PROFIL MINERAL DAN ASAM FOLAT DAGING IKAN CUCUT BANTENG SEGAR DAN GORENG SUWINDYASTUTI DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Profil Mineral dan Asam Folat Daging Ikan Cucut Banteng Segar dan Goreng adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juni 2014 Suwindyastuti NIM C34100065 ABSTRAK SUWINDYASTUTI. Profil Mineral dan Asam Folat Daging Ikan Cucut Banteng Segar dan Goreng. Dibimbing oleh RUDDY SUWANDI dan NURJANAH. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis pengaruh penggorengan (deep frying) terhadap komposisi kimia (kadar air, kadar abu, lemak, protein, dan karbohidrat), kadar mineral, dan asam folat daging cucut banteng. Komposisi kimia diketahui dengan analisis proksimat, kadar mineral ditentukan dengan AAS (Atomic Absorption Spectrophotometer), dan asam folat (vitamin B9) ditentukan dengan HPLC (High Performance Liquid Chromatografi). Rata-rata kadar air, abu, protein, dan lemak pada daging cucut banteng segar (basis basah), antara lain 74,09±0,01; 1,33±0,00; 23,56±0,08; 0,56±0,04%. Penggorengan menurunkan kadar air, abu, protein, dan karbohidrat daging cucut banteng tetapi menaikkan kadar lemak. Penurunan jumlah mineral akibat penggorengan terlihat pada K (18,79%), Mg (26,55%), Na (40%), P (24,04%), Fe (3,42%), Zn (5,12%), Cu (6,39%), sebaliknya mengalami kenaikan pada Ca (49,75%). Asam folat pada daging cucut segar adalah sebesar 1,06±0,003 ppm, dan menurun sebesar 49,06% akibat penggorengan. Kata kunci: Asam folat, Carcharhinus leucas, deep frying, mineral, proksimat ABSTRACT SUWINDYASTUTI. Minerals and Folic Acid Profile of Raw and Fried Meat of Bull Shark. Supervised by RUDDY SUWANDI and NURJANAH. The aim of this study was to analyze the effect of cooking (deep frying) on chemical composition (moisture, protein, ash, and fat), mineral, and folic acid of bull shark meat. The chemical composition, mineral content, and folic acid (vitamin B9) content were determinated by proximate analysis, AAS (Atomic Absorption Spectrophotometer), HPLC (High Performance Liquid Chromatography), respectively. The contents of moisture, protein, ash, and fat of raw sample (wet basis) were 74.09±0.01; 1.33±0.00; 23.56±0.08; 0.56±0.04%, respectively. All of proximate contents were decreased due to frying process, except fat content. The amount of minerals were decreased due to frying, seen in K (18.79%), Mg (26.55%), Na (40%), P (24.04%), Fe (3.42%), Zn (5.12%), Cu (6.39%), in other hand Ca has been increased (49.75%). Folic acid content of raw meat was 1.06±0.003 ppm, and decreased by 49.06% due to frying process. Keywords: Carcharhinus leucas, deep frying, folic acid, mineral, proximate © Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB PROFIL MINERAL DAN ASAM FOLAT DAGING IKAN CUCUT BANTENG SEGAR DAN GORENG SUWINDYASTUTI Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Teknologi Hasil Perairan DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 Judul Skripsi Nama NIM Program Studi : Profil Mineral dan Asam Folat Daging Ikan Cucut Banteng Segar dan Goreng : Suwindyastuti : C34100065 : Teknologi Hasil Perairan Disetujui oleh Dr Ir Ruddy Suwandi, MS, MPhil Pembimbing I Diketahui oleh Prof Dr Ir Joko Santoso, MSi Ketua Departemen Tanggal Lulus: Prof Dr Ir Nurjanah, MS Pembimbing II KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga skripsi yang berjudul “Profil Mineral dan Asam Folat Daging Ikan Cucut Banteng Segar dan Goreng” ini berhasil diselesaikan tepat waktu. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang sudah membantu dan memberi dukungan selama penulisan skripsi ini, terutama kepada: 1. Dr Ir Ruddy Suwandi, MS, MPhil dan Prof Dr Ir Nurjanah, MS, selaku dosen pembimbing yang telah memberikan banyak bimbingan, motivasi, dan arahan kepada penulis. 2. Dr Eng Uju S.Pi, M.Si, selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis. 3. Prof Dr Ir Joko Santoso, M.Si, selaku Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan. 4. Kedua orang tua, yang terus memberikan dukungan moril maupun materil kepada penulis, serta doa dan semangatnya yang tiada henti sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 5. Seluruh keluarga besar THP 47, yang selalu memberikan bantuan dan dukungan. 6. Keluarga DH (Ayus, Dore, Indah, Susan, Muti, Limau), Risvan, Tebe, Sari yang selalu memberikan dukungan dan semangat kepada penulis, serta 7. Seluruh pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan, yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis memohon maaf apabila terdapat kesalahan penulisan. Semoga skripsi ini bermanfaat. Bogor, Juni 2014 Suwindyastuti DAFTAR ISI DAFTAR TABEL ............................................................................................. xi DAFTAR GAMBAR......................................................................................... xi DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xi PENDAHULUAN .............................................................................................. 1 Latar Belakang ................................................................................................ 1 Perumusan Masalah ........................................................................................ 1 Tujuan Penelitian ............................................................................................ 2 Manfaat Penelitian .......................................................................................... 2 Ruang Lingkup Penelitian .............................................................................. 2 METODE PENELITIAN ................................................................................... 2 Bahan .............................................................................................................. 2 Alat.................................................................................................................. 3 Prosedur Analisis Data.................................................................................... 3 HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................... 8 Karaktersitik Bahan Baku ............................................................................... 8 Komposisi Kimia Daging Ikan Cucut Banteng ............................................ 10 Kandungan Mineral Daging Cucut Banteng ................................................. 12 Asam Folat Daging Cucut Banteng .............................................................. 16 KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................ 18 Kesimpulan ................................................................................................... 18 Saran ............................................................................................................. 18 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 18 RIWAYAT HIDUP .......................................................................................... 23 DAFTAR TABEL 1 Ukuran dan bobot ikan cucut banteng sampel ................................................ 8 2 Komposisi kimia daging ikan cucut banteng dan pembanding .................... 10 3 Komposisi mineral daging ikan cucut banteng dan pembanding ................. 12 DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 Diagram alir tahapan penelitian ...................................................................... 4 Ikan cucut banteng (Carcharhinus leucas) ..................................................... 8 Rendemen ikan cucut banteng sampel............................................................ 9 Kandungan asam folat daging cucut banteng ............................................... 16 Penurunan asam folat daging cucut banteng dan pembanding ..................... 17 DAFTAR LAMPIRAN 1 Morfometrik dan bobot 3 sampel ikan cucut banteng .................................. 22 PENDAHULUAN Latar Belakang Ikan cucut banteng (Carcharhinus leucas) merupakan salah satu hasil tangkapan samping dari alat tangkap long line. Menurut Worm et al. (2013), ikan cucut banteng yang telah tertangkap biasanya masih berukuran baby atau belum matang gonad. Pemanfaatan ikan cucut selama ini hanya terbatas pada bagian tertentu, misalnya sirip, jeroan, dan kulit. Sirip dimanfaatkan untuk pembuatan sup. Menurut Tumisem dan Husin (2011), minyak hati ikan cucut digunakan sebagai bahan baku skualen. Astawan dan Aviana (2003) menyebutkan bahwa kulit cucut digunakan untuk pembuatan gelatin. Daging ikan cucut kurang begitu diminati oleh masyarakat karena memiliki kandungan urea yang cukup tinggi (2,5%), sehingga menyebabkan munculnya bau pesing pada daging (Tumisem dan Husin 2011). Kurangnya pemanfaatan daging ikan cucut banteng ini bertolak belakang dengan kandungan gizi di dalamnya. Daging ikan laut memiliki kandungan gizi banyak, misalnya mineral dan vitamin B9 (asam folat) yang dibutuhkan oleh tubuh. Asam folat adalah bentuk vitamin B yang diperlukan oleh anak-anak dan orang dewasa untuk memproduksi sel darah merah dan mencegah anemia (Almatsier 2006). Mineral terdapat di dalam tubuh dan memegang peranan penting dalam pemeliharaan fungsi tubuh, baik tingkat sel, jaringan, organ maupun fungsi tubuh secara keseluruhan. Keseimbangan mineral di dalam tubuh diperlukan untuk pengaturan kerja enzim, pemeliharaan keseimbangan asam basa, pemeliharaan kepekaan otot dan saraf terhadap rangsangan (Winarno 2008). Menurut Gobinathan et al. (2009), kalsium merupakan salah satu nutrien esensial yang dibutuhkan untuk berbagai fungsi tubuh. Penelitian mengenai pengolahan daging ikan cucut belum banyak dilakukan. Santoso et al. (2008) meneliti tentang pengolahan daging cucut pisang sebagai bahan baku pembuatan surimi. Bentuk pengolahan lain yang umum dilakukan oleh masyarakat adalah proses penggorengan. Salah satu metode penggorengan adalah dengan metode deep frying, yaitu proses penggorengan dengan bahan terendam dalam minyak pada suhu antara 150-200oC (Mir-bel et al. 2012). Hal ini menyebabkan bahan yang digoreng akan matang secara merata. Pengolahan deep frying menyebabkan penurunan beberapa mineral daging African catfish pada penelitian Ersoy dan Ozeren (2009) dan perubahan kandungan asam folat daging mackerel pada penelitian Han et al. (2005). Informasi mengenai kandungan gizi daging ikan cucut banteng segar maupun yang telah mengalami proses penggorengan (deep frying) belum diketahui, sehingga perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui kandungan gizi, yaitu mineral dan vitamin B9 (asam folat) dari daging ikan cucut banteng segar dan setelah proses penggorengan (deep frying). Perumusan Masalah Ikan cucut banteng kerap kali tertangkap sebagai hasil tangkapan samping. Pemanfaatan ikan ini hanya diambil bagian tertentu, seperti sirip, jeroan, dan kulit. 2 Bagian lain seperti daging tidak dimanfaatkan dengan baik, setelah diambil bagian lain misalnya sirip. Hal ini dikarenakan kurangnya informasi mengenai kandungan gizi, khususnya asam folat (vitamin B9) dan mineral daging ikan cucut segar maupun setelah pemasakan, misalnya dengan penggorengan. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis pengaruh penggorengan (deep frying) terhadap komposisi kimia (kadar air, kadar abu, lemak, protein, dan karbohidrat), kadar mineral, dan asam folat daging cucut banteng. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai perubahan kandungan gizi (kadar air, kadar abu, lemak, protein, dan karbohidrat), mineral, dan asam folat (vitamin B9) dari daging ikan cucut banteng setelah proses penggorengan. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah analisis komponen gizi, analisis vitamin B9 (asam folat) dan mineral daging ikan cucut segar dan goreng, analisis data, serta penulisan laporan. METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari sampai Maret 2014. Preparasi bahan baku dilakukan di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Industri Hasil Perairan dan Laboratorium Preservasi dan Pengolahan Hasil Perairan, analisis proksimat di Laboratorium Biokimia Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Analisis mineral dilakukan di Laboratorium Pengujian Nutrisi Pakan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, sedangkan analisis asam folat (vitamin B9) dilakukan di Balai Besar Industri dan Agro (BBIA) Bogor. Bahan Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging ikan cucut banteng yang diperoleh dari Pasar Ikan Muara Angke, Jakarta. Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis proksimat adalah NaOH 40%, asam borat (H3BO3) 2%, HCl, H2SO4 pekat, kertas saring, akuades, tablet selenium, dan pelarut lemak heksana. Bahan yang digunakan untuk analisis mineral adalah aquades, kertas saring Whatman, HNO3 pekat, H2SO4 pekat, HClO4, dan HCl. Analisis vitamin 3 B9 (asam folat) menggunakan bahan-bahan yaitu standar vitamin B9, aseton nitril, KOH, TCA, dan buffer phospat. Alat Alat yang digunakan dalam preparasi sampel penelitian ini meliputi pisau, timbangan digital, deep fryer, dan aluminium foil. Analisis proksimat menggunakan alat timbangan analitik, cawan porselen, gegep, oven, desikator (analisis kadar air); tabung reaksi, gelas erlenmeyer, tabung kjeldahl, tabung soxhlet, pemanas (analisis kadar lemak); tabung kjeldahl, destilator, buret (analisis kadar protein); tanur dan desikator (analisis kadar abu). Pengujian mineral dilakukan menggunakan hot plate, erlenmeyer, labu takar 100 mL, glass wool, alat AAS (Atomic Absorption Spectrophotometer) merk Shimadzu tipe AA 7000, dan spektrofotometer UV-200-RS. Analisis vitamin B9 menggunakan neraca analitik, labu takar 25 mL, gelas ukur 100 mL, keras saring Whatman, dan HPLC (High Performance Liquid Chromatografi) merek Shimadzu model LC-10AT VP. Prosedur Analisis Data Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahapan meliputi pengambilan sampel ikan cucut banteng, perhitungan morfometrik dan bobot, preparasi sampel, perhitungan rendemen (daging, jeroan, sirip, kepala, insang, tulang), penggorengan daging ikan cucut banteng. Analisis yang dilakukan yaitu analisis proksimat (kadar air, protein, lemak, abu, dan karbohidrat), analisis kadar mineral, dan analisis kadar vitamin B9 (asam folat) daging ikan cucut segar dan goreng. Berikut adalah diagram alir tahapan penelitian dapat ditunjukkan pada Gambar 1. Pengambilan dan Preparasi Sampel Penelitian ini diawali dengan pengambilan sampel berupa ikan cucut banteng dari pasar Muara Angke, Jakarta. Sampel ikan cucut dibawa ke laboratorium menggunakan coolbox dengan diberi es agar terjaga kesegarannya selama proses transportasi. Selanjutnya dilakukan pengukuran morfometrik yang meliputi ukuran panjang, lebar, dan tinggi, serta pemisahan daging, kepala, jeroan, tulang, dan kulit. Proses Penggorengan (Han et al. 2005 dengan modifikasi suhu) Sebagian daging ikan cucut banteng yang telah dipisahkan, dilakukan penggorengan dengan menggunakan metode deep frying. Daging ikan cucut yang akan digoreng berukuran panjang 8-12 cm, lebar 4-5 cm, dan tebal 1-2 cm, lalu dimasukkan ke dalam panci deep frying yang telah berisi minyak 4 liter yang telah dipanaskan pada suhu 180oC. Selanjutnya daging ikan cucut digoreng selama 5 menit. Setelah itu, daging ikan cucut diangkat dan ditiriskan. Daging ikan cucut yang telah digoreng maupun daging cucut segar dilakukan pencincangan atau pelumatan hingga halus. Setelah itu dibungkus menggunakan alumunium foil, dimasukan ke dalam plastik, dan diberi label tiap kemasan. 4 Ikan cucut banteng (Carcharhinus leucas) Preparasi sampel Perhitungan ukuran dan bobot Perhitungan rendemen (kepala, jeroan, sirip, tulang, daging, kulit) Rendemen daging Rendemen kepala, daging, jeroan, tulang, sirip, dan kulit Pencincangan daging Penggorengan daging pada suhu 180oC selama 5 menit Daging cucut segar Daging cucut goreng Analisis kimia: 1 Analisis proksimat (kadar air, abu, protein, lemak, karbohidrat) 2 Analisis mineral (Ca, K, Mg, Na, P, Fe, Zn, Cu) 3 Analisis vitamin B9 (asam folat) Gambar 1 Diagram alir tahapan penelitian Rendemen (Soekarto 1985) Perhitungan rendemen meliputi bagian kepala, daging, jeroan, tulang, sirip, dan kulit. Metode yang digunakan untuk perhitungan rendemen berdasarkan pada bobot contoh dan bobot total sampel yang digunakan. Perumusan matematika rendemen adalah sebagai berikut: bobot contoh (g) Rendemen (%) = x 100% bobot sampel (g) Analisis Proksimat (AOAC 2005) Analisis proksimat adalah suatu analisis yang dilakukan dengan tujuan memprediksi komposisi kimia suatu bahan, termasuk didalamnya analisis kadar air, abu, lemak, protein dan karbohidrat. 5 Analisis kadar air (AOAC 2005) Analisis kadar air diawali dengan pengeringkan cawan porselen dalam oven pada suhu 105oC selama 1 jam. Cawan tersebut diletakkan ke dalam desikator (kurang lebih 15 menit) dan dibiarkan sampai dingin kemudian ditimbang. Sebanyak 5 gram contoh dimasukkan ke dalam cawan, kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu 105oC selama 5-8 jam atau hingga beratnya konstan. Selanjutnya, cawan tersebut diletakkan pada desikator ± 30 menit dan dibiarkan sampai dingin dan selanjutnya ditimbang kembali. Perhitungan kadar air: Kadar air (%) = B−C x 100% B−A Keterangan : A = Berat cawan kosong (gram) B = Berat cawan yang diisi dengan sampel (gram) C = Berat cawan dengan sampel yang sudah dikeringkan (gram) Analisis kadar protein (AOAC 2005) Analisis protein terdiri dari tiga tahap, antara lain destruksi, destilasi, dan titrasi. Tahap destruksi diawali dengan penimbangan sampel sebanyak 0,25 gram, kemudian dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 100 mL, lalu ditambahkan 0,25 gram selenium dan 3 mL H2SO4 pekat. Sampel didestruksi pada suhu 410oC sampai larutan jernih lalu didinginkan. Tahap selanjutnya yaitu destilasi, larutan yang telah jernih ditambahkan 50 mL akuades dan 20 mL NaOH 40% kemudian dilakukan proses destilasi. Hasil destilasi ditampung dalam labu erlenmeyer 125 mL yang berisi campuran 25 mL asam borat (H3BO3) 2% yang mengandung indikator bromcresol green 0,1 % dan methyl red 0,1 % dengan perbandingan 2 : 1 dan hasil destilat berwarna hijau kebiruan. Tahap terakhir yaitu titrasi dilakukan dengan menggunakan HCl sampai warna larutan pada erlenmeyer berubah warna menjadi merah muda. Volume titran dibaca dan dicatat. Larutan blanko dianalisis seperti contoh. Kadar protein dihitung dengan rumus sebagai berikut: %N= (mL HCl − mL blanko) x N HCl x fp x 14,007 x 100% mg berat sampel Kadar protein (%) = % N x 6,25 Analisis kadar abu (AOAC 2005) Tahap awal analisis kadar abu yaitu cawan pengabuan terlebih dulu dikeringkan di dalam oven selama 1 jam pada suhu 105oC, kemudian didinginkan di dalam desikator dan ditimbang hingga didapatkan berat yang konstan. Sebanyak 5 gram sampel dimasukkan ke dalam cawan pengabuan dan dipijarkan di atas nyala api bunsen hingga tidak berasap lagi. Setelah itu dimasukkan ke dalam tanur pengabuan dengan suhu 600oC sampai pengabuan sempurna, kemudian ditimbang hingga didapatkan berat yang konstan. Kadar abu ditentukan dengan rumus: Kadar abu (%) = C−A x 100% B−A 6 Keterangan: A = Berat cawan porselen kosong (gram) B = Berat cawan dengan sampel (gram) C = Berat cawan dengan sampel setelah dikeringkan (gram) Analisis kadar lemak (AOAC 2005) Sebanyak 5 gram sampel (W1) dimasukkan ke dalam kertas saring, kemudian sampel yang telah dibungkus dimasukkan ke dalam labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya (W2) dan disambungkan dengan tabung soxhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam ruang ekstraktor tabung soxhlet dan disiram dengan pelarut lemak. Tabung ekstraksi dipasang pada alat destilasi soxhlet, lalu dipanaskan pada suhu 40ºC dengan menggunakan pemanas listrik selama 16 jam. Pelarut lemak yang ada dalam labu lemak didestilasi hingga semua pelarut lemak menguap. Pada saat destilasi pelarut akan tertampung di ruang ekstraktor, pelarut dikeluarkan sehingga tidak kembali ke dalam labu lemak, selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC, setelah itu labu didinginkan dalam desikator sampai beratnya konstan (W3). Perhitungan kadar lemak: Kadar lemak (%) = W3 − W2 x 100% W1 Keterangan: W1 = Berat sampel (gram) W2 = Berat labu lemak kosong (gram) W3 = Berat labu lemak dengan lemak (gram) Analisis kadar karbohidrat Kadar karbohidrat dalam sampel dihitung dengan menggunakan metode by different, yaitu pengurangan dari 100% dikurangi dengan total persentase kadar air, kadar abu, kadar lemak, dan kadar protein. Analisis Mineral (AOAC 2005) Pengujian Ca, K, Na, Mg, Fe, Zn, Cu Tahap pengujian mineral diawali preparasi sampel dengan pengabuan basah. Sebanyak 10 gram sampel dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan ditambah 5 mL HNO3, kemudian campuran tersebut didiamkan selama satu jam pada suhu ruang di ruang asam, dipanaskan dengan hot plate selama 4-6 jam dengan temperatur rendah selama 4-6 jam di dalam ruang asam. Sampel kemudian ditutup dan dibiarkan semalam. Setelah itu, ditambahkan 0,4 mL H2SO4 dan dipanaskan di atas hot plate sampai larutan berkurang atau lebih pekat (biasanya ± 1 jam). Campuran tersebut kemudian ditambah 2-3 tetes larutan campuran HCl dan HNO3 dengan perbandingan 2:1. Sampel tersebut tetap diletakkan di atas hot plate karena pemanasan tetap dilanjutkan hingga campuran berubah warna dari cokelat ke kuning tua dan berubah menjadi kuning muda. Setelah ada perubahan warna, pemanasan masih dilanjutkan selama 10-15 menit. Selanjutnya sampel dipindahkan, lalu didinginkan dan tambahkan 2 mL aquades dan 0,6 mL HCl. Campuran tersebut dipanaskan kembali selama ±15 menit agar dapat larut, kemudian dimasukkan ke dalam labu takar 100 mL. Apabila terdapat endapan, dilakukan penyaringan dengan glass wool. Hasil pengabuan basah ini selanjutnya dapat dianalisa di AAS atau spektrofotometer untuk analisa berbagai mineral. 7 Larutan standar, blanko dan contoh dialirkan ke dalam Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS). Selanjutnya, diukur absorbansinya atau tinggi puncak dari standar blanko dan contoh pada panjang gelombang dan parameter yang sesuai untuk masing-masing mineral yang diuji. Panjang gelombang untuk mineral natrium adalah 589,0 nm; kalsium dengan panjang gelombang 422,7 nm; kalium dengan 766,5 nm; magnesium dengan 285,2 nm; besi dengan 248,3 nm; seng dengan 213,9 nm; dan tembaga dengan 324,7 nm. Setelah diperoleh absorbansi standar, hubungkan antara konsentrasi standar (sebagai sumbu X) dengan absorban standar (sebagai sumbu Y) sehingga diperoleh kurva standar mineral dengan persamaan garis linier y=ax+b yang digunakan untuk perhitungan konsentrasi larutan sampel. Kadar mineral (mg/kg bb) = keterangan: FP = Faktor pengenceran konsentrasi mineral x FP berat sampel (g) Pengujian Fosfor Ammonium molibdat 10% sebanyak 10 gram ditambah dengan 60 mL akuades, kemudian ditambahkan 28 mL H2SO4 dan dilarutkan dengan akuades hingga 100 mL (larutan A). Selanjutnya pembuatan larutan B dengan cara sebanyak 10 mL larutan A ditambah dengan 60 mL akuades dan 5 g FeSO4.7H2O, kemudian dilarutkan dengan akuades hingga 100 mL. Sampel hasil pengabuan basah dimasukkan ke dalam tabung kuvet kemudian ditambah dengan 2 mL larutan B. Intensitas warna diukur dengan menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 660 nm. Analisis Asam Folat (Amidzic et al. 2005) Sampel sebanyak 1 gram, masing-masing dimasukkan dalam tiga tabung reaksi. Selanjutnya ditambah aseton nitril CH3CN4 10 mL kemudian digoyangkan sampai bercampur rata. Larutan ditambah dengan KOH 3 mL, buffer phospat sebanyak 2 mL. Tabung reaksi pertama untuk lumatan daging ikan cucut ditambah asam folat standar 0,5 mL (10 ppm). Tabung reaksi lainnya ditambah dengan TCA 0,5 mL dan buffer sampai volume 10 mL. Larutan disaring, supernatan diambil 20 μL untuk diinjek ke HPLC (High Performance Liquid Chromatografi) dengan kondisi sebagai berikut : Fase gerak : Asam asetat 2% dan aseton nitril Kecepatan aliran : 1,0 mL/menit Program : Isokratik Detektor : UV visible Panjang gelombang : 290 nm Lama proses : 33 menit Volume injektor : 20 μL 8 HASIL DAN PEMBAHASAN Karaktersitik Bahan Baku Ikan cucut banteng yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari Pasar Muara Angke, Jakarta. Secara fisik ikan cucut banteng berwarna abu-abu kehitaman. Morfologi ikan cucut banteng yang digunakan sebagai sampel dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2 Ikan cucut banteng (Carcharhinus leucas) Habitat ikan cucut banteng bervariasi dari perairan dekat pantai (inshore) sampai palung dalam (trench) (Rahmat 2011). Ukuran ikan cucut pun bermacammacam tergantung dari jenis dan habitat ikan cucut tersebut. Ukuran dan bobot ikan cucut banteng yang digunakan pada penelitian ini dapat ditunjukkan Tabel 1. Tabel 1 Ukuran dan bobot ikan cucut banteng sampel Parameter Panjang baku (cm) Panjang total (cm) Lebar badan (cm) Tinggi badan (cm) Bobot (g) Nilai 51,7 ± 3,4 53,6 ± 2,7 16,6 ± 0,7 11,6 ± 0,2 591,7 ± 20,2 Ket: Data diambil dari 3 sampel ikan (Lampiran 1) Pengukuran ikan cucut banteng meliputi panjang baku, panjang total, lebar badan, tinggi badan, dan bobot tubuh. Tabel 1 menunjukkan panjang baku ratarata ikan cucut sebesar 51,7 cm, panjang total rata-rata sebesar 53,6 cm. Ikan cucut memiliki lebar badan rata-rata sebesar 16,6 cm dan tinggi badan rata-rata sebesar 11,6 cm. Bobot rata-rata ikan cucut diperoleh sebesar 591,7 gram. Pengukuran panjang dan bobot ikan cucut di atas menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan dari panjang total, panjang baku, dan bobot. Menurut Sarkar et al. (2013), perbedaan ukuran dan bobot suatu spesies tertentu disebabkan oleh perbedaan keadaan kematangan seksual, tingkat ketersediaan sumber makanan, usia, jenis kelamin, dan sistem lingkungan. Ikan cucut banteng yang digunakan belum memasuki fase dewasa atau matang gonad karena hanya memiliki panjang total sebesar 53,6 cm. Menurut Habegger et al. (2012), ikan cucut banteng memasuki fase dewasa apabila ukuran panjang total mencapai 157–226 cm pada ikan cucut banteng jantan dan antara 180–230 cm pada ikan cucut banteng betina. Pertambahan ukuran panjang atau berat dalam suatu waktu merupakan tanda dari adanya pertumbuhan. Pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam 9 biasanya adalah faktor yang sulit dikontrol seperti keturunan, umur, jenis kelamin, dan penyakit. Faktor-faktor luar yang turut mempengaruhi petumbuhan ikan antara lain suhu air, kandungan oksigen terlarut, ammonia, salinitas, serta makanan (Effendie 2002). Rendemen Ikan cucut banteng yang telah dihitung ukuran dan bobot tubuhnya selanjutnya dilakukan preparasi untuk perhitungan rendemen. Rendemen merupakan persentase perbandingan antara bobot bagian yang akan dihitung dengan total bobot ikan secara keseluruhan. Rendemen ikan cucut banteng yang dihitung meliputi bagian kepala, daging, tulang, jeroan, sirip, dan kulit. Berikut adalah nilai rendemen ikan cucut banteng dapat dilihat pada Gambar 3. Presentase rendemen (%) 60 50 48,35 40 30 17.13 20 10 8,01 8.41 6.34 9.66 Sirip Kulit 0 Daging Jeroan Kepala Tulang Gambar 3 Rendemen ikan cucut banteng sampel Diagram batang rendemen ikan cucut menunjukkan bahwa nilai rendemen tertinggi adalah bagian daging dengan nilai sebesar 48,35%. Presentase rendemen kepala berada di posisi kedua yaitu dengan nilai 17,13%. Selanjutnya rendemen kulit memiliki presentase sebesar 9,66%. Rendemen jeroan, tulang, dan sirip berturut-turut sebesar 8,01%; 8,41%; dan 6,34%. Rendemen daging yang tinggi ini menunjukkan bahwa memiliki potensi untuk dapat dimanfaatkan lebih maksimal. Rendemen daging yang diperoleh sebagian dilakukan penggorengan dengan menggunakan metode deep frying. Sebagian daging ditimbang terlebih dahulu sebelum dimasukkan ke dalam minyak yang telah dipanaskan hingga suhu 180oC dan digoreng selama 5 menit. Adanya proses penggorengan ini menyebabkan adanya penyerapan minyak sebesar 12,71% dan penyusutan bobot daging ikan cucut sebesar 41,08%. Adanya penyusutan diduga disebabkan oleh penguapan air bebas dalam padatan sehingga padatan mengalami penyusutan. Yamsaengsung dan Moreira (2002) menerangkan bahwa perubahan bahan selama penggorengan disebabkan hilangnya air bebas dalam bahan. Mula-mula air bebas di permukaan keluar pada awal penggorengan dan beberapa lama air bebas dalam padatan juga keluar mengakibatkan padatan menjadi menyusut. 10 Komposisi Kimia Daging Ikan Cucut Banteng Informasi mengenai komposisi kimia suatu bahan pangan perlu diketahui untuk mengetahui kandungan gizi yang terdapat di dalamnya. Komposisi kimia suatu bahan meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, dan kadar karbohidrat (secara by different), yang ditentukan dengan menggunakan analisis proksimat. Komposisi kimia daging ikan cucut banteng segar, goreng, dan ikan pembanding dapat dilihat apada Tabel 2 berikut. Tabel 2 Komposisi kimia daging ikan cucut banteng dan pembanding Cucut Daging Cucut Banteng Daging Cucut Banteng Pisang Komposisi Segar Goreng Segar* Kimia bb (%) bk (%) bb (%) bk (%) bb (%) Kadar air 74,09±0,01 53,11±0,04 77,91 Kadar abu 1,33±0,00 5,13±0,00 2,17±0,09 4,64±0,31 1,15 Kadar 0,56±0,04 2,15±0,14 6,08±0,09 12,97±0,20 1,60 lemak Kadar 23,56±0,08 90,95±0,31 38,45±0,04 82,01±0,14 19,08 protein Kadar 0,46±0,07 1,76±0,26 0,18±0,09 0,38±0,20 karbohidrat Sumber: *Santoso et al. (2008) Tabel 2 menunjukkan bahwa komposisi kimia cucut banteng segar pada basis kering memiliki nilai kadar abu, kadar protein, dan kadar karbohidrat yang lebih tinggi, yakni masing-masing sebesar 5,13%; 90,95%; dan 1,76%, dibandingkan dengan cucut banteng goreng. Kadar air cucut segar pada basis basah memiliki kadar air yang lebih tinggi dibandingkan cucut banteng goreng, yakni masing-masing sebesar 74,09% dan 53,11%. Sebaliknya, kadar lemak dari daging cucut goreng memiliki nilai yang lebih tinggi, yakni sebesar 12,97%, sedangkan daging cucut banteng segar sebesar 2,15%. Kadar protein cucut banteng segar lebih tinggi dibandingkan dengan cucut pisang segar, yakni masing-masing sebesar 23,56% dan 19,08%. Kadar lemak dari cucut banteng segar memiliki presentase yang lebih rendah, yakni 0,56%, dibandingkan dengan kadar lemak cucut pisang segar, yaitu sebesar 1,60%. Komposisi kimia antara daging cucut banteng segar dan daging cucut pisang segar terlihat adanya perbedaan nyata. Menurut Aberoumand (2013), komposisi kimia ikan tergantung pada berbeda faktor, seperti musim dan lokasi tangkapan, ukuran, dan siklus pemijahan. Perhitungan basis kering bertujuan untuk mengetahui besar perubahan sebenarnya yang terjadi pada daging ikan cucut segar dan setelah proses penggorengan dengan mengabaikan kadar airnya. Kadar Air Kadar air daging cucut banteng segar lebih tinggi yakni sebesar 74,09%, dibandingkan dengan daging cucut banteng goreng, yakni sebesar 53,11%. Proses penggorengan menyebabkan penguapan air bebas di dalam daging ke luar sehingga menyebabkan penyusutan. Menurut Alvis et al. (2009), penurunan kadar air suatu bahan disebabkan karena air yang terkandung di dalam bahan menguap, 11 sehingga yang terserap di dalam bahan pangan adalah minyak. Penyerapan minyak meningkat menyebabkan kadar air menurun karena posisi air digantikan oleh minyak sebagai media penghantar panas. Wu et al. (2013) menyatakan bahwa distribusi air dan minyak selama proses penggorengan merupakan faktor penting yang menentukan kualitas produk. Distribusi kadar air ini terpengaruh adanya distribusi suhu selama penggorengan. Kadar Lemak Kadar lemak pada basis kering daging cucut banteng goreng lebih tinggi, yaitu sebesar 12,97%, sedangkan daging cucut banteng segar hanya memiliki kadar lemak sebesar 2,15%. Kadar lemak basis basah pun serupa bahwa terjadi peningkatan kadar lemak akibat penggorengan, yakni daging cucut banteng goreng memiliki kadar lemak sebesar 6,08% dan daging cucut banteng segar sebesar 0,56%. Bouchon dan Pyle (2005) menyatakan bahwa adanya transfer panas saat proses penggorengan mengakibatkan air dalam produk dalam bentuk uap air yang bergerak dari produk menuju minyak goreng dan perpindahan massa minyak ke dalam produk. Hal tersebut menyebabkan terjadi peningkatan kadar lemak pada daging cucut banteng. Menurut Wu et al. (2013), jumlah minyak yang terserap oleh makanan tergantung dari banyak faktor yang mempengaruhi proses transfer panas dan massa antara produk dengan minyak, di antaranya jenis makanan, karakteristik minyak, dan kondisi saat proses penggorengan. Kadar Protein Kadar protein cucut banteng segar sebesar 90,95% dan menurun menjadi 82,01% setelah proses penggorengan (bk). Menurut Sun dan Xia (2010), perlakuan panas dapat mengubah komposisi dalam senyawa nitrogen, tergantung pada mekanisme perpindahan panas dan perlakuan pada jaringan sehingga menyebabkan kadar protein pada daging cucut banteng mengalami penurunan. Penggunaan suhu tinggi pada saat proses penggorengan menyebabkan protein terdenaturasi. Menurut Georgiev et al. (2008), protein daging bersifat tidak stabil dan mempunyai sifat dapat berubah (denaturasi) dengan berubahnya kondisi lingkungan. Kadar Abu Kadar abu menurun setelah proses penggorengan, yakni sebesar 5,13% untuk daging cucut banteng segar dan 4,64% untuk daging cucut banteng goreng (bk). Peningkatan suhu penggorengan menyebabkan penurunan kadar air dalam bahan. Hal ini menyebabkan mineral yang larut dalam air pun menurun akibat penyusutan kadar air, sehingga kadar abu dalam bahan akan ikut menurun. Menurut Dosumu et al. (2009), mineral yang terkandung dalam bahan pangan sebagian besar akan rusak pada proses pengolahan karena sensitif terhadap pH, oksigen, sinar dan panas sehingga kadar abu mengalami penurunan. Kadar Karbohidrat Kadar karbohidrat pada daging ikan cucut banteng segar sebesar 1,76% dan pada daging cucut banteng goreng sebesar 0,38% (bk). Karbohidrat pada umumnya merupakan kandungan nutrisi yang terdapat dalam jumlah kecil (1-3%) pada daging ikan segar. Karbohidrat ikan terutama adalah glikogen, yang 12 kadarnya sekitar 0,05-0,86% (Winarno dan Koswara 2002). Sumaryanto et al. (2011) menjelaskan bahwa keberadaan kandungan karbohidrat pada produk perikanan akan dipengaruhi oleh proses pengolahan disamping kandungan awal pada ikan. Karbohidrat dapat terurai menjadi bentuk-bentuk senyawa yang lebih sederhana. Produk dekomposisinya antara lain glukosa, gula fosfat, asam piruvat dan asam laktat (Irianto dan Giyatmi 2009). Kandungan Mineral Daging Cucut Banteng Mineral merupakan salah satu kunci penting dalam tubuh selain vitamin. Mineral dibedakan menjadi mineral makro dan mikro. Mineral makro adalah unsur-unsur mineral yang terdapat dalam tubuh dalam jumlah yang besar, sedangkan mineral mikro adalah unsur mineral yang terdapat dalam jumlah yang sedikit (Winarno 2008). Mineral makro meliputi Na, K, Mg, Ca, dan P. Mineral mikro meliputi Fe, Zn, dan Cu (Hosseini et al. 2014). Kandungan mineral pada daging cucut banteng segar, goreng, dan daging ikan pembanding ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3 Komposisi mineral daging ikan cucut banteng dan pembanding Kutum Daging cucut Daging cucut Perubahan roach Jenis banteng segar banteng goreng mineral segar* Mineral bk (ppm) bk (ppm) % bk (ppm) Mineral Makro Ca 518,67 ± 1,54 776,70 ± 11,68 49,75 137,85 K 17.461,52 ± 35,10 14.181,29 ± 76,51 18,79 4.067,98 Mg 1.109,49 ± 3,71 814,93 ± 2,54 26,55 211,54 Na 1.191,44 ± 1,49 714,86 ± 1,63 40,00 639,48 P 5.088,76 ± 59,82 3.865,55 ± 31,88 24,04 3.211,11 Mineral Mikro Fe 29,49 ± 0,24 28,48 ± 0,14 3,42 8,81 Zn 20,74 ± 0,06 19,68 ± 0,48 5,12 3,05 Cu 1,09 ± 0,02 1,02 ± 0,02 6,39 0,23 Sumber: *Hosseini et al. (2014) Hasil analisis mineral pada Tabel 3 menunjukkan bahwa hampir seluruh daging ikan cucut banteng segar memiliki kandungan mineral yang lebih besar dibandingkan ikan pembanding lainnya, yakni daging kutum roach segar pada penelitian Hosseini et al. (2014). Seluruh mineral mikro dan makro pada daging cucut banteng segar memiliki nilai yag lebih tinggi dibandingkan dengan Kutum roach segar. Ozogul et al. (2005) menerangkan bahwa komposisi mineral suatu bahan berbeda bergantung pada lokasi atau habitat, siklus biologi, musim, dan kebiasaan makan. Kandungan mineral daging cucut segar mengalami kenaikan dan penurunan setelah proses penggorengan. Adanya penggorengan menyebabkan kenaikan pada 13 mineral kalsium (Ca) daging cucut banteng, dan penurunan kadar mineral kalium (K), magnesium (Mg), natrium (Na), fosfor (P), besi (Fe), seng (Zn), dan tembaga (Cu) daging cucut banteng. Menurut Mnari et al. (2012), penurunan kandungan mineral tergantung pada kondisi proses pengolahan, seperti waktu, suhu, dan media pengolahan. Kalsium Hasil analisis mineral pada Tabel 3 menunjukkan baahwa jumlah kalsium yang terdapat dalam daging cucut banteng segar sebesar 518,67 ppm sedangkan daging cucut banteng goreng sebesar 776,70 ppm. Hal ini menunjukkan bahwa adanya proses penggorengan menyebabkan peningkatan jumlah kalsium pada daging cucut banteng sebesar 49,75%. Kenaikan kadar kalsium ini sesuai dengan penelitian Hosseini et al. (2014) bahwa terjadi peningkatan kadar kalsium pada fillet ikan Kutum roach setelah penggorengan, yakni sebesar 148,87%. Serupa dengan penelitian Ersoy dan Ozeren (2009) bahwa proses penggorengan meningkatkan kalsium pada daging African catfish, yakni sebesar 76,81%. Menurut Fikawati et al. (2005), makanan sumber laut mengandung kalsium lebih banyak dibanding daging sapi maupun ayam. Peningkatan kalsium diduga akibat dari terserapnya minyak ke dalam daging cucut banteng, sehingga kalsium meningkat. Akpanabiatu et al. (2001) menerangkan bahwa minyak sawit mengandung kalsium sebesar 75-214 mg/100g bahan. Menurut Almatsier (2006), kalsium tersebar luas dalam tubuh. Di dalam cairan ekstraselular dan intraselular kalsium memegang peranan penting dalam mengatur fungsi sel, seperti untuk transmisi saraf, kontraksi otot, penggumpalan darah, dan menjaga permeabilitas membran sel. Magnesium Kadar magnesium pada daging cucut banteng menurun akibat penggorengan. Daging cucut banteng segar mengandung magnesium sebesar 1109,49 ppm dan menurun sebesar 26,55% setelah penggorengan. Hasil penelitian Hosseini et al. (2014) menunjukkan hal yang sama, kadar magnesium fillet ikan kutum roach menurun sebesar 4,73% setelah penggorengan. Penurunan ini diduga oleh magnesium yang terikat pada air bebas di dalam daging ikut hilang selama proses penggorengan karena sifat magnesium yang mudah larut dalam air. Menurut Salamah et al. (2012), magnesium merupakan salah satu bahan pengotor garam yang bersifat higroskopis, serta pengolahan menurunkan kadar magnesium dalam bahan. Penurunan juga diduga karena magnesium yang terdapat di dalam di dalam otot terdenaturasi bersama protein akibat pemanasan akibat penggorengan. Menurut Almatsier (2006), sekitar 60% dari 20-28 mg magnesium di dalam tubuh terdapat di dalam tulang dan gigi, 26% di dalam otot dan selebihnya di dalam jaringan lunak lainnya serta cairan tubuh. Kekurangan magnesium akan menyebabkan hypomagnesema dengan gejala denyut jantung tidak teratur, insomnia, lemah otot, kejang kaki, serta telapak kaki dan tangan gemetar (Winarno 2008). Kalium Kadar kalium pada daging cucut banteng segar menurun akibat proses penggorengan. Daging cucut banteng setelah penggorengan mengalami penurunan 14 kalium sebesar 18,79%. Penurunan kalium juga ditunjukkan pada penelitian Lewu (2010) bahwa jumlah kalium yang terdapat pada Colocasia esculenta (L.) Schott menurun setelah adanya pengolahan. Kalium yang menurun pada daging cucut banteng diduga ikut hilang bersama air dari dalam daging ke luar akibat menguap saat penggorengan. Kalium berbentuk kation utama cairan dalam sel (Tejasari 2005). Menurut Santoso et al. (2006), mineral pada makanan dapat berubah struktur kimianya pada waktu proses pemasakan atau akibat interaksi dengan bahan lain. Kalium berperan dalam pembentukkan sel. Di dalam sel, kalium berfungsi sebagai katalisator dalam banyak reaksi biologik, terutama dalam metabolisme energi serta sintesis glikogen dan protein (Almatsier 2006). Natrium Kadar natrium pada daging cucut banteng segar ialah sebesar 1191,44 ppm dan menurun sebesar 40% setelah proses penggorengan. Hal yang sama juga terdapat pada penelitian Hosseini et al. (2014) bahwa terjadi penurunan kadar natrium pada fillet ikan kutum roach, yaitu sebesar 7,86% setelah penggorengan. Kadar natrium pada daging cucut banteng yang mengalami penurunan diduga disebabkan natrium pada daging yang hilang bersama cairan pada saat pemasakan. Kehilangan natrium selama pemasakan tidak dapat dihindari karena natrium dapat melebur pada suhu 97,5oC (Adam 2011 dalam Aisyah 2012). Natrium sebagai kation ekstraselular berperan dalam keseimbangan tekanan osmosis ekstraseluler, pengaturan volume darah, dan dalam struktur tulang (Tejasari 2005). Menurut Winarno (2008), tanda pertama dari kekurangan natrium adalah rasa haus. Apabila terjadi banyak kehilangan natrium, maka cairan ekstraselular berkurang, akibatnya tekanan osmotik dalam cairan tubuh menurun. Fosfor Kadar fosfor dalam daging cucut banteng segar menunjukkan nilai yang paling tinggi di antara mineral-mineral lainnya, yakni sebesar 5088,76 ppm. Hal ini didukung oleh Winarno (2008) bahwa kurang lebih 1 persen dari berat tubuh terdiri atas fosfor yang mengakibatkan fosfor merupakan mineral kedua terbanyak setelah kalsium. Namun, kalsium pada daging cucut menunjukkan nilai yang rendah. Hal ini diakibatkan 99% dari seluruh total kalsium dalam tubuh terdapat di dalam jaringan keras, yaitu tulang dan gigi terutama dalam bentuk hidroksiapatit (Almatsier 2006). Setelah penggorengan, fosfor dalam daging cucut banteng menurun sebesar 24,04%. Penurunan fosfor juga terdapat pada penelitian Hosseini et al. (2014) bahwa fillet kutum roach segar mengandung fosfor sebesar 3211,11 ppm dan mengalami penurunan sebesar 1,47% setelah penggorengan. Winarno (2008) menerangkan bahwa dalam bahan pangan, fosfor terdapat dalam berbagai bahan organik dan anorganik. Penurunan ini diduga fosfor yang terdapat dalam bahan organik daging cucut banteng melebur selama proses penggorengan, menyisakan fosfor yang terdapat dalam bahan anorganik. Fosfor selain berperan dalam pembentukan tulang, juga diperlukan dalam penggunaan energi dan komponen sel (Almatsier 2006). Besi Kadar besi di dalam daging cucut banteng segar adalah sebesar 29,49 ppm, tetapi setelah dilakukan penggorengan terjadi penurunan kadar besi sebesar 3,42%. 15 Hal ini sesuai dengan penelitian Hosseini et al. (2014) bahwa fillet kutum roach segar memiliki kadar besi sebesar 8.81 ppm dan mengalami penurunan sebesar 29,62% setelah proses penggorengan. Penurunan kadar besi serupa juga terdapat pada peneltian Gokoglu et al. (2004) bahwa proses penggorengan menurunkan kadar besi pada daging rainbow trout sebesar 16,19%. Penurunan kadar besi pada daging cucut banteng diduga disebabkan karena adanya pemanasan yang tinggi selama penggorengan. Menurut Dosumu et al. (2009), mineral yang terkandung dalam bahan pangan sebagian besar akan rusak pada proses pengolahan karena sensitif terhadap pH, oksigen, sinar dan panas atau kombinasi diantaranya. Nurjanah et al. (2005) menambahkan bahwa Fe yang terdapat pada jaringan mudah terlepas dari struktur kompleks dengan protein, sehingga kadar besi menurun setelah penggorengan. Alamtsier (2006) menyatakan bahwa besi (Fe) mempunyai fungsi sebagai alat angkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh, sebagai alat angkut elektron di dalam sel, dan sebagai bagian terpadu berbagai reaksi enzim di dalam jaringan tubuh. Seng Proses penggorengan mengakibatkan penurunan kadar seng daging cucut banteng sebesar 5,12%. Daging cucut banteng segar memiliki kadar seng sebesar 20,74 ppm dan menurun menjadi 19,68 ppm pada daging cucut banteng goreng. Hosseini et al. (2014) juga menunjukkan hal yang sama, yakni terjadi penurunan kadar seng pada fillet kutum roach setelah penggorengan sebesar 11,48%. Penurunan kadar seng ini diduga disebabkan adanya pemanasan yang tinggi saat penggorengan menyebabkan komponen seng terdegradasi. Nurjanah et al. (2005) menyatakan bahwa seng (Zn) adalah komponen protein yang mempunyai gugus SH- (metallothionine), adanya penurunan kadar Zn setelah pengolahan disebabkan oleh terdegradasinya komponen metallothionine (gugus SH-) tersebut. Menurut Tejasari (2005), mineral seng terlibat dalam aktivitas lebih dari 90 enzim yang ada hubungannya dengan metabolisme karbohidrat dan energi, perombakan dan pembentukkan protein, asam nukleat, dan heme serta pengangkutan CO2. Tembaga Kadar tembaga pada daging cucut banteng segar pada Tabel 3 adalah sebesar 1,09 ppm. Adanya proses penggorengan menyebabkan kadar tembaga daging cucut banteng menurun sebesar 6,39%. Penurunan kadar tembaga akibat proses penggorengan juga ditunjukkan pada penelitian Ersoy dan Ozeren (2009), yakni kadar tembaga pada daging African catfish menurun sebesar 2,32% setelah penggorengan. Tembaga pada daging cucut banteng menurun diduga disebabkan adannya proses denaturasi protein saat penggorengan yang menyebabkan hilangnya asam amino bebas. Almatsier (2006) menyebutkan bahwa tembaga terdapat di dalam otot sekitar 40%, di dalam hati sebesar 15%, di dalam otak sebesar 10%, di dalam darah sebesar 6%, serta sisanya dalam tulang, ginjal, dan jaringan tubuh lain. Di dalam plasma, 60% tembaga (Cu) terikat dengan seruloplasmin (60%), transkuprein (30%), dan albumin serta asam amino (10%). Hal tersebut menyebabkan sebagian tembaga yang terikat pada asam amino akan hilang seiring dengan proses denaturasi protein saat proses penggorengan sehingga kadar tembaga pada daging cucut banteng mengalami penurunan. Menurut Winarno (2008), tembaga diperlukan dalam proses perumbuhan sel-sel 16 darah merah yang masih muda. Apabila kekurangan tembaga, sel-sel darah merah yang dihasilkan akan berkurang. Asam Folat Daging Cucut Banteng Asam folat merupakan senyawa induk dari sekumpulan senyawa yang secara umum disebut folat (Tangkilisan dan Rumbajan 2002). Asam folat adalah salah satu dari kelompok vitamin B. Asam folat ini merupakan zat yang larut dalam air dan cepat rusak bila terpapar panas (BPOM 2008). Kandungan asam folat daging cucut banteng dapat dilihat pada Gambar 4. 1.2 1.06 1.1 Kadar asam folat (ppm) 1 0.9 0.8 0.7 0.6 0.54 0.5 0.4 0.3 0.27 0.25 0.2 0.1 0 basis basah basis kering Gambar 4 Kandungan asam folat daging cucut banteng segar ( ) dan goreng ( ) Gambar 4 menunjukkan pada basis basah maupun basis kering menunjukkan penurunan jumlah asam folat yang terkandung pada daging cucut banteng. Analisis asam folat pada basis basah menunjukkan bahwa daging cucut banteng segar mengandung asam folat sebesar 0,27±0,001 ppm dan menurun menjadi 0,25±0,009 ppm setelah proses penggorengan. Hal yang sama juga ditunjukkan pada perhitungan basis kering, yakni daging cucut banteng segar mengandung asam folat sebesar 1,06±0,003 ppm dan menurun menjadi 0,54±0,02 ppm setelah penggorengan. Penurunan kadar asam folat juga terlihat pada penelitian lain, sebagaimana tampak pada Gambar 5. Gambar 5 menunjukkan bahwa penggorengan menurunkan asam folat daging cucut banteng sebesar 49,06%. Penelitian Han et al. (2004) juga menunjukkan adanya penurunan kadar asam folat pada daging mackerel dan daging saury setelah penggorengan. Daging mackerel segar mengandung asam folat sebesar 0,43 ppm dan menurun sebesar 62,79% setelah penggorengan. Hal yang sama juga terlihat pada daging saury setelah penggorengan menyebabkan penurunan asam folat sebesar 39,28%. 17 1.2 1.1 1.06 1 Asam folat (ppm) 0.9 0.8 0.7 0.6 0.54 0.5 0.43 0.4 0.28 0.3 0.16 0.2 0.17 0.1 0 Daging cucut banteng Mackerel* Saury* Gambar 5 Penurunan asam folat daging cucut banteng dan pembanding. Segar, goreng, *Han et al. (2004). Penurunan asam folat pada daging cucut banteng diduga disebabkan adanya pemanasan selama penggorengan, serta sifat asam folat yang mudah larut dalam air menyebabkan ikut hilang bersama uap air selama pemasakan pada suhu tinggi. Asam folat yang terdapat di dalam jaringan terlepas dari struktur protein akibat pemasakan. Menurut Winarno (2008), asam folat banyak hilang akibat adanya pemasakan. Yuniati dan Almasyhuri (2012) menambahkan bahwa asam folat ini sangat tidak stabil, bersifat mudah larut dalam air, dan mudah rusak karena panas sehingga kandungan asam folat dari suatu bahan makanan sangat sulit diukur. Apabila mengabaikan kadar air, penurunan asam folat pada daging diduga disebabkan bentuk poliglutamat pada asam folat yang tidak stabil akibat pemanasan. Sebanyak 75% folat di dalam makanan terdapat dalam bentuk poliglutamat dan sisanya sebagai monoglutamat (Almatsier 2006). Bentuk monoglutamat agak stabil terhadap panas dalam suasana asam dan netral, namun dalam bentuk terikat dengan tri dan heptaglutamat, asam folat tidak stabil terhadap panas (Tejasari 2005). Hal tersebut menyebabkan penurunan asam folat pada daging cucut banteng. Makanan yang diolah dengan pemanasan akan memiliki kandungan asam folat lebih rendah. Menurut Tangkilisan dan Rumbajan (2002), pemanasan dapat merusak 50-90% folat yang terdapat dalam makanan. Folat merupakan molekul sensitif karena dapat terdegradasi oleh panas serta oksidasi yang menyebabkan pembelahan folat menjadi pteridine dan asam para-aminobenzoic (Scott et al. 2000). Kebutuhan asam folat berbeda-beda tiap individu, bergantung jenis kelamin, umur, dan kondisi tertentu. Menurut BPOM (2008), asupan folat yang direkomendasikan bagi orang dewasa normal yaitu sebesar 400 μg per hari. Bagi wanita hamil, menyusui serta pada pasien dengan laju pergantian sel yang tinggi seperti pasien anemia hemolitik, membutuhkan asam folat sebesar 500-600 μg atau lebih setiap harinya. Folat dibutuhkan untuk pembentukkan sel darah merah 18 dan sel darah putih dalam sumsum tulang dan untuk pendewasaannya, serta berperan dalam sintesis purin-purin guanin dan adenin serta pirimidin timin, yaitu senyawa-senyawa yang digunakan dalam pembentukkan asam deoksiribonukleat (DNA) dan asam ribonukleat (RNA) (Almatsier 2006). Kekurangan asam folat terutama menyebabkan gangguan metabolisme DNA. Hal ini menyebabkans terjadi perubahan dalam morfologi inti sel terutama sel-sel yang sangat cepat membelah, seperti sel darah merah, sel darah putih serta sel-sel epitel lambung dan usus, vagina dan serviks rahim (BPOM 2008). KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Penggorengan dengan metode deep frying pada suhu 180oC selama 5 menit menyebabkan perubahan komposisi kimia, mineral, dan asam folat daging cucut banteng. Kadar air, abu, protein, dan karbohidrat mengalami penurunan, tetapi kadar lemaknya mengalami peningkatan. Proses penggorengan menaikkan Ca sebesar 49,75% dan menurunkan K sebesar 18,79%; Mg sebesar 26,55%; Na sebesar 40%; P sebesar 24,04%; Fe sebesar 3,42%; Zn sebesar 5,12%; Cu sebesar 6,39%. Asam folat daging cucut banteng juga mengalami penurunan, yakni sebesar 49,06% setelah penggorengan. Saran Berdasarkan penelitian ini perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai perubahan kandungan asam amino dan asam lemak daging cucut banteng (Carcharhinus leucas) karena penggorengan. Perubahan kandungan gizi daging cucut banteng akibat pengolahan lain, misalnya perebusan. DAFTAR PUSTAKA Aberoumand A. 2013. Effect of processing on proximate composition and energy values of two less known selected fish species consumed in Southern Iran. Indian Journal Of Animal Research. 47(5):417-420. Aisyah AN. 2012. Perubahan kandungan mineral dan vitamin A ikan cobia (Rachycentron canadum) akibat proses pengukusan. [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Akpanabiatu MI, Ekpa OD, Mauro A, Rizzo R. 2001. Nutrient composition of nigerian palm kernel from the dura and tenera varieties of the oil palm (Elaeis guineensis). Food Chemistry. 72:173-177. 19 Almatsier S. 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka Utama. Alvis A, Velez C, Rada-Mendoza M, Villamiel M, Villada HS. 2009. Heat transfer coefficient during deep-fat frying. Food Control. 20:321–325. Amidzic R, Brboric J, Cudina O, Vladimirov S. 2005. RP-HPLC determination of vitamins B1, B3, B6, folic acid and B12 in multivitamin tablets. Journal of the Serbian Chemical Society. 70(10):1229–1235. [AOAC] Association of Official Analytical Chemyst. 2005. Official Method of Analysis of The Association of Official Analytical of Chemist. Arlington, Virginia, USA: Association of Official Analytical Chemist, Inc. Astawan M dan Aviana T. 2003. Pengaruh jenis larutan perendam serta metode pengeringan terhadap sifat fisik, kimia, dan fungsional gelatin dari kulit cucut. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. 14(1):7-13. Bouchon P dan Pyle DL. 2005. Modelling oil absorption during post-frying cooling I: Model development. Food and Bioproducts Processing. 83(C4):253–260. [BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. 2008. Asam folat bagi tubuh. Naturakos. 3(7):2-3. Dosumu OO, Oluwaniyi OO, Awolola GV, Okunola MO. 2009. Stability studies and mineral concentration of some nigerian packed fruit juices, concentrate and local beverages. African Journal of Food Science. 3(3):82-85. Effendie MI. 2002. Biologi Perikanan. Yogyakarta (ID): Yayasan Pustaka Nusantama. Ersoy B dan Ozeren A. 2009. The effect of cooking methods on mineral and vitamin contents of African catfish. Food Chemistry. 115: 419–422. Evanuarini H dan Purnomo H. 2011. Physical and organoleptic quality of chicken nuggets fried at different temperature and time. Journal of Agriculture and Food Technology. 1(8):133-136. Fakhrurrizal R, Hutabarat S, Hartoko A. 2014. Analisa sebaran spasial ikan cucut (ordo Rajiformes) berdasarkan variasi kedalaman di perairan Laut Jawa. Diponegoro Journal of Maquares. 3(1):71-80. Fikawati S, Syafiq A, Puspasari P. 2005. Faktor-faktor yang berhubungan dengan asupan kalsium pada remaja di kota Bandung. Universa Medicina. 24(1): 24-34. Georgiev L, Penchev G, Dimitrov D, Pavlov A. 2008. Structural changes in common carp (Cyprinus carpio) fish meat during freezing. Bulgarian Journal of Veterinary Medicine. 2(2): 131-136. Gobinathan P, Murali PV, Panneerselvam R. 2009. Interactive effects of calcium metabolism in pennisetum typoidies. Advances in Biological Research. 3(56):168-173. 20 Gokoglu N, Yerlikaya P, Cengiz E. 2004. Effects of cooking methods on the proximate composition and mineral contents of rainbow trout (Oncorhynchus mykiss). Food Chemistry. 84:19–22. Habegger ML, Mottaa PJ, Huberb DR, Dean MN. 2012. Feeding biomechanics and theoretical calculations of bite force in bull sharks (Carcharhinus leucas) during ontogeny. Zoology. 115:354–364. Han YH, Yon M, Hyun TH. 2005. Folate intake estimated with an updated database and its association to blood folate and homocysteine in Korean college students. European Journal of Clinical Nutrition. 59:246–254. Hosseini H, Mahmoudzadeh M, Rezaei M, Mahmoudzadeh L, Khaksar R, Khosroshahi NK, Babakhani A. 2014. Effect of different cooking methods on minerals, vitamins and nutritional quality indices of kutum roach (Rutilus frisii kutum). Food Chemistry. 148: 86–91. Irianto HE dan Giyatmi S. 2009. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Jakarta (ID): Penerbit Universitas Terbuka. Lewu MN, Adebola PO, Afolayana AJ. 2010. Effect of cooking on the mineral contents and anti-nutritional factors in seven accessions of Colocasia esculenta (L.) Schott growing in South Africa. Journal of Food Composition and Analysis. 23:389–393 Mir-Bel J, Oria R, Salvador ML. 2012. Influence of temperature on heat transfer coefficient during moderate vacuum deep-fat frying. Journal of Food Engineering. 113:167–176. Mnari AB, Zaghbib SF, Dhibi M, Harzallah HJ, Dabbou S, Cafsi ME, Hammami M, Chaouch A. 2012. Effects of different cooking methods on the mineral contents of wild and farmed sea bream (Sparus aurata). International Journal of Food Science and Technology. 47:1964–1969. Nurjanah, Zulhamsyah, Kustiyariyah. 2005. Kandungan mineral dan proksimat kerang darah (Anadara granosa) yang diambil dari Kabupaten Boalemo, Gorontalo. Buletin Teknologi Hasil Perikanan. 8(2):15-24. Ozogul Y, Ozogul F, Olgunogl IA. 2005. Fatty acid profile and mineral content of the wild snail (Helix pomatia) from the region of the South of the Turkey. European Food Research and Technology. 221: 547-549. Rahmat E. 2011. Teknik pengukuran morfometrik pada ikan cucut di perairan Samudera Hindia. Balai Riset Perikanan Laut, Muara Baru-Jakarta. 9(2):1-5 Salamah E, Purwaningsih S, Kurnia R. 2012. Kandungan mineral remis (Corbicula javanica) akibat proses pengolahan. Jurnal Akuatika. 3(1):74-83. Santoso J, Satako G, Yumiko YS, Takeshi S. 2006. Mineral content of Indonesian seaweed solubility af ected by basic cooking. Journal of Food Science and Technology. 12(1):59-66. Santoso J, Yasin AWN, Santoso. 2008. Perubahan karakteristik surimi ikan cucut dan ikan pari akibat pengaruh pengkomposisian dan penyimpanan dingin daging lumat. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. 19(1):57-66. 21 Sarkar UK, Khan GE, Dabas A, Pathak AK, Mir JI, Rebello SC, Pal A, Singh SP. 2013. Length weight relationship and condition factor of selected freshwater fish species found in River Ganga, Gomti and Rapti, India. Journal of Environmental Biology. 34:951-956. Scott J, Rebeille F, Fletcher J. 2000. Folic acid and folates: the feasibility for nutritional enhancement in plant foods. Journal of the Science of Food and Agriculture. 80(7):795-824. Soekarto ST. 1985. Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Jakarta (ID): Bharata Karya Aksara. Sumaryanto H, Pratama RI, Santoso J, Muhandri T, Yuniarti T, Assadad L. 2011. Karakteristik kimia ikan salai. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan PerikananIII. 157-162. Sun L dan Xia W. 2010. Effect of steam cooking on muscle and protein heatdanature of tuna. Food and Machinery. 26:22-25. Tangkilisan HA dan Rumbajan D. 2002. Defisiensi asam folat. Sari Pediatri. 4(1):21-25. Tejasari. 2005. Nilai Gizi Pangan. Yogyakarta (ID): Graha Ilmu. Tumisem A dan Husin. 2011. Produk olahan daging cucut bernilai jual tinggi. Eksplanasi. 6(2):132-139. Winarno FG dan Koswara S. 2002. Ikan dan Hasil Olahannya. Bogor (ID): MBrio Press. Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta (ID): PT. Gramedia Pustaka Utama. Worm B, Davis B, Kettemer L, Ward-Paigea CA, Chapmanb D, Heithaus MR, Kessel ST, Gruber SH. 2013. Global catches, exploitation rates, and rebuilding options for sharks. Marine Policy. 40:194–204. Wu H, Tassou SA, Karayiannis TG, Jouhara H. 2013. Analysis and simulation of continuous food frying processes. Applied Thermal Engineering. 53:332339. Yamsaengsung R dan Moreira RG. 2002. Modeling the transport phenomena and structural changes during deep fat frying, Part I: model development. Journal of Food Engineering. 53:1-10. Yuniati H dan Almasyhuri. 2012. Kandungan vitamin B6, B9, B12 dan E beberapa jenis daging, telur, ikan dan udang laut di bogor dan sekitarnya. Panel Gizi Makan. 35(1):78-89. 22 LAMPIRAN Lampiran 1 Morfometrik dan bobot 3 sampel ikan cucut banteng Parameter Panjang baku (cm) Panjang total (cm) Lebar badan (cm) Tinggi badan (cm) Bobot (g) Parameter Ikan 1 54,9 56,2 17,3 11,7 610 Ikan 2 48,2 50,8 15,9 11,4 570 Ikan 3 51,9 53,7 16,5 11,7 595 Rata-rata 51,67 ± 3,36 53,57 ± 2,70 16,57 ± 0,70 11,60 ± 0,17 591,67 ± 20,21 23 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Batu, Malang pada tanggal 13 Juni 1992 sebagai anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Gatot Wasiyat dan Sutriyani. Penulis memulai jenjang pendidikan formal di RA Siti Khadijah Beji (tahun 1997-1998), selanjutnya penulis melanjutkan pendidikannya di SDN 01 Beji (tahun 1998-2004), pendidikan menengah pertama di SMPN 01 Batu (tahun 2004-2007), pendidikan menengah atas ditempuh penulis di SMAN 01 Batu dan lulus pada tahun 2010. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikan kuliah di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI. Selama masa perkuliahan, penulis tergabung dalam organisasi Food Processing Club (FPC) di Departemen Teknologi Hasil Perairan. Penulis pernah melakukan praktik lapang di perusahaan PT. Alam Jaya dengan tema “Aplikasi Good Manufacturing Practices (GMP) pada Proses Pengolahan Fillet Ikan Kakap Merah (Lutjanus sp.)”. Penulis juga aktif sebagai asisten mata kuliah Teknologi Penanganan dan Transportasi Biota Perairan periode 2013/2014. Sebagai salah satu syarat meraih gelar sarjana, penulis melakukan penelitian yang berjudul “Analisis Profil Mineral dan Asam Folat Daging Cucut Banteng Segar dan Goreng” di bawah bimbingan Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, MPhil dan Prof. Dr. Ir. Nurjanah, MS.