PENDAHULUAN Kanker atau karsinoma merupakan penyakit yang disebabkan oleh rusaknya mekanisme pengaturan dasar perilaku sel, khususnya mekanisme pertumbuhan dan perubahan sel yang diatur oleh gen. Sel-sel jaringan tubuh baru tumbuh abnormal akibat mutasi genetis sel, menginvasi jaringan sekitar, dan metastasis (menyebar) ke tapak yang jauh (Winarto et al. 2007). Menurut Pratiwi (2004), kanker merupakan penyebab kematian terbesar kedua setelah gangguan kardiovaskular. Penyebab utama kanker tidak diketahui, tetapi faktor genetik diduga kuat sebagai pencetus utama. Bahan tertentu juga diyakini dapat menyebabkan timbulnya kanker. Empat puluh persen pria menderita kanker karena tembakau. Para peneliti kanker menyimpulkan 70–90% kanker pada manusia disebabkan oleh faktor lingkungan, seperti makanan, konsumsi alkohol, polusi udara, air, bahan kimia di tempat kerja, radiasi dan sinar ultraviolet (Djajanegara & Prio 2009). Berbagai usaha telah dilakukan untuk menanggulangi penyakit ini: pembedahan, radioterapi, kemoterapi, dan sekarang berkembang imunoterapi. Pembedahan merupakan pengangkatan kanker melalui operasi. Radioterapi menggunakan radiasi dari mesin pemercepat linear yang akan mengalirkan energi radiasi tinggi ke area kanker, tetapi berefek juga pada jaringan normal yang dilewati. Metodenya mirip dengan pemberian sinar-X, namun waktunya lebih lama (Waluyo 2008). Kemoterapi merupakan pengobatan sistemik dengan obat sitostatik yang merusak DNA/RNA dan pada akhirnya menimbulkan apoptosis, sedangkan imunoterapi ditujukan membunuh sel-sel kanker sehingga tidak dapat berkembang dan membahayakan hidup (Djajanegara & Prio 2009). Pengobatan-pengobatan tersebut belum dapat mengatasi penyakit kanker secara memuaskan (Sukardiman et al. 2004). Salah satu masalahnya adalah kondisi ekonomi sebagian besar masyarakat belum memadai (Djajanegara & Prio 2009). Menurut WHO, hanya sepertiga penderita kanker dapat disembuhkan, terutama yang memiliki perkembangan kanker relatif dini. Karena mahalnya biaya pengobatan, cara lain yang dipilih sebagian penderita penyakit kanker adalah ’kembali ke bahan alam’ dengan memanfaatkan tanaman obat. Bahan alam tumbuhan yang digunakan sebagai obat maupun bahan obat dipercaya aman bagi tubuh dan penggunaannya telah didukung oleh data ilmiah penelitian (Sulistyoningrum 2008). Tanaman obat yang berpotensi sebagai antikanker antara lain bloodroot (Sanguinaria canadensis) yang mengandung alkaloid (Sukardiman et al. 2004), lumut hati dari spesies Marchantia polymorpha L yang mengandung alkaloid dan flavonoid (Nurhayati et al. 2006), sambiloto yang mengandung lakton, kunyit (Curcuma domestica Va) dan temu lawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) yang mengandung kurkuminoid, serta lempuyang (Zingiber zerumbet) (Jasril 2006) yang mengandung flavonoid. Pada penelitian ini, potensi gabungan ekstrak rimpang kunyit, temu lawak dan lempuyang diuji sebagai antikanker. Ekstrak yang akan diuji potensi antikanker diperoleh dengan metode ekstraksi menggunakan etanol 96% dan metode Huda et al. (2003). Potensi antikanker diuji dengan metode uji letalitas larva udang (BSLT) menggunakan Artemia salina Leach dan metode 3-[4,5-dimetiltiazol-2-il]-2,5-difeniltetrazolium bromida (MTT) menggunakan sel kanker usus besar HCT (ATCC-CCL 116). TINJAUAN PUSTAKA Kunyit Kunyit (Gambar 1) merupakan tanaman rempah dan obat asli Asia, khususnya Asia Tenggara. Saat ini kunyit sudah tersebar hingga ke Australia dan Afrika. Kunyit banyak digunakan untuk memberikan warna kuning pada masakan, khususnya di daerah Asia Selatan. Kunyit berdasarkan klasifikasi botaninya termasuk ke dalam Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledoneae Ordo : Zingiberales Famili : Zungiberaceae Genus : Curcuma Spesies : Curcuma domestica Va Gambar 1 Rimpang kunyit. 1 Tumbuhan kunyit mengandung banyak bahan kimia yang bermanfaat sebagai obat, yaitu minyak atsiri, pati, zat pahit, resin, selulosa, dan beberapa mineral. Kandungan minyak atsiri kunyit sekitar 3–5%. Komponen zat warna atau pigmen kunyit terutama adalah kurkumin (2.5–6%). Di samping itu, kunyit juga mengandung zat warna mono dan bisdemetoksikurkumin (Sidik et al. 1995) Tanaman ini berasa pahit, antidiare, antipiretik, dapat merangsang kelenjar, dan antidiabetes. Kunyit berkhasiat mencegah beberapa penyakit antara lain mencegah pembekuan darah dan amandel. Aktivitas antioksidan dan penangkap-radikal kurkumin terdokumentasi baik dan mengindikasikan hubungan dengan penghambatan proses karsinogenesis kanker. Aktivitas antiradang, yaitu sebagai inhibitor asam sikloksigenase, juga memiliki kaitan dengan aktivitasnya sebagai antikanker, terutama kanker usus besar. Kurkumin juga aktif dalam menghambat proses karsinogenesis pada tahap inisiasi dan promosi atau progresi. Kurkumin juga memacu proses apotosis, yaitu suatu proses alami kematian sel dalam rangka mempertahankan integritas sel secara keseluruhan (Meiyanto 1999). Penelitian lain menunjukkan kemampuan kurkumin menghambat proliferasi sel dan menginduksi perubahan siklus sel pada calon lini sel adenokarsinoma tanpa bergantung pada jalur prostaglandin. Kurkumin juga mampu menghambat pertumbuhan sel kanker payudara manusia tanpa bergantung pada ekspresi reseptor estrogen (Sidik et al. 1995). Semua kemampuan kurkumin ini membuat kunyit berpotensi tinggi sebagai obat herbal antikanker. Karena itu, perlu pemahaman bagaimana mendapatkan kandungan kurkumin yang maksimal pada setiap pengolahan kunyit agar efek antikanker yang dirasakan pasien kanker semakin efektif. Temu Lawak Temu lawak (C. xanthorrhiza Roxb) merupakan salah satu jenis tanaman obat dari famili Zingiberaceae yang potensial untuk dikembangkan, dan merupakan salah satu dari 9 jenis tanaman unggulan Ditjen POM. Temu lawak merupakan tanaman khas Indonesia (Niumsakel et al. 2007) yang sudah tersebar di beberapa daerah Indo-Malaysia. Kandungan kurkumin di dalam temu lawak berkisar 1.6–2.2% (Rukmana 1995). Tanaman ini antara lain dipergunakan oleh masyarakat maupun produsen obat tradisional dan kosmetika dalam menjaga dan meningkatkan kesehatan atau mengobati penyakit. Rimpang temu lawak banyak digunakan sebagai bahan baku hepatoprotektor untuk memperbaiki fungsi hati dan menurunkan kadar SGPT dan SGOT (Hadipoentyanti & Syahid 2007). Selain sebagai bahan baku industri seperti minuman dan pewarna alami, manfaat lain temu lawak adalah dapat meningkatkan sistem imunitas tubuh, antibakteri, antidiabetes, antihepatotoksik, antiradang, antioksidan, antitumor, diuretika, depresan, dan hipolipodemik (Purnomowati & Yoganingrum 1997; Raharjo & Rostiana 2003). Temu lawak (Gambar 2) berdasarkan klasifikasi botaninya termasuk ke dalam Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledone Bangsa : Zingiberales Suku : Zingiberceae Genus : Curcuma Spesies : Curcuma xanthoriza Roxb Gambar 2 Rimpang temu lawak. Komponen yang terkandung dalam temu lawak dapat digolongkan menjadi 2 kelompok, yaitu minyak atsiri dan golongan kurkuminoid. Sidik et al. (1995) menunjukkan bahwa kurkuminoid rimpang temu lawak berkhasiat menetralkan racun, menghilangkan rasa nyeri sendi, menurunkan kadar kolesterol darah, mencegah pembentukan lemak dalam sel hati, dan antioksidan. Secara kimia, kurkuminoid temu lawak merupakan turunan diferuloilmetana, yakni senyawa dimetoksi diferuloilmetana (kurkumin) dan monodesmetoksidiferuloilmetana (desmetoksikurkumin). Kandungan kurkuminoid dalam rimpang temu lawak kering berkisar 3.16%, dengan kadar kurkumin sekitar 58–71% dan desmetoksikurkumin 29–42% (Sidik et al. 1995) Produk temu lawak pada umumnya disimpan dalam bentuk simplisia agar dapat bertahan lebih lama. Temu lawak segar memiliki kadar air sekitar 80–85%. Proses pengeringan akan membantu mengurangi kadar air yang dapat menurunkan mutu temulawak. Akan tetapi, kondisi pengeringan 2 juga dapat memengaruhi komponen lain dalam rimpang (Zahro et al. 2009). Bagian yang berkhasiat dari temu lawak adalah rimpangnya yang mengandung berbagai komponen kimia, di antaranya zat kuning kurkumin, protein, pati, dan minyak atsiri (Tabel 1). Pati merupakan salah satu komponen terbesar temu lawak. Minyak atsirinya mengandung senyawa felandren, kamfer, borneol, sineal, dan xantorizol. Kandungan xantorizol dan kurkumin menyebabkan temu lawak sangat berkhasiat (Taryono & Sardina 1987). Xantorizol merupakan komponen khas minyak atsiri yang diisolasi dari famili Zingiberaceae dan Astericeae seperti rimpang temu lawak, dan termasuk kelompok seskuiterpena tipe bisabolena (Aguilar et al. 2001). Tabel 1 Komponen rimpang temu lawak Komponen Senyawa Pati Lemak Minyak Atsiri Kurkumin Protein Serat Kasar Kadar (%) 27.62 5.38 10.96 1.93 6.44 6.89 Sumber: Suwiah (1991) Lempuyang Lempuyang gajah (Gambar 3) sejak lama digunakan sebagai obat tradisional, terutama akar atau rizomanya, untuk mengobati sakit perut, sakit kepala, dan mengurangi rasa pegal. Rimpang ini diketahui mengandung alkaloid, saponin, flavonoid, dan polifenol, di samping minyak atsiri, dan telah dimanfaatkan sebagai antiradang, antitukak, antioksidan, dan antimikrob (Somchit & Syukriyah 2003). Lempuyang berdasarkan klasifikasi botaninya termasuk ke dalam Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledonae Bangsa : Zingiberales Suku : Zingiberceae Genus : Zingiber Spesies : Zingiber zerumbet Rizoma lempuyang gajah memiliki kandungan metabolit sekunder seperti alkaloid, saponin, flavonoid, polifenol, dan terpenoid yang kaya dalam kandungan minyak atsiri. Minyak atsiri adalah komponen minyak yang mudah menguap dan diperoleh dari tanaman dengan cara penyulingan uap (Kikuzaki & Nakatani 1993). Minyak atsiri dapat dihasilkan dari setiap bagian tanaman seperti daun, bunga, buah, biji, batang, kulit, dan akar. Metabolit Sekunder Kurkuminoid Kurkuminoid (Gambar 4) adalah salah satu golongan senyawa fenolik, gabungan dari desmetoksikurkumin dan kurkumin. Kurkuminoid secara luas digunakan sebagai zat pewarna makanan, antioksidan alami, bumbu, rempah-rempah, dan berguna dalam bidang pengobatan (Zahro et al. 2009). 9' 9 HO 8 3 R1 6 3' 1 2 5 7 7' 2' 5' 4 4' O 6' R2 O H Komponen R1 Kurkumin OMe Demetoksikurkumin H Bisdemetoksikurkumin H Gambar 3 Rimpang lempuyang. OH 8' 10 R2 OMe OMe H Gambar 4 Struktur kurkuminoid (Cikrici et al. (2003). Kurkumin (diferuloilmetana) mempunyai rumus molekul C21H20O6 dengan bobot molekul 368.37. Bentuk fisik kurkumin adalah bubuk kuning jingga dengan titik leleh 138 °C, tidak larut di dalam air dan eter, tetapi larut di dalam alkohol dan asam asetat glasial. Di dalam basa akan berwarna merah kecokelatan 3 dan di dalam asam berwarna kuning cerah. Perubahan warna akibat perubahan pH lingkungan ini, dapat terjadi karena tautomerisasi molekul. Sifat kurkuminoid lain yang penting adalah sensitivitas terhadap cahaya. Bila kurkumin terkena cahaya, akan terjadi dekomposisi struktur berupa siklisasi kurkumin atau terjadi degradasi (Sidik et al. 1995). Kurkuminoid beraroma khas, tidak toksik. Kurkumin tidak larut dalam air, tetapi larut dalam etanol atau dimetil sulfoksida (DMSO) (Huda et al. 2003). Pertengahan tahun 2009, tim riset hasil kolaborasi beberapa universitas dan badan riset di Korea Selatan membuktikan secara in vitro dengan analisis surface plasmon resonance (SPR) maupun in vivo dengan analisis APN-spesific antibody competition bahwa salah satu senyawa aktif dalam kunyit mampu menahan laju pertumbuhan kanker. Kurkumin memiliki potensi dalam pengobatan kanker. Kurkumin mampu menghambat perkembangan payudara dengan menghambat aktivasi reseptor estrogen (ER) oleh estrogen dan juga mampu menghambat perkembangan sel kanker usus besar (Meiyanto 1999). Flavonoid Flavonoid adalah senyawa polifenol yang banyak terdapat pada sayuran dan buahbuahan. Flavonoid telah menunjukkan perannya sebagai antioksidan, antimutagenik, antineoplastik, dan vasodilatator. Flavonoid juga memengaruhi tahapan metabolisme sel kanker, misalnya dengan menghambat penggabungan timidin, uridin, dan leusin ke sel kanker sehingga menghambat sintesis DNA sel kanker (Manggau et al. 2007). Peranan flavonoid sebagai antikanker diperkuat oleh eksperimen lain yang menggunakan hidrokarbon aromatik polisiklik (PAH) sebagai penginduksi kanker. Mekanisme penghambatan didapati berkaitan dengan penghambatan stimulasi metabolik yang diinduksi oleh PAH dan memengaruhi aktivitas beberapa sel promotor (Lamb 2005). Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Kromatografi lapis tipis merupakan salah satu jenis kromatografi adsorpsi. Metode ini sederhana, cepat dalam pemisahan, dan sensitif. Kecepatan pemisahannya tinggi dan mudah untuk memperoleh kembali senyawasenyawa yang terpisahkan (Khopkar 1990). Adsorben dilapiskan pada lempeng kaca yang bertindak sebagai penyangga fase diam. Fase gerak akan merayap sepanjang fase diam dan terbentuk kromatogram. Sifat adsorben yang kompak menyebabkan kecepatan pemisahan lebih besar. Kromatografi lapis tipis dapat mencapai kepekaan pada skala mikrogram (Suradikusumah 1989). Uji KLT sering digunakan dalam pengujian sel kanker, untuk pencirian senyawa yang mempunyai aktivitas penghambatan tertinggi (Sajuthi 2001). Uji Antikanker Antikanker adalah bahan yang memiliki sifat sitotoksik (dapat menghambat pertumbuhan sel kanker) dan sitosidal (dapat mematikan sel kanker) (Setiani 2009). Beberapa metabolit sekunder memiliki aktivitas antikanker. Oleh karena itu, akhirakhir ini banyak dikembangkan penelitian untuk mencari senyawa metabolit sekunder yang memiliki bioaktivitas antikanker untuk dikembangkan dalam kemoterapi untuk pengobatan kanker. National Cancer Institute (NCI) Amerika Serikat menentukan prosedur untuk menapis potensi antikanker suatu senyawa: preparasi, pra-penapisan, penapisan, pemantauan, uji sekunder, dan uji klinis. Tahap preparasi berupa pengumpulan tanaman dan ekstraksi. Pra-penapisan dilakukan dengan uji in vitro atau in vivo sederhana untuk mengidentifikasi ekstrak yang berpotensi antikanker. Metodenya antara lain uji kematian A. salina, uji hambatan tumor pada lempeng kentang dan, uji hambatan pada pertumbuhan kuncup Lemna Minor Assay. Ekstrak yang aktif kemudian ditapis melawan sel yang lebih banyak secara in vivo. Terhadap ekstrak yang berhasil di tapis akan dilakukan tahap pemantauan, yaitu difraksionasi untuk memperoleh senyawa aktif yang murni. Uji Letalitas Larva Udang (BSLT) Uji toksisitas merupakan uji pendahuluan untuk mengamati aktivitas farmakologi suatu senyawa. Prinsip uji toksisitas adalah bahwa komponen bioaktif selalu bersifat toksik jika diberikan dengan dosis tinggi dan menjadi obat pada dosis rendah. Larva udang memiliki kulit yang tipis dan peka terhadap lingkungannya sehingga banyak digunakan dalam uji toksisitas. Zat atau senyawa asing yang ada di lingkungan akan terserap ke dalam tubuh secara difusi dan langsung memengaruhi kehidupannya. Larva udang yang sensitif ini akan mati apabila zat atau 4 senyawa asing tersebut bersifat toksik (Hamburger & Hostettmann 1991). Hasil uji toksisitas ini dapat diketahui dari jumlah kematian larva udang karena pengaruh ekstrak atau senyawa bahan alam tumbuhan tertentu dengan dosis yang telah ditentukan, selama 24 jam. Data dianalisis dengan komputer, menggunakan analisis probit untuk menentukan nilai konsentrasi mematikan 50% (LC50). Bila konsentrasi ekstrak yang diuji kurang dari 1000 µg/ml, maka dianggap menunjukkan aktivitas hayati (Sukardiman et al. 2004). Salah satu metode uji bahan sitotoksik adalah uji toksisitas terhadap larva udang A. salina Leach (brine shrimp lethality test). Metode BSLT sering digunakan untuk prapenapisan senyawa aktif antikanker di dalam ekstrak tanaman karena murah, cepat, mudah (tidak perlu kondisi aseptik), dan dapat dipercaya (Meyer 1982). Hasil uji ini juga berkorelasi positif dengan potensi sebagai antikanker (Anderson 1991). BAHAN DAN METODE Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan adalah oven, eksikator, neraca analitik, peralatan kaca, lampu UV, pelat KLT, penguap putar, dan pengering beku. Bahan-bahan yang digunakan adalah sampel kunyit, temu lawak, dan lempuyang segar dari kebun Biofarmaka Bogor, etanol, Tween-80, MTT, larva udang A. salina, sel kanker usus besar HCT (ATCCCCL 116), serum janin sapi (FBS) 10%, penisilin, streptomisin, dan medium Eagle termodifikasi Dulbecco (D-MEM). Lingkup Kerja Rimpang kunyit, temu lawak, dan lempuyang dicuci bersih dan dirajang kecilkecil. Kemudian dikeringkan dengan oven dan ditentukan kadar airnya. Rimpang kering lalu dimaserasi, ekstrak yang diperoleh dibuat dalam beberapa konsentrasi dan diuji dengan metode BSLT. Konsentrasi ekstrak masingmasing rimpang dengan aktivitas terbaik dikombinasikan dengan nisbah tertentu dan diuji kembali dengan metode BSLT. Kombinasi terbaik difraksionasi dengan KLT dan diujikan pada sel kanker (Lampiran 1). Preparasi Rimpang Rimpang segar dicuci dengan air bersih, ditiriskan, dan dirajang kecil-kecil. Sampel yang telah dirajang ditimbang seberat 7 kg, lalu dikeringkan dengan oven pada suhu 60 °C selama 5 hari (Huda et al. 2003). Penetapan Kadar Air Cawan porselen dikeringkan pada suhu 105 °C. Setelah didinginkan dalam eksikator, cawan ditimbang. Sebanyak 3 g sampel rimpang (dicatat sampai 4 desimal), dimasukkan dalam cawan dan dikeringkan pada suhu 105 °C hingga bobotnya konstan (Depkes RI 1979). Penetapan kadar air dilakukan sebanyak 3 kali ulangan. Penetapan Kadar Abu Cawan porselen dikeringkan selama 30 menit, didinginkan dalam eksikator, kemudian ditimbang. Kira-kira 2 g sampel rimpang dimasukkan ke dalam cawan, lalu cawan dan isinya dipanaskan dengan nyala Bunsen/hot plate sampai tidak berasap lagi. Cawan dimasukkan ke dalam tanur listrik dengan suhu 600 °C sampai sampel rimpang menjadi abu. Setelah didinginkan dalam eksikator, ditimbang. Pekerjaan dilakukan triplo (Depkes RI 1979). Ekstraksi Rimpang dengan Etanol 96% Sebanyak 60 g serbuk kering rimpang dimasukkan ke dalam maserator, lalu ditambahkan 300 mL etanol 96%, dan direndam selama 24 jam sambil sesekali diaduk. Maserat dipisahkan dengan penyaringan dan proses ini diulangi 2 kali dengan jenis dan jumlah pelarut yang sama. Semua maserat dikumpulkan dan dipekatkan dengan penguap putar (Supriadi 2008). Ekstraksi Rimpang Mengacu pada Metode Huda et al. 2003 Sampel rimpang kering diekstraksi dengan etanol 95%. Sebanyak 60 g serbuk di dalam maserator ditambahkan 300 mL etanol selama 45 menit dengan 3 kali ekstraksi sampai larutan tidak berwarna. Ekstrak kemudian dipekatkan dengan penguap putar pada suhu 50 ºC hingga kering. Setelah itu, dihilangkan kandungan lemaknya dengan petroleum eter. Ekstrak yang tidak larut dalam petroleum eter dilarutkan kembali dalam etanol 95% dan dikeringkan. 5