RUNTUHNYA MEDIA MASSA ISLAM ALTERNATIF (Analisis Kritis Terhadap Penyebab Matinya Ulumul Qur’an 1998) SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Untuk memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu Ilmu Komunikasi Disusun Oleh : FATHOR RAHMAN 10730078 PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA 2015 1 2 3 4 MOTTO “Lebih baik bertindak walaupun sedikit dari pada tenggelam dalam angan-angan untuk bertindak banyak” (Zainal Arifin Thoha) “Jalanilah kebaikan seperti melangkahkan kaki di atas tanah yang basah. Memang tak terdengar bunyinya, tetapi jelas sekali bekasnya” (Nashaih) 5 HALAMAN PERSEMBAHAN Skripsi ini saya persembahkan untuk: Keluarga tercinta, para guru, sahabat, teman pergerakan, para penulis, almamater prodi Ilmu Komuniksi Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, bangsa dan negara 6 KATA PENGANTAR Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmatNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Runtuhnya Media Massa Islam Alternatif (Analisis Kritis Terhadap Penyebab Matinya Ulumul Qur’an 1998)”. Penulis menyadari bahwa mulai perencanaan sampai dengan penyelesaian skripsi ini, penulis telah banyak mendapatkan bantuan-bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak sebagai berikut: 1. Dr, H. Kamsi selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 2. Drs. H. Bono Setyo, M.Si selaku Kepala Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 3. Dr. Iswandi Syahputra selaku dosen pembimbing skripsi yang telah membimbing saya selama mengerjakan skripsi. 4. Seluruh dosen Prodi Ilmu Komunikasi terima kasih atas ilmu yang diberikan selama ini. 5. Keluarga tercinta yang tidak henti-hentinya berdoa. 6. Sahabat-sahabat semuanya seperjuangan, senasib, dan seperguruan Semoga Allah senantiasa memberikan Rahmat dan karuniaNya kepada semua pihak yang telah memberikan segala bantuan tersebut di atas. Skripsi ini tentu saja masih jauh dari kata sempurna, sehingga penulis menerima kritik dan saran demi perbaikan. Akhirnya semoga skripsi ini bermanfaat aamiin ya rabbal alamin. Yogyakarta, 1 Juni 2015 Penulis Fathor Rahman NIIM. 10730078 7 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i SURAT PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ........................................... ii HALAMAN NOTA DINAS PEMBIMBING ................................................iii HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... iv HALAMAN MOTTO ....................................................................................... v HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................... vi KATA PENGANTAR ..................................................................................... vii DAFTAR ISI ...................................................................................................viii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xi ABSTRAK ....................................................................................................... xii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ........................................................................................ 1 B. Rumusan Masalah ................................................................................... 9 C. Tujuan Penulisan ................................................................................... 10 D. Manfaat Penulisan ................................................................................. 10 E. Telaah Pustaka....................................................................................... 11 F. Landasan Teori ...................................................................................... 13 G. Metode Penelitian .................................................................................. 24 BAB II GAMBARAN UMUM A. Tekanan Kekuasaan di Balik Sejarah Lahirnya Ulumul Qur’an ........... 35 B. Problem Antiklimaks di Balik Perumusan Corak Tulisan dan Perjuangan Para Tokoh Penggagas ................................................. 43 8 C. Rubrikasi dan Susunan Redaksi ............................................................ 48 D. Misi Idealis Penerbit dan Kakarteristik Tema Besar Kajian ................. 53 E. Media Islam Pertama Peletak Ideologi Kesetaraan Gender .................. 62 BAB III HASIL PENELITIAN DANPEMBAHASAN A. Standing Position Media Islam Ulumul Qur’an di Tengah Kepungan Ideologi ................................................................................................. 66 B. Problem Kelas Dominan dan Status Quo Media Konvensional ........... 77 C. Benturan Ideologi Sebagai Simbol Relasi Sosial dalam Media Massa . 85 D. Media Islam Ulumul Qur’an dalam Jebakan Hegemoni Masyarakat Kapitalis ........................................................................................... 89 E. Kekuatan high politics 1998 dalam Dinamika Media Islam Ulumul Qur’an .............................................................................................. 95 F. Manajemen Penerbitan yang Kurang Memadai .................................. 102 G. Perjuangan Mewujudkan Islam Moderat yang Belum Tuntas ............ 106 BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan.......................................................................................... 111 B. Saran .................................................................................................... 112 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 114 LAMPIRAN ................................................................................................... 117 9 DAFTAR GAMBAR Gambar 1 : Jurnal Ulumul Qur'an Edisi Perdana Tahun 1989 Gambar 2: Jurnal Ulumul Qur’an Nomor 4 Volume V Tahun 1994 Gambar 3 : Jurnal Ulumul Qur’an Volume III No.1 Tahun 1992 Gambar 4 : Jurnal Ulumul Qur'an dalam beberapa edisi dari tahun 1990-1998 Gambar 5 : Jurnal Ulumul Qur’an Rubrik Ilmu dan Teknologi No. 4 VII Tahun 1997 Gambar 6 : Jurnal Ulumul Qur’an Rubrik Risalah Volume II Tahun1990 Gambar 7 : Jurnal Ulumul Qur’an Rubrik Transisi Volume II Tahun 1990 10 ABSTRACT Journal Ulumul Qur’an is the Islamic alternative media. The alternative to various other Islamic media. Islamic alternative media is a term to be mentioned to show the face of the mass media that has the breath of a moderate Islam. Recognized or not, Islamic alternative media have participated to coloring Islamic media development in general in the country. Islamic Media Ulumul Qur'an even has a role as a medium for spreading the idea of pluralism, peace, and social integration. Today, almost no Islamic media that the main media. Therefore, Islamic media now is the Islamic alternative media, which is an alternative to the main media. The presence of Islamic alternative media such as Ulumul Quran in his time not to fight the power. But the power of the Islamic media alternatives to meet the public space with a discourse that encourages social integration and solidarity of several social groups who love diversity, tolerance, and civility. But amid great expectations in the ground the teachings of Islam, the Koran Ulumul slowly but surely sway. Media which was originally an example of how alternative thinking born of young children are restless witnessed outbreaks of Islamic radicalism in the New Order at the point of climax die. Media who from the beginning wanted to show the face of a friendly and tolerant Islam is ultimately to be folded. Ulumul Qur'an ceased publication since 1998 for reasons that are also uncertain whether the problem of financial crisis or other motives. Keywords: Alternative Islamic Media, Critical Analysis, and Journal Ulumul Qur'an 11 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Era liberalisasi media telah berlangsung lebih dari satu dasawarsa, tepatnya sejak gerakan reformasi 1998 berhasil menumbangkan rezim otoritarian Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun. Semangat reformasi adalah kebebasan, termasuk di dalamnya kebebasan media. Sebelumnya, selama tiga dasawarsa media di Indonesia –seperti halnya lembaga-lembaga sosial lainnya- mengalami pembungkaman secara sistematis (Gaus AF, 2011: 69). Media yang menjalankan fungsi kritik di luar konteks kepentingan kekuasaan tak pernah dibiarkan hidup. Jika kembali membuka lipatan sejarah media di Indonesia tepatnya pada tahun 1974 setelah terjadi peristiwa Malari, penguasa Orde Baru memberangus sejumlah media massa karena menyampaikan kritik yang dinilai tidak bertanggung jawab dan dianggap membahayakan keamanan Negara dengan mengungkapkan beberapa kasus korupsi, menyoroti masuknya modal asing, mempersoalkan Dwifungsi ABRI, dan menghasut masyarakat untuk tidak mempercayai pemerintah (Haryanto, 1996). Pada tahun 1978 pemberangusan terhadap media kembali terjadi. Kasus ini terkait dengan dukungan pemberitaan media terhadap aksi-aksi mahasiswa yang menentang pencalonan kembali Soeharto sebagai presiden (Surjomihardjo, 1980: 145-156). Pemberangusan terhadap media massa yang paling mononjol terjadi pada tahun 1994 yang menimpa majalah Tempo, Editor, dan Tabloid 12 Detik. Pemberangusan ini tentu menarik perhatian, sebab terjadi pada saat dunia telah menyaksikan runtuhnya rezin-rezim otoriter di Uni Soviet dan Eropa Timur yang melahirkan gerakan demokratisasi di seluruh dunia. Namun hilangnya kebebasan media tidak dengan sendirinya menghilangkan sikap kritis masyarakat. Di masa Orde Baru banyak bermunculan media bawah tanah (underground press), yang lazim disebut sebagai pers alternatif (Kurniawan, 2011: 45). Media jenis ini berpretensi melawan penguasa. Paling tidak menyajikan berita dan opini yang berbeda dengan berita dan opini versi pemerintah dan kekuasaan. Dengan sendirinya peredaran media jenis ini tidak terikat oleh izin dari pemerintah (dalam hal ini Departemen Penerangan yang berwenang mengeluarkan surat izin usaha penerbitan pers). Jumlah media alternatif secara pasti sulit dilacak lantaran mereka bergerak dengan bebas tanpa ikatan waktu, kemudian berganti nama dan penampilan baru. Namun demikian dalam konteks perlawanan terhadap pemerintah pasca pemberangusan Tempo, Editor, Tabloid Detik, ada dua pers alternatif yang sangat fenomenal yakni Kabar Dari Pijar dan Independen (Gaus AF, 2011: 70). Keduanya menjadi prototipe media alternatif yang sangat berpengaruh dan menjadi referensi kalangan aktivis masyarakat, mahasiswa, dan cendekiawan, sebelum kemudian menyusul penerbitan media alternatif di dunia maya dengan pretensi yang sama; menyajikan pemberitaan dan opini yang berbeda dari versi resmi. Sejak itulah kemudian gerakan media alternatif ini acapkali melahirkan disparitas berupa perlawanan terbuka terhadap penguasa melalui berbagai aksi 13 oposisi unjuk rasa. Puncaknya adalah gerakan reformasi pada tahun 1998 yang berhasil menggulingkan pemerintahan Soeharto. Menurut Ishadi SK (2014), reformasi lahir tidak sebatas dipengaruhi oleh faktor fisik seperti gerakan mahasiswa dan sejenisnya, tetapi juga faktor domain media yang berpengaruh cukup besar. Dengan kata lain secara universal kehidupan media massa pada masa Orde Baru digambarkan sebagai sarana propaganda pemerintah untuk menggerakkan pembangunan nasional. Untuk mencapai tujuan tersebut pemerintah mengontrol kehidupan pers melalui berbagai legislasi dan penguasaan struktur korporasi media. Sehingga kehidupan pers pada era Orde Baru tak lebih dari arena pagelaran kekuasaan (Syahputra, 2013: 29). Jika media alternatif bisa dimanfaatkan untuk melawan monopoli arus informasi, menampung dan menyalurkan aspirasi, menggalang dukungan dan sejenisnya, maka media alternatif terhadap rezim berpotensi dapat menjadi arus media yang menciptakan integrasi sosial. Era media alternatif oposisi terhadap rezim mungkin telah berakhir, tetapi pemanfaatan media alternatif sebagai sarana mendesiminasi gagasan perdamaian dan menciptakan kohesi sosial tampaknya belum banyak dilakukan. Kondisi objektif masyarakat Indonesia bagaimanapun masih rentan terhadap friksi, upaya adu domba, dan konflik horizontal (Abubakar, 2006: 86). Kondisi ini sangat tidak menguntungkan bagi upaya resolusi konflik, perdamaian, maupun integrasi sosial. Bahkan sebaliknya media arus utama ikut memperkeruh suasana, mempertebal rasa saling curiga, dan menjauhkan 14 masyarakat dari situasi harmoni. Di sinilah peran media alternatif yang dikelola kelompok-kelompok moderat dalam masyarakat sipil menjadi penting. Kelompok-kelompok moderat memanfaatkan media alternatif untuk memperkuat dasar-dasar kohesi sosial yang tercerai berai (Abubakar, 2006: 87). Atas dasar itu kelompok-kelompok moderat ditantang untuk memanfaatkan media Islam alternatif sebagai jembatan keragaman. Mereka secara konsisten menegaskan keragaman sebagai realitas yang perlu terus dipupuk dengan spirit kebersamaan. Pertanyannya, media alternatif apa yang bisa dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok moderat untuk menyebarkan wacana-wacana integrasi sosial? Pada titik ini peneliti akan fokus pada kajian media alternatif berupa majalah/Jurnal yang berpretensi besar pada lahirnya diskursus tentang kemajemukan dan toleransi. Salah satu jurnal yang memiliki kontribusi besar dalam percaturan gerakan toleransi adalah jurnal Ulumul Qur’an. Ulumul Quran merupakan media Islam alternatif. Alternatif terhadap berbagai media Islam yang lain. Media Islam alternatif merupakan istilah yang hendak disebutkan untuk menunjukkan wajah media massa yang memiliki nafas Islam moderat. Media Islam alternatif jenis ini diakui atau tidak telah ikut serta mewarnai perkembangan media Islam secara umum di tanah air seperti misalkan di tengah media Islam mainstream seperti halnya Republika. Media Islam Ulumul Qur’an bahkan ikut memerankan diri sebagai corong dari penyebaran gagasan pluralisme, perdamaian, dan integrasi sosial. 15 Dewasa ini, nyaris tidak ada media Islam yang merupakan media arus utama (kecuali mungkin Republika, sebuah harian yang awal-awal kelahirannya pada 1990 menampakkan wajah moderat-liberal, namun belakangan cenderung bergerak ke ‘kanan’) (Maryadi, 2006). Karena itu, semua media Islam saat ini adalah media Islam alternatif, yakni alternatif terhadap media umum. Kehadiran media Islam alternatif seperti Ulumul Qur’an di zamannya bukan untuk melawan kekuasaan. Namun kekuatan media Islam alternatif tersebut untuk memenuhi ruang publik dengan wacana-wacana yang mendorong integrasi sosial dan menggalang solidaritas dari beberapa kelompok sosial yang mencintai kemajemukan, toleransi, dan keadaban. Dalam konteks demikian, menurut Ulil Abshar Abdallah (2007) media massa Islam alternatif itu sendiri dapat dimasukkan kepada tiga kategori. Yakni media moderat, media fundamentalis, dan media mistis. Masing-masing media ini –terutama yang pertama dan kedua- juga menempatkan dirinya sebagai alternatif yang lain. Media Islam pluralis lahir sebagai alternatif terhadap media Islam fundamentalis. Sehingga praksis terjadi perang wacana antara kedua kubu, atau ketiga kubu media Islam yang bertolak belakang tersebut. Sebenarnya sedikit sulit mengkaji media alternatif dalam konteks integrasi sosial, harmoni, dan kohesi sosial lainnya. Sebab setiap pemikiran alternatif dalam kacamata sosiologis justru seringkali mengakibatkan terjadinya resistensi karena ia menawarkan pemikiran yang berbeda dengan arus utama. Kasus Nurcholish Madjid pada tahun 1970-an dapat dijadikan ilustrasi menarik. Ketika mewacanakan pembaruan pemikiran Islam yang notabene merupakan alternatif 16 terhadap pemikiran Islam yang mapan, Nurcholish Madjid menyadari bahwa proyek pembaruan yang diusungnya akan menimbulkan problem disitegrasi di tengah-tengah umat (Nabil, 2008: 29). Nurcholish Madjid yang akrab disapa Cak Nur ini harus memilih antara melakukan pembaruan yang niscaya akan menimbulkan penolakan ataukah tetap memelihara integrasi umat sembari mengabaikan pembaruan. Pada titik klimaksnya pilihan tetap dijatuhkan pada usaha pembaruan pemikiran. Selanjutnya adalah konflik dan polemiknya nyaris tak berkesudahan di tubuh umat Islam Indonesia, meskipun biaya sosialnya cukup mahal, tetapi tetap harus dicatat proyek pembaruan Cak Nur telah berhasil membangun lapisan generasi baru yang memiliki wawasan moderat dan alternatif dalam memahami Islam di tengah-tengah persoalan bangsa Indonesia yang majemuk. Dalam konteks media Islam, fenomena Ulumul Qur’an merupakan contoh bagaimana pemikiran-pemikiran alternatif dikembangkan. Ulumul Qur’an merupakan media yang diterbitkan oleh lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF) dan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Semangat Ulumul Qur’an sejatinya mengusung peradaban Islam dengan elemen-elemennya yang komprehensif. Dengan keyakinan bahwa bawah Al-Quran merupakan pondasi ilmu dan kebudayaan Islam, maka Ulumul Qur’an berbicara banyak hal mengenai kandungan isi Al-Quran secara luas, terbuka, dan kritis. Meskipun Sudut pandang yang dibicarakan sejak awal adalah Islam, namun berbagai kalangan bisa berdialog secara kritis dan terbuka. Kalangan cendikiawan yang dihadirkan oleh Ulumul Qur’an adalah mereka yang memiliki 17 wawasan berpikir moderat dan inklusif. Mereka juga berasal dari berbagai latar belakang tradisi keilmuan mulai dari Filsafat, Politik, Kebudayaan, Ekonomi, Psikologi, Ilmu Komunikasi, Teknologi, Kedokteran, dan cabang keilmuan lain yang sebelumnya dianggap sekuler. Artinya, berbagai tradisi keilmuan tersebut bisa digunakan sebagai pisau pembedah dalam mengkaji Islam. Ulumul Qur’an secara tidak langsung telah menciptakan seperti apa yag dikatakan oleh Cak Nur sebagai ruang ‘integrasi-integrasi epistemik baru’ di dalam diskursus Islam itu sendiri. Itulah rekam jejak yang pernah gandrung pada era 90-an dimana Ulumul Qur’an benar-benar menjadi lokomotif gerakan Islam moderat (Nabil, 2008: 32). Namun di tengah ekspektasi besar dalam membumikan ajaran Islam, Ulumul Qur’an perlahan tapi pasti limbung. Media yang pada mulanya merupakan contoh bagaimana pemikiran-pemikiran alternatif yang lahir dari anak-anak muda yang gelisah menyaksikan wabah radikalisme Islam pada Orde Baru pada titik klimaksnya mati. Media yang sejak awal ingin menampilkan wajah Islam yang ramah dan toleran ini pada akhirnya harus gulung tikar. Ulumul Qur’an berhenti terbit sejak tahun 1998 karena alasan yang juga belum pasti apakah problem krisis finansial atau motif-motif yang lain. Kendati sudah selesai pun resonansi wacana yang pernah digelorakan oleh Ulumul Qur’an tetap hidup hingga saat ini. Sebagai proyek produksi, istilah gulung tikar merupakan hal yang lumrah, tetapi sebagai sebuah mobilitas ideologi tetap menyisakan problem. Jika devisit anggaran karena oplah dan pembaca yang semakin menurun, setidaknya hal 18 tersebut tidak menutup pemahaman yang lebih luas pada faktor matinya media massa ini. Menurunnya pembaca yang berujung pada menurunnya iklan setidaknya bisa dibaca pada beberapa hal. Pertama, tidak menutut kemungkinan bahwa segmen pembaca Islam tersegregasi ke dalam banyak kepentingan dan minat yang tidak tunggal. Ini mencerminkan pluralitas wacana Islam sebagai konsekuensi dari tumbuhnya budaya demokrasi di dalam masyarakat. Terlepas dari bagaimana demokrasi itu digunakan. Kedua, jika dilihat peta kekuatan wacana pluralisme, maka media fundamental yang mengusung tema-tema inteloransi, kebencian, dan permusuhan lebih populer dibandingkan dengan media Islam moderat. Terlepas pelbagai kemungkinan motif tersebut, namun mengkaji secara menyeluruh terkait faktor di balik matinya Ulumul Qur’an merupakan sebuah keniscayaan. Sebab bangsa ini tidak hanya kehilangan media sebagai sebuah entitas, tetapi kehilangan corong ideologi Islam yang moderat dan inklusif. Jika media alternatif Islam yang mengusung Islam moderat selalu dibayang-bayangi oleh kematian, maka penetrasi isu-isu tentang keislaman yang moderat akan runtuh. Spekulasi sederhana yang bisa dijustifkasi, pertumbuhan radikalisme atas nama agama yang mengemuka akhir-akhir ini sejatinya tidak bisa dilihat tunggal oleh reorganisasi ideologis dari kelompok tertentu dan lemahnya preferensi pemahaman masyarakat tentang Islam yang damai, tetapi oleh minimnya media Islam alternatif yang mampu memediasi kekeringan pemahaman umat Islam itu sendiri. 19 Minimnya media yang mengusung tema-tema toleransi dan keadaban dalam kajian Islam, akan berpotensi memicu lahirnya surplus pemahaman Islam fundamental yang membahayakan bagi bangsa dan negara. Sehingga pertumbuhan media Islam yang tidak mencerminkan nilai-nilai moderat dan pluralis akan menjadi ancaman yang nyata bagi perdamaian, harmoni, dan integrasi sosial. Dalam konteks inilah peneliti tertarik untuk menganalisis secara kritis di balik matinya Ulumul Qur’an. Sebab media ini sampai saat ini masih menyisakan tanda tanya besar terkait sejarah yang mungkin belum terungkap secara menyeluruh ke permukaan. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diurai, maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian: 1. Bagaimana potret formulasi pertarungan ideologis di balik matinya Media Islam alternatif Ulumul Qur’an 1998? 2. Sejauh mana simpul manajemen keredaksian dalam ikut serta mendorong percepatan matinya media Islam alternatif Ulumul Qur’an 1998? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk menyibak berbagai motif kuasa di balik matinya media massa Islam alternatif Ulumul Qur’an 1998. 20 D. Manfaat Penilitian 1. Manfaat Akademik Bagi program studi Ilmu Komunikasi, hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi pada pengembangan penelitian di bidang disiplin komunikasi massa khususnya dalam kajian media alternatif dan media Islam Alternatif yang berada di luar konteks media mainstrem. Sekaligus diharapkan dapat memberikan tambahan referensi dan preferensi tentang manfaat dan dinamikan media Islam alternatif di Indonesia. Sebab selama ini kajian terkait media alternatif pada umumnya dan media Islam alternatif secara khusus masih jauh panggang dari api. Terutama penelitian ini akan memberikan pengetahuan tentang sejarah media Islam yang tidak banyak ditulis. 2. Manfaat praktis Hasil penelitian ini akan menambah daftar penelitian tentang kajian media. Menambah referensi bagi para mahasiswa dan pemangku kepentingan dalam konteks analisis media Islam secara komprehensif. Juga akan menjadi salah satu literatur yang dapat menjadi rujukan bagi upaya resolusi konflik antaragma. Penelitian ini dapat memberikan inspirasi untuk memunculkan kembali media Islam alternatif yang serupa dalam ikut serta mendorong lahirnya harmoni, keadaban, dan integrasi sosial secara holistik. 21 E. Telaah Pustaka Guna mendukung penelitian ini, maka sebelumnya penelitian telah melakukan telaah pustaka dari berbagi literatur hasil penelitian terdahulu yang memiliki korelasi dengan penelitian ini. Penelitian pertama yang dilakukan oleh Gaus AF bertajuk “Media Alternatif” yang terkumpul dalam buku “Media dan Integrasi Sosial; Jembatan antar Umat Beragama” yang diterbitkan oleh CSRC pada Mei 2011. Fokus kajian dalam penelitian tersebut menyibak dan menganalisis media alternatif secara historis khususnya pada era Orde Baru. Fokus kajian Gaus AF sebenarnya banyak bertumpu pada media alternatif dalam bentuk media online sehingga pemetaan analisis dan pelbagai objeknya menggambarkan tentang posisi media online yang memberikan sumbangsih besar dalam konteks pembangunan masyarakat dan upaya perwujudan tegaknya integrasi sosial. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh mantan pimpinan redaksi Paramadina ini adalah sama-sama membedah secara kritis terkait peran media alternatif dalam setiap rezim. Sedangkan titik tekan perbedaannya dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah terletak pada subjek dan objek penelitian. Selain dari pada itu jika Gaus AF fokus pada narasi mempertentangkan media alternatif dengan sebuah penetrasi kekuasaan, tetapi penelitian yang peneliti ancang lebih fokus pada pertarungan antara media Islam alternatif dengan media garis kanan yang cenderung intoleran dan pada akhirnya berujung pada kekalahan media Islam alternatif itu sendiri. 22 Selanjutnya, penelitian yang lain bertajuk “Majalah Syir’ah Berlabel Islam tetapi Menyerang Islam” penelitian yang dilakukan Syamsuddin Arif pada tahun 2004 atas sponsor UIN Syarif Hidayatullah Ciputat ini menguak peran media Islam alternatif majalah Syir’ah. Dimana perjalanan majalah Islam alternatif seperti Syir’ah juga hampir sama dengan majalah Ulumul Qur’an. Tidak didesain untuk mengejar profit dalam konteks logika industri. Tetapi mendeseminasi gagasan dan wacana pluralisme secara intens. Tetapi sayangnya majalah Syir’ah juga terjerembab dan pada akhirnya mati pada tahun 2005. Persamaan yang mendasar dengan penelitian yang peneliti lakukan adalah samasama memotret kematian media Islam alternatif, bedanya terletak pada pendekatan yang dipakai. Dalam penelitiannya Syamsuddin Arif sebatas mengungkapkan matinya majalah Syir’ah seputar penyebab permukaan seperti tidak adanya dana, merosotnya iklan, kemudian kurang solidnya tim redaksi. Tetapi penelitian yang akan peenliti lakukan memotret pengaruh signifikan di balik kenapa oplah menurun dan potensi adanya segregasi pembaca yang bergeser secara ideologis sehingga mempengaruhi pembaca majalah Ulumul Quran. F. Landasan Teori Dalam penelitian ini teori bermanfaat untuk membuat konsep, unit analisis, dan interpretasi data. Pada kesempatan ini peneliti menggunakan kerangka teori yang relevan dan sesuai dengan kebutuhan penelitian. Kerangka 23 berpikir dari penelitian ini akan mengkorelasikan empat narasi teoritik berupa teori media massa kritis. 1. Teori Media Massa kritis 1) Teori Kritis dalam Lipatan Sejarah Paradigma kritis memandang bahwa realitas terbentuk secara historis atau disebut historical realism (Kleden, 1988:172). Dengan kata lain, realitas merupakan bentukan dari proses-proses ekonomi, sosial, politik, budaya, dan agama yang terjadi di suatu masyarakat yang acapkali menyelubungi realitas sebenarnya. Asumsinya, tidak ada realitas yang benar-benar bersifat riil, melainkan dibentuk oleh manusia itu sendiri. Secara historis, berbicara tentang paradigma kritis sesungguhnya tidak bisa lepas dari Mazhab Frankfurt, dengan kata lain teori kritis merupakan produk dari Institute Penelitian Sosial, Universitas Frankfurt Jerman yang digawangi oleh kalangan neo-marxis Jerman. Teori kritis menjadi disputasi publik di kalangan filsafat sosial dan sosiologi pad tahun 1961. Konfrontasi intelektual yang cukup terkenal adalah adalah perdebatan epistemologi sosial antara Adorno (kubu Sekolah Frankfurparadgma kritis) dengan Karl Poper (kubu Sekolah Wina-paradigma neo positivisme/neo kantian). Konfrontasi berlanjut antara Hans Albert (kubu Popper) dengan Jurgen Habermas (kubu Adorno). Perdebatan tersebut memacu debat positivisme dalam sosiologi Jerman. Habermas adalah tokoh yang berhasil mengintegrasikan metode analitis ke dalam pemikiran dialektis teori kritis. 24 Dalam konteks yang universal sebagaimana dalam analisis F. Budi Hardiman (1990) teori kritis adalah cabang pemikiran marxis dan sekaligus cabang marxisme yang paling jauh meninggalkan Karl Marx (Frankfurter Schule). Cara dan ciri pemikiran aliran Frankfurt disebut ciri teori kritik masyarakat. Teori ini mencoba memperbaharui dan mengkonstruksi teori yang membebaskan manusia dari manipulasi teknokrasi modern. Ciri khas dari teori kritik masyarakat adalah bahwa teori tersebut bertitik tolak dari inspirasi pemikiran sosial Karl Marx, tetapi juga melampaui bangunan ideologis marxisme bahkan meninggalkan beberapa tema pokok Marx dan menghadapi masalah masyarakat industri yang maju secara baru dan kreatif. Beberapa tokoh teori kritis angkatan pertama adalah Max Horkheimer, Theodor Wiesengrund Adorno (musikus ahli sastra, psikolog dan filsuf), Friedrich Pollock (ekonom), Erich Fromm (ahli psikoanalisa Freud), Karl Wittfogel (sinolog), Leo Lowenthal (sosiolog), Walter Benjamin (kritikus sastra), Herbert Marcuse (murid Heidegger yang mencoba menggabungkan fenomenologi dan marxisme, yang juga selanjutnya Marcuse menjadi ‘nabi’ gerakan New Left di Amerika). Teori kritis tidak saja ingin menjelaskan, mempertimbangkan, merefleksikan, mengkatogorisasikan, mengatur, melainkan mau mengubah. Menurut Franz Magnis Suseno (1982), yang ingin diubah bukan filsafat, melainkan pemberangusan manusia oleh kapitalisme. Namun lagi-lagi teori kritis tidak hendak membebek pada Karl Marx. 25 Kelemahan banyak aliran marxisme ialah bahwa mereka begitu saja menjiplak hasl-hasil analisa Karl Marx dan menerapkannya pada masyarakat sekarang. Padahal masyarakat yang dianalisa Marx adalah masyarakat seratus empat puluh tahun yang lalu. Oleh karena itu analisaanalisa marxis lebih sering bersifat dogma dari ada ilmu. Teori kritis mengadakan analisa baru terhadap masyarakat yang dipahami sebagai masyarakat kapitalis tua atau massyarakat industri maju. Ketajaman analisa tersebut diakui juga oleh banyak pihak meskipun berbeda pandangan. Yang dihangatkan kembali dalam teori kritis bukanlah teori Marx yang usang, melainkan maksud dasar Marx, yaitu pembebasan manusia dari segala belenggu, pengisapan dan penindasan. Pada intinya mazhab Frankfurt atas teori negara Marxian yang selalu bertendensi determinisme ekonomi. Determinassi ekonomi berasumsi bahwa perubahan akan terjadi apabila masalah ekonomi sudah stabil. Jadi basic struktur (ekonomi) sangat menentukan supras struktur (politik, sosial, budaya, pendidikan dan seluruh dimensi kehidupan manusia). Kemudian mereka mengembangkan kritik terhadap masyarakat dan berbagai sistem pengetahuan. Teori kritis tidak hanya menumpukkan analisisnya pada struktur sosial, tetapi teori kritis juga memberikan perhatian kepada kebudayaan masyarakat (cultur society) sehingga mengukuhkan teori kritis sebagai teori emansipatoris (Sindhunata, 1982: 78-85). 26 Seluruh program teori kritis madzhab Frankfurt dapat dikembalikan pada sebuah manifesto yang ditulis di dalam Zeischrift tahun 1957 oleh Horkheimer. Dalam artikel tentang “Teori Tradisional dan Teori Kritik” ini, konsep teori kritis pertama kalinya muncul yang kemudian dilanjutkan oleh generasi sesudahnya seperti Jurgen Habermas yang sangat terkenal dengan beberapa teori tentang komunikasinya. 2) Analisis Kritis Memandang Institusi Media Massa Media massa dipahami sebagai lebih dari sekedar suatu mekanisme yang sederhana sifatnya untuk menyebarkan informasi, sebab media massa merupakan organisasi yang terdiri dari susunan yang sangat kompleks dan lembaga sosial yang penting dari masyarakat. Teori besar yang paling terkemuka dan memiliki pengaruh besar untuk menyinggung aspek-aspek institusional dari media adalah teori kritis. Teori kritis berhubungan dengan distribusi kekuasaan dalam masyarakat dan dominasi kepentingan tertentu terhadap lainnya. Jelasnya, media massa dalam pendekatan teori kritis dipahami sebagai pemain yang memiliki kekuatan pengaruh yang sangat besar dalam pertarungan ideologis. Media massa dalam paradigma teori kritis sendiri dapat dipahami dalam berbagai artikulasi, salah satunya media massa dipahami sebagai arena pertarungan dari berbagai kepentingan dan ideologi yang hidup di masyarakat. Artikulasi sendiri bermakna sebagai pemahaman kita terhadap sebuah realitas yang berasal dari berbagai 27 sumber. Ketika berhadapan dengan ideologi, media memiliki posisi yang kuat. Tanpa kehadiran media, ideologi tidak dapat disebarluaskan (Junaedi, 2007: 30-31). Adolf Hitler adalah salah satu seorang tokoh yang menyadari pentingnya media, sehingga dia membuat berbagai film propaganda yang memuja Nazisme, sebuah terobosan di masanya yang menjadikan rakyat Jerman sangat patuh terhadapnya ketika Jerman dikuasai oleh Hitler. Secara lebih ekstrim, ideologi yang keberadaannya telah menjadi ideologi yang dominan pun dapat dipengaruhi eksistensinya oleh media massa. Sebagian besar teori komunikasi kritis menekankan kepada kekuatan media massa karena potensi media massa untuk menyebarkan ideologi dominan dan potensinya untuk mengekspresikan ideologi yang alternatif dan berlawanan dengan ideologi dominan atau ideologi resistensi. Dalam konteks ini media dipandang sebagai arena pertarungan ideologi bagi beberapa kalangan penganut teori kritis terutama oleh kalangan cultural studies. Namun sebaliknya bagi kalangan pengikut mazhab Frankfurt, media lebih dipahami sebagai industri kebudayaan yang dikuasai oleh segelintir elit industri yang mampu menciptakan simbol-simbol yang dapat memanipulasi dan mengalienasi kelas-kelas lainnya. Singkatnya, berbeda dengan cultural studiens yang melihat potensi media massa sebagai arena pertarungan ideologi, mazhab Frankfurt menganggap media massa dan segala bentuk kebudayaan massa sebagai 28 bentuk budaya afirmatif yang tidak dapat diharapkan untuk menggapai emansipasi. Mengenai berbagai bentuk artikulasi dalam memahami media massa seperti yang terjadi antara cultural studies dan mazhab Frankfurt yang banyak memberi warna dalam ranah teori media kritis akan lebih dalam diurai dalam pembahasan berikutnya. 3) Lima Genre Utama Teori Media Massa Kritis Pemetaan mengenai lima genre utama teori media massa kritis dikemukakan oleh Dennis McQuail. Menurutnya terdapat lima genre utama dari teori media kritis yang menjadi pendekatan utama yang sering digunakan dalam kajian media massa. Genre pertama, adalah kalangan yang mencoba melakukan pendekatan marxisme klasik atau yang dikenal sebagai marxisme ortodoks. Pendekatan ini banyak bertumpu pada pendekatan pemikiran Karl Marx dan Friederich Engels. Dalam pedekatan ini media dilihat sebagai alat dari kelas yang dominan untuk mempertahankan status quo yang dipegangnya sebagai sarana kelas pemilik modal untuk melipatgandakan modalnya. Media tentu saja dalam hal ini selalu menyebarkan ideologi dari kelas yang berkuasa dalam masyarakat dan maka dari itu menekan kelaskelas tertentu. Jelas bahwa pendekatan ini sangat menekankan (determinasi) pada faktor ekonomi semata. Bagi penganut pendekatan ini media massa kemudian hanya semata-mata dianggap sebagai alat dari kelas yang mnguasai alat-alat produksi pada satu corak produksi (mode of 29 production) untuk membela kepentingannya dan serempak pula menindas kelas yang tidak memiliki alat-alat produksi. Namun bukan berarti genre ini tidak mampu digunakan untuk menganalisis berbagai fenomena yang terjadi dalam komunikasi massa. Genre kedua, adalah paradigma politik media (political economy media theory). Dasar ini dipengaruhi secara intens oleh kajian-kajian yang dilakukan oleh Vincent Moscow. Analisis ini menitik beratkan pada pendekatan ekonomi-politik media yang pada intinya berdasar pada term ekonomi politik sebagai studi mengenai relasi sosial, lebih-lebih berpijak pada relasi kekuasaan baik dalam produksi, distribusi dan konsumsi sumberdaya (resources). Dalam ekonomi politik komunikasi, sumber daya ini dapat berupa surat kabar, majalah, dan sebagainya (Mosco, 1998: 25). Seperti teori Marxisme Klasik, teori ini menganggap bahwa kepemilikan media pada segelintir elit pengusaha telah menyebabkan patologi atau penyakit sosial. Dalam pendekatan ini kandungan media adalah komoditas yang di jual di pasar, dan informasi yang disebarluaskan dikendalikan oleh apa yang pasar akan tanggung. Sistem ini membawa implikasi mekanisme pasar yang tidak ambil resiko, suatu bentuk mekanisme pasar yang kejam karena membuat media tertentu mendominasi wacana publik dan lainnya terpinggirkan. Beberapa realitas kontemporer dari kajian ekonomi politik dalam media dengan mudah ditemui ketika di dalam satu negara pertumbuhan konsetrasi kepemilikan media di tangan segelintir orang, pada saat yang sama terjadi konglomerasi 30 media dimana sebuah perusahaan media melebarkan sayapnya dengan membangun berbagai industri media yang berbeda lini. Pada konteks ini beberapa realitas kontemporer yang menunjukkan problem tersebut antara lain, pertumbuhan konsentrasi kepemilikan media, terjadinya konglomerasi media, terjadinya perkembangan global di bidang ekonomi-informasi yang melibatkan bisnis telekomunikasi, dan terakhir turunnya sektor publik di dalam media massa. Kemudian genre ketiga adalah Mazhab Frankfurt. Menyebutkan bahwa media adalah bagian dari industri kebudayaan yang dikuasi oleh segelintir elite industri yang mampu menciptakan simbol-simbol yang dapat memanipulasi dan mengalienasi kelas-kelas lainnya. Dalam cara berpikir ini media dianggap akan membimbing kepada dominasi ideologi dari elite industri budaya (culture industries). Hasilnya adalah terjadinya manipulasi citra. Kritik madzhab Frankfurt terhadap realitas kontemporer dalam budaya massa ditandai dengan adanya komersialisasi media massa yang dapat dilacak sebagai berikut. Acapkali dalam budaya massa terbentuk budaya masa yang mempunyai kualitas rendah (triviliazations), terjadi eksploitasi terhadap konsumen yang memiliki posisi tawar yang lemah dalam relasinya dengan produsen. Kemudian selain dari pada itu dalam budaya masa relasi antarmanusia dipandang menurut kegunaan dan kalkulasi ekonomis (utilitarian and calculative relations). Sehingga terjadi propaganda secara besar-besaran untuk mendukung konsumerisme. Bahkan lebih dari 31 persoalan tersebut dalam genre ini juga terjadi proses komodifikasi terhadap budaya dan segenap relasinya dengan khalayak. Pada genre keempat dalam menganalisis media dalam konteks kajian media kritis adalah teori hegemoni yang diutarakan oleh Antonio Gramsci. Seorang pemikir yang pernah dipenjara pada masa Mussolini di Italia. Hegemoni dapat diartikan suatu kondisi dimana kelas yang berkuasa mampu mengadakan kepemimpinan moral dan intelektual (moral and intellectual leadership). Ideologi dalam pandangan Gramsci hanya dilandasi oleh sistem ekonomi an sich, sehingga ideologi berartikulasi dalam kehidupan dengan tidak dipaksakan oleh satu kelompok namun menembus batas kesadaran. Ideologi dalam pandangan Gramsci tidak hanya dilandasi oleh sistem ekonomi saja namun tertanan secara dalam pada semua aktifitas masyarakat. Sehingga, ideologi berartikulasi dalam kehidupan dengan tidak dipaksakan oleh satu kelompok namun adalah menembus dan di luar kesadaran. Seorang pemikir strukturalis Prancis Louis Althusser, yang berpengaruh di masanya dengan banyak menggunakan pemikiran Gramsci dalam kajiannya. Untuk mengkaji apa yang dikandung ideologi secara komprehensif, Althusser memperkenalkan dua istilah kunci yaitu Ideological State Apparatus (ISA) dan Repressive State Apparatus (RSA). Menurut Althusser hal ini karena dua alasan, pertama, hanya ada satu RSA bergerak terbatas pada wilayah publik, sedangkan ISA dapat bergerak ke 32 wilayah privat, seperti melalui lembaga agama, keluarga, sekolah, media massa dan sebagainya (Junaedi, 2007: 23-46). Genre kelima, adalah pendektan sosio-kultural atau cultural studies. Cultural studies yang bersikukuh melihat potensi media massa sebagai arena pertarungan ideologi. Pendekatan ini cukup populer di kalangan ilmuan. Pemikiran studi budaya banyak memanfaatkan semiotika yang dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure dan Roland Barthes untuk mengkaji realitas. Karena berasal dari Birmingham, pemikiran ini juga disebut sebagai Mazhab Birmingham. Para pemikir cultural studies memusatkan kajianya pada makna kultural yang dihasilan dari produk media sekaligus melihat cara isi media diinterpretasikan termasuk di dalamnya interpretasi dominan dan oposisional. Cultural studies melihat masyarakat sebagai sebuah bidang kompetisi ide-ide dalam pertarungan antar makna (Site of struggle). Dalam kajian ini kata kunci yang sering digunakan adalah artikulasi, yang oleh artikulasi nilai ideologi kemudian memiliki kedudukan atau piijakan yang berdeda-beda di masyarakat. Artikulasi dipahami sebagai proses pemahaman realitas yang ditimbulkan oleh banyak sumber.Berbeda dengan mazhab Frankfurt, cultural studies menganggap bahwa di dalam budaya massa masih tersimpan potensi perlawanan, walaupun tidak bisa diingkari dalam budaya massa pasti terkandung hegemoni kelas penguasa. Pada tahap inilah pendekatan analisis yang digunakan untuk menyibak posisi media Islam alternatif yang telah mati hanya mungkin 33 bisa diurai jika term yang digunakan adalah paradigma teori kritis terutama dalam konteks cultural studies. Sehingga kematian media tidak sebatas dilihat sebagai sesuatu yang alamiah, tetapi ada kuasa tertentu yang menjadi lokus dari kematian media Islam itu sendiri. 4). Unit Analisis Dari landasan teori inilah maka kemudian disusun unit analisis dalam penelitian ini guna mengemukakan poin-poin spesifik dalam studi penelitian media massa kritis. Adapun unit yang penulis kembangkan adalah sebagai berikut. 1. Membongkar sejarah di balik lahirnya media massa 2. Identfikasi standing positions media massa 3. Melihat hubungan intersubyektif dari kelas dominan dan minoritas 4. Menemukan kontradiksi fundamental dari berbagai pertarungan ideologi 5. Menyibak jebakan-jebakan hegemoni kapitalisme dan relasi kuasa di dalamnya 6. Mengurai kemungkinan adanya gejolak politik sebagai by desain rezim 7. Problem antiklimaks pertarungan dalam struktur media massa G. Metode penelitian 1. Jenis Penelitian 34 Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Menurut Sugiono (2009) dengan model penelitian kualitatif, posisi peneliti hanya sebagai human instrument dan diberikan keleluasaan untuk berinteraksi dengan obyek untuk mendapatkan data yang mendalam dan akurat. Suatu data yang mengandung makna untuk kepentingan fokus penelitian. Dengan demikian barangkali baragam pretensi bisa ditekan seminimal mungkin. Alasan lain penggunaan penelitian kualitatif ini lebih dikarenakan keberadaan teori yang telah dipaparkan pada bagian kerangka teori dapat diuraikan dengan model deskriptif-kualitatif. Di sisi yang lain penggunaan metode ini secara sederhana dapat memberikan ruang apresiasi dan dialektika, bukan hanya pada penelitian namun juga pada objek penelitian. Sebagaimana yang menjadi corak dari penelitian kualitatif, bahwa penelitian kualitatif tidak hanya menetapkan penelitiannya hanya berdasarkan variabel penelitian, tetapi keseluruhan situasi sosial yang diteliti yang meliputi aspek tempat (place), pelaku (actor), dan aktivitas (activity) yang berinteraksi secara sinergis (Sugiono, 2009: 207). Karena penelitian ini lebih berkonsentrasi pada metode kualitatif, maka pada gilirannya peneliti mengupayakan mendapatkan berbagai sumber informasi seperti melalui observasi, wawancara, dan dokumen dalam kerangka mendapatkan pengetahuan yang mendalam dan menyempurnakan studi kasus yang coba peneliti gunakan sebagai pendekatan dalam penelitian ini. Studi kasus merupakan penelitian yang dilakukan secara intensif, terperinci dan 35 mendalam terhadap suatu organisasi, lembaga, atau gejala tertentu (Daymon, 2008: 161-165). Penelitian kualitatif berperan penting dalam merespon segala hal yang berkaitan dengan sumber (subjek) dan atau objek penelitian. Sebagaimana corak dari penelitian kualitatif dilakukan dengan pendekatan alamiah dan bersifat penemuan. Metode kualitatif dapat menguraikannya dengan cermat dan fleksibel melalui wawancara, pencarian sumber data yang berguna untuk penelitian. Lebih dari itu mekanisme cross-check and belance digunakan untuk menjamin objektivitas dan meminimalisisasi bias dalam proses penelitian ini. 2. Subyek dan Obyek Penelitian a. Subyek Penelitian Subyek penelitian adalah sumber tempat memperoleh keterangan penelitian yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari kemudian ditarik kesimpulan. Subyek penelitian ini adalah berfokus pada penyebab matinya jurnal Ulumul Quran dan pertautan ideologi media Islam alternatif Ulumul Qur’an dengan ideologi Islam fundamental dalam sebuah rezim. b. Obyek Penelitian Obyek penelitian ini adalah terkait faktor di balik matinya Ulumul Qur’an. Seperti motif produksi dan motif ideologi yang menjadi pengaruh dari matinya majalah ini. Sekaligus implikasi sosiologis dari matinya Ulumul Qur’an. 36 3. Sumber Data a. Data Primer Adalah data yang diperoleh secara langsung melalui sumbernya (tanya jawab atau wawancara) dengan pihak-pihak yang terkait masalah-masalah dalam penelitian. Untuk keperluan memperoleh kelengkapan data dan informasi, maka peneliti juga menggali informasi dari pihak-pihak di luar unit analisis yang secara tidak langsung masih memimiliki hubungan dengan masalah penelitian. b. Data Sekunder Adalah data yang diperoleh secara tidak langsung dari obyek penelitian. Data ini diperoleh melalui studi pustaka seperti artikel-artikel, media massa, dan data-data terkait lainnya. 4. Teknik Pengumpulan Data a. Wawancara Wawancara merupakan alat pengumpulan data yang sangat penting dalam penelitian yang melibatkan manusia sebagai subyek sehubungan dengan realitas atau gejala yang dipilih untuk diteliti (Pawito, 2007: 132). Dengan menggunakan wawancara mendalam (in–depth interview) diharapkan dalam proses penelitian ini dapat memperoleh keterangan sesuai dengan harapan. Jalan yang ditempuh dalam wawancara ini menggunakan wawancara langsung kepada orang yang terlibat dalam 37 keredaksian Ulumul Qur’an, kelompok-kelompok Islam moderat yang konsen pada kajian Islam inklusif, dan pelanggan tetap Ulumul Qur’an. b. Studi Pustaka Studi pustaka tidak terlepas dari teori yang mendasari masalah yang akan diteliti. Peneliti juga mendapatkan informasi tentang penelitian sejenis yang berkaitan dengan penelitiannya, dengan membaca. Dalam studi pustaka ini juga mengambil dokumentasi seperti artikel, media massa, dan data yang berkaitan tema yang penulis teliti sebagai obyek penelitian. 5. Teknik Analisis Data Analisis data yang digunakan peneliti untuk menyelesaikan tahapan penelitian ini adalah dengan metode analisis kritis. Dimulai dari adanya masalah-masalah sosial nyata yang dialami oleh media massa yang teralienasi dari proses-proses sosial yang sedang tumbuh dan berkembang. Diawali dari masalah-masalah praktis dan kehidupan sehari-hari jenis penelitian ini berusaha menyelesaikan masalah-masalah tersebut lewat perspektif kritis yang bertujuan agar kelompok yang tertindas dapat menyadari dan membebaskan diri dari belenggu penindasan. Metode kritis ini menghendaki agar para aktor yang terlibat dalam proses penelitian dapat secara bersama-sama menggunakan potensi yang mereka miliki sebagai aktor-aktor yang aktif menciptakan sejarah. Secara praktis, metode ini mensyaratkan agar pelaku riset membina hubungan inter subyektif antara peneliti dan kelompok marginal yang kemudian mereka 38 dapat menyusun sebuah program program aksi yang dimaksudkan untuk merubah kondisi-kondisi sosial yang yang terjadi. Secara analitis riset kritis haruslah dapat menciptakan hubungan dinamis antar subyek dalam situasi terntu. Riset kritis harus melakukan kritik ideologi berdasarkan perbandingan antara struktur sosial buatan dengan struktur sosial nyata. Riset kritis menentang proses-proses sosial yang tidak manusiawi dan selanjutnya proses-proses yang tidak manusiawi tersebut dapat dipecahkan melalui aksi bersama antara peneliti dengan objek (Sand Berg, 1976 : 45) Berikut beberapa tahapan dalam melakukan melakukan penelitian terkait aspek metodologi dalam analisis kritis yang digagasan oleh Donald E. Comstock. a. Identifikasi gerakan-gerakan dan kelompok-kelompok sosial yang progresif Riset kritis tidak membicarakan tentang sebuah proses sosial tetapi membicarakan kelompok-kelompok sosial khusus, misalnya kelompokkelompok sosial yang tersingkir dan didominasi. Dalam konteks menyibak matinya media Islam Ulumul Qur’an katagori-katagori abstrak seperti ideologi, kelas, pekerja, aspek gender tidak dapat menjadi agen perubahan sosial. Karena itu kita harus mengidentifikasi organisasiorganisasi lain yang dapat mewakili katagori-katagori tersebut. Kelompok-kelompok itu dapat dilihat sebagai kelompok progresif sejauh mereka menyatakan kepentingan, tujuan, atau kebutuhan39 kebutuhannya yang tidak dapat dipenuhi dalam sistem sosial yang ditandai dengan adanya dominasi materi dan ideologi. b. Membangun hubungan intersubyektif untuk memahami pengertian-pengertian, nilai-nilai dan motif-motif. Riset kritis dimulai dari suatu studi terhadap dunia subyek untuk memahami kehidupan mereka terutama peraturan-peraturan sosial, nilainilai dan motivasi-motivasi tertentu yang mendorong mereka berperilaku. Aksi sosial media massa didominasi oleh model-model pranata sosial dunia sehingga apa yang mereka lakukan adalah perwujudan dari pemahaman mereka terhadap dunia tersebut (Bernstein, 1976 : 63). Riset kritis dengan begitu memerlukan pemahaman mendalam terhadap perilaku, nilai dan motivasi para subyek (media Islam). Peneliti kritis harus dapat memahami bahwa realitas media massa yang diteliti berbeda dengan realitas sosial dan realitas media seperti yang dipahami oleh ideologi dominan. Perbedaan-perbedaan pemahaman terhadap realitas media antara masyarakat dengan penguasa dapat mendorong munculnya aksi penentangan rakyat terhadap kelompok dominan. Lebih lanjut perbedaan ini akan mendorong kelompok yang didomonasi menentang anggota-anggota kelompok yang mendominasi kehidupan mereka. Makna-makna, nilai-nilai dan motivasi-motivasi mediat harus dipahami sebagaimana adanya. Dalam hal ini kegagalan ilmu sosial 40 positif terletak pada kedangkalannya memahami hubungan antar subyek. Ilmu sosial positif cenderung mengabaikan akar sejarah. Lebih lanjut hal ini menjadi ilmu sosial positif tidak mampu memahami realita sosial, praktek-praktek sosial dan perubahan-perubahan serta krisis sosial fundamental. Riset kritis justru paling besar kepentingannya terhadap usaha-usaha membangun hubungan antar subyek guna menyingkap realitas sosial dalam media massa dalam arti yang sebenarnya, bukan semu. c. Studi terhadap sejarah perkembangan kondisi-kondisi sosial dan struktur-struktur sosial. Realitas sosial dan realitas media tidak hanya terbatas dipahami melalui hubungan intersubyektif. Realitas tersebut seringkali sudah dimasuki dan didominasi oleh ideologi-ideologi tertentu. Untuk memahami secara kritis dunia mereka peneliti juga harus melakukan studi-studi empiris tentang sruktur-struktur dan proses-proses dalam media massa seperti Ulumul Qur’an. Kajian historis menjadi urgen diketengahkan mengingat hal itu akan mendorong secara komprehensif kerja-kerja penelitian. Sehhingga nantinya mampu menepis adanya parsialitas dalam sebuah penelitian kritis. Apalagi dimungkinkan terlibat pada proses keberpihakan dalam penelitian yang tidak bisa dibenarkn secara ilmiah. 41 d. Membangun model hubungan antara kondisi sosial, interpretasi, dan intersubyektif. Pada tahap penelitian ini yang menjadi perhatian utama adalah diskripsi-diskripsi dan struktur-struktur media yang memperkuat pemahaman masyarakat terhadap makna-makna, nilai-nilai dan motivasi-motivasi. Dengan memahami kondisi-kondisi sosial, ideologiideologi dan aksi-aksi yang telah dilakukan selama ini, seorang peneliti kritis dapat melontarkan kritik untuk perubahan. Kritik yang tumbuh atas dasar mengkaji berbagai kemungkinan adanya relasi dalam media massa. Dalam konteks ini seorang peneliti dalam menafsirkan sebuah temuan di tuntut mengurai secara konmprehensif dinamika obyektif yang ditemukan. Sehingga nantinya dapat mengkonfirmasi kemungkinan pengaruh dan hubungan antara hasil dan masyarakat. e. Mengurai kontradiksi fundamental berdasarkan pemahaman ideologi. Memahami kontradiksi fundamental tersebut sebagai analisis immanent (harus dilakukan) atau analisis internal tentang hubungan dialektis. Sejauh mana pihak pertama memasukkan tekanan struktural terhadap pihak yang lain. Analisis ini meletakkan dasar yang kokoh untuk melakukan kritik terhadap ideologi dominan. Kritik demikian harus dilakukan atas dasar pemahaman realitas sosial yang ada dalam kaitannya dengan ideologi yang berkembang saat ini. 42 Melalui analisis tentang hubungan antara kondisi sosial, ideologi dan aksi dalam media massa, peneliti kritis membantu masyarakat untuk melihat mengapa kondisi-kondisi sosial masa lalu tidak dapat dipahami. Peneliti harus menunjukkan betapa kondisi-kondisi sosial pada saat itu diciptakan hanya menguntungkan sekelompok orang tertentu dan menekan kelompok lainya, atau peneliti menujukkan betapa ideologi yang berkembang pada saat ini tidak peka menagkap dan menerjemahkan kondisi sosial yang ada. Maka dalam konteks ini peneliti membuat penelitian dengan tema Runtuhnya Media Islam Alternatif (Analisis kritis Terhadap faktor-faktor di balik matinya Ulumul Qur’an 1998). 6. Validitas Data Berpijak pada gagasan Kemudian Dalam hal validitasnya teori kritis hanya dapat diuji kebenarannya melaui praktek dan oleh karena itu, ini memerlukan keterlibatan peneliti dalam kegiatan membangun kembali resonansi dan gairah penerbitan media massa Islam alternatif. Sebagai langkah urgen dalam menciptakan sebuah perubahan yang berarti dalam jagad industri penerbitan media. Validitas ini mengisyaratkan seorang peneliti menjadi aktor dalam perubahan masyarakat. Dalam konteks media Islam Ulumul Qur’an partisipasi peneliti bisa berbentuk keiutsertaan peneliti dalam membangun desiminasi dalam membangun wacana toleransi dalam media massa. Jika peneliti hanya berusaha menjawab keluhan dari kelompok-kelompok yang 43 didominasi seperti dikatakan Fay (1976), dia sebetulnya hanya membantu memecahkan masalah individual. Bukan sebagai pelaku perubahan garis depan. Sehingga hasil penelitian dan seorang peneliti menjadi inisiasi bagi penciptaan kondisi-kondisi sosial baru seperti partisipasi, keadilan, kemanusiaan, kreatifitas, demokratisasi dan kontrol kolektif. Biasanya tantangan yang dihadapi peneliti sebagai implementasi dalam pelaku perubahan adalah meningkatkan kesadaran masyarakat untuk melakukan aksi secara nyata. Selanjutnya aksi peneliti tersebut dapat meningkatkan terhadap peristiwa historis yang mempengaruhi kehidupan. Hal ini memerlukan partisipasi terus-menerus dalam analisis kritis. 44 BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Pada akhirnya kita harus kembali ke premis lama: bahwa media-media yang mengusung nilai-nilai idealisme –termasuk dan terutama media Islam pluralis dan moderat seperti Ulumul Qur’an- harus mati. Pertarungan ideologi, problem determinasi kelas industri media, tekanan politik rezim, serta memburuknya manajemen media massa Islam alternatif menjadi pemicu paling urgen bagi kematian Ulumul Qur’an. Sejauh ini tidak ada yang salah dalam strategi media Islam altenatif milik kelompok moderat seperti Ulumul Qur’an. Jalan moderat yang mereka tempuh di tengah tekanan politik yang represif memang sudah seharusnya demikian untuk melawan maupun mengimbangi atmosfer permusuhan dan kebencian yang terus menerus dihembuskan oleh media dan kelompok-kelompok fundamentalis. Kerja-kerja semacam itu -yang dalam jangka panjang sebenarnya mengarah pada perdamaian umat manusia- memang tidak mungkin sama sekali menghindari kontroversi dan desintegrasi. Jika ingin damai bersiaplah untuk perang, sebab to avoid controversy, say nothing, do nothing, and be nothing. Pada akhirnya, secara ekonomi media Islam Ulumul Qur’an harus diasumsikan sebagai proyek rugi, bukan ajang mobilitas bisnis yang menjanjikan, dan oleh karena itu daya survivalnya hanya bisa diandalkan dengan dukungan dan solidaritas dari para stakeholders dan penyandang dana yang 45 memeliki visi dan cita-cita pluralisme yang kuat dengan dana yang kuat pula. Tanpa itu, kita harus puas menyaksikan kondisi media Islam pluralis yang timbul tenggelam, hidup sebentar kemudian mati, hidup hanya untuk menunggu kematian. Media Islam alternatif milik kelompok moderat (baca: Ulumul Qur’an) telah mampu tampil sebagai media profesional dan taat pada kode etik meskipun harus terseok-seok di antara kepungan rezim dan pertumbuhan industri media yang luar biasa-, namun, hal itu belum cukup untuk menjadikan mereka mampu bertahan dari kematian. Diperlukan upaya-upaya kreatif dan strategi yang efektif untuk menjamin bahwa artikulasi media Islam moderat pluralis tetap bergema dan didengar masyarakat luas. Misalnya dengan menciptakan dan memperkuat networking bukan saja antar kelompok moderat dalam membangun media Islam alternatif, tetapi juga antar kalangan moderat dengan para pemilik media massa umum yang tangguh. B. Saran Jika membangun media Islam alternatif selalu dibayang-bayangi oleh kematian, maka membangun aliansi dengan media massa umum melalui strategi sewa kapling /rubrik, mungkin lebih menjanjikan. Cara ini pernah ditempuh oleh beberapa LSM seperti Wahid Institute yang menyewa rubrik majalah Gatra dan kemudian majalah Tempo, Center for Moderat Muslim (CMM) yang menyewa di harian Rakyat Merdeka, dan Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) yang menyewa rubrik pada jaringan Koran Jawa Pos. Jika langkah-langkah tersebut juga diikuti 46 oleh media Islam yang sudah mati, maka resonansi dan gairah wacana keislaman akan tetap terjaga. Hal ini menarik jika kelompok-kelompok media Islam moderat bisa meyakinkan para pemilik media massa umum untuk memfasilitasi mereka tanpa harus dipusingkan oleh masalah finansial. Dan ini hanya akan terjadi jika para pemangku media Islam alternatif tetap optimis untuk melakukan strategi yang tepat dan cepat dalam mengawinkan dua kepentingan, sekaligus para pemlik media massa umum mempunyai idealisme yang sama dan bersedia berkorban untuk mewujudkan ideealisme tesebut secara berkesinambungan dan konsisten. Pada saat yang sama, sinergi dengan pemerintah juga bisa ditempuh sebagai alternatif terakhir. Jika selama ini pemerintah (terutama Kementerian Agama) cukup reaktif dalam menyikapi radikalisme dengan berbagai kampanye dan seminar-seminar normatif, maka sudah saatnya strategi baru patut dilakukan, salah satunya dengan memfasilitasi secara penuh proses penerbitan media Islam yang mengusung pemahaman Islam moderat dan pluralis sebagai counter terhadap wacana Islam puritan yang hegemonik. Apalagi hari ini media Islam radikal telah bermigrasi ke dunia maya. Sudah barang tentu berpotensi menciptakan kepanikan, kebencian, dan kecurigaan yang sangat sehingga berpotensi mendatangkan ‘kiamat’. 47 DAFTAR PUSTAKA Abid Al-Jabiri, Muhammad. 2001. Agama, Negara, dan Penerapan Syariah. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru Abubakar, Irfan. 2011. Media Freming dan Jurnalisme Damai: Menakar Peran Media dalam Integrasi Sosial di Indonesia. Ciputat: CSRC Abubakar, Irvan. 2006. Resolusi Konflik Agama dan Etnis di Indonesia. Ciputat: CSRC. Agus, Muhammad. 2010. Quo Vadis Media Islam Moderat. Jakarta: JIL Arif, Syamsuddin. 2004. Majalah Syir’ah Berlabel Islam tapi Menyerang Islam. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah. Arikunto, Suharismi. 2003. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Armando, Ade. 2011. Media Massa: Membangun Kerekatan atau Keretakan Bangsa, dalam Media dan Integrasi Sosial Jembatan antar Umat Beragma. Ciputat: CSRC Daymon, Christine. 2008. Metode-Metode Riset Kualitatif dalam Public Relation dan Marketing Communication (terj). Yogyakarta: Bentang Pustaka. Dominick, Joseph R. 2005. The Dynamics of Mass Communications, Boston: Mc GrawHill International Edition, edisi 8 Gaus AF, Muhammad. 2011. Media dan Integrasi Sosial Jembatan Umat Beragama, Ciputat: CSRC. Hardiman, F Budi. 1990. Kritik ideologi, Kanisus Yogyakarta Haryanto, Ignatius. 1996. Pembredelan Pers di Indonesia, Kasus Koran Indonesia Raya, Jakarta: LSPP 48 Hidayat, N Dedy. 2000 . Jurnalis, Kepentingan Modal dan Perubahan Sosial, dalam Pers dalam Revolusi Mei, Runtuhnya Sebuah Hegemoni. Jakarta: Gramedia Junaedi, Fajar. 2007. Komunikasi Massa Pengantar Teoritis. Yogyakarta: Santusta Kamil, Sukron. 2013. Bahaya laten mdia Islam radikal. Yogayakarta: Araska Kleden, Ignas. 1988. Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Jakarta: LP3ES Kurniawan, Arifanto. 2011. Media dalam Lintas sejarah; dari Orba ke Reformasi. Yoyakarta: Araska Liebes, T dan Curran, J. 1998. Media, Ritual, Identity. London: Routledge Maryadi. 2006. Peran Media Dalam Dialog Muslim dan Barat, Jakarta. Common Ground News McQuail, Denis. 2002. McQuail’s Mass Communications Theory. London: Sage Publications Mosco, Vincent .1998. The Political Economy of Communication, Rethinking and Renewal. London: Sage Publications Nabil, Mohamad. 2008. Absennya Media dalam Memperkuat Integrasi Sosial. Ciputat: CSRC Pawito. 2007. Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: LKiS Pujiati. 2008. Pergulatan politik Media Islam dalam Meja Catur Kapitalisme. Yogyakarta: Narasi Rivers L. William . 2008. Media Massa dan Masyarakat Modern. Jakarta. Kencana Prenada Media. Seaedy dkk. 1999. Meliput Pemilu. Jakarta: ISAI Shoemaker, J.P dan S.D. Reese. 1996. Mediating the Message: Theories of Influences on A Mass Media Content. New York: Longman. 49 Silitonga. 2008. Demokrasi, Media, dan Pluralisme. Yogyakarta: Penerbit Kutub Sindhunata. 1982. Dilema Usaha Manusia Rasional Kritik Masyarakat Modern oleh Max Horkheimer dalam Rangka Sekolah Farnkfurt. Jakarta: PT Gramedia SK, Ishadi. 2014. Media dan kekuasaan; Televisi di Hari-Hari Presiden Soeharto, Jakarta: Penerbit Buku Kompas. SK, Ishadi. 2000. Persepsi Elite Penguasa Terhadap Media, dalam Pers dalam Revolusi Mei, Runtuhnya Sebuah Hegemoni. Jakarta: Gramedia Subrata. 2002. Mantan Jenderal RTF Departmen Penerangan (1980-1985) makalah Sudibyo, Agus. 2005. Mutu Jurnalistik Media Islam Radikal Sangat Lemah. Sebuah wawancara dengan JIL 21 Maret 2005 Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta. Sularto, St. 2011. Peran Media Massa Mewujudkan Integrasi Sosial dalam Media dan Integrasi Sosial Jembatan Antar Umar Beragama. Ciputat: CSRC Surjomihardjo, Abdurrachman (ed). 1980. Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia, Jakarta: LEKNAS-LIPI Suseno, Franz Magnis. 1982. Kata pengantar dalam buku “Dilema Usaha Manusia Rasional Kritik Masyarakat Modern oleh Max Horkheimer dalam Rangka Sekolah Farnkfurt. Jakarta: PT Gramedia Syahputra, Iswandi. 2013. Rezim Media Pergulatan Demokrasi, Jurnalisme, dan Infotainment dalam Industri Televisi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Weck, Winfried dkk. 2011. Islam In the Publik Sphere: The Politics of Identity and The Future of Democracy. Ciputat: CSRC Majalah dan Jurnal 50 Abdallah, Ulil Abshar, Media Islam pluralis Perlu jadi trend Setter, Majalah Majemuk edisi 8, 28 Mei 2007. Jakarta: ICRP Hill, David T, 1996, Media Alternatif, Forum Keadilan No. 12/V, 23 September. Jurnal Ulumul Qur’an Nomor 3 VII 1997 Jurnal Ulumul Qur’an Nomor 3, VOL IV, 1993 Jurnal Ulumul Qur’an Nomor 5 VII 1997 Jurnal Ulumul Qur’an Vol II 1990 Jurnal Ulumul Qur’an, 4 VII 1997 Majalah Fadilah Edisi 2 April 2005 Internet http://www.lintas.me/go/lsafpress.blogspot.com/blog-lsaf-press-jakarta http://www.lintas.me/go/lsafpress.blogspot.com/jurnal-ulumul-quran-uq-edisi-perdanatahun-1989 https://www.lintas.me/bisnis/other/lsafpress.blogspot.com/jurnal-ulumul-quran-uqedisi-perdana-tahun-1989 Wawancara Wawancara dengan Ni’am Shaleh 15 Mei 2015 Wawancara dengan Muhammad Gaus AF 4 April 2015 Wawancara dengan Muhammad Ali Fakih 13 April 2015 Wawancara dengan Masdar Farid Mas’udi 16 April 2015 Wawancara dengan Dawam Rahardjo 16 April 2015 51 Wawancara dengan Savic Aliha 17 April 2015 Wawancara dengan Ahmad Baso 23 April 2015 52