PENDAHULUAN Latar Belakang Otak merupakan organ yang sangat kompleks bagi manusia dan hewan. Menurut Kuntarti (2007), otak dibagi menjadi 6 divisi utama yaitu cerebum, diensefalon, cerebelum, midbrain, pons, dan medula oblongata. Otak besar (cerebrum) merupakan bagian otak yang paling besar. Permukaan otak besar menjadi sangat luas karena banyaknya lipatan-lipatan yang disebut gyri dan dipisahkan oleh lekukan (sulcus) dan lekukan dalam (fisura) (Frandson 1992). Otak besar tersusun atas jaringan saraf yang terdiri atas sel saraf (neuron) dan sel glia. Sel saraf berfungsi untuk menghantarkan impuls dari sel saraf ke sel saraf lainnya dan sel glia berfungsi untuk melindungi dan mendukung sel saraf. Penyakit neurodegenerasi disebabkan oleh berkurangnya sel-sel saraf pada struktur saraf pusat maupun saraf tepi sehingga menyebabkan disfungsi sistem saraf. Sel saraf memiliki keterbatasan kemampuan dalam beregenerasi jika terjadi kerusakan (Kuntarti 2007). Ketidakmampuan sel saraf untuk melakukan regenerasi menjadi faktor penyebab timbulnya penyakit Alzheimer, Parkinson, dan Huntington (Eriksson et al. 1998). Selain ketidakmampuan sel saraf dalam melakukan regenerasi, penyakit neurodegenerasi juga disebabkan oleh penurunan neurotransmiter yaitu asetilkolin yang berperan dalam proses penyimpanan memori (Japardi 2002). Untuk mempertahankan asetilkolin tetap tinggi maka penguraian asetilkolin menjadi asetil dan kolin oleh enzim asetilkolinesterase harus dihambat (Japardi 2002). Dewasa ini pengobatan menggunakan obat herbal sangat diminati oleh masyarakat. Temulawak adalah tanaman obat yang mempunyai prospek cerah untuk dikembangkan. Bagian tanaman temulawak yang digunakan sebagai obat adalah rimpang atau umbi akar. Rimpang temulawak memiliki khasiat sebagai hepatoprotektor atau mencegah penyakit hati, menambah nafsu makan, antioksidan, antiinflamasi, antitumor, dan antibakteri (Mangan 2008). Ekstrak rimpang temulawak menghasilkan metabolit sekunder yaitu kurkumin dan xanthorrhizol. Kurkumin dapat menghambat penyebaran kanker, pertumbuhan sel tumor, dan menghambat penurunan fungsi otak dengan menghambat enzim asetilkolinesterase agar asetilkolin tidak diurai (Syukur & Fatimah 2008). Menurut Zhu et al. (2004), kurkumin juga dapat melindungi sel saraf yang mengalami stress oksidatif. Selain terdapat kurkumin, ekstrak rimpang temulawak juga menghasilkan xanthorrhizol. Berdasarkan penelitian Cheah et al. (2006), xanthorrhizol dapat memberikan efek antiploriferasi pada sel kanker payudara. Efek pemberian ekstrak rimpang temulawak terhadap pertumbuhan sel saraf normal belum diketahui sehingga perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui efek ekstrak rimpang temulawak terhadap pertumbuhan sel saraf normal pada otak besar. Asiaticoside merupakan senyawa aktif yang terkandung dalam pegagan (Centella asiatica). Asiaticoside dilaporkan dapat melindungi neuron dari stress oksidatif (Jana et al. 2010) dan berpotensi sebagai neuroprotektif (Heleagrahara & Ponnusamy 2010). Dosis optimum pemberian asiaticoside pada kultur sel saraf adalah ≤ 100 µg/mL. Bila dosis asiaticoside yang diberikan lebih dari 100 µg/mL, maka akan bersifat neurotoksik (Musalmah et al. 2006). Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan, asiaticoside digunakan sebagai kontrol positif dengan dosis 30 µg/mL. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak rimpang temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) terhadap pertumbuhan sel otak besar anak tikus yang ditumbuhkan secara in vitro pada beberapa tingkatan konsentrasi ekstrak rimpang temulawak. Manfaat Manfaat dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi kemampuan proliferasi secara in vitro sel otak besar anak tikus dalam medium dengan dan tanpa ekstrak rimpang temulawak yang dapat berguna untuk perbaikan memori.