Asmawi Mahfudz: Geneologi Negara Islam Geneologi Negara Islam (Studi Terhadap Konstitusi Madinah Masa Kepemimpinan Rasulullah Saw) Asmawi Mahfudz1 Abstrak: Belum cukup dua tahun dari kedatangan Nabi di Madinah, beliau mempermaklumkan satu piagam yang mengatur kehidupan dan hubungan antara komunitas-komunitas yang merupakan komponen masyarakat yang plural di Madinah. Piagam tersebut lebih dikenal sebagai Piagam Madinah. Banyak di antara pemimpin dan pakar ilmu politik Islam beranggapan bahwa Piagam Madinah adalah konstitusi atau undang-undang dasar bagi negara Islam pertama yang didirikan oleh Nabi saw. di Madinah. Oleh karenanya, telaah yang seksama atas piagam tersebut menjadi sangat urgen dalam rangka kajian ulang tentang hubungan antara Islam dan ketatanegaraan. Kata Kunci: Negara Islam, Konstitusi Madinah. A. Pendahuluan Islam, sebagaimana dikatakan Edward Mortimer, bukan hanya sekedar agama. Lebih dari itu, ia berarti cara hidup suatu model masyarakat, suatu kebudayaan, dan suatu peradaban.2 Hal ini bisa dipahami dengan sebuah pengertian bahwa Islam adalah pola hidup yang harus diikuti oleh orang-orang muslim dalam seluruh aktifitas hidupnya. Lahirnya Islam membawa perubahan cepat (revolusi) dalam alam pikiran arab pada khususnya dan alam pikiran dunia pada umumnya. Timbulnya revolusi dalam dunia pikir berarti juga terjadi revolusi dalam segala bidang kehidupan manusia, baik bidang agama, bidang politik, bidang ekonomi, dan bidang sosial budaya.3 Revolusi ini telah mengkonstruksi peradaban baru di atas puing-puing jahiliyah. 1 Mahasiswa Program Doktor IAIN Sunan Ampel Surabaya, Pengajar di IAI Tribakti Kediri dan STAIN Tulungagung 2 Edward Mortimer, Islam dan Kekuasaan, terj. Enna Hadi dan Rahmani Astuti (Bandung: Mizan,1984), 14. 3 A. Hasjimy, Sejarah Kebudayaan Islam (Jakarta: PT Karya UI Press, 1993), 1. 132 Tribakti, Volume 16 No. 2 Juli 2006 Asmawi Mahfudz: Geneologi Negara Islam Islam adalah agama yang lengkap. Di dalamnya terdapat sistem tata negara atau politik.4 Oleh karena itu, dalam bernegara umat Islam hendaknya kembali kepada sistem ketatanegaraan Islam yang telah dicontohkan Nabi. Tulisan ini akan mencoba mengulas tentang lahirnya negara Madinah di bawah kepemimpian Nabi Muhammad yang terdiri dari; kehidupan Nabi, dakwah dan perjuangannya baik sebelum maupun sesudah diangkat menjadi rasul. Kemudian lahirnya negara Madinah yang meliputi kehidupan Nabi di Madinah dan munculnya Piagam Madinah. B. Latar Belakang Kehidupan Muhamad 1. Sebelum diangkat menjadi rasul Nabi Muhammad adalah anggota Bani Hasyim. Suatu kabilah dalam suku Quraisy. Beliau lahir dari keluarga terhormat yang relatif miskin. Suku Quraisy ini merupakan suku yang terhormat dan disegani. Suku inilah yang memberikan jamuan, baik makanan maupun minuman bagi para peziarah Ka’bah sejak sebelum Islam datang. Sehingga suku ini menjadi terhormat dan dikenal di seluruh jazirah Arab. Suku Quraisy menempati wilayah tanah haram, yakni suatu tempat yang memiliki peran yang sangat vital bagi sosial ekonomi dan juga pengaruh politik.5 Ayahnya bernama Abdullah bin Abdul Muththalib. Seorang kepala suku Quraisy yang besar pengikutnya. Ibunya Aminah binti Wahab dari Bani Zuhrah.6 Tahun kelahiran Nabi dikenal dengan nama Tahun gajah.7 Dinamakan demikian karena tahun itu Abrahah, raja Habsyi dengan pasukan yang besar datang ke Makkah untuk menghancurkan Ka’bah dengan naik gajah. Dalam usia muda Muhammad hidup sebagai penggembala kambing keluarganya dan kambing penduduk Mekah pada waktu itu. Untuk pertama kalinya Muhammad ikut dalam kabilah dagang ke Syiria pada usia 12 tahun di bawah pimpinan pamannya, Abu Thalib. 4 Munawir Sjadzali, Islam Dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah Dan Pemikiran (Jakarta: UI Press, 1990), 1. 5 Lebih jelasnya tentang konsep haram ini, lihat Hugh Kennedy, The Propet and the Age of Caliphates. The Islamic Near East from the Six to the Eleventh Century (Singapore: Longman Singapore Publishers (Pte) Ltd 1986), 27. 6 Sayyid Husein Nashr, Muhammad Kekasih Allah, ter. Bahtiar Efendi (Bandung: Mizan, 1993), 12. 7 W. Montgomery Watt, Muhammad Propet and Statesman (London: Oxford University Press, 1969), 7. Tribakti, Volume 16 No. 2 Juli 2006 133 Asmawi Mahfudz: Geneologi Negara Islam Kemudian pada usia 25 tahun Muhammad berangkat ke Syiria membawa barang dagangan saudagar wanita kaya raya, Khadijah. Dalam perdagangan ini mendapat laba yang besar. Saudagar wanita inilah yang akhirnya menjadi istrinya. Dalam perkembangan selanjutnya Khadijah adalah wanita pertama yang masuk Islam dan banyak membantu Nabi dalam memperjuangkan Islam. Peristiwa penting yang memperlihatkan kebijaksanaan Muhammad terjadi pada usia 35 tahun. Waktu itu bangunan Ka’bah rusak berat. Perbaikannya dilakukan secara gotong royong. Tetapi pada saat terakhir ketika pekerjaan tinggal meletakkan hajar aswad, timbul perselisihan antar suku. Masing-masing merasa lebih berhak meletakkannya ke tempat semula. Peristiwa makin memuncak yang hampir menyebabkan pertikaian. Namun akhirnya para pemimpin Quraisy sepakat bahwa orang yang pertama masuk Ka’bah akan berhak memutuskan perkara ini. Ternyata orang yang masuk itu adalah Muhammad. Sehingga dialah orang yang berhak mengembalikan hajar aswad pada tempatnya semula. Kemudian Muhammad membentangkan kain dan meletakkan hajar aswad di tengahnya serta meminta kepada seorang kepala suku memegang ujung kain dan mengangkatnya bersama.8 Dari kejadian ini menunjukkan kecerdasan dan kebijaksanaan Muhammad dalam menyelesaikan masalah, sehingga pertikaian antar suku bisa dihindari dan bisa memuaskan semua pihak. 2. Masa kerasulan Menjelang usia 40 tahun Muhammad sudah terbiasa bertahannuts di gua Hira. Nabi tinggal di gua ini mula-mula hanya beberapa saat saja. Namun akhirnya berlangsung berhari-hari bahkan berlangsung satu bulan.9 Pada tanggal 17 Ramadlan 611 H malaikat Jibril menyampaikan wahyu Allah yang pertama yakni surat al-‘Alaq 1-5.10 Dengan turunnya wahyu pertama ini berarti Muhammad telah dipilih oleh Tuhan sebagai Nabi. Namun dia belum diperintahkan untuk menyeru manusia kepada suatu agama. Selang beberapa waktu, Jibril datang lagi kepada Nabi untuk menyampaikan wahyu Allah yang tercantum dalam surat al-Muddatsir 1-7. Dengan turunnya perintah itu, mulailah Rasulullah berdakwah. Pertama-tama beliau menyampaikan secara diam-diam 8 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), 18. 9 M. Sa’id Ramadan, Fiqh al-Sirah (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), 79. 10 Ibid., 82. 134 Tribakti, Volume 16 No. 2 Juli 2006 Asmawi Mahfudz: Geneologi Negara Islam dilingkungannya sendiri. Karena itulah orang yang pertama kali menerima dakwahnya adalah kalangan keluarga sahabat-sahabatnya sendiri. Inti dakwah Rasul pada fase ini adalah mengajak manusia untuk mengesakan Allah, mensucikan dan membersihkan jiwa dan hati, menguatkan barisan, dan melebarkan kepentingan pribadi ke dalam kepentingan jamaah.11 Dari sini dapat dipahami bahwa dakwah Nabi pada tahap awal ini adalah menanamkan jiwa tauhid pada diri setiap muslim dan menimbulkan rasa persaudaran di antara mereka. Setelah Nabi berdakwah secara diam-diam dan juga sudah mulai menunjukkan hasilnya terutama dari kalangan keluarga dan sahabat-sahabatnya, meliau berdakwah untuk masyarakat umum. Nabi mulai menyeru kepada segenap lapisan masyarakat kepada Islam secara terang-terangan, baik dari golongan bangsawan maupun hamba sahaya. Mula-mula ia menyeru penduduk Mekah kemudian penduduk negeri lain. Di samping itu, ia juga menyeru orang-orang yang datang ke Mekah dari berbagai penjuru negeri untuk beribadah haji. Dengan usahanya yang gigih, jumlah pengikut Nabi yang tadinya hanya belasan orang semakin banyak. Meskipun kebanyakan dari mereka adalah orang-orang lemah namun semangatnya sangat membaja. Nabi Muhammad berdakwah secara diam-diam ini berlangsung lebih kurang 3 tahun.12 Namun orang Quraisy memandang rendah kepadanya dan kepada sahabat-sahabatnya. Setelah dakwah terang-terangan ini, para pemimpin Quraisy mulai berusaha menghalangi dakwah Nabi. Semakin bertambahnya pengikut Nabi, semakin keraslah tantangan dan gangguan yang dilancarkan oleh orang Quraisy. Ahmad Syalabi menjelaskan lima faktor yang menyebabkan kaum Quraisy menentang seruan Nabi tersebut: 1. Mereka tidak dapat membedakan antara kenabian dan kekuasaan. Mereka mengira bahwa tunduk kepada seruan Muhammad berarti tunduk kepada kepemimpinan Bani Abdul Muththalib. Yang terakhir ini tidak mereka inginkan; 2. Nabi Muhammad menyeru persamaan hak antara bangsawan dan hamba sahaya. Hal ini tidak disukai oleh kelas bangsawan Quraisy; 3. Para pemimpin Quraisy tidak dapat menerima ajaran tentang kebangkitan kembali dan pembalasan di akhirat; 11 A. Hasjmy, Sejarah, 47. Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Dan Kebudayaan Islam, ter. Djahdan Humam (Yogyakarta: Kota Kembang, 1989), 23. Tribakti, Volume 16 No. 2 Juli 2006 135 12 Asmawi Mahfudz: Geneologi Negara Islam 4. Taqlid kepada nenek moyang merupakan kebiasaan yang berakar pada bangsa arab; 5. Pemahat dan penjual patung memandang Islam sebagai penghalang rizki.13 Beberapa alasan di atas mengillustrasikan bahwa orang-orang Quraisy tidak mau menerima seruan Islam karena ‘ashabiyah (fanatik) golongan yang sangat kuat yang tidak mau menerima ajaran kecuali yang mereka warisi dari nenek moyang mereka. Juga apa yang dibawa oleh Muhammad sangat tidak sesuai atau bahkan bertentangan dengan keadaan mereka. Banyak cara yang ditempuh orang Quraisy untuk mencegah dakwah Nabi, baik dengan cara diplomatik maupun dengan cara kekerasan. Cara diplomatik mereka berusaha melarang dakwah Nabi lewat Abu Thalib, paman Nabi yang sangat disegani orang Quraisy, bahkan mereka berusaha untuk memisahkan Nabi dengan Abu Thalib. Cara kekerasan yaitu dengan cara pemboikotan terhadap Bani Hasyim secara keseluruhan dengan memutuskan segala hubungan dengan suku ini. Pemboikotan ini baru berhenti setelah beberapa pemimpin Quraisy meyakini bahwa apa yang mereka lakukan sungguh suatu hal yang keterlaluan. Pada tahun kesepuluh kenabian, Abu Thalib yang merupakan pelindung utama Muhammad meninggal dunia pada usia 87 tahun. Tiga hari setelah itu Khadijah, istri Nabi meninggal dunia pula.14 Untuk menghibur Nabi yang sedang ditimpa duka, Allah meng isra’ mi’raj kannya pada tahun kesepuluh kenabian. Berita tentang isra’ mi’raj ini menggemparkan masyarakat Mekah. Bagi orang kafir peristiwa ini dijadikan propaganda untuk mendustakan Nabi. Sedangkan bagi orang yang beriman, ia merupakan ujian keimanan. Pada tahun kesebelas kenabian, setelah terjadinya peristiwa isra’ mi’raj terjadilah suatu peristiwa yang tampaknya sederhana tetapi kemudian ternyata merupakan titik awal lahirnya era baru bagi Islam dan juga bagi dunia. Yakni perjumpaan Nabi di Aqabah, Mina, dengan enam orang Khajraj Yatsrib yang datang ke Mekkah untu ibadah haji. Sebagai hasilnya enam orang tersebut masuk Islam dan ia berjanji kepada Nabi akan mengajak penduduk Yatsrib untuk masuk Islam.15 Pada tahun dua belas kenabian, datang lagi sekelompok orang Yatsrib yang terdiri sepuluh orang suku Khajraj dan dua orang suku 13 Ahmad Syalabi, Sejarah Dan kebudayaan Islam (Jakarta: Pustaka alHusna, 1983), 87-90. 14 Yatim, Sejarah, 23. 15 Sjadzali, Islam, 8. 136 Tribakti, Volume 16 No. 2 Juli 2006 Asmawi Mahfudz: Geneologi Negara Islam Aus di Aqabah. Orang ini menyatakan masuk Islam dan menyatakan ikrar kesetiaan kepada Nabi. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan baiat aqabah pertama.16 Pada musim haji berikutnya jamaah haji yang datang dari Yatsrib berjumlah tujuh puluh tiga orang. Atas nama penduduk Yatsrib, mereka meminta Nabi agar berkenan pindah ke Yatsrib. Mereka berjanji akan membela Nabi dari segala ancaman. Hal inipun diterima oleh Nabi. Peristiwa ini akhirnya dikenal dengan baiat aqabah kedua.17 Oleh banyak pemikir politik Islam dua baiat tersebut dianggap sebagai batu-batu pertama dari konstruksi negara Islam. Setelah orang-orang Quraisy mengetahui perjanjian Nabi dengan orang-orang Yatsrib tersebut, semakin keraslah intimidasi yang dilakukan orang-orang Quraisy terhadap kaum muslimin. Bahkan mereka berkumpul di Dar al-Nadwah untuk merekayasa pembunuhan terhadap Nabi.18 Di antara mereka ada yang berpendapat untuk membunuh Nabi hendaklah masing-masing kabilah mengutus satu pemuda yang membawa pedang untuk menghabisi Nabi.19 Dengan cara ini akan sulitlah apabila ada yang akan menuntut atas kematian Muhammad. Hal ini menjadikan Nabi segera memerintahkan para sahabatnya untuk hijrah ke Yatsrib.20 Nabi memerintahkan para sahabat untuk hijrah ke Yatsrib lebih dahulu, sedangkan Nabi masih tetap tinggal di Mekkah untuk sementara waktu.21 Dalam waktu dua bulan, hampir semua kaum muslimin kurang lebih 150 orang telah meninggalkan kota Mekkah. Hanya tinggal Ali dan Abu Bakar yang tinggal di Mekkah bersama Nabi. Keduanya menemani dan membela Nabi sampai iapun berhijrah ke Yatsrib. Nabi memasuki kota Yatsrib dan penduduk kota itu mengeluelukan kedatangannya dengan penuh kegembiraan.22 Sejak itu sebagai penghormatan kepada Nabi, nama kota Yatsrib dirubah menjadi Madinatun Nabi (kota Nabi) atau sering pula disebut Madinatul munawawarah (kota yang bercahaya) karena dari sinilah cahaya Islam memancar keseluruh dunia. 16 Yatim, Sejarah, 24. Ibid. 18 Untuk lebih jelasnya, lihat Ibn Atsir, Al-Kamil fi al-Tarikh, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1987), 3-7. 19 Ibn al-Jauzi, Al-Muntadzam fi Tarikh al-Umam wa al-Muluk, vol. 3 (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), 47. 20 S.D. Goitein, Studies in Islamic History and Institution (Leiden: E.J. Brill, 1968), 3. 21 Al-Jauzi, Al-Muntadzam, 47. 22 Ibid., 64. Tribakti, Volume 16 No. 2 Juli 2006 137 17 Asmawi Mahfudz: Geneologi Negara Islam C. Berdirinya Negara Madinah 1. Kehidupan Nabi di Madinah Setelah tiba dan diterima penduduk Yatsrib (Madinah), Nabi resmi menjadi pemimpin kota ini. Babak baru dalam dunia Islam pun dimulai. Di Madinah lah pertama kali lahir satu komunitas muslim yang bebas dan merdeka di bawah kepemimpinan Nabi. Penduduk Madinah ketika itu terdiri dari para pengikut Nabi yang datang dari Mekkah (muhajirin) serta orang-orang Madinah yang mengundang Nabi dan menerimanya di kota ini (anshar). Namun di samping itu, ada juga komunitas-komunitas lain yang terdiri dari orang-orang Yahudi dan orang-orang arab lain yang belum mau menerima Islam dan masih tetap memuja berhala.23 Orang-orang tersebut berasal dari suku Aus dan Khajraj.24 Jadi dengan kata lain umat Islam di Madinah bukanlah satu-satunya komunitas tersendiri namun merupakan satu bagian dari masyarakat yang plural. Hijrah yang dilakukan Nabi dari Mekkah ke Madinah merupakan starting point dari misinya. Di kota yang baru ini Nabi memulai misinya dengan apa yang dikenal dengan politicoreligius career. Sebab jauh sebelumnya, Islam hanyalah murni agama saja. Namun setelah hijrah, Islam menjadi kesatuan agama dan politik.25 Dengan kata lain, dalam diri Nabi terkumpul dua kekuasaan yaitu kekuasaan spiritual dan kekuasaan politik yang diwujudkan dengan pembentukan negara Madinah. Negara, menurut para ahli politik, didefinisikan sebagai sekumpulan orang yang menempati suatu wilayah tertentu yang diorganisasikan oleh pemerintah negara yang sah yang mempunyai kedaulatan baik keluar maupun kedalam. Dari pengertian tersebut dapat dikemukakan bahwa ada empat unsur yang mutlaq yang harus dipenuhi dalam setiap negara, yakni: 1. Rakyat atau penduduk (people) 2. Wilayah (place) 3. Pemerintah (goverment) 4. Kedaulatan (sovereighty)26 23 Sjadzali, Islam, 10. Syed Mahmudunnasir, Islam Its Concepts and History (New Delhi: Kitab Bavan, t.t.), 11. 25 Ibid. 26 Cheppy Haricahyono, Ilmu Politik dan Perspektifnya (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1986), 25-6. 138 Tribakti, Volume 16 No. 2 Juli 2006 24 Asmawi Mahfudz: Geneologi Negara Islam Keberadaan Madinah ketika itu bila dikaitkan dengan empat unsur negara di atas dapatlah dikatakan sebagai negara. Karena sudah memiliki keempat unsur di atas. Namun tentunya negara Madinah yang ada pada waktu itu tidaklah bisa disamakan dengan negara-negara modern saat ini yang semuanya sudah tertata rapi. Dalam rangka memperkokoh masyarakat dan negara baru itu Nabi segera meletakkan dasar-dasar kehidupan bermasyarakat.27 Dasar pertama, adalah membangun masjid. Selain untuk tempat shalat juga sebagai sarana penting untuk mempersatukan kaum muslimin, juga sebagai tempat bermusyawarah mengenai masalah-masalah yang dihadapi. Masjid kala itu bahkan berfungsi sebagai pusat pemerintahan. Dasar kedua adalah ukhuwah islamiyah (persaudaraan sesama muslim). Nabi mempersatukan golongan Muhajirin dan golongan Anshar. Apa yang dilakukan Nabi ini berarti menciptakan suatu bentuk persaudaran baru, yaitu persaudaraan berdasarkan agama, menggantikan persaudaraan berdasarkan darah. Dasar ketiga adalah hubungan persahabatan dengan pihak-pihak lain yang tidak beragama Islam. Sebagaimana penjelasan di atas, di Madinah di samping orang-orang Islam juga hidup masyarakat Yahudi dan orang-orang yang masih menganut ajaran nenek moyang mereka (paganis). Agar stabilitas dapat terwujud, Nabi mengadakan perjanjian dengan masyarakat Madinah. Perjanjian ini dalam pandangan ketatanegaraan sering disebut “Piagam Madinah”. 2. Piagam Madinah Nabi Muhammad mempermaklumkan satu perjanjian yang mengatur kehidupan dan hubungan antar komunitas-komunitas yang merupakan komponen-komponen masyarakat yang plural di Madinah. Perjanjian ini lebih dikenal dengan nama Piagam Madinah atau Konstitusi Madinah. Pakar ilmu politik Islam menganggap bahwa Piagam Madinah yang terdiri dari 47 pasal ini merupakan konstitusi atau undang-undang dasar bagi negara Islam pertama yang didirikan oleh Nabi di Madinah. W. Montgomery Watt mengatakan, sebagaimana dikutip Abdul Kadir Jaelani,: Bahwa pembukaan 27 Yatim, Sejarah, 25-6. Tribakti, Volume 16 No. 2 Juli 2006 139 Asmawi Mahfudz: Geneologi Negara Islam Piagam Madinah merupakan proklamasi berdirinya negara Madinah yang kemudian menjadi negara Islam.28 Prinsip-prinsip dasar yang telah diletakkan Nabi lewat Piagam Madinah sebagai landasan bagi kehidupan bernegara untuk masyarakat majemuk di Madinah adalah: 1. Semua pemeluk Islam, meskipun berasal dari banyak suku, tetapi satu komunitas; 2. Hubungan antara sesama komunitas Islam dan antara anggota komunitas Islam dengan komunitas lain berdasarkan atas prinsip-prinsip: (a) Bertetangga dengan baik; (b) Saling membantu dalam menghadapi musuh bersama; (c) Membela mereka yang teraniaya; (d) Saling menasehati; dan (e) Menghargai kebebasan beragama.29 Satu hal yang perlu dicatat bahwa dalam Piagam Madinah tidak menyebut agama negara. Dengan terbentuknya negara Madinah, Islam bertambah kuat. Perkembangan yang pesat ini membuat orang-orang Mekkah dan musuh Islam lainnya menjadi risau. Kerisauan ini mendorong orang Quraisy berbuat apa saja. Untuk menhadapi kemungkinankemungkinan musuh, Nabi sebagai kepala negara mengatur siasat dan membentuk pasukan tentara. Umat Islam diizinkan berperang dengan dua alasan: (a) Mempertahankan diri dan melindungi hak miliknya; (b) Menjaga keselamatan dalam penyebaran kepercayaan dan mempertahankannya dari orang-orang yang menghalanginya.30 Dalam sejarah negara Madinah banyak terjadi peperangan sebagai upaya kaum muslimin mempertahankan diri dari serangan musuh. Perang pertama yang sangat menetukan masa depan negara Islam ini adalah perang Badar. Perang antara kaum muslimin dan musyrikin Quraisy. Perang ini terjadi pada tanggal 17 Ramadlan 2 H.31 Pasukan muslim terdiri dari 305 orang dan orang-orang Quraisy sejumlah 900 sampai 1000 orang. Perang ini dipimpin sendiri oleh Nabi. Dalam peperangan ini kaum muslimin keluar sebagai pemenang. Setelah terjadinya perang Badar disusul dengan perangperang lainnya. Dalam tulisan ini tidak disebutkan perang-perang 28 Abdul Kadir Jaelani, Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam (Surabaya: Bina Ilmu, 1995), 37. 29 Sjadzali, Islam, 15-6. 30 Hasan, Sejarah, 28-9. 31 Al-Jauzi, Al-Muntadzam, 97. 140 Tribakti, Volume 16 No. 2 Juli 2006 Asmawi Mahfudz: Geneologi Negara Islam tersebut karena hal itu sudah banyak dijelaskan dalam literaturliteratur sejarah. Pada tahun 10 H Nabi menunaikan ibadah haji yang terakhir yang dikenal dengan haji Wada’. Pada kesempatan ini Nabi menyampaikan khutbah yang bersejarah yang berisi: Larangan menumpahkan darah kecuali dengan haq, larangan mengambil harta dengan batal, larangan riba, larangan menganiaya, perintah memperlakukan istri dengan baik, dan perintah menjauhi dosa, serta perintah untuk selalu berpegang pada al-Quran dan Hadits.32 Isi khutbah inilah yang merupakan prinsip-prinsip yang mendasari gerakan Islam. Setelah selesai ibadah haji, Nabi segera pulang ke Madinah. Dua bulan setelahnya Nabi menderita sakit demam. Dan akhirnya pada hari Senin tanggal 12 Rabi’ul Awal 11 H. bertepatan dengan tanggal 8 Juni 632 M Nabi wafat di rumah istrinya ‘Aisyah ra. D. Penutup Dalam sejarah perjalan Nabi di atas dapat ditarik benang merah bahwa Nabi saw. di samping sebagai pemimpin agama, juga seorang negarawan dan pemimpin politik yang tiada bandingnya. Hanya dalam waktu 11 tahun menjadi pemimpin politik, beliau berhasil menundukkan jazirah arab dalam kekuasaanya. 32 Atsir, Al-Kamil,170-1. Tribakti, Volume 16 No. 2 Juli 2006 141 Asmawi Mahfudz: Geneologi Negara Islam DAFTAR PUSTAKA Abdul Kadir Jaelani, Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam, Surabaya: Bina Ilmu, 1995. A. Hasjimy, Sejarah Kebudayaan Islam Jakarta: PT Karya UI Press, 1993 Ahmad Syalabi, Sejarah Dan kebudayaan Islam Jakarta: Pustaka alHusna, 1983 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995 Cheppy Haricahyono, Ilmu Politik dan Perspektifnya (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1986 ______, Islam Dan Kekuasaan, ter. Enna Hadi dan Rahmani Astuti Bandung: Mizan,1984 Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Dan Kebudayaan Islam, ter. Djahdan Humam Yogyakarta: Kota Kembang, 1989 Hugh Kennedy, The Propet and the Age of Caliphates. The Islamic Near East from the Six to the Eleventh Century Singapore: Longman Singapore Publishers (Pte) Ltd 1986 Ibn Atsir, Al-Kamil fi al-Tarikh, vol. 2 Beirut: Dar al-Kutub al‘Ilmiyah, 1987 Ibn al-Jauzi, Al-Muntadzam fi Tarikh al-Umam wa al-Muluk, vol. 3 Beirut: Dar al-Fikr, t.t.. M. Sa’id Ramadan, Fiqh al-Sirah Beirut: Dar al-Fikr, t.t. Munawir Sjadzali, Islam Dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah Dan Pemikiran Jakarta: UI Press, 1990 Sayyid Husein Nashr, Muhammad Kekasih Allah, ter. Bahtiar Efendi Bandung: Mizan, 1993 S.D. Goitein, Studies in Islamic History and Institution Leiden: E.J. Brill, 1968 Syed Mahmudunnasir, Islam Its Concepts and History (New Delhi: Kitab Bavan, t.t.), 11. W. Montgomery Watt, Muhammad Propet and Statesman London: Oxford University Press, 1969 142 Tribakti, Volume 16 No. 2 Juli 2006