FASILITASI PERKAWINAN BEDA AGAMA OLEH LEMBAGA SOSIAL (Study Kasus Terhadap Percik Salatiga ) SKRIPSI Disusun untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syari’ah (S. Sy) Oleh: AZZA FAIQ HAMAM NIM 21108023 JURUSAN SYARI’AH PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSYIYYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA 2013 KEMENTERIAN AGAMA RI SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA Jl. Tentara Pelajar 02 Telp (0298) 323706 Fax 323433 Kode Pos 50721 Salatiga http//www.stainsalatiga.ac.id e-mail: [email protected] Ilyya Muhsin, S.HI, M.Si Dosen STAIN Salatiga PERSETUJUAN PEMBIMBING Lamp : 4 (empat) eksemplar Hal : Pengajuan Naskah Skripsi Saudara Azza Faiq Hamam Kepada Yth, Ketua STAIN Salatiga di Salatiga Assalamu’alaikum Wr.Wb Setelah Kami meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, maka bersama ini Kami kirimkan naskah skripsi saudara: Nama : Azza Faiq Hamam NIM : 21108023 Jurusan : Syari’ah Program studi : Ahwal Al-Syakhsiyyah Judul : Fasilitasi Perkawinan Beda Agama Oleh Lembaga Sosial (Study Kasus Terhadap Percik Salatiga ) Dengan ini kami mohon skripsi saudara tersebut di atas supaya segera dimunaqosyahkan. Demikian agar menjadi perhatian. Wassalamu’alaikum Wr.Wb. Salatiga, 19 Februari 2013 Pembimbing, Ilyya Muhsin, S.HI, M.Si NIP. 197909302003121001 SKRIPSI FASILITASI PERKAWINAN BEDA AGAMA OLEH LEMBAGA SOSIAL (Studi Kasus Terhadap Percik Salatiga) DISUSUN OLEH AZZA FAIQ HAMAM NIM: 21108023 Telah dipertahankan di depan Panitia Dewan Penguji Skripsi Jurusan Syari’ah, Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga, pada tanggal 6 Maret 2013 dan telah dinyatakan memenuhi syarat guna memperoleh gelar sarjana S1 Syari’ah Susunan Panitia Penguji Ketua Penguji : Drs. Miftahudin, M.Ag Sekretaris Penguji : Muna Erawati, M.Si Penguji I : Drs. Mubadirun, M.Ag Penguji II : Dra. Siti Zumrotun, M.Ag Penguji III : Ilyya Muhsin, S.H.I, M.Si, Salatiga, 6 Maret 2013 Ketua STAIN Salatiga Dr. Imam Sutomo, M.Ag NIP.1958082719830310002 PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Azza Faiq Hamam NIM : 21108023 Jurusan : Syari’ah Program Studi : Ahwal Al-Syakhsiyyah Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah. Salatiga, Februari 2013 Yang Menyatakan, Azza Faiq Hamam 21108023 MOTTO DAN PERSEMBAHAN MOTTO " Sebaik-baik manusia di antaramu adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain " ( HR. Bukhari ). Persembahan Untuk Bapak dan ibuku Untuk Saudara-Saudaraku Untuk temen-teman terbaikku, ABSTRAK Faiq Hamam, Azza. 2013. Fasilitasi Perkawinan Beda Agama Oleh Lembaga Sosial (Studi Kasus Terhadap Percik Salatiga). Skripsi. Jurusan Syari’ah. Program Studi Ahwal Al-Syakhsyiyyah. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga. Kata kunci: Fasilitasi, Perkawinan, beda agama, dan Percik. Perdebatan hukum tentang perkawinan beda agama sudah berlangsung sejak lama sehingga menimbulkan pemikiran yang baru tentang keabsahan suatu perkawinan. Melalui Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa keabsahan suatu perkawinan tergantung pada agama. Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 40 dan 41 telah melarang adanya perkawinan beda Agama namun jika perkawinan tersebut tetap dilakukan maka perkawinan itu akan menjadi rusak / batal (fasad) sesuai dengan pasal 75. Adanya peraturan yang tegas tentang perkawinan beda agama ternyata belum mampu membendung pelaku-pelaku perkawinan beda agama. Persoalanpersoalan tersebut membuat peneliti tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang perkawinan dan ternyata ada sebuah lembaga sosial yang bisa memfasilitasi adanya perkawinan beda agama, lembaga tersebut bernama Percik (Persemaian Cinta Kemanusiaan). Pertanyaan yang ingin dijawab adalah (1) Mengapa Lembaga Percik memfasilitasi perkawinan beda agama ? (2) Bagaimana proses perkawinan beda agama yang difasilitasi oleh Lembaga Percik Salatiga? (3) Bagaimana pandangan tokoh agama terhadap perkawinan beda agama? Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka penelitian yang digunakan adalah penelitian lapangan (field research). Peneltian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan teknik melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi. Metode analisis data menggunakan teknik analisis deskriptif yaitu data yang terkumpul diuraikan secara logis dan sistematis selanjutnya ditarik kesimpulan. Hasil penelitian ini adalah Fasilitasi yang dilakukan oleh Percik terhadap pasangan beda agama diasumsikan sebagai pintu darurat yang berusaha memberikan tempat / ruang (mempermudah) untuk melakukan perkawinan beda agama. Fasilitasi yang dilakukan Percik yaitu dengan cara menghubungkan dan menjadi mediator dengan para tokoh agama, lembaga dan instansi pemerintah terkait, yang diperlukan untuk memperoleh pendampingan dalam pelaksanaan perkawinan beda agama. Pandangan Tokoh Agama terhadap perkawinan beda agama pun berbeda, ada yang melihat dalam perkawinan beda agama hal itu boleh saja karena untuk menghormati has asasi manusia namun ada juga tokoh agama yang berpendapat lain bahwa perkawinan beda agama itu tidak ideal karena dalam perkawinan beda agama kebanyakan memiliki banyak persoalan dalam perjalanan hidupnya. DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah................................................. 1 B. Fokus Penelitian........................................................... 5 C. Tujuan Penelitian.......................................................... 5 D. Kegunaan Penelitian...................................................... 5 E. Penegasan Istilah........................................................... 7 F. Telaah Pustaka.............................................................. 8 G. Metode Penelitian.......................................................... 11 H. Sistematika Penulisan..................................................... 15 BAB II PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM BERBAGAI PERSEPEKTIF A. Perkawinan 1. Pengertian a. Perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974........................................... 17 b. Perkawinan menurut KHI..................................... 18 c. Perkawinan menurut Fikih.................................... 18 2. Rukun dan Syarat Perkawinan a. Rukun dan Syarat Perkawinan Menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan........... 19 b. Rukun dan Syarat Perkawinan Menurut KHI........ 22 c. Rukun dan Syarat Perkawinan Menurut Fikih....... 24 3. Tujuan dan Hikmah Perkawinan a. Tujuan Perkawinan.............................................. 26 b. Hikmah Pernikahan.............................................. 27 B. Nikah Beda Agama Menurut UUP................................... 28 C. Nikah Beda Agama Menurut KHI.................................... 29 D. Nikah Beda Agama Menurut Fikih................................... 29 1. Perkawinan Orang Islam Dengan Bukan Islam a. Kaum musrikin dengan ahli kitab......................... 29 b. Non-Muslim Memeluk Islam.............................. 34 c. Wanita islam dengan laki-laki bukan islam............ 34 E. Nikah Beda Agama Dalam Pandangan HAM........................ 34 BAB III PROFIL PERCIK DAN PELAKU PERKAWINAN BEDA AGAMA A. Alasan Percik Memfasilitasi Perkawinan Beda Agama.................................................................. 38 1. Gambaran Umum Lembaga Percik Salatiga............. 38 a. Sejarah dan Latarbelakang Berdirinya Lembaga Percik.................................................................. 38 b. Visi dan Misi...................................................... 39 c. Struktur Kepengurusan........................................ 41 d. Profil Kegiatan Lembaga Percik.......................... 43 2. Kegiatan Penelitian.................................................. 43 3. Seminar, Diskusi dan Loka Karya (Workshop)....... 48 4. Kegiatan Advokasi................................................... 49 5. Pengembangan Unit Penunjang................................. 50 6. Pengembangan Relasi dan Kerjasama....................... 51 7. Pengembangan Kampoeng Percik............................. 51 8. Sejarah Percik Memfasilitasi Perkawinan Beda Agama....................................................................... 52 B. Proses Perkawinan Beda Agama Oleh Percik..................... 54 1. Profil Pelaku Pasangan Perkawinan Beda Agama.......... 54 a. Pasangan DH (Kristen) – AD (Islam)......................... 54 b. Pasangan AR (Kristen) – RW (Katolik)...................... 59 c. Pasangan LM (Kristen) – AL (Islam).......................... 63 d. Pasangan SW (Kristen) – DJ (Islam)........................... 69 e. Pasangan Gama (Katolik) – Chinda (Islam)................ 71 2. Proses Perkawinan Beda Agama Oleh Percik................. 79 a. Proses Perkawinan di Kantor Catatan Sipil................ 79 b. Prosedur Perkawinan Yang di Fasilitasi Percik.......... 81 C. Pandangan Tokoh Agama Terhadap Pekawinan Beda Agama.............................................................................. 87 BAB IV FASILITASI PERKAWINAN BEDA AGAMA OLEH PERCIK A. Alasan Percik Memfasilitasi Perkawinan Beda Agama.... 99 1. Perspektif UUP........................................................... 99 2. Perspektif KHI........................................................... 100 3. Perspektif Agama....................................................... 100 4. Persepektif HAM....................................................... 102 B. Proses Fasilitasi Perkawinan beda Agama Oleh Percik... 103 C. Pandangan Tokoh Agama Terhadap Perkawinan Beda Agama......................................................................... 110 1. Setuju.......................................................................... 110 2. Tidak Setuju................................................................ 115 3. Netral........................................................................... 118 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan........................................................................ 121 B. Saran.................................................................................. 124 KATA PENGANTAR ÉO ŠÏm §9$#Ç̀ »uH÷q §9$#«! $#ÉO ó¡ Î0 Puji syukur Penulis haturkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat-Nya dan salam semoga tetap terlimpah kepada Nabi Muhammad SAW berikut keluarganya, para sahabat dan seluruh umat pengikutnya, Penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Fasilitasi Perkawinan Beda Agama Oleh Lembaga Sosial (Studi Kasus Terhadap Percik Salatiga)”. Penulisan skripsi ini merupakan tugas akhir sebagai syarat untuk menyelesaikan Program Studi Ahwal Al Syahsyiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga. Skripsi ini disadari oleh Penulis masih jauh dari harapan dan masih banyak kekurangannya. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca. Dalam kesempatan ini, Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu Penulis dalam penulisan skripsi ini, antara lain : 1. Dr. Imam Sutomo M.Ag Selaku Ketua STAIN Salatiga 2. Drs. Mubasirun, M.Ag selaku Ketua Jurusan Syariah 3. Ilyya Muhsin, S.H.I, M.Si, selaku Ketua Program Studi Ahwal Al Syahsyiyah dan sekaligus dosen pembimbing skripsi yang telah menyempatkan waktu dan kesempatanya demi terselesainya skripsi ini. 4. Dr. Prajarta Dirdjosanjoto, Selaku Direktur Lembaga Percik Salatiga. 5. Seluruh Staff lembaga Percik Salatiga yang telah meluangkan waktunya demi terselesainya skripsi ini. 6. Kepala dan Pegawai Kantor Catatan Sipil (KCS) Salatiga yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini. 7. Seluruh anggota Tim penguji skripsi yang telah meluangkan waktunya untuk menilai kelayakan dan menguji skripsi dalam rangka menyelesaikan studi Ahwal Al Syahsyiyah Di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga. 8. Seluruh staf Program studi yang telah membantu Penulis dalam menyelesaikan administrasi-administrasi selama perkuliahan. 9. Bapak Ibuku yang selalu memberi dukungan dan doa yang tiada henti. 10. Semua Dosen-dosen Syari’ah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga. 11. Semua teman-teman angkatan 2008 yang tidak dapat aku sebutkan satu persatu. 12. Semua teman, sahabat dan kerabat yang tidak dapat aku sebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi para Pembaca. Salatiga, Februari 2013 Penulis DAFTAR TABEL Tabel 1.1 Pelaku Perkawinan Beda Agama ................................................... ....12 Tabel 1.2 Tokoh Agama ................................................................................ ....13 Table 1.3 Pengurus Percik ............................................................................. ....13 Tabel 4.1 Proses Perkawinan Rumah Tangga Beda Agama .......................... ....91 Tabel 4.2 Latar Belakang Keluarga Subjek Penelitian ................................... ....95 Tabel 4.3 Pandangan Tokoh Agama Terhadap Perkawinan Beda Agama....... 110 DAFTAR GAMBAR Gambar 4.1 Bagan Prosedur Pencatatan Beda Agama diKCS........................ ....87 Gambar 4.2 Bagan Perkawinan Beda Agama Yang di Fasilitasi Percik...............93 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup Lampiran 2 Surat Tugas Pembimbing Lampiran 3 Lembar Konsultasi Lampiran 4 Berkas-berkas Persyaratan Administrasi Perkawinan Beda Agama Lampiran 5 Dokumentasi Pelaku Perkawinan Beda Agama. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara yang mempunyai masyarakat yang sangat majemuk, baik dari segi budaya, ras, etnik maupun agama. Sehingga karena kemajemukannya sering terjadi lalu lintas antar suku, ras, dan agama yang tidak bisa dihindari. Salah satu fenomena yang tidak dapat dihindari dari lalu lintas kemajemukan adalah perkawinan beda agama, karena perkawinan beda agama bukanlah sesuatu hal yang baru dalam masyarakat Indonesia. Dahulu orang Hindhu menikah dengan orang Islam, orang Budha dengan orang Kristen. Hal ini merupakan hal yang wajar dan manusiawi karena cinta dan kasih antar manusia bisa melewati etnis, budaya dan agama (Tim Percik, 2009: 1). Indonesia memiliki dasar hukum perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP). Menurut UUP pasal 1 ayat 1 menyatakan bahwa perkawinan adalah “ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa”. UUP memandang sah apabila perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya sesuai dengan pasal 2 UUP. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa perkawinan dianggap sah jika sesuai dengan agamanya. Indonesia mengakui 6 agama yang dipercayai. Agama tersebut adalah agama Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Budha dan Konghuchu. Menurut KHI BAB II Pasal 2, perkawinan adalah akad yang sangat kuat atau mitsaaqon ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melakukanya merupakan ibadah. Perkawinan menurut agama Kristen dan Katholik adalah suatu ikatan cinta kasih tetap dan taat yang menggambarkan, melahirkan dan mewujudkan hubungan cinta Kristus dengan Gerejanya. Sebagaimana yang diatur dalam kitab kejadian 1-26 sampai 30, 2.7 sampai 25 juga Perjanjian Baru episus V: 21 sampai 33 (Sastroatmodjo dan Aulawi, 1975:27). Perkawinan menurut agama hindu adalah hubungan yang sakral dan hanya yang sah bila sudah dilakukan menurut agama tersebut (Sastroatmodjo dan Aulawi, 1975:25). Perkawinan menurut agama budha adalah ikatan yang fleksibel karena selalu mengadaptasi adat-adat yang hidup dalam masyarakat (Sastroatmodjo dan Aulawi, 1975:26). Dari pengertian perkawinan di atas mengandung beberapa prinsip diantaranya: 1. Agama Kristen dan Khatolik menghendaki agar penganutnya kawin dengan orang yang seagama. Karena tujuan utama perkawinan adalah untuk mencapai kebahagiaan sehingga kebahagiaan itu akan sulit tercapai kalau suami istri tidak seiman (Nurkhalis dan Baso, 2010:34). 2. Agama Islam menganut prinsip perkawinan harus dilakukan dengan orang yang seagama karena secara teoritis perbedaan agama akan berpotensi menimbulkan konflik (Pamungkas, 2008:44). Dalam Al Qur’an surat Al Baqoroh:221 ditegaskan, öqs9ur 7px.ÎŽô³ •B ` ÏiB ׎öyz îpoYÏB÷s•B ×ptBV{ ur 4£̀ ÏB÷sム4Ó®Lym ÏM »x.ÎŽô³ ßJ ø9$# (#qßs Å3 Zs? Ÿw ur ` ÏiB ׎öyz í̀ ÏB÷s•B Ó‰ ö7yès9ur 4(#qãZÏB÷sム4Ó®Lym tûüÏ.ÎŽô³ ßJ ø9$# (#qßs Å3 Zè? Ÿw ur 3öN ä3 ÷Gt6yf ôã r& …. ÏpŸyf ø9$#’n<Î)(#þqã ô‰ tƒ ª! $#ur (Í‘$Z̈9$#’n<Î)tb qãã ô‰ tƒ y7 Í́¯»s9'ré&3öN ä3 t6yf ôã r&öqs9ur 78 ÎŽô³ •B Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik,sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanitawanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga…. (Depag, 1976:53). KHI (Kompilasi Hukum Islam) yang notabene merupakan hukum positif bagi umat Islam di Indonesia melarang adanya praktik perkawinan beda agama. Pasal 40 KHI menyebutkan dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu: (c) seorang wanita yang tidak beragama Islam. Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam (pasal 44 KHI). Begitu juga dalam UU No. 1 Tahun 1974 tidak megatur adanya perkawinan beda agama, namun secara tersirat melarang adanya praktek perkawinan beda agama yang tertuang dalam pasal 2 ayat 1 “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Dari prinsip di atas seharusnya seorang yang beragama Islam harus menikah dengan orang yang beragama Islam pula. Sedangkan orang yang beragama Kristen ataupun Katolik dalam kepercayaannya juga tidak diperbolehkan menikah dengan orang yang berbeda agama. Adanya peraturan yang melarang perkawinan beda agama ternyata belum mampu mencegah perkawinan beda agama dalam masyarakat. Aturan dalam KHI dan UU Perkawinan di Indonesia seharusnya mampu menjadi pedoman yang bisa ditegakkan. Dalam penelitian ini peneliti menemukan sebuah lembaga yang yang bisa memfasilitasi perkawinan beda agama. Lembaga tersebut adalah Percik (Persemaian Cinta Kemanusiaan). Percik, merupakan lembaga independen yang diperuntukan bagi penelitian sosial, demokrasi dan keadilan sosial. Lembaga ini didirikan pada awal tanggal 1 Februari 1996 oleh sekelompok ilmuwan di Salatiga yang terdiri dari sejumlah peneliti sosial, pengajar universitas, serta aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang bantuan hukum serta pengorganisasian masyarakat. Kesenjangan yang muncul antara peraturan hukum dengan praktek yang terjadi inilah yang menarik minat peneliti untuk meneliti bagaimana perkawianan beda agama di Lembaga Percik Salatiga. Sehingga Penulis memberi judul penelitian skripsi : FASILITASI PERKAWINAN BEDA AGAMA OLEH LEMBAGA SOSIAL (Studi Kasus terhadap Percik Salatiga). B. Fokus Penelitian Berdasarkan latar belakang di atas, dengan demikian fokus penelitian dalam skripsi ini adalah: 1. Mengapa Lembaga Percik memfasilitasi perkawinan beda agama? 2. Bagaimana proses perkawinan beda agama yang di fasilitasi oleh Lembaga Percik Salatiga? 3. Bagaimana pandangan tokoh agama terhadap perkawinan beda agama? C. Tujuan Penelitian Sesuai dengan fokus penelitian yang menjadi target skripsi ini, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui alasan Lembaga Percik memfasilitasi perkawinan beda agama. 2. Mengetahui proses perkawinan beda agama di Lembaga Percik Salatiga. 3. Mengetahui pandangan tokoh agama terhadap perkawinan beda agama. D. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis di antaranya adalah sebagai berikut: 1. Secara Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang perkawinan beda agama dan khazanah keislaman pada umumnya dan khususnya jurusan Syariah program studi ahwal-alsyakhsiyyah. 2. Secara Praktis a. Bagi Masyarakat 1) Bagi pelaku nikah agama Terhadap masyarakat khususnya bagi pelaku nikah beda agama agar lebih mempertimbangkan akibat yang akan diterima jika akan melakukan perkawinan beda agama. 2) Bagi tokoh agama Agar para tokoh agama lebih gencar lagi menyiarkan agamanya khususnya tentang masalah perkawinan untuk meminimalisir angka perceraian akibat dari perkawinan beda agama. b. Bagi Program Studi Al Ahwal Al Syakhsiyyah Dengan adanya penelitian terhadap lembaga yang memfasilitasi perkawinan beda agama diharapkan dapat menambah wawasan bagi Program Studi Ahwal Al Syakhsiyyah sehingga dari Program Studi dapat menjadikannya sebagai bahan diskusi dan memantau perkembangan produk hukum mengenai perkawinan beda agama tersebut. c. Bagi Percik Hasil dari penelitian tentang perkawinan beda agama ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi Percik sebagai lembaga yang memfasilitasi perkawinan beda agama untuk mengambil kebijakan-kebijakan yang tepat ketika menghadapi calon mempelai yang akan melakukan perkawinan beda agama. E. Penegasan Istilah Sebelum memulai menyusun skripsi ini perlu penulis sampaikan bahwa judul skripsi adalah FASILITASI PERKAWINAN BEDA AGAMA OLEH LEMBAGA SOSIAL (Studi Kasus di Lembaga Percik Salatiga). Untuk menghindari kesalahfahaman pengertian, maka penulis kemukakan pengertian serta sekaligus penegasan judul skripsi ini sebagai berikut: Fasilitasi adalah sarana atau segala sesuatu untuk memudahkan atau melancarkan pelaksanaan (KBBI, 2010:t.h). Perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 1 adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan menurut KHI adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah, bertujuan untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah (KHI Pasal 2). Perkawinan yang dimaksud peneliti adalah akad antara pria dan wanita untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang sah menurut agama baik dicatatkan di KUA atau Kantor Catatan Sipil. Beda adalah sesuatu yg menjadikan berlainan (tidak sama) (KBBI, 2010:t.h). Agama adalah ajaran, sistem yg mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yg berhubungan dengan pergaulan manusia (KBBI, 2010:t.h). Perkawinan Beda Agama yang dimaksud dalam penelitian tersebut adalah Perkawinan yang dilakukan oleh pemeluk Agama yang berbeda pada saat aqad perkawinan. Lembaga adalah badan (organisasi) yang bermaksud melakukan suatu penyelidikan keilmuan atau melakukan suatu usaha (Soeryadarminta, 2006:685). Sosial adalah segala sesuatu mengenai masyarakat (Soeryadarminta, 2006:1141). Jadi yang dimaksud Lembaga sosial adalah suatu badan (organisasi) yang bermaksud melakukan suatu penyelidikan keilmuan, berkaitan dengan masyarakat. Dengan demikian Fasilitasi perkawinan beda agama oleh lembaga sosial adalah suatu usaha yang dilakukan oleh badan (organisasi) berkaitan dengan perkawinan yang dilakukan antara pria dan wanita dengan ajaran atau kaidah-kaidah yang berbeda dalam pelaksaan perkawinan sebelum dilangsungkanya perkawinan hingga sesudah perkawinan dilaksanakan. F. Telaah Pustaka Penelitian tentang perkawinan beda agama sudah banyak dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Diantara penelitian-penelitian tersebut adalah penelitian yang dilakukan oleh Maftuhul Fuadi yang berjudul Nikah Beda Agama Perspektif Ulil Abshar Abdalla. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui bagaimana pandangan Ulil Abshar Abdalla tentang nikah beda agama. Menurut Fuadi, dalam beragama, Ulil Abshar Abdalla tidak lagi memandang bentuk, tetapi isi. Keyakinan dan praktek keislaman yang dianut oleh orang-orang yang menamakan diri sebagai umat Islam hanyalah “baju” dan formal, menurutnya yang pokok adalah nilai yang terkandung di dalamnya. Setiap agama menunjuk pada nilai keadilan, oleh karena itu setiap agama sama. Karena setiap agama sama maka dihalalkan nikah beda agama (Fuadi, 2006). Skripsi Auwenda Fauzi yang berjudul Perkawinan Campuran Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Analisis Terhadap Pendapat Imam Syafi’i Tentang Perkawinan Campuran) menjelaskan dua hal pokok pemikiran Imam Syafi’i tentang perkawinan campuran. Pertama, perkawinan antara perempuan muslim dan laki-laki bukan muslim adalah haram hukumnya. Kedua, laki-laki muslim diharamkan mengawini perempuan bukan muslim. Pendapat ini lebih didasarkan pada pertimbangan menolak mafsadat demi menjaga keutuhan umat dari akibat buruk yang ditimbulkan oleh perkawinan campuran (Fauzi, 2004). Adapun penelitian selanjutnya adalah Skripsi Sri Nikmah yang berjudul Perkawinan Lintas Agama dalam Tinjauan Hukum Islam dan Perundang-undangan di Indonesia, Skripsi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga, 2011. Penelitian tersebut menjelaskan mengenai kehidupan masyarakat pelaku perkawinan lintas agama di Kelurahan Bugel Salatiga. Tujuan penelitian tersebut diantaranya untuk mengetahui praktek perkawinan lintas agama dilakukan di Kelurahan Bugel, mengetahui faktor- faktor perkawinan lintas agama dapat terjadi di Kelurahan Bugel, mengetahui cara pasangan suami istri pelaku perkawinan lintas agama mempertahankan perkawinan beda agama. Dalam penelitian tersebut ada dua pola perkawinan lintas agama di Kelurahan Bugel, yaitu perkawinan yang dilakukan di KUA dan di KCS. Faktor yang mempengaruhi terjadinya perkawinan lintas agama di Kelurahan Bugel meliputi, pandangan tertentu tentang agama dan keberagamaan, perempuan tidak memiliki kemandirian hidup, tradisi perkawinan lintas agama, kurangnya pengetahuan agama dan kristenisasi pihak luar ( Nikmah, 2011). Peneliti-peneliti terdahulu tersebut, meskipun memiliki tema yang sama yaitu tentang perkawinan beda agama, namun memiliki perbedaan dengan fokus penelitian ini. Perbedaan-perbedaan penelitian ini dengan peneliti terdahulu diantaranya adalah sebagai berikut : pertama, Skripsi yang disusun oleh Maftuhul Fuadi yang berjudul Nikah Beda Agama persepektif Ulil Absar Abdalla. menitik beratkan pada literatur tentang pemikiran tokoh sedangkan penulis yang dibahas disini adalah study lapangan. Kedua, Skripsi Auwenda Fauzi yang berjudul Perkawinan Campuran Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Analisis Terhadap Pendapat Imam Syafi’i Tentang Perkawinan Campuran). Menitik beratkan pada pemikiran tokoh sedangkan penulis bahas disini adalah study lapangan. Ketiga Skripsi Sri Nikmah yang berjudul Perkawinan Lintas Agama dalam Tinjauan Hukum Islam dan Perundang-undangan di Indonesia. Memiliki kesamaan dengan penelitian, yaitu sama-sama penelitian lapangan. Sedangkan perbedaanya terdapat pada pelakunya. Jika Skripsi Sri Nikmah pelaku perkawinan beda Agama hakikatnya tidak menikah beda agama karena pada saat akad perkawinan pasangan pindah keagama calon pasangannya setelah prosesi akad pasangan pindah ke Agama semula. Adapun dalam penelitian ini, pelaku perkawinan beda agama dalam melangsungkan akad tetap pada agamanya masing-masing. G. Metodologi Penelitian 1. Jenis dan Pendekatan Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif, karena penelitian ini bertujuan untuk mengungkap semaksimal mungkin data dari kasus yang akan diteliti, menggunakan pendekatan normatif dan sosiologis. Pendekatan normatif digunakan untuk mengetahui status hukum perkawinan beda agama dan pendekatan sosiologis digunakan untuk mengetahui bagaimana perkawinan beda agama yang dipraktekkan di Lembaga Percik Salatiga dan bagaimana pandangan tokoh agama maupun masyarakat terhadap perkawinan beda agama. 2. Kehadiran Peneliti Dalam penelitian ini kehadiran peneliti merupakan hal yang utama karena peneliti secara langsung mengumpulkan data di lapangan. Status peneliti dalam mengumpulkan data diketahui oleh informan secara jelas guna menghindari kesalahpahaman antara peneliti dengan informan. 3. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Lembaga Percik Salatiga yang beralamat di Jl. Patimura Km. 1 Kampung Percik, Turusan-Salatiga. 4. Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Sumber data primer; yaitu hasil temuan data di lapangan melalui wawancara dengan pengurus Lembaga percik, tokoh Agama, pelaku nikah beda agama. 1). Pelaku Perkawinan Beda Agama Tabel 1.1 Pelaku Perkawinan Beda Agama No 1 2 3 Suam Kawin Agama Istri Agama AD Islam DH Kristen 2005 AR Kristen RW Katolik 2005 AL Islam LM Kristen 2005 i Tempat Perkawinan Tahun 4 Percik dan Gereja Kristen Percik dan GKJ DJ Islam SW Kristen 2007 GKJ Sidomukti Sidomukti GKJ Sidomukti Rumah Istri dan 5 Gereja Gama Katolik Cinda Islam 2012 Kristus Raja dan Rumah Suami 2) Tokoh Agama Tabel 1.2 Tokoh Agama No Nama Agama Keterangan Islam Kyai 1 K.H. Anshori Jawadi 2 Pdt. Eben Heizer L Kristen Pendeta 3 Pdt. Sari F Kristen Pendeta 4 Prof. Zuhri Islam Pakar hukum Islam 5 K.H. Atiq Afifudin Islam Tokoh NU 6 K. Mustain Islam Ta’mir masjid 3) Pengurus Percik Tabel 1.3 Pengurus Percik No Nama Keterangan 1 Agung Waskito A Staff Advoksi 2 Muhammad Akbar Staff Peneliti b. Sumber data sekunder; yaitu data yang diperoleh dari literatur bukubuku, perundang-undangan tentang perkawinan dan kepustakaan ilmiah lain yang menjadi referensi maupun sumber pelengkap penelitian. 5. Prosedur Pengumpulan Data a. Wawancara Pengumpulan data dengan cara mengadakan wawancara langsung dengan pihak-pihak yang berkaitan. Dalam hal ini adalah para pengurus maupun anggota Lembaga Percik Salatiga, pendeta, tokoh Agama Islam, pelaku nikah beda agama, dan pegawai Kantor Catatan Sipil. b. Observasi Metode pengumpulan data dengan cara pengamatan langsung dan pencatatan secara sistematis atas pelaksanaan perkawinan beda agama di Lembaga Percik Salatiga, Kantor Catatan Sipil dan GKJ Sidomukti. c. Dokumentasi Adalah cara pengumpulan data melalui peninggalan tertulis, seperti arsip-arsip dan termasuk juga buku-buku tentang pendapat, teori, dalil atau hukum-hukum dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah penelitian (Margono, 2004:23). Adapun dokumen-dokumen yang diperoleh adalah Kartu Keluarga (KK), Kartu Tanda Penduduk (KTP), foto copy kutipan Akte Perkawinan dan foto copy berkas N1-N4 dari kelurahan. d. Analisis Data Data yang diperoleh, baik dari studi lapangan maupun studi pustaka pada dasarnya merupakan data yang dianalisis secara deskriptif kualitatif, yaitu data yang terkumpul diuraikan secara logis dan sistematis dan selanjutnya ditarik kesimpulan. e. Pengecekan keabsahan Data Data-data yang diperoleh dicek keabsahannya dengan metode triangulasi, yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain dalam membandingkan hasil wawancara terhadap objek penelitian (Moloeng, 2004:330). Pengecekan keabsahan data dilakukan karena dikhawatirkan masih adanya kesalahan atau kekeliruan yang terlewati oleh penulis. Pengecekan dilakukan denga cara membandingkan hasil pengamatan dengan data hasil wawancara, membandingkan apa yang dikatakan informan satu dengan informan lain, maupun membandingkan hasil wawancara dengan dokumen yang berkaitan. H. Sistematika Penulisan Penulisan penelitian ini disajikan secara keseluruhan menjadi lima bab, terdiri dari bab pertama yang berisi latar belakang masalah, fokus penelitian, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penegasan istilah, telaah pustaka dan metode penelitian yang meliputi jenis penelitian, sumber data, prosedur pengumpulan data, analisis data, dan sistematika Penulisan. Bab dua berisi pernikahan beda agama dalam berbagai perspektif yaitu perspektif UUP, KHI dan HAM Bab tiga adalah profil percik dan pelaku pasangan perkawinan beda agama. kedua sub bab ini, yang pertama mengenai gambaran umum Lembaga Percik Salatiga, yang berisi tentang sejarah dan latar belakang Lembaga Percik, visi misi, kepengurusan, tugas dan kewajiban, program dan kinerja Lembaga percik. Sub yang ke dua tentang profil pelaku perkawinan `beda agama. Bab empat adalah Fasilitasi perkawinan beda agama oleh percik yang berisi tentang alasan percik memfasilitasi perkawinan beda agama, proses fasilitasi perkawinan beda agama oleh percik, dan pandangan tokoh agama terhadap fasilitasi perkawinan beda agama. Bab lima yaitu penutup, berisi kesimpulan dan saran-saran. BAB II PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM BEBAGAI PERSEPEKTIF A. Perkawinan 1. Pengertian a. Perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 Pengertian perkawinan dalam Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 1 ayat 1 menyatakan bahwa perkawinan adalah “ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri”. Ada beberapa hal dari rumusan tersebut di atas yang perlu diperhatikan yaitu: 1) Ikatan lahir diartikan keterikatan antara kedua belah pihak secara formal baik dalam hubungan antara satu sama lain maupun mereka dengan masyarakat luas. Ikatan batin diartikan adanya satu tujuan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal. Untuk itu dalam sebuah perkawinan tidak bisa dipisahkan antara ikatan lahir dan ikatan batin, karena memang keduanya merupakan satu kesatuan yang utuh. 2) Seorang pria dengan seorang wanita mengandung arti bahwa perkawinan itu hanyalah antara jenis kelamin yang berbeda. Hal ini menolak adanya perkawinan sesama jenis yang telah dilegalkan oleh beberapa orang Barat. 3) Sebagai suami istri mengandung arti bahwa perkawinan itu adalah bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam suatu rumah tangga, bukan hanya dalam istilah “hidup bersama” (Syarifuddin, 2006:40). b. Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) BAB II pasal 2 adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqon ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakanya merupakan ibadah. c. Perkawinan menurut fikih Perkawinan menurut fikih adalah pernikahan. Secara bahasa pernikahan ialah al-jam’u dan al-dhamu yang artinya kumpul. Makna nikah (Zawaj) bisa diartikan dengan aqdu al-tazwij yang artinya akad nikah (Tihami, 2009:7). Makna nikah adalah akad atau ikatan, karena dalam suatu proses pernikahan terdapat ijab dan kabul. Selain itu nikah juga bisa diartikan sebagai bersetubuh (Assegaf, 2005:131). Adapun menurut syara’ nikah adalah akad serah terima antara laki-laki dan perempuan dengan tujuan untuk saling memuaskan satu sama lainnya dan untuk membentuk sebuah bahtera rumah tangga yang sakinah serta masyarakat yang sejahtera. Para ahli fikih berkata, zawwaja atau nikah adalah akad yang secara keseluruhan di dalamnya mengandung kata, inkah atau tazwij (Tihami, 2009:8). 2. Rukun dan Syarat Sah Perkawinan a. Rukun dan Syarat Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Rukun yaitu sesuatu yang harus ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu. Syarat yaitu sesuatu yang harus ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu. Sah adalah sesuatu pekerjaan (ibadah) yang memenuhi rukun dan syarat (Ghazaly, 2003:45). Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 juga mengatur syarat-syarat sahnya suatu perkawinan yang meliputi syarat formil dan materiil. Syarat formil adalah syarat-syarat yang menyangkut formalitas-formalitas atau tata cara yang harus dipenuhi sebelum dan pada saat perkawinan dilangsungkan. Syarat materiil adalah syarat mengenai diri pribadi calon mempelai. Syarat formil terdapat dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tantang Pelaksanaan Undang-Undang No.1 Tahun 1974, yang meliputi: 1) Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan kepada pegawai pencatat perkawinan (pasal 3 ayat 1). 2) Pengumuman oleh pegawai pencatat perkawinan (pasal 8). 3) Pelaksanaan perkawinan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya masing-masing (pasal 10 ayat 2). 4) Pencatatan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan (pasal 11). Syarat materiil yang berlaku umum tertuang dalam UU No. 1/1974, meliputi: 1) Harus ada persetujuan dari kedua mempelai (pasal 6 ayat 1). 2) Usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan wanita sudah mencapai 16 tahun (pasal 7 ayat 1). 3) Tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain kecuali dalam hal diijinkan oleh pasal 3 (2) dan pasal 4 (pasal 9). 4) Waktu tunggu bagi seorang wanita yang putus perkawinannya, yaitu: 130 hari bila putus karena kematian, 3 kali suci atau minimal 90 hari bila putus karena perceraian dan ia dalam keadaan datang bulan, 90 hari bila putus karena perceraian dan ia dalam keadaan tidak datang bulan, sampai melahirkan bila putus dalam keadaan hamil, tidak ada waktu tunggu jika belum pernah berhubungan kelamin, penghitungan waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap bagi suatu perceraian, dan sejak hari kematian bila perkawinan putus karena kematian (pasal 11 UU No. 1/1974 dan pasal 39 PP No. 9/1975). Syarat materiil yang berlaku khusus dalam UU No. 1/1974, meliputi: a. Tidak melanggar larangan perkawinan sebagaimana diatur dalam pasal 8,9 dan 10 UU No. 1/1974, yaitu larangan perkawinan antara dua orang yang: 1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau pun ke atas; 2) Berhubungan darah dalam garis keturunan ke samping; 3) Berhubungan semenda; 4) Berhubungan susuan; 5) Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang; 6) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin; 7) Masih terikat tali perkawinan dengan orang lain kecuali dalam hal tersebut pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 (pasal 9). 8) Telah bercerai untuk kedua kalinya sepanjang hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya tidak menentukan lain (pasal 10). 9) Ijin dari kedua orang tua bagi mereka yang belum mencapai usia 21 tahun. b. Rukun dan syarat sah Perkawinan menurut Kompilasi hukum Islam Rukun dan syarat perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam adalah harus ada calon suami, calon istri, wali, dua orang saksi serta ijab dan kabul (pasal 14). Syarat bagi calon mempelai meliputi: 1) Usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan wanita sudah mencapai 16 tahun sesuai ketetapan dalam pasal 7 UU No. 1/1974 (pasal 15 ayat 1). 2) Harus ada persetujuan dari kedua mempelai (pasal 16 ayat 1). 3) Tidak terdapat halangan perkawinan sebagaimana diatur dalam BAB VI (pasal 18). BAB VI tentang larangan kawin menyebutkan: Pasal 39, dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan karena: a) Pertalian nasab; b) Pertalian kerabat semenda; c) Pertalian sesusuan. Pasal 40, dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu: a) Karena wanita tersebut masih terikat satu perkawinan dengan orang lain; b) Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain; c) Seorang wanita yang tidak beragama Islam. Pasal 41, ayat 1 seorang pria dilarang memadu istrinya dengan seorang wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau sesusuan dengan istrinya. Pasal 42, seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita apabila pria tersebut sedang mempunyai 4 (empat) orang istri yang keempat-empatnya masih terikat tali perkawinan atau masih dalam iddah raj’i ataupun salah seorang di antara mereka masih terikat tali perkawinan sedang yang lainnya dalam masa iddah raj’i. Pasal 43, ayat 1 dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria: a) Dengan seorang wanita bekas istrinya yang ditalak tiga kali. b) Dengan seorang wanita bekas istrinya yang dili’an. Pasal 44, seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam. 4) Waktu tunggu bagi seorang wanita yang putus perkawinannya, yaitu: 130 hari bila putus karena kematian, 3 kali suci atau minimal 90 hari bila putus karena perceraian dan ia dalam keadaan datang bulan, 90 hari bila putus karena perceraian dan ia dalam keadaan tidak datang bulan, sampai melahirkan bila putus dalam keadaan hamil, tidak ada waktu tunggu jika belum pernah berhubungan kelamin, penghitungan waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap bagi suatu perceraian, dan sejak hari kematian bila perkawinan putus karena kematian (pasal 153). Syarat wali nikah tertuang dalam pasal 20, yaitu bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, akil dan baligh. Syarat saksi nikah tertuang dalam pasal 25, yaitu yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, akil, baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli. Pasal 26, saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani akta nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan. Syarat akad nikah terdapat dalam pasal 27, ijab dan kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang waktu. c. Rukun dan syarat sah Perkawinan menurut fikih Rukun nikah menurut Slamet Abidin dan Aminudin (1999:68) adalah sebagai berikut: a. Calon mempelai laki-laki b. Calon mempelai perempuan c. Wali dari mempelai perempuan yang akan mengakadkan perkawinan d. Dua orang saksi e. Shighat ijab qabul Sedangkan yang dimaksud dengan syarat perkawinan adalah segala hal yang harus dipenuhi sebelum perkawinan dilangsungkan. Untuk sahnya suatu perkawinan, selain memenuhi rukun juga harus memenuhi syarat-syarat yang mendahuluinya. Syarat suatu akad dalam perkawinan, meliputi: a. Akad harus dimulai dengan ijab yaitu penyerahan dari pihak perempuan kepada pihak laki-laki kemudian dilanjutkan dengan qabul yaitu penerimaan dari pihak laki-laki; b. Materi ijab dan qabul tidak boleh berbeda; c. Ijab dan qabul harus diucapkan secara bersambungan tanpa terputus walaupun sesaat; d. Ijab dan qabul tidak boleh dengan menggunakan ungkapan yang bersifat membatasi masa berlangsungnya perkawinan, karena perkawinan itu ditujukan untuk selama hidup; e. Ijab dan qabul mesti menggunakan lafaz yang jelas dan terus terang. Syarat bagi kedua calon mempelai, meliputi: a. Keduanya jelas identitasnya dan dapat dibedakan dengan yang lainnya, baik nama, jenis kelamin, keberadaan, dan hal lainnya; b. Keduanya sama-sama beragama Islam; c. Antara keduanya tidak terlarang melangsungkan perkawinan; d. Kedua belah pihak telah setuju untuk kawin dan setuju pula dengan pihak yang akan mengawininya; e. Keduanya telah mencapai usia yang layak untuk melangsungkan perkawinan. Syarat bagi wali nikah, meliputi: a. Dewasa dan berakal sehat; b. Laki-laki; c. Muslim; d. Merdeka; e. Tidak berada dalam pengampuan; f. Berpikiran baik; g. Adil; h. Tidak sedang melakukan ihram. Syarat bagi saksi, meliputi: a. Berjumlah minimal dua orang; b. Kedua saksi beragama Islam; c. Kedua saksi adalah orang merdeka; d. Kedua saksi adalah laki-laki; e. Kedua saksi bersifat adil; f. Kedua saksi dapat mendengar dan melihat. 3. Tujuan dan Hikmah Perkawinan a. Tujuan Perkawinan 1) Untuk mendapatkan anak dari keturunan yang sah dalam melanjutkan generasi yang akan datang. Dengan adanya perkawinan naluri seksual manusia dapat tersalurkan sesuai jalan yang diridhoi Allah, selain itu dapat menjaga nasab yang oleh Islam sangat diperhatikan (Sabiq, 1980:19). 2) Untuk mendapatkan keluarga bahagia yang penuh ketenangan hidup dan rasa kasih sayang (Syarifuddin, 2006:47). 3) Untuk mendapatkan dan melangsungkan keturunan. 4) Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan yang halal. 5) Untuk membangun rumah tangga dan membangun masyarakat yang tentram atas dasar rasa cinta dan kasih sayang. 6) Sebagai ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. b. Hikmah Perkawinan Islam mengajarkan dan menganjurkan nikah karena akan berpengaruh baik bagi pelakunya sendiri, masyarakat dan seluruh umat manusia. Adapun hikmah perkawinan menurut Tihami dan Sohari Sahrani (2009:19-20) adalah sebagai berikut: 1) Perkawinan adalah jalan alami yang paling baik dan sesuai untuk menyalurkan dan memuaskan naluri seks dengan kawin badan jadi segar, jiwa jadi tenang, mata terpelihara dari yang melihat dan perasaan tenang menikmati barang yang berharga. 2) Perkawinan merupakan jalan terbaik untuk membuat anak-anak menjadi mulia, memperbanyak keturunan, melestarikan hidup manusia serta memelihara nasib yang oleh Islam sangat diperhatikan sekali. 3) Naluri kebapakan dan keibuan akan tumbuh saling melengkapi dalam suasana hidup dengan anak-anak dan akan tumbuh pula perasaanperasaan yang ramah, cinta dan sayang yang merupakan sifat-sifat baik yang menyempurnakan kemanusiaan seseorang. 4) Menyadari tanggung jawab beristri dan menanggung anak-anak menimbulkan sikap rajin dan sungguh-sungguh dalam memperkuat bakat dan pembawaan seseorang dan akan cekatan dalam bekerja. 5) Pembagian tugas dimana yang satu mengurusi rumah tangga sedangkan yang lain bekerja di luar, sesuai dengan batas-batas tanggung jawab antara suami-istri dalam menangani tugas-tugasnya. 6) Perkawinan dapat membuahkan diantaranya tali kekeluargaan, memperteguh kelanggengan rasa cinta antara keluarga dan memperkuat hubungan masyarakat. B. Perkawinan Beda Agama Menurut Undang-Undang Perkawinan Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak ada aturan yang tegas mengenai perkawinan beda agama. UU tersebut hanya menganggap bahwa “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu” (pasal 2 ayat1). C. Perkawinan Beda Agama Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) Secara tegas KHI melarang perkawinan beda agama. Aturan ini tercantum dalam pasal 75 (1) yaitu perkawinan batal karena salah satu dari suami atau istri murtad. Pengadilan Agama yang notabene sebagai pemutus suatu perkara dalam perceraian mengambil KHI sebagai dasar dalam menetapkannya. Menurut KHI pasal 116 huruf h menyatakan bahwa perceraian dapat putus karena “peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga”. Dengan adanya alasan pasal tersebut secara tegas KHI melarang adanya perkawinan beda agama. Namun di sisi lain KHI ternyata membuka peluang untuk perkawinan beda agama karena pada saat peralihan agama dalam rumah tangga namun tidak menimbulkan “ketidakrukunan”, maka secara tidak langsung KHI juga tidak melarang adanya perkawinan beda agama. Jadi ketika ada peralihan agama dalam rumah tangga namun tidak menimbulkan “ketidakrukunan” maka secara tidak langsung KHI juga tidak melarang adanya perkawinan beda agama. D. Perkawinan Beda Agama Menurut fikih 1. Perkawinan Orang Islam Dengan Ahli Kitab a) Kaum musrikin dan ahli kitab Ayat Al-quran disamping menjelaskan tentang pernikahan golongan mukminin juga menjelaskan tentang pernikahan dengan golongan ahli kitab dan musrik yang sekaligus menjadi dasar hukum nikah beda agama diatara mereka. Dasar hukum pernikahan orang islam dengan ahli kitab dan orang musrik dalam firman Allah SWT 1) surat Al-baqarah ayat 221 : 7px.ÎŽô³ •B ` ÏiB ׎öyz îpoYÏB÷s•B ×ptBV{ ur 4£̀ ÏB÷sム4Ó®Lym ÏM »x.ÎŽô³ ßJ ø9$#(#qßs Å3 Zs? Ÿw ur í̀ ÏB÷s•B Ó‰ ö7yès9ur 4(#qãZÏB÷sム4Ó®Lym tûüÏ.ÎŽô³ ßJ ø9$#(#qßs Å3 Zè? Ÿw ur 3öN ä3 ÷Gt6yf ôã r&öqs9ur (#þqã ô‰ tƒ ª! $#ur (Í‘$Z̈9$#’n<Î)tb qãã ô‰ tƒ y7 Í́¯»s9'ré&3öN ä3 t6yf ôã r&öqs9ur 78 ÎŽô³ •B ` ÏiB ׎öyz ... ÏpŸyf ø9$#’n<Î) Artinya: Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanitawanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran (Depag, 1976:53). 2) Ayat 5 surat Al-Maidah ö/ä3 ©9@ Ïm |= »tGÅ3 ø9$#(#qè?ré&tûïÏ%©!$#ãP$yèsÛ ur (àM »t6Íh‹©Ü 9$#ãN ä3 s9 ¨@ Ïm é& tPöqu‹ø9$# z̀ ÏB àM »oY|Á ós çRùQ$#ur ÏM »oYÏB÷sßJ ø9$#z̀ ÏB àM »oY|Á ós çRùQ$#ur (öN çl°;@ Ïm öN ä3 ãB$yèsÛ ur tûüÏYÅÁ øtèC £̀ èd u‘qã_ é&£̀ èd qßJ çF÷s?#uä !#sŒÎ)öN ä3 Î=ö6s% ` ÏB |= »tGÅ3 ø9$#(#qè?ré&tûïÏ%©!$# ô‰ s)sù Ç̀ »uKƒM} $Î/ öàÿõ3 tƒ ` tBur 35b #y‰ ÷{ r&ü“ É‹ Ï‚ ­GãB Ÿw ur tûüÅs Ïÿ»|¡ ãB uŽöxî ÇÎÈ z̀ ƒÎŽÅ£ »sƒø:$#z̀ ÏB ÍotÅz Fy $#’Îûuqèd ur ¼ã&é#yJ tã xÝ Î6ym Artinya: Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orangorang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi (Depag, 1976: 158). Menurut Al-jaziri sebagaimana dikutip oleh sukarja dibagi menjadi tiga golongan yaitu: a. Golongan yang tidak berkitab samawi atau tidak berkitab semacam kitab samawi. Contoh: orang yang menyembah berhala dan orang murtad yang disamakan dengan mereka. b. Golongan yang mempunyai semacam kitab samawi. Contoh: orang-orang majizi yang menyembah api. c. Golongan yang beriman kepada kitab suci. Mereka adalah orang Yahudi yang percaya kepada kitab taurat dan orang-orang nasrani yang mempercayai injil. Sementara itu Yusuf al-Qardawi membagi golongan non-Muslim menjadi golongan musrik, murtad, bahai, dan ahli kitab. Musrik adalah penyembah berhala, mulhid adalah golongan ateis, murtad adalah golongan yang keluar dari agama islam, bahai termasuk Murtad. Ahli kitab adalah kaum Yahudi dan Nasrani. Titik tolak penggolongan al-Jaziri dari segi kitab, sedang Yusuf alQardawi dari segi nama untuk tiap golongan. Dalam rinciannya sama, hanya Yusuf Qardawi menambahkan golongan Ateis dan Bahai. Dua golongan pertama disebut oleh al-Jaziri adalah Musrik. Golongan Mulhid, Murtad dan bahai, dalam hukum nikah oleh Yusuf Qardhawi dari segi nama untuk tiap golongan. Dalam rincianya sama, hanya Yusuf Qardhawi menambahkan golongan ateis dan bahai. Ahlul kitab adalah penganut taurat dan injil. Kaum yahudi dan samiri adalah penganut Taurat. Penganut injil adalah Nasrani yang seakar dalam agama mereka, seperti orang prancis, jerman dan lain-lain. Masalah yang pelik adalah golongan Ahlul Kitab. Apakah mereka tidak musrik atau juga termasuk golongan musrik (LSIK, 1994:2-3). Paramufassir memandang bahwa perkawinan seorang mukmin dipandang halal jika mereka masih berpegang pada kitab-kitab yang masih murni namun jika kitab atau keyakinannya sudah menyimpang maka haram untuk dinikahi sesuai dengan surat albayyinah ayat 1: “Orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata”, Dan al-hajj ayat 17 yang berbunyi: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shaabi-iin, orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuat”. Hukum pria islam yang menikah dengan wanita bukan islam dibedakan menjadi 2 yaitu : 1. Dengan wanita musrik dan wanita murtad hukumnya haram sesuai dengan surat albaqarah 221. 2. Dengan wanita ahli kitab ada tiga hukum yaitu halal, haram, dan yang menghalalkan tapi siasat tidak menghendakinya. a. Golongan yang menghalalkan berpendirian bahwa menikahi perempuan ahli kitab (yahudi dan nasrani) halal hukumnya asalkan perempuan ahli kitab itu merupakan agama keturunan dari nenek moyang mereka yang menganut agama tersebut sebelum masa nabi muhammad dibangkitkan menjadi rosul. b. Golongan yang mengharamkan yaitu ibnu umar sesuai dengan albaqarah 221. c. Golongan yang menggap halal tetapi siasat tidak menghendakinya yang menimbulkan hukum mubah dalam perkawinan itu karena dalam perkawinan itu ada bahaya kalau-kalau sisuami ikut agama istrinya (LSIK, 1994: 6-13). b) Non-Muslim Memeluk Islam Perkawinan non-Muslim baik Ahlul Kitab maupun Musrik, dapat dibagi atas dua keadaan. Pertama, perkawinan itu terjadi diantara mereka setelah mereka hijrah dan dilakukan di Da’arul Islam. Kedua, perkawinan itu terjadi di negeri mereka sendiri, yaitu di Daarul Harbi. Daarul Islam adalah negeri yang diperintah secara penuh oleh kaum muslimin. Darul Harbi adalah negeri dimana kaum muslimin tidak mempunyai tidak mempunyai kekuasaan untuk mengaturnya. Perkawinan yang terjadi diantara mereka dalam dua keadaan tersebut mungkin sesuai dengan syarat dan rukun akad pernikahan Islam, mungkin berbeda. Bila persyaratan perkawinan mereka sesuai dengan perkawinan islam, maka perkawinan mereka itu sah dalam pandangan islam. Bila berbeda dengan persyaratan perkawinan islam maka perkawinannya dianggap tidak sah (LSIK, 1994:4). c) Wanita islam dengan laki-laki bukan islam Seluruh ulama’ telah sepakat bahwa wanita islam haram menikah dengan pria non muslim. Hal itu sesuai dengan al-baqoroh 221 (LSIK, 1994:5). E. Perkawinan Beda Agama dalam Perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) Menurut Ahmad Baso dan Ahmad Nurcholis (1995:245-246) Indonesia memiliki peraturan mengenai hak asasi manusia, melalui TAP MPR No. XVII tahun 1998 tentang hak asasi manusia yang terdiri dari 10 bab dan 44 pasal. Ketetapan MPR tersebut menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia secara kodrati, universal, dan abadi sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak-hak tersebut meliputi hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak berkomunikasi, hak keadilan, hak kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak keamanan, dan hak kesejahteraan. Indonesia juga memiliki undang-undang lain mengenai hak asasi manusia, yaitu undang-undang nomor 39 tahun 1999 yang terdiri dari 11 bab dan 106 pasal. Peraturan mengenai hak asasi manusia dalam undang-undang tersebut didasarkan pada DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia) atau Universal Declaration of human rights yang dicetuskan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1948. Undang-Undang ini secara rinci mengatur tentang hak untuk hidup, hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak atas kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak turut serta dalam pemerintah, hak wanita dan hak anak. Selain tentang hak asasi manusia, diatur pula mengenai kewajiban dasar manusia, kewajiban dan tanggungjawab pemerintah dalam penegakan hak asasi manusi, serta fungsi dan tugas Komnas Hak Asasi Manusia. Undang-Undang ini merupakan payung dari seluruh peraturan perundang-undangan tentang hak asasi manusia. Oleh karena itu, pelanggaran hak asasi manusia secara langsung atau tidak langsung, dikenakan sanksi pidana, perdata, dan atau administrasi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Menurut Ahmad Baso dan Ahmad Nurcholish (2005:257) sejak UU Perkawinan disahkan pada 1974, sejumlah persoalan muncul, di antaranya berkaitan dengan masalah nikah beda agama, yaitu: Pertama, dalam pasal 2 ayat 1 disebutkan bahwa sahnya perkawinan tergantung apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Ketentuan ini hanya dapat dilaksanakan manakala kedua mempelai memiliki agama yang sama. Kalau keduanya memiliki agama yang berbeda, maka salah satu harus mengikuti agama yang lain. Kemudian kembali ke agamanya semula setelah perkawinan terlaksana. Kedua, dalam pasal 2 ayat 2 dinyatakan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peran pemerintah sebatas melakukan pencatatan nikah. Pemerintah hanya mengatur aspek administrasi perkawinan. Namun kedua ayat tersebut dalam prakteknya berlaku secara kumulatif. Kedua-duanya harus diterapkan bagi persyaratan sahnya suatu perkawinan. Berkaitan dengan perkawinan beda agama, dalam KHI ada dua pasal yang melarang. Pertama, pasal 40 yang menyatakan seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita yang tidak beragama islam. Kedua, pasal 44 menyatakan seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama islam. Perbedaan agama dalam KHI dipandang sebagai penghalang bagi pasangan yang hendak melangsungkan perkawinan. Menurut perspektif hak asasi manusia, Undang-Undang Perkawinan tahun 1974 pasal 2 ayat (1) dan (2), serta KHI pasal 40 dan 44 bertentangan dengan isi DUHAM pasal 16 ayat 1 yang menyebutkan, “Iaki-laki dan perempuan dewasa dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dalam perkawinan, di dalam masa perkawinan, dan di kala perceraian.” Ayat 2, “Perkawinan hanya dapat dilaksanakan berdasarkan pilihan bebas dan persetujuan penuh oleh kedua mempelai.” Sementara ayat 3 menyebut, “Keluarga adalah kesatuan sewajarnya serta bersifat pokok dari masyarakat dan berhak mendapat perlindungan dari masyarakat dan negara.” Selain itu, Juga bertentangan dengan Pasal 10 ayat (1) UU No. 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia, yang berbunyi “Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.” Dan pada Pasal 10 ayat (2) yang berbunyi, “Perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan Perundang-undangan.” BAB III FASILITASI PERKAWINAN BEDA AGAMA OLEH PERCIK D. Alasan Percik Memfasilitasi Perkawinan Beda Agama 1. Gambaran Umum Lembaga Percik Salatiga a. Sejarah dan Latar Belakang Berdirinya Lembaga Percik Salatiga Percik merupakan lembaga independen yang diperuntukan bagi penelitian sosial, demokrasi dan keadilan sosial. Lembaga ini didirikan pada awal tahun 1996 (1 Februari 1996) oleh sekelompok Ilmuwan di Salatiga yang terdiri dari sejumlah peneliti sosial, pengajar Universitas, serta aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang bantuan hukum serta pengorganisasian masyarakat. Para pendiri ini merupakan sebagian dari staf akademik sebuah Universitas di Salatiga yang terpaksa keluar dari Universitas tersebut karena menolak beberapa kebijakan dari pengurus yayasan dan pimipinan Universitas yang dinilai tidak demokratis, bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan tidak menjunjung tinggi kebebasan akademis serta otonomi kampus. Berdirinya Lembaga Percik merupakan wadah baru untuk mewujudkan idealisme mereka mengenai masyarakat yang demokratis dan berkeadilan sosial. Kelahiran Percik juga tidak dapat dilepaskan dari tuntutan yang semakin luas dalam masyarakat Indonesia tentang perlunya proses demokratisasi dilaksanakan dengan segera di berbagai bidang kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Tuntutan tersebut muncul sebagai bagian dari keprihatinan yang meluas di masyarakat terhadap sistem politik yang semakin sentralistik, hegemonik, opresif dan tidak toleran. Sistem politik yang tidak sehat tersebut berakibat pada rendahnya kesadaran dan partisipasi politik rakyat, tiadanya ruang publik yang memungkinkan terjadinya pertukaran wacana publik secara bebas, tidak berkembangnya lembaga-lembaga demokrasi, lemahnya penegakan hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), serta birokrasi pemerintahan yang korup. Di lain pihak perkembangan masyarakat menunjukan kecederungan ke arah masyarakat plural yang tersekat-sekat yang di dalamnya mengandung potensi konflik horisontal yang besar. Kondisi politik yang tidak sehat tersebut melanda kehidupan politik baik pada aras nasional maupun pada aras lokal. Keterlibatan panjang staf Percik dalam berbagai penelitian dan studi pada aras lokal yang dimiliki secara individual oleh staf Percik dan dilandasi pula oleh keyakinan bahwa bagi masa depan Indonesia arena politik pada aras lokal ini justru semakin penting dan menentukan, maka lahirnya Percik merupakan perwujudan dari keinginan untuk ikut menggulirkan proses demokratisasi politik pada aras (pada titik / level) lokal (http://www.percik.or.id/). b. Visi dan Misi Percik sebagai Lembaga independen yang didirikan untuk penelitian sosial, demokrasi dan keadilan sosial memiliki visi jangka panjangnya sebagai berikut: 1) Mendukung penciptaan masyarakat sipil, melalui pemberdayaan lembaga-lembaga demokrasi dan pengembangan nilai-nilai demokrasi. 2) Mendorong masyarakat pada penyadaran akan dasar-dasar kehidupan masyarakat plural dan toleransi dalam seluruh kehidupan sosial. 3) Memberikan perhatian pada dasar-dasar masyarakat sipil, HAM khususnya bagi orang-orang yang telah dilemahkan dan dipinggirkan dari pelayanan pemerintah dan sistem hukum. Visi tersebut dalam kurun waktu yang lebih pendek khususnya mengacu kepada tuntutan perkembangan yang ada dalam masyarakat saat ini, mendorong Percik untuk mengutamakan segi-segi berikut: 1) Peningkatan kinerja pemerintah lokal menuju kearah pemerintahan lokal yang sehat dan baik. 2) Meningkatkan kesadaran politik masyarakat kearah perwujudan prinsip-prinsip bernegara dan bermasyarakat yang demokratis, menjunjung tinggi penegakan hukum dan menghormati Hak Asasi Manusia (HAM). 3) Memperkuat Civil Society yang berbasis pada nilai-nilai pluralisme dan toleransi. Untuk mewujudkan ketiga segi dari visi tersebut, misi Percik berpusat kepada tiga pilar kegiatan berikut: 1) Menyelenggaraan kegiatan-kegiatan studi dan penelitian yang memenuhi standar keilmuan yang tinggi, independen, serta memenuhi nilai-nilai kegunaan bagi kehidupan masyarakat luas. 2) Melakukan kegiatan refleksi sebagai upaya untuk meningkatkan pemahaman yang lebih mendalam terhadap berbagai gejala yang diteliti serta menghubungkannya dengan berbagai nilai luhur yang diyakini dan menjadi komitmen Percik. 3) Melakukan program aksi yang ditujukan kepada terciptanya masyarakat demokratis dan berkeadilan (http://www.percik.or.id/). c. Struktur Kepengurusan Dalam menjalankan program kegiatannya, Lembaga Percik Salatiga menentukan susunan pengurus (http://www.percik.or.id/): Pengurus Yayasan : Nico. L. Kana (Ketua) Sukotjo (Sekretaris) Heru Wijatsih Kuwat Trijanto (Bendahara) Direktur : Pradjarta Dirdjosanjoto Wakil Direktur : I Made Samiana Penelitian : Nico. L. Kana (Tenaga Ahli) Setyo Handoyo Ninik Handayani C. Dwi Wuryaningsih Mohammad Akbar Singgih Nugroho Haryani Saptaningtyas Slamet Luwihono sebagai berikut Kutut Suwondo (paroh waktu ) Fera Nugroho (paroh waktu ) Advokasi : Budi Lazarusli RH Dwiprasetyo Nick Tunggul Wiratmoko Hery Wibowo T Agung Waskitoadi Damar Waskitojati Christina Arief THM Unit Penunjang Program : Widya P Setyanto (Publikasi) Bernadetta Rorita Dewi (Perpustakaan) Unit Penunjang Administrasi, Keuangan dan Kerumahtanggaan: Agung Ari Mursito (Administrasi) Ambar Istiyani Halomoan Pulungan (Keuangan) Dewi Retnowati Erwin Setiyaning Yuli Astuti Dayusman Junus (Kerumahtanggaan) Wagiman Dendy Gunawan Sukiman Suyatno Lucia Wahini d. Profil Kegiatan Lembaga Percik Dalam perjalanan waktu kegiatan Percik telah berkembang dengan pesat pada empat areas of concern, yaitu (1) bidang politik lokal, (2) pluralisme masyarakat dan budaya, (3) civil society dan demokrasi, serta (4) hukum dan HAM. Keempat bidang perhatian ini saling kait mengait satu sama lain. Di empat bidang perhatian tersebut Percik telah mengembangkan kegiatan-kegiatan sebagai berikut (http://www.percik.or.id/): 1) Kegiatan Penelitian Percik menempatkan kegiatan penelitian sebagai salah satu pilar utama disamping kegiatan advokasi dan refleksi. Kegiatan penelitian dilaksanakan berdasar minat dari dalam lingkungan Percik sendiri, kerjasama dengan lembaga lain, ataupun atas ‘pesanan’dari pihak luar. Khususnya terhadap penelitian pesanan, Percik berusaha secara kritis mempertimbangkan kandungan kepentingan dan kemanfaatan dari penelitan yang dipesan. Untuk mengembangkan kegiatan di bidang penelitian Percik mengembangkan dua pusat penelitian, yaitu: a) Pusat Penelitian Politik Lokal (P2PL) Pusat Penelitian Politik Lokal (P2PL), semula bernama Pusat Penelitian dan Pengembangan Politik Lokal (P3PL), berdiri pada pertengahan tahun 1999. Pendirian pusat penelitian ini merupakan wujud keinginan Percik untuk mengkaji dinamika dan perkembangan politik lokal sesudah Orde Baru, memberikan dukungan kepada kebijakan yang mempertimbangkan situasi dan kondisi politik lokal, mengembangkan fungsi pusat informasi tentang politk lokal dan mendorong upaya pemberdayaan masyarakat dalam bidang sosial politk oleh masyarakat yang bersangkutan dengan memperhitungkan temuan penelitian. Berkat antara lain dukungan dana dari The Ford Foundation, selama kurun waktu 1999-2005 P2PL telah melakukan sejumlah program yang berorientasi pada gagasan tersebut di atas yang mencakup kegiatan-kegiatan penelitian, pengembangan kelembagaan, dan upaya pengembangan pemberdayaan masyarakat. Kegiatan penelitian P2PL memfokuskan pada aspek-aspek dari gejala perubahan politik di aras lokal, baik di pedesaan, kecamatan maupun kabupaten/kota. Ada enam gejala perubahan yang ditelaah, yaitu (1) adanya perubahan atau pergeseran pusat-pusat kekuasaan, (2) adanya perubahan basis relasi politik, (3) meluasnya gejala faksionalisme, (4) adanya perubahan pola kepemimpinan, (5) perubahan fungsi ideologi, dan (6) adanya perkembangan lembaga lokal. Keenam gejala perubahan itu didekati lewat telaah terhadap isu-isu yang muncul di lokasi-lokasi penelitian P2PL (yaitu di wilayah pedesaan di Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat, Kabupaten Minahasa Sulawesi Utara, Kabupaten Lombok Barat, NTB, Kabupaten Kendari Sulawesi Tenggara, Kabupaten Mamasa Sulewesi Selatan, dan Kabupaten Sumba Timur, NTT). Pemahaman mengungkapkan yang diperoleh antara lain, dari kegiatan penelitian teridentifikasikannya gejala-gejala perubahan dalam politik lokal baik dalam kelembagaan formal maupun dalam dinamika di kalangan masyarakat, terungkapkannya kerangka acuan kultural dalam dinamika politik lokal, dan peranan dari kelompok-kelompok agama dalam kehidupan masyarakat desa. Selain itu untuk menopang kegiatan penelitian, P2PL menyelenggarakan seminar tentang metodologi penelitian, seminar tentang temuan penelitian, dan seminar oleh para tamu (sosiolog, antropolog, dan ahli ilmu politik) yang memberikan seminar datang baik dari dalam negeri (UGM, UNDIP, UNAIR, LIPI) maupun luar negeri (VU-Amsterdam). Untuk mengembangkan jaringan peminat studi politik lokal, P2PL menyelenggarakan Seminar Internasional Dinamika Politik Lokal di Indonesia. Seminar ini diselenggarakan setiap tahun, pada tahun 2005 ini sudah memasuki tahun keenam. Selain itu P2PL juga melakukan pembentukan basis pemerhati politik lokal melalui training yang mencakup pemahaman teroritis dan latihan ketrampilan penelitian, serta pemberian beasiswa kepada peneliti (yang berasal dari kalangan perguruan tinggi dan LSM) yang melakukan studi politk lokal. Dalam pengembangan kelembagaan tercakup upaya pengembangan sarana pendukung bagi kegiatan-kegiatan P2PL, seperti (1) pengembangan koleksi kepustakaan dalam bidang politik lokal, (2) penerbitan berkala jurnal Politik Lokal-Humaniora Renai, (3) penerbitan seri monografi tentang politik lokal, (4) kerjasama pelatihan metodologi (antara lain dengan FISIPOL-UGM, dan CCSS Yogyakarta), dan (5) kerjasama penelitian (dengan Menristek, CRWRC, dsb). Termasuk ke dalam jenis kegiatan ini adalah pemberian bimbingan penelitian bagi berbagai pihak (misalnya peserta training tersebut di atas, penerima dana RUKK-Menristek) dan penyediaan fasilitas station (pangkalan) penelitian. Selama kurun waktu 1999– 2005 sejumlah peneliti tamu, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, telah memanfaatkan fasilitas station penelitian P2PL. P2PL mendorong mengembangkan upaya kemampuan masyarakat setempat sendiri dengan untuk turut memperhitungkan hasil penelitian di lokasi studi. Realisasi kegiatan ini (lewat FBB dan PDR) telah menunjukkan antara lain perkembangan benih-benih demokrasi pada aras pedesaan. b) Pusat Studi Transformasi Praktek-Praktek Keagamaan Lokal Disamping Pusat Penelitian Politik Lokal, Percik mengambangkan Pusat Studi dan Penelitian Transformasi PraktekPraktek Keagamaan Lokal. Pengembangan pusat studi dan penelitian ini dilatar belakangi oleh pemikiran bahwa kajian praktek-praktek keagamaan lokal sangat diperlukan untuk memahami sifat perubahan politik pada aras lokal. Kajian praktek-praktek keagamaan lokal dapat membantu mencermati berbagai bentuk ‘keagenan’ lokal dalam arti luas; ‘akar dan rute’ perubahan yang bermula sebagai proses lokal. Studi agama lokal sering diabaikan karena dianggap kurang relevan bagi pemahaman terhadap perubahan politik dan ekonomi. Padahal praktek-praktek keagamaan membantu mengungkapkan cara-cara pemegang peran lokal memahami situasi setempat dan berupaya mengatasi hambatan yang mereka hadapi. Dalam praktek keagamaan, masyarakat setempat merenungkan dan menanggapi isu-isu penting serta hambatan yang mereka hadapi. Praktek keagamaan dapat dipandang sebagai cara-cara mengatasi isu-isu serta hambatan konkret yang menantang para pemegang peran lokal. Pemahaman tentang agama-agama setempat dapat menjadi kunci untuk memahami transformasi politik dalam arti yang lebih luas. Kegiatan dari Pusat Studi Transformasi Praktek-praktek Keagamaan Lokal meliputi kegiatan penelitian mengenai berbagai topik yang diminati oleh anggota tim peneliti (lihat uraian mengenai Penelitian tentang Sejarah Praktek Keagamaan Lokal), training metodologi dalam rangka penyiapan penelitian lapang dari kegiatan Percik sendiri, training metodologi atas permintaan dari pihak luar (Lingkungan Universitas, Lembaga Research, Lembaga Keagamaan, dsb), seminar dan diskusi mengenai topik-topik khusus, serta publikasi. 2) Seminar, Diskusi dan Loka Karya (Workshop). Kegiatan seminar, diskusi, dan loka karya diselenggarakan oleh Percik sebagai wahana untuk bertukar wacana, belajar bersama mengenai topik-topik yang diminati, mendesiminasikan dan membahas hasil-hasil penelitian, serta melakukan refleksi kritis terhadap perkembangan masyarakat dan ilmu pengetahuan. Dalam penyelenggaraan seminar, diskusi, dan lokakarya, nilai-nilai kebebasan, keterbukaan, dan kritis mendapat perhatian dan pengutamaan. Tema-tema berikut menjadi pokok bahasan Lembaga Percik: a) Seminar di seputar masalah Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Beragama. b) Seminar, Lokakarya dan Diskusi mengenai Pemilu 1999 c) Seminar tentang Desentralisasi dan Otonomi Daerah. d) Seminar Internasional Tahunan tentang Dinamika Politik Lokal di Indonesia. e) Seminar Jurnal Renai yang diadakan dua kali per tahun f) Seminar Tamu g) Seminar dengan Tema Khusus h) Seminar mengenai Metodologi Penelitian 3) Kegiatan Advokasi. Selain kegiatan penelitian dan penyelenggaraan seminar, lokakarya dan diskusi, Percik juga menyelenggarakan program yang bersifat advokasi. Diantaranya adalah: a) Program Kepemerintahan Lokal (Local Good Governance programme) Program ini secara khusus bertujuan untuk penguatan lembaga-lembaga demokrasi di tingkat lokal, peningkatan mutu SDM, serta peningkatan partisipasi masyarakat dalam penentuan kebijakan publik. Bentuk-bentuk kegiatan yang dikembangkan antara lain adalah: skill training programme di bidang ke legislatifan (legal drafting, analisis budget, dsb), pengembangan kapasitas organisasi, dan penyelesaian sengketa alternatif. Skill training programme ini antara lain diperuntukkan bagi para anggota legislatif, eksekutif, para anggota kelompok perempuan, para aktifis muda di pedesaan, dsb. b) Program Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) dan Peningkatan Kesadaran Politik Masyarakat. Program pendidikan politik ini antara lain bertujuan untuk memberikan pengetahuan dasar mengenai demokrasi, hak-hak politik warga negara, serta penegakan hukum dan HAM. Untuk tujuan itu selain menyelenggarakan pelatihan (antara lain Pendidikan HAM untuk Perempuan, untuk para pamong desa, serta untuk warga gereja), berbagai bentuk advokasi, Percik juga mengembangkan materi dan modul pelatihan advokasi politik dan pendidikan HAM. Dalam rangka menyongsong Pemilu 1999, Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden 2004, serta Pemilihan Kepala Daerah Langsung (Pilkadal), c) Program Pemberdayaan Civil Society Program pemberdayaan Civil Society terutama menekankan pada upaya pengembangan nilai-nilai pluralisme dan toleransi, serta mendorong semakin luasnya partisipasi masyarakat dalam proses penentuan kebijakan publik. Diantara berbagai kegiatannya, termasuk di dalamnya adalah Pembentukan forum-forum komunikasi lintas agama dan lintas golongan kemasyarakatan serta pengembangan forum warga (CBO) di tingkat lokal. Termasuk dalam program ini adalah: 1) Forum Sarasehan Lintas Iman: SOBAT 2) Program Belajar Bersama: Sobhet. 3) Desk Pengembangan Kehidupan Bergereja (DPKB) d) Program Pendampingan di Bidang Hukum Percik memiliki dua program di bidang pendampingan hukum yaitu program bantuan hukum di bidang litigasi dan non litigasi yang dilakukan oleh Biro Pelayanan dan Bantuan Hukum (BPBH), dan program peningkatan fungsi kepolisian beorientasi masyarakat (COP) di Salatiga. 4) Pengembangan Unit Penunjang Untuk mendukung kinerja lembaga, Percik mengembangkan unitunit penunjang yaitu perpustakaan dan dokumentasi dengan koleksi khusus, publikasi, teknologi informasi, dan pengembangan Kampoeng Percik. 5) Pengembangan Relasi dan Kerjasama Terutama sejak lima taun terakhir, relasi dan kerjasama Percik dengan berbagai mitra telah berkembang dengan pesat. Relasi tersebut antara lain dengan: 1) Relasi dengan berbagai pusat studi 2) Relasi dengan berbagai kelompok dan organisasi keagamaan 3) Relasi dengan berbagai LSM di tingkat lokal, profinsial maupun nasional 6) Pengembangan Kampoeng Percik Sejak tahun 2002 secara bertahap Percik mengembangkan tempat kerja yang diberi nama Kampoeng Percik. Tempat kerja ini terletak di kota Salatiga berjarak sekitar 1 km dari pusat kota. Di atas tanah seluas 1.25 ha, tempat kerja ini terdiri dari 6 rumah tradisional Jawa dari kayu jati tua yang semula merupakan rumah-rumah penduduk di pedesaan. Rumah-rumah tersebut kini difungsikan sebagai kantor administrasi, ruang kerja staf, ruang perpustakaan, aula seminar, kantin dan rumah tamu. Dengan lokasi yang berada ditengah persawahan, lingkungan pepohonan yang hijau, udara yang sejuk dan segar, Kampoeng Percik memberi suasana yang akrab dengan alam, nyaman untuk bekerja dan berseminar. Di masa mendatang Percik bermaksud melengkapi Kampoeng Percik ini dengan fasilitas untuk pusat pelatihan. 2. Sejarah Percik Memfasilitasi Perkawinan Beda Agama Lembaga Percik merupakan lembaga untuk Penelitian Sosial, demokrasi dan Keadilan Sosial. Lembaga tersebut sejak awal berdirinya, juga memberikan perhatian terhadap persoalan hubungan lintas iman. Percik menyelenggarakan program yang bersifat advokasi, di dalamnya terdapat berbagai forum kegiatan, yaitu forum komunikasi lintas agama, lintas golongan kemasyarakatan dan pengembangan forum warga (CBO). Program tersebut melahirkan Forum Sarasehan Lintas Iman yang diberi nama SOBAT. Forum SOBAT ini merupakan gerakan untuk pemberdayaan civil society di tingkat local. Forum tersebut bertujuan membangun organisasi yang mengutamakan warganegara dalam hal lintas agama (citizen based organization) yang mampu mencari penyelesaian bersama terhadap berbagai ketegangan dan konflik dalam masyarakat (http://www.percik.or.id). Strategi pendekatan SOBAT pada dasarnya berupaya untuk memperbaiki relasi hubungan lintas agama melalui penciptaan hubungan pertemanan diantaranya: a) Menciptakan kepercayaan (trust) dengan mengenal orang lain (the Others) secara langsung atau tidak langsung, tidak hanya memandang dari kacamata Kristen maupun Islam saja atau sebaliknya. b) Menciptakan kesediaan belajar bersama tentang konteks lokal kehidupan mereka. c) Menciptakan kesediaan belajar bersama dan mengembangkan kemampuan bersama. Strategi ini dipilih karena relasi lintas iman yang selama ini telah sangat diwarnai oleh kecurigaan dan suburnya prasangka buruk (http://www.percik.or.id). SOBAT telah berkembang dan membentuk suatu gerakan dan kegiatan diantaranya: a) Gerakan “Kata Hawa” yang bertujuan untuk mendorong munculnya emansipasi wanita lintas iman. b) SOBAT Muda, bertujuan untuk mempererat hubungan pertemanan di masa mendatang. c) Kegiatan Wacana Lintas Iman, merupakan Wahana refleksi dan kerjasama teologi lintas iman. d) SOBAT Anak, Program ini bertujuan untuk menumbuhkan toleransi pada anak yang berbeda latar belakang agama, suku, dan etis, sejak usia dini. e) SOBAT juga menjembatani maupun memfasilitasi perkawinan beda agama (http://www.percik.or.id). Menurut staff percik (wawancara tanggal 12 Desember 2012) mengatakan bahwa tidak adanya aturan yang tegas mengenai perkawinan beda agama, menimbulkan kebingungan masyarakat dalam menanggapi kasus perkawinan beda agama. Ada pihak yang setuju namun ada juga yang tidak setuju dengan adanya perkawinan beda agama. Ada yang menganggap sah namun ada juga yang menganggap tidak sah perkawinan beda agama. Hal ini dipengaruhi oleh pemahaman dan pola pikir masing-masing pihak. Sehingga berbagai pasangan yang hendak menikah beda agama dengan tetap memeluk agamanya masing-masing, seringkali mengalami kesulitan untuk mendapatkan pelayanan, baik secara administratif maupun keagamaan. Berangkat dari berbagai persoalan tersebut akhirnya percik menemukan sebuah gagasan tentang perkawinan beda agama yaitu dengan cara menghubungkan dan menjadi mediator dengan para tokoh agama, lembaga dan instansi pemerintah terkait, yang diperlukan untuk memperoleh pendampingan dalam pelaksanaan pernikahan beda agama. Fasilitasi yang dilakukan oleh Percik terhadap pasangan beda agama ini diasumsikan sebagai pintu darurat yang berusaha memberi tempat/ruang (mempermudah) untuk melakukan perkawinan beda agama. E. Proses Perkawinan Beda Agama di Percik 1. Profil Pelaku Perkawinan Beda Agama a. Pasangan DH (Kristen) dan AD (Islam) Jodoh adalah Rahasia Illahi Dalam kehidupan manusia masalah rejeki dan jodoh memang menjadi rahasia Tuhan. Manusia hanya berhak merencanakan segala sesuatunya namun tetap kuasa akhir berada di tangan Tuhan. Walaupun begitu, manusia masih diberi kesempatan untuk mengubah takdir yang ada dalam hidupnya. Begitu halnya bagi AD dan DH yang merasa telah dijodohkan oleh Tuhan meskipun memiliki latar belakang agama yang berbeda. AD tinggal di Perum Bandung Indah Kostrad RT.02 RW.08, sedangkan Dian tinggal di JL. Brigjen Sudiarto III/31 Desa Kalicacing. Pertemuan AD dan DH berawal dari tempat kerja yang sama, mereka sama-sama bekerja di Yayasan Salib Suci TK-SD Ignatius Slamet Riyadi-Karawang. Mereka mulai akrab kira-kira tahun 2008, saat itu Agung sudah bekerja di sekolah tersebut sejak tahun 2004 sedangkan DH masuk tahun 2007. Waktu dua tahun digunakan AD dan DH untuk saling memahami dan memikirkan kelanjutan hubungan mereka ke depan. Karena memang sejak awal AD meminta DH bukan untuk menjadi pacar, tapi sebagai istri, jadi selama dua tahun tersebut mereka berpacaran untuk memikirkan bagaimana mereka bisa melangsungkan perkawinan dan menyakinan kepada keluarga masing-masing. Pada awal AD menyampaikan keinginannya untuk menikah dengan DH yang beragama Kristen (2009), sempat ada pertentangan dari orang tua AD mengenai rencana perkawinan mereka. Mengingat orang tua AD termasuk orang yang cukup taat pada ajaran agamanya. Orang tua AD juga berasal dari keluarga muslim, maka dari pihak keluarga AD pun banyak pertentangan dengan keinginanya tersebut. AD lahir dan besar dengan didikan agama Islam baik dari orang tua maupun dari bangku sekolahnya. Orang tua AD meminta kepada AD untuk memikirkan kembali pilihannya, terbesit keinginan bagi mereka agar AD menikah dengan wanita yang satu keyakinan. Setelah kira-kira satu tahun kemudian, AD menyampaikan tekadnya untuk tetap menikah beda agama. Alasan yang diutarakan AD memilih perkawinan beda agama adalah berniat untuk ibadah dan berbuat baik. Agung sudah mengetahui perkawinan beda agama sejak masih SMP, karena ada tetangganya yang menikah beda agama. Saat itu memang AD memandangnya sebagai suatu keanehan, tapi ternyata takdir berkata lain, bahwa AD juga termasuk yang dijodohkan Tuhan untuk melakukan perkawinan beda agama juga. Dari pihak keluarga DH terutama dari bapak kurang setuju dengan keinginanya untuk menikah beda, karena keluarga DH dari bapak banyak yang beragama islam. Meskipun begitu DH tidak menyerah dengan keinginanya untuk nikah beda agama. Ia bersyukur kepada Tuhan karena dari pihak ibunya tidak terlalu menentang terhadap niatnya tersebut untuk menikah beda agama. keluarga dari ibu beserta pamannya ternyata banyak yang melakukan hal yang sama, sehingga dianpun tetap bersikukuh terhadap niatnya tersebut untuk menikah beda agama. Jauh di lubuk hati AD mempercayai bahwa jodoh / takdir sudah diatur oleh Tuhan. Bagi AD, dirinya bisa menikah dan langgeng sampai saat ini karena ijin Tuhan dan takdir yang telah ditetapkan untuknya. Masalah sah / tidak sahnya perkawinan beda agama, menurut AD, memang menjadi penting adanya karena hidup di dunia syarat tertulis (absah / tidaknya) itu menjadi penting. Bagi AD tujuannya menikah secara Islam agar direstui / didoakan secara kepercayaan yang ia anut, dia menikah secara Kristen pun dengan tujuan yang sama, agar istri direstui / didoakan secara kepercayaan istri. Secara hukum AD sudah sangat cukup dengan memegang bukti dari Catatan Sipil berupa kutipan akta nikah walaupun bukan dari KUA. AD beranggapan, menurut aturan yang manusia buat (hukum) bukti perkawinan dari Catatan Sipil yang kebetulan di tanda tangani oleh Pendeta yang menikahkan mereka sudah sah dan bisa untuk bukti membuat akta-akta sah lainnya seperti Kartu Keluarga, KTP, dan Akta Kelahiran anak mereka, jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi. Perjuangan Menyatukan Perbedaan Pada mulanya pasangan AD-DH mengalami kesulitan untuk melakukan perkawinan secara beda agama. Kesulitan terbesar tentu saja dalam mencari ulama dan gereja yang mau menikahkan mereka. Selain itu, berbagai pertanyaan muncul dari orang tua mereka, namun setelah AD memberi pemahaman dan penjelasan dengan baik (bagaimana cara perkawinannya) mereka bisa menerima keputusan AD untuk menikah beda agama. LSM Percik adalah salah satu takdir / jalan yang Tuhan berikan pada AD-DH. Pada awalnya mereka berencana untuk berkonsultasi tentang perkawinan beda agama ke Yayasan Paramadina, namun waktu itu pimpinan yang merupakan ulama nasional baru saja meninggal dunia. Sempat muncul kegelisahan sehingga membuat mereka sepakat untuk melakukan perkawinan di Australia. Mungkin Tuhan mendengar doa dan keseriusan mereka untuk menikah, hingga pada suatu waktu mereka mendapat informasi tentang kegiatan LSM Percik yang salah satunya tentang Kerukunan Umat Beragama dan pernah memfasilitasi perkawinan beda agama. Informasi itulah yang membuat AD-DH pergi ke Salatiga untuk melangsungkan perkawinan mereka. Bagi keluarga mereka tidak ada masalah, AD dan DH memberi penjelasan dengan baik sehingga kedua belah pihak keluarga mengerti dan menerima. Selama proses persiapan dalam perkawinan LSM Percik banyak membantu dan mendampingi AD-DH juga memfasilitasi dalam hal mempertemukan mereka dengan Pendeta dan Ulama yang akan menikahkan mereka. Tidak ada perbedaan yang signifikan tentang prosesi perkawinan beda agama dengan perkawinan yang seagama. Sebelum perkawinan, mereka berkunjung ke Ustadz yang akan menikahkan mereka secara Islam, mereka juga diberi informasi tentang perkawinan beda agama juga hambatan yang kira-kira akan dihadapi. Selain itu mereka juga bertemu dengan Pendeta yang akan menikahkan mereka secara Kristen. Perkawinan mereka dilayani oleh gereja layaknya perkawinan gereja yang seagama (Kristen). Hari Bahagia pun Tiba Akhirnya hari bahagia yang diimpikan AD dan DH selama bertahun-tahun tiba juga. AD dan DH menikah pada tanggal 30 Juli 2010 (secara Islam) di Mushola LSM Percik Salatiga dan tanggal 01 Agustus 2010 (secara Kristen) di Gereja Kristen Jawa Sidomukti Salatiga. Saat itu, usia AD sudah menginjak 30 tahun dan Dian 27 tahun. b. AR (Kristen) – RW (Katolik) Manusia lahir di dunia tidak punya kuasa apapun untuk memilih lahir sebagai bangsa tertentu, bahkan tak kuasa menolak ketika ia harus lahir dari rahim keluarga Yahudi, Kristen, Katolik, Islam, Budha, Hindu, Majusi, ataupun keyakinan lainya. Semua di luar kehendak manusia itu sendiri. Menjalani kehidupanlah yang sesungguhnya menjadi “alasan” dari keberadaan manusia di dunia hingga secara sadar atau tidak ia pun dihadapkan pada kenyataan atas kepastian akan kematian yang juga tidak pernah berkuasa akan hal itu. Pada Awalnya AR (Kristen) memilih menikah dengan RW (Katolik) yang tidak seagama dengan dia. Perkenalan mereka di tahun 1991, diawali dengan pertemanan saat mereka sama-sama duduk di bangku SMA Lab. Salatiga. Keakraban mereka tampak dengan seringnya mereka pergi bermain bersama. Namun sayang keakraban yang baru saja akan terjalin harus kandas karena pada saat mereka naik ke kelas 2 SMA, RW harus pindah sekolah di Solo. Pada saat itu status hubungan mereka masih belum berpacaran, karena baik dari AR maupun RW belum ada yang mengungkapan rasa cintanya. Waktu itu AR tinggal di Salatiga, beralamat di RT 011 / RW 001 Krajan dan alamat RW yang semula tinggal di Dukuh Sidomukti Salatiga pindah ke Solo untuk mengikuti keinginan orang tuanya dan pindah sekolah disana. Setelah beberapa tahun berlalu, mereka bertemu lagi saat kuliah di UKSW (Universitas Kristen Satya Wacana) Salatiga. Karena sebelumnya mereka sempat akrab, hingga tidak menjadi hal yang sulit untuk mereka merajut kembali keakraban yang dulu sempat kandas. Hingga akhirnya di semester 4 AD berani mengngkapkan isi hatinya kepada RW. Walaupun demikian sempat menjadi dilemma bagi RW untuk menerima AR karena perbedaan keyakinan yang mereka anut, namun apalah daya kekuatan cinta telah merasuk dalam dua insane yang sedang kasmaran. Sejak itulah hubungan mereka menjadi berpacaran. Hari demi hari mereka jalani bersama dengan penuh kemesraan. Selang beberapa tahun kemudian karena ada suatu masalah di universitasnya, menyebabkan AR pindah ke universitas lain untuk menyelesaikan studinya. Jenjang Selanjutnya Lama hubungan mereka terjalin sehingga dari situ muncul keinginan dari masing-masing pihak untuk melanjutkan hubungan mereka ke jenjang perkawinan. Mengingat usia RW sudah menginjak 30 tahun dan melihat dari pihak laki-laki khususnya juga sudah bekerja sehingga pihak keluarga mulai mendesak mereka untuk segera menikah. Masing-masing pihak keluarga menghendaki agar AR dan RW membina rumah tangga dalam satu agama, dengan alasan kelak tidak muncul kebingungan bagi anak. Saat itu AR sudah bekerja di LSM Percik, sehingga ia sudah cukup banyak mengenal tokoh-tokoh lintas agama. Karena memang kedua belah pihak keluarga bersikukuh agar mereka melakukan perkawinan dalam satu agama yang sama, akhirnya AR-RW mencoba membicarakan masalah yang mereka hadapi dengan tokoh agama mereka. Mereka duduk bersama dengan tokoh agama Kristen juga tokoh agama Katolik untuk membahas kehendak mereka untuk menikah tanpa harus mengorbankan salah satu agama mereka. Beruntung mereka bisa bertemu dengan Tokoh Agama Kristen maupun Katolik yang berpendapat bahwa perkawinan seperti itu bisa dilakukan karena keyakinan itu bersifat pribadi dan keyakinan itu lebih baik dihormati. Karena pada hakikatnya dalam agama Kristen Protestan maupun Kristen Katolik itu sumbernya sama, sehinga tidak menjadi masalah yang sangat besar. Akhirnya dibuat suatu kesepakatan bersama tentang perkawinan berbentuk ibadah bersama di suatu gereja. Mereka sepakat perkawinan mereka dilakukan di gereja Kristen dengan dilayani oleh dua tokoh agama yaitu Pendeta dan Romo. Pemberkatan secara Kristen dan Katolik dilakukan dalam satu rangkaian acara dan tidak terpisah. Artinya mereka (Pendeta dan Romo) hanya bagi tugas, sebagai gambaran, doa awal dilakukan oleh Pendeta sedangkan doa tengah dibacakan oleh Romo, kotbah dibacakan oleh Romo sedangkan doa khotbah dibacakan oleh Pendeta. Setelah pemberkatan di gereja selesai, mereka lagsung mencatatkan perkawinan mereka di Kantor Catatan Sipil. Secara hukum perkawinan AR-RW tetap dianggap sah karena masing-masing agama sudah mengesahkan perkawinan tersebut, baik agama Kristen maupun Katolik. Jadi secara hukum tidak lagi menjadi soal, karena sudah memenuhi ketentuan dalam undang-undang perkawinan no. 1/1974. Meskipun demikian, bukan berarti tidak ada pihak-pihak yang kurang sepakat terhadap adanya perkawinan beda agama. Bahkan orang tua RW, meskipun pada awalnya bersikap sangat demokratis namun setelah pelaksanaan perkawinan mereka ada rasa kecewa terbesit di hati orang tua RW karena anaknya harus menikah tanpa prosesi seuai agama mereka sepenuhnya. Ada juga Pendeta, Romo, maupun masyarakat yang kontra dengan perkawinan beda agama, mereka berpandangan bahwa pernikahan itu suci, dengan adanya perbedaan yang fundamental (agama) akan mudah menimbulkan konflik dan konflik itu bisa merusak perkawinan, sehingga menimbulkan dosa. Sehingga perkawinan beda agama dianggap sebagai pemicu dasar sehingga mereka tidak sepakat dengan adanya perkawinan beda agama. Keyakinan Sang Buah Hati Sejak menikah pada tahun 2004 hingga sekarang tahun 2012, mereka sudah dikaruniai dua orang anak laki-laki. Anak pertama lahir pada tanggal 18 September 2004. Kelahiran anak pertama mereka membuat kebahagiaan menjadi bertambah. Atas keputusan bersama, karena dulu mereka menikah di GKJ, mereka ingin anak pertama dicatakan di gereja Katolik dan dihadiri oleh pendeta Kristen, untuk masalah pencatatan administrasinya diserahkan ke gereja. Anak diurapi juga oleh pendeta gereja. Hingga saat ini anak pertama mereka masih berkeyakinan Katolik. Pada 18 Juli 2006 anak kedua lahir, untuk anak yang kedua dibaptis di gereja Kristen Protestan dan dicatatkan disana. Sehingga anak kedua berkeyakinan Kristen seperti ayah mereka. Meskipun demikian sebagai seorang Katholik, jauh dilubuk hati RW pernah terlintas untuk bisa mengajak suami dan anak-anaknya mengikuti agama RW sebagai seorang Katholik. c. LM (Kristen) – AL (Islam) “Kasih” Kristiani dan “Rohmah” Islami Tiga tahun sudah AL dan LM berpacaran sebelum akhirnya memutuskan untuk menikah secara beda agama. Semenjak AL menjalin hubungan cinta dengan LM, memang ada rasa gundah terkait perbedaan keyakinan. Bukan bagi diri mereka, namun kegundahan itu muncul soal bagaimana keluarga AL maupun LM bisa menerima dan merasakan cinta kasih mereka berdua. Keluarga AL berasal dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan, yang dikenal dengan rasa keislamannya yang mendalam. Sementara keluarga LM berasal dari Tapanuli, Sumatera Utara, yang dikenal dengan kekristenan yang kuat. Namun ternyata kekokohan beridentitas cultural itu ternyata adalah sesuatu yang cair, yang bisa dinegosiasikan ketika takdir dan jodoh mempertemukan mereka dalam ikatan baru yaitu pernikahan. Saking kuatnya ikatan tersebut AL berpegang pada ayat al-Quran tentang perkawinan, sebagai mitsaqan ghalidzan dan LM berpegang pada ayat Alkitab “apa yang dipersatukan oleh Allah tidak bisa diceraikan oleh manusia.” Perkawinan itu akhirnya terlaksana secara Islam di Jakarta pada tanggal 7 Januari 2005 di Wahid Institute di hadapan KH Husein Muhammad dan para sahabat mempelai, tanpa keluarga dari masingmasing pihak. Kemudian pada tanggal 11 Januari 2005 mereka melangsungkan pemberkatan perkawinan di GKJ Sidomukti Salatiga. Baik AL maupun LM ama-sama memiliki keyakinan bahwa dengan cinta yang tulus dan restu dari Tuhan, mereka berdua sanggup menghadapi perbedaan keyakinan dan menjadikannya hanya perbedaan yang biasa. Meski awalnya sulit tetapi ternyata punya siraman keteduhan yang luar biasa, terutama dari para sahabat-sahabat dekat. Menjalin Keakraban dengan Keluarga Pernikahan memang bukan hanya masalah bersatunya dua individu, melainkan bersatunya dua keluarga. Hal ini tidak akan menjadi soal jika kedua belah pihak keluarga bisa saling menerima dan akur, akan menjadi berbeda ketika terjadi hal sebaliknya. Sebenarnya perkawinan beda agama bukan sesuatu yang baru di lingkungan keluarga AL dan LM. Bahkan kedua orang tua LM sendiri menikah beda agama. Ayah LM berasal dari Tapanuli, seorang Batak dan beragama Kristen sedang ibu LM berasal dari Palembang dan beragama Islam. Mereka menikah pada tahun 1960-an, seiring berjalannya waktu sang Ibu berpindah agama Kristen. Bahkan Paman LM juga Paman AL pun pelaku perkawinan beda agama. Walaupun demikian pernikahan mereka tidak bisa diterima. Mungkin karena faktor latar belakang keluargalah yang menghendaki demikian. Keluarga AL berasal dari keluarga muslim, Ayah berasal dari Banjarmasin sementara Ibu berasal dari Jawa. Mereka tinggal di Jakarta dan cukup ketat dengan tradisi-tradisi keislamannya, bahkan orang tua LM sudah menyandang gelar “haji”. Keluarga LM yang berasal dari Tapanuli terkenal dengan kekristenannya yang sangat kental. Gereja tempat mereka beribadah yaitu Gereja Tiberias Indonesia dikenal beraliran kharismatik. Dimana di gereja ini kalau ada pasangan beda agama yang akan menikah, maka pasangan yang non-Kristen harus bersedia dibaptis dulu. Masing-masing keluarga saling ngotot-ngototan, keluarga AL menghendaki LM masuk Islam sedangkan keluarga LM menghendaki AL masuk Kristen. Namun LM dan AL tetap teguh untuk tetap pada agama masing-masing, menurut mereka sangat disayangkan jika hanya karena cinta harus pindah agama. Memperjuangkan hak sebagai Warga Negara AL dan LM adalah Warga Negara Indonesia, tapi hak-hak mereka untuk dicatatkan pernikahannya dilanggar oleh Negara. Bagi mereka pencatatan pernikahan adalah bagian penting dari perkawinan mereka. Pada awalnya mereka sempat berpikir untuk melangsungkan perkawinan di di luar negeri seperti Singapura, Australia atau Selandia Baru mengingat banyak orang di sekitar mereka kesulitan dalam pencatatan perkawinan karena perbedaan agama yang mereka tempuh. Namun bagi AL dan LM hal tersebut tidak menyurutkan tekad mereka untuk menikah beda agama, bagi mereka menikah di luar negeri bukan tidak masuk akal tetapi lebih ke menodai harkat dan martabat sebagai orang Indonesia. Selain itu menurut AL menikah di luar negeri memang dianggap sah menurut hokum namun tidak menurut kepercayaan masingmasing. Awalnya mereka melakukan pendekatan ke Paramadina yang selama ini dikenal sering memfasilitasi perkawinan beda agama di Jakarta. Mereka menghubungi Dr. Kautsar Azhari Noer, menurutnya hal itu bisa dilakukan namun untuk pemberkatan gereja Pak Kautsar merujuk ke GKI pondok Indah. Gereja ini menyanggupi pemberkatan meski pasangan tidak masuk Kristen, namun harus disertai sejumlah syarat yang ditandatangani diatas materai. Perjanjian itu isinya, pertama, tidak ada prosesi keagamaan di luar gereja. Kedua, anak yang lahir nanti harus dididik dalam lingkungan gereja atau kekristenan. Ketiga, dalam jangka waktu sepuluh atau lima belas tahun ke depan pasangan yang tidak beragama Kristen harus diarahkan untuk masuk Kristen juga. Menurut LM hal ini tidak adil bagi AL atau dengan kata lain adalah bentuk pengkristenan jangka panjang. Tidak mudah memang perjuangan mereka untuk menyatukan cinta mereka dalam satu ikatan perkawinan yang diberkati Tuhan. Walaupun demikian akhirnya permohonan mereka dikabulkan Tuhan, mereka dipertemukan dengan sejumlah teman dan sahabatnya yang peduli dan tulus membantu serta membuka jalan bagi proses kelancaran pernikahan mereka. Tanggal 7 Januari 2005 menjadi hari bersejarah bagi pasangan AL dan LM karena di hari itulah mereka resmi menikah dengan akad nikah di Wahid Institute. Menurut AL, dalam akad yang dijalaninya ini LM yang notabene seorang Kristen merasa dihargai dan mendapat pemuasan keberagamaan dan spiritualitasnya. Karena dalam acara ini LM sama sekali tidak diminta untuk mengaku sebagai seorang muslim, bahkan Kyai yang menikahkan mereka mengundang temannya yang seorang Pendeta untuk mendampingi LM dalam prosesi akad nikahnya. Pemberkatan di Salatiga Setelah akad nikah di depan pemuka agama Islam, AL dan LM segera berangkat ke Salatiga. Mereka berkenalan dengan Bapak Prajarta dari Percik yang memang sudah dikenal dengan komunitas lintas agamanya. Karena di Percik sudah sering mengatasi masalah-masalah perkawinan lintas agama. Hal pertama yang dilakukan pasangan AL dan LM di Salatiga adalah pendekatan kepada Gereja. Mereka berkonsultasi dengan kawankawan dari percik. Oleh Percik, mereka diperkenalkan dengan lingkungan Gereja Kristen Jawa (GKJ) yang alirannya Presbitarian. Mereka sempat berkonsultasi bagaimana tatacara melangsungkan pernikahan di gereja tersebut, menurut sang pendeta, tidak ada masalah jika mereka ingin melangsungkan perkawinan beda agama tanpa harus si non-Kristen pindah agama. Yang diperlukan adalah pihak Kristen dalam hal ini LM harus mendaftar menjadi anggota jemaat gereja terlebih dahulu agar pernikahan mereka bisa diberkati gereja. Namun, ketika LM mengajukan diri menjadi anggota jemaat, ternyata majelis gerejanya menolak. Walau tidak diungkap alasan penolakan tersebut, tetapi menurut LM, untuk menolak LM menikah beda agama mereka harus menolak LM menjadi anggota jemaat, soalnya kalau LM sudah menjadi anggota jemaat, gereja tidak bisa menolak ketika LM ingin menikah beda agama. Walaupun pendeta gereja mendukung pernikahan tersebut namun ternyata majelis gereja tetap tidak memperbolehkannya. Penolakan tersebut sempat membuat LM merasa down, namun ternyata berkah Tuhan tidak jauh darinya. Di Salatiga ada beberapa GKJ, kebetulan ada satu gereja yang ditemui LM yang berbeda dengan gereja sebelumnya. Pandangan majelis gerejanya tidak terlalu keras dalam menghadapi masalah seperti ini, gerja itu adalah GKJ Sidomukti Salatiga. GKJ ini mengabulkan permohonan LM menjadi anggota jemaat dan permohonan LM untuk pemberkatan pernikahan. Akhirnya pada tanggal 11 Januari 2005, di hari ulang tahun LM, AL dan Lia melangsungkan pernikahan dengan pemberkatan di GKJ Sidomukti Salatiga. Dalam prosesi ini tidak ada acara pembaptisan dan pendetanya sangat menghargai keberadaan AL sebagai non-Kristen, di mana dalam pengucapan janji pernikahan AL dapat mengucap janji dengan menyebut nama Tuhan sesuai keyakinannya. Setelah pemberkatan pernikahan, GKJ Sidomukti mengeluarkan surat peneguhan dan pemberkatan nikah dengan data-data seperti apa adanya. Bermodal surat inilah AL dan LM mengajukan permohonan pencatatan perkawinan di Kantor Catatan Sipil Salatiga. Dengan dikeluarkannya kutipan akta nikah oleh Kantor Catatan Sipil maka perkawinan AL dan LM sudah dianggap sah baik secara hukum maupun agama mereka masing-masing. d. SW (Kristen) – DJ (Islam) DJ yang akrab disapa YT lahir pada tahun 1986, ia adalah anak pertama dari dua bersaudara dari keluarga bapak Siswanto dan Ibu Ras yang mana keduanya beragama Islam. DJ besar didik secara Islam sejak kecil oleh orang tuanya. DJ bersekolah di SD Kumpulrejo 1 lulus pada tahun 1997 kemudian melanjutkan sekolah lagi di SMP Negeri 9 Salatiga lulus pada tahun 2000. Sedangkan SW, ia lahir pada tahun 1982 putra ketiga dari bapak Sugito dan ibu Tasmi yang keduanya beragama Kristen. SW besar dalam didikan agama Kristen seperti orang tuanya. SW bersekolah di SD Kumpulrejo lulus tahun 1995 melanjutkan di SMP Kristen 4 lulus tahun 1998 kemudian melanjutkan sekolah lagi di SMA Theresiana di Salatiga. Sekarang bekerja sebagai tukang kebun di SD N Kumpulrejo sampai sekarang sambil melanjutkan pendidikannya D2 Perpustakaan di Kota Salatiga. Awal pertemuan DJ dan SW diawali dengan hobi SW bermain bola volly. Pada waktu itu SW sedang bermain bola volly di dekat rumah DJ, pada waktu itu Yanti masih bersekolah di SMP N 9 Salatiga. Di usia saat itu tidak terbayang bagi mereka untuk berpacaran, namun ternyata peran teman-teman mereka sangat besar. Dimulai dari keisengan teman-teman mereka yang selalu menjodohkan mereka, yang memaksa mereka untuk menjadi dekat dan akhirnya tanpa pikir panjang dan untuk menghindari ejekan teman-teman yang terus menerus, SW meminta DJ untuk jadi pacarnya. Tanpa diduga ternyata mereka sudah berpacaran selama kurang lebih 4 tahun sebelum akhirnya pasangan ini menikah pada tahun 1996. Pada awalnya orang tua DJ kurang setuju dengan rencana perkawinan DJ dan SW mengingat SW tidak seagama dengan DJ. Namun apa boleh dikata, sebagai orang tua, mereka terpaksa merestui kedunya karena keadaan sudah tidak bisa dikompromikan lagi. Karena pada saat itu DJ telah hamil di luar nikah. Proses dan tata cara perkawinan mereka semuanya diserahkan kepada Pendeta EBL sebagai P4 Catatan Sipil yang juga partner Percik, sekaligus menguruskan proses perkawinan sampai mendapat kutipan akta perkawinan. Secara sepintas proses perkawinan di laksanakan di GKJ Sidomukti kemudian secara Islam dirumahnya SW. Hal ini dilakukan SW yang tidak tahu menahu tentang proses pencatatan perkawinan di Kantor Catatan Sipil, yang ia tahu hanya penting bagi orang yang menikah untuk memiliki kutipan akta nikah. Selain itu keadaan juga sudah mendesak sehingga SW pasrah sepenuhnya pada Pendeta tentang bagaimana baiknya. Dari perkawinan mereka lahir seorang putra yang diberi nama Andika Yoga Saputra pada tanggal 24 januari 2007, ia dididik dan dibesarkan dalam naungan agama Kristen. e. Gama (Katolik) – Chinda (Islam) Keluarga Nikah Beda Agama Pernikahan beda agama bagi Gama bukanlah hal yang asing karena Gama tumbuh dalam lingkungan pernikahan beda agama. Gama tinggal di daerah Pudak Payung, Semarang. Ayah Gama beragama Islam sejak Beliau kecil. Beliau adalah seorang Islam yang taat dan kebetulan juga beliau telah menjalankan ibadah haji. Ayah Gama sekarang merupakan pensiunan PT. Perkebunan Nusantara IX dan kesibukan beliau sekarang adalah mengelola warung sembako bersama istrinya. Ibu Gama merupakan seorang Katolik sejak kecil. Beliau bukanlah tipe wanita karir, melainkan seorang ibu rumah tangga. Orang tua Gama menikah dengan kondisi beda agama di Kantor Catatan Sipil sekitar tahun 1974, dimana pada tahun itu tidak terlalu mempermasalahkan pernikahan beda agama. Seiring berjalannya waktu, memang bukan hal yang mudah bagi orang tua Gama menjalani kehidupan dalam perbedaan keyakinan. Bukan hal yang ditutup-tutupi oleh Gama bahwa ayah dan ibunya sering cek-cok masalah agama masing-masing. Tapi demi keharmonisan keluarga, Ibu Gama berbesar hati untuk bisa masuk Islam mengkuti agama Ayahnya pada tahun 2011 walaupun terasa begitu berat bagi Ibunya. Gama memiliki dua orang kakak perempuan dan dua-duanya juga seorang Katolik sejak kecil. Kakak pertamanya (Eni) telah menikah dengan seorang pria Islam, hingga akhirnya dia juga masuk Islam mengkuti agama suaminya. Kakak kedua Gama (Wiwit), kebetulan masih lajang. Dia adalah seorang Katolik yang taat menurut pandangan Gama. Sedangkan Gama sendiri tidak jauh berbeda dengan kedua kakaknya, dia dididik sebagai seorang Katolik sejak kecil. Sedangkan latar belakang keluarga calon istri Gama yaitu orang tua Chinda (Pak Andi Armansyah dan Ibu Siti Fatimah), mempunyai dua orang anak, yaitu Chinda (calon istri Gama) dan anak kedua laki-laki (Dika) yang masih berusia 11 tahun. Mereka berasal dari keluarga Islam yang cukup taat. Mereka tinggal di JL. Kebon Arum Selatan 1 N0. 25 Desa Kebon Batur, Kecamatan Mpranggen, Kabupaten Demak. Pak Andi dan istrinya sehari-hari bekerja di salah satu perusahaan swasta. Bapak Andi ini menurut Gama mempunyai watak yang cukup keras. Setiap beliau mempunyai keinginan, maka hal itu sangat sulit untuk dibantah, walaupun oleh istrinya sendiri. Sedangkan istrinya, cenderung sebagai seorang wanita yang banyak mengalah di depan suaminya. Dunia Maya Dunia Jodoh Awal pertemuan Gama dan Chinda pada tahun 2006, pada waktu itu masih marak-maraknya chatting di dunia maya. Diawali dengan keisengan Gama sepulang kuliah, membuka internet, masuk chat room, dan mulailah bertemu / berinteraksi dengan Chinda lewat chatting. Sampai akhirnya mereka saling tukar nomor hp dan berlanjut smsan, meskipun belum pernah saling bertemu. Hingga suatu hari, mereka berencana untuk bertemu yang pertama kali, Gama menjemput Chinda sepulang sekolah (waktu itu Chinda masih duduk di bangku SMK kelas 2, sedangkan Gama sudah kuliah semester 6) dan mengantar Chinda pulang ke rumahnya di Kebon Batur. Sejak tahun 2006 hingga sekarang, tidak semuanya berjalan mulus. Berbagai permasalahan muncul sebagai sepasang kekasih, namun hal tersebut tidak sampai memisahkan mereka berdua karena semua masalah yang dihadapi dapat terselesaikan dengan baik. Sejak awal, Gama sudah tahu bahwa Chinda seorang muslim. Chinda dan keluarganya pun tahu Gama seorang Katolik. Namun hal tersebut tidak mempengaruhi bahkan tidak mengurungkan hubungan mereka, karena memang saat itu tidak ada larangan dari orang tua meskipun tahu latar belakang agama masing-masing. Tahun demi tahun berganti, tak terasa hubungan Gama dan Chinda sudah sampai di tahun ke-6. Dengan lamanya waktu yang telah lama mereka lalui bersama mulailah terpikir ke arah mana hubungan mereka selanjutnya. Mengingat usia mereka yang semakin bertambah dan telah lamanya terjalin hubungan di antara mereka, mereka harus mulai berfikir untuk masa depan mereka. Terutama bagi Chinda yang seorang perempuan, tentu saja semakin bertambah usia mulai terfikir untuk menentukan masa depan dengan mengubah status dengan adanya sebuah perkawinan. Akhirnya pertengahan tahun 2012, Gama dan Chinda sepakat untuk bertunangan terlebih dahulu, namun kesepakatan ini belum mereka utarakan kepada orang tua masing-masing. Sebagai laki-laki Gama harus menunjukkan rasa tanggung jawabnya untuk berani menemui orang tua Chinda dan mengutarakan niat baiknya untuk menjadikan Chinda sebagai calon istri. Hal yang cukup berat untuk dilakukan Gama mengingat latar belakang agama mereka yang berbeda, namun hal tersebut harus ia lakukan demi masa depan mereka berdua. Orang tua Chinda, ayahnya menerima maksud Gama dengan baik, namun ternyata tidak semudah itu. Pada awalnya, orang tua Chinda menerima maksud baik Gama untuk melamar Chinda sebagai calon istri bahkan meng-iya-kan niat Gama tersebut, tetapi ternyata ada syaratnya, yaitu Gama harus masuk Islam dulu. Keterkejutan Gama tidak bisa ditutupi pada saat itu, tanpa berkomentar panjang Gama hanya bisa berkata akan memikirkannya terlebih dahulu. Demi memperjuangkan cinta dan agamanya, Gama mencari informasi kemana-mana, searching di Internet tentang perkawinan beda agama. Namun hasilnya nihil, malah yang ia temukan banyak di antara kasus pacaran beda agama, ujung-ujunngnya berakhir putus. Gama sempat putus asa dan tidak tahu harus bagaimana. Sebuah Jalan Terang Gama tidak langsung datang ke KCS Semarang, karena saat itu masih simpang siurnya informasi tentang bagaimana bisa sah secara agama Islam dan Katolik, juga sah menurut negara. Menurut Gama saat itu, datang ke KCS Semarang sebagai orang asing tidak akan banyak membantu. Dari sinilah Percik bagaikan sebuah titik terang di tengah perjalanan Gama dan Chinda dalam memperjuangkan cinta mereka. Dimulai dari informasi seorang teman Chinda tentang sebuah lembaga di Salatiga bernama Percik yang katanya bisa menyelesaikan pernikahan beda agama. Namun ternyata teman Chinda tersebut tidak tahu pasti alamat Percik. Walaupun sedikit, bagi Gama informasi tersebut cukup untuk membesarkan harapan Gama dan Chinda. Dengan berbekal informasi kata "Percik" dan "Salatiga", Gama dan Chinda berangkat ke Salatiga, tanpa tahu Percik itu apa dan harus menuju kemana. Saat itu, sampai di Salatiga sekitar pukul 9 pagi karena tidak tahu harus kemana, mereka berhenti di sebuah warung soto di bundaran Ramayana. Sembari makan, mereka mencoba bertanya kepada penjual soto, kemana arah ke Percik. Namun si penjual soto itu ternyata tidak tahu, beruntung ada seorang pembeli lain yang mendengar pembicaraan mereka, dan tahu tentang Percik, akhirnya dia menunjukkan arah kepada Gama dan Chinda, yang ternyata tidak jauh dari sana. Sampai di Percik, suasana sepi karena waktu hari Sabtu. Mereka menuju ruang Administrasi dan hanya bertemu dengan tukang kebun. Tanpa banyak kata Gama dan Chinda bertanya kepada siapa mereka bisa berkonsultasi tentang pernikahan. Karena saat itu tidak ada orang, tukang kebun itu akhirnya memberikan nomor telepon Pak Agung kepada Gama. Beruntung sebelum mereka pamit, mereka berpapasan dengan Pak Pradjarta, yang ternyata adalah pimpinan Percik. Mereka diberi sedikit gambaran tentang apa sebenarnya Percik itu, juga pandangan beliau tentang nikah beda agama. Itulah awal perkenalan mereka dengan Percik. Tentang menjembatani dua pihak keluarga, peran Percik hanya sebatas memberikan pengetahuan secara teknis bagaimana proses pernikanan beda agama ini bisa dilakukan. Mengenai diskusi dua keluarga, untuk kasus Gama dan Chinda, telah bisa diselesaikan dengan baik oleh keluarga mereka masing-masing melalui diskusi yang panjang antara dua keluarga. Di sini Percik tidak turut andil dalam diskusi dua keluarga. Untuk masalah alur perkawinan hampir sama seperti pasangan yang lain. Masing-masing dari mereka membuat surat pengantar RT/RW, kelurahan, kecamatan, surat N1-N4, rekomendasi dari catatan sipil Semarang (hanya untuk laki-laki). Selanjutnya dokumen-dokumen itu mereka serahkan ke Percik untuk bisa diproses di KCS Salatiga. Setelah dokumen terkumpul, prosesi pernikahan akan dilangsungkan dengan dua agama. Sesuai dengan arahan dari Percik, akan dilangsungkan permberkatan secara Kristen terlebih dahulu (dulu bisa secara Katolik, tetapi disayangkan Romo Suryo telah meninggal dan belum ada penggantinya), setelah itu baru akad nikah secara Islam. Rencananya akan mereka laksanakan pada tanggal 15 Desember 2012 di GKJ Sidomukti secara katolik kemudian secara Islam di rumah Gama pada waktu yang bersamaan dengan wali yang menikahkan adalah ayah chinda. Namun Romo Khatolik dari Gama berkata lain ternyata sang Romo menghendaki adanya kawin beda Agama di Gerejanya yaitu Gereja Kristus Raja tepatnya di depan SMA 1 Ungaran. Setelah prosesi Khatolik selesai dilanjutkan prosesi Islam yang dilangsungkan dirumahnya Gama dengan wali yang menikahkan ayahnya Chinda. Prosesi itu berlanjut dengan datangya pihak Kantor Catatan Sipil (KCS) sebagai pencatat perkawinan untuk dicatatkan. Jadi sudah sah perkawinan tersebut secara Agama maupun Negara “tutur Gama”. Nikah Beda Agama Dalam Pandangan Gama Menurut Gama, tidak ada orang yang memilih untuk menikah beda agama seandainya mereka memang bisa memilih. Alasan Gama menikah tentu karena ingin berumah tangga, mempunyai keturunan, dan berbagi dengan seseorang yang disayangi sampai dengan akhir hidupnya. Namun jika jodohnya ternyata berbeda agama, bagi Gama itu adalah konsekuensi karena telah memilih Chinda sebagai pasangan hidupnya. Sebagai umat manusia, tanpa berpihak pada agama tertentu dan tanpa bermaksud untuk menyalahkan agama tertentu, Gama berpendapat bahwa dirinya juga jutaan orang lain, diciptakan oleh Tuhan yang sama. Tidak ada Tuhan Islam, Tuhan Katolik, Tuhan Hindu dll. Tuhan tidak menciptakan setiap manusia sekaligus diberikan agama masing-masing. Tapi manusia sendiri lah yang memilih untuk menganut agama mana, yang akan mengatur hubungannya dengan Tuhan, sekali lagi, Tuhan yang sama di antara semua agama. Tetapi mengapa dua orang manusia yang diciptakan oleh Tuhan yang sama, ingin bersatu tidak diperbolehkan karena alasan agama. Padahal agama adalah pilihan manusia itu sendiri. Lalu menurut Gama, apakah itu berarti manusia sendiri yang membatasi dengan siapa dia bisa menikah atau tidak boleh menikah? Apakah kuasa manusia lebih besar dari Tuhan itu sendiri? Itu menjadi hal yang lucu menurut Gama. Menurut Gama, kalau kita beriman pada Tuhan yang sama (meskipun berbeda agama), harusnya antara kita tidak bisa dibatasi oleh agama yang juga mengajarkan Tuhan yang sama. Gama hanya berpendapat sebagai seorang manusia yang bebas terlepas dari ada yang setuju dan ada yang tidak. Tentang keabsahan perkawinan, Gama tidak dapat berbicara banyak dari sisi agama Islam, karena ia sendiri tidak terlalu paham, sebisa mungkin ia mengikuti norma-norma yang ada agar dipandang sah secara Islam. Namun dari sisi agama Katolik, pernikahan beda agama memang dimungkinkan, seperti yang sudah pernah ia konsultasikan dengan Romo di gerejanya. Sedangkan di mata negara, harusnya sudah sah ketika sudah dicatatkan di Kantor Catatan Sipil. 2. Proses Perkawinan Beda Agama yang di Fasilitasi Percik a) Prosedur Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama di Kantor Catatan Sipil (KCS) Pegawai KCS Salatiga (wawancara tanggal 13 november 2012) menyatakan bahwa perkawinan beda agama dapat dilakukan melalui penetapan Pengadilan Negeri sesuai dengan UU No. 23 tahun 2006 tentang administrasi kependudukan dan pencatatan sipil. Adapun syarat dan prosesnya adalah sebagai berikut : 1) Surat keterangan N1-N4 dari Kelurahan/Desa. 2) Fotocopy akta lahir. 3) Fotocopy KTP dan KK. 4) Fotocopy Surat Baptis. 5) Dua saksi dan Fc KTP yang bukan saudara kandung. 6) Imunisasi bagi calon pengantin perempuan. 7) Foto berdampingan 4x6 lembar. 8) Surat permohonan pencatatan perkawinan dari calon pengantin kepada Ka. Disdukcapil. 9) Ijin dari komandan bagi anggota TNI/POLRI. 10) Bagi calon mempelai duda/janda, karena cerai/mati melampirkan akta perceraian atau kematian (asli). Proses perkawinan beda agama yang dilakukan di KCS Salatiga: 1) Calon pengantin (catin) datang ke KCS untuk nikah beda agama. 2) KCS Salatiga membuat penolakan kepada pasangan untuk menikah beda agama dan diminta untuk mengajukan permohonan ke Pengadilan terlebih dahulu. 3) Pengadilan memberikan penetapan kepada pemohon yang isinya memerintah KCS untuk mencatatkan perkawinan beda agama tersebut. 4) Pemohon mendapat kutipan Akta perkawinan dari KCS. Gb.1 Bagan Prosedur pencatatan perkawinan beda agama di KCS. RT RW LURA H Pemohon CAMA T DKCS Pengadilan Negeri Ket : Pemohon mengajukan persyaratan. Penolakan berkas kepada pemohon. b) Prosedur Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama yang Difasilitasi Percik Masalah kerukunan umat beragama memang menjadi kajian di Percik, termasuk kasus perkawinan beda agama. Gagasan ini dimulai sekitar tahun 2005 diawali oleh kasus yang dihadapi AL dan LM. Dengan munculnya kasus tersebut, mulailah Percik tergugah untuk mengkaji lebih dalam dan melakukan pendampingan pada kasus-kasus serupa. Hingga tahun 2012 Percik telah memfasilitasi perkawinan beda agama sekitar 28 kasus. Menurut staff Percik (Wawancara Tanggal 10 November 2012) pada umumnya perkawinan beda agama yang akan dilakukan tata caranya sama dengan perkawinan pada umumnya (seagama). Syarat-syarat yang harus dipenuhipun sama sesuai dengan apa yang telah diatur oleh pemerintah melalui Kantor Catatan Sipil. Hanya saja yang menjadi pekerjaan tambahan adalah mencari pihak-pihak yang berwenang melakukan perkawinan yang memiliki cara pandang berbeda, yaitu mereka yang menafsirkan diperbolehkannya atau menganggap sah perkawinan yang dilakukan dengan keadaan kedua calon mempelai memeluk agama berbeda satu sama lain. Selain itu tahap yang perlu dilalui adalah memberi pemahaman kepada pihak-pihak (keluarga pada khususnya) untuk memberikan ijin dan restu dalam prosesi perkawinan beda agama tersebut. Secara terperinci proses perkawinan beda agama yang difasilitasi oleh Lembaga Percik, adalah sebagai berikut: a. Calon mempelai datang ke Percik untuk konsultasi masalah rencana perkawinan yang dihadapi. Mereka menceritakan maksud, tujuan dan kendala-kendala yang dihadapi dalam mempersiapkan rencana perkawinan yang akan mereka laksanakan. Pada umumnya kendala terbesar yang mereka hadapi adalah mereka enggan meninggalkan agama yang dipeluknya untuk memeluk agama pasangannya. Karena perkawinan maupun proses pencatatannya akan lebih mudah dilakukan jika mereka menikah dalam keadaan memeluk agama yang sama. b. Kemudian dari pihak Percik mengadakan diskusi dengan Tokoh Agama yang terkait dan berwenang dalam melakukan perkawinan. c. Jika antara kedua keluarga calon mempelai terjadi masalah / tidak menyetujui niat kedua calon mempelai untuk membangun rumah tangga dengan agama yang berbeda, pihak Percik membantu memfasilitasi kedua belah pihak untuk berdiskusi dan menyelesaikan masalah yang ada. Percik hanya bertugas memfasilitasi, dengan cara memberikan penjelasan, pengarahan dan mempertemukan mereka dengan tokoh agama yang terkait jika diperlukan. Keputusan terakhir diserahkan sepenuhnya terhadap masing-masing keluarga. d. Jika terjadi kesepakatan untuk tetap melaksanakan prosesi perkawinan, maka pihak keluarga mendiskusikan tentang bagaimana prosesi perkawinan beda agama akan dilakukan sesuai agama masing-masing, menentukan waktu dan tempat pelaksanaannya. e. Mempelai mengurus surat-surat kelengkapan sebagai syarat pencatatan perkawinan. Dalam hal ini calon mempelai atau yang mewakili datang ke DKCS selain memberitahukan kehendak pencatatan perkawinan, juga mengambil blangko-blangko yang harus diselesaikan administrasinya sebagai syarat pencatatan (N-1 sampai N-4 dan N-5 jika dibutuhkan). Setelah blangko-blangko tersebut dilegalisasi oleh Kelurahan, dibawa kembali ke DKCS beserta syarat-syarat yang lainnya, meliputi : 1) Surat Pengantar dari Kelurahan (N-1 sampai N-4). 2) Surat Pernyataan belum pernah menikah/ kawin bermaterai Rp. 6.000,- dan diketahui RT, RW, Kepala Desa/ Kelurahan dan Camat. 3) Fotocopy Akta Kelahiran calon mempelai. 4) Fotocopy KTP calon mempelai yang masih berlaku. 5) Fotocopy KK orang tua yang masih berlaku. 6) Fotocopy Surat Baptis/ Surat Keterangan anggota jemaat. 7) Imunisasi TFT bagi calon mempelai perempuan. 8) Pas Foto berdampingan ukuran 4x6 sebanyak 6 lembar (Perempuan Kiri). 9) Piagam Pemberkatan / Pengesahan Perkawinan dari pemuka agama masing-masing. Persyaratan khusus, meliputi : 1) Surat Ijin Orang Tua (N-5) bagi mempelai yang berusia di bawah 21 tahun. 2) Apabila orang tua berhalagan hadir harus ada ijin dari pejabat yang berwenang. 3) Ijin dari Pengadilan Negeri bagi calon mempelai di bawah 19 tahun apabila tidak mendapat ijin orang tua. 4) Ijin dari Pengadilan Negeri bagi calon mempelai dibawah 19 tahun (laki-laki) dan di bawah 16 tahun (perempuan). 5) Ijin dari Pengadilan Negeri jika ingin kawin lebih dari satu istri. 6) Surat Keputusan dari Pengadilan Negeri yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap bila ada sanggahan. 7) Bagi anggota TNI dan POLRI harus ada Ijin Komandan. 8) Bagi WNI Keturunan melampirkan fotocopy SBKRI dan Surat Bukti Ganti Nama (jika sudah ganti) yang dilegalisasi oleh PN. 9) Bagi WNA melampirkan : fotocopy Akta Kelahiran yang dilegalisasi Catatan Sipil dan terjemahannya, Visa, Pasport, Dokumen Imigrasi, Surat Ijin dari DUBES dan terjemahannya, Rekimendasi DEPLU Cq. Ditjen Protokol Konsuler apabila negara asing tidak ada perwakilan di Jakarta, Akta Perceraian (asli) bagi yang pernah kawin, fotocopy Akta Kematian dan Akta Perkawinan bagi yang janda/ duda mati. 10) Bagi mempelai yang berbeda wilayah DKCS dilengkapi dengan pengumuman yang menyatakan tidak ada sanggahan dari DKCS setempat. 11) Bagi pendaftar yang kurang dari 10 hari harus ada Dispensasi dari Camat. 12) Kutipan Akta Kelahiran anak yang akan disahkan dalam perkawinan. f. Setelah semua syarat administrasi lengkap, pihak Percik melakukan pendampingan kepada calon mempelai untuk masuk dalam prosesi perkawinan sesuai yang telah direncanakan sebelumnya. Berikut Tata Cara Perkawinan Beda Agama yang di Fasilitasi Percik : I. Tata Cara Pemberkatan Perkawinan Oleh Gereja (Kristen) 1) Upacara Penyambutan didepan Gereja 2) Votum dan salam 3) Introitus : “Dan diatas semuanya itu kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan”. (Kolose 3:4) 4) Amanat hidup perkawinan 5) Kidung sambutan 6) Pelayanan Sabda 7) Peneguhan dan Pemberkatan Nikah a) Pertelaan pernikahan b) Pernyataan Mempelai 8) Janji Pernikahan. a) Peneguhan Nikah. b) Do’a berkat Cincin Pernikahan. c) Pemberktan Nikah. d) Do’a Penyerahan Keluarga Baru. e) Penyerahan Surat Peneguhan dan Pemberkatan Nikah. 9) Persembahan Syukur a) Do’a Persembahan dan Penutup. 10) Pengakuan Iman Rosuli 11) Berkat II. Tata Cara Pernikahan secara Islam 1) Pembukaan 2) Pembacaan ayat Suci Al-Qur’an 3) Penyerahan Mahar 4) Khotbah Nikah 5) Akad Nikah a) Ijab b) Qobul 6) Pembacaan Sighat Taklik 7) Do’a Nikah dan Penutup g. Setelah prosesi perkawinan didepan pemuka agama selesai maka pihak KCS mencatatkan perkawinan mereka dengan mencantumkan agama masing-masing dalam akta nikah. Berikut Bagan Perkawinan beda agama yang difasilitasi Percik Gb.2 Bagan Prosedur perkawinan beda agama yang difasilitasi Percik. RT RW LURA H Percik Pemohon Kantor Catatan Sipil (KCS) Ket : CAMAT Pemohon datang ke-Percik. Percik meminta kepada Pemohon untuk melengkapi berkas. F. Pandangan Tokoh Agama terhadap Perkawinan Beda Agama 1. Pendeta Kristen Randuacir (wawancara tanggal 1 Desember 2012) Salah satu Pendeta yang pro dengan perkawinan beda agama adalah Pdt. Sari Frihono yang mengatakan bahwa Percik merupakan sebuah LSM yang bergerak di bidang sosial yang di dalamnya termasuk masalah agama. Bagi Beliau, agama merupakan system dan agama selalu komunal bukan individual. Pdt. Sari merasa menemukan kitab suci yang tidak terbatas dalam buku (Al Kitab) yang berupa nilai-nilai kemanusiaan dalam kehidupan sosial melalui LSM Percik. Menurut Beliau, bukti bahwa seorang manusia mengasihi Tuhan harus dibuktikan dengan mengasihi sesama manusia. Pdt. Sari juga mengakui bahwa dulu ia adalah salah seorang yang menentang perkawinan beda agama. Setelah bertemu dengan Percik, bertemu dengan tokoh-tokoh agama lain Beliau mulai berfikir ulang dan membuka pandangan baru tentang perkawinan beda agama. Di LSM Percik inilah tergambar kehidupan sosial yang tidak membedakan agama, termasuk di dalamnya perkawinan beda agama. Menurut Beliau, seharusnya kita sebagai manusia harus menekankan kebenaran dari sisi etis bukan dogmatis. Karena kebenaran jika dilihat dari sisi etis, kebenaran akan bersifat objektif, berbeda ketika kebenaran dilihat secara dogmatis maka kebenaran akan bersifat subyektif. Seharusnya orang tidak lagi doktrinosentris dan beralih ke etikosentris. Seharusnya Tuhan tidak bisa dibatasi dalam bentuk kitab suci/buku saja, namun sayangnya orang hanya membatasi Tuhan dalam kitab suci, sehingga segala hal yang di luar kitab suci masuk neraka. Untuk masalah fasilitasi perkawinan beda agama yang dilakukan Percik, menurut Pdt. Sari tidak ada masalah, karena memang dengan adanya fasilitasi ini, bisa mempermudah orang-orang yang hendak melakukan perkawinan beda agama. Dengan demikian kita sebagai manusia dapat mewujudkan bukti kasih kepada Tuhan yaitu dengan cara mengasihi sesama manusia tanpa memandang latar belakangnya. Dasar yang digunakan Pdt. Sari dalam mengamini perkawinan beda agama adalah kitab Lucas 10:29 yang berbunyi “perlakukanlah sesama manusia seperti diri kita sendiri”. Dunia tidak satu wajah, daun pun tidak selalu hijau, kenapa harus dipaksakan untuk seragam? Yang perlu dikembangkan adalah sadarilah perbedaan dan terimalah perbedaan itu. 2. Pendeta GKJ Sidomukti Salatiga (wawancara tanggal 5 desember 2012) Pendeta lain yang pro dengan nikah beda agama adalah Pdt. Eben Heizer, Beliau termasuk salah seorang yang dirangkul percik dalam memfasilitasi perkawinan beda agama. Memang cara pandang dan penafsiran seseorang terhadap sesuatu bisa berbeda-beda, begitu juga masalah perkawinan beda agama. Dalam perjanjian lama, menurut Beliau, dahulu umat Kristen hanya boleh melangsungkan perkawinan dengan seseorang yang sebangsa saja (Israel), sedangkan mereka yang menikah dengan orang dari bangsa lain dianggap kafir. Namun setelah ada perjanjian baru, hal tersebut tidak ada lagi. Ketentuan-ketentuan yang ada di perjanjian lama tidak serta merta dibawa ke perjanjian baru. Terutama masalah diskriminasi di perjanjian lama tentang perbedaan keyakinan sekarang sudah tidak ada lagi. Pengajaran Yesus pun melarang orang memandang tembok pemisah, entah itu suku, agama, ras maupun bangsa. Setiap gereja memiliki aturan sendiri-sendiri, dalam teologi GKJ (Gereja Kristen Jawa) sudah memiliki konstitusi yang mengatur tentang warga gereja yang ingin menikah dengan orang yang berbeda agama. Dalam konstitusi tersebut disebutkan boleh jika seorang warga gereja menikah dengan orang yang berbeda iman, tetapi ada satu hal yang perlu diingat, jika hal tersebut terjadi, akan ada sebuah pengorbanan religious. Jadi bagi mereka yang telah memutuskan untuk menikah dengan orang yang berbeda agama harus siap dengan perbedaanperbedaan yang ada dan harus punya kebesaran hati dalam menjalaninya. Tidak semua gereja mau menerima atau melayani pemberkatan perkawinan beda agama. Dahulu pada tahun 1990-an pemberkatan perkawinan beda agama dilarang, hingga pada tahun 2005 pemberkatan perkawinan beda agama mulai diperbolehkan. Alasan mereka yang menolak perkawinan beda agama menggunakan dalil dalam Korintus 6:14 “…atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap”. Mereka menafsirkan ayat ini sebagai larangan menikah beda agama, karena mereka menganggap orang yang tidak seiman termasuk dalam golongan kegelapan. Namun menurut Pdt. Eben Heizer, bukan seperti itu maksud ayat tersebut, seiman pun kalau berkelakuan buruk juga sama saja, tidak ada bedanya. UU No. 1 Tahun 1974 juga tidak mengatur secara khusus tentang perkawinan beda agama, tidak melarang dan juga tidak membolehkan, semua tergantung dari penafsirannya. Tidak berbeda jauh dengan Al Qur’an yang satu namun banyak penafsirannya. Dengan keadaan aturan hokum di Indonesia yang seperti itu, dianggap tidak memenuhi kebutuhan masyarakat. Oleh sebab itulah Percik memfasilitasi perkawinan beda agama sampai Negara mau memfasilitasinya. Tentu saja tidak semua sepaham, dan biasanya jika tidak sepaham akan sulit menemukan titik temunya. Perkawinan di dalam Islam merupakan urusan agama, begitu juga dalam Katolik merupakan urusan gereja, berbeda dengan Protestan, karena di dalam protestan perkawinan merupakan urusan sipil. Di luar negeri, pemberkatan perkawinan itu fakultatif, jadi orang menikah boleh melakukan pemberkatan. Kalau pemberkatan di Katolik boleh juga agak rumit tidak untuk melakukan melakuka pemberkatan, karena ada hierarki gereja. Seorang Romo tidak bisa melakukan apa-apa jika tidak ada perintah atau izin dari Uskup. Begitu juga dalam agama Islam, setiap Kyai juga memiliki penafsiran masingmasing. Dalam hal memfasilitasi perkawinan beda agama percik juga bekerja sama dengan ICRP (Indonesian Conference On Religion and Peace). Pak Ahmad Nurcholis dari Jakarta juga sering datang ke Percik untuk memfasilitasi perkawinan beda agama, Pak Sultoni juga sering diundang sebagai penasehat, namun yang menikahkan tetap orang tua mereka masing-masing. Menurut Pdt. Eben Heizer dulu orang yang pertama kali menikahkan perkawinan beda agama yang diberkati oleh GKJ Sidomukti adalah seorang Kyai NU Cirebon, pada saat itu yang menikah laki-laki beragama Islam dan Perempuan beragama Nasrani. Pdt. Eben Heizer berpendapat, pada dasarnya boleh atau tidaknya perkawinan beda agama itu tergantung dari cara menafsirkan suatu ayat. Di GKJ Sidomukti Salatiga, perkawinan beda agama boleh dilakukan, dengan dasar teologi bahwa perkawinan itu sebuah keputusan pribadi seseorang dalam menjalani kehidupan dalam rancangan kehidupan ke depan. Perkawinan itu tidak terkait dengan prasyarat kesamaan keyakinan/ iman. Perkawinan beda agama dipahami sebagai perkawinan dalam ikatan cinta kasih dimana seorang pribadi mengambil keputusan berdasarkan kesadaran penuh dan bisa dipertanggungjawabkan kepada Tuhan. Pada dasarnya ajaran dalam Al Kitab bahwa perbedaan tidak boleh menjadi alasan pemetaan. 3. Kyai Anshori (Wawancara tanggal 13 desember 2012) Tokoh agama Islam yang pernah bekerjasama dengan Percik dalam proses perkawinan beda agama adalah Bapak K.H. Anshori Djawadi. Beliau pernah menjabat sebagai kepala KUA Kec. Sawangan tahun 1985-1989, Kepala KUA Kec. Mertoyudan Magelang tahun 1989-1997, Kepala KUA Kec, Mungkid tahun 1997-2001. Selain sebagai kepala KUA Beliau juga aktif mengajar di berbagai sekolah dan pondok pesantren, Ia juga termasuk anggota peneliti Lintas Kitab Suci Ulil Albab yang berpusat di Jakarta. Hingga wawancara ini dilakukan, Pak Kyai Anshori mengaku pernah menikahkan 3 pasangan berbeda agama yang dalam kasus ini ketiga pihak laki-laki beragama Islam. Salah satu pasangan yang Beliau nikahkan adalah pasangan AD-DW. Pada awalnya, karena terpengaruh pikiran pikiran liberal (baik Islam Liberal maupun Kristen Liberal) yang lebih mengedepankan kontekstual daripada tekstual, pak Kyai Anshori sempat membolehkan perkawinan beda agama. Namun setelah mengkaji lebih dalam masalah perkawinan beda agama ini pandangan Beliau berubah, dari membolehkan menjadi tidak membolehkan. Bersedianya beliau mengawinkan pasangan nikah beda agama, awalnya, seperti yang telah diungkapkan di atas bahwa sempat Beliau berfikir liberal yang menganggap agama adalah untuk manusia, sehingga ketika manusia dihadapkan pada persoalan yang terbentur agama, mereka mencari solusi yang dianggap tepat. Bahwa seharusnya agama tidak menjadi suatu penghalang ketika ada dua insan manusia yang ingin bersatu namun berbeda agama. Selain itu didasari bahwa pihak yang Islam adalah pihak laki-laki, karena di dalam Al Qur’an surat Al Maidah: 5 juga diterangkan kebolehan seorang laki-laki muslim menikahi perempuan ahli kitab terlepas dari beberapa pendapat ulama mengenai ahli kitab yang manakah yang boleh dinikahi. Memang tidak secara spesifik kapan Pak Kyai Anshori mulai merubah pandangannya, namun berdasar kasus pada perkawinan ADDW dapat penulis simpulkan bahwa saat itu pemikiran Kyai Anshori mulai berubah. Hal itu terlihat dalam wawancara dengan AD-DH sempat muncul statement bahwa pada detik berlangsungnya akad nikah Kyai yang akan menikahkan mereka secara beda agama berubah pandangan menjadi tidak mau menikahkan secara beda agama. Sehingga dalam kasus perkawinan AD-DH, DH menyatakan masuk Islam terlebih dahulu dengan tuntunan Kyai Anshori dan disaksikan oleh Agung dan AD (calon suaminya). Dalam pandangannya yang baru, sesuai ajaran Islam, bahwa seharusnya umat Islam dalam bertingkah laku harus berpedoman pada kitab suci Al Qur’an, bukan Al Qur’an yang harus menyesuaikan kebutuhan manusia. Menurutnya, bagi umat yang beriman berkeyakinan bahwa dengan berpegang teguh kepada tuntunan dan petunjuk Allah, hidup ini pasti bahagia dirahmati dan diberkati Allah. 4. Prof Zuhri (Wawancara Tanggal 3 Januari 2013) Menurut Prof Zuhri, Perkawinan beda agama itu tidak ideal, karena dalam perkawinan beda agama dapat menimbulkan berbagai masalah. Misalnya dalam masalah kejiwaan, pelaku perkawinan beda agama memiliki usia yang sudah tua, pasti suatu ketika ia akan membayangkan alangkah senangnya jika seandainya bisa solat berjama’ah dan puasa bersama-sama. Selain itu, ternyata mereka juga secara diam-diam berebut anak (perang dingin), saling tarik menarik anaknya ke agama yang dianut masing-masing. Menurut beliau tidak hanya itu masalahnya, pasangan yang hendak melangsungkan perkawinan beda agama juga akan mengalami kesulitan dalam keadministrasian dan idealnya orang Islam dicatat di KUA dan non Islam dicatat di KCS. Perkawinan beda agama yang dilihat dalam 2 (dua) regulasi Undang-Undang yaitu KHI (untuk beragama islam) dan Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 (Non Islam) kurang tepat karena tidak memikirkan rasa hati. Jika ditinjau dari pengalaman pelaku perkawinan beda agama yang sudah lanjut (tua), mereka mengaku ada masalah dalam perkawinannya. Namun jika dari pelaku yang masih muda mereka mengaku senangsenang saja karena itu persoalan hati yang sudah sama-sama suka sehingga tidak memiliki persoalan yang begitu rumit meskipun sebenarnya ada. Menurut beliau dalam teori Imam Syafi’i menjelaskan ....“tarqul khilafi mustakhabbun”...... (meninggalkan perbedaan itu yang di pilih). Maksudnya, tinggalkanlah perbuatan yang masih kontroversi. Jika perkawinan beda agama merupakan hal kontroversi maka lebih baik ditinggalkan. Kesimpulan yang didapat bahwa menurutnya perkawinan beda agama itu tidak ideal. Selain akan ada kesulitan dalam keadministrsian juga didukung oleh pengalaman pelaku perkawinan beda agama yang sudah tua yang mengaku bahwa melakukan perkawinan beda agama terdapat problem kejiwaan. Menurut fiqh hal tersebut kontroversi, ada yang membolehkan dan ada yang tidak. Karena kontroversi, beliau tidak mengatakan itu boleh atau tidak boleh. 5. Menurut Pandangan tokoh Agama Islam di masyarakat pada umumnya (wawancara Tanggal 1 Desember 2012) Menurut K.H. Atiq Afifudin (57), Ta’mir Masjid Baitul Abidien yang sekaligus Sekretaris Ranting NU mengatakan bahwa menurut agama Islam, perkawinan beda agama haram hukumnya. Hal ini didasari oleh ketentuan al qur’an surat al baqarah ayat 221, dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik….Begitu juga sebaliknya, wanita muslim juga diharamkan menikah dengan laki-laki musyrik. Dengan pengecualian diperbolehkan perkawinan antara laki-laki muslim dengan perempuan ahli kitab. Yang dimaksud dengan ahli kitab adalah orang yang murni atau keturunan asli (orang tua)nya masuk ke dalam agama tersebut sebelum dinasakh (ubah) dengan kerasulan Nabi Muhammad SAW. Dengan adanya perkawinan beda agama dikhawatirkan akan membawa pasangannya melakukan kemusyrikan yang akan membawa seorang muslim tersebut masuk neraka. Menurut Atiq, perkawinan yang ideal dalam Islam tentu perkawinan yang dilakukan antar pemeluk agama Islam. Seperti hadis Rasulullah bahwa seorang perempuan dipilih karena 4 hal, rupa, harta, nasab dan agama. Namun dari keempat hal tersebut yang paling utama adalah agamanya. Melihat kenyataan yang terjadi dalam masyarakat, sebagai tokoh agama Atiq merasa tidak punya kekuasaan untuk mengusik mereka karena beliau menyadari bahwa agama adalah hak seseorang, selain itu ketika pelaku perkawinan merasa bahagia, kita tidak punya hak untuk memisahkan mereka. Hanya upaya pencegahan yang bisa dilakukan, dengan cara menanamkan nilai-nilai keagamaan dan pemahaman kepada para pemuda yang belum kawin. Pendapat di atas juga dibenarkan oleh Kyai Mustain (45), beliau juga seorang Ta’mir masjid Nurul Huda. Dia ketidaksetujuannya dengan adanya perkawinan menyatakan Beda agama. Perkawinan beda agama mampu merusak tatanan dan keturunan pelakunya. Bagaimana tidak, ketika anak mendapati orang tua yang berbeda agamanya akan menimbulkan suatu kebingungan pada anak untuk memilih agama mana yang hendak dipeluknya. Selain itu hubungan suami istri antara seorang muslim dan seorang yang non muslim dianggap zina, sedangkan zina termasuk salah satu dosa besar. Meskipun dalam Al Qur’an ada pengecualian untuk laki-laki muslim menikahi perempuan ahli kitab, menurut Kyai Mustain zaman sekarang ini sudah tidak ada yang disebut ahli kitab. Karena pedoman/kitab suci yang mereka pegang saat sudah tidak murni lagi seperti saat diturunkan kepada nabi Isa, dalam kitab tersebut sudah ada perubahan-perubahan yang dilakukan manusia. Melihat kenyataan dalam masyarakat yang ternyata ada pelaku perkawinan beda agama, tidak banyak upaya yang bisa dilakukan untuk mencegahnya. Karena hal tersebut sudah menjadi urusan rumah tangga masing-masing dan menjadi pilihan hidup orang tersebut. Solusi yang ditawarkan mungkin bisa dilakukan pendekatan kepada pasangan pelaku perkawinan beda agama tersebut, diberikan pemahaman secara pelan-pelan tentang hakikat sebuah perkawinan. Dengan demikian diharapkan bisa menggerakkan hati pasangan pelaku perkawinan beda agama terutama yang beragama Islam untuk kembali semangat mempertahankan agamanya dan bisa mengajak pasangannya untuk masuk Islam. Sehingga dapat tercapai tujuan perkawinan seperti yang adiharapkan dalam Islam, yaitu sakinah, mawadah wa rohmah. Jika hal seperti di atas tidak bisa dilakukan, dapat dilakukan upaya pencegahan dengan memberikan pemahaman kepada masyarakat terutama para pemuda yang belum melakukan perkawinan. Upaya tersebut dilakukan melalui forum-forum kecil dan fokus membahas hal tersebut. BAB IV FASILITASI PEKAWINAN BEDA AGAMA OLEH PERCIK A. Alasan Percik Memfasilitasi Perkawinan Beda Agama 1. Perspektif UUP Fenomena perkawinan beda agama marak terjadi di wilayah Negara Indonesia, secara manusiawi merupakan hal yang wajar sebagai wujud cinta kasih antara laki-laki dan perempuan, karena cinta mampu menembus batas etnis, budaya bahkan agama. Namun sebagai warga Negara kita harus tunduk pada aturan yang telah ditetapkan pemerintah. Indonesia dalam masalah perkawinan diatur oleh UU No. 1/1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam bagi umat Islam. Pasal 1 ayat 1 UUP No.1/1974 menyatakan bahwa perkawinan adalah “ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri”. Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 menjelaskan tentang keabsahan sebuah perkawinan yaitu “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Perkawinan dianggap suatu hal yang sangat sakral sehingga segala aturan perkawinan harus sesuai dengan aturan agama, hal ini terlihat dalam pasal 2 ayat (1) UUP No.1/1974. Tidak ada satu ayat pun dalam UUP ini yang membolehkan ataupun melarang secara tegas perkawinan beda agama. Undang-undang ini hanya menyatakan perkawinan dianggap sah oleh Negara dan juga dianggap sah oleh agama/kepercayaan masing-masing. Di sini peran Negara dalam perkawinan hanya sebagai lembaga pencatat perkawinan yang terkait dengan administrasi, hak dan kewajiban yang akan muncul sebagai akibat dari perkawinan itu sendiri. 2. Perspektif KHI Menurut KHI pasal 2 perkawinan diartikan pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaqan gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Untuk keabsahan perkawinan KHI mengatur dalam pasal 4, perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Jadi KHI juga menganggap sahnya perkawinan itu jika dilakukan menurut aturan agama masing-masing atau aturan kepercayaan yang dianut pihak-pihak yang akan melangsungkan perkawinan. Berbeda dengan UUP, di sini KHI Nampak lebih tegas karena perkawinan harus dilakukan menurut hukum Islam. Sedangkan hukum Islam yang berlaku di Indonesia untuk masalah perkawinan adalah KHI. Secara tegas dan jelas KHI melarang adanya perkawinan beda agama, dalam pasal 40 disebutkan dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena dalam keadaan tertentu: c. seorang wanita yang tidak beragama Islam. Juga tertuang dalam pasal 44, seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam. 3. Perspektif Agama Tidak adanya aturan yang jelas dalam UUP mengenai perkawinan beda agama, menimbulkan kebingungan masyarakat dalam menanggapi kasus perkawinan beda agama. Ada pihak yang setuju namun ada juga pihak yang tidak setuju dengan adanya perkawinan beda agama. Ada yang menganggap sah namun ada juga yang menganggap tidak sah perkawinan beda agama. Hal ini dipengaruhi oleh pemahaman dan pola pikir masing-masing pihak. Sehingga bagi sebagian masyarakat yang hendak melakukan perkawinan beda agama sering mengalami kesulitan untuk mendapatkan pelayanan, baik secara administratif maupun keagamaan. Hal-hal seperti itulah yang ditangkap oleh Percik. Fasilitasi yang dilakukan oleh Percik terhadap pasangan beda agama ini diasumsikan sebagai pintu darurat yang berusaha memberi tempat/ruang (mempermudah) untuk melakukan perkawinan beda agama. Toh melakukan perkawinan beda agama tidak melanggar UU Perkawinan, menurut pihak Percik. Dari situlah perbedaan penafsiran UU Perkawinan yang menyangkut keabsahan suatu perkawinan mulai dijadikan sebagai alasan kebolehan perkawinan beda agama. Sebagai umat Islam tentu tidak akan bisa melakukan perkawinan di KUA jika calon pengantin berbeda agama. Namun Jika mereka hendak melakukan perkawinan dan dicatatkan di KUA, maka pihak non Islam harus mau berpindah agama, masuk agama Islam terlebih dahulu. Pada dasarnya seluruh agama dan kepercayaan menganggap perkawinan yang ideal adalah perkawinan yang dilakukan oleh orang yang seagama atau satu keyakinan. Namun dengan alasan tertentu perkawinan beda agama dapat dilakukan tetapi dengan syarat dan ketentuan yang diatur oleh pihak Gereja atau Pemuka Agama. Hal ini dapat dilihat dalam kasuskasus yang terjadi banyak Gereja Kristen ataupun Katholik yang menolak permohonan perkawinan beda agama. Meskipun terdapat berbagai penolakan, pihak Percik terus mencari Gereja yang berpandangan lebih luas mengenai perkawinan beda agama. Di mana Gereja mau melayani pemberkatan perkawinan meskipun mempelai salah satunya tidak beragama Kristen atau Katholik. Adanya beberapa kelonggaran itu juga bagi umat Islam yang hendak melakukan perkawinan beda agama, maka mereka mencari Pemuka Agama yang berpandangan agak luas / membolehkan perkawinan beda agama yang bersedia menikahkan mereka (tidak sesuai KHI). 4. Perspektif HAM Dengan adanya pihak-pihak yang satu pemikiran dengan Percik, dan juga didasari isi DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia) atau Universal Declaration of human rights dan UU No. 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia, Percik terus mendampingi orang-orang yang hendak melakukan perkawinan yang terbentur dengan perbedaan agama. Setelah menemukan Gereja yang mau memberi pemberkatan perkawinan dan mengeluarkan surat pengukuhan perkawinan maka tidak akan ada lagi penghalang bagi mereka untuk mencatatkan perkawinan di KCS, karena dengan adanya surat tersebut sudah dianggap sah sesuai agama dan KCS tidak berwenang untuk tidak mengeluarkan kutipan akta perkawinan. Karena di sini KCS bukan sebagai institusi agama, yang berhak melakukan prosesi perkawinan. B. Proses Perkawinan Beda Agama yang Difasilitasi Percik Pada umumnya perkawinan beda agama yang difasilitasi Percik memiliki pola yang hampir sama dalam pelaksanaanya. Dalam penelitian penulis, kasus yang sering muncul adalah perkawinan antara Islam dengan Kristen/Katholik dan Kristen dengan Katholik. Ada beberapa hal yang perlu dicermati dalam proses perkawinan beda agama ini, mengingat masalah yang dihadapi masingmasing pasangan berbeda, cara penyelesaiannya pun berbeda. Berikut adalah tabel proses pelaku perkawinan beda agama. Tabel 4.1 Proses Perkawinan Rumah Tangga Beda Agama No Nama Proses Perkawinan Keterangan Pasangan 1 AD – DH 30 Juli 2010 (secara Islam) Akad nikah oleh Kyai (suami- istri) di Mushola LSM Percik Anshori (Islam-Kristen) Salatiga 01 Agustus 2010 (secara Kristen) di Gereja Kristen Jawa Sidomukti Salatiga. 2 AR – RW Proses perkawinan Pemberkatan (suami-istri) dilangsungkan (Kristen- Kristen dalam Katholik) rangkaian yang digereja Gereja Kristen suatu dilakukan terpisah Pendeta di oleh dan Romo pada tahun 2005. dalam satu rangkaian acara yang tidak terpisah 3 AL– LM 7 January 2005 (suami-istri) Islam) (Islam-Kristen) Institute Jakarta. (secara Akad oleh KH Husein Akad di Wahid Muhammad dihadiri para sahabat 11 Januari 2005 (secara mempelai. Kristen) perkawinan pemberkatan di GKJ Sidomukti Salatiga. 4 SW – DJ Tahun 2006 (secara Kristen) Akad Nikah (suami-Istri) di GKJ Sidomukti Salatiga Bapak DJ. oleh dilanjutkan (secara islam) dirumah DJ 5 Gama–Chinda 15 Desember 2012 (secara Akad nikah oleh Bp. (suami-istri) Katholik) di Gereja Kristus Andi (ayah Chinda) (Katholik-Islam) Raja dilanjutkan (secara Islam) di rumah Gama. Sesuai data di atas dapat kita lihat bahwa pelaku perkawinan beda agama antara Islam dan Kristen (pasangan AD-DH dan AL-LM) sama-sama diberkati di Gereja Kristen Sidomukti Salatiga. AL dan LM adalah pasangan pertama yang melakukan pemberkatan perkawinan beda agama di GKJ Sidomukti Salatiga. Dalam kasus ini pihak laki-laki yang beragama Islam sedangkan pihak perempuan beragama Kristen. Akad perkawinan mereka sama-sama dilakukan oleh Kyai bukan ayah kandung si Perempuan karena mereka dari pihak Kristen tentu tidak mengenal akad oleh ayah kandung. Dalam kasus yang dihadapi AL dan LM mereka butuh perjuangan keras untuk menemukan Tokoh Agama yang mau menikahkan mereka, karena bagi mereka perkawinan adalah salah satu bentuk ibadah kepada Tuhan YME sehingga mereka merasa perkawinan tidak hanya sekedar mengejar surat-surat yang dikeluarkan oleh Negara, mereka lebih mengejar pada kepuasan batin sebagai seorang hamba Tuhan. Hal ini dibuktikan dalam usaha mereka dalam mencari tokoh agama yang bersedia menikahkan mereka tanpa syarat apapun yang berkaitan dengan agama. Akad yang dilakukan di Wahid Institute oleh KH. Husein Muhammad tidak memaksa LM untuk mengakui Tuhan yang diyakini AL sebagai umat Islam dan tidak ada embel-embel setelah perkawinan anak harus ikut agama Islam. Untuk proses pemberkatan Gereja LM juga berjuang keras untuk mencari Gereja yang mau menikahkan mereka tanpa memaksa AL mengakui Tuhan yang diyakini LM dan perjuangan itu berakhir di GKJ Sidomikti Salatiga. Kasus serupa juga dialami oleh AD dan DH, yang sedikit membedakan adalah dalam prosesi akad sesuai agama Islam. Dalam kasus ini DH harus mengakui Tuhan diyakini AD baru proses akad bisa dilakukan. Entah hanya sementara atau akan seterusnya adalah hal yang menjadi pertanyaan kemudian, toh pada akhirnya dalam pemberkatan Gereja, DH tetap mencantumkan Kristen sebagai agamanya. GKJ Sidomukti Salatiga sudah terbuka untuk melayani pemberkatan nikah beda agama, untuk itu sekarang ini bagi pasangan yang hendak melakukan nikah beda agama oleh Percik diarahkan ke GKJ Sidomukti Salatiga. Dari proses-proses yang mereka lalui tampak bahwa tidak semua orang (Kyai/Gereja) menyepakati perkawinan beda agama secara murni terbuka. Kasus AR-RW pun tidak mudah, walaupun antara Kristen dan Katholik berdasar pada kitab yang sama namun tetap saja ada kebijakan-kebijakan yang berbeda dalam menanggapi perkawinan beda agama. Masalah yang muncul pada perkawinan ini adalah munculnya keharusan bagi sang buah hati untuk memeluk agama tertentu (dalam hal ini Kristen dan Katholik sama-sama menghendaki). Proses perkawinan dilakukan oleh dua Tokoh agama sekaligus di Gereja Kristen. Untuk anak dari hasil perkawinan mereka, karena dulu perkawinan sudah dilakukan di Gereja Kristen maka sesuai kesepakatan anak pertama dicatatkan di Gereja Katholik dan dihadiri oleh Pendeta Kristen, sedang anak kedua dicatatkan di Gereja Kristen. Sedikit berbeda dengan kasus Gama dan Chinda, karena di sini pihak perempuanlah yang beragama Islam. Untuk proses akadnya lebih mudah karena ayah Chinda memiliki kuasa penuh untuk menikahkan Chinda. Sesuai analisis tersebut dapat kita pahami bahwa pelaku perkawinan beda agama antara Islam dan Kristen (pasangan AD-DH dan AL-LM) sama-sama diberkati di Gereja Kristen Sidomukti Salatiga. AL dan LM adalah pasangan pertama yang melakukan pemberkatan perkawinan beda agama di GKJ Sidomukti Salatiga. Dalam kasus ini pihak laki-laki yang beragama Islam sedangkan pihak perempuan beragama Kristen. Akad perkawinan mereka sama-sama dilakukan oleh Kyai bukan ayah kandung si Perempuan karena mereka dari pihak Kristen tentu tidak mengenal akad oleh ayah kandung. Dalam kasus yang dihadapi AL dan LM mereka butuh perjuangan keras untuk menemukan Tokoh Agama yang mau menikahkan mereka, karena bagi mereka perkawinan adalah salah satu bentuk ibadah kepada Tuhan YME sehingga mereka merasa perkawinan tidak hanya sekedar mengejar surat-surat yang dikeluarkan oleh Negara, mereka lebih mengejar pada kepuasan batin sebagai seorang hamba Tuhan. Hal ini dibuktikan dalam usaha mereka dalam mencari tokoh agama yang bersedia menikahkan mereka tanpa syarat apapun yang berkaitan dengan agama. Akad yang dilakukan di Wahid Institute oleh KH. Husein Muhammad tidak memaksa LM untuk mengakui Tuhan yang diyakini AL sebagai umat Islam dan tidak ada embel-embel setelah perkawinan anak harus ikut agama Islam. Untuk proses pemberkatan Gereja LM juga berjuang keras untuk mencari Gereja yang mau menikahkan mereka tanpa memaksa AL mengakui Tuhan yang diyakini LM dan perjuangan itu berakhir di GKJ Sidomikti Salatiga. Kasus serupa juga dialami oleh AD dan DH, yang sedikit membedakan adalah dalam prosesi akad sesuai agama Islam. Dalam kasus ini DH harus mengakui Tuhan diyakini AD baru proses akad bisa dilakukan. Entah hanya sementara atau akan seterusnya adalah hal yang menjadi pertanyaan kemudian, toh pada akhirnya dalam pemberkatan Gereja, DH tetap mencantumkan Kristen sebagai agamanya. GKJ Sidomukti Salatiga sudah terbuka untuk melayani pemberkatan nikah beda agama, untuk itu sekarang ini bagi pasangan yang hendak melakukan nikah beda agama oleh Percik diarahkan ke GKJ Sidomukti Salatiga. Dari proses-proses yang mereka lalui tampak bahwa tidak semua orang (Kyai/Gereja) menyepakati perkawinan beda agama secara murni terbuka. Kasus AR-RW pun tidak mudah, walaupun antara Kristen dan Katholik berdasar pada kitab yang sama namun tetap saja ada kebijakan-kebijakan yang berbeda dalam menanggapi perkawinan beda agama. Masalah yang muncul pada perkawinan ini adalah munculnya keharusan bagi sang buah hati untuk memeluk agama tertentu (dalam hal ini Kristen dan Katholik sama-sama menghendaki). Proses perkawinan dilakukan oleh dua Tokoh agama sekaligus di Gereja Kristen. Untuk anak dari hasil perkawinan mereka, karena dulu perkawinan sudah dilakukan di Gereja Kristen maka sesuai kesepakatan anak pertama dicatatkan di Gereja Katholik dan dihadiri oleh Pendeta Kristen, sedang anak kedua dicatatkan di Gereja Kristen. Sedikit berbeda dengan kasus Gama dan Chinda, karena di sini pihak perempuanlah yang beragama Islam. Untuk proses akadnya lebih mudah karena ayah Chinda memiliki kuasa penuh untuk menikahkan Chinda. Dari perkawinan yang dilakukan melalui dua lembaga tersebut, dapat dianalisis bahwa perkawinan beda agama yang dilakukan di KCS lebih rumit dibanding dengan fasilitasi yang dilakukan oleh percik. Bagi KCS untuk mencatatkan perkawinan harus mendapat penetapan dari Pengadilan Negeri terlebih dahulu, padahal untuk sidang di pengadilan membutuhkan waktu yang cukup lama dan biaya yang dikeluarkannyapun tidak sedikit. Mengenai Pengadilan Negeri mengijinkan atau tidaknya perkawinan beda agama tentu tidak semuanya daerah bisa menerima dan mengabulkan permohonan tersebut. Hal ini karena cara pandang hakim dalam membaca aturan tentang perkawinan itu ternyata juga berbeda-beda, ada yang berani mengijinkan perkawinan beda agama karena berdasarkan pertimbangan etik yang dipakai, dan ada juga yang menolak karena alasan tidak ada Undang-Undang di negara Indonesia sampai saat ini yang melegalkan perkawinan beda agama sejak tahun 1974 ditetapkan. Jika keputusan hakim di PN mengabulkan permintaan kedua belah pihak yang beda agama, maka pemohon langsung mencatatkan perkawinannya di KCS dan Catatan Sipil akan mengeluarkan surat Akta Nikah berdasarkan putusan Pengadilan Negeri. Yang menjadi persoalannya adalah agama mana yang mengesahkan? Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa perkawinan yang dilakukan di Kantor Catatan Sipil yang berdasarkan putusan Pengadilan Negeri hanya sah melalui negara dan belum sah berdasarkan agama. Berbeda dengan Percik, dalam memfasilitasi perkawinan beda agama yang digelutinya selama ini tidak hanya sah menurut negara namun juga sah menurut agama. Karena perkawinan itu disaksikan oleh dua pemuka agama masing-masing dari kedua belah pihak. Disamping itu jika dalam proses perkawinan ada keluarga yang kontaradiktif (tidak sepakat) maka percik juga bersedia mendamaikanya (memediasi) antar keluarga yang berseteru. Setelah dua keluarga tidak ada yang bermasalah, kemudian tinggal menentukan tata cara perkawinan yaitu menentukan tempat dan tanggal pelaksanaan. Jika semua proses perkawinan sudah selesai dan KCS juga datang disana untuk menyaksikan perkawinan mereka. Kemudian pihak KCS tinggal mencatatkan perkawinan mereka dengan mencantumkan agama masing-masing dalam akta nikah. Dengan demikian fasilitasi perkawinan beda agama yang dilakukan oleh Percik, menjadi sah menurut agama dan Undang-Undang. C. Pandangan Tokoh Agama terhadap Perkawinan Beda Agama 1. Setuju 1. Pendeta Sari Frihono Menurut Beliau, seharusnya kita sebagai manusia harus menekankan kebenaran dari sisi etis bukan dogmatis. Karena kebenaran jika dilihat dari sisi etis, kebenaran akan bersifat objektif, berbeda ketika kebenaran dilihat secara dogmatis maka kebenaran akan bersifat subyektif. Seharusnya orang tidak lagi doktrinosentris dan beralih ke etikosentris. Seharusnya Tuhan tidak bisa dibatasi dalam bentuk kitab suci/buku saja, namun sayangnya orang hanya membatasi Tuhan dalam kitab suci, sehingga segala hal yang di luar kitab suci masuk neraka. Untuk masalah fasilitasi perkawinan beda agama yang dilakukan Percik, menurut Pdt. Sari tidak ada masalah, karena memang dengan adanya fasilitasi ini, bisa mempermudah orang- orang yang hendak melakukan perkawinan beda agama. Dengan demikian kita sebagai manusia dapat mewujudkan bukti kasih kepada Tuhan yaitu dengan cara mengasihi sesama manusia tanpa memandang latar belakangnya. Dasar yang digunakan Pdt. Sari dalam mengamini perkawinan beda agama adalah kitab Lucas 10:29 yang berbunyi “perlakukanlah sesama manusia seperti diri kita sendiri”. Dunia tidak satu wajah, daun pun tidak selalu hijau, kenapa harus dipaksakan untuk seragam? Yang perlu dikembangkan adalah sadarilah perbedaan dan terimalah perbedaan itu. 2. Pendeta Eben Heiser Beliau termasuk salah seorang yang dirangkul percik dalam memfasilitasi perkawinan beda agama. Memang cara pandang dan penafsiran seseorang terhadap sesuatu bisa berbeda-beda, begitu juga masalah perkawinan beda agama. Dalam perjanjian lama, menurut Beliau, dahulu umat Kristen hanya boleh melangsungkan perkawinan dengan seseorang yang sebangsa saja (Israel), sedangkan mereka yang menikah dengan orang dari bangsa lain dianggap kafir. Namun setelah ada perjanjian baru, hal tersebut tidak ada lagi. Setiap gereja memiliki aturan sendiri-sendiri, dalam teologi GKJ (Gereja Kristen Jawa) sudah memiliki konstitusi yang mengatur tentang warga gereja yang ingin menikah dengan orang yang berbeda agama. Dalam konstitusi tersebut disebutkan boleh jika seorang warga gereja menikah dengan orang yang berbeda iman, tetapi ada satu hal yang perlu diingat, jika hal tersebut terjadi, akan ada sebuah pengorbanan religious. Jadi bagi mereka yang telah memutuskan untuk menikah dengan orang yang berbeda agama harus siap dengan perbedaan-perbedaan yang ada dan harus punya kebesaran hati dalam menjalaninya. Tidak semua gereja mau menerima atau melayani pemberkatan perkawinan beda agama. Dahulu pada tahun 1990-an pemberkatan perkawinan beda agama dilarang, hingga pada tahun 2005 pemberkatan perkawinan beda agama mulai diperbolehkan. Alasan mereka yang menolak perkawinan beda agama menggunakan dalil dalam Korintus 6:14 “…atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap”. Mereka menafsirkan ayat ini sebagai larangan menikah beda agama, karena mereka menganggap orang yang tidak seiman termasuk dalam golongan kegelapan. Namun menurut Pdt. Eben Heizer, bukan seperti itu maksud ayat tersebut, seiman pun kalau berkelakuan buruk juga sama saja, tidak ada bedanya. UU No. 1 Tahun 1974 juga tidak mengatur secara khusus tentang perkawinan beda agama, tidak melarang dan juga tidak membolehkan, semua tergantung dari penafsirannya. Tidak berbeda jauh dengan Al Qur’an yang satu namun banyak penafsirannya. Dengan keadaan aturan hokum di Indonesia yang seperti itu, dianggap tidak memenuhi kebutuhan masyarakat. Oleh sebab itulah Percik memfasilitasi perkawinan beda agama sampai Negara mau memfasilitasinya. Tentu saja tidak semua sepaham, dan biasanya jika tidak sepaham akan sulit menemukan titik temunya. Perkawinan di dalam Islam merupakan urusan agama, begitu juga dalam Katolik merupakan urusan gereja, berbeda dengan Protestan, karena di dalam protestan perkawinan merupakan urusan sipil. Di luar negeri, pemberkatan perkawinan itu fakultatif, jadi orang menikah boleh melakukan pemberkatan boleh juga tidak melakukan pemberkatan. Kalau di Katolik agak rumit untuk melakuka pemberkatan, karena ada hierarki gereja. Seorang Romo tidak bisa melakukan apa-apa jika tidak ada perintah atau izin dari Uskup. Begitu juga dalam agama Islam, setiap Kyai juga memiliki penafsiran masing-masing. Dalam hal memfasilitasi perkawinan beda agama percik juga bekerja sama dengan ICRP (Indonesian Conference On Religion and Peace). Pak Ahmad Nurcholis dari Jakarta juga sering datang ke Percik untuk memfasilitasi perkawinan beda agama, Pak Sultoni juga sering diundang sebagai penasehat, namun yang menikahkan tetap orang tua mereka masing-masing. Menurut Pdt. Eben Heizer dulu orang yang pertama kali menikahkan perkawinan beda agama yang diberkati oleh GKJ Sidomukti adalah seorang Kyai NU Cirebon, pada saat itu yang menikah laki-laki beragama Islam dan Perempuan beragama Nasrani. Pdt. Eben Heizer berpendapat, pada dasarnya boleh atau tidaknya perkawinan beda agama itu tergantung dari cara menafsirkan suatu ayat. Di GKJ Sidomukti Salatiga, perkawinan beda agama boleh dilakukan, dengan dasar teologi bahwa perkawinan itu sebuah keputusan pribadi seseorang dalam menjalani kehidupan dalam rancangan kehidupan ke depan. Perkawinan itu tidak terkait dengan prasyarat kesamaan keyakinan/ iman. Perkawinan beda agama dipahami sebagai perkawinan dalam ikatan cinta kasih dimana seorang pribadi mengambil keputusan berdasarkan kesadaran penuh dan bisa dipertanggungjawabkan kepada Tuhan. Pada dasarnya ajaran dalam Al Kitab bahwa perbedaan tidak boleh menjadi alasan pemetaan. 3. Kyai Anshori Tokoh agama Islam yang pernah bekerjasama dengan Percik dalam proses perkawinan beda agama adalah Bapak K.H. Anshori Djawadi. Hingga wawancara ini dilakukan, Pak Kyai Anshori mengaku pernah menikahkan 3 pasangan berbeda agama yang dalam kasus ini ketiga pihak laki-laki beragama Islam. Salah satu pasangan yang Beliau nikahkan adalah pasangan AD-DW. Pada awalnya, karena terpengaruh pikiran pikiran liberal (baik Islam Liberal maupun Kristen Liberal) yang lebih mengedepankan kontekstual daripada tekstual, pak Kyai Anshori sempat membolehkan perkawinan beda agama. Namun setelah mengkaji lebih dalam masalah perkawinan beda agama ini pandangan Beliau berubah, dari membolehkan menjadi tidak membolehkan. Bersedianya beliau mengawinkan pasangan nikah beda agama, awalnya, seperti yang telah diungkapkan di atas bahwa sempat Beliau terpengaruh pemikiran-pemikiran liberal yang menganggap agama adalah untuk manusia, sehingga ketika manusia dihadapkan pada persoalan yang terbentur agama, mereka mencari solusi yang dianggap tepat. Bahwa seharusnya agama tidak menjadi suatu penghalang ketika ada dua insan manusia yang ingin bersatu namun berbeda agama. Selain itu didasari bahwa pihak yang Islam adalah pihak laki-laki, karena di dalam Al Qur’an surat Al Maidah: 5 juga diterangkan kebolehan seorang laki-laki muslim menikahi perempuan ahli kitab terlepas dari beberapa pendapat ulama mengenai ahli kitab yang manakah yang boleh dinikahi. 2. Tidak Setuju a. K.H. Atiq Afifudin Menurutnya dalam pandangan agama Islam, perkawinan beda agama haram hukumnya. Hal ini didasari oleh ketentuan al qur’an surat al baqarah ayat 221, dan janganlah kamu menikahi wanitawanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik….Begitu juga sebaliknya, wanita muslim juga diharamkan menikah dengan lakilaki musyrik. Dengan pengecualian diperbolehkan perkawinan antara laki-laki muslim dengan perempuan ahli kitab. Yang dimaksud dengan ahli kitab adalah orang yang murni atau keturunan asli (orang tua)nya masuk ke dalam agama tersebut sebelum dinasakh (ubah) dengan kerasulan Nabi Muhammad SAW. Dengan adanya perkawinan beda agama dikhawatirkan akan membawa pasangannya melakukan kemusyrikan yang akan membawa seorang muslim tersebut masuk neraka. Menurut Atiq, perkawinan yang ideal dalam Islam tentu perkawinan yang dilakukan antar pemeluk agama Islam. Seperti hadis Rasulullah bahwa seorang perempuan dipilih karena 4 hal, rupa, harta, nasab dan agama. Namun dari keempat hal tersebut yang paling utama adalah agamanya. Melihat kenyataan yang terjadi dalam masyarakat, sebagai tokoh agama Atiq merasa tidak punya kekuasaan untuk mengusik mereka karena beliau menyadari bahwa agama adalah hak seseorang, selain itu ketika pelaku perkawinan merasa bahagia, kita tidak punya hak untuk memisahkan mereka. Hanya upaya pencegahan yang bisa dilakukan, dengan cara menanamkan nilai-nilai keagamaan dan pemahaman kepada para pemuda yang belum kawin. b. Kyai Mustain Sejalan dengan Atiq beliau juga menyatakan ketidaksetujuannya dengan perkawinan beda Agama. Perkawinan beda agama mampu merusak tatanan dan keturunan pelakunya. Bagaimana tidak, ketika anak mendapati orang tua yang berbeda agamanya akan menimbulkan suatu kebingungan pada anak untuk memilih agama mana yang hendak dipeluknya. Selain itu hubungan suami istri antara seorang muslim dan seorang yang non muslim dianggap zina, sedangkan zina termasuk salah satu dosa besar. Meskipun dalam Al Qur’an ada pengecualian untuk laki-laki muslim menikahi perempuan ahli kitab, menurut Kyai Mustain zaman sekarang ini sudah tidak ada yang disebut ahli kitab. Karena pedoman/kitab suci yang mereka pegang saat sudah tidak murni lagi seperti saat diturunkan kepada nabi Isa, dalam kitab tersebut sudah ada perubahan-perubahan yang dilakukan manusia. Melihat kenyataan dalam masyarakat yang ternyata ada pelaku perkawinan beda agama, tidak banyak upaya yang bisa dilakukan untuk mencegahnya. Karena hal tersebut sudah menjadi urusan rumah tangga masing-masing dan menjadi pilihan hidup orang tersebut. Solusi yang ditawarkan mungkin bisa dilakukan pendekatan kepada pasangan pelaku perkawinan beda agama tersebut, diberikan pemahaman secara pelan-pelan tentang hakikat sebuah perkawinan. Dengan demikian diharapkan bisa menggerakkan hati pasangan pelaku perkawinan beda agama terutama yang beragama Islam untuk kembali semangat mempertahankan agamanya dan bisa mengajak pasangannya untuk masuk Islam. Sehingga dapat tercapai tujuan perkawinan seperti yang adiharapkan dalam Islam, yaitu sakinah, mawadah wa rohmah. Jika hal seperti di atas tidak bisa dilakukan, dapat dilakukan upaya pencegahan dengan memberikan pemahaman kepada masyarakat terutama para pemuda yang belum melakukan perkawinan. Upaya tersebut dilakukan melalui forum-forum kecil dan fokus membahas hal tersebut. 3. Netral a. Prof Zuhri Menurutnya Perkawinan beda agama itu tidak ideal, karena dalam perkawinan beda agama dapat menimbulkan berbagai masalah. Misalnya dalam masalah kejiwaan, pelaku perkawinan beda agama memiliki usia yang sudah tua, pasti suatu ketika ia akan membayangkan alangkah senangnya jika seandainya bisa solat berjama’ah dan puasa bersama-sama. Selain itu, ternyata mereka juga secara diam-diam berebut anak (perang dingin), saling tarik menarik anaknya ke agama yang dianut masing-masing. Menurut beliau tidak hanya itu masalahnya, pasangan yang hendak melangsungkan perkawinan beda agama juga akan mengalami kesulitan dalam keadministrasian dan idealnya orang Islam dicatat di KUA dan non Islam dicatat di KCS. Perkawinan beda agama yang dilihat dalam 2 (dua) regulasi Undang-Undang yaitu KHI (untuk beragama islam) dan Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 (Non Islam) kurang tepat karena tidak memikirkan rasa hati. Jika ditinjau dari pengalaman pelaku perkawinan beda agama yang sudah lanjut (tua), mereka mengaku ada masalah dalam perkawinannya. Namun jika dari pelaku yang masih muda mereka mengaku senang-senang saja karena itu persoalan hati yang sudah sama-sama suka sehingga tidak memiliki persoalan yang begitu rumit meskipun sebenarnya ada. Menurut beliau dalam teori Imam Syafi’i menjelaskan ....“tarqul khilafi mustakhabbun”...... (meninggalkan perbedaan itu yang di pilih). Maksudnya, tinggalkanlah perbuatan yang masih kontroversi. Jika perkawinan beda agama merupakan hal kontroversi maka lebih baik ditinggalkan. Kesimpulan yang didapat bahwa menurutnya perkawinan beda agama itu tidak ideal. Selain akan ada kesulitan dalam keadministrsian juga didukung oleh pengalaman pelaku perkawinan beda agama yang sudah tua yang mengaku bahwa melakukan perkawinan beda agama terdapat problem kejiwaan. Menurut fiqh hal tersebut kontroversi, ada yang membolehkan dan ada yang tidak. Karena kontroversi, beliau tidak mengatakan itu boleh atau tidak boleh. Dari berbagai pandangan tokoh Agama terhadap perkawinan beda agama dapat penulis kategorikan bahwa terdapat 3 pendapat diantaranya: 1. Setuju, 2. Tidak Setuju dan 3. Netral dalam menetapkan suatu hukum. Lihat tabel dibawah ini. Tabel 3.1. Pandangan Tokoh Agama terhadap Perkawinan Beda Agama No Nama Pandangan Tokoh Agama Setuju Tidak Setuju (x) 1. Kyai Ansory Setuju, meskipun setelah itu ia merubah pandangannya menjadi tidak Setuju. 2. Pdt. Eben Setuju (x) 3. Pdt. Sari Setuju (x) 4. Prof. Zuhri (x) 5. Kyai Atiq (x) (x) Tidak Setuju 6. Kyai Mustain (x) Tidak Setuju Keterangan Lebih mengedepankan konteks dari pada teks dengan berlandaskan pada Al-maidah ayat 5. Dunia tidak satu wajah maka “perlakukanlah sesama manusia seperti diri kita sendiri”. (Lucas 10:29) Perkawinan itu merupakan keputusan pribadi dalam menjalankan kehidupan, jadi tergantung pada diri seseorang tersebut dalam menjalani kehidupanya. Tinggalkanlah perbuatan yang masih kontrofersial. Dikawatirkan akan membawa pasanganya melakukan kemusrikan sehingga seorang muslim tersebut masuk neraka. Perkawinan beda agama dapat merusak tatanan dan keturunan pelakunya. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan penelitian ini diperoleh beberapa kesimpulan mengenai perkawinan beda agama yang difasilitasi oleh lembaga Percik Salatiga, yaitu sebagai berikut: 1. Fasilitasi yang dilakukan oleh Percik terhadap pasangan beda agama diasumsikan sebagai pintu darurat yang berusaha memberikan tempat / ruang (mempermudah) untuk melakukan perkawinan beda agama. Menurut Percik, melakukan perkawinan beda agama tidak melanggar UU Perkawinan. Mengenai keabsahan suatu perkawinan percik mengacu pada UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan bahwa sahnya suatu perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, jika perkawinan beda agama sudah disahkan oleh pemuka agama dari masing-masing pihak maka perkawinan tersebut sudah sah sesuai UndangUndang, sehingga perkawinan beda agama menjadi sah menurut agama dan negara. Hal ini juga didasari oleh isi DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia) atau Universal Declaration of human rights dan UU No. 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia. 2. Fasilitasi yang dilakukan Percik yaitu dengan cara menghubungkan dan menjadi mediator dengan para tokoh agama, lembaga dan instansi pemerintah terkait, yang diperlukan untuk memperoleh pendampingan dalam pelaksanaan perkawinan beda agama. Adapun prosedur perkawinan beda agama yang difasilitasi Percik adalah sebagai berikut: h. Calon mempelai datang ke Percik untuk konsultasi masalah rencana perkawinan yang dihadapi. i. Kemudian dari pihak Percik mengadakan diskusi dengan tokoh agama yang terkait dan berwenang dalam melakukan perkawinan. j. Percik membantu memfasilitasi kedua belah pihak untuk berdiskusi dan menyelesaikan masalah yang ada. Percik hanya bertugas memfasilitasi, dengan cara memberikan penjelasan, pengarahan dan mempertemukan mereka dengan tokoh agama yang terkait jika diperlukan. Keputusan terakhir diserahkan sepenuhnya terhadap masing-masing keluarga. k. Jika terjadi kesepakatan, maka pihak keluarga mendiskusikan tentang bagaimana prosesi perkawinan beda agama yang akan dilakukan sesuai agama masing-masing, menentukan waktu dan tempat pelaksanaannya. l. Mempelai mengurus surat-surat kelengkapan sebagai syarat pencatatan perkawinan. m. Setelah semua syarat administrasi lengkap, pihak Percik melakukan pendampingan kepada calon mempelai untuk masuk dalam prosesi perkawinan sesuai yang telah direncanakan sebelumnya. n. Setelah prosesi perkawinan didepan pemuka agama selesai, pihak KCS mencatatkan perkawinan mereka dengan mencantumkan agama masingmasing dalam akta nikah. 3. Pandangan tokoh agama terhadap fasilitasi perkawinan beda agama oleh Percik adalah sebagai berikut: a. Pendeta Gereja Kristen Masalah fasilitasi perkawinan beda agama yang dilakukan Percik, menurut Pendeta Kristen tidak ada masalah, karena dengan adanya fasilitasi tersebut, bisa mempermudah orang-orang yang hendak melakukan perkawinan beda agama. Dasar yang digunakan Pendeta tersebut, adalah kitab Lucas 10:29. Tidak semua gereja mau menerima atau melayani pemberkatan perkawinan beda agama. Alasan yang menolak perkawinan beda agama yaitu menggunakan dalil dalam Korintus 6:14. b. Prof Zuhri Menurut salah satu pakar hukum Islam di STAIN, perkawinan beda agama itu tidak ideal. Karena perkawinan tersebut pasti akan menemukan berbagai masalah. Misanya masalah kejiwaan atau masalah berebut anak. Menurutnya, lebih baik perkawinan beda agama itu ditinggalkan. Seperti teori Imam Syari’i yang berbunyi Tarqul khilafi mustahabbun, (meninggalkan perbedaan itu yang dipilih) jika perkawinan beda agama itu kontroversi, maka lebih baik di tinggalkan. c. Tokoh Ta’mir Masjid Menurut para tokoh takmir, Perkawinan beda agama haram hukumnya. Hal ini didasari oleh ketentuan al qur’an surat al baqarah ayat 221, yaitu larangan larangan laki-laki muslim untuk menikahi wanita- wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Begitu juga sebaliknya, wanita muslim juga diharamkan menikah dengan laki-laki musyrik. Dengan adanya perkawinan beda agama dikhawatirkan akan membawa pasangannya melakukan kemusyrikan yang akan membawa seorang muslim masuk neraka. B. Saran 1. Bagi Pasangan Hendaknya pasangan yang akan melangsungkan perkawinan beda agama berfikir ulang sebelum malaksankan dan meminta pendapat kepada tokoh agama tentang perkawinanya tersebut melarang agama atau tidak, jangan hanya mementingkan nafsu belaka. 2. Bagi Pemerintah Tidak adanya aturan yang tegas terhadap perkawinan beda agama maka Pemerintah perlu meninjau ulang kajian hukum terhadap perkawinan beda agama agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat. 3. Bagi Percik Dengan adanya pasangan yang datang ke Percik untuk minta di fasiliasi perkawinan beda agama maka di harapkan percik lebih aktif dan lebih giat dalam menaggapi persoalan-persoalan yang ada dimasyarakat tidak hanya masalah perkawinan. 4. Bagi Akademik Bagi STAIN, Khususnya program Study ahwal-alsyahsiyyah diharapkan mampu mengakomodir mahasiswa agar tidak terjerumus oleh hal-hal yang melanggar syari’ah 5. Bagi Tokoh Agama Sebagai tokoh Agama yang notabene panutan masyarakat hendaknya lebih matang dalam mengambil suatu keputusan apakah hal ini diperbolehkan atau tidak, jangan hanya mementingkan politik maupun golongan semata. DAFTAR PUSTAKA Ahmad Nurcholish dan Ahmad Baso, Pernikahan Beda Agama: Kesaksian, Argumen Keagamaan dan Analisis Kebijakan. (Jakarta: ICRPKomnas HAM, 2010) Departemen Agama RI. 1995. Al-‘Aliyyi Al-Quran Dan Terjemahan. Bandung: CV Penerbit Diponegoro Departemen Agama RI, 1976. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: PT. Bumi Restu Fauzi, Auwenda. 2004. Perkawinan Campuran Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Analisis Terhadap Pendapat Imam Syafi’I Tentang Perkawinan Campuran). Skripsi tidak diterbitkan. Salatiga: Jurusan Syari’ah STAIN Salatiga Fuadi, Maftuhul. 2006. Nikah Beda Agama Perspektif Ulil Abshar Abdalla. Skripsi tidak diterbitkan. Salatiga: Jurusan Syari’ah STAIN Salatiga Ghazali, Abd Rahman. 2003. Fiqh Munakahat. Jakarta : Kencana http://www.percik.or.id (Website Percik) Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) Lembaga Study Islam dan Kemasyarakatan (LSIK), 1994. Problematika Hukukm Islam Kontemporer. Jakarta. PT Pustaka Firdaus. Madjid, Nurcholish dkk. 2004. Fiqh Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis. Jakarta: Paramadina Margono, S.2004. metodologi Penelitian. Jakarta: PT. Pineka Cipta Moloeng, Lexy J. 2004. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda Nikmah, Sri. 2011 Perkawinan Lintas Agama dalam Tinjauan Hukum Islam dan Perundang-undangan di Indonesia (Studi Terhadap Pasangan Suami Istri Pelaku Perkawinan Lintas Agama di Kelurahan Bugel Salatiga) Skripsi Tidak diterbitkan Salatiga: Jurusan Syari’ah STAINSalatiga, Pamungkas, Muhammad Wahyuning. 2008. Pernikahan Beda Agama: Studi terhadap Pasangan Suami Istri Beda Agama di Banjaran Salatiga. Inferensi, 2(1):43 Poerwadarminta, W.J.S. 2006. Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka Sabiq, sayid. 1981. Fiqh Sunnah Jilid VI. Bandung : PT Al-Ma’arif. Syarifudin, Amir. 2006 Hukum Perkawinan Islam di Indonesia : Antara Fiqh Munakahat dan UU perkawinan. Jakarta : Prenada Media Setiawan, Ebta. 2010. KBBI (Kamus Besar Bahas Indonesia) versi offline dengan mengacu pada data dari KBBI Daring (edisi III) dimbil dari http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi Sastroatmojo, Arso dan Aulawi, Wasit. 1978. Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta. Bulan Bintang Tihami, Prof.Dr HMA dan Sahrani, Drs.Suhari 2009. Fiqh Munakahat, Fiqh Nikah Lengkap. Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada Tim Percik, 2008. Pergumulan Perkawinan Beda Agama, Salatiga. Percik Press Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Wawancara dengan Staff Advokasi di Percik pada Tanggal 5, 10, 12, dan 19 November 2012 Wawancara dengan Staff Peneliti di Percik pada Tanggal 19, 1, dan 5 Desember 2012 Wawancara dengan Pegawai Kantor Catatan Sipil Salatiga pada tanggal 13 November 2012 Wawancara dengan Pelaku perkawinan beda Agama pada tanggal 15, 23, 25, 27 November 2012 Wawancara dengan Tokoh Agama Pada tanggal 1, 5, 7 dan 13 Desember 2012