FASILITASI PERKAWINAN BEDA AGAMA OLEH LEMBAGA SOSIAL

advertisement
FASILITASI PERKAWINAN BEDA AGAMA OLEH
LEMBAGA SOSIAL
(Study Kasus Terhadap Percik Salatiga )
SKRIPSI
Disusun untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Syari’ah (S. Sy)
Oleh:
AZZA FAIQ HAMAM
NIM 21108023
JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSYIYYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
SALATIGA
2013
KEMENTERIAN AGAMA RI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
SALATIGA
Jl. Tentara Pelajar 02 Telp (0298) 323706 Fax 323433 Kode Pos
50721 Salatiga
http//www.stainsalatiga.ac.id e-mail: [email protected]
Ilyya Muhsin, S.HI, M.Si
Dosen STAIN Salatiga
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Lamp : 4 (empat) eksemplar
Hal
: Pengajuan Naskah Skripsi
Saudara Azza Faiq Hamam
Kepada Yth,
Ketua STAIN Salatiga
di Salatiga
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Setelah Kami meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya,
maka bersama ini Kami kirimkan naskah skripsi saudara:
Nama
: Azza Faiq Hamam
NIM
: 21108023
Jurusan
: Syari’ah
Program studi
: Ahwal Al-Syakhsiyyah
Judul
: Fasilitasi Perkawinan Beda Agama Oleh Lembaga
Sosial (Study Kasus Terhadap Percik Salatiga )
Dengan ini kami mohon skripsi saudara tersebut di atas supaya
segera dimunaqosyahkan. Demikian agar menjadi perhatian.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Salatiga, 19 Februari 2013
Pembimbing,
Ilyya Muhsin, S.HI, M.Si
NIP. 197909302003121001
SKRIPSI
FASILITASI PERKAWINAN BEDA AGAMA OLEH
LEMBAGA SOSIAL
(Studi Kasus Terhadap Percik Salatiga)
DISUSUN OLEH
AZZA FAIQ HAMAM
NIM: 21108023
Telah dipertahankan di depan Panitia Dewan Penguji Skripsi Jurusan Syari’ah,
Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
Salatiga, pada tanggal 6 Maret 2013 dan telah dinyatakan memenuhi syarat guna
memperoleh gelar sarjana S1 Syari’ah
Susunan Panitia Penguji
Ketua Penguji
: Drs. Miftahudin, M.Ag
Sekretaris Penguji
: Muna Erawati, M.Si
Penguji I
: Drs. Mubadirun, M.Ag
Penguji II
: Dra. Siti Zumrotun, M.Ag
Penguji III
: Ilyya Muhsin, S.H.I, M.Si,
Salatiga, 6 Maret 2013
Ketua STAIN Salatiga
Dr. Imam Sutomo, M.Ag
NIP.1958082719830310002
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama
: Azza Faiq Hamam
NIM
: 21108023
Jurusan
: Syari’ah
Program Studi : Ahwal Al-Syakhsiyyah
Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya
saya sendiri bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan
orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode
etik ilmiah.
Salatiga, Februari 2013
Yang Menyatakan,
Azza Faiq Hamam
21108023
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
" Sebaik-baik manusia di antaramu adalah yang paling
banyak manfaatnya bagi orang lain "
( HR. Bukhari ).
Persembahan
Untuk Bapak dan ibuku
Untuk Saudara-Saudaraku
Untuk temen-teman terbaikku,
ABSTRAK
Faiq Hamam, Azza. 2013. Fasilitasi Perkawinan Beda Agama Oleh Lembaga
Sosial (Studi Kasus Terhadap Percik Salatiga). Skripsi. Jurusan Syari’ah.
Program Studi Ahwal Al-Syakhsyiyyah. Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri (STAIN) Salatiga.
Kata kunci: Fasilitasi, Perkawinan, beda agama, dan Percik.
Perdebatan hukum tentang perkawinan beda agama sudah berlangsung
sejak lama sehingga menimbulkan pemikiran yang baru tentang keabsahan suatu
perkawinan. Melalui Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa keabsahan suatu perkawinan tergantung pada
agama. Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 40 dan 41 telah melarang adanya
perkawinan beda Agama namun jika perkawinan tersebut tetap dilakukan maka
perkawinan itu akan menjadi rusak / batal (fasad) sesuai dengan pasal 75.
Adanya peraturan yang tegas tentang perkawinan beda agama ternyata
belum mampu membendung pelaku-pelaku perkawinan beda agama. Persoalanpersoalan tersebut membuat peneliti tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang
perkawinan dan ternyata ada sebuah lembaga sosial yang bisa memfasilitasi
adanya perkawinan beda agama, lembaga tersebut bernama Percik (Persemaian
Cinta Kemanusiaan). Pertanyaan yang ingin dijawab adalah (1) Mengapa
Lembaga Percik memfasilitasi perkawinan beda agama ? (2) Bagaimana proses
perkawinan beda agama yang difasilitasi oleh Lembaga Percik Salatiga? (3)
Bagaimana pandangan tokoh agama terhadap perkawinan beda agama?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka penelitian yang digunakan
adalah penelitian lapangan (field research). Peneltian ini menggunakan
pendekatan deskriptif kualitatif dengan teknik melalui observasi, wawancara, dan
dokumentasi. Metode analisis data menggunakan teknik analisis deskriptif yaitu
data yang terkumpul diuraikan secara logis dan sistematis selanjutnya ditarik
kesimpulan.
Hasil penelitian ini adalah Fasilitasi yang dilakukan oleh Percik terhadap
pasangan beda agama diasumsikan sebagai pintu darurat yang berusaha
memberikan tempat / ruang (mempermudah) untuk melakukan perkawinan beda
agama. Fasilitasi yang dilakukan Percik yaitu dengan cara menghubungkan dan
menjadi mediator dengan para tokoh agama, lembaga dan instansi pemerintah
terkait, yang diperlukan untuk memperoleh pendampingan dalam pelaksanaan
perkawinan beda agama. Pandangan Tokoh Agama terhadap perkawinan beda
agama pun berbeda, ada yang melihat dalam perkawinan beda agama hal itu
boleh saja karena untuk menghormati has asasi manusia namun ada juga tokoh
agama yang berpendapat lain bahwa perkawinan beda agama itu tidak ideal
karena dalam perkawinan beda agama kebanyakan memiliki banyak persoalan
dalam perjalanan hidupnya.
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.................................................
1
B. Fokus Penelitian...........................................................
5
C. Tujuan Penelitian..........................................................
5
D. Kegunaan Penelitian......................................................
5
E. Penegasan Istilah...........................................................
7
F. Telaah Pustaka..............................................................
8
G. Metode Penelitian..........................................................
11
H. Sistematika Penulisan.....................................................
15
BAB II PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM BERBAGAI
PERSEPEKTIF
A. Perkawinan
1. Pengertian
a. Perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan
Nomor 1 tahun 1974...........................................
17
b. Perkawinan menurut KHI.....................................
18
c. Perkawinan menurut Fikih....................................
18
2. Rukun dan Syarat Perkawinan
a. Rukun dan Syarat Perkawinan Menurut UU
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan...........
19
b. Rukun dan Syarat Perkawinan Menurut KHI........
22
c. Rukun dan Syarat Perkawinan Menurut Fikih.......
24
3. Tujuan dan Hikmah Perkawinan
a. Tujuan Perkawinan..............................................
26
b. Hikmah Pernikahan..............................................
27
B. Nikah Beda Agama Menurut UUP...................................
28
C. Nikah Beda Agama Menurut KHI....................................
29
D. Nikah Beda Agama Menurut Fikih...................................
29
1. Perkawinan Orang Islam Dengan Bukan Islam
a. Kaum musrikin dengan ahli kitab.........................
29
b. Non-Muslim Memeluk Islam..............................
34
c. Wanita islam dengan laki-laki bukan islam............ 34
E. Nikah Beda Agama Dalam Pandangan HAM........................
34
BAB III PROFIL PERCIK DAN PELAKU PERKAWINAN BEDA
AGAMA
A. Alasan Percik Memfasilitasi Perkawinan
Beda Agama..................................................................
38
1. Gambaran Umum Lembaga Percik Salatiga.............
38
a. Sejarah dan Latarbelakang Berdirinya Lembaga
Percik..................................................................
38
b. Visi dan Misi......................................................
39
c. Struktur Kepengurusan........................................ 41
d. Profil Kegiatan Lembaga Percik..........................
43
2. Kegiatan Penelitian..................................................
43
3. Seminar, Diskusi dan Loka Karya (Workshop).......
48
4. Kegiatan Advokasi...................................................
49
5. Pengembangan Unit Penunjang................................. 50
6. Pengembangan Relasi dan Kerjasama....................... 51
7. Pengembangan Kampoeng Percik............................. 51
8. Sejarah Percik Memfasilitasi Perkawinan Beda
Agama.......................................................................
52
B. Proses Perkawinan Beda Agama Oleh Percik..................... 54
1. Profil Pelaku Pasangan Perkawinan Beda Agama.......... 54
a. Pasangan DH (Kristen) – AD (Islam)......................... 54
b. Pasangan AR (Kristen) – RW (Katolik)...................... 59
c. Pasangan LM (Kristen) – AL (Islam).......................... 63
d. Pasangan SW (Kristen) – DJ (Islam)........................... 69
e. Pasangan Gama (Katolik) – Chinda (Islam)................ 71
2. Proses Perkawinan Beda Agama Oleh Percik................. 79
a. Proses Perkawinan di Kantor Catatan Sipil................ 79
b. Prosedur Perkawinan Yang di Fasilitasi Percik.......... 81
C. Pandangan Tokoh Agama Terhadap Pekawinan Beda
Agama..............................................................................
87
BAB IV FASILITASI PERKAWINAN BEDA AGAMA OLEH PERCIK
A. Alasan Percik Memfasilitasi Perkawinan Beda Agama.... 99
1. Perspektif UUP...........................................................
99
2. Perspektif KHI...........................................................
100
3. Perspektif Agama.......................................................
100
4. Persepektif HAM.......................................................
102
B. Proses Fasilitasi Perkawinan beda Agama Oleh Percik... 103
C. Pandangan Tokoh Agama Terhadap Perkawinan
Beda Agama.........................................................................
110
1. Setuju..........................................................................
110
2. Tidak Setuju................................................................
115
3. Netral...........................................................................
118
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan........................................................................
121
B. Saran..................................................................................
124
KATA PENGANTAR
ÉO ŠÏm §9$#Ç̀ »uH÷q §9$#«! $#ÉO ó¡ Î0
Puji syukur Penulis haturkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
rahmat-Nya dan salam semoga tetap terlimpah kepada Nabi Muhammad SAW
berikut keluarganya, para sahabat dan seluruh umat pengikutnya, Penulis akhirnya
dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Fasilitasi Perkawinan Beda Agama
Oleh Lembaga Sosial (Studi Kasus Terhadap Percik Salatiga)”. Penulisan
skripsi ini merupakan tugas akhir sebagai syarat untuk menyelesaikan Program
Studi Ahwal Al Syahsyiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
Salatiga. Skripsi ini disadari oleh Penulis masih jauh dari harapan dan masih
banyak kekurangannya. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dari pembaca. Dalam kesempatan ini, Penulis ingin mengucapkan terima kasih
kepada pihak-pihak yang telah membantu Penulis dalam penulisan skripsi ini,
antara lain :
1.
Dr. Imam Sutomo M.Ag Selaku Ketua STAIN Salatiga
2.
Drs. Mubasirun, M.Ag selaku Ketua Jurusan Syariah
3.
Ilyya Muhsin, S.H.I, M.Si, selaku Ketua Program Studi Ahwal Al Syahsyiyah
dan sekaligus dosen pembimbing skripsi yang telah menyempatkan waktu
dan kesempatanya demi terselesainya skripsi ini.
4.
Dr. Prajarta Dirdjosanjoto, Selaku Direktur Lembaga Percik Salatiga.
5.
Seluruh Staff lembaga Percik Salatiga yang telah meluangkan waktunya demi
terselesainya skripsi ini.
6.
Kepala dan Pegawai Kantor Catatan Sipil (KCS) Salatiga yang telah
membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
7.
Seluruh anggota Tim penguji skripsi yang telah meluangkan waktunya untuk
menilai kelayakan dan menguji skripsi dalam rangka menyelesaikan studi
Ahwal Al Syahsyiyah Di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
Salatiga.
8.
Seluruh staf Program studi yang telah membantu Penulis dalam
menyelesaikan administrasi-administrasi selama perkuliahan.
9.
Bapak Ibuku yang selalu memberi dukungan dan doa yang tiada henti.
10. Semua Dosen-dosen Syari’ah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
Salatiga.
11. Semua teman-teman angkatan 2008 yang tidak dapat aku sebutkan satu
persatu.
12. Semua teman, sahabat dan kerabat yang tidak dapat aku sebutkan satu persatu
yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
Semoga skripsi ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi para
Pembaca.
Salatiga, Februari 2013
Penulis
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Pelaku Perkawinan Beda Agama ................................................... ....12
Tabel 1.2 Tokoh Agama ................................................................................ ....13
Table 1.3 Pengurus Percik ............................................................................. ....13
Tabel 4.1 Proses Perkawinan Rumah Tangga Beda Agama .......................... ....91
Tabel 4.2 Latar Belakang Keluarga Subjek Penelitian ................................... ....95
Tabel 4.3 Pandangan Tokoh Agama Terhadap Perkawinan Beda Agama....... 110
DAFTAR GAMBAR
Gambar 4.1 Bagan Prosedur Pencatatan Beda Agama diKCS........................ ....87
Gambar 4.2 Bagan Perkawinan Beda Agama Yang di Fasilitasi Percik...............93
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup
Lampiran 2 Surat Tugas Pembimbing
Lampiran 3 Lembar Konsultasi
Lampiran 4 Berkas-berkas Persyaratan Administrasi Perkawinan Beda Agama
Lampiran 5 Dokumentasi Pelaku Perkawinan Beda Agama.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia adalah negara yang mempunyai masyarakat yang
sangat majemuk, baik dari segi budaya, ras, etnik maupun agama. Sehingga
karena kemajemukannya sering terjadi lalu lintas antar suku, ras, dan agama
yang tidak bisa dihindari. Salah satu fenomena yang tidak dapat dihindari dari
lalu lintas kemajemukan adalah perkawinan beda agama, karena perkawinan
beda agama bukanlah sesuatu hal yang baru dalam masyarakat Indonesia.
Dahulu orang Hindhu menikah dengan orang Islam, orang Budha dengan orang
Kristen. Hal ini merupakan hal yang wajar dan manusiawi karena cinta dan
kasih antar manusia bisa melewati etnis, budaya dan agama (Tim Percik, 2009:
1).
Indonesia memiliki dasar hukum perkawinan yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP). Menurut
UUP pasal 1 ayat 1 menyatakan bahwa perkawinan adalah “ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
ketuhanan Yang Maha Esa”. UUP memandang sah apabila perkawinan
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya sesuai dengan pasal 2
UUP.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa perkawinan dianggap
sah jika sesuai dengan agamanya. Indonesia mengakui 6 agama yang
dipercayai. Agama tersebut adalah agama Islam, Kristen Protestan, Kristen
Katolik, Hindu, Budha dan Konghuchu. Menurut KHI BAB II Pasal 2,
perkawinan adalah akad yang sangat kuat atau mitsaaqon ghalidzan untuk
mentaati perintah Allah dan melakukanya merupakan ibadah.
Perkawinan menurut agama Kristen dan Katholik adalah suatu ikatan
cinta kasih tetap dan taat yang menggambarkan, melahirkan dan mewujudkan
hubungan cinta Kristus dengan Gerejanya. Sebagaimana yang diatur dalam
kitab kejadian 1-26 sampai 30, 2.7 sampai 25 juga Perjanjian Baru episus V: 21
sampai 33 (Sastroatmodjo dan Aulawi, 1975:27). Perkawinan menurut agama
hindu adalah hubungan yang sakral dan hanya yang sah bila sudah dilakukan
menurut agama tersebut (Sastroatmodjo dan Aulawi, 1975:25). Perkawinan
menurut agama budha adalah ikatan yang fleksibel karena selalu mengadaptasi
adat-adat yang hidup dalam masyarakat (Sastroatmodjo dan Aulawi, 1975:26).
Dari pengertian perkawinan di atas mengandung beberapa prinsip
diantaranya:
1. Agama Kristen dan Khatolik menghendaki agar penganutnya kawin dengan
orang yang seagama. Karena tujuan utama perkawinan adalah untuk
mencapai kebahagiaan sehingga kebahagiaan itu akan sulit tercapai kalau
suami istri tidak seiman (Nurkhalis dan Baso, 2010:34).
2. Agama Islam menganut prinsip perkawinan harus dilakukan dengan orang
yang seagama karena secara teoritis perbedaan agama akan berpotensi
menimbulkan konflik (Pamungkas, 2008:44). Dalam Al Qur’an surat Al
Baqoroh:221 ditegaskan,
öqs9ur 7px.ÎŽô³ •B ` ÏiB ׎öyz îpoYÏB÷s•B ×ptBV{ ur 4£̀ ÏB÷sム4Ó®Lym ÏM »x.ÎŽô³ ßJ ø9$# (#qßs Å3 Zs? Ÿw ur
` ÏiB ׎öyz í̀ ÏB÷s•B Ó‰ ö7yès9ur 4(#qãZÏB÷sム4Ó®Lym tûüÏ.ÎŽô³ ßJ ø9$# (#qßs Å3 Zè? Ÿw ur 3öN ä3 ÷Gt6yf ôã r&
…. ÏpŸyf ø9$#’n<Î)(#þqã ô‰ tƒ ª! $#ur (Í‘$Z̈9$#’n<Î)tb qãã ô‰ tƒ y7 Í́¯»s9'ré&3öN ä3 t6yf ôã r&öqs9ur 78 ÎŽô³ •B
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik,sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih
baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu dan
janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanitawanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak
yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik
hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke
surga…. (Depag, 1976:53).
KHI (Kompilasi Hukum Islam) yang notabene merupakan hukum positif
bagi umat Islam di Indonesia melarang adanya praktik perkawinan beda
agama. Pasal 40 KHI menyebutkan dilarang melangsungkan perkawinan
antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu: (c)
seorang wanita yang tidak beragama Islam. Seorang wanita Islam dilarang
melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam
(pasal 44 KHI). Begitu juga dalam UU No. 1 Tahun 1974 tidak megatur
adanya perkawinan beda agama, namun secara tersirat melarang adanya
praktek perkawinan beda agama yang tertuang dalam pasal 2 ayat 1
“perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu”.
Dari prinsip di atas seharusnya seorang yang beragama Islam harus
menikah dengan orang yang beragama Islam pula. Sedangkan orang yang
beragama Kristen ataupun Katolik dalam kepercayaannya juga tidak
diperbolehkan menikah dengan orang yang berbeda agama.
Adanya peraturan yang melarang perkawinan beda agama ternyata
belum mampu mencegah perkawinan beda agama dalam masyarakat. Aturan
dalam KHI dan UU Perkawinan di Indonesia seharusnya mampu menjadi
pedoman yang bisa ditegakkan. Dalam penelitian ini peneliti menemukan
sebuah lembaga yang yang bisa memfasilitasi perkawinan beda agama.
Lembaga tersebut adalah Percik (Persemaian Cinta Kemanusiaan). Percik,
merupakan lembaga independen yang diperuntukan bagi penelitian sosial,
demokrasi dan keadilan sosial. Lembaga ini didirikan pada awal tanggal 1
Februari 1996 oleh sekelompok ilmuwan di Salatiga yang terdiri dari sejumlah
peneliti sosial, pengajar universitas, serta aktivis Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang bantuan hukum serta
pengorganisasian masyarakat.
Kesenjangan yang muncul antara peraturan hukum dengan praktek
yang terjadi inilah yang menarik minat peneliti untuk meneliti bagaimana
perkawianan beda agama di Lembaga Percik Salatiga. Sehingga Penulis
memberi judul penelitian skripsi : FASILITASI
PERKAWINAN BEDA
AGAMA OLEH LEMBAGA SOSIAL (Studi Kasus terhadap Percik Salatiga).
B. Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas, dengan demikian fokus penelitian
dalam skripsi ini adalah:
1. Mengapa Lembaga Percik memfasilitasi perkawinan beda agama?
2. Bagaimana proses perkawinan beda agama yang di fasilitasi oleh Lembaga
Percik Salatiga?
3. Bagaimana pandangan tokoh agama terhadap perkawinan beda agama?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan fokus penelitian yang menjadi target skripsi ini, maka
tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui alasan Lembaga Percik memfasilitasi perkawinan beda
agama.
2. Mengetahui proses perkawinan beda agama di Lembaga Percik Salatiga.
3. Mengetahui pandangan tokoh agama terhadap perkawinan beda agama.
D. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan
dapat memberikan manfaat baik secara
teoritis maupun secara praktis di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Secara Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang perkawinan
beda agama dan khazanah keislaman pada umumnya dan khususnya jurusan
Syariah program studi ahwal-alsyakhsiyyah.
2. Secara Praktis
a. Bagi Masyarakat
1) Bagi pelaku nikah agama
Terhadap masyarakat khususnya bagi pelaku nikah beda
agama agar lebih mempertimbangkan akibat yang akan diterima jika
akan melakukan perkawinan beda agama.
2) Bagi tokoh agama
Agar para tokoh agama lebih gencar lagi menyiarkan
agamanya
khususnya
tentang
masalah
perkawinan
untuk
meminimalisir angka perceraian akibat dari perkawinan beda agama.
b. Bagi Program Studi Al Ahwal Al Syakhsiyyah
Dengan adanya penelitian terhadap lembaga yang memfasilitasi
perkawinan beda agama diharapkan dapat menambah wawasan bagi
Program Studi Ahwal Al Syakhsiyyah sehingga dari Program Studi dapat
menjadikannya sebagai bahan diskusi dan memantau perkembangan
produk hukum mengenai perkawinan beda agama tersebut.
c. Bagi Percik
Hasil dari penelitian tentang perkawinan beda agama ini
diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi Percik sebagai
lembaga yang memfasilitasi perkawinan beda agama untuk mengambil
kebijakan-kebijakan yang tepat ketika menghadapi calon mempelai yang
akan melakukan perkawinan beda agama.
E. Penegasan Istilah
Sebelum memulai menyusun skripsi ini perlu penulis sampaikan
bahwa judul skripsi adalah FASILITASI PERKAWINAN BEDA AGAMA
OLEH LEMBAGA SOSIAL (Studi Kasus di Lembaga Percik Salatiga). Untuk
menghindari kesalahfahaman pengertian, maka penulis kemukakan pengertian
serta sekaligus penegasan judul skripsi ini sebagai berikut:
Fasilitasi adalah sarana atau segala sesuatu untuk memudahkan atau
melancarkan pelaksanaan (KBBI, 2010:t.h).
Perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 1 adalah ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan menurut KHI adalah
pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk
mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah, bertujuan
untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah (KHI Pasal
2). Perkawinan yang dimaksud peneliti adalah akad antara pria dan wanita
untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang sah menurut agama baik
dicatatkan di KUA atau Kantor Catatan Sipil.
Beda adalah sesuatu yg menjadikan berlainan (tidak sama) (KBBI,
2010:t.h). Agama adalah ajaran, sistem yg mengatur tata keimanan
(kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata
kaidah yg berhubungan dengan pergaulan manusia (KBBI, 2010:t.h).
Perkawinan Beda Agama yang dimaksud dalam penelitian tersebut
adalah Perkawinan yang dilakukan oleh pemeluk Agama yang berbeda pada
saat aqad perkawinan.
Lembaga adalah badan (organisasi) yang bermaksud melakukan suatu
penyelidikan keilmuan atau melakukan suatu usaha (Soeryadarminta,
2006:685).
Sosial adalah segala sesuatu mengenai masyarakat (Soeryadarminta,
2006:1141).
Jadi yang dimaksud Lembaga sosial adalah suatu badan (organisasi)
yang bermaksud melakukan suatu penyelidikan keilmuan, berkaitan dengan
masyarakat.
Dengan demikian Fasilitasi perkawinan beda agama oleh lembaga
sosial adalah suatu usaha yang dilakukan oleh badan (organisasi) berkaitan
dengan perkawinan yang dilakukan antara pria dan wanita dengan ajaran atau
kaidah-kaidah
yang
berbeda
dalam
pelaksaan
perkawinan
sebelum
dilangsungkanya perkawinan hingga sesudah perkawinan dilaksanakan.
F. Telaah Pustaka
Penelitian tentang perkawinan beda agama sudah banyak dilakukan
oleh peneliti sebelumnya. Diantara penelitian-penelitian tersebut adalah
penelitian yang dilakukan oleh Maftuhul Fuadi yang berjudul Nikah Beda
Agama Perspektif Ulil Abshar Abdalla. Penelitian tersebut bertujuan untuk
mengetahui bagaimana pandangan Ulil Abshar Abdalla tentang nikah beda
agama. Menurut Fuadi, dalam beragama, Ulil Abshar Abdalla tidak lagi
memandang bentuk, tetapi isi. Keyakinan dan praktek keislaman yang dianut
oleh orang-orang yang menamakan diri sebagai umat Islam hanyalah “baju”
dan formal, menurutnya yang pokok adalah nilai yang terkandung di
dalamnya. Setiap agama menunjuk pada nilai keadilan, oleh karena itu setiap
agama sama. Karena setiap agama sama maka dihalalkan nikah beda agama
(Fuadi, 2006).
Skripsi Auwenda Fauzi yang berjudul Perkawinan Campuran Dalam
Perspektif Hukum Islam (Studi Analisis Terhadap Pendapat Imam Syafi’i
Tentang Perkawinan Campuran) menjelaskan dua hal pokok pemikiran Imam
Syafi’i tentang perkawinan campuran. Pertama, perkawinan antara perempuan
muslim dan laki-laki bukan muslim adalah haram hukumnya. Kedua, laki-laki
muslim diharamkan mengawini perempuan bukan muslim. Pendapat ini lebih
didasarkan pada pertimbangan menolak mafsadat demi menjaga keutuhan
umat dari akibat buruk yang ditimbulkan oleh perkawinan campuran (Fauzi,
2004).
Adapun penelitian selanjutnya adalah Skripsi Sri Nikmah yang
berjudul Perkawinan Lintas Agama dalam Tinjauan Hukum Islam dan
Perundang-undangan di Indonesia, Skripsi Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri (STAIN) Salatiga, 2011. Penelitian tersebut menjelaskan mengenai
kehidupan masyarakat pelaku perkawinan lintas agama di Kelurahan Bugel
Salatiga. Tujuan penelitian tersebut diantaranya untuk mengetahui praktek
perkawinan lintas agama dilakukan di Kelurahan Bugel, mengetahui faktor-
faktor perkawinan lintas agama dapat terjadi di Kelurahan Bugel, mengetahui
cara pasangan suami istri pelaku perkawinan lintas agama mempertahankan
perkawinan beda agama.
Dalam penelitian tersebut ada dua pola perkawinan lintas agama di
Kelurahan Bugel, yaitu perkawinan yang dilakukan di KUA dan di KCS.
Faktor yang mempengaruhi terjadinya perkawinan lintas agama di Kelurahan
Bugel meliputi, pandangan tertentu tentang agama dan keberagamaan,
perempuan tidak memiliki kemandirian hidup, tradisi perkawinan lintas
agama, kurangnya pengetahuan agama dan kristenisasi pihak luar ( Nikmah,
2011).
Peneliti-peneliti terdahulu tersebut, meskipun memiliki tema yang
sama yaitu tentang perkawinan beda agama, namun memiliki perbedaan
dengan fokus penelitian ini. Perbedaan-perbedaan penelitian ini dengan
peneliti terdahulu diantaranya adalah sebagai berikut : pertama, Skripsi yang
disusun oleh Maftuhul Fuadi yang berjudul Nikah Beda Agama persepektif
Ulil Absar Abdalla. menitik beratkan pada literatur tentang pemikiran tokoh
sedangkan penulis yang dibahas disini adalah study lapangan.
Kedua, Skripsi Auwenda Fauzi yang berjudul Perkawinan Campuran
Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Analisis Terhadap Pendapat Imam
Syafi’i Tentang Perkawinan Campuran). Menitik beratkan pada pemikiran
tokoh sedangkan penulis bahas disini adalah study lapangan.
Ketiga Skripsi Sri Nikmah yang berjudul Perkawinan Lintas Agama
dalam Tinjauan Hukum Islam dan Perundang-undangan di Indonesia.
Memiliki kesamaan dengan penelitian, yaitu sama-sama penelitian lapangan.
Sedangkan perbedaanya terdapat pada pelakunya. Jika Skripsi Sri Nikmah
pelaku perkawinan beda Agama hakikatnya tidak menikah beda agama
karena pada saat akad perkawinan pasangan pindah keagama calon
pasangannya setelah prosesi akad pasangan pindah ke Agama semula.
Adapun dalam penelitian ini, pelaku perkawinan beda agama dalam
melangsungkan akad tetap pada agamanya masing-masing.
G. Metodologi Penelitian
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif, karena
penelitian ini bertujuan untuk mengungkap semaksimal mungkin data dari
kasus yang akan diteliti, menggunakan pendekatan normatif dan sosiologis.
Pendekatan normatif digunakan untuk mengetahui status hukum perkawinan
beda agama dan pendekatan sosiologis digunakan untuk mengetahui
bagaimana perkawinan beda agama yang dipraktekkan di Lembaga Percik
Salatiga dan bagaimana pandangan tokoh agama maupun masyarakat
terhadap perkawinan beda agama.
2. Kehadiran Peneliti
Dalam penelitian ini kehadiran peneliti merupakan hal yang utama
karena peneliti secara langsung mengumpulkan data di lapangan. Status
peneliti dalam mengumpulkan data diketahui oleh informan secara jelas
guna menghindari kesalahpahaman antara peneliti dengan informan.
3. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Lembaga Percik Salatiga yang beralamat
di Jl. Patimura Km. 1 Kampung Percik, Turusan-Salatiga.
4. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Sumber data primer; yaitu hasil temuan data di lapangan melalui
wawancara dengan pengurus Lembaga percik, tokoh Agama, pelaku
nikah beda agama.
1). Pelaku Perkawinan Beda Agama
Tabel 1.1 Pelaku Perkawinan Beda Agama
No
1
2
3
Suam
Kawin
Agama
Istri
Agama
AD
Islam
DH
Kristen
2005
AR
Kristen
RW
Katolik
2005
AL
Islam
LM
Kristen
2005
i
Tempat Perkawinan
Tahun
4
Percik dan
Gereja
Kristen
Percik dan
GKJ
DJ
Islam
SW
Kristen
2007
GKJ
Sidomukti
Sidomukti
GKJ
Sidomukti
Rumah
Istri
dan
5
Gereja
Gama
Katolik
Cinda
Islam
2012
Kristus Raja
dan
Rumah
Suami
2) Tokoh Agama
Tabel 1.2 Tokoh Agama
No
Nama
Agama
Keterangan
Islam
Kyai
1
K.H. Anshori Jawadi
2
Pdt. Eben Heizer L
Kristen
Pendeta
3
Pdt. Sari F
Kristen
Pendeta
4
Prof. Zuhri
Islam
Pakar hukum Islam
5
K.H. Atiq Afifudin
Islam
Tokoh NU
6
K. Mustain
Islam
Ta’mir masjid
3) Pengurus Percik
Tabel 1.3 Pengurus Percik
No
Nama
Keterangan
1
Agung Waskito A
Staff Advoksi
2
Muhammad Akbar
Staff Peneliti
b. Sumber data sekunder; yaitu data yang diperoleh dari literatur bukubuku, perundang-undangan tentang perkawinan dan kepustakaan ilmiah
lain yang menjadi referensi maupun sumber pelengkap penelitian.
5. Prosedur Pengumpulan Data
a. Wawancara
Pengumpulan data dengan cara mengadakan wawancara langsung
dengan pihak-pihak yang berkaitan. Dalam hal ini adalah para pengurus
maupun anggota Lembaga Percik Salatiga, pendeta, tokoh Agama Islam,
pelaku nikah beda agama, dan pegawai Kantor Catatan Sipil.
b. Observasi
Metode pengumpulan data dengan cara pengamatan langsung dan
pencatatan secara sistematis atas pelaksanaan perkawinan beda agama di
Lembaga Percik Salatiga, Kantor Catatan Sipil dan GKJ Sidomukti.
c. Dokumentasi
Adalah cara pengumpulan data melalui peninggalan tertulis,
seperti arsip-arsip dan termasuk juga buku-buku tentang pendapat, teori,
dalil atau hukum-hukum dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah
penelitian (Margono, 2004:23). Adapun dokumen-dokumen yang
diperoleh adalah Kartu Keluarga (KK), Kartu Tanda Penduduk (KTP),
foto copy kutipan Akte Perkawinan dan foto copy berkas N1-N4 dari
kelurahan.
d. Analisis Data
Data yang diperoleh, baik dari studi lapangan maupun studi
pustaka pada dasarnya merupakan data yang dianalisis secara deskriptif
kualitatif, yaitu data yang terkumpul diuraikan secara logis dan sistematis
dan selanjutnya ditarik kesimpulan.
e. Pengecekan keabsahan Data
Data-data yang diperoleh dicek keabsahannya dengan metode
triangulasi, yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan
sesuatu yang lain dalam membandingkan hasil wawancara terhadap
objek penelitian (Moloeng, 2004:330). Pengecekan keabsahan data
dilakukan karena dikhawatirkan masih adanya kesalahan atau kekeliruan
yang terlewati oleh penulis.
Pengecekan dilakukan denga cara membandingkan hasil
pengamatan dengan data hasil wawancara, membandingkan apa yang
dikatakan informan satu dengan informan lain, maupun membandingkan
hasil wawancara dengan dokumen yang berkaitan.
H. Sistematika Penulisan
Penulisan penelitian ini disajikan secara keseluruhan menjadi lima bab,
terdiri dari bab pertama yang berisi latar belakang masalah, fokus penelitian,
tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penegasan istilah, telaah pustaka dan
metode penelitian yang meliputi jenis penelitian, sumber data, prosedur
pengumpulan data, analisis data, dan sistematika Penulisan.
Bab dua berisi pernikahan beda agama dalam berbagai perspektif yaitu
perspektif UUP, KHI dan HAM
Bab tiga adalah profil percik dan pelaku pasangan perkawinan beda
agama. kedua sub bab ini, yang pertama mengenai gambaran umum Lembaga
Percik Salatiga, yang berisi tentang sejarah dan latar belakang Lembaga Percik,
visi misi, kepengurusan, tugas dan kewajiban, program dan kinerja Lembaga
percik. Sub yang ke dua tentang profil pelaku perkawinan `beda agama.
Bab empat adalah Fasilitasi perkawinan beda agama oleh percik yang
berisi tentang alasan percik memfasilitasi perkawinan beda agama, proses
fasilitasi perkawinan beda agama oleh percik, dan pandangan tokoh agama
terhadap fasilitasi perkawinan beda agama.
Bab lima yaitu penutup, berisi kesimpulan dan saran-saran.
BAB II
PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM BEBAGAI PERSEPEKTIF
A. Perkawinan
1. Pengertian
a. Perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun
1974
Pengertian perkawinan dalam Undang-undang nomor 1 tahun
1974 tentang Perkawinan pasal 1 ayat 1 menyatakan bahwa perkawinan
adalah “ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri”.
Ada beberapa hal dari rumusan tersebut di atas yang perlu
diperhatikan yaitu:
1) Ikatan lahir diartikan keterikatan antara kedua belah pihak secara
formal baik dalam hubungan antara satu sama lain maupun mereka
dengan masyarakat luas. Ikatan batin diartikan adanya satu tujuan
untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal. Untuk itu
dalam sebuah perkawinan tidak bisa dipisahkan antara ikatan lahir
dan ikatan batin, karena memang keduanya merupakan satu
kesatuan yang utuh.
2) Seorang pria dengan seorang wanita mengandung arti bahwa
perkawinan itu hanyalah antara jenis kelamin yang berbeda. Hal ini
menolak adanya perkawinan sesama jenis yang telah dilegalkan
oleh beberapa orang Barat.
3) Sebagai suami istri mengandung arti bahwa perkawinan itu adalah
bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam suatu rumah
tangga, bukan hanya dalam istilah “hidup bersama” (Syarifuddin,
2006:40).
b. Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam
Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) BAB II
pasal 2 adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqon
ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakanya
merupakan ibadah.
c. Perkawinan menurut fikih
Perkawinan menurut fikih adalah pernikahan. Secara bahasa
pernikahan ialah al-jam’u dan al-dhamu yang artinya kumpul. Makna
nikah (Zawaj) bisa diartikan dengan aqdu al-tazwij yang artinya akad
nikah (Tihami, 2009:7). Makna nikah adalah akad atau ikatan, karena
dalam suatu proses pernikahan terdapat ijab dan kabul. Selain itu nikah
juga bisa diartikan sebagai bersetubuh (Assegaf, 2005:131).
Adapun menurut syara’ nikah adalah akad serah terima antara
laki-laki dan perempuan dengan tujuan untuk saling memuaskan satu
sama lainnya dan untuk membentuk sebuah bahtera rumah tangga yang
sakinah serta masyarakat yang sejahtera. Para ahli fikih berkata,
zawwaja atau nikah adalah akad yang secara keseluruhan di dalamnya
mengandung kata, inkah atau tazwij (Tihami, 2009:8).
2. Rukun dan Syarat Sah Perkawinan
a. Rukun dan Syarat Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan
Rukun yaitu sesuatu yang harus ada yang menentukan sah dan
tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam
rangkaian pekerjaan itu. Syarat yaitu sesuatu yang harus ada yang
menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu
itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu. Sah adalah sesuatu
pekerjaan (ibadah) yang memenuhi rukun dan syarat (Ghazaly,
2003:45).
Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 juga mengatur
syarat-syarat sahnya suatu perkawinan yang meliputi syarat formil dan
materiil. Syarat
formil adalah syarat-syarat
yang
menyangkut
formalitas-formalitas atau tata cara yang harus dipenuhi sebelum dan
pada saat perkawinan dilangsungkan. Syarat materiil adalah syarat
mengenai diri pribadi calon mempelai.
Syarat formil terdapat dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun
1975 tantang Pelaksanaan Undang-Undang No.1 Tahun 1974, yang
meliputi:
1) Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan kepada
pegawai pencatat perkawinan (pasal 3 ayat 1).
2) Pengumuman oleh pegawai pencatat perkawinan (pasal 8).
3) Pelaksanaan
perkawinan
menurut
hukum
agamanya
dan
kepercayaannya masing-masing (pasal 10 ayat 2).
4) Pencatatan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan (pasal
11).
Syarat materiil yang berlaku umum tertuang dalam UU No.
1/1974, meliputi:
1) Harus ada persetujuan dari kedua mempelai (pasal 6 ayat 1).
2) Usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan wanita
sudah mencapai 16 tahun (pasal 7 ayat 1).
3) Tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain kecuali dalam hal
diijinkan oleh pasal 3 (2) dan pasal 4 (pasal 9).
4) Waktu tunggu bagi seorang wanita yang putus perkawinannya,
yaitu: 130 hari bila putus karena kematian, 3 kali suci atau minimal
90 hari bila putus karena perceraian dan ia dalam keadaan datang
bulan, 90 hari bila putus karena perceraian dan ia dalam keadaan
tidak datang bulan, sampai melahirkan bila putus dalam keadaan
hamil, tidak ada waktu tunggu jika belum pernah berhubungan
kelamin, penghitungan waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya
putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap bagi
suatu perceraian, dan sejak hari kematian bila perkawinan putus
karena kematian (pasal 11 UU No. 1/1974 dan pasal 39 PP No.
9/1975).
Syarat materiil yang berlaku khusus dalam UU No. 1/1974,
meliputi:
a.
Tidak melanggar larangan perkawinan sebagaimana diatur dalam
pasal 8,9 dan 10 UU No. 1/1974, yaitu larangan perkawinan antara
dua orang yang:
1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau
pun ke atas;
2) Berhubungan darah dalam garis keturunan ke samping;
3) Berhubungan semenda;
4) Berhubungan susuan;
5) Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau
kemenakan istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari
seorang;
6) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain
yang berlaku dilarang kawin;
7) Masih terikat tali perkawinan dengan orang lain kecuali dalam
hal tersebut pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 (pasal 9).
8) Telah bercerai untuk kedua kalinya sepanjang hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya tidak menentukan lain
(pasal 10).
9) Ijin dari kedua orang tua bagi mereka yang belum mencapai
usia 21 tahun.
b. Rukun dan syarat sah Perkawinan menurut Kompilasi hukum
Islam
Rukun dan syarat perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam
adalah harus ada calon suami, calon istri, wali, dua orang saksi serta
ijab dan kabul (pasal 14).
Syarat bagi calon mempelai meliputi:
1) Usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan wanita
sudah mencapai 16 tahun sesuai ketetapan dalam pasal 7 UU No.
1/1974 (pasal 15 ayat 1).
2) Harus ada persetujuan dari kedua mempelai (pasal 16 ayat 1).
3) Tidak terdapat halangan perkawinan sebagaimana diatur dalam
BAB VI (pasal 18). BAB VI tentang larangan kawin menyebutkan:
Pasal 39, dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang
pria dengan seorang wanita disebabkan karena:
a)
Pertalian nasab;
b) Pertalian kerabat semenda;
c)
Pertalian sesusuan.
Pasal 40, dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang
pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu:
a)
Karena wanita tersebut masih terikat satu perkawinan dengan
orang lain;
b) Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan
pria lain;
c)
Seorang wanita yang tidak beragama Islam.
Pasal 41, ayat 1 seorang pria dilarang memadu istrinya
dengan seorang wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab
atau sesusuan dengan istrinya.
Pasal 42, seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan
dengan seorang wanita apabila pria tersebut sedang mempunyai 4
(empat) orang istri yang keempat-empatnya masih terikat tali
perkawinan atau masih dalam iddah raj’i ataupun salah seorang di
antara mereka masih terikat tali perkawinan sedang yang lainnya
dalam masa iddah raj’i.
Pasal 43, ayat 1 dilarang melangsungkan perkawinan antara
seorang pria:
a)
Dengan seorang wanita bekas istrinya yang ditalak tiga kali.
b) Dengan seorang wanita bekas istrinya yang dili’an.
Pasal 44, seorang wanita Islam dilarang melangsungkan
perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.
4) Waktu tunggu bagi seorang wanita yang putus perkawinannya,
yaitu: 130 hari bila putus karena kematian, 3 kali suci atau minimal
90 hari bila putus karena perceraian dan ia dalam keadaan datang
bulan, 90 hari bila putus karena perceraian dan ia dalam keadaan
tidak datang bulan, sampai melahirkan bila putus dalam keadaan
hamil, tidak ada waktu tunggu jika belum pernah berhubungan
kelamin, penghitungan waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya
putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap bagi
suatu perceraian, dan sejak hari kematian bila perkawinan putus
karena kematian (pasal 153).
Syarat wali nikah tertuang dalam pasal 20, yaitu bertindak sebagai
wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam
yakni muslim, akil dan baligh.
Syarat saksi nikah tertuang dalam pasal 25, yaitu yang dapat
ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki
muslim, adil, akil, baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu
atau tuli. Pasal 26, saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung
akad nikah serta menandatangani akta nikah pada waktu dan di tempat
akad nikah dilangsungkan.
Syarat akad nikah terdapat dalam pasal 27, ijab dan kabul antara
wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang
waktu.
c. Rukun dan syarat sah Perkawinan menurut fikih
Rukun nikah menurut Slamet Abidin dan Aminudin (1999:68)
adalah sebagai berikut:
a.
Calon mempelai laki-laki
b.
Calon mempelai perempuan
c.
Wali dari mempelai perempuan yang akan mengakadkan
perkawinan
d.
Dua orang saksi
e.
Shighat ijab qabul
Sedangkan yang dimaksud dengan syarat perkawinan adalah
segala hal yang harus dipenuhi sebelum perkawinan dilangsungkan.
Untuk sahnya suatu perkawinan, selain memenuhi rukun juga harus
memenuhi syarat-syarat yang mendahuluinya.
Syarat suatu akad dalam perkawinan, meliputi:
a.
Akad harus dimulai dengan ijab yaitu penyerahan dari pihak
perempuan kepada pihak laki-laki kemudian dilanjutkan dengan
qabul yaitu penerimaan dari pihak laki-laki;
b.
Materi ijab dan qabul tidak boleh berbeda;
c.
Ijab dan qabul harus diucapkan secara bersambungan tanpa
terputus walaupun sesaat;
d.
Ijab dan qabul tidak boleh dengan menggunakan ungkapan yang
bersifat membatasi masa berlangsungnya perkawinan, karena
perkawinan itu ditujukan untuk selama hidup;
e. Ijab dan qabul mesti menggunakan lafaz yang jelas dan terus
terang.
Syarat bagi kedua calon mempelai, meliputi:
a.
Keduanya jelas identitasnya dan dapat dibedakan dengan yang
lainnya, baik nama, jenis kelamin, keberadaan, dan hal lainnya;
b.
Keduanya sama-sama beragama Islam;
c.
Antara keduanya tidak terlarang melangsungkan perkawinan;
d.
Kedua belah pihak telah setuju untuk kawin dan setuju pula dengan
pihak yang akan mengawininya;
e.
Keduanya telah mencapai usia yang layak untuk melangsungkan
perkawinan.
Syarat bagi wali nikah, meliputi:
a.
Dewasa dan berakal sehat;
b.
Laki-laki;
c.
Muslim;
d.
Merdeka;
e.
Tidak berada dalam pengampuan;
f.
Berpikiran baik;
g.
Adil;
h.
Tidak sedang melakukan ihram.
Syarat bagi saksi, meliputi:
a.
Berjumlah minimal dua orang;
b.
Kedua saksi beragama Islam;
c.
Kedua saksi adalah orang merdeka;
d.
Kedua saksi adalah laki-laki;
e.
Kedua saksi bersifat adil;
f.
Kedua saksi dapat mendengar dan melihat.
3. Tujuan dan Hikmah Perkawinan
a. Tujuan Perkawinan
1) Untuk mendapatkan anak dari keturunan yang sah dalam
melanjutkan generasi yang akan datang. Dengan adanya perkawinan
naluri seksual manusia dapat tersalurkan sesuai jalan yang diridhoi
Allah, selain itu dapat menjaga nasab yang oleh Islam sangat
diperhatikan (Sabiq, 1980:19).
2) Untuk mendapatkan keluarga bahagia yang penuh ketenangan hidup
dan rasa kasih sayang (Syarifuddin, 2006:47).
3) Untuk mendapatkan dan melangsungkan keturunan.
4) Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima
hak serta kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh
harta kekayaan yang halal.
5) Untuk membangun rumah tangga dan membangun masyarakat yang
tentram atas dasar rasa cinta dan kasih sayang.
6) Sebagai ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
b. Hikmah Perkawinan
Islam mengajarkan dan menganjurkan nikah karena akan
berpengaruh baik bagi pelakunya sendiri, masyarakat dan seluruh umat
manusia. Adapun hikmah perkawinan menurut Tihami dan Sohari
Sahrani (2009:19-20) adalah sebagai berikut:
1) Perkawinan adalah jalan alami yang paling baik dan sesuai untuk
menyalurkan dan memuaskan naluri seks dengan kawin badan jadi
segar, jiwa jadi tenang, mata terpelihara dari yang melihat dan
perasaan tenang menikmati barang yang berharga.
2) Perkawinan merupakan jalan terbaik untuk membuat anak-anak
menjadi mulia, memperbanyak keturunan, melestarikan hidup
manusia serta memelihara nasib yang oleh Islam sangat diperhatikan
sekali.
3) Naluri kebapakan dan keibuan akan tumbuh saling melengkapi dalam
suasana hidup dengan anak-anak dan akan tumbuh pula perasaanperasaan yang ramah, cinta dan sayang yang merupakan sifat-sifat
baik yang menyempurnakan kemanusiaan seseorang.
4) Menyadari tanggung jawab beristri dan menanggung anak-anak
menimbulkan sikap rajin dan sungguh-sungguh dalam memperkuat
bakat dan pembawaan seseorang dan akan cekatan dalam bekerja.
5) Pembagian tugas dimana yang satu mengurusi rumah tangga
sedangkan yang lain bekerja di luar, sesuai dengan batas-batas
tanggung jawab antara suami-istri dalam menangani tugas-tugasnya.
6) Perkawinan dapat membuahkan diantaranya tali kekeluargaan,
memperteguh
kelanggengan
rasa
cinta
antara
keluarga
dan
memperkuat hubungan masyarakat.
B. Perkawinan Beda Agama Menurut Undang-Undang Perkawinan
Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak
ada aturan yang tegas mengenai perkawinan beda agama. UU tersebut hanya
menganggap bahwa
“perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu” (pasal 2 ayat1).
C. Perkawinan Beda Agama Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Secara tegas KHI melarang perkawinan beda agama. Aturan ini
tercantum dalam pasal 75 (1) yaitu perkawinan batal karena salah satu dari
suami atau istri murtad. Pengadilan Agama yang notabene sebagai pemutus
suatu perkara dalam perceraian mengambil KHI sebagai dasar dalam
menetapkannya. Menurut KHI pasal 116 huruf h menyatakan bahwa perceraian
dapat putus karena “peralihan agama atau murtad yang menyebabkan
terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga”. Dengan adanya alasan pasal
tersebut secara tegas KHI melarang adanya perkawinan beda agama. Namun di
sisi lain KHI ternyata membuka peluang untuk perkawinan beda agama karena
pada saat peralihan agama dalam rumah tangga namun tidak menimbulkan
“ketidakrukunan”, maka secara tidak langsung KHI juga tidak melarang
adanya perkawinan beda agama.
Jadi ketika ada peralihan agama dalam rumah tangga namun tidak
menimbulkan “ketidakrukunan” maka secara tidak langsung KHI juga tidak
melarang adanya perkawinan beda agama.
D. Perkawinan Beda Agama Menurut fikih
1. Perkawinan Orang Islam Dengan Ahli Kitab
a) Kaum musrikin dan ahli kitab
Ayat Al-quran disamping menjelaskan tentang pernikahan
golongan mukminin juga menjelaskan tentang pernikahan dengan
golongan ahli kitab dan musrik yang sekaligus menjadi dasar hukum
nikah beda agama diatara mereka. Dasar hukum pernikahan orang islam
dengan ahli kitab dan orang musrik dalam firman Allah SWT
1) surat Al-baqarah ayat 221 :
7px.ÎŽô³ •B ` ÏiB ׎öyz îpoYÏB÷s•B ×ptBV{ ur 4£̀ ÏB÷sム4Ó®Lym ÏM »x.ÎŽô³ ßJ ø9$#(#qßs Å3 Zs? Ÿw ur
í̀ ÏB÷s•B Ó‰ ö7yès9ur 4(#qãZÏB÷sム4Ó®Lym tûüÏ.ÎŽô³ ßJ ø9$#(#qßs Å3 Zè? Ÿw ur 3öN ä3 ÷Gt6yf ôã r&öqs9ur
(#þqã ô‰ tƒ ª! $#ur (Í‘$Z̈9$#’n<Î)tb qãã ô‰ tƒ y7 Í́¯»s9'ré&3öN ä3 t6yf ôã r&öqs9ur 78 ÎŽô³ •B ` ÏiB ׎öyz
... ÏpŸyf ø9$#’n<Î)
Artinya: Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik,
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita
budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik,
walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu
menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanitawanita mukmin) sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari
orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka
mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga
dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya)
kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran
(Depag, 1976:53).
2) Ayat 5 surat Al-Maidah
ö/ä3 ©9@ Ïm |= »tGÅ3 ø9$#(#qè?ré&tûïÏ%©!$#ãP$yèsÛ ur (àM »t6Íh‹©Ü 9$#ãN ä3 s9 ¨@ Ïm é& tPöqu‹ø9$#
z̀ ÏB àM »oY|Á ós çRùQ$#ur ÏM »oYÏB÷sßJ ø9$#z̀ ÏB àM »oY|Á ós çRùQ$#ur (öN çl°;@ Ïm öN ä3 ãB$yèsÛ ur
tûüÏYÅÁ øtèC £̀ èd u‘qã_ é&£̀ èd qßJ çF÷s?#uä !#sŒÎ)öN ä3 Î=ö6s% ` ÏB |= »tGÅ3 ø9$#(#qè?ré&tûïÏ%©!$#
ô‰ s)sù Ç̀ »uKƒM} $Î/ öàÿõ3 tƒ ` tBur 35b #y‰ ÷{ r&ü“ É‹ Ï‚ ­GãB Ÿw ur tûüÅs Ïÿ»|¡ ãB uŽöxî
ÇÎÈ z̀ ƒÎŽÅ£ »sƒø:$#z̀ ÏB ÍotÅz Fy $#’Îûuqèd ur ¼ã&é#yJ tã xÝ Î6ym
Artinya: Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan
(sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal
bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka.
(Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga
kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan
wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orangorang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah
membayar mas kawin mereka dengan maksud
menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak
(pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang
kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum
Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat
termasuk orang-orang merugi (Depag, 1976: 158).
Menurut Al-jaziri sebagaimana dikutip oleh sukarja dibagi menjadi
tiga golongan yaitu:
a. Golongan yang tidak berkitab samawi atau tidak berkitab semacam
kitab samawi.
Contoh: orang yang menyembah berhala dan orang murtad yang
disamakan dengan mereka.
b. Golongan yang mempunyai semacam kitab samawi.
Contoh: orang-orang majizi yang menyembah api.
c. Golongan yang beriman kepada kitab suci. Mereka adalah orang
Yahudi yang percaya kepada kitab taurat dan orang-orang nasrani
yang mempercayai injil.
Sementara itu Yusuf al-Qardawi membagi golongan non-Muslim
menjadi golongan musrik, murtad, bahai, dan ahli kitab. Musrik adalah
penyembah berhala, mulhid adalah golongan ateis, murtad adalah
golongan yang keluar dari agama islam, bahai termasuk Murtad. Ahli kitab
adalah kaum Yahudi dan Nasrani.
Titik tolak penggolongan al-Jaziri dari segi kitab, sedang Yusuf alQardawi dari segi nama untuk tiap golongan. Dalam rinciannya sama,
hanya Yusuf Qardawi menambahkan golongan Ateis dan Bahai.
Dua golongan pertama disebut oleh al-Jaziri adalah Musrik.
Golongan Mulhid, Murtad dan bahai, dalam hukum nikah oleh Yusuf
Qardhawi dari segi nama untuk tiap golongan. Dalam rincianya sama,
hanya Yusuf Qardhawi menambahkan golongan ateis dan bahai.
Ahlul kitab adalah penganut taurat dan injil. Kaum yahudi dan samiri
adalah penganut Taurat. Penganut injil adalah Nasrani yang seakar dalam
agama mereka, seperti orang prancis, jerman dan lain-lain. Masalah yang
pelik adalah golongan Ahlul Kitab. Apakah mereka tidak musrik atau juga
termasuk golongan musrik (LSIK, 1994:2-3).
Paramufassir memandang bahwa perkawinan seorang mukmin
dipandang halal jika mereka masih berpegang pada kitab-kitab yang masih
murni namun jika kitab atau keyakinannya sudah menyimpang maka
haram untuk dinikahi sesuai dengan surat albayyinah ayat 1:
“Orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik
(mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya)
sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata”,
Dan al-hajj ayat 17 yang berbunyi:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi,
orang-orang Shaabi-iin, orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi
dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi keputusan di antara
mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala
sesuat”.
Hukum pria islam yang menikah dengan wanita bukan islam
dibedakan menjadi 2 yaitu :
1. Dengan wanita musrik dan wanita murtad hukumnya haram sesuai
dengan surat albaqarah 221.
2. Dengan wanita ahli kitab ada tiga hukum yaitu halal, haram, dan yang
menghalalkan tapi siasat tidak menghendakinya.
a.
Golongan yang menghalalkan berpendirian bahwa menikahi
perempuan ahli kitab (yahudi dan nasrani) halal hukumnya
asalkan perempuan ahli kitab itu merupakan agama keturunan
dari nenek moyang mereka yang menganut agama tersebut
sebelum masa nabi muhammad dibangkitkan menjadi rosul.
b.
Golongan yang mengharamkan yaitu ibnu umar sesuai dengan albaqarah 221.
c.
Golongan yang menggap halal tetapi siasat tidak menghendakinya
yang menimbulkan hukum mubah dalam perkawinan itu karena
dalam perkawinan itu ada bahaya kalau-kalau sisuami ikut agama
istrinya (LSIK, 1994: 6-13).
b) Non-Muslim Memeluk Islam
Perkawinan non-Muslim baik Ahlul Kitab maupun Musrik, dapat
dibagi atas dua keadaan. Pertama, perkawinan itu terjadi diantara
mereka setelah mereka hijrah dan dilakukan di Da’arul Islam. Kedua,
perkawinan itu terjadi di negeri mereka sendiri, yaitu di Daarul Harbi.
Daarul Islam adalah negeri yang diperintah secara penuh oleh kaum
muslimin. Darul Harbi adalah negeri dimana kaum muslimin tidak
mempunyai tidak mempunyai kekuasaan untuk mengaturnya.
Perkawinan yang terjadi diantara mereka dalam dua keadaan
tersebut mungkin sesuai dengan syarat dan rukun akad pernikahan
Islam, mungkin berbeda. Bila persyaratan perkawinan mereka sesuai
dengan perkawinan islam, maka perkawinan mereka itu sah dalam
pandangan islam. Bila berbeda dengan persyaratan perkawinan islam
maka perkawinannya dianggap tidak sah (LSIK, 1994:4).
c) Wanita islam dengan laki-laki bukan islam
Seluruh ulama’ telah sepakat bahwa wanita islam haram menikah
dengan pria non muslim. Hal itu sesuai dengan al-baqoroh 221 (LSIK,
1994:5).
E. Perkawinan Beda Agama dalam Perspektif Hak Asasi Manusia (HAM)
Menurut Ahmad Baso dan Ahmad Nurcholis (1995:245-246) Indonesia
memiliki peraturan mengenai hak asasi manusia, melalui TAP MPR No. XVII
tahun 1998 tentang hak asasi manusia yang terdiri dari 10 bab dan 44 pasal.
Ketetapan MPR tersebut menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak
dasar yang melekat pada diri manusia secara kodrati, universal, dan abadi
sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak-hak tersebut meliputi hak untuk
hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak berkomunikasi, hak
keadilan, hak kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak keamanan, dan hak
kesejahteraan.
Indonesia juga memiliki undang-undang lain mengenai hak asasi
manusia, yaitu undang-undang nomor 39 tahun 1999 yang terdiri dari 11 bab
dan 106 pasal. Peraturan mengenai hak asasi manusia dalam undang-undang
tersebut didasarkan pada DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia)
atau Universal Declaration of human rights yang dicetuskan oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1948. Undang-Undang ini secara rinci
mengatur tentang hak untuk hidup, hak berkeluarga dan melanjutkan
keturunan, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak atas
kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak turut serta
dalam pemerintah, hak wanita dan hak anak. Selain tentang hak asasi manusia,
diatur pula mengenai kewajiban dasar manusia, kewajiban dan tanggungjawab
pemerintah dalam penegakan hak asasi manusi, serta fungsi dan tugas Komnas
Hak Asasi Manusia. Undang-Undang ini merupakan payung dari seluruh
peraturan perundang-undangan tentang hak asasi manusia. Oleh karena itu,
pelanggaran hak asasi manusia secara langsung atau tidak langsung, dikenakan
sanksi pidana, perdata, dan atau administrasi sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Menurut Ahmad Baso dan Ahmad Nurcholish (2005:257) sejak UU
Perkawinan disahkan pada 1974, sejumlah persoalan muncul, di antaranya
berkaitan dengan masalah nikah beda agama, yaitu:
Pertama, dalam pasal 2 ayat 1 disebutkan bahwa sahnya perkawinan
tergantung apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya itu. Ketentuan ini hanya dapat dilaksanakan manakala kedua
mempelai memiliki agama yang sama. Kalau keduanya memiliki agama yang
berbeda, maka salah satu harus mengikuti agama yang lain. Kemudian kembali
ke agamanya semula setelah perkawinan terlaksana.
Kedua, dalam pasal 2 ayat 2 dinyatakan tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peran pemerintah
sebatas melakukan pencatatan nikah. Pemerintah hanya mengatur aspek
administrasi perkawinan. Namun kedua ayat tersebut dalam prakteknya berlaku
secara kumulatif. Kedua-duanya harus diterapkan bagi persyaratan sahnya
suatu perkawinan.
Berkaitan dengan perkawinan beda agama, dalam KHI ada dua pasal
yang melarang. Pertama, pasal 40 yang menyatakan seorang pria dilarang
melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita yang tidak beragama islam.
Kedua, pasal 44 menyatakan seorang wanita Islam dilarang melangsungkan
perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama islam. Perbedaan agama
dalam KHI dipandang sebagai penghalang bagi pasangan yang hendak
melangsungkan perkawinan.
Menurut perspektif hak asasi manusia, Undang-Undang Perkawinan
tahun 1974 pasal 2 ayat (1) dan (2), serta KHI pasal 40 dan 44 bertentangan
dengan isi DUHAM pasal 16 ayat 1 yang menyebutkan, “Iaki-laki dan
perempuan dewasa dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau
agama berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga. Mereka
mempunyai hak yang sama dalam perkawinan, di dalam masa perkawinan,
dan di kala perceraian.” Ayat 2, “Perkawinan hanya dapat dilaksanakan
berdasarkan pilihan bebas dan persetujuan penuh oleh kedua mempelai.”
Sementara ayat 3 menyebut, “Keluarga adalah kesatuan sewajarnya serta
bersifat pokok dari masyarakat dan berhak mendapat perlindungan dari
masyarakat dan negara.” Selain itu, Juga bertentangan dengan Pasal 10 ayat (1)
UU No. 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia, yang berbunyi “Setiap orang
berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah.” Dan pada Pasal 10 ayat (2) yang berbunyi, “Perkawinan
yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon
istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan Perundang-undangan.”
BAB III
FASILITASI PERKAWINAN BEDA AGAMA OLEH PERCIK
D. Alasan Percik Memfasilitasi Perkawinan Beda Agama
1. Gambaran Umum Lembaga Percik Salatiga
a. Sejarah dan Latar Belakang Berdirinya Lembaga Percik Salatiga
Percik merupakan lembaga independen yang diperuntukan bagi
penelitian sosial, demokrasi dan keadilan sosial. Lembaga ini didirikan pada
awal tahun 1996 (1 Februari 1996) oleh sekelompok Ilmuwan di Salatiga
yang terdiri dari sejumlah peneliti sosial, pengajar Universitas, serta aktivis
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang bantuan
hukum serta pengorganisasian masyarakat.
Para pendiri ini merupakan sebagian dari staf akademik sebuah
Universitas di Salatiga yang terpaksa keluar dari Universitas tersebut karena
menolak beberapa kebijakan dari pengurus yayasan dan pimipinan
Universitas yang dinilai tidak demokratis, bertentangan dengan nilai-nilai
kemanusiaan dan tidak menjunjung tinggi kebebasan akademis serta
otonomi kampus. Berdirinya Lembaga Percik merupakan wadah baru untuk
mewujudkan idealisme mereka mengenai masyarakat yang demokratis dan
berkeadilan sosial.
Kelahiran Percik juga tidak dapat dilepaskan dari tuntutan yang
semakin luas dalam masyarakat Indonesia tentang perlunya proses
demokratisasi dilaksanakan dengan segera di berbagai bidang kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Tuntutan tersebut muncul sebagai bagian dari
keprihatinan yang meluas di masyarakat terhadap sistem politik yang
semakin sentralistik, hegemonik, opresif dan tidak toleran. Sistem politik
yang tidak sehat tersebut berakibat pada rendahnya kesadaran dan
partisipasi politik rakyat, tiadanya ruang publik yang memungkinkan
terjadinya pertukaran wacana publik secara bebas, tidak berkembangnya
lembaga-lembaga demokrasi, lemahnya penegakan hukum dan Hak Asasi
Manusia (HAM), serta birokrasi pemerintahan yang korup. Di lain pihak
perkembangan masyarakat menunjukan kecederungan ke arah masyarakat
plural yang tersekat-sekat yang di dalamnya mengandung potensi konflik
horisontal yang besar.
Kondisi politik yang tidak sehat tersebut melanda kehidupan politik
baik pada aras nasional maupun pada aras lokal. Keterlibatan panjang staf
Percik dalam berbagai penelitian dan studi pada aras lokal yang dimiliki
secara individual oleh staf Percik dan dilandasi pula oleh keyakinan bahwa
bagi masa depan Indonesia arena politik pada aras lokal ini justru semakin
penting dan menentukan, maka lahirnya Percik merupakan perwujudan dari
keinginan untuk ikut menggulirkan proses demokratisasi politik pada aras
(pada titik / level) lokal (http://www.percik.or.id/).
b. Visi dan Misi
Percik sebagai Lembaga independen yang didirikan untuk penelitian
sosial, demokrasi dan keadilan sosial memiliki visi jangka panjangnya
sebagai berikut:
1) Mendukung penciptaan masyarakat sipil, melalui pemberdayaan
lembaga-lembaga demokrasi dan pengembangan nilai-nilai demokrasi.
2) Mendorong masyarakat pada penyadaran akan dasar-dasar kehidupan
masyarakat plural dan toleransi dalam seluruh kehidupan sosial.
3) Memberikan perhatian pada dasar-dasar masyarakat sipil, HAM
khususnya bagi orang-orang yang telah dilemahkan dan dipinggirkan
dari pelayanan pemerintah dan sistem hukum.
Visi tersebut dalam kurun waktu yang lebih pendek khususnya
mengacu kepada tuntutan perkembangan yang ada dalam masyarakat saat
ini, mendorong Percik untuk mengutamakan segi-segi berikut:
1) Peningkatan kinerja pemerintah lokal menuju kearah pemerintahan
lokal yang sehat dan baik.
2) Meningkatkan kesadaran politik masyarakat kearah perwujudan
prinsip-prinsip
bernegara
dan
bermasyarakat
yang
demokratis,
menjunjung tinggi penegakan hukum dan menghormati Hak Asasi
Manusia (HAM).
3) Memperkuat Civil Society yang berbasis pada nilai-nilai pluralisme dan
toleransi.
Untuk mewujudkan ketiga segi dari visi tersebut, misi Percik
berpusat kepada tiga pilar kegiatan berikut:
1) Menyelenggaraan kegiatan-kegiatan studi dan penelitian yang memenuhi
standar keilmuan yang tinggi, independen, serta memenuhi nilai-nilai
kegunaan bagi kehidupan masyarakat luas.
2) Melakukan kegiatan refleksi sebagai upaya untuk meningkatkan
pemahaman yang lebih mendalam terhadap berbagai gejala yang diteliti
serta menghubungkannya dengan berbagai nilai luhur yang diyakini dan
menjadi komitmen Percik.
3) Melakukan program aksi yang ditujukan kepada terciptanya masyarakat
demokratis dan berkeadilan (http://www.percik.or.id/).
c. Struktur Kepengurusan
Dalam menjalankan program kegiatannya, Lembaga Percik
Salatiga
menentukan
susunan
pengurus
(http://www.percik.or.id/):
Pengurus Yayasan : Nico. L. Kana (Ketua)
Sukotjo (Sekretaris)
Heru Wijatsih Kuwat Trijanto (Bendahara)
Direktur
: Pradjarta Dirdjosanjoto
Wakil Direktur
: I Made Samiana
Penelitian
: Nico. L. Kana (Tenaga Ahli)
Setyo Handoyo
Ninik Handayani
C. Dwi Wuryaningsih
Mohammad Akbar
Singgih Nugroho
Haryani Saptaningtyas
Slamet Luwihono
sebagai
berikut
Kutut Suwondo (paroh waktu )
Fera Nugroho (paroh waktu )
Advokasi
: Budi Lazarusli
RH Dwiprasetyo
Nick Tunggul Wiratmoko
Hery Wibowo T
Agung Waskitoadi
Damar Waskitojati
Christina Arief THM
Unit Penunjang Program : Widya P Setyanto (Publikasi)
Bernadetta Rorita Dewi (Perpustakaan)
Unit Penunjang Administrasi, Keuangan dan Kerumahtanggaan:
Agung Ari Mursito (Administrasi)
Ambar Istiyani
Halomoan Pulungan (Keuangan)
Dewi Retnowati
Erwin Setiyaning Yuli Astuti
Dayusman Junus (Kerumahtanggaan)
Wagiman
Dendy Gunawan
Sukiman
Suyatno
Lucia Wahini
d. Profil Kegiatan Lembaga Percik
Dalam perjalanan waktu kegiatan Percik telah berkembang dengan
pesat pada empat areas of concern, yaitu (1) bidang politik lokal, (2)
pluralisme masyarakat dan budaya, (3) civil society dan demokrasi, serta
(4) hukum dan HAM. Keempat bidang perhatian ini saling kait mengait
satu sama lain.
Di empat bidang perhatian tersebut Percik telah mengembangkan
kegiatan-kegiatan sebagai berikut (http://www.percik.or.id/):
1) Kegiatan Penelitian
Percik menempatkan kegiatan penelitian sebagai salah satu pilar
utama disamping kegiatan advokasi dan refleksi. Kegiatan penelitian
dilaksanakan berdasar minat dari dalam lingkungan Percik sendiri,
kerjasama dengan lembaga lain, ataupun atas ‘pesanan’dari pihak luar.
Khususnya terhadap penelitian pesanan, Percik berusaha secara kritis
mempertimbangkan
kandungan kepentingan dan kemanfaatan dari
penelitan yang dipesan.
Untuk mengembangkan kegiatan di bidang penelitian Percik
mengembangkan dua pusat penelitian, yaitu:
a) Pusat Penelitian Politik Lokal (P2PL)
Pusat Penelitian Politik Lokal (P2PL), semula bernama Pusat
Penelitian dan Pengembangan Politik Lokal (P3PL), berdiri pada
pertengahan tahun 1999. Pendirian pusat penelitian ini merupakan
wujud keinginan Percik untuk mengkaji dinamika dan perkembangan
politik lokal sesudah Orde Baru, memberikan dukungan kepada
kebijakan yang mempertimbangkan situasi dan kondisi politik lokal,
mengembangkan fungsi pusat informasi tentang politk lokal dan
mendorong upaya pemberdayaan masyarakat dalam bidang sosial
politk oleh masyarakat yang bersangkutan dengan memperhitungkan
temuan penelitian.
Berkat antara lain dukungan dana dari The Ford Foundation,
selama kurun waktu 1999-2005 P2PL telah melakukan sejumlah
program yang berorientasi pada gagasan tersebut di atas yang
mencakup kegiatan-kegiatan penelitian, pengembangan kelembagaan,
dan upaya pengembangan pemberdayaan masyarakat. Kegiatan
penelitian P2PL memfokuskan pada aspek-aspek dari gejala
perubahan politik di aras lokal, baik di pedesaan, kecamatan maupun
kabupaten/kota. Ada enam gejala perubahan yang ditelaah, yaitu (1)
adanya perubahan atau pergeseran pusat-pusat kekuasaan, (2) adanya
perubahan basis relasi politik, (3) meluasnya gejala faksionalisme, (4)
adanya perubahan pola kepemimpinan, (5) perubahan fungsi ideologi,
dan (6) adanya perkembangan lembaga lokal.
Keenam gejala perubahan itu didekati lewat telaah terhadap
isu-isu yang muncul di lokasi-lokasi penelitian P2PL (yaitu di wilayah
pedesaan di Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah,
Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat, Kabupaten Minahasa
Sulawesi Utara, Kabupaten Lombok Barat, NTB, Kabupaten Kendari
Sulawesi Tenggara, Kabupaten Mamasa Sulewesi Selatan, dan
Kabupaten Sumba Timur, NTT).
Pemahaman
mengungkapkan
yang
diperoleh
antara lain,
dari
kegiatan
penelitian
teridentifikasikannya gejala-gejala
perubahan dalam politik lokal baik dalam kelembagaan formal
maupun dalam dinamika di kalangan masyarakat, terungkapkannya
kerangka acuan kultural dalam dinamika politik lokal, dan peranan
dari kelompok-kelompok agama dalam kehidupan masyarakat desa.
Selain
itu
untuk
menopang
kegiatan
penelitian,
P2PL
menyelenggarakan seminar tentang metodologi penelitian, seminar
tentang temuan penelitian, dan seminar oleh para tamu (sosiolog,
antropolog, dan ahli ilmu politik) yang memberikan seminar datang
baik dari dalam negeri (UGM, UNDIP, UNAIR, LIPI) maupun luar
negeri (VU-Amsterdam).
Untuk mengembangkan jaringan peminat studi politik lokal,
P2PL menyelenggarakan
Seminar Internasional Dinamika Politik
Lokal di Indonesia. Seminar ini diselenggarakan setiap tahun, pada
tahun 2005 ini sudah memasuki tahun keenam. Selain itu P2PL juga
melakukan pembentukan basis pemerhati politik lokal melalui training
yang mencakup pemahaman teroritis dan latihan ketrampilan
penelitian, serta pemberian beasiswa kepada peneliti (yang berasal
dari kalangan perguruan tinggi dan LSM) yang melakukan studi politk
lokal.
Dalam
pengembangan
kelembagaan
tercakup
upaya
pengembangan sarana pendukung bagi kegiatan-kegiatan P2PL,
seperti (1) pengembangan koleksi kepustakaan dalam bidang politik
lokal, (2) penerbitan berkala jurnal Politik Lokal-Humaniora Renai,
(3) penerbitan seri monografi tentang politik lokal, (4) kerjasama
pelatihan metodologi (antara lain dengan FISIPOL-UGM, dan CCSS
Yogyakarta), dan (5) kerjasama penelitian (dengan Menristek,
CRWRC, dsb).
Termasuk ke dalam jenis kegiatan ini adalah pemberian
bimbingan penelitian bagi berbagai pihak (misalnya peserta training
tersebut di atas, penerima dana RUKK-Menristek) dan penyediaan
fasilitas station (pangkalan) penelitian. Selama kurun waktu 1999–
2005 sejumlah peneliti tamu, baik dari dalam negeri maupun luar
negeri, telah memanfaatkan fasilitas station penelitian P2PL.
P2PL
mendorong
mengembangkan
upaya
kemampuan
masyarakat
setempat
sendiri
dengan
untuk
turut
memperhitungkan hasil penelitian di lokasi studi. Realisasi kegiatan
ini (lewat FBB dan PDR) telah menunjukkan
antara lain
perkembangan benih-benih demokrasi pada aras pedesaan.
b) Pusat Studi Transformasi Praktek-Praktek Keagamaan Lokal
Disamping
Pusat
Penelitian
Politik
Lokal,
Percik
mengambangkan Pusat Studi dan Penelitian Transformasi PraktekPraktek Keagamaan Lokal. Pengembangan pusat studi dan penelitian
ini dilatar belakangi oleh pemikiran bahwa kajian praktek-praktek
keagamaan lokal sangat diperlukan untuk memahami sifat perubahan
politik pada aras lokal. Kajian praktek-praktek keagamaan lokal dapat
membantu mencermati berbagai bentuk ‘keagenan’ lokal dalam arti
luas; ‘akar dan rute’ perubahan yang bermula sebagai proses lokal.
Studi agama lokal sering diabaikan karena dianggap kurang relevan
bagi pemahaman terhadap perubahan politik dan ekonomi. Padahal
praktek-praktek keagamaan membantu mengungkapkan cara-cara
pemegang peran lokal memahami situasi setempat dan berupaya
mengatasi hambatan yang mereka hadapi. Dalam praktek keagamaan,
masyarakat setempat merenungkan dan menanggapi isu-isu penting
serta hambatan yang mereka hadapi. Praktek keagamaan dapat
dipandang sebagai cara-cara mengatasi isu-isu serta hambatan konkret
yang menantang para pemegang peran lokal. Pemahaman tentang
agama-agama setempat dapat menjadi kunci untuk memahami
transformasi politik dalam arti yang lebih luas.
Kegiatan dari Pusat Studi Transformasi Praktek-praktek
Keagamaan Lokal meliputi kegiatan penelitian mengenai berbagai
topik yang diminati oleh anggota tim peneliti (lihat uraian mengenai
Penelitian tentang Sejarah Praktek Keagamaan Lokal), training
metodologi dalam rangka penyiapan penelitian lapang dari kegiatan
Percik sendiri, training metodologi atas permintaan dari pihak luar
(Lingkungan Universitas, Lembaga Research, Lembaga Keagamaan,
dsb), seminar dan diskusi mengenai topik-topik khusus, serta
publikasi.
2) Seminar, Diskusi dan Loka Karya (Workshop).
Kegiatan seminar, diskusi, dan loka karya diselenggarakan oleh
Percik sebagai wahana untuk bertukar wacana, belajar bersama mengenai
topik-topik yang diminati, mendesiminasikan dan membahas hasil-hasil
penelitian, serta melakukan refleksi kritis terhadap perkembangan
masyarakat dan ilmu pengetahuan. Dalam penyelenggaraan seminar,
diskusi, dan lokakarya, nilai-nilai kebebasan, keterbukaan, dan kritis
mendapat perhatian dan pengutamaan.
Tema-tema berikut menjadi pokok bahasan Lembaga Percik:
a)
Seminar di seputar masalah Hak Asasi Manusia dan Kebebasan
Beragama.
b) Seminar, Lokakarya dan Diskusi mengenai Pemilu 1999
c)
Seminar tentang Desentralisasi dan Otonomi Daerah.
d) Seminar Internasional Tahunan tentang Dinamika Politik Lokal di
Indonesia.
e)
Seminar Jurnal Renai yang diadakan dua kali per tahun
f)
Seminar Tamu
g) Seminar dengan Tema Khusus
h) Seminar mengenai Metodologi Penelitian
3) Kegiatan Advokasi.
Selain
kegiatan
penelitian dan
penyelenggaraan
seminar,
lokakarya dan diskusi, Percik juga menyelenggarakan program yang
bersifat advokasi. Diantaranya adalah:
a)
Program
Kepemerintahan
Lokal
(Local
Good
Governance
programme)
Program ini secara khusus bertujuan untuk penguatan
lembaga-lembaga demokrasi di tingkat lokal, peningkatan mutu SDM,
serta peningkatan partisipasi masyarakat dalam penentuan kebijakan
publik. Bentuk-bentuk kegiatan yang dikembangkan antara lain
adalah: skill training programme di bidang ke legislatifan (legal
drafting, analisis budget, dsb), pengembangan kapasitas organisasi,
dan penyelesaian sengketa alternatif. Skill training programme ini
antara lain diperuntukkan bagi para anggota legislatif, eksekutif, para
anggota kelompok perempuan, para aktifis muda di pedesaan, dsb.
b) Program Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) dan
Peningkatan Kesadaran Politik Masyarakat.
Program pendidikan politik ini antara lain bertujuan untuk
memberikan pengetahuan dasar mengenai demokrasi, hak-hak politik
warga negara, serta penegakan hukum dan HAM. Untuk tujuan itu
selain menyelenggarakan pelatihan (antara lain Pendidikan HAM
untuk Perempuan, untuk para pamong desa, serta untuk warga gereja),
berbagai bentuk advokasi, Percik juga mengembangkan materi dan
modul pelatihan advokasi politik dan pendidikan HAM. Dalam rangka
menyongsong Pemilu 1999, Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden
2004, serta Pemilihan Kepala Daerah Langsung (Pilkadal),
c)
Program Pemberdayaan Civil Society
Program pemberdayaan Civil Society terutama menekankan
pada upaya pengembangan nilai-nilai pluralisme dan toleransi, serta
mendorong semakin luasnya partisipasi masyarakat dalam proses
penentuan kebijakan publik. Diantara berbagai kegiatannya, termasuk
di dalamnya adalah Pembentukan forum-forum komunikasi lintas
agama dan lintas golongan kemasyarakatan serta pengembangan
forum warga (CBO) di tingkat lokal. Termasuk dalam program ini
adalah:
1) Forum Sarasehan Lintas Iman: SOBAT
2) Program Belajar Bersama: Sobhet.
3) Desk Pengembangan Kehidupan Bergereja (DPKB)
d) Program Pendampingan di Bidang Hukum
Percik memiliki dua program di bidang pendampingan hukum
yaitu program bantuan hukum di bidang litigasi dan non litigasi yang
dilakukan oleh Biro Pelayanan dan Bantuan Hukum (BPBH), dan
program peningkatan fungsi kepolisian beorientasi masyarakat (COP)
di Salatiga.
4) Pengembangan Unit Penunjang
Untuk mendukung kinerja lembaga, Percik mengembangkan unitunit penunjang yaitu perpustakaan dan dokumentasi dengan koleksi
khusus, publikasi, teknologi informasi, dan pengembangan Kampoeng
Percik.
5) Pengembangan Relasi dan Kerjasama
Terutama sejak lima taun terakhir, relasi dan kerjasama Percik
dengan berbagai mitra telah berkembang dengan pesat. Relasi tersebut
antara lain dengan:
1) Relasi dengan berbagai pusat studi
2) Relasi dengan berbagai kelompok dan organisasi keagamaan
3) Relasi dengan berbagai LSM di tingkat lokal, profinsial maupun
nasional
6) Pengembangan Kampoeng Percik
Sejak tahun 2002 secara bertahap Percik mengembangkan tempat
kerja yang diberi nama Kampoeng Percik. Tempat kerja ini terletak di
kota Salatiga berjarak sekitar 1 km dari pusat kota. Di atas tanah seluas
1.25 ha, tempat kerja ini terdiri dari 6 rumah tradisional Jawa dari kayu
jati tua yang semula merupakan rumah-rumah penduduk di pedesaan.
Rumah-rumah tersebut kini difungsikan sebagai kantor administrasi,
ruang kerja staf, ruang perpustakaan, aula seminar, kantin dan rumah
tamu. Dengan lokasi yang berada ditengah persawahan, lingkungan
pepohonan yang hijau, udara yang sejuk dan segar, Kampoeng Percik
memberi suasana yang akrab dengan alam, nyaman untuk bekerja dan
berseminar. Di masa mendatang Percik bermaksud melengkapi
Kampoeng Percik ini dengan fasilitas untuk pusat pelatihan.
2. Sejarah Percik Memfasilitasi Perkawinan Beda Agama
Lembaga Percik merupakan lembaga untuk Penelitian Sosial,
demokrasi dan Keadilan Sosial. Lembaga tersebut sejak awal berdirinya, juga
memberikan perhatian terhadap persoalan hubungan lintas iman.
Percik menyelenggarakan program yang bersifat advokasi, di dalamnya
terdapat berbagai forum kegiatan, yaitu forum komunikasi lintas agama, lintas
golongan kemasyarakatan dan pengembangan forum warga (CBO). Program
tersebut melahirkan Forum Sarasehan Lintas Iman yang diberi nama SOBAT.
Forum SOBAT ini merupakan gerakan untuk pemberdayaan civil society di
tingkat local. Forum tersebut bertujuan membangun organisasi yang
mengutamakan warganegara dalam
hal lintas agama (citizen based
organization) yang mampu mencari penyelesaian bersama terhadap berbagai
ketegangan dan konflik dalam masyarakat (http://www.percik.or.id).
Strategi
pendekatan
SOBAT
pada
dasarnya
berupaya
untuk
memperbaiki relasi hubungan lintas agama melalui penciptaan hubungan
pertemanan diantaranya:
a) Menciptakan kepercayaan (trust) dengan mengenal orang lain (the Others)
secara langsung atau tidak langsung, tidak hanya memandang dari
kacamata Kristen maupun Islam saja atau sebaliknya.
b) Menciptakan kesediaan belajar bersama tentang konteks lokal kehidupan
mereka.
c) Menciptakan kesediaan belajar bersama dan mengembangkan kemampuan
bersama. Strategi ini dipilih karena relasi lintas iman yang selama ini telah
sangat diwarnai oleh kecurigaan dan suburnya prasangka buruk
(http://www.percik.or.id).
SOBAT telah berkembang dan membentuk suatu gerakan dan kegiatan
diantaranya:
a) Gerakan “Kata Hawa” yang bertujuan untuk mendorong munculnya
emansipasi wanita lintas iman.
b) SOBAT Muda, bertujuan untuk mempererat hubungan pertemanan di
masa mendatang.
c) Kegiatan Wacana Lintas Iman, merupakan Wahana refleksi dan kerjasama
teologi lintas iman.
d) SOBAT Anak, Program ini bertujuan untuk menumbuhkan toleransi pada
anak yang berbeda latar belakang agama, suku, dan etis, sejak usia dini.
e) SOBAT juga menjembatani maupun memfasilitasi perkawinan beda
agama (http://www.percik.or.id).
Menurut staff percik (wawancara tanggal 12 Desember 2012)
mengatakan bahwa tidak adanya aturan yang tegas mengenai perkawinan beda
agama, menimbulkan kebingungan masyarakat dalam menanggapi kasus
perkawinan beda agama. Ada pihak yang setuju namun ada juga yang tidak
setuju dengan adanya perkawinan beda agama. Ada yang menganggap sah
namun ada juga yang menganggap tidak sah perkawinan beda agama. Hal ini
dipengaruhi oleh pemahaman dan pola pikir masing-masing pihak. Sehingga
berbagai pasangan yang hendak menikah beda agama dengan tetap memeluk
agamanya masing-masing, seringkali mengalami kesulitan untuk mendapatkan
pelayanan, baik secara administratif maupun keagamaan.
Berangkat dari berbagai persoalan tersebut akhirnya percik menemukan
sebuah gagasan tentang perkawinan beda agama yaitu dengan cara
menghubungkan dan menjadi mediator dengan para tokoh agama, lembaga dan
instansi pemerintah terkait, yang diperlukan untuk memperoleh pendampingan
dalam pelaksanaan pernikahan beda agama. Fasilitasi yang dilakukan oleh
Percik terhadap pasangan beda agama ini diasumsikan sebagai pintu darurat
yang berusaha memberi tempat/ruang (mempermudah) untuk melakukan
perkawinan beda agama.
E. Proses Perkawinan Beda Agama di Percik
1. Profil Pelaku Perkawinan Beda Agama
a.
Pasangan DH (Kristen) dan AD (Islam)
Jodoh adalah Rahasia Illahi
Dalam kehidupan manusia masalah rejeki dan jodoh memang
menjadi rahasia Tuhan. Manusia hanya berhak merencanakan segala
sesuatunya namun tetap kuasa akhir berada di tangan Tuhan. Walaupun
begitu, manusia masih diberi kesempatan untuk mengubah takdir yang
ada dalam hidupnya. Begitu halnya bagi AD dan DH yang merasa telah
dijodohkan oleh Tuhan meskipun memiliki latar belakang agama yang
berbeda.
AD tinggal di Perum Bandung Indah Kostrad RT.02 RW.08,
sedangkan Dian tinggal di JL. Brigjen Sudiarto III/31 Desa Kalicacing.
Pertemuan AD dan DH berawal dari tempat kerja yang sama, mereka
sama-sama bekerja di Yayasan Salib Suci
TK-SD Ignatius Slamet
Riyadi-Karawang. Mereka mulai akrab kira-kira tahun 2008, saat itu
Agung sudah bekerja di sekolah tersebut sejak tahun 2004 sedangkan
DH masuk tahun 2007. Waktu dua tahun digunakan AD dan DH untuk
saling memahami dan memikirkan kelanjutan hubungan mereka ke
depan. Karena memang sejak awal AD meminta DH bukan untuk
menjadi pacar, tapi sebagai istri, jadi selama dua tahun tersebut mereka
berpacaran untuk memikirkan bagaimana mereka bisa melangsungkan
perkawinan dan menyakinan kepada keluarga masing-masing.
Pada awal AD menyampaikan keinginannya untuk menikah
dengan DH yang beragama Kristen (2009), sempat ada pertentangan
dari orang tua AD mengenai rencana perkawinan mereka. Mengingat
orang tua AD termasuk orang yang cukup taat pada ajaran agamanya.
Orang tua AD juga berasal dari keluarga muslim, maka dari pihak
keluarga AD pun banyak pertentangan dengan keinginanya tersebut.
AD lahir dan besar dengan didikan agama Islam baik dari orang tua
maupun dari bangku sekolahnya.
Orang tua AD meminta kepada AD untuk memikirkan kembali
pilihannya, terbesit keinginan bagi mereka agar AD menikah dengan
wanita yang satu keyakinan. Setelah kira-kira satu tahun kemudian, AD
menyampaikan tekadnya untuk tetap menikah beda agama. Alasan yang
diutarakan AD memilih perkawinan beda agama adalah berniat untuk
ibadah dan berbuat baik. Agung sudah mengetahui perkawinan beda
agama sejak masih SMP, karena ada tetangganya yang menikah beda
agama. Saat itu memang AD memandangnya sebagai suatu keanehan,
tapi ternyata takdir berkata lain, bahwa AD juga termasuk yang
dijodohkan Tuhan untuk melakukan perkawinan beda agama juga.
Dari pihak keluarga DH terutama dari bapak kurang setuju
dengan keinginanya untuk menikah beda, karena keluarga DH dari
bapak banyak yang beragama islam. Meskipun begitu DH tidak
menyerah dengan keinginanya untuk nikah beda agama. Ia bersyukur
kepada Tuhan karena dari pihak ibunya tidak terlalu menentang
terhadap niatnya tersebut untuk menikah beda agama. keluarga dari ibu
beserta pamannya ternyata banyak yang melakukan hal yang sama,
sehingga dianpun tetap bersikukuh terhadap niatnya tersebut untuk
menikah beda agama.
Jauh di lubuk hati AD mempercayai bahwa jodoh / takdir sudah
diatur oleh Tuhan. Bagi AD, dirinya bisa menikah dan langgeng sampai
saat ini karena ijin Tuhan dan takdir yang telah ditetapkan untuknya.
Masalah sah / tidak sahnya perkawinan beda agama, menurut AD,
memang menjadi penting adanya karena hidup di dunia syarat tertulis
(absah / tidaknya) itu menjadi penting. Bagi AD tujuannya menikah
secara Islam agar direstui / didoakan secara kepercayaan yang ia anut,
dia menikah secara Kristen pun dengan tujuan yang sama, agar istri
direstui / didoakan secara kepercayaan istri. Secara hukum AD sudah
sangat cukup dengan memegang bukti dari Catatan Sipil berupa kutipan
akta nikah walaupun bukan dari KUA. AD beranggapan, menurut
aturan yang manusia buat (hukum) bukti perkawinan dari Catatan Sipil
yang kebetulan di tanda tangani oleh Pendeta yang menikahkan mereka
sudah sah dan bisa untuk bukti membuat akta-akta sah lainnya seperti
Kartu Keluarga, KTP, dan Akta Kelahiran anak mereka, jadi tidak ada
yang perlu dikhawatirkan lagi.
Perjuangan Menyatukan Perbedaan
Pada mulanya pasangan AD-DH mengalami kesulitan untuk
melakukan perkawinan secara beda agama. Kesulitan terbesar tentu
saja dalam mencari ulama dan gereja yang mau menikahkan mereka.
Selain itu, berbagai pertanyaan muncul dari orang tua mereka, namun
setelah AD memberi pemahaman dan penjelasan dengan baik
(bagaimana cara perkawinannya) mereka bisa menerima keputusan AD
untuk menikah beda agama.
LSM Percik adalah salah satu takdir / jalan yang Tuhan berikan
pada AD-DH. Pada awalnya mereka berencana untuk berkonsultasi
tentang perkawinan beda agama ke Yayasan Paramadina, namun waktu
itu pimpinan yang merupakan ulama nasional baru saja meninggal
dunia. Sempat muncul kegelisahan sehingga membuat mereka sepakat
untuk melakukan perkawinan di Australia. Mungkin Tuhan mendengar
doa dan keseriusan mereka untuk menikah, hingga pada suatu waktu
mereka mendapat informasi tentang kegiatan LSM Percik yang salah
satunya tentang Kerukunan Umat Beragama dan pernah memfasilitasi
perkawinan beda agama. Informasi itulah yang membuat AD-DH pergi
ke Salatiga untuk melangsungkan perkawinan mereka.
Bagi keluarga mereka tidak ada masalah, AD dan DH memberi
penjelasan dengan baik sehingga kedua belah pihak keluarga mengerti
dan menerima. Selama proses persiapan dalam perkawinan LSM Percik
banyak membantu dan mendampingi AD-DH juga memfasilitasi dalam
hal mempertemukan mereka dengan Pendeta dan Ulama yang akan
menikahkan mereka.
Tidak ada perbedaan yang signifikan tentang prosesi perkawinan
beda agama dengan perkawinan yang seagama. Sebelum perkawinan,
mereka berkunjung ke Ustadz yang akan menikahkan mereka secara
Islam, mereka juga diberi informasi tentang perkawinan beda agama
juga hambatan yang kira-kira akan dihadapi. Selain itu mereka juga
bertemu dengan Pendeta yang akan menikahkan mereka secara Kristen.
Perkawinan mereka dilayani oleh gereja layaknya perkawinan gereja
yang seagama (Kristen).
Hari Bahagia pun Tiba
Akhirnya hari bahagia yang diimpikan AD dan DH selama
bertahun-tahun tiba juga. AD dan DH menikah pada tanggal 30 Juli
2010 (secara Islam) di Mushola LSM Percik Salatiga dan tanggal 01
Agustus 2010 (secara Kristen) di Gereja Kristen Jawa Sidomukti
Salatiga. Saat itu, usia AD sudah menginjak 30 tahun dan Dian 27
tahun.
b. AR (Kristen) – RW (Katolik)
Manusia lahir di dunia tidak punya kuasa apapun untuk memilih
lahir sebagai bangsa tertentu, bahkan tak kuasa menolak ketika ia harus
lahir dari rahim keluarga
Yahudi, Kristen, Katolik, Islam, Budha,
Hindu, Majusi, ataupun keyakinan lainya. Semua di luar kehendak
manusia itu sendiri. Menjalani kehidupanlah yang sesungguhnya
menjadi “alasan” dari keberadaan manusia di dunia hingga secara sadar
atau tidak ia pun dihadapkan pada kenyataan atas kepastian akan
kematian yang juga tidak pernah berkuasa akan hal itu.
Pada Awalnya
AR (Kristen) memilih menikah dengan RW (Katolik) yang tidak
seagama dengan dia. Perkenalan mereka di tahun 1991, diawali dengan
pertemanan saat mereka sama-sama duduk di bangku SMA Lab.
Salatiga. Keakraban mereka tampak dengan seringnya mereka pergi
bermain bersama. Namun sayang keakraban yang baru saja akan terjalin
harus kandas karena pada saat mereka naik ke kelas 2 SMA, RW harus
pindah sekolah di Solo. Pada saat itu status hubungan mereka masih
belum berpacaran, karena baik dari AR maupun RW belum ada yang
mengungkapan rasa cintanya.
Waktu itu AR tinggal di Salatiga, beralamat di RT 011 / RW 001
Krajan dan alamat RW yang semula tinggal di Dukuh Sidomukti
Salatiga pindah ke Solo untuk mengikuti keinginan orang tuanya dan
pindah sekolah disana. Setelah beberapa tahun berlalu, mereka bertemu
lagi saat kuliah di UKSW (Universitas Kristen Satya Wacana) Salatiga.
Karena sebelumnya mereka sempat akrab, hingga tidak menjadi hal
yang sulit untuk mereka merajut kembali keakraban yang dulu sempat
kandas. Hingga akhirnya di semester 4 AD berani mengngkapkan isi
hatinya kepada RW. Walaupun demikian sempat menjadi dilemma bagi
RW untuk menerima AR karena perbedaan keyakinan yang mereka
anut, namun apalah daya kekuatan cinta telah merasuk dalam dua
insane yang sedang kasmaran. Sejak itulah hubungan mereka menjadi
berpacaran. Hari demi hari mereka jalani bersama dengan penuh
kemesraan.
Selang beberapa tahun kemudian karena ada suatu masalah di
universitasnya, menyebabkan AR pindah ke universitas lain untuk
menyelesaikan studinya.
Jenjang Selanjutnya
Lama hubungan mereka terjalin sehingga dari situ muncul
keinginan dari masing-masing pihak untuk melanjutkan hubungan
mereka ke jenjang perkawinan. Mengingat usia RW sudah menginjak
30 tahun dan melihat dari pihak laki-laki khususnya juga sudah bekerja
sehingga pihak keluarga mulai mendesak mereka untuk segera
menikah. Masing-masing pihak keluarga menghendaki agar AR dan
RW membina rumah tangga dalam satu agama, dengan alasan kelak
tidak muncul kebingungan bagi anak.
Saat itu AR sudah bekerja di LSM Percik, sehingga ia sudah
cukup banyak mengenal tokoh-tokoh lintas agama. Karena memang
kedua belah pihak keluarga bersikukuh agar mereka melakukan
perkawinan dalam satu agama yang sama, akhirnya AR-RW mencoba
membicarakan masalah yang mereka hadapi dengan tokoh agama
mereka. Mereka duduk bersama dengan tokoh agama Kristen juga
tokoh agama Katolik untuk membahas kehendak mereka untuk
menikah tanpa harus mengorbankan salah satu agama mereka.
Beruntung mereka bisa bertemu dengan Tokoh Agama Kristen
maupun Katolik yang berpendapat bahwa perkawinan seperti itu bisa
dilakukan karena keyakinan itu bersifat pribadi dan keyakinan itu lebih
baik dihormati. Karena pada hakikatnya dalam agama Kristen Protestan
maupun Kristen Katolik itu sumbernya sama, sehinga tidak menjadi
masalah yang sangat besar.
Akhirnya dibuat suatu kesepakatan bersama tentang perkawinan
berbentuk ibadah bersama di suatu gereja. Mereka sepakat perkawinan
mereka dilakukan di gereja Kristen dengan dilayani oleh dua tokoh
agama yaitu Pendeta dan Romo. Pemberkatan secara Kristen dan
Katolik dilakukan dalam satu rangkaian acara dan tidak terpisah.
Artinya mereka (Pendeta dan Romo) hanya bagi tugas, sebagai
gambaran, doa awal dilakukan oleh Pendeta sedangkan doa tengah
dibacakan oleh Romo, kotbah dibacakan oleh Romo sedangkan doa
khotbah dibacakan oleh Pendeta. Setelah pemberkatan di gereja selesai,
mereka lagsung mencatatkan perkawinan mereka di Kantor Catatan
Sipil.
Secara hukum perkawinan AR-RW tetap dianggap sah karena
masing-masing agama sudah mengesahkan perkawinan tersebut, baik
agama Kristen maupun Katolik. Jadi secara hukum tidak lagi menjadi
soal, karena sudah memenuhi ketentuan dalam undang-undang
perkawinan no. 1/1974.
Meskipun demikian, bukan berarti tidak ada pihak-pihak yang
kurang sepakat terhadap adanya perkawinan beda agama. Bahkan orang
tua RW, meskipun pada awalnya bersikap sangat demokratis namun
setelah pelaksanaan perkawinan mereka ada rasa kecewa terbesit di hati
orang tua RW karena anaknya harus menikah tanpa prosesi seuai agama
mereka sepenuhnya. Ada juga Pendeta, Romo, maupun masyarakat
yang kontra dengan perkawinan beda agama, mereka berpandangan
bahwa pernikahan itu suci, dengan adanya perbedaan yang fundamental
(agama) akan mudah menimbulkan konflik dan konflik itu bisa merusak
perkawinan, sehingga menimbulkan dosa. Sehingga perkawinan beda
agama dianggap sebagai pemicu dasar sehingga mereka tidak sepakat
dengan adanya perkawinan beda agama.
Keyakinan Sang Buah Hati
Sejak menikah pada tahun 2004 hingga sekarang tahun 2012,
mereka sudah dikaruniai dua orang anak laki-laki. Anak pertama lahir
pada tanggal 18 September 2004. Kelahiran anak pertama mereka
membuat kebahagiaan menjadi bertambah. Atas keputusan bersama,
karena dulu mereka menikah di GKJ, mereka ingin anak pertama
dicatakan di gereja Katolik dan dihadiri oleh pendeta Kristen, untuk
masalah pencatatan administrasinya diserahkan ke gereja. Anak diurapi
juga oleh pendeta gereja. Hingga saat ini anak pertama mereka masih
berkeyakinan Katolik. Pada 18 Juli 2006 anak kedua lahir, untuk anak
yang kedua dibaptis di gereja Kristen Protestan dan dicatatkan disana.
Sehingga anak kedua berkeyakinan Kristen seperti ayah mereka.
Meskipun demikian sebagai seorang Katholik, jauh dilubuk hati RW
pernah terlintas untuk bisa mengajak suami dan anak-anaknya
mengikuti agama RW sebagai seorang Katholik.
c. LM (Kristen) – AL (Islam)
“Kasih” Kristiani dan “Rohmah” Islami
Tiga tahun sudah AL dan LM berpacaran sebelum akhirnya
memutuskan untuk menikah secara beda agama. Semenjak AL menjalin
hubungan cinta dengan LM, memang ada rasa gundah terkait perbedaan
keyakinan. Bukan bagi diri mereka, namun kegundahan itu muncul soal
bagaimana keluarga AL maupun LM bisa menerima dan merasakan cinta
kasih mereka berdua. Keluarga AL berasal dari Banjarmasin, Kalimantan
Selatan, yang dikenal dengan rasa keislamannya yang mendalam.
Sementara keluarga LM berasal dari Tapanuli, Sumatera Utara, yang
dikenal dengan kekristenan yang kuat.
Namun ternyata kekokohan beridentitas cultural itu ternyata adalah
sesuatu yang cair, yang bisa dinegosiasikan ketika takdir dan jodoh
mempertemukan mereka dalam ikatan baru yaitu pernikahan. Saking
kuatnya ikatan tersebut AL berpegang pada ayat al-Quran tentang
perkawinan, sebagai mitsaqan ghalidzan dan LM berpegang pada ayat
Alkitab “apa yang dipersatukan oleh Allah tidak bisa diceraikan oleh
manusia.” Perkawinan itu akhirnya terlaksana secara Islam di Jakarta pada
tanggal 7 Januari 2005 di Wahid Institute di hadapan KH Husein
Muhammad dan para sahabat mempelai, tanpa keluarga dari masingmasing pihak. Kemudian pada tanggal 11 Januari 2005 mereka
melangsungkan pemberkatan perkawinan di GKJ Sidomukti Salatiga.
Baik AL maupun LM ama-sama memiliki keyakinan bahwa
dengan cinta yang tulus dan restu dari Tuhan, mereka berdua sanggup
menghadapi perbedaan keyakinan dan menjadikannya hanya perbedaan
yang biasa. Meski awalnya sulit tetapi ternyata punya siraman keteduhan
yang luar biasa, terutama dari para sahabat-sahabat dekat.
Menjalin Keakraban dengan Keluarga
Pernikahan memang bukan hanya masalah bersatunya dua individu,
melainkan bersatunya dua keluarga. Hal ini tidak akan menjadi soal jika
kedua belah pihak keluarga bisa saling menerima dan akur, akan menjadi
berbeda ketika terjadi hal sebaliknya.
Sebenarnya perkawinan beda agama bukan sesuatu yang baru di
lingkungan keluarga AL dan LM. Bahkan kedua orang tua LM sendiri
menikah beda agama. Ayah LM berasal dari Tapanuli, seorang Batak dan
beragama Kristen sedang ibu LM berasal dari Palembang dan beragama
Islam. Mereka menikah pada tahun 1960-an, seiring berjalannya waktu
sang Ibu berpindah agama Kristen. Bahkan Paman LM juga Paman AL
pun pelaku perkawinan beda agama.
Walaupun demikian pernikahan mereka tidak bisa diterima.
Mungkin karena faktor latar belakang keluargalah yang menghendaki
demikian. Keluarga AL berasal dari keluarga muslim, Ayah berasal dari
Banjarmasin sementara Ibu berasal dari Jawa. Mereka tinggal di Jakarta
dan cukup ketat dengan tradisi-tradisi keislamannya, bahkan orang tua LM
sudah menyandang gelar “haji”.
Keluarga LM yang berasal dari Tapanuli terkenal dengan
kekristenannya yang sangat kental. Gereja tempat mereka beribadah yaitu
Gereja Tiberias Indonesia dikenal beraliran kharismatik. Dimana di gereja
ini kalau ada pasangan beda agama yang akan menikah, maka pasangan
yang non-Kristen harus bersedia dibaptis dulu.
Masing-masing keluarga saling ngotot-ngototan, keluarga AL
menghendaki LM masuk Islam sedangkan keluarga LM menghendaki AL
masuk Kristen. Namun LM dan AL tetap teguh untuk tetap pada agama
masing-masing, menurut mereka sangat disayangkan jika hanya karena
cinta harus pindah agama.
Memperjuangkan hak sebagai Warga Negara
AL dan LM adalah Warga Negara Indonesia, tapi hak-hak mereka
untuk dicatatkan pernikahannya dilanggar oleh Negara. Bagi mereka
pencatatan pernikahan adalah bagian penting dari perkawinan mereka.
Pada awalnya mereka sempat berpikir untuk melangsungkan
perkawinan di di luar negeri seperti Singapura, Australia atau Selandia
Baru mengingat banyak orang di sekitar mereka kesulitan dalam
pencatatan perkawinan karena perbedaan agama yang mereka tempuh.
Namun bagi AL dan LM hal tersebut tidak menyurutkan tekad mereka
untuk menikah beda agama, bagi mereka menikah di luar negeri bukan
tidak masuk akal tetapi lebih ke menodai harkat dan martabat sebagai
orang Indonesia. Selain itu menurut AL menikah di luar negeri memang
dianggap sah menurut hokum namun tidak menurut kepercayaan masingmasing.
Awalnya mereka melakukan pendekatan ke Paramadina yang
selama ini dikenal sering memfasilitasi perkawinan beda agama di Jakarta.
Mereka menghubungi Dr. Kautsar Azhari Noer, menurutnya hal itu bisa
dilakukan namun untuk pemberkatan gereja Pak Kautsar merujuk ke GKI
pondok Indah. Gereja ini menyanggupi pemberkatan meski pasangan tidak
masuk Kristen, namun harus disertai sejumlah syarat yang ditandatangani
diatas materai. Perjanjian itu isinya, pertama, tidak ada prosesi keagamaan
di luar gereja. Kedua, anak yang lahir nanti harus dididik dalam
lingkungan gereja atau kekristenan. Ketiga, dalam jangka waktu sepuluh
atau lima belas tahun ke depan pasangan yang tidak beragama Kristen
harus diarahkan untuk masuk Kristen juga. Menurut LM hal ini tidak adil
bagi AL atau dengan kata lain adalah bentuk pengkristenan jangka
panjang.
Tidak mudah memang perjuangan mereka untuk menyatukan cinta
mereka dalam satu ikatan perkawinan yang diberkati Tuhan. Walaupun
demikian akhirnya permohonan mereka dikabulkan Tuhan, mereka
dipertemukan dengan sejumlah teman dan sahabatnya yang peduli dan
tulus membantu serta membuka jalan bagi proses kelancaran pernikahan
mereka. Tanggal 7 Januari 2005 menjadi hari bersejarah bagi pasangan AL
dan LM karena di hari itulah mereka resmi menikah dengan akad nikah di
Wahid Institute.
Menurut AL, dalam akad yang dijalaninya ini LM yang notabene
seorang Kristen merasa dihargai dan mendapat pemuasan keberagamaan
dan spiritualitasnya. Karena dalam acara ini LM sama sekali tidak diminta
untuk mengaku sebagai seorang muslim, bahkan Kyai yang menikahkan
mereka mengundang temannya yang seorang Pendeta untuk mendampingi
LM dalam prosesi akad nikahnya.
Pemberkatan di Salatiga
Setelah akad nikah di depan pemuka agama Islam, AL dan LM
segera berangkat ke Salatiga. Mereka berkenalan dengan Bapak Prajarta
dari Percik yang memang sudah dikenal dengan komunitas lintas
agamanya. Karena di Percik sudah sering mengatasi masalah-masalah
perkawinan lintas agama.
Hal pertama yang dilakukan pasangan AL dan LM di Salatiga
adalah pendekatan kepada Gereja. Mereka berkonsultasi dengan kawankawan dari percik. Oleh Percik, mereka diperkenalkan dengan lingkungan
Gereja Kristen Jawa (GKJ) yang alirannya Presbitarian. Mereka sempat
berkonsultasi bagaimana tatacara melangsungkan pernikahan di gereja
tersebut, menurut sang pendeta, tidak ada masalah jika mereka ingin
melangsungkan perkawinan beda agama tanpa harus si non-Kristen pindah
agama. Yang diperlukan adalah pihak Kristen dalam hal ini LM harus
mendaftar menjadi anggota jemaat gereja terlebih dahulu agar pernikahan
mereka bisa diberkati gereja.
Namun, ketika LM mengajukan diri menjadi anggota jemaat,
ternyata majelis gerejanya menolak. Walau tidak diungkap alasan
penolakan tersebut, tetapi menurut LM, untuk menolak LM menikah beda
agama mereka harus menolak LM menjadi anggota jemaat, soalnya kalau
LM sudah menjadi anggota jemaat, gereja tidak bisa menolak ketika LM
ingin menikah beda agama. Walaupun pendeta gereja mendukung
pernikahan
tersebut
namun
ternyata
majelis
gereja
tetap
tidak
memperbolehkannya.
Penolakan tersebut sempat membuat LM merasa down, namun
ternyata berkah Tuhan tidak jauh darinya. Di Salatiga ada beberapa GKJ,
kebetulan ada satu gereja yang ditemui LM yang berbeda dengan gereja
sebelumnya. Pandangan majelis gerejanya tidak terlalu keras dalam
menghadapi masalah seperti ini, gerja itu adalah GKJ Sidomukti Salatiga.
GKJ ini mengabulkan permohonan LM menjadi anggota jemaat dan
permohonan LM untuk pemberkatan pernikahan.
Akhirnya pada tanggal 11 Januari 2005, di hari ulang tahun LM,
AL dan Lia melangsungkan pernikahan dengan pemberkatan di GKJ
Sidomukti Salatiga. Dalam prosesi ini tidak ada acara pembaptisan dan
pendetanya sangat menghargai keberadaan AL sebagai non-Kristen, di
mana dalam pengucapan janji pernikahan AL dapat mengucap janji
dengan menyebut nama Tuhan sesuai keyakinannya.
Setelah pemberkatan pernikahan, GKJ Sidomukti mengeluarkan
surat peneguhan dan pemberkatan nikah dengan data-data seperti apa
adanya. Bermodal surat inilah AL dan LM mengajukan permohonan
pencatatan perkawinan di Kantor Catatan Sipil Salatiga. Dengan
dikeluarkannya kutipan akta nikah oleh Kantor Catatan Sipil maka
perkawinan AL dan LM sudah dianggap sah baik secara hukum maupun
agama mereka masing-masing.
d. SW (Kristen) – DJ (Islam)
DJ yang akrab disapa YT lahir pada tahun 1986, ia adalah anak
pertama dari dua bersaudara dari keluarga bapak Siswanto dan Ibu Ras
yang mana keduanya beragama Islam. DJ besar didik secara Islam sejak
kecil oleh orang tuanya. DJ bersekolah di SD Kumpulrejo 1 lulus pada
tahun 1997 kemudian melanjutkan sekolah lagi di SMP Negeri 9 Salatiga
lulus pada tahun 2000.
Sedangkan SW, ia lahir pada tahun 1982 putra ketiga dari bapak
Sugito dan ibu Tasmi yang keduanya beragama Kristen. SW besar dalam
didikan agama Kristen seperti orang tuanya. SW bersekolah di SD
Kumpulrejo lulus tahun 1995 melanjutkan di SMP Kristen 4 lulus tahun
1998 kemudian melanjutkan sekolah lagi di SMA Theresiana di Salatiga.
Sekarang bekerja sebagai tukang kebun di SD N Kumpulrejo sampai
sekarang sambil melanjutkan pendidikannya D2 Perpustakaan di Kota
Salatiga.
Awal pertemuan DJ dan SW diawali dengan hobi SW bermain bola
volly. Pada waktu itu SW sedang bermain bola volly di dekat rumah DJ,
pada waktu itu Yanti masih bersekolah di SMP N 9 Salatiga. Di usia saat
itu tidak terbayang bagi mereka untuk berpacaran, namun ternyata peran
teman-teman mereka sangat besar. Dimulai dari keisengan teman-teman
mereka yang selalu menjodohkan mereka, yang memaksa mereka untuk
menjadi dekat dan akhirnya tanpa pikir panjang dan untuk menghindari
ejekan teman-teman yang terus menerus, SW meminta DJ untuk jadi
pacarnya. Tanpa diduga ternyata mereka sudah berpacaran selama kurang
lebih 4 tahun sebelum akhirnya pasangan ini menikah pada tahun 1996.
Pada awalnya orang tua DJ kurang setuju dengan rencana
perkawinan DJ dan SW mengingat SW tidak seagama dengan DJ. Namun
apa boleh dikata, sebagai orang tua, mereka terpaksa merestui kedunya
karena keadaan sudah tidak bisa dikompromikan lagi. Karena pada saat itu
DJ telah hamil di luar nikah.
Proses dan tata cara perkawinan mereka semuanya diserahkan
kepada Pendeta EBL sebagai P4 Catatan Sipil yang juga partner Percik,
sekaligus menguruskan proses perkawinan sampai mendapat kutipan akta
perkawinan. Secara sepintas proses perkawinan di laksanakan di GKJ
Sidomukti kemudian secara Islam dirumahnya SW. Hal ini dilakukan SW
yang tidak tahu menahu tentang proses pencatatan perkawinan di Kantor
Catatan Sipil, yang ia tahu hanya penting bagi orang yang menikah untuk
memiliki kutipan akta nikah. Selain itu keadaan juga sudah mendesak
sehingga SW pasrah sepenuhnya pada Pendeta tentang bagaimana
baiknya. Dari perkawinan mereka lahir seorang putra yang diberi nama
Andika Yoga Saputra pada tanggal 24 januari 2007, ia dididik dan
dibesarkan dalam naungan agama Kristen.
e. Gama (Katolik) – Chinda (Islam)
Keluarga Nikah Beda Agama
Pernikahan beda agama bagi Gama bukanlah hal yang asing karena
Gama tumbuh dalam lingkungan pernikahan beda agama. Gama tinggal di
daerah Pudak Payung, Semarang. Ayah Gama beragama Islam sejak
Beliau kecil. Beliau adalah seorang Islam yang taat dan kebetulan juga
beliau telah menjalankan ibadah haji. Ayah Gama sekarang merupakan
pensiunan PT. Perkebunan Nusantara IX dan kesibukan beliau sekarang
adalah mengelola warung sembako bersama istrinya.
Ibu Gama merupakan seorang Katolik sejak kecil. Beliau bukanlah
tipe wanita karir, melainkan seorang ibu rumah tangga. Orang tua Gama
menikah dengan kondisi beda agama di Kantor Catatan Sipil sekitar tahun
1974, dimana pada tahun itu tidak terlalu mempermasalahkan pernikahan
beda agama.
Seiring berjalannya waktu, memang bukan hal yang mudah bagi
orang tua Gama menjalani kehidupan dalam perbedaan keyakinan. Bukan
hal yang ditutup-tutupi oleh Gama bahwa ayah dan ibunya sering cek-cok
masalah agama masing-masing. Tapi demi keharmonisan keluarga, Ibu
Gama berbesar hati untuk bisa masuk Islam mengkuti agama Ayahnya
pada tahun 2011 walaupun terasa begitu berat bagi Ibunya.
Gama memiliki dua orang kakak perempuan dan dua-duanya juga
seorang Katolik sejak kecil. Kakak pertamanya (Eni) telah menikah
dengan seorang pria Islam, hingga akhirnya dia juga masuk Islam
mengkuti agama suaminya. Kakak kedua Gama (Wiwit), kebetulan masih
lajang. Dia adalah seorang Katolik yang taat menurut pandangan Gama.
Sedangkan Gama sendiri tidak jauh berbeda dengan kedua kakaknya, dia
dididik sebagai seorang Katolik sejak kecil.
Sedangkan latar belakang keluarga calon istri Gama yaitu orang tua
Chinda (Pak Andi Armansyah dan Ibu Siti Fatimah), mempunyai dua
orang anak, yaitu Chinda (calon istri Gama) dan anak kedua laki-laki
(Dika) yang masih berusia 11 tahun. Mereka berasal dari keluarga Islam
yang cukup taat. Mereka tinggal di JL. Kebon Arum Selatan 1 N0. 25
Desa Kebon Batur, Kecamatan Mpranggen, Kabupaten Demak. Pak Andi
dan istrinya sehari-hari bekerja di salah satu perusahaan swasta.
Bapak Andi ini menurut Gama mempunyai watak yang cukup keras.
Setiap beliau mempunyai keinginan, maka hal itu sangat sulit untuk
dibantah, walaupun oleh istrinya sendiri. Sedangkan istrinya, cenderung
sebagai seorang wanita yang banyak mengalah di depan suaminya.
Dunia Maya Dunia Jodoh
Awal pertemuan Gama dan Chinda pada tahun 2006, pada waktu itu
masih marak-maraknya chatting di dunia maya. Diawali dengan keisengan
Gama sepulang kuliah, membuka internet, masuk chat room, dan mulailah
bertemu / berinteraksi dengan Chinda lewat chatting.
Sampai akhirnya mereka saling tukar nomor hp dan berlanjut smsan, meskipun belum pernah saling bertemu. Hingga suatu hari, mereka
berencana untuk bertemu yang pertama kali, Gama menjemput Chinda
sepulang sekolah (waktu itu Chinda masih duduk di bangku SMK kelas 2,
sedangkan Gama sudah kuliah semester 6) dan mengantar Chinda pulang
ke rumahnya di Kebon Batur.
Sejak tahun 2006 hingga sekarang, tidak semuanya berjalan mulus.
Berbagai permasalahan muncul sebagai sepasang kekasih, namun hal
tersebut tidak sampai memisahkan mereka berdua karena semua masalah
yang dihadapi dapat terselesaikan dengan baik.
Sejak awal, Gama sudah tahu bahwa Chinda seorang muslim.
Chinda dan keluarganya pun tahu Gama seorang Katolik. Namun hal
tersebut tidak mempengaruhi bahkan tidak mengurungkan hubungan
mereka, karena memang saat itu tidak ada larangan dari orang tua
meskipun tahu latar belakang agama masing-masing.
Tahun demi tahun berganti, tak terasa hubungan Gama dan Chinda
sudah sampai di tahun ke-6. Dengan lamanya waktu yang telah lama
mereka lalui bersama mulailah terpikir ke arah mana hubungan mereka
selanjutnya. Mengingat usia mereka yang semakin bertambah dan telah
lamanya terjalin hubungan di antara mereka, mereka harus mulai berfikir
untuk masa depan mereka. Terutama bagi Chinda yang seorang
perempuan, tentu saja semakin bertambah usia mulai terfikir untuk
menentukan masa depan dengan mengubah status dengan adanya sebuah
perkawinan.
Akhirnya pertengahan tahun 2012, Gama dan Chinda sepakat untuk
bertunangan terlebih dahulu, namun kesepakatan ini belum mereka
utarakan kepada orang tua masing-masing. Sebagai laki-laki Gama harus
menunjukkan rasa tanggung jawabnya untuk berani menemui orang tua
Chinda dan mengutarakan niat baiknya untuk menjadikan Chinda sebagai
calon istri. Hal yang cukup berat untuk dilakukan Gama mengingat latar
belakang agama mereka yang berbeda, namun hal tersebut harus ia
lakukan demi masa depan mereka berdua.
Orang tua Chinda, ayahnya menerima maksud Gama dengan baik,
namun ternyata tidak semudah itu. Pada awalnya, orang tua Chinda
menerima maksud baik Gama untuk melamar Chinda sebagai calon istri
bahkan meng-iya-kan niat Gama tersebut, tetapi ternyata ada syaratnya,
yaitu Gama harus masuk Islam dulu. Keterkejutan Gama tidak bisa
ditutupi pada saat itu, tanpa berkomentar panjang Gama hanya bisa berkata
akan memikirkannya terlebih dahulu.
Demi memperjuangkan cinta dan agamanya, Gama mencari
informasi kemana-mana, searching di Internet tentang perkawinan beda
agama. Namun hasilnya nihil, malah yang ia temukan banyak di antara
kasus pacaran beda agama, ujung-ujunngnya berakhir putus. Gama sempat
putus asa dan tidak tahu harus bagaimana.
Sebuah Jalan Terang
Gama tidak langsung datang ke KCS Semarang, karena saat itu
masih simpang siurnya informasi tentang bagaimana bisa sah secara
agama Islam dan Katolik, juga sah menurut negara. Menurut Gama saat
itu, datang ke KCS Semarang sebagai orang asing tidak akan banyak
membantu.
Dari sinilah Percik bagaikan sebuah titik terang di tengah perjalanan
Gama dan Chinda dalam memperjuangkan cinta mereka. Dimulai dari
informasi seorang teman Chinda tentang sebuah lembaga di Salatiga
bernama Percik yang katanya bisa menyelesaikan pernikahan beda agama.
Namun ternyata teman Chinda tersebut tidak tahu pasti alamat Percik.
Walaupun
sedikit,
bagi
Gama
informasi
tersebut
cukup
untuk
membesarkan harapan Gama dan Chinda. Dengan berbekal informasi kata
"Percik" dan "Salatiga", Gama dan Chinda berangkat ke Salatiga, tanpa
tahu Percik itu apa dan harus menuju kemana.
Saat itu, sampai di Salatiga sekitar pukul 9 pagi karena tidak tahu
harus kemana, mereka berhenti di sebuah warung soto di bundaran
Ramayana. Sembari makan, mereka mencoba bertanya kepada penjual
soto, kemana arah ke Percik. Namun si penjual soto itu ternyata tidak tahu,
beruntung ada seorang pembeli lain yang mendengar pembicaraan mereka,
dan tahu tentang Percik, akhirnya dia menunjukkan arah kepada Gama dan
Chinda, yang ternyata tidak jauh dari sana.
Sampai di Percik, suasana sepi karena waktu hari Sabtu. Mereka
menuju ruang Administrasi dan hanya bertemu dengan tukang kebun.
Tanpa banyak kata Gama dan Chinda bertanya kepada siapa mereka bisa
berkonsultasi tentang pernikahan. Karena saat itu tidak ada orang, tukang
kebun itu akhirnya memberikan nomor telepon Pak Agung kepada Gama.
Beruntung sebelum mereka pamit, mereka berpapasan dengan Pak
Pradjarta, yang ternyata adalah pimpinan Percik. Mereka diberi sedikit
gambaran tentang apa sebenarnya Percik itu, juga pandangan beliau
tentang nikah beda agama. Itulah awal perkenalan mereka dengan Percik.
Tentang menjembatani dua pihak keluarga, peran Percik hanya
sebatas memberikan pengetahuan secara teknis bagaimana proses
pernikanan beda agama ini bisa dilakukan. Mengenai diskusi dua keluarga,
untuk kasus Gama dan Chinda, telah bisa diselesaikan dengan baik oleh
keluarga mereka masing-masing melalui diskusi yang panjang antara dua
keluarga. Di sini Percik tidak turut andil dalam diskusi dua keluarga.
Untuk masalah alur perkawinan hampir sama seperti pasangan yang
lain. Masing-masing dari mereka membuat surat pengantar RT/RW,
kelurahan, kecamatan, surat N1-N4, rekomendasi dari catatan sipil
Semarang (hanya untuk laki-laki). Selanjutnya dokumen-dokumen itu
mereka serahkan ke Percik untuk bisa diproses di KCS Salatiga. Setelah
dokumen terkumpul, prosesi pernikahan akan dilangsungkan dengan dua
agama.
Sesuai dengan arahan dari Percik,
akan dilangsungkan
permberkatan secara Kristen terlebih dahulu (dulu bisa secara Katolik,
tetapi disayangkan Romo Suryo telah meninggal dan belum ada
penggantinya), setelah itu baru akad nikah secara Islam.
Rencananya akan mereka laksanakan pada tanggal 15 Desember
2012 di GKJ Sidomukti secara katolik kemudian secara Islam di rumah
Gama pada waktu yang bersamaan dengan wali yang menikahkan adalah
ayah chinda. Namun Romo Khatolik dari Gama berkata lain ternyata sang
Romo menghendaki adanya kawin beda Agama di Gerejanya yaitu Gereja
Kristus Raja tepatnya di depan SMA 1 Ungaran. Setelah prosesi Khatolik
selesai dilanjutkan prosesi Islam yang dilangsungkan dirumahnya Gama
dengan wali yang menikahkan ayahnya Chinda. Prosesi itu berlanjut
dengan datangya pihak Kantor Catatan Sipil (KCS) sebagai pencatat
perkawinan untuk dicatatkan. Jadi sudah sah perkawinan tersebut secara
Agama maupun Negara “tutur Gama”.
Nikah Beda Agama Dalam Pandangan Gama
Menurut Gama, tidak ada orang yang memilih untuk menikah beda
agama seandainya mereka memang bisa memilih. Alasan Gama menikah
tentu karena ingin berumah tangga, mempunyai keturunan, dan berbagi
dengan seseorang yang disayangi sampai dengan akhir hidupnya. Namun
jika jodohnya ternyata berbeda agama, bagi Gama itu adalah konsekuensi
karena telah memilih Chinda sebagai pasangan hidupnya.
Sebagai umat manusia, tanpa berpihak pada agama tertentu dan
tanpa bermaksud untuk menyalahkan agama tertentu, Gama berpendapat
bahwa dirinya juga jutaan orang lain, diciptakan oleh Tuhan yang sama.
Tidak ada Tuhan Islam, Tuhan Katolik, Tuhan Hindu dll. Tuhan tidak
menciptakan setiap manusia sekaligus diberikan agama masing-masing.
Tapi manusia sendiri lah yang memilih untuk menganut agama mana, yang
akan mengatur hubungannya dengan Tuhan, sekali lagi, Tuhan yang sama
di antara semua agama. Tetapi mengapa dua orang manusia yang
diciptakan oleh Tuhan yang sama, ingin bersatu tidak diperbolehkan
karena alasan agama. Padahal agama adalah pilihan manusia itu sendiri.
Lalu menurut Gama, apakah itu berarti manusia sendiri yang membatasi
dengan siapa dia bisa menikah atau tidak boleh menikah? Apakah kuasa
manusia lebih besar dari Tuhan itu sendiri? Itu menjadi hal yang lucu
menurut Gama.
Menurut Gama, kalau kita beriman pada Tuhan yang sama
(meskipun berbeda agama), harusnya antara kita tidak bisa dibatasi oleh
agama yang juga mengajarkan Tuhan yang sama. Gama hanya
berpendapat sebagai seorang manusia yang bebas terlepas dari ada yang
setuju dan ada yang tidak. Tentang keabsahan perkawinan, Gama tidak
dapat berbicara banyak dari sisi agama Islam, karena ia sendiri tidak
terlalu paham, sebisa mungkin ia mengikuti norma-norma yang ada agar
dipandang sah secara Islam. Namun dari sisi agama Katolik, pernikahan
beda agama memang dimungkinkan, seperti yang sudah pernah ia
konsultasikan dengan Romo di gerejanya. Sedangkan di mata negara,
harusnya sudah sah ketika sudah dicatatkan di Kantor Catatan Sipil.
2. Proses Perkawinan Beda Agama yang di Fasilitasi Percik
a) Prosedur Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama di Kantor
Catatan Sipil (KCS)
Pegawai KCS Salatiga (wawancara tanggal 13 november 2012)
menyatakan bahwa perkawinan beda agama dapat dilakukan melalui
penetapan Pengadilan Negeri sesuai dengan UU No. 23 tahun 2006
tentang administrasi kependudukan dan pencatatan sipil. Adapun
syarat dan prosesnya adalah sebagai berikut :
1) Surat keterangan N1-N4 dari Kelurahan/Desa.
2) Fotocopy akta lahir.
3) Fotocopy KTP dan KK.
4) Fotocopy Surat Baptis.
5) Dua saksi dan Fc KTP yang bukan saudara kandung.
6) Imunisasi bagi calon pengantin perempuan.
7) Foto berdampingan 4x6 lembar.
8) Surat permohonan pencatatan perkawinan dari calon pengantin
kepada Ka. Disdukcapil.
9) Ijin dari komandan bagi anggota TNI/POLRI.
10) Bagi calon mempelai duda/janda, karena cerai/mati melampirkan
akta perceraian atau kematian (asli).
Proses perkawinan beda agama yang dilakukan di KCS Salatiga:
1) Calon pengantin (catin) datang ke KCS untuk nikah beda agama.
2) KCS Salatiga membuat penolakan kepada pasangan untuk menikah
beda agama dan diminta untuk mengajukan permohonan ke
Pengadilan terlebih dahulu.
3) Pengadilan memberikan penetapan kepada pemohon yang isinya
memerintah KCS untuk mencatatkan perkawinan beda agama
tersebut.
4) Pemohon mendapat kutipan Akta perkawinan dari KCS.
Gb.1 Bagan Prosedur pencatatan perkawinan beda agama di KCS.
RT
RW
LURA
H
Pemohon
CAMA
T
DKCS
Pengadilan Negeri
Ket :
Pemohon mengajukan persyaratan.
Penolakan berkas kepada pemohon.
b) Prosedur Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama yang Difasilitasi
Percik
Masalah kerukunan umat beragama memang menjadi kajian di
Percik, termasuk kasus perkawinan beda agama. Gagasan ini dimulai sekitar
tahun 2005 diawali oleh kasus yang dihadapi AL dan LM. Dengan
munculnya kasus tersebut, mulailah Percik tergugah untuk mengkaji lebih
dalam dan melakukan pendampingan pada kasus-kasus serupa. Hingga
tahun 2012 Percik telah memfasilitasi perkawinan beda agama sekitar 28
kasus.
Menurut staff Percik (Wawancara Tanggal
10 November 2012)
pada umumnya perkawinan beda agama yang akan dilakukan tata caranya
sama dengan perkawinan pada umumnya (seagama). Syarat-syarat yang
harus dipenuhipun sama sesuai dengan apa yang telah diatur oleh
pemerintah melalui Kantor Catatan Sipil. Hanya saja yang menjadi
pekerjaan tambahan adalah
mencari pihak-pihak
yang
berwenang
melakukan perkawinan yang memiliki cara pandang berbeda, yaitu mereka
yang menafsirkan diperbolehkannya atau menganggap sah perkawinan yang
dilakukan dengan keadaan kedua calon mempelai memeluk agama berbeda
satu sama lain. Selain itu tahap yang perlu dilalui adalah memberi
pemahaman kepada pihak-pihak (keluarga pada khususnya) untuk
memberikan ijin dan restu dalam prosesi perkawinan beda agama tersebut.
Secara terperinci proses perkawinan beda agama yang difasilitasi
oleh Lembaga Percik, adalah sebagai berikut:
a. Calon mempelai datang ke Percik untuk konsultasi masalah rencana
perkawinan yang dihadapi. Mereka menceritakan maksud, tujuan dan
kendala-kendala
yang
dihadapi
dalam
mempersiapkan
rencana
perkawinan yang akan mereka laksanakan. Pada umumnya kendala
terbesar yang mereka hadapi adalah mereka enggan meninggalkan agama
yang
dipeluknya
untuk
memeluk
agama
pasangannya.
Karena
perkawinan maupun proses pencatatannya akan lebih mudah dilakukan
jika mereka menikah dalam keadaan memeluk agama yang sama.
b. Kemudian dari pihak Percik mengadakan diskusi dengan Tokoh Agama
yang terkait dan berwenang dalam melakukan perkawinan.
c. Jika antara kedua keluarga calon mempelai terjadi masalah / tidak
menyetujui niat kedua calon mempelai untuk membangun rumah tangga
dengan agama yang berbeda, pihak Percik membantu memfasilitasi
kedua belah pihak untuk berdiskusi dan menyelesaikan masalah yang
ada. Percik hanya bertugas memfasilitasi, dengan cara memberikan
penjelasan, pengarahan dan mempertemukan mereka dengan tokoh
agama yang terkait jika diperlukan. Keputusan terakhir diserahkan
sepenuhnya terhadap masing-masing keluarga.
d. Jika terjadi kesepakatan untuk tetap melaksanakan prosesi perkawinan,
maka pihak keluarga mendiskusikan tentang bagaimana prosesi
perkawinan beda agama akan dilakukan sesuai agama masing-masing,
menentukan waktu dan tempat pelaksanaannya.
e. Mempelai mengurus surat-surat kelengkapan sebagai syarat pencatatan
perkawinan. Dalam hal ini calon mempelai atau yang mewakili datang ke
DKCS selain memberitahukan kehendak pencatatan perkawinan, juga
mengambil blangko-blangko yang harus diselesaikan administrasinya
sebagai syarat pencatatan (N-1 sampai N-4 dan N-5 jika dibutuhkan).
Setelah blangko-blangko tersebut dilegalisasi oleh Kelurahan, dibawa
kembali ke DKCS beserta syarat-syarat yang lainnya, meliputi :
1) Surat Pengantar dari Kelurahan (N-1 sampai N-4).
2) Surat Pernyataan belum pernah menikah/ kawin bermaterai Rp.
6.000,- dan diketahui RT, RW, Kepala Desa/ Kelurahan dan Camat.
3) Fotocopy Akta Kelahiran calon mempelai.
4) Fotocopy KTP calon mempelai yang masih berlaku.
5) Fotocopy KK orang tua yang masih berlaku.
6) Fotocopy Surat Baptis/ Surat Keterangan anggota jemaat.
7) Imunisasi TFT bagi calon mempelai perempuan.
8) Pas Foto berdampingan ukuran 4x6 sebanyak 6 lembar (Perempuan
Kiri).
9) Piagam Pemberkatan / Pengesahan Perkawinan dari pemuka agama
masing-masing.
Persyaratan khusus, meliputi :
1) Surat Ijin Orang Tua (N-5) bagi mempelai yang berusia di bawah 21
tahun.
2) Apabila orang tua berhalagan hadir harus ada ijin dari pejabat yang
berwenang.
3) Ijin dari Pengadilan Negeri bagi calon mempelai di bawah 19 tahun
apabila tidak mendapat ijin orang tua.
4) Ijin dari Pengadilan Negeri bagi calon mempelai dibawah 19 tahun
(laki-laki) dan di bawah 16 tahun (perempuan).
5) Ijin dari Pengadilan Negeri jika ingin kawin lebih dari satu istri.
6) Surat Keputusan dari Pengadilan Negeri yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap bila ada sanggahan.
7) Bagi anggota TNI dan POLRI harus ada Ijin Komandan.
8) Bagi WNI Keturunan melampirkan fotocopy SBKRI dan Surat Bukti
Ganti Nama (jika sudah ganti) yang dilegalisasi oleh PN.
9) Bagi WNA melampirkan : fotocopy Akta Kelahiran yang dilegalisasi
Catatan Sipil dan terjemahannya, Visa, Pasport, Dokumen Imigrasi,
Surat Ijin dari DUBES dan terjemahannya, Rekimendasi DEPLU Cq.
Ditjen Protokol Konsuler apabila negara asing tidak ada perwakilan di
Jakarta, Akta Perceraian (asli) bagi yang pernah kawin, fotocopy Akta
Kematian dan Akta Perkawinan bagi yang janda/ duda mati.
10) Bagi mempelai yang berbeda wilayah DKCS dilengkapi dengan
pengumuman yang menyatakan tidak ada sanggahan dari DKCS
setempat.
11) Bagi pendaftar yang kurang dari 10 hari harus ada Dispensasi dari
Camat.
12) Kutipan Akta Kelahiran anak yang akan disahkan dalam perkawinan.
f. Setelah semua syarat administrasi lengkap, pihak Percik melakukan
pendampingan kepada calon mempelai untuk masuk dalam prosesi
perkawinan sesuai yang telah direncanakan sebelumnya.
Berikut Tata Cara Perkawinan Beda Agama yang di Fasilitasi Percik :
I. Tata Cara Pemberkatan Perkawinan Oleh Gereja (Kristen)
1) Upacara Penyambutan didepan Gereja
2) Votum dan salam
3) Introitus : “Dan diatas semuanya itu kenakanlah kasih, sebagai
pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan”. (Kolose
3:4)
4) Amanat hidup perkawinan
5) Kidung sambutan
6) Pelayanan Sabda
7) Peneguhan dan Pemberkatan Nikah
a) Pertelaan pernikahan
b) Pernyataan Mempelai
8) Janji Pernikahan.
a) Peneguhan Nikah.
b) Do’a berkat Cincin Pernikahan.
c) Pemberktan Nikah.
d) Do’a Penyerahan Keluarga Baru.
e) Penyerahan Surat Peneguhan dan Pemberkatan Nikah.
9) Persembahan Syukur
a) Do’a Persembahan dan Penutup.
10) Pengakuan Iman Rosuli
11) Berkat
II. Tata Cara Pernikahan secara Islam
1) Pembukaan
2) Pembacaan ayat Suci Al-Qur’an
3) Penyerahan Mahar
4) Khotbah Nikah
5) Akad Nikah
a) Ijab
b) Qobul
6) Pembacaan Sighat Taklik
7) Do’a Nikah dan Penutup
g. Setelah prosesi perkawinan didepan pemuka agama selesai maka pihak
KCS mencatatkan perkawinan mereka dengan mencantumkan agama
masing-masing dalam akta nikah. Berikut Bagan Perkawinan beda agama
yang difasilitasi Percik
Gb.2 Bagan Prosedur perkawinan beda agama yang difasilitasi
Percik.
RT
RW
LURA
H
Percik
Pemohon
Kantor Catatan Sipil
(KCS)
Ket :
CAMAT
Pemohon datang ke-Percik.
Percik meminta kepada Pemohon untuk melengkapi berkas.
F. Pandangan Tokoh Agama terhadap Perkawinan Beda Agama
1. Pendeta Kristen Randuacir (wawancara tanggal 1 Desember 2012)
Salah satu Pendeta yang pro dengan perkawinan beda agama
adalah Pdt. Sari Frihono yang mengatakan bahwa Percik merupakan
sebuah LSM yang bergerak di bidang sosial yang di dalamnya termasuk
masalah agama. Bagi Beliau, agama merupakan system dan agama
selalu komunal bukan individual. Pdt. Sari merasa menemukan kitab
suci yang tidak terbatas dalam buku (Al Kitab) yang berupa nilai-nilai
kemanusiaan dalam kehidupan sosial melalui LSM Percik. Menurut
Beliau, bukti bahwa seorang manusia mengasihi Tuhan harus
dibuktikan dengan mengasihi sesama manusia.
Pdt. Sari juga mengakui bahwa dulu ia adalah salah seorang
yang menentang perkawinan beda agama. Setelah bertemu dengan
Percik, bertemu dengan tokoh-tokoh agama lain Beliau mulai berfikir
ulang dan membuka pandangan baru tentang perkawinan beda agama.
Di LSM Percik inilah tergambar kehidupan sosial yang tidak
membedakan agama, termasuk di dalamnya perkawinan beda agama.
Menurut Beliau, seharusnya kita sebagai manusia harus
menekankan kebenaran dari sisi etis bukan dogmatis. Karena kebenaran
jika dilihat dari sisi etis, kebenaran akan bersifat objektif, berbeda
ketika kebenaran dilihat secara dogmatis maka kebenaran akan bersifat
subyektif. Seharusnya orang tidak lagi doktrinosentris dan beralih ke
etikosentris. Seharusnya Tuhan tidak bisa dibatasi dalam bentuk kitab
suci/buku saja, namun sayangnya orang hanya membatasi Tuhan dalam
kitab suci, sehingga segala hal yang di luar kitab suci masuk neraka.
Untuk masalah fasilitasi perkawinan beda agama yang dilakukan
Percik, menurut Pdt. Sari tidak ada masalah, karena memang dengan
adanya fasilitasi ini, bisa mempermudah orang-orang yang hendak
melakukan perkawinan beda agama. Dengan demikian kita sebagai
manusia dapat mewujudkan bukti kasih kepada Tuhan yaitu dengan
cara mengasihi sesama manusia tanpa memandang latar belakangnya.
Dasar yang digunakan Pdt. Sari dalam mengamini perkawinan
beda agama adalah kitab Lucas 10:29 yang berbunyi “perlakukanlah
sesama manusia seperti diri kita sendiri”. Dunia tidak satu wajah, daun
pun tidak selalu hijau, kenapa harus dipaksakan untuk seragam? Yang
perlu dikembangkan adalah sadarilah perbedaan dan terimalah
perbedaan itu.
2. Pendeta GKJ Sidomukti Salatiga (wawancara tanggal 5 desember
2012)
Pendeta lain yang pro dengan nikah beda agama adalah Pdt. Eben
Heizer, Beliau termasuk salah seorang yang dirangkul percik dalam
memfasilitasi perkawinan beda agama. Memang cara pandang dan
penafsiran seseorang terhadap sesuatu bisa berbeda-beda, begitu juga
masalah perkawinan beda agama. Dalam perjanjian lama, menurut
Beliau, dahulu umat Kristen hanya boleh melangsungkan perkawinan
dengan seseorang yang sebangsa saja (Israel), sedangkan mereka yang
menikah dengan orang dari bangsa lain dianggap kafir. Namun setelah
ada perjanjian baru, hal tersebut tidak ada lagi.
Ketentuan-ketentuan yang ada di perjanjian lama tidak serta merta
dibawa ke perjanjian baru. Terutama masalah diskriminasi di perjanjian
lama tentang perbedaan keyakinan sekarang sudah tidak ada lagi.
Pengajaran Yesus pun melarang orang memandang tembok pemisah,
entah itu suku, agama, ras maupun bangsa.
Setiap gereja memiliki aturan sendiri-sendiri, dalam teologi GKJ
(Gereja Kristen Jawa) sudah memiliki konstitusi yang mengatur tentang
warga gereja yang ingin menikah dengan orang yang berbeda agama.
Dalam konstitusi tersebut disebutkan boleh jika seorang warga gereja
menikah dengan orang yang berbeda iman, tetapi ada satu hal yang
perlu diingat, jika hal tersebut terjadi, akan ada sebuah pengorbanan
religious. Jadi bagi mereka yang telah memutuskan untuk menikah
dengan orang yang berbeda agama harus siap dengan perbedaanperbedaan yang ada dan harus punya kebesaran hati dalam
menjalaninya.
Tidak semua gereja mau menerima atau melayani pemberkatan
perkawinan beda agama. Dahulu pada tahun 1990-an pemberkatan
perkawinan beda agama dilarang, hingga pada tahun 2005 pemberkatan
perkawinan beda agama mulai diperbolehkan.
Alasan
mereka
yang
menolak
perkawinan
beda
agama
menggunakan dalil dalam Korintus 6:14 “…atau bagaimanakah terang
dapat bersatu dengan gelap”. Mereka menafsirkan ayat ini sebagai
larangan menikah beda agama, karena mereka menganggap orang yang
tidak seiman termasuk dalam golongan kegelapan. Namun menurut Pdt.
Eben Heizer, bukan seperti itu maksud ayat tersebut, seiman pun kalau
berkelakuan buruk juga sama saja, tidak ada bedanya.
UU No. 1 Tahun 1974 juga tidak mengatur secara khusus tentang
perkawinan beda agama, tidak melarang dan juga tidak membolehkan,
semua tergantung dari penafsirannya. Tidak berbeda jauh dengan Al
Qur’an yang satu namun banyak penafsirannya. Dengan keadaan aturan
hokum di Indonesia yang seperti itu, dianggap tidak memenuhi
kebutuhan masyarakat. Oleh sebab itulah Percik memfasilitasi
perkawinan beda agama sampai Negara mau memfasilitasinya. Tentu
saja tidak semua sepaham, dan biasanya jika tidak sepaham akan sulit
menemukan titik temunya.
Perkawinan di dalam Islam merupakan urusan agama, begitu juga
dalam Katolik merupakan urusan gereja, berbeda dengan Protestan,
karena di dalam protestan perkawinan merupakan urusan sipil. Di luar
negeri, pemberkatan perkawinan itu fakultatif, jadi orang menikah
boleh
melakukan
pemberkatan.
Kalau
pemberkatan
di
Katolik
boleh
juga
agak
rumit
tidak
untuk
melakukan
melakuka
pemberkatan, karena ada hierarki gereja. Seorang Romo tidak bisa
melakukan apa-apa jika tidak ada perintah atau izin dari Uskup. Begitu
juga dalam agama Islam, setiap Kyai juga memiliki penafsiran masingmasing. Dalam hal memfasilitasi perkawinan beda agama percik juga
bekerja sama dengan ICRP (Indonesian Conference On Religion and
Peace). Pak Ahmad Nurcholis dari Jakarta juga sering datang ke Percik
untuk memfasilitasi perkawinan beda agama, Pak Sultoni juga sering
diundang sebagai penasehat, namun yang menikahkan tetap orang tua
mereka masing-masing. Menurut Pdt. Eben Heizer dulu orang yang
pertama kali menikahkan perkawinan beda agama yang diberkati oleh
GKJ Sidomukti adalah seorang Kyai NU Cirebon, pada saat itu yang
menikah laki-laki beragama Islam dan Perempuan beragama Nasrani.
Pdt. Eben Heizer berpendapat, pada dasarnya boleh atau tidaknya
perkawinan beda agama itu tergantung dari cara menafsirkan suatu ayat.
Di GKJ Sidomukti Salatiga, perkawinan beda agama boleh dilakukan,
dengan dasar teologi bahwa perkawinan itu sebuah keputusan pribadi
seseorang dalam menjalani kehidupan dalam rancangan kehidupan ke
depan. Perkawinan itu tidak terkait dengan prasyarat kesamaan
keyakinan/
iman.
Perkawinan
beda
agama
dipahami
sebagai
perkawinan dalam ikatan cinta kasih dimana seorang pribadi
mengambil keputusan
berdasarkan kesadaran penuh dan
bisa
dipertanggungjawabkan kepada Tuhan. Pada dasarnya ajaran dalam Al
Kitab bahwa perbedaan tidak boleh menjadi alasan pemetaan.
3. Kyai Anshori (Wawancara tanggal 13 desember 2012)
Tokoh agama Islam yang pernah bekerjasama dengan Percik
dalam proses perkawinan beda agama adalah Bapak K.H. Anshori
Djawadi. Beliau pernah menjabat sebagai kepala KUA Kec. Sawangan
tahun 1985-1989, Kepala KUA Kec. Mertoyudan Magelang tahun
1989-1997, Kepala KUA Kec, Mungkid tahun 1997-2001. Selain
sebagai kepala KUA Beliau juga aktif mengajar di berbagai sekolah dan
pondok pesantren, Ia juga termasuk anggota peneliti Lintas Kitab Suci
Ulil Albab yang berpusat di Jakarta.
Hingga wawancara ini dilakukan, Pak Kyai Anshori mengaku
pernah menikahkan 3 pasangan berbeda agama yang dalam kasus ini
ketiga pihak laki-laki beragama Islam. Salah satu pasangan yang Beliau
nikahkan adalah pasangan AD-DW. Pada awalnya, karena terpengaruh
pikiran pikiran liberal (baik Islam Liberal maupun Kristen Liberal)
yang lebih mengedepankan kontekstual daripada tekstual, pak Kyai
Anshori sempat membolehkan perkawinan beda agama. Namun setelah
mengkaji lebih dalam masalah perkawinan beda agama ini pandangan
Beliau berubah, dari membolehkan menjadi tidak membolehkan.
Bersedianya beliau mengawinkan pasangan nikah beda agama,
awalnya, seperti yang telah diungkapkan di atas bahwa sempat Beliau
berfikir liberal yang menganggap agama adalah untuk manusia,
sehingga ketika manusia dihadapkan pada persoalan yang terbentur
agama, mereka mencari solusi yang dianggap tepat. Bahwa seharusnya
agama tidak menjadi suatu penghalang ketika ada dua insan manusia
yang ingin bersatu namun berbeda agama. Selain itu didasari bahwa
pihak yang Islam adalah pihak laki-laki, karena di dalam Al Qur’an
surat Al Maidah: 5 juga diterangkan kebolehan seorang laki-laki
muslim menikahi perempuan ahli kitab terlepas dari beberapa pendapat
ulama mengenai ahli kitab yang manakah yang boleh dinikahi.
Memang tidak secara spesifik kapan Pak Kyai Anshori mulai
merubah pandangannya, namun berdasar kasus pada perkawinan ADDW dapat penulis simpulkan bahwa saat itu pemikiran Kyai Anshori
mulai berubah. Hal itu terlihat dalam wawancara dengan AD-DH
sempat muncul statement bahwa pada detik berlangsungnya akad nikah
Kyai yang akan menikahkan mereka secara beda agama berubah
pandangan menjadi tidak mau menikahkan secara beda agama.
Sehingga dalam kasus perkawinan AD-DH, DH menyatakan masuk
Islam terlebih dahulu dengan tuntunan Kyai Anshori dan disaksikan
oleh Agung dan AD (calon suaminya).
Dalam pandangannya yang baru, sesuai ajaran Islam, bahwa
seharusnya umat Islam dalam bertingkah laku harus berpedoman pada
kitab suci Al Qur’an, bukan Al Qur’an yang harus menyesuaikan
kebutuhan
manusia.
Menurutnya,
bagi
umat
yang
beriman
berkeyakinan bahwa dengan berpegang teguh kepada tuntunan dan
petunjuk Allah, hidup ini pasti bahagia dirahmati dan diberkati Allah.
4. Prof Zuhri (Wawancara Tanggal 3 Januari 2013)
Menurut Prof Zuhri, Perkawinan beda agama itu tidak ideal,
karena dalam perkawinan beda agama dapat menimbulkan berbagai
masalah. Misalnya dalam masalah kejiwaan, pelaku perkawinan beda
agama memiliki usia yang sudah tua, pasti suatu ketika ia akan
membayangkan alangkah senangnya jika seandainya bisa solat
berjama’ah dan puasa bersama-sama. Selain itu, ternyata mereka juga
secara diam-diam berebut anak (perang dingin), saling tarik menarik
anaknya ke agama yang dianut masing-masing.
Menurut beliau tidak hanya itu masalahnya, pasangan yang
hendak melangsungkan perkawinan beda agama juga akan mengalami
kesulitan dalam keadministrasian dan idealnya orang Islam dicatat di
KUA dan non Islam dicatat di KCS. Perkawinan beda agama yang
dilihat dalam 2 (dua) regulasi Undang-Undang yaitu KHI (untuk
beragama islam) dan Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974
(Non Islam) kurang tepat karena tidak memikirkan rasa hati. Jika
ditinjau dari pengalaman pelaku perkawinan beda agama yang sudah
lanjut (tua), mereka mengaku ada masalah dalam perkawinannya.
Namun jika dari pelaku yang masih muda mereka mengaku senangsenang saja karena itu persoalan hati yang sudah sama-sama suka
sehingga tidak memiliki persoalan yang begitu rumit meskipun
sebenarnya ada.
Menurut beliau dalam teori Imam Syafi’i menjelaskan ....“tarqul
khilafi mustakhabbun”...... (meninggalkan perbedaan itu yang di pilih).
Maksudnya, tinggalkanlah perbuatan yang masih kontroversi. Jika
perkawinan beda agama merupakan hal kontroversi maka lebih baik
ditinggalkan.
Kesimpulan yang didapat bahwa menurutnya perkawinan beda
agama itu tidak ideal. Selain akan ada kesulitan dalam keadministrsian
juga didukung oleh pengalaman pelaku perkawinan beda agama yang
sudah tua yang mengaku bahwa melakukan perkawinan beda agama
terdapat problem kejiwaan. Menurut fiqh hal tersebut kontroversi, ada
yang membolehkan dan ada yang tidak. Karena kontroversi, beliau
tidak mengatakan itu boleh atau tidak boleh.
5. Menurut Pandangan tokoh Agama Islam di masyarakat pada
umumnya (wawancara Tanggal 1 Desember 2012)
Menurut K.H. Atiq Afifudin (57), Ta’mir Masjid Baitul Abidien
yang sekaligus Sekretaris Ranting NU mengatakan bahwa menurut
agama Islam, perkawinan beda agama haram hukumnya. Hal ini
didasari oleh ketentuan al qur’an surat al baqarah ayat 221, dan
janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari
wanita musyrik….Begitu juga sebaliknya, wanita muslim juga
diharamkan menikah dengan laki-laki musyrik.
Dengan pengecualian diperbolehkan perkawinan antara laki-laki
muslim dengan perempuan ahli kitab. Yang dimaksud dengan ahli kitab
adalah orang yang murni atau keturunan asli (orang tua)nya masuk ke
dalam agama tersebut sebelum dinasakh (ubah) dengan kerasulan Nabi
Muhammad SAW.
Dengan adanya perkawinan beda agama dikhawatirkan akan
membawa pasangannya melakukan kemusyrikan yang akan membawa
seorang muslim tersebut masuk neraka. Menurut Atiq, perkawinan yang
ideal dalam Islam tentu perkawinan yang dilakukan antar pemeluk
agama Islam. Seperti hadis Rasulullah bahwa seorang perempuan
dipilih karena 4 hal, rupa, harta, nasab dan agama. Namun dari keempat
hal tersebut yang paling utama adalah agamanya.
Melihat kenyataan yang terjadi dalam masyarakat, sebagai tokoh
agama Atiq merasa tidak punya kekuasaan untuk mengusik mereka
karena beliau menyadari bahwa agama adalah hak seseorang, selain itu
ketika pelaku perkawinan merasa bahagia, kita tidak punya hak untuk
memisahkan mereka. Hanya upaya pencegahan yang bisa dilakukan,
dengan cara menanamkan nilai-nilai keagamaan dan pemahaman
kepada para pemuda yang belum kawin.
Pendapat di atas juga dibenarkan oleh Kyai Mustain (45), beliau
juga seorang Ta’mir masjid Nurul Huda. Dia
ketidaksetujuannya
dengan
adanya
perkawinan
menyatakan
Beda
agama.
Perkawinan beda agama mampu merusak tatanan dan keturunan
pelakunya. Bagaimana tidak, ketika anak mendapati orang tua yang
berbeda agamanya akan menimbulkan suatu kebingungan pada anak
untuk memilih agama mana yang hendak dipeluknya.
Selain itu hubungan suami istri antara seorang muslim dan
seorang yang non muslim dianggap zina, sedangkan zina termasuk
salah satu dosa besar. Meskipun dalam Al Qur’an ada pengecualian
untuk laki-laki muslim menikahi perempuan ahli kitab, menurut Kyai
Mustain zaman sekarang ini sudah tidak ada yang disebut ahli kitab.
Karena pedoman/kitab suci yang mereka pegang saat sudah tidak murni
lagi seperti saat diturunkan kepada nabi Isa, dalam kitab tersebut sudah
ada perubahan-perubahan yang dilakukan manusia.
Melihat kenyataan dalam masyarakat yang ternyata ada pelaku
perkawinan beda agama, tidak banyak upaya yang bisa dilakukan untuk
mencegahnya. Karena hal tersebut sudah menjadi urusan rumah tangga
masing-masing dan menjadi pilihan hidup orang tersebut. Solusi yang
ditawarkan mungkin bisa dilakukan pendekatan kepada pasangan
pelaku perkawinan beda agama tersebut, diberikan pemahaman secara
pelan-pelan tentang hakikat sebuah perkawinan. Dengan demikian
diharapkan bisa menggerakkan hati pasangan pelaku perkawinan beda
agama terutama yang beragama Islam untuk kembali semangat
mempertahankan agamanya dan bisa mengajak pasangannya untuk
masuk Islam. Sehingga dapat tercapai tujuan perkawinan seperti yang
adiharapkan dalam Islam, yaitu sakinah, mawadah wa rohmah. Jika hal
seperti di atas tidak bisa dilakukan, dapat dilakukan upaya pencegahan
dengan memberikan pemahaman kepada masyarakat terutama para
pemuda yang belum melakukan perkawinan. Upaya tersebut dilakukan
melalui forum-forum kecil dan fokus membahas hal tersebut.
BAB IV
FASILITASI PEKAWINAN BEDA AGAMA OLEH PERCIK
A. Alasan Percik Memfasilitasi Perkawinan Beda Agama
1. Perspektif UUP
Fenomena perkawinan beda agama marak terjadi di wilayah Negara
Indonesia, secara manusiawi merupakan hal yang wajar sebagai wujud cinta
kasih antara laki-laki dan perempuan, karena cinta mampu menembus batas
etnis, budaya bahkan agama. Namun sebagai warga Negara kita harus
tunduk pada aturan yang telah ditetapkan pemerintah.
Indonesia dalam masalah perkawinan diatur oleh UU No. 1/1974
tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam bagi umat Islam. Pasal 1
ayat 1 UUP No.1/1974 menyatakan bahwa perkawinan adalah “ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri”. Pasal
2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 menjelaskan tentang keabsahan sebuah
perkawinan yaitu “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.
Perkawinan dianggap suatu hal yang sangat sakral sehingga segala
aturan perkawinan harus sesuai dengan aturan agama, hal ini terlihat dalam
pasal 2 ayat (1) UUP No.1/1974. Tidak ada satu ayat pun dalam UUP ini
yang membolehkan ataupun melarang secara tegas perkawinan beda agama.
Undang-undang ini hanya menyatakan perkawinan dianggap sah oleh
Negara dan juga dianggap sah oleh agama/kepercayaan masing-masing. Di
sini peran Negara dalam perkawinan hanya sebagai lembaga pencatat
perkawinan yang terkait dengan administrasi, hak dan kewajiban yang akan
muncul sebagai akibat dari perkawinan itu sendiri.
2. Perspektif KHI
Menurut KHI pasal 2 perkawinan diartikan pernikahan, yaitu akad yang
sangat kuat atau miitsaqan gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah. Untuk keabsahan perkawinan KHI
mengatur dalam pasal 4, perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut
hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan. Jadi KHI juga menganggap sahnya perkawinan
itu jika dilakukan menurut aturan agama masing-masing atau aturan
kepercayaan
yang
dianut
pihak-pihak
yang
akan
melangsungkan
perkawinan. Berbeda dengan UUP, di sini KHI Nampak lebih tegas karena
perkawinan harus dilakukan menurut hukum Islam. Sedangkan hukum
Islam yang berlaku di Indonesia untuk masalah perkawinan adalah KHI.
Secara tegas dan jelas KHI melarang adanya perkawinan beda agama,
dalam pasal 40 disebutkan dilarang melangsungkan perkawinan antara
seorang pria dengan seorang wanita karena dalam keadaan tertentu: c.
seorang wanita yang tidak beragama Islam. Juga tertuang dalam pasal 44,
seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang
pria yang tidak beragama Islam.
3. Perspektif Agama
Tidak adanya aturan yang jelas dalam UUP mengenai perkawinan beda
agama, menimbulkan kebingungan masyarakat dalam menanggapi kasus
perkawinan beda agama. Ada pihak yang setuju namun ada juga pihak yang
tidak setuju dengan adanya perkawinan beda agama. Ada yang menganggap
sah namun ada juga yang menganggap tidak sah perkawinan beda agama.
Hal ini dipengaruhi oleh pemahaman dan pola pikir masing-masing pihak.
Sehingga bagi sebagian masyarakat yang hendak melakukan perkawinan
beda agama sering mengalami kesulitan untuk mendapatkan pelayanan, baik
secara administratif maupun keagamaan.
Hal-hal seperti itulah yang ditangkap oleh Percik. Fasilitasi yang
dilakukan oleh Percik terhadap pasangan beda agama ini diasumsikan
sebagai
pintu
darurat
yang
berusaha
memberi
tempat/ruang
(mempermudah) untuk melakukan perkawinan beda agama. Toh melakukan
perkawinan beda agama tidak melanggar UU Perkawinan, menurut pihak
Percik.
Dari situlah perbedaan penafsiran UU Perkawinan yang menyangkut
keabsahan suatu perkawinan mulai dijadikan sebagai alasan kebolehan
perkawinan beda agama. Sebagai umat Islam tentu tidak akan bisa
melakukan perkawinan di KUA jika calon pengantin berbeda agama.
Namun Jika mereka hendak melakukan perkawinan dan dicatatkan di KUA,
maka pihak non Islam harus mau berpindah agama, masuk agama Islam
terlebih dahulu.
Pada
dasarnya
seluruh
agama
dan
kepercayaan
menganggap
perkawinan yang ideal adalah perkawinan yang dilakukan oleh orang yang
seagama atau satu keyakinan. Namun dengan alasan tertentu perkawinan
beda agama dapat dilakukan tetapi dengan syarat dan ketentuan yang diatur
oleh pihak Gereja atau Pemuka Agama. Hal ini dapat dilihat dalam kasuskasus yang terjadi banyak Gereja Kristen ataupun Katholik yang menolak
permohonan perkawinan beda agama.
Meskipun terdapat berbagai penolakan, pihak Percik terus mencari
Gereja yang berpandangan lebih luas mengenai perkawinan beda agama. Di
mana Gereja mau melayani pemberkatan perkawinan meskipun mempelai
salah satunya tidak beragama Kristen atau Katholik. Adanya beberapa
kelonggaran itu juga bagi umat Islam yang hendak melakukan perkawinan
beda agama, maka mereka mencari Pemuka Agama yang berpandangan
agak luas / membolehkan perkawinan beda agama yang bersedia
menikahkan mereka (tidak sesuai KHI).
4. Perspektif HAM
Dengan adanya pihak-pihak yang satu pemikiran dengan Percik, dan
juga didasari isi DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia) atau
Universal Declaration of human rights dan UU No. 39 tahun 1999 tentang
hak asasi manusia, Percik terus mendampingi orang-orang yang hendak
melakukan perkawinan yang terbentur dengan perbedaan agama. Setelah
menemukan Gereja yang mau memberi pemberkatan perkawinan dan
mengeluarkan surat pengukuhan perkawinan maka tidak akan ada lagi
penghalang bagi mereka untuk mencatatkan perkawinan di KCS, karena
dengan adanya surat tersebut sudah dianggap sah sesuai agama dan KCS
tidak berwenang untuk tidak mengeluarkan kutipan akta perkawinan.
Karena di sini KCS bukan sebagai institusi agama, yang berhak melakukan
prosesi perkawinan.
B. Proses Perkawinan Beda Agama yang Difasilitasi Percik
Pada umumnya perkawinan beda agama yang difasilitasi Percik memiliki
pola yang hampir sama dalam pelaksanaanya. Dalam penelitian penulis, kasus
yang sering muncul adalah perkawinan antara Islam dengan Kristen/Katholik
dan Kristen dengan Katholik. Ada beberapa hal yang perlu dicermati dalam
proses perkawinan beda agama ini, mengingat masalah yang dihadapi masingmasing pasangan berbeda, cara penyelesaiannya pun berbeda. Berikut adalah
tabel proses pelaku perkawinan beda agama.
Tabel 4.1 Proses Perkawinan Rumah Tangga Beda Agama
No
Nama
Proses Perkawinan
Keterangan
Pasangan
1
AD – DH
30 Juli 2010 (secara Islam) Akad nikah oleh Kyai
(suami- istri)
di Mushola LSM Percik Anshori
(Islam-Kristen)
Salatiga
01 Agustus 2010 (secara
Kristen) di Gereja Kristen
Jawa Sidomukti Salatiga.
2
AR – RW
Proses
perkawinan Pemberkatan
(suami-istri)
dilangsungkan
(Kristen-
Kristen
dalam
Katholik)
rangkaian
yang
digereja Gereja
Kristen
suatu dilakukan
terpisah Pendeta
di
oleh
dan
Romo
pada tahun 2005.
dalam satu rangkaian
acara
yang
tidak
terpisah
3
AL– LM
7
January
2005
(suami-istri)
Islam)
(Islam-Kristen)
Institute Jakarta.
(secara Akad oleh KH Husein
Akad di Wahid Muhammad
dihadiri
para
sahabat
11 Januari 2005 (secara mempelai.
Kristen)
perkawinan
pemberkatan
di
GKJ
Sidomukti Salatiga.
4
SW – DJ
Tahun 2006 (secara Kristen) Akad
Nikah
(suami-Istri)
di GKJ Sidomukti Salatiga Bapak DJ.
oleh
dilanjutkan (secara islam)
dirumah DJ
5
Gama–Chinda
15 Desember 2012 (secara Akad nikah oleh Bp.
(suami-istri)
Katholik) di Gereja Kristus Andi (ayah Chinda)
(Katholik-Islam) Raja
dilanjutkan
(secara
Islam) di rumah Gama.
Sesuai data di atas dapat kita lihat bahwa pelaku perkawinan beda agama
antara Islam dan Kristen (pasangan AD-DH dan AL-LM) sama-sama diberkati
di Gereja Kristen Sidomukti Salatiga. AL dan LM adalah pasangan pertama
yang melakukan pemberkatan perkawinan beda agama di GKJ Sidomukti
Salatiga. Dalam kasus ini pihak laki-laki yang beragama Islam sedangkan
pihak perempuan beragama Kristen. Akad perkawinan mereka sama-sama
dilakukan oleh Kyai bukan ayah kandung si Perempuan karena mereka dari
pihak Kristen tentu tidak mengenal akad oleh ayah kandung.
Dalam kasus yang dihadapi AL dan LM mereka butuh perjuangan keras
untuk menemukan Tokoh Agama yang mau menikahkan mereka, karena bagi
mereka perkawinan adalah salah satu bentuk ibadah kepada Tuhan YME
sehingga mereka merasa perkawinan tidak hanya sekedar mengejar surat-surat
yang dikeluarkan oleh Negara, mereka lebih mengejar pada kepuasan batin
sebagai seorang hamba Tuhan. Hal ini dibuktikan dalam usaha mereka dalam
mencari tokoh agama yang bersedia menikahkan mereka tanpa syarat apapun
yang berkaitan dengan agama. Akad yang dilakukan di Wahid Institute oleh
KH. Husein Muhammad tidak memaksa LM untuk mengakui Tuhan yang
diyakini AL sebagai umat Islam dan tidak ada embel-embel setelah perkawinan
anak harus ikut agama Islam. Untuk proses pemberkatan Gereja LM juga
berjuang keras untuk mencari Gereja yang mau menikahkan mereka tanpa
memaksa AL mengakui Tuhan yang diyakini LM dan perjuangan itu berakhir
di GKJ Sidomikti Salatiga.
Kasus serupa juga dialami oleh AD dan DH, yang sedikit membedakan
adalah dalam prosesi akad sesuai agama Islam. Dalam kasus ini DH harus
mengakui Tuhan diyakini AD baru proses akad bisa dilakukan. Entah hanya
sementara atau akan seterusnya adalah hal yang menjadi pertanyaan kemudian,
toh pada akhirnya dalam pemberkatan Gereja, DH tetap mencantumkan Kristen
sebagai agamanya. GKJ Sidomukti Salatiga sudah terbuka untuk melayani
pemberkatan nikah beda agama, untuk itu sekarang ini bagi pasangan yang
hendak melakukan nikah beda agama oleh Percik diarahkan ke GKJ Sidomukti
Salatiga. Dari proses-proses yang mereka lalui tampak bahwa tidak semua
orang (Kyai/Gereja) menyepakati perkawinan beda agama secara murni
terbuka.
Kasus AR-RW pun tidak mudah, walaupun antara Kristen dan Katholik
berdasar pada kitab yang sama namun tetap saja ada kebijakan-kebijakan yang
berbeda dalam menanggapi perkawinan beda agama. Masalah yang muncul
pada perkawinan ini adalah munculnya keharusan bagi sang buah hati untuk
memeluk agama tertentu (dalam hal ini Kristen dan Katholik sama-sama
menghendaki). Proses perkawinan dilakukan oleh dua Tokoh agama sekaligus
di Gereja Kristen. Untuk anak dari hasil perkawinan mereka, karena dulu
perkawinan sudah dilakukan di Gereja Kristen maka sesuai kesepakatan anak
pertama dicatatkan di Gereja Katholik dan dihadiri oleh Pendeta Kristen,
sedang anak kedua dicatatkan di Gereja Kristen.
Sedikit berbeda dengan kasus Gama dan Chinda, karena di sini pihak
perempuanlah yang beragama Islam. Untuk proses akadnya lebih mudah
karena ayah Chinda memiliki kuasa penuh untuk menikahkan Chinda.
Sesuai analisis tersebut dapat kita pahami bahwa pelaku perkawinan beda
agama antara Islam dan Kristen (pasangan AD-DH dan AL-LM) sama-sama
diberkati di Gereja Kristen Sidomukti Salatiga. AL dan LM adalah pasangan
pertama yang melakukan pemberkatan perkawinan beda agama di GKJ
Sidomukti Salatiga. Dalam kasus ini pihak laki-laki yang beragama Islam
sedangkan pihak perempuan beragama Kristen. Akad perkawinan mereka
sama-sama dilakukan oleh Kyai bukan ayah kandung si Perempuan karena
mereka dari pihak Kristen tentu tidak mengenal akad oleh ayah kandung.
Dalam kasus yang dihadapi AL dan LM mereka butuh perjuangan keras
untuk menemukan Tokoh Agama yang mau menikahkan mereka, karena bagi
mereka perkawinan adalah salah satu bentuk ibadah kepada Tuhan YME
sehingga mereka merasa perkawinan tidak hanya sekedar mengejar surat-surat
yang dikeluarkan oleh Negara, mereka lebih mengejar pada kepuasan batin
sebagai seorang hamba Tuhan. Hal ini dibuktikan dalam usaha mereka dalam
mencari tokoh agama yang bersedia menikahkan mereka tanpa syarat apapun
yang berkaitan dengan agama. Akad yang dilakukan di Wahid Institute oleh
KH. Husein Muhammad tidak memaksa LM untuk mengakui Tuhan yang
diyakini AL sebagai umat Islam dan tidak ada embel-embel setelah perkawinan
anak harus ikut agama Islam. Untuk proses pemberkatan Gereja LM juga
berjuang keras untuk mencari Gereja yang mau menikahkan mereka tanpa
memaksa AL mengakui Tuhan yang diyakini LM dan perjuangan itu berakhir
di GKJ Sidomikti Salatiga.
Kasus serupa juga dialami oleh AD dan DH, yang sedikit membedakan
adalah dalam prosesi akad sesuai agama Islam. Dalam kasus ini DH harus
mengakui Tuhan diyakini AD baru proses akad bisa dilakukan. Entah hanya
sementara atau akan seterusnya adalah hal yang menjadi pertanyaan kemudian,
toh pada akhirnya dalam pemberkatan Gereja, DH tetap mencantumkan Kristen
sebagai agamanya. GKJ Sidomukti Salatiga sudah terbuka untuk melayani
pemberkatan nikah beda agama, untuk itu sekarang ini bagi pasangan yang
hendak melakukan nikah beda agama oleh Percik diarahkan ke GKJ Sidomukti
Salatiga. Dari proses-proses yang mereka lalui tampak bahwa tidak semua
orang (Kyai/Gereja) menyepakati perkawinan beda agama secara murni
terbuka.
Kasus AR-RW pun tidak mudah, walaupun antara Kristen dan Katholik
berdasar pada kitab yang sama namun tetap saja ada kebijakan-kebijakan yang
berbeda dalam menanggapi perkawinan beda agama. Masalah yang muncul
pada perkawinan ini adalah munculnya keharusan bagi sang buah hati untuk
memeluk agama tertentu (dalam hal ini Kristen dan Katholik sama-sama
menghendaki). Proses perkawinan dilakukan oleh dua Tokoh agama sekaligus
di Gereja Kristen. Untuk anak dari hasil perkawinan mereka, karena dulu
perkawinan sudah dilakukan di Gereja Kristen maka sesuai kesepakatan anak
pertama dicatatkan di Gereja Katholik dan dihadiri oleh Pendeta Kristen,
sedang anak kedua dicatatkan di Gereja Kristen.
Sedikit berbeda dengan kasus Gama dan Chinda, karena di sini pihak
perempuanlah yang beragama Islam. Untuk proses akadnya lebih mudah
karena ayah Chinda memiliki kuasa penuh untuk menikahkan Chinda.
Dari perkawinan yang dilakukan melalui dua lembaga tersebut, dapat
dianalisis bahwa perkawinan beda agama yang dilakukan di KCS lebih rumit
dibanding dengan fasilitasi yang dilakukan oleh percik. Bagi KCS untuk
mencatatkan perkawinan harus mendapat penetapan dari Pengadilan Negeri
terlebih dahulu, padahal untuk sidang di pengadilan membutuhkan waktu yang
cukup lama dan biaya yang dikeluarkannyapun tidak sedikit. Mengenai
Pengadilan Negeri mengijinkan atau tidaknya perkawinan beda agama tentu
tidak semuanya daerah bisa menerima dan mengabulkan permohonan tersebut.
Hal ini karena cara pandang hakim dalam membaca aturan tentang perkawinan
itu ternyata juga berbeda-beda, ada yang berani mengijinkan perkawinan beda
agama karena berdasarkan pertimbangan etik yang dipakai, dan ada juga yang
menolak karena alasan tidak ada Undang-Undang di negara Indonesia sampai
saat ini yang melegalkan perkawinan beda agama sejak tahun 1974 ditetapkan.
Jika keputusan hakim di PN mengabulkan permintaan kedua belah pihak
yang beda agama, maka pemohon langsung mencatatkan perkawinannya di
KCS dan Catatan Sipil akan mengeluarkan surat Akta Nikah berdasarkan
putusan Pengadilan Negeri. Yang menjadi persoalannya adalah agama mana
yang mengesahkan? Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa
perkawinan yang dilakukan di Kantor Catatan Sipil yang berdasarkan putusan
Pengadilan Negeri hanya sah melalui negara dan belum sah berdasarkan
agama.
Berbeda dengan Percik, dalam memfasilitasi perkawinan beda agama yang
digelutinya selama ini tidak hanya sah menurut negara namun juga sah
menurut agama. Karena perkawinan itu disaksikan oleh dua pemuka agama
masing-masing dari kedua belah pihak. Disamping itu jika dalam proses
perkawinan ada keluarga yang kontaradiktif (tidak sepakat) maka percik juga
bersedia mendamaikanya (memediasi) antar keluarga yang berseteru. Setelah
dua keluarga tidak ada yang bermasalah, kemudian tinggal menentukan tata
cara perkawinan yaitu menentukan tempat dan tanggal pelaksanaan. Jika
semua proses perkawinan sudah selesai dan KCS juga datang disana untuk
menyaksikan perkawinan mereka. Kemudian pihak KCS tinggal mencatatkan
perkawinan mereka dengan mencantumkan agama masing-masing dalam akta
nikah. Dengan demikian fasilitasi perkawinan beda agama yang dilakukan oleh
Percik, menjadi sah menurut agama dan Undang-Undang.
C. Pandangan Tokoh Agama terhadap Perkawinan Beda Agama
1. Setuju
1. Pendeta Sari Frihono
Menurut Beliau, seharusnya kita sebagai manusia harus
menekankan kebenaran dari sisi etis bukan dogmatis. Karena
kebenaran jika dilihat dari sisi etis, kebenaran akan bersifat objektif,
berbeda ketika kebenaran dilihat secara dogmatis maka kebenaran
akan bersifat subyektif. Seharusnya orang tidak lagi doktrinosentris
dan beralih ke etikosentris. Seharusnya Tuhan tidak bisa dibatasi
dalam bentuk kitab suci/buku saja, namun sayangnya orang hanya
membatasi Tuhan dalam kitab suci, sehingga segala hal yang di luar
kitab suci masuk neraka.
Untuk masalah fasilitasi perkawinan beda agama yang
dilakukan Percik, menurut Pdt. Sari tidak ada masalah, karena
memang dengan adanya fasilitasi ini, bisa mempermudah orang-
orang yang hendak melakukan perkawinan beda agama. Dengan
demikian kita sebagai manusia dapat mewujudkan bukti kasih
kepada Tuhan yaitu dengan cara mengasihi sesama manusia tanpa
memandang latar belakangnya.
Dasar yang digunakan Pdt. Sari dalam mengamini perkawinan
beda agama adalah kitab Lucas 10:29 yang berbunyi “perlakukanlah
sesama manusia seperti diri kita sendiri”. Dunia tidak satu wajah,
daun pun tidak selalu hijau, kenapa harus dipaksakan untuk
seragam? Yang perlu dikembangkan adalah sadarilah perbedaan dan
terimalah perbedaan itu.
2. Pendeta Eben Heiser
Beliau termasuk salah seorang yang dirangkul percik dalam
memfasilitasi perkawinan beda agama. Memang cara pandang dan
penafsiran seseorang terhadap sesuatu bisa berbeda-beda, begitu juga
masalah perkawinan beda agama. Dalam perjanjian lama, menurut
Beliau,
dahulu
umat
Kristen
hanya
boleh
melangsungkan
perkawinan dengan seseorang yang sebangsa saja (Israel), sedangkan
mereka yang menikah dengan orang dari bangsa lain dianggap kafir.
Namun setelah ada perjanjian baru, hal tersebut tidak ada lagi.
Setiap gereja memiliki aturan sendiri-sendiri, dalam teologi GKJ
(Gereja Kristen Jawa) sudah memiliki konstitusi yang mengatur
tentang warga gereja yang ingin menikah dengan orang yang
berbeda agama. Dalam konstitusi tersebut disebutkan boleh jika
seorang warga gereja menikah dengan orang yang berbeda iman,
tetapi ada satu hal yang perlu diingat, jika hal tersebut terjadi, akan
ada sebuah pengorbanan religious. Jadi bagi mereka yang telah
memutuskan untuk menikah dengan orang yang berbeda agama
harus siap dengan perbedaan-perbedaan yang ada dan harus punya
kebesaran hati dalam menjalaninya.
Tidak semua gereja mau menerima atau melayani pemberkatan
perkawinan beda agama. Dahulu pada tahun 1990-an pemberkatan
perkawinan beda agama dilarang, hingga pada tahun 2005
pemberkatan perkawinan beda agama mulai diperbolehkan.
Alasan mereka yang menolak perkawinan beda agama
menggunakan dalil dalam Korintus 6:14 “…atau bagaimanakah
terang dapat bersatu dengan gelap”. Mereka menafsirkan ayat ini
sebagai larangan menikah beda agama, karena mereka menganggap
orang yang tidak seiman termasuk dalam golongan kegelapan.
Namun menurut Pdt. Eben Heizer, bukan seperti itu maksud ayat
tersebut, seiman pun kalau berkelakuan buruk juga sama saja, tidak
ada bedanya.
UU No. 1 Tahun 1974 juga tidak mengatur secara khusus
tentang perkawinan beda agama, tidak melarang dan juga tidak
membolehkan, semua tergantung dari penafsirannya. Tidak berbeda
jauh dengan Al Qur’an yang satu namun banyak penafsirannya.
Dengan keadaan aturan hokum di Indonesia yang seperti itu,
dianggap tidak memenuhi kebutuhan masyarakat. Oleh sebab itulah
Percik memfasilitasi perkawinan beda agama sampai Negara mau
memfasilitasinya. Tentu saja tidak semua sepaham, dan biasanya jika
tidak sepaham akan sulit menemukan titik temunya.
Perkawinan di dalam Islam merupakan urusan agama, begitu
juga dalam Katolik merupakan urusan gereja, berbeda dengan
Protestan, karena di dalam protestan perkawinan merupakan urusan
sipil. Di luar negeri, pemberkatan perkawinan itu fakultatif, jadi
orang menikah boleh melakukan pemberkatan boleh juga tidak
melakukan pemberkatan. Kalau di Katolik agak rumit untuk
melakuka pemberkatan, karena ada hierarki gereja. Seorang Romo
tidak bisa melakukan apa-apa jika tidak ada perintah atau izin dari
Uskup. Begitu juga dalam agama Islam, setiap Kyai juga memiliki
penafsiran masing-masing. Dalam hal memfasilitasi perkawinan
beda agama percik juga bekerja sama dengan ICRP (Indonesian
Conference On Religion and Peace). Pak Ahmad Nurcholis dari
Jakarta juga sering datang ke Percik untuk memfasilitasi perkawinan
beda agama, Pak Sultoni juga sering diundang sebagai penasehat,
namun yang menikahkan tetap orang tua mereka masing-masing.
Menurut Pdt. Eben Heizer dulu orang yang pertama kali menikahkan
perkawinan beda agama yang diberkati oleh GKJ Sidomukti adalah
seorang Kyai NU Cirebon, pada saat itu yang menikah laki-laki
beragama Islam dan Perempuan beragama Nasrani.
Pdt. Eben Heizer berpendapat, pada dasarnya boleh atau
tidaknya perkawinan beda agama itu tergantung dari cara
menafsirkan suatu ayat. Di GKJ Sidomukti Salatiga, perkawinan
beda agama boleh dilakukan, dengan dasar teologi bahwa
perkawinan itu sebuah keputusan pribadi seseorang dalam menjalani
kehidupan dalam rancangan kehidupan ke depan. Perkawinan itu
tidak
terkait
dengan
prasyarat
kesamaan
keyakinan/
iman.
Perkawinan beda agama dipahami sebagai perkawinan dalam ikatan
cinta
kasih
dimana
seorang
pribadi
mengambil
keputusan
berdasarkan kesadaran penuh dan bisa dipertanggungjawabkan
kepada Tuhan. Pada dasarnya ajaran dalam Al Kitab bahwa
perbedaan tidak boleh menjadi alasan pemetaan.
3. Kyai Anshori
Tokoh agama Islam yang pernah bekerjasama dengan Percik
dalam proses perkawinan beda agama adalah Bapak K.H. Anshori
Djawadi. Hingga wawancara ini dilakukan, Pak Kyai Anshori
mengaku pernah menikahkan 3 pasangan berbeda agama yang
dalam kasus ini ketiga pihak laki-laki beragama Islam. Salah satu
pasangan yang Beliau nikahkan adalah pasangan AD-DW. Pada
awalnya, karena terpengaruh pikiran pikiran liberal (baik Islam
Liberal maupun Kristen Liberal) yang lebih mengedepankan
kontekstual
daripada
tekstual,
pak
Kyai
Anshori
sempat
membolehkan perkawinan beda agama. Namun setelah mengkaji
lebih dalam masalah perkawinan beda agama ini pandangan Beliau
berubah, dari membolehkan menjadi tidak membolehkan.
Bersedianya beliau mengawinkan pasangan nikah beda agama,
awalnya, seperti yang telah diungkapkan di atas bahwa sempat
Beliau terpengaruh pemikiran-pemikiran liberal yang menganggap
agama adalah untuk manusia, sehingga ketika manusia dihadapkan
pada persoalan yang terbentur agama, mereka mencari solusi yang
dianggap tepat. Bahwa seharusnya agama tidak menjadi suatu
penghalang ketika ada dua insan manusia yang ingin bersatu namun
berbeda agama. Selain itu didasari bahwa pihak yang Islam adalah
pihak laki-laki, karena di dalam Al Qur’an surat Al Maidah: 5 juga
diterangkan
kebolehan
seorang
laki-laki
muslim
menikahi
perempuan ahli kitab terlepas dari beberapa pendapat ulama
mengenai ahli kitab yang manakah yang boleh dinikahi.
2. Tidak Setuju
a. K.H. Atiq Afifudin
Menurutnya dalam pandangan agama Islam, perkawinan beda
agama haram hukumnya. Hal ini didasari oleh ketentuan al qur’an
surat al baqarah ayat 221, dan janganlah kamu menikahi wanitawanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita
budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik….Begitu juga
sebaliknya, wanita muslim juga diharamkan menikah dengan lakilaki musyrik.
Dengan pengecualian diperbolehkan perkawinan antara laki-laki
muslim dengan perempuan ahli kitab. Yang dimaksud dengan ahli
kitab adalah orang yang murni atau keturunan asli (orang tua)nya
masuk ke dalam agama tersebut sebelum dinasakh (ubah) dengan
kerasulan Nabi Muhammad SAW.
Dengan adanya perkawinan beda agama dikhawatirkan akan
membawa
pasangannya
melakukan
kemusyrikan
yang
akan
membawa seorang muslim tersebut masuk neraka. Menurut Atiq,
perkawinan yang ideal dalam Islam tentu perkawinan yang
dilakukan antar pemeluk agama Islam. Seperti hadis Rasulullah
bahwa seorang perempuan dipilih karena 4 hal, rupa, harta, nasab
dan agama. Namun dari keempat hal tersebut yang paling utama
adalah agamanya.
Melihat kenyataan yang terjadi dalam masyarakat, sebagai tokoh
agama Atiq merasa tidak punya kekuasaan untuk mengusik mereka
karena beliau menyadari bahwa agama adalah hak seseorang, selain
itu ketika pelaku perkawinan merasa bahagia, kita tidak punya hak
untuk memisahkan mereka. Hanya upaya pencegahan yang bisa
dilakukan, dengan cara menanamkan nilai-nilai keagamaan dan
pemahaman kepada para pemuda yang belum kawin.
b. Kyai Mustain
Sejalan dengan Atiq beliau juga menyatakan ketidaksetujuannya
dengan perkawinan beda Agama. Perkawinan beda agama mampu
merusak tatanan dan keturunan pelakunya. Bagaimana tidak, ketika
anak
mendapati orang
tua
yang
berbeda
agamanya
akan
menimbulkan suatu kebingungan pada anak untuk memilih agama
mana yang hendak dipeluknya.
Selain itu hubungan suami istri antara seorang muslim dan
seorang yang non muslim dianggap zina, sedangkan zina termasuk
salah satu dosa besar. Meskipun dalam Al Qur’an ada pengecualian
untuk laki-laki muslim menikahi perempuan ahli kitab, menurut
Kyai Mustain zaman sekarang ini sudah tidak ada yang disebut ahli
kitab. Karena pedoman/kitab suci yang mereka pegang saat sudah
tidak murni lagi seperti saat diturunkan kepada nabi Isa, dalam kitab
tersebut sudah ada perubahan-perubahan yang dilakukan manusia.
Melihat kenyataan dalam masyarakat yang ternyata ada pelaku
perkawinan beda agama, tidak banyak upaya yang bisa dilakukan
untuk mencegahnya. Karena hal tersebut sudah menjadi urusan
rumah tangga masing-masing dan menjadi pilihan hidup orang
tersebut. Solusi yang ditawarkan mungkin bisa dilakukan pendekatan
kepada pasangan pelaku perkawinan beda agama tersebut, diberikan
pemahaman secara pelan-pelan tentang hakikat sebuah perkawinan.
Dengan demikian diharapkan bisa menggerakkan hati pasangan
pelaku perkawinan beda agama terutama yang beragama Islam untuk
kembali semangat mempertahankan agamanya dan bisa mengajak
pasangannya untuk masuk Islam. Sehingga dapat tercapai tujuan
perkawinan seperti yang adiharapkan dalam Islam, yaitu sakinah,
mawadah wa rohmah. Jika hal seperti di atas tidak bisa dilakukan,
dapat dilakukan upaya pencegahan dengan memberikan pemahaman
kepada masyarakat terutama para pemuda yang belum melakukan
perkawinan. Upaya tersebut dilakukan melalui forum-forum kecil
dan fokus membahas hal tersebut.
3. Netral
a. Prof Zuhri
Menurutnya Perkawinan beda agama itu tidak ideal, karena
dalam perkawinan beda agama dapat menimbulkan berbagai
masalah. Misalnya dalam masalah kejiwaan, pelaku perkawinan
beda agama memiliki usia yang sudah tua, pasti suatu ketika ia akan
membayangkan alangkah senangnya jika seandainya bisa solat
berjama’ah dan puasa bersama-sama. Selain itu, ternyata mereka
juga secara diam-diam berebut anak (perang dingin), saling tarik
menarik anaknya ke agama yang dianut masing-masing.
Menurut beliau tidak hanya itu masalahnya, pasangan yang
hendak melangsungkan perkawinan beda agama juga akan
mengalami kesulitan dalam keadministrasian dan idealnya orang
Islam dicatat di KUA dan non Islam dicatat di KCS. Perkawinan
beda agama yang dilihat dalam 2 (dua) regulasi Undang-Undang
yaitu KHI (untuk beragama islam) dan Undang-Undang Perkawinan
No. 1 Tahun 1974 (Non Islam) kurang tepat karena tidak
memikirkan rasa hati. Jika ditinjau dari pengalaman pelaku
perkawinan beda agama yang sudah lanjut (tua), mereka mengaku
ada masalah dalam perkawinannya. Namun jika dari pelaku yang
masih muda mereka mengaku senang-senang saja karena itu
persoalan hati yang sudah sama-sama suka sehingga tidak memiliki
persoalan yang begitu rumit meskipun sebenarnya ada.
Menurut beliau dalam teori Imam Syafi’i menjelaskan ....“tarqul
khilafi mustakhabbun”...... (meninggalkan perbedaan itu yang di
pilih). Maksudnya, tinggalkanlah perbuatan yang masih kontroversi.
Jika perkawinan beda agama merupakan hal kontroversi maka lebih
baik ditinggalkan.
Kesimpulan yang didapat bahwa menurutnya perkawinan beda
agama
itu tidak
ideal.
Selain
akan ada
kesulitan dalam
keadministrsian juga didukung oleh pengalaman pelaku perkawinan
beda agama yang sudah tua yang mengaku bahwa melakukan
perkawinan beda agama terdapat problem kejiwaan. Menurut fiqh
hal tersebut kontroversi, ada yang membolehkan dan ada yang tidak.
Karena kontroversi, beliau tidak mengatakan itu boleh atau tidak
boleh.
Dari berbagai pandangan tokoh Agama terhadap perkawinan
beda agama dapat penulis kategorikan bahwa terdapat 3 pendapat
diantaranya: 1. Setuju, 2. Tidak Setuju dan 3. Netral dalam
menetapkan suatu hukum. Lihat tabel dibawah ini.
Tabel 3.1. Pandangan Tokoh Agama terhadap Perkawinan Beda
Agama
No
Nama
Pandangan Tokoh Agama
Setuju
Tidak
Setuju
(x)
1.
Kyai
Ansory
Setuju,
meskipun
setelah itu ia merubah
pandangannya
menjadi tidak Setuju.
2.
Pdt.
Eben
Setuju
(x)
3.
Pdt. Sari
Setuju
(x)
4.
Prof.
Zuhri
(x)
5.
Kyai
Atiq
(x)
(x)
Tidak
Setuju
6.
Kyai
Mustain
(x)
Tidak
Setuju
Keterangan
Lebih
mengedepankan
konteks dari pada
teks
dengan
berlandaskan pada
Al-maidah ayat 5.
Dunia tidak satu
wajah
maka
“perlakukanlah
sesama
manusia
seperti diri kita
sendiri”.
(Lucas
10:29)
Perkawinan
itu
merupakan
keputusan
pribadi
dalam menjalankan
kehidupan,
jadi
tergantung pada diri
seseorang tersebut
dalam
menjalani
kehidupanya.
Tinggalkanlah
perbuatan
yang
masih kontrofersial.
Dikawatirkan akan
membawa
pasanganya
melakukan
kemusrikan sehingga
seorang
muslim
tersebut
masuk
neraka.
Perkawinan
beda
agama
dapat
merusak tatanan dan
keturunan
pelakunya.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian ini diperoleh beberapa kesimpulan mengenai
perkawinan beda agama yang difasilitasi oleh lembaga Percik Salatiga, yaitu
sebagai berikut:
1. Fasilitasi yang dilakukan oleh Percik terhadap pasangan beda agama
diasumsikan sebagai pintu darurat yang berusaha memberikan tempat /
ruang (mempermudah) untuk melakukan perkawinan beda agama. Menurut
Percik, melakukan perkawinan beda agama tidak melanggar UU
Perkawinan. Mengenai keabsahan suatu perkawinan percik mengacu pada
UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan bahwa sahnya suatu perkawinan
dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu,
jika perkawinan beda agama sudah disahkan oleh pemuka agama dari
masing-masing pihak maka perkawinan tersebut sudah sah sesuai UndangUndang, sehingga perkawinan beda agama menjadi sah menurut agama dan
negara. Hal ini juga didasari oleh isi DUHAM (Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia) atau Universal Declaration of human rights dan UU No. 39
tahun 1999 tentang hak asasi manusia.
2. Fasilitasi yang dilakukan Percik yaitu dengan cara menghubungkan dan
menjadi mediator dengan para tokoh agama, lembaga dan instansi
pemerintah terkait, yang diperlukan untuk memperoleh pendampingan
dalam pelaksanaan perkawinan beda agama. Adapun prosedur perkawinan
beda agama yang difasilitasi Percik adalah sebagai berikut:
h. Calon mempelai datang ke Percik untuk konsultasi masalah rencana
perkawinan yang dihadapi.
i. Kemudian dari pihak Percik mengadakan diskusi dengan tokoh agama
yang terkait dan berwenang dalam melakukan perkawinan.
j. Percik membantu memfasilitasi kedua belah pihak untuk berdiskusi dan
menyelesaikan masalah yang ada. Percik hanya bertugas memfasilitasi,
dengan cara memberikan penjelasan, pengarahan dan mempertemukan
mereka dengan tokoh agama yang terkait jika diperlukan. Keputusan
terakhir diserahkan sepenuhnya terhadap masing-masing keluarga.
k. Jika terjadi kesepakatan, maka pihak keluarga mendiskusikan tentang
bagaimana prosesi perkawinan beda agama yang akan dilakukan sesuai
agama masing-masing, menentukan waktu dan tempat pelaksanaannya.
l. Mempelai mengurus surat-surat kelengkapan sebagai syarat pencatatan
perkawinan.
m. Setelah semua syarat administrasi lengkap, pihak Percik melakukan
pendampingan kepada calon mempelai untuk masuk dalam prosesi
perkawinan sesuai yang telah direncanakan sebelumnya.
n. Setelah prosesi perkawinan didepan pemuka agama selesai, pihak KCS
mencatatkan perkawinan mereka dengan mencantumkan agama masingmasing dalam akta nikah.
3. Pandangan tokoh agama terhadap fasilitasi perkawinan beda agama oleh
Percik adalah sebagai berikut:
a. Pendeta Gereja Kristen
Masalah fasilitasi perkawinan beda agama yang dilakukan Percik,
menurut Pendeta Kristen tidak ada masalah, karena dengan adanya
fasilitasi tersebut, bisa mempermudah orang-orang yang hendak
melakukan perkawinan beda agama. Dasar yang digunakan Pendeta
tersebut, adalah kitab Lucas 10:29. Tidak semua gereja mau menerima
atau melayani pemberkatan perkawinan beda agama. Alasan yang
menolak perkawinan beda agama yaitu menggunakan dalil dalam
Korintus 6:14.
b. Prof Zuhri
Menurut salah satu pakar hukum Islam di STAIN, perkawinan beda
agama itu tidak ideal. Karena perkawinan tersebut pasti akan menemukan
berbagai masalah. Misanya masalah kejiwaan atau masalah berebut anak.
Menurutnya, lebih baik perkawinan beda agama itu ditinggalkan. Seperti
teori Imam Syari’i yang berbunyi Tarqul khilafi mustahabbun,
(meninggalkan perbedaan itu yang dipilih) jika perkawinan beda agama
itu kontroversi, maka lebih baik di tinggalkan.
c. Tokoh Ta’mir Masjid
Menurut para tokoh takmir, Perkawinan beda agama haram
hukumnya. Hal ini didasari oleh ketentuan al qur’an surat al baqarah ayat
221, yaitu larangan larangan laki-laki muslim untuk menikahi wanita-
wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Begitu juga sebaliknya,
wanita muslim juga diharamkan menikah dengan laki-laki musyrik.
Dengan adanya perkawinan beda agama dikhawatirkan akan membawa
pasangannya melakukan kemusyrikan yang akan membawa seorang
muslim masuk neraka.
B. Saran
1. Bagi Pasangan
Hendaknya pasangan yang akan melangsungkan perkawinan beda agama
berfikir ulang sebelum malaksankan dan meminta pendapat kepada tokoh
agama tentang perkawinanya tersebut melarang agama atau tidak, jangan
hanya mementingkan nafsu belaka.
2. Bagi Pemerintah
Tidak adanya aturan yang tegas terhadap perkawinan beda agama maka
Pemerintah perlu meninjau ulang kajian hukum terhadap perkawinan beda
agama agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
3. Bagi Percik
Dengan adanya pasangan yang datang ke Percik untuk minta di fasiliasi
perkawinan beda agama maka di harapkan percik lebih aktif dan lebih giat
dalam menaggapi persoalan-persoalan yang ada dimasyarakat tidak hanya
masalah perkawinan.
4. Bagi Akademik
Bagi STAIN, Khususnya program Study ahwal-alsyahsiyyah diharapkan
mampu mengakomodir mahasiswa agar tidak terjerumus oleh hal-hal yang
melanggar syari’ah
5. Bagi Tokoh Agama
Sebagai tokoh Agama yang notabene panutan masyarakat hendaknya
lebih matang dalam mengambil suatu keputusan apakah hal ini
diperbolehkan atau tidak, jangan hanya mementingkan politik maupun
golongan semata.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Nurcholish dan Ahmad Baso, Pernikahan Beda Agama: Kesaksian,
Argumen Keagamaan dan Analisis Kebijakan. (Jakarta: ICRPKomnas HAM, 2010)
Departemen Agama RI. 1995. Al-‘Aliyyi Al-Quran Dan Terjemahan.
Bandung: CV Penerbit Diponegoro
Departemen Agama RI, 1976. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: PT.
Bumi Restu
Fauzi, Auwenda. 2004. Perkawinan Campuran Dalam Perspektif Hukum
Islam (Studi Analisis Terhadap Pendapat Imam Syafi’I Tentang
Perkawinan Campuran). Skripsi tidak diterbitkan. Salatiga: Jurusan
Syari’ah STAIN Salatiga
Fuadi, Maftuhul. 2006. Nikah Beda Agama Perspektif Ulil Abshar Abdalla.
Skripsi tidak diterbitkan. Salatiga: Jurusan Syari’ah STAIN Salatiga
Ghazali, Abd Rahman. 2003. Fiqh Munakahat. Jakarta : Kencana
http://www.percik.or.id (Website Percik)
Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Lembaga Study Islam dan Kemasyarakatan (LSIK), 1994. Problematika
Hukukm Islam Kontemporer. Jakarta. PT Pustaka Firdaus.
Madjid, Nurcholish dkk. 2004. Fiqh Lintas Agama: Membangun
Masyarakat Inklusif-Pluralis. Jakarta: Paramadina
Margono, S.2004. metodologi Penelitian. Jakarta: PT. Pineka Cipta
Moloeng, Lexy J. 2004. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda
Nikmah, Sri. 2011 Perkawinan Lintas Agama dalam Tinjauan Hukum Islam
dan Perundang-undangan di Indonesia (Studi Terhadap Pasangan
Suami Istri Pelaku Perkawinan Lintas Agama di Kelurahan Bugel
Salatiga) Skripsi Tidak diterbitkan Salatiga: Jurusan Syari’ah
STAINSalatiga,
Pamungkas, Muhammad Wahyuning. 2008. Pernikahan Beda Agama: Studi
terhadap Pasangan Suami Istri Beda Agama di Banjaran Salatiga.
Inferensi, 2(1):43
Poerwadarminta, W.J.S. 2006. Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi
Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka
Sabiq, sayid. 1981. Fiqh Sunnah Jilid VI. Bandung : PT Al-Ma’arif.
Syarifudin, Amir. 2006 Hukum Perkawinan Islam di Indonesia : Antara
Fiqh Munakahat dan UU perkawinan. Jakarta : Prenada
Media
Setiawan, Ebta. 2010. KBBI (Kamus Besar Bahas Indonesia) versi offline
dengan mengacu pada data dari KBBI Daring (edisi III) dimbil
dari http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi
Sastroatmojo, Arso dan Aulawi, Wasit. 1978. Hukum Perkawinan di
Indonesia. Jakarta. Bulan Bintang
Tihami, Prof.Dr HMA dan Sahrani, Drs.Suhari 2009. Fiqh Munakahat, Fiqh
Nikah Lengkap. Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada
Tim Percik, 2008. Pergumulan Perkawinan Beda Agama, Salatiga. Percik
Press
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Wawancara dengan Staff Advokasi di Percik pada Tanggal 5, 10, 12, dan 19
November 2012
Wawancara dengan Staff Peneliti di Percik pada Tanggal 19, 1, dan 5
Desember 2012
Wawancara dengan Pegawai Kantor Catatan Sipil Salatiga pada tanggal 13
November 2012
Wawancara dengan Pelaku perkawinan beda Agama pada tanggal 15, 23,
25, 27 November 2012
Wawancara dengan Tokoh Agama Pada tanggal 1, 5, 7 dan 13 Desember
2012
Download