunis, yang ditujukan untuk keterbitan konstitusi itu sendiri. Bahkan, kewenangan MK tidak mengizinkan pengadilan untuk mencampuri secara langsung ketentuan isi peraturan (misalnya membatalkan keputusan tata usaha), meskipun menurut Konstitusi 1963, misalnya, dalam kasus tertentu MK menentukan substansi pengertian keputusan tata usaha melalui pendapat hukum pengadilan atas konstitusi dan perundang-undangan. Konstitusi baru Yugoslavia 1974 mempertahankan keberadaan MK. Setiap MK di masing-masing negara bagian dijamin independen, dalam arti, MK di tingkat federal tidak secara langsung menjadi puncak hierarki. Tiap-tiap negara bagian akan mengatur lebih lanjut 815 Lihat: Miro Cerar, “Slovenia’s Constitutional Court within the Separation of commit to user Power”, hlm. 212. 816 Ibid. 248 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id MK dalam suatu UU, termasuk hukum acara, organisasi, dan tata cara internal. Sistem ini mengatur MK negara bagian dalam banyak aspek yang serupa (misalnya pemilihan hakim konstitusi), meskipun terdapat perbedaan mendasar (misalnya menyangkut jumlah hakim). Amandemen Konstitusi Slovenia (1974) mengatur bahwa MK meliputi 9 hakim yang dipilih oleh Parlemen untuk masa jabatan 8 tahun dan tidak boleh dipilih kembali (Pasal 425). Fungsi MK (misalnya dengar pendapat dalam persidangan terbuka, Pasal 418 dan 421) dan putusan ditetapkan menurut suara mayoritas hakim (Pasal 420). Konstitusi mengatur bahwa putusan MK berisfta mengingat dan dapat dilaksanakan, dan jika perlu Pemerintah memastikan eksekusi putusan tersebut, sementara MK juga dapat melakukan gugatan jika putusan tidak dapat dilaksanakan (Pasal 423). Sejumlah ketentuan Konstitusi menyangkut yurisdiksi dan hukum acara dan konsekuensi putusan MK (Pasal 408-424). Jika dibandingkan dengan ketentuan lama, Konstitusi 1991 meletakkan kekuasaan baru bagi MK, yaitu (i) melakukan harmonisasi hukum dan peraturan perundang-undangan lain; (ii) menetapkan pendapat mengenai konstitusionalitas ratifikasi perjanjian internasional; (iii) memeriksa perkara Constitutional Complaint; (iv) memeriksa sengketa kewenangan antarlembaga negara; (v) inkonstitusionalitas aktivitas partai politik; (vi) pendapat dalam impeachment Presiden, Perdana Menteri, dan menteri (Pasal 160, Pasal 109, dan Pasal 119). Ketentuan 1991 juga mengizinkan MK untuk memeriksa keputusan tata usaha. Dalam tahun 1994 ditetapkan UU MK dan peraturan internal untuk mengatur lebih lanjut hukum acara. Para hakim ditunjuk segera setelah proklamasi kemerdekaan tahun 1991. Jika diperiksa putusan MK dalam fase awal (1991-1998), kinerja MK tidak hanya berdasarkan prinsip konstitusi saja, akan tetapi to user“judicial activism”, yang dalam secara eksplisit juga commit melakukan perpustakaan.uns.ac.id 249 digilib.uns.ac.id perkara tertentu bermuatan politik dan sifat putusan yang demikian menimbulkan efek negatif dalam kehidupan masyarakat. Sejak 1998, dilakukan perubahan terhadap komposisi MK, aktivitas negatif seperti itu tidak lagi dijumpai, di mana MK benar-benar melaksanakan fungsi menurut standar hukum yang ditetapkan dalam Konstitusi 1991.817 Karena pengaruh model Prancis, maka MK juga melakukan “preventive review.” Perkara ini harus diajukan oleh Presiden, minimal 1/3 anggota Parlemen sepanjang menyangkut ratifikasi konstitusi, guna memperoleh konfirmasi kesesuaian perjanjian itu dengan UUD. Majelis Nasional terikat dengan pendapat MK (Psal 160 ayat [2[ Konstitusi). Di samping itu, pengujian meliputi pengujian abstrak maupun konrkit. Dalam hal pengujian konkrit, diajukan oleh pengadilan umum, jaksa penuntut umum, Bank Sentral atau Badan Audit untuk menguji konstitusionalitas sehubungan dengan procedural yang ditempuh oleh badan-badan ini. Dalam kasus yang sama, Ombudsman Hak Asasi Manusia juga daapt mengajukan permohonan pengujian sehubungan dengan kasus-kasus tertentu. Untuk selanjutnya, fungsi utama MK adalah melakukan CR dalambentuk pengujian abstrak. Sesudah tahun 1991, MK menjalankan peran penting sehubungan dengan perluasan kewenanagannya. Suatu opini yang menarik adalah pengujian UU Kekuasahaan Kehakiman menyangkut masa jabatan hakim.818 Ketentuan UU melarang kandidat untuk mengisi posisi hakim agung apabila pernah memutus perkara di rezim lama dan dinilai bertentangan dengan hak asasi. Dalam ketentuan negatif seperti itu MK berpendapat, antara lain,”This is why the Dalam teori, dikenal “judicial activism” dalam pengertian positif dan negatif. Dalam arti positif, putusan tersebut dilakukan menurut UUD dan pendapat ahli yang independen. Sementara dalam arti negatif, putusan MK dikendalikan oleh politik atau faktor lain atau secara sengaja watak putusan menjadi bias, misalnya memberikan keuntungan terhadap pandangan politik tertentu. Lihat lebih lanjut: Cass R. Sunstein, “The Legitimacy of Constitutional Courts: Notes on Theory and Practice, East Europeran Constitutional Review, Vol. 6, No. 1, 1997, hlm. commit to user 62-63. 818 Putusan No. U-I-83/1994. 817 250 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Legislature was justified, from the point of view of a State by the Rule of Law, in the transisional period, to have also set this precondition for the performance of judicial functions…” “A candidate for the office of judge mus be given a chance of providing counterevidence and opinion with a view to disputing a review made in connection with his/her past performance of judicial function.” Penilaian kontemporer kemudian menganggap bahwa MK telah menjadi “negative legislators.” Selanjutnya, MK juga memastikan supaya semua ketentuan UU tidak bertentangan dengan perjanjian internasional yang diratifikasi, termasuk prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa beradab.819 Salah satu hal yang penting lainnya adalah MK menganggap penting bahwa,”it is important that it restricts itself so that regarding political issues it does not, in the name of the Constitution, force its solutions on society and the state.”820 Dalam CR, MK berpendapat bahwa “it is also not disputable that the Constitutional Court has the competence whether legal interest (still) exist subsequently, and not onlu when the petion was lodged.”821 Dalam putusan yang lain, MK menyatakan bahwa, “the constitutional right to the equal protection of right822 yang mencerminkan kesetaraan di muka hukum. c. Kasus Hongaria (1) Desain Transisi Demokrasi Hongaria mempunyai UUD pertama kali pada tahun 1949 dan banyak dipengaruhi oleh pola UUD Uni Soviet. Partai resmi negara (Hungarian Socialist Worker’s Party, yang dalam bahasa setempat sering disebut MSZMP), yang pada saat itu dipimpin oleh Matyas Rakosi sekaligus secara riil menjadi pemimpin Hongaria. Rakosi 819 Putusan No. U-I-6/1993. Putusan No. U-I-12/1997. 821 Putusan No. U-I-302/2007.commit to user 822 Putusan No. U-I-22/1994; Putusan No. U-I-156/1997, dan Putusan No. U-I-18/1996. 820 perpustakaan.uns.ac.id 251 digilib.uns.ac.id mempounyai kekuasaan tidak terbatas dan ditaati semua anggota partai, termasuk sekutu dekatnya, Erno Gero dan Mihaly Farkas. Sesudah kepulangan mereka dari Moskow ke Hongaria, ketiga orang itu tetap menjalin kedekatan dengan para pemimpin Soviet. Selama perang di Hongaria, mereka mendirikan MSZMP yang dicap sebagai organisasi terlarang. Sesudah menjadi partai terkemuka, ketiga pendiri partai itu memperoleh tentangan dari internal mereka. Laszlo Rajk, yang menjadi pemuka partai paling populer, memperoleh jabatan Menteri Luar Negeri. Akan tetapi Rajk kemudian ditahan pada Mei 1949 dengan tuduhan menjalin kerjasama dengan Barat dan Yugslavia, negara yang tidak mempunyai hubungan dekat dengan Soviet. Di samping itu, Rajk juga dituduh terlibat dalam rencana pembunuhan terhadap Gero dan Rakosi. Sesudah dipaksa membuat pengakuan dalam suatu persidangan di September 1949, Rajk dijatuhi hukuman mati. Pemuka partai lain, seperti Janos Kadar (kelak menjadi Presiden Hongaria, 1956-1988) ditahan dan dijebloskan ke dalam penjara. Sesudah itu, Rakosi menjalankan sistem pemerintahan totaliter. Di samping memaksa potret dirinya dipasang di semua tempat, melalui pemimpin polisi rahasia Gabor Peter, Rakosi memerintahkan pembunuhan terhadap hampir 2.000 orang dan penahanan terhadap tak kurang 10.000 orang yang dicap sebagai “class enemy” dan “enemy of the people.” Lebih dari 40.000 orang dikirim ke kamp kerja paksa dan banyak diantaranya tewas akibat kekurangan gisi dan penyiksaan. Sebanyak 15.000 dipaksa ke luar Hongaria yang terdiri atas kalangan industrialis, perwira militer, bekas bangsawan, dan orang-orang kaya serta banyak orang yang tinggal di pedewasaan dipaksa mengelola pertanian. Saat kebijakan itu ditentang oleh anggota MSZMP, Rakosi makin kejam dan memecat tidak kurang dari 200.000 anggota partai.823 commit to user Richard J. Crampton, 2003, Eastern Europe in Twentieth Century and After, London, Routledge, hlm. 295. 823 252 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Kematian Stalin di Soviet (1953) mendorong terjadiya pergolakan politik dan memecat Rakosi (1956). Waldyslaw Gomulka kemudian menjadi pemimpin partai, namun justru memancing protes di kalangan mahasiswa. Akan tetapi banyak mahasiswa ini yang kemudian mengalami penahanan dan memicu terjadinya Revolusi Hongaria. Aksi massa selanjutnya didukung oleh militer dan para pejabat yang mendorong pejabat MSZMP untuk meminta intervensi Uni Soviet. Bersamaan dengan itu, Imre Nagy ditunjuk menjadi Presiden. Suatu hal yang sangat mengejutkan adalah tindakan Nagy pada 3 November 1956 yang mengumumkan tidak hanya memutuskan hubungan dengan Pakta Warsawa, akan tetapi menetapkan Hongaria menjadi negara netral. Sebagai akibatnya, Nikita Kruschev, pemimpin Soviet saat itu mengirimkan pasukan ke Hongaria pada 4 November 1956 dan berhasil memukul kekuatan pertahanan negara itu. Presiden Nagy kemudian ditahan (hingga meninggal dunia tahun 1958) dan loyalis Soviet, Janos Kahar ditunjuk menjadi Presiden.824 Suatu perubahan yang signifikan dilakukan pada tahun 1972 yang mempengaruhi sistem pemerintahan sosialis. Namun demikian, sejak tahun 1965-1968, pelaksanaan sistem sosialisme di Hongaria sudah berbeda jauh dengan apa yang lazim dipraktikkan sistem sejenis di banyak negara di dunia dan bahkan memberikan bentuk khusus pelaksanaan sistem itu dalam kerangka otoritarianisme di Eropa. Sejak tahun 1980-an ciri sosialisme begitu kental, sistem ekonomi yang terpusat, yang menunda industrialisasi, secara perlahan diubah menjadi semakin rasional dan beberapa aspek dari ekonomi pasar menjadi bagian dari sistem ekonomi. Tipe dictatorial dan dominasi kekuasaan semakin berkurang dan mulai tumbuh sistem “a softened dictatorship.” Bahkan mulai muncul apa yang dinamakan sebagai “socialist lobbies” yang terdiri dari kalangan petani, indutri, dan sebagainya dan juga commit to user 824 Ibid. 253 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id mulai terjadi rasionalisasi keputusan-keputusan politik.825 Presiden Kadar memperkenalkan model ekonomi yang mengizinkan para pekerja untuk berpindah pekerjaan dan sebagai hasilnya mengurani monopoli negara dalam mengelola sumber pendapatan. Bahkan, negara gagal mengendalikan liberalisasi perumahan karena pada 1984, sebanyak 55% perumahan baru dibangun oleh swasta. Undang-undang yang mengizinkan kepemilikan kekayaan di keluarkan yang kemudian memperluas proteksi hak milik dan membuka peluang tiap anggota partai untuk menjalankan aktivitas ekonomi. Kelak, saat transisi demokrasi dimulai pada 1989, suatu susunan masyarakat telah dibangun untuk menuju kepada ekonomi pasar. Sistem politik bekerja dengan partai tunggal dan penyelenggaraan pemerintahan terpusat pada kebijakan partai. Partai resmi negara menguasai dan menggunakan otoritas, tanpa mengizinkan partisipasi bagi kekuatan politik lain. Walaupun demikian, dalam sistem yang menganut konsentrasi kekuasaan tersebut beberapa elemen pluralisme birokrasi mulai muncul. Inovasi sistem politik dan keterampilan untuk memperbaiki masyarakat pelan-pelan mulai muncul dan sistem politik semacam kemudian dianggap sebagai ancaman terberat untuk mempertahankan kehidupan masyarakat. Partai MSZMP menyandarkan legitimasinya kepada ketentuan Pasal 3 UUD yang berbunyi,”the leading power of the society is the Marxist-Leninist Party of the working class.” Dari ketentuan ini lahir perintah langsung kepada partai untuk mengelola negara dan memberikan kekuasaan khusus kepada Sekretaris Partai (semacam Ketua Umum). Partai dijalankan oleh sebuah badan yang dikenal sebagai Politbiro yang juga menjadi pemuka negara dan lembagalembaga lain pada saat yang sama. Pasal 3 UUD dan ketimpangan commit to user Andrea Mezekei, “The Role of Constitution-Building Processes in Democratization: Case Study Hungary”, International IDEA, 2005, hlm. 4. 825 254 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id ketentuan-ketentuan yang lahir darinya telah menciptakan struktur dasar kekuasaan dalam partai negara. Pada musim gugur dan musim panas 1987, hampir berurutan, 3 program reformasi radikal diumumkan, yang menunjukkan adanya krisis terhadap sistem politik dan usaha untuk mengatasinya pada satu sisi, dan menyediakan solusi dan alternatif lain pada sisi yang lain. Rekomendasi dan program, yang dikenal sebagai “Societal Contract” dikeluarkan pada Juni 1987 dan penyusunnya mengatakan bahwa mereka mengizinkan adanya oposisi demokratis.826 Para penyusunnya mengatakan bahwa ada kesepakatan tidak langsung untuk menyatakan adanya perpecahan memperoleh “the dalam Socieatal masyarakat Contract” dan masyarakat terhadap harus kedikatoran. Selanjutnya, suatu perubahan politik yang radikal harus dijalankan dan Janos Kadar (yang telah berkuasa hampir 30 tahun sejak revolusi 1956) harus disingkirkan dan wajib mempertanggungjawabkan keadaan negara. Pengumuman program radikal tersebut diperdebatkan secara menyeluruh oleh kalangan profesional dalam serangkaian seri pertemuan. Sesudah pengumuman program itu, usulan dan pembahasan mengenai reformasi kemudian bergulir meluas. Gambaran krisis total sistem sosialisme memancing perlawanan terhadap partai dan pemimpin-pemimpinnya. Janos Kadar menolak untuk mengakui adanya krisis ekonomi dan dalam suatu Konferensi Nasional Partai pada Mei 1988, dia mengatakan, “Tidak ada krisis apapun di Hongaria. Hanya ratusan intelektual yang berpendapat adanya krisis semacam itu.”827 Tuntutan untuk reformasi total kemudian menjadi persoalan sosial yang meluas dan gerakan-gerakan politik tidak resmi menyusun program reformasi sebagai cara untuk menanggapi keinginan dan permintaan politik. Para perancang program profesional dan kekuatan 826 827 Ibid., hlm. 5. Ibid., hlm. 8. commit to user 255 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id radikal menuntut pemimpin partai untuk melaksanakan dialog melalui perdebatan dan diskusi publik. Adanya tuntutan itu mendorong pemimpin partai pemerintah, yang mempunyai komitmen terhadap reformasi untuk tampil mengemuka dengan semakin terang-terangan. Reformasi ekonomi radikal, oposisi nasional, oposisi demokratis, dan pertentangan kepada partai komunis telah menjadi satu paket tuntutan. Berbagai tuntuan itu kemudian menjadi dasar bagi rencana-rencana yang mendorong munculnya banyak partai politik. Sistem partai tunggal, yang nampak tidak mungkin diubah pada musim panas 1988, berkembang menjadi sistem multipartai, yang saling membutuhkan satu sama lain, dan menyediakan diri untuk perubahan secara kompromistis. Sejak setahun sebelumnya, bermunculan banyak partai atau kekuatan politik oposisional dan kemudian berhimpun dalam satu forum yang dinamakan dengan “Opposition Roundtable” (dalam bahasa setempat disebut EKA).828 Perhimpunan ini menjadi rintisan pusat kekuatan, yang kemudian berkemabng menjadi faktor makro politik dan kekuatan tandingan bagi partai yang berkuasa. Sejak musim semi 1989 sistem politik Hongaria sudah berwatak “a bipolar system of forces.” Partai pemerintah, MSZMP, sejak musim semi 1988, mulai menunjukkan keretakkan internal akibat munculnya 2 kubu yaitu kalangan konservatif (yang dipimpin oleh Janos Kadar) dan kalangan reformasi. Di dalam suatu konferensi pada Mei 1988, kalangan konservatif terdesak dan digantikan oleh kalangan reformasi. Karoly Grosz, yang saat itu menjadi Perdana Menteri, ditunjuk untuk menjadi Sekretaris Partai. Akan tetapi ia mengundurkan diri dari jabatan Perdana Menteri pada 28 November 1988. Dia membuat semacam pernyataan bahwa ada ancaman kepada dirinya selama musim panas 1988 saat ia berkehendak untuk memperluas program reformasi. Akan commit to user 828 Ibid., hlm. 10. 256 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id tetapi selama itu ia menyembunyikan dari kalangan partai dan sejak itu merasa semakin terisisih dari kepengurusan partai. Sesudah konferensi partai, pada bulan Agustus 1988 Menteri Kehakiman mengumumkan persiapan penyusunan Konstitusi baru oleh sebuah komisi yang dipimpin oleh Wakil Menteri Kehakiman. Pada 10 September 1988 Komisi ini mulai bekerja dan mempersiapkan 10 bab Konstitusi.829 Komisi juga mengundang kalangan oposisi dan partaipartai lain untuk membahas substansi UUD. Untuk pertama kali, perubahan UUD itu disahkan pada April 1989, yang bertujuan untuk “the reform of the political institutions, with the purpose of enlarging the sosicalist rule of law. Perubahan UUD ini memuat pendirian Parlemen independen dan ketentuan-ketentuan transisional yang lain seperti hak berserikat, hak berkumpul, dan referendum nasional. Ketentuan mengenai hak berserikat dan berkumpul telah mengesahkan pendirian berbagai kekuata politik yang muncul sebelumnya. Sesudah pendirian EKA, maka MSZMP menerima gagasan untuk menciptakan forum rekonsiliasi. Pada 28 Juli 1989, dengan tekanan politik dari masyarakat dan anggota partai, MSZMP menerima usul rekonsiliasi nasional sehubungan dengan gerakan revolusi pada tahun 1956. Bagi MSZMP hal ini akan menjadi dasar dilaksanakannya negosiasi dengan kalangan oposisi. Selanjutnya, perundingan dengan kalangan oposisi dilaksanakan pada 22 Maret-18 September 1989. Kesepakatan diumumkan pada 10-11 Februari 1989 yang pada intinya bertajuk, “acceleration and confirmation of the democratic process, resting on wide political base.” Dalam proses negosiasi ini dihasilkan banyak hal yang kemudian menjadi UU setelah dibahas Parlemen dalam rangka pelaksanaan perubahan UUD 1989, termasuk pembentukan MK pada 1 Januari 1990. Gagasan awal pendirian MK adalah untuk melindungi hak dan menyelesaikan perselisihan diantara user Andrew Arato dan Zoltancommit Miklosi,to“Constitution Making and Transitional Politics in Hungary”, diunduh dari www.usip.org, diakses pada 2 Juni 2013. 829 257 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id pusat-pusat kekuasaan baru, seperti Presiden dan Parlemen. Untuk itu, MK diberikan wewenang besar meskipun ada pembatasan-pembatasan tertentu. Bagi kalangan oposisi, diberikannya kekuasaan besar kepada MK karena badan ini merupakan lembaga baru dan diharapkan benarbenar independen. Sementara itu, kalangan komunis juga menginginkan suatu pengadilan yang kuat karena mereka berharap akan melindungi mereka dari pembalasan apabila mereka terlempar dari panggung kekuasaan. Bahkan ada suatu pernyataan, bahwa diantara perancang konstitusi sekalipun, sama sekali tidak mempunyai pengetahuan bagaimanakah desain dari MK tersebut.830 Dalam masa transisi demokrasi “there was much reliance on the Constitutional Court.”831 Kongres Partai MSZMP pada Oktober 1989 merekomendasikan bahwa partai diubah menjadi Partai Sosialis Hongaria (dalam bahasa setempat diubah menjadi MSZP) dan bersedia untuk menyerahkan monopoli kekuasaan selama ini melalui suatu pemilu yang bebas pada Maret 1990. Hanya dalam beberapa minggu kemudian, pada 23 Oktober 1989, pemerintah mengumumkan Republik Hongaria baru. Uni Soviet sendiri kemudian setuju untuk menarik semua pasukannya pada Juni 1991. (2) Kinerja Mahkamah Konstitusi Lembaga MK didirikan dengan Konstitusi 1989 dan secara detai diatur lebih lanjut dalam Act XXXI 1989 (dapat disebut sebagai “the Constitutional Court Act”). Pembentukan MK mengikuti model Jerman, sebagaimana juga bentuk Konstitusi 1989 itu sendiri. Pada 1 Januari 1990, MK mulai bertugas dan dipimpin oleh Laszlo Soylom, seorang dosen berusia 47 tahun, yang memiliki spesialisasi dalam 830 Herman Schwartz, The Struggle for Constitutional Justice in Post-Communist Europe, op.cit., hlm. 77. 831 commitoftotheuser Peter Peczolay, “Judicial Review Compensation Law in Hungary”, Michigan Journal of International Law, Vol. 13, 1992. 258 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id bidang gugatan melawan hukum dan hukum lingkungan, yang juga pernah mempelajari HAM di Jerman.832 Konstitusi 1989 termasuk sedikit memberikan pengaturan terhadap MK. Jumlah bab yang khusus membicarakan MK terbatas. Ketentuan lebih lanjut dari aturan UUD tersebut diatur dalam UU MK yang ditetapkan pada bulan November 1989. Perlu dicatat bahwa MK didirikan sebelum pelaksanaan pemilu legislatif untuk menjamin konstitusionalitas UU dan masa transisi dan pengadilan ini dibentuk terutama oleh pemerintahan partai komunis, sehingga kalangan ini mempunyai kesempatan yang lebih besar guna mengajukan namanama hakim sebelum pemilu dibandingkan jika dibentuk sesudah pelaksanaan pemilu. Sebagai salah satu pelaksanaan hasil negosiasi Partai Komunis dan kalangan oposisi, kalangan partai komunis mengajukan 2 hakim diantara 5 hakim yang dibutuhkan oleh MK. Untuk selanjutnya 2 hakim diberikan jatah bagi kalangan poposisi, sementara 1 orang hakim lagi disepakati kedua belah pihak. Tentu saja hal tersebut menimbulkan perdebatan ketika sebuah lembaga baru membutuhkan legitimasi karena ditetapkan oleh Parlemen yang legitimasinya juga masih diragukan. Oleh sebab itu, ketika UU MK berhasil ditetapkan pada November 1989, MK hanya mempunyai 5 hakim dan nominasi kelima hakim yang lain ditunda Parlemen hingga musim semi tahun 1990. Kenyataannya, kelima posisi hakim itu baru diisi oleh Parlemen sesudah 5 tahun MK beroperasi yang diikuti dengan pemilu periode kedua. Di akhir 1994, secara keseluruhan jumlah hakim konstitusi adalah 11 orang, karena menurut pengalaman sebelumnya, apabila jumlah hakim mencapai 15 orang maka akan menghambat pelaksanaan fungsi pengadilan dan tidak akan bijaksana apabila dilakukan pengisian karena akan melibatkan 2 masa jabatan commit to user 832 Ibid. 259 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Senat. Hal ini menunjukkan kegagalan dalam mengadopsi model Jerman bagi MK Hongaria.833 Faktanya, MK menjalankan fungsi hanya dengan 9 hakim dari seharusnya 10 hakim, sejak Hakim Geza Herczegh mengundurkan diri karena menjadi hakim di Mahkamah Internasional di Den Haag dan Parlemen gagal mengisi lowongan itu. Para hakim bertugas selama 9 tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu masa jabatan. Para hakim tersebut memilih Ketua MK diantara mereka tiap 3 tahun sekali. Untuk masa jabatan 1993-1998, Ketua MK dijabat oleh Laszlo Soylom, yang terpilih kembali pada 1996 untuk posisi itu. Namun jabatan hakim konstitusi tidak diperpanjang oleh pemerintahan Orban pada 1998 dan Soylom meninggalkan MK dengan pengalaman 9 tahun sebagai hakim. Dalam pengambilan keputusan, Ketua MK akan menunjuk salah satu hakim untuk mempersiapkan putusan dan apabila mayoritas hakim lain menyetujuinya, maka putusan itu diumumkan.834 Para hakim memiliki immunitas sebagaimana para anggota Parlemen, pengaturan disiplin tersendiri, dan menentukan anggaran sendiri dengan persetujuan parlemen. Diantara komposisi hakim konstitusi untuk pertama kalinya, 2 orang hakim diantaranya merupakan hakim agung pada MA dan salah satu diantaranya pernah menjabat sebagai Ketua MA, sedangkan yang satu lagi dikritik pengamat karena dianggap tidak memiliki pengetahuan memadai mengenai CR karena berlatar belakang hukum perdata. Sementara itu, mayoritas lainnya adalah dosen hukum atau peneliti. Oleh karena mayoritas merupakan dosen atau peneliti maka sudah tentu mereka menguasai masalah yang akan diputus, akan tetapi sama sekali tidak diketahui referensi politiknya. Sebagai contoh, 833 Ibid., hlm. 78. Uraian yang lengkap mengenai perbandingan peran Ketua MK dalam negara postcommunist dapat dilihat pada: “Guardian of the Cosntitution: Constitutional Court President and commitEurope”, to userUniversity of Pennsylvania Law Review, the Struggle for the Rule of Law in Post-Soviet Vol. 154, 2006. 834 260 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id diantara hakim konstitusi generasi pertama ini adalah Geza Kilenyi, yang sebelumnya adalah Wakil Menteri Kehakiman. Kemudian, Ketua MK periode kedua adalah Janos Nemeth yang sebelumnya berpengalaman sebagai Ketua Komisi Pemilihan Umum selama 7 tahun. Walaupun keduanya merupakan pejabat politik, akan tetapi jabatannya itu tidak menyebabkan mereka menjadi partisan. Namun akhir-akhir ini jabatan politik itu menunjukkan keterikatan politik yang kuat. Ketua MK saat ini adalah Mihaly Bihari, yang pernah mewakili Partai Sosialis sebagai anggota Parlemen (1994-1998). Jika dicermati, MK memiliki kompetensi yang sangat luas. Aktivitas dasar berkaitan dengan pengawasan konstitusionalitas hukum peraturan yang ditetapkan oleh DPR, pemerintah pusat, dan pemerintah daerah. Selain itu, MK mempunyai kompetensi untuk pengawasan awal keputusan yang disahkan oleh Parlemen,tetapi tidak ditandatangani oleh Presiden. Selanjutnya, MK berwenang untuk menafsirkan konstitusi dan untuk memutuskan apakah legislatif menghilangkan kewajibannya dan, karena itu, apakah situasi inkonstitusional muncul. Pengadilan memiliki hak untuk memutuskan sengketa konstitusional antar organ-organ negara yang berbeda atas kekuasaan mereka dan bahkan pemberhentian Presiden. Tampak jelas bahwa MK dalam konteks tertentu merupakan organ negara yang paling kuat di Hongaria. Kekuatan ini tidak dalam membuatmemutuskan dengan cara yang positif-UU di Hongaria, tetapi dapat mencegah–dalam cara yang negatif-terhadap konstitusionalitas Keputusan DPR, pemerintah atau pemerintah daerah, dengan membatalkan UU. Oleh karena itu, selama masa transisi antara tahun 1990 dan 1995, semua UU yang paling penting, yang telah selama beberapa dekade memutuskan "wajah" dari demokrasi Hungaria, dimohonkan pemeriksaan ke MK; sengketa dari Parlemen akhirnya diputuskan dalam proses penyelidikan dalam kerangka konstitusi dan commit to user di MK. 261 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Dengan demikian, MK memainkan peranan yang sangat penting dalam pembentukan demokrasi, UU, dan sistem sosial ekonomi. Sebelum tahun 1989 dengan konstitusi komunis, orang kesulitan mengungkapkan persoalan hak konstitusional sebagaimana lazim dipraktikkan di negara demokrasi modern mengingat sistem hukum secara keseluruhan, dan UUD, telah menutup kemungkinan bagi legislatif untuk "meminjam" pengalaman dari Barat. Solusi dalam konstitusi Hungaria yang dipinjam dari konstitusi nasional demokrasi Barat seperti UUD Amerika, Jerman, Perancis, Spanyol dan Italia semua dianggap sama dengan praktek pengadilan konstitusi masingmasing. Perhatian diberikan juga kepada konvensi internasional di lapangan ak asasi manusia antara lain, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948), Konvensi Eropa untuk Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Fundamental (1950), International Konvensi tentang Hak-hak Sipil dan Politik (1966), dan Konvensi Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (1966). Mengingat konvensi internasional telah menjadi bagian dari ketentuan UUD konstitusi maka menjadi tugas MK untuk menyelaraskan hukum internal dengan hukum internasional. Hal ini terjadi karena kompetensi luar biasa MK sehubungan dengan sifat permohonan perkara yang populars actio untuk individu dan bahkan orang asing, bahkan jika mereka tidak memiliki kepentingan hukum yang pasti. Akibatnya, hampir semua UU yang penting dibawa depan Pengadilan oleh masyarakat baik individu atau badan hukum atau orang asing. Sementara di negara lain CR dapat diajukan oleh pejabat tinggi dan anggota Parlemen, di Hongaria memlih nampaknya memilih pendekatan yang lebih umum.835 Setiap warganegara diperbolehkan mengajukan permohonan CR jika percaya to user Herman Schwartz, “Thecommit New East European Constitutional Court”, Michigan Journal of International Law, Vol. 13, 1992, hlm. 754. 835 262 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id bahwa ketentuan hukum, keputusan, produk hukum Parlemen bertentangan dengan UUD. Mekanisme CR hanya mencakup pengujian konstitusionalitas norma, sehingga keputusan individual (penerapan suatu norma hukum) tidak dapat dimohonkan. Dalam persoalan konstitusinalitas, setiap orang dapat mengajukan keluhan mengenai pengadilan atau keputusan pejabat resmi lainnya hanya menurut alasan bahwa penerapan hukum itu bertentangan dengan UUD. Dalam kasus ini, pengadilan tidak hanya membatalkan UU, tetapi dapat menyatakan keberlakuan surut (retroactivity) penerapan ukum terhadap seseorang menurut UU yang sudah diperiksa. Dejarat CR bersifat abstrak. Tidak diperlukan sebuah kasus konkrit atau pertentangan: pengadilan memeriksa ketentuan UU, keputusan, dan perjanjian internasional. Terhadap keputusan dan UU, pengujian dapat diajukan oleh warganegara atau kelompok warganegara. Kemudian MK menafsirkan ketentuan UUD menurut permohonan yang diajukan oleh Pemerintah atau Parlemen. Presiden dimungkinkan untuk mengajukan permohonan CR sebelum pengundangan UU. Pengadilan dapat melakukan penilaian atas potensi pertentangan dengan UUD. Potensi pertentangan itu termasuk kegagalan pengundangan dalam hal Parlemen atau Pemerintah tidak memenuhi persyaratan penyusunan UU atau bertentangan dengan hak asasi yang ditetapkan oleh UUD. Ketentuan UU MK mengatur bahwa dalam hal permohonan oleh Pemerintah atau sekurang-kurannya oleh 50 anggota Parlemen, pengadilan harus memeriksa Rancangan UU itu sebelum diadakan pemungutan suara. Pegadilan dapat menolak permohonan sejenis yang diajukan oleh kalangan oposisi. Pengadilan berpendapat, bahwa sebelum pemungutan suara dilakukan, tidak mungkin untuk menentukan apaka yang menjadi usul relevan untuk dimohonkan commit to user 263 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id pengujian dalam rangka mengubah UU. Suatu rancangan UU terlalu ambigu jika akan diuji terhadap UUD. Yang unik, MK mempunyai wewenang untuk melakukan pengujian terhadap UU atau sebuah keputusan atas inisiatifnya sendiri. Bahkan, sekurang-kurangnya secara teoritis, MK dapat memutuskan atas inisiatf sendiri bahwa Parlemen gagal menyetujui UU menurut persyaratan UUD. Dalam bulan-bulan pertama bekerja, kewenangan ini digunakan oleh MK, akan tetapi sudah tidak lagi dilaksanakan akhir-akhir ini. Dalam 3 tahun pertama (1989-1992), MK menerima perkara rata-rata tiap tahun mencapai 2.000 permohonan dan kebanyakan berasal dari warganegara. Setiap tahun 90 UU dan sebuah keputusan diperiksa MK; suatu jumlah yang snagat tinggi jika dibandingkan dengan MK Polandia yang dalam 5 tahun memeriksa 30 UU dan hampir selama 40 tahun, MK Jerman memeriksa 37 perkara. Hanya MK Italia yang mampu menandingi rekor MK Hongaria ini dengan rata-rata menghasilkan 250 putusan tiap tahun selama 20 tahun pertama. Dapat saja dilakukan perkiraan bahwa banyaknya permohonan itu disebabkan oleh karena masih eksisnya UU sejak zaman komunis dan perlu disesuaikan dengan politik hukum baru. Meskipun demikian, tetap tidak dapat diprediksi tingginya tingkat pembatalan untuk UU terbaru. Satu atau lebih pasal-pasal dalam 40 UU dan 111 keputusan lainnya dinyatakan bertentangan dengan UUD sepanjang 3 tahun dan 40% ketentuan tersebut ditetapkan setelah transisi demokrasi. Bahkan, MK secara mengejutkan mempunyai proporsi yang tinggi dalam putusan yang menyatakan suatu UU bertentangan dengan UUD. Pada tahun 1991, 19% CR atas produk Parlemen dan 47% keputusan dinyatakan bertentangan dengan UUD. Sebagai perbandingan, rata-rata tiap tahun ketentuan federal dan produk negara bagian Jerman yang dibatalkan hanya 10 perkara. Figur user MK Hongaria secara commit dramatisto berbeda juga dengan MK Italia yang 264 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id hanya memutus perkara bertentangan dengan UUD tidak lebih dari 11%. Kasus Hongaria ini perlu dicatat mengingat jika putusan pembatalan UU yang terbaru menyangkut isu favorit, seperti ketentuan pensiun dan UU Perpajakan. Awalnya, CR UU yang mengatur hukuman mati dimohonkan pengujian. Dalam perkara ini, MK menyatakan hukuman mati merupakan peraturan yang inkonstitusional.836 Salah satu rujukan putusan itu adalah putusan MA Amerika dalam perkara Furman v Georgia (1976). Pada tahun 1993, MK memeriksa konstitusionalitas BUMN. Dalam perkara ini, MK menganalisis sifat ekonomi pasar dan menekankan bahwa sesuai dengan prinsip ekonomi pasar yang diatur dalam Pasal 9 UUD . Oleh karena itu, kebijakan ekonomi tidak dapat dievaluasi sesuai dengan konstitusi ketentuan di dalamnya bersifat netral.837 Dalam kasus UU Flat, MK terutama berpedoman kepada putusan Pengadilan HAM Eropa dalam perkara James and the others. Putusan ini diperiksa berdasarkan lembaga hukum dalam sejarah Inggris klasik yaitu masa jabatan sewa jangka panjang. Namun, MK menyelidiki konstitusionalitas aturan UU Flat dengan merujuk UU Sewa di Inggris. Perbandingan demikian salah, karena subjek-lembaga hukum yang bersangkutan-dalam perkara Hungaria dan putusan Pengadilan Eropa benar-benar berbeda.838 Dalam kasus lahan pertanian, konstitusionalitas larangan terhadap akuisisi lahan pertanian oleh koperasi pertanian dipertanyakan. Putusan MK merujuk kepada yurisprudensi Amerika. Yurisprudensi tersebut seperti Putusan MA AS dalam perkara Board of Regent V. Roth, "di mana pengadilan menyatakan bahwa hak konstitusional untuk properti hanya melindungi keuntungan pribadi.” Dalam perkara serupa, pertanyaan tentang kebebasan kontrak diselidiki juga, dan putusan MA AS dalam perkara Holden v Hardy yang 836 Putusan No. 23/1990. Putusan No. 33/1993. 838 Putusan No. 64/1993. 837 commit to user 265 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id menekankan bahwa melarang kekuasaan umum untuk membeli properti merupakan ketentuan yang inkonstitusional.839 Mengambilalih yurisprudensi Amerika bukan monopoli MK, tetapi juga dalil-dalil yang diajukan oleh pemohon. Pada tahun 1994, seorang warga negara mengkritik KUHP Hungaria dan mengambil referensi ke pembakaran bendera dalam perkara Texas v Johnson. Dalam hal ini, gagasan pemrakarsa berpendapat dalam konstitusional Amerika sehubungan degan perlindungan mengenai kebebasan berbicara bisa mengarahkan MK. Sikap kritis MK terhadap Parlemen menghasilkan penilaian negatif dari Parlemen. Beberapa politisi menuduh MK menghina kedaulatan parlemen atau faksionalisme politik. Ancaman dilontarkan untuk melakukan perubahan UUD sebagai menghilangkan wewenang CR, tetapi dengan syarat perubahan itu memerlukan dukungan 2/3 mayoritas suara, tetap saja sulit untukdilakukan. Parlemen memang mempunyai hak untuk mengajukan CR, akan tetapi beberapa putusan justru menghukum Parlemen atas tindakan-tindakannya. Dalam kasus ini, permohonan hukum dilakukan terhadap suatu UU yang sudah diundangkan sekalipun jauh sebelumnya sudah dimohonkan adanya penundaan. Keberhasilan perubahan UUD hanya berlangsung satu kali sebelum pelaksanaan pemilu (1990), di mana atas dukungan oposisi pada waktu itu Parlemen mengubah ketentuan UUD sehingga melarang tiap warganegara yang berdomisili di luar negeri untuk memberikan suara karena dianggap akan menimbulkan kesulitankesulitan teknis. Tidak ada penjelasan yang memadai mengapa kualitas UU di Hongaria begitu buruk dibandingkan dengan negara lain. Bagaimanapun, secara tradisional Hongaria sering kali memberikan julukan negaranya sebagai “bangsa pendekar hukum.” Tentu saja, kesalahan-kesalahan teknis dalam penyusunan legislasi sering terjadi commit to user 839 Putusan No. 35/1994. 266 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id saat terjadi transisi menuju demorkasi berbasis pasar. Para hakim di MK, bagaiamnapun, menganggap misi mereka tidak boleh membiarkan ada pertentangan UUD dalam setiap UU yang disusun. Diantara putusan MK yang berpengaruh secara sosial dan politik adalah putusan yang mengatakan bahwa konstitusionalisme harus ditafsirkan menurut keunikan dan kekhususan lingkungan transformasi pemerintahan.840 Dalam putusan pembatalan ketentuan pidana mati MK menganggap dirinya berfungsi untuk “a secure standard of constitutionality, as an inivisible constitution above the Constitution in force which is still subject to modifications dictated by daily political interest.”841 Pada tahun 1993 Hongaria meratifikasi Kovenan Hak Asasi Manusia Eropa dan MK berpendirianuntuk meralisasikan ketentuanketentuan di dalamnya. Dengan pijakan “martabat”, MK bahkan merumuskan hak asasi yang tidak diatur dalam UUD seperti “the right individual to know his origins.” Asas praduga tidak bersalah, yang juga tidak tercantum dalam UUD, bukan saja diakui, akan tetapi diperluas dari prinsip hukum acara pidana ke hukum administrasi. Hak-hak narapidana juga dilindungi. Ketika UU melarang tiap narapidana untuk mengajukan putusan peninjauan putusan pengadilan dalam masa pembebasan bersyarat, maka UU itu kemudian dibatalkan oleh MK. Putusan MK menimbulkan popularitas lembaga ini bagi kalangan masyarakat kecil dan MK semakin menjadi pelindung bagi timbulnya peraturan-peraturan pajak yang ditunggangi oleh kalangan menengah atas. Namun, dalam kasus perlindungan hak atas kesejahteraan sosial, MK justru bersifat restriktif sekalipun hak-hak itu dicantumkan dalam UUD. Sebagai contoh, MK melarang penetapan indeks pensiun menurut laju inflasi.842 Atas pengaturan kebebasan berserikat bagi kalangan militer dalam sauatu keputusan pemerintah, 840 Putusan No. 11/1992. Puutsan No. 23/1990. 842 Putusan No 26/1993. 841 commit to user 267 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id MK membatalkan ketentuan tersebut karena menurut UUD pengaturan hal-hal semacam itu harus dilakukan dengan UU.843 Jika dalam hak asasi dapat dibatasi untuk menjamin hak konstitusional, akan tetapi dalam setiap pembentukan UU, prinsip itu menjadi dasar yang utama.844 Dalam kasus kebebasan menyatakan pendapat, MK menegaskan tidak ada kebutuhan secara tegas dan berbahaya, jika hasutan-hasutan karena kemedekaan berbicara akan memperburuk hak-hak subyektif yang bernilai tinggi.845 Dalam kasus yang lain, sehubungan dengan fitnah, MK menilai tidak akan membahayakan kebebasan menyatakan pendapat apabila terhadap hal itu dilakukan kriminalisasi secara proporsional menurut peraturan yang berlaku.846 Pada tahun 1991, MK mengatakan bahwa “not all kinds of relations with fundamental rights require regulation by an Act of Parliament…in case of indirect and remote relations, restriction by decree is acceptable. If this were not the case, everything would need to be regulated by legislation.”847 d. Kasus Romania (1) Desain Transisi Demokrasi Dibandingkan dengan negara lain dalam satu kawasan, Romania merupakan negara yang paling “malas” dalam mempersiapkan demokratisasi memasuki dekade 1980-an, akan tetapi merupakan negara yang paling independen terhadap Uni Soviet. Dalam sejarah, tidak pernah Uni Soviet mengerahkan pasukan untuk melakukan intervensi politik. Sepanjang sejarah juga menunjukkan, sekalipun merupakan sekutu Uni Soviet, namun Romania seringkali mengambil posisi yang bertentangan dengan kebijakan Moskow dan cenderung pragmatis untuk hubungan luar negeri. Romania adalah 843 Putusan No. 51/1991. Putusan No. 30/1999. 845 Putusan No. 21/1993. 846 Putusan No. 30/1992. 847 Putusan No. 64/1991. 844 commit to user 268 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id negara pertama di Eropa Timur yang menjalin hubungan dengan Jerman Barat dan kemudian aktif di berbagai forum internasional seperti IMF, GATT, GPS, dan Bank Dunia. Konfigurasi ketatanegaraan modern Romania diletakkan sesudah pembicaraan damai di Versailles (1919) dengan mengambil bentuk monarki konstitusional (1923). Selama 15 tahun pertama pelaksanaan demokrasi modern Romania diselengi dengan gerakan fasis internal, partai politik yang rapuh, dan gugatan terhadap integrasi wilayah. Pada tahun 1938, Raja Karol II (15 Oktober 1953-4 April 1953, bertahta 8 Juni 1930-6 September 1930)848 menghapus semua partai politik dan melaksanakan sistem otoritarian hingga mengundurkan diri pada 5 September 1940, saat terjadi kudeta militer yang dipimpin oleh Marsekal Ion Antonescu dengan dukungan gerakan “Iron Guard”. Kudeta itu memaksa Raja Karol II untuk menyerahkan seluruh kekuasaan kepada Antonescu sebagai Perdana Menteri.849 Selanjutnya, di samping memimpin pemerintahan militer, Antonescu bersekutu dengan Jerman dalam Perang Dunia II, dalam rangka memperoleh kembali dukungan atas wilayah Rumania yang diduduki oleh Soviet. Namun, pemerintahan Antonescu dijatuhkan pada 23 Agustus 1944 saat pengganti Raja Karol II, Raja Michel I (lahir 25 Oktober 1921 dan bertahta pada 20 Juli 1927 hingga 8 Juni 848 Raja Karol II merupakan putra tertua dari Raja Ferdinand. Ibunya, Ratu Marie, merupakan putri dari Pangeran Alferd (Duke of Edinburg), salah satu putra tertua dari Ratu Victoria. Ia merupakan bangsawan Rumania pertama yang dibaptis dalam trasisi Kristen. Secara controversial, ia menikah pertama kali di Gereja Kathedral, Ukraina pada 31 Agustus 1918 dengan Joanna Marie Vallentine Lambino, tetapi pernikahan ini dibatalkan oleh pengadilan pada 1919. Dia menikah kembali di Yunani dengan Putri Helen (dari Denmark) pada 10 Maret 1921. Pernikahan ini berantakan karena Karol II berselingkuh dengan isteri pejabat militer Rumania, Ion Tempeanu, bernama Elena Lupescu. Akibatnya ia diturunkan dari tahta pada 28 Desember 1925 dan digantikan oleh anaknya, Michel, pada Juli 1927. Akan tetapi setelah kembali dari pengasingan, dia kembali naik tahta pada 3 Juni 1930. 849 Dalam situs Wikipidea dikemukakan bahwa Iron Guard merupakan gerakan politik kanan di Rumania yang berkembang pada tahun 1927 hingga awal Perang Dunia II. Sifat gerakan ini adalah fasis, ultranasionalis, antisemit dan mencoba menafsirkan spirit Kristen Ortodok. commit to pada user24 Juli 1927 dan memimpin gerakan ini Gerakan ini didirikan oleh Corneliu Zelea Codrianu hingga tewas terbunuh pada 1938. 269 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id 1930, dan 6 September 1940-30 Desember 1947)850, bersekutu dengan Uni Soviet untuk mengusir Jerman. Dengan peristiwa ini, maka Letnan Jenderal Constantin Sanatescu ditunjuk sebagai Perdana Menteri. Selanjutnya, Sanatescu memerintahkan penahanan Antonescu hingga dijatuhi hukuman mati. Konstitusi dipulihkan pada 1944 dan demokrasi parlementer kembali dijalankan pada November 1946 dengan menempatkan the National Democratic Front (yang didukung oleh kekuatan komunis Soviet) menguasai 86% kursi parlemen. Pada Maret 1945, situasi politik memaksa Raja Michel I untuk menunjuk Petru Goza, yang halauan politiknya dekat dengan Uni Soviet sebagai Perdana Menteri, dan tidak memberikan kekuasaan berarti kepada monarki. Antara Agustus 1945-Januari 1946, Raja Michel I gagal melakukan “kudeta” terhadap pemerintahan Goza dan atas desakan Inggris, Amerika, dan Uni Soviet, akhirnya Raja Michel I menyerahkan seluruh kekuasaannya pada pemerintahan komunis dan berhenti menuntut pemulihan monarki. Pada 30 Desember 1947, Raja Michel I dipaksa turun tahta oleh Goza maupun pemimpin Partai Komunis, Georghe Georghiu-Dej. Sejak 3 Januari 1948, Raja Michel I dipaksa meninggalkan Rumania. Sesudah itu, pemerintahan Rumania dikuasai oleh diktator komunis. Georghe Georghiu-Dej mengendalikan pemerintahan (19461965). Ia mengembangkan hubungan dengan Soviet, menandatangani Pakta Warsawa, dan mengadopsi gaya Stalin untuk sistem ekonomi. Ia memerintah dengan represif, mengembangkan angkatan bersenjata atas nasehat Stalin, dan membentuk unit polisi rahasia, the Securitate. Namun demikian, ia relatif independen terhadap Soviet851 dan antara 850 Dari orang tuanya, Raja Michel I mewarisi darah kerajaan Inggris karena nenek buyutnya adalah Ratu Victoria dan terhitung sebagai sepupu jauh dari ratu Inggris yang sekarang, Ratu Elizabeth II. Ia merupakan satu-satunya raja yang bertahan di Eropa selama Perang Dunia II, selain Raja Simeon II (Bulgaria). 851 commit to mengeluarkan user Pada April 1964, Georghiu-Dej pernyataan bahwa Rumania mempunyai hak untuk menentukan kedaulatan nasionalnya. Dikatakan bahwa “Romanian 270 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id lain tercermin dari keenggan menjadikan Rumania sebagai lumbung pangan Eropa Timur852, dan berminat mengembangkan industri berat.853 Dengan kematian Georghe Georghiu-Dej (Maret 1965), maka kedudukannya digantikan oleh Nicolac Ceausescu, dengan menyingkirkan pemuka partai lain seperti Chivu Stoica (Ketua Dewan Negara), Emil Bodnaras (Menteri Dalam Negeri), dan Alexandru Draghici (Kepala Polisi Rahasia). Ceausescu mengambilalih semua lini kekuasaan dengan menyingkirkan semua saingan politiknya dan upayanya untuk mengakui status sebagai Presiden. Dalam masa Maret 1965 hingga Desember 1967, Rumania dikendalikan oleh triumvirat yaitu Ceausescu (sebagai Sekretaris Jenderal Partai Komunis), Chivu Stoica (Kepala Dewan Negara), dan Maurer (Perdana Menteri). Untuk menyingkirkan saingan politiknya, Ceausescu memanfaatkan aturan partai sehingga Draghici dan Stoica dipecat melalui Konggres Partai (1965 dan 1968). Sistem kolektif kepemimpin partai dihilangkan. Pada Desember 1967, Majelis Nasional memilih Ceausescu sebagai Ketua Dewan Negara, Sekretaris Jenderal Partai Komunis, dan Ketua Komite Sentral. Namun sejak tahun 1969, semua kelengkapan partai dihapus, dan Konggres menjadi mekanisme tunggal untuk pusat keputusan.854 Pada 28 Maret 1974, Ceasescu terpilih pertama kali sebagai Presiden communist brokew with the Soviet concept of socialist internationalism and emphasized their commitment the principle of national independence and sovereignty, full equaty, nonitergerence in the domestic affairs of other state and parties and cooperation on mutual advantage.” Relasi dengan Soviet kemudian beku sejak 1958 sesudah pemerintahan Dej berhasil menegosiasikan penarikan pasukan Soviet setelah peristiwa politik di Hongaria (1956). Pada tahun 1963, sejarah Rusia tidak diajarkan lagi, semua nama jalan dan gedung pemerintahan diganti. Pembekuan hubungan ini penting untuk menarik perhatian sentiment negatif dari kebanyakan rakyat Rumania saat itu. Lihat: Caterine Preda, 2009, Dictator and Dictatorship: Artistic Expression of the Political in, Florida, Florida University Press, hlm 59. 852 Kebijakan ini ditempuh Uni Soviet melalui COMECON (Council for Mutual Economic Assistance) di mana tiap-tiap negara sekutunya menjalankan produktivitas ekonomi tertentu dan Rumania ditunjuk untuk menjadi “agricultural hinterland.” Lihat: Ibid. 853 Ibid. 854 Penghapusan ini karena, “the instrument that was most potentially useful for commit to user and the Central Committee had the collective leadership was the fact that the Politbiro prerogatives of appointing and removing the General Secretary…”. Lihat: Ibid., hlm. 51. 271 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Rumania oleh Majelis Nasional, yang semakin “completed the fucion of all key parts and state roles”855 dan “was perhaps the first palpable sign of an unfolding diynastic scenario.”856 Ceausescu melanjutkan pendahulunya untuk independen terhadap Moscow dalam hubungan luar negeri (yang dalam waktu tertentu bahkan membekukan hubungan dengan Soviet)857, menjanjikan liberalisasi dalam waktu singkat (1965-1971)858, dan mengumumkan “July Thesis” (1971) sebagai awal dari transformasi Rumania. Ceausescu membebaskan politisi yang ditahan pada masa sebelumnya.859 Ceausescu diterima dengan hangat di Paris, London, Bonn, dan juga Washington. Pada 21 Agustus 1968, Ceausescu mengecam invasi Uni Soviet ke Cekoslovakia, yang menunjukkan “that Stalinism was never questioned by Romanian Communist”860; suatu hal yang mampu mengatrol popularitasnya di dalam negeri. Namun, sesudah tahun 1971, kepemimpinan Ceausescu menjadi otoriter, terutama setelah melihat praktik politik di Cina dan Korea Utara. Ceausescu juga bersandar kepada fungsi Securitate untuk mengembangkan teror sistematis dengan pemenjaraan atau pengasingan bagi setiap penentangnya. Dengan posisi ini, maka pemerintahan Ceausescu berkembang menjadi “governed exclusively by a dictator that imposed the cult of his personality, exerted power through the party apparatus and the Securitate, while conferring it, so as to mask its true face, with the traits of operate nationalism.”861 Konfigurasi politik demikian dikatakan sebagai “a combination of anti-Soviet nationalism and domestic liberalization…[as] period 855 Ibid., hlm. 52. Ibid. 857 “For the Romanian leader the policy of autonomy in relation to Moscwow is used for the consolidation of the myth of the ‘liberal leader’, the ‘myth of political reformer.’” Ibid., hlm. 56. 858 Ibid., hlm. 57. 859 Ibid. 860 commit to user Ibid., hlm. 58. 861 Ibid., hlm. 60. 856 272 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id merits classifying Romania as regime that exhibited both strong sultanic and strong totalitarian qualities.”862 Dalam bahasa Trond Gilberg, kepemimpinan itu ditegaskkan dengan “a form of national, personal, and nepotism communism”863 atau dengan penelitian Mary Ellen Fischer bercirikan 4 hal yaitu “the personalization of power, nationalism, rapid industrialization of the economy at the expense of imporved living standars, and centralized political and economic control.”864 Pada tahun 1980-an, sekalipun menyakitkan, akan tetapi Ceausescu membayar hutang luar negeri sebesar US$ 13 miliar. Sepanjang dasawarsa tersebut, Rumania menjual minyak, bahan pangan, dan komoditi lain dengan kurs yang terkendali. Tak ada satu pun penduduk yang tidak menderita akibat kekurangan ketersediaan pangan selama program ekonomi Ceausescu. Dalam politik, kekuasaan menjadi terpersonalisasi ke dalam diri Ceausescu dan isterinya, Elena. Sang isteri, di samping kader partai, juga menentukan kebijakan ekonomi, riset dan teknologi, serta pengisian jabatan pemuka militer dan mengendalikan kementerian dalam negeri. Sekalipun tidak berminat secara politik, anak mereka yang bernama Nicu, dipromosikan menjadi pemimpin organisasi pemuda sayap partai dan diprediksi akan menjadi penerus orang tuanya. Sekalipun sistem komunisme di kawasan Eropa Timur mulai berjatuhan pada tahun 1989, akan tetapi Ceasusescu tidak melakukan apapun kecuali berusaha memperketat jangkauan kekuasaannya. Konggres Partai Komunis ke-14 pada 1989 justru memuji dan memuja Ceasuscu telah menjalani kebijakan yang benar dalam sistem sosialis. Gerakan aksi massa yang dipicu protes di Timisoara yang menuntut perubahan rezim didukung oleh kalangan Protestan, Serbia, dan minoritas Hongaria, sekalipun tidak bersatu dalam satu kesatuan dan 862 Ibid. Dalam Ibid., hlm. 61. 864 Dalam Ibid., hlm. 62. 863 commit to user 273 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id makin mengarah untuk menduduki ibukota. Pemuka militer, seperti Menteri Pertahanan Vasile Milea (akhirnya tewas secara misterius pada 22 Desember 1989) dan deputinya, Jenderal Stefan Gusa dan Victor Stanculescu menolak perintah untuk menembak para demonstran, bahkan justru bergabung dengan aksi massa. Berbagai aksi massa itu kemudian melambungkan nama organisasi sipil “the National Salvation Front” (NSF), yang dipimpin oleh bekas ideolog partai, Ion Iliescu dan berhasil mengajak bergabung figur berpengaruh seperti Jenderal Nicolae Militaru (bekas Panglima Angkatan Bersenjata), Cornliu Manscu (bekas Menteri Luar Negeri), Ion Maurer (bekas Perdana Menteri), dan Silviu Brucan, intelektual partai yang menerbitkan karyanya di Barat. Selain itu, berhasil menghimpun kalangan oposisi lain. Organisasi ini menuntut penggulingan Ceasescu dan membentuk pemerintahan sementara. Aksi massa telah menimbulkan kekacauan politik dan pada tanggal 21 Desember 1989, ketika sedang memberikan pidato di markas partai, Ceausescu diserang oleh demonstran. Bersama isterinya, Elena, mencoba melarikan diri melalui helikopter, akan tetapi dapat ditangkap oleh aparat keamanan. Ceausescu dan Elena kemudian diadili secara kilat dalam pengadilan militer pada 25 Desember 1989 dengan tuduhan berlapis mulai dari tuduhan memperkaya diri sendiri hingga genosida dan dijatuhi hukuman mati. Hari itu itu juga mereka diikat dan dibawa ke luar gedung pengadilan untuk ditembak, dan semua itu disiarkan langsung melalui televisi dan media Barat. Kedua orang itu merupakan orang terakhir yang dihukum mati setelah pada 7 Januari 1990 pemerintahan baru menghapus ketentuan itu. Pengamat Barat memperkirakan bahwa akibat revolusi itu 64 ribu rakyat tewas, tetapi disangkal oleh pemerintah Rumania. Sesudah revolusi, maka Front of National Salvation (FSN) tumbuh cepat dan kemudian mengubah dirinya menjadi partai politik to user di awal 1990. Sebagai commit penentang partai komunis, maka FSN kemudian 274 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id memengani pemilu yang relatif jujur pada bulan Mei 1990. Partai Komunis dilarang dan dibubarkan setelah kejatuhan rezim Ceausescu pada Desember 1989. Dalam hal ini, FSN memperoleh kursi mayoritas Parlemen dan pemimpinnya, Ion Iliescu terpilih menjadi Presiden dalam pemilu kepresidenan. Kemudian, Petrer Roman menjadi Perdana Menteri. Suatu protes massa pada bulan September 1991 menyebabkan pengunduran diri Roman. Posisi Perdana Menteri diganti oleh bekas Menteri Keuangan Theodor Stolojan. Pemerintah kemudian melakukan perundingan dengan kalangan oposisi dan tidak lama kemudian Parlemen menetapkan UUD baru pada 21 November 1991. Referendum untuk persetujuan UUD dilaksanakan pada 8 Desember 1991. (2) Kinerja Mahkamah Konstitusi Sesudah memasuki masa pemberlakuan UUD yang baru, kekuasaan kehakiman Rumania kemudian tampil dengan “baju baru”, tetapi serupa dengan jubah raja dalam dongeng yang terkenal, baju barutersebut gagal membuat sistem ini tampil lebih visibel untuk jangka panjang. Mengikuti model “continental judiciary” (pendekatan positivisme, ketimpangan preseden, penerapan hukum acara ketat) memberikan prinsip keadilan komuniosme dan kepatuhan kepada hierarki yang kaku865, maka pengadilan Rumania merupakan salah institusi yang amat sulit diubah sesudah masa transisi. Jika legislatif dan eksekutif dipaksa berubah secara dratis dan dengan jalan spektakuler lewat pemilu dan sorotan media, pengadilan bertahan terhadap aturan dan keistimewaan “judicial cast” hampir sepanjang waktu hingga hari ini. Perubahan hukum mengenai organisasi Sebagai contoh, ada praktik “penafsiran pernyataan atau putusan” yang dilakukan oleh MA di negara-negara komunis, bahwa putusan-putusan pengadilan di tingkat lebih rendah tidak pernah mempunyai efek langsung terhadap masing-masing pihak, akan tetapi yang berpngaruh adalah putusan dalam perkara-perkara abstrak. Mekanisme ini masih dipraktikkan di sistem pengadilan pada semua negara bekas komunis, tetapi dengan kecaman yang keras dari sisi teori dan praktik hukum Barat. Lebih lanjut, liha, Zdenek Kuhn, “Precedent in the Czech commit to Precedent user Republic” dalam Bruxelles Bruylant (Editor), 2007, and the Rule of Law, Reports to the XVIIth Congres, Internasional Academy of Comparative Law, hlm. 387-388. 865 275 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id pengadilan begitu sedikit dan lambat. Bahkan penataan ulang untuk menyesuaikan dengan standar Uni Eropa saja tidak mampu untuk memecahkan persoalan struktural dalam kekuasaan kehakiman Rumania, tidak berdaya untuk menyesuaikan diri terhadap realitas baru. Bahkan, ditinjau dari “judicial activity”, sebagaimana dicatat oleh Zdenek Kuhn, pada umumnya pengadilan di negara bekas komunis “have never acted as one might expect transitional courts would act.”866 Hal ini terutama disebabkan oleh keberlanjutan kebiasaan pengadilan untuk “formalist reading of the law”, yang diterapkan di masa lampau, dengan mengabdikan terhadap penolakan mencari apa yang ada di balik ketentuan undang-undang, dengan menolak ketimpangan yurisprudensi (yang diarahkan oleh undangundang, yang dalam kata-kata Kuhn, “post-communist judgfes understand the role of precedent in judicial decision making as taking away from the competence of the legislature”867) dengan melakukan “judicial activism” dan keterbukaan sehingga “the courts try to follow the letter of the law, however problematic and absurd the results this produces.”868 Bahkan, mereka gagal untuk memahami bahwa preseden, semestinya digunakan untuk mekanisme pembebasan daripada menjabarkan peraturan, justru melayani ketimpangan keseragaman atau “anarchy”869 dalam menerapkan undang-undang. Dalam hal ini, kontradiksi yurisprudensi terjadi dalam penyeragaman penerapan aturan, dalam hal ini merupakan pelanggaran terhadap hakhak individu. Tentu saja bahwa keadaan itu dapat dianggap sebagai “the exceptional nature” dari periode transisi (ketegangan dan instabilitas Zdenek Kuhn, “World Apart: Western and Central European Judicial Culture at the Onset of the European Enlargement”, American Journal of Comparative Law, Vol. 52, 2004, hlm. 550. 867 Ibid., hlm. 560. 868 commit to user Ibid., hlm. 553. 869 Ibid., hlm. 560. 866 276 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id politik dan ekonomi, perubahan sosial, dan pergerakan sosial) yang merupakan termuat dalam protes mengenai disfungsi kekuasaan, termasuk kekuasaan kehakiman. Namun demikian, apakah ada aturan yang “special times call for special measures” yang secara penuh diterapkan dalam perlaku pengadilan atau bahkan justru mereka di bawah kendali aktor politik? Atau apakah lebih tepat bahwa elemen stabilitas dan koherensi hukum di dalam masa-masa yang kacau, merupakan lokomotif transformasi, sebagai suatu jaminan mencapai tujuan akhir yang ditetapkan? Dengan kata lain, kepercayaan masyarakat terhadap pengadilan akan tertutup, sebagaimana ditunjukkan situasi sosial yang terjadi.870 Masalah utama lain bagi pengadilan di Rumania adalah pemahaman yang timang mengenai peranan konstitusi dan hak-hak individu sebagai suatu “objective legal order.” Bahkan penyatuan terhadap keinginan budaya konstitusional (budaya konstitusional mengasumsikan tidak hanya tingkat yang dangkal mengenai “aturan konsitusi di atas kertas” akan tetapi juga masyarakat sebagai keseluruhan) pengadilan Rumania menciptakan “budaya konstitusional transisional” sendiri, yang didominasi oleh relativitas, ketidakpastian, dan ketidakpercayaan. Menganggap bahwa satu-satunya kualitas “penerap undang-undang”, ketidakmampuan melaksanakan beban masalah transisional (adaptasi, harmonisasi terhadap standar Eropa, penafsiran hukum), para hakim “transisional” tidak menghadapi harapan-harapan keadilan di dalam masyarakay. Meskipun demikian, seperti dikatakan oleh Dusan Nikolic bahwa,”hal ini tidak berarti bahwa kekuasaan kehakiman di Eropa Timur sepenuhnya buruk (…)karena situasi tersebut terjadi akibat pegadilan dituntut untuk 870 Baca lebih lanjut dalam: Wojciech Sadurski, 2004, Rights Before Couts: A Study of to Central user and Eastern Europe, Springer, hlm. Constitutional Courts in Postcommunistcommit States of 296-297. 277 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id menyelesaikan, hanya dalam beberapa tahun, apa yang oleh pengadilan di Barat telah dilaksanakan selama bertahun-tahun.”871 Dalam kondisi keseluruhan kekuasaan kehakiman semacam itu, mandat MK harus dijalankan. Dibentuk menurut UUD 1991, MK terdiri atas 9 hakim yang menjabat selama 9 tahun. Wewenang untuk mencalonkan hakim terbagi diantara DPR, Senat, dan Presiden, yang masing-masing mengajukan 3 orang. Dalam hal ini, MK miorip dengan MK di kawasan Eropa Timur lain jika yurisdiksinya dipahami sebatas persoalan-persoalan konstitusional, dan berbeda dengan model Amerika untuk alasan yang sama. Dalam 5 tahun (1990-1995), MK telah memutus perkara 56 perkara pengujian preventif, 9 pengujian keputusan Parlemen, 43 sengketa pemilu Presiden, 1 usulan pemberhentian Presiden (1994), 2 petisi hak inisiatif Parlemen, dan 1 pembubaran partai politik (1993). Serupa dengan Dewan Konstitusi di Prancis, UUD 1991 memberikan MK wewenang untuk memeriksa keputusan Parlemen dan peraturan perundang-undangan tertentu. Bahkan, seperti model Prancis, MK diberi wewenang untuk memeriksa keputusan dan Undang-Undang sebelum berlaku efektif. Walaupun demikian, dibandingkan dengan model Prancis, MK mempunyai perbedaan. Jika dalam model Prancis rancangan keputusan dan undang-undang harus diperiksa Dewan Konstitusil, maka pemeriksaan semacam itu oleh MK harus dilakukan jika sudah ada permohonan. Lembaga ini juga berwenang untuk memeriksa UU yang sudah diundangkan jika sebuah pengadilan di lingkungan peradilan lain mengajukan persoalan konstitusioonal. Pada akhirnya, UUD mengatur bahwa dalam hal putusan MK menyatakan suatu UU bertentangan dengan UUD, maka Parlemen dapat menunda putusan itu dengan dukungan minimal 2/3 suara Parlemen (Pasal 145 UUD). Sekali Parlemen menolak putusan to userlaw in the Serbian Legal System”, dalam Dusan Nikolic, “Elementscommit of Judge-made Bruxelles Bruylant (Editor), op.cit., hlm. 461. 871 278 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id itu, maka pengadilan tidak lagi berwenang untuk memeriksa UU yang bersangkutan. Dengan demikian, kekuasaan Parlemen melampaui kekuasaan putusan MK, suatu hal yang membedakan dengan model Eropa dan Amerika atau wewenang MA yang menjadi pemutus akhir dari persoalan konstitusional. Kedua kamar Parlemen—DPR dan Senat—ditentukan konstitusi untuk mengatur hukum prosedural masing-masing (Pasal 61 UUD), dengan dukungan mayoritas absolut (Pasal 74). Ketua DPR atau Ketua Senat, sekelompok anggota, sekurang-kurangnya meliputi 50 anggota Parlemen atau 25 Senator (Pasal 341 dan Pasal 143 UUD), mempunyai wewenang untuk mengajukan peninjauan jika putusan MK membatalkan keputusan Parlemen. Permintaan itu diajukan oleh masing-masing ketua kamar Parlemen.872 Selama lebih dari 19 tahun melaksanakan kewenangannya, MK telah memutus lebih dari 11.000 perkara, yang mayoritas mencakup CR terhadap UU atau RUU, perjanjian internasional, permohonan Parlemen, delegasi legislasi, sengketa kewenangan antarlembaga, dan beberapa putusan menyangkut pemilu kepresidenan dan referendum. Ada beberapa putusan yang menurut penulis dapat dikatakan sebagai putusan yang bersifat “landmark decision.” Perlu diketahui, bahwa dalam rangka CR, MK “in order to determine-even in the framework of the constitutionality review - whether a legal provision is or is not contrary to the Constitution it is first necessary to construe the content, the exact meaning of that legal provision, and then to compare this exact meaning and content with the provisions of the Constitution.”873 1 Bahkan, beberapa putusan MK yang disebut keputusan interpretatiftelah menemukan ketentuan hukum tertentu sebagai inkonstitusional sepanjang arti tertentu yangbertentangan dengan Konstitusi muncul 872 Putusan No. 45/1994 dan Putusan No. 46/1994. G. Kozsokár “Jurisprudence of the Constitutional Court of Romania and the commit to user European Convention on Human Rights” Kertas Kerja pada the National Conference, Sinaia, 1516 June 2005, hlm. 53. 873 279 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id darinya, yang selalu melibatkan proses penafsiran norma diperiksa.874 Dalam memeriksa CR, MK “must proceed to examine the constitutionality of the text criticized, the provisions relative to suspension, discontinuance or extinction of proceedings being not applicable.”875 Pengecualian untuk inkonstitusional adalah ketertiban umum, dalam pengertian bahwa “the exception of unconstitutionality does not rest at the discretion of the party who raised it and is not susceptible of being covered, not even by express waiver or renunciation to its being settled by the court.”876 Dalam pengujian UU mengani batas usia pensiun877, diajukan dalih oleh para pemohon bahwa ada pertentangan terhadap hak kesetaraan di muka hukum saat usia pensiun perempuan adalah 60 tahun dan dapat diperpanjang hingga usia 62 tahun, sementara untuk laki-laki adalah 65 tahun dan dapat diperpanjang hingga usia 67 tahun. Akan tetapi, MK memutuskan bahwa ketentuan yang membedakan usia pensiun tersebut bukanlah merupakan hal yang diskriminatif, sekalipun mengakui kesetaraan jender akan tetapi pembentuk UU tidak terikat dengan komitmen itu dengan alasan-alasan yang dapat dibenarkan berdasarkan realitas sosial atau tuntutan profesional. Dalam hal ini, MK merujuk kepada putusan serupa yang telah diperiksa oleh MK Jerman (1987) dan MK Austria (1990). Terkait dengan kebebasan bereskpresi yang dikaitkan dengan penghinaan pejabat publik, MK dalam putusannya878 menolak argumentasi pemohon bahwa ketentuan mengenai tuntutan pencemaran nama baik akan bertentangan dengan hak untuk menyatakan pendapat. Suatu hal yang menarik dicatat di sini, bahwa pemohon menggunakan putusan MK Hongaria (1994) yang telah 874 Putusan No. 606/2007; Putusan No. 818/2008. Putusan No. 126/1995. 876 Putusan No. 73/1996. 877 Putusan No. 107/1995. commit to user 878 Putusan No. 140/1996. 875 280 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id memutuskan ketentuan KUHP mengenai pencemaran nama baik merupakan ketentuan yang bertentangan dengan UUD. Akan tetapi MK menolak untuk merujuk yurisprudensi tersebut karena “for the current proceeding and the reasoning made there can not be examined by the Constitutional Court of Romania.” Terkait dengan ratifikasi Piagam Eropa untuk Daerah dan Bahasa Minoritas, MK Rumania mengatakan bahwa piagam tersebut sesungguhnya telah menjadi perdebatan di Komisi Eropa. Ratifikasi tersebut bertentangan dengan ketentuan Pasal 1, 6, 13, 114, dan 148 UUD Romania (mengenai karakter negara Rumania, perlindungan konstitusional untuk kalangan minoritas, bahasa resmi negara, delegasi legislasi, dan perubahan UUD). Jika ratifikasi itu dilaksanakan maka harus diikuti dengan perubahan UUD padahal substansi yang sama telah ditetapkan dalam UUD.879 Terhadap akses publik terhadap informasi, MK telah memutuskan bahwa terhadap arsip Securete tidak diperbolehkan adanya pembatasan dan larangan, karena bertentangan dengan ketentuan Pasal 31 UUD.880 Mengenai hak untuk membela diri, MK menolak untuk membatalkan ketentuan KUHAP Rumania yang mengatur bahwa akses terhadap penasehat bagi terdakwa ditentukan sepanjang dan sebatas pemeriksaan di pengadilan.881 Pemohon mendalilkan hal itu sebagai pelanggaran UUD karena semestinya akses terhadap penasehat hukum harus diberikan di semua tingkatan pemeriksaan hukum acara pidana. Dalam pandangan MK, dengan merujuk putusan Miranda Vs. Arizona (1966) di Amerika Serikat, di mana negara wajib memberikan perlindungan hak asasi termasuk akses terhadap penasehat hukum bagi terdakwa. Jika terdakwa tidak mempunyai kemampuan untuk menyediakan penasehat hukum, maka negara dapat menunjuk seseorang untuk menjadi pendamping 879 Putusan No. 113/1999. Putusan No. 203/1999. 881 Putusan No. 124/2001. 880 commit to user 281 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id terdakwa dan hal ini harus dengan persetujuan terdakwa. Dengan demikian, ketika terdakwa menguasakan kepada penasehat hukum untuk melaksanakan hak konstitusionalnya, telah dilakukan dengan penuh kesadaran. Selama proses pemeriksaan pidana, tidak diartikan bahwa dengan menjawab pertanyaan atau memberikan keterangan mengenai perkara itu dianggap terdakwa menyerahkan semua hakhaknya kepada negara. Terdakwa tetap setiap saat dapat melakukan konsultasi dengan penasehat hukum sepanjang ia telah menjalani pemeriksaan terlebih dahulu. Menyangkut hukum acara perdata, MK menolak untuk membatalkan ketentuan prinsip “res judicata.”882 Menurut pandangan MK, prinsip itu telah dikenal sebagai kaidah hukum umum dalam trandisi Romano-Jerman dan Anglo Saxon. Sesudah memutus perselisihan diantara para pihak pengadilan tidak mempunyai kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan putusan tersebut. Dengan adanya prinsip tersebut, maka putusan pengadilan hanya dapat dikoreksi melalui upaya hukum lain yang tersedia. Praktik peradilan di Rumania juga menyiratkan keinginan MK untuk secara tidak langsung menjamin dan melindungi hak asasi warganegara melalui penyelesaian sengketa kewenangan antarlembaga negara. Sengketa kewenangan konstitusional ini terjadi “concern breaches of the principle of the separation of powers, referring to interferences by certain authorities in the competence of the one that deems itself to be affected.”883 Dalam pandangan MK, sengketa kewenangan konstitusional lembaga “meant concrete acts or actions by which one or several authorities are assuming powers, prerogatives or competences that, according to the Constitution, belong to other public authorities, or the failure of certain public authorities, by declining their competence or refusing to fulfill certain acts that are 882 Putusan No. 478/2006. commit to user Sambutan Ketua MK Rumania, Augustin Zegrean, dalam peringatan ulang tahun ke50 MK Turki, hlm. 4. 883 282 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id part of their obligations.[…]”884 Selanjutnya, MK kembali menekankan bahwa “a legal dispute of constitutional nature exists between two or more authorities and can concern the content or the scope of their prerogatives as referred to by the Constitution, which means that these are conflicts of competence, either positive or negative, that can generate an institutional impasse.”885 Dalam putusan lain MK menandaskan bahwa sengketa kewenangan konstitusional “can arise between two or more authorities and can regard the content and the extent of their attributes established by the Constitution, which means that they are conflicts of competence, positive or negative, and which can create institutional blockages.”886 Berkaitan dengan produk hukum yang ditetapkan Parlemen, MK dapat memeriksa sebuah keputusan DPR atau sebuah keputusan Senat atau keputusan yang ditetapkan bersama-sama oleh kedua lembaga tersebut. Produk hukum kedua lembaga tersebut hanya boleh mengatur persoalan peran dan struktur Parlemen menurut Pasal 61 dan Pasal 64 UUD 1991. Permohonan itu diajukan oleh minimal 50 orang anggota DPR atau 25 orang anggota Senat. Alasan-alasan yang dat diajukan untuk menguji keputusan Parlemen adalah “even if the constitutional provisions do not expressly state, legal considerations set forth, reconfirming the autonomy of the Chambers of Parliament, demonstrate the lack of active quality of members of any of the Chambers of Parliament in controlling the provisions of Regulation of the other Chamber.”887 Permohonan pengujian itu dapat mencakup salah satu ketentuan atau seluruh ketentuan keputusan Parlemen tersebut. Dalam sebuah putusan yang diajukan oleh 27 Senator, MK hanya membatalkan satu ketentuan saja dari Keputusan Bersama DPR 884 Putusan No. 53/2005. Putusan No. 97/2008. 886 Putusan No. 838/2009. commit to user 887 Putusan No. 68/1992 dan Putusan No. 1009/2009. 885 283 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id dan Senat.888 Namun demikian, dalam beberapa putusan, MK menyatakan tidak berwenang untuk memeriksa penafsiran keputusan Parlemen dan implementasi keputusan tersebut.889 Demikian juga, apabila pengujian diajukan terhadap kata-kata yang tidak memadai atau tidak lengkap yang termuat dalam keputusan Parlemen, maka MK juga menyatakan tidak berwenang untuk memeriksa.890 Dalam putusan yang lain, MK membatalkan Keputusan Senat yang mengandung materi muatan melebihi mandat ketentuan Pasal 64 UUD 1991.891 Selanjutnya, MK menafsirkan bahwa “That has been the Court’s constant case-law, in the sense that Regulations of the Chambers of Parliament, being enacted by resolutions which concern the Chamber’s internal organization, can only determine rights and obligations in regard to MPs, as well as authorities, officials and civil servants, as the case may be, depending on their constitutional relationship with that Chamber.”892 e. Kasus Rusia (1) Desain Transisi Demokrasi Membicarakan transisi demokrasi di Rusia tidak bisa dilepasan dari Uni Soviet, sebuah negara adidaya akan tetapi akhirnya tidak mampu memperhatikan kesatuan wilayahnya dan harus bubar pada tahun 1991. Sebagai sebuah negara federasi, Uni Soviet 15 negara bagian yang terletak di kawasan Eropa Utara dan Asia Utara. Diantara negara bagian tersebut adalah Ukraina, Belarusa, Georgia, Lituania, Uzbekiztan, dan Kazakhstan, akan tetapi yang paling besar adalah Rusia. Moskow, ibukota Uni Soviet terletak di Rusia, dan bahasa utama adalah bahasa Rusia. Sampai dengan tahun 1989, Soviet dikendalikan oleh Partai Komunis. 888 889 Putusan No. 95/1998. Putusan No. 44/1993, Putusan No. 98/1995, Putusan No. 17/2000, dan Putusan No. 47/2000. 890 Putusan No. 317/2006. Putusan No. 601/2005. commit to user 892 Putusan No. 45/1994 dan Putusan No. 46/1994, Putusan No. 317/2006. 891 284 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Sejarah Soviet dimulai dari Revolusi Bolshevik (Maret 1917), yang meruntuhkan monarki Tsar Nicholas II. Pada bulan Oktober 1917, sesudah Tsar Nicholas II dan keluarganya dieksekusi, segera dibentuk pemerintahan baru yang berpusat di Moskow. Ideologi komunisme—yang sudah diorganisasikan sejak 1800-an893, yang disusun oleh Lenin dan berkiblat kepada ajaran Karl Mark894, yang memicu revolusi itu begitu laku di kalangan masyarakat Soviet pada waktu itu karena penindasan dan kesewenang-wenangan monarki (Tsar) di seluruh negeri.895 Lenin kemudian mengubah wajah pemerintahan Soviet menjadi bentuk kediktatoran896 dan akibatnya, timbul perang saudara (1918-1921) yang memecah belah negara tersebut. Meskipun demikian, kalangan Bolsheviks mampu mempertahankan kemenangan dan segera membentuk Partai Komunis dan mendirikan Uni Soviet (1922). Kematian Lenin pada tahun 1924 menimbulkan persoalan panjang siapa yang akan mampu menjadi pemimpin negara tersebut sampai akhirnya Joseph Stalian mengendalikan kekuasaan (1929).897 893 Susan Muaddi Darraj, 2010, The Collapse of Soviet Union, New Yok, Infobase Publishing, hlm. 25. 894 Ajaran Mark yang paling berpengaruh tersusun dalam The Communist Manifesto, yang diterbitkan di Jerman pada 1848 oleh Mark dan pemikir Jerman Friedrich Engels, yang antara lain mengemukakan bahwa pemerintahan yang dipimpin kelas pekerja akan lebih menguntungkan masyarakat dibandingkan dnega sistem kapitalisme. Hal yang menarik, Lenin, yang merupakan warga negara Rusia dapat mengakses ajaran tersebut sesungguhnya merupakan hasil dari reformasi dan pencerahan yang dilakukan oleh penguasa Rusia, Ratu Catherine yang Agung (bertahta 21 April 1729-17 November 1796), di mana kelompok intelektual Rusia mampu memperkuat masyakarakat dan dapat mengikuti perkembangan dunia luar. Ibid., hlm. 18 dan 26. 895 Kesan ini mungkin merupakan kesan yang paling umum. Suatu hal perlu dicatat bahwa pada 30 Oktober 1905, Tsar Nicholas II telah mengeluarkan Manifesto Oktober yang mengikis kekuasaannya dan membentuk Parlemen yang dikenal sebagai Duma. Tiap-tiap penduduk Rusia akan memberikan suara dalam pemilihan umum untuk memilih anggota Duma. Tidak akan ada suatu UU yang berlaku tanpa terlebih dahulu memperoleh persetujuan Duma. Lihat: Ibid. 896 Hal inilah yang menurut para ahli sejarah dikatakan bahwa Lenin memang mengikuti ajaran Mark, akan tetapi melakukan modifikasi dan menjadi doktrin tersendiri untuk menyesuaikan dengan kondisi Rusia. Bagi Lenin, selain kelas pekerja dan petani, kalangan industri juga perlu diperhatikan dalam pelaksanaan sistem komunisme tersebut. Ibid., hlm. 28. 897 Di saat kesehatan Lenin mulai menurun pada Mei 1922, Stalin telah diberi kepercayaan memegang jabatan Sekretaris Jenderal Komite Sentral Partai Komunis. Jabatan itu, to tambahan user yang belum dinilai strategis, tak lebihcommit dari tugas partai, mulai digenggamnya sejak April 1922. Pilihan itu dengan pertimbangan bahwa Lenin tidak pernah mempertimbangkan Stalin 285 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Kebijakan Stalin yang penting adalah industrialisasi dan pertanian. Stalian merancang Rencana Pembangunan 5 Tahun (the Five-Year Plan) dan memerintahkan pembentukan industri berat seperti kimia, pertambangan, dan besi baja.898 Stalin menuntut ketersediaan pangan domestik dengan cara merampas kepemilikan lahan-lahan perseorangan dan untuk kemudian digabungkan dan dikerjakan secara kolektif.899 Stalin menandatangani perjanjian dengan Jerman, bahwa kedua negara tidak akan saling menyerang satu sama lain (1939).900 Perjanjian itu menyebabkan Uni Soviet mampu menduduki wilayah Estonia, Latvia, dan Lituania. Stalin juga menguasai wilayah timur Polandia. Akan tetapi pada Juni 1941, Hitler memerintahkan pasukan Jerman untuk menyerang Rusia melalui Operasi Barbarossa.901 Bahkan, salah satu anak laki-laki Stalin, Yukov Dzhugashvili, yang menjadi letnan altileri Resimen ke-14, tertawan tentara Jerman dan kemudian pihak Jerman memotret serta mengirimkan gambar itu ke Stalin, dengan harapan akan ada negosiasi.902 Namun, Stalin sama sekali menolak menunjukkan komitmen itu dan keluarlah kata-katanya sebagai penggantinya karena ia tidak mempunyai kecermelangan seperti Leod Trotsky dan keunggulannya hanyalah wataknya yang keras seperti baja. Dalam testamen, Lenin mewasiatkan agar Leod Trotsky ditunjuk sebagai penggantinya jika ia meninggal dunia. Namun testamen itu disembunyikan oleh Stalin. Selanjutnya, Stalin menggalang kekuatan bersama dengan Lev Kamenev dan Grigori Zinoviev (yang kelak juga disingkirkannya) untuk mengasingkan Leod Trotsky. Lihat: Syamdani, Kisah Diktator-PsikopatL KOntroversi Kehidupan Pribadi dan Kebengisan Para Diktator, Yogyakarta, Penerbit Narasi, hlm. 188-189. 898 Industrialisasi ini kelak memberikan sumbangan penting bagi kemenangan Soviet atas Jerman (1945). Akibat kebijakan ini, menurut pengamatan Barat dalam tahun 1928-1941, telah meningkatkan jumlah industri sipil menjadi 2,6 kali lipat dan menghasilkan mesiu sebesar 70 kali lipat dari sebelumnya. Selama 12 tahun industrialisasi ini, konstruksi dan transportasi mengembangkan sumbangan bagi pendapatan negara tidak kurang dari ¼ kali lipat dalam masa separuh waktu ini. Lihat: Mark Harrison, “Stalinist Industrialisation and the Test of War”, History Workshop Journal, Vol. 29, 1990, hlm. 65. 899 Andrew Langley, 2007, The Collaps of the Soviet Union: The End of an Empire, Minneapolis, Compass Poin Book, hlm. 21. 900 Latar belakang perjanjian ini, lihat: R.C. Raack, “Stalin’s Plans for World War II”, Journal of Contemporary History, Vol. 6, No. 2, 1991, hlm. 215. 901 Muhammad Daud Darmawan, 2010, Kendaraan Tempur (Perang Dunia II), Yogyakarta, Penerbit Narasi, hlm. 26. 902 commit to user Brenda Haugen, 2005, Joseph Stalin: Dictator of the Soviet Union, Minneapolis, Compass Point Book, hlm. 9-10. 286 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id yang terkenal “War is war.”903 Stalin kemudian menjalin hubungan dengan Amerika dan Inggris untuk membebaskan wilayah yang diduduki oleh Jerman dan Soviet berhasil menyingkirkan tentara Nazi pada tahun 1943. Sejak awal tahun 1950-an, Stalin kemudian mulai berpandangan untuk mengembangkan jaringan komunisme ke seluruh dunia. Hal itu dimulai saat Stalin mengontrol negara-negara Eropa Timur.904 Setelah kematian Stalin (1953), posisi Sekretaris Jenderal Partai Komunis diisi oleh Nikita Sergeyevich Khrushchev, yang sebelumnya menjadi Perdana Menteri (1958-1964). Pada masa kepemimpinan Khrushchev inilah dibentuk Pakta Warsawa untuk menandingi NATO sebagai persekutuan pertahanan. Sejak saat itulah mulai dilancarkan Perang Dingin (Cold War) sebagai cara “grew out of Moscow’s imposition of system of the Soviet type on countries that came under its control as a result of the Second World War.”905 Jadi, Perang Dingin merupakan “the hostile East-West confrontation that basically arose out of the empire-building process through which Moscow installed Soviet-controlled client states, initially called ‘people’s democracies’ in countries of East-Central Europe and the Balkans.”906 903 Ibid., hlm. 10. Akibat sikap Stalin tersebut, nyawa anaknya menjadi taruhannya. Beberapa pakar sejarah yakin bahwa Yakov tewas dibunuh oleh tentara Jerman, sementara pakar yang lain meyakini bahwa ia bunuh diri. Menurut laporan resmi, Yakov tewas pada April 1943, setelah melarikan diri melalui pagar kawat listrik yang mengelilingi tempat ia ditahan. Stalin sama sekali tidak pernah menyesal akan penahanan dan kematian anaknya tersebut. Bahkan ia pernah mengatakan,”I have no son named Yakov<’ seperti dilaporkan wartawan setelah penahanan Yakov. 904 Kebijakan ini berbeda dengan rencana awal di mana Uni Soviet menganggap Italia menjadi pintu masuk untuk persebaran ikatan ideologi komunis. Menurut Pons, “In the postwar peace process Moscow attached much lower priority to Italy than to the East Eurupean countries that had been occupied by Nazi Germany. Italy was of limited significance for Soviet foreign policy, and political and economic relations between the two countries never fully developed.” Lihat: Silvio Pons, “Stalin, Togliatti, and the Origins of the Cold War in Europe”, dalam www.fas.harvard.edu, diakses di Surakarta, 5 Juni 2013, pukul 16.22 WIB. 905 Robert C. Tucker, “The Cold War in Stalin’s Time: What the New Sources Reveal”, commit to user Journal of Diplomatic History, Vol. 21, No. 2, 1997, hlm. 273. 906 Ibid., hlm. 274. 287 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Posisi Khrushchev kemudian digantikan oleh Leonid Brezhnev (1964) hingga meninggal dunia pada tahun 1982. Gaya kendali kaku Partai Komunis Soviet terhadap dipertahankan. Sejak tahun 1968, Brezhnev berusaha mendefinisikan batas-batas kebijaksanaan independen dengan sekutu sosialisnya dibandingkan jaringan ideologi yang ortodok, terutama setelah melakukan intervensi militer ke Cekoslovakia, saat tuntutan demokratisasi di negara itu menggeliat. Sepanjang masa jabatan Brezhnev, sistem berjalan stagnan. Akan tetapi dengan semakin besarnya sentralisasi partai dan sistem ekonomi komando, justru proyek-proyek pembangunan memberikan keuntungan besar. Bidang pertanian tergeser dengan industrialisasi yang berjalan cepat dan tingkat melek huruf di kalangan anak-anak meningkat menjadi 98%. Uni Soviet tidak hanya menantang Amerika di bumi, akan tetapi juga berlomba mencapai dan menguasai ruang angkasa (1969). Namun, memasuki dasawarsa 1970-an dan 1980-an, sistem itu mulai merosot. Mulai muncul krisis legitimasi pemerintah di mata masyarakat. Keadaan masyarakat seperti digambarkan oleh Timothy Colton di tahun 1986, “studies of Soviet buying habits observe that citizens now feel entitled to more and better goods than in the past and that the demands of people have significantly grown and industry trails along behind them.”907 Berbeda dengan sesumbar Khrushchev pada 1961 ketika mengatakan bahwa tingkat pendapatan per kapita Soviet akan melampaui Amerika untuk waktu 20 tahun, akan tetapi pada 1980 realitanya hanya mencapai 1/3 pendapatan Amerika.908 Sudah sejak awal 1970-an pertumbuhan menyusut menjadi rata-rata 3% saja, bahkan pada 1985 sudah menjadi 1,6%. Penuruhan pertumbuhan ini juga diikuti dengan kemorosotan produksi terutama pertambangan dan baja. Bahkan, produksi minyak juga menurun pada pertengahan 1980907 Timothy J. Colton, 1986, Dillemma of Reform in the Soviet Union, New York, Council on Foreign Relations, hlm. 49. commit to user 908 Ibid., hlm. 47. 288 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id an dan pertanian juga tidak dapat diharapkan.909 Yang mencengangkan pada era tersebut, mulai muncul gugatan-gugatan dari negara bagian Uni Soviet atas integrasi mereka ke sistem komunis. Aneksasi kawasan Baltik oleh Soviet pada 1939 misalnya, mendorong penduduk Lithuania, Latvia, dan Estonia, menentang upaya pemerintah untuk mendorong asimilasi dengan penduduk asli Soviet. Muncul kecaman publik atas kebijakan penerapan bahasa di Lithuania (1972) dan Georgia (1978). Sebuah bom diledakkan di stasiun Moskow oleh pejuang Armenia (1977). Pada saat yang sama, penduduk dari kalangan non Rusia dan non Eropa meningkat 4 kali lipat dibandingkan pertumbuhan etnik Rusia.910 Data-data yang mengerikan itu disodorkan oleh Michail Gorbachev, yang ditunjuk menjadi Sekretaris Jenderal menggantikan Brezhnev. Situasi itu mendorong Gorbachev mengumumkan kebijakan restrukturisasi (perestroika) pada 1985 untuk melakukan reformasi ekonomi dan sosial. Selama periode ini, Uni Soviet “was copying eith the challenges of ths so-called ‘Third Wave’ revolution hich was characterized by an extremely turbulent internal and external environment, the need for extensive knowledge and a technologically intense environment.”911 Langkah-langkah pembaruan ekonomi diluncurkan seperti liberalisasi (1986), UU Perseroan (1988), dan UU Koperasi (1988). Usul demokratisasi telah mendorong terciptanya pemilihan bebas yang tidak pernah dijumpai dalam sistem sebelumnya. Guna membantu dalam menyusun dan merejamakan Politbiro, Gorbachev menempatkan Boris Yeltsin sebagai Sekretaris Partai di Moskow. Namun saat menyaksikan bahwa upaya pembaruan berjalan begitu lambat, Yeltsin kemudian memutuskan hubungan dengan Gorbachev dan mengkritik kinerja pemerintah untuk pertama kali 909 Ibid., hlm. 35. Ibid., hlm. 45. 911 commit user Alvin dan Heidi Tiffler, 1994, Warto and Anti War, Survival at the Dawn of the 21th Century, London, Warner Books, hlm. 71-78. 910 289 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id dalam suatu sidang pleno partai di bulan Oktober 1987, termasuk kecaman terhadap upaya mengkultuskan Gorbachev itu sendiri. Akibat tindakan ini, maka Gorbachev kemudian memecat Yeltsin, suatu tindakan yang mencerminkan keragu-raguannya terhadap sosok ini. Akan tetapi pada pemilu Maret 1989—pemilu bebas yang pertama kali dilaksanakan di Uni Soviet, Yeltsin berhasil terpilih sebagai anggota Parlemen Uni Soviet dan pada tahun 1990 terpilih sebagai Ketua Parlemen. Sementara itu, Menteri Luar Negeri Eduard Shevardnaze dan pengurus Politbiro Aleksandr Yakovlev mulai menunjukkan pembangkangan terhadap Gorbachev. Menyadari situasi itu, maka Gorbachev tidak mempunyai pilihan lain, kecuali merapat ke kalangan konservatif dan untuk pertama kalinya ia memerintahkan pengerahan pasukan guna mengatasi pembangkangan negara bagian pada Januari 1991 di Lithuania dan Latvia yang memproklamasikan kemerdekaan pada 1990. Dalam suatu peristiwa aksi massa di sebuah stasiun televisi di Lithuania, 14 orang tewas dan 500 orang terluka akibat serangan Tentara Merah. Usaha Gorbachev untuk melakukan renegosiasi ulang dengan 15 negara bagian ditentang kalangan Politbiro). Puncaknya pada 17 Agustus 1991 Komite Darurat Negara912 mengadakan usaha kudeta terhadap Gorbachev dan menempatkan pasukan militer dan kendaraan lapis baja di Moskow, termasuk di Parlemen.913 Pada saat bersamaan negara bagian Moldova, Estonia, Belarusia, Azerbaijan, Armenia, dan Republik Asia Tengah menyatakan kemerdekaan. Rusia dan Ukraina menyusul kemerdekaan pada Desember 1991. Pelaku kudeta tersebut mengira dengan menahan dan mengisolasi Gorbachev maka negara 912 Komite ini beranggotakan Wakil Presiden Uni Soviet, Perdana Menteri, Kepala Dinas Rahasia (KGB), Menteri Pertahanan, Menteri Dalam Negeri, Ketua Persatuan Petani, Wakil Ketua I Dewan Pertahanan, dan Ketua Asosiasi Negara-Negara Industri Uni Soviet. 913 Komite ini, di samping menentang usaha Gorbachev untuk melakukan negosiasi ulang terhadap 15 negara bagian, juga mengatakan bahwa negara berada dalam “kematian yang user akan mengembalikan Uni Soviet pada membahayakan, dan sebagai pendukungcommit unitaris,tomereka tempat yang sesuai dan kejayaan seperti masa lalu. 290 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id akan dikuasai, padahal mereka melupakan sosok lain yang berpengaruh, yaitu Boris Yeltsin. Menyadari situasi yang terjadi, Yeltsin kemudian menuju Moskow dan di atas sebuah tank mengucapkan pidato yang mengecam aksi kudeta tersebut. Yeltsin berhasil meyakinkan militer untuk berpihak pada dirinya dan Rusia dan tidak melakukan aksi terhadap penduduk sipil.914 Tindakan Yeltsin disiarkan oleh media di seluruh dunia dan setelah itu Amerika Serikat, Inggris, Prancis, dan negara-negara barat lain mengakui kepemimpinan Yeltsin atas Rusia.915 Sedangkan kudeta itu sendiri gagal dan pada 21 Agustus 1991 negara mampu dikendalikan oleh Yeltsin. Di akhir 1991, Yeltsin secara efektif mengambilalih kementerian dan institusi politik lainnya, untuk kemudian dikendalikan oleh Rusia, di mana ia terpilih sebagai Presiden sejak Juni 1991. Berbeda dengan transisi demokrasi di Amerika Latin, tak ada perjanjian antara Gorbachev atau aktor pemerintahan lama lainnya untuk mengakhiri Uni Soviet. Tidak pula terjadi kebuntuan negosiasi ataupun hasil kesepakatan untuk mengubah politik menjadi demokratis. Militer tidak menjalankan peran utama dalam proses transisi tersebut. Oposisi demokratik yang dipelopori oleh Yeltsin secara meyakinkan mengambilalih Rusia pada 1991 dan sesaat kemudian menjalankan demokrasi serta mulai melaksanakan reformasi pada Januari 1992. Sesudah mengambilalih pemerintahan, Yeltsin, selaku pemimpin Rusia, mengadakan perundingan dengan Ukraina dan Belarusia dan perjanjian pada menghasilkan kesepakatan yang dituangkan dalam Desember 1991. Kesepakatan itu menandai pembubaran federasi Uni Soviet. Tidak lama setelah itu, Yeltsin menganggap bahwa Republik Federasi Rusia yang dipimpinnya memerlkan suatu perjanjian internal untuk pelaksanaan pemerintahan. 914 John Dunlop, 1993, The Rise of Russia and the Fall of the Soviet Empire, toBab user Princenton, Princenton University Press,commit khususnya V. 915 Ibid., hlm. 11. 291 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Sesudah serangkaian negosiasi yang melelahkan, pada 31 Maret 1992, Federation Treaty ditandatangani. Perjanjian ini berlaku untuk Rusia, satuan pemerintah daerah (distrik, teritori, dan Kota Moskow dan St. Petersburg) serta daerah otonom lainnya. Federaration Treaty menjadi ketentuan tambahan dalam UUD Rusia (1978). Perjanjian ini menekankan yurisdiksi dan kekuasaan pemerintahan federal dan satuan pemerintahan daerah lainnya. pemerintah daerah yaitu Perlu dicatat, bahwa 2 satuaan Tatarstan dan Chechnia, tidak menandatangani perjanjian tersebut. Penandantanganan Federation Treaty itu menjadi salah satu langkah penting dalam transisi demokrasi di Rusia. Bahkan, pada saat disetujui, para pengamat mengemukakan banyak manfaat dari perjanjian tersebut. Mereka menekankan posisi pemerintah federal sebagai negara merdeka yang telah melakukan pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah. Perjanjian itu tidak hanya menekankan hubungan Rusia dengan negara bagian saja, akan tetapi juga satuan daerah otonom lainnya. Sebagai salah satu bentuk kesuksesan politik, perjanjian itu telah menentukan cara penyelenggaraan negara, setelah sebelumnya diramalkan bahwa Rusia akan mengikuti pola bekas Uni Soviet. Federation Treaty selanjutnya dapat dianggap sebagai salah satu dasar hukum pada pasca Uni Soviet. Sesudah berjalan selama 2 tahun, dengan ditetapkannya UUD 1993, maka dokumen itu telah menjadi ketentuan hukum dasar, sekalipun tidak pernah disertakan dalam referendum Desember 1993. Namun, Federation Treaty telah dikurangi keberlakuannya atas ketentuan UUD 1993, yang mengatakan bahwa apabila ada pertentangan antara Federation Treaty dengan UUD, maka UUD dimenangkan. Oleh pakar hukum Rusia, dengan kenyataan itu, maka perjanjian tersebut posisinya menjadi sekunder dalam hierarki tata hukum, tidak pararel dengan UU 1993 atau bukan commit to user 292 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id pula pelengkap UUD. Bahkan, perjanjian itu hanya berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UUD. Dalam 9 tahun kepresidenan Boris Yeltsin, dimulai sejak sebelum Uni Soviet pecah, Rusia secara sistematis mulai melakukan reformasi pengadilan dan kekuasaan kehakiman dengan meletakkan dasar-dasar yang berhubungan dengan independensi peradilan. Pada saat yang sama masa jabatan hakim pada kebanyakan pengadilan memperoleh ditentukan seumur hidup dan diawasi oleh Komisi Yudisial. Kemudian saat administrasi pengadilan berpindah dari cabang eksekutif di Departemen Kehakiman kemudian di bawah MA, diikuti dengan ekspansi besar kapasitas pengadilan yang berwenang melalui penciptaan Hakim Perdamaian. (2) Kinerja Mahkamah Konstitusi Cikal bakal MK dimulai pada 1990 dengan penciptaan Komite Pengawasan Konstitusional (Constitutional Supervision Committee) di sejumlah negara bagian Uni Soviet dan berlangsung sampai penundaan pembentukan MK Rusia pada 1993. Hanya 11 negara bagian komite pengawasan pada gelombang ini. Mengapa Negara Bagian Rusia membuat MK lebih cepat dibandingkan negara bagian lain di Uni Soviet? Ada suatu kemungkinan bahwa Rusia memiliki otonomi yang relatif lebih tinggi dibandingkan negara bagian lainnya. Pada waktu itu Rusia memiliki wewenang untuk mengesahkan UU secara otonom, suatu kewenangan yang absen dari negara bagian lain. Melonjaknya kapasitas pembentukan UU diantara negara bagian memaksa pertimbangan dibentuknya suatu Komite Pengawasan Konstitusional guna memeriksa kualitas UU. Pembentukan CR di tingkat federal sangat dipengaruhi penciptaan badan-badan regional serupa. Segera setelah itu pada tahun 1990, sejumlah negara bagian (Komi, North Ossetiya, dan Tatarstan) menciptakan badan sendiri untuk menentukan konstitusionalitas UU commit to user serta Keputusan Perkumpulan dan Keputusan Badan Pemerintah 293 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Publik. Komite Pengawasan Konstitusional di 3 negara bagian tersebut mulai beroperasi pada Desember 1990 dengan latar belakang pemikiran otonomi versi elit politik Rusia dan penguasa Uni Soviet. Pada 1990-1991, Parlemen Rusia menciptakan jabatan Presiden dan MK dalam upaya untuk memastikan integritas teritorial dan status kedaulatan dalam Uni Soviet. Pembentukan MK Rusia dirintis pada 12 Juli 1991 (5 minggu sebelum kudeta Agustus 1991). Pendirian ini ditetapkan dengan UU dengan mengambil nasehat dari Jerman. Sebanyak 13 dari 15 orang hakim telah disetujui oleh Parlemen pada Oktober 1991. Setelah Parlemen Rusia membuat MK, beberapa negara bagian Uni Soviet memilih untuk mendirikan MK pada model ini. Pengadilan diberdayakan untuk melindungi fondasi konstitusional negara bagian, pengujian UU Federal menurut UUD Rusia dan erjanjian antara Negara Bagian dan Moskow. Para pembentuk MK tersebut melihat pengadilan ini sebagai langkah pertama ke arah modern, berdaulat, berbasis negara hukum dengan pemisahan kekuasaan dan sistem peradilannya mandiri, seperti di Amerika Serikat, di mana negara memiliki sistem hukum sendiri, dan Jerman, di mana Negara Bagian memiliki MK sendiri. Bersamaan dengan itu, popularitas Yeltsin semakin melambung dan sorotan kekuasaan terlah bergeser dari Uni Soviet ke Rusia. Saat pengadilan melaksanakan wewenang dengan menerima perkara pertama kali pada Januari 1992, Uni Soviet telah bubar dan kendali pemerintahan ada pada Federasi Rusia dengan Presiden Boris Yeltsin. Dengan situasi semacam itu, “one would expect that the court would be beholden to the Russian President.”916 Akan tetapi hal itu tidak terjadi, karena “the Russian Court was substantially different from that of oversight committee commit Judicial to userReview, and the Russian Constitutional Carla L. Thorson, 2012, Politics, Court, hlm. 26. 916 294 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id leaving judge in a position to act independently from the executive branch.”917 Untuk pertama kali, MK di tingkat negara bagian didirikan di Negara Bagian Dagestan, sebuah wilayah miskin kecil di Kaukasus Utara yang dihuni oleh sebelas kelompok etnis. Pembentukan MK berhasila dilaksanakan pada Desember 1991 dan mengeluarkan putusan untuk pertama kali pada tanggal 6 Maret 1992 yaitu putusa untuk membatalkan penggelembungan harga pada distribusi alkohol (Kriazhkov 1999:285). Meskipun beragam, komposisi multi-etnis di negara bagian ini bisa berkontribusi pada pengenalan CR guna menyelesaikan sengketa antar etnis sebagai salah satu keberhasilan konsolidasi oleh kalangan elit politik di mana Ketua Parlemen Magomedali Magomedov918 memainkan peran signifikan dalam proses tersebut. Selanjutnya, MK di tingkat negara bagian dibentuk di Siberia Sakha-Iakutiia, yang sekarang merupakan negara bagian terbesar dalam Federasi Rusia. Pada Februari 1992, UUD Negara Bagian menetapkan pembentukan MK. Para hakim yang dipilih pada bulan Juni 1992, mengeluarkan putusan pertama kali pada tanggal 18 Desember 1992, mengenai kewajiban untuk menghormati kontrak antara pemerintah kota dengan individu. Pembentukan MK dilakukan setelah Presiden Sakha Mikhail Nikolaev itu tertanam kuat dalam kekuasaan. Sebelum memenangkan pemilu presiden dengan 77% dari suara rakyat pada Desember 1991, Nikolaev merupakan Ketua Parlemen selama 2 tahun. Pada tahun 1991, ia menolak untuk memasok kas Pemerintah Federal dengan emas dan berlian dan menahan pendapatan pajak federal. Nikolaev terpilih kembali pada 917 Ibid. Magemedov merupakan mantan Ketua Partai Komunis yang telah berkuasa sejak Agustus 1987. Pada tahun 1990, ia terpilih untuk memimpin negara bagian ini, dan terpilih kembali terus menerus pada pada tahun 1994, 1998, dan 2002. Saat menjadi Gubernur Dagestan, Magomedov secara luas diharapkan untuk memenangkan commit to user pemilu di tahun 2006 dan untuk mempertahankan jabatannya hingga 2010. 918 295 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id tahun 1996 dan diberhentikan setelah menjabat 3 bulan pada Desember 2001 dengan intervensi Pemerintah Federal. Pada 1992-1993, beberapa negara bagian yang lain (Bashkortostan, Chechnya, Kabardino-Balkariia, Mordoviia, Tatarstan, dan Tyva) menetapkan UUD dan berhasil menyetujui pendirian MK, tetapi lambat untuk memilih hakim. Oleh sebab itu, MK di Negara Bagian Kabardino-Balkariia mulai bekerja pada Juli 1994, setelah Ketua Parlemen, Valerii Kokov, memenangkan pemilihan presiden di 1992 dengan 89% suara. Presiden Kokov mengulangi keberhasilannya dalam pemilu 1997 dengan memenangkan 93% suara, dan, jika terpilih kembali, dia bisa mempertahankan jabatannya hingga 2012. Pada tahun yang sama, MK untuk pertama kali menerima permohonan CR. Namun demikian, putusan MK menunjukkan adanya formulasi terbatas terkait dengan pelaksanaan CR tersebut. sementara itu, MK Bashkortostan memulai melaksanakan kewenangan pada bulan Oktober 1997, artinya 5 tahun sesudah ditetapkan oleh UUD Negara Bagian 1992. Pengadilan ini mulai bekerja pada saat puncak posisi politik kekuasaan Presiden Bashkortostan yaitu Murtaza Rakhimov. Rakhimov telah memerintah sejak tahun 1990 dan memenangkan kursi kepresidenan pada tahun 1993 dan 1998 dengan dukungan suara masing-masing 64% dan 70%. Pada sisi yang lain, MK di negara bagian Tatarstan, didirikan pada November 1992 dan mulai bekerja pada bulan Juni 2000 ketika Presiden Tatarstan Mintimer Shaimiev begitu begitu berkuasa dan bahkan pemerintahan Putin tidak bisa mencegah dia dari pencalonan dan memenangkan jabatan Presiden untuk ketiga kalinya dalam pemilu 2001. Kemudian, MK di negara bagian Tyva, didirikan pada bulan Desember 1992 dan para hakim diangkat pada bulan Juli 2003. Presiden Tyva Sherig-ool Oorzhak telah berkuasa sejak April 1992 setelah memenangkan pemilu dengan 83% suara. Oorzhak mengulangi keberhasilannya pada tahun 1997 commit to user 296 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id (71% suara) dan 2002.919 Dengan demikian, tampak bahwa para elit politik lokal di Federasi Rusia mendirikan MK hanya setelah mereka melakukan konsolidasi kekuatan politik. Banyak MK di negara bagian menghadapi masalah dalam tahun-tahun awal pembentukannya. Bahkan semangat pembentukan pengadilan kemudian diikuti dengan kejadian yang mencengangkan yaitu, pembubaran MK. Dimulai pada Juni 1993, ketika Presiden Chechnya Dzhokhar Dudaev dipecat oleh MK setelah mendakwa pada Mei 1993. Parlemen Chechnya membentuk MK pada Oktober 1992 dan terpilih 9 hakim konstitusi lewat persaingan sengit. Dudaev menentang MK dalam pertentangan dengan Parlemen dan kemudian dibubarkan pada bulan Juni 1993. Keputusan tersebut sebelum munculnya popularitas Dudaev yang melejit pada pertengahan 1994 saat muncul gelombang sentimen anti-Rusia.920 Di Negara Bagian Mordoviia, Parlemen menciptakan pengadilan pada April 1993 dan dengan cepat menunjuk para hakim. Sebelum pembentukan MK, 8 calon hakim tersebut bersaing dalam pemilu presiden 1991 yang hanya diikuti oleh figur nonkomunis dan bukan kalangan incumbent. Ketua Parlemen Mordoviia, Nikolai Biriukov menjelaskan bahwa MK diperlukan untuk menegakkan konstitusi negara bagian dan untuk menyelesaikan sengketa antara Parlemen dan Presiden Mordoviia, yang mengikuti strategi Yeltsin untuk merongrong dan mengabaikan pengambilan keputusan parlemen. Parlemen kemudian terampil menggunakan MK untuk menghapuskan jabatan Presiden dan Wakil Presiden Mordoviia pada tahun 1993. Ketua MK Mordoviia Pavel Eremkin mengakui bahwa MK dibentuk sangat cepat untuk menyelesaikan konflik politik yang 919 Jeffrey Kahn, 2002, Federalism, Democratization, and the Rule of Law in Russia, New York: Oxford University Press, hlm. 212. 920 Jane Ormrod, ‘‘The North Caucasus: Confederation in Conflict,’’ dalam I. Bremmer dan R. Taras (Editors), 1997, New to States, commit userNew Politics: Building the Post-Soviet Nations, Cambridge: Cambridge University Press, hlm. 103-107. 297 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id serius antara legislatif dan eksekutif (1994). Dia bersikeras bahwa MK mewakili cara beradab untuk menyelesaikan perselisihan konstitusional dalam negara demokratis. Meskipun Eremkin tidak percaya bahwa MK akan dihapuskan, Parlemen kemudian berkeinginan untuk membubarkan pengadilan ini pada Februari 1994, setelah hakim mengkritik secara terbuka para pembentuk hukum. Para elit politik Mordoviia kemudian meniru tindakanYeltsin, yang menangguhkan aktivitas MK Rusia pada bulan Oktober 1993 dalam usahanya menghadapi tentangan Parlemen Rusia. Pada awal 1990, para pejabat federal sebagian besar acuh tak acuh terhadap MK dan strategi pembubarannya di negara bagian. Pada awal tahun 1992, sejumlah hakim di beberapa MK negara bagian meminta Parlemen Rusia untuk mengkonfirmasi legitimasi mereka dan untuk menyetujui ide pembiayaan federal. Mereka berhasil dalam mendapatkan persetujuan pembentukan MK daerah sebagai tindakan sah menurut Federation Treaty, yang menempatkan CR negara bagin dalam yurisdiksi eksklusif daerah. Tetapi, Moskow menolak pembiayaan federal atas pengadilan tersebut karena bukan bagian dari peradilan federal dan, dengan demikian, hanya daerah sendiri bisa membiayai mereka. Meskipun Konvensi Konstitusi yang diselenggarakan oleh Presiden Yeltsin pada 1993 berusaha untuk menyamakan status semua unit federasi, pejabat federal secara informal memberi jaminan bahwa negara bagian akan memiliki pengadilan sendiri. Banyak utusan negara bagian ingin memasukkan norma-norma tentang pengadilan daerah dalam UUD Federal. Utusan federal berpendapat bahwa hal itu terserah kepada setiap rnegara bagian untuk memutuskan apakah akan memiliki MK sendiri dan menentang otorisasi MK negara bagian menurut UUD Federal karena akan meningkatkan negara bagian atas daerah lain. commit to user 298 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Pembahasan berikutnya merujuk kepada eksistensi MK di tingkat federal. Untuk periode pertama ini, MK diberi wewenang penting dengan 2 alasan. Pertama, MK merupakan sarana lain dari propaganda bagi pemerintah Rusia untuk memperoleh modal politik dari pemerintah Soviet. Guna memperoleh popularitas, Yeltsin dan Parlemen bekerjasama untuk memberikan independensi yang lebih besar kepada MK dibandingkan apa yang pernah direncanakan oleh Gorbachev. Kedua, pada 1991, Presiden Yeltsin tidak memiliki persoalan dengan Parlemen dalam merumuskan kekuasaan mereka sampai kemudian meletus peristiwa Oktober 1993. Dengan demikian kedua cabang kekuasaan bersedia untuk memberikan dukungan bagi independensi pengadilan pada 1991 dan mereka terjamin terhadap pengadilan. Saat pertama kali membentuk rancangan UUD Rusia dan dipublikasikan 1991, konstitusi ini memberikan kewenangan substansial bagi MK. Secara garis besar, fungsi MK mencakup: melakukan CR terhadap UU dan Keputusan Presiden, menyelesaikan sengketa antara pemerintah federal dengan pemerintah negara bagian, memeriksa pelanggaran UUD oleh Presiden, dan melakukan inisiatif untuk memecatnya. Semula, pengadilan akan diberi wewenang untuk memeriksa perjanjian internasional sebelum dilakukan ratifikasi, namun ditolak oleh kalangan politisi untuk mencegah intervensi MK terhadap negosiasi internasional. Putusan pengadilan berlaku di seluruh wilayah dan mengikat semua badan negara. Setiap badan yang membentuk hukum diberikan waktu 30 hari untuk melakukan revisi. Putusan untuk CR berlaku sejak saat diumumkan. Seperti sudah diuraikan di atas, MK telah memiliki 13 orang hakim dan pada mulanya dipilih dari 23 hakim yang diajukan oleh Yeltsin akan tetapi kenyataannya mereka dikonfirmasi oleh bermacamcommit to user 299 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id macam faksi di Parlemen.921 Sejak tahap pencalonan dilakukan, sudah muncul kecaman terhadap para calon hakim tersebut. Parlemen hanya memberikan waktu 5 menit bagi kandidat untuk “hearing.” Banyak keluhan terhadap kandidat karena banyak yang tidak terlatih dengan baik, kecuali Valerii Zorkin (yang kelak menjadi Ketua MK), yang telah mempunyai reputusai nasional sehubungan dengan jabatan ini. Untuk memastikan independensi, para hakim memegang jabatan sampai usia 65 tahun. Hakim tidak dapat dipaksa untuk pensiun atau dimutasi ke jabatan lain, tetapi Parlemen dapatr mengajukan pemberhentian jika para wakil rakyat menghendaki pengurangan komposisi hakim. Para hakim tidak boleh bersifat partisan, kesetiaan hanya kepada UUD, dan dilarang menjalankan profesi hukum lain, kecuali izin mengajar kepada mereka yang semula adalah dosen. Sesudah akhir Desember 1993, situasi politik berubah dratis. Presiden Yeltsin memenangkan perebutan kekuasaan dengan Parlemen. Namun UUD 1993 yang berlaku tidak memuat aturan khusus untuk MK. Sehubungan dengan perubahan konfigurasi politik ini, “one would have expected any new constitutional court to be substantially weakned by the event of 1993, and that members of the court might be replaced. One might also have expected that the executive would exercise greater oversight of the court, and reduce the independent powers of judicial review, and that new appoipment would be dictated by the executive branch..”922 Namun semua kekhawatiran ini tidak terjadi. Hal ini karena, “despite threats by the president to the contrary, the judiciary maintained its independence and the constitutional court continued to exest.”923 921 Para hakim ini adalah Valerii Zorkin (kemudian menjadi Ketua), Alksander Rutskoi (kemudian menjadi Wakil Ketua), Viktor Luchin, Oleg Tiunovm, Nikolai Vedernikov, Ernest Ametistov, Tamara Morshchakova, Nikolai Vitruk,Gadis Gadzhiev, Boris Ebzeev, Niolai Seleznev, Anatlii Konovov, Vladimir Olenik, dan Yurii Rudkin. 922 commit to user Ibid., hlm. 28. 923 Ibid., hlm. 29. 300 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Hal yang baru adalah wewenang MK untuk menguji perjanjian internasonal (Pasal 125 ayat [2] huruf d). Kemudian, Presiden memiliki kewenangan “quasi judicial” yang untuk menunda efek putusan sehubungan dengan masalah federalisme. Presiden berwenang untuk melakukan mediasi atas perselisihan antara lembaga federal dan lembaga negara lain, termasuk negara bagian. Presiden juga berwenang untuk membatalkan berbagai peraturan perundangundangan yang ditetapkan oleh pemerintah Federal, jika bertentangan dengan UUD, peraturan federal, atau perjanjian internasional HAM. Sebelumnya, wewenang ini ada pada MK. Komposisi hakim yang semula 15 orang diperluas menjadi 19 orang dengan tujuan untuk mencegah mengurangi hakim yang bersikap anti Yeltsin. Ketentuan masa jabatan dari semula hingga usia 65 tahun diubah menjadi 12 tahun tanpa dapat dipilih kembali dan wajib mengundurkan diri jika sudah mencapai 70 tahun. Para hakim juga berhasil mencegah usaha Yeltsin untuk memecat Zorkin (Ketua MK) dan beberapa hakim lain, yang jelas-jelas berpihak pada Parlement.924 Selanjutnya, akan diuraikan kinerja MK pada fase I (19921993). Hampir 2 tahun bekerja, MK telah menerima 30.000 permohonan, memeriksa 30 perkara dan menetapkan 27 putusan. Di samping itu MK, sudah memeriksa 2 permohonan pengujian keputusan Presiden Yeltsin, dan 86 keputusan pemecatan. Sebanyak 7 hakim menulis 25 pendapat berbeda (dissenting opinion) dan cara berpikir yang sama (concurring opinion). 925 Para pemohon paling banyak dari politisi federal dan lokal, perkumpulan publik, dan perorangan. Dalam pelaksanaan wewenang tersebut, MK sudah membatalkan (baik secara keseluruhan maupun untuk sebagian) 10 keputusan pemerintah federal, 10 UU Federal dan keputusan parlemen, dan 4 peraturan daerah negara 924 925 Ibid., hlm. 30. Ibid., hlm. 96. commit to user 301 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id bagian. 926 Kemudian, pada periode 1995 sampai dengan bulan April 2000, MK menerima 49 permohonan dan menolak 75 permohonan yang diajukan negara bagian. Selama kepresidenan Putin, dalam rentang waktu 2000-2005, pemerintah negara bagian mengajukan permohonan sebanyak 27 perkara dan menolak memeriksa 116 perkara yang lain. Pada tahun 2003, negara bagian melanjutkan permohonan kepada MK dalam jumlah yang semakin banyak karena Ketua MK Zorkin telah memerintahkan beberapa negara bagian untuk menunda permohonan mereka. Bahkan, terutama menyangkut isu federalisme, MK telah menyusun ratusan pendapat hakim berbeda (dissenting opinion). Mengapa permohonan itu paling banyak diajukan oleh politisi lokal dan federal? Identifikasi masalah sistem federal yang baru adalah pemerintah pusat yang lemah,yang tidak bisa menetapkan UU Federal yang sesuai pada 1995-2000. Ketentuan federal untuk pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan, perlindungan hak-hak minoritas dan isu-isu penting lainnya menunggu Duma yang terdiri dari beberapa partai dan kelompok dan Dewan Federasi Sementara ini terjadi di mana pemerintah daerah melewati UUD mereka sendiri. Pada akhir 1990-an, konflik antara UU Federal dan peraturan daerah menyebabkan apa yang disebut "Pertempuran Undang-Undang´(War of Laws). Pemerintah federal mulai mengecam ke daerah bahwa mereka perlu untuk membawa UUD regional dan hukum di daerah agar sejalan dengan UUD Rusia dan UU federal, tetapi daerah berargumen bahwa UU yang ditetapkan mereka diadakan didahulukan dan sering mengabaikan tuntutan federal untuk reformasi.927 Sebuah krisis besar dalam sistem federal ada pada saat ini, adalah terjadi antar daerah, yang mendukung Federasi Treaty, perjanjian bilateral dan 926 Ibid. Jeffrey Kahn, 2002, Federalism, and the Rule of Law in Russia. commitDemocratization to user Oxford, Oxford University Press, hlm. 174-176. 927 302 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id peraturan-peraturan daerah dan pemerintah federal. pemahaman yang dari sistem federal bergantung pada UUD, undang-undang federal yang sekarang sedang berlalu, dan prinsip supremasi federal atas hukum lokal. Melihat keuntungan yang lebih besar diberikan kepada Negara Bagian Tatarstan, daerah lain mulai mendorong perjanjian bilateral diantara mereka sendiri. Sebuah struktur federal yang diciptakan dari perjanjian ini yang asimetris, dengan daerah yang memiliki kekuatan yang berbeda dalam kaitannya dengan pusat dan kekuatan yang berbeda dibandingkan dengan satu sama lain. Pada awalnya MK menahan diri dari terlibat dalam konflik antara pemerintah federal dan daerah sampai akhir 1990-an, ketika kasus-kasus tertentu dibawa ke pengadilan untuk dimintakan pengujian. Karena persyaratan khusus untuk mengajukan permohonan tersebut, MK tidak dapat mempertimbangkan pengujian ini sampai daerah atau pemerintah federal mengajukannya. Kemampuan untuk menegakkan putusan MK juga merupakan faktor utama mengapa hanya beberapa perkara yang diperiksa selama periode "Pertempuran Undang-Undang." Struktur fiskal pemerintah federal lemah dibandingkan dengan banyak daerah yang menolak untuk melakukan pembaruan hukum dan tidak memiliki mekanisme sanksi untuk memaksa perubahan. Walaupun demikian, situasi ini akan berubah pada tahun 2000. Sejak tahun 1995, MK dengan cepat mengizinkan negara bagian untuk membuat peraturan bersama “until the adaption of a federal statute on the matter.”928 Menurut Hakim Ebzeev, MK “melakukan terobosan” kewenangan ini dengan semangat konstitusi, dan bukan menurut huruf-huruf dalam teks konstitusi. Meskipun demikian, MK mengingatkan bahwa peraturan bersama semacam itu harus disesuaikan dengan ketentuan federal, kebebasan konstitusional, dan tunduk kepada peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah federal commit to user 928 Putusan MK No. 16-P/1995, Putusan No. 3-P/1996, dan Putusan No. 9-P/1996. 303 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id dalam masalah yang akan diatur. Para pengamat mengkritik “penemuan hukum” oleh MK ini telah mengeluarkan negara bagian dari cakupan kewenangan pemerintah federal. Bahkan, MK dengan mudah mengakui bahwa “the life of the regions goes on outside of legal norms”, seperti pernah diucapkan oleh Hakim Vedernikov pada awal tahun 1995. Dengan diizikannya semua satuan pemerintahan daerah untuk tidak menunggu persetujuan pemerintah federal yang seringkali tertunda, MK telah menciptakan federalisme simetris dan membatasi kekacaun seporadis aktor-aktor federal dalam politik hubungan pusat dan daerah. Misalnya, pada tahun 1996, sesaat setelah pemilu presiden, MK menolak permintaan Presiden Yeltsin untuk menunjuk gubernur di tiap negara bagian, yang melanggar ketentuan pemilu, berbeda pendapat dengan Yeltsin dalam menunda pemilu lokal, dan menolak permohonan anggota Parlemen untuk mencabut UU Pemilu di negara bagian Sverdlovsk.929 Putusan ini termasuk yang berpengaruh terhadap Yeltsin untuk masa jabatan yang kedua. Bahkan, pembatasan wewenang pemerintah federal untuk mencampuri proses pemilu telah menciptakan stabilitas dalam politik lokal dan memperkuat baik kompetisi politik lokal yang baru di beberapa daerah maupun menghindarkan dari “otoritarianisme merayap.” Meskipun demikian, MK tetap mempertahankan diri untuk memberikan pendapat dalam persoalan politik. Menghadapi percekcokan politik, MK secara konsisten menolak untuk mematri bersamaan dengan waktu pelaksanaan pemilu baik pada tingkat federal maupun lokal, untuk menunda pemilu atau untuk mempersoalkan legitimasi pemilu legislatif yang baru saja berlangsung.930 Pendeknya, MK menolak untuk memasuki keributan politik dan mengubah peraturan pemilu sebelum pemenang diumumkan. 929 Putusan No. 11-P/1996, Putusan No. 13-P/1996. commitNo. to 11-P/1996, user Putusan No. 77-O/1995, Putusan Putusan No. 105-O/1996, Putusan No. 9-P/1995, dan Putusan No. 16-P/1998. 930 304 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Di bawah kepresidenan Putin931, MK melanjutkan usaha untuk memperhatikan persoalan regionalisme. Pada tahun 2000, 3 perubahan besar dalam UU Federal telah mendukung reformasi untuk memastikan bahwa peraturan daerah agar sesuai dengan UU Rusia dan UU Federal. Keanggotaan Dewan Federasi (majelis tinggi Parlemen Federal) telah diubah dari semula terdiri atas dari Gebernur Negara Bagian dan pemimpin legislatif lokal diganti dengan wakil yang ditunjuk oleh daerah. Perubahan ini penting karena 2 alasan, yaitu pertama, hilangnya kemampuan pemimpin lokal untuk mempengaruhi langsung pengesahan UU Federal serta dihapuskannya kekebalan terhadap penuntutan jika mereka menolak untuk menerapkan UU Federal.932 Kedua, undang-undang yang baru memungkinkan Presiden untuk memecat Gubernur jika dianggap melakukan tindak pidana, termasuk penolakan untuk menerapkan UU Federal.933 Ketentuan UU yang baru juga memungkinkan Duma untuk membubarkan legislatif daerah jika UU Federal dan peraturan perundang-undangan lain ditentang oleh daerah. Dengan mekanisme baru dapat memaksa daerah untuk mematuhi dan mendesak pemerintah lokal untuk memberlakukan perubahan yang diperlukan. Proses ini membutuhkan 931 Vladimir Putin lahir pada tahun 1952. Ayahnya bekerja di pabrik dan kakeknya telah menjadi juru masak untuk Stalin. Mereka tinggal di sebuah flat bersama di Petersburg, berbagi dapur dengan dua keluarga lainnya. Ia belajar hukum dan Jerman di Leningrad State University 1970-75, dan menjadi atlet judo dan memenangkan kejuaraan kota. Ia bergabung dengan KGB, yang merupakan cita-citanya bahkan sebelum memasuki perguruan tinggi. Dia bekerja sebagai intel asing di Leningrad, dan dikirim ke Jerman Timur pada 1985. Putin kemudian memperoleh kenaikan pangkat. Dia menyaksikan trauma runtuhnya Jerman Timur. Kembali ke Rusia ia bekerja di KGB, tapi kemudian direkrut sebagai asisten oleh walikota Anatolii Sobchak, mantan dosen Fakultas Hukum di mana ia menuntut ilmu. Pada hari pertama kudeta Agustus 1991 kudeta, Putin mengundurkan diri dari KGB. Pada Maret 1997 Putin dipromosikan menjadi wakil kepala staf kepresidenan bidang hubungan daerah, dan setahun kemudian menjadi wakil kepala pertama staf. Pada Juli 1998 Yeltsin menunjuknya sebagai kepala Badan Keamanan Federal (FSB). Setelah pengunduran diri Yeltsin pada 31 Desember 1999, Putin ditunjuk menjadi Pejabat Presiden dengan pengalaman menjadi Perdana Menteri sejak Agustus 1999. Matthew Hyde, “Putin’s Federal Reforms and Their Implications for Presidential Power in Russia”, Europe-Asia Studies, 2001, Vol. 53, No. 5, hlm. 719-743. 933 Peter Reddaway, “Will Putin Be Able to Consolidate Power?”, Post-Soviet Affairs, commit to user 2001, Vol. 17, hlm. 23-43. 932 305 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id waktu beberapa tahun, namun sistem federal menjadi lebih legal dan menghasilkan struktur yang lebih koheren. Upaya untuk menemukan hubungan yang sesuai antara pemerintah federal dan lokal juga terbukti dari perkara-perkara MK yang berhubungan dengan keuangan federal. Pada satu sisi, MK mengatakan bahwa negara bagian tidak dapat mengatur tersendiri karena hanya peraturan federal yang dapat menetapkan dasar-dasar pasar tunggal: distrubusi barang secara bebas dan kompetisi yang adil.934 Ketentuan dasar ini, menurut MK, sehubungan dengan supremasi federal atas kebijakan fiskal, sehingga tidak memperkenankan perluasan pajak lokal dan pengutan-pungutan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah federal.935 Selanjutnya, daerah juga dapat menetapkan pajak lokal jika peraturan federal secara khusus melimpahkan wewenang tersebut.936 Visi pengadilan atas keuangan federal merupakan perkara yang banyak diperiksa oleh MK, karena mayoritas peraturan oleh pemerintah lokal yang muncul tidak berhubungan dengan hak-hak konstitusional.937 Lebih penting lagi, MK menentang keputusan Presiden Yeltsin pada 1993, yang mengizinkan pemerintah lokal untuk menentukan sendiri jenis pajak daerah. Yeltsin menganggap keputusan itu sesuai karena tidak mencampuri otonomi fiskal regional. Pemerintah negara bagian mempertahankan pemungutan pajak lokal dan telah menciptakan rintangan-rintangan perdagangan yang bermacam-macam, khususnya di tengah kelemahan atas krisis finansial di bulan Agustus 1998. Sebagai akibatnya, menjadi hal yang mustahil untuk mengakhiri keragaman kebijakan fsikal di wilayah Rusia. Dengan demikian, perluasan wewenang untuk menciptakan jenis pajak lokal, pungutan, 934 Putusan No. 4-P/1997. Putusan No. 5-P/1997. 936 Putusan No. 22-O/1998. 937 Putusan No. 9-P/1996. 935 commit to user 306 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id dan hambatan-hambatan perdagangan membuat para hakim begitu cemas atas masa depan pasar bebas dan eksistensi Rusia itu sendiri. Meskipun demikian, pemerintah daerah memperoleh keuntungan atas perintah MK yang mensyaratkan adanya perundangundangan untuk jenis-jenis pajak karena MK menolak diciptakannya aturan-aturan pajak dan pungutan yang terlalu sering seperti yang secara sepihak dinyatakan oleh Kabinet Federal. Para pemimpin regional, hingga 2001, menjadi anggota Dewan Federal dan mengendalikan anggota parlemen yang daerah pemilihannya berasal dari negara bagian tersebut, sehingga mempunyai kesempatan besar untuk mengusulkan perundang-undangan pajak daripada mematuhi peraturan yang ditetapkan oleh Kabinet Federal. Bahkan, pada 1997, MK berpihak kepada permohonan pemerintah negara bahian dalam persoalan oembatasan lisensi minuman beralkohol, air minum, dan pajak lintas wilayah atas persoalan ini.938 Meskipun demikian, untuk selanjutnya MK mengubah putusan tersebut dan mengizinkan pemerintah federal untuk mengajukan dan menentukan pungutan dan pembayaran pengangkutan, paten, dan polusi lingkungan.939 Di masa kepresidenan Putin, para hakim melanjutkan usaha untuk menyeimbangkan keuangan federal dalam suatu jalan yang kreatif. Pada satu sisi, MK menolak untuk membatlakn kewenangan pemerintah federal dalam mengendalikan keuangan daerah. Dengan demikian, MK menetapkan bahwa persyaratan konstitusional sebagaimana terdapat dalam Pasal 7 UUD 1993 dan batasan sistem anggaran tunggal atas anggaran daerah yang harus mendukung usaha pemerintah federal dalam menjamin perlindungan sosial, dalam hal in, pemerintah federal dapat memerintahkan negara bagian untuk menambah gaji dan tunjangan bagi pegawai negeri.940 Kemudian MK menetapkan 938 bahwa Putusan No. 3-P/1997. Putusan No. 22-P/1998. 940 Putusan No. 43-O/2000. 939 Kabinet Federal commit to user dapat secara sepihak 307 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id mengeluarkan lisensi penjualan alkohol941 dan menetapkan kuota dan pungutan untuk uji keselamatan kendaraan bermotor, sementara dalam peredaran di tingkat lokal, undian, dan pajak transportasi tidak dapat dipungut melebihi batas-batas yang ditetapkan oleh pemerintah federal. Dalam hal ini, MK juga memerintahkan agar perundangundangan federal mengatur negara bagian untuk membayar aparatur pengadilan perdamaian, sekalipun gaji aparatur pengadilan ini sudah diberikan oleh pemerintah federal.942 Pada sisi yang lain, MK mengakui bahwa daerah membutuhkan kepastian untuk otonomi kebijakan fiskal. MK menentukan hak negara bagian untuk membentuk dana nonbudgeter dn menentukan sendiri pembelanjaan untuk perlindungan hak-hak konstitusional, bahkan ketika pada 1999, Kitab Undang-Undang Anggaran Federal tidak memberikan kewenangan itu kepada daerah, padahal MA Rusia telah menetapkan bahwa pembentukan dana nonbudgeter bertentangan dengan perundang-undangan federal.943 Lebih lanjut MK juga memerintahkan negara bagian untuk berperan aktif dalam harga bahan bakar dengan membentuk komisi energy lokal dan melalui komisi ini kemudian negara bagian berpartisipasi dalam pembentukan kebijakan energi di tingkat federal. Menurut MK, UUD Rusia mepersyaratkan harmonisasi kepentingan diantara anggota federasi dan hal itu mencakup persoalan pengaturan negara bagian atas penyediaan pembangkit listrik tenaga air.944 Dalam putusan yang lain, MK Rusia menolak untuk memeriksa permohonan yang diajukan Kabinet Federal untuk meninjau putusan pengadilan pada September 1993 yang membatalkan keputusan Presiden Yeltsin untuk melakukan transfer kewenangan pengelolaan stasiun di Negara Bagian Irkutsk dari yang awalnya oleh 941 Putusan No. 17-P/2003. Putusan No. 182-O/2001. 943 Putusan No. 228-O/2001. commit 944 Putusan No. 7-O/2001. 942 to user 308 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id negara bagian menjadi wewenang pemerintah federal. Dalam hal ini, MK berpendirian bahwa pembatasan kepemilikan kekayaan antara federasi dan anggota-anggotanya ditujukan untuk mencapai keseimbangan kepentingan antara pemerintah federal dan negara bagian melalui UU Federal.945 Hingga sebelum tahun 1998, MK menetapkan dirinya sebagai sosok lembaga federal yang “bersahabat dengan daerah” (region friendly) di tingkat federal. Pencapaian ini dilakukan MK melalui kesediannya untuk menjadi sumber daya politik penting terhadap negara bagian dan pemerintah daerah: menjadi pelindung pemilu lokal dari campur tangan pemerintah federal, menjadi pendukung daerah untuk membentuk peraturan lokal dalam wewenang bersama antara pemerintah federal dan lokal, serta penerimaan keberatan dari satuan pemerintah daerah lain. Namun kemudian terjadi perubahan sikap MK yang berhubungan hubungan Pusat dan Daerah ini ketika pada 1998 UU Kehutanan telah dimohonkan pengujian kepada MK oleh pemerintah Negara Bagian Karelia dan Khabarovsk.946 Ketentuan UU Kehutanan merupakan bagian utama ketentuan yang ditetapkan oleh Pemerintah Federal guna mengatur penggunaan sumber daya alam serta pengaturan prinsip-prinsip kepemilikan dan penggunaan tanah publik yang dilihat oleh pemerintah daerah sebagai upaya menghapus kontrol daerah atas tanah menurut Federation Treaty. Dalam hal ini MK berpihak pada pemerintah federal dalam putusannya dengan mempertimbangkan p fakta bahwa sumber daya alam adalah masalah pengendalian bersama antara Pemerintah Federal dan daerah, tetapi 945 Putusan No. 112-O/2002. MK periode 1992-1995 lebih banyak melakukan CR dalam bentuk abstrak dibandingkan dalam bentuk konkrit apabila dibandingkan MK pada periode berikutnya, termasuk kewenangan untuk menguji konstitusionalitas UU dan keputusan Presiden. Setelah terjadinya kudeta 1993 oleh Parlemen di mana MKberpihak pada Parlemen dibandingkan terhadap presiden, pengadilan dibubarkan dan direformasi menurut UUD 1993. Sebagai akibatnya, MK kehilangan commitCR to dan usersejak itu terpaksa menunggu para pihak kemampuannya untuk secara aktif mendorong mengajukan perkara ke pengadilan. 946 perpustakaan.uns.ac.id 309 digilib.uns.ac.id bahwa tetapi kewenangan utama harus diletakkan di tingkat federal. Pembenaran untuk putusan MK jelas didasarkan pada supremasi hukum federal, tapi juga ada pesan implisit bahwa terlepas dari Federation Treaty yang semestinya didahulukan, yaitu UUD Rusia adalah dasar utama dari perjanjian tersebut. Putusan ini menjawab mengenai daya ikat Federation Treaty bagi Pemerintah Federal. Usaha untuk melakukan reformasi peraturan lokal tidak muncul ke permukaan sampai 2000 dan dorongan pengujian perkara itu berasal dari Negara Bagian dan bukan dari Pemerintah Federal. Gubernur Negara Bagian Altai mengajukan perkara itu untuk diuji ke Parlemen dan kemudian ke MK. Permohonan itu menyangkut CR atas UUD Negara Bagian Altai menyangkut masalah kekuasaan eksekutif terhadap legislatif. Kasus yang pada akhirnya diterima oleh MK karena peran Parlemen Federal dalam sengketa dianggap bukan hanya pemisahan kekuasaan antara cabang-cabang regional dari pemerintah, tetapi juga pengaturan UUD Negara Bagian Altai tentang kedaulatan, kekuasaan atas penggunaan sumber daya alam, kontrol atas penyimpanan bahan atom, dan isu-isu lainnya. Dalam putusan, MK berpihak pada Pemerintah Federal dengan mempertimbangkan bahwa karena rakyat Rusia adalah fondasi dari kedaulatan dalam Federasi dan bahwa Pemerintah Federal adalah pelaksana kedaualatan rakyat sehingga Daerah tidak bisa menuntut diberikannya kedaulatan terpisah. Berpijak pada putusan CR atas UU Kehutanan (1998), MK mencatat bahwa masalah apapun mengenai kekuasaan bersama seperti kontrol atas sumber daya alam ditetapkan dengan UU Federal. Putusan dalam perkara lalu menjadi dasar untuk putusan yang lain serta dianggap berlaku bagi UUD 6 Negara Bagian lainnya, termasuk bagi Tatarstan dan Bashkortostan, 2 Negara Bagian yang paling resisten dalam masalah otonomi daerah dan kekuasaan dalam sistem federal. Sebagai akibatnya, Parlemen Federal membuat kesimpulan bahwa MK telah to user mengabaikan UUD commit di daerah termasuk dalam isu kedaulatan, 310 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id hubungan diplomatik dengan negara-negara lain, dan supremasi hukum daerah atas yang UU Federal. Sekalipun ada sorotan terhadap mekanisme prosedural dalam perkara ini947, akan tetapi putusan ini memberikan dukungan hukum Putin diperlukan untuk menekan pemerintah daerah agar melakukan perubahan dalam hukum regional dalam masa jabatannya. Pada April 2000, MK memberikan lampu hijau bagi MA dan pengadilan di bawahnya untuk menguji legalisasi pembentukan hukum lokal. Sebagai hasilnya, ribuan peraturan regional dan lokal dibatalkan. Meskipun demikian, MK mempertahankan kewenangannya untuk memeriksa “harmonisasi” hukum. Misalnya, pada Maret 2003, pemerintah negara bagian Bashkortosyan dan Taraestan melakukan upaya hukum atas putusan MA dan perluasan wewenang pemerintah negara bagian untuk memperluas keberlakuan UUD negara bagian sebagai persoalan federalisme. Dalam perkara ini, MK menentukan bahwa negara bagian dapat memperluas kekuasaan konstitusional untuk persoalan-persoalan yang tidak diatur oleh pemerintah federal, sepanjang wewenang itu tidak melanggar kekuasaan pemerintah federal.948 Pada bulan Juli 2003, MK menolak permohonan kedua negara bagian ini untuk mengatur masalah pengadilan dan memberdayakan Kejaksaan Agung untuk membatalkan peraturan semacam ini di MK.949 Pada Desember 2003, MK menyetujui permohonan negara bagian Ivanovodan mengizinkan peraturan setempat berlaku untuk pengangkatan pejabat lokal.950 Terakhir, pada Mei 2004, Gubernur Negara Bagian Pskov memperoleh dukungan MK dalam 947 pengakuan wewenangnya untuk mengangkat dan Hakim Konstitusi Victor Luchin menulis pendapat berbeda (dissenting opinion) penting pada perkara ini. Putusan ini adalah opredeleniye (penetapan) dan bukan postanovleniye (pengaturan), sehingga diperlukan pemeriksaan yang melibatkan semua pihak yang terlibat, termasuk berbagai daerah. Luchin mempertanyakan legitimasi daerah yang lain untuk menerima putusan. 948 Putusan No. 103-O/2003. 949 Putusan No. 13-P/2003. commit to user 950 Putusan No. 19-P/2003. 311 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id memberhentikan kepala perangkat daerah setempat.951 Sebelumnya kedua wewenang itu dibatalkan oleh MK dalam rangka harmonisasi dengan peraturan federal. Dengan demikian, MK melaksanakan harmonisasi produk hukum lokal di masa kepresidenan Putin dan mencoba untuk menentukan batas-batas tegas dalam CR di tahun 2003. Namun dapat saja terjadi, bahwa pemilu lokal di bawah Yeltsin dan pelaksanaan peraturan lokal di masa Putin tidak menjadi persoalan mendesak bagi negara bagian. Sementara itu banyak pengamat yang percaya bahwa perubahan dari 2000-2003 yang diperlukan untuk menciptakan berfungsinya sistem federal ternyata memunculkan pula akibat negatif karena mendorong pemerintah federal untuk menyalahgunakan kekuasaan. Kekhawatiran lebih lanjut muncul setelah 2004, ketika timbul krisis di Beslan952 yang memberi landasan bagi Presiden Putin untuk melakukan sentralisasi lebih lanjut. Mengklaim bahwa krisis telah mendorong dibutuhkannya struktur eksekutif lebih koheren di seluruh sistem federal, Putin menetapkan perubahan UU yang termasuk memungkinkan Presiden untuk menunjuk gubernur daerah dan parlemen lokal yang diisi oleh bukan warga setempat. Ketentuan ini berhasil ditetapkan pada tahun 2004. Birokrasi Federal juga meningkat, dengan UU Federal selama kurun waktu 2000-2005 yang memusatkan kebijakan pada isu-isu seperti kesejahteraan, tetapi meninggalkan peran pemerintah daerah. Lebih penting lagi, MK akhir-akhir ini mulai menerima permohonan dari pemerintah daerah otonomi khusus dalam pergerakan yang jelas untuk mengawasi konstitusionalitas reformasi pemerintahan daerah yang dilakukan oleh Presiden Putin. Pada UUD 1993 sama 951 Putusan No. 10-P/2004. Krisis ini adalah serangan teroris Chechnya dan multinasional pada sebuah sekolah di Beslan, Ossetia Utara pada bulan September 2004. Sebuah protes publik mengikuti kejadian ini, commit to userdaerah dan pusat yang semestinya bisa dengan fokus kritik atas kelemahan baik di pemerintah mencegah kejadian tersebut. 952 312 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id sekali tidak mengatur mereka sebagai subyek permohonan di MK. Sampai April 2002, MK menolak segala keberatan mengenai putusan yang memberikan hak kepada pemerintah daerah otonomi khusus. Misalnya, dalam keberatan Walikota Volgograd mengenai keputusan pemerintah federal sehubungan dengan daerah otonomi khsusus yang memerintahkan daerah untuk menyediakan dana bagi pembangunan perumahan, telepon, dan perawatan anak bagi para hakim federal. Dalam putusan ini, jika diimplementasikan, akan memperkuat perlindungan pengadilan dan keuangan pemerintah daerah otonomi khusus, seperti komitmen Putin dalam pertemuan dengan ratusan hakim federal 4 tahun yang lalu. Serupa dengan hal itu, MK memutuskan bahwa pemerintah federal harus memberikan dana pengganti secara penuh atas pembiayaan perumahan bagi aparat kepolisian dan petugas lembaga pemasyararakatan.953 Terakhir, pada Mei 2006, MK menetapkan bahwa pemerintah federal dan pemerintah daerah harus mendukung daerah untuk memberikan subsidi bagi perawatan anak-anak. Dengan demikian, MK menginginkan untuk memberhentikan praktik “unfounded mandates” dan menjadi forum untuk perlindungan pemerintah daerah otonomi khusus, yang kehilangan kekuatan dalam menghadapi pemerintahan kuat di Rusia dalam kepresidenan Putin. Meskipun demikian, masih terlalu jauh untuk menentukan bahwa pemerintah federal akan mendukung visi MK mengenai keuangan daerah ini. Meskipun berbagai putusan MK sejak 1998 menunjukkan bahwa selain kepentingan politik dari Pemerintah Federal)kecenderungan menunjukkan bahwa ini benar-benar dapat menjadi pilihan yang buruk untuk banyak kepentingan di luar. Hasilnya, terjadi pemerintahan yang terbelah di mana ditunjukkan saat MK kurang mendukung permohonan secara umum di era Putin (20002005). Berbagai permohonan CR dari daerah mungkin tidak menurun commit to user 953 Putusan No. 303-O/2004. perpustakaan.uns.ac.id di era Putin, 313 digilib.uns.ac.id tapi kemungkinan menang bagi daerah jelas telah menurun. Melihat kasus-kasus tertentu dari era Putin, tampak bahwa daerah telah mulai mengakui fakta mengenai kegagalan mereka dalam sengketa di MK. Apabila hingga tahun 2003 terlihat kemenangan yang signifikan bagi daerah dalam membatasi Pemerintah Federal dalam memaksa perubahan akan tetapi pada tahun 2004 dan 2005 mungkin mendorong daerah untuk semakin tidak bergairah dalam membawa perkara ke MK. 2. Transisi Demokrasi dan Mahkamah Konstitusi di Eropa Selatan Seperti sudah diuraikan di atas, runtuhnya kekuasaan komunisme diikuti dengan gelombang baru reformasi konstitusi. Semua negara di Eropa Timur memperkenalkan organ konstitusi baru untuk melakukan peran sebagai pengadilan konstitus dengan terutama mengikuti model yang dirintis oleh Hans Kelsen. Fenomena yang sama terjadi di kawasan Eropa Selatan hampir 40 tahun yang lalu setelah runtuhnya pemerintahan otoritarian fasis di Yunani, Portugal, dan Spanyol. Hal yang sama terjadi sesudah Perang Dunia II di Austria, Italia, dan Jerman. Hal inilah yang mendasari penulis untuk mengatakan bahwa pengendalian konstitusi dalam situasi pasca otoritarianisme nampak menjadi bagian dari perkembangan di Eropa Selatan. Sehubungan dengan ini, akan dilakukan kajian mengenai transisi demokrasi di Spanyol dan Portugal. Spanyol dan Portugal merupakan laboratorium sempurna di mana dapat ditemukan dinamika keadilan transisional sepanjang mengalami proses transisi demokrasi. Bagi pemula, akan merupakan suatu kesulitan untuk menghindari pararelisme sejarah secara kaku dalam perkembangan politik pada kedua negara. Spanyol dan Portugal mengalami demokratisasi hampir dalam waktu yang bersamaan, yaitu di pertengahan 1970-an, setelah mengalami kediktatoran panjang sepanjang abad ke-20. Rezim Salazar di Portugal dan rezim Franco di Spanyol didirikan selama timbulnya perang suadara, yang keduanya muncul dari kudeta militer commit to karena user penerapan demokrasi. Salazar untuk mengatasi kekacauan situasi 314 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id melakukan kudeta pada tahun 1926 yang kemudian mengakhiri Republik I (1911-1926); Franco melakukan kudeta pada 1936 menyusul runtuhnya Republik II (1931-1936) akibat Perang Saudara (1936-1939). Kediktatoran keduanya berumur panjang hingga 1970-an, sesudah demokrasi menjadi kelaziman di Eropa Barat, yang menjadikan keduanya sebagai negara yang aneh dalam tradisi politik Eropa saat itu dan menyajikan rakyat di kedua negara menyukai sosok despot. Diantara kedua rezim itu ada kemiripan satu sama lain. Rezim Salazar maupun Franco menampakkan sosok sebagai “kediktatoran kembar” (twin dictatorships), karena keduanya dapat dikatakan sebagai tipe pemerintahan otoritarianisme. Franco membangun (sebagaimana pemerintahan layaknya rezim fasis tidak yang Salazar maupun berwatak menjadi totalitarian dasar kedua pemerintahan) dan juga tidak demokratis, akan tetapi sebagai “otoritarian”, suatu pemerintahan yang menunjukkan mentalitas seperti absenya elaborasi ideologi dan struktur kepartaian yang kuat, pluralisme terbatas dalam hubungan negara dan rakyat, dan kepercayaan yang rendah atas mobilisasi massa guna mempertahankan dukungan rezim. Sesuai dengan watak otoritarianisme yang menolak keterikatan pragmatisme yang kuat dalam kedua rezim, hal mana yang menjadi dasar penjelas mengapa pemerintahan mereka berumur panjang. Selanjutnya, saat memasuki senjakala pemerintahan otoriter, baik Salazar maupun Franco, dapat dengan tegas dikatakan sebagai rezim militer. Oleh sebab itu, berbeda dengan asal mula mereka yang berlatar belakang militer, kedua rezim pemerintahan berkembang menjadi “civilianized authoritarian regimes”, sebuah kategorisasi yang menunjukkan pengakuan pergeseran militer terhadap pemimpin sipil dalam melaksanakan pemerintahan sehari-hari.954 Keadilan transisional tidak dapat dijalankan di kedua rezim ini. Di Portugal, upaya pembersihan yang berlangsung pada 1974-1976, commit to user 954 Lins dan Stepan, 1996, 117. 315 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id dilakukan guna menyingkirkan pejabat militer yang konservatif, dan mengelola jalan perbaikan oleh perwira militer rendah, pegawai negeri, dan kelompok pengusaha serta melalui sistem pendidikan, media, dan gereja. Di Spanyol dilupakan dan menuju kemenangan. Sesudah meninggalnya Franco, pemerintah segera memperbaiki legislasi terhadap korban rezim Franco, yaitu mereka yang dipecat dari jabatannya karena pandangan politik dan segera diorganisasikan dalam Pact of Forgetting. Kesepakatan ini merupakan perjanjian tidak tertulis antara golongan kiri dan kanan yang dipandang sebagai amnesti kolektif atas pelaksanaan politik di masa lalu. Kesepakatan itu secara efektif dilembagakan dalam UU Amensti 1977. Sebagai konsekuensinya, tak ada keadilan transisional yang bermakna di Spanyol: tidak ada Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, tidak ada pembersihan birokrasi, dan tanpa peradilan militer. Ada semacam argumentasi teoritis bahwa pelembagaan keadilan transisional sangat tergantung kepada derajat “kekejaman” rezim masa lalu. Dengan asumsi ini, maka dapat dikatakan kekejian rezim Franco lebih rendah dibandingkan dengan situasi di Portugal. Kediktatoran Salazar begitu represif. Kontrol sipil oleh negara begitu kuat dan luas dengan polisi dibentuk untuk memastikan ketaatan 3 juta penduduk.955 Hal ini merupakan suatu hal yang mengejutkan jika diperhatikan bahwa saat kediktatoran berakhir terdapat 8 juta penduduk di Portugal. Tetapi represi di Portugal “was not especially bloody”956 dan dapat dipastikan tidak sama dengan yang dilakukan oleh Franco. Sekalipun terbuka di menjelang akhir pemerintahan Franco (1959-1975), otoritarianisme berhubungan dengan banyak pelanggaran di Spanyol dibandingkan dengan Portugal. Seperti ditulis oleh Mary Vincent, “The Francoist regime was born in violence and depended on violence. Killing was essential to its initial display of power.”957 Pasukan Franco secara langsung bertanggung jawab terhadap sejumlah besar pelanggaran selama berlangsungnya Perang Sipil, yang 955 Bermeo, 2007, 396. commit Ibid. 957 Mary Vincent, 2007, hlm. 157. 956 to user 316 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id mana menimbulkan korban hampir 1 juta penduduk, yang menjadikan perang ini merupakan pergolakan paling berdarah dalam konflik internal di Eropa. a. Kasus Portugal (1) Desain Transisi Demokrasi Sistem konstitusi Portugal sudah dimulai pada awal abad ke-18. Sebagai tindak lanjut dari Perang Napoleon (1803-1815), di mana Prancis menyerang Portugal 3 kali dan ketika penguasa kerajaan Portugal, Raja Joao VI mengungsi ke Brazil (koloni Portugal), telah mendorong munculnya gerakan liberal. Kalangan liberal menuntut tidak hanya pemulangan kembali raja, akan tetapi juga kemerdekaan Portugal. Aspirasi kalangan liberal itu terwujud pada 1822 ketika Portugal berhasil menyusun konstitusi. Raja Joao VI kembali ke Lisabon dan Portugal menjadi negara monarki konstitusional. Namun, dengan paksaan dari pendukung monarki yang dipimpin oleh putra raja Miguel, maka Raja Joao VI membatalkan konstitusi dan kembali memerintah secara absolut hingga kematiannya pada 1826. Penggantinya, Raja Pedro IV, yang masih di Brazil, terpaksa menerima sistem konstitusi baru, yang dikenal sebagai Constitutional Charter, sesudah ia menyerahkan kekuasaan kepada Ratu Maria II. Namun dua tahun kemudian, Miguel, putra raja yang menentang ayahnya untuk menuntut kembalinya monarki absolut menyerang Raja Pedro IV di Brazilia dan memicu Perang Saudara. Dengan kemenangannya, pada 1834, Miguel menyingkirkan Ratu Maria II dan mengangkat dirinya sendiri menjadi raja. Akan tetapi pada 1836, dalam peristiwa Revolusi September, kalangan liberal berhasil mengendalikan kekuatan politik dan memulihkan konstitusi 1822. Sebagai kompromi, suatu konstitusi baru dibentuk pada 1838. Namun kalangan moderat yang dipimpin oleh Costa Cabral to user dan mengganti konstitusi 1838 melakukan kudetacommit tidak berdarah 317 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id dengan Constitutional Charter. Dengan adanya pertentangan diantara kalangan liberal dan moderat, menyusul makin menguatnya golongan pendukung republik, maka Raja Carlos I membubarkan parlemen dan menunjuk Joao Franco sebagai Perdana Menteri yang kemudian menjalanakn pemerintahan otoriter. Dalam suatu hura hara menyusul aksi massa di tahun 1908, Raja Carlos I tewas dan putra tertuanya kemudian menjadi raja dengan gelar Raja Manuel II. Dalam suatu peristiwa revolusi 5 Oktober 1910, kalangan militer melakukan kudeta dan menyerang istana dan memaksa para bangsawan untuk menuju pengasingan. Peristiwa ini kemudian mengakhiri kerajaan. Dengan Konstitusi 1911, Portugal menjadi republic.selama 15 tahun keberadaannya, Republik I ini telah memiliki 45 pemerintahan, termasuk 2 periode pemerintahan militer dan pemberontakan sipil yang didukung oleh kalangan monarki. Suatu kudeta pada 28 Mei 1926 mengakhiri republik dan selama 50 tahun kemudian Portugal berada di bawah kediktatoran. Pada 1932, pemerintahan militer menunjuk Antonio Salazar sebagai Perdana Menteri, yang sebelumnya sukses memulihkan ekonomi dalam jabatan sebagai Menteri Keuangan. Transisi menuju pemerintahan otoriter mencapai puncaknya saat pemberlakuan Konstitusi 1933. Salazar kemudian mempimpin pemerintahan sebagai Presiden melalui pemilu sampai tahun 1959. Salazar bukan saja memimpin pemerintahan akan tetapi juga mengendalikan legislatif dan mengontrol pemerintah daerah. Suatu momentum dramatik terjadi pada tahun 1968-1971 menyusul serangan stroke terhadap Salazar dan penunjukkan Marcello Caetano sebagai Perdana Menteri. Suatu harapan besar untuk mewujudkan perubahan di Portugal telah lahir. Caetano sendiri mempunyai harapan untuk melakukan pembebasan to user terhadap koloni commit Portugal. Hanya saja faktor eksternal justru 318 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id menjadi hal yang menahan kebijakan tersebut. sehubungan dengan tekanan yang terjadi di Portugal, Presiden Richard Nixon justru membuat usulan atas pertimbangan Dewan Keamana Nasional bahwa “the Portugese are in Africa to stay.”958 Caetano mengunjungi Washington untuk menghadiri pemakaman mantan Presiden Eisenhower (Maret 1969) dan menemui Nixon untuk memperoleh dukungan dan sebagai konsekuensinya, Nixon memerintahkan supaya segala hubungan terhadap kalangan nasionalis di Afrika dihentikan. `Menyusul Perang Arab Israel dan diikuti dengan embargo minyak ke negara Eropa dari OPEC (1973), Portugal mengalami resesi dengan tingkat inflasi yang tinggi, sesuatu yang belum pernah dialami sebelumnya. Permulaan transisi demokrasi di Portugal adalah saat terjadi kudeta militer pada 25 April 1974.959 Kudeta ini mengakhiri pemerintahan diktator paling panjang di Eropa, yang ketika itu dipimpin oleh Marcelo Caetano, yang menggantikan Antonio de Oliveira Salzar pada tahun 1968. Perwira muda dan yunior menolak kelanjutan rezim diktator yang membiarkan terjadinya revolusi pada wilayah jajahan di Afrika. Tidak seperti negara penjajah seperti Inggris dan Prancis,Portugal menolak dekolonisasi atas Afrika sejak 1950-an, yang menganggap wilayah itu merupakan provinsi yang tidak terpisahkan dari integrasi 958 teritorial Portugal. Antara 1961-1974, Portugal Kenneth Maxwell, 1997, The Making of Portuguese Democracy, New York, Cambridge University Press, hlm. 53. 959 Atas desakan Amerika Serikat, pada awal 1960-an, juga pernah terjadi kudeta militer yang dipimpin oleh Menteri Pertahanan, Jenderal Julia Botelho Moniz. Dalam suatu percakapan dengan Moniz, Duta Besar Amerika Serikat Burke Elbrick mengatakan bahwa “urgent and drastic liberalization” diperlukan. Moniz setuju karena reformasi dibutuhkan untuk mempersiapkan otonomi koloni dibutuhkan dan reformasi domestik harus melibatkan partisipasi semua kekuatan antikomunis di pemerintahan. Namun pelaku kudeta ini lalai memperhitungkan kelenturan hierarki militer terhadap Salazar sehingga tindakan Moniz ditolak dengan membolisasi pasukan yang loyal kepada pemerintah dan memutus semua peralatan komunikasi kementerian pertahanan. Salazar kemudian memecat Moniz dan mengambil alih jabatan Menteri Pertahanan. commit to user “The Americans may succeed in killing me or I might die, but if not, the will have to fight for years to bring me down”, ujar Salazar dengan penuh amarah. Lihat: Ibid., hlm. 51. 319 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id melancarkan “colonial war” melawan gerakan kemerdekaan, pertama di Angola dan kemudian di Afrika Barat, dan di Mozambik (Afrika Timur).960 Ongkos atas peperangan ini dirasakan sangat besar bagi masyarakat sehingga mendorong terjadinya kudeta militer guna mengakhiri pemerintahan SalazarCaetano. Sampai tahun 1978, 1 diantara 4 penduduk laki-laki menjadi anggota angkatan bersenjata. Pasukan ini meliputi 170 ribu orang dan sebanyak 135 ribu berada di Afrika. Secara kolektif, angkatan bersenjata mencapai 30,83% dari tiap 1.000 penduduk, yang dapat ditandingi oleh Israel yang mencapai 40,09%, Vietnam Utara dan Selatan masing-masing 31,66% dan 55,35%; 5 kali lipat dibandingkan Inggris dan 3 kali lipat dibandingkan Amerika Serikat. Belanja militer mencapai minimal 7% GDP, yang setiap prajurit tidak terlatih dan tidak mempunyai persenjataan cukup, dan suap kepada pejabat militer begitu tinggi. Tidak mengejutkan, kebanyakan pejabat di angkatan bersenjata Portugal “became unreliable in military action” dan bertekad pulang untuk menggulingkan pemerintah. Sekalipun pergantian rezim di Portugal didorong oleh militer, akan tetapi peranan massa cukup penting dalam waktu itu. Sesaat setelah kudeta, rakyat mendukung kudeta tersebut dan pelakunya dinilai sebagai pahlawan sehingga dalam aksinya membagi-bagikan bunga anyelir, sehingga memunculkan istilah “Revolusi Anyelir.” Penerimaan rakyat ini memberikan legitimasi kepada tindakan militer. Kudeta yang berlangsung cepat dan tidak berdarah tersebut menggulingkan kediktatoran Slazar960 Gerakan kemerdekaan di Angola (dipimpon oleh Holden Roberto) dan Mozambik (dipimpin oleh Eduardo Mondlane) pada masa itu didukung oleh Amerika Serikat secara rahasia. Salazar memberikan reaksi penuh amarah atas intervensi tersebut. menurutnya pemerintahan Amerika sudah melakukan hal yang gila karena melindungi pemberontak dan kebijakan tersebut jauh lebih imperialis dibandingkan dengan Uni Soviet. Menyusul tindakan embargo sepihak oleh Amerika dalam menjual perlengkapan militer yang mungkin digunakan oleh Portugal di Afrika, commit user that the US is now identified as public Duta Besar Elbrick melaporkan bahwa “there is notoquestion enemy number one.” Lihat: Kenneth Maxwell, ibid. 320 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Caetano didominasi oleh “the Movement of the Armed Forces (MFA). Personel MFA kemudian menjalankan pemerintahan pasca kudeta dengan membentuk “the National Salvation Junta (JSN), dan menunjuk Jenderal Antonio de Spinola sebagai Presiden. Pemerintahan baru mempunyai program “3 D” (demokratisasi, development, dan dekolonisasi) dan menghadapi situasi ketidakpastian politik, yang ditunjukan dengan pembentukan tidak kurang dari 5 pemerintahan sementara, yang seluruhnya dipimpin oleh militer dan dipengaruhi oleh Partai Komunis, sehingga dikenal dengan periode “difficult transition.” Di tengah pergolakan politik dan bertambahnya mobilisasi massa, suatu counter kudeta berhasil dilaksanakan pada 25 November 1975, dengan dukungan Amerika dan negara utama Eropa, yang khawatir dengan kemunculan pemerintahan radikal kiri di negara anggota NATO dalam situasi perang dingin.961 Tindakan kudeta ini membawa pengaruh besar dalam perkembangan demokrasi di Portugal yang mengakhiri situasi kacau dalam masa keadilan transisional. (2) Kinerja Mahkamah Konstitusi Pada 25 April 1976, 2 tahun setelah kudeta militer yang mengakhiri otoritarianisme, UUD Portugal 1976 dinyatakan berlaku.962 Walaupun sistem konstitusi sudah dikenal sebelumnya (pada tahun 1822, 1826, 1838, 1911, dan 1933) akan tetapi UUD 961 Bahkan sejak masa pemerintahan Salzar eksis, kalangan oposisi memberikan harapan bahwa seandainya terjadi perubahan, maka akan melibatkan Sekutu. Bagaimanapun, keberhasilan Sekutu selama Perang Dunia II telah memungkinkan untuk provokasi bagi gerakan massa di Portugal. Namun Salazar, yang dipengaruhi Sosialisme Nasional dan fasisme Italia, hanya menjanjikan suatu kompromi yang tidak pasti. Hal ini seperti dikatakan oleh Maxwell,”Between 1945 and 1947, many opponents of Salzar had hoped that a process of democratization would followe the Allied victory at the end of the war, and within Portugal the victory of the Allies provoked considerable political mobilization. The Salazar regime was compromised. It was a regime with the trappings of National Socialism and Italian Facism. The regime, therefore, was for from comfortable in a democratic world.” Lihat: Kenneth Maxwell, op.cit., , hlm. 48. 962 commit Dalam perkembangannya, UUD to iniuser beberapa kali mengalami perubahan dan terakhir pada 2005. 321 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id ini merupakan dokumen pertama yang melaksanakan demokrasi parlementer. Saat pengambilan keputusan terakhir kali pada 2 April 1976, hampir 10 bulan sejak pelantikan Majelis Konstituante dan hampir setahun sesudah pelaksanaan pemilu, hanya 16 diantara 250 anggota yang menolak UUD ini, yang semua berasal dari Cetro Democractico e Social (CDS), partai yang beraliran ideologi kanan. Ketentuan UUD 1976 memuat secara sistematis antara lain mengenai hak asasi. Makna konstitusionalitas hak asasi ini menjadi penting karena sejak 22 November 1976 Portugal mengadopsi Konvensi HAM Eropa. Sebagai konsekeunsinya, ada sejumlah HAM yang termuat dalam UUD harus dilengkapi. Sepertid iatur dalam Pasal 18 ayat (1) UUD, ketentuan UUD yang memuat hak, kebebasan, dan jaminan harus dapat segera diterapkan dan mengikat baik bagi pemerintah maupun lembaga swasta. Pasal 18, yang menentukan penerapan langsung dan tanpa syarat terhadap hak, kebebasan, dan jaminan sebagaimana diatur dalam Bab I, Bagian II, juga penerapan hak serupa sebagaimana diatur dalam Pasal 17. Salah satu implikasi sehubungan dengan ketentuan UUD ini adalah ketentuan Pasal 204 yang mengatakan bahwa, “in matter brought before them for decision, the courts shall not apply any rule sthat contravene the provisions of this Constitution or the principles contained there.” Oleh sebab itu, putusan pengadilan yang bertentangan dengan UUD dapat dimintakan pemeriksaan ke MK. Menurut Pasal 221 UUD, MK merupakan pengadilan “that has the specific power to administer justice in matters involving questions of legal and constitutional nature.” Namun perlu diingat, bahwa Portugal tidak mempunyai mekanisme petisi individual (constitutional complanint) sebagaimana Jerman atau recurso de to user amparo di Spanyol.commit Oleh sebab itu, “the Portuguese Constitutional 322 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Court only controls the constitutionality of legal norms, not the concrete decisions involving violations of human rights.” Jadi, MK tidak menguji konstitusionalitas putusan tersebut, akan tetapi hana menguji konstitusionalitas terhadap UU yang diterapkan dalam kasus yang bersangkutan. Sistem CR di Portugal berdasarkan “on pure control of legal norms, even if the Court has a very broad concept of legal norm when it defines its own competence of Selain itu, MK juga memiliki wewenang CR dalam control.” bentuk abstak, termasuk pengujian antisipatif (anticipatory review) dan pengujian represif (ex post review), yang semuanya dapat diajukan oleh Presiden, Ketua Parlemen, Perdana Menteri, Ombudsman, Jaksa Agung atau 1/10 dari anggota Parlemen. Kekuasaan MK untuk menyelidiki dan menguji konstitusionalitas kelalaian legislatif pada dasarnya ditentukan oleh Pasal 283 (1) Konstitusi. Atas permintaan salah satu dari badan yang menjadi pemohon, MK bertanggung jawab untuk mengkaji dan memverifikasi "kegagalan untuk mematuhi Konstitusi ini dengan cara diperlukan penghilangan untuk membuat langkah-langkah aturan legislatif konstitusional yang dapat dilaksanakan." Menurut UUD Portugal, yang dapat menjadi pemohon adalah "Presiden, Ombudsman, atau, Ketua Parlemen Otonom dalam hal terjadi pelanggaran suatu hak daerah otonom (Pasal 283 ayat [1]). Presiden, Perdana Menteri, 1/5 dari Anggota Parlemen, dan Perwakilan Negara daerah otonom di Azores dan Madeira memiliki legitimasi untuk meminta MK untuk penilaian konstitusionalitas UU secara antisipatif (Pasal 278 dari Konstitusi). Kewenangan menjadi pemohon bagi masing-masing badan tergantung pada jenis tindakan pembuatan aturan yang bersangkutan (misalnya, Perwakilan Negara terbatas pada aturan yang ditetapkan dalam legislatif daerah). Presiden, Ketua to user Parlemen, Perdanacommit Menteri, Ombudsman, Jaksa Agung, dan 1/10 323 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id dari Anggota Parlemen dapat mengajuan pengujian represif. Dalam hal pengujian inkonstitusionalitas didasarkan pada pelanggaran hak-hak daerah otonom, maka wewenang ada pada Perwakilan Negara, Parlemen daerah otonom, Ketua Parlemen Daerah Otonom, Kepala Daerah, dan 1/10 dari Anggota Parlemen daerah otonom. Pelaksanaan CR oleh MK Portugal cukup menarik untuk diamati. Setelah pelaksanaan tugas sejak 1983 hingga tahun 2012, keseluruhan perkara yang diterima oleh MK didominasi oleh pemeriksaan CR dalam pengujian konkrit (88%). Kemudian untuk pengujian abstrak sebanyak 4%, diikuti dengan pengujian prosedur pemilu (8%) dan perkara lain seperti dana kampanye, koalisi partai, dan impeachment masing-masing 1%. Sekurang-kurangnya dalam masa transisi pertama 1983-1989 terdapat beberapa putusan menarik dalam masa transisi demokrasi. Sepanjang 6 tahun pertama, MK lebih banyak memeriksa dan merumuskan persyaratan-persyaratan dalam rangka pemeriksaan CR dalam bentuk pengujian konkrit. Putusan pertama membahas mengenai pengertian “rule” sebagai dasar permohonan.963 Perkara selanjutnya menyangkut identifikasi jenis-jenis putusan pengadilan umum yang dapat dimohonkan pengujian di MK.964 Dalam hal prasyarat prosedural pengujian konkrit terpenuhi akan tetapi terdapat fakta bahwa para pihak keliru dalam menyebutkan aturan yang ditafsrikan memberikan kerugian dalam penerapannya, maka MK tetap memeriksa perkara tersebut.965 Dalam perkara lain, MK menentukan batas-batas persoalan 963 Putusan No. 40/1984, Putusan No. 26/1985, Putusan No. 156/1986, Putusan No. 8/1987, dan Putusan No. 156/1988. 964 Putusan No. 151/1985, Putusan No. 211/1986, Putusan No. 238/1986, Putusan No. commit to user 266/1986, dan Putusan No. 92/1987. 965 Putusan No. 47/2007. 324 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id konstitusionalitas saat dimulainya pemeriksaan perkara lainnya.966 Pemeriksaan perkara lain yang sangat sensitif dan sempat menimbulkan perpecahan diantara hakim MK adalah pengujian rancangan UU Pajak Penghasilan.967 Namun, kadang-kadang terjadi bahwa pemohon dalam banding melibatkan pengujian terhadap inkonstitusionalitas aturan yang telah diterapkan dalam putusan pengadilan umum. Dalam perkara ini MK tidak akan memeriksa masalah inkonstitusionalitas UU yang diterapkan, karena tidak ada kewenangan pemohon dan fakta bahwa mereka tidak menggunakan upaya hukum yang tersedia.968 Mahkamah mengacu pada kemungkinan keberadaan inkonstitusionalitas oleh kelalaian, akan tetapi pengadilan tidak dalam posisi untuk memutuskan apakah seseorang benar-benar bersalah atau tidak Ada juga perkara terjadi sebelum pembentukan MK.969 Dalam sebuah putusan, MK menolak untuk memeriksa perkara yang menyangkut tindakan Dewan Revolusi.970 Pada sebuah perkara, MK mengizinkan Ombudsman untuk mengajukan permohonan pengujian antisipatif dan sekaligus berturut-turut dan penilaian terhadap keberadaan inkonstitusionalitas di dalam satu permohonan yang sama. Mahkamah menilai permohonan mengenai perkara kemungkinan transmisi hak untuk menyewa properti perumahan yang melibatkan penghentian de facto penyatuan pasangan dengan anak di bawah umur tersebut dan mengeluarkan penetapan dalam satu putusan.971 966 Putusan No. 3/1983, Putusan No. 62/1985, Putusan No. 90/1985, Putusan No. 136/1985, Putusan No. 206.1986, dan Putusan No. 176/1988. 967 Putusan No. 11/1983. 968 Putusan No. 32/1990; Putusan No. 79/1994; Putusan No. 190/1997; Putusan No. 238/1997; Putusan No. 499/1997; Putusan No. 125/1998; Putusan No. 232/1998; Putusan No. 330/1998; dan Putusan No. 326/2001). 969 Putusan No. 55/1985 Putusan No. 9/1983. 971 Putusan No. 351/1991. 970 commit to user 325 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Saat pertama kali menjalankan kewenangan dan memasuki tahun kedua, MK menghadapi salah satu perkara paling pelik dan telah dihadapkan di hampir setiap sistem peradilan konstitusi yaitu aborsi.972 Topik ini kemudian diperiksa kembali oleh MK sehubungan dengan referendum usul perubahan UU yang mengatur masalah ini.973 Dalam pemeriksaan preventif, saat memeriksa RUU, MK telah dihadapkan kepada banyak persoalan sensitif. Seperti misalnya usulan pengaturan aborsi974. Kemudian, unsur-unsur dasar sebagai elemen perusahan publik975, rancangan KUHAP976, denasionalisasi perusahaan-perusahaan negara977, kerangka kerja anggaran negara978, aturan-aturan mengenai kontrak kerja979, ketentuan mengenai batas-batas kepemilikan kekayaan pribadi980, dan reformasi agraria.981 Sementara itu, untuk pengujian abstrak, ada ratusan putusan yang ditetapkan MK. Hal ini dapat dilihat dari putusan MK mengenai biaya resep untuk menebus obat982, personalia logistik pada Angkatan Bersenjata983, jaminan kesehatan nasional984, jenjang karier pegawai negeri985, dan kepemilikan apotek.986 Putusan yang lain menyangkut konstitusionalitas pengajaran moral dan agama Katolik987, jaminan asuransi kecelakaan kerja988, dan 972 Putusan No. 24/1984 dan Putusan No. 85/1985. Putusan No. 288/1998 dan Putusan No. 617/2008. 974 Putusan No. 25/1984. 975 Putusan No. 212/1986. 976 Putusan No. 7/1987. 977 Putusan No. 102/1987. 978 Putusan No. 205/1987. 979 Putusan No. 107/1988. 980 Putusan No. 186/1988. 981 Putusan No. 187/1988. 982 Putusan No. 24/1983. 983 Putusan No. 31/1984. 984 Putusan No. 39/1984 dan Putusan No. 330/1989. 985 Putusan No. 84/1984. 986 commit to user Putusan No. 76/1985. 987 Putusan No. 423/1987. 973 326 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id konstitusionalitas pemindahan organ jenzah.989 Tindakan legislatif yang membahas sebuah materi yang sedang dimohonkan pengujian atas perkara yang tertunda dan kemudian diterbitkan dalam Berita Negara (Diario da República). Dalam perkara semacam ini, MK dengan suara bulat memutuskan untuk memeriksa permohonan (sehingga menghilangkan kemungkinan bahwa hal itu tidak akan diperiksa), dan kemudian memutuskan bahwa mengumumkan tersebut merupakan tindakan normatif, sehingga tidak ada inkonstitusionalitas.990 Perlakuan yang sama ditetapkan oleh MK dalam hal tidak ada tindakan normatif yang dimumkan dalam Berita Negara.991 Hampir 50 tahun berada dalam pemerintahan diktator, menyebabkan tuntutan pemenuhan hak-hak konstitusional menjadi mengemuka. Dengan meneliti putusan MK maka dapat diketahui dalam masa transisi demokrais tersebut Mahkamah menghadapi problematika kompleks mengenai doktrin hak-hak dasar, seperti definisi hak yang 'analog' dengan hak, kebebasan dan jaminan yang ditetapkan dalam Konstitusil.992 Kemudian masalah kepemilikan hak-hak dasar oleh badan hukum.993 Selanjutnya masalah: (i) kepemilikan hak-hak dasar oleh orang asing dan stateless994; (ii) penerapan langsung hak-hak fundamental menurut ketentuan UUD995; (iii) keterikatan badan swasta terhadap hak konstitusional996, (iv) UU tentang hak, kebebasan dan jaminan hak milik997; (v) pembatasan hak-hak konstitusional998; dan (vi) 988 Putusan No. 12/1988. Putusan No. 130/1988. 990 Putusan No. 276/1989, Putusan No. 638/1995, dan Putusan No. 424/2001. 991 Putusan No. 36/1990. 992 Putusan No. 38/1984, Putusan No. 76/1985, Putusan No. 156/1985, Putusan No. 103/1987, dan Putusan No. 404/1987. 993 Putusan No. 198/1985. 994 Putusan No. 154/1987. 995 Putusan No. 90/1984. 996 Putusan No. 198/1985. commit to user 997 Putusan No. 248/1986. 989 327 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id peraturan yang mengatur mengenai hak-hak sosial.999 Dalam hal permohonan pengujian melibatkan pelaksanan hak konstitusional, maka sebagian besar perkara yang diajukan ke MK yang telah mendasarkan ketentuan UUD mengenai “hak, kebebasan dan jaminan.”1000 Perlu dicatat bahwa dalam tahap pertama keberadaannya MK telah mengembangkan beragam hubungan internasional, puncak dari yang bergabung dengan Konferensi MK Eropa, sebuah asosiasi yang telah terbentuk pada awal tahun 1970-an dalam rangka untuk memperdalam hubungan antara MK di Jerman, Italia, Swiss, Austria, dan Yugoslavia. Dalam hal ini MK Portugis bergabung dengan organisasi ini hampir bersamaan sejak pelaksaan wewenang pada bulan April 1983 dan diakui sebagai anggota penuh ke Konferensi MK Eropa pada pertemuan Madrid yang terakhir pada tahun 1984, ketika Lisbon terpilih sebagai kota tuan rumah untuk pertemuan berikutnya. Pertemuan persiapan dilaksanakan di Portugal pada April 1986 dan dihadiri oleh delegasi dari Portugal, Austria, Jerman, Italia, Spanyol, Swiss dan Yugoslavia. b. Kasus Spanyol (1) Desain Transisi Demokrasi Dibandingkan dengan Portugal, Spanyol terlebih dahulu mengalami situasi kacau dalam masa transisi. Perlu diketahui, bahwa pelaksanaan transisi demokrasi di Spanyol didorong oleh kekhawatiran elit politik terhadap pengaruh penggulingan pemerintah model Portugal. Seperti dicatat oleh Linz dan Stepan1001 revolusi Portugal mengajarkan kalangan elit politik Spanyol 998 Putusan No. 74/1984, Putusan No. 248/1986, Putusan No. 225/1985, Putusan No. 244/1985, Putusan No. 37 / 1987, Putusan No. 103/1987, dan Putusan No. 99/1988. 999 . Putusan No. 39/1984, Putusan No. 181/1987, dan Putusan No. 449/1987. 1000 commit to359/1991, user dan Putusan No.638/1995. Putusan No. 182/1989, Putusan No. 1001 Op.cit., hlm. 17. 328 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id mengenai “how not to make transition.” Menurut pandangan Spanyol, transisi Portugal dimenangkan baik oleh golongan kiri maupun golongan kanan. Namun demikian, lama sebelum terjadinya revolusi Portugal, yang menunjukkan pekerja yang secara tidak sah mengambialih toko-toko, pabrik, dan lahan pertanian telah mengingatkan Spanyol akan pengalaman mereka sendiri dalam Perang Sipil. Untuk satu hal, Franco menghindari usaha berlebihan kalangan militer seperti yang terjadi di Portugal, sehingga berbeda dengan militer yang disaksikan di Portugal dan memimpin perang sebagai sesuatu yang tidak realistis di Spanyol. Bagaimanapun, Spanyol mempertimbangkan cukup lama sebelum terjadinya trandisi demokrasi. Oleh sebab itu, transisi demokrasi diawali dengan tercapainya kesepakatan diantara elit politik nasional untuk mengambil kompromi dalam rangka mengganti kepemimpinan Franco. Secara makro, pertimbangan itu itu juga didorong oleh keadaan negara Spanyol yang pada tahun 1970-an sudah berbeda dibandingkan pada 1930-an. Cakupan perubahan ekonomi, politik, dan sosial telah menciptakan landasan politik tersendiri pada 1970an dibandingkan 1930-an. Pertumbuhan ekonomi di bawah Franco mengimplikasikan cakupan perubahan tersebut. Akan tetapi, kesuksesan ekonomi pada 1960-an justru menghasilkan dukungan yang semakin menurun terhadap pemerintah. Pada tahun 1960-an, GDP Spanyol per kapita, hampir mendekati negara-negara Eropa Barat lainnya. Pertumbuhan ekonomi menciptakan pertumbuhan kelas menengah dan orang-orang yang menginginkan posisi itu. Spanyol jauh lebih kaya dan penduduk berada dalam kemantapan sosial politik. Kondisi demografi berperan dalam perubahan ini. Pengendalian penduduk memicu pengurangan penduduk miskin yang begitu tinggi pada 1930-an. Seperti diungkapkan oleh seorang commit user 9% penduduk yang masih aktif penulis, bahwa pada 1976,tohanya 329 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id menggarap lahan pertanian dan itu 2 kali lipat lebih kecil dibandingkan mereka yang bekerja di perusahaan. Pada tahun 1970an, tidak ada lagi perang antar kelas di seluruh negeri yang menunjukkan perubahan masyarakat menjadi konservatif dibandingkan di masa lalu yang berwatak reaksioner sehingga menyediakan landasan yang cukup bagi Franco untuk melakukan kudeta.1002 Perubahan ini juga mendobrak ketertutupan rezim Franco. Banyak kalangan industrialis yang berusaha untuk menggabungkan diri dengan Eropa, membantu tersebarnya pandangan internasionalis yang kontras dengan program Franco yang kental akan isolasi dan otorki. Keterbukaan pasar akan mendorong industrialisasi Spanyol menjadi semakin kompetitif. Sejak akhir 1960-an, banyak perusahaan yang melakukan kesepakatan terhadap buruh dibandingkan mematuhi kendali resmi negara. Di samping itu, mulai tumbuh gerakan sipil. Geraka ini termasuk pertumbuhan pekerja dan organisasi mahasiswa serta pers. Pertumbuhan ini telah menciptakan ruang bagi organisasi politik, partisipasi, dan penentangan. Usaha kompromi itu dirintis oleh Aldofo Suarez, loyalis Franco dan bekas pemimpin “the Movimiento Nacional”, sebuah cikal bakal partai politik yang dekat dengan rezim berkuasa, serta Raja Juan Carlos, yang diperkirkan mampu mengendalikan Spanyol setelah kematian Franco (November 1975). Pada tahun Juli 1976, Raja menunjuk Suarez sebagai Presiden untuk mengelola transisi demokrasi, suatu tindakan yang menunjukkan komitmen monarki melakukan “Francoism without Franco.” Suarez dianggap mampu melakukan reformasi di dalam tubuh pemerintahan. menguasai diplomasi domestik dan hubungan Suarez keduanya menimbulkan kepercayaan di kalangan reformasi maupun oposisi demokratis. Suarez secara berbeda menginginkan perubahan commit to user 1002 Tarrow, 1995, hlm. 224. 330 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id pemerintahan yang kemudian dikelola oleh kalangan demokratis. Dengan cara ini, transisi demokrasi terlaksana di bawah aturan Franco. Pada tahun 1976, “Hukum Dasar” (Fundamental Law), suatu ketentuan dasar dari pemerintahan Franco, diubah oleh Parlemen untuk menghapus otoritarian dengan mengatur paket reformasi politik (membentuk monarki konstitusional), termasuk legalisasi partai politik dan serikat buruh dan merencanakan pemilu demokratis di tahun berikutnya. Sebuah pemilu yang bebas dilaksanakan pada Juni 1977. Dalam pemilu ini, Suarez menghimpun kekuatan politik kanan tengah dalam Union de Centro Democratico (UCD) dan mampu memenangkan kursi parlemen dengan meraih 34,5% suara (166 kursi), diikuti oleh Partai Sosialis (29,4% suara, 118 kursi), Partai Komunis (9,3% suara, 19 kursi), Partai Aliansi Rakyat (8,2% suara, 16 kursi), koalisi Sosialist Unity (4,5% suara, 6 kursi), the Democratic Agreement for Catalonia (2,8% suara, 11 kursi), dan the Basque Nationalist Party (1,6% suara, 8 kursi). Sisa suara dan 4 kursi lainnya diperuntukkan bagi partai minoritas lain. Di Senat, UCD menguasai 106 kursi dari 207 kursi yang diperebutkan dan kalangan sosialis menguasai 47 kursi; sedangkan 41 senator lainnya ditunjuk oleh Raja dan sisanya diperuntukkan bagi partai minoritas. Parlemen baru ini kemudian mempersiapkan konstitusi baru. Proses pembentukan konstitusi ini sendiri berjalan cukup lama. Diawali pada Oktober 1977 dan selesai pada Desember 1978. Dalam praktik rancangan konstitusi disiapkan oleh sebuah komisi yang dibentuk oleh Parlemen. Konstitusi ini disetujui oleh 250 anggota Parlemen dari jumlah 325 orang dan Senat sebanyak 226 dari 248. Dalam referendum konstitusi ini didukung oleh 88,5% suara. Dalam masa transisi demokrasi ini tidak pernah dilupakan upaya kudeta tanggal 23 Februari 1981. Pada hari itu, Kolonel commit to user gedung Konggres dengan 200 Antonio Tejero Molina memasuki 331 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id prajurit dan menahan anggota Konggres hingga pukul 10 malam di hari berikutnya. Akan tetapi usaha itu tidak memperoleh dukungan Raja Juan Carlos, sehingga Molina menyerah dan ditangkap oleh polisi. (2) Kinerja Mahkamah Konstitusi Konstitusi 1978 merupakan konstitusi yang pertama kali mengakui secara eksplisit pengaturan dan kepatuhan terhadap konstitusi, di mana ketentuan Pasal 9 ayat (1) menegaskan,”The citizens and the public powers shall be subject to the Constitution and the rest of the legal system.” Di samping itu, Konstitusi tidak hanya merupakan merupakan instrumen hukum yang efektif, akan tetapi merupakan instrumen hukum yang paling penting. Secara tegas, supremasi konstitusi tidak hanya merupakan prinsip yang bersifat retoris, karena diikuti dengan mekanisme untuk pengendaliannya guna memastikan keberlakuan UUD. Oleh sebab itu, dalam Bab IX Konstitusi 1978 dibentuk MK. Pembentukan pengadilan konstitusi ini sudah pernah dilaksanakan dalam Konstitusi Republik II (19311936)1003 dan ketentuan 1978 tersebut mengikuti pengaturan di Italia, dan di atas segalanya, mengikuti model Jerman dalam pelembagaannya. Berdasarkan pengertian ini, maka konstitusi Spanyol telah memiliki model terpusat dalam yurisdiksi pengadilan konstitusi di mana MK dapat menyatakan UU dibatalkan karena bertentangan dengan UUD. Dalam hal ini, MK sebagai organ konstitusi hanya tunduk kepada UUD dan UU organiknya (UU No. 2/1979). Komposisi MK meliputi 12 hakim yang diangkat oleh Raja dengan ketentuan 4 orang dipilih oleh Konggres dengan dukungan minimal 3/5 suara, 4 diajukan 1003 Pada masa Republik II ini pembentukan Tribunal de Garantias Constitucionales gagal dalam pelaksanaanya karena mayoritas politisi enggan mendukung pengadilan konstitusi. Pengadilan konsttiusi ini kemudian dihapus oleh Franco setelah kudeta (1936), yang berarti hanya commit tohak-hak user warga sipil. Akan tetapi, MA secara MA saja yang berwenang untuk mempertahankan tegas terjerat oleh kekuasaan Franco sehingga menjadi badan yang konservatif. 332 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id oleh Senat, 2 diajukan oleh Pemerintah dan 2 hakim lainnya diajukan oleh Komisi Yudisial. Lembaga MK merupakan interpreter tertinggi UUD dan diberikan monopoli dalam memutuskan konstitusionalitas UU. Sehubungan dengan masa transisi demokrasi, MK telah menjalankan peran aktif tidak hanya menafsirkan UUD dan melindungi HAM, akan tetapi juga sehubungan dengan elaborasi kewenangan daerah otonom. Pengadilan MK mulai bekerja pada Juli 1980. Dalam putusan yang dikeluarkan pertama kali, MK mengklarifikasi persoalan konstitusionalitas UU yang dibentuk sebelum pemberlakuan UUD 1978. Dalam hal ini, MK mengatakan bahwa hakim peradilan umum dapat secara langsung menguji UU tersebut atau jika dalam kondisi ragu-ragu, mengajukan permohonan CR kepada MK.1004 Bahkan, dalam putusan tersebut, MK dengan tegas mengikuti prosedur yang ditempuh oleh MK Jerman yang mempersilakan hakim peradilan umum untuk menguji UU yang masih berlaku sehubungan dengan efektifitas Basic Law 1949. Jika dicermati, putusan itu jelas bertentangan dengan UUD karena penafsir tunggal konstitusi adalah MK. Dalam kerja di tahun-tahun pertama sejak pendiriannya, MK sering mendukung nilai-nilai hukum UUD.1005 Bahkan, dalam kasus yang serupa, konstitusi ditafsirkan sebagai “teks yang pragmatik” atau “deklarasi prinsip-prinsip hukum.” Sebagai contoh, MK berpandangan kesetaraan hukum yang diatur dalam Pasal 14 UUD merupakan ketentuan deklaratif dan tidak serta merta berlaku efektif.1006 Karena menganggap hak atas pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 139 UUD merupakan hak asasi yang harus dilaksanakan tanpa diskriminatif, maka MK melarang dikeluarkannya siswa di sekolah 1004 Putusan No. 4/1981 dan Putusan No. 11/1981. commit user dan Putusan No. 22/1984. Putusan No. 15/1982, Putusan No. to 101/1983, 1006 Putusan No. 80/1982. 1005 333 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id karena melanggar ketentuan disiplin.1007 Suatu kasus yang sangat sensitif, yaitu soal aborsi telah diputuskan oleh MK, bahwa rencana mengubah Pasal 417 KUHP bukan menyebabkan sifat inkonstusional dari aborsi, akan tetapi ternyata MK menemukan bahwa syarat-syarat yang ditentukan untuk membentuk UU tidak memenuhi persyaratan sebagaimana mestinya sehingga rencana perubahan itu menjadi bertentangan dengan UUD.1008 Sebuah putusan sehubungan dengan kebebasan berpendapat dan mengeluarkan pikiran pernah diputus oleh MK pada tahun 1990. Menurut MK, hak menyatakan pendapat dan pikiran tidak hanya untuk menjamin hak asasi, namun juga untuk menciptakan negara demokratis yang mengakui adanya pluralisme politik. Oleh sebab itu, tuduhan fitnah dalam penulisan suatu artikel di media massa dan kemudian dilakukan kriminalisasi, telah menjungkirbalikkan makna hak asasi menurut Pasal 20 UUD ini.1009 Selanjutnya, MK juga mengakui perlunya diberikan “legal standing” kepada organisasi kegamaan dan/kepercayaan untuk mengajukan gugatan dan/atau melakukan tindakan hukum secara perdata atau pidana apabila tindakan-tindakan asasi mereka—sepanjang dilaksanakan dalam lingkup kepentingan umum. Pengakuan itu penting bukan saja untuk mengikuti Deklarasi HAM PBB yang diratifikasi dan Kovenan Hak Sipil dan Politik, akan tetapi juga untuk menghindarkan diskriminasi dan senophobia yang justru merupakan nilai-nilai yang dijunjung tinggi dalam konstitusi Spanyol.” kepada organisasi kegamaan dan/kepercayaan untuk mengajukan gugatan dan/atau melakukan tindakan hukum secara perdata atau pidana apabila tindakan-tindakan asasi mereka— sepanjang dilaksanakan dalam lingkup kepentingan umum. Pengakuan itu penting bukan saja untuk mengikuti Deklarasi HAM PBB yang 1007 Putusan No. 5/1981. Putusan No. 53/1985. 1009 commit user No. 6/1981, Putusan No. 12/1982, Putusan No. 20/1990. Lihat jugato Putusan Putusan No. 104/1986, dan Putusan No. 159/1986, 1008 334 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id diratifikasi dan Kovenan Hak Sipil dan Politik, akan tetapi juga untuk menghindarkan diskriminasi dan senophobia yang justru merupakan nilai-nilai yang dijunjung tinggi dalam konstitusi Spanyol.1010 Dalam perkara yang lain, MK berpendapat bahwa penyebaran foto-foto yang dilakukan oleh fotografer dan telah memenuhi kaidah jurnalistik meskipun tanpa persetujuan model dalam foto tersebut dan apabila ternyata model mengharapkan adanya keuntungan pribadi atau keuntungan lain dari publikasi tersebut, tidak merupakan tindakan yang melanggar hak atas privasi menurut UUD Spanyol.1011 Demikian pula, menurut MK, pemidanaan atas dasar kelalaian ayah dan ibu akibat kematian anak mereka yang masih di bawah umur karena diabaikannya kebutuhan transfusi darah yang dalam kepercayaan agama diyakini sebagai tindakan yang dilarang, merupakan pemidanaan yang bertentangan kebebasan beragama menurut UUD.1012 3. Transisi Demokrasi dan Mahkamah Konstitusi di Amerika Latin Transisi demokrasi di Amerika Latin ditandai dengan momen “the lost decade.” Yang disebut "dekade yang hilang" (tahun 1980) ditandai oleh utang luar negeri yang besar dan masalah-termasuk makroekonomi serius, seperti inflasi yang sangat tinggi dan defisit fiskalt yang timbul dari kebijakan ekonomi yang diterapkan oleh berbagai pemerintah, seperti Presiden Raúl Alfonsín (1983-1989) di Argentina, Presiden José Sarney (1985-1990) di Brazil, dan Presiden Alan García (1985-1990) di Peru. Selanjutnya, pada 1990-an wilayah ini mengalami pengenalan reformasi ekonomi yang dikenal sebagai "neoliberal," dan dihubungkan dengan apa yang kemudian disebut "Washington Consensus."1013 Dalam menghadapi 1010 Putusan No. 214/1991. Putusan No. 117/1994. 1012 Putusan No. 154/2002. 1013 Yang dinamakan sebagai “Washington Consensus”, adalah “The set of economic policies advocated for developing countries in general by official Washington, meaning the international financial institutions to be desirable in just about all the countries of Latin America, as of 1989.” Lihat: John Williamson,” The Washington Consensus as Policy Prescription for commit to user Development”, A lecture in the series "Practitioners of Development" delivered at the World Bank on January 13, 2004, hlm. 1. 1011 335 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id realitas yang dijelaskan di atas, terutama dilema fiskal dan inflasi, “Washington Consensus” mengusulkan 10 proposal perbaikan, antara lain: (i) kontrol defisit fiskal, (ii) standar yang jelas mengenai prioritas belanja publik, (iii) reformasi pajak, (iv) suku bunga dan nilai tukar (keduanya akan ditentukan oleh pasar), (v) liberalisasi perdagangan; (vii) keterbukaan investasi asing; (viii) privatisasi perusahaan negara; (ix) deregulasi; dan (x) memperkuat hak kepemilikan.1014 Evolusi demokrasi Amerika Latin dalam konteks reformasi ekonomi diadopsi oleh sebagian besar negara pada awal tahun 1980-an dan 1990-an. Banyak pakar yang menganalisis bagaimana kombinasi dari kelembagaan yang lemah, ketimpangan serius mengenai pendapatan dan kekayaan, karakter oportunistik masyarakat Amerika Latin, dan reaksi negatif terhadap beberapa dampak yang merugikan dari reformasi ekonomi versi “Washington Consensus” hingga akhirnya mendorong munculnya penampilan populisme. Dalam menganalisis pengalaman berbagai negara Amerika Latin, banyak informasi yang menunjukkan bagaimana lembaga-lembaga yang kuat dan kebijakan sosial dan ekonomi yang sehat memberikan kontribusi yang baik untuk konsolidasi demokrasi di beberapa negara di wilayah ini. Namun, sebagaian pengamat berpendapat bahwa di negara-negara lain kombinasi institusi demokratis baik konsolidasi kurang dipromosikan oleh kepemimpinan populis sehingga kebijakan politik dan sosial kurang menjadi kurang kondusif baik untuk pembangunan berkelanjutan atau pengurangan kemiskinan dan ketidaksetaraan. Oposisi telah muncul dengan kekuatan yang tidak biasa di mana reformasi ekonomi neoliberal adalah kekerangan yang paling mendalam atas lembaga (atau elit politik) paling lemah, seperti inVenezuela, Bolivia, Argentina, Meksiko, dan Peru. Kemunculan oposisi ini termasuk reaksi populis atau neopopulis yang dipersonifikasikan oleh Hugo Chavez di 1014 John Williamson, “A Short History of the Washington Consensus”, Paper to user commissioned by Fundación CIDOB forcommit a conference “From the Washington Consensus towards a new Global Governance”, Barcelona, September 24–25, 2004, hlm. 3-4. 336 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Venezuela (1998-2013), Nestor Kirchner (2003-2007) di Argentina, Evo Morales (2006) di Bolivia, dan juga mereka yang telah kalah dalam pemilihan presiden baru-baru ini yaitu Andrés Manuel López Obrador di Meksiko dan Ollanta Humala di Peru, untuk menyebutkan hanya beberapa eksponen reaksioner yang paling simbolik. Rafael Correa di Ekuador muncul untuk menuju arah yang sama, setelah pemilu yang mempersaingkan kalangan populis kanan (Novoa) terhadap kalangan populis kiri (Correa), di negara yang telah memiliki 8 Presiden dalam 10 tahun.1015 Semua pemimpin ini berbagi wacana atau retorika tentang antiglobalisasi dan anti-neoliberalisme, menentang IMF dan Washington Consencus di negara-negara yang didahului dengan reformasi ekonomi neoliberal pada masa 1990-an (Carlos Andrés Pérez di Venezuela, Carlos Menem di Argentina, Gonzalo Sánchez de Lozada di Bolivia, Carlos Salinas de Gortari di Meksiko, Alberto Fujimori di Peru), dan dalam keadaan elit lembaga-lembaga politik dan tradisional lemah, kemampuan mereka untuk menyalurkan muncul tuntutan sosial merupakan suatu hal yang menecengangkan. Reaksi ini jelas bertentangan dengan respon nonpopulis yang ditemukan dalam kasus lain di wilayah ini, terutama di bawah pemerintahan Fernando H. Cardoso (1994-2002) dan Ignacio "Lula" da Silva (2000-2006) di Brazil, di bawah 4 pemerintah concertation di Chili oleh Patricio Aylwin (1990-1994), Eduardo Frei (1994-2000), Ricardo Lagos (2000-2006), dan Michelle Bachelet (2006-2010), dan di Meksiko, di bawah pemerintahan Ernesto Zedillo (1994 -2000) dan Vicente Fox (2002-2006). Untuk ini bisa ditambahkan pemerintah Tabare Vásquez (2005 -) di Uruguay, Leonel Fernández (2004) di Republik Dominika-terutama setelah pernah dipimpin oleh kalangan populis Hipólito Mejía (2000-2004) , Martín Torrijos di Panama, Elías Saca di El Salvador, bersama dengan negara itu 3 pemerintahan terakhir-, Alvaro commitmengenai to user hal ini,lihat: Ignacio Walker, 2006, Bahasan yang lebih lengkap “Democracy in América Latin,” Foreign Affairs en Español, Vol. 6, 2006, hlm. 3-24. 1015 337 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Uribe di Kolombia, dan pemerintah Oscar Arias dan Alan García, masingmasing di Kosta Rika dan Peru. Ketiga kasus yang disebutkan sebagai yang paling simbol dari reaksi non-populis (Brazil, Chili, dan Meksiko) sangat menarik. Setelah didahului oleh pemerintah yang menerapkan reformasi ekonomi neoliberal maka Chile yang paling nyata di bawah kediktatoran Pinochet, dengan kebijakan "Chicago Boys"-pemerintah negara-negara telah memperkenalkan koreksi signifikan yang lebih heterodoks dan kurang dogmatis baik. Selain itu, dalam setiap kasus proses pembangunan kelembagaan telah membentuk perisai bagi munculnya kalangan neopopulis. Hasil dari proses ini adalah terutama jelas di Chile, di mana partai koalisi setiap presiden tertentu, berusaha untuk menerapkan strategi "growth with equity," dengan kritik yang konsisten dari kedua neoliberalisme dan neopopulisme, dan dalam kerangka kerja yang telah berupaya untuk menimbulkan konsensus yang luas. Di Brazil, kontinuitas mendasar antara kebijakan ekonomi Cardoso dan Lula telah memberikan stabilitas proses politik dan ekonomi pada dekade terakhir, setelah penerapan “Real Plan” di bawah pemerintahan Itamar Franco pada tahun 1994. Terutama layak untuk diperhatikan bahwa Presiden Lula, dengan pengalaman panjang sebagai pemimpin serikat buruh, telah menolak tampil untuk populisme, sehingga memberikan kontribusi untuk meringankan kecemasan masyarakat keuangan internasional dan bisnis Brasil. Terakhir, kasus Meksiko adalah layak memperoleh perhatian tidak hanya dari segi pemerintahan yang demokratis tetapi juga untuk transisi menuju demokrasi yang luar biasa antara Ernesto Zedillo dan Vicente Fox. Kemenangan Felipe Calderon dari Partai Aksi Nasional (PAN) dan kekalahan Andrés Manuel López Obrador dalam pemilihan presiden 2006 adalah fenomena lain dari bagaimana Meksiko memiliki sumber daya politik dan kelembagaan untuk menolak gerakan populis meskipun segala commit to user 338 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id sesuatu, termasuk margin pemilu sangat sempit antara dua kandidat dan kondisi menekan kemiskinan, ketimpangan sosial dan keterpinggiran. Terakhir, kasus Paraguay, Nikaragua, Guatemala, dan Honduras adalah "lintasan yang belum selesai," suatu tempat antara institusi dan personalistik, mengingat reaksi mereka, non-populis dan merakyat, dengan reformasi neoliberal tahun 1990an. Penulis setuju dengan yang ditemukan dalam karya Mainwaring dan Pérez-Linan pada pasca-1978 bahwa demokrasi di Amerika Latin dengan kasus di 4 negara tersebut merupakan contoh "stagnasi rezim semidemocratic" di wilayah tersebut. Di Amerika Latin, di mana sistem presidensial adalah norma, berbagai pendapat mempertanyakan kesesuaian mempertahankan sistem presidensial dan telah menganjurkan penerapan sistem parlementer.1016 Karena sistem presidensial berhubungan dengan stabilitas yang lebih besar dan karena mereka membiarkan kekuatan untuk menjadi kurang terkonsentrasi, sistem parlementer sering tampil sebagai alternatif yang cocok. Secara khusus, konstitusi negara-negara di kawasan Amerika Latin secara unik cenderung untuk memberdayakan wewenang Presiden untuk membentuk hukum, mengajukan usul RUU kepada Parlemen, dan menetapkan negara dalam kondisi darurat. Segala kekuasaan tidak disangkal menjadi sehubungan dengan konsekuensi yang berpotensi signifikan bagi pemerintahan, perwakilan dan, stabilitas mungkin, bahkan politik. Memang, dalam konteks ini dimensi kewenangan pembuatan peraturan eksekutif ditemukan sama pentingnya dengan klasifikasi konstitusi menjadi presiden atau parlemen.1017 1016 Latin America provides a useful context to explore variety within constitutional forms given its mono-typical history: since the emergence of the first independent states in the region early in the 19th century, the region has been dominated by the presidential model. Indeed,of the former Spanish and Portuguese colonies in the Americas, the only country that has adopted a lasting non-presidential constitution was Brazil from 1824-91. This apparent uniformity presents an opportunity to examine internal diversity within a single over-arching category of presidential systems. Lihat: José Antonio Cheibub, et.al., “Latin American Presidentialism in Comparative and Historical Perspective”, Latin American Research Review, Vol. 39, 2004, hlm. 141. 1017 commit to user Richard Albert, “The Fusion of Presidentialism and Parliamentarism:, 57 American Journal of Compreative Politics, Vol. 57, 2009, hlm. 531. 339 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Diskusi tentang demokrasi di Amerika Latin dapat dimulai dari elaborasi sejarah pengaruh Konstitusi Amerika Serikat konstitusionalisme negara-negara di kawasan ini. Pengaruh Konstitusi AS di Amerika Latin tidak diragukan lagi begitu signifikan pada awal abad ke-19. Antara lain, Konstitusi Venezuela (1811), Konstitusi Meksiko (1824), Argentina (1826), Ekuador (1830) menarik secara signifikan pada model Amerika.1018 Bahkan ketika tidak diadopsi, lembaga Amerika adalah bagian dari campuran model yang dipertimbangkan. Konstitusi Argentina (1853) itu sangat dekat dengan model Amerika Serikat, sehingga begitu banyak sehingga hakim yurisprudensi perkara Argentina konstitusional yang secara Amerika rutin dalam mengutip menafsirkan konstitusi mereka sendiri selama lebih 1 abad.1019 Yang pasti, model Amerika hanya salah satu dari beberapa yang ditawarkan. Elit Amerika Latin sepenuhnya berhubungan dengan pencerahan pemikiran dan berpijak pada sumber eklektik, termasuk pemikiran Perancis dan Inggris dan, terutama, 1812 Konstitusi Cadiz (1812) sebagai perwujudan kemerdekaan Spanyol. Hanya saja, beberapa lembaga dari model Amerika tersebut sangat menarik. Federalisme adalah contoh terkemuka yang memfalisitasi mengakomodasi tradisi otonomi daerah dan kota dalam Kerajaan Spanyol, dan dipilih sebagai model yang menarik bagi elit pedesaan karena takut dominasi oleh pusat perkotaan. Konstitusi Venezuela (1811) secara sadar dan penuh mengutip ketentuan federasi di Amerika. Bentuk federasi ini berpengaruh juga di negara lain, meskipun hal itu tidak bisa dipertahankan, seperti Chile. Federasi Amerika Tengah, yang meliputi sebagian besar wilayah itu pada 1823-1840, secara eksplisit mengutip federasi di Amerika Serikat. Gran Kolombia (1819-1831), yang meliputi daerah yang sekarang menjadi wilayah Kolombia, Venezuela, Panama dan Ekuador, juga sebuah republik 1018 Miguel Schor, “Constitutionalism through the Looking Glass of Latin America”, commit to user Texas International Law Journal, Vol. 41, 2006, hlm. 15. 1019 Ibid. 340 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id federal. Hingga dewasa ini Argentina, Brasil, Meksiko dan Venezuela tetap negara federal. Setelah menguraikan sepintas lalu historiografi sistem pemerintahan dan konstitusionalisme di Amerika Latin, maka untuk penelitian ini akan dibahas transisi demokrasi dan implikasinya terhadap kinerja MK pada 3 negara yaitu Bolivia, Chili, dan Kolumbia. Adapun pertimbangannya adalah bahwa ke-3 negara tersebut mempunyai pengadilan konstitusi sebagai lembaga yang terpisah. Di Amerika Latin, 7 negara saat ini memiliki MK secara khusus yaitu Bolivia (1995), Brasil (1988), Chili (1970-1973, 1980), Kolombia (1991), Ekuador (1945), Guatemala (1965), dan Peru (1979). Venezuela memiliki MK 1953-1960 tetapi dalam UUD 1961 MA menjadi pengadilan konstitusional hingga dewasa ini. a. Kasus Bolivia (1) Desain Transisi Demokrasi1020 Bolivia telah lama menarik perhatian karena ketidakstabilan politik, dengan terjadinya kudeta di tahun 1960-an dan akhir 1970-an, serta kemiskinan dan keragaman etnis. Bolivia adalah salah satu negara yang paling multi-etnis di belahan bumi Amerika, dengan tingkat ketimpangan yang tinggi. Namun, jarang dicatat bahwa dalam hal kekerasan politik di negara ini relatif rendah dibandingkan dengan negara lain dalam satu kawasan sampai saat ini. Sejak 2000 konflik sosial dan politik telah meningkat seiring dengan gugatan dari warga sipil, polisi dan militer, dan telah mencapai intensitas tidak terduga sejak Revolusi Nasional 1952. Masuknya arus modal internasional untuk mengeksploitasi minyak dan gas bumi di tahun 1970 hingga 1980-an telah mendorong ekspor hasil pertanian seperti kedelai, kapas, dan gula. Kawasan Timur Bolivia merupakan basis bagi sebagian besar 1020 Keseluruhan uraian dari bagian ini, sepanjang tidak disebutkan kutipan lain dengan tegas, mengutip dengan meringkas seperlunya dari Juan Antonio Morales dan Jeffry J. Sach, commit to user “Bolivia’s Economic Crisis”, dalam Jeffry D. Sach, 1989, Developing Country Debt and World Economic, Chicago, University of Chicago, hlm. 58-79. 341 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id produksi hidrokarbon dan gas alam. Akibatnya, elit lokal mempertahankan hubungan dekat dengan jaringan agroindustri internasional, perdagangan narkoba, dan kepentingan hidrokarbon. Pada tahun 1500-an dan 1600-an perusahaan Spanyol Cerro Rico melakukan usaha pertambangan di Potosí, sebuah bukit yang penuh dengan perak yang kemudian menjadi sumber keuangan Spanyol selama hampir 200 tahun. Fakta bahwa Bolivia merupakan salah satu sumber terbesar dari kekayaan mineral di planet ini dan akhirnya menjadi negara termiskin kawasan tersebut. telah menyiratkan ketidakadilan. Pada tahun 1825, Bolivia memperoleh kemerdekaan dari Spanyol, tetapi kemudian sering mengalami kudeta militer dan kontrakudeta sampai pemerintahan sipil yang demokratis berhasil dibentuk pada tahun 1982. Sebagai hasil dari Perang Pasifik (1879-1883) dengan Chile, Bolivia kehilangan bagian dari wilayahnya sepanjang pantai Pasifik dan tidak memiliki akses berdaulat ke laut berdaulat. Bolivia memiliki hak istimewa untuk akses ke Pelabuhan Antofagasta dan Arica Chile serta pelabuhan Ilo di Peru. Sebagai hasil dari Perang Chaco dengan Paraguay (1932-1935), Bolivia kehilangan akses ke Samudera Atlantik yang melalui sungai Paraguay. Bolivia kaya sumber daya alam, dengan cadangan terbesar gas alam di Amerika Latin kedua setelah Venezuela dan deposit mineral yang signifikan, namun 63% orang Bolivia hidup dalam kemiskinan dengan 34,3% penghasilan kurang dari $ 2 per hari, menurut Bank Dunia. Periode antara 1931 dan Revolusi tahun 1952 adalah era ketidakpastian politik dankerusuhan. Bolivia kehilangan semangat dan Perang Chaco dengan Paraguay yang begitu menghabiskan biaya di pertengahan 1930-an, sebuah pengalaman yang mempertinggi mobilisasi politik pekerja dan kelas menengah tidak puas dengan kepemimpinan oligarki. Sebuah pemerintahan militer dengan fasis commit toberkuasa user campuran dan revolusioner pada tahun 1943, namun 342 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id digulingkan pada tahun 1946. Oligarki kembali kontrol pada tahun 1946, namun tersingkir oleh Revolusi 1952. Revolusi 1952 yang dipimpin oleh Gerakan Revolusioner Nasional (MNR) di bawah pimpinan Dr Victor Paz Estenssoro dan ia kemudian menjadi Presiden (1952-1956). Selanjutnya, negara dikendalikan oleh Preisden Hernan Siles Zuazo (1956-1960) dan terpilih kembali untuk periode kedua (1960-1964). Semestinya Zuazo memerintah kembali untuk masa jabatan yang ketiga (1964), akan tetapi digulingkan melalui kudeta militer yang dipimpin oleh Jenderal Renc Barrientos Ortuno. Antara tahun 1964-1966, pemerintah dijalankan dengan kepresidenan bersama antara Alfredo Ovando Candia dan Barrientos Ortuno. Transisi ke pemerintahan sipil dimulai pada akhir tahun 1966 saat Barrientos Ortuno terpilih sebagai Presiden akan tetapi meninggal dunia dalam kecelakaan pesawat (1969). Selanjutnya, Wakil Presiden Luis Siles Salinas dilantik menjadi Presiden, namun kemudian digulingkan dalam kudeta militer oleh Ovando Candia (1969). Kemudian Candia dikudeta oleh Jenderal Miranda (1970), dan Miranda kembali dikudeta oleh Jenderal Juan Jose Torres (1970). Rezim Torres kemudian dikudeta oleh militer dengan dukungan politisi sipil dan negara dikendalikan oleh Jenderal Hugo Banzer (1974-1978) dengan dukungan MRN. Banzer memerintah di bawah supervise militer dan kemudian MRN menarik diri dari pemerintahan (1974). Sebuah pemilu diadakan pada 1978 dan mengantarkan Pareda menjadi Presiden, akan tetapi hasilnya dibatalkan oleh militer dengan tuduhan pemungutan suara yang curang, kemudian untuk sementara pemerinthan dipimpin oleh Jenderal David Padila yang merencakan pemilu pada 1979. Namun pemilu 1979 tidak ada kandidat yang memperoleh suara meyakinkan sehingga Ketua Senat Walter Guevera Arze akan tetapi kemudian digulingkan oleh Kolonel Natuch Busch yang hanya memimpin user pemerintahan selama commit 15 hari.to Kemudian Ketua DPR Lidia Gueiler 343 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id ditunjuk menjadi Pejabat Presiden. Karena rencana pemilu gagal, maka Guiler kemudian dikudeta oleh Mayor Jenderal Louis Garcia Merza (1981). Selanjutnya dalam waktu singkat (1982) militer silih berganti mengendalikan neggara masing-masing Jenderal Benrad, Jenderal Torario, dan Jenderal Vildoso Calderon (1982). Kemudian Konggres menunjuk Siles Suazo sebagai Presiden yang kemudian melaksanakan pemilu pada 1985. Seperti di negara-negara Amerika Latin lainnya, silih bergantinya kekuasaan di Bolivia juga mencerminkan pergantian antara politik populis dan nonpopulis. Namun pergantian ini berjalan sangat tajam. Pada umumnya, pemerintahan militer berwatak nonpopulis dan terutama menekan buruh. Fase populi pemerintahan militer di bawah Jenderal Torres berlangsung (1970-1971), yang bertepatan dengan pemerintahan militer sayap kiri di Peru di bawah Velasco. Pemerintah sipil telah dijalankan semua oleh MNR dan bervariasi luas dalam kebijakan mereka, dengan fase populis selama 1952-1956 dan 1982 -1985, dan fase konservatif selama 1956-1964 dan 1985 hingga 2006. Di tengah krisis ekonomi yang parah yang memicu protes massa dan pemogokan umum pada tahun 1982, militer memutuskan untuk kembali ke barak. Sejak 1974 tidak ada Presiden memiliki dukungan politik untuk mengatasi masalah ekonomi akut yang dihadapi negara. Berbagai pemerintahan setelah Banzer selama 1978-1982 berada di tidak dalam posisi untuk menaikkan pajak atau menegakkan penghematan ekonomi, dan sehingga terpaksa mencetak uang. Di atas masalah mendapatkan kredit segar, harga komoditas turun pada 1981, dan tingkat suku bunga pada pinjaman internasional melonjak. Pada bulan Oktober 1982, ketika Pemerintah Zuazo Siles berkuasa, perekonomian berada dalam kondisi terpuruk. GNP riil telah menurun sekitar 0,9% (1981) dan sebesar 8,% (1982). Tingkat harga telah naik commit to user sebesar 308 persen dalam 12 bulan masa jabatan Siles dimulai. Inflasi 344 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id di bawah Siles melonjak dari tingkat tahunan beberapa ratus persen tiap tahun (1982-1983) menjadi beberapa ribu persen (1984-1985). Di tengah krisis itu kemudian dilaksanakan pemilu presiden (1985) dan menghantarkan Paz Enterzeno sebagai Presiden dengan halauan politik liberal. Enterzeno berkuasa dalam keadaan tidak menguntungkan sehingga memaksanya menyusun kebijakan rehabilitas ekonomi. Program pemerintahan Paz diresmikan hanya 3 minggu sesudah pelantikan dan dikenal sebagai “New Policy Economy.” Program menjangkau sasaran yang luas dan memang radikal karena meliputi tidak hanya rencana stabilisasi makroekonomi, tetapi juga untuk liberalisasi perdagangan, administrasi dan reformasi pajak, serta deregulasi dan privatisasi di dalam negeri. Program tersebut jga membongkar sistem kapitalisme negara telah mengakar selama hampir 30 tahun. Dengan rencana kebijakan itu, inflasi segera dapat ditekan menjadi tidak lebih dari 50% per bulan dan tercapai stabilitas harga dengan indikator nilai tukar yang stabil disertai kebijakan fiskal dan moneter secara ketat. Ketika pemerintah mencoba menyimpang dari kebijakan pada akhir 1985, inflasi kembali naik tetapi dapat segera dihentikan melalui disilin fiskal. Dari Februari 1986 sampai Juli 1987, inflasi telah menjadi rata-rata per tahun 10%-15%, yang berarti merupakan laju yang paling rendah di kawasan Amerika Latin. Keberhasilan stabilisasi ekonomi harus dipertimbangkan karena berbeda dengan pelaksanaan di Argentina, Brasil, dan Peru. Pemerintah menjalankan ekonomi konservatif sejauh menyangkut moneter, fiskal, dan nilai tukar, sekalipun diikuti dengan penangguhan hutang luar negeri. Selanjutnya, pemerintah menghindari pengendalian upah dan nilai tukar yang diperlonggar pada permulaan program. Namun memasuki tahun 2000, mayoritas warga Bolivia merasakan bahwa reformasi pro-pasar telah gagal untuk meningkatkan commitjuga to user kondisi ekonomi dan sosial, mulai menilai negatif investasi asing 345 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id yang mengeksploitasi kekayaan dari timah dan termasuk pengembangan cadangan gas alam yang kemudian mendorong sikap anti-globalisasi. Protes politik selama tahun 2003 menyebabkan pengunduran diri Presiden Gonzalo Sánchez de Lozada pada 17 Oktober 2003, hanya 15 bulan setelah ia terpilih. Protes ini dipimpin oleh kelompok-kelompok dan pekerja pribumi terkait dipinggirkannya akses ekonomi dari kelompok yang lebih miskin. Pengganti Sánchez de Lozada sebagai presiden adalah Wakil Presiden Carlos Mesa, seorang jurnalis televisi, sejarawan, dan politis independen. Mesa menunjuk kabinet baru, juga sebagian besar dari kalangan independen, dan menunjukkan kepekaan terhadap masalah-masalah pribumi. Meskipun melakukan langkah-langkah proaktif, Presiden Mesa, seperti pendahulunya, terbukti gagal menyelesaikan perselisihan atas isu-isu yang berkaitan dengan eksploitasi sumber daya alam, program pemberantasan kokain, hak masyarakat pribumi, dan pembagian wewenang antara pemerintah pusat dan 9 negara bagian. Pada bulan Juni 2005, Mesa mengundurkan diri setelah ditekan dalam aksi massa yang melumpuhkan aktivitas sosial dan ekonomi negara. Ketua MA Eduardo Rodriguez ditunjuk menjadi Pejabat Presiden. Setelah itu Presiden Rodriguez berjanji untuk mengadakan pemilihan presiden dan legislatif awal, yang kemudian tidak dijadwalkan sampai dengan Juni 2007. Pada tanggal 18 Desember 2005, sebanyak 85% pemilih berpartisipasi dalam pemungutan suaradianggap bebas dan adil. Evo Morales meraih kemenangan meyakinkandalam pemilihan presiden dengan 54%, sementara sebanyak 29% diraih bekas Presiden Jorge Quiroga dari Partai Kekuatan Sosial dan Demokratis(Podemos), sebuah partai politik tengah-kanan baru, dan 8% untuk Samuel Doria Medina, seorang tokoh tokoh beraliran kanan-tengah dari Persatuan Nasional(UN). commit to user 346 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Setahun setelah resmi menjadi Presiden, Evo Morales dan MAS, partai pendukungnya yang berhalauan kiri dan termasuk perintis dalam gerakan sosial, telah memiliki efek mendalam pada sistem politik Bolivia. Para pendukung berpendapat meskipun ada penentangan terhadap kebijakannya, Presiden Morales dan MAS telah melaksanakan beberapa reformasi sosial dan ekonomi yang signifikan, seperti land reform, yang berusaha untuk memperbaiki ketidakadilan terhadap mayoritas penduduk Bolivia. Para kritikus berpendapat bahwa Morales telah menggunakan metode anti-demokrasi, seperti penunjukkan sepihak para hakim agung untuk memastikan tidak ada pengendalian pengadilan terhadap pemerintahnya. Meskipun dengan interpretasi yang berbeda, sebagian besar analis setuju bahwa pemerintah Morales telah diuntungkan melonjaknya harga minyak sehingga meskipun kerusuhan sipil meningkat, Presiden Morales terus menikmati dukungan. (2) Kinerja Mahkamah Konstitusi Pembentukan MK Bolivia menandai berakhirnya CR secara tersebar pada 1995-1998. Dengan diadosinya pelembagaan MK ini, maka sekurang-kurangnya menunjukkan 3 hal penting. Pertama, MK mempunyai kewenangan besar untuk memeriksa CR Undang-Undang, keputusan tata usaha negara, dan sengketa kewenangan antarlembaga negara. Kedua, kekuatan berlaku putusan MK tidak bersifat inter partes tetapi mengikat umum (erga omnes). Ketiga, MK memiliki kewenangan untuk CR baik yang bersifat antisipatif maupun represif, sesuatu yang tidak dimiliki oleh MA sebelumnya yang sama sekali dilarang menyatakan batal suatu UU jika betentangan dengan UUD. Sekalipun sudah ditetapkan tahun 1995, tetapi lembaga ini tidak pernah beekrja hingga tahun 1998-1999.pembentukan MK ditentang oleh MK tetapi didukung oleh kalangan pakar hukum. Saat rintisan gagasan pembentukan badan independen untu melakukan CR commit to user di luar pengadilan yang telah ada, MA menentangnya dan tidak 347 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id bersedia untuk menyerahkan wewenang tersebut ke badan semacam itu. Menurut Ketua MA Edgar Oblitas Fernández, secara asasi wewenang CR ada pada MA dan melepaskan fungsi ini, akan mengaburkan hakekat keberadaan MA. Sebuah dokumen publik menyebutkan pendapat MA yang mengatakan bahwa pembentukan MK akan mengaburkan kemerdekaan kekuasaan kehakiman karena wewenang CR kemudian tersebar diantara badan-badan yang berbeda. Seperti ditegaskan oleh Edgar Oblitas Fernández bahwa pernyataan itu mencerminkan keengganan hakim agung untuk menyerahkan wewenang CR tersebut. Namun akhirnya MK dapat dibentuk sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman yang independen. Desain tersebut dicemaskan oleh pengamat karena dalam praktik ideal, semestinya MK benar-benar mandiri dari pengaruh organ negara lainnya. Hakim Konstitusi sebanyak 5 orang dan dipilih dengan dukungan minimal 2/3 suara Konggres. Para hakim memegang jabatan selama 10 tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali. Di dalam praktik, sekalipun ditentukan 10 tahun, akan tetapi para hakim rata-rata memegang jabatan hanya 3,6 tahun. Bahkan, tidak pernah ada hakim yang menyelesaikan jabatan selama 10 tahun, sementara yang paling lama adalah Elizabeth Iñiquez de Salinas (1998-2007). Ketentuan UUD 2009 bahkan sama sekali tidak menentukan komposisi hakim dan hanya dipastikan bahwa hakim memegang jabatan setelah terpilih secara demokratis untuk 6 tahun dan tidak boleh dipilih kembali. Pembentukan MK melahirkan aktivitas hukum (legal activity) dan memberikan profil baru bagi kekuasaan kehakiman. Sejak Januari 1999 hingga Februari 2009, MK telah menerima 19.250 perkara dan telah memutus sebanyak 15.787 perkara (82%) diantaranya. Kebanyakan perkara adalah amparo, semacam “constitutional complaint” dalam MK Jerman, berkaitan dengan putusan Pengadilan Tinggi (58%) dan penerapan KUHAP dalam putusan pengadilan commit user negeri (29%). Aktivitas MK tobertambah dari memutus 475 perkara 348 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id (1999) menjadi 2.357 (2004) dan kemudian semakin menurun hanya memutus 107 perkara pada 2008. Aktivitas MK menunjukkan progresifitas yang tinggi, yaitu membatalkan 3 ketentuan UU (1999), di mana 2 putusan menyangkut CR UU Telekomunikasi dan UU Organisasi Kekuasaan Kehakiman, serta 1 putusan menyangkut CR keputusan Gubernur La Paz. Pada 2006, MK membatalkan 7 UU, 5 keputusan tata usaha negara, dan 2 peraturan kebijakan. Pada bulan September 2003, pecah aksi massa yang menolak keputusan Presiden Sanchez untuk menjual gas alam melalui Chile. Alasan yang dikemukakan pelaku aksi adalah keadaan kekurangan pangan dan gas di La Paz dan hingga Oktober, media melaporkan bahwa 82% rakyat menolak kebijakan Presiden. Upaya menghalau pelaku aksi massa justru menciptakan kematian beberapa demonstran, yang mempercepat pengunduran diri Presiden. Saat Wakil Presiden Moza membangkang terhadap keputusan presiden, maka kemelut politik mulai mereda. Presiden Sanchez mengundurkan diri dan sejak 17 Oktober 2003, Moza menjadi Presiden. Pada masa kepresidenan Moza, MA bekerja hanya dengan 7 hakim dari yang seharusnya 12 hakim. Hakim Salazar Solanio meninggal dunia dalam jabatan (1999), Hakim Hassentuefel mengundurkan diri dengan alasan kesehatan (Mei 2001), Hakim Aranbica Lopez pensiun (Januari 2002), Hakim Reynolds Euygia mengundurkan diri (Januari 2003, saat teman dekatnya Toffar Gultzaf, diangkat menjadi Ketua Muda Pidana, tetapi dikecam karena dianggap tidak cakap oleh kolega yang lain), dan tak lama kemudian Gultzaf juga mengundurkan diri. Sehubungan dengan perkembangan aksi massa pada 2000-2003 yang mengecam kebijakan neoliberalisme pemerintah dan kemudian Presiden Banzer mengundurkan diri setelah divonis kanker dan ketidakmampuan Presiden Sanchez dalam user menggalang dukungancommit atas to kebijakannya, menyebabkan Konggres 349 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id gagal memperoleh kesepakatan untuk mengisi jabatan hakim agung yang baru. Menambah keadaan menjadi buruk, Hakim Kenny Priato mengundurkan diri sebagai protes atas pengangkatan Edgar Oblitas Fernández sebagai Ketua MA, mengingat dirinya lebih senior. Dengan hanya memiliki 6 hakim, maka MA sulit mencapai jumlah suara minimum untuk memutus perkara. Dengan alasan Konggres memasuki masa reses, maka Presiden Moza kemudian menunjuk 6 hakim baru (2004), tetapi keputusan ini dikecam oleh Konggres. Pada bulan November 2004, MK memutuskan bahwa pengisian jabatan sementara para hakim bertentangan dengan UUD dan memberi waktu 60 hari bagi para pejabat itu untuk meninggalkan jabatannya. Presiden Moza mencoba mengeluhkan putusan itu tetapi MK menolak untuk menilai permohonan itu. Presiden Moza mencela para hakim konstitusi, tetapi Perhimpunan Advokad mendukung posisi MK. Setelah negosiasi yang melelahkan akhirnya Presiden Moza mengajukan 6 calon hakim di pertengahan Desember 2004. Presiden Moza menolak untuk renasionalisasi perusahaan migas dan bulan Maret 2005 ia mengajukan pengunduran diri kepada Konggres, tetapi ditolak. Namun aksi massa semakin meluas sesudah itu dan bulan Juni, kembali Moza mengajukan pengunduran diri ke Konggres, dan secara mengejutkan permintaan itu dikabulkan. Namun aksi massa juga memaksa pengunduran diri Ketua DPR dan Ketua Senat, sehingga menurut UUD, maka Ketua MA yang kemudian menjalankan tugas kepresidenan. Segera sesudah terpilihnya Morales menjadi Presiden dalam Pemilu 2005, para hakim MA dan MK mengundurkan diri. Ketua MA Eduardo Rodríguez Veltzé mengundurkan diri (Februari 2006) dan rumor yang berkembang di media massa mengatakan bahwa Presiden Morales yang memaksa pengunduran diri itu dengan ancaman bahwa commitdugaan to userkorupsi selama ia menjadi Pejabat pemerintah akan memeriksa 350 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Presiden. Hakim Villavuerte mengundurkan diri dengan alasan isterinya sakit (Maret 2006). Hakim Rocha Orozco mengundurkan diri sebagai respon penurunan gaji hakim hingga 32% (April 2006), dan kemudian Hakim Ruis Perez mengundurkan diri dengan alasan kesehatan (Mei 2006). Pemerintahan Morales menganggap peristiwa itu sebagai pembangkangan politik karena kekhawatiran terhadap rencana persidangan mantan Presiden Sanchez, sehingga harus digagalkan dengan cara pengadilan tidak kuorum. Serupa dengan itu, hakim konstitusi juga banyak yang meninggalkan jabatan. Hakim Baldivieso dan Roca Aguilera mengundurkan diri pada Januari 2005 dan April 2005 untuk alasan yang bersifat pribadi. Pada Januari 2006, Hakim Rivera Santiváñez mengundurkan diri menyusul sorotan publik terhadapnya. Selanjutnya, Hakim Durán Ribera mengundurkan diri pada Maret 2006. Pada November 2006, Hakim Tredinnick Abasto mengundurkan diri karena menjadi Duta Besar di Brazil. Hingga akhir 2006, MK memiliki 2 hakim (Iñiquez de Salinas dan Rojas Alvarez) dan 3 asisten hakim (Arias Romano, Salame Farjat, dan Rana Arana). Pada Desember 2006, Konggres melakukan reses tahunan. Presiden Morales menunjuk 4 orang sebagai pelaksana tugas hakim MA. Oleh MK keputusan itu dianggap konstitusional, dengan syarat hanya berlaku untuk 90 hari. Presiden Morales mengeluhkan putusan itu karena dinyatakan konstitusional tetapi hanya untuk 90 hari. Pada pertengahan Mei 2007, Presiden Morales dan hakim ad interim Villaroel mengajukan permohonan supaya MK meninjau ulang putusan tersebut, akan tetapi permohonan itu ditolak. Sebagai akibatnya, Presiden Morales memaksa Konggres untuk menggelar pemecatan terhadap semua hakim, kecuali Salame Farjat. Kejadian itu menimbulkan perselisihan diantara profesi hukum dan Konggres berhadapan dengan persoalan yang rumit. to usermenuding adanya korupsi dan Bahkan, pemerintah commit selanjutnya 351 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id politisasi pengadilan, sehingga mengusulkan untuk memecat seluruh hakim agung dan hakim MK. Hakim González Ossio mengundurkan diri saat itu juga dan selanjutnya Konggres menyetujui 4 orang hakim agung (antara lain Tarquino Mujica, sebagai hakim pertama dari kalangan pribumi Maya). Hingga tahun 2009, saat UUD baru diberlakukan, MA telah memiliki 11 hakim dan 1 lowongan tidak diisi. Selanjutnya, Konggres memulihkan posisi semua hakim konstitusi, tetapi keadaan sudah tidak terkendali (Oktober 2007). Hakim Elizabeth Iñiquez de Salinas dan Martha Rojas Alvarez kemudian mengundurkan diri tidak lama setelah itu dengan alasan sudah ada serangan terhadap kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Pada bulan Desember Hakim Wálter Rana Arana juga mengundurkan diri dengan alasan serupa, sehingga menyebabkan MK tidak kuorum. Sampai akhir 2007, MK hanya memiliki 2 hakim yaitu Silvia Salame Farjat dan Artemio Arias Romano. Namun pada bulan Maret 2008, hakim Artemio Arias Romano mengundurkan diri, dan MK hanya memiliki 1 orang hakim. Konggres gagal untuk memenuhi komposisi MK, sampai diberlakukannya UUD 2009, yang mengubah desain organisasi kekuasaan kehakiman. b. Kasus Chile (1) Desain Transisi Demokrasi Perubahan UUD merupakan penanda transisi demokrasi di Chile.1021 Pengalaman Chile menunjukkan bahwa transisi Chile menuju demokrasi berlangsung di bawah bayang-bayang rezim militer dan keterbelahan sikap dalam memandang model demokrasi yang tepat.1022 Sejarah menunjukkan bahwa konflik selalu memberlakukan 1021 Meskipun Chile telah merdeka dari Spanyol pada tahun 1818, akan tetapi hingga tahun 1833 tidak pernah memiliki dokumen UUD untuk mengatur dan membentuk sistem politik. Lihat: Druscilla L. Scribner, “The Judicialization (Separation of Power) Politics: Lesson From Chile”, Journal of Political Latin America, Vol. 3, 2010, hlm. 71. 1022 Mengenai demokrasi ini bukan kasus Chile secara spesifik. Pada tahun 1990-an, commit to user there was widespread consensus throuhtout the region as to the virtues of liberal democracy and the model of constitutionalism prevalent in Western Europe, the United States, and other former perpustakaan.uns.ac.id 352 digilib.uns.ac.id UUD yang baru. UUD 1833 dan UUD 1925 diberlakukan oleh pihak yang menang segera setelah perang sipil atau kudeta militer.1023 Konstitusi 1833 itu diberlakukan oleh kalangan konservatif (dikenal sebagai "Pelucones") setelah mereka mengalahkan kaum liberal (disebut "Pipiolos") dalam Perang Sipil 1829-1830.1024 Dalam kasus UUD 1925, UUD yang baru ditetapkan setelah kudeta militer dijalankan oleh kelompok berhaluan kiri yang ingin mengganti rezim quasiparliamentary dengan menampilkan corak presidensial.1025 Kelompok militer kemudian mendukung mantan Presiden Arturo Alessandri, yang mengambil kendali penuh dari proses pembentukan UUD. Demikian juga UUD 1980 yang diperkenalkan oleh faksi pemenang setelah konflik kekerasan. Ketentuan UUD tersebut sangat ideologis dan ditujukan untuk mengabadikan model ekonomi dan sosial yang dirancang oleh rezim militer. Memang, pada tanggal 11 September 1973, sebuah kudeta militer tiba-tiba mengakhiri rezim konstitusional Chile yang sudah berlangsung lebih dari 50 tahun. British colonies. Namun dalam tahun-tahun belakangan, sejumlah negara di Amerika Latin tidak mencapai kesepakatan dan menjalankan bermacam-macam demokrasi. Misalnya, Venezuela, Bolivia, dan Ekuador, mengadopsi bentuk pemerintahan demokratis yang radikl—demokrasi multietnik di Bolivia dan Ekuador, kemudian Venezuela menyebut demokrasi Bolivirian yang menunjukkan ketidakcocpkkan dengan elemen inti demokrasi seperti kemerdekaan pengadilan dan kebebasan bereskpresi secara penuh. Lihat:Rodrigo Uprimny, “The Recent Tranformation of Constitutional Law in Latin America: Trends and Challenges”, Texas Law Review, Vol. 89, 2011, hlm. 1601. 1023 Sementara pakar berpendapat bahwa hal tersebut disebabkan karena pembentukan negara Chile yang belum sepenuhnya terikat dengan rule of law yang pada saat permuaan merupakan hasil dari perpecahan politik yang secara perlahan-lahan berkembang saat negara sudah terkonsilidasikan dalam sistem kepartaian yang kompetitif sekitar tahun 1860. Lihat: Javier Couso, “Models of Democracy and Models of Constitutionalism: The Case of Chile’s Constitutional Court 1970-2010, Texas Law Review, Vol. 89, 2011, hlm. 1523. 1024 Sekalipun lahir dari fragmentasi politik, akan tetapi UUD 1833 ini merupakan konfirmasi terhadap diadopsinya rule of law walaupun tidak sempurna. Untuk pertama kali dalam sejarah Chile modern, konstitutis, yang kemudian diikuti dengan pembentukan UU Organik mengenai Organisasi Pengadilan (1875), berhasil membentuk sistem kekuasaan kehakiman yang independen. Lihat: Ibid., hlm. 1524. 1025 Konstitusi 1925 mengikuti garis liberal dan demokratis klasik sebagai tatanan konstitusionalisme sebelum perang. Berdasarkan konstitusi 1925, telah terpilih 8 Presiden dan 11 pemilihan Kongres. Sampai dengan tahun 1970-an, Chili menjadi contoh stabilitas konstitusi dan demokrasi. Perlu dicatat bahwa pemberlakuan UUD 1925 ini “marked a basic constitutional state, to user which included an independent judiciary,commit separation of power,and a basic set of civil and political right. Lihat: Ibid. 353 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Tindakan ini, yang kemudian menandai pemerintahan diktator selama 17 tahun, seolah-olah tidak ditujukan untuk menggantikan sistem demokrasi Chile yang telah berjalan 50 tahun, namun, seperti pernyataan militer sesudah kudeta, ditujukan hanya untuk "membangun kembali tatanan kelembagaan yang rusak." Dengan demikian, ada harapan bahwa setelah beberapa bulan atau jadi militer akan menyelenggarakan pemilu.1026 Namun, hal-hal tersebut ternyata jauh dari harapan. Terlepas dari kenyataan bahwa penyebab kudeta begitu kompleks dan ada banyak perdebatan tentang kudeta ini, akan tetapi efek konsekuensi konstitusional secara langsung adalah penghapusan parsial atas UUD 1925. Dikatakan penghapusan parsial karena meskipun cabang eksekutif dan legislatif dikendalikan oleh Junta Militer akan tetapi cabang kekuasaan lain kekuasaan kehakiman dipertahankan menurut UUD 1925.1027 Mungkin karena fakta bahwa Perang Dingin memberikan kredibilitas dengan anggapan bahwa penggulingan terhadap Presiden Salvador Allende tersebut mewakili bahaya yang akan membawa Chile menjadi negara komunis, Junta Militer mulai menekankan tugas dan tujuan yang ingin dicapai bukan untuk pemilu baru dan pembentukan kembali pemerintahan demokratis Memang, wacana militer baru mulai menyoroti kebutuhan untuk "membasmi hingga ke 1026 Dalam kasus Chile, sekitar tahun 1973, kekuatan konservatif, kelompok kelas menengah, dan bahkan dari kelas pekerja, serta birokrat dan militer lainnya dala, lembaga seperti MA dan Badan Pengawas Keuangan telah diinternalisasikan sesuatu yg berhubungan dgn ketakutan takut bahwa Presiden Salvador Allende terikat untuk mengakhiri demokrasi. Entah sekedar imajinasi atau nyata, ketakutan ini diterjemahkan menjadi kebencian, sesuatu tidak diragukan lagi jauh lebih besar daripada yang dirasakan di setiap negara-negara Amerika Latin lainnya yang tersapu oleh serangan birokrasi-otoriter pertengahan 1960-an dan awal 1970-an. Lihat: : Nibaldo H. Galleguillos, “Checks and Balances in New Democracies: The Role of the Judiciary in the Chilean and Mexican Transitions: A Comparative Analysis”, Prepared for delivery at the 1997 meeting of the Latin American Studies Association, Continental Plaza Hotel, Guadalajara, Mexico April 17-19, 1997, hlm. 6. 1027 Suatu pernyataan publik Mahkamah Agung pada bulan Agustus 1973 yang menuduh bahwa Presiden Allende telah menempatkan dirinya di luar aturan hukum, memberikan legitimasi untuk kudeta militer pada September 1973. Selanjutnya, selama 16 pemerintahan militer commit tolegitimasi user politik kepada pemerintah militer berikutnya, Mahkamah Agung, meminjamkan menolak untuk menegakkan hak-hak sipil dan politik rakyat. Lihat: Ibid., hlm. 3. 354 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id akar-akarnya bahaya kanker Marxis. " Walaupun merebut kekuasaan melalui tindakan jelas dilarang oleh UUD 1925, pemerintah akhirnya menyatakan bahwa mereka mengganggap dirinya sebaga "kekuatan konstituen" bangsa, yaitu badan untuk membuat UU. Oleh sebab itu, dalam waktu selanjutnya, Junta Militer menetapkan serangkaian "Dekrit Konstitusional" guna menyediakan landasan konstitusional yang bertindak. Langkah tersebut menandakan timbulnya revolusioner, dimulai dengan pembongkaran seluruh arsitektur kelembagaan rezim sebelumnya. Selain mempersatuan semua kekuatan politik (kebijakan "Doktrin Keamanan Nasional"), rezim baru memfokuskan pada transformasi ekonomi negara. Tugas ini dibantu oleh sebuah kelompok yang sangat kohesif dan ideologis, "Chicago Boys," sekelompok teknokrat yang antipolitik, lulusan Fakultas Ekonomi University of Chicago yang tunduk sepenuhnya terhadap ajaran kebijakan moneter Milton Friedman dan pakar Chicago yang lain. Pengaruh “Chicago Boys” di dalam junta militer merupakan konsekuensi dari antikomunisme dan fakta bahwa di tengah-tengah krisis ekonomi yang parah pada tahun 1974-75, pemerintah menawarkan rencana yang koheren dan sistematis. Rencana tersebut terbukti sangat sukses, sesuatu yang memberi mereka legitimasi yang sangat besar dalam pemerintahan. Setelah membuktikan diri dalam pengelolaan krisis ekonomi, “Chicago Boys” menawarkan kepada rezim militer sesuatu yang lebih ambisius yaitu menyelesaikan reformasi atau modernisasi ekonomi Chile, untuk mengatasi apa yang mereka dipandang sebagai keterbelakangan kronis ekonomi negara. Hanya beberapa hari setelah kudeta militer 1973 militer, Jenderal Pinochet membentuk sebuah komisi untuk merancang konstitusi baru, yang disebut "Comisión de Estudios de la Nueva Constitución Políticadel Estado." Komisi ini terdiri dari 8 profesor hukum dan mantan anggota Konggres yang bersimpati kepada kudeta commit to user diri mereka sebagai demokrat militer. Para sarjana ini menganggap 355 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id yang membantu untuk mencegah pelanggaran penegakan hukum, seperti seperti yang dilakukan oleh Pemerintahan Allende . Kebanyakan dari mereka juga yakin bahwa militer akan hanya sementara tetap berkuasa dan kemudian menciptakan transisi pemerintahan. Pada bulan Juli 1978, setelah bekerja secara tertutup dan absen partisipasi publik, Komisi menyelesaikan rancangan konstitusi dan menyerahkan kepada Jenderal Pinochet. Selanjutnya, Pinochet menyerahkan rancangan itu untuk dibahas di Dewan Negara (State Council).1028 Badan ini mengkaji rancangan UUD dari bulan November 1978 hingga Juli 1980. Setelah itu Pinochet menyerahkan hasil kajian Dewan Negara kepada Junta Militer. Perlu dicatat bahwa sepanjang 1973-1980, negara berstatus dalam keadaan darurat, sehingga kebebasan politik dibatasi, partai politik dilarang, dan ada penindasan keras oleh dinas kepolisian rahasia (DINA). Junta militer membutuhkan 1 bulan untuk memeriksa rancangan UUD dalam sistem kerja yang tertutup dan pada Agustus 1980, Pinochet mengumumkan bahwa junta menyetujui untuk mengajukan rancangan UUD. Selanjutnya, akan diadakan referendum guna memperoleh konfirmasi rakyat akan rancangan UUD tersebut dan direncanakan pada bulan September 1980. Suatu referendum untuk mengesahkan UUD diselenggarakan pada tanggal 11 September 1980, dengan persetujuan 67% dari pemilih, di tengah-tengah meluasnya tuduhan pemungutan suara yang curang. Referendum itu dilaksanakan 11 September, hampir satu bulan 1028 Dewan Negara adalah badan penasehat yang diciptakan pada tahun 1976 oleh pemerintah militer, yang anggotanya meliputi mantan Presiden, mantan Ketua MA, mantan Panglima Angkatan Bersenjata dan Kepala Kepolisian, mantan pejabat negara, akademisi, dan masing-masing satu orang sebagai perwakilan dari kalangan bisnis, serikat buruh, perempuan, dan Seluruh anggota Dewan Negara ini berjumlah 18 orang dan semua ditunjuk oleh Pinochet. Hanya 2 mantan Presiden yang tergabung dalam badan ini yaitu Jorge Alessandri (1958-1964) dan Gabriel González Videla (1952-1958). Mantan Presiden Eduardo Frei (1964-1970), dari Partai Kristen Demokrat, menolak untuk berpartisipasi mengatakan bahwa Dewan tidak memiliki kekuatan untuk memulai debat, hanya fungsi konsultatif dan militer tidak wajib untuk commit to user berkonsultasi dalam hal apapun, dan semua anggotanya. 356 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id setelah pengumuman, suatu tanggal yang sama pelaksanaan kudeta militer 7 tahun sebelumnya. Kehidupan politik, sebelum dan selama referendum, berada di bawah kendali penuh dari rezim militer dengan cara represif. Semua partai politik dilarang, tidak ada kebebasan berserikat. Pers dan media lain, khususnya televisi, sangat mendukung rezim militer dan di bawah sensor. Konferensi Uskup Katolik Chili menyerukan pembentukan kondisi minimal untuk pemungutan suara yang valid. Namun, rezim tidak memperhatikan tuntutan mereka. Pemberian suara dalam referendum merupakan kewajiban warganegara akan tetapi sebelumnya tidak ada proses pendaftaran pemilih.Hal ini berarti bahwa tidak ada pengetahuan yang jelas tentang berapa banyak pemilih ada di setiap TPS, membuat hasil pemungutan suara rentan terhadap sejumlah penyimpangan. Semua pejabat yang terlibat dalam penyusunan dan menjalankan pemungutan suara serta dalam penghitungan suara ditunjuk oleh rezim militer. Tidak ada pengawasan independen dalam semua tahapan referendum ini. Secara normatif, UUD 1980 berlaku mulai tanggal 11 Maret 1981, akan konstitusi baru itu tidak sepenuhnya berlaku karena ada penundaan berlakunya sejumlah ketentuan di dalamnya. Bahkan, kemudian berlaku 2 konstitusi yaitu ketentuan permanen dan ketentuan transitional. Ketentuan permanen seharusnya beroperasi pada pembangunan kembali pemerintahan sipil yang direncanakan pada bulan Maret 1990. Dari 1981-1990 akan ada masa transisi dari pemerintahan militer, dengan Pinochet sebagai Presiden dan Junta memegang kekuasaan legislatif; dan dalam konteks ini, posisi MA justru semakin dikuatkan dalam mendukung rezim militer.1029 Jadi, 1029 Menurut UUD 1980, MA secara signifikan diberi kekuasaan untuk dapat melestarikan yuridis-institusional. Dalam hal ini, MA dapat menunjuk beberapa anggotanya untuk: Dewan Keamanan Nasional, Senat, semua posisi di Pengadilan pemilu; semua posisi di pengadilan pemilu provinsi dan, sebagian besar anggota Mahkamah Konstitusi. Untuk menjamin pemeliharaan demokrasi terbatas selama bertahun-tahun yang akan datang, Jenderal Pinochet meminta pengunduran diri semua hakimcommit lebih darito70user tahun dan di tempat mereka untuk kemudian mengangkat tujuh hakim relatif muda ke Mahkamah Agung kepada siapa pensiun wajib pada usia 357 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id pada dasarnya, ketentuan peralihanmemberikan kerangka konstitusional untuk kerja yang sebenarnya dari pemerintahan militer.1030 Oleh sebab itu, tidak ada perubahan yang nyata dan untuk alasan itu pemerintah sangat dikecam oleh oposisi demokratik.1031 Chile merupakan kasus transisi aneh bahwa pemerintahan diktator dikalahkan dalam referendum yang bertujuan melegitimasi kekuasaannya, bukan sebagai cara untuk membuka transisi ke demokrasi. Pada setiap tingkat, kekalahan dalam rerferendum sebenarnya membuka pintu bagi rezim untuk secara bertahap melakukan konsolidasi perubahan menurut UUD yang ditentukan oleh rezim militer sendiri. Jadi, meskipun Pinochet harus meninggalkan kekuasaan, ketentuan konstitusi secara hati-hati hati-hati dirancang untuk memastikan bahwa pemerintahan otoriter akan bertahan. Menurut ketentuan peralihan, pada tahun 1988 junta harus menunjuk seorang calon Presiden untuk masa jabatan 8 tahun berikutnya (19891997) yang harus disetujui dalam referendum. Ketentuan yang jelas disesuaikan untuk Pinochet. Pada tahun 1988, seperti yang diramalkan, calon junta adalah Pinochet. Namun, pada saat dilaksanakannya referendum tingkat wajar keterbukaan politik secara wajar telah dicapai dicapai, partai politik yang terorganisasi, serta dan pers yang relatif bebas. Ada juga dukungan yang jelas untuk referendum dari masyarakat internasional. Selain itu, ada konsensus umum, bahkan di antara tiap matra angkatan bersenjata, bahwa referendum harus dilaksanakan sesuai dengan aturan dan bahwa hasilnya harus dihormati. Namun, referendum itu ternyata tujuh puluh lima tidak berlaku. Kebijakan ini ditambahkan ke hakim muda lainnya ditunjuk selama tahun-tahun kediktatoran. Akibatnya, seperti angkatan bersenjata, senat, dan kantor pengawas keuangan umum, MA didominasi oleh individu yang terkait erat dengan rezim militer yang tidak dapat dihapus oleh pemerintah sipil dan/atau parlemen selama bertahun-tahun yang akan datang. Lihat: Nibaldo H. Galleguillos, op.cit., hlm. 4. 1030 Ribert Barros, 2002, Constitutionalism and Dictatorship. Pinochet, the Junta and commit to hlm. user169-170. the 1980 Constitution, Cambridge University Press, 1031 Ibid., hlm. 177. 358 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id berakibat fatal bagi Pinochet karena hanya memperoleh suara sebesar 43% pada referendum Oktober 1988. Menurut Konstitusi, kekalahan Pinochet membuka pintu pemilihan presiden dan parlemen pada bulan Desember 1989. Kekalahan pemerintah dalam referendum 1988 mendorong negosiasi antara militer dan partai-partai oposisi yang akhirnya mengarah pada amandemen pertama UUD 1980. Perubahan ini telah disetujui dalam referendum Juli 1989. Beberapa bulan kemudian, untuk pertama sesudah hampir 20 tahun, seorang Presiden terpilih secara demokratis. Kemudian, dalam 1998, satu paket perubahan baru yang penting dari amandemen konstitusi disetujui dalam rangka reformasi MA, pembaruan hukum acara pidana, dan penghapusan hukuman mati. Reformasi lebih penting, akan datang hanya 15 tahun setelah berakhirnya rezim militer, pada tahun 2005. Presiden Ricardo Lagos tahun mampu membujuk partai sayap kanan (ahli waris politik rezim militer) untuk menghapus ketentuan dari UUD 1980 yang awalnya menguntungkan militer: untuk menjadi Senator tanpa pemilihan dan menghapus larangan pengendalian Angkatan Bersenjata dari Presiden. Meskipun amandemen konstitusi tahun 2005 telah banyak menghilangkan aspek anti-demokrasi dari UUD 1980 sehingga membawa Chile menjadi negara demokratis konstitusional. (2) Kinerja Mahkamah Konstitusi Menjelang dilaksanakannya referendum 1988, rezim dipaksa untuk mengatur lembaga guna mendukung referendum dan pemilihan parlemen pada tahun berikutnya (1989). Untuk itu diperlukan UU yang menciptakan sistem pemilu, partai politik terorganisir, dan mengatur pembentukan MK pada akhir 1985 dan awal 1988. Dalam kasus hukum penyelesaian sengketa pemilu MK memainkan peran penting. Menurut ketentuan peralihan UUD, MK telah dapat beroperasi untuk commit to user perpustakaan.uns.ac.id 359 digilib.uns.ac.id pemilihan parlemen, tetapi belum dibentuk dalam rangka referendum. 1032 Sejak diberlakukannya UUD 1925, MA memiliki kekuasaan untuk menafsirkan UUD dan menyatakan sebuah UU bertentangan dengan UUD (Pasal 86). Tetapi MA tidak pernah menggunakan kewenangan ini. Faktanya, kewenangan untuk melakukan CR dijalankan oleh salah satu alat perlengkapan Senat yang begitu berkuasa yang dikenal sebagai Senate Committee on Constitution, Legislation, and Justice dengan kewenangan untuk melakukan pengujian abstrak dan antisipatif. Senat sendiri menjalakan fungsi ini dengan begitu antusias dan MA bersedia menerima kewenangan tersebut diikuti penolakan untuk menjadi “the guardian political of the constitution.”1033 Secara moderat, sistem pengujian internal ini didiukung oleh Presiden Arturo Alessandri (1958-1964), sosok politisi kharismatis yang berpengaruh dalam pembentukan UUD 1925 dan dipengaruhi oleh pemikiran filosof Prancis, Leon Dugit.1034 Gagasan untuk membentuk MK sebagai lembaga mandiri muncul kembali pada tahun 1960-an, saat Presiden Alessandri mengajukan usul perubahan UUD untuk mengadopsi suatu badan yang mampu menjadi penengah antara eksekutif dan legislatif.1035 Namun gagasan Allesandri ini ditolak. Meskipun demikian, penggantinya Presiden Eduardo Frei Montalva (1964-1970), yang mengalami frustasi atas semakin seringnya Konggres melakukan intervensi terhadap keputusan-keputusan eksekutif, melanjutkan gagasan untuk 1032 Ibid., hlm. 257. Javier Couso, op.cit., hlm. 1525. 1034 John C. Reitz, “Political Economy and Separation of Powers, Transnational Law and Contemporer Problems, Vol. 15, 2006, hlm. 612. 1035 Hal ini menunjukkan perubahan sikap dari Presiden Allesandri yang awalnya enggan membentuk pengadilan konstitusi. Perubahan sikap ini dilatarbelakangi oleh serangan legislatif yang dinilai sudah melakukan intervensi atas perencanaan anggaran kepresidenan. Sebagai sosok yang memperhatikan sejarah Prancis, Allesandri terkesan terhadap keberhasilan Jenderal de Ghaulle yang merancang UUD 1958 dan antara lain membentuk Dewan Konstitusi user sebagai badan yang melakukan CR atas commit rancangantoUU yang sudah disetujui oleh Parlemen. Lihat. Javier Couso, op.cit., hlm. 1528. 1033 360 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id pembentukan MK. Frei benar-benar berhasil dengan gagasannya itu dan di bulan terakhir masa jabatannya sebagai Presiden, Konggres menerima usul pembentukan MK. Salaam periode 1925-1973, MA absen dari pelaksanaan wewenang CR, hal yang mendorong gagasan pembentukan MK.1036 Komposisi MK meliputi 5 orang hakim dan badan ini melaksanakan wewenang antara Januari 1970 hingga terjadinya kudeta militer 11 September 1973. Namun, MK secara sungguh-sungguh tidak pernah bekerja sampai pemulihan lembaga ini pada 1989. Menurut pengakuan Enrique Silva Cimma, bekas Ketua MK dalam periode ini, salah satu penyebabnya antara lain bahwa diantara komposisi hakim, 3 diantaranya dikenal dekat dengan Presiden Allende. Kudeta militer yang dipimpin oleh Jenderal Pinochet kemudian membatalkan UUD 1925 dan menjalankan pemerintahan dengan dekrit. Dengan berlakunya UUD 1980, MK kembali dibentuk dan resmi bekerja pada tahun 1982. Seluruh hakim konstitusi yang berjumlah 7 orang sepenuhnya ditunjuk oleh Pinochet. Selama masa itu, MK memilih untuk “low profile” dan sepanjang 1982-1989, MK dicirikan sebagai “tukang stempel” keputusan yang ditetapkan oleh Junta (yang menjalankan fungsi legislatif) dan Pinochet (yang menjalankan esekutif). Dengan sedikit pengecualian, MK pernah pula menolak kebijaksanaan junta. Dalam sebuah keputusan (1988), MK menyetujui pembentukan partai politik beberapa bulan sebelum dilaksanakan referendum 1988. Keengganan untuk terlibat dalam praktik asertif kekuasaan kehakiman yang terjadi baik di tingkat peradilan umum maupun di 1036 Seperti dikaji oleh Jorge Brahm, yang memaparkan frustasinya mengenai rekam jejak MA dalam melindungi hak-hak asasi. Brahm berpendapat bahwa dalam kasus hak kepemilikan yang dibatasi dengan tegas oleh UU, telah menciptakan situasi “proprety without freedom.” Demikian pula kajian Julio Fernandez yang mengatakan bahwa “the Chilean supreme court utterly failed to defend even the most fundamental civil and political right, particuallary in to user the case of legislation banning the civiccommit and political partiscipation of members of the Chilean Communist Party during years of the Cold War.”Lihat: Javier Couso, op.cit., hlm. 1526. 361 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id MK. Hal ini terutama terlihat pada MK, di mana sebetulnya UUD 1980 memberikan kekuasaan MK yang sangat kuat dari tuntutan kontrol konstitusionalitas sebelum sebuah UU diundangkan (dalam apa yang dikenal sebagai “antisipative review”). Memang, MK tertarik dalam menggunakan kekuasaan penting dari CR antara tahun 1990 dan 2005, tetapi hal itu hampir tidak dikenal oleh penduduk dan dianggap berdampak kecil oleh elit politik. Adapun pengadilan umum, dalam beberapa kesempatan selama abad 20 mereka benar-benar membela hak-hak. Dan ketika dihadapkan terhadap sengketa kewenangan antarlembaga negara, justru pengadilan menolak untuk menggunakan kekuasaannya. Sesudah pemilu Konggres dan Presiden pada 1989 yang dimenangkan oleh Koalisi kiri-tengah Concetation), MK menjadi lebih proaktif. Pinochet ditetapkan menjadi senator dan sebelum mengakhiri jabatannya, Pinochet melakukan negosiasi dengan kalangan oposisi untuk menetapkan jabatan tertentu, termasuk para hakim konstitusi. Pada Maret 1997, 4 diantara 7 hakim memasuki purna tugas. Pengisian jabatan hakim kemudian menjadi kontroversi. Senat mengajukan Eugino Valenzuela (yang pernah menduduki jabatan hakim di awal 1980-an), militer yang mengendalikan Dewan Keamanan Nasional mengajukan calon yang diusulkan oleh Presiden Frei (Luz Bulnes dan Mario Verdugo) dan MA mengajukan Ketua MA, Severado Jordan. Sementara itu, tiga hakim yang lain akan purna tugas pada 2001, yaitu Marcos Arbuto, Osvaldo Faoundez, dan Juan Colombo. Perlu ditekankan bahwa sampai reformasi tahun 2005, hampir separuh hakim konstitusi ditunjuk sementara dari para hakim MA, yang membagi waktu mereka untuk bekerja di kedua pengadilan. Akibatnya, dalam tubuh MK berpotensi kinerja hakim dengan budaya tradisional yang rentan terhadap kepasifan dan menolak untuk terlibat konflik politik. Dalam konteks ini, penghapusan hakim yang berasal commitumum to userdan diisi dengan individu yang dari lingkungan peradilan 362 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id berasal dari dunia akademis dan politik mewakili faktor utama baru dalam sikap yang lebih aktif yang ditampilkan oleh MK pada semua putusan CR setelah tahun 2006. Selanjutnya, reformasi penting untuk MK yaitu pemindahan kewenangan untuk memeriksa “recurso de inaplicabilidad” dari MA ke MK yang berimplikasi untuk pertama kalinya dalam sejarah, MK terlibat dalam CR yang bersifat konkrit. Transfer kewenangan tersebut memungkinkan bagi warga biasa yang mendapatkan putusan kasus konkrit untuk dimohonkan pemeriksaan konstitusionalitas UU yang diterapkan. Kasus yang pertama setelah reformasi konstitusi 2005 adalah mengenai konstitusionalitas peredaran umum dari apa yang dinamakan “Morning After diperintahkan Pill” larangan yang dalam menetapkan pengadilan surat sebelumnya peredaran apabila menyangkut obat-obatan yang ditujukan untuk kepentingan aborsi, dan lagipula aborsi sudah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1980. Sesudah putusan itu ditetapkan, ribuan orang turun ke jalan-jalan di ibukota Santiago guna memprotes putusan tersebut. Bertentangan dengan putusan tersebut, para wakil rakyat yang terlibat dalam reformasi 2005 untuk memperluas jangkauan CR MK menjadi frustasi dengan lahirnya penetapan itu. Tingkat relevansi atas putusan itu sendiri tidak jelas. Hal itu menjadi bahan pembicaraan di media secara luas. Faktanya, putusan ini telah menarik perhatian khalayak lebih banyak dibandingkan dengan putusan MK yang lain, bahkan terhadap putusan persidangan Pinochet oleh MA. Beberapa bulan kemudian, tepatnya pada September 2008, MK mengejutkan seluruh negeri dengan putusan yang berhubungan dengan kebijakan pemerintah. Dalam putusan ini, MK menyatakan tindakan eksekutif yang memperoleh pinjaman dari Inter American Development Bank guna membiayai sistem transportasi umum di commit to userdengan UUD, karena pemerintah Santiago dinyatakan bertentangan 363 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id dilarang melakukan pinjaman luar negeri tanpa terlebih dahulu memperoleh persetujuan Konggres. Putusan tersebut, di tengah upaya pemerintahan Presiden Bellet untuk memperbaiki sistem transportasi umum, menjadi pesan terang-terangan bahwa MK telah berkonfrontasi dengan pemerintah, sesuatu yang tidak pernah dibayangkan sebelum tahun 2006. Putusan terakhir yang transformatif adalah menyangkut UU yang memberikan wewenang kepada perusahaan asuransi swasta untuk menawarkan skema asuransi kesehatan premium kepada perempuan lanjut usia. Dalam pandangan MK, yang mengutip doktrin hukum HAM internasional, ketentuan UU semacam itu tidak dapat diterapkan. Putusan ini kemudian banyak dikritik oleh penyelenggara jasa asuransi kesehatan dan politisi liberal, yang menunjukkan bahwa untuk pertama kalinya MK melibatkan diri dalam pemenuhan hak ekonomi dan sosial. c. Kasus Kolombia (1) Desain Transisi Demokrasi Sejarah Kolombia telah berlangsung lama dan penuh kejadian penting, dan berujung kepada upaya untuk memehami benihbenih konflik modern.1037 Negara ini menggapai kemerdekaan pertama kali dengan pelrindungan Simon Balivar (1819), akan tetapi “Kolumbia Raya” yang dicita-citakannya segera tumbang, menyusul pembentukan negara-negara modern Kolumbia, Venezuela, Ekuador, dan Panama. Selama terjadinya peristiwa ini, perang antara pengikut Bolivar dengan loyalis wakilnya, Fransisco de Paiula Santander, mengerucut kepada frasionalisme dominan, yang kemudian menjadi penanda partai politik modern yang saling berkompetisi satu sama lain dewasa ini yaitu Partai Liberal dan Partai Konservatif, “as collection of notables who engineered votes by manipulating largely rural Patrick Delaney, “Legislatif Eqaulity in Colombia: Constitutional commit toforuser Jurisprudence, Tutelas, and Social Reform”, The Equal Rights Review, Vol. 1, 2008, hlm. 50. 1037 perpustakaan.uns.ac.id 364 digilib.uns.ac.id patronage network.”1038 Kompetesi diantara kedua partai politik “were originally separated by different stances on certain ideological issues, particularlt federalism and religion, but more importantly they were separated by intense personal dislikes and factional conflict.”1039 Sesudah masa modern, persaingan ini memuncak dengan kejadian perang sipil berdarah “La Violencia.” Dipicu dengan pembunuhan terhadap Jorge Eliecer Gaitan, seorang pemimpin berhalauan kiri dan kharismatis pada April 1948.1040 Peristiwa itu menghasilkan konflik berkepanjangan sampai 1958 dan telah menewaskan 300 ribu jiwa. Dengan pembentukan “Front Nasional” sebagai wadah pemerintahan gabungan antara Partai Liberal dan Partai Konservatif1041 segera meredam kekacauan, yang menandai untuk masa lama dominasi partai dan kekuatan tradisional1042, dan akhirnya memicu lahirnya gerakan gerilyawan modern yang berlanjut sebagai bencana di Kolombia. Kegagalan Front Nasional yang justru memperluas ketidaksetaraan, hasil dari keragu-raguan terhadap pemilu, memperpanjang semangat golongan kiri untuk bergabung dengan pemberontak. Beberapa diantara gerilyawan pemberontak tersebut David Landau, “Political Institutions and Judicial Role in Constitutional Law”, Harvard International Law Journal, Vol. 51, 2010, hlm. 335. 1038 1039 Ibid. 1040 Salah satu kebijakan Gaitan yang berpengaruh dalam sistem politik Kolombia adalah kebijakan demobilisasi penduduk perkotaan. Gaitan khawatir akan munculnya radikalisme di kawasan urban yang bisa membahayakan pemerintahan. Kebijakan ini dilanjutkan oleh Front Nasional (1958-1974) yang ditujukan untuk mengendalikan konflik politik lebih tajam lagi yang sudah berlangsung selama 60 tahun terakhir. Sekalipun minoritas, tetap saja kalangan penduduk perkotaan merupakan penyumbang suara yang penting dalam proses pemilu di Kolombia. Uraian lebih lanjut, lihat: Gary Hoskin, “The Democratric Opening in Colombia: How Do Party and Elecotral Behaviour Relate to It?”, papar presented at 45th meeting of the International Congress of Americanist, Bogoto, Coplumbia, July, 1-7, 1995. 1041 Piagam pembentukan Front Nasional sesungguhnya untuk menentang kedikatoran Jenderal Gustavo Rojas Pinila. Pinila telah mengambilalih kekuasaan guna menghentikan aksi kekerasan partisan, tetapi tidak berhasil mencapai tujuan tersebut; selanjutnya, kebijakan ekonominya justru mengancam keberadaan kelas menengah atas. Lihat: loc.cit. 1042 Kedua partai politik setuju untuk melaksanakan pemilu dengan kesepakatan bahwa mereka akan merotasi Presiden, pembagian kabinet secara seimbang, dan membagi commitkursi to user dukungan bagi penunjukkan para hakim agung. Ibid. 365 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id adalah the Revolutionary Armed Forces of Colombia (FARC), the National Liberation Army (ELN), dan the April 9 Movement (M-19). Hingga sekarang, hanya M-19 yang surut, sementara FARC dan ELN masih aktif di Kolombia, sekalipun telah terjadi berbagai upaya negosiasi. Watak ideologis dari masing-masing gerakan ini bisa diperdebatkan, akan tetapi jelas bahwa perdagangan narkotika tidak bisa dipisahkan diantara mereka.1043 Sesudah jatuhnya kartel Medllin dan Cali pada tahun 1980-an dan 1990-an, di mana masing-masing gerakan gerilyawan menjalin hubungan yang tidak seimbang, kalangan pemberontak kemudian mendominasi produksi kokain. Hasil produksi itu jelas digunakan untuk membiayai perjuangan melawan pemerintah. Kekerasan paramiliter yang lahir dari resistensi gerilyawan terbentuk dari jeratan jaringan perdangan kokain, dan sekalipun paramiliter ini tersebar, jelas bahwa suatu kelompok bersenjata baru telah mengambil alih posisi mereka.1044 Pada sisi lain, Kolombia memiliki struktur yang kompleks, diantaranya keberadaan kelompok rentan karena keterpinggiran sosial. Diantara kelompok rentan itu adalah golongan Afro-Colombian, yang jumlahnya mencakup separuh penduduk Kolombia. Kebanyakan dari mereka tinggal di wilayah yang terisolasi, seperti Choco, di kawasan laut barat, dan di kawasan pantai Karibia. Penduduk di kawasan ini mayoritas mengalami kemiskinan ekstrem dan mengalami ketimpangan dalam akses pelayanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan. Parahnya, sekalipun kalangan ini mayoritas, secara politik tidak memiliki tingkat represenatif yang cukup, mengingat diantara 268 anggota Konggres, hanya 9 orang berasal dari Afro-Kolombia. Bagaimanapun, “each armed group is to varying degree simultaneously a political project, a military apparatus, and actor in social conflict, a rent seeker, a way of life, and a territorial state.” Lihat: Catalina Diaz, “Colombia’s Bid for Justice and Peace”, International Center for Transitional Justice, Mei 2007, hlm. 6. 1043 1044 Ibid., hlm. 51. commit to user 366 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Sebagai hasil dari bermacam-macam tekanan, komunitas AfroKolombia terancam kehilangan identitas budaya mereka. Sementara itu, kalangan penduduk pribumi, yang berjumlah tidak lebih dari 2% dari seluruh penduduk, juga mengalami deskriminasi. Kelompok ini tersebar ke dalam 90 suku dan mempunyai 64 bahasa. Mereka disingkirkan dari diskusi mengenai pengelolaan tanah, dan mayoritas terpuruk dalam kemiskinan, bersamaan dengan langkanya tingkat layanan kesehatan dan pendidikan. Mereka juga sering menjadi korban kewenang-wenangan mengingat tanah-tanah ulayat mereka secara sepihak diambil alih oleh militer atau pelaku konflik yang lain. Sejarah dan peradaban mereka terus menerus di bawah ancaman. Sumber perpecahan yang lain adalah isu-isu seperti hak-hak lesbian, gay, biseksual, dan keperibadian transgender. Sekalipun jumlahnya banyak, kelompok paramiliter kanan seringkali melakukan “pembersihan” terhadap orang yang dianggap tidak normal, termasuk kalangan homoseksual. Lesbian, gay, biseksual, dan kepribadian transgender terus menerus menjadi korban pembunuhan, diancam, dan diserang oleh masyarakat pada umumnya dan juga oleh polisi dan otoritas keamanan.1045 Upaya pemerintah untuk melakukan reformasi dengan memperluas tingkat keterwakilan sistem politik dan menambah kapasitas serta efektifitas peran pembangunan telah banyak mengalami kegagalan. Hampir 20 tahun lamanya 3 gagasan reformasi diajukan oleh Presiden Kolombia tetapi menemui kegagalan yaitu Alfonso Lopez Michelsen (1974-1978), Belisario Betancur (1982-1986), dan Virgilio Barco (1986-1990). Pada semua usaha reformasi ini, pemerintah merengkuh partai dan lembaga perwakilan (khususnya Konggres) tetapi usaha itu dipatahkan oleh para wakil rakyat. Sebagai 1045 Ibid., hlm. 52. commit to user 367 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id contoh dalam kasus Lopez, upayanya untuk membentuk Majelis Konstituante untuk melakukan perubahan UUD digagalkan oleh pengadilan. Usaha Betancur untuk menggalang opini publik, melalui mekanisme informal termasuk negosiasi dengan kalangan kiri, memperoleh tentangan dari militer dan mayoritas pemuka politik lainnya. Akhirnya, usaha Barco untuk mematahkan perilaku Konggres melalui referendum untuk memperoleh dukungan UUD baru juga dipatahkan oleh pengadilan, mengingat dalam sistem waktu itu, hanya Konggres yang berwenang untuk mengubah UUD.1046 Namun demikian, setelah pembunuhan terhadap pemimpin liberal Luis Carlos Galan (1989) oleh kelompok pedagang obat bius dan gerakan mahasiswa yang menekan pemerintahan Presiden Vigillio Barco untuk membentuk suatu Majelis Konstituante Nasional, barulah gagasan perubahan UUD diterima. Majelis tersebut meliputi para utusan yang menunjukkan keterwakilan kalangan dari bermacammacam latar belakang sosial dan politik di Kolombia, seperti buruh, mahasiswa, kelas politik tradisional, akademisi, kalangan pribumi, kalangan minoritas religus,dan bekas pelaku gerakan M-19. Semua anggota Majelis, dipilih dalam pemilu Desember 1990 dan ditetapkan sebanyak 70 orang.1047 Pelaksanaan tugas Majelis Konstituante diperlukan “because of pervasive violence, and because of a sense that country’s political instititution were failing.”1048 Sebagai hasilnya, UUD yang berhasil dirumuskan adalah ketentuan yang menunjukkan kedermawanan sosial dan demokrasi. Lihat; Ronald P. Archer, “State Inaction and Social Conflit: Colombia in 1990s”, papar presented at the Annual Meeting of tha Canadian Assosiation for Latin America and Carribea Studies, 5-7 Oktober 1989, hlm. 20-21. 1046 1047 Diantara ke-70 anggota tersebut, sebanyak 19 orang berasal dari M-19, 2 dari Patriotic Union, 2 kalangan non Katolik, 2 orang masing-masing mewakili mahasiswa dan remaja, 3 dari gerilyawan yang demobilisasi. Artinya, lebih dari 40% anggota Majelis tidak berafiliasi dengan Partai Konservatif maupun Partai Liberal, yang selama ini mendominasi sistem politik Kolombia. Renata Segura dan Ana Maria Bejarano, commit to user“Exclusion, Inclusion, and the Politics of Constitution-Making in the Andes”, Constelation, Vol. 11, 2004, hlm. 219. 1048 368 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Sebagai efeknya, UUD ini mengisyaratkan poembentukan “a social state of law” dan sebuah republik yang “democratic, partisipatory and pluralistic, founded in the respect for human dignity”, dan untuk selanjutnya memuat secara luas ketentuan yang berhubungan dengan hak asasi, sosial, ekonomi, kultural, kolektif, dan lingkungan, yang mana pemenuhannya dilakukan menurut prosedur yang lazim dan luar biasa untuk mencapai percepatan dan efisiensi. Ketentuan UUD baru juga mencoba untuk menghapus diskriminasi dan ketidaksetaraan. Pada intinya, UUD memuat serangkaian hak-hak fundamental, termasuk jaminan kesetaraan sebagaimana diatur dalam Pasal 13. Ketentuan ini ditujukan untuk perlindungan kelompok rentan, dalam konteks nyata, efektif, dan kesetaraan materi, dan melindungi kelompok ini karena ketidakmampuan ekonomi, fisik, dan mental. Selanjutnya, terdapat sejumlah perlindungan tambahan yang terdapat dalam UUD. Sebagai contoh, Pasal 43 melarang diskriminasi antara laki-laki dan perempuan, dan Pasal 68 memuat penghormatan terhadap indentitas penduduk asli. Seperti mayoritas sistem konstitusional yang lain, jangkauan nyata dari hak-hak ini hanya dapat dipertahankan melalui penafsiran pengadilan. Dalam hal ini, UUD mengizinkan penafsiran pemenuhan hak-hak fundamental tersebut melalui ketentuan hukum internasional HAM yang diratifikasi oleh pemerintah Kolombia. Oleh sebab itu, instrumen internasional mempunyai derajat konstitusionalitas di hadapan kekuasaan pengadilan.1049 Dari segi institusional, UUD yang baru membenetuk serangkaian badan dan lembaga baru, diantaranya adalah pembentukan MK. Tujuan pembentukan MK adalah to “keeper of the integrity and supremacy of the Constitution”, dengan pelekatan fungsi seperti menguji konstitusionalitas tindakan pemerintah yang mana oleh tiap 1049 Ibid., hlm. 57. commit to user 369 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id warganegara dapat diajukan pengujian dengan alasan bahwa tindakan itu melanggarUUD dan pengujian itu dapat dilakukan oleh setiap warganegara di hadapan hakim untuk mempertahankan hak-hak asasinya. (2) Kinerja Mahkamah Konstitusi Keberadaan MK memang dibentuk sejak permberlakuan UUD 1991. Meskipun demikian, Kolombia telah mempunyai tradisi panjang sehubungan dengan pengendalian konstitusi. Sekurang-kurangnya sejak 1910, MA diberi wewenang untuk CR. sebagai konsekuensinya, saat MK mulai menjalankan peran pada 1992, budaya hukum dan politik Kolombia sudah terbiasa dengan CR, sebagai ketetapan komunitas yudisial setempat percaya bahwa MK akan mampu membatalkan UU yang sudah disepakati oleh Konggres. Dalam hal ini, MK akan bekerja dengan penuh semangat tanpa khawatir bahwa eksekutif atau kekuatan politik akan menghapus perannya, sebagaimana terjadi di banyak negara saat MK sedang berjuang mencari legitimasinya. Hukum acara CR begitu mudah dan berbiaya ringan. Dengan demikian, sejak 1910, saat gugatan publik diajukan, banyak warganegara memohon pemeriksaan CR tanpa perlu didampingi oleh kuasa hukum atau formalitas yang lain. UUD 1991 juga menciptakan ketentuan serupa, yang dikenal sebagai “tutela”, di mana setiap orang tanpa persyaratan tertentu, dapat langsung mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk melindungi hak asasinya. Ketentuan ini relatif mudah bagi setiap warganegara untuk mentransformasikan keluhan ke dalam persoalan hukum yang oleh MK kemudian diperiksa dan diputus dalam waktu yang tidak terlalu lama. Sebagaimana sering ditunjukkan dalam studi perbandingan hukum, “greater access to justice brings about greater political influence for the courts.”1050 1050 commit to user Jacob et.all., 1996, hlm. 396. 370 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Hukum acara MK juga melekatkan berbagai wewenang kepada MK. Di dalam praktik, sehubungan dengan CR yang bersifat konkrit, MK menjadi “a super court.” Hal ini juga memfasilitasi keaktifan MK yang dalam kajian perbandingan sosiologi, maka MK kemudian “there tends to be more judicial activism and leadership, as in countries where most of the authority is concentraced in a single supreme court, such as in United States.”1051 Hal ini berbeda dengan negara seperti Prancis di mana kekuasaan terbagi diantara banyak pengadilan dengan yurisdiksi berbeda-beda.1052 Pertanyaan lebih lanjut adalah, mengapa MK mengambil peranan yang progresif, di saat pengadilan dapat menempuh banyak jalan untuk melancarkan aktivismenya? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, pertama-tama harus dipahami karakter transisi demokrasi yang dijalankan di Kolumbia. Ketentuan UUD 1991 bukan diproduksi melalui revolusi, akan tetapi diperoleh dalam konteks kompleksitas sejarah sebagai usaha untuk mencapai kesepakatan memperluas demokrasi untuk mencegah kekerasan dan korupsi politik. Para pembentuk konstitusi sepakat bahwa ketimpangan partisipasi dan kelemahan perlindungan HAM menjadi dasar atau penyebab terjadinya krisis. Hal ini yang menjelaskan sisi lain dari ideologi UUD: memperluas mekanisme partisipasi, perintah kepada negara untuk memenuhi kewajiban peningkatan keadilan sosial dan kesetaraan, dan pembentukan bermacam-macam UU yang menjamin hak asasi, termasuk mekanisme pengadilan untuk menjamin pelaksanannya. Oleh sebab itu, dalam bahasa Teitel, UUD 1991 selanjutnya tidak berwatak “backward looking” akan tetapi “forward looking.”1053 Komposisi MK terdiri atas 9 orang hakim yang memegang jabatan selama 8 tahun dan tidak boleh dipilih kembali. Para hakim 1051 Ibid., hlm. 389. 1052 Ibid. 1053 Teitel, 1997, hlm. 214. commit to user 371 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id dipilih oleh Presiden, KY, dan MA, yang masing-masing mengirimkan 3 orang calon kepada Senat. Selanjutnya, Senat memilih satu orang hakim dari tiap usulan untuk ditetapkan menjadi hakim konstitusi (Pasal 239 UUD). Proses ini relative mengurangi peran Presiden untuk guna melindungi independensi MK. Bagian selanjutnya secara purposif dan parsial akan menguraikan beberapa contoh putusan MK yang menunjukkan progresifitas MK dalam mengembangkan pemenuhan hak asasi dan perlindungan warganegara dari tindakan pemerintah. Perkara utama adalah menyangkut kesetaraan pribumi. Isu ini banyak mewarnai putusan MK. Elemen-elemen yang tercakup di dalamnya meliputi dasar hak atas kebudayaan berhadapan dengan pertimbangan ekonomi, sehingga menciptakan aliansi “intelektual pribumi” dengan MK serta internasionalisasi perjuangan kalangan pribumi. Diantaranya dapat disebut di sini putusan MK yang melindungi otonomi budaya dari suku U’Wa melawan eksploitasi perusahaan minyak multinasional, OXI, dan pemerintah Kolombia. Putusan ini mennyatakan bahwa penguasaan masyarakat akan tanah termasuk kandungan minyak bumi di dalamnya bersifat suci. Kemudian dalam putusan lain, MK membatasi kebebasan beragama di kalangan suku Arauca yang menganut Protestan dan mencoba untuk menghargai tradisi asli setempat. Putusan lain yang berhubungan dengan tradisi adalah penghormatan penjatuhan sanksi fisik sebagai pemidanaan bagi pelaku kejahatan yang sebenarnya bertentangan dengan KUHP. Terkait dengan transisi demokrasi, MK telah memfasilitasi untuk reorientasi gerakan buruh. Ketentuan UUD 1991 diberlakukan saat gerakan sosial, termasuk gerakan kiri pada umumnya, sedang mengalami krisis. Telah muncul gerakan sosial baru yang mengupayakan perlindungan minoritas. Gerakan buruh kesulitan untuk menyesuaikan dengan kondisi ini. Putusan MK, yang menuntut commit togerakan user buruh untuk menyesuaikan diri kesetaraan, telah memfasilitasi 372 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id dengan kondisi baru ini. Di dalam perkara yang lain, MK memerintahkan 209 organisasi buruh untuk menyesuaikan diri dengan ketentuan ILO. Dalam putusan lain, MK mengizinkan untuk mengkonsumsi obat-obat terlarang bagi individu dan euthanasia dengan alasan untuk menghormati otonomi pribadi dan martabat kemanusiaan.1054 Selanjutnya, MK mengembangkan paket hak asasi sosial dan ekonomi yang kuat, yang dibuktikan dengan adanya putusan yang mendorong badan hukum publik untuk membayar dana pensiun, melarang sekolah untuk mengeluarkan peserta didik karena tidak mampu membayar, dan memerintahkan dinas kesehatan untuk membayar perawatan korban AIDS.1055 Berkaitan dengan CR UU, MK menyadari bahwa dalam tradisi sejarah yang panjang, sistem legislasi Kolumbia mengalami disfungsi. Oleh sebab itu, MK sering mengeluh bahwa UU sering dihasilkan tanpa proses deliberatif oleh wakil rakyat. Konggres seringkali hanya menerima begitu saja usulan eksekutif tanpa pembahasan yang memadai sehingga dalam sebuah putusan MK mengatakan dibutuhkannya suatu reformasi “was the result of and indiscriminate decision to tax a great quantity of completely different goods and services that was not accompanied by even a minimum of legislative deliberation, raising the principle of “no taxation without representation.”1056 Pada perkara yang lain, MK menegaskan bahwa kebutuhan untuk melakukan pembahasan secara terbuka suatu UU diperlukan guna menjamin bahwa “keterwakilan rakyat benar-benar terwujud secara efektif…dan nilai-nilai demokrasi dan prinsip-prinsip transparansi serta publisitas sehubungan dengan aktivitas legislatif 1054 David Landau, op.cit., hlm. 343. 1055 Ibid. 1056 Putusan No. C-776/2003. commit to user 373 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id akan terjamin.”1057 Dalam putusan yang lain, MK mengakui adanya praktik pemberian uang sogok dari pemerintah kepada wakil rakyat untuk memperoleh persetujuan dalam pembahasan UU. Mengenai penyebabnya, MK mendiagnosisi bahwa, ”Disebabkan oleh kelemahan partai politik di Kolumbia, pemberian uang terang-terangan dari pemerintah kepada wakil rakyat di Konggres untuk memperoleh dukungan mereka…hendaknya dipahami….Hal ini karena pergerakan politik dan kepartaian di Kolumbia tidak bekerja sebagai organisasi yang koheren tetapi sebagai perkumpulan politisi regional, yang menempatkan kepentingan lokal dan spesifik.”1058 Masih berhubungan dengan CR terhadap UU, di mana ketika tidak ditemukan dominasi eksekutif sekalipun, tetapi MK akan membatalkan UU yang diketahui bahwa dalam proses pembahasannya Ketua Konggres tidak memberikan waktu yang cukup untuk perdebatan (misalnya hanya secara resmi membuka sidang, lalu menutupnya tak lama kemudian untuk segera dilakukan pemungutan suara tanpa ada pernyataan apapun).1059 Bahkan, MK tidak segan untuk membatalkan UU yang ternyata diketahui bahwa Pimpinan Konggres gagal melakukan rekaman pembahasan, mencetak di dalam jurnal legislasi, atau publisitas lain yang menyangkut isi pembahasan UU, yang mana bahwa pembahasan suatu UU mencakup juga debat dan voting.1060 Dalam beberapa putusan yang lain, MK membatalkan UU yang seolah-olah dilakukan pembahasan akan tetapi pimpinan rapat menghambat pembicaraan dan sebaliknya mengarahkan debat agar segera mengambil putusan.1061 1057 Putusan No. C-754/2004. 1058 Putusan No.C-1168/2001. 1059 Putusan No. C-754/2004. 1060 Putusan No. C-760/2001. Putusan No. C-754/2004,commit Putusan No. C-668/2004 to user Putusan No. C-370/2004 dan Putusan No. C-801/2003. 1061 , Putusan No. C-372/2004, 374 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Dalam perkembangan kinerjanya, MK mendorong terciptanya teori baru mengenai sistem pemisahan kekuasaan yang menempatkan peran MK sebagai pengawas bagi cabang eksekutif dan bahkan sebagai inisiator kebijakan yang berdasarkan nilai-nilai substantif yang diturunkan dari ketentuan UUD. Dalam sebuah kasus yang terkenal, MK menegaskan bahwa pelembagaan “tutela” merupakan “sebuah kompensasi, di dalam demokrasi konstitusional, dengan memperkuat pengujian UU, di mana secara sempurna akan mengendalikan dan mempertahankan tertib konstitusi. Cara ini hanya merupakan hal untuk membangun keseimbangan dan kolaborasi sejati diantara penyelenggara negara; di satu sisi, dominasi kehendak eksekutif.”1062 Dalam menyeimbangkan konteks kembali transisi otonomi demokrasi, Presiden MK berhasil untuk membuat keputusan sepihak (yang tidak berhubungan dengan pembentukan UU), sekalipun ditetapkan oleh UUD, atau dalam hal menyatakan negara dalam keadaan darurat. Menurut MK, delegasi legislasi merupakan sesuatu yang luar biasa yang bersifat istimewa dan harus dipahami memiliki keterbatasan di segala hal.1063 Delegasi semacam itu bertujuan “to reduce the capacity of the government to exercise legislative functions through constitutional delegation.”1064 Sehubungan dengan pemberlakuaan keadaan darurat, statistik menunjukkan bahwa diantara 12 keputusan pemberlakuan sejak 1991, MK membatalkan 3 keputusan presiden dan membatalkan untuk sebagian keputusan tersebut sebanyak 3 perkara. Bahkan, saat MK mengesahkan pemberlakuan darurat, tetapi MK juga membatalkan keputusan-keputusan substantif yang dikeluarkan sebagai efek pemberlakuan tersebut.1065 Diantara mayoritas perkara yang diajukan 1062 Putusan No. C-406/1992. 1063 Putusan No. C-702/1999. 1064 Putusan No. C-702/1999. 1065 David Landau, op.cit., hlm. 351. commit to user 375 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id pemeriksaan di awal keberadaan MK (1992-1994), ada 6 keputusan yang dibatalkan baik untuk keseluruhan maupun sebagian. Perlu diketahui, bahwa Kolumbia telah menghabiskan 82% waktu penyelenggaraan negara di bawah keadaan darurat yang ditetapkan oleh Presiden dalam dekade 1970-1980-an, tetapi kemudian menurun menjadi 17,5% antara 1991-2002.1066 4. Transisi Demokrasi dan Mahkamah Konstitusi di Asia a. Kasus Korea Selatan (1) Desain Transisi Demokrasi Politik Korea Selatan ditandai dengan intervensi militer jangka panjang. Dominasi militer dan pengaruh membentang untuk jangka waktu tiga dekade. Petualangan politik militer dimulai pada tahun 1961 ketika militer yang dipimpin oleh Jenderal Park Chung Hee melancarkan kudeta terhadap Presiden Chang Myon. Myang merupakan politisi sipil dan penggantinya, Syngman Rhee, yang dipaksa mengundurkan diri oleh demonstrasi mahasiswa pada tahun 1960. Motif kudeta itu karena pemerintah Myon Chang dianggap gagal menangani kerusuhan sosial, kekacauan publik dan protes mahasiswa yang berlebihan.1067 Chang Myon dan kepemimpinan sipil juga dianggap tidak mampu untuk meningkatkan kinerja ekonomi negara dan menangani ancaman komunis secara memuaskan. Meskipun wacana dominasi militer dan pengaruh dalam politik Korea Selatan telah stabil dibandingkan dengan Thailand, Korea Selatan juga mengalami kudeta militer kedua 1979/1980 yang membawa Chun Doo Hwan kekuasaan.1068 Sebelumnya terjadi 1066 Ibid. 1067 B.C. Koh, “South Korea in 1996: Internal Strains and External Challenges,” Asian Survey, Vol. 32, No. 1, 1997, hlm. 260. 1068 Kebanyakan ahli politik Korea Selatan mengakui bahwa Korea Selatan mengalami 2 kali kudeta. Kudeta yang pertama adalah sebagaimana dipahami umum (klasik) pada tahun 1961, sementara kudeta yang kedua adalah khas dan diinterpretasikan secara berbeda di antara para to user sarjana mengenai waktu pelaksanaannya.commit Young-Chul Paik, misalnya, berpendapat bahwa kudeta kedua terjadi pada tanggal 12 Desember tahun 1979 ketika Chun Doo Hwan dan pengikutnya 376 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id pembunuhan terhadap Park pada tahun 1979 oleh Direktur Korean Central Intelligence Agency (KCIA), Kim Jae-kyu, yang menciptakan ketegangan politik. Sebuah kepemimpinan sipil di bawah Choi Kyuhah tidak mampu mengurangi ketegangan dan memenuhi tuntutan mahasiswa untuk penghentian kekuasaan militer, liberalisasi politik dan demokratisasi. Bahkan, ketegangan meningkat, demonstrasi dan mendorong kerusuhan publik.1069 Situasi ini memberikan alasan bagi militer untuk mengambil semacam "langkah yang diperlukan" dengan menyatakan darurat militer, mahasiswa menekan dan memaksa Choi Kyu-hah untuk mengundurkan diri. Sejak Chun Doo Hwan terpilih menjadi Presiden, ia telah mengabaikan tuntutan mahasiswa dan terus menerapkan aturan Park sampai ia digantikan oleh mantan teman sekelasnya, Roh Tae Woo Umum, pada tahun 1988. Selama periode 1961-1988, sifat rezim Park dan Chun adalah otoriter. Perbedaan antara Park dan rezim Chun terletak pada sumber basis kekuatan. Sementara Park menikmati kekuatan pribadi untuk mengendalikan dan menggunakan kekuatan militer, basis kekuatan Chun lebih bergantung pada New Militer Group, "kepemimpinan kolektif pemimpin (militer) di lingkaran senior.”1070 Transisi demokrasi di Korea Selatan dimulai pada bulan Juni 1987 yang menandai langkah awal penarikan militer dari politik bertahap. Pada saat itu, Presiden Chun berjanji untuk menyerahkan ditangkap Penguasa Darurat Militer, Jenderal Chong Lagu-hwa, dan mengambil alih komando militer. Tim Sorrock dan C.I. Eugene, di sisi lain berpendapat bahwa kudeta terjadi pada 17 Mei 1980 saat Chun menyatakan darurat militer nasional yang memberinya tugas untuk mempertahankan hukum dan ketertiban dan untuk mengendalikan urusan pemerintahan. Dengan ini "perselisihan pendapat" ini, Kwang H. Ro mencoba untuk moderat dengan menyatakan bahwa tahun 1979 adalah terjadinya "kudeta awal" dari kudeta tahun 1980. Sementara itu, SM Koh mengatakan bahwa gerakan militer 1979 adalah "langkah pertama dalam pengambilalihan Chun pemerintah tahun berikutnya.” Lihat: Young-CulPaik, “Political Reform and Democratic Consolidation in Korea,” loc.cit. 1069 Lihat: ; C.I. Eugene, “The South Korean Military and Its Political Role,” dalam Ilpyong J. Kim dan Young Whan Kihl (Editors), 1988, Political Change in South Korea, New York: The Korean PWPA, Inc., hlm. 99-101. 1070 Ibid. commit to user 377 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id kekuasaan pada tahun berikutnya dan untuk mengamandemen konstitusi. Perdebatan adalah tentang sistem pemilihan presiden berikutnya, baik yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Seperti perdebatan menciptakan ketegangan Chun ditangguhkan dan menegaskan bahwa pemilihan presiden berikutnya akan dilakukan secara tidak langsung dengan menggunakan konstitusi yang ada. Hal ini membuat marah mahasiswa, partai oposisi, dan aktivis buruh. Dalam pikiran dari kelompok-kelompok pro demokrasi, pemilihan langsung presiden itu "dirancang oleh Chun dan DJP untuk menjaga oposisi dari mengambil kekuasaan dan mengabadikan kontrol militer atas negara.”1071 Dalam beberapa bulan berikutnya, partai-partai oposisi, mahasiswa, kelompok agama Protestan dan Katolik, anggota serikat buruh, dan kelas menengah yang terorganisir melakukan demonstrasi besar-besaran. Menariknya, beberapa anggota Parlemen dari partai yang berkuasa mendukung gerakan tersebut. Mereka mendukung slogan demonstran, "Orang ingin pemilihan langsung. Orang-orang sudah muak dengan politik berjalan militer" dan "Kita harus menyingkirkan bau barak militer dari partai kami." Gerakan ini akhirnya memaksa militer untuk menerima tuntutan publik untuk pemilihan presiden langsung dan reformasi politik.1072Konstitusi 1987 kemudian disahkan. Ketentuan UUD mengaturn pemilihan presiden langsung dan reformasi politik yang dengan segala cara berimplikasi terhadap militer. Dalam hal ini, salah satu analis berpendapat bahwa "Orang-orang, mungkin untuk pertama kalinya, telah memaksa militer untuk kembali ke barak dan siap untuk pemerintahan sipil."1073 Roh Tae Woo, kandidat Presiden dari partai penguasa Democratic Justice Party (DJP), pada pemilu yang diselenggarakan Tim Shorrock, “South Korea, Chun, the Kims and the Constitutional Struggle”, Third World Quarterly, Vol. 10, 1988, hlm. 96. 1071 1072 Ibid., hlm. 103. 1073 Ibid. commit to user 378 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id pada bulan Desember 1987 melalukan terobosan demokratisasi. Terobosan itu diawali dengan peluncuran terlebih dahulu apa yang dikenal sebagai “Deklarasi 29 Juni.” Sejak saat itulah, Korea Selatan telah melaksanakan 5 kali pemilu dan 4 kali pemilihan presiden, tindakan untuk mempertahankan demokrasi presidensial.1074 Persetujuan pemilihan presiden langsung, membuat pemilu adalah satu-satunya jalan untuk membentuk pemerintahan, menggerogoti kekuatan basis militer. Dengan mekanisme baru ini, militer tidak mempersiapkan skenario untuk kepemimpinan nasional dan bagi kelangsungan kekuasaan militer. Terpilihnya Jenderal Roh Tae Woo karena perpecahan dari kekuatan oposisi. Bahkan, di bawah konstitusi baru Roh memainkan peran dalam mengurangi kekuatan militer. Sekalipun Presiden Roh dipilih oleh rakyat, legitimasinya rendah karena ia juga merupakan pemimpin militer. Meskipun Roh Tae Woo memberikan kontribusi yang signifikan dalam liberalisasi politik, hubungannya dengan New Militer Group dan keterlibatannya dalam pembantaian Kwangju, membuat dia setengah hati dalam membangun demokrasi. Dengan demikian otoritarianisme masih ditandai rezimnya. Di bawah pemerintahannya militer itu "masih pasukan kuat dalam masyarakat Korea, tetapi memegang pengaruh yang kuat dalam politik Korea dan mantan petugas masih mendominasi bidang utama politik dan masyarakat." Elit otoritarian Korea Selatan tidak hanya bertahan, tetapi juga berkelanjutan dengan kalangan democrat. Selanjutnya, sesudah permulaan transisi demokrasi, bermacam-macam tuntutan publik tidak terpenuhi secara memuaskan. Situasi ketidakstabilan sosial ekonomi berlanjut dengan 1074 Sistem presidensial sudah dijalankan di Korea Selatan sejak negara ini memperoleh kemerdekaan pada 1948, dengan diselingi masa pendek parlementer pada 1960. Sekalipun pilihan parlementerisme ini sudah mengemuka sejak 1948, realisasinya menimbulkan kelemahan politisi dan kemungkinan untuk terjadinya kudeta miluter. Dalam demokratisasi pada 1987, rakyat menghendaki pemilihan presiden langsung dan bukan dengan pilihan tidak langsung oleh rezim otoritarian. Sebagai konsekeunsinya, implementasi presidensial berdasarkan pemilihan langsung, yang mengakhiri pemerintahan militer. Lihat: De-Kyu Yoon, “Constitutionalism in Korea”, Asian commit to user Affairs, Vol. 25, 1994, hlm. 181. 379 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id aksi para mahasiswa dan buruh yang menyebabkan pemerintah tidak bisa bekerja secara efisien. Guna melindungi jabatan dan jaminan keamanan pribadi sesudah tidak di pemerintahan, Presiden Roh menyusun sebuah “grand conservative rulling coalition” dengan kalangan pemimpin oposisi terkemuka. Jalan transisi demokrasi selanjutnya berdasarkan kompromi antara kelompok otoritarian dan kalangan oposisi. Konsolidasi demokrasi tercipta saat pelantikan Presiden Kim Young Sam, presiden sipil pertama dalam kurun waktu 30 tahun terakhir, pada 25 Februari 1993. Sebagai sosok sipil, Kim memperoleh dukungan tinggi (41,4%) dibandingkan Roh. Dampak dari pemilu presiden diberikan terhadap pemerintahannya baik legitimasi untuk menjalankan pemerintahan maupun untuk memperkuat kebangsaan.1075 Dengan dukungan tinggi publik dalam pemerintahannya, Kim menjalankan program pemberantasan korupsi, menjalankan supremasi sipil sebagai bentuk reformasi militer, menjalankan sistem transaksi keuangan nyata, dan mengubah UU politik. Dengan gagasan dan kendalinya sendiri, reformasi Kim menyumbang kepada konsolidasi demokrasi dengan mengurangi kepentingan rezim otoritarian, dengan memperkuat legitimasi pemerintahan sipil, dan melengkapi aspek legal dan formal dari demokrasi “to create a climate for clean and frugal politics.”1076 Tetapi, sekalipun ditentukan dan dikendalikan sendiri oleh Kim, program-program tersebut begitu luas dan terlalu ambisius. Oleh sebab itu, program tersebut tidak memperoleh dukungan baik dari kelompok berkepentingan maupun kalangan reformasi. Ketimpangan dukungan ditunjukkan dengan gaya kepemimpinan Kim, yang dinilai “disregarded laws, and to the democratic decision-making process 1075 Soong-Hoom Kil, “Political Reforms of the Kim Young Sam Government”, Korea and World Affairs, Vol. 17, 1993, hlm. 419. Young-Chul Palk, “Political Reform and Democratic Consolidation in Korea”, commit to user Korea and World Afairs, Vol. 18, 1994, hlm. 734-735. 1076 380 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id that was characteristic of his staff.”1077 Jadi, sekalipun Kim mempunyai motivasi dan kehendak yang kuat, “his capabilities did not backup his desire.”1078 Krisis ekonomi 1997 menyapu dan menghapus dukungan publik terhadap kepemimpinan Kim. Pada bulan Maret 1993, tingkat dukungan publik masih 70,9%, tetapi di Desember 1997 merosot hanya tinggal 6,1%. Kim sungguh-sungguh kehilangan popularitas di akhir masajabatan. Pemerintahannya juga mengalami krisis legitimasi karena anak laki-lakinya, Kim Hyun-Choul terlibat dalam skandal korupsi. Sesudah pemilu Desember 1997, Kim Dae-jung terpilih sebagai Presiden. Setelah pelantikannya pada bulan Februari 1998, pemerintah Kim dimulai dengan program reformasi sistem politik dan ekonomi. Dengan kegigihan tersendiri, tim transisi Kim mengadopsi 100 langkah-langkah reformasi yang akan dicapai selama masa jabatannya. Namun, kebijakan reformasi ekonomi pemerintah akan efektif jika dukungan politik dalam negeri yang tersedia untuk meneruskan legislasi di Majelis Nasional. Presiden Kim mengalami kesulitan sejak awal dalam mendorong langkah-langkah reformasi yang diperlukan berlakunya legislatif melalui Majelis Nasional. Selama 6 bulan pertama tahun 1998, mayotias dari 100 tindakan reformasi besar gagal terwujud karena kurangnya dukungan legislatif dan kompromi partisan. Untungnya Majelis Nasional telah memberlakukan 13 UU reformasi keuangan bulan Desember 1997, yang memungkinkan Presiden Kim Dae-jung untuk mengidentifikasi dan mengkonsolidasikan paket besar reformasi menjadi 4 hal khusus yaitu keuangan, perusahaan, tenaga kerja, dan sektor perusahaan publik. Ironi sejarah menunjukkan Presiden Kim Dae-jung mencapai 1077 Jun-ki Miin, “Democratization in South Korea and Evaluation of Kim Young Sam Government”, Social Science Research, Vol. 23, 1997, hlm. 46. 1078 Ibid., hlm. 55. commit to user 381 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id prestasi lebih dari standar kebanyakan presiden Korea sejak tahun 1987. Membawa perekonomian Korea Selatan keluar dari jurang krisis keuangan Asia 1997-98 dalam 2,5 tahun, menjelang target 4 tahun sebagaimana yang ditetapkan oleh IMF, Kim meletakkan dasar bagi ekonomi Korea yang kompetitif dan lebih transparan. Selama kepresidenan Kim, Korea Selatan menjadi lebih demokratis, terhubung ke Internet, dan berdasarkan pada infrastruktur pengetahuan intensif. Pemerintahan Kim mempromosikan diri lebih bebas, lebih terbuka ke masyarakat global, dengan menunjukkan prestasi ke seluruh dunia selama co-hosting dari Piala Dunia dan Asia Games Busan pada tahun 2002. Rakyat Korea cenderung keras terhadap kewajiban presiden menjelang akhir masa jabatannya berakhir. Akan tetapi, Presiden Kim Dae-jung kehilangan popularitas dan dukungan di tahun terakhir, yang sebagian besar keputusan sendiri. Kim hanya menyalahkan dirinya sendiri. "Bahkan para pendukungnya mengatakan Kim lebih baik sebagai oposisi daripada menjadi Presiden." Kebiasaan Presiden Kim Dae-jung yang mengandalkan sebuah lingkaran kecil keluarga dan teman-teman dengan rasa percaya diri yang berbatasan dengan kesombongan membantunya bertahan hidup sebagai pembangkang. Sebagai Presiden, sifat itu menjadi kewajiban. Kim berlari menjalankan kepresidenan layaknya seorang Kaisar. (2) Kinerja Mahkamah Konstitusi Sebelum demokratisasi pada 1987, Korea Selatan telah memiliki sejarah panjang dengan pembentukan badan yang berfungsi untuk mempertahankan UUD. Sejak merdeka tahun 1948, Korea telah mempunyai badan untuk melakukan fungsi CR. sekalipun mempunyai nama yang berbeda-beda untuk setiap periode, badan serupa itu tetap bertahan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Korea Selatan merupakan negara yang memiliki pengalaman dengan banyak commit to user 382 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id perubahan mengenai sistem CR dalam periode yang berbeda-beda.1079 Menurut Yan,”since its establishment of the first Democratic Constitution in 1948, Korea has had a judicial system in one from or another varying from the European to the American mixed. With eachchange of government and the consequent Constitutional revision, the judicial review system also changed.”1080 Sejak kemerdekaan 1948 hingga dewasa ini, perubahan sistem CR dibagi ke dalam 6 periode. Dalam Republik I (1948-1960), CR dilakukan oleh Komite Konstitusi (Constitutional Committee). Di dalam praktik, badan ini mencerminkan kelembagaan yang menggabungkan antara model Jerman dan model Prancis. Selama 11 tahun keberadaannya, komite ini hanya menyelesaikan 7 perkara, dan diantaranya adalah membatalkan 2 UU.1081 Pada masa Republik II (1960-1961), nama ini diubah menjadi MK. Pembentukan badan ini dipengaruhi oleh keberhasilan fungsi MK Jerman Barat. Hal ini nampak pada saat pembentukan UUD 1960, para perancang sesudah memperhatikan tuntutan mahasiswa, mengadopsi model Eropa dalam membentuk pengadilan konstitusi. Sayangnya, MK tidak pernah menjalankan fungsinya karena pada tahun 1961 terjadi kudeta militer.1082 Dalam periode Republik III (1961-1972), fungsi CR dilekatkan kepada MA. Dalam hal ini, berarti fungsi CR mengadopsi model Amerika. Di dalam praktik, sekalipun pengadilan di tingkat lebih rendah kadang-kadang melakukan CR, akan tetapi karena kecemasan terjadinya politisasi maka MA memilih untuk tidak menggunakan wewenang tersebut. 1079 Kun Yan, 2005. Judicial Review and Social Change in the Korean Democratizing Process, Seoul, University of National Press, hlm. 1. 1080 Ibid. 1081 Ibid., hlm. 11. 1082 Ibid., hlm. 12. commit to user 383 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Oleh sebab itu, dalam 10 tahun pelaksanaan fungsi ini, hanya sekali MA membatalkan UU.1083 Sementara itu, pada masa Republik IV (1972-1981) dan pada Republik V (1981-1987) CR dipertahankan dijalankan oleh Komite Konstitusi. Komite ini tidak pernah melaksaanakan CR. Hal ini disebabkan karena berada dalam lingkungan pemerintah yang otoriter. Dapat dikatakan sepanjang perideo ini, tidak pernah sekalipun komite ini memutus perkara CR. sepanjang 1972-1987, MA mengambill alih peran untuk mendefisinikan konstitusionalisme, sementara komite bersifat pasif.1084 Dewasa ini, dalam masa Republik VI (1987-sekarang), kelembagaan CR dilakukan oleh MK. Di samping pembatasan masa jabatan Presiden, pembentukan MK merupakan ciri substansi paling penting dari UUD 1987. Mengenai alasan pembentukan MK, Hakim Yon Joon Kim mengatakan, “for those countries lacking a tradition of judicial review, and especially those still struggling to cast aside their historical baggage of authoritarianism, the establishment of an independent constitutional court will hel to promote specialized adjudication of constitutional issues as well as uniformity and effieciency in the application of constitutional norms.”1085 Pembentuk UUD menganggap pembentukan MK diharapkan menjadi “quiescent institution” dan pembadanan demokrasi baru di Korea Selatan. Ketentuan UUD Korea Selatan memiliki bab tersendiri (Bab 6) yang didedikasikan untuk kompetensi, status, dan fungsi MK selain pengadilan umum, yang menekankan identitas dan independensi. Berdasarkan kompetensi tersebut MK berkedudukan sebagai salah satu lembaga tinggi negara, yang mempraktekkan prinsip 1083 Ibid., hlm. 14. 1084 Ibid., hlm. 21. Kim Yong-Joon, “Constitutional commitAdjuciation to user and the Korean Experience”, Harvard Asia Quarterly, Vol. 4, No. 1, 2000. 1085 384 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id pemisahan kekuasaan dan mengendalikan pelanggaran pemerintah kekuasaan dengan mengasumsikan fungsi pengendalian dan menyeimbangkan kekuasaan negara. Meskipun MK diatur dalam bab tersendiri dan terpisah dari pengadilan umum (termasuk MA), tidak berarti inti dari fungsi yudisial tidak diatur, yaitu ajudikasi konstitusional. Sebaliknya, pemisahan pengaturan dalam UUD dapat dianggap sah sebagai dasar konstitusional bagi sifat dan fungsi unik MK. Sementara itu, Pasal 111 ayat [1] UUD menetapkan 5 bidang sebagai yuridiksi MK: CR atas UU menurut permohonan pengadilan umum, pemakzulan, pembubaran partai politik, sengketa kompetensi antar lembaga negara, antara lembaga negara bagian dan pemerintah lokal dan antara pemerintah daerah, dan keluhan konstitusional (constitutional complaint) seperti yang ditentukan oleh UU. Yurisdiksi Mahkamah Konstitusi Korea pada jenis kasus tersebut mirip dengan sistem pengadilan konstitusional lainnya dengan beberapa variasi. Sejak didirikan pada akhir 1988 dan sampai dengan 31 Mei 2013 MK telah menghasilkan 23.040 putusan. Sementara khusus kewenangan CR, hingga 31 Mei 2013 telah diselesaikan 763 perkara.1086 Kinerja ini menunjukkan MK sebagai institusi yang paling efektif di Korea Selatan. Dalam jajak pendapat terbaru, MK memperoleh peringkat tertinggi diantara badan-badan pemerintahan. Bagi lembaga yang awalnya dipandang remeh, catatan ini merupakan pencapaian yang luar biasa. Tidak ada keragu-raguan terhadap putusan MK, yang dalam mayoritas perkara mampu menyelesaikan perselisihan diantara para pihak dan dianggap netral dan mimiliki legitimasi. Tetapi ada juga faktor struktural yang menyumbang bagi prestasi MK, yang diantaranya adalah seringnya muncul sengketa kewenangan diantara badan-badan pemerintah. Oleh sebab itu, MK memandu secara 1086 commit to user Lihat data: www.ccourt.go.kr, diakses 18 Juni 2013 di Surakarta. 385 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id bertahap mekanisme peradilan politik, yang mana mayoritas masalah politik dan sosial semakin ditentukan di ruang persidangan dibandingkan dengan cara penyelesaian politik konvensional. Pengadilan terdiri dari 9 hakim yang memegang jabatan 6 tahun yang diangkat dan berhenti bersama-sama. Sebanyak 3 orang hakim masing-masing diajukan oleh MA, Majelis Nasional, dan Presiden. Hingga sekarang sudah ada 25 orang yang (pernah) menjadi hakim dengan beragam latar belakang profesi seperti hakim, penuntut umum, dan politisi. Setiap pelaksanaan wewenang MK, dapat ditetapkan putusan apabila didukung oleh sekurang-kurangnya 2 orang hakim. Di dalam praktik MK telah banyak terlibat dalam mengubah rezim militer-birokrasi Korea menjadi demokrasi konstitusional, sebagian besar dengan CR terhadap UU yang ditetapkan oleh rezim sebelumya.1087 Pada saat yang sama, kekuatan politik baru dalam demokrasi sering berusaha untuk menempatkan posisi mereka melalui politisasi UU secara curang. Sehubungan dengan ini, MK telah melakukan beberapa pekerjaan penting dalam menyeimbangkan antara kekuatan politik baru dan di saat yang sama berperan sebagai alat transformasi menandai keterputusan dari masa lalu. Banyak perselisihan yang dirancang untuk membatasi peran serta dalam proses politik, dan MK telah konsisten untuk memihak kepentingan minoritas politik. Misalnya, partai minoritas mengajukan pemeriksaan CR terhadap UU Pemilu Lokal Tahun 1990, yang mengharuskan biaya pendaftaran yang besar dari setiap calon. Ketentuan ini dianggap sebagai disinsentif yang kuat bagi partai minoritas untuk mengajukan calon. Dalam putusan, MK menganggap ketentuan tersebut melanggar jaminan kesetaraan menurut UUD, karena mencegah calon yang tulus tapi miskin sumber daya untuk berpartisipasi.1088 Demikian pula, pada tahun 1989 MK memabtalkan Pasal 33 Undang-Undang Pemilu 1087 Tom Ginsburg, JudicialReview in New Democracies, op.cit., hlm. 226-246. 1088 Putusan No. 91/2000, Putusan No. 12/2000, Putusan No. 134/2000. commit to user 386 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Anggota DPRD Nasional, yang memerlukan uang jaminan yang lebih tinggi bagi calon independen dibandingkan kandidat yang berafiliasi dengan partai. Dalam putusannya, MK mengidentifikasi hak untuk memilih dan mencalonkan diri sebagai inti kebebasan demokratis yang harus diberikan setara.1089 Pada tahun 1992, MK membatalkan ketentuan UU yang sama yang menentukan calon berbasis partai lebih diprioritaskan dibandingkan calon independen dalam penampilan kampanye dan selebaran.1090 Pada tahun 1995, MK menemukan ketentuan dalam UU Pemilu Nasional tidak sesuai karena secara proporsional terjadi representasi berlebihan untuk daerah pedesaan dibandingkan dengan perkotaan.1091 Seperti di Jepang, Korea telah merancang untuk memaksimalkan pengaruh daerah pedesaan dengan mengorbankan pemilih perkotaan. Merujuk sebagain kasus di Jepang, Jerman dan Amerika, MK menetapkan batas eksplisit 01:04 disproporsionalitas antara daerah pemilihan di perkotaan dan pedesaan. Pengadilan juga telah banyak terlibat dalam isu-isu politik dan sejarah yang sensitif. Misalnya, MK memeriksa untuk mempertimbangkan apakah legislatif melakukan suatu kelalaian inkonstitusional karena gagal untuk memulai penyelidikan ke dalam pembantaian yang dilakukan dalam Perang Korea. Dalam putusan tersebut, MK menemukan bahwa Konstitusi tidak menciptakan hak individual berkeadilan dengan merujuk kepada pertimbangan legislatif.1092 Dalam salah satu rangkaian terkemuka perkara pada pertengahan 1990-an, MK ditarik ke persoalan keadilan retroaktif untuk sebuah kasus yang terjadi pada 1980 dan terkenal sebagai peristiwa “Insiden Kwangju”, di mana personil militer membantai 1089 Putusan No. 89/1989. 1090 Putusan No. 1/1992. 1091 Putusan No. 95/1995. 1092 Putusan No. 192/2000. commit to user 387 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id ratusan demonstran yang melakukan aksi damai.1093 Dua perwira yang terlibat dalam insiden itu (dan kudeta militer sebelumnya dari tahun 1979) di kemudian hari menjadi Presiden, yaitu Chun Doo-hwan (1979-1987) dan Roh Tae-woo (1988-1993). Ketika Presiden Kim Young-Sam (1993-1998) mengambil alih kekuasaan pada tahun 1992, jaksa menyelidiki Chun dan Roh dan menemukan bahwa pemeriksaan itu akan menimbulkan risiko politik yang tinggi sehingga harus dihentikan. Penghentian perkara ini diajukan ke MK dan pengadilan diminta untuk menguji ketentuan UU mengenai batas kadaluwarsa pemeriksaan yang diatur selama 15 tahun. Pada Januari 1995, MK mempertahankan masa kedaluwarsa itu dengan juga menegaskan bahwa menurut UUD, setiap Presiden tidak dapat dituntut secara hukum, kecuali pemberontakan. atas alasan Namun, MK melakukan tidak pernah pengkhianatan melarang dan adanya penuntutan kepada Chun dan Roh terkait dengan kebijaksanaan sepanjang kepresidenan mereka. Majelis Nasional, yang dikendalikan oleh partai Kim Youngsam, lalu mengeluarkan undang-undang khusus untuk memfasilitasi penuntutan terhadap Chun dan Roh. Akan tetapi UU ini diajukan pemeriksaan ke MK dan dalam sebuah putusan yang controversial pada tahun 1996, MK mendukung UU tersebut, walaupun mayoritas hakim menyatakan penolakan dalam dissenting opinion. Putusan MK memungkinkan jaksa untuk mendakwa Chun dan Roh, dan kedua orang itu dinyatakan bersalah. Chun dijatuhi hukuman mati dan Roh dipidana 22 tahun penjara. Akan tetapi kedua orang itu kemudian memperoleh pengampunan melalui inisiatif Presiden terpilih Kim Daejung pada bulan Desember 1997. Padahal Kim, yang saat Insiden Kwanju merupakan aktivis pro-demokrasi, merupakan sosok yang ditargetkan untuk dibunuh oleh kedua mantan presiden itu. J.M. West, “Martial Lawlessness: theuser Legal Aftermath of Kwangju”, Pasific Rim commit to Law and Policy Journal, Vol. 6, 1997, hlm. 85. 1093 388 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id b. Kasus Taiwan (1) Desain Transisi Demokrasi Taiwan merupakan kasus yang sangat menarik karena pembentukan dan pengembangan CR sesuai dengan transisi dari rezim otoriter ke demokrasi yang muncul. Sarjana lain telah mengidentifikasi kasus Taiwan sebagai salah satu keberhasilan di mana MK telah semakin diasumsikan menjalankan peran dengan relevan, tetapi pada saat yang sama telah mampu menghindari reaksi yang berlebihan dari para aktor politik. Taiwan mengalami hampir seabad kekuasaan kolonial dan otoriter sebelum berubah menjadi demokrasi yang muncul pada 1990-an.1094 Taiwan mempunyai konstitusi pertama kali saat berada dalam koloni Jepang, sehingga termasuk dalam yurisdiksi Konstitusi Meiji (1889). Akan tetapi, konstitusi ini diterapkan di Taiwan hanya dalam konteks nominal saja, karena bagaimana Konstitusi Meiji bukanlah konstitusi yang seluruhnya berwatak demokratis.1095 Walaupun secara legal berada dalam cengkeraman kekuasaan Jepang (1895-1945), Taiwan sebagai wilayah jajahan dikecualikan dalam “ketentuan konstitusional” (constitutional rule) yang berlaku di Kekaisaran Jepang. Misalnya, Jepang mendelegasikan sebagian besar kewenangannya termasuk kekuasaan eksekutif dan legislasi, kepada Gubernur Taiwan. Saat itu belum ada Parlemen di Lihat ulasan soal ini dalam T.S. Wang, “The Legal Development of Taiwan in the 20th Century: Toward a Liberal and Democratic Country”, Pacific Rim Law & Policy, Vol. 11, 2002, hlm. 531-539. Lebih khusus, Taiwan diserahkan oleh Imperial China (Dinasti Ching) ke Jepang pada tahun 1895 sebagai akibat dari Perang Sino-Jepang, dan menjadi koloni Jepang selama lima puluh tahun sampai Jepang kalah dalam Perang Dunia II pada tahun 1945. 1094 1095 Diundangkan pada tanggal 11 Februari 1889, Konstitusi Meiji menjadi ciri utama dalam formasi negara Jepang modern dan dalam perjalanan Jepang untuk menjadi salah satu kekuatan dunia yang beradab. Dirancang oleh Itō Hirobumi, sekelompok pemimpin pemerintah lainnya, dan beberapa sarjana hukum Barat, dokumen itu disahkan oleh Kaisar Meiji dan menetapkan Jepang sebagai monarki konstitusional dengan parlemen (disebut Diet) yang dipilih. Itō dan rekan-rekannya mengambil banyak dari model konstitusi Barat dan terutama tradisi konservatif Prusia, dalam menciptakan konstitusi yang masih mengakui kekuasaan yang hampir tak terbatas untuk Kaisar. Kajian selengkapnya, antara lain: Timoty S. George, “Civic Constitutional Activism in Modern Japan”, Paper presented as part of the symposium on “Revising Japan’s Constitution: History,commit Headlines, Prospects” Reischauer Institute of Japanese to user Studies, Harvard University, November 21, 2008, hlm. 1-4. 389 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Taiwan, tidak pernah dilaksanakan pemilu demokratis. Sistem CR tidak sepenuhnya berlaku, seperti halnya di Jepang. Hak dan kebebasan individu secara tegas ditolak dan kemudian ditindas pertama-tama oleh militer kolonial dan kemudian oleh kepolisian setempat. Dengan kondisi itu, jika ditinjau dari perspektif sekarang, “pemerintahan konstitusional” (constitutional government) merupakan barang mewah. Sesudah Perang Dunia II1096, Taiwan mengalami perkembangan yang unik karena memberlakuan 2 sistem bersamasama. Pertama, Taiwan mengadopsi ketentuan UUD China1097, tetapi kemudian diterima dalam konteks lokalitas setempat.1098 Kedua, 1096 Pada akhir Perang Dunia II, pasukan Chiang Kai-shek, Presiden Taiwan (ROC) dan Direktur Jenderal Partai Nasionalis China (Kuomintang, KMT) serta Panglima Tertinggi Sekutu di wilayah Asia pada waktu itu, mengambil alih Taiwan atas nama Sekutu pada tahun 1945. Diikuti oleh kekalahan Chiang dalam Perang Sipil Cina, pemerintah Taiwan KMT yang dipimpin mengumumkan darurat militer di Taiwan pada Mei 1949, dan kemudian pada tahun yang sama mundur dari daratan China ke Taiwan. Chiang dan KMT terus memerintah Taiwan, Penghu, dan beberapa pulau terpencil Fujianese selama 55 sampai Partai Progresif Demokratik (DPP) memenangi pemilihan presiden pada tahun 2000. Calon yang diajukan oleh DPP, Chen Shui-bian, terpilih pada tahun 2000 dan terpilih kembali pada tahun 2004. Namun, KMT kembali berkuasa setelah kandidatnya, Ma Ying-jeou, memenangkan pemilihan presiden tahun 2008. 1097 Cita-cita pembentukan konstitusi China mengadopsi gagasan Konstitusi Meiji. Bahkan, menurut tokoh pergerakan China, Sun Yat Sen, Konstitusi Meiji telah memberikan dorongan untuk tumbuhnya revolusi yang menumbangkan kekaisaran Dinasti Qing dan membentuk dasar-dasar bagi republic China. Dikatakan oleh Koji Tanama, “When the Qing government decided to reform political system in the last period of government in the beginning of 20th century, it sent the biggest delegation to Japan in order to hear the constitutional governmental system. However, the reform was unsuccessful: the Qing dynasty collapsed by the Xinhai Revolution. While the Xinhai Revolution was going on, Sun Yat-sen (孫中山) said, that the Chinese National Party is on earth the loyalist in the Meiji restoration 50 year before, that Japan was in those days only a weak state in the eastside, but since the growth of Imperial loyalists, Japan stimulated to become a powerful state, and that patriots of our party also intended to reform China, following after Japanese patriots. According to Sun Yat-sen, the Meiji restoration in Japan was the cause of the Chinese revolution; the Chinese revolution was a result of Japan's Meiji Restoration. Both were primarily connected with each other to achieve the reconstruction of East Asia.” Lihat: Koji Tonami, “The Development of the Rule of Constitutional Law in Japan after World War II“, Waseda University, hlm. 2. 1098 Pada kenyataannya, Konstitusi 1947 belum pernah benar-benar ditegakkan di Taiwan karena beberapa alasan. Pertama, Majelis Nasional mengesahkan "Ketentuan Sementara Efektif selama Periode Pemberontakan Komunis" ("Ketentuan Sementara") di Cina pada tahun 1948. Ketentuan ini menunda sementara banyak ketentuan konstitusi, dan memperkuat kekuasaan Presiden sampai penghapusan ketentuan itu pada tahun 1991. Kedua, Konstitusi itu sendiri telah commit tersebut to user(disebut "Ketentuan Tambahan") dengan diubah 7 sejak tahun 1991. Meskipun perubahan tetap melestarikan teks asli Konstitusi, namun berbagai perubahan itu telah mengubah struktur perpustakaan.uns.ac.id 390 digilib.uns.ac.id Taiwan mengalami transformasi konstitusional dalam konteks perubahan yang inkramental dan berpengaruh pada kehidupan politik.1099 Ketiga, demokratisasi Taiwan telah bergerak tanpa identitas nasional, walaupun rintisan pencarian itu sudah berlangsung sejak 1970-an.1100 Bersamaan dengan hal itu, Taiwan masih mencari identitas nasional dalam kondisi terisolasi secara internasional dan ancaman militer China.1101 Konstitusi (1947) yang dewasa ini berlaku pemerintahan di dalam praktik politik secara signifikan. Konstitusi 1947 telah diubah pada tahun 1991, 1992, 1994, 1997, 1999, 2000, dan 2005. Namun, MK, menyatakan tahun Ketentuan Tambahan 1999 inkonstitusional dan batal dalam Penafsiran Nomor 499 Tahun 2000 karena perubahan itu mengizinkan Perwakilan dari Majelis Nasional untuk memperpanjang masa jabatan sendiri selama hampir 3 tahun. Lihat: Sean Cooney, “Why Taiwan Is Not Hong Kong: A Review of the PRC’s “One Country Two Systems” Model for Reunification with Taiwan”, Pacific Rim Law & Policy, Vol. 6, 1997, hlm. 514. 1099 Sebuah contoh yang baik adalah pengaturan pemerintah pusat. Dalam Perubahan Konstitusi tahun 1994 dan 1997, Presiden dipilih langsung oleh warga Taiwan, untuk masa jabatan 4 tahun dan dapat dipilih lagi untuk satu periode. Pengundangan perintah eksekutif tidak memerlukan countersignature dengan Perdana Menteri dan pengangkatan Perdana Menteri tidak lagi memerlukan persetujuan dari Parlemen. Selain itu, Presiden memiliki kekuasaan untuk membubarkan Parlemen ketika melewati mosi tidak percaya terhadap Perdana Menteri.Ini menunjukkan bahwa Taiwan telah mengadopsi sistem semi-presidensial sejak 1997. Namun, tidak seperti negara-negara semi-presidensial lainnya, Taiwan tidak memiliki mekanisme konstitusional atau ketentuan yang mengharuskan Presiden untuk memperhitungkan hasil pemilu parlemen dalam memilih perdana menteri maupun budaya politik dari legislatif yang kuat, seperti tradisi Perancis, yang mendesak Presiden untuk menerima "kohabitasi." Akibatnya, Taiwan mengalami kebuntuan politik kronis antara eksekutif dan legislatif saat Presiden Chen Shui-bian dari partai DPP menolak untuk berkoalisi dengan oposisi (disebut "Pan-Blue" Alliance: Aliansi ini dibentuk oleh KMT dan Partai Rakyat Pertama (PFP), yang mendominasi Parlemen (2000-2008). 1100 Pada 1970-an, ada gerakan diselenggarakan oleh intelektual untuk membawa budaya asli Taiwan ke dalam pikiran dan hati masyarakat umum, bisa disebut sebagai pencarian jiwa budaya. Gerakan ini berusaha untuk menanamkan mentalitas: "Taiwan adalah tanah air dan kita akan tinggal di sini selamanya." Budaya Taiwan memiliki karakter yang unik dan tidak harus dilihat hanya di bawah bayang-bayang budaya Cina. Pada 1970-an, melalui gerakan masyarakat adat sastra, gerakan musik kampus, gerakan tari modern Taiwan, dan gerakan lokalisasi ilmu sosial, yang membawa Taiwan sebagai tanah air dan sebagai budaya ke dalam kesadaran kolektif. Lihat: Hsin-huang Michael Hsiao, “Recapturing Taiwan’s Democratization Experience”, First Biennial Conference, 15-17 September 2005 International Convention Centre Taipei, Taiwan, hlm. 2. 1101 Konflik saat ini antara China dan Taiwan awalnya dimulai pada tahun 1949 ketika Chiang Kai Shek dan para pengikutnya melarikan diri ke Taiwan setelah kekalahan mereka oleh komunis Cina dalam perang sipil China, yang meletus segera setelah berakhirnya Perang Dunia II. Beberapa krisis lintas-selat telah terjadi sejak saat itu, dan konflik antara Cina dan Taiwan telah berlanjut sampai awal abad 21. Meskipun tampaknya tidak ada solusi akhir untuk masalah Taiwan di masa mendatang, salah satu perkembangan di Selat Taiwan yang menarik perhatian banyak ahli 'adalah peningkatan secara drastis hubungan ekonomi antara China dan Taiwan. Banyak orang commit user pada hubungan China-Taiwan karena percaya bahwa perkembangan ini memiliki efektopositif menurut pandangan liberal, hubungan ekonomi antara negara negara akan mengarah ke perpustakaan.uns.ac.id 391 digilib.uns.ac.id di Taiwan, bukanlah berasal dari negara ini, akan tetapi dipaksakan berlaku oleh China sesudah pengesahan tahun 1947. Tranplantasi konstitusi China tersebut tidak pernah menciptakan pemerintahan demokratis, karena pemilu untuk pertama kali baru dilaksanakan pada 1991. Transisi demokrasi dipicu oleh gelombang protes dan aksi massa pada pertengahan 1980-an, yang kemudian mendorong munculnya partai politik oposisi yang pertama kali, yaitu Democratic Progresive Party (DPP) pada 28 September 1986. Partai pemerintah, Kuomintang (KMT), yang dipimpin oleh Presiden Chiang Ching-kuo (menjabat 1978 hingga kematiannya 19881102), tidak menghalangi inisiatif oposisi itu.1103 Bersamaan dengan itu pemberlakuan negara dalam keadaan darurat yang diberlakukan sejak 20 Mei 1949 dihapus mulai 15 Juli 1987 untuk mengendorkan tekanan negara atas hak dan kebebasan individu.1104 Pada September 1987, kebijakan lama yang perdamaian. Lihat: Chien Kai Chen, “China and Taiwan: A Furute of Peace”, Josef Korbel Journal of Advanced International Studies, Vo. 1, 2011, hlm. 17. 1102 Sesudah kematian Chiang Ching-kuo, wakil presidennya, Lee Teng-hui, menjadi Presiden. Banyak pengamat menilai bahwa Lee, seorang Taiwan yang melejit posisinya di KMT karena patronase langsung Chiang, tidak memiliki kedalaman dukungan partai untuk memegang kursi kepresidenan. Tapi Lee menantang anggapan itu dengan menggunakan mendukung proses reformasi untuk meminggirkan musuh-musuhnya, memperkuat teman-temannya, dan memenangkan niat baik oposisi. 1103 Secara ideologis historis, KMT sebenarnya didasarkan pada gagasan Sun Yat-sen mengenaii Tiga Prinsip Kerakyatan: nasionalisme, keadilan ekonomi, dan demokrasi. Dengan demikian, pemerintah KMT yang mengambil alih Taiwan ketika pemerintah kolonial Jepang mundur pada tahun 1945 berdasarkan legitimasi aspirasi demokrasi. Ini ditetapkan sebagai upaya besar untuk mengindoktrinasi rakyat Taiwan dalam pemikiran Sun Yat-sen, yang mencakup pengertian pengawasan politik. KMT juga mempromosikan ide ini di luar negeri dan membuat banyak identitas sebagai'' Free China”, setelah Republik Rakyat Cina memperkuat kontrol atas Cina daratan, legitimasi internasional Taiwan bertumpu hampir sepenuhnya pada klaim untuk menjadi demokrasi. Lihat: Shelley Rigger, “Democratization in Greater China Taiwan’s Best-Case Democratization”, Foreign Policy Research Institute, 2004, hlm. 287. 1104 Chiang Ching-kuo memutuskan untuk mencabut keadaan darurat dan dia mengatakan kepada Katherine Graham, dari Washington Post, bahwa Taiwan akan kebijakan darurat. Ada banyak perlawanan terhadap langkah tersebut dari dalam lingkaran KMT. Mengapa ia masih melakukannya? Dalam rangka mempertahankan kontrol KMT rezim. Dengan demikian, ia juga bisa mempertahankan posisi tertinggi dalam partai KMT. Setelah semua itu, Chiang masih seorang tokoh otoriter. Oleh karena itu dalam konteks ini ia menggunakan cara yang otoriter untuk commit usermasyarakat. Lihat: Hsin-huang Michael mengakhiri kekuasaan otoriter partainya sendiritoatas Hsiao, op.cit., hlm. 4. perpustakaan.uns.ac.id 392 digilib.uns.ac.id melarang warga Taiwan mengunjungi Cina Daratan dihapus.1105 Sejak 1 Januari 1988, ketentuan mengenai larangan penerbitan surat kabar dan sensor represif dihapus. Di samping segala usaha liberalisasi ini, setiap hari terjadi demonstrasi di banyak tempat dan Parlemen hampir setiap hari mengalami boikot dari partai oposisi. Posisi KMT di Parlemen juga mulai menyusut. Sejak awal, diantara 101 kursi Parlemen, KMT mengendalikan mayoritas kursi, dengan 82% (1983), 81,2% (1986), dan 71,29% (1996). Sementara perolehan oposisi bergerak naik dari 20% menjadi 28,5% (1989). Perlu dicatat, bahwa demokratisasi di Taiwan—berbeda dengan negara Eropa Timur—sama sekali tidak terkait dengan dinamika di Uni Soviet maupun konstelasi perang dingin.1106 Artinya, “In the specific case of Taiwan, what really mattered was avoiding control by mainland China (or better still, to control mainland China from Taipei) rather than resisting Moscow or proving undying loyalty to Washington.”1107 Sekalipun demikian, peranan faktor internasional penting bagi legitimasi Taiwan sehingga bersedia untuk melakukan demokratisasi.1108 1105 Sejak November 1988, sebaliknya, penduduk Cina Daratan diizinkan memasuki Taiwan dengan persyaratan-persyaratan tertentu. 1106 Sampai memasuki transisi demokrasi, kediktatoran di Taiwan tidak terancam oleh Moskow. Sebaliknya, Kuomintang (KMT) pada awalnya menjalin relasi dengan Uni Sovietdan tidak sedikit menriu kebijakan dalam praktik. Untuk seperempat abad sebelum pencabutan negara dalam keadaan darurat, Taipei telah mengetahui keretakan hubungan Beijing-Moskow. Semakin buruk hubungan antara Uni Soviet dan Republik Rakyat Cina (RRC) menjadi semakin sedikit alasan bagi Taiwan untuk menjadi anti-Soviet. Demikian pula, semakin dekat Washington terhadap Beijing, semakin diperlukan bagi KMT untuk bergerak keluar orbit dari Amerika Serikat dalam Perang Dingin dan mendirikan kembali legitimasi kekuasaannya secara berbeda. Lebih lanjut lihat: Laurence Whitehead, “Taiwan’s Democratization A Critical Test for the International Dimensions Perspective”, Taiwan Journal of Democracy, Vol. 3, No. 2, 2007, hlm. 15-16. 1107 Ibid., hlm. 16-17. 1108 Demokratisasi menguntungkan Taiwan secara internasional dan domestik. Selama bertahun-tahun dari tahun 1950 sampai tahun 1970-an, masyarakat dunia telah mengakui RRC secara permanen dan sah. Ini melucuti Taiwan dari posisi istimewa sebagai perwakilan negara Cina. Untuk mempertahankan dukungan internasional KMT mencitrakan diri sebagai “Free China”. Namun pencitraan itu dianggap tidak meyakinkan selama demokrasi ditangguhkan oleh partai tunggal, rezim otoriter yang memberlakukan darurat militer dan menekan oposisi. Lihat: commit to user Shelley Rigger, op.cit., hlm. 288. 393 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Karena Konstitusi 1947 sendiri mengatur mengenai HAM, legitimasi konstitusi ini sendiri tidak pernah ditentang secara langsung. Dalam hal ini, liberalisasi hanya menyangkut tindakan eksekutif dan legislasi, atau putusan pengadilan, yang sungguh-sungguh diperlukan. Sesudah perubahan UUD menyangkut pemilu dan struktur pemerintahan, untuk pertama kali pada Maret 1996, Taiwan melaksanakan pemilu Presiden. Pada 1997, Majelis Nasional mengukuhkan ketentuan UUD mengenai sistem semi presidensial.1109 Penting untuk dicatat bahwa dalam masa demokratisasi di 1990-an ini, peranan Presiden Lee Teng-hui cukup signifikan.1110 Transisi demokrasi di Taiwan telah memperluas akuntabilitas dan demokrasi. Namun, proses tersebut juga kepentingan strategis dan perhitungan tertentu mencerminkan dari para pelaku. Hasilnya adalah demokratisasi yang evolusioner, damai, dan berlarutlarut, yang semuanya terkait dengan transisi demokrasi yang sukses. Namun, Taiwan juga membentuk demokratisasi secara top-down, di mana partai yang berkuasa mengontrol baik kecepatan maupun isi reformasi. Dan elemen ini, tampaknya, telah menghasilkan beberapa hasil yang lebih bermasalah. Sebagaimana dikatakan Gretchen Casper dari University of Michigan bahwa, “kompromi yang dicapai selama masa transisi telah menghambat peluang demokrasi baru untuk 1109 Selama transisi demokrasi, peran presiden ditingkatkan dengan secara hati-hati, namun kekuasaan legislatif tidak disesuaikan. Misalnya, pemilihan langsung membuat Presiden lebih bergengsi dan memberikannya aura mandat. Dikombinasikan dengan kekuasaan de facto presiden sejak Chiang Kaishek, harapan yang dibuat oleh pemilihan langsung sangat sulit untuk menempatkan Taiwan bukanlah sistem presidensial. Namun, Presiden tidak ditempatkan dalam proses legislasi, juga tidak memiliki hak veto yang efektif kekuasaan atas Parlemen. Perubahan secara serampangan tersebut menciptakan destabilisasi keseimbangan kekuasaan diantara kedua cabang. Lihat: Shelley Rigger, op.cit., hlm. 290. 1110 Selama 1990-an, masih ada banyak perlawanan dan kebencian dalam KMT untuk menindaklanjuti tuntutan pro-demokrasi, bahkan untuk mencegah Taiwan mencapai demokrasi sejati. Saat itu Lee kembali mengambil strategi tidak begitu demokratis untuk berurusan dengan tekanan di dalam partainya sendiri. Ia tahu bahwa ia bisa bertahan sebagai ketua partai hanya dengan mengendarai gelombang demokratisasi di user luar partainya. Lihat: Hsin-huang Michael commit to Hsiao, op.cit. hlm. 5. 394 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id terkonsolidasi, karena rezim lama mampu mempertahankan tingkat pengaruh yang signifikan."1111 (2) Kinerja Mahkamah Konstitusi Konstitusi Taiwan 1947, merupakan salah satu konstitusi yang hadir tertua di dunia dan bukan merupakan karya asli bangsa Taiwan.1112 Demikian pula, pengadilan konstitusi hampir mendahului semua pengadilan lain. Meskipun komposisi dan kompetensi telah direformasi dalam 50 tahun terakhir, MK Taiwan bukan produk baru, seperti di banyak negara demokrasi baru (misalnya, Spanyol, Portugal, negara-negara Eropa Timur, dan Chile), tapi lembaga yang telah berlaku selama periode otoriter dan untuk kemudian muncul dalam format baru sesudah demokratisasi. Durasi dan peran MK Taiwan membuatnya sangat berbeda dari pengadilan konstitusional lainnya di seluruh dunia, dan oleh karena itu sangat unik untuk dikaji. Dalam Konstitusi 1947 pengadilan konstitusi tersebut dikenal sebagai bagian dari Judicial Yuan, yang sering disebut sebagai Council of Grand Justices.1113 Lembaga inilah, yang menurut penulis, merupakan salah satu bentuk dari pelembagaaan MK.1114 Dalam Pasal 79 ayat [2] Gretchen Casper, ‘‘The Benefits of Difficult Transitions,’’ Democratization, Autumn 2000, hlm. 54. 1111 1112 Selain struktur politik yang rumit, legitimasi Konstitusi 1947 juga dipertanyakan setidaknya selama rezim otoriter. Pertama, Konstitusi dipaksakan dari luar tanpa persetujuan atau persetujuan rakyat Taiwan. Kedua, pemerintah didominasi oleh "orang-orang yang berasal dari China daratan" (sekitar 13% dari population meskipun fakta bahwa "asli Taiwan" adalah mayoritas, sekitar 87% dari populasi). Yang dikatakan penduduk asli secara harfiah "orang dari provinsi ini”, merujuk kepada orang-orang yang mendiami Taiwan sebelum tahun 1945 dan keturunan mereka. 1113 Dalam kaidah asli UUD 1947, pemerintah pusat, menurut doktrin politik Sun Yatsen, dipisahkan menjadi 5 cabang kekuasaan (disebut "Yuan") - Eksekutif, Legislatif, Yudisial, Pemeriksaan, dan Pengawas, dengan Presiden dan Majelis Nasional di luar skema 5 kekuasaan. Di antara cabang-cabang kekuasaan negara ini, Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif sesuai dengan kerangka konvensional Montesquieuan. Adapun Pemeriksaan dan Pengawasan, yang pertama mengendalikan pelayanan sipil, dan yang terakhir adalah bertanggungjawab untuk audit serta impeachment pejabat publik. Sementara itu, pemerintah dibagi menjadi tingkat pusat, provinsi / kota, dan kabupaten. 1114 Sampai awal 1990-an, digunakan nama Council of Grand Justices. Sejak tahun to user 1993, nama "Dewan Grand Hakim"commit tidak lagi digunakan oleh Yudisial Yuan. Untuk mempermudah, penelitian ini menggunakan istilah MK untuk merujuk kepada lembaga Grand perpustakaan.uns.ac.id 395 digilib.uns.ac.id Konstitusi 1947, MK telah diberi kekuasaan untuk melakukan intepretasi konstitusi. Intepretasi tersebut selanjutnya memiliki kekuatan mengikat (binding interpretation) sebagaimana konstitusi itu sendiri. Kelembagaan MK Taiwan merupakan salah satu ayng tertua di Asia karena secara resmi didirikan pada Agustus 1948 dan mengadakan permusyawaratan pertama kali pada 15 September 1948 di Nanking, China.1115 Untuk pertama kali MK mengadakan persidangan di Taiwan pada 14 April 1952. Namun, badan ini tidak berfungsi dengan baik selama 40 tahun pemerintahan otoriter di bawah rezim KMT.1116 Hanya mulai dari akhir 1980-an, MK memulai reformasi yang signifikan seiring dengan proses demokratisasi. Dibuat sebagai penafsir yang netral terhadap Konstitusi, MK tidak bisa segera melaksanakan tugasnya karena intervensi dari lembaga negara yang lain.1117 Sejak awal, Sun Yat Sen memiliki respek yang tinggi untuk pemisahan kekuasaan konsep pada saat ia mengembangkan teori tentang politik dan struktur pemerintahan yang kemudian menjiwai Konstitusi 1947.1118 Justices yang bertanggung jawab atas penafsiran konstitusi sepanjang sejarahnya, kecuali dinyatakan lain. 1115 Tom Ginsburg, Judicial Review in New Democracies : Constitutional Courts in Asian Cases, op.cit., hlm. 115. 1116 Watak pemerintahan yang otoriter ini justru dikehendaki oleh ketentuan UUD 1947. Pada tahun 1948, Majelis Nasional bersidang di Nanjing untuk mengkonfirmasi Chiang sebagai Presiden dan mengadopsi satu paket Ketentuan Sementara (Temporary Provision) yang bertujuan membantu pemerintah dalam memerangi pengaruh komunisme. Ketentuan tersebut memberikan kekuasaan yang luas kepada Presiden untuk menjalankan negara tanpa terbelenggu dalam prosedur konstitusional. Di bawah Ketentuan Sementara Pasal 1 dan Pasal 2, Presiden bisa mengambil langkah darurat yang diperlukan untuk melindungi negara atau rakyat dari bahaya langsung atau krisis keuangan yang serius. Penerapan Ketentuan Sementara ini berarti menunda pemberlakuan Konstitusi, dan mulai periode darurat militer cukup lama di Taiwan. Lihat: Achmad Syahrizal, op.cit., hlm. 137. 1117 Faktor yang berkontribusi terhadap rendahnya jumlah interpretasi, di samping kontrol KMT, adalah bahwa supremasi Interpretasi konstitusional MK belum melembaga. Hal ini karena konstitusi memberikan kewenangan Dewan untuk membuat interpretasi konstitusi yang mana interpretasi ini s mengikat seperti UU yang ditetapkan oleh legislatif. F. Fraser Mendel, “Judicial Power & Illusion: The Republic of China’s Council of Grand Justices and Constitutional Intepretation”, Pasific Rim Law & Policy Journal, Vol. 2, No. 1, 1993, hlm. 170. commit to user Taiwan mengikuti model Jepang dan Jerman dalam membangun sistem peradilannya, sebagaimana dibuktikan oleh banyak bagian dari kodifikasi hukum yang mengacu 1118 396 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Menurut Konstitusi 1947, sebelum tahun 2003, MK terdiri atas 17 hakim yang diangkat oleh Presiden dengan persetujuan Badan Pengawas1119 (1948-1992) atau Majelis Nasional (1992-2000) dan diangkat untuk masa jabatan 9 tahun dan dapat dipilih kembali. Akan tetapi sejak perubahan UUD pada 1997, jumlah anggota diperkecil menjadi 15 anggota, dan masa jabatan menjadi 8 tahun tanpa kemungkinan untuk dipilih kembali. Ketentuan konstitusi terbaru juga memerintahkan penggantian para hakim dalam sebagian-sebagian sehingga mengikuti siklus 4 tahunan pemilu presiden.1120 Meskipun konstitusi Taiwan menciptakan MK sebagai pengadilan khusus untuk CR, keberadaannya tidak terpisahkan dari MA1121. Lembaga ini mengontrol anggaran dan mengawasi tidak hanya MK, tetapi juga semua pengadilan lain.1122 Bahkan, sejak tahun 1997, Ketua MA merupakan salah satu hakim MK. Ketua MA memimpin pertemuan pada preseden dari negara-negara tersebut. Pengaruh Konstitusi Amerika juga terlihat, khususnya terkait dengan pemisahan kekuasaan. Lihat:. Ibid., hlm. 168. 1119 Menurut Perubahan UUD 1992 dan 2000, status Badan Pengawas juga telah jauh berubah karena tidak lagi merupakan lembaga yang dipilih dan sekarang anggotanya semuanya ditunjuk oleh Presiden dengan persetujuan dari Parlemen. Bahkan lebih dramatis, Perubahan 2005 menghapuskan Majelis Nasional dan menetapkan ambang batas sangat tinggi untuk amendmen. Sejak itu Konstitusi telah sangat sulit untuk diubah. 1120 Mekanisme penunjukan, seperti disebutkan di atas, sangat didominasi oleh Presiden dan partai-partai politik dari badan yang memberikan konfirmasi (di bawah pengaruh KMT dan sekutunya). Dalam hal ini, penunjukkan Hakim harus sesuai dengan preferensi Presiden dengan memperhatikan pendapat Badan Pengawas, Majelis Nasional atau Parlemen (yang seharusnya menimbulkan sedikit masalah bagi Presiden KMT tapi bisa memberikan pengaruh tertentu dalam kasus DPP Presiden Chen). Oleh karena itu, penulis berharap preferensi untuk sebagian besar penunjukkan itu berkesesuaian. Selain itu, MK telah dibatasi oleh masa jabatan dan sebelum tahun 2003, ada kemungkinan pengangkatan kembali. Dengan demikian, ada harapan bahwa kedua faktor ini memperkuat kemungkinan bahwa para Hakim serius akan membawa kepentingan para pengusungnya menjadi pertimbangan. Dalam kerangka ini, perlu penulis tidak menetapkan Hakim ke KMT atau oposisi (DPP), melainkan memperhatikan kontrol oleh Presiden terhadap setiap hakim. Oleh karena itu, dalam hal ini dapat dibedakan antara Hakim diangkat sebelum awal transisi (yaitu, 1985 dan sebelumnya) dan yang ditunjuk setelah demokratisasi (yaitu, 1994, 1999, 2003 dan 2007). 1121 Menurut Konstitusi 1947, MA sebagai organ peradilan tertinggi, memiliki kekuasaan: (i) mengadili perkara perdata, pidana, dan administratif, dan kasus-kasus mengenai tindakan disipliner terhadap pejabat publik; dan (ii) menafsirkan Konstitusi termasuk menguji UU dan peraturan-peraturan yang lain. 1122 Ibid., hlm. 97. commit to user 397 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id MK, meskipun mereka tidak merupakan hakim konstitusi. Fakta ini menimbulkan pertanyaan apakah MK dapat dikualifikasikan sebagai badan konstitusional utama maka harus dijawab negatif. Meskipun MK adalah merupakan pengadilan yang independen, namun badan ini tidak otonom, melainkan dapat dilihat sebagai bagian dari MA. Untuk batas tertentu ini adalah implementasi doktrin Sun Yat Sen tentang pemisahan kekuasaan. Namun demikian, konstruksi ini, bahkan berbeda dengan asal muasal sebelum 1997, telah membatasi MK untuk melakukan CR.1123 Hanya saja sejak tahun 2003, Ketua dan Wakil Ketua MK ditetapkan diantara hakim konstitusi. Kecuali untuk 8 Hakim diangkat pada tahun 2003 memegang jabatan selama 4 tahun, para hakim sekarang diangkat oleh Presiden dengan persetujuan mayoritas Parlemen dan untuk masa jabatan 8 tahun dan tidak dapat dipilih kembali. Karena setengah dari komposisi Hakim diperbarui setiap 4 tahun, secara teoritis, seorang Presiden memiliki kesempatan untuk menunjuk 7 atau 8 hakim Hakim selama 4 tahun masa jabatannya.1124 Pengisian jabatan hakim dari kategori yang sama tidak boleh melampaui jumlah 1/3 dari keseluruhan anggota. Artinya, komposisi MK harus berasal dari latar belakang yang berbeda. Melalui cara ini, diharapkan MK akan memiliki legitimasi yang bersumber dari aneka 1123 Ibid. 1124 Mengingat pengaruh KMT dalam proses pengangkatan hampir seluruh periode MK, para hakim yang ditunjuk oleh Presiden dari partai KMT (tahun 1985, 1994 dan 1999) diduga mendukung kepentingan KMT. Pada saat yang sama, para hakim yang diangkat oleh Presiden dari DPP, oposisi utama KMT, (tahun 2003 dan 2007) didguga akan merugikan kepentingan KMT. Namun, mengingat bahwa oposisi tidak pernah benar-benar mendominasi Parlemen dan badan lain yang memberikan persetujuan pengangkatan hakim konstitusi (yaitu Badan Pengawas, Majelis Nasional, atau Parlemen), penulis berasumsi kedua efek (keselarasan antara kepentingan oposisi dan pola suara hakim yang ditunjuk oleh Presiden DPP) menjadi kurang penting dibandingkan efek pertama (keselarasan antara kepentingan KMT dan pola suara hakim ditunjuk oleh Presiden KMT). Berdasarkan hipotesis ini, afiliasi dari Hakim, yang diukur oleh Presiden yang mengangkat mereka, adalah prediktor yang baik dari pola suara mereka di pengadilan. Para Presiden Taiwan tersebut adalah Presiden Taiwan telah Chiang Kai-shek (19501975, KMT), Yen Chia-kan (1975-1978, KMT), Chiang Ching-kuo (1978-1988, KMT), Lee Tenghui (1988-2000 , KMT), Chen Shui-bian (2000-2008, commit to userDPP), dan Ma Ying-jeou (sejak 2008, KMT). 398 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id kekuatan.1125 Meskipun kecenderungan memperlihatkan dominasi kalangan univesitas dan hakim karier, namun demikian, faktor politik tetap memainkan peranan penting pada tahap proses pengangkatan para hakim itu.1126 Meskipun demikian, hakim MK wajib tetap menjaga jarak dari pengaruh politik partisan dan keberadaanya telah memperoleh jaminan secara konstitusional dari potensi intervensi politik.1127 Dari tahun 1948 hingga sekarang, telah terdapat 6 generasi komposisi hakim.1128 Menurut Pasal 78 Konstitusi 1947, MK memiliki kekuasaan untuk (i) melakukan penafsiran atas kaidah-kaidah konstitusi; (ii) melaksanakan kesatuan penafsiran (unfied interpretation) atas peraturan perundang-undangan dan peraturan pemerintah. Artinya, obyek penafsiran MK adalah produk legislasi dan eksekutif. Namun dapat pula diarahkan secara langsung terhadap ketentuan UUD, dalam hal ini misalnya adalah perubahan konstitusi. Dalam hal ini, MK tidak diberikan diskresi untuk memilih kasus yang ingin diperiksa.1129 Jika petisi untuk meminta penafsiran 1125 Berbeda dengan mekanisme penunjukan pengadilan di Jerman, Italia, Portugal, atau Spanyol, secara de facto sistem kuota tidak ada di Taiwan. Artinya, tidak ada mekanisme bagi partai politik Taiwan untuk memilih hakim sesuai dengan kursi mereka di Parlemen atau kepentingan relatif mereka dalam masyarakat Taiwan. Oleh karena itu, relatif sulit untuk mengidentifikasi hakim tertentu dengan partai politik, setidaknya dibandingkan dengan kasus Jerman, Italia, Portugis, dan Spanyol. Selain itu, hakim karir di Taiwan dilarang memiliki afiliasi partai, sehingga lebih sulit untuk mengenali preferensi pesta Kehakiman jika ia / dia digunakan untuk menjadi hakim karir. Namun, bahkan tanpa sistem kuota partai, secara praktis, Presiden masih perlu untuk memperhatikan hasil pemilu, reputasi calon hakim, dan sebagainya dalam perhitungan. Jika tidak, calon dapat ditolak bila ada Parlemen bila dikuasai oleh oposisi (karena diajukan oleh Presiden Chen dari Partai DPP). Sebuah contoh yang baik terjadi pada tahun 2007 ketika, di antara calon 8 calon hakim yang dicalonkan oleh Presiden Chen, hanya empat yang disetujui oleh Parlemen. 1126 Ahmad Syahrizal, op.cit., hlm. 145. 1127 Ibid., hlm. 146. 1128 Generasi pertama (14 Juli 1948-24-9-1958), generasi kedua (25 September 1958-10 Januari 1967), generasi ketiga (2 Januari 1967-1 Oktober 1967), generasi ketiga (2 Oktober 1967-1 Oktober 1976), generasi keempat (2 Oktober 1976-1 Oktober 1985), generasi kelima (2 Oktober 1985-1 Oktober 1994), dan generasi keenam (2 Oktober 1994-1 Oktober 2012). to user Tidak seperti hakim daricommit Mahkamah Agung AS, hakim konstitusi tidak memiliki kebijaksanaan ketika menentukan kasus mana yang ingin mereka periksa. Dengan kata lain, MK 1129 perpustakaan.uns.ac.id 399 digilib.uns.ac.id konstitusi memenuhi persyaratan yang dijabarkan dalam UU, MK tidak bisa menolak permohonan tersebut.1130 Penyelesaian kasus ini bisa sulit karena UU mewajibkan “3/4 ganda" sebagai persyaratan untuk menetapkan putusan, yaitu ¾ hakim harus hadir untuk memenuhi kuorum, dan ¾ kuorum harus setuju dengan penafsiran yang diputuskan, terutama dalam hal MK menguji UU atau peraturan administratif yang lain.1131 Pembatasan seperti ini sebenarnya bertentangan dengan UUD dan mengaburkan esensi CR, apalagi mengingat dalam generasi pertama (14-7-1948 hingga 24-9-1958) dan generasi kedua MK (25-9-1958 hingga 10-1-1967), perkara yang banyak diperiksa adalah pengujian UU.1132 Sejak tahun 1957 para hakim diizinkan untuk menyampaikan pendapat yang berbeda harus berurusan dengan semua petisi kecuali permohonan tidak memenuhi persyaratan dan dalam kasus ini, MK harus membatalkan kasus ini tanpa mengeluarkan penafsiran apapun. 1130 Sebuah petisi untuk interpretasi konstitusi dapat diajukan karena salah satu alasan sebagai berikut: (i) Apabila suatu badan pemerintah pusat atau daerah ambigu dalam penerapan konstitusi guna menjalankan kekuasaannya atau saat melaksanakan kekuasaannya badan tersebut terlibat sengketa dengan instansi lain mengenai penerapan Konstitusi atau di mana badan ini membutuhkan kepastian penerapan konstitusionalitas suatu undang-undang atau perintah, (ii) Dalam hal orang pribadi, badan hukum, atau partai politik , setelah menggunakan semua upaya pemulihan hukum yang disediakan oleh hukum, beranggapan bahwa hak konstitusionalnya telah dilanggar dan dengan demikian pertanyaan konstitusionalitas hukum atau perintah diterapkan oleh pengadilan terakhir dalam putusan akhir, (iii) Saat anggota Parlemen, dalam menjalankan kekuasaan mereka, tidak yakin tentang penerapan Konstitusi atau mengenai konstitusionalitas suatu undang-undangdan setidaknya sepertiga dari para anggota Parlemenn telah mengajukan permohonan. Selain itu, karena Putusan No. 371 (2009) telah memperluas penerapan UU, sekarang ketika setiap hakim pengadilan yakin bahwa undang-undang atau peraturan yang dipermasalahkan di pengadilan bertentangan dengan Konstitusi, pengadilan dapat menunda proses dan mengajukan petisi kepada MK untuk menafsirkan konstitusionalitas undang-undang atau peraturan tersebut. 1131 Sebelum tahun 1993, hakim yang memiliki pendapat terpisah hanya bisa mengeluarkan apa yang disebut "perbedaan pendapat (dissenting opinion)," meskipun mereka setuju dengan keputusan itu dan hanya memiliki perbedaan mengenai alasan-alasan berfikir. Namun, sejak tahun 1993, para Hakim yang memiliki pendapat berbeda dapat menuliskan baik concurring atau perbedaan pendapat, dan pendapat-pendapat disertakan dalam putusan MK. 1132 Untuk generasi pertama, dari total 79 perkara, terdapat perkara penafsiran konstitusi sebanyak 25 (31,65%) perkara sementara pengujian UU sebanyak 64 perkara (58,35%). Sementara dalam generasi kedua, penafsiran konstitusi sebanyak 8 perkara (18,6%), sedangkan pengujian UU meliputi 35 perkara (81,4%). Ketentuan ini diubah sejak 1993 di mana kuorum untuk perkara penafsiran konstitusi menjadi 2/3 kehadiran commit to user hakim dan untuk pengujian UU menjadi ½ jumlah hakim. 400 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id (dissenting opinion) dan sejak 1977, pendapat tersebut menjadi satu kesatuan dengan putusan MK. Pada tahun 1987, Parlemen akhirnya mencabut Dekrit Keadaan Darurat (1948) yang mengurangi kekuasaan Presiden dan menghapus salah satu keterbatasan struktural pada MK.1133 Dengan pertumbuhan ekonomi yang cepat dan meningkatnya standar hidup, orang menuntut politik dan kebebasan pribadi. Pemerintah harus menanggapi tekanan yang disampaikan oleh warga negara yang semakin makmur dan berpendidikan. Ini mengakibatkan pergeseran dari struktur pemerintahan yang sangat terpusat ke kapitalisme demokratis. Dalam konteks ini, MK menanggapi ketidakpuasan publik terhadap pemerintah dengan mengeluarkan interpretasi yang menekankan hak konstitusional. Jumlah interpretasi konstitusional MK yang dibuat per tahun meningkat dari 3 menjadi 18, masing-masing pada tahun 1976 dan pada tahun 1991. Dalam perkembangannya, MK tidak hanya diberikan wewenang lebih besar untuk melakukan interpretasi konstitusi, tetapi juga memeriksa lebih banyak kasus yang diajukan oleh individu1134, setelah sebelumnya hanya mengizinkan hal itu bagi 1133 Sejak pencabutan darurat militer pada tahun 1987, MK telah memiliki 50 hakim. Kecuali 5 Hakim yang baru ditunjuk oleh Presiden Ma Ying-jeou tahun 1985 (dalam hal ini merupakan generasi kelima) 45 Hakim ditunjuk oleh oleh Presiden Lee Teng-hui pada tahun 1994, 1999 (yaitu generasi ke-6), dan oleh Presiden Chen Shui-bian pada tahun 2003 serta pada tahun 2007. Di antara mereka, 23 Hakim ditunjuk dari hakim MA dan pengadilan umum; 19 hakim berasal dari akademisi; 2 orang jaksa senior,. dan hanya satu dari politisi. Selain itu, 81% hakim yang ditunjuk Chiang berasal dari Cina Daratan, sebaliknya, 79% dan 74% dari hakim yang ditunjuk Lee dan Chen masing-masing yang asli Taiwan. Jelas, karena kelahiran Cina daratan Presiden Chiang cenderung untuk menunjuk hakim dari wilayah itu, meskipun fakta bahwa mereka hanya mewakili 13-15% dari populasi. Sebaliknya, Presiden kelahiran asli (yaitu Lee dan Chen) cenderung untuk menunjuk orang asli Taiwan, meskipun masih tidak mencerminkan rasio penduduk. 1134 Perubahan UUD 1997 dan 2005 telah memperluas wewenang MK untuk dapat memainkan peran penting dalam skenario berikut: (i) berurusan dengan "masalah kontroversi moral dan politik" seperti halnya MK di negara demokrasi lainnya, (ii) menjadi arbiter saat kebuntuan politik terjadi antara eksekutif dan legislatif di bawah sistem semi-presidensial; (iii) menafsirkan Konstitusi otoritatif, terutama ketika UUD menjadi sangat sulit untuk diubah, dan (iv) memutuskan beberapa kasus yang paling kontroversial politik (misalnya, impeaching Presiden atau membubarkan partai politik yang "inkonstitusional"). Tidak mengherankan, hal itu telah commit to useraktor politik, ekonomi, dan yudikatif menjadi obyek yang begitu didambakan berbagai dibandingkan masa sebelumnya. Meski begitu, orang tidak boleh mengabaikan bahwa di era 401 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id lembaga negara saja.1135 Supremasi MK terletak pada kenyataan bahwa “because other courts are prevented from delivering judgments, which do not comply with the Grand Justices’ interpretation of the constitution.”1136 Menurut UUD, MK berwenang untuk menyatakan UU bertentangan dengan UUD dan menyatakan batal.1137 Namun, mirip dengan pengadilan konstitusional lainnya misalnya, Jerman (Bundersverfassungsgericht) dan Austria (Verfassungsgerichtshof), MK tidak selalu secara eksplisit menyatakan UU atau tindakan pemerintah konstitusional atau tidak valid bahkan ketika UU atau tindakan adalah tidak sesuai dengan Konstitusi.1138 Misalnya, meskipun pengadilan tidak menyatakan bahwa status Wakil Presiden merangkap Perdana Menteri Yuan Eksekutif tidak konstitusional, MK menyimpulkan bahwa situasi ini adalah "konstitusional yang tidak pantas."1139 Dalam putusan lain, MK menolak keberlakuan UU yang otoriter, pengadilan dioperasikan sebagai alat rezim KMT, bukan penjaga Konstitusi. Yang paling terkenal adalah Putusan No. 31 Tahun 1954, di mana pengadilan mengizinkan Anggota Legislatif, Badan Pengawas dan Majelis Nasional yang terpilih di Cina pada tahun 1948 untuk tetap berkuasa selama lebih dari 40 tahun. Lihat: T.S. Wang, op.cit., hlm. 543-544. 1135 Khususnya terjadi pada masa persidangan pertama MK (Agustus 1948-Agustus 1958). Namun sejak Putusan No. 371/1995, jarak antara negara dengan warganegara semakin didekatkan. 1136 Meskipun seorang individu atau hakim dari pengadilan lain dapat mengajukan permohonan untuk penafsiran konstitusi, harus dicatat bahwa tidak ada efek pengujian seperti model Amerika karena MK tidak bisa secara langsung menyatakan keputusan akhir pengadilan itu inkonstitusional seperti halnya MA Amerika Serikat atau Jepang. Sebaliknya MK hanya bisa menafsirkan konstitusionalitas undang-undang, peraturan, atau preseden hukum menurut putusan pengadilan. Selain perbedaan ini, ada perbedaan lain antara MK Taiwan dan MA Amerika Serikat atau Jepang. Misalnya, di Taiwan, Presiden, 4 cabang kekuasaan yang lain, atau bahkan 1/3 dari legislator memiliki hak untuk menmgajukan pengujian konstitusionalitas undang-undang yang sudah disahkan oleh Parlemen. Dalam hal ini, banyak doktrin yang merupakan bagian penting dari yurisprudensi konstitusional AS tidak dapat diterapkan secara alami. Lihat: Thilo Tetzlaff, “Kelsen’s Concept of Constitutional Review Accord in Europe and Asia: The Grand Justices in Taiwan”, National Taiwan University Law Review, Vol. 1, No. 2, 2006, hlm. 95. 1137 1138 Kewenangan ini pertama kali ditafsirkan dalam Putusan No. 2/1949. Pembatasan ruang lingkup CR ini pertama kali ditafisrkan dalam Putusan No. 760/1957. to Mahkamah user Putusan No. 419/1996. commit Meskipun Konstitusi Taiwan tidak secara eksplisit melarang Wakil Presiden menjabat sebagai Perdana Menteri secara bersamaan, setelah 1139 402 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id mengatur mengai pengadilan tapi tidak menyatakan UU ini batal dan sebagai gantinya diberikan kesempatan bagi Parlemen untuk merevisi UU tersebut dalam 2 tahun.1140 Hingga 9 Juli 1999, MK telah memeriksa dan memutus sebanyak 487 perkara. Diantara putusan itu, sebanyak 70% merupakan perkara permohonan penafsiran konstitusi, sementara 30% merupakan perkaa pengujian UU. Bahkan, permohonan penafsiran konstitusi cenderung bertambah sejak 1976. Perkara tersebut menyangkut pengujian abstrak maupun pengujian konkrit, di mana dari 339 perkara, sebanyak 257 atau ¾ nya merupakan pengujian abstrak. Untuk generasi pertama, dari 25 perkara CR, pengujian abstrak mencakup 23 perkara, sementara sisanya merupakan pengujian konkrit.1141 Untuk generasi kedua, pengujian abstrak sebanyak 7 perkara, sedangkan pengujian konkrit 1 perkara.1142 Generasi ketiga hanya memutus pengujian abstrak sebanyak 2 perkara.1143 Generasi keempat memutus 31 perkara, meliputi pengujian abstrak sebanyak 28 perkara dan pengujian konkrit sebanyak 3 perkara.1144 Sementara itu, pada generasi kelima, dari 148 perkara, telah diputus perkara pengujian abstrak sebanyak 21, sedangkan pengujian konkrit sebanyak 127 perkara.1145 Untuk generasi keenam, dari 119 perkara, pengujian abstrak sebanyak 20, sedangkan pengujian konkrit sebanyak 76 perkara.1146 putusan ini dirilis, maka Wakil Presiden Lien Chanmengundurkan diri jabatannya sebagai Perdana Menteri. 1140 Putusan No. 530/2001. Faktanya, sampai 9 tahun sesudah putusan ditetapkan, UU itu tidak pernah diubah oleh Parlemen. 1141 Putusan No. 1/1949 hingga Putusan No. 79/1958. 1142 Putusan No. 80/1958 hingga Putusan No. 122/1967. 1143 Putusan No. 123/1967 dan Putusan No. 146/1976. 1144 Putusan No. 147/1976 hingga Putusan No. 199/1985. 1145 Putusan No. 200/1985 hingga Putusan No. 366/1994. 1146 Putusan No. 357/1994 hingga Putusan No. 487/1999. commit to user 403 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Berkaitan dengan demokratisasi, MK membatalkan putusan tahun 1954 dan memerintahkan pemilihan baru yang akan diadakan.1147 Putusan ini merupakan kasus yang paling penting dalam sejarah MK.1148 Karena putusan itu membatalkan putusan sebelumnya yang menggunakan alasan peristiwa "tak terduga" yang telah memaksa perwakilan untuk terus memegang jabatan guna menjamin keberlangsungan sistem ketatanegaraan.1149 Saat masa jabatan anggota Parlemen telah usai pada Januari 1954, kembali pemerintah mengajukan permohonan penafsiran kepada MK. Dalam putusannya, MK mengatakan bahwa “given the country is currently facing a serious crisis it is not lawfully possible to hold an election for the members of the following term. Where the Legislative Yuan and Control Yuan to remain nonfunctioning, the constitutional purpose for establishing the five Yuans (branches) would then be violated. Therefore, before the members of a second term can be lawfully elected and convened, the first-term members of the Legislative Yuan and Control Yuan should continue to exercise their duties.”1150 1147 Putusan No. 261/1990. 1148 Putusan No. 31/1996. 1149 Sesudah mengundurkan diri dari Cina daratan, pemerintahan nasionalis Presiden Chiang Kai-shek melanjutkan dirinya sebagai pemerintahan Taiwan dengan secara aktif berusaha untuk kembali ke Cina daatan. Pemerintahan menyatakan hal itu saat masa jabatan Parlemen generasi pertama akan habis masa jabatan pada 7 Mei 1951. Namun pemerintah enggan untuk melaksanakan pemilu yang hanya dapat dilaksanakan di Taiwan dan pulau-pulau sekitarnya. Kebanyakan anggota Parlemen itu mengikuti Chiang Kai-shek ke Taiwan. Dengan demikian jelas Parlemen merupakan perwakilan penduduk Cina daratan. Setelah kehilangan kontrol atas Cina daratan, pelaksanaan pemilu menurut Pasal 26, Pasal 64, dan Pasal 91 Konstitusi 1947 jelas tidak mungkin dlkasanakan. Oleh sebab itu, Kabinet mengusulkan kepada Presiden untuk membuat resolusi yang memperpanjang masa jabatan Parlemen hingga setahun, tetapi justru kemudian diperpanjang lagi sejak 1952 dan diperpanjang kembali pada 1953, termasuk dengan persetujuan MK. Putusan No. 31/1954. Dengan putusan ini, Parlemen menjadi “millennium congress” karena memiliki masa jabatan yang tidak terbatas dan faktanya berlangsung selama 40 tahun. Pelaksanaan putusan ini kemudian menimbulkan masalah karena menimbulkan stagnasi politik dan mulai muncul tuntutan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan sehubungan dengan bertambahnya penduduk Taiwan dan semakin berkurangnya penduduk “sepuh.” Untuk itu, pada tahun 1966, Majelis Nasional memerintahkan kepada Presiden untuk commit to user menyusun regulasi yang memungkinkan pengisian jabatan dan penambahan jumlah anggota anggota badan yang dipilih termasuk Parlemen. Bahkan pada 1972, Parlemen memberikan 1150 404 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Sebagaimana lazimnya pengadilan konstitusi, MK juga mengambil konstitusi sebagai norma hukum utama dari sistem hukum Taiwan.1151 Suatu hal yang luar biasa adalah putusan MK yang menyatakan dirinya berwenang untuk memeriksa perubahan UUD.1152 Dalam putusan yang lain, MK menyatakan bahwa “ketentuan mengenai batas negara sebagaimana diatur dalam Pasal 4 UUD merupakan persoalan poliitk yang tidak tunduk kepada mekanisme CR.”1153 Serupa dengan putusan tersebut, MK sejauh ini mencoba untuk mengatasi untuk tidak melibatkan diri dalam persoalan politik, mirip dengan MA AS tetapi mereka tetap dianggap hanyut ke pendekatan yang lebih politis.1154 Kemudian pada tahun 1994, 12 serikat buruh BUMN berusaha untuk meninggalkan Chinesse Federation of Labour (CFL) dan membentuk serikat pekerja baru, dan setelah ditolak oleh pihak berwenang, mengajukan petisi ke MK. Tahun berikutnya MK merilis putusan yang memungkinkan para guru untuk membentuk serikat pekerja dan membatalkan ketentuan UU Serikat Pekerja. Hukum konstitusi Jerman dan Jepang memainkan peran penting dalam penalaran minoritas hakim.1155 Selain itu, selama delapan tahun pemerintahan terbelah (20002008) MK telah mengeluarkan 143 putusan (dari Putusan No. 508/2000 hingga Putusan No. 642/2008). Di antara putusan ini, 100 putusan merupakan petisi warga. Dari 100 putusan ini, 61 memuat putusan konstitusional yang berarti bahwa MK mengabulkan pemohon, yaitu warga. Pada pandangan pertama, mungkin tampak persetujuan kepada Presiden untuk mengisi jabatan badan-badan yang dipilih tanpa memperhatikan masa jabatan yang diatur dalam konstitusi. 1151 Putusan No. 371/1995. 1152 Putusan No. 499/2000. 1153 Putusan No. 328/1990. 1154 Putusan No. 382/1996. 1155 Putusan No. 373/1995. commit to user 405 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id bahwa MKi selama ini membuat sedikit kemajuan dengan menekankan pada UU yang melanggar HAM. c. Kasus Thailand (1) Desain Transisi Demokrasi Kerajaan Thailand adalah monarki absolut sampai 1932, ketika sekelompok perwira militer muda memimpin kudeta tak berdarah Penerus dan mendirikan sebuah monarki konstitusional.1156 Raja Chulalongkorn, Raja Vajiravudh dan Raja Prajadhipok, memiliki minat yang besar dalam demokrasi parlementer. Namun, beberapa intelektual yang dididik di luar negeri, menyerukan transisi demokrasi langsung. Pada 24 Juni 1932, mereka melakukan kudeta abloodless, menuntut pembentukan sebuah monarki konstitusional. Untuk menghindari pertumpahan darah, Raja Prajadhipok menyetujui penghapusan monarki absolut demi rakyat, mentransfer kekuasaan untuk sebuah sistem pemerintahan berbasis konstitusi. Pada 10 Desember 1932, konstitusi pertama Thailand ditandatangani. Sistem baru tersebut tidak berbentuk republik: mereka melakukan revolusi mereka sambil menanggapi raja sebagai subyek dan bersikeras bahwa ia memiliki keputusan akhir tentang apakah akan memungkinkan pembentukan pemerintahan konstitusional. Kekuatan politik di balik kudeta termasuk elemen sayap kanan di militer1157 dan 1156 Sebelumnya, Raja Chulalongkorn (1868-1910), melihat perlunya reformasi politik dan desentralisasi pemerintah. Ia melakukan reorganisasi besar terhadap pemerintahan pusat dan daerah, yang membentuk dasar dari sistem ini. Pemerintah pusat selanjutnya dibagi menjadi beberapa propinsi dan setiap propinsi dipimpin oleh seorang gubernur. Reformasi administrasi dan modernisasi yang cepat terbukti berhasil baik dalam mempertahankan kemerdekaan negara itu selama bertahun-tahun yang penuh gejolak ancaman kolonial dan memberikan landasan bagi sebuah sistem pemerintahan. 1157 Sebuah peristiwa penting berlangsung di Royal Plaza ketika pemimpin militer Kolonel Phraya Phahon Phonphayuhasena, mengumumkan bahwa Siam sekarang menjadi monarki konstitusional. Dia telah mengumpulkan 2.000 tentara dan setelah melakukan pidatonya meminta tentara untuk mengambil satu langkah maju jika mereka setuju dengan tindakannya. Pada awalnya ada keheningan. Kemudian untuk menghilangkan kaum revolusioner, sorak-sorai chai-yo (bravo) memenuhi alun-alun dan tentara kemudian commit to usermelangkah maju, hal yang selamanya mengubah sejarah Thailand. 406 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id birokrasi, dan nasionalis sayap kiri di sekitar intelektual Pridi Banomyong.1158 Ketegangan antara kedua (dan dengan kelompok ketiga, royalis yang akhirnya selaras dengan militer pada tahun 1957) boleh dibilang telah mendominasi politik Thailand, dalam satu bentuk atau lain, selama 70 tahun berikutnya. Pridi adalah seorang nasionalis antikolonial, dari generasi dan orientasi yang sama seperti Aung San, Nehru, dan Ho Chi Minh. Tidak seperti tokoh-tokoh tersebut, yang ia hadapi bukan kekuasaan kolonial tapi lingkungan domestik lebih kompleks. Pridi adalah salah satu perancang utama dari konstitusi 1932, yang menjanjikan pemilihan langsung setelah setengah warga menyelesaikan pendidikan dasarnya. Pada awalnya para pelaku revolusi berharap bahwa mereka bisa bekerja dengan anggota pemerintahan kerajaan dan mereka menunjuk Phraya Monopakon, seorang hakim yang dihormati, sebagai perdana menteri pertama Siam. Namun Monopokon jelas kemudian ia tidak benar-benar mendukung tujuan revolusi 'dan ia bekerja melawan pemerintah baru. Kalangan Konservatif juga mulai menyerang Pridi yang dituduh sebagai komunis dan sebagai hasilnya ia dipaksa ke dalam pengasingan singkat di luar negeri. Akhirnya Monopokon dipecat dan Phahon Phonphayuhasena, seorang pemimpin militer, menjadi perdana menteri. Tantangan paling serius adalah kontra-revolusi yang dipimpin oleh sepupu raja, Pangeran Boworadet. Pada tahun 1933, ia mengorganisir pasukan di luar Bangkok untuk berbaris 1158 Pridi Banomyong lahir tahun 1900 dari kalangan keluarga yang sejahtera dan petani padi berpengaruh. Ibunya adalah setengah-Cina, ayahnya Thailand. Pridi adalah seorang anak ajaib dan dididik di tempat bergengsi Suan Kulab College. Pada usia 19 tahun dia telah menjadi seorang pengacara membela klien di pengadilan. Ketika ia memenangkan beasiswa kerajaan untuk belajar hukum di Paris, Raja Vajiravudh mengatakan bahwa Pridi akan menjadi aset bagi negara. Dia adalah anggota pendiri Partai Rakyat dan menteri kabinet dalam monarki konstitusional baru. Dia percaya bahwa pemerintah harus menyediakan hukum, pendidikan, kesehatan dan membantu perekonomian sehingga individu bisa mengembangkan dan makmur. Dia memodernisasi sistem hukum Thailand dan mendirikan Universitas Thammasat. Lihat: “The Thai Revolustion 19231932”, dalam http://www.peteranthony.org/The%20Thai%20Revolution.pdf, diakses di Surakarta, commit to user 21 Juni 2013. 407 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id menuju ibukota dan menuntut kembalinya pemerintahan kerajaan. Pasukannya mencapai Don Muang dan siap memasuki ibukota. Meskipun tidak ada pihak menginginkan konflik berdarah, negosiasi gagal dan Phibun meluncurkan serangan-serangan terhadapnya pada 13 Oktober. Kedua belah pihak membagikan selebaran untuk mendapatkan dukungan. Sebagian besar tentara tetap setia dan tidak bergabung pasukanBoworadet ini dan sesudah itu politik stabil di bawah antiroyalist Phibun. Phibun mendukung Jepang selama Perang Dunia II, dan mengubah nama negara dari Siam ke Thailand. Setelah perang, pada 1941 Pridi terpilih sebagai perdana menteri pertama negara itu, tapi Phibun segera berhasil merebut kembali kekuasaan, mengasingkan Pridi hingga meninggal dunia di Paris (1983).1159 Phibun selanjutnya digulingkan oleh kudeta lain pada tahun 19571160. Dalam 50 tahun kemudian terjadi osilasi antara kekuasaan militer dan pemerintah sipil, disertai dengan perubahan konstitusional yang begitu sering. Hingga tahun 76 tahun kemudian terhitung sejak berdirinya monarki konstitusional, 1159 Setelah Perang Dunia II, arti konstitusi mulai berubah sesuai dengan perkembangan baru dalam faksi-faksi politik dan konflik. Mempertahankan parlemen dan stabilitas pemerintah terbukti semakin sulit. Dalam rangka untuk mengatasi dengan situasi politik dan ekonomi baru secara internal dan eksternal, Konstitusi 1946 menggantikan parlemen unikameral dengan bikameral, di mana kamar kedua merupakan lembaa semacam dewan penasehat. Sejak saat itu majelis tinggi, kemudian disebut sebagai senat, akan menjadi institusi lain dalam pertumbuhan dan perkembangan pemerintahan parlementer di Thailand. Tahun 1946 Konstitusi dihentikan oleh kudeta militer tahun 1947. 1160 Meskipun ia memenangkan pemilu pada tahun 1957, Phibun digulingkan dalam kudeta yang dipimpin oleh kuat militer Sarit Thannarat, yang didukung oleh istana. Sarit kemudian berkuasa dan kekosongan kekuasaan yang ditinggalkan oleh kematiannya pada tahun 1963 menandakan awal intervensi monarki secara berlebihan. Lihat selengkapnya:Kevin Hewison, “The Monarchy and Democratisation”, dalam Kevinto user Hewison (ed.), 1997, Political Change in commit Thailand. Democracy and Participation, London: Routledge, hlm. 58–74. 408 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Thailand telah memiliki 18 konstitusi1161, kemudian mengalami 17 kudeta dan 23 upaya kudeta1162, dan 56 pemerintahan. Seperti di setiap negara, yang mendasari naskah konstitusi formal di Thailand adalah seperangkat norma-norma informal dan aturan yang membatasi pelaksanaan kekuasaan politik. Konstitusi tidak tertulis membentuk tantangan untuk penelitian komparatif, karena tidak memiliki kejelasan dan definitif yang kita kaitkan dengan aturan-aturan hukum, tetapi sangat bermanfaat untuk memahami Thailand, di mana aturan-aturan formal yang tidak stabil. Kendala konstitusional yang nyata berasal dari norma konstitusi tidak tertulis, terutama menyangkut peran lama berkuasa dan dihormati raja negara itu, Raja Bhumibol Adulyadej, yang naik takhta setelah pembunuhan tak terpecahkan saudaranya pada tahun 1946.1163 1161 Konstitusi tersebut termasuk UUD 1932 (di tahun ini ada 2 dokumen yang diumumkan), 1946, 1947 (interim), 1949, 1952 (revisi 1932 konstitusi), 1957, 1968, 1972 (sementara), 1974, 1976, 1977, 1978, 1991 (dua dokumen), 1997, 2006 (interim), dan 2007. 1162 Dari 1947-1958 ada 7 upaya untuk menggulingkan pemerintah dengan kekerasan, 4 di antaranya berhasil: pada tahun 1947, 1951, 1957 dan 1958. Dua pemberontakan terhadap rezim, yang dikenal sebagai peristiwa Grand Palace Coup tahun 1949 dan Manhattan Coup1951-gagal, dan satu percobaan kudeta oleh sekelompok perwira militer yang ditekan sebelum itu terjadi. 1163 Meskipun selama tahun-tahun berikutnya Perdana Menteri militer Phibun Sonkhram berhasil melemahkan pengadilan, bangsawan masih aktif memanipulasi jalannya politik Thailand ketika pada pertengahan tahun 1946, tak lama setelah ia kembali ke Thailand, Raja Rama VIII ditemukan tertembak di kamarnya di kediaman kerajaan Borom Phiman. Kobkua mencatat bahwa ada rumor yang menyebutkan kaum bangsawan berada di balik pembunuhan raja dalam rangka untuk memanfaatkan kematian Rama VIII guna melakukan kudeta terhadap pemerintah. Bhumibol menggantikan tahta saudaranya. Dia adalah seorang raja muda dan relatif tidak terlatih, rentan terhadap bisikan dari penasihat kerajaan, yang memiliki pengalaman bertahun-tahun dalam operasi politik. Monarki absolute baru dihapus hanya 14 tahun lalu, dan dengan muslihat licik dengan kenangan hari-hari pemerintahan kerajaan, bangsawan senior, terutama Pangeran Rangsit dan Pangeran Dhani Nivat, menggunakan kematian Raja untuk mendiskreditkan pemerintahan liberal pasca-perang dan untuk menghidupkan kembali mitos dan ritual kerajaan. Mereka mencoba untuk mengajar Bhumibol budaya dan sejarah Thailand yang pada dasarnya antidemokratis dan di alam paternalistik. Mereka menegaskan bahwa demokrasi elektoral tidak cocok untuk Thailand karena rakyat yang tidak berpendidikan cukup bijaksana memberikan suara mereka dan bahwa raja Thailand yang demokratis "dipilih" oleh persetujuan rakyat, dan pendeknya, mereka berusaha untuk menanamkan raja muda itu dengan pandangan konservatif. Lihat: Suwannathat-Pian Kobkua, 2003, commit to Kings, user Country and Constitutions. Thailand’s Political Development 1932–2000, London: Routledge/Curzon, hlm. 134. perpustakaan.uns.ac.id 409 digilib.uns.ac.id Status konstitusional tertulis raja tidak muncul secara otomatis di 1932, tetapi merupakan hasil dari puluhan tahun pertarungan politik antara monarki, politisi yang terpilih, dan militer. Pada tahun 1956, misalnya, raja membuat kritik terselubung terhadap junta militer, memprovokasi reaksi keras dari Phibun yang mengancam otonomi kerajaan.1164 Sejak kudeta Sarit tahun 1957 istana secara bertahap memperluas kewenangannya, dan pengesahan kudeta telah menjadi standar politik Thailand.1165 Hal ini dikonfirmasi terhadap kejadian pada tahun 1981, ketika para pemimpin kudeta bergerak melawan Perdana Menteri Prem Tinsulanond (mantan jenderal) dan mengambil alih sebagian besar Bangkok.1166 Penolakan raja untuk memberikan dukungan para pemimpin sangat penting sehingga meruntuhkan kudeta, yang 1164 Pada periode 1957-1992 konstitusi Thailand mengalami banyak pemaknaan ulang. Dengan pasang surut dalam kehidupan konstitusi, elit politik selama era Perang Dingin telah memunculkan kecaman bahwa rezim demokrasi liberal Barat sebagai "lembaga asing" tidak sesuai dengan kebiasaan masyarakat Thailand. Paradoks sikap ini diadopsi meskipun pemerintah memiliki hubungan erat dengan pemerintah Amerika Serikat, tapi telah menjadi kebutuhan bersama dan kepentingan pemerintah Thailand dan Amerika Serikat dalam melawan komunisme selama Perang Dingin. Dalam rangka untuk menciptakan pemerintahan, pemimpin politik lebih stabil, terutama dari tentara, berpaling dari konsep barat konstitusionalisme dan mengandalkan hanya pada ide-ide politik tradisional, yaitu paternalisme dan hubungan patron-klien antara pemerintah dan rakyat. 1165 Fase pemerintahan Sarit merupakan periode pertama redefinisi kembali konstitusionalisme Thailand vis a vis tuntutan tradisi setempat. Selama rezim Sarit Thanarat ini (1959-1963)diterapkan sebagai "demokrasi gaya Thailand", cabang eksekutif pemerintah ditekankan dengan mengorbankan legislatif dan yudikatif. Sarit mendefinisi ulang peran dan makna konstitusi, menunjuk Majelis Konstituante berfungsi baik sebagai Majelis Perancang Konstitusi dan legislatif. Lembaga-lembaga demokrasi lain baik dibatasi atau dihapuskan. Partaipartai politik, serikat buruh, organisasi, dan kebebasan pers dan berekspresi dilarang atau ditekan atas nama perdamaian dan ketertiban nasional. Di tempat modern teori demokrasi, Sarit memperkenalkan paternalisme Thailand menyerukan apa yang ia klaim sebagai praktik dan gagasan kuno monarki, di mana pemerintah itu seperti hati ayah dan orang-orang adalah anakanak. Mengklaim kekuatan untuk membimbing dan tanggung jawab untuk merawat kesejahteraan rakyat, Pemerintah tidak memiliki kebutuhan untuk menerapkan kerangka demokrasi Barat. Dengan kontrol penuh kekuasaan pemerintah, aturan Sarit dikenal sebagai paternalisme despotik. Ide-ide politik seperti dan praktek berlanjut di rezim Kittikachorn Thanom sampai rakyat pemberontakan pada bulan Oktober 1973, menyerukan pemerintahan demokratis penuh. Konstitusi 1974 disahkan sebagai dasar fundamental bagi perkembangan demokrasi, namun, Konstitusi ini telah dibatalkan oleh kudeta militer Oktober 1976. 1166 Selama pemerintahan Prem Tinsulanond pada 1980-an, telah diadopsi gaya "demokrasi setengah hati" Thailand yang memungkinkan untuk adanya relaksasi terhadap commit to user pembatasan partai politik, gerakan buruh dan media. 410 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id gagal setelah 3 hari. Raja telah mengembangkan hubungan dengan semua kelompok kuat dalam masyarakat, dan monarki telah memantapkan dirinya sebagai wasit utama konflik politik, berbagi kekuasaan dengan para politisi, birokrat, dan jenderal yang memerintah negara pada sehari-hari. Monarki tetap menjadi faktor stabilisasi, menjauhkan diri dari politik dan mencegah intervensi pada waktu yang penting untuk menjaga sistem dalam beberapa kemiripan keseimbangan. Peran ini telah dimainkan sebagai masalah politik informal dan bukannya otoritas kelembagaan formal. Misalnya, kekuasaan formal yang diberikan kepada raja dalam UUD 1997 yang mungkin lebih besar dari apa yang diberikan dalam monarki konstitusional dibandingkan Eropa, tetapi kenyataannya tidak bermakna. Kadang-kadang, bagaimanapun, intervensi raja itu telah jauh melampaui peran formal yang terbatas. Sebagai contoh, pada tahun 1992, Raja Bhumibol menunjuk teknokrat Anand Panyarachun sebagai perdana menteri walaupun sudah terpilih Somboon Rahong, yang telah dicalonkan oleh parlemen. Pilihan ini diterima secara luas, meskipun kurang mengikuti ketentuan konstitusi.1167 Sebuah daftar lengkap dari aturan konstitusi tidak tertulis adalah sebagai berikut: Raja merupakan kepala negara, sangat dihormati dan akan membatasi intervensi dalam ranah politik. Namun, pada kesempatan ketika ia menjalankan kekuasaannya, ia akan dihormati. Militer dapat melangkah masuk untuk menyelesaikan krisis dan kudeta adalah metode yang bisa diterima perubahan 1167 Ketika junta kemudian menerima penunjukkan Anand Punyarachun sebagai perdana menteri sementara, dia juga telah secara luas diterima dan dipuji sebagai "orang yang tepat untuk pekerjaan itu". Seorang diplomat dan pengusaha, bukan pejabat karir militer dan teman pribadi para pemimpin kudeta seperti pada peristiwa terkini, Anand bekerja tegas untuk kepentingan umum. Namun, pada akhirnya dia tidak juga mampu mencegah militer dari memperoleh konstitusi yang menegaskan kembali peran politik dan membuka jalan bagi pemimpin kudeta untuk menjadi perdana menteri, commit yang mendorong to user protes dan pertumpahan darah dari Mei 1992. 411 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id kepemimpinan. Namun, setiap kudeta harus selalu mencari berkat pribadi dari Raja dan kemudian publik. Sementara itu, kekerasan terhadap rakyat jarang, jika pernah dianggap sah dan tidak ada kekuatan politik yang berhak terlalu membatasi kebebasan rakyat. Selain itu, tampaknya ada pemahaman konstitusi sekarang bahwa pemimpin kudeta harus memulihkan demokrasi dengan menjanjikan pemilu baru dan konstitusi baru. Para pemimpin kudeta selalu menyebarluaskan UUD sementara yang baru sebagai fakta bahwa Thailand telah memiliki begitu banyak konstitusi membuktikan tradisi kudeta karena cara seperti ini. Seperti ditunjukkan oleh seorang komentator, Thailand telah menerima proses konstitusional tanpa menerima cita-cita dan praktek konstitusional, berulang kali mengadopsi teks baru yang gagal untuk bertahan atau menghambat.1168 Transisi demokrasi dimulai pada tahun 1991. Pada tahun 1991, salah satu dari banyak kudeta negara itu telah dipicu oleh intra politik faksi militer. Setelah berkuasa, pemimpin baru mulai merancang reformasi konstitusi untuk mempertahankan kekuasaan, dan seorang militer, Jenderal Suchinda, terpilih sebagai perdana menteri. Partai politik memprotes, dan demonstrasi besar dikembangkan di jalan-jalan Bangkok pada Mei 1992, menuntut reformasi konstitusi yang lebih luas dan kembali ke demokrasi. Protes ini dipenuhi dengan kekerasan oleh militer. Krisis itu dihindari hanya ketika raja mengkritik perdana menteri militer dan 1168 Peran bersejarah konstitusi dalam politik Thailand mencerminkan posisi unik dalam kelangsungan pemerintahan. Setelah penghapusan monarki absolut, negara belum mampu membangun institusi dan kebiasaan baru untuk melegitimasi transfer kekuasaan dengan kekerasan. Dalam tradisi pemerintah Thailand kuno kudeta istana dan penggunaan kekuatan untuk menggulingkan atau mengambil alih kekuasaan raja itu dibenarkan dan dilegitimasi oleh konsep kekuasaan dan meryst berdasarkan keyakinan agama Buddha. Menurut kepercayaan tradisional, perilaku yang benar dari pemimpin adalah prasyarat untuk memiliki kekuasaan mereka. Itu berarti bahwa mereka yang memiliki kekuatan yang dianggap baik dan layak itu. Tapi legitimasi rezim modern yang berasal tidak hanya berasal proses rumit konstitusional, menyerukan pemilu baru, menunjuk tokoh layak di pemerintahan,commit dan menyatakan to user kesetiaan kepada monarki, tetapi lebih menunjukkan kemampuan rezim untuk mempertahankan otoritas dan kekuasaan . perpustakaan.uns.ac.id 412 digilib.uns.ac.id pemimpin protes sipil di televisi. Setelah itu diikuti penyusunan pemerintah sementara yang terdiri atas teknokrat dengan beberapa perwakilan militer bertugas mengawal demokratisasi. Awalnya, pemerintah berusaha untuk menyelenggarakan transisi melalui proses amandemen konstitusi, tapi akhirnya diputuskan bahwa perlu UUD yang sama sekali baru.1169 Suatu komisi perancang UUD diusulkan dalam 1995 akan tetapi susunan keanggotaannya ditentang oleh kepentingan politik lain di Thailand.1170 Komisi perancang ini terdiri dari akademisi yang dihormati, serta pengacara dan teknokrat lainnya, tetapi mendapat dukungan dari militer.1171 Meskipun Raja mengusulkan suatu konstitusi yang sederhana, rancangan UUD menghasilkan 336 artikel dan 142 halaman dalam terjemahan bahasa Inggris.1172 Proses ini dirancang sebagai model keterlibatan publik dan musyawarah, dengan konsultasi luas dan mengandung sesi pendidikan. Proses adopsi juga, termasuk usulan masyarakat sebagai pilihan cadangan: konstitusi itu harus diadopsi oleh Majelis Nasional, tapi kalau majelis menolak rancangan tersebut, maka akan diikuti referendum publik yang merupakan pertama kali dalam sejarah Thailand. Diskusi publik yang sangat besar dengan menggunakan t-shirt (hijau untuk mendukung konstitusi, kuning untuk oposisi) melalui debat dan diskusi publik. Pada akhirnya, referendum itu tidak perlu, sehingga Majelis Nasional menerima rancangan di tengah dukungan publik yang besar. Konstitusi 1997 dapat dianggap telah 1169 Ada juga sebenarnya faktor pendorong yang lain, yaitu untuk menghindari kekerasan politik setelah kematian raja saat ini, pernyataan sensitif yang tidak dilaporkan di media lokal. Lihat: Duncan McCargo, “A Hollow Crown”, New Left Review, Vol. 43, 2007, hlm.. 135. Peter Leyland, “Thailand’s Constitutional Watchdogs: Dobermans, Bloodhounds or Lapdogs?”, Journal of Compulsory Law, Vol. 2, 2008, hlm. 151. 1170 1171 Andrew Harding, “Buddhism, Human Rights and Constitutional Thailand”, Journal of Compulsory Law, Vol. 1, 2007, hlm. 239. Reform in Setelah rancangan konstitusi disebarluaskan, commit to user mantan pemimpin kudeta Suchinda Kraprayoon berpendapat bahwa konstitusi itu terlalu rinci. 1172 413 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id dibentuk oleh rakyat daripada ditunjuk oleh militer, raja, atau pemerintah, dan melakukannya dengan cara yang masuk akal dalam konteks ketidakpercayaan politisi lokal dan partai politik. Konstitusi 1997 menandai kemajuan besar dalam pemikiran orang di Thailand pada isu-isu konstitusional dan pengelolaan masyarakat mereka. Ini memperkaya jutaan perilaku. Ini juga merupakan kemajuan besar dalam gagasan konsensus. Sedangkan "konsensus" sebelumnya telah dipahami dalam hal patronase yaitu apa elit putuskan atas nama orang lain, tetapi sekarang dipahami sebagai kesepakatan matang di kalangan masyarakat umum. Rakyat di seluruh negeri segera menunjukkan pemahaman yang lebih baik tentang makna sebenarnya dari konsensus daripada memiliki otoritas tradisional.1173 Konstitusi yang baik tidak mati hanya karena pemerintah buruk menyiksa mereka. Konstitusi India tidak hancur oleh keadaan darurat yang ditetapkan oleh diktator Indira Gandhi di pertengahan 1970-an, bahkan digunakan oleh rakyat untuk menentang dan mengalahkannya. Konstitusi Nepal tidak mati meskipun upaya Raja Gyanendra menerapkan kembali monarki absolut, lali rakyat berjuang kembali dan memulihkan demokrasi mereka. Juga Konstitusi Amerika Serikat tidak mati, meskipun penyalahgunaan kekuasaan besar oleh pemerintahan Bush. 1173 Meskipun konstitusi kadang-kadang memasukkan ketentuan dari praktek dengan rezim terdahulu, namun ketentuan-ketentuan tersebut untuk sebagian besar merupakanpenemuan baru. Nasib ketentuan-ketentuan baru tersebut tetap terikat dengan sejarah politik suatu negara tertentu, terutama berkaitan dengan aspirasi untuk demokrasi. Konstitusi Thailand tidak terkecuali. Thailand terlempar ke dalam demokrasi, atau setidaknya demokratisasi, setelah kudeta tahun 1932. Para pemimpin kudeta ini segera berhadapan dengan dilema karena harus menyesuaikan cita-cita konstitusionalisme Barat dengan realitas masyarakat Thailand dan politik: yaitu masyarakat yang sangat bertingkat dengan sejumlah besar orang berpendidikan dan konsentrasi sumber daya politik dan ekonomi di tangan sebagian kecil dari populasi. Selain itu kehadiran militer dalam kapasitas mereka sebagai 'bidan' demokrasi Thailand, meskipun awalnya tidak dianggap sebagai halangan untuk kemajuan demokrasi, commit to user menjadi semakin bermasalah karena mereka mendapatkan kekuatan selama periode Perang Dingin dan seterusnya. 414 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Pemahaman ini penting karena proses transisi demokrasi dengan pemberlakuan Konstitusi 1997 di Thailand akan memperoleh perubahan mendasar dengan terpilihnya Thaksin Shinawatra1174 pada Januari 2001. Thaksin yang telah membangun sebuah keberuntungan dalam bisnis telekomunikasi, dan kemudian masuk politik pada tahun 1994, menjadi anggota parlemen dan anggota kabinet di tahun-tahun awal kembali ke demokrasi.1175 Digambarkan sebagai Thailand’s Silvio Berlusconi, Thaksin menawarkan sedikit di jalan kebijakan substantif, tapi ia menyadap kebencian regional dan membangun pengikut di Utara dan Timur Laut pedesaan. Pada pemilu bulan Februari 2005 pemilu, Thaksin memenangkan kemenangan telak dengan memperoleh 374 dari 500 kursi di parlemen dan melanjutkan jabatan perdana menteri untuk periode kedua. Namun kemenangan itu diikuti krisis politik dengan meluasnya demonstrasi oleh gabungan akademisi, mahasiswa, pendukung controversial Santi Asoke Buddha sekte yang dipimpin oleh mantan mentor Thanksin, Chamlong Srimuang, pengikut kontroversial biksu Luang Ta Bua Maha, dan karyawan perusahaan negara menentang privatisasi. Thaksin dituduh otoriter dalam 1174 Mantan pemimpin populis Partai Thai Rak Thai ini lahir pada 26 Juli 1949 di distrik San Kamphaeng, Chiangmai. Thaksin adalah anak kedua dari Lert Shinawatra and Yindi (Ramingwong). Pada tahun 1968, Lert Shinawatra memasuki dunia politik dan menjadi anggota parlemen untuk Chiangmai, tetapi Lert Shinawatra mundur dari politik pada tahun 1976. Kakek Thaksin, Seng Sae Kh adalah seorang imigran China dari Meizhou, Guangdong, mengumpulkan kekayaannya melalui usaha pertanian. Khu / Shinawatra kemudian menemukan menjadi pengusaha sutra dan mengembangkan bisnis keuangan, konstruksi dan properti. Lert Shinawatra membuka kedai kopi, mengelola usaha jeruk dan bunga di distrik San Kamphaeng Chiangmai, dan membuka dua bioskop, pompa bensin, dan dealer mobil dan sepeda motor. Pada saat Thaksin lahir, keluarga Shinawatra adalah salah satu keluarga terkaya dan paling berpengaruh di Chiangmai. Lihat: Chinda Tejavanija, “Ethic of Political Leader: The Comparative Study of George W. Bush and Thaksin Sinawatra”, A Report Submitted in Partial Fulfillment of the Requirements for The Political Leaders in the New Era Program King Prajadhipok’s Institute , June – November 2007, hlm. 7. 1175 Pada bulan Agustus 1997, Thaksin ditunjuk menjadi Wakil Perdana Menteri dalam Pemerintah Chavalit Yongchaiyudh. Ini terjadi segera setelah devaluasi bath di 2 Juli 1997 akibatkrisis keuangan Asia. Thaksin menjabat hanya 3 bulan, meninggalkan jabatan pada tanggal commit to user 14 November setelah Chavalit mengundurkan diri. 415 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id menyelesaikan konflik di wilayah muslim Phattani dan memperoleh keuntungan pribadi atas penjualan perusahaan telekomunikasi milikinya, Shin Corp, ke Temasek Holding. Pada tanggal 24 Februari 2006, dengan seruan baginya untuk mengundurkan diri atas masalah dan protes jalanan besar-besaran, Thaksin mengumumkan pembubaran Parlemen dalam upaya untuk mengakhiri krisis politik. Thaksin merencanakan melaksanakan pemilus segera pada April 2006, namun partai-partai oposisi utama mengumumkan boikot pemilu pada tanggal 27 Februari. Setelah berbulan-bulan mengalami ketidakpastian politik, pada malam 19 September 2006, saat Thaksin mengikuti pertemuan PBB di New York, Kepala Angkatan Darat Sonthi Boonyaratglin memimpin kudeta yang melucuti pemerintah Thaksin dari semua kekuasan. Thaksin tinggal di luar negeri sejak kudeta, dan diancam akan ditangkap jika ia kembali ke Thailand. Urusan bisnis keluarganya dan tuntutan pidana terhadap Thaksin dan anggota pemerintahan yang digulingkan sekarang sedang diselidiki. Pemerintahan dilaksanakan oleh the Council of National Security. (2) Kinerja Mahkamah Konstitusi Sebelum pembentukan Konstitusi 1997, Thailand tidak pernah mempunyai tradisi atau preseden hukum mengenai sebuah badan independen yang mengelola persoalan hukum dan politik.1176 Di dalam praktik, 15 konstitusi yang telah berlaku 1176 Pengadilan telah lama menjadi kaki terlemah dari negara Thailand. Secara historis, peran pengadilan terbatas menegakkan undang-undang dan bekerja sama dengan eksekutif dengan maksud untuk membentuk suatu masyarakat yang stabil. Peran interpretatif diberikan pengadilan dengan yurisdiksi yang lain, dan pentingnya mereka dalam menyeimbangkan kewenangan eksekutif dan legislatif, yang belum lama telah diakui di Thailand. Akibatnya, politisi dan pengusaha bersama-sama dengan perwira militer elit, polisi korup dan birokrat selama beberapa dekade mengendalikan secara kuat gangguan urusan nasional. Berakhirnya kediktatoran militer pada tahun 1992 dan konstitusi progresif tahun 1997 membuka pintu bagi pengadilan untuk memainkan peran baru dalam membentuk masa depan negara, terutama dengan diperkenalkannya dua pengadilan unggul baru. Namun, peran ini memerlukan commit to user beberapa tahun untuk kemungkinankemungkinan baru untuk diakui dan dipertahankan. 416 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id sebelumnya memerintahkan kodifikasi dan hukum tata usaha negara yang disusun oleh birokrasi untuk mengatur rakyat di dalam masyarakat dengan membatasi hak-hak fundamental dan tuntutan kebebasan. Politisi, militer, dan birokrat sipil senior di Thailand menganggap diri mereka layak untuk menafsirkan setiap perundang-undangan dan substansi UUD. Konstitusi 1997 berusaha untuk mengatasi persoalan ini mempertahankan hukum konstitusi Thailand. Hal ini dilaksanakan dengan menyatakan UUD sebagai dasar dari segala peraturan perundang-undangan, kemudian mengurangi pengaruh politisi dan birokrat untuk memastikan kepatuhan terhadap UUD. Selanjutnya, dilakukan upaya CR melalui proses yang bebas dari cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudisial, kemudian memastikan akuntabilitas pemerintahan dan melindungi kebebasan sipil. Dengan pertimbangan tersebut, maka digagas pembentukan MK. Pembentukan MK ini merupakan salah satu isu yang menonjol dalam perdebatan selama persiapan rancangan UUD. Gagasan ini secara terang-terangan ditentang oleh para hakim senior dengan anggapan bahwa CR semestinya dilaksanakan oleh MA. Mereka berpendapat bahwa keberadaan MK akan menciptakan cabang kekuasaan ke-4 yang lebih berkuasa dibandingkan yudisial, legislatif, dan eksekutif. Para hakim juga cemas mengenai intervensi politik dalam rekrutmen dan pemecatan hakim konstitusi. Sesudah 5 bulan perdebatan, Komisi Konstitusi mengkonfirmasi pembentukan MK tetapi dengan konsensi adanya pertentangan kekuasaan kehakiman mengenai komposisi dan wewenang Mk. Konsensi ini telah menarik perhatian diantara pendukung reformasi UUD dan penganjur negara berdasarkan hukum. Pada konsesi yang pertama, komisi memutuskan bahwa commit towewenang user MK tidak akan mempunyai untuk menguji putusan final 417 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id MA. Jika para pihak atau hakim, percaya bahwa kasus tersebut melibatkan isu konstitusionalitas, pengadilan dapat mengajukan pendapat ke MK. Pengadilan menunda pemeriksaan dan persidangan hingga MK mengeluarkan putusan mengenai hal itu.1177 Dengan demikian, pihak yang keberatan dapat mengajukan permohonan kepada MK sepanjang pelaksanaan persidangan tersebut tetapi sekali MA sudah memutus perkara yang bersangkutan, tidak ada wewenang MK untuk meninjau putusan MA. Meskipun demikian, hal ini tidak akan melarang MK untuk mempertimbangkan pengujian UU pada kasus yang identik lainnya.1178 Semua pengadilan akan mematuhi putusan MK meskpun putusan tersebut tidak berlaku surut atas putusan-putusan pengadilan sebelumnya., Komisi juga menghapus formulasi awal mengenai wewenang MK untuk memutus perkara di mana UUD tidak mendelegasikan kekuasaan badan untuk mengadilan, sehingga membiarkan hal itu dilaksanakan oleh sistem pengadilan yang ada. Komisi juga melakukan konsesi yang kedua, guna mengurangi campur tangan politik terhadap MK. Komisi 1177 Meskipun Konstitusi Thailand adalah hukum tertinggi negara, pengadilan enggan untuk menerapkan ketentuan secara langsung. Pasal 6 menyatakan bahwa, "Ketentuan-ketentuan UU, peraturan perundang-undangan atau peraturan lain yang bertentangan atau tidak konsisten dengan Konstitusi harus dinyatakan tidak berlaku." Namun, dalam kenyataannya pengadilan telah menunggu pengesahan dan revisi hukum domestik sejalan dengan konstitusi , dan sampai batas tertentu, bimbingan dari pengadilan yang lebih tinggi, sebelum bertindak atas ketentuanketentuannya. Akibatnya, masih banyak hukum nasional yang diberlakukan di Thailand saat ini yang bertentangan dengan hukum konstitusional. Ada juga ketentuan konstitusional yang tidak ditindaklanjuti dengan pembentukan UU, sehingga sulit bagi pemohon menjadi sulit untuk memperoleh ganti rugi karena melalui jalur hukum dan kelembagaan. 1178 Dalam beberapa tahun terakhir, pengadilan di Thailand telah berusaha menghindari implikasi dari kontradiksi dan kesenjangan yang ditemukan antara konstitusi dan undang-undang bawahan, karena semakin banyak terdakwa dan penggugat sama-sama mendalilkan bahwa hak konstitusional mereka telah dilanggar dengan undang-undang dan peraturan tertentu. Hal ini telah menyebabkan kebingungan dan ketidaknyamanan, seperti pasal 28 konstitusi dengan jelas menyatakan bahwa, "Seseorang yang hak dan kebebasan yang diakui oleh Konstitusi ini dilanggar dapat menggunakan ketentuan Konstitusi ini untuk membawa gugatan atau membela commit to user dirinya sendiri di pengadilan. " 418 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id menghapus draf awal sebagaimana ketentuan Pasal 260 yang menentukan 10% anggota gabungan Senat dan DPR untuk mengusulkan pemecatan terhadap para hakim, dan ketentuan mengenai 1/3 forum gabungan tersebut untuk memecat hakim. Sebagai gantinya, usulan pemecatan hakim dapat diajukan oleh 50.000 pemilih atau separuh anggota DPR yang mengajukan kepada senat untuk memulai proses tersebut. Putusan pemecatan itu harus didukung oleh sekurang-kurangnya 1/5 anggota Senat. Sampai hari ini, hanya sekali usulan pemecatan itu diajukan oleh 50 ribu pemilih, yaitu berhubungan dengan keberatan KPK terhadap 4 hakim dalam perkara Thaksin Shinawatra yang memutuskan ketentuan Pasal 295 tidak dapat diterapkan. Ketiga, untuk meredakan ketegangan di kalangan hakim, Komisi memperbaiki mekanisme seleksi untuk memastikan bahwa kekuasaan kehakiman mempunyai pengaruh yang lebih kuat terhadap komposisi MK. Pada awalnya MK direncanakan mempunyai 9 hakim yang meliputi 6 orang pakar hukum dan 3 pakar ilmu politik. Sebuah panitia yang beranggotakan 17 orang akan mengajukan kandidat sebanyak 18 nama kepada Parlemen dan kemudian Parlemen akan memutuskan 9 hakim terplih. Sekalipun Ketua Panitia tersebut karena jabatannya diisi oleh Ketua MA, tetapi anggota panitia lain mencakup 4 perwakilan partai politik di Parlemen. Cara tersebut memperkuat pengaruh kekuasaan kehakiman adalah memasukkan hakim MA dan hakim PTUN, juga aparatur pengadilan yang lain dalam sebagai hakim konstitusi Tetapi, gagasan ini dianggap bertentangan dengan prinsip bahwa MK harus merupakan sebuah badan yang independen dan para hakim bekerja penuh waktu. Komisi kemudian memutuskan untuk menambah komposisi MK dari awalnya 9 hakim menjadi 15 hakim, di mana 7 commit to userdari lingkungan pengadilan lain. diantaranya ditetapkan berasal 419 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Sebanyak 5 hakim dipilih secara rahasia diantara para hakim agung. Sebanyak 2 hakim akan dipilih oleh MA TUN. Sementara jumlah hakim yang akan diseleksi oleh Senat yang awalnya 8 pakar hukum dan politik, dikurangi hanya menjadi 3 hakim. Sebelumnya direncanakan, seleksi itu akan melalui panel gabungan Senat dan DPR. Sesudah pemilihan hakim, MK secara resmi didirikan pada tanggal 11 April 1998. Dalam komposisi ini, MKk memiliki seorang Ketua dan 14 hakim. Awalnya, hanya ada 13 hakim karena PTUN belum mencalonkan 2 hakim sesuai ketentuan Konsttiusi. Untuk pertama kali, para hakim memilih diplomat karir Chao Saichua sebagai Ketua mereka, dan Deputi Sekretaris Kabinet Jenderal Noppadol Hengcharoen menjadi Sekretaris Jenderal MK. Untuk menginformasikan kepada publik mengenai kinerjanya, MK mulai mengeluarkan sebuah jurnal triwulan, Warasan Rattathamanun [Jurnal MK] pada Januari 1999. Jurnal ini memberikan gambaran kasus terpilih dan serangkaian dokumen dan artikel akademis tentang isu-isu hukum konstitusi. Dari 1998, sampai dengan 10 Oktober 2002, MK telah mengeluarkan 237 putusan. Dari jumlah perkara tersebut, lebih dari separuh perkara menyangkut CR (132 perkara atau 55,7%). Isu partai politik (39 perkara atau 16,5%) dan pemecatan pejabat (25 perkara atau 10,5%) secara keseluruhan mencakup 27% putusan yang ditetapkan oleh MK. Jumlah putusan yang paling sedikit menyangkut konstitusionalitas tindakan parlemen (18 perkara atau 7,6%) dan pemerintah (23 perkara atau 9,7%). Hampir 56% dari permohonan yang diajukan ke MK selama 4 tahun pertama menyangkut CR. Perkara ini diajukan terutama oleh Pengadilan Sipil, Pidana dan Provinsi atas permintaan pihak yang terlibat dalam kasus. Pasal 264 UUD commit pengadilan to user menyatakan kewenangan untuk menunda persidangan 420 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id dan ajudikasi saat mengajukan mosi ke MK "jika pengadilan atau para pihak berpendapat bahwa dalam kasus tersebut menyebutkan keberatan menyangkut penerapan UU yang dianggap bertentangan dengan Pasal 6 dari Konstitusi. Pasal 6 UUD menyatakan: "Konstitusi adalah hukum tertinggi negara. Ketentuan UU, peraturan perundang-undangan atau regulasi, yang bertentangan atau tidak konsisten dengan Konstitusi ini tidak berlaku mengikat." Untuk memperkuat preseden ini dalam hukum konstitusi Thailand, Pasal 29 menetapkan bahwa satu-satunya pembatasan UU terhadap hak warga negara adalah sepanjang ditentukan dalam Konstitusi. Dalam putusan CR yang pertama kali1179, menyangkut perkara yang diajukan oleh Ny. Ubol Bunyachalothorn. Dalam hal ini, Ny. Ubol berusaha untuk meminta pengujian konstitusionalitas penolakan Kejaksaan Nonthaburi Kejaksaan untuk menyerahkan bukti bahwa dia telah diperiksa dalam sidang pembunuhan dan penolakan Pengadilan Tinggi Nonthaburi untuk mengirimkan permohonannya ke Mahkamah Konstitusi. Pengadilan menolak permohonan itu karena Pasal 264 tidak mengizinkan tiap orang untuk menyerahkan mosi langsung ke MK; hakim menyimpulkan permohonan hanya dapat dilakukan oleh pengadilan umum. Dampak dari putusan ini adalah setiap hakim pengadilan umum mungkin secara subyektif akan menahan permintaan terdakwa untuk mengajukan CR. Meskipun pengadilan umum terikat oleh konstitusi untuk menyerahkan semua petisi ke MK, kalangan pengacara menuturkan kecenderungan yang sedang berkembang di antara para hakim untuk menolak mengajukan permohonan itu berdasarkan pertimbangan hukum mereka sendiri. Saat ini ada sedikit jalan bagi para pemohon untuk memaksa hakim untuk menyerahkan permohonan semacam itu. Sebuah keputusan penting 1179 commit to user Putusan No. 5/2541, 1998. 421 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id mungkin diperlukan oleh KY untuk menghentikan kecenderungan ini. Putusan lain yang mempunyai efek signifikan adalah permohonan yang diajukan oleh Pengadilan Tinggi Songkhla atas nama penggugat Kriangsak Saelao.1180 Pengacara Kriangsak berargumen bahwa Suku Bunga Maksimum yang diumumkan oleh Siam Commercial Bank, yang dikeluarkan di bawah peraturan Bank Sentral Thailand tidak konstitusional. Dengan suara mayoritas, MK menolak permohonan ini. Ini adalah indikasi pertama bahwa MK melaksanakan p[engujian menurut Pasal 264 terbatas meliputi peraturan parlemen dan regulasi pemerintah. Hal diperjelas dalam putusan atas permohonan Pengadilan Tinggi Ayutthaya yang memohon pengujian konstitusionalitas Peraturan Perdana Menteri yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan UndangUndang Perlindungan Lingkungan 1992.1181 Selain menerapkan tafsiran sempit atas Pasal 264, MK kurang berminat dalam dalam menegakkan hak-hak warga negara yang diamanatkan oleh konstitusi bila hak-hak tersebut dilaggar oleh UU, peraturan perundang-undangan, maupun regulasi. Contoh yang paling mencolok dari hal ini adalah putusan MK atas permohonan yang diajukan oleh Ombudsman atas nama Sirimit Boonmul dan Boonjuti Klubprasert.1182 Meskipun MK telah mengeluarkan beberapa putusan yang sangat kontroversial yang telah membagi hakim ke dalam kubu yang berlawanan, sebagian besar putusannya berdasarkan kesepakatan mayoritas. Dari perspektif reformis liberal, yang berniat menggunakan UUD 1997 sebagai alat untuk mengakhiri pemerintahan pemerintahan birokrasi yang telah memerintah 1180 Putusan No. 4/2542, 1999. 1181 Putusan No. 14/2543, 2000. 1182 Putusan No. 16/2545, 2002. commit to user 422 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Thailand selama lebih dari 60 tahun terakhir, MK telah konservatif dan segan untuk mempromosikan perlindungan hak-hak warga negara atas kekuasaan negara. Dari perspektif reformis konservatif, dan kalangan konservatif pada umumnya, MK telah melakukan tindakan keras terhadap perubahan sistem yang selama ini mereka nikmati dan yang mereka yakin akan dapat mempertahankan daya saing Thailand dalam ekonomi global tanpa terlalu mengabaikan cita-cita demokrasi. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB VI INSTRUMENTALISME HUKUM DALAM RUANG POLITIK DIKAITKAN DENGAN CONSTITUTIONAL REVIEW DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KINERJA MAHKAMAH KONSITITUSI DALAM TRANSISI DEMOKRASI DI INDONESIA A. Desain Transisi Demokrasi di Indonesia (1) Struktur dan Ciri Otoritarian Orde Baru Diantara negara-negara mengalami demokratisasi, Indonesia menunjukkan diri sebagai kasus yang unik ”as far as external influences on processes of regime change are concerned.”1183 Sekalipun pengaruh internasional menjalankan peran yang signifikan dalam transisi demokrasi, pengunduran diri Presiden Soeharto pada tahun 1998 “was not the consequence of diplomatic pressure or other deliberately targeted, external democracy promotion.”1184 Diantara rentang waktu pemerintahannya, yang dikenal sebagai rezim Orde Baru1185, Soeharto-Edward Aspinall dan Marcus Mietzner, “Economic Criss, Foreign Pressure, and Regime Change”, hlm. 144. 1183 1184 Ibid. “Orde Baru” adalalah rezim yang secara formal lahir pada 12 Maret 1967 dan secara prematur telah menumbuhkan dirinya sejak 11 Maret 1966 tatkalah Soeharto menerima “Surat Perintah” dari Soekarno. Di satu sisi, rezim Orde Baru dikenal sebagai pembaharu. Namun di sisi lain, dalam perkembangan selanjutnya, menjadi otoriter dan militeristik yang mengontrol dengan cara sentralistik elemen masyarakat, seperti media, partai politik, organisasi, buruh, pegawai pemerintah, dan kegiatan lainnya dalam ruang publik. Lihat: Eep Saefullah Fatah, 2012, Konflik, Manipulasi, dan Kebangkrutan Orde Baru, Jakarta, Penerbit Burung Merak Press, hlm. 70. Baca juga: Michael R.J. Vatikiotis, 1993, Indonesian Politics Under Soeharto, Chicago, Taylor & Francis, khususnya Bab II, hlm. 32-59. Dalam buku ini diuraikan bahwa Setelah 25 tahun berkuasa, Presiden Soeharto dan pemerintahan Orde Baru menghadapi krisis pembaharuan. Rezim ini, yang meraih kekuasaan di belakang sebuah kudeta militer pada tahun 1965, telah membawa stabilitas abadi dan kemakmuran ekonomi bagi negara, tetapi tidak menunjukkan kecenderungan untuk menyerahkan tampuk kekuasaan kepada generasi berikutnya. Akibatnya, tekanan untuk perubahan politik berkembang. Buku ini menawarkan analisis informasi secara seimbang mengenai Orde Baru Soeharto saat mendekati suatu titik politik penting. Stabilitas politik yang luar biasa di Indonesia untuk sebagian besar negara menjadi dasar kajian yang utama. Diam-diam, Indonesia telah berpindah ke posisi yang kuat melalui pertumbuhan ekonomi yang cepat di kawasan. Dengan menjalankan reformasi ekonomi liberal dan pemberian lebih banyak kebebasan untuk sektor swasta, pemerintah telah mengubah ekonomi yang tergantung pada komoditas Indonesia ke industri baru. Tetapi sekarang, keberhasilan ekonomi berjalan melawan ketidakpastian politik dalam negeri. Penulis menelusuri asal muasal Orde Baru dan akar militer, to userdicapai di bawah Suharto. Dia juga dan mengevaluasi kemajuan ekonomicommit yang cukup menganalisis Soeharto sendiri, seorang pria yang low profile secara internasional dan kharismatik 1185 423 perpustakaan.uns.ac.id 424 digilib.uns.ac.id yang memutuskan hubungan diplomatik dengan China1186--memperoleh dukungan dari pemerintahan negara-negara Barat1187, sebagai penghargaan atas perjuangan antikomunisme1188, mempertahankan stabilitas di kawasan tetapi telah membuatnya menjadi salah satu sosok yang paling sedikit dipahami tetapi menarik sebagai pemimpin yang telah lama menjabat. 1186 Aliansi China dengan Indonesia pada pertengahan enam puluhan tampaknya menjadi prestasi spektakuler strategi diplomasi, namun menjadi bencana kebijakan luar negeri utama bagi Cina. Untuk mengeksplorasi sekitar isu ini, Mozingo menawarkan analisis persuasif dari kekuatan bersaing yang mempengaruhi kebijakan Beijing terhadap Jakarta dan faktor-faktor yang pada akhirnya menyebabkan kejatuhannya. Dia menjelaskan bagaimana dan mengapa kebijakan Cina di Indonesia bergeser secara dramatis dari permusuhan terhadap koeksistensi damai dan kembali lagi ke permusuhan. "Meskipun pertimbangan strategi global dominan dipengaruhi desain dan pelaksanaan kebijakan itu," tulisnya, "faktor penentu yang mempengaruhi hasil dari hubungan Sino-Indonesia secara konsisten terbukti menjadi proses politik dalam negeri di Indonesia, di mana Beijing memiliki sedikit atau justru sama sekali tidak ada kontrol." Pada akhirnya, Cina tidak mampu menyelesaikan kontradiksi antara pertimbangan real-politics dan etos revolusioner mereka sendiri. Mozingo berpendapat bahwa kontradiksi yang sama bertanggung jawab untuk sikap yang sangat ambivalen di mana Beijing telah menjalin hubungan dengan negara-negara Asia lainnya sejak tahun 1949. Lihat selengkapnya: David Mozingo, 2007, Chinese Policy Toward Indonesia 1949-1967, Jakarta-Kuala Lumpur, Equinox Publishing. 1187 Pemerintah asing memuji prestasi ekonomi Orde Baru. Misalnya, duta besar Amerika Serikat untuk Indonesia, John H Holdridge berkomentar pada tahun 1983 sebagai berikut: "Ini merupakan prestasi yang luar biasa, di mana semua orang Indonesia bisa bangga ... prestasi ekonomi Indonesia di bawah Presiden Soeharto telah sama-sama mengesankan. Mulai dari titik hampir bangkrut, Indonesia mampu mencapai swasembada dalam industri tekstil, semen, pupuk, dan komoditas penting lainnya selama tahun 1970. Dalam produksi beras, Indonesia telah membuat keuntungan yang luar biasa. Hasil per hektar telah tumbuh sebesar 4% per tahun dan sekarang merupakan yang tertinggi di daerah tropis. Sebagai hasil dari kemajuan ini, Indonesia mempunyai akses yang lebih baik dalam pendidikan, pangan, dan memiliki standar hidup yang lebih tinggi daripada sebelumnya. Dan ada setiap alasan untuk percaya kemajuan ini akan terus berlanjut. Bank Dunia baru-baru ini melaporkan bahwa pada tahun 1983 Indonesia benar-benar meningkatkan posisinya di antara negara-negara berpenghasilan menengah ... Amerika Serikat telah dan akan terus mendukung program Indonesia untuk memenuhi aspirasi pembangunan masyarakatnya. Kami bangga dalam kerjasama kami dalam program perdagangan, investasi dan pembangunan yang memberikan kontribusi untuk kemajuan Indonesia ... " Lihat: Mohammad Ali, Muhamad Ali, “Islam and Economic Development in New Order’s Indonesia (1967-1998)”, Paper was presented at the 3rd East-West Center International Graduate Student Conference, February 19-21, 2004 in Honolulu, Hawaii, hlm. 10-11. 1188 Dukungan ini terutama sekali dari Amerika Serikat. Serangan Suharto terhadap kaum komunis dan perebutan kekuasaan presiden yang dilancarkannya berakhir pada pembalikan sepenuhnya peruntungan AS di Indonesia. Hampir dalam semalam pemerintah Indonesia berubah dari kekuatan yang di tengah-tengah perang dingin dengan garang menyuarakan netralitas dan antiimperialisme menjadi rekanan pendiam yang patuh kepada tatanan dunia Amerika. Sebelum G-30-S terjadi, kedutaan Amerika telah memulangkan hampir semua personil mereka dan menutup konsulat-konsulatnya di luar Jakarta, karena gelombang-gelombang demonstrasi militan yang dipimpin PKI. Presiden Sukarno kelihatannya menutup mata dan merestui aksi-aksi itu dengan tidak memberikan perlindungan keamanan yang cukup bagi konsulat-konsulat Amerika. Sementara serangan terhadap fasilitas-fasilitas pemerintah Amerika sudah begitu commit user mengkhawatirkan, kaum buruh mengambil alihto perkebunan-perkebunan dan sumber-sumber minyak milik perusahaan-perusahaan Amerika, dan pemerintah Indonesia mengancam akan perpustakaan.uns.ac.id 425 digilib.uns.ac.id Asia Tenggara1189, dan pengelolaan ekonomi pragmatis yang memberi ruang bagi investasi asing sebagai manajemen pembangunan yang cukup berhasil.1190 Bahkan hingga penghujung Perang Dingin1191, sikap kritis menasionalisasi perusahaan-perusahaan tersebut. Sejumlah pejabat pemerintah Amerika sempat mempertimbangkan pemutusan hubungan diplomatik sama sekali. Tampaknya Washington harus melupakan Indonesia dan menganggapnya sebagai bagian dari dunia komunis. Sebuah laporan intelijen tingkat tinggi yang disiapkan awal September 1965 mengatakan bahwa, “Indonesia di bawah Sukarno dalam hal-hal penting tertentu sudah bertindak seperti sebuah negara Komunis, dan lebih secara terbuka memusuhi AS ketimbang kebanyakan negeri-negeri Komunis.” Laporan itu memperkirakan bahwa pemerintah Indonesia, dalam waktu dua atau tiga tahun, akan sepenuhnya didominasi PKI.” Walaupun tersita oleh urusan Indocina pada 1965, Washington sangat gembira ketika tentara Suharto mengalahkan G-30-S dan merangsak menghantam kaum komunis. Ketidakberpihakan Sukarno dalam perang dingin dan kekuatan PKI yang semakin besar telah dibikin tamat dengan sekali pukul. Tentara Suharto melakukan apa yang tidak mampu dilakukan negara boneka Amerika di Vietnam Selatan meskipun telah dibantu dengan jutaan dolar dan ribuan pasukan AS, yaitu menghabisi gerakan komunis di negerinya.Lihat: Audrey R. Kahin dan George McT. Kahin, 1995, Subversion of Foreign Policy: The Screet of Eisenhower and Dulles Debacles in Indonesia, New York, New Press, hlm. 29-33. 1189 Diskusi lebih lanjut soal ini, periksa: Dewi Fortuna Anwar, 1994, Indonesia in ASEAN: Foreign Policy and Regionalism, Singapore, Institute of Southeast Asia Studies, hlm. 3856. 1190 Muhammad Hatta, wakil presiden, pertama kali memperkenalkan istilah “pembangunan” pada tahun 1948 ketika ia menjadi perdana menteri, tapi bermakna sempit yaitu mengarah kepada rasionalisasi tentara dan kemampuan pejabat pemerintah untuk meningkatkan produksi. Dari tahun 1950 hingga 1966, konsep demokrasi (Demokrasi) menggantikan konsep pembangunan (Pembangunan) dan Soekarno menciptakan Demokrasi Terpimpin. Namun Hatta masih berusaha untuk mempopulerkan konsep pembangunan. Pada tahun 1951, Hatta berpendapat mengenai hubungan yang erat antara budaya dan pembangunan dengan mengatakan bahwa perkembangan budaya merupakan dasar pembangunan ekonomi, karena tanpa pengembangan budaya, pembangunan ekonomi akan kehilangan arah. Pada tahun 1958 di depan Dewan Koordinasi Organisasi Islam, Jakarta, Hatta bahkan lebih khusus berbicara tentang hubungan antara Islam dan pembangunan, menunjukkan bahwa Islam adalah sumber nilai dan motivasi bagi pembangunan untuk menciptakan sebuah masyarakat baru. Tapi jargon lain politik selama periode ini, revolusi (Revolusi) untuk transformasi sosial jauh lebih meresap dan cepat sebuah jargon dominan dalam perjuangan politik. Oleh karena itu, pemerintah Soekarno lebih terfokus pada perjuangan politik dan diplomatik, dengan beberapa program ekonomi. Lihat: Muhamad Ali, op.cit., hlm. 7. 1191 Politik regional dan arsitektur keamanan selama era Perang Dingin juga telah memperkuat pandangan dunia seperti Indonesia. Fakta bahwa beberapa negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Filipina dan Australia membangun sendi fakta pertahanan dengan Amerika, Australia dan Inggris (di FPDA dan ANZUS), sementara Vietnam dan Korea Utara yang didukung oleh China atau dan/ Uni Soviet, membuat Indonesia merasa unconvinience: sendiri, terlindungi, aman dan terancam. Mengalami konflik dengan Malaysia dan juga pemberontakan komunisme tahun 1960-an telah memperkuat perasaan semacam itu. Sementara itu, di dalam negeri Indonesia juga menghadapi masalah keamanan serius seperti gerakan separatis di Aceh, Papua (Irian Jaya), Ambon dan Timor Timur. Dengan latar belakang seperti itu, Indonesia sangat menolak (setidaknya dalam retorika) untuk bergabung dengan salah satu blok (Barat dan Timur) dan memutuskan untuk mengambil posisi yang disebut kebebasan dan kebijakan luar negeri aktif (Politik Luar Negeri commit tobergabung user bebas Aktif). Indonesia merasa lebih yakin untuk dengan organisasi-organisasi yang secara historis, kultural dan emosional tertutup untuk Indonesia seperti Gerakan Non-aligment, perpustakaan.uns.ac.id 426 digilib.uns.ac.id yang semakin berkembang sehubungan dengan masalah HAM1192 dan semakin bertambahnya dukungan luar negeri terhadap masyarakat sipil1193, tidak secara serius mengancam kedudukan pemerintahan Orde Baru, termasuk kebijakan luar negerinya.1194 Pada saat tekanan politik tidak efektif, ancaman terhadap otokrasi Soeharto justru berasal dari integrasi gradual Indonesia ke sistem ekonomi global, suatu hal yang sudah dirintis sejak era kolonial.1195 Bertentangan Konferensi oragnization Islam (ICO), dan ASEAN. Bergabung dengan organisasi-organisasi tersebut tidak hanya telah membuat Indonesia merasa lebih aman tetapi juga, mengingat keuntungan dalam kekuatan militer dan ekonomi, telah memberikan ruang untuk itu untuk memainkan peran yang lebih penting dalam arena internasional. 1192 Salah satu referensi menarik soal ini, lihat: Marlies Glacius, 1999, Foreign Policy on Human Rights: Its Influence on Indonesia Under Soeharto, Utrecht, Intersentia Uitgevers. 1193 Diskusi lebih lanjut soal ini, periksa: Franklin B. Weinstein, 2007, Indonesia Foreing Policy and Dilemma of Dependence, Cornell University Press. Bagaimana bisa sebuah negara berkembang seperti Indonesia memanfaatkan sumber daya luar untuk pembangunan nasional tanpa mengorbankan kemerdekaannya? Mendekati masalah dari sudut pandang elite Indonesia, buku ini penting karena mengeksplorasi interaksi yang kompleks antara faktor-faktor politik dalam negeri dan pembentukan kebijakan luar negeri. Untuk menggambarkan cara di mana perkembangan telah mempengaruhi partisipasi internasional di Indonesia, Profesor Weinstein menyajikan gambaran grafis apa yang dilihat pemimpin Indonesia ketika mereka melihat dunia luar, dan ia secara sistematis berusaha keluar sumber persepsi mereka. Dia menunjukkan bahwa sebagian besar elit melihat sistem internasional didominasi oleh kekuatan eksploitatif yang tidak dapat diandalkan untuk membantu pembangunan Indonesia. Dia meneliti hubungan antara persepsi dan politik di bawah Soekarno dan Soeharto dan menawarkan perbandingan penjelasan dasar kebijakan luar negeri di bawah kedua pemimpin itu dengan mengungkapkan perubahan dramatis dan kesinambungan mengejutkan. Analisis tersebut meyakinkan membantu untuk menjelaskan pembalikan tajam kebijakan pada tahun 1966, dan membentuk hipotesis yang meyakinkan yang dapat diuji di negara-negara Dunia Ketiga lainnya. Buku ini, diterbitkan kembali sebagai rangkaian seri Equinox Publishing Klasik Indonesia. Lihat: Leo Suryadinata, 2007, Indonesia’s Foreign Policy: Aspiring the International Leadership, Singapore, Marshall Cavendish International (Asia) Private Limited. Menggunakan kerangka analisis kebijakan luar negeri dan budaya politik, buku ini memberikan wawasan dan penjelasan analitis kebijakan luar negeri Indonesia di bawah Soeharto. Pembahasan dalam buku ini menguji berbagai faktor yang telah berkontribusi untuk kebijakan luar negeri Suharto, tujuan kebijakan ini dan cara mencapainya. Buku ini juga membahas hubungan Indonesia dengan negara-negara Asia, dan seterusnya, mengidentifikasi masalah dan prospek. Dikatakan antara lain bahwa Soeharto telah memainkan peran penting dalam mengarahkan kebijakan, perhatian khusus telah difokuskan pada dirinya. Meskipun banyak perbedaan dari era Soekarno, aspirasi Indonesia untuk kepemimpinan internasional di bawah Suharto tetap konstan. Buku adalah buku yang paling up-to-date yang berhubungan dengan kebijakan luar negeri Indonesia di bawah Soeharto. 1194 1195 Di era kolonial, kolonial Belanda berusaha untuk mengintegrasikan perekonomian Indonesia ke dalam perekonomian dunia khususnya di Jawa. Tapi ini terjadi dalam konteks eksploitasi kolonial dan kerja paksa yang menciptakan anti-kolonialisme di wilayah tersebut user sebagaimana juga di wilayah lain. Olehscommit sebab itutosejak Indonesia merdeka tahun 1945, pemimpin bangsa yang baru lahir, Soekarno, berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah perpustakaan.uns.ac.id 427 digilib.uns.ac.id dengan latar belakang rezim yang semakin bergantung kepada aliran investasi dan pasar modal yang stabil, krisis ekonomi Asia menjadi penyebab terhadap kejatuhan Soeharto. Hampir bersamaan, kemunduran rezim juga didukung oleh intervensi IMF. Sebagaimana terlihat, program bantuan ekonomi IMF disusun untuk menyelamatkan dibandingkan meroboh pemerintahan Soeharto, akan tetapi hal itu tidak membantu memulihkan kredibilitas pemerintahan, akan tetapi justru memperburuk krisis ekonomi, dan pemulihan ekonomi kemudian dikaitkan dengan reformasi politik.1196 Dalam kontesk ini, “Indonesia’s democratic transition was not a case of regime change successfully induced by external threats, sanctions, or incentives. Rather, it was triggered by a regional economic disaster and further stimulated by the bungled IMF aid package.”1197 Dalam menguraikan konfigurasi politik Orde Baru, peran Soeharto sebagai seorang politikus ulung yang menggunakan berbagai sumber yang ada padanya untuk memperbesar kekuasaan serta mempunyai tujuan yang dianggapnya baik untuk Indonesia.1198 Soeharto menikmati posisi yang relatif otonom karena dia berhasil mengendalikan berbagai instrumen kekuasaan—paksaan, bujukan, pertukuran, dan organisasi—demi menjaga tujuan ganda yaitu mengendalikan masyarakat serta melanggengkan dideklarasikan dan untuk memastikan integritas politik di dalam keragaman etnis dan agama, dan mencari pengakuan internasional. Istilah politik penting selama periode 1945-1950 adalah kebebasan (kebebasan) dari kekuatan asing. Muhamad Ali, op.cit., hlm. 3. 1196 Diskusi lebih lanjut mengenai masalah ini, periksa: Eva Reisenhuber, 2001, The International Monetery Fund Under Constraint, Den Haag, Kluwer International Law, hlm. 99106 dan 133-169. 1197 1198 Edward Aspinall dan Marcus Mietzner, op.cit., hlm. 145. Menurut Kuntowijoyo, Soeharto adalah tipe jenis manusia yang mendasarkan diri pada “an act of faith” (perbuatan yang berdasarkan keyakinan) dan bukan tipe manusi jenis “an act of reason” (perbuatan berdasarkan akal). Seoharto selalu memutuskan untuk dirinya sendiri apa yang dia anggap penting atau tidak. Soeharto adalahs eorang yang membuat keputusan hanya menurut kepentingannya sendiri. Lihat:commit Kuntowijoyo, “An Act of Reason dan An Act of Faith to user dalam Sejarah Indonesia”, Kompas, 24 Maret 1998, hlm. 4. 428 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id dukungan para pengikut utamanya.1199 Dengan otonomi relatif tersebut Soeharto mengendalikan proses pembangunan ekonomi.1200 Para pembantu terdekatnya, para menteri, serta kaum ekonom, boleh saja mengusulkan ini dan itu akan tetapi pada akhirnya Soeharto sendirilah yang bertanggung jawab terhadap berbagai kebijakan yang penting yang dipilih oleh pemerintah Orde Baru. Oleh sebab itu, setiap analisis mengenai arah kebijakan Indonsia, seperti perubahan proteksionisme menuju kepada kebijakan pintu terbuka, harus diawali dengan pemahaman terhadap kendala dan peluang yang dihadapi Soeharto dalam mengelola kekuasaannya.1201 1199 Semua hal itu bermuara pada satu hal yaitu kontrol dan inilah bongkahan terbesar kepribadian Soeharto. Di situlah tampaknya sumber kekuasaan dan sumber keinginannya untuk terus menerus berkuasa di atas yang lain, di atas segala hal yang dianggap kacau dan sebab itu mengancam eksistensi. Mungkin sebab itu secara fisik dan psikis bisa lebih bertahan ketimbang seorang Soekarno atau Sjahrir setelah ia jatuh dari kursi yang tinggi. Lihat: Gunawan Muhammad, “Catatan Pinggir: Soeharto”, Tempo, 30 November 1998. 1200 Kajian-kajian mengenai politik Orde Baru akan menempatkan isu ini menjadi legitimasi rezim Soeharto. Pengendalian ini sangat menekankan pertumbuhan ekonomi, membuka negara untuk investasi asing, tetapi juga memobilisasi BUMN dan sektor bisnis kroni dalam negeri. Pendapatan riil per kapita meningkat dari US $ 70 pada tahun 1969 menjadi US $ 1.100 di 1997. Pada 1973-1983, banyak diantara pertumbuhan itu didorong oleh lonjakan harga minyak internasional, yang menyediakan Soeharto dana yang cukup untuk mengatasi kemerosotan ekonomi domestik dan krisis politik. Pada 1985-86 dan selama dekade berikutnya Indonesia melaksanakan deregulasi ekonomi dan membangun sektor manufaktur berorientasi ekspor ke pasar dunia. Ini berhasil menarik investasi asing yang cukup besar di sektor-sektor seperti tekstil, pakaian dan alas kaki, yang menumbuhkan kapitalisasi pengusaha besar, dan negara menjadi kurang bergantung pada ekspor minyak. Lihat: Tulus Tambunan, “The Development of Industry and Industrialization Policy since the New Governance Era to the Post-Crisis Era”, Jakarta: Kadin, 2006, hlm. 2 dan Anne Booth, “Development: Achievement and Weakness”, dalam Donald K. Emmerson (editor), 1999, Indonesia Beyond Soeharto: Polity, Economy, Society, Transition, Armonk and London: M.E. Sharpe, hlm. 112-113. 1201 Liberalisasi ekonomi yang dikelola oleh sektor swasta sebenarnya prinsip utama kebijakan Soeharto. Pemerintah menyederhanakan status kebanyakan BUMN menjadi (PT (Persero)). Yurisdiksi atas perusahaan-perusahaan negara dari berbagai kementerian ke Departemen Keuangan. Pada tahun 1974, jumlah perusahaan negara menurun menjadi 178. Hanya saja kebijakan ekonomi dasar - liberalisasi modal asing, mobilisasi modal Cina, dan konsolidasi BUMN - berubah pada tahun 1974. Tahun itu ditandai oleh dua kejadian – tindakan anti-Jepang dan kerusuhan anti-Cina yang dikenal sebagai peristiwa Malari dan timbulnya booming minyak. Sebagai dampaknya, pemerintah beralih kepada kebijakan untuk regulasi modal asing, regulasi modal etnis Cina, dan perluasan sektor BUMN. Dari ketiga kebijakan tersebut, yang pertama dan ketiga berfungsi dengan baik, akan tetapi yang kedua tidak. Lihat: Yuri Sato, “Post-Crisis Economic Reform in Indonesia: Policy commit for Intervening to userin Ownership in Historical Perspective”, IDE Research Paper No. 4, 2003, hlm. 15. perpustakaan.uns.ac.id 429 digilib.uns.ac.id Pembahasan mengenai transisi demokrasi dalam penelitian ini tidak dapat dilepaskan dari masa kekuasaan Soeharto (1967-1998). Rezim Orde Baru dirintis sesudah peristiwa G 30 S, yang dicap sebagai kudeta gagal1202 dan menimbulkan banyak korban jiwa yang terisolir dari memori kolektif bangsa1203, yang kemudian memunculkan konflik keyakinan antara Presiden Soekarno dan Soeharto mengenai perlakuan terhadap partai komunis.1204 Sudah demikian banyak studi yang mencoba memahami dan mencari pijakan teoritis terhadap sistem pemerintah Orde Baru tersebut. Diantara studi tersebut misalnya, pertama, studi yang 1202 Menurut sejarawan, kegagalan inilah yang menyebabkan peristiwa ini masih menjadi salah satu tragedi nasional yang misterius. Kesulitan memahami G-30-S antara lain karena gerakan tersebut sudah kalah sebelum kebanyakan orang Indonesia mengetahui keberadaannya. Gerakan 30 September tumbang secepat kemunculannya. Kendati bernapas pendek, G-30-S mempunyai dampak sejarah yang penting. Ia menandai awal berakhirnya masa kepresidenan Sukarno, sekaligus bermulanya masa kekuasaan Suharto. Bagi sejarawan yang ingin memahami perjalanan sejarah Indonesia modern, hal yang terkadang menimbulkan rasa frustrasi ialah justru karena kejadian yang paling misterius ternyata merupakan salah satu babak kejadian yang terpentingLihat: John Roosa, 2008, Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, Jakarta: Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra, hlm. 3-4. 1203 Rezim Orde Baru hanya membernarkan satu versi mengenai peristiwa I Oktober 1965, sedangkan berbagai versi lainnya yang ditulis oleh pengamat Barat hampir tidak dikenal masyarakat luas. Pembantaian yang terjadi sesudah percobaan kudeta yang gagal itu hanya tinggal trauma. Penelitian tentang sejarah 1965 tertutup rapat bagi warga tanah air kita. Lihat: Asvi Warman Adam, 2004, Soeharto: Sisi Gelap Sejarah Indonesia, Yogayakarta, Penerbit Ombak, hlm. 29. Banyaknya korban jiwa tersebut merupakan dampak dari kebijakan Soeharto setelah menerima Surat Perintah 11 Maret 1966 yang memerintahkan pembubaran PKI dan organisasi massanya. Setelah Suharto mengeluarkan kebijakan itu, kemudian mulai para tentara (RPKAD) bergerak menuju daerah yang dianggap menjadi basis PKI. Pelaksanaan pembersihan dipimpin oleh Sarwo Edhi. “Pertengahan bulan Oktober Suharto mengutus Sarwo Edhi dan para komandannya ke Jawa Tengah untuk mengadakan operasi pembersihan.” Pasukan kemudian sampai di Jawa Tengah dan “Sarwo Edhi menyuruh pasukannya menyerang apa yang ia anggap kubu-kubu perlawanan komunis. Tetapi sebenarnya tidak ada perlawanan. Baik kader maupun berjuta-juta anggota Partai Komunis dan organisasi-organisasinya menanti dengan pasrah”. Lihat: Lambert J. Giebels, 2005, Pembantaian yang Ditutup-tutupi: Peristiwa Fatal di Sekitar Kejatuhan Bung Karno, Jakarta, Penerbit Grasindo, hlm. 131-132. 1204 Soekarno tampak ragu, penuh pertimbangan rasional ketika ada tuntutan untuk pembubaran PKI. Ia harus memilih komunis atau antikomunis. PKI mempunyai teori dan praksis yang teruji. Di mata Soekarno, PKI adalah organisasi besar, rapi, dan sistematis. Islam memang besar, tetapi jauh dari sistematis dan solid. Demikian pula golongan-golongan masyarakat lain termasuk ABRI. Menurut perhitungannya, yang rasional menang adalah PKI dan menolak untuk membubarkannya. Berlawanan dengan Soekarno, Soeharto justru amat yakin bahwa PKI harus dibubarkan. Lihat: Soeharto, 1989, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya: Seperti Ditututkan kepada G. Dwipayana dan Ramadha K.H., Jakarta, Penerbit Citra Lamtorogung Persada, hlm. commit to user 169. perpustakaan.uns.ac.id 430 digilib.uns.ac.id memfokuskan diri pada aspek-aspek korporatisme1205 dari Orde Baru sebagaimana dilakukan oleh David Reeve.1206 Kedua, studi sejarah politik tentang pergulatan kekuasaan dan konflik yang tidak diteorisasikan dalam hubungan keduanya dengan struktur ekonomi dan sosial luar negeri, sebagaimana dilakukan oleh David Jenkins1207 dan Ulf Sundhaussen.1208 Ketiga, studi tentang kekuasaan dan konflik yang dilandasi pemikiran 1205 Dalam arti yang paling dasar, korporativisme mengacu pada struktur kekuasaan politik dan praktik pembentukan konsensus didasarkan pada representasi fungsional kelompok profesional. Asosiasi petani, pengrajin, industrialis, para pekerja, pengacara, dokter atau gereja, bertindak sebagai badan pemerintahan sendiri atas nama mereka sendiri dan sebagai perantara antara pemerintah dan anggota mereka. Orde Baru melaksanakan korporatisme ini mempersatukan elemen masyarakat supaya lebih mudah untuk mengelola. Elemen masyarakat tersebut adalah FBSI, Federasi Buruh Seluruh Indonesia dan SOKSI, Sekretariat Organisasi Keburuhan Seluruh Indonesia, organisasi buruh, KNPI, Komite Nasional Pemuda Indonesia dan AMPI, Angkatan Muda Persatuan Indonesia, asosiasi pemuda; PWI, Persatuan Wartawan Indonesia dan SPSI, Serikat Pers Seluruh Indonesia, asosiasi wartawan, HKTI, Himpunan Kerukunani tani Indonesia, asosiasi petani dan nelayan, KADIN, Kamar Dagang Indonesia, asosiasi pengusaha, KORPRI, Korps pegawai Negeri Indonesia, asosiasi PNS, PGRI, Persatuan Guru Republik Indonesia , asosiasi guru sekolah. Selain itu, banyak organisasi eksis jika ada pengakuan oleh pemerintah. Selain itu, konsep penggabungan semua elemen masyarakat tersebut diterjemahkan ke dalam larangan pluralisme di bawah payung konsepsi Pancasila. 1206 Lihat: David Reeve, 1985, Golkar of Indonesia: An Alternative Political System, Oxford, Oxford University Press. Pada garis besarnya buku ini menguraikan Rezim Suharto mengedepankan konsep "kelompok fungsional" (Golkar) sebagai alternatif untuk partai politik gaya Barat. Dengan menjelaskan latar belakang kisruh politik Indonesia sejak kemerdekaan, buku ini menceritakan kisah menarik tentang bagaimana konsep Golkar berkembang dan akhirnya membentuk dasar dari sistem perwakilan pemerintahan di Indonesia. Studi Reeve termasuk rintisan dan kemudian diikuti oleh Leo Suryadinata, 1989, Military Ascedancy and Political Culture, Ohio, Center International Studies. Sebagian besar penelitian sebelumnya pada partai politik di Indonesia, Golkar, cenderung memandang organisasi tersebut semata-mata sebagai mesin pemilu yang digunakan oleh militer untuk melegitimasi kekuasaannya. Namun, penelitian ini berbeda karena menganggap Golkar tidak melulu mesin pemilu dan lebih sebagai organisasi politik yang mewarisi tradisi politik dari partai Islam nominal dan Jawa yang mengatur elit pra1965, sebelum peresmian Orde Baru Indonesia. Golkar, kemudian, sebagaimana uraian dalam buku ini ditujukan untuk membedakannya dari partai politik sebelumnya di negeri ini. 1207 Ia salah satu dari segelintir war-tawan yang berhasil mewawancarai Soeharto. Sempat dicekal masuk Indonesia, karya Jenkins kini diterjemahkan ke bahasa Indonesia. David Jenkins adalah jurnalis The Sydney Morning Herald yang pernah membuat heboh hubungan diplomatik Australia dengan Indonesia. Artikelnya pada 10 April 1986 yang berjudul "After Marcos, Now for the Suharto Billion" membuat pria 67 tahun itu diusir dan dilarang masuk Indonesia. Cekalnya baru dihapus ketika digelar Konferensi APEC di Jakarta pada 1994. Barubaru ini, dia menerbitkan buku yang berjudul Soeharto dan Barisan Jenderal Orde Baru dalam bahasa Indonesia, sebuah terjemahan dari Soeharto and His Generals. "Saya sedang mengerjakan buku tentang masa muda Soeharto," ujar lulusan Fakultas Hukum Universitas Melbourne ini. Kelihaiannya mendekati narasumber membuat dia dikenal dan berhasil mewawancarai sejumlah tokoh pen-ting, terutama di tubuh Tentara Nasional Indonesia (ABRI waktu itu). to user Karya Ulf Sundhaussen commit yang klasik mengenai Indonesia adalah The Military In Indonesia, 1974, Center for International Studies, Massachusetts Institute of Technology. 1208 perpustakaan.uns.ac.id 431 digilib.uns.ac.id ketergantungan hierarki kekuasaan dan eksploitasi, seperti dilakukan oleh Adi Sasono1209, Rex Mortimer1210, dan Herbeth Feith1211. Keempat, studi ekonomi politik yang dilandasi oleh analisis kelas dan korporatisme, sebagaimana dilakukan oleh Richard Robinson.1212 Kelima, studi ekonomi politik yang menenkankan aspek kepentingan dan jalinan kepentingan antara negara (penguasa) dengan kekuatan ekonomi, sebagaimana dilakukan oleh Yoshishara Kunio1213, Yahya Muhaimin1214, dan Mochtar Mas’oed.1215 Sejak awal, Pemerintah Orde Baru Presiden Soeharto1216 bertekad untuk kembali ke menegakkan kehidupan konstitusional berdasarkan UUD 1945 secara murni dan dengan menghormati Pancasila sebagai falsafah 1209 Bersama Sritua Arief, Adi Sasono mengembangkan teori ketergantungan untuk menjelaskan ekonomi politik di Indonesia. Teori Ketergantungan dikembangkan pada akhir 1950an di bawah bimbingan Direktur Komisi Ekonomi PBB untuk Amerika Latin, Raul Prebisch. Prebisch dan rekan-rekannya tidak puas oleh fakta bahwa pertumbuhan ekonomi di negara-negara industri maju tidak selalu mengarah pada pertumbuhan di negara-negara miskin. Memang, studi mereka menunjukkan bahwa kegiatan ekonomi di negara-negara kaya sering menyebabkan masalah ekonomi yang serius di negara-negara miskin. Kemungkinan seperti itu tidak diprediksi oleh teori neoklasik, yang berasumsi bahwa pertumbuhan ekonomi bermanfaat bagi semua (Pareto optimal) bahkan jika manfaat tidak selalu ditanggung bersama. Lihat: Vincent Ferraro, “Dependency Theory: An Introduction”, diakses dari http://marriottschool.net/emp/WPW/pdf/class/Class_6-The_Dependency_Perspective.pdf, diakses di Surakarta, 24 Juni 2013. Rex Mortimer, 1973, Showcase State: The Illusion of Indonesia’s Accelarated Modernization, Angus and Roberson. 1210 1211 Ulasan mengenai karya Feith, lihat: Jemma Purdey, 2011, From Vienna to Yogyakarta: the Life of Herb Feith, Sidney, The New South Wales University Press. 1212 Richard Robinson, 2012, Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia, Jalarta, Penerbit Komunitas Bambu. Buku ini terbit pertama kali tahun 1986 dengan judul Indonesia: The Rise of Capital, akan tetapi kemudian dibredel dan dilarang beredar di Indonesia mengingat salah satu isinya menyinggung keterlibat penguasa dalam praktik ekonomi politik saat itu. 1213 Yoshira Kunio, 1990, Kapitalisme Semu Asia Tenggara (diterjemahkan oleh A. Setiawan Abadi), Jakarta, LP3ES. 1214 Yahya Muhaimin, 1993, Bisnis dan Politik: Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980, Jakarta, LP3ES. Mochtar Mas’oed, 1989, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971, Jakarta, Penerbit LP3ES. 1215 1216 Menurut pengakuan Soeharto, ketika terjadi konflik politik 1966, ia sebenarnya didorong oleh banyak orang untuk maju ke depan. Dikatakan oleh Soeharto,”Saya sebenarnya didorong-dorong di tengah suasaan konflik politik untuk tampil ke depan. Ada politisi yang tidak sabar akan perubahan dan pergantiancommit pimpinan. Sampai-sampai mengusulkan supaya saya to user mengoper begitu saja kekuasaan negara.” Lihat: Soeharto, op.cit., hlm. 185. perpustakaan.uns.ac.id 432 digilib.uns.ac.id negara dan ideologi.1217 Untuk membedakan dari warisan politik1218 dan ekonomi era Soekarno1219, pemerintah baru dibentuk untuk melakukan prioritas sebagai berikut: (i) untuk menjaga stabilitas politik melalui menyelesaikan pemulihan ketertiban dan keamanan melalui skema stabilitas otorkratis1220; dan (ii) untuk melakukan rehabilitasi ekonomi melalui kebijakan yang pragmatis1221, dan (iii) untuk mempersiapkan rencana pembangunan nasional;1222 dan (iv) menjalankan pemerintahan 1217 Komitmen ini terus menerus menjadi bagian dari teks resmi Soeharto dalam Pidato Kenegaraan. Pentingnya Pancasila di dalam ikon ideologi Orde Baru disajikan dalam teks diantaranya degan memberikan latar historis di masa lampau dan diantara latar historis yang terus menerus diintroduksi adalah peristiwa G-30-S. Latar historis ini merupakan pintu masuk bagi Soeharto untuk menekankan kepada khalayak agar peristiwa kelam itu tidak terulang. Dikatakan oleh Soeharto dalam salah satu pidato kenegaraannya:”Pemberontakan PKI pada akhir tahun 1965 merupakan tragedi nasional dan meninggalkan luka-luka yang dalam dan lama pada tubuh bangsa kita. Itulah sebabnya, secara konstitusional PKI dengan ideologi yang mendukungnya kita larang buat selama-lamanya di bumi Indonesia….Sebagai bangsa kita menyimpulkan bahwa semuanya tadi terjadi karena kita tidak setia dan menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945. Itulah sebabnya Orde Baru bertekad untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.” Lihat: Eriyanto, op.cit., hlm. 105. 1218 Sampai saat itu Sukarno merupakan satu-satunya pemimpin nasional yang paling terkemuka selama dua dasawarsa lebih, yaitu dari sejak ia bersama pemimpin nasional lain, Mohammad Hatta, pada 1945 mengumumkan kemerdekaan Indonesia. Ia satu-satunya presiden negara-bangsa baru itu. Dengan kharisma, kefasihan lidah, dan patriotismenya yang menggelora, ia tetap sangat populer di tengah-tengah semua kekacauan politik dan salah urus perekonomian pascakemerdekaan. Sampai 1965 kedudukannya sebagai presiden tidak tergoyahkan. LIhat: John Roosa, op.cit., hlm 4. 1219 Sewaktu Orde Soekarno runtuh, negara berada dalam situasi ekonomi yang sangat gawat. Dengan Produyk Domestik Bruto (PDB) per kapita sekitar US$ 300 Indonesia pada waktu itu, dikenal sebagai “a chronic dropout” (negeri yang gagal terus menerus). Inflasi mencapai 3 digit pada periode 1962-1966, pabrik-pabrik beroperasi hanya dengan kapasitas sekitar 20%, sementara utang dan defisit negara meroket. Lebih dari itu, saaat produksi beras tidak bertambah dalam 5 tahun, jumlah penduduk meningkat 10 juta. Lihat: Rizal Mallarangeng, 2002, Mendobrak Sentralisme Rezim, Jakarta, Kepustakaan Populer Gramedia dan Freedom Institute, hlm. 47. Mengenai penjelasan istilah “stabilitas otokratis” lihat: Dennis C. Pirages, 1982, Stabilitas Politik dan Pengelolaan Konflik, terjemahan Zulkarnain Nasution, Jakarta, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Indonesia, hlm. 16. 1220 1221 Upaya awal yang dilakukan oleh Orde Baru adalah pembenahan keuangan negara. Dalam tahun 1950-an, anggaran negara mengalami defisit 10-30% dan tahun 1960-an melonjak menjadi 100%. Sedangkan pada tahun 1965 defisit membumbung tinggi menjadi 300%. Pemerintah kemudian mengambil langkah penghematan dalam semua aspek pemerintahan, memperbaiki sistem pengelolaan dan pengawasan keuangan, serta meninjau dan memperbaiki sistem perpajakan. Lihat: Yahya Muhaimin, op.cit., hlm. 51-52. 1222 Perencanaan pembangunan ini kelak menjadi ciri penting dari sistem politik Orde Baru dengan formulasi strategi yang bercorak teknokratis dan birokratis. Yaitu pembangunan yang commit to userteknis dan rasional, serta didukung oleh mendasarkan diri pada peranan keahlian, pertimbangan maksimalisasi peran birokrasi negara. Ciri ini dapat dikonfirmasi pada karya-karya Ali Moertopo, perpustakaan.uns.ac.id 433 digilib.uns.ac.id dengan penekanan pada pembangunan ekonomi yang mengarah pada model liberal.1223 Dengan komitmen ini, pemerintah Soeharto berhasil mendapatkan dukungan asing dalam bentuk konsorsium negara-negara kreditor, yang disebut Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), yang mencakup Amerika Serikat, Kanada, Australia, Selandia Baru, Jepang, Inggris , dan sejumlah Eropa Barat lainnya, yang dipimpin oleh Belanda1224, termasuk dalam masalah pengelolaan hutang luar negeri.1225 Dalam rangka membangun masyarakat yang adil-dan-adil-makmur dalam material dan spiritual berdasarkan Pancasila,1226 MPR menetapkan GBHN sebagai pola sistematis Pembangunan Nasional. Pemerintah Orde Baru berusaha untuk melaksanakan Trilogi Pembangunan: pertumbuhan ekonomi, pemerataan ekonomi, dan stabilitas politik (pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas).1227 Berdasarkan premis dasar bahwa esensi seorang perwira yang dekat dengan Soeharto dan kemudian menjadi Wakil Kepala Badan Intelijen (1971-1978), Menteri Penerangan (1978-1983), dan Wakil Ketua DPA (1983-1984). Lihat: Ali Moertopo, 1972, Dasar-Dasar Pemikiran tentang Akselesari Pembangunan 25 Tahun, Jakarta, Penerbit CSIS; Ali Moertopo, 1974, Strategi Politik Nasional, Jakarta, Penerbit CSIS, dan Ali Moertopo, 1974, Pembinaan Hukum dalam Masa Pembangunan, Yogyakarta, Penerbit Fakultas Hukum UGM. 1223 Prioritas ini nampaknya sejalan dengan tesis Belger yang kemudian berkembang pada dekade 1990-an, yaitu pembangunan kapitalisme dengan ciri liberalnya lebih manjur dibandingkan pembangunan bercorak sosialis. Lihat: Peter L. Berger, 1990, Revolusi Kapitalis, terjemahan Mohamd Oemar, Jakarta, Penerbit LP3ES. 1224 Muhamad Ali, op.cit., hlm. 8. 1225 Orde Baru mewarisi hutang luar negeri yang besar dan ini mengandung persoalan politik sekaligus ekonomi. Persoalan politik mengingat bahwa hutang periode pemerintahan sebelumnya sebagian besar berasal dari negara Blok Timur, utamanya Uni Soviet, yang memang memberikan persyaratan yang lebih lunak dibandingkan dengan Barat dan negara-negara tersebut “dianggap terlibat” peristiwa G 30 S. Lihat: Marshal Green, 1992, Dari Sukarno ke Soeharto, G 30 S/PKI dari Kacamata Seorang Duta Besar, Jakarta, Penerbit Grafiti Press, hlm. 117-118. Mengenai rincian jumlah hutang luar negeri sampai 31 Desember 1965, periksa: Mochtar Mas’ed, op.cit., hlm. 233. Frase “masyarakat yang adil-dan-adil-makmur dalam material dan spiritual berdasarkan Pancasila” merupakan salah satu kata-kata mistik yang selalu muncul dalam logika politik Orde Baru, bersama-sama dengan kata: (i) persatuan dan kesatuan; (ii)pembangunan; (iii) kemanunggalan ABRI dan Rakyat; (iv) stabilitas dan keamanan nasional; (v) kepribadian bangsa; (vi) gaya hidup sederhana; (vii) konstitusional; dan (viii) swasembada pangan. Lihat: Zeffry Alkatri, “The Words of Magic During Soeharto’s Indonesian New Order Military Era 1980-1997”, Asian Journal of Social Sciences and Humanities, Vol. 2, No. 1, 2013, hlm. 185-190. 1226 Radius Prawiro, 1998, Indonesia’s commit to userStruggle for Economic Development: Pragmatism in Action, Kuala Lumpur, Oxford University Press, hlm. 61. 1227 perpustakaan.uns.ac.id 434 digilib.uns.ac.id Pembangunan Nasional adalah pembangunan manusia seutuhnya di segala aspek kehidupan dan pembangunan seluruh masyarakat1228, oleh karena itu dasar untuk pelaksanaan Pembangunan Nasional adalah Pancasila dan UUD 1945.1229 Orde Baru mengaku mendukung sistem ekonomi Pancasila, bukan sistem kapitalis atau sosialis. Ekonomi Pancasila, menurut ekonom Indonesia Mubyarto, terinspirasi oleh nilai-nilai Pancasila seperti aksi kolektif berdasarkan kebersamaan (kekeluargaan) dan solidaritas nasional. Dengan kata lain, ekonomi Pancasila seharusnya lebih berhubungan dengan keadilan sosial daripada akumulasi modal oleh minoritas.1230 Namun, meskipun mengambil jarak dari sosialisme dan kapitalisme dalam hal ideologi, Orde Baru merekrut ekonom neo-klasik kebanyakan lulus dari universitas Amerika, terutama University of California, Berkeley.1231 Sejak saat itulah dimulai era teknokrasi di 1228 Strategi ini pada kenyataannya memiliki kemiripan yang signifikan terhadap apa yang disebut Politik Etis pemerintah kolonial Belanda di Indonesia pada awal abad ke-20. Kebijakan ini merupakan pemulihan yang luar biasa dari kebijakan eksploitatif dari abad ke-19 dan sebelumnya dan sebagai upaya berkelanjutan pertama di dunia untuk merancang serangkaian kebijakan guna pembangunan ekonomi di daerah tropis. Program ini, dalam banyak kajian dianggap mengalami kegagalan, sebagian karena karakter eksperimental, sebagian karena dana yang terlalu terbatas untuk menindaklanjuti tujuan ambisius kebijakan, dan sebagian karena Belanda terlalu cepat kecewa dengan hasil-hasilnya. Pada 1930 an, strategi pembangunan ekonomi sebagian besar telah lenyap dari agenda politik kolonial, dan ketika mereka muncul kembali di Indonesia pada akhir tahun 1960, mereka datang dari para pemikir di bagian dunia lain. Dalam hal bahwa Orde Baru tidak lebih keturunan langsung dari tatanan kolonial Belanda daripada yang salah satu negara berkembang yang menerapkan model yang direkomendasikan oleh Rostow dan lain-lain. Lihat: Robert Cribb, “The Historical Roots of Indonesia’s New Order: Beyond The Colonial Comparison”, dalam Edward Aspinall dan Greg Fealy (Editors), 2009, Soeharto’s New Order and Its Legacy: Essays in Honour of Harold Crouch, Canberra, Griffin Press, hlm. 77. 1229 Ibid. 1230 Mubyarto, 1987, Ekonomi Pancasila: Gagasan dan Kemungkinan, Jakarta, LP3ES, hlm. 5. 1231 Para ekonom tersebut adalah Prof.Dr.Wijoyo Nitisastro (Menteri Negara Ekonomi Keuangan Industri/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 1966-1983); Prof.Dr.Ali Wardhana (Menteri Keuangan, 1968-1983, Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri, 1983-1988), Prof.Dr.Ir.Moch.Sadli (Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, 19661973, Menteri Pertambangan dan Energi, 1973-1983), Prof. Dr.Emil Salim (Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, 1971-1973, Menteri Perhubungan, 1973-1978, Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan HIdup, 1978-1983, dan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, 1983-1993), Prof.Dr.Subroto (Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Koperasi, 1973-1983, Menteri Pertambangan dan Energi, 1983-1988), dan commit to user Aparatur Negara, 1973-1983, Menteri Prof. Dr. J.B. Sumarlin (Menteri Negara Pendayagunaan Negara Perencanaan Pembangunan Nasional, 1983-1988, Menteri Keuangan, 1988-1993, dan perpustakaan.uns.ac.id 435 digilib.uns.ac.id Indonesia. Pada tahun-tahun awal Orde Baru, tidak banyak orang Indonesia yang memiliki keahlian teknis untuk merumuskan dan mengelola kebijakan ekonomi makro dan untuk berkomunikasi dengan rekan-rekan mereka di negara-negara lain yang menggunakan teknis lingua franca dipekerjakan oleh pemerintah asing seperti Amerika Serikat, Jepang, dan negara-negara Eropa Barat, serta badan-badan internasional seperti IMF1232, Bank Dunia, dan ADB.1233 Pada saat yang sama, jumlah Ketua Badan Pemeriksa Keuangan, 1993-1998). Di samping para alumni Barkeley tersebut, Soeharto juga merekrut ekonom terkemuka yang pernah terlibat pemberontakan PRRI, Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo (Menteri Perdagangan, 1966-1973, dan Menteri Negara Urusan Riset, 1973-1978). Adapula teknokrat liberal hasil didikan Belanda seperti Drs. Radius Prawiro (Gubernur Bank Indonesia, 1968-1973, Menteri Perdagangan dan Koperasi, 1973-1983, Menteri Keuangan, 1983-1988, dan Menteri Negara Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Pengawasan Pembangunan (1988-1993) dan Drs. Frans Seda (Menteri Keuangan, 1966-1971, dan Menteri Perhubungan, 1971-1973). Ada pula nama lain yang dapat dikatakan sebagai teknokrat generasi kedua seperti: Saleh Afif, lulusan UI, yang memperoleh gelar Ph.D. dari University of Oregon dan memulai karirnya sebagai Menteri Negara Aparatur Negara dan Wakil Ketua Badan Perencanaan Pembanguna Nasional (1983-1988), kemudian Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional dan Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (1988-1993) dan akhirnya Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Pengawasan Pembangunan (1993-1998). Kemudian, Soedradjat Djiwandono, Gubernur BI (1993-1998), adalah lulusan UGM (1963) dan memiliki Ph.D. dari Universitas Boston (1980). Menikah dengan putri Sumitro Djojohadikusumo, pendiri Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, ia bergabung dengan Departemen Keuangan (Depkeu) sebagai anggota staf Direktur Jenderal untuk Urusan Moneter pada tahun 1964, dan naik menjadi Menteri Muda Perdagangan (1988-1993) di bawah Arifin Siregar, dan kemudian Gubernur BI pada tahun 1993. 1232 Hubungan Indonesia dengan IMF tanggal pada 1966. Setelah menggulingkan pendahulunya dalam, Soeharto mewarisi perekonomian dalam kekacauan, terganggu oleh hiperinflasi dan terputus dari pembiayaan internasional. Pada Desember 1966, pemerintahan negara kreditur Indonesia menyetujui untuk menjadwal ulang pembayaran hutang, dan pemerintah baru berkomitmen untuk mengurangi antara lain hambatan perdagangan dan investasi asing. Langkah-langkah tersebut dipantau dan dibantu oleh IMF, yang merancang rencana stabilisasi ekonomi makro. Pengalaman tersebut kemudian memulihkan hubungan Indonesia dengan lembaga-lembaga Bretton Woods, jaring yang telah dipotong setelah kedekatan Soekarno dengan Moskow dan setelah deklarasi yang terkenal kepada donor Barat: "Pergilah ke neraka dengan bantuan Anda" (Go to Hell with Your Aid). Pada bulan Februari tahun 1967, Indonesia secara resmi kembali bergabung keanggotaan IMF. Lihat: Leonardo Martinez-Dias, “Indonesia Pathway Trough Financial Crisis”, GEG Working Paper, Juni 2006, hlm. 7. 1233 Pemerintah Orde Baru pada tahun 1966/1967 melalui berbagai pernyataan publik yang banyak dilontarkan pada waktu itu mengumumkan bahwa selain reformasi anggaran dan sektor perbankan, pembangunan bangsa akan dilaksanakan dengan memanfaatkan bantuan modal, baik domestik maupun asing. Kaum pengusaha, sekalipun berasal dari luar negeri, tidak lagi dianggap sebagai musuh besar dan kaki tangan imperalisme. Sebaliknya, merka dipandang sebagai prasyarat yang dibutuhkan untuk membangun bangsa Indonesia sehingga harus didorong dan dikembangkan. Dengan gagasan seperti itu, tidaklah mengherankan bila salah satu langkah Pemerintah Soeharto yang paling awal adalah mengirim kawat kepada lembaga-lembaga commit to user internasional seperti IMF dan Bank Dunia berisi pesan bahwa Indonesia ingin memperbarui keanggotannya. Lihat: Rizal Mallarangeng, op.cit., hlm. 49-50. perpustakaan.uns.ac.id 436 digilib.uns.ac.id mereka yang sedikit dan hubungan pribadi yang dekat satu sama lain terpisah dari sebagian besar birokrasi Indonesia.1234 Sementara teknokrat ini bisa memiliki dampak yang signifikan terhadap kebijakan ekonomi yang luas, di atas semua kebijakan moneter dan alokasi utama sumber daya, mereka memiliki pengaruh yang relatif kecil terhadap atau kontrol atas proses politik dan birokrasi yang memungkinkan implementasi kebijakan kontrak, lisensi, promosi, hadiah, dan rincian mikroekonomi lainnya.1235 Tetapi semua teknokrat menikmati kepercayaan Soeharto dan terbukti efektif dalam menyusun kebijakan ekonomi selama ia mendukung mereka.1236 Tetapi mereka hanya mewakili satu aliran pemikiran pada pembangunan ekonomi Indonesia. Faktanya, ada 2 aliran pemikiran. Para teknokrat yang semua ekonom UI dan Gadjah Mada dan Widjojo1237 dianggap sebagai pemimpin mereka-merupakan aliran pemikiran yang pertama, yang berpegang pada doktrin perdagangan bebas berdasarkan ekonomi pasar, dan menganjurkan membatasi intervensi negara dalam pasar untuk minimum dan menjamin sebanyak mungkin kegiatan ekonomi bebas dari sektor swasta. Mereka juga mengemuka dengan gagasan 1234 Terdapat faktor lain sebagai penjelas hal ini. Para teknokrat membawahi aparatur negara yang sangat besar yang merupakan agen terpenting dalam eplaksanaan kebijakan. Selain itu kedudukan baru mereka juga mengisyaratkan bahwa Soeharto yang secara bertahap berhasil mengkonsolidasikan kekuasaan politiknya pada awal dan pertengahan 1970-an, sudah semakin percaya pada kuam teknokrat. Takashi Shiraishi, “Technocracy in Indonesia: A Preliminary Analysis”, RIETI Discussion Paper Series 05-E -008, Maret 2006, hlm. 12. 1235 1236 Seorang wartawan kiri Amerika Serikat. David Ransom, pada 1970 menyebut Wijoyo dan kelompoknya dengan julukan “Mafia Berkeley.” Istilah ini kemudian menjadi sangat populer dan sering digunakan untuk mengkritik Widjojo dan ekonom lainnya. Lihat: Rizal Mallarangeng, op.cit., hlm. 48. 1237 Sebagai konseptor dan arsitek utama pembangunan ekonomi Indonesia 1966-1997, Widjojo leluasa menempatkan kolega dan kadernya untuk menduduki posisi penting di berbagai kementrian. Emil Salim, Sumarlin, Saleh Afiff, diorbitkan ke posisi menteri setelah “magang” di Bappenas. Demikian pula generasi ekonom yang lebih muda, mendaki ke posisi empuk di pemerintahan setelah berkarier di Bappenas. Mereka, antara lain, Adrianus Mooy (Gubernur BI, 1983-1988), B. S. Moelyana (Menteri Muda Perencanaan Pembanguna Nasional, 1988-1993), Sudradjad Djiwandono (Menteri Muda Perdagangan, 1988-1993; Gubernur BI, 1993-1998), dan Boediono. Kebijakan makro ekonomi yang diusung Mafia Berkeley adalah pengendalian laju inflasi lewat kebijakan fiskal dan moneter yang ketat, liberalisasi sektor keuangan – dikenal dengan istilah deregulasi dan debirokratisasi padatotahun commit user1980-an, liberalisasi sektor industri dan perdagangan, dan privatisasi alias penjualan aset milik negara. perpustakaan.uns.ac.id 437 digilib.uns.ac.id "keunggulan komparatif" suatu negara untuk pembangunan ekonomi. Yang lainnya, aliran pemikiran yang berlawanan terutama diwakili oleh para insinyur, mayoritas lulusan ITB, yang percaya terhadap kebijakan industri dan menjunjung nasionalisme ekonomi yang dipimpin oleh negara, dengan alasan bahwa negara harus secara aktif campur tangan untuk meningkatkan pertumbuhan jangka panjang industri dalam negeri, jika diperlukan perisai industri dalam negeri dari persaingan luar. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) merupakan bentuk fisik dari kubu teknokrat pasar bebas baik formal maupun informal dianggap dipimpin oleh Widjojo1238, sedangkan aliran nasionalis diwakili oleh pejabat tinggi seperti BJ Habibie, yang menjabat sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, BPPT) 1978-1998, Ginandjar Kartasasmita yang menjabat sebagai Menteri Muda Urusan Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri (19831988)1239, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (Badan Koordinasi 1238 Sedemikian penting peran dan fungsi Bappenas ini dalam strategi pembangunan nasional, maka sekalipun dirintis oleh Soekarno pada tahun 1963 dan dipimpin oleh seorang dokter, Soeharto, akan tetapi rintisan itu benar-benar terwujud setelah kepemimpinan Soeharto. Sejak 1966-1973, Widjojo Nitisastro dipercaya sebagai Kepala Bappenas dan diberikan titel menteri negara. Seterusnya, 1973-1983, posisi Wijoyo Nitisastro dipertahankan dengan rangkap jabatan sebagai Menteri Negara Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri. Sesudah Widjojo tidak lagi berkiprah dalam pemerintahan—sekalipun tetap ditunjuk sebagai Penasehat Ekonomi Soeharto hingga pengunduran dirinya—J.B. Sumarlin mengambilalih untuk memimpin badan ini dengan posisi sebagai Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional (1983-1988), dilanjutkan oleh Saleh Afif (1988-1983), dan era teknokrasi ekonom berakhir saat Ginandjar Kartasasmita—perwira Angkatan Udara yang aktif di birokrasi dan merupakan insinyur nasionalis—menjadi Kepala Bappenas. Bahkan dalam kabinet terakhir Soeharto, Ginandjar dipertahankan posisinya dengan mengikuti presden Widjojo Nitisastro (merangkap sebagai Menteri Negara Koordinator Ekonomi Keuangan dan Industri). Masa pemerintahan Habibie yang singkat, memisahkan jabatan Kepala Bappenas dari posisi Menteri Koordinator, dan menunjuk Boediono sebagai pemimpin badan ini dengan titel Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional. Presiden Abdurrahman Wahid menolak menempatkan Bappenas sebagai lembaga supra kabinet dan menghapus jabatan menteri untuk memimpin badan ini, tetapi keberadaannya sebagai lembaga eksekutif di bawah Presiden dengan Djunaidi Hadisoemarto sebagai Kepala Bappenas. Untuk memberikan tempat bagi kader yang dianggap loyal, Presiden Megawati kemudian menunjuk Kwik Kian Gie sebagai Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, akan tetapi tidak di bawah kaukus Menteri Koordinator Perekonomian, melainkan langsung di bawah Presiden. Posisi ini dipertahankan oleh Susilo Bambang Yudhoyono dalam satu dasawarsa terakhir kepresidenannya dengan menempatkan Sri Mulyani Indrawati (2004-2005), Paskah Suzetta (2005-2009), dan Armaida Alisyahbana (2009-2014). commit to user Dengan berdalih ketentuan Pasal 17 UUD 1945, Soeharto menafsirkan ketentuan itu sebagai hak eksklusif Presiden untuk mengangkat seorang menteri, termasuk menentukan 1239 438 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Penanaman Modal , BKPM) (1985-1988), dan Menteri Pertambangan dan Energi (1988-1993), Hartarto, Menteri Perindustrian (1988-1993), dan Tunky Ariwibowo, Menteri Perindustrian dan Perdagangan (19951997).1240 Orde Baru mengklaim bahwa sistem ekonomi bukanlah kapitalisme maupun sosialisme.1241 Sebaliknya, banyak pejabat dan pemimpin suka menggunakan ekonomi Pancasila. Namun, bagi banyak pengamat, Orde Baru justru mengadopsi sistem kapitalis—sekalipun sejak lama diingatkan bahayanya sistem ini dikaitkan dengan tujuan UUD 19451242--karena kebijakan dan strategi yang sebagian besar didasarkan pada konsep dan institusi Barat. Nasionalisme Indonesia mempengaruhi cara di mana Orde Baru melihat konsep dan strategi asing.1243 Hal ini, lepas dari bentuk persaingan antara kelompok teknokrat dan para insinyur pembentukan, penghapusan, penggabungan dari organisasi kementerian. Jabatan menteri muda diperkenalkan Soeharto sejak Kabinet Pembangunan III (1978-1983) yang dimaksudkan sebagai unit birokrasi yang melaksanakan program-program tertentu yang menjadi prioritas pemerintah akan tetapi pengambilan keputusan melekat kepada kementerian yang berbentuk departemen. Pembentukan jabatan tersebut terus berlangsung dalam Kabinet Pembangunan IV (1983-1988) dan Kabinet Pembangunan V (1988-1993), akan tetapi dihapus dalam Kabinet Pembangunan VI (1993-1998) dan Kabinet Pembangunan VII (1998). Di masa kepresidenan Abdurrahman Wahid jabatan ini kembali diperkenalkan akan tetapi hanya bertahan 1 tahun (2000) dan sejak Presiden Megawati dan kini Susilo Bambang Yudhoyono, jabatan itu tidak diteruskan kembali. Sejak 2008, Yudhoyono memberlakukan UU Kementerian Negara, yang kemudian mengizinkan beberapa kementerian tertentu mempunyai Wakil Menteri, yang kemudian menimbulkan kontroversi sampai akhirnya MK memutuskan jabatan ini adalah hak eksklusif Presiden. 1240 Takashi Siraishi, op.cit., hlm. 17-18. 1241 Menghindari ideologi-ideologi asing yang dirasakan kapitalisme dan sosialisme, Soeharto memberi nama kabinet dengan Kabinet Pembangunan (Kabinet Pembangunan): 1968-73, 1973-78,1978-83, 1983-1988, 1988-1993, 1993-1998, dan 1998 serta menyebut pemerintahannya sebagai Orde Pembangunan. Sepanjang masa jabatannya, Soeharto menekankan Trilogi Pembangunan. Pembangunan ekonomi harus mencegah 3 fenomena: a) free fight liberalism yang tumbuh eksploitasi atas bangsa-bangsa lain, b) Etatism di mana negara dan perangkatnya menjadi dominan dan represif terhadap pribadi sektor ekonomi, dan c) pemusatan kekuatan ekonomi di tangan minoritas pada bentuk monopoli yang berbahaya bagi rakyat. Lihat: Tjahyadi Nugroho, 1984, Soeharto Bapak Pembangunan Bangsa , Semarang: Penerbit Yayasan Telapak, hlm. 258. 1242 Sudah sejak 1934 M. Hatta menyatakan bahaya pasar bebas Adam Smith yang akan memperbesar yang kuat dan menghancurkan yang lemah. Terdapat pula sederetan kaum strukturalis di Indonesia yang memahami betul bahwa mekanisme pasar besar yang bertentangan dengan cita-cita kemerdekaan Indonesia, terutama Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 33 serta pasal-pasal pendukungnya yaitu Pasal 18, Pasal 23, dan Pasal 34 UUD 1945. Lihat: Sri-Edi Swasono, “Koperasi dan UUD Borjuis”, Kompas, 12 Juli 2013, hlm. 5. 1243 commit to user Dumairy, 1997, Perekonomian Indonesia, Jakarta: Penerbit Airlangga, hlm.35. 439 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id nasionalis, tampak antara lain dari kontrol negara terhadap sejumlah aktivitas perdagangan dan perindustrian. Pada tahun 1982, guna mengatasi keterancaman ekonomi Indonesia akibat jatuhnya harga minya di pasar internasional1244, sebuah "approved traders" diperkenalkan. Sistem ini menetapkan daftar kategori bahan baku, komponen, dan produk yang dapat diimpor hanya oleh lembaga tertentu. Pada tahun 1965 perekonomian Indonesia amburadul. Ekonomi mengalami stagnasi sejak kemerdekaan. Antara tahun 1960 dan 1965 PDB riil per kapita di Indonesia begitu rendah karena hanya sekitar 10%. Pada tahun 1965 inflasi sangat tinggi (229%). Investasi domestik bruto hanya 6,5% dari PDB dan mengalami penurunan. Posisi eksternal Indonesia dengan cepat memburuk dalam menghadapi pelarian modal yang merajalela, sementara suku cadang, bahan baku dan makanan yang dalam pasokan rendah dan makanan yang dalam pasokan rendah.1245 Produksi yang menguntungkan telah berhenti semua.1246 Setelah program stabilisasi makroekonomi berhasil dilaksanakan oleh para teknokrat ekonomi dalam pemerintahan Soeharto yang baru, inflasi melambat, investasi naik, dan pertumbuhan berkembang baik. Antara tahun 1966 hingga 1997, PDB riil 1244 Pada 1980-an, perekonomian dihadapkan dengan berbagai masalah. Melemah harga minyak pada awal tahun 1980 secara signifikan mengurangi pendapatan ekspor dan pendapatan anggaran. Penurunan signifikan harga minyak sangat mempengaruhi neraca pembayaran Indonesia. Selama tahun 1980 -1985 ekonomi tumbuh sebesar 3,7% pa, yang jauh lebih lambat dari 7,5% selama periode 1975-1980. Sebagai respon terhadap situasi ini, pemerintah Indonesia melakukan beberapa program penyesuaian untuk meningkatkan efisiensi ekonomi, mengubah rezim perdagangan untuk menjadi lebih outward looking, dan memberikan prioritas tinggi untuk mengembangkan ekspor non-minyak dan gas. Tidak kurang dari 24 paket reformasi ekonomi yang diperkenalkan dari 1983 sampai 1995, bertujuan untuk meningkatkan efisiensi ekonomi dan mendorong investasi serta ekspor non-minyak. Seiring dengan perubahan orientasi ini, pemerintah mengubahnya kebijakan investasi dari salah satu kontrol ke salah satu promosi. Selain itu, berbagai reformasi perdagangan dan rezim kebijakan industri diperkenalkan untuk meningkatkan perdagangan. Rezim perdagangan Indonesia sebelum pertengahan 1980-an relatif terproteksi. Namun, dari Tahun 1985, ketika reformasi perdagangan telah dimulai, tingkat proteksi tersebut menurun dan Indonesia memasuki era orientasi ekspor. Lihat: Hadi Soesastro dan M. Chatib Basri, “The Political Economy of Trade Policy in Indonesia”, CSIS Working Paper Series, Maret 2005, hlm. 1. 1245 J.A. Winters, 1996, Power in Motion: Capital Mobility and the Indonesian State, Ithaca: Cornell University Press, hlm. 47. 1246 Ibid. commit to user perpustakaan.uns.ac.id 440 digilib.uns.ac.id per kapita tumbuh 5,03% per tahun. Pada tahun 1997 PDB riil per kapita tersebut kira-kira sama dengan yang di India dan China pada tahun 1966 ($ 960 di India, $ 815 di China dan $ 804 di Indonesia), adalah telah tumbuh 1,6 kali India ($ 4114 vs $ 2360) dan 1,3 kali cepat dari China ($ 3.058). Pertumbuhan yang cepat bergandengan tangan dengan diversifikasi besar produksi, tenaga kerja, dan ekspor. Dalam produksi, tenaga kerja dan ekspor terkonsentrasi di sejumlah kecil produk pertanian (beras, kopi, minyak sawit, dan gula)1247 dan sumber daya alam (minyak).1248 Manufaktur kurang dari 10% dari PDB dan ekspor diproduksi yang tidak ada. Pada tahun 1996, manufaktur meningkat menjadi lebih dari 25% dari 1247 Dalam sejarah modern, pertanian Indonesia telah mengalami pasang dan surut sepanjang proses transformasi struktural dalam perekonomian. Setelah berhasil melewati fase stagnasi awal selama rezim Soekarno pada pertengahan 1960-an, pertanian telah memainkan peran penting dalam transformasi struktural dan dilakukan cukup baik selama paruh pertama pemerintahan Soeharto (1967-1986). Indonesia memiliki mengadopsi kebijakan afirmatif yang mendukung sektor pertanian, khususnya yang berasal dari sumber-sumber pendapatan pemerintah di sektor minyak sejak 1970-an. Namun, selama periode kedua pemerintahan Soeharto (19861998), ketika bias perhatian memiliki bergeser lebih ke sektor industri, kinerja sektor pertanian menurun signifikan. Tingkat pertumbuhan yang lambat di sektor pertanian terjadi pada saat yang sama ketika sektor pertanian mengalami penurunan pangsa dalam perekonomian nasional, menciptakan kesulitan dalam mengembalikan tingkat pertumbuhan. Lihat: Bustanul Arifin, “Decomposing the Performance of Indonesian Agriculture”, dalam http://barifin.files.wordpress.com/2012/12/2004-arifin-decomposing-agricultural-growth.pdf, diakses di Surakarta, 29 Juni 2013. 1248 Ekspor minyak (termasuk juga gas alam) berpengaruh besar terhadap kinerja perekonomian Indonesia untuk sebagian besar periode 1960-2007. Ekspor minyak menyumbang lebih dari 50% total ekspor barang pada periode 1972-1986, dan penerimaan negara dari industri minyak menyumbang proporsi yang signifikan dari yaitu 28% pada tahun 1970, 58% pada tahun 1975, 69% pada tahun 1980, 58% pada tahun 1985 dan 34% pada tahun 1990. Produksi minyak mulai terus menurun mulai tahun 1997, dan dikombinasikan dengan meningkatnya konsumsi migas dalam negeri, Indonesia menjadi pengimpor minyak bersih dari tahun 2004 dan seterusnya. Pada tahun 1980, Nigeria melebihi Indonesia dalam tingkat ketergantungan pendapatan ekspor dan (potensial) penerimaan negara terhadap industri minyak. Ekspor minyak dibandingkan keseluruhan ekspor untuk Nigeria dan Indonesia adalah masing0masing adalah 91,4% dan 81,1%, dan rasio ekspor minyak terhadap penerimaan negara adalah 111,5% dan 107,1%, masing-masing. Pada tahun 1980, pendapatan ekspor minyak China menyumbang porsi yang signifikan dari pendapatan ekspor (21,4%) tetapi tidak untuk potensi pendapatan negara (5,3%). Malaysia secara signifikan tergantung pada industri minyak pada tahun 1980, ekspor minyaknya adalah 50,3% dari total ekspor dan 30,4% dari potensi penerimaan negara. Malaysia tentu saja lebih kecil dalam populasi dan daratan dibandingkan dengan Indonesia, Meksiko dan Nigeria dan karenanya menghadapi beban administrasi yang minimal (demikian pula untuk tingkat permasalahan sosial) dalam pengelolaan ekonomi daripada ketiga pengekspor minyak lainnya. Lihat: Wing Thye Woo,” Indonesia’s Economic Performance in Comparative Perspective, and a New Policy Framework for 2049”, Paper for Central University of commit Finance and Economics, Beijing, 1 Januari 2010, hlm. 3 to user dan 5. 441 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id PDB sebagai nilai tambah diproduksi riil yang meningkat lebih dari 12 kali dari $ 4,4 milyar dolar dengan $ 57,3 miliar.1249 Pada 1993, ekspor manufaktur mencapai 21 miliar dolar dari 53% dari total ekspor. Akibatnya, pangsa manufaktur di PDB dan pangsa ekspor manufaktur dalam total ekspor secara substansial lebih tinggi dari yang diharapkan dan indeks konsentrasi ekspor secara substansial lebih rendah daripada yang diharapkan untuk sebuah negara dengan ketersediaan sumber daya dan tingkat pertumbuhan seperti Indonesia.1250 Hasil dari upaya pembangunan sebagian besar mengesankan bagi Indonesia dan masyarakat internasional. Secara umum, peningkatan kesejahteraan rakyat telah terwujud: jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan menurun dari 60,0% atau 70 juta dari total penduduk pada tahun 1970 menjadi, dari 40,1% dari total penduduk pada tahun 1976 menjadi sekitar 26,9% pada 1981, dan kemudian turun menjadi sekitar 16,4% pada tahun 1987, dan kemudian menurun lagi menjadi 13,7% atau 25,9 juta pada tahun 1993. Tingkat tahunan rata-rata selama pertumbuhan jangka panjang adalah antara 5% sampai 7% dalam dua dekade terakhir, sebelum krisis moneter Asia yang dimulai pada tahun 1997.1251 Mengingat kinerja perekonomian Indonesia sebelum Orde Baru dan kinerja pembangunan atas beberapa negara-negara berkembang lainnya antara tahun 1966 dan 1997, kinerja pembangunan Indonesia di masa Orde Baru menakjubkan. Apa yang membuatnya bahkan lebih luar 1249 Berbeda dengan Pemerintahan Era Lama, sektor industri merupakan prioritas utama dalam Orde Baru. Dalam rangka mendukung pengembangan industri nasional, pemerintah mematuhi dua industrialisasi yang berbeda strategi diterapkan secara bertahap mulai dari substitusi impor yang berfokus pada industri padat karya seperti tekstil dan produk-produk tekstil, alas kaki, produk kayu (terutama kayu lapis itu), makanan dan minuman, dan kemudian diikuti oleh pengembangan industri perakitan otomotif, dan dalam dekade awal 1980-an, strategi bergeser ke mempromosikan ekspor. Dua kebijakan industrialisasi tersebut didukung oleh beberapa kebijakan reformasi ekonomi dan membawa hasil dramatis yang berada di luar harapan paling optimis pada saat itu. Lihat: Tulus Tambunan, “The Development of Industry and Industrialization Since the New Governance Era to The Post Crisis Periode”, Kadin-Jetro, November 2006, hlm. 1. 1250 Michael T. Rock, “The Politics of Development Policy and Development Policy Reform in New Order Indonesia”, William Davidson Institute Working Paper Number 632 November 2003, hlm. 5. 1251 commit to user Mohammad Ali, op.cit., hlm. 10. perpustakaan.uns.ac.id 442 digilib.uns.ac.id biasa adalah bahwa hal itu terjadi dalam konteks apa yang tampaknya menjadi korupsi besar-besaran, sistemik, dan endemik dan rent-seeking. Meskipun sulit, jika bukan tidak mungkin, untuk memperkirakan ukuran korupsi Indonesia selama Orde Baru hampir semua survei internasional mengenai korupsi secara rutin menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara paling korup di dunia.1252 Survei terbaru rakyat Indonesia mengungkapkan bahwa mayoritas (78%) mengatakan mereka membayar suap ketika rutin berinteraksi dengan pejabat pemerintah.1253 Suap dibayar untuk mendaftarkan kelahiran seorang anak, ketika melamar SIM atau surat nikah, atau saat mengajukan permohonan kartu identitas wajib.1254 Ini merupakan korupsi kecil-kecilan yang hampir pasti dikerdilkan dibandingkan dengan pelembagaan korupsi besar-besaran di dalam pemerintah dan antara pejabat pemerintah dan pengusaha. Dalam pemerintahan, besar pengeluaran di luar anggaran di beberapa lini, khususnya di Pertamina, perusahaan minyak negara, tetapi juga di Perhutani, perusahaan kehutanan negara, dan di Bulog, makanan lembaga logistik negara hampir diendapkan.1255 Untuk membuat keadaan menjadi lebih buruk, pejabat pemerintah di Departemen Perdagangan dan Perindustrian dan Sekretariat Negara rutin digunakan sebagai hubungan patron-klien sebagai kroni, termasuk anak-anak presiden, akses monopoli ke pasar tertentu, dan akses yang disukai untuk kontrak-kontrak pemerintah, hak promosi dan bersubsidi kredit dari BUMN.1256 Beberapa kritik yang disampaikan mengatakan bahwa korupsi secara sistematis memberikan kontribusi terhadap sektor manufaktur yang lemah dan Transparency International (2002) “Historical Comparisons”, Internet Center for Corruption Research. Accessed on June 8, 2002. http://www.gwdg.de/∼uwvw/histor.htm, diakses di Surakarta, 22 Juni 2013, 1252 F. Robertson-Snape, “Corruption, Collusion and Nepotism in Indonesia, Third World Quarterly, 1999, Vol. 20, No. 3, hlm. 589. 1253 1254 Ibid. 1255 Michael T. Rock, op.cit., hlm. 7. R. Elson, 2001, Suharto:commit A Political Cambridge: Cambridge University to Biography, user Press, hlm. 194-201 dan 250-253. 1256 443 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id dangkal sehingga menyebabkan produktivitas rendah serta lebih tergantung pada impor. Untuk sektor politik, restrukturisasi dikendalikan oleh militer, mengingat partai politik sudah dilumpuhkan sejak era sebelumnya.1257 Soeharto bersama pemimpin militer yang dipercayai berhasil menggenggam kekuasaan dengan melakukan rekayasa terhadap struktur politik dan mendelegitimasi kekuasaan Soekarno.1258 Akan tetapi, Soeharto tidak berminat untuk membentuk pemerintahan junta militer atau melakukan kudeta paksa untuk merebut pemerintahan1259 seperti misalnya di Amerika Latin1260 dan Afrika1261. Ketika pembangunan ekonomi 1257 Diskusi lebih lanjut soal ini, lihat: M. Rusli Karim, 1993, Perjalanan Partai Politik di Indonesia: Sebuah Potret Pasang Surut, Jakarta, Penerbit Rajawali Press, hlm. 137-151 dan Bambang Sunggono, 1992, Partai Politik dalam Kerangka Pembangunan Politik di Indonesia, Surabaya, Penerbit Bina Ilmu, hlm. 77-87. 1258 Tindakan ini disebabkan karena Orde Baru lahir di tengah-tengah 4 realitas politik. Pertama, polarisasi ideologis primordial. Kedua, adanya trauma tentang konglik politik dan instabilitas yang pernah terjadi sepanjang masa sebelumnya. Ketiga, keterlambatan industrialisasi dan kerusakan ekonomi secara nasional. Keempat, tumbuhnya persepsi negara mengenai adanya ancaman bahaya laten komunis dan para pendukung Soekarno. Lihat: Mochtar Mas’oed, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru, op.cit., hlm. 23. 1259 Menurut Alfian, kalau seandainya militer mau, pada waktu itu mereka bisa memonopoli kekuasaan politik, namun hal itu tidak terjadi karena dalam diri militer berkmbang ideologi antidiktator atau oligarki militer. Lihat: Alfian, 1992, Pemikiran dan Perubahan Politik di Indonesia, Jakarta, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, hlm. 4-5. 1260 Kudeta merupakan hal yang biasa terjadi atau bahkan nyaris menjadi bagian yang hampir normal dalam proses politik Amerika Latin. Ada harapan bahwa kudeta dapat dihindari akan tetapi kenyataannya selalu terjadi, dan masyarakat internasional harus berurusan dengan fakta ini secara realistis. Kudeta dapat mengambil arah inkonstitusional tetapi mungkin memiliki kekuatanyang cukup untuk memperoleh legitimasi konstitusional. Kudeta cenderung terjadi ketika sistem politik sipil biasa mengalami krisis, lumpuh, atau ketika keamanan internal terancam. Kudeta juga cenderung terjadi di negara-negara berkembang, kurang kuat atau lembaga masyarakat sipil yang kuat, ketika lembaga-lembaga telah gagal, angkatan bersenjata sering terdorong dan memiliki kewajiban konstitusional, untuk masuk dan mengisi kekosongan itu. Mereka tidak selalu merebut kekuasaan, tetapi paling sering memenuhi tanggung jawab konstitusionalnya. Tiga negara Amerika Latin (Kosta Rika, Haiti, dan Panama) tidak memiliki angkatan bersenjata reguler, namun, polisi mungkin memainkan peran politik. Di lima negara Amerika Latin (Argentina, Chili, Kuba, Meksiko, dan Uruguay), angkatan bersenjata disebutkan dalam konstitusi mereka atau memiliki peran konstitusional yang terbatas. Tapi di 12 negara Amerika Latin (60 persen), angkatan bersenjata memiliki peran konstitusional, biasanya berputar di sekitar pemeliharaan ketertiban internal atau resolusi krisis jika sistem politik menemui jalan buntu. Semakin berkembang dan dilembagakan sebuah negara Amerika Latin (Chile, Kosta Rika, dan Uruguay), semakin kecil kemungkinan akan terjadi untuk angkatan bersenjata untuk campur commit to user tangan dalam sistem politik. Masalah banyak intervensi militer disebabkan karena keterbelakangan dan kelembagaan yang lemah. Ada yang menjadi konflik seperti di Honduras pada tahun 2009. perpustakaan.uns.ac.id 444 digilib.uns.ac.id menjadi fokus utama, maka Orde Baru memandang tertib politik adalah prasyarat penting. Dalam rangka mencapai tertib politik ini, Orde Baru melakukan penataan lembaga-lembaga negara1262, penataan birokrasi dengan memperkuat kewenangan dan memperluas jaringannya1263 serta Lihat: Howards J. Wiarda dan Hilalary Coins, 2011, Constitutional Coups? Military Interventions in Latin America, Washington D.C., Center for Strategis and International Studies, hlm. 10-15. 1261 Di Afrika, lebih dari 200 kudeta militer telah terjadi sejak era pasca-kemerdekaan tahun 1960, dengan 45% dari mereka yang sukses dan menghasilkan perubahan dalam kekuasaan, yaitu pergantian kepala negara dan pejabat pemerintah, dan/atau pembubaran struktur konstitusional yang sudah ada sebelumnya. Dari 51 negara-negara Afrika, hanya 10 negara tidak pernah mengalami kudeta (sukses, percobaan, atau sekedar percobaan), yaitu: Botswana, Cape Verde, Mesir, Eritrea, Malawi, Mauritius, Maroko, Namibia, Afrika Selatan, dan Tunisia. Dalam 52 tahun terakhir, 80% dari negara-negara Afrika telah mengalami setidaknya satu kudeta atau upaya kudeta gagal, dan 61% telah mengalami beberapa kudeta militer (2 sampai 10 kali). Sementara sejumlah besar kudeta terjadi di era pasca-kemerdekaan (selama tahun 1960), tahun 1970-an dan 1980-an ditandai oleh sejumlah besar upaya kudeta yang berhasil maupun yang gagal. Dari 39 kudeta yang terjadi selama tahun 1960, di 27 negara (atau 69%) berhasil menggulingkan rezim mapan. Kudeta militer yang gagal (61%) selama tahun 1970 dan 1980 sebagian besar disebabkan oleh fakta bahwa negara-negara Afrika yang paling mandiri untuk jangka waktu yang cukup lama. Hal ini memungkinkan mereka telah membentuk sistem politik permanen, berhasil menahan upaya kudeta militer. Tahun 1990-an dan 2000-an, di sisi lain, menyaksikan penurunan dalam jumlah kudeta berhasil maupun gagal, dengan sekitar setengah dari negara-negara Afrika menjadi bebas kudeta. Alasan tidak adanya kudeta dan upaya kudeta selama periode ini banyak ragamnya, mulai dari kekuatan asing menjamin stabilitas di beberapa negara, manifestasi yang berbeda dari kekerasan politik (misalnya sipil atau perang antar negara), atau rezim yang didirikan yang dilengkapi dengan ukuran legitimasi sistemik pretorian yang minim serangan dari angkatan bersenjata. Lihat: Habiba Ben Barka & Mthuli Ncube, “Political Fragility in Africa: Are Military d’Etat a Never Ending Phenomenon?”, AfDB Economist Complex, September 2012, hlm. 1-5. 1262 Lihat: Ketetapan MPRS No. X/MPRS/1966 tentang Kedudukan Semua LembagaLembaga Negara di Tingkat Pusat dan Daerah pada Posisi dan Fungsi yang Diatur dalam UUD 1945. 1263 Penataan birokrasi yang dilakukan oleh Orde Baru lebih bersifat Parkonisasi dan Orwelilisasi dibandingkan Weberisasi. Penataan tersebut ditujukan untuk 2 tujuan utama yaitu penumbuhan apoaratur yang kuat secara kuantitatif (Parkinsonsonisasi) dan penambahan pengawasan yang bersifat birokratis (Orwellisasi). Pada tahun 1960, jumlah PNS adalah 393.000 orang, kemudian meningkat menjadi 515.000 orang (1970) dan bertambah lagi menjadi 2.047.000 (1980). Jabatan-jabatan di semua birokrasi tertinggi—mulai Menteri sampai dengan Direktur Jenderal di departemen—diduduki oleh militer dalam jumlah besar. Pada tahun 1986, militert etap mengambil posisi dominan dalam jabatan sentral birokrasi tertinggi. Militer menduduki jabatan pembantu dekat Presiden (64%), menteri (38%), Sekretaris Jenderal (67%), Inspektur Jenderal (67%), dan Direktur Jenderal (20%). Penguasaan birokrasi juga dilakukan dengan mengintegrasikan ke dalam jajaran partai politik Golkar. Birokrasi dikooptasi Golkar dengan kebijakan monoloyalitas yang tidak memperkenankan PNS menjadi anggota partai politik nonGolkar dan hanya bisa menyalurkan partisipasinya melalui Golkar. Diskusi lebih lanjut atas pernyataan-pernyataan ini, lihat: Hans Diester Evers dan Tilman Schiel, 1990, KelompokKelompok Strategies: Studi Perbandingan tentang Negara, Birokrasi, dan Pembentukan Kelas di Dunia Ketiga, terjemahan oleh Aan Effendi, Jakarta, Penerbit Yayasan Obor Indonesia, hlm. 236; Lance Castles, 1992, Birokrasi dan Masyarakat, Jakarta, Penerbit Fakultas Ilmu Sosial UI, hlm. to user 18; Harold Crouch, “Pasca Angkatan 45:commit Militer dan Politik di Indonesia”, Prisma, Tahun 15, No. 8, Agustus 1986. perpustakaan.uns.ac.id 445 digilib.uns.ac.id mampu menjadi instrumen kekuasaan1264, penataan partai tunggal antara lain dengan fusi1265 dan pemberlakuan asas tunggal1266, pelembagaan Dwi Fungsi ABRI1267, memperkuat lembaga kepresidenan diantaranya dengan 1264 Menurut Afan Gaffar, instrumen birokrasi tersebut diwujudkan ke dalam 3 pola. Pertama, pada setiap pemilu dukungan langsung diberikan kepada Gplkar. Pada pemilu 1997 misalnya, tidak kurang dari 4,1 juta PNS memberikan suaranya kepada Golkar. Kalau ditambah dengan suara keluarga mereka, Golkar akan mendapatkan 10 juta suara. Kalau satu kursi bernilai 400 ribu suara, maka PNS menyumbangkan 20 kursi bagi Golkar. Kedua, birokrasi mendominasi semua struktur panitia pemilu demi menjamin kemenangan Golkar. Ketiga, dalam setiap pemilu birokrasi adalah penyedia dana bagi kemenangan Golkar, lewat para pejabat daerah dengan memotong biaya proyek tertentu. Lihat: Afan Gaffar, 1999, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, hlm. 235-237. 1265 Kebijakan fusi merupakan implementasi dari proyek restrukturisasi politik Orde Baru yang diarahkan kepada partai politik, meliputi jumlah, pola dukungan, basis massa, dan garis ideologis (aliran). Alasannya jumlah partai yang terlalu banyak hanya akan membawa konflik politik yang menghambat pembangunan. Fusi dirintis dengan pengelompokkan partai untuk mempermudah kampanye pemilu 1971. Di bawah tekanan dan operasi intelijen Orde Baru, partai politik tidak mempunyai pilihan, kecuali harus memfusikan diri. Pada 10 Januari 1973, terbentuk PDI yang merupakan fusi dari IPKI, Partai Katolik, Partai Kristen Indonesia, Murba, dan PNI. Kemudian pada 13 Februari 1973, fusi diikuti oleh partai Islam: NU, Parmusi, PSII, dan Perti dengan membentuk PPP. Lihat: Munafrizal Manan, op.cit., hlm. 48-49. 1266 Rezim Orde Baru melakukan restriksi ideologi diberlakukan secara ketat melalui asas tunggal Pancasila terhadap orsospol maupun ormas sosial keagamaan dengan UU No. 8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Bahkan, melalui UU tersebut dan PP No 18/1986, pemerintah ORBA dapat membekukan pengurus atau pengurus pusat apabila ormas melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan dan ketertiban umum, menerima bantuan dari pihak asing tanpa persetujuan pemerintah, serta memberikan bantuan kepada pihak asing yang merugikan kepentingan bangsa dan negara. 1267 Di bawah dwi fungsi ABRI telah datang untuk diterima sebagai pengaruh yang dominan dalam kehidupan sosial-politik di Indonesia, sementara pemerintahan sipil tumumnya tidak responsif, efisien dan terang-terangan korup. ABRI bertindak sebagai alat utama untuk pengembangan dan implementasi kebijakan pemerintah, dan sebagai diamisator dan fasilitator pembangunan nasional. ABRI juga mempunyai otoritas sentral dari etnis negara plural dengan memiliki tidak hanya senjata, tetapi juga kewenangan konstitusional, dan menjadi telinga presiden. Untuk waktu yang lama militer Indonesia mendominasi kehidupan sosial-politik nasional dengan menggunakan berbagai justifikasi, seperti konsep dwifungsi ABRI. Secara bertahap dwifungsi ABRI, atau khususnya peran militer di bidang sosial-politik (dan ekonomi) itu dikukuhkan terus menerus dalam berbagai perangkat hukum: Ketetapan No. XXIV/MPRS/1966 tentang Kebijaksanaan Dalam Bidang Pertahanan dan Keamanan (integrasi tiga angkatan dan kepolisian dalam ABRI dan Dephankam), Keppres No. 132/1967 (24 Agustus 1967) tentang pokok-pokok organisasi departemen Hankam (ABRI terdiri atas tiga angkatan dan kepolisian, semuanya di bawah Dephankam), berbagai “undang-undang politik” (UU No. 15/1969, UU No. 16/1969, UU No. 3/1975), UU No. 20/1982 (Pasal 28) dan perbaikannya, berbagai Ketetapan MPR yang “mempertahankan kemurnian UUD 1945” dan Ketetapan No. IV/MPR/1983 tentang Referendum yo. UU No. 5/1985, hingga UU No. 28/1997 tentang Kepolisian RI. Lihat: Soebijono et.al., 1997, Dwifungsi ABRI: Perkembangan dan Peranannya dalam Kehidupan Politik di Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, hlm. 46-55. Baca juga: Andrew Renton-Green, “Indonesia After Soeharto: Civil or Military Rule”, Center for Strategic Studies, Working Paper commit to user No. 128, 1998, hlm. 4-5. perpustakaan.uns.ac.id 446 digilib.uns.ac.id mendayagunakan Sekretariat Negara1268, memberi kekuasaan kontrol kepada otoritas keamanan1269, dan penataan organisasi kemahasiswaan.1270 (2) Krisis Ekonomi dan Delegitimasi Orde Baru Perubahan perekonomian Indonesia telah mengalami yang dramatis. Dari bulan Desember 1996 sampai Juli 1997, rupiah diperdagangkan di kisaran sekitar 2.400 per dolar AS. Indeks harga konsumen (CPI) yang disediakan oleh Bank Indonesia menunjukkan harga stabil untuk masing-masing 4 kebutuhan pokok yaitu makanan, perumahan, sandang, dan kesehatan. Pada bulan Juli 1997, bhat Thailand dan rupiah mengalami depresiasi. Hal ini muncul memasuki masa Agustus 1997, di mana nilai tukar rupiah dilaporkan pada 3.035 terhadap dolar. Meskipun merupakan depresiasi tajam dalam tingkatan 20 persen, kenaikan harga ini begitu timpang. Sepanjang sisa tahun 1997, nilai tukar rupiah terus terdepresiasi terhadap dolar dan (kecuali pada bulan 1268 Sekretariat Negara sejak 1973 hingga 1988 dipimpin oleh perwira militer kepercayaan Soeharto, Soedharmono. Akibat persaingan kebijakan ekonomi antara para teknokrat dengan kelompok insinyur nasionalis, menyebabkan para teknokrat merapat ke figur Sudharmono guna mengefektifkan usul-usul ekonomi mereka yang liberal. Karena serangan gencar yang dilancarkan oleh berbagai pihak terhadap gagasan dan kebijakan mereka pada 1972-9174, Widjojo dan kawan-kawannya tidak memiliki ruang gerak yang memadai untuk membendung pengaruh para pembela sentralisme yang semakin besar. Bahkan, Widjojo dan kawan-kawan akhirnya mendukung kebijakan ini, yang tercermin dari keterlibatan Widjojo dalam penyusunan mekanise pengalokasian anggaran untuk kaum pengusaha pribumi yang disalurkan melalui Sekretariat Negara. Di samping itu, Widjojo berhasil meyakinkan Soeharto untuk membentuk Tim Pengendalian Pengadaan Barang Pemerintah yang dipimpin oleh Sudharmono. Demikianlah, maka Sekretariat Negara berkembang dari fungsi administrasi pemerintah dan mendukung tugas-tugas kepresidenan menjadi fungsi politik lain sebagai sandaran persaingan elit politik di sekitar Soeharto. Lihat: Rizal Mallarangeng, op.cit., hlm. 109-111. 1269 Lewat pendekatan koersif, Soeharto memainkan militer sebagai ujung tombak lapangan dan pasal-pasal subversive untuk menjaring semua penentangnya. Lembaga-lembaga ekstra konstitusional seperti Kopkamtib, Opstib, Bakorstanas/da, dan Posko Kewaspadaan digunakan untuk menekan rakyat. Apparatus intelijen seperti Bakin, BIAS, Intelpompal, Kaditsospol juga berperan melancarkan represi, pengawasan, koreksi ideologis, dan pengarahan terhadap penentang Orde Baru. Lihat: Munafrizal Manan, op.cit., hlm. 55. 1270 Sejak peristiwa Malari, pemerintah melumpuhkan kebebasan mahasiswa. Melalui Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 028/U/1974, pemerintah memberi wewenang kepada perguruan tinggi untuk membina kegiatan nonkurikuler mahasiswa. Tujuannya agar mahasiswa tidak lagi gencar melakukan aksi-aksi politik. Pada masa Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef (1978-1983), Dewan Mahasiswa dibekukan, pers mahasiswa dilarang, dan depolisisasi kampus dijalankan. Menteri kebijakan Normalisasi Kehidupan commitmeluncurkan to user Kampus (NKK) dan menetapkan pembentukan Badan Koordinasi Kampus (BKK). perpustakaan.uns.ac.id 447 digilib.uns.ac.id November) terhadap yen. Indeks CPI untuk pangan naik dari 105 sampai 120-peningkatan yang nyata tetapi bukan hal yang luar biasa. CPI untuk perumahan, sandang, dan perawatan kesehatan meningkat namun lebih rendah. Di sisi kebijakan ekonomi, IMF menyetujui pinjaman $ 10 miliar, sementara Bank Dunia berjanji $ 4,5 miliar untuk program 3 tahun. Tetapi sampai 1998 krisis telah berkembang luar biasa. Pada tanggal 8 Januari 1998, yang kadang-kadang disebut sebagai "Black Thursday," rupiah mulai terjun bebas, dan laporan berita melaporkan telah terjadi kepanikan seperti pembelian makanan. Nilai tukar jatuh pada satu titik pada bulan Januari sampai di atas 16.000 rupiah per dolar, dan CPI untuk makanan melonjak hampir sama pada bulan Januari seperti itu enam bulan sebelumnya. CPI untuk pakaian melonjak bahkan lebih tinggi lagi. Karena tekanan internasional untuk menerapkan dewan mata uang (currency board system)1271 yang diusulkan meningkat dan bantuan ditangguhkan, telah menyebabkan ketidakpastian. Untuk 4 bulan pertama dalam tahun 1998, harga-harga terus meningkat.1272 Banyak birokrat menunjuk faktor eksternal sebagai alasan utama dari krisis ekonomi di Indonesia. Hal itu bisa dimengerti karena Indonesia masih tumbuh rata-rata 7,3% (1989-1996). Banyak lembaga multilateral juga menyatakan Indonesia sebagai salah satu keajaiban Asia. Meskipun 1271 Dewan mata uang adalah lembaga yang menerbitkan uang kertas dan mata uang logam untuk diubah menjadi "cadangan" mata uang asing pada tingkat bunga tetap dan sesuai permintaan. Institusi ini tidak menerima deposito. Sebagai cadangan, dewan mata uang memegang mata uang yang berkualitas tinggi dan menerbitkan surat berharga dalam mata uang cadangan. Dalam dewan mata uang nilai cadangan setara dengan 100 persen atau sedikit lebih dari mata uang yang beredar menurut ketetapan U. Dewan menghasilkan keuntungan (seigniorage) dari perbedaan antara bunga yang diperoleh pada surat berharga yang dimilikinya dan biaya pemeliharaan mata uang kertas dan mata uang logram yang beredar. Dewan memberikan keuntungan kepada pemiliknya (yang secara historis adalah pemerintah) yang meliputi semua keuntungan di luar apa yang dibutuhkan untuk menutupi biaya dan mempertahankan cadangan pada tingkat yang ditetapkan oleh UU. Dewan mata uang tidak mempunyai kewenangan dalam kebijakan moneter dan hanya kekuatan pasar saja yang menentukan jumlah uang beredar. Lihat: Steve Hanke, “The Disregard for Currency Board Realities”, Cato Journal, Vol. 20, No. 1. James Levinsohn, Steven Berry dan Jed Friedman, “Impacts of the Indonesian Economic Crisis Price Changes and the Poor”, dalam Michael P. Dooley and Jeffrey A. Frankel, 2003, Managing Currency Crises in Emerging commitMarkets, to user University of Chicago Press, hlm. 394396. 1272 448 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id demikian, hal itu tidak dapat dibenarkan. Pada tahap awal, gejolak ekonomi dimulai oleh krisis di Thailand, tapi krisis memburuk lebih banyak disebabkan karena kelemahan dalam struktur ekonomi Indonesia. Krisis ekonomi Indonesia bahkan lebih parah sebagai akibat dari kegagalan pemerintah dalam mengantisipasi perkembangan krisis ekonomi dan serangkaian kesalahan dalam menilai dan kesalahan kebijakan dari para pembuat kebijakan selama periode tersebut. Sebelum krisis ekonomi terjadi tahun 1997/1998, perekonomian Indonesia sudah menghadapi masalah serius di sektor keuangan, yaitu: kepemilikan dan manajemen lembaga keuangan lintas, nilai tukar rupiah yang terlalu ketat, dan pencairan pinjaman secara ceroboh.1273 Ekonomi politik pembalikan ekonomi yang menakjubkan di Indonesia tahun 1997/1998 berbeda dari yang di Thailand dalam beberapa hal yang penting. Yang pasti, ada beberapa kerentanan sebagai faktor kunci: sistem keuangan terbuka dengan pengawasan yang lemah, nilai tukar efektif yang terkendali, dan arus masuk dan keluar modal asing dalam jumlah besar, terutama utang jangka pendek. Seperti di Thailand, koeksistensi kondisi ini berarti bahwa mata uang berada di bawah tekanan yang secara ekonomi menjadi begitu berbahaya. Dengan demikian, kita melihat lingkaran setan yang sama di tempat kerja: modal jangka pendek awalnya pindah di self-fulfilling sebagai antisipasi terhadap depresiasi nilai tukar dan dengan cepat menciptakan masalah serius bagi debitur pinjaman luar negeri. Persaingan untuk membeli dolar oleh debitur mendorong nilai tukar turun lebih lanjut, membuat pembayaran utang lebih sulit untuk pembayaran kembali.. Dan karena hal ini disebabkan lebih banyak modal yang keluar dan mata uang yang jatuh lebih rendah Hendri Saparini, “Policy Response to Overcome Crisis: A Lesson from Indonesian Case”, diunduh dari http://www.networkideas.org/ideasact/feb09/Beijing_Conference_09/Hendri_Saparini.pdf, diakses commit to user di Surakarta, 24 Juni 2013. 1273 perpustakaan.uns.ac.id 449 digilib.uns.ac.id lagi, maka gagal bayar (default) pada utang luar negeri menjadi kenyataan.1274 Sejak Oktober 1997 Indonesia telah mengajukan bantuan pinjaman luar negeri dengan mengikuti syarat-syarat reformasi ekonomi dari IMF.1275 Namun, seperti dikatakan oleh Rizal Ramli dalam sebuah artikel yang diterbitkan secara luas awal Oktober 1997, tindakan melibatkan IMF dalam program pemulihan Indonesia pasti akan menjerumuskan negara itu ke dalam krisis ekonomi yang lebih mendalam. Berdasarkan kinerja masa lalu lembaga tersebut, Rizal Ramli merasa bahwa IMF akan bertindak sebagai dokter bedah dibandingkan sebagai penyelamat, yang memutus kaki perekonomian Indonesia dan negara kreditur. Tingkat keberhasilan IMF dalam operasi semacam ini kurang dari 30 persen, dan banyak pasien mengalami pemulihan sementara diikuti oleh kekacauan baru yang membutuhkan operasi tambahan. Banyak contoh dari Amerika Latin dan Afrika yang telah menunjukkan bahwa diagnosis dan pengobatan IMF telah gagal untuk menyembuhkan pasien.1276 Peran IMF di Indonesia berlangsung dalam 3 tahap sejak tahun 1997. Pada tahap pertama, kebijakan moneter super ketat IMF ditujukan mencegah ketidakstabilan di pasar keuangan. Tingkat suku bunga antar bank meroket 20-300% pada kuartal ketiga tahun 1997 sehingga menciptakan krisis likuiditas di sektor perbankan sehingga bank merasa 1274 Andrew MacIntyre, “Political Institutions and the Economic Crisis in Thailand and Indonesia”, Working Paper Series Vol. 99-98, Graduate School of International Relations and Pacific Studies University of California, San Diego, April 1999, hlm. 15-16. 1275 Pada tanggal 8 Oktober 1997, pemerintah memutuskan untuk mencari bantuan IMF, dan mencapa kesepakatan dengan IMF, antara lain, penutupan enam belas bank swasta, termasuk yang dimiliki oleh anak Soeharto dan langkah-langkah reformasi struktural lainnya. Menurut pengakuan Ginandjar Kartassmita (yang saat itu menjadi Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional), tidak pernah ada penjelasan resmi mengenai siapa yang mengusulkan kepada Presiden Soeharto untuk mengajukan permintaan bantuan ke IMF. Dugaan mengarah kepada Widjojo Nitisastro, penasehat ekonomi Presiden. Bagaimanapun, pada Februari 1998, Soeharto pernah mengecam kesepakatan dengan IMF itu bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 dan mengarah kepada liberalisme. Lihat:Takashi Siraishi, op.cit., hlm. 25. Rizal Ramli, “The IMF’s Myth”, dalam http://www.networkideas.org/featart/may2002/imf_myths.pdf, diakses di Surakarta pada 24 Juni commit to user 2013. 1276 450 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id kesulitan mendapatkan kredit jangka pendek untuk menutupi kewajiban langsung mereka. Kemudian pada bulan November 1997 IMF merekomendasikan penutupan 16 bank meskipun dengan persiapan sangat tidak memadai. Hal ini diikuti oleh arus keluar modal sekitar US $ 5 miliar yang memberikan lebih lanjut pada rupiah. Akibatnya, pengusaha Indonesia menjadi terkena pukulan 2 hal dalam waktu yang bersamaan: tingginya suku bunga dan depresiasi nilai tukar. Konsekuensi dari kebijakan ini adalah kebangkrutan massal di sektor korporasi dan hilangnya ribuan pekerjaan. Pada tahun 1998 perekonomian mengalami kontraksi sebesar 13%, kinerja terburuk dalam sejarah bangsa. Pada tahap kedua, utang swasta Indonesia diubah menjadi utang publik. Padahal sebelum krisis Indonesia tidak memiliki utang sektor publik domestik, tetapi di bawah kebijakan IMF utang dalam negeri pemerintah membengkak menjadi US$ 65 miliar. Sementara itu, utang sektor publik internasional naik dari US$ 54 miliar sampai $ 74 miliar sedangkan utang swasta internasional menurun dari US $ 82 menjadi US$ 67 miliar karena pembayaran dipercepat dan restrukturisasi. Pada tahap ketiga, kebijakan IMF telah memberikan pukulan berkelanjutan pada anggaran pemerintah. Untuk tahun fiskal 2002, pembayaran hutang diperkirakan mencapai sebesar US $ 13 milyar (Rp 130 triliun) yang meliputi pembayaran hutang domestik dan luar negeri. Pembayaran ini berjumlah lebih dari 3 kali lipat gaji belanja sektor publik termasuk militer, dan 8 kali anggaran pendidikan. Ukuran dari utang dalam negeri terkait erat dengan kebijakan uang ketat BI. Di bawah bimbingan IMF, BI telah melakukan kebijakan anti-inflasi berdasarkan pada peningkatan suku bunga surat berharga (SBI). Namun sebagian besar kenaikan tingkat inflasi adalah akibat langsung dari harga pemerintah meningkat bukan karena faktor moneter. Efek utama kebijakan uang ketat BI adalah untuk meningkatkan defisit fiskal. Setiap kenaikan satu persen dalam tingkat SBI memperlebar defisit pemerintah dengan Rp 2,3 triliun. Bank Indonesia juga bertanggung jawab user kredit likuiditas (BLBI) selama untuk misalokasi Rp. 144commit triliun todalam perpustakaan.uns.ac.id 451 digilib.uns.ac.id tahap awal dari krisis keuangan. Skandal ini sendiri telah membebani keuangan rakyat Indonesia sepanjang sejarah.1277 Ukuran krisis yang paling utama adalah APBN 1998 yang dibacakan oleh Soeharto di depan DPR. Rancangan anggaran tersebut dikritik karena "tidak realistis" sehubungan dengan asumsi penerimaan pajak dan nilai tukar. Akibatnya, nilai tukar rupiah anjlok hingga 70 persen, mencapai Rp 10.000 per dolar. Putaran lain pembicaraan antara pemerintah dan IMF dimulai. Negosiasi dengan perwakilan IMF, Stanley Fisher kali ini dilakukan oleh Soeharto sendiri, tanda yang jelas bahwa Presiden telah kehilangan kepercayaan pada tim ekonominya. Dalam hal ini, Soeharto tegas memilih untuk tidak mengundang Menteri Keuangan dan Gubernur BI dalam penandatanganan resmi Letter of Intent.1278 Dalam Sidang Umum MPR 1998 pada sesi Rabu, 11 Maret 1998, Soeharto dipilih kembali dengan suara bulat sebagai Presiden. Selanjutnya, pada tanggal yang sama di malam hari, B.J. Habibie terpilih dan dilantik sebagai Wakil Presiden.1279 Pada 14 Maret 1998, Soeharto mengumumkan 1277 Ibid. 1278 Seperti sudah dikemukakan sebelumnya, pada bulan-bulan itu mulai muncul gagasan untuk menerapkan Sistem Dewan Mata Uang (currency board system) , yang dituding akan menguntungkan bisnis anak-anak Soeharto yang terlilit hutang luar negeri dalam jumlah besar dan bahkan Soeharto sendiri telah mengundang penggagas kebijakan tersebut, Steve Heanke untuk mengkaji penerapannya di Indonesia, setelah sebelumnya diterapkan di Argentina. Tetapi, Gubernur BI, Soedrajat Djiwandono menolak gagasan tersebut. Tidak seperti preseden dalam kabinet sebelumnya, tiba-tiba Soeharto mencopot Soedrajat dari posisinya pada Februari 1998 dan digantikan oleh Syahril Sabirin. Tidak lama kemudian, Direktur BI Boediono (kelak Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 1998-1999, Menteri Keuangan, 2001-2004, Menteri Koordinator Perekonomian, 2005-2008, Gubernur BI, 2008-2009, dan sekarang Wakil Presiden, 2009-2014) juga diberhentikan. Menurut kesaksian Ginanjar, Menteri Keuangan Mar’ie Mohammad—yang oleh media dijuluki “Mr. Clean”—diprediksi akan mengalami nasib serupa, akan tetapi ternyata bertahan hingga akhir masa bakti Kabinet Pembangunan VI tanpa diketahui alasan-alasannya. Lihat: Takashi Siraishi, op.cit., hlm. 28-29. 1279 Sudah sejak 1988, B.J. Habibie dinominasikan oleh Soeharto dalam posisi Wakil Presiden. Memasuki tahun 1993, saat Wakil Presiden Sudharmono telah purna tugas dan pentingnya jabatan Wakil Presiden mengingat usia Soeharto yang sudah 77 tahun pada 1998, maka telah dinominasikan berturut-turut nama B.J. Habibie (Menteri Negara Riset dan Teknologi sejak 1978 dan mengelola banyak industri strategis dan pertahanan), Soesilo Soedarman (Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi), dan Try Sutrisno (Panglima ABRI). Namun saat sidang to user umum MPR 1993, Fraksi ABRI (yangcommit dikendalikan Menteri Pertahanan dan Keamanan L.B. Moerdani) tiba-tiba mengajukan nama Try Sutrisno, sehingga untuk menjaga situasi Soeharto 452 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id “Kabinet Pembangunan VII” yang kontroversial.1280 Di samping perubahan dan penambahan jabatan baru1281, juga masuk sosok-sosok yang oleh publik di cap “tidak bersih”1282 serta dikukuhkannya semangat nepotisme dalam susunan menteri tersebut.1283 Seiring dengan semakin gencarnya mahasiswa, tuntutan reformasi akademisi, dan yang aktivis disuarakan oleh masyarakat demonstrasi sipil1284--beberapa diantaranya menimbulkan kerusahan sporadis dan jatuhnya korban jiwa karena bentrokan dengan aparat keamanan—tetapi Soeharto tetap bergeming. Hasil konsultasi antara Presiden dan fraksi-fraksi di DPR Jumat 1 Mei 1998 mengisyaratkan bahwa Soeharto menolak reformasi terpaksa menerima pencalonan tersebut. Lihat: A. Pambudi, 2009, Kalau Prabowo Menjadi Presiden, Yogyakarta, Penerbit Narasi, hlm.47-50. 1280 Pembentukan kabinet ini tidak lepas dari keperibadian Soeharto yang introvert dan terlalu yakin akan kemampuan dirinya. Orang luar banyak mengharapkan kabinet yang ramping, profesional, dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme untuk mengatasi krisis ekonomi yang berkepanjangan. Soeharto konsisten dengan kepribadiannya. Lihat: Eriyanto, 2000, Kekuasaan Otoriter: Dari Gerakan Penindasan Meunju Politik Hegemoni, Yogyakarta, Penerbit Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Insist, hlm. 52. 1281 Di samping jabatan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan yang sudah ada sejak Kabinet Pembangunan III (1978-1983), ada perubahan nama untuk jabatan menteri koordinator yang lain, yaitu Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri merangkap Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (sudah dikenal sejak 1973-1983, tetapi kemudian diubah menjadi Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Pengawasan Pembangunan) dan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat dan Pengentasan Kemiskinan merangkap Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, dan Menteri Koordinator Pengawasan Pembangunan/Pendayagunaan Aparatur Negara. Perubahan juga menyangkut nama Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi menjadi Menteri Pariwisata, Seni, dan Budaya. Diperkenalkan jabatan Menteri Negara Pendayagunaan Badan Usaha Milik Negara dan Menteri Negara Pangan, Hortikultura, dan Obat-obatan (dalam Kabinet Pembangunan VI disebut Menteri Negara Pangan merangkap Kepala Badan Urusan Logistik). 1282 Misalnya nama Haryanto Dhanutirto (sebelumnya Menteri Perhubungan) dan nama Abdul Latief (sebelumnya Menteri Tenaga Kerja). 1283 Subiyakto Tjakrawerdaya, yang dituding dekat dengan Hutomo Mandala Putra dipertahankan sebagai Menteri Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil. Lalu, Fuad Bawazier (sebelumnya Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan) yang dikenal dekat dengan keluarga Cendana menjadi Menteri Keuangan. Pengusaha yang dijuluki “kasir keluarga Cendana” Mohammad Hassan menjadi Menteri Perindustrian dan Perdagangan. Terakhir, putra sulung Presiden, Siti Hardiyanti Indra Rukmana yang juga pengurus Golkar ditunjuk menjadi Menteri Sosial. 1284 Jika disarikan aspirasi pada masa itu mengerucut pada 6 tuntutan yaitu (i) pengunduran diri Soeharto; (ii) perubahan UUD 1945; (iii) pencabutan dwifungsi ABRI; (iv) dilaksanakannya ekonomi kerakyatan; commit (v) otonomi yang seluas-luasnya; dan (vi) pengadilan to user terhadap Soeharto, keluarga, dan kroni-kroninya. perpustakaan.uns.ac.id 453 digilib.uns.ac.id sebelum purna masa jabatan pada 2003.1285 Di bulan April, emosi publik semakin tersulut seiring dengan keputusan Presiden—atas anjuran IMF— yang menaikkan harga BBM.1286 Sementara Soeharto mengadakan kunjungan ke luar negeri sejak 9 Mei 1998, tanggal 12 Mei 1998 terjadi peristiwa penembakan 4 mahasiswa Universitas Trisakti, menyusul kerusuhan yang meluluhlantakan Jakarta tanggal 13-15 Mei1287, dan kemudian merembet ke kota-kota lain seperti Jakarta, Surakarta, Bandung, Makassar, dan Medan.1288 Sepulang Soeharto dari luar negeri pada 15 Mei 1998, konfigurasi politik menunjukkan situasi krisis keamanan yang dapat mengancam penyelenggaraan pemerintahan. Oleh sebab itu, Soeharto pada 18 Mei 1998 menetapkan Instruski Presiden No. 16 Tahun 1998 yang mengangkat Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI Wiranto sebagai Panglima Komando Operasi Kewaspadaan dan Keselamatan Nasional, sedangkan sebagai wakilnya adalah Kepala Staf Angkatan Darat Soebagyo 1285 Hal ini dapat dilihat dalam kepala berita media cetak domestik saat itu, antara lain: “Presiden: Boleh Reformasi Politik Setelah Tahun 2003 (Suara Pembaruan, 1 Mei 1998); “Reformasi Politik Tahun 2003 ke atas (Kompas, 2 Mei 1998); “Tidak Ada Reformasi Politik Sebelum 2003” (Media Indonesia, 2 Mei 1998); “Reformasi Sulit Dilakukan Sekarang. Presiden Sarankan Gunakan Hak Inisiatif DPR” (Jawa Pos, 2 Mei 1998). 1286 Keputusan itu berarti mencabut subsidi energi sehingga harga BBM naik. Premium menjadi Rp 1.200,00 sementara solar menjadi Rp 600,00 dan minyak tanah menjadi Rp 350,00. 1287 Laporan Akhir Tim Gabungan Pencari Fakta yang dibentuk pemerintah pada 23 Juli 1998 dan dipublikasikan pada 23 Oktober 1998, mengindikasikan bahwa kerusuhan ini tidak dapat dilepaskan dari konteks keadaan dan dinamika sosial politik masyarakat Indonesia pada waktu itu, serta dampak ikutannya. Peristiwa-peristiwa sebelumnya seperti Pemilu 1997, penculikan sejumlah aktivis, krisis ekonomi, Sidang Umum MPR 1998, unjuk rasa/demonstrasi mahasiswa serta tewasnya mahasiswa Universitas Trisakti, semua berkaitan dengan peristiwa 1315 Mei 1998. Di semua wilayah yang dikaji oleh TGPF didapati adanya kesamaan waktu pecahnya kerusahan. Kedekatan, bahkan kesamaan pola kejadian mengindikasikan kondisi dan situasi sosial, ekonomi, politik yang potensial memungkinkan pecahnya suatu kerusuhan. Lihat: Komisi Nasional Perempuan dan New Zealnd Official Development, 2006, Temuan Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Cetakan ke-3, hlm. 4-5. 1288 Setelah sempat dieksploitasi, Menteri Penerangan kemudian memerintahkan agar seluruh media, termasuk stasiun televisi swasta menghentikan program pemberitaan dan sepenuhnya merelai berita-berita TVRI. Sudah pasti, hal ini merupakan sensor dan kontrol ketat dari negara karena tidak semua berita kerusuhan itu user disiarkan kepada publik. Sensor dan kendali commit to itu berlangsung sampai tanggal 21 Mei 1998. perpustakaan.uns.ac.id 454 digilib.uns.ac.id H.S.1289 Namun Wiranto akhirnya menolak untuk melaksanakan Instruksi Presiden tersebut.1290 Sementara gedung parlemen diduduki oleh mahasiswa, tanggal 18 Mei 1998, Ketua DPR/MPR membuat pernyataan pers yang meminta Soeharto untuk mengundurkan diri, akan tetapi segera ditepis oleh Wiranto yang mengatakan bahwa pernyataan tersebut bukan pernyataan DPR secara kelembagaan sehingga tidak berlaku mengikat. Di lain pihak, usaha Soeharto bertemua dengan sejumlah tokoh politik dan masyarakat sipil pada 19 Mei 1998 tidak membuahkan hasil 1291, dan di 1289 Instruksi Presiden ini berisi 3 hal penting, yaitu, pertama, menentukan kebijakan tingkat nasional untukm enghadapi krisis yang sedang atau akan dihadapi. Kedua, mengambil langkah-langkah untuk secepatnya mencegah dan meniadakan sumber-sumber penyebab ataupun mengatasi peristiwa yang mengakibatkan gangguan terhadap keamanan dan ketertiban. Ketiga, para menteri dan pimpinan lembaga pemerintah di tingkat pusat dan daerah, membantu pelaksanaan tugas dan fungsi Komando Operasi Kewaspadaan dan Keselamatan Nasional. Instrusi Presiden ini secara substantif mirip dengan Surat Perintah Sebelas Maret 1966 dan pembentukan Komando Operasi Kewaspadaan dan Keselamatan Nasional mengingatkan orang akan lembaga ekstra kabinet dengan fungsi yudisial dan intelijen kuat di masa lalu, yaitu Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) yang dibentuk pada 10 Oktober 1965 dan dipimpin oleh Soeharto (waktu itu Panglima Komando Strategis Angkatan Darat, 1965-1969), Maraden Panggabean (1969-1974), Soemitro (1973-1974), Soedomo (1978-1983), dan L.B. Moerdani (1983-1988). Menyusul kerusuhan Malari dan mundurnya Soemitro, maka Presiden Soeharto mengambilalih Kopkamtib (1974-1978) dengan Kepala Pelaksana Soedomo. Bisa dikatakan lembaga ini merupakan jantung kekuasaan Orde Baru yang mengkoordinasi sejumlah badan intelejen, mulai dari Bakin sampai dengan intelejen dalam setiap bagian ABRI. Malahan pada kasus-kasus yang dianggap dapat mengganggu stabilitas politik dan ekonomi, Kopkamtib dapat menerobos wewenang departemen sipil, bahkan wewenang ABRI sekalipun. Dengan memperkerjakan personel militer tepercaya untuk melaksanakan tugas-tugas yang bertujuan politik dalam artian luas dan luar biasa, maka Kopkamtib merupakan inti pemerintah Indonesia pada masa hukum darurat perang yang permanen. Ditahun 1974 presiden mengambil alih Kopkamtib sebagai organisasi yang berada dibawah pemerintah dengan mengeluarkan Keppres No 9/1974. Bahkan pada tahun 1982, Kopkamtib telah menjadi lembaga militer yang benar-benar tidak bisa dikontrol masyarakat dengan tidak disebutnya lembaga tersebut dalam UU Hankam 1982. Tahun 1988, Presiden Soeharto membubarkan lembaga ini dan menggantikannya dengan Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional (Bakorstanas). Bakorstanas bertujuan memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan stabilitas nasional, juga bertindak sebagai penasehat dan dikepalai oleh Panglima ABRI yang langsung melapor kepada presiden. Walaupun begitu hampir seluruh staf Kopkamtib dan seluruh peran yang dimainkan oleh organisasi terdahulu juga dilakukan oleh Lembaga baru ini. 1290 Lihat: Aidul Fitriciada Azhari, 2003, Dari Catatan Wiranto: Bersaksi di Tengah Badai, Jakarta, Penerbit Institut of Democracy for Indonesia, hlm. 82-85. 1291 Pukul 09.00-11.32 WIB, Presiden Soeharto bertemu ulama dan tokoh masyarakat, yakni Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama Abdurrahman Wahid, budayawan Emha Ainun Nadjib, Direktur Yayasan Paramadina Nucholish Madjid, Ketua Majelis Ulama Indonesia Ali Yafie, Prof Malik Fadjar (Muhammadiyah), Guru Besar Hukum Tata Negara dari Universitas Indonesia Yusril Ihza Mahendra, KH Cholil Baidowi (Muslimin Indonesia), Sumarsono (Muhammadiyah), serta user Achmad Bagdja dan Ma'aruf Amin daricommit NU. Usaitopertemuan, Presiden Soeharto mengemukakan, akan segera mengadakan reshuffle Kabinet Pembangunan VII, dan sekaligus mengganti namanya perpustakaan.uns.ac.id 455 digilib.uns.ac.id saat bersamaan Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri beserta seluruh menteri di bawah koordinasinya (kecuali Menteri Keuangan Fuad Bawazier, Menteri Perindustrian dan Perdagangan Mohammad Hassan, dan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Arie Mardjono) menyerahkan surat pengunduran diri.1292 Dalam suatu langkah yang mengejutkan dan tidak diberitahukan secara rinci kepada Pimpinan DPR/MPR, tanggal 20 Mei 1998 Soeharto membuat pernyataan publik yang “menyatakan berhenti dari jabatan sebagai Presiden.”1293 Segera menjadi Kabinet Reformasi. Presiden juga membentuk Komite Reformasi. Nurcholish sore hari mengungkapkan bahwa gagasan reshuffle kabinet dan membentuk Komite Reformasi itu murni dari Soeharto, dan bukan usulan mereka. 1292 Tanggal 20 Mei 1998, Pukul 14.30 WIB, 14 menteri bidang ekuin mengadakan pertemuan di Gedung Bappenas. Mereka sepakat tidak bersedia duduk dalam Komite Reformasi, ataupun Kabinet Reformasi hasil reshuffle. Semula ada keinginan untuk menyampaikan hasil pertemuan itu secara langsung kepada Presiden Soeharto, tetapi akhirnya diputuskan menyampaikannya lewat sepucuk surat. Pukul 20.00 WIB, surat itu kemudian disampaikan kepada Kolonel Sumardjono. Surat itu kemudian disampaikan kepada Presiden Soeharto. Soeharto langsung masuk ke kamar dan membaca surat itu. Soeharto saat itu benar-benar terpukul. Ia merasa ditinggalkan. Apalagi, di antara 14 menteri bidang Ekuin yang menandatangani surat ketidaksediaan itu, ada orang-orang yang dianggap telah "diselamatkan" Soeharto. Ke-14 menteri yang menandatangani surat tersebut, secara berurutan adalah Ir Akbar Tandjung (Menteri Negara Perumahan dan Permukiman); Ir Drs AM Hendropriyono SH, SE, MBA (Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan); Ir Ginandjar Kartasasmita (Menko Ekuin/Kepala Bappenas); Ir Giri Suseno Hadihardjono MSME (Menteri Perhubungan); Dr Haryanto Dhanutirto (Menteri Negara Pangan, Holtikultura, dan Obat-obatan); Prof Dr Ir Justika S. Baharsjah M.Sc. (Menteri Pertanian); Dr Ir Kuntoro Mangkusubroto M.Sc (Menteri Pertambangan dan Energi); Ir Rachmadi Bambang Sumadhijo (Menteri Pekerjaan Umum); Prof Dr Ir Rahardi Ramelan M.Sc (Menteri Negara Riset dan Teknologi); Subiakto Tjakrawerdaya SE (Menteri Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil); Sanyoto Sastrowardoyo M.Sc (Menteri Negara Penggerak Dana Investasi/Kepala BKPM); Ir Sumahadi MBA (Menteri Kehutanan); Drs Theo L. Sambuaga (Menteri Tenaga Kerja); dan Tanri Abeng MBA. (Menteri Negara Pendayagunaan BUMN). Alinea pertama surat itu, secara implisit meminta agar Soeharto mundur dari jabatannya. Perasaan ditinggalkan, terpukul, telah membuat Soeharto tidak mempunyai pilihan lain kecuali memutuskan untuk mundur. Soeharto benar-benar tidak menduga akan menerima surat seperti itu. Persoalannya, sehari sebelum surat itu tiba, ia masih berbicara dengan Ginandjar untuk menyusun Kabinet Reformasi. Ginandjar masih memberikan usulan tentang menteri-menteri yang perlu diganti, sekaligus nama penggantinya. Lihat: Konspirasi Mei 1998: Kisah Para Brutus di Sekitar Jenderal Soeharto, dalam http://socio-politica.com/2012/05/30/konspirasi-mei-1998-kisah-parabrutus-di-sekitar-jenderal-soeharto-3/, diakses di Surakarta, 26 Juni 2013. 1293 Kekecewaannya tergambar jelas dalam pidato pengunduran dirinya, ... Saya telah menyatakan rencana pembentukan Komite Reformasi dan mengubah susunan Kabinet Pembangunan ke-7, namun demikian kenyataan hingga hari ini menunjukkan Komite Reformasi tersebut tidak dapat terwujud, karena tidak adanya tanggapan yang memadai terhadap rencana pembentukan komite tersebut. Dalam keinginan untuk melaksanakan reformasi dengan cara-cara sebaik-baiknya tadi, saya menilai bahwa dengan tidak dapat diwujudkannya Komite Reformasi, commit to VII usermenjadi tidak diperlukan lagi. Dengan maka perubahan susunan Kabinet Pembangunan memperhatikan keadaan di atas, saya berpendapat sangat sulit bagi saya untuk dapat 456 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id sesudahnya disaksikan Ketua, Wakil Ketua, dan Ketua Muda MA, Wakil Presiden mengucapkan sumpah jabatan sebagai Presiden.1294 Dari paparan di atas menunjukkan bahwa penyebab krisis tidak hanya faktor ekonomi, akan tetapi juga sosial-politik dan korupsi. Dalam konteks ini, sistem keuangan Indonesia begitu lemah; krisis ekonomi menyebabkan ekspansi berlebihan ekonomi Indonesia dan menggunakan pembiayaan untuk sektor-sektor tidak produktif. Pembayaran pinjaman luar negeri menyebabkan runtuhnya ekonomi. Hal Hill, seorang ekonom Australia, menguraikan hal yang sistematis saat dia berpendapat bahwa ada sejumlah hal sebagai “pre crisis vulnerability factors”, termasuk dalam hal ini hutang ekternal dan mobilitas modal, pengelolaan ekonomi yang buruk, peraturan finansial yang jelaek, korupsi, dan pengelolaan pemerintahan yang tidak becus. Meskipun demikian, Hill menegaskan bahwa sekalipun korupsi merupakan masalah utama, tetap saja sulit untuk dipertahankan sebagai satu-satunya faktor penjelas. Menurut Hill, “more plausible is the thesis that the particular forms of corruption, and the political system in general, that had assumed by the 1990s rendered the Soeharto government unwilling—indeed unable—to move decisively and swiftly once the crisis hit.”1295 Selanjutnya Hill menegaskanbahwa “corruption deserves freat emphasis at this stage of process, rather than as an initial participating factor.”1296 menjalankan tugas pemerintahan negara dan pembangunan dengan baik. Oleh karena itu dengan memperhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945 dan secara sungguh-sungguh memperhatikan pandangan pimpinan DPR dan pimpinan Fraksi-fraksi yang ada di dalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden RI. 1294 Dalam bagian lain dari pidato pengunduran diri Soeharto dan kemudian dikonfirmasi oleh Yusril Ihza Mahendra, dikatakan bahwa situasi tidak memungkinkan DPR/MPR mengadakan persidangan. Oleh sebab itu, upacara pelantikan Wapres dilaksanakan di Istana Negara dan disaksikan oleh MA. Hal ini tidak dijumpai dalam UUD 1945, akan tetapi diatur dalam Pasal 2 Ketetapan MPR No. VII/MPR/1973 tentang Keadaan Presiden dan/atau Wakil Presiden Republik Indonesia Berhalangan. 1295 Lihat dalam Leo Suryadinata, 2002, Election and Politics in Indonesia, Singapore, Institute of Southeast Asian Studies, hlm. 45. 1296 Ibid. commit to user 457 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Menurut Leo Suryadianata, jumlah hutang luar negeri yang membengkak, pengelolaan ekonomi yang buruk, dan kejelekan pengaturan keuangan, merupakan produk sistem politik.1297 Otoritarianisme dan kroniisme menjadi hal yang menyebabkan semua kekurangan ini. Korupsi merupakan komponen kroniisme yang utama. Konfigurasi politik di bawah Soeharto membentuk kerajaan Jawa baru1298, diperintah oleh Soeharto, para kroni dan keluarga, khususunya sejak tahun 1980-an ketika anak-anaknya mulai berbisnis.1299 Rasionalitas ekonomi mulai surut dan kepentingan para kroni mengemuka. Kroniisme dan korupsi menghasilkan hutang dalam jumlah besar baik hutang swasta (US$ 74 miliar) dan hutang publik (US$ 63,4 miliar). Hutang swasta itu dimiliki oleh berbagai perusahaan yang dimiliki oleh elit Orde Baru dan konglomerat China. Keluarga Cendana dan kroni-kroninya telah melakukan monopoli atas ekonomi Indonesia sejak 1980-an dan seterusnya. Mereka berkecimpung dalam berbagai sektor, dan menurut media Barat, berhasil menghimpun kekayaan senilai kira-kira antara US$ 16 miliar-US$ 40 miliar. Dalam konteks ini, “Corruption and cronyism were rampant. It was only a matter of time before this hollow economy collapsed.”1300 Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah militer. Hal yang paling penting adalah saat sejumlah pemimpin militer seperti Panglima ABRI Jenderal Wiranto dan Kepala Staf Urusan Sosial-Politik Susilo Bambang Yudhoyono telah menyimpulkan di bulan April 1998 bahwa 1297 Ibid. Jenis kekuasaan seperti ini oleh Stepan dan Linz disebut sebagai “sultanic ruler.” Lihat: Alfred Stepan dan Juan Linz, “Arab, not Muslim, Exceptionalism”, Journal of Democracy, Vol. 15, 2004, hlm. 140–146. 1298 Hal ini seperti dikemukakan oleh Jeffry Winters, yang mengatakan, “Anak-anak merupakana alasan utama rezim Soeharto menjadi sangat lemah seperti terlihat tahun 1997 saat dimulainya krisis. Anak-anaknya mendorong terciptanya aliansi kepentingan yang kuat antara oligarki domestik dengan pelaku binis yang sudah mulai lelah terhadap tngkah laku anak-anak Soeharto, demikian pula investor asing, khususnya Kementerian Keuangan Amerika, yang mewakili kepentingan investor Amerika.” Lihat: David Barsamian dan Siok Lian Liem, 2008, Menembus Batas Damai Untuk Semesta, Jakarta, Penerbit Yayasan Obor Indonesia, hlm.201. 1299 1300 Ibid. commit to user perpustakaan.uns.ac.id 458 digilib.uns.ac.id posisi Soeharto tidak dapat dipertahankan lagi, dan telah aktif terlibat dalam negosiasi elit yang mendorong otokrat tersebut mengundurkan diri.1301 Tindakan Wiranto dan Yudhoyono bertentangan dengan elemen garis keras dalam angkatan bersenjata yang mencoba untuk meyakinkan Soeharto guna mengumumkan keadaan darurat dan memerintahkan tindakan keras terhadap pembangkang pemerintah. Kelompok garis keras ini, termasuk menantu Soeharto, Prabowo Subianto (Panglima Komando Strategis Cadangan Angkatan Darat), mantan Panglima ABRI Feisal Tanjung, dan mantan Kepala Staf Angkatan Darat Hartono (yang saat itu Menteri Dalam Negeri), yang telah membangun hubungan dekat dengan jaringan militan Islam dan siap untuk memobilisasi mereka untuk mempertahankan Soeharto.1302 Upaya mereka akhirnya gagal dan Soeharto menyadari bahwa kemungkinan memperpanjang kekuasaannya sudah mustahil. Gerakan mahasiswa telah cepat mendapatkan momentum, dan semakin banyak sebelumnya loyalis Orde Baru yang berpaling dari Soeharto. Terisolasi dari seluruh masyarakat dan ditinggalkan oleh mantan loyalis, Soeharto menolak tawaran elemen garis keras untuk menyatakan keadaan darurat, dan memilih untuk menyerahkan kekuasaan dalam format pemerintahan konstitusional. (3) Reformasi dan Transisi Politik yang Konfliktual Sekalipun memicu kontroversi di kalangan akademisi dan masyarakat sipil1303, akan tetapi mayoritas elit menganggap pernyataan Selengkapnya baca: Takashi Shiraishi, “The Indonesian Military in Politics”, dalam Adam Schwarz dan Jonathan Paris (Editors), 1999, The Politics of Post-Suharto Indonesia, New York: Council on Foreign Relations Press, hlm. 73-86. 1301 1302 1303 Ibid., hlm. 337. Pada waktu itu, terutama di kalangan akademisi hukum, tindakan Soeharto dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Diantara pakar yang berpendapat seperti ini adalah Dimyati Hartono. Menurut Dimyati, sesuai Pasal 9 UUD 1945, Presiden dan Wakil Presiden harus mengucapkan sumpah/janji di hadapan MPR. Sementara itu, ketentuan Ketetapan MPR tidak pernah memperoleh delegasi dalam UUD 1945. Harun Alrasid, guru besar UI, berpendapat bahwa Ketetapan MPR memang produk “haram”, akan tetapi dalam kasus Soeharto, tindakan itu sah menurut Pasal 8 UUD 1945. Secara teknis, persoalan di mana suksesi dilangsungkan tidak termasuk kategori isu konstitusi. Perdebatan kemudian berhenti beberapa bulan kemudian, saat commit user yang tidak berlatar belakang hukum tata Ismail Sunny, guru besar senior UI, meminta agarto mereka negara tidak berkomentar mengenai suksesi tersebut sembari menyimpulkan bahwa suksesi Mei perpustakaan.uns.ac.id 459 digilib.uns.ac.id berhenti Soeharto harus diterima sebagai jalan untuk demokratisasi.1304 Presiden B.J. Habibie—yang tidak pernah diberitahu rencana Soeharto dan tidak pernah mempersiapkan diri menjadi pengganti—secara normatif menjadi Presiden untuk masa bakti hingga 5 tahun (2003). Akan tetapi, B.J. Habibie berkomitmen untuk menjadi Presiden hanya untuk pemerintahan transisi dan mengantarkan pemilu untuk membentuk pemerintahan yang diharapkan akan lebih demokratis dan berlegitimasi tinggi.1305 Dengan kata lain, pemerintahan Habibie tidak mampu bertahan karena pemerintahannya lebih dipandang sebagai reproduksi Orde Baru ketimbang suatu pemerintahan demokratis produk reformasi.1306 Alfred Stephan, pakar yang mendalami kajian mengenai transisi, mentgatakan bahwa pemerintahan Habibie adalah “rezim nondemokrasi yang melanjutkan kekuasaan lama.”1307 Untuk itu, dalam Sidang Istimewa MPR yang digelar pada November 19981308 di tengah maraknya demonstrasi dan ancaman 1998 sudah sesuai dengan UUD 1945. Jauh sebelumnya, Bambang Kesowo (Wakil Sekretaris Kabinet) saat bersama-sama Menteri Sekretaris Negara Saadilah Mursyid dan Yusril Ihza Mahendra (penulis pidato Soeharto) menyusun pernyataan berhenti Soeharto, telah pula memperdebatkan, dalam hal Pasal 8 UUD 1945, apakah Wakil Presiden merupakan Presiden atau pelaksana tugas presiden sampai akhir masa bakti. Pernyataan perdebatan konstitusionalitas kepresidenan Habibie dapat dilihat dalam Dewi Fortuna Anwar, “The Habibie Presidency”, dalam Geoff Forrester (Editor), 1999, Post-Soeharto Indonesia: Renewal of Chaos, Canberra, National University Press, hlm. 34-35. Michael S. Malley, “Inchoate Opposition, Divided Incumbent: Muddling Toward Democracy in Indonesia 1998-1999”, dalam Karen Guttieri dan Jessica Piombo (Editors), 2007, Interm Government: Institutional Bridges to Peace and Democracy?, Washington, United States Institute of Peace, hlm. 147. 1304 1305 Leo Suryadinata, op.cit., hlm. 85. 1306 Lihat Harold Crouch, “Wiranto dan Habibie: Hubungan Militer-Sipil sejak Mei 1998”, dalam Arief Budiman, et.al., 2000, Harapan dan Kecemasan: Menatap Arah Reformasi Indonesia, Jakarta, Bigraf Publishing, hlm. 86-117. Baca juga: Michael S. Mallay, op.cit., hlm. 139-169. 1307 Wawancara dengan Tempo, 15 Agustus 1998. Baca juga: Herry van Klinken, “Bagaimana Sebuah Kesepakatan Demokratis Tercapai?”, dalam Arief Budiman, ibid., hlm. 7386. 1308 Sidang Istimewa merupakan awal mata rantai dari tiga agenda nasional yang telah disepakati bersama antara Presiden dan pimpinan DPR/MPR. Sidang Istimewa diperlukan sebagai pembuka jalan ke arah penyelesaian masalah nasional secara menyeluruh. Salah satu tujuan utama commit to user Sidang Istimewa adalah percepatan pelaksanaan Pemilihan Umum dari jadwal yang telah ditetapkan sebelumnya, yaitu pada tahun 2002. Agenda nasional ke dua adalah penyelenggaraan 460 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id kekacauan politik,1309 diantara 12 Ketetapan MPR yang dibentuk1310, salah satunya mengamanatkan untuk pelaksanaan pemilu pada 7 Juni 1999.1311 Persiapan pemilu 1999 berlanjut dengan diberlakukannya 3 UU yang terkait dengan pemilu yaitu UU Pemilu1312, UU Partai Politik1313, dan UU Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.1314 Sayangnya, DPR yang bertanggung jawab untuk mengkaji semua UU itu melakukan sebagian besar proses legislasi di ruang-ruang tertutup.1315 Rapat-rapat dengan masyarakat dilakukan sekedar untuk basa-basi.1316 Menurut Denny Indrayana, dengan proses seperti itu telah “mempengaruhi pembahasanpembahasan itu dan melahirkan sejumlah cacat dan kekurangan dalam UU Pemilihan Umum yang telah dilaksanakan pada tanggal 7 Juni 1999. Dari hasil Pemilihan Umum, diharapkan dapat menciptakan infrastruktur politik baru yang tercermin dalam susunan keanggotaan DPR/ MPR baru. Setelah itu, akan dilaksanakan agenda nasional ketiga yaitu Sidang Umum MPR, termasuk di dalamnya memilih Presiden dan Wakil Presiden. 1309 Sidang itu sendiri dapat diselenggarakan karena militer diminta untuk mengerahkan ribuan demonstran sipil untuk mendukung rencana Habibie untuk melegalkan kepemimpinannya dalam sidang khusus MPR. Menentang oposisi yang signifikan di tubuh militer, Wiranto memutuskan sekali lagi untuk memenuhi permintaan Habibie. Selain melayani kepentingan pribadi presiden, militer juga enggan mendukung perubahan besar pada kerangka politik. Sementara memperingatkan bahwa beberapa langkah-langkah reformasi akan terlalu jauh, korps perwira tidak secara terbuka menantang otoritas pemerintah untuk menerapkannya. Lihat: Kivlan Zen, 2004, Konflik dan Integrasi TNI-AD, Jakarta: Institute for Policy Studies, hlm. 95. 1310 Banyak diantara ketetapan-ketetapan MPR tersebut merupakan embrio dari reformasi konstitusi yang akan dilaksanakan kemudian. Diantara embrio tadi, dapat disebut di sini 3 diantaranya adalah Ketetapan MPR No. VIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan MPR No. IV/MPR/1983 tentang Referendum (yang sekaligus mencabut dan menyatakan tidak berlaku UU No. 5 Tahun 1985 tentang Referendum); (ii) Ketetapan MPR No. XIII/MPR/1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden (yang berarti melakukan intepretasi terhadap ketentuan Pasal 7 UUD 1945); dan (iii) Ketetapan MPR No. XVII Tahun 1998 tentang HAM (yang menjadi landasan hukum UU No. 29/1999) dan kelak sebagian besar pasal-pasal dalam UU ini akan ditetapkan dalam Perubahan UUD 1945. Moh. Fajrul Falaakh, “Megawati dan Suksesi Pola Habibie”, Kompas, 6 Maret 2000, hlm. 4. Baca juga: ketetapan MPR RI Nomor XIV/MPR/1998 tentang Perubahan dan Tambahan atas Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/1988 tentang Pemilihan Umum. 1311 1312 UU No. 3/1999. 1313 UU No. 2/1999. 1314 UU No. 4/1999. 1315 National Democratic Institute, “The New Legal Framework for Election in Infonesia: A Report of an NDI Assessment Team, 23 Februari 1999, hlm. 2. 1316 Ibid. commit to user perpustakaan.uns.ac.id 461 digilib.uns.ac.id baru yang mengatur mengenai pemilu.”1317 Namun proses demokrasi yang memperkenankan Habibie untuk menginisiasi aturan-aturan baru tersebut didukung oleh para pemimpin oposisi berbasis massa luas dalam Deklarasi Ciganjur, yang bahkan antara lain memperkenankan militer untuk bertahan di Parlemen hingga 6 tahun yang akan datang.1318 Akan tetapi, Deklarasi Paso, yang merupakan kesepakatan antara Abdurrahman Wahid, Amien Rais, dan Megawati Soekarnoputri, sebenarnya telah memberikan harapan yang lebih kuat untuk melakukan reformasi total karena pada intinya menyerukan tekad untuk menghapus status quo dalam pemilu 1999.1319 Seiring dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum, maka dalam rangka penyelenggaraan Pemilihan Umum sebelum Komisi Pemilihan Umum (KPU) dibentuk, persiapan pelaksanaan Pemilu dilakukan LPU dan untuk itu Ketua Umum LPU telah membentuk Tim-111320 yang bertugas membantu LPU terutama dalam verifikasi Partai Politik Peserta Pemilu. Untuk mewujudkan penyelenggaraan Pemilihan Umum secara demokratis dan transparan, berdasarkan asas jujur, adil, langsung, umum, bebas, rahasia, serta pelaksanaannya sepenuhnya diserahkan kepada rakyat melalui wakil-wakil partai politik, maka dibentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai 1317 Denny Indrayana, 2007, Amandemen UUD 1945 antara Mitos dan Pembongkaran, Bandung, Mizan Pustaka Utama, hlm. 169. 1318 Deklarasi Ciganjur merupakan kesepakatan yang dirumuskan atas hasil pertemuan Abdurrahman Wahid, Amien Rais, Megawati Soekarnoputri, dan Sri Sultan Hamengkubuwono X pada 10 November 1998. Deklarasi itu menegaskan sikap politik moderat para tokoh tersebut yang lebih memilih reformasi secara evolusioner dan bertahap ketimbang revolusioner dan radikal. Secara tidak langsung, deklarasi itu itu memberikan kesempatan kepada Habibie untuk melakukan reformasi dari atas, terutama melalui perubahan atas UU Politik dalam rangka percepatan Pemilu. Lihat: Tajuk Rencana Kompas, 11 November 1998. 1319 Deklarasi itu diberi nama Deklarasi Paso, mengacu kepada kediaman Alwi Shihab, salah seorang pemuka PKB di Jalan Paso, No. 22, Ciganjur dan disampaikan pada 17 Mei 1999. 1320 Susunan keanggotaan Tim 11 sebagai berikut: (i)Prof. DR. Nurcholis Madjid, Sebagai Ketua; (ii) DR. Adnan Buyung Nasution, SH. Sebagai Wakil Ketua; (iii) Adi Andoyo, SH. Sebagai Wakil Ketua; (iv) DR. Andi A. Malarangeng, Sebagai Sekretaris; (v) Rama Pratama, Sebagai Wakil Sekretaris; (vi) Prof. DR. Miriam Budiardjo, MA, Sebagai Anggota; (vii) DR. Afan Gafar, Sebagai Anggota; (viii) Drs. Mulyana W. Kusumah, Sebagai Anggota ; (ix) DR. Kastorius Sinaga, Sebagai Anggota; (x) commit DR. Eep to Saefulloh user Fattah, Sebagai Anggota; dan (xi) Drs. Anas Urbaningrum, Sebagai Anggota. 462 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id pengganti Lembaga Pemilihan Umum (LPU). Anggota KPU ini terdiri dari 5 wakil pemerintah dan 48 orang wakil dari partai politik.1321 Pada sisi lain, masih terkait dengan penyelenggaraan pemilu, telah muncul banyak sekali partai politik, yang artinya “demokrasi multipartai seolah dilihat sebagai satu-satunya pilihan yang paling layak.”1322 Menurut Bourchier, keadaan ini mirip dengan situasi di bulan November 1945, masa ketika partai politik tumbuh subur di Indonesia.1323 Bahkan pandangan lain mengatakan bahwa kelahiran partai politik dalam hitungan yang sangat singkat sebagai fenomena yang mengalahkan periode awal berkembangnya partai politik pasca Maklumat No. X Wakil Presiden.1324 Sebanyak 141 partai politik telah tercatat di Departemen Kehakiman1325 baik partai utama1326 maupun partai yang tidak jelas visinya.1327 Akan tetapi berdasarkan verifikasi Tim 11, hanya 48 partai politik yang layak mengikuti pemilu.1328 1321 Keputusan Presiden No. 77/1999. 1322 Sigit Pamungkas, 2009, Sistem Pemilu, Yogyakarta, Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIPOL UGM, hlm. 87. David Bourchier, “Pemerintahan Peralihan Habibie: Reformasi, Pemilihan Umum, Regionalisme, dan Pergulatan Meraih Kekuasaan” dalam Chirs Manning dan Peter Van Dierman, 2000, Indonesia di Tengah Transisi: Aspek-Aspek Sosial Reformasi dan Krisis, Yogyakarta, LKiS, hlm. 19. 1323 1324 Cornelis Lay, 2006, Involusi Politik: Esai-Esai Transisi Indonesia, Yogyakarta, Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIPOL UGM, hlm. 65. 1325 Profil lengkap dari 141 partai politik tersebut dapat disimak dalam: Julia Suryakusuma, 1999, Almanakah Parpol Indonesia, Bogor, SMK Grafika Mardi Yuana. 1326 Menurut penulis, partai utama tersebut umpamanya Partai Amanat Nasional yang dirintis oleh Amien Rais dan sekaligus diproyeksikan untuk menampung aspirasi kaum Muhammadiyah dan Partai Kebangkitan Bangsa yang dirintis oleh Abdurrahman Wahid dan para kyai NU lainnya, untuk menampung aspirasi kaum nahdiyin. 1327 Termasuk dalam kategori ini menurut penulis adalah Partai Perempuan, Partai Remaja dan Pemuda Progresif, Partai Reformasi Sopir Sejahtera Indonesia, Partai Kemakmuran Tani dan Nelayan, dan Partai Aliansi Rakyat Miskin Indonesia. 1328 Dilihat dari sudut kategorisasi generasi kelahiran partai politik, ke-48 partai politik itu dapat dibagi menjadi 3 kategori. Pertama, partai-partai yang memiliki garis asal usul yang bisa ditelusuri sampai ke partai angkatan pertama sebelum perang dan tahun 1980-an (ada 15 partai). Kedua, partai-partai yang mempunyai hubungan emosional dengan partai-partai terdahulu yang commit user tidak dengan sendirinya memegang mandat untuk to melanjutkan partai itu. Ketiga, partai-partai baru dengan pemikiran politik baru. Lihat; Daniel Dhakidae, 1999, Partai-Partai Politik Indonesia, perpustakaan.uns.ac.id 463 digilib.uns.ac.id Sebagai pemilu yang dilaksanakan dalam konfigurasi politik baru, dari 117.736.682 pemilih yang terdaftar, angka partisipasi mencapai 91,69%, hampir sebanding dengan pemilu 1955.1329 Pemilu itu sendiri ditujukan antara lain untuk mengisi 462 kursi DPR, karena untuk 38 kursi selebihnya diperuntukkan bagi TNI/Polri.1330 Sekalipun komposisi KPU dikritik, akan tetapi hanya dalam waktu 5 bulan, lembaga penyelenggara pemilu ini mampu melaksanakan pemilu dengan baik. Dalam hal ini, KPU mampu merumuskan 136 peraturan dan keputusan mengenai tata cara pemilu. Tidak hanya itu, KPU juga berhasil merencanakan dan menyelenggarakan pemilu secara relative lebih lancar seperti yang diperintahkan oleh UU.1331 Akan tetapi, pengesahan hasil pemilu mengalami kebuntuan. Ada 27 partai yang menolak menandatangani hasil pemilu. Alasannya adalah adanya indikasi pelanggaran dan kecurangan dalam pemilu. Pengesahan hasil pemilu yang seharusnya dilakukan oleh KPU, akhirnya ditetapkan dengan Keputusan Presiden setelah sebelumnya meminta kepada Panitia Pengawas Pemilu untuk meneliti keberatan yang ditujukan oleh partai-partai yang menolak menandatangani. Konfigurasi DPR/MPR hasil pemilu 1999 ternyata membuahkan pertikaian politik dibandingkan kesanggupan untuk meneruskan agenda reformasi. Pemilihan presiden—di samping perubahan UUD 1945— Kisah Pergerakan dan Organisasi dalam Patahan-Patahan Sejarah, Jakarta, Penerbit Kompas, hlm. 37. 1329 Sigit Pamungkas, op.cit., hlm. 93. 1330 Masih diberikannya kursi gratis bagi TNI/Polri—di saat timbul sentiment buruk terhadap institusi ini di kalangan oposisi dan mahasiswa—mengindikasikan bahwa pembahasan UU Pemilu “reflected a compromise between old and new forces.” Hal ini karena, “The Habibie regime prepared the drafts and his Interior Minister, Syarwan Hamid, submitted them to the Parliament for debate. The parlament then comprised military appointee and representatives of the three parties (Golkar, the PPP, and PDI)—without participation of newly established parties. Although new parties were not represented, the parlementarians had to take into consideration the forces outside the Parliament.” Lihat: Leo Suryadinata, op.cit., hlm. 86. Jumlah kursi TNI/Polri yang semula diusulkan adalah 50 kursi, akan tetapi kemudian dicapai kesepakatan sebanyak 38 kursi (hampir separuh dari susunan yang ditetapkan dalam Pemilu 1997, yaitu sebanyak 75 kursi). Untuk DPRD Propinsi dan Kabupaten/Kota, TNI/Polri memperoleh jatah 10% dari total kursi yang tersedia. Ramlan Surbakti, “Proses Pelaksanaan Pemilu 1999” dalam Saifullah Ma’shum, commit to user 2001, KPU dan Kontroversi Pemilu 1999, Jakarta, Pustaka Indonesia Satu, hlm. xxvi. 1331 464 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id menjadi arena persaingan baru diantara format politik baru yang terbentuk. Dalam Sidang Umum MPR 1999, terkristalisasi 3 kelompok kekuatan yang saling bersaing. Pertama, PDIP yang hendak menjadikan Megawati sebagai Presiden, sekaligus representasi paling terkemuka dalam menolak Perubahan UUD. Kedua, koalisi Poros Tengah yang mengakomodasi kekuatan-kekuatan politik Islam, terutama PAN, PPP, PK, dan PBB, dan memperjuangkan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden. Ketiga, Golkar serta TNI/Polri yang berusaha untuk mempertahankan Habibie sebagai Presiden.1332 Persaingan tersebut kemudian semakin tidak terbendung setelah MPR menolak pertanggungjawaban Presiden Habibie1333, sehingga Habibie menghentikan keinginannya untuk bersaing dalam perebutan kepemimpinan nasional.1334 Kegagalan Megawati melakukan lobi politik1335, fanatisme massa pendukungnya yang dikhawatirkan akan 1332 Cris Manning dan Peter van Diemen (Editors), 2000, Indonesia di Tengah Transisi: Aspek-Aspek Sosial Reformasi dan Krisis, Yogyakarta, Penerbit LKis, hlm. 45-66. 1333 Seperti dijabarkan dalam konstitusi Indonesia, pada akhir setiap jangka waktu 5 tahun, presiden diharuskan untuk memberikan pidato pertanggungjawaban kepada MPR, merinci pencapaian administrasi dan upaya untuk memenuhi pedoman kebijakan yang ditetapkan oleh Majelis . MPR kemudian menerima atau menolak pidato pertanggungjawaban presiden. Tindakan ini tidak memiliki bobot yang sama sebagai mosi tidak percaya, tapi juga tidak menunjukkan disposisi Majelis terhadap pemerintahan presiden. Semua pidato pertanggungjawaban masa lalu, di bawah kedua Soekarno dan Soeharto, telah diterima secara aklamasi, dengan pengecualian pidato pertanggungjawaban terakhir Sukarno, yang ditolak secara aklamasi setelah Soeharto telah efektif mengambil alih pemerintahan. Pada tahun 1999, untuk pertama kalinya dalam sejarah bangsa, MPR menghadapi tugas berat untuk menilai pencapaian seorang presiden dan sebagai badan yang terpecah secara politik yang mewakili kepentingan politik beragam. Pertanggungjawaban Habibie ditolak dengan pemungutan suara melalui komposisi 355-322. 1334 Sejak awal Habibie telah pula mengetahui bahwa melihat konfigurasi MPR sulit bagi dirinya untuk mengandalkan Golkar semata dalam memperoleh validitas dukungan bagi kandidasi dirinya. Dikatakan oleh Thomposon,” Nevertheless, Habibie remained Megawati’s closest rival for the presidency. Golkar’s 22% of the popular vote translated into 120 seats in the DPR compared to PDI-P’s 153 seats. Habibie could also count on the support of the United Development Party (PPP), another holdover from the New Order’s three-party system. The Islamic-oriented PPP gained 11.3 million votes in the June elections. As a beneficiary of the complex electoral system which worked to the advantage of parties drawing support from smaller constituencies outside of Java, the PPP commanded a disproportionately high 58 seats in the DPR.” Lihat: Eric C. Thompson,”Indonesia in Transition: The 1999 Presidential Elections”, NBR Briefing Policy Report, No. 9, Oktober 1999, hlm. 3. 1335 Menurut Thompson, “Despite the PDI-P’s strong showing in the polls, Megawati was not the only contender for the presidency. Before the June general election, speculation ran commit to user of Suharto’s three decades in power. In rampant as to the fate of Golkar, the political instrument New Order elections, Golkar had maintained a consistent popular vote of around 70%. While 465 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id bentrok dengan massa pendukung Habibie1336, dan realitas bahwa Megawati seorang perempuan yang menjadi kontroversi bagi kalangan tertentu atas dalih agama, dipromosikan oleh penentangnya untuk mempromosikan Abdurrahman Wahid sebagai “jalan tengah” karena dianggap memiliki risiko minimal bagi bangsa ketimbang kedua calon yang lain, Habibie dan Megawati.1337 Situasi ini dianggap bahwa “The election of Indonesia’s fourth president by the People’s Consultative Assembly (MPR) in October 1999 concluded a long and chaotic period of political transition.”1338 Dengan proses pemungutan suara yang dramatis, MPR berhasil memilih secara demokratis Abdurrahman Wahid dan some expected Golkar to be wiped out in the wake of Suharto’s downfall, it was able to obtain 23.7 million votes in 1999, or 22%, making it the second largest vote-getter among the 48 contesting parties. This gave some hope to the candidacy of the then current President B.J. Habibie.” Lihat: Ibid. 1336 Dalam menanggapi ketidakpastian dan ketidakpercayaan yang mendasari proses politik, pendukung PDI-P mulai membanjiri Jakarta. Menampilkan spanduk menyatakan "Megawati atau Revolusi" mereka menduduki persimpangan penting di Jakarta dan daerah sekitar gedung MPR / DPR. Demonstran, yang telah memainkan peran penting dalam menurunkan Soeharto dengan menduduki gedung MPR / DPR pada tahun 1998, meningkatkan aktivitas mereka di luar parlemen. Tuntutan mahasiswa bertujuan untuk mencegah pemerintahan militer, menjatuhkan Habibie (yang melihat mereka sebagai adik Soeharto), dan mengejar tindakan hukum terhadap korupsi, kolusi dan nepotisme Soeharto, keluarganya, dan kroni-kroninya. Mahasiswa, yang berada di jalan-jalan memprotes penetapan UU Penanggulangan Keadaan Bahaya menjelang sidang umum MPR, keluar lagi di jalanan dan terlibat bentrokan dengan militer dan polisi. Sebagai upaya untuk merespon kekuatan-kekuatan populis pro-Megawati dan anti-Habibie, kelompok pendukung Habibie, terutama pemuda-sayap PPP, memobilisasi massa mereka sendiri. Menjelang Sidang Umum MPT, kekerasan dan ancaman kekerasan di jalanan terjadi di Jakarta. Dengan penguasaan pendukung PDI-P dan pendukung PPP yang mengitari ibukota dalam konvoi bus dan menduduki jalan utama kota ini, pengamat menimbulkan kekhawatiran bahwa bentrokan antar kelompok mungkin terjadi. Terlepas dari hasil keputusan yang dihadapi MPR, satu sisi atau yang lain tampaknya pasti akan kecewa. Sebuah kekalahan bagi PDI-P adalah skenario yang paling mengkhawatirkan. Jika MPR memilih untuk menerima pidato pertanggungjawaban BJ Habibie, tanda bahwa ia mungkin terpilih kembali presiden, atau jika badan ini menolak pencalonan Megawati, orang takut akan muncul kerusuhan seperti sebelum jatuhnya Suharto, atau bahkan lebih buruk lagi. 1337 Menurut penulis, di samping faktor ekstralegal tersebut, ketentuan UUD 1945 membuka jalan bagi munculnya persaingan politik. Bagaimanapun, UUD 1945 tidak mengatur bahwa pemilu legislatif “satu tarikan nafas” dengan pemilu presiden. Ketentuan Pasal 6 ayat (2) menegaskan bahwa “Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak.” Dengan demikian, sekalipun Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum PDI-P memimpin kekuatan politik terbesar, akan tetapi hal itu bukan jaminan konstitusional bahwa dirinya otomatis menjadi Presiden. Hal ini berbeda dengan sistem parlementer di mana lazimnya Ketua Umum partai otomatis akan memperoleh mandate membentuk pemerintahan apabila berhasil mengendalikan komposisi Parlemen. 1338 commit to user Eric C. Thompson, op.cit., hlm. 1. 466 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden dan Wakil Presiden. 1339 Selama 3 bulan pertama masa pemerintahnnya, duet Abdurrahman WahidMegawati dipuji sebagai pasangan “dwitunggal” yang ideal karena dianggap merefleksikan perpaduan dua kekuatan besar bangsa Indonesia. (4) Perubahan UUD 1945 Di tengah hiruk pikuk politik dalam masa transisi tersebut, bagaimanapun, MPR berhasil untuk melakukan salah satu agenda penting reformasi yaitu Perubahan UUD 1945. Di mata Liddle, hubungan antara UUD 1945 dan rezim otoriter Orde Baru sangatlah jelas. Dalam pandangannya, UUD 1945 mempunyai peran sentral bagi hadirnya konsepsi Soeharto tentang rezm Orde Baru, dengan didominasinya kekuasaan pemerintahan oleh Soeharto.1340 Di sisi lain, Mahfud percaya bahwa UUD 1945 belum pernah menghasilkan pemerintahan demokratis.1341 Dalam sebuah kajian, dikatakan bahwa UUD 1945 mengandung kekosongan hukum karena terlalu singkat dan ramping.1342 Salah satu kritik terhadap UUD 1945 adalah keberadaannya sebagai konstitusi “yang sarat eksekutif” karena, di samping kekuasaan-kekuasaan 1339 Setelah ketidakikutsertaan Habibie dan Wiranto dalam bursa calon Presiden, pada 20 Oktober 1999 menetapkan Megawati Soekarnoputri (diusung oleh PDI-P), Abdurrahman Wahid (diusung oleh Poros Tengah, PKB, dan didukung oleh Golkar dan Fraksi TNI/Polri), dan Yusril Ihza Mahendra (diusung oleh Partai Bulan Bintang) sebagai calon Presiden. Sesaat sebelum pemungutan suara berlangsung, Yusril mengundurkan diri dan akhirnya dengan komposisi suara 373-313, Abdurrahman Wahid terpilih sebagai Presiden. Dukungan terhadap Abdurrahman Wahid diperkirakan berasal dari Golkar (100 suara), PPP (57), PKB (51), PAN (35), PBB (12), PK (6), Partai Islam lainnya (10), Utusan Daerah (57), Utusan Golongan (15), dan TNI/Polri (30). Sementara itu dukungan untuk Megawati diperkirakan berasal dari PDIP (154), Utusan Golongan (69), Utusan Daerah (50), Golkar (20), Partai nasionalis lain (17), dan TNI/Polri (3). Ada 5 suara abstain, yang diperkirakan berasal dari TNI/Polri. Lihat: Leo Suryadinata, Election and Politics in Indonesia, op.cit., hlm. 149. R. William Liddle, “Indonesia Unexpected Failure of Leadership”, dalam Adam Schwarz dan Jonathan Paris (Editors), New York, 1999, Council for Foreign Relation Press, hlm. 36. 1340 1341 Moh. Mahfud M.D., 1999, Amandemen Konstitusi Menuju Reformasi Tata Negara, Yogyakarta, UII Press, hlm. 26. 1342 Tim Kajian Amandemen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 2000, Amandemen UUD 1945: Antara Teks dan Konteks dalam Negara yang Sedang Berubah, Jakarta, Rajawali, hlm. 14. Kekosongan-kekosongan itu adalah (i) sistem ekonomi Indonesia; (ii) pelrindungan terhadap HAM; (iii) pembatasan terhadap kekuasaan Presiden yang begitu besar; dan commit to user (iv) sistem pemilu. perpustakaan.uns.ac.id 467 digilib.uns.ac.id eksekutif yang demikian besar, Presiden juga memiliki kekuasaan legislatif.1343 Namun, sepanjang Orde Baru, telah muncul semacam mitos bahwa UUD 1945 tidak dapat diubah, baik karena otoritas politik Soeharto1344 maupun keinginan sendiri dari MPR.1345 Padahal jika menelisik pembentukan UUD 1945 untuk pertama kalinya, konstitusi ini dimaksudkan sebagai UUD yang bersifat sementara.1346 Lagipula, selama berdirinya Negara Republik Indonesia, telah beberapa kali mengalami perubahan dan/atau penggantian UUD 1945.1347 Dalam naskah asli UUD 1945, Pasal 5 ayat (1) menegaskan bahwa, “Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang.” Adapun bagian Penjelasan mengatakan,”Kecuali executive power, Presiden bersama-sama dengan DPR menjalankan legislative power dalam negara.” 1343 1344 Menjelang pemilu 1971, terdapat konsensus nasional untuk memberikan wewenang kepada Soeharto guna menetapkan orang-orang yang dianggapnya loyal dalam mengisi 1/3 keanggotaan MPR. Dengan demikian, segala upaya untuk melakukan perubahan UUD 1945 tidak pernah dapat dilaksanakan mengingat ketentuan Pasal 37 UUD 1945 menegaskan bahwa salah satu syarat untuk memutuskan hal itu harus dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 anggota MPR. Soeharto mengingatkan betapa pentingnya kuorum ini, sehingga dalam sebuah pidato di hadapan Rapat Pimpinan ABRI di Pekanbaru pada 27 Maret 1980 menandaskan bahwa militer bertekad untuk tidak melakukan perubahan konstitusi. Maka ABRI siap untuk menggunakan senjata kalau ada yang melakukannya atau menculik sepertiga anggota MPR untuk mencegah terjadinya perubahan. Pidato Soeharto ini kemudian memperoleh tanggapan keras dari kelompok oposisi yang dikenal sebagai Petisi 50. Diskusi yang menarik soal ini, lihat: Ikrar Nusa Bakti, 1999, Tentara Mendamba Mitra, Bandung, Penerbit Mizan, hlm. 118-125; Eep Saefullah Fatah, Konflik, Manipulasi, dan Kebangkrutan Orde Baru, op.cit., hlm. 205-220; dan Denny Indrayana, Amandemen UUD 1945, op.cit., hlm. 148. 1345 Dalam Sidang Umum 1983, ditetapkan Ketetapan MPR No. IV/MOR/1983 tentang Referendum. Dalam ketetapan ini, “MPR sudah bertekad bulat untuk melestarikan UUD 1945 dan tidak ingin, dan tidak akan mengubahnya dan bertekad untuk melaksanakannya secara murni dan konsekuen.” Ketetapan itu juga memerintahkan Presiden untuk membentuk aturan pelaksananya dan kemudian ditetapkan UU No. 5/1985 tentang Referendum. Sekalipun UU Ini memberikan peluang untuk mengubah UUD 1945, namun syarat-syaratnya diatur sulit sekali. Untuk merubah UUD 1945, UU mensyaratkan referendum, dengan minimal 90% pemilih menggunakan hak pilihnya dan 90% dari suara tersebut menyatakan setuju untuk mengubah UUD 1945. Ketetapan MPR ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dalam Sidang Istimewa MPR November 1998. Dalam hal ini terkenal kata-kata Soekarno,”Undang-Undang Dasar yang dibuat sekarang ini adalah undang-undang dasar sementara. Kalau boleh saya memakai perkataan, ini adalah undang-undang dasar kilat. Nanti kalau kita telah bernegara dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat undang-undang dasar yang lebih lengkap dan lebih sempurna.” Lihat dalam Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional Indonesia, op.cit., hlm. 29. 1346 1347 Sejak proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 dan disahkannya UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945, Negara Indonesia telah mengalami beberapa kali perubahan konstitusi dalam art formal. Pertama, perubahan dilakukan dengan cara pemberlakuan commit user sedangkan khusus UUD 1945 masih naskah Konstitusi RIS Tahun 1949 untuk seluruhto Indonesia, tetap berlaku hanya di lingkungan Negara Republik Indonesia yang berkedudukan di Yogyakarta perpustakaan.uns.ac.id 468 digilib.uns.ac.id Sesudah MPR hasil pemilu 1999 bekerja, sekalipun isu perubahan UUD 1945 kalah panas dengan isu pemilihan presiden, akan tetapi pada 6 Oktober 1999 semua fraksi sepakat untuk mengamandemen dan bukan memperbarui konstitusi.1348 Menurut Denny Indrayana, “kesepakatan ini adalah salah satu momentum sejarah karena MPR sudah lama menjadi salah satu lembaga terkemuka yang selalu menolak upaya-upaya untuk mengubah UUD 1945.”1349 Namun, di kalangan akademisi, terdapat perbedaan pendapat mengenai sifat UUD 1945 yang diberlakukan sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tersebut.1350 Perbedaan itu mengandung konsekuensi bahwa proses perubahan UUD 1945 akan melibatkan 2 masalah teknis, yaitu (i) pasal mana yang harus digunakan untuk sebagai salah satu negara bagian dalam Republik Indonesia Serikat (RIS). Kedua, pemberlakuan UUDS 1950 untuk seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga UUD 1945 dan Konstitusi RIS tidak berlaku lagi. Ketiga, pemberlakuan kembali naskah UUD 1945 yang dilengkapi dengan naskah Penjelasan UUD 1945 yang ditetapkan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari naskah UUD 1945. Karena itu, pada hakikatnya, naskah UUD 1945 yang diberlakukan sejak Dekrit 5 Juli 1959, berbeda dari naskah UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945. 1348 Kedua bentuk perubahan Undang-Undang Dasar seperti tersebut, yaitu amandemen dan penggantian pada pokoknya sama-sama merupakan perubahan dalam arti luas. Perubahan dari UUD 1945 ke Konstitusi RIS 1949, dan begitu juga dari UUDS Tahun 1950 ke UUD 1945 adalah contoh tindakan penggantian Undang-Undang Dasar. Di samping itu, ada pula bentuk perubahan lain seperti yang biasa dipraktekkan di beberapa negara Eropa, yaitu perubahan yang dilakukan dengan cara memasukkan (insert) materi baru ke dalam naskah Undang-Undang Dasar. Cara terakhir ini, boleh jadi, lebih tepat disebut sebagai pembaruan terhadap naskah lama menjadi naskah baru, yaitu setelah diadakan pembaruan dengan memasukkan tambahan materi baru tersebut. 1349 Denny Indrayana, op.cit., hlm. 183. 1350 Dekrit Presiden ini secara hukum tata negara merupakan penggunaan wewenang Presiden yang bersifat ekstra konstitusional dengan dalih negara dalam keadaan darurat yang di samping memberlakukan kembali UUD 1945 (setelah sejak 1950 menggunakan UUD sementara), juga membubarkan badan pembentuk UUD atau Konstituante yang telah dibentuk berdasarkan pemilu 29 Desember 1955. Di samping membentuk konstituante, pemilu untuk menetapkan badan perwakilan rakyat sudah menjadi ambisi republic sejak keluarnya Maklumat No. X 1 November 1945 dan kemudian dicita-cita oleh kabinet terutama setelah penyerahan kedaulatan (1949) yaitu kabinet Hatta (1949-1950), Kabinet Wilopo (PNI, 1952-1953), dan akhirnya berhasil dilaksanakan pada tahun 1955 di bawah Kabi